BUKU AJAR MATA KULIAH :
FARMAKOTERAPI 1 FA 934220
Luh Putu Febryana Larasanty,S.Farm.,M.Sc.,Apt. 198402222008012008 Dewa Ayu Swastini, S.F.,M.Farm.,Apt. 197905162006042002
JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ajar untuk matakuliah Farmakoterapi 1 . Buku ajar ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa yang mengambil matakuliah Farmakoterapi 1 dan dosen pengampu matakuliah Farmakoterapi 1. Buku ajar ini terdiri atas 5 pokok bahasan yang masing – masing memiliki sub bab untuk masing – masing materi pokok yang disusun sistematis dengan harapan memudahkan dalam memahami pokok bahasan tersebut. Buku ajar yang penulis susun masih jauh dari sempurna. Saran dan masukan dalam penulisan buku ajar ini akan sangat membantu dalam proses perbaikan dan perkembangan buku ajar sehingga dapat menunjang proses belajar mengajar, khususnya pada matakuliah Farmakoterapi 1.
Jimbaran, Januari 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI Kata Pengantar………………………………………………………………………………………………………………. Daftar Isi…………………………………………………………………………………………………………… …………… BAB I FARMAKOTERAPI HIPERTENSI………………………………………………………………………………. A. Pendahuluan………………………………………………………………………………………………… ….. B. Pengenalan Penyakit…………………………………………………………………………………………. C. Tatalaksana Terapi……………………………………………………………………………………………. D. Penutup…………………………………………………………………………………………………………… . BAB II FARMAKOTERAPI DISLIPIDEMIA…………………………………………………………………………… A. Pendahuluan………………………………………………………………………………………………… ….. B. Pengenalan Penyakit…………………………………………………………………………………………. C. Tatalaksana Terapi Dislipidemia………………………………………………………………………… D. Penutup…………………………………………………………………………………………………………… . BAB III FARMAKOTERAPI GANGGUAN GINJAL KRONIK…………………………………………………… A. Pendahuluan………………………………………………………………………………………………… ….. B. Pengenalan Penyakit…………………………………………………………………………………………. C. Tatalaksana Terapi Gangguan Ginjal Kronik……………………………………………………… D. Penutup…………………………………………………………………………………………………………… . BAB IV FARMAKOTERAPI STROKE ISKEMIK…………………………………………………………………….. A. Pendahuluan………………………………………………………………………………………………… ….. B. Pengenalan Penyakit Stroke Iskemik…………………………………………………………………. C. Tatalaksana Terapi Akut Stroke Iskemik……………………………………………………………. D. Tatalaksana Terapi Pencegahan Serangan Ulang Stroke Iskemik………………………
i ii 1 2 4 16 26 28 29 32 37 48 50 51 52 62 72 74 75 77 83 95
E. Penutup…………………………………………………………………………………………………………… . BAB V FARMAKOTERAPI STROKE PERDARAHAN…………………………………………………………….. A. Pendahuluan………………………………………………………………………………………………… ….. B. Pengenalan Penyakit Stroke Perdarahan Intraserebral…………………………………….. C. Tatalaksana Terapi Stroke Perdarahan Intraserebral………………………………………… D. Pengenalan Penyakit Stroke Perdarahan Subaraknoid……………………………………… E. Tatalaksana Terapi Stroke Perdarahan Subarakhnoid……………………………………….. F. Profil Obat Pasien Stroke Perdarahan……………………………………………………………….. G. Penutup…………………………………………………………………………………………………………… .
104 106 107 110 114 121 126 129 139
ii
BAB I FARMAKOTERAPI HIPERTENSI
Oleh : LUH PUTU FEBRYANA LARASANTY 198402222008012008
1. Indikator Pencapaian
: Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan definisi hipertensi,
klasifikasi
hipertensi,
etiologi
dan
patofisiologi penyakit hipertensi, faktor resiko serta tatalaksana terapi non farmakologi dan farmakologi hipertensi. 2. Materi Pokok
: 2.1. Pendahuluan 2.2. Pengenalan Penyakit Hipertensi 2.3. Tatalaksana Terapi 2.4. Penutup
1
A. PENDAHULUAN
Worlds Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang diperkirakan telah menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global. Prevalensi terjadinya hipertensi di negara berkembang dan di negara maju hampir setara (Muchid dkk, 2006). Diseluruh dunia prevalensi terjadinya hipertensi diperkirakan sebanyak 1 milyar orang, dan sekitar 7,1 juta kematian pertahun dapat disebabkan karena hipertensi (NHBPEP, 2004). Di Amerika Serikat hampir sekitar 72 juta masyarakatnya mengalami hipertensi, yang juga disebut sebagai tekanan darah tinggi. Diperkirakan hampir sekitar 30% orang dewasa di Amerika mengalami hipertensi, membuatnya menjadi kondisi medis kronis yang paling sering ditemukan. Hipertensi juga merupakan salah satu faktor resiko yang paling signifikan untuk mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskular yang terjadi karena kerusakan organ target pada pembuluh darah jantung, otak, ginjal dan mata. Komplikasi hipertensi dapat berwujud penyakit vaskular atherosklerosis atau bentuk lain dari penyakit kardiovaskular (Saseen, 2009). Laporan WHO menyebutkan bahwa tekanan darah sub optimal (tekanan darah sistolik > 115 mmHg) bertanggung jawab terhadap 62% penyakit serebrovaskular dan 49% penyakit jantung iskemik (NHBPEP, 2004). Hipertensi merupakan isu medis dan kesehatan masyarakat yang penting dan terus mengalami peningkatan. Prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan peningkatan usia, dimana hampir separuh orang dengan usia 60 – 69 tahun mengalami hipertensi dan meningkat sampai dengan tiga per empat pada mereka yang berusia 70 tahun dan lebih tua. Peningkatan tekanan darah sistolik yang terkait usia merupakan penyebab utama pada peningkatan insidensi dan prevalensi hipertensi seiring peningkatan usia (NHBPEP, 2004). Kewaspadaan, perawatan dan kontrol terhadap hipertensi belumlah optimal. Berdasarkan data terbaru dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada tahun 2003 – 2004, hanya sekitar 76% pasien yang benar – benar mengalami hipertensi terdiagnosa untuk kondisi medis ini, selebihnya masih belum 2
terdiagnosa. Hanya sekitar 65% pasien dengan hipertensi yang menerima sejumlah bentuk perawatan untuk penyakitnya tersebut. Dan akhirnya, statistik yang paling mengecewakan adalah bahwa hanya sekitar 37% pasien dengan hipertensi, termasuk mereka yang hipertensinya belum terdiagnosa, yang tekanan darahnya dapat terkontrol dengan baik (Saseen, 2009). Kepatuhan terhadap terapi merupakan isu lain yang perlu diperhatikan dalam terapi hipertensi. Hampir 50% pasien yang memperoleh obat antihipertensi tidak meminum obat sesuai yang dianjurkan. Untuk dapat mencapai target tekanan darah yang diinginkan, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ketaan pasien terhadap pengobatannya. Pendekatan yang paling efektif adalah dengan kombinasi strategi seperti edukasi, modifikasi sikap dan sistem yang mendukung. Praktek evidence-based medicine untuk hipertensi termasuk di dalamnya adalah memilihkan obat antihipertensi yang sesuai didasarkan pada data klinik pasien. Dengan pemilihan obat yang tepat dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan organ akibat hipertensi. Selain itu dengan membantu pasien memodifikasi pola hidupnya juga dapat membantu pasien mencapai tujuan terapi (Muchid, 2006). Adanya panduan tatalaksana terapi dapat mendukung managemen hipertensi pada pasien. Panduan ini dapat meningkatkan kewaspadaan, pencegahan, terapi dan kontrol terhadap hipertensi (NHBPEP, 2004).
3
B. PENGENALAN PENYAKIT
1. Definisi dan Klasifikasi Diagnosa hipertensi didasarkan pada pengukuran yang berulang, reproduksibel dari peningkatan tekanan darah. Klasifikasi tekanan darah oleh Joint National Committee (JNC) 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cendrung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Pasien dengan
prehipertensi, yang juga mengalami diabetes atau gangguan ginjal, harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk mendapatkan terapi obat yang sesuai apabila modifikasi gaya hidup gagal untuk menurunkan tekanan darah menjadi 130/80 mmHg atau kurang. Pasien hipertensi stage 2 harus mendapatkan terapi obat baik tunggal maupun dalam kombinasi (Katzung, 2003; NHBPEP, 2004).
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik (mmHg) < 120 Normal 120 – 139 Prehipertensi 140 – 159 Hipertensi Stage 1 ≥ 160 Hipertensi Stage 2
Tekanan Darah Diastolik (mmHg) dan < 80 atau 80 – 89 atau 90 – 99 atau ≥ 100
Krisis hipertensi merupakan situasi klinis dimana tekanan darah sangat meningkat, utamanya lebih besar dari 180/120 mmHg, yang kemudian dikategorikan sebagai hipertensi gawat darurat atau hipertensi urgensi. Hipertensi gawat darurat merupakan peningkatan tekanan darah ekstrim yang diikuti dengan kerusakan organ target akut atau progresif. Hipertensi urgensi merupakan peningkatan tekanan darah yang tinggi tanpa kerusakan organ target akut atau progresif (Saseen & Maclaughlin, 2008).
4
2. Etiologi dan Patofisiologi A. Etiologi (Saseen & Maclaughlin, 2008) Hipertensi dapat merupakan hasil dari etiologi patofisiologi yang tidak diketahui (hipertensi primer atau essensial). Hipertensi jenis ini tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol. Sejumlah kecil pasien memiliki penyebab spesifik untuk kondisi hipertensinya (hipertensi sekunder). Terdapat banyak penyebab potensial hipertensi sekunder, baik berupa kondisi medis yang bersamaan atau induksi endogen. Apabila penyebabnya dapat diidentifikasi, jenis hipertensi ini potensial dapat disembuhkan. a. Hipertensi essensial Lebih dari 90% individu dengan hipertensi memiliki jenis hipertensi essensial. Banyak mekanisme telah diidentifikasikan dapat berkontribusi terhadap patogenesis hipertensi essensial,
Sehingga tidak mungkin dapat mengetahui
penyebab abnormalitas yang utama. Faktor genetik memiliki peran penting dalam perkembangan hipertensi essensial. Terdapat bentuk monogenik dan poligenik dari disregulasi tekanan darah yang bertanggung jawab terhadap hipertensi essensial.
Banyak fitur sifat genetik ini yang mempengaruhi keseimbangan
natrium, namun mutasi genetik akan mengubah ekskresi urinari kalikrein, pelepasan nitrit okside, dan ekskresi aldosteron, steroid adrenal lainnya, dan angiotensin. Di masa depan, identifikasi individu dengan sifat genetiknya dapat menjadi pendekatan alternatif untuk mencegah atau menterapi hipertensi, namun saat ini belum dapat direkomendasikan. b. Hipertensi sekunder Kurang dari 10% pasien mengalami hipertensi sekunder yang mana penyakit komorbid atau obat dapat bertanggung jawab terhadap peningkatan tekanan darah (tabel 2). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal yang disebabkan penyakit ginjal kronik yang parah atau penyakit renovaskular merupakan penyebab sekunder yang paling sering. Beberapa obat, baik langsung maupun tidak langsung, dapat menyebabkan hipertensi atau memperburuk hipertensi dengan meningkatkan tekanan darah. Tabel 2 berisi daftar agen yang paling sering menyebabkan hipertensi, dimana beberapa diantaranya adalah produk herbal. 5
Walaupun secara teknis bukanlah obat, namun produk herbal ini juga telah diidentifikasi sebagai penyebab sekunder. Apabila penyebab sekunder telah teridentifikasi, menghilangkan agen penyebab (apabila memungkinkan) atau menterapi/mengkoreksi kondisi komorbid yang mendasari merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan (Saseen & Maclaughlin, 2008). Tabel 2. Penyebab sekunder hipertensi Penyakit Penyakit ginjal kronik Sindrom Cushing’s Coarctation of the aorta Obstructive sleep apnea Penyakit Paratiroid Feokromositoma Aldosteronisme primer Penyakit Renovaskular Penyakit Tiroid
Obat yang terkait dengan hipertensi pada manusia Obat keras (dengan resep)a • Steroid adrenal (misalnya prednison, fludrokortison, triamsinolon) • Amfetamin/anoreksian (misalnya fendimetrazine, fentermine, sibutramine) • Obat antivaskular endothelin growth factor (bevacizumab, sorafenib, sunitinib), estrogen (biasanya kontrasepsi oral) • Inhibitor kalsineurin (siklosporin dan trakolimus) • Dekongestan (fenilpropanolamin dan analognya) • Erythropoiesis stimulating agents (erithropoietin dan darbepoietin) • Obat antiinflamasi nonsteroid, inhibitor siklooksigenase2 • Lain – lain : venlafaksin, bromokriptin, bupraprion, buspirone, karbamazepine, klozapine, desulfrane, ketamin, metoklopramide • Situasi : beta bloker atau alfa agonis aksi sentral (apabila secara tiba – tiba dihentikan); beta bloker tanpa alfa bloker saat pertama kali digunakan untuk terapi feokromositoma Narkotika dan obat – obat berbahaya • Kokain dan penghentian kokain • Alkaloid efedrin (misalnya Ma-Huang), “ekstasi herbal”, analog fenilpropanolamin lainnya • Penghentian nikotin, steroid anabolik, penghentian narkotik, metilphenidate, fensiklidin, ketamin, ergotamin dan produk herbal yang mengandung ergot, St. John’s wort Substansi makanan • Natrium • Etanol • Licorice • Makanan yang mengandung tiramin apabila mendapatkan obat inhibitor monoamine oksidase a. Obat yang paling penting secara klinik
6
B. Patofisiologi (Saseen & Maclaughlin, 2008; Riaz, 2011) Patogenesis dari hipertensi essensial sangat multifaktorial dan kompleks. Sejumlah faktor mengatur tekanan darah agar dapat menghasilkan perfusi jaringan yang adekuat, termasuk di dalamnya adalah mediator humoral, reaktivitas vaskular, sirkulasi volume darah, mutu pembuluh darah, viskositas darah, output jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis dari hipertensi esensial kemungkinan melibatkan beberapa faktor, termasuk perubahan genetik, intake diet garam yang berlebih dan kesesuaian hormon andrenergik dapat saling berinteraksi untuk
menyebabkan
terjadinya
hipertensi.
Walaupun
genetika
tampaknya
berkontribusi terhadap munculnya hipertensi esensial, mekanisme yang tepat tentang bagaimana pengaruhnya, sampai saat ini belum dapat dipastikan (Riaz, 2011). a. Tekanan darah arteri Tekanan darah arteri adalah tekanan pada dinding arteri yang diukur dalam milimiter raksa (mmHg). Terdapat 2 tipe tekanan darah arteri yaitu tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Tekanan darah sistolik diperoleh selama kontraksi jantung dan mewakili nilai puncak tekanan darah. Tekanan darah diastolik dicapai setelah kontraksi pada saat ruang jantung terisi darah, dan mewakili nilai nadir. Perbedaan antara tekanan darah sistolik dan distolik disebut tekanan nadi dan merupakan ukuran tekanan dinding arteri. Tekanan darah arteri rata – rata merupakan tekanan rata – rata sepanjang siklus kontraksi jantung, kadang – kadang digunakan secara klinis untuk mewakili keseluruhan tekanan darah arteri, terutama dalam keadaan hipertensi darurat (Saseen & Maclaughlin, 2008). Sepanjang siklus jantung, duapertiga waktu dihabiskan untuk diastole dan sepertiga untuk sistole. Konsekuensinya tekanan arteri rata – rata dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut : Tekanan Arteri Rata – rata : (SBP . 1/3) + (DBP . 2/3) Tekanan darah arteri secara hemodinamik dihasilkan oleh interaksi antara aliran darah dan tahanan terhadap aliran darah. Hal ini secara matematika didefinisikan sebagai hasil dari curah jantung dan tahanan perifer total menggunakan persamaan di bawah ini : 7
Tekanan Darah : Curah Jantung . Tahanan Perifer Total (cardiac ouput) . (total peripheral resistance) Tabel 3. Mekanisme potensial patogenesis hipertensi (Saseen & Maclaughlin, 2008) Tekanan darah secara matematis merupakan hasil dari curah jantung dan tahanan perifer. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan dari peningkatan curah jantung dan/atau peningkatan tahanan perifer total. Peningkatan curah jantung Peningkatan preload jantung : • peningkatan volume cairan dari intake natrium yang berlebihan atau retensi natrium ginjal (karena penurunan jumlah nefron atau penurunan filtrasi glomerulus Kontraksi vena • Stimulasi berlebih dari sistem reninangiotensin-aldosteron • Overaktivitas sistem syaraf simpatik Peningkatan tahanan perifer Penyempitan pembuluh darah fungsional • Stimulasi berlebih dari sistem reninangiotensin-aldosteron • Overaktivitas sistem syaraf simpatik • Perubahan genetik membran sel • Endothelial-derived factors Hipertrofi pembuluh darah struktural • Stimulasi berlebih dari sistem reninangiotensin-aldosteron • Overaktivitas sistem syaraf simpatik • Perubahan genetik membran sel • Endothelial-derived factors • Hiperinsulinemia disebabkan karena obesitas atau sindrom metabolik
Curah jantung merupakan penentu utama dari tekanan darah sistolik, sedangkan tahanan perifer total sangat menentukan tekanan darah diastolik. Pada gilirannya, curah jantung merupakan fungsi dari volume stroke, denyut jantung, dan kapasitas vena. Pada kondisi fisiologis normal, tekanan darah arteri berfluktuasi sepanjang hari. Fluktuasi ini mengikuti ritme sirkadian, yang mana turun ke nilai paling rendah setiap harinya selama tidur. Diikuti dengan kenaikan tajam mulai dari beberapa jam sebelum terbangun dan nilai tertinggi terjadi menjelang siang hari. Tekanan darah juga meningkat akut selama aktivitas fisik atau stress emosional. Tabel 3 memuat beberapa faktor yang dapat meningkatkan curah jantung dan tahanan perifer total yang kemudian dapat meningkatkan tekanan darah (Saseen & Maclaughlin, 2008). 8
Gambar 1. Mekanisme patofisiologi hipertensi (http://www.ucla.edu.ve/dmedicin/magazine/fisiopatologia/fisiopatologia-temas-010_archivos/frame.htm) b. Mekanisme humoral Sejumlah abnormalitas humoral ambil bagian dalam munculnya hipertensi essensial. Abnormalitas ini melingkupi sistem renin-angiotensin-aldosteron, hormon natriuretik dan hiperinsulinemia. i.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) merupakan sistem endogen kompleks yang terlibat dengan sebagian besar komponen pengatur tekanan darah arteri. Aktivasi dan pengaturan sistem ini, utamanya diatur oleh ginjal (gambar 2). Sistem RAA mengatur natrium, kalium dan keseimbangan cairan. Karenanya sistem ini secara signifikan berpengaruh terhadap tonus vaskular dan aktivitas sistem syaraf simpatik dan merupakan kontributor yang paling berpengaruh terhadap pengaturan homeostatik dari tekanan darah. Renin merupakan enzim yang tersimpan pada sel jukstaglomerular, yang lokasinya pada arteriola afferent ginjal. Pelepasan renin dimodulasi oleh beberapa faktor : faktor intrarenal (misalnya : tekanan perfusi ginjal, katekolamin, angiotensin II), dan faktor ekstrarenal (misalnya : natrium, klorida dan kalium). Sel jukstaglomerular berfungsi sebagai bagian baroreseptor. Penurunan tekanan 9
arteri ginjal dan aliran darah ginjal akan dirasakan oleh sel ini dan akan menstimulasi
sekresi renin.
Apparatus
jukstaglomerular
juga
mencakup
sekelompok sel tubulus distal khusus yang secara kolektif disebut sebagai macula densa. Penurunan kadar natrium dan klorida akan dikirim ke tubulus distal dan menstimulasi pelepasan renin. Katekolamin akan meningkatkan pelepasan renin kemungkinan secara langsung melalui stimulasi syaraf simpatik pada arteriola afferent yang pada gilirannya akan mengaktivasi sel jukstaglomerular. Penurunan serum kalium dan/atau kalsium intraseluler akan terdeteksi oleh sel jukstaglomerular menghasilkan sekresi renin.
Gambar 2. Sistem renin – angiotensin – aldosteron (Saseen & Maclaughlin, 2008) Renin mangkatalisasi konversi angiotensinogen menjadi angiotensin I pada darah. Angiotensin I kemudian akan dikonversi menjadi angiotensin II oleh angiotensin-converting enzyme (ACE). Setelah berikatan pada reseptor yang spesifik (diklasifikasikan sebagai sub tipe AT1 atau AT2), angiotensin II akan menimbulkan efek biologik pada beberapa jaringan. Reseptor AT1 berlokasi pada 10
otak, ginjal, miokardium, pembuluh darah perifer dan kelenjar adrenal, merupakan reseptor yang memediasi sebagian besar respon akut pada fungsi ginjal dan kardiovaskular, sehingga berperan dalam pengaturan tekanan darah. Sirkulasi angiotensin II dapat meningkatkan tekanan darah melalui tekanan dan efek volume. Efek tekanan termasuk vasokontriksi langsung, stimulasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dan secara sentral akan memediasi peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatik. Angiotensin II juga menstimulasi sintesis aldosteron dari korteks adrenal. Hal ini akan memicu reabsorpsi natrium dan air yang akan meningkatkan volume plasma, tahanan perifer total, dan kemudian peningkatan tekanan darah. Secara jelas, setiap gangguan pada tubuh yang memicu aktivasi sistem RAA dapat memicu terjadinya hipertensi kronik. ii.
Hormon natriuretik Hormon natriuretik menghambat natrium dan kalium-adenosin trifosfat sehingga mengganggu transport natrium melintasi membran sel. Cacat bawaan pada kemampuan ginjal untuk mengeliminasi natrium dapat menyebabkan peningkatan volume darah.
Kompensasinya adalah peningkatan konsentrasi hormon
natriuretik tersirkulasi, yang secara teoritis dapat meningkatkan ekskresi urinari dari natrium dan air. Namun hormon yang sama ini juga dapat memblok transport aktif dari natrium keluar dari sel otot polos arteriolar. Peningkatan konsentrasi natrium intraseluler dapat meningkatkan tonus vaskular dan tekanan darah. iii.
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia Munculnya hipertensi dan hubungannya dengan abnormalitas metabolik disebut sebagai sindrom metabolik. Secara hipotesis, peningkatan konsentrasi insulin dapat memicu hipertensi karena peningkatan retensi natrium ginjal dan mengganggu aktivitas sistem syaraf simpatik. Lebih lagi, insulin memiliki aksi seperti hormon pertumbuhan yang mana dapat menginduksi terjadinya hipertrofi pada sel otot polos pembuluh darah. Insulin juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan kalsium intraseluler, yang mana dapat memicu peningkatan resistensi vaskular. Mekanisme pasti bagaimana resistensi insulin dan hiperinsulinemia dapat menimbulkan hipertensi masih belum diketahui. Namun 11
demikian, hubungannya sangat kuat karena populasi yang mengalami obesitas abdominal, dislipidemia dan peningkatan glukosa puasa sangat sering ditemui pada pasien hipertensi (Saseen & Maclaughlin, 2008). c. Regulasi neuronal Sistem syaraf pusat dan autonomik secara intrinsik terlibat pada pengaturan tekanan darah arteri. Sejumlah reseptor baik yang meningkatkan atau menghambat pelepasan norefinefrin terletak pada permukaaan presinaptik dari terminal simpatik. Tujuan dari mekanisme neuronal ini adalah untuk mengatur tekanan darah dan mempertahankan homeostasis. Gangguan patologik pada salah satu dari 4 komponen utama yang meliputi serabut syaraf autonom, reseptor adrenergik, baroreseptor, atau sistem syaraf pusat dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah kronik. Sistem ini secara fisiologis saling berhubungan. Cacat pada satu komponen dapat menyebabkan gangguan pada fungsi normal komponen yang lain, dan hal tersebut akan menyebabkan terjadinya akumulasi abnormalitas yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya hipertensi esensial. d. Komponen autoregulasi perifer Abnormalitas
pada
ginjal
atau
sistem
jaringan
autoregulator
dapat
menyebabkan hipertensi. Kemungkinan besar yang terjadi pertama kali adalah gangguan pada ekskresi natrium ginjal, yang dapat menyebabkan perubahan setting pada proses autoregulator jaringan shingga menghasilkan tekanan darah arteri yang lebih besar.
Ginjal biasanya mempertahankan tekanan darah normal melalui
mekanisme adaptif volume-tekanan. Bilamana tekanan darah
turun, ginjal akan
memberikan respon dengan meningkatkan retensi terhadap natrium dan air. Perubahan ini akan memicu ekspansi volume plasma yang dapat meningkatkan tekanan darah. Sebaliknya, apabila tekanan darah meningkat diatas normal, ekskresi natrium dan air akan ditingkatkan untuk menurunkan volume plasma dan curah jantung. Mekanisme ini akan mempertahankan homeostatik kondisi tekanan darah. e. Mekanisme endothelial pembuluh darah Endotel pembuluh darah dan otot polos memegang peran penting dalam pengaturan tonus pembuluh darah dan tekanan darah. Fungsi pengaturan ini dimediasi 12
melalui substansi vasoaktif yang disintesis oleh sel endothelial. Telah dipostulasikan bahwa defisiensi sintesis lokal pada substansi vasodilator (protasiklin dan bradikinin) atau berlebihnya substansi vasokontriktor (angiotensin II dan endothelin I) berkontribusi
terhadap
hipertensi
essensial,
atherosclerosis
dan
penyakit
kardiovaskular lainnya. Nitrit okside diproduksi di endothelium, merelaksasi epithelium pembuluh darah, dan merupakan vasodilator yang sangat potent. Sistem nitrit okside merupakan pengatur tekanan darah arteri yang sangat penting. Pasien dengan hipertensi dapat memiliki defisiensi intrinsik nitrit okside, menyebabkan vasodilatasi yang tidak adekuat. f. Elektrolit dan senyawa kimia lainnya Data epidemiologi dan klinis menunjukan adanya hubungan antara intake natrium yang berlebih terhadap terjadinya hipertensi. Penelitian pada populasi mengindikasikan diet tinggi garam berhubungan dengan kemungkinan terjadinya stroke dan hipertensi. Sebaliknya, diet rendah garam dihubungkan dengan prevalensi hipertensi yang rendah. Perubahan homeostasis kalsium juga memegang peranan penting dlam patogenesis hipertensi. Kurangnya asupan kalsium dari makanan secara hipotetis dapat mengganggu keseimbangan antara kalsium intraseluler dan ekstraseluler, menghasilkan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Ketidakseimbangan ini dapat mengganggu fungsi otot polos vascular dengan terjadinya peningkatan tahanan vascular perifer. Peran fluktuasi kalium sampai saat ini belum dapat dipahami dengan baik (Saseen & Maclaughlin, 2008).
3. Manifestasi Klinik Secara umum, pasien yang mengalami hipertensi dapat terlihat sangat sehat. Beberapa pasien dapat memiliki beberapa faktor resiko kardiovaskular tambahan, misalnya : a. Usia (≥ 55 tahun untuk pria dan 65 tahun untuk wanita) b. Diabetes mellitus 13
c. Dislipidemia (peningkatan low-density lipoprotein-cholesterol, kolesterol total, dan/atau trigliserid; penurunan high-density lipoprotein-cholesterol) d. Mikroalbuminuria e. Riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dini f. Obesitas (indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2 g. Inaktif secara fisik h. Merokok (Saseen & Maclaughlin, 2008). Kebanyakan pasien tidak menunjukan gejala (asimptomatik), sehingga banyak pasien yang tidak waspada terhadap adanya hipertensi. Beberapa gejala yang dapat muncul pada pasien hipertensi antara lain : a. Sakit kepala, merupakan gejala yang paling sering terjadi, namun sangat tidak spesifik. Sakit kepala berdenyut pada daerah suboccipitalis, yang biasanya muncul pada awal pagi hari dan mereda pada siang hari, dikatakan sebagai karakteristik hipertensi, namun berbagai jenis sakit kepala dapat muncul. b. Somnolence c. Bingung d. Gangguan visual e. Mual dan muntah (hipertensi ensefalopati) (McPhee & Massie, 2006). Selain melihat gejala hipertensi, pemeriksaan fisik diperlukan untuk mengetahui penyebab hipertensi, durasi dan keparahannya, serta tingkat pengaruhnya pada organ target. Tanda hipertensi yang dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik antara lain : a. Tekanan darah : pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada kedua lengan, dan apabila denyut pada ekstremitas bawah diminished atau delayed, pada kaki untuk mengeksklusi koartasi dari aorta. Penurunan ortostatik biasanya muncul pada feokromositoma. Pada pasien usia lanjut dapat terjadi kesalahan pembacaan peningkatan tekanan darah pada sphygmomanometri dikarenakan pembuluh darah yang tidak kompresibel. Kadang kala, mungkin diperlukan pengukuran langsung pada tekanan intra-arterial, terutama pada pasien hipertensi berat yang tidak toleran terhadap terapi. 14
b. Retina : penyempitan diameter arteri sampai kurang dari 50% dari diameter vena, munculnya serat berwarna tembaga atau perak, eksudat, perdarahan atau papilledema dihubungkan dengan prognosis yang buruk. c. Jantung dan arteri : pelebaran ventrikel kiri dengan ventrikel kiri yang menyembul mengindikasikan hipertrofi yang berat dan lama. Pasien yang lebih tua seringkali mengalami murmur ejeksi sistolik yang disebabkan kalsifikasi aorta sklerosis. d. Denyut nadi : waktu nadi ekstremitas atas dan bawah harus dibandingkan untuk mengeksklusi koartasi dari aorta. Semua denyut nadi perifer utama harus dievaluasi untuk mengeksklusi diseksi aorta dan atherosklerosis perifer, yang mungkin berhubungan dengan keterlibatan arteri ginjal (McPhee & Massie, 2006). Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan termasuk diantaranya adalah pemeriksaan hemoglobin, urinalisis dan fungsi ginjal untuk mendeteksi hematuria, proteinuria, dan warna tambahan (casts), untuk menandai adanya penyakit ginjal primer atau nefrosklerosis, penentuan konsentrasi serum K+, konsentrasi aldosteron plasma, dan aktivitas plasma renin dan perhitungan rasio plasma aldosteron/renin untuk mendeteksi kelebihan mineralokortikoid. Pemeriksaan level gula
darah
puasa,
karena
hiperglikemia
berkaitan
dengan
diabetes
dan
feokromositoma, lipid plasma sebagai indikator resiko atherosklerosis dan sebagai tambahan target terapi. Pemeriksaan serum asam urat, yang mana bila meningkat merupakan kontraindikasi relatif penggunaan terapi diuretik (McPhee & Massie, 2006).
15
C. TATALAKSANA TERAPI
Tujuan utama terapi antihipertensi adalah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal. Biasanya, satu – satunya tanda dari hipertensi essensial hanyalah peningkatan tekanan darah. Hasil pemeriksaan fisik lainnya dapat saja normal. Evaluasi medis yang lengkap direkomendasikan setelah diagnosa untuk mengidentifikasi penyebab sekunder, mengidentifikasi faktor resiko kardiovaskular atau kondisi komorbid dan untuk menilai ada atau tidaknya kerusakan organ target terkait hipertensi. Data tersebut dapat digunakan untuk menetapkan prognosis dan/atau panduan terapi (Saseen & Maclaughlin, 2008). Kebanyakan orang dengan hipertensi, khususnya mereka dengan usia > 50 tahun akan mencapai target tekanan darah diastolik pada saat target tekanan darah sistolik tercapai, fokus utama adalah untuk mecapai target tekanan darah sistolik. Target tekanan darah sistolik dan diastolik < 140/90 mmHg dihubungkan dengan penurunan komplikasi penyakit kardiovaskular. Pada pasien hipertensi dengan diabetes atau penyakit ginjal target tekanan darahnya adalah < 130/80 mmHg (tabel 4). Hasil penelitian klinis menunjukan bahwa pemberian terapi antihipertensi dapat menurunkan insidensi terjadinya stroke sebesar 35 – 40%, infark miokard sebesar 20 – 25% dan gagal jantung sebesar > 50% (NHBPEP, 2004). Tabel 4. Target tekanan darah yang direkomendasikan oleh American Heart Association tahun 2007 Sebagian besar pasien sebagai pencegahan umum Pasien dengan diabetes (dijelaskan sebagai penyakit yang resikonya ekuivalen dengan penyakit arteri koroner), gagal ginjal kronik signifikan, penyakit arteri koroner (infark miokard, angina stabil, angina unstabil), penyakit pembuluh darah atherosklerotik nonkoroner (stroke iskemik, transient iskemik attack, penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdomen [dimaksud resiko yang setara dengan penyakit jantung koroner]), atau nilai resiko Framingham 10% atau lebih. Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (gagal jantung)
< 140/90 mmHg < 130/80 mmHg
< 120/80 mmHg
16
1. Terapi Non Farmakologi Seluruh pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus diberikan modifikasi gaya hidup. Tabel 5 berisi daftar modifikasi gaya hidup yang dapat menurunkan tekanan darah. Pendekatan ini direkomendasikan oleh Joint National Committee 7 (JNC7) dan American Heart Association (AHA). Modifikasi gaya hidup ini dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik kecil sampai sedang. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan resiko perkembangan penyakit menjadi hipertensi pada pasien dengan prehipertensi (Saseen & Maclaughlin, 2008). Adopsi gaya hidup sehat oleh semua orang merupakan pencegahan penting peningkatan tekanan darah dan merupakan bagian yang sangat diperlukan dalam penanganan pasien dengan hipertensi (NHBPEP, 2004). Penurunan berat badan minimal 4,5 kg dapat menurunkan tekanan darah dan/atau mencegah terjadinya hipertensi pada sejumlah besar pasien dengan bobot tubuh berlebih, walaupun idealnya adalah bagaimana mempertahankan berat badan normal. Adopsi Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) juga bermanfaat untuk tekanan darah. DASH tersusun atas diet kaya buah, sayuran dan produk susu rendah lemak dengan reduksi lemak total dan lemak jenuh (modifikasi seluruh diet). DASH kaya akan kandungan potassium dan kalsium. Asupan sodium dari makanan harus diturunkan tidak lebih dari 100 mmol perhari (2,4 gram sodium). Setiap orang harus bisa melakukan aktivitas fisik aerobik secara reguler misalnya dengan melakukan jalan cepat paling tidak selama 30 menit per hari pada sebagian besar hari sepanjang minggu. Intake alkohol harus dibatasi tidak lebih dari 1 oz (30 mL) etanol, setara dengan dua kali minum per hari pada pria dan tidak lebih dari 0,5 oz etanol
(satu kali
minum) perhari pada wanita dan orang yang kurus. Satu kali minum adalah 12 oz bir atau 5 oz wine atau 1,5 oz liquor 80%. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, mencegah atau memperlambat insidensi hipertensi, meningkatkan efikasi obat antihipertensi dan menurunkan resiko kardiovaskular (NHBPEP, 2004).
17
Tabel 5. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan penanganan hipertensi (NHBPEP, 2004). Modifikasi
Penurunan berat badan
Rekomendasi
Perkiraan penurunan tekanan darah sistolik (rentang) 5 – 20 mmHg/10 kg
Mempertahankan berat badan normal (indeks massa tubuh 18,5 – 24,9 kg/m2) Konsumsi makanan kaya buah, 8 – 14 mmHg Dietary Approaches to sayuran, dan produk susu rendah Stop Hypertension (DASH) lemak dengan menurunkan kadar lemak total dan lemak jenuh Penurunan intake Penurunan intake sodium dari 2 – 8 mmHg sodium makanan makanan menjadi tidak lebih dari 100 mmol perhari (2,4 g sodium atau 6 g sodium klorida Aktivitas fisik Melaksanakan aktivitas fisik aerobik 4 – 9 mmHg reguler seperti jalan cepat (paling tidak 30 menit per hari pada sebagian besar hari dalam seminggu) Konsumsi alkohol Batasi konsumsi alkohol tidak lebih 2 – 4 mmHg secukupnya dari 2 kali minum (misalnya 24 oz bir, 10 oz wine, atau 3 0z wiski 80%) perhari pada sebagian besar pria, dan tidak lebih dari 1 kali minum perhari pada wanita dan orang yang lebih ringan Untuk keseluruhan penurunan resiko kardiovaskular, hentikan merokok 2. Terapi Farmakologi
Sejumlah besar obat telah tersedia untuk menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Terdapat 9 kelompok obat antihipertensi yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan hipertensi yaitu golongan diuretik, golongan antagonis aldosteron, golongan pemblok kanal kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB), golongan beta blocker (BB), golongan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), golongan angiotensin II reseptor blocker (ARB), golongan alpha – 1 blocker, golongan central alpha – 2 agonist and other centrally acting drugs dan golongan vasodilator langsung. Golongan diuretik, beta blocker, ACEI, ARB dan CCB dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat – obat ini baik sendiri atau kombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena berdasarkan hasil 18
penelitian klinis menunjukan keuntungan dan adanya penurunan resiko terjadinya komplikasi hipertensi dengan penggunaan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan CCB) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Golongan alpha – 1 blocker, golongan central alpha – 2 agonist and other centrally acting drugs dan golongan vasodilator langsung digunakan sebagai obat alternatif pada pasien – pasien tertentu disamping obat utama (Muchid, dkk, 2006; NHBPEP, 2004; Saseen & Maclaughlin, 2008) Pemilihan terapi obat awal
Tanpa komplikasi
Hipertensi stage 1 TDS 140 – 159 mmHg atau TDD 90 -99 mmHg
Diuretik tiazid (A-1) ACEI, ARB, CCB atau kombinasi (A-2)
Dengan komplikasi (gambar 4)
Hipertensi stage 2 TDS ≥160 mmHg atau TDD ≥ 100 mmHg
Kombinasi 2 obat antihipertensi untuk sebagian besar pasien (A-3) Biasanya diuretik tiazid dengan ACEI atau ARB atau CCB (A-4)
Gambar 3. Alur penatalaksanaan terapi obat pada pasien hipertensi tanpa komplikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008) Dua per tiga pasien hipertensi tidak dapat dikontrol tekanan darahnya dengan hanya menggunakan 1 macam obat dan membutuhkan 2 atau lebih obat antihipertensi yang dipilihkan dari golongan obat yang berbeda. Sebagai contohnya, penelitian ALLHAT menunjukan bahwa sebanyak 60% pasien yang tekanan darahnya terkontrol < 140/90 mmHg mendapatkan 2 atau lebih obat antihipertensi dan hanya 30% yang tekanan darahnya dapat terkontrol dengan 1 obat antihipertensi. Pada pasien dengan target tekanan darah lebih rendah atau mengalami peningkatan tekanan darah substansial, penggunaan 3 atau lebih obat antihipertensi mungkin 19
dibutuhkan (NHBPEP, 2004). Alur penatalaksanaan terapi obat pada pasien hipertensi dapat dilihat pada gambar 3. Huruf A, B dan C menunjukan kekuatan rekomendasi, secara berurutan menunjukan bukti yang baik, sedang dan buruk untuk mendukung rekomendasi. Angka 1, 2 dan 3 menunjukan kualitas dari bukti yang ada. Angka 1 menunjukan bukti dari lebih dari 1 penelitian randomisasi yang terkontrol dengan baik. Angka 2 menunjukan bukti dari paling tidak 1 penelitian klinis dengan desain yang baik dengan randomisasi; dari penelitian kohort atau penelitian analitik kasus kontrol; atau hasil yang dramatis dari penelitian tanpa kelompok kontrol atau analisis subgroup. Angka 3 menunjukan bukti diambil dari opini ahli yang dipercaya, berdasarkan pengalaman klinis, penelitian deskriptif atau laporan dari kelompok ahli (Saseen & Maclaughlin, 2008). Penyakit komplikasi
Left Ventricular Function
Pasca Infark Miokard
Penyakit Koroner
Diabetes mellitus
Gagal Ginjal Kronik
Pencegahan Stroke Ulang
Farmakoterapi Standar Diuretik dengan ACEI (A-1); kemudian tambahkan BB (A-1)
BB (A-1); kemudian tambahkan ACEI (A-1) atau ARB (A-2)
BB (A-1); kemudian tambahkan ACEI (A-1) atau ARB (A2)
ACEI (A-1);
ACEI (A-1);
atau
atau
ARB (A-2)
ARB (A-1)
ARB (A-2) atau Antagonis aldosteron (A-2)
Antagonis aldosteron (A-2)
CCB (B-2), diuretik (B-2)
Diuretik (B-2)
Diuretik dengan ACEI (A-2) atau ARB (A-2)
Farmakoterapi Tambahan
BB (B-2), CCB (B-2)
Gambar 4. Alur penatalaksanaan terapi obat pada pasien hipertensi dengan komplikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008). 20
1. Diuretik Diuretik tiazid secara tradisional digunakan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien. Panduan JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid apabila memungkinkan sebagai terapi lini pertama pada sebagian besar pasien, yang mana merupakan farmakoterapi tradisional untuk hipertensi. Panduan dari AHA tidak merekomendasikan pemilihan diuretik tiazid melebihi penggunaan ACEI, ARB atau CCB sebagai terapi lini pertama. Rekomendasi penggunaan diuretik tiazid sebagai terapi lini pertama oleh JNC 7 berdasarkan hasil penelitian dari the Antihypertensive and LipidLowering Treatment to Prevent Heart attack Trial (ALLHAT) yang menunjukan bahwa penggunaan
klorthalidone
(diuretik
tiazid)
menunjukan
penurunan
resiko
kardiovaskular melebihi obat – obat antihipertensi yang lebih baru (lisinopril atau amlodipine). Secara keseluruhan, diuretik tiazid masih tidak tertandingi dalam kemampuannya untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular pada sebagian besar pasien. Karena sebagian besar pasien membutuhkan dua atau lebih obat untuk mengontrol tekanan darah, salah satunya haruslah diuretik tiazid, kecuali ada kontraindikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008). 2. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) Walaupun diuretik tiazid masih merupakan farmakoterapi konvensional sebagai terapi lini pertama pada pasien hipertensi, namun banyak bukti klinik yang juga menunjukan bahwa penggunaan ACEI, CCB atau ARB dapat digunakan sebagai terapi lini pertama pada pasien hipertensi. Panduan terapi yang diterbitkan The United Kingdom Guidelines mengelompokan pasien berdasarkan usia dan ras, panduan ini merekomendasikan penggunaan ACEI sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan usia kurang dari 55 tahun (Saseen & Maclaughlin, 2008). 3. Penyekat Kanal Kalsium (Calcium Channels Blockers / CCB) Penyekat kanal kalsium dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan perbedaan strukturnya yaitu kelompok dihidropiridin dan non-dihipropiridin. CCB dihidropiridin berikatan dengan kanal kalsium tipe L pada otot polos vaskular, yang mana menghasilkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Penggunaanya efektif sebagai monoterapi pada pasien kulit hitam dan pasien usia lanjut. CCB 21
nondihidropiridin berikatan dengan kanal kalsium tipe L pada nodus sinoatrial nodus atrioventrikular, dan dapat meningkatkan kerja miokardium dan pembuluh darah. Obat – obat kelompok ini lebih bagus efeknya pada pasien kulit hitam (Riaz, 2011). Tabel 6. Obat antihipertensi golongan diuretik Sub kelas
Dosis lazim (mg/hari)
Frekuensi harian
Catatan
12,5 – 25 12,5 – 25 1,25 – 2,5 2,5 – 5
1 1 1 1
Berikan obat pada pagi hari untuk mencegah diuresis noktural; tiazid merupakan antihipertensi yang lebih efektif dibandingkan dengan loop diuretik pada kebanyakan pasien; gunakan dosis lazim untuk meminimalkan efek samping metabolik; idealnya pertahankan konsentrasi potassium antara 4,0 – 5,0 mEq/L untuk meminimalkan efek metabolik; hidroklorotiazid dan klorthalidon umumnya dipilih, dengan dosis 25 mg/hari sebagai dosis efektif maksimum; klorthalidon setidaknya 2 kali lebih pten dibandingkan hidroklorotiazid; memiliki tambahan keuntungan pada pasien osteoporosis, membutuhkan tambahan pengawasan pada pasien dengan sejarah gout atau hiperglikemia.
Loop - Bumetanide - Furosemide - Torsemide
0,5 – 4 20 – 80 5 – 10
2 2 1
Obat diberikan pada pagi atau sore hari untuk mencegah diuresis nokturnal. Dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk pasien dengan penurunan filtrasi glomerulus yang parah atau disfungsi ventrikel kiri.
Hemat Kalium - Amiloride - Triamteren
5 – 10 50 – 100
1 atau 2 1 atau 2
Obat diberikan pada pagi atau sore untuk mencegah diuresis noktural; merupakan diuretik lemah yang biasanya digunakan dalam kombinasi dengan diuretik tiazid untuk meminimalkan efek hipokalemia; hindari penggunaannya pada pasien dengan gagal ginjal kronik (perkiraan kecepatan filtrasi glomerulus <30 mL/menit/1,73m2); dapat menyebabkan hiperkalemia, utamanya bila digunakan dalam kombinasi dengan ACEI, ARB, inhibitor renin langsung atau suplemen kalium.
Antagonis Aldosteron - Eplerenone - Spironolakton
50 – 100 25 – 50
1 atau 2 1 atau 2
Obat diberikan pada pagi atau sore untuk mencegah diuresis noktural; eplerenone dikontraindikasikan pada pasien dengan perkiraan klirens kreatinin <50 mL/menit, peningkatan kreatinin serum (>1,8 mg/dL pada wanita, >2mg/dL pada pria), dan diabetes tipe 2 dengan mikroalbuminuria; hindari penggunaan spironolaton pada pasien dengan gagal ginjal kronik (perkiraan 2 kecepatan filtrasi glomerulus <30 mL/menit/1,73 m ); dapat menyebabkan hiperkalemia, utamanya bila digunakan dalam kombinasi dengan ACEI, ARB, inhibitor renin langsung atau suplemen kalium.
Tiazid - Klorthalidon - Hidroklorotaizid - Indapamid - Metolazon
22
4. Angiotensin II Receptor Blockers (ARB) The Blood Pressure Lowering Treatment Trialists Collaboration yang meneliti penggunaan diuretik, CCB, ACEI dan ARB dalam terapi mencegah kejadian kardiovaskular tertentu menunjukan tidak ada perbedaan pada jumlah total kejadian kardiovaskular antara ACEI, CCB , ARB dan diuretik pada saat dibandingkan satu dengan lainnya. Pada penelitian yang mengevaluasi terapi ARB terhadap kontrol, insidensi kejadian kardiovaskular utama lebih rendah pada regimen yang berdasar pada ARB. Kontrol yang digunakan dalam perbandingan ini meliputi terapi obat antihipertensi aktif dan plasebo. ARB biasanya diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi penggunaan obat ACEI (Saseen & Maclaughlin, 2008; Riaz, 2011). Tabel 7. Obat antihipertensi golongan angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI) Golongan
Dosis lazim (mg/hari)
Frekuensi harian
Catatan
10 – 40 25 – 150 5 – 40 10 – 40 10 – 40 7,5 – 30 4 – 16 10 – 80 2,5 – 10 1–4
1 atau 2 2 atau 3 1 atau 2 1 1 1 atau 2 1 1 atau 2 1 atau 2 1
Dosis awal dapat diturunkan 50% pada pasien yang juga mendapatkan diuretik, mengalami deplesi volume, atau pada pasien dengan usia sangat lanjut karena adanya resiko hipotensi; dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau mereka yang mendapatkan diuretik hemat kalium, antagonis aldosteron, ARB atau inhibitor renin langsung; dapat menyebabkan gagal ginjal akut pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral atau stenosis parah pada arteri salah satu ginjal; jangan digunakan pada kehamilan atau pasien dengan sejarah angioedema.
ACE inhibitors - Benazepril - Captopril - Enalapril - Fosinopril - Lisinopril - Moexipril - Perindopril - Quinapril - Ramipril - Trandolapril
5. Beta Blockers (BB) Kumpulan data hasil penelitian klinis menyebutkan bahwa penggunaan beta blockers tidak dapat menurunkan resiko kejadian kardiovaskular melebihi ACEI, CCB ataupun ARB. Data – data ini bersumber dari hasil meta analisis penelitian klinis yang mengevaluasi terapi BB untuk hipertensi. Sebagian besar analisa ini menunjukan bahwa penurunan kejadian kardiovaskular lebih rendah pada penggunaan terapi BB dibandingkan dengan penggunaan terapi ACEI dan CCB. Terapi beta blockers pada pasien hipertensi tanpa komplikasi / kondisi darurat masih merupakan terapi unggulan. Penggunaan BB sebagai antihipertensi primer dapat optimal bilamana diuretik tiazid, ACEI, ARB atau CCB tidak bisa digunakan sebagai obat primer. Beta blockers juga memegang peranan penting sebagai terapi tambahan alternatif untuk 23
menurunkan tekanan darah pada pasien tanpa komplikasi (Saseen & Maclaughlin, 2008). Tabel 8. Obat antihipertensi golongan penyekat kanal kalsium Sub Kelas Dihidropiridin - Amlodipin - Felodipin - Isradipine - Isradipine SR - Nicardipin SR - Nifedipin aksi panjang - Nisoldipine Nondihidropiridin - Diltiazem SR - Diltiazem ER - Verapamil SR - Verapamil ER - Verapamil absorpsi obat oral sistem ER
Dosis lazim (mg/hari)
Frekuensi harian
Catatan
2,5 – 10 5 – 20 5 – 10 5 – 20 60 – 120 30 – 90
1 1 2 1 2 1
10 – 40
1
Dihiropiridin aksi pendek (short acting) harus dihindari penggunaannya, terutama nifedipin immediate-release dan nikardipin; dihidropiridin merupakan vasodilator perifer yang lebih poten dibandingkan nondihidropiridin dan dapat dapat menyebabkan refleks simpatetik pada penghentiannya (takikardi), pusing, sakit kepala, flushing dan udem perifer; memiliki keuntungan tambahan pada sindrom Raynaud’s.
180 – 360 120 – 540
2 1 (pagi / malam) 1 atau 2 1 (pagi) 1 (pagi)
180 – 480 180 – 420 100 – 400
Sediaan extended-release dan sustained-release lebih dipilih untuk hipertensi; obat ini memblokade kanal lambat pada jantung dan menurunkan denyut jantung; dapat menyebabkan hambatan jantung, terutama apabila dikombinasi dengan beta bloker; apabila pemberian dosis pada malam hari dapat memberikan penghantaran obat kronoterapetik yang dimulai sesaat sebelum pasien bangun tidur; memiliki efek tambahan pada pasien dengan takiaritmia atrial.
Tabel 9. Obat antihipertensi golongan angiotensin II receptors blockers (ARB) Golongan Angiotensin II Receptors Blockers - Candesartan - Eprosartan - Irbesartan - Losartan - Olmesartan - Telmisartan - Valsartan
Dosis lazim (mg/hari)
Frekuensi harian
Catatan
8 – 32 600 – 800 150 – 300 50 – 100 20 – 40 20 – 80 80 – 320
1 atau 2 1 atau 2 1 1 atau 2 1 1 1
Dosis awal dapat diturunkan 50% pada pasien yang juga mendapatkan diuretik, mengalami deplesi volume atau pada pasien lansia karena adanya resiko hipotensi; dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau mereka yang mendapatkan diuretik hemat kalium, antagonis aldosteron, ACEI atau inhibitor renin langsung; dapat menyebabkan gagal ginjal akut pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral atau stenosis parah pada arteri salah satu ginjal; tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI; jangan digunakan pada kehamilan.
24
Tabel 10. Obat antihipertensi golongan beta blockers (BB) Sub kelas Kardioseletif - Atenolol - Betaxolol - Bisoprolol - Metoprolol tartrate - Metoprolol suksinat Nonselektif - Nadolol - Propanolol - Propanolol long acting - Timolol Aktivitas simpatomimetik intrinsik - Acebutolol - Carteolol - Penbutolol - Pindolol
Mixed α and blockers - Carvedilol - Carvedilol fosfat - Labetalol
Dosis lazim (mg/hari)
Frekuensi harian
Catatan
25 – 100 5 – 20 2,5 – 10 100 – 400
1 1 1 2
50 – 200
1
Penghentian tiba – tiba dapat menyebabkan hipertensi kembali; menghambat reseptor β1 pada dosis rendah – sedang, pada dosis yang lebih tinggi juga menghambat reseptor β2; dapat memperparah asma apabila selektivitasnya hilang; memiliki manfaat tambahan pada pasien dengan takiaritmia atrial atau hipertensi preoperasi.
40 – 120 160 – 480 80 – 320
1 2 1
10 – 40
1
200 – 800 2,5 – 10 10 – 40 10 – 60
2 1 1 2
Penghentian tiba – tiba dapat menyebabkan hipertensi kembali; Secara parsial menstimulasi reseptor β pada saat memblok stimulasi tambahan; tidak ada keuntungan yang jelas terhadap penggunaan obat ini; dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau post-infark miokard.
12,5 – 50 20 – 80 200 – 800
2 1 2
Penghentian tiba – tiba dapat menyebabkan hipertensi kembali; Tambahan blokade pada reseptor α menyebabkan kemungkinan hipotensi ortostatik lebih besar
Penghentian tiba – tiba dapat menyebabkan hipertensi kembali; menghambat reseptor β1 dan β2 pada semua dosis; dapat memperburuk asma; memiliki manfaat tambahan pada pasien tremor essensial, sakir kepala migrain, tiroroksikosis.
β
25
D. PENUTUP
Hipertensi merupakan kondisi medis kronis yang paling sering ditemukan. Hipertensi juga merupakan salah satu faktor resiko yang paling signifikan untuk mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskular yang terjadi karena kerusakan organ target pada pembuluh darah jantung, otak, ginjal dan mata. Penatalaksanaan hipertensi dapat berupa terapi nonfarmakologi dengan perubahan gaya hidup dan terapi farmakologi dengan menggunakan obat – obat antihipertensi. Diuretik, angiotensin converting enzyme inhibitors, penyekat kanal kalsium, angiotensin II receptors blocker dan beta blockers adalah golongan obat antihipertensi primer yang digunakan sebagai terapi lini pertama pada pasien hipertensi tanpa komplikasi. Panduan tatalaksana terapi ini dapat mendukung penanganan hipertensi pada pasien. Panduan ini dapat meningkatkan kewaspadaan, pencegahan, terapi dan kontrol terhadap hipertensi.
26
DAFTAR PUSTAKA Katzung, B.G. [ed.] (2003) Basic And Clinical Pharmacology, 9th Edition. [ebook]. McGraw Hill. New York. McPhee, S.J., Massie, B.M., 2006, Systemic Hypertension, in Tierney, L.M., McPhee, S.J., Papadakis, M.A., Current Medical Diagnosis & Treatment, 45th Edition, McGraw-Hill, New York. Muchid,A., Umar,F.,Budiarti,L.E.,Satifa,O.,Brata,C.,Bakhtiar,L., 2006, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan, Jakarta. National High Blood Pressure Educational Program, 2004, The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, National Institute of Health, USA. Riaz, K., 2011, Hypertension, sumber http://emedicine.medscape.com/article/241381overview [online] download 04 September 2011. Saseen, J.J., Maclaughlin, E.J., 2008, Hypertension, in Dipiro, J.T., Talbert,R.L., Yee,G.C., Matzke, G.R.,Wells,B.G.,Posey,L.M. (eds), Pharmacotherapy : a Pathophysiologic Approach, McGraw Hills, New York. Saseen, J.J., 2009, Essential Hypertension, in Koda-Kimble,M.A., Young,L.Y., Alldredge,B.K., Corelli,R.L., Guglielmo,B.J., Kradjan,W.A. (eds), Applied Therapeutics : The Clinical Use of Drugs, Lippincott Williams & Wilkins, Philadhelpia.
27
BAB II FARMAKOTERAPI DISLIPIDEMIA
Oleh : LUH PUTU FEBRYANA LARASANTY 198402222008012008
1. Indikator Pencapaian
: Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang lipid,
metabolisme
dan
transport
lipid,
definisi
dislipidemia, etiologi dan patofisiologi dislipidemia, manifestasi klinik, tatalaksana terapi non farmakologi dan farmakologi pada dislipidemia. 2. Materi Pokok
: 2.1. Pendahuluan 2.2. Pengenalan Penyakit Dislipidemia 2.3. Tatalaksana Terapi 2.4. Penutup
28
A. PENDAHULUAN
1.
Lipid Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak bebas,
berasal dari eksogen (diet) dan dari sintesis endogen. Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipid yang relatif mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan proses aterogenesis. Karena lipid tidak larut dalam plasma, lipid akan terikat pada protein sebagai mekanisme transpor dalam serum. Asam lemak bebas ditransport dalam bentuk berikatan dengan albumin. Trigliserida, kolesterol dan fosfolipid berikatan dengan protein, dimana ikatan ini akan menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu : 1. Kilomikron 2. Lipoprotein densitas sangat rendah / very low density lipoprotein (VLDL) 3. Lipoprotein densitas rendah / low density lipoprotein (LDL) 4. Lipoprotein densitas tinggi / high density lipoprotein (HDL) Dari keempat kelas lipoprotein yang ada, LDL memiliki kadar kolesterol yang paling
tinggi, kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL (Carleton & Boldt, 1995).
Gambar 1. Struktur lipoprotein (http://www.medscape.org/viewarticle/550620_2)
2. Proses Metabolisme dan Transport Lipoprotein Kolesterol dari makanan dan empedu masuk ke lumen usus dan teremulsifikasikan oleh asam empedu menjadi micelles. Micelles akan terikat pada 29
enterosit intestinal, kemudian kolesterol dan sterol lainnya akan berpindah dari micelles menuju enterosit melalui sterol transporter. Trigliserida yang disintesis dari asam lemak yang diserap bersama dengan kolesterol dan apolipoprotein B-48 tergabung menjadi kilomikron. Kilomikron kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi limfatik dan akan dikonversi menjadi kilomikron remnant (melalui hilangnya trigliserida), dan kemudian akan di ambil oleh reseptor LDL hepatik-terkait protein / hepatic LDL receptor-related protein (LRP). Partikel remnat ini akan mensuplai kebutuhan kolesterol hepatik yang bersumber dari diet. Fungsi lain dari kilomikron adalah juga sebagai penghantar trigliserida dari diet menuju otot skelet dan jaringan adipose (Talbert, 2008).
Gambar 2. Absorpsi kolesterol intestinal dan transport (http://www.els.net/WileyCDA/ElsArticle/refId-a0000720.html)
Hati memenuhi kebutuhan kolesterolnya sebagian besar (60%) melalui sintesis de novo dari Asetilkoenzim A. Kecepatan sintesis ditentukan pada langkah awal yaitu sintesis asam mevalonic dari hidroksimetilglutaril CoA (HMG CoA) dengan HMG CoA reduktase sebagai rate-limiting enzyme (gambar 3).
30
Gambar 3. Biosintesis kolesterol (http://adc.bmj.com/content/78/2/185.full) Pada sistem endogen, VLDL yang kaya akan trigliserida disekresi oleh hati dan dikonversi menjadi IDL dan kemudian menjadi LDL yang kaya akan ester kolesterol. Sejumlah LDL akan masuk ke ruang subendothelial arteri akan teroksidasi dan kemudian akan dimakan oleh makrofag, yang akan menjadi sel gabus (foam cells). Kilomikron, kilomikron remnant, VLDL, IDL dan LDL dapat diidentifikasi melalui apoprotein primer (ApoB, ApoC, ApoE) yang ditemukan pada mereka (Talbert, 2008).
LPL : lipoprotein lipase receptors
LDLR : low density lipoprotein
Gambar 4. Skema sederhana sistem lipoprotein dalam transpor lipid pada manusia (Talbert, 2008) 31
B. PENGENALAN PENYAKIT
1. Definisi Dislipidemia Hasil penelitian menunjukan bahwa resiko munculnya penyakit kardiovaskular berhubungan dengan meningkatnya kadar kolesterol total dan LDL, dimana resiko penyakit kardiovaskular akan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar kolesterol total dan LDL. Nilai LDL dapat menjadi salah satu prediktor morbiditas dan mortalitas untuk beberapa penyakit kardiovaskular. Peningkatan kadar kolesterol total, LDL-C atau kadar trigliserida, penurunan konsentrasi HDL-C, atau beberapa kombinasi dari abnormalitas tersebut didefinisikan sebagai dislipidemia. Hiperlipoproteinemia merupakan suatu kelainan metabolik yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi abnormal dari partikel lipoprotein spesifik pada plasma, sedangkan hiperlipidemia sendiri didefinisikan sebagai peningkatan kadar plasma kolesterol atau trigliserida atau keduanya (Roy, 2011; Talbert, 2008). Sehingga jika ingin membahas penyakit yang berhubungan dengan abnormalitas lipid, lebih tepat jika menggunakan istilah dislipidemia.
2. Etiologi dan Patofisiologi Faktor resiko terjadinya dislipidemia termasuk diantaranya adalah diet, stress, tidak aktif secara fisik dan merokok. Dislipidemia dapat bersifat primer atau genetik dan bersifat sekunder yang merupakan pengaruh dari suatu kondisi tertentu atau pengaruh dari penggunaan suatu obat yang dapat meningkatkan kadar lipid plasma (tabel 1) (Talbert, 2008). Gangguan abnormalitas lipid apabila tidak terkontrol dapat menyebabkan mortalitas pada pasien, dimana mortalitas tertinggi muncul dari penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular (Roy, 2011). Hipotesis “response-to-injury” menyatakan bahwa faktor resiko seperti LDL teroksidasi, cedera mekanik pada endotelium, homosistein yang berlebih, serangan imunologik dan induksi infeksi dapat menyebabkan perubahan endotelial dan
fungsi intimal, menyebabkan disfungsi
32
endotelial dan serangkaian interaksi seluler yang berujung pada atherosklerosis (Talbert, 2008). Tabel 1. Penyebab sekunder dari abnormalitas lipoprotein Penyebab Sekunder Jenis Abnormalitas Lipid Hiperkolesterolemia Kondisi : Hipotiroid, Penyakit Hati Obstruktif, Sindrom Nefrotik, Anoreksia Nervosa, Forfiria Akut Intermitten Obat : Progestin, Diuretik Thiazid, Glukokortikoid, Beta Bloker, Isotretinoin, Inhibitor Protease, Siklosforin, Mirtazapine, Sirolimus Hipertrigliseridemia Kondisi : Obesitas, DM, Lipodistrofi, Glycogen storage disease, Operasi bypass Ileal, Sepsis, Kehamilan, Hepatitis akut, SLE, Monoclonal gammopathy (multiple myeloma, lymphoma) Obat : Alkohol, Estrogen, Isotretinoin, Beta bloker, Glukokortikoid, Resin asam empedu, Thiazides, Asparaginase, Interferon, Antijamur Azole, Mirtazapine, Steroid Anabolik, Sirolimus, Bexarotene. Hipokolesterolemia Kondisi : Malnutrisi, Malabsorpsi, Penyakit Mieloproliferative, Penyakit Infeksi Kronis (AIDS, TBC) Monoklonal gammopathy, Penyakit Hati Kronis HDL rendah Kondisi : Malnutrisi, Obesitas Obat : non-intrinsic sympathomimic activity beta bloker, steroid anabolik, probucol, isotretinoin, progestins Lesi atherosklerosis diperkirakan muncul dari transport dan retensi dari LDL-C plasma melalui lapisan sel endotelial menuju matriks ekstraselular pada ruang subendothelial. Sekali berada pada dinding arteri, LDL akan termodifikasi secara kimia melalui oksidasi dan glikasi nonenzimatik. LDL teroksidasi akan menyebabkan penarikan monosit ke dinding arteri, dimana monosit akan berubah menjadi makrofag. Makrofag memiliki potensi untuk mempercepat oksidasi LDL dan akumulasi ApoB dan merubah uptake LDL yang dimediasi reseptor pada dinding arteri dari yang mula-mula reseptor LDL biasa menjadi “reseptor scavenger” yang tidak bergantung pada kadar kolesterol dalam sel. LDL teroksidasi akan meningkatkan level inhibitor plasminogen (promosi koagulasi), menginduksi ekspresi endotelin (substansi vasokontriksi), menghambat ekspresi nitrit okside (vasodilator dan inhibitor platelet) dan bersifat toksik bagi makrofag bila sangat teroksidasi. LDL teroksidasi akan memprovokasi 33
respon inflamasi yang dimediasi oleh berbagai kemoatraktan dan sitokin, yang mana kemudian dapat menyebabkan akumulasi masif dari kolesterol. Sel yang sarat kolesterol disebut sel busa (foam cells) yang merupakan komponen yang menyebabkan endapan lemak pada dinding arteri (Talbert, 2008). Abnormalitas yang muncul pada sistem vaskular akibat adanya atherosklerosis antara lain adalah penyakit jantung iskemik.
Gambar 5. Proses atherosklerosis (http://users-phys.au.dk/jvn/Research-CABRA.htm)
3. Manifestasi Klinik dan Klasifikasi a. Manifestasi klinik Manifestasi klinik dari hiperlipoproteinemia muncul karena adanya endapan lipid pada sistem vaskular dan mata. Secara umum kebanyakan pasien tidak akan menunjukan gejala tertentu untuk jangka waktu yang panjang sebelum muncul bukti klinis. Pasien dengan sindrom metabolik dapat memiliki tiga atau lebih presentasi klinik berikut : obesitas abdominal, dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, resistensi insulin dengan atau tanpa intoleransi glukosa, keadaan protrombotik, atau keadaan proinflamatori. 1) Gejala : tanpa sampai dengan nyeri dada yang parah, palpitasi, berkeringat, anxietas, nafas pendek, kehilangan kesadaran atau kesulitan dalam berbicara atau bergerak, nyeri abdomen, kematian yang tiba-tiba. 2) Tanda : tanpa sampai dengan nyeri abdomen yang parah, pankreatitis, xanthomas eruptif, polineuropati perifer, tekanan darah tinggi, indeks massa tubuh > 30
34
kg/m2 atau ukuran pinggang > 40 inci (101,6 cm) pada pria atau 35 inci (88,9 cm) pada wanita. 3) Tes laboratorium : Peningkatan kolesterol total, LDL, trigliserida, apolipoprotein B, C-reactive protein serta penurunan level HDL. Klasifikasi kadar lipid dan kolesterol dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3. 4) Tes diagnostik lainnya : Lipoprotein(a), homosistein, serum amiloid A, small dense LDL (pola B), subklasifikasi HDL, isoform apolipoprotein E, apolipoprotein A-1, fibrinogen, folate, titer Chlamydia pneumoniae, lipoprotein terkait fosfolipase A2, omega-3 indeks. Tes diagnostik lain termasuk tes skrining manifestasi penyakit vaskular (ankle-brachial index, exercise testing, magnetic resonance imaging) dan diabetes (glukosa puasa, tes toleransi glukosa oral) (Talbert, 2008). Tabel 2. Klasifikasi total kolesterol, LDL, HDL kolesterol dan trigliserida Jenis Klasifikasi Kolesterol total Desirable <200 200 – 239 Borderline high ≥240 High LDL Kolesterol <100 Optimal 100 – 129 Near or above optimal 130 – 159 Borderline high 160 – 189 High ≥190 Very high HDL Kolesterol <40 Low ≥60 High Trigliserida <150 Normal 150 – 199 Borderline high 200 – 499 High ≥500 Very high semua nilai dalam besaran mg/dL HDL – high density lipoprotein; LDL – low density lipoprotein
35
Tabel 3. Klasifikasi level lipid pada anak dan remaja (usia < 20 tahun) Nilai batas Nilai yang tidak Jenis Nilai yang (mg/dL) diinginkan diharapankan (mg/dL) (mg/dL) Kolesterol total < 170 170 – 199 ≥ 200 LDL kolesterol < 110 110 – 129 ≥ 130 HDL kolesterol > 45 25 – 45 < 35 Trigliserida < 125 not appicable ≥ 125 b. Klasifikasi Hiperlipidemia dapat diklasifikasikan menjadi hiperlipidemia primer (familial) yang disebabkan abnormalitas genetik spesifik dan hiperlipidemia sekunder (dapatan) yang disebabkan oleh kondisi lain yang dapat menyebabkan perubahan lipid plasma dan metabolisme protein (Tabel 1). Hiperlipidemia juga dapat bersifat idiopatik, dimana penyebabkan tidak diketahui secara pasti. Klasifikasi hiperlipoproteinemia berdasarkan klasifikasi dari Fredrickson-Levy-Lees dapat dilihat pada tabel 4. Klasifikasi ini didasarkan pada deskripsi fenotipe dari dislipidemia (Fredrickson & Lees, 1965; Talbert, 2008). Tabel 4. Klasifikasi Fredrickson-Levy-Lees dari hiperlipoproteinemia Tipe Peningkatan Lipoprotein Perubahan Profil Lipid I Kilomikron Peningkatan trigliserida IIa LDL Peningkatan kolesterol IIb LDL + VLDL Peningkatan trigliserida, Peningkatan kolesterol III IDL (LDL1) Peningkatan trigliserida, Peningkatan kolesterol IV VLDL Peningkatan trigliserida V VLDL + kilomikron Peningkatan trigliserida, Peningkatan kolesterol
36
C. TATALAKSANA TERAPI DISLIPIDEMIA
Tatalaksana terapi pada pasien hiperlipidemia harus disesuaikan dengan kondisi spesifik pasien. Faktor resiko tertentu (tabel 5 dan tabel 6) pada pasien akan mempengaruhi terapi dan target terapi pada pasien tersebut. Penurunan LDL merupakan target dalam terapi pasien hiperlipidemia, namun tujuan utama melakukan perubahan gaya hidup terapetik dan terapi obat adalah untuk menurunkan resiko terjadinya atau serangan ulang dari infark miokard. Angina, gagal jantung, stroke iskemik,dan bentuk lain dari penyakit arteri perifer, misalnya stenosis karotid dan aneurisma aortik abdominal (Talbert, 2008). Tabel 5. Faktor resiko utama (khusus LDL kolesterol) yang mempengaruhi target LDLa Usia Pria ≥ 45 tahun Wanita ≥ 55 tahun atau menopause prematur tanpa terapi penggantian estrogen Riwayat keluarga penyakit jantung koroner prematur (didefinisikan sebagai infark miokard atau kematian tiba-tiba sebelum umur 55 tahun pada ayah atau hubungan kekeluargaan pria pada tingkat pertama, atau sebelum usia 65 tahun pada ibu atau hubungan kekeluargaan wanita pada tingkat pertama) Riwayat merokok Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang menkonsumsi obat antihipertensi) HDL kolesterol rendah (<40 mg/dL)b a. Diabetes dianggap memiliki resiko yang setara dengan penyakit jantung koroner b. HDL kolesterol ≥60 mg/dL dihitung sebagai faktor resiko “negatif”; munculnya faktor resiko ini akan menghilangkan satu faktor resiko dari total hitungan. 1.
Tatalaksana Terapi Non Farmakologi Tatalaksana terapi non farmakologi pada pasien hiperlipidemia perubahan gaya
hidup terapetik. Perubahan gaya hidup harus dilakukan oleh seluruh pasien prior to considering drug therapy. Komponen perubahan gaya hidup termasuk di dalamnya adalah : a. Penurunan intake lemak jenuh dan kolesterol b. Pilihan diet untuk menurunkan LDL, misalnya peningkatan konsumsi stanol / sterol tumbuhan dan asupan serat c. Penurunan berat badan
37
d. Meningkatkan aktivitas fisik : secara umum, aktivitas fisik intensitas sedang selama 30 menit perhari setiap hari dalam seminggu harus digiatkan Tabel 6. Target LDL kolesterol dan titik potong untuk terapi dengan perubahan gaya hidup dan terapi obat pada kategori faktor resiko yang berbeda Kategori resiko
Target LDL (mg/dL)
Level LDL dimana memulai perubahan gaya hidup (mg/dL) ≥ 100
Resiko tinggi : PJK atau resiko yg setara dengan PJK (resiko 10 tahun >20%)
< 100 (optional goal <70)
Resiko moderat – tinggi : 2+ faktor resiko (resiko 10 tahun > 10% 20%) Resiko moderat : 2+ faktor resiko (resiko 10 tahun < 10%) Resiko rendah : 0 – 1b faktor resiko
< 130
≥ 130
< 130
≥ 130
< 160
≥ 160
a.
b.
Level LDL yang dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi obat (mg/dL) ≥ 100 (<100mg/dL : boleh dipertimbangkan pemberian a obat) ≥ 130 (100 – 129 : boleh dipertimbangkan terapi obat) ≥ 160
≥ 190 (160 – 189 : boleh dipertimbangkan pemberian obat penurun LDL) Beberapa pihak berwenang merekomendasikan penggunaan obat penurun LDL pada kategori ini bila LDL kolesterol < 100 mg/dL tidak bisa dicapai dengan terapi perubahan gaya hidup. Pilihan yang lain adalah menggunakan obat yang utamanya dapat memodifikasi trigliserida dan HDL, contohnya : golongan asam nikotinat atau fibrat. Penilaian klinik diperlukan untuk menunda pemberian obat pada subkategori ini. Kebanyakan orang dengan faktor resiko 0 – 1 memiliki resiko 10 tahun < 10%, dengan demikian penilaian resiko 10 tahun untuk orang dengan faktor resiko 0 – 1 tidak diperlukan.
Pasien dengan penyakit jantung koroner atau mereka yang memiliki resiko tinggi harus dievaluasi sebelum melakukan latihan yang berat. Berat badan dan indeks massa tubuh harus diukur pada tiap pertemuan dengan dokter, dan pola gaya hidup untuk menginduksi penurunan berat badan sebesar 10% harus didiskusikan dengan pasien obesitas. Seluruh pasien harus dikonseling untuk berhenti merokok dan untuk pasien yang mengalami hipertensi harus diterapi sesuai dengan panduan dari Joint National Committee VII. Banyak pasien harus diberikan percobaan selama 3 bulan (2 kali pertemuan dengan jarak tiap 6 bulan) untuk terapi diet dan perubahan gaya hidup terapetik sebelum mulai mendapatkan terapi obat kecuali pasien termasuk pasien dengan resiko sangat tinggi (hiperkolesterolemia berat, penyakit jantung koroner yang diketahui, resiko yang ekuivalen dengan penyakit jantung koroner, faktor resiko ganda, sejarah keluarga yang kuat) (Talbert, 2008). 38
Tabel 7. Komponen esensial dari perubahan gaya hidup terapetik (Therapeutic Lifestyle Changes / TLC) Komponen Rekomendasi Nutrisi yang meningkatkan LDL Range total lemak harus berkisar antara 25 – 35% untuk kebanyakan kasus Lemak jenuh Kurang dari 7% dari kalori total dan menurunkan intake dari asam lemak trans Kolesterol diet Kurang dari 200 mg/hari Pilihan terapetik untuk penurunan LDL Stanol/sterol tumbuhan 2 gram per hari Meningkatkan serat viscous (soluble) 10 – 25 gram per hari Kalori total Perhitungkan intake kalori untuk mempertahankan berat badan yang diharapkan dan mencegah peningkatan berat badan Aktivitas fisik Termasuk latihan sedang yang cukup untuk menghilangkan paling tidak 200 kcal perhari 2.
Tatalaksana Terapi Farmakologi Terapi obat diindikasikan setelah dilakukan perubahan gaya hidup terapetik
yang adekuat. Walaupun telah banyak obat penurun lipid yang efikasius, tidak satupun yang yang efektif untuk semua gangguan lipoprotein dan setiap obat memiliki efek samping. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat penurun lipid secara umum dapat dibedakan menjadi obat yang dapat menurunkan sintesis VLDL dan LDL, obat yang dapat meningkatkan klirens VLDL, obat yang meningkatkan katabolisme LDL, obat yang dapat menurunkan absorpsi kolesterol, obat yang dapat meningkatkan HDL dan kombinasinya (Talbert, 2008). a. Niacin (Nicotinic acid) Niacin merupakan obat penurun lipid pertama yang dihubungkan dengan penurunan mortalitas total. Niacin menurunkan produksi partikel VLDL, menurunkan level LDL dan meningkatkan level HDL kolesterol. Efek rata – rata dari dosis penuh 3 – 4,5 g/hari terapi niasin adalah penurunan LDL kolesterol sebesar 15 – 25% dan peningkatan HDL kolesterol sebesar 25 – 35%. Dosis penuh dibutuhkan untuk mendapatkan efek LDL, namun efek HDL telah ditunjukan pada dosis yang lebih rendah yaitu pada dosis 1g/hari. Niacin juga dapat menurunkan 39
trigliserida dan lipoprotein A dan akan meningkatkan level homosistein. Intoleransi terhadap niacin sering terjadi, hanya sekitar 50 – 60% pasien yang dapat menerima dosis penuh. Niacin dapat menyebabkan flushing yang dimediasi prostaglandin yang dideskripsikan pasien sebagai ”hot flashes” atau pruritus dan dapat diturunkan dengan pemberian pretreatment dengan aspirin (81 – 325 mg/hari) atau obat NSAID lainnya. Flushing juga dapat diturunkan dengan memulai terapi niacin dengan dosis yang sangat kecil misalnya 100 mg pada waktu makan malam. Dosis kemudian dapat digandakan setiap minggunya sampai dosis 1,5 g/hari ditoleransi. Setelah cek ulang lipid darah, dosis kemudian dapat dibagi dan ditingkatkan sampai target 3 – 4,5 g/hari tercapai. Niacin extended release juga tersedia dan lebih ditoleransi dengan baik pada kebanyakan pasien. Niacin juga dapat menyebabkan eksaserbasi gout dan penyakit peptik ulcer. Walaupun niacin mungkin dapat meningkatkan gula darah pada beberapa pasien, percobaan klinik menunjukan bahwa niacin aman digunakan pada pasien diabetik (Baron , 2006). b. Bile acid-binding resin Golongan resin pengikat asam empedu termasuk di dalamnya adalah kolestiramin, kolesevelam dan kolestipol. Terapi dengan obat ini dapat menurunkan insidensi dari kejadian koroner pada pria usia pertengahan sebanyak 20%, tanpa perbedaan signifikan pada efek mortalitas total. Resin bekerja dengan cara mengikat asam empedu pada intestin. Mekanisme yang bersamaan adalah penurunan
sirkulasi
enterohepatik
yang
kemudian
menyebabkan
hati
meningkatkan produksi asam empedunya, menggunakan kolesterol hepatik. Aktivitas reseptor hepatik LDL akan meningkat, menyebabkan terjadinya penurunan level LDL plasma. Level trigliserida dapat meningkat sedikit pada beberapa pasien yang diterapi dengan resin pengikat asam empedu, sehingga penggunaan obat ini harus dengan peringatan pada pasien yang mengalami peningkatan trigliserida dan tidak diberikan pada semua pasien dengan kadar trigliserida diatas 500 mg/dL. Klinisi dapat mengharapkan penurunan sebanyak 1525% pada level LDL kolesterol, dengan efek yang signifikan pada level HDL. 40
Dosis lazim dari kolestiramin adalah 12 – 36 g resin per hari dalam dosis terbagi dengan makanan, dicampur dalam air atau dalam jus. Dosis kolestipol 20% lebih tinggi (tiap bungkus mengandung 5 g resin). Dosis dari kolesevelam adalah 625 mg per tablet, 6 – 7 tablet per hari. Obat – obat golongan ini dapat menyebabkan gejala gastrointestinal, misalnya konstipasi dan gas. Dapat mengganggu absorpsi vitamin larut lemak (sehingga sangat complicating pada managemen pasien yang mendapatkan warfarin) dan dapat juga berikatan dengan obat lain pada saluran cerna (Baron, 2006). c. Hydroxymethylglutaryl-Coenzyme A (HMG-CoA) Reductase Inhibitors (Statin) HMG-CoA reductase inhibitors termasuk di dalamnya adalah atorvastatin, fluvastatin, lovstatin, pravastatin, rosuvastatin dan simvastatin. Mekanisme obat golongan ini adalah dengan menghambat rate limiting enzyme pada pembentukan kolesterol. Obat golongan ini dapat menurunkan infark mikard dan mortalitas total pada pencegahan sekunder, sama halnya pada pencegahan untuk pasien pria usia pertengahan yang bebas penyakit jantung koroner. Penelitian meta analisis menunjukan bahwa penggunaan obat ini dapat menurunkan resiko terjadinya stroke. Sintesis kolesterol dapat diturunkan, dengan kompensasi berupa peningkatan aktivitas reseptor LDL hepatik (dengan asumsi bahwa kemudian hati dapat lebih mengambil kolesterol yang dibutuhkan dari darah) dan terjadi penurunan level LDL kolesterol dalam sirkulasi sampai dengan 35%. Juga terjadi peningkatan sedang level HDL dan penurunan level trigliserida. Dosis lazim atorvastatin, 10–80 mg/hari; fluvastatin, 20–40 mg/hari; lovastatin, 10–80 mg/hari; pravastatin, 10–40 mg/hari; rosuvastatin, 5–40 mg/hari; dan simvastatin, 5–40 mg/hari. Obat – obat golongan ini biasanya diberikan satu kali sehari pada saat malam hari (dimana sebagian besar sintesis kolesterol terjadi pada malam hari). Pada rentang dosis akhir yang tinggi, dosis bagi dua kali sehari dapat digunakan. Efek sampingnya antara lain miositis, yang kejadiannya dapat lebih tinggi pada pasien yang juga mendapatkan fibrat atau niasin bersamaan dengan statin. Produsen merekomendasikan untuk melakukan
41
monitoring enzim hati dan otot. Beberapa obat (eritromisin, siklosporin dan antijamur azole) menurunkan metabolisme obat ini (Baron, 2006). d. Fibric acid derivatives Derivat asam fibrat termasuk gemfibrozil, fenofibrat dan klofibrat. Fibrat dapat menurunkan sintesis dan meningkatkan pemecahan partikel VLDL, dengan efek sekunder pada level LDL dan HDL. Obat golongan ini menurunkan level LDL sampai dengan 10 – 15% dan level trigliserida sampai dengan 40% dan meningkatkan level HDL sampai 15 – 20%. Dosis lazim gemfibrozil adalah 600 mg satu atau dua kali sehari. Efek sampingnya termasuk kholelithiasis, hepatitis dan miositis. Insidensi hepatitis dan miositis dapat meningkat pada pasien yang juga mendapatkan obat penurun lipid lainnya.
Hasil penelitian klinik yang besar
menunjukan bahwa penggunaan klofibrat menunjukan kematian yang lebih tinggi secara signifikan, terutama karena kanker, pada kelompok perlakukan, sehingga sebaiknya tidak digunakan (Baron, 2006). e. Ezetimibe Ezetimibe merupakan obat penurun lipid baru yang mekanisme kerjanya dengan menghambat absorpsi kolesterol dari diet dan bilier dengan memblok penyebrangan (passage) melewati dinding saluran cerna. Ezetimibe dapat menurunkan LDL kolesterol antara 15 – 20% saat digunakan sebagai monoterapi dan dapat membantu menurunkan level LDL pada pasien yang mendapatkan statin yang belum mencapai target terapetik. Efek dari ezetimide pada penyakit jantung koroner dan keamanan jangka panjangnya belum diketahui secara pasti. Dosis lazim ezetimide adalah 10 mg/hari (Baron, 2006). f. Suplemen minyak ikan (N-3 Polyunsaturated Fatty Acids atau N-3 PUFA atau Omega-3 Fatty Acids) Penggunaan suplementasi minyak ikan (ikan, minyak ikan, atau minyak asam linolenik tinggi) pada dosis rendah (1 – 2 g/hari) disebutkan untuk pencegahan penyakit jantung koroner. Berdasarkan bukti klinis, penggunaan suplemen minyak ikan pada dosis 3 – 4 gram perhari adalah aman dan effikasius
42
dalam menurunkan trigliserida dan merupakan alternatif terhadap fibrat atau asam nikotinat dalam terapi hipertrigliseridemia (Blackmore, dkk, 2004) Tabel 8 menunjukan rangkuman efek terapi obat penurun lipid dan lipoprotein, sedangkan pada tabel 9 dapat dilihat pilihan obat yang direkomendasikan dalam penanganan berbagai tipe hiperlipidemia.
3. Pilihan Terapi Farmakologi pada Berbagai Kondisi Obat penurun lipid, seperti yang dijelaskan sebelumnya, tidak efektif untuk menangani semua tipe abnormalitas lipid, sehingga dalam pemilihannya perlu memperhatikan abnormalitas lipid yang terjadi pada pasien, faktor resiko, penyakit penyerta dan kondisi klinis pasien. a. Hiperkolesterolemia primer (hiperkolesterolemia familial, hiperlipidemia familial kombinasi, hiperlipoproteinemia tipe IIa), dapat diterapi dengan resin asam empedu,
HMG-CoA
reduktase
inhibitor,
niacin
atau
ezetimibe.
Mempertimbangkan kepatuhan, adverse effect, dan efektifitas untuk pasien dengan hiperkolesterolemia, statin merupakan obat pilihan karena merupakan obat penurun LDL yang paling poten sebagai monoterapi dan cost effective pada pasien dengan penyakit arteri koroner atau faktor resiko ganda dan pada pasien pencegahan primer resiko tinggi. Pada pasien yang tidak respon dengan monoterapi statin, dapat diterapi dengan terapi kombinasi namun perlu pemantauan yang ketat karena dapat meningkatkan resiko efek samping dan interaksi obat. Contoh kombinasi terapi yang rasional salah satunya adalah resin pengikat asam empedu dan lovastatin, dimana terjadi peningkatan jumlah reseptor LDL menyebabkan degradasi LDL-C yang lebih besar; sintesis intraselular kolesterol dihambat; dan siklus enterohepatik dari asam empedu diinterupsi.
43
Tabel 8. Efek terapi obat pada lipid dan lipoprotein Obat
Mekanisme Aksi
Efek pada Lipid ↓Kolesterol
Efek pada lipoprotein ↓LDL ↑VLDL
Kolestiramin, kolestipol, kolesevelam Niacin
↑Katabolisme LDL ↓Absorpsi kolesterol ↓sintesis LDL dan VLDL
↓Trigliserida ↓Kolesterol
↓VLDL ↓LDL ↑HDL
Gemfibrozil, fenofibrat, klofibrat
↑klirens VLDL ↓sintesis VLDL
↓Trigliserida ↓Kolesterol
↓VLDL ↓LDL ↑HDL
Lovastatin, pravastatin, simvastatin, fluvastatin, atorvastatin, rosuvastatin Ezetimibe
↑katabolisme LDL; menghambat sintesis LDL
↓Kolesterol
↓LDL
Memblok absorpsi kolesterol melewati dinding intestinal
↓Kolesterol
↓LDL
Komentar Bermasalah pada kepatuhan; berikatan dengan banyak obat asam yang administrasinya bersamaan Bermasalah dengan penerimaan pasien, bagus bila dikombinasi dengan resin asam empedu; niacin extended release dapat menyebabkan flushing yang lebih kecil dan hepatotoksik yang lebih kecil dibandingkan sustained release Klofibrat dapat menyebabkan kolesterol gallstones; penurunan LDL sedang, peningkatan HDL; gemfibrozil menghambat glucuronidasi simvastatin, lovastatin, atorvastatin Sangat efektif pada hiperkolesterolemia familial heterozygous dan dalam kombinasi dengan obat lainnya
Adverse effects lebih sedikit; ada efek additive dengan obat lainnya
b. Hiperlipoproteinemia kombinasi (tipe IIb) dapat diterapi dengan statin, niacin atau gemfibrozil untuk menurunkan LDL-C tanpa meningkatkan VLDL dan trigliserida. Niacin merupakan obat yang paling efektif dan dapat dikombinasikan dengan resin pengikat asam empedu. Penggunaan resin pengikat asam empedu sebagai monoterapi untuk gangguan ini dapat meningkatkan VLDL dan trigliserida sehingga penggunaanya sebagai obat tunggal harus dihindari. c. Hiperlipoproteinemia tipe III dapat diterapi dengan asam fibrat dan niacin. Walaupun asam fibrat telah dianjurkan sebagai obat pilihan untuk tipe ini, namun kurangnya data utama mengenai effikasinya dalam mempengaruhi mortalitas kardiovaskular dan sejumlah efek samping serius yang telah terdokumentasi dalam pemakaiannya, membuat penggunaan niacin juga dapat dipertimbangkan.
44
Tabel 9. Fenotip lipoprotein dan terapi obat yang direkomendasikan Tipe lipoprotein Obat pilihan Terapi kombinasi I Tidak diindikasikan IIa Statins Niacin atau BAR Kolestiramin atau Statin atau niacin kolestipol Statin atau BAR Niacin Ezetimibe IIb Statin BAR, fibratesb, atau niacin Fibrat Statin, niacin, BARa Niacin Statin atau fibrates Ezetimibe III Fibrat Statin atau niacin Niacin Statin atau fibrat Ezetimibe IV Fibrat Niacin Niacin Fibrat V Fibrat Niacin Niacin Fish oils a.
Bile acid resins (BARs) tidak digunakan sebagai terapi lini pertama apabila terjadi peningkatan trigliserida melewati baseline karena hipertrigliseridemia dapat menjadi lebih buruk pada penggunaan BAR sebagai monoterapi
b.
Fibrat termasuk gemfibrosil atau fenofibrat
d. Hipertrigliseridemia, penting untuk diingat bahwa pola gangguan lipoprotein tipe I, III, IV dan V diasosiasikan dengan hipertrigliseridemia. Trigliserida serum yang tinggi harus diterapi dengan mencapai berat badan yang diharapkan, konsumsi diet rendah lemak jenuh dan kolesterol, latihan fisik yang reguler, berhenti merokok dan retriksi alkohol. Obat yang berguna untuk terapi hiperkolesterolemia termasuk di dalamnya adalah gemfibrozil, niacin dan statin potensi tinggi (atorvastatin, rosuvastatin, dan simvastatin). Gemfibrozil merupakan obat pilihan pada pasien diabetes karena efek niacin terhadap kontrol glikemik kecuali bentuk sediaan baru extended release digunakan. Fenofibrat dapat dipilih dalam kombinasi
dengan
statin
karena
tidak
mengganggu
glukuronidasi
dan
meminimalkan interaksi obat potensial. Terapi yang sukses didefinisikan apabila terjadi penurunan trigliserida < 500 mg/dL. e. HDL-C rendah merupakan resiko prediktor bebas yang kuat terhadap penyakit jantung koroner. Managemen yang dapat dilakukan antaranya adalah reduksi 45
berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, berhenti merokok dan apabila dibutuhkan terapi obat, dapat digunakan fibrat dan niacin. Niacin merupakan obat yang potensial untuk peningkatan yang paling besar dari HDL, efeknya lebih tampak pada bentuk sediaan reguler atau immediate release dibandingkan bentuk sediaan sustained release. f. Diabetik dislipidemia dikarakterisasi dengan hipertrigliseridemia, HDL rendah dan LDL meningkat sedikit. Diabetes memiliki resiko yang setara dengan penyakit jantung koroner. Target utama pada diabetik dislipidemia adalah menurunkan LDL-C < 100 mg/dL. Bilamana LDL > 130 mg/dL, sebagian besar pasien membutuhkan perubahan gaya hidup terapetik dan terapi obat. Apabila LDL-C berkisar antara 100 – 129 mg/dL, intensifkan kontrol glikemik, pilihannya termasuk menambahkan obat untuk dislipidemia atherogenik (fibrat, niacin) dan mengintensifkan terapi penurun LDL-C. Karena target utama pada pasien diabetik dislipidemia adalah LDL-C, terapi statin dipertimbangkan sebagai obat pilihan pertama. g.
Pasien usia lanjut, hiperkolesterolemia merupakan faktor resiko independen terhadap terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien usia lanjut (> 65 tahun) sama halnya dengan pasien yang lebih muda. Terapi obat pada pasien usia lanjut prinsipnya hanya berbeda sedikit dengan pasien yang lebih muda. Pasien lansia memberikan respon sebaik pasien yang lebih muda terhadap obat penurun lipid. Karena ada perubahan dalam komposisi tubuh, fungsi renal, dan perubuhan fisiologik lainnya karena usia menyebabkan pasien usia lanjut lebih sensitif terhadap terjadinya efek samping obat penurun lipid. Pasien usia lanjut lebih sering mengalami konstipasi (resin pengikat asam empedu), gangguan kulit dan mata (niacin), gout (niacin), gallstones (fibrat), dan gangguan tulang/sendi (fibrat, statin). Untuk meminimalkan resiko efek samping, terapi harus dimulai dengan dosis rendah dan peningkatan dosis dititrasi secara perlahan. Karena kebanyakan wanita dengan penyakit jantung koroner adalah usia lanjut dan memiliki resiko osteoporosis,
mereka
merupakan
kandidat
untuk
terapi
diet
dengan
pertimbangan intake kalsium yang konsisten dengan pencegahan osteoporosis, 46
latihan, dan kemungkinan terapi penggantian estrogen. Bukti menunjukan bahwa penggunaan obat penurun lipid statin dapat menurunkan resiko osteoporosis, namun data dari berbagai penelitian masih bertentangan. h. Wanita hamil, kolesterol dan trigliserida dapat meningkat pada masa kehamilan, dengan rata – rata peningkatan kolesterol 30 – 40 mg/dL yang muncul pada minggu 36 sampai dengan 39. Trigliserida dapat meningkat sampai dengan 150 mg/dL. Terapi obat tidak dianjurkan, ataupun dilanjutkan selama kehamilan. Bilamana pasien memiliki resiko yang sangat tinggi, resin pengikat asam empedu dapat dipertimbangkan karena tidak munculnya eksposure obat sistemik. Terapi diet merupakan terapi utama. i.
Anak – anak, terapi obat pada anak – anak tidak dianjurkan sampai mereka berusia 10 tahun dan lebih dewasa. Statin menunjukan tingkat keamanan dan keefektifan pada anak dan memberikan penurunan lipid yang lebih baik dibandingkan obat penurun lipid sebelumnya yang direkomendasikan (resin pengikat asam empedu).
j.
Penyakit seperti sindrom nefrotik, gagal ginjal tahap akhir dan hipertensi merupakan salah satu resiko terjadinya dislipidemia dan dapat menimbulkan kesulitan untuk menterapi abnormalitas lipid. Statin menunjukan keefektifan dalam menurunkan kolesterol total dan LDL-C pada pasien sindrom nefrotik, walaupun tidak bisa mengembalikannya ke level normal. Statin muncul sebagai obat yang aman dan efektif pada insufisiensi renal. Koreksi abnormalitas lipid dapat memperbaiki hemodinamik renal, dimana pravastatin dan fluvastatin dapat lebih aman dari statin yang lainnya, namun harus divalidasi dengan penelitian yang
lebih
besar.
Rekomendasi
untuk
pasien
dengan
hipertensi
dan
hiperkolesterolemia termasuk didalamnya adalah menghindari penggunaan obat yang dapat meningkatkan kolesterol seperti diuretik dan beta bloker (Baron, 2006; Talbert, 2008).
47
D. PENUTUP
Penyakit dislipidemia merupakan faktor resiko terhadap terjadinya penyakit kardiovaskular lainnya yang mana apabila tidak diterapi dengan baik akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Tatalaksana terapi pada penyakit dislipidemia harus didasarkan atas etiologi dan faktor resiko yang mendasarinya. Perubahan gaya hidup terapetik merupakan suatu langkah awal yang harus dilakukan pada semua pasien hiperlipidemia baik mereka yang merupakan kandidat untuk mendapatkan terapi obat maupun yang bukan kandidat untuk mendapatkan terapi obat. Terdapat 6 kelompok terapi farmakologi yang dapat digunakan untuk menterapi pasien hiperlipidemia. Namun tidak ada 1 obatpun yang efektif untuk menterapi semua jenis abnormalitas. Tatalaksana terapi obat pada pasien dislipidemia haruslah melihat klasifikasi gangguan yang terjadi pada pasien dengan demikian pemilihan obat dapat dilakukan secara optimal. Penyesuaian dosis dan monitoring diperlukan pada pasien untuk mencapai target terapi dan meminimalkan resiko terjadinya reaksi obat yang tidak dikehendaki.
48
DAFTAR PUSTAKA
Baron, R.B., 2006, Lipid Abnormalities in Tierney,L.M., McPhee,S.J., Papadakis, M.A. (eds), Current Medical Diagnosis and Treatment, 45 Edition, McGraw-Hill, New York. Blackmore,J.R., Bretzke, D.R., Downs, J.R., Fishman, R., Wendy, B., Fonseca, V.P., et all., 2006, VA/DoD Clinical Practice Guideline for the Management of Dyslipidemia, Department of Veterans Affairs – Department of Defense, USA. Carleton, P.F., Boldt, M.A., 1995, Penyakit Aterosklerotik Koroner, dalam Price,S.A., Wilson,L.M. (eds) Patofisiologi : Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Fredrickson,D.S., Lees,R.S., 1965, Editorial : A System for Phenotyping Hyperlipoproteinemia, Circulation : Journal of American Heart Association 1965, 31:321-327. Roy, H., 2011, Hyperlipoproteinemia, [Online] Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1214018-overview (09 Agustus 2011). Talbert, R.L., 2008, Dyslipidemia in Dipiro, J.T., Talbert,R.L., Yee,G.C., Matzke, G.R.,Wells,B.G.,Posey,L.M. (eds), Pharmacotherapy : a Pathophysiologic Approach, McGraw Hills, New York.
49
BAB III FARMAKOTERAPI GANGGUAN GINJAL KRONIK
Oleh : LUH PUTU FEBRYANA LARASANTY 198402222008012008
1. Indikator Pencapaian
: Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan tentang latar
belakang
gangguan
ginjal
pengelompokan
pentingnya kronik GGK,
mengetahui (GGK),
etiologi
dan
penyakit
definisi
dan
patofisiologi,
manifestasi klinik serta tatalaksana terapi pada pasien GGK 2. Materi Pokok
: 2.1. Pendahuluan 2.2. Pengenalan Penyakit Gangguan Ginjak Kronik 2.3. Tatalaksana Terapi 2.4. Penutup 50
A. PENDAHULUAN
Gangguan ginjal kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan publik diseluruh dunia. Penyakit ini diakui sebagai kondisi yang sering dihubungkan dengan peningkatan resiko penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal kronik (Arora & Batuman, 2011). Di Amerika Serikat, terdapat peningkatan insidensi dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan luaran klinik yang buruk dan biaya yang tinggi (NKFa, 2002). Tahun 2000, sekitar 19 juta penduduk Amerika Serikat diperkirakan mengalami GGK. Delapan juta diantaranya masuk GGK tahap 3, 4 atau 5, titik dimana komplikasi sekunder lebih umum terjadi (Hudson, 2007). Insidensi dan prevalensi dari penyakit ginjal tahap akhir (end-stage renal disease (ESRD)) telah meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dan akan terus meningkat secara stabil di masa depan (NKFa, 2002). Gangguan ginjal kronis dijelaskan sebagai abnormalitas fungsi dan/atau struktur ginjal. GGK umumnya dan seringkali tidak disadari serta muncul bersamaan dengan kondisi lainnya misalnya dengan penyakit kardiovaskular dan diabetes. GGK yang parah juga berkaitan dengan resiko mortalitas yang lebih tinggi. Resiko perkembangan GGK meningkat dengan peningkatan usia, dan beberapa kondisi yang muncul bersamaan dengan GGK akan menjadi makin parah seiring dengan peningkatan disfungsi ginjal. GGK dapat berkembang menjadi gagal ginjal dalam sejumlah yang kecil orang namun dalam persentase yang signifikan (NICE, 2008). Biaya yang mahal untuk perawatan dan terapi pasien GGK seperti untuk dialisis dan transplantasi ginjal, menyebabkan fokus terapi GGK saat ini dimulai dari GGK pada tahap awal. Diagnosis dan terapi GGK pada tahap yang lebih awal dengan harapan bahwa dengan diagnosa dan penanganan pada tahap yang lebih awal, perkembangan penyakit menjadi gagal ginjal dan luaran lain yang tidak diinginkan dapat dicegah (NKFa, 2002). Strategi yang ditujukan untuk identifikasi awal dan (jika memungkinkan) pencegahan perkembangan penyakit menjadi gagal ginjal sangat jelas diperlukan (NICE, 2008).
51
B. PENGENALAN PENYAKIT
1. Definisi dan Pengelompokan Gangguan Ginjal Kronik The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan gangguan ginjal kronik sebagai kerusakan ginjal atau penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate (GFR)) kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2 untuk 3 bulan atau lebih. Apapun etiologi yang mendasari terjadinya gangguan ginjal kronik, kerusakan massa renal dengan sklerosis yang irreversibel dan hilangnya nefron akan memicu penurunan progresif dari GFR (Arora & Batuman, 2011). Kebanyakan penyakit ginjal cenderung akan mengalami perkembangan dan perburukan dari waktu ke waktu. Resiko luaran yang tidak diinginkan pada gangguan ginjal kronik kemudian dapat dikelompokan berdasarkan keparahan penyakit dan kecepatan progresifitas penyakit. Oleh karena itu, pada sebagian besar pasien, resiko luaran yang buruk cenderung meningkat sepanjang waktu. Pada tabel 1 dapat dilihat pengelompokan gangguan ginjal kronik berdasarkan nilai GFR pasien sedangkan pada tabel 2 berisi definisi dan tahapan dari gangguan ginjal kronik (NKFb, 2002). Tabel 1. Tahapan gangguan ginjal kronik Stage Deskripsi
GFR (mL/menit/1,73 m2)
1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
≥90
2
Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
60 - 89
3
Penurunan GFR sedang
30 – 59
4
Penurunan GFR parah
15 – 29
5
Gagal ginjal
< 15 (atau dialisis)
GGK didefiniskan baik sebagai kerusakan ginjal atau GFR <60 mL/menit/1,73 m2 untuk ≥ 3 bulan. Kerusakan ginjal didefinisikan sebagai abnormalitas patologis atau penanda kerusakan, termasuk abnormalitas pada tes darah atau urin atau telaah imaging.
52
Tabel 2. Definisi dan tahapan dari gangguan ginjal kronik GFR Dengan Kerusakan Ginjal* Tanpa Kerusakan Ginjal* (mL/menit/1,73m2) Dengan TDT** Tanpa TDT** Dengan TDT** Tanpa TDT** “tekanan darah “normal” ≥90 1 1 60 – 89
2
2
tinggi” “tekanan darah tinggi dengan ↓ GFR”
“penurunan GFR”
30 – 59 3 3 3 3 15 – 29 4 4 4 4 < 15 (atau dialisis) 5 5 5 5 Bagian yang diarsir menunjukan gangguan ginjal kronik; angka menunjukan tahap/stage GGK ∗ kerusakan ginjal didefinisikan sebagai abnormalitas patologis atau penanda kerusakan, termasuk abnormalitas pada tes darah atau urin atau telaah imaging ** tekanan darah tinggi (TDT) didefinisikan sebagai tekanan darah ≥140/90 mmHg pada dewasa dan persentil >90th untuk tinggi dan jenis kelamin pada anak-anak 2. Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Ginjal Kronik Evaluasi dan perawatan pasien gangguan ginjal kronik membutuhkan pemahaman yang terpisah namun berhubungan dalam konsep diagnosis, kondisi komorbid, keparahan penyakit, komplikasi penyakit, resiko atas hilangnya fungsi ginjal dan penyakit kardiovaskular. Pasien dengan gangguan ginjal kronik harus dievaluasi untuk menentukan: a. Diagnosa (jenis gangguan ginjal) b. Kondisi komorbid c. Keparahan, dinilai berdasarkan level fungsi ginjal d. Resiko untuk hilangnya fungsi ginjal e. Resiko untuk penyakit kardiovaskular Klasifikasi jenis penyakit ginjal didasarkan pada patologi dan etiologi. Faktor resiko terjadinya GGK dapat dilihat pada tabel 3 sedangkan klasifikasi sederhana dan distribusi jenis gangguan ginjal yang mengarah pada gangguan ginjal tahap akhir (end stages renal diseases / ESRD) dapat dilihat pada tabel 4 (Joy et all, 2008; NKFb, 2002).
53
a. Faktor – faktor yang rentan terkena GGK Peningkatan usia, pendapatan atau pendidikan yang rendah, status minoritas rasial/etnik sama halnya dengan penurunan massa ginjal, berat badan lahir rendah dan riwayat keluarga mengalami GGK merupakan faktor – faktor yang rentan terhadap kejadian GGK. Faktor – faktor ini belum terbukti secara langsung dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor – faktor ini berguna untuk mengidentifikasi orang – orang yang memiliki resiko tinggi mengalami GGK (Joy et all, 2008). Tabel 3. Faktor resiko gangguan ginjal kronik Faktor – faktor yang rentan Faktor inisiasi terjadinya terkena GGK GGK diabetes mellitus usia lanjut penurunan massa ginjal hipertensi glomerulonefritis dan berat lahir rendah minoritas rasial/ethnik riwayat keluarga berpenghasilan atau berpendidikan rendah inflamasi sistemik dislipidemia
Faktor progresifitas GGK
glikemia hipertensi proteinuria merokok obesitas
b. Faktor – faktor inisiasi GGK Faktor inisiasi merupakan kondisi yang secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal, dan dapat dimodifikasi dengan terapi farmakologi. Diabetes mellitus, hipertensi, penyakit autoimun, penyakit ginjal polikistik, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu saluran kemih, obstruksi saluran urinari bawah, dan toksisitas obat dapat sebagai faktor inisiasi GGK. Diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit glomerular merupakan penyebab paling sering terjadinya gangguan ginjal kronik. a. Diabetes mellitus : individu dengan diabetes mellitus tipe 1 memiliki 40 % resiko seumur hidup untuk mengalami GGK sedangkan individu dengan diabetes mellitus tipe 2 memiliki resiko seumur hidup sebesar 50 % untuk mengalami GGK. b. Hipertensi : hipertensi juga dapat meningkatkan resiko GGK walaupun peran pastinya apakah sebagai penyebab atau konsekuensi dari GGK masih terus 54
diperdebatkan oleh karena ginjal juga memiliki peran dalam perkembangan dan modulasi tekanan darah tinggi. Hipertensi umumnya berkembang seiring dengan progresifitas penyakit ginjal. Contohnya, hipertensi muncul pada 40% pasien dengan GFR 90 mL/menit per 1,73 m2, sebanyak 55% pada pasien dengan nilai GFR 60 mL/menit per 1,73 m2 dan 75% pada pasien dengan nilai GFR 30 mL/menit per 1,73 m2. Sebaliknya, penelitian prospektif menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah akan meningkatkan resiko munculnya GGK pada individu tanpa penyakit ginjal. c. Glomerulonefritis : penyakit glomerular juga dipertimbangkan sebagai faktor inisiasi GGK. Epidemiologi dan patofisiologi penyakit glomerular sangat bervariasi dan keseluruhan penyakit tersebut tidak dapat dijadikan menjadi 1 kategori penyakit. Penyakit glomerular kronik berkembang pada kecepatan yang bervariasi, dengan kehilangan GFR berkisar antara 1,4 sampai dengan 9,5 mL/menit per tahun. c. Faktor – faktor progresifitas GGK Faktor resiko progresifitas adalah faktor yang dikaitkan dengan kerusakan ginjal lebih lanjut. Bukti general menunjukan adanya peningkatan kecepatan penurunan fungsi ginjal pada mereka yang telah mengalami kerusakan ginjal. Prediktor yang paling penting terhadap progresifitas GGK adalah menetapnya faktor inisiasi yang mendasari GGK (misalnya : diabetes mellitus, hipertensi, gomerulonefritis dan penyakit ginjal polikistik), dan adanya faktor progresifitas misalnya proteinuria, peningkatan tekanan darah dan merokok. 1). Proteinuria : pada pasien penyakit ginjal diabetik (tipe 1 dan 2), kecepatan ekskresi albumin yang lebih tinggi dari 30 mg per 24 jam (mikroalbuminuria) sangat memungkinkan untuk terjadinya nefropati dan kemudian dapat menyebabkan hilangnya fungsi ginjal. Peran bersama antara tekanan darah dan proteinuria pada progresifitas GGK telah diteliti oleh Jafar et al. menggunakan data dari 11 penelitian randomisasi terkontrol yang membandingkan effikasi regimen antihipertensi pada pasien yang sebagian besar adalah pasien penyakit ginjal nondiabetik. Peningkatan
55
resiko progresifitas GGK pada tekanan darah sistolik yang lebih tinggi adalah lebih besar pada pasien dengan ekskresi protein urin lebih besar dari 1,0 g/hari (P<0,006). 2). Hipertensi: terapi hipertensi sejak awal dan pencapaian agresif target tekanan darah telah menunjukan dapat memperlambat kecepatan progresifitas GGK. Tekanan darah rata – rata arteri (mean arterial blood pressure) yang lebih rendah pada pasien hipertensi menghasilkan rata – rata penurunan GFR yang lebih rendah pula. 3). Diabetes mellitus : Hiperglikemia merupakan faktor inisiasi dan faktor progresifitas terjadinya GGK. Dua penelitian prospektif yang besar pada awal tahun 1990 menunjukan keuntungan
kontrol glukosa darah terhadap
munculnya
dan
berkembangnya komplikasi mikrovaskular. 4). Hiperlipidemia : tiga penelitian epidemiologik menunjukan bahwa dislipidemia dapat dijadikan prediksi insidensi GGK pada pasien resiko rendah mengalami GGK. GGK dengan atau tanpa sindrom nefrotik seringkali disertai dengan abnormalitas metabolisme lipoprotein. 5). Obesitas : penelitian terbaru menunjukan hubungan antara obesitas dengan perkembangan GGK stage 5. Indeks massa tubuh dihubungkan dengan peningkatan resiko gagal ginjal tahap akhir (ESRD) pada pria namun tidak pada wanita. 6). Faktor lain : faktor resiko lain yang diidentifikasi sebagai pemicu progresifitas GGK antara lain paparan timbal dan penggunaan narkoba. Variasi genetik apolipoprotein E berdasarkan hasil penelitian terbaru juga memiliki peran dalam progresifitas GGK baik pada kulit puti maupun kulit hitam (Joy, et all, 2008).
56
Tabel 4. Klasifikasi gangguan ginjal kronik menurut patologi, etiologi dan prevalensi pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir Patologi
Glomerulosklerosis Diabetik
Penyakit glomerular (primer maupun sekunder) Glomerulonefritis proliferatif Mesangial proliferative glomerulonephritis Membranoproliferative glomerulonephritis Focal proliferative glomerulonephritis Diffuse proliferative glomerulonephritis Crescentic glomerulonephritis Penyakit glomerular noninflamasi Minimal change disease Focal glomerular sclerosis Membranous nephropathy Fibrillary glomerular diseases Hereditary nephritis (Alport’s) Penyakit Vaskular Penyakit pembuluh darah besar Penyakit pembuluh darah ukuran sedang Nefrosklerosis Penyakit pembuluh darah kecil Mikroangiopati
*
Etiologi (Contoh )
Diabetes Mellitus Tipe 1 Tipe 2
Prevalensi pada pasien ** ESRD 33%
19% Systemic lupus erythematosis, vasculitis, bacterial endocarditis, chronic hepatitis B atau C, HIV infection
Penyakit Hodgkin’s HIV infection, toksisitas heroin Toksisitas obat, solid tumors Amyloidosis, light chain disease
21 % Stenosis arteri ginjal Hipertensi Penyakit sel sabit, sindrom uremia hemolisis (termasuk toksisitas siklosporin dan takrolimus)
4% Penyakit Tubulointerstisial Nefritis tubulointerstisial Pielonefritis Infeksi, batu ginjal NSAID Nefropati analgesik Antibiotik Nefritis interstisial alergik Sarcoidosis Nefritis interstisial granulomatous Nefritis interstisial autoimun Ureitis Penyakit tubulointerstisial noninflamasi Refluks vesiko-ureteral Refluks nefropati Malignansi, prostatisme, batu ginjal Nefropati nefropati Multiple mieloma Mieloma ginjal 6% Penyakit Kista Autosomal dominant atau resesif Penyakit ginjal polikistik Tuberous sclerosis Von Hippel Lindau Medullary cystic disease a -Penyakit pada Transplantasi Penolakan kronik Siklosporin atau takrolimus Toksisitas obat Penyakit glomerular Penyakit kambuhan Transplant glomerulopathy * contoh beberapa penyebab untuk tipe patologi spesifik ** perkiraan, berdasarkan data USRDS Annual Data Report 1998. Prevalensi bervariasi tergantung usia a tidak tercatat sebagai penyebab ESRD in USRDS
57
3. Patofisiologi Gangguan Ginjal Kronik Ginjal memiliki peran untuk mengeluarkan sampah dan cairan dari tubuh. Selain itu juga memiliki peran penting lainnya seperti dalam regulasi cairan tubuh dan senyawa kimia dalam darah lainnya seperti natrium, kalium, fosfor dan kalsium. Sebagai organ pengekskresi obat dan mengeluarkan toksin yang masuk ke dalam tubuh. Ginjal juga melepaskan hormon ke dalam darah untuk membantu tubuh mengatur tekanan darah, pembentukan sel darah merah dan mendukung pembentukan tulang yang kuat (NKF, 2011). Kerusakan ginjal dapat disebabkan oleh berbagai penyebab. Sebagai contoh, nefropati diabetik dikarakterisasi oleh ekspansi mesangial glomerular; pada hipertensi nefrosklerosis, arteriola ginjal mengalami hialinosis arteriolar; dan kista renal terjadi pada penyakit ginjal polikistik. Dengan demikian, kerusakan struktural awal sangat bergantung pada penyakit primer yang mempengaruhi ginjal. Sebagian besar progresifitas nefropati berbagi jalur umum sampai akhirnya terjadi kerusakan parenkimal ginjal yang irreversibel dan ESRD (gambar 1). Unsur utama dari jalur ini adalah : (1) hilangnya massa nefron; (2) hipertensi kapiler glomerulus; dan (3) proteinuria (Joy, et all, 2008). Sekitar 1 juta nefron terdapat dalam tiap ginjal, yang masing – masing berkontribusi terhadap GFR total. Dalam menghadapi kerusakan ginjal (terlepas dari etiologinya), ginjal memiliki kemampuan bawaan untuk mempertahankan GFR, meskipun terjadi kerusakan progresif nefron, dengan hiperfiltrasi dan kompensasi hipertrofi dari nefron sehat yang tersisa (Arora & Batuman, 2011). Awalnya, kompensasi hipertrofi bersifat adaptif. Seiring waktu, peningkatan kompensasi nefron tunggal dalam mempertahankan GFR akan menyebabkan hipertrofi berlanjut dan hilangnya fungsi nefron yang irreversibel yang disebabkan peningkatan yang terus – menerus tekanan glomerulus. Glomerulosklerosis (kerusakan arteri glomerular) muncul disebabkan karena peningkatan yang berkepanjangan dari tekanan kapiler glomerulus dan peningkatan peningkatan aliran darah glomerulus yang kemudian dapat memicu siklus yang berkelanjutan dari kerusakan nefron (Pai & Conner, 2009). 58
Kerusakan patogenik awal Kerusakan glomerular Penurunan area filtrasi
Diabetes mellitus
Terbentuknya produk akhir glikasi tahap lanjut
Perubahan hemodinamik adaptif Hiperlipidemia
Peningkatan aliran darah glomerulus
Hipertrofi glomerular
Arteriosclerosis
Peningkatan tekanan kapiler glomerulus
Kerusakan epithelial
Kerusakan endothelial
Detasemen fokal dari proses akhir epithelial
proteinuria
Deposisi hialin glomerulus
Sumbatan mikrotrombus kapiler glomerulus
Glomerulosklerosis
Hipertensi sistemik
Kerusakan mesangial
Ekspansi mesangial
Formasi mikroaneurisma
Progresifitas penyakit ginjal
Gambar 1. Kemungkinan mekanisme terjadinya gangguan ginjal (Joy et all, 2008) 4. Manifestasi Klinik a. Gejala Ginjal memiliki kemampuan untuk melakukan kompensasi terhadap gangguan fungsi yang dialaminya. Hal itulah yang menyebabkan penyakit ginjal kronik dapat berkembang tanpa gejala untuk waktu yang panjang sampai hanya menyisakan fungsi ginjal yang minimal. Karena ginjal menjalankan berbagai fungsi tubuh, gangguan ginjal dapat berefek pada tubuh melalui berbagai jalur yang berbeda. Gejalanya sangat 59
bervariasi. Sejumlah sistem tubuh yang berbeda – beda dapat dipengaruhi. Sebagai catatan, kebanyakan pasien tidak mengalami penurunan output urin walaupun telah mengalami penyakit ginjal kronik dalam tahap sangat lanjut. Efek dan gejala dari gangguan ginjal kronik antara lain : 1) Kebutuhan untuk urinasi lebih sering, terutama pada malam hari (nokturia) 2) Pembengkakan di kaki dan munculnya kantung mata (pembengkakan) disekeliling mata (retensi cairan) 3) Tekanan darah tinggi 4) Fatigue dan lemah (karena anemia atau akumulasi produk buangan di dalam tubuh) 5) Kehilangan selera makan, mual dan muntah 6) Gatal – gatal, mudah mengalami gusi berdarah, dan kulit yang pucat (karena anemia) 7) Nafas pendek karena akumulasi cairan pada paru – paru 8) Sakit kepala, kebas pada kaki atau tangan (neuropati perifer), gangguan tidur, gangguan status mental (ensefalopati yang disebabkan akumulasi produk sisa atau racun uremik), dan sindrom restless legs 9) Nyeri dada yang disebabkan perikarditis 10) Perdarahan (disebabkan karena proses pembekuan darah yang terganggu) 11) Nyeri tulang dan fraktur 12) Penurunan ketertarikan seksual dan disfungsi erektil (Kathuria, 2011).
b. Tanda 1) Kardiovaskular – paru : udema dan perburukan hipertensi, bukti elektrokardiografi menunjukan hipertrofi ventrikel kiri, aritmia, hiperhomosisteinemia dan dislipidemia 2) Gastrointestinal : gastroesophageal reflux disease, kehilangan berat badan 3) Endokrin : hiperparatiroidisme sekunder, penurunan aktivasi vitamin D, deposisi β2mikroglobulin, dan gout 4) Hematologi : anemia karena penyakit ginjal kronis, defisiensi besi, dan perdarahan
60
5) Cairan/elektrolit : hiper- atau hiponatremia, hiperkalemia, dan asidosis metabolik (Joy et all, 2008).
c. Laboratorium Diagnosa penyakit ginjal kronis membutuhkan pengukuran serum kreatinin, perhitungan GFR, dan penilaian urin (urinalisis) untuk melihat ekresi protein dan/atau albumin. Penyakit ginjal kronis tahap 3,4 dan 5 membutuhkan pemeriksaan leih lanjut untuk kemungkinan terjadinya komplikasi anemia, penyakit kardiovaskular, penyakit tulang metabolik, malnutrisi dan gangguan cairan dan elektrolit (Joy et all, 2008).
61
C. TATALAKSANA TERAPI
1. Target Terapi Tujuan terapi pada pasien gangguan ginjal kronik adalah untuk memperlambat progresifitas GGK, dengan demikian akan meminimalkan kemungkinan munculnya atau meningkatnya
keparahan
komplikasi
termasuk
di
dalamnya
adalah
penyakit
kardiovaskular. Umumnya pasien dengan GGK membutuhkan pendekatan terapi multimodalitas, terlepas dari penyebab penyakit gagal ginjal mereka. Terapi dengan angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI) dan/atau angiotensin receptor blockers (ARB) merupakan komponen terapetik kunci untuk sebagian besar pasien (Joy et all, 2008).
2. Terapi Nonfarmakologi a. Dorong pasien dengan GGK untuk melakukan olahraga/latihan aerobik fisik reguler b. Mencapai/mempertahankan berat badan yang sehat (indeks massa tubuh 20-25 kg/m2) c. Berhenti merokok d. Apabila intervensi diet diindikasikan diperlukan dalam penanganan GGK, diskusi dengan ahli gizi profesional sangat diperlukan untuk menilai resiko dan manfaat dari retriksi protein dari diet, agar tujuan menurunkan progresifitas penyakit dapat dicapai tanpa adanya kemungkinan terjadinya malnutrisi kalori protein. National kidney foundation the kidney disease outcomes quality initiative (NKF K/DOQI) menganjurkan asupan protein diet sebesar 0,6 g/kg per hari pada pasien dengan nilai laju filtrasi glomerulus < 25 mL/menit per 1,73 m2. Titrasi asupan protein sampai dengan 0,75 g/kg per hari dianjurkan untuk pasien yang tidak dapat mencapai atau mempertahankan status nutrisi yang adekuat dengan asupan protein yang lebih rendah (0,6 g/kg per hari)
62
e. Bilamana intervensi diet disetujui, maka harus disertai dengan konteks pendidikan, penilaian diet yang detail dan supervisi untuk meyakinkan tidak terjadinya malnutrisi. f. Tawarkan saran diet untuk pasien dengan GGK progresif mengenai asupan kalium, fosfat, protein, kalori dan garam (intake sodium < 100 mmol/hari) apabila diindikasikan g. Pembatasan asupan alkohol tidak lebih dari 3 unit/hari pada pria dan 2 unit/hari pada wanita (Joy et all, 2009; NICE 2008; Tomson, 2005).
3. Terapi Farmakologi a. Pasien gangguan ginjal kronis diabetik Intervensi farmakologi, berdasarkan data klinik dan eksperimental, dapat membantu untuk membatasi perkembangan GGK pada pasien diabetik. Gambar 2 merupakan rangkuman dari intervensi farmakologi pada pasien GGK diabetik. 1) Penanganan diabetes Semua pasien diabetes tipe 1 dengan durasi lebih dari 5 tahun dan seluruh pasien diabetes tipe 2 harus diskrining tiap tahun untuk mikroalbuminuria (ekskresi albumin urinari atau rasio albumin terhadap kreatinin). Glukosa darah harus dipertahankan pada atau mendekati rentang nilai normal dengan frekuensi dosis insulin atau dengan menggunakan infus insulin subkutan kontinu, dengan monitor glukosa darah secara terus menerus untuk meminimalkan resiko hipoglikemia. Terapi insulin intensif (TII) dapat dicapai dengan pemberian injeksi insulin 3 kali sehari atau lebih atau dengan infus pompa insulin sehingga dapat mencapai level glukosa darah preprandial 70 – 120 mg/dL dan level glukosa darah postprandial < 180 mg/dL. TII secara efektif dapat menurunkan insidensi mikroalbuminuria apabila dibandingkan dengan terapi standar baik pada kelompok pencegahan primer dan sekunder (Joy et all, 2008).
63
2) Penanganan hipertensi Semua pasien hipertensi harus mendapatkan saran perubahan gaya hidup (non farmakologi) selain mendapatkan terapi farmakologi. Target tekanan darah pada terapi antihipertensi adalah < 130/80 mmHg, atau < 125/75 mmHg pada mereka yang mengalami proteinuria (Tomson, et all, 2005). Terapi dengan ACEI harus segera diberikan pada pasien diabetes tipe 1 atau tipe 2 yang normotensif dan hipertensi dengan mikroalbuminuria yang menetap (30 sampai 300 mg/hari) atau yang jelas – jelas albuminuria (>300 mg/hari). ACEI harus dititrasi setiap 1 sampai 3 bulan untuk mencapai penurunan maksimal pada ekskresi albumin urinari. Dalam minggu pertama pada saat memulai atau meningkatkan dosis ACEI, serum kreatinin dan kalium harus dievaluasi untuk mendeteksi penurunan laju filtrasi glomerulus yang tiba – tiba atau perkembangan hiperkalemia. ARB harus dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama lainnya pada pasien diabetes tipe 2 untuk menurunkan proteinuria atau albuminuria yang persisten (Joy et all, 2008). Pada saat menggunakan ACEI atau ARB, lakukan titrasi dosis terlebih dahulu sampai dengan dosis terapi maksimum yang dapat ditoleransi sebelum menambahkan obat lini kedua (NICE, 2008). Pemblok kanal kalsium nondihidropiridin merupakan obat sekunder alternatif yang efektif untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi baik ACEI maupun ARB. Kombinasi antara ACEI dengan ARB dapat memberikan hasil yang lebih besar dalam reduksi proteinuria atau albuminuria dibandingkan masing – masing obat secara sendiri – sendiri, sehingga dapat menjadi alternatif terapetik pada pasien yang tidak memberikan respon maksimal terhadap terapi dengan obat tunggal. Tambahan dengan pemblok reseptor aldosteron dapat dipertimbangkan pada pasien dengan dokumentasi pelepasan aldosteron (Joy et all, 2008).
64
Hiperlipidemia
Hipertensi Modifikasi gaya hidup sesuai JNC VII
• Retriksi diet kolesterol • Reduksi berat badan • Olahraga
Penurunan tekanan darah ≤ 130/80
Farmakologi Obat penurun lipid
Diabetes
Retriksi protein diet 0,6 g/kg/hari
Proteinuria
Kontrol metabolik yang buruk
Skrining ekskresi albumin uriner sekali setahun
Mikroalbuminuria x 2 (30 – 300 mg/hari)
Kontrol glikemik yang intensif (Target : gula darah puasa normal 70 – 120 mg/dL) Albuminuria x 1 (>300 mg/hari)
Injeksi insulin multipel harian
a t a u
Infus insulin SC kontinu dengan pump
Mulai terapi ACEI (atau ARB)
Titrasi terapi untuk mencapai efek maksimal pada ekskresi albumin uriner
Minimalkan hipoglikemia : monitor glukosa darah sampai dengan 4 kali perhari
+
Monitor serum K , Cr dan ekskresi albumin uriner
Gambar 2. Strategi terapetik untuk mencegah perkembangan penyakit ginjal pada pasien diabetik (Joy et all, 2008)
b. Pasien gangguan ginjal kronis nondiabetik Gambar 3 menunjukan intervensi terapetik untuk pasien gangguan ginjal kronik nondiabetik. Terapi nonfarmakologi berupa managemen nutrisional harus selalu dimonitoring secara berkala, tidak tergantung jumlah asupan protein yang diberikan, untuk mencegah malnutrisi. Berdasarkan penelitian MDRD, diet rendah protein memiliki 65
banyak manfaat untuk pasien dengan disfungsi ginjal sedang (GFR 25 sampai dengan 55 mL/menit per 1,73 m2) (Joy et all, 2008). Pasien nondiabetik Penanganan nutrisional (Retriksi protein)
Penanganan tekanan darah
Scr 1,2 – 2,5 mg/dL GFR 25 – 55 mL/menit
Luaran yang diharapkan TD < 130/80 mmHg
Scr < 1,2 mg/dL GFR > 55 mL/menit
Scr > 2,5 mg/dL GFR 13 – 24 mL/menit
Lanjutkan asupan protein seperti biasa
Pembatasan protein menjadi 0,6 g/kg/hari
Scr/GFR stabil
Lanjutkan asupan protein seperti biasanya
Peningkatan Scr dan/atau penurunan GFR Batasi asupan protein menjadi 0,8 g/kg/hari
Modifikasi gaya hidup sesuai JNC VIII
• Pencapaian target TD secara perlahan • Pemilihan agen farmakologi awal berdasarkan rekomendasi JNC VIII Tambahkan diuretik apabila ada bukti retensi cairan : • Clcr < 30mL/menit Loop diuretik Loop diuretik + thiazid atau metolazone
Tambahkan β-bloker, klonidin, minoksidil, atau α-bloker
Gambar 3. Strategi terapetik untuk mencegah perkembangan penyakit ginjal pada pasien nondiabetik (Joy et all, 2008) 1). Penanganan hipertensi Target kontrol tekanan darah harus pada level normotensif < 130/80 mmHg pada pasien gangguan ginjal kronik. Pada pasien dengan proteinuria di atas 3g/hari dan GGK, terapi ACEI atau ARB masih dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama. Hiperlipidemia harus diterapi untuk menurunkan resiko kardiovaskular dan adanya kemungkinan antara 66
abnormalitas lipid dan progresifitas GGK (Joy et all, 2008). Pengukuran konsentrasi serum kalium dan perhitungan GFR harus dilakukan pada pasien GGK sebelum memulai terapi ACEI/ARB. Pengukuran ini harus diulang kembali antara minggu 1 dan minggu 2 setelah memulai terapi ACEI/ARB dan setelah setiap peningkatan dosis. Terapi ACEI/ARB normalnya tidak dapat diberikan apabila serum kalium sebelum terapi secara signifikan di atas rentang normal acuan (biasanya lebih dari 5,0 mmol/L). Bilamana hiperkalemia menghalangi penggunaan ACEI/ARB, penilaian, investigasi dan terapi faktor lainnya yang diketahui memicu hiperkalemia harus dilakukan dan konsentrasi serum kalium dicek ulang. Pemberian ACEI harus dihentikan apabila konsentrasi serum kalium meningkat menjadi 6,0 mmol atau lebih dan obat lain yang diketahui memicu hiperkalemia telah dihentikan (NICE, 2008). Apabila terjadi penurunan nilai GFR perkiraan atau peningkatan plasma kreatinin setelah memulai atau pada saat peningkatan dosis ACEI/ARB, namun kurang dari 25% (eGFR) atau 30% (serum kreatinin) dibandingkan nilai awal, lakukan tes ulang setelah 1 – 2 minggu. Jangan melakukan modifikasi dosis ACEI/ARB apabila ada perubahan nilai GFR kurang dari 25% dibandingkan nilai awal sebelum terapi atau peningkatan kreatinin plasma kurang dari 30% dibandingkan nilai awal sebelum terapi. Apabila perubahan nilai eGFR 25% atau lebih atau perubahan kreatinin plasma 30% atau lebih lakukan penyelidikan apakah ada penyebab lain yang menyebabkan perburukan fungsi ginjal semisal deplesi volume atau obat – obat yang diberikan bersamaan (contohnya NSAIDs). Apabila tidak terdapat penyebab perburukan fungsi ginjal lainnya, hentikan terapi ACEI/ARB atau turunkan dosis menjadi dosis sebelumnya yang masih dapat ditoleransi, dan tambahkan obat antihipertensi alternatif apabila dibutuhkan (NICE, 2008).
67
TEKANAN DARAH > 130/80 MMHG APABILA TD > 15-20/10 MMHG DI ATAS TARGET BP, KOMBINASIKAN LANGKAH 1 DAN 2 TARGET TD = <130/80 mmHg, atau < 125/75 mmHg untuk pasien proteinuria LANGKAH 1 Mulai terapi ACEI atau ARB
Cek ulang Scr dan K dalam minggu ke-1. Apabila Scr atau K ↑ > 30%, hentikan obat
TD belum mencapai target (<130/80 mmHg, atau <125/75 mmHg untuk pasien dengan proteinuria
LANGKAH 2 Tambahkan diuretik Apabila CrCl ≥ 30 mL/menit, tambahkan diuretik tiazid
Apabila CrCl < 30 mL/menit, tambahkan diuretik loop
TD belum mencapai target LANGKAH 3 Tambahkan pemblok kanal kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB) aksi panjang. Dapat dipertimbangkan pemberian β-bloker dosis rendah dibandingkan dengan CCB apabila pasien memiliki angina, gagal jantung, atau aritmia yang memerlukan obat jenis ini
TD belum mencapai target Nadi dasar ≥ 84 LANGKAH 4 Tambahkan β-bloker dosis rendah atau α/ β-bloker (apabila belum pernah digunakan) Catatan : penggunaan β-bloker dan CCB nondihidropiridin harus dihindari pada pasien usia lanjut dan mereka dengan abnormalitas konduksi
Nadi dasar < 84 LANGKAH 4 Tambahkan subgrup CCB lainnya (misalnya : CCB dihidropiridin apabila obat yang nondihidropiridin sudah digunakan) Catatan : penggunaan β-bloker dan CCB nondihidropiridin harus dihindari pada pasien usia lanjut dan mereka dengan abnormalitas konduksi
TD belum mencapai target LANGKAH 5 Tambahkan α-bloker aksi panjang, α-agonis pusat, atau vasodilator. Catatan : α-agonis pusat (klonidin) tidak boleh digunakan dengan β-bloker karena kemungkinan besar menyebabkan bradikardi parah
Gambar 4. Algoritme penanganan hipertensi pada pasien GGK (Joy et all, 2008) 68
c. Intervensi lain untuk membatasi perkembangan penyakit Intervensi lainnya, semisal regimen penurun lipid, penghentian rokok dan penanganan anemia juga dapat memperlambat perkembangan GGK. Penatalaksanaan anemia akan dibahas lebih lanjut pada penanganan komplikasi. 1) Penanganan hiperlipidemia Sejumlah obat tersedia untuk menurunkan lipid, namun golongan β-hydroxy-βmethylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reductase inhibitor dan gemfibrozil merupakan obat yang paling sering digunakan pada pasien dislipidemia dengan GGK dengan ataupun tanpa proteinuria. Target utama dari penatalaksanaan ini adalah untuk secara adekuat menangani hiperlipidemia sehingga dapat menurunkan resiko perkembangan penyakit atherosklerosis kardiovaskular. Hasil meta-analisis dari 13 penelitian mengenai penggunaan obat penurun lipid pada pasien GGK menunjukan bahwa penurunan perkembangan GGK hanya sekitar 0,156 mL/menit per bulannya. Mekanisme pasti dari efek obat penurun lipid masih belum diketahui, namun HMGCoA inhibitor dapat menurunkan infiltrasi monosit, proliferasi sel mesangial, ekspansi matriks mesangial, dan inflamasi tubulointerstisial serta fibrosis. Dengan demikian, target sekunder dari terapi penurun lipid adalah untuk menurunkan kejadian proteinuria dan penurunan fungsi ginjal (Joy et all, 2008). 2) Penghentian rokok Merokok dihubungkan dengan penurunan akut GFR, dan peningkatan denyut jantung serta tekanan darah, yang merupakan akibat dari paparan nikotin. Nikotin juga dihubungkan dengan peningkatan ekskresi albumin uriner. Walaupun effektivitas penghentian rokok terhadap pembatasan progresifitas GGK belum dievaluasi secara prospektif, satu penelitian menunjukan bahwa penghentian rokok menghasilkan efek perlindungan terhadap proteinuria dan penurunan GFR. Sangatlah bijaksana untuk mengedukasi pasien terhadap efek positif penghentian rokok pada pasien GGK (Joy et all, 2008).
69
d. Penanganan komplikasi 1) Anemia Level haemoglobin harus diukur pada pasien dengan GGK stage 3B, 4 dan 5 untuk mengidentifikasi anemia (Hb kurang dari 11,0 d/dL). Anemia jangka panjang dihubungkan dengan hipertropi ventrikel kiri dan gagal jantung. Terdapat kemungkinan anemia dapat meningkatkan kecepatan perkembangan GGK (Joy et all, 2008; NICE 2008). Anemia pada GGK utamanya disebabkan karena adanya defisiensi pada produksi eritropoietin endogen oleh ginjal. Penanganan anemia termasuk didalamnya adalah pemberian eritropoietin-stimulating agents (ESAs) (epoetin alfa dan darbepoetin alfa) dan suplemen besi reguler (pemberian oral ataupun intravena) untuk mencapai target haemoglobin paling tidak 11 g/dL dan untuk mencegah kemungkinan perkembangan hipertropi ventrikel kiri apabila terapi dimulai sejak awal. Target batas atas haemoglobin secara jelas belum ditentukan, namun bukti menunjukan haemoglobin tidak sebaiknya lebih dari 12 g/dL (Hudson, 2008). 2) Gangguan metabolisme tulang Hiperfosfatemia,
perubahan
dalam
homeostasis
kalsium
dan
hiperparatiroidisme sekunder merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien GGK dan memiliki kontribusi pada kalsifikasi ekstravaskular dan pada peningkatan resiko mortalitas kardiovaskular. Penatalaksanaan hiperfosfatemia termasuk dengan pembatasan fosfat dari diet dan penggunaan secara bijaksana obat pengikat fosfat. Hipokalsemia
dengan
suplemen
kalsium
dengan
atau
tanpa
calcitriol.
Hiperparatiroidisme dengan pemberian calcitriol atau analog vitamin D (Arora & Batuman, 2011; Hudson, 2008). 3) Overload volume cairan Pasien GGK parah (stage 4 dan 5) mengalami penurunan ekskresi natrium ginjal total meskipun terjadi peningkatan ekskresi natrium oleh nefron yang tersisa. Dapat terjadi overload volume dengan udema pulmoner, namun sebagian besar manifestasi dari peningkatan volume intravaskular adalah hipertensi sistemik. Diuretik 70
dan ultrafiltrasi dapat digunakan untuk penanganan overload volume. Pemilihan jenis diuretik (diuretik tiazide atau loop diuretik) tergantung pada klirens kreatinin pasien seperti algoritme pada gambar 4 (Arora & Batuman, 2011; Hudson, 2008). 4) Metabolik asidosis dan uremia Elektrolit serum harus diperiksa secara rutin pada pasien GGK stage 4 dan 5. Apabila hasilnya menunjukan kemungkinan munculnya kondisi asidosis, harus dilakukan pengukuran gas darah arterial. Pasien ini juga harus dicek sejarah medisnya secara lengkap dan review pengobatan utnuk mengetahui apakah terdapat penyebab potensial lain dari ketidakseimbangan asam –basa (misalnya : ketoasidosis metabolik, ingesti toksin atau gangguan gastrointesinal). Penanganan asidosis metabolik pada pasien GGK umumnya meliputi pemberian bikarbonat untuk mengkoreksi asidemia. Manifestasi uremia dan metabolik asidosis yang parah membutuhkan terapi nonfarmakologi dengan renal replacement therapy (hemodialisis, dialisis peritonial atau transplantasi renal). Indikasi untuk renal replacement therapy antara lain : i.
Asidosis metabolik parah
ii.
Hiperkalemia
iii.
Perikarditis
iv.
Ensefalopati
v.
Volume overload yang bertahan dan sulit untuk diterapi
vi.
Kegagalan untuk tumbuh dan malnutrisi
vii.
Neuropati perifer
viii.
Gejala gastrointestinal yang menetap dan sulit diterapi
ix.
Kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 10 mL/menit (Arora & Batuman, 2011; Hudson, 2008; NICE, 2008).
71
D. PENUTUP
Gangguan ginjal kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan publik diseluruh dunia dan merupakan kondisi yang sering dihubungkan dengan peningkatan resiko penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal kronik. Biaya yang mahal untuk perawatan dan terapi pasien GGK seperti untuk dialisis dan transplantasi ginjal, menyebabkan fokus terapi GGK saat ini dimulai dari GGK pada tahap awal. Strategi terapi pada penanganan GGK dimulai dari pencegahan penyakit yang mana dilakukan dengan identifikasi awal faktor resiko yang dapat memicu terjadinya GGK misalnya hipertensi, diabetes mellitus dan glomerulonefritis. Pencegahan progresifitas penyakit termasuk di dalamnya adalah tatalaksana terapi terhadap faktor inisiasi (diabetes mellitus dan hipertensi) serta kondisi lain yang dapat mempengaruhi perkembangan penyakit misalnya dislipidemia dan merokok serta penanganan komplikasi penyakit yang muncul kemudian. Terapi insulin intensif merupakan penanganan pada pasien GGK dengan diabetes, sedangkan untuk hipertensi baik pada pasien GGK diabetik maupun nondiabetik, penggunaan angiotensin converting enzyme inhibitors atau angiotensin receptor blockers merupakan terapi lini pertama. Dislipidemia dapat diterapi dengan HMG-CoA reductase inhibitors maupun gemfibrozil. Edukasi tentang pentingnya penghentian rokok sebaiknya diberikan pada pasien. Penanganan komplikasi sangat tergantung pada jenis komplikasi yang muncul pada pasien, misalnya anemia, gangguan metabolisme tulang, overload cairan maupun asidosis metabolik. Dengan tatalaksana terapi yang adekuat diharapkan dapat mencegah progresifitas penyakit ginjal kronis yang mana akan menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini.
72
DAFTAR PUSTAKA
Arora,P., Batuman,V. 2011. Chronic Kidney Disease. [Online] http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview [Akses 09 Oktober 2011]. Hudson, J.Q. 2008. Chronic Kidney Disease : Management of Complications in Dipiro, J.T., Talbert,R.L., Yee,G.C., Matzke, G.R.,Wells,B.G.,Posey,L.M. (eds), Pharmacotherapy : a Pathophysiologic Approach, McGraw Hills, New York. Joy,M.S., Kshirsagar,A., Franceschini,N. 2008. Chronic Kidney Disease : ProgressionModifying Therapies in Dipiro, J.T., Talbert,R.L., Yee,G.C., Matzke, G.R.,Wells,B.G.,Posey,L.M. (eds), Pharmacotherapy : a Pathophysiologic Approach, McGraw Hills, New York. Kathuria, P. 2011. Chronic Kidney Disease. [Online] http://www.emedicinehealth.com/ [Akses 09 Oktober 2011]. National Kidney Foundationa. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease : Evaluation, Classification, and Stratification, Part 2. Background. [Online] http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/ [Akses 09 Oktober 2011]. National Kidney Foundationb. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease : Evaluation, Classification, and Stratification, Part 4. Definition and Classification of Stages of Chronic Kidney Disease. [Online] http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/ [Akses 09 Oktober 2011]. National Kidney Foundation, 2011. Chronic Kidney Disease (CKD). [Online] http://www.kidney.org/kidneydisease/ckd/index.cfm [Akses 18 Oktober 2011]. National Institute for Health and Clinical Excellence. 2008. Chronic Kidney Disease : Early Identification and Management of Chronic Kidney Disease : Early Identification and Management of Chronic Kidney Disease in Adults in Primary and Secondary Care. NICE Clinical Guideline 73 : Developed by the National Collaborating Centre for Chronic Conditions. Pai, A.B., Conner, T.A. 2009. Chronic Kidney Disease. In Koda-Kimble, M.A., et all. (eds) Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs, 9th Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Tomson et all. 2005. Chronic Kidney Disease in Adults : UK Guidelines for Identification, Management and Referral. Department of Health for England, United Kingdom.
73
BAB IV FARMAKOTERAPI STROKE ISKEMIK
Oleh : DEWA AYU SWASTINI, S.F.,M.FARM.,APT. 197905162006042002
1. Indikator Pencapaian
: Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan definisi stroke iskemik, etiologi dan patofisiologi, manifestasi klinik serta tatalaksana terapi pada pasien stroke iskemik
2. Materi Pokok
: 2.1. Pendahuluan 2.2. Pengenalan Penyakit Stroke Iskemik 2.3. Tatalaksana Terapi Akut Stroke Iskemik 2.4. Tatalaksana Terapi Pencegahan Serangan Ulang Stroke Iskemik 2.5. Penutup
74
A. PENDAHULUAN
Stroke merupakan penyebab kematian kedua di dunia dan merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat, dibawah penyakit kardiovaskular dan seluruh penyakit kanker. Stroke dapat berupa iskemik atau perdarahan. Laporan dari American Heart Association menunjukan angka kejadian untuk stroke iskemik adalah 88% sedangkan stroke perdarahan adalah 12% (Fagan & Hess, 2008). Stroke iskemik terjadi karena adanya sumbatan pada pembuluh darah arteri pada otak. Jika sumbatan itu sifatnya sementara maka yang terjadi adalah Transient Ischemic Attack (TIA) atau yang sering disebut sebagai stroke ringan. Stroke iskemik dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu trombotik dan embolik. Stroke trombotik terjadi apabila sumbatan pembuluh darah arteri otak disebabkan karena formasi gumpalan darah yang terbentuk langsung pada pembuluh darah otak. Stroke embolik juga disebabkan karena adanya sumbatan pada pembuluh darah arteri, namun pada kasus ini gumpalan darah (atau emboli) terbentuk disuatu tempat selain otak itu sendiri. Gumpalan darah seringkali berasal dari otak yang kemudian berjalan mengikuti aliran darah sampai akhirnya terjebak dan tidak dapat berpindah tempat lagi (Internet Stroke Center, 2010).
Gambar 1. Sumbatan pada arteri otak menyebabkan stroke iskemik (http://www.strokecenter.org/patients/about-stroke/ischemic-stroke/) Angka kematian rata – rata dalam kurun waktu 30 hari setelah serangan stroke iskemik berkisar antara 10% sampai dengan 17%. Kemungkinan outcome yang buruk setelah stroke akan meningkat seiring meningkatnya usia, adanya penyakit penyerta 75
seperti penyakit jantung iskemik dan diabetes melitus, dan dengan meningkatnya ukuran dari infark. Mortalitas pada bulan pertama setelah stroke dilaporkan bervariasi dari 2,5% pada pasien dengan infark lacunar sampai dengan 78% pada pasien dengan infark yang menempati ruang hemispere (van der Worp & van Gijn, 2007). Manajemen pasien dengan stroke iskemik beragam dan mencakup beberapa aspek perawatan yang belum diuji pada uji klinis. Berbagai hasil penelitian terbaru mengenai prosedur – prosedur terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi telah direview oleh para ahli yang kemudian dibuat suatu pedoman tatalaksana terapi pada pasien stroke iskemik. Administrasi intravena rekombinan aktivator plasminogen terbuksi tetap merupakan intervensi yang paling bermanfaat untuk penanganan darurat stroke. Beberapa intervensi lainnya misalnya administrasi intra-arteri dari agen trombolitik dan intervensi mekanis menunjukan luaran yang menjanjikan. Namun karena banyak rekomendasi berdasarkan data yang terbatas, penelitian tambahan di berbagai bidang pengobatan stroke iskemik akut sangat diperlukan (Adams & del Zoppo, 2007). Pada bab berikutnya akan dipaparkan mengenai panduan dalam tatalaksana terapi pada pasien stroke iskemik khususnya dalam bidang terapi obat beserta profil masing – masing obat yang ada dalam guidelines. Paduan tatalaksana terapi obat yang diberikan beracuan pada guidelines yang dikeluarkan oleh American Heart Association.
76
B. PENGENALAN PENYAKIT
1. Definisi Stroke iskemik mengacu pada stroke yang disebabkan oleh trombosis atau emboli. Stroke dikarakterisasi dengan hilangnya secara tiba – tiba sirkulasi darah pada suatu bagian otak, menyebabkan hilangnya fungsi neurologik pada area otak yang sama, disebut sebagai cerebrovascular accident atau sindrom stroke yang melingkupi beberapa kumpulan gejala yang berkaitan dengan kegawatdaruratan neurologik (Becker & Wira, 2010). Otak sangat bergantung pada arteri untuk membawa darah segar dari jantung dan paru – paru. Darah akan membawa oksigen dan nutrisi menuju otak dan membawa keluar karbon dioksida dan sampah selular. Apabila arteri tersumbat, sel – sel otak (neuron) tidak dapat membuat cukup energi untuk aktivitasnya dan akan berhenti beraktivitas. Apabila arteri tetap tersumbat lebih dari beberapa menit, maka sel otak akan mati. Hal inilah yang menyebabkan mengapa terapi medis untuk pasien stroke termasuk kegawatdaruratan medis (Internet Stroke Center, 2010).
2. Etiologi Stroke iskemik dapat disebabkan oleh beberapa jenis penyakit. Masalah yang paling sering adalah penyempitan pembuluh darah arteri pada leher atau pada kepala. Penyempitan tersebut disebabkan oleh atherosklerosis atau penumpukan kolesterol secara bertahap. Apabila arteri menjadi terlalu sempit, sel darah akan mengumpul dan membentuk jendalan darah pada arteri otak atau yang disebut trombosis (Internet Stroke Center, 2010).
77
Gambar 2. Sumbatan pada pembuluh darah arteri di leher (http://www.mayoclinic.com/health/medical/IM00074) Penyebab yang lebih jarang dari terjadinya trombosis termasuk policythemia, anemia sel sabit, kekurangan protein C, displasia fibromuskular pada arteri serebral, dan vasokontraksi yang panjang pada sakit kepala migrain. Proses apapun yang menyebabkan terganggunya aliran darah pada arteri serebral dapat menyebabkan stroke trombotik (misalnya trauma, thoracic aortic dissection arteritis). Kadang kala hipoperfusi distal pada arteri yang mengalami stenosis atau penyumbatan atau hipoperfusi pada wilayah perbatasan antara dua arteri serebral dapat pula menyebabkan stroke iskemik (Becker & Wira, 2010).
Gambar 3. Jendalan darah pada pembuluh darah yang mengalami atherosklerosis (http://www.strokecenter.org/patients/about-stroke/what-is-a-stroke/) Penyebab lain dari stroke adalah jendalan darah yang berasal dari jantung, yang terjadi sebagai hasil dari denyut jantung yang tidak beraturan (misalnya pada fibrilasi atrial), serangan jantung, atau abnormalitas pada katup jantung. Penyebab lainnya yang bisa menyebabkan stroke iskemik antara lain penggunaan obat – obat 78
rekreasional, luka traumatik pada pembuluh darah leher dan penyakit gangguan pembekuan darah (Internet Stroke Center, 2010).
3. Patofisiologi Pada level makroskopik, stroke iskemik seringkali disebabkan emboli ekstrakranial atau trombosis intrakranial, namun juga dapat disebabkan penurunan aliran darah otak. Pada level selular, setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak akan memicu sebuah kaskade iskemik, yang menyebabkan kematian neuron dan infark serebral (Becker & Wira, 2010). a. Emboli Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial atau kadang kala sirkulasi sisi kanan (emboli paradoksikal) dengan melewati bagian patent foramen ovale. Sumber dari
emboli kardiogenik termasuk trombus valvular (misalnya pada
stenosis mitral, endokarditis, katup prostetik), trombus mural (misalnya pada infark miokard, fibrilasi atrial, kardiomiopati terdilatasi, gagal jantung kongestif parah dan atrial myxoma. Infark miokard dihubungkan dengan 2-3% kejadian stroke emboli, yang mana sekitar 85% terjadi pada bulan pertama setelah serangan infark miokard (Becker & Wira, 2010). b. Trombosis Stroke trombosis dapat dibedakan menjadi trombosis pada pembuluh darah besar, termasuk sistem arteri karotid, atau trombosis pada pembuluh darah kecil arteri intraserebral, termasuk percabangan terhadap lingkaran Willis dan sirkulasi posterior. Tempat yang paling sering mengalami penyumbatan trombosis adalah pada titik percabangan arteri serebral, terutama pada saluran arteri carotid internal. Stenosis arteri dapat menyebabkan aliran darah turbulen, yang dapat meningkatkan resiko pembentukan trombus, atherosklerosis dan perlekatan platelet yang kesemuanya menyebabkan terbentuknya formasi jendalan darah yang mana dapat menyumbat arteri (Becker & Wira, 2010).
79
c. Gangguan aliran Gejala stroke dapat muncul akibat tidak adekuatnya aliran darah otak yang disebabkan oleh turunnya tekanan darah (khususnya penurunan tekanan perfusi serebral) atau karena hiperviskositas hematologik yang disebabkan penyakit sel sabit atau penyakit hematologik lainnya seperti multiple myeloma dan polycythemia vera. Pada kasus ini, cedera otak terjadi karena adanya kerusakan pada sistem organ lainnya (Becker & Wira, 2010).
Gambar 4. Iskemia otak akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri (http://www.strokecenter.org/patients/about-stroke/ischemic-stroke/) Adanya trombus, emboli atau gangguan aliran darah pada pembuluh arteri otak akan memicu kaskade iskemik. Dalam hitungan detik sampai menit dari hilangnya perfusi pada suatu bagian otak akan memicu terjadinya kaskade iskemik, yang apabila dibiarkan akan menyebabkan pusat area infark menjadi irreversibel dan akan dikelilingi area penumbra iskemik yang potensial reversibel. Pada level seluler, neuron yang mengalami iskemik akan mengalami depolarisasi karena ATP sudah habis dan sistem transpor ion membran mengalami kegagalan. Hasilnya terjadi influks kalsium yang memicu pelepasan sejumlah neurotransmitter, termasuk glutamat dalam jumlah yang besar, yang mana pada gilirannya akan mengaktifkan N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan reseptor eksitatori lainnya pada neuron yang lain. Neuron tersebut kemudian akan terdepolarisasi, menyebabkan influks kalsium lebih lanjut, pelepasan glutamat lagi dan amplifikasi lokal dari cerca permulaan iskemik. Influks kalsium yang massive juga mengaktivasi berbagai enzim pendegradasi, memicu perusakan membran sel dan 80
struktur penting neuron lainnya. Radikal bebas, asam arakidonat dan nitrit okside akan dibentuk pada proses ini, yang kemudian akan memicu kerusakan neuronal lebih lanjut. Dalam kurun waktu jam sampai hari setelah stroke, gen yang spesifik akan teraktivasi, memicu pembentukan sitokin dan faktor lainnya, yang pada gilirannya, akan menyebabkan inflamasi lebih lanjut dan kompromi sirkulasi mikro. Pada akhirnya penumbra iskemik akan terjadi pada proses progresif ini, tergabung pada inti infark, dalam waktu hanya beberapa jam setelah onset stroke. Tujuan utama dalam terapi stroke iskemik akut adalah untuk menjaga daerah oligemia di penumbra iskemik. Daerah oligemia dapat dijaga dengan membatasi keparahan cedera iskemik (dengan perlindungan neuronal) atau dengan mengurangi durasi iskemik (dengan memulihkan aliran darah kedaerah iskemik). Kaskade iskemik menawarkan banyak titik dimana intervensi terapi dapat dicoba. Beberapa strategi dan intervensi untuk memblok kaskade ini masih dalam penelitian. Waktu untuk dapat memulihkan aliran darah ke otak merupakan faktor yang penting, waktu juga terbukti menjadi faktor kunci dalam perlindungan syaraf. Walaupun masih dalam penelitian, agen neuroprotektif, yang mana menghambat tahap awal dari kaskade iskemik (misalnya sebagai antagonis reseptor glutamat, penghambat kanal kalsium), diharapkan akan efektif pada fase proksimal terjadinya serangan (Becker & Wira, 2010).
4. Manifestasi Klinik Gejala stroke tergantung pada bagian mana dari otak yang mengalami kerusakan. Pada beberapa kasus, seseorang kadang kala tidak sadar mereka mengalami stroke. Gejala biasanya muncul tiba – tiba tanpa adanya peringatan terlebih dahulu, atau dapat muncul datang dan pergi pada hari pertama atau kedua. Gejala biasanya parah pada serangan pertama stroke, namun perlahan memburuknya (Hoch & Zieve, 2010). Gejala defisit neurologik biasanya termasuk disphasia, disathria, hemianopia, lemah, ataksia, hilangnya sensoris dan kelalaian. Gejala dan tanda unilateral, dan level kesadaran biasanya normal atau terganggu ringan, kecuali pada beberapa kasus infark pada sirkulasi posterior (van der Worp & van Gijn, 2007). 81
Gejala
lainnya
dapat
berupa
perubahan
kewaspadaan,
perubahan
pendengaran, perubahan dalam rasa, kikuk, bingung atau kehilangan daya ingat, kesulitan menulis atau membaca, berkunang – kunang atau sensasi abnormal pada pergerakan (vertigo), kehilangan kontrol berkemih atau buang air besar, kehilangan keseimbangan, kehilangan koordinasi, rasa kebas atau kesemutan pada satu sisi tubuh, perubahan kepribadian, emosi atau mood, kesulitan untuk berjalan dan gejala lainnya tergantung pada keparahan stroke dan bagian otak yang dipengaruhi (Hoch & Zieve, 2010).
82
C. TATALAKSANA TERAPI AKUT STROKE ISKEMIK
Penanganan pasien yang mengalami stroke iskemik dimulai dari tahap penanganan sebelum masuk rumah sakit, mulai dari pengantaran pasien ke rumah sakit, penanganan selama pasien dalam perjalanan kerumah sakit, penanganan di instalasi gawat darurat, evaluasi dan diagnosis yang segera dari pasien yang mengalami stroke iskemik. Setelah pasien terdiagnosa mengalami stroke iskemik, maka pasien harus segera mendapatkan penanganan yang adekuat agar outcome klinik yang diperoleh dapat optimal. American Heart Association tahun 2007 mengeluarkan panduan dalam penanganan pasien dengan stroke iskemik akut yang berupa terapi non farmakologi dan terapi farmakologi yang dibahas pada bagian berikut ini. 1. Perawatan Suportif Umum dan Terapi Komplikasi Akut a. Aliran udara, dukungan ventilator dan tambahan oksigen Mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat sangat penting dalam penanganan iskemik serebral akut. Tujuannya adalah untuk mencegah hipoksia dan kerusakan otak yang potensial makin memburuk. Penyebab paling sering dari hipoksia adalah obstruksi sebagian jalan nafas, hipoventilasi, pneumonia aspirasi dan atelektasis. b. Temperatur Peningkatan suhu tubuh (demam) pada kondisi stroke iskemik akut dihubungkan dengan outcome neurologik yang buruk (peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas),
kemungkinan
peningkatan
kebutuhan
metabolik
sekunder,
mempengaruhi pelepasan neurotransmitter dan peningkatan produksi radikal bebas. Penggunaan antipiretik aspirin atau parasetamol berdasarkan salah satu penelitian terbukti sukses mencapai kondisi normothermia namun pada pasien dengan suhu > 380C relatif tidak berespon pada terapi. Kondisi hipotermia menunjukan efek neuroprotektif pada penelitian dan pada model cedera otak hipoksia fokal. Hipotermia dapat menunda menipisnya cadangan energi, mengurangi asidosis intraseluler, menurunkan influks kalsium menuju sel iskemik, menekan produksi radikal bebas oksigen dan pengaruh asam 83
amino
eksikatori.
Walaupun
bukti
penelitian
dan
klinis
secara
kuat
mengindikasikan induksi hipotermia dapat melindungi otak dari munculnya hipoksia atau iskemik, termasuk setelah serangan jantung, data tentang kegunaan induksi hipotermia untuk perawatan pasien dengan stroke belum tersedia. c. Monitoring dan terapi jantung Walaupun pasien dengan penyakit jantung memiliki resiko tinggi untuk stroke iskemik, iskemik miokard dan aritmia jantung merupakan komplikasi yang potensial terjadi pada pada penyakit serebrovaskular akut. Pasien dengan stroke iskemik harus mendapatkan monitor jantung paling tidak selama 24 jam pertama setelah serangan dan aritmia jantung yang serius harus ditangani. d. Hipertensi arterial Peningkatan tekanan darah sering terdeteksi pada jam – jam pertama setelah serangan stroke. Peningkatan tekanan darah > 160 mmHg terdeteksi pada > 60% pasien dengan stroke akut. Baik peningkatan maupun penurunan tekanan darah dihubungkan dengan outcome yang buruk setelah stroke. Untuk setiap 10 mmHg peningkatan > 180 mmHg, resiko perburukan neurologik akan meningkat 40% dan resiko outcome yang buruk meningkat 23%. Peningkatan tekanan darah dapat terjadi akibat stress kejadian gangguan serebrovaskular, kandung kemih yang penuh, mual, nyeri, hipertensi yang telah ada sebelumnya, respon fisiologis terhadap hipoksia atau merupakan respon akibat peningkatan tekanan intrakranial. Alasan teoritis untuk penurunan tekanan darah termasuk didalamnya adalah mengurangi pembentukan edema otak, mengurangi resiko terjadinya stroke perdarahan pada daerah infark, mencegah kerusakan vaskular lebih lanjut, mencegah terjadinya stroke ulangan yang terlalu awal. Sebagai tambahan, terapi antihipertensi yang segera diperlukan untuk merawat pasien dengan stroke yang juga mengalami stroke ensefalopati, pembedahan aorta, gagal ginjal akut, edema paru akut atau infark miokard akut. Namun yang perlu diingat adalah bahwa terapi yang agresif terhadap tekanan darah dapat memicu perburukan neurologik dengan menurunkan tekanan perfusi pada area yang mengalami iskemik di otak. 84
Pada sebagian besar pasien, penurunan tekanan darah dapat terjadi beberapa jam setelah stroke walaupun tanpa terapi medis yang spesifik. Tekanan darah dapat turun spontan pada saat pasien dipindahkan pada ruangan yang sunyi, pasien dibiarkan beristirahat, kandung kemih dikosongkan, atau nyeri dikontrol. Sebagai tambahan terapi terhadap peningkatan tekanan intrakranial juga dapat menyebabkan penurunan tekanan darah. Pendekatan penanganan hipertensi arterial pada pasien stroke iskemik akut dapat dilihat pada tabel 1. e. Hipotensi arterial Hipotensi arterial yang menetap sangat jarang ditemui pada pasien dengan stroke iskemik akut, namun bila terjadi diasosiasikan dengan peningkatan outcome yang tidak diinginkan. Berdasarkan penelitian Castillo, dkk mencatat rata – rata kejadian perburukan neurologik, outcome neurologik yang buruk atau kematian meningkat pada baseline tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau tekanan darah diastolik < 70 mmHg. Penyebab hipotensi masih terus diteliti, namun beberapa kemungkinan diantaranya disebabkan oleh pembedahan aorta, deplesi cairan, kehilangan darah, dan penurunan kardiak output yang disebabkan karena iskemia miokard atau aritmia jantung. Terapi pada hipotensi arterial antaranya dengan penggantian volume dengan normal saline dan koreksi aritmia jantung, misalnya dengan memperlambat respon ventrikular terhadap fibrilasi atrial yang cepat. Apabila tindakan ini tidak efektif, penggunaan agen vasopresor seperti dopamin dapat digunakan.
85
Tabel 1. Penangan hipertensi arterial pada pasien stroke iskemik akut Indikasi pasien memenuhi syarat untuk terapi dengan rtPA intravena atau intervensi reperfusi akut lainnya Level tekanan darah Sistolik > 185 mmHg atau diastolik > 110 mmHg Labetalol 10 sampai 20 mg IV selama 1 sampai 2 menit, dapat diulang 1 kali atau Nitropaste 1 sampai 2 inci atau Nicardipine infus, 5 mg/jam, titrasi dosis dapat dinaikkan dengan interval sampai dengan 2,5 mg/jam dengan rentang waktu tiap 5 sampai 15 menit. Dosis maksimal 15 mg/jam; bilamana tekanan darah yang diinginkan telah tercapai, turunkan menjadi 3 mg/jam Apabila tekanan darah tidak turun dan tetap > 185/110 mmHg, jangan berikan rtPA Manajemen tekanan darah selama dan setelah terapi dengan rtPA atau intervensi referfusi akut lainnya Monitor tekanan darah setiap 15 menit selama terapi sampai 2 jam berikutnya, kemudian setiap 30 menit untuk 6 jam selanjutnya, dan setiap jam untuk 16 jam berikutnya. Level tekanan darah Sistolik 180 sampai 230 mmHg atau diastolik 105 sampai 120 mmHg Labetalol 10 mg IV selama 1 sampai 2 menit, dapat diulang setiap 10 sampai 20 menit, dosis maksimum 300 mg atau Labetalol 10 mg IV diikuti infus dengan dosis 2 sampai 8 mg/menit Sistolik > 230 mmHg atau diastolik 121 – 140 mmHg Labetalol 10 mg IV selama 1 sampai 2 menit, dapat diulang setiap 10 sampai 20 menit, dosis maksimum 300 mg atau Labetalol 10 mg IV diikuti infus dengan dosis 2 sampai 8 mg/menit atau Nicardipine infus, 5 mg/jam, dapat dititrasi naik sampai mencapai efek yang diinginkan dengan menaikkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit sampai maksimum 15 mg/jam Bila tekanan darah masih tidak terkontrol, pertimbangkan natrium nitroprusside
86
f. Hipoglikemia Karena hipoglikemia dapat menunjukan gejala neurologik yang menyerupai stroke iskemik dan karena hipoglikemia itu sendiri dapat memicu cedera otak, pengukuran segera dari konsentrasi glukosa serum, dan koreksi yang cepat dari level serum glukosa yang rendah sangatlah penting. g. Hiperglikemia Hiperglikemia akan terdeteksi kira-kira pada sepertiga pasien yang masuk rumah sakit karena stroke. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan moderat dari level glukosa.
Penelitian
klinik
menunjukan
bahwa
munculnya
hiperglikemia
dihubungkan dengan outcome yang buruk setelah stroke iskemik, termasuk pada pasien yang diterapi dengan agen trombolitik. Penggunaan insulin untuk terapi hiperglikemia merekomendasikan level glukosa darah yang ingin dicapai adalah berkisar antara 80 – 140 mg/dL. Monitoring glukosa yang sering dan penyesuaian dosis insulin diperlukan dalam mencapai target kadar glukosa tersebut.
2. Trombolisis Intravena a. Recombinant tissue plasminogen activator (rtPA) Pemberian intravena dari rtPA merupakan terapi medis yang telah disetujui oleh FDA untuk perawatan pasien dengan stroke iskemik akut. Penggunaannya dapat memperbaiki outcome untuk sejumlah besar pasien yang mana dapat diterapi dalam kurun waktu 3 jam onset stroke. Terapi yang lebih awal (misalnya selama 90 menit pertama) lebih dapat menunjukan hasil outcome yang lebih baik. Terapi pada 90 – 180 menit setelah serangan juga bermanfaat. Karena adanya resiko perdarahan yang besar pada pasien dengan defisit yang parah, keputusan untuk merawat pasien dengan rtPA harus dibuat dengan hati – hati. Metode terbaik untuk mencegah komplikasi perdarahan adalah dengan pemilihan pasien yang akan diterapi dengan rtPA dengan hati – hati dan tambahan perawatan dengan observasi yang teliti serta praperlakuan awal pada pasien yang memiliki hipertensi arteri serta pemantauan yang baik. Faktor – faktor yang mempengaruhi
87
administrasi rtPA diuraikan pada tabel 2, sedangkan regimen pengobatan dengan rtPA dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 2. Karakteristik pasien dengan stroke iskemik yang dapat diterapi dengan rtPA Diagnosa stroke iskemik menyebabkan defisit neurologik yang terukur Tanda neurologis tidak boleh hilang secara spontan Tanda neurologis tidak boleh minor atau terisolasi Hati – hati penggunaannya pada pasien dengan defisit mayor Gejala stroke tidak boleh mengarah pada perdarahan subaraknoid Onset gejala < 3 jam sebelum dimulainya terapi Tidak ada riwayat trauma atau stroke sebelumnya selama 3 bulan terakhir Tidak ada riwayat infark miokard selama 3 bulan terakhir Tidak ada riwayat perdarahan gastrointestinal atau saluran kemih selama 21 hari terakhir Tidak ada riwayat pembedahan mayor selama 14 hari terakhir Tidak ada kebocoran arteri pada daerah yang tidak dapat ditekan selama 7 hari terakhir Tidak ada riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya Tekanan darah tidak meningkat (sistolik < 185 mmHg dan diatolik <110 mmHg) Tidak ada bukti perdarahan aktif atau trauma akut (patah) pada pemeriksaan Tidak minum antikoagulan oral, apabila sedang menggunakan maka INR ≤ 1,7 Bila mendapatkan heparin selama 48 jam terakhir, maka aPTT harus berada dalam rentang normal Jumlah platelet ≥ 100.000 mm3 Konsentrasi glukosa darah ≥ 50 mg/dL (2,7 mmol/L) Tidak ada kejang dengan gangguan neurologis residual postictal CT tidak menunjukan infark multilobar (hipodensitas >1/3 bagian otak) Pasien dan keluarga pasien mengerti resiko potensial dan keuntungan dari perawatan INR : international normalized ratio; aPTT : activated partial tromboplastin time
88
Tabel 3. Terapi intravena rtPA pada stroke iskemik akut Infus 0,9 mg/kg (dosis maksimum 90 mg) selama 60 menit dengan 10% dosis diberikan sebagai bolus selama 1 menit Masukan pasien ke perawatan intensif atau unit stroke untuk monitoring Lakukan penilaian neurologik setiap 15 menit selama infusi dan setiap 30 menit setelahnya selama 6 jam kemudian, kemudian tiap jam selama 24 jam setelah terapi Bila muncul gejala sakit kepala yang parah, hipertensi akut, mual atau muntah pada pasien, hentikan infus (apabila rtPA telah diberikan) dan lakukan CT scan darurat Ukur tekanan darah tiap 15 menit untuk 2 jam pertama dan setiap 30 menit untuk 6 jam berikutnya, kemudian tiap jam sampai 24 jam setelah terapi Tingkatkan frekuensi pengukuran tekanan darah apabila tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau apabila tekanan darah diastolik ≥ 105 mmHg; berikan obat antihipertensi untuk mempertahankan tekanan darah pada atau dibawah level tersebut (tabel 1) Tunda pemasangan tube nasogastrik, kateter kandung kemih atau kateter tekanan intra-arterial Lakukan CT scan lanjutan 24 jam sebelum memulai terapi antikoagulan atau antiplatelet b. Agen Trombolitik Lainnya Penelitian klinik penggunaan streptokinase dihentikan lebih awal karena resiko tinggi perdarahan yang tidak dapat diterima, dan agen ini tidak boleh digunakan. Pemberian agen trombolitik intravena termasuk reteplase, urokinase, anistreplase dan staphylokinase dapat dipertimbangkan untuk terapi pasien dengan stroke iskemik akut. Namun tidak satupun dari agen – agen tersebut yang telah diuji secara
luas
sehingga
penggunaannya
diluar
percobaan
klinis
tidak
direkomendasikan. c. Enzim Defibrogenating Ancrod, enzim yang diturunkan dari bisa ular dapat mendegradasi fibrinogen, telah diteliti dalam rangkaian penelitian klinik. Penelitian preeliminasi menunjukan bahwa terapi ancrod memperbaiki outcome setelah stroke, dengan pasien dengan
89
level fibrinogen < 100 mg/dL memiliki respon yang paling baik. Penggunaannya secara klinis diluar untuk penelitian tidak dianjurkan.
3. Trombolisis Intra-Arterial Trombolisis intra-arterial merupakan pilihan untuk pasien yang terpilih yang mengalami stroke mayor dengan durasi < 6 jam disebabkan karena penyumbatan arteri serebral tengah (middle cerebral artery) dan pasien yang tidak merupakan kandidat pemberian rtPA intravena. Pemberian terapi trombolisis intra-arterial harus dilakukan pada pusat stroke yang memiliki akses cepat ke serebralangiografi dan interventionalis yang terkualifikasi. Fasilitas ini harus dapat menentukan kriteria bagi individu mana yang dapat melakukan trombolisis intra-arterial. Penggunaan intraarterial trombolisis masuk akal untuk pasien yang memiliki kontraindikasi menggunakan trombolisis intravena, misalnya pada pasien yang baru operasi. Namun keberadaan trombolisis intra-arteri tidak boleh menyingkirkan penggunaan rtPA atau trombolisis intravena bagi mereka yang memenuhi syarat.
4. Antikoagulan Penggunaan antikoagulan yang mendesak dengan tujuan mencegah stroke ulangan dini, menghentikan perburukan neurologik, dan memperbaiki outcome setelah serangan stroke akut tidak direkomendasikan untuk terapi kondisi akut. Penggunaan antikoagulan yang segera tidak direkomendasikan untuk pasien dengan stroke sedang – berat karena peningkatan resiko komplikasi perdarahan intrakranial yang serius. Inisiasi penggunaan terapi antikoagulan dalam waktu 24 jam setelah pemberian rtPA intravena tidak direkomendasikan.
5. Antiplatelet Aspirin, tiklopidin, clopidogrel dan dipyridamole merupakan agen antiplatelet. Pemberian aspirin oral (dosis awal 325 mg) dalam kurun waktu 24 – 48 jam setelah onset stroke direkomendasikan untuk terapi pada kebanyakan pasien. Aspirin tidak boleh dipertimbangkan sebagai pengganti untuk intervensi akut lainnya dalam terapi 90
stroke, termasuk pemberian rtPA intravena. Pemberian aspirin sebagai adjunctive terapi dalam kurun waktu 24 jam setelah terapi trombolitik tidak direkomendasikan. Walaupun tiklopidin, clopidogrel dan dipiridamol telah banyak digunakan dalam penanganan sindrom koroner akut, penggunaan ketiga agen tersebut pada keadaan stroke iskemik akut belum dievaluasi. Pemberian clopidogrel sendiri atau dalam kombinasi dengan aspirin tidak direkomendasikan untuk terapi stroke iskemik akut. Penggunaan agen antiplatelet intravena seperti agen yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa diluar setting penelitian klinik masih tidak direkomendasikan karena masih dalam penelitian lebih lanjut.
6. Ekspansi Volume, Vasodilator dan Induksi Hipertensi a. Hemodilusi pada stroke iskemik akut Pasien
yang
mengalami
stroke
iskemik
diketahui
mengalami
berbagai
abnormalitas yang meningkatkan viskositas darah utuh, termasuk aktivasi leukosit, aggregasi sel darah merah dan menurunkan deformabilitas sel darah merah. Sebagai tambahan peningkatan level fibrinogen, yang mana juga meningkatkan viskositas plasma, juga tercatat. Atas dasar temuan tersebut, penelitian mengenai hemodilusi, dengan atau tanpa venesection telah dilakukan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan aliran darah ke otak dalam upaya memperbaiki perfusi penumbra iskemik. Data terbaru menunjukan hemodilusi yang disengaja, dengan atau tanpa venesection pada paktik klinik, tidak menurunkan kasus kematian atau memperbaiki outcome fungsional pada pasien yang bertahan hidup, sehingga penggunaannya tidak direkomendasikan. b. Vasodilator pada stroke iskemik akut Turunan metilxantin diketahui sebagai vasodilator yang juga memiliki aktivitas yang lain seperti menghambat aggregasi platelet, menurunkan pelepasan radikal bebas dan menghambat sintesis tromboksan A2. Adanya karakter ini, turunan metilxantin, khususnya pentoksifilin, propentofilin dan pentifilin dievaluasi penggunaannya dalam setting stroke iskemik akut. Namun penggunaannya untuk pasien stroke iskemik akut tidak direkomendasikan. 91
c. Induksi hipertensi untuk manajemen stroke iskemik akut Dalam kondisi stroke akut, pasien dapat saja memiliki jaringan otak penumbra noniskemik, yang mana mengalami gangguan perfusi namun bukan kerusakan yang irreversibel. Pada kondisi seperti ini, penurunan aliran darah otak lokal terjadi, dan arteriola
otak
akan
melebar
dalam
upaya
untuk
mengimbangi
dan
mempertahankan aliran darah pada daerah iskemik yang potensial dapat diselamatkan. Magnitudo dari perfusi yang rendah dan durasi dari iskemik merupakan variabel yang penting. Hal ini secara intuitif menarik, bahwa reperfusi dari kawasan ini oleh dilatasi kolateral leptomeningeal mungkin menguntungkan. Induksi hipertensi ditujukan untuk meningkatkan aliran darah otak untuk memperbaiki penurunan aliran darah lokal yang terjadi, menjadi suatu hal yang menarik pada percobaan eksperimental. Penelitian awal dan dengan subyek kecil menunjukan bahwa obat yang menginduksi hipertensi dapat digunakan pada manajemen beberapa pasien dengan stroke iskemik akut. Namun data dari penelitian yang lebih besar belum tersedia. Dengan demikian data efikasi dari terapi ini belum terbukti. Pemberian vasopresor untuk memperbaiki aliran darah otak menjadi rumit terkait efek samping yang mungkin timbul, termasuk miokardial iskemik, pada beberapa pasien stroke. Beberapa pasien sebaiknya tidak dirawat dengan terapi ini. Keamanan penggunaan obat yang menginduksi hipertensi untuk perawatan stroke untuk pasien dalam lingkup yang luas belum terbukti. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk terapi – terapi ini.
7. Intervensi Operasi Data keamanan dan efektifitas dari carotid endarterectomy dan prosedur operasi lainnya untuk perawatan pasien dengan stroke iskemik akut tidak cukup untuk membuat suatu rekomendasi. Prosedur operasi dapat memiliki resiko yang serius dan tidak membuat suatu perubahan seperti yang diharapkan pada outcome pasien stroke.
92
8. Intervensi Endovaskular Beberapa
intervensi
endovaskular
telah
dievaluasi
untuk
menangani
penyumbatan arteri intrakranial atau ekstrakranial yang menyebabkan stroke iskemik akut. Pilihannya termasuk angioplasti darurat dan stenting, disrupsi mekanik dari jendalan darah, dan ekstraksi trombus. Pada kebanyakan kasus, intervensi mekanik dikombinasikan dengan terapi trombolitik intravena atau intra-arteri. Area terapi endovaskular pasien dengan stroke iskemik akut menunjukan janji yang besar. Penggunaan alat untuk mengeluarkan trombus dari arteri intrakranial yang tersumbat hanya dapat dilakukan pada pusat stroke yang memilikinya dan dikerjakan oleh ahli yang membuat prosedur ini aman.
9. Kombinasi Terapi Reperfusi pada Stroke Akut Penelitian awal terapi trombolitik pada stroke iskemik akut melibatkan penggunaan agen farmakologi tunggal yang diberikan melalui intravena maupun intraarterial. Terapi trombolisis intravena maupun intra-arteri hanya dengan agen tunggal kurang efisien untuk secara tepat merekanalisasi ateri mayor otak yang tersumbat. Walau terapi itu bekerja dengan baik, rtPA intravena atau intra-arteri membutuhkan waktu paling tidak 15 sampai 30 menit untuk dapat membuka kembali pembuluh darah mayor yang tersumbat misalnya pada arteri otak tengah, dan tidak ada bukti yang menunjukan tersedianya agen trombolitik yang lebih cepat. Sumbatan pada pembuluh darah besar dari arteri karotid internal arau arteri basiler seringkali resisten terhadap 1 agen trombolisis intravena maupun intra-arteri. Penelitian klinik kemudian meneliti kombinasi antara terapi trombolisis dan agen neuroprotekstif serta kombinasi antara terapi trombolisis dengan antiplatelet. Namun demikian, sampai saat ini belum ada data yang tersedia untuk membuat suatu kesimpulan mengenai keamanan atau efikasi dari kombinasi obat untuk memperbaiki perfusi serebral. Hingga sampai saat ini, intervensi kombinasi untuk mengembalikan perfusi tidak direkomendasikan diluar area penelitian klinik.
93
10. Agen Neuroprotektif Pengobatan yang dapat membatasi efek seluler dari iskemik akut atau mengembalikan perfusi darah dapat mengurangi cedera neurologikal setelah stroke. Strategi terapetik yang potensial termasuk menahan efek dari asam amino eksikatorik, misalnya glutamat, fluks kalsium transmembran, aktivasi intraselular protease, apoptosis, perusakan oleh radikal bebas, respon inflamasi, dan perbaikan membran. Walaupun sejumlah intervensi menunjukan janji pada penelitian eksperimental, kebanyakan percobaan klinik dari terapi – terapi tersebut menunjukan hasil yang mengecewakan. Penelitian eksperimental dan klinis yang lebih besar dibutuhkan sebelum intervensi dengan suatu agen neuroprotektif yang telah diketahui efeknya dan kemudian dapat direkomendasikan untuk perawatan pada pasien dengan stroke iskemik
akut.
Beberapa
langkah
untuk
meningkatkan
penelitian
telah
direkomendasikan. Diharapkan bahwa penelitian selanjutnya dari intervensi neuroprotektif, termasuk hipotermia, dapat diteliti sendiri – sendiri atau dalam kombinasi untuk mengukur perbaikan perfusi, yang akan menunjukan keamanan dan efikasinya juga.
94
D. TATALAKSANA TERAPI PENCEGAHAN SERANGAN ULANG STROKE ISKEMIK
Jumlah pasien yang dapat bertahan hidup setelah serangan stroke iskemik maupun transient ischemic attack (TIA) meningkatkan resiko untuk mengalami stroke ulangan, yang mana merupakan sumber utama peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien. American Heart Association/American Stroke Association mengeluarkan suatu panduan tatalaksana terapi untuk pencegahan stroke pada pasien yang menderita stroke iskemik atau TIA. Tujuan panduan ini adalah untuk menyediakan rekomendasi yang berdasarkan bukti yang komprehensif dan tepat waktu untuk pencegahan stroke iskemik pada pasien yang dapat bertahan hidup setelah serangan stroke iskemik atau TIA (Sacco & Adams, 2006). 1. Antihipertensi Terapi antihipertensi direkomendasikan baik untuk pencegahan stroke ulang maupun pada pencegahan kejadian vaskular lainnya pada pasien yang mengalami stroke iskemik atau TIA pada saat diluar periode hiperakut. Karena keuntungan penggunaan antihipertensi meluas pada pasien dengan atau tanpa sejarah hipertensi, rekomendasi penggunaan antihipertensi dapat dipertimbangkan pada seluruh pasien stroke iskemik dan TIA. Target absolut level tekanan darah dan penurunan tekanan darah masih belum pasti dan harus diindividualisasi, namun rata – rata penurunan sebesar 10/5 mmHg menunjukan manfaat, tekanan darah normal oleh JNC 7 ditetapkan 120/80 mmHg. Beberapa modifikasi gaya hidup dihubungkan dengan penurunan tekanan darah dan harus dimasukan sebagai bagian terapi antihipertensi yang komprehensif. Regimen terapi obat yang optimal masih belum jelas, namun data yang tersedia mendukung penggunaan kombinasi diuretik dan ACE inhibitors. Pemilihan dari obat yang spesifik dan target harus dilakukan secara individual berdasarkan hasil review data dan pertimbangan karakter spesifik pasien (misalnya : adanya oklusi serebrovaskular ekstrakranial, gangguan ginjal, penyakit jantung dan diabetes).
95
2. Terapi Penanganan Diabetes Kontrol yang lebih ketat terhadap tekanan darah dan lipid harus dipertimbangkan pada pasien dengan diabetes. Walaupun sebagian besar kelas obat antihipertensi dapat digunakan untuk mengontrol tekanan darah, kebanyakan pasien membutuhkan lebih dari 1 agen. ACE inhibitors dan Angiotensin Receptors Blokers (ARB)
lebih
efektif
dalam
menurunkan
progresifitas
penyakit
ginjal
dan
direkomendasikan sebagai obat lini pertama pada pasien dengan diabetes mellitus. Kontrol glukosa direkomendasikan mendekati level normoglikemik pada pasien diabetik dengan stroke iskemik atau TIA untuk menurunkan komplikasi mikrovaskular dan kemungkinan resiko makrovaskular. Target untuk hemoglobin A1c harus ≤ 7%.
3. Terapi Penanganan Kolesterol Pasien strike iskemik atau TIA dengan peningkatan kolesterol, komorbid penyakit arteri koroner atau bukti sumber atherosklerosis harus dirawat sesuai dengan panduan NCEP III, yang termasuk didalamnya adalah modifikasi gaya hidup, panduan diet dan rekomendasi obat. Agen statin direkomendasikan untuk terapi penanganan kolesterol, dan target tujuan untuk menurunkan kolesterol untuk pasien dengan penyakit jantung koroner atau penyakit atherosklerosis simptomatik adalah LDL-C < 100 mg/dL dan LDL-C <70 mg/dL untuk pasien dengan resiko sangat tinggi dengan faktor resiko yang banyak. Pasien stroke iskemik atau TIA yang diperkirakan disebabkan karena adanya atherosklerotik namun tidak ada indikasi sebelumnya untuk statin (level kolesterol normal, tidak ada komorbid penyakit arteri koroner, atau tidak ada bukti atherosklerosis) masuk akal untuk dipertimbangkan mendapatkan terapi dengan agen statin untuk menurunkan resiko kejadian vaskular. Pasien stroke iskemik atau TIA dengan HDL-C yang rendah dapat dipertimbangkan untuk terapi dengan niacin atau gemfibrozil.
96
4. Penanganan Faktor Resiko yang Dapat Dimodifikasi Terapi nonfarmakologi dalam penanganan serangan ulang stroke iskemik termasuk di dalamnya adalah memodifikasi faktor – faktor resiko seperti merokok, konsumsi alkohol, obesitas dan aktivitas fisik. Rekomendasi modifikasi faktor resiko tersebut dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Rekomendasi penanganan faktor resiko yang dapat dimodifikasi Faktor Resiko Merokok
Alkohol
Obesitas
Aktivitas fisik
Rekomendasi Semua pasien stroke atau TIA yang merokok pada tahun – tahun yang lalu harus didorong dengan kuat untuk menghentikan kebiasaan merokoknya Hindari lingkungan perokok Konseling, produk nikotin, dan obat – obat oral pemutus kebiasaan merokok telah ditemukan yang terbukti efektif untuk para perokok Pasien dengan riwayat stroke iskemik atau TIA yang sebelumnya merupakan peminum berat harus berhenti atau mengurangi konsumsi alkoholnya Level ringan sampai dengan sedang dengan ≤ 2 kali minum perhari untuk wanita dan 1 kali minum per hari untuk wanita yang tidak sedang hamil dapat dipertimbangkan Pertimbangkan penurunan berat badan untuk seluruh pasien stroke iskemik atau TIA yang overweight untuk mempertahankan pencapaian indeks massa tubuh 18,5 sampai 24,9 kg/m2 dan lingkar pinggang < 35 untuk wanita dan < 40 untuk pria. Klinisi harus mendorong managemen berat badan melalui keseimbangan yang layak antara intake kalori, aktifitas fisik dan konseling tingkah laku Bagi pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang mampu melakukan aktivitas fisik, dapat dipertimbangkan melakukan paling tidak 30 menit latihan fisik dengan intensitas sedang untuk menurunkan faktor resiko dan kondisi komorbid yang mana dapat meningkatkan serangan ulang stroke. Bagi mereka dengan ketidakmampuan fisik setelah stroke iskemik, direkomendasikan melakukan regimen pelatihan terapetik yang disupervisi oleh seorang ahli
97
5. Terapi Medis untuk Pasien dengan Emboli Kardiogenik a. Fibrilasi atrial 1) Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA dengan atrial fibrilasi persisten atau paroksimal (intermiten), direkomendasikan pemberian antikoagulan warfarin dengan dosis yang disesuaikan (target INR 2,5 dengan rentang 2,0 sampai 3,0) 2) Untuk pasien yang tidak dapat menggunakan antikoagulan oral, dapat direkomendasikan pemberian aspirin 325 mg perhari. b. Infark miokard (IM) akut dan trombus ventrikular kiri 1) Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang disebabkan oleh IM akut yang mana trombus mural ventrikel kiri diidentifikasi melalui ekokardiografi atau jenis imaging kardiak lainnya, pemberian antikoagulan masuk akal, dengan tujuan INR antara 2,0 sampai 3,0 untuk paling tidak selama 3 bulan dan sampai dengan 1 tahun. 2) Aspirin harus diberikan bersamaan selama terapi antikoagulan oral pada kasus iskemik arteri koroner dengan dosis sampai dengan 162 mg/hari c. Kardiomiopati Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang mengalami dilatasi kardiomiopati, baik warfarin (INR 2,0 sampai 3,0) atau terapi antiplatelet dapat dipertimbangkan untuk mencegah kejadian ulang. d. Penyakit katup jantung 1) Penyakit rematik katup mitral a) Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang memiliki penyakit reumatik katup mitral, baik dengan atau tidak munculnya fibrilasi atrial, dianjurkan pemberian terapi warfarin jangka panjang , dengan target INR 2,5 (rentang antara 2,0 sampai 3,0). Agen antiplatelet sebaiknya tidak diberikan secara rutin sebagai tambahan untuk terapi warfarin untuk menghindari resiko perdarahan tambahan. b) Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA dengan penyakit rematik katup mitral, dengan atau tanpa munculnya fibrilasi atrial, yang mengalami emboli 98
ulang pada saat menerima terapi warfarin, dapat disarankan pemberian tambahan aspirin dengan dosis 81 mg/hari. 2) Prolaps katup mitral Untuk pasien dengan prolaps katup mitral yang mengalami stroke iskemik atau TIA, masuk akal jika diberikan terapi antiplatelet. 3) Kalsifikasi annular mitral a) Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA dan MAC tidak terdokumentasi mengalami kalsifikasi, dapat dipertimbangkan untuk diberikan terapi antiplatelet. b) Pada pasien dengan regurgitasi mitral yang disebabkan oleh MAC tanpa fibrilasi atrial, terapi dengan antiplatelet atau warfarin dapat dipertimbangkan. 4) Penyakit katup aortik Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA dan penyakit katup aortik yang tidak mengalami fibrilasi atrial, dapat dipertimbangkan pemberian terapi antiplatelet. 5) Katup jantung prostetik a) Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang memiliki katup jantung prostetik mekanik modern, penggunaan antikoagulan oral direkomendasikan, dengan target INR 3,0 (ranger 2,5 sampai 3,5). b) Untuk pasien dengan katup jantung prostetik mekanik yang mengalami stroke iskemik atau emboli sistemik pada saat mendapatkan terapi antikoagulan oral yang adekuat, pemberian tambahan aspirin 75 sampai dengan 100 mg/hari terhadap terapi antikoagulan yang tengah diberikan dan mempertahankan target INR 3,0 (rentang antara 2,5 sampai 3,5) adalah masuk akal. c) Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang memiliki katup jantung bioprostetik dengan tidak ada sumber lainnya dari tromboemboli, dapat dipertimbangkan pemberian antikoagulan warfarin (INR 2,0 sampai 3,0)
99
6. Terapi Antitrombotik untuk Stroke Noncardioembolik atau TIA (Terutama Atherosklerosis, Infark Lakunar atau Kriptogenik) a. Agen antiplatelet 1) Untuk pasien dengan stroke iskemik nonkardioembolik atau TIA, pemberian agen antiplatelet lebih direkomendasikan untuk menurunkan resiko stroke ulang dan kejadian kardiovaskular lainnya dibandingkan dengan pemberian antikoagulan oral. Aspirin (50 sampai 325 mg/hari), kombinasi aspirin dan extended release dipyridamole, dan clopidogrel merupakan pilihan untuk terapi awal. 2) Bila dibandingkan dengan aspirin, baik kombinasi aspirin dan extended-release dipyridamole dan clopidogrel tergolong aman. Kombinasi antara aspirin dan extended-release disarankan dapat sebagai ganti aspirin tunggal, dan clopidogrel dianggap dapat menggantikan aspirin tunggal berdasarkan hasil penelitian perbandingan langsung. Penggantian tersebut adalah apabila aspirin tidak dapat digunakan, karena sampai saat ini belum tersedia data yang cukup untuk membuat rekomendasi pilihan lain berdasarkan evidenve based untuk agen antiplatelet lainnya selain penggunaan aspirin. Pemilihan agen antiplatelet haruslah berdasarkan individualisasi pasien dengan berdasarkan pada faktor resiko pasien, toleransi dan karakter klinik lainnya. 3) Kombinasi aspirin dengan clopidogrel akan meningkatkan resiko perdarahan dan tidak direkomendasikan secara rutin untuk pasien stroke iskemik atau TIA 4) Untuk pasien yang alergi terhadap aspirin, pemilihan clopidogrel masuk akal 5) Untuk pasien yang memiliki stroke iskemik pada saat mendapatkan aspirin, tidak ada bukti yang menunjukan bahwa peningkatan dosis aspirin dapat memberikan manfaat tambahan. Walaupun ada agen antiplatelet alternatif untuk pasien nonkardioembolik pasien, tidak ada satu agenpun yang telah diteliti untuk pasien yang mengalami serangan ulang pada saat mendapatkan aspirin.
100
b. Antikoagulan oral Penelitian mengenai perbandingan antara warfarin dan aspirin dihentikan lebih cepat karena kekhawatiran terhadap efek samping warfarin. Penelitian ini didesain untuk mengetes effikasi warfarin dengan target INR 2 sampai dengan 3 (rata – rata 2,5) dibandingkan dengan aspirin untuk pasien dengan pemeriksaan angiografi menunjukan > 50% stenosis intrakranial. Pada saat penghentian, penggunaan warfarin menunjukan rata – rata kejadian efek samping yang lebih tinggi dan menunjukan tidak ada keuntungan melebihi aspirin.
7. Terapi untuk Pasien Stroke dengan Kondisi Spesifik Lainnya Rekomendasi terapi untuk pasien stroke dengan berbagai kondisi spesifik dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Rekomendasi untuk pasien dengan kondisi spesifik lainnya Faktor Resiko Diseksi Arterial
Rekomendasi Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA dan diseksi arterial, terapi dengan warfarin untuk 3 sampai 6 bulan atau dengan agen antiplatelet adalah wajar Setelah 3 sampai 6 bulan terapi, terapi antiplatelet jangka panjang wajar diberikan untuk sebagian besar pasien dengan stroke iskemik atau TIA. Pemberian antikoagulan setelah terapi 3 sampai 6 bulan dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami serangan iskemik ulang. Untuk pasien yang mengalami serangan iskemik ulang yang nyata walau telah mendapat terapi antitrombotik, dapat dipertimbangkan terapi endovaskular (stenting) Pasien yang gagal atau tidak merupakan kandidat untuk terapi endovaskular dapat dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan operasi
Patent Foramen Ovale
Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA dan PFO, pemberian terapi antiplatelet adalah wajar untuk mencegah kejadian ulang Pemberian warfarin wajar untuk pasien dengan resiko tinggi yang memiliki indikasi lain untuk mendapatkan antikoagulan oral misalnya mereka dengan penyakit pokok gangguan hiperkoagulasi atau adanya trombosis vena Belum ada data yang memadai untuk membuat rekomendasi mengenai penutupan PFO pada pasien dengan serangan stroke pertama dan PFO. Penutupan PFO dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan stroke kriptogenik berulang disamping terapi medis
101
Tabel 5. Rekomendasi untuk pasien dengan kondisi spesifik lainnya (lanjutan) Faktor Resiko Hiperhomosisteinemia
Rekomendasi Untuk pasien stroke iskemik atau TIA dengan hiperhomosisteinemia (level > 10 µmol/L), pemberian harian multivitamin standar adalah wajar untuk menurunkan level homosistein, memberi keamanan dan biaya yang murah. Namun tidak ada bukti pemberian multivitamin yang akan menurunkan level homosistein akan menurunkan resiko terjadinya stroke.
Keadaan hiperkoagulasi Thrombofilia bawaan
Pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang terbukti mengalami thrombofilia bawaan harus dievaluasi terhadap kemungkinan deep vein thrombosis (trombosis vena dalam), yang merupakan indikasi untuk terapi antikoagulan jangka pendek atau jangka panjang, tergantung pada keadaan klinik dan hematologik Pasien harus dievaluasi secara keseluruhan terhadap mekanisme alternatif stroke Wajar apabila terapi antiplatelet atau antikoagulan jangka panjang digunakan tanpa adanya thrombosis vena Pasien dengan sejarah kejadian ulang thrombosis, dipertimbangkan pemberian antikoagulan jangka panjang
Sindrom antibodi Antifosfolipid
dapat
Untuk kasus stroke iskemik kriptogenik atau TIA dengan antibodi antifosfolipid positif, terapi antiplatelet adalah wajar Untuk pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang memenuhi kriteria sindrom antibodi antifosfolipid dengan penyakit oklusif vena dan arteri pada beberapa organ, keguguran, dan livedo reticularis, pantas diberikan terapi antikoagulan dengan target INR 2 sampai dengan 3
Penyakit Sel Sabit
Untuk pasien dewasa dengan penyakit sel sabit dan stroke iskemik atau TIA, direkomendasikan diberikan terapi umum dengan tujuan untuk mengontrol faktor resiko dan juga terapi antiplatelet Terapi tambahan yang dapat ditambahkan termasuk transfusi darah reguler untuk menurunkan Hb S < 30% sampai 50% dari Hb total, hidroksiurea, atau operasi bypass pada kasus penyakit oklusif yang berat.
Trombosis serebral sinus vena
Untuk pasien dengan trombosis serebral sinus vena, terapi dengan heparin tidak terfraksinasi atau heparin dengan bobot molekul rendah adalah pantas bahkan bila terjadi infark perdarahan Terapi antikoagulan dapat dilanjutkan dengan agen antikoagulan oral untuk 3 sampai 6 bulan, diikuti terapi antiplatelet
102
Tabel 5. Rekomendasi untuk pasien dengan kondisi spesifik lainnya (lanjutan) Faktor Resiko Kehamilan
Rekomendasi Untuk wanita hamil dengan stroke iskemik atau TIA dan resiko tinggi mengalami kondisi tromboembolik misalnya karena koagulopati atau katup jantung mekanik, beberapa terapi pilihan berikut ini dapat dipertimbangkan : • Heparin tidak terfraksinasi dengan penyesuaian dosis selama kehamilan misalnya dengan dosis subkutan setiap 12 jam dengan monitor APTT; • Heparin dengan bobot molekul rendah dengan monitor faktor Xa selama kehamilan; atau • Heparin tidak terfraksinasi atau heparin dengan bobot molekul rendah sampai dengan minggu ke 13, diikuti dengan warfarin sampai pertengahan semester ketiga, pada saat heparin tidak terfraksinasi atau heparin dengan bobot molekul rendah digunakan kembali sampai saat melahirkan Wanita hamil dengan kondisi resiko rendah dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi dengan heparin tidak terfraksinasi atau heparin dengan bobot molekul rendah pada trimester pertama, diikuti dengan aspirin dosis rendah selama sisa kehamilan
Terapi penggantian hormon postmenopause
Untuk wanita dengan stroke atau TIA, tidak direkomendasikan untuk mendapatkan terapi penggantian hormon postmenopause
Perdarahan serebral
Untuk pasien yang mengalami perdarahan intrakranial, perdarahan subaraknoid, perdarahan subdural, semua antikoagulan dan antiplatelet harus dihentikan selama periode akut selama paling tidak 1 sampai 2 minggu setelah perdarahan dan efek antikoagulan harus dibalikan secepatnya dengan agen yang tepat (misalnya dengan vitamin K, fresh frozen plasma) Untuk pasien yang membutuhkan antikoagulan segera setelah perdarahan serebral, heparin intravena dapat lebih aman dibandingkan antikoagulan oral. Antikoagulan oral dapat digunakan kembali setelah 3 sampai 4 minggu, dengan monitoring yang ketat dan pemeliharaan INR pada titik rendah dari range terapi Keadaan khusus : Antikoagulan tidak boleh digunakan kembali pada perdarahan subaraknoid sampai dengan aneurisma yang pecah dijamin telah aman Pasien dengan perdarahan intraserbral lobar atau perdarahan mikro dan kemungkinan angiopati amiloid serebral pada pemeriksaan MRI merupakan pasien dengan resiko tinggi perdarahan intraserebral ulang apabila antikoagulan digunakan kembali Untuk pasien dengan infark perdarahan, penggunaan antikoagulan dapat diteruskan, tergantung pada skenario spesifik klinik dan indikasi dasar untuk terapi antikoagulan
103
E. PENUTUP
Panduan tatalaksana terapi pada pasien stroke iskemik pada kondisi akut dan pencegahan terhadap serangan ulang stroke iskemik pada pasien stroke iskemik atau TIA telah dipaparkan pada dua BAB sebelumnya. Masing – masing terapi harus disesuaikan dengan kondisi dan keadaan klinis pasien. Penggunaan agen – agen farmakologi terus dievaluasi untuk dapat membuat rekomendasi yang sesuai dengan evidence based. Penelitian – penelitian dilakukan untuk melengkapi penelitian yang telah ada sebelumnya agar dapat dibuat suatu rekomendasi untuk suatu terapi yang sebelumnya belum dapat dibuatkan rekomendasi. Tenaga kesehatan perlu melakukan up date terhadap panduan tatalaksana terapi ini secara berkala agar dapat diketahui rekomendasi – rekomendasi terbaru yang telah diterbitkan oleh American Heart Association/American Heart Association. Pertimbangan perbedaan populasi dan setting perawatan yang berbeda juga harus diperhatikan dalam implemantasi paduan tatalaksana terapi pasien stroke iskemik. Pedoman tatalaksana ini diharapkan dapat membantu dalam identifikasi dan membantu dalam mengatasi kesenjangan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Sebagai farmasis, pengetahuan tentang panduan tatalaksana terapi ini diharapkan dapat sebagai pedoman dalam memberikan rekomendasi terapi dan dalam melakukan suatu monitoring penggunaan obat pada pasien stroke iskemik sehingga dapat bekerjasama dengan dokter dan tenaga kesehatan lainnya demi tercapainya outcome klinik yang diharapkan pada pasien.
104
DAFTAR PUSTAKA
Adams,H.P., del Zoppo, G., Alberts, M.J., Bhatt, D.I., Brass, L., Furlan, A., et all. (2007) Guidelines for the Early Management of Adults with Ischemic Stroke : A Guideline from the American Heart Association/American Stroke Association Stroke Council, Clinical Cardiology Council, Cardiovascular Radiology and Intervention Council, and the Atherosclerotic Peripheral Vascular Disease and Quality of Care Outcomes in Research Interdisciplinary Working Group. [Online] Stroke Journal of American Heart Association 2007;38;1655-1711. Sumber : http://stroke.ahajournals.org/ [Akses 25 Oktober 2010]. Becker,J.U., Wira,C.R., Arnold (2010). Stroke Ischemic. [Online] Sumber : http://emedicine.medscape.com/ [Akses 04 November 2010]. Fagan, S.C., Hess, D.C. (2008) Stroke. Dalam : Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (eds.) Pharmacotherapy. Seventh edition. New York. McGraw-Hill. p. 380. Hoch,D.B., Zieve, D., (2010) Stroke. [Online] Sumber : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ [Akses 07 November 2010]. Internet Stroke Center (2008) Types of Stroke. [Online] Sumber : http://www.strokeassociation.org/ [Akses 04 November 2010]. Sacco,R.L, Adams,R., Albers,G., Alberts,M.J., Benavente,O., Furie,K., et all. (2006). Guidelines for Preventionof Stroke in Patients With Ischemic Stroke or Transient Ischemic Attack. [Online] Stroke Journal of American Heart Association 2006; 37; 577-612. sumber : http://stroke.ahajournals.org/cgi/content/full/37/2/577 [Akses 14 November 2010]. van der Worp,H.B., van Gijn, J. (2007) Acute Ischemic Stroke. The New England Journal of Medicine 2007;357:572-9. [Online] sumber : http://www.nejm.org/ [Akses 07 November 2010].
105
BAB V FARMAKOTERAPI STROKE PERDARAHAN
Oleh : DEWA AYU SWASTINI, S.F.,M.FARM.,APT. 197905162006042002
1. Indikator Pencapaian : Mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan definisi stroke perdarahan, etiologi dan patofisiologi, manifestasi klinik serta tatalaksana terapi pada pasien stroke perdarahan 2. Materi Pokok : 2.1. Pendahuluan 2.2. Pengenalan Penyakit Stroke Perdarahan Intraserebral 2.3. Tatalaksana Terapi Stroke Perdarahan Intraserebral 2.4. Pengenalan Penyakit Stroke Perdarahan Subaraknoid 2.5. Tatalaksana Terapi Stroke Perdarahan Subarakhnoid 2.6. Profil Obat Pasien Stroke Perdarahan 2.6 Penutup
106
A. PENDAHULUAN
American Heart Association (2009) menunjukan data bahwa rata – rata tiap 40 detik, satu orang mengalami serangan stroke di Amerika Serikat. Stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Delapan puluh tujuh persen kejadian stroke disebabkan karena iskemik, 10% karena perdarahan intraserebral dan 3% karena perdarahan subaraknoid. Kejadian stroke iskemik 10 kali lebih sering dibandingkan stroke perdarahan pada negara – negara barat, namun stroke perdarahan memiliki resiko mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik (Andersen & Olsen, 2009). Stroke perdarahan terjadi karena melemahnya pembuluh darah yang pecah dan darah keluar mengalir melingkupi otak. Darah akan menggumpal dan menekan jaringan otak. Terdapat 2 tipe stroke perdarahan yaitu perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Penyebab melemahnya pembuluh darah yang paling biasanya menyebabkan stroke perdarahan antaralain adalah aneurisma dan malformasi arteriovenous (American Stroke Association, 2010).
Gambar 1. Macam stroke perdarahan
Stroke perdarahan subaraknoid merupakan stroke dengan tingkat kematian yang tinggi, yaitu sekitar 51% (van Gijn & Rinkel, 2001). Kematian pada 107
pasien dapat disebabkan karena kerusakan otak yang sangat parah, terjadinya vasospasme yang dapat menyebabkan terjadinya iskemia pada jaringan otak dan dapat pula karena terjadinya perdarahan ulang pada pasien (Bederson & Connolly, 2009, Giraldo, 2007). Angka mortalitas dalam kurun 30 hari pada perdarahan intraserebral berkisar antara 35% sampai dengan 52%, dengan separuh kematian terjadi pada 2 hari pertama (Broderick & Sanders, 2007). Stroke perdarahan intraserebral merupakan jenis stroke dengan mortalitas tertinggi, dengan hanya sekitar 38% pasien yang dapat bertahan hidup selama setahun pertama setelah serangan stroke (Qureshi & Tuhrim, 2001). Buruknya luaran pada pasien stroke yang ditandai dengan tingginya mortalitas pasien dan morbiditas yang nyata pada pasien yang dapat bertahan hidup memicu penelitian – penelitian dalam penatalaksanaan stroke perdarahan. Sejumlah penelitian multicenter, prospektif, terandomisasi dan analisa prospektif cohort membawa pembaruan pada protokol perawatan pada pasien stroke perdarahan subaraknoid. Evolusi yang cepat dari terapi – terapi baru, bersamaan dengan pertimbangan praktis dan etik, memberikan pendekatan baru atas protokol yang telah ada sebelumnya (Bederson & Conolly, 2009). Penggunaan agen – agen terapi seperti nimodipine dan asam tranexamat berdasarkan penelitian dapat mencegah perburukan kerusakan neurologik dan komplikasi yang dapat terjadi pasca perdarahan subaraknoid, dengan demikian diharapkan dapat memperbaiki luaran terapi pada pasien stroke perdarahan subaraknoid (Bederson & Connolly, 2009, Fagan & Hess, 2008). Mortalitas yang tinggi pada stroke perdarahan intraserebral pada awalnya membatasi
penelitian
mengenai tatalaksana
terapi
stroke
perdarahan
intraserebral. Namun dengan makin berkembangnya bidang medis dan teknologi pada bidang kesehatan membawa banyak kemajuan pada penanganan pasien perdarahan intraserebral. Peningkatan dramatis penelitian klinis stroke perdarahan intraserebral membawa harapan yang besar untuk terapi baru dan efektif untuk pasien dengan perdarahan intraserebral. Penggunaan agen 108
antihipertensi, diuretik osmotik, insulin, antiepilepsi, Recombinant Activated Factor VII merupakan bagian dari tatalaksana terapi obat yang direkomendasikan untuk menurunkan mortalitas pada pasien perdarahan intraserebral (Broderick & Sanders, 2007). Hasil berbagai penelitian dibidang terapi obat yang dirangkum dalam panduan tatalaksana terapi pada pasien stroke perdarahan, baik perdarahan intrakranial maupun perdarahan subaraknoid dapat dijadikan pegangan bagi praktisi kesehatan dalam menangani pasien stroke perdarahan. Sebagai seorang farmasis, pengetahuan tentang tatalaksana terapi obat pada pasien stroke perdarahan dapat digunakan sebagai pegangan untuk memantau terapi obat yang diberikan pada pasien, baik untuk memantau luaran terapi, memantau masalah terkait penggunaan obat, penyesuaian terapi pada pasien dengan kondisi khusus, dan monitoring penggunaan obat.
109
B. PENGENALAN PENYAKIT STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL
1. Definisi Perdarahan intraserebral terjadi apabila pembuluh darah yang lemah pada otak pecah sehingga darah keluar menuju parenkim otak. Adanya darah pada parenkim otak dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan yang dilingkupinya (Fagan & Hess, 2008).
Gambar 2. Pecahnya pembuluh darah yang lemah pada otak Perdarahan
intraserebral
dan
edema
yang
menyertainya
akan
mengganggu dan menekan jaringan otak, menyebabkan gangguan neurologik. Substantial displacement dari parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan potensial menyebabkan sindrome herniasi yang fatal (Liebeskind, 2010). Tekanan yang meningkat secara tiba – tiba dapat menyebabkan pasien mengalami kehilangan kesadaran atau kematian. Perdarahan intraserebral biasanya muncul pada bagian tertentu pada otak, termasuk didalamnya ganglia basalis, cerebellum, batang otak atau korteks (Internet Stroke Center, 2010).
2. Etiologi Penyebab yang paling sering dari perdarahan intraserebral adalah tekanan darah tinggi (hipertensi). Hipertensi itu sendiri kadang kala tidak 110
menunjukan suatu gejala tertentu, sehingga banyak pasien dengan perdarahan intraserebral tidak mengetahui mereka memiliki tekanan darah tinggi, atau bahwa tekanan darah tinggi yang dialami memerlukan terapi. Penyebab perdarahan intraserebral yang lebih jarang termasuk trauma, infeksi, tumor, defisiensi faktor pembekuan darah dan abnormalitas pada pembuluh darah misalnya seperti malformasi arteriovenous (Internet Stroke Center, 2010). Perdarahan intraserebral kemudian dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam berdasarkan pada penyebab yang mendasari terjadinya perdarahan yaitu primer dan sekunder. Perdarahan intraserebral primer terjadi pada 78% - 88% kasus perdarahan intraserebral, disebabkan karena pecahnya pembuluh darah kecil secara spontan yang disebabkan karena hipertensi kronik atau amyloid angiopathy. Perdarahan intraserebral sekunder merupakan kejadian minoritas yang terjadi pada pasien perdarahan intraserebral yang dihubungkan dengan adanya abnormalitas pembuluh darah, misalnya malformasi arteriovenous dan aneurisma, tumor atau gangguan koagulasi (Qureshi & Tuhrim, 2001).
3. Patofisiologi Perdarahan intraserebral nontraumatik paling banyak terjadi dikarenakan efek tekanan darah tinggi yang merusak dinding pembuluh darah (misalnya pada hipertensi, eklampsia, penyalahgunaan obat), namun juga dapat dikarenakan gangguan autoregulator dengan aliran darah otak yang berlebihan (misalnya pada gangguan reperfusi, paparan dingin), pecahnya aneurisma atau malformasi arteriovenous, arteriopati (misalnya pada angiopati amiloid serebral, penyakit moya – moya), perubahan hemostasis (misalnya pada trombolisis, penggunaan antikoagulan), perdarahan nekrosis (misalnya pada tumor dan infeksi) atau gangguan aliran darah vena (misalnya pada trombosis vena serebral). Trauma tulang tengkorak otak baik yang tidak terpenetrasi maupun terpenetrasi juga merupakan penyebab perdarahan intraserebral yang sering terjadi Hipertensi kronis menyebabkan vaskulopati pembuluh darah kecil yang dikarakterisasi 111
dengan lipohyalinosis, nekrosis fibrinoid dan berkembangnya aneurisma CharcotBouchard
mengakibatkan
penetrasi
arteri
sepanjang
otak
termasuk
lenticulostriates, thalamoperforators, cabang paramedian dari arteri basilar, arteri cerebral superior dan arteri cerebelar anterior inferior. Tempat terjadinya perdarahan intraserebral yang paling sering adalah pada ganglia basalis (4050%), lobar regions (20-50%), thalamus (10-15%), pons (5-12%), cerebellum (510%) dan bagian batang otak lainnya (1-5%) (Liebeskind, 2010). Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan darah keluar menuju otak dan membentuk hematoma. Munculnya hematoma menyebabkan terjadinya edema dan kerusakan pada parenkim. Cairan mulai berkumpul secara cepat pada daaerah sekeliling hematoma, dan edema biasanya akan menetap sampai dengan 5 hari, dan masih dapat dipantau keberadaannya sampai dengan 2 minggu setelah serangan stroke. Edema yang pertama terjadi disekeliling hematoma disebabkan karena pelepasan dan akumulasi dari protein serum osmotik aktif yang berasal dari gumpalan darah. Edema vasogenik dan edema sitotoksik kemudian muncul mengikuti edema awal karena terjadinya gangguan pada sawar darah otak, kegagalan pompa natrium, dan kematian neuron. Terjadinya iskemia serebral pada wilayah disekitar hematoma terjadi karena mediasi dari produk darah dan plasma yang memediasi proses sekunder yang dimulai segera setelah perdarahan intraserebral. Kematian neuron pada area disekitar hematoma utamanya terjadi karena nekrosis karena munculnya program kematian sel (apoptosis) karena ekspresi faktor- B pada nukleus (Qureshi & Tuhrim, 2001).
4. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik klasik dari perdarahan intraserebral adalah defisit neurologik fokal dengan onset yang tiba – tiba yang terus menunjukan perkembangan tiap menitnya sampai dengan beberapa jam kemudian yang disertai dengan sakit kepala yang berat, mual, muntah, penurunan keasadaran 112
dan peningkatan tekanan darah > 220 mmHg. Perkembangan awal dari defisit neurologik dan penurunan kesadaran terjadi pada sekitar 50% pasien. Defisit neurologik berkembang seiring dengan perjalanan perdarahan yang terjadi dan pelebaran dari hematoma pada jama- jam pertama setelah serangan. Bila dibandingkan dengan pasien stroke iskemik, kejadian sakit kepala dan muntah 3 kali lebih sering terjadi sebagai gejala serangan (Sahni & Weinberger, 2007, Morgenstern & Hemphill, 2010).
113
C. TATALAKSANA TERAPI STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Guidelines dari American Heart Association/American Stroke Association tahun 2007 memberikan rekomendasi mengenai penatalaksanaan pada pasien yang mengalami stroke perdarahan intraserebral spontan. Terapi potensial untuk perdarahan
intraserebral
termasuk
menghentikan
dan
memperlambat
perdarahan awal selama jam – jam pertama setelah onset serangan, menghilangkan darah dari parenkim atau ventrikel untuk mengeliminasi faktor mekanik dan kimia yang dapat menyebabkan kerusakan otak, menangani komplikasi adanya darah pada otak termasuk peningkatan tekanan intraserebral dan penurunan perfusi serebral serta terapi suportif yang baik untuk pasien dengan kerusakan otak yang parah. Guidelines ini kemudian diperbarui pada tahun 2010 berisi informasi – informasi tambahan mengenai tatalaksana terapi pada pasien stroke perdarahan intraserebral dan perbaikan atas rekomendasi yang telah ada sebelumnya berdasarkan hasil penelitian terbaru. Penanganan pasien stroke merupakan penanganan medis gawat darurat, dimana perlu diperoleh informasi riwayat waktu munculnya gejala serangan (atau waktu terakhir dimana pasien normal) dan informasi mengenai riwayat penyakit serta riwayat penggunaan obat. Hal ini akan membantu mengetahui penyebab terjadinya serangan stroke perdarahan. Penanganan gawat darurat pada pasien perdarahan intraserebral antaralain intervensi bedah syaraf untuk pengangkatan hematoma, drainase ventrikular eksternal atau monitoring invasif dan terapi tekanan intrakranial, penangangan tekanan darah, intubasi dan pengembalian gangguan koagulasi (Morgenstern & Hemphill, 2010).
114
1. Terapi Non Farmakologi Ditujukan untuk penanganan hematoma yang terjadi dan penanganan peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya hematoma. a. Elevasi kepala pada posisi tidur sebesar 300 meningkatkan aliran keluar vena jugular dan menurunkan tekanan intrakranial. Kepala harus berada pada garis tengah dan menghadap atas, hindari kepala menoleh kearah samping kiri atau kanan. Peningkatan posisi kepala pada pasien hipovolemia sebaiknya dihindari untuk mencegah penurunan tekanan darah (Broderick & Sanders, 2007). b. Drainase cairan serebrospinal dengan ventrikulostomi sebaiknya dinilai dengan hati – hati terkait dengan resiko infeksi dan perdarahannya. Intraventrikular kateter bilamana digunakan untuk monitor tekanan intrakranial, drainase cairan serebrospinal merupakan metode yang efektif untuk menurunkan tekanan intrakranial, khususnya dalam penanganan hidrosefalus (Broderick & Sanders, 2007). c. Operasi untuk pasien perdarahan intraserebral yang paling banyak diteliti adalah kraniotomi. Operasi biasanya ditujukan untuk pasien dengan perdarahan otak > 3 cm yang mengalami perburukan neurologik atau pasien yang mengalami penekanan batang otak dan/atau hidrosefalus karena kerusakan ventrikular dimana operasi penghilangan perdarahan harus dilakukan sesegera mungkin (Broderick & Sanders, 2007). d. Sebagai profilaksis untuk mengurangi munculnya asimptomatik deep vein thrombosis pasca perdarahan intraserebral, berdasarkan penelitian diketahui bahwa kompresi pneumatik berselang yang dikombinasikan dengan stoking elastis menunjukan keunggulan dibandingkan penggunaan stoking elastik sendiri (Morgenstern & Hemphill, 2010).
115
2. Terapi Farmakologi a. Penanganan Tekanan Darah Penanganan peningkatan tekanan darah akut perlu dilakukan pada pasien perdarahan intraserebral karena peningkatan tekanan darah dapat meningkatkan resiko melebarnya perdarahan dari pecahnya arteri kecil dan arteriola selama jam – jam pertama setelah serangan (Broderick & Sanders, 2007). Mekanisme patofisiologi yang potensial termasuk aktivasi stress pada sistem neuroendokrin (sistem syaraf simpatetik, sumbu reninangiotensin atau sistem glukokortikoid) dan peningkatan tekanan intrakranial (Morgenstern & Hemphill, 2010). Level optimal dari tekanan darah pasien harus didasarkan pada faktor individual seperti hipertensi kronis, tekanan intrakranial, usia, dugaan penyebab perdarahan dan interval sejak onset serangan. Beberapa agen anhtihipertensi yang digunakan pada perdarahan intraserebral antara lain labetalol, nicardipine, esmolol, enalapril, hydralazine, nipride dan nitroglycerin (Broderick & Sanders, 2007). Guidelines 2010 memberikan rekomendasi bahwa pada pasien yang menunjukan tekanan darah sistolik 150 – 220 mmHg, penurunan tekanan darah sistolik akut menjadi 140 mmHg kemungkinan masih aman. Secara lebih jelas prinsip penurunan tekanan darah dapat dilihat pada tabel 1 (Morgenstern & Hemphill, 2010).
116
Tabel 1. Prinsip penurunan tekanan darah pada pasien perdarahan intraserebral 1. Bila tekanan darah sistolik > 200 mmHg atau tekanan arteri rata – rata > 150 mmHg, pertimbangkan penurunan tekanan darah secara agresif dengan infus intravena kontinu, dengan monitoring tekanan darah secara berulang setiap 5 menit. 2. Bila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau tekanan rata – rata arteri > 130 mmHg
dan
ada
kemungkinan
peningkatan
tekanan
intrakranial,
pertimbangkan monitoring tekanan intrakranial dan penurunan tekanan darah menggunakan obat intravena secara berselang atau secara terus menerus sambil mempertahankan tekanan perfusi serebral ≥ 60 mmHg 3. Bila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau tekanan arteri rata – rata > 130 mmHg
dan
tidak
ada
bukti
peningkatan
tekanan
intrakranial,
pertimbangkan penurunan tekanan darah sedang (misalnya tekanan arteri rata – rata 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg) menggunakan obat intravena secara berselang atau secara terus – menerus untuk mengontrol tekanan darah dan periksa ulang klinis pasien setiap 15 menit.
b. Terapi untuk peningkatan tekanan intrakranial 1) Analgesik dan sedasi : Sedasi intravena dibutuhkan pada pasien yang tidak
stabil
yang
mana
mendapatkan
intubasi
untuk
mempertahankan ventilasi dan mengontrol aliran udara bersamaan dengan prosedur lainnya. Pemberian sedasi harus dititrasi untuk meminimalkan nyeri dan peningkatan pada tekanan intrakranial, yang membutuhkan evaluasi terhadap status klinik pasien. Agen yang digunakan untuk sedasi adalah propofol, etomidate atau modazolam secara intravena dan morfin atau fentanil untuk analgesik dan efek antitusif. 2) Blokade neuromuskular : aktivitas otot mungkin saja meningkatkan tekanan intrakranial melalui peningkatan tekanan intratorak dan 117
obstruksi
aliran
keluar
vena
serebral.
Profilaksis
blokade
neuromuskular dipertimbangkan bila pasien tidak responsif terhadap analgesik dan sedasi 3) Terapi osmotik : Agen yang paling sering digunakan adalah manitol, suatu agen asmotik intravaskular yang dapat menarik cairan baik pada jaringan otak yang mengalami udem maupun yang tidak. Manitol menurunkan viskositas darah yang menyebabkan refleks vasokontriksi
dan
penurunan
cairan
serebrovaskular.
Target
osmolaritas serum direkomendasikan sebesar 300 sampai 320 mOsm/kg. Penggunaan larutan saline hipertonik menunjukan penurunan tekanan intrakranial pada berbagai kondisi. 4) Koma barbiturat : barbiturat dosis tinggi efektif dalam menurunkan hipertensi intrakranial yang berulang namun tidak efektif atau memiliki potensi yang membahayakan sebagai terapi lini pertama atau profilaksis pada pasien dengan cedera otak (Broderick & Sanders, 2007). c. Kontrol glukosa pada pasien diabetik maupun nondiabetik diperlukan karena kondisi hiperglikemia diasosiasikan dengan outcome yang buruk pada pasien. Insulin dapat digunakan pada kondisi akut maupun setelah serangan untuk menjaga target glukosa lebih rendah dari 300 mg/dL (Broderick & Sanders, 2007). Kadar glukosa harus selalu dipantau dan kondisi
normoglikemik
sangat
direkomendasikan
(Morgenstern
&
Hemphill, 2010). d. Obat antiepilepsi yang tepat harus digunakan untuk menangani seizure pada pasien dengan perdarahan intracerebral. Penanganan dari seizures pada saat perawatan di rumah sakit harus termasuk penggunaan obat secara intravena untuk mengontrol kejang dengan cepat. Obat untuk pilihan pertama adalah golongan benzodiazepam seperti lorazepam atau diazepam diikuti langsung dengan fos-fenitoin atau fenitoin intravena 118
(Broderick & Sanders, 2007). Pasien yang harus diterapi dengan obat antiepilepsi hanyalah pasien dengan seizure klinik atau elektrografik seizure pada pasien dengan perubahan status mental. Monitoring EEG secara terus menerus harus dipertimbangkan pada pasien perdarahan intraserebral dengan penurunan status mental diluar proporsi tingkatan kerusakan otak. Penggunaan antikonvulsan profilaksis harusnya tidak digunakan (Morgenstern & Hemphill, 2010). e. Managemen suhu perlu dilakukan karena pasien yang mengalami demam akan memperburuk outcome pada pasien karena peningkatan suhu diasosiasikan dengan peningkatan volume homeostasis intrakranial. Antipiretik harus diberikan untuk menurunkan demam pada pasien (Broderick & Sanders, 2007). f. Hemostasis/Antiplatelets/Profilaksis Deep Vein Thrombosis Faktor resiko terjadinya perdarahan intraserebral salah satunya adalah pada pasien yang menggunakan antikoagulan oral, mereka dengan defisiensi faktor koagulasi kongenital maupun dapatan, dan mereka dengan abnormalitas platelet kualitatif atau kuantitatif. Untuk pasien yang diterapi dengan antikoagulan oral yang mengalami perdarahan yang mengancam jiwa seperti perdarahan intrakranial, rekomendasi umum adalah untuk mengkoreksi international normalized ratio (INR) sesegera mungkin (Morgenstern & Hemphill, 2010). Terdapat agen spesifik yang digunakan untuk membalikan efek dari antikoagulan tersebut. Protamine sulfat harus digunakan untuk membalikan efek heparin yang menyebabkan perdarahan intraserebral. Sedangkan untuk perdarahan intraserebral terkait penggunaan warfarin maka harus diberikan vitamin K secara intravena untuk membalikan efek dari warfarin dan untuk menggantikan faktor pembekuan darah (Broderick & Sanders, 2007). Selain vitamin K agen lain yang dapat digunakan adalah fresh frozen plasma (FFP), prothrombin complex concentrates (PCCs) dan recombinan factor VIIa 119
(rFVIIa).
Walaupun
infus
vitamin
K
dan
FFP
secara
historis
direkomendasikan, namun seringkali PCC dan rFVIIa digunakan sebagai terapi yang potensial. Rekomendasi penggunaan PCCs terus meningkat untuk membalikan efek warfarin pada kondisi antikoagulan oral yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa atau pada perdarahan intrakranial. Target INR yang diharapkan adalah ≤ 1,4. Setelah ada dokumentasi terhentinya perdarahan, dapat dipertimbangkan penggunaan heparin dengan berat molekul rendah dosis rendah secara sub kutan atau heparin tidak terfraksinasi untuk pencegahan tromboemboli vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang setelah 1 – 4 hari setelah onset (Morgenstern & Hemphill, 2010).
120
D. PENGENALAN PENYAKIT STROKE PERDARAHAN SUBARAKNOID
1. Definisi Perdarahan subaraknoid adalah kegawatdaruratan neurologik yang ditandai dengan ekstravasasi darah pada ruang subaraknoid, yang berada antara pial dan membran araknoid, yang berisi cairan cerebrospinal (Oman & Lavine, 2010, Suarez & Tarr, 2006). Penyebab utama dari perdarahan subaraknoid adalah rupturnya aneurisma intrakranial, yang mana terjadi pada 80% kasus dan memiliki tingkat kematian dan komplikasi yang tinggi. Perdarahan subaraknoid nonaneurisma, termasuk perdarahan subaraknoid perimesenphalik terisolasi, terjadi pada 20% kasus dan menunjukan prognosis yang baik dengan komplikasi neurologis yang sangat jarang ( Suarez & Tarr, 2006 ).
Gambar3 . Perdarahan subaraknoid (Internet Stroke Center, 2002)
2. Etiologi Kasus perdarahan subaraknoid yang disebabkan bukan karena trauma biasanya terjadi karena ekstravasasi darah dari pembuluh darah yang abnormal menuju permukaan otak. Hal tersebut terjadi biasanya karena adanya kebocoran atau pecahnya aneurisma atau arteriovenous malformation (AVM). Tujuh puluh tujuh persen kasus perdarahan subaraknoid terjadi karena pecahnya aneurisma. 121
Walaupun etiologi dari aneurisma cerebral masih belum diketahui, faktor kongenital dan dapatan memegang peran didalamnya. Faktor - faktor kongenital yang dapat memicu aneurisma meliputi : a. Faktor keluarga, bila dalam keluarga memiliki riwayat aneurisma cerebral, kemungkinan untuk mengalami aneurisma cerebral lebih besar. b. Kejadian multiple aneurisma pada pasien perdarahan subaraknoid, pasien perdarahan subaraknoid memiliki kemungkinan sebesar 15% untuk mengalami lebih dari 1 aneurisma c. Penyakit kongenital spesifik, adanya aneurisma berhubungan dengan penyakit – penyakit spesifik misalnya Marfan syndrome, Ehlers-Danlos syndrome, fibromuscular dysplasia dan polycystic kidney disease. Faktor dapatan yang dihubungkan dengan pembentukan aneurisma antara lain : a. Atherosklerosis b. Hipertensi c. Stress hemodinamik Penyebab perdarahan subaraknoid kedua yang dapat diidentifikasi adalah pecahnya arteriovenous malformartion. AVM merupakan suatu gangguan berupa kompleks dinding vena dan arteri yang tipis sehingga lebih rapuh dari pembuluh darah yang normal. Hampir 10% kasus perdarahan subaraknoid terjadi karena AVM. AVM muncul kira – kira 4 – 5% pada populasi umum yang mana sekitar 10 – 15 % saja yang menunjukan gejala. Penyebab perdarahan subaraknoid yang lebih jarang antara lain : a. Displasia fibromuskular b. Penyakit Moyamoya c. Infeksi d. Neoplasma e. Trauma kepala f. Vaskulitis g. Perdarahan subaraknoid idiopatik (Oman & Lavine, 2010). 122
3. Patofisiologi
Gambar 4. Aneurisma pada pembuluh darah arteri Aneurisma biasanya muncul pada daerah percabangan arteri besar cerebri pada lingkaran Willis. Penanda awal dari aneurisma adalah cacat berupa benjolan kecil pada bagian tengah arteri (Oman & Lavine, 2010). Aneurisma terjadi apabila pembuluh darah yang pada mulanya normal, dimana dinding pembuluh darah mulus tanpa ada irregularitas, kemudian mengalami cacat. Cacat ini dapat terjadi karena adanya peningkatan tekanan pada dinding pembuluh darah karena tekanan hidrostatik dari denyut aliran darah dan turbulensi darah. Tekanan dari aliran darah yang melewati pembuluh darah yang mengalami cacat akan menyebabkan dinding pembuluh darah menonjol keluar. Makin besar tonjolan dinding pembuluh darah tersebut maka dinding pembuluh itu akan makin melemah dan menipis sehingga pada suatu saat tidak akan mampu lagi menahan tekanan dari aliran darah yang melewatinya sehingga mengalami robekan atau pecah (Oman & Lavine, 2010, The Toronto Brain Vascular Malformation Study Group, NY ).
123
Gambar 5. Proses terbentuknya aneurisma Kemungkinan pecahnya aneurisma tergantung pada tekanan dinding aneurisma. Bilamana aneurisma ruptur, maka darah dari pembuluh darah akan keluar menuju tengkorak yang melingkupi otak pada ruang subaraknoid secara cepat (The Toronto Brain Vascular Malformation Study Group, n.d. ). Darah yang keluar menuju ruang subarakhnoid akan mengalami suatu proses kerusakan sel yang dapat menghasilkan produk yang memicu proses inflamasi. Proses inflamasi ini akan mempengaruhi pembuluh darah besar pada lingkaran Willis dan pembuluh darah yang lebih kecil pada ruang subpial. Proses ini sangat kompleks namun akan menyebabkan gangguan distribusi darah yang adekuat pada daerah yang dipengaruhi melalui mekanisme vasospasme pembuluh darah. Vasospasme pembuluh darah akan menyebabkan iskemia otak yang seringkali tertunda sampai beberapa hari, yang mana merupakan memunculkan dan merupakan penyebab terjadinya kerusakan otak (Kirkpatrick, 2002).
4. Manifestasi Klinik Pasien yang mengalami perdarahan subaraknoid akan mengalami sakit kepala yang tiba – tiba dan bersifat intensif, nyeri pada leher, mual atau muntah. Sakit kepala yang dirasakan kadang kala dikatakan sebagai sakit kepala yang 124
paling parah selama hidup. Peningkatan tekanan yang tiba – tiba pada otak juga dapat menyebabkan hilangnya kesadaran yang tiba – tiba bahkan kematian (Internet Stroke Center, 2002).
125
E. TATALAKSANA TERAPI STROKE PERDARAHAN SUBARAKHNOID
Guidelines dari American Heart Association/American Stroke Association tahun 2009 memberikan rekomendasi mengenai penatalaksanaan pada pasien yang mengalami stroke perdarahan subaraknoid utamanya yang disebabkan oleh pecahnya aneurisma. 1. Terapi Non Farmakologi a. Fokus awal pada penatalaksanaan pasien stroke perdarahan subaraknoid adalah memastikan dan mempertahankan kecukupan aliran udara, pernafasan dan sirkulasi pasien. b. Pasien stroke perdarahan subaraknoid harus bedrest total untuk mengurangi resiko terjadinya perdarahan ulang bersamaan dengan strategi terapi lainnya. c. Metode operasi (surgical clipping) atau endovaskular (endovascular coiling) dapat dilakukan untuk menurunkan resiko perdarahan kembali setelah perdarahan subaraknoid karena pecahnya aneurisma. d. Penanganan hidrosefalus dengan pengalihan cairan serebrospinal baik sementara ataupun permanen direkomendasikan pada pasien dengan hidrosefalus kronik setelah perdarahan subaraknoid. Ventrikulostomi bermanfaat bagi pasien yang mengalami ventrikulomegali. e. Pemberian cairan hipotonik dalam volume yang besar harus dihindari setelah perdarahan subaraknoid. Monitoring status volume pasien perdarahan subaraknoid dengan menggunakan kombinasi pengukuran tekanan vena sentral, tekanan pulmoner arteri paru – paru, keseimbangan cairan dan berat badan masuk akal sama halnya dengan terapi kontraksi volume menggunakan cairan isotonis (Bederson & Conolly, 2009).
126
2. Terapi Farmakologi Terapi farmakologi untuk pasien stroke perdarahan subaraknoid antaralain
digunakan
untuk
penatalaksanaan
vasospasme,
pencegahan
perdarahan ulang, kejang, terapi hipertensi serta terapi suportif lainnya. a. Antihipertensi
:
walaupun
hubungan
hipertensi
dan
perdarahan
subaraknoid karena aneurisma belum begitu jelas, penatalaksanaan tekanan darah tinggi merupakan terapi untuk mencegah perdarahan subaraknoid selain itu direkomendasikan untuk mencegah stroke iskemik, perdarahan intracerebral, kerusakan jantung, renal dan organ lainnya. Selain itu monitoring dan kontrol tekanan darah harus dilakukan untuk menyeimbangkan resiko stroke, hipertensi yang berhubungan dengan perdarahan ulang dan untuk mempertahankan tekanan perfusi otak. b. Antifibrinolitik : walaupun penelitian yang lebih dahulu menunjukan efek keseluruhan yang negatif terhadap penggunaan antifibrinolitik, bukti terbaru menunjukan bahwa terapi awal dengan antifibrinolitik jangka pendek dikombinasikan dengan program perawatan aneurisma yang segera kemudian diikuti dengan penghentian antifibrinolitik dan pemberian profilaksis untuk mencegah hipovolemia dan vasospasme adalah masuk akal, namun memerlukan penelitian lebih lanjut. Penggunaan antifibrinolitik terutama dipertimbangkan untuk kondisi klinik tertentu, misalnya pada pasien yang memiliki resiko rendah mengalami vasospasme dan/atau mendapatkan manfaat atas penundaan operasi. c. Nimodipine : sebagai terapi vasospasme cerebral yang dimulai seiring dengan terapi awal pecahnya aneurisma, dan pada kebanyakan kasus termasuk mempertahankan sirkulasi normal volume darah dan pencegahan hipovolemia. Nimodipine oral diindikasikan untuk menurunkan luaran yang buruk terkait perdarahan subaraknoid karena pecahnya aneurisma. Penggunaan antagonis kalsium lainnya yang diberikan oral ataupun intravena hasilnya masih belum jelas. 127
d. Antikonvulsan : pemberian antikonvulsan profilaksis dapat dipertimbangkan pada periode pasca perdarahan, namun penggunaan rutin jangka panjang dari
antikonvulsan
tidak
direkomendasikan
namun
masih
dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan faktor resiko misalnya riwayat kejang sebelumnya, hematoma parenkimal, infark atau aneurisma pada arteri otak tengah. e. Fludrokortisone acetat dan cairan salin hipertonik : digunakan untuk koreksi hiponatremia(Bederson & Conolly, 2009).
128
F. PROFIL OBAT PASIEN STROKE PERDARAHAN
1. Antihipertensi Hipertensi merupakan faktor resiko baik pada perdarahan intrakranial maupun perdarahan subaraknoid. Peningkatan tekanan darah sering terjadi pada saat serangan akut stroke perdarahan. Bila peningkatan tekanan darah ini tidak segera ditangani, maka dikhawatirkan akan terjadi perburukan kondisi pada pasien stroke. Prinsip terapi penurunan tekanan darah dapat dilihat pada tabel 1. Sedangkan dosis agen – agen yang dapat digunakan untuk kontrol tekanan darah pada pasien stroke perdarahan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Dosis obat intravena yang dapat digunakan untuk mengontrol peningkatan tekanan darah pada pasien stroke perdarahan intarserebral Obat Dosis Bolus Intravena Kecepatan Infus Kontinu 5 sampai 20 mg setiap 15 2 mg/menit (maksimal 300
Labetalol
mg/hari)
menit Nicardipine
-
Esmolol
250 µg/kg IVP loading dose
Enalapril
1,25 sampai 5 mg IVP setiap
5 sampai 15 mg/jam 25 sampai 300 µg/kg menit -
6 jam* Hydralazine
5 sampai 20 mg IVP setiap 30
1,5 sampai 5 µg/kg menit
menit Nipride
-
0,1 sampai 10 µg/kg menit
Nitroglycerin
-
20 sampai 400 µg/menit
Keterangan : IVP indicates intravenous push * Karena resiko presipitasi penurunan tekanan darah, tes dosis pertama enalapril harus dimulai dari 0,625 mg a. Labetalol dan esmolol Labetalol dan esmolol merupakan antihipertensi yang masuk dalam golongan beta bloker. Labetalol bekerja memblok pada reseptor beta 1, alfa dan beta 2 adrenergik sehingga menurunkan tekanan darah. Sedangkan esmolol 129
merupakan obat dengan aksi singkat yang secara selektif memblok reseptor beta 1 dengan efek yang sangat kecil atau tidak berefek pada reseptor beta 2. Esmolol berkhasiat khususnya pada pasien dengan peningkatan tekanan arteri, utamanya bila ada rencana untuk operasi. Esmolol menunjukan penurunan episode nyeri dada dan kejadian klinis kardiak dibandingkan dengan plasebo. Dapat dihentikan secara tiba – tiba bila dibutuhkan. Berguna untuk pasien yang kemungkinan mengalami komplikasi dari beta bloker, utamanya mereka yang memiliki penyakit saluran nafas yang reaktif, disfungsi ventrikel kiri ringan – sedang, dan/atau penyakit pembuluh darah perifer (Nassisi, 2010). b. Enalapril Enalapril termasuk dalam golongan angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEI) yang menghambat konversi dari angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACEI. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi kalium (Katzung, 2003). Enalapril intravena merupakan pilihan yang baik karena tidak memiliki efek yang tidak diinginkan pada tekanan intrakranial maupun autoregulasi aliran darah lokal otak (Broderick, 1996). c. Nicardipine Nicardipine termasuk kelompok antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium yang menghambat influks kalsium pada sel otot pembuluh darah dan miokard (Katzung, 2003). Penelitian Deryke dan kawan – kawan tahun 2008 mengenai perbandingan antara nicardipine dan labetalol untuk managemen hipertensi akut yang mengikuti stroke memberikan kesimpulan bahwa nicardipine memberikan alternatif terhadap penggunaan labetalol dengan tingkat toleransi yang sama dan memberikan kontrol tekanan darah yang lebih seragam dibandingkan labetalol. 130
d. Hydralazine, nipride (nitroprusside Na) dan nitroglycerin Hydralazine, nitroprusside dan nitroglycerin merupakan golongan vasodilator. Seluruh vasodilator berguna untuk penanganan hipertensi melalui relaksasi otot polos dari arteriola, dengan demikian akan menurunkan tahanan vaskular sistemik. Hydralazine bekerja dengan mendilatasi arteriola namun tidak pada vena. Nitroprusside Na selain mendilatasi arteriola juga merelaksasi vena (Katzung, 2003). Nitroprusside merupakan agen yang dianjurkan bila peningkatan tekanan darah lebih tinggi (misalnya pada peningkatan tekanan diastolik lebih dari 130 mmHg). Walaupun secara teoritis nitroprusside dapat meningkatkan tekanan intrakranial karena merupakan vasodilator otak, namun efek negatif tersebut belum terbukti dalam penggunaan klinis (Broderick, 1996). Nitroglyserin merelaksasi semua tipe dari otot polos terlepas dari penyebab kondisi otot yang sudah ada sebelumnya. Semua bagian dari sistem vaskular dari arteri besar sampai dengan vena besar akan mengalami relaksasi sebagai respon terhadap nitroglyserin. Vena akan memberikan respon pada konsentrasi terendah, arteri pada konsentrasi yang sedikit lebih tinggi (Katzung, 2003).
2. Antikonvulsan Antiseizure yang digunakan pada penanganan kejang pada stroke perdarahan meliputi golongan benzodiazepam (lorazepam atau diazepam) dan fosfenitoin atau fenitoin. Diazepam sangat berguna untuk mengontrol kejang aktif dan harus ditambahkan dengan antikonvulsan dengan kerja yang lebih panjang, seperti fenitoin atau fenobarbital. Lorazepam juga merupakan golongan benzodiazepam dengan aksi cepat dengan waktu paruh yang agak panjang, dan juga menjadi pilihan pada berbagai tempat untuk menterapi kejang aktif. Mekanisme kerja golongan benzodiazepam adalah dengan memodulasi efek postsinaptik dari transmisi GABA-A, sehingga terjadi peningkatan inhibisi presinaptik. Efeknya muncul pada bagian sistem limbik, thalamus dan hipotalamus, untuk mendorong efek menenangkan. Fenitoin bekerja dengan 131
menstabilisasi membran neuronal dan menurunkan aktivitas kejang. Fenitoin memiliki target aksi pada motor korteks dengan demikian menghambat penyebaran aktivitas kejang. Aktivitasnya pada pusat batang otak yang bertanggung jawab pada fase tonik kejang grand mal juga dihambat oleh fenitoin. Fosfenitoin merupakan garam ester difosfonat dari fenitoin yang merupakan prodrug yang larut air dari fenitoin (Nasissi, 2010). Tabel 3. Dosis antikonvulsan pada penanganan kejang pasien stroke perdarahan Obat
Dosis
Diazepam
5 mg IV q5-10menit; dosis total tidak lebih dari 20 mg
Lorazepam
1-4 mg IV selama 2-10 menit; dapat diulang q10-15min
Fenitoin
Loading dose: 15-20 mg/kg PO/IV dalam dosis tunggal atau dosis bagi diikuti dengan 100-150 mg/dosis setelah interval 30 menit Initial dose: 100 mg (125-mg susp) IV/PO tid Dosis pemeliharaan: 300-400 mg/hari PO/IV dibagi tid, atau qd/bid bila menggunakan sediaan extended release; Tingkatkan menjadi 600 mg/hari (625 mg/hari susp) jika diperlukan; jangan lebih dari 1500 mg/24 jam Kecepatan infus tidak boleh lebih dari 50 mg/menit untuk menghindari hipotensi dan aritmia Loading dose: 15-20 mg PE/kg IV/IM dengan 100-150 mg PE/menit Dosis pemeliharaan: 4-6 mg PE/kg/d IV/IM dengan 150 mg PE/menit untuk meminimalkan resiko hipotensi
Fosfenitoin
Keterangan : PE = phenytoin sodium equivalents
3. Antifibrinolitik Antifibrinolitik merupakan agen yang merupakan inhibitor poten dari proses fibrinolisis dan dapat membalikkan kondisi yang berkaitan dengan proses fibrinolisis yang berlebihan. Asam aminocaproic dan asam tranexamat merupakan analog lisin, menekan fibrinolisis dengan penghambatan zat aktivator plasminogen dan menghambat pengikatan plasmin pada fibrin. Dosis asam 132
aminocaproic adalah 36 g/hari melalui rute peroral atau intravena dalam 6 dosis bagi (Zebian & Kazzi, 2010).
4. Barbiturat dosis tinggi Barbiturat dosis tinggi digunakan untuk penanganan peningkatan tekanan intrakranial bila dengan terapi lain tidak menunjukan adanya perbaikan. Manfaat teoritis barbiturat pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial berasal dari vasokontriksi pada daerah otak yang normal, sehingga darah mengalir ke jaringan otak yang mengalami iskemik, dan penurunan kebutuhan oksigen metabolik seiring dengan pengurangan aliran darah otak. Mekanisme lain dimana barbiturat dapat memberi efek protektif termasuk diantaranya adalah stabilisasi membran lisosom, penurunan konsentrasi kalsium intraselular, modifikasi asam amino dan pelepasan neurotransmitter, pengikatan redikal bebas, perubahan metabolisme asam lemak, penurunan produksi cairan serebrospinal, stabilisasi membran dan penurunan resiko kejang. Koma barbiturat dapat menggunakan fenobarbital dengan loading dose 10 mg/kg selama 30 menit, diikuti 5 mg/kg/jam selama 3 jam berikutnya dan kemudian infus kontinu 1 – 3 mg/kg/jam (Young & Seoung, 2008).
5. Heparin Heparin digunakan untuk pencegahan komplikasi deep vein trombosis pada
pasien
stroke
perdarahan
intrakranial.
Jenis
heparin
yang
direkomendasikan adalah heparin dengan berat molekul rendah dosis rendah secara sub kutan atau heparin tidak terfraksinasi. Kedua jenis antikoagulan tersebut merupakan inhibitor thrombin tidak langsung, dinamakan demikian karena efek antitrombotiknya terjadi karena interaksi kedua agen tersebut dengan antitrombin yang mana kemudian meningkatkan inaktivasi faktor Xa. Kedua agen tersebut juga dapat meningkatkan aksi antitrombin yang menginaktivasi trombin (Katzung, 2003). 133
6. Insulin Insulin berikatan pada reseptor membran spesifik pada jaringan target untuk mengatur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin memudahkan pemasukkan glukosa ke otot, adipose dan jaringan lain melalui transpot hexose, termasuk GLUT4. Dosis insulin ditentukan berdasarkan jenis insulin yang digunakan dan kadar glukosa pada pasien. Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan berdasarkan respon pasien terhadap dosis awal insulin yang diberikan (American Pharmacists Association, 2009).
7. Nimodipine Berdasarkan hipotesis bahwa vasospasme paling tidak juga tergantung pada influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah, antagonis kalsium dihidropiridin nimodipine diperkenalkan pada tahun 1980an sebagai agen profilaksis pada pasien yang mengalami perdarahan subaraknoid. Penelitian menunjukan nimodipine menurunkan proporsi pasien yang mengalami defisit neurologik karena iskemia yang tertunda dan luaran yang buruk sebagaimana juga jumlah kejadian infark serebral (Kronvall & PerUndren, 2009). Nimodipine dengan dosis 60 mg setiap 4 jam harus dimulai pada saat diagnosa dan diteruskan sampai dengan 21 hari setelahnya (Fagan & Hess, 2008).
8. Protamin Sulfat Protamin sulfat merupakan agen yang digunakan untuk menetralisasi efek dari antikoagulan dalam hal ini heparin. Protamin sulfat akan membentuk garam dengan heparin dengan demikian akan menetralkan efek dari heparin. Pemberian dosisnya tergantung pada jarak waktu sejak pemberian heparin yang paling akhir. Dosis sesaat setelah pemberian heparin 1 – 1,5 mg/100 U heparin IV, 30 – 60 menit setelah penghentian terapi heparin 0,5 – 0,75 mg/100 U heparin IV, bila penghentian terapi heparin lebih dari 60 menit berikan 0,250,375 mg/100 U heparin IV. Bila heparin diberikan melalui suntikan sub kutan 134
dalam, berikan 1 – 1,5 mg protamin/100 U heparin IV dan tidak lebih dari 50 mg/dosis (Nasissi, 2010).
9. Recombinant Factor VIIa Penggunaan recombinant factor VIIa (rFVIIa) untuk menghentikan proses perdarahan
dan
meminimalkan
pertumbuhan
hematoma
pada
pasien
perdarahan intrakranial masih terus diteliti. Setelah terjadinya kerusakan pembuluh darah dan inisiasi lokal oleh alur koagulasi, rFVIIa berperan dengan meningkatkan pembangkitan trombin pada permukaan platelet teraktivasi, menyebabkan pembentukan gumpalan yang stabil dan tahan terhadap lisis pada pembuluh darah yang rusak (Mayer & Brun, 2005). Penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan rFVIIa harus dilakukan sebelum dibuat suatu rekomendasi pada kelompok mana penggunaan rFVIIa dapat memberikan keuntungan (Morgenstern & Hemphill, 2010).
10. Terapi Osmotik Terapi osmotik merupakan salah satu tatalaksana terapi yang digunakan untuk menangani peningkatan tekanan intrakranial pada pasien stroke perdarahan intracerebral. Jenis terapi osmotik yang direkomendasikan oleh American Heart Association adalah manitol dan salin hipertonik. Algoritme penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial dari AHA 2010 dapat dilihat pada gambar 6.
135
Pasang monitor tekanan intrakranial dan pertahankan tekanan perfusi otak > 60 mmHg (kateter ventrikel lebih dipilih)
YA
ICP > 20 – 25 mmHg?
TIDAK
YA Drainase cairan serebrospinal (bila tersedia)
YA
Pertimbangkan CT scan ulang
ICP > 20 – 25 mmHg?
TIDAK Secara bertahap lakukan penghentian terapi
YA
Bolus Mannitol (0,25-1,0mg/kg) atau saline hipertonik 23,4% 30 mL secara bolus)
YA
ICP > 20 – 25 mmHg?
TIDAK
YA Sedasi, blokade neuromuskular, pertimbangkan hipoventilasi ringan (PaCO2 30-35 mmHg)
YA
ICP > 20 – 25 mmHg
TIDAK
YA Terapi lini kedua seperti hipotermia, hernicraniectomy, koma barbiturat
Gambar 6. Algoritme terapi tekanan intrakranial
136
a. Manitol Manitol merupakan diuretik osmotik yang secara luas digunakan untuk terapi edema serebral. Manitol diketahui dapat menurunkan tekanan intrakranial melalui mekanisme penurunan kandungan air keseluruhan dan volume cairan serebrospinal dan melalui penurunan volume darah karena vasokontriksi. Manitol juga dapat meningkatkan perfusi serebral melalui penurunan viskositas atau dengan mengubah rheologi sel darah merah. Sebagai pengikat radikal bebas, manitol memiliki efek protektif terhadap kerusakan biokimia (Bereczki & Liu, 2000). Dosis yang direkomendasikan untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial adalah 0,25-1,0mg/kg melalui intravena bolus (Morgenstern & Hemphill, 2010). b. Salin hipertonik Salin hipertonik mulai digunakan dalam pengobatan peningkatan tekanan intrakranial. Salin hipertonik memiliki keistimewaan dimana natrium klorida yang memiliki koefisien refleksi 1,0 akan lebih baik dikeluarkan secara utuh melewati sawar darah otak dibandingkan dengan manitol yang memiliki koefisien refleksi 0,9. Salin hipertonik dapat berperan dalam penurunan tekanan intrakranial melalui 2 mekanisme yaitu melalui efek langsung pada edema dan melalui perbaikan mikrosirkulasi melalui pergeseran cairan dari sel yang membengkak menuju lumen kapiler. Kedua efek tersebut bergantung pada perbedaan osmogradient antara kompartemen intraselular dan intravaskular (Kempski, 2005). Salin hipertonik diberikan secara bolus dengan konsentrasi 23,4% sebanyak 30 mL (Morgenstern & Hemphill, 2010).
137
11. Vitamin K Vitamin K merupakan vitamin larut lemak yang digunakan untuk mendukung pembentukan faktor pembekuan darah. Fitonadione dapat memblok secara kompetitif efek dari warfarin dan antikoagulan terkait. Efek klinis akan tertunda beberapa jam karena hati harus lebih dahulu mensintesis faktor – faktor pembekuan dan kadar plasma faktor – faktor pembekuan seperti faktor II, VII, IX dan X secara bertahap akan kembali. Penghitungan dosis bervariasi berdasarkan pada situasi klinis, termasuk dosis antikoagulan yang digunakan dan jenis dari antikoagulan apakah aksi pendek atau aksi panjang. Dosis untuk dewasa biasanya 10 mg secara intravena (Nasissi, 2010).
138
G. PENUTUP
Tatalaksana terapi pada pasien stroke perdarahan secara berkala dievaluasi. Penelitian – penelitian baru membawa masukan – masukan bagi tatalaksana terapi baru baik dalam bidang farmakologi maupun nonfarmakologi. Tatalaksana terapi baru akan dimasukkan ke dalam guidelines agar menjadi bahan masukan bagi para tenaga kesehatan yang menangani pasien stroke perdarahan. Dengan mengetahui tatalaksana terapi terutama terapi obat, para farmasis diharapkan dapat menilai luaran klinik pada penderita stroke peradarahan beserta monitoring kemungkinan terjadinya masalah yang terkait dengan penggunaan obat. Farmasis juga diharapkan dapat mengetahui pada tingkat mana penggunaan obat tersebut direkomendasikan digunakan untuk pasien. Dengan demikian dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya demi mendapatkan hasil yang optimal untuk pasien.
139
DAFTAR PUSTAKA
Andersen, K.K., Olsen, T.J., Dehlendorff, C., Peter, L. (2009) Hemorrhagic and Ischemic Strokes Compared. Stroke Severity, Mortality, and Risk Factors. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] 1 – 6. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 29 September 2010]. DOI: 10.1161/STROKEAHA.108.540112. American Heart Association. (2009) Heart Disease and Stroke : Statistics. [Online]. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 08 September 2009]. American Stroke Association (2010) Hemorrhagic (Bleeds) [Online] Sumber : http://www.strokeassociation.org/ [Akses 22 September 2010]. American Pharmacists Association.(2009) Drug Information Handbook. LexiComp. USA. Bederson, J.B., Connolly, E.S., Batjer, H.H., Dacey, R.G., Dion, J.E., Diringer, M.N., et all. (2009) Guidelines for Management of Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] 1 – 32. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 07 September 2009]. DOI: 10.1161/STROKEAHA.108.191395. Bereczki, D., Liu, M., do Prado, G.F., Fekete, I. (2000) Cochrane Report : A Systematic Review of Mannitol Therapy for Acute Ischemic Stroke and Cerebral Parenchymal Hemorrhage. Stroke 2000; 31; 2719-2711. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 28 Oktober 2010]. Broderick, J. (1996) Guidelines for Medical Care and Treatment of Blood Pressure in Patients with Acute Stroke. [Online] Sumber : http://www.ninds.nih.gov/ [Akses 31 Oktober 2010]. Broderick, J., Sander, C., Feldmann, E., Hanley, D., Kase, C., Krieger, D., et all. (2007) Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage in Adults : 2007 Update. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 08 September 2009]. DOI: 10.1161/STROKEAHA.107.183689. Deryke,L., Janisse, J., Coplin, W.M., Parker, D., Norris, G., Rhoney, D.H., (2008) A Comparison of Nicardipine and Labetalol for Acute Hypertension Management Following Stroke. Neurocritical Care. 2008;9(2):167-76 [Online] Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ [Akses 31 Oktober 2010]. Fagan, S.C., Hess, D.C. (2008) Stroke. Dalam : Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (eds.) Pharmacotherapy. Seventh edition. New York. McGraw-Hill. p. 380. Giraldo, E.A. (2007) Hemorrhagic Stroke. [Online]. Sumber : http://merck.html/ [Akses 08 September 2009].
140
Internet Stroke Center-Department of Neurology Washington University School of Medicine (2002) Subarachnoid Hemorrhage. [Online]. Sumber : http://www.strokecenter.org/ [Akses 22 Agustus 2010] Internet Stroke Center-Department of Neurology Washington University School of Medicine (2010) Intracerebral Hemorrhage [Online] sumber : http://www.strokecenter.org/ [Akses 22 September 2010]. Katzung, B.G. [ed.] (2003) Basic And Clinical Pharmacology, 9th Edition. [ebook]. McGraw Hill. New York. Kempski, O. (2005) Hypertonic Saline and Stroke. Critical Care Medicine 2005; 33; 1. Lippincott Williams & Wilkins. DOI: 10.1097/01.CCM.0000151046.70094.4C Kirkpatrick,P.J. (2002) Subarachnoid Haemorrhage and Intracranial Aneurysms : What Neurologists Need to Know. J Neurol Neurosurg Phychiatry. [Online] 73 : 28 – 33. Sumber : http://jnnp.bmj.com/ [Akses 24 Agustus 2010]. Kronvall,E., PerUndren, Rommer,B., Saveland,H., Cronqvist,M., Nilsson,O.G. (2009). Nimodipine in Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage : a Randomized Study of Intravenous or Peroral Administration. Journal of Neurosurgery 2009; 110. [Online] http://thejns.org/ Liebeskind, D.S. (2010) Intracranial Hemorrhage. [Online] Sumber : http://emedicine.medscape.com/ [Akses 03 Oktober 2010]. Mayer, S.A., Brun, N.C., Broderick, J., Davis, S., Diringer, M.N., Skolnick, B.E., Steiner,T. (2005) Safety and Feasibility of Recombinant Factor VIIa for Acute Intracerebral Hemorrhage. Stroke 2005;36;74-79. [Online] Sumber : http://stroke.ahajournals.org/ [Akses 03 November 2010]. Morgenstern,L.B., Hemphill,J.C., Anderson,C., Becker,K., Broderick,J.P., Connolly,E.S., et all (2010) Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Stroke Journal of American Heart Association. [Online] Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses tanggal 30 Juli 2010] DOI : 10.1161/STR.0b013e3181ec611b Nassisi, D. (2010) Stroke Hemorrhagic : Treatment and Medication. [Online]. Sumber http://emedicine.medscape.com/ [Akses 27 Oktober 2010]. Oman, J.A., Lavine, S.D. (2010) Subarachnoid Hemorrhage. [Online]. Sumber : http://emedicine.medscape.com/ [Akses 20 Agustus 2010]. Qureshi, A.I., Tuhrim, S., Broderick, J.P., Batjer, H.H., Hondo, H., Hanley, D.F. (2001) Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. The New England Journal of Medicine. [Online] N Engl J Med 2001; 344:1450-1460 Sumber : http://www.nejm.org/ [Akses 06 September 2009]. Suarez, J.I., Tarr, R.W., Selman, W.R. (2006) Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. The New England Journal of Medicine. [Online] 354, 387 – 396. Sumber : http://nejm.org/ [Akses 06 September 2009]. Sahni, R., Weinberger, J. (2007) Management of Intracerebral Hemorrhage. Vascular Health and Risk Management. [Online] 2007:3(5) 701 – 709 Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ [Akses 03 Oktober 2010]. 141
The Toronto Brain Vascular Malformation Study Group. (n.d.) Brain Aneurysms. [Online] Sumber : http://brainavm.oci.utoronto.ca/ [Akses 22 Agustus 2010] van Gijn, J., Rinkel, G.J. (2001) Subarachnoid Haemorrhage : Diagnosis, Cause and Management. Brain. [Online] 124, 249 – 278. Sumber : http://stroke.ahajournal.org/ [Akses 08 September 2009]. Young-I.K., Seung-W.P., Taek-K.N., Yong-S. P., Byung-K.M., Sung-N.H., (2008). The Effect of Barbiturate Coma Therapy for the Patients with Severe Intracranial Hypertension : A 10-Year Experience. J Korean Neurosurg Soc 44 : 141-145, 2008. [Online] Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ [Akses 02 November 2010]. Zebian,R.C., Kazzi, A.A. (2010) Subarachnoid Hemorrhage. [Online] Sumber : http://emedicine.medscape.com/ [Akses 01 November 2010]
142