BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG NOMOR 595 / Pdt / P, / 1990 / PN, SMG TENTANG STATUS GENDER BAGI ORANG YANG DIOPERASI KELAMIN
A. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Semarang Tentang Status Gender Bagi Orang Yang Telah Operasi Kelamin, dan Tinjauannya Menurut Hukum Islam Berpedoman pada Pasal 27 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yakni : Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.1 Maka hakim Pengadilan Negeri Semarang dalam menetapkan dan memutuskan perkara No. 595/Pdt,/1990/PN, SMG secara teoritis telah memenuhi peraturan perundangundangan dengan mengambil suatu keputusan yang jeli serta adil dengan melihat pasal tersebut diatas serta hukum adat atau keberadaan sosial. Karena didalam memutuskan suatu perkara adakalanya secara yuridis tidak dapat diterima tapi secara sosiologis perlu mendapatkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang lebih jeli dan validitasnya. Berkenaan dengan keputusan atau ketetapan Pengadilan mengenai masalah penggantian kelamin, pihak Pengadilan dalam mengambil suatu keputusan mempunyai pertimbangan-pertimbangan di dalam mengambil suatu ketetapan hukumnya, karena sebagaimana yang telah diuraikan dalam Bab III tentang alasan para saksi agar permohonannya dikabulkan. Oleh karena itu pihak
Pengadilanpun
mempunyai
pertimbangan-pertimbangan
dalam
menetapkan suatu hukum. Adapun pertimbangan Pengadilan Negeri dalam masalah pengoperasian kelamin tersebut mencakup beberapa pertimbangan, yaitu
1
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo SH., Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Cet. I, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 31
47
48
1. Berdasarkan keterangan para saksi-saksi seperti yang telah di uraikan di Bab III, mengenai alasan untuk supaya dikabulkannya permohonan tersebut maka hakim menimbang bahwa untuk menjawab masalah tersebut, hakim mengambil suatu rujukan atau kontruksi hukum dengan melihat pasal (Pasal 27 UU. No 14 1970) serta hukum adat. 2. Menurut Pertimbangan Majlis Hakim bahwa akibat semakin majunya serta semakin terbukanya masyarakat dewasa ini terlihat bahwa masalah transseksual tersebut semakin nampak dipermukaan dan jumlahnyapun semakin besar, maka apabila hal tersebut dihubungkan dengan semakin majunya ilmu kedoteran, serta semakin canggihnya tekhnologi kedokteran, maka sudah dapat diperkirakan bahwa masalah perubahan kelamin tersebut, akan semakin dibutuhkan dan volumenya akan semakin besar. Oleh karena itu dengan penafsiran untuk masa yang akan datang dari norma perubahan jenis kelamin yang dikenal dalam hukum adat sebagaimana yang telah dijelaskan diatas maka sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa alangkah baiknya dibuat suatu lembaga mengenai masalah prubahan jenis kelamin pada masa sekarang ini. 3. Menurut Pertimbangan Majlis Hakim bahwa Pengadilan memandang perlu untuk membahas lebih lanjut mengenai perubahan jenis kelamin yang dimohon oleh pemohon tersebut, apakah dengan dilakukannya operasi penyesuaian jenis kelamin tersebut dengan sendirinya juga berubah status jenis atau kedudukan dari "laki-laki menjadi perempuan" Mengenai hal ini Pengadilan mempertimbangkan sebagai berikut 2: -
Bahwa menurut ilmu biologi (genetika) yang menentukan apakah seseorang laki-laki atau perempuan adalah kromosomnya
-
Bahwa laki-laki terdiri dari kromosom xy sedang perempuan terdiri dari kromosom xx.
2
Hasil Penetapan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 595/ Pdt/ P,/ 1990/ PN Semarang, Mengenai Permohonan Masalah Perubahan Kelamin, hlm. 17
49
-
Bahwa menurut observasi yang dilakukan oleh saksi-terhadap pemohon, bahwa pemohon termasuk kromsom 1x yang berarti bahwa pemohon tidak mungkin perempuan normal.
-
Bahwa alat kelamin dari pemohon juga adalah normal menurut ukuran laki-laki
-
Bahwa meskipun organ kelamin pemohon telah disesuaikan/dioperasi menjadi bentuk organ kelamin perempuan, menurut ilmu biologi/genetika, tidak mungkin gen pemohon berubah menjadi gen perempuan (xx)
-
Bahwa meskipun penyesuaian organ kelamin pemohon, hanyalah perubahan fungsi seksual dari organ seksual pemohon dari fungsi seksual laki-laki menjadi fungsi seksual perempuan, itupun tidak dapat menjadikan organ seksual tersebut (misal vagina) berfungsi 100% sama dengan vagina seorang perempuan alami
-
Bahwa operasi perubahan kelamin tersebut tidak mungkin merubah fungsi reproduksi, yang ada dalam tubuh pemohon menjadi fungsi reproduksi perempuan. Di samping mengambil dari berbagai pertimbangan di atas, hakim juga
mengambil suatu rujukan dari psikiatri kehakiman. Dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia (human behaviour) khususnya dalam hal-hal yang abnormal. Secara sederhana bahwa tingkah laku manusia adalah merupakan penjelmaan daripada fungsi-fungsi jiwa, yaitu berfikir dan berperasaan secara sadar. Ilmu kedoteran jiwa kehakiman adalah salah satu sub-spesialisasi dari psikiatri umum, yang menitik beratkan kepada tingkah laku manusia yang menyangkut segi-segi pidana maupun perdata yang bersangkutan itu mengalami gangguan jiwa.
50
Oleh karena itu kerja sama dan kesatuan bahasa antara penegak hukum disatu pihak dengan dokter (pskiater) di lain banyak menolong dalam memecahkan suatu perkara.3 Dengan berbagai penjelasan dan pertimbangan diatas maka majlis hakim mengambil suatu konstruksi hukum, dan mengabulkan permohonan pemohon yang semula pemohon sebagai jenis kelamin laki-laki, dan setelah melakukan operasi di Rumah sakit Kariadi kemudian berubah jenis kelaminnya menjadi jenis kelamin perempuan dan meminta kepada Pengadilan untuk memperjelas identitas hukumnya. Adapun tinjauan hukum Islam mengenai masalah ini (perubahan jenis kelamin/
transseksual)
mempunyai
batasan-batasan
tertentu
dalam
menentukan status hukumnya. Pada dasarnya Islam membagi jenis kelamin menjadi dua bagian yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagaimana dijelaskan dalam surat AL-Hujaraat 13 yang berbunyi :
ﻳﺎ أﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس إﻧﺎ ﺧﻠﻘﻨﺎآﻢ ﻣﻦ ذآﺮ وأﻧﺜﻰ وﺟﻌﻠﻨﺎآﻢ ﺷﻌﻮﺑﺎ وﻗﺒﺎﺋﻞ ﻟﺘﻌﺎرﻓﻮا إن أآﺮﻣﻜﻢ ( : )اﻟـﺤـﺠـﺮات.ﻋﻨﺪ اﷲ أﺕﻘﺎآﻢ إن اﷲ ﻋﻠﻴﻢ ﺧﺒﻴﺮ Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahu lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat : 13) 4 Oleh karena itu apabila ada seseorang yang mempunyai alat kelamin kembar di pandang sebagai kelainan dan perkecualian. Jadi operasi penggantian kelamin terhadap laki-laki atau perempuan sempurna tidak dibenarkan dalam Islam, sebab intervensi (mengubah) ciptaan Allah. Akan tetapi apabila pengoperasian dengan jalan penyempurnaan atau perbaikan pada alat kelamin, maka hukumnya boleh, hal ini biasanya terdapat pada banci
3
Editor, Abdul Mun'im Idries, Sidhi, Sutomo Slamet Iman Santoso, Ilmu Kedoteran Kehakiman, Cetakanke-1, Pelita Kasih, Jakarta, tahun 1979, hlm. 109 4
Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Toha Putera, Semarang, 1992, hlm. 847
51
(Khuntsa). Adapun Fikih Islam menyebutkan istilah Khuntsa bagi waria. Khuntsa dapat diketahui salah satu jenisnya yang lebih dominan disebut Khuntsa Ghairu Musykil. Jika laki-laki yang lebih dominan, maka Khuntsa itu di hukumkan laki-laki, sebaliknya jika jenis perempuannya yang lebih dominan, maka Khuntsa itu dihukumkan perempuan.5 Dalam Ensiklopedi Islam, Khuntsa adalah orang yang tidak jelas jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan, karena memilki dua jenis kelamin sekaligus, atau tidak memiliki keduanya , baik alat kelamin laki-laki atau alat kelamin perempuan. Sedangkan khuntsa musykil ialah khuntsa yang sangat ditentukan apakah ia digolongkan kepada laki-laki atau perempuan karena tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan jenis kelamin yang lebih dominan.6 Islam mempunyai batasan-batasan mengenai pelaksanaan operasi yang diharamkan karena tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dispensasi syar’I yang disepakati dan karena termasuk mempermainkan ciptaan Allah serta hanya bertujuan mencari keindahan dan kecantikan semata. Oleh karena itu Islam melarang orang yang melakukan operasi tanpa sebab dan tujuan yang jelas karena sama halnya merubah ciptaan Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Jami al-Shagir
ﻟـﻌـﻦ اﻟﻠـﻪ اﷲ اﻟﻤﺘﺸﺒﻬﺎت ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء ﺑﺎﻟﺮﺟﺎل واﻟﻤﺘﺸﺒﻬﻴﻦ ﻣﻦ اﻟﺮ ﺟﺎل ﺑﺎﻟﻨﺴﺎء ()ﻣـﺘـﻔـﻖ ﻋـﻠـﻴـﻪ Artinya : “Allah mengutuk pria-pria yang menyerupai wanita-wanita dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki.”.(HR. Bukhari Muslim)7
5
KH. Ahmad Azhar Basyir, MA., Refleksi Atas Persoalan Keislaman, Penerbit Mizan, Bandung,hlm. 161 6
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baroe Van Hoeve, Jakarta, 1993, hlm. 57 7
Abdurrahman Jalaluddin Al-Suyuti, Jami al-Shagir, Jilid II, Dar al-Fikr, Bairut, Libanon, 1981, hlm. 407
52
Hadits di atas jelas bahwa diharamkan orang yang mengubah ciptaan Allah, dan tentang hukum operasi tersebut (kecantikan dan sejenisnya) seperti yang terkenal sekarang kerena perputaran kebudayaan dan semakin canggihnya alat-alat ilmu kedoteran, maka orang menyalahgunakan fasilitas yang ada, seperti operasi kecantikan, kelamin dan mengorbankan uangnya beratus bahkan beribu-ribu untuk merubah bentuk tubuh, semua ini termasuk yang di laknat Allah dan Rasulnya, karena di dalamnya terkandung penyiksaan dan perubahan bentuk ciptaan Allah.8 Adapun para ulama mengenai masalah ini (Penggantian Kelamin) berbeda-beda di dalam memberi argumennya tetapi mempunyai tujuan yang sama, diantaranya : 1. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya Juz III halaman 1963 mengatakan : “Abu Ja’far At Thobari berkata : Hadits dari Ibnu Mas’ud adalah petunjuk atas ketidak bolehan merubah sesuatu dari ciptaan anggota badan yang Allah telah menciptakannya pada sesuatu tersebut, dengan menambah atau mengurangi. Sampai pada ucapan beliau :”Iyadl berkata : Dan akan datang apa yang ia telah tuturkan, bahwa orang yang diciptakan dengan jari yang lebih atau anggota badan yang lebih, tidak boleh baginya untuk memotong atau melepaskan/mencabutnya, karena hal itu termasuk merubah ciptaan Allah
;
terkecuali
apabila
anggota-anggota
tambahan
tersebut
menyakitkan, maka tidak ada dosa mencabutnya menurut Abu Ja’far dan lainnya “.9 2. Sayid Sabiq dalam Figh Sunnah nya mengenai kebiri terhadap manusia lain halnya dari binatang hukumnya tidak boleh, karena itu ialah
8
9
Yusuf Qardhawi, Op. Cit., hlm. 114
K.H.A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Nahlatul Agama, Hasil Muktamar dan Munas Ulama Ke-1-29, 1994, Penerbit. PP RMI, Surabaya, 1997, hlm. 263
53
penganiayaan dan merubah ciptaan Allah, memutuskan keturunan, malahan kadang-kadang sampai mencelakakannya.10 3. Majlis Ulama Indonesia dalam putusannya mengenai masalah pengebirian pada manusia yakni : a. Pemandulan dengan melalui jalan Vesectomi (yaitu pemotongan/ penutupan saluran air mani laki-laki dan pemandulan melalui jalan tubectumi (yaitu pemotongan/ penutupan saluran telur pada wanita) adalah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. b. Tubectomi dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan media teknis dari dokter yang bersangkutan, bahwa apabila wanita yang bersangkutan hamil/ melahirkan akan membahayakan jiwa dan anaknya.11 Berpijak dari berbagai ungkapan serta penjelasan diatas mengenai masalah kelamin, menuurut hemat penulis bahwa Hakim dalam memutuskan suatu hukum tersebut berkiblat pada pasal 27 UU No. 14 tahun 1970, sebagaimana yang telah di jelaskan diatas. Bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat. Disamping pengambilan hukum melalui pasal tersebut diatas, Hakim juga mengambil suatu rujukan dalam hukum adat masyarakat tersebut. Menurut hemat penulis, pada dasarnya keputusan hakim dalam memutuskan perkara tersebut, melihat dari kenyataan pada masyarakat tersebut, karena masalah tersebut (Transseksual) bagi masyarakat pada masa itu tabu, karena hakim sendiri pernah menyaksikan/ melihat sendiri adanya individu-individu yang dilahirkan sebagai laki-laki, akan tetapi dalam pertumbuhannya dan dalam tingkah lakunya sebagai permpuan.
10
Sayid Sabiq, Figh Sunah, Terj. Drs.H. Kahar Masyhur, Kalam Mulia, Jakarta, 1991,
١١
Majelis Ulama Indonesia, Putusan pada tanggal 7 April, 1981, hlm. 179
hlm. 178
54
Bahwa dari pantauan hakim terhadap masyarakat yang terkena penyakit transseksual sebagaimana yang telah diuraikan pada BAB II, maka dapat ditarik suatu konstruksi hukum “bahwa dalam hukum adat dikenal lembaga perubahan jenis kelamin seseorang” hanya saja karena masyarakat tradisional tidak memiliki ilmu pengetahuan dan tekhnologi kedokteran yang dapat merubah organ seks secara physio, maka perubahan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Menimbang, bahwa semakin pesatnya ilmu kedokteran dan tekhnologi kedokteran, maka pada saat sekarang ini dapat dilakukan operasi untuk menyesuaikan organ seks dari seseorang sesuai dengan keadaan phisio seksual dari seseorang tersebut. Hemat penulis dari berbagai pertimbangan hukum yang di ungkapkan oleh hakim serta penjelasan dari berbagai hukum Islam dan pendapat para ulama diatas, maka penulis sendiri mengambil satu konstruksi hukum bahwa sebagaimana yang dijelaskan oleh salah satu saksi, yang bernama Dr. Susilo Wibowo, Ms selaku team observasi si pemohon tersebut, maka menurut hemat penulis putusan yang digunakan hakim dengan melihat dasar hukum yaitu pasal 27 UU no. 14 tahun 1970 dan melulaui putusan desa, memang sangat relevan,
karena
masalah
ini
adalah
masalah
social.
Maka
cara
penyelesaiannyapun melalui putusan masyarakat pula. Dan mengenai operasi tersebut boleh, karena pemohon hanya mempunyai 1 x kromosom maka boleh melakukan operasi tersebut, karena untuk memperjelas identitas jenis. Namun sebaliknya apabila operasi plastik dalam dunia kosmetik yang bertujuan untuk kenikmatan dan kepuasan, termasuk mengubah ciptaan Allah, yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Misalnya mata sipit dioperasi untuk menjadi membelalak. Hidung pesek yang tidak menimbulkan gangguan apapun lalu dioperasi menjadi mancung agar tampak lebih cantik. Bahkan operasi rehabilitasi selaput darah yang robek karena hubungan seksual diluar nikah nikah juga dilarang, karena hal tersebut merupakan penipuan yang nyata terhadap lakilaki kemudian menjadi suaminya.
55
Islam sebagaimana agama yang memudahkan suatu hukum, maka sebagaimana dalam kaidah figh dijelaskan :
ﻟـﺠـﻠـﺐ اﻟـﻤـﺼـﻠـﺤـﺔ ودﻓـﻊ اﻟـﻤـﻔـﺴـﺪة Artinya
:
“Untuk mengusahakan kemudaratannya”.12
kemaslahatn
dan
menghilangkan
Oleh karena itu, orang yang lahir tidak normal jenis/ organ kelaminnya bisa mudah mengalami kelainan psikis sosial, akibat masyarakat yang tidak memperlakukannya secara wajar, yang pada akhirnya bisa menjerumuskannya (orang yang operasi kelamin) kedalam dunia pelacuran. Oleh karena itu dapat dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa menurut hemat penulis pemohon hanya mempunyai 1 kromosom x, yang merupakan keganjilan atau kekurangan dari kromosom laki-laki atau perempuan normal yang mempunyai kromosom xx dan xy maka si pemohon tersebut boleh melakukan operasi dengan tujuan untuk memperjelas identitas. walaupun pada dasarnya Islam melarang keras pengoprasian pada orang yang mempunyai alat kelamin normal karena mengubah ciptaan Allah tanpa alasan yang hak yang dibenarkan oleh Islam. Demikian pula seorang pria atau wanita yang lahir normal jenis kelaminnya, tetapi karena lingkungannya menderita kelainan semacam kecendrungan seksnya yang mendorongnya lahiriah “banci” dengan berpekaian dan bertingkah laku yang berlawanan jenis kelamin yang sebenarnya. Maka dalam hal ini juga diharamkan oleh agama mengubah jenis kelaminnya, sekalipun ia menderita kelainan seks. sebab pada hakikatnya jenis/ organ kelaminnya normal, tetapi psikisnya tidak normal. Karena itu, supaya kesehatan mentalnya ditempuh melalui pendekatan keagamaan dan kejiwaan.13
12
13
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1994, hlm. 173
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fighiyah, CV. Haji Masagung, Cet-7 Jakarta, 1994, hlm. 172
56
B. Analisis Dasar Hukum Yang Digunakan Pengadilan Negeri Semarang Dalam Menetapkan Putusan Tentang Status Gender Yang Telah Operasi Kelamin Serta Kaitannya Dengan Hukum Islam Adapun mengenai Dasar Hukum yang dipergunakan oleh Hakim dalam memutuskan perkara permohonan Perubahan Jenis Kelamin oleh A.V. Rudy Priyanto B.A bin Soediman adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 14 tahun 1970 (Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman) dimana sebagai berikut : Pasal 2 ayat (1) penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang dengan tigas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.14 Dengan Unsur dan Dasar Pertimbangan Hukumnya Sebagai Berikut15 1. Menimbang Bahwa dari keterangan pemohon dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi serta alat-alat bukti terlampir dalam berkas perkara telah terbukti benar ; (1)
Bahwa pemohon dilahirkan di Semarang pada tanggal 7 April 1962
(2)
Bahwa waktu pemohon dilahirkan mempunyai jenis kelamin lakilaki.
(3)
Bahwa pemohon dilahirkan dari perkawinan yang sah dari ayah yang bernama Soediman dan Ibu silvia Moersiyam.
(4)
Bahwa kelaihiran pemohon tersebut sampai sekarang belum didaftarkan di kantor catatan sipil Semarang.
14
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-IV, Cet-I, Penerbit, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 32 15
Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 595/ Pdt/ P/ 1990/ PN Semarang, Mengenai Permohonan Masalah Perubahan Kelamin, hlm. 13 – 22
57
(5)
Bahwa pada tanggal 9 agustus, pemohon telah mengalami/menjalani pembedahan (operasi) penyesuaian kelamin dari jenis kelamin lakilaki menjadi jenis kelamin perempuan di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang.
2. Menimbang Bahwa sekarang pemohon dengan surat permohonannya tersebut di atas memohon agar Pengadilan Negeri Semarang menetapkan : (1)
Pemohon yang tadinya berjenis kelamin laki-laki ditetapkan berubah statusnya menjadi seorang perempuan dan
(2)
Agar kepada pemohon diberikan izin mengganti nama pemohon semula A.V Rudy Priyanto B.A menjadi bernama Ruth Riki Maresllia.
3. Menimbang Bahwa sepanjang pengetahuan hakim, tidak ada suatu peraturan perundangan yang memberikan tugas (wewenang) kepada pengadilan (Hakim), untuk memeriksa Permohonan Perubahan Jenis Kelamin seseorang, bahwa ketentuan perundangan yang ada sekarang ini yang mengantur tentang keberadaan seseorang menurut hukum pribadi (Van Personen) diatur dalam peraturan (undang) catatan sipil yang tersebar dalam beberapa Undang-undang. Dari berbagai penjelasan di atas, tentang permohonan pemohon mengenai masalah perubahan jenis kelamin, maka hakim dapat mengambil suatu konstruksi hukum dengan membahas Pasal 27 UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab I, bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Jelas pada pasal diatas menunjukan bahwa tugas hakim adalah untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat
dalam
menyelesaikan
perkara-perkara
yang
dihadapinya.
Disamping pihak pengadilan mengambil dasar hukum tentang perubahan jenis kelamin berdasarkan pada pasal 27 UU No. 4 1970, hakim juga mengambil
58
suatu rujukan hukum melalui hukum adat yang lebih populer dalam istilah pengadilan Putusan Desa. Dalam Putusan Desa adalah merupakan sumber untuk menemukan hukum bagi hukum. Putusan Desa ini merupakan penetapan Administratif oleh hakim perdamaian desa yang bukan merupakan lembaga peradilan yang sesungguhnya, melainkan merupakan lembaga eksekutif, sehingga hakim dalam lingkungan peradilan umum tidak wenang untuk menilai putusan desa dengan membatalkan atau mengesahkannya.16 Adapun kaitannya dalam hukum Islam mengenai Perubahan jenis Kelamin pada seseorang yang mempunyai alat kelamin normal, menurut hukum Islam haram, dengan berbagai alasan apapun, karena melanggar dari kodrat Allah. Oleh karena itu Islam dalam masalah ini (Perubahan Jenis Kelamin) mempunyai batasan-batasan dalam hal ini yang diantaranya : 1. Apabila seseorang mempunyai dua alat kelamin, maka baginya boleh melakukan operasi, karena sebagai penegasan/penyempurnaan. Ini biasanya dialami oleh waria/dalam istilah Figh disebut khuntsa musykil, karena untuk membantu menghindari kesulitan-kesulitannya yang dihadapi dalam hidupnya. 2. Apabila seseorang yang mempunyai alat kelamin normal, kemudian melakukan operasi maka hukumnya haram, karena merubah ktentuan norma yang ada/merubah kodrat Allah. Meskipun ia menderita kelainan seks, sebab pada hakikatnya jenis/ organ kelaminnya normal tetapi psikisnya tidak normal. Karena itu, upaya kesehatan mentalnya ditempuh melalui pendekatan agama dan kejiwaan. Melihat dari dasar hukum yang digunakan oleh pihak Pengadilan serta dasar hukum yang dijelaskan dalam hukum Islam, memang sangat kontradiktif, karena hakim selaku aparat negara yang bertugas memutuskan suatu perkara yang hidup dalam masyarakat, seyogyanyalah memberi putusan apa yang telah dimohon oleh pemohon dengan jalur hukum yang ada, oleh
16
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo S.H., Op. Cit., hlm 168
59
karena itu hakim juga didalam memutuskan perkara ini melihat dari berbagai alasan dan kebutuhan pemohon tersebut yang memerlukan kepastian dan keadilan hukum atau status lewat lembaga hukum. Islam adalah agama yang tidak menyulitkan umatnya, sehingga setiap kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia senantiasa diberikan jalan keluarnya. Membebaskan orang dari kesulitan yang dihadapi merupakan perbuatan yang sangat mulia dan terpuji, baik di mata manusia apalagi di mata Allah. Oleh karena itu melihat dari berbagai penjelasan dan ketentuan hukum diatas maka, penulis dapat mengambil suatu Alternatif Hukum mengenai kasus tersebut diatas, bahwa setelah melihat dari rujukan hakim yang mana hakim sebagaimana penegak hukum dalam masyarakat sipemohon menerima keberadaan pemohon tersebut yang diperlakukan sebagaimana halnya seorang perempuan, yang apabila penulis kaitkan dengan kaidah fighyah yaitu untuk mengusahakan kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratannya, memang sangat pas ayat ini bagi pemohon karena si pemohon hanya mempunyai 1 kromosom x saja yang merupakan adanya suatu kelainan organ kelamin pada si pemohon. maka menurut hemat penulis boleh melakukan operasi tersebut karena untuk memperjelas identitas jenisnya.