Araukema
Reza Nufa
Buku asal-asalan ini dipersembahkan untuk para pembaca iseng. Selamat menikmati dengan sabar.
pg. 2
Selamat Selamat datang, Pagi. Mari tikam cinta, biar benci mati bersamanya Selamat bermimpi, Diri. Rangkum bahagia dan sedihmu pada ragam cerita asmara. Soal rasa, biarlah berpura-pura Selamat tinggal, Kemarin. Kita hanya sempat berpisah tanpa tahu kapan bertemu Selamat datang, Esok. Kau yang terlalu lancang menolak jamuanku. Maka kita yang tidak pernah bersua, tidak pula saling mengenali Selamat mati, Rasa. Kita akan kembali melamun di surga, tanpa duka, tanpa suka, lantas kita rindu dilahirkan dunia, lagi. Kendati, selamat hidup, Mimpi. Kita tidak pernah menjejak apa-apa untuk berlari, tidak pernah bersayap untuk terbang, dan semua baik-baik saja, demi tuhan yang maha pendiam, semua baik-baik saja bersamamu.
pg. 3
Selisih Dengkuran Linglung melindap di penghujung malam mendegup merajam mataku, O, mataku yang malang dikatup lelap semena-mena Di selisih dengkuran yang mengerikan itu sesalku lilir terjaga tergigil akibat melewatkan satu malam tanpamu, Kekasih Apabila hari sudah siang, hai, aduhai, pipi yang basah oleh rasa sakit diduakan olehku dan setan Hati perempuanmu, Adakah lebih baik bilamana kuobati dengan segenggam janji-janji palsu dari lidah lelakiku? Hangat lagi, Sakit, lagi Hambar, kembali Segala rasa yang mencuat mengerut melambai pergi, berputar-putar pada hidupmu dari wajahku yang tiada rupawan, dari kantungku yang tiada tebal mengganjal perutmu yang kelaparan Oh, Kekasih
pg. 4
Akan tersisakah malam untuk kita berdua, untuk aku berbohong lagi padamu tentang hidup yang indah-indah saja di mata kasmaran Ataukah telah tiba penghabisan cinta kita di hati derita yang absolut, cita-cita berumah yang atapnya setinggi langit nyatanya cuma berlantai tanah yang sangit Lalu dustaku kaubongkar sia-sia Kautengkari, Kaucecar dengan hati, Kaukembalikan ihwal mahar dan kita tidak pernah saling mengenal, tidak mencintai, tidak berbohong sejak awal, bahwa kita pernah punya mimpi Begitukah harga dari sebuah janji yang terpaksa bohong demi membahagiakan? Kekasih, tidurlah saja Geluti hantu-hantu hidup yang tiada pernah mati, aku bodoh, dan engkau miskin Kita selalu berselisih dengkuran, dalam bohong yang sama-sama, dan cinta yang abadi, demikian
pg. 5
Anak-anak Larat Ada yang mendung menggulung di langit Pemuda berbibir kering yang bicara keadilan itu melolong dari rahim Ibu bernasib malang Ibu yang malang Warisan yang tergelam pada air mata tergenang memangku utang perbaikan nasib pada generasi mendatang Bukan salahmu kami hidup larat, Ibu anak-anak berbibir lekang lahir dari urat kasihmu yang meregang sekarat nasib yang sudah tersurat Kita orang susah tiada pantas lahir di kerajaan para dewa atau miliki persekongkolan menuju surga dan tiada sempat berintrik jatuhkan mereka pada neraka
pg. 6
Orang susah akan selalu di bawah sudah tersurat di batu malapetaka bahwa demikianlah dunia dan yang kemudian berputar bagai roda hanyalah penerimaan diri bukan perbaikan harta apalagi strata Aku mencintaimu seperti mereka mencintai agamanya, Ibu, agama yang tiada pernah melihat darah bekas lintah di betismu yang hitam berkerak dilumpuri sawah Seperti kemarin malam aku diam dihina, Tuhanku dilecehkan sebagai berhala, aku bungkam tanpa perlu diancam Jika mereka tidak menyakiti hatimu, tiada hasratku berontak pada kesombongan mereka Cukup bagiku engkau,
pg. 7
tangan lembut penyambung para nabi yang sejati kenali kami anak larat yang lahir dari rahimmu sendiri siap dihina, siap diinjak-injak lagi Jika esok aku mati mewariskan utang pada cucumu, sampaikan sajak ini dan kisahku yang berusaha memperbaiki Nasib kita memang tiada mungkin berganti, tetap seperti ini, dan usaha-usahaku yang sia-sia, tiada kelihatan, semoga memperelok penerimaan hati. Terakhir, Sempat kudengar bisik-bisik tikus di pematang, ada lubang tembus menuju surga, untukmu, dan anak manusia yang mengakrabi nasib orang-orang susah
pg. 8
Bidadari Pujangga Hanya bidadari yang bisa jadi gadisnya pujangga Jika kau masih manusia, Gadis, melangitlah! Bermanis-manislah senyummu, suka cita lakumu, duhai Yang Dipuja, gadisnya para jejaka Tuhan di perangaimu Bersiaplah, sebab seorang bidadari hanya hidup di benak pujangga Kau direka-reka, tanpa cela, biar buah manismu melarik sajak yang dipuja Engkau ditiduri mimpinya, didekap-dekap bayangnya, tanpa jeda Bersedialah pedih, sebab dia tidak bermanja-manja dengan yang nyata Kelak, puji memantrai puisi Lumba-lumba melompati pipimu; pagi mengikuti genap jejakmu, dan rembulan telah sabit di matamu. Katanya
pg. 9
Lantas dia bilang langit senja dicium bibir merahmu, merekah, suka hatinya memagut menggigit-gigit itu Rasamu kian menggila Maka, siapkah engkau dikagumi tanpa pernah digauli? Terlunta-lunta hatimu oleh rasa rindu, ringkih, berdebu Jika terlalu lemah hatimu, jauhilah lelaki semacam Rangga. Pujangga. Cinta. Dia yang terluka, bukan? Kecuali, jika kau benar-benar bidadari.
pg. 10
Begitulah Hidup Isi hati siapa yang tahu. Ada orang yang tetap bangun pagi walau sebenarnya sudah malas hidup. Ada orang yang tetap menyapu halamannya walau tahu tidak akan ada yang bertamu. Ada orang yang tetap merapikan tempat tidurnya walau dari sana lahir banyak mimpi buruk. Mungkin sedikit, hatinya masih berpegang pada harapan akan ada yang bertamu, atau malam nanti mimpi baik menghampiri. Mungkin Dalam keadaan sesulit apapun; hutang yang sudah pasti tak terbayar, mereka menyempatkan diri untuk ngopi dan bersenda gurau. Sisi lain ada yang bilang hidup ini mudah, sebab mereka memang sedang baik-baik saja. Bicara demikian tanpa tahu hati si pendengar. Ya, isi hati siapa yang tahu.
pg. 11
Menjadi dewasa ibarat bunga ilalang berhamburan, bertabrakan, terombang-ambing. Siap pada ketidakpastian. Ada yang bertengkar soal agama, soal bentuk negara, tentang gaya hidup, dan di sisi gelap dunia, ada mereka yang masih berutang untuk makan. Ini bukan tentang film atau novel fiksi saat hidup diselesaikan manis dalam seratus adegan. Drama, hanyalah ludah dari hidup yang nyata Tentang kemiskinan dan kebodohan yang tak berujung, anti-klimaks, mereka hanya memasrahkan diri pada penderitaan. Pada suatu konsep penghibur bernama takdir Lekat sudah kutengok beberapa pemanjat durian di Malingping, penambang emas di Pongkor, dan mereka lainnya, cerita yang getir yang lenyap dalam iklan-iklan produk mereka sendiri.
pg. 12
Aku sendiri sudah malas hidup, tapi sepertinya masih harus menceritakan hidup dari sisi kami yang jarang ditoleh peradaban. Satu dua kali penderitaan kami masuk televisi. Penonton menangis, dan air mata mereka justru dimakan sendiri. Tidak berbekas. Ah, memang begitulah hidup. Semuanya akan tetap berjalan, sesulit apapun.
pg. 13
Di mana tempatku? Aku bukanlah penyabar, sebab tiada amarah yang kutahan Aku bukanlah dermawan, sebab tiada harta yang kumiliki Aku bukanlah orang shaleh, sebab tiada ibadah yang kuberikan untuk tuhan Aku bukanlah kebaikan, sebab tidak kutengkari keburukan Aku bukanlah munafik, sebab tiada wajah di balik topeng Aku bukan apa-apa di dunianya sesiapa Lalu, di mana tempatku?
pg. 14
Lilin ke Lilin Dari hari ke hari, lilin ke lilin, kembang ke kembang, sarung ke sarung, harusnya ada yang mati ke yang datang Dari tangis ke tawa, mimpi ke nyata, dunya ke cahya, beruk ke manusa, harusnya ada tapa ke tanya Bukankah rindu yang diam saja ialah dosa? Betulkah kebenaran itu berjalan di langit kedirian yang berjuta-juta? Maka haramkah cinta yang menyelingkuhi birahi pada akal yang tak mengakui kebinatangannya? Kupikir, kaupikir, kita telah menjelma satu sosok manusia beragamakan akalnya Tapi, coba Jejak-jejak di pasir yang entah siapa yang punya, beranikah kita menelusurinya biar tersesat dalam tanya? Bukankah itu hidup yang sejatinya tidak pernah merasa aman? Kita mencari satu, sama-sama, samar-samar, lantas bicara tentangnya sebagai benar!
pg. 15
Belatung Bengis Belatung berwajah bengis itu di bawah ranjangmu, menjelang malam bertelanjang, hingga mimpi berkesudahan dia menantimu melantur sedia menyeret ke liang kubur Tubuhmu yang akhirnya tidak bisa tidur Maka menangis saja sepanjang malam, duhai diri meski bapakmu tidak lilir memangku, sebagai pendosa engkau masih bisa berharap adanya pengampu. Dalam tangisan engkau berharap waspada Dengan derita engkau bertegur sapa Lalu putus asa lagi dalam hidup, merapal mantra kala mengorek daki di telapak kaki ibumu, bertaruh togel dari mimpi bocah dungu bertompel yang hilang arah pulang Biasa,
pg. 16
Itu biasa.. Bangunlah lagi pagi nanti seakan-akan engkau sudah tidur semalaman Sambut siksa yang hiruk pikuk mencari hidup, Menikmati masa kekanakan, menuai dosa-dosa pun dengan siap menyambut renta dan akhir dalam kesendirian, penyesalan Toh memang, tidak mudah bagimu untuk eling pada era dimana doa dan keringat tersangkut di langitlangit istana raja yang pongah ria, pun pemalas luar biasa Maka tetaplah berani jadi pendosa, tertawa lepas sebagai anak-anak tak tahu diri yang kencing di halaman bersajak orang-orang bijak, dan mati digantung ayunanmu sendiri
pg. 17
Belatimu Lihatlah mataku, Manis, aku menangis berkaca-kaca. Tidakkah kau peduli? Kamu cuka yang ditabur atas luka. Kamu siksa yang ditarikan cinta. Kamulah belahan hati, pecah terserak di sana-sini, melukai segenap senja, dan pagiku bermuka masam. Lihatlah duniaku, Kasih, aku bersenandung dalam kabung, langit mendung kuagung-agung. Sebab engkau. Cinta. Sama luka. Tuduhlah aku sebagai gila. Aku telah begitu olehmu yang berlenggok tanpa rasa dosa. Tega. Padahal, aku hanya berharap kau tahu, telah kupasrahkan tubuh lemahku untuk belatimu, sebelum maut lebih dulu memelukku.
pg. 18
Buah yang Getir Ya Allah, Kaubiarkan anak-anak manusia bermimpi memetik bintang yang paling tinggi Kau pula menantangnya dengan satu dua ujian, Lalu kami panjatkan doa-doa, Tapi mimpi tetap berguguran bersama bintang-bintang itu padam sebelum masuk keranjang Katamu, di surga ada sungai Apakah itu sungai yang sama menghanyutkannya, seperti di sini? Katamu di surga ada banyak buah-buahan Apakah itu buah yang tidak pernah busuk, atau sama saja getirnya di lidah ini? Hidup membuat semua menjadi rumit
pg. 19
Sekadar untuk sebungkus manisan kaubiarkan kami berkelahi Untuk sebuah kebahagiaan kauizinkan kami jumpalitan Dan untuk menyambut kematian yang harusnya indah, kautitip jiwa kami pada daun-daun gugur yang menanti musim yang tak keruan Allah, yang katanya tuhan Hidup tidak pernah mudah Kami mengejar kesenangan yang juga dikejar-kejar zaman Semua jadi makin sulit Kemajuan, modernisasi, globalisasi Komedi putar yang tak pernah selesai, Untuk bisa belajar kami harus membayar Dan untuk bisa membayar kami harus terpelajar Banyak yang bilang hidup bagai roda, Kadang di atas kadang di bawah Tapi Allah, tidak semua orang mengayuh sepedanya Banyak yang tidak mampu untuk menaikinya
pg. 20
Sebagian lain mengayuh tanpa peduli keseimbangan Jadilah kita porak poranda Lantas engkau sebagai apa? Allah, Persoalan mimpi anak-anak manusia Bisakah terselesaikan tanpa perkelahian? Bagaimana bisa surga itu damai? Berilah contekan pada anak-anak dunia yang keteteran Apakah karena di sana segala sesuatu mudah didapat? Atau justru di sana, Anak-anak manusia tidak lagi punya kemauan? Malam ini kami menanam benih lagi di langit Menebar puji-pujian Menyiraminya dengan air mata Saat satu mulai bercahaya, semua orang berusaha memetiknya, semua orang merasa berhak memilikinya Kesuksesan itu, popularitas, kemudahan hidup
pg. 21
Satu dua orang berhasil Ribuan sisanya menahan kecewa, Mencoba lagi Dunia ini tidak pernah selesai Tapi aku sudah tidak menanam lagi Tidak lagi berharap memetik apa-apa Aku selesai, karena engkau, tuhan, Siapa?
pg. 22
Julingnya Hati Kepada malam yang telah menjadi lumbung kenangan, terima kasih, dan untukmu bersabarlah pada pagi yang nelangsa, kelak aku kembali. Kepada mata yang lihai memanah hati, milikmu, berpeganglah pada lanjar gerimis, sebab kelak aku kembali merenggut bibirmu lagi demi janji, dan puisi. Saat kita mengenyam perpisahan, bongkar rahasia keabadian cintanya gelap kepada terang, hayati kepada surgawi, dan sepasang mata yang berkabut, kepada rindu. Engkau jauh, aku di sini, menitipkan sebaris senyum pada rentetan angin kemarau yang pemaaf, fasih akan kasarnya peluh perantauan.
pg. 23
Tetapi, jika hatimu juling pada aroma ketiak lelaki lain, kisahkan padaku. Dibandingkan kehilangan, aku lebih takut kau tiada bahagia bersamaku. Dan perkara janji yang jauh pandang, lekang, Kasih, engkau tidak harus menyiksa diri bahkan oleh rindu. Hakmu bahagia. Biar aku dan kenangan, dan pagi menjelma semesta yang berkaca-kaca.
pg. 24
Lamunan Seorang Pahlawan Ada doa-doa terpental dari langit, jatuh ke bumi jadi bualan tentang hidup ideal di pojok meja perjudian. Ada negara ditimpa musibah, sudahlah bencana mereka dera, pemimpinnya mengeja saran agar bunuh diri saja. Ada pengemis di pasar kota, parut kelapa jadi tempat pantatnya diseret sengaja terluka untuk mengiba pada yang pongah berharta. "Tuhan.. Tuhan.. Tuhan…" jerit seekor anak kambing yang tersesat pada belantara pikiran penggembalanya yang ketiduran sehabis berbuka. Ada bayi menangis di depan puting ibunya yang didekap si bapak yang belum selesai setelah birahinya dari yang tua.
pg. 25
Ada yang berpeci di tiap dinding sekolahan, anak-anak bau lumpur memberi hormat, tiada lain agar mereka selamat di dunia entah akherat Jangkrik-jangkrik berkonflik tiap malam, manusia duduk dengan secangkir kopi hitam, lantas menyebutnya sebagai nyanyian alam. Ada lagi nyanyian gadis tengah malam, dari kuping kanan, melodinya tersesat di palung besar berair dalam, lalu jatuh dari mata lelaki. Sementara di kampung itu perigi buta, memaksa, orang bersuci dengan tanahnya babi-babi menggauli kotorannya sendiri. Ada yang tersisa,
pg. 26
orang menyebutnya cinta, suci; kata basa-basi dari mulut yang biasa bicara dusta. Yang tersisa hanyalah lamunan tentang seorang pahlawan gagah berani saat yang sama semua orang hanya menanti. Yang tersisa hanyalah, penantian pada mati
pg. 27
Tanpa Konjungsi Akulah bahwa Kamulah jika Tanpa kendati Tiada konjungsi Engkaulah mimpi Akulah jati Cinta tak bersayap, itu pasti Kita hanyalah delusi Cobalah berpikir Diam semalam maka menekur. Jujur Jarak antara kita tak bisa dilebur Nasi telah menjadi bubur, katamu Hati ini bercinta yang terlanjur Kasih, aku tak tahu Apakah kau tunggu aku terbujur, kaku baru kau sadar bahwa kita hanyalah pengenyam rindu?
pg. 28
Engkaulah lambaian tangan Akulah sehangat pelukan hujan Selambat senyum wajah kita, kesyahduan Cinta ini menghantui tidurku Kita berjarak tanah dan langit, kau tahu itu Kita berbeda Dua rasa dalam kuah angkara, dunia terlalu naif untuk kisah kita Maka apa yang kautunggu di sampingku? Kehangatan bualan lagi? Tipuan takdir dalam ciuman, lagi? Kaulah dengan Akulah bukan Takdir kita di persimpangan Selesai.
pg. 29
Mata yang Berkabut Engkau yang bersedih, rebahlah di pangkuanku. Sebab tidak pasti esok, sama seperti sejarah yang luput di mata luka-lukamu. Aku akan bercerita tentang kita; miniatur sebuah bangsa. Manusia-manusia liar, kelaparan, berliur menatap yang ongkang kaki di tahtanya. Padi dari bulir keringatmu tak pula sampai ke hati mereka. Mereka yang punya rasa, mati dikunyah mulut mereka sendiri. Tidurlah yang nyenyak Jika bangun nanti matamu lebih cerah, segeralah tatap sejarah. Lihatlah dengan kejernihan,
pg. 30
apakah kita kebun anggur akhir zaman, ataukah sepetak padi yang merunduk siap dipanen? Sebab tiap bangsa punya ukuran Dan setiap pertanda butuh pembaca Tataplah kiblatmu sebelum terpejam. Kiblat yang tidak pernah jauh-jauh dari jati sendiri. Sebab kurasa khawatir, selama ini kita salah bersujud sembah Dari itulah lahir para pemimpin yang hilang visi; lupa cara memerah sapinya sendiri. Kumpulkan remah sejarah yang masih bertuah, penuhi teka-teki jati dirimu, kita, dan bangsa yang sedang tak jelas arah Aku akan tetap terjaga menunggu. Menjadi pemerhati kalau-kalau tuhan tersenyum di wajah tidurmu. Tuhan yang memusnahkan sisa jerami di sawah kering.
pg. 31
Kemudian sejarah menebar benih yang sama di musim penghujan yang anyar. Aku bukanlah penafsir. Hanya pendongeng yang belajar dari mimpi-mimpi ibunya. Aku juga bukan jerami yang tak menghasilkan, sekadar orang-orangan yang melewati tanam-panen berulang kali. Maka tersenyumlah dalam tidurmu. Esok matamu bersinar lagi. Dan aku tahu bahwa masa depan kita, miniatur bangsa, lebih manis setelah konflik sepanjang kemarau.
pg. 32
Asmara Jati Biarkan api cinta membakar asmara kita, aduhai Wajah Merona. Kuseraki tiap senti tubuhmu dengan mata manusiaku. Kaulah guru dan cobaan hidup. Malam dan siang. Kita, Wajahmu dan Mataku. Sebelum sakitku dan bahagiamu menyerasa, sebelum baikku dan burukmu menyerata, masihlah jelaga nafsu di cermin semesta. Mandala dan dunia. Akulah lelaki dan lelakonnya yang terjebak antara libido dan eros atma. Engkau, Wajah Merona, sepatutnya keindahan dalam mengurbankan rasa. Ajarilah aku menjadi tangan hitam di balik perayaanperayaan suci.
pg. 33
Menjadi ular pembisik tanpa taring yang dirindukan para penikmat doa. Menjadi pecinta sejati. Menjadi penyendiri bahkan dalam mimpi. Bersamamu, kelak cinta dan dosa manunggal dalam pada Aku. Cobai aku dengan segala kecantikanmu, Gadisku Yang Merona. Injaklah aku sebagai alasmu. Angkatlah aku sebagai kurbanmu. Tumpahkan air matamu dari tuduhan riak zaman, di pundakku. Engkau Kekasihku Yang Sabar. Lekuk tubuhmu yang gairah itu, kuakrabi tiap sentinya bagai candu. Dan tandukmu, aduhai Cinta, wariskan sebelah padaku.
pg. 34
Minuman Keras Adakah minuman keras yang tidak memabukkan, tidak melenakan, sekadar menyadarkan bahwa hidup ialah muslihat perasaan? Ingin kuteguk ia. Biar jelas sedih itu bohong. Bahagia itu bohong. Garis kematian itu benar. Datar. Tiada tengkar. Aku tidak membual. Orang yang merindu mati, tidak lagi peduli kehilangan air mata atau direndengi kabar gembira. Tertawa-tawa hambar tentang apa saja, bahkan sesuatu yang dikira bikinan setan, atau karya malaikat, sama saja menjemukan. Sebab barisan kata-kata tidak lagi mengunjungi kedalaman sanubari dan lagu-lagu telah berdiri sendiri dengan wajah penjudi, mari mati. Tidak ada jemba pada kelumpuhan hidup, dan hanyalah malam berlumuran durja yang sedia menjadi kawan bercerita.
pg. 35
Kekasihku Yang Sore Kekasihku yang sore Kauterka aku begini Kuterka engkau begitu Kita, berselisih jalan pada persepsi yang sesat oleh asumsi Oleh rasa yang kadung jenaka, dibumbui pula oleh imajinasi, terakselerasi hingga membumbung tak terbendung. Siang datang membuka mata. Rasa. Apa ini cinta? Cinta yang lahir prematur dari rahim subuh, suka cita dan jerih perih cerita kita. Hingga pagi, kita menggila. Malam menjelang. Apa aku masih sama seperti fajarmu? Siapakah aku di mata bulatmu itu? Hanya bayang-bayang dari mataharimu? Ah, Cinta, sudahlah, gulita kembali tiba.
pg. 36
Engkau, aku, rahasia, tuhan dan segala keisengannya.. Kugiring kembali ditelan mimpi. Kubiarkan kita saling menyendiri. Agar kita saling mencari, adakah rindu dalam sepi?
Merayakan Cinta Kita akan merayakan cinta Menjadi langit Menjadi bumi Menjadi tuhan yang ditenggelamkan rasa Kehilangan diri Menderita, dan bahagia, sama tiadanya
pg. 37
Rindu Bapa Pagi ini, seorang bapak dan anak berbincang hangat di benakku Berkali-kali, dari mereka, aku ingat bapakku sendiri Atau mungkin saja itu memang bapakku Dia yang kini merinduku, sama dengan aku Bapakku tidak pernah bilang, “Nak, jangan mencuri!” Tapi, setiap hari pulangnya hampir kemaghriban Memanggul kayu bakar di pundaknya yang kekar Oh, itu kerja keras, pikirku waktu itu Sendirinya aku enggan mengambil hak orang Suatu hari aku diancam teman sepermainan, diajak kelahi, diancam akan dipukuli Pulanglah aku ke rumah membawa wajah muram Kata bapak, “Pukul orang itu, pulang ke rumah.” Apa bapak menyuruh anaknya berkelahi?
pg. 38
Sekarang aku mengerti, Aku mengerti, Bapak bukan hendak menyuruhku kasar Dia hanya ingin anaknya melawan Sebab hidup penuh konflik, pertengkaran, adu kekuatan Dan katanya, “Orang yang tidak pernah bertengkar, tidak pernah memperjuangkan apa-apa.” Kini badanku tak lagi kecil Seolah-olah telah besar Alih-alih hidup mandiri Aku jauh dari bapak, jarang bicara Sedang rindunya aku, dia bilang, “Ada saatnya anak lelaki harus sendiri.” Tidak akan selamanya mainan-mainanku datang dari tangannya Iya, aku setuju Layang-layang besar, gasing, pedang-pedangan Aku telah mampu membuatnya sendiri
pg. 39
Lalu bapak membiarkanku Membiarkanku terbang laksana layang-layang itu Semalam aku menengadah langit bangsaku Aku sedih, lagi dan lagi, tidak saja sampai bunuh diri Kusapa mimpi-mimpi kawanku, makinlah aku sepi Tiada kupahami apa yang mereka tertawakan Jiwaku tidak di sini Aku bagai di awang-awang Sedang mereka berbincang tentang rumput teki Jika boleh aku minta nasehat lagi, Apakah sudah benar jalanku ini? Apa keterlaluan jika mimpiku besar? Aku tengah menantang para pencuri besar Aku telah bertengkar untuk banyak orang, Menimba gelisah mereka dan menuangnya ke hatiku sendiri tanpa ada yang tahu bahwa aku sendiri kesepian Aku rindu bapak, Dan masa kecilku
pg. 40
Sengkarut Perdu Kau bertanya tentang hal yang seminggu lalu kubilang jangan ditanyakan, yakni, "Di lembar zaman mana kaki jangka dijejakkan?" Aku pun sama sepertimu, tidak berani menghitung langkah gunung ke gunung; tidak sanggup mengundi situasi dari cabang-cabang perdu. Ketakutanku akan kekeliruan disebabkan yang kita baca sebagai kondisi, ialah keluaran dari tangan-tangan sembunyi yang luput dari hitungan. Tapi, jangan sembunyi di balik ragunya pengetahuanmu. Panggung yang bergoncang tiada pantas jadi alasan untuk berhenti mengambil peran. Robohkan, gemparkan, balik tangan, tunggang langgang, dan kembali kita memanggung semringah di tanah yang baru.
pg. 41
Begitulah siklus hiburan. Lantas, sekali lagi, soal kapan dan di mana kita sekarang, janganlah ditanyakan. Baca saja semua yang berjalan. Toh, capaian pemaknaan berbeda-beda. Semua tetap rahasia yang tiada bisa digenapi, sebab penggenapan dieksekusi oleh pemahaman sengkarut tadi.
pg. 42
Akulah Air Mata Telah banyak hati yang kuregang mati, miliknya, gadis-gadis cengeng hingga penakluk pria sejati Akulah cinta, kata mereka Air mata kuarungi, kugauli Dengan sukacita hingga kuhempaskan kisahnya ke penghujung dagu tirus mereka Tanpa peduli bibir yang lembayung pilu Ataupun wajah yang berteleku Aku berbangga atas luka-luka yang kucipta Sebab aku cinta. Akulah derita Hingga kukenal kamu, mata bulatmu Dan air mata itu sesuatu yang jernih, ibarat sari pati hidup yang nirmala Tiada dua Aku terseret terhanyut tak terkendali, ibarat batang kayu mati dilarung Musi
pg. 43
Kucoba pertahankan rasaku di tangismu yang menitik itu kucengkram pipi ketulusanmu yang halus, kujejak tepian tegas bibirmu tapi Terjerembab lagi aku dibuatmu Telah kutepis pula sapu tangan yang hendak melumatku, itu milikmu Telah kucoba segala hal untuk hidup di wajahmu hingga tibalah aku di dagumu Jatuh menetes oleh getar senja yang mengharu biru Maka terbunuh sudah kisahku dikafani malam Tiada yang tersisa selain wajah-wajah sendu, jengkaljengkal dingin bangku di taman bunga tak bertamu Duhai… lantaran Engkau cinta, engkau derita, dan engkaulah karma Kemudian aku luka, aku jejaka, akulah kepongahan yang telah terhukum olehmu Dan hebatnya, aku tetap memujamu, cinta
pg. 44
Mari, Hanif Mari, Hanif, mari kita menangis. Lagi Mari kita lari dari kepalsuan dan kecengengan, sahabatku, kosongku, sabda yang terkatung di hati zaman yang bergagah-gagah Sesap embun di sudut mataku, Hanif, kekasihku “Tiada guna bersedih untuk orang yang menganiaya dirinya sendiri,” katamu menghiburku Aku perih Aku tidaklah setegar engkau, atau Udin, Hanif Aku bukan fana, aku tidak nirwana. Aku iblis dan air matanya Ya, Nun memangku semesta. Ba lampaui langitnya. Udin, Hanif, rasaku tersesat Titip salamku untuk anak tangga bernama Izrail
pg. 45
Sahabat Jika kau punya kawan yang biasa kaupenuhi kupingnya dengan keluh kesah, cerita-cerita sedih dan resah, ajaklah dia berpetualang saat waktumu berluang. Hanyutkan dia dalam bahagiamu. Sebab masa tidak berulang. Peluklah dia sekarang. Peluklah dia sekarang… Peluklah dia sekarang!! Sebab sahabat yang setia mendengarkanmu itu, bisa kapan saja jadi belulang.
pg. 46
Halusinasi Keningku masih basah oleh ashar ketika satu jalan yang begitu benderang membentang. Itukah jalan kebenaran? Padahal di punggung sore, aku kabung Pada ekspektasi pagi, aku duri Dan di jantung cahaya, aku malam
Rembulan Padam Rembulan padam Matamu kunang-kunang oleh malam yang meremangremang di hidup yang miskin Air mata yang deras di pipi anak perempuan kehilangan indung bapaknya ketindihan rengekan adik-adiknya kehilangan jejak cita-citanya sendiri Oh, hidup ini Percaya tidak percaya
pg. 47
Silih berganti kunang-kunang remang-remang tulang belulang ilalang yang rebah sejenak memberi tenang Kelak, mungkin terkenang-kenang menjelma dongeng pada anak cucu di pembaringan, bersama tangis tawa oleh-oleh hati yang lebam Sungguh, tidak bijaksana memaksa hati untuk bijaksana, memberi makna atas segala derita sebagai cinta yang merdesa Oh, pengertian yang sederhana Bagaimana bulan bisa terang di mata yang jelaga dengan air mata Muskil, hampir-hampir mustahil Dan hidup, memang silih berganti kunang-kunang remang-remang tulang belulang selalu, rembulan padam
pg. 48
Sepasang Juwita Telah lahir satu masa lalu di pangkuan dua masa depan yang satunya akan kembali mati digodam perayaanperayaan demikian. Telah terbit segaris air mata dari dua lembar senyuman juwita yang satunya akan kembali melengkung, memayung, yang gugur. Telah berguru pada api kompor, nafsu yang hidup mati sekali jentikan tangan, demikian sederhana, bukankah itu tipuan zaman? Tidak. Itulah aku. Basi cintaku pada kolak pisang di hari lebaran, ditepuktangani dan ada jabat menjabat atas permintaan, maaf? Tidak perlu. Pilihanku bukanlah keterlambatan. Aku ikut campur dalam segala proyeksi impian, sekelumitnya, setebal selimut pengharapan yang cerah, itulah milik mereka, dua juwita yang kugeluti urusannya Tapi hatiku duduk diam disihir pemilik hidup yang kesepian, dan padaku dia menemukan cermin berbingkai kayu dengan dua wajah bayi menangis di dalamnya Dua juwitaku…
pg. 49
Tik, Kiamat Sebab rahasia telah terungkap, manakah gelas yang tak berdasar biar kita tenggak airnya yang tiada usai, hingga mabuk, mual, lantas muntah di mazbah yang bertuah, agar datang sayap-sayap Izrail meneduhkan. Berulang telah kuhitung jumlah bintang malam ini, lewat matamu, ia kadang genap kadang pun gasal sebab ruat hatiku yang setengah bertobat. Ubun-ubun ternyata dipayungi awan-awan penjilat, mastaka jadi botak, mahkota bernilam mainan, duh, tuan, ini hanyalah sandiwara atau drama tanpa modal Semuanya telah terungkap, habisi saja. Besi panas pun terlanjur padam berkarat,
pg. 50
mulut-mulut pendusta masih saja melobi tuhan yang kebetulan, terlanjur cinta pada manusia. kita tunda sejenak lagi, katanya Dan apel-apel tiada pemetiknya, bidadari melamun hendak loncat dari kahyangan, mencari aku yang terjebak dalam remang selongsong damar. Saat aku berdendang lancang begini, Yama tetap berduduk masyuk menggambar di kertas polos dengan krayon warna-warninya, oh hidup ini, dosa ini, pelangi di tangannya, pelangi yang kian padu jadi hitam. Tapi tetap saja, masa tidak bisa dielak Air di wajah berwudhu telah jenuh, keruh dahaga akan sesuatu yang baru, tumetes meluruh sesuatu yang lama, demi kiamat
pg. 51
Semuanya... Semuanya sedang jenuh, Din, bukan cuma kita... sebentar lagi, pasti, sebentar lagi Tinggal kau dengar kapan tetesnya, tik itu, lantas tiada kita sebagai durjana.
Seratus Topeng Ada seratus topeng kupunya. Satu untuk dia. Satu untukmu. Dan banyak untuk mereka. Akhirnya, tiada satu pun orang mengenali wajahku. Itulah awal dari sebuah derita yang sering disebut sebagai kesendirian.
pg. 52
Angin Tuarang Dinginnya angin tuarang, aku senangi. Sedahan daun petai cina kuning kering, dihempasnya jatuh, bertebaran di halaman rumahku yang lekang. Ah, aku terkenang. Itu masa yang lampau. Kelereng dan layang-layang. Cinta monyet dan konflik sepele antara aku dan kawan sekubangan. O, tuhan. Itu sesak dikenang. Hidup, tidak jauh dari gumulan lumpur, percik darah dan kenakalan anak lelaki. Kelahi. Cinta. Persahabatan. Habis di masa dewasa. Aku telah hidup tertantang, aku pun sudah menang,
pg. 53
kini aku selesai, dan aku ingin pulang. Apakah surga tengah kemarau, Duhai Tuan? Atau hujan? Aku tidak suka hujan dan lengket tanah yang memutuskan sandal. O, Hyang Tunggal.. Panggillah aku saat garang tuarang. Aduhai, aku pasti senang…
pg. 54
Sepoi Jiwa yang hampa diremas degup desirnya Dikelabui hari-hari berepetisi Aku mengenyam bumi di samping pusara milik mereka Senyum seringai yang hidup di lorong perjanji yang mengandung bohong Kulihat di dalam sini tidak seramai nyalang matanya Nyalak lidahnya Sepi Sepoi itu Senyap Senada api menjilat-jilat ludah kayu basah Begitu percuma Sungguh naïf Saat mati itu niscaya Mereka coba tempeli hidup dengan makna-makna yang mengambang sebatas rutinitas
pg. 55
Sia-sia Sampai kapan pun, di surga itu pun Aku ditunggangi Dan yang bahagia, hanya mereka
Kisah Cinta Biasa Adalah sewajarnya, cinta berujung air mata berbuih-buih dari hati yang tiada pernah menerima pertemuan, penantian, dan pelepasan sebagai sebuah keniscayaan. Adalah biasa, anak muda kasmaran dalam asmara, asmara dalam kasmaran, bilang segala hal luar biasa padahal ludahnya tidak lebih berpengalaman dari air mata Semua indah pada waktunya, waktunya indah pada semua, sepertinya, hidup tiada dua Hanya begitulah kisah cinta yang biasa
pg. 56
Omong Kosong Pagi, matahariku yang tidak pernah tersenyum Darah dan keringat saling kulum Berlalu. Kasih dicandu Tetap berlalu Ini kisah anak lelaki di punggung truk pasir Dia yang lihai mencuri waktu untuk berdoa dalam berdosa Ayat sucimu ditimbun mati angan-angan hidupnya Kekejian hidup, makrifat jiwa Omong kosong padanya Setinggi apapun kepalamu bicara langit Kakimu tetaplah berkubang lumpur Bila kautikam setan di neraka, dosamu sama besarnya dengan memeluk malaikat di surga Itulah manusia. Banci Kepalsuan. Perjalanan
pg. 57
Perputaran, O, Raja Tikai, Kelahi dan Perang, beserta parang, tebas kami yang ilalang Aduhai alangkah manusia, ini akhir zaman Tak usah kautunggu, tengoklah cerminmu, itulah Dajjalmu
pg. 58
Separuh Hidup Menurut siklus dewa kebijaksanaan, aku akan gugur di umur dua lima sebagai binatang lalu lahir sebagai manusia Tapi siapa yang tidak jenuh menanti tahun berganti? Makan, minum, seks, lagi? Menonton kelahiran, kematian, lagi? Padahal belum jelas apa yang ditawarkan kemanusiaan di awal kelahirannya padaku sebagai hidup Tidak pula dia mengajarkan kesabaran pada kehambaran yang menjadi-jadi, kebosanan pada segala hal termasuk kebosanan itu sendiri Dibingungkannya aku oleh cita-cita dan pencapaian yang entah apa dan sebelah mana alasanku untuk mengakuinya sebagai perayaan Disesakinya kepalaku oleh ilmu-ilmu yang gunanya tidak lebih dari membanggakan yang tidak kelihatan fungsinya Dijeratnya kakiku oleh harapan-harapan orangtua yang hampir renta, tiada punya pencapaian apa-apa selain
pg. 59
menghasilkan anak yang banyak untuk kuncinya masuk surga Ini bukan lagi kegilaan, malah termasuk kegoblokan hidup manusia yang berputar-putar pada puji dan cercanya sendiri Aku yang nyatanya tidak mengejar cita-cita, justru dikejar cita-cita yang tidak pernah perlu bernapas karena tidak berparu-paru Aku yang nyatanya tidak mencinta, justru terpaksa-paksa cinta karena butuh pemberi pengharapan dan tawa jenaka biar pun itu palsu Aku yang punya segala tapi kehilangan diri yang ikutikutan menjadi benda Aku yang manusia tapi merenda-renda tepian hidup dengan segala pemanis yang memantul di mata-mata tetangga yang sinis
pg. 60
Di hidup yang begini, bagaimana bisa aku menanti dalam kehamparan yang diam saja? Badanku sudah terjun menggila, siapa tahu terlecut lagi batinku punya rasa mengiba atau bersuka-suka agar penantianku tidak berasa terlampau lama, demi tahun dua lima aku lahir sebagai manusia Tapi sekarang sebagai binatang, hidupku tetap berputarputar tanpa makna, tanpa peresapan dan detail-detail yang hilang Setiap ciuman dengan gadis digadang menjadi pamuncak celupan takdir beranak pinak, tidak pernah pamungkas, tapi tak lebih dari birahi sejenak saja Aku mencintai hidupku? Tidak. Aku mencintai kehambaran pada rutinitas yang entah apa fungsinya? Tidak. Lalu kurindukan mati? Ya! Di tahun kedua lima jika boleh.
pg. 61
Padahal aku ingin mati saat ini, tapi aku masih bertahan untuk tidak mati, bukan karena aku memiliki seseorang, atau memiliki hidup yang membahagiakan, melainkan karena aku dimiliki banyak orang yang menitipkan mimpi-mimpinya padaku Demi lahir sebagai manusia, setiap binatang mungkin akan jenuh sepertiku Dan setiap yang memijar pada awalnya mungkin memang mesti remang-remang hilang sandaran, melucuti agama, norma dan budayanya sendiri dengan berani Itulah kulit yang gatal dan menjijikkan yang ujungujungnya meraup harta benda yang kemanjaannya melingkupi sekujur tubuh luar dan kepalsuannya menggapai setiap sudut kesadaran yang haus akan moralitas yang formalitas belaka Aku yang gila, mati rasa ini, bisa jadi separuh manusia separuh binatang yang kelak tidak menjadi keduanya di tahun dua lima
pg. 62
Mungkin saja Aku mati sebagai seutuhnya itu lebih baik jika memang aku tiada lagi berhutang apa-apa atas dunia yang mengikatku, melahirkanku dan mendukungku dalam pencarian yang menjemukan di sudut penjara kehidupan Kelak, anak-anakku yang belum lahir bisa kutitipkan pada alat kelamin lain, sebab aku tidak setega itu untuk menciptakan manusia bingung lain yang hidup dalam kehambaran macam begini Istri-istriku yang keluputan suami yang sialan ini bisa kuberikan kembali pada takdir, biar mereka dijudikan semesta di meja yang banyak lelaki berwajah mesum merongrongnya Bangsaku yang kian terseok-seok yang mungkin kehilangan seorang pemuda gila pemberontak ini bisa kuserahkan pada kepunahan yang padanya aku tiada berbekas monumen apa-apa tentang namaku atau wujudku selain bayangan buku-buku yang muram
pg. 63
Jika tahun dua lima memang terlalu lama dan aku kejadian mati sebagai binatang, kutitipkan salam untuk pemujaku yang tidak tahu betapa kotornya tangan yang merangkai kata ini Demikian aksara yang jujur dan mahsyur, tidak mengadaada, aku ingin hatiku diangkat dari dada yang koyak lantas diberikan pada setiap mereka yang duduk di tahta Negara Aku telah hibahkan seluruh seutuhnya hidupku demi kalian yang berambisi sebelum matiku sebagai binatang Siapa yang hendak menahan-nahan matiku silakan hidup lebih baik dan berikan tontonan yang menarik sebab aku hambar, aku hampar, aku tiada mempan ditampar Aku bukan apa-apa selain kepemilikan si pemilik semesta yang kurang kerjaan, iseng-iseng mencipta meluka segala hal agar dia sendiri yang senang
pg. 64
Untuk semua ini, aku tidak menderita, pun tidak bahagia, tidak pantas meratapi, enggan bercita-cita Itulah aku dan tahun dua lima yang kunanti Lantas, demikian, masihkah ada yang hidup tawarkan setelah kematian?
~END~
pg. 65
Tentang Penulis Reza Nufa, seorang biasa, penyuka binatang, termasuk yang bernama manusia. Terbiasa menulis demi menghindari kegilaan, atau sebut saja dengan lebih sopan; kehambaran. Beberapa buku yang numpang lahir dari jemarinya adalah Iqra, Hanif dan Revolusi. Berminat mengobrol santai, silakan sapa dia di twitter @rezanufa atau FB Reza Nufa. Beberapa sajaknya bisa ditoleh di rezanufa.wordpress.com. Pesan darinya untuk setiap pembaca karya-karyanya, “Tidak usah percaya saya, sebab saya bukan kepercayaan.” Demikianlah.
pg. 66