Cina di Masa Mao Zedong (II) Di tahun 1961 pasang surut politik domestik Cina mulai mengarah ke kanan, sebagaimana dibuktikan oleh kekuasaan dan pengaruh kepemimpinan yang lebih moderat. Dalam upaya untuk menstabilkan ekonomi, partai — yang masih di bawah kepempinan samar-samar Mao, namun mulai dipengaruhi secara dominan oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping, Chen Yun, Peng Zhen, Bo Yibo) dan pemimpin moderat lainnya — menjalankan serangkaian kebijakan pembenahan. Di antara kebijakan pembenahan ini adalah reorganisasi sistem komune, di mana brigade dan tim produksi diberi kebebasan yang lebih besar dalam administrasi dan perencanaan ekonomi mereka. Untuk memperoleh kontrol yang lebih efektif dari pusat, PKC membangun kembali enam biro regionalnya dan melaksanakan sejumlah langkah yang bertujuan memperkuat disiplin partai dan mendorong para kadernya untuk mengembangkan gaga kepemimpinan populis di semua tingkatan. Upaya-upaya ini dipicu oleh kesadaran partai bahwa arogansi partai dan fungsionaris pemerintah adalah dua hal yang kontraproduktif; keduanya akan mengakibatkan apati publik kepada pemerintah. Di bidang industri, penekanan yang lebih kuat sekarang diberikan kepada perencanaan yang realistis dan efisien. Kegairahan ideologis dan gerakan massa tidak lagi menjadi tema pengontrol manajemen industri. Kewenangan produksi dikembalikan kepada manajer pabrik. Penekanan penting lainnya setelah tahun 1961 adalah ketertarikan yang lebih besar dari partai untuk memperkuat pertahanan dan keamanan internal. Pada awal 1965 Cina berada dalam posisi yang baik untuk bangkit kembali di bawah pengarahan aparat partai, atau secara lebih spesifik, Sekretariat Komite Pusat yang dikepalai oleh Sekretaris Jenderal Deng Xiaoping. Liu Shaoqi kemudian mengoreksi sejumlah kebijakan Mao dan akhirnya pada tahun 1964 PM Zhou Enlai mengumumkan pemulihan ekonomi Cina. Pemulihan ini antara lain ditempuh melalui program "Kampanye Pendidikan Sosialis" (1962 — 1965) yang tema utamanya adalah perjuangan kelas. Dengan mengambil kepahlawanan
TPR
sebagai
model,
Kampanye
Pendidikan
Sosialis
ini
mengusahakan tiga hal, yaitu memperkuat kelas bawah, memberantas korupsi, dan memurnikan negara.
Universitas Gadjah Mada
1. Revolusi Kebudayaan, 1966 - 1976 Di awal tahun 1960-an, Mao tidak lagi terlibat banyak dalam politik dan berada dalam setengah pengasingan. Pada tahun 1962, tcrnyata is memulai sebuah serangan untuk memurnikan partai, yang dianggapnya telah tercemar oleh apa
yang
diyakininya
kecenderungan
sebagai
antisosialis
di
"kapitalis" seluruh
yang
negeri.
berjalan
Sebagai
perlahan
seorang
dan
veteran
revolusioner yang telah mengalami kesengsaraan hebat, Mao terus percaya bahwa insentif material yang dikembalikan kepada para petani adalah tindakan mengkorupsi massa dan kontrarevolusioner. Untuk menahan laju kecenderungan kaum "kapitalis" itu, Mao mcluncurkan Kampanye pendidikan Sosialis yang penekanan utamanya adalah mengembalikan kemurnian partai, memasukkan semangat revolusioner ke dalam partai dan birokrasi pemerintah, serta mengintensifkan perjuangan kelas. Ketidaksetujuan internal tentang metode pelaksanaan gerakan ini datang dari kaum moderat yang diwakili Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping. Gerakan pendidikan Sosialis segera diiringi oleh kampanye lainnya, yaitu "Belajar dari Tentara Pembebasan Rakyat". Tahap Militan. 1966-1968 Meski ada penentangan dari kubu moderat, pada pertengahan tahun 1965 Mao secara bertahap namun sistematis mendapatkan kembali kontrol atas partai dengan dukungan dari Lin Biao, Jiang Qing (isteri keempat Mao), dan Chen Boda, seorang teoritikus terkemuka. Perseteruan antara kedua kelompok semakin intensif ketika pada bulan November 1965 terjadi perdebatan sengit tentang implikasi politik drama "Pemecatan Hai Rui" yang dimainkan Wu Han, wakil walikota Beijing (bersama walikota Peng Zhen, Wu Han dikenal sebagai pengikut Liu). Mao, yang merasa drama itu mengkritiknya, kemudian meminta seorang anggota inti "Mafia Shanghai" Yao Wenyuan untuk menulis sebuah drama tandingan yang dimaksudkan sebagai serangan terselubung terhadap Wu Han. Tulisan Yao ini memicu tindakan Mao dan para pendukungnya enam bulan kemudian berkampanye menyerang tokoh-tokoh publik dari Tatar belakang yang berbeda, termasuk Liu Shaoqi serta para pemimpin partai dan negara lainnya, dengan dalih menegakkan kemurnian ideologic. Pada pertengahan tahun 1966 kampanye Mao berkembang menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Kebudayaan Proletar Besar, aksi massa pertama yang muncul melawan aparat PKC sendiri.
Universitas Gadjah Mada
Perlawanan dalam partai terhadap Revolusi Kebudayaan tidak dapat disembunyikan. Di satu sisi ada kelompok Mao dan Lin Biao yang didukung oleh TPR dan di sisi lainnya ada faksi yang dipimpin oleh Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping dengan kekuatan yang terletak pada mesin partai. PM Zhou Enlai, sementara tetap loyal secara personal kepada Mao, berusaha menengahi kedua kelompok. Mao merasa bahwa dia tidak dapat lebih lama bergantung kepada organisasi formal partai yang menurutnya telah ditembus oleh pars "kapitalis" dan borjuis kontrarevolusioner. Dia memerintahkan Lin Biao dan TPR untuk membalas pengaruh mcreka yang dianggap tampak "kiri", namun sebenarnya "kanan". Para Maois juga mengajak pelajar sekolah menengah untuk berdemonstrasi menentang partai dan pemerintah. Para pelajar ini, juga sejumlah mahasiswa, kemudian dikenal sebagai Pengawal Merah atau Tentara Merah. Jutaan pengawal Merah didorong oleh kelompok penyokong Revolusi Kebudayaan untuk menjadi suatu "kekuatan pengejut" dan "memborbardir" dengan kritik hebat baik markas besar partai di Beijing maupun markas tingkat regional dan provinsi. Ide-ide Mao, dipopulerkan dalam buku kecil merah Kutipan dan Ketua Mao, menjadi standar untuk menilai semua upaya revolusioner. "Empat hak penting" — bebas berbicara, menyatakan pendapat secara penuh, menyelenggarakan perdebatan dengan bebas, dan menulis poster-poster dengan karakter besar — menjadi sebuah faktor penting dalam meyakinkan dan mendorong pengikut muda Mao mengkritik lawannya dalam partai. "Empat hak penting" ini menjadi salah satu ciri utama masa Revolusi Kebudayaan dan kemudian dilembagakan dalam konstitusi negara 1975. Kritik yang tidak dapat dikendalikan terhadap partai dan pemerintah oleh pemuda Cina yang jumlahnya sangat banyak ini menghasilkan kekacauan sipil yang sangat hebat, yang diperburuk pula oleh bentrokan antara Pengawal Merah melawan kelompok rivalnya dan otoritas keamanan lokal. Organisasi partai hancur dan atas sampai ke bawah (Sekretariat Komite Tetap bahkan berhenti berfungsi pada akhir tahun 1966). Dihadapkan pada anarki yang mendekat, TPR — satu-satunya organisasi yang strukturnya tidak begitu dipengaruhi secara radikal oleh akitivitas Pengawal Merah — muncul sebagai penjamin utama hukum, ketertiban, dan kewenangan politik de facto. Mcskipun TPR berada di bawah kendali seruan Mao untuk mendukung "kin", komandan militer regional TPR memerintahkan pasukan mereka untuk mengendalikan kaum kin radikal, dan mengembalikan ketertiban di seluruh Cina. Gelombang radikal mulai surut pada akhir tahun 1967, tetapi barulah setelah
Universitas Gadjah Mada
pertengahan tahun 1968 Mao menyadari sia-sianya kekerasan revolusioner lebih jauh. Liu Shaoqi, Deng Xiaoping, serta kawan-kawan "pembaharu" dan "pejalan kapitalis" diasingkan dan kehidupan publik pada akhir awal 1967 dan kelompok Maois memperoleh komando penuh dalam kehidupan politik. Kongres Partai Nasional ke-9 hingga Turunnya Lin Biao, 1969-1971 Tahap aktivisme Revolusi Kebudayaan diakhiri pada bulan April 1969. pengakhiran ini secara formal ditandai pada TUN ke-9 yang diselenggarakan di bawah dominasi kelompok Mao. Dalam KPN ke-9 itu Mao dikukuhkan sebagai pemimpin tertinggi dan Lin Biao dipromosikan sebagai Wakil Ketua PKC untuk kelak akan menggantikan Mao. Mereka yang naik ke panggung kekuasaan melalui Revolusi Kebudayaan diberi hadiah posisi-posisi di Politbiro; sejumlah komandan militer ditunjuk sebagai anggota Komite Sentral. Penekanan umum kebijakan pemerintah setelah tahun 1969 adalah rekonstruksi bangsa melalui pembangunan kembali partai, stabilisasi ekonomi, dan kepekaan yang lebih tinggi akan masalah-masalah luar negeri. Pragmatisme memperoleh momentum sebagai terra sentral di tahun-tahun sesudah KPN ke-9, namun kecenderungan ini diparalelkan oleh upaya-upaya kelompok radikal untuk menegaskan jati dirinya. Kelompok radikal ini — Kang Sheng, Xie Fuzhi, Jiang Qing, Zhang Chungqiao, Yao Wenyuan, dan Wang Hongweng — tidak lagi mendapat dukungan mutlak Mao. Perseteruan faksional terus berlanjut sampai dengan pertengahan tahun 1970-an, meskipun koeksistensi yang rapuh tetap terjaga selama Mao hidup. Upaya membangun kembali PKC dijalankan pada tahun 1969. Proses ini berjalan sulit karena adanya ketegangan faksional dan perpecahan yang muncul pada tahun-tahun Revolusi Kebudayaan. Perbedaan-perbedaan muncul di tubuh militer, partai, dan organisasi massa yang didominasi kaum kin mengenai isu-isu politik yang beragam. Belum lagi perseteruan antara kelompok radikal dan kelompok moderat. Barulah pada bulan Desember 1970 komite partai dapat dibentuk kembali di tingkat propinsi. Sebagai satu-satunya lembaga yang sebagian besarnya tidak terluka akibat Revolusi Kebudayaan, TPR menjadi penting dalam politik transisi dan rekonstruksi. Meski demikian, TPR bukanlah sebuah organisasi yang homogen. Di tahun 1970-1971 Zhou Enlai mampu membentuk aliansi kaum tengah-kanan dengan sebuah kelompok komandan militer regional TPR yang lepas
Universitas Gadjah Mada
dari pengaruh Lin Biao. Kelak koalisi ini membuka jalan bagi suatu kepemimpinan partai yang lebih moderat di awal 1980-an. Titik penentu dalam dekade Revolusi Kebudayaan adalah kudeta Lin Biao yang gagal dan kematiannya dalam sebuah kecelakaan pesawat saat is meninggalkan Cina pada bulan September 1971. Konsekuensi segeranya adalah kemerosotan pengaruh fundamentalis dan kelompok radikal sayap kiri. Para pendukung terdekat Lin Biao ditangkap dan dihukum secara sistematis. Upayaupaya untuk depolitisasi dan memajukan profesionalisme semakin ditingkatkan di dalam tubuh TPR. Hal ini juga diikuti oleh rehabilitasi mereka yang pernah dihukum atau dihinakan pada tahun 1966-1968. Berakhirnya Era Mao Zedong, 1972-1976 Satu nama penting di antara sekian banyak orang terkemuka yang dipulihkan nama baik dan hak-haknya adalah Deng Xiaoping, yang kemudian kembali ditempatkan sebagai Wakil perdana Menteri pada bulan April 1973. pemulihan Deng ini seolah-olah di bawah perlindungan Zhou Enlai, padahal itu tidak mungkin tanpa persetujuan Mao. Bersama-sama, Zhou dan Deng mendesakkan pengaruh mereka secara kuat. Garis moderat mereka yang menghendaki modernisasi semua sektor ekonomi disetujui secara formal pada KPN ke-10 Agustus 1973, pada saat Deng ditunjuk sebagai anggota Komite Sentral partai (tapi belum anggota Politbiro). Kelompok radikal kembali berjuang dengan membentuk milisi urban bersenjata, namun kali ini mereka tidak berhasil secara penuh. Alih-alih terpinggirkan, posisi kaum moderat semakin kuat. Di bulan Januari 1975 Zhou Enlai berbicara di depan KRN ke-4 tentang program pembaharuan yang kemudian dikenal sebagai Empat Modernisasi, yaitu modernisasi di bidang-bidang pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pertahanan nasional. Program ini ditegaskan kembali pada KPN ke-11 yang diadakan pada bulan Agustus 1977. Juga di bulan Januari 1975, posisi Deng diperkokoh dengan dipilihnya ia sebagai Wakil Ketua PKC serta anggota Politbiro dan Komite Tetap-nya. Deng juga ditunjuk sebagai orang sipil pertama yang mengetuai Departemen Staf Umum TPR. Di tahun 1976 tiga pejabat paling senior PKC dan aparat negara "pergi menghadap Marx". Diawali oleh Zhou Enlai pada bulan Januari, lalu Zhu De (ketua Komite Tetap KRN dan kepala negara de jure) di bulan Juli, dan Mao Zedong pada bulan September. Pada bulan April tahun yang sama, massa yang berdemonstrasi di Lapangan Tiananmen di Beijing memperingati jasa Zhou Enlai dan mengecam
Universitas Gadjah Mada
kawan-kawan terdekat Mao. Namun demikian, hal itu tidak mcnyurutkan langkah kelompok radikal untuk berupaya melemahkan kelompok moderat. Deng Xiaoping, yang secara logis akan menjadi perdana menteri, terpaksa mundur untuk sementara setelah matinya Zhou ketika kaum radikal meluncurkan sebuah serangan balasan terhadapnya. Di bulan April 1976 Deng sekali lagi diberhentikan dari semua jabatannya. Seorang yang relatif tidak terkenal secara politis, l-Iua Guofeng — yang menjabat sebagai anggota Politbiro, wakil perdana menteri, dan menteri keamanan umum — ditunjuk sebagai pelaksana tugas perdana menteri dan wakil ketua pertama partai. Pada akhir Juni pemerintah mengumumkan bahwa Mao tidak lagi diperkenankan menerima tamu asing. Pada bulan berikutnya, menyusul kematian Zhu De, sebuah gempa memporakporandakan kota Tangshan di Provinsi Hebei. Kejadian-kejadian ini, disusul dengan mangkatnya Mao, mengakibatkan munculnya pendapat yang meluas bahwa "mandat surga" telah dicabut dan partai yang berkuasa. Bangsa Cina kemudian segera berada dalam keadaan ketidakpastian politik yang serius. Meskipun peranan Mao Zedong dalam kehidupan politik telah jarang dan kian dangkal dalam tahun-tahun terakhirnya, ia tetaplah orang yang sangat menentukan hitam-putihnya Cina. Terlepas dari omongan orang bahwa Mao kurang memiliki ketajaman mental, namun pengaruhnya di bulan-bulan menjelang kematiannya (seperti perintahnya untuk memecat Deng dan menunjuk Hua) diterima dengan segera oleh Politbiro. Seperti telah disampaikan di depan, sistem politik Cina telah terpecah menjadi sejumlah kubu beberapa tahun sebelum kematian Mao ke dalam perseteruan antarfaksi yang sangat sengit dan tidak bisa didamaikan. Ketika Mao masih hidup dan memainkan faksi-faksi ini satu sama lain, kekuatan-kekuatan yang bersaing ini dapat diawasi dengan baik. Tetapi, sepeninggal Mao hanya beberapa masalah inheren dalam perebutan puncak kekuasaan yang dapat diselesaikan, masalah yang lebih besar lagi akan segera datang. Klik radikal yang sangat dekat dengan Mao dan Revolusi Kebudayaan menjadi rentan setelah kematian Mao, sebagaimana yang dialami Deng setelah Zhou meninggal. Di bulan Oktober 1976, Jiang Qing dan tiga pengikut utamanya Zhang Chunqiao, Yao Wenyuan dan Wang Hongwen — dikenal sebagai Kelompok Empat — ditahan berkat bantuan dua anggota senior Politbiro, yaitu Menteri Pertahanan Nasional Ye Jianying dan komandan pengawal elit partai Wang Dongxin. Kelompok Empat diadili secara hukum untuk membangun kepercayaan
Universitas Gadjah Mada
publik terhadap hukum dan ketertiban. Zhang dan Jiang divonis mati, namun kemudian diampuni setelah masa tunda dua tahun. Revolusi Kebudayaan tercatat sebagai masa terkelam dalam sejarah Cina modem. Revolusi ini menimbulkan banyak dampak negatif, di antaranya adalah perubahan hubungan pusatprovinsi, peningkatan wewenang propinsi dan militer, pembaruan kurikulum dan akses pendidikan, serta desentralisasi dan partisipasi massa dalam pembangunan ekonomi. Kelak dalam evolusi resmi tahun 1981, PKC mengakui adanya kesalahan serius dalam Revolusi Kebudayaan. Sekjen PKC Hu Yaobang menyebut dekade 1966 — 1967 sebagai malapetaka bagi pendidikan, budaya, dan ekonomi Cina. Jumlah korban selama Revolusi Kebudayaan tidak dapat diketahui secara tepat. 2. Warisan Mao dan De-Maoisasi Pemikiran Mao yang kompleks berakar dan tradisi intelektual Cina, di samping Gerakan 4 Mei 1919, tradisi Marxis-Leninis, dan pengalaman revolusi PKC. Tidak dapat dipungkiri bahwa Mao telah menyumbang banyak ide dan praktek kepada kehidupan politik Cina. Yang terpenting adalah Mao telah memberikan kepada bangsa Cina suatu harapan bahwa mereka dapat melakukan sesuatu terhadap kehidupan mereka sendiri. Maolah yang menekankan bahwa manusia hams terus bereksperimen dan berani mengambil resiko dalam kehidupannya. Mao telah menjadi subjek dari kritik yang intensif sejak 1978. Tetapi jauh sebelum itu, sebenarnya juga telah ada kritik terhadap ide dan tindakan Mao. Misalnya, kritik dan Zhou Enlai dalam Kongres Pemuda Cina I tahun 1949. Ketika itu Zhou memperingatkan para pemuda agar jangan terlalu mendewakan Mao. Di tahun-tahun berikutnya, kritikan terhadap Mao semakin santer setelah ditemukan adanya lima kesalahan politis yang dilakukan oleh Mao: 1. pelaksanaan kampanye penyingkiran kaum intelektual secara besar-besaran pada tahun 1957. Para intelektual ini dianggap sebagai gerakan ekstrim kanan dan dikhawatirkan akan menyebarkan fakta yang ada di Cina kepada dunia luar. Oleh beberapa pengamat, Mao dinilai tidak hanya bertanggung jawab pada peristiwa pembersihan para tokoh intclektual tersebut, tetapi juga dianggap sebagai biang pembuat kebijakan keliru yang menyengsarakan rakyat. 2. Di tahun 1958 Mao melakukan suatu kesalahan lain melalui kebijakan Lompatan Jauh ke Depan yang terlalu menekankan pada pembangunan industri maju dan
Universitas Gadjah Mada
mengabaikan pertanian — padahal sebagian besar masyarakat Cina masih miskin dan tinggal di pedesaan sebagai petani. 3. pembentukan Komite Pusat VIII (1959) yang tujuannya tidak lain untuk mendiskreditkan dan memfitnah para pemimpin partai — termasuk di dalamnya Peng Dehuai — karena pandangan mereka yang tidak sejalan dengan kebijakan Lompatan Jauh ke Depan. 4. Di tahun 1963 Mao menerapkan kebijakan yang keliru mengenai `pertentangan kelas' dan lontradiksf di dalam suatu kampanye massa, yaitu melalui Kampanye Pendidikan Sosialis. 5. Kesalahan terbesar Mao adalah Revolusi Kebudayaan tahun 1966 — 1976, yang salah satu implikasinya adalah pembersihan secara total pemimpin veteran partai yang menentang Mao. Kaum pragmatic menilai Revolusi Kebudayaan merupakan ekspansi yang sangat ekstrim dan ide—ide Mao yang "ultra kin" mengenai `pertentangan kelas' dan `revolusi berkelanjutan'. Revolusi ini dinilai tidak hanya keliru, tetapi juga tidak selaras dengan pemikiran Mao sendiri tentang interpretasinya terhadap hubungan antarkelas yang ada di Cina pada saat itu. Yang paling banyak mendapat cercaan orang dalam Revolusi Kebudayaan ini adalah penerapan prinsip-prinsip MarxisLeninis. Sementara itu, Deng Xiaoping menilai bahwa Revolusi Kebudayaan sudah menyalahi sifat dasar revolusi Cina: pembersihan dan penyiksaan fisik menyebabkan berkurangnya kader—kader yang berpengalaman. Revolusi Kebudayaan ala Mao ini terus-menerus dikritik karena empat hal : (1) Revolusi Kebudayaan menyebabkan terjadinya penggulingan antarkelas; hal ini berarti Mao telah melanggar sendiri prinsip-prinsip 'gratis massa'-nya. (2) Revolusi Kebudayaan ternyata tidak mendapat dukungan massa karena mayoritas massa tidak menyetujui ide-ide "ultra kiri/ultra radikal". (3) Revolusi Kebudayaan merupakan rekayasa Mao yang telah salah dalam memerintah dan mengambil keuntungan dari gerakan radikal. (4) Akhirnya, Revolusi Kebudayaan merupakan malapetaka bagi partai pada khususnya dan segenap rakyat Cina pada umumnya.
Universitas Gadjah Mada