OLIMPIADE KARYA TULIS INOVATIF 2009 | PPI PERANCIS PROCEEDING DAN BUTIR REKOMENDASI Penyunting: Tim OKTI PPI Perancis Proofreader: Tim OKTI PPI Perancis Cetakan I, Oktober 2009 Diterbitkan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Perancis Desainer sampul: Andreas Kusumahadi Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
SUB KATEGORI : SAINS TERAPAN (1B) PAPER YANG LOLOS PRESENTASI FINAL
No
Nama Penulis
Judul Paper
1. Muhyin DAUD
Penerapan Sistem Komunikasi Gelombang Milimeter dengan Menggunakan Adaptive Coded Modulation dan Diversity Guna Memenuhi Kebutuhan Akses Data Kecepatan Tinggi di Indonesia
2. N. Agung PAMBUDI, W. SUMBODO
Karakteristik Energi dari Limbah Jarak Pagar (Jatropha Curcas) sebagai Pengembangan Produksi Bio-Coal
3. Riza Arief PUTRANTO
Ketersediaan Enzim Selulase Sumber Lokal Melalui Rekayasa Genetika untuk Mendukung Produksi Bioetanol dari Limbah Lignoselulosa Perkebunan
4. Elrade ROFAANI, Katalin TÓTH, Maria MILDENBERGER
Pengaruh Porphyrin terhadap Modifikasi Histon PostTranslasional - Pengamatan Terhadap Termal Denaturasi di Tingkat Makromolekul Nukleosom dalam Kondisi Tanpa dan Irradiasi Cahaya Tampak
5. Atur P. N. SIREGAR
Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Nasional dengan Menggunakan Material Ramah Lingkungan dari Sampah Industri Kelistrikan dan Logam Nasional
6. Agus SUSILO
Prediksi Permeabilitas Berdasarkan Model Kapiler
7. Arya WIDYAWAN
Catatan Ringkas Tentang Hama Wereng Coklat dan Ganjur serta Metode Pengendalian Terpadu yang Ramah Lingkungan
8. Hadi Teguh YUDISTIRA
Electrohydrodynamic (EHD) Inkjet Printing menjadi Pendukung Perkemba ngan Teknologi Nano (Nano Technology) dan juga Sistem Mikro (Microsystem) atau MEMs (Micro Electro Mechanic Systems) Terutama di Indonesia
90
Sub Kategori
: Sains Terapan (1B)
Judul : Ketersediaan Enzim Selulase Sumber Lokal Melalui Rekayasa Genetika Untuk Mendukung Produksi Bioetanol Dari Limbah Lignoselulosa Perkebunan Riza-Arief PUTRANTO Master Biologie Fonctionnelle des Plantes Université Montpellier 2 Cité Universitaire du Triolet 75, Avenue Augustin Flîche Bât I/62 34096 Montpellier CEDEX 5 Telp. +33 646300118 E-mail :
[email protected]
Abstract : Since the last 5 years, National Oil Production was decreasing in Indonesia, which is caused by a natural decline of oil reservoirs deep inside our wells. Because of that, the Government was forced to import half of oil fuel needed for the country which causes an imbalance in government’s national budget due to subvention increase. Since then, the use of biofuel became a renewable alternative to replace fossil fuel. Bioethanol was mentioned to be the upleading compared with biodiesel, due to the use of cheap raw materials. But, planting area disponibility for bioethanol production using maize, sugar cane and cassava is limited, which makes lignocellulosic waste, such as oil palm bulk and sugarcane bagasse from plantation a potential alternative for raw materials. There are many lignocellulosic microbes which are able to degrade cellulose by producing cellulase from a simple fermentation. This kind of fermentation give result to unwanted and uncontrolled substances produced such as organic acids, which decrease microbial fermentation rate. In order to outcome the problem, genetic engineering could be conducted to produce cellulose enzyme from a recombinant strain. This will become a supporting effort to a clean and applicative bioethanol production from lignocellulosic waste. Genetic engineering approach is meant to provide two main benefits, which are (1) enlarging the availability of adequate local cellulose enzyme as an incentive for bioethanol industry, and (2) improving local biodiversity because the use of indigenous microbes. Keywords : bioethanol, cellulase, lignocellulosic waste, genetic engineering, recombinant enzyme.
1. PENDAHULUAN Sejak lima tahun terakhir Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional yang disebabkan menurunnya secara alamiah (natural decline) cadangan minyak pada sumur-sumur yang berproduksi. Di lain pihak, pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri yang berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional. Dalam sejarahnya, Indonesia terkena dampak dalam fluktuasi harga BBM dunia yang 109
menyebabkan pemerintah mengimpor sebagian BBM untuk memenuhi kebutuhan nasional. Menurut Ditjen Migas, impor BBM terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 106,9 juta barrel pada 2002 menjadi 116,2 juta barrel pada 2003 dan 154,4 juta barrel pada 2004. Dilihat dari jenis BBM yang diimpor, minyak solar memiliki volume impor terbesar setiap tahunnya. Pada 2002, impor BBM jenis ini mencapai 60,6 juta barrel atau 56,7% dari total, kemudian meningkat menjadi 61,1 juta barrel pada 2003 dan 77,6 juta barrel pada 2004 (Shintawaty, 2006). Besarnya ketergantungan Indonesia pada BBM impor semakin memberatkan pemerintah ketika harga minyak dunia terus meningkat yang mencapai di atas US$ 70 per barrel pada Agustus 2005, karena semakin besarnya subsidi yang harus diberikan pemerintah terhadap harga BBM nasional. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM yang berakibat pada meningkatnya harga BBM nasional yang dilakukan dalam 2 tahap yaitu pada bulan Maret dan Oktober 2005. Ini berakibat pada penurunan konsumsi BBM yang cukup signifikan. Menurut catatan Pertamina, total konsumsi harian BBM menurun sebesar 27% paska kenaikan BBM tanggal 1 Oktober 2005 yaitu dari 191,0 ribu kiloliter per hari menjadi 139,8 ribu kiloliter per hari. Solar mengalami penurunan sebesar 30,3% dari 77,0 ribu kiloliter per hari menjadi 53,6 ribu kiloliter per hari. Sedangkan Premium menurun cukup tajam sebesar 36,8% dari 53,4 ribu kiloliter per hari menjadi 33,7 kiloliter per hari. Penyebab utama penurunan konsumsi ini diduga karena turunnya daya beli masyarakat dan semakin selektifnya masyarakat memilih aktivitas harian untuk menghemat pemakaian BBM (Shintawaty, 2006). Setelah 4 tahun berselang, harga minyak dunia masih berada diatas kisaran US$ 75 per barel pada Agustus 2009. Sebaliknya, pada tahun ini, konsumsi BBM nasional mengalami peningkatan. Pemerintah memperkirakan konsumsi BBM pada akhir tahun 2009 akan melebihi kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN-P) tahun 2008 sebesar 35,5 juta kiloliter. Konsumsi BBM pada kuartal pertama telah mencapai 27% atau meningkat sekitar 2 %. Untuk memenuhi kebutuhan nasional akan BBM sekitar 1,3 juta barrel per hari, Pertamina harus mengimpor BBM sekitar 700 barrel per hari untuk menambah produksi nasional (sekitar 600 barrel per hari). Realisasi konsumsi Januari - Mei mencapai 16,41 juta kiloliter. Dengan perincian, premium 7,84 juta kiloliter, Minyak tanah 3,71 juta kiloliter dan solar 4,86 kiloliter. Secara keseluruhan, konsumsi Premium telah mencapai 46,19 %. minyak tanah 49,07 % dan solar 44, 26 %. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain menunjukkan keseriusan pemerintah akan tuntutan kebutuhan bahan bakar alternatif. Kebutuhan Indonesia akan energi merupakan salah satu masalah utama yang tercantum di dalam Agenda Riset Nasional 2006-2009. Penggunaan biofuel menjadi alternatif pengganti bahan bakar fosil yang dapat diperbaharui (renewable resources). Secara ekonomi, biofuel (Bahan Bakar Nabati, BBN) bisa menggantikan dan bersaing dengan BBM fosil jika harga BBM fosil berada pada rentang 3040 USD per barrel (Paul, 2007). Bioetanol diutamakan menjadi yang terdepan dikarenakan penggunaan bahan baku (raw material) yang dinilai murah dan melimpah dibandingkan biodiesel. Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari bahan biologis. Brazil, dengan 320 pabrik bioetanol, adalah negara terkemuka dalam penggunaan serta ekspor bioetanol saat ini (Goldemberg and Macedo, 1994). Di tahun 1990-an, bioetanol di Brazil telah menggantikan 110
50% kebutuhan bensin untuk keperluan transportasi (Goldemberg and Macedo, 1994; Tempelaars et al., 1994); ini jelas sebuah angka yang sangat signifikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Bioetanol tidak saja menjadi alternatif yang sangat menarik untuk substitusi bensin, namun juga mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18%. Dalam hal prestasi mesin, bioetanol dan gasohol (kombinasi bioetanol dan bensin) tidak kalah dengan bensin; bahkan dalam beberapa hal, bioetanol dan gasohol lebih baik dari bensin. Pada dasarnya pembakaran bioetanol tidak menciptakan CO2 neto yang dilepaskan ke lingkungan karena zat yang sama akan diperlukan untuk pertumbuhan tanaman sebagai bahan baku bioetanol. Namun keterbatasan lahan menghambat ketersediaan sumber bahan baku mentah (raw materials) untuk produksi bioetanol berbahan baku jagung, tebu, dan ubi. Limbah lignoselulosa mulai menjadi alternatif menggeser penggunaan bahan baku tersebut. Limbah lignoselulosa mudah didapatkan dengan jumlah melimpah, terutama dari sektor perkebunan. Bahan baku yang murah, melimpah, dan memiliki kandungan selulosa tinggi memang terdapat di dalam materi limbah hasil perkebunan seperti Tandan kosong kelapa sawit (TKKS), bagase (ampas) dan blotong tebu (Gambar 1). TKKS maupun bagase tebu merupakan sumber materi lignoselulosik yang potensial untuk produksi bioetanol. TKKS merupakan hasil samping Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang mencapai 35 – 38% dari berat total tandan buah segar (TBS) (Lubis, 1992). Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 5,8 juta ha. Apabila dari satu ha kebun kelapa sawit rata-rata menghasilkan 10 ton tandan buah segar (TBS), maka limbah TKKS diperkirakan mencapai 20,2 juta ton/tahun. Jumlah ini sangat besar dan merupakan masalah serius dalam industri kelapa sawit. TKKS bersifat kamba (bulky) sehingga memerlukan tempat yang luas untuk menampung dan biaya tambahan untuk menanganinya dan hingga sekarang belum dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan teknologi (Jacquemard et al., 2006).
Gambar 1. Limbah Lignoselulosik Perkebunan. (A) Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), (B) TKKS Tercacah, (C) Blotong Tebu Sisa Industri, (D) Bagase (Ampas) Tebu. 111
Selulosa merupakan karbohidrat utama yang terdapat dalam limbah lignoselulosa. Selulosa sebagai salah satu penyusun utama kayu terdiri atas senyawa polimer, kristalin tinggi, dan kebanyakan berasosiasi erat dengan lignin dan hemiselulosa. Materi tanaman yang mengandung selulosa merupakan bahan baku yang baik untuk produksi bioetanol dengan bantuan mikroba. Proses produksi etanol yang secara teknis mudah, bagaimanapun juga, tergantung pada penggunaan total kandungan gula dalam bahan baku (Saloheimo, 2004). Hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dapat dilakukan secara kimiawi maupun enzimatis. Hidrolisis menggunakan senyawa kimia cenderung lebih sukar dalam penanganannya dikarenakan perlunya perlakuan khusus (kontainer serta penyimpanan) dan sifatnya yang kurang ramah lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan secara enzimatis merupakan alternatif yang lebih baik dikarenakan sifatnya yang tidak memerlukan perlakuan khusus dan ramah lingkungan. Kebanyakan mikroba lignoselulolitik secara alami memiliki kemampuan untuk memecah selulosa secara efisien dengan mensekresikan enzim pendegradasi selulosa. Degradasi selulosa merupakan langkah awal untuk mendapatkan gula sederhana yang sesuai sebagai substrat fermentasi untuk menghasilkan etanol. Salah satu enzim biodegradasi kayu penting seperti selulase, dalam pemanfaatan umumnya dihargai sangat tinggi. Enzim tersebut secara spesifik berperan dalam hidrolisis ikatan glikosidik selulosa. Selulase dapat dibagi menjadi tiga kelas enzim (Goyal et al., 1991; Rabinovich et al., 2002a), yaitu endoglukanase atau endo-1,4-β-glukanase (EC 3.2.1.4), selobiohidrolase (EC 3.2.1.9.1) dan β-glukosidase (EC 3.2.1.2.1). Endoglukanase, sering disebut sebagai selulase karboksimetil selulosa (CM), memiliki fungsi memotong secara acak zona amorph selulosa sebagai awal proses degradasi. Selobiohidrolase, yang sering disebut eksoglukanase, adalah komponen utama sistem selulase fungi yang berperan untuk menghidrolisis kristalin selulosa (Estebauer et al., 1991). Selobiohidrolase menghilangkan rantai tunggal atau dimer glukosa. Sementara, β-glukosidase menghidrolisis dimer glukosa. Secara umum, ketiga kelas enzim tersebut bekerja secara sinergis dalam proses degradasi selulosa. Sebagian besar mikroba penghasil selulase mampu menghasilkan ketiga jenis enzim tersebut. Enzim selulase telah banyak diproduksi di dunia dengan kisaran harga antara 100-150 dollar US/kg dan di produksi dalam memenuhi kebutuhan 40 juta kg untuk mengatasi 70 juta ton limbah lignoselulosa (Hettenhaus, 1997). Kelangkaan enzim di pasaran dapat membengkakkan harga hingga 2-3 kali lipat. Ketersediaan enzim selulase yang diproduksi secara lokal diharapkan mampu mengatasi masalah hidrolisis secara enzimatis limbah lignoselulosik sebagai bahan baku produksi bioetanol. Tidak hanya itu, produksi menggunakan fermentasi langsung menemui banyak kendala seperti dihasilkannya produk samping asam organik yang mampu menghambat proses pemurnian enzim yang dihasilkan.
2. SIGNIFIKANSI Fermentasi langsung menggunakan mikroba sumber lokal untuk memproduksi enzim merupakan metode yang sangat lazim dilakukan. Hampir 89% enzim di dunia dihasilkan menggunakan proses fermentasi sederhana. Reaksi fermentasi ternyata telah lama diketahui memiliki hambatan dalam proses alamiahnya untuk menghasilkan senyawa yang tidak diinginkan. Senyawa reaksi samping seperti asam-asam organik dan senyawa fenol dapat 112
mengurangi produk akhir (5-10%) dan mempersulit proses pemurnian enzim yang dihasilkan. Permasalahan ini telah lama berusaha untuk dipecahkan dengan meningkatkan efisiensi fermentasi melalui pendekatan rekayasa genetika. Pendekatan ini merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mendapatkan produk akhir (enzim rekombinan) yang bersih dan aplikatif.
Gambar 2. Proses Produksi Bioetanol dari Bahan Dasar Lignoselulosik. Ditambah, dalam proses degradasi limbah lignoselulosik secara enzimatis (Gambar 2), ketersediaan enzim kerap menjadi masalah yang harus dipecahkan. Penggunaan enzim sintetik diperkirakan menghabiskan 50% dari total biaya hidrolisis (Walker and Wilson, 1991). Dalam studinya, Walker & Wilson (1991) menyatakan bahwa enzim selulase yang murni dari hemiselulosa dan lignin dapat diproduksi dengan biaya 55 dollar US/mg, sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan enzim selulase adalah sebesar 2665 dollar US/mg. Dalam usaha mengatasi kelemahan fermentasi secara langsung, rekayasa genetika dapat dikembangkan untuk menghasilkan isolat rekombinan yang mampu memproduksi enzim selulase sebagai upaya mendukung produksi bioetanol dari limbah lignoselulosik. Beberapa gen SELULASE telah berhasil ditemukan pada mikroba terutama fungi, beberapa diantaranya adalah Trichoderma reseei, Phanerochaete chrysosporium, Penicillium janthinellum (Ingram et al., 1987; Sims et al., 1988; Gonzales et al., 1992; Koch et al., 1993; Tempelaars et al., 1994; Zhang et al., 1995; Deanda et al., 1996; Wang et al., 1996; Ilmen et al., 1997; Eliasson et al., 2000; Dien et al., 2003; Forster et al., 2003). Eksplorasi fungi selulolitik diharapkan menemukan isolat-isolat lokal yang memiliki ekspresi gen yang tinggi, terutama gen SELULASE untuk pemecahan selulosa menjadi gula sederhana, substrat yang digunakan dalam fermentasi etanol (Murooka and Imanaka, 1993). Beberapa isolat lokal Indonesia seperti Absidia corymbifera, Trichoderma harzianum DT31, Rhizopus oryzae, dan Monilia sitophila diketahui mampu memproduksi enzim selulase (Putranto et al., 2006). Karakterisasi gen penyandi SELULASE dapat dilakukan untuk mendukung transformasi mengenai keterkaitan gen dengan protein (enzim). Sehingga pendekatan ini bertujuan untuk (1) mendapatkan klon gen dan (2) memperoleh informasi mengenai karakter gen SELULASE yang mengarah pada produksi enzim selulase rekombinan untuk mendukung produksi bioetanol. 113
Indonesia memiliki kapasitas untuk memproduksi enzim tersebut dengan kapasitas besar melalui pendekatan rekayasa genetika. Pendekatan tersebut diharapkan memberikan tiga manfaat utama yaitu (1) capacity bulding : teknologi produksi enzim rekombinan, (2) ketersediaan enzim selulase lokal dalam jumlah memadai dan relatif ekonomis yang nantinya akan memberikan insentif dalam usaha untuk menghasilkan bioetanol berbahan baku limbah lignoselulosa, sekaligus membuka peluang industri, serta (3) pengayaan keanekaragaman hayati karena menggunakan isolat lokal. Ketersediaan enzim selulase yang murah tentu mampu meningkatkan gairah industri untuk bergerak dalam mengakomodasi kebutuhan energi nasional melalui salah satu pendekatan yaitu produksi bioetanol.
3. KERANGKA KONSEPTUAL Produksi etanol secara enzimatis merupakan langkah yang lebih banyak memiliki kemudahan untuk dilakukan dibandingkan secara kimiawi. Proses ini terkait pada industri bioetanol saat ini tengah merangkak naik dan sering diperbandingkan dengan BBM fosil. Produksi enzim rekombinan merupakan salah satu cara yang dirasa ramah lingkungan, ekonomis dan berkelanjutan. Rekayasa enzimatis diperlukan untuk memotong langkah produksi menggunakan cara biologi konvensional yang memakan waktu lama dan tidak ekonomis menjadi langsung dan efisien. Penggunaan isolat-isolat lokal dapat dioptimalkan untuk menghasilkan enzim selulase sendiri. Secara ekonomi akan menghasilkan keluaran yang lebih berharga dan tentu saja berkelanjutan (sustainable). Gambaran mengenai posisi industri bioetanol dan mekanisme produksi secara enzimatis sebagai kerangka konseptual disajikan dalam bentuk diagram alir (Gambar 3). Industri Bioetanol Feed Stocks (Bahan Baku)
Pati (Jagung, Singkong)
VS
Gula (Tebu, bit)
BBM Fosil
Lignoselulosa Limbah Pertanian : TKKS, bagase Hidrolisis Enzimatis
Kimiawi
Fermentasi Etanol dari gula (biologis) Dehidrasi Etanol 99% (biofuel) Premium Gasohol 5-100% fuel
Gambar 3. Roadmap Industri Bioetanol vs BBM Fosil dalam Kaitan Penggunaan Bahan Baku Limbah Lignoselulosa Perkebunan untuk Etanol.
114
4. METODOLOGI Penelitian di Indonesia memiliki kapasitas untuk mengusung sebuah proyek penelitian dengan jangka waktu sekitar 2-5 tahun untuk menghasilkan isolat rekombinan penghasil selulase. Rekayasa biologis dinilai lebih efektif dan efisien, dan memberikan hasil yang lebih spesifik dibandingkan pendekatan biologis tanpa rekayasa (Gambar 4). Berbagai alternatif rekayasa genetika dimungkinkan untuk mencapai tujuan. Salah satu pendekatan metodologis yang lazim dilakukan dapat ditempuh sebagai berikut : 4.1. Isolasi RNA Mikroba Lokal Potensial Beberapa mikroba potensial yang dibuktikan secara mikrobiologis menghasilkan selulase yaitu kapang Absidia corymbifera, Trichoderma harzianum, Rhizopus oryzae, dan Monilia sitophila digunakan sebagai sampel untuk isolasi RNA (Putranto et al., 2006). RNA total diisolasi dari miselium kapang menggunakan metode modifikasi gabungan Chang dan Liu (Chang et al., 1993; Liu et al., 1998). Sebanyak 2,5 gram serbuk miselium beku ditambahkan 10 ml buffer ekstraksi (Trizma Base 0,2 M, LiCl 0,3 M , EDTA 0,01 M, PVP MW 36,000 1%, Thiourea 5 mM, Aurintrikarboksilat 1 mM , dan 2-Merkaptoetanol 2%). Campuran dikocok kuat kemudian ditambahkan 1 volume deprofat, vorteks 3x30 detik, dan dilanjutkan sentrifugasi pada 15.000 rpm pada suhu 4°C selama 15 menit. Supernatan diekstraksi sekali lagi menggunakan Kloroform:Isoamilalkohol (24:1) sebanyak 1 volume dilanjutkan sentrifugasi kembali pada kecepatan 15.000 rpm pada suhu 4°C selama 15 menit. Supernatan kembali dipindahkan dalam tabung sentrifus baru, kemudian ditambahkan 1/30 volume Na asetat 3,3 M pH 5,2 dan 1/10 volume etanol mutlak. Setelah campuran diendapkan dalam es selama 30 menit, pemisahan larutan dilakukan menggunakan sentrifugasi pada kecepatan 15.000 rpm pada suhu 4°C selama 25 menit. Lignoselulosa
Biologis Tanpa Rekayasa/Murni
Biologis Rekayasa/Enzimatis
> kurang spesifik > kurang efisien > ekonomis
Kimia
> spesifik /efisien?
Selulase komersial relatif mahal
Selulase produksi sendiri Identifikasi gen SELULASE (bisa dipisah)
Kloning & karakterisasi Modifikasi (Protein Engineering)
Ujicoba konstruksi dan ekspresi
Konstruk ekspresi untuk produksi enzim Selulase Produk Selulase
Gambar 4. Roadmap Produksi Selulase Rekombinan secara Enzimatis Menggunakan Pendekatan Rekayasa Biologis. 115
Pelet yang terbentuk dicuci menggunakan etanol 70% dingin dilanjutkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm pada suhu 4°C selama 5 menit. Pelet kemudian dilarutkan menggunakan DEPC-dH2O sebanyak 750 μl atau lebih. RNA dipisahkan dari DNA dengan menambahkan LiCl 8 M sebanyak 250 μl hingga konsentrasi akhir 2 M, lalu campuran didiamkan selama 4-16 jam pada suhu 4°C. Setelah masa inkubasi selesai, sentrifugasi kembali dilakukan dengan kecepatan 13.000 rpm pada suhu 4°C selama 20 menit. Pelet RNA kembali dilarutkan menggunakan 50-100 μl DEPC-dH2O setelah pembilasan dilakukan menggunakan etanol dingin 70% yang dilanjutkan sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. RNA yang diperoleh diuji kualitas dan kuantitasnya dengan elektroforesis pada gel agarose 0,8% dan mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 260 dan 280 nm. 4.2. Desain Primer Heterologous Gen SELULASE Pengumpulan data sekuen nukleotida selulase berbagai kapang diperoleh dari database di situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Konversi sekuen nukleotida menjadi sekuen asam amino dilakukan menggunakan program Bioedit 7.2, tetapi dapat juga menggunakan software lain seperti DNAstar, Biomanager, dan CLC Workbench, dengan memperhatikan adanya mekanisme splicing (penghilangan intron). Pencarian daerah konservatif (homologi tinggi) berdasarkan penjajaran sekuen asam amino, yang dianalisis menggunakan algoritma ClustalW. Setelah diperoleh output dari program ClustalW, sekuen asam amino kembali dikonversi menjadi sekuen nukleotida. Sekuen yang mengandung daerah konservatif, diproses dengan menggunakan program Primer3 dalam situs web (http:// www.biotools.umassmed.edu/) untuk mendapatkan output pasangan primer spesifik. 4.3. Amplifikasi Fragmen Gen SELULASE Menggunakan RT-PCR Amplifikasi fragmen daerah konservatif fragmen gen SELULASE dilakukan menggunakan RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction). Sintesis utas tunggal cDNA dilakukan menggunakan kit SuperScriptTM II First-Strand Synthesis System for RT-PCR Invitrogen dengan templat RNA total dari miselium kapang menggunakan primer heksamer acak yang tersedia di dalam kit. Utas tunggal cDNA selanjutnya dijadikan templat dalam sintesis utas ganda cDNA menggunakan primer heterologous yang telah dirancang. Analisis PCR dilakukan dengan total reaksi 25 μl, yang mengandung 1.5 μl MgCl2, 2.5 bufer ekstraksi 10X, 0.5 dNTPs 10μM, 0.5 μl Taq DNA Polymerase 5u/μl, 17 μl ddH2O, 2 μl primer (reverse dan forward). Program PCR terdiri dari pra denaturasi suhu 95°C selama 5 menit, dan 35 siklus reaksi yang terdiri dari denaturasi suhu 95 °C selama 30 detik, anealing suhu 50 °C selama 30 detik dan ekstensi suhu 72 °C selama 90 detik. Pada tahap akhir proses PCR dilakukan ekstensi akhir suhu 72 °C selama 5 menit. Sebanyak 5 μl hasil PCR di cek dengan elektroforesis gel agarosa 0,8 %. 4.4. Kloning dan Analisis Produk RT-PCR Fragmen DNA hasil RT-PCR dimurnikan dari gel menggunakan kit QIAquick Gel Extraction dari QIAGEN kemudian diligasi pada vektor pGEM-T (Promega). Hasil ligasi ditransformasikan ke E. coli kompeten sesuai prosedur yang tersedia dalam buku petunjuk. Seleksi sel transforman dilakukan pada media padat LB yang mengandung 50 mg/l kanamisin dan 40 mg/l X-Gal. Analisis adanya fragmen terklon pada koloni putih dilakukan dengan PCR menggunakan primer spesifik. Kemudian hasil PCR koloni di cek dengan elektroforesis gel 116
agarosa 0,8 %. 4.5. Isolasi Plasmid dan Analisis Sekuensing Plasmid diisolasi dari sel E. coli menggunakan High Pure Plasmid Isolation Kit (Roche). Plasmid yang mengandung fragmen gen SELULASE dipisahkan dari sel dan diisolasi dalam pelarut. Plasmid dicek menggunakan gel elektroforesis. Keberadaan fragmen gen dalam plasmid dipastikan dengan cara digesti plasmid menggunakan enzim restriksi EcoRI. Sekuensing dapat dilakukan di beberapa institusi biologi molekuler di Indonesia seperti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta dengan menggunakan instrumen CEQ™ 8000 Genetic Analysis System Beckman Coulter. Sekuenser ini dapat melakukan analisis secara simultan menggunakan beberapa templat yang berbeda. Primer kit ditempeli komplemen dye terminator dan direaksikan pada templat. Hasil sekuensing secara simultan akan muncul secara otomatis dengan perkiraan ukuran sekuen. Analisis sekuensing plasmid kemudian dilakukan menggunakan BLAST. 4.6. Isolasi Daerah Ujung 5’ dan 3’ Gen SELULASE Menggunakan RACE (Rapid Amplification for CDNA ends) Amplifikasi daerah ujung 5’ dan 3’ dilakukan menggunakan kit GeneRacerTM. Tahapan kerja yang dilakukan meliputi (1) perancangan primer berdasarkan fragmen gen penyandi daerah konservatif SELULASE, (2) isolasi RNA menggunakan metode gabungan Chang dan Liu (Chang et al., 1993; Liu et al., 1998), (3) sintesis cDNA utas pertama dari transkrip dengan panjang minimum 10 kb menggunakan RT System III, (4) mengisolasi full-length ujung 5’ dan (5) karakterisasi produk RACE. 4.7. Kloning Full-Length Gen SELULASE Fragmen DNA hasil RACE-PCR dimurnikan dari gel menggunakan kit QIAquick Gel Extraction dari QIAGEN kemudian diligasi pada vektor pGEM-T (Promega). Hasil ligasi ditransformasikan ke E. coli kompeten sesuai prosedur yang tersedia dalam buku petunjuk. Seleksi sel transforman dilakukan pada media padat LB yang mengandung 50 mg/l kanamisin dan 40 mg/l X-Gal. Analisis adanya fragmen terklon pada koloni putih dilakukan dengan PCR menggunakan primer spesifik. Kemudian hasil PCR koloni di cek dengan elektroforesis gel agarosa 0,8 %. 4.8. Konstruk Ekspresi Gen SELULASE Uji konstruksi ekspresi diawali dengan subkloning gen SELULASE dari vektor kloning ke vektor ekspresi. Subkloning ditempuh dengan mengamplifikasi gen tersebut dengan PCR menggunakan pasangan primer DNA spesifik, karena situs restriksi antara vektor kloning dan vektor ekspresi tidak langsung komplemen. Pasangan primer DNA tersusun dari 30 hingga 35 nukleotida yang terdiri dari 19 hingga 21 nt spesifik masing-masing ujung gen dan 5 komplemen dengan situs restriksi dari vektor dimana gen akan disisipkan. Hasil amplifikasi ini kemudian dipotong dengan enzim restriksi yang sesuai, demikian juga dengan vektor ekspresinya. Setelah hasil digesti didesalting, kemudian diligasikan menggunakan T4 Ligase selama 1 jam pada suhu kamar atau semalam pada 4C. DNA rekombinan hasil ligasi ini ditransformasikan untuk produksi enzim di dalam sel inang bakteri, yeast atau kapang. Untuk ekspresi di dalam bakteri dapat digunakan vektor ChampionTM pET System (Studier et al., 1990) ataupun variannya dari Invitrogen (Carlsbad, CA-USA). Dengan vektor ini, ekspresi level tertinggi dapat dilakukan dengan E. coli galur 117
BL21. Keunggulan sistem ini antara lain memiliki stabilitas RNA yang tinggi. Adanya tag histidin (6xHis) memudahkan proses permurnian menggunakan kromatografi kolom afinitas. Ekspresi gen dari kapang di dalam inang sesama eukariot memiliki keunggulan terutama kemungkinan mendapatkan protein rekombinan yang fungsional dan aktif sangat besar. Hal ini karena proses modifikasi pasca translasi (post translational modification) akan terjadi lebih sesuai jika dibandingkan dengan ekspresi gen eukariot seperti kapang, di dalam sel inang prokariot (Kohno et al., 1999). Produksi transformasi ke dalam yeast dilakukan dengan perantaraan Agrobacterium tumefaciens dengan metode baku atau metode transformasi yeast yang sederhana dan efisien (Hayama et al., 2002). Transformasi DNA rekombinan ke dalam sel kapang dapat dilakukan secara protoplas (Pentilla et al., 1987; Woloshuk et al., 1989). Alternatifnya, transformasi kapang dilakukan dengan metode baku melalui perantaraan Agrobacterium tumifaciens (de Groot et al., 1998). Dan secara umum kedua jenis sel mikroba tersebut dapat ditransformasi menggunakan elektroforasi. Seleksi sel inang yang membawa DNA rekombinan, dilakukan dengan mengkultur pada media tumbuh yang mengandung antibiotika selektif yang sesuai. Konfirmasi sel transgenik dilakukan dengan menguji adanya gen SELULASE rekombinan di dalamnya yang dapat ditempuh dengan PCR menggunakan primer spesifik DNA rekombinan.
5. KESIMPULAN Rekayasa genetika enzim merupakan salah satu pendekatan biologis dalam isu terbaru mengenai bioetanol di Indonesia. Pendekatan ini diharapkan memberikan tiga manfaat utama yaitu (1) capacity bulding: teknologi produksi enzim rekombinan, (2) ketersediaan enzim selulase lokal dalam jumlah memadai dan relatif ekonomis yang nantinya akan memberikan insentif dalam usaha untuk menghasilkan bioetanol berbahan baku limbah lignoselulosa, sekaligus membuka peluang industri, serta (3) pengayaan keanekaragaman hayati karena menggunakan isolat lokal. Realisasi penelitian dapat dilakukan melalui pendekatan runtut biologi molekuler, yang dapat diaplikasikan di Indonesia.
REFERENSI Chang, S., Puryear, J., and Cairney, J. (1993). A simple and efficient method for isolating RNA from pine trees. Plant Mol Biol Rep 11, 98-100. de Groot, M.J.A., Bundock, P., Hooykaas, P.J.J., and Beijersbergen, A.G.M. (1998). Agrobacterium tumifaciens-mediated transformation of filamentous fungi. Nature Biotechnology 16, 839-842. Deanda, K., Zhang, M., Eddy, C., and Picataggio, S. (1996). Development of an arabinosefermenting Zymomonas mobilis strain by metabolic pathway engineering. Nature Biotechnology 16, 839-842. Dien, B.S., Cotta, M.A., and Jeffrius, T.W. (2003). Bacteria engineered for fuel ethanol production : current status. . Appl. Microbiol. Biotechnol. 63, 258-266. 118
Eliasson, A., Christensson, C., Wahlbom, C.F., and Hahn-Hagerdal, B. (2000). Anaerobic xylose fermentation by recombinant Saccharomyces cerevisiae carrying XYL1, XYL2, and XKS1 in mineral medium chemostat cultures. Appl. Environ. Microbiol. 66, 33813386. Estebauer, H., Steiner, W., and Labudova, I. (1991). Production of Trichoderma cellulase in laboratory and pilot scale. Biores. Technol. 36, 51-65. Forster, J., Famili, I., Fu, P., Palssom, B.O., and Nielssen, J. (2003). Genome-scale reconstruction of the Saccharomyces cerevisiae metabolic network. Genome Res. 13, 244-253. Goldemberg, J., and Macedo, I.C. (1994). Brazilian alcohol program : An overview. Energy for Sustainable Development 1, 1. Gonzales, R., Ramon, D., and Perez-Gonzales. (1992). Cloning, sequence analysis and yeast expression of the egl1 gene from Trichoderma longibrachum. Appl. Environ. Microbiol. Biotechnol. 38, 370-375. Goyal, A., Ghosh, B., and Eveleigh, D. (1991). Characterisation of fungal cellulases. Biores. Technol. 36, 37-50. Hayama, Y., Fukuda, Y., Kawai, S., Hashimoto, W., and Murata, K. (2002). Extremely simple, rapid and highly efficient transformation method for the yeast Saccharomyces cerevisiae using glutathione and early log phase cells. J. Biosci. Bioeng. 94, 166-171. Hettenhaus, J. (1997). Commersializing A Major New Enzyme Market : Cellulase for Biomass. (USA: National Renewable Energy Laboratory). Ilmen, M., Saloheimo, A., Onnela, M.L., and Pentilla, M.E. (1997). Regulation of cellulase gene expression in the filamentous fungus Trichoderma reesei. Appl. Environ. Microbiol. 63, 1298-1306. Ingram, L.O., Conway, T., Clark, D.P., Sewell, G.W., and Preston, J.F. (1987). Genetic engineering of ethanol production in Escherichia coli. Appl. Environ. Microbiol. 53, 2420-2425. Jacquemard, J.C., Zaelani, H., and Dermawan, E. (2006). Pernanan bahan tanaman kelapa sawit dalam pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan/berkesinambungan, F.G. Discussion, ed (Jakarta: Kementrian Riset dan Teknologi RI). Koch, A., Weigel, C.T.O., and Schulz, G. (1993). Cloning, sequencing and heterologous expression of a cellulose-encoding cDNA (cbh1) from Penicillium janthinellum. Gene 124, 57-65. Kohno, M., Enatsu, M., Yoshiizumi, M., and Kumigiya, W. (1999). High-level expression of Rhizopus niveus Lipase in the yeast Saccharomyces cerevisiae and structural properties of the expressed enzyme. Proteon Expression and Purification 15, 327-335. Liu, J.J., Goh, C.J., Loh, C.S., Liu, P., and Pua, E.C. (1998). A method for isolation of total RNA from fruit tissues of banana. Plant Molecular Biology Reporter 16, 1-6. Lubis, A.U. (1992). Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Indonesia (Bandar Kuala: Pusat Penelitian Perkebunan Marihat), pp. 55. Murooka, Y., and Imanaka, T. (1993). Recombinant microbes for industrial and agricultural applications. (Marcel Dekker Pub). 119
Paul, B. (2007). Future energy : How the new oil industry will change people, politics, and portfolios. (New Jersey: John Wiley & Sons). Pentilla, M., Nevalainen, H., Ratto, M., Salminen, E., and Knowles, J.K.C. (1987). A versatile transformation system for the cellulolytic filamentous fungus Trichoderma reesei. Gene 61, 155-164. Putranto, R.A., Santoso, D., Tri-Panji, Suharyanto, and Budiani, A. (2006). Karakterisasi gen penyandi Lipase dari kapang Rhizopus oryzae dan Absidia corymbifera. Menara Perkebunan 74, 1-5. Rabinovich, M.L., Melnik, M.S., and Bolobova, A.V. (2002a). Microbial cellulases : A review. Appl. Biochem. Microbiol. 38, 305-321. Saloheimo, A. (2004). Yeast Saccharomyces cerevisiae as a tool in cloning and analysis of fungal genes : Application for biomass hydrolysis and utilization. (Univ of Helsinski: Faculty of Biosciences). Shintawaty, A. (2006). Analisis ekonomi dan bisnis pada bank BUMN di Jakarta, E. Review, ed (Jakarta), pp. 9. Sims, P., James, C., and Broda, P. (1988). The identification, molecular cloning and characterization of a gene from Phanerochaete chrysosporium that shows strong homology to the exo-cellobiohydrolase I gene from Trichoderma reesei. Gene 74, 411422. Studier, F.W., Rosenberg, A.H., Dunn, J.J., and Dubendorff, J.W. (1990). Use of T7 RNA Polymerase to Direct Expression of Cloned Genes. Methods in Enzymology 185, 6089. Tempelaars, C.A.M., Birch, P.R.J., Sims, P., and Broda, P. (1994). Isolation, characterization and analysis of the expression of the cbhII gene of Phanerochaete chrysosporium. Appl. Environ. Microbiol. 60, 4387-4393. Walker, L.P., and Wilson, D.B. (1991). Enzymatic hydrolysis of cellulose : An Overview. Biores. Technol. 36, 3-14. Wang, J.R., Zhang, P., Huang, T., and Zhang, M.F. (1996). Molecular characterization of the cbh2 gene of Trichoderma viride. Mycol 88, 191-197. Woloshuk, C.P., Seip, E.R., Payne, G.A., and Adkins, C.R. (1989). Genetic transformation system for the aflatoxin-producing fungus Aspergillus flavus. Appl. Environ. Microbiol. 55, 86-90. Zhang, M., Eddy, C., Deanda, K., Finkestein, M., and Picataggio, S. (1995). Metabolic engineering of a pentose metabolism pathway in ethanologic Zymomonas mobilis. Science 267, 240-243.
120