http://abusalma.wordpress.com STUDI KRITIS! Syair-syair Barzanji & Burdah Berikut adalah beberapa kalimat kufur dan syirik yang terdapat dalam kitab Barzanji sekaligus komentar dari sebagian ulama. Hambamu yang miskin mengharapkan “Karuniamu (wahai Rasul) yang sangat banyak” Padamu aku telah berbaik sangka “Wahai pemberi kabar gembira dan Pemberi Peringatan” Maka tolonglah Aku, selamatkan Aku “Wahai Penyelamat dari Sa’iir (Neraka)” Wahai penolongku dan tempat berlindungku “Dalam perkara -perkara besar dan berat yang menimpaku” Penjelasan : Misi dan tujuan kedatangan Rasulullah yang utama adalah untuk membebaskan manusia dari penghambaan diri kepada selain Allah. Sementara penyair dalam petikan syair Barzanji di atas menyatakan pengha mbaan dirinya kepada Rasulullah (bukan kepada Allah) dan mengharapkan pemberian yang banyak dari beliau. Pada bait yang ke-2 dia telah berbaik sangka kepada Rasulullah (untuk menyelamatkan dirinya). Padahal Nabi sendiri menyuruh untuk berbaik sangka hanya kepada Allah bilamana akan menghadap Allah (akan mati) Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sahabat Jabir bin Abdillah bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda (3 hari sebelum wafatnya) : “Janganlah mati salah seorang dari kamu melainkan ia berbaik sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla ” berbaik sangka dalam hadits tersebut maksudnya adalah mengharap rahmat dan ampunan Pada bait yang ke-3 penyair minta pertolongan kepada Rasulullah dan minta perlindungan dari beliau supaya diselamatkan dari api neraka, padahal Nabi sendiri melarang umatnya memohon untuk menghilangkan kesusahan dan kesulitan yang menimpa (beristigotsah) kecuali hanya kepada Allah. Bahkan beliau sendiri meminta perlindungan hanya kepada Allah dan memerintahkan ummatnya untuk berlindung serta memohon perlindungan hanya kepada Allah semata. Rasulullah bersabda : “ “Tidaklah boleh memohon untuk menghilangkan kesusahan dan kesulitan yang menimpa (beristigotsah) kepadaku (karena Nabi tidak mampu melakukannya),
dan beristigotsah itu hanya boleh kepada Allah semata.” [HR. Thabrani, semua periwayatnya shahih kecuali Ibnu luhaiah, dia hasan]. Pada bait yang ke-4 penyair menjadikan Nabi sebagai penolong dan tempat berlindung dalam perkara-perkara besar dan berat yang menimpanya dengan melupakan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai penolong dan tempat berlindung yang Nabi sendiri meminta pertolongan dan perlindungan hanya kepada-Nya. Keempat bait syair ini di dalamnya terdapat kalimat-kalimat yang mengandung kesesatan dan kesyirikan yang sangat berat. Hal ini tidak diketahui oleh orang-orang yang berdiri mendendangkan syair-syair Barzanji tersebut. Berdirinya mereka (pembaca Barazanji) pada acara Maulid dan “Cukuran” (potong rambut bayi) dan acara ziarahan di rumah calon jamaah hajji. dikatakan oleh Ulama bahwa hal itu didasarkan kepada I’tiqad (keyakinan) sesat bahwasanya Nabi menghadiri majelis yang di dalamnya di baca kisah maulid tersebut. Setelah mendapat kritikan Ulama mereka pindah kepada I’tiqad (keyakinan) lain yang sama juga sesatnya yaitu anggapan bahwa Ruh Nabi hadir menyertai mereka. Sehingga terdengar dari mereka ungkapan “Jasadnya tidak menyertai kita akan tetapi rohaniatnya selalu bersama kita.” Kemudian di dalam Qashidah Burdah yang dicetak bersama kitab Barzanji, ada bait-bait yang dikritik oleh Ulama karena mengandung pujian melampaui batas yang ditujukan kepada Rasulullah ( Ithra) sehingga menempatkan Nabi pada posisi dan tingkatan Allah ‘Azza wa Jalla. Diantara bait yang dikritik itu adalah: “Wahai makhluk yang mulia tiadalah bagiku tempat berlindung” “selain engkau, di kala bencana besar menimpaku” “Maka sesungguhnya termasuk sebagian dari pemberianmu (adalah) dunia dan akhirat” “dan termasuk sebagian dari ilmumu adalah ilmu tentang apa yang tercatat dalam Al-Lauh Al-Mahfudzh dan apa yang tertulis oleh Pena Allah” Inilah sebagian dari syair Qashidah yang mengandung Pujian kepada Rasululah saw yang melampai batas.
[Al-Hujjah Risalah No: 50 / Thn IV / Rabiul Awal / 1423H ]
Entri ini dituliskan pada Minggu, April 1st, 2007 pada 9:27 adalah dan disimpan dalam Agama Syiah. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa melewati ke akhir dan meninggalkan sebuah tanggapan. Memping saat ini tidak diperbolehkan.
2 Tanggapan ke “STUDI KRITIS : Syair-syair Barzanji & Burdah”
1. ridho Berkata: April 2nd, 2007 pada 8:29 adalah
maaf al akh, anda harus ingat yg anda teliti adalah syair…,bukan tulisan biasa. Maka perlakukanlah sebagai syair…,kl anda perlakukan sebagai tulisan biasa sangat berbahaya, karena syair penuh dgn bahasa ungkapan dan metafora..,dan apa yg anda kutip diatas adalah keadaan di padang mahsyar yg di mana tidak ada satu manusiapun dapat membantu bahkan para nabi, kecuali rasullullah sesuai hadist yg diriwayatkan muslim, afwan Dahulu konon Syaikh Siti Jenar juga menjadi ilhad gara-2 syair-2 atau ucapan-2 konotatif yg bernuansa wahdatul wujud dan hulul. Demikian pula para pembesar hulul dan wahdatul wujud semisal al-Hallaj dan Ibnu Arobi. Apabila menggunakan kaidah anda, maka kapankah suatu syair yang berisi kekufuran dapat menjadi kafir??? Jika demikian syair-2 Kahlil Gibran, Anand Krishna atau orang-2 zindiq lainnya bisa dibenarkan… karena ucapan-2 mereka adl ucapan syair yang penuh dg ungkapan metafora… 2. ridho Berkata: April 3rd, 2007 pada 11:59 adalah
maaf al akh, bukankah bahasa arab penuh dengan metafora dan permisalan….???? bukankah di alquran sendiri penuh dengan metafora dan permisalan…??? bukankah akhirnya ” wa tilkal amtsalu nadribuha linnasi la allahum yatafakarrun…???? setau saya dalam syair ada ilmunya sendiri… ,dalam bahasa arab di sebut arudh’ (timbangan2 dalam bersyair) anda dapat membaca buku madaih an nabawiyah karya sayyid muhammad al maliki untuk mengerti dasarnya saja……,apakh anda pernah mendengar kisah ibn taimiyah yg mengkafirkan aforisma 2 ibn arabi, sehingga memfatwakan bahwa ibn arabi kafir….???, tp akhirnya setelah beliau mendengarkan penjelasan dari seorang syeikh( klo ga salah abu nur al kalabadzi)di sebuah mesjid di kairo beliau menarik kembali fatwanya…..!!! gampangnya gini akh, klo anda membuat skripsi mungkin anda menggunaka rujukan buku komposisi karya goris keraf bukan…??? tapi klo anda menilai syair rendra…??? bisakah anda tetap mengguna kan rujukan buku tersebut….????? beda kan, acuannya…??? Begini akhy… apabila antum katakan di al-Qur’an ada metafora dan majaz, bagaimana dhabith dan syuruthnya? karena setau ana al-Qur’an tdk memiliki majaz. Al- Qur’an adalah Kalamullah yang bisa difahami dari zhahirnya, bukan makhluk atau ciptaan Goris, Gibran, Rendra atau siapapun itu yang fleksibel bisa ditakwil ke sana kemari. Majaz dapat terjadi apabila ada qorinahnya. Di dalam bahasa Arab -juga masuk ke dalam pembahasan ushul fiqhdikatakan asal suatu kalimat adalah haqiqi sampai ada qorinah
yang kuat memalingkannya. Misal dikatakan : “Ja’a Sa’ad “, di sini Sa’ad bisa bermakna nama orang bisa juga singa bisa juga manusia yang pemberani seperti singa. Namun hakikinya adalah Sa’ad/singa datang, dan tidak dipalingkan ke makna orang yang bersifat pemberani kecuali ada syarat-2 yang memalingkannya dari zhahir atau hakikinya. Al-Qur’an tidak memiliki majaz, dan ini pendapat terkuat diantara dua pendapat. Karena banyak sekali ahli bid ’ah yang mentahrif ataupun menta’wil al-Qur’an dengan atas dasar majaz. Misalnya, Alloh berfirman : “Ar-Rohmanu ‘alal Arsy Istawa“. Asy’ariyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah menta’wil kata istiwa’ dengan istaula’ (menguasai) dengan tujuan tanzih (mensucikan) Alloh dari Dzat makhluq. Permasalahannya adalah atas dasar apa mereka menta’wil istiwa’ menjadi istaula… Padahal ta’wil ini berimplikasi pada : 1) Meniadakan makna istiwa’ bagi Alloh padahal Alloh sendiri dan rasulullah sebagai makhluk Alloh yang paling tahu tentang-Nya menetapkan kata ini. 2) Memalingkan makna istiwa’ kepada istaula’ yang artinya menetapkan makna istaula’ padahal Alloh dan rasul-Nya tidak menetapkannya 3) Jatuh kepada tasybih (penyerupaan Alloh dengan makhluk) dan tamtsil karena menurut mereka apabila tdk dita’wil maka Alloh sama dengan makhluk-Nya, ini berarti mereka bermaksud lari dari tasybih namun berangkat dari tasybih sehingga pada hakikatnya mereka telah melakukan tasybih. 4) Istaula menurut bahasa maknanya adalah menguasai setelah sebelumnya melakukan perebutan, maka sungguh Alloh jauh dari sifat yang demikian ini. Oleh karena itu, ahlus sunnah menetapkan bahwa apa yang dilafazhkan oleh Al-Qur;an adalah hakiki sebagaimana zhahirnya kecuali apabila ada qorinah kuat yang memalingkannya yang mana qorinah tsb dari Alloh dan Rasul-Nya. Saya juga heran, apabila mereka mentakwil sifat Alloh semisal Alloh beristiwa, memiliki tangan, memiliki betis dan selainnya dari sifat yang Alloh dan rasul-Nya sendiri yang tetapkan, namun mereka tidak mentakwil sifat melihat, mendengar, mengetahui dan semisalnya… Padahal Alloh melihat dan manusia juga melihat, namun pengelihatan Alloh dan manusia tentu saja berbeda. Alloh mendengar dan manusia mendengar maka tentu saja pendengaran Alloh dan manusia berbeda. Maka bisa juga saya katakan bahwa Alloh menetapkan untuk dirinya bahwa dia memiliki tangan dan manusia juga memiliki tangan, namun tangan Alloh berbeda dengan tangan manusia. Kita fahami makna tangan namun kita tidak mentakyif (membayangkan) bagaimana tangan Alloh. Wong, kaki ayam, kelinci, kambing dan kaki kursi aja beda padahal sama-
sama kaki dan sama -sama dimiliki makhluk, maka tentu saja bagi Alloh permisalan yang lebih tinggi… Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullahu, Imam Darul Hijrah dan Ahlus Sunnah ketika ditanya kaif istawa? (bagaimana Alloh beristiwa)? Maka beliau menjawabnya dengan : “Al-Istiwa`u ma’lumun wa kaifiyatuhu majhul (wa fi riwayah : ghoiru ma’qul), wal-Imanu bihi wajibun was Su`alu ‘anhu bid’ah!!!” (Bersemayamnya Alloh itu maknanya telah diketahui, menanyakan bagaimana (kaifiyat)- nya adalah tidak diketahui (dalam riwayat lain : tidak bisa dicerna akal), mengimaninya adalah wajib dan menanyakan bagaimananya adalah bid’ah.” Oleh karena itu saya tanya kepada anda, apa dhobit dan syuruth di dalam majaz atau metafora ini? BUkankah Bahasa Arab sendiri menyatakan bahwa al-kalamu huwal lafzhul murokkabu yufiidu ‘ala ma’na dimana maknanya jelas dan ada pada dzatnya. Saya teringat sebuah kejadian, seorang ikhwan pernah berdiskusi dengan seorang guru bahasa Arab shufi (shufinya sedikit moderat), yang pada saat itu membawa sebuah buku syair shufi terkenal yang saya lupa namanya, teman saya bertanya : “Ustadz bolehkah manusia bersumpah dengan makhluq?”, ustadz itu menjawab : “menurut pendapat yang rajih tdk boleh, itu tmsk syirik mensekutukan Alloh”, lalu ikhwan ini mengatakan : “kalo begitu ustadz, buku yang antum pegang ada kesyirikan di dalamnya. Karena penulisnya bersumpah dengan nama makhluq. Di sana ada kata : wasy Syamsi… (demi matahari)wal Ardhi (demi bumi)… wan Nabiyy (demi Nabi)… dst..:” lalu ustadz itu dengan tenangnya mengatakan : “Ya Ali, antum harus fahami dulu Bahasa Arab, tidakkah antum ketahui bahwa Bahasa Arab penyair itu tinggi. Di dalam ucapannya itu ada khobar mahdzuf (berita yang dihilangkan dari kalimat), taqdir (penentuan dari berita yang hilang)- nya adalah Robb, jadi maksudnya adalah : “wa Robbi” Syamsi” (demi tuhannya matahari)… dst…” Lantas si ikhwan ini mengatakan : “Jika demikian ya ustadz, maka kalo begitu benar pendapat Ibnu Arobi dan kaum shufi ghulat, bahwa Fir’aun itu adalah muslim dan hamba Alloh yang paling bertauhid.” “Loh koq bisa” tukas sang ustadz. Si ikhwan ini menjawab : “Na’am ustadz, karena hujjah mereka sama dengan hujjah antum, yaitu ada khobar mahdzuf dan taqdirnya ‘Abdun, ketika Fir’aun berkata lantang kepada Musa Wa Ana Robbukumul A’la, taqdirnya adalah Wa Ana ‘Abdu Robbikumul A’la (Aku adalah hamba tuhanmu yang paling tinggi).” Maka ustadz ini terdiam seribu bahasa… Allohul Muwafiq…