STUDY OF PREPARATION OF FINANCIAL STATEMENTS IN ACCORDANCE IN ACCORDANCE WITH GOVERNMENT REGULATION NUMBER 24 YEAR 2005 ON SAP (Case Study In Solok City Government) Cherie Darmadi, Eliya Isfa’atun, SE., MM, Dhiana Ekowati, SE., MM
Abstract
To achieve a transparent and accountable governance in accordance with the principles of good governance in the management of state finances, the government issued a three-pack of Law in the financial sector that is the Act No. 17 year 2003 on State Finance, Law No. 1 of 2004 on State Treasury and the Law No. 15 year 2004 concerning the Management Audit and State Financial Responsibility, and the issuance of Law no. 32 of 2004 on Regional Governance and Law No. 33 of 2004 on Financial Balance between Central Government and Local Government which affects the entire system of financial management. Law has been expressly mandated that within the framework of the state financial accountability, financial reports should be presented by
the
government
based
on
the
Government
Accounting
Standards.
Realization of Consolidated Budget and Balance Sheet by the City of Solok during the Year 2005 and 2006 are still based on Kepmendagri No. 29 year 2002, while SAP was implemented in the presentation of Budget Realization Report and Balance Sheet in 2007 and 2008. This demonstrates the Government of the City of Solok not ready to comply with PP. 24 of 2005 that the financial statements shall be prepared and presented by SAP. Form of the Balance Sheet before the appropriate SAP simpler, whereas according to SAP after more detailed description. For example look at the Current Assets, Long-Term Investment, Other Assets, Liabilities ShortTerm, Long Term Liabilities and Equity Funds, except for Fixed Assets. But the Budget Realization Report after appropriate SAP more concise than before according to the SAP due to several differences in the classification, eg based revenue source (PAD, Revenue Transfers, and Other Income sah) and expenditure by type of expenditure (Operating Expenditure, Capital Expenditure, Expenditure Profit Sharing and Financial Aid, and Unexpected Expenditures). Solok City's financial condition can be seen from the growth and contribution of PAD, Revenue Sharing and Other Revenue Authorized to budget. Constraints faced by the Government of the
City of Solok in the SAP implementation of acquisition pricing for fixed assets is still problematic because of insufficient availability of proof of ownership and does not know the exact date of purchase on the old assets of the City Government, the basis for determining the allocation of capital expenditure on each SKPD until now there has been clear, the availability of HR staff accounting educational backgrounds that are still low, and the attention of regional governments more focused on political issues that successful direct elections. KAJIAN PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN DAERAH SESUAI SESUAI DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2005 TENTANG SAP (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Solok)
Abstrak
Untuk mewujudkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel sesuai dengan prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan negara, maka pemerintah mengeluarkan tiga paket Undang-Undang di bidang keuangan yakni Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta diterbitkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang berpengaruh terhadap seluruh sistem pengelolaan keuangan daerah. Undang-Undang tersebut telah tegas mengamanatkan bahwa dalam rangka pertanggungjawaban keuangan negara, laporan keuangan harus disajikan oleh pemerintah berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan. Penyajian Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca oleh Pemerintah Kota Solok selama Tahun 2005 dan 2006 masih berdasarkan Kepmendagri No. 29 tahun 2002, sedangkan SAP mulai diterapkan pada penyajian Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca tahun 2007 dan 2008. Hal ini menunjukkan Pemerintah Kota Solok tidak siap dalam mematuhi PP No. 24 tahun 2005 bahwa laporan keuangan wajib disusun dan disajikan berdasarkan SAP. Bentuk penyajian Neraca sebelum sesuai SAP lebih sederhana, sedangkan sesudah sesuai SAP uraiannya lebih terperinci. Contohnya terlihat di dalam Aktiva Lancar, Investasi Jangka Panjang, Aset Lainnya,
Kewajiban Jangka Pendek, Kewajiban Jangka Panjang dan Ekuitas Dana, kecuali Aktiva Tetap. Namun pada Laporan Realisasi Anggaran sesudah sesuai SAP lebih ringkas dibanding sebelum sesuai SAP dikarenakan beberapa perbedaan pengklasifikasian, contohnya
pendapatan
berdasarkan sumbernya (PAD, Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah) dan belanja berdasarkan jenis belanja (Belanja Operasi, Belanja Modal, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, dan Belanja Tidak Terduga). Kondisi keuangan Kota Solok dapat dilihat dari pertumbuhan dan kontribusi PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah terhadap APBD. Kendala yang dihadapi Pemerintah Kota Solok dalam penerapan SAP yaitu penetapan harga perolehan untuk asset tetap sampai saat ini masih bermasalah karena tidak cukup tersedianya bukti kepemilikan dan tidak diketahuinya secara pasti tanggal pembelian pada aset lama Pemerintah Kota, dasar penentuan alokasi belanja modal pada masing-masing SKPD sampai saat ini belum jelas, ketersediaan SDM Pegawai yang berlatar belakang pendidikan akuntansi yang masih rendah, serta perhatian pemda yang lebih fokus pada masalah politik yaitu menyukseskan Pilkada langsung.
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan suatu tuntutan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia memiliki kewajiban untuk terus-menerus berpartisipasi dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance). Kepemerintahan yang baik antara lain ditandai dengan adanya pemerintah yang akuntabel dan transparan.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel sesuai dengan prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan negara, maka pemerintah mengeluarkan tiga paket Undang-Undang di bidang keuangan yakni Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, serta diterbitkannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang berpengaruh terhadap seluruh sistem pengelolaan keuangan daerah. Undang-Undang tersebut telah tegas mengamanatkan bahwa dalam rangka pertanggungjawaban keuangan negara, laporan keuangan harus disajikan oleh pemerintah berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan. Sementara itu, kewajiban menyelenggarakan akuntansi diberikan kepada Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Negara/Daerah dan Menteri/ Pimpinan Lembaga/Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran,
yang meliputi penyelenggaraan akuntansi atas transaksi keuangan, aset utang, ekuitas dana, transaksi pembiayaan dan perhitungannya serta transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya masing-masing. Pada tanggal 13 Juni 2005 merupakan tonggak sejarah bagi pemerintah Indonesia, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Karena pemerintah Indonesia akhirnya memiliki SAP untuk menghasilkan suatu laporan keuangan yang andal dan independen serta dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan keputusan, dibutuhkan sebuah standar yang mengatur secara baku berbagai hal berkaitan dengan aktivitas keuangan daerah. Sebab tanpa adanya penetapan standar akuntansi yang berkualitas tinggi, maka laporan yang akan dihasilkan daerah bisa jadi berbeda-beda antar daerah (Ulum 2004:179). Serta dapat menyebabkan terjadi information asymetry antara pihak internal dan eksternal akan dapat menghasilkan suatu keputusan yang salah dan akan memunculkan risiko. PP No. 24 tahun 2005 merupakan pelaksanaan Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 32 ayat (2) yang menyatakan bahwa SAP disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari BPK. Hal ini juga diamanatkan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 2004. Peraturan Pemerintah ini juga merupakan pelaksanaan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 184 ayat (1) dan (3) tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa laporan keuangan pemerintah disusun dan disajikan sesuai dengan SAP yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Standar Akuntansi Pemerintahan
UU 17/2003
UU 1/2004 UU 15/2004
UU 32/2004
UU 33/2004
PP 24/2005 Standar Akuntansi Pemerintahan
Mengatur
Pendapatan
Belanja
Pembiayaan
Aktiva
Utang
Ekuitas Dana
Menghasilkan
Catatan Atas
Laporan Realisasi
Laporan Keuangan
Anggaran
Neraca
Laporan
Arus Kas Sumber PP No. 24/ 2005 dan Modifikasi dari Reformasi Profesi Akuntansi Sektor Publik dan
Good Governance (Syahroza, 2002). SAP merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah, yang ditetapkan dengan PP Nomor 24 Tahun 2005 dan menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pencatatan dan pelaporan pertanggungjawaban APBN/APBD. Disamping itu, ada harapan semakin baiknya pemahaman
dan
dapat dibandingkannya laporan keuangan pemerintah daerah. Hal ini karena laporan
keuangan disajikan dalam format yang seragam dan struktur yang sama. Akan tetapi, keseragaman format dan struktur penyajian laporan keuangan tersebut memungkinkan pula tertutupinya informasi yang relevan dan khas daerah tersebut, sebab tantangan pencatatan dan pelaporan keuangan berbeda antar satu periode dengan periode berikutnya, terlebih dengan sifat pelayanan publik yang multitask dan memerlukan penanganan secara cepat, yang kadangkala tidak tersusul dengan pengadministrasian program/ kegiatan secara baik, ataupun tindakan pemerintah daerah dilakukan atas dasar informasi akuntansi yang telah ada pada periode sebelumnya. Disamping melayani
kebutuhan
masyarakat
dengan
tujuan pemerintah adalah lebih terfokus
sebaik-baiknya,
yang
dilaksanakan
dengan
pembentukan departemen atau dinas yang melaksanakan program. Sedangkan kinerja departemen atau dinas tersebut tidak dapat diukur dengan rasio-rasio yang biasa didapatkan dari sebuah laporan keuangan seperti return on investment, jumlah sumber daya yang digunakan atau rasio pendapatan dibandingkan dengan sumber daya yang digunakan. Hal ini disebabkan karena sebenarnya dalam kinerja pemerintah tidak pernah ada “net profit”. Kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan sendirinya dipenuhi dengan menyampaikan informasi yang relevan sehubungan dengan hasil dari program yang dilaksanakan kepada wakil rakyat dan juga kelompok-kelompok masyarakat yang memang ingin menilai kinerja pemerintah, yang salah satu bentuknya adalah laporan keuangan. Pelaporan
keuangan
pemerintah
pada
umumnya
hanya
menekankan
pada
pertanggungjawaban apakah sumber daya yang diperoleh sudah digunakan sesuai dengan anggaran atau perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, pelaporan keuangan yang ada hanya memaparkan informasi yang berkaitan dengan sumber pendapatan pemerintah,
bagaimana penggunaannya dan posisi keuangan pemerintah saat itu. Walaupun begitu, laporan keuangan pemerintah harus menyediakan informasi yang dapat dipakai oleh pengguna laporan keuangan untuk menilai akuntabilitas pemerintahan dalam membuat keputusan ekonomi, sosial dan politik. Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik mengambil judul “KAJIAN PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN DAERAH SESUAI DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2005 TENTANG SAP (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Solok)”. 1.2.Rumusan Masalah Sejak diwajibkan tahun 2005, maka baru pada 2008 penyajian laporan keuangan telah mengacu kepada format SAP, butuh waktu tiga tahun dalam masa transisi. Oleh karena itu pertanyaan penting yang perlu diajukan : 1. Apakah perbedaan bentuk penyajian laporan realisasi anggaran dan neraca tahun 2005 – 2008 Pemerintah Kota Solok dengan ketentuan Standar Akuntansi Pemerintah? 2. Bagaimanakah gambaran kinerja keuangan Pemerintah Kota Solok dalam kurun waktu 2005 – 2008 tersebut ? 3. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Solok dalam penyajian Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca, kurun waktu 2005-2008, sesuai dengan ketentuan Standar Akuntansi Pemerintah ? 1.3.Pembatasan Masalah Agar tidak terlalu luas, penelitian dibatasi pada neraca saja dengan pertimbanganpertimbangan :
1. Penyajian laporan keuangan yang akan diteliti dibatasi pada lingkungan yang terbatas yaitu Pemerintah Kota Solok. 2. Penyajian laporan keuangan daerah yang diteliti dibatasi pada Neraca, dan Laporan Realisasi Anggaran. 3. Penilaian kinerja keuangan pada Pemerintah Kota Solok yang dilihat yakni dari APBD tahun 2005-2008. 4. Pengidentifikasian masalah yang muncul hanya dibatasi pada saat penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005-2008 di Pemerintah Kota Solok. 5. Penelitian ini dibatasi kepada ketaatan penyajian laporan Neraca dan Laporan Realisasi Anggaran terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan saja, tidak pada kewajaran nilai yang tertera di dalam neraca. 1.4.Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk dan teknik penyajian laporan keuangan Pemerintah Kota Solok tahun 2005- 2008. 2. Untuk mengetahui sejauh mana kinerja keuangan Pemerintah Kota Solok tahun 20052008. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Pemerintah Kota Solok dalam melaksanakan SAP pada tahun 2005-2008. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis, Penelitian ini dapat memberikan pengalaman belajar dan tambahan pengetahuan maupun wawasan tentang bagaimana ruang lingkup dari pemerintahan khususnya mengenai teknik penyajian laporan keuangan dan penilaian kinerja keuangan pemerintah daerah yang diteliti, serta untuk membandingkan teori yang didapat dari studi kuliah dengan kenyataan yang sebenarnya. 2. Bagi pembaca, dapat digunakan sebagai gambaran sejauh mana perkembangan kinerja keuangan Pemerintah Kota Solok. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya.
3. Bagi Pemerintah Kota Solok, analisis ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan untuk mengoptimalkan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sebagai alternatif masukan untuk meningkatkan pengelolaan keuangan pemerintah daerah secara ekonomis, efisien dan efektif demi perwujudan reformasi manajemen keuangan pemerintah.
1.6. Sistematika Penelitian Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran penelitian yang lebih jelas dan sistematis sebagai berikut : BAB I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai latar belakang penelitian, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II. LANDASAN TEORI Bab ini menyampaikan pengertian dan konsep good governance, akuntansi sektor publik, akuntansi pemerintah, standar akuntansi pemerintah, laporan keuangan menurut kerangka konseptual dalam standar akuntansi
pemerintah, pelaksanaan konversi SAP,
kebijakan
akuntansi yang penting, komponen laporan keuangan dan analisis laporan keuangan, pengukuran unsur laporan keuangan dan hasil penelitian terdahulu. BAB III. METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan jenis penelitian, data yang diperlukan, jenis data dan sumber data, definisi operasional, metode pengumpulan data, obyek penelitian, dan analisis penyajian laporan keuangan dan alat analisis data. BAB IV. PEMBAHASAN Bab ini menyajikan deskripsi umum Pemerintah Kota Solok, visi dan misi Pemkot Solok dan hasil analisis data serta pembahasannya. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan permasalahan dan menyampaikan saransaran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah kota Solok.
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Good Governance Good Governance adalah tata kelola organisasi secara baik dengan prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Tata kelola organisasi secara baik dapat dilihat dalam konteks mekanisme internal atau mekanisme eksternal organisasi. Mekanisme internal lebih fokus kepada bagaimana pimpinan suatu organisasi mengatur jalannya organisasi dengan ketiga prinsip diatas, sedangkan mekanisme eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi organisasi dengan pihak eksternal berjalan secara harmonis tanpa mengabaikan pencapaian tujuan organisasi. 2.2. Prinsip-Prinsip Governance Pada umumnya prinsip-prinsip governance dirangkum dalam lima prinsip (Syakhroza, 2002), yaitu : 1. Transparancy Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan. Prinsip transparansi ini berkaitan dengan adanya penyajian informasi kepada stakeholders, baik diminta maupun tidak diminta, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kinerja operasional, keuangan dan risiko usaha perusahaan. 2. Accountability Menjelaskan peran dan tanggung jawab serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, stakeholder lainnya sebagaimana yang diawasi oleh komisaris.
Prinsip akuntabilitas berkaitan dengan pertanggungjawaban Komisaris atau Direksi atas keputusan dan hasil yang dicapai; sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan dalam pelaksanaan tanggung jawab mengelola perusahaan. 3. Responsibility Kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku dan prinsip korporasi. Pelaksanaan prinsip ini memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan dipatuhinya nilainilai sosial. 4. Independency Menjamin para Komisaris dan Direksi beserta manajemen secara mandiri melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing sesuai dengan peraturan yang ada. Independensi atau kemandirian bermakna bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya mengelola perusahaan; para pemegang saham, Komisaris dan Direksi sepenuhnya terlepas dari berbagai pengaruh/tekanan pihak lain yang dapat merugikan, mengganggu atau menurunkan objektifitas pengambilan keputusan atau mengurangi efektifitas pengelolaan kinerja perusahaan. 5. Fairness Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak pemegang saham minoritas, dan para pemegang saham asing dan stakeholder lainnya, serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor dan stakeholder lainnya. Pemberian perlakuan yang adil kepada para stakeholder, pemegang saham minoritas dan asing. 2.3. Akuntansi Publik Dalam waktu yang relatif singkat Akuntansi Sektor Publik telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Terdapat tuntutan yang lebih besar dari masyarakat untuk dilakukan transparansi dan akuntabilitas publik oleh lembaga-lembaga sektor publik dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Ada beberapa tujuan yang diharapkan dalam pelaksanaan Akuntansi Sektor Publik. Menurut American Accounting Association (1970), menyatakan bahwa tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik, yaitu : 1. Memberikan informasi yang diperlukan untuk mengelola secara tepat, efisien dan ekonomis atas suatu operasi dan alokasi yang dipercayakan kepada organisasi. 2. Memberikan informasi yang memungkinkan bagi manajer untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan secara tepat dan efektif program dan penggunaan sumber daya yang menjadi wewenangnya dan memungkinkan bagi pegawai pemerintah untuk melaporkan kepada publik atas hasil laporan operasi pemerintah dan penggunaan dana publik, Salah satu bagian dari Akuntansi Sektor Publik adalah Akuntansi Pemerintah. 2.4. Akuntansi Pemerintah Akuntansi pemerintahan meliputi aktivitas pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran, pelaporan transaksi-transaksi keuangan pemerintah sebagai suatu kesatuan dan unit-unitnya, serta penafsiran atas hasil aktivitas ini. Akuntansi Pemerintahan memiliki tiga tujuan pokok, yaitu : 1. Pertanggungjawaban (Accountability and Stewardship) Tujuan akuntansi pemerintahan adalah memberikan informasi keuangan yang lengkap, cermat, dalam bentuk dan waktu yang tepat, yang berguna bagi pihak yang bertanggung jawab yang berkaitan dengan operasi unit-unit pemerintahan. Fungsi pertanggungjawaban memiliki arti yang lebih luas daripada sekedar ketaatan terhadap peraturan, tetapi juga harus bertindak bijaksana dalam penggunaan sumber-sumber daya. Tujuan pertanggungjawaban ini adalah yang utama karena terdapat ketentuan bahwa tiap orang atau badan yang mengelola keuangan negara harus memberikan pertanggungjawaban atau perhitungan. Contoh, Perhitungan Anggaran (PA) yang dibuat oleh Biro Keuangan dari tiap Bagian Anggaran (Departemen/Lembaga). 2. Manajerial Akuntansi pemerintah juga harus menyediakan informasi keuangan yang diperlukan untuk perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian
anggaran, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan penilaian kinerja pemerintah. Tujuan manajerial ini perlu dikembangkan agar organisasi pemerintah tingkat atas dan menengah dapat mengandalkan informasi keuangan atas pelaksanaan yang lalu untuk membuat keputusan ataupun untuk penyusunan perencanaan masa yang akan datang. 3. Pengawasan Akuntansi
pemerintahan
juga
harus
memungkinkan
terselenggara-nya
pemeriksaan oleh aparat pengawasan fungsional secara efektif dan efisien. Karakteristik Akuntansi Pemerintah Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan akuntansi pemerintahan : 1) Akuntansi memegang peranan penting dalam proses penyajian informasi keuangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan (para pengguna informasi keuangan pemerintah) diantaranya adalah para pejabat pemerintahan sendiri, DPR, BPK, Direktorat Jendral Pajak, masyarakat, lembaga donor (pemberi bantuan keuangan), pemerintah negara lain. 2) Akuntansi berhubungan dengan data keuangan masa lalu, namun informasi yang dihasilkannya sangat berguna untuk pengambilan keputusan di masa yang akan datang. Dalam hubungannya dengan akuntansi pemerintahan, hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut: a) Pejabat pemerintahan suatu daerah dapat menggunakan informasi keuangan tentang daerahnya dalam memutuskan jenis pembangunan infrastruktur di wilayahnya. b) Lembaga donor dari luar negeri perlu menganalisis informasi keuangan dari beberapa instansi pemerintahan sebelum memutuskan kemana dana bantuan akan dialokasikan. c) Selain berguna untuk pengambilan keputusan, informasi yang dihasilkan oleh proses akuntansi juga berguna untuk melakukan evaluasi. Dalam hubungannya dengan akuntansi pemerintahan, hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut: 1) DPRD menggunakan informasi keuangan tentang daerahnya untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah.
2) BPK juga menggunakan informasi keuangan tentang suatu institusi pemerintah dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan keuangannya. 3) Entitas ekonomi yang menjadi subjek atau pelaku akuntansi pemerintahan adalah semua organisasi yang menggunakan dana anggaran, baik anggaran negara maupun anggaran daerah. Tabel 2.1 Entitas Pemerintahan No.
Keterangan
Entitas Pemerintah
1
Tujuan Entitas
Non profit oriented : meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan.
2
Sumber-sumber
‐
Pembayaran pajak atau retribusi
pendanaan
‐
Pemerintah daerah : sumbangan/subsidi dari pemerintah pusat.
3
4
Peraturan
Harus melakukan aktivitasnya sesuai dengan
Perundangan
peraturan perundangan yang berlaku.
Kepemilikan entitas
Dimiliki secara kolektif oleh masyarakat.
2.5. Standar Akuntansi Pemerintah Sistem akuntansi Keuangan Daerah yang berlaku pada masa lalu tercermin dalam perhitungan APBD menggunakan sistem pembukuan tunggal yang berbasis kas. Prinsip basis kas adalah mengakui pendapatan pada saat diterimanya kas dan mengakui belanja atau biaya pada saat dikeluarkannya kas. Hal tersebut tentu saja sangat terbatas karena informasi yang dihasilkan hanya berupa kas yang terdiri atas informasi kas masuk, kas keluar dan saldo kas. Pertanggungjawaban ke publik terbatas pada penggunaan kas dan tidak mencantumkan pertanggungjawab-an atas pengelolaan aktiva lainnya serta utang atau kewajiban yang membutuhkan penyelesaian kas di masa depan. Pengembangan sistem akuntansi yang baru
diharapkan dapat melakukan sistem pembukuan berganda dan penggunaan basis akrual. Sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 penerapan akuntansi dalam praktik pemerintahan daerah adalah berbasis kas. Dengan dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 2003 pada tanggal 05 April 2003, sistem berbasis kas dihapus. Penerbitan SAP adalah amanat UU 17/2003 dan UU 1/2004. Jadi dengan demikian jelas bahwa SAP bukan suatu kontroversi atau hal yang baru karena sudah lama di-rencanakan oleh pemerintah. UU yang digunakan sebelum SAP merupakan proses persiapan untuk menerapkan SAP di sektor pemerintahan pusat maupun daerah. Pemerintah pusat menetapkan peraturan bahwa Laporan Keuangan disusun menurut Standar Akuntansi Pemerintah. SAP pada tanggal 13 Juni 2005 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005. 2.6. Laporan Keuangan Menurut Kerangka Konseptual dalam Standar Akuntansi Pemerintah.
2.6.1. Peranan Pelaporan Keuangan Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan selama satu periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan dan belanja dengan anggaran yang telah ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan. Setiap entitas pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan : 1. Akuntabilitas Mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik. 2. Manajemen
Membantu para pengguna untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan suatu entitas dalam periode pelaporan sehingga memudahkan fungsi perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian atas seluruh aset, kewajiban dan ekuitas dana pemerintah untuk kepentingan masyarakat. 3. Transparansi Memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan. 4. Keseimbangan antar generasi. Membantu para pengguna dalam mengetahui apakah penerimaan pemerintah pada periode laporan cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung pengeluaran tersebut. 2.6.2. Tujuan Pelaporan Keuangan Pelaporan keuangan pemerintah seharusnya menyajika informasi yang bermanfaat bagi para pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan ekonomi, keputusan sosial, maupun politik dengan : 1. Menyediakan informasi mengenai apakah penerimaan periode berjalan cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran. 2. Menyediakan informasi mengenai apakah cara memperoleh sumber daya ekonomi dan alokasinya telah sesuai dengan anggaran yang ditetapkan dan peraturan perundangundangan. 3. Menyediakan informasi mengenai jumlah sumber daya ekonomi yang digunakan dalam kegiatan entitas pelaporan serta hasil-hasil yang telah dicapai. 4. Menyediakan informasi mengenai bagaimana pelaporan mendanai seluruh kegiatannya dan mecukupi kebutuhan kasnya.
5. Menyediakan informasi mengenai posisi keuangan dan kondisi entitas pelaporan berkaitan dengan sumber-sumber penerimaannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk yang berasal dari pungutan pajak dan pinjaman. 6. Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama periode pelaporan. Untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut, laporan keuangan menyediakan informasi mengenai pendapatan, belanja, pembiayaan, aset, kewajiban, ekuitas dana, arus kas suatu entitas pelaporan. 2.6.3. Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan. Karakteristik kualitatif laporan keuangan adalah ukuran-ukuran normatif yang perlu diwujudkan dalam informasi akuntansi sehingga memenuhi tujuannya. Keempat karakteristik berikut ini merupakan prasyarat normatif yang diperlukan agar laporan keuangan pemerintah dapat memenuhi kualitas yang dikehendaki. 1. Relevan Apabila informasi yang terkandung didalamnya dapat mempengaruh keputusan pengguna dan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu dan masa kini, memprediksi masa depan, mengkoreksi atau menegaskan hasil evaluasi mereka di masa lalu. Ciri-ciri informasi yang relevan adalah memiliki manfaat umpan balik, manfaat prediktif, tepat waktu, dan lengkap. 2. Andal Informasi laporan keuangan bebas dari pengertian menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan fakta secara jujur, serta dapat diverifikasi, dan netral tidak berpihak pada kebutuhan pihak tertentu. 3. Dapat Dibandingkan Informasi keuangan dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya atau laporan keuangan entitas pelaporan lain pada umumnya. 4. Dapat Dipahami
Informasi laporan keuangan dapat dipahami oleh pengguna dan dan dinyatakan dalam bentuk serta istilah yang disesuaikan dengan batas pemahaman para pengguna. 2.7. Pelaksanaan Konversi dalam Masa Transisi PP No. 24/2005 mengamanatkan penyusunan dan penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2005 sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), sedangkan APBD masih disusun dan dilaksanakan berdasarkan Kepmendagri 29/2002, maka pemerintah daerah perlu menyusun strategi implementasi untuk penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2005. Masa transisi ini akan berlangsung sejak diberlakukannya PP 24/2005 sampai dengan pemerintah telah mengembangkan sistem akuntansi dan mengimplementasikan-nya secara penuh sesuai dengan SAP. 2.8. Kebijakan Akuntansi yang Penting Kebijakan akuntansi yang digunakan oleh suatu pemerintah daerah perlu diperhatikan kesesuaiannya dengan SAP. Identifikasi ini sangat menentukan penyesuaian yang harus dilaksanakan. Berikut ini beberapa kebijakan akuntansi penting yang seringkali belum sepenuhnya sesuai dengan SAP. 1. Pengakuan Pendapatan dan Belanja SAP menggunakan basis kas untuk pengakuan pendapatan dan belanja. Pendapatan diakui setelah penerimaan uang disetor ke Rekening Kas Umum Daerah. Belanja diakui setelah uang dikeluarkan secara definitif dari Rekening Kas Umum Daerah dan/atau telah dipertanggung-jawabkan. Kepmendagri No, 29/2002 menyatakan bahwa basis akuntansi yang digunakan untuk mengakui pendapatan dan belanja adalah basis kas modifikasian. Menurut Granof, dalam basis kas modifikasian, akun pendapatan dan belanja dibuka dalam beberapa waktu setelah tutup tahun anggaran. Pendapatan yang diterima dalam kurun waktu yang ditetapkan diakui sebagai pendapatan dan belanja yang dibayar selama jangka waktu yang ditetapkan masih diakui sebagai belanja pada tahun anggaran tersebut. Dengan demikian maka sistem akuntansi akan menghasilkan Laporan Realisasi
Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Neraca yang hanya memuat pos kas serta piutang dan utang yang berasal dari kegiatan operasi pemerintahan. Pemerintah daerah perlu memperhatikan basis pengakuan pendapatan dan belanja yang digunakan dalam APBD masing-masing. Apabila Pemda telah menggunakan basis kas modifikasian, maka besarnya pendapatan dan belanja yang berasal dari selisih yang terjadi karena penggunaan basis yang berbeda tersebut dieliminasi. 2. Pengakuan Aset Kepmendagri No. 29/2002 mengatur bahwa pengakuan aset dilakukan pada akhir periode. Sementara SAP menyatakan bahwa aset diakui pada saat diterima dan/atau hak kepemilikan berpindah. Dengan demikian selama tahun berjalan terdapat perbedaan waktu pengakuan aset namun pada akhir periode akuntansi akan diperoleh saldo aset yang sama. 3. Pengakuan Kewajiban Kepmendagri 29/2002 menyatakan bahwa utang diakui pada akhir periode. SAP menyatakan bahwa kewajiban diakui pada saat pinjaman diterima atau kewajiban timbul. Untuk meyakini bahwa seluruh utang sudah disajikan di neraca, pemerintah daerah dan setiap satuan kerja perangkat daerah perlu menginventarisasi utang-utang di unitnya masing-masing dan menyajikannya di neraca per 31 Desember . 4. Penilaian Aset Dalam rangka penyusunan neraca awal, Kepmendagri 29/2002 mengatur bahwa Kepala Daerah dapat secara bertahap melakukan penilaian seluruh aset Daerah yang dilakukan oleh Lembaga Independen bersertifikat bidang pekerjaan penilaian aset dengan mengacu pada Pedoman penilaian Aset Daerah yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri. SAP mengatur bahwa aset dinilai berdasarkan harga perolehan. Ketentuan ini berlaku untuk transaksi yang terjadi setelah penyusunan neraca awal (neraca yang pertama kali disusun). Sedangkan untuk aset yang sudah dimiliki pada saat penyusunan
neraca pertama kali (neraca awal) dinilai berdasarkan nilai wajar pada tanggal penyusunan neraca tersebut. 2.9. Komponen Laporan Keuangan Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 mensyaratkan setiap instansi pemerintahan harus menyusun laporan keuangan sebagai berikut: 1. Laporan Realisasi Anggaran 2. Neraca 3. Laporan Arus Kas 4. Catatan Atas Laporan Keuangan 2.9.1. Laporan Realisasi Anggaran Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber alokasi, dan pemakaian sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu periode pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung oleh Laporan Realisasi Anggaran terdiri dari pendapatan, belanja dan pembiayaan. Masing-masing unsur didefinisikan sebagai berikut : 1. Pendapatan (basis kas) adalah semua penerimaan kas umum negara/daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah pusat/daerah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah pusat/daerah. 2. Pendapatan (basis akrual) adalah hak pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. 3. Belanja (basis kas) adalah semua pengeluaran kas umum negara/ kas daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. 4. Belanja (basis akrual) adalah kewajiban pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
5. Pembiayaan (financing) adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus anggaran. 6. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari hasil pinjaman dan aktivitas divestasi. Pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah. 2.9.2. Neraca Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Setiap entitas pelaporan mengklasifikasikan asetnya dalam aset lancar dan nonlancar serta meng-klasifikasikan kewajibannya. Unsur-unsur yang dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas dana. Masing-masing unsur didefinisikan sebagai berikut : 1. Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah atau masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. 2. Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah. 3. Ekuitas dana adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih antara aset dan kewajiban pemerintah. 2.9.3. Laporan Arus Kas Laporan Arus Kas menyajikan informasi mengenai sumber, penggunaaan, perubahan kas dan setara kas selama satu periode akuntansi, dan saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan. Arus masuk dan keluar kas diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset nonkeuangan, pembiayaan, dan nonanggaran. Unsur yang dicakup dalam Laporan Arus Kas terdiri dari penerimaan dan pengeluaran kas, yang masing-masing didefinisikan sebagai berikut:
1. Penerimaan kas adalah semua aliran kas yang masuk ke kas umum negara/daerah. 2. Pengeluaran kas adalah semua aliran kas yang keluar dari kas umum negara/daerah. 2.9.4. Catatan Atas Laporan Keuangan Catatan atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas. Termasuk pula dalam Catatan atas Laporan Keuangan adalah penyajian informasi yang diharuskan dan dianjurkan oleh Standar Akuntansi Pemerintahan serta pengungkapanpengungkapan lainnya yang diperlukan untuk penyajian yang wajar atas laporan keuangan, seperti kewajiban kontinjensi dan komitmen-komitmen lainnya, informasi umum, kebijakan akuntansi, penjelasan pos-pos laporan keuangan, pengungkapan lainnya, dan informasi tambahan yang diperlukan. 1. Menyajikan informasi tentang kebijakan fiskal/keuangan, ekonomi makro, pencapaian target Undang-Undang APBN/Perda APBD, berikut kendala dan hambatan yang dihadapi dalam pencapaian target. 2. Menyajikan ikhtisar pencapaian kinerja selama tahun pelaporan. 3. Menyajikan informasi dasar tentang penyusunan laporan keuangan dan kebijakankebijakan akuntansi yang dipilih untuk diterapkan atas transaksi-transaksi dan kejadiankejadian penting lainnya. 4. Mengungkapkan informasi yang diharuskan oleh Standar Akuntansi Pemerintah yang belum disajikan pada lembar muka laporan keuangan. 5. Mengungkapkan informasi untuk pos-pos aset dan kewajiban yang timbul sehubungan dengan penerapan basis akrual atas pendapatan dan belanja dan rekonsiliasinya dengan penerapan basis kas. 6. Menyediakan informasi tambahan yang diperlukan untuk penyajian yang wajar yang tidak disajikan pada lembar muka laporan keuangan. 2.10. Analisis Laporan Keuangan Secara singkat analisis laporan keuangan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan suatu entitas tertentu. Untuk
itu, seseorang yang melakukan analisis atas laporan keuangan perlu menguraikan pos-pos laporan tersebut menjadi unit informasi yang lebih rinci dan melihat hubungan antara satu dengan yang lainnya guna mengetahui kondisi keuangan entitas tersebut untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan. Analisis laporan keuangan merupakan upaya untuk mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan pemerintah daerah, dengan meng-uraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih rinci dan melihat hubungan antar pos untuk mengetahui kondisi keuangan, sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Hasil dari analisis laporan keuangan diharapkan dapat meminimalkan bahkan menghilangkan penilaian yang bersifat dugaan semata, ketidakpastian, pertimbangan pribadi, dan kesalahan proses akuntansi. Bahkan melalui analisis laporan keuangan juga kemungkinan dapat diketahui adanya kesalahan proses akuntansi. Dengan demikian akan menambah keyakinan pengguna laporan atas data atau informasi yang tersedia sehingga pengambilan keputusannya menjadi lebih akurat. Karakteristik dari analisis laporan keuangan adalah: 1. fokus pada laporan keuangan utama, 2. memuat analisis hubungan, 3. mengandung implikasi dan prediksi, dan 4. hasilnya tergantung pada kemampuan analisnya. Secara umum, tujuan analisis laporan keuangan adalah untuk menilai kondisi dan kinerja keuangan; sedangkan tujuan analisis laporan keuangan daerah adalah untuk: a. mengetahui kondisi keuangan pemerintah daerah serta perubahan-perubahannya, b. meyakini ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, c. mengetahui kemampuan pemerintah daerah dalam memenuhi kewajibannya, d. mengetahui kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan dana untuk kegiatannya, e. mengevaluasi kinerja pemerintah daerah dalam melaksanakan program-programnya, dan f. mengetahui potensi pemerintah daerah dalam menghasilkan sumber daya.
Dalam rangka meningkatkan kinerja anggaran daerah, salah satu aspek penting adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk itu diperlukan manajemen keuangan daerah yang mampu mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. World Bank (1998: 46) menyebutkan bahwa dalam pencapaian visi dan misi daerah, penganggaran dan manejemen keuangan dilaksanakan dengan prinsipprinsip pokok yang meliputi komprehensif dan disiplin, akuntabilitas, kejujuran, transparansi, fleksibilitas, terprediksi, dan informatif. Selanjutnya Mardiasmo (2000: 1-3) mengemukakan elemen manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi: akuntabilitas, value for money, kejujuran, transparansi, dan pengendalian. 1) Akuntabilitas Keuangan Daerah. Akuntabilitas keuangan daerah adalah kewajiban Pemerintah Daerah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan penerimaan dan penggunaan uang publik kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (DPRD dan masyarakat luas). Aspek penting yang harus dipertimbangkan ialah, pertama, aspek legalitas penerimaan dan pengeluaran daerah. Setiap transaksi yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya. Kedua, pengelolaan (stewardship) keuangan daerah secara baik, perlindungan asset fisik dan finansial, mencegah terjadinya pemborosan dan salah urus. Prinsip-prinsip akuntabilitas keuangan daerah meliputi, pertama, adanya suatu sistem akuntansi dan sistem anggaran yang dapat menjamin bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kedua, pengeluaran daerah yang dilakukan berorientasi pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil (manfaat) yang akan dicapai. 2) Value for money. Kinerja anggaran pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus dapat memanfaatkan uang sebaik mungkin dengan konsep value for money yang
berorientasi kepada kepentingan publik. Hal ini berarti dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut harus mencerminkan tiga pilar utama (3E) dalam proses penganggaran yaitu: ekonomis, efisiensi dan efektivitas. a) ekonomis, merupakan ukuran penggunaan dana masyarakat sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya. b) efisiensi, merupakan ukuran penggunaan dana masyarakat (public money) yang dapat menghasilkan output maksimal (berdayaguna). c) efektivitas, merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan, dan prosedur dapat mencapai tujuan kepentingan publik. Peran Pemerintah Daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan Pemerintah Pusat, melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Konsep VFM ini penting bagi Pemerintah Daerah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasinya akan memberikan manfaat seperti: a) efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran; b) meningkatkan mutu pelayanan publik; c) biaya pelayanan yang murah, karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan resources; d) alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; e.
meningkatkan
publik
cost
awareness
sebagai
akar
pelaksanaan
pertanggungjawaban publik. Dalam konteks otonomi daerah, Value For Money (VFM) merupakan jembatan untuk mengantarkan Pemerintah Daerah mencapai good governance, yaitu Pemerintah Daerah yang transparan, ekonomis, efisiensi, efektif, responsif dan akuntabel. VFM tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. 3)
Kejujuran.
Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan. 4) Transparansi. Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah, sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara Pemerintah Daerah dengan masyarakatnya, sehingga tercipta Pemerintah Daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat. 5) Pengendalian. Penerimaan dan pengeluaran daerah harus sering dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians/selisih terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan ke depan untuk tindakan antisipasi. Langkah-langkah dalam pengukuran Value for Money atas pengeluaran daerah dapat dirinci menurut indikatornya sebagai berikut: 1. Efisiensi PAD. Efisiensi
dapat
diukur
dengan
rasio
antara
output/keluaran
dan
input/masukan sekunder (pengeluaran). Semakin besar output yang dihasilkan dibandingkan dengan pengeluaran yang dilakukan, maka semakin efisien suatu organisasi. Rasio efisiensi tidak dinyatakan dalam bentuk absolut tetapi dalam bentuk relatif. Karena efisiensi diukur lewat perbandingan keluaran dan masukan, maka perbaikan efisiensi dapat dilakukan dengan cara: a. Meningkatkan output pada tingkat pengeluaran tetap. b. Meningkatkan output dalam proposi yang lebih besar dari pada propos peningkatan pengeluaran. c. Menurunkan pengeluaran pada tingkatan output tetap.
d. Menurunkan pengeluaran dalam proposi yang lebih besar daripada proposi penurunan output. Efisiensi PAD adalah perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh PAD dengan realisasi pendapatan yang diterima. 2.
Efektifitas PAD. Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan suatu organisasi. Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan maka organisasi tersebut telah berjalan dengan efektif. Hal terpenting yang
perlu dicatat adalah bahwa efektivitas tidak
menyatakan berapa besar pengeluaran yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Pengeluaran boleh jadi melebihi apa yang telah dianggarkan. Efektifitas PAD adalah perbandingan untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan yang target yang ditetapkan. 3. Perbandingan Realisasi vs Anggarannya. Perbandingan ini untuk mengukur realisasi pos-pos APBD yang meliputi realisasi pendapatan, belanja, surplus (defisit), dan pembiayaan. Perbandingan ini pada dasarnya untuk mengetahui keberhasilan pencapaian target pendapatan dan mengevaluasi ketaatan dalam pelaksanaan belanja dan pembiayaan. 4. Perbandingan Realisasi Tahun Ini vs Tahun Lalu. Perbandingan ini dimaksudkan untuk mengukur pertumbuhan (kenaikan/penurunan) pos-pos APBD dalam dua tahun anggaran yang berurutan. 5. Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian pemda dalam hal pendanaan aktivitasnya. Rasio ini dapat diukur dengan membandingkan jumlah PAD terhadap jumlah DAU ditambah jumlah pinjaman (selain utang PFK dan utang pajak PPn/PPh). 6. Keserasian Belanja Rasio Keserasian Belanja mengukur perbandingan antara belanja tidak langsung dengan belanja langsung. Kondisi ideal yang diharapkan adalah belanja langsung
(terutama yang bermanfaat langsung bagi publik) yang lebih besar dan semakin lebih besar dari belanja tidak langsung. 7. Likuiditas Rasio likuiditas mengukur kemampuan pemda untuk membayar utang (kewajiban) jangka pendeknya. Rasio ini bisa diukur dengan rasio lancar dan rasio kas (terhadap utang jk. Pendek). Pos persediaan pada neraca pemda umumnya bukan persediaan barang dagang yang ditujukan untuk dijual tetapi untuk digunakan dalam operasi pemerintah atau diserahkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam perhitungan rasio lancar sebaiknya pos persediaan tidak diperhitungkan. 8. Solvabilitas Rasio solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan pemda untuk membayar semua utangnya yang akan jatuh tempo. Rasio ini bisa diukur dengan rasio aktiva terhadap utang atau rasio ekuitas dana terhadap utang. 9. Leverage Rasio leverage digunakan untuk mengukur perbandingan antara ekuitas dana (kekayaan bersih pemda) dengan total utang. Rasio leverage selama ini hanya digunakan di sektor perusahaan untuk mengukur komposisi sumber pembiayaan yang berasal dari kreditor dan investor. Di pemerintah daerah, rasio ini mungkin belum (tidak) merupakan rasio yang penting sebab tingkat utang daerah yang masih relatif kecil dan syarat penarikan pinjaman daerah menggunakan DSCR dan rasio maksimum pinjaman. Analisis perbandingan pos-pos laporan keuangan pemerintah daerah memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut: 1) Belum ada keseragaman. 2) Belum ada standar untuk melakukan penilaian. 3) Hasil perhitungannya belum tentu dapat dibandingkan. 4) Validitas hasil perhitungannya tergantung pada validitas angka-angka laporan keuangan 2.11. Pengukuran Unsur Laporan Keuangan
Pengukuran adalah proses penetapan nilai uang untuk mengakui dan memasukkan setiap pos dalam laporan keuangan. Pengukuran pos-pos dalam laporan keuangan menggunakan nilai perolehan historis. Aset sebesar pengeluaran kas dan setara kas atau sebesar nilai wajar dari imbalan yang diberikan untuk memperoleh aset tersebut. Kewajiban dicatat sebesar nilai nominal. Pengukuran pos-pos laporan keuangan menggunakan mata uang Rupiah. Transaksi yang menggunakan mata uang asing dikonversi terlebih dahulu dan dinyatakan dalam mata uang Rupiah. 2.12. Hasil Penelitian Terdahulu Uraian singkat mengenai penelitian sebelumnya yakni Jurnal Akuntansi Pemerintah Vol. 2, No. 1, Mei 2006 Hal 19 – 52: Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah daerah dalam masa transisi oleh Sumiyati, Ak. MFM, yang intinya menyajikan laporan keuangan pada tahun anggaran 2005 menggunakan Bulletin Teknis Konversi Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Sesuai SAP dari Laporan Keuangan versi Kepmendagri No. 29/2002 ke versi SAP. Dan penelitian dari Hesti Widiastuti yang berjudul Evaluasi Atas Kesiapan Pemerintah Kota Bekasi Menerapkan Laporan Keuangan Sesuai Standar Akuntansi Pemerintah Dalam Mewujudkan Good Government Governance di FE. UI, 2005. Kesimpulan penelitiannya yaitu ketidakefektifan penyelenggaran laporan keuangan di Pemerintah Kota Bekasi karena perangkat daerah seperti dinas, badan, kecamatan dan kelurahan menerapkan
Manual
Keuangan
Daerah.
Perangkat
daerah
memberikan
masih laporan
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah secara manual kepada bagian Sub Verifikasi dan Pembukuan Pemkot Bekasi yang direkapitulasi dan diolah secara akuntansi menjadi laporan keuangan Pemkot Bekasi sejak tahun 2003. Kendala yang dihadapi Pemkot Bekasi dalam melaksanakan laporan keuangan sesuai SAP adalah kurangnya perhatian Walikota Bekasi dan DPRD Kota Bekasi terhadap pengembangan system akuntansi keuangan daerah, SDM yang memiliki kompetensi di bidang akuntansi masih sedikit, fasilitas computer untuk menunjang system akuntansi belum memadai dan kurangnya sosialisasi penerapan laporan keuangan sesuai SAP karena sempitnya waktu antara penetapan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2005 tentang SAP tanggal 13 Juni 2005 dan
penerapan SAP di pemerintah daerah pada tahun anggaran 2006. Serta penelitian oleh Gina Fathillah yang berjudul Evaluasi Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Kutai Kalimantan Timur di FE, UI, 1 September 2001. Penelitiannya bertujuan untuk mengetahui perkembangan keuangan daerah Kabupaten Kutai dilihat dari kontribusi PAD, BHP/BP dan Sumbangan dan Bantuan terhadap APBD, serta pertumbuhan PAD, BHP/BP, Sumbangan dan Bantuan dan APBD. Mengetahui proporsi dan pertumbuhan komponen belanja rutin terhadap total belanja rutin. Mengetahui besarnya proporsi dan pertumbuhan sektor belanja pembangunan terhadap total belanja pembangunan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu APBD selama periode tahun anggaran 1996/1997 sampai 2000. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pertumbuhan dan analisis kontribusi. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Dalam penelitian digunakan studi kasus yang sifatnya analitif deskriptif pada Pemerintah Kota Solok. Metode penelitian yang akan dilakukan dengan metode deskriptif ini untuk mengevaluasi penyajian laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah serta kinerja Pemerintah Kota Solok sebelum dan sesudah diterapkannya SAP yang dilakukan dengan cara membandingkan antara teori-teori yang ada di literature buku dengan realita yang terjadi di Pemerintahan Kota Solok. 3.2. Data yang Diperlukan Populasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah ruang lingkup kerja Pemerintah Kota Solok. Sampel yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah Walikota Solok, Wakil Walikota Solok, Bagian Keuangan Pemkot Solok guna mengetahui penerapan laporan keuangan sesuai SAP. Metode pengambilan sampel yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode purposive sampling, dimana sampel yang dipilih berdasarkan pertimbanganpertimbangan tertentu, yakni yang berhubungan langsung dengan pihak-pihak yang terkait dalam menetapkan dan menerapkan laporan keuangan sesuai SAP. 3.3. Jenis Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data neraca, target dan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) terdiri pendapatan dan belanja. Pendapatan terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHP/BP) serta Sumbangan dan Bantuan, sisa lebih perhitungan tahun lalu, pendapatan lainnya dan pinjaman. Belanja terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan, yang diambil dari APBD tahun anggaran 2005 sampai tahun 2008 Kota Solok. Penjelasan mengenai data yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang disingkat APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
2.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimaksud adalah realisasi Pendapatan Asli Daerah yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba Badan Usaha Milik Daerah, pendapatan dinas-dinas dan pendapatan lain-lain, yang
dimaksudkan
adalah data
anggaran dan realisasi APBD, anggaran dan realisasi pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan dari tahun anggaran 2005 sampai tahun 2008. 3.
Neraca Kota Solok selama kurun waktu 2005 sampai tahun 2008.
3.4. Definisi Operasional Definisi operasional yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini antara lain adalah: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan arahan dasar sebagai acuan pembiayaan bagi pelaksanaan pembangunan daerah satu tahunan, guna dijadikan sumber pembiayaan pembangunan sektoral di daerah; 2. Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah aset atau kekayaan bagi daerah berdasarkan Daftar Usulan Kegiatan Daerah (DUKDA). Belanja rutin ini terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, dan belanja lain-lain; 3. Belanja pembangunan adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah berdasarkan Daftar Usulan Proyek Daerah (DUPDA), selanjutnya akan menambah belanja rutin seperti biaya operasional dan biaya pemeliharaan. Belanja pembangunan terdiri dari belanja publik yang manfaatnya dapat dinikmati langsung oleh masyarakat umum seperti pembangunan jalan dan jembatan, belanja aparatur yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati
masyarakat tetapi dirasakan langsung oleh aparatur seperti pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan, pendidikan dan pelatihan aparatur daerah; 4. Bunga, hutang/pinjaman daerah adalah pengeluaran yang disediakan untuk keperluan angsuran bunga, hutang/pinjaman daerah dan telah memperoleh persetujuan dari DPRD dan menteri dalam negeri; 5. Bantuan keuangan adalah pengeluaran yang disediakan untuk pemerataan pembangunan dan keserasian penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; 6. Belanja yang tidak termasuk bagian lain adalah semua jenis pengeluaran yang tidak dapat dimasukkan ke dalam bagian-bagian anggaran lainnya; 7. Belanja tidak tersangka adalah seluruh pengeluaran yang disediakan untuk keperluan penanganan kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran
tidak
tersangka
lainnya
yang
sangat
diperlukan
dalam
rangka
penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah; 8. Proses adalah suatu kegiatan menyeluruh, utuh dan terpadu dalam jaringan kegiatan sebagai pedoman penyusunan APBD; 9. Pengalokasian anggaran adalah suatu nilai anggaran yang diterima oleh setiap unit kerja. 10. Biaya pelayanan publik merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai kegiatan pelayanan yang langsung dinikmati oleh masyarakat. Biaya yang dikeluarkan digunakan untuk penyediaan sarana pendidikan, pekerjaan umum, kesehatan dan pelayanan lainnya; 11. Biaya pelayanan birokrasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan pelayanan yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat; 12. Baik biaya pelayanan birokrasi maupun biaya pelayanan publik dalam penelitian ini dilihat dari fungsi organisasi yang ada di Pemerintah Kota Solok yaitu unit umum pemerintahan, unit lembaga teknis daerah, unit infrastruktur daerah, unit pelayanan umum daerah, unit pengembangan ekonomi daerah. 13. Evaluasi adalah suatu kegiatan untuk menilai sesuatu program atau kegiatan apakah telah memberikan hasil yang diharapkan. Kegiatan atau program dinilai berhasil apabila
mengarah pada kegiatan-kegiatan yang dirancang dan memenuhi standar yang telah disepakati. 3.5. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data PAD dan APBD tahun anggaran 2005 sampai dengan tahun anggaran 2008. Data tersebut bersumber dari Bagian Keuangan Pemerintah Kota Solok. 1. Wawancara. Wawancara dilakukan dengan responden yang terkait langsung untuk mendapatkan informasi, opini dari para pejabat, petugas, atau pihak internal yang terkait dengan masalah penelitian. Responden yang diwawancarai adalah Petugas Seksi Anggaran dan Akuntansi Pemerintah Kota Solok. 2. Studi Kepustakaan . Bertujuan untuk mendapatkan bahan yang relevan sebagai landasan teori dalam menganalisa penelitian. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari buku-buku, tulisan ilmiah, majalah, jurnal, artikel, serta peraturan yang membahas mengenai penerapan good governance, akuntansi sektor publik, akuntansi pemerintahan, dan standar akuntansi pemerintah.
3.6. Objek dan Waktu Penelitian Objek penelitian adalah Pemerintah Daerah Kota Solok tahun anggaran 2005, 2006, 2007 dan 2008. Lokasi penelitian berada di Kota Solok. Jangka waktu penelitian adalah sejak 16 Januari 2010 sampai 30 Juni 2010. 3.7. Teknik Penyajian Neraca dan Laporan Realisasi Anggaran Sesuai SAP Pelaksanaan konversi dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun lembar muka (face) laporan keuangan menurut Kepmendagri No. 29/2002 yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca. Konversi dilakukan dengan menggunakan kertas kerja yang menggambarkan proses konversi dari laporan keuangan berdasarkan Kepmendagri 29/2002 ke laporan keuangan berdasarkan SAP.
Secara garis besar langkah-langkah konversi yang diatur dalam Bultek tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penyajian laporan keuangan dalam masa transisi dapat dilakukan dengan teknik memetakan atau konversi ketentuan-ketentuan di Kepmendagri No. 29/2002 ke dalam ketentuan-ketentuan SAP. Konversi mencakup jenis laporan, basis akuntansi, pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan pos-pos laporan keuangan, struktur APBD, klasifikasi anggaran, aset, kewajiban, ekuitas, arus kas, serta catatan atas laporan keuangan. 2. Penelusuran pos-pos laporan keuangan. Penelusuran pos-pos ini dapat dilakukan secara berjenjang, dari membandingkan pos-pos yang disajikan dalam laporan keuangan/buku besar/buku pembantu. Apabila sampai dengan buku pembantu belum dapat ditelusuri maka diteruskan ke dokumen sumber. 3. Penelusuran setiap pos/buku besar/buku pembantu tersebut dituangkan dalam suatu kertas kerja yang memungkinkan untuk dilaksanakan pelacakan asal-muasal suatu jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan sesuai SAP. 3.7.1. Laporan Realisasi Anggaran 1. Struktur APBD Laporan Realisasi Anggaran menyajikan perbandingan antara realisasi terhadap anggarannya selama suatu periode tertentu. Sejalan dengan konsep budgetary accounting, seharusnya struktur APBD, anggaran dan realisasinya sama. Namun ternyata tidak demikian yang terjadi di pemerintah daerah. Struktur APBD terdiri dari Anggaran Pendapatan, Anggaran Belanja, dan Anggaran Pembiayaan. Perbedaan terjadi dalam struktur anggaran pendapatan dan belanja. Pendapatan berdasarkan Kepmendagri 29/2002 dikelompokkan menjadi Pendapatan Asli daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain Pendapatan yang Sah, sedangkan SAP mengelompokkannya menjadi Pendapatan Asli daerah. Transfer, dan lain-lain Pendapatan yang Sah. SAP mengatur penyajian belanja pada lembar muka Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan karakter belanja dan jenis
belanja, sedangkan Kepmendagri 29/2002 mengklasifikasikan belanja ke dalam Belanja Aparatur dan Belanja Publik. Selanjutnya baik pada Belanja Aparatur maupun Belanja Publik, belanja diklasifikasikan menjadi Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, dan Belanja Modal. Di dalam Laporan Realisasi Anggaran mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah pusat/daerah yang menunjukkan ketaatan terhadap APBN/APBD. Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah dalam satu periode pelaporan. Laporan Realisasi Anggaran menyajikan sekurang-kurangnya unsur-unsur sebagai berikut: a) pendapatan b) belanja c) transfer d) surplus/defisit e) pembiayaan f) sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran
2. Klasifikasi Pendapatan Keuangan negara pada umumnya membagi pendapatan menjadi dua, yaitu pendapatan pajak dan pendapatan bukan pajak. Namun SAP untuk pemerintah daerah di Indonesia mengklasifikasikan pendapatan berdasarkan sumbernya, yaitu Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Sedangkan Kepmendagri 29/2002 mengatur klasifikasi pendapatan menjadi tiga, yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah. Dengan adanya perbedaan tersebut maka perlu adanya reklasifikasi pendapatan. Bagi Pemda yang menerima Pendapatan Bagi Hasil dari Pusat/Provinsi serta Dana dari APBN selain Dana Perimbangan, misalnya Dana Otonomi Khusus dan Dana
Kontinjensi/Dana Penyesuaian/Dana Adhoc, yang berdasarkan Kepmendagri 29/2002 diklasifikasikan dalam Lain-lain pendapatan yang sah, perlu direklasifikasi dari Lain-lain Pendapatan yang Sah ke kelompok Pendapatan Transfer. 3. Klasifikasi Belanja Kelompok dan jenis belanja berdasarkan Kepmendagri 29/2002 berbeda dengan SAP. Apabila dilakukan konversi belanja dari Kepmendagri 29/2002 ke SAP. Klasifikasi Berdasarkan Jenis Belanja Belanja dibedakan menjadi dua, yaitu Belanja Operasi dan Belanja Modal. Belanja Operasi merupakan belanja yang memberikan manfaat atau akan terpakai habis dalam menjalankan kegiatan operasional pemerintahan selama tahun berjalan. Sedangkan Belanja Modal adalah belanja yang memberikan manfaat lebih dari 1 tahun dan nilainya material. Penentuan tingkat materialitas belanja perlu dituangkan dalam Peraturan Kepala Daerah.
a. Belanja Operasi Kepmendagri 29/2002 mengelompokkan Belanja Operasi menjadi dua yaitu Belanja Administrasi Umum dan Belanja Operasi dan Pemeliharaan. Setiap kelompok belanja tersebut terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, Belanja Perjalanan Dinas, dan Belanja Pemeliharaan. Setiap jenis belanja dari dua kelompok tersebut selanjutnya digabung untuk disajikan dalam Belanja Operasi menurut SAP. Belanja pegawai pada dasarnya mencakup seluruh imbalan yang diberikan kepada pegawai pemerintah dan anggota DPRD, seperti gaji, tunjangan, dan kompensasi sosial.
Belanja Barang mencakup belanja barang dan jasa, belanja perjalanan, dan belanja pemeliharaan. Ketiga jenis belanja tersebut di dalam Kepmendagri 29/2002 berdiri sendiri sedangkan berdasarkan SAP, ketiga jenis belanja tersebut dimasukkan dalam satu akun, yaitu Belanja Barang. Rincian dari setiap jenis belanja barang dapat disajikan pada Catatan atas Laporan Keuangan. Belanja untuk membayar bunga dalam Kepmendagri 29/2002 masuk dalam kelompok Belanja Administrasi Umum pada akun Belanja Barang dan Jasa. Sementara itu, menurut SAP, biaya bunga disajikan dalam satu akun Belanja Bunga. Bagi pemerintah daerah yang menyajikan belanja Bunga sesuai dengan Kepmendagri 29/2002 harus mengeluarkan belanja Bunga dari Belanja Barang dan Jasa untuk disajikan secara terpisah dalam akun Bunga. b. Belanja Modal Belanja Modal dalam format Laporan Perhitungan APBD sesuai dengan Kepmendagri No. 29/2002 disajikan dalam satu akun gabungan, sedangkan dalam SAP belanja modal dirinci sesuai dengan klasifikasi aset tetap di neraca, yaitu Belanja modal tanah, Belanja modal peralatan dan mesin, Belanja modal gedung dan bangunan, Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, Belanja modal aset tetap lainnya, dan Belanja modal aset lainnya. Klasifikasi demikian diperlukan untuk kontrol hubungan antar akun dalam laporan keuangan, khususnya akun belanja dan akun aset. Oleh karena itu Belanja Modal yang disajikan pada Laporan Perhitungan APBD versi Kepmendagri 29/2002 tidak bisa langsung dikonversi ke dalam Laporan Realisasi Anggaran versi SAP. Konversi belanja ini dapat dilakukan dengan menelusuri ke rekening-rekening dalam buku besar/buku pembantu. Penyajian belanja modal dalam Laporan Realisasi Anggaran menurut SAP dilakukan dengan melakukan konversi rekening Belanja modal versi Kepmendagri No. 29/2002 ke masing-masing belanja modal menurut SAP. Konversi rekening Belanja modal ke masing-masing Belanja modal. c. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan
Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan menurut Kepmendagri No. 29/2002 merupakan belanja yang dibayarkan kepada pemerintah bawahan/ desa/lembaga keagamaan/lembaga sosial/ organisasi profesi. Berdasarkan SAP belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan ini dapat diklasifikasikan ke dalam salah jenis belanja yaitu Hibah, Subsidi, Bantuan Sosial, dan Transfer, tergantung pada substansi dari setiap belanja Bagi Hasil dan Bantuan Sosial yang dimaksud. Belanja yang diperuntukkan kepada instansi vertikal atau sumbangan yang diberikan kepada pihak lain, yang sifatnya sukarela dan tidak mengikat direklasifikasi ke akun Hibah. Belanja yang diberikan kepada produsen yang menghasilkan barang/jasa untuk kepentingan publik, yang bersifat public service obligation, untuk membantu biaya produksi, agar harganya terjangkau oleh publik diklasifikasikan ke dalam akun Subsidi. Contoh: Subsidi ke PDAM. Belanja
yang
dibayarkan
untuk
kepentingan
sosial
masyarakat
diklasifikasikan ke dalam akun Bantuan Sosial. Contoh: bantuan untuk pembangunan masjid dan bantuan untuk panti asuhan. Bagi hasil yang diberikan kepada pemerintah bawahan/desa yang dibayarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan diklasikasikan ke dalam Belanja Bagi Hasil dalam kelompok Belanja Transfer. Contoh: Bagi Hasil Pajak Kendaraan Bermotor. d. Belanja Tak Terduga Belanja Tak Tersangka dalam SAP diberi nama Belanja Tak Terduga. Belanja ini dimaksudkan untuk membiayai keadaan darurat dan pengeluaran mendesak lainnya yang tidak tersedia anggarannya. Berdasarkan Kepmendagri 29/2002 dalam jumlah ini juga tercakup pengembalian pendapatan tahun lalu. Jika terdapat pengembalian pendapatan tahun lalu, maka untuk penyajiannya dalam Laporan Realisasi Anggaran perlu diteliti kembali. Jika pengembalian pendapatan
tersebut normal dan berulang (recurring) baik atas pendapatan periode berjalan maupun sebelumnya, berdasarkan SAP, pengembalian belanja tersebut disajikan sebagai pengurang pendapatan yang bersangkutan. Oleh sebab itu pemerintah daerah yang memasukkan pengeluaran tersebut dalam Belanja Tak Tersangka sesuai dengan Kepmendagri 29/2002 harus mengeluarkan pengembalian pendapatan tersebut dari Belanja Tak Tersangka. Pengembalian pendapatan bersifat tidak berulang (non recurring) atas penerimaan pendapatan yang terjadi pada periode penerimaan pendapatan dibukukan sebagai pengurang pendapatan. Pengembalian pendapatan bersifat tidak berulang (non recurring) atas penerimaan pendapatan yang terjadi pada periode sebelumnya, menurut SAP pengembalian tersebut dibukukan sebagai pengurang SiLPA. Oleh sebab itu pemerintah daerah perlu melakukan reklasifikasi dengan mengeluarkan pengembalian pendapatan tersebut dari Belanja Tak Tersangka dan menyajikannya sesuai SAP.
3.7.2. Neraca Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Setiap entitas pelaporan mengklasifikasikan asetnya dalam aset lancar dan nonlancar serta mengklasifikasikan kewajibannya 1. Struktur Neraca Struktur neraca bedasarkan Kep-mendagri 29/2002 dan SAP pada dasarnya adalah sama. Keduanya menggunakan klasifikasi lancar-nonlancar. Sedikit perbedaan terjadi dalam penggunaan istilah dan klasifikasi ekuitas. 2. Pos-pos Aset Aset merupakan sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial masa depan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dengan satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. Aset diklasifikasikan menjadi Aset Lancar, Investasi jangka Panjang, Aset tetap, Dana cadangan, dan Aset lainnya. a. Aset Lancar Yang dimaksud dengan aset lancar dalam SAP dan aktiva lancar dalam Kepmendagri 29/2002 adalah sama. Aset lancar antara lain berupa kas, investasi jangka pendek, piutang, dan persediaan. Perbedaan terjadi di akun Belanja Dibayar Di muka. Belanja Dibayar Di muka berdasarkan SAP merupakan uang yang dibayarkan kepada pihak ketiga, di mana sampai tanggal neraca belum diterima prestasi kerja, yang berupa barang/jasa dari pihak ketiga yang bersangkutan. Di dalam Kepmendagri 29/2002 dalam Biaya Dibayar Di muka termasuk uang untuk dipertanggungjawabkan yang berada di tangan para pemegang kas/Bendahara Pengeluaran.
Sehubungan dengan adanya perbedaan tersebut maka perlu ada penyesuaian. Uang kas yang berada di tangan Pemegang Kas/Bendahara Pengeluaran merupakan saldo kas. Oleh karena itu jumlah ini dikeluarkan dari Belanja Dibayar Di muka dan disajikan dalam pos Kas di Bendahara Pengeluaran/Pemegang Kas dalam kelompok Aset Lancar. b. Investasi Jangka Panjang Investasi
Jangka
Panjang
menurut
Kepmendagri
No.
29/2002
diklasifikasikan menjadi investasi dalam saham dan investasi dalam obligasi, sementara investasi jangka panjang menurut SAP dibedakan menjadi investasi nonpermanen dan permanen, dengan demikian konversi dilakukan pada level rekening, Berdasarkan SAP, terdapat 3 metode penilaian investasi jangka panjang, yaitu metode biaya, metode ekuitas, dan metode nilai bersih yang dapat direalisasikan. Ketentuan pemberlakuan ketiga metode penilaian investasi jangka panjang adalah: a. Kepemilikan saham kurang dari 20% menggunakan metode biaya; b. Kepemilikan saham lebih besar atau sama dengan 20% sampai 50% atau kurang dari 20% tetapi memiliki pengaruh yang signifikan menggunakan metode ekuitas; c. Kepemilikan saham lebih dari 50% menggunakan metode ekuitas; d. Kepemilikan non permanen menggunakan metode nilai bersih yang direalisasikan. Dengan demikian terdapat selisih nilai yang terjadi karena penggunaan metode penilaian yang berbeda antara SAP dan Kepmendagri 29/2002. Dengan demikian nilai investasi jangka panjang, khususnya kepemilikan saham diatas 20% oleh Pemda harus dihitung kembali nilai investasinya berdasarkan laporan keuangan BUMD yang bersangkutan. Investasi nonpermanen dinilai berdasarkan nilai yang diharapkan dapat diterima. Oleh karena itu pada saat melakukan
konversi, Pemda harus berhati-hati, tidak hanya mem-perhatikan susunan akunnya tetapi juga metode penilaiannya. c. Aset Tetap Pengaturan aset tetap berdasarkan SAP dan Kepmendagri 29/2002 pada dasarnya adalah sama. Terdapat sedikit perbedaan pada rincian aset tetap. Rincian aset tetap di neraca sejalan dengan rincian belanja modal di Laporan Realisasi Anggaran. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kontrol hubungan antar akun. Klasifikasi aset tetap di neraca berdasarkan Kepmendagri 29/2002 lebih rinci dibandingkan ketentuan SAP. Oleh karena itu untuk keperluan penyajian di neraca, pos-pos aset tetap dapat dikonversi ke dalam struktur aset tetap menurut SAP. Struktur aset tetap menurut SAP adalah: •
Tanah
•
Gedung dan Bangunan
•
Peralatan dan Mesin
•
Jalan, Irigasi dan Jaringan
•
Aset Tetap Lainnya
•
Konstruksi dalam Pengerjaan Konstruksi dalam Pengerjaan dalam Kepmendagri 29/2002 disajikan
dalam kelompok Aset Lain-lain, sedangkan berdasarkan SAP, Konstruksi dalam Pengerjaan masuk dalam kelompok Aset Tetap. Oleh karena itu jumlah ini perlu direklasifikasi dari Aset Lain-lain ke Aset Tetap. Penilaian aset tetap menggunakan harga perolehan. SAP juga mengatur depresiasi aset tetap selain tanah dan konstruksi dalam pengerjaan. Hal ini dilakukan untuk mengakui adanya penurunan nilai aset karena pemakaian, keausan, atau kerusakan. Oleh karena itu jika Pemda belum mampu melakukan
depresiasi terhadap aset tetapnya, perlu menuangkannya dalam kebijakan akuntansi dan mengungkap-kannya dalam Catatan atas Laporan Keuangan. d. Dana Cadangan Pengaturan Dana Cadangan dalam SAP sama dengan dalam Kepmendagri 29/2002. Dana Cadangan di neraca disajikan sebesar akumulasi nilai dana cadangan. e. Aset Lainnya Aset Lainnya mencakup seluruh aset yang tidak dapat dikelompokkan pada kelompok aset yang telah diuraikan terdahulu. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian Aset Tetap, Konstruksi dalam Pengerjaan dipindahkan dari Aset Lain-lain ke kelompok Aset Tetap. Di samping sebagaimana diuraikan dalam Kepmendagri 29/2002, jika Pemda memiliki aset tak berwujud juga disajikan dalam kelompok aset lainnya sebesar harga perolehannya. 3. Pos-pos Kewajiban Pengaturan kewajiban atau utang antara SAP dan Kepmendagri adalah sama. Kewajiban diklasifikasikan menjadi Kewajiban Jangka Pendek (lancar) dan Kewajiban Jangka Panjang (nonlancar). Penilaian utang dengan menggunakan nilai nominal yang harus dibayar pada tanggal jatuh tempo. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa utang yang disajikan tidak hanya utang yang berasal atau timbul dari pinjaman tetapi juga utang-utang lain, seperti utang biaya dan utang Perhitungan Fihak Ketiga (PFK). Penyajian utang PFK dapat diperoleh dari pencatatan penerimaan dan pengeluaran Urusan Kas dan Perhitungan (UKP). 4. Pos-pos Ekuitas Pendekatan yang digunakan untuk pengelompokan ekuitas dalam Kepmendagri 29/2002 tidak sama dengan pendekatan yang digunakan dalam SAP. Oleh karena itu untuk penyusunan neraca, pos-pos ekuitas tidak dapat dikonversi ke dalam format SAP.
Pendekatan yang digunakan untuk menyajikan pos-pos ekuitas ke dalam format neraca berdasarkan SAP, dilakukan dengan pendekatan self balancing group of accounts, dimana: a. Ekuitas Dana Lancar Ekuitas dana lancar sama dengan aset lancar dikurangi kewajiban jangka pendek. Oleh karena itu Ekuitas dana lancar mencakup: 1. SILPA (sebagai pasangan Kas di Kas Daerah, Kas di Bendahara Pengeluaran, dan Investasi jangka pendek) 2. Pendapatan yang ditangguhkan (sebagai pasangan Kas di Bendahara Penerimaan) 3. Cadangan Piutang (sebagai pasangan Piutang) 4. Cadangan Persediaan (sebagai pasangan Persediaan) Dikurangi dengan: 5. Jumlah Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Pendek (sebagai pasangan utang jangka pendek). b. Ekuitas Dana Investasi Ekuitas Dana Investasi mencerminkan kekayaan bersih pemerintah daerah yang tertanam dalam kekayaan berjangka panjang. Penyajian Ekuitas Dana Investasi di neraca dapat di-peroleh dengan menjumlahkan: 1. Investasi Jangka Panjang 2. Aset Tetap 3. Aset Lainnya Dikurangi:
4. Jumlah Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Panjang. c. Ekuitas Dana Cadangan Ekuitas Dana Cadangan mencerminkan kekayaan bersih pemerintah daerah yang tertanam dalam Dana Cadangan. Dengan demikian jumlah yang disajikan di neraca adalah sebesar jumlah Dana Cadangan. Pengaturan dalam SAP sama dengan Kepmendagri 29/2002. Dengan memperhatikan susunan akun ekuitas tersebut maka untuk keperluan penyusunan neraca, pos-pos ekuitas tidak perlu dilakukan pemetaan (mapping) tetapi langsung disusun sebagai pasangan akun-akun aset dan kewajiban. 3.8. ALAT ANALISIS KINERJA KEUANGAN
3.8.1. Analisis Efektivitas Analisis efektivitas pengelolaan anggaran daerah adalah dengan menggunakan ratio perbandingan antara realisasi pendapatan daerah dengan target pendapatan yang ditetapkan dalam APBD, guna mengetahui berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan anggaran.
Rumusan ratio efektivitas pengelolaan anggaran daerah: Realisasi Penerimaan Efektifitas =
x 100 %
…………………..(3.1)
Target Penerimaan
Adapun nilai efektivitas, perbandingannya diukur dengan kriteria penilaian kinerja anggaran dalam tabel 3.11 (lihat Bana, 2001: 24). Tabel 3.1 Kriteria Kinerja Keuangan
Prosentase Kinerja Keuangan
Kriteria
diatas 100 %
Sangat efektif
90 % - 100 %
Efektif
80 % - 90 %
Cukup efektif
60 % - 80 %
Kurang efektif
kurang dari 60 %
Tidak efektif
Sumber : Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996
3.8.2. Analisis Efisiensi Analisis efisiensi pengelolaan anggaran daerah dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar efisiensi dari suatu pelaksanaan kegiatan/ proyek dengan melakukan perbandingan antara output dan input. Rasio efisiensi pengeluaran (belanja) daerah dengan total pendapatan daerah, sebagai berikut: Pengeluaran Rutin Efisiensi =
x 100 %
…………………..(3.2)
Penerimaan
Adapun kriteria penilaian kinerja yang diukur dapat dilihat pada tabel 3.12 berikut ini (lihat Bana, 2001 : 24). Tabel 3.2. Kriteria Kinerja Keuangan Prosentase Kinerja Keuangan
Kriteria
100 % keatas
Tidak efisien
90 % - 100 %
Kurang efisien
80 % - 90 %
Cukup efisien
60 % - 80 %
Efisien
dibawah dari 60 %
Sangat efisien
Sumber : Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996
3.8.3. Analisis Kontribusi Sektor Pendapatan Metode analisis kontribusi sektor adalah sumbangan atau peranan (share) yang diberikan oleh masing-masing sektor. Indikator kontribusi sektor ini dipergunakan untuk menganalisis sektor mana yang paling besar memberikan sumbangan. Selanjutnya untuk mengetahui besarnya kontribusi realisasi Anggaran Pendapatan masingmasing elemen PAD. Dengan rumus sebagai berikut (Widodo, 1990: 20).
Realisasi persektor i Ks =
x 100 %
.. . . . .
(3.3)
Total Realisasi i
Keterangan : Ks adalah kontribusi realisasi komponen Pendapatan Asli Daerah masing-masing komponen. i
adalah realisasi komponen PAD.
3.8.4. Analisis Kemandirian Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian pemerintah dalam hal pendanaannya. Rumus dari Rasio Kemandirian adalah sebagai berikut :
Realisasi PAD Ke =
x 100 %
…. .. (3.4)
{DAU + (Total Utang - Utang PFK - Utang Pajak Pusat)} Keterangan :
Ke
adalah rasio kemandirian.
DAU
adalah Dana Anggaran Umum
PAD
adalah Pendapatan Asli Daerah
Utang PFK adalah utang perhitungan pihak ketiga Kriteria kemampuan keuangan daerah dalam hal pendanaannya dapat dikategorikan pada Tabel 3.10 sebagai berikut: Tabel 3.3 Skala Interval Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Prosentase PAD
Kemampuan Keuangan Daerah
0,00 - 10,00
Sangat kurang
10,01 - 20,00
Kurang
20,01 - 30,00
Sedang
30,01 - 40,00
Cukup
40,01 - 50,00
Baik
> 50,00
Sangat baik
Sumber : Tim Litbang Depdagri - Fisipol UGM, 1991.
3.8.5. Rasio Keserasian
Belanja Langsung Keserasian =
x 100 %
(3.5)
Belanja Tidak Langsung
Rasio Keserasian Belanja mengukur perbandingan antara realisasi belanja tidak langsung dengan realisasi belanja langsung.
3.8.6. Rasio Likuiditas
(Aktiva Lancar – Persediaan) Qr =
x 100 %
.. . . . … … (3.6)
Utang Jangka Pendek
Rasio likuiditas mengukur kemampuan pemda untuk membayar utang (kewajiban) jangka pendeknya.
3.8.7. Rasio Solvabilitas
Total Aktiva Solvabilitas =
x 100 %
.. . . . . ..… (3.7)
Total Utang
Rasio solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan pemda untuk membayar semua utangnya yang akan jatuh tempo.
3.8.8. Rasio Leverage
Total Ekuitas Dana Leverage =
x 100 %
…. ………………..(3.8)
Total Utang Rasio leverage digunakan untuk mengukur perbandingan antara ekuitas dana (kekayaan bersih pemda) dengan total utang.
3.8.9. Analisis Perkembangan Anggaran Daerah
Laju pertumbuhan pendapatan daerah, khususnya pendapatan asli daerah, dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Widodo, 1990: 36). PADt – PAD(t-1) ∆RPAD =
x 100 %
…… ………………..(3.9)
PAD(t-1)
di mana : ∆ RPAD
= laju pertumbuhan PAD;
PADt
= realisasi penerimaan PAD tahun ke t;
PAD(t-1)
= realisasi penerimaan PAD tahun sebelumnya. BAB IV PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Kota Solok Uraian ringkas Pemerintahan Kota Solok 1. Profil Kota Solok Kota Solok dibentuk tahun 1970 dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1970 Tanggal 16 Desember 1970 merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Barat. Luas wilayah 57,64 kilometer persegi jumlah penduduk berdasarkan data sensus potensi ekonomi
tahun 2005 adalah 53.970 (laju pertumbuhan 4,52 %), terdiri dari 2 (dua)
Kecamatan dan 13 (tiga belas) Kelurahan. 2. Struktur Organisasi Pemerintah Daerah Kota Solok dipimpin oleh pasangan Kepala Daerah yaitu Walikota (Drs. H.Syamsu Rahim) dan Wakil Walikota (Irzal Ilyas DT.Lawik Basa ). Dalam melaksanakan tugas pemerintahan Kepala Daerah dibantu oleh Sekretaris Daerah, Ast. Sekretaris Daerah, Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala
Bagian, Camat dan Lurah beserta staf. Ast. Sekretaris Daerah, Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Bagian, Camat dan Lurah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui SekDa.
4.2. Visi dan Misi Pemerintah Kota Solok VISI 1. Terciptanya Tata Pemerintahan Yang Baik ( Good Local Governance ) 2. Meningkatkan Ekonomi Rakyat 3. Meningkatkan Kualitas Pendidikan 4. Kesejahteraan Rakyat MISI 1. Menyelenggarakan pemerintahan daerah dengan Prinsip-prinsip tata Pemerintahan daerah yang baik 2. Memelihara dan mengembangkan nilai-nilai dasar agama dan adat ditengah-tengah masyarakat 3. Memelihara tata pemerintahan daerah yang baik 4. Mendorong dan memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya perekonomian rakyat 5. Pembinaan Generasi muda dan olahraga 6. Meningkatkan status dan derajat kesehatan masyarakat 7. Mengembangkan pariwisata
4.3. Agenda dan Program Pembangunan AGENDA PEMBANGUNAN
1.
Menyelenggarakan tata pemerintahan daerah yang baik
2.
Menyelenggarakan ekonomi rakyat yang maju dan berorientasi pasar
3.
Mengembangkan Sumber Daya yang berkualitas
4.
Menyediakan Prasarana dan sarana kota
PROGRAM PRIORITAS 1. Peningkatan prasarana, sarana dan fasilitas pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. 2. Meningkatkan status dan derajat kesehatan masyarakat 3. Meningkatkan Kualitas disiplin dan kesejahteraan aparatur 4. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan 5. Penanggulangan kemiskinan dan pembinaan UKMK 6. Meningkatkan Fungsi terminal,perpakiran dan fasilitas umum lainya 7. peningkatan pelayanan air bersih 8. penciptaan iklim investasi yang kondusif dan penciptaan lapangan pekerjaan. 4.4. Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pemerintah Kota Solok SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH PADA PEMERINTAH KOTA SOLOK (Berdasarkan Peraturan Walikota Solok Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah Pada Pemerintah Kota Solok) : 1. Pengelolaan keuangan daerah adalah seluruh kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggung-jawaban, dan pengawasan keuangan daerah yang diselenggarakan oleh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku pengguna anggaran/ pengguna barang daerah. 2. Pemegang
kekuasaan
pengelolaan
keuangan
daerah
adalah
Kepala
Daerah
(yaitu Walikota dan Wakil Walikota Solok) sekaligus mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. 3. Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dalam pelaksanaan pemerintahan, dilimpahkan sebagian kepada : ‐ Sekretaris daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah
‐ Kepala DPPKA (sebelumnya BPKD) selaku pejabat pengelola keuangan daerah (PPKD) ‐ Kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/ pengguna barang daerah 4. Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah baik dalam bentuk uang, barang dan/ atau jasa pada tahun anggaran yang dimulai
1 Januari dan berakhir sampai
dengan 31 Desember, yang berkenaan dengan pelaksanaan urusan pemerintah daerah dianggarkan dan dikelola dalam APBD 5. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lambat 1 (satu) hari kerja dan dianggap sah setelah Kuasa BUD menerima Nota Kredit. 6. Pengeluaran/ belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap belanja. Disamping itu, pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja, apabila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dananya dalam APBD.
4.5. Bentuk Penyajian Neraca dan Anggaran Pemerintah Kota Solok
4.5.1. Bentuk Penyajian Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota
Solok Tahun
2005-2008. Dapat diketahui dari Lampiran 1-4 halaman 100-109 bahwa selama tahun 2005 dan 2006, Pemerintah Kota Solok masih menyajikan Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan Kepmendagri No. 29/2002, sedangkan SAP mulai diterapkan pada penyajian Laporan Realisasi Anggaran tahun 2007 dan 2008. Perkembangan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Solok selama 4 tahun dapat dilihat pada Lampiran 5-7 halaman 110-115.
4.5.2. Bentuk Penyajian Neraca Pemerintah Kota Solok Dapat diketahui dari Lampiran 8 halaman 116 bahwa selama tahun 2005 dan 2006, Pemerintah Kota Solok masih menyajikan Neraca berdasarkan Kepmendagri No. 29/2002, sedangkan SAP mulai diterapkan pada penyajian Neraca tahun 2007 dan 2008 sebagaimana
terlihat pada Lampiran 9 halaman 118 dan Lampiran 11 halaman 123. Perkembangan Neraca Pemerintah Kota Solok selama 4 tahun dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10 halaman 118-122. 4.6. Keuangan Pemerintah Kota Solok Pada tahun anggaran 2008, tercatat penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Kota Solok sebagai berikut: penerimaan sebanyak Rp. 288.524.114.768,45 sedangkan pengeluaran rutin yaitu Rp. 125.630.096.962,50 dan pengeluaran pembangunan sebesar Rp. 162.849.540.744,30. Penerimaan Pemerintah Kota Solok dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami peningkatan yang sangat tajam, yaitu sebesar 198% dari Rp. 8,779 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp. 17, 371 miliar pada tahun 2006. Akan tetapi pada tahun 2007 tidak meningkat terlalu tajam, yakni sebesar 107% menjadi Rp 18,668 miliar. Pada tahun 2008 sedikit mengalami peningkatan yaitu sebesar 116% menjadi Rp 21,644 miliar. Sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 13, tabel 4.1 dan tabel 4.2 halaman 127. 4.7. Analisis Kinerja Keuangan
4.7.1. Efektifitas PAD Efektifitas PAD adalah perbandingan untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan yang target yang ditetapkan. Tabel 4.3 Rasio Efektifitas Tahun
Realisasi Penerimaan
Target Penerimaan
Rasio
2005
126.946.628.721,26
116.572.285.286,50
108,90%
2006
215.158.870.343,22
208.098.645.960,11
103,39%
2007
261.060.849.257,61
242.864.634.603,73
107,49%
2008
288.524.114.768,45
280.401.161.827,38
102,90%
rata-rata
222.922.615.772,64
211.984.181.919,43
105,67%
rasio efektifitas = (realisasi penerimaan/target penerimaan) * 100% Kesimpulan: dapat dikatakan kemampuan Pemkot Solok dalam melaksanakan tugasnya sangat efektif karena rata-rata rasio efektifitas dalam merealisasikan PAD adalah 105,67% yaitu semuanya diatas 100%. Angka rasio efektifitas terbesar yaitu pada tahun 2005 yakni 108,9%.
4.7.2. Efisiensi PAD Efisiensi PAD adalah perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh PAD dengan realisasi pendapatan yang diterima. Tabel 4.4 Rasio Efisiensi Tahun
Penerimaan
Pengeluaran Rutin
Rasio
2005
126.946.628.721,26
44.609.806.273,74
35,14%
2006
215.158.870.343,22
74.822.855.454,82
34,78%
2007
261.060.849.257,61
97.524.203.489,78
37,36%
2008
288.524.114.768,45
125.630.096.962,50
43,54%
rata-rata
222.922.615.772,64
85.646.740.545,21
37,70%
rasio efisiensi = (Pengeluaran rutin/penerimaan) * 100%
Kesimpulan: Pemkot Solok dapat dikatakan sangat efisien dalam melakukan pemungutan PAD karena rata-rata rasio efisiensi menunjukkan 37,7% yaitu semuanya dibawah dari 60%. Semakin kecil hasil perhitungannya, berarti kinerja pemerintah daerah semakin baik. Angka rasio efisiensi terkecil yaitu pada tahun 2006 yakni 34,78%.
4.7.3. Analisis kontribusi sektor Pendapatan Metode analisis kontribusi sektor adalah sumbangan atau peranan (share) yang diberikan oleh masing-masing sektor. Indikator kontribusi sektor Pendapatan dipergunakan untuk menganalisis sektor mana yang paling besar memberikan sumbangan pada Total Pendapatan Daerah. Tahun 2005-2008, sektor terbesar yang menyumbang terhadap realisasi PAD adalah Dana Perimbangan yakni rata-rata 88,54% dari total Pendapatan setiap tahunnya. Sektor yang
paling kecil menyumbang terhadap Pendapatan Daerah Kota Solok adalah Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dengan rata-rata sebesar 4,05%. Dapat dilihat pada Lampiran 16 halaman 130. 4.7.4. Perbandingan Realisasi vs Anggaran Realisasi anggaran dihitung secara sederhana yaitu dengan membandingkan realisasi pos-pos APBD dengan anggarannya masing-masing. Perbandingan ini pada dasarnya untuk mengetahui keberhasilan pencapaian target pendapatan dan mengevaluasi ketaatan dalam pelaksanaan belanja dan pembiayaan. Berdasarkan data pada Lampiran 14 halaman 100-109 dapat digambarkan realisasi anggaran. 1. Realisasi Pendapatan Semua pos PAD tahun 2005 melampaui targetnya masing-masing, pos bagian laba dari Lain-lain Pendapatan Daerah merupakan kontribusi terbesar yakni 227%, dan yang terkecil adalah dari Bagian Laba Usaha Daerah yakni 100%. Harus dicermati bahwa target pendapatan T.A. 2005 (setelah perubahan anggaran) idealnya harus lebih besar atau paling tidak
sama dengan realisasi pendapatan T.A. 2005. Hal ini menandakan bahwa kondisi pendapatan T.A. 2005 Pemkot Solok adalah ideal. Semua pos PAD tahun 2006 juga melampaui targetnya masing-masing, pos bagian laba dari Lain-lain Pendapatan Daerah merupakan kontribusi terbesar yakni 127%, kecuali pos bagian Retribusi Daerah yang dibawah target yakni 96,21% dan pos bagian Bagian Laba Usaha Daerah yakni 100%. Berarti kondisi pendapatan T.A. 2006 Pemkot Solok mengalami penurunan dibanding tahun 2005. Semua pos PAD tahun 2007 melampaui targetnya masing-masing, pos bagian laba dari Lain-lain Pendapatan Daerah merupakan kontribusi terbesar yakni 134,67%, dan yang terkecil adalah dari Bagian Laba Usaha Daerah yakni 100%. Dengan demikian, kondisi pendapatan T.A. 2007 Pemkot Solok adalah ideal dan mengalami peningkatan dibanding tahun 2006. Semua pos PAD tahun 2008 juga melampaui targetnya masing-masing, pos bagian laba dari Lain-lain Pendapatan Daerah merupakan kontribusi terbesar yakni 139%,
dan yang terkecil adalah dari Bagian Laba Usaha Daerah yakni 100%. Berarti kondisi pendapatan T.A. 2008 Pemkot Solok adalah ideal dan mengalami peningkatan dibanding tahun 2007.
2. Realisasi Belanja Realisasi belanja tidak diperkenankan melebihi anggarannya. Analisis rasio realisasi belanja tahun 2005 menunjukkan satu-satunya angka tertinggi 100,54% pada pos Belanja Pemeliharaan, hal ini menunjukkan ketaatan pada peraturan. Sementara rata-rata tingkat penyerapan adalah lebih dari 79%, hal ini menunjukkan tingkat penyerapan dana yang baik. Rasio realisasi belanja tahun 2006 menunjukkan angka tertinggi 99,55% pada pos Belanja Perjalanan Dinas, hal ini menunjukkan ketaatan pada peraturan. Sementara rata-rata tingkat penyerapan meningkat menjadi lebih dari 83%, hal ini menunjukkan tingkat penyerapan dana yang baik. Rasio realisasi belanja tahun 2006 menunjukkan angka tertinggi 100% pada pos Belanja Bunga, hal ini menunjukkan ketaatan pada peraturan. Sementara rata-rata tingkat penyerapan sedikit meningkat menjadi lebih dari 85%, hal ini menunjukkan tingkat penyerapan dana yang baik. Rasio realisasi belanja tahun 2008 menunjukkan angka tertinggi 97,9% pada pos Belanja Tanah, hal ini menunjukkan ketaatan pada peraturan. Sementara rata-rata tingkat penyerapan meningkat menjadi lebih dari 85%, hal ini menunjukkan tingkat penyerapan dana yang baik.
3. Surplus (defisit) Pemda yang mengalami defisit belum tentu kinerjanya lebih buruk dari pemda yang surplus, karena mungkin saja pemda yang defisit tersebut mempunyai anggaran belanja kegiatan yang jauh lebih besar dibanding dengan pemda yang surplus. Surplus (defisit) hakikatnya bukan merupakan anggaran, tetapi perhitungan yang menunjukan selisih dari anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Dengan demikian, tidak ada larangan atau bukan hal yang salah bila realisasi defisit melebihi 100% dari yang direncanakan (misal karena anjloknya realisasi pendapatan pajak dari yang ditargetkan), sepanjang jumlah pembiayaan netonya dapat menutup realisasi defisit tersebut. Pada tahun anggaran 2005 anggaran belanja yang direncanakan surplus dengan rasio realisasi
surplus lebih dari 770%, hal ini menandakan bahwa anggaran belanja yang direncanakan terlalu besar dari realisasinya. Pada tahun anggaran 2006 anggaran belanja yang direncanakan surplus dengan rasio realisasi surplus yang semakin besar yakni lebih dari 866%, hal ini menandakan bahwa anggaran belanja yang direncanakan masih terlalu besar dari realisasinya. Pada tahun anggaran 2007 terjadi penurunan surplus dengan rasio realisasi negatif 115%, hal ini menunjukkan anggaran belanja tahun 2007 akan defisit sebesar Rp. 26.355.830.528,4
namun setelah realisasi, surplus menjadi Rp.
30.336.386.006,16. Pada tahun anggaran 2008 terjadi peningkatan surplus dengan rasio realisasi negatif 8%, hal ini menunjukkan anggaran belanja tahun 2008 akan defisit sebesar Rp. 56.087.254.952,91 namun setelah realisasi, surplus menjadi Rp. 44.477.061,65.
4. Realisasi Pembiayaan Anggaran pengeluaran pembiayaan sifatnya seperti belanja di mana jumlah yang dianggarkan merupakan pagu yang tidak boleh dilewati. Sedangkan anggaran penerimaan pembiayaan sifatnya seperti pendapatan di mana jumlah yang dianggarkan adalah target yang boleh dilampaui, sepanjang tidak ada peraturan khusus yang melarangnya. •
Jumlah Pengeluaran Daerah pada tahun 2005 adalah 92,54% lebih besar dari Jumlah Penerimaan Daerah yakni 13,08%.
•
Jumlah Pengeluaran Daerah pada tahun 2006 adalah 55,45% lebih kecil dari Jumlah Penerimaan Daerah yakni 99,75%.
•
Jumlah Pengeluaran Daerah pada tahun 2007 adalah 89,23% lebih kecil dari Jumlah Penerimaan Daerah yakni 100%.
•
Jumlah Pengeluaran Daerah pada tahun 2008 adalah 0,23% lebih besar dari Jumlah Penerimaan Daerah yakni 207.97%.
4.7.5. Rasio Perkembangan Realisasi Antar Tahun Berdasarkan data pada Lampiran 5-7 pada halaman 110-115 dapat digambarkan rasio realisasi untuk melihat perkembangan realisasi anggaran antar tahun.
1. Rasio komparatif untuk pendapatan dapat diturunkan menjadi rasio pertumbuhan. Sebagai contoh pajak daerah TA. 2007 tumbuh 6,54% (106,54%-100%). Harus dicermati untuk pos pendapatan yang cenderung naik dan jumlahnya signifikan seperti pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum (DAU). Bila rasio komparatif dari ketiga pos pendapatan ini turun signifikan, misal rasio pajak daerah menjadi 90% (angka ini bukan hasil penelitian), maka perlu mendapat penjelasan dari pemda karena ketiga pos tersebut secara normal cenderung naik setiap tahunnya dan rasio komposisinya signifikan terhadap jumlah pendapatan daerah. Hal ini terlihat pada (Lampiran 6 halaman 112) Realisasi Anggaran T.A. 2006 dengan T.A. 2007, pos Lain-lain PAD yang sah mengalami penurunan menjadi -1,89%, sedangkan pada tahun T.A. 2005 dengan T.A. 2006, perkembangan pos Lain-lain PAD yang sah adalah 133,71%. 2. Rasio komparatif baik untuk pos pendapatan dan pos belanja secara umum di atas 100% lihat Lampiran 5-7 halaman 110-115. Hal ini menunjukkan kondisi yang normal, terlebih lagi belanja yang cenderung naik setiap tahunnya. 3. Rasio komparatif untuk pos pembiayaan T.A. 2005 dengan 2006 naik tajam hingga rasio tertinggi 5700%. Hal ini disebabkan karena Pemberian Pinjaman Daerah awal tahun 2005 yang masuk ke pengeluaran pembiayaan TA 2005 jumlahnya jauh lebih kecil (Rp 1.000 juta) dibanding Pemberian Pinjaman Daerah awal tahun 2006 yang masuk ke pengeluaran pembiayaan TA 2006 (Rp 57.000 juta). Rasio komparatif untuk pos pembiayaan T.A. 2006 dengan 2007 turun hingga rasio tertinggi 94,21%. Hal ini disebabkan karena Pemberian Pinjaman Daerah awal tahun 2006 yang masuk ke pengeluaran pembiayaan TA 2006 jumlahnya lebih besar (Rp 57.000 juta) dibanding Pemberian Pinjaman Daerah awal tahun 2007 yang masuk ke pengeluaran pembiayaan TA 2007 (Rp 53.700 juta). Rasio komparatif untuk pos pembiayaan T.A. 2007 dengan 2008 turun hingga rasio tertinggi 187,99%. Hal ini disebabkan karena awal tahun 2007 yang masuk ke pengeluaran pembiayaan TA 2007 jumlahnya lebih kecil (Rp 86.534 juta) dibanding Silpa awal tahun 2008 yang masuk ke pengeluaran pembiayaan TA 2008 (Rp 162.626 juta).
4.7.6. Kemandirian Rasio kemandirian digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian pemda dalam hal pendanaan aktivitasnya. Rasio ini dapat diukur dengan membandingkan jumlah PAD terhadap jumlah DAU ditambah jumlah pinjaman (selain utang PFK dan utang pajak PPn/PPh). Dana alokasi umum merupakan dana yang berasal dari APBN yang ditransfer ke pemda dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana alokasi umum masih merupakan sumber pembiayaan yang utama (andalan) bagi pemda-pemda pada umumnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bila perbandingan sumber pembiayaan dari PAD terhadap DAU semakin besar, berarti hal ini menunjukkan tingkat kemandirian yang semakin meningkat pula. Bila pinjaman jumlahnya dianggap material, maka untuk mengukur kemandirian unsur pinjaman tersebut harus diperhitungkan, akan tetapi sebaiknya mengeluarkan utang PFK dan utang pajak pusat sebab kedua jenis utang tersebut tidak dimaksudkan untuk menambah sumber pendanaan pemda. Tabel 4.5 Rasio Kemandirian Tahun
Realisasi PAD
Rasio Kemandirian
2005
8.779.868.936,34
8,48%
2006
17.371.380.695,22
10,05%
2007
18.668.908.098,36
9,57%
2008
21.644.596.826,19
9,81%
rata-rata
16.616.188.639,03
9,48%
Realisasi = PAD : {DAU + (Utang – Utang PFK – Utang pajak pusat)} Tahun 2005, 2007 dan 2008 kemampuan kemandirian daerah adalah dibawah 10%, hal ini menandakan Pemerintah Kota Solok sangat kurang dalam hal pendanaannya dalam membiayai aktivitasnya selama T.A. 2005. Tahun 2006, kemampuan kemandirian daerah adalah 10,05, berarti Pemerintah Kota Solok kurang dalam hal pendanaannya dalam membiayai aktivitasnya selama T.A. 2006. Kesimpulannya Pemerintah Kota Solok belum mampu mandiri dalam membiayai aktivitasnya, dan masih membutuhkan bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat. 4.7.7. Rasio Keserasian
Berdasarkan Pemendagri 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja dibagi ke dalam dua kelompok: belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak terkait langsung dengan adanya program dan kegiatan. Sedangkan belanja langsung adalah belanja yang terkait secara langsung dengan adanya program dan kegiatan. Tabel 4.6 Rasio Keserasian Tahun
Belanja Langsung
Belanja Tidak Langsung
Rasio
2005
44.142.841.014,15
44.609.806.273,74
98,95%
2006
94.061.631.229,00
74.822.855.454,82
125,71%
2007
133.200.259.761,67
97.524.203.489,78
136,58%
2008
162.849.540.744,30
125.630.096.962,50
129,63%
rata-rata
108.563.568.187,28
85.646.740.545,21
122,72%
Rasio keserasian belanja = belanja langsung : belanja tidak langsung Dapat dikatakan bahwa rasio belanja cukup seimbang (serasi) karena belanja langsung mendominasi. Kondisi ideal yang diharapkan adalah belanja langsung (terutama yang bermanfaat langsung bagi publik) yang lebih besar dan semakin lebih besar dari belanja tidak langsung. Rasio Keserasian terbesar pada tahun 2007 yakni 136%, sedangkan yang terkecil pada tahun 2005 yakni 98,95%. 4.7.8. Rasio likuiditas Rasio likuiditas mengukur kemampuan pemda untuk membayar utang (kewajiban) jangka pendeknya. Rasio ini bisa diukur dengan rasio lancar dan rasio kas (terhadap utang jk. Pendek). Pos persediaan pada neraca pemda umumnya bukan persediaan barang dagang yang ditujukan untuk dijual tetapi untuk digunakan dalam operasi pemerintah atau diserahkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam perhitungan rasio lancar sebaiknya pos persediaan tidak diperhitungkan. Rasio lancar ini menunjukkan perbandingan antara aktiva lancar (di luar persediaan) dengan utang jangka pendek yang besarnya adalah 8,58:1. Hal ini berarti untuk setiap Rp 1 utang, pemda mempunyai Rp 8,58 aktiva yang sangat lancar. Kondisi ini menunjukkan bahwa
kondisi keuangan pemda sangat likuid. Tabel 4.7 Rasio Likuiditas Tahun
Aktiva Lancar
Persediaan
Utang Lancar
e=b-c
Rasio
2005
100.924.635.042,99
1.161.003.159
11.620.991.127,03
99.763.631.883,99
8,584778251
2006
88.239.625.641,26
0
11.315.849.733,30
88.239.625.641,26
7,79787888
2007
167.604.572.631,29
1.976.648.183
12.352.183.578,71
165.627.924.448,29
13,40879719
2008
170.138.861.137,79
3.099.254.530
14.382.835.650,76
167.039.606.607,75
11,61381599
rata-rata
131.726.923.613,33
1.559.226.468
12.417.965.022,45
130.167.697.145,32
10,35131758
Kesimpulan: rasio lancar menunjukkan perbandingan yang lebih likuid pada tahun 2007, rata-rata rasio likuiditas antara aktiva lancar (di luar persediaan) dengan utang jangka pendek adalah 10,3 : 1. Hal ini berarti untuk setiap Rp 1 utang, pemda mempunyai Rp 10,3 kas dan setara kas. Kondisi ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan pemda sangat likuid. Artinya tanpa harus menunggu ditagihnya piutang pajak, pemda sudah dapat melunasi utang jangka pendek tersebut pada saat ini. 4.7.9. Rasio Solvabilitas Rasio solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan pemda untuk membayar semua utangnya yang akan jatuh tempo. Rasio ini bisa diukur dengan rasio aktiva terhadap utang atau rasio ekuitas dana terhadap utang. Tabel 4.8 Rasio Solvabilitas Tahun
Total Aktiva
Total Utang
Rasio
2005
446.040.026.526
12.868.549.595,76
34,66125092
2006
538.934.555.376
12.304.633.961,62
43,79931634
2007
859.607.274.182
13.233.209.807,03
64,95833488
2008
948.385.406.429
15.040.010.086,75
63,05749803
rata-rata
698.241.815.628
13.361.600.862,79
51,61910004
Kesimpulan: rata-rata rasio solvabilitas menunjukkan perbandingan antara total aktiva dengan total utang yang besarnya adalah 51,6 : 1. Hal ini berarti untuk setiap Rp 1 utang, pemda
mempunyai Rp 51,6 aset. Angka rasio tertinggi pada tahun 2007 yakni 64,9. Kondisi ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan pemda masih sangat solvable.
4.7.10. Rasio Leverage Rasio leverage digunakan untuk mengukur perbandingan antara ekuitas dana (kekayaan bersih pemda) dengan total utang. Rasio leverage selama ini hanya digunakan di sektor perusahaan untuk mengukur komposisi sumber pembiayaan yang berasal dari kreditor dan investor. Di pemerintah daerah, rasio ini mungkin belum (tidak) merupakan rasio yang penting sebab tingkat utang daerah yang masih relatif kecil dan syarat penarikan pinjaman daerah menggunakan DSCR dan rasio maksimum pinjaman. Tabel 4.9 Rasio Leverage Tahun
Total Ekuitas Dana
Total Utang
Rasio
2005
433.171.476.930,23
12.868.549.595,76
33,66125092
2006
529.041.644.117,47
12.304.633.961,62
42,99531752
2007
846.374.064.375,26
13.233.209.807,03
63,95833488
2008
933.345.396.342,04
15.040.010.086,75
62,05749803
rata-rata
685.483.145.441,25
13.361.600.862,79
50,66810034
Kesimpulan: rata-rata rasio leverage menunjukkan perbandingan antara kekayaan bersih (ekuitas dana) dengan utang, yang besarnya adalah 50,6 : 1. hal ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan Pemkot Solok sangat solid. Angka tertinggi rasio leverage pada tahun 2007 yakni 63,9.
4.8. Kendala yang dihadapi dalam penerapan SAP di Kota Solok : 1. Penetapan harga perolehan untuk aset tetap sampai saat ini masih bermasalah karena tidak cukup tersedianya bukti kepemilikan, tidak diketahuinya secara pasti tanggal pembelian pada asset lama Pemerintah Kota. Sebab, Kota Solok, sebelum berlakunya otonomi daerah, adalah merupakan pusat bagi daerah kerja Pembantu Gubernur wilayah II (meliputi Kabupaten Solok, Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung) sehingga banyak aset Pemerintah Kota yang merupakan warisan dari aset Pemerintah Propinsi,
dan
sebelum dipindahkannya Pusat Kota Kabupaten Solok ke Aro Suka, gedung Pemerintah
Kota Solok dan Pemerintah Kabupaten Solok ada beberapa yang merupakan gedung bersama. Kondisi tersebut menyulitkan untuk penyusunan neraca awal Pemerintah Kota Solok yang tanpa masalah. 2. Dasar penentuan alokasi belanja modal pada masing-masing SKPD sampai saat ini belum jelas 3. Ketersediaan SDM Pegawai yang berlatar belakang pendidikan akuntansi masih rendah, di unit kerja SKPKD (Seksi Akuntansi dan Perbendaharaan DPPKA) saja sebagai center dari pengelola keuangan daerah hanya ada 50 % pegawai yang berlatar pendidikan akuntansi dan 50% dari jumlah tersebut, rata-rata PNS dengan masa kerja kurang dari 5 tahun sehingga belum memiliki pengalaman yang cukup. 4. Tumpang tindih aturan SAP tahun 2005 dengan Permendagri 13 tahun 2006 tentang SAP, sedangkan Tahun Anggaran 2007 penyajian laporan keuangan berdasarkan SAP diterapkan. Pada tahun 2008 baru dimengerti SAP itu apa. 5. Keterlambatan penyajian laporan keuangan berdasarkan SAP juga disebabkan karena masalah dalam menetapkan neraca awal. 6. Tahun 2005 terjadi pergantian Walikota Solok sehubungan dengan Pilkada Langsung, jadi perhatian Pemerintah Kota Solok lebih banyak fokus pada urusan politik. Tahun 2005-2008 terjadi perubahan SOTK (Struktur Organisasi Tata Kerja) Pemerintah Kota Solok seperti terlihat pada Lampiran 17 halaman 132, yang berpengaruh pada berubahnya badan-badan yang akan menyampaikan laporan keuangannya kepada Pemerintah Kota Solok. 7. Surat Edaran Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang laporan keuangan disusun berdasarkan SAP dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada pertengahan tahun anggaran 2005, tepatnya tanggal 13 Juni 2005, sehingga Pemerintah Kota Solok memang belum bisa menerapkan SAP karena ketika awal tahun APBD 2005 ditetapkan masih berdasarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Jika diterapkan saat itu juga maka akibatnya terhadap APBD 2005 akan terjadi dua bentuk laporan keuangan dalam 1 tahun anggaran. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab terdahulu, dapat diambil kesimpulan. 1. Penyajian Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca oleh Pemerintah Kota Solok selama Tahun 2005 dan 2006 masih berdasarkan Kepmendagri No. 29 tahun 2002, sedangkan SAP mulai diterapkan pada penyajian Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca tahun 2007 dan 2008. Hal ini menunjukkan Pemerintah Kota Solok tidak siap dalam mematuhi PP No. 24 tahun 2005 bahwa laporan keuangan wajib disusun dan disajikan berdasarkan SAP. Bentuk penyajian Neraca sebelum sesuai SAP lebih sederhana, sedangkan sesudah sesuai SAP uraiannya lebih terperinci. Contohnya terlihat di dalam Aktiva Lancar, Investasi Jangka Panjang, Aset Lainnya, Kewajiban Jangka Pendek, Kewajiban Jangka Panjang dan Ekuitas Dana, kecuali Aktiva Tetap. Namun pada Laporan Realisasi Anggaran sesudah sesuai SAP lebih
ringkas
dibanding
sebelum
pengklasifikasian, contohnya
sesuai
SAP
dikarenakan
beberapa
perbedaan
pendapatan berdasarkan sumbernya (PAD, Pendapatan
Transfer, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah)
dan belanja berdasarkan jenis belanja
(Belanja Operasi, Belanja Modal, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, dan Belanja Tidak Terduga). Kondisi keuangan Kota Solok dapat dilihat dari pertumbuhan dan kontribusi PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah terhadap APBD. 2. Kinerja Pemerintah Kota Solok. a.
Selama tahun 2005-2008 kemampuan Pemkot Solok dalam melaksanakan tugasnya sangat efektif dengan rata-rata sebesar 105,67%. Pemkot Solok dapat dikatakan sangat efisien dalam melakukan pemungutan PAD dengan rata-rata menunjukkan angka 37,7%. Secara keseluruhan tingkat penyerapan Dana yang dilakukan Pemkot Solok dapat dikatakan baik. Dari kondisi ini menunjukkan bahwa cost awareness (kesadaran atas uang publik) Pemerintah Kota Solok sangat baik.
b.
Selama TA 2005-2008 untuk membiayai aktivitas yang dilakukan Pemerintah Kota Solok masih sangat bergantung pada Pemerintah Pusat karena rata-rata kemandiriannya adalah 9,48%. Keserasian Belanja rutin APBD Kota Solok dengan Belanja Pembangunannya cukup seimbang, karena belanja langsung mendominasi dengan ratarata keserasian sebesar 122,72%. Dari kondisi demikian ini menunjukkan bahwa adanya
mekanisme perencanaan keuangan yang berorientasi pada cost awareness (kesadaran atas uang publik) dari Pemerintah Kota Solok. c.
Kondisi likuiditas Pemerintah Kota Solok
menunjukkan bahwa kondisi keuangan
pemda sangat likuid, dengan rata-rata perbandingan antara aktiva lancar (di luar persediaan) dengan utang jangka pendek adalah 10,3 : 1. Kondisi kemampuan pemda untuk membayar semua utangnya yang akan jatuh tempo menunjukkan bahwa kondisi keuangan pemda masih sangat solvable dengan rata-rata solvabilitas 51,6. Kondisi keuangan Pemkot Solok sangat solid karena perbandingan antara ekuitas dana (kekayaan bersih pemda) dengan total utang menunjukkan rata-rata sebesar 50,6. 2.
Kendala yang dihadapi Pemerintah Kota Solok dalam penerapan SAP yaitu penetapan harga perolehan untuk asset tetap sampai saat ini masih bermasalah karena tidak cukup tersedianya bukti kepemilikan dan tidak diketahuinya secara pasti tanggal pembelian pada aset lama Pemerintah Kota, dasar penentuan alokasi belanja modal pada masing-masing SKPD sampai saat ini belum jelas, ketersediaan SDM Pegawai yang berlatar belakang pendidikan akuntansi yang masih rendah, serta perhatian pemda yang lebih fokus pada masalah politik yaitu menyukseskan Pilkada langsung.
5.2 Saransaran Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini, maka dapat disarankan pada Pemerintah Kota Solok sebagai berikut: 1.
Agar dalam penyusunan anggaran belanja rutin hendaknya lebih mengefektifkan mekanisme perencanaan dari bawah (bottom up planning), sehingga dapat menjaring aspirasi masyarakat, dan alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik.
2.
Perlu menyusun standar analisa belanja untuk mencapai tingkat kinerja pengeluaran yang efisien.
3.
Agar meningkatkan proporsi belanja pembangunan yang lebih besar pada sektor unggulan, agar social welfare dapat tercapai. Mengurangi ketergantungan keuangannya pada pemerintah pusat dengan meningkatkan penerimaan daerah melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak dan retribusi. Selain itu dapat juga mencari sumber-sumber penerimaan lain seperti pola kemitraan.
4.
Peningkatan kualitas SDM perangkat daerah tentang laporan keuangan sesuai SAP dengan mengadakan rekrutmen calon pegawai dan atau pelatihan-pelatihan tentang laporan keuangan sesuai SAP.
5.
Sosialiasi tentang laporan keuangan sesuai SAP kepada seluruh perangkat pemerintahan Kota Solok dalam mewujudkan kesadaran good governance.
6.
Walikota perlu menempatkan SDM yang lebih kompeten dalam bidang akuntansi pemerintahan di bidang keuangan. Sehingga kinerja Bagian Keuangan lebih optimal.
7.
Agar meletakkan landasan yang kokoh serta membangun sistem pengelolaan keuangan yang terintegrasi, akuntabel, dan transparan sehingga dapat mendorong terwujudnya pemerintahan yang baik.