Cakupan Semesta (Universal Coverage): Apakah akan mampu tercapai di tahun 2014? Sebuah Analisis Kebijakan Pengantar Universal coverage merupakan salah satu topik pembicaraan menarik dalam sistem pembiayaan kesehatan saat ini. Isu-isu yang muncul cukup beragam yaitu tentang proses kebijakannya, Undang-undang SJSN, subsidi kesehatan, sampai pada penyebaran di rumahsakit dan dokter. Presiden dan Wakil Presiden bahkan mencantumkan universal coverage 2014 sebagai bagian dari misi dan visi utama untuk pengembangan sistem jaminan kesehatan. Hingga saat ini pemerintah masih menghitung formulasi kebutuhan anggaran untuk universal coverage 2014 sampai pada pembiayaan supply side dan bahkan jumlah Dana Alokasi Khusus atau DAK yang digunakan untuk melaksanakan fungsi sebagai service provider. Terkait dengan pembiayaan kesehatan, alokasi tahunan Jamkesmas mencapai 5 triliun. Pertanyaan yang pantas diutarakan adalah apakah status kesehatan penduduk miskin meningkat dengan alokasi dana tersebut? Apakah Jamkesmas mampu menjembatani disparitas antara kaya dan miskin di sektor kesehatan? Dari sisi supply, bagaimana kesiapan rumahsakit, puskesmas, dan penyedia layanan kesehatan lainnya untuk menyediakan pelayanan dengan jaminan kesehatan? Bagaimana pelayanan kesehatan di puskesmas jika sering tidak ada dokter? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan menyusun suatu kebijakan yang lebih baik, maka dibutuhkan masukan-masukan dari para akademisi yang berbasis pada data-data penelitan daripada hanya berdasarkan faktor ideologi pribadi.
Konsep Kunci: Memahami Kebijakan dan Penggunaannya untuk Kebijakan Tiga poin penting dalam kebijakan publik, yaitu: 1) authoritative decision yang berfokus pada hal-hal yang paling esensial yaitu pengambilan keputusan, 2) formula atau desain intervensi untuk menyelesaikan masalah publik yang berfokus pada menangani kompleksitas suatu masalah, seperti universal coverage, dan 3) policy making yaitu pembakuan pola pemerintah untuk menangani gugus masalah tertentu dan harus mengikuti standar governance, seperti good health governance.
Analisis Kebijakan Menuju Universal Coverage 2014: Sejarah proses kebijakan, ideology penyusunan kebijakan dan aktor pelaku pelayanan, peran perguruan tinggi dan lembaga think-tank, serta skenario masa depan Hasil analisis dengan pendekatan kualitatif dan observasi pada dokumen kebijakan arsip nasional, menyimpulkan: •
Perkembangan kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya jaminan keluarga miskin, dimulai dengan adanya Program Dana Sehat di tahun 1980-an sampai dengan sistem Askeskin di tahun 2000-an. Pada tahun 2006 dan 2007, program ini dilakukan melalui PT Askes Indonesia dan pada tanggal 12 November 2004 disahkan dengan Kepmenkes No. 1241/Menkes/SK/XI/2004. Perubahan ekstrim terjadi pada tahun 2008 yaitu program Askeskin tidak lagi menggunakan mekanisme asuransi. Selanjutnya, di awal tahun ini, Kementrian Kesehatan memutuskan bahwa program tersebut dilakukan melalui mekanisme langsung dan menggunakan nama baru yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jamkesmas.
•
•
•
•
•
Apakah penyusunan kebijakan jaminan pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan evidence based? Hasil pengamatan terhadap evaluasi Program Dana Sehat sangat tidak jelas. Perubahan Bapel JPKM ke PT Askes Indonesia yang berlangsung sangat cepat di awal tahun 2005 dilakukan tanpa ada pilot study. Selanjutnya pada tahun 2008, perubahan menjadi Jamkesmas terkesan hanya berdasarkan negosiasi, sehingga pada tahun 2010, Jamkesmas dipertanyakan karena dinilai tidak sesuai dengan Undang-undang SJSN. Demikian pula dengan pencanangan Universal Coverage 2014, terlihat sekali bahwa pencanangan ini bukan berdasarkan hasil penelitian yang berbasis pada evidence based. Bagaimana peran perguruan tinggi? Pengalaman subyektif PMPK-UGM sebagai lembaga peneliti dan kebijakan menyiratkan penelitian memang belum dipergunakan secara penuh dalam sejarah program jaminan kesehatan di Indonesia. Peran lembaga tinggi selama ini lebih bersifat individual. Biasanya individu dikontak oleh pemerintah atau penyandang dana penelitian, dan tidak melibatkan team yang komprehensif dan tidak mengatasnamakan perguruan tinggi. Aspek ideologi individu anggota perguruan tinggi menjadi menonjol, dan pembiayaan kesehatan menjadi debat ideologi. Kurang adanya pembahasan ke aspek teknis yang kompleks dan membutuhkan penanganan multi profesi dan keahlian. Hubungan dengan pengambil kebijakan menjadi tidak jelas dan cenderung jangka pendek. Pada akhirnya pertentangan faham antar individu perguruan tinggi dapat membingungkan pengambil kebijakan dan masyarakat. Perbandingan sistem jaminan kesehatan Indonesia dengan Thailand. Sistem jaminan kesehatan bagi seluruh Thailand dikenal dengan nama sistem 30 Baht. Akar sistem ini adalah Ayyuddhaya Project di tahun 1989 dan merupakan kolaborasi antara pemerintah Thailand dan ahli-ahli dari Belgia. Tiga komponen utamanya adalah: (1) reformasi pembiayaan; (2) reformasi pelayanan kesehatan; dan (3) reformasi pada hubungan masyarakat dengan pemberi pelayanan. Catatan pentingnya adalah peranan akademisi sangat besar. Dalam konteks Evidence Based Policy, program 30 Baht dengan jelas telah menggunakan berbagai bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Program 30 Baht bukanlah keputusan sesaat. Saran untuk pengambilan kebijakan universal coverage adalah menggunakan model Engineering berikut: (1) Universal Coverage merupakan sebuah sistem riil yang dapat diukur pelaksanaannya. Siapa yang menggunakan fasilitas kesehatan apa; dapat diukur. Pengembangannya dapat menggunakan pendekatan engineering seperti yang ada di sektor konstruksi isik, mesin, atau rekayasa sosial, (2) Pengambil kebijakan mengidentifikasi masalah, tim pengembangan termasuk peneliti mengatasinya dengan menggunakan pengetahuan baru (misalnya, ketidak merataan pelayanan kesehatan yang tidak diidentifikasi terlebih dahulu dalam Universal Coverage ) yang mengarah pada perubahan kebijakan. Perubahan Kebijakan ini akan dilaksanakan. Apakah pelaksanaan dapat berhasil atau tidak perlu ada monitoring dan evaluasi, (3) Usaha pemecahan masalah mencakup dari Blue-print kebijakan, perencanaan pelaksanaan, pelaksanaan kebijakan, sampai ke monitoring dan evaluasi kebijakan. Dalam konteks engineering: Ada konsultan perencana, para pelaksana, sampai ke konsultan pengawas dan monitoring. Siapa yang akan melakukan penelitian pengembangan dalam konteks engineering? Terdiri dari keahlian-keahlian dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi tersebut jelas tidak ada dalam satu orang individu, dan hanya dapat disediakan oleh sebuah tim yang mempunyai para pakar di berbagai bidang tersebut. Tim pakar tersebut harus mempunyai kesatuan visi dan pendapat.
Hasil diskusi •
•
•
• •
Program Askeskin dianggap sebagai program yang tidak efisien karena ada masalah dalam juklak, misalnya ada klausul yang menyebutkan jika ada kekurangan dana maka Depkes akan menambah anggaran. Hal ini membuat Depkes tidak efisien dan efektif. Selain itu apa yang diusulkan oleh akademisi juga belum tentu cocok untuk kebijakan di daerah, dan birokratnya juga tidak boleh ditinggalkan begitu saja, maka perlu dibuat suatu konsorsium untuk menyelesaikan miss-opportunity dalam rangka menyatukan visi dan misi serta menjaga hubungan antara sisi riset dan birokrat. Badan litbang perlu memiliki kompetensi yang kuat untuk menyatukan berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Selain itu untuk mengkoordinasi seluruh penelitian dan bagaimana implikasi dan sintesisnya, maka akan dibentuk suatu jejaring antara peneliti dan lembaga penelitian. Untuk saran engineering perlu diupayakan pertemuan yang teratur dan engineering yang diterapkan perlu diikuti dengan sosial dan politik ekonomi budaya dan masyarakat atau engineering based on socialism. Universal coverage adalah produk politik yang berdampak besar bagi pemerintah dan masyarakat, maka harus dilihat masalah per masalah untuk mencapai tujuannya, terutama untuk meningkatkan status kesehatan orang miskin.
Kebijakan Pembiayaan untuk Jaminan Kesehatan 1. Asmaripa Ainy, Misnaniarti. Universitas Sriwijaya: “Implementasi Kebijakan Jaminan Sosial Kesehatan (Jamsoskes) Sumatera Selatan Semesta di Puskesmas Se-Kota Palembang Tahun 2009”. Pelaksanaan pelayanan Jamsoskes di Puskesmas se-kota Palembang masih menemui beberapa kendala, yakni: pada administrasi kepesertaan, administrasi pelayanan, dan administrasi pembiayaan. Rekomendasi peneliti kepada: 1) Dinas kesehatan Provinsi SumSel: membangun database kepesertaan, mempekerjakan petugas verifikasi yang bukan verifikator Jamkesmas untuk menghindari kelebihan beban kerja; 2) Dinas kesehatan Palembang: Sosialisasi kontinu mengenai verifikasi Jamsoskes kepada Puskesmas dan petugas verifikasi; dan 3) Puskesmas: Sosialisasi intensif kepada masyarakat mengenai persyaratan untuk mendapatkan pelayanan Jamkesos. 2. Putu Januraga, Universitas Udayana: “Pengaruh Pengembangan Jaminan Kesehatan Bali Mandara terhadap Keberadaan Jaminan Kesehatan tingkat Kabupaten di Bali dan Upaya Pencapaian Universal Coverage”. Perlunya Pengembangan Badan Pelaksana (melalui PERDA), meningkatkan partisipasi masyarakat yaitu premi, secara bertahap seseuai kelompok pendapatan dan pengembangan paket layanan. Kegiatan dimulai dari Jembrana melalui JKJ, kemudian dilakukan integrasi program sehingga terjadi pembagian peran masyarakat, kabupaten, propinsi. Sesuai pengalaman Askes dan Jamkesmas, model pembayaran menggunakan kapitasi dan INA-DRG.
3. Nizwardi Azkha, Yuniar Lestari, Dian Maya Sari. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Andalas : “Evaluasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Kota Padang Tahun 2008”. Output yang diharapkan dalam cakupan kepesertaan Jamkesda ini adalah peningkatan sosialisasi dalam Pelaksanaan Jamkesda, Peningkatan Kepesertaan mandiri, dan portabilitas harus lebih luas minimal Tingkat Indonesia. Pedoman khusus dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Daerah ini belum ada, belum mempunyai tenaga khusus di DKK. Dana berasal dari APBD Provinsi Sumbar dan APBD Kota Padang, dan belum ada kontribusi dari masyarakat, masih memanfaatkan sarana dan prasarana yang telah ada di DKK. Paket pemeliharaan kesehatan disesuaikan dengan peserta askes sosial lainnya, dalam pengorganisasian belum melibatkan organisasi terkecil. Rekomendasi yang diberikan adalah: a) perlu pedoman khusus dalam pelaksanaan program (Jamkesda), b) Meningkatkan sosialisasi kepada PPK dan masyarakat tentang Jamkesda, c) perlu adanya tenaga khusus, d) perlu adanya kontribusi dana dari masyarakat untuk kepesertaan jamkesda bagi yang mampu, f) perlu didukung dengan adanya ruang pengelola, g) perlu peningkatan sosialisasi kepada PPK tentang paket pelayanan kesehatan, h) Pemerintah Daerah diharapkan dapat membentuk Badan Penyelenggara sendiri, dan i) perlu mengikutsertakan organisasi Rt/Rw dalam pendataan peserta Jamkesda. 4. Hartati, Chriswardani Suryawati, Septo Pawelas Arso, Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa Besar Propinsi NTB. Universitas Diponegoro: “Analisis Keputusan Dan Implementasi Kebijakan Pengobatan Gratis Di Kabupaten Sumbawa Barat Nusa Tenggara Barat Tahun 2008”. Alasan yang melatarbelakangi kebijakan pengobatan gratis adalah pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan akses, kesetaraan pelayanan. Faktor politis cukup dominan yaitu agar kepemimpinan bupati dan jajarannya mendapat apresiasi dari masyarakat dan bukan berdasarkan faktor permintaan masyarakat. Maka, saran yang disampaikan adalah: melakukan evaluasi kebijakan yang komprehensif dengan melibatkan berbagai stakeholder termasuk masyarakat, menguatkan dasar kebijakan menjadi peraturan daerah (Perda), membuat kajian kebutuhan anggaran yg tepat sesuai kemampuan, perlu ada keterbukaan pengelolaan keuangan, meningkatkan fasilitas, ketenagaan & insentif puskesmas, melakukan kajian perlunya ada upaya kendali biaya dan keterlibatan masyarakat dalam membayar premi, membentuk pengelola suatu badan milik pemerintah daerah yang bersifat not for profit untuk mengelola keuangan, dan komitmen yang telah terjalin perlu dilanjutkan dengan meningkatkan keterlibatan semua stakeholder dalam implementasi & evaluasi kebijakan. 5. Ekowati Retnaningsih Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Selatan: “Program Jaminan Sosial Kesehatan Semesta Sumatera Selatan Sebagai Implementasi Urusan Wajib Pemerintah Daerah di Bidang Kesehatan dalam Kerangka Otonomi Daerah di Kabupaten OKI”. Program Jamkesos sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan stakeholder. Pasien jamsoskes yang memanfaatkan pelayanan gratis cukup puas. Sebagian peserta memilih membayar mandiri dan tidak memanfaatkan paket pelayanan yang disediakan. Program Jamsoskes perlu diperkaya dengan paket tambahan berupa pemeliharaan kesehatan khusus yang bisa dibeli preminya
sehingga masyarakat mampu yang belum mempunyai jaminan kesehatan dapat membelinya. Diperlukan pengembangan database program Jamsoskes dan kebijakan dalam pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan serta sarana, prasarana pengelola program. Harus ada kebijakan yang inovatif untuk mengatur distribusi tenaga kesehatan agar tersebar secara merata dalam jumlah cukup sebagai pemberi pelayanan kesehatan program Jamsoskes menuju universal coverage. Diperlukan kebijakan yang berbasis kajian mendalam tentang bentuk kelembagaan, kepesertaan, paket pemeliharaan kesehatan dan pembiayaan yang sesuai untuk program Jamsoskes sehingga dapat mengakomodir kepesertaan mandiri. 6. Mahlil Ruby. Universitas Indonesia. “Proses dan disain Jaminan Kesehatan di Aceh”. Dalam proses dijumpai banyak tantangan terutama dalam menyakinkan otoritas anggaran seperti Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di tingkat provinsi, pengawas anggaran, masyarakat, dan lainnya. Aspek politis dan lobi-lobi serta pendekatan lainnya dalam menentukan desain dan badan penyelenggara dan pembayaran fasilitas kesehatan merupakan upaya yang lama dan berat. Istilah duplikasi sangat menghantui tim JKA dan fasilitas kesehatan dalam menerima pembayaran. Tentang pembayaran ini akan dikonsultasikanlebih lanjut dengan otoritas keuangan provinsi dan kabupaten/kota agar tidak menjerat tenaga kesehatan publik pada aspek hukum. Jaminan Kesehatan yang universal coverage yang dapat mereformasi fasilitas kesehatan merupakan upaya yang sangat berat terutama dari aspek politis dan aturan. Banyak pengambil kebijakan yang kurang memahami konsep dan penyelenggaraan asuransi kesehatan yang adil dan merata. JKA diharapkan dapat menjadi tambahan rujukan nasional dalam mengembangkan sistem asuransi kesehatan nasional. 7. Henni Djuhaeni, Sharon Gondodiputro, Elsa Pudji Setiawati. Universitas Padjadjaran: “Potensi Partisipasi Masyarakat Menuju Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Dalam Rangka Universal Coverage di Kota Bandung”. Untuk pencapaian universal coverage, selain masyarakat miskin, perhatian pemerintah Kota Bandung hendaknya juga ditujukan pada kelompok masyarakat pekerja informal. Perhatian ini sebaiknya dalam bentuk subsidi sebagian pembayaran iuran/premi asuransi kesehatan bukan pelayanan kesehatan gratis rentang pengeluaran masyarakat sangat heterogen sumber iuran sebaiknya persentase pengeluaran fakta: tidak mungkin dilakukan persentase penghasilan. Pada pelaksanaan universal coverage, tampaknya ATP iuran/premi asuransi kesehatan akan mengalami kendala, karena sebagian besar masyarakat bekerja pada sektor informal (tidak termasuk miskin, tapi daya beli rendah). Konsekuensi peran Pemerintah dalam mendanai kesehatan, harus cukup besar. 8. Amran Razak, Universitas Hasanuddin. Implementasi Pembiayaan Kesehatan Gratis di Propinsi Sulawesi Selatan. Kendala dan hambatan teknis dalam penelitian adalah masih banyak rujukan yang tidak sesuai prosedur, tidak ada upaya tindak lanjut setelah dirujuk, masyarakat dan petugas masih kurang memahami kesehatan gratis, manajemen obat generik dan bahan habis pakai belum maksimal, administrasi pencairan klaim banyak yang mengalami kesulitan, belum disepakatinya mekanisme penanganan pasien lintas batas antar kabupaten dan antar region, tarif layanan yg berlaku, berbeda antar kab/kota, dan pedoman pelaksanaan (juknis) kesehatan
gratis belum mampu menangani kendala teknis secara komprehensif. Strategi Universal Coverage th 2014? Iuran penduduk miskin/hampir miskin/sektor informal: dibayar Pemerintah/Pemda. Fokus perluasan pd pegawai swasta belum punya jaminan. Manajemen BPJS: terbuka & berdsr kompetensi, majikan beli askes komersial, bergabung setiap saat (tumbuh trust & lebih efisien) dan sektor informal hampir miskin/mampu bayar iuran dengan/tanpa bantuan Pemda.
DRG dan Mutu Pelayanan Jaminan Kesehatan 1. Siti Rahmawati, Universitas Tandulako: “Sistem Kesehatan Clinical Pathways, Case Mix dan INA-DRG dengan metode ABC pada pelayanan bedah sesar di rumah sakit di Indonesia.” Kebijakan penetapan pembiayaan DRG dapat dipakai sebagai acuan referensi penelitian lanjutan di bidang pelayanan kesehatan lainnya, sistem clinical pathway, casemix, dan InaDrg sangat tepat digunakan dengan metode ABC. Hasil yang diharapkan dari penelitian dapat dijadikan rekomendasi kebijakan untuk Kementrian Kesehatan RI dapat dijadikan salah satu acuan di dalam penghitungan perencanaan anggaran pembiayaan kesehatan di RS di Indonesia. 2. Dwi Septianis, Misnaniarti, PT Askes Regional III Palembang, Universitas Sriwijaya: “Perbandingan Biaya Pelayanan Tindakan Medik Operatif Terhadap Tarif INA-DRG Pada Program Jamkesmas Di RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang”. Fenomena biaya pelayanan kesehatan cenderung naik dari tahun ke tahun, terutama biaya di RS Solusi pengendalian biaya dg INA-DRG, Penerapan sistem INA-DRG terhadap pasien JAMKESMAS di RSMH berdasarkan clinical pathways yg ditentukan untuk tiap jenis penyakit,Salah satu paket tarif pelayanan dengan biaya yang besar yaitu Tindakan Medik Operatif (TMO). Biaya pelayanan tindakan medik operatif yang diterapkan pada pasien Jamkesmas di RSMH 98,6% tidak sesuai dan cenderung lebih besar dari tarif INA-DRG. 3. Ronnie Rivany. Universitas Indonesia-Ketua Komite INA-DRG PERSI: “Clinical Pathway – Cost of Treatment – UU SJSN”. Berdasarkan undang-undang 40/2004, penegasan ada pada pasal Pasal 18 bagian Kesatu dan Kedua, Pasal 22 , 23, 24, 25 dan Pasal 26 berbicara tentang mutu layanan dan efektivitas-efisiensi biaya layanan kesehatan. Pola tarif yang ada sekarang masih di bawah cost. Sehingga timbul pertanyaan “At what Cost”. Clinical pathway menghasilkan cost treatment, sehingga harus dillakukan dengan Activity Base Costing + Simple Distribution. Evidence base, Clinical pathway Kendali mutu (Revitalisasi pedoman clinical pathway dan Optimalisasi profesi dan kolegium), Cost of treathment kendali biaya (Activity base costing and Sensitivity analysis). 4. Alimin Maidin, Reffendy Hasanusi, Abdul Kadir. Universitas Hasanuddin. “Perhitungan Unit Cost Dengan Metoda ABC Terhadap Beberapa Tindakan Bedah THT Dibandingkan dengan INA-DRG Di RS Al-Fatah Ambon Tahun 2009”. Peneliti menyampaikan Perbandingan clinical pathway untuk 3 operasi di bagian THT: Polipectomi, Adenopolipektomi dan Tonsilektomi. Perlu kajian yang lebih mendalam untuk tariff, dan Perlu adanya kajian bersama agar ke depan ada standar perhitungan biaya yang lebih konfrehensif.
5. Pratondo, Bhisma Murti; RSUD Sragen dan Institute of Health Economic and Policy Studies (IHEPS) Universitas Negeri Sebelas Maret: “Pengaruh Metode Pembiayaan Terhadap Kualitas Pelayanan Rawat Inap Kelas III di RSUD Kabupaten Sragen”. Sejumlah keluhan bahwa pelayanan kesehatan untuk pasien Askes dan Jamkesmas kurang memuaskan. Kualitas pelayanan rawat inap kelas I, II dan III RSUD kabupaten masih di bawah harapan pasien, baik aspek keterandalan, penampilan fisik, daya tanggap, jaminan, empati, maupun akses. Kualitas pelayanan rawat inap pasien Jamkesmas rata-rata lebih rendah daripada pasien Askes. Kualitas pelayanan rawat inap pasien Askes rata-rata lebih rendah daripada pasien yang membayar langsung. Manajemen rumah sakit dan pengelola Jamkesmas meningkatkan kualitas pelayanan rawat inap pasien Jamkesmas. Manajemen rumah sakit dan PT Askes meningkatkan kualitas pelayanan rawat inap pasien Askes sosial, sehingga setara dengan pasien yang membayar langsung. 6. Atik Nurwahyuni, Universitas Indonesia. “Penerapan DRG di Jerman: sebuah pembelajaran untuk penerapan pembayaran provider di Indonesia menyongsong universal coverage”. Pasien memiliki batas atas dan bawah tersendiri, sehingga memiliki pembayaran yang berbeda. Point value sangat bervariasi pada setiap negara bagian. Objektif lebih kepada transparansi. Harapan nantinya pada tahun 2014 mereka bisa menetapkan tariff nasional: DRG yang dibuat berdasarkan cost weight for ALOS, minimum LOS, maximum LOS, transfer/ referral, Supporting tool DRG, Coding book, Manual Health Cara Service Cost (+). 7. Yulita Hendrartini. Universitas Gadjah Mada. “Masalah Kapitasi dan pendapatan dokter”. Mayoritas rasio pendapatan kapitasi rendah < 15%) bukan pendapatan utama minimal 50 %. Motivasi dokter kontrak kapitasi 70% faktor non ekonomi. Jenis kapitasi jasa (non obat) risiko finansial kecil kapitasi jasa dan obat. Uji coba kapitasi pada dr spesialis kendali biaya lebih baik. 8. Felix Kasim, Aurelia Maria Liliweri, UK-Maranatha Bandung: “Tinjauan Tata Laksana Pelayanan Kesehatan Melalui Sistem Asuransi Kesehatan Di Rsud Prof. Dr. Wz. Johannes Kupang Tahun 2009”. Pasien RSUD Prof. Dr. WZ. Johannes Kupang tergolong antusias terhadap pelayanan ASKES. Perlu diperhatikan : ruang tunggu lebih luas, penambahan alat penunjang diagnostik, ketersediaan obat, dan sistem pelayanan yang cepat tanpa dipengaruhi jumlah pasien. Perlu ditingkatkan : sosialisasi penggunaan kartu ASKES dan alur pelayanannya. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai sistem pelayanan ASKES di RSUD Prof. Dr. WZ. Johannes dengan metode analisis. Saran yang diberikan adalah memberi pelayanan bermutu tinggi, menekankan aspek preventif dan kuratif, serta mempertahankan unit cost yang komprehensif dan berasa efisiensi.
Proses Penentuan Kebijakan Pembiayaan di Pusat dan Propinsi, Kabupaten/Kota
•
Jaminan kesehatan harus bisa dijalankan karena merupakan hak masyarakat, namun perlu ada dukungan evidence based dari riset. Target tahun ini adalah harus ada NHA yang jadi, 1 provinsi dan 1 distrik.
•
Jaminan kesehatan membentuk solidaritas miskin dan kaya melalui subsidi silang.
•
Melalui jaminan kesehatan, rumahsakit didorong melakukan cost containment dan mengharuskan memakai obat rasional. Lebih penting lagi, adanya jaminan kesehatan memungkinkan perbaikan pada subsistem kesehatan yang lain di rumahsakit, misalnya menjaga mutu pelayanan.
•
Program Jamkes di Bali memperoleh dukungan anggaran dari APBN, APBD dan Coorporate Social Responsibility atau CSR sebesar 4% pendapatan mereka. Rencana meng-cover seluruh rakyat Bali dengan Jamkes dilakukan dengan hatihati, misalnya bahwa segala macam pengobatan harus melalui puskesmas atau dengan sistem rujukan. Legalitas program tersebut didukung oleh Permendagri No. 59 Tahun 2007 Pasal 2, 3 dan 4. Dana sejumlah 181 miliar untuk melaksanakannya dibagikan ke puskesmas sebesar 26% dan rumahsakit sebesar 74%.
•
Jamkesos di Yogyakarta berada di bawah struktur dinas kesehatan sebagai UPTD. Meng-cover 11% penduduk yang tidak menjadi anggota Askes Pegawai atau Jamkesmas. Melalui dana APBD, bantuan juga diberikan melalui SKTM atau Surat Keterangan Tidak Mampu. Kabupaten Sleman sedikit berbeda karena untuk Jamkesda masih menarik premi asuransi atau masih ada sharing cost. Sesuai dengan kondisi ini, maka universal coverage bisa diberlakukan dengan syarat-syarat tertentu, misalnya universal coverage dilakukan dengan model pembiayaan Government Budget dengan menarik dana melalui premi.
•
Di Tanjung Balai, premi Jamkes tahun 2010 menjadi Rp 10.000,- per jiwa. Dana untuk meng-cover Jamkes tersebut sebesar 2,4 miliar dan bisa digunakan masyarakat untuk berobat sampai ke rumahsakit tipe A di Medan. Jumlah penduduk yang memiliki Jamkes sebesar 61,28% dan penduduk yang belum memiliki Jamkes sebesar 38,72%. Maka untuk mencapai universal coverage 2014 perlu sosialisasi lebih lanjut dan desakan pada masyarakat mampu untuk ikut serta dalam program Jamkes. Dana lain yang tersedia adalah pajak Seaport hasil kerjasama pemda setempat dengan PT. Pelindo II, sebesar 2 miliar per tahun. Melalui dukungan dana ini maka tidak ada alasan bagi orang yang sakit untuk tidak berobat.
•
Jaminan Kesehatan di Aceh di namakan Jaminan Kesehatan Aceh atau JKA yang tanggal 1 Juni 2010 baru digulirkan. Ini merupakan studi yang cukup panjang. Studi ini dilakukan dengan pakar-pakar dari akademisi. Dari penduduk Aceh 4,3 juta sebesar 1,2 juta belum tercover JKA dan 3,6 juta jiwa ter-cover dengan Askes baik askes pegawai maupun komersial. Jaminan kesehatan dilakukan dari tingkat dasar sampai dengan rumahsakit dengan cakupan pelayanan dengan paket-paket pelayanan. Monitoring dan evaluasi dilakukan bekerjasama dengan perguruan tinggi yang diharapkan menghasilkan kinerja yang baik untuk program JKA ini.
•
Perguruan tinggi di Bali yaitu UNUD belum bisa memberikan keputusan yang jelas. Sekalipun kerjasama dengan pemda sudah dilakukan tetapi kerjasama tersebut dilakukan oleh unit-unit tertentu dalam perguruan tinggi, bukan dalam
satu kesatuan sebagai perguruan tinggi. Selain itu, UNUD sendiri merasa belum siap untuk mendampingi pemda dalam bentuk kerjasama sebagai suatu institusi. Jadi melalui pertemuan ini diharapkan dapat muncul suatu kerjasama, mungkin dimulai dari kerjasama antar perguruan tinggi untuk supply sumber daya manusianya. •
USU sebenarnya ingin ikut andil dalam kerjasama mendukung program pemerintah daerah seperti Tanjung Balai. Tetapi, keterbatasan sumber daya dalam hal keahlian dan kompetensi masih menjadi problem utama. Maka diharapkan pemda dapat memanfaatkan kerjasama dengan perguruan tinggi daerah sesuai dengan kemampuan yang ada sekarang dan akan terus dikembangkan lagi di masa depan.
•
Alasan yang sering muncul di daerah tentang perencanaan dan penganggaran adalah: anggaran kecil, disalokasi atau dana operasional kecil dan terfokus untuk kegiatan kuratif, dana terlambat turun atau tidak sampai di daerah, dana bocor atau terjadi mark-up dan korupsi, dana tidak terserap sepenuhnya. Lalu bagaimana peran DPR dalam membuat perencanaan dan penganggaran? DPR menjalankan fungsi legislasi, yaitu pengawasan dan penganggaran. Setiap tahun Komisi IX did PR berkoordinasi dengan Kementrian Kesehatan untuk menyusun anggaran kesehatan. Kesepakatan yang dihasilkan akan diperjuangkan oleh Panitia Anggaran Komisi IX ke Badan Anggaran DPR.
•
Universal coverage membutuhkan data evidence based sebagai dasar untuk menganalisis kebijakan atau membuat kebijakan. Lembaga pemerintah perlu mulai melihat dampak suatu kebijakan terhadap masyarakat, bukan sekedar membuat laporan akhir. Contohnya adalah implementasi SJSN sebagai sebuah solusi untuk pembiayaan kesehatan. Anggaran KemKes sekarang adalah 23 triliun dengan 5 triliun untuk Jamkesmas masih bisa meng-cover masyarakat miskin. Maka, untuk kedepannya nanti dengan anggaran 5% atau 50 triliun di luar gaji, diharapkan bisa meng-cover seluruh rakyat Indonesia. Visinya adalah seluruh rakyat Indonesia selama berada di wilayah NKRI bisa memperoleh pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Mutu pelayanan masih perlu ditingkatkan lagi.
•
UU SJSN membutuhkan pemahaman yang benar, agar daerah tidak hanya sekedar menyalin isinya ke dalam perda mereka sehingga tidak terjadi kesalahan saat implementasi dalam sistem pembiayaan kesehatan di daerah mereka. Contoh kasus Jatim dan Bandung. Membuat dan memutuskan sebuah kebijakan yang baru bukan hal yang mudah. Diperlukan kompetensi dan keahlian untuk merumuskannya. Maka, siapa yang berhak menilai dan memutuskan keahlian dan kompetensi tersebut? Diusulkan, agar seluruh perguruan tinggi duduk bersama dan berdiskusi untuk menentukan misi dan visi bersama, terutama menyangkut keahlian dan kompetensi apa yang dibutuhkan dan siapa yang akan mengukurnya.
•
P2JK memandang BPJS sebagai langkah pertama yang tepat untuk memulai universal coverage.
•
Kepmenkes No.095 sebenarnya ditujukan untuk mendukung Jaminan Kesehatan. Maka jika Badan Pelaksanaka Jaminan Semesta atau BPJS sudah ada, Jamkesmas tidak diperlukan lagi.
Kebijakan Pembiayaan Penyakit Infeksi dan MNCH
1. Mardiati Nadjib Universitas Indonesia. “Kebijakan pembiayaan kesehatan Ibu dan Anak. Antara harapan dan kenyataan”. Hasil riset tiga negara studi kasus Banten – AKI tinggi. Isu penting yang ditemui adalah masalah kualitas. Bidan meng-cover banyak desa, apakah efisien? Jika, dilihat dari sisi bidan, hal ini tidak adil, terutama untuk faktor risiko di remote area. Insentif bidan di daerah terpencil yaitu 35% dari dana pemerintah, 58% private clinical, 7% dari lainnya. Tindak lanjut yang akan dilakukan adalah pengembangan model yang konstekstual daerah, belajar model-model intervensi seperti kemitraan dukun-bidan, pembiayaan tabulon-dasolin mempunyai kontribusi dari daerah masih sangat penting, voucher system (diberikan oleh masyarakat untuk diberikan bidan), dan program KH – meningkatkan sisi demand (akses pelayanan naik). Potensi pembiayaan akan menghadapi juga tantangan, yaitu kendala geografi dan komitmen dari jajaran bupati – kepala dinas – camat: budaya komitmen luar biasa, itu untuk daerah yang sukses. 2. Deni Harbianto, Faozi Kurniawan. Universitas Gadjah Mada. “Pembiayaan KIA di daerah: rendahnya kepemilikan pemerintah daerah”. Apakah program ini merupakan prioritas, bagaimana implementasinya? Program KIA memperoleh dana dari pusat, sedangkan daerah hanya menyediakan dana pendamping saja. Hal ini terkait dengan tingkat kepemilikan dalam pengertian ownership. Daerah mengalami banyak masalah politis, teknis dan keuangan. Terkait sumber dana, data menunjukkan bahwa porsi dana dari pusat sangat tinggi. Maka, pembiayaan KIA di 4 kabupaten tersebut masih menggunakan dana pusat yang telah diploting, dan daerah hanya menjadi sebagai eksekutor lapangan. Banyak dana yang diperoleh tetapi daerah takut mengalokasikannya sehingga pemakaian dana seringkali tidak sesuai. Aturan yang kaku mengganggu perencanaan di daerah. 3. Yani, Universitas Syah Kuala. “Jaminan Kesehatan Aceh”. Percepatan utk MDG 4 dan 5 bisa diturunkan, dan mutu layanan meningkat, serta sistem laporan lebih baik (kapitasi utk layanan primer, utk dokter – tahun ini menggunakan pola tarif yg dikembangkan). Akan dilakukan kontrak di beberapa rumah sakit untuk dokter yang mau melakukan pelayanan. 4.
Sigit Riyarto, Universitas Gadjah Mada. “Pembiayaan AIDS di Papua”. Kasus orang yang sebenarnya tidak mau membiayai (penderita narkoba, pekerja seks, pelanggan, korban). Artinya kalaupun akan dibiayai, kasihan pada korban. Penelitian ini membuktikan bahwa penjaminan penyakit kronis: sangat kecil. Isu yang tercakup adalah melindungi hak minoritas (hak asasi manusia), rekomendasi: membiayai semua orang.
5.
Misnaniarti, Universitas Sriwijaya. “Pola Pembiayaan Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M), Di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Selatan”.
Pembiayaan sbg input, namun inti penelitian ini adalah utk melihat UC ini sifatnya kuratif – shg dikuatirkan program penyakit menular terbengkelai. Total biaya program P2M menurun. APBD: TBC dananya nol (tidak tumpang tindih, ada dana dari Global Fund – WHO). Pola alokasi anggaran Program Pemberantasan Penyakit Menular belum mendapat dukungan pembiayaan yang optimal dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan. Direkomendasikan kepada pihak pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan membuat kebijakan berupa Peraturan Daerah yang mengatur alokasi anggaran yang tepat untuk Program Pemberantasan Penyakit Menular ini sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kejadian penyakit menular di wilayah ini secara signifikan. 6.
Purwa Kurnia Sucahya. Universitas Indonesia. “Biaya pengobatan HIV/AIDS di salah satu rumah sakit di Jawa Timur”. Kerugian biaya ekonomi akibat narkoba dan ODHA, apa implikasinya? Pilhan kebijakan: (a). Tidak melakukan apa-apa , sehingga menimbulkan Catastropic payment : kemiskinan, (b). Membebaskan sama sekali biaya (gratis) program Jamkesmas/SJSN?, (c). Membuat paket biaya pengobatan maksimal yang akan ditanggung pemerintah program Jamkesmas/SJSN?, (d). Kedua opsi akan membantu mengurangi beban biaya dari keluarga ODHA, dan (e). Rumah sakit tenang karena mekanisme pembiayaan dapat lebih terjamin. Maka, disimpulkan bahwa (a). kasus HIV/AIDS akan terus meningkat, termasuk mereka yang mencari pengobatan di RS, (b). menambah kapasitas rumah sakit tidak mampu mengejar kecepatan kasus AIDS sehingga perlu dikembangkan mekanisme rujukan kasus ke pelayanan kesehatan lainnya, (c). beban biaya pengobatan AIDS tidak jauh berbeda dengan beberapa penyakit sehingga berpeluang untuk didanai melalui program pemerintah. Jika pemerintah bersedia mendanai, maka probabilitas penambahan angka kemiskinan dari keluarga ODHA dapat dicegah.
Pembahasan dan Hasil Diskusi • • •
Ketidaktahuan secara terperinci tentang masalah pembiayaan merupakan faktor yang menyebabkan ownership tidak bisa menghitung dan kebergantungan dengan pusat menjadi sangat besar. Upaya pengembangan jejaring antara perguruan tinggi, KemKes, dan Dinkes sebaiknya tidak hanya pada service delivery (nature orang KIA) saja. Bagaimana dampak forum ini yang berfokus pada aspek pembiayaan terhadap outcome? (1) Tugas di level kabupaten (propinsi – pusat), di PP 38 pembagian tersebut tidak jelas, apalagi KIA. Kepmenkes-nya juga tidak jelas walaupun masih ada dan terlihat dalam struktur (terutama tidak mengatur pembiayaan antara pusat-propinsi-daerah), (2) Banyak masalah berkaitan dengan akses dan bagaimana menterjemahkan program ke dalam anggaran, karena tidak dana-dana tersebut tidak dapat dipakai untuk membiayai operasional. (3) Hal yang selalu menjadi kritikan adalah anggaran KIA lebih besar disbanding program lain. Misalnya P2M hanya mengandalkan dana dari hibah atau dana dekon. Porsi pembiayaan dari pemerintah yaitu promotif – preventif dan pengembangan program (individual) dinilai masih agak kurang. (4) Bagaimana menjamin seluruh masyarakat agar bisa memperoleh pelayanan kesehatan melalui pembiayaan kesehatan semesta? Penganggaran ditingkat propinsi dan kabupaten
• • • • • •
•
sangat lemah, belum ada perencanaan dan penganggaran terpadu dan lintas program, apalagi dengan dana dekon yang sangat besar. (5) Diusulkan agar jumlah pengelola program kesehatan lebih banyak. Proses diskusi dengan tingkat pusat dan kabupaten harus ada. KIA masih dianaktirikan walaupun jadi prioritas baik di level daerah maupun pusat. Saat advokasi perlu data konkrit yaitu analisis perencanaan terpadu tingkat kabupaten sebaiknya sudah tersedia dan mencerminkan keterpaduaan lintas yaitu antar kabupaten-propinsi-pusat. Jadwal perencanaan negara yang kurang match Perlu penyesuaian perda tarif, meskipun selama ini sudah tau kebenarannya tapi tetap belum ada action Usulan pertemuan diadakan tidak ditingkat pusat, tapi ditingkat propinsi karena intervensi politiknya lebih kecil. Mengapa Askes tidak mau membiayai kasus HIV/AIDS? Karena kasus yang muncul jumlahnya sudah berlipat-lipat. Pembiayaan tidak berdasarkan diagnosis AIDS-nya tetapi berdasarkan treatment opportunity. Kasus HIV bahkan lebih banyak lagi, bagaimana kita mendidik masyarakat agar tidak tertular HIV? Selama Kemkes mampu menjamin maka bisa saja itu dilakukan, tapi bagaimana jika sudah tidak mampu? Bagaimana sustainability-nya? Hal ini juga perlu pemberdayaan dari ke-165 FKM yang ada di Indonesia. Biaya bukan satu-satunya digunakan untuk memenuhi masalah akses, tapi perlu ada analisis tentang kebutuhan berdasarkan konteks local.
Berbagai Aspek Pelayanan 1. Atik Triratnawati, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. “Pengobatan Tradisional, Upaya Meminimalkan Biaya Kesehatan Masyarakat Desa Di Jawa”. Pengobatan tradisional sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa biayanya murah, mudah, manjur dan sesuai dengan kosmologi Jawa; Pengobatan tradisional merupakan upaya pertama dan didalamnya terkandung prinsip oposisi biner; Perlu pengakuan pemerintah atas pengobatan tradisional dan rasionalitasnya sehingga stigma dan marginalisasi hilang. 2. Sharon Gondodiputro, Henni Djuhaeni, Universitas Padjadjaran. “Peran Penyelenggara Pelayanan Kesehatan Primer (PPK I) Swasta Dalam Jaminan Kesehatan di Kabupaten Bandung”. Sebanyak 27% DPUS dan 21% BPS telah kerjasama dengan pihak ke-tiga. Mekanisme pembayaran terbanyak : perkepala serta klaim kepada pihak ketiga. Apapun mekanisme yang diinginkan, harus dilakukan perhitungan total cost dan unit cost yang cermat dan tepat untuk setiap pelayanan kesehatan yang diberikan. Sebanyak 95% DPUS & 100% BPS bersedia melanjutkan kontrak, bagi yang belum bekerjasama dengan pihak ke-tiga, 55% DPUS & 56% BPS ingin mulai menjalin kontrak. Alasan bersedia dikontrak mencakup aspek: keuangan, administrasi, sasaran, pelayanan dan program. Sistem jaminan kesehatan dengan universal coverage baru bisa berjalan apabila sudah ada kerjasama yang baik antara 3 pelaku utama yaitu PPK, pihak ke-tiga dan masyarakat. Menyadari masih banyaknya hambatan dalam melibatkan PPK I swasta dalam jaminan kesehatan masyarakat, maka perlu dilakukan sosialisasi untuk membangkitkan rasa
kepercayaan serta mempertimbangkan benefit yang wajar bagi para pihak agar tidak dirugikan. 3. Jazuli. Universitas Airlangga. “Rumah Sakit Pemerintah Sebagai Badan Layanan Umum (Blu), Apakah Mendukung Universal Coverage ?” Sekitar 83% RSD belum berstatus BLU. Kebijakan BLU merupakan kebijakan yang sangat strategis untuk meningkatkan efisensi dan efektifitas pelayanan di RS, karena RS dituntut untuk dikelola dengan “bisnis yang sehat”. Selama RSD yang berstatus BLU dikelola dengan “bisnis yang sehat”, akan sangat mendukung Universal Coverage. Dukungan dan komitmen pemerintah daerah dan DPRD merupakan faktor kunci keberhasilan BLU di RSD. Aspek yang paling penting dalam perubahan status RS menjadi BLU : kepemimpinan, SDM (mindset, pengetahuan, komitmen, kesadaran) dan sistem RS terutama sistemkeuangan. Perlu ada semacam “crash program” antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah untuk mempercepat perubahan RSD menjadi BLU; Percepatan perubahan status RS sebagai BLU, perlu dilakukan secara sistematis dan hati-hati, agar jangan sampai menjadi “bumerang” “BLU-BLU an”; Perlu adanya suatu sistem untuk memonitor pelaksanaan “bisnis yang sehat” oleh RS; dan Perlu ada sebuah kajian secara empiris untuk menilai efektifitas dan efisiensi RS sebagai Pemberi pelayanan kesehatan (RS) berhak mendapatkan pembayaran kapitasi dari persyarikatan Muhammadiyah dan berkewajiban memberikan jasa pelayanan kepada peserta sesuai dg ketentuan yg telah ditetapkan sebelumnya. 4. Triyani Marwati. Universitas Ahmad Dahlan. “Analisis Dana Sehat Muhammadiyah sebagai Salah Satu Bentuk Alternatif Pembiayaan Masa Yang Akan Datang”. Dana Sehat Muhammadiyah (DSM) berdiri th 1987, merupakan sebuah amal usaha yg lahir atas prakarsa PWM – MKKM. Tujuan SDM untuk meningkatkan derajat kesmas yg optimal melalui pemeliharaan kesehatan paripurna yg bermutu dan merata dengan pengendalian biaya yang berasal dari peserta, dan dijiwai oleh kaidah–kaidah Islam. Penyelenggara adalah Badan Penyelenggara PMW yaitu sebagai fungsi kepesertaan, fungsi keuangan dan fungsi pemeliharaan kesehatan. Pengelola memiliki hak untuk menghimpun iuran dari peserta, dan mempunyai kewajiban utk mengelola scr tertib pendanaanya serta melindungi hak dari peserta dan membayar kapitasi kepada PPK. Keunggulan dana sehat: Jumlah peserta 37.918 orang berdomisili di DIY, Angka kesakitannya rendah (97,97%) berstatus pelajar dan mahasiswa, Kelompok potensi resiko tinggi (13,37 %). Prinsip yg digunakan bersifat gotong royong dari, untuk dan oleh kita. 5. Asri Maharani, Viera Wardhani. Universitas Brawijaya. Analisa Pengaruh Kepemilikan Asuransi Kesehatan terhadap Kemauan Membayar Produk Pelayanan Laboratorium RSUD Blambangan Kabupaten Banyuwangi. Tingkat kemauan membayar responden untuk semua jenis pemeriksaan masih rendah, Kepemilikan asuransi kesehatan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemauan membayar pelayanan laboratorium untuk semua jenis pemeriksaan. Perlu pengenalan produk layanan laboratorium serta asuransi kesehatan beserta manfaatnya kepada masyarakat Kabupaten Banyuwangi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
pentingnya asuransi kesehatan dan deteksi dini penyakit melalui pemeriksaan laboratorium secara berkala.
Pengembangan Forum Nasional Para Peneliti Kebijakan Pembiayaan Kesehatan • • • •
• •
•
Think-tank dalam konteks ini melihat proses pada kebijakan yang pluralistic dan terbuka. Contoh: Rand Mission yang mencoba mendukung kebijakan pemerintah. Dibutuhkan suatu konsorsium untuk pooling resources guna mencapai tujuan bersama. Pengembangan ke depan, apakah perlu dibuat jaringan health policy yang luas. Peran think-tank dalam “tahapan kebijakan” tahap awal adalah identifikasi masalah dan kebijakan karena sulit bagi pemerintah untuk menunggu, dan penelitian merupakan hasil dari kemewahan. Jadi ada tidak ada bukti ilmiah, keputusan harus ditetapkan. Dalam hal ini, perguruan tidak bisa mengikuti kecepatan keputusan pemerintah. Untuk Provinsi DIY dan Aceh telah bekerjasama dengan UGM dan UI, tetapi Bali dan Tanjung Balai belum ada peran perguruan tinggi. Monitoring bukan hanya dilakukan pada masalah pembiayaan, tapi juga mutu. Banyak indicator yang digunakan dalam monitoring, tapi kenyataannya keputusan yang timbul setelah evaluasi biasanya kebijakan dihentikan, ganti yang baru atau revisi. Seperti kasus kebijakan jamkesmas yang dihentikan dan diganti dengan yang baru. Apakah perguruan tinggi akan mampu melaksanakan fungsi think-tank di berbagai fase kebijakan dalam jaminan kesehatan ini? Pertanyaan lain yang timbul adalah: Apakah SDM mencukupi? Apakah ada dana pengembangan/penelitian? Apakah ada kesempatan? Apakah ada niat? Hal ini bukan sesuatu yang mudah, perlu ada kombinasi dari berbagai tim ahli. Jadi keterbatasan perguruan tinggi dan belum bekerja unit-unit di perguruan tinggi sebagai satu tim, perlu diperbaiki lagi.
Tantangan (Panel Diskusi): Bagaimana Merumuskan Peran Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dalam Kebijakan Pembiayaan Kesehatan 1. Andreasta Meliala. Universitas Gadjah Mada. Cakupan Semesta dan Distribusi Dokter Spesialis di Indonesia. Sharing pengalaman kerjasama dg Kemkes mengamati fenomena SDM: distribusi, income dan dual practice. Banyak istilah yang ditemukan: mall distribusi kompetensi, institusi. Income dokter: fenomena baru yaitu sumber2 income / pabrik/pemerintah hanya memberikan income sedikit. Kajian pendapatan dokter: expected income tinggi sekali. Peran perguruan tinggi mencakup: (a) justifikasi, okey atau menolak, (b) mata burung: melihat lebih luas, melihat konteks khusus di suatu daerah,(c) text to context, dan (d) mutakhir: PT kerjaan membaca adalah currect evidence. Chemistry untuk melihat fenomena baik, namun pada pelaksanaannya sulit dilaksanakan.
2. Prastuti Soewondo. Universitas Indonesia. National Health Account (NHA) dan Strategi Institusionalisasi.
Perlu dipikirkan agar data flow bukan berbentuk proyek, namun masuk secara rutin ke dalam “rumah”. Rumahnya ini sedang dibuat. Pengambil kebijakan tidak mungkin bisa membuat NHA yang kompleks ini sendirian. 3. Budi Hidayat. Universitas Indonesia. “Menjembatani penelitian dan kebijakan”. Isu terkait SJSN adalah:metodologi adalah kunci utama utk mencapai policy yang dikehendaki. Penelitian ini menyatakan bahwa dampak asuransi memberikan efek tertinggi/berpengaruh terhadap masyarakat miskin, elastisitas permintaan paling besar, layanan kesehatan publik: paling banyak dipergunakan oleh masyarakat miskin, program askes yang miliki sekarang tidak berpengaruh pada ekuitas. Implikasinya terhadap SJSN adalah jika perhatian kita di asuransi sosial maka akan menyebabkan stagnasi dan inequality cakupan askes. Askes meningkatan akses, implikasi kebijakan SJSN harus mengadopsi berbasi sistem kontrol biaya. 4. Dewi Marhaeni. Universitas Padjadjaran. “Kebijakan Teknik Alokasi Anggaran Kesehatan Pusat dan Daerah”. Pengalaman Universitas Padjadjaran. Transfer anggaran lebih diwarnai intervensi politik, tidak berjalan secara seimbang. Analisis di bbrp program: (1) Program rumahsakit: sudah menggunakan formula, sudah kerjasama dengan dosen di IPB. Namun intervensi utk membagi anggaran di program RS sangat tinggi (khususnya DPR); (2) Alokasi DAK: celah fiskal tinggi mendapat anggaran besar, namun faktanya tidak; dan (3) Program kesehatan ibu: membagi 4 kuadran, celah fiskal sangat tipis dan tidak bisa digeneralisasi. Saat ini kemkes sudah mulai menggunakan formula: apakah utk membantu daerah untuk mencapai SPM, namun timbul masalah baru yaitu pemberian dana dekon untuk program kesehatan ibu dan kesehatan dikhawatirkan melanggar PP 7 tahun 2008 pasal 5.
Pembahasan dan Diskusi •
• • • •
•
Kita membutuhkan indikator lain untuk melihat dampak kebijakan jika kita menggunakan kaidah-kaidah atau definisi-definisi yang sudah bersifat nasional. Kita butuh analisis yang up to date dan on time. Kalau bisa penelitian kecil tapi punya dampak besar. Selama ini, kita punya think-tank yang bagus, tapi setelah kontrak selesai atau habis maka menyebarkan komunikasi negative, ini tidak sesuai dengan etika. Lebih baik peneliti menempatkan dirinya di daerah netral. Dana BOK benar-benar ada penelitian untuk menentukan besarannya, tapi bergantung dengan DPR yang menyetujui. Perlu juga dipertimbangkan untuk mengakomodasi kepentingan dan revisi mereka. Kita sangat mau menerima masuka-masukan, semuanya dalam konteks kemitraan. Ada tim, jadi kita juga kerjasama. Kebijakan MenKes sekarang adalah evaluasi dilakukan oleh orang luar, internal Kemkes tidak boleh ikut untuk mengurangi risiko bias. Kita tidak akan membuat asosiasi tapi lebih pada forum atau jaringan sehingga lebih bebas bergerak sesuai dengan komponen-komponen yang ada. Misalnya: UI-Unsyiah bisa membuat konsorsium untuk membantu JKA, dan sebagainya.
•
•
•
Kelembagaan dan personil. Kelembagaan di UGM dan UI juga belum bagus. Komunikasi jarak jauh bisa diakomodasi dengan internet dan conference, termasuk kursus jarak jauh, bisa menggunakan website ini. Selain website, juga bisa dilakukan tatap muka. Dengan kecanggihan teknologi sekarang, maka sudah tidak ada lagi alasan tidak bisa dihubungi atau menghubungi atau alasan komunikasi lainnya. Rencana pertemuan tahun 2011: o Host: FKM UNHAS, pada bulan Juni 2011 o Siapa yang menjadi sumber dana, terutama untuk pemberian fellowship dan mengorganisasi pelaksanaan? Saran: Balitbang Kementerian Kesehatan Bappenas Iuran tiap perguruan tinggi Pemerintah daerah dengan cara mengirim peserta Donor asing: AusAid, World Bank, WHO Persiapan pertemuan tahun 2011: o Menetapkan tanggal pertemuan di bulan Juni 2011 o Menyiapkan sumber dana o Menetapkan steering committee: UGM : Dr. Sigit Riyarto UNPAD: Dr. Henni UI: dr. Budi Hidayat UNUD : dr. Pande UNSYIAH : dr. Masri USU : Drs. Zulfendri UNAND: Nizwardi Litbang Sumsel: DR.Eko Unibraw : Asri UNTAD (Lampung) : Rahmawati UNAIR : dr. Nyoman UNDIP : Chriswardani UNHAS : Pak Amran Univ.Maranatha : dr. Felix Litbang: Soewarto Kosen Depkes : dr. Untung – utk mendatangkan policy maker o Organizing committee: UNHAS o Mengirimkan leaflet call for papers