Break Down (Part 1 : Mastermind) Asa Bianglala
Gadis itu tertawa sambil menyesap minuman sodanya, duduk bersama seorang laki-laki tampan berperawakan tegap dengan senyum dan suara khasnya. “Apa yang kau tertawakan? Aku kan tidak sedang melucu. Hentikan tawamu, Yang Junhye,” protes laki-laki itu. Gadis itu masih tertawa, sambil memukul meja pelan. “Menurutmu? Kau ini ada-ada saja. Kalau Chaeri menikah dengan Hyunseung, ya kita datang. Kenapa harus kau repot memikirkan yang lainnya?” tanya Junhye— gadis itu terkekeh. Dujun, lawan bicara Junhye itu mengerang, “Bukan itu maksudku, Junhye. Tapi.. astaga, Chaeri, kau dan aku ini masih semester berapa dan Chaeri sudah berani memutuskan akan menikah dalam waktu
dekat. Apakah itu tidak sedikit terburu-buru?” Junhye menggeleng, “Memangnya kenapa? Hyunseung sudah mapan, dia sudah bekerja, sudah punya apartemen, punya mobil, apa lagi yang dicemaskan oleh Chaeri?” “Otakmu matrealistis sekali, Junhye. Apa semua gadis seperti itu?” keluh Dujun. Junhye menggeleng, “Tidak, Dujun. Bukan itu segi matrealistis yang sedang kucoba bahas. Tapi kesiapan Hyunseung untuk membangun rumah tangga bersama Chaeri..” “Jika kau temukan laki-laki seperti Hyunseung, lalu melamarmu, apakah kau akan langsung mengiyakannya?” tanya Dujun, memandang Junhye lurus. Junhye menggeleng. “Kenapa?” tanya Dujun. Junhye menghela nafas panjang, “Aku menunggu Yoseob. Tidak sopan sekali, mendahului kakak laki-laki.” Dujun mengangguk-angguk mengerti, “Ah benar juga. Yoseob pasti akan segera menyusul bersama Nuna yang cantik itu.” “Minhyun Eonni maksudmu? Iya, cantik. Sayang sekali adiknya laki-laki, coba adiknya perempuan, kau mungkin harus mendekatinya. Haha,” tawa Junhye. Dujun melirik Junhye tajam, “Apa maksudmu?” Junhye tertawa, “Aku tidak tega melihatmu sendirian setiap akhir pekan. Lagi pula kau kan
2
tampan, Dujun. Kenapa tidak cari pacar saja sih? Membuatku cemas saja.” “Cemas?” Junhye mengangguk, “Meragukan kejantananmu.” Dujun mengepalkan tangannya lalu memukul kepala Junhye pelan, “Dasar kurang ajar!” Gadis yang dipukul hanya tertawa sambil terkekeh, tidak memprotes apapun soal pukulan Dujun. Seorang gadis lain datang, membawa beberapa buku tebal di tangannya, lalu duduk di kursi yang masih kosong. “Kalian ini, selalu saja bersikap seperti itu. Dewasa sedikit bisa tidak?” omel Chaeri, menyambar gelas soda milik Junhye. Junhye melotot, “Yaaa.. jangan mentang-mentang kau akan menikah, kau jadi sok dewasa dan menasehati kami ya..” Dujun mengangguk menyetujui ucapan Junhye. Chaeri menggelengkan kepalanya lagi, “Terserah padamu saja lah. Eh, kau tahu anak kelas atlet? Kalau tidak salah namanya Gikwang, iya.. Lee Gikwang, aku baru tahu kalau dia dapat juara satu di kejuaraan Best Body seminggu lalu.” Junhye melirik Dujun, lalu mengangkat bahu, “Tidak kenal..” 3
Chaeri mendesah, “Bagaimana kau bisa kenal. Kau kan kemana-mana bersama Dujun. Sudah seperti suami isteri saja. Kadang kau perlu keluar Junhye, lihatlah dunia sekelilingmu..” “Memangnya kenapa? Dujun kan sahabatku, wajar dong..” kata Junhye membela diri. Dujun mengangguk, lagi-lagi menyetujui kalimat Junhye. Chaeri mendesah lagi, “Itu kalau mereka mengenal kalian. Kalau tidak? Mereka akan menyangka kalian ini ada hubungan khusus. Lagi pula, sikap kalian itu.. benar-benar..” “Apa?” tanya Junhye. Chaeri memutar bola matanya, “Kalian berdua benar-benar seperti suami isteri! Kemanamana berdua. Apa-apa berdua, bahkan aku dan Hyunseung saja kalah.” “Kita kan memang sudah dekat sejak sebelum masuk kampus ini,” protes Dujun. Chaeri menyahut, “Memangnya orang lain peduli soal itu? Tidak kan?” “Lalu? Harusnya bagaimana?” tanya Junhye. Chaeri melirik jendela, “Keluar lah, buka matamu pada keadaan sekelilingmu. Kalau kalian hanya hidup di dunia kalian sendiri, kalian berdua tidak akan mendapatkan cinta kalian.” Junhye mengangguk-angguk setuju, “Baiklaaaah, calon nyonya Jang Chaeri..”
4
“Aku masih Choi Chaeri,” omel Chaeri sedikit tersenyum menahan rasa malunya. Dujun mencibir, “Kau boleh menikah muda, tapi jangan punya anak dulu. Aku masih belum siap dipanggil paman oleh anakmu.” Chaeri dan Junhye tertawa keras, “Ya Tuhan, Dujun.. kau berpikir sejauh itu..” “Ya ya ya, baiklah kuturuti kemauanmu, Yoon Dujun. Ya sudah, aku ada kelas lima menit lagi. Daaaah. Oh ya, Junhye, jangan lupa, apa yang sudah kau katakan tadi,” kata Chaeri lagi. Junhye mengacungkan jempol, “Arasseo.” Aku mengerti. Sepeninggal Chaeri, Junhye merapikan meja lalu mengambil tasnya. Dujun mengerutkan alis, “Eodi-e?” ke mana? “Jib-e kalkke. Wae?” pulang, kenapa? tanya Junhye. Dujun mengambil tasnya juga, “Pulang bersamaku saja.” Junhye cepat menggeleng, Dujun langsung bertanya, “Kenapa?” “Aku ingin mencoba berjalan di trotar dan naik bis sendirian. Boleh kan?” tanya Junhye. Dujun tertawa masam, “Kau tidak benar-benar berniat mencari kekasih kan, Junhye?”
5
Junhye mengangkat bahu, “Aku tidak mencari. Mungkin saja aku akan menemukan. Dah Dujun!” pamit Junhye tanpa menunggu reaksi dari Dujun lagi. Dujun menghela nafas panjang. Melirik jam di tangannya, lalu berlari kecil ke lapangan. Seorang laki-laki menyusuri trotoar sambil membetulkan jaketnya, lantas mendongak memeriksa lampu lalu lintas. Begitu berubah warna menjadi merah, dan hijau untuk pejalan kaki, ia melangkah menyeberang jalan. Seorang gadis berjalan santai mengayunkan kedua tangannya, seperti tokoh utama dalam komik. Almamater sekolahnya sengaja dilepas dan dilipat di lengan kirinya, sementara tangan kanannya membawa tas. Lampu berganti, gadis itu segera menyeberang sebelum lampu berubah lagi. Yong Junhyung’s POV Gadis itu mengayunkan tangannya sembari menarik ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman kecil yang manis. Kemeja putihnya tampak sangat pas melekat di tubuhnya, aku
6
sempat membaca nama yang tertera di sana. YANG JUNHYE. Aku tersenyum. Nama yang manis, dan gadis yang manis. Gadis itu menoleh ke arahku, aku melemparkan senyumku—yang aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus memberikannya senyuman padahal aku sama sekali tidak mengenalnya kecuali nama yang itu saja baru aku baca setelah melihat senyumnya. Gadis itu membalas senyumanku. Jantungku berdesir, sesuatu yang hangat menjalar ke seluruh sel syaraf tubuhku. Mata mungilnya semakin terlihat kecil seiring senyumnya yang melebar. Yang Junhye, mahasiswi Hansei University. Hanya itu satu-satunya yang kutahu dari gadis itu. Aku menghentikan langkah kakiku begitu sudah sampai seberang jalan. Aku berbalik, mencari sosok Junhye. Gadis itu sudah sampai di seberang jalan, dan kini sedang berjalan menuju halte bis. Aku menghitung dalam hati. Satu.. dua.. tiga.. kalau sampai hitungan lima ia menoleh ke arahku lagi, maka aku akan bertemu dengannya lagi. Dan saat pertemuan kedua itu, aku akan menghampirinya. Empat.. dan.. 7
Yang Junhye’s POV Aku sedang menyeberang jalan di zebra-cross seperti layaknya pejalan kaki biasa, rasanya menyenangkan karena berjalan sendirian, tanpa harus saling sikut dengan Dujun seperti biasanya. Seorang laki-laki melintas dari arah yang berbeda, melemparkan senyuman tipis—atau mungkin seringaian? Tapi setahuku tidak ada seringaian semanis itu. Aku sempat melihat wajahnya. Tidak setampan Dujun, tapi.. ada sesuatu yang membuat senyumnya itu berbeda dari senyum semua lelaki yang kukenal. Kubalas senyumannya. Lima detik kemudian aku memaki diriku sendiri karena perbuatan bodoh atau membalas senyuman orang asing yang tak kukenal begitu saja, semudah itu. Tapi aku coba menenangkan diri sendiri, karena aku tidak akan bertemu dengan ia lagi, jadi aku tak perlu malu. Tunggu! Tidak bertemu lagi? Itu artinya, senyuman—atau seringaian?—yang manis itu hanya bisa kulihat sekali saja? Tidak, aku mau melihatnya lagi. Setidaknya sekali lagi. Aku menoleh, ke arah seberang jalan, tempat di mana ia tengah berdiri terdia—aku tidak 8
tahu apa yang ia lakukan di sana, tapi ia berdiri, sambil memasukkan kedua tangannya di saku, memakai cappuchon jaketnya dan menatap ke arahku—atau ke arah lain? Aku tidak tahu tapi ia tampak sangat keren. Aku tersenyum, setengah membungkuk. Kuharap ia hanya menyangka bahwa aku adalah pejalan kaki yang ramah, dan tidak berpikiran yang buruk. Dan untuk kedua kalinya—oh Tuhan terimakasih, ia menyunggingkan bibirnya, tersenyum. Kali ini ia benar-benar tersenyum. Sesuatu yang aneh terjadi padaku. Tanganku tiba-tiba gemetar dan kakiku terasa kaku, walaupun aku harus terus berjalan menuju halte dan menemukan bis zona A yang akan membawaku pulang. Sebuah bis yang kutunggu—yang sial sekali, kenapa datang sangat cepat, berhenti di halte yang kududuki. Aku naik, dan langsung mencari tempat duduk. Sengaja aku tidak mencari yang dekat dengan jendela. Bukan tidak mau melihat laki-laki itu lagi, tapi aku malu. Bagaimana kalau ia tahu aku sedang memperhatikannya dari dalam bis? Tidak, itu tidak boleh kubiarkan. Meskipun
9
kemungkinan bertemu dengannya itu lagi sangat kecil, tetap saja aku bisa malu. Bus berjalan lambat, kemudian kecepatannya bertambah seiring kendaraan ini melaju. Aku menarik nafas panjang. Mengibasngibaskan tanganku, mencoba menghilangkan gugupku. Rasa gugup yang aku tidak tahu kenapa. Aku mendesah. Apa ini hanya perasaanku saja atau bagaimana? Kenapa aku merasa sangat bodoh saat ini? Apa karena aku terlalu sering bersama Dujun, sehingga aku tidak sadar ternyata ada banyak halhal yang menarik yang kulewatkan begitu saja? Junhye mengeluarkan kunci dari salah satu saku di tasnya, lalu memasukkan ke lubang yang ada, memutarnya dan menggeser pintu rumahnya. “Aku pulang..” ucap Junhye, melepas sepatu, memakai sandal rumah dan meletakkan sepatunya ke dalam rak. Ada sepatu lain yang ada di sana, jelas ada tamu. Karena sepatunya adalah pantofel perempuan, Junhye dengan cepat bisa menebak siapa yang kini sedang duduk di depan tivi, memegang remote dan menyilangkan kaki. “Eonni.. sudah lama?” sapa Junhye. Seorang gadis yang duduk di ruang tengah sedikit kaget dengan kedatangan Junhye, ia 10
mendongak, lalu tersenyum, “Ah, Junhyeah. Tidak kok, baru dua puluh menit.” Minhyun, gadis itu celingukan, seperti mencari seseorang di belakang Junhye. “Cari siapa? Dujun? Aku tidak pulang bersamanya,” jawab Junhye reflek, lalu merebahkan tubuhnya ke sofa, duduk di samping Minhyun. Minhyun tertawa kecil, “Tumben?” “Chaeri bilang aku harus mengurangi frekuensi bertemu dan keluar bersama Dujun, dia bilang kalau aku terus begitu, aku dan Dujun tidak akan pernah punya pacar,” jawab Junhye ringan. Minhyun mengerutkan alis, “Lho? Dujun bukan kekasihmu?” “Aniyoooo..” Bukaaaaaan, elak Junhye reflek. Minhyun mengerutkan alis, “Yoseob bilang..” “Apa?” tiba-tiba Yoseob datang dan menyerobot, duduk di antara Junhye dan Minhyun. Junhye langsung meliriknya dengan tatapan menginterogasi. “Apa yang kau katakan tentang aku dan Dujun pada Minhyun Eonni?” tanya Junhye. Yoseob memasang wajah berpikir, “Apa? Aku lupa..”
11
“Oppa.. kau ini.. kau bilang padanya kalau aku dan Dujun berpacaran, begitu?” tuduh Junhye. Yoseob nyengir, “Iya mungkin.. aku lupa..” “Kalau saja hidungmu itu tidak menempel, kau pasti juga lupa membawanya. Dasar,” protes Junhye. Yoseob dan Minhyun tertawa kecil. Lalu Yoseob membuka mulutnya lagi, “Apa salahnya? Kau dan Dujun kan sudah dekat sekali. Karena aku tidak pernah melihatmu bersama laki-laki lain, jadi aku simpulkan saja sendiri..” “Kenapa kau tidak menyimpulkan kalau aku lesbian dengan Chaeri saja? Dasar Oppa aneh,” Junhye masih mengomel, beranjak masuk ke dalam kamarnya. Belum sempat Junhye menutup pintu, Minhyun memanggilnya, “Junhye-ah!” “Ya?” “Besok temani aku pergi ke Dongdaemun Mall ya? Aku ada sesuatu yang harus kubeli,” ajak Minhyun. Junhye melirik Yoseob yang memainkan jemari Minhyun, “Kenapa dengan monster itu?” “Dia ada acara ke Gwangju, jadi tidak bisa menemaniku. Lagi pula, yang kubeli itu barang perempuan. Eotte? Bagaimana? Bisa?” tanya Minhyun lagi. Junhye mengangguk asal, “Ya, baiklah..” 12
Chaeri baru saja masuk ke dalam sebuah salon spa bersama Hyunseung, ponselnya langsung berbunyi memaksanya meminta pegawai yang sedang merawat kukunya berhenti sejenak. “Oh, Dujun. Ada apa? Aku sedang di salon,” omel Chaeri, membuka percakapan. Dujun mendesah dari ujung telepon, “Apa maksudmu mengatakan hal seperti itu pada kami tadi?” “Apa? Hal yang mana?” Dujun mendesah lagi, “Jangan purapura lupa, Choi Chaeri. Kau bilang Junhye harus lebih sering jalan sendirian dari pada denganku. Supaya dia dapat kekasih. Tadi dia tidak mau pulang bersamaku.” “Lantas?” Dujun mengerang, “Kau.. ah sudahlah, kau ini memang hanya tahu soal calon suamimu saja. Ya sudah.” “Bodoh. Justru aku sedang memberimu bantuan. Manfaatkan keadaan ini, saat Junhye sedang sibuk mencari siapa laki-laki yang tepat untuknya, kau tunjukkan padanya, buat ia menyadari bahwa laki-laki yang tepat itu adalah kau, Yoon Dujun!” jelas Chaeri panjang. Dujun terdiam. Chaeri mengerang, “Hei, kau dengar aku?” 13
“Ya.” Chaeri menghela nafas, “Bisakah kau matikan teleponmu dan aku akan melanjutkan mewarnai kukuku?” “Ya, ya, ya, aku mengerti, Nyonya Jang..” dengus Dujun lalu mematikan teleponnya. Selepas meletakkan kembali ponselnya di samping ranjangnya, Dujun merebahkan tubuhnya. Mencoba mencerna kalimat Chaeri. Sebuah rumah tampak lengang. Seorang kakek sedang membaca koran pagi seperti biasanya, sembari meneguk secangkir teh tawar panas yang sudah disiapkan oleh isterinya yang kini sibuk menyiram tanaman hijau di pekarangan rumah. Seorang laki-laki keluar dari kamarnya tergesa-gesa, kemeja putihnya tampak berantakan, dasinya belum terpasang dan ia menggigit tali tas selempangnya dan berlari menghampiri kakek dan nenek. Berpamitan. “Halmeoni, Harabeoji, aku berangkat dulu ya. Dah,” pamitnya. Sang Nenek langsung menyahut, “Hati-hati Junhyung-ie. Jangan pulang terlalu malam..” “Ya,” teriak laki-laki bernama Junhyung itu lalu membuka gerbang dan menutupnya lagi. Ia berlari cepat ke halte sambil memasang dasinya. Diperjalanan—seperti pagi-pagi sebelumnya, setiap 14
kali ada toko yang masih tertutup, ia langsung berkaca dengan pantulan kaca toko. Menata rambutnya—yang sebenarnya tidak begitu banyak karena ia hampir memangkas habis rambutnya, dan hanya menyisakan sedikit. Yong Junhyung. Sekilas melihatnya, ia tampak seperti mahasiswa pada umumnya. Tapi tidak, ia bukan seorang mahasiswa biasa. Atau mungkin, ia bukan seorang mahasiswa. Junhyung bekerja di salah satu kantor yang menangani pengiriman barang. Semacam kantor bagian distribusi barang. Ia memang seharusnya masih menjadi mahasiswa, tapi ia sengaja mengubur dalam-dalam impiannya menjadi seorang sutradara atau scriptwriter karena jurusan seni peran yang diambilnya mengharuskannya untuk menghabiskan banyak uang, dan ia tak punya itu. Sehingga Junhyung lebih memilih bekerja, menghasilkan uang dan hidup dengan baik. “Yo!” sapa Kim Sajangnim, atasannya, “Kapan kau akan bangun pagi, Junhyung?” Junhyung tertawa, “Kau tahu aku tidak bisa bangun pagi, Sajangnim. Haha.” “Tidak masalah asal pekerjaanmu tidak berantakan. Oh ya, kau langsung antar 15
barang yang ada di mejamu. Jangan lupa minta tanda tangan penerimaan, kemarin ada yang protes..” kata Kim Sajangnim. Junhyung mengangguk mengerti, lalu mengambil tumpukan barang yang ada di mejanya, mengangkutnya ke dalam kereta dorong dan ia segera memasukkannya box motornya. Sebenarnya pekerjaan Junhyung bukan sebagai pengantar, tapi dalam bagian pendataan dan pembuat laporan, berhubung yang bekerja sebagai pengantar sedang cuti karena isterinya melahirkan, terpaksa Junhyung mengambil alih job itu. Toh Junhyung akan dapat gaji dua kali lipat dan jam pulangnya masih sama seperti biasa. “YA! Kau letakkan di mana matamu, Tuan!” teriak Junhye cepat begitu seorang laki-laki menuruni tangga dengan cepat dan menabraknya hingga sekotak susu yang ia beli untuk sarapan pagi ini jatuh dan tumpah begitu saja di lantai.
16