i
BIOPROSPEKSI HUTAN KERANGAS: ANALISIS NEPENTHES GRACILIS KORTH. SEBAGAI STIMULUS KONSERVASI
KISSINGER
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Bioprospeksi Hutan Kerangas: Analisis Nepenthes gracilis Korth. sebagai Stimulus Konservasi” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dalam disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2013 Kissinger NIM E361090011
iv
v
RINGKASAN KISSINGER. Bioprospeksi Hutan Kerangas: Analisis Nepenthes gracilis Korth. sebagai Stimulus Konservasi. Dibimbing oleh ERVIZAL AM. ZUHUD, LATIFAH K. DARUSMAN and ISKANDAR Z. SIREGAR Hutan kerangas merupakan tipe hutan yang tumbuh pada kondisi tapak yang terbatas, terutama faktor tanahnya ekstrim yang kurang mendukung pertumbuhan tanaman. Kerentanan hutan kerangas terhadap gangguan menyebabkan perlunya tindakan konservasi hutan kerangas yang strateginya perlu dirancang dengan baik melalui pemanfaatan nilai-nilai yang terkandung di dalamnyadan berbagai perannya serta tingkat kepentingan hutan kerangas tersebut. Pemeliharaan fungsi menjaga
kelestarian
keanekaragaman hayati hutan kerangas dan
pemanfaatannya
melalui
bioprospeksi
(prospek
biodiversitas) merupakan dua faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam upaya konservasi hutan kerangas. N.gracilis merupakan spesies indikator hutan kerangas yang telah dikenal masyarakat dalam penggunaannya sebagai tanaman hias dan tumbuhan obat, Nilai manfaat tersebut dapat digunakan sebagai stimulus konservasi. Oleh karena itu penelitian komprehensif tentang pemanfaatan N.gracilis sebagai stimulus konservasi secara garis besar bertujuan untuk: i) memperoleh data dan informasi bioprospeksi N.gracilis dan hutan kerangas ii) menentukan potensi penggunaan N.gracilis, iii) mengidentifikasikan karakteristik lingkungan hutan kerangas dan N.gracilis iv) menentukan variasi pola sebaran genetika N.gracilis, v) menentukan bioaktivitas N.gracilis, vi) mengidentifikasikan sikap konservasi masyarakat terhadap N.gracilis. Metode penelitian menggunakan kombinasi dari metode survey ekologi dan sosial ekonomi serta pekerjaan laboratorium untuk mendapatkan analisis data genetika, analisis senyawa kimia tanaman dan analisis bioaktivitas N.gracilis. Secara garis besar, hutan kerangas di lokasi penelitian terdegradasi dan tidak terkelola, karenanya komposisi dan struktur tegakannya berbeda signifikan dibandingkan hutan kerangas di lokasi referensi.
N.gracilis merupakan jenis
kantong semar yang mampu tumbuh dominan pada hutan kerangas terbuka dengan pH ± 4,12, ketebalan gambut ± 5,6 cm, intensitas cahaya permukaan akar 270-300 lux dan permukaan akarnya senantiasa ditutupi kumpulan vegetasi semai dan pancang. Peran hutan kerangas terhadap lingkungan di antaranya adalah peran sebagai penyangga air, penyangga dampak cuaca yang ekstrim,
vi
kemampuan menjadi penyimpan dan penyerap karbon, habitat yang kondusif dari berbagai komponen biologi di atas permukaan dan dalam tanah, sumber sumber bahan sandang, pangan, papan dan obat-obatan bagi masyarakat. Jasa ekosistem N.gracilis dapat diterangkan melalui kemampuannya mengatasi keterbatasan dan memberikan sumbangan hara dan air bagi lingkungan sekitar (peran bagi lingkungan fisik-kimia). Simbiosis antara N.gracilis dan organisme lainnya mendeskripsikan peran N.gracilis terhadap lingkungan bio-ekologi hutan kerangas. Pemanfaatan N.gracilis sebagai bahan pengobatan atau penggunaan lainnya bagi masyarakat merupakan peran N.gracilis bagi lingkungan sosial. Hubungan berbagai jenis Nepenthes terhadap kehidupan budaya masyarakat merupakan gambaran peran terhadap lingkungan sosial budaya masyarakat. Biodiversitas tumbuhan hutan kerangas bermanfaat sebagai bahan pengobatan. 92,31% tumbuhan kerangas (35 jenis dari 39 jenis tumbuhan yang ditemukan) merupakan
bahan
pengobatan
yang
dipergunakan
masyarakat.
Keanekaragaman genetik N.gracilis di dalam dan antar populasi relatif tinggi (He=0,25), yang mengindikasikan strategi reproduksi N.gracilis. Berbagai bagian tanaman N.gracilis berdasarkan hasil uji fitokimia dan toksisitas dapat dipergunakan sebagai bahan pengobatan. Ekstrak metanol akar N.gracilis memiliki toksisitas tertinggi dibandingkan bagian tanaman lainnya. Daya hambat minimum terhadap S.aureus ditunjukkan ektrak methanol N.gracilis dari bagian akar= 62,5 ppm, batang= 125 ppm , daun= 125 ppm, bagian kantong= 2000 ppm, dan cairan kantong= 3000 ppm. Sedangkan daya hambat terhadap bakteri E.coli ditunjukkan ektrak methanol N.gracilis dari bagian akar=15,63 ppm , batang=125 ppm, daun=> 2000 ppm, bagian kantong= 1000 ppm, dan cairan daun= 6000 ppm. Kapasitas antidiabetes ditunjukkan oleh ekstrak methanol akar N.gracilis dengan nilai IC 50 sebesar 0,08264 ppm. Temuan ini menunjukkan bahwa N.gracilis berpotensi sebagai antibakteri dan antidiabetes. Uraian mengenai keberadaan, karakteristik ekologi dan nilai manfaat N.gracilis di hutan kerangas menjadi dasar penting yang menentukan kedudukan N.gracilis sebagai spesies penting di hutan kerangas. Karakteristik ekologi dan nilai manfaat dari hutan kerangas dan N.gracilis merupakan signal yang seharusnya dapat berkembang menjadi menjadi stimulus alamiah dan stimulus manfaat. Akan tetapi signal dari karakteristik bio-ekologi dan nilai manfaat hutan kerangas dan N.gracilis belum dapat berkembang menjadi stimulus alamiah dan
vii
manfaat yang kuat untuk bersikap dan rela berperilaku konservasi terhadap hutan kerangas. Implikasi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan hutan kerangas dan fenomena N.gracilis yang hidup di dalamnya merupakan “Laboratorium Hidup” atau “Laboratorium Alami” bagi manusia untuk bisa belajar bagaimana alam mampu bertahan dan berkembang dalam keterbatasan. Keberadaan hutan kerangas dan sumber daya di dalamnya semakin langka, sementara itu pengetahuan belum sepenuhnya telah digali dari hutan kerangas. Sehingga hutan kerangas dan sumber daya di dalamnya yang tersisa harus diidentifikasikan dengan benar melalui kegiatan pengukuran inventarisasi agar terbentuk pengelolaan yang lebih baik, termasuk kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini.
Sehingga akan dapat memberikan solusi permasalahan
konservasi hutan kerangas melalui strategi konservasi hutan kerangas berbasis penerapan bioprospeksi. Kata kunci: konservasi, bioprospeksi, hutan kerangas, N.gracilis
viii
ix
SUMMARY KISSINGER. Bioprospecting of Kerangas Forest: Analysis of Nepenthes gracilis Korth. as Conservation Stimuli. Supervised by ERVIZAL AM. ZUHUD, LATIFAH K. DARUSMAN and ISKANDAR Z. SIREGAR The heath forest or locally known as kerangas forest is a forest type that grows in site with limiting site factors, epecially the extremely unfavourable soil type for plants. There is an urgent call to conserve the kerangas forest due to it’s vulnerability and sound strategy needs to be well designed by utilizing its values and various functions and importances. Maintenance of functional biodiversity of kerangas forests and its sustainable utilization through biodiversity prospecting (bioprospecting) approach are two key factors that could be considered in the conservation efforts of kerangas forest. With this regard, Nepenthes gracilis as indicator species is well known for its uses such as ornamental plants, medicinal plants and could be used to stimulate the conservation actions. Therefore, a comprehensive research utilizing N.gracilis as conservation stimuli was conducted with objectives to : i) gain data and information on bio-prospecting N.gracilis and kerangas forest, ii) determine the potentials uses of N.gracilis and kerangas forest, iii) identify the enviromental settings of kerangas forest and N.gracilis d iv) determine the spatial genetic variation of N.gracilis, v) to determine the bio-active compounds of N.gracilis, and vi) identify the conservation attitude of community toward N.gracilis. Research methods used a combination of ecological and socio-economic surveys followoing standard procedures and laboratory works for genetic analysis,phytocehmistry analysis, and bioactivity analysis. In general, kerangas forests in the research sites are degraded under unmanaged condition. Therefore, composition and structure of the forests were significantly different in comparison to the reference forest sites. In particular, N.gracilis is found in open sites with following characteristics such as pH= ± 4,12, peat thickness= ± 5,6 cm, light intensity above ground= 270-300 lux, and the roots
usually covered by seedling and sapling. Ecosystem services of
kerangas forest were described by the following benefecial function, such as buffer area for water and buffering extreme weather impact, carbon sink and source, preference habitat for biological components above and below ground, sources of woods, food and medicinal plant. Functional of N.gracilis in relation to environment could be explained by capacity of plant to overcame limited water and nutrient (functional for physic-chemical environment). Existing symbiosis of
x
N.gracilis and other organisms reflected N.gracilis benefecial for bio-ecological environment of kerangas forest. Utilizing of N.gracilis as a medicine was also benefecial with respects to socio-economical dynamics of human dimension.It was found that plant diversity of kerangas were as sources for medicinal plants. 92,31% of kerangas plants (35 species from 39 species founded) were utilized as raw material for medicies for communities living around kerangas forest area. Genetic diversity of N.gracilis inside population and inter population are relatively high (He=0,25), indicating N.gracilis reproduction strategies. Many part of N.gracilis can be used for medicinal material based on information of phytochemistry and toxicities tests. The methanol extract of N.gracilis roots had highest toxicities (LC 50=151.53 ppm) than other parts of plant. The methanol extract from roots, stems, leaves, pockets and closed pocket liquid of N.gracilis effectively inhibited S.aures at concentration 62,5 ppm, 125 ppm, 125 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, respectively; while E.coli were inhibited at concentration 15.6 ppm,125 ppm, >2000 ppm, 1000 ppm, 6000 ppm, respectively. The methanol extract of N.gracilis roots inhibited 50% of α glukosidase activity at concentration 0.0826 ppm. It can be concludde that N.gracilis had potential activities as antibacterial and antidiabetic. Description of the existence, ecological characteristic, beneficial using from N.gracilis in kerangas forest can be used as important basic data for determining N.gracilis as important species in kerangas forest. Ecological characteristics and beneficial values of N.gracilis should become signals which performed the natural and beneficial stimuli, while the signals of bio-ecological and beneficial value of kerangas forest and N.gracilis could not become the strong stimuli (natural and beneficial stimuli) to performed willingness and take conservation action. The findings of the reserach imply that the existence of kerangas forest and N.gracilis should become “ a Living Laboratory” or “ a Natural Laboratory” for human in order to observe the better undestanding of natural mechanisms in the ecosystem towards adaptation to extremely limiting site condition. It appears that the existence of kerangas forests and resources from kerangas forest are becoming rare, while the knowledge of kerangas forest remains. Therefore, remnant kerangas forests should be well identified through sound inventories for better management including
research purposes. Its sould become a
conservation strategy of kerangas forest based on bioprospecting. Keywords: conservation, bioprospecting, kerangas forest, N.gracilis
xi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
xii
BIOPROSPEKSI HUTAN KERANGAS: ANALISIS NEPENTHES GRACILIS KORTH. SEBAGAI STIMULUS KONSERVASI
KISSINGER
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Prof dr Amin Soebandrio, PhD SpMK
Judul Disertasi : Bioprospeksi Hutan Kerangas: Analisis Nepenthes gracilis Korth. sebagai Stimulus Konservasi Nama : Kissinger NRP : E361090011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS Ketua
Prof Dr Ir Latifah K Darusman, MS Anggota
Prof Dr Ir Iskandar Z Siregar, MForSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 01 Maret 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan ialah konservasi hutan kerangas, dengan judul Bioprospeksi Hutan Kerangas: Analisis Nepenthes gracilis Korth. sebagai Stimulus Konservasi. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1.
Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof Dr Ir Latifah K Darusman, MS dan Bapak Prof Dr Ir Iskandar Z Siregar, MForSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, saran dan semangat untuk penyelesaian tulisan ini.
2.
Prof Dr Ir Dudung Darusman MA, Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop, Dr.Ir. Burhanuddin Mas’ud, MS.selaku tim penguji pada ujian tertutup
3.
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS dan Prof dr Amin Soebandrio, PhDSpMK. selaku penguji pada ujian terbuka.
4.
Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Kehutanan, Ketua Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata serta Ketua Program Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Institut Pertanian Bogor atas masukan dan sarannya dalam pelaksanaan ujian.
5.
Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah mendanai pendidikan penulis melalui program Beasiswa BPPS.
6.
Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia yang memfasilitasi penelitian
7.
Institut Pertanian Bogor sebagai Lembaga Pendidikan yang memfasilitasi proses pembelajaran dan penelitian penulis
8.
Universitas Lambung Mangkurat sebagai institusi tempat bekerja penulis
9.
Fakultas
Kehutanan
Universitas
Lambung
Mangkurat
yang
telah
memberikan kesempatan penulis dalam mengikuti program pendidikan 10. Laboratorium Genetik Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Departemen Kimia Analitik FMIPA IPB, dan Pusat Studi Biofarmaka, yang banyak memfasilitasi pekerjaan penelitian penulis. 11. PT. Adaro Indonesia yang telah memfasilitasi dan mengakomodasi pelaksanaan penelitian.
xviii
12. Kedua orang tua saya (H Burhanuddin (alm) dan Hj Nyai Sian (alm), mertua (H Mugni dan Hj Taniah), isteri (Hj Rina Muhayah Noor Pitri, Shut MSi), anak (Anita Zulfa), saudara-saudara saya (Yuliet, SH MM, Ir Violet, MP, Sisingamangaradja SE, Salahuddin SE MM), saudara ipar (Prof Dr Ir Gusti Muhammad Hatta, MS, Drs Muhammad Yusuf Chon(alm) dan Siti Saidah, H Syahrun, Hj Khairiah, Spd MPd , Hj Rusmini, Thoyib Subandi (alm)), keponakan-keponakanku (Gusti Noor Hidayat, ST, Gusti Noor Ramadhani Saputra, SKed, Khalida Zea Chon, Coryna Novitasari, Ditha, Rian, Hafiz, Djazuli) serta seluruh saudaraku lainnya yang tidak bisa disebutkan namanya di sini. 13. Teman-teman seperjuangan: Pairah, Teti, Wati, Hari, Eni (TIP), Mahfudin (Dep.Fisika), Arida, Rima, Hanna, Diana, Melan,
Zita, Julen, Ivan Yusfi
Noor, Rahmat, Abdul Muin, Luthfi, Irwan Bempah Gamin dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan semua namanya di sini 14. Semua pihak yang telah membantu proses pendidikan dan penelitian penulis Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan dipergunakan untuk kemaslahatan kita semua.
Bogor, Maret 2013
Kissinger
RIWAYAT HIDUP KISSINGER, lahir di Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah pada tanggal 26 April 1973; merupakan putera dari H.Burhanuddin (Alm) dan Ibu Hj.Nyai Sian (Alm). Anak ke-5 dari 5 bersaudara: 1) Yuliet SH.MM. 2) Ir.Hj. Violet MS. 3) Sisingamangaradja SE. 4) Salahuddin SE.MM. Penulis memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar di SDN Teladan Sampit dari tahun 1979 sampai 1985, melanjutkan pendidikan ke SMPN-1 Sampit dari tahun 1985-1989, pada tahun 1989 meneruskan pendidikan di SMAN-1 Sampit dan lulus tahun 1991. Penulis mengikuti jenjang pendidikan S-1 di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru pada tahun 1991 dan selesai pada tahun 1996. Penulis pernah bekerja di PT. Antang Kalimantan (sekarang menjadi Wana Inti Kahuripan Indonesia) pada tahun 19971998. Penulis mulai bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan sejak tahun 1998. Tahun 1999 penulis diterima menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Ilmu Pengetahuan Kehutanan dan lulus pada tahun 2002. Tesis S-2 penulis berjudul “Komposisi Jenis, Struktur Tegakan dan Pola Sebaran Spasial beberapa Spesies Pohon Tertentu di Hutan Kerangas”, di bawah bimbingan Dr.Ir. Yadi Setiadi dan Prof.Dr.Ir. Andry Indrawan, MS. Pada tahun 2004 penulis menikah dengan Hj. Rina Muhayah, S.Hut. M.Si Binti H. Mugni, selanjutnya pada tahun 2006 dikaruniai puteri bernama Anita Zulfa. Pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan S3 pada mayor Konservasi Biodiversitas Tropika Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti mengikuti perkuliahan di IPB penulis aktif dalam pertemuan dan diskusi ilmiah yang bersifat nasional dan internasional. Beberapa artikel jurnal yang ditulis selama mengikuti program S-3 di IPB adalah: 1) Karakterisasi Habitat Preferensi Nepenthes gracilis Korth. di Hutan Kerangas (Jurnal Biosciantiae Volume 11 No 1 tahun 2013), 2) Keanekaragaman Tumbuhan Obat dari Hutan Kerangas (Jurnal Hutan Tropis Nomor 1. Edisi Maret 2013 Tahun XIV), 3) Penapisan Senyawa Fitokimia dan Pengujian Antioksidan Ekstrak Daun Merapat (Combretocarpus rotundatus) dari Hutan Kerangas (Jurnal Penelitian Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Volume 31 No.1 tahun 2013). Semua karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI............................................................................................... xx DAFTAR TABEL.........................................................................................xxv DAFTAR GAMBAR...................................................................................xxvii 1. PENDAHULUAN...................................................................................
1
A. Latar Belakang................................................................................
1
B. Perumusan Masalah .......................................................................
5
C. Pertanyaan Penelitian ....................................................................
6
D. Tujuan Penelitian ............................................................................
7
E. Manfaat dan Luaran Penelitian ....................................................
7
F. State of the Art Penelitan ................................................................
8
G. Kerangka Pemikiran........................................................................
11
H. Prediksi Noveltis..............................................................................
19
2. STATUS KONSERVASI DAN KARAKTERISTIK BEBERAPA KOMPONEN EKOLOGI HUTAN KERANGAS ....................................
20
A. Pendahuluan...................................................................................
20
B. Metode Penelitian ...........................................................................
21
1) Objek dan Lokasi Penelitian ....................................................
21
2) Metode Pengumpulan Data ......................................................
21
3) Analisis Data ...........................................................................
22
C. Hasil dan Pembahasan...................................................................
23
1) Status Konservasi Hutan Kerangas di Lokasi Penelitian .........
23
2) Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Kerangas .........
31
3) Karakteristik Tanah Hutan Kerangas ........................................
47
4) Fauna di Hutan Kerangas .........................................................
50
D. Simpulan ......................................................................................
51
3. KARAKTERISASI HABITAT PREFERENSI NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS..........................................................
53
A. Pendahuluan...................................................................................
53
B. Metode Penelitian............................................................................
54
1) Lokasi Penelitian ......................................................................
54
2) Prosedur Pengumpulan Data....................................................
55
3) Analisis Data..............................................................................
55
C. Hasil dan Pembahasan .................................................................
55
1) Karakteristik Habitat Preferensi N.gracilis ...............................
55
2) Pola Adaptasi N.gracilis terhadap Keterbukaan Kanopi Hutan Kerangas...................................................................................
58
D. Simpulan .......................................................................................
61
4. JASA EKOSISTEM HUTAN KERANGAS ...........................................
62
A. Pendahuluan...................................................................................
62
B. Metode Penelitian ...........................................................................
62
1) Lokasi Penelitian.......................................................................
62
2) Prosedur Pengumpulan Data....................................................
63
3) Analisis data .............................................................................
63
C. Hasil dan Pembahasan ..................................................................
63
1) Peran Hutan Kerangas terhadap Lingkungan Fisik-Kimia ........
63
2) Peran Hutan Kerangas terhadap Lingkungan Biologi ..............
65
3) Peran Hutan Kerangas terhadap Lingkungan Sosial-Ekonomi
67
D. Simpulan ........................................................................................
71
5. PERAN NEPENTHES GRACILIS KORTH. BAGI LINGKUNGAN HUTAN KERANGAS ...........................................................................
73
A. Pendahuluan .................................................................................
73
B. Metode Penelitian ...........................................................................
74
1) Lokasi Penelitian.......................................................................
74
2) Prosedur Pengumpulan Data....................................................
74
3) Analisis Data ............................................................................
74
C. Hasil dan Pembahasan...................................................................
75
D. Simpulan ........................................................................................
79
6. KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT DAN MANFAAT LAINNYA DI HUTAN KERANGAS .......................................................................
80
A. Pendahuluan ..................................................................................
80
B. Metode Penelitian ..........................................................................
81
1) Objek dan Lokasi Penelitian ....................................................
81
2) Prosedur Pengumpulan Data....................................................
82
3) Analisis Data .............................................................................
82
C. Hasil dan Pembahasan ................................................................
82
1) Potensi Tumbuhan Obat dan Hutan Kerangas ........................
82
2) Perkembangan pemanfaatan N.gracilis dan Potensi Biodiversitas tumbuhan lainnya di Hutan Kerangas ................
85
D. Simpulan
.....................................................................................
91
7. KERAGAMAN GENETIKA NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS ......................................................................
92
A. Pendahuluan...................................................................................
92
B. Metode Penelitian ..........................................................................
92
1) Objek dan Lokasi Penelitian ....................................................
92
2) Prosedur Pengumpulan Data ...................................................
93
3) Analisis Genetika ......................................................................
93
C. Hasil dan Pembahasan ..................................................................
96
1) Karakterisasi Penanda RAPD...................................................
96
2) Keragaman Genetik N.gracilis di Hutan Kerangas ...................
97
D. Simpulan ........................................................................................
101
8. BIOAKTIVITAS NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS ........................................................................................
103
A. Pendahuluan ..................................................................................
103
B. Metode Penelitian ...........................................................................
104
1) Bahan dan Peralatan Penelitian ...............................................
104
2) Uji Fitokimia ..............................................................................
104
3) Uji Toksisitas.............................................................................
105
4) Uji Antibakteri .........................................................................
106
5) Uji Antidiabetes .........................................................................
107
C. Hasil dan Pembahasan ..................................................................
108
1) Senyawa Fitokimia dan Toksisitas Bahan ................................
108
2) Aktivitas Antibakteri ..................................................................
109
3) Aktivitas Antidiabetes................................................................
112
D. Simpulan ........................................................................................
113
9. SIKAF KONSERVASI MASYARAKAT TERHADAP GRACILIS KORTH.DI HUTAN KERANGAS
NEPENTHES ................ 114
A. Pendahuluan ..................................................................................
114
B. Metode Penelitian ..........................................................................
115
1) Objek dan Lokasi Penelitian ....................................................
115
2) Prosedur Pengumpulan Data ..................................................
115
3) Analisis Data ...........................................................................
115
C. Hasil dan Pembahasan...................................................................
116
1) Karakteristik Sistem Nilai Masyarakat Lokal terhadap N.gracilis
116
2) Pemaknaan N.gracilis sebagai Stimulus Konservasi ...............
118
3) Kendala Pemanfaatan N.gracilis Berbasis Bioprospeksi .........
120
D. Simpulan .........................................................................................
122
10. STRATEGI KONSERVASI HUTAN KERANGAS .................................
123
A. Permasalahan Konservasi ............................................................
123
1) Stimulus Alamiah dan Manfaat Hutan Kerangas ......................
123
2) Stimulus Alamiah dan Manfaat N.gracilis..................................
125
3) Ketidaklengkapan Pemahaman Nilai Alamiah dan Nilai Manfaat N.gracilis dan Hutan Kerangas ...................................
127
B. Sintesis Pemecahan Masalah ........................................................
132
1) Membangun Sikaf Individu Masyarakat Pro-Konservasi ..........
134
2) Pemenuhan Prasyarat Implementasi Bioprospeksi Lestari ......
144
3) Katalisasi Aksi Kolektif bagi Penerapan Pemanfaatan Biodiversitas Lestari .................................................................. 152 C. Simpulan dan Implikasi ..................................................................
155
1) Simpulan....................................................................................
155
2) Implikasi.....................................................................................
157
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 161
DAFTAR TABEL Halaman 1.1. Beberapa contoh informasi kejadian alam sebagai stimulus ............
12
2.1. Komposisi jenis, keragaman jenis dan INP tingkat semai di lokasi utama ................................................................................................
31
2.2. Komposisi jenis, keragaman jenis dan INP pancang di lokasi utama
32
2.3. Komposisi jenis, keragaman jenis dan INP tingkat tiang di lokasi utama ................................................................................................
32
2.4. Komposisi jenis, keragaman jenis dan INP tingkat pohon di lokasi utama .............................................................................................
32
2.5. Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat semai di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering).........................
36
2.6. Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pancang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering).........................
37
2.7. Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat tiang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering).........................
37
2.8. Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pohon di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering).........................
38
2.9. Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat semai di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam) ...................................
38
2.10. Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pancang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam) ...................................
39
2.11. Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat tiang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam) ...................................
39
2.12. Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pohon di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam) .................................
40
2.13. Komposisi, keragaman dan INP tingkat semai lokasi referensi 2......
42
2.14. Komposisi,keragaman jenis dan INP pancang lokasi referensi 2 ....
42
2.15. Komposisi, keragaman jenis dan INP tiang lokasi referensi 2..........
43
2.16. Komposisi, keragaman jenis dan INP pohon lokasi referensi 2 .......
43
2.17. Perbandingan fraksi pasir, debu dan liat tanah hutan kerangas .......
47
2.18. Karakteristik sifat kimia tanah hutan kerangas..................................
48
2.19. Jenis burung yang ditemukan di hutan kerangas .............................
50
3.1. Karakteristik habitat kerangas terhadap potensi Nepenthes gracilis
56
3.2. Komponen lingkungan habitat preferensi N.gracilis .........................
57
3.3. Jumlah batang dan kantong N.gracilis berdasarkan keterbukaan tajuk
59
3.4. Massa daun N.gracilis dari areal terbuka dan di bawah tegakan …..
60
5.1. Kepadatan N.gracilis di tempat terbuka dan tertutup kanopi hutan ..
75
5.2. Peran N.gracilis terhadap lingkungan sekitar (ecosystem service)...
76
6.1. Daftar jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan pengobatan dari hutan kerangas...........................................................................
82
6.2. Bioaktivitas beberapa jenis tumbuhan dari hutan kerangas .............
84
6.3. Perkembangan pemanfaatan N.gracilis ...........................................
85
6.4. Pemanfaatan tumbuhan di lokasi penelitian utama ..........................
86
6.5. Pemanfaatan biodiversitas tumbuhan (selain N.gracilis) di lokasi penelitian referensi ............................................................................
88
7.1. Bahan dan alat teknik PCR-RAPD ....................................................
94
7.2. Deskripsi berbagai penanda RAPD yang digunakan ........................
96
7.3. Hasil analisis keragaman genetika populasi N.gracilis.......................
98
7.4. Jarak genetik antara populasi N.gracilis di beberapa lokasi .............
99
8.1. Hasil analisis fitokimia kualitatif tumbuhan N.gracilis ........................
108
8.2. Hasil uji toksisitas bahan tanaman N.gracilis ....................................
108
8.3. MIC dan MBC N.gracilis untuk jenis bakteri E.coli ...........................
109
8.4. MIC dan MBC N.gracilis untuk jenis bakteri S. Aureus .....................
110
8.5. Hasil pengujian antidiabetes dari akar N.gracilis...............................
112
9.1. Karakteristik sistem nilai masyarakat lokal terhadap N.gracilis .......
116
9.2. Kategori stimulus AMAR N.gracilis bagi penduduk dan pengelola ...
118
10.1. Karakteristik peranan hutan kerangas ..............................................
124
10.2. Beberapa pasal dari peraturan tentang zonasi yang dapat direvisi...
158
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1. Diagram alir penelitian yang dilakukan .............................................
10
1.2. Stimulus, Sikap dan Perilaku Masyarakat Pro Konservasi................
13
1.3. Membangkitkan stimulus manfaat dan alamiah N.gracilis menjadi stimulus religius/rela bagi penerapan konservasi hutan kerangas 18 2.1. Diagram profil tegakan hutan kerangas terganggu berat di Hutan Lindung Desa Guntung Ujung............................................................
34
2.2. Kenampakan dari jenis merapat (Combretocarpus rotundatus) di hutan kerangas yang terbakar berulang............................................
35
2.3. Diagram profil tegakan hutan kerangas relatif tidak terganggu di Trinsing-Butong Muara Teweh .........................................................
41
2.4. Diagram profil tegakan hutan kerangas relatif tidak terganggu di Gunung Mulu National Park...............................................................
45
2.5. Kenampakan tanah di lahan kerangas..............................................
47
3.1. Beberapa jenis Nepenthes di lokasi penelitian..................................
57
4.1. Hutan Kerangas Desa Guntung Ujung sebagai penyangga kawasan budidaya pertanian............................................................................
64
4.2. Bulbophylum beccarii ........................................................................
66
4.3. Sisa kayu rebah dari pohon Belangiran (Shorea belangeran) ..........
67
4.4. Rambuhatap atau jungrahab (Baeckea frutescens) sebagai salah satu tumbuhan obat dari hutan kerangas ........................................
68
4.5. Jamur Palawan .................................................................................
71
7.1. Pengambilan sampel individu N.gracilis untuk analisis genetika........
93
7.2. Bagan prosedur teknik penanda molekular RAPD ...........................
96
7.3. Pita DNA dari penanda RAPD pada N.gracilis .................................
97
7.4. Diagram hubungan kekerabatan N.gracilis di hutan kerangas .........
99
10.1. Ketidaklengkapan informasi pembentuk stimulus yang dimiliki penduduk dan pengelola tentang N.gracilis dan hutan kerangas .....
128
10.2. Hubungan sinyal N.gracilis dan stimulus bagi sikap dan aksi pemanfaatan biodiversitas ................................................................
133
10.3. Diagram alir “tri-stimulus AMAR konservasi”: stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi ....................................................................
135
10.4. Model komunikasi Shanon-Weaver dalam kasus penyampaian informasi manfaat N.gracilis menjadi stimulus manfaat ...................
136
1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerangas merupakan suatu istilah yang awalnya diberikan suku Dayak Iban terhadap lahan yang berada di dataran rendah sampai zona submotana yang dikarenakan kondisi tanahnya bila ditanami padi maka padinya tidak akan bisa tumbuh. Ditinjau dari sisi tanah maka kerangas di cirikan dengan tanah podsol yang miskin hara dengan material tanah yang kaya akan pasir kuarsa, pH rendah dan kerap memiliki lapisan gambut tipis di atas permukaan tanah. Vegetasi yang tumbuh juga unik dan memiliki karakter khusus sebagai akibat dari adaptasi terhadap lingkungan tumbuh yang terbatas (Bruenig 1995). Hutan kerangas merupakan hutan yang tumbuh pada tanah humus podsol di daerah dataran rendah beriklim lembab dan panas, yang dicirikan dengan material tanah kaya akan asam silikat, pH rendah, tanah batuan pasir, pasir kuarsa yang miskin hara, sedimen laut dan substrat lainnya yang serupa. Istilah khusus ―kerapah‖ merupakan penamaan lokal terhadap bagian dari hutan kerangas yang kondisi drainase tanahnya tergenang dan memiliki formasi tanah gambut berlumpur/peat bog (Bruenig 1974). Vegetasi yang tumbuh juga terbatas dan memiliki karakter khusus sebagai akibat dari adaptasi terhadap lingkungan yang terbatas (Bruenig 1974, 1995; Proctor 2001). Kerangas terutama ditemukan di Kalimantan dan Sumatera serta jarang terdapat di Sulawesi dan Papua.
Kerangas belum ditemukan di Jawa dan
Kepulauan Sunda Kecil. Biasanya ditemukan pada ketinggian 0-800 m dpl, tetapi juga ditemukan di pegunungan Arfak Papua dengan ketinggian 2400 m dpl (Kartawinata 1978).
Proporsi terbesar kerangas terdapat di Kalimantan, di
antaranya berada di Serawak, Brunei, sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Informasi mengenai luasan hutan kerangas di Kalimantan seperti yang dikemukan oleh MacKinnon et al. (1997) adalah seluas 6.668.200 ha. Secara peruntukkan hutan kerangas yang terdapat di Indonesia dapat berupa kawasan hutan maupun areal penggunaan lain (APL). Hutan kerangas mempunyai laju pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan yang relatif lambat dibandingkan hutan Dipterocarpaceae campuran. Bila hutan/lahan ini mengalami gangguan maka akan sukar untuk pulih kembali. Hutan kerangas yang mengalami kebakaran, laju ketahanan (survival rate) dari semai menuju pancang sangat kecil (3,2%) sebagai akibat tingginya kematian
2
semai dan lambatnya laju pertumbuhan. Hal yang sama juga terjadi terhadap laju ketahanan tingkat pancang menuju tingkat tiang atau pohon (Riswan 1985). Penanaman kembali menggunakan tumbuhan asli terbukti tidak efektif. Hutan kerangas sangat mudah terdegradasi oleh aktifitas penebangan tak terkontrol dan kebakaran. Bila sekali mengalami degradasi maka akan berkembang menjadi savana terbuka yang disebut sebagai ―Padang‖ (Bruenig 1995). Karena kepekaan dan keterbatasan dari karakteristik floristik maupun tempat tumbuh kawasan hutan kerangas dikategorikan IUCN (The International Union for The Conservation of Nature – World Conservation Union) dengan status vulnerable. Perkembangan terkini mengindikasikan bahwa kondisi hutan kerangas semakin terdegradasi menjadi lahan terbuka (Onrizal et al. 2005). Hal ini terjadi juga di Desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Struktur hutannya berubah menjadi savana
terbuka dan
mengarah
pada terbentuknya kumpulan tegakan hutan murni dari tingkatan tiang dan pohon jenis merapat (Combretocarpus rotundatus). Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, diperlukan suatu tindakan konservasi untuk menanganinya. Paradigma baru dalam konservasi adalah bagaimana kita bisa menemukan pengungkit sikap dan aksi konservasi melalui stimulus manfaat suatu sumberdaya atau kawasan. Bila manfaat itu memiliki nilai yang besar bagi masyarakat maka dengan sendirinya masyarakat akan berusaha melindungi dan memelihara kawasan. Nilai manfaat sumberdaya atau kawasan diharapkan dapat menjadi stimulus manfaat yang menginisiasi sikap dan aksi konservasi (Amzu 2007). Salah satu bentuk sumber daya alam lahan yang terdapat di hutan kerangas dan memiliki potensi untuk menghasilkan nilai manfaat bagi masyarakat adalah tumbuhan kantong semar (Nepenthes spp.). Kantong semar merupakan jenis tumbuhan bawah penangkap serangga yang dikenal dengan sebutan insectivorous species atau pitcher plant. Kantong semar mampu tumbuh secara dominan di tanah yang relatif tidak subur. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang keragaman tumbuhan di hutan kerangas, kantong semar merupakan tumbuhan bawah selalu terdapat di habitat hutan kerangas (Kissinger 2002; Onrizal 2004). Jenis kantong semar yang paling banyak ditemukan dari berbagai tipe hutan kerangas adalah Nepenthes gracilis (Kissinger 2006; Onrizal et al. 2005; Mansur 2007). Sebaran tumbuh jenis
3
N.gracilis secara geografis cukup luas dan terdapat baik di Kalimantan, Sumatera, Malaysia dan Sulawesi. Jenis ini tumbuh di lahan terbuka, semak, belukar dan di bawah kanopi hutan kerangas yang rendah. N.gracilis umumnya tumbuh pada ketinggian di bawah 100 m dpl. dan jarang ditemukan pada ketinggian di atas 1200 m dpl (Adam et al. 1992). Hasil penelitian tentang aspek pemanfaatan tumbuhan kantong semar mengungkapkan bahwa di desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, dulunya kantong semar digunakan penduduk secara umum sebagai pembungkus makanan, prosesnya beras dimasukan dalam kantong lalu direbus menjadi seperti lontong. Beberapa penduduk menggunakan batangnya sebagai tali, cairan dalam kantong tertutup dijadikan sebagai tetes mata, obat mag dan batuk, sedangkan air rebusan akarnya digunakan sebagai obat diabetes. Pemanfaatan tersebut saat ini sangat jarang dilakukan penduduk karena adanya barang subtitusi berupa obat modern (Kissinger 2007). Mansur (2006) melaporkan bahwa cairan dalam kantong muda Nepenthes yang masih tertutup dapat digunakan sebagai obat mata, batuk dan mengobati kulit terbakar, sedangkan air rebusannya digunakan sebagai obat sakit perut, disentri dan demam. Di India, cairan dalam kantong tertutup digunakan masyarakat lokal Khasi dan Garos sebagai obat tetes untuk mata merah, mata gatal, katarak dan rabun senja. Kantong tertutup beserta isinya dibuat dalam bentuk pasta dipergunakan untuk berbagai penyakit kulit, termasuk di antaranya penyakit kusta/lepra dan terkadang dicampur dengan beer beras untuk mengurangi permasalahan kemih dan blockages. Kantong terbuka beserta isinya juga dibuat dalam bentuk pasta dan dicampur dengan air untuk diberikan kepada penderita kholera (Kumar et al. 1980; Bhau et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat lokal tentang etnobotani dalam pemanfaatan kantong semar sudah berlangsung lama dan tersebar di berbagai etnis, sehingga perlu dikembangkan dan ditingkatkan dengan pendekatan teknologi modern agar kekayaan pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan kantong semar ini dapat bertahan dan dapat ditingkatkan nilai tambahnya. Bioprospeksi mengandung pengertian suatu proses menemukan manfaat atau nilai tambah manfaat baik berupa materi atau jasa dari sumberdaya alam biologi (biodiversitas). Potensi manfaat dan karakteristik ekologi N.gracilis menjadikan tumbuhan ini dapat dijadikan salah satu prioritas aksi konservasi. Bioprospeksi
merupakan
pilihan
pengelolaan
alam
berbasis
penggalian
4
pemanfaatan sumberdaya terhadap hutan kerangas. Pilihan pengelolaan ini bila diatur dengan baik akan berpotensi menjadi pilihan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Pendekatan pengelolaan hutan kerangas berbasis bioprospeksi dan pengembangan pemanfaatan sumber daya hutan merupakan bentuk
pengelolaan
yang
sejalan
dengan
paradigma
baru
konservasi
keanekaragaman hayati. Belajar dari masyarakat tradisional pelaksana konservasi yang identik dengan suatu sistem pemanfaatan berkelanjutan dari sumberdaya hutan, individu masyarakatnya memiliki nilai-nilai yang telah menjadi stimulus untuk sikap dan aksi konservasi. Stimulus yang terbentuk dalam memperlakukan sumberdaya hutan dapat dikategorikan menjadi tiga (tri-stimulus AMAR), yaitu: stimulus alamiah (nilai dan karakter bio-ekologi), stimulus manfaat (nilai dan karakter sosial ekonomi seperti manfaat obat), dan stimulus religius atau rela (nilai dan karakteristik keagamaan dan budaya). Masyarakat tradisional pelaksana konservasi
paham
betul
secara
empiris
akan
karakteristik
bio-ekologi
sumberdaya hutan, mereka merasakan manfaat penting dari sumberdaya hutan, dan mereka senantiasa mengharmoniskan hubungan antara keberadaan dan manfaat sumber daya dengan nilai religius yang mereka miliki. Pemahaman mendalam akan nilai-nilai tersebut menjadi tri-stimulus AMAR yang mendorong kerelaan untuk bersikap dan berperilaku konservasi. Masyarakat tradisional menjadikan kondisi bio-ekologi sumberdaya hutan sebagai nilai kebenaran yang menjadi stimulus alamiah yang tertanam dalam setiap individu. Stimulus manfaat muncul dari nilai-nilai kepentingan untuk individu atau masyarakat, di antaranya seperti manfaat ekonomi, pangan, obat, energi, jasa lingkungan, terhindar dari hukuman, sanksi, denda, bencana. Sedangkan stimulus religius muncul dari nilainilai religius, kebaikan, ganjaran dari Pencipta, nilai spiritual, nilai agama yang universal, moral, kepuasan batin, kearifan budaya dan lain-lain (Amzu 2007). Bioprospeksi hutan kerangas melalui N.gracilis merupakan upaya untuk mengidentifikasikan secara komprehensif dan menjadikan N.gracilis sebagai stimulus konservasi. Stimulus yang dimaksud berkaitan dengan potensi nilai-nilai yang kita dapatkan dari kantong semar baik nilai potensi ekonomi, nilai ekologi, sosial budaya, maupun nilai religi atau kepercayaan. Penelitian ini berupaya mengeksplorasi dan mengidentifikasikan nilai penting dari N.gracilis sebagai stimulus konservasi di hutan kerangas. Stimulus yang diidentifikasi berupa stimulus alamiah dan stimulus manfaat. Pelaksanaan
5
penelitian mengarah pada karakterisasi terhadap kondisi ekologis hutan kerangas terkait dengan keberadaan N.gracilis (potensi dan sebaran efektif potensi alamiah berdasarkan habitat preferensial, beberapa karakteristik ekologis hutas kerangas berdasarkan tingkatan gangguan yang terjadi), kandungan fitokimia, toksisitas bahan, kapasitas antibakteri dan antidiabetes dari beberapa bagian tumbuhan (cairan, batang, daun, akar dan kantong), keragaman genetika, perkembangan pemanfaatan tumbuhan N.gracilis dan potensi biodiversitas tumbuhan lainnya dari hutan kerangas, serta deskripsi prasyarat-prasyarat menyangkut kerelaan dalam pemanfaatan berkelanjutan N.gracilis di hutan kerangas. B. Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan sebelumnya menyangkut kondisi terkini hutan kerangas Desa Guntung Ujung yang tidak dikelola baik dan terdegradasi, menyebabkan fungsi hutan lindung sebagai kawasan pelestarian biodiversitas dan pengaturan fungsi hidroorologis menjadi tidak berfungsi baik. Sementara itu riset menyangkut konservasi hutan kerangas relatif sedikit, terutama yang terkait dengan bidang etnobotani, potensi senyawa kimia dan bioaktifitas tumbuhan dan keragaman genetika populasi. Terdegradasinya hutan kerangas tersebut setelah dikaji lebih lanjut disebabkan kekurangpedulian masyarakat dan beberapa pihak berwenang terhadap kelestarian hutan kerangas. Pemicu dari kekurangpedulian tersebut di antaranya disebabkan oleh kekurangtertarikan (interest yang kurang) sebagai dampak dari ketidakmampuan mengeksplorasi pemanfaatan optimal dari hutan kerangas dan belum bisa mengidentifikasi secara kongkret
kerugian yang
ditimbulkan bila hutan kerangas tersebut terdegradasi. Diskontinuitas sistem nilai yang dimiliki masyarakat secara umum serta intervensi sistem nilai baru yang tidak sesuai dengan karakteristik alamiah suatu komunitas merupakan faktor mendasar yang mempengaruhi sikap kekurangpedulian dan kegagalan dalam mengelola komunitas hutan kerangas. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, diperlukan suatu pendekatan membangun stimulus yang dapat dimulai dari nilai manfaat dan nilai alamiah, sehingga penerapan konservasi terhadap hutan kerangas dapat dilakukan. Diharapkan dari stimulus manfaat dan alamiah akan mendorong pemaknaan kembali secara komprehensif stimulus religius bagi para pihak yang berkaitan dengan aktifitas konservasi di hutan kerangas.
Berdasarkan analisis potensi
6
pemanfaatan biodiversitas yang informasinya didapatkan dari masyarakat setempat serta studi literatur, didapatkan bahwa salah satu potensi tumbuhan yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut dengan muatan teknologi yang relatif lebih ramah lingkungan dan non timber oriented adalah dengan memanfaatkan tumbuhan N.gracilis secara berkelanjutan. Permasalahan yang berkembang adalah potensi N.gracilis belum dimanfaatkan secara optimal dan belum bernilai ekonomis. Di sisi lain kondisi keberadaan terkini menyangkut perkembangan pemanfaatan, potensi, sebaran alamiah, keragaman genetika dan tingkat produktivitas kantong dan bioaktivitas, belum banyak teridentifikasikan dan terdeskripsikan secara komprehensif, sehingga upaya pelestarian berbasiskan nilai manfaat yang berkelanjutan dari N.gracilis atau hutan kerangas secara keseluruhan belum dapat dilakukan. Kajian karakteristik dari beberapa aspek ekologi (potensi dan habitat preferensial), bioaktivitas, keragaman genetika, etnobotani, jasa ekosistem dan prasyarat pemanfaatan berkelanjutan tumbuhan N.gracilis menjadi permasalahan yang akan diungkapkan dalam penelitian hingga akan menjadi suatu pengetahuan baru dalam konservasi hutan kerangas. C. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan-pertanyaan berikut ini merupakan rincian permasalahan yang dijawab dari penelitian yaitu: 1. Bagaimanakah perkembangan dan karakteristik ekologis hutan
kerangas
berdasarkan tingkat gangguan yang terjadi? 2. Bagaimanakah habitat preferensi tumbuhan N.gracilis dan potensi populasi N.gracilis pada habitat hutan kerangas? Berapakah produktivitas jumlah kantong atau rata-rata jumlah kantong pada tiap individu tumbuhan N.gracilis yang tumbuh di habitat hutan kerangas? 3. Bagaimanakah peran hutan kerangas terhadap lingkungan sekitar? 4. Bagaimanakah peran N.gracilis terhadap lingkungan sekitar? 5. Bagaimanakah potensi biodiversitas hutan kerangas sebagai sumber tumbuhan berkhasiat obat dan potensi penggunaan lainnya? Informasi apa saja
yang
didapatkan
dari
pengetahuan
masyarakat
menyangkut
pemanfaatan N.gracilis dan potensi biodiversitas tumbuhan lainnya di hutan kerangas? Sampai sejauh mana perkembangan pemanfaatan tersebut dilakukan oleh masyarakat hingga saat ini?
7
6. Bagaimanakah keragaman genetika N.gracilis di dalam dan di antara populasi hutan kerangas? 7. Apakah N.gracilis memiliki potensi bioaktifitas sebagai bahan obat? 8. Sehubungan dengan karakteristik alamiah dan nilai manfaat dari hutan kerangas dan N.gracilis, bagaimanakah sikap konservasi masyarakat (penduduk lokal dan pengelola) terhadap hutan kerangas dan N.gracilis? 9. Bagaimana strategi konservasi hutan kerangas D. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji potensi bioprospeksi hutan kerangas dan N.gracilis
untuk membangun stimulus
konservasi. Tujuan penelitian secara rinci adalah: 1. Menguraikan perkembangan dan karakteristik ekologi hutan kerangas. 2. Menguraikan habitat preferensi N.gracilis di hutan kerangas. 3. Menerangkan peran hutan kerangas terhadap lingkungan (jasa ekosistem atau ecosystem service hutan kerangas). 4. Menerangkan peran N.gracilis dari hutan kerangas terhadap lingkungan. 5. Menerangkan
keanekaragaman
tumbuhan
obat
dan
pemanfaatan
biodiversitas oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan kerangas. 6. Mendapatkan deskripsi dan analisis dari keragaman genetika di dalam populasi dan antar populasi N.gracilis di hutan kerangas. 7. Menguji bioaktifitas bagian tumbuhan seperti cairan dalam kantong, batang, daun, akar dan kantong N.gracilis berdasarkan hasil analisis fitokimia, tokisisitas, kapasitas antibakteri dan antidiabetes. 8. Menerangkan sikap konservasi masyarakat dan pengelola terhadap N.gracilis di hutan kerangas 9. Merumuskan strategi konservasi hutan kerangas E. Manfaat dan Luaran Penelitian Manfaat yang didapatkan dari penelitian adalah: 1. Memberikan solusi permasalahan konservasi kawasan dan
biodiversitas
pada komunitas hutan kerangas. Penelitian bioprospeksi selaras dengan paradigma baru konservasi yang memanfaatkan secara optimal suatu kawasan dengan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, sehingga dapat menjadi alternatif pemecahan masalah dalam pengelolaan hutan kerangas. 2. Memperkaya roadmap hasil riset peneliti yang merupakan pengembangan hasil dari penelitian yang dilakukan
sejak tahun 2003 (beberapa topik
8
penelitian di antaranya: pola tangkap N.gracilis terhadap serangga, pemanfaatan N.gracilis sebagai bahan pengobatan tradisional masyarakat sekitar hutan kerangas, karakteristik beberapa parameter iklim dan tanah hutan kerangas), inisiatif penelitian juga terbentuk dari hasil diskusi dan konsultasi dari peneliti dan pemerhati konservasi hutan kerangas yang jumlahnya relatif sedikit di Indonesia, serta merupakan follow up hasil penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 2002 (hasil karya tesis Pasca Sarjana IPB Bogor) 3. Dapat dikembangkan menjadi suatu model tindakan pro aktif dalam konservasi lahan kerangas dengan memperhatikan potensi dan peluang yang ada serta mampu melakukan action yang cepat, tepat dan terarah pada sasaran.
Kemampuan tumbuhan ini menghasilkan bioaktifitas berpotensi
meningkatkan
pendapatan
masyarakat, sehingga secara tidak langsung
mereka akan berusaha menjaga kelestarian kawasan hutan kerangas sebagai habitat alami dari N.gracilis. 4. Meningkatkan
informasi
menyangkut
potensi dan
nilai
penting
dari
keanekaragaman hayati (biodiversitas) tumbuhan di Indonesia. Luaran penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Potensi dan deskripsi keragaman genetika N.gracilis dalam dan antar populasi hutan kerangas 2. Bahan alam N.gracilis dengan kapasitas antibakteri dan antidiabetes 3. Konsep
penerapan
bioprospeksi
untuk
mendukung
konservasi
atau
pemanfaatan berkelanjutan hutan kerangas 4. Strategi konservasi hutan kerangas F. State of the Art Penelitan Mengingat fungsi dan peran hutan kerangas yang sangat besar dalam perlindungan lingkungan, sementara di sisi lain berbagai bentuk gangguan seperti aktifitas penambangan pasir kuarsa, pasir batu, pemungutan kayu dan hasil hutan lainnya, kebakaran hutan dan lahan serta konversi lahan telah mengakibatkan kondisi hutan sekarang terdegradasi (Kissinger 2007), menuntut tindakan konservasi dalam penanganannya. Tindakan pengelolaan yang tepat terhadap lahan kerangas merupakan hal yang sifatnya mendesak, yang sebagian kawasannya merupakan hutan lindung. Salah satu persyaratan penting dalam konservasi tumbuhan adalah terpetakannya
keragaman
genetika
populasi
dari
suatu
spesies.
9
Teridentifikasikannya status genetika dari populasi akan mengarahkan kita pada tindakan konservasi yang harus diperbuat. Beberapa peneliti di Asia seperti Malaysia, Singapura, Thailand, India telah memulai meneliti keragaman genetika populasi dari beberapa jenis kantong semar untuk kepentingan konservasi (Chaveerach et al. 2006; Anuniwat et al. 2009; Bhau et al. 2009) Mengangkat nilai manfaat tentang suatu kawasan adalah alternatif pemecahan masalah dalam mencegah dan mengurangi kerusakan lingkungan suatu kawasan atau pelestarian lingkungan dan biodiversitas. dengan hal tersebut, kajian-kajian tentang pemanfaatan
Sehubungan
sumberdaya yang
lestari dan ramah lingkungan sangat diperlukan. Salah satu potensi sumberdaya yang terdapat dalam lahan kerangas adalah kantong semar (N.gracilis). Berbagai bentuk pengobatan tradisional masyarakat yang menggunakan cairan dari kantong semar tertutup dan akar kantong semar untuk pengobatan (Kissinger 2007). Penelitian lain di India, secara tradisional masyarakat menggunakan cairan tertutup dan terbuka, serta kantongnya untuk pengobatan berbagai penyakit (Bhau et al. 2009). Kandungan alkaloid, pH hampir netral, tidak terdapatnya kuman menunjukkan bahwa kantong semar memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan alam untuk pengobatan. Roadmap riset sangat penting terutama terkait dengan kompetensi berbasis sumberdaya lokal dengan muatan aspek konservasi yang berperan dalam pelestarian lingkungan dan biodiversitas. Pendekatan konservasi jenis sangat berpotensi dalam keberhasilan konservasi kawasan.
Pelestarian
tumbuhan kantong semar (N.gracilis) sangat penting mengingat potensinya sebagai bahan obat alami dapat dikembangkan menjadi produk pengobatan dari bahan
alam,
sehingga
bilamana
hasil
penelitian
bioprospeksi
ini
diimplementasikan, maka memiliki peluang untuk meningkatkan ekonomi terutama bagi masyarakat sekitar hutan kerangas maupun pelaku lainnya yang berkompeten dengan produk pengobatan dari bahan alam. Peningkatan potensi nilai manfaat melalui kegiatan bioprospeksi akan meningkatkan upaya konservasi tumbuhan dan kawasan hutan kerangas. Diagram alir penelitian yang dilakukan tentang bioprospeksi hutan kerangas melalui N.gracilis terdeskripsikan pada Gambar 1.1.
10
Hutan Kerangas - Penambangan pasir kuarsa,pasir batu - Pembabatan pohon - Kebakaran hutan/lahan - Konversi lahan
Fungsi lindung sebagai daerah penyangga kawasan sekitar, resorvoir air alami dalam mencegah banjir Jasa lingkungan: produksi O2, carbon stock, iklim mikro, menjaga kestabilan lingkungan sekitar dari kerusakan terutama lahan produktif masyarakat Fungsi pemanfaatan terbatas hasil hutan kayu dan non kayu serta gene pool Perubahan kondisi ekologi hutan kerangas Tidak atau terganggunya fungsi hutan/kawasan
Hutan Kerangas Terdegradasi Tindakan konservasi
Paradigma baru konservasi
Menemukan nilai manfaat optimal kawasan hutan
Pemanfaatan ramah lingkungan, non/ low destrucsion
Manfaat kawasan atau lahan, jasa lingkungan, flora & fauna (hasil hutan kayu dan non kayu)
Potensi di hutan kerangas Non timber oriented, (HHBK) bernilai ekonomis tinggi dan applicable
Bioprospeksi
Kantong semar N.gracilis
Potensi tumbuhan Identifikasi habitat preferensi N.gracilis Perlindungan dan pemanfaatan
Keragaman genetika populasi
Pelestarian tumbuhan
Ekstraksi bahan alam Uji aktifitas
Bioaktivitas antibakteri dan antidiabetes Peningkatan pengetahuan dan terfasilitasinya pemanfaatan berkelanjutan oleh masyarakat
Strategi Konservasi Hutan Kerangas Gambar 1.1 Diagram alir penelitian yang dilakukan.
11
State of the art dari bidang yang diteliti adalah perwujudan/implementasi program hasil riset yang telah dilakukan sebelumnya (tesis, penelitian dan program pengabdian masyarakat) dalam bidang konservasi tumbuhan dan kawasan hutan yang selanjutnya diintegrasikan dengan aspek keilmuan lainnya untuk mendapatkan formulasi tepat dalam pelestarian biodiversitas dan lingkungan serta konservasi kawasan hutan untuk mendukung peningkatan perekonomian masyarakat. Diharapkan ke depan informasi bioaktifitas seperti antibakteri dan antidiabetes berbahan dasar kantong semar, akan dapat mengeliminir kerusakan hutan menuju terwujudnya kelestarian fungsi dari hutan kerangas dan dapat dikembangkan sebagai contoh pengoptimalan hasil hutan lainnya yang lestari, ramah lingkungan dan memiliki kontribusi nilai ekonomis bagi masyarakat. G. Kerangka Pemikiran Sikap sangat besar pengaruhnya dan menentukan perilaku manusia. Pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor dari luar berupa stimulus. Individu menanggapi lingkungan luarnya bersifat selektif, ini berarti bahwa apa yang datang dari luar tidak semuanya begitu saja diterima, tetapi individu mengadakan seleksi mana yang akan diterima, mana yang akan ditolak atau tidak direspon, yaitu tidak menjadi stimulus. Segala sesuatu yang telah ada dalam komponen cognitive dan affective pada diri individu dalam menanggapi stimulus dari luar sangat menentukan apakah suatu stimulus dapat diterima atau tidak, karena itu faktor individu justru merupakan faktor penentu. Selain kemampuan faktor individu, stimulus itu sendiri harus kuat sehingga mampu diorganisir dan diinterpretasikan oleh individu bersangkutan (Rosenberg and Hovland 1960; Krech et al. 1962). Pengertian sinyal dalam penelitian ini adalah ―fenomena‖ atau ―gejala‖, yang diperlihatkan oleh komponen ekosistem hutan yang mengandung informasi bagi individu. Stimulus adalah sinyal yang dapat menjadi perangsang masyarakat untuk bersikap terhadap sesuatu. Sinyal atau fenomena merupakan informasi yang dapat membangun stimulus. Stimulus ini akan membentuk sikap dan aksi dengan beberapa prasyarat tertentu yang harus dipenuhi. Sikap ini berisikan komponen setidak-tidaknya berupa cognitive (komponen perseptual seperti pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain), affective (komponen emosional seperti: senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain) dan overt actions (komponen perilaku, atau
12
kecenderungan bertindak terhadap obyek atau fenomena). Jadi sikap itu merupakan organisasi pendapat dan keyakinan seseorang mengenai objek yang disertai adanya pikiran dan perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau bertindak dalam cara tertentu yang dipilihnya. Sikap merupakan kecenderungan bertindak (tend to act), kesediaan bereaksi atau berbuat terhadap sesuatu hal dalam masyarakat dan menunjukkan bentuk, arah, dan sifat sebagai refleksi dari nilai-nilai yang dimiliki satu-kesatuan masyarakat (society as a whole) atau menunjukkan bentuk, arah, dan sifat yang merupakan dorongan, respon dan refleksi dari stimulus. (Rosenberg dan Hovland, 1960; Krech et al. 1962). Tabel 1.1 merupakan beberapa contoh informasi tentang sinyal-sinyal alam yang ditangkap oleh kelompok individu atau kelompok masyarakat tertentu menjadi stimulus bagi sikap dan selanjutnya menjadi informasi untuk bertindak atau beraksi. Tabel 1.1 Beberapa contoh informasi kejadian alam sebagai stimulus Sumber Informasi untuk stimulus (variabel bebas) 1. Suara monyet 2. Cahaya merah terang di langit saat matahari terbenam 3. Banyak binatang mengungsi turun dari gunung 4. Air laut di pantai surut drastis dan banyak ikan terdampar 5. Buah kedawung menghitam di pohonnya 6. Di hutan alam taman nasional hanya ada pohon-pohon kedawung berdiameter besar
Kelompok yang dituju Pemburu Pelaut
Makna informasi jadi stimulus bagi sikap Kehadiran monyet Besok hari akan cerah dan baik
Informasi untuk bertindak (variabel tak bebas) Dekati, jerat atau tembak Berangkat untuk melaut
Masyarakat sekitar gunung Masyarakat pinggir pantai Masyarakat pendarung kedawung Pengelola dan masyarakat pendarung
Gunung segera akan meletus
Segera mengungsi menjauhi gunung ke tempat aman Segera berlari menjauhi pantai ke tempat aman
Bencana tsunami segera akan terjadi Buah kedawung masak dan siap dipanen Proses regenerasi terhambat, pohon kedawung akan langka dan bahkan punah
Segera memanen buah kedawung Lakukan segera pengayaan atau penanaman kedawung di hutan taman nasional
Sumber: Amzu (2007). Data yang ditampilkan pada Tabel 1.1 di atas mengandung pengertian bahwa suatu sinyal adalah mengandung informasi, apabila informasi tersebut dapat diketahui, diinterpretasi, dipahami dan disadari oleh individu atau kelompok masyarakat yang dituju, maka sinyal akan berkembang menjadi stimulus. Stimulus yang kuat akan mendorong terbentuknya sikap. Selanjutnya stimulussikap kemudian akan memberikan informasi untuk bertindak atau beraksi. Kalau semua proses ini dapat terjadi dan berlangsung baik dalam suatu kelompok
13
masyarakat tertentu tersebut, maka barulah tindakan atau aksi yang diinginkan sesuai dengan bentuk, arah dan sifat stimulus akan dapat terwujud dengan baik. Amzu (2007) merumuskan bahwa secara garis besar stimulus yang dimiliki individu atau masyarakat tradisional pelaksana konservasi dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu stimulus alamiah, stimulus manfaat dan stimulus religius/rela (tri-stimulus AMAR).
Kristalisasi tri-stimulus AMAR tersebut yang
mendorong masyarakat tradisional untuk rela bersikap dan berperilaku konservasi. Penjelasan mengenai 3 stimulus AMAR dapat dicontohkan pada Gambar 1.2. Tri-Stimulus Amar Konservasi Sikap konservasi Stimulus Alamiah : Nilai-nilai ―kebenaran‖ dari alam, kebutuhan keberlanjutan, sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya Stimulus Manfaat : Nilai-nilai ―kepentingan‖ untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis/ ekologis, terhindar dari hukuman, bencana Stimulus Religius/Rela : Nilai-nilai ―kebaikan‖ terutama ganjaran dari Pencipta Alam, nilai spiritual, nilai agama yang universal,ridha Tuhan, pahala, kebahagiaan, kearifan budaya tradisional, kepuasan batin dan lainnya
Cognitive Persepsi, pengetahuan, pengalaman, pandangan Affective Emosi, senangbenci, dendam, sayang, cinta dll.
Perilaku Aksi Konservasi
Konservasi
Overt action Kecenderungan bertindak
Gambar 1.2 Stimulus, Sikap dan Perilaku Masyarakat Pro Konservasi (Amzu, 2007). Komponen sikap cognitive pada dasarnya berupa rasionalitas yang didasarkan pada pengalaman sendiri atau pengetahuan yang menjadikan seseorang anggota masyarakat membentuk perilakunya. Komponen sikap affective (subjektif) cenderung membangkitkan emosional baik suka maupun sedih atau tidak suka terhadap suatu stimulus yang merangsang untuk berbuat atau bertindak. Komponen sikap yang ketiga behavioral/tend to act adalah kecenderungan bertindak nyata yang merupakan operasional dan kristalisasii komponen cognitive dan affective. Khusus dalam penelitian ini, yang dimaksud sinyal adalah fenomena atau kejadian yang diinformasikan atau ditunjukkan oleh N.gracilis yang dapat menjadi stimulus bagi sikap masyarakat untuk aksi konservasinya. Sinyal baru dapat berkembang menjadi stimulus apabila dapat ditangkap, dipahami dan disadari oleh komponen sikap.
14
Pengertian cognitive dalam sikap tidak hanya mencakup tentang pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan stimulus, melainkan juga mencakup beliefs atau kepercayaan tentang hubungan antara stimulus itu dengan sistem nilai yang ada dalam diri individu (Amzu 2007). Pemahaman tentang sistem nilai dalam suatu masyarakat tradisional atau masyarakat kecil sekitar hutan yang relevan dengan penelitian ini yang juga pernah di acu oleh Amzu (2007) antara lain: 1) Nilai ekonomi Nilai ini berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis, yang bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai, baik pada tingkat individu, kelompok maupun masyarakat. Kehadiran nilai ini mendorong manusia bersikap realistik, baik menentukan tujuannya maupun dalam menentukan standar tingkat kepuasan yang ingin diperoleh. Nilai ini relatif mudah diamati dan diukur sehingga sering dikaitkan ―harga‖ padanya (Siagian, 2004). Nilai varietas tumbuhan tradisional seperti tumbuhan dan hewan yang kurang dikenal akan tetapi mempunyai nilai nutrisi atau tumbuhan obat yang dipanen dari hidupan liar ternyata dapat menyediakan basis ekonomi yang penting bagi masyarakat membantu mereka untuk menyangga dan menopang hidupnya di kala rawan pangan. 2) Nilai sosio-budaya Manusia adalah makhluk sosial yang tidak hidup sendiri tetapi dikelilingi oleh komunitas dan alam semesta sekitarnya. Manusia harus memelihara hubungan baik dengan sesamanya, cinta kepada sesama, cinta dan rela berkorban untuk hak-hak generasi mendatang, mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi, bersifat harmoni dalam interaksi dengan orang lain dan lingkungan alam. Hal ini merupakan contoh nilai-nilai sosial-budaya yang penting. Nilai sosial-budaya sangat perlu ditanamkan, dikembangkan
dan
dipupuk
dalam
kehidupan
berkelompok
dan
bermasyarakat karena akan memperlancar segala usaha dan kebersamaan dalam komunitas, untuk mencapai tujuan bersama (Siagian 2004). 3) Nilai sosio-ekologi Manusia
hidup
sangat
tergantung
kepada
keberlanjutan
sediaan
sumberdaya alam dalam jangka panjang. Manusia secara fisik biologis merupakan bagian dari ekosistem alam di bumi ini. Manusia tidak dapat
15
hidup tanpa terpeliharanya sistem lingkungan alam yang sehat dan berkelanjutan, seperti terpeliharanya fungsi ekosistem hutan untuk stabilisasi fungsi-fungsi hidrologis, daur oksigen, perlindungan kesuburan tanah dan longsor, menjaga stabilitas iklim, perlindungan keanekaragaman hayati, menjaga kesimbangan lingkungan, dan lain-lain. Kesemua ini merupakan contoh nilai-nilai ekologis yang sangat penting bagi keberlanjutan hidup manusia sepanjang masa. Nilai ekologis ini sangat erat hubungannya dan saling mendukung dengan nilai-nilai sosial, yang merupakan motivator untuk melakukan aksi bersama mencapai tujuannya, seperti halnya tujuan konservasi (McNeely 1992). Cara bagaimana masyarakat melestarikan dan memanipulasi kekompleksan keanekaragaman hayati dan ekosistem memberi kontribusi kepada ketahanan ekosistem dan memperkuat kapasitas masyarakat dalam menanggulangi perubahan lingkungan. 4) Nilai religius Nilai-nilai religius menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya. Sesungguhnya nilai religius tidak sematamata berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang, akan tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilainilai luhur tertentu, seperti kejujuran, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya (Siagian 2004). Nilai-nilai religius inilah merupakan motivator utama dalam sejarah kehidupan umat manusia yang hidup dimasa hayat nabi-nabi yang telah menjadi stimulus yang efektif dalam membangun sikap dan perilaku manusia di zaman itu. Keterputusan suatu ―sistem nilai‖ yang sudah mengakar di masyarakat secara turun temurun dengan ―sistem nilai‖ baru yang diterapkan, seperti yang dibahas dalam ―teori sistem nilai‖ yang dikemukan oleh Ndraha (2003) yang diacu Amzu (2007), akan menimbulkan discontinuity, inconsistency, disparity dan distorsion. Sesuatu yang terpenting mungkin bukan yang terbaik, sementara yang terbaik belum tentu yang paling benar. Jadi yang ideal adalah, jika suatu hal merupakan yang terpenting, terbaik, dan juga terbenar. Kombinasi dari berbagai kategori nilai terpenting, terbaik dan terbenar pada skala masing-masing itulah yang membentuk sistem nilai dan titik temu.
16
Tumbuhan dan habitat serta budaya masyarakat tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu kesatuan utuh kehidupan manusia sejak awal keberadaannya di muka bumi. Suatu spesies tumbuhan yang banyak berinteraksi dengan manusia dalam jangka waktu yang panjang, diyakini konservasi dan bioekologinya banyak terkait dengan sikap dan perilaku manusia. Konservasi atau keberlanjutan suatu spesies dapat terjadi apabila sikap dan perilaku manusia tersebut sesuai dengan kebutuhan hidup spesies itu di alam. Artinya konservasi N.gracilis dapat berlangsung apabila sinyal N.gracilis dari hutan kerangas yang menginformasikan manfaat dan karakteristik alamiah telah dapat ditangkap dan dipahami oleh masyarakat maupun pengelola menjadi stimulus atau pendorong sikap penduduk maupun sikap pengelola untuk aksi pelestarian. Amzu (2007) mengemukan bahwa pengetahuan, pengalaman dan budaya tentang sumberdaya hutan sayangnya tak dapat berkelanjutan karena adanya terjadi proses intervensi yang mengakibatkan kehidupan saat ini kehilangan arah, terjadi pemutusan kelanjutan evolusi genetika, dan kurangnya pemahaman oleh generasi muda (diskonektivitas). Salah satu kegagalan manusia dalam berinteraksi dengan alam tumbuhan adalah karena manusia tidak memahami kedudukan serta makna rahasia alam tumbuhan dan hewan serta habitatnya dalam rangka kepentingan untuk keberlanjutan hidup manusia itu sendiri. Sinyal yang umumnya termudah ditangkap atau terintroduksi dalam komponen affective dan cognitive adalah kemanfaatan atau nilai guna suatu obyek atau fenomena (dalam hal ini N.gracilis di hutan kerangas). Dasar teori yang digunakan adalah teori perubahan sikap yang dikemukakan oleh Rosenberg tentang affective-cognitive consistency atau teori 2 faktor. Teori ini mengungkapkan hubungan yang konsisten antara komponen affective dan cognitive. Pada umumnya dalam upaya perubahan sikap, orang akan mengubah dulu komponen cognitive baru komponen affective akan berubah, tetapi Rosenberg mencoba merubah sikap melalui komponen affective dulu seperti perasaan senang dan perasaan positif tentang suatu sinyal dari fenomena atau gejala, bila komponen affective telah terbentuk (perasaan, emosi) maka akan merubah pula komponen cognitive, hingga akhirnya akan merubah sikap (Secord and Backman 1968). Diperolehnya
nilai
manfaat
berkelanjutan
memerlukan
pendekatan
pemahaman tentang sinyal dari karakteristik alamiah dan manfaat sumber daya hutan agar terbentuk pemaknaan secara benar, penting dan baik terhadap alam
17
tumbuhan, hewan, habitatnya maupun mekanisme potensi pemanfaatannya. Pemaknaan secara benar, penting dan baik tentang sumberdaya hutan harus dapat melekat kembali pada generasi sekarang.
Hal ini penting mengingat
adanya diskonektifitas pemahaman pengetahuan yang terjadi pada masyarakat lokal sekarang. Nilai manfaat berkelanjutan ini akan menjadi stimulus sikap efektif yang menjadi informasi untuk aksi konservasi yang harmoni terhadap dunia tumbuhan dan habitatnya. Nilai manfaat berkelanjutan akan menjadi mendorong kerelaan berkorban untuk konservasi. Penelitian ini memfokuskan kepada masalah stimulus manfaat dan alamiah N.gracilis yang dapat mendorong dan terkait erat dengan sikap masyarakat untuk aksi konservasi spesies N.gracilis dan konservasi kawasan hutan kerangas. Nilai manfaat berkelanjutan harus dimaknai secara komprehensif sehingga proses konservasi yang berlangsung tidak bersifat sesaat dan dapat menstimulasi sikap dan tindakan konservasi berlangsung dengan baik. Deskripsi teoritis tentang upaya membangkitkan stimulus manfaat dan alamiah N.gracilis di hutan kerangas untuk penerapan konservasi adalah seperti tergambarkan dalam Gambar 1.3.
18
Kantong semar (N.gracilis) di hutan kerangas
Prasyarat: sinyal dapat ditangkap dan dipahami oleh komponen cognitive dan affective dari setiap individu menjadi stimulus Sinyal yang secara umum termudah untuk terintroduksi dan dipahami komponen cognitive dan affective adalah informasi manfaat yang berkembang menjadi stimulus manfaat Intervensi teknologi dan budaya luar
diskonektivitas
Stimulus manfaat dan alamiah tidak ditangkap oleh masyarakat Barrier or Buffer from
Perlu dibangkitkan dan ditingkatkan informasi manfaat, bio-ekologi dan implementasinya secara logis dan empiris
Enhancing connectivity
Stimulus manfaat dan alamiah bagi sikap masyarakat Didampingi/fasilitasi
Diarahkan/dididik
Mendorong pemahaman kembali stimulus religius dan menstimulir kerelaan maupun kebutuhan serta kepentingan untuk bersikap konservasi Prasyarat: kejelasan property right, perundangan atau aturan main
Prasyarat: hak untuk mengelola, penegakan hukum
SIKAP DAN AKSI KONSERVASI
Kawasan Hutan kerangas
Spesies N.gracilis
Gambar 1.3 Membangkitkan stimulus manfaat dan alamiah N.gracilis menjadi stimulus religius/rela bagi penerapan konservasi hutan kerangas. Konservasi N.gracilis dapat terwujud apabila sinyal dari N.gracilis dapat ditangkap sebagai stimulus manfaat berkelanjutan untuk dapat bertindak positif terhadap konservasi N.gracilis atau hutan kerangas. Topik disertasi ini dipilih berdasarkan pada pengalaman peneliti sejak kecil tinggal di lingkungan kerangas dan meneliti N.gracilis selama lebih 8 tahun. Peneliti meyakini bahwa berbagai sifat atau karakter tumbuhan obat N.gracilis dapat menjadi stimulus bagi masyarakat untuk bersikap konservasi terhadap hutan kerangas.
19
H. Prediksi Noveltis Kebaharuan penelitian ini adalah pengembangan bioprospeksi melalui N.gracilis
sebagai stimulus konservasi
hutan
kerangas.
Pengembangan
bioprospeksi didasarkan pada karakterisasi beberapa komponen ekologi, etnofarmakologi, keragaman genetika, potensi bioaktivitas sebagai antibakteri dan antidiabetes, serta pendeskripsian prasayarat pemanfaatan berkelanjutan dari tumbuhan N.gracilis. Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasikasikan stimulus manfaat dan stimulus alamiah dari N.gracilis yang akan mempengaruhi komponen cognitive dan affective dari pengelola, masyarakat dan stakehoder lainnya untuk dapat rela bersikap dan bertindak konservasi.
Penelitian juga bertujuan untuk menilai
tingkat kepentingan keberlanjutan pemanfaatan N.gracilis untuk mendukung konservasi di hutan kerangas Kajian ekologi berhubungan dengan stimulus manfaat dan alamiah yang diidentifikasikan melalui berbagai faktor ekologi dari lingkungan tumbuhan yang mempengaruhi keberadaan N.gracilis di beberapa kondisi hutan kerangas (terbuka, hutan sekunder, old growth). Penelitian etnobotani masyarakat lokal berhubungan dengan potensi nilai manfaat ekonomi dan nilai manfaat sosial budaya atau sosial ekologi N.gracilis dan hutan kerangas. Penelitian kandungan fitokimia
dan
potensi
bioaktivitas
sebagai
antibakteri
dan
antidiabetes
berhubungan dengan potensi nilai manfaat ekonomi dari N.gracilis. Penelitian kandungan fitokimia, antibakteri dan antidiabetes merupakan suatu upaya pembuktian empiris dalam merangkai konektivitas pengetahuan etnofarmakologi masyarakat
lokal
dengan
pendekatan
pengetahuan
modern.
Penelitian
keragaman genetika yang dideskripsikan di dalam dan di antara populasi berhubungan dengan potensi nilai manfaat dan nilai alamiah yang menjadi syarat keberlanjutan
pemanfaatan
N.gracilis.
Deskripsi
prasayarat
pemanfaatan
berkelanjutan tumbuhan N.gracilis berhubungan dengan stimulus kerelaan dari masyarakat, pengelola dan stakeholder lainnya untuk mendukung konservasi di hutan
kerangas.
Penggunaan
data
hasil
penelitian
ditujukan
untuk
mengidentifikasi tingkat kepentingan dan stimulus dari N.gracilis dalam mendukung konservasi baik konservasi spesies tumbuhan, konservasi kawasan dan konservasi etnobotani masyarakat.
20
2. STATUS KONSERVASI DAN KARAKTERISTIK BEBERAPA KOMPONEN EKOLOGI HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan Kerangas merupakan suatu istilah yang awalnya diberikan suku Dayak Iban terhadap lahan yang berada di dataran rendah sampai zona submontana yang dikarenakan kondisi tanahnya bila ditanami padi maka padinya tidak akan bisa tumbuh (Bruenig 1974; Whitmore 1986). Kondisi ini menyebabkan masyarakat tradisional dulunya menghindari pembukaan kerangas.
Lahan
kerangas yang terbentuk akibat faktor edafis di atasnya ditumbuhi formasi hutan yang unik. Hutan kerangas tumbuh berkelompok secara mosaik umumnya terdapat pada hutan hujan tropis Dipterocarpaceae campuran dengan kondisi tanah yang relatif kurang subur. Hutan kerangas juga diketahui mempunyai lapisan humus yang kasar dan terdapat horizon kelabu tua berpasir tetapi diatas horizon A2 tercuci, dan sistem perakaran sebagian besar terdapat dilapisan ini dan pada daerah ini bahan organik yang setengah terdokomposisi dipenuhi oleh akar-akar halus seperti serabut. Sering ditemukan akar-akar halus menembus langsung ke serasah yang sedang terdekomposisi, dengan demikian hara dapat diserap langsung dari bahan organik mati tanpa melalui penyimpanan dalam tanah mineral. Mikoriza dan mikroorganisme lainnya banyak berperan dalam proses penyerapan hara ini (Kartawinata 1990). Posisi hutan kerangas dapat berbatasan dengan hutan Dipterocarpaceae, hutan rawa gambut, hutan tanah kapur, ataupun hutan pegunungan (Bruenig 1974). Hutan kerangas sangat berbeda dibandingkankan dengan hutan Dipterocarpaceae campuran baik dalam komposisi floristik, struktur dan fisiognomi (kenampakannya) serta batas di antara keduanya sangat jelas, walaupun mengalami kondisi iklim yang serupa (Whitmore 1986). Berdasarkan hasil observasi lapangan dan tinjauan literatur, hutan kerangas terdegradasi menjadi lahan terbuka yang didominasi tingkat semai pancang, serta terbentuknya tegakan yang didominasi satu atau sejumlah kecil jenis pohon tertentu (Kissinger 2004; Onrizal et al. 2005). Penebangan hutan, konversi lahan, dan kebakaran berulang
menjadi penyebab terdegradasinya
hutan kerangas. Bertitik tolak dari situasi masalah tersebut, perlu diupayakan suatu tindakan perlindungan dan penyelamatan terhadap keberadaan hutan kerangas.
21
Pendeskripsian
hutan
kerangas
melalui
identifikasi
perkembangan
dan
pengkarakterisasian kembali beberapa komponen ekologi diperlukan sebagai bahan pertimbangan penting bagi pengelolaan terhadap hutan kerangas yang telah terdegradasi atau hutan kerangas yang masih tersisa. Penelitian ini betujuan mengkaji perkembangan status dan menguraikan karakteristik ekologi hutan kerangas. Beberapa karakteristik ekologi yang dikaji dalam penelitian ini adalah komposisi dan jenis tumbuhan, sifat fisik-kimia-biologi tanah, dan fauna yang terdapat di hutan kerangas. B. Metode Penelitian 1) Objek dan Lokasi Penelitian Objek penelitian adalah hutan kerangas. Lokasi penelitian dilakukan pada satu lokasi penelitian utama di hutan Kerangas Desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Berdasarkan Kepmenhut nomor 672/Kpts-II/1991 dan Kepmenhut nomor 434/Kpts-II/1996 sebagian areal hutan kerangas yang terdapat di Desa Guntung Ujung termasuk dalam hutan lindung. Penelitian ini juga menggunakan 3 lokasi referensi: i) Tanjung-Muara Kelanis Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah ii) ,Arboretum Nyaru Menteng Kota Palangkaraya, dan iii) Pasirputih-Lenggana Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah. 2) Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data identifikasi perkembangan status hutan kerangas dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur (Rahayu et al. 2008). Responden kunci yang digunakan adalah aparat desa, tokoh dan tetua masyarakat. Jumlah total responden adalah 35 orang. Pengumpulan data ekologi hutan kerangas dilakukan dengan dua cara, yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder (berdasarkan referensi literatur). Pengumpulan data primer meliputi: a. Pengukuran komponen tumbuhan berupa identifikasi jumlah jenis, jumlah individu semua tingkatan tumbuhan, serta diameter pohon/tiang. Kategori tingkatan tumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) mengacu pada Soerianegara dan Indrawan (1998). Identifikasi jenis dilakukan berdasarkan kenampakan morfologi tumbuhan dengan mengacu hasil identifikasi dari Herbarium
Bogoriense
(Kissinger
2002).
Petak
pengukuran
untuk
pengumpulan data tumbuhan menggunakan metode petak tunggal berukuran
22
1 ha. Penempatan petak ukur dilakukan secara purposive dengan memperhatikan sebaran dari patches kerangas yang terbentuk. Unit-unit plot pengukuran di buat dalam petak tunggal tersebut untuk mengukur tiap tingkatan tumbuhan. Plot pengukuran tingkat tumbuhan pohon berukuran 20m x 20m, 10m x 10m untuk pengukuran tingkat tiang, 5m x 5m untuk pengukuran tingkat tumbuhan pancang dan petak berukuran, 2m x 2m untuk pengukuran tingkat semai (Soerianegara dan Indrawan 1998). b. Pengumpulan data tanah secara komposit menggunakan analisis tanah terganggu untuk mendapatkan beberapa sifat fisik dan kimia tanah. Sampel tanah diambil pada permukaan tanah di bawah serasah sampai kedalaman 15 cm (Claros et al. 2012).
Penggalian tanah dilakukan untuk mengukur
ketebalan gambut permukaan tanah. Sifat biologi tanah, sifat fisik lainnya, suhu, kelembaban dikumpulkan berdasarkan referensi literatur. c. Pengumpulan data fauna hutan kerangas dideskripsikan berdasarkan hasil pengamatan langsung dengan metode jalur/transek (Ansell et al. 2011). Identifikasi fauna dilakukan berdasarkan kenampakan morfologi fauna dan mengacu pada buku panduan lapangan tentang: Mamalia dan Primata Kalimantan (Mackinon et al ) dan Pengenalan Jenis Burung di Kalimantan (Mackinon et al. 1992). Data yang dikumpulkan berupa jumlah jenis fauna di lokasi penelitian. Kelengkapan data fauna diipenuhi melalui tinjauan literatur dan informasi dari masyarakat. 3. Analisis Data Analisis data perkembangan status hutan kerangas dilakukan secara deskriptif. Pendeskripsian perkembangan status hutan kerangas di lokasi penelitian dilakukan secara naratif dengan mempresentasikan hasil data dan informasi yang dikumpulkan. Analisis data ekologi tumbuhan menggunakan matriks tabulasi untuk mendeskripsikan komposisi jenis dan Indeks Nilai Penting sebagai deskripsi struktur tegakan (Soerianegara dan Indrawan 1998). Keanekaragaman jenis pohon dan permudaan dihitung berdasarkan indeks keragaman (H‘) (Ludwig and Reynold 1989).
Data fauna dianalisis secara deskriptif dan dipresentasikan
dalam bentuk matriks tabulasi komposisi jenis fauna. Analisis data tanah dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian Tanah Badan Meteorologi dan Geofisika Bogor. Data selanjutnya diolah dan ditampilkan dalam bentuk matriks tabulasi.
Pendeskripsian
karakteristik
ekologi
hutan
kerangas
secara
23
keseluruhan dilakukan dengan mempresentasikan secara kualitatif dan kuantitatif hasil pengolahan data primer dan sekunder. C. Hasil dan Pembahasan 1) Status Konservasi Hutan Kerangas di Lokasi Penelitian 1.1. Lokasi Utama Penelitian: Desa Guntung Ujung 1.1.1. Deskripsi Singkat Hutan Kerangas Desa Guntung Ujung Hutan lindung kerangas yang terdapat di desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan merupakan hutan lindung yang termasuk dalam wilayah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Lokasi permukiman terdekat dari hutan lindung tersebut adalah desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut. Penetapan Hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 672/Kpts-II/1991 dan Kepmenhut nomor 434/Kpts-II/1996 dengan total luas 2.250 ha yang terbagi menjadi dua blok hutan lindung, yaitu blok 1 seluas 960 ha termasuk wilayah Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar (Desa Guntung Ujung) dan blok 2 seluas 1290 ha termasuk wilayah Kecamatan Liang Anggang Banjarbaru. Berdasarkan hasil interpretasi data biofisik lapangan, pembentukan hutan kerangas yang terdapat di lokasi penelitian merupakan perkembangan dari teras pantai dan teras sungai Barito. Bruenig (1974) mengemukakan bahwa hutan kerangas terbentuk dari perkembangan hutan pantai berpasir yang pada phase tektonik terangkat lemah ke daratan dan berkembang menjadi hutan kerangas. Hutan kerangas yang menjadi lokasi penelitian berupa hutan kerangas terbuka (hanya tertutup oleh semai/pancang) dan hutan kerangas tertutup berupa tegakan murni dari tingkat pohon jenis merapat (Combretocarpus rotundatus). Hutan kerangas di Liang Anggang terdiri dari dua formasi tanah yaitu hutan kerangas yang berada di atas permukaan tanah jenis humus podsol yang kaya akan fraksi pasir (pasir kuarsa) tetapi sedikit liat dan lempung, dan hutan kerangas yang berkembang di tanah humus podsol yang relatif lebih besar kandungan liat lempung (liat berlumpur) dengan drainase tergenang. 1.1.2. Perkembangan sejarah hutan kerangas Desa Guntung Ujung a. Era sebelum tahun 1950-an Hutan kerangas yang menjadi lokasi utama penelitian merupakan bagian wilayah Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasil inventarisasi lapangan dari sisa tunggak, sisa-sisa pohon rebah, pohon tertimbun, dan anakan tingkat pancang/semai, serta informasi yang dikumpulkan
24
dari masyarakat, hutan kerangas di lokasi ini dulunya terdiri dari pohon-pohon berdiameter besar dari jenis belangiran (Shorea belangeran), bati-bati (Adina minutiflora), nipa/irat (Cratoxylon arborescens), bintangur
(Callophylum sp.),
alaban (Vitex pubescens) dan merapat (Combretocarpus rotundatus). Jenis-jenis lain yang banyak terdapat dan berdiameter lebih kecil adalah palawan (Tristaniopsis obovata) dan galam (Melaleuca cajuputi). Desa
terdekat dan berbatasan dengan hutan kerangas adalah desa
Guntung Ujung.
Luas Desa Guntung Ujung 18,42 km2 dengan total jumlah
penduduk sebesar 1.442 jiwa atau 435 KK. Mata pencaharian utama penduduk desa Guntung Ujung adalah petani sawah yang mencapai ± 95% dari jumlah penduduk. Desa Guntung Ujung merupakan pemekaran dari Desa Guntung Papuyu yang terpisah sejak tahun 1983. Terdapat 3 Rukun Tetangga (RT) di desa Guntung Ujung, yaitu RT 01, RT 02 dan RT 03. Wilayah RT 01 dan RT 02 merupakan bagian dari Guntung Ujung yang lebih dahulu terbentuk, yaitu sekitar tahun 1850-an. Pembentukan RT 01 dan RT 02 awalnya dari membuka tipe hutan rawa yang sebagian besar dibuka untuk pembuatan persawahan dan sebagian kecil untuk permukiman. RT 01 dan RT 02 didominasi oleh penduduk dari suku Banjar (± 95 %). Tata letak RT 01 dan RT 02 berada di sepanjang jalan utama desa yang menghubungkan sebagian wilayah kecamatan Gambut dan Kecamatan Beruntung Baru Kabupaten Banjar dengan Kecamatan Kurau Kabupaten Tanah Bumbu. RT 03 (diberi nama Handil Jawa) merupakan bagian dari wilayah desa yang berbatasan langsung dengan hutan kerangas.
Pemberian istilah handil
Jawa pada awalnya merupakan bentuk penjelasan terhadap wilayah di tengah hutan yang dihuni oleh orang Jawa.
Handil Jawa terbentuk sekitar tahun 1946
yang awalnya terdiri dari 17 KK suku Jawa. Mereka membuka wilayah ekoton hutan kerangas dan hutan rawa untuk membuat permukiman dan membuka hutan rawa untuk persawahan.
Pembukaan permukiman baru tersebut
berdampak pada terbukanya akses menuju hutan kerangas. Pada masa itu hutan kerangas menjadi sumber kayu dan pangan tambahan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Letak RT 03 tidak searah dengan RT 01 dan RT 02, karena posisinya memotong jalan utama desa dan menjorok sekitar ± 1 km ke arah kawasan hutan kerangas.
25
b.
Era tahun 1950-1970 Perkembangan sejarah hutan kerangas desa Guntung Ujung selanjutnya
adalah pada tahun 1957, ketika itu gerombolan Kahar Muzakar yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar menggunakan hutan kerangas sebagai markas gerombolan. Beberapa penduduk dari Handil Jawa Tengah pada saat itu terpaksa meninggalkan perkampungan karena adanya intimidasi dari gerombolan yang memasuki kampung untuk memaksa penduduk menyerahkan harta benda yang dimiliki, sebagian lain memilih tetap bertahan di Handil Jawa. Setelah lebih satu tahun (awal tahun 1959) barulah gerombolan tersebut dapat ditumpas oleh pihak pemerintah. Lokasi tempat penyerbuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terhadap gerombolan Kahar Muzakar di wilayah hutan kerangas tersebut berupa kolam yang dikenal dengan sebutan ―telaga darah‖. Beberapa keterangan dari penduduk menyatakan bahwa lokasi tersebut masih dianggap penduduk setempat sebagai kawasan ―anker‖ dan dianggap berkesan mistik dan sakral bagi masyarakat.
Areal telaga darah berdekatan dengan izin Kuasa
Penambangan (KP) untuk bahan galian pasir-batu dan berada di luar kawasan hutan lindung. Lokasinya didominasi tingkat pertumbuhan pancang dan semai dari jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di hutan kerangas. Penambangan intan secara tradisional di kawasan hutan kerangas Liang Anggang sudah berlangsung cukup lama (sekitar tahun 1959). Selanjutnya penambangan intan tersebut berkembang dengan tambahan hasil galian berupa pasir dan koral sejak digunakannya ―mesin sedot‖ dalam pertambangan intan. Proses pemungutan besar-besaran terhadap pohon-pohon hutan kerangas terjadi pada tahun 1966. Pihak pemerintah pada saat itu membebankan pada tahanan eks Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mempekerjakan para tahanan tersebut menebang pohon dan mengolahnya menjadi kayu gergajian baik berupa papan maupun balok. Pada saat itu menurut keterangan penduduk, terdapat 83 orang tahanan yang dikerahkan untuk menebang kayu dan menghasilkan kayu olahan untuk diberikan kepada pemerintah dan sebagian kecil disumbangkan pemerintah kepada penduduk setempat.
kayu olahan
Kejadian tersebut
berlangsung sampai tahun 1968. Sejak saat itu hutan kerangas Desa Guntung Ujung dan sekitarnya menjadi salah satu kawasan penghasil kayu.
26
c.
Era tahun 1970-1990 Hutan kerangas pada tahun 1970-an masih merupakan penghasil kayu dan
tambang emas dan intan bagi masyarakat hingga tahun 1990-an. Pada era ini (sekitar tahun 1980-an) pembagian tanah yang dipelopori oleh Kepala Desa saat itu sudah mulai dilakukan di hutan kerangas. Secara legal formal pembagian tanah ini diperkuat sejak diterbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT). Pengajuan SKT oleh pihak desa dimulai pada tahun 1989. Pihak desa kemudian mengajukan usul kepada pihak Kecamatan agar mendapatkan Surat Keterangan Tanah. Respon masyarakat pada waktu itu tidak terlalu besar karena pada awalnya penduduk kurang tertarik terhadap lahan kerangas, karena menurut perspektif masyarakat pada waktu itu kerangas merupakan lahan tidak produktif untuk produksi pertanian. Penduduk desa umumnya pada waktu itu maksimal mendapatkan 1-2 ha tanah per KK yang letaknya tidak jauh dari permukiman dan persawahan. Pertimbangan keikutsertaan masyarakat pada saat itu untuk memiliki sebidang tanah hanya untuk simpanan tanah permukiman untuk anak cucu dan untuk rencana pengembangan ternak.
Tidak terlalu besarnya
penguasaan lahan pada saat itu karena terbatasnya kemampuan membuka dan membersihkan lahan.
Upaya pembersihan dan atau pemanfaatan lahan
memerlukan waktu 3 tahun (sebagai lahan yang diolah) agar terbit SKT. d.
Era tahun 1990-sekarang Berkembangnya pertambangan intan tradisional yang berlangsung hingga
tahun 1990-an menarik perhatian perusahaan multinasional PT. Aneka Tambang dengan
subkontraktor
―John
Holland‖
untuk
melakukan
izin
eksplorasi
pertambangan intan (dengan hasil ikutan emas) di hutan kerangas yang tidak termasuk dalam kawasan hutan lindung (Kepmenhut nomor 672/Kpts-II/91). Izin eksplorasi dan operasional pertambangan dimulai pada tahun 1991 dan berakhir tahun 1993. Walaupun hanya berlangsung tiga tahun kegiatan pertambangan ini telah meninggalkan lubang besar bekas galian tambang yang sampai saat ini dibiarkan terbuka dan tidak dikelola. Penetapan sebagian kawasan hutan kerangas sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) nomor 672/Kpts-II/91 dan Kepmenhut nomor 434/Kpts-II/1996 tentang penetapan kelompok hutan Liang Anggang yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar seluas 2.250 hektar sebagai kawasan hutan dengan fungsi hutan lindung.
27
Hutan lindung terbagi menjadi dua blok, blok I seluas 960 hektar berada di Kecamatan Gambut (Desa Guntung Ujung) dan blok II masuk wilayah Kecamatan Liang Anggang Banjarbaru seluas 1.290 ha. Penetapan sebagian kecil hutan kerangas sebagai hutan lindung bila ditinjau lebih lanjut merupakan pertentangan antara tinjauan manajemen dan tinjauan ekologi. Tinjauan ekologi mengidentifikasikan bahwa hutan yang ada merupakan tipe hutan kerangas yang status kawasannya perlu dikonservasi atau dilindungi, tetapi secara manajemen (manajemen tata ruang) hanya sebagian kecil yang ditetapkan sebagai hutan lindung dan sebagian besar berupa Area Penggunaan Lain (APL). Di luar kedua pertentangan tersebut, tinjauan manajemen itu sendiri tidak dipatuhi karena banyak kawasan di dalam hutan lindung yang dirusak dan digunakan untuk penggunaan lain dan tidak dipertahankan fungsi lindung hutannya. Relatif bersamaannya antara keluarnya Kepmenhut nomor 672/Kpts-II/91 dengan Surat Keterangan Tanah, merupakan cikal bakal terjadinya konflik kepemilikan lahan masyarakat dan hutan lindung. Perspektif baru muncul tentang lahan kerangas, seiring dengan dibukanya akses jalan baru (Jalan Padat Karya Desa yang selanjutnya dipelihara PT. Aneka Tambang) yang melintasi areal hutan kerangas maka lahan kerangas nilai ekonominya meningkat. Selanjutnya pada tahun berikutnya perkembangan pembangunan daerah dan pertumbuhan penduduk yang berasal dari Kab. Banjar, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin dan Kab.Tanah Laut menciptakan perspektif baru untuk pengembangan permukiman dan pusat perekonomian di lahan-lahan kerangas. Akibatnya tanah-tanah yang berada di hutan kerangas banyak dijual sebagai tanah kavling untuk kepentingan permukiman dan kepentingan lainnya. Pengkavlingan tanah sudah berlangsung sejak tahun 1995-an sampai sekarang. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, pengkavlingan tanah di hutan kerangas yang terjadi pada tahun 1995-an dimotori oleh beberapa aparat desa saat itu yang memobilisasi masyarakat setempat untuk mencaplok hutan lindung (masing-masing KK hanya mendapatkan luasan lahan relatif kecil). Selanjutnya terjadi diskonektivitas informasi dalam masyarakat lokal (pandangan kurang bermanfaatnya lahan, biaya sertifikasi lahan yang mahal) sehingga lahan dijual kembali karena dirasa tidak bermanfaat. Beberapa individu berhasil memanfaatkan situasi tersebut, mereka akhirnya mendapatkan porsi lahan lebih luas lalu menjual lahan sebagai tanah kavlingan kepada non-penduduk setempat, baik yang berasal dari Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten
28
Banjar, Kabupaten Tanah Laut, sampai wilayah Kabupaten
Tapin dan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan bahkan Kalimantan Tengah. Kegiatan ini juga yang sekarang menjadi cikal bakal tumpang tindih kepemilikan tanah baik di luar kawasan hutan lindung dan dalam kawasan hutan lindung. Pengkavlingan tanah ini juga yang menjadi pemicu kebakaran berulang di hutan
kerangas.
Pembakaran
relatif
dilakukan
dengan
sengaja
untuk
pembersihan lahan di tanah-tanah kavling. Kebakaran berulang menjadi faktor terbesar yang menyebabkan kerusakan lahan/tanah dan sumberdaya hayati hutan kerangas.
Kebakaran berulang yang relatif berlangsung setiap tahun
mengakibatkan meningkatnya penyakit inspeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di kalangan masyarakat dan meningkatnya intensitas dan frekuensi serangan hama hutan seperti babi hutan dan kera ke lahan permukiman dan pertanian penduduk di sekitar hutan kerangas sebagai akibat dari rusaknya habitat. Pemanfaatan hutan kerangas sebagai penghasil kayu sudah mulai menurun sejak tahun 1990-an. Pemanenan kayu yang ada sekarang terbatas pada jenis merapat (Combretocarpus rotundatus) untuk kayu pertukangan dan jenis galam (Melaleuca cajuputi) untuk kayu bakar. Beberapa kelompok masyarakat memungut kayu ―Galih‖ (istilah untuk sisa kayu yang tertimbun tanah) untuk keperluan sendiri. Masyarakat juga menggunakan hutan kerangas sebagai sumber hasil hutan non kayu untuk bahan pengobatan dan jamu. Jenis rambuhatap (Baeckea frutescens), buah dan daun galam (Melaleuca cajuputi) merupakan komoditas yang dipanen masyarakat untuk dijual sebagai bahan jamu atau pengobatan tradisional. Pola pertambangan intan dan pasir di hutan kerangas (di luar hutan lindung) sejak tahun 2003 mulai berubah menjadi izin Kuasa Pertambangan bahan galian pasir-liat-batu, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan pasirliat-batu untuk pembuatan konstruksi jalan raya. Penggunaan alat berat untuk kegiatan penambangan meninggalkan lubang-lubang galian baru di hutan kerangas. Berdasarkan konfirmasi dari Dinas Pertambangan Kabupaten Banjar rencana pasca penambangan, lubang-lubang galian tersebut rencananya berdasarkan dokumen UKL-UPL (Upaya Kelola Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan) akan dibuat kolam budidaya air tawar. Hingga saat ini realisasi pembuatan kolam budidaya air tawar tersebut belum dilaksanakan. Berdasarkan peraturan, penambangan pasir-liat-batu sebenarnya dihentikan sementara karena belum keluarnya aturan dari Kementerian Energi, Sumberdaya Mineral
29
dan Batubara mengenai izin Kuasa Pertambangan. Tetapi secara illegal pertambangan masih berlangsung. Pertambangan tradisional masyarakat intan, emas dan pasir juga masih berlangsung dalam jumlah yang semakin mengecil. Pertambangan pasir, intan dan emas juga berada di luar kawasan hutan lindung. Manajemen tata ruang merupakan kolaborasi antara beberapa tinjauan atau kepentingan, baik tinjauan ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan politis yang diimplementasikan terhadap hutan kerangas. Pengelolaan intensif terhadap hutan lindung kerangas desa Guntung Ujung sampai saat ini masih belum dapat dilaksanakan.
Dinas Kehutanan sebagai pihak yang berwenang menentukan
pengelolaan dan Balai Pemetaan Kawasan Hutan (BPKH) Banjarbaru yang berwewenang dalam penetapan dan penatabatasan kawasan sampai saat ini masih belum bersinergi dengan baik, Sementara itu degradasi terus berlangsung. 1.2. Lokasi Referensi Penelitian 1.2.1. Tanjung Kalsel-Muara Kelanis Kalteng (referensi 1) Hutan kerangas yang terdapat di Tanjung-Muara Kelanis merupakan hutan kerangas yang terdapat di perbatasan Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan dan Muara Kelanis Kabupaten Barito Selatan (Kalimantan Tengah). Tipe hutan kerangas terdiri dari kerangas kering dan kerangas basah. Koordinat penelitian terletak pada 02o 15,183‘ LS; 115o 03,087‘ BT dan 02o 12,579‘ LS; 115o 14,349‘ BT. ketinggian ±38 m dpl, topografi datar (kelerengan 0% - 2%). Pembentukan hutan kerangas Tanjung-Muara Kelanis dipengaruhi oleh teras yang terbentuk dari sungai dan anak sungai Barito (sungai Kelanis. Penutupan vegetasi yang menjadi lokasi penelitian adalah hutan kerangas terbuka (terbuka tanpa penutupan vegetasi, dominasi tumbuhan tingkat pancang dan semai) dan hutan kerangas sekunder (tertutup kanopi hutan dari tegakan pohon, tiang, pancang dan semai). Hutan kerangas di lokasi ini terdiri dari dua tipe yaitu hutan kerangas pada tanah humus podsol yang tidak tergenang, dan humus podsol yang relatif kaya akan fraksi lempung-liat dan berupa kawasan lumpur bergambut. Jenis eksotik yang mampu terintroduksi dalam hutan kerangas terutama kerangas tidak tergenang adalah Acacia mangium. Berbagai uraian tentang kondisi terkini hutan kerangas baik dari lokasi penelitian utama dan referensi menunjukkan sebagian besar wilayah hutan kerangas adalah tidak terkelola dan terdegradasi. Fenomena ini menunjukkan kecenderungan status kawasan hutan kerangas semakin terancam dan keanekaragaman hayati di dalamnya semakin menurun.
30
1.2.2. Arboretum Nyaru Menteng Kota Palangkaraya (referensi 2) Hutan kerangas yang terdapat di Palangkaraya Kalimantan Tengah merupakan wilayah dari Arboretum Nyaru Menteng yang dibangun tahun 1988 dan merupakan areal bekas HPH yang telah dieksploitasi sejak tahun 1974. Khusus untuk hutan kerangas, areal hutannya tidak dieksploitasi. Arboretum Nyaru Menteng dengan luas 65,2 Ha. Terletak di sebelah Timur jalan raya Tjilik Riwut Km 28 dari Palangkaraya menuju Kabupaten Katingan. Secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Tumbang Tahai Kecamatan Bukit Batu Kotamadya Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Berdasarkan letak garis lintang dan garis bujur, kawasan ini berada diantara 113° 46‘ - 113°48‘ BT dan 2°0‘- 2° 02‘ LS. Ketinggian wilayah ini adalah ± 25 m dpl, topografi kawasan Arboretum Nyaru Menteng secara keseluruhan datar dengan kelerengan 0 - 2%. Pembentukan hutan kerangas Nyaru Menteng dipengaruhi oleh teras yang terbentuk dari sungai Kahayan. Hutan ini merupakan hutan kerangas old growth dan sebagian berbentuk hutan kerangas sekunder. Hutan kerangas ini tumbuh di atas tanah humus podsol yang relatif kering dan tidak tergenang. Hutan kerangas ini pada awalnya termasuk dalam kawasan HPH yang masuk wilayah pengelolaan Kantor Cabang Dinas Kehutanan (KCDK) Kahayan. Sejak Tahun 1994 pengelolaan arboretum ini dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, setelah mendapat pelimpahan kewenangan untuk mengelola arboretum dari Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah melalui suratnya No. 3274/Kwl-5/I/1994 tanggal 9 Pebruari 1994. Pengelolaan di lapangan dilaksanakan oleh Seksi Konservasi Wilayah I Palangkaraya. Sebagian wilayah dari Arboretum Nyaru Menteng digunakan sebagai Pusat Reintroduksi Orang utan (Pongo pigmeus). 1.2.3. Pasir putih-Lenggana Kabupaten Kotawaringin Timur Kalteng (referensi 3) Hutan kerangas di Kabupaten Kotawaringin Timur yang menjadi lokasi penelitian secara administratif terletak di antara Kelurahan Pasir Putih dan Kelurahan Telawang. Titik pengamatan berada pada koordinat 02o 27,989‘ LS; 112o43,079‘ BT dan 02o 30,350‘ LS; 112o52,489‘ BT, ketinggian ± 16 m dpl, topografi secara keseluruhan datar dengan kelerengan 0% - 6%. Pembentukan hutan kerangas pada lokasi ini dipengaruhi oleh teras yang terbentuk dari sungai dan anak sungai Mentaya (sungai Lenggana), sungai dan anak sungai Seruyan (sungai Penyang). Penutupan vegetasi yang menjadi lokasi penelitian sebagian besar merupakan hutan kerangas terbuka (dominasi tumbuhan tingkat pancang
31
dan semai). Tipe hutan kerangas di lokasi ini merupakan hutan kerangas yang tumbuh pada medium dan deep humus podsol yang masih kaya akan pasir kuarsa dibandingkankan fraksi liat dan lempung. Beberapa jenis tumbuhan tingkat pancang dan semai yang mendominasi adalah Melaleuca cajuputi, Shorea belangeran, Cratoxylon arborescens, Combretocarpus rotundatus, Ficus delteodea. Vitex pubescen dan Tristaniopsis obovata. Sebagian kecil lokasi lainnya berupa spot-spot hutan kerangas yang yang terdiri dari tumbuhan tingkat tiang jenis Shorea belangeran, Cratoxylon arborescens dan Combretocarpus rotundatus.
Jenis eksotik yang mampu
terintroduksi dalam hutan kerangas adalah Acacia mangium. 2) Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Kerangas Komposisi jenis tegakan hutan kerangas yang berada di lokasi penelitian utama merupakan gambaran hutan kerangas yang terganggu berat. Terdapat 1 jenis tumbuhan tingkat pohon yang terdapat di hutan kerangas Desa Guntung Ujung. Tabel 2.1 - 2.4 memuat komposisi jenis, indeks nilai penting (INP) dan indeks keragaman dari tiap tingkatan tumbuhan di hutan kerangas Desa Guntung Ujung (lokasi 1/lokasi utama penelitian). Tabel 2.1 Komposisi jenis, keragaman jenis, INP tingkat semai di lokasi utama No
Jenis tingkat semai
KR (%)
FR (%)
INP (%)
H’
7,35
0,06
1
Akasia (Acacia mangium)
1,47
5,88
2
Alaban (Vitex pubescens)
2,94
5,88
8,82
0,10
3
Bati-bati (Adina minutiflora)
4,41
5,88
10,29
0,14
4
Belangiran (Shorea belangeran)
2,94
5,88
8,82
0,10
5
Bintangur (Callophylum sp.)
32,35
17,65
50,00
0,37
6
Irat (Cratoxylon arborescens)
16,18
23,53
39,71
0,29
7
Galam (Melaleuca cajuputi)
4,41
5,88
10,29
0,14
8
Merapat (Combretocarpus rotundatus)
5,88
5,88
11,76
0,17
9
Palawan (Tristaniopsis obovata)
13,24
11,76
25,00
0,27
10
Rambuhatap (Baeckea frutescens)
16,18
11,76
27,94
0,29
JUMLAH
100,00
100,00
200,00
1,93
Terdapat 10 jenis tumbuhan tingkat semai pada lokasi hutan kerangas Desa Guntung Ujung. Bintangur dan irat merupakan jenis tumbuhan yang mendominasi tingkat semai. Akasia sebagai jenis eksotik terintroduksi ke dalam habitat kerangas dan memiliki nilai INP terendah. Keragaman jenis secara keseluruhan termasuk rendah. Jumlah jenis yang relatif rendah dan dominasi yang relatif besar dari bintangur dan irat dibandingkankan jenis lainnya mengakibatkan keragaman jenis dari tingkat tumbuhan semai menjadi rendah.
32
Tabel 2.2 Komposisi jenis, keragaman jenis dan INP pancang di lokasi utama No
Jenis tingkat pancang
KR (%)
FR (%)
INP (%)
H’
1
Akasia (A.mangium)
2,86
8,70
11,55
0,12
2
Belangiran (S.belangeran)
5,71
8,70
14,41
0,16
3
Bintangur (Callophylum sp.)
48,57
17,39
65,96
0,35
4
Irat (C.arborescens)
16,19
17,39
33,58
0,29
5
Galam (M.cajuputi)
3,81
4,35
8,16
0,14
6
Merapat (C.rotundatus)
4,76
8,70
13,46
0,14
7
Palawan (T.obovata)
11,43
17,39
28,82
0,25
8
Pulantan (Alstonia pneumatophora)
0,95
4,35
5,30
0,04
9
Rambuhatap (B.frutescens)
5,71
13,04
18,76
0,16
100,00
100,00
200,00
1,67
JUMLAH
Jumlah jenis yang ditemukan pada tingkat pancang sebanyak 9 jenis tumbuhan. Jenis bintangur, irat dan palawan mendominasi tingkatan pancang. Nilai indeks keragaman jenis tingkatan pancang relatif rendah (H‘=1,67). Rendahnya jumlah jenis yang ditemukan dan dominasi yang relatif tinggi dari ke tiga jenis ini menjadikan keragaman jenis tumbuhan tingkat pancang menjadi rendah. Tabel 2.3 Komposisi jenis, keragaman jenis dan INP tingkat tiang di lokasi utama No
Jenis tingkat pancang
DR (%)
KR (%)
FR (%)
INP (%)
H’
1
Akasia (A.mangium)
9,20
11,11
14,20
34,51
0,26
2
Merapat (C.rotundatus)
90,80
88,89
85,80
265,49
0,12
JUMLAH
100,00
100,00
100,00
300,00
0,38
Terdapat 2 jenis tumbuhan tingkat tiang yang terdapat di lokasi utama. Fenomena ini menggambarkan tipe hutan kerangas terbuka. Jenis merapat mendominasi tingkat tiang. Akasia merupakan jenis eksotik yang berhasil terintroduksi dan mampu tumbuh dan berkembang sampai tingkat tiang pada hutan kerangas di lokasi utama. Jumlah jenis yang sedikit dan jenis merapat yang mampu tumbuh dominan sampai tingkat tiang mengakibatkan nilai keragaman tingkat tiang menjadi sangat rendah. Tabel 2.4 Komposisi jenis, keragaman jenis, INP tingkat pohon di lokasi utama No
Jenis tingkat pancang
DR (%)
KR (%)
FR (%)
INP (%)
H’
1
Merapat (C.rotundatus)
100,00
100,00
100,00
300,00
0
JUMLAH
100,00
100,00
100,00
300,00
0
Merapat merupakan satu-satunya jenis tumbuhan yang mampu tumbuh dan bertahan sampai tingkat pohon. Tegakan merapat yang tersisa berupa
33
patches berukuran kecil atau berupa tegakan terfragmentasi. Tegakan yang terbentuk adalah tegakan murni dengan keragaman yang sangat rendah. Hutan kerangas di Desa Guntung Ujung mengalami kebakaran berulang, penutupan lahannya seperti savana terbuka yang didominasi oleh tumbuhan semak dengan pohon-pohon dengan diameter kecil dan tinggi dan frekuensi kehadiran pohon yang rendah. Tumbuhan bawah yang masih bertahan di lokasi penelitian utama dan berkembang dominan adalah kantong semar (N.gracilis), jangang (Glechenia linearis), kelakai (Stenochlena palustris), sulingnaga (Dianella nemerosa), dan rasau (Pandanus atrocarpus). Populasi tumbuhan bawah juga menurun akibat kebakaran dan pengupasan permukaan tanah. Komposisi jenis total keseluruhan tingkatan tumbuhan tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan di lokasi penelitian utama bila dibandingkankan hasil penelitian Kissinger (2002). Jumlah jenis total gabungan semua tingkatan vegetasi adalah 10 jenis. Perubahan yang terjadi mengarah pada struktur tegakan dari tiap tingkatan vegetasi. Perubahan tingkat semai dan pancang relatif terjadi pada struktur vegetasi penyusunnya. Terjadi pergeseran jenis-jenis yang mendominasi tingkat pertumbuhan pancang dan semai. Struktur tegakan tingkat tiang dan pohon juga mengalami penurunan jumlah jenis yang mampu tumbuh, berkembang dan bertahan pada tingkatan tiang dan pohon. Tercatat dari hasil penelitian yang dilakukan (Kissinger 2002), hutan kerangas di Desa Guntung Ujung memiliki 3 jenis tumbuhan asli (native species) yang mencapai tingkatan pohon ( diameter ≥ 10 cm) dengan tinggi maksimal ≤ 15 m yaitu jenis merapat (Combretocarpus rotundatus), belangiran (Shorea belangeran) dan galam (Melaleuca cajuputi). Tumbuhan tingkat tiang yang ditemukan sama dengan tumbuhan tingkat tiang ditambah satu jenis eksotik yaitu akasia (Acacia mangium). Gambaran diagram profil dari hutan kerangas adalah seperti tertera pada gambar 2.1. Hasil penelitian sekarang menunjukkan hanya satu jenis tumbuhan yang menyusun tumbuhan tingkat pohon (jenis merapat) dan 2 jenis tumbuhan tingkat tiang (merapat dan akasia).
34
Keterangan: 1-10,13-17,19-23: Merapat (Combretocarpus rotundatus). 11,18: Galam (Melaleuca cajuputi) 12. Belangeran (Shorea belangeran)
Gambar 2.1 Diagram profil tegakan hutan kerangas terganggu berat di hutan lindung Desa Guntung Ujung (Sumber: Kissinger 2002). Gambar 2.1 mendeskripsikan hutan kerangas Desa Guntung Ujung pada spot-spot kerangas yang masih bervegetasi. Kemampuan jenis pohon merapat mendominasi berkaitan erat dengan ketahanan jenis ini terhadap kebakaran, kemampuan regenerasi yang baik (vegetatif dan generatif), kemampuan hidup yang tinggi pada tanah berpasir dengan ketebalan gambut atau bahan organik (tipis-dalam), dan kemampuan hidup di tanah miskin hara. Kebakaran berulang menyebabkan tumbuhan tingkat pohon yang tersisa dan mampu bertahan di hutan kerangas di Desa Guntung Ujung hanya dari jenis ‖less fire toleran species‖ yaitu jenis merapat. Jenis ini dapat beradaptasi dibandingkankan dengan beberapa jenis lainnya yang dulu juga dominan tumbuh di hutan kerangas seperti irat (C.arborescens), palawan (T.obovata), bintangur (Callophylum sp.) dan belangiran (S.belangeran). Gambar 2.2 mendeskripsikan kemampuan atau adaftabilitas dari jenis merapat di hutan kerangas Desa Guntung Ujung yang terbakar berulang.
35
Gambar 2.2 Kenampakan dari jenis merapat (Combretocarpus rotundatus) di hutan kerangas yang terbakar berulang (Sumber: Kissinger 2002). Komposisi jenis tingkat pancang dan semai juga mengalami perubahan. Kissinger (2002) menyebutkan bahwa jenis yang mendominasi tingkat semai dan pancang terdiri dari beberapa jenis seperti irat (C.arborescens), belangiran (S.belangeran), bintangur (Callophylum sp.), palawan (T.obovata), merapat (C.rotundatus) dan bati-bati (Adina minutiflora). Kondisi sekarang hanya menyisakan 3 jenis yang dominan pada tingkat pancang dan semai, yaitu irat, bintangur dan palawan. Perubahan yang cukup signifikan adalah terintroduksinya jenis eksotik yang mampu tumbuh dan berkembang baik di hutan kerangas yaitu akasia (A.mangium). Kondisi vegetasi hutan kerangas di Desa Guntung Ujung serupa dengan yang dilaporkan oleh Onrizal (2004) pada tegakan hutan kerangas di Taman Nasional Danau Sentarum Kalimantan Barat yang mengalami kebakaran berulang. Tegakan tingkat pohon yang terbentuk juga relatif homogen karena pada tingkatan pohon hanya ditemukan satu jenis pohon (Bellucia axinanthera) dari total 14 jenis tumbuhan yang ditemukan. Komposisi jenis dan struktur tegakan yang serupa juga terdapat pada hutan kerangas terbuka dari lokasi referensi, yaitu hutan kerangas di Pasir putihLenggana Kabupaten Kotawaringin Timur (referensi 3) dan Tanjung-Muara Kelanis
(referensi
1).
Tegakan
secara
keseluruhan
didominasi
tingkat
pertumbuhan pancang dan semai, sedangkan tingkat pohon dan tiang terdapat dalam spot-spot kecil di antara luasan habitat kerangas yang terbuka. Spot-spot kecil tersebut umumnya berisikan jenis belangiran (S.belangeran), merapat (C.rotundatus) dan Irat (C.arborescens). Akasia (A.mangium) merupakan jenis yang juga terintroduksi dari tingkat semai sampai pohon pada ke dua lokasi
36
referensi yang merupakan hutan kerangas terbuka. Terdapat 10 jenis tumbuhan tingkat pancang dan semai di hutan kerangas terbuka dari lokasi referensi 3, dan 11 jenis dari hutan kerangas terbuka lokasi referensi 1. Hutan kerangas mempunyai laju pertumbuhan dan perkembangan vegetasi yang relatif lambat dibandingkan hutan Dipterocarpaceae campuran.
Bila
hutan/lahan ini mengalami gangguan maka akan sukar untuk pulih kembali (Bruenig 1995). Riswan (1985) mengungkapkan bahwa setelah hutan kerangas mengalami kebakaran, laju ketahanan (survival rate) dari semai menuju pancang sangat kecil (3,2 %) sebagai akibat tingginya kematian semai dan lambatnya laju pertumbuhan.
Hal yang sama juga terjadi terhadap laju ketahanan tingkat
sapihan menuju tingkat tiang atau pohon.
Hutan kerangas sangat mudah
terdegradasi oleh aktifitas penebangan tak terkontrol dan kebakaran. Bila sekali mengalami degradasi maka akan berkembang menjadi savana terbuka (Bruenig 1995). Laju pertumbuhan vegetasi di lahan kerangas lambat begitu juga kecepatan pemulihan bila lahan ini mengalami gangguan. Penanaman kembali menggunakan tumbuhan asli terbukti tidak efektif (Mitchell 1963). Hutan kerangas sekunder pada penelitian ini diwakili oleh komunitas tumbuhan kerangas yang terdapat di Tanjung-Muara Kelanis (lokasi referensi 1). Tabel 2.5 - 2.8 memuat komposisi jenis, indeks nilai penting (INP) dan indeks keragaman dari tiap tingkatan tumbuhan hutan kerangas tidak terendam di Tanjung-Muara Kelanis. Tabel 2.5 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat semai di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering) No
Jenis tingkat semai
KR (%)
FR (%)
INP (%)
1
Akasia (A.mangium)
7,55
11,90
19,45
0,19
2
Alaban (V.pubescens)
1,89
4,76
6,65
0,07
3
Bati-bati (A.minutiflora)
1,89
2,38
4,27
0,12
4
Belangiran (S.belangeran)
2,83
4,76
7,59
0,10
5
Bintangur (Callophylum sp.)
6,60
9,52
16,13
0,18
6
Irat (C.arborescens)
33,96
26,19
60,15
0,37
7
Gumisi (Syzigium tetrapterum)
5,66
11,90
17,57
0,16
8
Jejambuan (Syzigium sp.)
3,77
4,76
8,54
0,04
9
Kujajing (Pterospernum javanicum)
0,94
2,38
3,32
0,04
10
Lua (Bacaurea sp)
0,94
2,38
3,32
0,04
11
Mahang (Macaranga sp.)
0,94
2,38
3,32
0,32
12
Manggis (Garcinia sp.)
20,75
4,76
25,52
0,25
13
Palawan (T.obovata)
12,26
11,90
24,17
0,12
100,00
100,00
200,00
2,02
JUMLAH
H'
37
Terdapat 13 jenis tumbuhan tingkat semai yang ditemukan di hutan sekunder tipe kerangas dari lokasi referensi 1. Jenis irat merupakan tumbuhan yang mendominasi tingkat pertumbuhan semai. Indeks keragaman yang didapatkan dari tipe hutan kerangas sekunder adalah kategori sedang (H‘ ≥ 2). Tabel 2.6 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pancang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis Pancang Akasia (A.mangium) Belangiran (S.belangeran) Bintangur (Callophylum sp.) Irat (C.arborescens) Jejambuan (Syzigium sp.) Madang (Litsea sp.) Mahang (Macaranga sp.) Mali-mali (Lee indica) Mengkudu (Morinda sp.) Merapat (C.rotundatus) Palawan (T.obovata) Simpur (Dillenia indica) JUMLAH
KR (%)
FR (%)
INP (%)
H'
11,58 34,48 11,82 12,81 4,93 0,99 4,93 1,97 0,99 7,64 6,90 0,99 100,00
16,22 10,81 8,11 18,92 8,11 2,70 8,11 2,70 2,70 13,51 5,41 2,70 100,00
27,79 45,29 19,93 31,73 13,03 3,69 13,03 4,67 3,69 21,15 12,30 3,69 200,00
0,29 0,24 0,20 0,32 0,20 0,10 0,20 0,10 0,10 0,27 0,16 0,10 2,28
Terdapat 12 jenis tumbuhan tingkat pancang pada lokasi referensi 1 yang merupakan tipe hutan kerangas sekunder. Jenis belangiran mendominasi pada tingkat pancang. Relatif tingginya jumlah jenis tingkat pancang pada hutan kerangas sekunder dibandingkankan hutan kerangas terbuka, berdampak pada tingginya keragaman jenis pancang. Keragaman jenis tingkat pancang termasuk kategori sedang. N.gracilis dan N.mirabilis sebagai tumbuhan bawah ditemukan di lokasi penelitian ini. N.gracilis relatif banyak ditemukan di celah (gap) di mana cahaya matahari dapat menembus lantai hutan. Tabel 2.7 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat tiang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Tiang Bati-bati (A.minutiflora) Belangiran (S.belangeran) Beringin (Ficus sp.) Bintangur (Callophylum sp.) Irat (C.arborescens) Jejambuan Syzigium sp.) Manggis hutan (Garcinia sp.) Nyatoh (Palaquium borneense) Palawan (T.obovata) Rukam (Flacourtia rukam) Simpur (D.indica) JUMLAH
DR (%) 3,62 28,81 8,30 3,14 9,22 17,90 7,84 4,25 5,29 3,16 8,46 100
KR (%) 3,62 28,81 8,30 3,14 9,22 17,90 7,84 4,25 5,29 3,16 8,46 100
FR (%) 3,85 23,08 7,69 7,69 11,54 7,69 11,54 7,69 7,69 3,85 7,69 100
INP (%) 11,09 80,70 24,30 13,98 29,97 43,50 27,22 16,19 18,27 10,16 24,62 300
H' 0,15 0,36 0,15 0,15 0,28 0,28 0,23 0,15 0,15 0,09 0,15 2,12
38
Terdapat 11 jenis tumbuhan tingkat tiang pada lokasi hutan kerangas sekunder. Belangiran dan merapat merupakan jenis yang mendominasi tingkat pertumbuhan tiang. Berdasarkan nilai indeks keragaman, jenis tingkat tiang dari hutan kerangas sekunder di lokasi referensi 1 termasuk dalam kategori keanekaragaman sedang. Tabel 2.8 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pohon di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering) No 1 2 3 4
Jenis Pohon Belangiran (S.belangeran) Irat (C.arborescens) Nyatoh (P.borneense) Palawan (T.obovata) Jumlah
DR (%) 62,86 19,47 8,16 9,51 100,00
KR (%) 56,25 25,00 12,50 6,25 100,00
FR (%) 50,00 25,00 12,50 12,50 100,00
INP (%) 169,11 69,47 33,16 28,26 300,00
H' 0,32 0,35 0,26 0,17 1,10
Terdapat 4 jenis tumbuhan tingkat pohon di hutan kerangas sekunder lahan kering. Jenis belangiran mendominasi tingkatan tumbuhan pohon. Relatif kecilnya jumlah jenis pohon mengakibatkan rendahnya keragaman jenis tingkat tumbuhan pohon di hutan kerangas sekunder lokasi referensi 1. Tipe hutan kerangas dengan bahan organik tinggi dan terendam terdapat di lokasi referensi 1. Komposisi jenis, indeks nilai penting (INP) dan indeks keragaman dari tiap tingkatan tumbuhan dari tipe hutan kerangas terendam ditampilkan dalam Tabel 2.9 sampai dengan 2.12. Tabel 2.9 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat semai di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam) No 1 2 3 4 5
Jenis semai Bati-bati (A.minutiflora) Belangiran (S.belangeran) Bintangur (Callophylum sp.) Gumisi (Syzigium tetrapterum) Merapat (C.rotundatus) Jumlah
KR (%) 33,33 11,11 33,33 11,11 11,11 100,00
FR (%) 20,00 20,00 20,00 20,00 20,00 100,00
INP (%) 53,33 31,11 53,33 31,11 31,11 200,00
H' 0,37 0,24 0,37 0,24 0,24 1,46
Terdapat 5 jenis tumbuhan tingkat semai dan tidak terdapat jenis yang mendominasi tingkat semai tersebut. Jumlah jenis semai yang ditemukan pada hutan terendam relatif lebih rendah dibandingkan hutan kerangas lahan kering. Keanekaragaman jenis tumbuhan pada lokasi hutan kerangas terendam tergolong rendah. Jumlah jenis tumbuhan tingkat semai yang rendah berdampak pada rendahnya indeks keanekaragaman yang terbentuk. Lantai hutan yang terendam air dan dominasi penutupan lantai hutan oleh jenis kelakai (Stenochlaena palustris) diduga menjadi penghambat proses regenerasi permudaan pohon.
39
Tabel 2.10 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pancang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam) No
Jenis pancang
KR (%)
FR (%)
INP (%)
H'
18,18
43,18
0,46
1
Belangiran (S.belangeran)
25,00
2
Bintangur (Callophylum sp.)
8,33
9,09
17,42
0,21
3
Jejambuan (Syzigium sp.)
8,33
18,18
26,52
0,26
4
Madang (Litsea sp.)
4,17
9,09
13,26
0,13
5
Mahang (Macaranga sp.)
12,50
9,09
21,59
0,26
6
Merapat (C.rotundatus)
33,33
27,27
60,61
0,67
7
Nyatoh (P.borneense)
8,33
9,09
17,42
0,26
100,00
100,00
200,00
2,25
Jumlah
Jumlah jenis tumbuhan tingkat pancang yang ditemukan di hutan kerangas sekunder terendam sebanyak 7 jenis. Jenis merapat (C.rotundatus) mendominasi tingkat pertumbuhan pancang. Jumlah jenis tumbuhan tingkat pancang yang ditemukan relatif lebih sedikit dibandingkankan dengan hutan kerangas sekunder lahan kering. Keragaman jenis tumbuhan tingkat pancang tergolong sedang. N.gracilis dan N.ampularia ditemukan pada lokasi penelitian ini. Tabel 2.11 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat tiang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam) No
Jenis tiang
DR (%)
KR (%)
FR (%)
INP (%)
H'
1
Bati-bati (A.minutiflora)
0,63
1,12
3,70
5,46
0,05
2
Belangiran (S.belangeran) Gumisi (S. tetrapterum)
20,83
19,10
29,63
69,56
0,32
3
2,41
3,37
3,70
9,49
0,11
4
Irat (C.arborescens)
0,89
1,12
3,70
5,71
0,05
5
Jejambuan (Syzigium sp.)
2,05
2,25
7,41
11,71
0,09
6
Ketapi hutan (Sondarium sp.)
0,78
1,12
3,70
5,60
0,05
7
Manggis hutan (Garcinia sp.)
1,87
2,25
7,41
11,52
0,09
8
Merapat (C.rotundatus)
60,80
65,17
33,33
159,30
0,28
9
Mindarahan (Myristica sp.)
9,74
4,49
7,41
21,65
0,14
100,00
100,00
100,00
300,00
1,17
Jumlah
Jumlah jenis tumbuhan tingkat tiang yang ditemukan pada lokasi ini adalah 9 jenis. Keberadaan jenis merapat (C.rotundatus) sangat mendominasi tingkat tiang dalam komunitas tumbuhan kerangas lahan terendam. Jumlah jenis tiang yang terdapat pada hutan kerangas lahan terendam relatif lebih sedikit dibandingkankan hutan kerangas lahan kering. Tingginya dominasi jenis merapat berdampak pada rendahnya nilai indeks keragaman yang terbentuk.
40
Tabel 2.12 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pohon di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam) No
Jenis Pohon
DR (%)
KR (%)
FR (%)
INP (%)
1
Belangiran (S.belangeran)
22,63
25,00
25,00
72,63
H' 0,35
2
Merapat (C.rotundatus)
60,89
62,50
58,33
181,72
0,29
3
Mindarahan (Myristica sp.)
12,46
6,25
8,33
27,05
0,17
4
Uar (Syzigium sp.)
4,02
6,25
8,33
18,60
0,17
100,00
100,00
100,00
300,00
0,99
Jumlah
Terdapat 4 jenis tumbuhan tingkat pohon di lokasi penelitian. Jenis merapat dan belangiran mendominasi tingkat pertumbuhan tingkat pohon. Keragaman jenis relatif rendah sebagai akibat dari jumlah jenis yang rendah dan dominasi yang sangat tinggi dari jenis merapat (C.rotundatus). Total jumlah jenis tumbuhan yang ditemukan pada hutan kerangas lokasi referensi 1 untuk hutan kerangas sekunder lahan kering adalah 19 jenis dan 15 jenis untuk hutan kerangas sekunder terendam. Belangiran merupakan jenis tumbuhan yang terdapat di setiap tipe hutan kerangas (terendam/tidak terendam) dan senantiasa hadir pada tiap tingkatan pertumbuhan dari tingkat semai sampai pohon. Keberadaan suatu jenis yang sangat dominan menjadi salah satu penyebab terjadinya regenerasi yang kurang baik. Kepadatan tegakan di lokasi referensi 1 untuk hutan kerangas tidak terendam dengan diameter ≥ 5 cm adalah 1012 individu pohon/ha, diameter ≥ 10 cm adalah 634 individu pohon/ha dan untuk diameter ≥ 20 cm sebanyak 178 individu pohon/ha.
Kepadatan tegakan dari lokasi referensi 1 untuk hutan
kerangas terendam dengan diameter ≥ 5 cm adalah 1090 individu pohon/ha, diameter ≥ 890 cm adalah 634 individu pohon/ha dan untuk diameter ≥ 20 cm sebanyak 160 individu pohon/ha. Hutan kerangas sekunder yang terdapat di Palangkaraya Kalimantan Tengah dan relatif kurang terganggu, kepadatan tegakan pohon dengan diameter ≥ 10 cm mencapai 677-747 individu pohon/ha (Miyamoto et al. 2007). Riswan (1985) mengemukakan juga bahwa kepadatan tegakan pada hutan kerangas sekunder mencapai 454-750 individu pohon/ha dengan ukuran diameter batang 10-20 cm. Hadisaputro dan Said (1988) melaporkan bahwa di Cagar Alam Mandor Kalimantan Barat, hutan sekunder kerangas yang relatif terganggu memiliki jumlah jenis tingkat pohon sebanyak 12 jenis dan tiang sebanyak 28 jenis. Kissinger (2002) mendapatkan 16 jenis tumbuhan tingkat pohon dan 24 jenis tingkat tiang di hutan kerangas kerangas Trinsing-Butong Muara Teweh
41
Kalimantan Tengah yang tidak mengalami kebakaran . Diagram profil struktur tegakan di hutan kerangas sekunder yang relatif terganggu yang terdapat di hutan Kerangas Trinsing-Butong Kalimantan Tengah tersaji pada Gambar 2.3.
Keterangan: 1. Rasak (Vatica ressak) 2.Irat (Cratoxylon arborescen) 3.Masupang (Shorea velunosa) 4. Rasak (Vatica ressak) 5. Masupang (Shorea velunosa) 6. Siwao (Nephelium mutabile) 7.Palawan putih (Tristaniopsis ef stelata) 8. Rasak (Vatica ressak) 9. Kapurnaga (Callophyllum pulcherimum) 10. Masupang (Shorea velunosa) 11. Alau (Dacrydium beccari) 12. Brunsulan (Memecylon costatum) 13. Uar (Syzigium ridleyi) 14. Rasak (Vatica ressak) 15. Kuranji (Dialium laurimum) 16. Kuranji (Dialium laurimum) 17. Jambu burung (Syzigium inophylla) 18. Palawan merah (Tristaniopsis obovata) 19. Rasak (Vatica ressak) 20. Kapur naga (Callophyllum pulcherimum) 21. Rasak (Vatica ressak) 22. Nyatoh (Palaquium xanthocyhymum) 23. Merapat (Combretocarpus rotundatus) 24. Merapat (Combretocarpus rotundatus) 25. Palawan merah (Tristaniopsis obovata) 26. Alau (Dacrydium beccari) 27. Irat (Cratoxylon arborescens) 28. Irat (Cratoxylon arborescens) 29. Irat (Cratoxylon arborescens) 30. Terantang (Camnosperma macrophylla) 31. Jambu burung (Syzigium inophylla) 32. Irat (Cratoxylon arborescens) 33. Rasak (Vatica ressak) 34.Pamapaning (Quercus paculiformis) 35. Alau (Dacrydium beccari) 36. Nyatoh (Palaquium xanthocyhymum) 37. Masupang (Shorea velunosa) 38. Kapurnaga (Callophyllum pulcherimum) 39. Palawan merah (Tristaniopsis obovata) 40.Melalin (Madhuca betiodes) 41. Jejambuan (Syzigium sp.) 42. Palawan putih (Tristaniopsis ef stelata) 43. Uar (Syzigium ridleyi) 44. Jambu burung (Syzigium inophylla)
Gambar 2.3 Diagram profil tegakan hutan kerangas terganggu di Trinsing-Butong Muara Teweh (Sumber: Kissinger, 2002) Hutan kerangas sekunder yang relatif kebakaran,
masih
mengandung
terganggu dan tidak mengalami
jenis-jenis
yang
terdapat
di
hutan
Dipterocarpacea campuran. Tinggi pohon dapat mencapai 25 m dan diameter pohon dapat mencapai > 70 cm. Hutan kerangas sekunder di lokasi referensi 1 merupakan hutan kerangas yang memiliki jumlah jenis pohon lebih rendah dibandingkankan dengan hutan kerangas sekunder dari tinjauan literatur yang dikemukan oleh Hadisaputro & Said (1988) dan Kissinger (2002).
Intensitas gangguan yang terjadi diduga
42
menjadi penyebab rendahnya jumlah jenis pohon yang terdapat pada hutan kerangas sekunder lokasi referensi 1. Tegakan pohon yang tersisa hanya mencapai diameter 36 cm, dengan rata-rata sebaran diameter berkisar dari 2324 cm (kerangas terendam) dan 27-28 cm (hutan kerangas lahan kering). Hutan kerangas Arboretum Nyaru Menteng yang menjadi lokasi referensi 2, merupakan tipe hutan kerangas yang relatif tidak terganggu/old growth. Tabel 2.13-2.16 memuat komposisi jenis, indeks nilai penting (INP) dan indeks keragaman dari tiap tingkatan vegetasi hutan kerangas di Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya. Tabel 2.13 Komposisi, keragaman dan INP tingkat semai lokasi referensi 2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Semai Agathis (Agathis borneensis) Belangiran (S.belangeran) Bintangur (Callophylum sp.) Irat (C.arborescens) Jejambuan (Syzygium sp.) Madang (Litsea sp.) Manggis hutan (Garcinia sp.) Merapat (C.rotundatus) Simpur (D.indica)
FR (%) 12,50 6,25 6,25 12,50 25,00 6,25 12,50 12,50 6,25 100,00
KR (%) 8,70 4,35 23,91 4,35 30,43 6,52 10,87 8,70 2,17 100,00
INP (%) 21,20 10,60 30,16 16,85 55,43 12,77 23,37 21,20 8,42 200,00
H' 0,24 0,16 0,10 0,16 0,37 0,21 0,27 0,24 0,10 1,86
Terdapat 9 jenis tumbuhan tingkat semai pada lokasi hutan kerangas referensi 2. Jejambuan dan bintangur merupakan jenis semai yang relatif dominan terdapat pada lokasi referensi 2. Relatif rendahnya jumlah jenis yang ditemukan pada tingkat semai, mengakibatkan rendahnya keragaman jenis. Tabel 2.14 Komposisi,keragaman jenis dan INP pancang lokasi referensi 2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Pancang Belangiran (S.belangeran) Bintangur (Callophylum sp.) Bungur (Lagerstromia sp.) Irat (C.arborescens) Jejambuan (Syzygium sp.) Manggis (Garcinia sp.) Mahang (Macaranga sp.) Merapat (C.rotundatus) Palawan (Tristaniopsis obovata) Simpur (D.indica)
KR (%) 11,76 14,71 2,94 2,94 17,65 23,53 5,88 2,94 2,94 14,71 100,00
FR (%) 10,53 10,53 5,26 5,26 15,79 15,79 10,53 5,26 5,26 15,79 100,00
INP (%) 22,29 25,23 8,20 8,20 33,44 39,32 16,41 8,20 8,20 30,50 200,00
H' 0,24 0,24 0,15 0,15 0,29 0,29 0,24 0,15 0,15 0,29 2,21
Terdapat 10 jenis tumbuhan tingkat pancang di lokasi referensi 2. Tidak ada jenis yang dominan sekali pada tingkat pancang. Nilai INP tertinggi
43
ditunjukkan oleh jenis manggis, jejambuan dan simpur. Relatif meratanya jumlah individu dari masing-masing jenis di tingkat pancang menyebabkan relatif baiknya keragaman jenis. Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis, tingkat pancang pada hutan kerangas lokasi referensi 2 tergolong tinggi. N.gracilis, N.mirabilis dan N.rafflesiana merupakan jenis kantong semar yang dapat ditemukan di lokasi penelitian ini. Tabel 2.15 Komposisi, keragaman jenis dan INP tiang lokasi referensi 2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis tiang Agathis (Agathis borneensis) Alau (Dacridium beccarii) Belangiran (S.belangeran) Bintangur (Callophylum sp.) Irat (C.arborescens) Jejambuan (Syzygium sp.) Manggis hutan (Garcinia sp.) Merapat (C.rotundatus) Nyatoh (P.borneense) Punak (Tetramerista glabra) Simpur (D.indica)
DR (%) KR (%) 1,44 1,52 0,88 1,52 6,40 6,06 5,11 7,58 60,14 46,97 12,83 19,70 3,39 3,03 0,79 1,52 3,19 4,55 0,67 1,52 5,17 6,06 100,00 100,00
FR (%) 3,57 3,57 10,71 10,71 17,86 21,43 7,14 3,57 7,14 3,57 10,71 100,00
INP (%) 6,53 5,96 23,17 23,40 124,97 53,95 13,57 5,87 14,88 5,76 21,95 300,00
H' 0,06 0,06 0,17 0,20 0,35 0,32 0,11 0,06 0,14 0,06 0,17 1,71
Hutan kerangas lokasi referensi 2 memiliki 11 jenis tumbuhan tingkat tiang. Jenis irat keberadaannya sangat dominan (INP=124,97%) dibandingkankan dengan 10 jenis lainnya. Begitu dominannya jenis irat mengakibatkan indeks keragaman jenis tiang menjadi rendah (H‘=1,71). Tabel 2.16 Komposisi, keragaman jenis dan INP pohon lokasi referensi 2 No 1 2 3 4 5 6
Jenis pohon Belangiran (S.belangeran) Bintangur (Callophylum sp.) Irat (C.arborescens) Jejambuan (Syzygium sp.) Manggis hutan (Garcinia sp.) Nyatoh (P.borneense)
DR (%) KR (%) 12,46 14,29 2,28 2,86 74,77 71,43 5,02 5,71 2,21 2,86 3,26 2,86 100,00 100,00
FR (%) INP (%) 23,08 49,82 7,69 12,83 38,46 184,66 15,38 26,12 7,69 12,76 7,69 13,81 100,00 300,00
H' 0,28 0,10 0,24 0,16 0,10 0,10 0,99
Hutan kerangas lokasi referensi 2 memiliki 6 jenis tumbuhan tingkat pohon. Jenis irat (C.arborescens) keberadaannya sangat dominan dengan nilai INP=184,66%. Berdasarkan nilai indeks keragaman (H‘=0,99), keragaman jenis pohon hutan kerangas lokasi referensi 2 tergolong rendah. Rendahnya keragaman jenis yang ada merupakan akibat dari sangat dominannya kehadiran jenis irat.
44
Komposisi jenis tumbuhan hutan kerangas lokasi referensi 2 terdiri dari 23 jenis. Sebagian besar jenis yang terdapat di hutan kerangas lokasi referensi 2 terdapat pada setiap tingkatan pertumbuhan dari semai, pancang, tiang dan semai. Jenis tumbuhan yang senantiasa terdapat pada setiap pertumbuhan adalah
belangiran,
bintangur,
irat,
dan
jejambuan.
Fenomena
ini
mengindikasikan regenerasi jenis yang berlangsung antar tiap tingkatan vegetasi. Kepadatan tegakan di lokasi referensi 2 untuk hutan kerangas untuk ukuran pohon dengan diameter ≥ 5 cm adalah 2034 individu pohon/ha, diameter ≥ 10 cm adalah 1650 individu pohon/ha dan untuk diameter ≥ 20 cm sebanyak 550 individu pohon/ha. Diameter tertinggi yang ditemukan dari jenis belangiran adalah 32-33 cm. Katagiri et al. 1991 menyebutkan bahwa pada hutan kerangas ―padang‖ jumlah jenis vegetasi yang ditemukan adalah 15 jenis, dengan jenis yang mendominasi
adalah
Cratoxylon
glaucum,
Ploiarium
alternifolium
dan
Callophyllum langigerum. Struktur tegakan didominasi oleh pohon-pohon berukuran kecil. Jumlah pohon dengan ukuran diameter kurang dari 5 cm mencapai 95,6 % dari total jumlah pohon yang ada. Kerapatan tegakan sangat tinggi (6160 individu/ha), karena memasukan pohon-pohon dengan ukuran di bawah 5 cm (≥ 2 cm) atau secara spesifik terdiri dari 5889 individu untuk ukuran diameter < 5 cm, 234 individu untuk ukuran diameter 5 cm - <10 cm dan 37 individu untuk ukuran diameter ≥ 10 cm. Sedangkan tinggi pohon relatif rendah, berkisar antara 2 m untuk pohon terendah dan 10 m untuk pohon tertinggi dengan rata-rata tinggi pohon 3,5 m. Hutan kerangas primer atau hutan yang relatif belum terganggu yang letaknya berbatasan dengan Dipterocarpacea campuran dapat memiliki jumlah pohon sebanyak 708 individu/ha (diameter pohon berukuran ≥ 10 cm) dan masih memiliki pohon yang mencapai diameter > 100 cm. Jenis-jenis
dari family
Fagaceae, Myrtaceae, Sapotaceae, Guttiferae, Casuarinaceae dan Konifers (seperti Agathis borneensis. Dacrydium sp., Podocarpus sp.) merupakan jenis yang penting. Beberapa jenis Dipterocarpacea terdapat pada hutan kerangas yang relatif tidak terganggu, seperti Shorea venulosa, Shorea albida, Shorea rugosa, Shorea belangeran, Shorea ovate, Hopea sp., Vatica sp., dan Dipterocarpus borneensis (Bruenig, 1974; Kissinger, 2002). Bruenig (1974) melaporkan bahwa dari seluruh hutan kerangas yang terdapat di Serawak ditemukan 844 jenis pohon, 220 jenis di antaranya terdapat
45
juga di hutan Dipterocarpacea campuran. Salah satu contoh tipe hutan kerangas dengan tipe tanah podsolik putih kelabu (grey white podzolic) dapat memiliki 69 – 75 jenis pohon. Kartawinata (1980) mengemukakan bahwa terdapat > 200 jenis pohon, semak, herba dan parasit yang terekam dalam suatu tipe hutan kerangas. Gambaran diagram profil struktur tegakan dari tipe hutan kerangas relatif bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.
Salah
satu contohnya
adalah seperti dideskripsikan Proctor et al. 1983 (Gambar 2.4)
Gambar 2.4 Diagram profil tegakan hutan kerangas relatif tidak terganggu di Gunung Mulu National Park (Sumber: Proctor et al. 1983) Keterangan: Simbol: Bb: Baccaurea brahium didcteata, Bp: Bhesa paniculata, Cb: Chepalomappa beccariana, Cd: Canthium didyum, Cf: Castanopsis foxworthyi, Cha: Calophyllum havilandii, Ct: Calophyllum teysmannii, Dxa: Dyospyros sp., El: Eugenia leucoxylon, En: Eugenia nemestrina, Gpe: Garcinia cf petiolaris, Hc: Horsfieldia crassifolia, Hp: Hopea pseudokunstleri, Lr: Lopophetalum rigidum, Lx: Lithocarpus sp., Ms: Mesua calophylloides, Pc: Palaquium cochleariifolium, Pg: Polyalthia glauca, Sa: Shorea albida, Sc: Sindora coriacea, Sm: Stemonurus malaccensis, Ta: Ternstroemia aneura, Tc: Tristaniopsis clementis
Proctor et al. (1983) mendapati di hutan kerangas Taman Nasional Gunung Mulu, jumlah individu pohon/ha berdiameter > 10 cm adalah sebesar 708 pohon/ha dan jumlah jenis mencapai 113 jenis pohon. Terdapat 84 jenis pohon di Taman Nasional Danau Sentarum Kalimantan Barat. Jumlah individu pohon berdiameter ≥ 10 cm adalah 1030 individu pohon/ha (Onrizal 2004). Katagiri et al. 1991 menemukan 15 jenis pohon dalam plot penelitiannya di Taman Nasional Bako Serawak Malaysia. Hutan kerangas lokasi referensi 2 memiliki sebaran ukuran diameter relatif kecil. Hutan kerangas pada lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan
46
kering berbatasan dengan hutan Dipterocarpacea campuran) memiliki rata-rata sebaran ukuran diameter sedikit lebih besar (Ө=27-28 cm) dibandingkankan ukuran diameter pohon di hutan kerangas lokasi referensi 2 (Ө=21-22 cm). Perbandingan jumlah jenis tumbuhan tingkat semai dan pancang antara hutan kerangas lokasi utama (hutan kerangas terbuka yang terfragmentasi) dengan hutan kerangas referensi 2 (old growth dengan gangguan rendah dan berbatasan dengan hutan rawa gambut), hutan kerangas referensi 1 (hutan kerangas terbuka dan berbatasan dengan hutan rawa gambut) dan hutan kerangas referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering yang berbatasan dengan hutan Dipterocarpaceae campuran) adalah relatif sama (9-14 jenis). Jumlah jenis tumbuhan tingkat tiang yang tertinggi terdapat pada hutan kerangas referensi 2 (11 jenis) dan referensi 1 (9-11 jenis). Jumlah jenis tumbuhan tingkat tiang terendah adalah hutan kerangas referensi 3 (4 jenis) dan lokasi utama (2 jenis). Jumlah jenis tumbuhan tingkat pohon yang paling tertinggi adalah pada hutan kerangas referensi 2 (6 jenis) dan terendah adalah lokasi utama. Kepadatan pohon hutan kerangas referensi 2 (old growth) untuk ukuran diameter ≥ 5 cm adalah lebih tinggi dibandingkankan hutan kerangas sekunder referensi 1 (1012-1090 individu pohon/ha). Hutan kerangas lokasi referensi 2 memiliki kepadatan tegakan yang lebih tinggi dibandingkan hutan kerangas ―padang‖ untuk diameter pohon ukuran ≥ 5 cm (Katagiri et al. 1991). Perbandingan jumlah jenis vegetasi total (gabungan semua tingkat pertumbuhan) yang ditemukan di antara lokasi penelitian adalah sebanyak 10-12 jenis untuk hutan kerangas terbuka adalah, 15-19 jenis untuk hutan kerangas sekunder dan hutan kerangas old growth sebanyak 23 jenis. Khusus untuk kantong semar, N.gracilis merupakan jenis yang senantiasa ditemukan di setiap tipe hutan kerangas bila dibandingkankan dengan jenis Nepenthes lainnya. Bila nilai-nilai dari karakteristik ekologi hutan kerangas dihubungkan dengan pemanfaatan bioaktivitas, maka terdapat peluang pemanfaatan dari berbagai jenis tumbuhan di hutan kerangas. Potensi jenis, biomassa dan keberlanjutan regenerasi tercermin dari komposisi jenis dan nilai-nilai seperti dominansi relatif (DR), kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan indeks nilai penting. Karakteristik dari komposisi dan struktur vegetasi menjadi salah satu acuan pemilihan jenis yang dapat dimanfaatkan dengan syarat bila jenis tersebut secara etnobotani maupun pendekatan pengetahuan modern memiliki bioaktivitas tertentu.
47
3) Karakteristik Tanah Hutan Kerangas Tanah di hutan kerangas dicirikan dengan tanah podsol yang miskin hara dengan material tanah umumnya kaya akan pasir kuarsa, pH rendah dan kerap memiliki lapisan gambut di atas permukaan tanah. Kenampakan tanah penyusun di hutan kerangas tersaji pada Gambar 2.5.
Bahan organik Perakaran (sebagian serabut halus) terdapat pada horison A1, A2
Gambar 2.5 Kenampakan tanah di lahan kerangas (Sumber: Kissinger 2002). Berdasarkan kandungan pasirnya, hutan kerangas dapat dibedakan menjadi dua macam tipe kerangas, yaitu hutan kerangas moderat dan hutan kerangas ekstrim, hutan kerangas moderat merupakan hutan kerangas yang tanahnya bercampur dengan pasir secara seimbang atau lebih banyak kandungan liat/lempung dibandingkankan dengan kandungan pasir.
Derajat
kesarangan tanah kerangas moderat kurang sehingga kelembaban tanah relatif tinggi, kandungan bahan organik tanah lebih tinggi dibandingkankan kerangas ekstrim. Lumut pada lantai hutan tebal dan hampir seluruh lantai hutan ditutupi lumut, hutan kerangas moderat kaya akan epifit tetapi miskin jenis pohon. Hutan kerangas ekstrim mempunyai kandungan pasir atau kwarsa lebih tinggi di bandingkan liatnya, malahan hampir atau seluruhnya ketebalan pasir mulai dari permukaan sampai beberapa belas meter. Dibawahnya terdapat lapisan kedap air dapat berupa batu-batuan cadas. Karakteristik sifat fisik tanah hutan kerangas diindikasikan berdasar tekstur tanah dan ditampilkan dalam Tabel 2.17. Tabel 2.17 Perbandingan fraksi pasir, debu dan liat tanah hutan kerangas No
PLOT PENELITIAN
1 2 3 4 5 6 7 8
Lokasi utama (terbuka) Referensi 1 (terbuka) Referensi 1 (hutan sekunder) Referensi 2 (old growth) Referensi 3 (terbuka) Trinsing-Butong Kalteng (hutan sekunder)* TN Bako, Serawak (Kerangas ―Padang‖)** Hutan kerangas sekunder Bangka Tengah***
PASIR (%) 85 89,5 82 80 89 52,5 91 85
DEBU (%) 10,5 5,5 16 3 8 42 5 5,1
LIAT (%) 4,5 5 2 17 3 5,5 4 9,4
Keterangan: * Kissinger. 2002; **Katagiri et al. 1991; ***Yarli. 2011.
48
Fraksi pasir mendominasi tekstur tanah hutan kerangas. Dominansi fraksi pasir akan meningkat pada tanah-tanah hutan kerangas yang terbuka. Besarnya persentase total debu dan liat apabila dihubungkan dengan penutupan vegetasi akan berbanding lurus. Semakin besar kedua fraksi tersebut maka akan semakin tinggi jumlah individu dan jumlah jenis vegetasi yang tumbuh dalam komunitas hutan kerangas. Bruenig (1974) menemukan pada beberapa lokasi
dengan
kandungan debu atau liatnya besar memiliki jumlah jenis pohon yang lebih tinggi. Fraksi pasir yang tinggi menyebabkan terjadinya stress air, pencucian (leaching) dan lemahnya kemampuan tanah menahan hilangnya unsur-unsur hara tertentu dari tanah permukaan. Ketersediaan hara menjadi faktor penting dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Karakteristik sifat kimia tanah merupakan pendekatan untuk mengetahui kandungan unsur hara tanah. Beberapa karakteristik kimia tanah (kedalaman 0-40 cm) dari tanah hutan kerangas tertera pada Tabel 2.18. Tabel 2.18 Karakteristik sifat kimia tanah hutan kerangas No PLOT PENELITIAN
pH
C (%)
N (%)
C/N
P (ppm)
Ca
Mg
K
Na
1 Lokasi Utama (kerangas terbuka) 2 Referensi 1 (kerangas terbuka) 3 Referensi 1 (kerangas sekunder) 4 Referensi 2 (old growth)
3,8
0,88
0,05
19,6
3,70
0,6
0,12
3,5
1,02
0,09
11,3
3,20
0,57
0,18
0,06
0,04
3,63
2,9
3,01
0,23
13,1
4,10
0,40
0,07
0,06
0,04
4,92
2,5
11,2
0,81
13,8
7,00
0,36
0,37
0,10
0,05
11,32
5 Referensi 3 (kerangas terbuka) 6 Trinsing-Butong (kerangas sekunder)* 7 Taman Nasional Bako (kerangas Padang)** 8 Bangka (hutan kerangas sekunder)***
2,4
3,46
0,25
13,8
4,40
0,80
0,3
0,06
0,02
11,38
3,3
3,35
0,09
37,2
7,90
0,68
0,20
0,07
0,03
5,34
3,7
2,8
0,1
28,0
2,80
0,40
1,70
0,10
-
5,80
5,0
2,8
0,26
10,8
4,70
1,10
0,42
0,10
0,3
6,86
(me/100g) 0,02 0,03
KTK 1,73
Keterangan: * Kissinger. 2002; **Katagiri et al. 1991; ***Yarli. 2011. Data yang tertera dalam Tabel 2.18 menunjukkan bahwa tanah kerangas adalah tanah yang tidak subur, memiliki sifat asam (pH berkisar 2-4). Kandungan C organik tanah berkisar dari sangat rendah (lokasi utama=0,88%) sampai tinggi (hutan kerangas old growth=11,2).
Hutan
kerangas old growth yang relatif
sedikit gangguan memiliki kandungan C dan N yang relatif lebih tinggi dibandingkankan dengan hutan kerangas sekunder dan hutan kerangas terbuka. Kandungan bahan organik tinggi dalam membantu memperlambat hilangnya unsur N yang sifatnya mobil pada tanah kerangas yang tinggi fraksi
49
pasirnya. Secara keseluruhan kandungan unsur N sangat rendah terkandung dalam tanah hutan kerangas. C/N ratio relatif bervariasi antara beberapa contoh tanah dari lahan kerangas. Unsur P dalam tanah kerangas juga cukup bervariasi. Hutan kerangas old growth dan hutan sekunder relatif memiliki kandungan unsur P yang lebih baik dibandingkan hutan kerangas terbuka. Unsur mikro lain seperti Ca, Mg, K dan Na relatif sangat rendah. KTK secara keseluruhan termasuk rendah, dengan nilai KTK terendah terdapat pada lokasi penelitian utama. Bruenig (1974) mengungkapkan bahwa tanah dari berbagai tipe hutan kerangas memiliki variasi C/N yang beragam. Kandungan unsur P dan Mg tanah hutan kerangas relatif rendah. Ketebalan serasah atau lapisan gambut di tanah hutan kerangas dari golongan humus podsol berdampak pada tingginya kandungan C organic yang berdampak pada meningkatnya nilai KTK. Lamprecht (1989) mengungkapkan bahwa kunci dari faktor tapak hutan kerangas bukan pada kekurangan air tapi lebih pada rendahnya unsur hara tanah. Rendahnya pH berdampak pada terbatasnya pertumbuhan tumbuhan di hutan kerangas (Proctor, 1997). Peran mikoriza pada hutan kerangas sangat membantu tumbuhan dalam menyerap unsur hara. Tercatat dari 22 jenis tumbuhan yang ditemukan 20 jenis memiliki simbiosis dengan mikoriza dalam penyerapan haranya. Terdapat 17 tumbuhan yang memiliki arbuscular mycorrhiza (AM) dan 2 jenis tumbuhan yang memiliki ectomychorrhiza (EM), serta 1 jenis (Tristania beccarii dari family Myrtaceae) yang memiliki AM dan EM. Pada beberapa kasus kehadiran AM dan EM secara bersamaan terjadi pada jenis lain dari family Myrtaceae seperti Ixora sp. dan Syzygium sp. (Moyersoen, 2001). Keterbatasan kondisi tanah di hutan kerangas yang tidak terganggu maupun terganggu inilah yang mengakibatkan rendahnya jumlah jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi di hutan kerangas. Proses adaptasi merupakan proses fisiologis tumbuhan sebagai respon terhadap lingkungan (dalam hal ini menghadapi keterbatasan tapak hutan kerangas) berpotensi menghasilkan metabolit sekunder sebagai sumber dari bioaktivitas (Croteau et al. 2000). Penebangan dan pembukaan lahan mempercepat hilangnya lapisan serasah dan gambut di permukaan tanah kerangas yang berdampak pada menurunnya bahan organik tanah, mempercepat proses pencucian hara dan memperburuk sifat-sifat tanah lainnya. Buruknya sifat tanah dari hutan kerangas yang terbuka tidak saja berpengaruh pada semakin rendahnya kandungan hara
50
tanah, tetapi juga berakibat pada stress air. Belum ada laporan sampai saat ini yang mengemukakan keberhasilan rehabilitasi lahan kerangas yang telah rusak dan terbuka.
Fenomena ini memberikan arahan untuk tindakan perventif
konservasi hutan kerangas harus dilakukan. Sehingga keberlangsungan fungsi ekosistem dari bentuk lahan terbatas ini tetap dapat dipertahankan dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. 4) Fauna di Hutan Kerangas Fauna di hutan kerangas relatif rendah variasi jenisnya. Keterbatasan fauna yang ditemukan karena keterbatasan habitat yang mampu mendukung kehidupan satwa-satwa secara umum. Akan tetapi keberadaan fauna cukup bervariasi antara berbagai tipe kerangas. Terdapat 10 jenis burung (aves), 4 jenis mamalia, 1 jenis primata dan 4 jenis reftil di lokasi penelitian utama. 10 jenis burung yang umum ditemukan di hutan kerangas yang menjadi lokasi penelitian utama (kerangas terbuka) tertera pada Tabel 2.19. Tabel 2.19. Jenis burung yang ditemukan di hutan kerangas No Jenis
Keterangan
1
Bantalmayat (Lanius sach)
Habitat terbuka dan semua tingkat pertumbuhan
2
Beburak (Gallinula choloropus)
Teresterial di tingkat pancang, semai & semak
3
Bubut (Centropus sinensis)
Habitat tingkat pancang, semai & semak
4
Cabak (Caprimulgus affinis)
Tempat terbuka, tingkat pancang, semai & semak
5
Curiak (Gerygone sulphurca)
Habitat tingkat pancang, semai & semak
6
Darakuku(Streptopelia chinensis) Habitat terbuka dan semua tingkat pertumbuhan
7
Keruang (Pycnonotus goiavier)
Habitat terbuka dan semua tingkat pertumbuhan
8
Papikau (Coturnix chinensis)
Tempat terbuka, tingkat pancang, semai & semak
9
Pipit (Neiglyptes triptis)
Tempat terbuka, tingkat pancang, semai & semak
10 Punai tanah (Treron vernans)
Habitat terbuka dan semua tingkat pertumbuhan
Smith (1999) mengidentifikasikan 23 jenis burung yang terdapat di hutan kerangas primer dengan ketinggian 1100 m dpl yang lokasinya berbatasan dengan hutan sekunder dan primer Dipterocarpaceae campuran pada zona submontana. Penelitian lain menemukan 45 jenis burung yang hidup di hutan kerangas old growth Pondok Ambung Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Hutan kerangas ini berbatasan dengan hutan rawa gambut, hutan rivarian dan hutan Dipterocarpaceae campuran (Burung-nusantara 2012). Beberapa jenis reptil seperti biawak (Varanus sp.), kadal (Takydromus sexlineatus.), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), ular karung (Acrochordus
51
javanicus) ditemukan di lokasi penelitian utama. Mamalia besar relatif jarang terdapat di hutan kerangas.
Mamalia Sus barbatus dan primata Macaca
fascicularis merupakan fauna yang senantiasa terdapat di hutan kerangas. Beberapa contoh mamalia dan primata yang umum terdapat di hutan kerangas kurang terganggu yang terdapat di daerah perbukitan adalah Muntiacus sp., Echinosorex gymnurus, Sus barbatus, Macaca nemestrina dan Macaca fascicularis ( Azlan and Lading 2006). Lintah (lichees) belum pernah dijumpai di atas permukaan tanah hutan kerangas. Orang utan (Pongo pygmaeus) dapat ditemukan di hutan kerangas yang relatif tidak terganggu (temuan peneliti selama melakukan observasi di hutan kerangas Muara Teweh dan Palangkaraya Kalimantan Tengah). Beberapa mamalia dan primata lain juga ditemukan di hutan kerangas Arboretum Nyaru Menteng seperti Musang, Owa (Hylobates muelleri) dan Kelasi (Presbytis rubicunda). Arboretum Nyaru Menteng Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah merupakan tipe hutan kerangas yang digunakan untuk program reintroduksi orang utan (Pongo pygmaeus). Berdasarkan informasi yang telah disebutkan, terjadi penurunan jumlah jenis fauna yang ditemukan di hutan kerangas yang mengalami gangguan atau kerusakan. Jenis burung di hutan kerangas terbuka terutama didominasi oleh burung pemakan serangga. Jenis mamalia dan primata juga terbatas terdapat pada hutan kerangas terbuka yaitu babi hutan (Sus barbatus) dan kera (Macaca fascicularis). D. Simpulan Hutan kerangas yang menjadi lokasi penelitian sebagian besar merupakan hutan kerangas yang mengalami gangguan dan perubahan menjadi kerangas terbuka dan hutan sekunder yang sampai saat ini masih mengalami gangguan. Status
hutan
kerangas
secara
umum
adalah
kritis,
terdegradasi
dan
keanekaragamanhayatinya menurun. Komposisi jenis dan struktur tegakan bervariasi di antara berbagai tipe hutan kerangas, baik yang terganggu maupun yang belum terganggu. Pohon dan
permudaan
dari
jenis
Cratoxylon
arborescen,
Shorea belangeran,
Callophylum sp., Combretocarpus rotundatus dan tumbuhan bawah jenis N.gracilis selalu ditemukan di tiap tipe hutan kerangas. Hutan kerangas old
52
growth memiliki kepadatan pohon lebih besar dibandingkankan hutan kerangas sekunder dan hutan kerangas terbuka. Gangguan berat terhadap hutan kerangas baik berupa penebangan, kebakaran berulang berdampak pada terbentuknya tegakan murni atau asosiasi tegakan yang hanya didominasi satu atau dua jenis tumbuhan tingkat pohon dan tiang. Tanah di hutan kerangas secara umum dicirikan dengan tanah miskin hara, fraksi pasir yang lebih tinggi dibandingkankan fraksi liat dan debu. Penebangan dan pembukaan lahan mempercepat hilangnya lapisan organik, menurunnya kesuburan tanah dan memperburuk sifat tanah lainnya.
Jumlah
fauna baik dari jenis mamalia, primata dan aves yang ditemukan di hutan kerangas relatif terbatas dibandingkankan hutan Dipterocarpaceae campuran. Keterbukaan lahan kerangas mengakibatkan penurunan jumlah jenis satwa. orang utan (Pongo pigmeus), owa (Hylobates muelleri) dan kelasi (Presbytis rubicunda) merupakan jenis satwa dilindungi yang dapat ditemukan di hutan kerangas. Bervariasinya kemampuan adaptabilitas berbagai tumbuhan terhadap gangguan maupun kondisi habitat kerangas yang terbatas merupakan proses seleksi alam yang mengakibatkan hanya jenis-jenis tertentu yang memiliki adaptabilitas tinggi saja yang mampu tumbuh dominan dan berkembang di hutan kerangas. Adaptasi sebagai bentuk respon tumbuhan terhadap keterbatasan lingkungan yang memicu proses fisiologis menghasilkan metabolit sekunder yang cenderung memiliki potensi bioaktivitas tertentu. Penting untuk dilakukan tindakan konservasi untuk mempertahankan komposisi jenis dan struktur tegakan hutan kerangas. Penutupan beragam jenis tumbuhan menjadi bagian terpenting dari komponen komunitas hutan kerangas dalam memberikan perlindungan terhadap komponen tanah, air dan sebagai habitat bagi satwa tertentu.
53
3. KARAKTERISTIK HABITAT PREFERENSI NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan Kantong semar (Nepenthes spp.) merupakan jenis tumbuhan bawah penangkap serangga yang dikenal dengan sebutan insectivorous species atau pitcher plant. Kantong semar tumbuh dan tersebar mulai dari Australia bagian utara, Asia Tenggara, hingga Cina bagian Selatan. Dari 64 jenis yang hidup di Indonesia, 32 jenis diketahui terdapat di Borneo (Kalimantan, Serawak, Sabah, dan Brunei) sebagai pusat penyebaran kantong semar. Pulau Sumatera menempati urutan kedua dengan 29 jenis yang sudah berhasil diidentifikasi. Keragaman jenis kantong semar di pulau lainnya belum diketahui secara pasti. Namun berdasarkan hasil penelusuran spesimen herbarium di Herbarium Bogoriense, Bogor, ditemukan bahwa di Sulawesi minimum sepuluh jenis, Papua sembilan jenis, Maluku empat jenis, dan Jawa dua jenis (Mansur 2006). Nepenthes tergolong dalam kingdom Plantae, filum Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, Ordo Caryophyllales dan Famili Nepenthaceae. Nepenthes spp. bersifat liana, berumah dua dan dapat tumbuh secara terestrial atau epifit. Bentuk batang: silinder, segitiga, bersegi; Daun: lanset, lonjong, sudip; Bunga: tandan dan malai dan Kantong merupakan modifikasi daun, kantong roset, bawah, atas. Bentuk kantong bervariasi dari bentuk tempayan, telur, pinggang dan silender. Bunga dihasilkan dari bagian apex pada batang tumbuhan yang telah dewasa.
Buah Nepenthes membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk
berkembang penuh hingga masak setelah masa fertilisasi. Ketika masak buah akan retak menjadi 4 bagian dan biji-bijinya akan terlepas. Penyebaran bijinya biasanya dengan bantuan angin (Clarke 1997) Nepenthes spp. merupakan jenis tumbuhan yang mampu tumbuh dan berkembang secara dominan di tanah kerangas yang kurang subur. Beberapa penelitian tentang keragaman tumbuhan di hutan kerangas menemukan bahwa Nepenthes spp. adalah tumbuhan bawah yang selalu terdapat di habitat hutan kerangas (Adam et al. 1992; Kissinger 2002; Onrizal 2004). Jenis kantong semar yang paling banyak ditemukan dari berbagai tipe hutan kerangas adalah Nepenthes gracilis (Adam et al. 1992; Kissinger 2002, 2006). Beberapa jenis kantong semar termasuk N.gracilis dikenal sebagai bahan pengobatan tradisional seperti untuk pengobatan penyakit kanker, batuk, diabetes dan untuk kesehatan mata (Kumar et al. 1980; Kissinger, 2006; Mansur
54
2006). Pengetahuan masyarakat lokal tentang etnobotani dalam pemanfaatan kantong semar sudah berlangsung lama dan tersebar di berbagai etnis. Kekayaan pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan N.gracilis dapat terus dilanjutkan dan dikembangkan sehingga akan memberikan nilai penting bagi pengembangan bahan alam untuk pengobatan. Pemanfaatan N.gracilis sebagai bahan alam untuk pengobatan masyarakat secara tradisional berhubungan dengan kemampuannya tumbuh pada habitat yang ekstrim dari hutan kerangas. Kemampuan jenis N.gracilis untuk bertahan dalam kondisi tapak yang relatif ekstrim di hutan kerangas mendorong N.gracilis untuk beradaptasi. Mekanisme adaptasi terhadap lingkungan menjadikan N.gracilis berpotensi secara fisiologis melakukan proses metobolit sekunder yang hasilnya dapat dimanfaakan sebagai senyawa kimia tumbuhan yang mempunyai potensi untuk pengobatan. Pengembangan
dan
pemanfaatan
N.gracilis
dari
hutan
kerangas
memerlukan berbagai pertimbangan penting dalam pengelolaan sumberdaya tumbuhan secara berkelanjutan. Informasi penting yang diperlukan untuk membangun kegiatan pengelolaan yang baik terdahap sumberdaya tumbuhan adalah teridentifikasikannya karakteristik habitat atau lingkungan tumbuh dari N.gracilis, sehingga nantinya akan menjadi dasar bagi tindakan pembudidayaan atau penangkaran tumbuhan di habitat aslinya. Penelitian ini bertujuan mengkaji karakteristik habitat N.gracilis dan mekanisme adaptasi N.gracilis terhadap kondisi penutupan kanopi di hutan kerangas. Informasi ini selanjutnya akan menjadi bahan pertimbangan dalam pemanfaatan berkelanjutan dari spesies N.gracilis di hutan kerangas. B. Metode Penelitian 1) Lokasi Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah tumbuhan N.gracilis dari habitat hutan kerangas. Lokasi penelitian berada di beberapa lokasi hutan kerangas: i) desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, ii) Pasir putih-Lenggana Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, iii) Nyaru
Menteng
Palangkaraya
Kalimantan
(Kalimantan Selatan- Kalimantan Tengah).
Tengah,
iv)
Tanjung-Kelanis
55
2) Prosedur Pengumpulan Data Metode pendekatan identifikasi beberapa karakteristik ekologi dilakukan dengan
pendekatan
studi
literatur
dan
pengumpulan
data
lapangan.
Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui pengamatan dan pengukuran langsung terhadap N.gracilis dan beberapa komponen habitat hutan kerangas. Pengukuran data kepadatan N.gracilis dilakukan dengan metode garis berpetak untuk menghitung kepadatan N.gracilis (Soerianegara dan Indrawan 1998). Pembuatan petak dilakukan mengikuti pengukuran sampel permudaan tingkat pancang dengan ukuran petak pengambilan contoh untuk N.gracilis berukuran 5 m x 5 m. Pengumpulan data komponen habitat hutan kerangas di sekitar N.gracilis menggunakan metode focal plant species (Yanoviak et al. 2011). Keberadaan N.gracilis yang menjadi acuan pendeskripsian karakteristik habitat N.gracilis di hutan kerangas. Komponen habitat yang diukur langsung dengan metode standar adalah intensitas cahaya (Tinya et al. 2009), ketebalan serasah/bahan organik dan pH tanah (Claros et al. 2012). Pengumpulan data kualitatif juga dilakukan untuk menggambarkan habitat ideal N.gracilis. 3) Analisis Data Data dianalisis dengan uji beda nilai tengah (uji t dengan keragaman berbeda) terhadap beberapa komponen habitat yang mempengaruhi keberadaan N.gracilis.
Analisis deskriptif juga dilakukan untuk mengkaji lingkungan ideal
tempat tumbuh kerangas. Data dipresentasikan dalam bentuk matriks tabulasi. C. Hasil dan Pembahasan 1) Karakteristik Habitat Preferensi N.gracilis N.gracilis dapat tumbuh dan berkembang baik di hutan kerangas terbuka dan hutan kerangas tertutup kanopi pohon. Jumlah individu N.gracilis akan meningkat dibandingkankan jenis Nepenthes lainnya pada hutan kerangas yang sudah terbuka. Jumlah individu N.gracilis yang tinggi mengindikasikan bahwa N.gracilis merupakan jenis pioneer pada hutan kerangas yang penutupan kanopinya terbuka (Tabel 3.1).
56
Tabel 3.1 Karakteristik habitat kerangas terhadap potensi Nepenthes gracilis. Jumlah plot sampel
Rumpun/ ha
Nepenthes lainnya
Guntung Ujung Lokasi 1
12
3250
-
Lokasi 2
20
1860-2080
-
Lokasi 3
10
142
-
Lokasi 4
8
0
-
Lokasi
Deskripsi habitat kerangas
Lahan terbuka dan kurang terganggu kebakaran Lahan terbuka, bekas terbakar Tertutup pohon, daerah ekoton dengan rawa sulfat masam Tegakan galam murni, permukaan tanah didominasi purun tikus
Tanjung- Kelanis (Kalsel-Kalteng) N.ampularia Di bawah tegakan sekunder , bentuk lahan berupa rawa terendam Lahan terbuka, permukaan tanah didominasi Gleichenia linearis N.mirabilis Terbuka, bekas terbakar
Lokasi `1
10
125
Lokasi 2
6
0
Lokasi 3
6
3.525
Lokasi 4
10
167
N.mirabilis
Di bawah tegakan sekunder kering
Lokasi 5
8
425
N.mirabilis
Lahan terbuka,terganggu berat, serasah hilang, bekas terbakar
12
256
N.mirabilis
Tegakan old growth, sebagian tegakan sekunder rendah gangguan
Nyaru menteng Lokasi 1
N.rafflesiana Pasir putih-Lenggana Kotawaringin Timur Lokasi 1
12
2700
Lokasi 2
8
175
-
Terbuka/bekas terbakar
N.mirabilis Di bawah tegakan sekunder jenis N.rafflesiana Cratoxylon sp. & terdapat penebangan
Hutan kerangas yang terdapat di Desa Guntung Ujung Kalimantan Selatan merupakan tipe hutan kerangas terganggu berat dibandingkankan hutan kerangas lainnya yang menjadi lokasi referensi. Beratnya tingkat gangguan tersebut diindikasikan melalui keterbukaan lahan dan frekuensi kebakaran yang terjadi hampir setiap tahun. N.gracilis merupakan satu-satunya jenis kantong semar yang terdapat di hutan kerangas Desa Guntung Ujung seperti yang telah dilaporkan Kissinger (2002). Beberapa patches kerangas lain yang letaknya terpisah dari hutan kerangas Desa Guntung Ujung dengan frekuensi kebakaran rendah masih memiliki jenis kantong semar lain seperti N.mirabilis dan N.khasiana. Mansur (2007) melaporkan bahwa kebakaran lahan dan konversi lahan menyebabkan menurunnya jumlah individu dan jumlah jenis Nepenthes. Kehadiran jenis tumbuhan lain yang dominan menutupi permukaan tanah juga menjadi faktor yang menjadi penyebab menurunnya jumlah individu N.gracilis (lokasi 4 Desa Guntung Ujung, km 30 Tanjung-Muara Kelanis). Penutupan tajuk juga mempengaruhi jumlah jenis kantong semar yang ditemukan. Areal hutan kerangas yang masih tertutup tajuk pohon umumnya memiliki lebih dari satu jenis kantong semar. N.mirabilis, N.ampullaria dan
57
N.rafflesiana merupakan jenis kantong semar selain N.gracilis yang ditemukan dalam hutan kerangas yang tertutup tajuk pohon (lokasi referensi). Kehadiran lebih dari satu jenis kantong semar pada hutan kerangas tertutup tajuk pohon telah dilaporkan Kissinger (2002) yang menemukan 4 jenis kantong semar selain N.gracilis. Ke empat jenis kantong semar tersebut adalah N.ampullaria, N.fusca, N.melamphora, N.rajah.
Mansur (2007) juga menemukan di hutan kerangas
yang relatif tidak terganggu memiliki 8-12 jenis kantong semar. Gambar 3.1 mendeskripsikan jenis-jenis kantong semar yang ditemukan di lokasi penelitian.
N.gracilis
N.rafflesiana
N.mirabilis
N.ampularia
Gambar 3.1 Beberapa jenis Nepenthes di lokasi penelitian Berdasarkan hasil tentang habitat umum N.gracilis di hutan kerangas, selanjutnya secara khusus dilakukan analisis terhadap komponen-komponen ekologis yang mempengaruhi keberadaan N.gracilis di hutan kerangas terbuka. Hasil analisis komponen-komponen ekologis yang mempengaruhi keberadaan N.gracilis di hutan kerangas terbuka ditunjukkan dalam Tabel 3.2. Tabel 3.2 Komponen lingkungan habitat preferensi N.gracilis
Kehadiran N.gracilis Ketidakhadiran N.gracilis Jumlah sampel Ulangan Uji t
Cahaya pada permukaan akar 270-300 800-1800 12 3 P (0,05)
Komponen lingkungan Rata-rata tebal serasah/gambut 5,6 cm 15,8 cm atau terbuka tanpa serasah 12 3 P (0,05)
pH 4,12 6,42 12 4 P (0,05)
Hasil yang ditunjukkan dalam Tabel 3.2 merupakan sebuah penjelasan mengenai komponen lingkungan yang berpengaruh terhadap keberadaan N.gracilis. Habitat preferensi N.gracilis pada hutan kerangas terbuka adalah berada pada pH 4,12, ketebalan gambut 5,6 cm dan intensitas cahaya permukaan akar 270-300 lux. Pangkal batang dan perakaran N.gracilis relatif berada di bawah naungan (tertutup) kumpulan semai dan pancang, sedangkan
58
bagian daun, kantong dan batangnya merambat mengikuti datangnya cahaya matahari (tempat terbuka). N.gracilis relatif masih mampu tumbuh pada tanah terbuka (intensitas cahaya 800-1800 lux) bila masih terdapat lapisan serasah tipis yang menutupi permukaan akarnya. N.gracilis pada kondisi cahaya penuh beradaptasi dengan kondisi kumpulan rumpunnya tumbuh dengan rapat, sehingga permukaan akarnya dapat tertutupi oleh kumpulan rumpun batang, daun dan kantong yang tumbuh rapat dan jumlah yang besar. Akan tetapi N.gracilis pada kondisi seperti ini tumbuhnya pendek dengan ukuran batang, daun dan kantong yang relatif kecil dibandingkankan N.gracilis yang permukaan akarnya tertutup serasah dan dinaungi kumpulan tumbuhan tingkat pancang dan semai. Fenomena ini diduga selain berhubungan dengan siklus air dalam N.gracilis, juga berhubungan dengan input nutrisi yang berasal dari kumpulan serasah
yang
telah
terdekomposisi
(terutama
sumber
N).
Mekanisme
pemanfaatan serasah sebagai sumber nutrisi juga dilaporkan oleh Moran et al. (2003) pada jenis N.ampullaria. Andrej et al. (2011) melaporkan bahwa N. ampullaria
mengambil keuntungan dari penggunaan serasah daun sebagai
strategi khusus dalam
nitrogen
sequestration.
Strategi
ini
memberikan
keuntungan dalam pertumbuhan dan fotosintesis. Berbagai informasi ini mengindikasikan
pentingnya
peran
serasah
dipermukaan
tanah
bagi
pertumbuhan dan perkembangan N.gracilis. Kelimpahan jumlah individu N.gracilis relatif tinggi pada daerah kerangas yang terbuka dan memiliki lapisan gambut atau serasah yang tipis. N.gracilis banyak ditemukan di kawasan dengan pH yang relatif rendah, sedangkan spotspot lain pada areal terbuka dengan pH tinggi N.gracilis jarang atau tidak ditemukan. Peningkatan nilai pH ini diduga berkaitan dengan kadar abu, berkurangnya dan hilangnya lapisan gambut atau serasah serta tingkat kelembaban rendah dari lahan akibat kebakaran berulang. Kebakaran berulang menyebabkan rusaknya tumbuhan dan habitat yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya N.gracilis. 2) Pola Adaptasi N.gracilis terhadap Keterbukaan Kanopi Hutan Kerangas N.gracilis merupakan kantong semar jenis pionir yang mampu tumbuh di bawah tegakan hutan kerangas tertutup dan akan berkembang dengan dominan pada hutan kerangas yang terbuka. Ketiga jenis lainnya (N.rafflesiana, N.mirabilis dan N.ampularia) tidak dijumpai pada hutan kerangas yang terbakar berulang,
59
tidak terdapat naungan baik dari tingkat pancang-pohon, permukaan serasah tanahnya relatif terbuka dengan rata-rata ketebalah serasah ≤ 8 cm. Ketahanan hidup daun dan kantong (organ asimilasi) dari N.gracilis lebih lama
dibandingkankan
dengan
jenis
lainnya
seperti
N.rafflesiana
dan
N.ampularia. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui mekanisme kimia dengan memperhatikan persentase kandungan lignin dan kepadatan jaringan (gram/cm3) yang tinggi pada N.gracilis dibandingkankan N.rafflesiana dan N.ampularia. sehingga ketahanan hidupnya lebih lama (Osunkoya et al. 2007). Fenomena keberadaan N.gracilis dan jenis Nepenthes lainnya berdasarkan hasil penelitian ini mengindikasikan keterkaitan dengan keterbukaan kanopi hutan kerangas. Penutupan tajuk hutan kerangas berbanding lurus dengan keragaman jenis Nepenthes yang ditemukan di hutan kerangas. N.gracilis mampu tumbuh di bawah kanopi hutan kerangas bercampur dengan jenis Nepenthes lainnya. Mekanisme penangkapan materi bahan nutrisi maupun pengaturan siklus air dalam jaringan tumbuhan berbeda antara N.gracilis yang hidup di areal terbuka dan di bawah kanopi pohon hutan kerangas. N.gracilis yang tumbuh di areal terbuka memiliki rata-rata jumlah kantong yang lebih besar daripada yang tumbuh di bawah naungan kanopi hutan kerangas (Tabel 3.3). Tabel 3.3 Jumlah batang dan kantong N.gracilis berdasarkan keterbukaan tajuk Karakteristik rata-rata N rata-rata N rata-rata N Potensi Potensi Potensi Lahan Kerangas rumpun/plot* batang/rumpun kantong/batang rumpun/ha batang/ha kantong/ha Lahan terbuka 6,59±2,14 7,39±2,99 11,49±3,39 2.636 19.480 223.826 Tertutup kanopi 0,43±0,01 1,94±1,16 2,33±1,73 173 336 782 Jumlah sampel 28 18 18 P (0,005)
P (0,005)
P (0,005)
P (0,005)
*luasan tiap plot pengukuran =0,0025 ha Perbedaan jumlah kantong yang ditunjukkan antara N.gracilis yang hidup di hutan kerangas yang terbuka dan yang tertutup kanopi pohon (Tabel 3.3) merupakan pola adaptasi N.gracilis terhadap perbedaan kondisi lingkungan. Relatif lebih banyaknya jumlah kantong pada areal terbuka diduga karena pengaruh sinar matahari yang mendorong pembentukan kantong. Berdasarkan
hasil
observasi
lapangan
terhadap
N.gracilis
yang
dibudidayakan (di bawah sinar matahari penuh dan diberi pupuk), jumlah kantongnya relatif lebih banyak dari pada yang tumbuh alami di bawah tegakan pohon. Hal ini mengindikasikan bahwa bahwa mekanisme pembentukan kantong
60
relatif distimulasi oleh adanya pengaruh intensitas cahaya matahari. Intensitas cahaya matahari tersebut juga membantu kerja enzim yang mempengaruhi pembentukan daun dan kantong dari N.gracilis. Pinthong et al. (2008) menemukan 2 jenis protein yang mempunyai potensi besar dalam pembentukan daun dan kantong dari N.gracilis. Salah satu protein tersebut adalah phosphoglycerate kinase dan yang lainnya belum dapat teridentifikasikan. Relatif lebih banyaknya jumlah kantong yang dimiliki N.gracilis yang tumbuh di lahan kerangas terbuka membantu pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi tumbuhan sehubungan dengan daya tampung kantongnya dalam memerangkap serangga dan menampung air hujan. N.gracilis yang tumbuh di bawah naungan tegakan relatif mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dan air dari dalam tanah yang lembab atau tumpukan serasah yang terdapat di daerah perakarannya. Proses penyediaan unsur hara yang dapat diserap tumbuhan di hutan kerangas tertutup kanopi pohon banyak dibantu oleh mikoriza (Moyersoen et al. 2001). Nilai produktivitas kantong maupun jumlah rumpun menjadi pertimbangan penting dalam upaya pemanfaatan berkelanjutan dari N.gracilis. Pengaturan keruangan dalam komunitas kerangas diperlukan untuk penerapan konservasi berbasis pemanfaatan berkelanjutan dari N.gracilis. N.gracilis yang tumbuh pada areal terbuka juga memiliki mekanisme adaptasi menghadapi defisiensi air dalam jaringan tumbuhan. Massa daun per unit area dari N.gracilis yang tumbuh di tempat terbuka lebih besar dari pada N.gracilis yang berkembang di bawah tegakan hutan yang tertutup (Tabel 3.4) Tabel 3.4. Massa daun N.gracilis dari areal terbuka dan di bawah tegakan Karakteristik Lahan Kerangas
Massa daun N.gracilis Jumlah sampel
Lahan terbuka
0,177 ± 0,025 g
12
Tertutup kanopi pohon
0,037 ± 0,006 g
12
P (0,005)
Massa daun yang lebih besar dari N.gracilis yang tumbuh pada lahan terbuka diindikasikan secara visual dari keras atau tebalnya daun. Sementara itu untuk ukuran panjang dan lebar (ukuran luas) antara daun N.gracilis yang hidup di tempat terbuka dan di bawah naungan kanopi hutan tidak berbeda signifikan. Tebalnya atau kekerasan daun (sclerophyll) merupakan indikasi mekanisme adaptasi
untuk
mengurangi
kekurangan
air
dalam
jaringan
tumbuhan.
Karakteristik tebal dan kerasnya daun merupakan gambaran sifat bahan daun
61
yang tumbuh pada habitat kekurangan air dan intensitas cahaya tinggi (Balsamo et al. 2003). Pengkarakterisasian habitat N,gracilis dan mekanisme adaptasi N.gracilis terhadap keterbukaan atau penutupan kanopi hutan kerangas menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan dan pemanfaatan N.gracilis di hutan kerangas. Potensi yang ditunjukkan oleh jumlah batang/ha atau rumpun/ha dan nilai produktivitas kantong menjadi pertimbangan penting dalam upaya pemanfaatan berkelanjutan dari N.gracilis. Hal ini berhubungan dengan manfaat yang bisa didapatkan dari semua bagian tumbuhan N.gracilis. Beberapa informasi dari pengetahuan etnobotani menunjukkan bahwa hampir semua bagian tumbuhan (akar, batang, daun, kantong dan cairan dalam kantong) memiliki manfaat dalam pengobatan atau penggunaan lainnya (Bhau et al. Mansur, 2006; Kissinger, 2006). D. Simpulan N.gracilis tumbuh dominan pada hutan kerangas yang terbuka dan permukaan tanah/akarnya terlindungi oleh kumpulan semai, pancang atau lapisan serasah atau gambut. Secara spesifik habitat preferensi bagi N.gracilis di hutan kerangas terbuka berhubungan signifikan dengan pH, ketebalan gambut/serasah, dan intensitas cahaya. Penutupan kanopi hutan kerangas mempengaruhi keberagaman jenis Nepenthes yang ditemukan. Penutupan kanopi hutan kerangas berbanding lurus dengan jumlah jenis Nepenthes yang ditemukan dapat hidup di lantai hutan kerangas. Produktivitas rumpun, batang/rumpun dan jumlah kantong/batang berbeda antara N.gracilis yang tumbuh di tempat terbuka dan dibawah tutupan kanopi hutan. Produksi rumpun, batang/rumpun dan kantong/batang dari N.gracilis yang tumbuh di tempat terbuka lebih besar dari yang tumbuh di bawah kanopi tegakan. Fenomena ini merupakan proses adaptasi N.gracilis terhadap keterbukaan lahan atau penutupan tajuk dari hutan kerangas. Pembudidayaan atau penangkaran N.gracilis secara in situ di hutan kerangas harus memperhatikan karakteristik bio-ekologis N.gracilis. Tanah dengan pH ± 4,12, ketebalan gambut atau serasah sebesar ± 5,6 cm, intensitas cahaya permukaan akar 270-300 lux dan terdapatnya penutupan tumbuhan tingkat pancang dan semai pada permukaan akar merupakan indikasi dari faktor lingkungan fisik-biologi yang mendukung pertumbuhan yang baik bagi N.gracilis.
62
4. JASA EKOSISTEM HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan Kerangas adalah suatu tipe lahan yang dicirikan dengan tanah podsol yang miskin hara dengan material tanah yang kaya akan pasir kuarsa, pH rendah dan kerap memiliki lapisan gambut di atas permukaan tanah atau berupa gambut berlumpur yang tergenang. Kerangas terutama ditemukan di Kalimantan dan Sumatera, biasanya ditemukan pada ketinggian 0-800 m dpl. Proporsi terbesar kerangas terdapat di seluruh wilayah Kalimantan (Bruenig, 1974), Berdasarkan hasil observasi lapangan dan tinjauan literatur (Onrizal, 2005; Miyamoto et al. 2007), keberadaan dan luasan hutan kerangas semakin berkurang. Fenomena ini menuntut upaya penanganan dan pengelolaan untuk mencegah dan merehabilitasi kerusakan hutan kerangas. Tindakan penanganan dan pengelolaan perlu dilandasi oleh alasan yang kuat dan prinsip agar mendapatkan
dukungan
besar
dari
berbagai
pihak
dalam
upaya
mempertahankan, merehabilitasi dan mengelola hutan kerangas Mengidentifikasikan peran komunitas hutan kerangas terhadap lingkungan (jasa ekosistem) menjadi penting karena akan menjadi bahan acuan tentang pentingnya mengelola dan mempertahankan keberadaan hutan kerangas. Identifikasi peran komunitas hutan kerangas sejalan dengan paragdigma baru dalam konservasi biodiversitas yang berbasis pada pemanfaatan berkelanjutan dari sumberdaya hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ulang secara komprehensif peran hutan kerangas terhadap lingkungan secara umum. Lingkungan yang dimaksud mencakup lingkungan fisik-kimia, biologi dan lingkungan sosialekonomi. Pengindentifikasian peran hutan kerangas diharapkan akan menjadi informasi yang bermanfaat luas bagi stimulus konservasi hutan kerangas. B. Metode Penelitian 1) Lokasi Penelitian Obyek penelitian ini adalah hutan kerangas. Lokasi penelitian berada di hutan kerangas desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dan 3 lokasi referensi: i) Arboretum Nyaru Menteng Kota Palangkaraya,
ii)
Pasirputih-Lenggana
Kabupaten
Kotawaringin
Timur
Kalimantan Tengah, dan iii) Tanjung-Muara Kelanis Kalimantan SelatanKalimantan Tengah.
63
2) Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui wawancara semi terstruktur (Rahayu et al. 2008) dan penggunaan referensi literatur. Wawancara dilakukan terhadap langsung berbagai pihak seperti penduduk, Dinas Kehutanan, Aparat Desa, Dinas Pertambangan, Badan Pertanahan Nasional
dan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah. 3) Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dalam bentuk narasi yang berisikan
data
kualitatif
dan
kuantitatif.
Deskripsi
yang
didapatkan
mengindikasikan peran hutan kerangas terhadap lingkungan fisik-kimia, biologi dan lingkungan sosial ekonomi. C. Hasil dan Pembahasan Jasa ekosistem dalam penelitian ini diidentifikasikan melalui peranan hutan kerangas terhadap lingkungan, yaitu lingkungan fisik-kimia, biologi dan sosialekonomi. Uraian berikut memberikan penjelasan tentang peran hutan kerangas terhadap lingkungan: 1) Peran hutan kerangas terhadap lingkungan fisik-kimia Desa Guntung Ujung yang berbatasan dengan hutan kerangas selama ini menjadi sumber air permukaan tanah bersih bagi desa-desa lain pada musim kemarau. Selain sebagai reservoir air, hutan kerangas Desa Guntung Ujung juga berfungsi sebagai daerah penyangga dalam mencegah banjir
bagi kawasan
budidaya tanaman pertanian (Gambar 4.1). Fungsi hutan kerangas sebagai daerah penyangga sekarang menjadi tidak maksimal, salah satunya disebabkan oleh kerusakan hutan kerangas. Hasil observasi lapangan dalam kurun waktu 10
tahun terakhir diketahui bahwa
bencana banjir menjadi langganan daerah sekitar yang merupakan pusat produksi pertanian padi sawah seperti Desa Tambak Sirang, Desa Malintang, Kayu Bawang, kota kecamatan Gambut.
64
Kawasan budidaya tanaman pertanian (areal penggunaan lain/APL)
Hutan Kerangas Gambar 4.1 Hutan Kerangas Desa Guntung Ujung sebagai penyangga kawasan budidaya pertanian (Sumber: Landsat 2007). Kumpulan tegakan hutan kerangas memiliki sifat aerodinamika dan sebagai pengatur cuaca yang menjaga kestabilan udara di dalam dan sekitar hutan kerangas. Hamparan bentang lahan pertanian yang terbuka dan datar terlindungi dari angin dengan adanya hutan kerangas yang berfungsi sebagai penyangga. Rusaknya hutan kerangas diduga menjadi salah satu penyebab kerapnya terjadi angin puting beliung yang melanda kawasan pertanian dan pemukiman masyarakat dalam kurun waktu ± 10 tahun ini.
Sebagian besar
masyarakat Desa Guntung Ujung mengemukakan bahwa cuaca sudah tidak senyaman dulu ketika masih banyak pepohonan di hutan kerangas. Onrizal (2004) mengemukakan bahwa hutan kerangas di Taman Nasional Danau Sentarum mengandung bioamassa total 904,4 ton/ha dan kandungan karbon total 176,1 ton/ha. Kandungan biomassa tersebut meliputi kandungan biomassa tegakan pohon sebesar 874,9 t/ha atau setara dengan kandungan karbon 169,2, t/ha, kandungan biomassa tumbuhan bawah, serasah dan perakaran sebesar 29,5 ton/ha atau setara dengan kandungan karbon 6,9 ton/ha. Berbagai uraian tentang peran hutan kerangas menunjukkan bahwa secara fisik hutan kerangas merupakan penyangga bagi lingkungan sekitarnya. Penyangga yang dimaksud tidak sekedar penyangga air tetapi juga sebagai penyangga terhadap kondisi cuaca yang ekstrim. Pengaruh hutan kerangas terhadap lingkungan kimia ditunjukkan bahwa hutan kerangas merupakan penyimpan karbon. Selain sebagai penyimpan, melalui proses fisiologis, tegakan hutan kerangas juga merupakan penyerap emisi karbon.
65
2) Peran hutan kerangas terhadap lingkungan biologi Vegetasi yang tumbuh di hutan kerangas relatif terbatas dan memiliki karakter khusus sebagai bentuk adaptasi terhadap karakter tempat tumbuh yang terbatas. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang relatif rendah dari hutan kerangas dibandingkan hutan Dipterocarpaceae campuran, berdampak pada rendahnya keanekaragaman jenis fauna di dalam hutan kerangas.
Walaupun
demikian, keberadaan hutan kerangas tetap menjadi habitat bagi beberapa jenis satwa. Berdasarkan hasil penelitian dan referensi literature, berbagai jenis mamalia, primata, reftilia dan burung hidup dan berkembang di hutan kerangas (Smith R.G. 1999; Azlan dan Lading. 2006). Keberadaan hutan kerangas yang menjadi habitat satwa akan menjaga kestabilan
rantai
makanan
yang
terjadi.
Rusaknya
habitat
kerangas
menyebabkan ketidakmampuan hutan untuk menyediakan sumber pakan bagi satwa. Berdasarkan informasi dari masyarakat Desa Guntung Ujung, semenjak tegakan hutan kerangas rusak, hama seperti babi hutan (Sus barbatus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kerap memasuki perkampungan dan merusak tanaman pertanian. Berbagai jenis burung pemakan serangga terdapat di hutan kerangas, dengan komposisi jenis yang lebih beragam di hutan kerangas sekunder atau old growth dibandingkan hutan kerangas terbuka. Fenomena yang terjadi semenjak rusaknya hutan kerangas, serangan hama (golongan serangga) semakin meningkat menyerang tanaman pertanian. Hutan kerangas dapat digunakan sebagai lokasi program konservasi. Hutan kerangas Arboretum Nyaru Menteng merupakan lokasi Pusat Reintroduksi orang utan (Pongo pigmeus). Primata yang statusnya dilindungi seperti Kelasi (Presbitys rubicunda) dan Owa (Hylobates muelleri), banyak terdapat di hutan kerangas Arboretum Nyaru Menteng. Hutan kerangas dikenal sebagai habitat yang kondusif bagi berbagai jenis anggrek. Kehadiran jenis anggrek seperti Bulbophyllum becarii, B. schefferi, B.lobbi, Coelogyne zurowetzii, Dipodium poludosum hutan kerangas (Kissinger 2002).
ditemukan melimpah di
B. beccarii (Gambar 4.2) merupakan jenis
anggrek berdaun besar yang tumbuh secara epifit, menyukai kelembaban tinggi dan intensitas cahaya rendah. Jenis ini keberadaannya relatif melimpah di beberapa tipe hutan kerangas sekunder atau old growth yang kondisi tanahnya relatif basah atau tergenang periodik. Informasi ini memberikan peluang bagi
66
upaya konservasi anggrek yang unik seperti Bulbophylum beccarii di hutan kerangas.
Gambar 4.2 Bulbophylum beccarii. Tanah hutan kerangas relatif kaya akan mikoriza. Rendahnya kandungan hara dan lambatnya dekomposisi bahan organik di permukaan tanah hutan kerangas terbantukan dengan kehadiran mikoriza. Berdasarkan persentase kehadiran per jenis atau famili, endomikoriza lebih banyak terdapat di hutan kerangas. Perbandingan keberadaan jenis mikoriza pada 15 famili tumbuhan, ektomikhoriza
hanya
terdapat
pada
3
famili
tumbuhan
(banyak
jenis
Dipterocarpaceae dan Fagaceae, serta satu jenis dari Myrtaceae), sedangkan endomikoriza (arbuskular mikoriza)
terdapat pada
13 famili tumbuhan yang
terdapat di hutan kerangas. Berdasarkan tingkat kehadiran dari tiap jenis tumbuhan, tercatat dari 22 jenis tumbuhan yang ditemukan 20 jenis memiliki simbiosis dengan mikoriza dalam penyerapan haranya. Terdapat
17 jenis
tumbuhan yang memiliki arbuscular mycorrhiza (AM) dan 2 jenis tumbuhan yang memiliki ectomychorhiza (EM), serta 1 jenis (Tristania beccarii dari family Myrtaceae) yang memiliki AM dan EM. Pada beberapa kasus kehadiran AM dan EM secara bersamaan terjadi pada jenis lain dari family Myrtaceae seperti Eucalyptus sp., Ixora sp. dan Syzygium sp. (Moyorsoen et al. 2001). Berbagai uraian yang telah dikemukan tentang peran hutan kerangas terhadap lingkungan biologi menunjukkan pembuktian bahwa hutan kerangas merupakan habitat yang kondusif dari berbagai komponen biologi di atas permukaan dan di dalam tanah. Keberadaan berbagai komponen biologi ini merupakan bagian dari kekayaan plasma nutfah dan menjaga kestabilan ekosistem.
67
3) Peran hutan kerangas terhadap lingkungan sosial-ekonomi Hutan kerangas di lokasi penelitian utama sejak lama dikenal sebagai penghasil kayu bagi masyarakat sekitar.
Beberapa jenis kayu yang pernah
dihasilkan adalah dari jenis belangiran (Shorea belangiran), irat (Cratoxylon arborescens), merapat (Combretocarpus rotundatus), palawan (Tristaniopsis obovata), bintangur (Callophylum sp.) alaban (Vitex pubescens) dan galam (Melaleuca cajuputi). Hutan kerangas Liang Anggang yang formasi tanahnya lumpur bergambut pernah sebagai penghasil kayu dari jenis belangiran yang diameter pohonnya mencapai ≥ 100 cm. Gambar 4.3 merupakan sisa kayu rebah dari jenis belangiran yang membuktikan bahwa hutan kerangas Liang Anggang dulunya merupakan penghasil kayu bagi masyarakat.
Gambar 4.3 Sisa kayu rebah dari pohon belangiran (Shorea belangeran) Pemanfaatan kayu oleh masyarakat masih berlangsung di hutan kerangas Liang Anggang. Pemanenan jenis kayu merapat untuk pertukangan dan kayu galam untuk kebutuhan kayu bakar dilakukan masyarakat hingga saat ini. Trend pemanfaatan kayu sekarang relatif menggunakan kayu ―Galih‖ ((istilah untuk log kayu terutama dari jenis belangiran, nipa dan merapat yang tertimbun lama dalam tanah dan masih layak untuk dimanfaatkan untuk kayu gergajian), yang mana pemanfaatannya relatif untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Peran hutan kerangas sebagai penghasil kayu juga terjadi di lokasi referensi baik yang terdapeat di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. belangiran (S.belangeran) dan irat (Cratoxylon arborescen) merupakan jenis kayu yang banyak dipanen dari hutan kerangas oleh masyarakat Kabupaten Kotawaring Timur dan Palangkaraya. Kedua jenis ini kayu ini digunakan sebagai kayu pertukangan baik untuk kebutuhan sendiri atau dijual. Jenis merapat (C.rotundatus) dan belangiran (S.belangeran) merupakan jenis kayu pertukangan yang dipanen dari hutan kerangas oleh masyarakat Tanjung-Muara Kelanis. Kayu alau (Dacridium beccarii) merupakan jenis kayu pertukangan yang sampai
68
saat ini masih dipanen dari hutan kerangas oleh masyarakat di Palangkaraya dan Kabupaten Barito Timur. masyarakat
Kabupaten
Hutan kerangas juga sebagai penyedia kayu bagi Barito
Utara,
terutama
untuk
jenis
kayu
irat
(C.arborescens) dan masupang (Shorea velunosa) yang digunakan untuk membuat sirap atau kayu pertukangan. Selain hasil hutan kayu, di lokasi utama penelitian (Desa Guntung Ujung), sejak tahun 1996-an kawasan hutan kerangas merupakan penghasil utama daun rambuhatap atau jungrahab (Baeckea frutescens) yang dijual penduduk kepada pedagang pengumpul. Pemanfaatan jenis tanaman ini juga menghasilkan pendapatan ekonomi langsung bagi masyarakat. Pemungutan daun rambuhatap yang dimulai sejak tahun 1995-an merupakan mata pencaharian tambahan utama bagi penduduk selama menunggu antara musim tanam dan musim panen padi sawah. Gambar 4.4 merupakan deskripsi tumbuhan rambuhatap.
Gambar 4.4 Rambuhatap atau jungrahab (Baeckea frutescens) sebagai salah satu contoh tumbuhan obat dari hutan kerangas Rambuhatap merupakan jenis tumbuhan yang dikenal sebagai komponen penting dari bahan yang digunakan dalam industri jamu. Sandra dan Kemala (1994) mengemukakan bahwa permintaan simplisia jenis tumbuhan ini mengalami trend kenaikan aan jenis ini permintaan sebesar 20,55 % per tahun. Berdasarkan hasil penelitian permintaan simplisia rambuhatap tahun 2000 mencapai 4.839 ton. Soediarto et al dalam Sandra dan Kemala (1994) mengemukakan bahwa secara total pemanfaatan simplisia rambuhatap oleh industri jamu di Jawa Tengah frekuensinya mencapai 41 jamu. Fenomena yang terjadi pada kasus penjualan daun Rambuhatap atau adalah para pedagang pengumpul membelokkan informasi tentang manfaat tumbuhan ini hanya untuk kebutuhan industri obat nyamuk bakar. Pembelokan informasi ini dilakukan agar mereka bisa mendapatkannya dengan harga murah dan menjualnya dengan harga mahal kepada pihak yang membutuhkannya.
69
Pemanenan yang berlebihan menyebabkan kelangkaan Rambu Hatap yang dapat dipanen. Kelangkaan tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan kemampuan setiap KK dalam memanen Rambu Hatap dari 100-120 kg/hari daun kering menjadi hanya 30-50 kg/hari.
Pelaksanaan pemanenan rambu hatap
umumnya berlangsung selama 2 bulan. Kelangkaan barang yang dapat dipanen juga menyebabkan terjadinya peningkatan harga jual daun Rambu Hatap, dari Rp 300,- menjadi Rp 2500,-/kg berat daun kering. Selain rambu hatap, bahan tanaman lain yang dijual adalah buah galam. Jumlah penjualannya relatif kecil dibandingkan daun rambu hatap karena periodisitas musim berbuah dan tegakan galam yang semakin jarang ditemukan. Harga jual dari buah galam sekarang adalah Rp 6.000,-/kg. Masyarakat selama ini tidak punya kesempatan dan pengetahuan untuk dapat berkreasi dan berinovasi untuk meningkatkan nilai tambah produk. Sejak dimulainya usaha penjualan daun Rambu Hatap (1996) sampai sekarang, masyarakat masih berperan sebagai pengumpul bahan mentah yang selanjutnya dijual kepada pedagang pengumpul (tengkulak). Intervensi dari luar berupa pembelokan informasi nilai guna Rambu Hatap, keterbatasan kesempatan dan pengetahuan dalam upaya meningkatkan nilai tambah Rambu Hatap menjadikan nilai manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat dari jenis tumbuhan ini rendah. Rendahnya nilai ekonomi semakin memperlemah motivasi individu sehingga mempersepsikan keberadaan Rambu Hatap tidak terlalu penting. Hal ini menjadi suatu pembelajaran bahwa belum tereksplorasinya nilai tambah (added value) dari keragaman biodiversitas hutan kerangas menyebabkan keterbatasan penerapan pemanfaatan berkelanjutan potensi biodiversitas berbasis bioprospeksi di hutan kerangas Keterbatasan
pemanfaatan
berkelanjutan
Rambu
Hatap
mencakup
pemanenan yang sifatnya musiman dan tergantung stok di alam, proses pengeringan yang tergantung cuaca, monopoli pembelian bahan alam, fasilitasi yang belum terwujud dari pemerintah dan nilai jual yang rendah. Keterbatasan ini menyebabkan kegiatan tersebut menjadi pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan memanfaatkan Rambu Hatap tidak lagi menjadi pilihan utama penduduk setempat. Mereka sekarang lebih memilih pekerjaan sampingan di luar desa. Hal ini ditunjukkan dari berkurangnya jumlah penduduk yang memanen Rambu Hatap dari tahun ke tahun.
70
Industri jamu dan pengolahan bahan alam yang berkembang di Kalimantan Selatan belum menggunakan bahan yang berasal dari hutan kerangas. Beberapa usaha masyarakat di Kalimantan Selatan yang relatif banyak memanfaatkan hasil hutan Dipterocarpaceae campuran (≤ 50%) terbatas pada pengolahan jamu dan bahan alam yang skala industri rumah tangga. Industri jamu dan pengolahan bahan alam dengan skala produksi relatif lebih besar belum banyak menggunakan bahan baku yang berasal dari hutan. Pemanfaatan bahan baku dari hutan Dipterocarpaceae Campuran dataran rendah hanya berkisar 10% dari total jenis bahan baku yang digunakan oleh salah satu perusahaan jamu (PT.Sarigading, 2009). Beberapa pengusaha mengutarakan permasalahan ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan menjadi kendala utama penggunaan bahan baku dari hutan. Menurut pendapat mereka, perlu adanya pelaksanaan program khusus agar ketersedian bahan baku yang berasal dari hutan dapat berkelanjutan Sungai kecil dan danau-danau alami yang terdapat di hutan kerangas dulunya merupakan sumber ikan air tawar lokal seperti pentet (Clarias sp.), papuyu (Anabas testudineus), haruan (Channa striatus), mihau (Channa punctuatus), kapar (Belontia hasselti). Keberadaan kerangas sebagai habitat bagi ikan-ikan lokal dulunya merupakan sumber pangan penting bagi masyarakat sekitar hutan kerangas. Fenomena yang terjadi sekarang menunjukkan keberadaan ikan-ikan lokal tersebut mulai langka seiring dengan semakin rusaknya lingkungan hutan kerangas. Hutan kerangas yang didominasi tumbuhan galam juga menjadi habitat bagi lebah madu. Lebah madu yang dihasilkan dari hutan galam memiliki citra rasa yang khas (berasa ―mint‖). Alyadi dan Yusof (2002) melaporkan bahwa madu yang dihasilkan dari pohon galam mengandung gallic, caffeic, dan benzoic acids serta zat tambahan phenolic acids yang bernama ferulic dan cinnamic acids. Zat-zat yang terkandung dalam madu galam tesebut diketahui sangat baik sebagai antibakteri. Palawan (Tristaniopsis spp.) merupakan jenis pohon yang juga relatif dominan terdapat di hutan kerangas.
Pada sistem perakaran T. merguensis
tumbuh jamur edibel yang dikenal masyarakat Bangka dengan nama jamur pelawan. Harga jual jamur pelawan ini berkisar Rp 400.000,- sampai Rp 800.000,- bahkan pernah mencapai Rp 1.000.000,-/kg berat kering pada bulan Desember 2010 – Januari 2011. Jamur pelawan (Gambar 4.4) ditemukan
71
tumbuh pada sistem perakaran pohon Tristaniopsis merguensis yang berada pada fase pohon, tiang, maupun pancang. Selain sebagai inang utama dari jamur pelawan, nektar bunga T. merguensis juga merupakan makanan utama bagi lebah penghasil madu pahit yang dipercaya masyarakat Bangka dapat menyembuhkan banyak penyakit (Yarli 2011).
Gambar 4.5 Jamur palawan (sumber: Yarli 2011). Bruenig (1974) mengemukakan bahwa masyarakat telah mengekploitasi hutan kerangas untuk berbagai produk seperti guttapercha, kayu-kayu keras, kayu penghasil wewangian, beberapa resin dan bahan celupan. Penggunaan hutan kerangas juga dilakukan sebagai lahan pertanian di beberapa wilayah dengan sistem tebas bakar. Hutan kerangas yang fraksi tanahnya kaya akan liat-lempung dan slopenya datar masih potensial bagi pertanian. Konsekuensi dari penggunaan sistem tebas bakar adalah tahun akan terbentuk lahan terbuka berpasir seperti savana dengan sedikit pohon kecil dan semak. Rehabilitasi yang pernah dilakukan terhadap kerangas terbuka dengan jenis tanah berpasir dari golongan humus podsol dan grey yellow podsol relatif kurang berhasil (Lamprecht 1989). Keragaman plasma nutfah dari hutan kerangas selama ini telah memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Relatif banyak berbagai potensi dari hutan kerangas yang belum termanfaatkan. Informasi ini diharapkan dapat menjadi suatu rangkaian konektivitas informasi agar peran kerangas dapat lebih termanfaatkan dengan lebih baik dan berkelanjutan. D. Simpulan Peran hutan kerangas terhadap lingkungan yang berhasil diidentifikasikan dalam penelitian ini di antaranya adalah peran sebagai penyangga air, penyangga dampak cuaca yang ekstrim, kemampuan menjadi penyimpan dan penyerap karbon, habitat yang kondusif dari berbagai komponen biologi di atas permukaan dan dalam tanah, sumber sumber bahan sandang, pangan dan obat-
72
obatan bagi masyarakat. Keberadaan berbagai komponen biotik dan abiotik di hutan kerangas merupakan bagian dari kekayaan plasma nutfah dan menjaga kestabilan ekosistem. Produk dari rambuhatap, buah galam, madu, jamur telah menjadi sumber pendapatan masyarakat. Terdegradasinya hutan kerangas mengakibatkan
relatif
menurunnya
kemampuan
hutan
kerangas
dalam
memberikan sumbangan jasa ekosistem. Teridentifikasikannya peran atau jasa ekosistem dari hutan kerangas, hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi para pihak untuk mendukung penuh implementasi konservasi terhadap hutan kerangas.
73
5. PERAN NEPENTHES GRACILIS KORTH. BAGI LINGKUNGAN HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan N.gracilis merupakan salah satu jenis tumbuhan yang mampu tumbuh dan berkembang baik pada hutan kerangas (Kissinger 2002; Onrizal 2004). Tumbuhan ini termasuk dalam terrestrial climber dengan tinggi dapat mencapai 5 m. Batangnya segita dengan diameter dari 1.5-5 mm dan panjang antar ruas batang 2.5-9 cm. Daunnya tipis dengan panjang antara10-25 cm dan lebar 2 cm. Kantongnya berwarna hijau, merah atau hijau bebercak merah. Bunganya dapat berwarna putih, hijau, merah muda atau coklat (Cheek and Jebb 2001). Keberadaan N.gracilis merupakan indikator dari rendahnya unsur hara yang terkandung dalam tanah. N.gracilis memiliki kemampuan kemampuan memangsa serangga. Pemangsaan tersebut merupakan mekanisme tersendiri bagi Nepenthes untuk mengatasi keterbatasan hara yang ada. Proses pengubahan bahan organik kasar menjadi nutrisi (terutama sebagai sumber N) yang siap digunakan tumbuhan N.gracilis dibantu oleh enzim nepenthesin (Takahashi et al. 2005). N.gracilis termasuk tumbuhan langka berdasarkan kategori International Union for the Conservation of Nature (IUCN) dan World Conservation Monitoring Center (WCMC), dan untuk N.gracilis termasuk dalam Appendix II. Berdasarkan status tersebut, tumbuhan N.gracilis dapat dijadikan menjadi salah satu prioritas konservasi. Informasi ekologi N.gracilis merupakan data penting untuk perencanaan konservasi N.gracilis atau hutan kerangas. Beberapa penelitian ekologi tentang N.gracilis mengungkapkan tentang fenomena ekologi keberadaan Nepenthes di hutan kerangas. Akan tetapi fenomena tersebut lebih banyak ditinjau dari pola adaptasi jenis Nepenthes terhadap terbatasnya faktor edafis di hutan kerangas. Relatif sedikit atau terbatas hasil penelitian yang secara langsung menjelaskan peran N.gracilis bagi lingkungan sekitarnya. Penelitian yang ada masih bersifat parsial dan menjadi bagian dari penelitian pola adaptasi Nepenthes di hutan kerangas.
74
Penelitian ini bertujuan mengkaji dan mendeskripsikan fenomena ekologis keberadaan N.gracilis dan peranannya dalam komunitas kerangas (jasa ekosistem). Karakterisasi peran N.gracilis dalam lingkungan hutan kerangas akan menjadi informasi penting bagi stimulus konservasi terhadap N.gracilis maupun kawasan hutan kerangas. B. Metode Penelitian 1) Lokasi Penelitian Obyek penelitian adalah tumbuhan N.gracilis dan lingkungan yang ada di hutan kerangas. Lokasi penelitian berada di hutan kerangas desa Guntung Ujung yang secara administratif terletak di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Lokasi referensi bertempat di hutan kerangas di Kabupaten Kotawaringin Timur, Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya Kalimantan Tengah, dan Tanjung-Muara Kelanis (Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah). 2) Prosedur Pengumpulan Data Metode pendekatan deskripsi peran N.gracilis dalam komunitas kerangas dilakukan dengan pendekatan studi literatur dan pengumpulan data lapangan. Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui pengamatan dan pendeskripsian langsung terhadap N.gracilis dan lingkungan di hutan kerangas.
Metode
pengumpulan data dilakukan dua cara yaitu: Metode garis berpetak untuk menghitung kepadatan N.gracilis (Soerianegara dan Indrawan 1998). Pembuatan petak dilakukan mengikuti pengukuran sampel permudaan tingkat pancang dengan ukuran petak pengambilan contoh untuk N.gracilis berukuran 5 m x 5 m. Metode focal plant species (Yanoviak et al. 2011) digunakan untuk mendeskripsikan secara kualitatif karakteristik lingkungan sekitar N.gracilis. Keberadaan N,gracilis yang menjadi acuan pendeskripsian karakteristik habitat N.gracilis di hutan kerangas. 3) Analisis Data Analisis data ditampilkan dalam matriks tabulasi dan penyajian data kuantitatif dan kualitatif yang mengindikasikan peran N.gracilis di hutan kerangas.
75
C. Hasil dan Pembahasan N.gracilis merupakan jenis kantong semar pionir dataran rendah. Kelimpahan individunya akan meningkat dengan keterbukaan tegakan kerangas. Kepadatan N.gracilis berdasarkan penutupan kanopi dan keterbukaan lahan disajikan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Kepadatan N.gracilis di tempat terbuka dan tertutup kanopi hutan Lokasi
Kepadatan
Jumlah sampel
Potensi N/ha 3250
Deskripsi habitat kerangas
Guntung Ujung Kalsel Lokasi 1
tinggi
10
Lokasi 2
sedang
30
Lokasi 3
rendah
10
Lahan terbuka dan kurang terganggu kebakaran, dominan tingkat pertumbuhan semai dan pancang 1860-2080 Lahan terbuka, bekas terbakar, dominan tingkat pertumbuhan semai 142 Terfragmentasi dengan pohon jarang, bergambut ≥ 15 cm, terendam periodik)
Tanjung-Muara Kelanis Kalselteng Lokasi 1
rendah
10
125
tegakan sekunder bentuk rawa terendam air (masih terganggu) Terbuka, bekas terbakar, dominan tingkat pertumbuhan semai di bawah tegakan sekunder kering (masih terganggu)
Lokasi 2
tinggi
20
3.525
Lokasi 3
rendah
10
167
24
256
Tegakan sekunder rendah gangguan (old growth) terbuka/bekas terbakar , dominan tingkat pertumbuhan semai & pancang di bawah tegakan sekunder dominasi jenis Irat (Cratoxylon arboresecens) dan masih terganggu
Palangkaraya Kalteng Nyarumenteng
rendah
Pasir putih-Lenggana Kotim Kalteng Lokasi 1
tinggi
20
2700
Lokasi 2
rendah
10
175
Jenis N.gracilis merupakan satu-satunya jenis Nepenthes di lokasi penelitian yang mampu bertahan dengan keterbukaan lahan dibandingkankan 3 jenis Nepenthes lainnya yang hanya mampu tumbuh dan bertahan di bawah tutupan kanopi hutan kerangas (N.mirabilis, N.rafflesiana dan N.ampularia). Belum ada informasi secara detil yang mengemukakan mekanisme proses kemampuan bertahannya N.gracilis hidup dan berkembang baik di areal terbuka hutan kerangas. Morfologi daun, batang, kantong yang relatif kecil dibandingkan dengan ketiga Nepenthes lainnya diduga merupakan salah satu faktor yang menjadikan N.gracilis mampu bertahan di tempat terbuka. N.gracilis pada hutan kerangas terbuka menangkap energi atau nutrisi dari luar tanah melalui proses pemangsaan serangga yang masuk ke dalam kantongnya. Mekanisme
76
pemangsaan serangga dari N.gracilis merupakan strategi untuk menangani permasalahan keterbatasan nutrisi yang bisa didapatkan dari dalam tanah . Stimulus manfaat N.gracilis dapat dideskripsikan dari beberapa peranan N.gracilis terhadap lingkungan sekitarnya (ecosystem service). tersebut
diidentifikasikan
berdasarkan
pendekatan
peran
Nilai manfaat N.gracilis
bagi
lingkungan fisik-kimia, lingkungan biologi dan peran bagi lingkungan sosialekonomi-budaya. Uraian peranan yang dapat dikembangkan menjadi stimulus manfaat bagi konservasi N.gracilis di hutan kerangas tertera pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Peranan N.gracilis terhadap lingkungan sekitar Uraian peranan
Peranan N.gracilis
Peranan bagi lingkungan 1. Penyumbang unsur hara bagi pertumbuhan dan fisik-kimia perkembangannya sendiri dan lingkungan sekitar 2. Penangkap materi (serangga dan lainnya) dari luar dan mengolahnya menjadi nutrisi yang masuk ke dalam lingkungan kerangas 3. Reservoir air mini yang berkemampuan menangkap dan menyimpan air hujan/embun melalui kantong yang tersedia Peranan bagi lingkungan 1. Kera memanfaatkan cairan dari kantong tertutup N.gracilis biologi-ekologi sebagai sumber air minum 2. Cairan kantongnya merupakan sumber makanan serangga 3. Cairan dalam kantongnya merupakan habitat bakteri
Peranan bagi lingkungan sosial-ekonomi
Peran
N.gracilis
1. Cairan dari kantong tertutup dapat diminum, sebagai obat batuk dan mata 2. Bagian daun, batang, kantong dan akarnya digunakan dalam pengobatan tradisional 3. Kantongnya digunakan untuk menanak nasi 4. Batangnya sebagai tali 5. Pernah dimanfaatkan sebagai tumbuhan hias dan antaran pengantin 6. Nepenthes spp. berhubungan dengan budaya Dayak Siang dan Dayak Ngaju Kalimantan Tengah serta Dayak Bukit Kalimantan Selatan 7. Ekstrak metanol bagian tumbuhan N.gracilis berpotensi sebagai antibakteri 8. Ekstrak metanol bagian akar N.gracilis berpotensi sebagai antidiabetes
bagi
lingkungan
fisik-kimia
teridentifikasi
melalui
kemampuan N.gracilis menangkap materi dari luar tanah melalui proses pemangsaan serangga yang masuk ke dalam kantongnya. Mekanisme pemangsaan serangga oleh N.gracilis merupakan strategi untuk menangani permasalahan keterbatasan nutrisi yang bisa didapatkan dari dalam tanah. Proses pengubahan bahan organik kasar menjadi nutrisi (terutama sebagai sumber N) yang siap digunakan tumbuhan N.gracilis dibantu oleh enzim
77
nepenthesin (Takahashi et al. 2005). Sumbangan nutrisi tersebut bukan saja berasal dari kantong-kantong tua dan layu, tetapi juga berasal dari sisa serangga yang masih terdapat di dalam kantong. Tingginya kandungan lignin dalam daun dan kantong N.gracilis berkorelasi positif dengan kandungan Nitrogen. Tingginya kandungan Nitrogen dalam daun dan kantong N.gracilis berkorelasi positif terhadap kandungan Phospor. Rata-rata ketahanan kantong dari N.gracilis adalah 2,96 bulan, sedangkan ketahanan daun adalah > 10 bulan (Osunkoya et al. 2007). Paling tidak dalam satu tahun akan terdapat 2-4 kali kantong dan 1 kali daun yang akan layu dan jatuh ke atas permukaan tanah. Sehingga N.gracilis merupakan salah satu pemasok unsur Nitrogen dan Phospor ke permukaan tanah kerangas yang dikenal rendah kandungan unsur hara Nitrogen dan Phospor.
Sumbangan hara bagi lingkungan juga berasal dari sisa serangga
yang terdapat di dalam kantong. Rangkaian proses ini merupakan pembuktian peran N.gracilis dalam menyumbang hara bagi lingkungan kerangas. Rata-rata serangga yang masuk ke dalam satu buah kantong sebanyak 26,6 individu, golongan semut famili Formicidae yang paling banyak ditemukan (Kissinger, 2006). Satu batang tumbuhan N.gracilis di tempat terbuka memiliki rata-rata jumlah kantong sebanyak 11,49 buah. Bila jumlah batang/ha sebanyak 19480 batang/ha, maka jumlah kantong pe hektar adalah 223.826 buah, maka dalam satu hektar hutan kerangas terbuka akan terdapat 5.593.750 individu serangga dalam kantong N.gracilis.
Jenis semut dari famili Formicidae
merupakan sumber hara utama yang menyumbangkan Nitrogen bagi Nepenthes yang tumbuh pada dataran rendah di antaranya seperti N.rafflesiana, N.gracilis, N.ampularia, N.mirabilis. Golongan serangga Hymenoptera dari suku Formicidae menyumbangkan rata-rata 68,1% total Nitrogen dalam daun N.rafflesiana (Moran et al. 2001). Informasi tersebut memberikan gambaran bahwa Nepenthes merupakan tumbuhan yang mampu menangkap dan mengumpulkan materi yang berasal dari dalam dan sekitar lingkungan hutan kerangas. N.gracilis di tempat terbuka memiliki jumlah kantong per hektar adalah 223.826 buah. Ukuran rata-rata diameter kantong adalah 2,8 cm dan panjang kantong=11,9 cm. Bila pendekatan perhitungan volume kantong menggunakan persamaan volume tabung, maka didapatkan rata-rata volume kantong= 17,68 cm3. Hasil pengamatan di lapangan menemukan, rata-rata kantong terisi air hujan mencapai 87 % dari volume kantong. Berarti dalam satu kantong akan dapat menampung air sebanyak 15,38 cm3. Sehingga volume air yang dapat
78
ditampung
oleh kantong
N.gracilis
sebanyak
3,442
m3/ha.
Mekanisme
penampungan air dalam kantong N.gracilis merupakan kemampuan tumbuhan ini dalam mengatasi keterbatasan air yang tersedia di lahan kerangas. Hasil deskripsi ini menunjukkan bahwa N.gracilis berperan sebagai reservoir air alami di hutan kerangas. Peran N.gracilis bagi lingkungan biologi teridentifikasi berdasarkan beberapa pendekatan, di antaranya berupa hasil wawancara dengan masyarakat yang menyatakan bahwa cairan dari kantong tertutup Nepenthes (termasuk N.gracilis) merupakan sumber air bagi jenis kera (Macaca fascicularis). Batangnya digunakan gerombolan kera untuk mengikat dan membawa makanan. Tikus tanah hutan juga memakan hasil tangkapan yang terdapat di dalam kantong terbuka berbagai jenis Nepenthes. Beberapa referensi literatur mengungkapkan peran N.gracilis terhadap lingkungan bio-ekologi. Jenis semut famili Formicidae merupakan golongan serangga yang paling besar jumlahnya dalam memanfaatkan cairan dalam kantong Nepenthes spp. (termasuk N.gracilis) sebagai sumber makanan (Moran et al. 2001; Kissinger 2006). Warna kantong dan aroma cairan dari dalam kantong Nepenthes spp. bersifat atraktan bagi berbagai serangga (Merbach et al. 2002). Cairan dalam kantong terbuka Nepenthes spp. merupakan habitat bagi berbagai jenis bakteri (Yogiara 2004; Sulistiyaningsih 2008). Clarke et al. (2009) melaporkan bahwa Nepenthes lowwi memiliki hubungan dengan tikus pohon. Tikus pohon akan mengunjungi kantong dari N.lowii untuk meminum cairan dalam kantong setelah selesai memakan sesuatu. Setelah selesai proses makan dan minum, tikus pohon akan menjadikan kantong dari N.lowii sebagai toilet (lavatory). Selanjutnya buangan dari tikus pohon dapat digunakan oleh N.lowii untuk pemenuhan kebutuhan hara (terutama Nitrogen). 57-100 %
Nitrogen yang terdapat dalam jaringan daun
N.lowii dewasa ditemukan berasal dari buangan tikus tanah. Mekanisme simbiosis mutualisme ini merupakan strategi sekuestrasi Nitrogen dari N.lowii karena terbatasnya sumber makanan yang terdapat pada habitat pegunungan. Beberapa
informasi
yang
dikemukakan
memberi
gambaran
bagaimana
Nepenthes memiliki peran bagi lingkungan bio-ekologi. Peran N.gracilis terhadap lingkungan sosiol budaya dapat diidentifikasikan melalui pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan ini untuk berbagai kepentingan baik untuk pengobatan maupun untuk manfaat lainnya (Kissinger 2006; Bhau et al. 2009). Berdasarkan hasil wawancara terhadap
79
masyarakat Desa Guntung Ujung, Nepenthes gracilis pernah menjadi sumber penghasilan masyarakat sebagai tumbuhan hias. Masyarakat Dayak Siang dan Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah menamai Nepenthes spp dengan sebutan ―Kusak
Kameluh‖.
Masyarakat
Dayak
Bukit
di
Kalimantan
Selatan
menyebutkannya dengan nama ―Lanjung Datu‖. Kedua penamaan ini memiliki pengertian yang serupa yaitu sebagai tempat membawa barang (kusak, bakul, lanjung) milik orang halus atau penghuni khayangan. Nepenthes juga digunakan orang Dayak sebagai tempat bagi busur senjata ‖Sipet‖ atau ‖Sumpit‖. Informasi tersebut merupakan gambaran dari peran N.gracilis terhadap lingkungan sosial dan budaya. Berbagai penjelasan yang telah dikemukakan merupakan pembuktian peran penting dari N.gracilis dalam komunitas hutan kerangas. Karakterisasi peran penting N.gracilis bagi lingkungan akan meningkatkan tingkat kepentingan untuk mengelola dan mengkonservasi N.gracilis dan kawasan hutan kerangas. D. Simpulan Karakterisasi peran N.gracilis terhadap lingkungan teridentifikasi melalui nilai manfaat tumbuhan bagi lingkungan fisik-kimia, biologi-ekologi dan bagi lingkungan sosial ekonomi dan budaya.
Kemampuan N.gracilis mengatasi
keterbatasan hara dan air memberikan manfaat bagi lingkungan fisik-kimia komunitas hutan kerangas. Sumbangan hara bagi lingkungan terutama unsur N dan P dapat berasal dari guguran daun, kantong dan sisa serangga yang terdapat di dalam kantong N.gracilis. Simbiosis antara N.gracilis dan organisme lainnya mendeskripsikan peran N.gracilis terhadap lingkungan bio-ekologi hutan kerangas. Pemanfaatan N.gracilis sebagai bahan pengobatan atau penggunaan lainnya bagi masyarakat merupakan peran N.gracilis bagi lingkungan sosial. Hubungan berbagai jenis Nepenthes terhadap kehidupan budaya masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan merupakan gambaran bahwa keberadaan Nepenthes spp. berperan terhadap lingkungan sosial budaya masyarakat. Berbagai pembuktian mengenai nilai jasa lingkungan dari N.gracilis merupakan bentuk nilai manfaat dari biodiversitas. Nilai manfaat ini diharapkan akan berkembang menjadi stimulus untuk sikap dan aksi konservasi para pihak dalam menyusun perencanaan konservasi hutan kerangas melalui konservasi tumbuhan N.gracilis.
80
6. KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT DAN MANFAAT LAINNYA DI HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan Hutan kerangas sebagai suatu komunitas tumbuhan yang berkembang pada kondisi tapak yang terbatas sangat mudah terdegradasi. Bila sekali mengalami degradasi maka akan berkembang menjadi savana terbuka yang disebut sebagai ―Padang‖ (Bruenig 1995) Hutan kerangas yang telah mengalami gangguan akan sukar untuk pulih kembali. IUCN (The International Union for The Conservation of Nature) mengkategorikan hutan kerangas dengan status vulnerable (rawan). Hutan terdapat di Desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan merupakan salah satu contoh tipe hutan kerangas yang telah mengalami degradasi. Struktur hutannya telah berubah menjadi savana terbuka dan terfragmentasi menjadi kumpulan tegakan hutan berupa asosiasi dua jenis pohon (Combretocarpus rotundatus dan Melaleuca cajuputi), bahkan sekarang mengarah pada hutan murni untuk tingkat tiang dan pohon (Combretocarpus rotundatus). Sikap konservasi terhadap hutan kerangas yang tidak terbentuk pada individu masyarakat dan pengelola menjadi pemicu terdegrasinya hutan kerangas. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, diperlukan suatu pendekatan stimulus dalam memunculkan ketertarikan dan membangun sikap dan aksi konservasi. Membangun stimulus dapat dimulai dari nilai manfaat sehingga penerapan konservasi terhadap hutan kerangas dapat dilakukan. Diharapkan dari stimulus manfaat atau pemanfaatan ini selanjutnya akan mendorong pemaknaan kembali secara komprehensif stimulus alam bagi para pihak yang selanjutnya akan berkembang menjadi stimulus kerelaan untuk aktifitas konservasi di hutan kerangas. Penggunaan
biodiversitas
tumbuhan
sebagai
bahan
pengobatan
merupakan salah satu alternatif untuk menemukan nilai manfaat dari hutan kerangas. Hutan kerangas sebagai suatu komunitas tumbuhan spesifik yang tumbuh dan berkembang pada habitat tanah yang kesuburannya sangat terbatas merupakan kawasan yang menjadi sumber keanekaragaman tumbuhan dengan potensi besar dalam menghasilkan metabolit sekunder. Secara alami komunitas tumbuhan yang tumbuh pada kondisi tapak ekstrim atau terbatas potensial menghasilkan metabolit sekunder yang menjadi sumber bioaktivitas tertentu.
81
Proses fisiologis dalam menghasilkan metabolit sekunder dapat dipicu oleh tekanan atau stress lingkungan (Croteau
et al. 2000).
Hutan kerangas
merupakan komunitas tumbuhan spesifik, hanya beberapa tumbuhan tertentu yang
mampu
beradaptasi.
Kemampuan
adaptasi
tumbuhan
berpotensi
menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang menjadi dasar penggunaan tumbuhan sebagai bahan pengobatan. Permasalahan yang terjadi adalah belum ditemukan atau terbatasnya informasi mengenai penggunaan hutan kerangas sebagai sumber bahan tumbuhan untuk pengobatan.
Keterbatasan tersebut mengakibatkan upaya
konservasi berbasiskan nilai manfaat yang berkelanjutan dari jenis-jenis tumbuhan dari komunitas tumbuhan kerangas secara keseluruhan belum dapat dilakukan. Hasil penelitian etnobotani tentang penggunaan tumbuhan dari hutan kerangas masih relatif terbatas dan merupakan bagian kecil dari laporan-laporan penelitian ekologi dengan komunitas tumbuhan maupun penelitian ekologi mengenai satu spesies khusus.
Hartini (2007) dalam penelitian ekologi
melaporkan dalam penelitian keragaman tumbuhan di hutan kerangas bahwa terdapat beberapa tumbuhan yang berkhasiat obat. Beberapa tumbuhan dari hutan kerangas yang dikenal masyarakat untuk pengobatan yang didapat dari penelitian ekologis di antaranya seperti: Jungrahab (Baeckea frutescens L), Kantong semar (Nepenthes spp.), Tabat Barito (Ficus deltoidea), Senduduk (Melastoma malabathricum) Penelitian ini berusaha untuk mengidentifikasikan potensi tumbuhan obat di hutan kerangas melalui pendekatan pengetahuan etnobotani masyarakat lokal. Secara khusus juga diidentifikasikan perkembangan pemanfaatan N.gracilis maupun potensi biodiversitas tumbuhan lainnya yang berasal dari hutan kerangas. Informasi ini diharapkan dapat menjadi masukan penting sebagai stimulus untuk aksi konservasi di hutan kerangas. B. Metode Penelitian 1) Obyek dan Lokasi Penelitian Obyek penelitian adalah masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan kerangas. Lokasi pengumpulan data adalah di desa Guntung Ujung yang secara administratif terletak di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Lokasi referensi adalah hutan kerangas Pasir putih-Lenggana Kabupaten Kotawaringin Timur, Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya
82
Kalimantan
Tengah,
dan
Tanjung-Muara
Kelanis
(Kalimantan
Selatan-
Kalimantan Tengah). 2) Prosedur Pengumpulan Data Metode pengumpulan data tentang penggunaan tumbuhan dari hutan kerangas sebagai bahan pengobatan dan pemanfaatan lainnya melalui metode wawancara semi terstruktur terhadap masyarakat lokal di lapangan (Rahayu et al. 2008). Responden yang dipilih untuk studi etnobotani ini sebanyak 20 orang. Responden yang dipilih adalah penduduk lokal dengan umur di atas 15 tahun dan
memiliki
pengetahuan
tentang
pengobatan
dari
hutan
kerangas.
Penelurusan literatur dilakukan untuk melengkapi data potensi penggunaan tumbuhan dari hutan kerangas. 3) Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan mempresentasikan hasil data dan informasi yang dikumpulkan tentang potensi tumbuhan obat dan penggunaan lainnya dari tumbuhan hutan kerangas. C. Hasil dan Pembahasan 1) Potensi Tumbuhan Obat dari Hutan Kerangas Berdasarkan hasil studi etnobotany dari masyarakat di dalam dan sekitar hutan kerangas yang dilengkapi dengan hasil tinjauan literatur, beberapa potensi tumbuhan obat dari hutan kerangas diuraikan dalam Tabel 6.1. Tabel 6.1 Daftar jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan pengobatan dari hutan kerangas No Nama Jenis
Penggunaan untuk pengobatan
Bagian yg digunakan
1
Agatis (Agathis borneensis)
Malaria
daun
2
Akasia (Acacia mangium)
berpotensi tetapi belum tereksplorasi
belum tereksplorasi
3
Alaban (Vitex pubescens)
obat sakit perut, demam, hypertensi, malaria
daun dan kulit kayu
4
Alang-alang (Imperata cylindrical)
batu ginjal, hypertensi, panas dalam
akar
5
Alau (Dacrydium beccarii)
kencing batu/ginjal
akar dan daun, buahnya dimakan
6
Anggrek tanah (Dipodium poludosum)
melancarkan peredaran darah
batang dan akar
7
Bakah kuning (Arcangelisia flava)
kencing manis, kencing batu, sariawan, lever
batang dan akar
8
Bati-bati (Adina minutiflora)
Sakit perut
daun
9
Belangiran (Shorea belangeran)
malaria, diabetes, diare, pewarna
Kulit batang
10 Bungur (Lagerstromia speciosa)
antidiabetes
daun
11 Galam (Melaleuca cajuputi)
obat sakit perut, luka, penahan sakit
daun dan buah
12 Gelagah (Phragmites karka)
darah tinggi (hypertensi) berpotensi obat tapi belum tereksplorasi
akar
diare, sakit kepala dan luka
semua bagian tumbuhan
13 Gumisi (Syzigium tetrapterum) 14 Jangang (Gleichenia linearis)
belum tereksplorasi
83
Tabel 6.1 Daftar jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan pengobatan dari hutan kerangas (lanjutan) No Nama Lokal
Penggunaan untuk pengobatan
Bagian yang digunakan
15 Jambuan (Syzygium sp.)
obat sakit perut, batuk
daun dan kulit
16 Kapur naga (Callophylum lowii)
pengurang rasa sakit, korengan
kulit, daun
obat sakit perut, luka, cegah ubanan, 17 Kramuntingkodok (Melastoma malabathricum) berak darah, sakit pinggang
daun, kulit batang
18 Kramunting buah (Rhodomyrtus tomentosa)
obat sakit perut, luka
daun, buahnya dimakan
19 Kariwaya (Ficus sp.)
disentri, diare,demam, obat luka
akar, daun
20 Kelalakai (Stenochlaena palustris)
penambah darah, demam
daun, batang
21 Kerinyu (Eupatorium palescens)
obat luka, bisul, kurap
daun
22 Ketapi hutan (Sandoricum beccarianum)
ambien
buah dan kayu
23 Kujajing (Pterospernum javanicum)
gatalan dan disentri
daun dan kulit
24 Kantong semar (Nepenthes spp.)
batuk, asma, tetes mata, diabetes, diare, pinggang, kebugaran,
daun, batang, akar, air dlm kantung
25 Mali-mali (Leea indica)
Luka, sakit kepala
Daun, kulit
26 Mahang (Macaranga costulata)
sariawan, tetes mata
getah batang
27 Manggis hutan (Garcinia sp.)
malaria, mag, persalinan
kulit, daun
28 Mengkudu hutan (Morinda sp.)
obat batuk
batang dan daun
29 Merapat (Combretocarpus rotundatus) 30 Mesisin (Ficus delteodea) 31 Nipa/Irat (Cratoxylon arborescens) 32 Palawan (Tristaniopsis obovata) 33 Pandan Rasau (Pandanus atrocarpus) 34 Pulantan (Alstonia pneumatophora) 35 Rambuhatap (Baeckea frutescens)
berpotensi obat tapi belum tereksplorasi mag, jamu wanita, diabetes demam, batuk, sakit perut, diare, luka, pewarna pakaian obat sakit perut, lever, mag, penguat stamina Berpotensi tetapi belum tereksplorasi disentri dan diare, maag, dan sakit perut, malaria sakit perut, analgesik, campuran bedak jerawat
belum tereksplorasi daun, batang daun, kulit daun, kulit, akar dan air dari batang belum tereksplorasi daun dan kulit daun
36 Rukam (Flacourtia rukam)
diare dan disentri
buah mudanya untuk obat
37 Simpur (Dilenia eximia)
obat mata, luka
daun, buah muda
38 Suling naga (Dianella nemerosa)
panas dalam, persalinan, bisulan, diare, bedak jerawat
semua bagian tumbuhan
39 Uwar (Syzygium sp.)
sakit perut
kulit batang, daun
Tabel 6.1 merupakan hasil pengolahan data yang didapat dari 4 lokasi penelitian (1 lokasi utama dan 3 lokasi referensi). Terdapat 39 jenis tumbuhan dari hutan kerangas yang teridentifikasi di lokasi penelitian, 35 diantaranya telah digunakan sebagai bahan pengobatan oleh masyarakat. Berdasarkan tinjauan literatur dan hasil analisis laboratorium, 4 jenis tumbuhan yang masih belum tereksplorasi melalui pengetahuan masyarakat lokal memiliki bioaktivitas sebagai bahan pengobatan (Tabel 6.2).
84
Tabel 6.2 Bioaktivitas beberapa jenis tumbuhan dari hutan kerangas Nama Jenis Merapat (Combretocarpus rotundatus) Akasia (Acacia mangium) Pandan (Pandanus atrocarpus) Gumisi (Syzygium tetrapterum)
Bioaktivitas Antioksidan dan antibakteri
Keterangan Hasil analisis laboratorium
Antibakteri Antibakteri
Hasil analisis laboratorium Hasil analisis laboratorium
Analogi terhadap spesies lain Referensi literatur dan hasil dari genus sama dan memiliki survey etnobotany terhadap bioaktivitas tertentu genus yang sama
Ekstrak methanol daun merapat (C.rotundatus)
berdasarkan analisis
invitro yang dilakukan memiliki kapasitas antioksidan terhadap 1,1-diphenyl-2picrylhydrazyl (DPPH) dengan nilai IC50 sebesar. Ekstrak methanol daun merapat juga memiliki kapasitas antibakteri. Pemberian ekstrak methanol daun merapat pada konsentrasi 62,5 ppm memiliki daya hambat minimal (MIC) terhadap bakteri S.aureus dan MIC terhadap E.coli pada konsentrasi 250 ppm. Ekstrak methanol daun akasia (A.mangium) memiliki kapasitas antibakteri. Pemberian ekstrak methanol kulit akasia mempunyai nilai MIC terhadap bakteri S.aureus pada konsentrasi 1000 ppm dan MIC terhadap E.coli pada konsentrasi 500 ppm. Mihara et al. (2005) menemukan bahwa ekstrak dari batang kayu akasia memiliki kapasitas antioksidan. Tumbuhan bawah pandan rasau (P.atrocarpus) secara in vitro juga memiliki kapasitas antibakteri. Pemberian ekstrak methanol daun pandan rasau pada konsentrasi 2000 ppm menunjukkan daya hambat terhadap jenis bakteri E.coli dan MIC bakteri S.aureus pada konsentrasi 500 ppm. Gumisi (S.tetrapterum) apabila dianalogikan dengan jenis Syzigium spp. lainnya diduga memiliki potensi bioaktivitas. Nahar et al. (2005) telah mendapatkan kapasitas antidiabetes dari jenis Syzygium cumini. Penelitian lainnya juga mendukung khasiat dari beberapa jenis tumbuhan hutan kerangas. Cratoxylon arborescens dan Dianella nemerosa digunakan masyarakat untuk pengobatan (Uji 2003; Rahayu et al. 2007). Chew YL. (2011) juga mengungkapkan bahwa Acacia auriculiformis mempunyai potensi antibakteri dan antioksidan. Tinjauan referensi ini memperkaya khasanah pengetahuan potensi pengobatan dari hutan kerangas. Beberapa penjelasan yang telah dikemukakan merupakan pembuktian bagaimana hutan kerangas dapat menghasilkan potensi tumbuhan obat. Secara umum bioaktivitas yang didapat dari tumbuhan merupakan dampak dari faktor internal tumbuhan dan faktor eksternal dari habitat kerangas yang kandungan hara tanahnya sangat terbatas.
85
2) Perkembangan pemanfaatan N.gracilis tumbuhan lainnya di hutan kerangas
dan
potensi
biodiversitas
Berdasarkan hasil studi etnobotani yang dilakukan, perkembangan pemanfaatan N. gracilis di lokasi penelitian utama dan referensi ditampilkan dalam Tabel 6.3. Tabel 6.3 Perkembangan pemanfaatan N.gracilis Lokasi
Nama Lokal
Desa Guntung Ujung Kab.Banjar Kalsel
Ontong-ontong Kampil warik
(Lokasi utama)
Keterangan Penggunaan Terkini Cairan dari kantong tertutup masih digunakan hingga sekarang oleh sebagian kecil masyarakat untuk pengobatan batuk dan tetes mata. Sebagian kecil dari penduduk masih menggunakan cairan kantong tertutup sebagai campuran untuk pengobatan batu ginjal. Sebagai bahan antaran dan hiasan pengantin (sudah ditinggalkan) Kantongnya digunakan untuk memasak nasi tapi sudah mulai ditinggalkan Tumbuhan hias (berlangsung sementara)
Tanjung-Pasar Panas-Muara Kelanis Kalsel-Kalteng
Lanjung datu Hambinan warik Gintuwung
Sebagian anggota masyarakat masih menggunakan akar N.gracilis untuk pengobatan diabetes. Sebagian anggota masyarakat masih menggunakan tumbuhan N.gracilis untuk pengobatan sakit pinggang Cairannya yang tertutup digunakan untuk asma Tempat memasak nasi (insidentil)
Nyaru Menteng Kota Palangkaraya Kalteng
Kantong Bakei Kusak kameluh
Akar N.gracilis direbus untuk kebugaran badan dan sakit urat tulang (supaya berigas biti an hapan tatamba pehe uhat kahang), obat awet muda kantongnya untuk memasak nasi/ketan (insidentil) Tumbuhan hias (berlangsung sementara)
Telep umang Tebiku
Cairan dalam kantongnya sebagai bahan obat sakit perut (pehe kena-i) Akar N.gracilis dan batang dibakar dulu, kemudian direbus dan digunakan untuk penyakit beri-beri Kantongnya digunakan untuk memasak nasi atau ketan (berlangsung insidentil)
Pasir putihLenggana Kab.Kotim Kalteng
Pemanfaatan N.gracilis sebagai bahan pengobatan secara umum lebih banyak dikuasai oleh masyarakat yang berada di lokasi penelitian referensi. Relatif terbatas penduduk yang mengetahui potensi N.gracilis sebagai bahan pengobatan di lokasi utama. Nilai sosial dan nilai religius juga lebih teridentifikasikan oleh masyarakat yang berada di lokasi penelitian referensi dibandingkan lokasi penelitian utama. Pemanfaatan N.gracilis sebagai tempat menanak nasi (lontong) hampir dikuasai oleh sebagian besar masyarakat baik di lokasi penelitian utama maupun referensi.
86
Penamaan lokal dari masyarakat, N.gracilis memiliki nilai sosial budaya terutama dari masyarakat Tanjung-Muara Kelanis (lanjung datu), Nyaru Menteng (kusak kameluh), dan Desa Muara Penyang (telep umang).
Lanjung datu
memiliki makna lanjung (sejenis bakul tempat membawa barang yang dibawa dipunggung), dan datu (dari orang halus/orang ghaib). Masyarakat dari suku Dayak Kahayan (Nyaru Menteng) menamai kantong semar dengan sebutan kusak kameluh yang memiliki makna kusak (bakul) dan kameluh (uluh huran, bawi kuwu atau bidadari). Suku Dayak Siang (Kotawaringin Timur) memberikan sebutan telep umang untuk kantong semar yang memiliki makna telep (wadah) dan umang (orang yang ada di khayangan). Menurut keyakinan masyarakat dayak Siang, menyebarnya tebiku atau telep umang di berbagai tempat adalah sebagai hasil tumbuhan dari suku Ud Danum yang membawa telep umang sebagai persediaan air dengan mengikatkannya dipinggang. Telep umang yang telah diminum kemudian ditanam diberbagai lokasi yang menjadi rute perjalanan dari suku Ud Danum. Telep umang atau tebiku dulunya merupakan tempat menaruh anakan/peluru sipet (sumpit) yang merupakan senjata dan alat berburu masyarakat suku Dayak pada umumnya. Berbagai penjelasan historikal dari kantong semar memberikan gambaran bahwa Nepenthes memiliki nilai sosial budaya bagi masyarakat lokal. Perkembangan penggunaan biodiversitas tumbuhan lainnya dari hutan kerangas Desa Guntung Ujung (Lokasi Utama) yang dilakukan oleh masyarakat lokal adalah seperti tertera dalam Tabel berikut: Tabel 6.4 Pemanfaatan tumbuhan di lokasi penelitian utama Jenis tumbuhan
Bahan obat Pangan
Penggunaan Keterangan lain
√ (kayu)
Akasia Alaban
√
Alang-alang
√
Anggrek
√
Bati-bati
√
Belangiran Galam
Nilai jual Religius langsung
√
√ (daun, kulit)
Nilai jual kayu dan masih berlangsung √ (kayu Daun muda, kulit untuk bakar/arang) membuat teh Masih berlangsung √ (tumbuhan hias)
√ (buah)
√ (kayu bakar)
Penggunaan tumbuhan masih dilakukan Sudah tidak ditemukan tingkat pohon/tiang
√ (kayu)
Kayu dari log yang tertimbun tanah
√ (kayu, buah)
√ (kayu Masih berlangsung bakar/arang)
87
Tabel 6.4 Pemanfaatan tumbuhan di lokasi penelitian utama (lanjutan) Jenis tumbuhan
Bahan Pangan pengobatan
Nilai jual Religius langsung
Penggunaan Keterangan lain
Jangang
√
Jejambuan
√
Kantong semar
√
Kapurnaga
√
Karamunting kodok
√
√ (buah)
Pangan dari buah
Karamunting buah
√
√ (buah)
Pangan dari buah
Kelalakai
√
√ (sayuran)
Pangan sayuran
Kerinyu
√
Tali untuk kerajinan
Masih berlangsung √
Nipa
√
Palawan
√
Pulantan
√
Rambuhatap
√
Suling naga
√
Masih berlangsung sebelumnya pernah punya nilai jual kayu
Jarang digunakan √ (kayu)
Merapat
Tidak digunakan lagi utk kerajinan
nilai jual langsung kayu sebelumnya pernah punya nilai jual kayu √
Pertahanan & penangkal dari kekuatan jahat Jarang digunakan
√ (daun)
Penjualan masih berlangsung Masih berlangsung
Berdasarkan hasil yang tertera pada Tabel 6.4 terdapat 21 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di lokasi penelitian utama untuk berbagai kepentingan. 18 jenis tumbuhan digunakan sebagai bahan pengobatan, 4 jenis yang sampai sekarang masih merupakan sumber kayu bangunan, 4 jenis sebagai sumber pangan, 1 jenis bernilai religius, 3 jenis sebagai sumber kayu bakar dan 1 jenis tumbuhan dimanfaatkan sebagai tumbuhan hias. Jenis alaban (V.pubescens), alang-alang (I.cylindrica), galam (M.cajuputi), karamunting
kodok
(Melastoma
malabathricum),
karamunting
buah
(Rhodomyrtus tomentosa) merupakan jenis tumbuhan yang paling banyak dikenal masyarakat sebagai bahan pengobatan. Jenis merapat (C.rotundatus) akasia (A.mangium) dan galam (M.cajuputi) merupakan tumbuhan yang tegakan berdirinya masih diproduksi masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan kayu bangunan. Pemenuhan kebutuhan kayu bangunan, selain dipenuhi dari tegakan berdiri juga didapatkan dari sisa log yang tertimbun dalam tanah (jenis merapat, dan belangeran). Sebelum tegakan hutan di areal ini rusak, jenis pohon lain
88
sebagai penghasil kayu bangunan adalah nipa (C.arborescens), kapurnaga (C.lowii), jejambuan (Syzygium sp.), bati-bati (A.minutiflora) dan palawan (T.obovata). Pemenuhan kayu bakar yang dominan masih dimanfaatkan adalah jenis galam (M.cajuputi). Penggunaan pohon sebagai sumber kayu bangunan maupun kayu bakar mengarah kepada pemenuhan kebutuhan sendiri. Penggunaan sebagai sumber pangan yang masih tetap bertahan hingga sekarang adalah kelakai (S.palustris) sebagai panganan dalam bentuk sayuran. Penggunaan tumbuhan hias masih insidentil dan relatif jarang dilakukan oleh masyarakat setempat. Penggunaan tumbuhan untuk kepentingan religius dan kerajinan relatif sudah ditinggalkan. Daun rambuhatap (B.frutescens) dan buah galam (M.cajuputi) merupakan jenis tumbuhan yang sampai sekarang memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat. Nilai jual yang relatif murah dari bahan kering dari buah galam sebesar Rp 6000/kg dan daun kering jenis rambuhatap sebesar Rp 2500/kg (hasil wawancara, 2012). Pengerjaan mengumpulkan kedua jenis tumbuhan ini merupakan mata pencaharian tambahan di luar pekerjaan utama sebagai petani. Pemungutan daun rambuhatap (B.frustescens) dan buah galam (M.cajuputi) merupakan hasil permintaan pasar yang berasal dari industri jamu di luar Kalimantan. Perbandingan
diperlukan
untuk
memperluas
pengetahuan
tentang
pemanfaatan biodiversitas hutan kerangas. Pemanfaatan tumbuhan dari hutan kerangas untuk berbagai kepentingan dari semua lokasi penelitian ditunjukkan dalam Tabel 6.5. Tabel 6.5 Pemanfaatan biodiversitas tumbuhan (selain N.gracilis) di lokasi penelitian referensi Jenis tumbuhan
Bahan Nilai jual Pangan Religius pengobatan langsung
Agathis Akasia Alaban
√
Alang-alang Alau Anggrek
√ √ √
Bakah kuning Belangiran
√ √
Penggunaan lain
√ (kayu) √ (kayu)
√
Keterangan kayu tidak diproduksi kayu masih diproduksi
√ (kayu bakar/arang) √ (kayu)
√ (kayu)
√ (tumbuhan hias)
kayu jarang diproduksi tan.hias sifatnya insidentil (2 jenis)
√ (pewarna)
kayu masih diproduksi
89
Tabel 6.5 Pemanfaatan biodiversitas tumbuhan (selain N.gracilis) di lokasi penelitian referensi (lanjutan) Jenis tumbuhan
Bahan obat
Bungur Galam
√ √
Gelagah Gumisi Jangang
√
Jejambuan Kapurnaga Karamunting kodok Karamunting buah Kariwaya Kelalakai Kerinyu Ketapi hutan Kujajing Mahang Manggis hutan Mengkudu hutan Merapat (tumih) Mesisin Irat/Gerunggang Palawan Pulantan
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Rukam Simpur Suling naga Uwar Mali-mali
√ √ √ √ √
Pangan
Nilai jual Religius langsung
Penggunaan lain
Keterangan
√ (kayu bakar) √ (kayu bakar, kayu masih diproduksi turus)
√ (kayu)
√ (kayu bakar) √ (tali utk kerajinan) √ (kayu bakar) kayu jarang diproduksi kayu jarang diproduksi
√ √ (kayu) √ (kayu) √ (buah) √ (buah) √
hunian orang ghaib sayuran
√ (sayur) √ (buah) √ (kayu) √ (buah) √ (kayu)
kayu jarang diproduksi kayu jarang diproduksi √ (kayu bakar)
√ (buah) √ (kayu)
kayu jarang diproduksi
√ (kayu) √ √ √ √
√ (kayu) √ (kayu)
kayu masih diproduksi √ √ (kerajinan dan tutup botol)
pengunaan kayu sudah jarang dilakukan
√ (buah) √ (kayu) √ (buah) √ (kayu) √ (kayu)
√ (pewarna) kayu jarang diproduksi √ (kayu bakar)
Terdapat 35 jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan dari hutan kerangas di lokasi referensi penelitian. 32 jenis di antaranya berpotensi sebagai tumbuhan obat, 8 jenis tumbuhan dimanfaatkan sebagai sumber pangan (7 jenis tumbuhan penghasil buah dan 1 jenis sebagai sumber sayuran), 16 jenis tumbuhan sebagai sumber kayu bangunan, 7 jenis sebagai kayu energi (kayu bakar/arang), 2 jenis sebagai bahan pewarna, 2 jenis dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan, 2 jenis untuk kepentingan religius dan 2 jenis sebagai tumbuhan hias. Penguasaan pengetahuan pengobatan yang berasal dari sebagian besar tumbuhan hutan kerangas terbatas pada sebagian kecil anggota masyarakat. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang dikenal masyarakat secara luas sebagai
90
bahan pengobatan.
Jenis-jenis tumbuhan yang umum dikenal masyarakat
secara luas di antaranya adalah jenis alaban (V.pubescens), alang-alang (I.cylindrica), bakah kuning (A.plava), galam (M.cajuputi), karamunting kodok (M. malabathricum), karamunting buah (R.tomentosa), kelakai (S.palustris), mesisin (F.delteodea), palawan (T.obovata), dan jejambuan (Syzygium sp.). Pemanfaatan hutan kerangas sebagai penghasil kayu sampai saat ini lebih banyak dilakukan di lokasi referensi. Terdapat 4 jenis kayu yang masih dipanen yaitu merapat, galam, belangiran dan irat. Pemanenan rambuhatap dan buah galam tidak dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan kerangas dari lokasi referensi. Secara keseluruhan, belum terbentuk pasar untuk penjualan jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan pengobatan di lokasi penelitian referensi. Berdasarkan hasil pengamatan, pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan di hutan kerangas oleh masyarakat lebih mengarah kepada pemanfaatan kayu yang memiliki nilai manfaat ekonomi langsung. Pemanfaatan tumbuhan lainnya baik sebagai bahan obat, pangan, pewarna lebih menjadi hal yang sifatnya minor dan hanya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Penguasaan pengetahuan tentang manfaat tumbuhan dari hutan kerangas untuk kebutuhan selain kayu relatif terbatas pada orang-orang tertentu dengan kaderisasi keilmuwan yang kurang berjalan dengan baik. Lemahnya kaderisasi keilmuwan diindikasikan dengan relatif sedikitnya penduduk usia muda yang memahami penggunaan bahan tumbuhan dari hutan kerangas sebagai bahan pengobatan atau keperluan lainnya. Temuan ini menjadi tantangan yang harus disikapi agar potensi biodiversitas tumbuhan hutan kerangas sebagai bahan obat dapat terus dipertahankan dan dipergunakan secara berkelanjutan. Potensi tumbuhan obat dari hutan kerangas yang vegetasinya yang tumbuh pada habitat terbatas kesuburannya sangat mendukung peran hutan kerangas sebagai sumber bahan obat penting. Sosialisasi diperlukan agar diskonektivitas keilmuwan tentang penggunaan tumbuhan untuk obat tetap terpelihara dan dipertahankan untuk kegiatan konservasi berbasis pemanfaatan berkelanjutan dan mendukung program kesehatan mandiri di dalam dan sekitar kawasan hutan kerangas.
91
D. Simpulan Hutan kerangas yang menjadi lokasi penelitian sangat potensial menjadi sumber plasma nutfah untuk obat.
Ditemukan 92,31% jenis tumbuhan (jenis
tumbuhan 35 jenis dari 39 jenis tumbuhan) yang berpotensi sebagai sumber bahan obat. Potensi tumbuhan obat dari hutan kerangas yang vegetasinya tumbuh pada habitat terbatas sangat mendukung peran hutan kerangas sebagai sumber pengobatan. Selain itu, hutan kerangas masih digunakan masyarakat sebagai sumber kayu bangunan, sumber pangan (buah dan sayuran), sumber kayu energi, sumber bahan untuk kerajinan, sumber pewarna, tumbuhan hias dan tumbuhan dengan nilai religius. Secara khusus pemanfaatan N.gracilis sebagai bahan pengobatan lebih banyak dikuasai oleh masyarakat yang berada di lokasi penelitian referensi. Nilai sosial dan nilai religius juga lebih teridentifikasikan oleh masyarakat yang berada di lokasi penelitian referensi dibandingkan lokasi penelitian utama. Penguasaan pengetahuan tentang manfaat tumbuhan dari hutan kerangas untuk kebutuhan selain kayu
relatif
terbatas dengan kaderisasi keilmuwan yang kurang berjalan dengan baik. Sosialisasi dan dokumentasi penelitian tentang manfaat tumbuhan hutan kerangas perlu dilakukan agar kearifan pengetahuan lokal tentang tumbuhan dapat terus terjaga dan berlangsung antar generasi. Pembuktian melalui mekanisme penelitian modern dapat dilakukan untuk memperkuat pengetahuan tradisional masyarakat yang berkaitan dengan penggunaan tumbuhan hutan kerangas.
92
7. KERAGAMAN GENETIKA NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan Nepenthes atau kantong semar merupakan salah jenis tumbuhan bawah yang mampu beradaptasi dan tumbuh dominan di habitat hutan kerangas. Kemampuannya mendapatkan pasokan hara dari luar tanah dengan cara memerangkap organisme di dalam kantongnya dan selanjutnya diproses menjadi nutrisi hara yang dapat dipergunakannya, merupakan mekanisme adaptasi yang dimiliki tumbuhan ini sehingga mampu tumbuh dominan di lahan kerangas yang relatif kurang subur. Jenis Nepenthes yang paling banyak ditemukan di berbagai tipe hutan kerangas adalah Nepenthes gracilis (Riswan 1985; Kissinger 2002). Sebaran tumbuh jenis N.gracilis secara geografis cukup luas dan terdapat baik di Kalimantan, Sumatera, Malaysia dan Sulawesi. Jenis ini tumbuh di lahan terbuka, semak, belukar dan di bawah kanopi hutan kerangas yang rendah. N.gracilis umumnya tumbuh pada ketinggian di bawah 100 m dpl dan jarang ditemukan pada ketinggian di atas 1200 m dpl (Adam et al. 1992). Praktek konservasi terhadap suatu spesies memerlukan pengetahuan keragaman genetika agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien, karena sasaran utama dari konservasi adalah perlindungan dan pengawetan terhadap spektrum umum dari keragaman genetika dan juga potensi evolusinya. Studi genetika digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dalam pengambilan keputusan permasalahan konservasi, karena dengan studi genetika, informasi tentang keragaman antar individu di dalam dan antar populasi, terutama pada spesies-spesies yang menjadi prioritas konservasi akan dapat diketahui. Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan informasi mengenai keanekaragaman genetika N.gracilis di hutan kerangas menggunakan penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). B. Metode Penelitian 1) Objek dan Lokasi Penelitian Objek penelitian adalah tumbuhan N.gracilis yang terdapat dalam kawasan hutan kerangas. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Fakultas Kehutanan IPB. Lokasi pengambilan sampel tumbuhan kantong semar berlokasi di hutan kerangas Desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Sebagai lokasi referensi bertempat di hutan kerangas di
93
Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya, Pasir putih-Lenggana Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, dan Tanjung-Muara Kelanis (Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah). 2) Prosedur Pengumpulan Data Hutan lindung Desa Guntung Ujung mewakili kondisi hutan terdegradasi. Hutan kerangas di Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya mewakili hutan kerangas yang relatif belum terganggu, penutupan tajuk penuh (oldgrowth). Hutan Kerangas di Tanjung-Muara Kelanis mewakili hutan kerangas terbuka dan hutan sekunder terganggu. Hutan kerangas di Pasir putih-Lenggana Kabupaten Kabupaten Kotawaringin Timur mewakili hutan kerangas terdegradasi. Pada setiap lokasi di buat beberapa titik pengamatan dengan banyaknya titik pengamatan adalah 4 titik (total titik pengamatan adalah 16 titik). Penempatan titik pengamatan dilakukan secara purposive.
Pada tiap titik
pengamatan di ambil 5 sampel daun dari individu yang berbeda dengan jarak antar titik pengambilan sampel berkisar 5-10 meter. Total sampel yang digunakan adalah 50. Gambaran teknik pengambilan sampel individu kantong semar untuk analisis genetika tertera pada Gambar 7.1.
2
1 5
3 5-10 m 4
Gambar 7.1
Pengambilan sampel individu N.gracilis untuk analisis genetika (metode menurut Szmidt 2011)
3) Analisis Genetika 3.1. Bahan dan Alat Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis genetika dengan penanda PCR-RAPD terbagi dalam beberapa tahapan pekerjaan yaitu: ekstraksi DNA, uji kualitas dan kuantitas DNA, visualisasi DNA dan analisis data.
Tabel 7.1.
menyajikan beberapa peralatan dan bahan yang digunakan dalam PCR-RAPD.
94
Tabel 7.1 Bahan dan alat teknik PCR-RAPD Tahapan Pekerjaan Analisis
RAPD
Ekstraksi
PCR
Visualisasi DNA
Alat: sarung tangan karet, gunting, tube 1.5 ml, spidol permanen, mortar, pestel, mikropipet, tips, rak tube, vortex, mesin sentrifugasi, waterbath, freezer, desikator. Bahan: buffer ekstrak, PVP 2%, chloroform IAA, isopropanol dingin, NaCl, etanol 95%, buffer TE.
Alat: tube 0,2 ml, spidol permanen, alat tulis, mikro pipet, tips, mesin sentrifugasi, mesin PCR PTC100.
Alat: mikropipet, tips, mesin sentrifugasi, bak elektroforesis, cetakan agar, erlenmeyer, sarung tangan, UVtransilluminator, alat foto DNA.
Bahan: DNA, aquabidest, H2O, primer RAPD, Taq polymerase.
Bahan: agarose, buffer TAE 1x, TBE 1x, blue juice 10x, DNA marker, EtBr,
Analisis Data Alat: komputer, softwere POPGENE versi 1.31, , dan Microsoft excel
3.2. Analisis RAPD Analisis DNA pada daun kantong semar dilakukan dengan menggunakan metode
RAPD. Secara umum metode RAPD terdiri dari dua tahapan, yaitu
Ekstraksi DNA dan analisis RAPD. Ekstraksi DNA Ekstraksi menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) yang telah dimodifikasi. Sampel daun pada bagian pangkal, tengah dan ujung daun digerus di dalam pestel yang bersih. Hasil gerusan selanjutnya dipindahkan ke dalam tube 2 mL, lalu ditambahkan 500-700 µl larutan buffer ekstrak (campuran Tris-HCl, EDTA, NaCl, CTAB, dan Air) dan 100 µl PVP 2%. Selanjutnya dilakukan proses inkubasi di dalam waterbath selama 45-60 menit pada suhu 65oC, kemudian dinginkan ± 15 menit. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 µl dan fenol 10 µl, selanjutnya campuran tersebut disentrifugasi agar menjadi homogeny pafa kecepatan 10.000 rpm selama lima menit. Ambil fase air menggunakan pipet mikro dan pindahkan ke dalam tube baru, fase air ini yang digunakan, sedangkan fase organik disimpan dalam freezer. Selanjutnya ditambahkan isopropanol dingin 500 µl dan NaCl 300 µl, lalu disimpan dalam freezer selama 45-60 menit untuk mendapatkan pelet DNA. Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian DNA dengan menambahkan etanol 100% sebanyak 300 µl, lalu disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama lima menit. Pelet DNA disimpan di dalam desikator selama ± 15 menit
95
dan setelah itu ditambahkan larutan buffer TE 20 mikroliter, lalu divortek, dan selanjutnya disentrifugasi kembali. Visualisasi DNA dilakukan dengan metode elektroforesis. Gel agarose yang dipakai adalah 1 % dengan larutan Buffer TAE. Mencampur pelet DNA 3 µl dan blue juice 2 µl.
Running elektroforesis dilakukan dengan memasukan
campuran DNA dan blue juice menggunakan pipet mikro ke dalam sumur gel agarose.
Setelah
proses
running,
lalu
dilanjutkan
dengan
pewarnaan
menggunakan Ethidium Bromida (EtBr) (Campuran EtBr 10 µl dan aquades 190 ml) selama 15 menit. Kemudian dilakukan pemotretan dengan menggunakan deteksi UV transilluminator. Random Amplified Polymerase DNA (RAPD) Reaksi PCR RAPD dilakukan dengan menggunakan 15 µl volume larutan yang terdiri dari H20 (nucleus free water) 2,5 µl, primer masing-masing 1,5 µl, Go Taq Green Master Mix Kit (Promega) 7,5 µl, dan 2 µl cetakan DNA. Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan mesin PTC-100 Progammable Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Proses RAPD akan dilakukan dengan menggunakan lima primer. Pengaturan suhu pada mesin PTC-100 untuk reaksi RAPD adalah: i) pra-denaturasi pada suhu 950C selama 3 menit, ii) denaturasi pada suhu 950C selama 1 menit, iii) annealing pada suhu 350C selama 2 menit dan 720C selama 2 menit iv) ekstensi pada suhu 720C selama 10 menit. Proses ini dilakukan atau diulang sebanyak 35 siklus. Hasil PCR kemudian dielektroforesis dengan gel agarose 2 % dalam larutan Buffer TAE 1 x dan distaining dengan Ethidium Bromida (EtBr). Hasilnya kemudian difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pola pita yang muncul. Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE 32 Versi 1.32 (Yeh et al. 2000) dan Ntsys 2.0 (Rohlf 1998). Prosedur teknik PCR-RAPD ditampilkan pada Gambar 7.2.
96
Sampel daun kantong semar Ekstraksi DNA Tidak
Elektroforesis agar 1% Pewarnaan EtBr (staining) PCR seleksi primer Elektroforesis agar Pewarnaan EtBr (staining) Pemotretan hasil amplifikasi
Interpretasi dan analisis data Gambar 7.2 Bagan prosedur teknik penanda molekular RAPD C. Hasil dan Pembahasan 1) Karakterisasi Penanda RAPD Sebanyak 5 primer digunakan dalam analisis RAPD. Deskripsi yang dihasilkan dari penanda RAPD yang digunakan untuk menduga keragaman genetika N.gracilis di hutan kerangas sperti ditunjukkan pada Tabel 7.2. Tabel 7.2 Deskripsi berbagai penanda RAPD yang digunakan Nama Primer OPP09 OPP15 OPP19 OPBH16 OPBH20
Susunan basa
Pita Pita total % pita total Keberhasilan monomorf polimorf amplifikasi polimorfisme sampel amplifikasi (%)
5'-GTGGTCCGCA-3'
1
41
42
97,62
80
52,5
5'-GGAAGCCAAC-3'
0
24
24
100
80
30
5'-GGGAAGGACA-3'
5
24
29
82,76
80
36,25
5'-CTGCGGGTTC-3'
0
17
17
100
80
21,25
5'-CACCGACATC-3'
1
40
41
95,24
80
51,25
OPP-09 dan OPBH-20 merupakan primer yang paling tinggi keberhasilan amplifikasinya
dengan
nilai
52,5%
dan
51,25%,
sedangkan
%
band
97
polimorfismenya adalah 97,62% dan 95,24%. Gambaran karakterisasi penanda RAPD dapat dilihat pada gambar 7.3. 1500 bp
500 bp
100 bp
OPP-09
OPP-15
OPP-19
1500 bp
500 bp
100 bp
OPBH-20 OPBH-16 Gambar 7.3 Pita DNA dari penanda RAPD pada N.gracilis Kisaran pasangan basa untuk ke lima primer adalah dari 150 bp – 1400 bp. Ukuran pasangan basa ini berada dalam kisaran hasil yang penelitian yang menggunakan
kelima primer tersebut dengan teknik RAPD, yakni dengan
kisaran 150 – 2800 bp untuk mengkarakterisasi keragaman genetik N.khasiana (Bhau et al. 2009). Band monomorfik dalam analisis RAPD menggunakan lima primer ini relatif sedikit ditemukan. Persentase pita polimorfik adalah ≥ 82,76 %. Pita DNA yang berada pada posisi paling atas dan jauh dari sumur merupakan golongan DNA dengan berat molekul ringan, sehingga jumlah pasangan basanya relatif rendah. RAPD dikenal sebagai teknik penanda genetika yang dapat menghasilkan polimorfisme pita DNA dalam jumlah banyak . Beberapa penelitian genetika menggunakan penanda RAPD menemukan besarnya pita polimorfisme yang dihasilkan (Karsinah et al. 2002; Poerba dan Martanti, 2008; Bhau et al. 2009; Anuniwat et al. 2009). 2) Keragaman Genetika N.gracilis di Hutan Kerangas Berdasarkan
hasil
pengolahan
data,deskripsi
N.gracilis di hutan kerangas tertera pada Tabel 7.3.
keragaman
genetika
98
Tabel 7.3 Hasil analisis keragaman genetika populasi N.gracilis Lokasi
N
lokus % lokus polimorf polimorf
na
ne
He
Keterangan
Keragaman dalam populasi Guntung Ujung
11 31,5
63%
16,29
14,87
0,26
9
70% 56% 79%
16,99 15,59 17,90
14,92 14,22 15,41
0,29 OPP9,OPP15 OPP19 0,23 0,31 OPBH-16, 20
5 primer:
Lokasi Referensi: Tanjung-M.Kelanis Pasir putih-Lenggana Kotim
9
Nyaru Menteng
14
35,5 26 41,5
Keragaman antar populasi (Gst) = 0,27 (N=43, lokus polimorfik= 106, % lokus polimorfik= 99,3%)
Keterarangan: N : Jumlah sampel Na : Jumlah alel observasi Ne : Jumlah alel efektif He : Keragaman genetika Hasil yang tertera pada Tabel 7.3 menunjukkan bahwa keragaman genetika N.gracilis dalam populasi hutan kerangas desa Guntung Ujung relatif tinggi (He=0,26). Secara keseluruhan keragaman N.gracilis antar populasi relatif tinggi dengan nilai Gst> 0,15 (Finkelday 2005). Nilai keragaman dalam populasi tersebut akan meningkat jika hasil analisis menggunakan data dari primer yang lebih sedikit. Trend peningkatan juga terjadi pada nilai % lokus polimorfisme. Nilai keragaman genetika tertinggi ditunjukkan oleh N.gracilis yang berada pada lokasi hutan kerangas Nyaru Menteng Palangkaraya (hasil analisis dengan 2 dan 5 primer). Nilai % lokus polimorfisme juga paling tinggi untuk N.gracilis juga berlokasi di hutan kerangas Nyaru Menteng (79%). Relatif tingginya keragaman genetika di lokasi Nyaru Menteng adalah cukup beralasan, karena lokasi ini masih berupa hutan kerangas sekunder yang rendah gangguan. N.gracilis yang terdapat di hutan kerangas Desa Guntung Ujung dan Kotawaringin Timur memiliki keragaman genetika terendah. Kedua tipe hutan kerangas ini merupakan kerangas terbuka dengan tingkat gangguan tinggi. Terdegradasinya hutan menyebabkan berkurangnya variasi genetika dan terhambatnya
aliran
genetika.
Terfragmentasinya
hutan
menyebabkan
perkawinan kekerabatan tinggi dan berpotensi inbreeding. Kebakaran berulang menyebabkan populasi N.gracilis berkurang pada kedua lokasi tersebut. Kerusakan atau tekanan terhadap habitat akan mengurangi keragaman genetika N.gracilis, karena N.gracilis dengan karakter genetika tertentu saja yang akan bertahan dengan semakin ekstrimnya habitat kerangas. Kehilangan variasi genetika menghasilkan gangguan pada frekuensi sebaran genetika yang akan
99
menghambat potensi evolusi dalam proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan (Tamaki et al. 2008). Gambaran kekerabatan antar populasi selanjutnya dianalisis lebih lanjut menggunakan program Ntsys 2.0. Data yang digunakan adalah hasil analisis Popgene menggunakan 5 primer. Deskripsi hubungan kekerabatan antara populasi genetika ditunjukkan pada Gambar 7.4. Gt.Ujung
2
Tjg-MK 1
3
NyaruMenteng
KOTIM
Gambar 7.4 Diagram hubungan kekerabatan N.gracilis di hutan kerangas. Gambar 7.4 mendeskripsikan bahwa variasi genetika N.gracilis terbagi menjadi 3 kluster. Pembentukan kluster tersebut didasari oleh jarak genetika. Penentuan kekerabatan antara populasi dapat ditentukan melalui jarak genetika. Tabel 7.4 Jarak genetika antara populasi N.gracilis di beberapa lokasi No
Antara
Jarak genetika (%)
1
3 - 2.
2,16
2
2 - Guntung Ujung
10,83
3
2 - 1.
1,51
4
1 - Tanjung M.Kelanis
9,32
5
1 - NyaruMenteng
9,32
6
3 - Kotawaringin Timur
12,99
N.gracilis yang terdapat di Tanjung Muara Kelanis dan Nyaru Menteng Palangkaraya memiliki kekerabatan paling dekat dengan jarak genetika 9,32 % dan koefisien identitas perbedaan antara keduanya kecil (0,19). Rendahnya tingkat gangguan yang terjadi mengakibatkan tetap bertahannya variasi genetika
100
yang besar di kedua populasi hutan kerangas ini. Kekerabatan terdekat N.gracilis dari hutan kerangas Desa Guntung Ujung adalah dengan N.gracilis dari lokasi Tanjung-Muara Kelanis. Jarak genetika yang terbentuk adalah 22,15 % (10,83+1,51+9,32). Temuan ini didukung oleh sejarah pembentukan kerangas antara Desa Guntung Ujung dan Tanjung-Muara Kelanis yang berasosiasi dengan teras sungai Barito. Selain berkaitan dengan penutupan kanopi dan sejarah pembentukan hutan kerangas, terdapat kecenderungan bahwa jarak genetika berkaitan dengan jarak fisik. Jarak fisik antara Tanjung Muara Kelanis dan Nyaru Menteng Palangkaraya adalah ± 214 km. Jarak fisik hutan kerangas desa Guntung Ujung dengan Tanjung-Muara Kelanis juga relatif dekat yaitu ± 218 km. Jarak fisik hutan kerangas Nyaru Menteng dengan hutan kerangas desa Guntung Ujung sebesar ± 208 km. Jarak fisik ini lebih dekat dibandingkan dengan jarak fisik Lokasi Pasirputih-Lenggana Kotawaringin Timur memiliki jarak fisik terjauh dengan lokasi desa Guntung Ujung bila dibandingkan dengan lokasi lain dengan jarak fisik sebesar ± 418 km atau jarak fisik Palangkaraya ke PasirputihLenggana Kabupaten Kotawaringin Timur (± 240 km). Jarak fisik berhubungan dengan terdapatnya barrier alami seperti sungai, yang membatasi distribusi genetika suatu jenis. Barrier sungai yang paling besar terjadi adalah antara hutan kerangas desa Guntung Ujung dengan Pasirputih-Lenggana. Terdapat 5 sungai besar yang memisahkan ke dua lokasi ini, yaitu sungai Barito, sungai Kapuas, sungai Kahayan, sungai Katingan dan sungai Mentaya. Primer RAPD OPP-9 dan OPBH-20 merupakan primer dengan lokus polimorfik tertinggi dibandingkan ke tiga primer lainnya. Berdasarkan hasil analisis kekerabatan menggunakan 5 primer, gambaran kekerabatan yang ditampilkan diindikasikan dalam Gambar 7.4. Sementara itu hasil dari ketiga jenis primer
lain,
penampilan
gambaran
kekerabatannya
berbeda.
Hasil
ini
memberikan kesimpulan bahwa kedua primer inilah yang berperan dalam deskripsi hubungan kekerabatan N.gracilis di hutan kerangas. Analisis lanjutan dilakukan dengan menyeleksi primer yang digunakan untuk analisis kekerabatan (menggunakan 2 primer OPP-9 dan OPBH-20). Berdasarkan % lokus polimorfik yang terbentuk dan kesamaan pola hubungan kekerabatan yang terbentuk, primer OPBH-20 merupakan primer terbaik dalam mengungkapkan hubungan kekerabatan N.gracilis di hutan kerangas. Primer dengan GC ≥60% merupakan
101
primer yang paling baik untuk analisis RAPD (Bhau et al. 2009). Primer OPP-9 dan OPBH-20 merupakan primer dengan persentase GC ≥60 %. Hasil analisis keragaman genetika ini menunjukkan bahwa secara umum keanekaragaman genetika N.gracilis masih relatif tinggi. Pengetahuan tentang struktur populasi adalah sangat penting bagi konservasi dari populasi alam dengan tetap menjaga potensi total evolusi dan meminimumkan hubungan kekerabatan (Williams and Hamrick, 1996). Peran manusia agar pertukaran gen antar populasi atau input genetika yang jauh kekerabatannya dapat dilakukan untuk mengkonservasi keragaman genetika N.gracilis. Mengkonservasi N.gracilis pada masing-masing lokasinya di hutan kerangas yang sekarang kondisi hutannya terfragmentasi sangatlah penting. Konservasi in situ dapat dilakukan untuk memperkaya keragaman genetika N.gracilis di hutan kerangas di Desa Guntung Ujung.
Berdasarkan
pendekatan jarak genetika dan diversitas genetika yang dimiliki, penggunaan tumbuhan N.gracilis yang berasal dari hutan kerangas oldgrowth Nyaru Menteng Palangkaraya dan hutan kerangas sekunder Tanjung-Muara Kelanis sebagai sumber bahan genetika dapat dilakukan. Temuan dalam penelitian ini juga menjadi bahan pertimbangan untuk rehabilitiasi hutan, karena keragaman genetika akan terjaga dengan relatif tidak terganggunya tegakan hutan secara keseluruhan. D. Simpulan Keragaman genetika antara populasi dan dalam populasi N.gracilis di hutan kerangas relatif tinggi. Keragaman genetika N.gracilis di lokasi penelitian utama yang merupakan tipe hutan kerangas terdegradasi lebih rendah dibandingkankan dengan hutan kerangas referensi (hutan sekunder dan old growth). Temuan ini memberikan penjelasan bahwa terdegradasinya hutan kerangas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penurunan keragaman genetika N.gracilis.
Berdasarkan jarak genetika antar populasi
N.gracilis pada lokasi penelitian, pengelompokan populasi N.gracilis terbagi menjadi 3 kluster. Kekerabatan terdekat dari populasi N.gracilis di lokasi utama penelitian adalah dengan lokasi kerangas di Tanjung-MuaraKelanis dan Palangkaraya. Kedekatan ini berkorelasi dengan sejarah pembentukan hutan kerangas dan kedekatan jarak lokasi di antaranya. Primer RAPD yang paling
102
menentukan dalam pembentukan kluster dalam analisis kekerabatan adalah OPBH-20. Informasi keanekaragaman tumbuhan tingkat genetika dapat dijadikan sebagai dasar spesifik bagi perencanaan program konservasi jenis tumbuhan hutan kerangas. Tingginya keanekaragaman genetika N.gracilis yang didapat memberikan indikasi bahwa strategi reproduksi N.gracilis di hutan kerangas masih berjalan baik. Hal ini memberikan peluang mengembangkan tumbuhan N.gracilis untuk kegiatan konservasi eks situ agar populasi dapat ditingkatkan untuk lebih menjamin kepentingan pemanfaatan berkelanjutan. Kegiatan konservasi eks situ dalam pelaksanaannya tetap didasari oleh informasi habitat aslinya. Berdasarkan informasi kekerabatan genetika yang didapat, proses pengkayaan sumberdaya genetika N.gracilis di lokasi penelitian utama dapat dilakukan. Khusus pada areal-areal terdegradasi dan keragaman rendah jika diperlukan
untuk
menjaga
dinamika
genetika
dapat
diperkaya
dengan
menggunakan sumber genetika yang berasal dari populasi N.gracilis di TanjungMuara Kelanis dan Palangkaraya.
103
8. BIOAKTIVITAS NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan Nepenthes gracilis merupakan jenis kantong semar yang mempunyai kemampuan memangsa serangga (insectivorous species/pitcher plan). N.gracilis mampu tumbuh secara dominan di tanah kerangas baik dibawah tegakan maupun tempat terbuka. Kehadiran tumbuhan ini merupakan indikator dari rendahnya unsur hara yang terkandung dalam tanah (Adam et al. 1992; Kissinger 2002; Onrizal et al. 2005). Distribusi alamiah dari N.gracilis termasuk Thailand, Sumatera, Peninsular Malaysia, Singapura, Kalimantan dan Sulawesi. Jenis ini kerap berasosiasi dengan semak Gleichenia linearis dan Baeckea frutescens. N.gracilis dapat ditemukan di dataran rendah berupa hutan rawa gambut, hutan kerangas baik yang masih baik dan terbuka, serta rawa terbuka sampai ketinggian di bawah 100 m dan dapat mencapai 800 m dpl serta jarang ditemukan di ketinggian di atas 1000 m. Tumbuhan ini termasuk dalam terrestrial climber dengan tinggi dapat mencapai 5 m. Batangnya segita dengan diameter dari 1.5-5 mm dan panjang antar ruas batang 2.5-9 cm. Daunnya tipis dengan panjang antara10-25 cm dan lebar 2 cm. Kantongnya berwarna hijau, merah atau hijau bebercak merah. Bunganya dapat berwarna putih, hijau, merah muda atau coklat (Cheek and Jebb 2001). Beberapa jenis kantong semar termasuk N.gracilis dikenal sebagai bahan pengobatan tradisional seperti untuk pengobatan penyakit kanker, asma, diabetes dan untuk kesehatan mata (Kumar et al. 1980; Kissinger 2006; Mansur 2006). Pengetahuan masyarakat lokal tentang etnobotani dalam pemanfaatan kantong semar sudah berlangsung lama dan tersebar di berbagai etnis. Sehingga perlu dikembangkan dan ditingkatkan dengan pendekatan teknologi modern agar kekayaan pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan N.gracilis dapat bertahan atau lestari. Langkah awal dalam aksi konservasi yang berbasis pada pemanfaatan N.gracilis di antaranya adalah bagaimana membuktikan dengan pendekatan teknologi modern bioaktivitas dari tumbuhan N.gracilis. Penelitian ini dilakukan untuk menguji bioaktivitas dari N.gracilis sebagai antibakteri dan antidiabetes. Screening fitokimia dan uji toksisitas dilakukan sebagai penunjang dalam menjelaskan bioaktivitas yang dimiliki oleh tumbuhan N.gracilis.
104
B. Metode Penelitian 1) Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan tumbuhan N.gracilis diperoleh dari hutan kerangas yang merupakan hutan lindung Blok II Desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Identifikasi tumbuhan telah dilakukan di Herbarium Bogoriense (Kissinger 2002). Bahan tumbuhan N.gracilis diperoleh dari hutan kerangas dengan jumlah sampel tumbuhan sebanyak 32 individu. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling.
Bahan kimia yang digunakan
dalam penelitian laboratorium adalah kloroform, etil asetat, methanol, ethanol, almil alkohol, dietil eter, serbuk Mg, reagent Dragendorf, Meyer, Wagner, NH3, H2SO4, NaOH 10%, Mg-HCl, L-B, FeCl3, silika gel, glass wall. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah neraca analitik, vortex, blender, tube, labu erlemeyer, gelas ukur, kertas saring, rotary evaporator, oven elektrik, mikro pipet, mikro plate, lampu UV, dan spektrometer UV-Vis. 2) Uji Fitokimia Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder dari bagian tumbuhan N.gracilis. Bagian tumbuhan yang diujikan adalah bagian batang, daun, kantong, akar dan cairan dari dalam kantong N.gracilis. Uji fitokimia yang dilakukan meliputi identifikasi senyawa alkaloid, triterpenoid, steroid dan flavonoid, Pengujian dilakukan dengan langkah berikut: Uji Alkaloid Sampel dimasukkan sebanyak satu ujung spatula kemudian ditambahkan dengan NH3 sebanyak 3 tetes, dan kloroform sebanyak 5 mL ke dalam tabung
reaksi.
Sampel
tersebut
kemudian
dihomogenkan
dengan
menggunakan vortex, setelah itu ditambahkan H2SO4 2 M sebanyak 3 mL dan dihomogenkan kembali sehingga terbentuk lapisan asam. Lapisan asam tersebut kemudian diuji dengan penambahan perekasi Dragendroff, Mayern, dan Wagner yang berturut-turut akan membentuk endapan jingga, putih, dan cokelat jika sample positif mengandung senyawa alkaloid. Uji Triterpenoid dan Steroid Uji triterpenoid dan steroid dilakukan dengan memasukkan sebanyak satu ujung spatula sample ke dalam tabung reaksi. Sampel kemudian ditambahkan etanol 96% sebanyak 5 mL kemudian dipanaskan selama 2 menit dan disaring. Filtrat hasil penyaringan kemudian dipanaskan kembali sampai kering. Sample kering kemudian ditambahkan 1 mL dietil eter sampai larut dan
105
dipindahkan ke dalam cawan porselen.Cawan yang berisi sample tersebut kemudian ditambahkan dengan satu tetes H2SO4 pekat dan satu tetes asam asetat anhidrat. Sampel yang positif mengandung senyawa triterpenoid akan memberikan warna merah. Sampel yang positif mengandung senyawa triterpenoid akan memberikan warna hijau atau biru. Sample yang positif mengandung senyawa triterpenoid dan steroid akan memberikan warna ungu. Uji Flavonoid Satu ujung spatula sample dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sampel kemudian ditambahkan dengan 5 mL aquades kemudian dikocok hingga homogen.Sampel tersebut kemudian dipanaskan selama 2 menit dan disaring.Filtrat hasil penyaringan ditambahkan serbuk Mg sebanyak satu ujung spatula, kemudian diteteskan dengan HCl pekat sebanyak 2-3 tetes, setelah itu ditambahkan dengan 1 mL amil alkohol. Campuran tersebut kemudian dikocok sampai homogen. Sampel yang positif akan menunjukkan warna jingga atau kuning pada lapisan amil alkohol. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Kandungan senyawa fitokimia yang terdapat dalam contoh uji dinyatakan dengan nilai positif (terdapat senyawa) dan negatif (tidak terdapat senyawa). Hasil ini kemudian dianalis secara deskriptif menggunakan matriks tabulasi. 3) Uji Toksisitas Uji toksisitas dilakukan dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) menggunakan Artemia salina L. (Kelana 2007). Uji toksisitas dilakukan terhadap sampel ekstrak methanol batang, daun, kantong dan akar N.gracilis. Langkahlangkah yang dilakukan dalam pengujian toksisitas adalah sebagai berikut: Pembuatan Ekstrak Uji Sampel batang, daun, kantong dan akar N.gracilis dikering anginkan kemudian
dihaluskan.
Serbuk
sampel
dimaserasi
dengan
methanol
berulangkali sampai air rendaman bening kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kasar. Larutan induk dibuat dengan konsentrasi 2.000 ppm dengan cara melarutkan 20 mg sampel dengan air laut sampai volumenya 10 mL. Pengujian dilakukan pada sampel dengan konsentrasi1.000 ppm; 500 ppm; 100 ppm; 10 ppm yang dibuat dari pengenceran larutan induk.
106
Menetaskan Larva Udang Sebanyak 10 mg telur udang A. salina ditambah 100 mL air laut yang telah disaring. Pencahayaan lampu TL dilakukan selama 48 jam sampai telur udang A. salina menetas sempurna dan siap diujicobakan. Uji Toksisitas terhadap Larva A. salina Masing-masing sampel kemudian dipipet sebanyak 100 μL dan diletakkan dalam mikroplate, kemudian ditambah 100 μL air laut yang berisi 10 larva udang pada setiap sampel sehingga volume sampel menjadi setengahnya. Jumlah larva udang yang mati dan hidup dihitung setelah 24 jam. Kontrol dikerjakan sama dengan perlakuan sampel, tetapi tanpa penambahan ekstrak. Ekstrak sampel yang sukar larut dapat ditambahkan DMSO 1% satu sampai tiga tetes. Setiap sampel dilakukan ulangan sebanyak tiga kali. Pengujian menggunakan menur udang yang pelaksanaannya dilakukan selama 3 hari pengamatan. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan mengukur Lethal concentration 50% (LC50). LC50 adalah suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat mengakibatkan kematian organisme sampai 50%. Nilai kematian 50% per hari (LC50 dalam unit waktu) ditentukan dengan menggunakan persamaan regresi antara log konsentrasi dan mortalitas (%). 4) Uji Antibakteri Metode yang digunakan dalam pengujian antibakteri adalah dilusi menggunakan microplate. Beberapa langkah dalam uji aktifitas anti bakteri adalah sebagai berikut: 1) Menyiapkan bahan uji dari hasil ekstrak dari cair-cair larutan, bahan larutan asli dan ekstrak methanol dari bagian tumbuhan N.gracilis 2) Masing-masing bahan tersebut dibuat dengan berbagai konsentrasi atau pengenceran 3) Menyiapkan media dan bakteri Media yang digunakan yaitu Nutrient Broth (NB). Sebanyak 95 µl medium steril, 100 µl sampel dilarutkan dalam DMSO 20% atau kontrol dan 5 µl inokulum bakteri dimasukkan ke dalam masing-masing sumur (96-well plate). Inokulum telah disiapkan pada konsentrasi 10-5 CFU/ml. Bakteri yang digunakan dalam uji aktivitas ini adalah Staphylococcus aureus (S. aureus), S. epidermis dan Escherichia coli.
107
4) Pengukuran Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) Metode yang digunakan adalah dilusi dengan menggunakan microplate. Bakteri diinkubasi dalam media selama 24 jam . Konsentrasi ekstrak yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri (bening) secara visual dideskripsikan sebagai KHM (Konsentrasi hambat minimum). Sebanyak 100 µl dari media yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri diinokulasikan pada 100 µl media baru. Konsentrasi yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri setelah inokulasi kedua dideskripsikan sebagai KBM (Konsentrasi bunuh minimal). Kontrol negatif yang digunakan yaitu DMSO dan kontrol positifnya yaitu kloramfenikol. Analisis data dilakukan dengan matrik tabulasi terhadap konsentrasi sampel yang menunjukkan Konsentrasi Hambat Minimum dan Konsentrasi Bunuh Minimum. 5. Uji Antidiabetes Penemuan bioaktivitas dari kantong semar juga diarahkan sebagai antidiabetes melalui pengujian bioaktivitas dari ekstrak methanol akar N.gracilis terhadap daya hambat dari enzim glukosidase. Konsentrasi ekstrak methanol akar N.gracilis yang dibuat adalah 5 ppm, 2,5 ppm, 1,25 ppm, 0,625 ppm, 0,3125 ppm, 0,15625 ppm dan 0,078125 ppm Analisis data dilakukan dengan menghitung IC 50. Tingkat inhibisi (%) dihitung menggunakan metode yang digunakan oleh Pujiyanto dan Ferniah (2010). Persen inhibisi (% inhibisi) dihitung menggunakan rumus berikut:
Keterangan: A kontrol = Absorbansi tidak mengandung sample A sampel = Absorbansi sampel Hasil perhitungan yang didapat selanjutnya dimasukkan ke dalam persamaan regresi dengan konsentrasi ekstrak (ppm) sebagai absis (sumbu X) dan nilai % inhibisi (antidiabetes) sebagai ordinatnya (sumbu Y). Nilai IC50 dari perhitungan pada saat % inhibisi sebesar 50%.
108
C. Hasil dan Pembahasan 1) Senyawa Fitokimia dan Toksisitas Bahan Hasil analisis fitokimia untuk bagian tumbuhan dari N.gracilis tertera dalam tabel berikut: Tabel 8.1 Hasil analisis fitokimia kualitatif tumbuhan N.gracilis No
Jenis Analisis
Daun
Kantong Batang
Akar
Cairan Cairan tertutup terbuka ++++ +
1
Alkaloid
++
++
+
++
2
Flavonoid
+++
+
+++
++++
+
-
3
Steroid
+++
++
+++
+++
-
-
4
Triterpenoid
-
-
+++
++++
-
-
Hasil pengujian ini mengindikasikan bahwa seluruh bagian tumbuhan dari N.gracilis memiliki potensi senyawa fitokimia hasil metabolit sekunder. Bagian batang dan akar tumbuhan N.gracilis memiliki potensi relatif lebih baik dibandingkan dengan bagian daun maupun kantong. Cairan dari kantong terbuka memiliki senyawa fitokimia yang lebih sedikit dan kualitas lebih rendah dibandingkankan cairan dari kantong tertutup. Pengujian toksisitas dilakukan untuk menguji apakah suatu bahan atau material mempunyai bioaktivitas. Hasil uji toksisitas bagian tumbuhan N.gracilis tertera pada tabel berikut: Tabel 8.2 Hasil uji toksisitas bahan tumbuhan N.gracilis No
Jenis sampel
LC 50 (ppm)
1
Ekstrak methanol bagian kantong
215,14
2
Ekstrak methanol bagian daun
785,69
3
Ekstrak methanol bagian batang
656,28
4
Ekstrak methanol bagian akar
151,53
Uji toksisitas merupakan cara pengujian bioaktivitas yang sederhana, cepat, dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat dijadikan acuan untuk melakukan langkah penelitian selanjutnya. Hasil uji toksisitas menunjukkan bahwa semua ekstrak bagian tumbuhan memiliki bioaktivitas karena memiliki nilai LC 50 dibawah 1000 ppm. Ekstrak methanol bagian akar mempunyai bioaktivitas tertinggi dengan nilai LC 50 sebesar 151,53 ppm. Sehingga yang paling potensial dikembangkan untuk pengobatan di antara bagian tumbuhan berdasarkan nilai LC 50 adalah ekstrak bagian akar.
109
2) Aktivitas Antibakteri Aktivitas antibakteri diujikan pada beberapa tumbuhan yang tumbuh di komunitas tumbuhan spesifik kerangas yaitu: bagian akar, batang, daun, kantong dan cairan kantong N.gracilis. Hasil analisis antibakteri untuk N.gracilis terhadap E.coli tertera pada tabel berikut: Tabel 8.3 MIC dan MBC N.gracilis untuk jenis bakteri E.coli No
Nama Sampel
MIC (ppm)
MBC (ppm)
1
Ekstrak methanol kantong
1000
>2000
2
Ekstrak methanol daun
>2000
>2000
3
Ekstrak methanol batang
125
1000
4
Ekstrak methanol akar
15,63
500
5
Amoxilin
62,5
62,5
6
Chloramfenicol
15,63
15,63
Bakteri E.coli merupakan bakteri gram negatif. Antibakteri ekstrak bagian tumbuhan N.gracilis menunjukkan bahwa ekstrak methanol bagian batang dan akar memiliki nilai MIC paling bagus dengan konsentrasi rendah. Nilai MIC dari ekstrak akar lebih besar dari kontrol positif dari Amoxilin, hal ini menunjukan bahwa N.gracilis dari ekstrak methanol akar sangat potensial dikembangkan sebagai bahan untuk pengobatan khususnya antibakteri.
Walaupun ekstrak
kantong dan ekstrak batang mempunyai daya hambat pada konsentrasi yang lebih tinggi dari ekstrak akar, akan tetapi masih relatif potensial untuk digunakan sebagai antibakteri. Daya bunuh bakteri untuk E.coli diukur setelah selang waktu 18 jam, hasilnya adalah ekstrak methanol akar mampu membunuh bakteri pada konsentrasi 500 ppm dan diikuti oleh ekstrak batang pada konsentrasi 1000 ppm. Hasil ini memberikan gambaran positif tentang potensi tumbuhan terutama bagian akar N.gracilis yang dapat digunakan sebagai antibakteri dari jenis bakteri gram negatif. Beberapa ektrak methanol bagian tanaman lain dari N.gracilis teridentifikasikan masih belum efektif berperan sebagai antibakteri dengan konsentrasi MBC > 1000 ppm. Aktivitas antibakteri juga ditunjukkan oleh beberapa bagian tumbuhan N.gracilis terhadap bakteri S.aureus seperti tertera pada Tabel 8.4
.
110
Tabel 8.4 MIC dan MBC N.gracilis untuk jenis bakteri S. Aureus No
Nama Sampel
MIC (ppm)
MBC (ppm)
1
Ekstrak methanol kantong
2000
>2000
2
Ekstrak methanol daun
125
1000
3
Ekstrak methanol batang
125
500
4
Ekstrak methanol akar
62,5
500
5
Amoxilin
31,25
31,25
6
Chloramfenicol
15,63
15,63
Bakteri S.aureus merupakan bakteri gram positif. Pada kasus antibakteri gram positif, ekstrak methanol akar N.gracilis memberikan aktivitas MIC tertinggi pada konsentrasi 62,5 ppm atau setara dengan 0,0625 mg/L. Selain ekstrak methanol bagian batang, ekstrak methanol bagian batang dan daun N.gracilis juga potensial sebagai antibakteri. Nilai MBC pada bakteri gram positif S.aureus menunjukan konsentrasi 500 ppm untuk ekstrak akar dan ekstrak batang, sedangkan daun pada konsentrasi 1000 ppm. Hasil pengujian antibakteri bagian tumbuhan terhadap ke dua jenis bakteri gram positif dan negatif mengindikasikan bahwa ekstrak methanol bagian batang dan akar tumbuhan N.gracilis sangat potensial dikembangkan sebagai antibakteri dibandingkankan ekstrak methanol daun dan kantong. Ekstrak methanol daun N.gracilis masih mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai antibakteri E.coli (MIC= 125 ppm) dan ekstrak methanol bagian kantong terhadap S.aureus (MIC= 1000 ppm).
Kedua bagian tanaman ini masih potensial digunakan
sebagai antibakteri melalui proses pemurnian dan isolasi dari ekstrak methanol yang telah didapatkan. Fenomena yang harus menjadi perhatian utama adalah dosis penggunaan ekstrak methanol akar N.gracilis, hal ini terkait dengan margin of savety penggunaan ekstrak methanol akar sebagai antibakteri dan nilai LC50 pada hasil toksisitas pada Tabel 8.2. Ekstrak kasar (crude extract) masih dapat dikatakan efektif sebagai antibakteri jika aktivitas penghambatannya berada pada konsentrasi 1000 ppm. Ekstrak dikatakan berpotensi jika pada kadar pemberian ≤ 1000 μg/mL mampu menghambat pertumbuhan bakteri (Mitscher et al. 1972). Daya hambat ekstrak kasar tumbuhan terhadap bakteri umumnya menunjukkan nilai konsentrasi 1000 ppm. ekstrak kloroform Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) dengan konsentrasi 1000 μg/mL menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan bakteri S. aureus tetapi tidak terhadap E. coli (Apriastiani dan Astuti 2005).
111
Potensi pengembangan keseluruhan bagian tumbuhan N.gracilis juga didasari oleh kandungan senyawa metabolit sekunder yang dimiliki setiap bagian tumbuhan (Tabel 8.1). Temuan ini juga menjadi mediasi bagi pembuktian empiris bagi pengetahuan tradisional tentang penggunaan bagian tumbuhan N.gracilis sebagai bahan pengobatan. Selain ekstrak batang, pengujian antibakteri juga dilakukan terhadap cairan dari dalam kantong N.gracilis. Pengujian antibakteri cairan dari dalam kantong N.gracilis dilakukan terhadap cairan murni atau hasil ekstrak cair-cair bertingkat menggunakan hexan, ethyl asetat dan kloroform. Hasil pengujian menunjukkan bahwa cairan murni dari kantong tertutup dapat menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus dan pada konsentrasi 3000 ppm dan dan S.epidermis pada konsentrasi 1500 ppm. ekstrak heksan cairan N.gracilis kantong tertutup hanya dapat menghambat bakteri S.aureus pada konsentrasi 1500 ppm dan ekstrak etyl asetat cairan N.gracilis kantong tertutup hanya dapat menghambat bakteri S.aureus pada konsentrasi 1500 ppm. Sedangkan untuk MBC terhadap kedua jenis bakteri yang diujikan ditunjukkan oleh cairan N.gracilis dari kantong tertutup pada konsentrasi 6000 ppm. Hasil ini mengindikasikan bahwa cairan tertutup dari N.gracilis memiliki aktivitas yang lebih baik dibandingkankan dengan cairan dari kantong terbuka. Konsentrasi penggunaan bahan yang tinggi dari cairan tertutup sesuai dengan pemanfaatan yang dilakukan masyarakat secara langsung untuk pengobatan batuk dan infeksi mata yang ringan, serta pengobatan yang sifatnya preventif. Penggunaan cairan tertutup juga didukung dengan sterilnya larutan (angka kuman=0). Aktivitas antibakteri dari cairan kantong tertutup diduga dalam penelitian ini sebagai aktivitas dari senyawa alkaloid yang terdapat dalam kantong N.gracilis yang tertutup. Penggunaan cairan N.gracilis dari kantong tertutup oleh masyarakat selama ini baik sebagai bahan pengobatan maupun sebagai pengganti air sewaktu berada di hutan juga didukung oleh hasil analisis kandungan kuman yang mendapatkan kadar kuman= 0. Beberapa penelitian lain juga mengemukakan potensi bioaktivitas dari berbagai
jenis
Nepenthes.
Kelenjar
dalam
kantong
muda
(tertutup)
mengeluarkan cairan pencernaan yang mengandung berbagai enzim termasuk protease, peptidase, phosphatase, esterase, ribonuklease dan chitinase (Thornhill et.al. 2008; Plachno et al. 2006; An et al. 2002, Athauda et al. 2004; Takahashi et al. 2005; Eilenberg et al. 2006; Stephenson et al. 2006; Hatano and
112
Hamada 2008). Chia et al. 2004 mengungkapkan bahwa kelenjar dalam kantong Nepenthes memproduksi radikal bebas untuk membantu dalam mendegradasi jaringan dari mangsa seperti thaumatin-like protein (TLP). TLP memiliki sifat antibakteri dan antijamur. Saat kantong telah terbuka (dewasa), kelenjar berubah fungsinya dari mengeluarkan enzim menjadi mengabsorbsi produk/nutrisi hasil olahan dari bantuan kerja enzim (Owen et al. 1999). Hatano and Hamada (2008) mengungkapkan bahwa cairan N.alata mengandung protein berupa homolog-homolog dari beta-D-xylosidase, beta-1,3glucanase, chitinase dan thaumatin-like protein. Semua homolog merupakan protein yang bersifat pathogen. Protein-protein tersebut memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri. Aung et al. 2002 berhasil mengisolasi Beberapa senyawa phenol seperti plumbagin,
isoshinanolone,
epishinanolone,
shinanolone,
quercetin
kaempferol telah berhasil diisolasi dari daun N.gracilis. Terdapat
dan
plumbagin
(golongan naphthoquinones) menempel pada permukaan lilin dari N.khasiana. Plumbagin yang bersifat racun dapat berfungsi sebagai insektisida dan menghambat perkembangan bakteri. 3) Aktivitas Antidiabetes Hasil pengujian antidiabetes yang dilakukan terhadap daya hambat enzim α glukosidase tertera dalam Tabel 8.5. Tabel 8.5 Hasil pengujian antidiabetes dari akar N.gracilis glukobay Konsentrasi (ppm)
1
Akar N.gracilis 2
1
2
5
89,632
87,658
94,845
95,288
2,5
86,835
85,573
96,951
96,674
1,25
79,759
81,788
94,678
95,122
0,625
77,126
75,864
90,466
91,962
0,3125
72,244
70,598
76,552
79,989
0,15625
63,083
62,918
60,366
58,537
0,078125
52,057
58,475
36,419
31,984
Pengujian daya hambat terhadap enzim α glukosidase menunjukkan bahwa ekstrak methanol akar N.gracils pada dua kali pengulangan dengan konsentrasi 5-0,3125 ppm menunjukkan daya hambat yang lebih baik dari kontrol positif (glukobay). Ketika konsentrasi diturunkan menjadi 0,15625 ppm daya hambatnya lebih kecil dari glukobay, akan tetapi ekstrak methanol akar N.gracilis masih potensial menghambat enzim α glukosidase. Aktivitas hambat ekstrak
113
methanol relatif tidak potensial pada konsentrasi 0,078125, sedangkan glukobay masih menunjukkan daya hambat di atas 50%. Nilai IC 50 dari persamaan regresi yang didapat menggunakan data pada tabel 17 menunjukkan nilai 0,08264 ppm untuk ekstrak methanol dan 0,02983 ppm untuk glukobay. Walaupun hasil IC 50 yang ditunjukkan oleh ekstrak akar N.gracilis lebih besar konsentrasinya dibandingkankan glukobay, ekstrak akar N.gracilis sangat potensial dimanfaatkan sebagai antidiabetes. Kelebihan yang dimiliki oleh ekstrak methanol akar N.gracilis yang telah dibuktikan dalam penelitian ini kemampuan sebagai antibakteri (bakteri gram positif dan negative) sekaligus kemampuan sebagai antidiabetes. Hasil analisis antidiabetes dari ekstrak methanol akar N.gracilis lebih baik bila dibandingkankan dengan ekstrak tumbuhan lainya yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional. Ekstrak etil asetat daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) memiliki IC 50 pada konsentrasi 94,23 ppm. Esktrak methanol Syzygium malaccense menghambat α-glukosidase dengan nilai IC50 sebesar 5,7 ppm (Jung et al. 2006). D. Simpulan Hasil pengujian bioaktivitas N.gracilis yang teridentifikasikan melalui kandungan senyawa fitokimia kualitatif, toksisitas (LC 50 < 1000 ppm), dan daya hambat terhadap bakteri S.aureus dan E.coli dengan konsentrasi di bawah 2000 ppm, mengindikasikan bahwa sebagian besar bagian tumbuhan N.gracilis dapat dipergunakan sebagai bahan alam untuk pengobatan. Bioaktivitas antidiabetes ditunjukkan oleh ekstrak metanol akar N.gracilis dengan nilai IC 50 pada konsentrasi 0,08264 ppm. Hasil pengujian bioaktivitas merupakan media pembuktian pengetahuan masyarakat akan pemanfaatan N.gracilis sebagai bahan obat. Bioaktivitas yang didapat merupakan base data bagi penyusunan strategi bioprospeksi di hutan kerangas Pengujian bioaktivitas N.gracilis merupakan upaya pembuktian nilai manfaat dari biodiversitas. Nilai manfaat ini diharapkan akan berkembang menjadi stimulus untuk sikap dan aksi konservasi para pihak dalam pengelolaan hutan kerangas melalui bioprospeksi lestari N.gracilis. Fraksinasi dan uji lanjutan ekstrak tumbuhan N.gracilis dapat dilakukan untuk meningkatkan bioaktivitas yang akan semakin mendorong terbentuknya stimulus manfaat kuat bagi pemanfaatan lebih lanjut N.gracilis.
114
9. SIKAP KONSERVASI MASYARAKAT TERHADAP NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan Pemanfaatan biodiversitas hutan kerangas merupakan salah satu bentuk nilai manfaat hutan kerangas yang secara faktual telah berlangsung di hutan kerangas. Pemungutannya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dan nilai ekonomi langsung melalui penjualan bahan mentah yang berasal dari hutan kerangas. Masyarakat yang bermukim di Desa Guntung Ujung sudah sejak lama menggunakan tumbuhan dari hutan kerangas dalam kehidupan keseharian. Selain sebagai sumber penghasil kayu, hutan kerangas digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional. Tercatat 18 jenis tumbuhan hutan kerangas yang digunakan masyarakat sebagai bahan pengobatan, sedangkan untuk pangan sebanyak 4 jenis. Beberapa jenis tumbuhan hutan kerangas sampai saat ini masih menghasilkan pendapatan langsung bagi penduduk lokal adalah daun rambuhatap (Baeckea frutescens) dan buah galam (Melaleuca cajuputi). Kawasan hutan kerangas merupakan penghasil utama dua komoditas ini yang dijual penduduk kepada pedagang pengumpul. Fenomena yang terjadi adalah hutan kerangas mengalami degradasi dan tidak terehabilitasi. Manfaat yang selama ini didapatkan masyarakat dari hutan kerangas belum dapat menjadi stimulus sikap dan tindakan masyarakat untuk berperilaku konservasi terhadap hutan kerangas, sehingga sekarang semakin banyak hutan kerangas berubah menjadi kawasan terbuka dengan atau tanpa penutupan pohon. Sehubungan dengan fenomena semakin terdegradasinya hutan kerangas, Konsorsium Fahutan IPB-LATIN (1995) menyatakan bahwa konservasi suatu kawasan diyakini berhubungan erat dengan sikap masyarakat dan sikap pengelola. Terdegradasinya hutan kerangas merupakan suatu indikasi belum terbentuknya sikap konservasi masyarakat dan pengelola terhadap hutan kerangas. N.gracilis merupakan salah satu jenis tumbuhan hutan kerangas yang mampu beradaptasi dengan keterbukaan lahan kerangas. Jenis tumbuhan ini telah menjadi komoditas tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Berbagai nilai bio-ekologi dan sosial ekonomi dari N.gracilis dan hutan kerangas sebenarnya adalah fenomena, informasi atau sinyal yang seharusnya
115
dapat mendorong (sebagai stimulus) bagi pembentukan sikap konservasi masyarakat dan pengelola. Sinyal akan dapat dipersepsikan menjadi informasi dan selanjutnya dapat menjadi stimulus yang mempengaruhi komponen sikap dan perilaku masyarakat maupun pengelola. Penelitian ini berupaya untuk mengkaji permasalahan konservasi ditinjau dari pembentukan sikap konservasi masyarakat dan pengelola terhadap hutan kerangas melalui stimulus N.gracilis. Penelitian ini berupaya menerangkan sejauh mana informasi, fenomena atau sinyal N.gracilis dapat menjadi stimulus bagi pembentukan sikap konservasi masyarakat terhadap hutan kerangas dan N.gracilis. B. Metode Penelitian 1) Objek dan Lokasi Penelitian Objek penelitian adalah masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan kerangas. Lokasi pengumpulan data adalah di desa Guntung Ujung yang secara administratif terletak di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. 2) Prosedur Pengumpulan Data Metode pengumpulan data tentang penggunaan tumbuhan dari hutan kerangas sebagai bahan pengobatan dan pemanfaatan lainnya melalui metode Pengumpulan data sikap dilakukan melalui wawancara terhadap penduduk setempat (Walgito 2003). Responden yang dipilih dalam penelitian ini sebanyak 30 orang.
Penelurusan literatur dilakukan untuk melengkapi data potensi
penggunaan tumbuhan dari hutan kerangas. 3) Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif menggunakan matriks tabulasi. Pengkategorian terbentuknya stimulus untuk sikap menggunakan matriks skala Likert (Walgito, 2003). Beberapa kategori yang digunakan untuk memberikan penilaian adalah: 1) Nilai 5 untuk pernyataan sikap sangat suka atau sangat setuju 2) Nilai 4 untuk pernyataan sikap suka atau setuju 3) Nilai 3 untuk pernyataan sikap tidak punya pendapat atau pengetahuan 4) Nilai 2 untuk pernyataan sikap tidak suka atau tidak setuju 5) Nilai 1 untuk pernyataan sikap sangat tidak suka atau sangat tidak setuju
116
Pengkategorian stimulus untuk sikap menggunakan nilai berikut: 1) > 3,9= suka/setuju atau sangat suka/sangat setuju (terbentuk stimulus kuat untuk sikap) 2) <3,9= tidak tahu, tidak suka/setuju, sangat tidak suka/sangat tidak setuju (belum terbentuk stimulus kuat untuk sikap). C. Hasil dan Pembahasan 1) Karakteristik sistem nilai masyarakat lokal terhadap N.gracilis Beberapa nilai yang dapat dikarakterisasi dari kantong semar (N.gracilis) bagi masyarakat di dalam dan sekitar kerangas Desa Guntung Ujung Kalimantan Selatan sebagai lokasi utama dan referensi adalah tertera dalam Tabel 9.1. Tabel 9.1 Karakteristik sistem nilai masyarakat lokal terhadap N.gracilis Sistem Nilai
Hutan Kerangas Ds.Gt.Ujung
Nilai ekonomi
Nilai ekonomi didapat dari penggunaan tumbuhan sebagai bahan obat yang menggantikan nilai dari harga obat modern Nilai ekonomi dari harga penjualan N.gracilis sebagai tumbuhan hias (sementara dan tidak berkelanjutan) Nilai dari penggunaan sebagai hiasan antaran pengantin (relatif ditinggalkan) Nilai dari penggunaan sebagai tempat menanak nasi dan ketan (relatif ditinggalkan)
Nilai sosio-budaya
Nilai sosio-ekologi
Diidentikkan dengan perilaku kera Sebagai tanda alam bagi tanah kurang subur
Nilai religius
Semua yang diciptakan Allah pasti ada manfaatnya dan tidak akan sia-sia
Hutan Kerangas Referensi Nilai ekonomi didapat dari penggunaan tumbuhan sebagai bahan obat yang menggantikan nilai dari harga obat modern Nilai ekonomi dari harga penjualan N.gracilis sebagai tumbuhan hias (sementara dan tidak berkelanjutan) Sebagai persediaan air bagi suku Ud Danum di dalam perjalanan Nilai dari penggunaan sebagai tempat menanak nasi dan ketan (sebagian masih berlangsung) Sebagai tempat menaruh peluru (busur kecil) sipet (sumpit) Diidentikkan dengan perilaku kera Sebagai tanda alam bagi tanah kurang subur Kemanfaatannya bagi organisme lain di dalam hutan Sebagai tempat membawa barang (kusak, bakul, lanjung) milik orang halus, bidadari atau penghuni khayangan
Sistem nilai yang ada pada masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan kerangas tentang N.gracilis adalah relatif sama antara lokasi utama penelian dan lokasi referensi. Perbedaan yang terjadi hanya terjadi pada nilai sosio-budaya dan religius. Perbedaan ini muncul sebagai akibat dari perbedaan budaya dari suku yang berbeda. Lokasi utama penduduknya terdiri dari suku
117
Banjar dan Jawa yang beragama Islam, sedangkan lokasi referensi penduduknya terdiri dari suku Dayak Kahayan, Dayak Bakumpai, Dayak Manyan dan Dayak Siang. Suku Dayak
secara garis besar menganut agama yang bervariasi,
sebagian memeluk agama Islam, Kristen dan Kaharingan. Pengetahuan
etnobotani
masyarakat
di
lokasi
penelitian
referensi
menyangkut penggunaan N.gracilis merupakan pengetahuan ekologi tradisional. N.gracilis
tidak
hanya
dipandang
pada
pengetahuan
khasiatnya
untuk
pengobatan tetapi lebih kompleks lagi mencakup kepercayaan atau keyakinan. Pengetahuan ekologi tradisional memang mencakup pengetahuan, penggunaan dan kepercayaan yang kompleks (Berkes et al. 2000). Penggunaan N.gracilis oleh masyarakat tradisional juga merupakan kombinasi antara pengetahuan (cognitive), penggunaan atau kecenderungan bertindak (tend to act) dan perasaan (affective). Merancang suatu desain konservasi N.gracilis berdasarkan pengetahuan tradisional masyarakat mengharuskan kita memahami mekanisme sosial di belakangnya. Hal tersebut akan mempercepat ditemukannya alternatifalternatif dalam konservasi sumberdaya atau kawasan. Temuan yang kurang positif adalah terindikasikannya gejala keterputusan sistem nilai di dalam masyarakat. Terbatasnya pengetahuan dan nilai-nilai tentang N.gracilis pada kalangan tertentu mengindikasikan keterputusan sistem nilai tersebut. Relatif besar proporsi masyarakat di lokasi penelitian utama maupun referensi yang hanya mengenal tumbuhan N.gracilis pada bentuk penotifiknya saja. Keterputusan suatu ―sistem nilai‖ yang sudah mengakar di masyarakat
secara
turun
temurun
akan
menimbulkan
discontinuity,
inconsistency, disparity dan distorsion (Ndraha, 2005). Membangkitkan kembali sistem nilai tentang potensi biodiversitas hutan kerangas dapat dianalogikan dengan belajar sejarah agar kita dapat mengambil pelajaran dan dasar pertimbangan untuk perbuatan ke depan. Sistem nilai tersebut dapat saja ditingkatkan terutama untuk nilai manfaat ekonomi.
Nilai manfaat ekonomi telah menjadi pegangan banyak orang,
terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai, baik pada tingkat individu, kelompok maupun masyarakat. Nilai ekonomi mendorong manusia bersikap realistik, baik menentukan tujuannya maupun menentukan standar tingkat kepuasan yang ingin diperoleh. Nilai ini relatif mudah diamati dan diukur sehingga sering dikaitkan ―harga‖ padanya (Siagian, 2004).
118
2) Pemaknaan N.gracilis sebagai stimulus konservasi Pengungkapan
N.gracilis
sebagai
spesies
yang
menjadi
stimulus
konservasi di hutan kerangas dianalisis melalui pendekatan sintesis terpadu antar pelaku konservasi. Pernyataan stimulus dibangun dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Pemaknaan stimulus N.gracilis di hutan kerangas di arahkan pada penduduk lokal dan pemerintah terkait pengelolaan hutan kerangas. Tabel 9.2 Kategori stimulus AMAR N.gracilis bagi penduduk dan pengelola
No PERNYATAAN STIMULUS
Penduduk Pengelola Skore Sikap Skore Sikap
Pernyataan Stimulus N.gracilis tentang Nilai Alamiah
3,8
-
10 Regenerasi alamiah dilakukan dengan beberapa cara
3,1
-
11 Regenerasi buatan di hutan kerangas sulit
3,8
-
12 Cairan kantongnya sumber makanan serangga
4,5
+
13 Cairan dalam kantongnya habitat bakteri Hewan lainnya seperti tikus tanah mendatangi N.gracilis sebagai 14 sumber makanan Kera meminum cairan N.giracilis dan menggunakan batangnya 15 sebagai tali
3,0
-
4,0 3,0 2,9 2,7 3,8 4,2 2,9 3,2 2,7 3,0 3,0 4,0 3,0
3,2
-
2,8
-
4,0
+
3,63
-
3,3 3,20
-
1 N.gracilis banyak tumbuh di hutan kerangas
4,2
+
2 Jumlah N.gracilis tinggi di hutan kerangas terbuka
3,7
-
3 Jumlah N.gracilis rendah di hutan kerangas tertutup
3,4
-
4 N.gracilis tumbuh pada tempat dengan karakter spesifik
3,3
-
5 Jumlahnya menurun bila terjadi kebakaran berulang
4,0
+
6 Jumlahnya menurun akibat pengupasan permukaan tanah
4,5
+
7 Keanekaragaman genetik tinggi
3,0
-
8 Menangkap materi dari luar & memasukkan ke dalam hutan kerangas
3,0
-
9 Regenerasi alamiah di hutan mudah
Belum terbentuk stimulus alamiah yang kuat untuk sikap konservasi
+ + + -
Pernyataan Stimulus N.gracilis tentang Nilai Manfaat 1
Cairan kantong tertutup N.gracilis sbg obat batuk dan tetes mata
4,3
+
2
N.gracilis dipakai sebagai bahan pembungkus nasi lontong
4,6
+
3
3,4
-
3,6
-
4
+
5
N.gracilis digunakan sebagai antaran pengantin dan membuat tali N.gracilis sebagai tumbuhan hias yang menghasilkan pendapatan langsung Perasaan gembira melihat N.gracilis berkembang banyak di hutan kerangas
3,1 3,3 3,0
3,4
-
6
Akar N.gracilis dapat digunakan sebagai antidiabetes
3,6
-
7
Menyenangi N.gracilis karena dapat digunakan sbg antibakteri
3,2
-
8
N.gracilis penyumbang unsur hara bagi lingkungan kerangas
3
-
9
N.gracilis berfungsi sebagai reservoir air mini
3
-
3,0 3,3 3,0 2,6 2,9 2,9
-
3,10
-
4
10 Manfaat untuk upacara adat atau kepercayaan tertentu Belum terbentuk stimulus manfaat yang kuat untuk sikap konservasi
2,6 3,47
-
119
Tabel 9.2 Kategori stimulus AMAR N.gracilis bagi masyarakat (lanjutan) No PERNYATAAN STIMULUS
Penduduk Pengelola Skore Sikap Skore Sikap
Pernyataan Stimulus N.gracilis tentang Nilai Religius dan Kerelaan 1
Memelihara N.gracilis di alam untuk generasi berikutnya
3,7
-
2
Mempertahankan N.gracilis terkait nilai budaya
3,5
-
3
Menjaga populasi N.gracilis sebagai titipan Pencipta
3,4
-
4
Memelihara N.gracilis karena status konservasinya yang rawan
3,2
-
5
Permasalahan legalitas akses lahan diselesaikan
4,1
+
6
Perlunya Perda pendukung konservasi N.gracilis di hutan lindung
3,3
-
7
Bantuan manusia untuk meningkatkan N.gracilis di alam
2,7
-
8
Tanggungjawab moral mencegah kerusakan kerangas dan N.gracilis
3,7
+
3,42
-
Belum terbentuk stimulus religius/rela kuat untuk sikap konservasi
3,1 3,0 3,5 3,5 3,8 3,1 3,1 3,3 3,30
Berdasarkan hasil pengkategorian seperti tertera pada tabel di atas, N.gracilis belum cukup kuat sebagai stimulus yang akan menggugah unsur affective dan cognitive bagi individu-individu atau berbagai pihak terkait aksi konservasi
N.gracilis di hutan kerangas. Nilai alamiah pembentuk stimulus
alamiah untuk sikap yang kuat hanya teridentifikasikan pada terbentuk pada pernyataan nomor 1, 5, 6, 12, 15 bagi penduduk lokal (33,33%), dan pernyataan nomor 1, 6, 12 bagi pengelola (20%). Nilai manfaat pembentuk stimulus manfaat untuk sikap hanya teridentifikasikan pada pernyataan nomor 1, 2, 6 bagi penduduk lokal (30%), dan pernyataan nomor 4 bagi pengelola (10%). Sedangkan nilai religius atau spiritual pembentuk stimulus sikap religius/rela hanya teridentifikasi pada pernyataan nomor 4 bagi penduduk lokal (12,5%) dan belum terdapat pernyataan tentang stimulus religius/kerelaan bagi pengelola. Kisaran nilai rata-rata dari beberapa pernyataan tentang stimulus bagi penduduk lokal dan pengelola adalah ± 3. Hal ini mengindikasikan ketidaktahuan atau belum dikuasainya informasi dari N.gracilis di hutan kerangas. Realitas ini menunjukkan bahwa sinyal (gejala, fenomena, informasi) dari N.gracilis belum bisa ditangkap dan dipahami oleh penduduk lokal dan pengelola sebagai akibat lemahnya receiver yang dimiliki setiap individu dalam menangkap sinyal atau informasi. Berdasarkan perspektif model komunikasi, N.gracilis sebagai sumber sinyal ternyata masih belum bisa ditransformasikan atau diterjemahkan dengan baik menjadi informasi dalam pembentukan stimulus sikap penduduk dan pengelola. Keterbatasan pengetahuan dan belum terbentuknya brand image yang menarik dari individu menyebabkan sinyal N.gracilis belum direspon oleh komponen sikap individu dari penduduk dan pengelola.
-
120
Penyampaian informasi tentang hasil riset empiris tentang manfaat dari bioaktivitas tumbuhan kantong semar dan tumbuhan lainnya kepada masyarakat lokal relatif mampu menaikan persepsi masyarakat lokal untuk aksi konservasi, akan tetapi belum cukup mampu untuk mengimplementasikannya dalam bentuk sikap dan aksi konservasi jenis N.gracilis maupun konservasi kawasan hutan kerangas. Hasil ini mengindikasikan bahwa jenis N.gracilis selama ini masih relatif kurang penting kedudukannya bagi masyarakat lokal, dan pemerintah (pengelola hutan lindung) dalam menggiring sikap dan aksi konservasi terhadap jenis N.gracilis dan hutan kerangas. 3) Kendala pemanfaatan N.gracilis berbasis bioprospeksi Pengidentifikasian karakter ekologi dalam penelitian ini memberikan gambaran bahwa N.gracilis tumbuh dominan pada lahan-lahan kerangas yang terbuka. Permasalahan kebakaran berulang berdampak pada menurunnya populasi N.gracilis. Fenomena ekologi tentang keberadaan N.gracilis sebagai bagian dari keanekaragaman hayati, habitat alami yang terbatas, kelangkaan dan menurunnya populasi belum dapat menjadi stimulus alamiah bagi penduduk atau pengelola untuk bersikap konservasi. Tanggapan secara umum tentang kelangkaan, menurunnya populasi N.gracilis akibat kebakaran berulang adalah biasa-biasa saja atau menjadi sesuatu yang lumrah terjadi hampir setiap tahunnya. Berkurangnya populasi N.gracilis di hutan kerangas belum ditanggapi dengan kepedulian untuk mengkonservasi jenis tumbuhan ini. Hasil analisis genetika mendeskripsikan fenomena alamiah keberadaan dan status konservasi N.gracilis yang relatif baik regenerasinya menjadi informasi penting bagi pengelola dan penduduk. Pengetahuan genetika tumbuhan dalam implementasinya untuk pengelolaan atau konservasi masih perlu disosialisasikan kepada masyarakat (penduduk dan pengelola) Sehingga sinyal atau informasi dari keragaman genetika tersebut belum dapat berkembang menjadi stimulus alamiah bagi individu untuk bersikap konservasi. Hasil karakterisasi ekologi tentang N.gracilis dan lingkungan tumbuhnya seharusnya dapat menjadi peluang dalam pengembangan N.gracilis pada hutanhutan kerangas yang rusak dan terbuka. Kebakaran yang selama ini tidak hanya merugikan masyarakat setempat tetapi akumulasinya juga dapat mempengaruhi masyarakat luar akan dapat dikurangi dengan intensifnya pengelolaan N.gracilis.
121
Informasi tentang manfaat N,gracilis yang selama ini menjadi stimulus manfaat terkait dengan sikap masyarakat, sedangkan sinyal yang berisikan informasi tentang kelangkaan, regenerasi, tempat tumbuh, potensi bioprospeksi belum dapat dipahami oleh penduduk. Hal ini menyebabkan belum berhasilnya proses pengubahan sinyal menjadi stimulus bagi pembentukan sikap individu dari penduduk yang pro konservasi. Kecenderungan yang terjadi selama ini adalah semua sinyal dari N.gracilis tersebut bahkan belum dapat ditangkap oleh pihak pengelola, sehingga yang muncul adalah sikap mengabaikan terhadap keberadaan dan potensi N.gracilis untuk pemanfaatan lestari. Kasus yang sama juga terjadi pada pemanfaatan berbasis bioprospeksi dari rambuhatap. Tidak terjadi keterkaitan stimulus jenis rambuhatap terhadap sikap pengelola. Kerelaan untuk bersikap konservasi terhadap N.gracilis belum terbentuk baik oleh penduduk maupun pengelola hutan kerangas. Beberapa pernyataan penduduk yang mengungkapkan belum terbentuknya stimulus kerelaan untuk sikap dan aksi konservasi terhadap N.gracilis adalah sebagai berikut: a. Menjadi hal atau pemandangan yang biasa melihat N.gracilis tumbuh dominan di lahan terbuka hutan kerangas (Biasa ja parasaan saat malihat kampil warik hibak tumbuh di utan bapasir) b. N.gracilis dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, bahkan berkurangnya jumlah N.gracilis bukan menjadi persoalan bagi masyarakat, karena dianggap tidak terlalu penting manfaatnya (Dilihatakan ai inya tumbuh sorangan. Wayah ini pina bakurang pang kampil warik di utan, tapi kada apa-apa jua pang ada kedadanya tu). Pernyataan tentang stimulus kerelaan tersebut mengalami perubahan ketika dikemukakan pembuktian tentang kapasitas N.gracilis sebagai antibakteri dan antidiabetes. Pernyataaan berikut merupakan ungkapan dari komponen affective dan cognitive dari Kepala Desa (Hasbullah) dan Sidiq (warga yang punya keahlian pengobatan): a. Muncul perasaan khawatir bila N.gracilis punah karena khasiatnya yang baik untuk pengobatan (Rasa sayang jua pang amun kampil warik itu habis, sabab manfaatnya bagus bangat gasan tatamba) b. Kalau manfaat N.gracilis bagus sekali, saya setuju bila ada usaha untuk memanfaatkan dan melestarikan N.gracilis di hutan kerangas. Ada harapan nantinya dapat menjadi mata pencaharian atau pendapatan bagi masyarakat desa (Amun bagus bangat kaya itu manfaat kampil warik, ulun
122
satuju haja kalau kampil warik nang di utan itu dapat dimanfaatkan dan dilastarikan. Siapa tahu kaina kawa diusahakan urang kampung) Pernyataan ini mengindikasikan adanya perubahan persepsi dari individu dalam hubungannya dengan kerelaan mengkonservasi N.gracilis sebagai dampak dari potensi nilai manfaat yang tinggi dari tumbuhan tersebut untuk pengobatan. Sedangkan tahapan implementasinya, masyarakat desa masih menunggu respon dari pihak pengelola atau pengusaha untuk bisa memfasilitasi pemanfaatan dan pelestariannya. Sayangnya ketika informasi manfaat N.gracilis tersebut disosialisasikan kepada pihak pengelola hutan kerangas, belum ada tanggapan yang signifikan untuk menindaklanjuti pemanfaatan N.gracilis dan atau mengelola hutan kerangas lebih lanjut. Keterbatasan anggaran dan belum masuknya
hutan
kerangas
menjadi
skala
prioritas
pekerjaan
menjadi
permasalahan klasik dari pihak pengelola untuk dapat mengkonservasi (memanfaatkan dan melestarikan) hutan lindung tipe kerangas yang menjadi habitat bagi N.gracilis. D. Simpulan Informasi atau sinyal N.gracilis di hutan kerangas yang dimiliki penduduk dan pengelola masih terbatas dan tidak menyeluruh. Keterbatasan pengetahuan pengetahuan tentang N.gracilis di hutan kerangas menjadikan sinyal dari nilai tumbuhan dikalahkan oleh informasi lain yang lebih menggugah ketertarikan (interest) masyarakat dan mengarah pada pemanfaatan tidak lestari serta merusak lahan dan vegetasi kerangas. Lemahnya kemampuan reseiver dari penduduk dan pengelola dalam menerima sinyal N.gracilis menyebabkan sinyal tersebut belum bisa menjadi stimulus yang kuat bagi sikap konservasi bagi penduduk dan pengelola terhadap hutan kerangas. Lemahnya kemampuan receiver tersebut disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan belum terbentuknya brand image yang menarik tentang N.gracilis dalam diri individu dari penduduk lokal dan pengelola hutan kerangas.
123
10. STRATEGI KONSERVASI HUTAN KERANGAS A. Permasalahan Konservasi 1) Stimulus alamiah dan manfaat hutan kerangas Areal hutan kerangas yang menjadi areal penelitian sebagian besar tidak terkelola dan terdegradasi. Fenomena ini menunjukkan kecenderungan bahwa status
kawasan
hutan
keanekaragaman hayati.
kerangas
semakin
terancam
dan
turunnya
Nilai indeks keragaman jenis vegetasi berkisar dari
sangat rendah untuk hutan kerangas terdegradasi dan nilainya berkisar rendahsedang untuk hutan kerangas sekunder dan oldgrowth. Rendahnya jumlah jenis vegetasi yang tumbuh di hutan kerangas berhubungan dengan rendahnya kandungan unsur hara tanah kerangas. Kurang kondusifnya lingkungan tanah dan vegetasi menyebabkan rendahnya jenis fauna yang terdapat di hutan kerangas.
Identifikasi
kondisi
bio-ekologi
hutan
kerangas
menunjukkan
keterbatasan dari komponen tumbuhan, fauna dan tanah hutan kerangas. Karakteristik bio-ekologi hutan kerangas yang spesifik menyebabkan hutan kerangas rentan terhadap gangguan, mudah terdegradasi dan sulitnya proses recovery.
Fenomena keterbatasan habitat hutan kerangas, rentannya terhadap
gangguan dan sulitnya proses rehabilitasi sebenarnya merupakan bentuk sinyal dari hutan kerangas yang dapat menjadi informasi alamiah yang seharusnya dapat mendorong atau menjadi stimulus alamiah dalam pembentukan sikap untuk mengkonservasi hutan kerangas. Penduduk dan pengelola secara umum mengetahui informasi bio-ekologi hutan kerangas, akan tetapi secara spesifik penilaian yang tepat dan benar akan sistem bio-ekologi hutan kerangas belum terbentuk. Nilai alamiah tidak berkembang menjadi stimulus alamiah yang kuat bagi pembentukan sikap konservasi penduduk dan pengelola. Stimulus alamiah relatif kurang direspon karena kuatnya interest (kepentingan dan ketertarikan) lain yang sifatnya merusak komponen dan sistem dari komunitas hutan kerangas seperti pengambilan kayu. Karakteristik
jasa
lingkungan
(ecosystem
service)
hutan kerangas
memberikan penjelasan bahwa hutan kerangas memiliki peranan penting bagi lingkungan fisik-kimia (termasuk di dalamnya sebagai penyimpan dan penyerap karbon), lingkungan bio-ekologi dan sosio-ekonomi.
Pengkarakterisasian
kembali manfaat ekologi, sosial dan ekonomi hutan kerangas yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa selama ini hutan kerangas memiliki
124
peranan penting terhadap manusia dan lingkungan sekitarnya. Peranan penting hutan kerangas melalui keberadaan dan nilai manfaat dari komponen biotik dan abiotik dari hutan kerangas selama ini telah didapatkan oleh manusia dan lingkungan sekitarnya (Tabel 10.1) Tabel 10.1 Karakteristik peranan hutan kerangas Karakteristik peranan
Uraian peranan
Peran terhadap lingkungan fisik-kimia
1) Daerah penyangga (hidroorologis) seperti: resapan air, sumber air permukaan tanah 2) Penjaga kestabilan udara atau pengaruh dampak cuaca ekstrim 3) Penyimpan dan penyerap karbon
Peran terhadap lingkungan biologi
1) Habitat jenis flora dengan jenis flora spesifik 2) Habitat jamur tertentu termasuk mikoriza 3) Habitat fauna 4) Habitat bakteri
Peran terhadap lingkungan sosial ekonomi
1) Hasil hutan kayu 2) Hasil hutan non kayu seperti madu, jamur, ikan lokal, tumbuhan obat 3) Hasil hutan yang memiliki nilai kepercayaan (religius) masyarakat setempat 4) Lingkungan iklim mikro yang kondusif 5) Potensi bioaktivitas dari tumbuhan spesifik N.gracilis yang hidup di habitatyang terbatas 6) Bank plasma nutfah
Peranan penting hutan kerangas bagi manusia dan lingkungan sekitarnya merupakan
informasi
atau
sinyal
manfaat
yang
seharusnya
dapat
diinterpretasikan dan membentuk persepsi tentang manfaat penting hutan kerangas. Persepsi tentang nilai manfaat penting hutan kerangas merupakan informasi yang diharapkan dapat menstimulir atau menjadi stimulus manfaat bagi pembentukan sikap konservasi terhadap hutan kerangas. Peran hutan kerangas yang umumnya dipahami penduduk dan pengelola terhadap lingkungan fisik kimia adalah pernyataan nomor 1, peran terhadap bioekologi (pernyataan nomor 1, 3), dan peran terhadap sosial ekonomi adalah pernyataan nomor 1, 2, dan 4. Realitas ini mengindikasikan tidak terbentuknya pemahaman yang lengkap tentang manfaat hutan kerangas. Ketidaklengkapan pemahaman baik nilai alamiah maupun nilai manfaat dari hutan kerangas menuntut skema tertentu agar nilai-nilai potensial yang belum terbangun tersebut dapat dipahami dan diterima oleh individu-individu dari penduduk lokal maupun pengelola.
125
2) Stimulus alamiah dan manfaat N.gracilis Pengkarakterisasian kondisi bio-ekologi dan keragaman genetika N.gracilis merupakan upaya untuk mendapatkan informasi yang dapat membentuk stimulus alamiah N.gracilis bagi masyarakat. Karakteristik spesifik dari habitat berupa pH tanah, ketebalan gambut, penutupan permukaan tanah dan intensitas cahaya menjadi informasi alamiah penting yang menentukan keberadaan N.gracilis. Pernyataan-pernyataan tentang stimulus alamiah (Tabel 9.2) memberikan gambaran bahwa baik pengelola maupun masyarakat setempat belum memiliki informasi yang lengkap tentang alamiah N.gracilis di hutan kerangas. Ketidaklengkapan informasi ini yang menyebabkan sinyal N.gracilis belum dapat berubah menjadi stimulus untuk sikap dan aksi konservasi N.gracilis. Informasi tentang nilai alamiah yang dimiliki dan dipahami baik oleh penduduk lokal dan pengelola antara lain: N.gracilis banyak tumbuh di hutan kerangas, jumlahnya menurun akibat pengupasan permukaan tanah, cairan kantongnya sebagai sumber makanan serangga. Sedangkan informasi tentang jumlah N.gracilis menurun bila terjadi kebakaran berulang dan N.gracilis dimanfaatkan
oleh
kera
sebagai
sumber
air
minum
dalam
perilaku
kesehariaannya, hanya dimiliki dan dipahami oleh penduduk lokal. Kemampuan beradaptasi terhadap keterbukaan tajuk dan bervariasinya pola regenerasi menyebabkan N.gracilis dapat bertahan dan tumbuh dominan di tempat terbuka belum menjadi bagian dari pengetahuan dari masyarakat. Sementara itu, pengupasan permukaan tanah dan kebakaran hutan merupakan faktor utama yang menyebabkan menurunnya populasi N.gracilis dikuasai oleh penduduk lokal. Informasi alamiah ini menjadi suatu temuan informasi yang diharapkan dapat berkembang menjadi stimulus alamiah untuk sikap konservasi. Sikap konservasi yang muncul dari stimulus alamiah dapat ditunjukkan di antaranya dengan adanya sikap untuk menekan peluang terjadinya pengupasan permukaan tanah dan kebakaran berulang di hutan kerangas agar populasi N.gracilis tetap terjaga. Karakteristik tempat tumbuh, karakteristik genetika, dan jumlah populasi merupakan salah satu informasi karakter atau fenomena alamiah N.gracilis yang belum banyak diketahui.
Keterbatasan informasi alamiah dipicu oleh kurang
diketahuinya informasi manfaat N.gracilis oleh masyarakat secara luas. Seiring dengan keterbatasan informasi manfaat dan alamiah N.gracilis menyebabkan
126
semakin menurunnya pemahaman masyarakat generasi berikutnya tentang karakteristik manfaat dan alamiah N.gracilis. Penelitian ini telah mengungkapkan beberapa karakter alamiah berupa kondisi bio-ekologis dan keanekaragaman genetika N.gracilis. Informasi alamiah ini merupakan suatu bagian dari pencerahan informasi bio-ekologi tentang N.gracilis yang dapat menjadi stimulus alamiah bagi pembentukan sikap konservasi terhadap N.gracilis. Identifikasi tentang nilai alamiah yang terdapat dalam Tabel 9.2 -9.3 menunjukkan masih terdapat 15 pernyataan stimulus alamiah N.gracilis bagi penduduk dan pemerintah, 5 di antaranya merupakan stimulus alamiah aktual yang ada pada penduduk (N.gracilis banyak tumbuh di hutan kerangas, jumlahnya menurun bila terjadi kebakaran berulang, jumlanya menurun akibat pengupasan tanah, cairan kantongnya sumber makanan serangga, kera meminum cairan kantongnya dan menggunakan batangnya sebagai tali). Terdapat 12 pernyataan stimulus potensial untuk pengelola (selain pernyataan no. 1, 6 dan 12) dan 10 pernyataan stimulus potensial untuk penduduk (selain pernyataan no. 1, 5, 6, 12, dan 15) yang harus dibangun agar berkembang menjadi stimulus yang diaktualisasi dalam sikap masyarakat. Stimulus alamiah aktual maupun potensial diharapkan dapat menjadi pendorong bagi individu untuk bersikap dan beraktifitas sesuai kaidah dan nilai kebenaran yang ditunjukkan oleh karakter bio-ekologi N.gracilis di hutan kerangas. Informasi manfaat N.gracilis dapat dideskripsikan dari beberapa peran atau manfaat yang dimiliki N.gracilis terhadap lingkungan sekitarnya. Selanjutnya pernyataan-pernyataan stimulus dibangun dari nilai manfaat N.gracilis bagi lingkungan fisik-kimia, lingkungan biologi dan peran bagi lingkungan sosial ekonomi (Tabel 9.2-9.3). Terdapat 10 pernyataan tentang stimulus manfaat untuk sikap masyarakat dan pengelola, dua di antaranya merupakan pernyataan yang menjadi stimulus manfaat aktual bagi sikap penduduk lokal (cairan dalam kantong tertutup N.gracilis sebagai obat batuk dan tetes mata, kantongnya digunakan sebagai bahan pembungkus nasi lontong). Sementara itu terdapat satu pernyataan stimulus manfaat aktual bagi pengelola (N.gracilis untuk tumbuhan hias). Sementara masih terdapat 8 pernyataan stimulus manfaat N.gracilis yang bersifat potensial yang diharapkan dapat berkembang menjadi stimulus manfaat aktual bagi sikap konservasi N.gracilis. Berbagai informasi diidentifikasikan
melalui
tentang manfaat N.gracilis dalam penelitian ini pengetahuan
etnobotani
pemanfaatan
N.gracilis,
127
pembuktian skala laboratorium tentang bioaktivitas (kandungan senyawa fitokimia, toksisitas, kapasitas antibakteri dan antidiabetes), serta informasi tambahan lain tentang berbagai manfaat dari N.gracilis seperti: tumbuhan yang dapat menyerap logam berat (Rahim, 2007), cairan terbuka dalam kantong sebagai sumber bakteri (Yogiara et al. 2006), aktivitas antijamur (Eilenberg et al. 2010). Informasi ini apabila disosialisasikan secara efektif akan dapat meningkatkan persepsi positif dan ketertarikan (interest) masyarakat tentang nilai manfaat N.gracilis. Persepsi positif ini diharapkan akan mampu menambah rasa senang/suka (komponen affective) penduduk sekitar hutan kerangas terhadap N.gracilis dan lebih meyakinkan pengetahuan mereka (komponen cognitive) akan manfaat N.gracilis. Peningkatan ketertarikan dan rasa senang akan informasi manfaat yang dipadukan dengan pemahaman informasi informasi alamiah akan menuntun ke arah pembentukan stimulus alamiah dan manfaat yang mendorong masyarakat bersikap dan bertindak memanfaatkan N.gracilis secara lestari. 3) Ketidaklengkapan pemahaman nilai alamiah dan nilai manfaat N.gracilis dan Hutan Kerangas Terdapatnya manfaat ekologi, sosial dan ekonomi dari hutan kerangas, seharusnya tidak membuat komunitas hutan kerangas menjadi terdegradasi, akan tetapi dalam kenyataannya adalah semakin banyak terbentuk areal-areal kosong tanpa tumbuhan tingkat pohon.
Nilai-nilai ekologi, sosial dan ekonomi
dari lahan dan biodiversitas hutan kerangas (termasuk N.gracilis) selama ini belum terekplorasi secara komprehensif. Deskripsi tidak lengkapnya informasi yang dikuasai oleh penduduk dan pengelola terhadap hutan kerangas dan N.gracilis diterangkan dalam Gambar 10.1.
128
Gambar 10.1 Ketidaklengkapan informasi pembentuk stimulus yang dimiliki penduduk dan pengelola tentang N.gracilis dan hutan kerangas Masyarakat dalam hal ini penduduk dan pengelola selama ini belum mendapat pengetahuan secara komprehensif dari ekologi, sosial dan ekonomi dari hutan kerangas, sehingga informasi tersebut belum secara menyeluruh menjadi sinyal yang dapat ditangkap oleh komponen cognitive dan affective dari individu
penduduk
atau
pengelola.
Ketidakmampuan
menangkap
dan
memahami sinyal tersebut mengakibatkan persepsi individu terhadap konservasi hutan kerangas menjadi kurang menarik dan stimulus yang terbentuk tidak cukup kuat dipersepsikan membentuk kesadaran dan kerelaan untuk bersikap konservasi terhadap hutan kerangas. Sinyal dari nilai manfaat fisik-kimia, bioekologi, sosial dan ekonomi dari hutan kerangas dan N.gracilis bahkan tidak direspon menjadi stimulus konservasi, sehingga tidak mampu membentuk sikap konservasi. Persepsi
masyarakat
terhadap
sinyal
dan
stimulus
yang
akan
mempengaruhi pembentukan sikap. Stimulus yang terbentuk harus kuat agar dapat berkembang menjadi sikap. Stimulus harus melampaui ambang stimulus, yaitu kekuatan stimulus yang minimal tetapi sudah dapat menimbulkan kesadaran. Stimulus kuat akan dipersepsikan dan berkembang menjadi sikap (Walgito 2003).
129
Fenomena yang terjadi selama ini adalah sinyal dari lahan dan hutan kerangas yang terdeteksi oleh masyarakat lebih mengarah pada nilai manfaat ekonomi langsung dari hasil hutan, hasil tambang, nilai lahan yang potensial sebagai areal permukiman (interest lain nonkonservasi). Nilai manfaat ekonomi langsung tersebut menjadi sinyal yang ditangkap dan menjadi stimulus yang mempengaruhi komponen affective dan cognitive individu dari penduduk (lokal dan luar), pengusaha, aparat pemerintah daerah yang selanjutnya berkembang pada sikap dan perilaku (aksi) untuk memungut hasil hutan, menambang dan menguasai lahan hutan kerangas. Kesamaan persepsi, sikap dan perilaku individu-individu ini terhadap hutan kerangas
berpengaruh
terhadap
terbentuknya
kelompok-kelompok
yang
melakukan pemungutan hasil hutan, menambang dan menguasai lahan dalam kawasan hutan kerangas.
Perspektif awal tentang hutan kerangas Desa
Guntung Ujung oleh masyarakat adalah sinyal hutan kerangas sebagai penghasil kayu yang selanjutnya berkembang menjadi stimulus untuk bersikap dan berperilaku menebang pohon dan mengambil manfaat dari kayu yang dihasilkan. Kesamaan sikap dan perilaku tersebut mendorong terbentuknya kelompok penebang pohon di hutan kerangas. Berkembangnya pengetahuan, kerangka acuan, kemampuan berpikir, pengalaman
dan
perasaan
dari
masyarakat
secara
psikologis
dapat
mempengaruhi cara persepsi masyarakat terhadap suatu obyek atau fenomena (Walgito, 2003). Perkembangan kemampuan masyarakat tersebut selanjutnya tidak sekedar memandang hutan kerangas sebagai penghasil kayu, tetapi juga potensial memberikan nilai manfaat dari areal kerangas sebagai tanah permukiman dan sebagai kawasan pertambangan. Perkembangan kemampuan satu atau beberapa individu dari suatu kelompok masyarakat akan membentuk persepsi tertentu terhadap hutan kerangas.
Persepsi tersebut selanjut ditransfer ke individu lainnya melalui
interaksi antar individu sehingga dapat mempengaruhi terbentuknya persepsi yang sama tentang stimulus dari hutan kerangas. Persepsi yang sama selanjutnya terbentuk pada beberapa individu dalam menanggapi stimulus hutan kerangas sebagai kawasan penghasil bahan tambang bahan galian dan kawasan yang potensial untuk permukiman. Kesamaan persepsi ini menggiring beberapa individu dalam membentuk sikap dan perilaku yang sama dalam menilai hutan kerangas. Kesamaan persepsi, sikap maupun nilai merupakan faktor yang
130
mempengaruhi terbentuk dan berkembangnya kelompok (Walgito, 2003, 2007). Proses inilah yang membentuk ketertarikan (interest) lain non konservasi dan selanjutnya
menjadi
faktor
yang
mempengaruhi
terbentuknya
kelompok
penambang dan kelompok penguasa atas tanah/lahan di kawasan hutan kerangas. Terbentuknya kelompok memperbesar peluang munculnya aksi kolektif dalam menguasai menguras sumberdaya hutan kerangas. Sinyal hutan kerangas yang dapat memberikan manfaat ekologi, sosial ekonomi berkelanjutan selama ini relatif menjadi stimulus yang lemah dan terabaikan. Stimulus konservasi tersebut dikalahkan oleh stimulus manfaat ekonomi langsung dari memungut hasil hutan, menambang dan menguasai lahan hutan kerangas. Sikap dan perilaku yang muncul dari individu atau kelompok masyarakat akhirnya tidak konservasi terhadap hutan kerangas yang berdampak rusaknya hutan kerangas. Pemanfaatan berkelanjutan potensi biodiversitas melalui bioprospeksi secara
faktual
berdasarkan
observasi
lapangan
terkendala
beberapa
permasalahan. Beberapa kendala yang terjadi dan diduga akan menghambat pemanfaatan dan keberlanjutan pemanfaatan potensi biodiversitas tumbuhan di hutan kerangas di antaranya adalah: 1) Nilai alamiah dan manfaat yang belum sepenuhnya dipahami dan belum berkembang menjadi menjadi stimulus konservasi, 2) Tidak terpenuhinya prasyarat bagi implementasi pemanfaatan lestari biodiversitas.
1) Nilai alamiah dan manfaat yang belum sepenuhnya dipahami dan belum berkembang menjadi stimulus konservasi Ketidakmampuan berbagai pihak dari penduduk lokal dan pengelola memahami nilai alamiah dan nilai manfaat biodiversitas dipicu oleh beberapa faktor penyebab, di antaranya: a. Penguasaan pengetahuan tentang karakteristik bio-ekologi dan pemanfaatan potensi biodiversitas proporsinya kecil dan terbatas pada orang-orang tertentu yang tinggal di dalam dan sekitar hutan kerangas. Sementara itu kaderisasi pengetahuan yang relatif lemah sehingga mengakibatkan diskonektivitas pengetahuan terhadap generasi penerus. b. Belum dipahami secara menyeluruh potensi manfaat dari potensi biodiversitas hutan kerangas oleh pihak pemerintah yang berwenang maupun pihak lain yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
131
c. Kurang dipahaminya dengan baik manfaat komunitas hutan kerangas terhadap ekosistem maupun manfaat keanekaragaman hayati dalam penunjang perekonomian masyarakat. d. Lemahnya daya saing produk aktual atau produk potensial biodiversitas. Jenis sumber daya yang diinginkan pasar terbatas pada barang tertentu seperti jenis rambuhatap (Baeckea frutescens) dan biji galam (Melaleuca cajuputi). Keterbatasan pasar diduga juga berhubungan dengan keterbatasan penguasaan pengetahuan pihak luar sebagai pengguna barang tentang potensi biodiversitas tumbuhan yang bermanfaat
dari hutan kerangas.
Kekurangpahaman ini diperburuk oleh intervensi
yang kuat dari pilihan
pemanfaatan lahan lainnya yang sifatnya merusak dan merubah habitat kerangas. Nilai ekonomi jangka pendek yang relatif besar dan proses relatif pendek yang ditawarkan menjadikan bargaining position dari pilihan pemanfaatan yang sifatnya merusak habitat kerangas sangat kuat dan menjadi pilihan yang didukung pihak yang berkuasa. Sementara itu pemanfaatan potensi biodiversitas yang bernilai ekonomi besar dan relatif ramah lingkungan belum secara konkret terealisasi, sehingga pilihan pemanfaatan ini relatif ditinggalkan. Terjadi pembiaran-pembiaran terhadap mekanisme pemanfaatan dari biodiversitas tumbuhan hutan kerangas mengikuti permintaan dari pasar eksternal. Belum terjadi proses fasilitasi ―create market‖ terhadap potensi biodiversitas tumbuhan, sehingga belum mampu mengembangkan ragam produk biodiversitas yang memiliki daya saing dan nilai jual tinggi. e. Berkembangnya dan semakin kuatnya interest dan bertambahnya aktor yang terlibat dalam penggunaan kawasan kerangas memicu konversi lahan, kebakaran, dan penyerobotan lahan kerangas masih belum bisa ditangani dengan baik oleh berbagai pihak yang berwenang. Kerusakan yang terjadi selama ini merupakan implikasi dari tekanan yang kuat terhadap hutan kerangas oleh kepentingan-kepentingan di luar kehutanan seperti kebutuhan akan lahan perumahan dan bahan galian. f. Berbagai kerusakan yang terdapat di hutan kerangas berdampak pada pengurangan jumlah individu (potensi tumbuhan) yang potensial dalam pengaplikasian bioprospeksi. Ketersediaan sumberdaya secara terus menerus dalam jumlah yang mencukupi menjadi syarat pelaksanaan pemanfaatan lestari berbasis bioprospeksi.
132
2) Belum dipenuhinya prasyarat implementasi pemanfaatan biodiversitas lestari. Sikap yang tidak pro terhadap pemanfaatan lestari biodiversitas semakin diperburuk dengan tidak dipenuhinya prasyarat agar sikap dapat berkembang menjadi aksi pemanfaatan lestari berbasis informasi bioprospeksi. Beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar sikap konservasi dapat berkembang menjadi aksi konservasi N.gracilis di hutan kerangas di antaranya adalah: adanya kerelaan berkorban, hak kepemilikan (property right), dukungan peraturan perundangan, dukungan multipihak, penerapan dan penegakan hukum. Semua uraian mengenai kendala yang telah disebutkan, bila dihubungkan dengan sikap adalah refleksi dari kekurangmampuan masyarakat dan pengelola membentuk stimulus AMAR yang kuat untuk sikap dan aksi konservasi, serta tidak terpenuhinya prasyarat bagi pemanfaatan biodiversitas secara lestari. Sehingga berdampak pada ketidakberlanjutan pengelolaan kawasan hutan kerangas. B. Sintesis Pemecahan Masalah Pelaksanaan pemanfaatan lestari berbasis bioprospeksi N.gracilis di hutan kerangas pada dasarnya memerlukan berbagai tinjauan secara komprehensif menyangkut ―ranah fisik-biologi-kimia‖ (seperti potensi ketersediaan, habitat, keragaman genetika, keberlanjutan biodiversitas, bioaktivitas) dan ―ranah sosial‖ (seperti pembentukan sikap dan perilaku individu dalam interaksi sosial menyikapi obyek biodiversitas, hubungan atau interkonektivitas antara individu dalam suatu kelompok atau hubungan antar kelompok, dan perspektif sosial lainnya dalam implementasi bioprospeksi N.gracilis). Pemahaman karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat menjadi penting karena pelaksanaan bioprospeksi sumberdaya hutan sangat terdesentralisasi dan local specific sehingga tidak mudah untuk menggeneralisasikannya. Alur
penyelesaian
permasalahan
implementasi
pemanfaatan
lestari
terhadap N.gracilis dideskripsikan pada Gambar 10.2 tentang hubungan sinyal N.gracilis dan stimulus bagi pembentukan sikap dan aksi pemanfaatan lestari N.gracilis di hutan kerangas.
133
Gambar 10.2 Hubungan sinyal N.gracilis dan stimulus bagi sikap dan aksi pemanfaatan biodiversitas (sumber: Amzu 2007 yang dimodifikasi) Gambar 10.2 mendeskripsikan bagaimana aliran informasi dari sistem bioekologi N.gracilis ke sistem sosial masyarakat. Empat hal utama yang terdeskripsikan dalam Gambar 10.2 adalah: (1) Sinyal N.gracilis (2) stimulus yang berkaitan dengan sikap individu masyarakat (3) sikap individu masyarakat, dan (4) aksi pemanfaatan lestari yang bakal terjadi. Agar informasi yang didapat dari sinyal bisa menjadi stimulus yang membentuk sikap, maka harus memenuhi prasyarat bahwa sinyal tersebut dapat ditangkap dan dipahami oleh komponen cognitive dan affective dari setiap individu masyarakat. Sinyal tersebut dapat ditangkap bila informasi yang diberikan sinyal menimbulkan kesadaran (awareness), minat atau ketertarikan (interest) dari individu masyarakat. Ketertarikan yang tinggi akan sinyal N.gracilis akan menumbuhkan stimulus yang kuat dan mendorong terbentuknya sikap. Stimulus yang terbentuk akan mendorong individu untuk memberikan penilaian, pertimbangan untuk bersikap dan keinginan untuk mencoba (kecenderungan bertindak).
Stimulus yang
terbentuk tidak bekerja sendiri dalam merubah sikap menjadi suatu aksi dalam pemanfaatan lestari N.gracilis, tetapi harus memenuhi prasyarat adanya kerelaan berkorban, hak kepemilikan (property right), peraturan perundangan yang jelas, penegakan hukum dan lain-lain. Aksi bioprospeksi terhadap N.gracilis agar dapat aktif dan lebih efektif perlu difasilitasi atau dikatalisasi dalam bentuk aksi kolektif (collective action). Berdasarkan Gambar 10.2, sintesis penyelesaian akar permasalahan dikelompokkan
melalui
tiga
pendekatan,
yaitu
pendekatan
dengan
(1)
134
membangun sikap individu masyarakat pro-konservasi untuk pemanfaatan lestari N.gracilis (2) pemenuhan prasyarat implementasi bioprospeksi lestari (3) katalisasi aksi kolektif bagi implementasi bioprospeksi lestari. 1) Membangun sikap individu masyarakat pro-konservasi Membangun sikap individu masyarakat pro konservasi dapat dilakukan melalui a) membangun sikap ―tri-stimulus amar konservasi.
Nilai manfaat
dibangun terlebih dahulu sebagai stimulus kuat untuk menggiring individu dalam mendorong pemahaman stimulus alamiah dan menstimulir kerelaan maupun kebutuhan/kepentingan untuk bersikap konservasi, b) menjalin konektivitas (menyambungkan,
mengembangkan
dan
mempersatukan)
pengetahuan
tradisional masyarakat dengan pengetahuan luar atau pengetahuan modern. sehingga
pengetahuan tradisional menjadi pengetahuan yang penting dan
diperhitungkan, serta adaptif terhadap perkembangan terkini. a)
Membangun sikap ―tri-stimulus amar konservasi Ketidakmampuan memahami nilai-nilai alamiah (bio-ekologi, keberlanjutan
dan kelangkaan), nilai-nilai manfaat (ekonomi) dan nilai-nilai religius (agama, keikhlasan, moral dan sosio-budaya) secara terintegrasi atau menyeluruh akan suatu sumberdaya atau kawasan hutan merupakan penyebab gagalnya mencapai tujuan konservasi. Berhubungan dengan nilai-nilai manfaat ekonomi sumberdaya alam tentu tidak lepas dari karakteristik alamiah (fisik biologi kimia) atau nilai alamiah dan nilai sosial, budaya, kepercayaan (believe) terkait sumberdaya tersebut. Rachman (2000) mengemukakan bahwa ketika bicara ―ekonomi‖ sekaligus adalah bicara ―budaya‖ dan bicara‖ kepercayaan‖, tidak bisa dipisah-pisahkan. Sikap konservasi individu masyarakat harus dibangun dan merupakan wujud dari kristalisasi ―tri-stimulus AMAR (alamiah-manfaat-relijius) konservasi‖. Sikap masyarakat yang seperti ini merupakan prasyarat terwujudnya aksi konservasi secara nyata di lapangan (Amzu 2007). Gambar 10.3 merupakan deskripsi tentang bagan alir alir tiga kelompok stimulus yang harus mengkristal sebagai pendorong sikap konservasi masyarakat.
135
Gambar 10.3 Diagram alir ―tri-stimulus AMAR konservasi‖: stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi (Sumber: Amzu 2007 yang dimodifikasi) Kasus konservasi hutan kerangas melalui pemanfaatan lestari N.gracilis terkendala dengan terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang nilai-nilai ekonomi, sosio-budaya, sosio-ekologi dan nilai religius dari N.gracilis. Realita ini berkonsekuensi pada perlunya tahapan proses dalam membangun tri-tri-stimulus amar konservasi. Proses membangun tri-stimulus AMAR konservasi dapat dilakukan dengan membangun fondasi stimulus manfaat N.gracilis. Membangun stimulus manfaat dapat dilakukan dengan membuat kesenangan akan nilai manfaat besar dan lestari dari sumberdaya atau hasil olahan sumber daya N.gracilis. Stimulus manfaat dibangun dari ketertarikan (interest) individu masyarakat sebagai pelaku konservasi. Membangun stimulus manfaat merupakan implementasi dari teori 2 faktor yang dikemukakan Rosenberg (1960). Perubahan sikap dapat dilakukan dengan mempengaruhi komponen affective seseorang yang dalam hal ini membangkitkan kesenangan individu masyarakat akan nilai manfaat N.gracilis. Terkait dengan pernyataan stimulus N.gracilis seperti tercantum dalam Tabel 9.2, empat stimulus manfaat potensial kuat yang dapat dibangun agar mempengaruhi pembentukan sikap konservasi adalah pernyataan bahwa akar N.gracilis sebagai antidiabetes, bagian tumbuhan N.gracilis sebagai antibakteri, N.gracilis sebagai penyumbang unsur hara bagi lingkungan kerangas dan N.gracilis sebagai reservoir air mini yang mempunyai kemampuan menampung air sebesar ± 3.400 liter/ha sehingga dengan manfaat ini N.gracilis dapat memediasi perkembangan keragaman hayati di hutan kerangas.
136
Mengawali pembangunan tri-stimulus amar dengan membangun stimulus manfaat adalah cukup beralasan karena sinyal yang secara umum termudah untuk terintroduksi dan dipahami komponen cognitive dan affective adalah informasi manfaat yang berkembang menjadi stimulus manfaat. Akan tetapi proses transformasi obyek N.gracilis menjadi suatu nilai atau sinyal dan mensosialisasikan nilai atau sinyal tersebut agar menjadi stimulus sikap konservasi bukanlah kegiatan instan, tetapi perlu tahapan-tahapan tertentu yang teratur atau sistematis. Berdasarkan perspektif model komunikasi, gambaran sederhana proses transformasi tersebut dapat dideskripsikan melalui model komunikasi Shanon-Weafer pada gambar 10.4 (Mardikanto 2010). Noise: intervensi teknologi & budaya luar rendahnya knowledge Signal: arti/nilai gejala,fenomena (informasi)
Source: N.gracilis
transmiter: (media transformasi) local knowledge owner perguruan tinggi, pusat riset pengembangan
Signal: arti/nilai gejala,fenomena (informasi)
Channel: Konservasi (pemanfataan berkelanjutan) Fasilitator
Signal: arti/nilai gejala,fenomena (informasi)
Receiver: kapabilitas penerima
Destination: stimulus manfaat bagi sikap masyarakat yang dituju
Signal: arti/nilai gejala,fenomena (informasi)
Noise: diskonektivitas pengetahuan, miss komunikasi, interest lain
Gambar 10.4
Model komunikasi Shanon-Weaver dalam kasus penyampaian informasi manfaat N.gracilis menjadi stimulus manfaat
Gambar 10.4 memberikan informasi bahwa proses awal membangun stimulus manfaat N.gracilis dapat dilakukan melalui penelitian, identifikasi, pengkajian nilai manfaat N.gracilis dari berbagai bidang aspek kehidupan. Hal ini mengandung pengertian bahwa nilai manfaat tersebut juga harus dibangun, dibangkitkan dan dikembangkan. Dasar identifikasi nilai manfaat dapat berupa hasil identifikasi pengetahuan etnobotani masyarakat, pendekatan pengetahuan luar/modern atau kombinasi keduanya. Peran pemilik pengetahuan lokal, perguruan tinggi, pusat riset dan pengembangan sangat diperlukan untuk memediasi, mentransformasikan atau membangkitan informasi dari N.gracilis menjadi sebuah nilai atau sinyal yang dapat dipahami oleh masyarakat secara
137
luas. Nilai manfaat akan semakin bermakna bila nilai manfaat dari N.gracilis yang memiliki daya saing, bernilai ekonomi tinggi dapat direalisasikan dalam kehidupan keseharian. Sosialisasi atau penyuluhan merupakan langkah lanjutan agar berbagai pihak mengetahui nilai manfaat dari N.gracilis, sehingga pengetahuan akan nilai manfaat tersebut dapat terintroduksi dan dipahami komponen cognitive dan affective dari banyak individu yang akan membentuk persepsi positif terhadap keberadaan atau peran N.gracilis. Persepsi positif dan interest yang dibangun dari kegiatan sosialisasi atau penyuluhan akan dapat menjadi stimulus yang membentuk sikap konservasi masyarakat terhadap N.gracilis. Sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, dikemukakan bahwa penyuluhan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum merupakan hak asasi warga negara Republik Indonesia. Sistem penyuluhan atau sosialisasi harus dibangun untuk memenuhi hak masyarakat akan pengetahuan dan informasi sehingga akan mengembangkan kemampuan dan sikap masyarakat. Pasal 1 UU No.16 tahun 2006 menyebutkan bahwa sistem penyuluhan merupakan seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan (pasal 1) Peran fasilitator atau penyuluh yang dapat memediasi nilai atau sinyal menjadi stimulus manfaat bagi masyarakat (penduduk dan pengelola) sangatlah penting. Fasilitator dituntut kreativitas dan inovasinya dalam mengurangi gangguan (noise) yang dapat menghambat aliran informasi dalam proses komunikasi tersebut. Fasilitator harus dapat berperan sebagai motivator bagi penerima pesan agar dapat menjadikan sinyal yang diterimanya menjadi suatu stimulus sikap dan aksi memanfaatkan secara lestari N.gracilis. Clayton and Myers (2009) mengemukakan bahwa berdasarkan pengalaman dalam proses pembelajaran konservasi yang paling efektif untuk mengubah sikap dan perilaku terutama bila tujuannya adalah orang dewasa adalah dengan membangkit motivasinya. Pembentukan stimulus manfaat tergantung pada subyek pelaku yang siap menerima stimulus (receiver), karenanya informasi tentang tingkat perilaku masyarakat menjadi sangat penting. Identifikasi yang didapatkan dari hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa dari aspek perilaku, kedudukan perilaku
138
masyarakat desa Guntung Ujung umumnya berada dalam tahap prekontemplasi dan
kontemplasi
(kategori
tingkat
perilaku
terhadap
perubahan
yang
dikembangkan AFAO 1996; Prochaska & DiClemente 2005). Prekontemplasi adalah tingkatan perilaku seseorang yang belum merasa penting atau tidak mempertimbangkan
adanya
perubahan,
sedangkan
kontemplasi
adalah
tingkatan perilaku seseorang yang mempertimbangkan perubahan jika ada ajakan atau mengetahui adanya perubahan. Seleksi tingkatan perilaku individu masyarakat perlu dilakukan untuk membentuk kader konservasi (pelaksana pemanfaatan lestari N.gracilis). Paling tidak untuk tahap awal, masyarakat dengan tingkatan perilaku kontemplasi dapat dididik dan dibimbing menjadi kader pemanfaatan lestari N.gracilis. Membangun stimulus manfaat menuntut terealisasi pemanfaatan N.gracilis menjadi produk yang laku dijual, memiliki daya saing dan bernilai ekonomi tinggi. subyek pelaku dari masyarakat yang berjiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Subyek pelaku yang memiliki jiwa kewirausahaan mengindikasikan bagian dari anggota masyarakat yang siap menerima stimulus manfaat dan mau melakukan perubahan perilaku. Day et al. (2006) menyatakan bahwa kewirausahaan pada hakikatnya adalan sifat, ciri, dan watak seseorang yang memiliki kemampuan dalama mewujudkan
gagasan
inovatif
ke
dalam
dunia
nyata
secara
kreatif.
Kewirausahaan merupakan suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different thing). Carson et al. (2008) mengemukakan bahwa kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas, inovasi, dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru. Kreativitas yang dimaksud di sini adalah berfikir sesuatu yang baru, dan inovasi adalah bertindak melakukan sesuatu yang baru. Johan and Hampus (2006) mengemukakan bahwa perilaku kewirausahaan tercermin dari beberapa karakteristik individu, di antaranya:
i)
memiliki
motivasi
untuk
menemukan,
menciptakan
dan
memproduksi, ii) memiliki semangat dan dorongan untuk bekerja keras, iii) memiliki visi akan sesuatu yang terkadang berada di luar batas kebiasaan, iv) berani menerima tantangan tetapi realistis dan menghindari kegiatan dengan resiko terlalu banyak, v) memiliki komitmen, kebulatan tekat dan ketekunan, vi) dapat belajar dari kesalahan, toleransi terhadap kegagalan tertentu, dan menggunakannya sebagai umpan balik bagi sesuatu yang positif ke depan, vii)
139
percaya diri dan bertanggung jawab, viii) fokus pada tugas, ix) efisien. Hidayati (2009) mengungkapkan bahwa kualitas profesionalisme seseorang akan semakin kokoh dan terpelihara apabila pada dirinya melekat perilaku dan jiwa kewirausahaan. Kewirausahaan ini terbentuknya dapat melalui bakat dan bawaan dari lahir maupun diciptakan melalui transfer pengetahuan. Modal kemampuan kewirausahaan yang dimiliki kader yang tergolong dalam tingkatan kontemplasi akan menjadi agen perubahan bagi penduduk lainnya. Melalui proses fasilitasi dan pedampingan para kader tersebut diharapkan akan berkembang tingkatan perilakunya terhadap perubahan menjadi persiapan
(preparation),
aksi
(action),
memelihara
(maintanance)
dan
menganjurkan (advocation) untuk pemanfaatan lestari N.gracilis. Keberhasilan kader konservasi N.gracilis akan dapat menjadi dasar bagi penduduk lain untuk berperan aktif dalam pemanfaatan berkelanjutan N.gracilis. Proses perubahan sikap masyarakat tersebut dapat melalui proses imitasi (Walgito 2003) maupun hasil advokasi dari para kader konservasi N.gracilis dengan cara bujukan/ajakan (persuasive) ataupun pengulangan (pervasion) (Mardikanto, 2010). Bila stimulus manfaat telah terbangun, maka stimulus manfaat yang terbentuk harus terus dikawal, dibimbing, dan diarahkan. Langkah ini diperlukan untuk mendorong kembali pemahaman tentang stimulus alamiah dan stimulus religus dari berbagai individu. Fasilitasi, pengarahan atau pendampingan dalam membangun stimulus amar pro konservasi masih terus memerlukan fasilitator atau penyuluh. Menciptakan fasilitator yang handal dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan (melalui
capacity building).
Belajar
dari kasus pemanfaaatan
rambuhatap. masyarakat berperan dalam pemanenan dan pemasaran secara langsung, tidak ada aturan mengenai hak dan akses terhadap sumber daya, sehingga siapa saja boleh mengambil tanpa batas. Kegiatan masyarakat tersebut dibiarkan berjalan dengan sendirinya tanpa ada pendampingan, bimbingan, fasilitasi dan binaan dari fasilitator atau penyuluh, sehingga tidak tercapai aksi pemanfaatan lestari. Fasilitator menginterpretasi,
atau penyuluh harus memiliki kemampuan menganalisis,
menyusun
program
baik
konservasi
dalam dan
membangkitan inovasi terbentuknya pemanfaatan berkelanjutan biodiversitas. Fasilitator juga harus memiliki pengetahuan komunikasi yang handal dan efektif dalam menyampaikan pesan terhadap masyarakat.
140
Terkait pengetahuan komunikasi, fasilitator harus mampu memilih model komunikasi yang efektif dalam memfasilitasi proses pembimbingan atau pendampingan terhadap masyarakat lokal. Lubis (2010) mengemukakan bahwa komunikasi yang memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk berbagi informasi seperti yang ditawarkan dalam komunikasi konvergensi. Keunggulan komunikasi
konvergensi
dibandingkankan
model
linear
adalah
tingkat
keberhasilan komunikasi ditentukan oleh tingkat keaktifan penerima (dalam hal ini masyarakat lokal) di dalam memberikan respon terhadap
pesan yang
disampaikan oleh sumbernya (Mardikanto 2010). Media lain seperti elektronik, media tulis, pendidikan sekolah, pengajian keagamaan
merupakan
pilar
penting
dalam
proses
pemahaman
dan
pengembangan tri-stimulus amar konservasi N.gracilis dan hutan kerangas. Lubis (2010) mengemukakan dalam kasus pembelajaran suatu komunitas masyarakat di Kalimantan Selatan, proses pembelajaran dan saling berbagi informasi antara komunitas transmigran suku Jawa dan transmigran lokal suku Banjar dimediasi oleh media informal melalui ―Yasinan‖ yang diadakan setiap minggu. Pertemuan ini tidak hanya membicarakan masalah keagamaan, tetapi juga mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dalam bertani dan masalahmasalah sosial. Keberhasilan sosialisasi yang didukung oleh komunikasi yang efektif akan menjadi perangkat penting dalam mengintensifkan dan memperluas sebaran informasi dalam membangun stimulus manfaat untuk sikap konservasi terhadap N.gracilis. Konsep membangun tri-stimulus amar yang diawali dengan membangun stimulus manfaat merupakan konsep yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‗Alaihi Wassalam, para sahabat dan beberapa ulama besar dalam membangun masyarakat yang sejahtera secara lahir dan batin. Introduksi nilai alamiah (bio-ekologi) dan nilai religius ke dalam masyarakat relatif mudah di saat terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat. Penggunaan nilai manfaat sebagai langkah awal membangun tri stimulus amar konservasi diibarat proses membangun dan memupuk keyakinan dengan kesejahteraan. Terbentuknya stimulus manfaat yang besar dan kuat akan memupuk stimulus religius dan alamiah dengan mekanisme positivisme (manifestasi syukur nikmat akan kebesaran dan rahmat Allah). Mengawali
pembangunan
tri-stimulus
amar
konservasi
dengan
mengidentifikasikan dan berusaha meningkatkan nilai manfaat N.gracilis juga
141
merupakan langkah dalam mensiasati kecenderungan masyarakat modern sekarang yang berinteraksi dengan lingkungan secara materi. Ketika materi tersebut dapat dirasakan manfaatnya barulah diikat interaksi tersebut dengan aturan-aturan hukum dan etika yang dibangun dari nilai-nilai alamiah dan nilai religius (agama, budaya dan spiritual). Strategi ke depan untuk bioprospeksi di hutan kerangas mensyaratkan untuk bisa menempatkan pemanfaatan N.gracilis dan potensi biodiversitas lainnya di hutan kerangas menjadi bagian dari mata pencaharian pokok atau sejajar dengan mata pencaharian pokok masyarakat yang sudah ada. Brand image N.gracilis harus dibangun agar nilai ekonomi produk N.gracilis menjadi tinggi. Kotler et al. (2007) mengungkapkan brand image yang baik dipengaruhi oleh keunggulan dari produk dan pencitraan atau image dibentuk dari persepsi yang relatif konsisten dalam jangka panjang (enduring perception). Membentuk brand image produk N.gracilis memerlukan sosialisasi intensif agar informasi produk N.gracilis dapat menjadi memori bagi khalayak luas dalam membentuk suatu persepsi akan produk tersebut. Brand image yang terbentuk akan mempengaruhi hubungan emosional individu, dari kecenderungan bertindak, menggunakan sampai tingkat loyalitas terhadap produk tertentu. Brand image yang baik tentang produk N.gracilis akan meningkatkan nilai ekonomi produk. Tingginya nilai ekonomi akan berdampak pada tingginya ketergantungan masyarakat terhadap tersedianya biodiversitas secara lestari (stimulus mengenai ketersediaan, regenerasi dan kelangkaan) dan menentukan sikap dan perilaku masyarakat untuk rela melakukan aksi konservasi. Diversifikasi pemanfaatan dan peningkatkan nilai tambah untuk membentuk brand image N.gracilis dapat dilakukan dengan landasan pengetahuan etnobotani masyarakat dan pendekatan hasil-hasil penelitian modern. Strategi
bisnis
harus
dirancang
dan
diimplementasikan
dengan
memperhatikan mekanisme suplly-demand agar terbentuk harga yang kompetitif dari produk N.gracilis. Strategi bisnis yang tepat akan meningkatkan dan mempertahankan harga atau nilai ekonomi produk N.gracilis. Ketersediaan bahan tumbuhan menjadi hal penting terkait dengan potensi pemanfaatan lestari
N.gracilis sebagai bahan pengobatan.
Perlu dilakukan
aktivitas untuk meningkatkan potensinya dan menjamin ketersediaan bahan baku dalam pemanfaatan lestari melalui pengaturan pemanenan, perlindungan
142
terhadap spesies dan kawasan, upaya penangkaran dalam habitat aslinya atau pembudidayaan yang mempertimbangkan karakter spesifik dari habitat N.gracilis. Pengaturan jumlah tumbuhan yang dapat dipanen harus berdasarkan nilai Minimum Viable Population (MPV) agar tidak terjadi kelebihan pemakaian (over using) terhadap sumberdaya tumbuhan yang ada. Sebagai dasar awal nilai MPV yang digunakan dapat memakai hasil riset tentang MPV tumbuhan secara umum jumlahnya adalah 4.824 individu (Trail et al. 2007). Bila N.gracilis dimanfaatkan untuk kepentingan industri dalam jumlah yang besar dengan kontinyuitas yang terjamin, pembudidayaan secara konvensional (pemisahan individu dari rumpun, perundukan, stek batang) maupun kultur jaringan dapat dilakukan. Faktor yang harus dipertimbangkan adalah habitat tumbuh spesifik dari N.gracilis agar dapat memberikan bioaktivitas yang serupa dengan N.gracilis dari habitat aslinya. Sebagai langkah awal, penangkaran secara in situ menjadi alternatif yang dapat dipilih dalam proses budidaya N.gracilis oleh penduduk lokal. Nilai bio-ekologi tumbuhan harus menjadi stimulus alamiah yang menjadi dasar bagi sikap dan implementasi dalam pemanfaatan lestari N.gracilis. Bervariasinya karakteristik lahan dan penutupan hutan kerangas sebagai habitat N.gracilis, mengindikasikan perlunya pengaturan keruangan atau kawasan dalam penangkaran atau pembudidayaan N.gracilis. Penerapan sistem ―zonasi
dinamis‖
dalam
manajemen
kawasan
hutan
kerangas
dalam
pemanfaatan N.gracilis. Pengaturan zonasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan pasal 12 ayat 1 pembagian hutan ke dalam blok-blok yang terdiri dari : a. blok perlindungan; blok b. pemanfaatan; c. blok lainnya; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan; dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Walaupun pada beberapa substansi pasalnya perlu
adanya revisi yang sifatnya
membangun. Terbentuknya stimulus amar untuk sikap dan aksi konservasi para pihak harus terus didorong hingga menjadi suatu kebiasaan atau perilaku konservasi.
143
Pendidikan dan pelatihan yang terprogram kontinyu mutlak diperlukan agar terjadi proses pembiasaan untuk melakukan aksi konservasi.
Pembiasaan-
pembiasaan yang dibangun dengan kontinyu akan membentuk suatu perilaku konservasi dari para pihak yang berkepentingan dengan hutan kerangas. Dokumentasi
menjadi
bagian
terpenting
agar
aliran
informasi
dalam
pembentukan stimulus amar untuk sikap dan aksi konservasi. Dokumentasi yang baik juga menjadi modal penting agar pendidikan dan pelatihan yang kontinyu dalam mendukung terbentuknya perilaku konservasi N.gracilis dan hutan kerangas. b)
Menjalin konektivitas pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern Transfer
pengetahuan
yang
terhambat
sebagai
akibat
kaderisasi
keilmuwan dan pengetahuan yang kurang berjalan dengan baik, dokumentasi yang buruk, dan intervensi nilai dan budaya luar menjadikan rendahnya pemahaman generasi penerus terhadap pengetahuan tradisional yang posisinya semakin terpinggirkan. Menjalin konektivitas yang dimaksudkan adalah suatu upaya menyambung, mengembangkan dan mempersatukan pengetahuan tradisional masyarakat dengan pengetahuan luar atau pengetahuan modern, sehingga
pengetahuan tradisional menjadi pengetahuan yang penting dan
diperhitungkan, serta adaptif terhadap perkembangan terkini. Pembuktian empiris modern dalam penelitian ini melalui identifikasi senyawa fitokimia dan pengujian skala laboratorium secara in vitro merupakan upaya untuk memperkuat
pengetahuan tradisional tentang kekhasiatan dari
N.gracilis sebagai bahan alam untuk pengobatan. Identifikasi senyawa fitokimia kualitatif menunjukkan bagian-bagian tumbuhan N.gracilis seperti cairan kantong, daun, batang, kantong dan akar memiliki kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan pengobatan. Bioaktivitas juga ditunjukkan dari nilai toksisitas bagian-bagian tumbuhan. Semua bagian tumbuhan dari N.gracilis memiliki kapasitas sebagai antibakteri. Akar tumbuhan ini melalui pengujian daya inhibisi terhadap α glukosidase terbukti memiliki kapasitas antidiabetes yang potensial. Pembuktian empiris melalui pengujian skala laboratorium dan identifikasi pengetahuan etnobotani masyarakat terhadap N.gracilis yang berasal dari hutan kerangas menjadi suatu informasi baru dalam rangka meningkatkan nilai tambah dari pemanfaatan N.gracilis. Biomassa yang relatif tinggi, keragaman genetika relatif tinggi dan aman untuk dimanfaatkan, serta potensi pemanfaatan yang
144
prospektif menjadikannya sebagai salah satu pilihan spesies penting/kunci di hutan kerangas. Secara khusus dalam implementasi konservasi, peran perguruan tinggi melalui program Tri Dharma Perguruan Tinggi dituntut untuk memediasi, membangkitkan informasi dan mentransfer atau mensosialisasikan pengetahuan yang berguna untuk meningkatkan kemampuan dan membangun sikap penduduk dan pemerintah. Implementasi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat haruslah mendapatkan proporsi yang seimbang. Program penelitian yang dilakukan dapat menjadi mediasi bagi terjalinnya pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern. Program pengabdian masyarakat adalah kelanjutan dari proses pendidikan dan penelitian yang telah dilakukan, sehingga manfaat ilmu pengetahuan dapat direalisasikan dalam kehidupan keseharian. Dengan demikian perguruan tinggi memegang peranan penting dalam implementasi konservasi. Perguruan tinggi melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat berperan sebagai pembangkit informasi, fasilitator yang mensosialisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi, pihak yang mampu melakukan dokumentasi, dan sebagai pihak yang dituntut untuk bisa melakukan pendidikan, pelatihan dan pendampingan agar terbentuk sikap dan aksi konservasi masyarakat. 2) Pemenuhan prasyarat implementasi bioprospeksi lestari Pemenuhan prasyarat implementasi bioprospeksi lestari yang mencakup prasyarat adanya (1) kerelaan berkorban (2) property right yang jelas (3) dukungan peraturan perundangan (4) dukungan multipihak (5) penerapan dan penegakan hukum (1) Kerelaan berkorban Kerelaan berkorban merupakan prasyarat mendasar agar suatu sikap tertentu dapat berkembang menjadi aksi tertentu. Kerelaan berkorban secara umum yang paling bisa dipenuhi oleh individu adalah atas dasar manfaat yang akan diterima. Pada kasus tumbuhan N.gracilis, masih belum teridentifikasikan sikap masyarakat lokal dan pemerintah (pengelola) yang rela berkorban untuk kelestarian pemanfaatan N.gracilis di hutan kerangas. Pernyataan sederhana berikut merupakan contoh bentuk kerelaan berkorban dari individu atau masyarakat karena nilai manfaat besar yang akan diperoleh: ―orang rela menanam dan memelihara pohon durian‖, ―orang rela menanam dan memelihara karet‖.
145
Berdasarkan pembuktian empiris modern dan pengetahuan tradisional masyarakat sangat strategis untuk membangun image stimulus N.gracilis sebagai tumbuhan dengan multi-fungsi, baik dipandang dari aspek ekologi, sosial budaya, kesehatan masyarakat dan potensi pengembangan ekonomi masyarakat.
Pembangunan
image
bahwa N.gracilis
merupakan jenis
tumbuhan dengan berbagai fungsi nilai manfaat yang dimilikinya (antijamur, antibakteri, antidiabetes, penyerap logam berat, sumber bakteri untuk industri dll.) perlu dilakukan melalui berbagai bentuk sosialisasi yang efektif. Nilai-nilai manfaat sosial budaya, ekologi tentang N.gracilis perlu dibangkitkan dan disosialisasikan kembali agar meningkatkan kerelaan berkorban untuk kelestarian N.gracilis dan hutan kerangas. Kerelaan tertinggi adalah didasarkan pada nilai religius. Kerelaan yang didasarkan pada nilai religius merupakan wujud pertanggungjawaban setiap individu manusia kepada alam itu sendiri dan kepada Sang Pencipta (Lillahi ta‘ala). Perspekstif ilmu tauhid menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada pada diri dan sekeliling kita semata-mata adalah pemberian, rahmat dan atas ridha Allah, sehingga perbuatan atau aktivitas yang kita lakukan terhadap diri dan sekeliling kita semata-mata didasarkan atas kerelaan dan mengharapkan keridhaan Allah Subhana wa ta‘ala. Bertindak pro konservasi adalah suatu tindakan yang bermanfaat bagi umat manusia dan lingkungan. Tindakan tersebut bukan lagi mengharapkan pahala, tetapi menjadi suatu kepatutan dan keharusan manusia sebagai khalifah, manifestasi syukur nikmat dan semata-mata mengharapkan keridhaan Allah.
Kerelaan yang dibangun
dengan aspek religius seperti inilah merupakan wujud kerelaan tertinggi dalam pelaksanaan konservasi. Allah memerintahkan agar manusia menggunakan semua panca indera dan nuraninya, serta pengetahuan-pengetahuan dari manusia pendahulunya yang Allah telah berikan untuk mengenal dan membaca fenomena kehidupan alam, yang harus meresap ke setiap diri sanubari menjadi stimulus yang kuat dan kenyal untuk bersikap dan berperilaku konservasi.
Fenomena alam atau
sinyal alamiah adalah firman Sang Pencipta yang tak tertulis, pasti mutlak benar, pastilah sangat paling ilmiah, secara global mengingatkan setiap individu manusia agar mau mengoreksi kesalahannya terhadap mengelola dan
memanfaatkan
lingkungan
alam
hidupnya.
Kalau
manusia
mengingkarinya, maka individu manusia tersebut dapat sangsi kesusahan di
146
masa hidupnya di dunia berupa rusaknya alam dan sangsi siksaan azab kubur dan neraka di alam akhirat sebagai wujud pertanggungjawaban secara individual.
Inilah sistem hukum yang diciptakan Allah yang harus diyakini
(belief), pasti terlaksana dengan sangat adil. Nilai-nilai dan norma-norma inilah yang selayaknya kita jadikan dan tumbuh-kembangkan sebagai stimulus utama
dalam
melakukan
keberlanjutan
konservasi
alam,
khususnya
konservasi taman nasional di Indonesia dan di dunia. Akhirnya konservasi itu baru dapat diwujudkan di dunia nyata, apabila pada setiap diri individu manusia memiliki keikhlasan dan kerelaan berkorban untuk konservasi (Amzu 2007). Bagi masyarakat Kalimantan Selatan yang dominan beragama Islam, pendekatan keagamaan melalui pembimbingan dan penyampaian nasihat lewat pengajian agama merupakan modal sosial yang penting dalam membangun sikap pro-konservasi. Pengajian agama dan peranan ulama yang memimpin pengajian (Tuan Guru) menjadi institusi transformatif yang efektif dalam permasalahan sosiokultural. Fungsi pengajian sebagai institusi tranformatif dapat dilihat melalui proses reproduksi nilai-nilai, baik yang bersumber dari ajaran Islam maupun budaya setempat dan peranan tuan guru sebagai pialang budaya. Nilai-nilai general yang dibentuk melalui pengajian tidak hanya membawa perubahan dalam pemahaman keislaman, tetapi juga dalam kehidupan sosial yang lebih luas melalui bidang pendidikan dan ekonomi. Materi pengajian yang mendukung pembentukan etika dan tingkah laku yang sangat diperlukan dalam pembangunan telah menjadikan institusi itu berperanan penting dalam proses transformasi. Nilai-nilai yang berhubungan semangat untuk mengumpulkan kekayaan, kewirausahaan, kebebasan berusaha, kemajuan, dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan selaras dengan karakteristik sosiokultural yang melekat dalam kehidupan masyarakat Banjar (Alfisyah 2009). Kombinasi dan sinergisitas peran ulama, cendikiawan, pemimpin formal dan nonformal dalam menyampaikan atau mensosialisasikan moral dan sosiokultural berpeluang besar dan efektif dalam membangun sikap pro konservasi. (2) Property right yang jelas Property right merupakan suatu hak yang pengertiannya mencakupi hak mengakses
(memasuki
kawasan
fisik
dan
menikmati
keuntungan
nonsubstraktif), memiliki unit sumberdaya atau hasil dari sistem sumberdaya,
147
mengelola sumberdaya, menentukan siapa yang berhak mengakses dan, hak untuk memindahkan kepemilikan atau hak mengelola atas sumber daya (Schlager and Ostrom 1992). Kebiasaan umum yang berlangsung pada masyarakat hutan, property right tidak dipandang terbatas pada hak secara ekslusif
mengambil
keputusan
(mengontrol)
sumberdaya,
tetapi
juga
menerima manfaat dan mengelola sumber daya tersebut. Di Indonesia, terdapat berbagai hak atas tanah di antaranya hak milik (merupakan hak terkuat dan pemiliknya mempunyai kontrol penuh atas tanah), hak guna usaha, hak pakai, hak sewa dan hak memungut hasil hutan (Siagian dan Neldysavrino 2007). Kasus di hutan kerangas Desa Guntung Ujung, pengaturan property right hanya terbatas pada hak kepemilikan atas lahan kerangas (lahan desa/lahan milik pribadi dan lahan milik pemerintah dalam kawasan hutan lindung). Belum ada pengaturah mengenai property right dalam pengertian lainnya. Beberapa pihak mengartikan bahwa property right adalah hak kepemilikan, baik hak milik negara atau pribadi. Pandangan property right sebagai suatu hak kepemilikan lahan/tanah dapat dipakai untuk kasus kepemilikan lahan di hutan kerangas. Sebagian areal hutan kerangas merupakan hutan lindung (milik negara) dan sebagian merupakan areal di luar kawasan hutan (milik pribadi atau kelompok). Property right merupakan prasayat mutlak bagi keberlanjutan suatu kegiatan. Property
right
berbanding
lurus
terhadap
keberhasilan
pengelolaan.
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan menunjukkan bahwa prasyarat tentang property right yang jelas (baik pengertian property right sebagai hak kepemilikan maupun pengertian yang lebih luas)
dalam kawasan hutan
kerangas Desa Guntung Ujung sebagai habitat N.gracilis adalah tidak dapat terpenuhi. Terkait hak kepemilikan atas tanah, salah satu kegiatan yang mendukung bagi penerapan property right adalah penatabatasan dan pengukuhan kawasan hutan. Kejelasan batas wilayah menjadi prasyarat keberlangsungan dan keberlanjutan suatu aksi. Permasalahan tata batas merupakan bagian dari masalah pengelolaan hutan kerangas secara keseluruhan. Fakta yang terjadi di lapangan, tata batas kawasan hutan dan lahan kerangas tidak
jelas.
Penatabatasan
ini
belum
tersosialisasikan
sampai
level
pemerintahan desa dan masyarakat lokal setempat. Kegiatan penatabatasan
148
hutan pernah dilakukan dengan pemberian patok tata batas secara sepihak melalui bantuan South and Central Kalimantan Production Forest Project (SCKPFP) bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kab. Banjar dan Balai Pemetaan Kawasan Hutan Banjarbaru. Perkembangan selanjutnya dari patok batas tersebut sekarang telah hilang dan tidak pernah dilakukan pemeliharaan tata batas ulang. Sosialisasi pernah dilakukan oleh pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar ke pemerintah Kecamatan Gambut dengan mendistribusikan peta kawasan hutan lindung, akan tetapi sosialisasi tersebut tidak sampai pada tingkat aparat desa. Output peta yang dihasilkan tidak mudah dipahami dan diinterpretasikan pada level desa, kelurahan bahkan kecamatan. Permasalahan tata batas ini yang menjadi pemicu klaim atas tanah di kawasan hutan kerangas. Banyak ditemukan klaim tanah oleh masyarakat terutama kepemilikan tanah kavling yang banyak dimiliki oleh penduduk dari luar desa Guntung Ujung atau desa terdekat lainnya.
Preseden buruk
masalah klaim tanah adalah yang datangnya dari instansi pemerintah di luar pengelola (Dinas Kehutanan) seperti kasus pembuatan rencana tempat pemakaman keluarga besar Korpri dan Wredhatama Provinsi Kalimantan Selatan di hutan lindung Kabupaten Banjar. Penatabatasan kembali perlu dilakukan berdasarkan kondisi sekarang, yaitu kemungkinan adanya enclave pada desa tertentu atas dasar permintaan Dinas Kehutanan dan selanjutnya wewenang penatabatasan kawasan akan diserahkan kepada BPKH (Sumber: Dinas Kehutanan Banjar 2011). Implementasi penatabatasan partisipatif yang melibatkan masyarakat dapat diterapkan dan sekaligus menjadi media sosialisasi tentang tatabatas yang dibuat. Pemenuhan property right yang lainnya atas sumberdaya memerlukan peraturan hukum atau perundangan sebagai legal aspek pelaksanaan atau aktifitas yang sedang dan akan berlangsung dalam kawasan hutan kerangas. (3) Dukungan peraturan perundangan Dukungan peraturan perundangan prasyarat yang menjadi legal aspek penerapan suatu kegiatan. Peraturan perundangan merupakan alat untuk membuat keteraturan dalam implementasi bioprospeksi maupun pengelolaan hutan
lindung.
Pemerintah
perlu
membuat
kebijakan
pengelolaan
bioprospeksi dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan berwawasan masa depan (Riyadi 2008).
149
Belum ada dukungan Peraturan Daerah (Perda) dan Petunjuk Teknis tentang pengelolaan hutan lindung dan pemanfaatan keanekaragaman hayati (termasuk bioprospeksi) merupakan faktor penghambat upaya pengelolaan hutan kerangas dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Kelemahan
implementasi di tingkat daerah yang paling sering dijumpai adalah ketergantungan
aparat
akan
Petunjuk
Teknik
yang
implementasinya
terkadang kaku dan tidak berorientasi pada local specific site. Kasus serupa dengan kasus pembentukan KPHP kabupaten Banjar yang satu permasalahan internalnya adalah belum adanya dukungan Perda. Padahal di tingkat nasional beberapa kebijakan sudah diterbitkan seperti Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan. Ketiadaan Perda yang mengatur pengelolaan hutan lindung merupakan bentuk kurangnya apresiasi pemerintah daerah terhadap fungsi ekologis dari hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan mencegah intrusi air laut. Peraturan perundangan dibuat harus dapat membuat landasan hukum legal bagi masyarakat yang memanfaatkan secara lestari N.gracilis.
Kebijakan
pengelolaan hutan terhadap sumberdaya hutan harus menjadikan masyarakat lokal sebagai subyek yang ikut mengelola hutan kerangas. Nilai-nilai yang menerangkan karakter bio-ekologi dan manfaat N.gracilis baik bersumber dari pengetahuan modern dan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat tentang N.gracilis harus menjadi dasar penyusunan peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan lestari N.gracilis atau sumberdaya lainnya. Penjabaran dan implikasi lebih lanjut dari peraturan perundangan yang sifatnya masih umum harus segera disusun. Mungkin diperlukan propovokasi besar yang didukung data empiris agar membentuk image yang kuat akan multi manfaat N.gracilis yang tidak saja berdampak pada sosial ekonomi masyarakat tetapi juga menyangkut pandangan politis masyarakat, sehingga memunculkan kesungguhan yang besar bagi para pembuat kebijakan dalam menyusun peraturan yang lebih spesifik semisal peraturan daerah tentang pemanfaatan hutan lindung dan pemanfaatan biodiversitas dalam kawasan hutan tertentu.
150
(4) Dukungan multipihak Dukungan multipihak baik dari pemerintah (eksekutif), legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga donor atau lembaga lainnya belum
terbentuk
bioprospeksi
dengan
N.gracilis
di
baik
dalam
hutan
mengupayakan
kerangas.
implementasi
Keterbatasan
informasi,
ketidaktahuan dan belum terealisasinya nilai manfaat ekonomi secara langsung menjadi pemicu minimnya dukungan akan sikap dan aksi pro konservasi di hutan kerangas. Membangun
komitmen
pemerintah
terutama
pemerintah
lokal
akan
pentingnya N.gracilis dari hutan kerangas dapat dilakukan dengan cara menginformasikan manfaat keanekaragaman sumberdaya hutan kerangas. Selain dukungan secara parsial dari pemerintah yang berwenang mengelola hutan kerangas (Dinas Kehutanan), koordinasi dan sinergisitas dengan berbagai pihak seperti BPKH, Badan Pertanahan Nasional, Dinas Pekerjaan Umum,
Dinas Perindustrian, Dinas Perikanan,
Dinas Pertanian dan
Peternakan, Dinas Pariwisata dan lainnya diperlukan untuk memfasilitasi terbentuknya berbagai unit usaha yang bisa mengoptimalkan pemanfaatan hutan kerangas tanpa merusak fungsi utama dari hutan lindung tipe kerangas. Pengembangan kawasan hutan secara lebih luas dapat dlilakukan dengan sistem multiuse management atau multi usaha yang berbasis kelestarian lingkungan. Koordinasi dan sinkronisasi kegiatan dengan sektor lain, seperti perikanan darat, peternakan dan ekowisata merupakan langkah yang harus diambil dalam pengembangan multiuse management. Pemerintah dituntut untuk bisa memfasilitasi masyarakat dalam membuat rangkaian konektivitas terhadap dunia usaha sehingga penerapan bioprospeksi dapat terus berlanjut dan berkeadilan. Perkembangan terbaru memberikan sinyal positif untuk kegiatan konservasi hutan kerangas, khususnya hutan lindung desa Guntung Ujung. Pertemuan antara pemerintah kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut sepakat membangun kawasan sekitar hutan lindung dengan motto ―Banjar Bakula‖ dan tetap mempertahankan status fungsi hutan kerangas dengan fungsi lindung Mendapatkan dukungan politis dari pelaksana dan penentu kebijakan (eksekutif dan legislatif) atau penguasa menjadi prasyarat penting dalam upaya mencapai tujuan implementasi bioprospeksi lestari. Dukungan politis
151
yang
terjalin
dapat
mempercepat
aliran
pendanaan,
memfasilitasi
terbentuknya hubungan dengan lembaga pendonor di luar pemerintah, menambah kekuatan, kekuasaan dan keleluasaan dalam pelaksanaan program konservasi. Menggiring konservasi yang didukung oleh penguasa merupakan langkah penting yang harus dilakukan. Sebagai salah satu langkah teknis untuk mendapatkan dukungan politis adalah dengan jalan membangun image bahwa dengan keberhasilan melestarikan N.gracilis akan meningkatkan pencitraan politis yang positif dari masyarakat terhadap penguasa adalah sangat diperlukan. Dukungan perguruan tinggi, Dewan Riset Daerah dan lembaga-lembaga penelitian sangat penting dalam menyambungkan pengetahuan masyarakat berbasis kepada karakteristik sumberdaya keanekaragaman alam hayati lokal dengan pengetahuan modern.
Kombinasi pengetahuan ini akan menjadi
pondasi bagi pembentukan komponen cognitive, affective dan overt actions dalam setiap individu masyarakat yang memelihara kestabilan tri-stimulus amar dan sikap konservasi. (5) Penerapan dan penegakan hukum .Prasyarat penting agar suatu kegiatan berjalan pada koridor yang telah ditentukan dan disepakati adalah penerapan dan penegakan hukum. Penerapan hukum juga merupakan alat untuk menciptakan keteraturan dalam implementasi
pemanfaatan
berkelanjutan
sumberdaya
hutan
berbasis
informasi bioprospeksi. Pengalaman membuktikan bahwa tidak berjalannya mekanisme kontrol, penerapan dan penegakan hukum menjadi salah satu pemicu
utama
pembangunan
ketidakteraturan dan
kehidupan,
dan termasuk
kekacauan kegiatan
diberbagai
apek
pengelolaan
atau
konservasi hutan. Sebagai langkah awal penyelesaian masalah hukum kepemilikan tanah di hutan kerangas posisinya sangat penting untuk diselesaikan. Penegakan hukum menjadi bagian dari stimulus manfaat dalam penerapan konservasi
berbasis
pemanfaatan
berkelanjutan
dari
sumberdaya.
Terdapatnya sanksi-sanksi bagi pelanggar aturan dalam penegakan hukum akan mengeliminir free riders dan menjadi stimulus manfaat yang membangun kesadaran individu masyarakat untuk bersikap konservasi terhadap hutan kerangas.
152
Penyelesaian masalah hukum kepemilikan tanah di hutan kerangas posisinya sangat penting untuk diselesaikan. Penerapan dan penegakan hukum bagi para pencaplok lahan negara (hutan lindung) belum intensif dilakukan. 3) Katalisasi aksi kolektif bagi penerapan pemanfaatan biodiversitas lestari Aksi kolektif suatu aksi yang dilakukan sekelompok individu baik secara langsung maupun melalui suatu organisasi, untuk mencapai kepentingan bersama (Marshall 1998). Kelompok dapat terbentuk sendiri secara sukarela maupun dibangun oleh institusi-institusi eksternal baik fomal maupun nonformal. Aksi kolektif mengandung pengertian suatu kerjasama antara beberapa orang atau kelompok. Kerjasama adalah salah satu bentuk interaksi sosial yang mana pengertiannya merupakan suatu usaha bersama antar orang-perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerjasama adalah keterlibatan secara pribadi di antara kedua belah pihak demi tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi atau demi tercapainya tujuan. Aksi kolektif akan timbul, bila dalam mencapai suatu tujuan perlu kontribusi lebih dari satu individu (Ostrom 2004). Katalisasi aksi kolektif menurut Colfer (2007) mengandung pengertian: mendorong munculnya kembali aksi kolektif.
Katalisasi aksi kolektif bagi
implementasi bioprospeksi lestari dapat menjadi kunci keberhasilan penerapan konservasi jenis N.gracilis dan kawasan hutan kerangas. Katalisasi aksi kolektif untuk penerapan pemanfaatan berkelanjutan biodiversitas (termasuk N.gracilis) relatif efektif apabila memberdayakan kelompok atau institusi lokal yang sudah terdapat dalam masyarakat. Kelompok atau institusi yang terdapat di dalam masyarakat telah memiliki modal sosial yang sudah terbangun. Rasa saling percaya, pola komunikasi, bahasa, hubungan kerjasama telah terbentuk dalam kelompok lokal baik formal maupun informal. Pemberdayaan kelompok atau institusi lokal juga suatu bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai dari sebagian cara hidup mereka yg telah berjalan selama ini. Pengakuan seperti ini sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri mereka dan juga penting untuk menghasilkan aksi kolektif yang efektif. Kelembagaan tradisional pemanfaatan biodiversitas sudah terbentuk dalam masyarakat lokal sekitar hutan kerangas. terutama dalam pemanenan dan pengumpulan hasil dari daun rambuhatap (Baeckea frutescens) dan buah galam (Melaleuca cajuputi). Contoh dalam pengumpulan daun rambuhatap, setelah daun dirontokkan dari batang tumbuhan, menjadi keharusan bagi pemungut daun
153
untuk mengembalikan batang/ranting tumbuhan tersebut ke dalam kawasan hutan kerangas.
Tidak pernah terjadi kasus perebutan wilayah dalam
pemungutan rambuhatap. Menjadikan kelembagaan tradisional sebagai pilar dalam aksi kolektif untuk penerapan bioprospeksi merupakan proses penguatan kembali kelembagaan yang lebih spesifik dalam pengelolaan sumberdaya hutan terutama yang menggunakan sumberdaya tumbuhan obat. Bentuk kelompok spesifik untuk kasus di hutan kerangas di antaranya dapat berupa kelompok masyarakat tumbuhan obat rambuhatap (Baeckea frutescens), Kelompok masyarakat tumbuhan obat galam (Melaleuca cajuputi), Kelompok masyarakat tumbuhan obat Kantong semar (N.gracilis) atau tumbuhan obat lainnya. Mengaitkan, menyambungkan dan menyatukan pengetahuan luar dan pengetahuan lokal penting dilakukan, misalnya pengetahuan dari akademisi, pedagang, pengusaha, pemerintah atau lainnya. Proses tersebut bisa berjalan baik jika terdapat pengakuan terbuka terhadap nilai pengetahuan lokal. Ketika pengetahuan masyarakat setempat dipandang memberi sumbangan yang bernilai dan bermanfaat, maka kepercayaan diri mereka akan semakin kuat dan akan mendorong aksi kolektif yang lebih efektif. Amzu
(2009)
mengungkapkan
bahwa:
―Orientasi
pengembangan
sumberdaya hutan sepatutnya mengacu kepada pengetahuan dan teknologi indigenous masyarakat lokal dalam skala unit-unit pengelolaan. Pengembangan pemanfaatan sumberdaya hutan harus berakar dari pengetahuan etnobotani masyarakat kecil (etnis) sebagai masyarakat inti yang mandiri‖. Masyarakat lokal hutan yang dimaksud merupakan manifestasi dari kumpulan kelompok-kelompok yang mengelola sumberdaya secara spesifik, misalnya masyarakat gaharu, masyarakat gemor, masyarakat rotan, masyarakat madu dan lain-lain. Free rider merupakan permasalahan dalam pelaksanaan aksi kolektif. Free rider memiliki sifat hanya menikmati ketersediaan barang atau jasa tetapi tidak memikirkan atau berbuat sesuatu supaya keberlanjutan dan ketersediaan barang dan jasa tersebut tetap berjalan. Individu akan dapat secara aktif dan efektif melakukan aksi kolektif, jika jumlah free rider dapat ditekan. Kembali ke konsep pertama bahwa jumlah free rider dapat diminimalkan jika tri-stimulus amar untuk sikap dan aksi konservasi sudah terbentuk kokoh pada setiap komponen yang berperan dan menentukan konservasi hutan kerangas.
154
Sintesis penyelesaian masalah yang diungkapkan tentang penerapan bioprospeksi lestari N.gracilis di hutan kerangas hendaknya dilakukan secara simultan, berkelanjutan dan termonitor. Hal ini mengingat karena umumnya semua aspek yang dikemukakan bukan merupakan proses yang parsial tetapi saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Pintu masuk konservasi ke dalam pengelolaan hutan kerangas pada prinsipnya tidak terpaku pada satu skema penerapan konservasi. Penerapan beberapa skema penerapan konservasi lainnya dapat dilakukan dengan tetap menitikberatkan pada kespesifikan atau kefokusan dalam pelaksanaan. Menciptakan sinergisitas pengelolaan memerlukan berbagai pengetahuan penunjang agar implementasi konservasi dapat berjalan beriringan.
Kombinasi
konsep bioprospeksi berbasis tumbuhan obat dengan pemanfaatan lain dalam konservasi hutan kerangas akan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang benar-benar relevan dengan fungsi hutan yang diharapkan, seperti wisata alam atau ekowisata, penyangga ekosistem dan jasa lingkungan lainnya. Bahkan pada kasus dan tapak tertentu dapat berupa pemanfaatan kayu terbatas dengan syarat sistem dan mekanisme pengelolaannya telah tertata dan berjalan dengan baik. Jika belum, maka pilihan bioprospeksi dan jasa hutan atau lingkungan merupakan pilihan terbaik dalam pengelolaan hutan kerangas. Konsep tata ruang mikro atau zonasi/cluster yang dinamis menjadi salah satu solusi agar pengelolaan kawasan konservasi berbasis bioprospeksi relatif mengacu pada ―site specific‖. Sehingga proses pengelolaannya dapat dijalankan dan dipantau lebih mudah dan akurat. Hutan kerangas yang terdapat di Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya merupakan hutan kerangas yang relatif berhasil dikelola dan mendapatkan dukungan politis dan pendanaan. Hutan kerangas Nyaru Menteng merupakan salah satu contoh pengelolaan hutan dengan cakupan luasan yang relatif kecil. Implementasi ‖ multi use management‖ dilakukan dalam pengelolaan Arboretum Nyaru Menteng. Luasan yang relatif kecil dan kejelasan property right memudahkan mekanisme pengontrilan dan tindakan manajemen lainnya. Selain berfungsi sebagai Arboretum, kawasan hutan ini juga menjadi wadah bagi penelitian dan pengembangan, wisata alam dan rekreasi. Kawasan hutan ini menjadi aset publik bagi masyarakat Palangkaraya dan sekitarnya Kawasan hutan ini telah menjadi Pusat Introduksi orang utan. Nilai sosial budaya masyarakat sekitar yang familiar dengan orang utan merefleksikan
155
kebanggaan dan kesenangan penduduk akan keberadaan orang utan. Pengelolaan hutan kerangas di Arboretum Nyaru Menteng terlah berhasilnya mengangkat spesies penting yaitu orang utan (Pongo pigmeus) menjadi ―bendera konservasi‖ yang mampu berdampak pada kemampuan melindungi dan melestarikan hutan kerangas. Terbangunnya stimulus manfaat dari pemahaman tepat, baik dan benar tentang sinyal manfaat N.gracilis dan hutan kerangas harus diikuti dengan pemahaman lengkap tengan sinyal alamiah dan religius/rela. Apabila hanya sinyal manfaat yang difahami dan membentuk stimulus manfaat, maka yang akan terjadi adalah discontinuity, inconsistency, disparity dan distorsion dari sumberdaya alam hayati. Kelompok masyarakat inilah yang disebut dengan kelompok ―free rider” atau kelompok ―pecundang‖ sebagai pelaku terdepan yang menimbulkan masalah konservasi di lapangan (Amzu, 2007). C. Simpulan dan Implikasi 1) Simpulan Penelitian ini memberikan gambaran status konservasi hutan kerangas terkini semakin terancam dan kritis.
Penurunan keanekaragaman hayati dan
rusaknya habitat terjadi akibat terdegradasinya hutan kerangas. Konservasi hutan kerangas di lapangan tidak terlaksana karena belum adanya keperdulian yang kuat untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati dan kawasan hutan kerangas. Variasi struktur tegakan, komposisi jenis tumbuhan dan fauna serta sifat tanah terjadi terhadap hutan kerangas sebagai akibat dari tingkat gangguan yang terjadi. N.gracilis merupakan salah satu contoh jenis tumbuhan yang memiliki pola adaptasi terhadap degradasi hutan kerangas. Bila dibandingkankan dengan jenis Nepenthes lainnya, N.gracilis mampu tumbuh dominan di hutan kerangas yang terbuka. Populasi dan produktivitas kantong yang dihasilkan oleh N.gracilis di hutan kerangas relatif tinggi pada hutan kerangas terbuka. Peran hutan kerangas dan N.gracilis terhadap lingkungan dalam penelitian ini teridentifikasi melalui manfaatnya terhadap lingkungan fisik-kimia, bio-ekologi dan sosio-ekonomi-budaya.
Peran hutan kerangas terhadap lingkungan
merupakan suatu bentuk jasa ekosistem yang diberikan oleh keberadaan hutan kerangas.
Peran N.gracilis dalam penelitian ini merupakan deskripsi dari
functional biodiversity. Hutan kerangas merupakan komunitas tumbuhan yang
156
berpotensi sebagai sumber tumbuhan obat. N.gracilis merupakan contoh tumbuhan hutan kerangas yang digunakan masyarakat dalam pengobatan tradisional. Pemanfaatan tumbuhan obat tersebut masih bersifat minor dan penguasaan pengetahuannya terbatas pada orang tertentu dengan kaderisasi keilmuwan antar generasi kurang berjalan baik. Identifikasi keragaman genetika N.gracilis menunjukkan keragaman tinggi. Temuan ini mengindikasikan bahwa status N,gracilis secara genetika relatif aman dan berpeluang untuk dimanfaatkan. N.gracilis berdasarkan pendekatan pengetahuan modern terbukti memiliki bioaktivitas yang potensial baik sebagai antibakteri, antidiabetes dan antijamur. Status hutan kerangas yang dominan terdegradasi dan menurunnya fungsi manfaat hutan kerangas menjadikan tipe hutan ini menjadi prioritas konservasi. Pendekatan konservasi yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah berusaha mengumpulkan, meramu data dan informasi terkait penerapan pemanfaatan biodiversitas berbasis bioprospeksi di hutan kerangas (dalam kasus ini melalui jenis N.gracilis). Pendekatan pengumpulan dan analisis data tidak terpaku pada modal fisik, biologi dan kimia, tetapi juga mencakup aspek sosial individu atau masyarakat yang menjadi pelaku konservasi. Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik nilai ekologi (potensi, tumbuhan, keragaman genetika dan karakteristik habitat), nilai sosial budaya, nilai religius dalam masyarakat, nilai manfaat yang didasari oleh pengetahuan etnobotani masyarakat dan pembuktian empiris modern (kapasitas antibakteri, antidiabetes,
antijamur,
sumber
penghasil
bakteri,
tumbuhan
dengan
kemampuan menyerap logam berat), N.gracilis merupakan jenis tumbuhan yang potensial untuk dikembangkan dan bernilai ekonomi bagi masyarakat dalam kerangka konservasi berbasis pemanfaatan lestari biodiversitas. Sinyal dari nilai manfaat dan alamiah yang ditangkap dan menjadi stimulus bagi sikap masyarakat tentang N.gracilis masih relatif rendah (30-33,33%). Nilai N.gracilis
semakin
lama
meredup
akibat
diskonektivitas
pengetahuan
masyarakat, belum terbentuknya nilai ekonomi langsung, intervensi pengetahuan luar dan adanya barang subtitusi modern.
Hal ini berdampak pada semakin
terbatasnya stimulus manfaat dan alamiah yang dimiliki dan dipahami generasi penerus tentang N.gracilis. Konsekuensinya adalah N.gracillis masih belum dianggap penting bagi penduduk dan pengelola hutan kerangas. Sinyal N.gracilis untuk pemanfaatan biodiversitas berbasis bioprospeksi hutan kerangas belum
157
belum dapat menjelma menjadi stimulus alamiah, manfaat dan religius (AMAR) yang kuat untuk aksi konservasi. 2) Implikasi Penelitian ini merupakan suatu rangkaian riset untuk membangun data base dan mensintesisnya untuk kepentingan penerapan konservasi hutan kerangas dengan skema bioprospeksi lestari N.gracilis.
Skema ini masih
memerlukan dukungan data dan informasi lain dalam rangka mewujudkannya menjadi aksi konservasi yang nyata. Dukungan data dan informasi lain dalam bidang fisik-kimia-biologi masih diperlukan seperti: Minimum Viable Population (MVP) untuk pengaturan pemungutan tumbuhan untuk menghindari ―over using‖ dari sumberdaya yang tersedia, peluang dan potensi penangkaran secara insitu untuk meningkatkan potensi tumbuhan di alam, penanganan produk pasca pemungutan dan teknik pengolahan yang memberikan hasil tinggi, hemat bahan baku dan relatif mudah dalam penerapan serta pengemasan. Beberapa hal tersebut diperlukan untuk merealisasikan nilai manfaat ekonomi secara langsung dari N.gracilis Data dan informasi sosial ekonomi untuk membangun data base pendekatan konservasi kerangas melalui bioprospeksi N.gracilis yang masih diperlukan di antaranya dapat berupa peluang pasar dan pemasaran; Karakterisasi sosial adalah kegiatan yang diperlukan dalam membangun hubungan dan sinergisitas antara masyarakat lokal dengan pengelola dan para pelaku pasar seperti: pedagang, pembeli, dan pengusaha. Pemanfaatan lestari dari biodiversitas hutan kerangas harus dapat diarahkan mengikuti perkembangan dinamika tegakan. Perbedaan tingkat gangguan terhadap hutan kerangas akan menyebabkan perbedaan komposisi jenis dan struktur tegakan yang terbentuk. Hal ini diduga akan berdampak pada perbedaan kapasitas dari tiap jenis tumbuhan bila dihubungkan dengan bioaktivitas. Pengkajian
bioprospeksi
berbagai jenis tumbuhan lainnya dari
hutan kerangas diperlukan untuk memberikan alternatif-alternatif pilihan jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan secara lestari dan dapat mengikuti perkembangan atau dinamika dari tegakan hutan kerangas yang terbentuk. Beberapa implikasi dari hasil penelitian yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: (1) Implikasi kebijakan Status konservasi hutan kerangas yang terancam mengharuskan kita mengambil kebijakan untuk menetapkan hutan kerangas sebagai hutan yang
158
harus dikonservasi, dilindungi dan selanjutnya bisa dimanfaatkan dengan tepat, benar, baik dan lestari. Fungsi konservasi, perlindungan dan produksi harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan hutan kerangas. Khusus untuk pengelolaan hutan kerangas yang kasusnya merupakan hutan lindung berdasarkan peraturan pemerintah, penerapan sistem zonasi dinamis dapat menjadi pilihan. Sehubungan dengan hal tersebut,
beberapa peraturan tentang pembagian fungsi hutan dan
mekanisme pengelolaan hutan lindung terkait blok pengelolaan (zonasi) harus direvisi sebagai konsekuensi dari dinamisnya habitat dan tegakan hutan kerangas. Beberapa pasal yang harus direvisi terkait pemanfaatan dalam zonasi yang harus direvisi ditampilkan dalam Tabel 10.2. Tabel 10.2 Beberapa pasal dari peraturan tentang zonasi yang seharusnya direvisi Peraturan Pemerintah PP No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, dan PP No.3 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 i) Pasal 23 ayat 2 ii) Pasal 26 ayat 1
Teks dalam peraturan
Bentuk revisi teks
i) Dalam blok perlindungan i) Dalam blok perlindungan pada hutan lindung, dilarang pada hutan lindung, dapat melakukan kegiatan peman dilakukan kegiatan faatan hutan sebagaimana pemanfaatan hutan terbatas dimaksud pada ayat (1). dengan penerapan aturan yang ketat dan terkendali. ii) Pemungutan hasil hutan ii) Pasal ini dapat direvisi: bukan kayu pada hutan Pemungutan hasil hutan lindung sebagaimana bukan kayu pada hutan dimaksud dalam Pasal 23 lindung sebagaimana ayat (1) huruf c, antara lain dimaksud dalam Pasal 23 berupa : a. rotan; b. madu; c. ayat (1) huruf c, dapat getah; d. buah; e. jamur; berupa: a. rotan; b. madu; atau f. sarang burung walet. c. getah; d. buah; e. jamur; atau f. sarang burung walet g. hasil hutan bukan kayu lainnya yang bersifat lokal spesifik.
PP No.6 tahun 2007 dan PP No.3 tahun 2008 pasal 23 ayat 2, isi teksnya masih bersifat larangan yang tidak informatif dan membatasi secara berlebihan tanpa member pertimbangan terhadap fungsi dan dinamika dari tegakan hutan lindung. Contoh pemanfaatan yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan tegakan di blok perlindungan sebagai sumber benih. Pasal 26 ayat 1 isi teks peraturannya berpotensi
multi interpretasi yang cenderung
membatasi pemungutan hanya pada 6 komoditas yang Sementara
itu
kriteria
dan
indikator
teridentifikasikan dangan tepat dan jelas.
blok
perlindungan
disebutkan. juga belum
159
(2) Implikasi falsafah konservasi Implikasi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan hutan kerangas dan fenomena N.gracilis yang hidup di dalamnya merupakan ―Laboratorium Hidup‖ atau ―Laboratorium Alami‖ bagi manusia untuk bisa belajar
bagaimana
alam
mampu
bertahan
dan
berkembang
dalam
keterbatasan. Laboratorium alami ini yang seharusnya dioptimalkan fungsinya oleh Perguruan Tinggi. Strategi organisme di hutan kerangas terbentuk secara alamiah dan bervariasi dalam
menghadapi keterbatasan habitat hutan
kerangas. Mekanisme pemangsaan serangga dari N.gracilis merupakan contoh dari strategi organisme tersebut. Contoh lain dari strategi organisme adalah bagaimana tumbuhan melakukan simbiosis dengan mikoriza untuk memenuhi kebutuhan hara tumbuhan. Regenerasi dengan sistem vegetatif ―trubusan‖ atau ―resprouting‖ merupakan strategi tumbuhan tingkat tinggi seperti jenis merapat (Combretocarpus rontudatus) sehingga mampu bertahan dan tumbuh dominan di hutan kerangas yang terdegradasi. Sistem homeostatis terbentuk dalam hutan kerangas baik yang belum terdegradasi maupun yang mengalami degradasi. Fenomena hutan kerangas atau N.gracilis di hutan kerangas dapat dikembangkan menjadi pengetahuan yang akan membimbing kita dalam kehidupan keseharian. Kegagalan mengurus permasalahan sosial manusia dan kelembagaan salah satu penyebabnya adalah manusia sendiri tidak belajar dari alam. Kita tidak meniru apa yang dicontohkan alam yang sebenarnya adalah sunatullah dan menjadi dalil aqliah. ―Alam Takambang Menjadi Guru‖ adalah suatu nasihat yang menyuruh kita untuk harus berguru dan belajar dari alam. Keberadaan hutan kerangas dan sumber daya di dalamnya semakin langka, sementara itu pengetahuan belum sepenuhnya telah digali dari hutan kerangas. Sehingga hutan kerangas dan sumber daya di dalamnya yang tersisa harus menjadi asset nasional yang wajib dipertahankan sebagai pustaka alam dan stock biodiversitas, dipelajari serta dimanfaatkan untuk kesejahteraan. (3) Implikasi teknis pemanfaatan N.gracilis Beberapa implikasi teknis pemanfaatan N.gracilis dari hasil penelitian ini adalah: a. Informasi
bioprospeksi
N.gracilis
sebagai
bagian
dari
kekayaan
biodiversitas hutan kerangas diharapkan dapat dimanfaatkan secara
160
langsung atau menjadi inspiring (petron) untuk pembuatan produk dummy dalam pengembangan obat-obatan maupun bentuk produk lainnya b. Penerapan teknik budidaya baik secara konvensional maupun kultur jaringan dengan memperhatikan karakteristik habitat preferensi N.gracilis agar tetap menjamin potensi bioaktivitas yang dihasilkan c. Penyiapan
kader-kader
konservasi
yang
memiliki
potensi
atau
kemampuan entrepreneurship, agar program pemanfaatan biodiversitas dapat berlangsung lancar d. Membangun brand image produk dari N.gracilis agar memiliki nilai ekonomi produk tinggi. e. Penerapan strategi rate business yang tepat dengan memperhatikan mekanisme suplly-demand agar terbentuk harga yang kompetitif dari produk N.gracilis. f.
Sosialisasi intensif terhadap para pihak harus dilakukan dan diprogramkan agar terbentuk stimulus AMAR untuk sikap dan aksi konservasi. Pentingnya penyuluhan atau sosialisasi adalah untuk membangun edukasi masyarakat. Sistem penyuluhan harus dibangun untuk memenuhi hak masyarakat
akan
pengetahuan
dan
informasi
sehingga
akan
mengembangkan kemampuan dan sikap masyarakat. g. Kegiatan fasilitasi, pendampingan, pendidikan dan pelatihan yang kontinyu, terdesain dengan baik akan menjadi suatu kegiatan utama yang diprioritaskan
untuk
mendorong
pembentukan
aksi
dan
perilaku
konservasi terhadap N.gracilis dan hutan kerangas. Peran Perguruan Tinggi melalui program Tri Dharma Perguruan Tinggi sangat penting sebagai
institusi
yang
dapat
membantu
pelaksanaan
pendidikan,
pelatihan, pendampingan dan fasilitasi terhadap masyarakat. h.
Dokumentasi: Segala bentuk kegiatan atau program sosialisasi, fasilitasi, pendampingan, pendidikan dan pelatihan kontinyu harus terdokumentasi agar terjaminnya konektivitas atau keberlanjutan informasi antar generasi.
.
161
DAFTAR PUSTAKA Adam JH, Wilcock CC. and Swaine MD. 1992. The ecology and distribution of Bornean Nepenthes. Journal of Tropical Forest Science 5(1): 13-25 13. Alfisyah. 2009. Pengajian dan transformasi sosiokultural dalam masyarakat muslim tradisional Banjar. KOMUNIKA 3 (1): 75-89 Aljadi and Yusoff, 2002. Isolation and identification of phenolic acids in Malaysian honey with antibacterial properties. Department of Biochemistry, Faculty of Medicine, University of Malaya. Kuala Lumpur Malaysia. Amzu E. 2007. Sikap masyarakat dan konservasi:suatu analisis kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat, Kasus di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Media Konservasi. XII: 22-32. Amzu E. 2009. Pengelolaan dan pengembangan hasil hutan bukan kayu. Makalah untuk masukan Rencana Penelitian Integratif BALITBANGHUT. Jakarta, 30 Oktober 2009. An CI, Fukusaki EI, Kobayashi A. 2002. Degradation of a peptide in pitcher fluid of the carnivorous plant Nepenthes alata Blanco. Planta. 215:472–477. Andrej P, Ludmila S, Jiri S. 2011. Nutritional benefit from leaf litter utilization in the pitcher plant Nepenthes ampullaria. Plant, Cell & Environment. ISSN:0140779. DOI: 10.1111/j.1365-3040.2011.02382.x. Ansell FA, Edward DP, Hamer KC. 2011. Rehabilitation of Logger Rain Forest: Avifaunal Composition, Habitat Structure, and Implication for BiodiversityFriendly REDD+. BIOTROPICA. The Journal of Tropical Biology an Conservation 43 (4): 504-511. doi: 10.1111/j.1744-7429.2010.00725.x Anuniwat A, Chaveerach A, Tanee T, Sudmoon R. 2009. Development of SCAR markers for species identification of the genus Nepenthes (Nepenthaceae). Pak J Biol Sci. 12(22):1455-61. Apristiani D, Astuti P. 2005. Isolasi komponen aktif antibakteri ekstrak kloroform daun mimba (Azadirachta indica A. Juss.) dengan Bioautografi. Biofarmasi 3 (2): 43-46. Athauda SBP. Matsumoto K, Rajapakshe S, Kuribayashi M, Kojima N, Yoshida NK, Iwamatsu A, Shibata C. Inoue H. Takahashi K. 2004. Enzymic and structural characterization of nepenthesin, a unique member of a novel subfamily of aspartic proteinases. Biochemical Journal. 381:295–306. doi: 10.1042/BJ20031575 Aung HH, Chia LS, Goh NK, Chia TF, Ahmed AA, Pare PW, Mabry TJ. 2002. Phenolic constituents from the leaves of the carnivorous plant Nepenthes gracilis. Fitoterapia 73:445-447.
162
Azlan J.ZM. and Lading M. 2006. Camera trapping and conservation in Lambir Hills National Park Sarawak. The Raffles Bulletin of Zoology. 54(2): 469475 Balsamo RA, Bauer AR, Davis SD, Rice BM. 2003. Biomechanics, morphology, and anatomy of the deciduous mesohyte Prunus serrulata (Rosaceae) and the evergreen scelerophyllous shcrub Heteromeles arbutifolia (Rosaceae). American Journal of botany 90 (1) : 72-77. Berkes F, Colding J, Folke C. 2000. Rediscovery of traditional ecological knowledge as adaptive management. Ecological Application. 10(5):12511262 Bhau BS, Medhi K, Sarkar T, Saikia SP. 2009. PCR based molecular characterization of Nepenthes khasiana Hook. pitcher plant. Genet Resour Crop Evol (2009) 56:1183–1193. doi:10.1007/s10722-009-9444-0. Bruenig EF. 1974. Ecological studies in the kerangas forest of Sarawak and Brunei. Borneo Literature Bereu for Sarawak Forest Department. Bruenig EF. 1995. Conservation and management of tropical rain forest: an integrated approached to sustainability. CAB International. Burung-nusantara. 2012. Diversitas flora dan fauna di Pondok Ambung. www.burung-nusantara.org Carson D, David and Cromie S. 2008. Relation markeeting entrepreneur and bussines performance, Journal SMEs: Marketing Entrepreneur, Vol 4, No.1. Chaveerach A, Tanomtong A, Sudmoon R, Tanee T. 2006. Genetic diversity among geographically separated populationsof Nepenthes mirabilis. Biologia, Bratislava, 61(3): 295—298. DOI: 10.2478/s11756-006-0054-4 Cheek M and Jebb M. (2001). Flora Malesiana Series I- Seed Plants Volume 15-2001 Nepenthaceae. National Herbarium Nederland. Page 67-69. Chew Y.L, Chan CWL., Tan PL, Lim YY, Stanslas J, Goh JK. 2011. Assessment of phytochemical content, polyphenolic composition, antioxidant and antibacterial activities of Leguminosae medicinal plants in Peninsular Malaysia. BMC Complementary and Alternative Medicine, 11(12):1-10. DOI 10.1186/1472-6882-11-12. Chia TF, Aung H.H, Osipov AN, Goh NK, Chia LS. 2004. Carnivorous pitcher plant uses free radicals in the digestion of prey. Plant Pathol. J. Vol. 9, No. 5: 255-261 Cites.
2003. CITES Carnivorous Plant Checklist. The CITES Nomenclature Committee
Clarke C. 1997. Nepenthes of Borneo. Natural History Publications Kota Kinabalu, Sabah. 207p.
163
Clarke CM, Bauer U, Lee CC, Tuen AA, Rembold K, Moran JA. 2009. Tree shrew lavatories: a novel nitrogen sequestration strategy in a tropical pitcher plant. Biology letter. 5(5): 632-635 Claros MP, Poorter L, Alarcon A. 2012. Soil effects on forest structure and diversity in a moist tropical forest. BIOTROPICA. The Journal of Tropical Biology an Conservation 44 (3): 276-283. doi: 10.111/j.17447429.2011.00813.x Croteau R, Kutchan TM, an Lewis NG. 2000. Natural products (secondary metabolites) biochemistry & molecular biology of plants. Eds. © 2000, American Society of Plant Physiologists. Day, John, Reynalds, Pane, Lancaster, Geoff. 2006. Entrepreneurship and the Small to Medium Size Entrepries. Management Decision, 44(5): 581-587 Eilenberg H, Cohen SP, Schuster S, Movtchan A, Zilberstein A. 2006. Isolation and characterization of chitinase genes from pitchers of the carnivorous plant Nepenthes khasiana. Journal of Experimental Botany, 57(11): 2775– 2784. DOI 10.1093/jxb/erl048 Eilenberg H, Cohen SP, Rahamim Y, Sionov E, Segal E, Carmeli S, Zilberstein A. 2010. Induced production of antifungal naphthoquinones in the pitchers of the carnivorous plant Nepenthes khasiana. Journal of Experimental Botany. 61(3): 911–922. DOI 10.1093/jxb/erp359. Finkelday R. 2005. An introduction to tropical forest genetics. Edisi Bahasa Indonesia. AUNP-IFF-IPB Bogor. Hadisaputro H dan Said S. 1988. Species diversity of twou adjasent minor habitat in Mandor Nature Reserve. Department of Forestry, Faculty of Agriculture University of Tanjungpura Pontianak West Kalimantan. Hadiyati. 2009. Kajian pendekatan pemasaran kewirausahaan dan kinerja penjualan usaha kecil. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol.11. No.2: 183-192 Hatano N, Hamada T. 2008. Proteome analysis of pitcher fluid of the carnivorous plant Nepenthes alata. J Proteome Res. 7:809–816. Hartini S. 2007. Keragaman flora dari Monumen Alam Kersik Luway,Kalimantan Timur. BIODIVERSITAS. 8(1):67-72. Johan B and Hampus N. 2006. Entrepreneurial marketing: innovative value creation. Jonkoping International Business School. Jonkoping University. Jung M, Park M, Lee HC, Kang Y-H, Kang ES, Kim SK. 2006. Antidiabetic agents from medicinal plants. Current Medicinal Chemistry, 13:1203-1218 Karsinah, Sudarsono, Setyobudi L, Aswidinnoor H. 2002. Keragaman genetik plasma nutfah jeruk berdasarkan analisis penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 7 (1): 8-16
164
Kartawinata K. 1978. The “kerangas” heath forest in Indonesia. Bogoriense. Lembaga Biologi Nasional, LIPI, Bogor Indonesia
Herbarium
Kartawinata K. 1990. Keanekaragaman flora dalam hutan pamah. Makalah dalam seminar Consevation for Development of Tropical Rain Forest in Kalimantan. GFG Report No. 15 : 187-202. Indonesia German Forestry Project. Katagiri ST, Yamakura and Lee SH. 1991. Properties of soils in kerangas forest on sandstone at Bako National Park Serawak, East Malaysia. Souhteast Asian Studies, Vol. 29, No.1 p.35-48. Kelana T.B. 2007.Uji sitotoksik ekstrak metanol kulit kayu tumbuhan cep-cepen (Castanopsis costata Bl) dengan metode Brine Shrimp Lethality Assays. Jurnal Sains Kimia Vol. 11, No.1: 25-30 Kissinger. 2002. Komposisi, struktur tegakan dan pola spasial spesies tertentu pada beberapa hutan kerangas [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor ------------ 2006. Kemampuan dan pola tangkap kantong semar (Nepenthes sp.) terhadap jenis-jenis serangga di hutan kerangas. Jurnal Hutan tropis. Edisi Maret 2006. ------------ 2007. Valuasi ekonomi dan potensi pemanfaatan tumbuhan kantong semar (Nepenthes spp.) di hutan kerangas. Penelitian Dosen Muda. Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat. Konsorsium FAHUTAN IPB-LATIN. 1995. The Indonesian Tropical Forest Medicinal Program. Final Report 1992-1995. Indonesia. Krech, D., R.S.Crutchfield and E.L.Ballachey. 1962. Individual In Society. A Textbook of Social Psychology. University of California, Berkeley.McGrawHill Book Company, Inc.New York. Kumar YK, Haridasan S, Rao RR. 1980. Ethnobotanical notes on certain medicinal plants among some Garo people around Balphakram Sanctury in Meghalaya. Bull Bot Surv India 22:161–165. Lamprecht H. 1989. Silviculture in the tropics: Tropical forest ecosystems and their tree species-possibilities and methods for their long-term utilization. Technical Cooperation-Federal Republic of Germany Lubis D. 2010. Komunikasi menuju komunitas pembelajar dalam ekologi manusia: Ekologi manusia. Editor: Adiwibowo S. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor Ludwig JA and Reynold JF. 1989. Statistical ecology: A primer on methods on computing. John Willey and Son. MacKinnon K, Hatta G, Halim H. 1997. The ecology of Kalimantan. Oxford University Press.
165
Mackinnon J, Karen P, Bas van Balen. 1992. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Seri Panduan Lapangan Puslitbang LIPI. Bogor Indonesia Mansur M. 2006. Nepenthes kantong semar yang unik. Jakarta.
Penebar Swadaya,
Mansur, M. 2007. Keanekaragaman jenis nepenthes dataran rendah di Kalimantan Tengah. Jurnal Berita Biologi LIPI. Vol.8 nomer 5. Mardikanto T.2010. Komunikasi pembangunan. UNS Press. Surakarta Indonesia Marshall G. 1998. A dictionary of sociology. Oxpford University Press, New York. McNeely, J.A. 1992. Ekonomi keanekaragaman hayati: Mengembangkan dan memanfaatkan perangsang ekonomi untuk melestarikan sumberdaya hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Merbach MA, Merbach DJ, Maschwitz U, Booth WE, Fiala B, Zizka G. 2002. Mass march of termites into the deadly trap. NATURE. 415:36-37 Meinzen-Dick Knox RA. and Di Grigorio M. 2001. Collective action, property rights and devolution of natural resource management: Exchange of knowledge and implication for policy. DSE/ZEL, Fieldafing, Germany. Mihara R, Barry KM, Mohammed CL, Mitsunaga T. 2005. Comparison of antifungal and antioxidant activities of Acacia mangium and A. auriculiformis heartwood extracts. J Chem Ecol. 31(4):789-804. Mitchell BA. 1963. Forestry and tanah beris. Malay. Forester 26: 160-170. Mitscher, L.A., R.P. Leu, M.S. Bathala, W. Wu, J.L. Beal, 1972. Lloydia 35: 157. Miyamoto K, Rahajoe JS, Kohyama T. 2007. Forest structure and primary productivity in a Bornean heath forest. BIOTROPICA 39(1): 35-42. doi: 10.1111/j.1744-7429.2006.00231.x Moran J, Merbach M, Livingston N, Clarke C, Booth W. 2001. Termit prey specialization in pitcher plant Nepenthes alborginata-evidence from stable isotope analysis. Annals of Botany. 88 (2.):307-311 Moran JA, Clarke CM, and Hawkins BJ. 2003. From carnivore to detritivore? isotopic evidence for leaf litter utilization by the tropical pitcher plant Nepenthes ampullaria. Int. J. Plant Sci. 164(4):635–639 Moyersoen B, Becker P, Alexander IJ. 2001. Are ectomycorrhizas more abundant than arbuscular mycorrhizas in tropical heath forests? New Phytologist 150 p: 591–599. Myers G. and Clayton S. 2009. Conservation psychology: Understanding and promoting human care for nature. John Wiley and Sons.
166
Nahar L. Ripa FA. Zulfiker AHM. Rokonuzzaman M. Haque M. Islam KMH. 2010 . Comparative study of antidiabetic effect of Abroma augusta and Syzygium cumini on alloxan induced diabetic rat. Agriculture and Biology Journal Of North America. 1(6): 1268-1272. DOI 10.5251/abjna.2010.1.6.1268.1272. http://www.scihub.org/ABJNA Ndraha, T. 2005. Teori Budaya Organisasi. PT. Rineka Cipta. Jakarta Onrizal. 2004. Model penduga biomassa dan karbon tegakan hutan kerangas di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Onrizal, Kusmana C, Saharjo BH, Handayani IP, Kato T. 2005. Komposisi jenis dan struktur hutan kerangas bekas kebakaran di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. BIODIVERSITAS. 6 (4): 263-265. Onwuegbuzie AJ and Leech NL. 2007. Sampling designs in qualitative research: Making the sampling prosecess more public. The Qualitative Report. Volume 12 Number 2. 238-254 Ostrom, E. 2004. Understanding collective action. in: Meinzen-Dick, RS. And Di Gregorio M (eds.) Collective action and property rights for sustainable development. Brief 2 of 16. International food Policy Research Institute (IFPRI), Washington D.C. Osunkoya OO, Dayanati SD, Di-Gusto B, Wimmer FL, Holige TM. 2007. Construction costs and physico-chemical properties of the assimilatory organs of Nepenthes species in Northern Borneo. Annals of Botany 99: 895–906, doi:10.1093/aob/mcm023. Owen TP, Lenon KA, Santo MJ, Anderson AN. 1999. Pathways for nutrient transport in the pitchers of the carnivorous plant Nepenthes alata. Annals of Botany. 84:459–466. Payne J, Francis CM, Phillips K, Kartikasari SN. 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Sabah Society. 385 p Plachno BJ, Adamec L, Lichtscheidl IK, Peroutka M, Adlassnig W, Vrba J. 2006. Fluorescence labelling of phosphatase activity in digestive glands of carnivorous plants. Plant Biol. 8 (6):813–820 Poerba YS, Martanti D. 2008. Keragaman genetik berdasarkan Marka Random Amplified Polymorphic DNA pada Amorphophallus muelleri Blume di Jawa. BIODIVERSITAS. ISSN: 1412-033X Volume 9, Nomor 4 Oktober 2008. Halaman: 245-249 Proctor, J. 2001. Heath forest and acid soils. Bot.J.Scotl. 51(1), 1-14. Proctor J, Anderson JM, Chai P, Vallack HW. 1983. Ecological studies in four contrasting rain forest types in Gunung Mulu National Park, Sarawak. Journal of Ecology 71 237-260
167
PT Sarigading. 2009. Profil perusahaan jamu Sarigading Pusaka Kalimantan. Barabai. Kalimantan Selatan. Rachman AMA. 2000. Masyarakat kecil dalam era global. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi. Rahayu M, Susiarti S, Purwanto Y. 2007. Kajian pemanfaatan tumbuhan hutan non kayu oleh masyarakat lokal di kawasan konservasi PT. Wira Karya Sakti Sungai Tapa – Jambi. BIODIVERSITAS. ISSN: 1412-033X. Volume 8, Nomor 1 Halaman: 73-78. Rahayu M, Sunarti S, Keim AP. 2008. Kajian etnobotani pandan samak (Pandanus odoratissimus L.f.): Pemanfaatan dan peranannya dalam usaha menunjang penghasilan keluarga di Ujung Kulon Banten. BIODIVERSITAS. Volume 9, Nomor 4 : 310-314. Rahim AS. 2007. Pengambilan Fe, Mn dan Cu oleh Nepenthes sp. dalam Tanih bekas lombong Pelepah Kanan Kota Tinggi, Johor. Sains Malaysiana 36(2)(2007): 123-13. Riswan S. 1979. Natural regeneration in lowland tropical forest in East Kalimantan, Indonesia with reference to Kerangas Forest. Herbarium Bogoriense, Lembaga Biologi Nasional, LIPI, Bogor Indonesia. Riyadi I. 2008. Potensi pengelolaan bioprospeksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 27(2). Rohlf FJ. 1998. NTSYSpc numerical taxonomyand multivariate analysis system version 2.0: user guide. Applied Biostatistics Inc. New York 37 p. Rosenberg, M.J. and G.I. Hovland. 1960. Cognitive, affective, and behavioral components of attitudes. In M.J. Rosenberg et al. attitude organization and change. New Haven, Conn. Yale University Press. London Rosenberg, M.J. 1960. An analysis of affective-cognitive consistency. In M.J. Rosenberg et al., Attitude Organization and Change. New Haven, Conn. Yale University Press. London. Sandra E, Kemala S. 1994. Tinjauan permintaan tumbuhan obat hutan tropika Indonesia dalam Zuhud dan Haryanto 1994. Pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat dari hutan tropika Indonesia. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN). Bogor Schlager E. and E. Ostrom. 1992. Property-rights regimes and natural resources: A conceptual analysis. Land Economics 68(3) (Aug.): 249–262. Secord PF and Backman CW. 1968. Social Psychology. McGraw-Hill, Kogakusha Tokyo. Siagian SP. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. PT Rineka Cipta. Jakarta.
168
Siagian YL dan Neldysavrino. 2007. Aksi kolektif penguatan hak masyarakat atas lahan. Governance Brief No.36 (b). Center for International Forestry Research. Smith RG. 1999. Avian diversity of the Kelabit Highlands. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental Conservation (ARBEC). Soerianegara I dan Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Stephenson P, Hogan J. 2006. Cloning and characterization of a ribonuclease, a cysteine proteinase, and an aspartic proteinase from pitchers of the carnivorous plant Nepenthes ventricosa Blanco. Int J Plant Sci. 167:239– 248. Takahashi K, Athauda SBP, Matsumoto K, Rajapakshe S, Kuribayashi M, Kojima M et al. 2005. Nepenthesin, a unique member of a novel subfamily of aspartic proteinases: enzymatic and structural characteristics. Curr Prot Pept Sci. 6:513–525. Tamaki I, Seteku S, Tomaru N. 2008. genetic variation and differentiation in populations of a threatened tree, Magnolia stellata: Factors influencing the level of within population genetic variation. Heredity 100:415–423. doi: 10.1038/sj.hdy.6801097. Thornhill AH, Harper IS, Hallam ND. 2008. The development of the digestive glands and enzymes in the pitchers of three Nepenthes species: N. alata, N. tobaica and N. ventricosa (Nepenthaceae) Int.J. Plant Sci.;169:615–624. Tinya F, Marialigeti S, Kirali I. 2009. The effect of light conditions on herbs, bryophytes and seedlings of temperate mixed forests in Orseg,Western Hungary. Plant Ecol (2009) 204:69–81 DOI 10.1007/s11258-008-9566-z. Traill LW, Bradshaw CJA, and Brook BW. 2007. Minimum viable population size: A meta-analysis of 30 years of published estimates. Biological Conservation. 139: 159-166. DOI 10.1016/j.biocon.2007.06.011. Uji T. 2003. Keanekaragaman dan potensi flora di Cagar Alam Muara Kendawangan, Kalimantan Barat. BIODIVERSITAS. ISSN: 1411-4402 Volume 4, Nomor 1. Halaman: 112-117 Walgito B. 2003. Psikologi sosial (Suatu Pengantar), Edisi Revisi. Penerbit Andi. Yogyakarta. Walgito B. 2007. Psikologi kelompok. Penerbit Andi. Yokyakarta. Williams CG, Hamrick JL. 1996. Elite populations for conifer breeding and gene conservation. Can J Res 26:453–461. doi:10.1139/x26-051. Whitmore 1986. Tropical Rain Forest of the Far East. Clerendon Press. Oxford.
Second Edition.
169
Yarli. 2001. Ekologi pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis) sebagai inang jamur Pelawan di Kabupaten Bangka Tengah. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yanoviak S. 2011. Effects on epiphytic orchid on arboreal ant community structure in Panama. BIOTROPICA, Vol. 43 No. 6 p.731-737. Yeh FC, Yang R C, Boyle TBJ, Ye ZH, Mao JX. 2000. POPGENE 32, Microsoft Window based softwere for population genetic analysis (version 1.32). Endmonton, AB: Molecular Biology and Biotechnology. Yogiara, Suwanto A, Suhartono MT. 2006. Analisis komunitas bakteri cairan kantung semar (Nepenthes spp.) menggunakan teknik Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP) dan Amplified Ribosomal DNA Analysis (ARDRA). PITPERMI 2006, OBD-4, VI-4.