BAHAN AJAR MATA KULIAH POLITIK KEHUTANAN TINJAUAN MATA KULIAH
Deskripsi Mata Kuliah
Mata kuliah Politik Kehutanan (KTM 3228) merupakan mata kuliah pilihan bebas Minat Manajemen Hutan di Fakultas Kehutanan UGM. Mata kuliah ini nantinya akan membahas dan menganalisis berbagai dinamika politik dan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan baik di tingkat nasional maupun internasional beserta implikasinya terhadap kondisi biofisik dan tata kelola kehutanan di Indonesia, menjelaskan posisi dan peran negara, masyarakat serta swasta dalam pembangunan sumberdaya hutan, memetakan pertarungan kepentingan dari berbagai aktor yang terlibat dalam pengelolaan hutan, menganalisis issuissu strategis di kehutanan dewasa ini serta merumuskan strategi pengelolaan hutan kedepan dengan memasukkan variabel-variabel sosial politik berdasarkan problematika yang sering muncul akhir-akhir ini.
Dalam penyajian mata kuliah ini nantinya, disamping mahasiswa dibekali dengan berbagai paradigma dan teori dalam ilmu politik, juga akan dilakukan diskusi terhadap berbagai kasus kehutanan yang up to date, sehingga diharapkan mahasiswa akan terbiasa untuk memahami, menjelaskan dan menganalisis kasus di kehutanan menggunakan sudut pandang ilmu politik secara sistematis dan ilmiah. Adapun kompetensi yang diharapkan dapat diraih oleh mahasiswa setelah mengikuti kuliah ini antara lain adalah : mahasiswa mampu menguasai berbagai paradigma, metodologi dan teori dalam ilmu politik secara umum, mahasiswa mampu mengenali, menguraikan dan menganalisis berbagai problematika pengelolaan hutan dengan menggunakan berbagai metodologi dan teori dalam ilmu politik yang telah dia kuasai sebelumnya, mahasiswa mampu menyampaikan hasil deskripsi dan analisis terhadap berbagai issu dan atau kasus pengelolaan hutan di tingkat nasional maupun internasional secara sistematis baik melalui lisan maupun tulisan, dan yang terakhir mahasiswa mampu merumuskan berbagai alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan dalam pengelolaan hutan dari sisi dinamika aktor, kewenangan dan kepentingan (politis) dan juga dari sisi tata kelolanya (governance).
1
Kegunaan Mata Kuliah bagi Mahasiswa
Mata kuliah ini disajikan dalam rangka membekali mahasiswa kehutanan dengan ilmuilmu sosial yang dalam hal ini adalah ilmu politik agar nantinya mereka mampu memahami, menjelaskan dan menganalisis berbagai problematika dalam pengelolaan sumberdaya hutan dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sisi politis. Hal ini penting mengingat dewasa ini persoalan di kehutanan semakin kompleks dan melibatkan sekian banyak aktor beserta kepentingannya yang masing-masing melakukan kontestasi atau perjuangan untuk mendapatkan haknya. Dengan mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa akan memiliki bekal keilmuan yang cukup untuk dapat memahami dan menganalisis dinamika politik kehutanan Indonesia maupun dunia internasional secara sistematis.
Tujuan Pembelajaran
Tujuan dari penyelenggaraan mata kuliah ini adalah memberi bekal keilmuan di bidang politik secara umum dan politik kehutanan secara khusus kepada mahasiswa agar nantinya mahasiswa memiliki senjata atau pisau untuk melakukan analisis terhadap kasus-kasus pengelolaan hutan ditingkat nasional maupun internasional secara sistematis. Selain itu juga bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk menemukan, memahami dan menjelaskan berbagai problematika pengelolaan sumberdaya hutan seperti deforestasi, degradasi hutan, penyimpangan birokrasi kehutanan dan konservasi sumberdaya hutan dari sudut pandang konsep dan teori-teori politik. Dengan demikian diharapkan nantinya mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah ini akan mampu melakukan analisis untuk menemukan berbagai alternatif solusi terhadap persoalan kehutanan dewasa ini dari sisi atau tinjauan politis.
Susunan Bahan Ajar BAB I.
Definisi dan Cakupan Konsep - Konsep dalam Politik Hutan
BAB II.
Paradigma dan Metodologi dalam Ilmu Politik
BAB III. Dinamika Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Indonesia (political point of view) BAB IV. Politik Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Hutan
2
BAB V. Politik Konservasi Sumberdaya Hutan BAB VI. Sustainable development dan Implikasinya dalam Pembangunan Hutan di Indonesia BAB VII. Demokratisasi di Bidang Kehutanan BAB VIII . Desentralisasi di Bidang Kehutanan BAB IX. Perilaku Birokrasi; Studi Kasus di Kehutanan BAB X. Good Forestry Governance BAB XI. Politik Climate Change BAB XII. Wacana dan Isu-Isu Politik Hutan di Tingkat Nasional dan Internasional
Petunjuk Penggunaan Bahan Ajar a. Terlebih dahulu mahasiswa harus memahami kompetensi atau hasil pembelajaran yang diharapkan dari mata kuliah ini dan kompetensi dari masing-masing bab atau pokok bahasan. b. Selanjutnya mahasiswa harus memahami secara baik definisi dan cakupan konsep serta teori untuk masing-masing pokok bahasan berikut contoh-contoh kasus dan penerapannya c. Mahasiswa aktif mencari dan mengembangkan teori-teori tambahan yang relevan secara mandiri dari berbagai literatur atau sumber bacaan lainnya. d. Mahasiswa aktif mencari kasus-kasus dan isu-isu kehutanan yang terbaru sebagai bahan diskusi di kelas sesuai dengan pokok bahasan di kelas tersebut e. Mahasiswa selalu melatih diri untuk menggunakan teori tersebut guna membaca dan menganalisis berbagai kasus dalam pengelolaan hutan dari kacamata teori tersebut kemudian menyajikannnya baik secara lisan maupun tertulis. f. Melaksanakan berbagai aktifitas atau tugas tambahan dari masing-masing pokok bahasan dalam rangka mendukung pencapaian kompetensi yang diharapkan seperti pembuatan paper atau tulisan ilmiah lainnya g. Memahami prosedur penilaian dari mata kuliah ini sehingga bisa mempersiapkan diri seoptimal mungkin agar memperoleh hasil yang memuaskan. h. Berusaha semaksimal mungkin menjawab berbagai kuis dan soal-soal latihan yang diberikan pada masing-masing pokok bahasan sebagai persiapan untuk menghadapi test summatif (ujian sisipan dan ujian akhir).
3
BAB I. Definisi dan Cakupan Konsep-Konsep dalam Politik Hutan Pokok Bahasan Konsep politik selalu berkaitan dengan aktor, kepentingan dan kekuasaan. Usaha dari setiap aktor untuk mewujudkan keinginan atau kepentingannya sering diartikan sebagai politik. Oleh Lasswel (dalam Varma, 2003), politik diartikan sebagai sebuah perjuangan untuk meraih sesuatu dalam keterbatasan sumberdaya. Jadi setiap bentuk pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya akan selalu bersentuhan dengan dimensi-dimensi politik. Hal ini dikarenakan sebagian sumberdaya alam bersifat terbatas dan dibutuhkan oleh sekian banyak manusia, sehingga dimungkinkan terjadi perebutan untuk mendapatkannya. Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan akan mendapatkan bagian lebih banyak dibandingkan mereka yang tidak memilikinya. Dari sinilah sering muncul adanya ketidakadilan dalam mendapatkan kemanfaatan dari sumberdaya alam yang ada. Di sisi lain, manusia sering berbuat rakus dan hilang kendali dalam aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga kadang melebihi kapasitas daya dukung sumberdaya tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya alam yang kemudian diikuti dengan munculnya dampak negatif yang dapat merugikan manusia. Dari sinilah muncul berbagai usaha manusia untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya ataupun upaya penanggulangan dampak negatif yang ditimbulkan. Dikarenakan hal ini menyangkut kepentingan banyak pihak dan melibatkan sekian banyak aktor, maka kedua usaha tersebut tidak mudah dilakukan, dan bahkan sering terjadi konflik didalamnya. Istilah politik dapat dijelaskan dengan bermacam-macam pengertian tergantung dimensi serta sudut pandang kita dalam melihatnya. Dalam dimensi keilmuan, politik menurut Roger F. Soltau dijelaskan sebagai ilmu yang mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan tersebut, hubungan antara negara dengan warga negaranya dan dengan negara lain. Sedangkan W.A. Robson menjelaskan bahwa politik merupakan ilmu yang mempelajari tentang kekuasaan dalam masyarakat (Budiardjo, 2006). Ditinjau dari dimensi praktis, Joyce Mitchell menerangkan bahwa politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya. Lebih lanjut Hoogerwerf (dalam Budiardjo, 2006) menerangkan bahwa objek dari ilmu politik adalah kebijaksanaan pemerintah, proses terbentuknya serta akibat4
akibatnya. Yang dimaksud dengan kebijaksanaan disini adalah sebuah upaya membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan. Secara umum politik juga sering ditafsirkan dengan suatu cara untuk mendapatkan, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan. Ada beberapa asumsi pokok yang terkandung dalam konsep politik menurut Philipus dan Aini (2006), yaitu :
setiap masyarakat menghadapi kelangkaan sumber daya sehingga timbul konflik saat proses penetapan distribusi
kelompok dominan dalam masyarakat ikut dalam pendistribusian tersebut melalui keputusan politik
pemerintah mengalokasikan sumberdaya langka kepada kelompok tertentu yang memiliki kemampuan menekan pemerintah lebih kuat
Politik merupakan the art of posible, karena pada kenyataannya si pembuat kebijakan menghadapi kendala antara lain watak manusia, kekuasaan, kelangkaan teknologi, kapasitas, dan lain-lain. Politik tidak bisa dipisahkan dari realitas kehidupan dan aktifitas masyarakat. Politik mencakup seluruh aktifitas baik bersifat cooperatif maupun konflik di dalam maupun diantara masyarakat (societies), yang didalamnya memuat kegiatan : pengorganisasian dan distribusi sdm, sda dan sumberdaya lain untuk kegiatan produksi dan reproduksi dalam kehidupan biologis dan sosial (Leftwich, 1984). Kemudian tentang konsep negara, ada beberapa definisi yang bisa diacu antara lain adalah menurut Harold J. Laski (dalam Budiardjo, 2006), negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Sedangkan Max Weber menjelaskan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Dari definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa negara memiliki beberapa sifat khusus yaitu sifat memaksa, monopoli dan mencakup seluruh wilayah tertentu. Birokrasi umumnya didefinisikan sebagai aktor yang menjalankan kebijakan yang diputuskan di tempat lain (Masoed, 1994). Kapasitas negara dalam menjalankan sebuah skema kebijakan pengelolaan linkungan sangat tergantung pada kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintahan yang dipunyai. Selama ini, birokrasi Weberian dianggap sebagai
5
bentuk ideal dari sebuah birokrasi yang selalu berusaha untuk diterapkan di berbagai negara berkembang. Ciri utama dari birokrasi ini antara lain adalah : adanya hierarkhi, adanya prinsip kepastian yang harus diatur berdasarkan hukum, adanya pembagian tugas, dan pola hubungan yang bersifat impersonal. Civil society merupakan suatu ruang atau space yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain seperti yang dikatakan oleh Michael Walker (1995), dan dalam ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan hubungan di antara asosiasi tersebut. Asosiasi tersebut bisa dalam bentuk bermacam-macam: ikatan pengajian, persekutuan gereja, koperasi, kalangan bisnis, rukun tetangga, rukun warga, ikatan profesi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lain sebagainya. Hubungan yang terjadi dikembangkan atas dasar toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Jadi civil society adalah sebuah masyarakat, baik secara individual maupun secara kelompok di dalam suatu negara yang mampu berinteraksi secara independen dengan negara (Gaffar, 2006; 178-180). Kehadiran LSM yang juga dikenal dengan istilah Organisasi non Pemerintah (Non Goverment Organization/NGO) dalam sebuah masyarakat merupakan kenyataan yang tidak dapat dinafikan. Hal itu terjadi karena bagaimanapun juga kapasitas pemerintah terbatas. Tidak semua kebutuhan warga masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah, apalagi di negara-negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Dalam konteks pembangunan, tidak jarang orang membedakan antara pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan pembangunan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang dalam hal ini tentu saja LSM/NGO sebagai motor penggerak paling utama. Lembaga ini bahkan tidak jarang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dibanding lembaga pemerintah (Gaffar, 2006 ; 202). Konsep kebijakan merujuk pada pengertian kumpulan keputusan yang diambil seseorang atau kelompok dalam usaha mencapai tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut (Philipus dan Aini, 2006). Sedangkan kebijakan hutan adalah seperangkat tindakan yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh individu maupun kelompok untuk tujuan tertentu yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya hutan (Cubbage, 1993). Lasswell dan Kaplan (dalam SP Varma, 2003) menerangkan bahwa keputusan atau kebijakan merupakan hasil dari suatu pertentangan yang membentuk kekuasaan, atau merupakan hasil dari sebuah interaksi dalam arena politik. Pembuatan keputusan yang
6
rasional menyangkut tiga hal, yaitu kejelasan konsep tujuannya, ketelitian dalam perhitungan kemungkinan dan penerapan pengetahuan tentang cara dan alat-alat yang tersedia secara jitu. Kemudian menurut Christopher Hood, ada beberapa instrumen kebijakan yang harus tersedia secara baik untuk dapat menghasilkan kebijakan yang ideal, yaitu : nodality (informasi), authority (kewenangan), treasure (dana) dan organization (pelaksana). Menurut Fiorino (1995), agenda setting adalah proses membatasi berbagai macam permasalahan dalam pemerintahan menjadi lebih sempit dan terfokus pada satu issu tertentu. Hal ini merupakan sebuah proses yang komplek dimana manusia, peristiwa atau fakta dan waktu memainkan perannya secara bersamaan. Seringkali peristiwa atau fakta akan menentukan agenda kebijakan dari pemerintah, terutama issu yang dianggap strategis oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah bahwa kebijakan tentang lingkungan hidup selalu menghadapi permasalahan klasik yaitu bahwa pemerintah harus menetapkan skala prioritas kebijakan. Disana akan banyak pilihan yang harus dipertimbangkan dengan baik, misalnya pertentangan antara kepentingan domestik dengan kepentingan luar negeri, keuntungan eksploitasi dengan kelestarian ekologis, kemampuan anggaran dengan idealitas kebijakan, dan lain-lain. Teori Agenda Setting semakin berpengaruh pada saat itu karena media massa menjadi, seperti istilah Marshall MacLuhan, the extension of man, atau kepanjangan indera manusia, yang membantu manusia memahami apa yang terjadi di lingkungannya. Kejadian Tsunami, banjir, tanah longsor, gempa dan tragedi kemanusiaan lain pertama-tama dilaporkan oleh media
kepada publik. Bahkan acap kali kecepatan media untuk
menangkap isu dan menyampaikan kepada publik jauh lebih tinggi daripada jaringan birokrasi pemerintah ataupun intelijen (Nugroho R., 2007). Charles Jones dalam Fiorino (1995), menjelaskan bahwa ada tiga pola dalam agenda setting : -
pertama, pemerintah menempatkan diri sebagai pihak yang pasif dan mengakomodir sepenuhnya kepentingan sektor swasta
-
kedua, pemerintah menentukan proses atau mekanisme pengambilan kebijakan dan mendorong pihak swasta untuk berpartisipasi dalam proses penetapan prioritas kebijakan
7
-
ketiga, pemerintah memiliki otoritas sepenuhnya dalam penentuan agenda dan tujuan dari setiap kebijakan yang akan diambil
Menurut Purwo Santoso (2006), untuk melakukan evaluasi terhadap sebuah kebijakan pemerintah atau prediksi mengenai keberhasilan atau kegagalan kebijakan tersebut dalam mencapai tujuannya, dapat didekati melalui tiga perspektif, yaitu perspektif manajerial (teknokratik), konsensual (politis) dan kontekstual. Secara manajerial, sebuah kebijakan yang baik harus direncanakan, dikelola dan diekskusi sebaikbaiknya. Fokus perhatiannya adalah bagaimana kebijakan ini melengkapi dirinya dengan kejelasan dan ketepatan tahapan atau langkah baik dalam perumusan maupun implementasinya. Kemudian dalam sudut pandang konsensual (politis), suatu kebijakan harus disepakati dan dipatuhi oleh pihak-pihak yang terkait. Dalam hal ini diperlukan adanya komitmen yang kuat dari setiap stake holders yang akan menjadi pelaku maupun sasaran dari kebijakan tersebut. Dan yang terakhir dari kacamata kontekstual, bahwa sebuah kebijakan akan berhasil jika seluruh isi dan proses yang ada dalam kebijakan itu sesuai dengan konteks (struktur sosial, situasi politik, kebutuhan, kapabilitas) yang sedang berjalan. Kemudian David E. Apter (1977), menjelaskan bahwa pemerintah atau negara yang berdaulat memiliki empat fungsi input dan tiga fungsi output. Fungsi input dari pemerintah tersebut adalah sosialisasi dan rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, pengelompokan kepentingan dan komunikasi politik. Sedang fungsi outputnya adalah pembuatan aturan atau kaidah, implementasi dari kaidah dan penghakiman terhadap kaidah atau aturan main tersebut. Sistem politik merupakan berbagai macam kegiatan dan proses dari struktur dan fungsi politik. Struktur politik terdiri dari suprastruktur (the ruler/pemerintah atau penguasa)
dan
infrastruktur
(the
ruled/masyarakat
beserta
organisasi
yang
dibentuknya/ormas, orpol, pers, dll). Fungsi politik terdiri dari fungsi input (sosialisasi, rekruitmen dan komunikasi politik, agregasi dan artikulasi kepentingan) dan fungsi output (pembuatan dan pelaksanaan peraturan/kebijakan, peradilan). Dalam model sistem politik yang dikemukakan oleh David Easton, kebijakan publik dipandang sebagai tanggapan dari sistem politik atas permintaan ataupun dorongan lingkungan. Sistem politik yang dimaksudkan di sini adalah jaringan institusi dan kegiatan dalam masyarakat yang dapat menciptakan suatu keputusan atau alokasi-alokasi otoritatif. Kekuatan-
8
kekuatan yang timbul dalam lingkungan dapat mempengaruhi sistem politik disebut sebagai input yang terdiri dari demand dan support dengan fungsi pada sistem untuk mentransformasi input tersebut menjadi output. Input adalah pemasukan informasi atau sumber daya ke dalam sistem. Memory terdiri dari fasilitas dan proses menyimpan dan memanggil kembali informasi. Keputusan adalah komitmen, berdasar analisis tentang informasi yang ada dan kemampuan yang dipunyai, untuk melakukan tindakan terhadap lingkungan. Output adalah tindakan suatu sistem. Tujuan adalah apa saja yang dimaksud akan dikejar melalui tindakan itu. Terakhir feedback adalah informasi baru tentang akibat dari tindakan yang telah dilakukan, yaitu yang menjadi dasar bagi sistem itu untuk memulai siklus itu kembali. Hasil Pembelajaran Dapat memahami dan menjelaskan : (1) Definisi dan cakupan konsep-konsep dalam politik (2) Konsep-konsep terapan dalam politik hutan beserta contoh-contoh kasusnya
Aktifitas : (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Diskusi dan menjawab kuis
Kuis dan latihan (1) Terangkan beberapa asumsi-asumsi dalam konsep politik dan berikan contoh kasus di kehutanan yang menguatkan asumsi tersebut ! (2) Jelaskan yang dimaksud proses politik dan berikan contohnya dalam konteks kemunculan sebuah kebijakan hutan ! (3) Sebutkan instrumen-instrumen yang harus ada dalam sebuah kebijakan yang ideal kemudian gunakan untuk memotret salah satu kebijakan kehutanan yang ada saat ini !
9