BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Lebih dari tiga dasawarsa, upaya meningkatkan produktivitas sumber daya manusia menjadi isu sentral dalam wacana pembangunan manusia Indonesia. Kendati demikian, hingga kini tampaknya hasil yang dicapai masih jauh dari harapan.
Temuan penelitian dari Lembaga Penelitian Politik Internasional,
Keuangan, dan Bisnis di California (Kussriyanto, 1991: 4) melaporkan bahwa dari 42 negara yang diteliti, produktivitas sumber daya manusia di Indonesia menduduki urutan ke-35. Lima negara yang paling tinggi produktivitas kerjanya adalah Singapura, Swiss, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan. Dari kelompok Asean, Philipina menduduki urutan ke-8 dan Malaysia berada pada urutan ke-14. Gejala lain yang mengindikasikan rendahnya
kualitas
manusia
Indonesia belakangan ini, sebagaimana diberitakan dalam berbagai media massa, adalah adanya kecenderungan penyalahgunaan jabatan, penurunan disiplin, dan berbagai penyimpangan lainnya yang secara normatif dianggap sebagai perilaku tidak terpuji. Hal tersebut bahkan sempat dikaji melalui seminar nasional untuk ilmu sosial di Yogyakarta pada tahun 1990 (Dahlan, et al. 1990: 256). Fenomena rendahnya produktivitas sumber daya manusia Indonesia tersebut,
belum lama ini
diperkuat oleh informasi UNDP dalam Human
Development Report 2000 (Supriyoko, 2001). Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa rendahnya indeks pembangunan manusia Indonesia itu bukan hanya
1
berdasarkan standar negara-negara maju melainkan juga lebih rendah dari negaranegara Asia Tenggara pada umumnya. Dalam dokumen UNDP tersebut, Indonesia hanya menduduki posisi ke-119 dari 174 negara anggota PBB yang distudinya. Tidak ada satu pun negara di Asia Tenggara yang memiliki urutan lebih rendah dari Indonesia, di mana Vietnam berada pada urutan ke-108, Philipina ke-77, Thailand ke-76, Malaysia ke-61, Brunei Darussalam ke-32, Singapura ke-24, dan Australia urutan ke-4. Gambaran
mengenai
kondisi
sebagaimana dikemukakan di atas,
sumber
daya
manusia
secara umum terjadi
Indonesia
baik pada instansi
pemerintah, swasta, lembaga pendidikan, maupun organisasi yang sifatnya nirlaba. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis selama ini, fenomena di atas tampaknya
juga menggejala pada Pegawai baik tenaga administrasi
maupun tenaga edukatif di lingkungan Kopertis Wilayah IV Jawa Barat. Akhirakhir ini kinerja Kopertis
mendapat sorotan yang tajam, bahkan Gaffar
(Republika, 2000) sempat memunculkan saran agar Kopertis dilikuidasi saja karena keberadaannya tidak membawa manfaat bagi masyarakat Perguruan Tinggi Swasta. Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil penelitian
Cristianingsih (2000)
bahwa kemampuan kerja pegawai Kopertis Wilayah IV Jawa Barat secara umum belum memadai, kurang disiplin terhadap ketentuan waktu dan peraturan yang berlaku, serta hasil kerjanya
dilihat dari segi kualitas dan kuantitas belum
memuaskan, baru termasuk kategori sedang. Kemudian Elin (2000) menunjukkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan terhadap Tenaga edukatif mengenai produktivitas dosen masih dalam kategori sedang.
2
Selain itu rendahnya produktivitas dosen berdasarkan hasil dari wawancara dengan kepala sub bagian Administrasi kelembagaan dan kerjasama serta laporan tengah tahun 2002/2003, terlihat adanya indikasi : −
Keadaan dosen yang belum Qualified yaitu keadaan dosen Kopertis Wilayah IV Jawa Barat pada kelompok dosen yunior.
−
Kurang motivasi dalam melaksanakan fungsinya sebagai dosen. contohnya kurang berminat dalam diskusi keilmuan.
−
Masih banyak tenaga edukatif yang kurang disiplin dalam melaksanakan tugasnya. Misal : Penyelesaian tugas PBM tidak sesuai dengan ketentuan lembaga.
−
Adanya dosen yang mengajar di tempat lain dan lebih senang menjadi tenaga struktural daripada menjalankan tugas utamanya.
−
Khususnya untuk kenaikan pangkat bagi dosen kopertis wilayah IV Jawa Barat masih ada 33,2% yang masih tertunda kenaikan pangkatnya melebihi 4 tahun, hal ini menunjukkan kurangnya produktivitas dan prestasi kerja dosen tersebut.
−
Kurang produktif di dalam melaksanakan penelitian dan membuat jurnal ilmiah.
−
Kurangnya minat untuk melanjutkan program pasca sarjana, hal ini terlihat dari contoh tabel di bawah :
3
Tabel 1.1 Studi Lanjut Dosen Ke Program S2 dan S3 Tahun 2001/2003
No
Bentuk PTS
Peserta yang mendaftar
Peserta yang diterima
S2
S3
S2
S3
1
Universitas
79
16
13
7
2
Institut
24
1
-
1
3
Sekolah Tinggi
27
4
12
-
4
Akademik /Politeknik
4
1
-
-
134
22
25
8
Jumlah
Adapun studi lanjut lanjut dosen tersebut program S2 dan S3 Dosen Kopertis Wilayah IV untuk ajaran 2002/2003 dapat dilihat dalam tabel 1.2 sebagai berikut : Tabel 1.2 Studi Lanjut Dosen Ke Program S2 dan S3 Tahun 2002/2003
No
Bentuk PTS
Peserta yang mendaftar
Peserta yang diterima
S2
S3
S2
S3
1
Universitas
156
36
20
14
2
Institut
23
3
0
0
3
Sekolah Tinggi
83
12
1
0
4
Akademik/ Politeknik
7
1
3
0
269
52
24
14
Jumlah
4
Berdasarkan tabel di atas, ternyata tenaga edukatif yang mengiuti studi lanjut ke program S2 dan S3 relatif masih rendah jumlahnya, hal ini perlu ditingkatkan jumlahnyam, supaya adanya peningkatan dalam pendidikannya, sehingga lebih menunjukkan kompetensinya. Apabila dibiarkan berlanjut, kondisi tersebut akan sangat merugikan aarena dapat menimbulkan
ineficiency yang secara ekonomis dan sosial
merugikan organisasi. Sebagai akibatnya, dalam jangka panjang, organisasi itu akan kehilangan sumber sustainable competitive advantage, yaitu sesuatu yang membedakan organisasi dari pesaing, memberikan manfaat ekonomi yang positif, dan sukar ditiru. Sumber-sumber keunggulan bersaing fundamental yang menentukan kemampuan organisasi meraih laba di atas normal menurut kerangka kerja Porter (1985: 1) yaitu masuknya pendatang baru, ancaman substitusi, kekuatan tawar-menawar konsumen, kekuatan tawar-menawar pemasok, dan persaingan di antara para peserta globalisasi,
sumber
persaingan tidak lagi seampuh dulu. Di era
keunggulan
bersaing suatu organisasi yang paling vital
bersumber dari sumber daya manusia dan bagaimana mereka dikelola (Pfeffer, 1996: 6). Kendati demikian, sumber daya manusia itu tidak dengan sendirinya menjadi sumber keunggulan bersaing yang sinambung bagi suatu organisasi. Ini sangat bergantung kepada bagaimana kadar kualitas sumber daya manusia yang dimiliki
organisasi
tersebut
serta
strategi
manajemen
personalia
yang
diterapkannya. Pegawai pada suatu instansi akan menjadi sumber keunggulan bersaing bagi instansi yang bersangkutan hanya apabila menunjukkan kinerja (job
5
performance) yang sesuai dengan bahkan melebihi standar yang ditetapkan. Dengan kata lain, hanya pegawai yang mampu menunjukkan produktivitas kerja tinggi yang menjadi sumber keunggulan bersaing bagi suatu organisasi atau lembaga. Untuk menghasilkan kinerja seperti itu, setiap pegawai selain perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, kondisi fisik dan mental yang
menjadi
tuntutan jabatannya serta dukungan lingkungan organisasi yang menimbulkan kepuasan kerja bagi yang bersangkutan, juga ada karakteristik psikologis individu yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas. Karakteristik yang dimaksud adalah motif berprestasi (need for achievement). Motif berprestasi merupakan satu dari dua faktor
yang sangat diperlukan untuk menghasilkan
produktivitas yang tinggi, faktor lainnya adalah kemampuan personal (Michell, 1978; Robin, 1984; Matsui, et al., 1977). Pegawai yang memiliki berprestasi tinggi, senantiasa
motif
memiliki dorongan untuk bekerja gigih guna
mencapai prestasi istimewa (standard of excellent). Selain itu, mereka juga memiliki kontrol diri yang mapan, sehingga untuk mencapai prestasi kerja yang memadai tidak memerlukan pengawasan
ketat
dari pihak luar. Dalam
kenyataannya, tidak banyak dosen di lingkungan Kopertis Wilayah IV Jawa Barat yang memiliki karakteristik seperti ini. Pada umumnya, mereka menunjukkan kecenderungan berkinerja baik justru apabila sedang diawasi oleh atasannya, bukan karena kesadaran diri dan rasa tanggung jawab atas tugas. Menyinggung masalah manajemen di Indonesia, termasuk manajemen sumber daya manusia, Abeng (Kompas, 15 september 1988) mengungkapkan bahwa pola kepemimpinan one man show dan prinsip-prinsip nepotisme sering
6
mewarnai iklim organisasi akibatnya,
terutama organisasi bisnis di Indonesia. Sebagai
sulit untuk menerapkan pola manajemen profesional. Bahkan
Widyahartono, menyatakan bahwa secara umum manajemen di Indonesia masih sering memperlihatkan budaya yang kurang business like, mudah ragu, kurang ulet menghadapai angka dan fakta, kurang memiliki wawasan dalam penetapan strategis jangka panjang, budaya suka mengalah dan sungkan demi harmoni (Manajemen Usahawan Indonesia, 1988). Padahal di lain sisi, para ahli manajemen kini telah mengajukan usul untuk menerapkan manajemen stratejik secara profesional dalam berbagai dimensi pengeloalaan organisasi
agar
mencapai tingkat efisiensi yang optimal. Manajemen seperti ini telah lama teruji secara empirik keampuhannya dalam dunia bisnis dan dapat diterapkan dalam berbagai organisasi yang sifatnya nirlaba, seperti lembaga pemerintahan, kesehatan, sosial kemasyarakatan, dan pendidikan (Bryson, 1988). Pengembangan Sumber Daya Manusia dimaksudkan untuk membina Sumber Daya Manusia, sehingga sumber daya manusia dapat digunakan secara efektif dan efisien dalam mencapai sasaran organisasi. Adapun dalam mengatur atau membina sumber daya manusia hendaknya mengacu kepada tercapainya tujuan organisasi. Selain itu harus mengacu pula pada tujuan terpenuhinya kebutuhan dalam pengertian kepuasan pegawai dan melakukan fungsi dan tugasnya. Menurut Tilaar (1999:4), “yang dituntut dalam masyarakat abad 21 ialah Sumber Daya Manusia yang unggul yang terus menerus dapat survive di dalam masyarakat yang penuh kompetitif / persaingan dan menuntut kualitas kehidupan
7
baik dalam produk maupun di dalam servis di dalam kehidupan bersama”. Pengembangan sumber daya manusia dalam istilah lain disebut pengembangan personel (Personel Development), ahli lain Fplippo (1984:8) menyebut dengan “Staff development”. Pengembangan sumber daya manusia pada prosesnya terkait dengan implementasi fungsi-fungsi administrasi personel, dimana pengembangan sumber daya manusia didasarkan pada kebutuhan dan tujuan organisasi yang berkaitan dengan efektivitas jabatan, transisi jabatan, pengembangan
profesional,
pengembangan
pribadi,
pengembangan
dan
peningkatan keamanan dalam melaksanakan pekerjaan. Adapun dapat dinyatakan bahwa pengembangan sumber daya manusia diarahkan untuk memperbaiki unjuk kerja dalam semua posisi dan jabatan, mengembangkan kecakapan, keterampilan sesuai dengan tuntutan dalam pekerjaan. Menurut Randall (1987:29) : “Bahwa dengan strategi tertentu dalam suatu organisasi, akan memperoleh pegawai yang syarat dengan berbagai karakteristik yang diperlukan, pada akhirnya akan mempengaruhi praktek-praktek dalam pengembangan sumber daya manusia”. Dalam penelitian ini yang dimaksud dosen sebagai salah satu komponen utama dalam sistem pendidikan tinggi adalah memerlukan pengembangan secara efektif. Sehingga dosen sebagai tenaga edukatif dapat mengoptimalkan potensi yang benar-benar dapat diwujudkan fungsinya dalam lembaga (organisasi). Pengembangan dosen diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap organisasi dalam melakukan persaingan dengan organisasi lain melalui strategi-
8
strategi yang diterapkan. Uraian di atas melatarbelakangi perlunya pengkajian apakah strategi pengembangan dosen dan motif berprestasi berpengaruh terhadap produktivitas kerja tenaga edukatif di Lingkungan Kopertis Wilayah IV Jawa Barat.
B. Identifikasi Masalah Dalam rangka meneliti pengaruh strategi pengembangan dosen perguruan tinggi dan motif berprestasi terhadap produktivitas kerja (suatu studi pada tenaga edukatif di Lingkungan Kopertis Wilayah IV Jawa Barat), maka diidentifikasikan masalah penelitian yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Seberapa besar pengaruh strategi pengembangan dosen terhadap produktivitas kerja, dosen di Lingkungan Kopertis Wilayah IV Jawa Barat. 2.
Seberapa besar pengaruh motif berprestasi terhadap produktivitas kerja dosen di Lingkungan Kopertis Wilayah IV Jawa Barat.
3.
Seberapa besar pengaruh strategi pengembangan dosen dan motif berprestasi secara simultan terhadap produktivitas kerja dosen di Lingkungan Kopertis Wilayah IV Jawa Barat.
C. Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah Setelah memperhatikan latar belakang permasalahan dan identifikasi permasalahan, penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian sebagai berikut :
9
Berapa besar pengaruh strategi pengembangan dosen perguruan tinggi dan motif berprestasi terhadap produktivitas kerja. (suatu studi pada tenaga edukatif di Lingkungan Kopertis Wilayah IV Jawa Barat) Adapun rincian masalah pokok untuk dijabarkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah strategi pengembangan dosen perguruan tinggi mempunyai pengaruh positif terhadap produktivitas kerja dosen di Lingkungan Kopertis Wilayah IV ? 2. Apakah
motif
berprestasi
mempunyai pengaruh positif terhadap
produktivitas kerja dosen di Lingkungan Kopertis Wilayah IV ? 3. Adakah pengaruh positif dari strategi pengembangan dosen perguruan tinggi dan motif
berprestasi terhadap produktivitas kerja dosen di
Lingkungan Kopertis Wilayah IV ? Dosen yang profesional, menetapkan apa yang baik untuk mahasiswa berdasarkan pertimbangan profesinya, tinggi rendahnya mutu akademik yang berlangsung di suatu perguruan tinggi tergantung dari derajat profesionalisme yang dimiliki oleh para dosen. Dalam hal ini dapat menyebabkan perguruan tinggi berlomba-lomba untuk meningkatkan produktivitas kerja dosen. Memperhatikan usaha-usaha pengembangan dosen yang berkualitas, maka harus diusahakan secara terencana dan berkelanjutan mengingat adanya tuntutan standar kualitas serta kebutuhan yang mengalami perubahan serta perkembangan. Dalam usaha meningkatkan produktivitas kerja dosen di perguruan tinggi, maka diperlukan kriteria atau ciri-ciri dosen yang profesional di dalam melakukan
10
pekerjaannya, sehingga menampilkan dirinya sebagai pegawai yang produktif. Menurut Makmun (1996) menyatakan bahwa sebagai dosen yang profesional dituntut mempunyai kompetensi, dampak mutu kemampuan profesionalnya dan kinerjanya akan berkontribusi terhadap mutu lulusan yang dihasilkan yang selanjutnya jasa para lulusan tersebut “outcomes” bermanfaat bagi pembangunan, yang pada gilirannya kemudian akan nampak pengaruhnya terhadap mutu peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsanya serta manusia pada umumnya. Sebagai salah satu unsur civitas akademika yang menjadi pendorong dan pengelola kualitas perguruan tinggi adalah dosen. Peranan tenaga edukatif sangat strategis dilihat dari pendidikan dan pengajaran, pelaksanaan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dengan demikian tenaga edukatif sangat memperhatikan perkembangan pendidikan tinggi. Oleh sebab itu perlu adanya strategi pengembangan dosen perguruan tinggi dan motif berprestasi dalam upaya peningkatan produktivitas kerja dosen yang bersangkutan. Membahas strategi pengembangan dosen digunakan konsep manajemen strategik, khususnya pada unsur dan proses manajemen strategik, karena dalam pengembangan dosen dirasakan cocok untuk menghadapi kompetisi di masa yang akan datang baik secara internal maupun eksternal dalam suatu lembaga pendidikan. Adapun dalam membahas motif berprestasi digunakan teori motivasi dari David Mc Clelland yaitu mengenai motif berprestasi yang termasuk pada teori pembangkitan afeksi. Motif berprestasi merupakan suatu nilai sosial yang menekankan kepada dorongan-dorongan memperoleh suatu hasil dengan sebaik-baiknya agar tercapai
11
kesempurnaan pribadi. Motif berprestasi yang tinggi harus dipunyai oleh seorang dosen dalam melaksanakan tugasnya, karena hal tersebut akan dapat mempengaruhi produktivitas kerjanya ke arah yang positif. Adapun dalam membahas produktivitas kerja dosen digunakan ciri-ciri kunci profil pegawai yang produktif dari Ranftl (Timpe, 1992 : 110 : 111) yaitu lebih dari sekedar memenuhi kualifikasi pekerjaan, bermotivasi tinggi, mempunyai orientasi pekerjaan positif, dewasa, dan dapat bergaul dengan efektif.
D. Tujuan Penelitian Sejalan dengan identifikasi masalah dan rumusan masalah yang telah dirumuskan maka, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji dan mempelajari seberapa besar pengaruh strategi pengembangan dosen terhadap produktivitas kerja dosen di Kopertis Wilayah IV Jawa Barat. 2. Mengkaji dan mempelajari seberapa besar pengaruh motif berprestasi terhadap produktivitas kerja dosen di Kopertis Wilayah IV Jawa Barat. 3. Mengetahui secara jelas seberapa besar pengaruh strategi pengembangan dosen dan motif berprestasi secara simultan terhadap produktivitas kerja dosen di Kopertis Wilayah IV Jawa Barat.
12
E. Kegunaan Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi aspek keilmuan, hasil penelitian ini berguna untuk memperkaya temuan empirik
mengenai
isu produktivitas dosen perguruan tinggi. Selain itu,
melalui penelitian ini juga diharapkan dapat
ditemukan dasar-dasar
konseptual yang mempunyai implikasi metodologis bagi studi tentang masalah produktivitas dosen serta variabel-variabel yang terkait dengan itu. 2. Bagi keperluan praktis, hasil penelitian ini berguna untuk bahan informasi sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan pengembangan dosen, khususnya dalam rangka peningkatan produktivitas pegawai melalui penerapan
strategi
pengembangan
dosen
perguruan
tinggi
dalam
pengembangan pegawai dan meningkatkan motif berprestasi pegawai yang bersangkutan. 3. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini menstimulasi beberapa variabel yang diduga terkait dengan produktivitas kerja dosen, yang masih terbuka untuk direplikasi dalam rangka menguji validitas hasil penelitian ini.
F. Kerangka Pemikiran Untuk dapat melaksanakan layanan terbaik kepada masyarakat Perguruan Tinggi Swasta dan, kantor Kopertis Wilayah IV Jawa Barat memerlukan pegawai yang profesional dan memiliki
motif berprestasi
yang tinggi, sehingga
produktivitasnya akan tinggi pula. Apa esensi makna produktivitas itu?" Dalam
13
literatur tentang
produktivitas, akan ditemukan berbagai rumusan arti
produktivitas. Menurut sebagian ahli, produktivitas berarti lebih banyak hasil dengan mempertahankan biaya yang tetap,
mengerjakan sesuatu yang benar,
bekerja lebih cerdik dan lebih keras, atau pengoperasian secara otomatis untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat (Putti, 1993: 7). Arti produktivitas juga berbeda dengan produksi. Hal ini ditegaskan oleh Wainai (1992: 4) sebagai berikut: The terms "production" and "productivity" need to be differentiated. Production refers to output generated by the enterprise, without consideration of amount of resources used. Productivity on the other hand relates the output generated to input used. Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa arti produktivitas berbeda dengan produksi yang hanya menelaah faktor output. Produktivitas mengacu kepada suatu tingkat perbandingan
antara besarnya keluaran dengan besarnya
masukan.
Hubungan antara produktivitas, keluaran, dan masukan dapat disimak dalam formula umum sebagai berikut (Wainai, 1993: 4; Putti, 1985: 8; Aroef, 1986: 59; Mutis and Caspersz, 1994: 103): Output Produktivitas = --------Input Berdasarkan
formula tersebut, peningkatan
produktivitas
dapat
terlaksana apabila salah satu dari lima situasi dapat dicapai (Hidayat, 1986: 8). Kelima situasi yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) keluaran meningkat, masukan berkurang; (2) keluaran meningkat, masukan konstan; (3) keluaran meningkat, masukan juga
meningkat, namun lamban; (4) keluaran konstan,
masukan berkurang; dan (5) keluaran turun, masukan juga berkurang, tetapi lebih cepat. Makna produktivitas sebagai rasio antara keluaran dengan
masukan
sebenarnya adalah bentuk ukuran produktivitas pada tingkat perusahaan atau 14
disebut
juga
ukuran produktivitas
tingkat mikro (Aroef, 1986: 59). Pada
umumnya dikenal empat strata ukuran produktivitas berdasarkan keluasan ruang lingkup
kegiatannya.
Strata ukuran
yang
dimaksud adalah: (1)
produktivitas tingkat ekonomi makro; (2) produktivitas tingkat sektor lapangan usaha; (3) produktivitas tingkat perusahaan yang juga disebut produktivitas mikro atau produktivitas multifaktor; dan (4) produktivitas tingkat faktor produksi atau produktivitas partial. Adalah tidak mudah melakukan pengukuran produktivitas pada tingkatan dan ruang lingkup yang luas dengan mempergunakan konsep produktivitas total (total productivity index). Selain kesulitan mengumpulkan data yang memadai, hasilnya pun tidak selalu dapat digunakan. Banyak organisasi yang mempunyai program untuk mengembangkan arti pengukuran produktivitas dari setiap bagian, lebih mengutamakan penggunaan informasi internal ketimbang total productivity index (Cascio and Mill, 1986: 73). Atas dasar itu, untuk memahami produktivitas, akan lebih mudah apabila diawali dengan penelaahan produktivitas partial yang mengukur salah satu bidang produktivitas yang dapat didefinisikan secara operasional dengan indikator yang jelas. Ada
beberapa
bidang
produktivitas
partial
yang dapat
diukur.
Haberstad (Hidayat, 1986: 11) menyebutkan tujuh bidang, yaitu: produktivitas tenaga
kerja,
produktivitas
organisasi, produktivitas modal, produktivitas
pemasaran, produktivitas produksi, produktivitas keuangan, dan produktivitas produk. Dari ketujuh bidang produktivitas partial yang dapat diukur tersebut, yang menduduki lembaga adalah
posisi
strategis guna
tenaga kerja,
yaitu
lembaga tersebut. Pada dasarnya,
meningkatkan produktivitas suatu
individu-individu yang bekerja
pada
produktivitas lembaga atau perusahaan
15
merupakan akumulasi dari produktivitas terhadap produktivitas
tenaga kerja
karyawan-karyawannya. Penelaahan
didasari oleh pengalaman empiris pada
tahapan awal revolusi industri di negara Barat masalah produktivitas tenaga kerja mendapat kepedulian utama, di samping produksi dan pemasaran. Dalam kaitannya dengan produktivitas tenaga kerja, selain sebagai rasio antara input dan output, produktivitas juga berarti suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari besok harus lebih baik dari hari ini (John Suprihanto, 1986: 18). Kendati diakui tidak ada dua individu yang sama, berdasarkan telaahannya terhadap sejumlah hasil
penelitian, Ranftl (Timpe, 1992: 110-112) berhasil
menjaring karakteristik kunci profil pegawai yang produktif. Karakteristik yang dimaksud adalah lebih
dari
sekedar memenuhi kualifikasi
pekerjaan,
bermotivasi tinggi, mempunyai orientasi pekerjaan positif, dewasa, dan dapat bergaul dengan efektif. Produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pratiknya, et. al. (1992: 523) dan Suprihanto (1986: 19) merumuskan model kerangka teoritis yang mempengaruhi produktivitas kerja. Faktor-faktor
tersebut di
antaranya adalah manajemen, motif berprestasi, status gizi, kepuasan kerja, jenis kelamin, jenis pekerjaan, pendidikan dan pelatihan, hubungan industrial, serta kesempatan
berprestasi.
Di
antara
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
produktivitas tenaga kerja tersebut, penelitian ini memilih dimensi manajemen khususnya strategi pengembangan sumber daya manusia dan motif berprestasi sebagai fokus masalah. Pemilihan dimensi manajemen sebagai faktor penentu produktivitas kerja, dilandasi oleh pemikiran Pfeffer (1996: 6) bahwa di era globalisasi, keunggulan
sumber
bersaing suatu organisasi yang paling vital selain bersumber dari
16
pegawai juga yang penting adalah bagaimana strategi memanajemeni pegawai tersebut. Sedangkan pemilihan motif berprestasi diilhami oleh pernyataan Mitchell (1982: 121) dan Robbin (1993: 175) bahwa untuk menghasilkan produktivitas tenaga kerja yang tinggi harus ada dua faktor penting, yaitu kemampuan personal (ability) dan motivasi. Ada ahli yang menganggap ability sebagai
faktor yang
lebih
penting dari motivasi dan ada juga
yang
berpandangan sebaliknya (Matsui, et al., 1992 : 98). Pengembangan sumber daya manusia pada prosesnya tidak dapat terlepaskan
dari
implementasi
fungsi-fungsi
administrasi
personel
atau
pengelolaan pegawai, dimana pengembangan sumber daya manusia (tenaga edukatif) didasarkan pada kebutuhan dan tujuan organisasi yang berkaitan dengan efektivitas jabatan, transisi jabatan, pengembangan profesional, pengembangan pribadi, pengembangan dan peningkatan keamanan dalam pekerjaan, improvisasi unit serta improvisasi sistem (Castetter, 1981 – 313). Pendidikan yang efektif adalah figur tenaga edukatif yang profesional sehingga tenaga edukatif harus selalu meningkatkan kemampuannya, karena tenaga edukatif merupakan personil/orang yang bertanggung jawab dalam perkembangan ilmu pengetahuan, para mahasiswa dan peningkatan kualitas dari perguruan tinggi. Dalam hal ini sesuai dengan PP 60/1999 yaitu tugas utama dosen di perguruan tinggi adalah dalam pendidikan dan pengajaran serta penelitian serta pengabdian pada masyarakat. Dosen pada perguruan tinggi mempunyai peranan yang sangat strategis ditinjau dari pembinaan akademik dan mahasiswa. Tenaga edukatif adalah tenaga profesional ia menetapkan apa yang baik untuk mahasiswa berdasarkan pertimbangan profesionalnya, sehingga masalah tenaga akademik sangat peka terhadap
perkembangan
pendidikan
tinggi
17
sebagai
salah
satu
penentu
kelangsungan atau eksistensi pada lembaga pendidikan tinggi. Salah satu unsur yang jadi motor penggerak dan pengelola perguruan tinggi adalah para dosen. Dosen sebagai tenaga kependidikan yang profesional, sehingga tinggi rendahnya kualitas dari suatu perguruan tinggi tergantung dari derajat profesional yang dimiliki oleh dosen tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka perguruan tinggi berupaya untuk meningkatkan produktivitas kerja para dosen yang dimilikinya. Adapun dapat dikatakan pengembangan sumber daya manusia (tenaga edukatif) diarahkan untuk memperbaiki, unjuk kerja (performance personil dalam semua posisi dan jabatan, mengembangkan menurut Randall (1987 : 29) menjelaskan bahwa dengan strategi tertentu dalam suatu organisasi, akan memperoleh pegawai yang syarat dengan berbagai karakteristik yang diperlukan dan pada akhirnya akan mempengaruhi praktek-praktek pengembangan sumber daya manusia dosen. Dominannya faktor sumber daya manusia, terutama dosen sehingga diperlukan
adanya
usaha
peningkatan
atau
pengembangan
kemampuan
profesional. Kemampuan profesional dimaksudkan adalah kemampuan yang dituntut oleh suatu profesi, dalam hal ini dosen yaitu produktivitas kerja dosen dalam menjalankan kegiatannya atau tugasnya, sehingga jika dosen dapat bekerja secara profesional, maka akan menghasilkan produktivitas kerja yang tinggi. Peningkatan mutu pendidikan pada pergurutan tinggi merupakan suatu permasalahan yang sangat penting untuk memperoleh perhatian. Banyak aspekaspek yang mempengaruhi keberhasilan dalam upaya peningkatan pendidikan, sehingga keterbatasan dalam mencapainya, untuk itu perlu dipilih mana yang menjadi prioritas.
18
Dalam hal ini aspek pengembangan dosen merupakan suatu langkah yang strategis dalam mengatasi aspek permasalahan yang terdapat di perguruan tinggi swasta. Adapun model proses pengembangan tenaga edukatif, jika dikaitkan dengan pendapat Castetter (1981: 317), dapat digambarkan sebagai berikut :
Replan
5. Process continues undisturbed if evaluation is satisfactory ; is replanned if needed
1. Design microplans
4. Asses result of Plans Evaluate
Plan
Operate
Organize 2. Develop microplans
3. Implement Plans
Gb.1.1 : Model Proses Pengembangan Pegawai
Pengembangan tenaga edukatif kopertis merupakan suatu kegiatan yang dinamis yang selalu berkesinambungan serta memerlukan modifikasi dalam upaya mengantisipasi tuntutan individu
tenaga edukatif,
lembaga,
pemerintah,
masyarakat dimana hasilnya yaitu performance yang disertai produktivitas kerja yang tinggi. Mengenai bagaimana cara strategi pengembangan sumber daya manusia yang efektif, kini muncul model manajemen stratejik. Model manajemen ini telah teruji secara empirik keampuhannya dalam meningkatkan efisiensi pada
19
organisasi
bisnis, dan ternyata juga dapat diterapkan pada organisasi yang
sifatnya nirlaba. Apa manajemen stratejik itu? Kendati sebagai suatu konsep, manajemen stratejik telah dikembangkan sejak lama namun tampaknya belum ada kesepakatan tentang apa arti yang tepat dan komprehensif untuk istilah tersebut (Certo and Peter, 1991:2). Lebih lanjut, Certo and Peter (1991: 5) mendefinisikan manajemen stratejik
“…as continous, iterative process aimed at keeping an
organization as a whole appropriately mached to its environment”. Definisi tersebut mengisyaratkan empat hal. Pertama, dalam manajemen stratejik, manajer senantiasa terlibat dalam serangkaian tahapan proses manajemen, yakni melakukan analisis lingkungan, menetapkan tujuan organisasi, memformulasikan strategi organisasi, mengimplementasikan strategi organisasi, dan menjalankan kontrol strategi. Kedua,
sebagai proses yang berkesinambungan, manajemen
stratejik tidak pernah berhenti. Walaupun berbagai aktivitas manajemen stratejik mendapatkan penekanan yang berbeda dan dicapai dengan intensitas dan waktu yang berbeda pula, namun manajemen sebetulnya selalu fokus dan merefleksikan aspek-aspek manajemen stratejik. Ketiga, sebagai proses iterative mengandung indikasi bahwa proses manajemen stratejik “start with the first step, ends with the last step – and then begins again with the fisrt step”. Tegasnya, manajemen stratejik mengandung serangkaian tahapan yang berulang dalam model siklus. Keempat, tujuan manajemen stratejik adalah menjamin bahwa suatu organisasi bersesuaian secara tepat dengan lingkungan sekitarnya. Karena lingkungan senantiasa berubah secara konstan maka organisasi perlu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dipastikan dapat mencapai tujuan.
20
Sementara itu, Jauch dan Glueck (1988) mengartikan manajemen stratejik sebagai sejumlah keputusan dan tindakan yang mengarah pada penyusunan suatu atau sejumlah strategi yang efektif untuk membantu mencapai sasaran perusahaan. Proses manajemen stratejik ialah cara bagaimana para perencana strategi menentukan sasaran dan mengambil keputusan serta tindakan untuk mencapai sasaran tersebut. Sebagai serangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan, manajemen stratejik pada hakekatnya merupakan suatu rencana berskala besar yang berorientasi jangkauan masa depan serta ditetapkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif dengan lingkungan dan terarah kepada optimalisasi pencapaian tujuan. Oleh karena itu, manajemen stratejik sering pula disebut perencanaan stratejik yang di dalamnya melibatkan proses analisis, perumusan, dan evaluasi strategi-strategi yang dikembangkan untuk mengatasi ancaman eksternal dan merebut peluang yang ada. Rencana ini bertujuan agar organisasi dapat melihat secara objektif kondisi internal dan eksternal sehingga dapat mengantisipasi perubahan yang terjadi pada lingkungan. Perencanaan stratejik pada hakekatnya sangat penting untuk memperoleh keunggulan bersaing, sebagai respons yang kontinu dan adaptif terhadap kekuatan dan kelemahan internal serta ancaman dan peluang eksternal, dan yang terpenting adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi.
21
Khusus
berkaitan dengan perencanaan stratejik
untuk
organisasi
kemasyarakatan dan nirlaba (public and nonprofit organizations), Bryson (1988: 20) mengemukakan pengertian dan pentingnya perencanaan stratejik sebagai berikut: “Strategic planning has been defined as a discipline effort to produce fundamental decisions and actions that shape and guide what an organization (or other entity) is, what it does, and why it does it. Its importance stems from its ability to help public and nonprofit organization and communities respond effectivelly to the dramatically change circumtances that now confront them”. Lebih lanjut, Jauch and Glueck (1988) menelaah manajemen stratejik dari dimensi
unsur dan proses. Manajemen stratejik
memiliki dua unsur, yaitu
perencana organisasi dan misi serta tujuan. Sedangkan prosesnya meliputi empat langkah. Pertama, analisis dan diagnosis yaitu mengidentifikasi
ancaman serta
peluang lingkungan dan menentukan kekuatan serta kelemahan intern. Hal ini meliputi pengenalan masalah dan peluang serta mencari
informasi yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah dan menggunakan pemikiran logis untuk menilai informasi itu. Kedua, mempertimbangkan berbagai alternatif dan memastikan pilihan strategi untuk penyelesaian masalah, menilai alternatif penyelesaiannya, dan memilih yang terbaik. Ketiga, pelaksanaan yaitu membuat agar strategi yang telah dipilih itu berjalan dengan baik dengan membangun struktur organisasi
untuk mendukung strategi itu dan mengembangkan
rencana serta kebijakan pengalokasian sumber daya yang tepat. Keempat, umpan balik yaitu menentukan apakah strategi itu berjalan dengan baik dan apakah tujuan yang diharapkan itu sudah tercapai atau belum. Umpan balik ini didasarkan atas hasil evaluasi dan pengendalian pada setiap langkah proses manajemen 22
stratejik.
Hasil evaluasi ini juga merupakan umpan balik untuk
mengambil
langkah-langkah agar strategi itu berjalan. Manajemen stratejik pada hakekatnya merupakan upaya untuk senantiasa membuat kesesuaian antara organisasi dengan lingkungannya. Dalam kondisi seperti ini, sangat memungkinkan untuk terpenuhinya kebutuhan berbagai pihak yang terlibat dalam organisasi. Pemenuhan kebutuhan ini akan menjadi pendorong ekternal bagi penumbuhan motif berprestasi yang lebih tinggi pada setiap karyawan. Alasannya adalah karena menurut Koontz et al (1996: 147) antara manajemen dengan motivasi memiliki hubungan yang erat dan pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas kerja. Berbicara tentang motif berprestasi, tidak dapat terlepas dari teori yang mendasarinya. Robbins (1993: 206-234) mengelompokkan teori motif ke dalam dua kelompok besar, yaitu teori-teori pendahulu (early theories) dan teori kontemporer (contemporary theories). Ke dalam early theories termasuk teori hierarkhi need dari Maslow, teori motivasi higiene dari Herzberg, serta teori X dan Y dari McGregors. Sedangkan yang termasuk contemporary theories di antaranya
adalah Existence Relatediness
and
Growth (ERG)
Theory dari
Clapton Alderfer dan teori needs dari McClelland. Teori yang disebut terakhir ini dijadikan acuan dalam mengkaji motif berprestasi dalam penelitian ini. Penelitian yang dilakukan McClelland menunjukkan bahwa ada tiga kebutuhan dasar yang dimiliki para karyawan dalam perusahaan. Ketiganya itu adalah kebutuhan untuk mencapai sesuatu (need for achievement), kebutuhan untuk bekerja sama dengan orang lain (need for affiliation or friendship), dan
23
kebutuhan untuk mempunyai wewenang
(need for power). Selanjutnya
McClelland et al. (1953: 13-30), mengklasifikasikan teori motif ke dalam empat kategori, yaitu sebagai berikut: Pertama, The survival motive model yakni teori motif yang mendasarkan diri kepada dorongan untuk mempertahankan kelangsungan mengatakan bahwa motif itu dorongan-dorongan
in-dividu
hidup. Teori ini
bersumber dari kebutuhan-kebutuhan atau sebagai
makhluk,
untuk
mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan makan, minum, dan bernapas. Kebutuhan biologis seperti ini mendorong individu berbuat aktif untuk memenuhinya. Kedua, The stimulus intensity model yakni teori motif yang mendasarkan diri kepada tingkat rangsangan yang dihadapi individu. Teori ini mengatakan bahwa motif atau dorongan untuk berbuat timbul karena adanya rangsangan yang kuat. Dengan kata lain, rangsangan tersebut menimbulkan dorongan berbuat jika memiliki intensitas yang cukup kuat. Agar timbul dorongan berbuat, harus ada rangsangan yang kuat. Ketiga, The stimulus pattern model yakni teori yang mendasarkan diri kepada pola rangsangan di dalam suatu situasi. Teori ini mengatakan bahwa motif timbul apabila rangsangan situasi
selaras dengan harapan dan
tanggapan
organisme, atau rangsangan situasi tersebut menimbulkan pertentangan respon yang mengarah kepada kekecewaan. Keempat, The affective arousal model (teori yang mendasarkan diri kepada pembangkitan afeksi). Teori ini dikemukakan oleh McClelland. Dalam
24
kaitan ini, McClelland et al (1953: 28) mengartikan motif sebagai “the reintegration by a cue of a change in an
affective situation". Menurut
pengertian ini, rangsangan atau situasi yang dihadapi individu -- yang diistilahkan dengan "cues" -- dipasangkan dengan keadaan afeksi individu. Motif timbul karena adanya perubahan situasi afeksi tadi akibat pasangan rangsangan dengan situasi afeksi. Dari keempat teori motif yang dikemukakan oleh McClelland et al. (1953 : 28) tersebut, penelitian ini memilih isu achievement motive yang termasuk ke dalam teori pembangkitan afeksi. McClelland et al. (1953: 220) mengartikan achievement motive sebagai suatu nilai sosial yang menekankan kepada dorongan-dorongan memperoleh suatu hasil dengan sebaik-baiknya agar tercapai perasaan kesempurnaan pribadi. McClelland et al. (1953: 222) mengemukakan hubungan achievement motive dengan kemungkinan sukses seseorang sebagai berikut: And once again we have fairly good evidence that subjects with high nAchievement tend to percieve their probability of success as greater, particularly when there are no facts to justify their estimate. Atkinson originally called attention to the facts that subjects who are high in nAchievement "tend to feel that their chances of winning are actually better than stated odd". Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
subjek yang memiliki
achievement motive tinggi cenderung menerima kemungkinan suksesnya lebih besar daripada subyek yang memiliki achievement motive rendah. Achievement motive yang sifatnya relatif stabil dan merupakan gambaran umum kepribadian, mendorong individu berusaha mencapai
sukses dalam
hal mana tindakan-
tindakannya dapat dinilai dengan jalan mempertentangkannya terhadap suatu 25
standar kesempurnaan. Secara disposisi, achievement motive merupakan suatu kapasitas untuk meraih kebanggaan dalam suatu standar kesempurnaan dengan suksesnya sesuatu kegiatan. Menurut McClelland et al. (1953: 30-31), afeksi merupakan dasar motif karena dua hal: (1) afeksi ternyata penting di dalam mengendalikan tingkah laku, sekurang-kurangnya dalam taraf akal sehat; dan (2) afeksi lebih daripada kebutuhan-kebutuhan jaringan tubuh yang digunakan hewan tingkat rendah dalam rangka "kepekaan memilih" yang mengarahkan tingkah lakunya. Intensitas motif seseorang dapat dilihat melalui fantasi atau imajinasi dalam bentuk-bentuk respon verbal. McClelland secara apriori berasumsi bahwa karakteristik fantasi menunjukkan keadaan dan kekuatan motif tertentu. Di dalam menganalisis suatu
ceritera
imajinatif guna
memperoleh skor achievement
motive, McClelland et al. (1953: 108-110) mengemukakan posisi teoritis berikut ini. Dalam suatu ceritera imajinatif, akan dapat dilihat kategori awal dari setiap tingkah laku individu, yaitu kebutuhan atau need for achievement (N). Di dalam mencapai suatu tujuan, mungkin pula menunjukkan adanya suatu antisipasi, yaitu menunjukkan pemikiran tentang tujuan-tujuan yang ingin dicapai atau possitive anticipatory goal state (Ga+). Selain itu, bisa juga menunjukkan rasa cemas terhadap kemungkinan gagalnya mencapai suatu tujuan atau negative anticipatory goal state (Ga-). Di dalam mencapai suatu tujuan, mungkin timbul kegiatan yang ditempuh yang menunjukkan daya upaya untuk mencapai suatu
hasil atau instrumental activity (I). Daya upaya ini mungkin berhasil
26
ataupun gagal. Kadang-kadang di dalam mencapai suatu tujuan terdapat hambatan-hambatan, baik yang datang sering yang
disebut berasal dari
dari luar
diri
individu
yang
dengan environmental obstacles (Bw) maupun hambatan dalam
diri
individu sendiri
yang
disebut
dengan
istilah personal obstacles (Bp). Di dalam usaha mencapai hasil, mungkin terdapat pula reaksi-reaksi afeksi, baik reaksi positif terhadap hasil yang dicapai atau possitive affective state (G+) maupun reaksi negatif terhadap kegagalan yang dialaminya atau negative affective state (G-). Kadang-kadang di dalam mencapai suatu tujuan, ada bantuan atau sesuatu yang ber-simpati kepada individu yang mendorong dan membantu mengarahkan kegiatan individu yang disebut dengan nurturant press (Nup). Suatu ceritera imajinatif yang dibuat subyek
mungkin
mengandung
fantasi akan sesuatu hasil yang ingin dicapai atau Achievement Imagery (AI); mungkin mengandung fantasi "hasil yang semu", yakni Doubtful Achievement Imagery (TI); atau mungkin juga tidak menunjukkan fantasi adanya sesuatu hasil yang ingin dicapai, yakni Unrelated Imagery (UI). Berdasarkan uraian dari kerangka pemikiran, dapat dirinci beberapa premis sebagai berikut : 1. Pengembangan Dosen Perguruan Tinggi dapat difokuskan pada peningkatan ketahanan kompetensi setiap individu yang terkait peningkatan tersebut dapat melalui pendidikan, karena dengan pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kompetensi dengan tujuan agar dapat beradaptasi
27
dengan perubahan dan tantangan yang dihadapi. 2. Apapun yang diperbaharui pada pendidikan tinggi, pada gilirannya faktor tenaga
edukatif
yang
banyak
menentukan.
Oleh
sebab
itu
upaya
mengembangkan kemampuan tenaga edukatif melalui program berencana, baik yang formal maupun informal perlu mendapat perhatian lebih banyak. 3. Penerapan proses manajemen stratejik dalam strategi Pengembangan sumber daya manusia (tenaga edukatif) dalam pengelolaan pergurutan tinggi merupakan alternatif yang sesuai dalam menghadapi tantangan, peluang kebutuhan mendatang yang dihadapi. 4. Aktivitas pendidikan dan pelatihan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas, oleh karena itu sebagai investasi berarti pendidkan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Gary S. Becker). 5. Motif berprestasi yang terdiri dari komponen dorongan aktivitas memperoleh hasil, antisipasi
terhadap pencapaian tujuan, kemampuan menanggulangi
hambatan, respon terhadap hasil yang dicapai pada diri dosen di dalam pelaksanaan pekerjaannya akan dapat meningkatkan produktivitas kerjanya. 6. Pelaksanaan strategi pengembangan dosen yang meliputi langkah-langkah strategik
yaitu misi, tujuan, sasaran, nilai, perencanaan dan analisis
lingkungan, implementasi
serta evaluasi
yang tepat
dan terarah
dapat
mempengaruhi produktivitas kerja dosen. 7. Produktivitas kerja tenaga edukatif akan semakin meningkat diidentifikasikan dengan ciri-ciri profil tenaga kerja yang produktif melalui motivasi dan strategi pengembangan sumber daya manusia (Rantfl).
28
8.
Hubungan antara produktivitas kerja dan motivasi sangatlah berkaitan erat, dengan dorongan motivasi yang baik inilah setiap pegawai akan berupaya untuk meningkatkan produktivitas kerja (Cahyono).
9.
Sumber daya manusia adalah investasi yang penting dalam suatu lembaga, sehingga perlu diarahkan dengan lebih tepat dan berdaya guna agar mempunyai nilai tambah untuk peningkatan produktivitas kerja.
10. Produktivitas kerja yang tinggi akan berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan pegawai. Untuk mencapai produktivitas kerja yang baik, organisasi harus menjamin terpilihnya orang-orang yang tepat dengan pekerjaan yang tepat serta kondisi yang memungkinkan mereka bekerja dengan optimal (Winardi, 1990).
G. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran, dapat dirumuskan tiga hipotesis utama dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Misi, tujuan, sasaran, nilai perencanaan dan analisis lingkungan, implementasi serta evaluasi sebagai langkah strategik pengembangan dosen perguruan tinggi swasta kopertis wilayah IV berpengaruh positif
terhadap produktivitas
kerjanya. 2. Upaya dalam mencapai dorongan dan aktivititas memperoleh hasil, antisipasi terhadap pencapaian tujuan, kemampuan menanggulangi hambatan, respon terhadap hasil yang dicapai sebagai komponen motif berprestasi para dosen kopertis wilayah IV berpengaruh positif terhadap produktivitas kerjannya.
29
3. Strategi pengembangan dosen dan motif berprestasi dosen kopertis wilayah IV secara simultan berpengaruh terhadap produktivitas kerjanya. Berdasarkan hipotesis tersebut, maka dapat digambarkan model struktural hubungan kausal antara variabel penelitian sebagai berikut : X1.1
X1.2
X1.3 X1
X1.4
X1.5
X1.6
X1.7 r x1 x2
Y
X2.1 X2.2 X2 X2.3
X2.4
Gambar 1.2 : Model Struktur Hubungan Kausal Antar Variabel Penelitian
30
Keterangan : XI
: Strategi pengembangan dosen
X1.1 : Misi X1.2 : Tujuan X1.3 : Sasaran X1.4 : Nilai X1.5 : Perencanaan dan Analisis lingkungan X1.6 : Implementasi X1.7 : Evaluasi X2
: Motif berprestasi
X2.1 : Dorongan dan aktivitas memperoleh hasil X2.2 : Antisipasi terhadap pencapaian tujuan X2.3 : Kemampuan menanggulangi hambatan X2.4 : Respon terhadap hasil yang dicapai Y
: Produktivitas kerja
31
H.
Konsep Umum Model Penelitian
Penelitian pengaruh
pengembangan
dosen
perguruan tinggi dan motif
berprestasi terhadap produktivitas kerja berupaya merumuskan profil dosen yang produktif melalui pengaruh, misi, tujuan, sasaran, nilai, perencanaan dan analisis lingkungan, implementasi dan evaluasi
sebagai langkah
strategi
pengembangan dosen perguruan tinggi swasta terhadap produktivitas kerjanya yang berorientasi pada penampilan dosen yang produktif dalam melaksanakan mencapai dorongan
dan aktivitas
pencapaian tujuan, kemampuan komponen motif
berprestasi
memperoleh
hasil,
antisipasi
terhadap
menanggulangi hampatan yang merupakan dosen yang
dapat
berpengaruh
terhadap
peningkatan produktivitas kerjanya, sehingga dapat menampilkan profil dosen yang produktif. Hubungan antar variabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
32
INPUT
Tenaga Edukatif Kopertis Wilayah IV Jawa Barat − Abilitas − Motivasi − Disiplin − Profesi − Kesehatan
PROSES
∗ Unsur-unsur Strategi pengembangan dosen − MISI − Tujuan − Sasaran − Perencana − Nilai
− Strategi Pengembangan Dosen (X1) − Motif Berprestasi (X2)
∗ Proses strategi pengembangan dosen − Perencanaan dan Analisis Lingkungan − Implementasi − Evaluasi − Feed Back − PP 38/1992 ∗ Motif berprestasi berpedoman pada standard of exellent (Mc. Clelland) 1. Dorongan dan aktivitas memperoleh hasil 2. Antisipasi terhadap pencapaian tujuan. 3. Kemampuan menanggulangi hambatan. 4. Respon terhadap hasil yang dicapai.
Faktor Internal − Prasarana kerja − Job deskription − Sistem Penggajian/ jaminan sosial − Kualitas Pimpinan − Sistem manajemen
OUTPUT
− Produktivitas Dosen (Y) Semakin meningkat − Ciri-ciri dosen produktif − memenuhi kualifikasi pekerjaan − motivasi kerja tinggi − orientasi pekerjaan positif − dewasa − bergaul efektif − efektivitas dan efisiensi organisasi dan suistainable competitive advantage berbasis SDM
Faktor Eksternal − sosial − kultural − eksternal organisasi
Gambar 1.2 : Paradigma Penelitian
33