1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah negara merupakan titik awal dalam menyelesaikan hampir semua persoalan yang berkaitan dengan hubungan internasional.1 Sebagai negara pantai (coastal state), wilayah negara Indonesia terdiri dari tiga komponen, yakni: daratan (land territory), perairan (water territory), dan udara (air space territory).2 Berbicara mengenai negara maka tidak akan lepas dari kedaulatan. Negara yang berdaulat diartikan sebagai negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi (supreme authority) yang berarti bebas dari kekuasaan negara lain. Kedaulatan merupakan isu yang sentral dalam diskursus kenegaraan. Hal ini dikarenakan, kedaulatan yang dimiliki oleh negara terkandung hal-hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan tanggung jawab negara terhadap wilayahnya. Tanggung jawab terhadap wilayahnya juga tentunya mencakup wilayah perbatasan sebagai gerbang terdepan wilayah Indonesia. Perbatasan wilayah adalah batas terluar wilayah suatu negara yang tediri dari batas darat, laut, dan udara. Bagi pelaksana pemerintah, wilayah perbatasan ini dapat menjadi permasalahan yaitu menyangkut batas dari kewenangannya.3 Oleh karena itu, diperlukan konsensus antara kedua pemerintah negara yang saling berbatasan agar tidak terjadi saling tumpang tindih pelaksanaan kedaulatan dan yurisdiksi dari negara terkait. Wilayah perbatasan adalah manifestasi yang esensial dari kedaulatan teritorial. Sejauh perbatasan itu secara tegas diakui dengan traktat atau diakui secara umum tanpa pernyataan yang tegas, maka perbatasan merupakan bagian dari suatu kesatuan negara yang tidak dapat dipisahkan. Wilayah perbatasan adalah “wajah” negara Indonesia, dan karenanya mesti mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah. Disebut wajah negara Indonesia, sebab wilayah perbatasan merupakan 1 2 3
Mohd. Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, hlm. 32. Yasidi Hambali, 1994, Hukum dan Politik kedirgantaraan, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 63. Alastair Lamb, 1965, Australian Yearbook of International Law, hlm. 51. Secara umum lihat juga J.R.V. Prescott, 1965, The Geography of Frontier and Boundaries, London, dan V. Adami, 1927, National Frontier in Relation to International Law, London.
2
cerminan jati diri bangsa sekaligus indikator visual yang sarat makna. Perbatasan menghantarkan pesan mendalam tentang entitas sebuah bangsa yang bermartabat kepada pihak lain, dan juga sebaliknya. Perbatasan juga merupakan kawasan yang strategis dan vital dalam konstelasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dikatakan strategis, karena secara geografis kawasan perbatasan memiliki potensi sumber daya alam dan peluang pasar karena keedekatan jaraknya dengan negara tetangga. Sementara disebut vital, karena secara politik kawasan perbatasan berkaitan dengan aspek kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan, nasionalisme, sosial, ekonomi, dan budaya.4 Perbatasan menjadi salah satu isu krusial yang hingga sekarang masih mendera Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia. Kedua negara telah melakukan survei dan demarkasi lapangan pada tahun 1975 hingga 1978 untuk membagi perbatasan darat kedua negara di Pulau Kalimantan yang dituangkan ke dalam dokumen Memorandum of Understanding (MoU) untuk setiap segmen sesuai dengan hasil pengukuran di lapangan. Dalam penulisan hukum ini, MoU sesuai dengan objek penulisan ini adalah adalah Memorandum of Understanding relating to the Joint Demarcation and Survey of Common Land Boundary between the Republic of Indoenesia and Malaysia on the occasion of the meeting of the Joint Indonesia-Malaysia Boundary Committee, Kota Kinabalu, 23 Agustus 1976, Memorandum of Understanding to the Joint Demarcation and Survey of the Common Land Boundary between the Republic of Indoenesia and Malaysia on the occasion of the meeting of the Joint Indonesia-Malaysia Boundary Committee, Yogyakarta, 13 Desember 1976 dan The Third Memorandum of Understanding relating to the Joint Demarcation and Survey of the Common Land Boundary between the Republic of Indoenesia and Malaysia on the occasion of the sixth meeting of the Joint Indonesia-Malaysia Boundary Committee, Semarang, 16-18 November 1978, sebagaimana yang untuk selanjutnya dalam penulisan hukum ini hanya disebut dengan MoU 1976 dan 1978.
4
Irwan Lahnisafitra, 2005, “Kajian Pengembangan Wilayah pada Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak”, Thesis Master pada Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung, hlm. i.
3
Maka, untuk mengubah paradigma selama ini yang menjadikan daerah perbatasan sebagai halaman belakang, pemenuhan akan kebutuhan pokok, perekonomian, pendidikan dan kesehatan perlu digerakkan secara intensif. Pemenuhan hak konstitusional tersebut harus difasilitasi secara penuh dan sederajat sebagaimana yang diperoleh masyarakat di luar wilayah perbatasan. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya dana untuk pembangunan perbatasan itu selalu ada dan besar sejak dahulu. Akan tetapi, antara besarnya anggaran dan realitas pembangunan perbatasan terbentang jurang yang menganga, faktanya perbatasan masih saja terisolir, tertinggal dan ditelantarkan.5 Kondisi yang mengenaskan ini berdampak pada tidak hanya yang bersifat keperdataan semata tetapi juga pelanggaran serta kejahatan yang bersifat nasional maupun transnasional. Misalnya, penyelundupan barang dan jasa, pelanggaran kuota pemasukan produk ekonomi dan nominal dari yang telah ditetapkan, kejahatan pencucian uang, praktik ekspor-impor barang tanpa dikenakan tarif, kejahatan penjualan dan penyelundupan obat-obat terlarang dan narkotika, perdagangan orang, pembalakan liar, perkawinan antar negara tanpa melalui prosedur resmi, inflitrasi pengaruh asing, pemanfaatan sumber daya alam secara lintas batas, migrasi dengan berpindah kewarganegaraan secara ilegal, dan yang paling vital adalah perubahan titik-titik patok perbatasan yang pengaruhnya sangat besar terhadap pelaksanaan kedaulatan dan stabilitas pertahanan keamanan NKRI. Maka berdasarkan fenomena tersebut, problematika ini perlu mendapat perhatian yang lebih masif dan mempunyai urgensi untuk ditelusuri lebih lanjut, serta bersifat represif terutama berkaitan dengan adanya isu pergeseran patok. Hal ini mengingat, hingga kini patok-patok perbatasan yang telah disepakati oleh kedua Negara berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan patokpatok tersebut dibuat dalam bentuk semi-permanen dan menggunakan bahan material seadanya sehingga sangat rawan terhadap baik kerusakan maupun oknum yang tidak bertanggung jawab yang dapat menggeser patok perbatasan tersebut secara mudah. 5
Harmen Batubara, 2015 diakses di http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasanapakah-kita-memang-tidak-becus-menjaga-batas-negara-kita/ pada 9 September 2016.
4
Meskipun, secara yuridis, perkembangan teknologi memungkinkan bagi setiap negara untuk menentukan perbatasan wilayah darat dengan menggunakan titik-titik koordinat. Keberadaannya yang menunjukkan batas kedaulatan dari suatu negara relatif stabil, karena dengan berpindahnya atau tidak ditemukan keberadaan dari suatu patok perbatasan tidak akan membuat wilayah Indonesia kehilangan kedaulatannya dengan adanya titik-titik koordinat yang jelas sehingga secara hukum sudah cukup aman untuk menjamin batas kedaulatan Negara. Akan tetapi, pada realitanya masyarakat setempat hanya mendasarkan batas wilayah dari patok perbatasan tradisional secara fisik baik yang berupa patok, pagar, maupun batas fisik lain sebagai penentu area perbatasan dikarenakan sebagai orang awam mereka tidak mempunyai kecakapan dalam membaca Global Positioning System (GPS) atau mendeteksi titik-titik koordinat di lapangan. Maka, atensi dari khususnya pemerintah pusat terhadap pengadaan dan pembuatan patok perbatasan yang lebih bersifat permanen dengan kualitas yang lebih baik dan dapat bertahan lama perlu menjadi rencana yang harus disegerakan. Hal ini mengingat, patok perbatasan tidak hanya berdimensi secara yuridis saja, tetapi dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan khususnya bagi masyarakat setempat yang sehari-hari melakukan kegiatan bercocok tanam dan aktivitas lintas batas, disebabkan patok-patok yang kondisinya tidak layak lagi atau dinyatakan tidak ditemukan keberadaannya, dapat dijadikan jalur tikus untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan lintas batas. Oleh karena itu, pada penulisan ini, penulis memfokuskan problematika di tapal perbatasan Indonesia, Desa Temajuk yang berbatasan langsung dengan Kampung Teluk Melano, Malaysia berkaitan dengan urgensi pengadaan patok perbatasan secara permanen dan revitalisasi patok-patok yang kondisinya sudah tidak layak karena dapat berimplikasi terhadap pelaksanaan kedaulatan Indonesia terutama bagi masyarakat perbatasan. Penulis akan melihat langsung fakta yang terjadi di lapangan dan akan Penulis tuangkan dalam penelitian ini serta menjadi usulan bagi Pemerintah Pusat melalui Kementerian/Lembaga (K/L) terkait.
5
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis akan menganalisis secara lebih lanjut yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana peran Memorandum of Understanding perbatasan darat Indonesia-Malaysia tahun 1976 dan 1978 dalam menentukan pembatasan wilayah kedua negara di Desa Temajuk?
2.
Bagaimana realisasi dan pengawasan patok-patok perbatasan fisik sebagaimana yang diatur dalam MoU 1976 dan 1978?
3.
Bagaimana upaya yang dapat dilakukan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait dalam mengoptimalisasi fungsi patok perbatasan sebagai manifestasi kedaulatan dan stabilitas pertahanan keamanan di wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
C. TUJUAN PENELITIAN Adapun mengenai tujuan penulisan hukum ini, penulis membagi tujuan yang akan dicapai menjadi 2 (dua) hal, yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a.
Untuk mengkaji peran Memorandum of Understanding perbatasan darat Indonesia-Malaysia tahun 1976 dan 1978 dalam menentukan pembatasan wilayah kedua negara di Desa Temajuk.
b.
Untuk menganalisis realisasi dan pengawasan patok-patok perbatasan fisik sebagaimana yang diatur dalam MoU 1976 dan 1978.
c.
Untuk merumuskan upaya yang dapat dilakukan oleh Kementerian/ Lembaga (K/L) terkait dalam mengoptimalisasi fungsi patok perbatasan sebagai manifestasi kedaulatan dan stabilitas pertahanan keamanan di wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Tujuan Subjektif Tujuan Subjektif dari penulisan hukum yang ingin dicapai adalah untuk memperoleh data yang akurat berkaitan dengan data penelitian dan dijadikan dasar dalam penyusunan Penulisan Hukum sebagai prasyarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
6
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Akademis Penulisan
hukum
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
dalam
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam ranah hukum internasional sebagai sumber referensi mengenai pengelolaan wilayah perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Desa Temajuk dengan Kampung Telok Melano ditinjau dari aspek yuridis. 2. Manfaat Praktis Penulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai rekomendasi bagi berbagai stakeholders, yaitu: a.
Bagi Masyarakat Desa Temajuk 1) Menjembatani pemerintah pusat dengan masyarakat setempat dengan harapan agar mereka dapat menjaga dan melaporkan apabila mengetahui terdapat patok batas wilayah darat antara IndonesiaMalaysia yang bergeser maupun hilang. 2) Masyarakat setempat hendaknya dapat mematuhi peraturan dengan diberikan pemahaman dan konsekuensinya untuk menghindari kegiatan yang dapat merugikan mereka seperti melakukan kegiatan bercocok tanam di wilayah Malaysia, praktik ekspor-impor ilegal, bekerja di negara Malaysia tanpa izin dan dokumen resmi serta tidak memindahkan maupun menghilangkan patok batas wilayah yang sudah ada serta pelanggaran-pelanggaran lainnya.
b.
Bagi Pemerintah Setempat 1) Pemerintah Desa Temajuk a) Memberikan pemahaman praktis mengenai lokasi dan fungsi vital keberadaan patok-patok perbatasan fisik dan titik-titik koordinat wilayah perbatasan serta implikasinya. b) Memberikan pemahaman mengenai status daerah Camar Bulan (Tanjung Dato) telah selesai secara yuridis dan teknis untuk disampaikan secara luas kepada seluruh elemen masyarakat Desa Temajuk.
7
c) Menggiatkan peran aktif masyarakat setempat untuk turut serta dalam menjaga stabilitas pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan. 2) Pemerintah Kecamatan Paloh a) Memberikan informasi mengenai kondisi lapangan patokpatok perbatasan yang tidak berfungsi secara fisik dan efektif sehingga Pemerintah Kecamatan dapat menindaklanjuti kepada Pemerintah Kabupaten. b) Usulan mengenai program-program yang berorientasi kepada Desa Temajuk terutama seperti memberikan program-program yang bersifat peningkatan pelatihan bela negara dan rasa nasionalisme serta pemahaman secara praktis khususnya mengenai lokasi dan fungsi patok-patok perbatasan beserta implikasinya
terhadap
aktivitas
perekonomian
warga
setempat. 3) Pemerintah Kabupaten Sambas a) Memberikan deskripsi permasalahan di Desa Temajuk dari lintas sektoral sehingga Pemerintah Kabupaten dapat mengkoordinasikan melalui kantor wilayah/dinas terkait yang berwenang dalam bidang tersebut. b) Mengajukan kepada Pemerintah Provinsi laporan dan usulan dari Pemerintah tingkat Kecamatan. 4) Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat Menindaklanjuti usulan dari Pemerintah Kabupaten mengenai kebutuhan Desa Temajuk dalam berbagai aspek, terutama dalam aspek pertahanan keamanan untuk dapat ditindaklanjuti kepada Kementerian/Lembaga (K/L) terkait di tingkat pusat. 5) Bagi Kementerian/Lembaga terkait a) Kementerian Luar Negeri Memberikan informasi mengenai kondisi di lapangan mengenai terdapat keberadaan peta Belanda-Inggris oleh Van
8
Doorn pada 1905 dan 1906 yang diperbarui oleh Jawatan Hidro Oseanografi 1982 di sisi kiri gerbang masuk wilayah Indonesia yang menunjukkan garis-garis perbatasan khususnya pada patok A98-A156 yang berbeda dengan kesepakatan MoU 1978 sehingga dikhawatirkan
dapat
menyesatkan
pemahaman
terhadap
masyarakat. Selain itu, berkaitan dengan produk hukum yang telah mengikat secara yuridis untuk wilayah ini (MoU 1976 dan 1978) belum dapat diketahui dan dipahami secara massal oleh masyarakat Desa Temajuk. b) Kementerian Dalam Negeri Sebagai Ketua Panitia Nasional Organisasi Demarkasi dan Survey Batas RI-Malaysia, maka diharapkan melalui penulisan hukum ini dapat memberikan rekomendasi kepada tim teknis Investigate, Refixation and Maintenance (IRM) untuk menetapkan Desa Temajuk sebagai program dari tim IRM berikutnya mengingat kondisi lapangan yang memerlukan perbaikan, pendataan ulang dan instalasi ulang dari patok-patok perbatasan di Desa Temajuk. c) Kementerian Perdagangan Memberikan informasi bahwa telah terjadi pelanggaran mengenai praktik lalu lintas ekonomi yang telah melewati threshold yang diperbolehkan sesuai Border Trade Agreement kedua negara. Selain itu, terdapat juga praktik ekspor-impor tanpa dikenakan biaya seperti untuk komoditas perikanan, lada, karet dan komoditas lainnya ke negara tetangga tanpa ada pengawasan yang ketat baik yang terjadi baik di jalur resmi pos lintas batas maupun di jalan tikus (jalur tidak resmi). d) Kementerian Pertahanan Memberikan informasi mengenai personil satuan perangkat keamanan yang ditugaskan di daerah ini tidak sebanding dengan
9
beban dan ruang lingkup kerja yang ditugaskan selain fasilitas sarana prasarana yang belum cukup dalam mendukung kegiatan pertahanan dan keamanan di daerah ini. e) Direktorat Topografi TNI AD (Dittopad) dan Badan Informasi Geospasial Memberikan informasi bahwa masih terdapat masyarakat di Desa Temajuk yang masih awam dengan titik-titik koordinat perbatasan yang ditandai dengan patok-patok perbatasan secara fisik dan fungsinya selain juga memberikan informasi terdapat potensi permasalahan perbatasan di beberapa titik dikarenakan terdapat beberapa patok yang tidak ditemukan di daerah tersebut. f)
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Memberikan informasi mengenai potret kehidupan di Desa
Temajuk yang masih terbatas dalam aspek infrastruktur, telekomunikasi, listrik, pengelolaan dan pelaksanaan pos lintas batas, dan keterbatasan dalam bidang ekonomi. E. KEASLIAN PENELITIAN Sepanjang penelusuran Penulis, Penulis menemukan beberapa karya ilmiah yang memiliki relevansi permasalahan yang dibahas dalam penulisan hukum ini. Namun, karya-karya tersebut terdapat perbedaan mendasar dengan apa yang akan penulis teliti dan bahas dalam penelitian ini, baik dari judul dan objek kajian. Adapun penulisan hukum dan jurnal tersebut adalah: 1. Penulisan Hukum dengan judul “Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar sebagai Titik Dasar Penetapan Batas Wilayah dalam Mewujudkan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Bab IV United Nation Convention on the Law of the Sea 1982”.6 Persamaan terletak pada substansi yang membahas aspek pengelolaan pulau-pulau terluar di Indonesia dimana juga mencakup kawasan perbatasan Indonesia dan 6
Chandra Wijaya, 2011, “Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar sebagai Titik Dasar Penetapan Batas Wilayah dalam Mewujudkan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Bab IV United Nation Convention on the Law of the Sea 1982", Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
10
perjanjian perbatasan Indonesia dengan negara tetnagga. Namun, perbedaan terletak pada pengelolaan dan pendekatan yang digunakan untuk mengelola pulau-pulau terluar dilakukan melalui pendekatan yang berbeda dengan perbatasan darat, dimana dalam penulisan ini secara khusus melalui pendekatan dari aspek hukum laut, eksistensi, pertahanan dan keamanan di wilayah laut kedaulatan negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Sementara dalam penulisan hukum penulis menggunakan pendekatan pengelolaan yang tidak hanya berdimensi geo-spasial, yuridis dan pertahanan keamanan saja tetapi juga aspek sosial-budaya mengingat hubungan yang telah dijalin erat dan aktivitas dari kedua masyarakat. 2. Jurnal dengan judul “Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Darat antara Indonesia dan Malaysia (Studi Kasus di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat)”.7 Penulisan hukum ini secara garis besar membahas mengenai dasar hukum penetapan batas darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan dan Penyelesaian Sengketa Perbatasan antar negara. Persamaan antara penulisan hukum ini dengan penulis adalah terletak dari topik pembahasannya mengenai perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat. Namun, hal yang menjadi perbedaan terletak pada lokasi yang menjadi objek penelitian dan penulis lebih spesifik membahas mengenai urgensi dari pembuatan patok-patok perbatasan yang dapat berimplikasi
pada
multisektoral
dibandingkan
jurnal
ini
yang
menitikberatkan pada aspek penyelesaian sengketa. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jelas antara penulisan hukum Penulis dengan penulisan hukum dan jurnal yang telah penulis sebutkan di atas. Oleh karena itu, penelitian hukum ini merupakan asli hasil penelitian penulis.
7
Yustina Dwi Jayanti Nurdin, Agis Ardhiansyah, 2014. “Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Darat antara Indonesia dan Malaysia (Studi Kasus di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat)”, Fakultas, Hukum Universitas Brawijaya, Malang.