BULETIN KAJI
EDISI AGUSTUS 2017
KRITIS – AKTUAL – JUJUR - INDEPENDEN SAPA REDAKSI Dengan mengucapkan rasa syukur, akhirnya Lembaga Kajian Mahasiswa mampu menyuguhkan kembali Buletin Kaji LKM Edisi Agustus. Merupakan buletin pertama pada periode tahn 2017 setelah hiatus beberapa bulan lalu. Kali ini kami menyajikan Buletin Kaji yang membahas pengalaman berbuku mahasiswa. Tersaji pula liputan berdasarkan penelitian, esai dengan tema serupa, hingga cerpendan puisi yang bercerita dengan nuasa yang serupa pula dengan pengalaman berbuku. Tak lupa, terselip liputan khusus yang menambah keragaman suguhan pada buletin ini. Akhir kata, selamat membaca Buletin Kaji LKM UNJ dengan tema Membaca Pengalaman Berbuku. Mari tunjukkan semangat berliterasi! Salam, Tim Redaksi LEMBAGA KAJIAN MAHASISWA Sekretariat :Ruang 305, Gedung G, Kampus A UNJ Facebook : Lembaga Kajian Mahasiswa – UNJ Instagram dan Twitter : @lkmunj
TIM REDAKSI Pembina Irsyad Ridho, M.Hum Penanggungjawab R. Bimo Wahyu Pemimpin Redaksi Ajeng Damara Redaksi Sarah, Ana Tria, Guntur Widhiyatmoko, Muthi, Ayenni Afriyani, Raden Bimo, Hadistian, Megawati Rusdiantoro, Qinthara Dwiputri, Adiba Ciptaningrum, Muguel Angelo, Prima Nandita, Tommy Juliansyah, Ghifani Azhar, Diana Dwi, Indrawana Sinaga. Desain Sampul dan Ilustrasi Miguel Angelo, Hadistian Penata Letak Qinthara Dwi Editor Ghifani Azhar Website : lkmunj.org Kontak : Ghifani (085780696381) Tommi (085885916950)
DAFTAR ISI SOSOK: Rumah Berpenghuni Buku (1), LIPUTAN UTAMA: Membaca Pengalaman Berbuku Mahasiswa (4). LIPUTAN KHUSUS: Mengenang Yang Terlupakan (8), ESAI: Bernalar Lewat Komik (11), Mencari Arti Dari Mem baca (14), Imajinasi Di Atas Kertas Tertulis (18), Buku Berfisik dan Digital (21), CERPEN: Seratus Rupiah (24), Hanya Gerbang Kecil (27), Ku Kutuk Kau Jadi Sampul Plastik! (32), Dunia 2.0 (37), RESENSI: Belenggu Manusia (42), ANTOLOGI PUISI (45)
SEGERA HADIR Seminar Wicara Publik Stadium Generale LEMBAGA KAJIAN MAHASISWA 2017 Info lebih lanjut: Sekretariat LKM UNJ Ruang 305, Lantai 3 Gedung G Kampus A UNJ Facebook : Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ Twitter : @lkmunj Instagram : @lkmunj Website : lkmunj.org Kontak : Tommi (085885916950)
SOSOK
Rumah Berpenghuni Buku Mahasiswa tidak membaca buku seperti sepatu bot Sepatu itu hanya digunakan tetapi tidak dilihat manfaat dari sepatu tersebut Oleh Sarah dan Ana Tria Purnama Prodi Pendidikan Sosiologi dan Sosiologi Pembangunan
dokumentasi pribadi
Pembaca berbangga diri jika ruang-ruang rumahnya di-huni buku. Buku tertata rapi saling berdempet di lemari-lemari yang berdiri kokoh. Ruang disediakan khusus laiknya sebuah kamar un-tuk buku. Dilengkapi dengan kursi untuk kenyamanan sang pemilik berinteraksi dengan bukunya. Menjadikan tempat tersebut favorit bagi pemiliknya. Tak hanya menjadi ruang baca, ruang yang berukuran 2x2 ini sebagai tempat untuk mengawinkan ide dan pikirannya. Mengakrabi buku mesti
sering dilakukan agar buku-bu-ku itu tidak kesepian. Tak jarang beberapa buku diajak menema-ni sang pemilik bepergian. Buku dibaca saat di perjalanan dalam mobil atau diselasela kesibukan bekerja. Tubuh menampik lelah ketika menyandang perjumpaan dengan buku. Robertus Robet atau yang sering disapa Pak Robet tetap berikhtiar membaca buku meski-pun sudah sibuk bekerja sebagai dosen di jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ia sudah
1
SOSOK menyenangi buku sejak Sekolah Dasar (SD), kegemaran membaca buku sejak kecil ini menjadi kebiasaan hingga sekarang. Hari-hari libur sekolah diisinya dengan membaca buku dongeng dan novel. Kebiasaan ini dilanjutkan-nya ketika menginjak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tak hanya dongeng dan novel ia mulai mem-baca tokohtokoh pemikiran barat. Kelas diisi oleh beberapa guru yang senang bercerita dan berbagi pen-galaman. Cerita-cerita dari para guru mendorong Robertus Robet untuk mencari tahu lebih jauh le-wat berbagai bacaan. Buku-buku pemikiran, jurnal, majalah, dan novel sudah dibacanya sejak SMP. Di Sekolah Menengah Atas (SMA), Robertus Robet sudah berkenalan dengan buku bacaan yang berat seperti filsafat dan politik. “Saat masih sekolah saya lebih sering membaca buku ketika hari libur. Di sekolah saya, ada perpustakaan yang dapat dipinjam bukunya. Menjelang liburan saya meminjam buku banyak-banyak untuk persiapan mengisi waktu libur dengan membaca,” ujarnya ketika menjelaskan waktu yang paling sering untuk membaca. Lulusan University of Birmingham ini dengan jurusan Political Thought sangat menghargai waktu. Menurutnya waktu yang
paling baik saat membaca buku adalah ketika waktu kosong. Tak ada yang paling indah ketika wak-tu kosong dipakai untuk membaca. Diri sudah terdorong untuk membaca semenjak kecil. Robertus Robet sejak awal sudah mandiri untuk mencari buku bacaannya sendiri. Hingga sekarang pun sudah banyak bukubuku yang ia tulis berkat modal membacanya sejak Sekolah Dasar (SD). Menuju Kewarganegaran Substantif di In-donesia (2006), Republikanisme dan Keindonesiaan (2006), Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia (2008), Kembalin-ya Politik (2008), Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Em-ansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj Žižek (2010) me-rupakan karya-karya yang ia tulis sejak menjadi mahasiswa. Kadang bertukar buku dengan teman atau tetangga. Sesekali mendatangi tempat penyewaan buku dan pergi ke toko buku bekas jika sedang memiliki uang. Majalah Prisma dan buku-bu-ku konsep sering dibelinya. Per-jalanan ke toko buku kadang dilakukannya sendiri atau bersama teman. Toko buku menjadi kelas idaman bagi pelajar-pelajar yang gurunya adalah buku. “Dulu di Lampung ada beberapa toko buku bekas. Yang pasti
2
SOSOK harganya lebih murah dan bukunya asli jadi saya beli di sana,” pa-parnya. Keinginan memiliki buku terkadang mengalami beberapa kendala. Misalnya terlalu banyak buku yang sudah diincar namun harganya terlalu mahal. Maka, tidak semua buku dapat dibawa pulang, buku dipilih lagi menu-rut pertimbangan mana yang paling disukai. Robertus Robet juga sering mencuri buku di toko atau perpustakaan. Mencuri sengaja dilakukan untuk memenuhi hasrat memiliki buku. Mencuri buku dipandangnya tidak berdosa se-bab menunjukan hasrat membaca mahasiswa telah melampaui jumlah uang yang dimiliki. Pencuri buku dianggap lebih bermartabat ketimbang pencuri isi buku. “Buku bagi saya adalah sumber imajinasi. Jika kita membaca buku maka imajinasi kita akan bertambah luas. Itu peran buku yang paling penting. Tidak masalah buku itu adalah prosa, fiksi ataupun konsep, buku samasama membentuk imajinasi kita. Misalnya, buku konsep yang kita baca dapat mengajak kita ber-pikir dan kemudian berimajinasi. Novel mengenalkan kita pada ber-bagai tipe manusia sehingga dari situ kita dapat terbantu untuk berimajinasi,” jawabnya menjelaskan
akan pentingnya buku. Sebagai dosen, Robertus Robet merasakan jika rendahnya kualitas skripsi merupakan dam-pak dari kurangnya bacaan mahasiswa. Tanpa rela berlelah diri, mahasiswa kini hanya membaca konsep-konsep dari blog. Pasalnya bloger adalah tulisan seseorang yang belum diuji secara akademik kevalidasiannya. Mahasiswa tidak memahami konsep secara penuh kemudian menuliskan konsep ter-sebut di dalam skripsinya. Dengan memilih cara yang instan ini me-nyebabkan skripsi menjadi tidak bermutu, kurang gagasan dan ti-dak memiliki konsep. “Mahasiswa tidak mem-baca buku seperti sepatu bot,” ujarnya menjelaskan rendahnya gelar mahasiswa jika tidak membaca buku. Mendengar pernyataan Robertus Robet, mahasiswa mesti lekas membaca buku.
3
RISET
Membaca Pengalaman Berbuku Mahasiswa Oleh Guntur, Muthia, dan Sarah Prodi Manajemen, Pendidikan Luar Biasa, dan Pendidikan Sosiologi Mengisi kuesioner menantang ingatan untuk tak segera melupakan pengalaman berbuku. Kuesioner juga turut menjadi penegur, sudah berbukukah dirimu selama ini? Seratus mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengisi kuesioner untuk membagi pengalaman membaca mereka. Buku-buku yang sudah terbaca menuntut untuk dipatenkan dalam ingatan mahasiswa. Buku memang tidak menjanjikan nilai tinggi namun buku menyimpan martabat akan simbol mahasiswa sebagai jabatan intelektual. Buku-buku molek dengan berbagai jenis membujuk mahasiswa untuk membacanya. Buku sastra menjadi yang paling sering singgah di tangan mahasiswa. Sebanyak 36% mahasiswa memilih untuk menjadikan buku sastra sebagai bacaan utama. Disusul dengan mahasiswa yang memilih buku hiburan sebanyak 21%, buku agama sebanyak 15%, buku sejarah sebanyak 9%, dan buku motivasi sebanyak 7%. Si-sanya 12% mahasiswa memilih buku jenis lain seperti hukum, ekonomi, matematika dan sosial.
Tere Liye patut sumringah sebab namanya menjadi penulis yang paling sering disebut maha-siswa. Bukunya tak diragukan telah sering singgah di rak buku mahasiswa. Ketenaran Tere Liye berhasil mengalahkan nama-nama penulis lain yang berada di urutan setelahnya yaitu Andrea Hirata, Raditya Dika, Habiburrah-man El Shirazy, Pidi Baiq, Salim A. Fillah, Felix Siauw, Ayu Utami dan Asma Nadia. Mereka adalah 9 penulis yang namanya paling sering disebut oleh mahasiswa. Penulis lain telah jarang disebut atau bahkan hilang sama sekali dari ingatan.
Membaca menjadi pe-ristiwa berkejaran dengan waktu. Sudah berapa buku yang kamu lahap habis dalam satu tahun? Pertanyaan seakan sinis
4
RISET menggugat banyaknya bacaan buku yang sudah diselesaikan. Mahasiswa tertantang untuk jujur dan mengakui banyaknya buku yang telah dibaca. 2% mahasiswa menjawab menghabiskan kurang dari satu buku dalam setahun, 39% mahasiswa menghabiskan kurang dari lima buku, 27% mahasiswa menghabiskan kurang dari 10 buku, 16% mahasiswa menghabis-kan kurang dari lima belas buku, 6% mahasiswa menghabiskan kurang dari dua puluh buku, dan 10% mahasiswa menghabiskan di atas dua puluh buku.
Gramedia menjadi toko buku yang paling sering dikunjungi mahasiswa di Jakarta sebanyak 69%. Lainnya sebanyak 9% memilih membeli di lapak buku pasar Senen, 1% memilih membeli di lapak buku Blok M, dan 15% memilih membeli buku di toko lainnya.
Di dalam toko buku, tan-gan mahasiswa bergiat memilih buku tanpa mengingat waktu. Nafsu membeli dan membaca buku seakan mengesampingkan setumpuk nafsu untuk membeli cemilan demi bekal nongkrong bersama teman atau pacar. Uang disisihkan demi memenuhi hasrat membaca buku. Namun ibadah membeli buku sepertinya masih jarang dilakukan mahasiswa. 1% mahasiswa mengaku tidak pernah membeli buku. 50% mahasiswa membeli kurang dari lima buku dalam satu tahun, 27% mengaku membeli kurang dari sepuluh buku, 8% mahasiswa mengaku membeli kurang dari
Buku yang berjejer di rakrak toko menunggu mahasiswa untuk membelinya. Buku berlomba mempercantik diri agar pembeli tertarik memilih-nya di antara ribuan buku lain. Buku kini mulai belajar bergaya di depan kamera untuk dijual secara online. 8% mahasiswa telah memilih untuk mem-beli buku secara online. Sementara
5
RISET lima belas buku, 10% mahasiswa mengaku membeli kurang dari dua puluh buku, dan 4% mahasi-swa mengaku membeli di atas dua puluh buku.
seperti tempat penyewaan buku.
Meminjam buku dilako-ni untuk memenuhi keinginan membaca buku. Setidaknya buku telah terbaca walaupun tak sang-gup untuk dimiliki. Meminjam buku menyimpan kegelisahan akan terkena denda, hilang atau-pun rusak. Terlepas dari resikonya, meminjam menjadi solusi mudah untuk memenuhi keinginan membaca yang kelewat besar di-bandingkan besaran jumlah uang di dompet. 36% mahasiswa me-milih meminjam buku di perpu-stakaan kampus, 55% mahasiswa memilih meminjam buku kepada teman, 1% mahasiswa mengaku memilih meminjam buku di perpustakaan swasta, 1% maha-siswa tidak pernah meminjam buku, dan 7% mahasiswa memilih meminjam buku di tempat lain
6
Buku-buku yang telah dipinjam mesti lekas dibaca untuk segera dikembalikan. Telat mengembalikan buku di perpustakaan berarti mengeluarkan uang untuk membayar denda. Lama mengembalikan buku yang dipinjamkan teman berarti harus rela menanggung tagihan buku untuk dikembalikan. Maka meminjam buku mesti mempertimbangkan jum-lah buku yang dipinjam dan la-manya waktu membaca. 1% maha-siswa menjawab tidak pernah meminjam buku, 57% meminjam buku kurang dari lima, 25% me-minjam buku kurang dari sepuluh, 11% meminjam buku kurang dari lima belas, 2% meminjam buku kurang dari dua puluh, dan 4% meminjam buku di atas dua puluh.
RISET Sepasang tangan mengakrabi buku lewat berbagai pertemuan. Toko buku, dosen, teman, keluarga, dan perpustakaan mempertemukan kita dengan buku le-wat berbagai cara. Ada beda kisah dalam setiap pertemuan dengan masingmasing buku. Setyaningsih dalam buku Serbu (2017) bercerita mengenai buku Pippi Si Kaus Kaki Panjang yang ditemuinya di toko buku bekas Blok M. Buku penuh coretan tidak karuan membuat Setyaningsih menebak jika pemilik sebelumnya berwatak anarkis dan tidak mencintai buku dengan kasih. Buku sudah sering bercerita mengenai pemiliknya. Namun sudahkan sang pemilik bercerita mengenai semua bukunya? Pertemuan dengan buku membuat kesan seakan kita ber-temu dengan teman atau kekasih setelah lama tidak berjumpa.
Membaca tak hanya menghadirkan buku dan pembaca. Membaca sering kali mesti memiliki syarat ruang yang tenang dan nyaman. Membaca mencipta keengganan akan gangguan orang lain. Rumah dipilih 73% mahasiswa sebagai tempat yang paling cocok untuk membaca buku. Mahasiswa tidak banyak berbuku di lingkungan kampus, sebab hanya 9% mahasiswa yang memilih menghabiskan waktu untuk membaca buku di perpustakaan. Selebihnya memilih kafe sebanyak 1%, memilih bus sebanyak 1%, memilih taman sebanyak 6%, dan 10% memilih membaca di tempat lainnya.
dakwatuna
7
LIPUTAN KHUSUS
Mengenang yang Terlupakan Oleh Ayenni Afriyani, Prodi Pendidikan IPS Parade Utuy Tatang Sontani beberapa waktu lalu telah usai, teater ini dibawakan oleh Teater Zat yang merupakan Komunitas Seni Bidang Teater di Prodi Bahasa dan Sastra Indoneisa. Teater ini dilakukan selama dua hari dengan menampilkan tiga teater, yaitu Subang dan Lukisan pada tanggal 18 Mei 2017 pukul 15.30, Keluarga Wangsa pada tanggal 18 Mei pukul 19.30, dan Sayang Ada Orang Lain pada tanggal 19 Mei 2017 pukul 19.00. Dengan persiapan sela-ma dua bulan. Cukup membeli tiket sseharga Rp 10.000,00 untuk menyaksikan 3 drama.
Drama Subang dan Lukisan, serta Keluarga Wangsa diangkat dari karya cerpen eksil Utuy Tatang Sontani. Sedangkan, drama Sayang Ada Orang Lain di angkat dari naskah dramanya. Sayang Ada Orang Lain merupakan salah sebuah naskah drama yang banyak dipentaskan pada tahun 1950-an yang diantaranya pernah dipanggungkan sukses di Gedung Kesenian Jakarta dengan Sutradara Nugroho A.N dan pemain S. Effendi, Fatimah Adi, dan Suminta. Menurut sutradara Keluarga Wangsa, yaitu Ahmad Zaelani, Utuy Tatang Sontani sengaja diangkat untuk tema drama kali ini karena ada satu hal yang sangat penting dari diri Utuy Tatang Sontani. Di mana ia pergi ke RRC untuk menjalani pengobatannya tetapi tidak pernah kembali lagi ke tanah air. Dan juga naskah-naskahnya atau buku Utuy tidak boleh diterbitkan. Tiga judul drama Utuy Tatang Sontani sengaja diangkat karena saling berhubungan satu sama lain. Di mana Subang dan Lu-kisan menampilkan drama yang memerankan perekonomian kelas atas, Keluarga Wangsa dengan
Dokumentasi pribadi
8
LIPUTAN KHUSUS perekonomian tengah-tengah, dan Sayang Ada Orang Lain dengan peran keluarga dengan perekonomian menengah bawah alias miskin. Jadi, dari penuturan Ahmad Zaelani, perekonomiannya dari kelas atas ke kelas bawah. Teater Zat yang telah ber-diri selama 22 tahun. Tak sembarangan mencomot naskah-naskah tersebut untuk dijadikan teater. Akan tetapi, dilakukan kajian dan bedah naskah terlebih dahulu. Mulai dari tulisan Ajip Rosidi, tulisan dari Komunitas Salihara, sam-pai tulisan dari buku Utuy Tatang Sontani. Hal ini untuk mengetahui seberapa pentingnya naskah itu diangkat.
Dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain (2010) oleh Ajip Rosidi yang sempat bersi-lat pandangan Utuy. Berdasar-kan pengalamannya, Utuy mer-upakan teman dekatnya dengan satu organiasi yang sama yaitu, anggota BPB (Beungkeutan Pan-gulik Budaya) Kiwari. Kemudian Utuy dikeluarkan dari BPB karena mempunyai paham yang berlain-an dengan Lekra yang diikuti oleh Utuy. Pada keadaan politik yang memanas pada sekitar 1964 Utuy memberikan ceramah mengenai kesustraan Sunda yang kemudian dimuat pada majalah Jaman Baru terbitan resmi Lekra. Dia yang seumur hidupnya tidak suka akan te-ori dalam tulisannya itu mencoba menerapkan tentang teori pertentangan kelas dalam menganalisa kesustraan Sunda, yaitu menganggapnya terbagi menjadi kelas atas (menak) dan kelas bawah (rakyat). Sebelumnya drama dari Utuy Tatang Sontani pernah diangkat pada tahun 2014 un-tuk teater kelas. Namun pada
Belum banyak yang mengetahui sosok Utuy Tatang Sontani rata-rata pada mengenal Pramoedya Ananta Toer. Ini ka-rena sosok Utuy yang tak pernah terdengar. Padahal Utuy dan Pramoedya sama-sama berasal dari pujangga angkatan 45. In-ilah yang membuat Teater Zat mengambil sosok Utuy.
dokumentasi pribadi
9
LIPUTAN KHUSUS
kesempatan bulan Mei 2017 lalu, diangkatlah oleh Teater Zat di Aula Gedung S Universitas Negeri Jakarta. Untuk pemilihan tokoh pemeran di dalam teater. Pria yang sedang skripsi sekaligus sutradara ini memilih pemain melalui proses pemilihan. Dimulai dari segi fisik apakah cocok atau tidak memerankan tokoh tersebut, hingga melihat proses mereka sebelumnya di teater zat, agar tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan peran. Akan tetapi, untuk kehadiran penonton pada hari pertama yang pukul 15.30 tidak terlalu ramai dikarenakan masih terbilang sore hari. Namun, pada teater yang berpentas malam hari cukup ramai. Sebelumnya pun, mereka merencanakan teater Parade Utuy Tatang Sontani untuk sehari saja pada malam hari, akan tetapi tidak memungkinkan. Teater Zat yang beranggotakan kurang lebih 30 orang ini tidak hanya berasal dari prodi atau jurusan Bahasa dan sastra Indonesia (JBSI) saja, mereka terbuka untuk prodi mana saja. Berbeda
10
dengan empat tahun sebelumnya Teater Zat hanya anak JBSI. Tetapi mulai terdengar Teater Zat ke prodi lain karena sering tampil di acara-acara kampus, seperti seminar. Lama-kelamaan antusiasme mahasiswa mengikuti teater Zat. Dari penuturan pimpinan produksi yaitu, Windy Ekananda yang bertugas mengepalai proses produksi dan manajemen mengatakan, tidak ada tantangan dalam memimpin Parade Utuy Tatang Sontani ini. Hanya saja memerlukan proses produksi yang cepat karena adanya keterbatasan waktu. Tanggapan hadir dari penonton pertunjukan terakhir saat ditanya mengapa menyempatkan diri untuk menyaksikan drama mengenai Utuy Tatang Sontani. Menurut Mussab Askarullah Utuy selalu mengangkat isu sosial yang coba dibenturkan dengan hal lain, seperti logika sosial dengan agama maupun moral, yang memang selalu berjalan bersamaan. Baginya Teater Zat telah mampu menggambarkan hal tersebut.
ESAI
Bernalar Lewat Komik Oleh Raden Bimo Wahyu Wibowo, Prodi Pendidikan Ekonomi Terkadang, bacaan komik bagi masyarakat di Indonesia bukan merupakan bacaan yang esensial. Komik menjadi bacaan yang direndahkan di kalangan masyarakat. Pandangan pun negatif tersebar dari membaca komik. Membaca komik, menciptakan kesan membaca yang tidak ada gunanya. Komik dianggap bukan bacaan yang mengasah nalar. Ba-nyak orang tua yang menganggap membeli komik hanya membuang uang saja. Apalagi, komik saat ini dijual dengan harga yang mahal. Kesenangan anak dalam membaca komik menjadi hambatan prestasi belajar bagi sekolah. Anggapan dalam pendidikan mengharuskan kita hanya belajar bacaan yang berisi materi pelajaran, bukan komik yang diang-gap tidak mengasah nalar. Komik juga menjadi kekhawatiran orang tua karena takut membuat anak menjadi malas belajar. Orang tua lebih menyukai anaknya untuk mengikuti bimbingan belajar agar anak itu terus-menerus belajar. Fenomena tersebut kerap dialami oleh masyarakat kita. Sehingga kita yang mengalami juga
11
pernah merasakan jenuh akibat belajar dari pagi hingga malam. Cara untuk merefleksi diri kita dari kegiatan tersebut adalah mencari hiburan, salah satu-nya dengan komik. Media komik menjadi media yang populer di-gunakan untuk mengubah para-digma kaku dan membosankan dari membaca buku sejarah, budaya, atau pun buku pelajaran. Komik Bersabdalah Zarathustra karya Nietzsche merupakan karya sastra yang dijadikan komik dan sempat terkenal pada saat itu. Sementara komik Kartun Riwayat Perada-ban Modern karya Larry Gonick membuat kita memahami sejarah seorang tokoh lebih mudah lewat gambar dan dialognya yang dipadukan dengan alur sejarah nyata. Di lain hal, komik dijadikan aplikasi yang sangat populer. Untuk membaca komik sekarang ini, cukup melalui aplikasi Line Webtoon. Di sana terdapat komik Nusantara Droid War (NDW). Ko-mik ini memberitahu kepada kita bahwa Indonesia punya berba-gai macam kisah dongeng dan legenda yang menarik dan dipadukan dalam seni komik modern
ESAI
bergenre fantasi action. Komik NDW seolah mengingatkan ke-pada kita bahwa Indonesia harus melestarikan budaya ataupun ceritanya agar generasi mendatang masih mengetahui kisahnya. Dalam mengetahui posisi komik, kita dapat melirik tulisan Darminto M. Sudarmo yang berjudul Posisi Kartun Kontemprer (Kompas, Sabtu, 22 Juli 2017) menyatakan bahwa para seniman mengeksplorasi ikonografi komik dan kartun untuk menunjukan identitas, agenda politik, sosial, ras, dan budaya mereka sendiri. Laiknya komik di negara Jepang yang sudah menjadi suatu produk yang di banggakan oleh masyarakatnya. Bahkan, perubahan budaya Jepang dipengaruhi oleh komik. Salah satu komik yang mengu-bah budaya Jepang yaitu Captain Tsubatsa. Komik bergenre olah raga ini mengubah budaya Jepang yang tadinya tidak mengenal sepak bola menjadi menyukai sepak bola. Jepang, memang sudah identik dengan komik. Sebut saja Doraemon, One piece, Na-ruto, Detective Conan, dan Fairy Tail menjadi bacaan orang dari
seluruh dunia. Bahkan, komik dan animasi Doraemon men-jadi kebanggaan orang Jepang. Ini ditandai dengan dibuatnya museum Doraemon, yang barangkali menjadi ikon dari dunia animasi dan komik di Jepang. Warga Jepang, seolah mempunyai kebanggaan tersendiri dengan dibuatnya museum Doraemon untuk di pamerkan kepada dunia. Seno Gumira Ajidarma dalam buku Panji Tengkorak menyatakan bahwa membaca komik berarti membaca perjuangan ideologi dalam pergulatan antarwacana (hlm. 7). Dalam komik One Piece pada kisah negeri Alabasta, Luffy sebagai tokoh utama sebagai bajak laut bertarung melawan Crocodile. Crocodile adalah seorang Shichibukai yang notabanenya adalah bawahan pemerintah dunia. Crocodile bermaksud jahat menghancurkan sebuah negeri padang pasir, Alabasta. Angkatan laut tidak bisa menghalangi Crocodile meskipun tahu bahwa dia bermaksud jahat, tetapi angkatan laut tidak punya bukti apapun. Alhasil, angkatan laut hanya berharap kepada
12
ESAI
kelompok bajak laut Topi Jerami menundukan Crocodile. Dalam komik itu terjadi pergulatan antarwacana yang dimaksud Seno Gumira. Pemerintah yang kita kenal berkarakter baik dan bajak laut yang berkarakter jahat malah menjadi sebaliknya di komik tersebut. Dibuktikan bahwa pemerintah tidak berkutik melawan kejahatan dan malah bergantung kepada bajak laut yang selama ini kita anggap sebagai tokoh penjahat. Dari komik, kita bisa belajar arti hidup yang tidak selalu lurus. Membaca komik sama saja seperti kita membaca buku pada umumnya. Komik membuat kita memahami arti hidup seperti orang lain dengan segala konflik yang dialaminya dan menjadi pembelajaran bagi kehidupan kita. Tidak jauh berbeda seperti kita membaca buku biografi. untuk
13
google.com
ESAI
Mencari Arti Dari Membaca Oleh Hadistian, Prodi Pendidikan Geografi
freepik.com
Bukan dengan kekerasan apalagi menggunakan tipu muslihat untuk melawan ketidakadilan. Begitu juga memakai pena untuk membuat kata pembangkit semangat. Bahkan menggunakan ucapan kata yang menggetarkan dalam menaikkan hasrat untuk melawan.
beberapa pimpinan gerilyawan Vietcong membaca buku karangan A.H Nastion. Cara bergerilya dalam buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya ini mampu mengalahkan tentara Amerika Serikat sebagai lawannya. Kegiatan membaca juga merupakan sumber dari kita untuk melawan penindasan, kebodohan, ketertinggalan, ketidaktahuan bahkan keterpurukan suatu bangsa. Dengan membaca, kita juga dapat melawan segala bentuk penindasan. Terutama penindasan terhadap sesama manusia. Melalui membaca kita juga dapat mencengkeram cakrawala dunia yang begitu luas. Sebagaimana adagium “Membaca adalah
Berperang, menulis dan berorasi memang dikatakan merupakan cara untuk melawan. Tetapi, tidak akan ada keberhasilan yang diraih tanpa membaca. Tanpa membaca tidak akan keindahan, seni ataupun cara untuk melawan. Melalui membaca kita akan mengetahui itu semua. Sebagai contoh cara dalam melawan tersebut ialah saat terjadi perang Vietnam,
14
ESAI jendela dunia” yang diartikan bahwa melalui membaca kita da-pat melihat dunia yang begitu luasnya. Sehingga, menjadikan membaca buku merupakan hal penting saat ini.
sabda Tuhan. Khususnya di agama islam, terdapat sebuah wahyu yang pertama kali diperintahkan. Wahyu tersebut ialah iqra atau bacalah. Bukan tulislah atau orasilah. Dalam wahyu tersebut mengajarkan kita harus dapat membaca. Sehingga, sudah jelas bahwa membaca merupakan peran penting dalam kehidupan. Kegiatan ini yang harus dilakukan dalam menemukan suatu kebenaran yang dijadikan dasar dalam melawan.
Buku-buku yang telah ditulis alangkah baiknya kita baca. Bukan dijadikan penghias dinding dengan disusun seindah mungkin. Apalagi hanya dijadikan penghias di kedaikedai kopi modern. Tetapi, saat ini bagi sebagian orang menganggap urusan membaca kurang penting dibandingkan urusan perut. Orangorang lebih menyenangkan membuat perut semakin di depan dibandingkan mengisi otak dengan ilmu melalui membaca. Mereka memajukan perut layaknya jargon dari perusahaan sepeda motor Jepang. Dibandingkan menyemai bibit ilmu di otak melalui membaca buku. Kita dapat mencontoh Muhammad Hatta yang merupakan seorang proklamator bangsa kita. Dirinya pertama kali mengoleksi buku pada tahun 1919. Hingga akhir hayatnya, ia selalu bergelut dengan buku. Tentu, bukan hanya membaca kisah cinta-cintaan, tetapi juga bahan bacaan yang dapat menjadikan nalar logika kita terasah.
Tetapi, dalam kenyataannya kita seolah enggan untuk melawan hal ini. Dapat dilihat dari hal kecil. Kita seringkali menceklis persyaratan pelayanan tanpa membacanya secara keseluruhan. Terutama yang berkaitan dengan layanan di media sosial. Persyaratan telah dibeberkan sejelas mungkin dan kita hanya melewatkannya secapat mungkin. Barangkali kita hanya bisa pasrah, bila dalam persyaratan tersebut disisipkan sesuatu yang merugikan kita. Membaca juga merupakan suatu yang penting dalam kehidupan bernegara kita. Hal ini dikarenakan negara kita merupakan sebuah negara demokrasi. Sehingga diperlukan suara dari pemikiran masyarakat yang penuh dengan nalar yang diperoleh dari
Bahkan jauh sebelum itu, anjuran membaca ada dalam
15
ESAI membaca. Bukan seperti tong kosong nyaring bunyinya. Sebagaimana yang dituliskan Daoed Joesoef dalam tulisannya yang berjudul Budaya Baca menjelaskan. “Sebuah demokrasi hanya akan berkembang, apalagi survive, di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu-individu yang merasa perlu membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.” Sehingga kita perlu membudayakan membaca sedini mungkin. Melalui budaya membaca setiap kata yang keluar bukan sekedar omong kosong. Tanpa memiliki bibit, bobot dan bebet. Tetapi, kata yang terucap memiliki arti sesuai dengan ilmu yang telah didapatkan melalui membaca. Bahkan, dengan membaca seseorang tidak akan menjadi anak bebek. Mengikuti ke berbagai arah induk pergi. Kita akan menggunakan nalar dan terus mengkaji dengan sumber rujukan buku yang telah di baca untuk mendapatkan kebenaran.
Dari ia pertama kali membaca hingga ia kecanduan dalam mem-baca. Dia mengisahkan dirinya yang terlahir dari seorang ibu dengan kegiatan gemar membaca. Begitu pun juga ayahnya. Menjadikan dirinya dan beberapa saudara kandung yang ia miliki turut memiliki kegemaran dalam membaca. Bahkan Frans Magnis-Suseno memulai membaca dengan begitu rakusnya saat berumur sepuluh tahun. Kegemaran membacanya menjadi ia diperingatkan untuk mempersiapkan sakramen kris-ma (upacara religius yang penting dalam umat katalik). Ia menyadari bahwa membaca betul-betul surga baginya. Melalui membaca tidak hanya memperluas cakrawala, melainkan juga merupakan pelepasan emosional dan membantu mengatasi kesulitan. Baginya membaca memiliki makna seperti diri yang ditarik keluar dari penjara perhatian berlebihan pada diri sendiri, melihat dunia, manusia, mengalami tantangan, terangsang dalam fantasi, bersemangat untuk melakukan sesuatu. Melalui kisah singkat tersebut kita dapat melihat membaca baginya bagaikan ada di surga. Dirinya memaknakan membaca bukan hanya memperluas cakrawala
Terdapat sebuah tulisan bertajuk “Bukuku, Surgaku” karya Franz Magnis-Suseno dan dimuat dalam buku berjudul Bukuku Kakiku. Dalam tulisannya ini ia mengkisahkan pengalamannya serta memaknai kegiatan membaca.
16
ESAI
saja tetapi lebih dari itu. Tetapi dapat dijadikan suatu pelepasan emosional dan membantu mengatasi kesulitan. Sehingga, dengan sedikit kisah tersebut kita seharusnya sudah mulai bergerak untuk membaca. Meskipun dimulai dari buku yang berhalaman tipis. Dikarenakan hal penting yang harus dilihat ialah cara kita berproses dalam membaca dan mencari makna dari kegiatan tersebut. Sebagai penutup mari bersama kita simpulkan membaca bukanlah hanya kegiatan mengisi waktu luang. Tidak juga sekedar menambah cakrawala ilmu tetapi lebih jauh dari itu. Dikarenakan membaca dapat melawan berbagai kebodohan, ketidaktahuan dan berbagainya. Dengan membaca kita dapat mengatasi kesulitan sebagaimana makna membaca yang dimiliki Franz Magnis-Suseno. Begitu juga dengan dikatakan oleh Daoed Joesoef sebagai penjaga keberlangsungan demokrasi dalam kehidupan bernegara kita.
freepik.com
17
ESAI
Imajinasi di atas Kertas Bertulis Oleh Megawati Rusdianto, Prodi Sosiologi Pembangunan Membaca, seringkali kata ini dijumpai dan didengar atau bahkan ditanamkan dari sejak kecil. Makna membaca rupanya memberikan banyak ambiguitas terhadap setiap orang. Rupanya membaca bukan hanya sekedar membaca tulisantulisan di atas kertas. Toh, sekarang zaman ini sudah maju, membaca pun juga mengalami perkembangan, yang saat ini membaca bukan hanya terletak pada tulisan-tulisan di atas kertas bukan? Pada generasi Z atau zaman milenium ini perkembangan teknologi semakin canggih, adanya gawai pintar yang menjadi kebutuhan atau bahkan gawai menjadi kebutuhan primer kita saat ini dibandingkan buku. Dulu, gawai hanya bisa untuk menelpon dan mengirim pesan dari jarak jauh namun kini gawai semakin canggih. Telepon genggam tak sekedar kita gunakan untuk melepon atau mengirim-kan pesan saja. Kita dengan mu-dah dapat mengakses segala hal dengan internet. Di zaman mile-nium ini, rasanya tak canggih bila kita tidak menggunakan internet. Kita dapat mengakses segala hal yang ingin kita tahu.
18
Tinggal ketik apa yang ingin dicari lalu klik enter dan semua infor-masi akan keluar melalui si “Mbah Google.” Namun, kita menjadi lupa bahwa tulisan-tulisan di atas kertas yang dicetak itu, yang biasa kita sebut buku, menjadi jauh dikalangan generasi Z ini. Kita mulai menyukai hal-hal yang instan dengan adanya si “Mbah Google.” Walau tak dapat kita pungkiri juga, bahwa buku mengalami perkembangan dalam bentuknya, buku tak lagi bisa kita pegang tapi kita dapat membacanya, ebook sebutannya. Padahal, jika kita tahu buku tak hanya sekedar memberikan informasi yang kita butuhkan atau mungkin hanya sekedar memberikan pelengkap sebagai tugas kuliah yang akhirnya buku itu akan ditaruh dan menjadi usang. Banyak buku-buku yang kita temui dengan beragam ilmu di dalamnya serta beragam pemikiran-pemikiran yang dapat kita kaji seperti buku filsafat, buku pengetahuan atau buku sa-stra. Buku juga membebaskan kita dari segala ketidaktahun. Sebenarnya dengan mela-lui buku juga membuat akal pikiran berimajinasi sendiri, dengan buku
ESAI sastra, novel misalnya, dengan membaca buku, novel cerita fiksi ataupun nonfiksi membuat kita tersungkur oleh imajinasi alam pikiran kita, bagaimana setiap ceritanya membuat kita membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi, misalnya dalam novel Perempuan Jogja (2001), yang meceritakan bagaimana perempuan Jogja berbeda dengan perempuan lainn-ya, bahwa perempuan jogja mem-punyai pikiran untuk memberontak, tapi tidak sampai hati untuk mengungkapkan. Rumanti yang dimadu oleh sang suami namun ikhlas dan tegar. Perempuan yang menjaga martabatnya sebagai iste-ri meskipun sang suami lupa diri. Dialah perempuan yang memahami hak-haknya, perkasa dan tidak cengeng, Rumanti seorang perempuan yang memiliki definisi tersendiri mengenai gender dan feminisme. Dialah perempuan Jogja. Novel ini memberikan makna tersendiri tentang per-empuan Jogja, dengan membaca kita dapat tahu tentang perem-puan jogya dan dengan membaca akal pikiran akan dimainkan bagaimana teater dalam pikiran kita tersendiri yang bermain tentang cerita novel tersebut.
perlawanan terhadap ketidak-sadaran kita selama ini misalnya, dalam buku Rosmarie Tong, Feminist Thought (1998), Tong mengkaji pemikiran feminis dan ia mengatakan bahwa pemikiran feminis merupakan pemikiran yang dihargai karena pemikiran feminis mempunyai awal, tetapi pemikiran feminis tidak mempunyai akhir. Dan karena pemikiran itu tidak memiliki akhir yang su-dah ditentukan sebelumnya, pe-mikiran feminis memungkinkan setiap perempuan untuk berpikir dengan sendiri. Bukan hanya kebenaran semata tetapi sebuah kebenaran yang dapat membebaskan perempuan itu sendiri. Dalam buku ini, kita dapat memainkan imajinasi pikiran tentang pemikiran feminis bagai-mana pemikiran feminis ini da-pat kita tentukan sendiri agar kita bebas dari budaya patriarki itu. Membaca buku ini telah mendob-rak pengetahuan kita yang selama ini tak sadar bahwa perempuan dibawah kungkungan laki-laki, selama ini, perempuan kurang memahami dirinya sendiri, me-mahami hak-haknya, memaha-mi seksualitasnya dirinya sendiri. Dengan membaca buku-buku pemikiran feminis bukankah juga mampu mengubah kita untuk keluar dari terbelenggunya
Membaca buku juga mendobrak pengetahuan kita yang selama ini salah dan memberikan
19
ESAI perempuan dari sejak dahulu. Bahwa perempuan, selalu di posisi subordinat. Mungkin Kartini, tidak akan mampu membebaskan keterbelenggunya perempuan dari kolonialisme jika Kartini tidak membaca tentang hal-hal perempuan. Melalui membaca kita akan terbawa oleh buku, tidak sekedar membaca tetapi kita dapat membuka imajinasi pikiran kita. Biarlah imajinasi itu bermain kedalam pikiran. Membaca, sah-sah saja ketika kita sekarang mungkin lebih tertarik membaca melalui gawai pintar yang mudah dibawa. Tak apa jika gawai dijadikan hal yang positif dengan membaca melalui ebook atau mencari informasi yang melalui “Mbah Google” tetapi boleh jadi sekali-kali kita membaca buku cetak. Karena dengan buku, banyak yang dapat kita temui seperti, melatih kesabaran untuk menghabiskan satu buku sampai tuntas, melatih akal pikiran, menemukan jalan pikiran sang penulis dan yang pastinya buku lebih ramah dengan penglihatanmu. Dengan buku kita menjadi bebas seperti yang dikatakan Mohammad Hatta “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”.
20
ayobelajar.com
ESAI
Buku Berfisik dan Digital Oleh Qinthara Dwiputri K, Prodi Manajemen Membaca merupakan sa-lah satu kegiatan yang dapat kita lakukan di antara kesibukan seha-ri hari. Melalui pengetahuan yang kita dapatkan lewat membaca, menjadikan kita lebih matang dan lebih memahami persoalan di kehidupan kita. Menyadari hal tersebut, sudah sepatutnya kita mem-biasakan diri untuk membaca. Seringkali ketika kita dihadapkan pada kata “membaca”, yang terlintas pertama kali di pikiran kita adalah buku atau pun media cetak lainnya seperti koran. Padahal membaca tidak hanya bersumber dari media cetak saja. Terlebih lagi di zaman modern sekarang ini, bebera-pa orang lebih memilih untuk membaca melalui buku digital daripada media cetak. Semua be-rita dan bacaan ringan dapat kita nikmati pada genggaman tangan. Perdebatan antara penggemar kedua media tersebut pun muncul seiring dengan berkembangnya teknologi. Hal ini, cukup disayangkan mengingat mak-na “membaca” sendiri, bukanlah kegiatan yang selalu dikaitkan dengan buku. Kebanyakan penggemar buku merasa bahwa ada
kenikmatan tersendiri ketika membaca dan memegang fisik buku yang dibaca. Begitu pula dengan penggemar buku digital, mereka merasa lebih nyaman saat membaca di gawai dari pada membawa buku yang memakan tempat. Perbedaan antara kedua pendapat ini pun kian memanas seiring dengan banyaknya ungkapan keberpihakan terhadap salah satu pandangan. Dalam menang-gapi masalah ini, ada baiknya kita tidak terpancing pada salah satu pihak. Sebagai manusia modern, kita perlu menerima kemajuan teknologi dengan baik tetapi tetap membatasi diri agar terhindar dari segala keburukan. Terdapat kenikmatan tersendiri ketika kita membaca buku berfisik. Seperti saat kita memegang sampul buku yang judulnya telah di-emboss. Selain itu, terkadang ada beberapa peng-gemar buku yang menyukai aro-ma buku, baik yang baru dibeli at-apun yang sudah tersimpan lama di rak buku. Meskipun begitu, beberapa orang tidak terlalu senang mem-beli dan membaca buku berfisik.
21
ESAI Barangkali pengalaman Edo, seorang mahasiswa UNJ yang ingin membeli buku namun tak tersampaikan karena tingginya har-ga sebuah buku, pernah dirasakan oleh kita. Adapula beberapa orang yang lebih memilih membaca cerita dari sebuah aplikasi cerita yang berisi karya seseorang yang belum menjadi penulis ternama. Seperti yang dilansir oleh Republika.com, menurut Wakil Ketua Bidang Humas, Riset, dan Informasi Ikatan Penerbit Indo-nesia (IKAPI) Pusat, Indra Laksana, menyatakan terdapat penurunan tingkat penjualan buku berfisik walaupun minat baca di Indone-sia meningkat. Hal ini, disebabkan karena kemudahan yang didapat-kan ketika mencari suatu hal lewat mesin pencari di gawai. Kita tidak perlu lagi mencari dan membaca buku yang ada di perpustakaan. Untungnya, penerbit masih terbantu oleh pembelanjaan pemerintah yang mengalokasikan dana untuk anggaran pendidikan. Sebagian anggaran pendidikan digunakan untuk membeli buku pelajaran, buku pendamping, dan buku untuk koleksi perpustakaan. Membaca dari buku digital juga tak kalah menar-iknya dengan membaca buku cetak. Kelebihan yang pasti didapatkan ialah kita tidak perlu
mengeluarkan uang yang ban-yak untuk membeli buku di toko buku. Selain itu, dengan mem-baca buku digital kita tidak per-lu khawatir soal beban yang harus dipikul saat bepergian. Karena dapat menyimpan ban-yak buku digital di dalam gawai. Ada berbagai macam situs yang membagikan buku digital secara gratis. Meskipun kebanya-kan buku populer cukup mahal dijual melalui aplikasi, tetapi tidak menutup kemungkinan juga ter-dapat oknum yang membagikan buku-buku tersebut secara illegal. Seperti, membagikan buku digital secara gratis oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Sehingga para penulis tidak mendapatkan royalti dari penjualan buku digital. Beberapa orang tidak merasa nyaman saat membaca buku digital karena mata akan menjadi lebih lelah ketika melihat layar monitor dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu, ada juga yang merasa bahwa mereka lebih sulit memahami isi bacaan dari buku digital ketimbang buku berfisik. Dilansir dari okezone.com, Kepala Bidang Pengembangan Buku Digital, Hary Candra, tingkat penjualan buku digital di Indo-nesia hanya 2 persen. Persentase tersebut masih sangat sedikit
22
ESAI
dibandingkan dengan Singapura dan Amerika Serikat. Di Singapura, tingkat presentase penjualan buku digital mencapai 17 persen, sedangkan di Amerika mencapai 30 persen. Hary mengungkapkan, minimnya tingkat penjualan buku digital di Indonesia disebabkan oleh dua hal. Pertama, para penerbit masih mengkhawatirkan keam-anan ketika menerbitkan buku dalam bentuk digital. Padahal su-dah ada teknologi untuk menjaga keamanan buku digital yang diper-dagangkan. Salah satu contohnya adalah Digital Right Management (DRM). Kedua, masih minim-nya permintaan buku digital.
Tentu, dengan membaca buku berfisik lebih banyak informasi yang kita dapatkan daripada membaca buku digital. Memiliki buku digital pun lebih memungkinkan kita untuk membaca berbagai macam sumber atau bidang ilmu tanpa repot membawa beberapa atau banyak buku yang harus dibawa. Bagaimanapun juga, jika kita bertemu dengan seseorang yang bersikukuh terhadap pan-dangan yang berbeda dengan kita, sebaiknya kita tidak perlu mem-perdebatkan dan seolah memaksa mereka agar mereka sepemikiran dengan kita. Akan terasa lebih da-mai rasanya jika kita lebih meng-hargai perbedaan pandangan soal kenyamanan membaca.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan dari kedua macam buku tersebut, kita tidak boleh menghilangkan makna dari kata “membaca” itu sendiri. Ada baiknya kita tidak membatasi diri dalam memilih bacaan. Walaupun kita perlu menyaring informa-si yang didapat lewat membaca. Tidak semua buku digital selalu dari sumber yang kurang akurat dan tidak semua buku berfisik bersumber dari datadata akurat.
freepik.com
23
CERPEN
Seratus Rupiah Oleh Adiba Ciptaningrum, Prodi Sosiologi Pembangunan Perempuan itu mengetuk pintu rumahku berkali-kali. Ka-dang terdengar seperti ingin mendobraknya. Suara ketukan itu merangkak masuk sampai ke celah pintu kamarku, padahal aku sedang mengamatinya dari balik tirai jendela depan. Aku hanya menung-gu, seperti biasa. Setelah dia lelah mengetuk dan memanggil, aku ke-luar dari balik jendela dan memanggilnya dengan suara berbisik.
google.com
“Aminah!” dia menoleh kepadaku dengan wajah sumrin-gah. Seperti tidak membiarkan dia berbicara, kusodorkan lang-sung kunci untuk membuka pintu gudang penyimpanan tebu, di mana letak sepeda lamaku berada. Minah bermaksud untuk memin-jamnya, hampir setiap pagi. Kadang aku bertanya-tanya, ba-gaimana bisa perempuan sekurus itu mampu mengayuh sepeda sampai tiga kilometer jauhnya. “Aku pinjam ke Curah Lele sampai siang ya? Kamu kan tahu bagaimana emakku, uang untuk membeli sepeda selalu habis dimintanya,” ujarnya sambil men-coba mengayuh sepedaku dengan satu kaki, setelah berhasil berjalan,
dia menyeimbangkan diri dan mulai menempatkan kakinya yang lain ke atas pedal. “Sabar ya! Pasti akan kutepati janjiku!” serunya sambil menoleh ke arahku, aku hanya membalas dengan senyuman. Minah baru saja menginjak umur lima belas tahun, tapi tubuhnya tetap saja terlalu pendek untuk sepe-daku. Aku berjalan ke pekarangan belakang, menengok indahnya sawah meski masih sedikit berkabut. Dua burung sawah hinggap di kayu pembatas lahan, mungkin sedang menyusun rencana untuk mengagalkan panen padi kali ini, bersaing dengan tikus-tikus pengerat. Sering terbayang jika dua
24
CERPEN koloni itu bersekongkol, menyerang barisan padi yang sudah merunduk dari atas dan bawah. Pasti akan menimbulkan keka-cauan pikiran juragan sawah beri-kut buruh taninya. Belum selesai aku terkikik, suara langkah yang terseok mengundangku untuk menoleh. Ah, nenek lagi-lagi meninggalkan tongkatnya, kadang suara berjalannya itu membuatku mer-inding. Dia selalu memeriksa gu-dang tebu meskipun belum ada simpanan tebu yang mengisinya, mungkin hanya memeriksa sepedaku yang hilang dibawa Minah. Saat tatapannya menyapu sekitar, aku segera memalingkan wajahku, pura-pura tidak tahu apa-apa sampai suara langkah yang terseok itu kembali ke rumah. Yes, aku tidak dimarahinya. *** “Nyai, lihat Aminah tidak?” tanya seorang perempuan seten-gah baya kepada Nenekku. Tubuh-nya kurus sekali, seperti tidak per-nah diisi oleh makanan berlemak. Mata cembungnya terlihat seper-ti ingin keluar karena pipi yang teramat kempot, namun rambut panjang yang tergerai itu mam-pu menawan hati, tebal, hitam dan terawat. Persis seperti Minah. “Mungkin ke Curah Lele, sepertinya dia memakai sepeda
Hindun lagi.” ujar nenekku sambil terus menyapu halaman. “Uh, anak gila!” gerutu ibu Minah. Bola mata Nenekku seke-tika mengarah sampai ke sudut mata, tangan keriputnya meremas kumpulan lidi dengan keras sep-erti hendak melemparkannya ke arah Ibu Minah kuat-kuat. Tidak heran, Minah menggunakan se-peda itu untuk bekerja sebagai pengrajin wellit, dengan upah seratus rupiah perwellitnya. Set-idaknya, dalam satu hari Minah mampu membuat tujuh sampai sepuluh wellit. Karena tidak ber-pendidikan, hanya keterampilan menganyam daun tebu kering itu saja yang mempu dijualnya. “Setidaknya kamu bisa makan bakso kesukaanmu itu dengan uang yang dihasilkan Aminah!” ucap Nenek menahan diri. Masih sambil menggerutu, ibu Minah pergi ke rumahnya yang berada di seberang rumahku. *** Aku melihat Minah dari balik jendela, bulir keringatnya terlihat jelas di bawah terik ma-tahari. Sebelum memasuki peka-rangan depan rumahku, dia ham-pir menyerempet anak tetangga. Inginku tertawa melihat wajah paniknya, namun seorang lelaki bertubuh kuli mendekat sambil menghardik Minah. “Gila!” aku
25
CERPEN
tidak dapat mendengar suaranya, namun gerak mulutnya sangat jelas terbaca. Hatiku terluka, hampir semua orang sering menyebut-nya gila akhir-akhir ini. Aku pun kadang menganggapnya gila, gila akan janji. Selama tiga belas tahun kehidupanku, dia lah orang yang mampu menepati segala janjinya. Ketika dulu aku menangis karena bonekaku jatuh ke sumur sawah, dia berjanji akan mengam-bilkannya untukku. Aku pikir itu hanya salah satu upaya agar tangisku mereda. Namun tidak lama setelah itu, dia berdiri di depan ru-
bersama dengan sepeda ma-singmasing. Minah pun senang melaporkan uang yang dia dapat kepadaku, untuk menambah semangat katanya. Namun, karena perilaku ibunya, dia hanya dapat menyisakan seratus rupiah untuk ditabung. Setelah menyimpan sepedaku di gudang tebu, dia menge-tuk pintu rumahku dan memanggil namaku. Sebelum aku berusaha untuk keluar dari jendela kamarku. Nenek telah mem-buka pintu untuknya. “Hindun, Nek?”
tanyanya kepada Nenekku sambil menggenggam uang mahku dengan boneka google.com di logam seratus rupiah. “Minah, genggamannya. Entah sudah lah,” apa yang telah dia lakukan, namun pinta nenekku dengan mata yang dilihat dari pakaiannya yang penuh sendu, menatap Minah deng-an dengan tanah dan lumpur, dia terlihat penuh rasa iba. “Hindun sudah tidak seperti orang gila hanya untuk ada, ambillah sepeda itu.” tambahnya menepati janjinya. lagi sambil memeluk gadis tak Menjadi pengrajin wel-lit berayah itu. Minah hanya pun adalah salah satu cara untuk menggenggam koin seratus rupiah memenuhi janjinya padaku, yakni miliknya dengan sangat erat. membeli sepeda agar kami bisa Memang, janji lah yang membuat bermain anak itu gila.
26
CERPEN
Hanya Gerbang Kecil Oleh Miguel Angelo Jonathan, Prodi Pendidikan Bahasa Mandarin Sudah hampir sebulan aku tidak bisa tidur nyenyak. Bagaima-na bisa tidur nyenyak? Kalau tem-bok dan gerbang kotamu sudah dikepung oleh musuh, yang su-dah siap memancung kepalamu begitu mereka berhasil masuk ke dalam kota. Untung saja kota ini, Konstantinopel, sudah dirancang sedemikian rupa untuk menahan kepungan musuh, berapa banyak pun jumlah mereka.
yang sangat canggih. Tak ada lagi prajurit yang tersisa di depan gerbang. Semuanya dibantai dengan cepat dan sisanya masuk ke dalam kota untuk bertahan. Kekaisaran Bizantium sudah tak punya siapa-siapa lagi yang bisa datang membantu. Para tentara salib sudah ditarik mun-dur, kembali ke barat semenjak kekalahan mereka di Varna. Sialan. Mereka yang bertarung dengan salib besar di baju zirah mere-ka ternyata tidak sehebat yang kukira. Kini kami hanya sendiri melawan musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak dari kami.
Pasukan Ottoman sudah mengepung Konstantinopel selama sebulan lebih. Mereka dipimpin oleh Mehmed si Penakluk. Sultan yang masih sangat muda itu memimpin 200.000 lebih pasukan elit Ottoman den-gan meriam-meriam mereka
Kaisar Konstantinus sekarang terlihat sangat depresi. Setiap menginspeksi prajurit wajahnya tampak murung sekali. Siapa juga yang tak akan depresi, kalau sudah tahu pasti, kini hanya tinggal menunggu ajal saja. Aku sendiri tidak akan terima kalau harus mati sekarang. Banyak hal yang belum sempat kulakukan. Aku masih bujang, tak punya istri. Aku prajurit biasa, tak punya pangkat. Tak akan ada yang mengingatku kalau aku mati sekarang. Tidak akan ada yang mengatakan, “Hei lihat, itu Raynor si
google.com
27
CERPEN Perkasa! Dia ksatria yang sangat hebat!” Sial! Kenapa juga dulu aku mau jadi tentara? Dulu kupikir jadi tentara itu akan membuatmu terlihat gagah, akan jadi termasyhur nantinya. Aku lupa kalau yang jadi jendral hebat dan terkenal itu se-dikit jumlahnya. Kemungkinan selamat dari perang cuma sedikit. Kini semua hal itu hanya bisa ku-sesali. Malam telah tiba. Teta-pi kesunyian tidak menemani malam seperti dulu kala. Bunyi meriammeriam yang ditemba-kan kini selalu menemani malam kami. Belum lagi teriakan-teriakan pasukan Ottoman yang sema-kin menjatuhkan semangat kami. Tak ada lagi yang namanya keten-angan. Hari ini aku yang bertugas mengunci gerbang-gerbang kota. Setiap malam seluruh gerbang itu harus dikunci. Siang harinya gerbang-gerbang dibuka untuk mengirimkan makanan kepada prajurit terdepan yang menjaga tembok kota. Ini pekerjaan mudah yang aku suka. Tak perlu berada di bagian terdepan tembok kota, di mana tanpa kau tahu tiba-tiba sebatang anak panah bisa meluncur tepat ke kepalamu. Setelah selesai mengunci gerbang-gerbang itu, aku langsung
28
merebahkan badan di tumpukan jerami, bersama dengan prajuritparjurit tanpa harapan lainnya. Baru saja aku ingin memejamkan mata, tiba-tiba Jendral Loukas berteriak kepada kami semua. “Hei monyet-monyet keparat!” Teriaknya lalu melanjut-kan, “Siapa yang menyuruh kalian tidurtiduran?” Kami semua bangun tergesa-gesa. Memang tidak ada yang menyuruh kami tidur. Tapi kan kami sedang tidak ada tugas jaga. Jendral babi. Pikirku sewot. “Dan kau, Raynor!” Bentak dia sambil menunjukkan jari telunjuknya padaku, “Kau kan yang bertugas mengunci gerbang! Sudah kau kunci semua gerbang?” “Sudah Pak!” “Hmmph!” Gerutu jend-ral itu, “Baiklah! Awas saja kalau sampai besok kulihat ada gerbang yang tidak terkunci!” Kata Jendral Loukas seraya pergi dari hadapan kami semua. Prajurit-prajurit yang tadi tidur kini berdiri lagi sambil memegang tombak dan pedang mereka. Mereka berdiri sambil terkantukkantuk dan kepala mereka bergerak ke depan dan ke belakang. Ah peduli amat! Aku kembali merebahkan diri di tumpukan jerami. Melihat aku yang tidur kembali, mereka pun mengikuti
CERPEN aku dan kembali tidur lagi. Tak perlu banyak pikir. Mungkin saja ini hari terakhir kami tidur. Tidak ada yang tahu. Saat aku hampir tertidur, teringatlah aku, kalau ada satu gerbang yang lupa kukunci. Gerbang Kerkoporta. Gerbang itu sangat kecil, sehingga bahkan se-buah gerobak jerami pun akan ke-susahan untuk bisa melewatinya. Aku bangun dengan gontai, bang-kit dengan malas untuk mengunci gerbang tak berguna itu. Baru saja aku berjalan beberapa langkah, aku mengurung-kan niatku untuk mengunci ger-bang itu dan kembali tidur di atas jerami dingin tadi. “Keparat, tak ada gunanya juga mengunci gerbang kecil itu.” Kataku dalam hati. Aku pun kembali tidur. Tak perlu terlalu memikirkan gerbang kecil itu. Pasukan Ottoman sendiri takkan melihat gerbang kecil yang hampir tak bisa kau lihat jelas. Tak mungkin pula 200 ribu tentara Ottoman mau berdesak-desakan masuk lewat gerbang sempit itu. Ditambah ada prajurit yang ber-jaga saat malam. Sudahlah, lebih baik tidur saja. Kerkoporta han-yalah sebuah gerbang kecil yang tak ada artinya. Kini aku ada di alam mimpi. Mimpiku sangat nikmat.
Tinggal di istana bagai seorang bangsawan bersama dengan se-orang istri cantik. Anak-anak yang tampan dan cantik duduk di meja makan bersama-sama dengan kami berdua. Makanan-makan-an mewah yang belum pernah aku makan. Senang. Sangat me-nyenangkan. Saat sedang makan bersama-sama, tiba-tiba meriam menghantam meja makan kami. Boom! Suara hantaman meriam yang berjarak hanya 3 meter di depanku. “Bangun tolol! Bangun! Kita diserang!” Teriak salah se-orang prajurit kepadaku. Aku panik, kaget, belum sepenuhnya tersadar. Baru saja aku berdiri, seorang prajurit Otto-man dengan wajah penuh brewok menerjang ke arahku sambil teri-akteriak tidak karuan. Dengan ce-pat aku mengambil pedangku, dan aku berhasil menangkis serangan
google.com
29
CERPEN
si Turki keparat itu. Kami beradu pedang. 2 jurus, 3 jurus, sampai yang ke empat akhirnya berhasil kutusukkan pedangku tepat di lehernya. Sialan! Kenapa musuh bisa sampai masuk ke dalam kota? Aku melihat sekeliling. Sudah banyak prajurit yang tewas, dan pasukan Ottoman semakin banyak berdatangan. Dari mana datangnya mereka? Apakah ada tembok yang berhasil dihancurkan oleh meri-am mereka? Tidak-tidak mungkin. Tiba-tiba gerbang Kerkoporta terlintas di kepalaku. Aku pun melihat ke arah gerbang itu. Keparat! Bendera Kesultanan Ottoman berkibar di atas gerbang itu. Di atas gerbang-gerbang lainnya pun bendera Ottoman berki-bar dengan gagahnya. Bagaimana mungkin! Aku menghampiri seorang prajurit yang terluka. “Hei keparat! Bagaimana
bisa ada bendera Ottoman berkibar di seluruh gerbang kita!” “Hassasin! Mereka menyusup dari gerbang Kerkoporta yang tidak terkunci dan memasang bendera Ottoman di seluruh gerbang kota!” Katanya sambil menahan sakit, “Hal itu membuat semua prajurit panik dan mengira praju-rit Ottoman telah memasuki kota, dan banyak yang kabur dan membuka gerbanggerbang lainnya!” “Apa? Mehmed menyewa Hassasin?” Belum sempat dia menjawab, puluhan tentara Ottoman datang menghampiri kami. Aku berlari meninggalkan prajurit itu. Tak lama kemudian kudengar teriakannya, sesaat sebelum nyawan-ya melayang. Jahanam! Brengsek! Harusnya kukunci gerbang keparat itu! Mampus aku! Jendral Loukas pasti akan memenggal
30
CERPEN
kepalaku! Tapi tunggu dulu, persetan dengannya! Kini yang har-us kupikirkan adalah bagaimana caranya aku bisa selamat hiduphidup dari sini! Aku terus berlari, mencari jalan keluar. Tapi ternyata sia-sia saja, kami sudah terkepung! Pra-jurit Ottoman sudah memenuhi Konstantinopel! Saat masih ber-lari, kudengar teriakan seorang prajurit dari dalam kastil. “Kaisar mati! Kaisar mati! Kaisar sudah mati!” Gila! Sekarang sudah tidak ada harapan! Aku yakin Jendral Loukas pun sudah mati! Seka-rang tinggal menunggu giliran kami pionpion yang tersisa un-tuk dibantai pasukan Ottoman! Derap langkah prajurit Ottoman yang banyak jumlahnya itu kini semakin jelas. Prajurit berkuda Ottoman tiba-tiba datang meng-hampiriku. Aku menghindari
serangan tombaknya dan memo-tong kaki kuda yang ditungganginya. Brukk! Suara kuda itu terjatuh dan kepala tentara itu han-cur tak karuan. Aku berlari, masih berharap dapat selamat dari pembantaian yang telah menanti. Ah tapi sial. Kini di depanku sudah berdiri puluhan prajurit Ottoman. Mereka datang menerjang. Aku melawan semampuku, membunuh 3 orang penerjang pertama. Sampai akh-irnya seorang prajurit Ottoman berhasil menebas kepalaku. Rohku terangkat pergi dari tubuhku yang sudah tak bernyawa itu. Tubuhku kini tanpa kepala, dan prajurit-prajurit brengsek yang berada di dekatku bersorak-sorai gembira. Aku melayang pergi, menuju gerbang Kerkoporta. Gerbang brengsek! Umpatku pada gerbang kecil itu.
31
CERPEN
Kukutuk Kau Jadi Sampul Plastik! Oleh Prima Nandita Juhara Paradise, Prodi D3 Teknik Sipil Aku adalah sebuah buku fiksi. Semua kalangan bisa membacaku, bahkan bisa dibilang aku adalah buku terbaik yang siap dipasarkan dan disebar ke seluruh toko buku di pusat kota, mungkin beberapa di luar kota, yang jelas aku populer dan aku yakin kau pun suka. Aku benar-benar harum layaknya buku baru lainnya, plastik bening membalut sekujur tubuhku yang padat. Sampulku bahkan tak lecet sedikit pun, benar-benar mulus. Berdebar-debar rasanya menantikan pemilihku, membayangkan tiap saat matanya akan menelusuri tiap rangkai kata, memilah lembar demi lembar atau mendengarnya berbicara ke-ras saat mengeja isi tubuhku ini.
kaltim.procal.co
Hari yang kutunggu tiba, bersama kawan-kawanku, aku akan memulai kehidupan baru. Kami ditata dalam sebuah rak susun di sebuah toko buku yang lumayan besar. Kami disusun ber-deret berkumpul bersama dengan beberapa buku lain yang kupikir setipe dengan kami. Di seberang kulihat deretan kertas berwarna-warni terpapar rapih dalam rak panjang, “tabloid” tebakku. Sial! Jam tangan pegawai itu menggores
32
CERPEN sampul plastikku, membuat lu-bang kecil di punggungku, dan tanpa bersalah dia meninggalkanku begitu saja. Ah! Aku benar-benar ingin mengutuknya menjadi sampul plastik! Ugh. Waktu yang panjang ku lewati tanpa seorangpun menyentuhku. Mungkin karena kami ma-sih baru muncul di pasaran, atau posisiku? Yah, bisa dibilang aku berada di urutan ke-dua dari de-pan atau tiga baris dibelakang pa-ling ujung rak. Tiba-tiba seorang lelaki bertopi memungut buku di depanku, Ia memperhatikan-nya lekat-lekat, membolak-balik, dan membaca bagian punggung kawanku. Dan sungguh! Sesa-at kemudian AKU MELIHATNYA MENYOBEK SAMPUL PLASTIK! Aku bisa melihat kesedihan ter-pancar dari salah satu kawanku itu, sungguh malangnya, tapi apa yang bisa kulakukan? toh aku hanya se-buah buku. Kemudian kulihat lelaki bertopi tersebut mulai mem-bacanya, membacanya dengan penuh perhatian. Tidak! Mungkin bisa dibilang menikmati, tak kulihat sedikit pun matanya terlepas dari buku yang digenggamnya. Sesekali ia menyibaknya, membuat berbagai macam ekspresi aneh, dia bergumam dan berbicara sendiri? tapi aku menyukainya, sesaat aku ingin menjadi seperti kawanku
33
yang dibaca sepenuh hati. Semoga saja pemilihku benar-benar memilikiku, maksudku membeli lalu membacanya, tapi bukan di sini, bukan sembarang menyentuh dan membuka, rasanya aku pun ingin dihargai, bukan dibaca gratisan seperti itu, enak saja. Lelaki muda itu berdiri, mengangkatku lalu dengan ser-tamerta menaruhku kembali, dan kini aku berada diposisi TER-DEPAN, APA?! Dia menukar posi-siku, lelaki muda tersebut menye-lipkan kawanku di posisi awalku tadi, benar-benar trik yang licik, “kau pikir bisa menipu? Apa kau melihat CCTV di sana? Atau para petugas? Kenapa kau tidak mem-belinya saja?! Kau pikir mudah untuk laku di sini dengan sampul plastik yang terbuka??! Cih!” teriakku memakinya. Oh percuma saja, dia tak akan mendengar, ini bukan cerita dongeng dengan buku ajaib yang siap mengomentari apa saja, atau mengabulkan permintaan anehmu. Toko tampak ramai, mungkin hari libur, pikirku. Aku me-lihat pria bertopi berulangkali kembali mungkin tiga atau empat kali, menyelesaikan bacaannya. Kadang beberapa pengunjung lain melakukan hal sama, hingga kawanku tak mulus lagi. Dasar tak bermodal! Beberapa kawan di
CERPEN sampingku satu-persatu mulai meninggalkan rak, ada yang dipi-lih oleh wanita muda berkalung hijau, pria berkaos hitam dengan janggut kuning, laki-laki gimbal dengan permen karet di mulutnya, atau perempuan muda dengan tindik di hidung dan alisnya, ber-macammacam orang silih ber-ganti. Dan kau tahu? aku masih di sini, ini membuktikan menjadi terdepan tak selamanya menjadi yang pertama, atau mungkin ka-rena sobekan sialan ini, orang di sini benar-benar pemilih, berkali-kali mereka menaruh ku kem-bali di rak. Petugas menyebalkan itu membuat nasibku tak membaik. Ugh! kalau saja aku bisa meng-utuknya. Kini hanya beberapa buku tersisa yang sama dengan-ku karena yang lain habis terjual, harapanku semakin besar untuk segera meninggalkan rak ini. Sesosok gadis berkepang satu berada di depanku. Dia langsung meraihku, hanya sekilas melihat sampulku yang bewarna abu-abu dengan gambar dua pe-rempuan dan laki-laki dalam se-buh pintu tua, cukup membuat orang-orang ingin segera memi-nangku. Aku senang dia memi-lihku, tanpa babibu dia langsung MEMASUKKANKU DALAM KERANJANG BELANJA! Aku melihat sekelilingku, ternyata aku tak
34
sendiri, ada buku lain bersamaku, buku kamus terjemahan bahasa inggris tebal, lebih tebal dariku, sangat tebal. Dia tersenyum sin-is, apa yang salah? Kami berdua berayun-ayun dalam keranjang menuju kasir. Ini adalah momen bahagiaku, satu persatu dari kami dipindai menggunakan mesin harga. Kulihat ekspresi gadis itu merengut, dia memungutku dari meja, HEI! ADA APA? APA YANG KAU LAKUKAN? KENAPA KAU KEMBALI KE BARISAN RAK? KAU MENARUHKU KEMBALI?! KE-NAPA KAU HANYA MEMILIH SI GENDUT ITU?! Dia lalu pergi meninggalkanku dengan berbagai pertanya-an, aku benar-benar tak percaya dengan yang kualami. Menurut-mu siapa di dunia ini yang mau diberi harapan palsu? Aku berani taruhan, kau pun tidak akan sudi. Tak cukup itu, gadis berkepang satu pemalas itu menaruhku di sela-sela buku ensiklopedia. Be-nar! dia menaruhku di tempat yang tak seharusnya berada, me-naruhku di baris paling membosankan diantara dua buku besar, tempat sekumpulan buku raksasa bersemayam, lebih baik aku bera-da di area favorit pemuja manga atau berbaring di antara tumpu-kan buku tipis bersampul unicorn tempat para manusia kerdil
CERPEN merengek, dari pada harus tersesat di sini. Bukan apa, siapa yang akan melihatku di sini?! Tak ada yang menarik disini. Bahkan nenek tua pun enggan melirik area ini. Argh! sangat menyebalkan. Aku menghabiskan wak-tuku cukup lama di sini, dan ane-hnya aku tak pernah dipindah-kan, tak ada petugas yang datang benar-benar memeriksa area ini, aku tak mengerti, apakah gaji me-reka tidak termasuk menata ulang buku? Syukurlah sampulku masih utuh, meski beberapa debu me-nempel sedikit di lubang sampul-ku yang terbuka, yang jelas aku masih baru dan harum. Kuhabiskan waktu membosankan bersama para ensik-lopedia, seperti seorang anak se-kolah dasar di antara sekumpulan profesor lansia, begitulah gambaran yang kurasakan setiap saat. Sangat membosankan. Aku jamin kau pun tak akan tahan. Dan aku hanya berharap seseorang akan membuka hati untuk memungutku. Kebanyakan dari mereka hanya lewat dan lewat saja, benar-benar tak peduli dengan ke-sengsaraan yang kualami ini. Aku bahkan tidak melihat seorang pun berhenti di sini seperti yang dila-kukan lelaki bertopi, Ah! aku jadi rindu padanya, setidaknya aku terlihat berguna, meski aku harus
35
merelakan sampulku ini. Entah-lah. Kini yang kuharap hanyalah keajaiban. Siang hari di musim panas, seorang lelaki muda berambut coklat berada di dekatku, apa bo-cah ini masih normal? Maksudku jarang sekali anak remaja melewa-ti baris ini. Sumpah! tak ada yang menarik disini, kecuali diriku. Tapi aku bersyukur, jangan-jangan inilah keajaiban yang kutunggu itu, mungkinkah dia malaikat? Aku hanya berdoa dan berdoa agar dia melihatku. Dia melewatiku, tanpa memandangku. Apa aku ini terlihat terlalu kecil? Apa dia tidak melihat buku mungil yang ter-himpit para raksasa membosan-kan ini? Apa aku menjadi gendut sehingga sulit dibedakan? ATAU AKU SEKARANG SUDAH BERU-BAH MENJADI BUKU ENSIKLOPEDIA? TIDAAAAAK! Lelaki muda itu berbalik, apa dia mendengar teriakanku?? . Tidak. Tidak mungkin, mungkin dia merasa janggal, atau karena aura perbedaanku paling kuat di-sini, aku menebak-nebak. Kulihat dia mengernyitkan alisnya, EKSP-RESI MACAM APA ITU?! Kuharap dia tak mengejekku. Dia mele-paskanku dari cengkraman para raksasa, membolak-balikkanku, lalu membaca sampul belakangku. Dan dia tersenyum, sangat manis,
CERPEN aku yakin dia tertarik. Pasti. Aku berharap dia memilihku atau paling tidak mengembalikanku ketempat semula, ketempat seharusnya, meski aku tak yakin kawan-kawanku masih ada di sana. Ya! Dia menentengku tanpa keranjang dan tanpa buku lain, hanya aku sendiri. Dia berjalan menuju kasir, dia tak peduli dengan cacat sampulku. DIA BENAR BENAR MEMBELIKU! Selamat tinggal para raksasa membosan-kan. Ha! Sudah kubilang tak ada yang tertarik dengan ensiklopedia, dan tentunya pemilihku bukan nenek tua.
Lelaki muda berambut coklat itu menaruhku di tasnya yang besar, aku terguncang berkali-kali bersama benda-benda asing yang tidak kuketahui, beberapa di antaranya berbentuk datar seper-tiku, sebuah buku? Eh, mungkin dua atau tiga. Entahlah. Karena di sini terlalu gelap, kamu pun bisa membayangkan betapa gelap di dalam sini. Kuharap nasib buruk-ku hanya sampai di toko buku mengerikan itu, nasib baik pasti sudah menantiku di depan. Impianku sama seperti buku lainnya. Membayangkan lelaki muda ini membacaku setiap saat, merawatku, bahkan membawaku ke mana-mana dia pergi, menjadikanku sahabatnya, menemani
waktu malamnya bersama segelas susu hangat, atau membaca bers-ama kawannya yang lain di sore hari di sebuah taman. Ah senang-nya. Di sini aku bisa melihat jalan-an melalui lubang kecil diantara resleting, dia tidak menutup tasnya dengan begitu rapat. Sepertinya ia mengendarai sepeda, aku bisa melihat toko di mana aku berada mulai menjauh di antara gedung-gedung tinggi di sekitarnya, semakin jauh dan jauh lalu tak terlihat sama sekali. Selamat tinggal! Tempat membosankan! Aku menantikan hari baru yang akan kulalui nanti, hari yang akan kuhabiskan bersama lelaki muda berambut cokelat dengan senyumnya yang manis.
freepik.com
36
CERPEN
DUNIA 2.0 Oleh Tommi Juliansyah Rozarius, Prodi PPKn “Pernahkah kamu merasakan seperti berada di dunia nyata tapi jika dicermati lebih dalam, dunia yang kamu tempati bukan dunia yang sebenarnya? Pernahkah kamu merasakan bagaimana sesuatu yang biasa dan berhasil dilakukan orang lain namun, menjadi gagal jika kamu yang melakukannya? Pernahkah kamu merasakan kehilangan tali silahturahmi setelah kamu perhatian dan peduli kepadanya?” Bayang-bayang kalimat itu melintasi pikiranku, seraya tan-ganku sibuk menekan-nekan layar gawai. Suara ketukannya memecah keheningan kamar indekos ini. Huruf demi huruf muncul dibalik layar, membentuk sebuah kata, kemudian kalimat. Aku hendak mengajak seorang narasumber untuk bertemu di sebuah kedai kopi di pusat kota Jakarta. Narasumber untuk penelitianku demi sebuah gelar akademik, sekaligus bentuk pertanggungjawabanku kuliah empat tahun di institusi pendidikan tertinggi. Bunyi lonceng bergema di dalam speaker gawai ini, narasumberku baru membalas lewat aplikasi pesan. “Oke siap. Sampai bertemu besok ya, Kak Adam”. Aduh, sudah kuberitahu beberapa kali aku tidak usah dipanggil „kak‟, cukup Adam saja. Bukan kenapa, soalnya aku dan dia hanya beda
depokpos.com
37
CERPEN setengah tahun, meskipun secara tingkat akademis dia satu semester lebih muda dariku. Lagipula, aku tidak merasa begitu tua se-hingga harus dipanggil „kak‟. Ya sudahlah, aku tidak perlu mene-gurnya lagi soal itu. Oh, narasum-berku itu bernama Yona. Dia salah satu mahasiswi di sebuah jurusan bahasa dan antusias terhadap kar-ya sastra klasik. Sebuah notifikasi muncul di pojok kanan layar ga-waiku.
oleh mahasiswa biasa dengan presentasi media pembelajaran saja. Sering kulihat di media elektron-ik maupun cetak, tokoh publik yang berdedikasi pada pendidikan memulai langkah beraninya pada sebuah pengabdian. Hal itulah yang memotivasiku untuk men-jadi seorang pendidik. Pikiranku jadi tak karuan. Aku merasa gagal dalam tujuan hidupku. Bagaimana orang lain bisa melakukannya se-mentara aku tidak? Aku harus segera menjernihkan pikiranku. Aku berusa-ha mengalihkan pertanyaan-per-tanyaan yang berkaitan dengan berita tadi melalui berbagai aktivitas ringan, seperti bermain permainan video, menonton film, dan lain sebagainya. Setidaknya aku mulai mengabaikan peras-aan bersalah pada diriku sendiri. Meski terkadang bayangbayang kegagalan terngiang di benakku. Kemudian, gawaiku berdering, menandakan Yona baru saja mengirimkan sebuah pesan.
Notifikasi itu memberitahukan berita terbaru dari laman portal berita yang aku langgan. Sekian banyak kepala berita dengan tajuk-tajuk yang menghebohkan, ada satu berita yang menarik perhatianku. Judulnya tidak terlalu menghebohkan, “Ajari Kebhine-kaan Lewat Permainan”. Namun, aku sepertinya mengenal sosok yang menjadi foto utama di kolom berita itu. Terlihat ia seperti mempresentasikan sebuah media pembelajaran. Tak salah lagi, itu kawan sekelasku Anggara. “Bagaimana bisa ia masuk koran, sementara setiap harinya hanya nongkrong sambil ngopi di belakang gedung fakultas?” gumamku. Mengejutkan memang, seorang guru paruh waktu yang jam terbang mengajarnya sudah sam-pai ke pelosok desa kalah pamong
“Kak, ada rekomendasi buku fiksi tidak?” tanyanya. “Hmm... kalau mau fiksi ilmiah, aku sarankan untuk baca buku Djokolelono. Tapi kalau mau fiksi fantasi, kamu bisa baca The Alchemist.” jawabku. Kemudian percakapan kami melalui aplikasi tersebut
38
CERPEN melebar ke topik selain sastra. Mulai bahas tentang hobi hingga perkuliahannya selama ini. Sese-kali aku sisipkan saran-saran un-tuk menghadapi kuliahnya agar lebih lancar. Kadang pula aku menanyakan bagaimana kabarnya, kesehatannya, dan juga perkuliahannya. Sejauh ini, ia baik-baik saja. Secara keseluruhan, begini-lah percakapan kami berdua di aplikasi tersebut pada kesempatan tertentu. Mulai dari diskusi santai sampai saling menanyakan kabar. Sejujurnya, entah dari mana datangnya, aku merasa nyaman dengannya. Sejak perta-ma bertemu di sebuah rumah makan cepat saji, melihat tingkahnya yang agak kikuk tapi lucu. Terutama soal kesamaan hobi, sebagai sesama penggemar sastra, tentu siapa yang tidak menolak jika punya kekasih yang sehobi. Aku beru-saha untuk tidak terlalu mengambil ekspektasi berlebih. Biasanya, semakin tinggi bermimpi, akan semakin sakit jika jatuh dari mimpi tersebut. Namun yang terpenting adalah seberapa kuat tekad kita. Esoknya, aku sampai di tempat yang disepakati. Sepertinya aku lebih dahulu datang, karena tak terlihat sosok Yona di sekitar sini. Suasana di kafe pun lumayan ramai. Ruangan yang cukup luas dengan sentuhan interior
minimalis dan sedikit bergaya Eropa. Harum wangi biji kopi yang dipanaskan tercium hing-ga depan pintu kafe. Karena diri-ku bukan penikmat kopi hitam, aku hanya memesan matcha latte untukku dan dia. Lumayan lama aku menunggunya, hingga akhirnya sosok wanita muda dengan rambut sebahu dengan kulit putih khas oriental membuka pintu kafe itu. Aku melambaikan tangan untuk menunjukkan posisiku. Ia kemudian duduk di depanku. “Maaf ya, kak, datangnya agak telat...” ujarnya. “Tak apa-apa. Lagipula tidak terlalu lama ini. Oh ya, mau minum dulu atau wawancara dulu?” tanyaku sambil menyodorkan matcha lattenya. “Wawancara saja dulu, kak.” “Oh, baiklah.”
freepik.com
39
CERPEN
Kemudian aku mengeluarkan secarik kertas yang berisi perta-nyaan untuk wawancara. Perta-nyaan demi pertanyaan dijawab-nya dengan baik. Sesekali aku menambahkan pertanyaan yang sifatnya trivial untuk melengka-pi data penelitianku. Setelah wawancara, kami pun bercakap-cakap ringan, bersenda gurau, saling menanyakan kabar, hampir mirip seperti percakapan di aplikasi itu. Tibalah saatnya aku menguta-rakan apa yang aku rasakan sel-ama ini. Rasanya berat, seperti ada yang menahan dari belakang, tapi aku harus berterus terang soal ini. Perasaan yang dipendam itu tidak enak rasanya. “Yona... aku perlu bicara sesuatu,” ucapku sedikit gugup. Kemudian aku utarakan semua yang ada di hatiku, ten-tang bagaimana aku menyukain-ya. Untuk sesaat, keheningan pun menerpa. Ia terdiam, memendam mulutnya ke dalam. Kemudian ia
40
tersenyum kecil. “Maaf, kak. Aku belum bisa... aku belum siap...” jawabnya. Seketika seluruh tubuhku membatu. Terdiam. Berat rasanya untuk tetap tersenyum. Hilang sudah makna pengorbananku dan perhatianku untuk bisa tetap de-kat dengannya. Rasanya seperti dikalahkan oleh takdir. Sedikit malu dan kecewa. Kemudian den-gan seluruh sisa tenagaku, aku kembali menatapnya. Sepertinya aku harus menerima penolakan ini. “Oh, baiklah... tidak apaapa...” Kemudian kami terdiam untuk beberapa saat. Tak tahu apa yang harus diperbincangkan lagi. Hingga akhirnya aku memutus-kan untuk menyudahi pertemuan ini. Ia pun terlihat tak keberatan dengan hal itu. Kemudian kuantar dia ke depan pintu kafe dan ber-pamitan. Aku pun pulang dengan menaiki kendaraan roda dua.
CERPEN
Sehari setelah pertemuan itu. Ada yang aneh dengan media sosialku. Aku tak bisa menemu-kan kontak Yona. Menghubunginya pun tidak bisa. Perasaanku mulai tidak enak. Ada yang ganjil. Kutanyakan kepada temanku yang mengerti banyak tentang teknologi informasi, dan menurutnya aku diblokir oleh Yona. Sulit dipercaya. Kenapa di zaman sekarang begitu mudah orang memutuskan tali silaturahmi tanpa alasan yang jelas. Kenapa ia bisa memblokir seseorang yang menaruh perha-tian dan prioritasnya untuknya? Kenapa dunia ini mempersempit pergerakan manusia untuk saling mengenaldan tetap menjaga silaturahmi? Kemudian aku berpikir, aku bukan hidup di dunia yang semestinya. Aku bukan hidup di dunia nyata lagi. Aku hidup bersama paradoks, sebuah kejadian yang terjadi dikarenakan premis tertentu. Pandangan soal dunia
nyata pun hilang, tergantikan oleh paradoks. Aku hidup bersama paradoks, bukan dengan dunia nyata, dan dunia yang kutinggali ini bukan dunia nyata, melainkan tiruan dari dunia nyata yang dihasilkan oleh paradoks itu. Pernahkah kamu merasakan seperti berada di dunia nyata tapi jika dicermati lebih dalam, dunia yang kamu tempati bukan dunia yang sebenarnya? Pernahkah kamu merasakan bagaimana sesuatu yang biasa dan berhasil dilakukan orang lain, namun menjadi gagal jika kamu yang melakukannya? Pernahkah kamu merasakan kehilangan tali silahturahmi setelah kamu perhatian dan peduli kepadanya? Jawabannya adalah, ya.
freepik.com
41
RESENSI
Belenggu Manusia oleh Ghifani Azhar, Prodi Pendidikan Ekonomi
Judul Penulis Penerbit Cetakan Tebal ISBN
: Belenggu : Armijn Pane : Dian Rakyat : 2010 Cetakan ke : 150 halaman : 979-523-046-8
Setiap orang boleh jadi memiliki pandangan akan suatu hal yang dikonstruksi dalam pikiran atas dasar logika dan imajinasi. Konstruksi ini pun dipen-garuhi dengan kondisi emosional, harapan dan cita-cita diri, serta tekanan lingkungan sekitar. Konstruksi imajinasi yang dikisahkan Armijn Pane lewat pelakon dalam novelnya.
terbaik dan paras yang memesona. Menjadikan Tini besar kepala da-pat dijadikan istri oleh Sukartono. Menjadi istri dari seorang dokter panggilan yang diandalkan masyarakat luas. Menjadikan harihari Tini penuh terisi dengan kegiatan menerima telpon dan mencatat alamat pasien suamin-ya di atas blocnote. Tak hanya itu, Tini haruslah berprilaku santun, dan berperangai apik di depan koleganya. Sebab, ia patut menjaga kehormatan suami dengan bertindak seolah-olah ia berkecuku-pan dan bahagia dalam menjalani hari-harinya. Di mata khalayak luas, Tini dan Tono adalah pasutri
Sukartono adalah seorang pria tanpa celah di hadapan para koleganya. Berprofesi sebagai dokter bertangan dingin yang siap sedia berkunjung ke rumah pasiennya kapan pun. Memiliki predikat lulusan kedokteran
42
RESENSI yang berbahagia. Tak jarang pasutri ini memamerkan keharmonisannya dengan bermain alat musik bersama di suatu acara pertemuan. Namun jauh di dalam hatinya, Tini merindukan hari-hari sebagai gadis bebas yang dapat keluar rumah, berdansa-dansa, menonton film, serta aktif menjadi pegiat sosial. Melakukan apa yang diinginkan dirinya. Tini mem-punyai kecantikan yang mampu membuat iri gadis-gadis sebayanya, dan gadisgadis itu bertambah dengki saat akhirnya Tini diper-sunting oleh Dokter Tono. Tak hanya Tini yang merindukan masa lalu. Dokter Tono yang amat mencintai pekerjaannya, akhirnya jatuh cinta jua pada seorang pasien yang ternyata seorang perempuan di masa lalunya, Rohayah. Tentu hal ini tidak diketahui Tini. Namun, sebagai seorang istri boleh jadi ia merasakan keganjalan pada diri suaminya. Watak Tini yang arogan dan Tono yang mulai tak acuh dan sudah malas mengalah pada tiap-tiap perselisihan menimbulkan perang dingin di-hubungan suami istri ini. Alhasil, kehidupan rumah tangga Tini dan Tono terasa hampa dan sepi tan-pa adanya perbincangan diantara keduanya. Karena masingmasing hanya sibuk berinteraksi dengan konstruksi imajinasi sendiri tanpa
bertanya untuk mendapatkan penjelasan. “Lupakanlah, matikanlah angan-angan. Lepaskanlah be-lenggu ini. Buat apa bergantung pada zaman dahulu,” ujar Hartono. (halaman 115) Tokoh yang memiliki keterkaitan di masa lalu dengan Tono dan Tini ini menjadi pemantik hasrat untuk bebas dari belenggu. Ditambah dengan Rohayah sebagai kehidupan masa lalu Tono menjadikan keempat tokoh ini mengalami pergolakan batin untuk melalukan perubahan melawan sesuatu yang mengungkungnya. Untuk bertindak melakukan per-pindahan dari sesuatu yang telah melekat dan membelenggunya. Pergolakan ini terdapat pada diri setiap pelakon yang dikisahkan. Diceritakan dengan bahasa yang mendeskriptifkan perasaan, yang membuat pembaca merefleksikan diri saat menikmati alur memikat kon-flik dalam novel belenggu ini. Boleh jadi konflik diri yang tertuang adalah salah satu konflik batin yang pernah dialami pembaca. Karena latar konflik yang dipilih Armijn Pane adalah sesuatu yang hangat dan melekat di masyarakat. Sehingga saat membaca, ceritanya terasa nyata akibat pencerminan diri.
43
RESENSI Dibumbui dengan pandangan hidup dua tokoh utama perempuan, menjadikan novel ini bernuansa sedikit feminis. Pilihan hidup yang dipilih tokoh-tokoh dalam novel Belenggu mengisyaratkan bahwa angan-angan dan cita-cita baru akan membawa kehidupan baru. Mengangkat diri melepas-kan segala belenggu manusia yang mengikat semangat jiwa muda. Membaca buku Belenggu mengaitkan ingatan pada kisah yang dituliskan Marga T Sapta di tahun 1995. Diberi judul Sepagi Itu Kita Berpisah, berlatar belakang romansa dan keseharian seorang dokter. Yang membedakan justru bagi Marga T Sapta butuh 659 halaman untuk menceritakan kisah sepasang dokter, keper-cayaan, kesialan hidup, perseling-kuhan hingga kebebasan. Berlain dengan Armijn Pane yang cukup dengan 150 halaman mengisahkan kehidupan tokohtokohnya. Meski berpaut pada waktu yang cukup lama, tema cinta dan perselingkuhan serta kesehari-an seorang dokter masih menjadi materi asyik yang dijadikan lakon oleh penulis. Belenggu yang lahir pada tahun 1938. Disusul dengan Sepagi itu Kita Berpisah yang sam-pai dipasaran tahun 1995. Kedua novel mengisyaratkan masyarakat kita yang masih mengganderungi
kisah cinta dan perselingkuhan sebagai bacaan yang menghibur. Tak jarang tema ini pun menjadi tontonan cerita-cerita di layar kaca. Tak hanya itu, pemakai-an istilah-istilah dalam lingkup kedokteran pun menjadi ciri dari kedua novel di atas. Terkadang kata hadir sebagai lambang pen-getahuan penulisnya. Pada novel Belenggu terdapat daftar kata dan pengertiannya. Tampaknya penu-lis sembari mengedukasi pembaca pada masa itu untuk memahami istilahistilah asing. Sebuah suguhan romantik yang berisikan nilai-nilai kehidupan. Dengan permainan perasan pengarang, yang mampu menggambarkan keragu-raguan, pesimistis dan optimistis khas manu-sia. Sehingga membuat pembaca merasa ambigu dengan pangkal cara berpikir tokoh-tokoh di dalamnya. Secara tidak langsung kisah di dalam novel ini memberikan kita nasihat dalam menjalani kehidupan.
44
ANTOLOGI PUISI Pulang Muthiah
Silap pikiran Ayenni Afriyani
Kami terbiasa Terluka Kemudian membasuhnya dengan bersua Aku terbiasa Menyelam pada tiap bait yang ia mainkan Lalu mengarungi deretan majas yang ia cipta
Dibukanya tiap lembar Membawa otak jauh ke peradaban Semua rasa-rasa telah menyentuh hati Siapa lagi kalau bukan dia Buku, benda ajaib di dunia ini Mengotori pikiran dengan aksara Sang empunya diidolakan pula Kagum dengan karyanya
Kami terbiasa Memainkan sajak kami di penghujung senja Membuat kami mengulas senyuman Hingga sulit ku lepas senyumnya Membawaku pada satu kebahagiaan Namun Kini Kami sedang tidak terbiasa Sebab Ilahi tak meridhoi Karena dia telah kembali
Aku hanya bisa tertawa Susah payah mereka membuka jendela dunia Tapi, ujung-ujungnya jadi budak kapitalis jua
Apa hidupmu baik-baik saja? Diana Dwi Lestari Setiap pagi terlihat sekumpulan orang berjalan Sambil menundukkan kepala, menatap layar jenius Sesekali serius, sesekali tersenyum Tidak ada tegur sapa Semuanya bergerak lurus tak berpaling Bagai kereta yang terus maju Ku bergumam mungkin ini kala pagi Saat orang-orang baru menjalankan aktifitas Namun.... Siang pun begitu Ku berpikir mungkin ini kala siang Saat orang-orang sedang lelah-lelahnya Ternyata.... Sore pun begitu Ku menghela nafas, Sesaat ku bergumam apa hidupmu baik-baik saja? Entahlah... Mungkin saat malam tiba. Itu pun tak pasti
45
Melihat Huruf Indrawana Sinaga Hamparan tak terkira huruf Lahaplah dengan kedua mata Banyak hal belum terduga olehmu Takkan ditemui jika hanya diam Hamparan melimpah ruah Takkan berhenti kecuali alam mati Nikmati, nikmati, jangan sia-siakan Rabalah dengan penglihatan Dari situ kau belajar dunia Dari situ kau mengenal cinta Akan ada beda dengan yang diam Otaknya sempit Matanya tertutup
The truth may be puzzling. It may take same work to grapple with. It may be counterintuitive. It may contradict deeply held prejudices. It may not be consonant with what we want to be true. But our preferences do not determine what’s true. – Carl Sagan