FORMULASI KEBIJAKAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN DAERAH KE SISTEM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL MENUJU UNIVERSAL HEALTH COVERAGE
RINGKASAN DISERTASI untuk memperoleh Derajat Doktor dalam Ilmu Kedokteran dan Kesehatan pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta
Oleh: SUPRIYANTORO 09/302532/SKU/00348
PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN DAN KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014
Disertasi untuk memperoleh Derajat Doktor dalam Ilmu Kedokteran dan Kesehatan pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta
Dipertahankan pada Ujian Terbuka dihadapan Dewan Penguji Program Doktor Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada - Yogyakarta Pada tanggal 25 Nopember 2014
Promotor : Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., PhD Co promotor : Prof. dr. Hari Kusnanto. SU, Dr.PH
Dewan Penguji : Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B(K). Onk. Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., PhD Prof. dr. Hari Kusnanto. SU, Dr.PH Prof. dr. Mohammad Hakimi, SpOG(K)., Ph.D Dr. Fitri Haryanti, SKp., M.Kes Prof. dr. Budi Mulyono, MM., Sp.PK(K) Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D Dra. RA. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D Prof. Budi Hidayat, SKM., MPPM., Ph.D
Oleh: Supriyantoro Nopember 2014
PROMOSI DOKTOR P-pada dasarnya manusia hidup bagaikan melakukan suatu perjalanan R-rahim Ibu kita merupakan awal dimana kita menyiapkan bekal O-oleh perjalanan waktu, detik demi detik proses perjalanan khan berlalu M-mungkin ada yang menempuh perjalanan singkat, atau ada yang lama O-rang tua, istri/suami, anak, saudara, serta semua kerabat,sahabat dan mitra S-semuanya menyayangi dengan restu, doa dan peran sertanya I-insya Allah dilalui atas berkah, rahmat,taufiq serta hidayahNya D-dari TK, SD, SMP,SMA, S1, S2 sampai Alhamdulillah di jenjang S3 O-oh…betapa luar biasa karunia yang telah aku terima dariNya K-kulalui perjalanan karir dan hidup ini dengan limpahan sukses dan bahagia T-tapi kusadari sepenuhnya, apa yang kubaktikan belum ada apa-apanya O-oleh karena itu…ijinkan saya dengan segala kerendahan diri , mengungkapkan rasa…. R-rasa terima kasih dan syukur kepada Allah swt serta semuanya yang telah berjasa..
Yogyakarta, akhir Nopember 2014 Supriyantoro
iii
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah swt atas segala limpahan rahmat, nikmat dan karuniaNya yang tiada tara, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Penelitian ini dilakukan seiring dengan di berlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional di bidang Kesehatan sejak 1 januari 2014, yang antara lain mewajibkan seluruh Jaminan Kesehatan Daerah secara bertahap , harus terintegrasi ke dalam satu sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Namun karena dalam perkembangannya program jaminan kesehatan yang selama ini diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, telah berkembang dengan pelbagai variasi, serta dihadapkan pada kapasitas fiskal daerah yang kemampuannya juga bervariasi, maka diperlukan suatu formulasi kebijakan yang di satu sisi harus sesuai dengan amanat UU SJSN 40/2014 dan UU BPJS 24/2011, namun disisi lain juga harus mengakomodasi kewenangan daerah dalam kerangka otonomi daerah melalui desentralisasi. Penelitian dan penulisan disertasi ini tidak akan dapat diselesaikan, tanpa dukungan dari pelbagai pihak. Oleh karena Itu, dalam kesempatan ini, ijinkan penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada yang saya hormati: 1. Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph,D, selaku promoter utama yang telah memberikan bimbingan, nasehat, petunjuk, dorongan moril dan semangat, serta memberikan akses maupun referensi yang sangat berguna dalam melaksanakan penelitian serta menyelesaikan penyusunan disertasi ini. 2. Prof. dr. Hari Kusnanto. SU., Dr.PH, selaku co promotor yang telah memberikan bimbingan, nasehat, petunjuk, dorongan moril dan semangat, serta memberikan referensi yang sangat berguna dalam melaksanakan penelitian serta menyelesaikan penyusunan disertasi ini. 3. Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B(K). Onk, selaku Ketua Tim Penguji, yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, arahan dan koreksi selama berlangsungnya ujian , sehingga penulis dapat lebih menyempurnakan penyusunan disertasi ini. 4. Prof. dr. Mohammad Hakimi, SpOG(K)., Ph.D, selaku Ketua Tim Penilai dan Tim Penguji yang telah memberikan bimbingan, koreksi, referensi serta memimpin tim penilai sehingga penulis memperoleh kesempatan untuk meneruskan tahapan dalam proses penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan. 5. Prof. dr. Budi Mulyono, Sp.PK(K), selaku Tim Penilai dan Tim Penguji yang telah melakukan penilaian terhadap kelayakan disertasi ini dan memberikan koreksi serta saran dalam proses perbaikan disertasi ini. 6. Dr. Fitri Haryanti, SKp., M.Kes, selaku Tim Penilai dan Tim Penguji yang telah melakukan penilaian terhadap kelayakan disertasi ini dan memberikan koreksi serta saran untuk perbaikan disertasi ini.
iv
7. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D, selaku Tim Penguji yang telah memberikan masukan dan koreksi selama proses ujian guna perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini. 8. Prof. Budi Hidayat, SKM., MPPM., Ph.D, selaku Tim Penguji yang telah memberikan masukan dan koreksi selama proses ujian guna perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini. 9. Dra. RA. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D, selaku Tim Penguji yang telah memberikan masukan dan koreksi selama proses ujian guna perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini. 10. Prof. dr. Sofia Mubarika, M.Med.Sc, PhD, selaku Ketua pengelola program S3 FK-UGM, yang telah banyak memberikan petunjuk, arahan , koreksi serta dukungan moril, sehingga penulis mampu melaksanakan penelitian dan menyusun disertasi ini hingga dapat diselesaikan. 11. Dr. Med. dr. Indwiani Astuti dan seluruh staf pengelola program S3 FKUGM, yang telah banyak memberikan dukungan adminsitrasi, komunikasi dan informasi pelbagai persyaratan dan kelengkapan dalam mempersiapkan disertasi ini, termasuk juga pada penyiapan sarana prasarana dalam setiap tahapan proses pendidikan ini. 12. Almarhumah dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR. PH dan dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, selaku Menteri Kesehatan RI pada saat itu, beserta seluruh pejabat terkait di Kemenkes RI (khususnya Wamenkes dan para pejabat Eselon 1-4) yang telah mengijinkan penelitian dan pengambilan data , serta memberikan dukunagan moril selama penulis melaksanakan tugas di Kemenkes RI, sehingga mampu menyelesaikan disertasi ini. 13. Para Gubernur, Bupati/Walikota dan para Kadinkes Provinsi/ Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, yang telah mendukung ketersediaan data dan pelbagai informasi khususnya dalam pelaksanaan Jamkesda di daerah masing masing sehingga sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. 14. Semua institusi antara lain pimpinan/anggota/staf DJSN dan BPJS, yang telah memberikan dukungan dan kelengkapan data serta serta pelbagai informasi guna penyusunan hasil penelitian serta disertasi ini. 15. Redaksi Bulletin Penelitian Sistem Kesehatan dan Redaksi Jurnal Ekologi Kesehatan, dan secara khusus kepada Prof.dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH, Dr.Dede Anwar Musadad, SKM, Drg. Agus Suprapto, M.Kes, yang telah mendukung dan memberi kesempatan mempublikasikan hasil penelitian ini di bulletin dan jurnal tersebut. 16. Dr. dr. Harimat Hendarwan, MKes, Dr. dr. Yout Savithri MARS dan Tb. Adi Satria, SE, ME beserta tim pendukungnya, yang telah banyak membantu dalam proses pengumpulan data dari seluruh Indonesia serta proses administrasinya sehingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan. 17. Almarhum Ayahanda R.Suratto, Ibunda Ny. R. Indarsih yang telah membesarkan ,mendidik,membiayai, memberikan do’a restu serta banyak
v
hal lainnya yang tidak bisa diuraikan satu persatu. Karena jasa beliau yang tak ternilailah, maka sukses ini dapat tercapai. 18. Istri Ny. Lien Waspaningsih, anak-anak Deta-Bayu, Rezama-Meutia, Sesa –Shendi beserta para cucu, kakak-adik, saudara dan para sahabat/rekan/ mitra yang sangat banyak dan tidak bisa disebut satu persatu, yang telah turut mendoakan, mendukung serta memberikan simpati serta perhatiannya sejak awal sampai dengan terlaksananya ujian terbuka Doktor di FK-UGM . Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna dan masih ada kelemahan/kekurangan, oleh karena keterbatasan penulis selaku mahkluk Allah swt baik dalam pengetahuan maupun kemampuan penulisannya. Untuk itu penulis mohon maaf serta mengharapkan koreksi dan saran dari semua pihak, guna perbaikan disertasi ini. Semoga hasil penelitian dalam disertasi ini dapat bermanfaat khususnya dalam mensukseskan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional Bidang Kesehatan menuju pencapaian Universal Health Coverage, serta dapat mendorong dan mengilhami peneliti lain untuk melakukan kajian yang lebih dalam dan spesifik. Demikian prakata dari penulis, atas perhatian dan dukungan Bapak Ibu, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya. Yogyakarta, November 2014 Penulis
Supriyantoro
vi
DAFTAR ISI Abstrak ....................................................................................................... Promosi Doktor ........................................................................................... Prakata ......................................................................................................... Daftar isi ...................................................................................................... Daftar tabel .................................................................................................. Daftar gambar.............................................................................................. Daftar singkatan ..........................................................................................
ii iii iv vii ix x xi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.3.1. Tujukan umum .................................................................... 1.3.2. Tujukan khusus ................................................................... 1.4. Keaslian Penelitian ........................................................................ 1.5. Manfaat Penelitaian ...................................................................... 1.5.1. Manfaat praktis ................................................................... 1.5.2. Manfaat teoritis ...................................................................
1 1 2 2 2 2 4 5 5 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 2.1. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 2.2. Hipotesis .......................................................................................
6 6 9
BAB III. METODE PENILITIAN ......................................................... 3.1. Desain Penelitian .......................................................................... 3.2. Waktu Penelitian ........................................................................... 3.3. Keterbatasan Penelitian ................................................................. 3.4. Pengumpulan Data ........................................................................ 3.5. Langkah-langka Penelitian............................................................
10 10 11 11 11 12
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ 4.1. Gambaran hasil pemetaan kondisi di 33 provinsi ......................... 4.1.1. Kapasitas Fiskal Daerah ...................................................... 4.1.2. Anggaran ............................................................................. 4.1.3. Pelaksanaan Jamkesda di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) ....................................................... 4.2. Aspek Pengelolaan ........................................................................ 4.3. Aspek Manfaat .............................................................................. 4.4. Penerima Bantuan Iuran ................................................................ 4.5. Analisi Pola Manajemen Pengelolaan, Paket Manfaat, dan Sasaran Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Daerah ...... 4.5.1. Kebijakan pola manajemen pembiayaan ............................ 4.5.2. Kebijakan pola paket manfaat .............................................
16 16 16 19
vii
22 24 26 28 34 35 37
4.5.3. Kebijakan pola sasaran penerima bantuan iuran ................. 4.6. Analisis perbandingan karakteristik dan kelayakan kebijakan jamkesda di 6 provinsi terpilih ...................................................... 4.7. Perbandungan sistem jaminan kesehaan bebarapa negara ............ 4.7.1. Perbandingan jaminan kesehatan Amerika Serikat dengan Indonesia............................................................................. 4.7.2. Perbandingan sistem jaminan kesehatan Filipina dengan Indonesia............................................................................. 4.8. Formulasi Kebijakan integrasi Jamkesda Ke dalam JKN ............. 4.8.1. Dasar Penyusunan Skenario Formulasi Kebijakan ............. 4.8.2. Formulasi Kebijkanan Sentralisasi Dinamis ....................... 4.8.3. Agenda Setting penerapan model Integrasi sentralisasi dinamis ...............................................................................
39
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 5.1. Simpulan ...................................................................................... 5.1.1. Gambaran hasil pemetaan kondisi di 33 provinsi ............... 5.1.2. Aspek Pengelolaan .............................................................. 5.1.3. Aspek manfaat .................................................................... 5.1.4. Aspek penerima bantuan iuran............................................ 5.1.5. Formulasi kebijakan integrasi ............................................. 5.2. Saran ............................................................................................ 5.2.1. Aspek teoritis (keilmuan).................................................... 5.2.2. Aspek praktis (guna laksana) ..............................................
59 59 59 59 60 60 61 61 61 62
viii
40 43 43 45 46 47 48 53
DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 4.1. Tabel 4.2.
Matriks informan penelitian ..................................................... Alur Langkah Penelitian........................................................... Klasifikasi provinsi berdasarkan indeks kapasitas fiskal ......... Persentase Kab/kota berdasarkan pengelompokan kapasitas fiskal (N=242) .......................................................................... Tabel 4.3. Karakteristik anggaran kesehatan dalam APBD Provinsi berdasarkan Klasifikasi kapasitas fiskal ................................... Tabel 4.4. Karakteristik Anggaran APBD Provinsi dari 6 provinsi yang di analisa khusus....................................................................... Tabel 4.5. Persentasse kabupaten./kota berdasarkan pengelenggaraan jaminan kesehatan daerah, 2013 (N=240) ................................ Tabel 4.6. Persentase kabupaten/kota berdasarkan manfaat jaminan kesehatan daerah (N = 240)...................................................... Tabel 4.7. Distribusi kabupaten/kota berdasarkan klasifikasi pengelenggaran jaminan kesehatan daerah .............................. Tabel 4.8. Distribusi kabupaten/kota berdasarkan manfaat jaminan kesehatan daerah, tahun 2013................................................... Tabel 4.9. Jumlah Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan usulan daerah yang tidak sesuai kuota PBI ..................................................... Tabel 4.10. Cakupan kepesertaan jamkesda per provinsi tahun 2014 ........ Tabel 4.11. Pola Pembiayaan Jamkesda di enam provinsi.......................... Tabel 4.12. Nilai Karakteristik Kebijakan Jamkesda di beberapa provinsi Tabel 4.13. Perbandungan Pola JKN saat ini dengan jaminan kesehatan di AS dan Philipina....................................................................... Tabel 4.14. Skema Perbandingan pola JKN saat ini dan model sentralisasi Dinamis ..........................................................................
ix
12 15 18 19 21 22 25 27 27 28 29 31 35 41 45 50
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Kerangka Teori ................................................................... Gambar 2.2. Kerangka konsep ................................................................. Gambar 3.1. Desain studi kasus penelitian : studi multikasus terjalin (Diolah dari : Yi, 2008) ....................................................... Gambar 4.1. Proporsi provinsi menurut indeks kapasitas fiskal .............. Gambar 4.2. Proporsi kabupaten/kota menurut indeks kapasitas fiskal ... Gambar 4.3. Persentase anggaran kesehatan berbangdingan total APBD provinsi dan kabupaten/kota di masing-masing pronvinsi, tahun 2013 .......................................................... Gambar 4.4. Anggaran kesehatan APBD 2013 perkapita per provinsi .... Gambar 4.5. Anggaran kesehatan APBD 2013 perkapitas 6 provinsi yang dianalisa khusus .......................................................... Gambar 4.6. Persentase anggaran kesehatan berbanding total APBD provinsi di 6 provinsi yang dianalisa khusus ...................... Gambar 4.7. Proporsi Provinsi menurur pengelolaan pembayaran (pembiayaan dan cost sharing) ............................................ Gambar 4.8. Proporsi provinsi menurut besaran pembayaran iuran Jamkesda .......................................................................... Gambar 4.9. Proporsi provinsi menurut cara pembayaran klaim Layanan dasar dan layanan rujukan ................................................... Gambar 4.10. Pola Jamkesda di 33 provinsi .............................................. Gambar 4.11. Formulasi kebijakan sentralisasi dinamis dalam integrasi Jamkesda ke JKN ................................................................ Gambar 4.12. Skema Perbandingan model sentralisasi dinamis dan model desentralisasi terintegrasi..................................................... Gambar 4.13. Skema Time Frame integrasi Jamkesda Dalam JKN ........
x
8 9 11 17 18
19 20 21 22 26 32 32 33 49 52 53
DAFTAR SINGKATAN
A ADB
= Asian Development Bank
AIDS
= Acquired Imunodeficiency Syndrome
APBA
= Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh
ASABRI
= Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Askes
= Asuransi Kesehatan
Askeskin
= Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin
APBD
= Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN
= Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
B Bappenas
= Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BHP
= Bahan Habis Pakai
BKKBN
= Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BPJS
= Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPK
= Badan Pemeriksa Keuangan
BPJKD
= Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan Daerah
BPKKD
= Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah
BPS
= Badan Pusat Statistik
BUK
= Bina Upaya Kesehatan
BUMN
= Badan Usaha Milik Negara
D DBK
= Daerah Bermasalah Kesehatan
Depkes
= Departemen Kesehatan
Depnaker
= Departemen Tenaga Kerja
DI
= Daerah Istimewa
DKI
= Daerah Khusus Ibukota
xi
DPR
= Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
= Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DTPK
= Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan
DUKM
= Dana Upaya Kesehatan Masyarakat
F Faskes
= Fasilitas Kesehatan
G GSIS
= Government Service Insurance System
H HIV
= Human Imunno Deficiency Virus
I ICCU
= Intensive Cardiac Care Unit
ICU
= Intesive Care Unit
IGD
= Instalasi Gawat Darurat
ILO
= International Labour Organization
INA-CBGs
= Indonesia Case Base Groups
IOL
= Intra Ocular Lens
IT
= informasi dan teknologi
J Jamkesda
= Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Jamkesmas
= Jaminan Kesehatan Masyarakat
Jamkesmasda = Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah Jampersal
= Jaminan Persalinan
Jamsoskes
= Jaminan Sosial Kesehatan
xii
Jamsostek
= Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JamkesProv
= Jaminan Kesehatan Provinsi
Jamkesta
= Jaminan Kesehatan Semesta
Jamsosda
= Jaminan Sosial Daerah
JKA
= Jaminan Kesehatan Aceh
JKN
= Jaminan Kesehatan Nasional
JKS
= Jaminan Kesehatan Sosial
JKSS
= Jaminan Kesehatan Serumpun Sebalai
JPK
= Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
JPK Gakin
= Jaminan Perlindungan Kesehatan Keluarga Miskin
JPKM
= Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
JPKMM
= Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin
JPS-BK
= Jaring Perlindungan Sosial Bidang Kesehatan
JKBM
= Jaminan Kesehatan Bali Mandara
K KB
= Keluarga Berencana
Kemenkes
= Kementerian Kesehatan
Kepri
= Kepulauan Riau
KfW
= Kreditanststalt fur Wiederaufbau
KIA
= Kesehatan Ibu dan Anak
KK
= Kartu Keluarga
KKI
= Konsil Kedokteran Indonesia
KLB
= Kejadian Luar Biasa
KTP
= Kartu Tanda Penduduk
M Manlak
= Pedoman Pelaksanaan
MDGs
= Millenium Development Goals
Menaker
= Menteri Tenaga Kerja
Menkes
= Menteri Kesehatan
xiii
MKRI
= Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
MoU
= Memorandum of Understanding
MTBS
= Manajemen Terpadu Balita Sehat
N NAPZA
= Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
NHIP
= National Health Insurance of the Philippines
NHS
= National Health System
NICU
= Neonatal Intensive Care Unit
NTB
= Nusa Tenggara Barat
O OWWA
= Overseas Workers’ Welfare Administration
P PBI
= Penerima Bantuan Iuran
PDB
= Produk Domestik Bruto
PDT
= Percepatan Daerah Tertinggal
Pemda
= Pemerintah Daerah
PerBup
= Peraturan Bupati
Perda
= Peraturan Daerah
PerGub
= Peraturan Gubernur
Perwali
= Peraturan Walikota
PHB
= Perum Husada Bhakti
PICU
= Pediatric Intensive Care Unit
PKH
= Program Keluarga Harapan
PKTK
= Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja
PMS
= Penyakit Menular Seksual
PNS
= Pegawai Negeri Sipil
Polri
= Kepolisian Republik Indonesia
xiv
PP
= Peraturan Pemerintah
P2JK
= Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan
PPK
= Pemberi Pelayanan Kesehatan
PPK BLU
= Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
PTT
= Pegawai Tidak Tetap
R RBF
= Result-Based Financing
RITL
= Rawat Inap Tingkat Lanjut
RJTL
= Rawat Jalan Tingkat Lanjut
RJTP
= Rawat Jalan Tingkat Pertama
RITP
= Rawat Inap Tingkat Pertama
RPJM
= Rencana Pembangunan Jamngka Menengah
RPJMD
= Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMN
= Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RS
= Rumah Sakit
RSD
= Rumah Sakit Daerah
RSUD
= Rumah Sakit Umum Daerah
S Sakernas
= Survei Angkatan Kerja Nasional
Samisake
= Satu Miliar Satu Kecamatan
Satgas
= Satuan Tugas
SDM
= Sumber Daya Manusia
SJKD
= Sistem Jaminan Kesehatan Daerah
SJSN
= Sistem Jaminan Sosial Nasional
SK
= Surat Keputusan
SKB
= Surat Keputusan Bersama
SKN
= Sistem Kesehatan Nasional
SKPD
= Satuan Kerja Pemerintah Daerah
xv
SSS
= Social Security System
SKTM
= Surat Keteranagan Tidak Mampu
Sumbar
= Sumatera Barat
Sumsel
= Sumatera Selatan
Susenas
= Sensus Sosial Ekonomi Nasional
T Taspen
= Tabungan dan Asuransi Pensiun
THT
= Telinga Hidung Tenggorok
TNI
= Tentara Nasional Indonesia
U UHC
= Universal Health Coverage
UKP
= Upaya Kesehatan Perorangan
UMP
= Upah Minimum Provinsi
UP
= Unit Pelaksana
UPTD
= Unit Pelaksana Teknis Daerah
USG
= Ultra Sono Grafi
UU
= Undang-Undang
UUD 1945
= Undang-Undang Dasar 1945
W WHO
= World Health Organization
KB
= Keluarga Berencana
Y Yandas
= Pelayanan Dasar
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang WHO telah menyepakati tercapainya Universal Health Coverage (UHC) di tahun 2014. Universal Health Coverage merupakan sistem kesehatan yang memastikan setiap warga di dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bermutu dengan biaya yang terjangkau. Cakupan universal mengandung dua elemen inti yakni akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga, dan perlindungan risiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan. Indonesia pada saat ini sedang berada dalam masa transisi menuju cakupan pelayanan kesehatan semesta. Undang-Undang Nomor No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ( UU SJSN) telah menjawab prinsip dasar UHC dengan mewajibkan setiap penduduk memiliki akses pelayanan kesehatan komprehensif yang dibutuhkan melalui sistem pra-upaya. Pengembangan arah sistem pembiayaan kesehatan seperti yang dimaksud UU SJSN, bukan hanya meliputi peran pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Hal ini dapat dilihat dalam pasal 22 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah berkewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial yang di dalamnya termaktub sistem jaminan kesehatan. Peran pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial semakin kuat dengan dikabulkannya judicial review atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi RI dan untuk menindaklanjuti amanat tersebut, telah ditetapkan kewajiban daerah dan prioritas belanjanya untuk mengembangkan sistem jaminan sosial berdasarkan Pasal 22 huruf h dan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Upaya mengembangkan sistem jaminan sosial di daerah untuk mewujudkan cakupan terlindunginya semua penduduk, hendaknya disadari sebagai pelaksanaan kewajiban konstitusional. Berdasarkan dasar hukum tersebut di atas, banyak pemerintahan daerah yang telah berinisiatif untuk mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan berupa Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Sampai dengan tahun 2010, Kementerian Kesehatan telah
1
2
mencatat ada 352 kabupaten/kota dan 33 provinsi yang telah mengembangkan Jamkesda. Persentase penduduk yang dijamin melalui pelbagai program perlindungan kesehatan, sampai dengan Desember 2012 mencapai 59% dari jumlah penduduk di Indonesia (Kemenkes RI, 2011). Dengan demikian, masih ada 41% penduduk Indonesia yang belum memiliki jaminan kesehatan. Kajian yang dilakukan Gani dkk. (2008) menemukan bahwa model Jamkesda yang dikembangkan di kabupaten/kota dan provinsi sangat bervariasi. Variasi yang terjadi meliputi berbagai aspek seperti badan pengelola, paket manfaat, manajemen kepesertaan, pembiayaan, iuran, dan pooling of resource. Penelitian tersebut merekomendasikan bahwa jika ditinjau dari perspektif luas dan diversitas antar wilayah Indonesia, pengembangan Jamkesda yang bervariasi sesuai dengan karakteristik dan kemampuan daerah memang seharusnya terjadi dalam era desentralisasi kesehatan. Dari segi manajemen pengelolaan, di akhir tahun 2011 telah disahkan Undangundang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) untuk menjalankan amanah konstitusi UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Penyelenggaraan jaminan kesehatan secara nasional dilaksanakan oleh BPJS, seperti telah diamanatkan oleh pasal 1 ayat (1) UU BPJS yang menyatakan bahwa BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Menurut Pasal 2 UU BPJS, BPJS bertugas menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia. Dalam hal ini jelas bahwa semua bentuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan secara nasional oleh BPJS, termasuk jaminan kesehatan didalamnya. Hal ini diperkuat oleh Pasal 6 UU BPJS yang menyatakan bahwa BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Menghadapi hal tersebut pemerintah telah menyusun roadmap menuju pencapaian UHC, temasuk integrasi Jamkesda kedalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dimulai pada 1 Januari 2014. Namun dalam mengintegrasikan Jamkesda tsb, Pemerintah menghadapi kendala karena sangat bervariasinya Jamkesda yang ada di level Provinsi, Kabupaten dan Kota, dihadapkan pada berbagai faktor antara lain kemampuan fiskal daerah, komitmen pimpinan daerah serta penyesuaian dengan regulasi yang ada baik di daerah maupun di pusat.. Hal ini menuntut perhatian pemerintah pusat untuk dapat menyusun skenario kebijakan terbaik sekaligus menerapkan best practices berdasarkan pelaksanaan Jamkesda sehingga pelaksanaan BPJS akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pengintegrasian manajemen pengelolaan yang tepat akan mencegah terjadinya tumpang tindih (overlapping) wewenang dan tanggung jawab, baik pada pemerintah pusat, daerah maupun BPJS. Selain manajemen pengelolaan, isu lain yang perlu diperhatikan dalam pengintegrasian sistem Jamkesda ke dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah paket manfaat. Paket manfaat Jamkesda saat ini masih sangat bervariasi, tergantung pada kemampuan APBD dan komitmen pimpinan daerah terhadap masalah kesehatan. Paket manfaat ini menjadi isu penting mengingat pada saat pelaksanaan
3
integrasi Jamkesda kedalam JKN, jaminan kesehatan tsb mencakup semua yang indikasi medis. Isu lainnya adalah mengenai sasaran penerima bantuan iuran. Program Jamkesda diselenggarakan bagi masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu yang belum menjadi peserta Jamkesmas. Besaran bantuan iuran, antara daerah satu dengan yang lain menjadi sangat bervariasi. Beberapa pemerintah daerah, khususnya karena terkait dengan janji politik, telah membuat kebijakan yang melebihi kemampuan fiskal di daerahnya. Akibatnya, beberapa rumah sakit terutama RSUD terbebani piutang Jamkesda yang sulit ditagih. Dalam jangka panjang kondisi ini akan berdampak pada terganggunya cash flow rumah sakit. Pemerintah daerah secara nasional telah menambah 31,6 juta (41,4 %) peserta program jaminan kesehatan. Besarnya jumlah tersebut dan beragamnya model pengelolaan Jamkesda, tentu akan berdampak pada sulitnya penyeragaman besaran iuran dan sasaran penerima bantuan iuran Jamkesda kedalam mekanisme JKN. Pemerintah pusat memainkan peranan penting dalam menentukan berbagai alternatif kebijakan terbaik untuk pelaksanaan sistem jaminan kesehatan secara nasional. Dihadapkan pada pelbagai isu tersebut diatas, maka untuk tercapainya integrasi Jamkesda ke JKN, diperlukan suatu formula kebijakan yang mampu mengintegrasikan penyelenggaraan Jamkesda kabupaten/kota dan provinsi dalam skema integrasi JKN, baik dari sisi manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun besaran iuran. 1.2. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pemetaan pola Jamkesda yang berjalan selama ini di 33 provinsi di Indonesia , termasuk dalam hubungannya dengan kemampuan fiskalnya? 2. Bagaimana karakteristik Jamkesda dalam hal manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun sasaran penerima bantuan iuran? 3. Bagaimana formulasi dalam mengintegrasikan Jamkesda ke program JKN, khususnya dari aspek manajemen pengelolaan, paket manfaat dan penerima bantuan iuran? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum: Diperolehnya formulasi kebijakan integrasi Jamkesda ke program JKN dalam menuju pencapaian Universal Health Coverage, khususnya dari sisi manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun penerima bantuan, yang dapat diimplementasikan dalam kerangka desentralisasi. 1.3.2 Tujuan khusus: 1.
Diperolehnya peta berbagai pola Jamkesda yang berjalan selama ini di 33 provinsi di Indonesia, termasuk dalam hubungannya dengan kapasitas fiskal daerah.
4
2.
3.
Diperolehnya karakteristik berbagai perbedaan dalam pengembangan Jamkesda, khususnya dalam hal manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun penerima bantuan iuran. Diperolehnya formulasi kebijakan pengintegrasian Jamkesda kedalam JKN, khususnya dari sisi manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun penerima bantuan iuran, yang menyeimbangkan peran pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi.
1.4. Keaslian Penelitian Penelitian yang terkait dengan pola dan kebijakan integrasi Jamkesda serta ke dalam sistem jaminan kesehatan nasional sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, namun belum dikaitkan dengan regulasi program JKN. Penelitian ini, disamping melakukan pemetaan pola Jamkesda pada kondisi terakhir ( tahun 2013 ), serta memformulasikan kebijakan integrasi Jamkesda dikaitkan dengan regulasi yang berlaku, dengan tetap mengacu pada regulasi/ kebijakan dalam kerangka desentralisasi maupun sentralisasi secara komprehensif. Di level nasional, kajian yang dilakukan Gani (2008) dalam “Laporan Kajian Sistem Pembiayaan Kesehatan di Beberapa Kabupaten Dan Kota”menemukan bahwa model Jamkesda yang dikembangkan di kabupaten/kota dan provinsi sangat bervariasi, tidak ada satupun daerah yang memiliki model yang sama. Variasi yang terjadi meliputi berbagai aspek seperti badan pengelola, paket manfaat, manajemen kepesertaan, pembiayaan, iuran, dan pooling of resource. Penelitian tersebut merekomendasikan bahwa jika ditinjau dari perspektif luas dan diversitas antar wilayah Indonesia, pengembangan Jamkesda yang bervariasi sesuai dengan karakteristik dan kemampuan daerah memang seharusnya terjadi dalam era desentralisasi kesehatan. Penelitian ini memprediksi bahwa beban manajemen akan sangat berat jika skema sistem jaminan dilakukan sentralistis. Berbeda dengan sudut pandang Gani (2008), penelitian ini berupaya melihat sisi lain dari proses kebijakan pembiayaan kesehatan karena tuntutan UU BPJS adalah justru resentralisasi pembiayaan kesehatan,dan justru Jamkesda dituntut terintegrasi ke dalam BPJS. Dengan demikian penelitian ini akan memberikan dimensi perspektif yang berbeda dalam memandang isu pembiayaan kesehatan terkini. Penelitian ini juga berupaya memodifikasi model desentralisasi terintegrasi yang dikaji oleh Mukti & Moertjahjo (2008) dalam buku “Sistem jaminan kesehatan : konsep desentralisasi terintegrasi” yang menurut kajian terkait dalam mengupayakan pembiayaan kesehatan secara nasional, daerah dapat mengelola dengan mekanisme tersendiri dan atau membentuk sendiri badan pengelola namun tetap wajib berkoordinasi dengan pusat selaku penanggung jawab risk equalization. Hal ini sulit untuk terjadi mengingat amanat UU BPJS tidak memperkenankan daerah untuk mengelola pembiayaan kesehatan dengan mekanisme tersendiri.
5
Penelitian ini menjadi berbeda karena berupaya memberikan jalan keluar agar dalam proses integrasi Jamkesda ke JKN , disamping menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat ( sentralisasi), juga secara dinamis memberikan peluang peran Pemerintah Daerah ( Desentralisasi) sesuai dengan kewenangannya dalam rangka otonomi daerah, khususnya dalam hal pengelolaan, paket manfaat dan cakupan PBI.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Praktis a.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi dan panduan dalam menetapkan kebijakan untuk integrasi Jamkesda ke JKN di level kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia, khususnya dalam aspek manajemen pengolaan, paket manfaat dan besaran iuran.
b.
Memberikan masukan kepada pemerintah dan pemangku kepentingan lain (stakeholders) terkait dengan pelaksanaan JKN tentang : 1) Model skema sistem JKN, yang mampu beradaptasi dengan karakteristik wilayah dan kesenjangan antar wilayah Indonesia. 2) Best practices skema JKN dalam era otonomi daerah dan desentralisasi kesehatan khususnya dari sisi manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun penerima bantuan iuran. 3) Pemecahan persoalan dalam suatu formulasi kebijakan untuk melaksanakan JKN sebagai upaya mempercepat pencapaian Universal Health Coverage dengan tetap mengedepankan peran daerah dalam kerangka desentralisasi kebijakan.
1.5.2.Manfaat Teoritis a. Teori pengembangan sistem pembiayaan kesehatan nasional di negara dengan karakteristik wilayah dan diversitas yang luas antar wilayah. b. Teori pengembangan sistem jaminan kesehatan nasional yang tersentralisasi dengan pendekatan peran daerah dalam konteks otonomi daerah/ Dsentralisasi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Pemikiran Murti (2010) menguraikan bahwa implementasi sistem pelayanan kesehatan universal bervariasi di berbagai negara, tergantung pada sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan. Hal ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia, yaitu dimensi desentralisasi sangat tampak dalam pembiayaan kesehatan, terbukti dari beragamnya model pengelolaan Jamkesda yang ada di Indonesia. Menurut Casasnovas dkk (2009),desentralisasi organisasi merupakan mekanisme potensial untuk memfasilitasi perubahan pada aktivitas dari semua level organisasi termasuk pelayanan kesehatan, yang nantinya dapat mendukung peningkatan efisiensi organisasi tersebut. Desentralisasi ini akan mengambil alih tempat melalui peningkatan derajat inovasi kebijakan dan dinamisme sistem, dan juga level transparasi yang lebih besar. Namun, tetap akan ada transaksi biaya tambahan (additional transaction costs) yang terkait dengan mengecilnya level kekuasaan pusat dan meningkatnya kebutuhan koordinasi dan kerjasama secara sukarela. Sistem jaminan sosial nasional sebagai sistem nasional harus tetap mampu menjawab tantangan desentralisasi ini, yaitu level kekuasaan pusat tidak besar namun kemampuan koordinasi harus dapat dikembangkan secara sinergis dan efektif. Disisi lain menelitian Regmi dkk. (2010) menunjukkan bahwa desentralisasi sangat bergantung pada prasyarat tertentu karena tidak selamanya memiliki efek yang diharapkan.Penelitian yang dilakukan Bossert, Bowser dan Amenyah (2007) di Ghana dan Guatemala serta Bossert dkk. (2003) di Columbia dan Chili juga menunjukkan bahwa tidak semua kewenangan hasilnya akan lebih baik jika didesentralisasikan. Dalam beberapa focus group discussion terhadap pemangku kepentingan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, berbagai materi substantif yang diperlukan tidak hanya dapat dituangkan dalam regulasi begitu saja tetapi harus mengintegrasikan berbagai pola jaminan kesehatan yang telah berjalan di daerah. Fokus penyiapan SJSN saat ini adalah untuk pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di tahun 2014. BPJS akan difokuskan pada kewenangan pembiayaan kesehatan seperti diamanatkan oleh undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah tumpang tindih antara pusat, daerah maupun BPJS, pembiayaan jaminan kesehatan harus diintegrasikan terlebih dahulu, sehingga tidak ada celah dalam wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Dimensi ketepatan kebijakan dan dimensi perumusan rekomendasi kebijakan digunakan untuk menilai alternatif pola pengelolaan Jamkesda saat ini khususnya dari sisi
6
7
manajemen pengelolaan, paket manfaat serta bantuan iuran beserta permasalahan dan tantangannya. Selain itu, digunakan pula untuk menilai alternatif best practices pola pengelolaan Jamkesda yang telah berjalan serta menurut pola rencana strategis pengelolaan Jamkesda berdasarkan perspektif pemerintah daerah (kabupaten/kota dan provinsi) maupun berdasarkan perspektif pusat. Banyaknya teori yang melandasi penentuan kebijakan yang tepat maka akan menghasilkan pilihan alternatif strategi yang tidak sedikit, hal ini memerlukan ketepatan pembuat kebijakan dalam memilih strategi yang terbaik. Menurut Abidin (2004), terdapat beberapa kriteria yang biasa di gunakan dalam mengukur ketepatan suatu formulasi kebijakan publik, antara lain : kelayakan politik, kelayakan ekonomi, kelayakan keuangan/biaya, kelayakan administrasi, kelayakan teknologi, kelayakan sosial budaya, dan kelayakan-kelayakan lain sesuai dengan kriteria yang dibuat secara khusus. Atas dasar pilihan formulasi kebijakan yang terbaik dari alternatif yang ada, perlu disusun hasil rekomendasi kebijakan akhir yang akan diimplementasikan kemudian oleh pembuat kebijakan. Dunn mengemukakan 4 karakteristik yang harus dipertimbangkan dalam menyusun suatu rekomendasi kebijakan, antara lain: 1. Action focus, rekomendasi harus memuat aksi yang diperlukan agar kondisi yang sebaiknya terjadi dapat terwujud oleh kebijakan tersebut.Future oriented, rekomendasi harus menjelaskan keadaan sebelum adanya kebijakan dan keadaan yang akan terjadi sesudah ada kebijakan. 2. Fact-value interdependence, rekomendasi harus mampu mengkaitkan fakta dan nilai, sehingga rekomendasi tidak sebatas aksi melainkan juga berkenaan dengan penerimaan dari nilai-nilai yang ada termasuk di masyarakat. 3. Value duality, dimana rekomendasi kebijakan harus mampu menggambarkan nilai intrinsik yang menjadi tujuan akhir dari kebijakan dan nilai ekstrinsik sebagai sasaran antara sebagai jalan menuju tujuan akhir. Untuk memilih alternatif kebijakan yang layak, perlu dipertimbangkan ketepatan kebijakan tersebut melalui dimensi-dimensi kelayakan sepertiyang dikutip dari Abidin,(2004). Atas dasar penilaian kelayakan tersebut maka dapat dipilih best practices terbaik dari alternatif yang ada untuk kemudian diformulasikan menjadi suatu rekomendasi kebijakan akhir dengan mempertimbangkan 4 (empat) karakteristik (William Dunn) yang harus ada dalam rekomendasi kebijakan.
8
Gambar 2.1 Kerangka Teori (sumber: Diolah Sendiri)
Amanat UUD 1945
SJSN JAMKESDA
POLA PENGELOLA AN JAMKESDA
JKN
Kelayakan ekonomi Kelayakan politik
MANAJEMEN PENGELOLA AN
PAKET MANFAAT
Cakupan PBI
Kelayakan keu/biaya Kelayakanadminis t. Kelayakan Sosbud Kelayakan teknologi kelayakan lain dgn kriteria khusus.
Dimensi Ketepatan Kebijakan Abidin (2004)
Action focus Future oriented Fact value dependence
inter
Value duality
William Dunn: karakteristik Rekomendasi Kebijakan
Formula si kebijakan Integrasi Jamkesda ke JKN
9
Gambar 2.2 Kerangka Konsep (sumber: Diolah Sendiri)
2.2. Hipotesis Atas dasar uraian kerangka pemikiran di atas, maka diambil hipotesis bahwa: Besarnya manfaat jaminan kesehatan yang diberikan oleh daerah tergantung kepada tinggi rendahnya tingkat kapasitas fiskal suatu daerah. Untuk mengintegrasikan sistem Jamkesda di berbagai Provinsi kedalam JKN adalah melalui formulasi kebijakan yang mampu mengintegrasikan sisi manajemen pengelolaan, paket manfaat, dan pola kepesertaan penerima bantuan iuran secara nasional dengan tetap berlandaskan pada kerangka desentralisasi.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian Penelitian ini dirancang untuk menggunakan pendekatan penelitian mixed methods. Dalamrancangan penelitian mixed methods ini, peneliti menggabungkan metode survei (kuantitatif) dengan studi kasus (kualitatif) seperti contoh yang ditunjukkan oleh Gable (1994) dan keduanya saling melengkapi (komplementer). Hal ini pun sejalan dengan uraian Creswell (2009) bahwa studi mixed methods diawali dengan survei kuantitatif secara luas yang ditujukan untuk menggeneralisasi suatu hasil dalam populasi, kemudian penelitian difokuskan pada fase kedua, yakni pendekatan kualitatif secara detail dengan wawancara terbuka untuk mengumpulkan pandangan rinci dari partisipan. Dalam penelitian ini, fase kedua yang diuraikan Creswell tersebut dilakukan dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus dipilih karena metode ini dapat mempelajari satu unit kelompok tertentu untuk tujuan memahami kelompok yang lebih besar. Gerring (2007)menyebutkancase study sebagai“an intensive study of a single unit for the purpose of understanding a larger class of (similar) units”. Karakteristik permasalahan jaminan kesehatan daerah memiliki fenomena yang serupa dan kasus yang serupa antar daerah sehingga dapat diteliti menggunakan case study. Rancangan studi kasus yang dilakukan berupa disain multikasus terjalin (embedded multiple case design). Menurut Yin (2008), disain multikasus terjalin merupakan study case yang terdiri dari beberapa kasus dan beberapa unit analisis. Penelitian multi kasus ini dianggap terjalin (embedded) karena banyaknya kasus (33 Provinsi dan 6 Provinsi terpilih) dengan unit analisis mencakup pembuat kebijakan, pengelola dan masyarakat. Studi kasus Jamkesda di masing-masing provinsi dilakukan dalam konteks pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Masing-masing studi kasus tersebut memberikan gambaran pelaksanaan Jamkesda Provinsi ditinjau dari sisi manajemen pengelolaan, paket manfaat dan penerima bantuan iuran. Penelitian studi kasus ini dilakukan melaluipendekatan eksploratif dengan melakukan pengumpulan data primer berupa In-depth interviewdan focus group discussion serta menggunakan beberapa pendekatan dalam metodologi case study interpretatif (memahami fenomena melalui pemaknaan dari orang-orang yang terlibat didalamnya).
10
11
Gbr. 3.1. Disain Studi Kasus Penelitian: Studi Multikasus Terjalin (Diolah dari : Yin, 2008) Sistem Jaminan Sosial Nasional
Sistem Jaminan Sosial Nasional
Sistem Jaminan Sosial Nasional
Studi Kasus:
Studi Kasus:
Studi Kasus:
Jamkesda Provinsi X1
Jamkesda Provinsi Xn
Jamkesda Provinsi X33
Manajemen Pengelolaan Paket Manfaat Penerima Bantuan iuran Unit of Analysis:
Manajemen Pengelolaan Paket Manfaat Penerima Bantuan iuran Unit of Analysis:
Manajemen Pengelolaan Paket Manfaat Penerima Bantuan iuran Unit of Analysis:
Pembuat Kebijakan
Pembuat Kebijakan
Pembuat Kebijakan
Pengelola
Pengelola
Pengelola
Masyarakat
Masyarakat
Masyarakat
Multikasus Terjalin (Embedded Multiple-Case)
3.2. Waktu Penelitian Penelitian dan penulisan laporan dilakukan pada tahun 2013-2014 3.3. Keterbatasan Penelitian Karena luasnya dimensi penelitian ini, maka tidak dilakukan pendalaman pada dimensi pembiayaan kesehatan secara spesifik sampai ke seluruh tingkat kabupaten/kota, melainkan dilakukan secara lebih fokus pada aspek manajemen pengelolaan, paket manfaat dan cakupan bantuan iuran di tingkat Provinsi. 3.4. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui self administered questionnaire, pengamatan partisipatif, wawancara, dan diskusi mendalam. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur, observasi dokumen,dan sebagainya. Kedua jenis data ini digunakan untuk bahan analisis dan interpretasi. Data primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi fakta dan proses pelaksanaan kebijakan Jamkesda dimulai dari perencanaan, analisis kebutuhan, implementasi pelayanan dan hasil yang didapat dari pelaksanaan, diantaranya
12
data tentang pemenuhan hak peserta dalam pelaksanaan program, perencanaan dari pemerintah pusat, monitoring danevaluasi dari program yang berjalan terkait pelayanan. Rincian data yang digunakan untuk dijadikan batasan dalam mengembangkan materi pengamatan ketikaa melakukan observasi, wawancara dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion). Tabel 3.1 Matriks informan penelitian No 1
Tingkat pusat
1.1
Pelaku kebijakan di kementerian kesehatan
1.2
Pimpinan Dewan Jaminan Sosial Nasional
1.3 2
Pakar dalam jaminan sosial Tingkat daerah
2.1
Kepala dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota
2.2
Kepala Bappeda provinsi/kabupaten/kota
2.3 Pengelola Jamkesda Pimpinan RSU pemerintah setempat Staf RSU pemerintah 2.5 setempat 2.4
2.7 Pengelola puskesmas 2.6
Metode pengumpulan data
Informan
Masyarakat pengguna Jamkesda
Kepala Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (Chazali Situmorang) Direktur Operasional BPJS
Kepala dinas kesehatan di 6 provinsi (Provinsi Kepri, Provinsi Aceh, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Gorontalo dan NTT) Kepala BAPEDA di 6 provinsi (Provinsi Kepri, Provinsi Aceh, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Gorontalo dan NTT) Kepala bidang yang mengelola program jamkesda di 6 provinsi Kepala RS Pemerintah Karyawan dan Tenaga Medis di RS Pemerintah Kepala dan Staf serta Tenaga Medis di Puskesmas Pasien di pelayanan kesehatan yang menggunakan Jamkesda
Wawancara mendalam/ FGD Wawancara mendalam/ FGD Wawancara mendalam
Wawancara mendalam/FGD
Wawancara mendalam Wawancara mendalam/FGD Wawancara mendalam/FGD Wawancara mendalam/FGD Wawancara mendalam/FGD Wawancara mendalam
3.5. Langkah-Langkah Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui 4 tahap. Tahap pertama: penelitian dilakukan secara survei terhadap seluruh provinsi di Indonesia yang sudah memiliki Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) untuk mengetahui pola jamkesda yang kemudian disajikan melalui studi kasus di 33 provinsi. Dari pengelompokan pola jamkesda akan ditemukan matriks pengelolaannya.
13
Tahap kedua, peneliti menyusun hasil studi kasus dengan menyimpulkan keberagaman proses pengelolaan Jamkesda. Untuk itudilakukan : 1. Identifikasi 33 provinsi sesuai dengan tingkat kemiskinan Indonesia (berdasarkan data Susenas tahun 2012), yang membandingkan kesenjangan proporsi penduduk miskin di desa dan di kota. 2. Cakupan kepesertaan Jamkesda di setiap provinsi, membandingkan persentase nilai jumlah peserta jamkesda di provinsi dibandingkan dengan jumlah total penduduk tiap provinsi tersebut. 3. Grouping klasifikasi kapasitas fiskal menjadi 4 kelompok (kapasitas fiskal rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi) sesuai dengan kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Peta Kapasitas Fiskal No 226 Tahun 2012. 4. Pengelompokan anggaran belanja daerah bidang kesehatan dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu 10% dari APBD provinsi, dan anggaran kesehatan per kapita di masing-masing provinsi. Setelah mengetahui melalui studi kasus ke 33 provinsi, dilakukan re-grouping terhadap klasifikasi indeks kapasitas fiskal dalam bentuk matriks tabel 2x2, dari semula 4 kelompok (kapasitas fiskal rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi), menjadi 2 kelompok (rendah dan tinggi). Menurut Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 245/2010 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, kapasitas fiskal di definisikan sebagai gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum APBD (tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, Dana Pinjaman Lama dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Penghitungan kapasitas fiskal menurut Peraturan Menteri Keuangan tersebut mencakup indikator pendapatan asli daerah (PAD), dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), pendapatan daerah yang sah, belanja pegawai, dan jumlah penduduk miskin. Data penduduk miskin mengacu pada data BPS dan data lainnya mengacu pada realisasi APBN/D pada tahun terkait. Penghitungan indeks kapasitas fiskal daerah pada tingkat provinsi seperti yang digunakan sebagai data sekunder dalam disertasi ini dilakukan dengan menghitung kapasitas fiskal masingmasing provinsi dibagi dengan rata-rata kapasitas fiskal semua daerah provinsi sesuai dengan Pasal 4 (4) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 245/2010 tentang Kapasitas Fiskal Daerah. Kategorisasi indeks kapasitas fiskal dibagi dalam 4 kelompok kapasitas fiskal yaitu: indeks kapasitas fiskal sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Daerah yang dikategorikan indeks kapasitas fiskal sangat tinggi merupakan daerah dengan indeks lebih atau sama dengan 2. Daerah dengan indeks sama dengan 1 sampai kurang dari 2 masuk dalam kategori fiskal tinggi. Daerah dengan indeks kapasitas fiskal sedang adalah daerah dengan indeks lebih dari 0,5 sampai kurang dari 1. Daerah dengan indeks kapasitas fiskal
14
rendah mencakup daerah dengan indeks kurang dari atau sama dengan 0,5. Daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan kapasitas fiskal sedang disatukan ke dalam klasifikasi baru, yakni kapasitas fiskal rendah. Sebaliknya, daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi disatukan ke dalam klasifikasi kapasitas fiskal tinggi. Dilakukan analisis menggunakan analisis bivariabeldengan menggunakan uji kai kuadrat (chi square) untuk menunjukkan ada atau tidak adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kapasitas fiskal dengan penyelenggaradan manfaat Jaminan Kesehatan Daerah. Besarnya pengaruh dapat dinilai berdasarkan perhitungan MantelHaenszel Common Odds Ratio Estimates. Tahap ketiga, menyusun rekomendasi dan kategorisasi kebijakan. Dalam menyusun rekomendasi kebijakan akan diberikan penilaian kelayakan kebijakan berdasarkan data primer kualitatif yang diperoleh dilapangan yaitu terhadap 6 provinsi terpilih (berdasarkan pemilihan dari kategorisasi kelompok kapasitas fiskal). Pemilihan provinsi ini dilakukan secara proporsional menggunakan teknik purposive random sampling atau mengambil beberapa sampel secara random dari target populasi tertentu yang lebih luas. Dalam konteks operasional jumlah provinsi yang terpilih secara random diambil dari masing-masing kelompok kapasitas fiskal yang telah ditentukan sebelumnya. Jumlah provinsi yang dipilih disesuaikan bobot jumlahnya dengan total jumlah provinsi yang terdapat di dalam masing-masing kelompok kapasitas fiskal. Terdapat 6 provinsi yang dipilih secara acak berdasarkan klasifikasi kelompok kapasitas fiskal yaitu: Provinsi Aceh, Gorontalo, NTT (kapasitas fiskal rendah), Provinsi Sumatera Barat (kapasitas fiskal sedang), Provinsi Kepulauan Riau (kapasitas fiskal tinggi) dan Provinsi DKI Jakarta (kapasitas fiskal sangat tinggi). Kemudian dilakukan kategorisasi berdasarkan ketepatan rekomendasi kebijakan disusun. Ketepatan rekomendasi mengacu kepada kriteria karakteristik yang harus dipertimbangkan dalam menyusun suatu rekomendasi kebijakan (Dunn), antara lain action focus, future oriented, fact-value interdependence, dan value duality. Selain itu dilakukan pula kategorisasi berdasarkan kelayakan kebijakan yang dikembangkan dari Abidin (2004) untuk mengukur kelayakan suatu formulasi kebijakan publik, antara lain : kelayakan sosial dan politik, kelayakan ekonomi dan keuangan, kelayakan administrasi, dan kelayakan teknologi. Dalam analisis data studi lebih lanjut berupa komparasi dilakukan pengumpulan data lapangan lanjutan (triangulasi dan verifikasi hasil penilaian kelayakan kebijakan). Untuk memverifikasi dan mentriangulasi hasil penilaian kelayakan kebijakan pada 6 lokus provinsi, yaitu : Provinsi Aceh, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur yang paling layak untuk diiintegrasikan kedalam Jamkesda. Triangulasi difokuskan pada kemampuan Jamkesda terpilih dalam hal : 1. Manajemen pengelolaan 2. Paket manfaat 3. Kepesertaan penerima bantuan iuran
15
Untuk tahapan ini dilakukan kembali wawancara mendalam/FGD dengan informan terkait, baik di tingkat pusat maupun daerah terkait, khususnya untuk melakukancek, re-check dan cross check hasil penilaian agar dapat dianalisis dan diinterpretasi.Atas dasar kebutuhan tersebut, penelitian ini menggunakan beberapa tools pendekatan kualitatif berupa wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus maupun observasi lapangan yang dilakukan dengan tujuan lebih memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran dam interaksi kelompok. Dalam hal ini didapat gambaran secara lebih mendalam mengenai jaminan kesehatan daerah di 33 provinsi. Tahap keempat , berdasarkan hasil-hasil tersebut diatas, kemudian disusun formulasi kebijakan integrasi Jamkesda ke JKN, serta pentahapan dan skema implementasinya.
Gambar 3.2. Alur Langkah Penelitian (sumber: diolah sendiri) TAHAP III Penyusunan Rekomendasi & Kategorisasi kebijakan Pemilihan provinsi berd. kap fiskal TAHAP II Studi kasus 33 provinsi Tingkat kemiskinan TAHAP I: Survei 33 provinsi
Cakupan kepesertaan Jamskesda APBD sektor kesehatan kapasitas fiskal
Kategorisasi berdasarkan kapasitas fiskal
pendalaman studi 6 provinsi terpilih Penilaian kelayakan dan karakteristik kebijakan Triangulasi dan verifikasi lapangan Perbandingan LN
Analisa bivariabel
TAHAP IV Penyusunan formulasi kebijakan integrasi Rumusan integrasi Action Plan Penentuan tahapan &skema implementasi
Action Plan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran hasil pemetaan kondisi di 33 Provinsi : Terdapat 4 provinsi yang sudah mencapai Universal Health Coverage. Jumlah provinsi yang hanya menjamin peserta penduduk miskin non Jamkesmas mencapai 27 provinsi (81,81%), serta 2 provinsi (6,06%) yang menggunakan SKTM. Gambaran diatas menunjukkan bahwa pemahaman dan kemampuan daerah dalam pengelolaan Jamkesda masih berbeda satu dengan yang lain, khususnya dalam rangka mencapai Universal Health Coverage. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakteristik dan kelayakan kebijakan Jamkesda di 6 provinsi , tergambar beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan formulasi kebijakan integrasi sebagai berikut: 1) Keberadaan regulasi dan atau rencana aksi di tingkat provinsi akan menentukan sejauh mana proses integrasi Jamkesda dapat berjalan dengan baik. 2) Komitmen politik pemimpin daerah pada umumnya sudah visioner dalam hal penyiapan jaminan kesehatan 3) Persoalan kesiapan lapangan juga menjadi kunci yang harus disiapkan selama proses integrasi Jamkesda ke dalam JKN, antara lain :keterbatasan akses, ketersediaan fasiltas pelayanan kesehatan maupun organisasi BPJS di daerah yg tersebar merata dan kualitas standar, serta tingkat pengetahuan/ kesadaran masyarakat. 4) Kemampuan daerah untuk menyesuaikan kebijakan Jamkesda yang disusun dengan indikator kinerja RPJMD menjadi penting dalam proses integrasi, karena rencana proses integrasi Jamkesda harus mempertimbangkan penyesuaian terhadap capaian RPJMD masingmasing daerah. 5) Faktor ekonomi dan keuangan, khususnya kesiapan anggaran daerah sangat menentukan kesiapan daerah dalam berintegrasi 6) Result base financing dapat membantu menjembatani perbedaan sistem yang ada dan meningkatkan kinerja baik dari sisi penawaran dan permintaan dari sistem kesehatan yang mengupayakan untuk mencapai Universal Health Coverage. 4.1.1. Kapasitas Fiskal Daerah Berdasarkan tabel lampiran peta kapasitas fiskal daerah (Lampiran Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 226/PMK.07/2012) didapatkan
16
17
gambaran kemampuan fiskal provinsi di Indonesia. Dalam tabel indeks fiskal tersebut diperoleh gambaran bahwa terdapat provinsi dengan kriteria kapasitas fiskal rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Provinsi dengan kriteria indeks kapasitas fiskal rendah merupakan yang terbanyak, yaitu sebanyak 18 provinsi (54,55%), diikuti kriteria sedang 7 propinsi (21,21%), tinggi 5 propinsi (15,15%) dan kriteria sangat tinggi 3 provinsi (9,09%) . Jika ditinjau dari tingkat kapasitas fiskal kabupaten/kota, terbanyak kategori kapasitas fiskal rendah, yaitu sebanyak 289 kabupaten/kota (58,98%), kategori sedang sebayak 86 kabupaten/kota (17,55%), kategori tinggi 61 kabupaten/kota (12,45%) dan sangat tinggi sebanyak 54 kabupaten/kota (11,02%). Masing masing indeks kapasitas fiskal propinsi tsb akan dikaitkan dengan proporsi alokasi anggaran kesehatan, untuk melihat sejauh mana korelasinya. Dengan demikian akan memberi gambaran,apakah kebijakan Jamkesda di tingkat Propinsi sudah sesuai dengan kondisi kapasitas fiskal daerahnya.
Gambar 4.1. Proporsi provinsi menurut indeks kapasitas fiskal
9,09% 15,15% 54,55%
Rendah Sedang
21,21%
Tinggi Sangat Tinggi
(Diolah sendiri dari sumber Peraturan Menteri Keuangan /PMK-RI 226/2012 )
18
Tabel 4.1. Klasifikasi provinsi berdasarkan indeks kapasitas fiskal Indeks kapasitas fiskal Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Aceh
Sulteng
Sumbar
Riau
DKI Jakarta
Sumut
Sulsel
Jambi
Kalteng
Kaltim
Sumsel
Sultra
Kalbar
Kalsel
Babel
Bengkulu
NTT
Sulut
Bali
Lampung
NTB
Maluku Utara
Kepri
Jabar
Maluku
Banten
Jateng
Papua
Papua Barat
Jatim
Gorontalo
DI Yogyakarta
Sulbar
(Diolah sendiri dari sumber Lampiran Peraturan Menteri Keuangan/ PMK-RI 226/PMK.07/2012)
Gambar 4.2. Proporsi kabupaten/kota menurut indeks kapasitas fiskal
11,02%
Sangat Tinggi
12,45%
Tinggi Sedang 58,98%
17,55%
Rendah
( Diolah sendiri dari sumber Peraturan Menteri Keuangan /PMK-RI 226/2012)
Dari data 242 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Daerah yang dapat diolah, terdapat 152 kabupaten/kota yang dikategorikan sebagai daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah (62,8%), 30 kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal sedang (12,4%), 25 kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal tinggi (10,3%), dan 35 kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal sangat tinggi (14,5%).Klasifikasi kapasitas fiskal ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 226/PMK.07/2012 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah.
19
Tabel 4.2. Persentase kab/kota berdasarkan pengelompokan kapasitas fiskal (N = 242) No
Klasifikasi Kapasitas Fiskal
n
%
1
Rendah
152
62,8
2
Sedang
30
12,4
3
Tinggi
25
10,3
4
Sangat tinggi
35
14,5
(Diolah sendiri dari sumber data APBD berbagai Provins tahun 2013)
4.1.2. Anggaran Bila dibandingkan antara anggaran kesehatan dalam APBD 2013 dengan total APBD provinsi, maka secara nasional sudah mencapai 9,56%. Provinsi Bali dan kabupaten/kota di Provinsi Bali mengalokasikan 12,7% anggarannya untuk kesehatan, hampir sama dengan Provinsi Bali. Sebaliknya, Provinsi Riau dan kabupaten/kota di Provinsi Riau mengalokasikan sekitar 6,57% dari APBD-nya untuk kesehatan ( Gambar 4.3). Gambar 4.3. Persentase anggaran kesehatan berbanding total APBD provinsi dan kabupaten/kota di masing-masing provinsi, tahun 2013 14
12,7
12 10 8 6,57 6 4
(Diolah sendiri dari sumber data APBD berbagai Provinsi 2013)
Prov. Bali
Prov. Jawa Timur
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Banten
Prov. Jawa Tengah
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Bangka Belitung
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Aceh
Prov. Bengkulu
Prov. DKI Jakarta
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Gorontalo
Prov. Sumatera Barat
Prov. Jawa Barat
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Jambi
Prov. Sumatera Utara
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Papua
Prov. Maluku
Prov. Maluku Utara
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Papua Barat
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Riau
0
Prov. Lampung
2
20
Gambar 4.4. Anggaran kesehatan APBD 2013 per kapita per provinsi 1.200.000
1.076.089
1.000.000 800.000 600.000 286.665
400.000
INDONESIA
Prov. Papua Barat
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Aceh
Prov. Papua
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Maluku Utara
Prov. Bangka Belitung
Prov. Bali
Prov. Kepulauan Riau
Prov. DKI Jakarta
Prov. Maluku
Prov. Bengkulu
Prov. Gorontalo
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Riau
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Jambi
Prov. Sumatera Barat
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Kalimantan Barat
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Timur
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Banten
Prov. Jawa Tengah
Prov. Lampung
-
Prov. Jawa Barat
200.000
146.239
(Sumber: Diolah sendiri dari data APBD berbagai Provinsi)
Secara nasional, anggaran kesehatan per kapita semua provinsi dan kabupaten/kota adalah sebesar Rp. 286.655,-. Provinsi Papua Barat dan kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat mengalokasikan anggaran yang tertinggi, sebesar Rp. 1.076.089,-. Provinsi Jawa Barat, Lampung, dan Banten merupakan tiga provinsi dengan anggaran kesehatan perkapita yang terendah ( Gambar 4.4). Khusus untuk APBD provinsi, komposisi jumlah provinsi yang mengalokasikan < 10% dari APBD-nya untuk kesehatan dengan provinsi yang mengalokasikan ≥ 10% terbagi merata untuk masing-masing klasifikasi kapasitas fiskal. Rata-rata persentase anggaran kesehatan berbanding anggaran total APBD pada provinsi yang berada dalan klasifikasi kapasitas fiskal rendah adalah 9,58%, tidak berbeda jauh dengan provinsi yang berada dalam kategori kapasitas fiskal sedang (9,67%). Provinsi yang berada dalam klasifikasi kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi telah mengalokasikan anggaran kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yakni ≥ 10%. (Tabel 4.4). Provinsi dengan anggaran kesehatan perkapita terkecil adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan anggaran sebesar Rp. 304.262,-/jiwa/tahun.
21
Tabel 4.3. Karakteristik anggaran kesehatan dalam APBD provinsi berdasarkan klasifikasi kapasitas fiskal Kategori Anggaran < 10%
≥ 10%
Rata-rata Persentase anggaran Kesehatan dalam APBD (%)
Rendah
10
9
9,58
Sedang
3
3
9,67
Tinggi
3
2
13,4
Sangat Tinggi
1
2
10,67
Kapasitas Fiskal
(Sumber: Diolah sendiri dari data APBD berbagai Provinsi)
Gambar 4.5 Anggaran kesehatan APBD 2013 per kapita 6 provinsi yang dianalisis khusus 800.000 600.000 400.000 200.000 -
304.262
341.513
400.938
Prov. Nusa Prov. Prov. Tenggara Sumatera Gorontalo Timur Barat
464.465
491.895
591.366
Prov. DKI Prov. Prov. Aceh Jakarta Kepulauan Riau
(Diolah sendiri dari sumber data APBD berbagai Provinsi tahun 2013
Bila dibandingkan antara anggaran kesehatan dalam APBD 2013 dengan total APBD provinsi, maka rata-rata di 6 provinsi mencapai 9,94%. Provinsi Aceh dan kabupaten/kota di Provinsi Aceh mengalokasikan 10,29% anggarannya untuk kesehatan, Provinsi Kepulauan Riau dan kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau mengalokasikan sekitar 8,7% dari APBD-nya untuk kesehatan.
22
Gambar 4.6 Persentase anggaran kesehatan berbanding total APBD Provinsi di 6 provinsi yang dianalisis khusus 10,50 10,00 9,50 9,00 8,50 8,00 7,50
9,87
9,75
9,65
10,17
10,29
Prov. DKI Jakarta
Prov. Aceh
8,70
Prov. Prov. Kepulauan Gorontalo Riau
Prov. Prov. Nusa Sumatera Tenggara Barat Timur
(Diolah sendiri dari sumber data APBD berbagai Provinsi tahun 2013)
Tidak otomatis provinsi dengan kapasitas fiskal rendah akan mengalokasikan anggaran kesehatan perkapita yang lebih kecil bila dibandingkan provinsi dengan kelas kapasitas fiskal di atasnya. Demikian pula hubungan kapasitas fiskal dengan persentase anggaran kesehatan berbanding total APBD. Tabel 4.4. Karakteristik Anggaran APBD Provinsi dari 6 Provinsi yang dianalisa khusus No
Daerah
1 1
2
2 3 4
Kesehatan
Kapasitas Fiskal
Kesehatan per Kapita
% anggaran kesehatan
Prov. Aceh
3 886.579
4 Rendah
5 185603
6 10
Prov. Sumatera Barat
354.437
Sedang
70806
14
125.661 4.634.051
tinggi Sangat tinggi
64090 464465
6 15
5
Prov. Kepulauan Riau Prov. DKI Jakarta Prov. Nusa Tenggara Timur
177.060
Rendah
35695
9
6
Prov. Gorontalo
54.612
Rendah
49652
7
(Diolah sendiri dari sumber data APBD berbagai Provinsi tahun 2013)
4.1.3. Pelaksanaan Jamkesda di daerah terpencil, Perbatasan dan kepulauan (DTPK)
Semua provinsi DTPK menghadapi berbagai masalah yang hampir sama, antara lain kesulitan akses masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang dikarenakan hambatan geografis; ketiadaan,
23
ketidakcukupan, ketidakmerataan dan lemahnya kapasitas SDM kesehatan yang dibutuhkan untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal, baik di fasilitas pelayanan kesehatan dasar maupun di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan; serta kurang memadainya sarana dan prasarana kesehatan. Provinsi dengan kapasitas fiskal rendah mengalami kesulitan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Dalam monitoring dan evaluasi kesiapan Jaminan Kesehatan Nasional yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, beberapa informan dari beberapa kabupaten/kota mengharapkan dukungan yang lebih besar dari pemerintah pusat untuk membantu mengatasi kekurangan tenaga dan minimnya fasilitas kesehatan di wilayahnya. Menurut laporan kajian LPEM FEUI (2014), secara umum sektor informal di Indonesia mengeluarkan dana 1,13 kali lebih tinggi dibandingkan pengeluaran biaya kesehatan perkapita setiap bulannya untuk membayar premi kelas tiga BPJS Kesehatan. Pada kenyataannya di Provinsi Maluku, Gorontalo dan NTT, iuran yang dibayarkan mencapai lebih dari dua kali lipat lebih tinggi dari pengeluaran kesehatan perkapita di masing-masing Provinsi tersebut. Sebagai ilustrasi, Provinsi Gorontalo, pengeluaran sektor informal untuk premi kelas tiga memiliki rasio 2,53 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pengeluaran kesehatan perkapita setiap bulannya di Provinsi tersebut Sementara di Provinsi Banten dan DKI Jakarta, iuran premi yang harus dibayar hanya mencapai rasio 0,92 dan 0,33 kali lipat lebih tinggi dari total pengeluaran kesehatan per kapita di masing-masing provinsi tersebut. Perbedaan rasio antar provinsi ini menunjukkan bahwa penerapan premi tunggal saat ini berpotensi menyebabkan terciptanya kesenjangan layanan kesehatan antar wilayah di Indonesia. Kesenjangan ini menggambarkan terjadinya subsidi silang antar wilayah yang dengan pengeluaran kesehatan per kapita yang lebih kecil kepada wilayah dengan pengeluaran kesehatan per kapita lebih besar. Kondisi ini menunjukkan perlunya dilakukan regionalisasi tarif premi atau iuran BPJS Kesehatan sehingga kesenjangan antara iuran dan paket manfaat yang diperoleh di beberapa kawasan khususnya di DTPK dapat diatasi. Selain melakukan regionalisasi iuran yang harus dilakukan oleh pusat, setiap daerah dituntut untuk tetap memenuhi kemampuan penyediaan layanan kesehatannya sesuai dengan standar paket manfaat nasional. Dalam hal ini beberapa persoalan dan hambatan mendasar telah diatasi oleh masing-masing daerah. Provinsi kepulauan dengan kapasitas fiskal rendah mengalami kesulitan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Keterbatasan anggaran pemerintah kabupaten/kota menjadi hambatan dalam pemberian manfaat bagi peserta jamkesda kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Bahkan, sebagian kabupaten/kota di Provinsi Maluku tidak menyelenggarakan jaminan kesehatan daerah.
24
4.2. Aspek pengelolaan : Dalam aspek pengelolaan, sesuai amanat Undang Undang BPJS 24/2011, diselenggarakan secara terpusat oleh BPJS. Dari hasil penelitian ini, menunjukkan adanya perbedaan pengelolaan Jamkesda , sebagai berikut: a. pada umumnya Jaminan Kesehatan Daerah (64,6%) diselenggarakan oleh pemerintah daerah , 33,8% dikelola oleh PT. Askes atau Pihak ke 3, dan 1,7% gabungan antara pemerintah daerah dan PT Askes. Dengan berubahnya PT Askes menjadi BPJS pada 1 Januri 2014, maka semua daerah yang selama ini sudah bekerja sama dengan PT Askes, akan lebih mudah ( bila kemampuan fiskal daerahnya memungkinkan ) bila langsung berintegrasi ke JKN, karena bila tidak langsung integrasi ke JKN, maka daerah tersebut harus segera membuat badan/unit pengelola Jamkesda baru. b. Terdapat 14 provinsi (42, 42%) yang besarannya ditanggung sepenuhnya oleh kabupaten/kota masing-masing, dan hanya 1 provinsi (3, 03%) yang 100% ditanggung oleh provinsi. Besaran cost sharing yang porsinya lebih besar ditanggung provinsi daripada kabupaten/kota sebanyak 6 provinsi (18, 18%), sementara yang porsinya lebih kecil ditanggung provinsi sebanyak 8 provinsi (24, 24%), sisanya 4 provinsi (12, 12%) membagi porsi jumlah cost sharing secara berimbang antara provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian terdapat potensi perbedaan kepentingan antara propinsi dan kabupaten/kota pada saat pengintegrasian Jamkesda. Hal ini memiliki beban politis yang harus diatasi dan dipersiapkan mekanismenya agar mampu mengatasi perbedaan kepentingan tersebut. Berdasarkan Tabel 4.5, pada umumnya Jaminan Kesehatan Daerah (64,6%) diselenggarakan oleh pemerintah daerah, baik oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas sosial maupun Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), 33,8% oleh PT. Askes atau Pihak ke 3, dan 1,7% gabungan antara pemerintah daerah dan PT Askes. Dikatakan penyelenggaraan gabungan antara lain jika penyelenggaraan untuk pelayanan kesehatan dasar adalah dinas kesehatan kabupaten/kota (pemerintah daerah), sedangkan pelayanan kesehatan rujukan (lanjutan) diselenggarakan oleh PT. Askes.
25
Tabel 4.5. Persentase kabupaten/kota berdasarkan penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah, 2013 (N=240) No
Penyelenggara
1
PT. Askes dan Pihak ke 3
2
Pemerintah daerah (Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, UPTD)
3
Gabungan (Pemda dan PT Askes)
N
%
81
33,8
155
64,6
4
1,7
(Diolah sendiri dari sumber data APBD berbagai Provinsi tahun 2013)
Menurut Mukti (2008) dalam rangka desentralisasi fiskal, pemerintah daerah sudah memasukkan pembiayaan kesehatan masyarakatnya dan untuk mendukung pembangunan daerah ke dalam RPJP-Daerah (RPJPD). RPJPD merupakan dokumen perencanaan pemerintah daerah untuk periode 20 tahunan. RPJPD harus selaras dan menyesuaikan dengan RPJPN dengan mempertimbangkan kebutuhan, kondisi dan prioritas pembangunan pemerintah daerah setempat. Oleh karenanya sudah seharusnya pengelolaan Jaminan kesehatan, menurut Mukti dan Moertjahjo (2008), menggunakan pendekatan penyelenggaraan dengan prinsip managed care, yaitu menggunakan pendekatan terintegrasinya pembiayaan dan pelayanan kesehatan melalui penerapan kendali mutu dan kendali biaya yang bertujuan mengurangi biaya pelayanan yang tidak perlu dengan cara meningkatkan kelayakan dan efisiensi pelayanan, sehingga dengan secara praupaya (pre-payment) dengan mengelaborasi semua pendanaan yang termobilisasi dari masyarakat. Disinilah urgensi integrasi Jamkesda kedalam JKN tergambarkan. Berdasarkan gambaran cost sharing pembiayaan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diketahui bahwa terdapat provinsi yang telah menyiapkan dana talangan dan yang tidak menyiapkan dana talangan. Sebanyak 16 provinsi (48, 48%) menyiapkan dana talangan. Terdapat lima pola cost sharing, yaitu: 1) Ditanggung oleh kabupaten/kota semuanya (100%) 2) Ditanggung oleh provinsi semuanya (100%) 3) Cost sharing provinsi > kabupaten/kota 4) Cost sharing provinsi < kabupaten/kota 5) Cost sharing berimbang antara provinsi dan kabupaten/kota. Terdapat 14 provinsi (42, 42%) yang besarannya ditanggung sepenuhnya oleh kabupaten/kota masing-masing, dan hanya 1 provinsi (3, 03%) yang 100% ditanggung oleh provinsi. Besaran cost sharing yang porsinya lebih besar ditanggung provinsi daripada kabupaten/kota sebanyak 6 provinsi (18, 18%),
26
sementara yang porsinya lebih kecil ditanggung provinsi sebanyak 8 provinsi (24, 24%), sisanya 4 provinsi (12, 12%) membagi porsi jumlah cost sharing secara berimbang antara provinsi dan kabupaten/kota. Gambar 4.7 Proporsi provinsi menurut pengelolaan pembiayaan (pembiayaan dan cost sharing)
5.1.4. Manfaat Layanan
(Diolah sendiri dari sumber data APBD berbagai Provinsi tahun 2013)
4.3. Aspek Manfaat Berdasarkan pola paket manfaat yang didapatkan peserta Jamkesda, sebanyak 15 provinsi (45,45%) mengatur sendiri manfaat yang akan diperoleh melalui peraturan daerah dan sebanyak 18 provinsi (54, 54%) mengacu pada paket manfaat yang diberikan oleh Jaminan Kesehatan Nasional. Masih terdapatnya provinsi yang mengatur sendiri paket manfaat tersebut dapat disebabkan oleh dua hal, yakni : 1) Provinsi terkait belum memiliki kemampuan untuk menjamin sesuai dengan paket manfaat yang ditentukan pusat dalam Jamkesmas. dan2) Provinsi menganggap lebih mampu menjamin paket manfaat yang lebih baik bagi penduduknya dari pada hanya mengacu pada paket manfaat yang dijamin. Sekitar 59,6% kabupaten/kota memberikan manfaat Jamkesda yang sama dengan Jamkesmas, dan 37,5% memberikan paket manfaat yang tidak sesuai (kurang) dibandingkan dengan paket yang diberikan Jamkesmas. Beberapa kabupaten/kota hanya memberikan penggantian seadanya. Terdapat 7 kabupaten/kota (2,9%) yang memberikan lebih dari paket Jamkesmas. Ke 7 kabupaten/kota ini berasal dari provinsi yang sama, yakni Provinsi Kepulauan Riau, semuanya memiliki kapasitas fiskal dengan kategori tinggi dan sangat tinggi.Paket manfaat yang diberikan tidak hanya berupa paket manfaat yang sesuai dengan Jamkesmas, tetapi juga ditambah dengan biaya penginapan, makan dan minum, serta transportasi.
27
Tabel 4.6. Persentase kabupaten/kota berdasarkan manfaat Jaminan Kesehatan Daerah (N = 240) No
Manfaat
N
%
1
Sama dengan Jamkesmas
143
59,6
2
Lebih dari Jamkesmas
7
2,9
3
Kurang dari Jamkesmas
90
37,5
(Diolah sendiri dari sumber data APBD berbagai Provinsi tahun 2013)
Analisis bivariabed dengan menggunakan uji kai kuadrat (chi square) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara tingginya kapasitas fiskal dengan penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah (p value continuity correction = 0,581). Artinya, tidak ada kecenderungan kabupaten/kota dalam kelompok kapasitas fiskal tertentu akan memiliki pola penyelenggaraan tertentu, menggunakan PT. Askes atau menyelenggarakan sendiri. Tabel 4.7. Distribusi kabupaten/kota berdasarkan klasifikasi penyelenggara Jaminan Kesehatan daerah Klasifikasi kapasitas fiskal
Klasifikasi Penyelenggara Askes
Pemda
Kapasitas fiskal tinggi
18 (30%)
42 (70%)
Kapasitas fiskal rendah
63 (35%)
117 (65%)
(Diolah sendiri dari sumber data APBD berbagai Provinsi tahun 2013)
Bila menggunakan nilai potong (cut off) p value 0,05 sebagai batas kemaknaan uji chi square, maka tidak ada hubungan yang bermakna antara kelompok kapasitas fiskal dengan manfaat jaminan kesehatan yang diberikan. Terdapat perbedaan tipis antara p value continuity correction hasil penelitian ini (0,065) dengan p value nilai batas. Kendati demikian, bila memperhatikan hasil perhitungan Mantel-Haenszel, diperoleh common odds ratio estimatessebesar 1,920 (confidence interval 95% =1,008 – 3,658; asymp. Sig 2 sided = 0,047). Hal ini berarti kabupaten/kota yang memiliki kapasitas fiskal tinggi (tinggi dan sangat tinggi) memiliki kecenderungan sebesar 1,92 kali lebih besar untuk memberikan manfaat Jamkesda yang sesuai atau bahkan melebihi manfaat Jamkesmas bila dibandingkan dengan kabupaten/kota yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah (sedang dan rendah). Pada perhitungan ini, kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi digabungkan menjadi kelompok kapasitas fiskal tinggi, sedangkan
28
kapasitas fiskal rendah dan sedang digabungkan menjadi kelompok kapasitas fiskal rendah. Tabel 4.8. Distribusi kabupaten/kota berdasarkan manfaat Jaminan Kesehatan Daerah, tahun 2013 Klasifikasi Kapasitas Fiskal
Manfaat Jamkesda Sesuai / melebihi Jamkesmas
Kurang dari Jamkesmas
Kapasitas fiskal tinggi
44 (73,3%)
16 (26,7%)
Kapasitas fiskal rendah
106 (58,9%)
74 (41,1%)
(Diolah sendiri dari sumber data APBD berbagai Provinsi tahun 2013)
4.4. Penerima Bantuan Iuran Jika ditinjau dari sisi jenis kepesertaan maka setidaknya baru terdapat 12, 12% atau 4 provinsi yang telah mencapai universal health coverage. Sebagian besar provinsi yang ada di Indonesia pada dasarnya hanya menjamin peserta jaminan kesehatan daerah yang berasal dari kelompok penduduk miskin yang selama ini tidak ditanggung Jamkesmas. Jumlah provinsi yang hanya menjamin peserta penduduk miskin non Jamkesmas mencapai 27 provinsi (81,81%). Terdapat 2 provinsi (6,06%) yang menggunakan SKTM. Gambaran diatas menunjukkan bahwa pemahaman dan kemampuan daerah dalam pengelolaan Jamkesda sebenarnya masih berbeda satu dengan yang lain, khususnya dalam rangka mencapai universal health coverage. Hal ini merupakan tantangan bagi provinsi untuk dapat mengubah pola pikirnya (mindset) pada saat berintegrasi dalam JKN dimana pemerintah provinsi harus memahami bahwa jaminan pembiayaan kesehatan pada dasarnya merupakan salah satu upaya pencapaian universal health coverage di Indonesia. Untuk periode 2013 dan 2014, jumlah penduduk yang
menjadi peserta Jamkesmas / PBI telah mencapai 86,4 juta jiwa. Hal ini dapat terus bertambah seiring dengan berjalannya desentralisasi dan bergabungnya Jamkesda ke dalam JKN serta tergantung tingkat penghasilan dan kesadaran masyarakat. Berdasarkan data dari P2JK (Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan) Kemenkes RI, setidaknya terdapat 2.558.490 peserta Jamkesmas/PBI yang setelah dilakukan verifikasi di daerah, ternyata tidak tepat sasaran. (lihat Tabel 4.9). Berdasarkan data P2JK (2014), cakupan kepesertaan PBI Jamkesda mencapai 46.632.278 jiwa atau sekitar 19,59% (tabel 4.10) dari total penduduk Indonesia. Jumlah kepesertaan Jamkesda yang besar ini menuntut konsekuensi pemerintah dalam mengintegrasikan kepesertaan tersebut kedalam JKN. Namun dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diantara peserta Jamkesda tersebut, ada penduduk yang diluar kriteria miskin dan tidak mampu, karena kebijakan beberapa Pemerintah Daerah yang menjamin semua penduduk yang berobat ke
29
kelas 3, khususnya di propinsi yang memberlakukan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai Universal Health Coverage/UHC. Tabel 4.9. Jumlah Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN dan usulan daerah yang tidak sesuai kuota PBI PROVINSI NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitng Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Barat Sulawesi Barat Kepulauan Riau DKI Jakarta Papua Jumlah
PBI 2.170.960 4.192.297 1.533.170 1.304.716 821.557 2.433.669 628.605 3.087.541 212.826 14.758.325 14.151.037 1.572.153 14.001.871 3.221.969 904.859 2.259.558 2.671.319 1.343.859 449.376 753.526 784.013 790.860 1.131.065 2.944.923 984.912 504.292 754.627 328.965 760.422 504.423 333.633 1.271.291 2.833.381 86.400.000
Usulan daerah yang tidak tepat sasaran 9.468 19.573 19.423 18.044 13.527 704 5.736 23.795 1.237 270.923 202.264 21.157 252.635 290.438 24.817 8.894 12.852 6.144 5.125 5.565 10.124 1.271 8.434 24.992 2.997 6.054 5.067 2.212 4.645 4.142 1.720 2.558.490
(diolah dari sumber P2JK Kemenkes RI,2013)
Jika ditinjau dari sisi jenis kepesertaan, setidaknya baru terdapat 12,12% atau 4 provinsi yang telah mencapai universal health coverage. Sebagian besar provinsi yang ada di Indonesia pada dasarnya hanya menjamin peserta jaminan
30
kesehatan daerah yang berasal dari kelompok penduduk miskin yang selama ini tidak ditanggung Jamkesmas. Jumlah provinsi yang hanya menjamin peserta penduduk miskin non Jamkesmas mencapai 27 provinsi (81,81%). Terdapat 2 provinsi(6,06%) yang menggunakan SKTM. Pengertian UHC dalam kebijakan Pemerintah Daerah yang menjamin semua penduduk yang berobat ke kelas 3, tanpa mempersyaratkan miskin / tidak mampu berbeda dengan pengertian UHC sesuai ketentuan dalam UU SJSN. Sesuai program SJSN berdasar UU yang berlaku, UHC diterjemahkan dalam pengertian semua penduduk sudah memperoleh jaminan kesehatan melalui sistem asuransi dengan membayar iuran, dan khusus yang termasuk dalam kriteria miskin / tidak mampu, iurannya dibayarkan oleh Pemerintah. Gambaran di tabel 4.10 dibawah ini menunjukkan bahwa persentase peserta Jamkesda terhadap total penduduk sangat bervariasi antara 1,89- 65,35%, hal ini memberikan gambaran bahwa kebijakan dan kemampuan daerah dalam pengelolaan Jamkesda perlu diatur, tetapi dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan kemampuan daerah masing masing ( dalam kerangka desentralisasi). Jika ditinjau berdasarkan iuran yang dibayarkan peserta, maka diperoleh gambaran beberapa pola pembayaran iuran antara lain: 1) Pola non iuran, 2) Pembayaran diatas nilai iuran BPJS, dan 3) Pembayaran dibawah iuran BPJS. Terdapat 4 provinsi (12,12%) yang membayar dengan pola non iuran, 3 provinsi (9,09%) membayar diatas iuran BPJS yaitu sebesar Rp 19.225, -, dan sisanya 25 provinsi (78,78%) membayar iuran di bawah iuran BPJS. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya besaran iuran yang ditetapkan BPJS untuk jaminan kesehatan nasional sudah melebihi iuran yang dijamin pada umumnya di Jamkesda. Hanya terdapat 3provinsi yang harus dilakukan penyesuaian dalam hal iuran, Hal ini akan terkait dengan paket manfaat yang diberikan nantinya. Besaran iuran nasional yang lebih besar dari Jamkesda ini perlu dilihat kembali kesesuaiannya dengan paket manfaat BPJS yang diperoleh di daerah karena pada kenyataannya fasyankes di daerah belum tentu sanggup memenuhi standar pelayanan yang setara antar satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini menjadi dilematis karena besaran iuran yang dibayarkan sama antar wilayah sementara terdapat kesenjangan antar wilayah dalam hal layanan yang diperoleh masyarakat.
31
Tabel 4.10. Cakupan kepesertaan jamkesda per provinsi tahun 2014
Nama provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Nasional (Sumber P2JK tahun 2014)
Jumlah peserta Jamkesda 2.226.352 1.208.893 1.141.149 1.341.395 254.167 4.868.723 73.560 4.513.155 739.027 174.730 4.300.000 5.082.200 2.926.402 1.007.153 706.982 479.170 2.440.964 572.976 725.824 585.157 840.339 1.077.575 1.868.741 490.981 483.968 4.892.070 89.643 495.869 48.447 657.470 319.196 -
Persentase dari total penduduk 45,98% 9,31% 23,54% 24,22% 8,22% 65,35% 4,29% 59,32% 60,41% 10,41% 44,76% 11,80% 9,04% 29,13% 1,89% 4,51% 62,74% 12,73% 15,50% 13,31% 37,99% 29,71% 52,59% 21,62% 18,37% 60,89% 4,02% 47,67% 4,18% 42,87% 30,75% -
Jumlah penduduk 4.842.238 12.982.204 4.846.909 5.538.367 3.092.265 7.450.394 1.715.518 7.608.405 1.223.296 1.679.163 9.607.787 43.053.732 32.382.657 3.457.491 37.476.757 10.632.166 3.890.757 4.500.212 4.683.827 4.395.983 2.212.089 3.626.616 3.553.143 2.270.596 2.635.009 8.034.776 2.232.586 1.040.164 1.158.651 1.533.506 1.038.087 760.422 2.833.381
46.632.278
19,59%
237.989.154
32
Gambar. 4.8. Proporsi provinsi menurut besaran pembayaran iuran Jamkesda
12,12%
9,09%
Non Iuran > 19.225 78,78%
<19.225
Berdasarkan metode pembayaran klaim pada tingkat layanan dasar, terdapat tiga pola pembayaran yang pada umumnya digunakan oleh Jamkesda, yakni pembayaran kapitasi, pembayaran berdasarkan tarif Perda, dan pembayaran berdasarkan tarif Askes. Terdapat 7 provinsi (21,21%) yang menggunakan metode pembiayaan layanan dasar dengan pembayaran kapitasi. Metode yang paling banyak adalah penentuan pembiayaan layanan dasar melalui tarif Perda tersendiri, yakni mencapai 15 provinsi (63,63%). Terdapat 5 provinsi yang menggunakan pembiayaan di layanan dasar langsung mengacu pada tarif askes. Berdasarkan pembayaran klaim di tingkat layanan rujukan, terdapat tiga pola pembayaran, yakni : mengacu sistem Ina-CBGs, pembayaran tarif perda dan pembayaran tarif rumah sakit. Terdapat 17 provinsi (51,51%) yang telah menggunakan sistem Ina-CBGs, 15 provinsi (45, 45%) menggunakan tarif perda dan 1 provinsi (3, 03%) menggunakan tarif rumah sakit. Gambar. 4.9. Proporsi provinsi menurut cara pembayaran klaim layanan dasar dan layanan rujukan
Layanan Dasar
Klaim Layanan Rujukan
33
Gambar 4.10. Pola Jamkesda di 33 provinsi Semua pasien kelas III
Kepesertaan
Miskin dan Tidak mampu
SKTM PT. Askes Pengelolaan Dinkes/Bapel
Provinsi 100% Pola Jamkesda Provinsi
Manajemen Pembiayaan
Cost Sharing
Prov >
Kab/Kota 100%
Kab= Prov
Prov, Kab/kota
Kab< Prov Kab Iuran
Pengelola Anggaran
Pembiayaan
Faskes
Paket Manfaat
Sesuai Jamkesmas
Perda
Tarif Layanan Dasar : Kapitasi Perda Askes Tarif Layanan Rujukan : INA CBG s Perda Tarif RS
Berdasarkan gambaran hasil pemetaan kondisi di 33 Provinsi tersebut maka terdapat beberapa hal penting untuk dicatat: 1. Hanya 4 provinsi yang mencapai universal health coverage. Hal ini yang harus didorong melalui mekanisme integrasi Jamkesda kedalam JKN, sehingga provinsi lain dapat menyesuaikan kebijakannya untuk mencapai universal health coverage secara simultan. 2. Terdapat 2,3% atau sekira 2,5 juta peserta usulan daerah yang tidak sesuai atau melebihi kuota PBI yang berasal dari 251 kabupaten/kotadari 31 provinsi.
34
3.
4.
5.
6.
7.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kuota cakupan peserta penerima PBI di tingkat pusat dengan kondisi kebutuhan daerah. Terdapat 13 Jamkesda provinsi (39%) yang menggunakan mekanisme pengelolaan melalui PT Askes. Diperlukan upaya ekstra untuk menerapkan sistem yang sesuai bagi 20 provinsi lainnya agar dapat terintegrasi dengan JKN. Terdapat 1 provinsi (3, 03%) yangsemuanya(cost sharing 100%) ditanggung oleh provinsi dan 6 provinsi dengan besaran cost sharing lebih besar (18, 18%). Dengan demikian terdapat potensi perbedaan kepentingan yang sangat besar antara pusat dan kabupaten/kota pada saat pengintegrasian Jamkesda. Hal ini memiliki beban politis yang lebih berat dan harus dipersiapkan mekanisme yang mampu meredam perbedaan kepentingan yang besar dengan kabupaten/kota. Terdapat 15 provinsi (45, 45%) yang mengatur sendiri manfaat yang diperoleh melalui peraturan daerah. Paket manfaat yang akan diberikan paska integrasi harus mampu mengenali karakteristik yang terdapat pada provinsi masingmasing sehingga perbedaan manfaat dapat diminimalisir. Besaran iuran yang ditetapkan BPJS untuk Jaminan kesehatan Nasional sudah melebihi iuran yang dijamin pada umumnya di Jamkesda. Hanya terdapat 4 provinsi yang harus melakukan penyesuaian dalam hal iuran. Namun kesamaan iuran secara nasional ini harus diimbangi dengan kesamaan standar layanan yang diperoleh sesuai paket manfaat nasional. Dalam pembayaran tarif layanan dasar, baru 5 provinsi yang menggunakan tarif layanan dasar langsung mengacu pada tarif Askes. Pada tarif layanan rujukan, 15 provinsi (45, 45%) menggunakan tarif perda dan 1 provinsi (3, 03%) menggunakan tarif rumah sakit.
4.5. Analisis Pola Manajemen Pengelolaan, Paket Manfaat, dan Sasaran Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Daerah Hasil penelitian terhadap 6 provinsi,yaitu Aceh, Sumatera Barat, Gorontalo, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Riau memperlihatkan model pembiayaan dengan efektifitas serta keberhasilan yang berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan pendapat Murti (2010) yang menguraikan bahwa implementasi sistem pelayanan kesehatan universal bervariasi di berbagai negara, tergantung sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan. Hal ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia, yaitu pengaruh desentralisasi sangat tampakdalam pembiayaan kesehatan, terbukti dari beragamnya model pengelolaan Jamkesda yang ada di Indonesia.
35
Fokus analisis pada sub-bab ini terkait dengan model pembiayaan yang diimplementasikan dengan menggunakan pengkategorian yang dikembangkan dari kategori Jamkesda menurut Chitra Retna S & Ermy Ardhyanti. Pengkategorian ini membagi Jamkesda menjadi kelompok jamkesda inovatif, kelompok jamkesda pemula, dan kelompok Pra-Jamkesda. 1 4.5.1. Kebijakan pola manajemen pembiayaan Enam provinsi yang menjadi target analisis pada penelitian ini yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta, memiliki model manajemen pembiayaan yang berbedabeda yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan kemampuan dan kondisi di daerah masing-masing. Perbedaan pola pembayaran tersebut dapat terlihat melalui tabel berikut: Tabel. 4.11. Pola pembiayaan jamkesda di enam provinsi Pola Pembiayaan No.
Provinsi
1
2
Yandas
Yankes lanjutan
3
4
Sharing
Penyeleng gara
Provinsi
Kab/Kot a
Ket
5
6
7
8
1
Aceh
Kapitasi
Klaim
PT. Askes
100%
0%
UHC
2
Sumatera Barat
Kapitasi
Klaim
PT. Askes
40%
60%
WargaTanp ajamkes/mis kin
3
Gorontalo
Kapitasi
Klaim
60%
40%
UHC
4
Nusa Tenggara Timur
1. 1. Klaim Kapitasi Tarif 2. Klaimke RS PT. Askes 2. Klaim Perda
PT. Askes 1. Dinkes 2. Bendahar aPemerint ah 3. PT. Askes 4. RSUD
Provinsi menyediaka n dana talangan
Kelebiha n beban dialihkan ke Provinsi.
Floating fund / danatalanga n
5
DKI Jakarta
Kapitasi
Provinsi menyediaka n dana talangan
Kelebiha n beban dialihkan ke Prov.
Floating fund / danatalanga n
1
Klaim PT. Askes Tarif INA CBGs
Chitra Retna dan ErmyAdhyanti membagi Jamkesda ke dalam tiga kelompok: Kelompok PraJamkesda adalah Kelompok dengan Jamkesda yang masih dalam tahap inisiatif alokasi APBD. Kelompok Jamkesda Pemula baru mengembangkan dan menjadi komplementer dari Jamkesmas. Jamkesda inovatif adalah Jamkesda yang tidak saja melengkapi Jamkesmas, tetapi juga mengembangkan varian yang lebih universal (Menuju UHC).
36
6
Kepulauan Riau
Klaim Klaim Dinkes Tarif INA Tarif INA CBGs CBGs Kapitasi dalam kab. (Lingga)
66%
33%
Warga miskin nonquota
Melihat pola manajemen pembiayaan yang diterapkan di lima provinsi, terdapat provinsi yang menggunakan pola pembiayaan cost-sharing yang telah ditentukan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota yaitu Provinsi Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Hal ini tampak dengan adanya peraturan daerah/peraturan gubernur yang secara langsung mengatur pelaksanaan di kabupaten/kota di wilayahnya(top-down approach) dengan target sasaran rakyat yang tidak memiliki jaminan kesehatan dan rakyat miskin. Selain melihat pola manajemen yang terjadi di daerah maka perlu pula ditinjau pola manajemen yang dilakukan Amerika Serikat melalui Obama Care (the Affordable Act). Dalam konteks pola pengelolaan manajemen organisasi pembiayaan Obama Care, terdapat dua hal yang harus dicatat yaitu: 1) Pemindahan kewenangan pengelolaan pembiayaan ke pusat berdasarkan keinginan daerah, hal ini serupa dengan upaya integrasi Jamkesda kedalam JKN di Indonesia, dan 2) pengelolaan mengacu pada sistem bursa asuransi, bukan dikelola langsung oleh pusat, hal ini berbeda dengan Indonesia yang mengelola secara langsung melalui BPJS. Hal ini menunjukkan substansi kebijakan Obama Care merupakan sentralisasi pembiayaan, namun tidak menghilangkan pemerataan kesempatan bahkan membuka preferensi baru bagi masyarakat. Prinsip tersebut seharusnya dapat menjadi salah satu acuan bagi Indonesia, karena proses integrasi Jamkesda harus tetap berjalan dan terpusat.Namun pemerintahharus mampu membuka opsi preferensi bagi daerah untuk menyesuaikan kondisi daerahnya dengan kondisi standar yang diharapkan oleh pemerintahpusat. Di era desentralisasi yang terjadi saat ini, sentralisasi seringkali dikonotasikan negatif, namun dalam konteks manajemen pembiayaan kesehatan yang menjadi isu lintas sektoral dan sangat politis di era otonomi daerah yang sangat plural, sentralisasi justru dapat menjadi jalan keluar. Sentralisasi atau statecentered public administration menurut Turner dan Hulme (1997) terdiri dari komponen rational action, bureaucratic politics, dan state interests. Pendekatan state-centered berfokus pada tindakan rasional atau perilaku dari aparatur, serta kepentingan negara dan otonomi yang digunakan aparatur dan perangkatnya. Hal ini bukan berarti negara lebih mempengaruhi masyarakat, akan tetapi negara
37
dilihat sebagai aktor yang independen ketimbang sebagai suatu produk dari konflik kepentingan dan pertarungan kekuasaan yang biasanya muncul dari desentralisasi. . Berdasarkan hal tersebut, maka opsimanajemen pembiayaan result-based financing merupakan salah satu model yang dapat diaplikasikandalam pola manajemen terpusat dan disesuaikan daerah, sehingga menjadi salah satu alternatif dalam implementasi pola pembiayaan Jamkesda dan menuju penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). result-based financing(RBF) merupakan instrumen pola pembiayaan yang menghubungkan pendanaan dengan hasil yang telah ditetapkan, dengan pembayaran yang dilakukan hanya berdasarkan verifikasi bahwa hasil yang telah disepakati benarbenar telah tercapai. Penggunaan ini akan mampu menjembatani pola kewenangan yang selama ini terjadi yakni kewenangan pengelolaan yang diberikan melalui badan pengelola, kewenangan pengelolaan yang diberikan langsung oleh Askes, dan pengelolaan langsung tanpa menyusun kelembagaan baru. Model RBF inipun sesuai dengan model monocratique yang diperkenalkan oleh Max Weber, yaitu kewenangan yang berciri sentralistik, hirarkis dan berorientasi pada peraturan (rule-driven) dapat digunakan sebagai model ideal organisasi pemerintahan. Model ini dianggap mampu menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam rangka melayani kepentingan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya berhadapan dengan beragam kelompok politik, etnis dan geografis. Result base financing dapat membantu menjembatani perbedaan sistem yang ada dan meningkatkan kinerja baik dari sisi penawaran dan permintaan dari sistem kesehatan yang mengupayakan untuk mencapai universal health coverage. Dalam program RBF, pembayaran dilakukan berdasarkan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan setelah verifikasi. Pengalaman dari beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa RBF dapat memperkuat fungsi sistem kesehatan, meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas sistem kesehatan. Di banyak negara, disain program RBF sudah termasuk penghapusan biaya pengguna, sehingga mengurangi beban keuangan untuk mengakses layanan. Pada dasarnya secara politis kewenangan dalam pola RBF ini berada di pusat, namun di sisi lain pola ini tetap menyesuaikan dengan kondisi di lapangan dan membuka peluang daerah untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatannya secara bertahap. 4.5.2. Kebijakan pola paket manfaat Pada awal pembentukannya, Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) merupakan jaminan kesehatan yang bersifat komplementer terutama terhadap Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Artinya, Jamkesda hanya merupakan pelengkap dari Jamkesmas,karena paket manfaat yang ditawarkan oleh
38
Jamkesda umumnya memiliki kesamaan dengan paket manfaat yang ditawarkan oleh Jamkesmas, dengan adanya penyesuaian dengan daerah masing-masing. Paket manfaat yang ditawarkan oleh Jamkesmas dijadikan sebagai acuan bagi paket manfaat yang ditawarkan oleh Jamkesda, sehingga seringkali Jamkesda tidak berkembang menjadi sebuah jaminan kesehatan yang komprehensif dan lengkap untuk daerah. Pada perkembangannya, pola paket manfaat yang ditawarkan oleh Jamkesda seringkali mengacu dan bahkan mengimplementasikan secara langsung pola paket manfaat yang ditawarkan oleh Jamkesmas. Hal ini kemudian menjadi sebuah ketimpangan karena paket manfaat yang ditawarkan antara Jamkesmas dan Jamkesda tidak memiliki perbedaan. Perbedaan jaminan kesehatan tersebut akhirnya hanya berbeda dari segi pembiayaan serta iuran yang dikeluarkan, sehingga mendorong adanya inefektivitas penawaran dari segi pola paket manfaat. Pola paket manfaat yang ditawarkan oleh Jamkesmas dan Jamkesda memiliki kesamaan terutama di layanan kesehatan dasar dan rujukan tingkat 2. Perbedaan untuk rujukan tingkat 2 terletak pada penawaran yang berbeda-beda disetiap daerahPerbedaan-perbedaan ini kemudian akan menjadi sebuah permasalahan apabila Jamkesda disatukan ke dalam JKN, mengingat sifat JKN yang universal. Perbedaan di rujukan tingkat 2 akan mempengaruhi kontinuitas sistem pelayanan kesehatan berjenjang karena dengan adanya kekhasan daerah,sehingga paket manfaat yang ditawarkan akan berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya.Isu portabilitas ini menyangkut cara pelayanan diakses oleh warga yang bukan penduduk resmi suatu daerah. Berbeda-bedanya cakupan dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh Jamkesda masing-masing daerah, dan aturan yang mengharuskan pelayanan hanya diberikan pada penduduk resmi daerah tersebut, menyebabkan sejumlah pihak menganggap jaminan kesehatan sebaiknya dilakukan secara sentralistik. Hal ini akan memunculkan hambatan dalam proses integrasi, khususnya bagi provinsi yang memiliki kemampuan pembiayaan lebih, bahkan melebihi kemampuan JKN dalam memberikan manfaat. Potensi hambatan ini disebabkan setiap daerah memiliki kemampuan anggaran yang berbeda. Kesulitan akibat perbedaan kemampuan antar wilayah ini juga terjadi di Amerika Serikat dalam menentukan essential benefit package terkait dengan pelaksanaan the affordable act.Amerika Serikat memberikan fleksibilitas bagi setiap negara bagian dalam menentukan paket manfaat, namun paket manfaat tersebut harus mencakup 10 essential benefits yang harus ada dalam semua skema pembiayaan tanpa batasan waktu dan jumlah, antara lain mencakup layanan gawat darurat, rawat inap, laboratorium, pelayanan maternal, anak, kesehatan jiwa dan NAPZA, ambulatory care (outpatient), obat dengan resep, layanan preventif, layanan rehabilitatif dan perawatan gigi dan mata bagi anak.
39
Dalam hal ini, jelas bahwa dalam mengintegrasikan Jamkesda, PemerintahPusat harus menentukan layanan mendasar yang harus berlaku secara nasional sehingga perbedaan manfaat yang selama ini terjadi dapat disetarakan. Disisi lain, peluang terjadinya dinamika politik karena terdapat manfaat JKN yang tidak sebanding dengan Jamkesda sebelumnya dapat diminimalisir. Perbedaan lainnya yang terjadi antar daerah dalam pemberian paket manfaat adalah keberadaan pelayanan promotif dan preventif dalam paket manfaat Jamkesda. Di sebagian daerah pelayanan promotif dan preventif kurang mendapat perhatian. Penekanan layanan promotif preventif melalui upaya kesehatan masyarakat ini yang justru diperlukan dalam paket manfaat untuk menjamin kesehatan masyarakat sehingga tindakan kuratif dapat dikurangi dan berdampak pada pembiayaan kesehatan yang lebih efisien. Hal ini sejalan dengan uraian Gani, (2010), bahwa analisis biaya kesehatan (district health account) yang telah dilakukan di banyak kabupaten/kota menunjukkan bahwa pembiayaan untuk program kesehatan masyarakat sangat tidak mencukupi (severelyunderfunded Atas dasar uraian analisis diatas, tergambar bahwa dalam menentukan pola paket manfaat khususnya dalam menjembatani antar pola jamkesda, terdapat beberapa faktor yang harus dijadikan perhatian semua pemangku kepentingan di tingkat pusat dan harus mampu diterjemahkan dalam sistem yang baru antara lain: 1) kemampuan pola paket manfaat harus mampu menjembatani kesenjangan antar paket manfaat Jamkesda provinsi yang selama ini berbeda. Dalam hal ini, pola paket manfaat yang baru harus mampu meredam dampak politis yang muncul akibat manfaat yang berkurang di beberapa daerah. 2) pola paket manfaat harus mengoptimalkan porsi upaya promotif preventif untuk menciptakan pembiayaan kesehatan yang lebih efisien. 4.5.3. Kebijakan pola sasaran penerima bantuan iuran Terdapat tiga pola sasaran dalam implementasi Jamkesda Indonesia, yakni penggunaan surat keterangan tidak mampu (SKTM) sebagai cara untuk mengakses layanan Jamkesda; sasaran masyarakat miskin dan berketerbatasan yang tidak dijamin oleh Jamkesmas; dan penargetan menyeluruh (broad tragetting) atau universal health coveragedengan penargetan dilakukan terhadap semua masyarakat di suatu daerah tanpa melihat latar belakang ekonomi dan sosial. Hasil analisis menekankan beberapa hal. Pertama, bahwa kemiskinan bukanlah merupakan hal yang statis dan tidak rentan perubahan. Akurasi, validitas, dan pembaharuan data kemudian menjadi hal sangat krusial. Kedua, adalah faktor portabilitas yang seringkali menjadi hambatan di dalam Jamkesda. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih data jika Pemerintah tidak mampu mengintegrasikan data antar wilayah secara baik. Peran
40
pemerintah pusat untuk dapat menghimpun data dalam satu payung kelembagaan, sehingga prinsip portabilitas dalam JKN dapat berjalan secara optimal. Ketiga, berkaitan dengan iuran yang ditetapkan untuk beberapa daerah, ternyata bila dikaji lebih jauh memiliki keterikatan antara iuran dengan alokasi APBD untuk Jamkesda. Terjadi peningkatan alokasi dana Jamkesda di APBD dari tahun ke tahun pada daerah-daerah yang sepenuhnya menjamin layanan jaminan sosial dengan paket manfaat melalui APBD. Penggunaan dana talangan (floatingfund) tanpa kontrol yang ketat terhadap klaim seperti yang terjadi di NTT, mengakibatkan terjadinya kebocoran pengklaiman dana talangan Jamkesda yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya hutang yang harus ditanggung sehingga mengganggu APBD dan bahkan pembangunan di sektor lainnya. Penerima bantuan iuran secara nasional belum tentu sesuai dengan kebutuhan di tingkat daerah. Hal ini terjadi dalam Obama Care, yaitu pada kenyataannya pada banyak negara bagian, warga negara yang memerlukan bantuan ternyata melebihi kriteria yang ditetapkan, ini terjadi khususnya akibat munculnya kriteria non finansial. Persoalan ini kemudian diatasi Pemerintah AS dengan memberikan jalan keluar berupa keleluasaan bagi negara bagian untuk mengajukan perluasan cakupan secara resmi melebihi standar federal dengan mekanisme yang telah ditentukan secara ketat. Berdasarkan pengalaman Kenya, dispartitas dalam akses terhadap jaminan kesehatan juga terjadi antar kelompok masyarakat. Dikarenakan kepesertaannya yang meliputi skema wajib dan sukarela, terlihat fenomena cakupan kepemilikan jaminan lebih tinggi pada masyarakat perkotaan (19,7%) dibandingkan dengan perdesaan (7,4%); lebih tinggi pada masyarakat kaya (26,4%) dibandingkan di penduduk miskin (1,9%),(Chuma, and Okungu., 2011). Untuk mengatasi salah sasaran kepesertaan PBI yang berkembang secara dinamis di daerah, maka perlu pemebrian kewenangan bagi daerah dalam menetapkan PBI diwilayahnya, namun harus terintegasi ditingkat pusat ( melalui KTP elektronik ) dan mengacu pada kriteria yang sudah ditetapkan ditingkat pusat. 4.6. Analisis Perbandingan Karakteristik dan Kelayakan Kebijakan Jamkesda di 6 Provinsi Terpilih Mengacu pada hasil penelitian pada bab sebelumnya, diperoleh gambaran karakteristik dan kelayakan kebijakan Jamkesda pada 6 provinsi. Mengacu pada gambaran tersebut tidak semua kebijakan sepenuhnya memenuhi karakteristik yang diperlukan dan tidak semua kebijakan layak sepenuhnya sebagai suatu kebijakan. Dari sisi action focus,pada umumnya semua provinsi telah dilengkapi dengan kebijakan dan rencana aksi. Hampir semua Jamkesda provinsi telah memiliki landasan hukum yang kuat, sehingga memudahkan proses implementasi.
41
Landasan hukum tersebut baik berupa Perda maupun Pergub yang diperlukan untuk memperkuat proses pengganggaran dan pelaksanaan rencana aksi di lapangan. Tabel 4.12. Nilai Karakteristik Kebijakan Jamkesda di beberapa Provinsi Dimensi
D. I. Aceh
Sumatera Barat
Gorontalo
NTT
DKI Jakarta
Kep. Riau
Action Focus (adanya regulasi dan atau rencana aksi Provinsi) Future Oriented (Visi Pemimpin kedepan) FactValue Interdependence (kesiapan di lapangan termasuk Infrastruktur/SD M/hubungan antar lembaga)
+
+
+
(tidak ada regulasi Provinsi)
+
+
+
+
+
+
+
+
(pema hama n SDM dan Masy)
keterbatasa n infrastruktu r fisik
+
+
+
+
Value Duality (kesesuaian dengan target RPJMD)
Sumber: Diolah sendiri
(akses (pemahaman (akses geografis, SDM dan geograf pemahama Masy) is, n SDM pemaha dan Masy, man keterbatas SDM an fisik dan Masy) + kebijakan kebijakan teknis sudah ada yang namun terus diperlukan berubah belum ada sehingga tidak sesuai dgn target RPJMD 2007-2012, baru tdp pada RPJMD 2013-2017
42
Dari sisi future oriented, pada umumnya semua Jamkesda yang ada di ke 6 provinsi telah memiliki orientasi kedepan (future oriented) karena pengalaman mereka menjalankan Jamkesda selama ini. Hal ini dapat dipastikan karena pada umumnya kebijakan Jamkesda amat terkait erat dengan kepentingan pelaku kebijakan, khususnya komitmen politik yang harus diwujudkan. Pada beberapa provinsi, pengalaman untuk menjaga keberlanjutan Jamkesda membuat mereka melakukan beberapa inovasi. Pemerintah Aceh dengan bantuan Kreditanststalt fur Wiederaufbau Development Bank atau Bank Pembangunan Jerman (KfW Development Bank) berupaya membangun beberapa rumah sakit regional di Aceh. Jika ditinjau dari dimensi future oriented, maka dapat dipastikan pelaku kebijakan telah menyiapkan strategi pelaksanaan jaminan kesehatan yang berfokus kedepan. Pemerintah Sumatera Barat juga menyadari hal yang sama. Gubernur Sumatera Barat telah mengajukan penggabungan dengan JKN untuk mengurangi beban pendanaan.Pemerintahkabupaten/kota di Sumatera Barat juga memprioritaskan jaminan bagi masyarakat miskin. Masyarakat yang mampu menjaminkan sendiri kesehatannya melalui program Jamkes Mandiri. Hal ini membuktikan bahwa program Jamkesda dibutuhkan oleh masyarakat serta mampu dijaga keberlanjutannya tanpa membebani anggaran provinsi dan kabupaten/kota secara berlebihan. Provinsi Gorontalo mengadakan Jamkesda dikarenakan banyak penduduk miskin yang belum memperoleh Jamkesmas. Hal serupa juga dialami oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang pada akhirnya menyelenggarakan Jamkesda untuk mengurangi tidak tertutupinya masyarakat miskin yang tercakup oleh Jamkesmas. Di DKI Jakarta, kebijakan Jamkesda Jakarta Sehat merupakan salah satu upaya yang pertama diajukan oleh Gubernur dengan tujuan agar Jakarta sebagai kota besar memiliki daya saing internasional, yang diawali dengan SDM yang lebih berkualitas. Hal ini terkait dengan upaya menyiapkan Jakarta menjelang berlakunya pasar bebas Asia Pasifik. Visi pemimpin daerah ini juga yang mendasari Provinsi Kepulauan Riau untuk mengaplikasikan dan mendorong Jamkesda untuk meningkatkan kualitas kesehatan penduduk yang tersebar luas di berbagai pelosok kepulauan, yang tidak dapat ditutupi oleh Jamkesmas. Meskipun kebijakan telah memiliki visi kedepan dan didukung landasan hukum yang kuat untuk beraksi, hampir semua provinsi belum memberikan perhatian optimal terhadap dimensi fact value interdependence. Setiap rencana aksi yang dibangun sangat bergantung pada kenyataan dilapangan, sejauh mana kepuasan masyarakat dapat terpenuhi. Tidak semata-mata persoalan infrastruktur dan sumber daya lainnya yang dimiliki, melainkan sejauh mana kebijakan dapat didayagunakan. Pelaksanaan rencana aksi seringkali terhambat karena
43
ketidaksiapan masyarakat, keterbatasan dari sisi SDM, maupun kemampuan fasilitas kesehatan yang ada. Masalah ketidaksiapan di lapangan ini harus segera diatasi untuk menghindari dilema antara kesamaan iuran secara nasional dan kesenjangan antar wilayah dalam hal layanan kesehatan yang diperoleh. Dalam hal ini, Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi yang terbilang siap, meskipun fasilitas yang ada tidak sepenuhnya memenuhi standar namun dari sisi pemahaman SDM maupun penerimaan masyarakat serta jangkauan terhadap akses kesehatan dapat dipenuhi. Hal ini dapat dimungkinkan karena secara geografis dan kependudukan, Provinsi Gorontalo memiliki wilayah yang relatif tidak luas, berakses cukup baik. Koordinasi antar pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dan masyarakat berjalan sangat baik. Provinsi lain justru menghadapi kenyataan luasnya wilayah dan keterbatasan akses geografis (Kepulauan Riau dan Nusa Tenggara Timur), keterbatasan infrastruktur fisik (Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Barat), serta keterbatasan pemahaman SDM, dan penerimaan masyarakat (DKI Jakarta, Aceh, Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Riau). Dari sisi value duality, perlu dilihat sejauh mana kebijakan memiliki nilai terhadap pencapaian rencana pembangunan daerah secara kesemuaan, khususnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Kebijakan Jamkesda yang ada di Sumatera Barat, Aceh, Gorontalo maupun Kepulauan Riau pada dasarnya telah sesuai dengan rencana dan atau mampu memenuhi target capaian RPJMD. Pelaksanaan Jamkesda Provinsi NTT belum memenuhi ketersesuaian dengan RPJMD, karena kebijakan teknis yang diperlukan untuk mengaturnya secara terstruktur belum terwujud. Untuk DKI Jakarta, kebijakan sudah ada, namun terus berubah sehingga tidak sesuai dengan target RPJMD 2008-2013 dan berdampak pada anggaran, Jamkesda terbaru yakni KJS sendiri baru terdapat pada RPJMD 2013-2017. Dalam dimensi kelayakan kebijakan, perlu dipahami bahwa suatu kebijakan Jamkesda dapat dilihat kelayakannya dari sisi kriteria: sosial, poltik, ekonomi, keuangan, administrasi maupun teknologi. Dalam hal ini, keenam provinsi memiliki kelayakan yang berbeda. Provinsi Aceh, Sumbar, Gorontalo, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing 4.7. Perbandingan Sistem Jaminan Kesehatan Beberapa Negara 4.7.1. Perbandingan Jaminan Kesehatan Amerika Serikat dengan Indonesia Formulasi universal health coverage di Indonesia sebenarnya dilakukan jauh lebih dulu dari Amerika Serikat yakni melalui UU SJSN.Namun, kesiapan Amerika Serikat dalam mengimplementasikan Universal Health Coverage dalam
44
sistem kesehatannya pada dasarnya lebih siap dan lebih komprehensif. Kesiapan bukan hanya dari sisi sistem fasyankes maupun sistem pembiayaannya tetapi juga kesiapan mereka dalam menyediakan sistem promotif preventif yang melibatkan peran serta masyarakat secara utuh.Demikian pula pelibatan penyedia kerja kedalam sistem pembiayaan. Begitu pula untuk kesiapan anggaran, sistem Obama Care meskipun melibatkan pembiayaan negara yang sangat besar, namun ke efektifan penggunaannya pun sangat di pertimbangkan, terutama dalam hal keakurasian pembiayaan dan penyiapan industri asuransi yang kompetitif, sehingga pada akhirnya benefit yang diperoleh masyarakat akan semakin besar. Hal ini memberikan gambaran bahwa penjaminan kesehatan secara universal (universal health coverage) dapat terwujud jika disisi lain pola good governance diterapkan secara menyeluruh.Dengan menerapkan prinsip good governance dalam pengelolaan layanan kesehatan,beban anggaran negara yang besar akan memperoleh kompensasi benefit yang tinggi berupa terciptanya masyarakat yang benar-benar sehat dan berproduktivitas tinggi, sehingga berdampak positif terhadap pembangunan suatu negara. Selain tata kelola yang baik, Obama Care sangat memperhatikan persoalan desentralisasi kesehatan, dalam hal ini Indonesia juga menghadapi hal serupa dalam konteks Jamkesda yang saat ini sudah berjalan di berbagai daerah dengan sistem masing-masing. Dalam hal ini pertimbangan desentralisasi termasuk dalam hal penentuan pola organisasi, paket manfaat maupun cakupan peserta patut diterapkan di dalam penerapan universal health coverage di Indonesia kedepan sehingga manfaat yang diperoleh masyarakat akan maksimal dan berkelanjutan. Dalam konteks pola pengelolaan manajemen organisasi, terdapat 2 hal yang harus dicatat: 1) Amerika Serikat memindahkan kewenangan pengelolaan pembiayaan ke pusat berdasarkan keinginan daerah, hal ini serupa dengan upaya integrasi Jamkesda kedalam JKN di Indonesia 2) pengelolaan mengacu pada sistem bursa asuransi, bukan dikelola langsung oleh pusat, hal ini berbeda karena Indonesia mengelola secara langsung melalui lembaga BPJS. Dalam konteks paket manfaat,pemerintah federal Amerika Serikat memberikan fleksibilitas bagi setiap negara bagian ataupun asuransi penyedia jaminan kesehatan dalam menentukan paket manfaat namun paket manfaat tersebut harus mencakup 10 essential benefits yang harus ada dalam semua skema pembiayaan tanpa batasan waktu dan jumlah. Dalam konteks pola penerima bantuan iuran, penentuan penerima bantuan iuran dalam obamacare selaindidasarkan pada patokan mendekati garis kemiskinan federal, namun tetap memperhitungkan karakteristik daerah sehingga
45
jumlahnya dapat melebihi standar nasional tergantung pada kondisi dan kebutuhan masing-masing.Karakteristik daerah inilah yang perlu diperhatikan dalam integrasi Jamkesda dalam JKN. 4.7.2. Perbandingan sistem jaminan kesehatan Filipina dengan Indonesia Formulasi UHC di Filipina dimulai sejak tahun 1994, kurang lebih sepuluh tahun lebih cepat dibandingkan dengan di Indonesia, dengan melakukan reformasi awal di tahun 2005-2006 untuk mempersiapkan reformasi pada tahun 2014. Implementasi yang lebih cepat mendorong sistem kesehatan Filipina yang dirasakan lebih maju bila dibandingkan dengan Indonesia. Dari segi keuangan, Filipina menganggarkan 9 miliar peso atau setara dengan 2, 4 trilyun rupiah untuk anggaran asuransi ini. Adanya desentralisasi sistem kesehatan di Filipina cukup memiliki kemiripan dengan sistem Jamkesda di Indonesia, meskipun pada dasarnya lebih terintegrasi dan terformulasikan. Tabel. 4.13. Perbandingan Pola JKN Saat ini dengan Jaminan Kesehatan di AS dan Phillipina indikator
Obama Care AS
NHIP Phillipina
JKN saat ini
Manajemen Pengelolaan
Dana dikumpulkan di Pusat, dikelola tidak langsung oleh pusat bursa asuransi
Dana dikumpulkan oleh pusat Philhealth
Dikelola langsung oleh pusat BPJS Kesehatan
Paket Manfaat
Fleksibel namun tdp 10 Paket Manfaat utama yg wajib dipenuhi
Fleksibel namun terdapat paket manfaat wajib yang harus dipenuhi sesuai UU
Paket manfaat sesuai dengan yang diatur UU
Cakupan PBI
Mengacu garis kemiskinan federal, namun memperhitungkan karakteristik daerah, jumlahnya dapat melebihi standar nasional tergantung pada kondisi dan kebutuhan masing-masing.
Penduduk miskin dan mendekati garis miskin. Subsidi silang bagi masyarakat tidak mampu.
Mengacu pada PBI Nasional
(Sumber: Diolah sendiri dari berbagai sumber)
46
Adanya decision space antara pemerintah pusat dan daerah Filipina mendorong terjadinya formulasi sistem daerah yang menyesuaikan dengan kebutuhan (terkait dengan pola pembiayaan, pola subsidi silang, dan beberapa hal lainnya. Hal ini diatur di dalam Undang-undang kesehatan Republic Act No.7875 yang juga secara rinci mengatur sistem pelayanan asuransi kesehatan hingga kepada paket manfaat yang ditawarkan, sehingga secara undang-undang Republic Act No.7875 lebih komprehensif, dibandingkan dengan Indonesia yang memiliki UU SJSN 2004 dan UU BPJS 2011. Paket manfaat yang ditawarkan oleh Pemerintah Filipina memberikan fleksibilitas bagi setiap daerah ataupun asuransi penyedia jaminan kesehatan dalam menentukan paket manfaat, namun paket manfaat tersebut harus mencakup paket manfaat wajib yang ada dalam Republic Act No. 7875. Berkaca pada perbandingan pola yang berjalan di kedua negara diatas dengan Indonesia, terdapat beberapa hal yang dapat diperhatikan: 1. Pola yang berjalan selama ini di Amerika Serikat melalui Obama Care maupun Jaminan Kesehatan Phillipina juga mengalami proses sentralisasi sebagaimana halnya Indonesia dengan mengintegrasikan sistem yang berjalan. Pusat memiliki kewenangan dalam pengendalian sistem secara optimal, dan Indonesia dalam hal ini juga menerapkan hal serupa. 2. Disisi lain, meskipun terjadi sentralisasi dalam jaminan pembiayaan kesehatan justru kedua negara tetap memberikan keleluasaan bagi daerah agar secara dinamis dapat memasukan kepentingannya dalam sistem jaminan nasional. Hal ini yang perlu menjadi catatan penting bagi oleh Indonesia, karena pola JKN dirasakan belum memberikan cukup ruang bagi daerah untuk berperan serta. Untuk itu, proses integrasi Jamkesda dalam JKN nantinya perlu untuk memberikan decision space bagi daerah secara lebih nyata.
4.8. Formulasi Kebijakan Integrasi Jamkesda kedalam JKN Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ditetapkan berlaku dan berjalan sejak 1 Januari 2014, namun hal ini bersifat gradual dan akan berjalan hingga mencapai UHC di tahun 2019. Dalam tahapan tersebut masih terdapat tantangan yang harus dijalani salahsatunya adalah mengintegrasikan berbagai kebijakan Jamkesda yang saat ini telah berjalan hampir di semua provinsi. Kebijakan sentralisasi pembiayaan kesehatan ini karena juga yang dilakukan di banyak negara lain, saat ini menghadapi tantangan tersendiri untuk menjawab kebutuhan daerah yang seringkali menjadi tuntutan dalam proses politik sentralisasi dihadapkan pada kebijakan otonomi daerah secara umum.
47
4.8.1. Dasar Penyusunan Skenario Formulasi Kebijakan Dalam merancang formulasi kebijakan integrasi berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan diatas terhadap pola manajemen pembiayaan, pola paket manfaat dan pola cakupan penerima bantuan iuran dipengaruhi oleh beberapa kondisi sebagai berikut: 1. Terdapat pergeseran kewenangan kebijakan, yaitu kebijakan pembiayaan kesehatan yang selama ini terdesentralisasi di daerah, baik di kabupaten/kota maupun provinsi, kembali menjadi tersentralisasi melalui program Jaminan Kesehatan Nasional. Dalam konteks ini isu pergeseran kewenangan menjadi krusial dan harus menjadi perhatian. Faktor politis di daerah menjadi tantangan tersendiri yang harus dapat diredam,karena dengan manajemen yang terpusat, akan terdapat kewenangan yang hilang dan faktor kepentingan yang harus segera diatasi. 2. Terdapat kesenjangan (gap) kondisi antar wilayah yang memiliki kesejahteraan berbeda sehingga dapat menimbulkan konflik tertentu. Hal ini terkait dengan kemampuan pola paket manfaat yang harus mampu menjembatani perbedaan gap antar paket manfaat Jamkesda provinsi yang selama ini berbeda. Model pola paket manfaat yang baru harus meredam dampak politis yang muncul akibat manfaat yang berkurang di beberapa daerah. Model pola paket manfaat harus mengoptimalkan porsi upaya promotif preventif untuk menciptakan pembiayaan kesehatan yang lebih efisien di daerah, setidaknya lebih efisien daripada yang selama ini terjadi. 3. Data peserta PBI di tingkat pusat sebagian diantaranya belum sesuai dengan kenyataan di daerah.Hal ini timbul karena dinamika kondisi daerah yang berbeda-beda dan karena tidak terintegrasinya data sehingga menimbulkan tumpang tindih pemberian bantuan dan pada akhirnya persoalan-persoalan ini menimbulkan pembiayaan yang tidak efisien. Oleh karenanya, dalam model integrasi JKN diperlukan integrasi data terpusat dan kemampuan pusat memberikan peluang bagi dinamika yang terjadi di daerah termasuk penambahan cakupan penerima bantuan. Mengacu pada kondisi nyata diatas maka perlu disusun suatu model dengan mengacu pada nilai-nilai karakteristik kebijakan sebagai berikut: 1. Berfokus pada rencana aksi yang jelas, kuat dan berkelanjutan (action focus). 2. Memiliki komitmen yang sama dan berorientasi kedepan (future oriented). 3. Mengacu pada kondisi faktual di lapangan serta berfokus pada kepuasan daerah dan masyarakat (fact value interdependence). 4. Mengacu pada rencana pembangunan secara kesemuaan (value duality)
48
4.8.2. Formulasi Kebijakan Sentralisasi Dinamis Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, perlu disusun suatu formulasi yang mampu menjawab kebutuhan integrasi Jamkesda kedalam JKN. Formulasi kebijakan yang selama ini telah diarahkan pada sentralisasi pembiayaan kesehatan melalui program JKN harus diimbangi dengan memberikan celah ruang fleksibilitas bagi daerah untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan secara dinamis. Formulasi ini disebut Formulasi Kebijakan Integrasi Sentralisasi Dinamis. Sentralisasi yang dimaksud dalam model kebijakan ini adalah upaya integrasi kebijakan Jamkesda kedalam JKN yang dilakukan dengan mengalihkan tanggung jawab daerah dalam hal perencanaan, pembiayaan, dan manajemen jaminan kesehatan publik dari pemerintah daerah ke unit Pemerintah Pusat. Sementara yang dimaksud dengan dinamis dalam kebijakan ini adalah kemampuan kebijakan untuk tetap memberikan ruang fleksibilitas bagi daerah untuk turut serta dalam pengambilan keputusan terkait dengan JKN. Konsep sentralisasi dinamis ini adalah memberikan ruang fleksibilitas yang lebih besar bagi daerah dalam sentralisasi kebijakan integrasi jamkesda. Secara garis besar, inti model ini adalah : 1. Pengelolaan, pengendaliandan pembiayaan dilakukan terpusat namun indikator pengelolaan, pengendalian dan pembiayaan disepakati terlebih dahulu dengan daerah yang berintegrasi. 2. Paket manfaat dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan mengoptimalkan manfaat promotif preventif. 3. Penentuan penerima bantuan dan tarif secara dinamis dan melibatkan daerah namun tetap mengacu pada standar nasional dan regulasi lainnya yang ada. Model sentralisasi yang dinamis dan partisipatif ini sejalan dengan pendapat Anderson (2006) dalam pemilihan kebijakan yang telah diuraikan di kerangka pemikiran,yang pendapatnya yang cenderung partisipatif mengacu pada dinamika pemangku kepentingan di lapangan. Menurutnya bahwa kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memilih kebijakan adalah mengacu pada : 1) nilainilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan maupun ideologi; 2) afiliasi partai politik; 3) kepentingan konstituen; 4) opini publik; 5) penghormatan terhadap pihak lain; serta 6) aturan kebijakan. Dengan lebih memperhatikan kepentingan di daerah, namun tetap mengacu pada standar kriteria nasional secara ketat maka semua prasyarat pemilihan kebijakan menurut Anderson tersebut sebenarnya telah terpenuhi.
49
Jika dikaitkan dengan pendapat William N Dunn maka model integrasi ini sudah memiliki unsur action focus, future oriented dan value duality. Gambar 4.11. Formulasi Kebijakan Sentralisasi Dinamis Dalam Integrasi Jamkesda ke JKN
J
Manajemen pembiayaan JKN
A
Standar Paket Manfaat JKN
Persyaratan Ketentuan PBI Regionalisasi Pola Iuran
M K E S
Manajemen RBF (dibayar dan kelola berdasar indikator yang disepakati)
Keleluasaan untuk Perluasan Manfaat oleh Daerah
Usulan Peserta PBI Dari Daerah Verifikasi Pusat
J K N
D A : Sentralisasi dilakukan sesuai amanat UU JKN : Sentralisasi tetap memberi ruang fleksibilitas bagi daerah
Secara garis besar, penerapan model Sentralisasi Dinamis berdasarkan asumsi daerah berintegrasi secara penuh memerlukan intervensi yang dimunculkan melalui penyusunan suatu skenario program terapan yang mengintervensi setidaknya beberapa hal pokok : 1. Indikator partisipatif. Pemerintah pusat menyusun manajemen pengelolaan, pengendalian dan pembiayaan dengan indikator pengelolaan yang telah disepakati terlebih dahulu dengan daerah yang berintegrasi. 2. Paket manfaat fleksibel, Paket manfaat dasar wajib menggunakan SPM nasional dengan standar manfaat dasar namun dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah dan mengoptimalkan manfaat promotif preventif.Dalam hal ini Pemerintah memberi ruang bagi karakteristik daerah, misal : daerah gugus kepulauan, tertinggal, perbatasan , daerah industri dll.
50
3. Cakupan PBI optimal.Penentuan PBI dan tarif dilakukan secara dinamis, dimana pusat dapat memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengusulkan permintaan perluasan dalam jumlah yang lebih besar diluar jumlah PBI yang dijamin oleh pusat dengan mengacu pada angka yang ditetapkan secara nasional. Hal ini dimungkinkan sesuai dengan kondisi/kemampuan daerah. Disisi lain daerah mengidentifikasi PBI sesuai kriteria pusat (bottom up) untuk kemudian di verifikasi kembali oleh pusat untuk menghindari moral hazard. Tabel 4.14. Skema Perbandingan Pola JKN Saat ini dan Model Sentralisasi Dinamis (Sumber: Diolah Sendiri) JKN SAAT INI
SENTRALISASI DINAMIS Manajemen Pembiayaan
Pembiayaan PBI sepenuhnya oleh Pusat
Dimungkinkan sumber pembiayaan daerah atau cost sharing pusat-daerah sejauh masuk kedalam sistem JKN dan Kondisi fiskal daerah mampu. Sesuai UU pusat membiayai semua peserta PBI, namun bila fiskal tidak cukup, tentukan pagu di tiap daerah sesuai anggaran , daerah penuhi kekurangannya. Secara bertahap pusat penuhi dgn tahapan prioritas daerah yg kapasitas fiskal rendah termasuk DTPK
Iuran secara nasional sama, namun faskes di daerah rural lebih minim dibanding perkotaan (daerah subsidi kota) berdampak pada kesenjangan layanan yang diperoleh, contoh transport rujukan sdh dibiayai BPJS tetapi akomodasi tidak, keluarga kehilangan produktivitas pendapatan.
Pola Iuran disusun dengan Pola Regional seperti Pola Tarif Regional dalam INA-CBGs (5 regional)
Paket Manfaat Paket Manfaat secara nasional sama
pusat menentukan SPM dgn manfaat dasar, daerah boleh melebihi manfaat yg ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
51
Dalam hal ini Pemerintah memberi ruang bagi karakteristik daerah , misal : daerah gugus kepulauan, tertinggal, perbatasan , daerah industri dll. Cakupan PBI Pemerintah pusat hanya menanggung miskin dan tidak mampu
Boleh diperluas, daerah mengajukan permintaan perluasan diluar miskin dan tidak mampu, sesuai kondisi/kemampuan daerah
Data ditetapkan pusat (top-down, by name-by address) menggunakan survey BPS +/- 2,5jt jiwa terdeteksi tak sesuai
Daerah mengidentifikasi PBI sesuai kriteria Pusat (Bottom-up, by name by address) akurat dan efisien. Pusat menentukan kriteria mampu/tidak mampu dan memverifikasi data daerah (menghindari moral hazard)
Hal-hal pokok diatas menjadi simpul utama model sentralisasi dinamis dalam integrasi Jamkesda kedalam JKN. Simpul tersebut memiliki ruang fleksibilitas yang lebih nyata bagi daerah jika dibandingkan dengan model JKN saat ini. Dalam pola JKN saat ini, manajemen pembiayaan khususnya dalam hal Pembiayaan PBI,dilakukan sepenuhnya oleh Pusat dengan iuran yang sama secara nasional sementara kondisi fasilitas kesehatan berbeda antarwilayah. Hal berdampak pada kesenjangan layanan yang diperoleh. Disisi lain justru paket manfaat secara nasional sama, hal ini belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah. Dari sisi cakupan PBI, saat ini JKN hanya menanggung penduduk miskin dan tidak mampu dengan menggunakan data yang terpusat, hal ini menimbulkan ketidakakuratan data di lapangan. Selain hal pokok tersebut diatas, juga perlu ditekankan peran pusat dalam langkah lanjutannya antara lain: 1. Sosialisasi dan koordinasi: Sosialisasi dan koordinasi difasilitasi oleh pusat dengan melibatkan daerah. Sosialisasi dan koordinasi dilakukan dalam hal kendali mutu, biaya dan pencapaian universal health coverage. 2. Implementasi dan verifikasi. Daerah terlibat dalam proses monitoring dan evaluasi sesuai indikator yang sudah disepakati bersama. 3. Dalam redisain kebijakan, daerah berhak memberikan usulan perubahan kebijakan dengan mengacu pada standar regulasi nasional. Formulasi Kebijakan Sentralisasi Dinamis ini dikembangkan dari model desentralisasi terintegrasi (Mukti & Moertjahjo, 200 Model Desentralisasi Terintegrasi (Mukti & Moertjahjo, 2008). Model desentralisasi terintegrasi saat ini terkendala dengan amanat Undang-Undang SJSN dan UU BPJS yang telah
52
menempatkan pengelolaan secara penuh di tingkat pusat, sehingga model tersebut tidak dapat dilaksanakan. Gambar 4.12 Skema Perbandingan Model Sentralisasi Dinamis dan Model Desentralisasi Terintegrasi Skenario tahapan integrasi JKN action plan Model desentralisasi terintegrasi
Pengelolaandaerah secara terintegrasi
Membentuk institusi pengelola daerahberkoordinasi pusat
asumsi: daerah wajib terintegrasi dalam JKN Penentuan pola integrasi Jamkesda provinsi
Pola manajemen
Model sentralisasi dinamis
Pengelolaan pusat secara partisipatif
indikator partisipatif: indikator pengelolaan disepakati oleh daerah
Paket manfaat daerah mengacu pada standar nasional+paket manfaat wajib+promotif preventif
Pola paket manfaat
diluar PBI/ iuran yang dijamin pusat, daerah menambah sendiri
Pola PBI
Cakupan PBI optimal: daerah dapat mengusulkan diatas jaminan PBI/iuran pusat mengacu standar nasional
Daerah aktif bersama pusat
Sosialisasi dan koordinasi
fasilitasi pusat melibatkan daerah
Badan pengelola daerah dan menunjuk koordinasi peserta
Implementasi dan verifikasi
Terpusat melalui koordinasi BPJS
Pusat selaku risk equalization terlibat penuh pengawasan, mencegah fraud
monitoring dan evaluasi
melibatkan penilaian daerah, dan pusat mengawasi fraud melibatkan daerah
Pusat terlibat sesuai kewenangan
Redesain Kebijakan
Seluruh Jamkesda terintegrasi dalam sistem JKN
Paket manfaat fleksibel: paket manfaat wajib + kebutuhan daerah + Promotif preventif
Daerah berhak memberikan usulan
53
4.8.3. Agenda Setting Penerapan Model Integrasi Sentralisasi Dinamis Pola sentralisasi dinamis ini dapat diterapkan menjadi agenda setting pengintegrasian Jamkesda kedalam JKN yang diharapkan dapat tuntas pada tahun 2019. Sepanjang periode 2014-2019, JKN diskenariokan untuk mengarah pada pemberian ruang bagi daerah untuk menyesuaikan secara dinamis. Dari sisi manajemen, JKN diharapkan akan selalu memberikan decision space bagi daerah sesuai di porsi dan karakteristik daerah yang berbeda satu dengan yang lain.
Gambar 4.13 Skema time frame integrasi Jamkesda dalam JKN
Jamkesda di beberapa daerah secara sukarela integrasi ke JKN dengan APBD
2014
2015
Kajian paket manfaat dan iuran PBI
Seluruh Jamkesda di DTPK terintegrasi
2016
Seluruh Jamkesda di daerah kapasitas fiskal rendah & sedang terintegrasi
2017
Seluruh Jamkesda di daerah kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi terintegrasi
Secara Nasional seluruh Jamkesda sudah terintegrasi & tercapai UHC
2018
2019
Paket manfaat jamkesda sesuai dengan sistem jkn , tetapi daerah diberi ruang untuk menambah Ditetapkan iuran PBI dengan regionalisasi dan Iuran PBI yang berbasis Keluarga
Revisi dan sinkronisasi pelbagai peraturan secara berjenjang & bertahap
Jika diasumsikan seluruh tahapan dalam skema time frame dipenuhi sesuai tenggat waktu maka agenda setting yang dapat terjadi adalah sebagai berikut: Tahun 2014-2015 Dari sisi kepesertaan, Jamkesda tetap berperan untuk memenuhi kepesertaan diluar yang belum tercakup dalam kriteria PBI pemerintah pusat. Dari sisi paket manfaat, Jamkesda tetap akan bervariasi sesuai dengan kebijakan daerah dan kemampuan faskes yang ada, disisi lain daerah diharapkan terus mempersiapkan faskesnya mengacu pada standar JKN.
54
Dari sisi pengelolaan, sistem manajemen diharapkan mulai disinkronisasi antara pengelolaan Jamkesda dan JKN termasuk dalam hal INA-CBGs dan Kapitasi. Dari sisi pengelolaan, mulai dipersiapkan indikator kinerja/monitoring evaluasi JKN yang bersifat partisipatif/yang disepakati oleh daerah. Tahun 2016-2017 Dari sisi kepesertaan pada tahun 2016 PBI hanya dijalankan pada masyarakat miskin di daerah DTPK, namun pada tahun 2017, PBI sudah mencakup semua masyarakat miskin di daerah dengan indeks kapasitas fiskal rendah. Dari sisi kepesertaan, pada periode ini diharapkan daerah pun sudah mulai melakukan mengusulkan besaran jaminan dan penambahan jumlah PBI di daerahnya diatas standar jaminan dan jumlah PBI nasional. Dari sisi paket manfaat, dalam agenda setting diasumsikan pada tahun 2016 semua perbedaan paket manfaat yang terjadi dapat diatasi oleh JKN dan tambahan kebutuhan daerah dapat dipenuhi. Dari sisi pengelolaan, pada tahun 2016-2017, semua sistem pengelolaan Jamkesda telah sinkron dengan sistem pengelolaan pusat. Dari sisi pengelolaan, pada tahun 2016-2017, indikator kinerja/monitoring evaluasi JKN yang bersifat partisipatif/yang disepakati oleh daerah sudah mulai dapat diterapkan. Untuk DTPK, Pada tahun 2016-2017, Integrasi mulai dilakukan pada daerahdaerah terpencil, perbatasan dankepulauan dengan kapasitas fiskal rendah dan sedang. Tahun 2018 Dari sisi kepesertaan, pada tahun 2018 pengintegrasian sudah mencakup masyarakat miskin di daerah dengan indeks kapasitas fiskal tinggi Dari sisi kepesertaan, pada tahun 2018 ini diharapkan daerah sepenuhnya dapat mengusulkan besaran jaminan dan jumlah PBI di daerahnya diatas standar jaminan dan jumlah PBI nasional Dari sisi paket manfaat, pada tahun 2018 ini paket manfaat wajib sudah dapat dipenuhi daerah. Disisi lain tambahan manfaat daerah dan upaya promotif preventif sudah dapat terpenuhi dalam paket manfaat. Dari sisi pengelolaan, pada tahun 2018, indikator kinerja/monitoring evaluasi JKN yang bersifat partisipatif/yang disepakati oleh daerah sudah diterapkan sepenuhnya. Untuk DTPK, pada tahun 2018 Integrasi Jamkesda di daerah-daerah kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi
55
Tahun 2019 Dari sisi kepesertaan, tahun 2019 diharapkan kepesertaan PBI sudah sepenuhnya terpenuhi sesuai dengan kriteria nasional. Dari sisi paket manfaat, paket manfaat wajib sudah sepenuhnya dapat dipenuhi daerah. Disisi lain tambahan manfaat daerah dan upaya promotif preventif sudah dapat terpenuhi dalam paket manfaat JKN yang diterima daerah. Dari sisi pengelolaan, semua Jamkesda telah terintegrasi secara penuh dan terpusat dalam kerangka JKN dengan tetap memberikan ruang bagi daerah dalam mengembangkan peran check and balances. 4.10.6 Skenario Penerapan Model Integrasi Sentralisasi Dinamis Meksipun agenda setting telah ditetapkan, penerapan kebijakan harus dilihat secara obyektif dalam berbagai kondisi yang diasumsikan dapat terjadi,oleh karena itu dapat disusun beberapascenario planning pelaksanaan kebijakan integrasi sebagai berikut: Skenario I : Pemerintah Pusat secara penuh mampu membiayai seluruh kebutuhan JKN secara langsung Asumsi:Integrasi Jamkesda dilakukan serentak(seluruh tahapan time frame integrasi diasumsikan terpenuhi dalam medio 2015-2016). Pada skenario ini pada tahun 2016 seluruh daerah harus sudah menyesuaikan dan memenuhi kriteria/standar dasar yang ditetapkan pusat dengan tetap memberikan ruang bagi kebutuhan daerah dan memperhatikan kondisi faktual di lapangan.Uraian tahapan sebagai berikut: Dari sisi pengelolaan pembiayaan,bila integrasi Jamkesda dilakukan secara serentak, pemerintah Pusat membiayai langsung PBI seluruh daerah pada tahun 2015. Dari sisi iuran, Pemerintah menetapkan iuran selambatnya-lambatnya tahun 2016 berdasarkan pola pembagian regionalisasi. Dari sisi paket manfaat, Daerah harus segera mengikuti manfaat dasar yang ditentukan pusat, daerah boleh melebihi manfaat yg ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Dalam hal ini Pemerintah pusat harus memberi dukungan bantuan pemerataan akses dan memberikan ruang bagi daerah untuk memenuhi kebutuhan faskes agar sesuai standar nasional namun tetap memperhatikan karakteristik daerah. Seluruh manfaat dasar dan kebutuhan faskes terpenuhi 2016.
56
Dari sisi cakupan PBI,Daerahtetap diberikan ruang untuk memenuhi kepesertaan diluar yang belum tercakup dalam kriteria PBI pemerintah pusat. Pendataan tetap dilakukan secara bottom up, pusat sebagai verifikator. Skenario II Pemerintah Pusat mampu membiayai seluruh kebutuhan JKN secara bertahap Asumsi:Integrasi dilakukan dengan tahapan prioritas. (Seluruh tahapan time frame diasumsikan terpenuhi sesuai rencana dalam medio 2015-2019) Pada skenario ini Pusat diasumsikan memiliki kemampuan pembiayaan PBI namun dicapai secara bertahap. Oleh karenanya integrasi Jamkesda diprioritaskan berdasarkan tahapan : DTPK (2015-2016), daerah dengan kapasitas Fiskal rendah & sedang (2017), Kapasitas Fiskal tinggi & sangat tinggi (2018). Pada tahun 2019 seluruh daerah harus sudah terintegrasi dan telah memenuhi kriteria/standar dasar yang ditetapkan pusat dengan tetap memberikan ruang bagi kebutuhan daerah dan memperhatikan kondisi faktual di lapangan.Uraian tahapan sebagai berikut: Dari sisi pengelolaan pembiayaan, bila integrasi Jamkesda dilakukan secara bertahap, pemerintah Pusat membiayai PBI secara bertahap seluruh daerah pada tahun 2015-2019. Cost sharing dapat dilakukan terlebih dahulu namun pada 2019 seluruh pembiayaan akan tetap dibiayai sepenuhnya oleh pusat. Dari sisi iuran, Pemerintah menetapkan iuran berdasarkan pola pembagian regionalisasi dan berlaku bertahap bagi daerah yang sudah terintegrasi selambatnya-lambatnya tahun 2019 sesuai tahapan time frame. Dari sisi paket manfaat, Daerah yang sudah terintegrasi sesuai tahapan diberikan waktu untuk dapat mengikuti manfaat dasar yang ditentukan pusat, daerah boleh melebihi manfaat yg ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Dalam hal ini Pemerintah pusat memberi dukungan bantuan pemerataan akses dan memberikan ruang bagi daerah untuk memenuhi kebutuhan faskes agar sesuai standar nasional namun tetap memperhatikan karakteristik daerah. Seluruh manfaat dasar dan kebutuhan faskesdaerah secara bertahap harus terpenuhi antara 2015-2019. Dari sisi cakupan PBI, Daerah yang sudah terintegrasi sesuai tahapan diberikan ruang untuk memenuhi kepesertaan diluar yang belum tercakup dalam kriteria PBI pemerintah pusat. Pendataan tetap dilakukan secara bottom up, pusat sebagai verifikator.
57
Skenario III Pemerintah Pusat tidak memiliki kemampuan untuk sepenuhnya membiayai masyarakat miskin dan tidak mampu dalam JKN Asumsi:Integrasi dilakukan secara bertahap dengan melibatkan daerah dalam pembiayaan. (Seluruh tahapan time frame diasumsikan terpenuhi sesuai rencana dalam medio 2015-2019) Pada skenario ini, Pemerintah pusat dianggap tidak memiliki kemampuan untuk membiayai sepenuhnya PBI sehingga diperlukan keterlibatan daerah dalam pembiayaan. Pada skenario ini integrasi Jamkesda tetap diprioritaskan berdasarkan tahapan : DTPK (2015-2016), daerah dengan kapasitas Fiskal rendah & sedang (2017), Kapasitas Fiskal tinggi & sangat tinggi (2018) dan pada tahun 2019 seluruh daerah harus sudah terintegrasi dan telah memenuhi kriteria/standar dasar yang ditetapkan pusat dengan tetap memberikan ruang bagi kebutuhan daerah dan memperhatikan kondisi faktual di lapangan.Uraian tahapan sebagai berikut: Dari sisi pengelolaan pembiayaan, integrasi Jamkesda dilakukan secara bertahap dan cost sharing, dengan kriteria: 1) Pemerintah Pusat menyusun mekanisme cost sharingdimana PBI akan dibiayai melalui kemitraan Pusat dan Daerah (baik Provinsi maupun Kab/kota) dengan porsi yang proporsional sesuai kemampuan fiskal daerah. 2) Proporsi cost sharing dapat berubah melalui negosiasi dengan didasari kemampuan fiskal daerah sebagai indikator utama.3) Kemampuan subsidi silang daerah secara vertikal (Provinsi kepada Kab/Kota)atau secara horisontal (daerah kapasitas fiskal tinggi/sangat tinggi kepada daerah DTPK/kapasitas fiskal rendah). Dalam kondisi ini daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi juga diberi ruang agar dapat menyelenggarakan Jamkesda tetapi tetap dalam kerangka JKN sampai dengan pemerintah pusat mampu untuk membiayai sepenuhnya. Dari sisi iuran, Pemerintah menetapkan iuran berdasarkan:1) kemampuan pola pembagian regional dan berlaku bertahap bagi daerah yang sudah terintegrasi selambatnya-lambatnya tahun 2019 sesuai tahapan time frame. 2) Proporsi cost sharingkhususnya bagi DTPK dan daerah dengan kemampuan fiskal rendah. Dari sisi paket manfaat, Daerah yang sudah terintegrasi sesuai tahapan diberikan waktu untuk dapat mengikuti manfaat dasar yang ditentukan pusat, namun daerah boleh melebihi manfaat yg ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Dalam hal ini Pemerintah pusat tetap harus memberi dukungan bantuan pemerataan akses dan memberikan ruang bagi daerah untuk memenuhi kebutuhan faskes agar sesuai standar nasional namun tetap
58
memperhatikan karakteristik daerah. Seluruh manfaat dasar dan kebutuhan faskes harus terpenuhi secara bertahap terpenuhi antara 2015-2019. Dari sisi cakupan PBI, Daerah yang sudah terintegrasi sesuai tahapan diberikan ruang untuk memenuhi kepesertaan diluar yang belum tercakup dalam kriteria PBI pemerintah pusat. Pendataan tetap dilakukan secara bottom up, pusat sebagai verifikator.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut : 5.1.1.
Gambaran hasil pemetaan kondisi di 33 Provinsi.
Terdapat 4 provinsi yang sudah mencapai Universal Health Coverage. Jumlah provinsi yang hanya menjamin peserta penduduk miskin non Jamkesmas mencapai 27 provinsi (81,81%), serta 2 provinsi (6,06%) yang menggunakan SKTM. Gambaran diatas menunjukkan bahwa pemahaman dan kemampuan daerah dalam pengelolaan Jamkesda masih berbeda satu dengan yang lain, khususnya dalam rangka mencapai Universal Health Coverage. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakteristik dan kelayakan kebijakan Jamkesda di 6 provinsi , tergambar beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan formulasi kebijakan integrasi sebagai berikut:1) Keberadaan regulasi dan atau rencana 2) Komitmen politik pemimpin daerah3) akses, ketersediaan dan pemerataan fasyankes di daerah 4) Kemampuan daerah untuk menyesuaikan kebijakan Jamkesda 5) Faktor ekonomi dan keuangan, khususnya kesiapan anggaran 6) Result base financing 5.1.2. Aspek pengelolaan. a. Pada umumnya Jaminan Kesehatan Daerah (64,6%) diselenggarakan oleh pemerintah daerah , 33,8% dikelola oleh PT. Askes atau Pihak ke 3, dan 1,7% gabungan antara pemerintah daerah dan PT Askes. Dengan berubahnya PT Askes menjadi BPJS pada 1 Januri 2014, maka semua daerah yang selama ini sudah bekerja sama dengan PT Askes, akan lebih mudah ( bila kemampuan fiskal daerahnya memungkinkan ) bila langsung berintegrasi ke JKN, karena bila tidak langsung integrasi ke JKN, maka daerah tersebut harus segera membuat badan/unit pengelola Jamkesda baru. b. Terdapat 14 provinsi (42, 42%) yang besarannya ditanggung sepenuhnya oleh kabupaten/kota masing-masing, dan hanya 1 provinsi (3, 03%) yang 100% ditanggung oleh provinsi. Besaran cost sharing yang porsinya lebih besar ditanggung provinsi daripada kabupaten/kota sebanyak 6 provinsi (18, 18%), sementara yang porsinya lebih kecil ditanggung provinsi sebanyak 8
59
60
provinsi (24, 24%), sisanya 4 provinsi (12, 12%) membagi porsi jumlah cost sharing secara berimbang antara provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian terdapat potensi perbedaan kepentingan antara propinsi dan kabupaten/kota pada saat pengintegrasian Jamkesda. Hal ini memiliki beban politis yang harus diatasi dan dipersiapkan mekanismenya agar mampu mengatasi perbedaan kepentingan tersebut. 5.1.3. Aspek manfaat. a. Hasil analisis bivariabed menggunakan uji kai kuadrat (chi square) terlihat bahwa kemampuan kapasitas fiskal daerah tidak berpengaruh signifikan secara statistik terhadap paket manfaat. Artinya, daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi tidak memiliki pengaruh yang bermakna secara statistik terhadap pemberian manfaat. b. Terdapat 15 provinsi (45, 45%) yang mengatur sendiri manfaat yang diperoleh melalui peraturan daerah. Paket manfaat yang akan diberikan paska integrasi harus mampu mengenali karakteristik yang terdapat pada provinsi masing-masing sehingga perbedaan manfaat dapat diminimalisir. Paket standar yang dijamin dalam program JKN, belum memberikan ruang bagi daerah yang mampu ( kapasitas fiskal tinggi / sangat tinggi ) untuk memberikan manfaat tambahan / lebih , apabila daerah tersebut menginginkan tambahan manfaat tsb dijadikan satu diselenggarakan BPJS. 5.1.4. Aspek Penerima Bantuan Iuran. a. Terdapat 2.558.490 peserta usulan daerah ( 2,96% dari 86.400.000 penerima Jamkesmas/PBI ) dari 251 kabupaten/kotadari 31 provinsi yang tidak tepat sasaran. Hal ini terutama karena penetapan peserta dilakukan sentralistik dan kurang memberikan kewenangan kepada Pemerintah daerah untuk menetapkan masyarakat di daerahnya yang memenuhi syarat sebagai PBI. b. Besaran iuran PBI untuk Jaminan Kesehatan Nasional pada umumnya melebihi iuran yang dijamin di Jamkesda. Hal ini di satu sisi menunjukkan bahwa iuran PBI secara umum sudah lebih tinggi dan diharapkan akan meningkatkan mutu pelayanan bagi peserta, namun disisi lain tingginya iuran PBI tersebut juga menjadi beban bagi Pemerintah Daerah, khususnya yang mempunyai kapasitas fiskal rendah / sedang, pada saat integrasi ke JKN karena harus mengalokasikan anggaran lebih besar yaitu Rp.19.225,- per peserta, kecuali bila kondisi fiskal Pemerintah Pusat sudah mampu membiayai seluruh peserta Jamkesda yang berhak menjadi PBI.
61
5.1.5. Formulasi Kebijakan Integrasi: Untuk mewujudkan integrasi Jamkesda ke Jaminan Kesehatan Nasional secara komprehensif yang tersentalisasi tetapi tetap memberikan ruang bagi daerah, maka dari hasil penelitian ini dirumuskan suatu formulasi kebijakan integrasi berupa Formulasi Kebijakan Sentralisasi Dinamis yaitu suatu formulasi kebijakan dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang tersentralisasi tetapi secara dinamis masih memberikan peluang dalam kerangka desentralisasi kepada pemerintah daerah. Dalam disertasi ini, disampaikan Agenda Setting dan beberapa scenario yang merupakan alternatif implementasi untuk disesuaikan dengan kebijakan dan kemampuan Pemerintah Pusat / Daerah. Secara garis besar penerapan Formulasi Kebijakan Sentralisasi Dinamis berpedoman pada : Indikator partisipatif, Paket manfaat fleksibel dan penentuan PBI dan tarif dilakukan secara dinamis.
5.2 Saran 5.2.1. Aspek teoritis (keilmuan) Dari sisi teoritis, dalam formulasi kebijakan integrasi jaminan kesehatan tingkat daerah ke dalam jaminan kesehatan nasional, maka sesuai amanat Undang – Undang diperlukan keseimbangan antara peran Pusat dan Daerah. Atas dasar hal tersebut, disarankan: 1. Pemerintah Pusat harus mampu menjembatani perbedaan pemahaman para pengambil kebijakan di daerah, khususnya kepala daerah dalam upaya integrasi Jamkesda ke JKN. Hal ini berarti pemerintah juga harus mampu meredam peluang terjadinya dinamika politik di daerah yang muncul akibat perbedaan kepentingan dan komitmen politis. 2. Untuk merumuskan kebijakan manajemen pengelolaan yang tepat, dapat diatasi melalui penetapan pola pengelolaan pembiayaan yang berbasis pada hasil atau result based financing. Pola ini membantu menjembatani perbedaan sistem yang ada dan sekaligus meningkatkan kinerja sisi penawaran dan permintaan dari sistem jaminan kesehatan. 3. Perlu pengutamaan pembiayaan upaya kesehatan masyarakat dalam paket manfaat yang ada.
62
4. Pelaku kebijakan di tingkat pusat harus mampu menyamakan persepsi dan pemahaman pelaku kebijakan di bawahnya dalam memahami langkah kebijakan yang akan diambil. 5. Dalam mengintegrasikan kebijakan daerah ke dalam kebijakan pusat, konsep formulasi kebijakan integrasi harus memberikan ruang fleksibilitas yang lebih besar bagi daerah dalam sentralisasi kebijakan integrasi jamkesda. Hal ini merupakan bentuk upaya untuk memenuhi kriteria kepentingan daerah sehingga formulasi kebijakan akan lebih dinamis dan partisipatif. 5.2.2. Aspek praktis (guna laksana) Secara praktis, dalam melaksanakan integrasi Jaminan Kesehatan Daerah ke Jaminan Kesehatan Nasional, tindakan pemerintah bukan sebatas mensentralisasikan seluruh sistem yang ada kedalam sistem yang lebih besar, tetapi juga harus seimbang dalam menjaga kesinambungan semangat desentralisasi dan kepentingan masyarakat di daerah dalam payung Jaminan Kesehatan Nasional. Untuk tercapainya hal tersebut, disarankan agar: 1.
2.
3.
4.
5.
Integrasi pendataan seluruh penduduk termasuk peserta Jamkesda selaku penerima bantuan iuran dalam satu payung sistem JKN harus menjadi prioritas formulasi kebijakan integrasi jamkesda. Hal ini penting mengingat kemiskinan bukanlah merupakan hal yang statis dan tidak rentan perubahan. Akurasi, validitas, dan pembaruan data kemudian menjadi hal sangat krusial, karena data yang statis selama ini di daerah cenderung menjadi tidak reliabel atau relevan dalam jangka waktu tertentu. Dari sisi paket manfaat, Pemerintah pusat disatu sisi menentukan layanan mendasar yang harus berlaku secara nasional, tetapi disisi lain terkait dengan keaneka ragaman daerah, maka khusus untuk PBI, diperlukan ruang bagi daerah untuk dapat menambah layanan diatas manfaat standar nasional, tetapi tetap dikelola di BPJS. Dari sisi iuran, Pemerintah disarankan menetapkan iuran PBI berdasarkan pola pembagian regionalisasi, seperti regionalisasi pada INA CBGs, sampai dengan tercapainya pemerataan akses dan standar mutu fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Dari sisi cakupan PBI, penetapan masyarakat yang menjadi PBI agar dilakukan secara bottom up, berbasis data dari Pemerintah daerah, berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Kepesertaan PBI yang dalam JKN berbasis pada kepesertaan individu (besaran iuran dan kepesertaan dihitung per-satu orang), perlu dilakukan
63
6.
kajian untuk disamakan dengan kepesertaan pekerja penerima upah, yaitu berbasis keluarga dengan menetapkan nilai ominal besaran iuran. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menghitung besaran iuran yang berbasis pada rata-rata jumlah anggota keluarga khusus pada PBI. Dengan demikian bayi yang lahir dari PBI secara otomatis sudah masuk dalam jaminan kesehatan. Secara garis besar, untuk mengimplementasikan formulasi kebijakan sentralisasi dinamis secara komprehensif maka diperlukan intervensi melalui penyusunan suatu agenda setting dan skenario yang meliputi setidaknya beberapa hal pokok : indikator penilaian pengelolaan yang partisipatif, paket manfaat yang fleksibel, namun tetap mengacu pada standar nasional, dan cakupan PBI yang optimal sesuai kebutuhan daerah.
Skenario tahapan integrasi Jamkesda dapat dilakukan dengan beberapa alternatif antara lain: a. Pemerintah Pusat diasumsikan secara penuh mampu membiayai seluruh kebutuhan JKN secara langsung, maka integrasi Jamkesda harus dilakukan secara serentak b. Pemerintah Pusat diasumsikan mampu membiayai seluruh kebutuhan JKN secara bertahap, maka integrasi dilakukan dengan tahapan prioritas: a) DTPK, b) Kapasitas Fiskal rendah & sedang, c) Kapasitas Fiskal tinggi dan sangat tinggi. c. Pemerintah Pusat diasumsikan tidak memiliki kemampuan untuk sepenuhnya membiayai masyarakat miskin dan tidak mampu dalam JKN, maka integrasi harus dilakukan dengan melibatkan kontribusi pemda melalui mekanisme cost sharing.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Said Zainal, 2004, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah: Jakarta Allotey, dkk, 2011, Universal coverage in an era of privatization: can we guarantee health for all ?, Universal Coverage : Can We Guarantee Health for All ?, Malaysia, 3-4 Oktober 2011 Allotey, P, dkk, 2011, Vulnerability, equity and universal coverage – a concept note, BMC Public Health, 12 (Suppl 1) 52 Bappenas, 2003, Desain Sistem Perlindungan Sosial Terpadu, Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan. Bossert, T, 1998, Analyzing the decentralization of health systems in developing countries: decision space, innovation and performance, Social science & medicine, 47(10), 1513-1527 Bossert, T. J., & Beauvais, J. C, 2002, Decentralization of health systems in Ghana, Zambia, Uganda and the Philippines: a comparative analysis of decision space, Health policy and planning, 17(1), 14-31 Bossert, T. J., Bowser, D. M., & Amenyah, J. K, 2007, Is decentralization good for logistics systems? Evidence on essential medicine logistics in Ghana and Guatemala, Health Policy and Planning, 22 (2), 73-82 Bossert, T. J., Larrañaga, O, Giedion, U., Arbelaez, J, & Bowser, D. M, 2003, Decentralization and equity of resource allocation: evidence from Colombia and Chile. Bulletin of the World Health Organization, 81(2), 95100 BPS, 2011, Survey Angkatan Kerja Nasional 2010 BPS, berbagai Tahun, Susenas, BPS BPS, 2011, Sensus Penduduk 2010 Casasnovas, Guillem López; David McDaid dan Joan Costa-Font, “Decentralization and Management Autonomy?, Evidence from the Catalonian Hospital Sector in a Decentralized Spain” dimuat dalam International Public Management Review · electronic Journal at di akses melalui http://www.ipmr.net Volume 10 · Issue 2 2009 Cheema, G. Shabbir dan Rondinelli, Dennis A (Ed), 1983, Decentralization and. Development: Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publication Chitra, Retna S & Ermy, Ardhyanti. Inisiatif Daerah Dalam Mengembangkan Program Jaminan Kesehatan: Pola dan Pembelajaran. Di muat dalam Working Paper. Halaman 1-3
64
Chuma, J, and Okungu, V, 2011, Viewing the Kenyan health system through an equity lens : implications for universal coverage, International Journal for Equity in Health, 10:22 Chuma, J, dkk, 2012, Does the distribution of health care benefits in Kenya meet the principles of universal coverage ?, BMC Public Health, 12:20 Creswell, JW, 1994, Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. California: Sage Publications Data Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemkes RI, berbagai tahun Devadasan, N, dkk, 2010, Performanceof community health insurance in India : findings from empirical studies, BMC Proceedings, 6 (suppl 1): P9, First National Conference on Bringing Evidence into Public Health Policy (EPHP 2010), Bangalore, India, 10 – 11 December 2010 Dwicaksono, Adenantera; Ari Nurman, & Panji Yudha Prasetya, 2012, Jamkesmas and District Health Care Insurance Scheme.Bandung: Perkumpulan Inisiatif Dunn, WN. 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta Dunn, WN, 1998, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, edisi II,Gadjah Mada University Press: Yogyakarta Gani, A. Dkk, 2008, Laporan Kajian Sistem Pembiayaan Kesehatan di Beberapa Kabupaten dan Kota, Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan dan Analisis Kebijakan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok Gerring, J, 2007, Case Study Research, Principles and Practices, USA, Cambridge Gool, MJA, 2012, Integrating Casemix system in to the Philippine social health insurance, BMC Health Services Research 2012, 12 (Suppl 1): 16, 6th international Casemix Conference 2012 (6ICMC2012), Malaysia, 6-7 June Guillem, LC, McDaid, D, dan Costa-Font, J, 2009, Decentralization and Management autonomy? Evidence from the Catalonian Hospital Sector in a Decentralized Spain, dimuat dalam International Public Management Review dimuat dalam electronic Journal at http://www.ipmr.net Volume 10 · Issue 2 · 2009 Hamdi, M, 2002, Bunga Rampai Pemerintahan, Yarsif Watampone: Jakarta Hoogwood, BW. & Lewis AG, 1986, Policy Analysis for the Real World, Princeton University Press Jadoo, AS, dkk, 2012, Level of patients’ satisfaction toward National Health Insurance in Istanbul City-Turkey, BMC Public Health 2012, 12 (Suppl 2) : A5, Postgraduate Forum on Health System and Policies, Malaysia, 21-22 May 2012
65
Jones, CO, 1984, Pengantar Kebijakan Publik (terjemahan), PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta Kemenkes RI, 2010, Rencana strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014 Kemenkes RI, 2004, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta Kemenkes RI, 2007, Pedoman Pelaksanaan JPK Masyarakat Miskin (Askeskin) 2007, Jakarta. Limwattananon, S, dkk, 2012, Why has the Universal Coverage Scheme in Thailand achieved a pro poor public subsidy for health care ?, BMC Public Health, 12 (Suppl 1)56 Mukti, Ali Gufron, 2007, Strategi Terkini Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan, Konsep dan Implementasi, Pusat Pengembangan Sistem Pembiayaan dan Manajemen Asuransi/Jaminan Kesehatan FK UGM: Yogyakarta Mukti, Ali Gufron, 2007, Reformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan Prospek ke Depan, PT. Karya Husada Mukti: Yogyakarta Mukti, Ali Gufron, 2009, Pengembangan Jaminan Pembiayaan Kesehatan Dalam Kontes Kesejahteraan Minimum: Studi Kasus Di Indonesia. Dipaparkan dalam Seminar Nasional “Kesejahteraan Sosial Minimum” dalam Rangka Dies Natalies Ke 60 UGM Murti, Bisma, 2010, Strategi untuk Mencapai Cakupan Universal Pelayanan Kesehatan di Indonesia, disampaikan pada Temu Ilmiah Reuni Akbar FKUNS, di Surakarta, 27 November 2010 Normand C, Weber Z, 1994, Social Health Insurance: A guidebook for planning. World Health Organization and International Labour Office: Geneva Onwujekwe, O, dkk, 2011, Constraints to universal coverage: inequities in health service use and expenditures for different health conditions and providers, International Journal for Equity in Health, 20:50 Osborne, David and Ted Gaebler, 1993, Reinventing Government, Plume: New York Pokharel, B, 2000, Decentralization of Health Services, ICP OSD 1, WHO Project Rafei, U. M, 1996, Medical education reform in South‐East Asia: WHO perspectives, Medical Education, 30(6), 397-400 Regmi, K., Naidoo, J, Greer, A, dan Pilkington, P, 2010, Understanding The Effect Of Decentralisation On Health Services (The Nepalese Experience), dimuat dalam Journal of Health Organization and Management Vol. 24 No. 4, 2010 pp. 361-382. Emerald Group Publishing Limited Republic Act No. 7875,1994, Congress of The Philippines, Republic of The Philippines
66
Resolution WHA58.33. Sustainable Health Financing, Universal Coverage and Social Health Insurance. In: Fifty eight World Health Assembly, Geneva, 16-25 May 2005 Riant, ND, 2004, Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi. PT. Elex Media Komputendo: Jakarta Rondinelli, 1983, Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory And Practice in Developing Countrie Stewart Jr, J., Hedge, D., & Lester, J. P, 2007, Public policy: An evolutionary approach. Cengage Learning The Affordable Care Act, diunduh dari www.healthcare.gov/law/full/ Thoha, M, 1984, Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta Turner, Mark and David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development: Making the State Work. Basingstoke: Macmillan Trisnantoro, L, 2005, Aspek Strategis dalam Manajemen Rumahsakit. Antara Misi Sosial dan Tekanan Pasar, Andi Offset Trisnantoro, L, 2009, Apakah Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Dapat Terus Dilaksanakan? Sebuah Analisis Sejarah dan Budaya, di muat dalam Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, hal 12 (03) Vallee, AQ, 2012, Assessing barriers to health insurance and threats to equity in comparative perspective : The Health Insurance Access Database, BMC Health Service Research 12 : 107 Von Hauff, M, 2002, The Relevance of Social Security for Economic Development. Social Protection in Southeast and East Asia, FES: Singapore Wahab, SA, 1997, Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta Winarno, Budi, 2007, KebijakanPublikTeoridan Proses, Media Pressindo, Yogyakarta World Health Organization, 2010, The World Health Report 2010. Health Systems Financing: the Path to Universal Coverage, World Health Organization, Geneva World Health Organization, 2007, Everybody Business : Strengthening Health Systems to Improve Health Outcomes : WHO’s framework for action WHO, 2005, Achieving Universal Health Coverage: Developing the Health Financing System. Technical Brief for Policy-makers. Number 1, 2005. World Health Organization, Department of Health Systems Financing, Health Financing Policy
67
Widaningrum, Ambar, 2007, Dinamika Pelaksanaan Desentralisasi Birokrasi Pelayanan Kesehatan .Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ; ISSN 1,4104946, Jakarta Yin, RK, 2008, Studi Kasus : Desain dan Metode. Rajawali Pers, Jakarta di unduh melalui http://www.jamsosindonesia.com/jamsosda/detail/102 http://www.brookings.edu/blogs/fixgov/posts/2013/10/24-affordable-care-actimplementation-trust-in-government-dropp-jackman-jackman# https://www.healthcare.gov/health-insurance-marketplace/ https://www.healthcare.gov/what-does-marketplace-health-insurance-cover/ PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-undang No. 25 Tahun 2009, tentang Pelayanan Publik Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011, tentang BPJS Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8737) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 beserta Lampiran Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 Peraturan Menteri PAN No. 13 Tahun 2009, tentang Pedoman Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat; Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 17 tahun 2012 tentang Tim Penyiapan Pelaksanaan BPJS
68
Kepmenkes No 828/Menkes/SK/IX/2008 Tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/kota. Kepmenkes No 374/Menkes/SK/V/2009 tentang Sistem Kesehatan Nasional 2009 Permenkes Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Kesehatan Perorangan; Kepmenkes nomor 061/Menkes/SK/II/2012 tentang Kelompok Kerja Persiapan Pelaksanaan SJSN
69
CURRICULUM VITAE IDENTITAS : Nama
: dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS
Pangkat
: Brigadir Jenderal TNI s.d 2010, alih status menjadi PNS gol. IVe (pensiun 31 Agustus 2014)
Tempat/Tanggal lahir : Pringsewu-Lampung / 11 Agustus 1954 Status
: Kawin / anak 3
Agama
: Islam
Alamat Rumah
: Jl. Rantai Timah G-27, KPAD Bulak Rantai, Jakarta Timur 13540
Telepon
: 021.80871146, 0811849039, 081231123456
E-mail
:
[email protected] /
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN UMUM : SD Xaverius – Pringsewu Lampung
lulus 1966
SMP Xaverius – Pringsewu Lampung
lulus 1969
SMAN III – Yogyakarta
lulus 1972
Fakultas Kedokteran – UGM
lulus 1979
Spesialis Pulmonologi – FKUI
lulus 1989
Pasca Sarjana Bidang MANAJEMEN : KARS – Fak.KESEHATAN MASYARAKAT - UI
lulus 1998
70
Peserta Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan - FK UGM: Masuk 2010 DISERTASI : FORMULASI STRATEGI
INTEGRASI JAMKESDA KE JKN MENUJU UNIVERSAL HEALTH COVERAGE
RIWAYAT PENDIDIKAN MILITER dan KURSUS KURSUS : SEKOLAH PERWIRA WAJIB MILITER (SEPAWAMIL) ABRI – GEL III :
1979 - 1980
KURSUS ORIENTASI PERWIRA KESEHATAN TNI AD.
1980
KURSUS DASAR TERJUN PAYUNG/PARA.
1980
KURSUS PERWIRA BEDAH LAPANGAN (PACHIRLAP).
1981
KURSUS INSTRUKTUR ADVANCED TRAUMA LIFE SUPPORT / ATLS.
1998
SEKOLAH PERALIHAN PERWIRA KESEHATAN (SEKALIH PAKES).
1991
KURSUS MANAJEMEN : CORPORATE CRISIS MANAGEMENT
2003
KURSUS MANAJEMEN : AUDIT PERFORMANCE EVALUATION
2004
EXECUTIVE LEADERSHIP PROGRAM IN SERVICE DELIVERY (University of Technology Sydney) :
2014
RIWAYAT JABATAN : SEKRETARIS JENDERAL KEMENKES RI.
2012-Agust 2014
DIRJEN BINA UPAYA KESEHATAN
2010 - 2012
ANGGOTA DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL (DJSN)
2011 - sekarang
KOMISARIS UTAMA KIMIA FARMA
2013 - sekarang
KOMISARIS UTAMA INDOFARMA
2012 – 2013
KOMISARIS UTAMA KIMIA FARMA APOTIK
2011 - 2012
DIREKTUR KESEHATAN TNI AD.
Feb-Juli 2010 71
72
KEPALA / DIRUT RSPAD GATOT SOEBROTO.
2008 - 2010
WAKIL DIREKTUR KESEHATAN TNI AD.
2007 - 2008
SEKRETARIS DIREKTORAT KESEHATAN TNI AD.
2006 - 2007
KEPALA SUBDIREKTORAT PELAYANAN KESEHATAN DIREKTORAT KESEHATAN TNI AD.
2004 – 2006
KEPALA KESEHATAN KODAM JAYA.
2002 - 2004
KEPALA/DIRUT RS M.RIDWAN MEURAKSA - KODAM JAYA.
2000 - 2002
DIREKTUR PAVILIUN DARMAWAN- RSPAD GATOT SOEBROTO
.
1996 - 2000
DIREKTUR PAVILIUN KARTIKA - RSPAD GATOT SOEBROTO.
1994 - 1996
WAKIL DIREKTUR PAV.KARTIKA - RSPAD GATOT SOEBROTO.
1993 - 1994
KEPALA URUSAN MEDIK - DEPARTEMEN PULMONOLOGI RSPAD GATOT SOEBROTO.
1989 – 1993
PERWIRA DIREKTORAT KESEHATAN TNI AD ( Pendidikan dokter spesialis pulmonologi di FK UI ).
1985 – 1989
KEPALA KESEHATAN KARSA YUDHA 5 - GRUP 4 KOPASSANDHA /KOPASSUS TNI AD.
1982 – 1985
KEPALA KESEHATAN DETASEMEN TEMPUR 113- GRUP 1 KOPASSANDHA/ KOPASSUS TNI AD.
1981-1982
PERWIRA URUSAN POLIKLINIK UMUM - KESEHATAN KOPASSANDHA / KOPASSUS.
1980 - 1981
73
TANDA PENGHARGAAN : Satya Lencana Kesetiaan
8 Tahun
Satya Lencana Kesetiaan
16 Tahun
Satya Lencana Kesetiaan
24 Tahun
Satya Lencana Dwija Sista Bintang Kartika Eka Paksi Nararya
KEGIATAN PENDIDIKAN : Dosen tamu FK-UNS Surakarta
1992 - 2000
Dosen. tamu FK-UPN Jakarta
2000 - 2010
Dosen tamu program S2 KARS-UI 2002- sekarang Mata Kuliah : Manajemen Strategi RS, Sistem Informasi Manajemen RS, Change Management Ketua Badan Penasehat FK-UPN Jakarta
2008 - 2010
Instruktur ATLS
1998 - 2010
74