Cina di Masa Deng Xiaoping (1) Sorak-sorai kegembiraan yang mengiringi ditahannya Kelompok Empat dan populernya triumvirat baru Hua Guofeng, Ye Jianying, dan Li Xiannian turut pula menyerukan dikembalikannya kekuasaan Deng Xiaoping dan dihapuskannya arus pengaruh kiri dalam sistem politik. Pada bulan Juli 1977, dengan resiko yang besar melemahkan legitimasi Hua sebagai pengganti Mao, yang berarti menentang kehendak Mao, Komite Sentral bermaksud membebaskan Deng Xiaoping dan tuduhan bertanggung jawab atas peristiwa Tiananmen 1976. Sebagai syarat atas pembebasannya, Deng mau mengakui beberapa kelemahan dari peristiwa-peristiwa di tahun 1975, dan akhirnya pada sidang Komite Sentral partai dia kembali pada semua jabatannya yang dipegang sebelum dipecat pada tahun 1976. Tata kehidupan politik pasca Mao dicirikan oleh sejumlah perubahan mendasar. Pada Kongres Partai Nasional (KRN) ke-11, yang diadakan pada tanggal 12-18 Agustus 1977, Hua diresmikan sebagai ketua partai, sementara Ye Jianying, Deng Xiaoping, Li Xiannian, dan Wang Dongxing dipercaya sebagai wakil ketua. Kongres
mengumumkan
berakhirnya
Revolusi
Kebudayaan
secara
resmi,
menimpakan semua kesalahan yang ditimbulkannya pada Kelompok Empat, dan menekankan kembali bahwa "togas mendasar partai dalam periode bersejarah yang baru adalah membangun Cina menjadi sebuah negara sosialis yang modern dan kuat pada akhir abad ke-20". Dalam konteks inilah kemudian Deng Xiaoping menjalankan politik Empat Modernisasi dan reformasi ekonomi. 1. Kebijakan Empat Modernisasi Puncak dari naiknya kembali Deng ke tampuk kekuasaan dan dimulainya reformasi dengan sungguh-sungguh dicapai pada Sidang Pleno Ketiga Komite Sentral KPN ke-11 pada bulan Desember 1978. Sidang Pleno Ketiga ini dianggap sebagai titik balik utama dalam sejarah politik Cina modern. Kesalahan-kesalahan "kiri" yang dilakukan sebelum dan selama Revolusi Kebudayaan "diperbaiki", dan dua "kebijakan apa pun" ("dukung kebijakan apa pun yang dibuat oleh Ketua Mao dan ikuti instruksi apa pun yang diberikan oleh Ketua Mao") ditanggalkan.
Universitas Gadjah Mada
Sebagai
bagian
dokumenutama
dari
kampanyenya,
Deng
mempresentasikan
sebuah
pada Sidang Pleno Keempat Komite Sentral KPN ke-11,
September 1979, yang memberikan "penilaian awal" atas tiga puluh tahun kekuasaan Komunis. Pada sidang itu, Wakil Ketua PKC Ye Jianying menegaskan sejumlah pencapaian partai seraya mengakui bahwa kepemimpinan partai juga telah membuat sejumlah kesalahan politik serius yang merugikan rakyat. Lebih jauh, Ye menyatakan Revolusi Kebudayaan sebagai "sebuah bencana yang menggegerkan" dan " kemunduran terburuk kaum sosialis [sejak 1949]". Meskipun Ketua Mao tidak secara khusus disalahkan, tidak ada keraguan tentang bagian tanggung jawabnya. Sidang juga mensahkan penerimaan resmi sebuah garis ideologis baru yang menyerukan untuk "mencari kebenaran dari fakta" dan unsurunsur lainnya dan pemikiran Deng Xiaoping. Pukulan lebih jauh lagi bagi Hua adalah persetujuan dimundurkannya sejumlah elemen kin dari pos-pos utama partai dan pemerintahan. Kemajuan
ekonomi
dan
pencapaian-pencapaian
politik
telah
cukup
memperkuat posisi reformis Deng sehingga pada bulan Februari 1980 partai menyelenggarakan Sidang Pleno Kelima Komite Sentral KPN ke-11. Komite Sentral mengangkat anak didik Deng, Hu Yaobang dan Zhao Zhiyang masuk ke Komite Tetap Politbiro dan Sekretariat PKC yang baru saja diperbarui. Selaku sekretaris jenderal, Hu Yaobang bertanggung jawab penuh menjalankan roda organisasi partai. Yang paling mengharukan dan sidang ini adalah keputusan merehabilitasi secara anumerta mendiang presiden yang pernah dianggap akan menggantikan Mao, Liu Shaoqi. Akhirnya, pada sidang Komite Rakyat Nasional ke-5 di bulan Agustus dan September 1980, keunggulan Deng dalam pemerintahan semakin terkonsolidasi ketika dia menyerahkan jabatan wakil perdana menterinya dan Hua mundur dan kursi perdana menteri untuk kemudian digantikan oleh Zhao Ziyang. Di bulan Juni 1981 Sidang Pleno Keenam Komite Sentral KPN ke-11 mensahkan tonggak bersejarah menandai berlalunya era Maois. Komite Sentral menerima pengunduran din Hua dan memberinya posisi yang menyelamatkan muka selaku wakil ketua partai. Sebagai penggantinya di jabatan sekretaris partai, Komite Sentral menunjuk Hu Yaobang. Hua juga menyerahkan posisinya sebagai ketua Komisi Militer Sentral partai kepada Deng Xiaoping. Berikut ini penjelasan singkat tentang kebijakan Empat Modernisasi:
Universitas Gadjah Mada
Modernisasi Militer Sejak kematian Mao, orang yang berkuasa di Cina adalah Deng Xiaoping. Karena kedekatannya dengan militer dalam jangka waktu yang lama, dialah satusatunya orang dalam puncak hirarki kekuasaan yang mampu mendapatkan penghormatan dan dukungan dari sebagian besar pejabat TPR. Salah satu sasaran pertama Deng adalah bagaimana mengkonsolidasikan pengawasan dalam struktur komando pusat angkatan bersenjata. Tugas ini dijalankannya dalam dua gerakan yang terencana dan hati-hati. Yang perlama, 'reshuffle' komandan dan komisariskomisaris militer di daerah untuk menjamin dukungan atas kebijakannya. Kedua, menempatkan personel-personel yang bisa dipercaya dan bekerja sama dalam markas besar. Sasaran yang lain adalah mengimplementasikan reformasi dalam struktur komando militer dan personelnya. Deng merekomendasikan tiga bentuk reformasi, yaitu: (1) memperbaiki struktur komando militer di bawah KUM, (2) modernisasi pelatihan perwira militer, dan (3) meningkatkan kemampuan perwira-perwira militer. Di samping itu, Deng merasa perlu untuk mengadakan mutasi atas para perwira yang dianggap `tidak pantas' menduduki jabatannya karena kurang pendidikan dan konsep-konsepnya yang telah usang. Pada
tahun
1983,
pemerintah
mengambil
beberapa
tindakan
untuk
mendukung reformasi yang diusulkan oleh Deng. Salah satunya adalah jaminan pensiun yang layak setara gaji penuh para perwira. Selain itu bonus khusus akan diberikan kepada masing-masing perwira untuk setiap tahunnya. Di tahun 1986, para komandan TPR dan penasihat politik di tujuh daerah militer terdiri dan orangorang yang lebih muda dan terpelajar. Suatu laporan menunjukkan bahwa 91% dari seluruh pejabat di daerah-daerah militer tersebut telah belajar di akademi militer dan sekitar 60% telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya. Sekitar 25% dan para perwira yang aktif telah memperoleh pendidikan tinggi setingkat universitas pada tahun 1986. Han Huaizi, Wakil Kasum TPR kala itu, mengungkapkan bahwa lebih separuh perwira yang berusia lanjut di tujuh daerah militer telah dipensiunkan. Beberapa
kebijakan
dari
reformasi
militer
Deng
telah
menimbulkan
perselisihan kcras di tubuh militer. Kampanye untuk socialist spiritual civilkation yang diartikulasikan oleh Deng dan Hu Yaobang juga turut menimbulkan pertentangan di tubuh militer. Kampanye Deng ini menegaskan kembali standar moral, pendidikan, budaya, teknologi, seni dan pengetahuan umum tentang kehidupan sosial. Ketika Deng memerintahkan militer untuk menempatkan
Universitas Gadjah Mada
pemahaman akan budaya dan pengetahuan umum sama baiknya dengan politik, beberapa pimpinan militer menentangnya. Friksi lainnya antara Deng dengan militer adalah
mengenai
rendahnya
prioritas
yang
diberikan
oleh
Deng
untuk
pembelanjaan pertahanan. Konsekuensi dari pe-motongan anggaran ini adalah demobilisasi sejumlah besar tentara yang bertujuan untuk mengurangi jumlah personel dalam TPR. Program ini dikeluarkan berdasarkan dua alasan, yaitu untuk mengurangi defisit anggaran nasional dan untuk memodernisasikan angkatan bersenjata dengan memberhentikan para tentara yang telah berusia lanjut, kurang terpelajar dan kurang memiliki kemampuan. Sebab tidak langsung terjadinya friksi antara pemimpin pragmatis dengan pihak militer juga dikuatkan oleh kebijakan pertanian baru. Keluarga-keluarga petani selalu menyediakan sumber rekrutmen terbesar untuk TPR. Kebijakan pertanian baru yang bersifat liberal dengan membatasi kuota pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan dengan mengijinkan produksi sampingan telah menaikkan kemakmuran para petani desa, yang menyebabkan mereka enggan masuk militer. Modernisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pada tahun 1985 di Cina terjadi perubahan dalam sistem pendidikan. Reformasi pendidikan ini diumumkan oleh PKC pada tanggal 28 Mei 1985 sebagai hasil dari konferensi pendidikan nasional di Beijing. Konferensi yang pertama sejak tahun 1978 ini diadakan untuk mengakomodasi pendapat para reformis di Cina seperti Deng Xiaoping dan Wan Li tentang pentingnya reformasi pendidikan sejalan dengan reformasi ekonomi. Konferensi ini membahas beberapa masalah mendesak dalam pendidikan di Cina yang harus diperbaiki. Agenda utama reformasi pendidikan adalah program wajib belajar sembilan tahun. Keputusan ini kemudian diterapkan melalui undang-undang tentang wajib belajar yang dibuat oleh KRN. Undang-undang baru itu mengatur implementasi wajib belajar sembilan tahun yang secara bertahap diawali pada masyarakat perkotaan pada tahun 1990 dan beberapa daerah pada tahun 1995. Undang-undang itu mewajibkan orang tua menyekolahkan dan menjadikan ilegal tradisi rekrutmen anak-anak usia sekolah untuk bekerja. Undang-undang juga melarang pemerintah lokal menyelewengkan dana pendidikan untuk program-program non-kependidikan. Salah satu kelemahan dalam sistem pendidikan di Cina adalah rendahnya status sosial guru. Dalam konferensi pendidikan itu, Wakil Perdana Menteri Wan Li mengatakan bahwa praktek mempekerjakan guru di luar sektor pendidikan agar
Universitas Gadjah Mada
memperoleh gaji yang lebih tinggi analog dengan "membunuh angsa yang bertelur emas". Rata-rata gaji bulanan guru saat itu kirakira 50-60 Yuan (setara dengan 20 dolar AS). Seorang guru dibayar dengan gaji yang rendah, sehingga tidak heran di Cina banyak guru yang meninggalkan profesinya. Pada konferensi itu juga Wan Li menegaskan perlunya kenaikan gaji tiap tahun guna memperkecil tingkat penurunan jumlah guru. Di samping itu, dalam konteks pendidikan tinggi, konferensi merekomendasikan pengembangan pendidikan dan latihan vokasional bagi mereka yang tidak berhasil dalam ujian masuk universitas. Reformasi pendidikan 1985 juga menegaskan bahwa penempatan kerja akan diprioritaskan pada para lulusan sekolah teknik. Hal ini sejalan dengan ditinggalkannya pola pendidikan yang menekankan teori dan diganti oleh penguasaan pengetahuan dan ketrampilan praktis. Reformasi struktural lainnya adalah perluasan fasilitas pendidikan di daerah yang sudah maju maupun di pedalaman, serta mendanai dan mengembangkan fasilitas penelitian di universitas-universitas. Dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih luas, pada tahun 1978 terjadi peristiwa historis dalam perkembangan iptek di Cina. Deng Xiaoping selaku Wakil Perdana Menteri mendukung konferensi para ilmuwan dan teknisi di Beijing yang membahas pengembangan iptek dalam rangka modernisasi. Padahal sebelumnya, kaum intelektual dikecam sebagai "kelas borjuis eksploitatif'. Memang sejak tahun 1949, kebijakan iptek selalu terombang-ambing antara orientasi profesional dan mobilisasi massa, tergantung pada kebijakan pembangunan Cina. Kini, Deng Xiaoping dan golongan reformis melihat "penguasaan ilmu dan teknologi modem" sebagai kunci modernisasi Cina. Mereka mengakui bahwa Cina tertinggal jauh dan negara-negara maju seperti Jepang dan AS, sehingga untuk mengejar kemajuan
itu
Cina
akan
belajar
dari
bangsa-bangsa
yang
maju
dan
mengembangkan kemampuan pengetahuan sendiri. Untuk itu, ada tiga pendekatan yang diperkenalkan Deng untuk mengadakan modernisasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu perekrutan besar-besaran ahli iptek, penguasaan institusiinstitusi iptek, dan akusisi teknologi maju dari luar negeri. Tujuan pembangunan iptek Cina adalah menyamai kemajuan negara-negara industri seperti Jepang dan AS pada abad ke-21. Untuk tujuan itu, sejak 1981 Cina mulai
mengadakan
penyesuaian
dan
pembaharuan
sehingga
fokus
ilmu
pengetahuan dan teknologi pun bcrubah. Deng Xiaoping bcrpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan alat pembangunan ekonomi. pertumbuhan
Universitas Gadjah Mada
ekonomi tergantung pada kemajuan teknologi yang terusmenerus. Dengan kata lain, "transformasi teknologi" menjadi strategi dasar dalam pembangunan ekonomi. Ada tiga perubahan utama dalam reformasi iptek masa itu, yakni : 1. Pergesaran fokus penelitian dari ilmu murni ke terapan. Penelitian iptek haruslah "berintegrasi" dengan produksi ekonomi. Beberapa pemimpin Cina berharap bahwa pada tahun 2000 Cina dapat mencapai kemajuan teknis setaraf dengan Barat dan Jepang. Untuk mencapai tujuan itu sejumlah reformasi diperkenalkan pada tahun 1985. "Jaringan Horisontal" dibangun antara
lembaga
pemerintahan
riset
lokal.
dan
industri
Lembaga
riset
serta
antara
sekarang
perusahaan
bertanggung
dan jawab
menyebarkan hasil penelitian terapan untuk mengembangkan teknologi industri dan perusahaan. 2. Komersialisasi kemajuan teknologi. Ratusan "pameran transaksi teknologi" diadakan sehingga lembaga penelitian dapat memamerkan dan menjual inovasi teknologinya kepada sektor industri. Transaksi-transaksi ini diadakan di kota-kota pusat industri seperti Shanghai, Wuhan, dan Tianjin. Reformasi ini memunculkan sistem kontrak antara lembaga penelitian dengan perusahaan. Sistem ini memberikan otonomi yang lebih luas kepada lembaga
penelitian
dalam
mengatur
kegiatan
mereka
dan
dapat
memperkecil pengawasan pemerintah. 3. Efisiensi pemanfaatan keahlian para ilmuwan dan pakar teknologi. Para intelektual
makin
terbebas
dari
campur
tangan
politik
dan
dapat
menjalankan diskusi-diskusi akademis secara independen. Modernisasi Pertanian Sistem insentif dalam sektor pertanian mulai diperkenalkan pada tahun 1978 dan diberlakukan pada tahun 1980. Sistem ini adalah modifikasi dari "Tiga Kebebasan dan Satu Garansi" yang diperkenalkan Liu Shaoqi pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi setelah kegagalan da yte fin. Kebijakan Liu tersebut terdiri atas pasar bebas, pemilikan tanah pribadi, dan tanggung jawab petani dalam mengatur tanah pertanian mereka sendiri menurut kontrak penetapan kuota keluaran setiap rumah tangga. Pada tahun 1978, pada Sidang Pleno ketiga Komisi Sentral ke-11, partai di bawah pimpinan Deng Xiaoping menghidupkan kembali pokok-pokok kebijakan lama Liu sebagai cara untuk meningkatkan produksi pertanian. Salah satunya
Universitas Gadjah Mada
adalah metode sistem responsibilitas berbasis pada kontrak yang dikeluarkan oleh tim produksi kepada individu, rumah tangga, maupun tim kerja. Ada dua tipe kontrak, yaitu (1) baochan daohu, di mana rumah tangga hams memenuhi kuota negara dan keperluan wilyahnya, dan (2) baogan daohu yang membolehkan rumah tangga memperoleh kelebihan hasil produksi setelah sebelumnya memenuhi kebutuhan negara dan desa. Keuntungan unik dari sistem tanggung jawab kerja ini adalah meningkatkan semangat petani untuk bekerja lebih keras meningkatkan pendapatan mereka, memberi kesempatan kepada petani untuk dapat mengatur produksi sesuai dengan kondisi daerah mereka sehingga petani memiliki lebih banyak inisiatif dan otonomi, dan menghindari keluhan para petani tentang ketidakadilan distribusi pendapatan. Keuntungan sistem tanggung jawab yang dikombinasikan dengan kebijakan pemilikan tanah pribadi dan pasar bebas memberikan dorongan luar biasa bagi moral petani dan menghasilkan kenaikan output serta antusiasme kerja mereka. Perubahan signifikan lainnya yang didukung partai adalah penghapusan gradual monopoli negara untuk membeli produk pertanian. Sistem harga baru berdasarkan permintaan pasar tidak hanya akan menghasilkan kualitas produk yang lebih baik, tetapi juga akan mempengaruhi petani untuk memproduksi barang-barang yang dibutuhkan pasar. Namun demikian, pengenalan sistem insentif ini bukannya tanpa kritik. Sistem ini dianggap akan menghapus sistem komune kolektif dan merupakan kebijakan borjuis. Namun, PM Zhou menyatakan bahwa inovasi apa pun hams dianggap sosialis selama sarana produksinya dimiliki oleh publik serta tidak bertentangan dengan prinsip Marxis "bagi setiap orang menurut hasil kerjanya". Modernisasi Industri Antara tahun 1953 hingga 1974 pertumbuhan rata-rata produksi industri di Cina adalah 11%. Walaupun pertumbuhan tersebut rata-rata tinggi, tetapi kualitas, variasi dan rancangan produk-produk industri itu sangat menyedihkan. Oleh karena itu, pada presentasinya tentang Rencana Lima Tahun ke-6, PM Zhao mengajukan pertumbuhan rata-rata yang lebih rendah dari produksi industri, namun dengan hasil-hasil ekonomi yang lebih baik. Inilah yang menjadi latar belakang reformasi industri di Cina. Dalam konteks industri di daerah perkotaan, keadaan industri di Cina saat itu memiliki beberapa keistimewaan, yaitu :
Universitas Gadjah Mada
1. Nasionalisasi industri-industri dasar, yang berimplikasi pada alokasi anggaran secara sentralistis dan reinvestasi pabrik-pabrik serta peralatan baru untuk meningkatkan produksi. Kebijakan reinvestasi ini mengatur biaya produksi agar tetap rendah; pendapatan yang tidak dibagikan kepada para pekerja hams direinvestasikan. 2. Diberlakukannya strategi yang menekankan pada pembangunan industri berat, khususnya alat-alat mesin pabrik dan pabrik baja. Produksi besi dan baja akan tetap menjadi kunci pertumbuhan industri Cina di masa depan. 3. Penekanan pada pengembangan industri kecil dan menengah padat-karya sebagai faktor utama pesatnya keluaran industri. Cina mempunyai kebijakan `Melangkah dengan Dua Kaki', sehingga Cina berusaha mengembangkan industri berat padat-modal yang sentralistis serta industri kecil dan menengah padat-karya yang desentralistis secara simultan. Dengan melihat kondisi ekonomi di atas, maka dipandang perlu mengusahakan reformasi industri di perkotaan Cina. Berkenaan dengan reformasi ekonomi perkotaan ini, maka prioritas reformasi ekonomi Cina adalah : 1. Memperkuat perusahaan milik negara dengan memisahkan kepemilikan dan fungsi operasional. Perusahaan hams dapat beroperasi dan mengatur urusannya sendiri, bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian serta mampu mengembangkan diri mereka seperti `manusia yang mempunyai kewajiban dan hak-hak tertentu'. 2. Memperkenalkan sistem tanggung j-wab kontrak perindustrian. Pihak yang menandatangani kontrak adalah pekerja dan direksi perusahaan dengan pemerintah, yang mewajibkan perusahaan untuk menyerahkan sejumlah labs dan pajak kepada negara seraya membolehkan perusahaan menyimpan sisanya guna kepentingan mereka. 3. Perusahaan-perusahaan besar milik negara yang tidak terkait dengan aktivitas produksi yang vital dapat dengan sukarela menjadi perusahaan bersama dengan tanggung jawab yang dibatasi (termasuk joint venture dengan investor asing).
Universitas Gadjah Mada
Reformasi perusahaan-perusahaan di perkotaan mempunyai efek yang disebut two-tier ownership. Struktur yang pertama adalah perusahaan-perusahaan besar dan penting yang mengontrol anak perusahaannya dalam pengembangan industri berteknologi tinggi. Yang kedua adalah perusahaan-perusahaan kecil yang masif, koperasi, dan perusahaan individu dengan kepemilikan bersama, tetapi tetap terikat pada bidang pertanian dan produksi sampingan serta pcningkatan pelayanan jasa di desa maupun kota. Dengan diperbolehkannya para pekerja memiliki saham perusahaan, inisiatif dan produktivitas pekerja jadi meningkat. 2. Politik Pintu Terbuka (Kaifang Zhenze) Kebijakan "pintu terbuka" dijalankan dalam bentuk impor kelengkapankelengkapan teknologi dan mesin-mesin induk untuk membangun pabrik-pabrik di dalam negeri. Dalam kebijakan yang lebih lanjut disebut "turnkey" ini, antara tahun 1972 dan 1975, Cina mengimpor kurang lebih 170 unit peralatan industri senilai 2,6 miliar dolar AS dan delapan negara di Eropa, Jepang, AS, dan Uni Soviet guns memenuhi sasaran alih teknologi. Sebagian besar dan alat impor itu berupa peralatan industri hulu seperti Baja, minyak, listrik, dan pupuk kimia. Namun, dalam perkembangan selanjutnya kebijakan ini terbentur pada dua masalah, yaitu dana yang terbatas dan ketidaktepatan pemilihan peralatan yang dibeli — entah karena peralatan tidak dalam keadaan baik maupun tidak cocok untuk pembangunan industri di Cina sendiri. Untuk mengatasinya, diterapkan kebijakan baru dalam impor peralatan teknologi ini, yaitu : 1. Selektifitas; barang yang dibeli harus benar-benar dipertimbangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan ekonomi nasional serta latar belakang teknik dan keilmuan ahli-ahli Cina. 2. Teknologi mancanegara harus diintegrasikan dengan proyek-proyek penelitian Cina sendiri. Jika tidak, teknologi tersebut tidak akan dapat diserap dan digali secara maksimal. 3. Ilmuwan harus banyak mempelajari teknologi asing melalui berbagai jurnal, konferensi, dan pertukaran ahli. Strategi ini disebut "membeli ayam yang dapat bertelur". Cina berusaha membatasi impornya hanya pada peralatan yang paling berguna bagi perkembangan industri Cina. Lebih lanjut kebijakan "pinto terbuka" menerapkan pula tiga cara alih teknologi sebagai berikut.
Universitas Gadjah Mada
1.
Joint Venture Ide bisnis patungan yang kooperatif antara negara komunis dan kapitalis
pertama kali dilakukan oleh Yugoslavia. Pada bulan Juli 1979, sesi kedua sidang KRN mengadopsi sebuah Undang-undang Joint Venture yang berisikan: (1) Perlindungan pemerintah terhadap Joint Venture perusahaan Cina dengan investasi asing; (2) Pernyataan pihak asing bahwa teknologi yang didatangkan dari luar negeri benar-benar mutakhir dan sesuai dengan keperluan Cina; dan (3) Jaminan hak milik pihak asing atas laba setelah dipotong pajak. Format umum kepemilikan dalam Joint Venture adalah 51:49 antara pemerintah Cina dengan pihak asing. Sejak tahun 1979 lebih dari dua ribu perjanjian Joint Venture ditandatangani, namun banyak yang tidak terealisasi. Investasi asing kebanyakan datang dari Jepang, AS, Perancis, Jerman Barat, Australia, dan Swiss. 2.
Counter Trade (Imbal Dagang) Counter Trade adalah cara lain untuk meningkatkan investasi asing dan alih
teknologi. Teknik Counter Trade dapat diterangkan sebagai berikut. Misalnya Cina mengimpor peralatan untuk mengolah hasil tambang batu bara yang dipunyainya. Pembayaran peralatan tersebut ditunda sampai hasil pengolahan batu bara itu terjual. Dengan demikian, Cina menjaga cadangan devisanya. Ini merupakan cara yang ampuh untuk mengurangi defisit perdagangan luar negeri. 3.
Zona Ekonomi Khusus (ZEK) Zona Ekonomi Khusus adalah area perdagangan yang bebas dan pajak.
Pada tahun 1979, pemerintah Cina telah menetapkan empat pelabuhan di Cina selatan sebagai Zona Ekonomi Khusus, yaitu Zhuhai, Shenzhen, Shantou, dan Xiamen. Salah satu tujuan pembukaan pelabuhan-pelabuhan ini adalah "sebagai jembatan bagi masuknya modal asing dan transfer teknologi mutakhir". Selain dimanfaatkan untuk perdagangan luar negeri, Shenzhen dan Zhuhai juga ditujukan untuk turisme dan agrobisnis. Semua barang yang diimpor melewati keempat zona itu mendapat fasilitas bebas pajak, kecuali sigaret dan alkohol yang hanya memperoleh pengurangan tarif. Bagi
Cina,
politik
pintu
terbuka mempunyai
dampak-dampak
yang
kontradiktif. Ia memang terbukti dapat memperkuat ekonomi domestik Cina seperti yang selalu dikemukakan oleh Deng selaku arsitek kebijakan ini, namun is juga menimbulkan erosi ideologi sosialis. Keberhasilan politik ini juga tidak lepas dan kelemahan banyak pengusaha asing yang mengkritik kebijakan investasi di Cina.
Universitas Gadjah Mada
Mereka umumnya frustasi dengan biaya dan harga yang tinggi, kontrol devisa yang ketat, akses yang terbatas pada pasar Cina, birokrasi yang melelahkan, dan pekerja lokal yang tidak memenuhi kualifikasi. 3. Reformasi Reformasi — yang kerap dijuluki sebagai "Revolusi Kedua" Cina — adalah salah satu terma umum yang dijumpai dalam khasanah politik Cina pada tahun 1980-an. Reformasi menyangkut segala bidang: reformasi Partai Komunis Cina dan aktivitasnya, reformasi organisasi pemerintah, reformasi ekonomi, reformasi militer, reformasi kebudayaan dan kesenian — pokoknya para pemimpin Cina pasca Mao bertekad melaksanakan reformasi di segala bidang kehidupan. Para pemimpin Cina melihat reformasi sebagai sarana mewujudkan tujuan Empat Modernisasi dan membawa Cina ke dalam komunitas masyarakat industri maju pada awal milenium baru. Dengan didorong oleh kehendak untuk mengembalikan waktu yang hilang dan sumber daya yang terbuang, para pemimpin Cina memulai "revolusi kedua" berupa program modernisasi ekonomi dan reformasi organisasi yang komprehensif. Deng Xiaoping dan para pengikutnya memobilisasi rakyat Cina untuk menjadikan Cina sebagai sebuah kekuatan dunia. Diawali dengan Sidang Pleno Ketiga KPN ke-11 di bulan Desember 1978, Deng menekankan kembali tujuan perjuangan kelas dan revolusi permanen Mao. Insentif keuntungan dan bonus menjadi fokus sloganslogan dan spanduk merah ideologis ketika para pemimpin Cina mencoba berbagai cara dan sarana memodemisasi ekonomi. Komune rakyat legendaris ciptaan Mao dirubuhkan dan digantikan oleh sebuah sistem tanggung jawab, di mans petani kepala keluarga diberi kekuasaan memutuskan yang lebih besar dalam hal produksi dan distribusi hasil pertanian. Keluarga-keluarga petani dibolehkan untuk menyewa tanah dan menanam tumbuhan sesuai dengan pilihan mereka. Di sektor urban, para manajer pabrik diberi keleluasaan untuk berunding baik dengan rekan domestik maupun asing mereka tentang hal-hal menyangkut produksi dan distribusi yang sebelumnya dipegang oleh para perencana pusat di Beijing. Eksploitasi sumber daya Cina yang kaya terus meningkat secara signifikan pada akhir tahun 1970 dan sepanjang 1980-an. Ketika sektor industri Cina mengalami kemajuan, muncul pergerakan populasi yang kian meningkat menuju daerah-daerah urban. Populasi Cina telah melampaui jumlah satu milyar pada tahun 1982 dan terus bertambah setiap tahunnya. Sebagaimana halnya di masa lalu, para ahli asing
Universitas Gadjah Mada
diundang untuk membantu proses modernisasi. Banyak usaha joint venture dengan kapitalis asing dan konglomerat multinasional didirikan. Jumlah pelajar dan mahasiswa Cina yang belajar di luar negeri untuk memperoleh gelar lebih tinggi di bidang sains dan teknik juga semakin bertambah. Semua perubahan ini bukannya tanpa biaya, baik biaya politik maupun moneter.
Usahausaha
transformasi
mendasar
di
bidang-bidang
ekonomi,
pemerintahan, organisasi politik menyebabkan ketidaksenangan pada sementara orang dan beberapa lembaga, serta dilawan oleh mereka yang berpegang teguh pada "periuk nasi besi" yang menjamin pekerjaan seumur hidup. Para pemimpin reformasi di Beijing berkali-keli menyerukan kepada anggota partai dan birokrat pemerintah untuk mereformasi "pemikiran keras" mereka dan menerima metode modern. Banyak birokrat tua dan tidak cukup terlatih hams pensiun untuk digantikan oleh generasi yang lebih muda dan lebih berorientasi teknis. Dalam rangkaian debat berkepanjangan antara mereka yang menekankan ketaatan ideologi (kaum "merah") dan mereka yang cenderung pada pentingnya keahlian (kelompok "pakar"), kelompok terakhir alias kaum teknokrat kembali mendominasi. Namun, pengembangan dan penerapan keahlian teknologi yang sukses — sebagai hasil penting yang dicapai program Empat Modernisasi — meminta biaya yang sangat mahal dan usaha tidak kenal lelah dari rakyat Cina. Ketika politik dan ekonomi terus merespon dan berubah satu sama lain, kaum reformis Cina harus pula menyeimbangkan kekuatan yang saling bersaing di dalam dan di luar usaha reformsi mereka, sekaligus mempertahankan momentum program Empat Modernisasi. Dalam melakukan hal itu, Deng Xiaoping dan kawankawannya dihadapkan pada sejumlah tugas penting yang pelaksanaannya diharapkan tidak menimbulkan kerugian pada pihak tertentu dan kekacauan. Salah satunya adalah menciptakan persatuan dan mendukung langkah reformasi di kalangan anggota partai. Juga ada kepentingan untuk memberikan hasil-hasil yang bersifat materi kepada massa secara luas di tengah-tengah percobaan ekonomi dan inflasi yang membubung. Kegagalan dalam mencapai kesetimbangan ini dan membuat perbaikan diyakini akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpercayaan atas kepemimpinan reformasi. Keberhasilan reformasi di tahun 1980-an meliputi kemajuan baik pada kehidupan pedesaan maupun perkotaan, penyesuaian kepemilikan, diversifikasi metode pelaksanaan reformasi, dan dimasukkannya lebih banyak orang dalam proses pengambilan kekuasaan. Ketika mekanisme pasar menjadi satu bagian
Universitas Gadjah Mada
penting dari sistem perencanaan reformasi yang baru, produk beredar lebih bebas dan pasar komoditas maju pesat. Pemerintah berusaha merasionalkan harga, mengubah struktur upah, dan mereformasi sistem keuangan dan pajak. Kebijakan membuka diri terhadap dunia luar (Cina sebenarnya menghindari istilah `pintu terbuka' karena akan menimbulkan kenangan akan gangguan imperialis Barat) membawa perluasan yang signifikan di bidang ekonomi, teknologi, dan hubungan dagang dengan negara-negara lain. Reformasi lembaga-lembaga sains, teknologi, dan pendidikan melengkapi kcberhasilan reformasi yang diimpikan Deng. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Cina modern, reformasi jugs dijalankan pada basis yang kuat dari suatu badan hukum rasional dan sistem kehakiman yang dikodifikasikan dengan hati-hati. Meskipun reformasi dan liberalisasi menghasilkan masyarakat yang teratur dengan ketat dan terbuka untuk penyalahgunaan, sistem hukum dan organisasi kehakiman yang ban' terus memperkuat lingkungan domestik yang stabil dan iklim investasi yang menguntungkan, tepat seperti yang dibutuhkan Cina untuk mewujudkan tujuan-tujuan modernisasinya. Di tengah-tengah keberhasilan ini, pihak penguasa mengakui ada sejumlah kesulitan dalam upaya mengubah struktur dasar ekonomi dan mencegah gangguan serta penurunan produksi yang telah menandai "percobaan kaum kin" yang gagal tiga puluh tahun sebelumnya. Ukuran besarnya Cina dan pembangunan ekonomi yang terus berkembang menyebabkan perencanaan ekonomi pusat tidak efektif. Ketidakhadiran pasar dan sistem perbankan yang modern mengakibatkan otoritas pusat hanya memiliki sedikit sarana untuk mengatur ekonomi. Suatu sistem harga yang realists yang mencerminkan dengan tepat tingkatan penawaran dan permintaan serta nilai sumber daya yang langka belum juga diimplementasikan. Permintaan terpendam yang sangat besar akan barang-barang konsumsi dan kurangnya kontrol yang efektif atas investasi dan bantuan modal yang mengalir ke pabrik-pabrik lokal mengakibatkan tekanan-tekanan inflasi sulit diatasi oleh pemerintah. Usaha untuk mentransformasikan perusahan dan industri milik negara yang lesu menjadi perusahaan-perusahaan yang efisien dan bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian mereka sendiri dihambat oleh kurangnya manajer yang bermutu, lemahnya kerangka legal dalam pembuatan kontrak, serta tiadanya sistem perpajakan yang konsisten. Tujuan-tujuan reformasi ekonomi memang jelas, tetapi penerapannya diperlambat oleh alangan alangan praktis maupun politis. Para pemimpin nasional menanggapi keadaan ini dengan menekankan kembali dukungan pada reformasi dalam terma-terma umum dan dengan mempublikasikan
Universitas Gadjah Mada
keberhasilan kota-kota yang diijinkan beruji coba dengan tanggung jawab manajerial, pasar untuk bahan mentah, dan pengumpulan dana melalui penjualan saham perusahaan.
Universitas Gadjah Mada