Analisis Kebijakan Menuju Universal Coverage 2014: Sejarah kebijakan jaminan kesehatan, ideologi dan aktor penyusun kebijakan, serta peran perguruan tinggi
sebuah Working Paper oleh Laksono Trisnantoro∗ Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM
Isi: 1. 2. 3.
4. 5.
6.
Pengantar Hasil Pengamatan: Perkembangan Kebijakan Pembiayaan Kesehatan di Indonesia Pembahasan 1: Apakah penyusunan kebijakan jaminan pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan berbasis bukti? Pembahasan 2: Bagaimana Peran Perguruan Tinggi? Pembahasan 3:Perbandingan dengan Thailand
Rangkuman dan Saran dengan berbasis pada model Engineering
Pengantar: Proses penyusunan kebijakan (Buse dkk 2009):
Menggunakan berbagai tahap
kebijakan
dimulai, dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi.
“tahapan heuristik”.
Identifikasi masalah dan isu. Perumusan kebijakan Pelaksanaan kebijakan Evaluasi Kebijakan
Prinsip-prinsip Evidence Based Policy Making Evidence Based Medicine
Sackett dkk mendefinisikan EBM sebagai: “The conscientious, explicit, and judicious use of current best evidence in making decisions about the case of individual patient”.
(Sackett DL, Rosenberg WMC, Muir Gray JA, Haynes RB, Richardson WS. Evidence-based medicine: what it is and what it isn’t. BMJ 1996: 312:71-2)
Evidence Based Policy
Cookson memberikan definisi yang serupa, namun berfokus pada keputusan public tentang kelompok atau masyarakat, bukan sebuah keputusan tentang individu pasien
(Cookson R. Evidence-based policy making in health care: what it is and what it isn’t. Journal of Health Service Research Policy.Vol 10 No 2 April 2005).
Evidence Based Policy Making Sumber: Cookson, 2005
Bukti Ilmiah
Pengalaman Bukti Anekdot Opini
Nilai-nilai
Kepercayaan
Keputusan
Hambatan: Politis, ekonomi, hukum, dan etika
Situasi A: Tidak Ada bukti Ilmiah.
Pengalaman Bukti Anekdot Opini
Tidak ada Bukti Ilmiah yang berasal dari Riset
Nilai-nilai
Kepercayaan
Keputusan
Hambatan: Politis, ekonomi, hukum, dan etika
Situasi B: Ada Bukti Ilmiah.
Pengalaman Bukti Anekdot Opini
Ada Bukti Ilmiah Berasal dari Riset
Nilai-nilai
Kepercayaan
Keputusan
Hambatan: Politis, ekonomi, hukum, dan etika
Dalam situasi B ini ada beberapa kemungkinan:
B1. Ada Bukti Ilmiah dari riset dasar dan klinik, dan proses Evidence Based Policy dilakukan. Contohnya adalah:
Program TB DOTS Program IMCI
B2. Ada Bukti Ilmiah dari Riset Dasar namun Proses Evidence based Policy tidak berjalan, misalnya:
Kebijakan penyemprotan DHF (fogging) Pembelian test diagnostic AIDS melalui saliva oleh Pemda DKI Pemberian makanan tambahan Kebijakan obat-obat kanker Kebijakan Obat AIDS.
ISU-ISU YANG DIANALISIS 1. 2. 3.
Bagaimana perkembangan kebijakan jaminan kesehatan di Indonesia Apakah penyusunan kebijakan jaminan pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan berbasis bukti? Bagaimana peran perguruan tinggi dalam proses penyusunan kebijakan pembiayaan kesehatan: Saat ini dan masa mendatang.
METODE ANALISIS
Analisis ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan analisis dokumen kebijakan dan observasi. Dokumen kebijakan berada di Arsip Nasional. Observasi dilakukan secara partisipasi
Hasil
Perkembangan kebijakan jaminan kesehatan di Indonesia
Kebijakan mengenai jaminan keluarga miskin sudah di mulai sejak adanya program Dana Sehat di tahun 1980an sampai dengan sistem Askeskin di tahun 2000an. Pada tahun 2006 dan 2007, program dilakukan melalui PT Askes Indonesia.
Kepmenkes No 1241/Menkes/SK/XI/2004, 12 November 2004
Program Askeskin menjadi Jamkesmas
Keadaan ekstrim terjadi pada tahun 2008. Terjadi keputusan yang menarik: Program Askeskin tidak lagi menggunakan mekanisme asuransi. Di awal tahun ini Departemen Kesehatan memutuskan bahwa program dilakukan melalui mekanisme langsung, dengan nama baru Jaminan Kesehatan Masyarakat. (JAMKESMAS).
Perubahan di awal tahun 2005 Model Subsidi Langsung
Model Melalui mekanisme Asuransi: Asuransi Kesehatan
Rumah Sakit
Rumah Sakit masyarakat
Pemerintah sebagai Pembayar
masyarakat
Pemerintah sebagai Pembayar
Perubahan di awal tahun 2005 dan 2008 Model Subsidi Langsung
Model Melalui mekanisme Asuransi: Asuransi Kesehatan
Rumah Sakit
masyarakat
Rumah Sakit
masyarakat
Pemerintah sebagai Pembayar
Pemerintah sebagai Pembayar
Rumah Sakit
masyarakat
Pemerintah sebagai Pembayar
Di tahun 2008 kembali Model Subsidi Langsung
Pembahasan 1:
Apakah penyusunan kebijakan jaminan pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan berbasis bukti?
Pengamatan Program
Dana Sehat tidak jelas evaluasinya Program JPKM di Klaten dekade 1990an berada dalam situasi yang ”berlayar sambil membangun kapal”. Tertutup untuk studi. Periode Bapel JPKM,tidak banyak studi independen yang dipergunakan untuk menguji kelayakannya.
Periode Askeskin (2005-2007) dan Jamkesmas
Periode perubahan dari periode Bapel JPKM ke PT Askes Indonesia pada awal tahun 2005: Kebijakan Departemen Kesehatan yang berdasarkan Bapel JPKM dengan cepat diubah menjadi berdasarkan kerjasama dengan PT Askes Indonesia, tanpa ada studi yang bersifat sebagai pilot. Pada tahun 2008 terkesan perubahan menjadi Jamkesmas dilakukan berdasarkan negosiasi, bukan berbasis bukti ilmiah.
Di tahun 2010
Jamkesmas dipertanyakan karena dinilai tidak sesuai UU SJSN Di tahun 2010, ketika terjadi pencanangan Universal Coverage di tahun 2014, pertanyaan adalah apakah pencanangan ini sudah didasari oleh penelitian yang comprehensive? Terlihat bahwa pencanangan ini bukan berdasarkan hasil penelitian.
Mengapa tidak jelas dasarnya?
Pemahaman mengenai Universal Coverage sendiri masih belum jelas. Secara matematika di atas kertas, memang dapat dilihat bahwa dana yang ada dapat mengkover 76 juta manusia Indonesia yang miskin dan setengah miskin. Pertanyaannya adalah apakah Universal Coverage benarbenar dapat mencakup pelayanannya.
Gambaran
Di atas kertas penduduk Kabupaten Larantuka di NTT mendapat jaminan kesehatan masyarakat untuk pelayanan kesehatan ibu. Di Larantuka tidak ada dokter spesialis obstetri, anak dan anastesi, maka ibu-ibu yang membutuhkan SC akan tidak mendapatkannya. Demikian pula ibu-ibu yang tidak ada akses PONEK di RS kabupatennya. Sementara itu peserta Jamkesmas di daerah yang mempunyai sumber daya kesehatan melimpah, akan mempunyai banyak akses ke pelayanan kesehatan ibu
Pembahasan 2: Bagaimana Peran Perguruan Tinggi?
Pengalaman subyektif PMPK-UGM sebagai lembaga peneliti dan kebijakan menyiratkan penelitian memang belum dipergunakan secara penuh dalam sejarah program jaminan kesehatan di Indonesia.
Peran Perguruan Tinggi sering hanya individual Perguruan Tinggi Individu
Pemerintah sebagai Penetap Kebijakan
Penyandang dana Penelitian dan Pengembangan
Individu dikontrak oleh pemerintah atau penyandang dana penelitian Tidak melibatkan team yang komprehensif Tidak mengatas namakan perguruan tinggi
Peran individual dari perguruan tinggi
Aspek ideologi individu anggota perguruan tinggi menjadi menonjol Pembiayaan kesehatan menjadi debat ideologi Kurang adanya pembahasan ke aspek teknis yang kompleks dan membutuhkan penanganan multi profesi dan keahlian Hubungan dengan pengambil kebijakan menjadi tidak jelas dan cenderung jangka pendek Pertentangan faham antar individu perguruan tinggi dapat membingungkan pengambil kebijakan dan masyarakat.
Pembahasan 3:
Perbandingan dengan Thailand
Sistem jaminan kesehatan bagi seluruh Thailand dikenal dengan nama sistem 30 Baht. Sistem 30 Baht berakar dari sebuah proyek yang disebut Ayyuddhaya Project di tahun 1989. Proyek ini merupakan kolaborasi antara pemerintah Thailand dan ahli-ahli dari Belgia. Proyek ini mempunyai 3 komponen utama yaitu:
(1) reformasi pembiayaan; (2) reformasi pelayanan kesehatan; dan (3) reformasi pada hubungan masyarakat dengan pemberi pelayanan.
Peran Perguruan Tinggi
Dalam perjalanannya, proyek ini diperkuat oleh dua orang Doktor yaitu yaitu Dr.Viroj Tangcharoensathien dan Dr. Supasit Pannarunothai. Perkembangan selanjutnya di tahun 1993 adalah bergabungnya para ekonom dari Fakultas Ekonomi di Universitas Thammasat dan Chullalongkorn, serta akademisi dari National Economic and Social Development Board.
Peranan akademisi sangat besar dalam perjalanan kebijakan 30 Baht
Pembelajaran dari Thailand
(1) penggunaan ilmu pengetahuan untuk mengatasi masalah; (2) minat dan semangat masyarakat untuk membuat gerakan sosial agar masalah pelayanan kesehatan untuk semua dapat diperhatikan; dan (3) dukungan politik di dalam arena legislatif untuk menyelesaikan masalah.
Dalam konteks Evidence Based Policy, program 30Baht dengan jelas telah menggunakan berbagai bukti ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan. Program 30Baht bukanlah keputusan sesaat.
Ringkasan
Sejarah perkembangan kebijakan jaminan kesehatan di Indonesia menunjukkan bahwa perguruan tinggi dan lembaga penelitian belum menjadi pemain penting.
Berbagai faktor penghambat
Pihak Pengambil Kebijakan belum merasa perlu untuk menggunakan penelitian. Keputusan yang diambil lebih banyak berdasarkan pertimbangan pragmatis sesaat. Prinsip Evidence Based Policy belum dipergunakan. Demikian pula pihak perusahaan asuransi kesehatan. Sementara itu di sisi lain para akademisi dan peneliti masih belum mampu memainkan peranan penting sebagai lembaga pemikir untuk sistem yang sangat kompleks. Belum ada pemikiran untuk mengembangkan sebuah think-tank ataupun sebuah konsorsium yang lengkap antar perguruan tinggi.
Bagaimana ke depannya?
Apakah Proses Kebijakan untuk mencapai Universal Coverage akan tetap sama seperti ini? Bagaimana peran perguruan tinggi, khususnya para peneliti dan konsultan?
Catatan: Ada perbedaan arti antara peneliti dan konsultan • Tugas Peneliti tidak terkait dengan pelaksanaan • Tugas Konsultan mencakup penelitian dan pelaksanaan. • Konsultan/Tenaga Ahli di perlukan oleh pengambil kebijakan yang merasakan manfaatnya • Konsultan ikut bertanggung jawab pada pelaksanaan kebijakan. Catatan: Saya menggunakan pemahaman sebagai konsultan, yang tentunya mencakup penelitian.
Masukan
Kebijakanuntuk UC perlu belajar dari sistem membangun gedung/konstruksi Menggunakan pendekatan engineering Membutuhkan pendekatan multi-profesi dan penelitian multi disiplin yang digunakan oleh konsultan UC
Model Engineering (1)
Universal Coverage merupakan sebuah sistem riil yang dapat diukur pelaksanaannya. Siapa yang menggunakan fasilitas kesehatan apa; dapat diukur. Pengembangannya dapat menggunakan pendekatan engineering seperti yang ada di sektor konstruksi fisik, mesin, atau rekayasa sosial.
Model Engineering (2) • •
• •
Pengambil kebijakan mengidentifikasi masalah Tim pengembangan termasuk peneliti mengatasinya dengan menggunakan pengetahuan baru (misalnya, ketidak merataan pelayanan kesehatan yang tidak diidentifikasi terlebih dahulu dalam Universal Coverage ) yang mengarah pada perubahan kebijakan. Perubahan Kebijakan ini akan dilaksanakan Apakah pelaksanaan dapat berhasil atau tidak perlu ada monitoring dan evaluasi
Model Engineering (3)
Usaha pemecahan masalah mencakup dari Blue-print kebijakan, perencanaan pelaksanaan, pelaksanaan kebijakan, sampai ke monitoring dan evaluasi kebijakan. Dalam konteks engineering: Ada konsultan perencana, para pelaksana, sampai ke konsultan pengawas dan monitoring.
Contoh: gambaran tugas konsultan Perencana: •
Harus memperhitungkan aspek pelaksanaan kebijakan. Kebijakan adalah untuk dilaksanakan, bukan hanya di atas kertas.
Dalam konteks Universal Coverage, pelaksanaan akan mencakup: • penerimaan dokter-perawat terhadap sistem Jamkesmas (kompensasi/insentif), • aspek Hukum dan UU, • aspek ketidak merataan geografis, • aspek politik, • disamping perhitungan pembiayaan.
Ada beberapa prinsip penting yang akan dipergunakan oleh konsultan perencana: Menggunakan sistem yang sudah terbukti bekerja di tempat yang mirip dengan Indonesia Kemampuan untuk memberikan masukan pada pengambil kebijakan yang mempunyai tantangan spesifik, khususnya untuk pelaksanaan Tersedianya waktu yang cukup untuk menjalankan kebijakan yang direncanakan Adanya insentif untuk semua pihak untuk menjalankan kebijakan Pelu ada suatu kegiatan monitoring agar kebijakan dapat dipertanggungjawabkan.
Siapa yang akan melakukan penelitian pengembangan dalam konteks engineering •
•
•
•
Keahlian-keahlian dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi tersebut jelas tidak ada dalam satu orang individu Hanya dapat disediakan oleh sebuah tim yang mempunyai para pakar di berbagai bidang tersebut. Tim pakar tersebut harus mempunyai kesatuan visi dan pendapat Lebih baik memisahkan pakar yang berbeda pendapat, agar masuk ke tim lain sebagai pembanding.
Pengembangan universal Coverage membutuhkan Tim Konsultan/Tenaga ahli yang mencakup antara lain: • • •
•
•
• •
Ahli Pembiayaan (Finance) Ahli peraturan dan ahli hukum Ahli Manajemen RS-pelayanan primer dan mutu pelayanannya Ahli masalah kompensasi/pembayaran bagi tenaga kesehatan Ahli Promosi Kesehatan (jangan sampai sudah diberi jaminan malah merokok terus). Ahli komunikasi politik. .......
Bagaimana pengorganisasian tim untuk mencapai UCoverage? Membutuhkan kerja tim yang kuat Perlu ada dukungan penelitian di setiap tahap kebijakan. Ada kemungkinan satu perguruan tinggi tidak cukup. Mungkin diperlukan sebuah Konsorsium.
Perguruan Tinggi (sendiri) dengan Penetap Kebijakan
Perguruan Tinggi
Pemerintah sebagai Penetap Kebijakan
Hubungan Konsorsium dengan Penetap Kebijakan Perguruan Lembaga Penelitian A
Lembaga Penelitian
Tinggi 1 Perguruan Tinggi 2
B Perguruan Tinggi 3 Konsorsium
Pemerintah sebagai Penetap Kebijakan
Bagaimana hubungan Konsorsium dengan Pembuat Kebijakan
Konsorsium harus “berani” memberikan masukan dan bertanggung jawab pada hasil pelaksanaan. Pengambil kebijakan harus “berani” mendengarkan Harus dengan kontrak yang jelas
Konsorsium harus “berani” memberikan masukan dan bertanggung jawab pada hasil pelaksanaan. • •
•
•
•
Masukan tidak hanya dalam konsepsual dan perencanaan. Masukan harus sampai ke teknis pelaksanaan kebijakan dan sistem Monitoring dan Evaluasinya. Masukan merupakan hal yang komprehensif dan multi keahlian, Walaupun ada ideologi yang membayangi,diharapkan konsorsium tidak terjebak dalam perdebatan ideologi Diperlukan adanya konsultan pengawasan (monev) yang independen.
Catatan: Sebaiknya tidak memancing perdebatan tidak perlu (perlu ketrampilan komunikasi politik).
Pengambil kebijakan harus “berani” mendengarkan •
•
• •
Masalalu: Pengalaman buruk pengambil kebijakan yang tidak mendengarkan. Pengambil kebijakan ada yang merasa sudah mampu mengatasi sendiri masalahnya (make or buy decision,....masak sendiri atau rantangan) Ketika tugas rutin menekan, penelitian/pengkajian menjadi terabaikan. Catatan: Dalam konteks mendengarkan, bukan berarti keputusan ada di tangan peneliti pengembangan/konsultan.
Kontrak yang jelas •
• •
Pengalaman di masalalu: Tidak jelas hubungan kerja antara peneliti/konsultan/tenaga ahli dengan pengambil kebijakan. Lebih banyak yang berperan sebagai narasumber sesaat. Hubungan kerja antara peneliti dengan pengambil kebijakan perlu dirinci dalam kontrak yang jelas; apa peran peneliti/konsultan.
TERIMA KASIH