Berkelana Gus Mus
Dalam
Perenungan
Kita tak perlu memeras otak atau mengerutkan kening untuk memahami puisi-puisi A Mustofa Bisri yang termaktub di kumpulan ini. Tidak seperti penyair-penyair yang sering memamerkan kekayaan kosakata sehingga justru menjadi sulit dipahami orang awam, yang pada akhirnya membuat puisi sulit merakyat, Gus Mus (begitu sastrawan asal rembang ini biasa disapa) senantiasa menggunakan kata-kata atau kalimat yang sederhana dan mudah dimengerti khalayak. Sajak Aku Manusia yang juga dijadikan judul antologi ini terasa sangat pas menjadi pembuka jalan untuk menelusuri pengembaraan Gus Mus dalam perenungan. Dari kalam terakhir yang berbunyi, “Tuhan Memuliakanku”, terdapat makna tersirat yang kuat menuntun kita untuk senantiasa bersyukur. Jika dipikirkan dengan jujur dan seksama, sebagai sesosok makhluk, apalah lagi kenikmatan yang paling besar kecuali dimuliakan oleh Sang Pencipta. Kita seyogyanya tak perlu merasa rendah diri dengan kemampuan matahari, bulan, angin, laut, maupun setan yang dalam beberapa bidang melangkahi kesanggupan manusia, sebab Tuhan sudah memberikan keistimewaan yang luar biasa pada kita. Secara tak kasat mata, penyair yang di KTP-nya membiarkan kata ‘penulis’ mengisi keterangan kolom pekerjaan ini juga ingin mengatakan, bahwa manusia tak perlu minder dengan kemampuan dan keahlian yang telah diberikan Tuhan pada manusia lain. Kita hanya wajib melakukan apa yang bisa dengan optimal kita lakukan. Kecenderungan kita ingin berbuat apa, itu yang harus kita kembangkan dan tekuni. Pendapat ini terlahir setelah menghubungkan makna yang terungkap dalam Aku Manusia, dengan maksud yang tersurat di bait terakhir Wangsit. Kritik moral dan sosial terhadap bangsa menjadi sisi yang
paling dieksploitasi. Lihatlah puisi Orang-Orang Negeriku menyoroti mayoritas individu bangsa ini yang begitu kesulitan mencari jati diri. Memaksanya selalu mengikuti arus yang sering justru membuat kita kehilangan kepribadian dan prinsip hidup. Ketakutan saat harus berbeda, mengekor pada trend-trend jaman, membuat kita mungkin hanya bisa menjadi diri sendiri ketika jauh dari peradaban yang sedang berlangsung. Sedangkan jauh dari peradaban pun belum tentu membuat kita berani untuk hidup, bisa jadi kita malah memilih mati bunuh diri. Di tengah gencarnya orang meliberal-liberalkan tatanan nasional, memperjuangkan kesekuleran dengan melepaskan jubah keagamaan yang dinilai bisa mengebiri nilai-nilai obyektifitas, Gus Mus tak ingin kehilangan identitas dirinya sebagai seorang muslim. Dia tak segan mengutip sejumlah ayat Al Qur’an dan istilah-istilah islam sebagai inspirasi dan bahkan ide pokok dalam puisinya. Mertua dari tokoh Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar-Abdalla ini juga tak sudi menanggalkan kerinduan pada kekasih umat islam sedunia, Muhammad SAW. Begitu pula ia tak ingin melupakan gaya hidup ulama dan sufi yang telah mewarnai dakwah Islam, mereka yang sebenarnya bisa kaya dan bisa kenyang namun memilih miskin dan lapar sebagai jalan hidup untuk mendekatkan diri pada Ilahi, membuat beliau malu jika terbersit sedikit saja perasaan ujub atau bangga hati pada kealiman diri (Bagaimana Aku Menirumu, O Kekasih). Pengritikan pada tindakan-tindakan yang terkesan lupa pada kehakikian manusia yang tak berhak menyiksa dan melaknat, terlihat jelas dalam sajak Allahuakbar. Bukankah sekalipun kita tak pernah diangkat Tuhan sebagai wakil yang boleh menghakimi orang-orang yang berbeda cara pandang? Dikaitkan dengan sajak Ada Apa Dengan Kalian, memberikan kita sinyal tentang pentingnya memisahkan pengertian kata “memaksa” dan “mengajak” ke jalan kebaikan. Lewat Sajak Allahuakbar pula, penulis kumpulan cerpen lukisan
kaligrafi ini juga ingin mengingatkan bahwa tak ada hasil tafsiran manusia yang layak mendapat predikat kebenaran sejati. Menganggap pemikiran pribadi atau golongan tertentu sebagai hukum mutlak merupakan salah satu contoh nyata tindakan penyekutuan Tuhan dengan diri sendiri. Kita pun tak perlu menyangsikan keabsahan ibadah orang yang berbeda cara ritual, sebab yang berwewenang menilai ibadah seorang hamba hanya Tuhan (Salat). Pembelaan terhadap hukum rokok yang masih samar (atau dibuatbuat samar) juga sempat tertulis dalam salah satu larik sajak Ada Apa Dengan Kalian, namun membandingkan dengan hukum korupsi membuatnya terasa berlebihan. Rokok yang masalah kecil seharusnya dibandingkan dengan masalah yang tak semaha besar korupsi. Sebab dipandang dari mana pun, rokok tetaplah merugikan baik diri sendiri maupun orang lain di sekitar (terlebih yang bukan perokok). Apalagi jika yang merokok termasuk kaum berpendapatan minim, sehingga dalam kasus seperti ini, barang yang menjadikan dua konglomerat pengusahanya berada di deretan orang terkaya di dunia ini boleh dikategorikan barang tak manfaat (atau mudharatnya lebih besar dari manfaatnya), tergolong pemborosan berpredikat siasia. Meskipun di beberapa judul puisi-puisi kawan baik mantan presiden ke-4 RI ini nampak lebih cocok masuk kategori; kalimat bijak, kata mutiara atau bahkan do’a, bunga rampai yang tersusun sangat mengasyikkan untuk dilahap siapa saja. Tak bisa pula dipungkiri, kualitas dari tiap karya di buku ini tak kalah dibanding karangan sastrawan-sastrawan kawakan serupa Taufik Ismail, Sutardzi CB, WS Rendra maupun Emha Ainun Nadjib. Mengamati sebuah karya dari orang yang lahir di pesantren memang selalu menghadirkan kenikmatan tersendiri. Sejuk katakata dan sarat pesan-pesan moral merupakan ciri khas yang akan terus ada. Sebagai kyai, A Mustofa bisri telah mampu menyumbangkan racikan-racikan sastra baik berupa puisi maupun
cerpen yang berkekuatan mengajak kita memahami kehidupan seraya selalu mengaitkannya dengan prinsip-prinsip sosial yang digariskan Tuhan. Menghargai, menghormati, saling menahan diri, dan tidak mengintimidasi antar sesama. Mengingatkan kita akan kefanaan dunia, kesementaraan segala isi jagat raya, dan ketidaksempurnaan kita yang hanya manusia sehingga tak pantaslah membusungkan dada.— Buku Judul bisri Penulis Penerbit Cetakan Tebal
: Aku Manusia, kumpulan puisi a. mustofa : A. Mustofa Bisri : Mata Air Publhising, Surabaya : I, Desember 2006 : 78 Halaman
Agenda Setting Versus Kekritisan Masyarakat TEORI Agenda Setting dikembangkan oleh Maxwell C. McCombs, seorang profesor peneliti surat kabar dari Universitas Syracuse USA dan Donald L. Shaw, profesor jurnalistik dari Universitas North Carolina USA. Pada 1968, McCombs dan Shaw mengembangkan pendekatan tersebut. Mereka mengamati pemilihan presiden AS saat Richard Nixon berhasil menyisihkan saingannya Rubert Humprey. Beberapa kalangan menilai, kemenangan dalam proses politik ini tidak lepas dari kebiasaan Nixon yang dianggap dapat memanfaatkan media massa. Ia selalu tersenyum ramah pada reporter dan wartawan sehingga gambarnya sering menghiasi media massa. Ia jadi lebih populer, diperhatikan, dan
tergolong tokoh yang “gampang nampang” di media massa. Kemenangan ini memunculkan opini tentang peran penting media massa dalam menonjolkan suatu tokoh atau isu tertentu. Dari sinilah agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media massa dengan perhatian yang diberikan oleh khalayak. Dengan kata lain, yang dianggap penting atau disorot oleh media massa akan dianggap penting pula oleh khalayak (halaman 14). Pendekatan Agenda Setting dimulai dari asumsi bahwa media massa menyaring berita, siaran, artikel, atau tulisan yang akan dipublikasikan. Seleksi ini dilakukan oleh para awak media. Dalam perkembangannya, Agenda Setting media massa menjadi mata rantai mekanisme komunikasi politik dalam beragam pesta demokrasi. Ini erat kaitannya dengan kepemilikan media massa oleh elite partai politik. Hal itu bisa dilihat saat Pemilu dan Pilpres tahun lalu. Saat sejumlah media massa yang merupakan basis pendukung kutub politik berbeda melakukan perang berita. Bahkan hingga sekarang, beberapa media massa besar masih “bertarung” dalam upaya pembentukan opini publik. Media massa itu memunculkan isu yang sudah terseleksi sebagai hasil Agenda Setting. Tak hanya itu, hasil Agenda Setting ini diolah agar dapat menggiring opini publik ke satu sisi tertentu. Pada saat itulah kekritisan masyarakat diperlukan. Jangan sampai proses pembentukan opini publik yang bertujuan “membelenggu” kebebasan berpikir terjadi. Kalaupun itu dilakukan, jangan sampai masyarakat masuk dalam jebakan tersebut. Masyarakat harus tetap selektif memilih informasi. Semua kabar atau berita boleh dikonsumsi. Tapi, tidak semua harus dipercaya dan dijadikan patokan dalam melangkah. Khususnya, jika sudah berbicara di ranah politik dan kekuasaan. Tentu saja, karya duet dosen Universitas Airlangga yang
memiliki jam terbang tinggi baik di ranah nasional maupun internasional ini tidak melulu bicara tentang komunikasi politik. Karangan dengan tebal 292 halaman ini juga memuat persoalan seputar hubungan antara media dan masyarakat di segala aspek. Mulai dari kultur sosial atau budaya, gaya hidup, hingga ekonomi. Tak dapat dipungkiri, keberadaan media massa di Indonesia saat ini berhubungan dengan roda perekonomian. Bos media selalu punya alasan untuk mengkomersilkan ruang berita atau space media massa yang dia miliki. Lagi-lagi, di dalamnya juga terdapat problematika ekonomi politik maupun politik ekonomi level nasional. Kendali politik dan ekonomi (baca: pasar) selalu menjadi faktor signifikan yang berpengaruh terhadap operasi media. Sementara kepentingan politik dan pasar samasama dikedepankan, maka rakyatlah (penonton atau konsumen media) menjadi target empuk sekaligus komoditas industri media (halaman 158). Sejarah Pers Buku ini juga menguak sejarah pers dan
media massa di
Indonesia. Momentum yang menarik disimak adalah kemunculan regulasi yang pro pada kepentingan media sebagai imbas perjuangan reformasi. Khususnya, soal kebebasan pers yang kemudian benar-benar dijunjung tinggi. Misalnya, sudah tidak lagi dibutuhkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Lisensi yang di zaman orde baru dianggap sebagai kutukan terhadap kebebasan berekspresi insan media. Undang-undang (UU) 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU 32 tentang penyiaran adalah dua anak emas reformasi. Awak media sanggup bernafas lega karena terlepas dari kungkungan regulasi ketat pemerintah. Sebagai misal, radio dan televisi swasta yang awalnya tidak boleh serampangan membuat berita dan sering diwajibkan merelay informasi dari TVRI dan RRI saja, di masa reformasi menjadi lebih merdeka. Mereka bahkan boleh berkolaborasi dengan media asing seperti BBC dan VOA (halaman
87). Pers dalam jenis apapun: media cetak, elektronik, radio, televisi, dan lain sebagainya, mendapat angin segar reformasi. Kebebasan yang selama puluhan tahun dikekang akhirnya bisa dicapai. Mereka yang sudah lama dipaksa “seiya-sekata” pun kini memiliki sayap untuk mencapai tujuannya masing-masing. Termasuk, tujuan politik. (*)
Buku Judul Demokrasi
: Komunikasi Politik, Media, dan
Penulis Cetakan
: Henry Subiakto & Rachmah Ida : II, 2014
Tebal Penerbit
: xii + 282 Halaman : Kencana Prenada Media Group Jakarta
ISBN
: 978-602-7985-75-9
Dari Slilit Sampai Analogi Pengelolaan Hasil Bumi Emha Ainun Nadjib adalah budayawan multi talenta. Pria kelahiran Jombang yang akrab disapa Cak Nun ini lihai membuat cerpen, puisi, esai, naskah teater, dan kerap menggubah lirik lagu. Bersama grup musik Kiai Kanjeng, Cak Nun melanglang buana di penjuru dunia. Menyuguhkan musik memikat yang diracik dengan sholawat. Tak hanya itu, diskusi Maiyah yang turut digagasnya sejak lebih dari sedekade silam terus mengalami perkembangan.
Maiyah adalah sebuah aktifitas sarasehan yang digelar di sejumlah kota. Kegiatan ini memungkinkan semua hadirin melontarkan pendapat tentang persoalan bangsa. Baik di level mikro maupun makro. Untuk kemudian, dipikirkan bersama solusinya. Atau paling tidak, dirumuskan bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi keadaan negeri yang dengan kondusifitas fluktuatif. Di Surabaya, Maiyah dikenal dengan sebutan Bang-Bang Wetan. Di Jombang disebut Padhang Mbulan, di Jakarta dikenal dengan Kenduri Cinta, di Yogyakarta bernama Mocopat Syafaat, di Malang ada Obor Ilahi, dan ragam sebutan di kota-kota lain berdasar kearifan lokal masing-masing. Adapun Slilit Sang Kiai adalah salah satu bukti kepiawaian Cak Nun berbahasa tulis. Pada kata pengantar, dituturkan bahwa Slilit Sang Kiai merupakan kumpulan kolom. Ini bukan karya yang dimaksudkan menjadi sebuah buku yang utuh. Tak heran, tema yang dibahas beraneka rupa dan terkesan melompat-lompat. Secara umum, topik buku yang pertama kali terbit pada 1991 ini berkutat soal problem yang membelit Indonesia dan alternatif cara mengatasinya. Terdapat banyak retorika dan pengandaian. Tak ayal, dalam beberapa artikel, pembaca mesti melakukan kontemplasi untuk memahaminya. Artikel pembuka berjudul sama dengan buku ini: Slilit Sang Kiai. Berkisah tentang kerisauan seorang Kiai. Pemuka agama itu secara tidak sengaja mencomot potongan kecil kayu di pagar orang. Kayu kecil seukuran tusuk gigi itu digunakannya untuk membersihkan slilit yang ada di sela-sela gigi seusai memimpin dan makan di acara kenduri salah satu warga. Aku tak sempat minta maaf kepada yang empunya perihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah akan mengampuniku? (hal. 18). Kutipan tersebut dihaturkan pemuka agama yang baru meninggal
dalam mimpi para santri. Cerita itu memberi pelajaran dan bahan renungan bagi murid-murid. Mereka membayangkan, betapa tambah sedihnya sang Kiai bila kayu yang dicuri sebesar batang gelondongan di hutan Kalimantan. Apa yang disampaikan dalam artikel tersebut menyentuh aspek spiritual yang sifatnya ketuhanan. Poin serupa tampak pada banyak tulisan lain. Misalnya, dalam Berniaga dengan dan dalam Allah (hal. 21), Allah Maha Menepati Janji (hal. 148), Bumi Tuhan (hal. 303), dan lain sebagainya. Tak hanya soal spiritual ketuhanan yang bisa dibilang berada pada ranah hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah atau Tuhan). Pandangan Cak Nun di ranah hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia) juga terlihat dalam sejumlah artikel. Misalnya, yang tertuang di Watak Dialog (hal. 47). Di artikel tersebut, Cak Nun mengutip garis besar pemikiran buku berjudul Dialog Sunnah Syiah. Lelaki yang lahir pada 27 Mei 1953 tersebut menyampaikan, terdapat makna yang dapat dipetik dari dialog antara ulama Syiah As-Sayyid Syarafuddin Al-Musawi Al-‘Amili dan ulama jumhur Syaikh Bisri Al Maliki. Betapa perbincangan mereka tidak didasari dengan upaya gesekan dan usaha menjatuhkan lawan berbicara. Sebaliknya, yang ada adalah semangat mencari kebenaran, kesiapan untuk menyaksikan kekeliruan diri, rileksitas untuk menerima perbedaan, serta keikhlasan menginsyafi kekurangan pribadi. Faktor-faktor positif semacam itu seperti menguap dalam fenomena masa kini. Di mana perdebatan hanya menjadi konstelasi saling hujat dan menghina satu sama lain. Perbedaan bukan diposisikan sebagai anugerah, melainkan didaulat sebagai jurang pemisah. Sementara itu, salah satu dari 69 kolom di buku ini mencerminkan kondisi pengelolaan hasil bumi di Indonesia. Kebetulan, saat ini sedang gonjang-ganjing isu freeport, salah satu perusahaan Amerika Serikat yang aktif mengeruk hasil bumi
di Papua. Dalam artikel berjudul Tamu Entah Siapa (hal. 97), Cak Nun membuat fragmen singkat. Dikemukakan, ada seorang tamu yang digdaya, meminta izin pada tuan rumah, untuk menggali tanah di bawah rumahnya. Di bawah tanah rumahmu ini terdapat barang yang amat berharga. Tetapi, karena kau tak mampu dan tak punya biaya untuk menggalinya sendiri, sebaiknya akulah yang mengerjakannya (hal. 97). Dijelaskan, si tuan rumah, sempat diingatkan oleh salah satu anggota keluarganya tentang risiko jangka panjang. Namun, dia mengabaikan saran tersebut. Hingga pada suatu waktu, seseorang menyindirnya: Engkau tertidur dalam bangunanmu, engkau membangun dunia yang akan menjadi semu dalam kurun waktu (hal. 99). Apa yang disampaikan dalam artikel itu mengesankan, dalam melakukan pengelolaan hasil bumi di Indonesia, terdapat banyak aspek yang mesti diperhatikan. Termasuk, soal masa depan bangsa dan kondisi multi sektor lain di masa datang yang harus dipertimbangkan. Buku Judul: Slilit Sang Kiai Penulis: Emha Ainun Nadjib Penerbit: Mizan Pustaka Tahun: Edisi baru, 2015 Tebal: 312 halaman
Menghirup Kearifan Agama di Dunia
Agama-
Secara subyektif, tiap pemeluk agama pasti merasa ajaran yang dianutnya paling benar. Ini soal keyakinan. Jadi, tidak perlu diperdebatkan. Sebaliknya, bila secara serampangan seseorang menganggap semua agama benar, agama pun tak ubahnya seperti baju. Sehingga, bisa diganti-ganti sesuka hati. Dalihnya, semua sama benarnya. Tinggal pilih, yang mana yang disuka pagi ini, siang, atau sore nanti. Di titik ini, hilanglah kesakralan agama. Punahlah keintiman makhluk untuk menyembah Tuhan dengan segala ritual yang diklaim sebagai “kepasrahan” tertinggi. Di sisi lain, mesti diakui pula bahwa ada misi perdamaian yang dibawa oleh semua agama. Bila kemudian dalam ajaran masingmasing ada celah: sebut saja penonjolan aspek “superioritas”, itu hal lain. Yang jelas, tiap agama memiliki kearifan atau kebijaksanaan universal. Semua agama memfatwakan tentang perlunya manusia saling berbuat baik. Tak hanya pada manusia lain, namun juga pada makhluk hidup yang telah diciptakan. Termasuk, hewan, tumbuhan, dan segala kreasi lain umat manusia. Semua mesti dimanfaatkan untuk kemaslahatan peradaban. Bukan demi kerakusan dan kenikmatan sesaat. Agama mengajarkan bagaimana saling menjaga, bukan saling menghancurkan. Bahkan, terhadap mereka yang berbeda pandangan. Setidaknya, ungkapan di paragraf-paragraf awal tadi menjadi salah satu butir kesimpulan buku Agama-Agama Manusia yang disusun oleh Huston Smith. Lelaki kelahiran Tiongkok ini meringkas poin-poin luhur tiap agama yang ada dunia. Setidaknya, ada delapan agama yang kena sorot. Yakni, Hindu, Budha, Taoisme, Islam, Konfusianisme, Yahudi, Kristen, dan Agama-Agama Primal (Purba). Bahwa agama ingin membawa
perubahan yang baik di dunia, merupakan kunci klise benang merah semua agama di dunia. Walau demikian, tak sedikit pula kemiripan agama satu dengan yang lain. Misalnya, saat Yesus Kristus yang dianggap sebagai Tuhan oleh umat Kristiani, berkata, “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kau ingin orang lain memperlakukanmu,”. Sementara Nabi Muhammad SAW pernah berpesan, yang termaktub dalam satu riwayat hadist dan diterjemahkan bebas: tidak sempurna keimanan seseorang sampai dia mencintai sesama selayaknya mencintai dirinya sendiri. Pada bagian lain, terdapat pula kesamaan karakteristik sosok panutan sejumlah agama. Bodhisatva, contohnya. Dia pernah digambarkan sebagai penggembala yang baik. Tak ubahnya Yesus Kristus. Bertolak dari sini, dapat dimaknai, kesamaan Kristen dan Budhisme sejatinya lebih kompleks dari pada yang kasat mata (Hal. 351). Belajar Sejarah Yang tak kalah menarik dari buku ini adalah dipaparkannya sejarah dan seluk beluk agama di dunia. Termasuk, soal Konfusianisme yang berawal dari “pengkultusan” seorang bernama Kung fu-Tzu atau Kung Sang Guru. Masyarakat Tiongkok, yang “mensucikan” orang ini, memuja namanya sebagai Guru Pertama. Bukan berdasar kronologi waktu. Karena sebelumnya, sudah banyak guru-guru yang lain. Melainkan, dari aspek kualitas. Dia adalah manusia biasa yang memiliki ajaran lintas bidang. Khususnya, di ranah kebijaksanaan. Pemerintah Tiongkok saat ini pun sudah dipengaruhi pemikiran Konfisius dengan begitu dalam. Tidak ada tokoh lain yang merasuk dalam perspektif tata kelola pemerintahan lelaki asal provinsi Shantung tersebut (hal. 172). Tak ayal, banyak pemikir yang menobatkannya sebagai salah satu intelektual penting dunia. Disinggung pula tentang Yahudi yang berkiblat pada sosok Nabi Musa. Selain soal sejarahnya, disampaikan pula keunikan dari
agama monoteisme ini. Umpamanya, seperti terkutip pada salah satu ayat di kitabnya. Di sana, digambarkan betapa Maha Kasihnya Tuhan. Tuhan yang mereka yakini sangat mencintai ciptaannya. Maka itu, manusia dianggap sebagai “anak-anak” kesayangan (hal. 317). Aku-lah yang mengajari Efraim berjalan. Aku menggendong mereka dibuaianku; Aku membimbing meeka dengan tali kebaikan manusia, dengan balutan-balutan cinta (Hosea, 11:3) Tak ketinggalan, dijabarkan tentang ragam dalam agama atau ajaran tertentu. Tak hanya soal Kristen yang memiliki sejumlah macam: Katholik, Orthodok, dan Protestan. Namun juga, soal varian dan metode umat Islam mendekatkan diri pada Tuhan. Di dalamnya, ada paham sufisme. Idiom sufisme yang mengacu pada perspektif para sufi ini memiliki akar kata “Suf”. Artinya, kain wol dari kulit binatang. Bahan dasar pakaian yang bersahaja atau sederhana. Golongan sufi, konon, memilih pakaian wol sebagai bentuk protes pada para pejabat di masanya yang suka memakai kain sutra dan satin: yang dianggap simbol kemewahan. Para sufi memilih untuk zuhud: tidak suka bermewah-mewah. Sebab, kemegahan duniawi kerap menipu dan membuat penyukanya mabuk. Dalam banyak kasus, sukses membuat manusia menjadi zalim. (*) Buku Judul: Agama-Agama Manusia Penulis: Huston Smith Penerjemah: FX Dono Sunardi dan Satrio Wahono Penerbit: Serambi Ilmu Semesta Tahun: Desember 2015 Tebal: 433 Halaman
Peri-peri Kami
Mengambil
Nyawa
Di serambi masjid sebelah utara, aku duduk. Setelah berjamaah shalat ashar, aku memang biasa nongkrong sambil melamun di teras masjid. Kadang di sebelah utara, kadang selatan atau timur. Sesuai kenyamanan hati saja. Langit mendung. Kelabu pekat. Sejurus lagi, pasti hujan. Aku senang melihat langit. Apapun keadaannya, menurutku, langit selalu indah untuk ditatap. Tiba-tiba nampak di langit itu, gumpalan awan robek. Seperti ada sesuatu yang menembusnya dari angkasa. Sesuatu yang bercahaya tapi bukan cahaya menelusup dari awan menuju ke arahku. Sesuatu yang aneh, dengan kecepatan luar biasa meluncur ke hadapanku. Dengan setengah takut, aku sudah berhadapan dengan barang yang ternyata adalah manusia, tapi bukan manusia. Perempuan, tapi bukan perempuan, bersayap, tapi pasti bukan siluman burung. Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa malaikat itu bersayap, tapi sumpah mati, sedikitpun aku tak menganggap orang yang bukan orang di depanku ini adalah malaikat. Dia lebih mirip peri yang hanya kuanggap merupakan tokoh rekaan orang-orang berimajinasi tinggi. Peri-peri yang biasa muncul di berbagai penampakan dalam karya seni. Atau peri-peri yang didongengkan pujangga. Aku akui, angkat dua jempol, bahwa perempuan yang bukan perempuan di hadapanku ini indah, teramat indah. Dia bugil. Rambutnya panjang berwarna emas, dadanya besar berisi ranum gagah, kelaminnya tak berambut, badannya putih bersih,
sayapnya dua helai kiri-kanan. Setiap helai terbagi atas dan bawah, yang bagian atas lebih lebar dua kali dari yang bawah, dengan warna emas keperakan. Kaki jenjang belalang, tubung langsing dan berhidung mancung nan jelita. ”Ikut aku,” dia membuka percakapan dengan kurang sopan sebab tak memerkenalkan diri. ”Kamu siapa?” aku bertanya ramah. ”Aku adalah peri. Aku memimpin sepasukan peri-peri yang berjumlah ribuan. Kami turun ke bumi untuk menjemput orangorang sepertimu,” jawab dia. ”Ribuan?” aku hanya melihat dia sendirian, berdiri tapi bukan berdiri di hadapanku. Kakinya tidak menyentuh tanah. Sayapnya bergerak-gerak pelahan, nampaknya sayap itulah yang memertahankannya tetap mengambang di udara. ”Pasukanku tak kemari. Mereka menyebar ke pelosok bumi, mencari dan menjemput orang-orang sepertimu. Setiap peri menjemput seorang,” ”Orang-orang sepertiku?” ”Ya, kalian orang-orang berhati mulia akan kami jemput untuk kami antar ke surga. Sebab, bumi akan kiamat. Dunia akan dimusnahkan sebentar lagi,” ”Orang mulia? Aku orang mulia? Yang benar saja,” sahut ku. Meski sering mengumandangkan adzan, aku tetap tak merasa mulia. Kemarin di bioskop, aku beradu lumat lidah dengan seorang kawan perempuan. Seminggu yang lalu, hal yang sama kulakukan dengan kawan perempuan yang lain. Jadi, dari mana aku bisa dibilang mulia? Menggelikan. ”Siapa yang akan memusnahkan bumi?” aku bertanya dengan sedikit senyum geli. “Tuhan,” jawab dia. ”Dhuar!” guntur berbunyi mantap selepas kilat berkelebat. Gerimis turun. Seolah-olah, fenomena alam tersebut menjadi
suara latar dari jawaban sosok yang mengaku peri: tuhan, sepersekian detik sebelumnya. ”Tuhan yang mana?” aku mencoba tetap tenang dan berwajah santai, meski jujur, aku mulai agak merinding. ”Tuhan ku dan Tuhan mu,” ”Dhuar!” guntur kembali bergemuruh. Kali ini lebih bergema. Rintik hujan lebih deras. ”Tapi, Tuhanku tak pernah sekalipun mengaku kalau punya makhluk sepertimu. Tuhanku tak pernah berkata bahwa orangorang mulia akan dijemput peri naik ke langit. Dan Tuhanku tak pernah bilang kalau akan mengirim ciptaan yang serupa perempuan bugil bersayap untuk menemui seorang lelaki di serambi masjid. Semua tidak ada di kitab suci,” Aku agak berdalil. Mendengar ucapanku sendiri, aku sedikit bangga. Tak disangka, aku bisa berucap sedemikian berani dan bijak. ”Kau banyak omong!” ”Dhuar,” lagi-lagi suara latar berupa guntur dan kelap-kelipan kilat mewarnai serta mendramatiskan suasana. “Kau banyak bohong,” timpal ku. ”Buat apa kamu repot-repot mengantarkanku masuk surga. Aku orang kotor. Ke pesantren sana! Banyak pemuda dan orang-orang tua yang berilmu dan mulia,” ”Di pesantren lebih banyak orang munafik dan orang sombong. Orang-orang sok alim. Orang-orang yang merasa paling benar dan terpuji,” Kali ini dia mengatai orang pesantren lebih buruk akhlak adalah memiliki kelebihan
orang-orang pesantren. Memang, orangberpeluang angkuh. Sedangkan seburukangkuh. Maklumlah, orang pesantren ilmu. Dan hanya orang-orang yang
berkelebihan yang berpeluang angkuh. ”Persetanlah. Aku tak mau ikut. Kamu kira dengan tampilan ajaibmu, membuat aku takut? Tidak sedikitpun. Membuat aku takjub? Tidak sekejap pun. Aku tak percaya peri. Tuhan tak pernah menciptakan makhluk aneh sepertimu,” Perempuan yang bukan manusia perempuan itu kosong menatapku. Beberapa detik berselang. Lalu, kembali berbicara. ”Ikutlah. Kalau kau tidak mau, tetap akan kupaksa. Surga menunggumu. Cepat. Pasukanku telah naik semuanya. Membawa orang-orang pilihan serupa kamu. Dan tak ada satu pun dari orang-orang itu yang mengajak berdebat sepertimu,” Mungkin telah terjadi komunikasi telepati ketika dia hening sejurus tadi. Komunikasi antara dia dan pasukannya. Lantas dia dapat kabar, semua peri telah berangkat ke langit, kecuali dia. Ah, aku tak mau tahu. Yang jelas, aku mulai muak dengan makhluk sok hebat ini. ”Kalau kau memang utusan Tuhan, kau pasti bisa membawaku kemana pun kau pergi. Bahkan tanpa meminta izin padaku. Serupa jibril yang bisa membawa para nabi kemanapun yang diperintahkan Tuhan. Ku tantang kau! Kalau kau hebat, seret aku! Ke manapun. Ke surga yang kau katakan itu juga tak mengapa! ” Dia lalu menggapai pergelangan tanganku. Dengan sigap ditariknya aku yang mulai meronta. Tak kusangka, dengan mudah dia membawaku menggelantung terbang. Sialan. Dia berhasil membawaku meninggalkan teras masjid. Kami menembus awan. Kopiahku terjatuh. Untung, aku memakai celana panjang, bukan memakai sarung. Jadi, aku tak perlu khawatir aurat bawahku terbuka kemana-mana. “Hei, kita ke mana?” aku bertanya basa-basi. Sejak awal dia sudah bilang kalau ingin membawaku ke surga.
“Tutup mulutmu. Sebentar lagi kesenangan abadi akan kau dapatkan. Bumi yang kau cintai ini akan hancur lebur. Sebuah asteroid raksasa telah dikirim Tuhan untuk menghantamnya. Kau termasuk orang-orang yang beruntung,” Aku mulai ragu pada keyakinanku semula yang menganggap dia sekadar tukang bual. Sebab terbukti dia cukup sakti. Dia bisa membawaku menabrak berbagai lapisan bumi bagian atas. Ozon, atmosfer, dan akhirnya aku ke angkasa yang memerlihatkan bahwa langit tak lagi biru. Langit hitam pekat dengan entah berapa megatriliun bintang menaburinya. Maka nampaklah ribuan peri lain. Masing-masing membawa seseorang dengan berbagai macam cara. Ada yang menenteng orang serupa yang terjadi padaku, dipegang dipergelangan tangan. Ada yang memeluk. Ada yang membiarkan orang yang dibawanya berpegangan di kakinya. Ada pula yang diletakkan di punggungnya yang bersayap. Dan masih banyak pose lain. Terlihat pula bahwa peri-peri itu tak hanya berjenis perempuan yang bukan perempuan serupa peri yang datang menghadapku. Banyak juga yang lelaki namun bukan lelaki. Mereka pun berparas sama menawan dan gemilang. Yang lelaki tapi bukan lelaki bertugas membawa orang perempuan. Dan yang perempuan tapi bukan perempuan, tentu membawa orang lelaki, seperti aku. Orang-orang yang sedang dibawa peri-peri terus naik ke langit entah di mana itu, jelas tergambar raut bahagia mereka. Ada yang tersenyum merekah seakan telah menghirup bau surga. Ada yang tertawa ringan dengan pandangan cemerlang seakan sudah bisa memandang halaman firdaus. Ada yang mulutnya komat-kamit mungkin sedang memuji-muji keagungan Tuhan. Intinya, mereka nampak sejahtera, kecuali aku. Meskipun aku mulai bimbang, tapi aku tetap yakin bahwa Tuhanku tak pernah memersiapkan strategi pengiriman manusia ke surga macam ini. Perihal Dia punya kuasa mengubah apa saja termasuk mengubah jalan-jalan atau cara-cara ke surga yang telah
terukir di kitab suci dengan strategi baru sesuai keinginanNya, itu hal yang sah-sah saja dan mungkin-mungkin saja. Sebab, Dia memang punya hak super prerogatif. Dia Tuhan. Dia berkuasa. Namun, aku yakin seyakin-yakinnya dia tidak dan bukan zat yang zolim. Dia tak akan bertindak zolim dengan mengingkari janjijanjiNya yang termaktub di kitab suci. ”Aku ingin pulang ke bumi,” ucap ku lantang. ”Diamlah. Kita akan sampai sebentar lagi,” balas sang peri. ”Kirim aku kembali ke bumi. Persetan jika bumi akan hancur atau apapun, kembalikan aku ke bumi!” aku berontak. Lamat-lamat ku dengar suara adzan, shalawat, dan pujian pada Tuhan dengan beraneka modelnya. Suara-suara itu, walau terdengar bertumpuk-tumpuk, namun jelas lafalnya Suara-suara itu kuyakini bukan dari tempat yang kata peri sedang kami tuju. Suara itu jelas datang dari bumi. “Kembalikan aku! Kalian iblis! Kalian setan! Aku tak percaya kalian! Aku tak percaya dengan surga yang kalian janjikan!” Selepas bersumpah serapah, aku menirukan suara-suara yang lamat-lamat kudengar tadi. Aku menirukan suara itu tidak dengan berbisik, namun dengan berteriak. Sekuat-kuatnya, sebisa-bisaku mengeluarkan suara. Mendengar itu, semua peri dan orang-orang yang mereka bawa menancapkan mata padaku. Lalu mereka tertawa. Tebahak dan menggelegar seakan menggoyang jagat. Seketika peri yang membawaku menghempaskanku ke arah bumi. Keras dia mementalkanku sehingga tubuhku terasa terlempar serupa kilat ketika hujan. Dalam kecepatan yang teramat sangat ketika aku tertolak keras dari angkasa menuju bumi, aku masih sempat melihat peri-peri yang pada awalnya begitu rupawan, berubah seketika. Menjadi makhluk menjijikan. Menjadi figur yang mirip dengan iblis atau
monster yang gambaran kebengisan dan keburukrupaannya biasa tertancap dalam imajinasi semua orang. Bersayap api, bertaring panjang, berjenggot dan berkumis tak beraturan, bertanduk merah, berdaun telinga lincip, hidung babi, cakar di setiap jarinya dan tubuh berlendir memualkan. Sedangkan orang-orang yang dibawa oleh mereka, tak lagi berupa manusia. Melainkan berupa serupa dengan mereka. (*)
Kematian Terhormat Sebaik-baik nasihat adalah kematian Saya melihat kematian dengan tubuh berdarah. Penuh darah dan jijik bagi sebagian orang. Tapi saya tersenyum. Karena darah inilah yang menjadi saksi di hadapan tuhan. Bahwa saya mati dengan terhormat. Lalu orang-orang itu membawa raga saya ke sebuah kamar pemandian. Setelah lebih dulu dicongkeli batang tubuh ini. Otopsi. Dan meski disayat seribu gores. Ditusuk sekian dalam. Tak ada perasaan perih. Saya tetap tersenyum. Karena semakin banyak lubang di badan. Semakin banyak saksi yang akan berbicara pada tuhan. “Kami bersaksi bahwa dia mati dengan luka yang membanggakan,” Sudah tak ada medan laga. Tapi bukankah kita masih bisa mati dengan berdarah? Dengan peluh. Dengan sikap ksatria. Bukan mati di ranjang bertilam empuk. Didampingi anak istri yang menangis atau membaca ayat-ayat tuhan. Ah, betapa itu cara mati orang sakit. Cara mati orang lemah. Kalau selama ini kau ingin hidup kuat dan sehat, kenapa pula kau membayangkan mati tergeletak di tempat tidur dengan
kondisi berpenyakitan? Atau kau tidak pernah membayangkan ingin mati seperti apa? Betapa aneh! Kau mungkin sering membayangkan akan menghabiskan masa tua dengan anak dan cucu di rumah asri dekat sawah. Atau bercitacita menjadi orang kaya dan terkenal di seantero negeri. Berkeinginan menjadi artis atau pemikir nomor wahid. Hidup berbahagia dengan banyak uang. Tapi ternyata kau tidak pernah sekalipun membayangkan ingin mati seperti apa? Hai, bukankah kematian adalah lebih pasti dari semua angan muluk-mulukmu itu? Sekali lagi, betapa aneh! Keluarga yang saya cintai tetap meneteskan air mata. Tapi tidak meratap atau meraung. Sebab, sudah sejak lama saya katakan: saya akan mati muda dengan tubuh penuh darah. Tak hanya sudah sejak lama. Saya juga sudah mengatakan itu berkali-kali, sesering matahari terbit. Sehingga saat saya mati, mereka tidak terkejut. Mereka merasa kematian adalah dongeng yang tertunda kejadiannya. Kemudian menjadi realitas yang sudah disangka-sangka sebelumnya. bukankah kematian lebih pasti dari hari esok? Mungkin burung-burung di langit ikut mendoakan arwah saya yang penuh darah. Tidak, bukan penuh darah. Sudah tidak ada darah di alam baqa tempat arwah bersemayam. Darah hanya ada di dunia fana yang kemunculannya disisipi oleh berbagai interpretasi tak adil. Darah adalah sesuatu yang menjijikkan. Darah adalah penyakit. Darah adalah zat yang mesti dibuang. Namun, bagi saya lain. Sejak remaja, saya ingin mati dengan bersimbah darah. Itulah kematian yang elegan. Tentu bukan dengan bunuh diri. Juga bukan karena ditabrak truk saat menerobos lampu merah. Saya ingin mati dengan darah bersimbah seusai menolong orang. Seusai membela keluarga dari tindak kejahatan. Atau setelah bersitegang dengan jambret yang ingin merampas tas gadis
perawan di perempatan seperti tadi siang. Lalu parangnya menembus daging perut. Memburaikan isi badan. Menyimbahkan darah. Tidak, sekali lagi itu tidak menjijikkan. Itu adalah kematian yang pahlawan. Bayangkan, bagaimana rupa pahlawan yang dulu berjuang di sepanjang jalanan Surabaya dan mati dimangsa peluru musuh? Tak jauh beda dengan kondisi Saya waktu itu. Kami sama-sama mati sebagai pemberani. hidup kadang sependek sebatang rokok Entah berapa banyak orang yang mendoakan saya. Bahkan para wartawan yang berkepentingan meliput heroisme yang saya lakukan pun ikut mensucikan diri. Lantas, berdoa khusyuk. Memohon pada tuhan agar dosa-dosa saya diampuni. Hutang-hutang dilunasi. Oh, betapa kerennya mati seperti ini. Tapi seperti biasa, tetap saja ada yang menaruh sinis. Mereka berdesas-desus dan mengasihani saya yang mati muda ini. “Kasihan dia baru 25 tahun. Belum menikah. Masih muda sudah mati. Tragis, lagi,” ujar salah seorang Ibu yang melihat ambulan mengantarkan jenazah saya ke rumah. Beberapa kawannya, sesama Ibu-Ibu, mengangguk-angguk tanda setuju. Wahai, mengapa mereka begitu mengasihani saya yang berbahagia ini? Tidakkah lebih baik mereka mengasihani diri mereka sendiri yang suka menggunjing dengan tubuh bau kompor? Bagaimana kalau saat tubuh masih bau sambal terasi, berdaster putih bunga-bunga, lagi membicarakan orang lain, tiba-tiba malaikat maut mencabut nyawa mereka semua? Betapa memalukannya mati dengan cara seperti itu. Tidak. Ternyata tak hanya Ibu-Ibu. Beberapa kelompok bapakbapak yang masih sempat tertawa-tertawa—entah karena topik apa—juga sempat mengasihani kematian saya. Ternyata, orangorang yang suka salah sasaran dalam mengasihani orang, tidak terpaku pada satu jenis kelamin. Ibu-Ibu atau bapak-bapak sama saja.
Lihatlah mereka yang menyuruh keluarga Saya untuk bersikap sabar. Berkali-kali bilang kalau semua yang bernyawa pasti mati. Semua akan kembali pada pencipta. Duhai, ucapan itu sudah kerap saya tuturkan pada keluarga. Sekerap pergantian malam dan siang. Mereka terlambat. Tapi sok berdakwah. Apalah lagi istilah yang cocok bagi mereka kalau bukan pahlawan kesiangan? Ah, tidak. Saya sudah mati. Tidak boleh menghardik. Walaupun kalau sudah mati, tindakan seperti apapun tidak diperhitungkan lagi. Tapi setidaknya, Saya harus bersyukur dengan tidak bersikap buruk. Aneh memang melihat bapak-bapak itu masih sempat tertawatawa—meski tidak terbahak-bahak—di momentum takziah seperti ini. Sama anehnya saat melihat sekelompok pemuda dan pemudi yang tersenyum-senyum di sudut lain. Seharusnya di masa sekarang mereka merenung. Dasar, kaum yang hanya bersilaturahmi saat ada orang meninggal atau hajatan! Orang lagi meninggal, dijadikan acara temu kangen. Betapa mereka semua juga bisa mati mendadak. Seperti Saya yang setelah subuh masih sempat lari pagi. Membersihkan taman. Mencuci pakaian dan memasak telur mata sapi untuk adik. Apalagi mereka yang sudah tua-tua itu. Bernapas saja sudah sulit. Masih sempat cekikikan di depan mayit. Bagaimana kalau malaikat yang kebetulan lewat merasa sumpek dengan tingkahnya dan berinisiatif langsung mencabut nyawanya yang ringkih itu? Kematian seharusnya menjadi nasihat bagi mereka. Kematian lebih pasti dari hari esok. Lihatlah orang yang banyak memiliki rencana hari esok dan mati sebelum hari esok. Alamak, betapa malang kalau dia mati sambil memikirkan rencana yang remeh temeh itu. Ajal kadang lebih pendek dari sebatang rokok. Sesaat sebelum mati, Saya masih sempat menelepon abang kalau malam ini saya tidak pulang. Dengan alasan, ada perlu di rumah teman. Saya tahu, dia saat itu sedang merokok. Dan Saya yakin, sebelum
rokoknya habis, nyawa saya sudah lebih dulu dihabisi penjahat jalanan itu. Penjahat yang dengan parangnya mengantarkan saya, bersama simbahan darah, terbang ke surga. dunia tak lebih dari persinggahan Tubuh saya sudah bersih dan dibungkus kain kafan sederhana. Kain kafan murahan. Karena seberapapun mahalnya kain kafan untuk orang meninggal, toh dikubur juga. Toh tidak bisa membuat mayat kebal gigitan ulat. Toh tidak bisa mengusir dingin dan angkernya perut bumi. Orang-orang menutup wajah saya dengan kapas halus. Wajah pucat ini tidak terlihat ketika dimasukkan ke ambulan untuk kali kedua dan diantar menuju pekuburan. Amboi, teduhnya awan di langit. Mega-mega seperti memberi hormat pada mayat yang mati terhormat ini. Mati dengan darah. Mati dengan keinginan sendiri untuk membela seorang gadis yang mau dijahati. Mati dengan arwah yang tersenyum di awang-awang. Mati dengan tak ada sambutan tangis menderu-deru dari keluarga. “Kami sudah tahu dia akan mati. Kami hanya tidak tahu kapan tepatnya dia mati. Tapi kami sudah menyiapkan diri kalau dia mati di hari atau usia berapapun juga,” ayah berbicara tenang di depan para kerabat. Duh, ayah. Aku masih ingin menelan kebijaksanaanmu. Seperti kebijaksanaanmu yang ogah kawin lagi saat ditinggal Ibu mati lebih dulu. Mungkin saat ini malaikat tengah memberi hormat pada keluarga saya yang tegar. Pada adik perempuan saya yang sejak jenazah sampai rumah hingga menjelang ke liang lahat tak putus mendoakan. Adik, betapa saya tak bisa lagi membuatkanmu telor ceplok kesukaan. Lubang kubur tampak sederhana. Lebih sederhana dari rumah orang termiskin di dunia. Tubuh yang sudah benar-benar bangkai dimasukkan. Diiringi doa-doa yang naik ke langit. (*)
Belajar Bijak dari Karya Cak Nun UNAIR NEWS – Bila berkunjung ke toko buku, kumpulan esai Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) adalah koleksi yang paling gampang ditemui. Slilit Sang Kiai, Markesot Bertutur, dan Markesot Bertutur Lagi adalah beberapa di antaranya. Yang menarik, tulisan-tulisan tersebut adalah karya lama. Kemudian, dicetak ulang, lagi dan lagi. Artinya, terdapat proses “menembus zaman” di sana. Pada April 2013 lalu, kumpulan esai yang kembali diterbitkan Penerbit Buku Kompas berjudul Indonesia Bagian Dari Desa Saya. Sebelumnya, mushaf tersebut sudah dua kali terbit. Yakni, pada 1983 dan 1993. Di dalamnya, terdapat 27 esai karya suami Novia Kolopaking ini. Rata-rata ditulis pada rentang 1970-an atau saat lelaki kelahiran 1953 ini masih berumur kepala dua. Alasan Penerbit Buku Kompas menerbitkan buku ini—sama dengan penerbit lain yang mencetak ulang buku budayawan kelahiran Jombang ini— adalah karena tulisan ayah dari Noe Letto tersebut dianggap masih relevan dengan kondisi kekinian. Mungkin dapat ditambahkan pula alasan lain. Yakni, pasar untuk buku Cak Nun. Jamaah Maiyah, sebutan bagi penyuka pengajian yang turut digelorakannya, tergolong loyal dan makin membesar hingga kini. Pengajian yang biasa pula disebut Maiyahan ini digelar di sejumlah kota tiap bulan sekali. Antara lain di Jakarta (dengan nama Kenduri Cinta), Surabaya (Bangbang Wetan), Yogyakarta (Mocopat Syafaat), Malang (Obor Ilahi), Jombang (Padhang Mbulan), Semarang (Gambang Syafaat), dan lain sebagainya.
Mengupas Indonesia Bagian dari Desa Saya Membaca tulisan demi tulisan di Indonesia Bagian dari Desa Saya, membuka pengetahuan tentang karakter rural dan urban di masa lalu. Sejak 1970-an, ketercampuran kultur sudah menjadi perhatian di masyarakat. Gengsi-gengsian, sok-sokan, narsis, dan anggapan jika yang modern adalah yang paling benar, sudah mulai mengakar pada masa itu. Saat itu, orang desa berbondong-bondong beli televisi padahal belum paham bahasa Indonesia yang digunakan di TV. Mereka jor-joran beli sepeda motor padahal rumahnya masih gedek. Melalui tulisannya, Cak Nun memprediksi jika kemutakhiran teknologi dan budaya asing yang terus merangsek bakal membuat zaman makin edan. Dalam catatan penulis, dia mengatakan kalau zaman edan di masa lalu membuat kepala orang pusing. Sedangkan zaman edan sekarang ini sukses membuat kepala nyaris pecah (hal: XIII). Kebersamaan, pengakraban, penyatuan, komitmen, solidaritas dengan sesama, dan kearifan lokal terancam luntur. Sudah tak mungkin mencari pedagang cendol yang tidak berkenan cendolnya diborong Pak Kyai di pagi hari, karena takut mengecewakan calon pembelinya di siang hari (Kebijaksanaan Cendol, hal. 57) Dalam esai Indonesia Bagian Dari Desa Saya (hal: 248), Cak Nun mencuplik fenomena politik uang jelang pemilu yang terjadi di desa lebih dari tiga dekade silam. Ada seorang calon legislatif yang membagi-bagikan uang pada masyarakat seraya berteriak, “Ini saya belum jadi anggota DPR, saudara sudah saya kasih uang cuma-cuma. Bayangkan jika saya sudah menjadi anggota dewan?!” Coba bandingkan dengan kondisi saat ini. Kabarnya, di sejumlah kota di Jatim, banyak klub senam ibu-ibu PKK yang mendatangi para calon anggota dewan. Mereka berjanji akan memilih anggota dewan tersebut asal dia sudi mengucurkan bantuan dana.
Ternyata, satu klub senam tidak hanya mendatangi satu calon atau satu partai. Satu klub senam bisa berjanji (atau membual) pada beberapa calon atau partai. Fenomena ini setidaknya menunjukkan jika masyarakat sudah cerdas dan tidak sudi dikibuli politik uang. Lebih dari itu, mereka malah memperdaya banyak politisi dan partai. Jika dulu, yang main politik uang adalah politisi. Saat ini, elemen masyarakat yang “menguangkan politik”. Menyentil Religiusitas Buku ini memiliki bidang bahasan yang berlapis-lapis. Keistimewaan ini tentu tak lepas dari pengetahuan dan pengalaman Cak Nun yang beraneka rupa dari berbagai sisi. Pria yang kini berdomisili di Kadipiro Yogyakarta ini adalah seorang pengamat negara, budayawan, seniman, dan sering juga ditahbiskan orang sebagai pemuka agama. Maka itu, dia tak hanya sanggup memelototi perkara teknologi modern, ekonomi pasar, politik hingga kultur. Namun juga menyentil soal religiusitas. Di esai Berkatalah Sufi: “Ia mati, Alhamdulillah” (hal: 234), terdapat pandangan yang satir sekaligus sufistik. Betapa saat ini sebagian orang masih berpikiran bahwa kenyaman hidup yang bersifat materi adalah tujuan utama. Manusia ikhlas bersusah payah untuk mendapatkan hidup yang serba foya-foya di masa datang. Bahkan, ibadah bukan lagi menjadi suatu yang sakral atau ruang intim antara Tuhan dan hamba. Melainkan sudah menjadi sematamata alat atau sarana meminta semua yang enak-enak di dunia ini. Agama jadi cermin materialisme yang didekap makhluk. (*)