BAHAN AJAR MATA KULIAH ANTROPOLOGI EKOLOGI TINJAUAN MATA KULIAH
Deskripsi Mata Kuliah
Mata kuliah Antropologi Ekologi (KTM 3229) merupakan mata kuliah pilihan bebas Minat Manajemen Hutan di Fakultas Kehutanan UGM. Mata kuliah ini akan membahas dan menganalisis berbagai teori tentang manusia, masyarakat dan kebudayaannya serta perubahan-perubahan kebudayaan yang terjadi dalam konteks interaksinya dengan sumberdaya alam terutama hutan. Perspektif atau pendekatan dalam antropologi ekologi juga akan dibahas secara lebih detail agar mahasiswa dapat melakukan analisis terhadap relasi antara budaya masyarakat dengan sumberdaya hutan secara ilmiah dan sistematis. Beberapa konsep turunan dari kebudayaan masyarakat seperti kearifan lokal, modal sosial serta konsep-konsep kebudayaan lokal sebuah masyarakat juga akan dijelaskan berikut contoh-contoh kasusnya terutama yang berkaitan dengan upaya pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan, baik hutan negara maupun hutan rakyat.hutan rakyat.
Dalam penyajian mata kuliah ini nantinya, disamping mahasiswa dibekali dengan berbagai teori dan analisis tentang kebudayaan beserta turunannya, juga akan dilakukan diskusi terhadap berbagai kasus di kehutanan yang up to date terkait dengan relasi antara masyarakat dan kebudayaannya dengan sumberdaya hutan di sekitarnya. Dengan demikian diharapkan mahasiswa akan terbiasa untuk memahami, menjelaskan dan menganalisis kasus-kasus dalam pengelolaan hutan yang ada hubungannnya dengan budaya masyarakat serta interaksinya dengan hutan menggunakan sudut pandang teoriteori antropologi ekologi secara sistematis dan ilmiah. Sistem perkuliahan dilaksanakan dengan berbagai metode, yaitu ceramah, diskusi interaktif dua arah, penugasan mandiri berupa pencarian kasus-kasus dalam konteks antropologi ekologi berikut analisisnya, dan presentasi (seminar kecil) terhadap analisis kasus yang dibuat oleh mahasiswa tersebut.
1
Kegunaan Mata Kuliah bagi Mahasiswa
Mata kuliah ini disajikan dalam rangka untuk membekali mahasiswa Fakultas Kehutanan dengan pengetahuan dan teori-teori tentang manusia, masyarakat berikut kebudayaannya (antropologi), terutama masyarakat yang tinggal disekitar hutan dan interaksi yang terbentuk antara masyarakat tersebut dengan sumberdaya hutan (ekologi). Antropologi ekologi itu sendiri pada hakekatnya merupakan ilmu atau studi tentang dinamika sosial budaya masyarakat dan relasinya dengan lingkungan hidup tempat mereka tinggal. Dengan memahami karakteristik dan dinamika budaya sebuah masyarakat berikut interaksinya terhadap hutan disekitarnya, maka upaya menemukan pola relasi ideal antara masyarakat dengan hutan akan lebih mudah untuk dilakukan.
Tujuan Pembelajaran
Penyajian mata kuliah ini bertujuan untuk memberi bekal keilmuan tentang masyarakat, kebudayaan dan dinamikanya serta relasi antara kebudayaan sebuah masyarakat dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Hal ini dimaksudkan agar nantinya mahasiswa memiliki senjata atau pisau untuk melakukan analisis terhadap kasus-kasus pengelolaan hutan di Indonesia yang ada hubungannya dengan budaya sebuah masyarakat. Selain itu juga bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk menemukan, memahami dan menjelaskan berbagai problematika dalam pengelolaan sumberdaya hutan baik di hutan negara mauun hutan rakyat yang berkaitan dengan karakteristik dan dinamika sosial budaya masyarakat yang tinggal disekitar hutan tersebut.
Susunan Bahan Ajar BAB I.
Definisi dan Cakupan Konsep Antropologi Ekologi
BAB II.
Paradigma Sosiologi dan Pendekatan dalam Antropologi Ekologi
BAB III.
Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi
BAB IV.
Masyarakat Desa dan Dinamikanya
BAB V.
Antropologi Masyarakat Desa Hutan
BAB VI.
Kebudayaan dan Relasinya terhadap Pengelolaan Hutan
BAB VII. Perubahan dan Penyebaran Kebudayaan BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat 2
BAB IX.
Perladangan di Indonesia
BAB X.
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan
BAB XI.
Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan
BAB XII. Etnobotani dan Perkembangannya
Petunjuk Penggunaan Bahan Ajar a. Pertama mahasiswa harus memahami kompetensi atau hasil pembelajaran yang diharapkan dari mata kuliah ini dan kompetensi dari masing-masing bab. b. Selanjutnya mahasiswa harus memahami secara baik definisi dan cakupan konsep serta teori untuk masing-masing pokok bahasan berikut contoh-contoh kasus dan penerapannya. c. Mahasiswa aktif mencari dan mengembangkan teori-teori tambahan yang relevan secara mandiri dari berbagai literatur atau sumber bacaan lainnya. d. Mahasiswa aktif mencari kasus-kasus dan isu-isu kehutanan yang terbaru sebagai bahan diskusi di kelas sesuai dengan pokok bahasan di kelas tersebut. e. Mahasiswa selalu melatih diri untuk menggunakan teori tersebut guna membaca dan menganalisis berbagai kasus dalam pengelolaan hutan dari kacamata teori tersebut kemudian menyajikannnya baik secara lisan maupun tertulis. f. Melaksanakan berbagai aktifitas atau tugas tambahan dari masing-masing pokok bahasan dalam rangka mendukung pencapaian kompetensi yang diharapkan seperti pembuatan paper atau tulisan ilmiah lainnya. g. Memahami
prosedur
penilaian
dari
mata
kuliah
ini
sehingga
bisa
mempersiapkan diri seoptimal mungkin agar memperoleh hasil yang memuaskan. h. Berusaha semaksimal mungkin menjawab berbagai kuis dan soal-soal latihan yang diberikan pada masing-masing pokok bahasan sebagai persiapan untuk menghadapi test summatif (ujian sisipan dan ujian akhir).
3
BAB I. Definisi dan Cakupan Konsep Antropologi Ekologi
Pokok Bahasan Manusia secara ekologi adalah bagian integral lingkungan hidupnya. Manusia terbentuk oleh lingkungan hidupnya dan sebaliknya manusia membentuk lingkungan hidupnya. Kelangsungan hidupnya hanya mungkin dalam batas kemampuannya untuk menyesuaikan dirinya terhadap perubahan dalam lingkungan hidupnya. Citra lingkungan tradisional manusia Indonesia ialah manusia merupakan bagian lingkungan hidupnya. Karena itu kelangsungan hidup manusia tergantung dari keutuhan lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup tidak dipandang semata-mata sebagai sumberdaya yang harus dieksploitasi, melainkan terutama sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Manusia seperti halnya semua makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan sebaliknya ia dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya (Soemarwoto, 2007).
Pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia berjalan dengan masiv semenjak konsep progress (kemajuan) telah menjadi cita-cita setiap manusia. Konsep ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap ajaran teologis tentang life cycle yang menyatakan bahwa siklus kehidupan manusia terdiri dari tiga fase, yaitu born, adult and dead.
Ajaran ini dianggap melemahkan semangat manusia untuk
berkarya dan berjuang dalam hidup ini, karena toh kemudian manusia akan mati. Sehingga dimunculkanlah ajaran baru tentang siklus hidup untuk mengkounter efek negatif tersebut yaitu born, adult and progress. Dalam ajaran ini progress akan menjadi cita-cita akhir yang selalu akan dikejar dan diperjuangkan oleh manusia. Konsep progress tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam tiga macam kriteria, yaitu rationality (ilmu pengetahuan dan teknologi), prosperity (ekonomi) dan liberty (politik). Untuk memperoleh kemajuan tersebut maka muncullah konsep pembangunan (development), artinya sebuah upaya serius untuk menghindari kehancuran atau kerusakan menjadi sesuatu yang lebih baik (betterment).
4
Lebih lanjut Soemarwoto (2007) menjelaskan bahwa pembangunan pada hakekatnya adalah “gangguan” terhadap keseimbangan lingkungan, yaitu usaha sadar manusia untuk mengubah keseimbangan lingkungan dari tingkat kualitas yang dianggap kurang baik ke keseimbangan baru pada tingkat kualitas yang dianggap lebih tinggi. Dalam usaha ini harus dijaga agar lingkungan tetap mampu untuk mendukung tingkat hidup pada kualitas yang lebih tinggi itu. Kemampuan lingkungan untuk memasok sumberdaya dan untuk mengasimilasi zat pencemar serta ketegangan sosial adalah terbatas. Batas kemampuan itu disebut daya dukung. Kecenderungan yang sekarang terjadi ialah kenaikan kualitas hidup disertai oleh kenaikan konsumsi sumberdaya dan pencemaran serta naiknya ketegangan sosial.
Di sisi lain, manusia sering berbuat rakus dan hilang kendali dalam aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga kadang melebihi kapasitas daya dukung sumberdaya tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya alam yang kemudian diikuti dengan munculnya dampak negatif yang dapat merugikan manusia. Hal ini memunculkan berbagai usaha manusia untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya ataupun upaya penanggulangan dampak negatif yang ditimbulkan. Dikarenakan hal ini menyangkut kepentingan banyak pihak dan melibatkan sekian banyak aktor, maka kedua usaha tersebut tidak mudah dilakukan, dan bahkan sering terjadi konflik didalamnya. Ini menunjukkan perlunya sinkronisasi dari berbagai kepentingan yang muncul dalam konteks pemanfaatan sumberdaya alam.
Dalam setiap tahap pembangunan, selalu saja ada kecenderungan manusia untuk merubah lingkungannya, sementara pada sisi yang lain suatu lingkungan akan mempengaruhi kehidupan manusia, baik itu menguntungkan atau merugikan. Dalam posisi yang demikian, kadangkala pembangunan telah melampaui ukuran perencanaan, dan akibatnya sering terjadi efek lingkungan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Sebagai akibatnya, suatu upaya merubah lingkungan tersebut akan membawa efek negatif terhadap kesejahteraan makhluk hidup termasuk manusia. Manusia bukan hanya sebagai obyek semata, melainkan juga sebagai subyek yang berperan aktif dalam pembangunan, yang dalam upaya pembangunan itu harus selalu memperhatikan kondisi sosial ekonomi warga setempat. Sebagai konsekuensi dari pendekatan bahwa sumber 5
segala perubahan yang terjadi berasal dari manusia, maka muncul dua pandangan dalam melihat unsur manusia dalam konteks perubahan lingkungan. Menurut Poerwanto (2000: 163-164), pandangan tersebut meliputi: pertama, pendekatan yang bersifat manipulatif, kedua, pendekatan yang berlandaskan pada potensi manusia guna mengembangkan pemecahan dan pengelolaan suatu lingkungan.
Pendekatan yang menekankan pentingnya unsur manusia dalam pengelolaan suatu lingkungan, memiliki dasar argumentasi, dan sekaligus konsekuensi yang berbeda. Pada pendekatan pertama, terkandung konsep „rekayasa sosial‟, dalam hal ini suatu pengelolaan lingkungan dipandang sebagai upaya mengelola segala kegiatan manusia agar dapat mencapai batas toleransi lingkungan. Pendekatan ini bersifat dari atas ke bawah (top-down), sehingga kurang memberikan peluang kreativitas kepada warga masyarakat. Pendekatan seperti ini sering dipraktekkan oleh pemerintah baik di Pusat maupun Daerah.
Antroposentrisme adalah teori etika ligkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alampun dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri (Keraf, 2006).
Dalam pandangan teori tersebut sumberdaya alam dapat dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan kehendak manusia. Manusia dianggap mampu mengendalikan dan memanfaatkan sumberdaya alam secara baik dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diciptakannya (teknosentris) tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya alam tersebut. Dalam praktek di lapangan, pandangan ini selalu mengandalkan manusia beserta segenap peralatan canggih yang dipunyainya untuk mengeksploitasi sumberdaya 6
alam yang ada. Terkadang untuk memuluskan berbagai aktifitasnya, penganut aliran ini sering menggunakan otoritas negara dan memberikan kepercayaan penuh pada organ negara (birokrasi) untuk menjalankannya.
Lebih lanjut Keraf (2006) menjelaskan bahwa suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitan dengan lingkungan hidup akan dinilai baik kalau mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan manusia. Konservasi, misalnya, hanya dianggap serius sejauh itu bisa dibuktkan mempunyai dampak menguntungkan bagi kepentingan manusia, khususnya kepentingan ekonomis. Teori semacam itu juga bersifat egoistis karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Kepentingan mahluk hidup lain, dan juga alam semesta seluruhnya, tidak menjadi pertimbangan moral manusia. Teori tersebut dituduh sebagai salah satu penyebab, bahkan penyebab utama, dari krisis lingkungan yang kita alami sekarang. Krisis lingkungan dianggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandag antroposentris. Cara pandang antroposentris ini melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia
mengambil
semua
kebutuhan
dari
alam
tanpa
mempertimbangkan
kelestariannya, karena alam dipandang hanya ada demi kepentingan manusia. Apa saja boleh dilakukan manusia terhadap alam, sejauh tidak merugikan kepentingan manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan modern telah menjadi pemicu lahirnya pola kebiasaan baru yang menyebabkan status sosial, hubungan-hubungan dalam keluarga dan sistem politik ikut berubah. Proses perubahan kebudayaan mengacu pada mekanisme sosial yang aktual dan faktual dimana perubahan itu muncul. Dasar munculnya perubahan kebudayaan terletak pada perubahan sikap dan tingkah laku individu sebagai suatu masyarakat.
Joan Vincent (1986) menyatakan bahwa literatur antropologi dalam periode 1975 -1984 menunjukkan lebih banyaknya penggunaan istilah dengan "-izations" daripada "-isms". Gejala ini, menurut dia, mencerminkan adanya peralihan dari pendekatan yang sistemik, sistematik, ke pendekatan yang lebih menekankan pada proses (processual). Kecenderungan ini dapat dilihat antara lain dalam antropologi ekologi, antropologi hukum, antropologi politik dan antropologi rituil. 7
Dalam antropologi ekologi, perpindahan dari analisis sistemik ke analisis proses (processual analysis) tercermin pendekatan yang lebih memusatkan perhatian pada pelaku (actor), di mana si ahli antropologi menggunakan "actor- based model" untuk memahami gejala yang mereka telaah. Dalam model ini fokus analisis adalah pada proses pengambil keputusan (decision making) dari seorang pelaku tertentu (stereotype actor) yang mencoba memecahkan masalah yang dihadapinya berdasarkan atas pengetahuannya mengenai situasi saat itu (Orlove, 1980). Perlu dicatat di sini bahwa analisis pengambilan keputusan individu ini tidaklah sinonim dengan analisis proses. Analisis ini hanyalah sebagian kecil dari trend analysis process dalam disiplin ilmu antropologi (Vincent, 1986).
Secara umum ada beberapa definisi tentang konsep antropologi ekologi dari beberapa ilmuwan, diantaranya adalah :
The study of relationships between humans and their environment (Donald R. Hardesty, 1977:289).
A Subdiscipline of anthropology for studying cultural and social adaptation which are made by human beings to their environment (Heddy Shri Ahimsa Putra, 1994).
The study of the relations among the population dynamics, social organization, and culture of human populations and the environments in which they live (Benjamin S. Orlove, 1980:235-73).
Heider (1972, dalam Lahajir 2002: 198) mengemukakan bahwa ekologi kebudayaan pada intinya memahami hubungan antara masyarakat, subsistensi, dan lingkungannya. Penekanannya dalam ekologi kebudayaan adalah aktivitas subsistensi, dimana yang diperhatikan adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik, teknologi dan organisasi sosialnya.
8
Hasil Pembelajaran Dapat memahami dan menjelaskan : (1) Definisi dan cakupan konsep antropologi ekologi (2) Konsep-konsep turunan antropologi ekologi beserta contoh kasusnya di kehutanan
Aktifitas : (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah (2) Diskusi dan menjawab kuis
Kuis dan latihan - Terangkan cakupan konsep antropologi ekologi dan berikan contoh kasus pengelolaan sumberdaya hutan yang masuk dalam cakupan konsep tersebut !
9
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa Putra H.S. 1994. Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Awang S.A. 2002. Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta Djuwadi. 1976. Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta Djuwadi & Fanani. 1985. Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2004. Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta Dove. M.R. 1985. Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat. Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MRUnited Press. Jakarta. Leibo J., 2003. Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta. Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta Lobja E. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press. Yogyakarta Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Aditya Media. Yogyakarta Nugraha A. & Murtijo. 2005. Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten Nur A. 2010. Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat. FKT UGM. Yogyakarta Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development, Volume 29, No. 2, UK Qowi M.R. 2009. Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM Yogyakarta
10
Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Salim P., 2001. Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta Soekanto S. 2010. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 2010. Jakarta Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi. 2011. Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan Tipologi. Artikel
Wibisono H. 2013. Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta Widiyanto E. 2012. Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta Yuntari D. 2012. Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta
11