Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU MAHASISWA D-IV KEBIDANAN TENTANG DETEKSI DINI KANKER PAYUDARA MELALUI PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) DI STIKES INSAN UNGGUL SURABAYA THE FACTORS WHICH IS ASSOCIATE TO STUDENT D-IV MIDWIVERY’S BEHAVIOR TO EARLY DETECTION ABOUT BREAST CANCER THROUGH CHEKING THEIR OWN BREAST (SADARI) AT STIKES INSAN UNGGUL SURABAYA
(1)A’im (1)Dosen
Matun Nadhiroh, S.Si.T., M.P.H SIKES Insan Se Agung Bangkalan
ABSTRAK Kanker payudara merupakan penyakit keganasan kedua yang dialami oleh wanita setelah kanker leher rahim. Hingga saat ini frekuensi kanker payudara mencapai 20% dari seluruh penyakit kanker dan sekitar 70% pasien kanker payudara datang ke rumah sakit apabila sudah berada pada kondisi stadium lanjut. Maka sebagai langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang wanita untuk melakukan deteksi dini timbulnya kanker payudara adalah dengan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). Namun tidak semua wanita mengetahui, memahami dan melaksanakan SADARI. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku mahasiswa D-IV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya tentang deteksi dini kanker payudara melalui SADARI. Metode Penelitian : Deskriftif korelasi dengan pendekatan cross sectional, populasinya adalah mahasiswa D-IV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya sejumlah 118 mahasiswa. Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling, variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan usia sedangkan variabel dependennya adalah perilaku SADARI. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisa melalui uji statistik Chi-Square dengan tingkat signifikan 0,05%. Hasil penelitian : Mayoritas pengetahuan mahasiswa baik (59%), sikap mayoritas tidak mendukung (53%), usia mayoritas usia dini (93%) dan perilaku SADARI mayoritas pasif (87%). Dan hasil analisa Chi-Square untuk faktor pengetahuan didapatkan X2 hitung = 2,606, X2 tabel = 3,481, p = 0,106, faktor sikap X2 hitung = 3,433, X2 tabel = 3,481, p = 0,064, dan faktor usia X2 hitung = 0,011, X2 tabel = 3,481, p = 0,916 Kesimpulan : Tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan usia dengan perilaku deteksi dini kanker payudara melalui SADARI. Kata kunci : Pengetahuan, sikap, usia dan perilaku SADARI ABSTRACT Introduction : Breast cancer represasn’t as the second woman ferocious disease after cervix cancer. Till in this time tired breast cancer frekuency is twenty % from antire cancerous and around 70% breast cancer patient come to hospital if have resided in middle stadium condition. Hence as early stape, woman must be conduct in detect early incident of breast cancer is with breast self inpectiont. However, not alow woman know, comprehend, and execut the breast self inpectiont (SADARI). The purpose of this reseach is identify the factor’s related to behavior of student of D-IV midwivery of STIKES Insan Unggul Surabaya in detection early breast cancer through breast selp inpection. Methode : The result is a correlation descriptive design with approach of cross sectional technique ; their population’s are 118 student’s of D-IV midwivery of STIKES Insan Unggul Surabaya. Was taken with simple random sampling, an independent variable’s in this reseach are knowledge, attitude and age while it’s dependent variable is behavior of SADARI. Result : Data collected by user questioner and with chi-square statistical test in lavel of significant 0,05%. The result of reseach indicate that mayority of responden have a good knowledge (59%), and supported attitude (53%), early age (93%) and passife behavioral (87%), more over, result of analysis of chi-square of the factor’s of knowledge got X2 calculated = 2,606, X2 table = 3,481, p = 0,106, attitude factor got X2 calculated = 3,433, X2 table = 3,481, p = 0,064 and age factor got X2 calculated = 0,011, X2 table = 3,481, p = 0,961. Discusion : This reseach conclude’s that there is not any corelation’s between knowledge, behavior and age with behavior of early detection on cancer through SADARI. Keyword : Knowledge, attitude, age and SADARI behavior
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
PENDAHULUAN
bersikap acuh tak acuh dengan kondisi kesehatan organ reproduksinya (Mardiana, 2004). Ketidaktahuan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tingkat pendidikan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2001) tentang pengaruh pendidikan formal wanita usia subur (WUS) terhadap pengetahuan tentang SADARI, memperlihatkan hasil bahwa dari 94 responden tidak memiliki pengetahuan cukup mengenai SADARI, sebagaian besar (65%) memiliki latar belakang pendidikan sekolah dasar. Namun demikian tingkat pengetahuan yang baik tidak selalu diikuti dengan sikap yang baik pula. Penelitian lain yang dilakukan oleh Palupi (2003) tentang persepsi wanita mengenai pentingnya SADARI sebagai upaya deteksi dini terhadap kanker payudara, mengindikasikan bahwa dari responden yang mempunyai sikap tidak mendukung (negatif) ternyata sebagain besar (70%) memiliki pengetahuan yang baik tentang SADARI. Berdasarkan dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti terhadap 17 mahasiswa D-IV Kebidanan STIKES IInsan Unggul Surabaya pada tanggal 07 Oktober 2009 yang dipilih secara insidental. Didapatkan data bahwa hanya 3 mahasiswa yang melakukan SADARI secara teratur, 5 mahasiswa melakukan SADARI secara tidak teratur dan sisanya sebanyak 9 mahasiswa tidak pernah melakukan SADARI. Setelah dilakukan wawancara lebih lanjut diperoleh data bahwa kebanyakan dari mereka malas untuk melakukan SADARI dan termotivasi untuk melakukan SADARI apabila dirasakan adanya keluhan atau benjolan pada payudaranya. Bahkan salah satu mahasiswa beranggapan bahwa SADARI tidak penting untuk dilakukan. Informasi tersebut walau tidak dapat digunakan untuk mengeneralisasi namun paling tidak memberikan gambaran bahwa mahasiswa D-IV Kebidanan yang juga sebagai tenaga kesehatan diharapkan mampu melakukan perilaku SADARI secara teratur, namun kenyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan gambaran tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku mahasiswa D-IV Kebidanan mengenai deteksi dini kanker payudara melalui SADARI.
Di Indonesia angka kesakitan yang disebabkan oleh kanker masih tinggi. Kanker dapat menyerang pada semua lapisan masyarakat tanpa mengenal status sosial, umur, dan jenis kelamin. Dari segi status sosial, penyakit kanker dapat menyerang orang kaya, miskin, berpendidikan tinggi maupun orang-orang yang tidak berpendidikan sama sekali. Anakanak, remaja, dan orang dewasa tidak bisa terhindar dari serangan kanker, begitu pula dengan pria ataupun wanita. Namun menurut Mardiana (2004) diperkirakan sekitar 60% penderita kanker di Indonesia adalah wanita. Kaum wanita cukup rentan terhadap serangan kanker, terutama pada organ vital seperti payudara dan juga organ reproduksi lain seperti rahim, indung telur dan vagina. Bagi wanita penyakit ini merupakan momok sekaligus ancaman yang menakutkan(1). Di Indonesia kanker payudara menduduki peringkat kedua setelah kanker leher rahim diantara kanker yang menyerang wanita. Rata-rata penderita kanker payudara adalah 10 dari 100.000 perempuan (Sinar Harapan, 2004). Akan tetapi kanker payudara ternyata bukan monopoli kaum wanita saja, kaum pria juga bisa mengalaminya, meski angkanya relatif kecil yakni hanya sekitar 1%. Kanker payudara pada pria harus diwaspadai sejak dini karena bisa mengakibatkan kematian sebagaimana yang terjadi pada wanita, bahkan serangannnya lebih ganas dan susah disembuhkan (IPTEKnet, 2004). Kanker payudara umumnya menyerang wanita yang telah berumur lebih dari 40 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan wanita mudapun bisa terkena kanker payudara. Menurut Wiknjosastro (1999) umur penderita kanker payudara yang termuda adalah 20-29 tahun, yang tertua adalah 80-89 tahun dan yang terbanyak pada umur 40-49 tahun. Pada beberapa kasus sering ditemukan penderita kanker, termasuk kanker payudara tidak menyadari kondisinya dan datang ke pelayanan kesehatan dalam stadium lanjut. Menurut Sutjipto, sekitar 70% pasien kanker payudara datang ke rumah sakit apabila sudah berada pada kondisi stadium lanjut. Penyebab keterlambatan penderita TINJAUAN PUSTAKA datang ke dokter karena mereka takut operasi, percaya pada pengobatan tradisional atau paranormal dan karena faktor Konsep Dasar Kanker Payudara ekonomi atau ketiadaan biaya. Padahal semakin tinggi stadiumnya maka kemungkinan sembuh akan turun hingga Kanker payudara adalah segolongan penyakit sebagai 15% (Sinar Harapan, 2004). Sebenarnya untuk mendeteksi akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh kanker payudara tidak sulit, semua wanita bisa melakukan pada payudara dan bila tidak cepat diobati akan menyebabkan cukup dengan dilakukan sendiri tanpa perlu ke dokter, yaitu kematian(2). melalui pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). Kanker payudara adalah tumor ganas yang menyerang Pemeriksaan payudara sendiri sangat penting untuk jaringan payudara. Jaringan payudara tersebut terdiri dari dilakukan karena hampir 85% benjolan di payudara kelenjar susu (kelenjar pembuat air susu), saluran kelenjar ditemukan oleh penderita sendiri (IPTEKnet, 2004). (saluran air susu), dan jaringan penunjang payudara(1). Sedangkan waktu terbaik untuk memeriksa payudara sendiri Menurut Bohme (2001) faktor penyebab dari kanker adalah 4-5 hari setelah menstruasi terakhir, karena payudara payudara sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Namun biasanya masih lunak sehingga kalau terdapat benjolan akan tidak menutup kemungkinan bahwa penyebabnya sangat lebih mudah terdeteksi(2). multifaktorial, yang saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu : Dengan masih tingginya angka kesakitan yang 1. Faktor eksternal meliputi bahan-bahan kimia, radiasi, virus disebabkan oleh kanker terutama kanker payudara, maka atau virogen dan lingkungan sekitar. sebagai langkah awal diperlukan pemahaman dari wanita 2. Faktor internal meliputi faktor genetika, pengaruh hormon, tentang pentingnya pemeriksaan payudara sendiri. Walaupun system kekebalan tubuh dan kondisi metabolisme tubuh. pemeriksaan payudara sendiri sangat mudah untuk dilakukan akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit wanita yang JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Menurut Mardiana (2004) penderita yang terkena kanker payudara stadium awal atau dini tidak merasakan adanya nyeri atau sakit pada payudaranya. Namun demikian, jika payudara diraba, ada benjolan yang tumbuh di dalamnya. Besar-kecilnya benjolan yang tumbuh tersebut sangat barvariasi, tergantung seberapa cepat penderita bisa mendeteksinya. Setelah melewati stadium dini atau memasuki stadium lanjut, gejala serangan kanker payudara semakin banyak seperti berikut ini : 1. Perubahan bentuk payudara karena adanya benjolan pada payudara yang dapat diraba dengan tangan, makin lama benjolan ini makin mengeras dan bentuknya tidak beraturan. 2. Bentuk atau arah puting berubah. 3. Mulai timbul luka pada payudara dan puting susu seperti koreng atau eksim. 4. Keluar darah, nanah atau cairan encer dari puting susu. 5. Perubahan bentuk daerah disekitar puting payudara (areola). 6. Penampilan kulit payudara mirip kulit jeruk (Peau d’orange). 7. Bentuk, ukuran atau berat salah satu payudara berubah. 8. Kelenjar yang mirip karet, kaku dan mudah teraba (kelenjar getah bening) pada lipat ketiak(3). Terdapat segolongan wanita yang dianggap mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena kanker payudara. Mardiana (2004) mengemukakan faktor-faktor resiko tersebut, yaitu : 1. Wanita yang senang mengkonsumsi makanan berlemak dan berprotein tinggi, tetapi rendah serat terlalu banyak. Karena makanan seperti itu mengandung zat karsinogen yang dapat merangsang pertumbuhan sel kanker. 2. Wanita yang pernah mendapatkan terapi hormonal dalam jangka waktu yang lama atau menggunakan obat-obatan hormonal diluar pengawasan dokter yang digunakan secara berlebihan seperti hormon penambah gairah seksual. 3. Pil kontrasepsi yang digunakan pada usia muda. Penelitian membuktikan bahwa wanita usia dini (remaja) yang memakai alat kontrasepsi oral (pil) sangat tinggi resikonya terserang kanker payudara. 4. Terapi radiasi pada daerah sekitar dada dan payudara pernah dilakukan. 5. Kontaminasi senyawa kimia berlebihan, baik langsung maupun tidak langsung. Wanita yang merokok memiliki resiko paling besar terserang kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. 6. Wanita bekerja pada malam hari. Pusat Penelitian kanker Fred Hutchion Cancer di Seatle, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa wanita yang bekerja pada malam hari mempunyai peluang 60% terkena kanker payudara. Cahaya lampu yang kusam pada malam hari dapat menekan produksi melatonin noctural pada otak sehingga hormon estrogen yang diproduksi oleh ovarium meningkat. Padahal, diketahui melatonin dapat menekan pertumbuhan sel kanker payudara. 7. Wanita yang mengalami menopause atau mati haid setelah umur 50 tahun. 8. Wanita yang tidak pernah menikah.
Wanita yang menikah tetapi tidak pernah melahirkan anak atau tidak memiliki keturunan. 10. Wanita yang melahirkan anak setelah umur 35 tahun. 11. Wanita yang tidak pernah menyusui. 12. Anggota keluarga pernah terkena kanker payudara. 13. Wanita yang terlalu cepat mendapat menstruasi pertama, yaitu kurang dari umur 10 tahun. 14. Wanita yang terlalu banyak minum alkohol. 15. Wanita yang pernah memiliki tumor jinak di payudara, fibrokistik payudara, atau kanker payudara. Dengan mengetahui adanya faktor-faktor resiko tersebut maka penting bagi seorang wanita agar waspada terhadap terjadinya kanker payudara sehingga dapat terdeteksi secara dini dan dapat diobati dengan segera dan lebih baik. Menurut Luwia (2003) pencegahan kanker payudara bisa dilakukan dengan: 1. Menghindari faktor resiko kanker payudara 2. Pola makan sehat 9.
Konsep Dasar Deteksi Dini Dari semua jenis kanker pada dasarnya dapat disembuhkan. Begitu juga dengan kanker payudara, jika ditemukan sedini mungkin dan segera diobati, kanker payudara dapat disembuhkan dengan tingkat keberhasilan 100%. Deteksi dini kanker adalah suatu usaha untuk menemukan adanya kanker yang masih dapat disembuhkan, yaitu kanker yang belum tumbuh, masih kecil, masih lokal, masih belum menimbulkan kerusakan berarti pada golongan masyarakat tertentu dan pada waktu tertentu(4). Deteksi dini bertujuan untuk menemukan adanya kanker dini, yaitu kanker yang masih dapat disembuhkan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas kanker(4). Menurut Sukardjo (2000) ada beberapa cara untuk mengadakan deteksi kanker, yaitu: 1. Penyuluhan Kanker Masyarakat (PKM). 2. Pendidikan Kanker Profesional (PKP). 3. Skrining Kanker Konsep Dasar Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) Pemeriksaan payudara sendiri adalah memeriksa sendiri payudara yang dilakukan secara berkala yaitu setiap satu bulan sekali(1). Cara atau urutan melakukan pemeriksaan payudara sendiri menurut Mardiana (2004) adalah sebagai berikut: a. Posisi berdiri 1. Pada tahap awal, lepas semua pakaian atas, lalu berdiri di depan cermin dengan posisi kedua tangan lurus ke bawah. Perhatikan seluruh bagian kedua payudara dengan seksama. 2. Pastikan ada tidaknya perubahan yang tampak, baik bentuk maupun ukuran payudara. Hanya wanita bersangkutan yang lebih memahami jika ada perubahan bentuk maupun ukuran pada payudaranya. 3. Angkat kedua tangan ke atas hingga lurus. Perhatikan kembali seluruh bagian payudara. Pastikan ada tidaknya perubahan yang tampak, seperti adanya tarikan disekitar payudara atau adanya kerutan dikulit payudara. 4. Pada kondisi berdiri sempurna dengan tangan lurus disamping badan, pijat atau tekan secara perlahan-lahan payudara sebelah kiri tepat disekitar puting susu dengan tangan kanan, sedangkan payudara sebelah kanan dengan tangan kiri. Pastikan ada tidaknya cairan (bukan air susu) yang keluar dari puting susu.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
b. Posisi berbaring
1. Faktor predisposisi (predisposing factors)
1. Letakkan bantal di bawah bahu atau dipunggung untuk mempermudah pemeriksaan. 2. Letakkan tangan kanan di bawah kepala dan tangan kiri meraba sambil menekan perlahan-lahan payudara sebelah kanan. Begitu pula sebaliknya, letakkan tangan kiri di bawah bantal dan periksa payudara sebelah kiri dengan tangan kanan. 3. Lakukan perabaan dengan tangan memutar disertai tekanan secara perlahan-lahan. Gunakan ujung jari telunjuk, jari tengah dan jari manis untuk meraba.
Merupakan faktor internal yang ada pada diri individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang mempermudah individu untuk berperilaku seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan sebagainya. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku Mahasiswa D-IV Kebidanan mengenai deteksi dini kanker payudara melalui SADARI : a. Pengetahuan b. Sikap c. Usia
Konsep Dasar Perilaku Masalah kesehatan masyarakat terutama dinegaranegara berkembang, pada dasarnya menyangkut empat aspek utama. Yaitu aspek lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan hereditas. Dari keempat aspek yang mempengaruhi kesehatan diatas, sebenarnya faktor tersebut terkait dengan perilaku manusia. Perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat(5). Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Skiner (1938) seorang ahli psikologi yang dikutip Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku kesehatan ialah segala pengalaman dari interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan serta tindakanya yang berhubungan dengan kesehatan(6). Dari berbagai batasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang mendapat stimulus atau informasi tentang cara-cara hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara pencegahan dan sebagainya, maka hal tersebut akan meningkatkan pengetahuan seseorang yang selanjutnya akan menimbulkan kesadaran orang tersebut, dan akhirnya orang tersebut akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Perilaku seseorang dapat diamati secara langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh orang lain. Bentuk-bentuk Perilaku : Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, menurut Notoatmodjo (2003) perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Perilaku tertutup (covert behavior) 2. Perilaku terbuka (overt behavior) Perilaku sehat dapat terbentuk karena berbagai pengaruh atau rangsangan yang berupa pengetahuan, sikap, pengalaman, keyakinan, sosial, budaya, sarana fisik, pengaruh atau rangsangan yang bersifat internal.
Kemudian Green dalam Notoatmodjo (2003) mengklasifikasikan menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan, yaitu:
2. Faktor pemungkin (enabling factors) Merupakan faktor yang memungkinkan individu berperilaku, seperti yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedia fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. 3. Faktor penguat atau pendorong (reinforcing factors) Merupakan faktor yang menguatkan perilaku seperti yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. METODE PENELITIAN Jenis dan Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah deskriftif korelasi, dimana peneliti hanya menggambarkan ada tidaknya hubungan antara dua atau beberapa variabel, dengan menggunakan pendekatan cross sectional karena pengukuran dan pengumpulan variabelnya dilakukan sesaat. Pada penelitian ini populasinya adalah semua mahasiswa D-IV Kebidanan semester I STIKES Insan Unggul Surabaya. Pada tahun 2009 didapatkan jumlah mahasiswa sebanyak 118 orang. Untuk menentukan besarnya sampel menggunakan rumus sebagai berikut (Notoatmodjo, 2002).
n
N 1 N (d 2 )
Keterangan : n : Besar sampel N : Perkiraan besar sampel d : Tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan (0,05) Besar sampel dalam penelitian ini adalah : 118 n 1 118(0,05 2 ) 118 n 1 118(0,0025)
118 1,295 n 91,11 n
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Jadi jumlah sampelnya sebanyak 91 orang. Untuk mengantisipasi terjadinya sampel yang Droup Out maka jumlah sampel ditambah 10%, didapatkan jumlah keseluruhan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 100,1 kemudian dibulatkan sehingga menjadi 100 sampel. Pengambilan sampel menggunakan probability sampling dengan teknik simple random sampling, dimana pengambilan sampel anggota dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut(7). Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda yang dimiliki oleh kelompok lain(8). Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu : variable independen dan variable dependen. Dalam penelitian ini variabel independennya adalah pengetahuan, sikap dan usia sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku mahasiswa D-IV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya mengenai deteksi dini kanker payudara melalui SADARI.
Table 1. Definisi Operasional No
Nama Variabel
Variabel Terikat 1. Pengetahuan
Definisi Operasional Pemahaman individu terhadap soal tertutup berbentuk pilihan ganda mengenai deteksi dini kanker payudara melalui SADARI Parameter : meliputi pengertian kanker payudara, penyebab kanker payudara, tanda dan gejala, pencegahan, deteksi dini, tujuan deteksi dini, pengertian SADARI, teknik melakukan SADARI dan sebagainya. Hasil pengukuran yaitu pengetahuan baik bila skor lebih atau sama dengan skor rerata kelompok ( x ), dan pengetahuan kurang bila skor kurang dari skor rerata kelompok ( x ). Skala pengukuran : ordinal
2.
Sikap
Pandangan individu mengenai deteksi dini kanker payudara melalui SADARI Hasil pengukuran yaitu sikap mendukung bila jumlah skornya lebih atau sama dengan skor rerata kelompok ( x ) dan sikap tidak mendukung bila skornya kurang dari rerata kelompok ( x ). Skala pengukuran : ordinal
3.
Usia
Umur individu yang dihitung sejak kelahiran hingga ulang tahun yang terakhir. Hasil pengukuran yaitu dewasa dini bila usia 18 tahun sampai 40 tahun dan dewasa madya bila usia 40 tahun sampai 60 tahun. Skala pengukuran : ordinal
Variabel Bebas 1. Perilaku
Kecenderungan bertindak individu dalam melakukan deteksi dini kanker payudara melalui SADARI Hasil pengukuran yaitu perilaku aktif bila melakukan SADARI secara teratur setiap bulan satu kali sejak responden berusia 20 tahun, dan perilaku pasif bila SADARI tidak dilakukan secara teratur sejak responden berusia 20 tahun. Skala pengukuran : ordinal
Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer. Penelitian dikembangkan sendiri oleh peneliti maka instrumen dilakukan uji validitas dan reliabilitas melalui pilot studi. Pilot studi dilakukan terhadap 17 responden yaitu mahasiswa D-IV Kebidanan semester 1 STIKES Insan Unggul Surabaya, yang tidak termasuk sebagai sampel penelitian. 1. Uji Validitas Pada penelitian ini jenis validitas instrumen yang digunakan yaitu validitas isi (content validity). Teknik yang digunakan adalah teknik korelasi product moment, yaitu :
rxy
NXY (X )(Y ) {NX (X ) 2 }{NY 2 (Y ) 2 } 2
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Butir-butir pada setiap item dalam instrumen penelitian skornya dijumlah, kemudian dikorelasikan dengan jumlah skor total. Skor dari instrumen kuesioner, hasilnya dicocokkan dengan tabel statistik. Bila r hitung lebih besar dari r tabel maka instrumen dapat dikatakan valid. Berdasarkan hasil uji validitas didapatkan pada bagian B (variabel pengetahuan) dari 26 butir pertanyaan 8 butir diantaranya tidak valid (nilai r lebih kecil dari nilai tabel) yaitu butir pertanyaan no 2, 6, 13, 15, 19, 21, 22 dan 23. dari kedelapan pertanyaan tersebut 4 diantaranya nilainya mendekati nilai r yaitu pertanyaan no 6, 21, 22 dan 23, sehingga tetap diikut sertakan untuk meneliti dengan perbaikan redaksi, sedangkan 4 sisanya dihilangkan sehingga butir pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 22 butir. Dan pada bagian C (variabel sikap) menunjukkan nilai r berkisar antara 0,5254 sampai dengan 0,8748. Dengan demikian instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dinyatakan valid.
Berdasarkan pada tabel 2 dapat diketahui bahwa latar belakang pendidikan mahasiswa D-IV Kebidanan mayoritas dari SMU + D-IV yaitu sebanyak 45%. 2.
Pekerjaan Tabel 3
: Distribusi Frekuensi Pekerjaan Mahasiswa D-IV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya Bulan Desember 2009.
Pekerjaan Mahasiswa D-IV Kebidanan Bidan BPS Dosen Bidan pelaksana Total
Frekuensi
Persentase
15 45 40 100
15% 45% 40% 100%
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa dari 100 responden mayoritas bekerja sebagai dosen yaitu sebanyak 45%.
2. Uji Reliabilitas Dalam penelitian ini pengujian reabilitas menggunakan rumus Alpha () Cronbach
instrumen
DATA KHUSUS 1. Pengetahuan
Keterangan:
2 n i 1 n 1 t2
41% 1
: Reliabilitas yang dicari i2 : Jumlah varians skor tiap-tiap item t2 : Varians total
2 59%
Konsistensi internal alat ukur dikatakan baik jika Alpha Cronbach berkisar antara 0,70 hingga 0,95(8). Menurut Sugiono (2003) instrumen penelitian dikatakan reliabel bila nilai r hitung lebih besar dari r tabel. Berdasarkan perhitungan dengan , bagian B (variabel pengetahuan) mempunyai koefisien alpha sebesar 0,9493 dan bagian C (variabel sikap) mempunyai koefisien alpha sebesar 0,9182. Oleh karena itu semua bagian mempunyai alpha yang mendekati 1, maka kesimpulannya semua pertanyaan dan pernyataan pada bagian B dan C dinyatakan reliabel. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Data Umum 1. Latar Belakang Pendidikan Tabel 2 Distribusi Frekuensi Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa D-IV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya Bulan Desember 2009. Latar belakang pendidikan mahasiswa D-IV Kebidanan SPK + D-III SPK + D-I + D-III SMU + D-III Total
Frekuensi
Persentase
30 25 45 100
30% 25% 45% 100%
: Kurang
Baik
Gambar 1 : Distribusi Frekuensi Pengetahuan Mahasiswa DIV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya Bulan Desember 2009 Bila dilihat dari pengetahuan, gambar 5.1 diatas memberikan gambaran bahwa dari 100 responden mayoritas berpengetahuan baik (59%). 2.
Sikap
47%
1 2
53% Tidak mendukung
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Mendukung
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Gambar 2 : Distribusi Frekuensi Sikap Mahasiswa D-IV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya Bulan Desember 2009 Pada gambar 2 menunjukkan bahwa dari 100 responden mayoritas mempunyai sikap tidak mendukung (53%).
5.
Tabulasi Silang Pengetahuan Dengan Perilaku Mahasiswa D-IV Tabel 2 Tabulasi Silang Pengetahuan Dengan Perilaku Mahasiswa D-IV Dalam Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui SADARI Di STIKES Insan Unggul Surabaya Bulan Desember 2009 Perilaku Aktif Pasif f % f % 5 91, 5 8,5 4 5 19, 3 80, 8 5 3 5 1 13, 8 87, 3 0 7 0
Pengetahua n n : 100
3. Usia
Baik
7%
Kurang 1 2 93%
: Usia dini madya
: Usia
Gambar 3 : Distribusi Frekuensi Usia Mahasiswa D-IV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya Bulan Desember 2009 Dari gambar 5.3 dapat dilihat bahwa mayoritas usia responden adalah usia dewasa dini (93%) yaitu usia 18 tahun sampai dengan 40 tahun. 4.
Perilaku
87% : Pasif
Gambar 4 : Distribusi Frekuensi Perilaku Mahasiswa D-IV Kebidanan STIKES Insan Unggul Surabaya Bulan Desember 2009 Gambar 4 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (87%) berperilaku pasif dalam pemeriksaan payudara sendiri.
f
% 10 0 10 0 10 0
59 41 10 0
Tabel 2.menunjukkan bahwa dari 100 mahasiswa D-IV yang berpartisipasi dalam penelitian, lebih dari separuh memiliki tingkat pengetahuan yang baik yaitu sebesar 59 responden. Namun demikian dari 59 responden tersebut yang aktif melakukan SADARI hanya 5 responden (8,5%). 6. Tabulasi Silang Sikap Dengan Perilaku Mahasiswa D-IV Tabel 3Tabulasi Silang Sikap Dengan Perilaku Mahasiswa D-IV Dalam Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui SADARI Di STIKES Insan Unggul Surabaya Bulan Desember 2009 Sikap n : 100 Mendukung Tidak mendukung Total
13%
: Aktif
Total
Total
Perilaku Aktif Pasif f % f % 3 5,3 54 94,7
f 57
% 100
10
23,3
33
76,7
43
100
13
13,0
87
87,0
100
100
Total
1 Berdasarkan dari tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 100 2 responden mayoritas mempunyi sikap tidak mendukung (53%) dan dari 53 responden tersebut hanya 10 responden (18,9%) yang berperilaku aktif dalam melakukan SADARI. 7. Tabulasi Silang Usia Dengan Perilaku Mahasiswa D-IV Tabel 4Tabulasi Silang Usia Dengan Perilaku Mahasiswa D-IV Dalam Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui SADARI Di STIKES Insan Unggul Surabaya Bulan Desember 2009 Usia n : 100 Dini Madya Total
Perilaku Aktif Pasif f % f % 12 12,9 81 87,1 1 14,3 6 85,7 13 13,0 87 87,0
Total f 93 7 100
% 100 100 100
Pada tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas usia responden adalah usia dini, dan hampir semua dari 13 responden yang melakukan SADARI secara aktif berusia dini sebanyak 12 responden (12,9%).
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
8. Hasil uji statistik Chi-Square Tabel 5. Hasil Hitung Chi-Square Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Mahasiswa D-IV Kebidanan Tentang Deteksi Dini Kanker Payudara Melalui SADARI di STIKES Insan Unggul Surabaya Bulan Desember 2009
pengetahuan saja. Seperti halnya perilaku mahasiswa D-IV dalam melakukan SADARI. Dari 100 responden mayoritas berpengetahuan baik (59%) tetapi hanya 5 responden yang melakukan SADARI secara aktif. Pengetahuan yang cukup atau tinggi tanpa adanya motivasi yang cukup atau tinggi pula, maka tidak akan terbentuk sikap yang mendukung atau positif yang kemudian akan terwujud dalam perilaku. Selain faktor motivasi juga banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku Variabel Perilaku mahasiswa D-IV seseorang yang dalam hal ini perilaku SADARI, misalnya : Dependent malas, tidak sempat karena banyak kesibukan, lupa, merasa Variabel X2 Df p tidak ada keluhan, takut terdeteksi kanker payudara dan yang Independent lebih ironis lagi bahwa SADARI tidak penting untuk dilakukan Pengetahuan 2,606 1 0,106 karena banyak pekerjaan lain yang lebih penting. Sikap 3,433 1 0,064 Pernyataan diatas didukung dengan pendapat Purwanto Usia 0,011 1 0,916 (1999) bahwa pengetahuan saja belum menjadi penggerak, seperti halnya pada sikap, pengetahuan mengenai suatu obyek Berdasarkan hasil Chi-Square, maka didapatkan : baru menjadi sikap apabila pengetahuan itu disertai kesiapan 1. Pengetahuan dan kesadaran untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan Dari hasil uji statistik Chi-Square dengan df 1 terhadap obyek tersebut. 2 2 didapatkan nilai X hitung lebih kecil dari nilai X Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku tabel (2,606 < 3,481), maka Ha ditolak berarti tidak ada seseorang dapat didasari oleh pengetahuan dan dapat juga hubungan pengetahuan dengan perilaku mahasiswa Dtidak didasari oleh pengetahuan. IV Kebidanan tentang deteksi dini kanker payudara Dari hasil analisa statistik dengan uji Chi-Square melalui SADARI menunjukkan bahwa Ha ditolak berarti tidak terdapat hubungan 2. Sikap yang signifikan antara sikap dengan perilaku mahasiswa D-IV Berdasarkan uji statistik Chi-Square dengan df 1 Kebidanan mengenai deteksi dini kanker payudara melalui didapatkan nilai X2 hitung lebih kecil dari nilai X2 tabel SADARI (p > 0,05). (3,433 < 3,481), maka Ha ditolak berarti tidak ada Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian hubungan sikap dengan perilaku mahasiswa D-IV yang dilakukan oleh Wicker dalam Baron & Byne (1991); Kebidanan tentang deteksi dini kanker payudara melalui Brannon et. al (1973) yang dikutip oleh Azwar (2003) tentang SADARI sikap-perilaku, yang menyatakan bahwa ada hubungan yang 3. Usia kuat antara sikap dan perilaku. Namun sebagian penelitian lain Dari hasil uji Chi-Square dengan df 1 didapatkan nilai X2 menunjukkan bukti betapa lemahnya hubungan anatara sikap hitung lebih kecil dari nilai X2 tabel (0,011 < 3,481), dengan perilaku anatara lain teori Mann dalam Azwar (2003) maka Ha ditolak berarti tidak ada hubungan dengan yang menyatakan sekalipun diasumsikan bahwa sikap perilaku mahasiswa D-IV Kebidanan terhadap deteksi merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan dini kanker payudara melalui SADARI. bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan yang nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan Dari hasil uji statistik Chi-Square diatas karena tidak nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata, akan tetapi ditemukan adanya perbedaan maka uji koefisien kontingensi oleh berbagai faktor lain, baik faktor internal seperti faktor-faktor tidak dilakukan. yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan sendiri maupun dari faktor eksternal seperti situasi pada saat sikap PEMBAHASAN dibentuk, sifat orang-orang atau kelompok yang mendukung Dari hasil analisa statistik dengan uji Chi-Square sikap tersebut, dan sebagainya(9). menunjukkan bahwa Ha ditolak yang berarti tidak terdapat Teori Mann tersebut didukung oleh teori Newcomb yang hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan dikutip oleh(5) yang menyatakan bahwa sikap belum merupakan perilaku mahasiswa D-IV Kebidanan mengenai deteksi dini suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi merupakan predisposisi kanker payudara melalui SADARI (p > 0,05). tindakan suatu perilaku, karena sikap masih merupakan reaksi Hasil penelitian di atas bertentangan dengan teori tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku Green yang dikutip oleh(5) yang menyatakan bahwa perilaku yang terbuka. Seseorang yang mempunyai sikap mendukung seseorang ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, salah akan pentingnya SADARI belum tentu dia akan melakukan satunya yaitu faktor predisposisi yang terwujud dalam SADARI secara teratur karena bentuk dari sikap itu sendiri pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain dapat berbentuk positif dan dapat pula berbentuk negatif. yang sangat penting dalam membentuk tindakan Dalam penelitian ini mahasiswa D-IV Kebidanan sebagian seseorang(5). Terbentuknya perilaku baru terutama bagi besar mempunyai respon negatif atau tidak mendukung orang dewasa didahului oleh adanya pengetahuan dan mengenai SADARI, akan tetapi mereka melaksanakan atau selanjutnya menjadi sebuah sikap yang akhirnya terwujud melakukan SADARI. Hal tersebut dikarenakan adanya pengaruh menjadi suatu perilaku baik perilaku positif maupun perilaku atau motivasi dari orang lain atau teman dekat sehingga negatif. meskipun orang tersebut mempunyai sikap negatif atau tidak Namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa mendukung akan tetapi ada stimulus yang menyebabkan perilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor seseorang tersebut menjadi termotivasi untuk melakukan JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
SADARI. Namun demikian sikap yang negatif atau sikap yang tidak mendukung jika diwujudkan dalam suatu tindakan maka tidak akan bersifat lama(5). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai sikap mendukung (positif) belum tentu melakukan tindakan seperti apa yang diyakininya karena suatu sikap belum secara otomatis terwujud dalam suatu tindakan atau overt behavior(5). Dari hasil analisa statistik dengan uji Chi-Square menunjukkan bahwa Ha ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan perilaku mahasiswa D-IV Kebidanan terhadap deteksi dini kanker payudara melalui SADARI (p > 0,05). Melihat hasil di atas bahwa mahaiswa dengan tingkat usia dini (18-40 tahun) mempunyai perilaku aktif dalam melakukan SADARI dari pada usia madya. Hal ini berarti belum sesuai dengan realitas yang ada dan tidak sesuai dengan bunyi pepatah yang menyatakan bahwa pengalaman adalah guru yang baik(5). Seharusnya dengan semakin cukup usia seseorang maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih dewasa serta matang dalam berfikir dan akan lebih kontruktif pula dalam menggunakan kopingnya terhadap masalah ataupun sesuatu hal baru yang sedang dihadapinya. Dari segi kepercayan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya, hal ini akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya(10). Keadaan ini bisa disebabkan juga oleh karena adanya motivasi yang tinggi dari dalam diri responden. Motivasi akan mendorong seseorang untuk berperilaku, beraktifitas dalam pencapaian tujuan(11). Selain motivasi tingkat pengetahuan bisa juga berpengaruh terhadap perilaku responden dalam melakukan SADARI. Mahasiswa dengan usia lebih muda dengan pengetahuan yang cukup tentang SADARI dapat juga timbul sikap yang positif sehingga mengarah ke perilaku yang positif juga terhadap SADARI. Hal tersebut dibuktikan bahwa dari 12 responden usia dini yang aktif melakukan SADARI sebanyak 8 mahasiswa berpengetahuan baik dan 4 mahasiswa berpengetahuan kurang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usia dini (18-40 tahun) dapat berperilaku aktif dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) karena juga dipengaruhi dari banyak faktor baik internal maupun eksternal. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Dari 100 responden didapatkan bahwa sebagian besar berusia dini (93%), lebih dari separuhnya (59%) memiliki pengetahuan baik tentang SADARI. Namun demikian sebaliknya, lebih dari separuhnya (53%) memiliki sikap yang tidak mendukung dan mayoritas dari 100 responden (87%) memiliki perilaku pasif dalam melakukan SADARI. 2. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan perilaku mahasiswa D-IV mengenai deteksi dini kanker payudara melalui SADARI. 3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan perilaku mahasiswa D-IV Kebidanan mengenai deteksi dini kanker payudara melalui SADARI.
4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan perilaku mahasiswa D-IV Kebidanan mengenai deteksi dini kanker payudara melalui SADARI. Saran Dengan tidak adanya hubungan antara faktor pengetahuan, sikap dan usia responden dengan perilaku mahasiswa D-IV Kebidanan mengenai deteksi dini kanker payudara melalui SADARI, maka bagi pihak terkait perlu memperhatikan beberapa hal berikut : 1. Perlu kiranya untuk dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perilaku mahasiswa D-IV Kebidanan dalam SADARI. 2. Perlu dilakukan usaha yang terpadu dengan pihak-pihak yang terkait untuk berperan serta secara aktif terutama dalam hal usaha membantu meningkatkan motivasi dengan menela’ah hasil-hasil penelitian berdasarkan evidance based yang menunjukkan adanya hubungan deteksi dini malalui SADARI dengan kejadian Ca Mammae. 3. Perlu kiranya diadakan pertemuan bagi seluruh mahasiswa D-IV kebidanan untuk membicarakan tentang ketidakaktifan mereka dalam melakukan SADARI karena mahasiswa D-IV merupakan seorang bidan dan sebagai calon dosen yang juga merupakan role model dengan pendidikan dan pengetahuan yang tinggi seharusnya mereka melakukan SADARI yang selanjutnya bisa menjadi contoh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Mardiana, L. 2004. Kanker Pada Wanita. Jakarta. Penebar Swadaya 2. Luwia, M. S. 2003. Probematik dan Perawatan Payudara. Jakarta. Kawan Pustaka 3. Youngson, R. M. 2002. Kesehatan Wanita A-Z. Jakarta. Arcan 4. Sukardjo, I. G. D. 2000. Onkologi Klinik. Surabaya. Universitas Airlangga 5. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta 6. Mantra, I. B. 1884. Perencanaan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. DEPKES 7. Sugiyono. 2003. Statistika Untuk Penelitian. Bandung. Alfabeta 8. Murti, B. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta. UGM 9. Purwanto, H. 1999. Pengantar Perilaku Manusia Untuk Perawat. Jakarta. EGC 10. Hurlock, E. B. 1994. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta. Penerbit Airlangga. 11. Widayatun, T. R. 1999. Ilmu Perilaku. Jakarta. Infomedia 12. Azwar, S. 2007. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya Edisi ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 13. Arikunto, S. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta. Bumi Aksara
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPIUTIK DAN PERAN KELUARGA DENGAN RESPON HOSPITALISASI ANAK USIA PRASEKOLAH DI RUANG CEMPAKA (RAWAT INAP ANAK) RSUD SAMPANG CORRELATION BETWEEN THERAPEUTIC COMMUNICATION AND FAMILY ROLE AND PRE-SCHOOL CHILD RESPOND TO HOSPITALIZATION AT CEMPAKA ROOM (HOSPITAL ROOM FOR CHILDREN) RSUD SAMPANG (1)Liana
Velayati Ash-Shiddiqi, Syiddatul B.,S.Kep.Ns (1)Mahasiswa STIKES Insan Se Agung Bangkalan (2)Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan (2)
ABSTRAK Hospitalisasi merupakan suatu proses yang terencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan. Komunikasi terapiutik dan peran keluaga mempengaruhi persepsi anak terhadap hospitalisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi terapiutik dan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang periode April-Mei 2011. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik, dengan metode cross sectional. Populasi penelitian ini adalah keluarga dan anak usia prasekolah di ruang cempaka sebanyak 23 orang yang diambil secara systematic sampling. Teknik pengumpulan data yaitu observasi dan kuesioner, analisis dengan tabel tabulasi silang dilanjutkan dengan uji statistik Lambda. Berdasarkan hasil penelitian, anak menunjukkan respon positif ketika memperoleh komunikasi terapiutik baik. Uji Lambda diperoleh hasil ρ:0,014<α:0,05 sehingga ada hubungan antara komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah. Sedangkan hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang memperoleh peran keluarga baik menunjukkan respon positif. Berdasarkan uji Lambda diperoleh hasil ρ:0,013<α:0,05 sehingga ada hubungan antara peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah. Komunikasi terapiutik perlu diberikan dalam upaya mendukung respon positif hospitalisasi. Keluarga juga perlu memberikan peran yang dibutuhkan anak supaya tercipta respon positif. Kata kunci : Komunikasi Terapiutik – Peran Keluarga – Hospitalisasi ABSTRACT Hospitalization is a process, either planned or emergency, requiring a child to stay in hospital, having therapy and health care. Nurse therapeutic communication and family that is done by nurse implicates child’s perception to hospitalization. This research aims to know correlations therapeutic communication and family role and pre-school child respond to hospitalization at Cempaka room (hospital room for children) RSUD Sampang period from April to May 2011. Design that is used in this research is analytical research with cross sectional method. Population of this research was family and pre-school children that were taken care in Cempaka room, 23 peoples taken by systematic sampling. Data collection techniques of observation and questionnaires, the analysis by cross tabulation tables followed by Lambda statistics test. Based on the result, children give positive respond when they are given good therapeutic communication. Lambda test result ρ:0.014 <α:0.05, from this result it can be concluded that there is correlation between therapeutic communication and pre-school children responds to hospitalization. Other result indicates that pre-school children gave more positive responds to better family role. Lambda test results ρ:0.013 < α:0.05, from this result it can be concluded that there is correlation between family role and pre-school child respond to hospitalization. Therapeutic communication needs to be given in support of a positive response to hospitalization. Families also need to give the role a child needs in order to create a positive response. Key words: Therapeutic Communication – Family Roles – Hospitalization
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
PENDAHULUAN Latar Belakang Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan pada semua tingkatan usia. Penyebab kecemasan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari petugas; perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya; lingkungan baru maupun keluarga yang mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan perkembangan keadaan anaknya, pengobatan dan biaya perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara psikologis anak akan merasakan perubahan perilaku dari orang tua yang mendampingi selama perawatan(1). Kecemasan yang timbul dapat mempengaruhi kondisi psikologis anak. Masa anak-anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan. Dalam masa pertumbuhan dan perkembangan diperlukan stimulasi supaya pertumbuhan dan perkembangan dapat berjalan dengan baik. Anak yang mengalami hospitalisasi juga perlu diberikan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berkaitan dengan kuantitas fisik individu anak, sedangkan perkembangan dihasilkan melalui proses pematangan dan proses belajar dari lingkungannya. Apabila terjadi kecemasan hospitalisasi maka dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Rumah sakit sebagai tempat sementara anak selama sakit, diharapkan memiliki ruangan bermain supaya anak merasa betah di rumah sakit dan dapat menjalankan aktifitas bermainnya. Warna cat di rumah sakit seharusnya dibuat menarik agar anak betah selama proses perawatan. Masih ada beberapa rumah sakit yang belum memiliki ruang bermain sehingga anak tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit, bahkan dapat menimbulkan penolakan terhadap tindakan keperawatan. Dalam masa pertumbuhan, anak usia prasekolah sering mengalami sakit dan mengharuskan mereka dirawat di rumah sakit. Untuk tetap mempertahankan pertumbuhan anak, seharusnya anak yang dihospitalisasi memberikan respon yang baik selama berada di rumah sakit. Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak anak usia prasekolah berespons negatif selama berada di rumah sakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. S. Bennett di rumah sakit anak-anak Ontario Timur Canada pada 12 Januari 2005 terdapat 126 dari 165 anak yang menunjukkan respon stres selama berada di rumah sakit. Data di RSUD Syarifah Ambami Rato Ebu Bangkalan periode JanuariDesember 2010 terdapat 1248 pasien anak yang di rawat inap di Irna E dengan anak usia prasekolah berjumlah 221 anak. Sedangkan jumlah anak usia prasekolah yang di rawat inap pada bulan November 2010-Januari 2011 yaitu 33 anak. Saat dilakukan pengkajian tanggal 22 Februari 2011, terdapat satu anak usia prasekolah dari 9 anak yang di rawat inap. Respon yang timbul dari anak tersebut yaitu tidak kooperatif dengan menolak dokter memeriksa tubuh anak. Anak juga tidak kooperatif dengan menolak dan menghindar saat dilakukan tindakan keperawatan walau sudah dilakukan komunikasi terapiutik dan orang tua berada di samping anak. Data lain didapatkan di ruang rawat inap anak RSUD
kabupaten Sampang periode Januari-Desember 2010, anak usia prasekolah yang dirawat berjumlah 365 anak dengan rerata perbulan berjumlah 30 anak. Persepsi sakit dan hospitalisasi anak usia prasekolah adalah merasa sebagai hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah atau takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif, dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua atau pada keluarga. Hospitalisasi menjadi hal yang tidak mudah bagi anak karena mengalami perpisahan dengan lingkungan rumah yang lebih menekankan bermain. Bermain merupakan hal yang sangat penting dalam usia tumbuh kembang. Bermain dapat membantu perkembangan sensorik dan motorik, membantu perkembangan kognitif, meningkatkan sosialisasi anak, meningkatkan kreatifitas, meningkatkan kesadaran diri (2). Hospitalisasi dapat mempengaruhi proses bermain sehingga dapat mempengaruhi proses perkembangan anak. Hospitalisasi dapat menimbulkan trauma pada anak antara lain menimbulkan cemas, marah dan nyeri. Keadaan ini dapat menimbulkan reaksi menolak makan, menangis, bahkan menolak untuk dilakukan tindakan keperawatan. Respon tersebut dapat menimbulkan kesulitan pada proses pelaksanaan program terapi dan prosedur asuhan keperawatan. Jika terdapat penolakan pada tindakan keperawatan, maka akan lama dalam proses penyembuhan. Jika respon tersebut dapat dihindari, maka stres berkurang dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan. Selama anak mengalami hospitalisasi diperlukan dukungan dari keluarga karena keluarga adalah unsur penting dalam perawatan, khususnya perawatan pada anak. Peran serta perawat dalam memahami bahwa keluarga sebagai tempat tinggal atau konstanta tetap dalam kehidupan anak (4). Kehidupan anak juga ditentukan keberadaanya bentuk dukungan keluarga, hal ini dapat terlihat bila dukungan keluarga yang sangat baik maka pertumbuhan dan perkembangan anak relatif stabil, tetapi apabila dukungan keluarga kurang baik, maka anak akan mengalami hambatan pada dirinya yang dapat mengganggu psikologis anak. Pentingnya keterlibatan keluarga dapat mempengaruhi proses kesembuhan anak. Keterlibatan orang tua dan kemampuan keluarga dalam merawat merupakan dasar dalam pemberian asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga. Perawat dengan memfasilitasi keluarga dapat membantu proses pemyembuhan pada anak yang sakit selama di rumah sakit (2). Dalam mengurangi respon hospitalisasi pada anak maka perawat harus memberikan komunikasi terapiutik yaitu dengan memberi tahu apa yang terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada anak untuk menyentuh alat pemeriksaan yang akan digunakan, menggunakan nada suara, bicara lambat, memberi salam pada anak. Intervensi keperawatan diarahkan terhadap peningkatan sikap kooperatif anak terhadap tindakantindakan yang bersifat invasif dan memiliki pengaruh besar terhadap proses penyembuhan penyakitnya. Asuhan keperawatan tersebut bertujuan untuk mencapai proses penyembuhan secara efektif dan efisien dalam arti proses penyembuhan dapat berlangsung dalam waktu relatif pendek (3). Banyak faktor yang mempengaruhi proses komunikasi. Agar komunikasi dapat berjalan baik, komunikasi harus sesuai
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
dengan situasi, waktu yang tepat dan diungkapkan dengan jelas (4). Peneliyian ini bertujuan mengetahui hubungan komunikasi terapiutik dan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka (rawat inap anak) RSUD Sampang. 5. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Komunikasi Terapiutik Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan cara membangun hubungan antar sesama; melalui 6. pertukaran informasi; untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (6).. Menurut Arwani (2002), komunikasi terapiutik adalah komunikasi perawat dengan pasien yang direncanakan, disengaja dan merupakan tindakan profesional yang bertujuan untuk mengetahui kebutuhan pasien sehingga tujuan keperawatan dapat tercapai. 7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi dengan Anak Dalam proses komunikasi kemungkinan ada hambatan selama komunikasi, karena selama proses komunikasi melibatkan beberapa komponen dalam komunikasi dan dipengaruhi oleh beberapa factor(2).di antaranya: 1. Pendidikan Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Sebagaimana umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi dan makin bagus pengetahuan yang8. dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara efektif akan dapat dilakukannya. Dalam komunikasi dengan anak atau orang tua juga perlu diperhatikan tingkat pendidikan khususnya orang tua karena berbagai informasi akan mudah diterima jika bahasa yang disampaikan sesuai dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya. 2. Pengetahuan Merupakan proses belajar dengan menggunakan panca indera yang dilakukan seseorang terhadap objek tertentu untuk dapat menghasilkan pengetahuan keterampilan. Faktor pengetahuan tersebut dalam proses komunikasi dapat mempengaruhinya hal ini dapat diperlihatkan apabila seseorang pengetahuan cukup, maka informasi yang disampaikan akan jelas dan mudah diterima oleh penerima akan tetapi apabila pengetahuan kurang akan menghasilkan informasi yang kurang. 3. Sikap Sikap dalam komunikasi dapat mempengaruhi proses komunikasi berjalan efektif atau tidak, hal tersebut dapat ditunjukkan seseorang yang memiliki sikap kurang baik akan menyebabkan pendengar kurang percaya terhadap komunikator, demikian sebaliknya apabila dalam komunikasi menunjukkan sikap yang baik maka dapat menunjukkan kepercayaan dari penerima pesan atau informasi. Sikap yang diharapkan dalam komunikasi tersebut seperti terbuka, percaya, empati, menghargai dan lain-lain, kesemuanya dapat mendukung berhasilnya komunikasi terapiutik.
4. Usia Tumbuh Kembang Faktor usia ini dapat mempengaruhi proses komunikasi, hal ini dapat ditunjukkan semakin tinggi usia perkembangan anak kemampuan dalam komunikasi semakin komplek dan sempurna yang dapat dilihat dari perkembangan bahasa anak. Status Kesehatan Anak Status kesehatan sakit dapat berpengaruh dalam komunikasi, hal ini dapat diperlihatkan ketika anak sakit atau mengalami gangguan psikologis maka cenderung anak kurang komunikatif atau sangat pasif, dengan demikian dalam komunikasi membutuhkan kesiapan secara fisik dan psikologis untuk mencapai komunikasi yang efektif. Sistem Sosial Sistem sosial yang dimaksud disini adalah budaya yang ada di masyarakat, dimana setiap daerah yang memiliki budaya atau cara komunikasi yang berbeda. Hal tersebut dapat juga mempengaruhi proses komunikasi seperti orang Batak dangan orang Madura ketika berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda dan sama-sama tidak memahami bahasa daerah maka akan merasa kesulitan untuk mencapai tujuan dari komunikasi. Saluran Saluran ini merupakan faktor luar yang berpengaruh dalam proses komunikasi seperti intonasi suara, sikap tubuh dan sebagainya semuanya akan dapat memberikan pengaruh dalam proses komunikasi, sebagai contoh apabila kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki suara atau intonasi jelas maka sangat mudah kita menerima informasi atau pesan yang disampaikan. Demikian sebaliknya apabila kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki suara yang tidak jelas kita akan kesulitan menerima pesan atau informasi yang disampaikan. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar area, lingkungan dalam komunikasi yang dimaksud disini dapat berupa situasi, ataupun lokasi yang ada. Lingkungan yang baik atau tenang akan memberikan dampak berhasilnya tujuan komunikasi sedangkan lingkungan yang kurang baik akan memberikan dampak yang kurang. Hal ini dapat kita contohkan apabila kita berkomunikasi dengan anak pada tempat yang gaduh misalnya atau tempat yang bising, maka proses komunikasi tidak akan bisa berjalan dengan baik, kemungkinan sulit kita berkomunikasi secara efektif karena suara yang tidak jelas, sehingga pesan yang akan disampaikan sulit diterima oleh anak. Konsep Keluarga Keluarga didefinisikan dengan beberapa cara pandang. Keluarga dapat dipandang sebagai tempat pemenuhan kebutuhan biologis bagi para anggotanya. Cara pandang dari sudut psikologis keluarga adalah tempat berinteraksi dan berkembangnya kepribadian anggota keluarga. Secara ekonomi keluarga dianggap sebagai unit yang produktif dalam menyediakan materi bagi anggotanya dan secara sosial adalah unit yang bereaksi terhadap lingkungan yang lebih luas. Keluarga merupakan unsur penting dalam merawat anak mengingat anak sebagian dari keluarga kehidupan anak dapat ditentukan oleh lingkungan keluarga, untuk itu keperawatan anak harus mengenal keluarga sebagai tempat tinggal atau sebagai konstanta tetap dalam kehidupan anak(2).
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Peran Pengasuhan Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal, sedangkan posisi adalah keberadaan seseorang dalam sistem sosial. Peran juga diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengontrol atau mempengaruhi atau mengubah perilaku orang lain. Peran dapat dipelajari melalui proses sosialisasi selama tahapan perkembangan anak yang dijalankan melalui interaksi antar anggota keluarga. Peran yang dipelajari akan mendapat penguatan melalui pemberian penghargaan baik kasih sayang yang diberikan, perhatian dan persahabatan. Pada dasarnya tujuan pengasuhan orang tua adalah mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan mendorong kemampuan peningkatan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya. Kemampuan orang tua menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari melalui pendidikan secara formal, melainkan berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran tersebut secara trial and error dan mempelajari pengalaman orang lain atau orang tua terdahulu. Orang tua harus mempunyai rasa percaya diri yang besar dalam menjalankan peran pengasuhan ini, terutama dalam pemahaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, pemenuhan kebutuhan makanan dan pemeliharaan kebersihan perseorangan, penggunaan alat permainan sebagai stimulus pertumbuhan dan perkembangan serta komunikasi efektif1 yang diperlukan dalam berinteraksi dengan anak dan anggota a. keluarga lainnya. b. Konsep Hospitalisasi pada Anak Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.2 Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapata. mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stres (5). b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hospitalisasi c. Reaksi anak terhadap krisis-krisis dipengaruhi (4) oleh: 1. Usia perkembangan mereka. d. 2. Pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit, perpisahan atau hospitalisasi. 3. Keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan. 4. Keparahan diagnosis. 5. Sistem pendukung yang ada. e. Konsep Anak Usia Prasekolah Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3 tahun sampai dengan 6 tahun(5) Sedangkan menurut Hidayat (2005), anak usia prasekolah adalah anak yang telah mencapai usia antara 2,5 tahun sampai 5 tahun. Teori Pertumbuhan dan Perkembangan Anak usia presekolah Perkembangan Psikososial (Erikson) anak pada usia prasekolah disebut “inisiatif versus rasa bersalah”. Dengan dukungan orang tua dalam imajinasi dan aktifitas, anak
berupaya menguasai perasaan inisiatif. Anak mengembangkan perasaan bersalah ketika orang tua membuat anak merasa bahwa imajinasi dan aktifitasnya tidak dapat diterima. Ansietas dan ketakutan terjadi ketika pemikiran dan aktifitas anak tidak sesuai dengan harapan orang tua (7). Perkembangan psikoseksual (Freud) anak usia prasekolah yaitu genetalia menjadi area yang menarik dan area tubuh yang sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki dengan mengetahui perbedaan alat kelamin (5) . Perkembangan kognitif (Piaget) dalam Supartini (2004) berada pada tahap praoperasional. Anak prasekolah berada pada fase peralihan antara preconceptual dan intuitive thought. Pada fase preconceptual, anak sering menggunakan satu istilah untuk beberapa orang yang punya ciri yang yang sama. Sedangkan pada fase intuitive thought, anak sudah bisa memberi alasan pada tindakan yang dilakukannya. Anak prasekolah berasumsi bahwa orang lain berpikir seperti mereka sehingga perlu menggali pengertian mereka dengan pendekatan nonverbal. Perkembangan moral (Kohlberg) anak prasekolah berada pada fase preconventional yang terdiri dari tiga tahapan. Tahap satu didasari oleh adanya rasa egosentris pada anak, yaitu kebaikan adalah seperti apa yang saya mau. Tahap dua yaitu orientasi hukuman dan ketaatan. Tahap tiga yaitu anak berfokus pada motif yang menyenangkan sebagai suatu kebaikan (5). Penyakit dan Hospitalisasi Reaksi terhadap Penyakit Anak usia prasekolah merasa fenomena nyata yang tidak berhubungan sebagai penyebab penyakit. Cara berpikir magis menyebabkan anak usia prasekolah memandang penyakit sebagai suatu hukuman. Selain itu, anak usia prasekolah mengalami konflik psikoseksual dan takut terhadap mutilasi, menyebabkan anak terutama takut terhadap pengukuran suhu rektal dan kateterisasi urine. Reaksi terhadap Hospitalisasi Mekanisme pertahanan utama anak usia prasekolah adalah regresi. Mereka akan bereaksi terhadap perpisahan dengan regresi dan menolak untuk bekerja sama. Anak usia prasekolah merasa kehilangan kendali karena mereka mengalami kehilangan kekuatan mereka sendiri. Takut terhadap cedera tubuh dan nyeri mengarah kepada rasa takut terhadap mutilasi dan prosedur yang menyakitkan. Keterbatasan pengetahuan mengenai tubuh meningkatkan rasa takut yang khas sebagai contoh takut terhadap kastrasi (dicetuskan oleh enema, pengukuran suhu rektal dan kateter) dan takut bahwa kerusakan kulit (misal jalur intravena dan prosedur pengambilan darah) akan menyebabkan bagian dalam tubuhnya menjadi bocor. Anak usia prasekolah menginterpretasikan hospitalisasi sebagai hukuman dan perpisahan dengan orang tua sebagai kehilangan kasih sayang. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan cross sectional yaitu pengumpulan data variabel independen dan variabel dependen dilaksanakan dalam waktu bersamaan pada satu waktu
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Populasinya adalah keluarga dan anak usia prasekolah di ruang cempaka (rawat inap anak) RSUD kabupaten Sampang bulan April-Mei 2011. Dalam penelitian ini menggunakan Probability Sampling, systematic sampling sehingga didapatkan sampel sebanyak 23 responden.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penyajian data yang ditampilkan meliputi data umum dan data khusus. Data umum menampilkan status pekerjaan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, usia orangtua, dan karakteristik anak. Data Khusus 1. Komunikasi Terapiutik Komunikasi terapiutik diperoleh dengan mengobservasi komunikasi terapiutik yang dilakukan perawat terhadap anak usia prasekolah ketika melaksanakan tindakan invasif . Tabel 1 Distribusi Frekuensi Penerapan Komunikasi Terapiutik di ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011 Komunikasi Terapiutik
Frekuensi
Prosentase (%)
Kurang
6
26.1
Cukup
10
43.5
Baik
7
30.4
Total
23
100
2. Peran Keluarga Tabel 2 Distribusi Frekuensi Peran Keluarga terhadap Anak Usia Prasekolah di ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011 Peran Keluarga
Frekuensi
Prosentase (%)
Kurang
1
4.3
Cukup
12
52.2
Baik
10
43.5
Total
23
100
3. Respon Hospitalisasi Anak Tabel 3 Distribusi Frekuensi Respon Hospitalisasi anak usia Prasekolah di ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011 Respon Hospitalisasi
Frekuensi
Presentase (%)
Negatif
14
60.9
Positif
9
39.1
Total
23
100
Tabel 1 Tabulasi silang Komunikasi Terapiutik dengan Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011 Respon Hospitalisasi Anak Negatif Positif Total Komunikasi Terapiutik Σ % Σ % Σ % Kurang 6 100 0 0 6 100 Cukup 8 80 2 20 10 100 Baik 0 0 7 100 7 100 Total 14 60.9 9 39.1 23 100 Berdasarkan tabel di atas, seluruh anak (100%) yang memperoleh komunikasi terapiutik kurang menunjukkan respon negatif dan seluruh anak (100%) yang memperoleh komunikasi terapiutik baik menunjukkan respon positif. Dari 10 anak yang diberikan komunikasi cukup, sebagian besar (80%) menunjukkan respon negatif sedangkan sisanya (20%) anak menunjukkan respon positif. Jadi, kecenderungan komunikasi terapiutik baik akan memberikan respon anak positif dan komunikasi terapiutik kurang menunjukkan respon negatif. Tabel 2 Tabulasi Silang Peran Keluarga terhadap Anak Usia Prasekolah dengan Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah di ruang Cempaka RSUD Sampang bulan Mei 2011 Respon Hospitalisasi Anak Negatif
Positif
Total
Peran Keluarga
Σ
%
Σ
%
Σ
%
Kurang
1
100
0
0
1
100
Cukup
11
91.67
1
8.33
12
100
Baik
2
20
8
80
10
100
Total
14 60.9 9 39.1 23 100 Berdasarkan tabel di atas, seluruh anak (100%) yang memperoleh peran keluarga kurang menunjukkan respon negatif. Dari 12 keluarga yang memberikan peran cukup, sebagian besar anak (91,67%) menunjukkan respon negatif dan sisanya (8,33%) anak menunjukkan respon positif. Dari 10 keluarga yang memberikan peran baik, sebagian besar anak (80%) menunjukkan respon positif dan sisanya (20%) anak menunjukkan respon negatif. Jadi, kecenderungan peran keluarga baik akan memberikan respon hospitalisasi baik dan peran keluarga keluarga kurang memberikan respon hospitalisasi negatif. HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DENGAN RESPON HOSPITALISASI ANAK USIA PRASEKOLAH Berdasarkan hasil uji statistik Lambda untuk mencari hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah, didapatkan nilai ρ (nilai probability)=0,014. Dikarenakan nilai ρ (nilai probability)=0,014 < α (uji signifikansi)=0,05, maka dapat diinterpretasikan H0 ditolak, H1 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
HUBUNGAN PERAN KELUARGA DENGAN RESPON HOSPITALISASI ANAK USIA PRASEKOLAH Berdasarkan hasil uji statistik Lambda untuk mencari hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah, didapatkan nilai ρ (nilai probability)=0,013. Dikarenakan nilai ρ (nilai probability)=0,013 < α (uji signifikansi)=0,05, maka dapat diinterpretasikan bahwa H0 ditolak, H1 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang. Komunikasi Terapiutik Komunikasi terapiutik yang diberikan meliputi memberikan sikap yang baik dalam berkomunikasi, cara berkomunikasi dengan baik dan melibatkan orang tua, melakukan tahapan komunikasi dengan anak. Berdasarkan hasil penelitian, komunikasi terapiutik di ruang Cempaka (rawat inap anak) RSUD Sampang didapatkan 6 anak memperoleh komunikasi terapiutik kurang (26,1%), 10 anak memperoleh komunikasi terapiutik cukup (43,5%) dan 7 anak memperoleh komunikasi terapiutik baik (30,4%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian anak yang memperoleh komunikasi terapiutik saat dilakukan tindakan invasif. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya jumlah pasien anak di ruang cempaka sehingga mengakibatkan perawat hanya memiliki waktu singkat dalam berinteraksi dengan anak saat dilakukan tindakan invasif. Akan tetapi, perawat tetap menyapa anak dengan ramah sebelum melakukan tindakan. Komunikasi terapiutik dapat meningkatkan hubungan perawat dan pasien. Hal ini sesuai teori Christina (2008) tentang manfaat komunikasi terapiutik yaitu mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dengan pasien melalui hubungan perawat-pasien; mengidentifikasi, mengungkapkan perasaan, dan mengkaji masalah dan mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat. Komunikasi terapiutik mengakibatkan anak tidak takut kepada perawat sehingga dapat tercipta hubungan yang baik antara anak-perawat. Hubungan yang baik dapat memudahkan perawat dalam mengidentifikasi dan mengkaji masalah yang dirasakan pasien. Dengan demikian diharapkan perawat dapat mengambil tindakan keperawatan yang tepat dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan anak yang di rawat. Peran Keluarga Berdasarkan hasil penelitian, peran keluarga di ruang Cempaka didapatkan 1 keluarga memberikan peran kurang (4,3%), 12 keluarga memberikan peran cukup (52,2%) dan 10 keluarga memberikan peran baik (43,5%). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga pasien rerata memberikan peran baik dalam mengasuh dan menjaga anak yang berada di rumah sakit. Peran yang diberikan meliputi menerima dan mengelola kondisi anak, memenuhi kebutuhan perkembangan anak. Di ruang cempaka, semua anak usia prasekolah dirawat dan ditunggu oleh ibu. Pendidikan responden rerata di bawah SMA dan usia responden masih tergolong muda. Akan tetapi, fakta tersebut tidak mempengaruhi kualitas responden dalam mengasuh anak saat berada di rumah sakit. Orang tua selalu berada disamping anak dan menjaga anak. Hal ini sesuai teori Wong,
Perry dan Hockenberry (2002) yang menyatakan bahwa keluarga merupakan unsur penting dalam merawat anak mengingat anak sebagian dari keluarga, kehidupan anak dapat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Keluarga merupakan orang yang paling dekat dengan anak sehingga dengan peran keluarga, anak lebih mudah dalam menerima asuhan keperawatan dan dapat mempercepat proses kesembuhan anak. Keberadaan keluarga disamping anak akan mengurangi kecemasan anak terhadap perpisahan sehingga anak dapat berespon positif terhadap hospitalisasi. Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah Berdasarkan hasil penelitian, respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang yaitu 14 anak menunjukkan respon negatif (60,9%) dan 9 anak menunjukkan respon positif (39,1%). Respon negatif hospitalisasi yang ditunjukkan meliputi menangis, menolak makan, sering bertanya, menolak bekerja sama selama proses perawatan. Hal ini sesuai dengan teori Wong (2008) yang mengatakan anak prasekolah dapat menunjukkan kecemasan akibat perpisahan dengan cara menangis, menolak makan, sering bertanya, menolak bekerja sama selama proses perawatan. Respon hospitalisasi terjadi karena stres akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan, mekanisme koping anak yang terbatas dalam menghadapi stres hospitalisasi. Hospitalisasi menjadi stressor karena anak mengalami perpisahan dengan lingkungan rumah yang biasa diisi dengan kegiatan bermain. Bermain merupakan hal yang sangat penting dalam usia tumbuh kembang anak karena dapat membantu perkembangan sensorik dan motorik, membantu perkembangan kognitif, meningkatkan sosialisasi anak, meningkatkan kreativitas, meningkatkan kesadaran diri. Hospitalisasi dapat mengganggu proses bermain sehingga anak berespon negatif terhadap hospitalisasi. Rumah sakit sebagai tempat sementara anak ketika sakit, akan lebih baik jika dilengkapi fasilitas ruang bermain anak sehingga anak tetap bisa bermain. Perbedaan lingkungan rumah sakit dengan lingkungan rumah juga menjadi stres pada anak, salah satunya warna cat rumah sakit. Akan lebih baik jika warna cat dibuat menarik supaya anak merasa nyaman berada di rumah sakit. Menurut Eric Erikson, masa prasekolah merupakan masa inisiatif versus rasa bersalah. Pemikiran imajinasi anak berkembang dan anak aktif dalam setiap aktifitasnya. Anak usia prasekolah merasa sakit sebagai fenomena nyata yang tidak berhubungan dengan penyebab sakitnya. Cara berpikir magis anak usia prasekolah memandang penyakit sebagai suatu hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah atau takut. Takut terhadap cedera tubuh dan nyeri mengarah pada ketakutan terhadap mutilasi dan prosedur yang menyakitkan dapat mengancam integritas tubuhnya. Anak usia prasekolah memiliki keterbatasan pengetahuan mengenai tubuh sehingga takut bahwa kerusakan kulit (misal jalur intravena dan prosedur pengambilan darah) akan menyebabkan bagian dalam tubuhnya menjadi rusak. Hal ini menyebabkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, tidak mau bekerja sama dengan perawat dan ketergantungan pada orang tua atau pada keluarga. Dalam mengurangi respon negatif akibat hospitalisasi, maka dibutuhkan peran keluarga dan komunikasi terapiutik perawat. Peran keluarga dan komunikasi terapiutik perawat dapat memfasilitasi adaptasi sehingga stres berkurang. Apabila stres berkurang, maka dapat membantu proses penyembuhan.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Hubungan Komunikasi Terapiutik dengan Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah Berdasarkan hasil penelitian, komunikasi terapiutik kurang menyebabkan respon hospitalisasi anak negatif sebanyak 6 sedangkan respon hospitalisasi baik menyebabkan respon hospitalisasi positif sebanyak 7. Hal ini sesuai teori Nursalam (2003) yang menyatakan kinerja perawat adalah memberikan stimulus atau memfasilitasi koping pasien agar menjadi konstruktif. Dalam melakukan komunikasi terapiutik, diperlukan keikhlasan, empati dan kehangatan. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dia punya terhadap pasien sehingga mampu mengkomunikasikannya secara tepat. Perawat tidak akan pernah menolak pikiran negatif dari pasien bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan pasien. Dengan empati, perawat dapat memahami dan menerima perasaan yang dialami pasien. Suasana yang hangat dan tanpa adanya ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien, sehingga pasien akan mengekspresikan perasaannya. Kondisi ini akan membuat perawat mempunyai kesempatan lebih luas untuk mengetahui kebutuhan pasien. Dengan demikian, perawat dapat mengambil tindakan yang tepat dalam asuhan keperawatan. Komunikasi terapiutik yang dilakukan perawat dapat mengurangi stres hospitalisasi yang dialami anak sehingga dapat membantu proses penyembuhan. Cemas karena perpisahan dapat menimbulkan disstres hospitalisasi dan gangguan adaptasi. Perawat dapat memfasilitasi adaptasi dengan memberikan komunikasi terapiutik saat dilakukan tindakan invasif sehingga stres berkurang dan dapat membantu proses penyembuhan anak. Komunikasi terapiutik merupakan salah satu kunci bagi respon hospitalisasi anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji statistik Lambda, nilai ρ (0,014) < α (0,05) sehingga ada hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah. Wong (2008) mengatakan faktor yang dapat mempengaruhi stres hospitalisasi anak seperti usia perkembangan anak; pengalaman anak sebelumnya dengan hospitalisasi, penyakit, perpisahan; keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan; keparahan diagnosis; sistem pendukung yang ada. Menyadari pentingnya komunikasi terapiutik, maka perawat perlu melakukan komunikasi terapiutik kepada anak saat melakukan tindakan invasif. Anak prasekolah yang diberikan komunikasi terapiutik memiliki respon hospitalisasi yang positif. Jadi, terdapat hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah.
Lambda, nilai ρ (0,013) < α (0,05) maka dapat diinterpretasikan bahwa H0 ditolak, H1 diterima sehingga dapat disimpulkan ada hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Supartini (2004) yaitu keluarga mempunyai pengaruh besar dalam pemeliharaan dan peningkatan status anak karena pada dasarnya tugas dan fungsi keluarga adalah merawat fisik anak, mendidik anak untuk menyesuaikan diri dengan budaya dan menerima tanggung jawab atas kesejahteraan anak baik secara fisik maupun psikologis. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi hospitalisasi yaitu perpisahan. Salah satu perpisahan yang diakibatkan oleh hospitalisasi yaitu perpisahan dengan anggota keluarga. Anak terbiasa bermain dengan saudaranya ketika di rumah. Ketika di rumah sakit, anak tidak bertemu dengan saudaranya dan tidak dapat bermain sehingga anak semakin berespons negatif terhadap hospitalisasi. Ketika anak dihospitalisasi, orang tua menunjukkan respon cemas dan takut, sedih, frustrasi. Perasaan cemas dan takut terhadap kondisi anaknya muncul pada saat orang tua melihat anak mendapat prosedur menyakitkan seperti pengambilan darah, injeksi, infus dan prosedur invasif lainnya. Perasaan sedih muncul ketika anak dalam kondisi terminal dan orang tua mengetahui bahwa tidak ada lagi harapan anaknya untuk sembuh. Kondisi anak yang dirawat cukup lama dan dirasakan tidak mengalami perubahan serta tidak adekuatnya dukungan orang tua baik dari keluarga maupun kerabat lainnya mengakibatkan orang tua merasa putus asa bahkan frustrasi. Keluarga terutama ibu lebih memahami dan lebih dekat dengan anak. Dengan kedekatan itu, maka anak lebih tenang karena ibunya berada disampingnya dan akan berdampak positif terhadap kondisi psikologis anak sehingga anak dapat memberikan adaptasi terhadap respon perpisahan dengan baik dan memberikan respon positif terhadap hospitalisasi. Stressor hospitalisasi menyebabkan stres hospitalisasi sehingga terjadi gangguan adaptasi. Peran keluarga dapat memfasilitasi adaptasi anak sehingga stres berkurang dan dapat mempercepat proses kesembuhan. Menyadari pentingnya peran keluarga terutama ibu, maka keluarga perlu melakukan peran yang diperlukan anak selama anak dirawat di rumah sakit. Anak prasekolah yang diberikan peran yang dibutuhkan selama sakit, memiliki respon hospitalisasi yang positif. Jadi terdapat hubungan antara peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah.
KESIMPULAN DAN SARAN Hubungan Peran Keluarga dengan Respon Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hubungan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dirumuskan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia kesimpulan sebagai berikut: prasekolah di ruang Cempaka RSUD Sampang yaitu peran 1. Di ruang cempaka RSUD Sampang, sebagian besar keluarga kurang dengan respon hospitalisasi anak negatif (43,5%) anak usia prasekolah memperoleh komunikasi sebanyak 1, peran keluarga cukup dengan respon terapiutik kriteria cukup. hospitalisasi anak negatif sebanyak 11, peran keluarga baik 2. Di ruang cempaka RSUD Sampang, rerata keluarga namun respon hospitalisasi anak negatif sebanyak 2, peran memberikan peran kepada anak usia prasekolah dengan keluarga cukup namun respon hospitalisasi anak positif kriteria cukup yaitu 12 orang (52,2 %). sebanyak 1 dan peran keluarga baik dengan respon hopitalisasi anak positif sebanyak 8. Hasil uji statistik JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
3. Di ruang cempaka RSUD Sampang, anak usia prasekolah yang menunjukkan respon negatif terhadap hospitalisasi sebanyak 14 anak (60,9 %). 4. Ada hubungan komunikasi terapiutik dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang. Respon positif anak paling banyak terjadi pada anak yang diberikan komunikasi terapiutik dengan kriteria baik. 5. Ada hubungan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah di ruang cempaka RSUD Sampang. Respon positif anak paling banyak terjadi pada anak yang diberikan peran keluarga dengan kriteria baik. Saran Bagi Petugas Kesehatan 1. Diharapkan perawat memberikan komunikasi terapiutik saat melakukan tindakan invasif. 2. Untuk pasien anak yang telah direncanakan masuk rumah sakit, 1-2 hari sebelum dirawat, anak diorientasikan dengan situasi rumah sakit menggunakan miniatur bangunan rumah sakit. 3. Perawat bekerjasama dengan rumah sakit dan sesuai kebijakan rumah sakit menyiapkan ruang rawat sesuai dengan tahap usia anak dan jenis penyakit. 4. Perawat hendaknya memberikan dukungan kepada keluarga anak. 5. Pada hari pertama dirawat, perawat melakukan tindakan : a. Memperkenalkan perawat dan dokter yang akan merawatnya. b. Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas yang bisa digunakan. c. Kenalkan dengan pasien anak lain yang akan menjadi teman sekamarnya. 6. Perawat berupaya meminimalkan stressor atau penyebab stress. a. Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan dengan cara : 1) Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam (rooming in). 2) Jika tidak mungkin untuk rooming in, hendaknya memberi kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antarmereka. 3) Memodifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat seperti di rumah. 4) Mempertahankan kontak dengan lingkungan sekolah dengan tetap menjalin komunikasi dengan teman sekolah atau teman bermain di rumah. b. Mencegah perasaan kehilangan kontrol dapat dilakukan dengan cara: 1) Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap petugas kesehatan. 2) Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya untuk mengurangi ketergantungan. c. Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan nyeri dapat dilakukan dengan cara : 1) Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri.
2) 3) 4) 5)
Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak. Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri. Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan. Pada tindakan prosedur pembedahan, lakukan persiapan khusus jauh sebelumnya apabila memungkinkan
Bagi Keluarga 1. Keluarga memberikan peran yang dibutuhkan anak selama berada di rumah sakit. 2. Keluarga terutama ibu hendaknya selalu berada di samping anak selama anak dihospitalisasi. Bagi Instansi Rumah Sakit 1. Cat rumah sakit dibuat menarik supaya anak merasa nyaman berada di rumah sakit. 2. Jumlah perawat ditambah supaya saat melakukan tindakan invasif, perawat memiliki waktu lebih banyak dan dapat memberikan komunikasi terapiutik kepada anak. 3. Memberikan kebijakan mengatur ruang rawat inap sesuai dengan tahap usia anak dan jenis penyakit. Bagi Penulis Selanjutnya 1. Jumlah sampel dalam penelitian ini terbatas sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang hubungan komunikasi terapiutik dan peran keluarga dengan respon hospitalisasi anak usia prasekolah dengan jumlah sampel yang lebih representatif. 2. Perlu menggunakan alat ukur yang telah teruji validitas dan reabilitasnya dalam permasalahan yang serupa. 3. Dapat mengkaji faktor-faktor yang nantinya akan muncul masalah-masalah baru dan mampu kita temukan pemecahan dari persoalan tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1. Nursalam, dkk (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Jakarta : Salemba Medika. 2. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. 3. Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC. 4. Wong, Donna L.,dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Volume 1. Ed 6. Jakarta : EGC. 5. Supartini, Yupi (2000). “Persepsi Perawat tentang Stres Orang Tua selama Anaknya dirawat di Rumah Sakit”. Disampaikan pada seminar hasil riset keperawatan dan kesehatan. Konsorsium Ilmu Kesehatan, Jakarta. 6. Nazir. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. 7. Muscari, Mary E. (2005). Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
ANTROPOLOGI DAN KONSEP KEBUDAYAAN ANTHROPOLOGY AND THE CONCEPT OF CULTURE (1)
Andri Setya Wahyudi, S.Kep.,Ns.,M.Kep Stikes Insan Se Agung Bangkalan
(1)Dosen
ABSTRAK Antropologi adalah tentang semua manusia, dan itu adalah muatan Antropologi untuk menceritakan tentang kisah manusia, bukan hanya sisi baik tetapi juga yang buruk. Ini harus mencakup tidak hanya satu ofpeople kelompok, tetapi orang lain. Seharusnya tidak menggambarkan hanya satu aspek dari kehidupan manusia, tapi semua. Artikel ini mencoba untuk berputar di sekitar sejumlah pertanyaan pedagogis umum seperti: Apa melakukan studi antropolog? Bagaimana mereka pergi tentang itu? Perspektif apa yang mereka bawa ke pekerjaan mereka? Dan apa hubungan dari Antropologi dengan Budaya. ABSTRACT Anthropology is about all human beings, and it is the charge of the Anthropology to tell about human story, not just the good side but also the bad. It should include not just one group ofpeople, but others. It shouldn't illustrate just one aspect of human life, but all. The article tries to revolve around a number of general pedagogical questions such as: What do anthropologists study? How do they go about it? What perspective do they bring to their work? And what is the relation of the Anthropology with the Culture.
PENDAHULUAN Seorang filosuf China; Lao Chai, pernah berkata bahwa suatu perjalanan yang bermil-mil jauhnya dimulai dengan hanya satu JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
langkah. Pembaca dari materi ini juga baru memulai suatu langkah kedalam lapangan dari suatu bidang ilmu yang disebut dengan Antropologi. Benda apa yang disebut dengan Antropologi itu? Beberapa atau bahkan banyak orang mungkin sudah pernah mendengarnya. Beberapa orang mungkin mempunyai ideide tentang Antropologi yang didapat melalui berbagai media baik media cetak maupun media elektronik. Beberapa orang lagi bahkan mungkin sudah pernah membaca literatureliterature atau tulisan-tulisan tentang Antropologi. Banyak orang berpikir bahwa para ahli Antropologi adalah ilmuwan yang hanya tertarik pada peninggalan-peninggalan masa lalu; Antroplogi bekerja menggali sisa-sisa kehidupan masa lalu untuk mendapatkan pecahan guci- guci tua, peralatan -peralatan dari batu dan kemudian mencoba memberi arti dari apa yang ditemukannya itu. Pandangan yang lain mengasosiasikan Antropologi dengan teori Evolusi dan mengenyampingkan kerja dari Sang Pencipta dalam mempelajari kemunculan dan perkembangan mahluk manusia. Masyarakat yang mempunyai pandangan yang sangat keras terhadap penciptaan manusia dari sudut agama kemudian melindungi bahkan melarang anak-anak mereka dari Antroplogi dan doktrin-doktrinnya. Bahkan masih banyak orang awam yang berpikir kalau Antropologi itu bekeija atau meneliti orangorang yang aneh dan eksotis yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dimana mereka masih menjalankan kebiasaankebiasaan yang bagi masyarakat umum adalah asing. Semua pandangan tentang ilmu Antroplogi ini pada tingkat tertentu ada benarnya, tetapi seperti ada cerita tentang beberapa orang buta yang ingin mengetahui bagaimana bentuk seekor gajah dimana masing-masing orang hanya meraba bagian-bagian tertentu saja sehingga anggapan mereka tentang bentuk gajah itupun menjadi bermacammacam, terjadi juga pada Antropologi. Pandangan yang berdasarkan informasi yang sepotong- sepotong ini mengakibatkan kekurang pahaman masyarakat awam tentang apa sebenarnya Antropologi itu. Antropologi memang tertarik pada masa lampau. Mereka ingin tahu tentang asal-mula manusia dan perkembangannya, dan mereka juga mempelajari masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (sering disebut dengan primitif). Tetapi sekarang Antropologi juga mempelajari tingkah-laku manusia di tempat-tempat umum seperti di restaurant, rumah-sakit dan di tempat-tempat bisnis modern lainnya. Mereka juga tertarik dengan bentukbentuk pemerintahan atau negara modern yang ada sekarang ini sama tertariknya ketika mereka mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan yang sederhana yang terjadi pada masa lampau atau masih terjadi pada masyarakatmasyarakat di daerah yang terpencil. BIDANG ILMU ANTROPOLOGI Dalam kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk manusia yang pernah hidup pada semua waktu dan semua tempat yang ada di muka bumi ini. Mahluk manusia ini hanyalah satu dari sekian banyak bentuk mahluk hidup
yang ada di bumi ini yang diperkirakan muncul lebih dari 4 milyar tahun yang lalu. Antropologi bukanlah satu satunya ilmu yang mempelajari manusia. Ilmu- ilmu lain seperti ilmu Politik yang mempelajari kehidupan politik manusia, ilmu Ekonomi yang mempelajari ekonomi manusia atau ilmu Fisiologi yang mempelajari tubuh manusia dan masih banyak lagi ilmuilmu lain, juga mempelajari manusia. Tetapi ilmu-ilmu ini tidak mempelajari atau melihat manusia secara menyeluruh atau dalam ilmu Antropologi disebut dengan Holistik, seperti yang dilakukan oleh Antropologi. Antropologi berusaha untuk melihat segala aspek dari diri mahluk manusia pada semua waktu dan di semua tempat, seperti: Apa yang secara umum dimiliki oleh semua manusia? Dalam hal apa saja mereka itu berbeda? Mengapa mereka bertingkah-laku seperti itu? Ini semua adalah beberapa contoh pertanyaan mendasar dalam studi-studi Antropologi. B.l. Cabang-cabang dalam Ilmu Antropologi Seperti ilmu-ilmu lain, Antropologi juga mempunyai spesialisasi atau pengkhususan. Secara umum ada 3 bidang spesialisasi dari Antropologi, yaitu Antropologi Fisik atau sering disebut juga dengan istilah Antropologi Ragawi. Arkeologi dan Antropologi Sosial-Budaya. B.l.l. Antropologi Fisik Antropologi Fisik tertarik pada sisi fisik dari manusia. Termasuk didalamnya mempelajari gen-gen yang menentukan struktur dari tubuh manusia. Mereka melihat perkembangan mahluk manusia sejak manusia itu mulai ada di bumi sampai manusia yang ada sekarang ini. Beberapa ahli Antropologi Fisik menjadi terkenal dengan penemuan-penemuan fosil yang membantu memberikan keterangan mengenai perkembangan manusia. Ahli Antropologi Fisik yang lain menjadi terkenal karena keahlian forensiknya; mereka membantu dengan menyampaikan pendapat mereka pada sidang- sidang pengadilan dan membantu pihak berwenang dalam penyelidikan kasus-kasus pembunuhan. B.l.2. Arkeologi Ahli Arkeologi bekerja mencari benda-benda peninggalan manusia dari masa lampau. Mereka akhirnya banyak melakukan penggalian untuk menemukan sisa-sisa peralatan hidup atau senjata. Benda -benda ini adalah barang tambang mereka. Tujuannya adalah menggunakan bukti-bukti yang mereka dapatkan untuk merekonstruksi atau membentuk kembali model- model kehidupan pada masa lampau. Dengan melihat pada bentuk kehidupan yang direnkonstruksi tersebut dapat dibuat dugaan-dugaan bagaimana masyarakat yang sisasisanya diteliti itu hidup atau bagaimana mereka datang ketempat itu atau bahkan dengan siapa saja mereka itu dulu berinteraksi. B.1.3.
Antropologi Sosial-Budaya
Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah-laku
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat besar inilah yang menjadi objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi Sosial Budaya. Dalam perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi kedalam bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang kajian yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari bentuk-bentuk hukum pada kelompok-kelompok masyarakat atau Antropologi Ekonomi yang mempelajari gejala-gejala serta bentuk-bentuk perekonomian pada kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari sekian banyak bentuk spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya.
B. KONSEP KEBUDAYAAN Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi. Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis dll juga memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekeijaanpekerjaannya bukan berarti para ahli Antropolgi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan ada sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari: "Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan". Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaankepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam melakukan pekeijaannya sehingga ia tahu apa yang harus dipelajari. Salah satu hal yang diperhatikan dalam penelitian Antropologi adalah perbedaan dan persamaan mahluk manusia dengan mahluk bukan manusia seperti simpanse atau orang-utan yang secara fisik banyak mempunyai kesamaan- kesamaan. Bagaimana konsep kebudayaan membantu dalam membandingkan mahlukmahluk ini? Isu yang sangat penting disini adalah kemampuan belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan aktifitasnya hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu perubahan dalam gen nya. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel. Berbeda dengan manusia, tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal ini teijadi karena kemampuan yang luar biasa dari manusia untuk belajar dari pengalamannya. Benar bahwa manusia tidak terlalu istimewa dalam belajar karena mahluk lainnya pun ada yang mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari manusia sangat luar-biasa dan hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan apa yang telah dipelajari itu. C.l. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkah- lakunya digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompok- kelompoknya menyebabkan manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang ada tempat-tempat khusus dimana makanan itu dimakan. Hal ini semua terjadi karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh generasi sebelumya atau lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan berguna dalam hidupnya.
Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan dengan beberapa aspek "di luar sana" yang hendak diteliti oleh seorang ilmuwan. Konsep-konsep JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis. C.2. Kebudayaan Milik Bersama Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaankebiasaan seorang individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Para ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama sejumlah polapola berpikir dan berkelakuan yang sama yang didapat melalui proses belajar. Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimiliki bersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya. C.3. Kebudayaan sebagai Pola Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering disebut dengan normanorma, Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi dan mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang disebut dengan pembatasanpembatasan kebudayaan. Sebagian dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat. Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan ada sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal
yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Contoh dari pembatasan langsung misalnya ketika seseorang melakukan kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas kedalam gereja. Ada sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur tentang hal ini. Kalau si individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja ketika ke gereja, mungkin dia hanya akan disindir atau ditegur dengan pelan. Akan tetapi bila si individu tadi adalah seorang wanita dan dia hanya mengenakan pakaian dalam untuk ke gereja, dia mungkin akan di tangkap oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Dalam pembatasanpembatasan tidak langsung, aktifitas yang dilakukan oleh orang yang melanggar tidak dihalangi atau dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan tersebut tidak akan mendapat respons atau tanggapan dari anggota kebudayaan yang lain karena tindakan tersebut tidak dipahami atau dimengerti oleh mereka. Contohnya: tidak akan ada orang yang melarang seseorang di pasar Hamadi, Jayapura untuk berbelanja dengan menggunakan bahasa Polandia, akan tetapi dia tidak akan dilayani karena tidak ada yang memahaminya. Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan kepribadian seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu yang mempunyai pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap mempertahankan pendapatpendapat mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsepkonsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. C.4. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya, orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada masyarakat tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai anak tersebut mencapai usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah dimengerti, tetapi bagi masrakat pendukung kebudayaan yang melakukan pantangan-pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan fisik dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu mudah memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi sebenarnya merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dan sebagainya, karena akan banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempattempat seperti itu. Tetapi bila kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan mereka adalah membangun kampung di puncak bukit. Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan dan argumen. Alasan-alasan ini sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu penelitian untuk menjelaskannya.
mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini. Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian banyak aturan, norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut. Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan melakukan penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan hasilnya juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua dan muda, terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya. Profesionalisme dalam Pengobatan : Perawatan REVOLUSI DALAM PERAWATAN Perawatan adalah sistem sosial-budaya, mulai dikaji oleh Brown (1936). Tahun 1968 ahli antropologi mengajar di sekolah perawat (Ibid., 41). Tahun 1969 muncul publikasi antropologi dan perawatan (Leininger 1970: 38). Dan sebaliknya, banyak perawat mencari master dan doktoral dalam ilmu antropologi. Indikator peningkatan hubungan perawatan dan antropologi adanya subseksi antropologi dan perawatan dalam lembaga Society for Medical Anthropology. Perawat banyak berijazah doktoral (Leininger 1976). Lebih perhatian pada peran profesional, mencari kebebasan memberikan perawatan serta mencapai pengakuan dan status yang bukan berasal dari peranan tradisional. Proses ini dipandang sebagai pembebasan wanita. Perawat identik dengan wanita, sedang terlibat perang besar pada kekuasan dokter yang identik dengan pria (Martin 1975:95-96). PENDIDIKAN PERAWAT Tahun 1873 diploma perawat berlangsung di rumah sakit (Bullough 1975a:8). Dinilai sebagai suplai tenaga kerja murah bagi perawatan pasien. Tahun 1910 sekolah perawat mulai didirikan di universitas. Program collegiate atau baccalaureate berlangsung 4 tahun dengan gelar Bachelor of Science, menekankan dasar ilmiah bagi perawatan. Tahun 1952 dikenal associate degree program 2 tahun pada community college (tingkat akademi) dan segera menjadi pilihan utama bagi calon siswa dibanding tipe pendidikan lain. “Profil” siswa yang baik berasal dari pedesaan yang lebih taat beragama. Banyak siswa perawat merupakan anak dari perawat. Siswa program baccalaureate di universitas
Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian atas suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu teijadi. Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk menyesuaikan diri mereka malah JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
berasal dari keluarga kelas menengah ke atas dan merupakan siswa SLA yang pandai. Sedang program diploma dipilih siswa dengan sosial ekonomi yang lebih rendah. Studi Knopf menunjukkan pria mulai tertarik dengan pendidikan perawat dan memilih tipe pendidikan associate (Corwin dan Tawes 1963: 197-199; Knopf 1975: 108, Tabel A-1). PENGALAMAN PENDIDIKAN Siswa baccalaureate biasanya kulit putih dan Protestan. Ayahnya kaum profesional, manajer atau karyawan kantor. Siswa memikirkan karier perawat sejak usia 10-14 tahun. Pemilihan karier dipengaruhi keluarga (Olesen dan Whittaker 1968: 95). Hubungan siswa-dosen dalam pendidikan perawat sangat interaksional. Kapan diskusi perasaan siswa mengenai pasien dengan instruktur, kapan menyampaikan bahan baru tentang pasien pada instruktur dan sebagainya. Siswa takut mereka dinilai di dalam maupun di luar “panggung”, hingga timbul budaya “cari muka”. Goffman mempertegas impression management (manajemen berdasarkan kesan) dalam studi perawatan, hingga siswa mengembangkan teknik fronting (unjuk diri) di hadapan instruktur (Ibid., 177). DILEMA PERAWATAN 1. Peranan perawat: ideal dan kenyataan
2.
Perawat ideal adalah “pengganti ibu”. Peran feminin melalui sikap profesionalnya, menenangkan pasien dan meningkatkan proses penyembuhan (Schulma 1958). Dalam konteks rumah sakit modern, yang mempekerjakan tiga perlima dari seluruh perawat, masa tersebut telah lewat. Pembantu perawat dan personal kurang terdidik menggantikan fungsi “perawatan”. Perawat bekerja dibidang supervisi dan manajerial (Schulman 1972 : 233). Pasien tidak mendapatkan perawatan optimal, dan perawat menjadi frustasi akibat penulisan masalah dan menghadiri rapatrapat komite (Hatton 1975 : 118). Hubungan perawat-dokter Dokter adalah “otokrat terakhir”. Dokter menganggap perawat dan personal kesehatan lain sebagai nonprofesional, sebagai pelayannya, bukan sejawatnya (B. Bates 1970:130). Karena perbedaan jenis kelamin, hubungan tersebut sedemikian terstrukturnya sehingga tidak terpikirkan oleh perawat bahwa hal itu samasekali tidak wajar. Tahun 1930-an perawat “bertugas pribadi” di rumah-rumah selama 24 jam. Perawat menjadi matatelinga dokter ketika tidak ada disamping pasien. Kajian Brown mengatakan hubungan perawat dokter hangat dan bersahabat (Brown 1966: 178). Dengan beralihnya perawatan ke rumah sakit, perawat menjadi sekrup kecil dalam sistem perawatan kesehatan yang makin kaku, namun perawatan swasta tetap merupakan model perawatan, dimana masih mengukur bagaimana perawatan dilakukan (Ibid., 181). Hubungan atasan-bawahan menyebabkan perawat sakit hati. Pasien harus “dipersiapkan” perawat untuk diperiksa dokter (C. Taylor 1970: 109). Aturan tak tertulis membolehkan perawat “merekomendasi secara
3.
bijaksana” kepada dokter. Usulan yang diajukan perawat dibuat seolah-olah berasal dari dokter (L. Stein 1971: 187). Dorongan ke arah profesionalisasi Banyak perawat terdaftar, tidak bergelar bachelor (sarjana muda) sebagai syarat minimal status profesional. Perawat tidak memiliki otonomi bertindak sebagai karakteristik profesi. Survei siswi perawat, perkawinan dan menjadi ibu lebih prioritas daripada karier sebagai perawat (Glaser 1966:25). Dengan banyaknya perawat mengambil master dan doktoral, peningkatan pemimpin perawat dan pengarang mengenai perawat melihat dorongan profesionalisme dan usaha meningkatkan status profesi (Cleland 1971; Lamb 1973; McBride 1976).
KELANJUTAN PERANAN PERAWAT Di unit perawatan intensif, ada peran baru “spesialis klinik” sebagai “perawat yang cukup terlatih” (sering memiliki gelar master). Personal medis yang mampu dan berwenang membuat keputusan cepat arah tindakan, yang dapat menentukan perbedaan antara mati dan hidup (Bullough dan Bullough 1971: 1; Bullough 1975b: 56). Sekali perawat diakui teknik perawatan koroner, terdapat ketergantungan dokter – perawat (Berwind 1975: 86). Muncul perawat berketrampilan khusus sebagai peserta pendidikan dokter, Pediatric Cardiology Associate (Perkumpulan Kardiologi Pediatri), di Rumah Sakit Anak Driscoll Foundation Children Hospital of Corpus Christi, Texas. “Perawat praktek” berawal mengatasi tidak cukupnya jumlah dokter umum, sebagian lagi respon tuntutan karena makin panjangnya umur manusia, peningkatan penyakit kronis dan perawatan kesehatan mental (Mauksch 1975: 1835). Pranata kesehatan sebagai “sistem”, hubungan timbal-balik antara bagian-bagian adalah sama antara berbagai variabel.
PENUTUP Benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukan kedalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu. Tetapi harus dingat bahwa kebudayaan itu tidak bersifat statis, ia selalu berubah. Tanpa adanya "gangguan" dari kebudayaan lain atau asing pun dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari luar, akan ada individu-individu dalam kebudayaan itu sendiri yang akan memperkenalkan variasivariasi baru dalam tingkah-laku yang akhirnya akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari kebudayaannya. Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pada akhirnya akan membuat kebudayaan tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi tersebut.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
REFERENSI 1. Aschoff, J. (1981). Annual rhythms in man. In J. Aschoff (Ed.), Handbook of behavioral neurobiology: Biological rhythms (Vol. 4, pp. 475–487). New York: Plenum Press. 2. Bach, G. R., & Wyden, P. (1969). The intimate enemy. New York: Morrow. 3. Basabe, N., Paez, D., Valencia, J., Gonzalez, J. L., Rime, B., & Diener, E. (2002). Cultural dimensions, socioeconomic development, climate, and emotional hedonic level. Cognition and Emotion, 16, 103–125. 4. Bell, D. (1973). The coming of post-industrial society. New York: Basic Books. 5. Bierhoff, H. W. (2002). Prosocial behaviour. Hove, England: Psychology Press. 6. Bjorklund, D. F., & Kipp, K. (1996). Parental investment theory and gender differences in the evolution of inhibition mechanisms. Psychological Bulletin, 120, 163–188. 7. Benedict, Ruth, Patterns of Culture. Boston: Houghton Mifflin Co., 1980. 8. Harris, Marvin, "Culture, People, Nature; An Introduction to General Anthropology", New York, Harper and Row Publishers, 1988. 9. Richardson, Miles, "Anthropologist-the Myth Teller," American Ethnologist, 2, no.3 (August 1975)
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA KELAS X DENGAN PERILAKU MAKAN MIE INSTAN DI SMA NEGERI 1 TALUN RELATION KNOWLEDGE AND ATTITUDE YOUTH CLASS X INSTANT NOODLES WITH EATING BEHAVIOR IN SMA NEGERI 1 TALUN (1) Arisda (1)Dosen
Candra Satriawati STIKES Insan Unggul Surabaya
ABSTRAK Mie instan belum dapat dianggap sebagai makanan penuh (wholesome food) karena belum mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi tubuh. Terlalu sering mengkonsumsi mie instan dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan, dari 10 siswa menyatakan bahwa mereka tahu mi instant bukanlah sumber gizi yang baik bagi tubuh dan mengandung bahan tambahan pangan yang jika sering dikonsumsi akan mempengaruhi kesehatan, apalagi pada usia mereka yang berada pada masa pertumbuhan. Pada penelitian ini menggunakan metode analitik dengan desain penelitian cross sectional. Sampel dalam penelitian ini sebesar 152 orang dengan tehnik sampling menggunakan probability sampling secara simple random sampling, dan menggunakan uji chi square dengan α sebesar 5%. untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan remaja terhadap mie instan baik tetapi masih sering mengkonsumsi mie instan. Dan sikap terhadap mie instan positif tetapi masih sering mengkonsumsi mie instan. Berdasarkan uji chi square didapatkan hasil tidak ada hubungan pengetahuan dan sikap remaja kelas X dengan perilaku makan mie instan SMA Negeri 1 Talun. Dari hasil penelitian disimpulkan walaupun pengetahuan remaja terhadap mie instan baik dan bersikap positif, tetapi masih banyak yang mengkonsumsi mie instan. Saran bagi remaja agar dapat lebih memperhatikan asupan makanan yang dibutuhkan oleh tubuh karena dalam masa pertumbuhan. Kata Kunci: Pengetahuan – Sikap – Perilaku - Mie instan ABSTRACT Instant noodles have not been able considered as a wholesome food due to it has not fulfilled the balanced nutritional need for body. Too often in consuming instant noodles may have poor impact for health. Due to in the instant noodles any additives may be able dangerous for body. Based on the survey result performed, out of 10 students stated that they knew that instant noodles is not the good nutritional source for body and contained food additive that if often to consume will affect the health, especially in their ages that in the growth period. In this research used the analytical method with the research design used cross sectional. Sample in this research was as large as 152 persons with samping technique used probability sampling as simple random sampling and using chi square test with as large as 5%. Research result indicated that the adolescents’ knowledge on instant noodles was good but they remained often to consume instant noodles. And their attitude to instant noodles was positive but remained often to consume instant noodles. Based on chi square test it was obtained result that there was nothing correlation between the knowledge and attitudes of 10 th grade students and the behavior of eating instant noodles at the State Senior High School 1 of Talun. From the research result it could be concluded that although the adolescents knowledge on instant noodles was good and they had positive attitude, but remained many of them who consumed instant noodles various reasons. Suggestion for adolescents is for they can more considering their food intakes needed by their bodies especially in the growth period. Key Words: Knowledge - Attitude – Behavior - Instant noodles
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
PENDAHULUAN asam benzoat dengan natrium bisulfit, yaitu dapat menyebabkan Latar Belakang gangguan syaraf (6) Undang - undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 Berdasarkan hasil survey yang dilakukan, dari 10 siswa yang memuat tujuan pembangunan kesehatan Bangsa menyatakan bahwa mereka tahu mi instant bukanlah sumber Indonesia merupakan upaya untuk meningkatkan kesehatan gizi yang baik bagi tubuh dan mengandung bahan tambahan masyarakat secara proaktif melalui paradigma sehat dengan pangan yang jika sering dikonsumsi akan mempengaruhi harapan dalam jangka waktu panjang dapat mendorong kesehatan, apalagi pada usia mereka yang berada pada masa masyarakat untuk bersikap mandiri menjaga kesehatannya (1) pertumbuhan. Tetapi dengan alasan kepraktisan dan murah Pada saat ini masalah gizi masih merupakan beban mereka tetap mengkonsumsi mie instant 1-2 bungkus setiap berat bagi bangsa, hakekatnya berpangkal dari keadaan harinya. Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa asam benzoat ekonomi dan pengetahuan masyarakat tentang nilai gizi jika tergabung dengan pewarna tartrazine dapat menyebabkan makanan, sehingga berpengaruh pada daya beli dan prilaku hyperaktif dan sulit konsentrasi bagi anak-anak dalam masyarakat yang dapat menurunkan status gizi (2) menangkap pelajaran disekolah. Selain itu, anak-anak yang Kebutuhan energi dan protein setiap orang berbeda sangat membutuhkan pangan sehat untuk pertumbuhan fisik tergantung jenis kelamin, usia dan kondisi tubuhnya. dan kecerdasan otaknya, memakan banyak bahan tambahan Seseorang harus menjaga keseimbangan kebutuhan energi pangan tentu akan mengurangi asupan nutrisinya. Berdasarkan agar tubuh dapat melakukan segala proses fisiologis guna data pada tahun 2010 ada beberapa orang siswa yang menjamin kelangsungan hidup. Bila seorang salah dalam mengalami penyakit maag. Setelah di telusuri mereka sering menghitung dan merencanakan kebutuhan energi dan protein mengkonsumsi mie instant dan jarang mengkonsumsi makanan maka dapat menimbulkan dampak yang tidak baik pada yang bergizi. Juga pola makan yang tidak teratur terutama pada status gizi (2) siswa yang kost. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka Hingga tahun 2002, setidaknya ada 55 juta porsi mie peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan instan dikonsumsi setiap tahunnya diseluruh dunia. pengetahuan dan sikap remaja dengan perilaku makan mie Berdasarkan data dari World Instant Noodles Association instant di SMA Negeri 1 Talun. (WINA), konsumen mie tersebar diseluruh dunia. Cina dan Hong Kong menduduki peringkat pertama konsumsi mie yaitu TINJAUAN PUSTAKA 501,1 ribu konsumen dari 1.330 juta penduduk atau 37,7 % konsumsi perkapita pada tahun 2007. Di Indonesia, konsumsi Konsep Dasar Pengetahuan mie 149,9 ribu dari 230 ribu total populasi atau 65,2% Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan hal ini terjadi konsumsi mie per kapita pada tahun yang sama (3) setelah orang tersebut melakukan penginderaan terhadap suatu Saat ini, Indonesia adalah produsen mie instan yang obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra terbesar di Dunia. Dalam hal pemasaran, pada tahun 2005 manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, Tiongkok menduduki tempat teratas, dengan 44,3 milyar rasa dan raba. Sebagai dasar pengetahuan diperoleh melalui bungkus, disusul dengan Indonesia dengan 12,4 milyar telinga dan mata (7) bungkus dan Jepang dengan 5,4 milyar bungkus. Namun Pengetahuan pada dasarnya sejumlah fakta dan teori Korea Selatan mengonsumsi mie instan terbanyak per kapita, yang memungkinkan dapat memecahkan masalah yang dengan rata-rata 69 bungkus per tahun, diikuti oleh Indonesia dihadapinya, pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari dengan 55 bungkus, dan Jepang dengan 42 bungkus (3) pengalaman langsung maupun pengalaman orang lain (8) Mie instan memang fenomenal di Indonesia. Meskipun sering beredar rumor soal efek buruk konsumsi mie Tingkat Pengetahuan instan bagi tubuh, penjualan produk makanan ini seperti tak Domain kognitif menurut Notoatmodjo (2005) mencakup terpengaruh. Konsumsi mi instan di negeri ini sudah 6 tingkatan yaitu: menembus lima kilogram per kapita per tahun pada 2005. (4) 1. Tahu (Know) Mie instan belum dapat dianggap sebagai makanan 2. Memahami (Comprehention) penuh (wholesome food) karena belum mencukupi kebutuhan 3. Aplikasi (Application) gizi yang seimbang bagi tubuh. Status gizi adalah keadaan 4. Analisis (Analilysis) tubuh seseorang yang dipengaruhi oleh asupan makanan 5. Sintesis (Synthesis) yang diukur dari berat badan dan tinggi badan dengan 6. Evaluasi (Evaluation) perhitungan IMT, sehingga konsumsi makanan berpengaruh pada status gizi seseorang. Dalam hal ini, faktor yang Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan mempengaruhi status gizi yaitu factor langsung dan tidak Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan langsung. Faktor langsung yaitu tentang konsumsi pangan menurut Mubarok (2007): dan infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung yaitu tingkat 1. Pendidikan pendapatan, pengetahuan gizi dan pendidikan. Keadaan 2. Pekerjaan konsumsi pangan dapat digunakan sebagai indikator pola 3. Umur pangan yang baik atau kurang baik dan merupakan keadaan 4. Minat gizi yang ditentukan secara langsung(5) 5. Pengalaman Terlalu sering mengkonsumsi mie instan dapat 6. Kebudayaan lingkungan sekitar berdampak buruk bagi kesehatan. Kerena dalam mie instant 7. Informasi terdapat bahan-bahan tambahan yang bisa berbahaya bagi tubuh. Salah satu reaksi yang berbahaya misalnya antara CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Menurut Notoatmodjo (2005) cara memperoleh pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi dua : 1. Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan a. Cara coba salah (trial and error) b. Cara kekuasaan atau otoritas c. Berdasarkan pengalaman pribadi d. Melalui jalan pikiran
2.
Cara modern 1. Segala sesuatu yang positif yakni gejala tertentu yang muncul pada saat dilakukan pengamatan. 2. Gejala sesuatu yang negatif yakni gejala tertentu yang tidak muncul pada saat dilakukan pengamatan. 3. Gejala-gejala yang muncul secara bervariasi yaitu gejala-gejala yang berubah-ubah pada kondisi tertentu. Konsep Dasar Sikap Pengertian Sikap Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. (9) Struktur Sikap (Azwar.S, 2009) Struktur sikap dibagi menjadi 3 komponen yang saling menunjang yaitu: 1. Komponen kognitif 2. Kompenen affektif 3. Komponen konatif. Tingkatan Sikap Menurut Notoatmodjo (2003) sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni : 1. Menerima (receiving) 2. Merespon (responding) 3. Menghargai (valuing) 4. Bertanggung jawab (responsible) Sifat Sikap 1. Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. 2. Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu. (12)
Ciri-ciri Sikap Ciri-ciri sikap adalah : 1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan obyeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat. 2. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syaratsyarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
3.
Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas. 4. Obyek sikap itu merupakan satu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. 5. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan, Sifat iniah yang membedakan sikap dari kecakapankecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang. (11) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap obyek sikap antara lain : 1. Pengalaman Pribadi 2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting 3. Kebudayaan 4. Media Massa 5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama 6. Faktor Emosional(10) Konsep Dasar Perilaku Pengertian Perilaku Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Jadi yang dimaksud perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas anatara lain, berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya (7) Berdasarkan Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Dengan demikian, maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Sedangkan menurut Sunaryo (2006), perilaku adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik dapat diamati langsung maupun tidak langsung yang diamati oleh pihak luar. (Notoatmodjo, 2007) perilaku adalah keyakinan mengenai tersedianya atau tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan. Menurut ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi Organisasi yang bersangkutan. Menurut Benjamin Bloom perilaku ada 3 domain : perilaku, sikap dan tindakan. Perilaku manusia tidak timbul dengan sendirinya, tetapi akibat adanya rangsangan (stimulus), baik dalam dirinya (internal) maupun dari luar individu (eksternal) (11). Sedangkan menurut Skinner (dikutip Notoatmodjo, 2007) menyatakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus dan tangapan atau respon). Ia membedakan ada dua respon, yaitu: 1. Respondent Respons atau Reflexive Respons, merupakan respon yang ditimbulkan oleh rangsangan tertentu. Respon ini sangat terbatas keberadaannya pada
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
manusia karena hubungan yang pasti antara stimulus dan respon kemungkinan untuk memodifikasinya sangat kecil. 2. Operant Respons atau Instrumen Respons, merupakan respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Respon ini merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia dan kemungkinan untuk memodifikasinya sangat besar bahkan tak terbatas. Menurut Sunaryo (2006), bentuk perilaku ada dua macam, yaitu: 1. Perilaku pasif (respons internal) 2. Perilaku aktif Prosedur Pembentukan Perilaku Menurut Skinner (dikutip Notoatmodjo, 2007) prosedur pembentukan perilaku terjadi dalam tingkatan tahapan, yaitu: 1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat yang akan dibentuk. 2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponenkomponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. 3. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi Reinforcer atau hadiah–hadiah untuk masing-masing komponen tersebut. 4. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun. Menurut Sunaryo (2006), perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Lebih lanjut dijelaskan berdasarkan pendapat Maslow, bahwa manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu: 1. Kebutuhan fisiologis/biologis 2. Kebutuhan rasa aman, 3. Kebutuhan mencintai dan dicintai 4. Kebutuhan harga diri, 5. Kebutuhan aktualisasi diri
ditekankan untuk menyatakan perubahan psikososial yang menyertai pubertas. Tahap Perkembangan Remaja Menurut Soetjiningsih, 2007. Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati tahapan berikut: 1. Masa remaja awal/dini (early adolescence), Umur 11-13 tahun. 2. Masa remaja pertengahan (middle adolescence), Umur 1416 tahun. 3. Masa remaja lanjut (late adolescence), Umur 17-20 tahun. Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap perkembangan remaja sebagai berikut: 1. Remaja awal (early adolescence) 2. Remaja madya (middle adolescence) 3. Remaja akhir (late adolescence) Konsep dasar mie instan Mie instan adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa bahan makanan lain yang diizinkan berbentuk khas mie yang siap dihidangkan, dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 5 menit (14). Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 35511994, mie instan didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mie instan umumnya dikenal sebagai ramen. Mie ini dibuat dengan beberapa tahapan proses setelah diperoleh mie segar. Tahap-tahap tersebut yaitu pengukusan, pembentukan, dan pengeringan. Kadar air mie instan umumnya mencapai 5-8 % sehingga memiliki daya simpan yang lama (18)
Sejarah mie instan Mie merupakan salah satu jenis makanan yang paling Sunaryo (2006), membagi perilaku ke dalam 3 populer di Asia khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. domain (kewarasan) yaitu : Menurut catatan sejarah, mie pertama kali dibuat di daratan 1. Pengetahuan (Knowledge) Cina sekitar 2000 tahun yang lalu pada masa pemerintahan 2. Sikap (Attitude) dinasti Han. Dari Cina, mie berkembang dan menyebar ke 3. Praktek atau tindakan (Practice) Jepang, Korea, Taiwan dan negara-negara di Asia Tenggara bahkan meluas sampai kebenua Eropa. Sedangkan menurut Roger dikutip (Notoatmodjo, Menurut buku-buku sejarah, di benua Eropa mie mulai 2007), sebelum orang menghadapi perilaku baru dalam diri dikenal setelah Marco Polo berkunjung ke Cina dan membawa orang tersebut terjadi proses yang berurutan : oleh-oleh mie. Namun pada perkembangannya di Eropa mie 1. Awarness (kesadaran) berubah menjadi pasta seprti yang kita kenal saat ini (16) 2. Interest (tertarik) Sesungguhnya seni menggiling gandum telah lebih 3. Evaluasi (penilaian) dahulu berkembang di Timur Tengah, seperti di Mesir dan 4. Trial (mencoba) Persia. Logikanya mie juga mula-mula berkembang di sana dan 5. Adopsi (mengadapsi) diajarkan sebagai sebagai lembaran-lembaran tipis menyerupai KONSEP DASAR REMAJA mie. Pada awalnya mie diproduksi secara manual, baru pada Dalam pembahasan soal remaja digunakan istilah tahuan 700-an sejarah mencatat terciptanya mesin pembuat mie pubertas dan adolesen. Istilah pubertas digunakan untuk berukuran kecil dengan menggunakan alat mekanik. Evolusi menyatakan perubahan biologis yang meliputi morfologi dan pembuatan mie berkembang secara besar-besaran setelah fisiologi yang terjadi dengan pesat dari masa anak ke masa T.Masaki pada tahun 1854 berhasil membuat mesin pembuat dewasa, terutama kapasitas reproduksi yaitu perubahan alat mie mekanik yang dapat memproduksi mie secara masal. Sejak kelamin dari tahap anak ke dewasa. saat itu, mie mengalami banyak perkembangan, seperti di Cina Sedangkan yang dimaksud dengan istilah adolesen, mulai diproduksi mie instant yang dikenal dengan nama Chicken dulu merupakan sinonim dari pubertas, sekarang lebih Ramen dan di Jepang muncul Saparo Ramen (1962). JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Aneka Jenis Mie Secara umum mie dapat digolongkan menjadi dua, mie kering dan mie basah. Baik yang dalam kemasan Polietilen maupun dalam kemasan polysteren yang dikenal juga sebagai sterofoam. Pada umumnya mie basah adalah mie yang belum di masak (nama-men) kandungan airnya cukup tinggi dan cepat basi, jenis mie ini biasanya hanya tahan 1 hari . Kategori kedua adalah mie kering (kan-men), seperti ramen, soba dan beragam mie instant yang banyak kita jumpai di pasaran. Dilihat dari bahan dasarnya, mie dapat dibuat dari berbagai macam tepung, seperti tepung terigu, tepung tang mien, tepung beras, tepung kanji, tepung kacang hijau dll. Dari jenis tepung di atas, mie dari tepung terigu paling banyak digunakan khususnya untuk membuat mie instan. Adapun komposisi bahanya adalah tepung terigu, air, telur, garam dapur dan air abu untuk pengenyal. Proses pembuatan mie melalui beberapa tahap. Pertama adalah tahap pencampuran. Dalam proses ini semua bahan di campur menjadi satu sampai terbentuk adonan. Berikutnya adalah tahap pengulian adonan diuleni sampai terbentuk adonan yang kalis, licin dan transparan. Setelah itu adonan dibentuk atau dipotong sesuai dengan jenis mie yang akan di buat. Beberapa jenis mie yang ada didunia: 1. Cellophane noodles. 2. Mie Telur. 3. Hokkien Noodles. 4. Ramen. 5. Rice stick noodles. 6. Somen noodles. 7. Soba noodles. 8. Rice Vermicelli. 9. Mie shoa. 10. Wonton. Kandungan Gizi Mie. Bahan baku utama mi instant memang tepung terigu, namun, selama proses pembuatannya, dipakai juga minyak sayur, garam, natrium polifosfat (pengemulsi, penstabil dan pengental), natrium karbonat dan kalium karbonat (keduanya pengatur keasaman), tartrazine (pewarna kuning). Kadang natrium polifosfat dicampur guar gum. Bahan lain misalnya karamel, hidrolisat protein nabati, ribotide, zat besi dan asam malat yang fungsinya tidak jelas. Selain minyak sayur, ada pula food additive, yaitu bahanbahan kimia yang ditambahkan ke dalam proses pengolahan makanan, dengan tujuan agar makanan tersebut memiliki sifat-sifat tertentu. Bumbu mie, misalnya garam, gula, cabe merah, bawang putih, bawang merah, saus tomat, kecap, vetsin (MSG) serta bahan cita rasa (rasa ayam, rasa udang, rasa sapi) juga banyak menggunakan additive. Belum lagi stirofoam dalam mie cangkir, yang dicurigai bisa menyebabkan kanker. Meski risiko kesehatan akibat additive tak langsung kelihatan, namun menurut Arlene Eisenberg, dalam buku What to Eat When You're Expecting, ibu hamil sebaiknya menghindari makanan yang banyak mengandung additive. Bagi balita, bahan-bahan yang sebenarnya tak dibutuhkan tubuh ini juga bisa memperlambat kerja organorgan pencernaan.
Selain itu juga kandungan utama dari mie adalah karbohidrat. Lalu ada protein tepung (gluten), dan lemak, baik yang dari mienya sendiri maupun minyak sayur dalam sachet. Jika dilihat komposisi gizinya, mie memang tinggi kalori, namun miskin zat-zat gizi penting lain seperti vitamin, mineral dan serat (sutomo, 2010). Berdasarkan sumbangan energi yang diberikan, maka sebungkus mie sudah cukup untuk sarapan pagi, apalagi kalau dikombinasikan dengan bahan makanan lainnya. Akan tetapi, sebungkus mie instan tidak cukup baik untuk bahan makan siang karena setelah bekerja selam 6 jam, tubuh memerlukan energi dan komponen gizi-gizinya yang lebih lengkap seperti asam lemak esensial, asam amino dan lain-lain. Agar asupan gizi yang diperoleh dari sebungkus mie lebih baik dalam penyajiannya sebaiknya ditambahkan bahan-bahan lain untuk meningkatkan gizinya. Bahan yang umum yang ditambahkan seperti telur, ayam, bakso, udang, ikan, dan tempe untuk meningkatkan kadar protein serta sayuran (wortel, tomat, sawi, mentimun, dan lain-lain) untuk meningkatkan kadar vitamin, mineral dan serat (11). Bahan-bahan yang perlu diwaspadai pada mie. 1. Bumbu dan pelengkap 2. Bahan penambah rasa 3. Minyak sayur 4. Solid Ingredient 5. Kecap dan sambal(19) Cara yang lebih baik memasak mie instant: 1. Masak mie instant dalam panci. 2. Begitu mie masak, angkat mie dan tiriskan, buang airnya yang mengandung lilin itu. 3. Ambil air dan didihkan, kemudian masukkan mie yang sudah matang tersebut dan matikan api. 4. Masukkan bumbu dan bahan lain. Mie siap disajikan 5. agar kandungan gizinya dapat memenuhi kebutuhan tubuh, sebaiknya ditambahkan sayuran.(19). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode analitik menyangkut pengujian hipotesis hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional karena pada penelitian ini variable dependen dan independent diteliti pada saat yang sama. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian inni menggunakan probability sampling dengan teknik simple random sampling. Pengambilan sample dilakukan dengan mengundi anggota populasi
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.
Tempat domisili
Karakteristik Remaja. 1. Umur
Diagram 5.4 Distribusi Tempat Domisili Remaja di SMA Negeri 1 Talun Bulan Juni 2011 Diagram 5.1 Distribusi Umur Remaja di SMA Negeri 1 Talun Bulan Juni 2011 Berdasarkan diagram 5.1 diatas, sebagian besar remaja (67%) berumur 16 tahun. 2.
Berdasarkan diagram diatas, sebagian besar (73%) tempat domisili remaja di rumah orang tua. Data Khusus Tingkat pengetahuan remaja terhadap mie instan
Pekerjaan orangtua
Diagram 5.2 Distribusi Pekerjaan orang tua remaja di SMA Negeri 1 Talun Bulan Juni 2011
Diagram 5.5 Tingkat Pengetahuan Remaja di SMA Negeri 1 Talun Bulan Juni 2011 Dari diagram diatas dapat diketahui bahwa 90% remaja mempunyai pengetahuan yang baik tentang mi instan. Sikap remaja terhadap mie instan
Berdasarkan diagram 5.2 diatas, sebagian orangtua remaja (45%) bekerja sebagai wiraswasta. 3. Penghasilan orangtua.
Diagram 5.6 Sikap RemajaTerhadap Mi Instan di SMA Negeri 1 Talun Bulan Juni 2011 Dari diagram diatas dapat diketahui bahwa hampir seluruh responden (91%) mempunyai sikap positif terhadap mie instan. Diagram 5.3 Distribusi Penghasilan orang tua remaja di SMA Negeri 1 Talun Bulan Juni 2011 Berdasarkan tabel 5.3 diatas, sebagian orang tua remaja (58%) berpenghasilan 1 – 2 Juta perbulannya.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Perilaku makan mie instan remaja
Diagram 5.7 Perilaku makan mi instan remaja di SMA Negeri 1 Talun Bulan Juni 2011 Dari diagram diatas dapat diketahui bahwa 92% remaja sering mengkonsumsi mie instan. 5.1
Tabulasi Silang Dari hasil tabulasi silang dapat diketahui bahwa dari 137 remaja yang berpengetahuan baik dan sering mengkonsumsi mie instan sebanyak 91%, sedangkan yang jarang mengkonsumsi sebanyak 9%. Dari 15 remaja yang mempunyai pengetahuan kurang dan sering mengkonsumsi sebanyak 93% sedangkan yang jarang mengkonsumsi sebanyak 7%. Dari 138 remaja yang mempunyai sikap positif dan sering mengkonsumsi mie instan ada 92%, sedangkan yang jarang mengkonsumsi ada 8%. Dari 14 remaja yang bersikap negative dan sering mengkonsumsi ada 86%, sedangkan yang jarang mengkonsumsi ada 14%. Analisis Hubungan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan remaja kelas X SMA Negeri 1 Talun dengan perilaku makan mie instan. Hal ini berdasarkan analisis data dengan uji exact fisher, dimana didapatkan nilai P (1) > α (0,05) Karena hasil dari uji statistik chi square tidak memenuhi syarat maka diganti dengan uji exact fisher sehingga diperoleh hasih nilai P = 1 yang berarti P (1) > α (0,05) yang berarti Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan pengetahuan remaja dengan perilaku makan mie instan di SMA Negeri 1 Talun. Dan tidak ada hubungan antara sikap remaja kelas X SMA Negeri 1 Talun dengan perilaku makam mie instan berdasarkan analisis data dengan uji exact fisher dimana didapatkan nilai P (0,341) > α (0,05 Hasil dari uji statistik chi square tidak memenuhi syarat sehingga diganti dengan uji exact fisher sehingga diperoleh hasih nilai P = 0,341 yang berarti P (0,341) > α (0,05) yang berarti Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan sikap remaja dengan perilaku makan mie instan di SMA Negeri 1 Talun. Pengetahuan remaja tentang mie instan. Berdasarkan diagram 5.4 diketahui bahwa sebagian besar (90%) remaja berpengetahuan baik, dan sangat sedikit (10%) remaja berpengetahuan kurang. Sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2005), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek. Notoatmodjo juga berpendapat bahwa pengetahuan
diperoleh dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi pada masa lalu. Dengan pengetahuan tentang mie instan, maka seseorang dapat memahami makanan yang bergizi sehingga mampu menjaga asupan makanannya agar tetap sehat dan dapat mengambil keputusan terhadap makanan sehat yang dapat dikonsumsi. Banyak hal yang mempengaruhi tingkat pengetahuan remaja antara lain umur dan tingkat pendidikan. Berdasarkan diagram 5.1 diketahui bahwa mayoritas remaja berumur 16 tahun (67%), dan 26% remaja berumur 15 tahun serta 7 % yang berumur 17 tahun. Umur tidak diprioritaskan di SMA Negeri 1 Talun selama ijazah SMP siswa tidak melebihi 5 tahun sejak tahun dia lulus. Adanya kecepatan dan keterlambatan umur dalam menempuh pendidikan sebelumnya menyebabkan perbedaan umur dalam menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Talun. Karena perbedan umur itulah yang kadang-kadang menyebabkan pengetahuan remaja berbeda antara satu dengan yang lain. Menurut Soetjiningsih (2007) remaja pada usia 15-16 tahun berada pada masa remaja madya (middle adolescence). Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan narsistik, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis dan sebagainya. Sedangkan usia 17 tahun berada pada masa remaja lanjut. Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu: minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dalam pengalamanpengalaman baru, terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public). Pada dewasa madya, yaitu pada umur 15-16 tahun lingkunganlah yang membentuk kebiasaan dan kepribadian remaja karena pada masa ini remaja cenderung meniru teman sebaya. Dalam hal makan pun mereka mengikuti tren konsumsi makanan instan. Dengan alasan praktis mereka memilih konsumsi mie instan dari pada makanan yang lain walaupun mereka tahu menngkonsumsi makanan instan kurang baik untuk kesehatan tubuh mereka apalagi remaja berada dalam masa pertumbuhan. Pada umur 17 tahun kebiasaan tersebut bisa berlanjut walaupun sudah lebih mengerti bahan makanan yang baik untuk kesehatan. Pendidikan remaja 100% adalah SMA. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.anak. Dalam hal memilih makanan, akan berbeda antara SD, SMP dan SMA. Semakin tinggi pendidikan akan semakin banyak pengetahuan yang didapat tentang makanan sehat.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Adapun penyebab pengetahuan tinggi pada remaja tentang mie instan dikarenakan remaja mendapat pengetahuan tentang mie instan melalui televisi atau internet yang berisi tentang bahan makanan sehat dan kandungan mie instan. Penyebab pengetahuan kurang dikarenakan banyaknya informasi tentang mie instan sehingga remaja mengalami kesulitan untuk memahaminya. Dengan adanya iklan di berbagai media cetak dan elektronik yang menyajikan mie instan sebagai hidangan sehari-hari tanpa menyebutkan efek samping jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Sikap remaja terhadap mie instan Berdasarkan diagram 5.5 diketahui bahwa 91% remaja bersikap positif dan hanya 9% remaja yang bersikap negative. Dalam hal ini remaja menganggap bahwa sering mengkonsumsi mie instan dalam jangka waktu lama memberikan dampak buruk bagi tubuh apalagi bagi remaja yang masih berada dalam mas pertumbuhan. Mereka sadar bahwa kandungan bahan tambahan makanan yang ada dalam mie dan bahan pengawetnya tidak baik jika sering dikonsumsi. Dalam bersikap, remaja dipengaruhi beberapa factor antara lain (Azwar, 2009): pengalaman Pribadi, Pengaruh orang lain yang dianggap penting, Kebudayaan, Media Massa, Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama, Faktor Emosional Dari pengalaman pribadi remaja, jika mengkonsumsi mie instan dalam waktu yang lama dan dengan frekuensi yang sering dapat menimbulkan efek samping atau tidak bagi tubuhnya maka dapat menyebabkan remaja bersikap positif ataupun negative terhadap mie instan. Jika pada saat mengkonsumsi mie instan tidak terjadi perubahan kesehatan maka, ia akan cenderung mengulanginya. Namun jika setelah mengkonsumsi mengakibatkan perubahan pada kesehatannya maka ia akan cenderung menghindarinya. Dari orang yang dianggap penting, misalnya orangtua, remaja akan mempunyai sikap. Jika orangtua memberikan penjelasan tentang efek samping dari konsumsi mie instan secara berlebihan maka ia juga akan mengurangi konsumsi mie instan tersebut. Namun jika orangtua tidak memberikan penjelasan maka hal tersebut akan terus dilakukan. Dimana remaja berdomisili akan mempengaruhi pola makan. Jika remaja berada dirumah maka kebutuhan nutrisi akan terpenuhi dan konsumsi mie instan bisa ditekan. Namun jika remaja berdomisili di kost maka, kebutuhan gizi mereka akan sulut terpenuhi karena mereka akan mengkonsumsi makanan dengan cara instan karena lebih praktis, terutama mie instan. Mereka yang kost akan lebih memilih mengkonsumsi mie instan daripada memasak makanan mereka sendiri. Banyaknya media massa yang menyajikan informasi tentang berbagai produk mie instan dengan berbagai varian rasa serta contoh penyajian yang mengundang selera akan membuat remaja cenderung memilih mengkonsumsi mie instan dari pada makanan bergizi.
Dalam lembaga pendidikan dan lembaga agama berpengaruh dalam pembentukan sikap terhadap mie instan jika dalam kedua lembaga tersebut menyampaikan tentang asupan gizi yang baik dikonsumsi oleh remaja. Sikap terhadap konsumsi mie instan yang didasari oleh emosi yang fungsinya hanya sebagai penyaluran keinginan, frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego, sikap yang demikian merupakan sikap sementara dan segera berlalu setelah frustasinya hilang, namun bisa juga menjadi sikap yang lebih persisten dan bertahan lama. Misalnya jika dirumah tidak ada lauk untuk makan, remaja tersebut akan menjadikan mie sebagai lauknya, atau karena makanan yang disajikan orangtua tidak sesuai dengan seleranya maka, hal tersebut akan membuat remaja menjadikan mie sebagai makanan utamanya. Perilaku remaja terhadap mie instan Dari diagram 5.6 diketahui 92% remaja sering mengkonsumsi mie instan. Mereka mengkonsumsi > 2 bungkus mie instan setiap minggu, bahkan ada yang mengkonsumsi > 3 bungkus mie instan dalam sehari dengan alasan tidak ada lauk lain, lebih praktis dan sedikit yang memang hobi makan mie instan. Padahal jika dilihat pada diagram 5.2 dan 5.3 orangtua remaja tersebut semuanya bekerja dan mempunyai penghasilan rata-rata antara 1-2 juta rupiah per bulannya. Dan 8% remaja saja yang jarang mengkonsumsi mie instan. Mereka rata-rata mengkonsumsi mie 1-2 bungkus mie instan dalam 1 bulan. Sesuai dengan pendapat Loawrence Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007) bahwa perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yaitu faktor predisposisi, faktor enabling / pendukung, dan faktor Reenforcing / pendorong. Dalam hal ini, pengetahuan yang baik seharusnya bisa mewujudkan perilaku yang baik pula, bisa menjadikan remaja lebih bijak dalam memilih makanan, tetapi dalam hal ini tidak berlaku demikian. Walaupun remaja tersebut mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap mie instan tetapi mereka tetap mengkonsumsinya. Banyaknya factor pendukung dalam konsumsi mie instan dapat menjadikan remaja tidak terkendali dalam mengkonsumsi mie instan, antara lain iklan di media massa, kurangnya kontrol orangtua terhadap asupan makanan remaja, alasan kepraktisan dan lain-lain. Kurangnya sosialisasi tentang bahayanya kandungan pada mie yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada remaja menyebabkan mereka tetap mengkonsumsi mie instan.
Hubungan pengetahuan dan sikap remaja dengan perilaku makan mie instan. Dari hasil uji statistic antara pengetahuan remaja dan perilaku makan mie instan didapatkan hasil nilai P (0,761) > α (0,05) yang berarti H0 ditolak sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pengetahuan remaja dan perilaku makan mie. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan Sunaryo (2006), yang membagi perilaku ke dalam 3 domain yaitu pengetahuan (Knowledge), Sikap (Attitude), dan Praktek atau tindakan (Practice) yang saling berkaitan. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa walaupun remaja tersebut mempunyai pengetahuan yang baik tetapi masih sering mengkonsumsi mie instan. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Hal ini dapat terjadi karena pengetahuan yang didapat oleh remaja dipengaruhi beberapa factor seperti yang dkemukakan Mubarok (2007) yaitu pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar dan informasi sehingga mempengaruhi perilaku remaja. Dalam penelitian ini factor yang mungkin mempengaruhi perilaku makan mie instan pada remaja adalah umur, tingkat penididkan, pekerjaan orangtua, minat dan kebudayaan lingkungan sekitar. Umur remaja pada penelitian ini berkisar pada 15 sampai 17 tahun yang berarti mereka berada pada masa remaja madya dan remaja lanjut dan pendidikan pada tingkat sekolah menengah atas. Menurut soejtiningsih pada masa ini remaja masih mencari jati diri, membutuhkan kawan, mempunyai perasaan ingin dihargai, dan cenderung narsistic. Hal tersebut mempengaruhi remaja dalam mengkonsumsi mie instan. Mereka cenderung mengikuti kebiasaan lingkungan sekitar agar tidak dianggap kuno. Oranngtua yang bekerja juga memepengaruhi pola makan remaja. Orang tua remaja pada penelitian ini semua bekerja dengan berbagai macam jenis pekerjaan. Sehingga dalam menyiapkan makanan untuk remaja kemungkinan tidak bisa maksimal, dan menganggap remaja dapat menyiapkan sendiri makanannya. Minat terhadap mie instan dapat timbul akibat banyaknya informasi tentang mie instan dengan tampilan kemasan serta iklan yang menarik. Hal ini didukung oleh keadaan lingkungan sekitar yang memilih makanan praktis semacam mie instan sebagai makanan pokok daripada makanan yang dimasak dalam waktu agak lama. Apalagi remaja yang berdomisili di kos. Mereka akan memilih mie instan karena cara memasak yang praktis, murah dan enak. Namun ada juga remaja yang tinggal dengan orangtuanya yang masih mengkonsumsi mie instan karena tidak cocok dengan makanan yang telah disiapkan orangtuanya. Dari hasil uji statistic antara sikap remaja dan perilaku makan mie instan didapatkan hasil nilai P (1) > α (0,05) yang berarti H0 ditolak sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara sikap remaja dan perilaku makan mie. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Warner &DeFleur yang dikutip Azwar bahwa ada 3 postulat yang digunakan untuk mengindentifikasi tiga pandangan umum mengenai hubungan sikap dan perilaku yaitu, postulat konsistensi, postulat variasi independen, dan postulat konsistensi tergantung. Pada postulat konsistensi tergantung menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh factor-faktor situasional tertentu. Dalam penelitian ini, sikap positif remaja terhadap mie instan ditunjukkan dengan seringnya remaja mengkonsumsi mie instan. Karena mereka pada dasarnya menerima adanya mie instan sehingga tetap mengkonsumsinya walaupun tahu bahwa jika mengkonsumsi dalam jumlah banyak dan jangka waktu lama akan mempengaruhi kesehatannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai factor seperti dikemukakan Azwar, 2009 yaitu, pengalaman pribadi, pengaruh orang yang dianggap penting, kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan factor emosional. Pengalaman pribadi remaja akan mempengaruhi perilaku makan mie instan, sehingga jika ketika remaja makan mie instan terjadi
gangguan kesehatan maka remaja tersebut akan cenderung menghentikan konsumsi mie instan, jika orang tua sebagai orang yang dianggap penting memberikan pengertian tentang mie instan maka ada kemungkinan remaja akan jarang mengkonsumsi mie instan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Sebagian besar (90%) remaja kelas X di SMA Negeri 1 Talun memiliki pengetahuan yang baik tentang mie instan 2. Sebagian besar (91%) remaja kelas X di SMA Negeri 1 Talun mempunyai sikap positif terhadap mie instan. 3. Sebagian besar (92%) remaja sering mengkonsumsi mie instan 4. Berdasarkan uji chi square yang telah dilakukan, tidak ada hubungan antara pengetahuan remaja dan perilaku makan mie instan ( P (0,341) > α (0,05) ), dan tidak ada hubungan antara sikap remaja dan perilaku makan mie instan ( P (1) > α (0,05) ). Saran 1.
2.
3.
4.
5.
Bagi Masyarakat Pendidikan tentang makanan bergizi bagi remaja perlu diberikan sejak dini sesuai dengan tahap pertumbuhannya. Proses penyampaian dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal. Bagi orangtua yang mempunyai anak remaja diharapkan mampu memberikan asupan makanan yang bergizi bagi anak dan memperhatikan pola makan anak sehingga zat gizi yang dibutuhkan anak terpenuhi Bagi Remaja Hendaknya dalam memilih makanan remaja dapat lebih memperhatikan nilai gizi yang terkandung dalam makanan yang mereka makan sehingga kebutuhan gizi untuk pertumbuhannya dapat terpenuhi. Bagi Orang Tua Dalam menyiapkan makan hendaknya bisa menyiapkan yang dapat menimbulkan napsu makan yang baik. Sehingga asupan makanan yang bergizi dapat dikonsumsi anak dengan lebih baik. Bagi Lahan Penelitian Sebagai masukan agar pendidikan tentang makanan sehat dapat diberikan agar pengetahuan dan perilaku remaja terhadap konsumsi mie instan dan menjadi lebih baik. Bagi Penelitian Selanjutnya Perlu diadakan penelitian selanjutnya untuk melengkapi dan meneliti apakah ada hal lain yang mempengaruhi persepsi remaja terhadap mie instan. Sehingga penelitian ini dapat lebih berkembang.
Daftar Pustaka 1. Depkes RI., 2003, Indikator Indonesia Sehat 2010. Depkes RI, Jakarta. 2. Irianto K. dan Waluyo K., 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. CV. Yrama Widya, Jakarta. 3. Notoatmodjo. S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
4. Azwar, A. 2009. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya.Yogyakarta : Pustaka Pelajar 5. Astawan. 2008. kandungan gizi bahan makanan. Jakarta: Dian Pustaka 6. Ismullah, S. 2010.mie instant sakit instant?. Jakarta: Pustaka Rama 7. Soetjiningsih. 2007. Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya. Jakarta: Agung Seto.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
PENGARUH TINGGI BADAN IBU DAN BERAT BADAN BAYI BARU LAHIR TERHADAP KEJADIAN CEPHALO PELVIC DISPROPORTION PADA PERSALINAN SECARA SECTIO CAESARIA (Studi di Rumah Sakit dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya)
(1)Program
(1)Badriyah Studi Kebidanan Bangkalan Poltekkes Surabaya
ABSTRAK Salah satu penyulit dalam persalinan adalah Cephalo Pelvic Disproportion (CPD). Untuk mengurangi kejadian tersebut perlu dilakukan pangukuran tinggi badan ibu dan pemantauan tafsiran berat badan janin secara continue. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh tinggi badan ibu dan berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD. Jenis penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi yang digunakan adalah seluruh ibu yang bersalin SC dengan indikasi CPD dengan jumlah 109 orang. Sampel dalam penelitian ini sebesar 86 responden dengan teknik sampling “simple random sampling. Pengumpulan data menggunakan data sekunder dari dokumentasi status pasien dan dilakukan analisa dengan uji Regresi Binary Logistic dengan α= 0.05. Hasil analisa data didapatkan ibu dengan tinggi badan pendek dan mengalami CPD absolut sebesar 89.1%, sedangkan ibu dengan tinggi badan normal dan mengalami CPD relatif sebesar 74.2% dengan nilai ρ<α (0.002<0.05). Untuk bayi dengan berat badan besar dan mengalami CPD absolut sebesar 96.3%, bayi dengan berat badan normal dan mengalami CPD relatif sebesar 83.3%, serta bayi dengan berat badan kecil dan mengalami CPD relatif sebesar 100% dengan nilai ρ<α (0.000<0.05). Dengan demikian, H0 ditolak dan Ha diterima. Maka kesimpulannya adalah ada pengaruh antara tinggi badan ibu dan berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD. Untuk mencegah adanya kejadian CPD maka diupayakan pemantauan ANC secara teratur, sehingga diharapkan ibu dapat lahir dengan well born baby dan well health mother. Kata kunci: Tinggi Badan, Berat Badan,CPD
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi sebagian besar wanita, mulai dari proses kehamilan hingga melahirkan merupakan sesuatu yang unik sekaligus sakral. Sehingga setiap tahapan sedapat mungkin ingin dirasakan dan dilewati secara alami, terutama pada saat persalinan. Tidak jarang seorang wanita hamil harus bersalin secara SC (Seksio Caesaria) karena sempitnya ukuran panggul yang menyebabkan janin tidak dapat keluar secara pervaginam (Yanti, 2010: 32). Kesempitan panggul bisa pada inlet, midpelvis, outlet atau kombinasi dari ketiganya (DidierSuprayitno, 2009). Oleh karena itu, sempit panggul pada seorang wanita merupakan salah satu penyebab terjadinya CPD (Cephalo Pelvic Disproporsional) dalam proses persalinan. Cara paling mudah untuk memprediksi apakah seorang wanita mempunyai paggul sempit atau tidak adalah melalui tinggi badannya. Wanita dengan tinggi badan kurang dari 145 cm berpotensi lebih tinggi untuk memiliki panggul sempit. Sehingga dalam Skor Puji Rohyati, tinggi badan ibu hamil yang kurang dari 145 cm merupakan salah satu faktor resiko yang perlu diwaspadai terutama dalam persalinan (Administrator, 2008). Selain itu, faktor janin (passanger) merupakan faktor terpenting ketiga dalam proses persalinan. Normal berat neonatus pada umumnya 2500-4000 gram dan jarang ada yang melebihi 5000 gram. Untuk menentukan besarnya janin secara klinis bukanlah suatu hal yang mudah. Kadangkadang bayi besar baru dapat kita ketahui apabila selama proses melahirkan tidak terdapat kemajuan sama sekali pada proses persalinan normal dan biasanya disertai oleh keadaan his yang tidak adekuat. Pada kasus seperti ini sangat dibutuhkan pemeriksaan yang teliti untuk mengetahui apakah terjadi CPD atau tidak dalam proses persalinan. CPD merupakan ketidakseimbangan antara kepala janin dengan panggul ibu. Keadaan panggul merupakan faktor penting dalam kelangsungan persalinan, terutama persalinan pervaginam. Kehamilan pada ibu dengan tinggi badan < 145 cm dapat terjadi CPD, dimana kondisi luas panggul ibu tidak sebanding dengan kepala bayi, sehingga pembukaannya berjalan lambat dan berpotensi menimbulkan komplikasi obtetri seperti partus lama, partus macet, asfiksia pada janin. Saat ini persalinan dengan sectio caesaria bukan hal yang baru lagi bagi para ibu dan golongan ekonomi menengah keatas. Hal ini terbukti meningkatnya angka persalinan dengan sectio caesaria di Indonesia dari 5% menjadi 20% dalam 20 tahun terakhir. Dan tercatat dari 17.665 angka kelahiran terdapat 35.7% - 55.3% ibu melahirkan dengan proses sectio caesaria. Lebih dari 85 % sectio caesaria disebabkan karena adanya riwayat sectio caesaria sebelumnya, distosia persalinan, gawat janin, CPD dan presentasi bokong. Rumusan Masalah Dari batasan dan identifikasi masalah, peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran tinggi badan ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya.?
2. 3. 4. 5.
Bagaimana gambaran berat badan bayi baru lahir pada ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya.? Bagaimana gambaran kejadian CPD pada ibu yang bersalin secara SC di RSUD dr. Mohamad SoewandhieSurabaya? Adakah pengaruh antara tinggi badan ibu terhadap kejadian CPD pada ibu yang bersalin secara SC di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya? Adakah pengaruh antara berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD pada ibu yang bersalin secara SC di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Diketahuinya pengaruh antara tinggi badan ibu dan berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD pada persalinan secara SC di RSUD dr. Mohamad SoewandhieSurabaya Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi gambaran tinggi badan ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya. 2. Mengidentifikasi gambaran berat badan bayi baru lahir pada ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya. 3. Mengidentifikasi gambaran kejadian CPD pada ibu yang bersalin secara SC di RSUD dr. Mohamad SoewandhieSurabaya 4. Menganalisis pengaruh antara tinggi badan ibu terhadap kajadian CPD di RSUD dr. Mohamad. SoewandhieSurabaya. 5. Menganalisis pengaruh antara berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya. Manfaat Penelitian 1. Instansi kesehatan Sebagai masukan bagi instansi kesehatan untuk meningkatkan kompetensi pelayanan khususnya dalam deteksi dini tanda-tanda bahaya dalam persalinan guna menurunkan AKI dan AKB akibat persalinan lama dan macet. 2. Peneliti berikutnya Sebagai bahan pertimbangan dan data awal bagi peneliti berikutnya dalam pembuatan penelitian yang lebih dalam tentang faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses persalinan. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Persalinan Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi cukup bulan atau hampir cukup bulan, disusul dengan pengeluaran placenta dan selaput janin dari tubuh ibu (Yanti, 2010: 3).
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan menurut Yanti (2010: 20) dalam bukunya Asuhan Kebidanan Persalinan adalah: 1) Faktor Power Power adalah kekuatan yang mendorong janin keluar. Kekuatan yang mendorong janin keluar dalam persalinan ialah: his, kontraksi otot-otot perut, kontraksi diafragma dan aksi dari ligamen, dengan kerjasama yang baik dan sempurna. 2) Faktor Passage (jalan lahir) Passage atau jalan lahir dibagi atas: bagian keras, tulang-tulang panggul, dan bagian lunak: otot-otot, jaringanjaringan dan ligamen-ligamen. 3) Psikis Ibu Ternyata dalam fase persalinan juga terjadi peningkatan kecemasan, dengan meningkatnya kecemasan akan semakin meningkatkan intensitas nyeri. Fenomena hubungan antara cemas dan nyeri atau sebaliknya merupakan hubungan yang berkolerasi positif. 4) Penolong Persalinan Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya kematian ibu adalah kemampuan dan keterampilan penolong persalinan. Tahun 2006 cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di indonesia masih sekitar 76%, artinya masih banyak pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi dengan cara tradisional yang dapat memebahayakan keselamatan ibu dan bayinya. Konsep Dasar Persalinan Sectio Caesaria Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Oxorn, 2010: 634). Indikasi SC 1) Indikasi Ibu Sempit panggul atau distoicia mekanis Pembedahan sebelumnya pada uterus (riwayat SC) Perdarahan Toxemia gravidarum 2) Indikasi Janin gawat janin: Bradycardia berat, irregularitas DJJ Cacat atau kematian janin sebelumnya Prolapsus funikulus umbilikalis Insufisiensi plasenta Diabetes maternal Inkompatibilitas rhesus Postmortem caesarean Infeksi virus herpes pada traktus genetalis 3) Lain-lain Konsep Dasar Berat Badan Bayi Baru Lahir Berat badan bayi baru lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang 24 jam pertama kelahiran. Semakin besar bayi yang dilahirkan meningkatkan resiko terjadinya CPD. Pada normalnya berat badan bayi sekitar 2500-4000 gram. (Martaditya, 2007).
Faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Bayi Baru Lahir 1) Faktor Genetika Orang tua atau ibu yang bertubuh besar cenderung memiliki bayi yang lebih besar. Kondisi ibu yang obesitas meningkatkan peluang untuk melahirkan bayi besar (Martaditya, 2007). 2) Faktor Ibu (Usia Kehamilan, penyakit Ibu, peningkatan berat badan ibu selama kehamilan, gizi Ibu, sosial ekonomi, jarak kehamilan, paritas, gaya hidup, psikologi Ibu 3) Faktor Janin a. Jenis Kelamin Janin Bayi yang berjenis kelamin laki – laki cenderung lebih besar dan lebih berat dibandingkan bayi perempuan. Biasanya bayi laki – laki 150 gram lebih berat daripada bayi perempuan (Rauf, 2007). b. Kehamilan Multiple Kehamilan multiple menghasilkan bayi yang lerbih kecil dibandingkan dengan kehamilan tunggal (Martaditya, 2007). c. Kelainan Kromosom Kelainan kromosom pada janin misalnya trisomi autosom mengakibatkan pertumbuhan janin terganggu. Sehingga bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri dan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah. 4) Faktor Plasenta Konsep Dasar CPD Dissproporsi Cefalopelvik (CPD) adalah disproporsi antara ukuran kepala janin dan ukuran pelvis, yakni ukuran pelvis tertentu tidak cukup besar mengakomodasi keluarnya janin tertentu melalui pelvis sampai terjadi kelahiran pervaginam (Varney, 2008: 796). Faktor Penyebab CPD Faktor ibu Ukuran panggul (passage) Meskipun persoalannya adalah hubungan antara panggul dengan janin tertentu. Pada beberapa kasus panggul sedemikian sempitnya sehingga janin normal tidak akan dapat lewat. Ukuran yang sempit dapat berada pada setiap bidang: PAP (Pintu Atas Panggul), PTP (Pintu Tengah Panggul) atau PBP (Pintu Bawah Panggul). Kadang-kadang seluruh bidangnya sempit sehingga panggul sempit menyeluruh. Faktor janin (passanger) Berat badan bayi baru lahir (janin besar) Besarnya anak adalah penting. Kadang-kadang anak terlalu besar untuk sebuah panggul. Masalah pokoknya adalah hubungan antara anak dengan panggul. Janin dikatakan besar apabila berat badannya > 4000 gram. Sikap dan kedudukan janin (malpresentasi) Pada kesempitan pangggul ringan kepala dalam sikap fleksi yang sempurna dan kedudukan oksipito anterior memungkinkan persalinan normal. Sedangkan presentasi muka atau kedudukan oksipito posterior akan menyebabkan CPD. Malpresentasi seperti oksipitoposterior (kepala janin tengadah), presentasi muka dan presentasi dahi merupakan salah satu penyebab terjadinya CPD. Hal itu terjadi karena diameter yang
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
dibentuk oleh kepala tidak sesuai dengan kapasitas dimeter panggul. Sehingga agak sulit bagi ibu untuk melahirkan secara pervaginam dan tak jarang ibu harus melahirkan janinnya melalui SC (Liu, 2008: 255). Presentasi janin selain presentasi belakang kepala (presentasi muka, dahi, puncak, dll) memungkinkan persalinan pervaginam tidak mungkin karena janin tidak dapat melakukan perputaran dalam panggul, sehingga tidak ada perubahan presentasi menjadi letak normal dan keputusan terbaik adalah dengan SC (Yanti, 2010:181). Moulage kepala janin Moulage kepala janin juga sangat menentukan dalam proses persalinan. Kemampuan kepala anak berubah bentuk menyesuaikan diri dengan panggul memungkinkan kepala melewati panggul dengan selamat. Moulage yang berat dapat menimbulkan kerusakan otak dan ini harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah janin dapat lahir pervaginam. Pengurangan diameter biparietal lebih dari 0,5 cm dianggap berbahaya (Oxorn, 2010:620). Anomali janin (hidrochepalus & anenchepalus) CPD karena anomali janin dapat juga terjadi, misalnya pada kasus anenchepalus (tidak ada tempurung kepala) dan hidrochepalus. Kondisi ini membuat kepala janin tidak dapat terpegang oleh pintu atas panggul sehingga memperlambat proses kemajuan persalinan. Kerangka Konseptual Faktor Ibu a. Faktor hormon (android, anthropoid, plathipelloid) b. Tinggibadan badanibu (< (< 145 b. Tinggi cm) 145cm) c. Perkembangan (bawaan lahir atau keturunan) d. Kelainan tulang belakang e. Jaringan lunak panggul f. Ukuran panggul g. Trauma pada panggul h. Neoplasma
Faktor janin
Keterangan: a. a. Berat Berat badan badan bayi bayi baru baru : Diteliti lahir lahir Tidak diteliti b. Anomali: janin (hidrochepalus dan anenchepalus) c. Malpresentasi (oksipito posterior, letak muka, letak dahi) d. Moulage kepala janin
CPD dalam proses persalinan
Dapat dijelaskan bahwa terjadinya CPD dalam proses persalinan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: 1) faktor ibu: hormon (panggul android, antropoid, dan platipelloid), tinggi badan (< 145 cm), perkembangan (bawaan lahir/ keturunan), kelainan tulang belakang, jaringan lunak panggul, ukuran panggul, trauma pada panggul, dan neoplasma, 2) faktor janin: berat badan bayi baru lahir, malpresentasi, anomali janin (hidrocephalus, anencephalus), dan moulage kepala janin. Dalam penelitian ini peneliti hanya meneliti faktor tinggi badan ibu dan berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD pada persalinan secara sektio Caesaria (SC). Hipotesis 1. Ada pengaruh antara tinggi badan ibu terhadap kejadian CPD pada persalinan secara SC di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya. 2. Ada pengaruh antara berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD pada persalinan secara SC di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Metode yang digunakan adalah metode penelitian analitik, sedangkan jenis metode yang digunakan adalah metode cross sectional. Identifikasi Variabel 1. Variabel Independennya adalah tinggi badan ibu dan berat badan bayi baru lahir. 2. Variabel dependennya adalah kejadian CPD pada ibu yang bersalin secara SC. Desain Sampling Populasi Pada penelitian ini populasinya adalah semua ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD pada periode Juni 2010-Mei 2011 di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya sebesar 109 responden. dengan kriteria sebagai berikut: a. Ibu tidak menderita penyakit tertentu yang menganjurkan ibu untuk bersalin secara SC seperti eklamsi, jantung, myoma, dan kista. b. Bayi yang dilahirkan bukan bayi kembar c. Presentasi bayi yang dilahirkan merupakan presentasi kepala. d. Usia kehamilan ibu aterm. Sampel Besarnya sampel penelitian ini adalah 86 ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD. Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan adalah probability sampling. Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisa Data Pengumpulan Data Setelah mendapat izin dari LINMAS Surabaya, dan Rumah Sakit dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya, peneliti mengadakan pendekatan pada pihak Rumah Sakit untuk mendapatkan persetujuan pengambilan data. Jenis data yang dikumpulkan dari penelitian ini adalah data sekunder pada periode Juni 2010-Mei 2011. Data yang diambil berupa tinggi
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
badan ibu, berat badan bayi baru lahir dan jenis kejadian CPD pada ibu yang bersalin secara SC. Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul, diolah dengan tahap-tahap Editing, Codding, Tabulasi, kemudian dilakukan Analisa Data Pada penelitian ini, data yang telah terkumpul kemudian diklasifikasikan pada tabel distribusi frekuensi, untuk selanjutnya ditabulasi silang. Kemudian data dianalisis menggunakan uji statistik Regresi Binary Logistik, yaitu suatu alat analisis peramalan nilai pengaruh dua variable bebas (tinggi badan ibu dan berat badan bayi baru lahir) terhadap variabel terikat (kejadian CPD), serta untuk membuktikan hipotesis/ ada tidaknya hubungan fungsi atau hubungan kausal antara dua variabel bebas yaitu tingggi badan ibu yang berbentuk nominal dan berat badan bayi baru lahir yang berbentuk ordinal dengan satu variabel terikat yaitu kejadian CPD yang berbentuk nominal dengan derajat kemaknaan (α)= 0,05. Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya Kecamatan Kenjeran Kabupaten Surabaya mulai bulan Oktober 2010 sampai Agustus 2011. HASIL DAN PEMBAHASAN Data umum Data pendidikan responden Jenis pendidikan
Frekuensi
Persentase
SD/SLTP 56 65.1 SMA 19 22.1 PT 11 12.8 Total 86 100.0 Sumber: data sekunder dokumentasi status pasien Data usia responden Usia responden Frekuensi Persentase <20 49 56.9 20-35 25 29.1 >35 12 14.0 Total 86 100.0 Sumber: data sekunder dokumentasi status pasien Data paritas responden Paritas 0 anak 1-3 anak > 3 anak
Frekuensi 26 51 9
Persentase 30.2 59.3 10.5
Data kapasitas panggul responden Kapasitas Frekuensi Persentase panggul Normal 26 30.2 Sempit ringan 32 37.2 Sempit berat 28 32.6 Total 86 100.0 Sumber: data sekunder dokumentasi status pasien
Data presentasi janin Prentasi janin Frek Persentase presentasi belakang kepala 30 34.9 Presentasi puncak 35 40.7 Presentasi muka 14 16.3 Presentasi dahi 7 8.1 Total 86 100.0 Sumber: data sekunder dokumentasi status pasien Data khusus Distribusi frekuensi responden berdasarkan tinggi badan yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di Rumah Sakit dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya Juni 2010-Mei 2011. Tinggi badan Frekuensi Persentase ibu Normal 31 36 Pendek 55 64 Total 86 100.0 Sumber: data sekunder dokumentasi status pasien Distribusi frekuensi responden berdasarkan berat badan bayi baru lahir pada responden yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di Rumah Sakit dr. Moch. SoewandhieSurabaya Juni 2010-Mei 2011. Berat badan bayi baru lahir Kecil Normal Besar
Frekuensi
Persentase
2 30 54
2.3 34.9 62.8
Total 86 100.0 Sumber: data sekunder dokumentasi status pasien
Total 86 100.0 Sumber: data sekunder dokumentasi status pasien
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kejadian Cephalo Pelvic Disproportion (CPD) pada persalinan secara SC dengan indikasi CPD di Rumah Sakit dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya Juni 2010-Mei 2011. CPD Relatif Absolut
Frekuensi 29 57
Persentase 33.7 66.3
Total 86 100.0 Sumber: data sekunder dokumentasi status pasien Distribusi tabulasi silang variable tinggi badan responden terhadap kejadian CPD pada persalinan secara SC dengan indikasi CPD di Rumah Sakit dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya Juni 2010-Mei 2011.
Tinggi badan responden Normal Pendek
CPD Relatif ∑ % 23 74.2 6 10.9
Jumlah Absolut ∑ % 8 25.8 49 89.1
∑ 31 55
% 100 100
Total 29 33.7 57 66.3 86 100.0 Uji statistic α: 0.05 Regresi Binary logistik ρ: 0.002 Sumber: data sekunder dokumentasi status pasien Berdasarkan uji statistik Regresi Binary Logistik antara tinggi badan responden dengan kejadian CPD menunjukkan bahwa nilai ρ < α (0.002 < 0.05). Artinya bahwa ada pengaruh antara tinggi badan ibu terhadap kejadian CPD. Distribusi tabulasi silang variabel berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD pada persalinan secara SC dengan indikasi CPD di Rumah Sakit dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya Juni 2010-Mei 2011. Berat badan bayi baru lahir Kecil Normal Besar
CPD
Jumlah
Relatif ∑ %
Absolut ∑ %
∑
%
2 25 2
0 5 52
2 30 54
100 100 100
100 83.3 3.7
0 16.7 96.3
Total 29 33.7 57 66.3 86 100.0 Uji statistic α: 0.05 Regresi Binary logistik ρ: 0.000 Sumber: data sekunder dari dokumentasi status pasien Berdasarkan uji statistik Regresi Binary Logistik antara berat badan bayi baru lahir dengan kejadian CPD menunjukkan bahwa nilai ρ < α (0.000 < 0.05). Artinya bahwa ada pengaruh antara berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD.
PEMBAHASAN Gambaran tinggi badan ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya Berdasarkan pengolahan data pada tabel 6 menunjukkan bahwa ibu mempunyai tinggi badan pendek (64%), sedangkan ibu dengan tinggi badan normal (36%). Hal ini dipengaruhi oleh usia ibu yang kebanyakan <20 tahun (56.9%). Ibu dengan usia <20 tahun masih dalam tahap pertumbuhan, dimana kemungkinan pertumbuhan tinggi badan dan ukuran panggul masih bisa berkembang. Tetapi apabila ibu sudah berkeluarga pada rentan usia tersebut, akan timbul suatu perubahan psikologis sehingga secara tidak langsung akan menghambat pertumbuhan tulang. Akibatnya tinggi badan ibu menjadi pendek yang kemungkinan besar luas panggulnya juga sempit. Hal ini sesuai dengan pendapat Agustina (2010) yang menyatakan bahwa hormon pertumbuhan (somatotropin) yang dihasilkan oleh kelenjar pituitary (kelenjar dibawah otak) berfungsi mengendalikan pertumbuhan tulang manusia. Pada usia 12-14 tahun kelenjar ini sangat aktif dan memproduksi banyak sekali hormon untuk merangsang pertumbuhan tulang, baik pertumbuhan tinggi badan, dan pertumbuhan tulang lainnya. Biasanya pada wanita kelenjar ini berhenti berproduksi pada usia 20 tahun, namun hormon ini dapat berhenti berproduksi sebelum waktunya karena faktor stres dalam kehidupannya (sekolah, tempat kerja, rumah tangga, dll), kebiasaan yang tidak sehat seperti diet yang berlebihan, posisi tidur yang tidak baik, olahraga yang salah, postur badan yang tidak semestinya (cacat). Hal-hal tersebut menyebabkan tinggi badan pendek dan pertumbuhan tulang lainnya juga tidak sempurna. Selain itu, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tinggi badan ibu adalah status gizi yang dikonsumsi ibu seharihari. Menurut teori Zhy (2010) kebiasaan pola makan yang seimbang dapat mempengaruhi pertumbuhan tubuh, gizi makanan sangat penting dalam membantu pertumbuhan tinggi badan seseorang. Salah satu contohnya adalah susu yang mereka minum. Susu adalah makanan yang memiliki gizi sempurna bagi pertumbuhan tulang (tubuh). Susu mengandung semua zat yang dibutuhkan tulang untuk bertambah panjang, lebar, luas, dll. Protein, kalsium, magnesium, berbagai macam vitamin, dan berbagai macam mineral ada dalam kandungan susu. Kekurangan kalsium sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tulang, seperti tinggi badan pendek, pertumbuhan gigi terhambat, dll. Gambaran berat badan bayi baru lahir pada ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya. Berdasarkan hasil pengolahan data pada tabel 7 dimana bayi dengan berat badan besar terdapat (62.8%), bayi dengan berat badan normal sebesar (34.9%), dan bayi dengan berat badan kecil terdapat (2.3%). Hal ini kemungkinan karena pola diet yang salah selama hamil. Terdapat dua kriteria pola diet yang salah, yaitu pola diet yang berlebihan dan pola diet yang kurang. Pola diet yang berlebihan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin, terutama makanan yang banyak
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
mengandung gula. Sehingga salah satu dampaknya adalah berat janin menjadi besar. Pola makan yang tidak dapat dicegah dan banyak mengandung gula dapat mempengaruhi pertumbuhan janin dan penambahan berat badan ibu selama hamil, peningkatan berat badan yang berlebih selama hamil beresiko 4 – 12 kali untuk melahirkan bayi besar atau makrosomia (Rauf, 2007). Selain itu, berat badan janin juga dipengaruhi oleh paritas ibu yaitu 1-3 anak/ multipara (59.3%). Pada teori Liu (2008:174) berat janin dapat dipengaruhi oleh paritas ibu. Bayi dengan berat badan besar relevan dengan ibu multipara (1-3 anak), janin dapat berukuran lebih besar pada kehamilan berikutnya sehingga pelahiran spontan mungkin tidak terjadi. Untuk bayi dengan berat badan normal terdapat (34.9%). Hal ini kemungkinan karena ibu mempunyai kebiasaan pola makan yang benar selama hamil. Pada dasarnya ibu hamil dianjurkan makan makanan empat sehat lima sempurna. Karena kebutuhan akan protein dan bahan makanan yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan kesehatan ibu. Dengan menerapkan kebiasaan diet hamil yang benar, pengaruhnya akan tampak jelas pada bayi yang baru lahir dengan panjang dan berat badan lahir normal. Sedangkan terdapat (2.3%) bayi dengan berat badan kecil. Hal ini kemungkinan karena paritas ibu yang tinggi, yaitu sesuai dengan analisa tabel 4.3 yang menyebutkan bahwa terdapat (10.5%) ibu mempunyai paritas > 3 anak. Paritas merupakan faktor resiko yang signifikan terhadap kejadian bayi dengan berat badan lahir rendah, sehingga ibu dengan paritas > 3 anak beresiko 2,4 kali untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Joeharno, 2006). Teori Dihan (2010) juga menyatakan bahwa semakin sering ibu mengandung (> 3 kali) maka semakin kecil bayi yang akan dilahirkan. Tingkat pendidikan ibu yang rendah yaitu SD/ SMP (65.1%) juga merupakan salah satu faktor penyebab berat janin lahir kecil. Tingkat pendidikan yang rendah sangat berpengaruh terhadap kualitas pengetahuan ibu, terutama pengetahuan tentang pola diet yang kurang benar selama hamil. Sehingga bayi akan lahir dengan ukuran pendek, berat janin kecil, dan kesehatannya kurang baik. Hal ini sesuai dengan teori Hidayati (2009) yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan yang rendah berbanding lurus dengan kebiasaan sehari-hari seseorang. Kebiasaan yang kurang baik akan menimbulkan dampak yang kurang baik pula. Salah satu contohnya adalah pola diet yang kurang benar selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin. Kekurangan gizi selama hamil akan berakibat buruk terhadap janin, seperti keguguran, bayi lahir mati, berat janin kecil, cacat bawaan, dll. Penentuan status gizi ibu hamil yaitu dengan mengukur berat badan ibu sebelum hamil dan kenaikan berat badan selama hamil.
Gambaran kejadian CPD pada proses persalinan secara SC dengan indikasi CPD di RSUD dr. Mohamad SoewandhieSurabaya Berdasarkan hasil pengolahan data pada tabel 8 menunjukkan bahwa (66.3%) ibu mengalami CPD absolut dan terdapat (33.7%) ibu mengalami CPD relatif. Untuk CPD absolut kemungkinan disebabkan oleh kapasitas panggul sempit berat (32.6%). Kondisi panggul yang sempit berat tidak memungkinkan janin untuk dapat melewati panggul secara normal meskipun berat janin normal, karena seluruh bidang panggul mempunyai ukuran diameter yang lebih kecil daripada ukuran normal. Hal ini didukung oleh teori Oxorn (2010:619) yang menyatakan bahwa meskipun persoalannya adalah hubungan antara panggul dengan janin tertentu, pada beberapa kasus panggul sedemikian sempitnya sehingga janin normal tidak akan dapat lewat. Ukuran yang sempit dapat berada pada setiap bidang yaitu Pintu Atas Panggul (PAP), Pintu Tengah Panggul (PTP), Pintu Bawah Panggul (PBP), dan kadang-kadang seluruh bidangnya sempit menyeluruh. Selain itu, bayi dengan berat badan besar (62.8%) merupakan faktor dominan penyebab timbulnya CPD absolut. Menurut teori Frederick (2008) dikatakan berat badan lahir besar bila bayi lahir dengan berat > 4000 gram atau disebut makrosomi. Hal tersebut merupakan pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya CPD absolut, karena bayi makrosomi kemungkinan besar tidak dapat melewati panggul secara sempurna, sehingga tidak sedikit ibu harus melahirkan secara SC karena ketidakseimbangan antara kepala bayi dengan panggul ibu. Untuk ibu yang mengalami CPD relatif (33.7%), ini disebabkan karena ibu mempunyai ukuran panggul sempit ringan (37,2 %). Kondisi panggul sempit ringan memungkinkan janin sulit atau bahkan tidak dapat melewati panggul dengan selamat, karena janin akan mengalami kesulitan untuk melakukan defleksi, putar paksi dalam dan moulage sesuai bentuk panggul ibu, sehingga ibu harus bersalin secara SC. Teori Oxorn (2010:619) menyatakan bahwa disproporsi relatif terjadi apabila faktor-faktor lain ikut berpengaruh. Panggul yang sedikit sempit dengan kontraksi jelek, jaringan lunak yang kaku, presentasi abnormal, dan ketidakmampuan kepala untuk mengadakan moulage sebagaimana mestinya, semuanya dapat menyebabkan persalinan pervaginam tidak mungkin. Selain itu, Oxorn juga mengemukakan bahwa panggul sempit ringan yang terjadi pada pintu tengah panggul (PTP) dapat menghalanghalangi berputarnya UUK ke depan dan mengarahkannya ke lengkung sacrum. Tidak terjadinya putaran paksi dan sikap defleksi seringkali terdapat pada cavum pelvis yang sempit sehingga persalinan SC lebih dianjurkan daripada persalinan pervaginam. Faktor lain yang juga menyebabkan CPD relatif adalah kelainan presentasi janin, yaitu presentasi puncak (40.7%). Presentasi janin selain presentasi belakang kepala mempunyai diameter yang lebih besar daripada ukuran diameter panggul, dengan demikian kepala janin akan sulit melakukan engagemen sesuai dengan sumbu panggul ibu, sehingga kemungkinan persalinan pervaginam perlu dipertimbangkan kembali. Presentasi puncak, presentasi muka atau kedudukan oksipito posterior (kepala janin tengadah), merupakan salah satu penyebab CPD. Hal itu terjadi karena diameter yang dibentuk oleh kepala tidak sesuai dengan kapasitas dimeter panggul. Sehingga agak sulit bagi ibu untuk melahirkan secara
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
pervaginam dan tak jarang ibu harus melahirkan janinnya melalui SC (Liu, 2008:255).
sehingga janin mengalami kesulitan untuk melakukan defleksi secara sempurna dalam panggul. Hal ini juga merupakan salah faktor penyebab terjadinya CPD dan merupakan indikasi persalinan SC. Hal diatas sesuai dengan pendapat Israr (2008) yang menyatakan bahwa bukan berarti seorang wanita dengan tinggi badan normal tidak dapat memiliki panggul sempit. Dari anamnesa persalinan terdahulu juga dapat diperkirakan kapasitas panggul. Apabila pada persalinan terdahulu berjalan lancar dengan berat badan bayi normal, kemungkinan panggul sempit adalah kecil. Namun apabila pada persalinan terdahulu tidak berjalan lancar dengan berat badan bayi normal, kemungkinan panggul sempit perlu diperhatikan. Sedangkan ibu dengan tinggi badan normal dan mengalami CPD absolut terdapat (25.8%), hal ini disebabkan karena berat badan janin yang besar (62.8%). Seorang ibu dengan kapasitas panggul normal tetapi janin berukuran besar dapat menyebabkan terjadinya CPD. Janin besar tidak mungkin dapat melewati panggul secara sempurna karena kapasitas panggul yang tidak memadai. Opini diatas didukung oleh teori Yanti (2010:181) yang menyatakan bahwa kadang-kadang persalinan dengan ubunubun kecil didepan, tidak dapat lahir pervaginam. Hal ini karena ukuran janin yang terlalu besar (> 4000 gram) menyebabkan diameter belakang kepala berukuran lebih besar dari ukuran normal. Jika pada pemeriksaan/ pada saat ibu masuk inpartu ada kecurigaan janin besar, pertimbangan SC akan lebih baik daripada persalinan pervaginam. Teori Liu (2008:174) juga menyebutkan bahwa kegagalan kemajuan persalinan dapat disebabkan karena faktor passenger seperti janin yang terlalu besar. Bayi yang lebih besar dari normal dapat mengakibatkan disproporsi pada pelvis yang berukuran normal. Kondisi tersebut menggambarkan ketidakadekuatan pelvis untuk mengakomodasi kepala janin sehingga sangat sulit dikompresi, karena diameter biparietal kepala janin lebih besar dari diameter ukuran terbesar panggul.
Pengaruh tinggi badan ibu terhadap kejadian CPD pada proses persalinan secara SC dengan indikasi CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya Berdasarkan tabel 4.9 ibu yang mempunyai tinggi badan pendek dan mengalami CPD absolute (89.1%), sedangkan ibu dengan tinggi badan normal dan mengalami CPD relatif terdapat (74.2%). Berdasarkan uji statistik Regresi Binary Logistik antara tinggi badan ibu terhadap kejadian CPD menunjukkan bahwa nilai sinifikasi < nilai probabilitas (0.002 < 0.05). Artinya bahwa ada pengaruh antara tinggi badan ibu terhadap kejadian CPD. Hal ini mungkin dikarenakan tinggi badan ibu yang pendek (64%), dimana ibu dengan tinggi badan pendek kemungkinan besar mempunyai panggul sempit, sehingga peluang terjadinya CPD cukup tinggi. Dengan kata lain tinggi badan ibu merupakan salah satu cara paling mudah untuk mengetahui apakah ibu mempunyai panggul sempit/ tidak yang dapat menyebabkan terjadinya CPD dalam proses persalinan. Hal ini sesuai dengan teori Israr (2008) yang menyatakan bahwa pada wanita dengan tinggi badan yang kurang dari normal ada kemungkinan memiliki kapasitas panggul sempit sehingga kemungkinan terjadi CPD pada proses persalinannya cukup tinggi. Teori Oxorn (2010:625) juga menyatakan bahwa dwarfisme adalah tinggi badan kurang dari 4 kaki 10 inci (145 cm) setelah dewasa. Pada wanita dengan dwarfisme yang seimbang dimungkinkan persalinan vaginal. Kadang-kadang oleh karena gangguan pernafasan pada umur kehamilan lanjut kita tidak dapat menunggu sampai ada tanda-tanda persalinan. Umumnya pasien melahirkan seksio caesar antara 35 dan 37 minggu. Seringkali janinnya cukup besar, sekitar 3600 gram. Untuk ibu dengan tinggi badan pendek dan mengalami CPD relatif terdapat (10.9%). Hal ini kemungkinan Pengaruh berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian terjadi pada bayi dengan berat badan kecil (2.3%) dan CPD pada proses persalinan secara SC dengan indikasi mengalami kelainan presentasi bagian terendah yaitu CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya presentasi puncak (40.7%). Berdasarkan analisa tabel 4.10 bayi dengan berat bayi Tinggi badan ibu pendek dengan bayi kecil dapat badan besar dan mengalami CPD absolute (96.3%), berat dengan mudah melewati panggul, tetapi apabila janin badan bayi normal dan mengalami CPD relatif (83.3%), tersebut mengalami kelainan presentasi maka persalinan sedangkan bayi dengan berat badan kecil dan mengalami CPD pervaginam tidak akan berjalan lancar. Hal ini disebabkan relatif sebesar (100%). Berdasarkan uji statistik Regresi Binary karena diameter yang dibentuk oleh kepala janin lebih besar Logistik antara berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian daripada diameter panggul ibu, sehingga janin mengalami kesulitan untuk turun ke dalam panggul ibu. CPD menunjukkan bahwa nilai signifikasi < nilai probability Sesuai dengan pendapat Liu (2008:174) yang (0.000 < 0.05). Artinya bahwa ada pengaruh antara berat badan menyatakan bahwa tinggi badan ibu yang pendek dengan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD. berat janin kecil memungkinkan persalinan normal masih Bayi besar dan mengalami CPD absolut disebabkan besar. Tetapi apabila janin mengalami kelainan presentasi karena ukuran janin yang terlalu besar/ makrosomia (62.8%). seperti presentasi puncak, dahi, presentasi muka atau Kondisi tersebut menyebabkan ibu mengalami CPD karena kedudukan oksipito posterior akan menyebabkan CPD. Hal kapasitas luas panggul ibu tidak cukup dilewati oleh janin itu terjadi karena diameter yang dibentuk oleh kepala janin tidak sesuai dengan kapasitas dimeter panggul. Sehingga dengan berat badan besar. Sehingga ibu harus melahirkan agak sulit bagi ibu untuk melahirkan secara pervaginam dan anaknya secara SC. tak jarang ibu harus melahirkan janinnya melalui SC. Menurut teori Oxorn (2010:624) besarnya anak adalah Untuk ibu dengan tinggi badan normal dan penting. Kadang-kadang anak terlalu besar untuk sebuah mengalami CPD relatif sebanyak (74.2%). Ini mungkin panggul. Masalah pokoknya adalah hubungan antara janin disebabkan karena kapasitas panggul sempit ringan (37.2%) JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
dengan panggul. Janin yang terlalu besar/ makrosomi tidak bisa melewati panggul dengan selamat. Apabila dipaksakan lahir secara normal akan timbul beberapa komplikasi seperti robekan jalan lahir, perdarahan post partum oleh karena atonia uteri dan laserasi, terpisahnya sympisis pubis, mortalitas bayi lebih tinggi, insiden trauma yang lebih serius lebih tinggi. Oleh karena itu, untuk meminimalisasi adanya komplikasi tersebut baik pada janin maupun pada ibu, tidak jarang seorang ibu harus melahirkan secara SC demi keselamatan diri dan janinnya.
Untuk bayi dengan berat badan normal dan mengalami CPD relatif (83.3%), hal ini kemungkinan disebabkan karena kelainan presentasi janin yaitu presentasi puncak (40.7%). Kondisi ini menyebabkan janin mengalami kesulitan untuk melewati panggul, karena diameter kepala janin lebih besar saripada diameter ukuran panggul sehingga salah satu cara yang paling aman adalah dengan melahirkan secara SC. Pada teori Yanti (2010:181) presentasi janin selain presentasi belakang kepala (presentasi muka, dahi, puncak, dll) memungkinkan persalinan pervaginam tidak mungkin karena janin tidak dapat melakukan perputaran dalam panggul, sehingga tidak ada perubahan presentasi bagian terendah menjadi letak normal dan keputusan terbaik adalah dengan SC. Teori Aprilia (2011) juga menyatakan bahwa presentasi janin akan menjadi sangat penting karena ini akan berhubungan dengan seberapa luas diameter panggul yang diperlukan untuk dapat dilewati oleh kepala janin. Malpresentasi merupakan suatu keadaan dimana bagian terendah janin bukan merupakan presentasi belakang kepala, kondisi ini dapat menyulitkan janin untuk dapat melewati panggul karena ukuran luas panggul tidak cukup tersedia untuk dapat dilewati oleh kepala janin. Sehingga ibu harus bersalin secara SC agar dapat melahirkan bayinya dengan selamat. Sedangkan bayi dengan berat badan normal dan mengalami CPD absolute (16.7%) disebabkan karena kapasitas panggul sempit berat (32.6%). Kondisi ibu dengan panggul sempit berat menyebabkan janin tidak mungkin bisa secara normal melewati jalan lahir, karena kapasitas panggul tidak cukup untuk dilewati oleh janin. Menurut teori Oxorn (2010:619) CPD absolut terjadi apabila janin samasekali tidak dapat melewati jalan lahir. Hal ini dapat terjadi pada panggul sempit berat dengan berat janin normal. Kesempitan panggul yang terjadi pada PAP, PTP, dan PBP merupakan kondisi panggul sempit berat. Kondisi ini menyebabkan janin tidak dapat masuk panggul karena semua bidang panggul berukuran lebih kecil dari ukuran normal sehingga janin tidak mungkin lahir pervaginam dan harus dilahirkan secara SC. Untuk bayi dengan berat badan kecil dan mengalami CPD relatif (100%), hal ini biasanya terjadi pada ibu dengan tinggi badan pendek (64%) dan janin mengalami kelain presentasi yaitu presentasi puncak (40.7%). Ibu dengan tinggi badan pendek kemungkinan besar mempunyai kapasitas panggul yang sempit. Kelainan presentasi pada janin dengan kondisi panggul sempit memungkinan janin tidak dapat
melewati panggul karena diameter yang dibentuk oleh kepala janin tidak sesuai dengan kapasitas luas panggul ibu. Teori yang mendukung hal diatas adalah teori Liu (2008:255) yang menyatakan bahwa ibu dengan tinggi badan pendek dengan berat janin kecil memungkinkan persalinan normal masih besar. Tetapi apabila janin mengalami kelainan presentasi seperti presentasi puncak, dahi, presentasi muka atau kedudukan oksipito posterior akan menyebabkan CPD. Hal itu terjadi karena diameter yang dibentuk oleh kepala janin tidak sesuai dengan kapasitas dimeter panggul. Sehingga agak sulit bagi ibu untuk melahirkan secara pervaginam dan tak jarang ibu harus melahirkan janinnya melalui SC. Sedangkan pada teori Oxorn (2010:620) kelainan presentasi kepala janin menyebabkan janin mengalami kesulitan untuk melakukan moulage. Moulage kepala janin juga sangat menentukan dalam proses persalinan. Kemampuan kepala anak berubah bentuk menyesuaikan diri dengan panggul memungkinkan kepala melewati panggul dengan selamat. Moulage yang berat dapat menimbulkan kerusakan otak dan ini harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah janin dapat lahir pervaginam. Pengurangan diameter biparietal lebih dari 0,5 cm dianggap berbahaya. Sedangkan bayi dengan berat badan kecil tidak ada yang mengalami CPD absolute (0 %). Karena bayi kecil yang tidak disertai dengan kelainan presentasi kepala kemungkinan besar dapat lahir pervaginam meskipun kapasitas panggul ibu sempit ataupun luas. Menurut teori Oxorn (2010:619) CPD absolut terjadi apabila janin samasekali tidak dapat melewati jalan lahir. Hal ini dapat terjadi karena panggul sempit dengan berat badan janin normal, panggul normal dengan berat badan janin besar, atau kombinasi antara panggul sempit dan berat badan janin besar. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Tinggi badan ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di Rumah Sakit dr. Moch. Soewandhie-Surabaya rata-rata adalah pendek (64%). 2. Berat badan bayi baru lahir pada ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di Rumah Sakit dr. Moch. Soewandhie-Surabaya rata-rata adalah besar (62.8%). 3. Kejadian CPD pada ibu yang bersalin secara SC dengan indikasi CPD di Rumah Sakit dr. Moch. SoewandhieSurabaya rata-rata mengalami CPD absolut (66.3%). 4. Ada pengaruh antara tinggi badan ibu terhadap kejadian CPD pada persalinan secara SC dengan indikasi CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya. 5. Ada pengaruh antara berat badan bayi baru lahir terhadap kejadian CPD pada persalinan secara SC dengan indikasi CPD di RSUD dr. Mohamad Soewandhie-Surabaya. Saran Bagi tempat penelitian (Poli KIA dan Ruang VK bersalin) 1) Agar ibu tidak mengalami CPD dalam proses persalinannya, maka diperlukan pencegahan dengan pemantauan ANC secara teratur. Apabila didapatkan tanda-tanda yang mengarah ke CPD, maka berikan penyuluhan mengenai pola diet yang benar selama hamil agar berat janin tidak terlalu besar sehingga CPD dapat dicegah dan ibu dapat lahir pervaginam. 2) Agar ibu yang mengalami CPD dapat tertangani dengan baik, maka diperlukan deteksi secara dini mengenai tinggi badan ibu, ukuran panggul, tafsiran berat janin, serta memberikan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 3 NO. 2, Desember 2011
penyuluhan tentang penanganan yang paling tepat dan aman (SC) agar ibu dapat lahir dengan well born baby dan well health mother. 6.2.2 Bagi peneliti berikutnya Perlu diadakan penelitian KTI selanjutnya dengan variabel yang lain, sehingga dapat menghasilkan penelitian yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Administrator, (2008), Panggul Sempit VS Melahirkan Normal [Internet]: www.wikipediapanggulsempit.wordpress.com Agustina, (2010), Pertumbuhan Tulang Manusia [Internet]: www.wikipedia-pertumbuhantulang.com Aprilia, Yesi, (2011), Cephalo Pelvic Disproportion (CPD) [Internet]: www.bidankita.com Dihan, (2010), Faktor yang Mempengaruhi Berat Lahir Bayi [Internet]: www.wordpress.com Diyanti, Sekar, (2006), Mencegah Bayi Lahir dengan Berat Badan Rendah [Internet]: www.cyberwomen.cbn.net.id Frederick, dkk, (2008), Pregnancy Body Mass Index, Gestasional Weight Gain and Other Maternal Characteristics in Relation to Infact Birth Weight [Internet]: www.medscape.com Hidayati, (2009), Pola Diet Selama Hamil [Internet]: www.riskesdas.go.id Klein, Susan, (2008), Panduan Lengkap Kebidanan, Yogyakarta, PALMALL. Liu, David, (2008), Manual Persalinan, Jakarta, EGC. Manuaba, (1998), Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Jakarta, EGC. Mochtar, R, (2005), Sinopsis Obstetri, Jakarta, EGC. Oxorn, Harry dan William R. Forte, (2010), Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan, Yogyakarta, Yayasan Esentia Medika. Rauf, Abdurrahman, (2007), Jaga Berat Badan Selama Hamil, [Internet]: www.resep.web.id Rohani, dkk, (2011), Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan, Jakarta, Salemba Medika. Yanti, (2010), Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan, Yogyakarta, Pustaka Rihama. Zhy, (2010), Peninggi Badan Alami [Internet]: www.peninggibadanalami.com
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN