“Berapa kali sih harus gue bilang?! Gue nggak ada masalah Anka jadian sama Riko!” Danu
***
-1-
CUACA luar biasa panas pagi ini, saat cerita ini dimulai. Danu mengayuh sepeda sekuatkuatnya. Sepedanya bergerak cepat, menyalip lincah di antara ramainya kendaraan bermotor yang memadati jalan raya Jakarta pagi hari. Sengatan matahari membuat peluh mulai membasahi seragamnya, tapi tidak membuatnya memperlambat kayuhan, ia malah semakin ngebut ketika memasuki sebuah kompleks perumahan.
Danu mengerem sepedanya tepat di depan rumah mungil berlantai dua bercat biru tua. Di depan pagar teralis rumah itu berdiri gadis berseragam sama dengan Danu, rambut sebahunya diikat satu asal-asalan, wajahnya cemberut.
―Lo lama banget sih? Udah jam berapa nih?‖ gerutu si gadis. ―Gue hampir jalan sendiri ninggalin lo.‖
―Sori, Anka, gue bangun kesiangan. Tadi kan gue udah SMS lo kalo gue agak telat hari ini,‖ jelas Danu ngos-ngosan, seraya menghela napas dan mengelap keringat di dahinya.
Melihat Danu yang begitu kelelahan, gadis yang dipanggil Anka itu berhenti menggerutu, meredam kekesalannya. Anka mengeluarkan sepedanya yang sengaja diletakkannya di samping mobil inventaris kantor ayahnya.
―Berangkat, yuk! Takut telat nih, gue kebagian Kimia jam pertama, gurunya galak,‖ ajak Anka, seraya naik ke sadel sepedanya, siap berangkat.
―Nggak pamit ibu sama ayah lo dulu, Ka?‖
―Nggak usah, mereka lagi pada sarapan. Tadi gue udah pamit sebelum keluar.‖
Anka mengayuh sepedanya mendahului Danu, yang sekali lagi menghela napas untuk melepas lelahnya, sebelum kembali mengayuh sepedanya menyusul Anka.
Seperti inilah keseharian seorang Danu selama hampir empat tahun, tepatnya sejak ia bersahabat dengan Anka, gadis manis yang sekarang mengayuh sepeda di depannya.
***
Empat tahun lalu, pertama kali menginjak Jakarta, Danu datang bersama kakak laki-lakinya. Kedatangan Danu ke Jakarta selepas perceraian orangtuanya. Ia lebih memilih pindah dan ikut kakaknya, ketimbang selalu menjadi objek lempar tanggung jawab kedua orangtuanya yang seakan enggan terbebani oleh anak-anak mereka. Entah apa yang ada dalam pikiran dua orang dewasa itu, yang mengaku dulunya menikah atas dasar cinta.
Awalnya Danu sempat khawatir dengan kehidupan barunya. Jakarta jelas berbeda dengan Bandung, tempat tinggalnya dulu. Kekhawatiran tidak dapat menyesuaikan diri sempat dirasakannya. Keterasingan begitu terasa di sekitar lingkungan barunya. Dan Anka-lah orang pertama yang begitu baik dan ramah menyapanya.
Di tengah upaya Danu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, Anka selalu membantu. Membantunya dalam segala hal yang dirasa Danu sulit dipahami orang baru sepertinya.
Seiring berjalannya waktu, pertemanan mereka yang sudah terjalin sejak mereka duduk di kelas IX (kelas III SMP), berubah menjadi persahabatan. Tidak ada yang lebih tahu soal Anka selain Danu, begitu pula sebaliknya. Sampai-sampai mereka tahu kapan salah satu dari mereka sedang naksir seseorang, atau kapan salah satu dari mereka patah hati karena seseorang.
***
Sesampainya di kelas XII-Bahasa-2, Danu mengenyakkan diri dengan lelah di kursinya, di samping Andro, teman semejanya, lalu menarik buku tipis dari dalam tasnya dan mengipasngipaskannya ke wajah.
―Capek bener, Nu,‖ komentar Andro setengah meledek. ―Berangkat naik sepeda bareng Anka lagi?‖
Danu tidak menjawab, sudah hafal benar Andro bakal mengejek kebiasaannya berangkat naik sepeda.
―Lama-lama betis lo bisa segede talas Bogor kalo tiap hari naik sepeda!‖ Andro memulai ritual paginya. ―Kenapa sih lo nggak mau bareng sama gue pake motor, rumah kita deket, gue mau setiap hari jemput lo, daripada lo tiap hari naik sepeda.‖
―Gue udah biasa, Ndro. Dari SMP gue juga udah berangkat sekolah naik sepeda,‖ jawab Danu datar, ―Lagian sehat kok, hitung-hitung olahraga pagi.‖
―Sehat?! Bukan sehat namanya kalo lo sampai di sekolah kecapekan dan mandi keringat!‖ Lagi-lagi Andro sok menasihati. ―Rumah lo kan udah pindah, sekarang lumayan jauh dari sekolah, beda sama dulu.‖
―Nggak bisa, Ndro... Kasihan Anka kalo berangkat sendiri.‖
Andro mencibir mendengar sahabatnya mengatakan alasan sebenarnya.
―Tuh anak emang nggak pernah lengser jadi prioritas utama lo ya.‖
―Gue kan udah temenan sama dia dari zaman gue kelas tiga SMP... Emang kenapa? Lo cemburu sama Anka?‖
Danu mengerling dengan cara paling menjijikkan yang pernah ia lakukan pada Andro, membuat Andro bergidik ngeri.
―Najis! Laki-laki normal nih gue!‖
Danu terkekeh mengabaikan ekspresi jijik Andro sambil menarik tasnya lalu mengeluarkan beberapa buku pelajarannya.
―Ndro, PR bahasa Prancis udah lo kerjain belum? Ada beberapa soal yang nggak gue ngerti nih.‖
―Tuh, buku PR gue lagi dikerubutin anak-anak.‖
Andro mengarahkan jari telunjuknya ke meja depan yang dikerubuti 6 atau 7 murid yang masing-masing menulis dengan gaya yang bisa menyebabkan osteoporosis dini. Danu mendesah, dan memilih menunggu buku Andro kembali ke pemiliknya ketimbang harus ikutikutan nyontek saat itu juga dengan risiko pengeroposan tulang, kebungkukan permanen, atau yang paling ringan, encok di usia muda!
***
Jam istirahat Danu langsung mengajak Andro ke kantin. Keterlambatannya tadi pagi membuatnya tidak sempat sarapan. Tak heran perutnya terasa perih, cacing-cacing di dalam perutnya pastilah mulai memakan bagian dalam lambungnya.
―Makan apa, Nu?‖ tanya Andro, berdiri di samping Danu sambil menatap murid-murid yang kelaparan memenuhi jajaran kantin.
―Apa aja, yang penting ngenyangin perut,‖ jawab Danu tidak sabar. ―Nasi uduk aja tuh, porsinya banyak,‖ putus Danu lalu berjalan lebih dulu dan dengan sigap mendekati gerobak nasi uduk, memesan seporsi nasi uduk lengkap.
―Eh, itu Anka, Nu,‖ kata Andro di sela makan mereka.
Danu melihat ke arah yang ditunjuk Andro. Anka duduk beberapa meja dari tempat mereka dan melambai ceria seperti biasa saat matanya melihat Danu juga. Duduk di sampingnya Riko, kapten tim basket yang baru diangkat sebulan yang lalu.
―Mereka...?‖
―Setahu gue sih belum,‖ potong Danu cepat. ―Anka bilang, dia baru deket-deket doang,‖ jawab Danu enteng, kembali memfokuskan diri pada nasi uduknya.
―Lo nggak apa-apa kalo Anka deket atau jadian sama Riko?‖
Danu berhenti mengunyah mendengar pertanyaan Andro, meletakkan sendok dengan santai di pinggir piringnya. ―Emangnya kenapa? Cewek seumuran dia emang udah seharusnya deket atau jadian sama cowok, kan? Gue sih sebagai temennya seneng-seneng aja dia deket sama Riko. Riko anaknya oke.‖
―Yakin lo? Nggak ada perasaan apa-apa?‖
―Jangan macem-macem, Ndro. Gue sama Anka tuh beneran sahabat. Nggak ada perasaan lain.‖ Danu kembali melanjutkan makannya, membiarkan Andro diam dengan ekspresi tidak percaya.
Orang-orang boleh menyalahartikan persahabatannya dengan Anka, tapi bagi Danu, Anka benar-benar sahabatnya. Ia akan bahagia bila Anka bahagia, begitu pula sebaliknya. Kedekatan Anka dengan Riko tidak membawa pengaruh apa-apa untuknya, tidak ada rasa yang seperti dituduhkan Andro padanya.
***
-2-
DAMARA melangkah ke luar ruang persidangan. Sekumpulan wartawan infotainment langsung menyerbu ke arahnya. Di sebelahnya, kliennya berjalan menunduk menghindari jepretan kamera wartawan. Imelda Azizah, model cantik berusia 26 tahun yang kasus perceraiannya sedang ditangani biro hukum tempat Damara bekerja.
―Mbak Imel, apa benar terjadi kekerasan dalam rumah tangga sampai Mbak Imel menggugat cerai?‖
Beberapa wartawan memberondong Imelda dengan pertanyaan yang sama, menyodorkan mikrofon ke arah Imelda seakan menuntutnya untuk menjawab.
Imelda semakin menunduk menyembunyikan wajahnya. Dua pria berbadan kekar, mengenakan baju safari, berusaha membantu Imelda berjalan meninggalkan kerumunan wartawan dan mengantarkan Imelda memasuki mobil yang kemudian melesat meninggalkan area pengadilan agama dengan cepat.
Damara menghela napas lega setelah melihat kliennya berhasil meloloskan diri dari kejaran para wartawan yang menodongnya dengan pertanyaan yang menyudutkan.
―Pak Damara, benarkah gugatan cerai yang dilakukan Mbak Imelda terjadi karena adanya kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu kehadiran orang ketiga?‖ Salah satu wartawan mengarahkan mikrofonnya ke arah Damara, diikuti wartawan-wartawan lain yang gagal mendapat pernyataan dari Imelda.
Damara risi dengan semua ini. ―Maaf saya belum bisa memberikan statement apa-apa, permisi...‖ jawab Damara sembari berjalan meninggalkan kerumunan wartawan yang kecewa dengan pernyataan Damara. Tapi Damara tidak peduli dengan wartawan-wartawan itu, mereka seharusnya berempati dan bisa mengerti apa yang sedang dirasakan narasumber yang mereka mintai keterangan. Siapa pun pasti tidak mau bicara di depan belasan kamera dengan suasana hati yang begitu sedih.
Damara masuk ke Honda CR-V silver miliknya, berlalu meninggalkan area pengadilan agama. Setelah menghela napas, Damara mengendorkan ikatan dasinya, lalu mulai mengetuk-ngetukkan jari ke setir mobil mengikuti alunan lagu I’m Yours milik Jason Mraz. Di jok samping, berkas-berkas gugatan cerai Imelda Azizah tergeletak begitu saja.
Ini pertama kalinya Damara menangani kasus perceraian selebriti. Seperti dugaannya, memang cukup merepotkan. Datang dan pergi ke pengadilan diserbu wartawan jelas bukan hal menyenangkan. Tadinya Damara menolak menangani kasus Imelda. Kalau bukan karena Rizky, pengacara yang ditugaskan menangani kasus ini, tiba-tiba harus masuk rumah sakit untuk operasi usus buntu, Damara tidak akan bersedia.
Hanya saja keengganan Damara atas kasus ini pelan-pelan berkurang setelah ia mempelajari semua hal tentang kliennya. Bagaimana tepatnya wanita muda dan begitu cantik bisa melewati berbagai hal yang rasanya sulit dihadapi wanita mana pun.
Handphone di saku kemeja Damara bergetar. Nama seorang wanita muncul di layar, membuat Damara langsung melemparkan benda itu ke atas berkas-berkas gugatan cerai Imelda, membiarkannya terus berdengung tidak terjawab.
Gagal menelepon, sang penelepon mengirimkan SMS. Damara kembali meraih handphonenya.
―Honey... I really miss you. Temui aku di tempat biasa.‖
Sekali lagi Damara melemparkan handphone-nya ke jok samping. Dengan segala ketidakberdayaannya Damara memutar balik arah mobilnya.
***
Tidak ada yang salah pada diri Danu saat Anka memberitahunya, bahwa ia baru saja resmi menjadi pacar Riko. Sama sekali tidak ada yang salah. Danu bahkan ikut senang melihat Anka terlihat begitu ceria dengan status barunya.
Awalnya memang tidak ada yang salah.
Beberapa hari setelah Riko menjadi laki-laki terdekat Anka, barulah Danu menyadari ada yang salah pada dirinya. Rasanya ada yang tidak beres di kepalanya saat Anka mengatakan tidak bisa lagi berangkat dan pulang sekolah dengan sepeda bersamanya seperti biasa, karena dengan senang hati Riko bersedia menjemput dan mengantar Anka dengan mobilnya. Rasanya ada yang mengusik batinnya saat harus menerima kenyataan bahwa sahabat terdekatnya tidak bisa lagi menghabiskan waktu bersama.
Fakta yang tidak menyenangkan ini membuat Danu uring-uringan, walaupun kenyataannya semua rasa itu masih bisa ia sembunyikan dengan rapi, tapi tetap saja rasanya agak menyesakkan.
―Si Riko nempelin Anka mulu ya, Nu...‖ kata Andro, melihat ke arah Anka dan Riko di koridor kelas IPA, sementara dia dan teman sekelasnya, termasuk Danu, sedang melakukan pemanasan di lapangan olahraga yang suhunya sudah cukup memanaskan tubuh mereka tanpa harus pemanasan.
Danu mengikuti arah pandangan Andro dan melihat Anka sedang berjalan membawa tumpukan buku di bantu Riko. Senyum terus mengembang di wajah keduanya, membuat pemanasan yang dilakukan Danu bekerja maksimal.
―Namanya juga baru jadian, Ndro, jelas aja lagi lengket-lengketnya,‖ komentar Danu purapura tidak peduli.
―Lo nggak marah sama Anka waktu dia bilang mau diantar-jemput Riko?‖
Guru olahraga mereka memperagakan peregangan otot kaki kiri hingga Danu punya kesempatan untuk menutupi wajahnya dari Andro.
―Kenapa gue harus marah?! Bareng Anka atau nggak, gue tetap bakal pulang-pergi naik sepeda.‖
Masih dalam posisi peregangan, Andro menggeser posisinya mendekati Danu dan berbisik pelan di punggung Danu.
―Yakin lo nggak marah? Yakin lo nggak ngerasa kehilangan Anka?‖
―Berapa kali sih harus gue bilang?! Gue nggak ada masalah Anka jadian sama Riko!‖ sergah Danu sambil berdiri tegap membalikkan badannya menghadap Andro, sedangkan semua teman sekelasnya masih serius melakukan peregangan kaki.
Beberapa anak menyeringai diam-diam, beberapa malah tertawa terang-terangan melihat kebodohan Danu. Sementara guru olahraganya yang tidak sehumoris teman-teman sekelasnya, menatap galak ke arah Danu. Dengan suara lantang layaknya pemimpin upacara di istana saat 17 Agustus, ia menyuruh Danu berlari keliling lapangan lima kali.
Diawali dengan mood yang kurang baik, Danu melewati harinya dengan aura kurang baik pula. Ini bukan tanpa sebab. Setelah melewati pelajaran olahraga yang sangat melelahkan fisiknya di awal hari, Danu masih harus melewati hal lain yang melelahkan mentalnya.
Entah kenapa, hari itu ke sudut mana pun Danu pergi selalu berpapasan dengan Anka dan Riko. Padahal jarak antara gedung kelas Bahasa dan kelas IPA, dihalangi gedung kelas IPS serta gedung kelas X. Tapi nyatanya ke perpustakaan, kantin, bahkan sampai ke toilet pun, Danu tetap berpapasan dengan mereka. Tentunya Danu berusaha bertingkah sewajar mungkin saat bertemu Anka, menyapa dan tersenyum seperti biasa, tapi hanya di depan Anka. Hari itu Danu bahkan gagal menutupi kekesalannya di depan Andro.
―Tuh, kan! Lo uring-uringan lihat Anka sama Riko,‖ kata Andro merasa menang, sementara Danu hanya diam. ―Lo cemburu ya sama Riko? Lo sebenernya suka sama Anka, kan?‖
―Lo nggak ngerti juga ya, Ndro? Gue nggak cemburu, gue juga nggak suka sama Anka!‖ sanggah Danu. ―Gue cuma ngerasa kehilangan Anka. Selama ini kan Anka selalu sama gue, apa-apa bareng gue. Ya... gue berasa aneh aja saat Anka tiba-tiba lebih sering bareng orang lain.‖
―Bilang aja lo nggak rela posisi lo digantiin Riko,‖ tukas Andro. ―Udah, Nu, nggak usah bohong sama gue, dari dulu gue emang nggak pernah percaya cowok sama cewek bisa sahabatan.‖
Danu bergerak hendak memprotes kata-kata Andro, tapi membatalkannya dan memutuskan diam menekuni buku paket bahasa Jepang yang menampilkan huruf-huruf kanji yang harus dihafalnya untuk tes lisan jam terakhir nanti.
―Anka kan udah jadian sama Riko, Nu. Kenapa lo nggak nyoba deketin Zevana, anak kelas sebelas yang Valentine kemarin kasih lo cokelat. Dia cantik, Nu! Anak-anak kelas dua belas banyak yang ngincer dia tuh,‖ saran Andro serius.
―Sembarangan lo. Dia kasih cokelat juga belum tentu suka sama gue.‖
―Ya ampun, Nu! Cewek kalo udah ngasih cokelat Valentine sama cowok, terus cokelatnya dipitain segala, udah jelas tuh cewek ada rasa. Kemarin aja gue liat tuh anak masih suka ngeliatin lo,‖ jelas Andro dengan begitu yakin. ―Zevana lo jadiin pacar pertama aja, ketimbang lulus SMA masih jomblo.‖
―Emang kenapa kalo gue lulus SMA dan masih jomblo?‖
―Ya... nggak oke aja buat reputasi lo. Masa cowok udah kuliah belum pernah pacaran.‖
―Eh, kakak gue mati-matian cari duit buat biaya sekolah gue. Dia pasti pengin liat gue belajar yang bener dan bukan cuma main-main, supaya duit yang dia keluarin berguna, nggak mubazir...‖
―Ah, susah ngomong sama lo. Gue berasa ngomong sama bapak gue, bukannya lagi ngomong sama anak SMA,‖ gerutu Andro. ―Udah ah, mendingan gue nimbrung sama anak belakang yang lagi pada ngeliat majalah Playboy edisi Amerika. Ngomong sama lo nggak ada ujungnya.‖
Andro bangun dari kursinya, melangkah melewati Danu menuju bangku belakang yang dikerubuti lima anak yang duduk berdempetan. Kepala mereka menunduk dengan ekspresi takjub dan ngiler.
Danu tersenyum melihat teman-temannya yang bertingkah layaknya remaja laki-laki kebanyakan. Danu bukannya tidak mau seperti remaja seusianya, bersenang-senang semasa sekolah. Hanya saja Danu tidak ingin kakaknya kecewa dan semua pengorbanan kakaknya sia-sia, kalau ia tidak menghargai apa yang sudah mereka lalui sejak perceraian kedua orangtua mereka dengan ketidakseriusannya.
***
―Yang tadi ngantar kamu pulang siapa, Ka?‖ tanya ayahnya saat mereka sedang berkumpul di ruang tengah sambil menonton TV. Kebiasaan yang hampir setiap malam dilakukan keluarga Anka.
Anka tidak langsung menjawab. Ia menunduk menatap jari-jari tangannya yang saling menyilang di atas bantal sofa, menghindari tatapan ayahnya yang sesekali saling bertukar senyum dengan ibunya.
―Itu tadi Riko, Yah... Temen dekat Anka...‖ jawab Anka lirih, takut-takut bercampur malu.
―Sedekat apa?‖ tanya ayahnya lagi, tanpa nada menginterogasi. ―Apa lebih dekat dibanding Danu?‖
―Riko itu...‖ Anka bergerak salah tingkah, ―Riko itu pacar Anka, Yah.‖
Anka mendongak untuk melihat reaksi ayah dan ibunya, heran saat melihat kedua orangtuanya malah tersenyum lebar mendengar pengakuannya.
―Ayah sama Ibu nggak marah kan, kalau Anka deket sama Riko?‖
―Kenapa harus marah? Kamu sudah cukup besar untuk dekat dengan seseorang,‖ kata ayah Anka. ―Ayah dan Ibu percaya sama kamu, Ka.‖
Ayah Anka mengeratkan rangkulan sebelah tangannya ke pundak ibu Anka, keduanya saling tersenyum, menggambarkan betapa saling mencintai dan bahagianya pasangan yang sudah menikah selama 19 tahun ini.
―Ibu dan Ayah percaya kamu bisa membedakan mana yang baik, mana yang tidak.‖
Senyum perlahan mengembang di wajah Anka, bukan hanya lega kedua orangtuanya memperbolehkannya dekat dengan Riko, tetapi Anka juga bahagia melihat kedua orangtuanya begitu harmonis, begitu saling menyayangi dan saling mencintai.
Sedari kecil Anka memang bermimpi memiliki kisah cinta seperti kisah cinta kedua orangtuanya. Sejak kecil ia sangat senang ketika sebelum tidur ibunya bercerita tentang kisah cinta ibu dan ayahnya dulu, menggantikan dongeng tentang pangeran dan putri raja. Bagi Anka kisah cinta kedua orangtuanya jauh lebih romantis dari cerita cinta negeri dongeng mana pun.
Ayah dan ibu Anka dulunya dibesarkan di tempat yang sama, di sebuah panti asuhan di pinggiran kota Bandung. Mereka penghuni panti yang tinggal sejak balita, sama-sama dititipkan tanpa penjelasan dari orangtua.
Kisah cinta mereka berjalan layaknya roman fiksi. Tumbuh besar bersama dengan perasaan senasib, menjadikan keduanya begitu dekat bahkan seperti tak terpisahkan. Anka tertawa geli membayangkan betapa konyol kedua orangtuanya waktu kecil saat melakukan hal-hal menyebalkan, seperti pura-pura kejang-kejang atau mendadak kesurupan setiap kali ada yang mau mengadopsi salah satu di antara mereka. Hingga pengurus panti kewalahan dengan ulah mereka.
Ulah konyol itu berhasil membuat mereka menjadi penghuni abadi panti asuhan dan tinggal di sana sampai menyelesaikan SMA. Tapi tinggal di panti selama itu tidak membuat mereka menjadi beban bagi pengurus panti, paling tidak dalam segi finansial. Meski terkenal bandel, keduanya tergolong pintar. Dari SD sampai SMA mereka tercatat sebagai penerima beasiswa.
Tidak heran saat lulus SMA ayah Anka mendapat beasiswa di salah satu universitas swasta elite di Jakarta, smeentara ibunya diterima di universitas di Bandung lewat jalur PMDK.
Mereka meninggalkan panti pada waktu bersamaan. Mengabaikan cinta untuk sementara demi cita-cita dan masa depan. Mereka tetap berhubungan meski hanya mengandalkan sarana komunikasi seadanya pada zaman itu. Banyak hal yang menguji kesungguhan cinta mereka. Ayah Anka sempat dicintai gadis cantik, anak seorang dosen yang selama ini mendaulatnya menjadi asisten. Begitu pula ibu Anka, kecantikannya yang alami membuatnya menjadi incaran mahasiswa-mahasiswa top di kampusnya, dari ketua senat sampai anak pengusaha otomotif terkenal di Bandung berusaha menarik perhatiannya. Namun semua tidak mengubah apa-apa, mereka sudah menetapkan hati.
Setelah menyelesaikan kuliah, mereka akhirnya menikah. Ayah Anka membawa ibu Anka pindah ke Jakarta, memulai segalanya dari awal. Ibu Anka sempat bekerja menjadi customer service di sebuah bank swasta, sebelum akhirnya berhenti setelah melahirkan Anka. Sementara ayah Anka memulai kariernya di bidang travel, sampai sekarang menjabat sebagai manajer marketing di perusahaan travel ternama di Jakarta. Dari menghuni rumah kontrakan kecil, hingga sekarang menempati sebuah rumah mungil yang nyaman.
Seperti itulah kisah cinta yang dikagumi Anka.
―Danu apa kabar, Ka? Sudah lama Ayah nggak ketemu dia.‖ Suara ayah Anka, membuat Anka kembali ke dunia nyata.
Anka mengerjapkan matanya. ―Danu... Danu baik, Yah,‖ jawab Anka. ―Kenapa Ayah nanyain Danu?‖
―Nggak apa-apa. Ayah cuma kehilangan temen ngobrol aja. Soalnya Danu jarang ke sini sejak kamu dekat sama Riko,‖ jelas ayah Anka. ―Danu kenapa nggak jemput kamu lagi, Ka?‖
―Anka yang minta, Yah. Kasihan Danu kalau harus berangkat naik sepeda terus, rumahnya kan jauh. Makanya Anka bilang, Anka dijemput Riko, biar Danu mau berangkat bareng temennya pake motor.‖
―Kamu nggak ada masalah sama Danu kan, Ka?‖ Kali ini ibu Anka yang bertanya.
―Nggak, Bu. Memang kenapa harus bermasalah sama Danu?‖ tanya Anka heran.
Ayah dan ibu Anka saling bertukar senyum, membuat Anka semakin heran.
―Bukan apa-apa. Tadinya Ayah sama Ibu berpikir ada yang istimewa antara kalian selama ini.‖
―Ayah... harus berapa kali Anka bilang? Anka sama Danu sahabat. Jadi nggak usah ada yang aneh-aneh. Danu malah seneng kok Anka jadian sama Riko.‖
Ayah Anka kembali tersenyum, sorot mata ramahnya seakan meragukan kata-kata Anka.
―Ayah kok kayak gitu ngelihatnya, nggak percaya?!‖
―Bukan... Ayah sebenarnya agak kecewa karena bukan Danu yang jadi pacar kamu. Tadinya Ayah sudah cukup tenang ada Danu yang jagain kamu. Ayah suka anak itu.‖
―Ayah, Danu itu sahabat Anka, jadi jangan bebanin Danu dengan kewajiban jagain Anka segala.‖
Ayah Anka mengangguk pelan menanggapi pernyataan Anka. Lalu lagi-lagi bertukar senyum dengan ibu Anka, seakan dalam senyum mereka mengatakan ―dasar pikiran anak muda‖.
Anka sendiri terkadang bingung, terlalu banyak orang yang menyalahartikan kedekatannya dengan Danu. Tidak ada yang benar-benar percaya bahwa kedekatannya dengan Danu murni persahabatan yang tidak mungkin dengan begitu gegabah dicampur dengan rasa yang akan merusak persahabatan itu sendiri. Karena sebenarnya, Anka tidak berani kehilangan sahabat seperti Danu.
***
Danu duduk di depan meja kerja di kamar kakaknya, matanya menatap bosan layar laptop yang menampilkan akun Facebook miliknya. Di sinilah Danu biasa menghabiskan malam setelah menyelesaikan tugas sekolah. Duduk sendiri di kamar kakaknya untuk mengakses internet.
Seperti kebanyakan remaja seusianya, Danu termasuk pengguna internet aktif, walaupun tidak sampai pada tingkat keranjingan. Paling tidak, sejak Anka mendapat laptop lengkap dengan fasilitas internet sebagai hadiah sweet seventeen dari orangtuanya, Danu sering menggunakan fasilitas internet di kamar kakaknya untuk berkomunikasi dengan Anka.
Tidak berbeda dengan malam-malam sebelumnya, Danu chatting dengan Anka lewat messenger.
Anka
: Eh, ke mana aja lo, Nu? Dicariin di sekolah nggak pernah ada.
Danu mencibir membaca kalimat yang dikirimkan Anka.
Danu : Lo yang ke mana aja, gue ada terus di kelas, makanya kalo nyari gue jangan sambil pacaran!
Anka
: Hehe... Bisa aja lo. Kemaren malam kok lo nggak online sih, kenapa?
Danu
: Gue banyak tugas. Banyak tes lisan.
Inilah enaknya berkomunikasi Imel internet, bisa berbohong dengan lancar tanpa harus takut ketahuan. Sebenarnya, Danu tidak online tadi malam bukan karena banyak tugas atau semacamnya. Ia malas online kalau hanya untuk menerima rentetan cerita Anka tentang keistimewaan Riko.
Anka
: Oh, gitu... Malam ini gue seneng banget deh, Nu.
Danu
: Seneng kenapa?
Sedetik kemudian tulisan dengan huruf kapital tampil di kolom messenger Danu.
Anka
: GUE BAHAGIA PUNYA ORANGTUA KAYAK AYAH SAMA IBU GUE.
Danu tersenyum membaca kalimat yang dikirim Anka.
Danu
: Kenapa gitu?
Anka
: Karena... karena mereka setuju gue deket sama Riko.
Terbayang senyum lebar yang pasti menghiasi wajah Anka saat mengetik tulisan itu, sementara Danu terpaksa mengerutkan senyum di wajahnya.
Anka
: Helo... lo masih di situ, kan?
Danu
: Iya, gue masih di sini.
Anka : Pokoknya gue seneng banget waktu ayah gue bilang, dia nggak masalah gue deket sama Riko.
Danu
: Syukur deh kalo gitu, gue ikut seneng.
Anka
: Thanks ya, Nu, lo emang sahabat gue yang paling oke.
Danu
: Santai aja...
Anka
: Oh iya, ayah gue nanyain lo, dia kangen sama teman main caturnya.
Danu
: Bilangin ayah lo, malam Minggu besok gue ke rumah lo.
Anka
: Malam Minggu? Tapi gue mau pergi sama Riko.
Danu menghela napas setelah membaca apa yang dikirim Anka di layar laptop-nya.
Wajar bila pasangan yang baru jadian pergi malam Mingguan. Tadinya Danu mengira malam Minggu ini ia bisa main catur bersama ayah Anka dan Anka duduk bingung di sampingnya seperti malam-malam Minggu sebelum ada Riko.
Danu akhirnya mengetik dengan agak tersinggung.
Danu lo.
: Nggak ada urusan sama lo, kan? Gue mau main catur sama ayah lo, bukan sama
Anka
: Oh, gitu... Ya udah, ntar gue bilang Ayah.
Danu
: Eh, Ka, gue ada tugas bahasa Jepang, udah dulu ya.
Anka
: Oke deh, sampai ketemu besok di sekolah... Sweet dream.
Danu menyandarkan punggungnya di kursi putar, menengadahkan kepala dengan mata terpejam dan memblokir semua hal melelahkan di sekitarnya. Tiba-tiba handphone Danu berdengung di atas meja, menuntut dijawab. Dengan enggan Danu membuka mata dan meraih handphone itu. Kak Damara calling...
Ternyata dari kakaknya.
―Halo... Iya, Kak? Danu udah makan, tadi beli nasi di warteg depan... Kakak nggak pulang lagi?! Iya, nggak apa-apa, Kakak selesaiin kerjaan dulu aja.‖
Danu menegakkan punggung setelah menerima telepon dari kakaknya. Untuk kesekian kalinya kakaknya, Damara, tidak tidur di rumah karena pekerjaan. Sebagai pengacara, sering Damara tidak pulang. Terlebih saat Damara menangani kasus perceraian Imelda Azizah, model cantik yang kabarnya mengalami KDRT.
Pandangan Danu jatuh pada figura foto di atas meja. Lengannya terulur mengambil figura yang membingkai foto dirinya dalam rangkulan Damara, foto yang diambil ketika mereka masih tinggal di Bandung, saat mereka masih bisa berfoto dengan senyum yang lebar.
Banyak hal yang terjadi setelah perceraian orangtuanya. Perceraian yang hampir membuat kehidupan kakak-beradik itu berantakan, dan membuat Damara dengan sisa harga diri dan kenekatannya membawa Danu ke Jakarta. Mereka tinggal di kamar kos yang sempit, memulai kehidupan baru di Jakarta.
Sebelum mendapat pekerjaan yang layak dan sesuai dengan tingkat pendidikannya, Damara rela melakukan pekerjaan kasar, seperti pekerja bangunan, sopir taksi, sampai buruh kasar di pabrik baja untuk membayar uang sekolah Danu dan mencukupi biaya hidup mereka. Dari tinggal di kos sempit sampai tinggal di rumah nyaman dengan fasilitas lengkap, Damara tak henti bekerja keras demi kehidupan mereka. Perjuangan hidup yang membuat Danu begitu mengagumi dan menghormati Damara sebagai kakak dan panutannya. Hingga Danu mendikte dirinya agar menjadi seseorang yang membanggakan untuk Damara. Seperti ia bangga memiliki Damara sebagai kakaknya.
***
“Ka... Ayah tetap lebih suka kamu pergi ke sekolah pakai sepeda bareng Danu, daripada dijemput Riko.” - Anka's Father
***
-3-
―AYAH sama Ibu nggak bisa besok berangkat ke Bandung-nya? Biar Anka bisa ikut.‖
Ayah Anka tersenyum seraya memasukkan beberapa barang ke jok belakang mobil, sementara Anka berdiri di sampingnya dengan seragam sekolah lengkap siap berangkat.
―Acara di panti asuhan hari ini, Ka, bukan besok,‖ jawab ayah Anka. ―Lagian, perginya nggak lama kok, nanti sore Ayah sama Ibu mungkin langsung pulang.‖
Anka cemberut. Entah kenapa kali ini Anka ingin sekali ikut bersama orangtuanya ke Bandung, padahal biasanya saat orangtuanya mengunjungi panti asuhan tempat mereka tinggal dulu, Anka enggan ikut.
―Riko belum jemput, Ka?‖ tanya ibu Anka, saat melewati Anka yang berdiri di samping mobil. Ibu Anka juga memasukkan beberapa barang lagi ke bangku belakang. ―Kamu nggak telepon dia? Ini sudah cukup siang loh, Ka. Atau... kamu nggak usah nunggu Riko, ikut Ibu sama Ayah saja, biar kami antar kamu ke sekolah dulu.‖
―Ibu sama Ayah nanti pulang jam berapa?‖ tanya Anka lagi, mengabaikan ucapan ibunya.
Ibu Anka tersenyum, lesung pipit tersungging cantik di wajahnya. Ibu Anka mendekati Anka lalu membelai rambut putri semata wayangnya.
―Kamu itu udah besar, Ka. Waktunya mandiri, belajar jaga diri sendiri... Jangan manja ah...‖
Anka tidak menjawab, malu sendiri dengan sikap kolokannya. Tidak lama, Honda Jazz hitam menepi di depan pagar rumah Anka.
Riko keluar lalu mengangguk hormat saat melihat ayah dan ibu Anka. ―Pagi, Om, Tante...‖ sapa Riko sopan.
Ayah Anka hanya mengangguk sambil tersenyum membalas sapaan Riko. Akhirnya dengan enggan Anka mencium kedua tangan orangtuanya untuk pamitan.
―Ayah, Danu bilang nanti malam dia mau ke sini buat nemenin Ayah main catur, Anka batalin apa nggak?‖
―Jangan... jangan dibatalin,‖ cegah ayah Anka. ―Ayah sudah lama nggak main sama Danu. Bilangin Danu supaya menunggu sampai Ayah pulang.‖
―Iya, Yah. Nanti Anka bilang ke Danu... Anka berangkat ya.‖ Anka membalikkan badannya, tapi sebelum sempat berjalan menyusul Riko ke mobilnya, ayah Anka menarik tangan Anka.
―Ka... Ayah tetap lebih suka kamu pergi ke sekolah pakai sepeda bareng Danu, daripada dijemput Riko.‖ Anka mencibir, sementara ayahnya hanya tersenyum melihat ekspresi tidak suka Anka. ―Ya... Ayah cuma berpendapat. Udah... sana jalan, nanti kamu telat.‖
Anka melangkah menuju mobil Riko. Sambil lalu, dari kaca spion mobil Riko yang bergerak menjauh, Anka melihat mobil ayahnya keluar dari gerbang rumah. Entah mengapa ada perasaan ganjil dalam diri Anka hari ini, sampai-sampai melihat orangtuanya pergi saja membuatnya risau.
***
Damara berdiri di beranda hotel di lantai dua belas. Pandangannya berkeliling menatap Jakarta dari ketinggian di pagi hari. Angin segar menerpa wajahnya, mengibas-ngibaskan dasi biru tua bergaris-garis yang terikat sempurna di kerah kemeja putihnya.
Tangan cantik dengan kuku dihiasi nail art motif bunga sakura merangkul Damara dari belakang. Si pemilik tangan memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya di punggung Damara dengan damai. Damara hanya diam, membiarkan punggungnya dipeluk erat oleh si wanita yang masih mengenakan piama hotel.
―Aku senang sekali bisa di sini, semalam sama kamu...‖ kata wanita itu lirih.
Dengan gerakan pelan, Damara melepaskan rangkulan tangan wanita itu, membalikkan badan dan menatap dengan ekspresi datar. Wanita berusia 32 tahun dan lebih tua 3 tahun dari Damara itu adalah Anggun Damariva, pengusaha salon kecantikan dan spa yang terbilang sukses.
―Aku harus pergi. Pagi ini aku ada meeting dengan klien.‖ Damara melangkah melewati Anggun, kembali masuk ke kamar hotel.
Anggun mengikutinya, kembali meraih punggung Damara. ―Kalau kamu mau, aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu. Kamu nggak perlu bekerja sekeras ini... Aku masih pengin kamu di sini!‖
Damara kembali melepaskan rangkulan Anggun, membalikkan badannya seraya menatap Anggun dengan tajam. ―Kita sudah terlalu sering membahas soal ini! Dan kamu tahu kan, jawabannya apa?‖ tandas Damara.
―Oke, oke. Aku ngerti. Aku nggak bisa halangi kamu pergi,‖ kata Anggun, balas menatap Damara dengan pandangan arogan. ―Aku tahu... kasus perceraian model muda itu sedang jadi prioritas kamu... Tapi harus kamu ingat, Mar, aku nggak suka kamu terlihat dekat dengan model itu!‖
Damara tidak menanggapi, sudah terbiasa dengan reaksi wanita itu. Anggun tersenyum puas melihat sikap diam Damara.
―Aku percaya kamu cukup bijaksana dalam mengambil keputusan... Pokoknya, aku senang kamu masih bisa nemenin aku semalam.‖ Anggun mencium pipi kiri Damara dengan bibir merahnya.
Damara tidak bereaksi. Otaknya menyarankan untuk membiarkan Anggun melakukan apa pun yang ia mau. Tak berapa lama Damara meraih tas kerja dan kunci mobilnya dari atas tempat tidur hotel lalu berjalan cepat-cepat meninggalkan Anggun yang masih berdiri dengan begitu angkuhnya.
Di setiap langkahnya Damara menyesalkan banyak hal. Menyesalkan kelemahan dirinya, menyesalkan ketidakberdayaannya, menyesalkan pilihannya, dan menyesalkan semua hal yang harus ia lalui dalam kehidupannya selama ini.
***
Sepeda Danu masuk ke pelataran rumah Anka. Sabtu malam ini Danu sudah berjanji menemani ayah Anka bermain catur. Untuk ukuran zaman sekarang, agak aneh memang ada remaja seusia Danu yang gemar bermain catur. Awalnya Danu juga tidak terlalu mengerti aturan mainnya. Hanya saja sejak mengenal ayah Anka, dan mengetahui ayah Anka sangat senang dengan permainan ini, Danu mulai mempelajarinya dari seorang kakek berusia 60 tahun, tetangga sebelah kontrakannya dulu.
Anka berdiri di teras depan rumahnya, sesekali berjalan mondar-mandir seakan gelisah menunggu seseorang. Menunggu Riko pastinya, pikir Danu.
―Hai, Ka, ngapain lo mondar-mandir di sini? Nunggu Riko jemput malam Mingguan?‖ tanya Danu, mengganti kata sapaannya.
Anka tidak menjawab. Ia hanya melihat Danu sekilas dan kembali menatap ke ujung jalan kompleks yang lumayan sepi.
Danu mendekati Anka dan melihat raut kecemasan di wajah gadis itu. ―Bentar lagi Riko juga datang, nggak usah segitu senewen kali, Ka.‖
Kali ini kata-kata Danu berhasil membuat Anka melayangkan tatapan galaknya. ―Gue nggak nunggu Riko, Danu!‖ sergah Anka jengkel.
―Jadi lo lagi nungguin siapa?‖ tanya Danu heran.
―Gue lagi nungguin Ayah sama Ibu.‖
―Emang ayah sama ibu lo ke mana?‖ tanya Danu lagi. ―Bukannya ayah lo udah janjian mau main catur sama gue malam ini?‖
Anka mengabaikan pertanyaan Danu. Ia berjalan ke kursi rotan di teras depan dan mengenyakkan tubuhnya. Sekali lagi menatap ujung jalan sambil menghela napas panjang lalu ganti menatap handphone di genggamannya dengan lesu.
―Telepon nggak diangkat-angkat lagi...‖ gumam Anka risau.
―Emang mereka ke mana sih, Ka? Kok kayaknya lo khawatir banget?‖ Danu duduk di samping Anka.
―Ke Bandung, ada acara di panti asuhan.‖
―Macet kali, Ka. Ini kan weekend, pas tanggal gajian lagi.‖ Danu mencoba menenangkan Anka yang dia tahu mudah panik dan cemas.
Hampir setengah jam Danu menemani Anka menunggu di teras depan, menahan serbuan nyamuk-nyamuk lapar, sementara Anka sibuk dengan kegelisahannya sendiri.
―Di sini banyak nyamuk, Ka...‖ keluh Danu, seraya menepuk nyamuk gemuk yang hinggap di tangannya. ―Kita nungguinnya di dalam aja yuk, sambil nonton DVD kek, apa kek.‖
Anka tersenyum kecil, melihat penderitaan Danu menjadi sasaran nyamuk-nyamuk kelaparan.
―Iya deh kita nunggu di dalam. Kebetulan gue baru beli DVD yang belum sempat gue tonton.‖
―Nah, gitu dong, itu baru Anka yang asyik! Udah... ayo masuk, gue udah hampir kehabisan darah nih disedot nyamuk melulu.‖ Danu segera berdiri, merangkul pundak Anka dan mengajak masuk bersamanya. ―Ntar ambilin camilannya kaastengel bikinan ibu lo ya, gue udah kangen nih.‖
Duduk nyaman di sofa empuk di ruang keluarga Anka memang jauh lebih baik ketimbang menjadi pendonor darah bagi nyamuk-nyamuk lapar di luar sana.
―Ka, emang malam ini lo nggak jadi pergi sama Riko?‖ tanya Danu, saat Anka kembali dari dapur membawa dua gelas es sirop jeruk dan stoples berisi kaastengel.
―Nggak jadi, kaki Riko keseleo waktu latihan basket tadi siang,‖ jelas Anka.
Danu tersenyum lebar. Tanpa banyak tanya lagi, ia memasukkan tangan ke stoples untuk mengambil segenggam kaastengel yang langsung dimakannya dengan perasaan bahagia.
Sayangnya saat-saat menyenangkan itu, khususnya bagi Danu, tidak berlangsung lama. Baru satu jam Danu tertawa bersama Anka saat menonton DVD drama komedi Hollywood, merasakan kembali kedekatan mereka seperti saat-saat sebelum Anka dekat dengan Riko, sesuatu yang luar biasa terjadi.
Handphone Anka berbunyi. Dengan cekatan Anka meraih handphone-nya. Wajahnya semakin ceria saat mendapati nama ayahnya di layar handphone.
―Halo, Ayah...‖
Tapi sedetik kemudian ekspresi wajah Anka yang ceria sontak berubah penuh tanya. ―Iya saya sendiri...‖ Detik selanjutnya raut wajah Anka diliputi kepanikan dan kengerian luar biasa disusul pekik tertahan. ―Di mana?!‖
Handphone-nya terlepas begitu saja dari genggamannya. Wajah Anka memucat, tatapannya mendadak kosong.
―Kenapa, Ka? Ayah lo bilang apa?‖ tanya Danu, khawatir melihat ekspresi Anka. ―Yang tadi telepon ayah lo, kan?‖
Anka menggeleng lemah, air mata mulai merembes dari sudut matanya.
―Lo kenapa, Ka?‖ Danu semakin cemas.
―Ayah sama ibu gue, Nu...‖ Suara Anka tidak bisa keluar, tenggorokannya tersekat. ―Ayah sama ibu gue...‖
―Iya... ayah sama ibu lo kenapa?‖
―Me-mereka... mereka kecelakaan...‖
Danu tidak bisa berkata apa-apa mendengar ucapan Anka. Syok. Berita yang ia dengar dari Anka membuatnya kosong sesaat. Isak tangis Anka yang semakin keras mengembalikan Danu ke dunia nyata, menuntutnya memosisikan diri sebagai sahabat yang bisa diandalkan. Paling tidak untuk saat ini, Danu bisa menenangkan Anka dengan membiarkan gadis itu
menangis di bahunya, sebelum benar-benar mendampingi Anka menghadapi kenyataan mengerikan di depannya.
***
Anka keluar dari ruang dokter dengan langkah limbung. Ia merasa kakinya tidak benar-benar berpijak pada lantai rumah sakit. Dinding koridor rumah sakit yang dingin seperti bergerak hendak mengimpitnya, membuat Anka terpaksa menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit, mencegah tubuhnya roboh di tengah koridor.
―Ka, Anka... lo baik-baik aja, kan?‖
Suara Danu terdengar samar-samar di telinganya, sama seperti kenyataan tragis yang entah mengapa harus terjadi pada dirinya. Setelah menerima telepon yang mengabarkan ayah dan ibunya mengalami kecelakaan di jalan tol menuju Jakarta, hidup Anka jungkir balik. Belum sempat Anka mencerna kabar mengejutkan itu, ia harus menerima fakta yang lebih mengerikan, membuyarkan usahanya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baikbaik saja.
Kalau kabar kecelakaan saja sudah sangat mengguncang Anka, bisa dibayangkan bagaimana terpuruknya gadis yang belum genap berusia 18 tahun ini, saat dokter mengatakan ayahnya tidak tertolong karena pendarahan hebat di kepala, sementara ibunya tidak sadarkan diri di ruang ICU. Anka sempat berpikir, lebih baik rasanya berada di posisi ayahnya yang tidak lagi merasakan apa-apa, ketimbang masih bernapas hanya untuk merasakan betapa sakitnya kehilangan orang yang dicintai.
Merasa kakinya sudah tidak sanggup lagi menopang tubuh, Anka merosot perlahan, terduduk di lantai di depan ruang dokter. Ia menyusupkan kepala di antara kedua lututnya, menyembunyikan air mata dan semua kepiluan di setiap gurat wajahnya dari orang yang lalulalang. Anka terisak, rasa sesak di dadanya terasa sangat menyiksa.
Hingga Anka merasakan tangan Danu memegang bahunya lalu duduk tepat di hadapannya. Dengan lembut Danu memeluk Anka, menyandarkan kepala Anka di dadanya. Tanpa katakata Danu membelai rambut Anka, seakan mengerti Anka membutuhkan sandaran, bukan pertanyaan.
Anka tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah semua kejadian ini, memikirkannya saja ia tidak sanggup. Ia tidak punya siapa-siapa kecuali kedua orangtuanya. Anka sama sekali tidak siap. Tragedi ini terlalu kejam dan terlalu mengerikan untuk menjadi nyata.
Tangisan Anka semakin hebat. Anka merasa tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang selain menangis dan menangis. Seakan menangis bisa menjadi jeda sesaat sebelum ia benarbenar menghadapi mimpi buruk yang tiba-tiba menjelma.
“Di sini gue nggak akan jadi orang yang sok ngerti apa yang lo rasain. Gue tahu cuma lo sendiri yang bener-bener ngerti apa yang lo rasain. Tapi selain ngerti perasaan lo sendiri, cobalah buat ngerti perasaan orang-orang di sekitar lo, orang-orang yang peduli sama lo, Ka...” - Danu
***
-4-
TERGESA-GESA Danu melangkah masuk ke rumah, saking tergesa-gesanya ia sampai tidak sadar bahwa kakaknya, Damara, sedang duduk di meja makan sambil mengamati dari balik koran yang tidak benar-benar dibacanya.
―Danu...‖ Suara tegas Damara menghentikan langkah Danu. ―Ke mana kamu semalam?‖ tanya Damara sambil menatap tajam ke arah Danu, membuat Danu tertunduk diam. ―Kamu tahu bagaimana khawatirnya Kakak semalam? Sama sekali nggak ada kabar! Handphone malah kamu tinggal di rumah.‖
―Maaf, Kak... semalam Danu di rumah sakit,‖ jawab Danu pelan sambil mengangkat wajahnya.
―Di rumah sakit? Kenapa? Ada yang ngeroyok kamu?‖
Damara mendekat, lalu mencermati wajah Danu dan mencari bekas luka yang mungkin ada di wajah atau bagian tubuh adiknya.
―Bukan Danu, Kak...‖ kata Danu menarik wajahnya dari Damara, risi dengan kekhawatiran kakaknya yang berlebihan.
―Terus siapa? Ngapain? Sampai-sampai nggak sempat kasih kabar!‖
―Danu nemenin Anka, Kak. Orangtuanya kecelakaan.‖
―Orangtua Anka? Lalu gimana keadaannya?‖ Nada suara Damara melunak.
Danu mendesah, mengusap wajahnya lesu. ―Ayah Anka meninggal, Kak... ibunya masih koma.‖
Damara terdiam, ada gurat keterkejutan disusul empati dan keprihatinan di wajahnya.
―Kak, niatnya Danu mau balik lagi ke rumah Anka. Kasihan Anka nggak ada yang temenin. Danu mau bantu pemakaman ayah Anka, nggak apa-apa kan, Kak?‖
―Ya sudah, sekarang kamu ganti baju. Kita pergi sama-sama ke rumah Anka.‖
―Kakak mau ikut ke rumah Anka?! Kakak nggak sibuk hari ini?‖ tanya Danu bertubi-tubi, takjub dengan kesediaan kakaknya.
Damara menepuk bahu Danu sambil tersenyum kecil. ―Anka itu sahabat kamu. Penting untuk Kakak nemenin kamu, di saat kamu harus menguatkan Anka.‖
Senyum Danu tersungging di wajah kakunya. Lega karena Damara juga bersedia menemani dan membantu semua urusan pemakaman ayah Anka, karena sebenarnya Danu pun sulit mengatasi kesedihannya sendiri saat harus melihat air mata yang tak henti mengalir di wajah Anka.
***
Kehilangan orang yang dicintai benar-benar mimpi buruk. Mimpi yang membuat siapa pun menjerit ketakutan saat terbangun. Begitu juga Anka, gadis itu pun ingin menjerit kuat-kuat
agar ia terjaga. Berharap semua hal mengerikan di hadapannya menghilang dan kembali pada kenyataan bahwa ayah dan ibunya masih ada di dekatnya.
Tapi Anka tidak sedang bermimpi. Melihat tubuh ayahnya dibalut kain kafan, menyaksikan jenazah ayahnya ditimbun tanah, dan menatap batu nisan bertuliskan nama ayahnya adalah kenyataan. Anka bisa merasakan semuanya. Sakitnya menghadapi kenyataan dan sakitnya kehilangan. Andai bisa, Anka ingin meminta Tuhan mematirasakan semua organ tubuh yang berkaitan dengan perasaan, agar kesedihan ini tak terasa.
Banyak yang datang untuk menunjukkan rasa duka mereka atas kepergian ayah Anka. Para tetangga, pengurus panti asuhan tempat ayah dan ibu Anka dulu tinggal, rekan kerja dan para petinggi biro travel tempat ayah Anka bekerja, guru dan teman sekolah Anka, termasuk Riko—datang dengan kaki yang sepertinya masih kaku—tidak terlewat Danu, orang yang dari awal menjadi saksi hal mengerikan yang dialami Anka.
Semua datang untuk mengatakan keprihatinan mereka, atau paling tidak mereka datang karena peduli. Tapi entah kenapa kedatangan orang-orang itu sama sekali tidak mengurangi kesedihan Anka. Mereka mungkin bisa dengan mudah mengatakan pada Anka agar sabar dan tabah menghadapi musibah ini. Tapi siapa mereka? Bagi Anka, mereka hanya orang luar yang tidak tahu sesakit apa rasanya ditinggalkan sang ayah secara tiba-tiba, sementara ibu tercinta kritis di rumah sakit.
***
Tiga hari berlalu sejak peristiwa tragis yang menimpa keluarga Anka. Orang-orang, yang pada pemakaman ayah Anka turut menyatakan berdukacita, sudah kembali menjalani hidup mereka sebagaimana mestinya. Begitu pun dengan Danu, sudah kembali duduk di kelas seperti biasa, mengisi otaknya dengan berbagai istilah bahasa asing. Mereka mungkin berpikir, apa yang menimpa keluarga Anka adalah musibah yang perlu mendapat simpati sesaat. Setelahnya... tidak ada alasan bagi mereka untuk kembali menundukkan kepala.
Dunia memang tidak berhenti berputar dengan apa yang terjadi pada Anka, hanya dunia Anka yang sepertinya enggan kembali bergerak. Sejak pemakaman ayah Anka, Danu belum pernah melihat Anka di sekolah, rumahnya pun selalu kosong setiap kali Danu datang untuk menemuinya. Begitu juga di rumah sakit, sangat sulit mencari Anka. Gadis itu seperti menutup diri dari dunia luar.
Berkali-kali Danu mencoba meneleponnya, tapi handphone Anka tidak pernah aktif, dan tidak ada yang mengangkat telepon rumahnya. Ini jelas membuat Danu cemas. Sebagai sahabat ia tidak ingin Anka seperti ini, akan lebih baik kalau Anka mau berbagi kesedihannya, ketimbang menutup diri dan terus menghindar.
Tidak berbeda dengan Danu, Riko pacar Anka pun tidak kalah gelisah. Ia tidak pernah absen mendatangi kelas Danu untuk menanyakan keadaan Anka, karena sangat yakin Danu tahu sesuatu tentang Anka.
―Nu, lo nggak usah bohong sama gue, lo pasti tau kan Anka di mana? Lo kan deket sama dia!‖ desak Riko, lagi-lagi menanyai Danu. Kali ini Riko mencegat Danu saat berjalan menuju kantin bersama Andro.
―Ya ampun, Ko! Harus berapa kali gue bilang, gue nggak tau. Handphone Anka nggak pernah aktif, rumahnya sepi melulu,‖ jelas Danu tidak sabar.
―Rumah sakit? Lo tau kan rumah sakit tempat ibu Anka dirawat?‖ Riko tidak menyerah.
―Gue udah ke rumah sakit, tapi nggak gampang masuk ke sana. Ibu Anka dirawat di ruang ICU, nggak sembarang orang boleh masuk.‖
Kekecewaan jelas terlihat di wajah Riko, setelah mendengar penjelasan Danu.
―Oke, Nu. Gue ngerti... Nanti kalo lo dapat kabar dari Anka, langsung kontak gue. Thanks ya.‖
Riko berlalu dengan kepala tertunduk lesu. Kasihan juga Danu melihat Riko. Memang tidak enak kalau tidak bisa dekat dengan orang yang disayangi saat orang itu sedang dalam keadaan sulit.
―Nu, beneran lo belum bisa kontak Anka sampai sekarang?‖ tanya Andro sementara mereka kembali berjalan menuju kantin. ―Waktu kemarin lo ke rumahnya, nggak ketemu dia?‖
―Nggak, Ndro. Rumahnya sepi.‖
―Emang selama ini Anka cuma sendirian di rumahnya?‖
―Waktu acara pemakaman ayahnya, Anka bilang ke gue, ibu pengurus panti asuhan dari Bandung bakal nemenin dia selama seminggu. Tapi nggak tau deh, gue juga bingung, Ndro.‖
Andro mengangguk pelan, seakan mengerti semua penjelasan Danu.
―Nanti pulang sekolah rencananya gue mau coba ke rumah sakit lagi, Ndro. Gue harus bisa ketemu Anka,‖ kata Danu datar. ―Gue nggak bisa biarin Anka kayak gini terus.‖
―Oke, Nu, bagus tuh. Lo harus tetap usaha, kalo bukan lo siapa lagi yang bisa nolongin Anka? Jangan kayak si Riko... Cuma bisanya nanya doang, bukannya usaha sendiri!‖ cibir Andro sengit. ―Entar pulang sekolah gue anterin lo ke rumah sakit naik motor.‖ Andro menepuk bahu Danu, membuat Danu merasa mendapat dukungan.
***
Anka berdiri di samping ranjang tempat tubuh ibunya tergolek tak berdaya dengan berbagai macam alat medis menempel di tubuh. Lagi-lagi, lelehan air mata tidak bisa ditahan Anka. Melihat kondisi ibunya seperti ini, Anka merasa lemah karena tidak mampu berbuat apa-apa. Kalau saja ibunya tidak dalam kondisi mengenaskan, mungkin rasa sedih Anka ditinggal sang ayah tidak terasa seberat ini. Paling tidak, ibunya akan menjadi teman bagi Anka menjalani semua. Tragisnya, keadaan memaksa Anka menjalani mimpi buruk ini seorang diri.
Dulu Anka pernah mempertanyakan alasan bodoh yang membuat orang-orang di luar sana memutuskan bunuh diri. Namun sekarang Anka tahu, ada alasan logis bagi orang-orang tersebut menjadikan bunuh diri sebagai jalan keluar, tidak sanggup lagi menahan rasa sakit. Di tengah kerapuhannya, sempat tebersit di benak Anka untuk memilih jalan keluar yang sama. Tapi saat ia dihadapkan dengan tubuh koma ibunya, semua pikiran negatif itu seakan
terbang menjauh. Ia harus bertahan hidup demi ibunya yang sedang berjuang meraih kehidupan.
―Anka, sebaiknya kamu makan siang dulu ke kantin, biar Bunda yang jaga ibumu.‖
Anka menoleh, cepat-cepat mengusap air mata yang tadi sempat mengalir. Bunda Lastri, pengurus panti asuhan tempat ayah dan ibu Anka tinggal dulu, tersenyum lembut di sampingnya.
―Anka belum lapar, Bunda, nanti aja ke kantinnya.‖
―Kamu perlu makan, Ka. Dari tadi pagi Bunda belum lihat kamu makan apa-apa. Jangan begitu, Ka, nanti kamu sakit.‖ Bunda Lastri membelai lembut rambut Anka, senyum yang tersungging di wajahnya begitu menenteramkan, penuh ketulusan, membuat Anka enggan membantah lagi.
―Kalau begitu Anka keluar dulu ya, Bunda.‖
Anka melepaskan baju penjenguk berwarna hijau, dan menyangkutkannya di balik pintu ruang rawat ICU. Sebelum berjalan ke luar, Anka menoleh ke arah ibunya, menatap sesaat seakan dalam tatapannya ia mengatakan, ―Anka keluar dulu, Bu‖ pada tubuh koma ibunya.
Saat membuka pintu ruang rawat, Anka langsung melihat Danu duduk di bangku tunggu di depan ruang rawat dan tersenyum ke arahnya. Dengan canggung Anka mendorong pelan tangkai pintu ruang rawat, berniat masuk kembali. Ia belum ingin bertemu Danu. Namun sebelum pintu berhasil tertutup sempurna, Danu dengan cekatan meraih tangannya.
―Gue mohon, Ka... jangan kayak gini terus. Kita harus ngomong!‖ kata Danu tegas.
Melihat tatapan memelas Danu, Anka melepaskan tangannya dari tangkai pintu, membiarkan Danu meraih lengannya dan menuntunnya berjalan ke arah taman belakang rumah sakit. Mereka duduk di kursi panjang, tepat di bawah pohon mangga yang begitu rindang dan
menyejukkan. Angin segar menerpa wajah Anka, seakan memberinya kesegaran di sela kesedihannya.
―Sori, gue maksa lo kayak gini... Tapi cuma ini caranya supaya lo mau ketemu gue,‖ Danu memulai obrolan.
Anka hanya diam, tidak tahu harus bagaimana menanggapi kata-kata Danu. Anka juga tidak berani menatap wajah Danu, ia lebih memilih menunduk menatap sepatu kets hitam Danu yang melengkapi seragam putih-abu-abunya.
―Boleh gue tanya? Kenapa selama ini lo menghindar dari gue?‖ lanjut Danu. ―Bisa gue dengar alasannya?‖
Sulit untuk menjawab pertanyaan Danu sekarang ini, terlalu banyak alasan yang membuat Anka merasa perlu menghindar dari orang-orang yang selalu menatapnya dengan tatapan iba dan penuh simpati.
―Ka... lo belum jawab pertanyaan gue,‖ tegur Danu pelan.
―Gue capek, Nu... Capek dikasihani.‖ Anka akhirnya bersuara. ―Gue bosen denger mereka bilang, ‗Sabar ya, Ka...‘. Gue jengah denger semuanya! Apa yang mereka ucapkan sama sekali nggak menghibur gue, yang ada bikin gue ngerasa rapuh...‖ Anka menghela napas lelah setelah mengutarakan apa yang ada di benaknya.
Danu tersenyum maklum, ia merangkul bahu Anka, seraya berkata, ―Di sini gue nggak akan jadi orang yang sok ngerti apa yang lo rasain. Gue tahu cuma lo sendiri yang bener-bener ngerti apa yang lo rasain. Tapi selain ngerti perasaan lo sendiri, cobalah buat ngerti perasaan orang-orang di sekitar lo, orang-orang yang peduli sama lo, Ka...‖
Mata Anka kembali berkaca-kaca mendengar ucapan Danu, mungkin karena Anka merasa perkataan Danu benar atau karena matanya saja yang sudah tidak bisa mengontrol air mata. Anka menengadahkan wajah, mencegah air matanya jatuh. Ia tidak ingin Danu melihatnya menangis lagi.
―Kenapa, Ka? Kalo mau nangis, nangis aja. Nggak perlu ditahan. Lo bisa nangis di depan gue karena itu alasan gue ada di sini... untuk jadi sandaran lo, bantuin lo bangkit lagi setelahnya.‖
Usaha Anka menahan air matanya gagal, tanpa bisa ditahan air mata kembali mengalir di pipinya. Anka menutupi wajah dengan kedua tangan, berusaha keras meredam isak tangisnya. Danu mengeratkan rangkulan sebelah tangannya pada Anka, menyandarkan kepala Anka di pundaknya, membiarkan Anka terisak selama yang ia mau.
―Sori ya, baju seragam lo jadi basah sama air mata gue,‖ kata Anka, seraya mengusap pelan air matanya setelah hampir setengah jam menangis di bahu Danu.
―Nggak masalah, Ka... Lagian seragam gue udah telanjur kotor, udah tiga hari belum gue cuci. Gue malah heran lo nggak pingsan nyium baunya.‖
Anka tersenyum kecil mendengar kata-kata Danu.
―Gue seneng lo bisa senyum lagi...‖ Danu menatap lembut ke arah Anka. ―Gue kangen sama Anka yang senyumnya bisa bikin gue ikut senyum juga.‖
Anka menghela napas berat, menyunggingkan senyum getir di wajahnya sebelum menoleh ke arah Danu. ―Mulai sekarang lo bakal jarang lihat gue senyum.‖
―Kenapa?‖
―Karena... Mungkin setelah ini bakalan banyak hal yang bikin gue susah senyum.‖ Anka menunduk lesu, kakinya bergerak menyibakkan rumput-rumput kecil di bawah bangku taman.
―Oke... tapi gue akan selalu ada buat bikin lo senyum, bahkan bikin lo ketawa,‖ kata Danu mantap. Danu mengambil ransel yang diletakkannya di samping kursi taman lalu mengambil
sesuatu dari dalam tasnya. Danu menyodorkan sebatang lollipop susu pada Anka. ―Ini buat lo, sengaja gue beli di kantin sekolah.‖
Ragu-ragu Anka mengambil lollipop dari tangan Danu. Anka kembali tersenyum saat membaca tulisan tangan Danu di sekeliling pembungkus lollipop: “Smile, Anka”.
―Tuh, kan... belum apa-apa gue udah berhasil bikin lo senyum lagi.‖
―Thanks ya, Nu, makasih lo tetap ada saat gue butuh sahabat.‖
―Itulah gunanya sahabat. Makanya, lo harus janji nggak menghindar lagi dari gue dan orangorang yang peduli sama lo.‖
Anka mengangguk, tersenyum seraya menatap Danu yang tersenyum lega padanya. ―Janji. Gue nggak bakal menghindari lo.‖
―Nah, gitu dong! Itu baru Anka yang gue kenal. Semangat...!‖ seru Danu.
―Tapi buat semangat, kayaknya gue harus makan biar ada tenaga. Kalo lo cuma ngasih lollipop gopekan supaya gue senyum, paling cuma bisa senyum dua detik doang.‖
Danu tertawa mengacak-acak rambut Anka, lega gadis ini hampir kembali menjadi Anka yang ia kenal dulu.
―Oke, gue traktir lo makan apa aja yang lo mau.‖ Danu bangun dari duduknya, menyandangkan ransel ke bahunya lalu mengulurkan tangan pada Anka. ―Kalo gue beliin soto ayam kesukaan lo, kira-kira bisa senyum berapa lama?‖
―Kita liat seberapa enak soto ayamnya,‖ jawab Anka seraya menyambut tangan Danu.
Danu menggandeng Anka, berjalan menuju kantin rumah sakit. Mungkin ini hanya permulaan semua usaha Danu menjadi penopang bagi Anka. Hanya usaha kecil. Akan ada banyak hal lagi yang perlu dilakukannya untuk membuat Anka tetap berdiri tegar.
***
“Lo mau bantuin apa lagi? Bantu bayar biaya rumah sakit ibunya?!” - Andro
***
-5-
DAMARA duduk menghadap kliennya, Imelda, di ruang kerjanya. ―Ini untuk kesekian kalinya Anda menyembunyikan fakta dari saya... Kalau Anda tidak bisa memercayai saya sebagai kuasa hukum Anda, akan sulit bagi saya menyiapkan pembelaan untuk Anda.‖ Damara menatap tajam ke arah Imelda yang sedari tadi hanya menunduk.
Tidak banyak yang dikatakan Imelda selama proses perceraiannya dengan seorang pengusaha properti terkenal negeri ini. Damara justru mendengar rentetan kisah rumah tangga Imelda dari manajernya, selebihnya Damara hanya mendapati kliennya tertunduk diam dengan mata sembap dan beberapa luka lebam di wajah yang sebisa mungkin ditutupinya.
Awalnya Damara dapat memaklumi sikap diam Imelda, mungkin ada penjelasan psikologis untuk itu. Namun setelah sekian lama berlangsung, Damara tidak mungkin membiarkan kliennya terus-terusan diam.
―Anda ingin saya melakukan langkah hukum seperti apa, kalau Anda tidak mendiskusikan semuanya dengan saya? Manajer Anda bukan orang yang saya tangani kasusnya, kan? Saya ingin mendengar semua langsung dari Anda, bukan dari manajer Anda!‖
Imelda tetap diam, tidak menjawab apa-apa. Damara menghela napas, membalikkan badannya, dan menatap ke bawah melalui dinding kaca, ke pelataran parkir gedung dari ruang kerjanya di lantai tiga. Kira-kira sepuluh wartawan infotainment menunggu dengan setia.
―Anda bisa saja tidak menceritakan apa pun pada wartawan di luar sana, tapi kepada saya, kuasa hukum Anda, tidak bisa seperti itu.‖
Imelda mendongak pelan menyusul perkataan Damara, mata sembapnya yang mengguratkan begitu banyak kesedihan menatap Damara.
―Saya cuma ingin bercerai. Hanya itu langkah hukum yang ingin saya tempuh,‖ kata Imelda lirih.
―Anda yakin hanya menginginkan perceraian?‖ Damara mendekati Imelda, kembali duduk di kursi kerjanya. ―Anda sudah banyak mengalami perlakuan menyakitkan dari suami Anda, saya rasa bukan keputusan yang bijak jika Anda hanya menginginkan perceraian.‖
―Sebagai orang yang menyewa jasa hukum Anda, saya berhak menentukan langkah hukum seperti apa yang ingin saya tempuh,‖ tegas Imelda yang tiba-tiba menatap tajam pada Damara. ―Biro hukum ini merekomendasikan Anda, karena Anda dinilai sangat kompeten menangani kasus perceraian. Jadi, tunjukkan kompetensi Anda dengan segera menyelesaikan kasus perceraian saya... hanya kasus perceraian saya.‖
Damara dibuat terenyak sesaat dengan sikap Imelda. Wanita yang tadinya begitu diam tak disangka bisa begitu lugas menegaskan apa yang diinginkannya.
―Apa yang saya inginkan sudah saya sampaikan dengan cukup jelas, selebihnya Anda bisa menanyakan pada manajer saya. Selamat siang,‖ pungkas Imelda, seraya memakai kacamata gelap untuk menutupi mata sembapnya lalu beranjak dari ruang kerja Damara.
Damara mengenyakkan tubuhnya di kursi kerja, tak menyangka menangani kasus perceraian orang terkenal akan begitu melelahkan. Damara berdiri, sekali lagi menatap ke luar melalui dinding kaca. Wartawan tampak sibuk mengerumuni Imelda yang baru saja keluar dari gedung, menuntut pernyataan.
Imelda memang berbeda, tidak seperti kebanyakan klien yang pernah ditangani Damara yang rata-rata membuka berbagai hal buruk mengenai pasangannya. Tak sedikit pula yang matimatian menuntut harta gono-gini. Tapi Imelda tidak pernah sekali pun bercerita tentang apa yang dialaminya. Hanya beberapa luka lebam di sudut wajahnya yang bercerita. Imelda pun tidak pernah menyatakan akan menuntut harta gono-gini, padahal suaminya memiliki aset miliaran rupiah. Imelda terkesan hanya ingin mengakhiri rumah tangganya, hanya ingin segera terlepas dari orang yang selama ini menjadi suaminya. Hal ini membuat Damara lelah
dengan sikap Imelda, sekaligus merasa tertantang untuk menyelesaikan kasus model cantik yang begitu menutup dirinya.
***
Saat jam pelajaran olahraga, Danu tengah berdiri di lapangan basket saat matanya bergerak mengikuti sosok Anka yang bergegas di koridor dengan setumpuk buku menuju lab kimia, 200 meter dari tempat Danu berdiri. Hampir setiap hari Danu melihat Anka seperti itu, berjalan bergegas ke sudut sekolah dengan sedikitnya 5 buah buku tebal di tangannya. Anka selalu terlihat sibuk. Hampir tidak pernah lagi Danu melihat Anka duduk santai, bersantai di bangkunya dengan earphone terpasang di telinga saat jam istirahat, seperti dulu. Tidak pernah lagi Anka melambai ceria ke arah Danu setiap kali lewat atau memang sengaja datang menemui Danu di kelasnya.
Suara peluit yang melengking menyentak Danu. Ia menoleh ke arah guru olahraga yang menatapnya galak sambil menggerakkan tangan mengisyaratkan Danu harus ikut berlari mengelilingi lapangan mengikuti teman-teman sekelasnya.
***
―Hi, miss busy...‖ Danu mengenyakkan punggungnya di kursi perpustakaan, di samping Anka yang terlihat serius dengan buku tebal bertabur angka. Danu tersenyum saat Anka menoleh ke arahnya.
―Eh, Nu... gue kira siapa. Ngagetin aja lo.‖
―Serius banget sih, ini kan udah jam pulang, lo masih nongkrong di sini.‖
―Gue ada tugas, Nu, jadi gue harus nyari bahan,‖ jelas Anka sambil membolak-balik halaman buku, mengabaikan Danu.
―Temen sekelas lo bilang tugas ini baru dikumpulin minggu depan. Nggak usah maksain diri ngerjain sekarang, Ka...‖
―Nggak ada salahnya kan, ngerjain tugas lebih awal?‖ sanggah Anka. ―Kata orang bijak begitu, jangan pernah nunda kerjaan.‖
Danu mendesah, kesal sendiri menghadapi sikap keras kepala Anka. ―Eh, tadi di depan gue ketemu Riko, kok lo nggak pulang bareng dia?‖ tanya Danu heran. ―Kenapa, Ka?‖
―Kan gue masih banyak kerjaan, jadi gue suruh dia pulang duluan,‖ jawab Anka enteng tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
Danu berhenti bertanya, pasrah dengan sikap kukuh Anka. Ia memutuskan duduk diam di samping Anka sambil membaca ensiklopedia yang diambilnya asal dari rak buku, sementara Anka terus berkutat dengan tugasnya.
―Balik yuk, Ka,‖ ajak Danu akhirnya, setelah hampir setengah jam ia menemani Anka. ―Kasihan tuh Pak Alan, kayaknya dia udah mau pulang juga.‖
Anka mendongak, menebar pandangannya ke sekeliling perpustakaan, hanya tinggal mereka berdua dan Pak Alan, penjaga perpustakaan yang sedang memasukkan barang-barangnya ke tas kerja.
―Tapi gue nggak langsung pulang ke rumah, Nu. Gue harus ke rumah sakit, jagain Ibu,‖ kata Anka sambil membenahi buku-bukunya. ―Lo pulang aja, gue langsung berangkat. Dari halte depan gue tinggal naik Metromini ke rumah sakit.‖
―Gue ikut, Ka. Gue mau nemenin lo ke rumah sakit.‖
***
Keringat mengalir di dahi Danu saat berdiri berdesakan bersama penumpang Metromini lain. Di sampingnya Anka yang beruntung mendapat tempat duduk juga sibuk menyeka keringat, tak kalah kepanasan.
―Nih, minum...‖ Danu menyodorkan sebotol air mineral yang baru saja ia beli dari pedagang asongan yang melewatinya.
―Thanks ya, Nu,‖ kata Anka seraya mengambil air mineral yang disodorkan Danu.
Bukan main padatnya Metromini siang ini, sampai-sampai Danu merasa seperti berada bersama ribuan ikan teri yang siap dipepes. Orang-orang berdesakan dengan egois, memaksakan diri untuk masuk, membuat Danu harus berpegang kuat ke besi pegangan Metromini. Anka, yang duduk di bagian sisi luar jajaran kursi Metromini, tidak luput dari ketidaknyamanan. Danu sampai harus merentangkan tangannya ke pegangan kursi untuk melindungi Anka, tapi tidak cukup. tangannya tidak cukup kuat menahan desakan penumpang yang berjejalan. Danu agak membungkuk, menyandarkan kepala Anka ke sisi kanan tubuhnya, sementara tangannya tanpa sadar merangkul bahu Anka.
***
Damara menyeruput espresso dari cangkirnya, duduk di salah satu sudut kafe yang kebetulan berada satu gedung dengan biro hukum tempatnya bekerja. Damara memakai kacamata frameless tipisnya, membaca beberapa berkas di atas meja.
―Serius banget pengacara yang satu ini.‖
Damara mendongak lalu tersenyum saat Rio, sahabatnya, berdiri di samping mejanya.
―Eh, Yo... tumben lo nyamperin gue, nggak sibuk?‖
―Bosnya kan gue di sini, jadi bisa nyuruh orang gantiin kerjaan gue!‖
Damara mendengus mendengar jawaban Rio. Pria yang satu ini memang terkenal terlalu bangga akan dirinya sendiri, tapi justru itu sisi menyenangkan dalam diri Rio.
―Lo cuma minum kopi doang, Mar? Cobain cheesecake baru kita dong, enak tau! Di atasnya disiram krim spesial kreasi chef di sini... lo harus coba!‖
―Dapat diskon berapa kalo gue order itu?‖
―Gue kasih harga temen deh...‖ Seperti biasa Rio mengeluarkan jurus marketing-nya. ―Gue orderin buat lo ya?‖
―Terserah lo deh. Dasar manajer kerjaannya jualan melulu!‖ Damara menyerah, pura-pura menggerutu.
Dengan cengiran lebar, Rio mengangkat tangan memanggil pelayan dan meminta dibawakan pesanan untuk Damara.
―Lo sekarang sering dikejar-kejar wartawan infotainment ya, Mar? Kemarin gue liat lo di TV.‖
―Ya... begitulah kalau ngurusin artis tenar, mau nggak mau harus nongol di infotainment,‖ jawab Damara, melepaskan kacamata dan meletakkannya di atas berkas yang tadi ia baca. ―Suka nggak suka itu risiko gue terima kasus selebriti.‖
―Iya sih... Gue cuma pengin ketawa aja liat lo mati gaya di depan kamera.‖
Damara hanya tersenyum kecil menanggapi kata-kata Rio. Sejak berteman dengan Rio, empat tahun lalu, dengan caranya sendiri Rio bisa membuat kesulitan yang dihadapi Damara bisa dilewatinya dengan banyak tawa.
―Nih kafe mulai rame, Yo,‖ Damara menebar pandangan ke sekeliling kafe. ―Lo berbakat juga jadi manajer kafe.‖
―Itu untungnya kafe franchise, nggak perlu terlalu banyak promosi lagi. Ya, lumayanlah nggak malu-maluin gue di depan big boss... Sekarang rencananya kita malah mau rekrut tenaga tambahan, mulai kewalahan nih pas jam makan siang dan jam keluar kantor.‖
―Eh, beneran lo nggak apa-apa nemenin gue di sini?‖ tanya Damara.
―Nggak, nggak... Ini belum terlalu rame kok. Lagian ada yang mau gue omongin sama lo.‖ Rio mendadak menatap Damara dengan serius.
Keseriusan raut wajah Rio mencegah Damara mencicipi cheesecake yang sudah terhidang di depannya. Damara meletakkan kembali garpu kecil di atas piring cheesecake-nya.
―Mau ngomong soal apa?‖
Rio mencondongkan wajahnya ke tengah meja, menggerakkan jarinya memberi isyarat agar Damara mendekat. Dengan bingung Damara mengikuti isyarat Rio.
―Kemarin Anggun ke sini, nungguin lo,‖ ujar Rio pelan.
Damara tertegun sesaat. Lalu pelan-pelan menegakkan kembali posisi duduknya, sementara Rio masih menatapnya dengan tatapan menginterogasi.
―Selain Anggun, mantan atasan kita dulu, Mbak Angel, sering datang ke sini nyari info terbaru tentang lo,‖ tambah Rio, masih dengan mimik yang sama. ―Itu maksudnya apa, Mar?‖
Damara terdiam. Sulit rasanya menjawab pertanyaan Rio, sebab butuh banyak penjelasan yang mungkin akan sulit dimengerti Rio.
―Mar... lo sudah nggak ada hubungan sama mereka, kan? Lo ngikutin nasihat gue dulu kan, Mar?‖ selidik Rio.
Damara masih terdiam, matanya menatap kosong pada Rio, yang terus menunggu jawabannya. Rio menatap Damara seakan dalam tatapannya Rio berharap Damara menjawab ―tidak‖ untuk pertanyaannya.
***
―Makasih, Nu, rotinya enak banget.‖ Anka melahap roti bakar isi selai kacang yang dibawa Danu dari rumahnya.
Danu tersenyum kecil, usahanya bangun lebih awal agar bisa menyiapkan roti bakar untuk Anka tidak sia-sia. ―Kalo lo mau, gue bisa bawain roti bakar setiap hari. Soalnya gue sama Kak Damara biasa bikin roti beginian buat sarapan,‖ kata Danu setengah berbohong, karena sebenarnya ia tidak pernah sengaja membuat roti bakar untuk sarapan, paling bagus hanya beli nasi uduk di dekat rumah.
Danu meluruskan kakinya di rerumputan halaman belakang sekolah yang lumayan teduh oleh rindangnya pohon besar yang berada tepat di tengah kebun belakang. Sementara Anka duduk di samping Danu, masih menikmati roti bakarnya sambil serius memperhatikan berkas-berkas di pangkuannya.
―Itu kertas apaan, Ka?‖ tanya Danu, ikut memperhatikan kertas-kertas yang dari tadi menyita perhatian Anka. ―Itu dari rumah sakit ya?‖
―Ini rincian biaya administrasi perawatan ibu gue...‖ jawab Anka pelan. Danu menjulurkan kepalanya ikut membaca tulisan-tulisan yang tercetak di kertas itu.
―Biayanya gede banget, Ka!‖ seru Danu, terkejut melihat barisan angka yang menurutnya sangat besar.
―Gitu deh, Nu... Gue juga bingung,‖ keluh Anka lesu. ―Ibu hanya ibu rumah tangga biasa, nggak punya asuransi atau tunjangan kesehatan apa-apa. Tabungan Ayah dan Ibu ditambah santunan sana-sini cuma cukup bayar setengahnya.‖ Anka mendesah lelah, menebarkan pandangannya ke sekeliling kebun belakang, seakan berharap menemukan solusi di sana.
―Kayaknya gue harus kerja, Nu,‖ cetus Anka tiba-tiba, membuat Danu menoleh cepat ke arahnya.
―Kerja?! Kerja apaan? Lo kan masih sekolah.‖
―Kerja apa aja, yang penting bisa dapet uang buat biaya hidup gue. Syukur-syukur bisa nambahin biaya rumah sakit.‖ Anka menunduk lesu, seakan ia sendiri tidak yakin mampu melakukan apa yang baru saja ia katakan.
Danu ikut menunduk, merasa tidak memiliki kemampuan untuk memberi solusi.
―Terus, lo mau cari kerja di mana?‖ Danu kembali bertanya.
―Di mana aja, selama gue bisa dapet uang halal.‖ Anka tersenyum getir. ―Lo mau kan bantuin gue cari info kerjaan buat anak SMA kayak gue...?‖ Danu terdiam, menghela napas. ―Lo mau bantuin gue kan, Nu?‖ ulang Anka menegaskan.
Danu mengangguk akhirnya, menyanggupi permintaan Anka. Disusul senyum optimistis Anka.
Bel istirahat selesai berbunyi. Anka segera berdiri, mengulurkan tangannya pada Danu yang masih termangu.
―Yuk balik ke kelas...‖ ajak Anka.
Danu menyambut tangan Anka, berjalan meninggalkan kebun belakang sekolah dalam diam.
Danu melirik Anka, ia begitu mengagumi sosok gadis yang berjalan di sampingnya. Gadis muda ini terlihat begitu tegar, begitu kuat menghadapi semua kesulitan dalam hidupnya yang pastinya sangat berat bagi gadis seusianya. Dalam hati, Danu bertekad akan selalu berada di samping Anka, menjadi sandaran saat Anka merasa lemah dan saat Anka tidak sanggup lagi menyembunyikan kerapuhannya.
***
-6-
ANKA duduk di teras belakang rumahnya, kepalanya menoleh ke arah ruang tamu menatap Danu yang sedang membantu Pak Arman, tetangganya, mengangkut TV dari ruang keluarga. Sedih rasanya melihat TV yang biasa ditontonnya setiap malam bersama kedua orangtuanya harus keluar dari rumah mereka.
Pagi ini Anka terpaksa menjual TV tersebut kepada tetangganya karena ia sangat membutuhkan tambahan uang untuk melunasi tagihan sementara perawatan ibunya yang masih terbaring lemah. Anka menunduk menatap lesu amplop berisi uang pembayaran TV yang dijualnya.
Danu menghampiri Anka, dan duduk di sebelahnya. ―Liat, Ka... Gue dikasih dua puluh ribu nih sama Pak Arman, upah bantuin angkut TV ke rumahnya.‖ Danu mengibas-ngibaskan uang 20.000-an di depan Anka memasang wajah ceria. ―Lumayan kan, Ka, gue bisa traktir lo makan bakso sama es campur di kantin rumah sakit nanti.‖
Anka tidak berkomentar, matanya menekuri amplop cokelat yang dipegangnya dengan raut menyesal.
―Jangan sedih, Ka... lo kan masih ada TV empat belas inci di kamar lo,‖ Danu mencoba menghibur. ―Lo masih bisa nonton, kan?‖
―Kira-kira Ayah sama Ibu bakal marah nggak ya kalo tau gue jual TV itu?‖ kata Anka murung, ―Gue ngerasa aneh...‖
Danu bergeser, duduk di depan Anka untuk melihat ekspresi Anka sepenuhnya.
―Mereka pasti tahu alasannya, dan pasti ngerti. Gue yakin, mereka juga pasti bangga sama lo, anak yang bisa diandalkan nyelesaiin masalah seberat ini.‖
Anka tersenyum getir menatap Danu, seakan tidak percaya Danu mengatakan hal itu. ―Apanya yang dibanggain? Gue nggak ngelakuin apa-apa selain jualin barang,‖ kata Anka lirih. ―Dan bisa jadi TV itu bukan barang pertama yang bakal gue jual. Gue cuma anak nggak berguna, Nu...‖
Danu kembali duduk di samping Anka, merangkul bahu Anka yang lunglai.
―Hei, denger gue... TV, atau barang-barang lain di rumah ini yang mungkin kejual nantinya, nggak ada artinya kalo nggak ada usaha dari lo, Ka. Sejauh ini lo sangat dewasa ngelewatin semuanya. Gue bangga sama lo, dan gue yakin orangtua lo juga bangga sama lo.‖
Anka mendongak pelan, menoleh untuk menatap Danu dengan matanya yang mulai berkacakaca.
―Nggak usah sampe kayak gitu ngeliatin gue, gue jadi berasa ganteng diliat kayak gitu,‖ kata Danu membuyarkan keterharuan Anka.
Anka mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, menghela napas, dan tersenyum lebar setelahnya.
―Kayak gini kan lebih bagus,‖ komentar Danu ikut tersenyum. ―Yuk kita jalan.‖
―Ke mana, Nu?‖
―Kata Andro ada toko bunga yang lagi cari tenaga part time. Kita ke sana, siapa tau lowongannya masih ada,‖ jelas Danu seraya berdiri dari duduknya. ―Ayo, katanya lo mau kerja, mumpung masih siang nih. Abis itu kita masih harus ke rumah sakit, kan?‖
Senyum Anka mengembang semakin lebar, ia bergegas berdiri. Ini saatnya berhenti menjadi Anka yang cengeng, saatnya berjuang untuk mengendalikan kembali alur kehidupannya yang sempat berantakan. Meski sulit, semuanya harus dapat dijalaninya dengan wajah terangkat penuh ketegaran.
***
Anka mengelap tangan ibunya dengan handuk basah. Dengan telaten Anka membersihkan tubuh ibunya. Seraya membersihkan tubuh ibunya, Anka duduk di kursi kecil yang sengaja ia letakkan di sisi ranjang. Anka menatap wajah pucat ibunya, menyibakkan rambut yang menutupi wajah ibunya.
―Ibu cantik, walaupun Ibu nggak buka mata...‖ kata Anka sambil tersenyum mendengar ucapannya sendiri. ―Ibu pasti nyangka Anka bilang Ibu cantik karena Anka punya salah, tapi hari ini Ibu benar-benar cantik di mata Anka.‖
Air mata Anka lagi-lagi menggenang, membuat tenggorokannya terasa sakit menahan untuk tidak menangis. Anka menelungkupkan wajahnya ke tangan ibunya, merangkulkan sebelah tangannya ke tubuh ibunya.
―Maafin Anka ya, Bu. Anka cuma bisa ngelakuin ini buat Ibu,‖ bisik Anka parau. ―Tapi Anka janji, Bu, akan bekerja keras untuk ngembaliin apa yang sudah keluar dari rumah kita... Ibu bantuin Anka ya, Bu. Anka yakin walaupun Ibu nggak sadar, Ibu bisa denger Anka, Ibu bisa doain Anka dengan cara Ibu sendiri.‖
***
Malam ini Danu duduk di lantai karpet kamarnya. Membuka lembar demi lembar kamus bahasa Prancis, mencari kata-kata yang dibutuhkannya untuk menyelesaikan tugas bahasa Prancis yang mahadahsyat banyaknya. Danu melirik jengkel Andro yang duduk santai di sampingnya sambil membaca komik.
―Ndro, kerjain tugas dong, bantuin gue biar cepet selesai. Lo nginep di sini kan buat ngerjain tugas, bukan buat baca komik doang.‖
―Udah, lo kerjain aja dulu, ntar lo sisain buat gue. Lagi tanggung nih, tinggal beberapa lembar lagi,‖ balas Andro enteng.
Dengan setengah jengkel Danu kembali memfokuskan diri pada deretan kata-kata asing yang pengucapannya pun aneh dan sulit.
―Kakak lo beneran nggak balik ya, Nu?‖ Andro tiba-tiba bertanya.
―Tadi sih ditelepon dia bilang nggak pulang, lagi banyak kerjaan katanya.‖
―Weekend gini pengacara ngerjain apa? Emang biro hukum tempat kakak lo kerja buka setiap hari?‖
―Ya nggak lah, Ndro, mana ada kantor begituan yang buka setiap hari.‖
―Nah, terus kakak lo ngapain sampai nggak pulang?‖
Danu terdiam. Sampai sekarang pertanyaan itu tetap belum ia dapat jawabannya. Ia mengerti banyak kasus yang harus ditangani kakaknya, terlebih setelah menangani kasus model
terkenal itu. Tapi apakah semua itu begitu menyibukkan sampai-sampai untuk beristirahat normal di hari libur pun tidak bisa dilakukannya?
―Kakak gue tuh gila kerja. Dia selalu punya alasan untuk bikin dirinya sibuk,‖ jawab Danu agak ragu, tidak yakin dengan jawabannya sendiri.
Andro mengangguk, menelan jawaban Danu dengan setengah heran.
―Kakak lo hebat ya, Nu. Gue sering liat dia muncul di infotainment. Sekarang kakak lo lagi ngurusin perceraian Imelda Azizah, kan? Tuh model cantik banget, Nu! Gue kalo punya muka ganteng kayak kakak lo, habis ngurusin perceraiannya Imelda, gue langsung gaet tuh model.‖
Danu mendengus tertawa, menyambar bantal dari atas tempat tidur, dan melemparkannya kepada Andro. ―Dasar otak mesum! Sering-sering cuci otak lo, Ndro, biar nggak mikir kotor.‖
―Yaelah, deket-deket sama cewek secantik Imelda Azizah sih semua cowok normal bakal mikir mesum, Nu! Eh... siapa tahu kakak lo nggak pulang gara-gara kegaet tuh model.‖
Danu hanya geleng-geleng menanggapi pemikiran Andro yang ajaib. Suasana tenang beberapa saat. Danu kembali mengerjakan tugasnya, Andro kembali asyik dengan komiknya. Ternyata setelah selesai membaca lembar terakhir komik pertama, Andro melanjutkannya dengan komik berikutnya.
―Lowongan di toko bunga yang lo bilang udah nggak ada lagi, Ndro,‖ ujar Danu memecah keheningan.
Andro menutup komiknya untuk pertama kalinya sejak sejam yang lalu dan mengalihkan perhatian penuh pada Danu.
―Udah nggak ada? Emang kapan lo ke sana?‖
―Tadi siang... Anka keliatan kecewa banget, padahal dia sangat berharap dapat kerjaan.‖ Danu menghela napas berat, menunduk lesu ketika ekspresi kecewa Anka tadi siang tergambar jelas di benaknya. ―Gue kasihan sama dia, Ndro... Tadi siang dia harus jual barang di rumahnya buat nambahin biaya rumah sakit ibunya yang gede banget. Gue ngerasa nggak berguna jadi temennya, nggak bisa ngelakuin apa-apa buat dia.‖
―Nu, lo tuh cuma anak sekolahan, belum lulus lagi. Emang menurut lo, bisa bantuin apa buat dia?‖ seru Andro. ―Apa yang lo lakuin selama ini buat Anka, menurut gue sih, udah lebih dari cukup.‖
―Gue pengin bantuin Anka lebih banyak lagi, Ndro.‖
―Lo mau bantuin apa lagi? Bantu bayar biaya rumah sakit ibunya?!‖
―Penginnya sih gitu,‖ jawab Danu datar yang langsung membuat Andro dengan cekatan mendorong kepalanya.
―Jangan ngigau lo... Emang mau bantuin pake apa?‖
―Ya pake duitlah! Masa pake daun?‖ gerutu Danu gemas, seraya dengan sebal mengusapusap kepalanya yang baru saja didorong Andro lumayan keras.
―Iya pake duit, tapi dapet duit dari mana lo?‖ sergah Andro. ―Jajan aja masih minta sama kakak lo, pake acara mau bantuin bayar rumah sakit segala. Danu... Danu, realistis, Nu!‖
Andro naik ke tempat tidur, menyandarkan kepalanya di antara tumpukan bantal, menatap prihatin ke arah Danu sebelum kembali fokus pada komik yang dibacanya.
Meski menyebalkan, ucapan Andro menyadarkan Danu dan mengembalikannya ke dunia nyata. Danu menghentikan pekerjaannya, pandangannya menerawang menatap dinding polos
kamarnya. Berbagai pengandaian muncul di benaknya. Andai ia bukan laki-laki berusia 18 tahun, andai ia bukan murid SMA dan andai ia laki-laki dewasa yang mapan, pasti bisa dengan mudah meringankan beban Anka. Pasti ia bisa menjadi sandaran yang kuat bagi Anka. Tidak seperti sekarang, ia hanya tiang kayu reyot yang entah bisa sekuat apa untuk menjadi sandaran.
***
“Aku nemuin kamu di sini, karena aku nggak mau kamu mengusik orang-orang terdekatku,” - Damara
***
-7-
HAKIM pengadilan agama mengetukkan palu. Persidangan kasus perceraian Imelda Azizah ditunda seminggu ke depan karena pihak tergugat tidak menginginkan adanya perceraian. Ini memang jelas terlihat dengan selalu absennya suami Imelda pada setiap persidangan.
Damara merapikan semua berkas di atas mejanya di ruang pengadilan. Matanya melirik sekilas pada Imelda yang duduk diam di sampingnya. Wajah Imelda terlihat agak pucat, lingkaran hitam begitu jelas di bawah kantong matanya. Wanita itu terlihat kurang sehat di mata Damara.
―Kita keluar sekarang?‖ Damara bertanya sambil mendekati Imelda. ―Anda sudah siap?‖
Imelda menoleh ke arah pintu masuk ruang persidangan yang sudah dikerubuti wartawan infotainment haus berita. Imelda mengangguk pelan, ia lalu berdiri dan berjalan pelan mendekati meja hakim untuk berjabat tangan. Tapi baru beberapa langkah saja, Imelda terlihat limbung, kakinya seperti tidak mampu menopang tubuhnya. Damara yang berdiri dua langkah dari Imelda refleks menyambar tubuh wanita itu sebelum jatuh membentur lantai.
Ruang pengadilan mendadak ricuh. Para wartawan yang semula bertahan di luar ruang persidangan memaksa masuk saat melihat Imelda jatuh pingsan. Mereka mengerumuni Imelda setelah berhasil melewati penjagaan petugas keamanan pengadilan. Damara sampai harus memeluk Imelda agar para wartawan yang lapar berita itu tidak melukai kliennya.
Entah seperti apa kekacauan di pengadilan tadi, yang jelas Damara akhirnya berhasil membopong Imelda. Dengan dibantu orang-orang bersafari sebagai pembuka jalan, Damara membawa Imelda keluar tanpa terhadang wartawan.
Sekarang Damara melajukan mobilnya di jalan raya Jakarta, setelah berhasil lolos dari kericuhan di persidangan. Imelda terbaring di jok belakang mobil Damara, masih terbaring tidak sadarkan diri. Handphone di saku kemeja Damara berdengung, layar LCD handphonenya menunjukkan manajer Imelda yang masih tertinggal di pengadilan, menghubunginya.
―Ya, halo,‖ kata Damara selesai memasang handsfree di telinganya. Kepanikan yang terdengar jelas pada nada suara manajer Imelda, mengharuskan Damara mengatakan bahwa Imelda baik-baik saja untuk menenangkan sang manajer. Namun sang manajer tetap meminta Damara membawa Imelda langsung ke rumah sakit di kawasan Pondok Indah.
―Oke, saya bawa dia ke rumah sakit sekarang juga... kita ketemu di sana.‖ Damara menutup telepon dan mempercepat laju mobilnya.
―Jangan bawa saya ke rumah sakit...‖ Suara Imelda yang terdengar lirih dari kursi belakang mobil menyentak Damara.
Damara langsung menoleh ke jok belakang, tapi segera kembali menatap lurus ke jalan saat sadar bahwa ia sedang menyetir. Damara ganti melihat Imelda dari kaca spion di depannya. ―Anda baik-baik saja?‖ tanya Damara cemas.
―Saya nggak apa-apa,‖ jawab Imelda datar sambil berusaha mendudukkan dirinya. Lengannya naik merapikan rambut panjang hitam lurusnya dengan jemari.
―Lebih baik kita ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi Anda. Manajer Anda sudah menunggu di sana.‖
―Kita nggak perlu ke rumah sakit,‖ tegas Imelda, ―ke tempat lain saja, asal bukan ke rumah sakit.‖
Dengan terpaksa Damara tidak membantah, segan berdebat dengan kliennya yang mungkin baru setengah sadar. Dipandangnya kembali Imelda dari kaca spion tengah, wanita itu masih terlihat pucat dan lemah, tapi keangkuhan tetap mendominasi raut wajahnya.
Mobil Honda CR-V silver milik Damara menepi di pinggir jalan, di sebuah area taman kota. Damara bersandar di sisi mobil. Lengan kemeja sudah digulung dan ikatan dasi yang tadi terpasang sempurna sudah dikendorkan. Di sampingnya Imelda duduk di ujung jok belakang, di dekat pintu mobil yang sengaja dibiarkan terbuka.
―Ini minum dulu...‖ Damara menyodorkan sebotol air mineral yang dibelinya di kios sekitar taman. Agak ragu Imelda mengambil botol air mineral dari tangan Damara, namun dengan segera langsung menenggaknya. Sepertinya ia memang sudah kehausan sedari tadi.
Damara tersenyum simpul melihat tingkah model yang biasa tampak begitu angkuh. Ternyata selain angkuh, Imelda bisa bertingkah konyol juga. ―Setelah ini saya akan mengantar Anda ke rumah sakit. Manajer Anda sudah berkali-kali menghubungi saya, meminta saya segera membawa Anda ke sana.‖
Imelda turun dari mobil dan berdiri di samping Damara, membiarkan kakinya yang tanpa alas menyentuh aspal.
―Saya nggak mau pergi ke sana!‖ Imelda bersikeras.
Damara menoleh, nyaris tidak percaya sikap kliennya yang keras kepala.
―Anda baru saja pingsan di ruang persidangan. Sudah menjadi keharusan bagi saya membawa Anda ke rumah sakit untuk diperiksa.‖
―Saya hanya pingsan, bukan kena serangan jantung. Jadi nggak perlu dibesar-besarkan,‖ tandas Imelda, seraya menatap tajam ke arah Damara. ―Dan satu lagi, Anda saya bayar untuk kasus perceraian saya, bukan untuk mengurusi kesehatan saya.‖
Damara mendengus pelan. Imelda memang sangat cantik, semua orang mengatakan ia nyaris sempurna. Tapi lihat sekarang, nilai Imelda tidak akan sesempurna itu kalau saja orang-orang yang mengaguminya tahu sifat keras kepala Imelda yang menjengkelkan.
―Kalau Anda mau tetap di sini, silakan, tapi maaf... masih banyak yang harus saya kerjakan.‖
Imelda tidak bergerak, seakan kehabisan kata-kata untuk membantah.
Damara menghela napas panjang menghadapi situasi seperti ini. ―Oke, saya antar Anda ke rumah sakit sekarang, sebelum saya pergi.‖ Damara melangkah melewati Imelda, menuju kemudi mobilnya. Namun sebelum sempat membuka pintu depan, Imelda meraih lengan Damara dan membuat Damara langsung menoleh.
―Bisa kamu temenin saya di sini, sampai saya merasa lebih baik?‖ pinta Imelda sambil menunduk, seakan malu dengan permintaannya sendiri.
Damara tidak menjawab. Permintaan Imelda membuat Damara tercengang, sampai-sampai ia lupa untuk bereaksi. Tapi tak berapa lama, Damara mengangguk menyanggupi permintaan Imelda.
***
―Kenapa, Nu? Kamu kok malas-malasan gitu sarapannya?‖ tanya Damara saat mereka berdua duduk berhadapan di meja makan. Hari Minggu, seperti biasa, ada nasi uduk untuk Danu, dan secangkir kopi krim untuk Damara. ―Ada yang sedang kamu pikirin?‖
Danu tidak menjawab. Wajahnya menunduk lesu sementara tangannya hanya mengadukaduk nasi uduk di piringnya.
Damara tersenyum melihat tingkah adiknya, ia tahu benar pasti ada yang sedang mengganggu pikiran sampai Danu murung begini. ―Cerita aja sama Kakak kalau kamu ada masalah,‖ kata Damara sambil melipat korannya agar lebih fokus pada Danu.
Danu mendongak pelan, dari raut wajahnya Damara sudah bisa memastikan apa yang dipikirkan Danu lumayan rumit.
―Nggak ada masalah, Kak,‖ kata Danu pelan.
―Nggak usah bohong. Kakak kenal watak kamu. Nggak mungkin nggak ada apa-apa kalau penampakan kamu kayak begini.‖
Danu meletakkan sendok yang dipegangnya di atas piring, menghela napas berat, sebelum akhirnya bicara.
―Danu cuma lagi mikirin masalah Anka, Kak...‖
―Anka? Kenapa lagi dengan Anka?‖
―Kasihan Anka, Kak, dia lagi kesulitan uang. Biaya rumah sakit ibunya gede banget. Kemarin aja dia habis jual barang-barang di rumahnya buat tambahan, tapi masih kurang banyak, Kak,‖ jelas Danu. ―Seminggu ini Danu bantuin dia cari kerja sambilan tapi belum dapat juga.‖
Damara meletakkan korannya di atas meja. Matanya kini fokus sepenuhnya pada Danu. Katakata Danu kembali mengingatkannya pada Anka, sahabat Danu yang beberapa minggu lalu tertimpa musibah. Rutinitasnya selama ini memang hampir membuatnya lupa dengan keadaan sekitar, dan nyaris membuatnya mati lelah menjalaninya.
―Anka lagi cari kerja?‖ tanya Damara. Danu kembali mengangguk lesu. Damara berusaha mengingat-ingat, rasanya ia pernah mendengar seseorang sedang membutuhkan pekerja tambahan. Setelah beberapa saat, senyum Damara mengembang lebar saat ia menemukan jawabannya.
―Kamu sekarang mandi, kita jemput Anka!‖
Danu mendongak, menatap bingung ke arah Damara. ―Maksud Kakak?‖
―Ya, kamu mau bantu Anka dapat kerja, kan?‖
***
Berkali-kali Danu menolehkan kepalanya ke arah ruang manajer kafe, tempat Anka sedang menjalani interview. Luar biasa gelisahnya Danu menunggu Anka keluar, sampai-sampai cheesecake bertabur cacahan stroberi menggiurkan di depannya pun diabaikan.
―Tenang aja, Nu... Anka pasti bisa kerja di sini,‖ kata Damara yang duduk santai di depan Danu.
―Lama banget sih, Kak?‖ Danu lagi-lagi menoleh ke pintu ruangan manajer. ―Kira-kira Kak Rio nanya apa aja sama Anka ya, Kak?‖
Damara tersenyum melihat kegelisahan Danu. Ia mengangkat cangkir espresso-nya, meminumnya seteguk, lalu meletakkan cangkirnya kembali di atas meja, sebelum melirik potongan cheesecake utuh di depan Danu.
―Santai aja, Nu, nggak perlu kayak gitu. Kakak yakin Rio mau terima Anka bekerja di sini... Mendingan kamu makan cheesecake yang Kakak order buat kamu, itu cake paling enak di kafe ini.‖
Dengan malas-malasan Danu menarik piring cheesecake, memotong sebagian kecil dengan garpu di sisi piringnya, lalu memasukkan potongan kecil itu ke mulutnya. Potongan kecil itu tertelan begitu saja. Tidak ada kesan khusus karena kecemasannya menjadikan Danu kurang peka dengan rasa.
Anka keluar dari ruangan manajer kafe, diikuti Rio, manajer kafe yang setahu Danu sahabat baik kakaknya. Ekspresi wajah Anka terlihat datar-datar saja saat keluar, hingga Danu sulit menerka apa yang terjadi di dalam sana.
―Gimana, Ka?‖ tanya Danu, segera berdiri menyambut Anka. ―Lo diterima?‖
Anka diam sebentar, sebelum akhirnya senyum lebar yang melegakan Danu mengembang di wajah Anka, disusul anggukan kuat.
Danu hampir melompat saking senangnya. Ia nyaris memeluk Anka mengekspresikan kelegaannya, tapi urung saat ingat ada Damara di sampingnya.
―Selamat ya, Ka...‖ Damara mendekati Anka, mengulurkan tangannya.
―Terima kasih, Kak. Kalau bukan karena Kakak, saya nggak mungkin bisa diterima di sini.‖ Anka tersenyum lebar saat menjabat tangan Damara.
―Jangan berlebihan, Kakak kan cuma bantu nganterin. Lain kali kalau kamu butuh bantuan jangan hanya bilang sama Danu, Kakak juga bersedia bantu kamu.‖
Senyum Anka mengembang semakin lebar. Entah berlebihan atau hanya perasaannya, Danu merasa tatapan Anka pada Damara berlebihan. Seperti tatapan setengah memuja, membuat perasaan Danu agak kurang enak.
―Thanks ya, Yo, lo udah mau bantuin temennya Danu.‖ Damara beralih pada Rio.
―Santai aja lagi, Mar. Justru gue yang terbantu, lo nyariin karyawan... Oke, Anka, besok jam tiga sore kamu harus sudah ada di sini.‖
―Baik, Pak. Saya pasti datang tepat waktu,‖ seru Anka penuh semangat.
―Oke, Yo, kalau semua sudah beres, gue antar mereka balik dulu,‖ kata Damara akhirnya.
―Bentar, Mar...‖ Rio mendekati Damara, memelankan nada suaranya. ―Bisa lo balik belakangan? Ada yang mau gue omongin sama lo.‖
Damara terdiam sebentar, sudah menduga permintaan Rio setelah pembicaraan terakhir mereka beberapa hari lalu. Damara menghela napas berat sebelum akhirnya mendekati Danu. ―Kalian pulang duluan ya. Kakak nggak bisa antar kalian,‖ kata Damara seraya mengeluarkan lembaran seratus ribu dari dompet kulitnya lalu menyerahkannya pada Danu. ―Antar Anka naik taksi, Nu... Jakarta panas banget hari ini.‖
Setelah Danu dan Anka berjalan meninggalkan kafe, Damara berbalik menghadap Rio. ―Oke, sekarang apa lagi yang mau lo omongin?‖
―Kita omongin di ruangan gue.‖
Rio berjalan lebih dulu menuju ruangannya, dan Damara mengekori dengan sepenuhnya siap menerima hal paling buruk yang mungkin akan disemburkan Rio karena kecewa padanya.
***
-8-
RUTINITAS Anka luar biasa gila sekarang ini. Sejak bekerja di kafe, hidupnya seperti tanpa jeda. Usai sekolah Anka langsung menuju kafe, mengejar jam kerjanya yang dimulai jam tiga sore sampai jam sembilan malam. Setelahnya, Anka langsung ke rumah sakit untuk menunggui ibunya, bahkan lebih sering tidur di sana, dan keesokan harinya kembali berangkat ke sekolah. Begitu setiap harinya, sampai Anka sendiri merasa seperti robot yang diprogram hanya untuk menjalankan rutinitas melelahkan itu.
Siang ini selepas bel pulang sekolah, Anka dan Danu berjalan menyusuri parkiran sekolah. Teriknya sinar matahari yang menyengat membuat Anka merasa seperti dibakar pelan-pelan.
―Lo mau langsung ke kafe, Ka?‖ tanya Danu, yang dijawab Anka dengan anggukan pelan. ―Coba gue bisa ikutan kerja bareng lo...‖
―Ngapain lo kerja? Kan masih ada Kak Damara yang nanggung semua kebutuhan hidup lo.‖
―Ya... gue pengin aja kerja bareng lo,‖ kata Danu. ―Kan sahabat harus ngerasain apa yang sahabatnya rasain, senasib-sepenanggungan gitu.‖
―Norak lo.‖ Anka meninju bahu Danu. ―Jangan sok bijak deh, nggak pantes... Udah ah, gue mau nunggu Metromini di halte depan.‖
Anka duduk di bangku panjang halte menunggu Metromini, masih ditemani Danu. Kendaraan lalu lalang menjadi pemandangan utama dan debu beterbangan menjadi suplai oksigen ekstra yang ―menyegarkan‖.
―Lo nggak pulang bareng Andro?‖
―Nggak... hari ini gue mau ke toko buku, makanya gue bareng lo naik Metromini, entar gue tinggal turun di depan malnya.‖
Anka tersenyum mendengar penjelasan Danu. Hari ini ke toko buku, kemarin pergi ke rumah teman yang letaknya tidak jauh dari gedung tempat kafe Anka bekerja. Danu sepertinya selalu punya alasan untuk menemani Anka. Walaupun hanya beberapa puluh menit berdesakan di Metromini, Anka sangat menghargai upaya Danu untuk menunjukkan kesetiakawanannya.
Hampir lima belas menit Anka duduk bersama Danu di halte, mereka belum berhasil juga naik Metromini. Dua Metromini yang terakhir lewat bukan main sesaknya. Anka mulai gelisah, tidak ingin datang terlambat ke kafe, apalagi baru beberapa hari bekerja di sana.
Di tengah harap-harap cemas Anka menunggu Metromini, Honda Jazz warna hitam melintas pelan di depan mereka, di dalamnya terlihat Riko bersama seorang gadis yang dikenali Anka sebagai Irva anak kelas XII-IPS-1 yang belakangan ini terlihat dekat dengan Riko.
―Ka, yang tadi beneran Riko?‖ tanya Danu, tidak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya.
―Iya, emang Riko,‖ jawab Anka sekenanya.
―Kok bisa dia sama Irva?‖
―Mereka emang udah lama deket...‖
―Kok gitu? Riko kan pacar lo, mana boleh dia deket sama cewek lain!‖ protes Danu sengit. ―Brengsek banget!‖
―Riko nggak salah, Nu...‖ Anka tersenyum getir. ―Gue yang selalu menghindar dari dia. Jadi bukan salah Riko kalau dia sekarang deket sama Irva.‖
―Tapi tetep aja, Ka, Riko itu kan...‖
―Udahlah... biarin aja. Gue nggak apa-apa kok,‖ kata Anka dengan nada suara yang diusahakannya terkesan normal, ―Eh, tuh Metromini-nya.‖
Anka segera bangun, berdiri di mulut halte, menunggu datangnya Metromini yang masih 300 meter jauhnya. Anka bisa merasakan tatapan tidak percaya Danu dengan apa yang baru saja ia katakan. Anka sadar, Danu tahu ada rasa sakit yang menyesak, rasa sakit yang tidak akan pernah ditunjukkannya, tidak di saat ia sudah terbiasa menyembunyikan rasa sakit lain yang jauh lebih menyesakkan.
***
―Ternyata cara seperti ini mempan juga untuk membuat kamu berhenti menghindar dari aku.‖
Anggun menatap Damara yang duduk di depannya, dengan tatapan seolah ia berhasil mengikat Damara kembali.
Siang ini Damara terpaksa menuruti permintaan Anggun, menemui wanita itu di kafe Rio setelah hampir dua minggu berusaha tidak menghiraukannya. Kini ia duduk di depan Anggun layaknya orang bodoh yang sekali lagi membiarkan dirinya terikat dengan apa yang seharusnya tidak dibiarkan mengikatnya.
―Sekarang kamu sudah tahu kan, Mar, kamu nggak bisa lepas begitu aja dari aku.‖ Anggun kembali melanjutkan kesombongannya, ―Nggak semudah itu menjauh dariku.‖ Senyum puas mengembang di wajah Anggun, senyum yang sekali lagi menegaskan ketidakberdayaan Damara.
―Aku nemuin kamu di sini, karena aku nggak mau kamu mengusik orang-orang terdekatku,‖ kata Damara dingin. ―Aku nggak mau mereka terganggu dengan kelakuanmu yang nggak beda dengan gadis belasan tahun yang kehilangan kekasih.‖
―Kamu seharusnya senang, aku mau repot-repot cari kamu ke tempat ini.‖ Anggun mengulurkan tangan lalu menggenggam tangan Damara.
Damara memandang ke sekeliling kafe, tidak ingin ada yang melihatnya berduaan dengan Anggun seperti ini, terlebih Rio. ―Aku sama sekali nggak suka cara kamu,‖ tandas Damara, menarik tangannya dari genggaman Anggun. ―Dan kamu tahu aku akan seperti apa kalau kamu terus seperti ini.‖
―Kamu akan pergi dari aku, itu kan yang mau kamu bilang...? Kata-kata itu sudah sangat familier buat aku, kamu sudah terlalu sering mengatakan itu, Mar.‖ Pandangan Anggun pada Damara semakin terkesan meremehkan, tangan Damara bergetar hebat menahan semua emosi yang tidak bisa ia lampiaskan.
―Sekarang kamu sudah merasa hebat. Kamu pengacara mapan, kamu tidak butuh aku lagi, tapi... nggak semudah itu, Mar.‖
Damara menghela napas, lelah dengan semua perdebatan ini. Demi Tuhan, ia ingin semua ini segera berlalu. ―Aku tahu... aku tahu dengan jelas semua itu!‖ kata Damara habis sabar. ―Aku sadar, mungkin selamanya aku nggak akan bisa menjauh dari kamu. Uang dan kekuasaanmu dengan mudah bisa mengikat aku... Tapi apa berlebihan kalau aku minta agar kamu tidak mencampuradukkan hubungan kita dengan kehidupanku? Aku punya keluarga dan sahabat yang akan tersakiti kalau mereka tahu mengenai semua ini.‖
Menanggapi semua perkataan Damara, Anggun dengan santai mengangkat cangkir hot chocolate-nya, menyeruputnya dengan keeleganan yang selalu dijaga. Setelahnya, bibir merah Anggun membentuk senyum kecil, senyum yang menunjukkan bahwa baginya katakata Damara hanya serupa rengekan anak kecil yang minta dibelikan mainan.
―Memang bukan hal besar kalau kamu menginginkan hubungan kita tidak diketahui orangorang terdekat kamu. Aku sendiri juga menginginkan hal yang sama. Aku nggak mau orangorang terdekatku tahu, terutama suamiku... Sayangnya sikap kamu belakangan ini tidak menunjukkan itu semua.‖
―Maksud kamu?‖ Damara menatap tajam ke arah Anggun.
Senyuman, yang bagi Damara terasa begitu melecehkan, kembali mengembang di wajah Anggun. ―Kamu nggak mau terima telepon dari aku, nggak pernah datang kalau aku minta, bahkan kamu menolak nemuin aku saat aku nunggu kamu di sini.‖
Damara mengalihkan pandangannya dari Anggun. Tidak ada sanggahan yang bisa keluar dari mulutnya. Anggun jelas tahu benar cara membuat Damara tidak bisa membantah. Damara sempat melirik Anka yang sedang membersihkan meja, beberapa meter dari meja tempat ia dan Anggun duduk, sebelum kembali menatap Anggun.
―Aku sibuk...‖ kata Damara akhirnya.
―Sibuk...?‖ tanya Anggun sangsi, seraya mengibaskan rambut cokelat sebahunya yang bergelombang indah. ―Imelda Azizah... Model itu sudah jadi prioritas kamu rupanya.‖
―Dia klienku, mau nggak mau dia menjadi prioritasku,‖ tegas Damara. ―Sepertinya nggak ada gunanya aku duduk di sini. Aku capek ngomong sama kamu. Kamu terlalu keras kepala dan egois untuk mau mendengar semua pendapatku.‖
Damara bangun dari duduknya, sekilas menjatuhkan pandangannya pada Anggun sebelum melangkah meninggalkan wanita yang selama ini begitu dekat dengannya. Wanita yang dulu menjadi penopangnya di masa sulit, wanita yang seharusnya tidak pernah didekatinya. Wanita yang selalu membuat Damara bertanya-tanya saat menatapnya, apakah di balik pandangan melecehkannya, di balik keangkuhannya, Anggun pernah membutuhkannya secara tulus seperti yang Damara harapkan selama ini?
***
Anka membersihkan salah satu meja di pojok kafe. Tangannya dengan terarah mengelap meja sekenanya, sementara matanya melirik penuh rasa ingin tahu ke arah meja nomor 23.
Di meja itu duduk Damara bersama seorang wanita cantik. Semua hal yang melekat pada diri wanita itu sudah menunjukkan kelasnya sendiri. Hampir setengah jam Anka memperhatikan mereka. Sepanjang penglihatan Anka, tampaknya pembicaraan antara Damara dengan wanita itu tidak berlangsung baik. Sesekali Anka mendapati ekspresi dingin di wajah Damara tertuju pada wanita itu. Walaupun meja itu lumayan jauh dari jangkauan pendengarannya, tapi dari bahasa tubuh yang dilihat Anka, Damara sepertinya marah pada wanita itu. Berkali-kali Damara terlihat menghela napas berat, seakan meredam kemarahannya saat menghadapi wanita itu.
Anka tidak tahu ada hubungan apa antara Damara dan wanita itu. Berbagai dugaan muncul di otak penat Anka. Mungkin wanita itu salah satu klien Damara, karena sebagai pengacara yang banyak menangani kasus perceraian, tak heran jika Damara banyak memiliki klien wanita cantik. Tapi kemungkinan itu langsung terpatahkan saat Anka melihat wanita itu tibatiba menggenggam tangan Damara.
Anka tertegun sesaat, tangannya berhenti mengelap meja, entah kenapa jantungnya berdegup kencang. Anka seperti mengalami trans sesaat, hingga tiba-tiba Damara melihat ke arahnya.
Anka memalingkan wajah, refleks tangannya kembali bergerak. Anka tidak ingin Damara tahu dari tadi ia memperhatikan mereka. Di tengah debaran jantungnya yang masih berdetak abnormal, tiba-tiba seseorang menepuk bahu Anka.
―Ka, dipanggil Chef Bastian, dia butuh bantuan di dapur,‖ tegur Abner, mengagetkan Anka. ―Udah sana, biar saya lanjutin di sini.‖
―Iya, Mas...‖ Seraya mengelus dada untuk meredam detak jantungnya, Anka meletakkan lap yang dipegangnya di atas meja. Anka masih sempat menoleh ke arah meja Damara sebelum bergegas masuk dapur.
*** “Gue emang nggak bisa bantu lo apa-apa untuk soal ini, tapi gue bakal selalu ada untuk lo, Ka...” - Danu
***
-9-
DANU mengaduk mi ayam yang tersaji di depannya dengan sumpit. Aroma menggiurkan menggugah Danu untuk segera memasukkan suapan pertama ke mulutnya. Meski mi ayam itu masih panas mengepul, perut laparnya tak bisa menunggu lagi.
―Tumben, lo bisa ke kantin bareng gue. Biasanya lo sama Anka mulu,‖ kata Andro yang duduk di sebelahnya. ―Biasanya kan lo bawain roti bakar buat dia.‖
―Anka lagi banyak tugas,‖ jawab Danu sekenanya, kembali memasukkan suapan berikutnya.
Denting sendok dan garpu yang beradu dengan mangkuk atau piring, terdengar meriah di antara murid-murid yang kelaparan. Menegaskan bahwa semua makhluk hidup di dunia ini
butuh makan, termasuk murid sekolah yang kerjanya hanya duduk dan belajar di kelas, walau terkadang hanya 60% yang benar-benar datang untuk mengisi otaknya.
―Kak Danu...‖
Danu mendongak saat terdengar suara memanggil namanya. Bingung sendiri saat mendapati Zevana berdiri tersenyum di depannya.
―Eh, Zeva, kenapa?‖ Andro lebih dulu menyapa Zevana.
―Aku mau kasih ini sama Kak Danu,‖ kata Zevana, seraya menyodorkan kotak seukuran buku Harry Potter jilid 5 pada Danu. Pipi putih Zevana memerah, wajahnya menunduk malumalu.
―Ini apa, Ze?‖ tanya Danu heran. ―Saya kan lagi nggak ulang tahun.‖
―Terima aja, Nu, dapet hadiah kan nggak mesti pas ulang tahun doang,‖ sela Andro, membuat Danu mengerling jengkel ke arahnya.
―Ini hadiah kecil buat Kak Danu, karena puisi Kak Danu yang kemarin Zeva baca di mading udah bikin Zeva seneng...‖
Mendengar kata-kata Zevana, Danu semakin bingung. Puisi? Puisi yang mana? pikirnya. Rasanya ia tidak pernah menunjukkan puisinya pada siapa pun, apalagi menyerahkan puisinya pada pengurus mading.
―Ambil kotaknya, Nu, kasihan tangannya pegel tuh.‖ Andro menyenggol bahu Danu, menyadarkannya dari ketertegunan sesaat. Dengan linglung Danu mengambil kotak hadiah yang disodorkan Zevana, membuat senyum lega mengembang di wajah Zevana.
―Terima kasih, tapi puisi itu...‖
―Puisinya bagus, Kak! Zeva seneng kalau bisa sering baca puisi Kak Danu... Makasih ya, Kak Danu mau terima hadiah dari Zeva.‖
Zevana kembali mengembangkan senyum manisnya sebelum beranjak meninggalkan meja Danu.
―Cieh... cieh, Danu dapet hadiah dari adek kelas nih?‖ komentar Iyan, teman sekelas Danu saat melintasi meja Danu. ―Banyak fans nih, Danu.‖
―Iya, emang lo? Banyak utang!‖ timpal Andro. ―Sirik aja lo.‖
Iyan mencibir menanggapi kata-kata Andro, dengan mimik wajah tersinggung ia berjalan meninggalkan kantin. Danu menatap kotak hadiah pemberian Zevana, seakan bertanya puisi apa yang membuat Zevana memberikan hadiah ini.
―Puisi yang dimaksud Zeva puisi apaan ya, Ndro?‖ tanya Danu, berpaling pada Andro. ―Perasaan, gue nggak pernah ngasih puisi gue ke mading.‖
―Emang nggak pernah! Tapi kan gue yang mewakili dan ngasih puisi lo ke si Irsyad, anak mading,‖ jelas Andro santai.
Danu tercengang. Mulutnya menganga mendengar kata-kata Andro. Bagaimana bisa Andro memberikan puisi cengeng yang ditulisnya saat bosan mengerjakan tugas bahasa Prancis tempo hari? Padahal puisi itu sebenarnya ia tulis untuk disimpannya sendiri, bahkan hanya ditulis di sampul belakang buku paket.
―Gila lo, Ndro! Itu kan puisi picisan, kenapa lo kasih ke mading? Bikin malu aja lo.‖
―Puisi lo nggak picisan amat kok, bagus malah menurut gue. Buktinya, puisi lo bisa dipajang di mading. Padahal lo tau kan si Irsyad, gayanya aja udah kayak sastrawan sekelas Chairil Anwar. Dia mana mau majang puisi lain selain puisi yang dia bikin, kecuali kalau tuh puisi bener-bener bagus!‖
Kesal rasanya Danu mendengar penjelasan Andro, yang seakan menyatakan apa yang dilakukannya benar dan mestinya Danu berterima kasih. Jangankan ingin berterima kasih, rasanya Danu tidak bisa terima kalau puisi yang sebenarnya ditulis untuk seseorang yang berarti untuknya sekarang terpampang di mading.
Danu berdiri, lalu bergegas meninggalkan Andro. Ia perlu melihat seperti apa puisinya ditempatkan di mading.
―Nu, lo mau ke mana? Hadiah lo nih... Eh, mi ayam lo siapa yang bayar? Woi...‖
Danu tidak menghiraukan Andro, ia terus berjalan meninggalkan kantin menuju mading. Puisinya memang ada di sana, diletakkan tepat di tengah mading. Huruf-huruf besar merangkai namanya di bagian bawah puisi.
Lemas rasanya melihat puisi pertama, yang ditulisnya sepenuh hati, terpampang menjadi konsumsi publik, seisi sekolah. Malu merayapi diri Danu, ingin rasanya ia menjebol pintu kaca mading yang terkunci untuk menarik kembali puisinya, tapi jelas sulit dilakukan. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah pasrah, membiarkan puisi yang sebenarnya sangat berarti baginya menjadi hiasan mading sementara waktu.
***
Imelda meneguk segelas martini sampai tandas, lalu menggerakkan jarinya mengisyaratkan pada bartender di depannya agar menyajikan lagi pesanan yang sama.
Si bartender menyodorkan segelas martini lagi pada Imelda, menggeleng pelan saat melihat Imelda langsung menenggak habis pesanannya. Setelahnya Imelda menopangkan kepalanya ke meja mini bar, matanya menatap kosong ke gelas martini yang sudah kosong. Alunan
musik lembut mengalun memenuhi penjuru bar merangkap restoran yang hanya didatangi orang-orang dari kalangan atas. Air mata Imelda mengalir pelan membasahi pipi putihnya.
Handphone Imelda, yang tergeletak di samping gelas kosong martini, berdengung. Nama manajernya muncul di layar LCD. Imelda bergeming, tidak ada keinginan menjawab telepon dari sang manajer. Imelda tahu, manajernya pasti panik saat ia tiba-tiba menghilang dari lokasi pemotretan, dan pasti ia menelepon untuk meminta Imelda kembali.
Selalu seperti ini. Mereka hanya menganggap Imelda layaknya mesin pencetak uang. Baik keluarga maupun orang-orang yang mengurusi kariernya, selalu mendikte Imelda untuk melakukan apa yang menurut mereka baik... Yah, baik untuk mereka, tapi tidak untuk Imelda. Mereka tidak menyadari keputusan itu, yang mereka anggap terbaik dengan mengatur pernikahan Imelda dengan pengusaha properti muda kaya raya, kini malah menghancurkan sisa harapan Imelda untuk mendapatkan sedikit kebahagiaan.
―Perlu saya panggilkan taksi, Mbak?‖ tanya si bartender, melihat kondisi Imelda yang sudah cukup payah setelah menenggak segelas bir dan menghabiskan tiga gelas martini sebelumnya.
Imelda mengangkat kepalanya, tersenyum lebar seraya menggoyangkan tangannya. ―Nggak usah, Mas. Saya masih cukup sadar untuk pulang sendiri,‖ kata Imelda dengan gaya bicara yang membuat siapa saja meragukan kesadarannya.
Imelda kembali menopangkan kepalanya ke meja mini bar. Kepalanya terasa begitu berat, membuat posisi seperti ini nyaman untuknya.
―Perlu saya bantu menelepon seseorang untuk menjemput Mbak? Sebentar lagi kami akan tutup.‖
Tidak mendapat reaksi memuaskan dari Imelda, si bartender menghela napas putus asa, menatap prihatin wanita yang dikenalinya sebagai model papan atas.
Hidup memang tidak sempurna, ada saja celah di dalamnya, bahkan dalam hidup orang yang selama ini dianggap si bartender berjalan sempurna.
Handphone di samping gelas-gelas kosong yang isinya sudah ditandaskan Imelda berdengung. Ragu-ragu si bartender mengambil handphone Imelda. Ditatapnya layar LCD handphone, berharap siapa pun yang nanti bicara dengannya bisa membantu membawa Imelda pulang.
***
Banyak hal yang dipikirkan Damara saat menunggu Imelda menjawab teleponnya. Sudah hampir tengah malam saat tiba-tiba manajer Imelda menelepon dan mengatakan Imelda menghilang dari lokasi pemotretan dan meminta Damara untuk bantu mencari.
Ini di luar perjanjian kerja sama mereka. Tugas pengacara yang disewa untuk menangani kasus perceraian jelas-jelas tidak mencakup tugas mengurusi kehidupan pribadi sang klien, terlebih di tengah malam seperti ini. Kalau bukan karena alasan kemanusiaan yang diikuti rasa tanggung jawab, Damara tidak akan pernah mau menghubungi ponsel kliennya tengah malam begini.
Ada yang menjawab telepon di seberang sana. Tapi bukan Imelda yang menjawabnya, suara laki-laki asing terdengar di telinga Damara.
―Maaf, benar ini ponsel Imelda?‖ tanya Damara hati-hati. Si penerima telepon membenarkan dan menjelaskan kenapa Imelda tidak bisa menerima telepon. Menurut penjelasan orang itu, Imelda mabuk berat dan butuh seseorang untuk membawanya pulang.
―Oke, saya segera ke sana,‖ kata Damara akhirnya, sebelum menutup telepon.
Damara sudah menduga akan seperti ini. Apa lagi yang bisa dilakukan perempuan yang sudah terbiasa dimanjakan kemewahan saat mengalami masalah, selain mabuk-mabukan? Damara memakai sweternya, mengambil kunci mobil di meja kerjanya, kemudian bergegas keluar kamar.
***
Hanya beberapa langkah setelah memasuki restoran yang beberapa lampunya sudah dipadamkan, Damara langsung melihat Imelda dengan kepala terkulai di mini bar. Damara mempercepat langkahnya, menghampiri Imelda.
―Maaf, Mas, saya yang barusan telepon,‖ kata Damara pada satu-satunya orang di mini bar yang dirasanya sebagai si penerima telepon.
―Oh iya, Mas, kebetulan saya nunggu Mas, kita belum bisa tutup kalau Mbak Imelda belum pulang,‖ jelasnya.
Damara mendekati Imelda, berkali-kali memanggil nama Imelda sambil menepuk lengannya pelan, tapi Imelda bergeming. Wanita itu tetap memejamkan matanya, sudah tidak mampu membuka kelopak matanya.
―Baru belajar minum kayaknya, makanya baru minum beberapa gelas aja langsung begini,‖ komentar orang yang pada name tag-nya tertera tulisan ―Dayat‖. ―Mas kayaknya harus gendong atau papah Mbak Imelda nih...‖ lanjutnya.
Damara mengikuti saran Dayat, ia mengalungkan sebelah tangan Imelda ke lehernya untuk mempermudah memapahnya. Sialnya, tubuh lemas Imelda seakan enggan diajak kompromi dan langsung merosot saat Damara berusaha menegakkannya.
―Digendong aja, Mas, kalo nggak bisa dipapah... Jangan khawatir, di sini area bebas wartawan infotainment.‖
Sambil menelan kekesalan pada pelayan cerewet yang hanya berkomentar tanpa membantu, mau tidak mau sekali lagi Damara harus membopong Imelda yang tak sadarkan diri dan membiarkan Imelda menempati kursi belakang mobilnya. Sekali lagi tanpa alasan yang jelas, Damara mau saja direpotkan dengan segala hal tentang Imelda.
Damara menepikan mobilnya tepat di depan minimarket yang buka 24 jam, setelah hampir setengah jam menyetir tanpa tujuan. Ia merasa perlu membangunkan Imelda, untuk tahu ke mana ia ingin diantar.
―Imelda, Imelda...‖ Damara memanggil Imelda, menepuk pelan pipi Imelda berusaha menyadarkannya.
Imelda bergerak pelan. Saat membuka mata, lengannya langsung terangkat untuk menghalangi cahaya yang menyilaukan matanya.
―Anda merasa lebih baik?‖
Imelda menurunkan tangannya, mata yang merah menatap lurus ke arah Damara, mengerjapngerjap seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Imelda buru-buru menegakkan tubuhnya saat yakin benar yang dilihatnya memang Damara.
―Anda... kenapa bisa ada di sini...? Saya ada di mana?‖ tanya Imelda, menoleh ke kanan dan kiri seperti orang linglung.
―Saya yang jemput Anda tadi.‖
―Jemput saya...? Bagaimana caranya Anda tahu saya...‖
―Manajer Anda telepon, katanya Anda menghilang dari lokasi pemotretan dan tidak bisa dihubungi. Dia minta saya bantu mencari Anda. Saat saya coba telepon ke handphone Anda, ada laki-laki yang meminta saya untuk menjemput Anda di bar, karena mereka mau tutup.‖
Imelda menunduk, seakan malu dengan apa ynag baru saja dilaluinya.
―Saya sebenarnya masih bisa pulang sendiri, bartender di situ aja yang sok tahu.‖
Damara tersenyum melihat tingkah Imelda, ia sepenuhnya maklum kalau orang terkenal memang biasanya sulit mengakui kelemahannya.
―Bartender itu hanya khawatir Anda tidak bisa pulang sendiri. Lagi pula hal biasa kalau kita butuh bantuan orang lain setelah terlalu banyak minum,‖ kata Damara maklum.
―Anda mau saya antar ke mana? Atau Anda mau saya telepon manajer Anda?‖
―Jangan... jangan telepon dia!‖ Imelda mendadak panik, tanpa sadar ia mencekal erat lengan Damara. ―Tolong jangan telepon dia...‖
Damara menjatuhkan pandangannya pada tangan halus Imelda yang memegangi lengannya, membuat Imelda mengikuti arah pandangan Damara lalu langsung melepaskan pegangannya.
―Maaf...‖ kata Imelda salah tingkah.
―Jadi sekarang saya bisa antar Anda ke mana?‖ tanya Damara lagi. ―Ini sudah larut malam, hampir dini hari malah.‖
Imelda terdiam, memikirkan harus ke mana ia pergi untuk sekali lagi menghindar dari orangorang yang ingin dihindarinya.
―Apa sebaiknya saya antar Anda kembali ke apartemen?‖ saran Damara.
―Jangan... saya nggak mau pulang ke apartemen malam ini.‖
―Jadi penyelesaiannya?‖
Imelda kembali diam, Damara menunggu seraya meredam rasa lelah dan kantuk yang menyerangnya.
―Kita ke hotel,‖ Imelda berkata tiba-tiba. ―Anda bisa antar saya ke hotel.‖
***
Suara dering handphone mengusik tidur Damara pagi ini. Mengabaikan dering handphonenya, Damara memutar tubuhnya mencari posisi lebih nyaman di sofa yang ditidurinya. Lagilagi dering handphone itu terdengar. Dengan segala kekesalan Damara bangun, meraih handphone yang diletakkannya di atas meja di depan sofa dan me-reject panggilan yang membuat handphone-nya terus berbunyi.
Damara terduduk, menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Kembali memejamkan mata dan berharap dengan cara ini ia bisa menghilangkan rasa pusing akibat kurang tidur. Tapi itu tidak berlangsung lama, Damara tiba-tiba ingat mengapa ia berada di sini. Mata Damara langsung menyalang, menoleh ke tempat tidur yang semalam ditiduri Imelda. Dan sekarang, tempat tidur itu kosong.
Damara menyibakkan selimut tebal yang entah bagaimana bisa berada di atas tubuhnya, padahal seingatnya tadi malam ia hanya menyelimuti dirinya dengan sweter. Damara menebar pandangannya ke sekeliling kamar hotel mencari sosok Imelda, tapi nihil.
Ada secarik kertas tergeletak di atas meja, tepat di samping handphone miliknya. Damara mengambil kertas itu, membaca tulisan tangan di atasnya.
Tagihan kamar ini sudah saya selesaikan, jadi Anda tidak perlu repot mengurusnya sebelum pergi... Terima kasih, Anda sudah membantu saya membuat sedikit jeda dalam hidup saya. Sekarang jeda sudah berakhir, saatnya kembali ke kehidupan nyata.
Damara tersenyum membaca tulisan Imelda. Pandangannya lurus ke arah lengan yang memegangi kertas pesan dari Imelda, lengan yang semalam digenggam erat oleh Imelda. Rasanya begitu hangat saat Imelda memintanya untuk tetap tinggal menemani.
***
- 10 -
ANKA duduk di kursi kecil seraya menyandarkan tubuhnya dengan lelah ke tembok ruang karyawan. Matanya menatap lembaran surat administrasi rumah sakit yang berisi rincian tagihan perawatan ibunya.
Untuk kesekian kalinya Anka menghela napas berat. Angka-angka di surat tagihan yang dipegangnya membuatnya serasa sesak. Anka mengusap keringat dingin di dahinya, sejak pagi tadi ia sudah merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya, dan semakin tidak beres setelah ia mellihat jumlah tagihan yang harus dibayar.
―Ka, dicariin Mas Abner tuh,‖ tegur Ourel, teman kerja part time Anka saat memasuki ruang karyawan. ―Kayaknya dia butuh orang buat di depan.‖
Dengan sisa tenaganya, Anka menegakkan tubuhnya dan kembali menyeka keringat dingin di dahinya.
―Lo sakit ya, Ka? Muka lo pucat banget.‖ Ourel memperhatikan wajah Anka. ―Kalo sakit izin pulang aja ke Pak Rio...‖
―Nggak apa-apa kok, gue cuma kurang tidur doang.‖ Anka tersenyum kaku pada Ourel, meyakinkan temannya bahwa ia baik-baik saja. ―Gue ke depan dulu ya.‖
Anka beranjak dari kursi yang didudukinya sambil melipat surat tagihan rumah sakit dan memasukkannya ke saku kemeja kerjanya. Kaki lemasnya melangkah, kembali ke rutinitas yang membuatnya tidak punya waktu untuk mengeluhkan rasa sakitnya.
***
Danu kembali menatap Anka cemas. Sejak keluar dari kafe, wajah Anka terlihat begitu pucat. Langkahnya lunglai dan sempoyongan terkesan memaksakan diri untuk tetap melangkah.
―Ka, lo nggak apa-apa...? Kita naik taksi dari sini aja ya, nggak usah jalan ke halte bus,‖ kata Danu, semakin cemas melihat keadaan Anka.
―Nggak usah, Nu, gue masih kuat jalan ke halte kok. Lagian dari sini ke rumah sakit lumayan jauh, kalo naik taksi bisa berapa ongkosnya.‖
―Gue yang bayar, Ka. Tenang aja, gue baru dapet uang jajan bulanan dari Kak Damara.‖
Anka mengulas senyum lemah. Terus berjalan pelan menyusuri trotoar menuju halte. Danu sadar, jika Anka tidak mengatakan apa-apa seperti ini, tandanya Anka menolak usulnya. Mau tidak mau Danu terpaksa menyerah, mengikuti Anka sambil mengamati langkah Anka dari belakang. Untuk beberapa saat Danu bisa melihat Anka berhasil membuat dirinya berjalan layaknya orang normal, tapi itu tidak berlangsung lama, baru beberapa meter saja langkah Anka sudah mulai limbung.
―Tuh, kan! Gue bilang juga apa. Lo tuh sakit, Ka... Kenapa sih nggak mau dengerin gue? Kita naik taksi aja, biar lo cepet sampe terus bisa istirahat. Lagian ini juga udah malam banget,‖ tegas Danu, seraya memapah Anka.
―Halte kan tinggal dikit lagi, Nu. Jalan sebentar juga nyampe, entar di bus gue baru tidur.‖
Lagi-lagi tanpa bantahan Danu mengikuti keinginan Anka. Kini ia berjalan di samping Anka, memegang erat lengan Anka untuk menguatkan langkah limbungnya. Selangkah lagi dari halte, Danu merasakan beban tubuh Anka semakin berat, Danu segera mendudukkan Anka di bangku halte yang kebetulan kosong.
―Ka... lo kenapa, Ka?‖ tanya Danu panik, terlebih saat Anka tidak merespons pertanyaannya dan kepalanya malah terkulai ke bahu Danu. Danu menepuk pelan pipi Anka, berharap dengan cara ini Anka bisa bereaksi. ―Ka, lo masih bisa denger gue, kan?‖
―Masih...‖ sahut Anka lemah. ―Nanti nggak usah panik kalo gue nggak jawab omongan lo ya, biarin aja gue begitu sebentar...‖
Usai berkata-kata, tangan Anka yang berada di genggaman Danu melemah, kepala Anka semakin terkulai di bahu Danu dengan keringat dingin membasahi dahinya. Wajah Anka terlihat begitu pucat, gadis ini jelas tidak sadarkan diri sekarang. Fisik Anka rupanya sudah tidak kuat dipaksa menanggung beban yang seharusnya belum ia pikul.
Danu merangkul tubuh Anka, mengeratkan genggamannya ke tangan dingin Anka, berharap ia bisa melakukan lebih dari ini. Tanpa tertahan air mata Danu mengalir pelan di pipinya. Sakit rasanya melihat Anka harus menjalani hidup seperti ini, sementara dirinya sebagai orang terdekat Anka sekarang ini hanya mampu duduk diam tanpa melakukan apa pun untuk gadis yang sekarang benar-benar membutuhkan pertolongan. Padahal selama ini selalu ia katakan dalam hati, bahwa Anka gadis yang sangat berarti baginya. Danu sangat menyesal, tidak bisa menjadi sosok dewasa yang bisa melakukan sesuatu untuk membantu dan melindungi orang yang ia sayangi.
***
Hampir lima belas menit Danu membiarkan Anka tak sadarkan diri, terkulai di bahunya. Lima belas menit terlama yang pernah dilalui Danu dalam hidupnya. Kepanikan mulai menjalari Danu. Ia jelas tidak bisa tetap di sini, ia harus membawa Anka ke tempat yang lebih baik. Seakan menjawab kepanikan Danu, tiba-tiba Honda CR-V silver berhenti di depan halte.
―Nu, kamu lagi ngapain di situ?‖ tegur Damara masih di belakang kemudinya.
Danu mendongak cepat saat mendengar suara Damara.
―Kak, tolong... Anka pingsan!‖
―Pingsan?‖ Damara segera turun dari mobil dan berlari menghampiri Danu. ―Kenapa Anka bisa pingsan di sini?‖ tanya Damara seraya meraih Anka dari sandaran Danu, membopong gadis itu, lalu membaringkannya di jok belakang.
―Anka sakit, Kak. Tadi kami lagi jalan ke halte bus, mau pulang. Trus dia tiba-tiba pingsan.‖
―Kenapa nggak telepon Kakak sih, Nu? Kan bisa jemput kalian, kalau kayak gini sakit Anka bisa makin parah!‖
Danu tidak menginterupsi kata-kata Damara, ia sadar apa yang dikatakan Damara benar, andai saja tadi ia menelepon Damara, tidak perlu membiarkan Anka menderita terlalu lama.
―Kita bawa Anka ke rumah aja. Nanti Kakak telepon Dokter Arman untuk periksa Anka.‖
Danu hanya mengangguk menanggapi ucapan Damara. Apa pun yang akan dilakukan Damara untuk kebaikan Anka, ia hanya bisa mengiyakannya.
***
Danu duduk di sisi tempat tidurnya, menatap Anka yang masih terbaring lemah. Damara dan Dokter Arman baru saja keluar dari kamarnya. Danu bersyukur, setidaknya kali ini ia bisa menjadi sahabat yang berguna buat Anka. Saat Danu merapikan selimut yang menutupi tubuh Anka, ia melihat ada lipatan kertas menyembul dari saku kemeja Anka. Hati-hati Danu mengambil kertas itu dan membukanya. Tagihan rumah sakit, Danu jelas mengenali kertas tersebut, karena pernah melihatnya. Tapi ini bukan tagihan rumah sakit yang dulu pernah dilihatnya, ini tagihan yang baru, tampak dari tanggal yang tertera di pojok atas.
Danu menghela napas panjang, kembali menatap wajah Anka yang pucat. Sedikit-banyak surat tagihan ini pasti membebani pikiran Anka. Danu membelai lembut rambut Anka, seraya berkata lirih, ―Gue emang nggak bisa bantu lo apa-apa untuk soal ini, tapi gue bakal selalu ada untuk lo, Ka...‖
***
Keesokan harinya saat Anka membuka matanya, ia melihat Danu tertidur di lantai karpet, kepalanya menelungkup ke sisi tempat tidur yang ia tiduri. Anka menatap ke sekeliling, ia tahu sedang berada di kamar Danu. Rupanya tadi malam Danu membawanya ke sini. Anka menghela napas pelan, ia pasti sudah menyusahkan Danu. Anka menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya, bergerak hendak bangun dari tempat tidur.
―Lo udah bangun, Ka?‖ Danu tersentak. ―Udah baikan?‖
Anka tersenyum menanggapi rentetan pertanyaan dari sahabatnya.
―Gue udah nggak apa-apa. Sori ya, semalem gue pasti ngerepotin lo,‖ kata Anka, seraya merapikan tempat tidur. Setelahnya, Anka meraih tasnya yang semalam diletakkan Danu di atas meja belajar.
―Lo mau ke mana, Ka?‖ tanya Danu melihat apa yang dilakukan Anka. ―Jangan bilang lo mau pergi.‖
―Gue harus ke rumah sakit, kasihan Ibu. Semalam seharusnya gue di sana nemenin dia.‖
―Tapi lo kan masih sakit,‖ kata Danu, dengan sigap mendekati Anka. ―Paling nggak, lo harus sarapan dan minum obat dulu, baru pergi. Nanti gimana kalo lo pingsan kayak semalam?‖
―Jangan lebay deh. Udah ya, Nu... Gue jalan dulu.‖ Anka melangkah menuju pintu, tangannya sudah meraih tangkai pintu saat Danu tiba-tiba bicara.
―Anka, ini surat tagihan rumah sakit dari kantong lo. Sori, gue nggak sengaja lihat.‖
Anka membalikkan tubuhnya, kembali melangkah mendekati Danu dengan wajah murung.
―Gue tahu, lo nggak cerita soal tagihan ini sama gue karena lo yakin gue nggak bakal bisa bantu, kan?‖ Danu menolak memberikan surat tagihan itu pada Anka.
―Bukan gitu, Nu, gue nggak mau bikin lo ikut pusing sama urusan kayak gini. Gue udah terlalu banyak nyusahin lo.‖
―Gue kan udah pernah bilang, kalo gue bakal selalu ada buat bantuin lo. Lagian kan kita udah sepakat buat cerita apa aja, termasuk soal beginian,‖ tuntut Danu, menatap tegas ke arah Anka. ―Tapi sekarang lo malah sok kuat, nggak mau gue tahu masalah lo.‖
Anka sudah membuka mulut siap membantah semua ucapan Danu, saat terdengar suara ketukan di pintu kamar disusul kemunculan Damara.
―Sori, Kakak nggak bermaksud ganggu kalian, tapi Kakak telanjur dengar apa yang kalian ributkan. Keberatan kalau Kakak bantu cariin jalan keluar?‖
Maka di sinilah mereka sekarang, duduk bertiga mengelilingi meja bundar di beranda belakang rumah. Untuk beberapa saat, baik Danu maupun Anka lebih banyak diam, masingmasing sepertinya memiliki pikiran sendiri yang membenarkan sikap mereka. Hanya Damara yang duduk menempatkan dirinya sebagai penyelesai masalah.
―Semalam, Kakak sudah dengar masalah tagihan rumah sakit ibu kamu dari Danu...‖ ujar Damara membuka pembicaraan serius mereka. Anka menatap marah ke arah Danu, tidak habis pikir Danu bisa menceritakan semua ini pada kakaknya. ―Dan kalau kamu nggak keberatan, Kakak bisa bantu cariin solusinya...‖ lanjut Damara yang langsung dipotong Anka.
―Nggak perlu, Kak... Saya nggak mau ngerepotin. Kakak sama Danu udah terlalu banyak bantu saya.‖
―Kalau memang kita berdua udah banyak bantu kamu, apa itu berarti kita sudah nggak boleh bantu kamu lagi?‖ tanya Damara santai.
―Bukan begitu, Kak...‖ sanggah Anka, salah tingkah. ―Saya nggak enak kalau terus-terusan bikin repot Kak Damara sama Danu.‖
Damara mendekati kursi yang diduduki Anka, meraih tangan Anka dan tersenyum lembut, membuat Danu yang melihatnya entah mengapa jadi merasa tidak nyaman. ―Buat Kakak dan Danu, Anka bukan orang lain. Kamu sudah kami anggap seperti keluarga sendiri,‖ ujar Damara, lagi-lagi dengan kelembutannya.
―Tapi, Kak... saya...‖
―Oke, sekarang dengar dulu jalan keluar yang Kakak tawarkan, setelahnya kamu boleh memutuskan menerimanya atau tidak.‖ Damara kembali ke posisi semula, ke posisi yang membuat hati Danu mendesah lega. ―Kakak punya cara agar kamu bisa mendapatkan uang sendiri untuk membayar tagihan rumah sakit ibumu.‖
―Cara apa, Kak?‖ tanya Anka mulai terdengar antusias, menyuarakan pertanyaan yang hampir sama di kepala Danu.
―Begini... salah satu klien Kakak, warga negara asing asal Italia, sedang mencari rumah sewaan yang akan ditempatinya selama mengurus perceraian dan hak asuh anak di Indonesia. Kalau kamu mau, kamu bisa sewain rumahmu dan uangnya bisa digunakan untuk biaya rumah sakit ibu kamu.‖
―Sewain rumah, Kak?! Lalu... saya tinggal di mana kalo rumah disewain?‖ tanya Anka bingung mendengar usulan Damara. Danu pun berpikiran sama.
―Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di sini,‖ kata Damara santai, tersenyum saat melihat ekspresi tercengang Anka dan Danu.
―Maksud Kakak, Anka tinggal sama kita?!‖ gantian Danu yang menyangsikan ucapan kakaknya.
Damara mengangguk, seolah-olah apa yang baru ia katakan memang tidak perlu mendapat reaksi yang berlebihan.
―Kakak rasa ini solusi paling bagus untuk masalah Anka. Anka bisa dapat uang untuk bayar tagihan rumah sakit ibunya dan dia bisa aman tinggal di sini sama kita.‖
Baik Anka maupun Danu, sama-sama terdiam. Keduanya tampak tidak tahu harus berpendapat apa tentang usul Damara. Anka berpikir apa yang dikatakan Damara memang merupakan penyelesaian terbaik untuk masalahnya, terlepas dari perasaan tidak enaknya, terlepas dari segala hal yang mengganjal pada dirinya.
―Kamu nggak keberatan kan, Ka, tinggal di sini sama kami?‖
Anka tidak menjawab, untuk sepersekian detik Danu mengira Anka akan mengatakan keberatan, tapi ternyata jawaban Anka mengejutkan. ―Saya setuju, Kak. Saya mau tinggal di sini selama rumah saya disewakan, tapi sebagai kompensasinya izinkan saya ngerjain semua pekerjaan di rumah ini ya, Kak,‖ pinta Anka.
―Sebenarnya kamu tidak perlu melakukan itu semua, tapi untuk kenyamanan dan segala pertimbangan yang kamu buat sendiri, kamu boleh melakukan apa saja di rumah ini,‖ jelas Damara. ―Jadi, hari ini Kakak akan menemui klien itu dan mengurus semuanya. Kalau semua berjalan lancar, mungkin beberapa hari lagi kamu sudah harus siap-siap pindah ke rumah ini.‖
Anka mengangguk menanggapi perkataan Damara, sepertinya di antara mereka berdua sudah terjadi kesepahaman yang tidak melibatkan Danu di dalamnya.
―Oke, kalau begitu Kakak jalan dulu. Nanti selesai sarapan, dan kalau kamu sudah cukup kuat, kamu bisa bantu Danu ngerapiin kamar tengah yang akan jadi kamar kamu.‖
―Iya, Kak. Terima kasih banyak.‖
Damara berjalan meninggalkan beranda belakang, meninggalkan Danu yang masih tercengang dengan keputusan yang diambil kakaknya dan Anka.
―Ka, beneran lo mau tinggal di sini?!‖ tanya Danu, ingin lebih memastikan.
―Iya, beneran. Lo nggak keberatan, kan?‖
―Nggak, sama sekali nggak! Gue cuma nggak nyangka aja lo mau terima usul Kak Damara.‖
Anka menghela napas lelah, menyunggingkan senyum getir di wajahnya.
―Ini jalan keluar terbaik yang bisa gue dapatkan, Nu. Gue bisa bayar tagihan rumah sakit dari uang sewa rumah, itu lebih baik daripada gue harus jual semua barang yang ada di rumah,‖ jelas Anka. ―Ditambah lagi gue ngerasa dapet bonus waktu Kak Damara nawarin gue tinggal di sini. Gue nggak harus ngeluarin uang buat tempat tinggal dan makan. Apa lagi yang lebih baik dari semua ini?‖
Danu tidak tahu harus senang atau harus bagaimana menanggapi rencana kepindahan Anka ke rumah mereka dan tinggal bersama. Ia sadar keputusan yang diambil kakaknya jelas sangat baik, hanya saja... ada sesuatu yang mengusik perasaannya. Sesuatu yang dengan segera akan ia hilangkan.
***
“Memakai dasi itu tidak akan mengusik harga diri Anda di depan saya,” - Imelda
***
- 11 -
SUDAH dua hari ini Anka tinggal di rumah Danu, ia menempati kamar kosong yang terletak di antara kamar Damara dan Danu. Tidak banyak perbedaan yang terjadi dalam kehidupan Danu setelah Anka tinggal di rumahnya. Danu hanya bisa menemui Anka di pagi hari saat mereka sarapan dan sama-sama berangkat sekolah. Selebihnya Anka lebih banyak menghabiskan waktu dengan kesibukannya. Sepulang sekolah ia bekerja paruh waktu di kafe, dan pulang kerja Anka langsung berangkat ke rumah sakit dan menginap di sana untuk menjaga ibunya.
―Hari ini pulang kerja langsung ke rumah sakit lagi, Ka? Lo nginep di sana lagi?‖ tanya Danu, saat mereka menunggu Metromini di halte sepulang sekolah.
Anka mengangguk pelan, matanya tetap menekuri buku paket Kimia yang coba ia pahami di tengah bisingnya suasana jalan raya.
―Sesekali tidur di rumah aja, Ka. Di rumah sakit kan lo nggak bisa istirahat dengan nyaman. Tambah lagi sekarang lagi musim ulangan, lo mana bisa konsentrasi belajar?‖
―Gue juga penginnya bisa istirahat di tempat yang nyaman, Nu. Tapi mau gimana lagi, Ibu kan nggak ada yang jaga... Lagian gue juga udah biasa kayak gini.‖ Anka buru-buru memasukkan buku paket Kimia ke ranselnya, lalu bangun dari tempat duduknya saat melihat Metromini di kejauhan. Danu berdiri menjajari Anka.
―Lo mau ke mana, Nu?‖
―Gue mau... eh, mau ke rumah temen!‖ jawab Danu asal.
Anka mendengus mendengar jawaban Danu. ―Temen yang mana lagi? Kemarin waktu lo bareng sama gue juga mau ke rumah temen, masa tiap hari? Udah, lo nggak usah cari alesan lagi deh buat nemenin gue ke tempat kerja. Gue udah biasa kok jalan sendiri.‖
Danu gelagapan, tidak bisa menjawab. Benar kata Anka, ia memang selalu mencari alasan agar bisa mengawal Anka berdesakan di Metromini setiap kali berangkat kerja.
―Nggak usah kayak gitu, Nu. Gue bisa sendiri kok. Gue takut manja kalo lo terus ada baut gue. Selain gue kan lo masih punya banyak temen lain. Mereka mungkin kehilangan lo, karena lo lebih sering sama gue.‖
Danu membuka mulut, siap memprotes dan menyanggah semua ucapan Anka, tapi Metromini yang akan dinaiki Anka sudah menepi di depan mereka.
―Gue jalan dulu ya, Nu. Lo nggak usah jemput, gue bisa pulang sendiri!‖ seru Anka.
Sosok Anka hilang di antara penumpang Metromini yang berjejalan, membuat Danu tidak punya kesempatan mengatakan apa pun.
***
―Mar, kamu punya CD kosong nggak? Aku mau mindahin data, tapi flashdisc-ku ketinggalan di rumah,‖ tanya Cakka, teman sekantor Damara.
―Ambil aja di laci,‖ jawab Damara tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputernya.
Cakka menunduk, membuka laci meja kerja Damara.
―Eh, ini bungkusan apa, Mar?‖ tanya Cakka seraya mengeluarkan kotak kecil terbungkus rapi. ―Kamu ulang tahun, ya?‖
―Nggak, ini bukan apa-apa...‖ Damara segera mengambil kotak tersebut dari tangan Cakka dan memasukkannya kembali ke laci.
―Wah, pasti ada apa-apanya tuh! Kamu sampe salah tingkah begitu... Kado dari cewek ya, Mar? Siapa sih, Mar, klien ya? Jangan-jangan dari Imelda?‖
―Udah, udah... balik sana ke ruanganmu. Aku lagi banyak kerjaan nih,‖ sergah Damara.
―Ah, belagu kamu, Mar,‖ cibir Cakka, ―mentang-mentang dapet klien cantik!‖
―Sirik ya? Gara-gara kamu cuma dapat klien ibu-ibu yang ngeributin harta gono-gini sama suaminya melulu?‖ ledek Damara.
―Ya namanya juga nasib, Mar. Kalau wajahku kayak kamu, pasti aku dapat klien model sekelas Imelda juga,‖ kata Cakka setengah mengeluh. ―Aku balik ke ruangan deh, thanks nih CD-nya.‖
Damara mengangguk dan kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya di layar komputer, tapi sedikit interupsi yang dilakukan Cakka tadi sempat mengacaukan konsentrasinya. Damara membiarkan pikirannya sejenak terlepas dari pekerjaannya dan menjatuhkan pandangan ke laci meja. Tangannya terulur menarik laci dan mengambil kotak hadiah yang tadi ia coba sembunyikan dari Cakka.
Seperti tebakan Cakka, kotak hadiah itu memang dari Imelda, tadi siang kurir suruhan Imelda yang mengantarkannya. Damara sendiri kurang paham mengapa Imelda merasa perlu memberikan hadiah dasi bermerek lengkap dengan penjepitnya. Di kartu yang ditemukan Damara di dalam kotak, Imelda hanya menuliskan kalimat singkat, “Terima kasih untuk semuanya.”
Damara kembali memasukkan kotak hadiah itu ke laci. Bangun dari tempat duduknya dan melangkah ke arah dinding kaca di ruang kerjanya, Damara mendongak menatap langit, seakan ingin mengalihkan semua kelelahannya.
***
―Maaf, saya tidak bisa menerimanya. Hadiah ini terlalu mahal bagi saya.‖ Damara menyodorkan paper bag yang diletakkannya di atas meja kafe ke arah Imelda yang duduk di depannya. Paper bag itu berisi hadiah yang dikirimkan Imelda. Damara memutuskan mengembalikannya pada Imelda.
―Kenapa bisa begitu? Ini semata-mata tanda terima kasih karena Anda sudah membantu saya malam itu. Harganya tidak seberapa dibanding bantuan Anda,‖ sanggah Imelda.
Damara tersenyum kecil mendengar ucapan Imelda, dan sepenuhnya bisa memahami pemikiran wanita itu. ―Saya sangat menghargai niat baik Anda, tapi saya tidak mengharapkan imbalan apa pun untuk semua yang saya lakukan.‖
―Intinya Anda nggak mau terima niat baik saya, kan?‖
―Bukan begitu, saya hanya tidak bisa menerima barang-barang berharga ini.‖
Imelda mengambil kotak dari dalam paper bag dan mengeluarkan isinya. Di luar dugaan, ia berjalan mendekati Damara dan melepaskan dasi yang sedang dipakai Damara. Dengan cekatan, Imelda memasangkan dasi yang dihadiahkannya ke kerah kemeja Damara.
―Nah, begini kan terlihat labih baik dari yang tadi,‖ kata Imelda seraya tersenyum lebar, lalu ia memasangkan penjepit pada dasi yang baru dipakaikannya pada Damara. ―Sempurna...‖
Damara menatap heran pada Imelda, terkejut akan aksi Imelda yang tiba-tiba. Damara berniat melepaskan dasi yang baru saja dipakaikan Imelda, tapi Imelda mencekal tangannya.
―Memakai dasi itu tidak akan mengusik harga diri Anda di depan saya,‖ kata Imelda.
Damara tidak lagi membantah, senyum sempurna yang menghiasi wajah Imelda membuatnya menurut seakan terhipnotis.
―Terima kasih, Anda bersedia menerima maksud baik saya,‖ pungkas Imelda sebelum kembali ke kursinya.
***
―Nu, lo dipanggil Pak Kusuma,‖ beritahu Andro, saat baru saja kembali dari kantin.
―Ngapain Pak Kusuma manggil gue ya?‖ tanya Danu heran, seraya menutup buku paket bahasa Prancis yang sedang dibacanya.
―Mana gue tau... Lo samperin aja sono,‖ jawab Andro tak acuh. ―Eh, pinjem PR bahasa Jepang lo ya, gue lupa ngerjain nih.‖ Tanpa menunggu persetujuan Danu, Andro mengeluarkan sendiri buku PR dari tas Danu. Sementara Danu masih bertanya-tanya dalam hati, ada apa guru bahasa Indonesia memanggilnya.
***
Danu keluar dari ruangan Pak Kusuma. Banyak hal yang dipikirkannya setelah pembicaraan yang lumayan panjang dengan guru bahasa itu. Ulah Andro yang membuat puisinya tayang di mading sekolah membawa cerita baru. Dan apa yang didengarnya dari Pak Kusuma, guru bahasa Indonesia, entah dengan cara ajaib macam apa puisinya dinobatkan sebagai salah satu nominasi penghargaan sastra.
Tanpa sepengetahuan Danu, Pak Kusuma mendaftarkan puisinya untuk mengikuti ajang tahunan tersebut. Dengan tak terduga, puisi karya Danu bertahan dalam 10 Nominasi Puisi
Terbaik karya Penulis Muda. Ini jelas di luar dugaan dan sangat mencengangkan sebenarnya untuk Danu, sebab saat menulis puisi itu ia tidak punya pikiran bahkan harapan untuk mendapat pencapaian setinggi ini.
―Kenapa Pak Kusuma manggil lo, Nu? Nilai lo turun ya?‖ Andro memberondong dengan pertanyaan saat Danu kembali ke kelas.
Danu tidak menjawab. Ia mendudukkan diri di bangkunya, bingung harus mulai menjelaskan dari mana.
―Kok malah jadi diem? Lo nggak ada masalah apa-apa, kan?‖
Setelah menghela napas, pelan-pelan Danu mulai menceritakan kabar yang barusan didengarnya dari Pak Kusuma.
Berbagai ekspresi terkejut, takjub, dan tidak percaya ditunjukkan Andro saat mendengar cerita Danu. ―Gila! Lo hoki banget tuh, Nu... Lo harus terima kasih tuh sama gue!‖
―Hoki apaan? Gue aja belum tahu itu termasuk hoki apa bukan,‖ kata Danu datar.
―Ya hokilah! Bego banget sih lo. Kalau tuh puisi udah jadi nominasi di ajang penghargaan sastra, berarti puisi lo oke banget... Gila nih, nggak kebayang temen gue bakal jadi pujangga...‖ Pandangan Andro tiba-tiba menerawang, seakan ia sedang membayangkan Danu duduk di padang rumput hijau dengan penampilan khas seniman klasik sedang mencoba merangkai kata menjadi puisi indah.
Danu menoyor kepala Andro, membuyarkan apa saja yang mungkin dibayangkan otak udang itu. ―Kebanyakan mengkhayal lo. Mana buku PR gue, udah selesai nyontek belum?‖
―Sialan lo, noyor-noyor kepala gue. Emak gue aja yang ngasih makan gue nggak pernah noyor, songong lo sama yang lebih tua...‖
―Alah, cuma lebih tua tiga bulan aja ribet lo.‖
―Biar cuma tiga bulan, tetap aja gue lebih tua dari lo,‖ gerutu Andro.
Seraya menertawakan Andro, Danu kembali memikirkan ajang penghargaan yang disebutsebut bergengsi oleh gurunya. Masih terlalu bingung untuk mengartikan apakah kabar yang didengarnya akan membawa sesuatu yang baik atau tidak untuknya.
***
Imelda duduk menghadap kaca besar di ruang makeup, bersiap-siap melakukan peragaan busana di sebuah hotel bintang lima ternama di Jakarta. Wajahnya dalam pantulan cermin tak henti-hentinya mengguratkan senyum.
―Kenapa sih, cin, dari tadi akika perhatiin yey mesem-mesem mulu?‖ tanya makeup artis yang biasa memoles wajah Imelda sebelum berjalan di catwalk.
―Mau tahu aja deh,‖ jawab Imelda masih dengan wajah semringah.
―Segitunya... oke deh ditelen sendiri aja bahagianya kalo nggak mau bagi-bagi!‖
Si makeup artis nyentrik yang lebih suka dipanggil Ferra meski nama aslinya Ferry manyun seraya melanjutkan pekerjaannya. Sementara Imelda, yang seperti kata Ferra, menyimpan sendiri alasan yang membuatnya begitu bahagia kembali mengulas senyum. Bayangan ekspresi wajah Damara saat ia memakaikan dasi pemberiannya menambah lebar senyum yang tersungging di wajah cantiknya.
***
―Ka, sebelum pulang kamu bisa tolong antar delivery order buat kantor atas, kan?‖ tanya Rio, saat Anka keluar dari ruang karyawan bersiap untuk pulang.
―Oh, bisa, Mas... diantar ke kantor mana?‖
―Ke kantor Damara, dia pesan cappucino sama tuna sandwich.‖
―Kak Damara masih ada di kantor?‖ tanya Anka heran sambil melihat jam tangan yang dipakainya.
―Katanya dia lembur malam ini... kamu cepat antar pesanannya, kasihan dia udah nunggu lama.‖
―Iya, Mas.‖ Anka menenteng pesanan Damara yang diberikan Rio padanya, berjalan keluar kafe menuju kantor Damara.
Kantor Damara sudah sepi saat Anka tiba di lantai tiga. Hanya ada seorang security yang duduk di balik meja resepsionis. Setelah permisi dan menanyakan letak ruang kerja Damara pada sang security, Anka masuk ke kantor Damara. Sudah tidak ada siapa-siapa di dalam, hampir semua lampu di ruang kerja sudah dipadamkan. Hanya ada satu lampu ruang kerja yang masih menyala. Yakin bahwa ruangan itu adalah ruang kerja Damara, Anka mempercepat langkahnya.
Damara terlihat serius di depan laptop-nya, pandangannya fokus tertuju ke layar laptop yang entah menampilkan apa.
Anka mengetuk pintu ruang kerja Damara yang memang terbuka, menginterupsi Damara dari keseriusannya.
―Permisi, Kak, saya ke sini mau antar pesanan Kakak.‖
―Hai, Anka... Masuk, Ka...‖ Damara bangun dari kursinya dan berjalan menghampiri Anka. ―Kamu belum pulang?‖
―Ini baru mau pulang, Kak. Tadi Mas Rio minta tolong saya untuk antar pesanan Kakak sebelum pulang.‖
―Sori ya bikin kamu repot,‖ kata Damara sambil menyambut pesanannya dari tangan Anka.
―Kak Damara lembur ya?‖ tanya Anka.
―Sebenarnya nggak lembur sih, cuma ada sedikit pekerjaan yang belum selesai, sebentar lagi juga beres.‖
Anka mengangguk mengerti, matanya menebarkan pandangan ke seluruh ruang kerja Damara. Ruang kerja yang menurut Danu menjadi rumah kedua bagi Damara, karena Damara lebih sering tidur di kantor ketimbang di rumah.
―Kamu pulang ke rumah atau ke rumah sakit, Ka?‖ tanya Damara sambil menyeruput cappucino-nya.
―Saya pulang ke rumah, Kak. Kelupaan bawa seragam sekolah,‖ jelas Anka.
―Kalau gitu kita pulang bareng aja. Sebentar lagi kerjaan Kakak selesai kok.‖
―Saya bisa pulang sendiri, Kak, kalau Kakak masih banyak kerjaan.‖
―Nggak, nggak... sebentar lagi selesai kok. Lagi pula ini sudah terlalu malam kalau kamu pulang sendiri. Pokoknya kamu tunggu di sini aja, kita pulang sama-sama,‖ tandas Damara.
Mengabaikan rasa tidak enaknya, Anka duduk di sofa yang tersedia di ruang kerja Damara, sementara Damara kembali ke meja kerjanya. Anka menyandarkan tubuh lelahnya ke sofa empuk yang didudukinya, melepas lelah sesaat selama menunggu Damara.
***
Damara menutup laptop-nya, sudah selesai menuntaskan pekerjaannya. Ia memasukkan beberapa barang ke tas kerjanya sebelum beranjak. Damara tersenyum melihat Anka yang duduk tertidur di sofa. Ia menghampiri Anka dan duduk di samping gadis yang sepertinya tertidur begitu nyenyak. Gadis ini pasti sangat lelah menjalani semuanya. Ia masih terlalu muda untuk menanggung semua hal berat dalam kehidupannya. Wajahnya yang begitu polos harusnya masih diliputi senyum ceria khas remaja tanpa harus terbebani cobaan yang begitu berat.
―Anka... Bangun, Ka, kita harus pulang,‖ kata Damara membangunkan Anka hati-hati.
Anka menggeliat, membuka matanya, lalu tersentak kaget saat melihat Damara duduk di sampingnya.
―Ma-maaf, Kak... saya ketiduran,‖ kata Anka segera menegakkan posisi duduknya.
―Nggak apa-apa. Kamu pasti kecapekan. Ya sudah, kita pulang sekarang supaya kamu bisa segera istirahat.‖
Mereka sampai rumah tepat pukul sebelas malam. Danu keluar dari kamarnya saat mendengar suara pintu terbuka dan langsung menghampiri mereka berdua dengan tatapan heran.
―Kok lo bisa bareng Kak Damara, Ka?‖ Sedetik kemudian berpaling pada Damara menanyakan hal yang sama. ―Kak Damara kenapa bisa pulang bareng Anka?‖
―Tadi Anka nemenin Kakak lembur, jadi kita pulang sama-sama,‖ jawab Damara santai.
―Nemenin lembur gimana maksudnya?‖
―Tadi gue nganter pesanan ke kantor Kak Damara, terus sekalian nungguin Kak Damara lembur biar sekalian nebeng pulang,‖ jelas Anka ekspresi ngantuk berat.
―Oh, gitu... Tadi lo SMS bilang sama gue mau pulang ke rumah sakit, kan?‖
―Nggak jadi,‖ jawab Anka sekenanya, mulai jengah dengan pertanyaan Danu.
―Udahlah, Nu, nggak usah banyak nanya, kasihan Anka tuh, dia udah ngantuk berat. Biar dia masuk kamar supaya bisa istirahat.‖
Danu diam. Kata-kata Damara menghentikan keingintahuannya.
―Saya masuk kamar dulu ya, Kak. Nu, gue tidur dulu ya, besok gue baru cerita sama lo,‖ pamit Anka sebelum berjalan meninggalkan Damara dan Danu.
Anka sebenarnya tidak bermaksud mengabaikan Danu, ia hanya terlalu lelah untuk menjawab semua hal sepele yang ditanyakan Danu barusan. Ia harus segera tidur agar punya cukup tenaga untuk kembali menjalani aktivitas yang begitu menguras tenaganya.
*** “Lo nggak sengaja aja udah mau dapat penghargaan, gimana kalo lo bikinnya serius!” - Anka
***
- 12 -
―NU, lo tau nggak bakal dapet berapa kalo lo menang? Gue lihat di internet nih ya, pemenang penghargaan ini bakal dapet uang saku lima belas juta!‖ kata Andro dengan semangat mendekati Danu yang sedang duduk bengong di kursinya menunggu bel masuk berbunyi.
―Itu kan kalo gue menang,‖ timpal Danu datar.
―Iya sih emang, tapi paling tidak lo termotivasi dan lebih semangat sebagai nominator penghargaan kayak gini, Nu!‖
―Yaelah! Biasa aja kalee... Ntar kalo gue kelewat seneng dan ternyata nggak menang, gue kan bisa gila.‖
―Yah elo, Nu... emang susah banget ya diajak punya cita-cita! Eh, lo udah tau belum, malam penghargaannya kan minggu depan di Bandung. Lo dateng, kan?‖
―Kemarin Pak Kusuma sih udah bilang, tapi nggak tahu deh gue datang atau nggak. Acaranya di hotel bintang lima, malu gue...‖ jawab Danu.
―Mesti dateng lo! Kapan lagi punya akses ke acara begituan? Siapa tau di sana lo ketemu orang penerbitan yang bakal minta lo bikin buku kumpulan puisi.‖
―Entahlah, Ndro... Lagian gue belum bilang sama Kak Damara.‖
―Hah?! Lo belum bilang sama kakak lo kalau lo mendapat nominasi penghargaan bergengsi kayak gini? Wah, kebangetan lo, Nu! Kalo gue jadi lo, gue udah umumin ke orang sekampung!‖
―Belum sempet bilang, Ndro. Kak Damara sama Anka pulangnya malem terus,‖ kata Danu, tiba-tiba lesu saat mengingat tadi malam Anka dan Damara pulang berdua. ―Gue belum nemuin waktu yang pas buat bilang ke mereka. Lagian, kayaknya berita soal nominasi penghargaan sastra bukan berita yang hebat-hebat banget deh.‖
―Ah, terserah lo deh! Ribet ngikutin lo, kebanyakan pertimbangan.‖
Danu tertawa mendengar ucapan Andro. Benar yang dikatakan Andro, ia memang terlalu banyak pertimbangan. Danu bukannya tidak ingin memberitahukan apa yang bisa disebut sebagai prestasi pada orang-orang terdekatnya, hanya saja... Di tengah kesibukan kakaknya yang menyita waktu bahkan sampai tidak pulang, di tengah perjuangan yang harus dijalani Anka, Danu merasa amat sangat tidak berguna, dan prestasinya tidak berarti apa-apa.
***
Imelda dan manajernya duduk di sofa ruang kerja Damara. Siang ini Damara meminta Imelda datang ke kantornya sebelum besok mereka menghadapi sidang putusan kasus perceraian Imelda.
―Besok mungkin akan jadi persidangan terakhir untuk kasus perceraian Anda, kalau suami Anda tidak naik banding atau melakukan langkah lain yang menghambat putusan perceraian Anda,‖ jelas Damara seraya membuka lembar-lembar berkas perceraian Imelda. ―Apakah Anda sudah siap untuk persidangan besok? Mungkin wartawan yang datang akan lebih banyak dibanding kemarin-kemarin.‖
―Imelda pasti...‖
―Saya siap!‖ Imelda lugas memotong ucapan si manajer yang ingin menggantikannya bicara seperti biasa.
Damara tersenyum melihat perubahan Imelda. Imelda pun membalas senyuman Damara, membuat si manajer yang selama ini selalu mendampingi Imelda bingung melihat mereka.
―Oke, kalau begitu tidak ada lagi yang perlu kita bahas. Semua sudah siap untuk besok,‖ kata Damara akhirnya. ―Terima kasih untuk kedatangannya, semoga tidak mengganggu kesibukan Anda.‖
Damara bangun dari sofa mengulurkan tangannya ke arah Imelda yang langsung dijabat oleh Imelda. ―Sampai ketemu besok di pengadilan,‖ ujar Damara mantap.
Imelda kembali tersenyum. Saat Imelda sedang merapikan berkas dan isi tasnya, manajer Imelda keluar lebih dulu dari ruang kerja Damara. Setelahnya Imelda mendekati Damara, pandangannya jatuh ke kerah kemeja yang dipakai Damara.
―Dasi itu cocok sekali untuk Anda,‖ puji Imelda sebelum keluar.
Damara langsung menunduk, melihat dasi yang dipakainya. Tanpa disadarinya, hari ini ia memakai dasi pemberian Imelda. Pantas saja dari tadi ia merasa ada yang tidak beres dengan cara Imelda menatapnya, rupanya dasi ini penyebabnya.
***
Seperti biasa, di tengah sedikit waktu luangnya, Anka duduk di samping tubuh koma ibunya, menceritakan apa saja yang dialaminya sepanjang hari ini. Memang terkesan sia-sia bicara dengan orang yang sedang koma, tapi Anka yakin ibunya mendengar semua hal yang diceritakannya.
―Hari ini Anka dapet gaji pertama, Bu.‖ Anka memulai ceritanya. ―Uang pertama yang Anka dapet dari kerja keras dan keringat Anka sendiri.‖
Anka membelai lembut rambut ibunya, berharap rambut itu kembali tertata indah seperti dulu. ―Anka pengin traktir Ibu dengan gaji pertama Anka, Bu...‖ Anka tersenyum getir, lagilagi tidak dapat menahan air mata di depan ibunya, meski sebenarnya ia tidak ingin menangis. ―Tapi Anka baik-baik aja, Bu, Anka akan jadi anak yang kuat selama nunggu Ibu sembuh... Ibu nggak usah khawatir ya.‖ Anka menghela napas pelan, menyeka air matanya, dan kembali tersenyum pada ibunya.
***
Anka masuk ke kamar Danu setelah mengetuk pintu terlebih dahulu, berjalan menghampiri Danu yang sedang duduk di depan meja belajarnya dengan earphone terpasang di telinga. Anka melambaikan tangan di depan wajah Danu, mengumumkan kehadirannya.
―Eh, Ka, sori... gue nggak tahu lo masuk,‖ kata Danu setelah melepas earphone-nya. ―Ada apa, tumben ke kamar gue?‖
―Nih...‖ Anka meletakkan kotak kecil berbungkus rapi di atas meja belajar, di depan Danu.
―Apaan nih?‖ tanya Danu heran. ―Ulang tahun gue kan satu bulan lagi.‖
―Itu hadiah buat lo, gue baru terima gaji pertama,‖ jawab Anka tersenyum.
―Ya ampun, Anka, lo nggak usah kasih apa-apa buat gue. Mending duitnya buat yang lebih penting.‖
―Kasih hadiah buat lo penting buat gue. Lo udah sering banget bantuin gue, nggak salah kan kalo gue pengin kasih ucapan terima kasih.‖
―Tapi kebutuhan lo...‖
―Udahlah... nggak ada salahnya kan kalo gue beliin sesuatu buat lo sama Kak Damara, karena gue juga pengin ada orang-orang yang bisa gue ajak berbagi. Lagian itu bukan barang mahal kok.‖
Danu berhenti berdebat. Bukan karena ia sudah menerima argumen Anka, tapi lebih karena Anka mengatakan bahwa ia juga membeli hadiah untuk Damara. Tadinya Danu sudah merasa istimewa saat Anka membelikan hadiah dengan gaji pertamanya, tapi ternyata bukan ia satusatunya orang yang mendapat hadiah.
―Lo nggak pengin tahu isinya, Nu?‖ tegur Anka, setelah beberapa saat Danu terdiam.
Danu tersentak, kembali menatap kotak di tangannya. ―Emang lo ngasih apa buat gue?‖
―Lo buka aja.‖
Dengan antusias Danu membuka kertas pembungkusnya sambil bertanya-tanya dalam hati hadiah apa gerangan yang diberikan Anka padanya. Senyum Danu merekah saat melihat jam tangan berwarna hitam di dalam kotak hadiah tersebut.
―Wah, lo tahu aja jam tangan gue pecah pas olahraga kemarin.‖
―Tapi bukan jam mahal, Nu. Cuma jam harga tiga puluh ribuan. Jam lo yang pecah kan mahal, oleh-oleh Kak Damara dari Batam.‖
Danu mengabaikan kata-kata Anka, ia langsung memakai jam pemberian Anka.
―Gue lebih seneng pake yang ini. Keren! Selera lo lebih oke daripada Kak Damara,‖ kata Danu tersenyum lebar. ―Thanks ya, Ka.‖
―Sama-sama, Nu. Gue seneng lo suka hadiah dari gue. Kalo gitu gue balik ke kamar dulu, masih ada tugas yang belum gue kerjain.‖
―Eh, Ka, gue pengin ngomong bentar sama lo, bisa?‖
Akhirnya Danu punya kesempatan menceritakan soal puisinya pada Anka setelah menyimpan berita ini cukup lama.
―Ya ampun, Nu! Itu keren banget!‖ seru Anka takjub. Danu tersenyum malu, karena tersanjung dengan pujian Anka. ―Gue nggak nyangka kalo selama ini lo punya bakat menulis puisi.‖
―Bakat nggak sengaja, Ka.‖ Danu merendah.
―Lo nggak sengaja aja udah mau dapat penghargaan, gimana kalo lo bikinnya serius!‖
―Cuma jadi nominasi doang,‖ sanggah Danu. ―Belum tentu menang juga. Lagian, gue jadi nominasi di kategori tambahan yang kelihatannya nggak penting dibanding lima kategori yang lain.‖
Anka merangkul bahu Danu seraya tersenyum lembut dan berkata, ―Buat anak SMA yang baru sekali menulis puisi, itu termasuk prestasi yang hebat banget, Nu. Semangat dong!‖
―Iya sih, tapi...‖
―Udahlah, nggak ada salahnya menghargai dan bangga sama pencapaian yang lo raih. Masalah lo bakal menang atau nggak, itu urusan belakang. O ya, Pak Kusuma bilang nggak acaranya kapan?‖
―Minggu depan, di Bandung,‖ jawab Danu.
―Acaranya di Bandung?!‖
Danu mengangguk lesu, seakan dengan anggukannya ia menyatakan Bandung salah satu alasan mengapa ia malas datang ke acara penghargaan itu.
―Lo udah bilang sama Kak Damara soal ini?‖ tanya Anka lagi.
―Belum. Gue takut reaksi Kak Damara kayak lo sama Andro. Gue nggak mau ngasih kebanggaan yang belum jelas buat Kak Damara.‖
―Tapi lo harus bilang, Nu! Kak Damara orang yang paling seneng kalo tahu soal ini.‖
―Makanya gue takut cerita, gue nggak mau bikin Kak Damara kecewa kalo ternyata gue nggak menang dan dapat penghargaan itu.‖
―Kak Damara nggak bakal kayak gitulah... Dia terlalu bijak untuk ngerasa kecewa kalau lo nggak menang.‖
Danu menatap Anka lekat-lekat, bukan karena pernyataan Anka yang dirasa benar olehnya, tapi lebih karena kata-kata Anka mengenai kakaknya, terasa terlalu aneh di telinganya.
***
Ketukan palu hakim terdengar di ruang persidangan agama, menyertai putusan cerai yang ditetapkan hakim untuk kasus perceraian Imelda. Damara yang duduk mendampingi Imelda menghela napas lega, akhirnya proses hukum yang alot ini berujung juga.
Suami Imelda, eh bukan, mantan suami Imelda, kali ini bersedia hadir di persidangan setelah sekian lama hanya mewakilkan segala hal pada pengacaranya. Lelaki itu terlihat tidak begitu senang dengan keputusan hakim. Setelah membisikkan sesuatu pada pengacaranya, ia bergegas pergi meninggalkan ruang persidangan dikawal beberapa pria kekar berseragam safari untuk menghalau para wartawan infotainment yang berusaha mewawancarainya.
Damara sempat melihatnya menjatuhkan pandangan sinis penuh ancaman ke arahnya dan Imelda sebelum berlalu. Untungnya Imelda tidak sempat melihatnya.
―Selamat ya, Mbak Imelda... Eh, maaf, seharusnya perceraian bukan hal yang pantas untuk diberi ucapan selamat,‖ kata Damara serbasalah.
Imelda tersenyum mendengar perkataan Damara.
―‘Selamat‘ adalah kata terbaik yang bisa Anda sampaikan sekarang,‖ kata Imelda, nyaris tidak terdengar karena keriuhan wartawan mulai memenuhi ruang persidangan.
―Oke kalau begitu, selamat!‖ seru Damara seraya mengulurkan tangannya pada Imelda.
Imelda kembali mengulas senyum yang terlihat lega dan puas, seperti senyum yang biasa ia tampilkan di sampul-sampul majalah, menyambut uluran tangan Damara dengan kedua tangannya yang lembut. Dan di luar dugaan, tiba-tiba Imelda memeluk Damara. Seketika, semua sorot kamera para wartawan yang ada di ruang persidangan mengarah pada mereka, membuat Damara kelabakan. Di tengah sorotan dan jepretan kamera, Damara berusaha membuat Imelda melepaskan pelukannya, tapi tangan Imelda terlalu kuat merangkul pinggangnya.
―Bisa saya minta tolong sekali lagi...‖ bisik Imelda.
Damara menghentikan usahanya, sepenuhnya pasrah dengan semua rencana Imelda kali ini. Menggantikan usaha Damara, manajer Imelda mulai berusaha menarik lengan Imelda agar melepaskan pelukannya dari Damara, tapi tidak berhasil juga. Para wartawan semakin kalap mengabadikan momen berharga itu. Berita tentang Imelda yang memeluk erat pengacaranya di sidang putusan kasus perceraiannya pasti akan menjadi top news yang akan meningkatkan rating program acara mereka. Suasana di ruang pengadilan semakin kacau.
Jengah dengan suara jepretan kamera dan berondongan pertanyaan dari wartawan yang seketika mengerubungi mereka, Damara menarik Imelda keluar dari kerumunan wartawan. Berjalan secepat yang ia bisa dan keluar dari ruang persidangan bersama Imelda.
***
―Kelakuan Anda tadi seperti anak kecil.‖ Damara menatap kesal pada Imelda di taman yang dulu pernah mereka singgahi saat Imelda pingsan di ruang sidang. ―Anda tahu dampak seperti apa yang akan muncul setelah ini?‖
Imelda tidak menjawab, wajahnya menunduk menatap dedaunan kering di ujung kakinya yang terjuntai di bawah kursi taman yang didudukinya.
―Maaf... saat itu yang ada di pikiran saya hanya ingin membuat dia merasa kalah melihat apa yang saya lakukan tadi...‖
―Dengan mengorbankan saya?!‖ sergah Damara, tidak percaya dengan alasan Imelda.
―Bukan seperti itu maksud saya... Saya hanya...‖
―Hanya apa? Memanfaatkan saya agar mantan suami Anda cemburu dengan membuat sensasi murahan di depan semua wartawan?‖ potong Damara semakin kesal. Damara bangun dari duduknya dan berdiri membelakangi Imelda. Sekali lagi menghela napas panjang seakan dengan begitu ia bisa mengurangi rasa kesalnya.
―Saya antar Anda pulang sekarang. Saya tidak mau keadaan semakin sulit dengan membiarkan Anda terus berada bersama saya.‖
Damara berjalan menuju mobilnya, mengabaikan Imelda yang masih duduk di kursi taman.
―Apakah salah, kalau saya ingin membalas sakit hati pada orang yang begitu menyakiti saya?‖ Ucapan Imelda menahan langkah Damara.
―Salah, kalau melibatkan orang lain,‖ sahut Damara setelah memutar tubuhnya menghadap Imelda.
Menatap Imelda yang tampak begitu nelangsa dengan berbagai hal yang berputar di kepalanya, dengan berat hati Damara melangkah kembali menghampiri Imelda, duduk di sebelah wanita itu, sementara hari berangsur gelap.
―Saya memang salah... Seharusnya saya mempertimbangkan reputasi Anda sebagai pengacara juga kehidupan pribadi Anda. Mungkin akan ada wanita yang menangis jika melihat saya memeluk Anda di tayangan infotainment... Saya benar-benar lupa mempertimbangkan hal itu,‖ kata Imelda menampilkan wajah penuh penyesalan.
Wanita ini memang mahir sekali mengubah suasana hati lawan bicaranya. Tadi Damara begitu kesal dengan perbuatan Imelda, tapi sekarang, setelah melihat raut wajah memelas Imelda, Damara luluh, tidak tega.
―Sudahlah, hal itu nggak perlu dibahas sekarang. Kita lihat saja nanti,‖ kata Damara melunak. ―Sebaiknya saya antar Anda pulang, manajer dan keluarga Anda pasti khawatir dan sudah menunggu.‖ Damara berdiri, sedikit mengulas senyum agar Imelda bersedia menuruti permintaannya.
Alih-alih mengikuti saran Damara untuk pulang, Imelda malah tetap duduk, bergeming.
―Bisakah sekali lagi Anda membantu membuat jeda sesaat dalam hidup saya...?‖ pinta Imelda lirih, seraya memandang Damara dengan tatapan penuh permohonan.
Damara terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa untuk menjawab permintaan Imelda. Entah mengapa, tatapan Imelda membuatnya tidak sanggup mengatakan ―tidak‖.
***
- 13 -
DAMARA tidak pernah menyangka efek kejadian kemarin di ruang persidangan akan seluar biasa ini. Baru satu langkah Damara memasuki kantornya, ia langsung diberondong pertanyaan dari rekan-rekan kerjanya. Berbagai tabloid gosip yang membuat berita tentang dia dan Imelda menggantikan koran pagi yang biasa dibaca teman-temannya.
―Sini, ikut aku!‖ perintah Cakka, seraya menarik tangan Damara masuk ke ruang kerjanya, menjauh dari penghuni ruangan yang siap menyambutnya dengan berbagai pertanyaan. ―Kamu gila ya, Mar! Apa-apaan ini?‖
Cakka menyodorkan tabloid. Di halaman yang dibuka Cakka terpampang foto Damara dipeluk Imelda, satu halaman penuh! Dengan ekspresi tercengang Damara menyentakkan tabloid itu dari tangan Cakka, tidak percaya fotonya dengan headline ―Cinta Segitiga Sang Model‖ dipajang di tabloid gosip terlaris di Indonesia.
―Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, Kka!‖ sanggah Damara.
―Terus sebenarnya kayak apa?‖ tanya Cakka tegas.
Damara tidak langsung menjawab, sulit baginya menceritakan kejadian sebenarnya, sekalipun pada rekan kerja terdekatnya yang sekaligus wakil ketua biro hukum tempatnya bekerja. Alasannya terlalu aneh untuk dijelaskan.
―Mar, kamu tahu kan, aku bukan orang yang suka mencampuri urusan pribadi teman kerja. Kamu bebas punya hubungan spesial dengan siapa saja. Tapi masalahnya, sekarang kamu justru diindikasikan punya skandal sama Imelda, klien yang sedang kamu pegang kasus perceraiannya!‖
―Tapi, Kka, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Imelda! Ini semua cuma gosip! Imelda memeluk aku spontan karena kelewat senang kasusnya selesai. Wartawan infotainment aja yang kelewatan dan suka melebih-lebihkan.‖
―Masalahnya bukan cuma benar atau tidaknya berita ini, Mar. Tapi sudah melibatkan reputasi biro hukum kita! Coba kamu bayangkan apa yang dipikirkan calon-calon klien kita saat melihat ini semua? Pengacara yang seharusnya membantu klien dalam kasus perceraian malah diindikasikan sebagai penyebab perceraian kliennya!‖
Apa yang dikatakan Cakka memang benar. Damara seharusnya memikirkan hal ini sejak awal.
―Oke, Kka, aku ngerti maksud kamu. Aku janji akan menyelesaikan ini semua.‖
―Ya, aku percaya sama kamu, Mar. Sori kalau tadi aku kelewat keras sama kamu.‖
―Nggak masalah, aku ngerti kok,‖ ujar Damara.
―Kalau kamu butuh bantuan untuk masalah ini, beritahu aku,‖ kata Cakka menepuk bahu Damara. ―Aku balik ke ruangan dulu.‖
Cakka keluar dari ruang kerja Damara, mengusir beberapa orang yang berdiri di depan pintu ruang kerja Damara yang tampaknya berusaha menguping. Damara mengenyakkan diri di kursi kerjanya, memejamkan mata sesaat untuk menghalau semua pikiran memusingkan di kepalanya.
Handphone Damara berbunyi di atas meja kerjanya, membuyarkan usaha Damara untuk menenangkan pikiran. Nama Anggun muncul di layar LCD handphone-nya. Anggun pasti sudah melihat berita dugaan skandal Damara dengan Imelda di infotainment. Ia jelas menelepon untuk menuntut penjelasan. Mengabaikan dering handphone-nya, Damara bangkit dari kursinya dan melangkah gontai menuju dinding kaca ruang kerjanya. Biasanya dengan menatap ke luar melalui dinding transparan tersebut pikiran Damara lebih tenang dan akan menemukan solusi masalahnya. Tapi sayang, bukannya menemukan solusi, saat menatap ke luar Damara malah menemukan masalah baru. Di bawah gedung ia melihat sekitar sepuluh wartawan infotainment sudah siaga dengan kameranya, berkerumun menunggu sumber berita mereka, yang dapat dipastikan siapa orangnya.
***
Anka menatap dengan serius layar TV 14 inci di ruang karyawan, tercengang ketika wajah Damara muncul di sebuah acara infotainment bersama model cantik yang dikenali Anka sebagai Imelda Azizah, klien Damara. Ketercengangan Anka bertambah saat melihat adegan Imelda memeluk Damara di ruang persidangan. Entah mengapa jantung Anka berdetak kencang saat menyaksikan itu semua, ditambah lagi narator acara gosip yang menyatakan bahwa Damara diduga sebagai orang ketiga yang memicu perceraian Imelda, semakin membuat perasaan Anka tidak keruan.
―Itu kan pengacara yang sering ke sini,‖ komentar senior wanita Anka yang kebetulan melihat sambil lewat. ―Nggak nyangka ya wajah ganteng cuma dipake buat dapetin klien cantik.‖
Ingin rasanya Anka menyumpal mulut seniornya itu dengan lap meja yang dipegangnya agar tidak bicara sembarangan tentang Damara. Anka yakin sepenuhnya ini hanya kesalahpahaman. Damara tidak mungkin melakukannya. Damara terlalu baik untuk menerima semua tuduhan itu. Terlepas dari seberapa sering Damara mendapat klien wanita cantik, dan terlepas dari seringnya Damara terlihat bersama wanita-wanita cantik, Anka percaya Damara tidak mungkin menempatkan dirinya sebagai perusak rumah tangga orang lain.
***
Tidak jauh berbeda dari yang dialami Damara, apa yang dialami Imelda setelah segala macam pemberitaan itu menyebar, tidak kalah merepotkan. Manajer Imelda duduk di sofa apartemen Imelda dengan wajah stres berat. Ibu Imelda, yang selama ini selalu mengatakan pada semua orang bahwa ia begitu peduli pada anaknya, berdiri dengan muka masam sambil menyilangkan tangan, sesekali menatap ke arah Imelda dengan tatapan menyalahkan.
Tidak banyak yang bisa dikatakan Imelda menanggapi reaksi dari orang-orang yang menganggap diri mereka berjasa dalam perjalanan karier Imelda. Melihat semua reaksi menyalahkan itu, Imelda malah merasa senang. Puas rasanya membuat mereka kerepotan karena ulahnya.
―Kita harus buat press conference! Kita harus menjelaskan pada semua wartawan bahwa tidak ada apa-apa antara kamu dengan pengacara itu,‖ tuntut Gita, wanita ambisius yang memanajeri Imelda sejak awal kariernya. ―Kita harus mengundang semua media untuk
meluruskan masalah ini. Reputasi kamu harus dikembalikan seperti semula sebelum klienklien kita membatalkan kontrak mereka.‖
―Buat apa, Mbak? Gosip kayak gini dibiarin aja, nanti juga reda sendiri,‖ sahut Imelda santai.
―Reda sendiri kamu bilang?! Perbuatan kamu kemarin bukan cuma menimbulkan gosip biasa, tapi skandal, Imelda!‖ sergah Gita. ―Saat hakim memutuskan perceraianmu dan kamu malah memeluk pengacara di depan semua wartawan, itu seperti sengaja mencari sensasi untuk menutup sidang perceraian kamu...‖
―Kamu terlalu gegabah, Mel! Sudah berapa kali Ibu pesan sama kamu untuk selalu menjaga sikap.‖ Ibu Imelda ikut menimpali.
―Cari sensasi?! Jaga sikap?! Kalian memang nggak pernah ngerti apa yang aku rasain selama ini!‖
―Maksud kamu apa sih, Mel? Kami semua orang terdekat kamu, kami ingin yang terbaik buat kamu.‖
―Terbaik buat aku?! Termasuk ngehancurin hidup aku dengan menikahkan aku sama laki-laki kayak Septian, begitu, Bu?‖
―Imelda, jaga mulut kamu!‖ bentak ibu Imelda. ―Berani-beraninya kamu bicara seperti itu sama Ibu.‖
―Ibu nggak terima aku ngomong kayak gitu sama Ibu, jadi Ibu masih berpikir Septian lakilaki yang paling tepat buat aku, kan?‖
Imelda bangun dari sofa, menatap sengit ke arah ibu dan manajernya yang seakan tidak percaya dengan ucapan Imelda barusan. Kali ini, untuk pertama kalinya mereka melihat Imelda membantah.
―Besok aku nggak mau menjelaskan apa-apa di depan wartawan!‖ tandas Imelda, memakai kacamata hitamnya lalu menyambar kunci mobil di atas meja sebelum berjalan menuju pintu apartemen.
―Kamu mau ke mana, Mel? Di luar banyak wartawan!‖ seru Gita putus asa.
Imelda tidak menggubris, kali ini ia tidak ingin mendengar apa pun dari orang-orang yang ia rasa sudah membuatnya lupa rasanya bahagia. Yang diinginkan Imelda sekarang hanyalah menajuh dari segala hal yang membuatnya tidak merasa seperti manusia.
***
Damara mendapati Imelda duduk di salah satu bangku taman yang agak jauh dari penerangan. Tubuhnya dibalut jaket hitam, mengenakan topi yang sengaja dipakai untuk menutupi wajahnya, seakan enggan dikenali siapa pun.
―Anda nggak takut duduk di sini sendirian?‖ tanya Damara, mengumumkan kedatangannya, seraya duduk di samping Imelda.
Imelda menoleh, tersenyum kecil saat melihat Damara duduk di sampingnya.
―Terima kasih, kamu mau datang.‖
―Saya rasa pasti ada hal yang penting kalau Anda sampai mau menunggu saya di tempat seperti ini...‖
―Kita tidak berada di ruang persidangan, atau sedang bicara soal kasus di kantor, kan? Bisakah kata ‗Anda‘ diganti dengan sapaan yang lebih santai?‖
―Oke, bisa saya coba,‖ jawab Damara mengangguk sopan. ―An... maksud saya, kamu... ada apa meminta saya untuk nemuin kamu di sini?‖
Imelda melepas topi hitam yang dipakainya, hingga rambut hitam sebahunya tergerai indah. Imelda menghela napas berat sebelum menoleh menatap ke arah Damara. ―Kamu pasti melewati hari yang luar biasa merepotkan hari ini,‖ Imelda mulai bicara. ―Maaf, karena sikap saya kemarin semua jadi kacau, terutama untuk kamu yang biasa hidup tenang.‖ Imelda menunduk. Dari raut wajahnya terlihat bahwa ia baru saja melewati hal yang begitu menyusahkan.
―Lumayan... sesekali ngerasain jadi selebriti menyenangkan juga, walaupun harus dapat teguran keras dari bos,‖ kata Damara santai. ―Kamu sendiri juga pasti melewati hari yang luar biasa.‖
Imelda mengulas senyum kaku, seakan apa yang diduga Damara memang benar adanya.
―Saya sudah terbiasa menjadi bahan berita. Dibilang cewek matre sampai diberitakan sebagai model yang bisa dibawa ke hotel, sudah pernah saya alami. Gosip ini terbilang ringan untuk ukuran saya,‖ jelas Imelda, terdengar getir di telinga Damara. ―Saya sudah mati rasa untuk ini semua, terlalu lelah... sampai saya sendiri lupa untuk merasa lelah.‖
Damara menatap Imelda prihatin, tidak pernah disangkanya akan seperti ini kehidupan seorang model terkenal.
―Tampil sempurna di depan publik adalah hal yang selalu mereka tuntut dari saya, tidak peduli apa yang sedang saya rasakan.‖ Imelda memalingkan wajahnya dari Damara, berusaha menyembunyikan air mata yang terlihat sudah menggenang di matanya.
Damara tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi seperti ini, dengan ragu Damara mengeluarkan saputangan dari saku kemejanya, mengulurkannya pada Imelda. ―Ini...‖ katanya pelan.
Imelda mengambil saputangan yang diberikan Damara, menyeka air matanya. ―Terima kasih, maaf bikin kamu harus lihat saya seperti ini,‖ kata Imelda sengau. ―Kamu mungkin mikir
saya wanita cengeng, yang langsung terpuruk saat dapat cobaan kayak gini. Saya sebenarnya malu terlihat seperti ini di depan kamu, kamu sudah terlalu sering melihat saya terpuruk...‖
―Kenapa harus malu? Semua orang pernah melewati masa-masa sulit, itu sangat manusiawi,‖ kata Damara, berusaha membesarkan hati Imelda. ―Walaupun kamu model terkenal yang selama ini selalu tampil sempurna, kamu tetap manusia biasa yang akan sakit dan terpuruk jika terluka terlalu dalam.‖
Imelda menatap Damara lekat-lekat, membuat Damara merasa sedikit jengah dan tidak nyaman.
―Kamu orang baik,‖ kata Imelda akhirnya. ―Terlalu baik untuk saya jadikan partner yang muncul di skandal infotainment... sekali lagi maaf untuk itu.‖
―Saya bukan orang baik. Kalau kamu tahu siapa saya sebenarnya, kamu tidak akan begitu merasa bersalah,‖ kata Damara dengan nada suara yang entah kenapa terasa menyesal.
Damara menatap wajah Imelda yang diterpa angin malam. Ada yang salah pada dirinya kali ini. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bekerja tidak normal saat menatap Imelda. Taman ini terlalu sepi hingga Damara takut apa yang dirasakannya bisa tergambar jelas di mata Imelda.
―Saya tidak begitu peduli seperti apa kamu sebenarnya, bagi saya kamu satu-satunya orang yang paling mengerti saya. Satu-satunya orang yang mau menemani saya saat saya butuh seseorang,‖ lanjut Imelda. ―Andai orang yang saya nikahi itu kamu...‖
Apa yang bisa dilakukan Damara setelah mendengar kata-kata Imelda untuknya? Wajah Imelda yang begitu dekat dari jangkauannya, embusan angin malam yang terasa menyegarkan membuat otak Damara bekerja di luar kebiasaannya. Tanpa alasan yang jelas Damara mencium bibir Imelda, membiarkan semuanya berlangsung begitu saja dengan Imelda yang tidak sedikit pun menunjukkan reaksi menolak. Rasanya bukan kesalahan untuk menuruti stimulus dari otaknya.
***
“Dia bukan orang seperti kamu,” - Damara
***
- 14 -
DANU duduk di tempat tidur kakaknya, baru saja menceritakan pada kakaknya tentang nominasi penghargaan sastra yang mengharuskannya pergi ke Bandung.
―Itu bagus, Nu! Kakak bangga sekali kamu bisa meraih prestasi seperti itu,‖ kata Damara selesai mendengarkan penjelasan Danu. ―Kakak akan atur keberangkatanmu ke sana. Kamu bisa menginap di hotel tempat acara penghargaan itu digelar.‖
―Nggak usah, Kak... itu kan hotel bintang lima, pasti kamarnya mahal banget.‖
―Nggak masalah. Kakak masih mampu kok membayar semuanya.‖
―Tapi, Kak, Danu belum tentu dapat apa-apa dari sana. Kalo Kak Damara udah ngeluarin banyak uang terus Danu nggak menang gimana?‖
Damara menghela napas pelan, mendudukkan dirinya di samping Danu, menepuk bahu Danu pelan.
―Ini bukan masalah kamu dapat penghargaan itu atau nggak, tapi ini kesempatan kamu menambah pengalaman. Dan sebagai orang yang sangat bangga dengan bakat kamu, Kakak mau kamu datang ke sana dengan kenyamanan yang bisa Kakak kasih buat kamu,‖ jelas Damara.
Danu diam, ini bukan waktu yang tepat untuk membantah Damara, ia mengerti benar sifat kakaknya. Damara akan selalu punya alasan yang tepat untuk menguatkan pendapatnya.
―Jadi kapan kamu berangkat ke Bandung?‖
―Jumat pagi, Kak. Acaranya Sabtu malam.‖
―Pergi sama siapa kamu?‖
―Belum tahu juga sih, Kak, kemarin guru bahasa Danu bilang dia nggak bisa nganter, soalnya anak bungsunya lagi dirawat di rumah sakit,‖ jawab Danu lesu.
―Bukannya Kakak nggak mau nemenin kamu datang ke sana, tapi banyak yang harus Kakak urus di sini.‖
Danu mengangguk pelan. Ia memang sudah tahu dari awal kakaknya tidak akan mungkin bisa mengantarnya, berbagai hal yang entah apa akan selalu menyibukkan Damara.
―Kamu kan bisa minta tolong Anka untuk nemenin kamu... Kakak bisa pesen dua kamar buat kalian.‖
―Anka nggak mungkin bisa ninggalin ibunya, Kak. Ditambah lagi dia harus kerja.‖
―Kalau begitu Andro aja, dia pasti bisa nemenin. Dia kan temen baik kamu juga, nanti kamu Kakak kasih uang saku lebih supaya kalian bisa sedikit bersenang-senang di sana.‖
Danu mengangguk mengerti akhirnya. Membuat senyum lebar mengembang di wajah Damara, senyum yang mengisyaratkan masalah Danu dan nominasi penghargaannya terselesaikan dengan sempurna.
―Oke, kalau begitu semua udah beres. Sekarang kamu bisa pergi tidur, ini udah larut malam, besok kamu harus sekolah.‖
Danu bangun dari tempat tidur kakaknya, berjalan pelan menuju pintu, tapi sebelum sampai pintu, Danu menghentikan langkahnya. Ada yang lupa ia tanyakan pada kakaknya, pertanyaan yang lumayan mengganggu pikirannya beberapa hari ini.
―Kak...‖
―Kenapa, Nu?‖
―Soal berita Kakak sama Imelda...?‖
Danu tidak melanjutkan kata-katanya karena yakin kakaknya sudah cukup mengerti.
―Berita kemarin... susah dijelasin. Kamu masih terlalu muda untuk mengerti semuanya,‖ jawab Damara. Terdengar menggantung di telinga Danu, tapi Danu hanya mengangguk pelan menerimanya. ―Kakak tahu kamu khawatir, tapi itu nggak perlu, Kakak bisa mengatasi semuanya.‖
Danu keluar sambil mengangguk, sepenuhnya percaya pada kata-kata kakaknya. Ia cukup tahu kakaknya tidak akan begitu bodoh sampai memiliki skandal picisan seperti yang diberitakan infotainment.
***
Tengah malam, Imelda terjaga di atas tempat tidur, di kamar apartemennya. Matanya masih terbuka lebar, tidak menunjukkan tanda-tanda kantuk. Bibirnya tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Kelakuannya seperti gadis belasan tahun yang baru mengenal cinta.
Setelah kejadian di taman antara ia dan Damara, entah mengapa Imelda merasakan ada sesuatu yang aneh pada dirinya, sesuatu yang mengubah apa yang tadinya dirasakannya. Kehadiran Damara di saat ia sedang gamang, kata-kata Damara yang dirasa seperti oase di tengah gersangnya gurun, hingga ciuman lembut yang tiba-tiba diberikan Damara padanya, membuat segala hal buruk yang dirasakannya menguap seketika.
Entah apa yang membuatnya lemah menghadapi Damara. Saat Damara menciumnya, sebagai wanita yang mengatakan memiliki harga diri, seharusnya ia menampar Damara atau melakukan apa pun yang akan menunjukkan pada Damara bahwa ia bukan wanita yang bisa sembarangan dicium. Tapi nyatanya ia tidak melakukan apa-apa. Ia bahkan membiarkan Damara menciumnya, bahkan sulit untuk tidak mengatakan kalau ia menikmati apa yang dilakukan Damara. Dan yang lebih aneh dari semuanya, ia tidak suka saat Damara mengucapkan ―maaf‖ selesai menciumnya.
Kata ―maaf‖ yang diucapkan Damara seakan mengesankan bahwa apa yang dilakukan Damara padanya merupakan kesalahan, bukan dorongan perasaan menyenangkan seperti yang ia rasakan. Kata ―maaf‖ itu juga menandaskan sisa harga diri yang tersisa padanya. Imelda tahu sepenuhnya, Damara melakukan itu untuk menghormati dirinya, hanya saja Imelda lebih ingin mendengar kata lain yang lebih indah dari Damara. Kata yang mungkin akan membuatnya rela menanggalkan reputasi dan kariernya di kemudian hari.
***
Damara berdiri menghadap Anggun yang memaksa bertemu di sebuah kamar hotel selepas makan siang.
―Agak sulit menghubungi kamu akhir-akhir ini,‖ kata Anggun, seperti biasa dengan nada suara khasnya. ―Kamu pasti terlalu sibuk untuk menjawab telepon dari aku, rupanya mainan baru kamu menyita banyak perhatian ya?‖
Damara tidak menjawab. Ia tidak mau membiarkan Anggun berhasil mengintimidasinya.
―Dia berani bayar berapa untuk bisa sama kamu?‖
Senyum khas Anggun yang melecehkan membuat suatu perasaan menggeliat dalam diri Damara.
―Dia bukan orang seperti kamu,‖ tegas Damara, tidak tahan dengan kata-kata Anggun.
―Romantis sekali cara kamu membela dia... Apa sekarang kamu merasa telah menemukan cinta?‖ Anggun mendekat ke arah Damara, menyentuh wajah Damara dengan tangan halusnya. Matanya menatap Damara tajam, sementara bibir merahnya terus menyunggingkan senyum sinis.
―Kamu berlebihan, Anggun. Apa yang kamu lihat dan dengar, semua nggak benar, itu cuma gosip murahan.‖
―Gosip murahan...?‖ Anggun melepaskan tangannya dari wajah Damara lalu membalikkan badannya. ―Mungkin buat kamu cuma gosip murahan, tapi aku rasa nggak sesederhana itu. Dari apa yang aku lihat pada diri kamu akhir-akhir ini, aku rasa itu bukan sekadar gosip murahan.‖
Anggun kembali menghadap Damara, menatap lurus ke mata Damara seakan mencari jawaban pertanyaannya di sana.
Damara tidak begitu suka ketika Anggun sudah menatapnya seperti ini, wanita itu seperti bisa mengetahui apa yang dipikirkannya.
―Aku lelah menghadapi semua kecurigaan kamu. Sekarang aku cuma bisa bilang semua berita itu berlebihan, terserah kamu mau percaya atau tidak. Aku sayang kamu, Anggun! Seharusnya kamu tahu itu.‖
―Kamu bilang sayang aku, tapi kenapa aku nggak bisa merasakan kamu benar-benar sayang aku ya?‖
Jengah dengan segala tudingan Anggun, Damara meraih Anggun ke dalam pelukannya, mencium bibir Anggun dengan lembut, membiarkan Anggun mendapatkan jawaban atas semua kecurigaannya.
―Aku harus balik ke kantor,‖ kata Damara setelah melepaskan bibirnya dari bibir Anggun. ―Kita bicarakan lagi semuanya nanti malam.‖
Damara berjalan ke luar setelah mencium kening Anggun. Tanpa banyak pertanyaan Anggun membiarkan Damara pergi. Damara merasa apa yang dilakukannya pada Anggun tadi sudah cukup untuk membuat Anggun berhenti memperlakukannya seperti laki-laki bayaran. Ia sudah cukup jengah dengan semua hal yang selalu diingatkan Anggun padanya. Di dalam lift yang hanya membawanya turun seorang diri, Damara menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya, terlalu lelah dengan semua yang harus dilaluinya. Setelah mencium Anggun tadi, kenangan saat ia mencium Imelda di taman terbayang lagi. Satu hal lagi yang terjadi karena kegagalannya mengontrol diri, hingga Imelda marah padanya kemarin. Satu hal bodoh dilakukannya yang entah mengapa tidak disesalinya.
***
―Good luck ya, Nu. Jangan lupa telepon gue kalo ada apa-apa di Bandung,‖ kata Anka di depan Stasiun Gambir, saat bersama Damara mengantar Danu dan Andro berangkat ke Bandung.
Danu mengangguk pelan, merasa ada yang salah pada dirinya pagi ini. Ia seharusnya senang berangkat ke Bandung untuk menghadiri acara yang menjadi kebanggaan untuknya. Tapi entahlah, rasanya ada sedikit yang mengganjal dalam benaknya.
―Jaga diri kalian selama di sana. Kamu sama Andro boleh bersenang-senang, tapi jangan kelewat batas,‖ tegas Damara, seraya menepuk bahu Danu.
―Tenang aja, Bang, Andro pasti jagain Danu,‖ timpal Andro.
Damara tersenyum lega, sementara Danu hanya berdiri diam tak banyak bicara. Ia seperti anak kecil yang enggan berpisah jauh dari orang-orang terdekatnya. Ini benar-benar memalukan.
―Danu jalan dulu ya, Kak,‖ kata Danu akhirnya.
―Hati-hati... Telepon Kakak kalau kalian sudah sampai.‖
―Gue pergi dulu, Ka. Jangan pulang malem-malem. Kalo lo terpaksa lembur, jangan jalan sendirian ke halte, nggak aman,‖ pesan Danu.
―Kamu nggak usah khawatir soal Anka. Dia tanggung jawab Kakak selama tiga hari kamu di Bandung.‖
Danu mengangguk pasrah. Entah kenapa ia tidak suka cara Damara mengatakan itu semua. Seharusnya ia lega Anka dijaga Damara selama ia pergi, hanya saja sekali lagi ia merasa ada yang salah dengan ini semua. Ada sesuatu yang membuatnya setengah linglung.
―Ayo jalan, Nu, kayaknya keretanya bentar lagi berangkat.‖
Suara Andro membuyarkan semua pikiran aneh Danu. Ia mengangkat ransel ke pundaknya, tersenyum tipis kepada Anka dan Damara, lalu berjalan bersama Andro menuju gerbong kereta. Danu sempat melihat Anka melambai riang ke arahnya, sementara Damara yang berdiri di sebelah Anka tersenyum. Yang paling aneh dari semua yang dirasakannya hari ini, ia tidak suka Damara berdiri begitu dekat dengan Anka.
Danu duduk di salah satu kompartemen di kereta kelas bisnis menuju Bandung, menyandarkan kepalanya di jendela kereta.
―Lo kenapa sih, Nu? Dari tadi tampang lo kayak orang kurang darah, lemes mulu!‖ kata Andro. Setelah hampir lima belas menit kereta yang membawa mereka ke Bandung bergerak maju, Danu tidak juga bicara. ―Lo nggak suka gue yang nemenin lo ke Bandung?‖
―Bukan, Ndro... Gue cuma banyak pikiran aja. Ini pertama kali gue ke Bandung setelah hampir lima tahun gue pindah dari sana.‖
―Lo takut ketemu ayah sama ibu lo di sana?‖
―Tauk deh.‖ Danu mengangkat bahu, tidak tahu mengapa ia harus mengarang alasan itu untuk menjawab pertanyaan Andro.
―Nu, Bandung tuh gede. Lo nggak mungkin bakal ketemu mereka tanpa sengaja. Bener kata Kak Damara, lo tuh butuh refreshing, lo terlalu serius mikirin semuanya... Sekarang kita ke Bandung bukan cuma buat dateng ke acara lo, tapi bisa sekalian liburan. Coba lo bayangin, Jumat pagi kayak gini kita udah dikasih izin sama sekolah. Terus kita dapet fasilitas nginep di hotel bintang lima dan uang saku lumayan banyak dari kakak lo. Udahlah, jangan mikir yang aneh-aneh, bikin yang udah beres jadi berasa nggak beres.‖
Danu tersenyum kecil. Benar yang dikatakan Andro, ia terlalu memikirkan banyak hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkannya.
***
Untuk pertama kalinya Damara duduk berhadapan dengan Imelda setelah kejadian di taman malam itu. Hari ini Imelda datang ke kantor Damara untuk membicarakan langkah apa yang harus mereka tempuh setelah pihak suami Imelda mengajukan banding terhadap putusan cerai Imelda.
Tidak banyak yang bisa ditangkap Damara dari Imelda hari itu. Imelda hanya duduk di sofa, lebih banyak membiarkan manajernya yang berbicara mewakilinya, sama seperti Imelda yang pertama kali dikenal Damara. Imelda bahkan tidak melepas kacamata hitam yang dipakainya saat mereka bicara, seakan tidak ingin membiarkan Damara menatapnya. Ini semua jelas mengganggu Damara.
Setelah hampir satu jam, akhirnya apa yang harus mereka bicarakan selesai. Imelda segera menyandang tasnya, seperti tidak ingin berlama-lama. Membuat Damara berpikir kesalahan yang dibuatnya sebegitu buruknya.
―Maaf, Mbak Imelda... bisa bicara sebentar sebelum Anda pergi?‖
Imelda yang sudah sampai di ambang pintu kantor Damara menghentikan langkahnya, hal yang sama pun dilakukan manajernya.
―Ehm... berdua saja maksud saya.‖
Manajer Imelda menatap curiga pada Damara, tapi tidak lama setelah itu ia mengangguk pelan. ―Mbak keluar duluan, Mbak tunggu di parkiran belakang. Kamu harus keluar lewat jalan belakang, karena di depan ada banyak wartawan,‖ pesan manajer Imelda, terdengar seperti memerintah.
―Saya yang akan antar Mbak Imelda ke sana nanti... Mbak nggak perlu khawatir.‖
Sekarang Damara sudah duduk di sofa, menghadap Imelda.
―Maaf kalau saya meminta kamu untuk tinggal sebentar, ada beberapa hal yang perlu saya luruskan sebelum kamu pergi,‖ kata Damara memulai.
Damara menatap Imelda lekat-lekat, berharap model ini bisa sedikit lebih menghargainya dengan meletakkan sebentar smart phone yang sedari tadi dimainkannya selama mereka bicara. ―Aku harap kamu tidak keberatan untuk sebentar saja tidak sibuk dengan handphone. Dan akan lebih menyenangkan kalau kamu bersedia melepas kacamata sementara kita bicara.‖
Dengan ekspresi tidak senang Imelda meletakkan handphone-nya di atas meja, lalu membuka kacamata yang dipakainya. Mata Imelda terlihat suram, lingkaran hitam terlihat jelas di sekitar kantong matanya. Alasan mengapa ia memerlukan kacamata hitam terjawab sudah.
―Apa yang kamu minta sudah saya jalankan. Jadi sekarang silakan bicara... waktu saya tidak banyak.‖ Imelda menatap sinis ke arah Damara, berbeda sekali dengan saat terakhir Damara menemuinya di taman, malam itu.
―Saya tahu kenapa kamu bersikap seperti ini...‖
Imelda mendengus pelan, seakan melecehkan kata-kata Damara.
―Kejadian di taman malam itu yang membuat sikap kamu begitu tidak bersahabat pada saya,‖ Damara kembali meneruskan. ―Koreksi jika saya salah.‖
Imelda tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya duduk diam. Sikap yang disimpulkan Damara sebagai membenarkan.
―Sekali lagi maaf atas kelancangan yang saya lakukan kemarin, saya benar-benar tidak bermaksud buruk saat itu,‖ kata Damara, mengulang apa yang sudah dirancang dalam otaknya berjam-jam yang lalu. ―Kamu pantas marah, saya memang keterlaluan malam itu. Seharusnya saya bisa mengendalikan diri.‖
Damara menghentikan ucapannya, melihat ekspresi Imelda setelah ia mengungkapkan semua. Tidak ada perubahan berarti pada ekspresi Imelda. Ia malah bertingkah seakan bosan mendengar kata-kata Damara.
―Saya sudah terlalu sering mendengar apa yang kamu bilang barusan. Intinya, kamu hanya mau menegaskan bahwa apa yang kamu lakukan di taman malam itu, hanya kesalahan, kan?‖ Imelda menyunggingkan senyum sinisnya. Senyum yang sulit diartikan oleh Damara. ―Lalu, sekarang kamu mungkin sangat menyesali semuanya, begitu? Saya cukup mengerti... Jadi, mulai sekarang tidak ada yang perlu kita bahas soal malam bodoh itu.‖
Imelda mengambil handphone-nya, memakai kembali kacamata hitamnya sebelum berdiri dan siap pergi.
―Pembicaraan kita rasanya sudah selesai, jadi sekarang saya sudah bisa pergi.‖
Tanpa menunggu jawaban Damara, Imelda melangkah menuju pintu. Namun sebelum tangannya meraih tangkai pintu, dengan cekatan Damara meraih tangan Imelda.
―Saya rasa kesalahpahaman antara kita belum benar-benar selesai,‖ kata Damara menatap tajam pada Imelda. ―Masih banyak hal yang perlu saya luruskan. Kamu salah mengartikan kata-kata saya.‖
―Maksud kamu apa?‖ tanya Imelda.
―Saya meminta maaf sebesar-besarnya untuk kelancangan saya malam itu. Kamu mungkin menganggap saya pengacara yang kurang ajar terhadap kliennya, dan itu merupakan kesalahan yang amat besar. Sebagai pengacara yang menangani kasus perceraian kamu, saya menyatakan sangat menyesal untuk malam itu.‖
―Lalu di mana letak perbedaannya?‖ Nada suara Imelda terdengar makin sinis. ―Apa yang kamu sampaikan sudah saya tangkap sejak awal!‖
―Saya mengatakan itu penyesalan saya sebagai pengacara kamu.‖
Imelda mengerutkan keningnya seakan tidak mengerti apa yang sedang Damara coba jelaskan padanya.
―Sebagai pengacara yang seharusnya bersikap profesional, saya sangat menyesal mencium kamu malam itu. Tapi... sebagai diri saya sendiri, entah kenapa saya tidak menyesalinya.‖ Damara menghela napas, seakan dengan helaan napasnya ia mengeluarkan beban perasaannya juga. Imelda menatap kosong pada Damara, lagi-lagi tatapan yang sulit diterka artinya. ―Tentu saja saya masih tetap merasa lancang telah melakukan itu semua,‖ Damara buru-buru menambahkan. ―Hanya saja... mungkin ada yang tidak beres dengan otak saya saat ini hingga berani mengatakan saya tidak menyesal. Saya hanya tidak mau sesuatu yang sebenarnya sangat berarti harus saya kamuflasekan dengan penyesalan.‖
Damara tidak tahu apa yang sedang merasuki dirinya. Apa yang dikatakannya barusan bukan bagian kalimat yang dirangkainya untuk Imelda. Semua tercetus begitu saja tanpa rencana, bahkan hanya kata-kata dalam bayangan liarnya. Sialnya, kata-kata itu justru keluar langsung dari mulutnya. Dengan semua kata yang ia ucapkan, Damara merasa seperti membakar dirinya sendiri di depan Imelda...
Sesaat Imelda tertegun mendengar ucapan Damara. Ternyata kata ―maaf‖ dan penyesalan itu bukan karena Damara menganggap apa yang dilakukannya sebagai kesalahan seperti dugaan yang membuatnya gusar selama beberapa hari ini.
Imelda mendongak, ia bisa melihat Damara berusaha mengartikan ekspresi di wajahnya. Kecemasan terlihat sekali di wajah laki-laki itu, seakan ia cemas dengan tanggapan Imelda atas ucapannya.
Imelda merasakan bibirnya bergerak membentuk senyum kecil, senyum yang juga langsung memberikan efek berbeda pada raut wajah Damara. Damara terlihat lega sekarang. Senyumnya mengembang menyusul kelegaan yang dirasakannya. Satu sisi berbeda dari yang biasa dilihat Imelda pada laki-laki serius seperti Damara.
―Saya menganggap senyum itu sebagai tanda kamu bisa menerima apa yang saya katakan,‖ kata Damara. ―Semoga tidak ada lagi tatapan sinis... Tatapan sinis kamu membuat saya gelisah.‖
Senyum Imelda mengembang semakin lebar. Ia masih belum yakin arti rasa senang yang melandanya sekarang. Namun, sepertinya tak salah jika membiarkan perasaan menyenangkan ini menghiburnya sesaat.
“Aku senang dengan kedekatan kita. Aku merasa bahagia kamu mau dekat denganku tanpa meremehkanku. Hanya saja... ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba mengatakan aku tidak layak berada di dekatmu, sesuatu yang sulit dijelaskan sekarang.” - Damara
***
- 15 -
DANU berjalan di sisi jalan raya kota Bandung yang dipenuhi berbagai macam factory outlet dan toko distro dengan berbagai merek terkenal di Indonesia. Andro berjalan di samping Danu, dengan mata jelalatan memandang ke sekeliling begitu antusias.
―Gila! Nggak salah emang Bandung dijuluki Paris van Java. Kotanya asyik dan cewekceweknya cantik-cantik banget, Nu! Betah gue di sini.‖
―Dasar otak mesum! Di mana-mana cewek mulu yang lo pikirin,‖ kata Danu mengerling jengkel ke arah Andro. ―Niat lo ke sini kan mau cari kaus, Ndro, bukan nyari cewek.‖
―Siapa tahu beli kaus dapet bonus cewek,‖ kata Andro nyengir.
―Ngarep! Mana ada cewek sini yang mau sama lo.‖
Danu dan Andro masuk ke sebuah distro yang dari luar terlihat memajang beraneka kaus dan kemeja laki-laki. Sementara Andro memilih-milih kaus yang ingin dibeli atau sekadar dipegang-pegang saja, Danu beralih ke deretan kemeja di salah satu pojok toko. Ia berniat membeli satu jika ada yang sesuai, rencananya akan dikenakan pada acara penganugerahan besok malam.
Danu sedang menimbang-nimbang antara kemeja putih bergaris-garis di tangan kirinya atau kemeja cokelat tua di tangan kanannya, saat seseorang menepuk pelan pundaknya.
―Danu...? Kamu Danu, kan?‖ tanya seorang laki-laki berusia di atas 50 tahun. Danu mengerutkan keningnya, bertanya-tanya dalam hati mengapa orang ini mengenalinya.
―Kamu Danu anaknya Pak Nugraha, kan?‖ laki-laki berkacamata itu kembali bertanya.
Danu mengangguk pelan, masih bertanya-tanya siapa laki-laki yang ada di depannya.
―Kamu lupa sama Om, ya? Saya Om Hari, teman kerja ayah kamu. Dulu Om sering main ke rumah kalian, ingat?‖
Sebenarnya Danu tidak bisa mengingat dengan jelas siapa orang ini, tapi mungkin saja lelaki ini memang teman kerja ayahnya. Ingat atau tidak, nggak terlalu penting. Danu memutuskan mengangguk demi kesopanan.
―Apa kabar, Om?‖ tanya Danu akhirnya.
―Baik... Kamu di sini lagi ngapain?‖
―Lagi liburan, Om,‖ jawab Danu singkat.
―Liburan? Ke rumah ayah kamu?‖ tanya orang itu lagi.
Danu menggeleng pelan.
―Saya ke sini sama temen, dan nginap di hotel,‖ jelas Danu.
―Jadi nggak berkunjung ke rumah ayah kamu?‖
―Nggak...‖
Laki-laki itu mengangguk-angguk sambil menatap prihatin pada Danu, seakan menyatakan rasa iba melihat keadaan Danu. ―Jadi kamu belum tahu kondisi ayah kamu sekarang?‖
Danu kembali menggeleng, bingung dengan apa yang coba disampaikan laki-laki ini padanya.
―Ayah kamu sedang dirawat di rumah sakit.‖
―Hah? Papa di rumah sakit?‖ Danu tercengang mendengar penjelasan orang itu.
―Seminggu yang lalu dia kena stroke, sebagian tubuhnya tidak bisa digerakkan lagi. Kelihatannya keadaannya cukup parah waktu kemarin Om jenguk ayah kamu di rumah sakit.‖
***
Danu berdiri di beranda hotel. Matanya menatap kosong langit biru kota Bandung, membiarkan angin sejuk sore hari menerpa wajahnya, berharap kesejukan ini bisa menghilangkan semua pikiran yang memusingkan di kepalanya.
Setelah bertemu dengan Om Hari, teman kerja ayahnya, yang tiba-tiba menyampaikan kabar mengejutkan, kepala Danu serasa seperti dijejali berbagai hal yang membuat otaknya begitu penuh. Nyaris tidak ada tempat untuk berpikir lebih jernih.
Kabar bahwa ayahnya sekarang terbaring di rumah sakit karena stroke mau tidak mau menjadi headline penting di otak Danu. Terlebih saat Om Hari juga menceritakan kehidupan ayahnya yang berantakan setelah kejadian lima tahun lalu.
Menurut cerita Om Hari, setelah bercerai ayah Danu menikah dengan perempuan yang diketahui Danu sebagai pemicu perceraian orangtuanya. Tapi pernikahan itu tidak berlangsung lama, hanya bertahan tiga tahun. Perempuan itu meninggalkan ayah Danu yang saat itu sedang mengalami masa sulit dan berpaling pada laki-laki yang lebih kaya. Sejak saat itu kehidupan ayah Danu berantakan, dan mulai sakit-sakitan. Hingga puncaknya terserang stroke minggu lalu.
―Kasihan ayah kamu. Dia sendirian sekarang. Semua orang meninggalkannya bahkan istri barunya pun berkhianat. Sedang ibu kamu, tidak ada yang tahu keberadaannya setelah ayahmu menikah lagi. Mungkin hanya kamu dan Damara yang bisa Om beritahu soal ini... Kalau bukan kalian sebagai anaknya, siapa lagi?‖
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Danu, seperti kaset yang diputar berulang-ulang. Apa yang ditakutkan Danu saat berangkat ke Bandung terjadi juga. Tadinya Danu enggan ke Bandung karena ingin sepenuhnya berhenti mengingat masa lalu yang telah ditinggalkannya, terutama tentang kedua orangtuanya yang tidak menginginkan dia dan Damara, selepas perceraian mereka.
Tapi sekarang, saat sebuah kebetulan memaksanya mengetahui apa yang terjadi pada ayahnya, apa yang harus ia lakukan? Masih tergambar jelas kenangan ketika mereka hendak meninggalkan Bandung, begitu tegasnya Damara mengatakan bahwa mereka harus meninggalkan segalanya, melupakan semuanya, juga melupakan orangtua mereka. Apa pun yang terjadi.
***
Damara menatap handphone-nya dengan bingung. Danu baru saja meneleponnya, seperti hendak mengatakan sesuatu tapi ragu untuk mengungkapkannya. Entah apa yang mengganggu pikiran anak itu. Mungkin hanya tegang menghadapi acara itu, pikir Damara, meminimalisir semua kekhawatirannya pada Danu.
Damara membalikkan tubuhnya, tersenyum pada Imelda yang duduk di jok mobil dengan kedua kakinya dibiarkan terjulur di pintu mobil yang terbuka.
―Telepon dari siapa, Mar?‖ tanya Imelda.
―Adikku, Danu. Dia lagi di Bandung.‖
Imelda mengangguk pelan. Damara duduk di bumper depan mobil Imelda, menatap ke sekeliling taman yang sejuk dan lumayan sepi. Taman yang sekarang menjadi tempat pertemuan rahasia antara ia dan Imelda. Setelah segala kesalahpahaman terurai, hubungan Damara dan Imelda berjalan sangat baik. Sekarang mereka bukan lagi sebagai pengacara dan klien, namun ada hal indah yang telah terjadi di antara mereka.
―Maaf, kalau aku minta kamu datang di hari yang seharusnya kamu bisa istirahat,‖ kata Imelda. ―Pasti kamu menganggap aku seperti gadis konyol yang tiba-tiba meminta kamu datang tanpa alasan yang jelas.‖
―Kalau kamu butuh alasan, kamu bisa bilang meminta aku datang untuk berdiskusi perihal permohonan banding suami kamu.‖
―Mantan suami! Bukan suami lagi,‖ tegas Imelda.
―Iya, maaf... mantan suami,‖ kata Damara meralat. ―Itu alasan yang tepat kalau kamu butuh alasan untuk melindungi harga diri kamu saat menemui aku.‖
Imelda menatap Damara, seakan tidak percaya Damara begitu terang-terangan mengatakan itu semua. ―Yah... itu alasan yang pas.‖ Imelda mengangguk membenarkan. ―Aku akan bilang itu sewaktu-waktu kita ketemu lagi di sini.‖
―Apa harus dengan alasan pekerjaan untuk bertemu aku? Padahal aku lebih senang kalau alasan kamu karena memang ingin ketemu.‖ Damara menunduk, menatap daun-daun kering di bawah kakinya. Ia terlihat tidak terlalu senang dengan situasi ini.
―Kalau kamu mau seperti itu, rasanya kurang adil untukku,‖ kata Imelda.
Damara tiba-tiba mendongak, menatap lurus ke wajah Imelda. ―Maksudnya tidak adil?‖ tanya Damara heran.
―Selama ini, aku yang selalu meminta kamu datang. Sekali pun kamu nggak pernah minta. Bahkan kalau aku nggak telepon lebih dulu, mungkin aku nggak akan pernah bicara di telepon sama kamu. Rasanya... cuma aku yang menginginkan ini semua.‖
Imelda mengembuskan napas. Gantian ia yang menunduk, jengah karena harus mengatakan semua perasaannya di depan Damara.
―Maaf kalau selama ini kamu merasa seperti itu,‖ Damara berkata pelan. ―Aku tidak pernah menelepon atau meminta kamu datang menemuiku, bukan karena tidak ingin... Kamu tidak tahu seberapa sering aku menatap handphone ini dan menimbang-nimbang untuk menghubungi kamu dan meminta bertemu. Berkali-kali menekan nomor teleponmu, tapi tidak berani melanjutkannya. Aku merasa tidak pantas... dengan alasan yang mungkin sepele dan kekanak-kanakan.‖
Imelda mengangkat wajahnya, matanya langsung bertatapan dengan mata Damara.
―Kenapa seperti itu?‖ tanya Imelda akhirnya. ―Kenapa juga kamu merasa tidak pantas?‖
―Banyak hal yang membuat aku merasa seperti itu.‖
―Apa?‖ tuntut Imelda.
Damara tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil yang terlihat dipaksakan.
―Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.‖
―Jadi maksud kamu apa? Ke mana arah pembicaraan kita sebenarnya?‖
Damara membungkuk lalu berjongkok di hadapan Imelda. Ia meraih tangan Imelda dan menggenggamnya dengan lembut. Membuat Imelda semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang berusaha dilakukan Damara.
―Aku senang dengan kedekatan kita. Aku merasa bahagia kamu mau dekat denganku tanpa meremehkanku. Hanya saja... ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba mengatakan aku tidak layak berada di dekatmu, sesuatu yang sulit dijelaskan sekarang.‖
―Untuk apa kamu mengatakannya kalau tidak bisa menjelaskannya sampai tuntas? Kalau kamu merasa kedekatan kita sekarang salah, lalu kenapa kamu memulainya?‖
―Aku nggak pernah mau menganggap kedekatan ini salah. Hanya saja, aku merasa salah karena sudah berani jatuh cinta sama kamu...‖ Damara menjawab lirih. ―Ini tidak ada kaitan sama kamu, hanya pergulatan batinku saja yang mengatakan aku terlalu lancang.‖
Imelda merasakan tangan Damara yang menggenggam tangannya mendadak dingin. Entah apa yang membuat semua ini jadi rumit dalam pikiran Damara. Bagi Imelda, merupakan hal yang wajar kalau mereka berdua saling menyukai, kemudian jatuh cinta. Tidak ada yang salah. Selama ini Imelda merasa kehadiran Damara di dekatnya memberi suntikan kekuatan untuk kembali menjalani kehidupannya. Tapi apa maksud Damara dengan perasaan tidak pantas berada di dekatnya? Ini terdengar tolol bagi Imelda yang merasa begitu beruntung dengan keberadaan Damara di dekatnya sekarang.
Imelda mengeraskan pegangannya ke tangan Damara. Berharap Damara bisa merasakan apa yang ia rasakan melalui genggamannya.
―Bisa kita berhenti membahas ketidakpantasan, kelancangan, atau apa pun itu? Aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan sampai kamu menganggap tidak berharga untuk aku. Kamu seharusnya bisa merasakan bagaimana berartinya kamu untukku, sampai aku berani mengambil risiko berada di sini sama kamu.‖
Damara kembali menatap Imelda, sorot matanya mengisyaratkan ketidakberdayaan, seperti seseorang yang terluka karena keadaan. Damara pelan-pelan mendekati Imelda, memeluknya begitu erat, seakan dalam pelukannya Damara ingin menumpahkan segala bebannya.
―Aku berharap kamu tetap berada di dekatku apa pun yang mungkin terjadi nanti,‖ kata Damara lirih, tepat di sisi telinga Imelda.
―Selama kamu menginginkannya, aku akan selalu ada di dekat kamu.‖
***
―Nu, lo baik-baik aja kan di Bandung?‖ tanya Anka saat Danu meneleponnya. ―Kok diem aja, lo mau cerita sesuatu ke gue?‖ Anka mengerutkan keningnya, heran sendiri mendengar suara bimbang Danu di seberang. Terdengar Danu mengatakan tidak, dan langsung mengalihkan topik pembicaraan dengan menanyakan keberadaan Anka sekarang.
―Gue baru keluar dari kafe, baru mau jalan ke halte bus.‖
Lagi-lagi Danu memberondong Anka dengan kekhawatirannya, dan menyatakan akan meminta tolong Damara untuk menjemput Anka.
―Jangan, Nu,‖ cegah Anka. ―Kemarin gue udah ikut pulang bareng Kak Damara, nggak enak kalo gue ngerepotin dia lagi. Lagian tadi pagi gue liat mobil Kak Damara dibawa ke bengkel, jadi dia nggak ada kendaraan buat jemput gue. Ini juga baru jam sembilan kok, jalanan masih rame... Lo nggak usah mikirin gue deh. Eh, udah dulu ya, ribet nih nelepon sambil jalan.‖
Anka memutuskan sambungan dan memasukkan handphone-nya ke ranselnya. Baru beberapa detik berlalu, handphone itu kembali berbunyi. Semula Anka mengira Danu yang kembali meneleponnya, betapa terkejut Anka saat nama Damara muncul di layar handphone-nya.
―Iya, Kak, ada apa?‖ tanya Anka pada Damara yang meneleponnya. ―Ini saya baru kelaur dari kafe. Kakak mau jemput? Eh... nggak perlu, Kak, saya pulang sendiri aja.‖ Tapi Damara bersikukuh dan meminta Anka menunggu, sebelum kemudian menutup teleponnya.
Anka terdiam, terkejut sendiri mendengar Damara sengaja datang menjemputnya. Kemarin ia memang pulang bersama dengan Damara, karena kebetulan Damara keluar kantor tepat saat Anka juga pulang dari kafe. Tapi malam ini, membayangkan Damara sengaja datang menjemputnya membuat senyum Anka merekah lebar tanpa alasan jelas.
Tepat lima menit seperti yang dikatakan Damara, taksi berwarna biru berhenti beberapa meter di depan Anka. Damara keluar dari taksi lalu melambaikan tangannya.
―Kamu sudah selesai?‖ tanya Damara menghampiri Anka. Anka mengangguk. ―Kamu tunggu di sini sebentar ya, Kakak mau ketemu Rio dulu.‖
Damara bergegas masuk ke kafe, lalu tak berapa lama kemudian Damara sudah keluar lagi.
―Oke, sekarang kita pulang... Kamu pulang ke rumah kan?‖
―Iya, Kak, karena besok libur, saya ke rumah sakitnya besok aja,‖ jawab Anka.
―Oke kalau begitu. Kamu memang perlu istirahat nyaman di rumah setelah seminggu penuh kerja dan jaga di rumah sakit... Mobil Kakak masih di bengkel, jadi kita harus cari taksi untuk pulang.‖
―Kita naik TransJakarta aja, Kak. Haltenya nggak begitu jauh dari sini, kita bisa jalan lewat taman kota.‖
―Kamu yakin mau naik TransJakarta? Mending kita naik taksi, supaya cepet sampai rumah dan kamu bisa segera istirahat.‖
―Nggak apa-apa, saya masih muda, Kak. Masih kuat jalan. Malah biasanya saya pulang naik Metromini yang desek-desekan,‖ jelas Anka.
Damara tersenyum mendengar ucapan Anka, ia kagum pada semangat gadis muda ini.
―Ya sudah, kalau kamu mau seperti itu. Tapi jangan bilang-bilang Danu ya, soalnya dia suruh Kakak jemput kamu pake taksi.‖
―Kak Damara nggak usah terlalu dengerin Danu deh, dia suka berlebihan,‖ gerutu Anka. ―Maaf ya, Kak, kalo kekhawatiran Danu bikin Kakak jadi repot jemput saya.‖
―Danu pantas kok khawatir sama kamu. Kalau Kakak jadi Danu, pasti akan khawatir juga cewek cantik kayak kamu pulang malam-malam begini,‖ ujar Damara sambil tersenyum begitu manis di mata Anka. ―Yuk, kita jalan!‖
Damara berjalan lebih dulu, Anka mengikutinya sambil tersenyum-senyum sendiri setelah Damara mengatakan ia cantik. Dalam diam Anka menyusuri jalanan taman yang sepi, matanya menatap lurus ke punggung Damara yang berjalan setengah meter di depannya. Damara terlihat sangat sempurna di mata Anka. Sosok Damara layaknya pangeran penyelamat yang akan selalu datang saat ia berada dalam kesulitan.
Anka sendiri tidak tahu sejak kapan kekagumannya yang selama ini disimpan rapat-rapat berubah menjadi perasaan berbunga-bunga setiap kali bertemu Damara. Bahkan mendengar suaranya di telepon saja, Anka merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tidak tahu apakah baik atau tidak memiliki perasaan seperti ini pada Damara, Anka hanya membiarkan perasaan menyenangkan itu berjalan apa adanya. Sekadar membuat dirinya merasa sedikit bahagia di tengah segala masalah yang harus dihadapinya.
―Kamu lapar nggak, Ka?‖ tanya Damara tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Anka tertegun sesaat, pertanyaan Damara membuyarkan lanturan pikirannya.
―Eh, iya... kenapa, Kak?‖ tanyanya linglung.
―Kamu lapar nggak?‖ Damara mengulang.
―Ehm... saya biasa masak mi instan di rumah, Kak,‖ jawab Anka.
―Kakak nggak tanya kamu biasa makan apa. Kakak tanya kamu lapar apa nggak?‖ kata Damara sambil tertawa.
―Lapar, Kak,‖ kata Anka, menunduk malu dan salah tingkah.
Damara tersenyum melihat tingkah Anka.
―Bilang lapar aja susah... Yuk, kita cari makan. Kamu tahu nggak tempat makan yang enak di sekitar sini?‖
―Di depan sih banyak tukang makanan, Kak. Tapi saya nggak tahu apa Kakak bisa makan di tempat kayak gitu?‖
―Anka, Kakak bukan turunan bangsawan yang nggak bisa makan di tempat sembarangan. Kakak ini orang biasa yang bisa makan di mana aja... Ayo kita ke sana.‖
Damara merangkulkan sebelah tangannya ke bahu Anka, dengan santai menuntun Anka melangkah sejajar bersamanya. Anka merasa tidak bisa bernapas dengan bebas, rangkulan tangan Damara di bahunya terasa menjadi beban, walaupun ia mengakui itu beban yang menyenangkan.
Berjalan berdua di taman dengan lengan Damara merangkul dirinya seperti ini, Anka merasa segala hal yang ada di sekitarnya menjadi indah. Berada di dekat Damara membuat Anka
merasakan keamanan dan kenyamanan melingkupinya. Dan dengan segera, Anka menganggap inilah malam paling indah yang pernah dilewatinya selama masa sulitnya.
***
Damara menatap ke kerlap-kerlip lampu dari kejauhan, pemandangan meriah terlihat saat ia duduk bersama Anka, sambil menunggu sate pesanan mereka diantarkan.
―Itu apa ya, Ka?‖ tanya Damara, seraya menunjuk ke arah kemeriahan itu.
―Oh, itu pasar malam, Kak. Di kampung deket sini,‖ Anka menjawab, mengikuti arah pandangan Damara. ―Pasar malam itu udah ada sejak tiga hari yang lalu.‖
―Kelihatan rame dan meriah ya...‖ kata Damara dengan pandangan menerawang.
Damara terus menatap ke arah titik-titik cahaya itu. Tidak jauh dari tempatnya berada ternyata ada kemeriahan yang menyenangkan. Kemeriahan yang sudah lama tidak ia rasakan. Damara membayangkan, betapa sangat menyenangkan jika bisa berada di sana bersama seseorang yang ia anggap penting, bersenang-senang bersama tanpa menghiraukan orangorang di sekitar, tanpa menghiraukan segala masalah. Hanya bersenang-senang, layaknya anak kecil polos memandang kehidupan.
Lamunan Damara dibuyarkan oleh getaran handphone di saku kemejanya. Damara menarik keluar handphone-nya, menghela napas panjang saat tahu bahwa Anggun-lah yang menghubunginya.
***
“Ini anak ke mana sih?!” - Damara
***
- 16 -
IMELDA berjalan ke luar, menuju balkon apartemennya. Handphone-nya masih menempel di telinga kirinya dengan suara Damara masih terdengar berbicara. Senyum lebar mengembang di wajah Imelda saat memandang ke bawah dari apartemennya di lantai 15, ia dapat mengenali sosok kecil yang melambai ke arahnya.
―Kamu kenapa nggak bilang mau datang ke sini?‖ Imelda kembali bicara pada Damara lewat handphone-nya, matanya tetap menatap senang ke arah Damara di bawah sana.
―Apa terdengar mengada-ada kalau aku bilang aku ke sini karena tiba-tiba ingin lihat kamu?‖
Senyum semakin lebar terkembang di wajah Imelda. Apa yang dirasakannya sekarang pasti terlihat jelas di wajahnya. Rasanya sulit untuk menyembunyikan perasaan berbunga-bunga yang dirasakannya sekarang. Ia seperti gadis belasan tahun yang baru merasakan cinta pertama.
―Bisa kamu turun sebentar? Akan menyenangkan kalau kita bisa bicara dari dekat.‖ Suara Damara kembali terdengar di telinga Imelda, membuat debaran jantung Imelda terasa tidak benar kerjanya.
―Sebentar aku turun,‖ katanya, sebelum masuk lagi ke dalam apartemen. Imelda meraih sweter dari atas tempat tidur dan bergegas turun.
Imelda menghentikan langkah bergegasnya saat ia sudah bisa melihat Damara berdiri di depan lobi. Imelda mengatur napas dan langkahnya, tidak ingin terlihat tergesa-gesa di depan Damara. Imelda melanjutkan langkah kakinya, kali ini dibuatnya senormal mungkin.
Damara tersenyum saat melihat Imelda berjalan ke arahnya, ia senang Imelda mau turun untuk menemuinya.
―Senang bisa melihat kamu...‖ kata Damara pelan.
―Kenapa datang semalam ini?‖ tanya Imelda heran.
―Karena hanya di malam selarut ini para wartawan infotainment istirahat.‖
Imelda tertawa kecil mendengar jawaban Damara. Tawa yang membuat Damara merasa selalu ingin berada di dekat Imelda agar bisa menikmatinya.
―Mau melakukan hal tidak biasa malam ini?‖
―Apa?‖ Imelda mengerutkan keningnya.
―Sesuatu yang mungkin belum pernah kamu lakukan di tempat yang tidak seorang pun mengenali kamu,‖ jelas Damara. ―Pasti akan sangat menyenangkan.‖
Imelda mengangguk, mengiyakan ajakan Damara. Damara tersenyum lega lalu memasangkan penutup kepala sweter Imelda, menutupi rambut Imelda yang diikat asal-asalan.
―Kita jalan sekarang,‖ kata Damara akhirnya. Seraya mengulurkan tangannya pada Imelda.
***
Pikiran Danu melayang entah ke mana. Ia duduk bagai selongsong kosong di kursi yang disediakan untuk para tamu undangan malam itu. Danu bahkan tidak mendengar dengan jelas saat namanya disebutkan sebagai salah satu nominasi Puisi Terbaik untuk kategori pelajar. Begitu juga ketika pemenang diumumkan, Danu tidak bereaksi apa-apa. Padahal Andro yang duduk di sampingnya bergumam kecewa karena bukan nama Danu yang disebutkan.
―Yah... lo nggak menang, Nu... Kalah sama puisi anak ceking itu,‖ kata Andro seraya menatap kesal ke arah cowok tinggi kurus yang sedang menyampaikan ucapan terima kasih di atas podium. ―Kayaknya, lo harus meniru gaya Irsyad yang kayak sastrawan sakit jiwa buat menang penghargaan ini. Lihat aja, tuh anak yang menang gayanya mirip banget sama si Irsyad!‖
Danu tidak mengatakan apa-apa menanggapi ocehan Andro, ia hanya duduk diam. Entah kecewa karena gagal menjadi pemenang, atau ada hal lain yang sedari tadi memang menyita begitu banyak tempat di kepalanya.
―Nu, lo nggak apa-apa, kan?‖ tanya Andro menoleh ke arah Danu yang hanya diam tidak merespons semua ucapannya. ―Lo nggak usah kecewa, masih bisa kok dapet penghargaan di tempat lain.‖
Menyangka Danu bertingkah seperti itu karena kecewa berat, Andro menepuk bahu Danu, tanda prihatin. Andro tentu saja salah, Danu tidak sekecewa dugaannya. Memang ada sedikit yang mengusik harga dirinya saat melihat orang lain yang naik ke panggung sebagai pemenang, tapi itu hanya sebagian kecil dari banyak hal yang membuat perasaannya tidak enak.
―Gue nggak apa-apa, Ndro,‖ jawab Danu pelan. ―Puisinya emang bagus, pantes kalo dia yang menang.‖
Danu memaksa dirinya untuk tersenyum, bertepuk tangan keras saat sang penerima penghargaan turun dari panggung. Berharap apa yang dilakukannya bisa menyamarkan segala kegundahannya, kekhawatiran pada ayahnya, kebimbangan menceritakan semuanya pada Damara, dan sedikit kekecewaan karena tidak bisa memberikan kabar baik untuk Anka.
***
Anka menyandarkan tubuhnya di tembok rumah sakit, tepat di depan ruang ICU. Napasnya tidak beraturan, lututnya terasa begitu lemas setelah dipakai berlari sepanjang perjalanan dari kafe menuju rumah sakit. Tidak ada yang dipikirkan Anka selain keadaan ibunya setelah menerima telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa kondisi ibunya yang semula stabil mendadak kritis. Ketakutan akan kembali kehilangan merasuki diri Anka.
Tubuh Anka merosot di lantai rumah sakit saat lutut lelahnya tidak sanggup lagi menopang untuk tetap berdiri. Tangan Anka memeluk tubuhnya dengan gelisah, dalam hati ia tidak henti-hentinya berdoa agar Tuhan berbaik hati. Ia tidak sanggup kehilangan sekali lagi... tidak sanggup membayangkan hidup sendiri.
―Tuhan, tolong selamatkan Ibu,‖ bisik Anka lirih.
Penantian ini terasa begitu menyiksa bagi Anka. Menit-menit yang dilaluinya selama menunggu paramedis yang menangani ibunya di ruang ICU terasa bagaikan hitungan jam. Keringat mulai membasahi dahi Anka, telapak tangannya terasa begitu dingin. Ia ingin semua cepat berakhir, sudah tidak tahan menunggu dengan kecemasan dan ketakutan yang meracuni pikirannya.
Pintu ruang ICU terbuka. Anka melihat Dokter Irman, dokter yang selama ini menangani ibunya, berjalan keluar diikuti beberapa paramedis yang mendampingi. Tanpa berpikir panjang, Anka menghampiri Dokter Irman, sebisa mungkin tidak memandang raut wajahnya. Anka tidak mau melihat ekspresi apa pun dari Dokter Irman, ia hanya ingin mendengar penjelasan.
―Ibu saya bagaimana, Dok?‖ tanya Anka segera. ―Kondisinya sudah kembali stabil, kan?‖
Dokter Irman tidak mengatakan apa-apa untuk menjawab pertanyaan Anka. Ia hanya menatap Anka dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Anka.
―Dokter... ibu saya...‖ Anka kembali menuntut jawaban.
―Anka, kamu harus kuat ya... Ibu kamu hanya bisa berjuang sampai di sini...‖ kata Dokter Irman, menatap prihatin ke arah Anka.
―Maksud Dokter apa?‖ tanya Anka setengah linglung berusaha memahami kata-kata Dokter Irman.
―Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain...‖
Kata-kata Dokter Irman menegaskan semuanya pada Anka, bahwa sekali lagi ia harus kehilangan orang yang paling disayanginya.
Luruh semua usaha Anka untuk menyangkal kenyataan yang akan menyakiti dirinya. Tidak ada gunanya lagi pura-pura tidak mengerti apa yang didengarnya. Semua yang dikatakan Dokter Irman sudah cukup jelas. Menyatakan bahwa segalanya sudah berakhir. Begitu tragis.
Anka jatuh terduduk di lantai rumah sakit, sesaat bagai mati rasa. Saat kekebalan rasanya mulai menghilang, napasnya terasa begitu sesak. Air mata mendesak keluar dan mengaburkan pandangannya. Anka kehilangan kekuatan, hingga tidak dapat melakukan apaapa kecuali membiarkan tubuhnya roboh di lantai rumah sakit.
***
―Nu, lo ke mana aja sih? Selesai acara lo tiba-tiba ngilang gitu aja. Nggak ikut acara makan malem, tapi baru balik jam segini?‖ Andro memberondong Danu dengan pertanyaan saat Danu baru masuk ke kamar hotel. ―Mana hape lo nggak aktif, gue kan jadi khawatir!‖
―Tadi gue cuma cari angin sebentar. Lagian gue kan udah gede, Ndro! Nggak usah berlebihan deh.‖
Danu berjalan melewati Andro yang masih berdiri di ambang pintu dan menatap Danu dengan tatapan tidak percaya.
―Nu... gue tahu lo kecewa karena nggak menang, tapi nggak kayak gini dong caranya... Gue ikut ke sini disuruh Kak Damara buat nemenin dan jagain lo. Gue ikut bukan cuma buat temen lo pas seneng-seneng, tapi juga buat nemenin kalo lo ngerasa down.‖
Danu mengenyakkan tubuhnya di atas tempat tidur, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat lelah dengan semuanya.
―Lo nggak ngerti apa yang lagi gue pikirin sekarang, Ndro...‖ kata Danu.
―Lo takut bikin kecewa Kak Damara kalo kita pulang nggak bawa hadiah atau penghargaan? Danu... gue yakin, Kak Damara tuh bukan orang yang mentingin begituan.‖
―Bukan soal itu, Ndro. Gue dapat penghargaan atau nggak, bukan masalah besar buat gue.‖ Danu kembali duduk, wajahnya menunduk lesu.
―Jadi yang lo pikirin apaan?‖
Danu menghela napas panjang, menatap Andro yang duduk di sampingnya, seakan menimbang-nimbang perlukah ia menceritakan semuanya pada Andro.
Akhirnya setelah beberapa hari menyimpan semua kepenatan dalam kepalanya seorang diri, Danu memutuskan menceritakan semua hal yang mengganggu pikirannya pada Andro. Danu tidak berharap Andro bisa membantunya mencari jalan keluar, tapi paling tidak ia punya teman bertukar pikiran.
***
Banyak keceriaan yang dirasakan Damara malam ini. Setelah berhasil mengajak Imelda pergi dengannya, Damara membawa Imelda pergi dengannya, Damara membawa Imelda ke suatu tempat yang menurutnya sangat tepat dikunjungi bersama seseorang yang spesial.
Pasar malam memang semeriah yang dilihatnya dari kejauhan. Semua pengunjung terlihat gembira, termasuk Damara yang didampingi Imelda. Damara menikmati semua kemeriahan yang disuguhkan di pasar malam yang pada dasarnya merupakan hiburan bagi masyarakat menengah ke bawah di sebuah kampung kecil.
Damara memblokir semua permasalahan yang seharusnya dipikirkannya. Di sini, di tempat yang tak seorang pun memperhatikan dan mengenali keberadaan mereka, Damara merasakan malam paling menyenangkan setelah segala hal yang terjadi pada dirinya. Berjalan di tengah keramaian dengan tangan Imelda di genggamannya dan menaiki komidi putar dengan kepala Imelda menyandar di bahunya merupakan hal terbaik yang bisa didapatkan Damara selama ini.
―Aku senang kamu ngajak aku ke sini, Mar,‖ kata Imelda saat mereka duduk di salah satu bangku kayu, seraya menatap kemeriahan pasar malam. ―Di sini aku bisa senang-senang, tanpa seorang pun yang kenal aku. Nggak ada wartawan infotainment, nggak ada manajer, nggak ada Mama, nggak ada siapa pun yang bisa membuat aku tertekan. Di sini cuma ada kamu, orang yang tiba-tiba mengisi hatiku sekarang.‖
Damara tersenyum mendengar kata-kata Imelda. Andai waktu bisa berhenti sampai detik ini, andai besok tidak ada lagi, andai setelah ini ia tidak perlu lagi kembali ke kehidupan tempat seharusnya ia berada...
Damara mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Imelda, membelai lembut rambut wanita itu. ―Segalanya akan lebih baik kalau waktu bisa berhenti di sini,‖ bisiknya.
―Ya... akan lebih baik kalau waktu bisa kita hentikan.‖
Imelda menyandarkan kepalanya ke bahu Damara, memejamkan matanya, seakan dengan begitu ia bisa lebih merasakan segala hal membahagiakan yang dirasakannya saat ini. Damara sadar benar apa yang dilakukannya sekarang akan semakin membawanya masuk lebih dalam pada pusaran perasaan yang pasti akan menyakitkan nanti, perasaan yang akan membuatnya semakin terpuruk dengan semua masalah yang sudah menunggunya. Tapi untuk sekarang, Damara tidak ingin mengingat semua itu, malam ini ia hanya ingin merasakan sedikit kedamaian dan ketenangan mencintai seseorang.
Angin malam yang menyejukkan menerpa wajah Damara. Alunan musik dangdut sayupsayup terdengar dari pusat pasar malam, membawa suasana lain di hati Damara. Dengan Imelda yang tersenyum bahagia di sampingnya, Damara merasa ini malam yang sangat sempurna.
Hingga handphone di saku kemeja Damara tiba-tiba bergetar. Damara heran saat melihat nama Anka muncul di layar handphone-nya.
―Iya, ada apa, Ka?‖ Tapi detik kemudian, bukan suara Anka yang terdengar di seberang telepon, tapi suara orang lain. ―Iya, saya kakaknya. Ada apa dengan Anka?‖
Suara di telepon mengabarkan bahwa Anka pingsan di rumah sakit, tapi yang lebih mengejutkan Damara, orang itu mengatakan Anka pingsan karena ibunya yang hampir satu bulan koma kini telah meninggal dunia.
―Oke, oke! Saya segera ke sana,‖ kata Damara lugas, sebelum menutup telepon.
―Ada apa, Mar? Ada masalah?‖ tanya Imelda yang melihat kegelisahan Damara.
―Aku antar kamu pulang sekarang ya. Aku harus segera ke rumah sakit. Ibu dari orang yang seharusnya aku jaga, meninggal dunia...‖
―Kalau itu kerabat dekat kamu, aku ikut,‖ kata Imelda segera.
―Aku nggak bisa bawa kamu ke sana, Mel. Takutnya ada wartawan yang tahu kita berdua di sana. Aku nggak mau kehadiran mereka memperburuk keadaan yang sedang berduka. Kamu ngerti kan, Mel?‖
Imelda mengangguk pelan. Ia mengusap bahu Damara, seakan dengan melakukan itu bisa mengurangi sedikit kegelisahan Damara.
―Aku ngerti... Kalau begitu, sebaiknya kamu segera ke rumah sakit, nggak perlu antar aku pulang. Aku bisa naik taksi.‖
―Nggak, Mel... Aku harus antar kamu pulang dulu. Lagi pula rumah sakit dan apartemen kamu searah.‖
Sepanjang perjalanan Damara semakin gelisah, kekhawatiran yang tadi coba diredamnya, mulai mengganggu kerja otaknya dan membuat perasaannya tidak keruan. Terlebih saat ia berkali-kali gagal menghubungi Danu yang sedang berada di Bandung.
―Ini anak ke mana sih?!‖ katanya, seraya melempar handphone-nya ke atas dashboard mobil. ―Teleponnya malah dimatiin!‖
Imelda membelai lembut lengan Damara yang tegang di atas kemudi, berusaha menenangkannya. Tapi itu pun tidak berhasil memberikan ketenangan pada Damara. Rasa khawatir mengalahkan segalanya.
Seharusnya tadi ia menjemput Anka. Seharusnya sebagai pengganti Danu, ia ada bersama Anka sekarang, menemaninya menghadapi hal paling buruk yang kini sedang terjadi.
***
Damara berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Mencari-cari letak kamar ibu Anka, yang sialnya selama ini sekali pun tidak pernah dijenguknya. Setelah mendapatkan informasi bahwa ibu Anka masih di ruang ICU, Damara mempercepat langkahnya.
Terdengar tangis pilu dan jerit histeris dari ruang ICU yang pintunya tertutup rapat. Dengan jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya, Damara mendekati ruang ICU. Damara mengenali suara itu suara siapa. Meski belum pernah mendengar Anka menjerit sekeras ini, tapi Damara yakin itu Anka. Tanpa menunda lagi, Damara mendorong pintu ICU yang tidak terkunci.
Anka menjerit histeris saat beberapa pegawai rumah sakit hendak mendorong brankar ibunya keluar dari ruang ICU. Beberapa suster wanita berusaha menenangkan Anka yang terus mencengkeram brankar ibunya. Anka berontak sejadi-jadinya, menolak ibunya dipindahkan ke kamar jenazah.
―Jangan bawa Ibu keluar...! Ibu masih bisa hidup!! Ibu nggak mungkin meninggal!‖ pekik Anka di tengah tangis pilunya. ―Ibu nggak mungkin ninggalin Anka sendirian... Nggak mungkin! Ibuuu... Ibuuu, banguun, Ibu!!‖
Damara mendekati Anka, berharap bisa menenangkan Anka.
―Anka...‖
Anka langsung menoleh, beralih memohon pada Damara. ―Kak, tolong bilangin ke mereka, Ibu masih bisa hidup...!! Tolong minta sama dokter untuk berusaha bangunin Ibu! Tolong, Kak...‖
―Anka... Sabar ya. Kamu harus kuat, jangan seperti ini...‖ kata Damara prihatin. ―Ibu kamu sudah tenang sekarang.‖
Air mata Anka kembali mengalir deras, menyadari kebenaran ucapan Damara. Anka kembali mendekati ibunya, menatap ibunya penuh kasih sayang. Tangan gemetar Anka membelai lembut rambut ibunya. Dan tak berapa lama isaknya kembali pecah.
Pedih rasanya melihat tragedi ini terjadi pada gadis semuda Anka. Di mata Damara, ini sangat mengenaskan. Damara meraih Anka ke dalam pelukannya, memeluk Anka erat agar gadis itu memiliki sandaran untuk kesedihannya.
Tangis Anka semakin menyayat saat para pegawai rumah sakit mengambil kesempatan membawa jenazah ibu Anka keluar dari ruang ICU saat Anka dipeluk Damara. Damara bisa merasakan tubuh Anka bergetar hebat di pelukannya, gadis itu menangis sejadi-jadinya, seakan dengan tangisan itu ia menyampaikan permohonan agar Tuhan membatalkan keputusan-Nya.
Air mata Damara merembes di sudut matanya, tanpa sadar ia ikut menangis. Kepedihan yang dirasakan Anka seperti bisa dirasakannya, juga, sehingga rasa sesak di dada mengalirkan sedikit air matanya.
Tangisan histeris Anka lama-lama berubah menjadi isakan. Anka sepertinya sudah kehabisan tenaga untuk menangis. Dan tak berapa lama kemudian isak tangis Anka pun tidak terdengar lagi seiring melemahnya tubuh Anka di pelukan Damara. Damara mengendurkan pelukannya, menatap Anka yang seluruh wajahnya basah oleh air mata. Gadis itu pingsan sekarang. Beban ini pasti begitu berat untuknya.
Damara mengusap air mata Anka sebelum membopong tubuh lemah itu keluar ruang ICU. Seiring langkahnya membawa Anka, Damara berjanji akan terus menjaga Anka, menjaganya layaknya orang-orang terpenting dalam hidupnya. Damara bertekad menjadikan dirinya penyangga bagi Anka saat gadis itu membutuhkannya.
***
“Lo nggak usah takut, Ka. Walaupun sekarang lo sendiri, gue akan selalu ada selama lo butuh gue. Gue janji!” - Danu
***
- 17 -
―NU... bangun, Nu!‖ Suara Andro terdengar samar-samar di telinga Danu. Agak linglung Danu membuka matanya, terkejut saat melihat wajah panik Andro menunduk begitu dekat di depan wajahnya.
―Apaan sih, Ndro, pagi-pagi udah bikin rusuh!‖ gerutu Danu, menarik selimut menutupi wajahnya.
―Eh, bangun dulu lo!‖ Andro menyibakkan selimut Danu dengan kesal. ―Kita harus pulang ke Jakarta, sekarang!‖
―Sekarang? Kan rencananya nanti siang. Ini masih pagi, Ndro.‖
―Lo nggak bakal setenang ini kalau tahu ada yang terjadi di Jakarta, sekarang... Elo sih, pake acara matiin handphone, semuanya jadi kacau!‖
Danu mendudukkan dirinya, keningnya mengernyit heran dengan ucapan Andro.
―Emang di Jakarta ada apaan, Ndro?‖ tanya Danu.
Andro tidak langsung menjawab. Ia menghela napas pelan, seakan apa yang akan disampaikannya sesuatu yang begitu berat diucapkan.
―Tadi malam, saat handphone lo mati, Kak Damara berkali-kali coba telepon lo. Dia juga coba telepon ke handphone gue, tapi karena handphone gue juga mati, dia baru bisa kasih berita tadi, lewat telepon hotel... Dia nyuruh kita cepat-cepat pulang ke Jakarta, Nu.‖
―Iya, tapi kenapa?‖ tuntut Danu, mulai tidak suka dengan penjelasan Andro yang bertele-tele.
―Ibu Anka... tadi malam meninggal, Nu,‖ kata Andro dengan suara lirih.
Untuk sesaat pikiran Danu mendadak kosong oleh kata-kata Andro. Ia tidak bisa berpikir normal. Nyaris tidak percaya... Ini terlalu buruk untuk menjadi nyata, ini terlalu kejam bagi Anka.
Danu menyibakkan selimutnya dan bangun dari tempat tidur. Ia menyambar celana jins di atas sofa dan memakainya secepat yang ia bisa.
―Kita pulang sekarang... Gue nggak peduli kita mau naik apa ke Jakarta, yang penting kita harus pulang sekarang juga!‖
Seperti mengerti benar apa yang dirasakan Danu, tanpa banyak pertanyaan Andro segera memasukkan barang-barangnya ke ranselnya.
Danu tidak bisa memikirkan apa-apa kecuali Anka. Ia sudah pernah melihat Anka hancur ketika ayahnya meninggal, dan sekarang... Anka harus kembali kehilangan orang yang disayanginya, satu-satunya keluarga yang tersisa. Danu tidak berani membayangkan betapa terpuruknya Anka. Anka pasti membutuhkan dirinya, Anka pasti menginginkannya berada di sana sekarang. Anka pasti sangat membutuhkan sandaran.
***
Anka tidak tahu yang sekarang terjadi padanya bisa disebut apa. Takdir, jalan hidup, atau nasib? Apa pun namanya, semua ini terlampau menyiksa. Ia masih belum bisa percaya bahwa setelah mengantarkan kepergian ayahnya sebulan lalu, kini ia harus berdiri lagi di
pemakaman yang sama untuk mengantarkan ibunya. Kemalangan ini seakan enggan menunggu sampai ia siap dan lebih kuat menerimanya.
Air mata Anka tidak bisa dibendung agar berhenti mengalir, walaupun ia sudah berusaha menahannya. Sekali lagi harus melihat orang yang ia sayangi ditimbun tanah, membuat segala usaha Anka untuk tegar terkesan sia-sia. Anka tidak kuasa menahan jeritan pilunya saat batu nisan dipasangkan di atas makam ibunya, yang terletak tepat di sisi kanan makam ayahnya. Anka ingin berdiri tegak melepas kepergian ibunya, tapi kesedihan ini menyedot semua tenaga dan melemahkan lututnya.
Anka bisa merasakan lengan Damara kembali merangkul bahunya. Untuk kesekian kalinya Damara berusaha menenangkan saat ia mulai tidak sanggup mengontrol kesedihannya. Kehadiran Damara menemaninya menghadapi semua hal gila yang menimpanya sangat berarti bagi Anka.
―Kita pulang sekarang, Ka?‖ tanya Damara, setelah hampir 30 menit Anka duduk di samping makam ibunya. ―Banyak hal yang harus kita lakukan setelah ini.‖
―Saya masih mau di sini, Kak,‖ kata Anka terisak pelan.
Damara tidak mengatakan apa-apa. Ia duduk di samping Anka, menunggu Anka selesai melakukan apa yang ingin dilakukannya. Sementara itu Anka hanya duduk diam, menatap dengan penuh kesedihan makam ayah dan ibunya yang berjajar di hadapannya. Sesekali air matanya mengalir pelan membasahi pipinya.
―Mereka pergi terlalu cepat, Kak... Anka bahkan belum sempat memberikan apa-apa untuk mereka,‖ katanya parau. ―Mereka nggak kasih kesempatan bagi Anka untuk bikin mereka bahagia...‖
―Dengan semua yang kamu lakukan selama ini, Kakak yakin mereka sudah sangat bahagia. Mungkin dari suatu tempat yang indah, tempat ayah dan ibu kamu berada sekarang, mereka pasti tersenyum bangga.‖
Andai saja yang dikatakan Damara benar... Ayah dan ibunya sudah berada di suatu tempat yang indah dan tersenyum bahagia di sana, akan lebih baik kalau mereka membawa dirinya serta ke tempat indah itu, bukannya meninggalkannya sendiri di sini. Anka menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, berusaha menutupi isak tangisnya di depan Damara.
―Mungkin terdengar sangat klise... tapi Kakak hanya bisa bilang, kamu harus kuat menghadapi semua ini. Kakak tahu ini bukan hal mudah, tapi inilah hidup.‖
―Anka sekarang sendirian, Kak... Anka nggak punya siapa-siapa lagi,‖ ratap Anka.
Damara menghela napas, kembali merangkulkan lengannya ke bahu Anka menyandarkan kepala Anka ke dadanya, dan membelai lembut rambut Anka.
―Kamu nggak sendirian, Kakak akan selalu jaga kamu, Kakak akan selalu ada untuk kamu... Kakak janji.‖
Sekarang Anka hanya bisa memeluk erat tubuh Damara, sekali lagi membiarkan Damara menjadi sandaran baginya. Ia ingin untuk terakhir kalinya ia menangis sekuat yang ia bisa di pelukan Damara, mengeluarkan segala kepedihan yang ia rasakan sekarang, agar besok ia dapat kembali mengangkat kepalanya dengan tegak.
***
Danu berdiri terpaku beberapa meter dari tempat ibu Anka dimakamkan. Matanya menatap lurus ke arah Damara yang sedang memeluk Anka seraya membelai lembut rambut Anka. Apa yang dilihat Danu sekarang menghentikan langkah bergegasnya, menghentikan keinginannya untuk segera berada di samping Anka, untuk menjadi sandaran bagi Anka.
Kini Anka sudah menemukan tempat bersandar untuk kesedihannya. Damara pasti bisa menjadi sandaran yang kokoh bagi Anka. Danu merasa ia seharusnya bersyukur Damara ada untuk Anka saat ia tidak ada, tapi entah kenapa dadanya terasa sesak saat melihat Damara menggantikan posisinya. Ada desakan ketidakrelaan yang muncul saat ia melihat Anka menangis di pelukan Damara.
***
―Kamu jaga Anka sebentar ya. Kakak harus ke masjid di dekat rumah Anka, mau minta tolong agar pengajian untuk ibu Anka dilakukan di sana.‖
Danu mengangguk tanpa bantahan. Sekarang ia duduk di sisi tempat tidur Anka, menatap Anka yang tertidur lemas selesai dari pemakaman.
―Biarkan Anka istirahat, Nu. Sejak semalam dia nggak tidur. Nanti kalau ada apa-apa, kamu langsung telepon Kakak ya.‖
Danu kembali mengangguk.
Saat Damara beranjak hendak keluar dari kamar Anka, Danu buka suara. ―Kak... makasih ya udah bantuin Anka. Makasih juga Kakak udah jagain Anka selama Danu nggak ada.‖
―Kamu ini ngomong apa sih? Mulai sekarang jangan menganggap Anka itu tanggung jawab kamu sendiri. Kakak akan bantu kamu menjaga Anka, sebab Anka sudah jadi bagian keluarga kita.‖
Danu tersenyum kecil. Entah kenapa ia tidak begitu suka ucapan Damara.
―Oke, kalau begitu Kakak jalan dulu. Ingat ya, kalau ada apa-apa sama Anka, beritahu Kakak.‖
Damara akhirnya melangkah keluar dari kamar Anka. Danu kembali menatap wajah Anka yang terlihat begitu lelah. Lingkaran hitam terlihat jelas di sekeliling mata basahnya. Anka pasti menangis meratapi kepergian ibunya semalaman. Betapa menyesalnya Danu tidak berada di samping Anka saat itu.
Danu mengusap keringat di kening Anka dengan gerakan lembut seraya berkata, ―Maaf ya, Ka, gue nggak ada buat lo saat lo menghadapi semua ini.‖
Air mata terlihat masih merembes dari sudut mata terpejam Anka. Kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa pasti begitu berat bagi Anka, ia bahkan tidak bisa tidur dengan tenang. Kesedihan ini bahkan membuatnya menangis dalam tidurnya.
Danu menyentuh pelan pipi Anka, menyeka air matanya. ―Lo nggak usah takut, Ka. Walaupun sekarang lo sendiri, gue akan selalu ada selama lo butuh gue. Gue janji!‖
***
Sepertinya sudah sangat jelas dipahami Anka belakangan ini bahwa waktu akan tetap berjalan apa pun yang terjadi dan menimpa kita. Walaupun yang baru kita alami hal yang terburuk yang berani dibayangkan, hidup tetap berjalan dan seakan enggan memberi jeda meski sebentar.
Dua hari setelah pemakaman ibunya, Anka terduduk di antara makam ayah dan ibunya. Kini ia sudah mampu menerima kenyataan yang harus ia lalui sebagai bagian perjalanan hidupnya. Tangan Anka terulur, menaburkan bunga di atas makam ayah dan ibunya, tersenyum getir menatap pembaringan terakhir dua orang yang sangat disayanginya.
―Sekarang Ibu sama Ayah udah bersama-sama, Anka ikhlas... Yang penting, Ibu dan Ayah kasih Anka kekuatan ya, supaya Anka bisa bertahan tanpa kalian,‖ bisik Anka lirih. ―Anka akan berusaha hidup dengan baik. Anka akan bertahan.‖
Anka mengusap setitik air mata yang mengalir pelan ke pipinya, menghela napas panjang, dan memaksakan diri membentuk senyum di wajah kakunya sebelum ia berdiri dan melangkah meninggalkan makam kedua orangtuanya. Anka sempat menoleh sekali lagi, makam itu seakan menggambarkan cinta abadi kedua orangtuanya. Dalam hati yang paling dalam, di tengah segala kesedihannya yang coba diredamnya, Anka lega karena ibunya tidak terlalu lama menderita. Dan sekarang... Anka yakin, di sana ibunya telah bahagia bersama ayahnya.
***
Setelah kepergian ibu Anka, Danu mengira akan banyak hal yang mengalami perubahan. Tadinya Danu mengira Anka akan kembali ke rumah orangtuanya setelah klien Damara yang menyewa rumah mereka kembali ke negaranya. Nyatanya, Anka menuruti permintaan Damara untuk tetap tinggal bersama mereka dengan alasan keamanan. Damara menyarankan agar rumah Anka tetap disewakan agar Anka bisa menabung untuk masa depannya.
Namun saat Danu meminta Anka berhenti bekerja di kafe yang begitu menguras tenaganya, Anka malah menolak, padahal Danu hanya ingin Anka memiliki kehidupan seperti kebanyakan remaja seusianya. Setelah segala hal yang dilaluinya, Danu hanya ingin Anka tinggal bersama mereka dengan aktivitas normal, bukan dengan kesibukan yang tetap menggila walaupun kini tanpa kewajiban menjaga ibunya dan menginap di rumah sakit.
―Ka, dua bulan lagi kita Ujian Nasional, lo nggak apa-apa masih tetep sibuk kerja begini?‖ tanya Danu, di sela makan siang mereka di kantin sekolah. Untuk kesekian kalinya Danu meminta Anka secara halus untuk melepaskan pekerjaannya di kafe.
―Emang kenapa?‖
―Ya... nggak kenapa-kenapa sih. Cuma gue kepikiran aja, lo bakal berat kalo ujian sambil kerja. Pelajaran anak IPA kan susah-susah, Ka,‖ Danu melanjutkan hati-hati.
―Nggaklah, Nu. Gue tahu kapasitas gue,‖ jawab Anka singkat, dan dengan lahap memasukkan sesendok demi sesendok bubur ayam ke mulutnya.
―Ngapain buru-buru banget sih makannya? Entar keselek lho.‖ Danu menatap cara makan Anka yang terlampau cepat untuk ukuran normal.
―Gue harus cepet-cepet balik ke kelas nih. Ada tugas yang belum selesai gue kerjain,‖ kata Anka seraya meletakkan sendoknya di pinggir mangkuk bubur yang sudah tandas. ―Gue duluan, Nu. Nih duit bubur gue, ntar tolong kasih ke si ibu ya.‖ Tanpa menunggu jawaban
Danu, Anka beranjak meninggalkan kantin setelah meletakkan selembar uang 5.000 di depan Danu.
Danu hanya bisa menatap prihatin, menghela napas berat seraya mengambil uang Anka dan bangun dari tempat duduknya. Danu sebenarnya bangga dan kagum dengan ketegaran Anka. Bangga karena Anka mampu bangkit dari keterpurukannya dengan begitu cepat. Hanya saja, Danu tidak suka cara Anka menyibukkan diri. Ia seperti tidak membiarkan dirinya diam, sekadar bersantai sejenak atau sedikit bersenang-senang, padahal Danu tahu sekali Anka sangat membutuhkan itu semua.
Sulit memang mengubah keputusan Anka. Walaupun sebenarnya enggan, kali ini demi kebaikan Anka, Danu akan meminta Damara membujuk Anka melepaskan pekerjaannya di kafe. Paling tidak selama menempuh Ujian Nasional.
Lagi-lagi Danu akan membiarkan Damara mengambil alih apa yang sebenarnya ingin ia lakukan sendiri...
***
Malamnya, sejam setelah Anka pulang dari kafe, Danu duduk di ruang tengah bersama Damara dan Anka. Ini tindak lanjut permintaan Danu agar Damara bicara dengan Anka, meminta supaya Anka mau melepas pekerjaannya.
―Anka... Kakak bukannya mau mencampuri pilihan hidup kamu, hanya saja Kakak rasa akan lebih baik kalau kamu melepas pekerjaan part time di kafe selama kamu mempersiapkan ujian.‖
Danu melirik Anka yang duduk di sofa di depannya, ingin tahu seperti apa reaksi Anka mendengar kata-kata Damara.
―Saya memang sudah berpikir begitu, Kak. Rasanya saya tidak akan sanggup jika tetap kerja di kafe sementara harus menempuh ujian,‖ kata Anka datar. ―Saya memang sudah memutuskan akan berhenti bekerja di kafe saat mendekati waktu ujian nanti.‖
Danu tersentak. Mengapa kemarin Anka tidak mengatakan begitu? Anka bergaya seperti tidak akan pernah melepaskan pekerjaannya, walaupun ujian sudah di depan mata. Itu sebabnya Danu sampai meminta Damara bicara serius dengan Anka. Kenapa sekarang Anka begitu mudahnya mengatakan bahwa ia memang akan berhenti? Ini tidak bisa dipercaya!
―Bagus kalau keputusan kamu seperti itu. Kakak senang kamu mengerti alasan yang membuat Kakak meminta kamu untuk bicara di sini... Kakak sama Danu hanya tidak mau kamu terlalu keras terhadap diri sendiri.‖
―Saya ngerti, Kak. Terima kasih Kakak peduli sama saya. Kakak sama Danu sudah terlalu banyak membantu saya.‖
―Jangan khawatir, Ka, kami pasti akan selalu bantu selama kamu masih bersedia menerimanya,‖ kata Damara bijak. ―Kamu sudah Kakak anggap sebagai orang yang harus Kakak jaga dan Kakak sayangi.‖
Danu menatap bingung ke arah Damara, tidak mengerti ke mana arah kata-kata Damara barusan. Kalimat ―dianggap sebagai orang yang harus dijaga‖ masih terdengar wajar di telinga Danu, tapi ―dianggap sebagai orang yang disayangi‖ mulai terdengar janggal dan berlebihan.
―Terima kasih, Kak.‖ Anka tersenyum lebar menyusul kata-kata Damara.
―Oke, kalau begitu kamu bisa istirahat sekarang. Kamu pasti sangat capek setelah seharian sekolah dan kerja,‖ kata Damara seraya bangun dari sofa. Sebelum berjalan kembali ke kamarnya, Damara mengusap pelan kepala Anka.
Danu mengerjap-ngerjapkan matanya, seakan tidak percaya apa yang barusan dilihatnya. Kakaknya terlihat begitu dekat dengan Anka, dan seperti sudah biasa melakukannya.
Melihat ekspresi Anka yang terlihat begitu senang, Danu mulai merasa ada yang tidak beres, namun tidak berani membayangkan dugaannya.
―Ka, lo kok nggak bilang-bilang mau berhenti kerja?‖ sergah Danu, meredam semua pikiran anehnya. ―Kenapa waktu gue minta lo berhenti, lo nggak langsung bilang iya? Kenapa pas Kak Damara yang minta lo langsung bilang bakalan berhenti?‖
―Kemarin kan gue nggak bilang nggak mau. Sekarang kebeneran Kak Damara nanya masalah itu, ya sekalian gue bilang emang udah niat mau berhenti kerja,‖ jelas Anka santai. ―Terus emang kenapa? Sama aja kan gue bilang sama lo kemarin atau sekarang?‖
―Iya sih... tapi seharusnya lo bilang sama gue dulu dong, Ka. Sahabat lo kan gue, bukan Kak Damara.‖
―Ya ampun, Nu! Penting, ya? Yang kayak gitu aja lo masalahin. Gue bilang ke Kak Damara karena Kak Damara kan yang cariin gue kerjaan waktu itu.‖
Danu tidak membantah lagi. Walaupun masih ragu dengan alasan Anka, ia tidak ingin banyak bertanya. Bukan karena lelah mempertanyakannya, Danu hanya takut jawaban yang dituntutnya dari Anka malah akan menyakiti dirinya sendiri.
―Ya udah, lo tidur sana, istirahat,‖ kata Danu akhirnya. Anka mengangguk, mengulas senyum kecil. Danu merasakan tangannya bergerak pelan mendekati kepala Anka, berniat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Damara tadi. Tapi sebelum tangan Danu sampai ke kepala Anka, tiba-tiba Anka membalikkan badannya.
―Gue tidur duluan ya, Nu. Sampai ketemu besok,‖ kata Anka seraya melangkah menjauhi Danu yang masih berdiri dengan sebelah tangan terangkat di udara.
Danu menarik tangannya kembali lalu mengusap wajahnya. Ia membaringkan tubuh di atas sofa, menatap kosong langit-langit polos di ruang tengah, sebelum akhirnya menghela napas lelah dan memejamkan matanya.
***
“Danu nggak percaya Kakak bisa jadi orang kayak gini,” - Danu
***
- 18 -
IMELDA duduk bersama rekannya sesama model dan beberapa perancang busana muda ternama, mengelilingi sebuah meja di salah satu restoran hotel bintang lima. Malam ini, dengan agak terpaksa Imelda menghadiri acara peluncuran edisi ke-500 majalah mode terkenal Indonesia yang sering mendaulatnya sebagai model.
―Acaranya keren ya, Mel,‖ kata Ify, salah satu model yang mulai akrab dengan Imelda sejak pemotretan bersama di Singapura dua bulan lalu. ―Yang datang orang-orang penting semua.‖
Imelda mengangguk membenarkan. Memang begitu biasanya, acara membosankan seperti ini banyak dihadiri orang penting, pikir Imelda.
―Sepulang dari Bali kemarin, gue sempet liat lo di infotainment, Mel. Kabar lo punya hubungan istimewa sama si pengacara itu cuma gosip kan, Mel?‖ tanya Ify santai, seraya menyuapkan salad buah ke mulutnya dengan gerakan anggun. ―Wartawan memang nggak pernah ngerti apa yang kita rasain. Saat kita lagi sedih, mereka malah seenaknya bikin cerita yang membuat kita terpojok di depan publik. Padahal semua orang yang kenal lo pasti tau, lo nggak mungkin bikin skandal macem-macem. Apalagi sama pengacara yang megang kasus perceraian lo sendiri.‖
Imelda menelan ludah pelan menanggapi kata-kata Ify. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Ify. Mungkin lebih baik kalau ia membenarkan anggapan Ify, kabar di infotainment hanya gosip biasa.
―Iya... mereka emang suka kelewatan kalau bikin gosip soal gue. Seminggu penuh gue dibikin susah ke mana-mana,‖ ujar Imelda, memalingkan wajah kikuknya.
―Tapi saran gue nih, Mel... lo jangan terlalu deket deh sama pengacara lo itu.‖ Ify mendadak menatap Imelda dengan wajah serius.
―Emang kenapa? Lo takut gue kena gosip lagi?‖
―Salah satunya itu. Tapi ada alasan lain...‖ tambah Ify, memelankan suaranya hingga nyaris seperti bisikan. Ify mencondongkan kepalanya ke dekat Imelda. ―Lo tau cewek cantik yang duduk di meja ujung sana? Yang pake gaun warna hitam?‖
Imelda mengikuti arah yang ditunjuk Ify, dan mengangguk pelan saat matanya berhasil menangkap sosok cantik yang terlihat glamor dengan semua perhiasan dan barang mahal yang melekat di tubuhnya.
―Memang dia siapa, Fy?‖
―Anggun Damariva, dia pengusaha salon & spa ternama. Suaminya juga pengusaha properti sukses,‖ jelas Ify, masih menatap ke arah wanita yang ditunjuknya tadi.
―Terus... apa hubungannya sama pengacara gue?‖
Ify menatap prihatin ke arah Imelda, seakan menyayangkan segala ketidaktahuan Imelda.
―Lo tuh ya! Sekali-sekali harus ikut acara kumpul gosip juga dong, jangan cuma bisa jadi bahan gosip doang...‖
―Udahlah, Fy, nggak usah banyak omong deh. Lo bilang aja apa hubungannya dia sama pengacara gue?‖ desak Imelda, semakin tidak sabar mengetahui apa yang sebenarnya ingin disampaikan Ify.
―Menurut gosip terbatas di kalangan elite, pengacara lo itu simpenannya Anggun,‖ bisik Ify dramatis.
Mata Imelda membelalak lebar menyusul pernyataan Ify. Sesaat Imelda menatap Ify dengan pandangan kosong, seakan apa yang baru saja didengarnya membuatnya mendadak trans. Di tengah keterkejutan yang membuatnya mati rasa, Imelda mengalihkan pandangannya ke arah Anggun, yang sekarang sedang mengangkat gelas red wine.
Seakan menyadari ada seseorang yang sedang memperhatikannya, Anggun membalas tatapan Imelda, lalu senyum mengembang di wajahnya. Senyum yang dirasa Imelda jauh dari kesan ramah.
―Mel, lo jangan ngeliatin dia kayak gitu. Entar ketahuan kita lagi ngomongin dia,‖ tegur Ify pelan, berbisik ke telinga kiri Imelda.
Imelda mengerjapkan matanya, buru-buru melepas kontak mata dengan Anggun dan menunduk menatap steak salmon di depannya.
―Kenapa sih, Mel? Lo kaget sama informasi yang baru lo dengar?‖
―Lo yakin, Fy, Anggun punya hubungan sama pengacara gue?‖ Imelda balik bertanya dengan suara datar, seolah-olah itu bukan hal penting baginya. ―Mungkin gosip yang lo denger tentang mereka salah, kali?‖
Imelda kembali menatap Ify, seakan berharap teman dekatnya mengatakan ia hanya menduga-duga, atau ia hanya mendengar itu semua dari mulut-mulut usil kalangan atas, atau apa pun yang menegaskan kabar itu diragukan kebenarannya.
―Tadinya gue nggak terlalu percaya, biasanya gosip yang beredar di kalangan elite kayak gitu cuma diembuskan untuk saling menjatuhkan, tapi beberapa hari yang lalu saat gue ada acara di sini, gue sempet lihat Anggun keluar bareng sama pengacara lo dari hotel ini. Pagi-pagi lagi! Itu yang bikin gue yakin gosip itu bener.‖
Tiba-tiba Imelda merasakan ada yang tidak beres pada dirinya. Apa yang baru saja didengarnya dari Ify membuat semua hal indah yang baru sebentar ia rasakan bagai fatamorgana yang sengaja diciptakan seseorang untuk memberikan kesenangan sesaat, namun menyimpan sesuatu yang begitu menyakitkan di baliknya.
―Mel, lo nggak apa-apa, kan?‖ Ify kembali bertanya, melihat tingkah aneh Imelda. ―Lo bener nggak punya hubungan apa-apa kan sama pengacara lo?‖
Imelda menggeleng dengan sigap, senyum canggung mengembang di wajah kakunya.
―Nggaklah, Fy. Mana mungkin gue punya hubungan sama orang kayak gitu,‖ kata Imelda, seraya mengambil pisau dan garpunya untuk memotong salmon di depannya.
―Baguslah kalo begitu. Tadinya pas lihat gosip lo di infotainment, gue takut lo jadi sasaran dia selanjutnya. Ada kemungkinan dia mau cari pasangan yang seumuran dan juga menjanjikan dari segi finansial, setelah dia bosen sama Anggun yang lebih tua darinya.‖
Garpu di pegangan Imelda terjatuh, tanpa terasa air mata mengalir pelan di pipinya. Rasa sesak di dadanya begitu sulit disembunyikan. Ia tidak bisa lagi bersikap seolah baik-baik saja, karena kenyataan perasaannya jauh dari kata baik-baik saja.
―Mel, lo kenapa? Lo sakit?‖ Ify terkejut melihat perubahan Imelda.
―Iya nih, Fy... kayaknya gue harus pulang,‖ kata Imelda lirih, sambil mengusap air matanya. ―Lo bisa anterin gue balik ke apartemen kan, Fy?‖
―Oke, gue anterin lo pulang sekarang.‖
Imelda bangun dari kursinya, melangkah keluar ruang pesta. Sebisa mungkin ia bergerak pelan, agar tidak ada yang menyadari kepergiannya yang mendadak. Sebelum keluar Imelda sempat menjatuhkan pandangannya ke arah Anggun. Dadanya terasa makin sesak saat
Anggun—entah sadar atau tidak dengan apa yang dirasakan Imelda—tersenyum sambil mendongak, senyum yang terkesan penuh kesombongan.
***
Dengan kecewa Damara meletakkan handphone di atas meja kerjanya. Untuk kesekian kalinya sejak tadi malam ia gagal menghubungi Imelda. Berkali-kali Damara mencoba menelepon Imelda, tapi Imelda tidak pernah menjawab. Sepuluh pesan yang dikirimkan Damara pun tidak mendapat balasan. Ini membuat Damara bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi pada Imelda, mengapa tiba-tiba Imelda seakan menghindar darinya.
Sekali lagi Damara meraih handphone-nya, berharap kali ini ia bisa berbicara dengan Imelda. Tapi sekali lagi ia harus kecewa. Damara terdiam, mulai tidak suka Imelda membuatnya seperti ini, tidak suka Imelda membuatnya khawatir.
―Mar... meeting!‖ panggil Debo, teman kerja Damara, seraya melongok ke ruang kerjanya dari pintu yang sengaja tidak ditutup.
―Iya, sebentar aku nyusul.‖
Damara menghela napas, menyerah sesaat untuk usahanya menghubungi Imelda. Walaupun sebenarnya yakin bahwa ia tidak akan bisa benar-benar berhenti memikirkan alasan Imelda tidak mau menjawab teleponnya.
***
Danu duduk di bangku kelasnya, menatap dengan bingung kotak persegi berwarna biru muda berpita putih. Untuk kedua kalinya Zevana memberikan hadiah tanpa alasan yang jelas. Dan yang paling membingungkan, secarik kertas yang menyertai kotak hadiah tersebut.
―Apaan tuh, Nu?‖ tanya Andro sekembalinya dari kantin. ―Ulang tahun lo belum dimajuin, kan?‖
Danu tidak menjawab. Andro duduk di samping Danu, menatap dengan penuh perhatian pada kotak biru muda di depannya.
―Kayaknya gue kenal nih sama kotak hadiah kayak gini,‖ kata Andro sambil membolak-balik kotak tersebut. ―Dari Zeva lagi ya?‖
Danu mengangguk lesu menjawab pertanyaan Andro. ―Tadi gue ketemu Zeva di ruang OSIS, dia kasih ini ke gue.‖
―Wah, gila lo, Nu! Tuh cewek kayaknya beneran suka sama lo. Terus, dia ngomong apa pas kasih ini ke lo?‖
―Nggak ngomong apa-apa, dia cuma kasih ini sama gue.‖ Danu menyodorkan secarik kertas yang langsung dibaca Andro.
―Wah, ini sih dia nembak lo, Nu...‖ komentar Andro selesai membacanya. ―Terus lo mau jawab apa ke Zeva? Lo terima, atau lo mau nolak dia?‖
―Itu yang bikin gue bingung, Ndro... Zeva itu sebenernya baik, cantik lagi, tapi gue nggak bisa terima dia.‖
―Emang kenapa sih? Nggak ada salahnya nyoba jalanin dulu sama Zeva.‖
Danu mengusap wajahnya dengan lelah dan menghela napas berat, bertingkah seakan dilema yang sedang dialaminya merupakan masalah yang sangat berat.
―Gue sayang sama Anka, Ndro... Gue nggak bisa sama Zeva saat gue nggak bisa berhenti mikirin Anka.‖
―Nah... kejadian, kan? Gue udah tahu bakal kayak gini ujungnya. Dari dulu tuh gue nggak pernah bisa percaya cewek sama cowok bisa sahabatan. Bener kan yang gue bilang?‖
Danu tidak membantah Andro kali ini. Ucapan Andro memang benar adanya. Sekuat apa pun Danu berusaha menekan semua perasaannya pada Anka, pada akhirnya segalanya terlalu sulit untuk disimpannya sendiri.
―Jadi sekarang gimana? Lo mau bilang ke Anka kalo lo sebenernya suka sama dia?‖
Danu kembali menggeleng lesu, membuat Andro geregetan melihat tingkah sahabatnya ini.
―Yaaah... gimana sih?‖
―Anka kayaknya nggak suka sama gue, Ndro. Kayaknya dia nganggap gue sebatas sahabat doang,‖ kata Danu datar. ―Entahlah... Sekarang gue malah ngerasa Anka suka sama Kak Damara.‖
―Hah? Lo tahu dari mana Anka suka sama Kak Damara?‖
―Ya... ketahuanlah dari sikap Anka ke Kak Damara. Cara dia ngelihatin Kak Damara, cara dia nurutin semua yang Kak Damara bilang...‖
Andro diam, ada raut kebingungan di wajahnya. Sulit baginya memikirkan solusi masalah Danu, sebab ia sendiri belum pernah mengalami masalah seperti ini. Yang akan dilakukannya saat ada gadis cantik, baik, dan begitu perhatian, menyatakan rasa suka, tanpa pikir panjang pasti ia langsung menerimanya. Tapi untuk Danu, Andro tahu benar Danu selalu memiliki pemikiran istimewa dalam segala hal. Maka sebagai sahabat, kali ini ia hanya bisa berkata lirih, ―Semua pasti ada penyelesaiannya, Nu...‖
Andro mungkin tidak tahu apa yang benar-benar mengganggu pikiran Danu. Masalah dilema cinta masih bisa dianggap Danu sebagai hal yang tidak terlalu penting. Belakangan Danu sudah terbiasa mengindoktrinasi pikirannya dengan pernyataan bahwa ia masih terlalu muda untuk terlalu serius memikirkan perasaan cinta. Yang membuat Danu lebih tertekan adalah keadaan ayahnya di Bandung. Berbagai hal yang terjadi belakangan membuatnya tidak punya kesempatan menceritakan kabar ayahnya pada Damara. Lagi pula, Danu tidak cukup punya keberanian untuk mengungkapkannya. Kondisi ini membuatnya bingung. Sementara Danu di sini menimbang-nimbang berani atau tidak untuk bercerita pada Damara, mungkin di sana ayahnya tidak bisa menunggu lama hingga keberanian Danu muncul.
***
Siang ini jadwal sidang permohonan banding suami Imelda akan digelar. Damara sedikit bernapas lega. Setelah berhari-hari Imelda tidak menjawab teleponnya, hari ini ia akan kembali mendampingi Imelda di persidangan. Berarti akan berakhir pula hari-hari penuh pertanyaan dan kecemasan yang dilalui Damara.
―Apa?! Imelda nggak bisa datang ke persidangan?‖ tanya Damara dengan suara keras di telepon, saat manajer Imelda mengabarkan bahwa Imelda tidak bisa datang ke persidangan hari ini. ―Kenapa dia nggak bisa hadir?‖
Manajer Imelda menjelaskan bahwa Imelda tidak datang karena merasa Damara sudah cukup mewakilinya. Saat Damara bertanya Imelda berada di mana, manajernya mengatakan bahwa Imelda ada di apartemennya dan tidak ingin diganggu siapa pun.
―Oke, terima kasih.‖ Damara menutup teleponnya, terdiam sebentar. Ada yang aneh dengan Imelda. Mendadak ia seperti menarik diri, terutama dari Damara. Jelas ada sesuatu yang disembunyikan Imelda, yang membuatnya berubah begitu drastis.
Damara bertekad akan segera mencari tahu alasannya.
Selesai persidangan, yang tidak dihadiri Imelda dan mantan suaminya, Damara segera memacu mobilnya meluncur ke apartemen Imelda, tentu saja tanpa sepengetahuan wartawan infotainment yang tadi mengerubunginya. Ia tidak peduli ucapan manajer Imelda yang
mengatakan bahwa Imelda sedang tidak ingin diganggu. Damara merasa perlu tahu mengapa Imelda menghindarinya, dan yang paling penting dari semuanya, ia amat merindukan Imelda.
***
Bunyi bel kembali terdengar dari luar pintu apartemen Imelda, kali ini disusul ketukan keras. Hampir lima menit Damara berusaha membuat Imelda membuka pintu, tapi Imelda hanya duduk diam di sofa dengan berbagai perasaan campur aduk saat Damara mencoba bicara padanya dari balik pintu.
―Aku tahu kamu di dalam, Mel... Aku mohon buka pintunya, kita perlu bicara. Aku harus tahu kenapa kamu menghindar dari aku.‖
Air mata Imelda menetes pelan. Apa yang membebani dirinya selama beberapa hari ini terasa lebih menyiksa saat orang yang membuatnya harus merasakan ini semua berada di dekatnya.
―Aku akan terus berdiri di sini sampai kamu membuka pintu, Mel.‖ Suara Damara kembali terdengar.
Imelda tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Ingin rasanya ia berjalan ke luar untuk sekadar menampar, memukul, atau melakukan apa pun yang bisa melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya pada Damara. Hanya saja ia tidak yakin akan sanggup melakukannya. Saat ia membuka pintu dan melihat wajah Damara, pasti ia akan menangis dan menunjukkan kelemahannya.
Menit demi menit berlalu. Berjam-jam dihabiskan Imelda dengan duduk terpaku di sofa. Imelda mengusap wajah sembapnya, bangun dari sofa, dan berjalan ke pintu apartemennya. Damara tampaknya sudah pergi. Dari lubang kecil di pintu Imelda sudah tidak melihat sosoknya. Pelan-pelan, Imelda membuka pintu apartemennya dan terkejut saat mendapati Damara duduk di samping pintu apartemennya. Imelda segera menarik tangkai pintu, tapi tangan Damara lebih cekatan menahannya.
―Kita perlu bicara, Mel... Tolong kasih aku waktu,‖ pinta Damara.
Melihat tangan Damara yang memerah menahan pintu agar tidak tertutup, Imelda menyerah. Ia melepaskan tangannya dari tangkai pintu. Damara terlihat lega saat Imelda menghentikan usahanya. Sekarang mereka berdiri di ambang pintu, terdiam, seakan masing-masing tidak tahu apa yang harus dikatakan untuk memulai pembicaraan.
―Aku senang akhirnya kamu mau nemuin aku,‖ Damara berkata pelan, seraya meraih tangan Imelda. ―Beberapa hari ini kamu sudah berhasil bikin aku seperti orang linglung...‖
Imelda menarik lengannya dari pegangan Damara, membuat Damara tersentak.
―Aku terpaksa membiarkan pintu ini terbuka, karena nggak mau tangan terampil kamu terluka,‖ kata Imelda dingin. Ia membalikkan badannya, seakan enggan bertatapan dengan Damara. ―Lebih baik kamu segera pergi.‖
―Kamu kenapa sih, Mel? Kenapa kamu berubah seperti ini?‖
Damara membalikkan tubuh Imelda menghadap ke arahnya, agar saat bicara bisa menatap ekspresi Imelda. Tapi Imelda memalingkan wajah, menunduk dan menghindari tatapan Damara.
―Aku belum mau bicara sama kamu, Mar... jadi tolong pergi...‖
―Tapi kenapa? Kalau aku memang punya kesalahan sama kamu, aku berhak tahu apa kesalahanku.‖
―Dan aku juga punya hak untuk tidak menjelaskan semua sikapku,‖ tegas Imelda, tiba-tiba menantang dengan menatap tajam ke arah Damara. ―Sekarang, cukup aku yang tahu alasannya, cukup aku yang tahu mengapa aku muak melihat kamu berada di sini, di depanku! Jadi kalau kamu masih punya sedikit empati, sekali lagi, tolong segera pergi.‖
Damara nyaris tidak bisa memercayai semua yang dikatakan Imelda padanya. Imelda yang di depannya sekarang berbeda dari Imelda yang dikenalnya. Imelda bukan lagi sosok wanita yang mencintai dan menyayanginya, sekarang Imelda berubah menjadi seseorang yang begitu membencinya.
Tanpa memberikan sedikit pun penjelasan tentang perubahan menyakitkan ini, Imelda mengusir Damara pergi dari apartemennya.
Ada banyak kemungkinan yang terpikirkan oleh Damara setelah menerima luapan kebencian dari Imelda, tapi baru membayangkannya saja Damara sudah merasa sakit kepala. Mungkinkah Imelda tahu hubungannya dengan Anggun? Dari semua kemungkinan, hanya alasan ini yang paling jelas bisa membuat perubahan sikap Imelda. Andai dugaan Damara benar, entah akan seperti apa jadinya nanti... Damara tidak berani membayangkan lebih jauh.
Sebulan yang lalu, mungkin Damara tidak akan begitu peduli jika kliennya mengetahui kehidupan pribadinya, namun sekarang... saat ia telanjur memiliki perasaan istimewa pada Imelda, demi Tuhan... ia tidak ingin rahasia itu terungkap.
***
Malam harinya, Danu memberanikan diri mengetuk pintu kamar Damara. Sore tadi Danu sudah memutuskan akan mengatakan semuanya kepada kakaknya.
―Kak, bisa ganggu sebentar?‖ tanya Danu setelah masuk dan melihat Damara sedang menghadap layar deskbook di meja kerjanya. ―Ada yang mau Danu omongin sama Kakak.‖
Tatapan Damara beralih dari layar deskbook-nya dan ganti menatap Danu yang berdiri di depannya.
―Memang mau ngomongin apa, Nu?‖ tanya Damara pelan.
Danu tidak langsung bicara, sekali lagi ia memperhatikan ekspresi Damara. Kakaknya terlihat sangat lelah, wajahnya lusuh. Sepertinya malam ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan semua pada Damara, tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi masalah ini akan tersampaikan?
―Kenapa malah diam? Duduk, kalau memang kamu mau ngomong sama Kakak!‖
Dengan patuh Danu duduk di kursi kecil di depan meja kerja Damara. Sekarang, saat sudah duduk berhadapan dengan Damara, tidak ada lagi alasan baginya untuk menunda-nunda lagi.
―Begini, Kak, saat Danu ke Bandung, di sana Danu ketemu sama Om Hari, temen sekantor Papa dulu...‖ Danu berhenti sebentar, menunggu perubahan ekspresi Damara. Ia kembali melanjutkan saat tidak melihat ekspresi yang berarti. ―Waktu itu, Om Hari bilang ke Danu...‖
―Dia bilang apa ke kamu?‖
―Dia bilang... Papa sakit, Kak. Papa kena stroke, dan sudah hampir dua minggu dirawat di rumah sakit.‖
Danu kembali mendongak menatap Damara, tadinya ia menyangka akan melihat kemarahan atau ketidaksukaan di wajah Damara. Nyatanya, wajah Damara hanya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan.
―Jadi kita harus gimana, Kak?‖
―Maksud kamu?‖ Damara balik bertanya dengan nada tidak begitu peduli.
―Maksud Danu... kita harus gimana sama Papa?‖
―Kakak pernah bilang sama kamu, kan? Kita sudah nggak punya siapa-siapa yang disebut keluarga setelah kita pindah ke Jakarta. Kita juga sepakat, anggap saja orang yang sudah
menelantarkan kita untuk memilih kesenangan masing-masing, tidak pernah ada dalam kehidupan kita... Kamu masih ingat semuanya, kan?‖
Danu terdiam. Dia masih ingat jelas, dengan penuh kebencian ia sendiri mengatakan tidak akan pernah lagi menganggap ada ikatan darah dengan kedua orangtuanya. Tapi sekarang, saat rasa benci itu bertahun-tahun tersimpan rapi, ia bertanya-tanya, apa masih benar untuk kembali merasakan itu semua?
―Papa sakit, Kak... Om Hari bilang sebagian badan Papa sudah nggak bisa bergerak lagi.‖
―Kalau begitu, biarkan saja keluarga barunya yang mengurus semua,‖ kata Damara enteng, seraya membuka lembaran berkas kasus yang sedang dipelajarinya. ―Kita sudah nggak punya urusan apa-apa sama dia. Mungkin dia juga nggak mau kita datang ke sana, atau bisa jadi dia juga sudah lupa sama dua anak laki-laki yang dia buang.‖
―Kak, Papa sekarang udah nggak punya keluarga!‖ sergah Danu, kesal dengan sikap Damara. ―Istri barunya pergi ninggalin Papa buat laki-laki lain saat usaha Papa bangkrut.‖
Damara mendengus pelan mendengar ucapan Danu. Senyum puas tergurat di wajahnya. Danu terperangah, untuk pertama kalinya ia melihat ekspresi seperti ini di wajah kakaknya. Damara seperti menikmati rentetan kemalangan yang menimpa ayah mereka.
―Akhirnya orang itu menerima karmanya juga,‖ kata Damara dingin. ―Sekarang dia tahu bagaimana rasanya terbuang...‖
―Kak! Bisa-bisanya Kakak bilang begitu!‖ Danu berdiri tegak di hadapan Damara, kemarahannya mulai menggelegak. Ia tidak menyangka Damara berkata begitu untuk orang yang pernah membesarkan mereka.
―Memang apa yang kamu harap akan Kakak katakan untuk dia? Kakak akan cemas atau khawatir dengan kabar dia terkapar di rumah sakit sendirian?! Atau kamu berharap kita akan pergi ke Bandung dan merawat dia?! Mimpi kamu, Nu, kalau berharap Kakak melakukan itu!‖
Damara bangun dari kursi kerjanya, berjalan menjauhi Danu, dan berhenti di sisi jendela kamarnya. Ia memandang ke halaman depan dengan tatapan kosong untuk beberapa saat.
―Kita sudah sepakat untuk tidak terkait dengan apa pun yang pernah kita tinggalkan di Bandung dulu, dan Kakak mau kamu pegang kesepakatan itu.‖ Suara Damara kembali terdengar tegas. ―Kakak nggak akan pernah kembali ke Bandung untuk menemui orang itu, dan Kakak juga melarang kamu menemuinya. Tidak peduli berita apa pun yang mungkin kamu dengar nanti.‖
―Tapi, Kak... Dia masih orangtua kita. Apa pun alasannya, kita harus ada saat dia butuh kita,‖ kata Danu memelas.
Damara menggeleng tegas, membalikkan badan, dan berjalan kembali mendekati Danu. ―Dia bukan orangtua kita lagi setelah dia menelantarkan kita! Ngerti kamu?!‖ Mata Damara menatap tajam pada adiknya.
Danu menghela napas lelah, menggeleng pelan seakan tidak percaya kakaknya bisa begitu tak berperasaan.
―Danu nggak percaya Kakak bisa jadi orang kayak gini,‖ kata Danu, sebelum berjalan keluar kamar Damara dengan marah.
Damara mengenyakkan dirinya di kursi yang tadi diduduki Danu, mengusap wajahnya dengan lelah. Danu boleh menganggapnya sebagai orang yang sangat kejam dan tak berperasaan. Danu bebas beranggapan apa saja, dan ia pun berhak untuk marah.
Toh bukan Danu yang harus bekerja begitu keras untuk menghidupi mereka, juga bukan Danu yang terpaksa melakukan pilihan melenceng dari garis lurus demi bertahan hidup.
Damara memiliki banyak alasan untuk membenarkan sikapnya pada lelaki itu. Ia tidak merasa kejam sama sekali. Karena orang yang menyebabkan ia harus menjalani kehidupan
menyiksa nurani selama bertahun-tahun, bahkan hingga sekarang, dan orang yang membuat kehidupannya bagai sampah, jauh lebih kejam..
“Gue ngerti apa yang lo rasain, Nu,” - Andro
***
- 19 -
―INI gue beliin roti bakar buat lo. Tadi pagi kan lo nggak sarapan.‖ Anka menyodorkan bungkusan roti bakar yang dibelinya di kantin kepada Danu, yang sejak jam istirahat memilih menyendiri di kebun belakang sekolah.
―Thanks, Ka.‖ Danu mengambilnya dari tangan Anka, namun tidak langsung memakannya.
Danu terlihat lesu pagi ini, dan Anka tahu apa penyebabnya. Semalam suara keras Danu sedang berdebat dengan kakaknya terdengar jelas dari kamar Anka.
―Makan dulu, Nu,‖ kata Anka lagi, mengingatkan Danu yang sedari tadi hanya terdiam. ―Tuh, gue udah minta sama Pak Naryo supaya banyakin kejunya, lo suka banget keju, kan?‖
Danu tersenyum kaku, sambil mulai membuka bungkusan roti bakar yang hampir dingin di pegangannya. Dengan gerakan lemah, memasukkan satu gigitan ke mulutnya.
―Kejunya kebanyakan, jadi asin...‖ komentar Danu seraya mengunyah roti bakarnya. ―Lo minta Pak Naryo nambahin garam juga ya?‖
―Sialan lo!‖ kata Anka mendorong bahu Danu.
―Abis rasanya aneh, kayak oralit, manis campur asin.‖
Akhirnya setelah beberapa hari tidak melihat Danu tertawa, Anka kembali bisa menikmati tawa yang dulu sering menjadi penghiburnya. Sepertinya sekarang Danu sedang menghadapi masa-masa sulitnya. Banyak hal yang mengganggu pikirannya.
Anka sangat mengerti kalau beberapa hari belakangan ini Danu tidak seperti Danu yang biasa ia kenal. Tapi lagi-lagi ia hanya bisa menunjukkan keprihatinan untuk Danu, tidak bisa memberikan solusi atau bahkan sekadar saran. Karena Anka merasa tidak punya kepentingan mencampuri urusan yang dinilainya begitu pribadi baik bagi Danu maupun Damara.
Bagi Anka, mungkin dengan berada di dekat Danu untuk sekadar memberikan semangat seperti yang dulu selalu dilakukan Danu untuknya, adalah pilihan terbaik yang bisa ia lakukan. Ada untuk Danu sebagai teman, bukan untuk memberikan solusi tapi lebih sebagai tempat untuk berbagi. Andai saja bisa, hal yang sama sebenarnya ingin juga dilakukan Anka untuk Damara.
***
Damara membaringkan tubuh lelahnya di sofa ruang kerjanya, memejamkan mata dan berusaha membuat rasa sakit di kepalanya reda. Semalam Damara sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Pertengkarannya dengan Danu tentang orang yang tidak lagi ingin dianggapnya sebagai orangtua membuatnya memikirkan banyak hal. Begitu banyaknya sampai-sampai ia merasa kepalanya penuh dan itu menekan saraf-sarafnya, menjadikan tiap masalah terasa begitu menyakitkan untuk dipikirkan.
Damara akhirnya membuka mata yang sulit dibuat terlelap padahal ia ingin sekali. Pandangannya jatuh ke handphone di atas meja depan sofa, andai saja ia bisa menelepon seseorang sekadar menceritakan apa yang dirasakannya, sekadar meringankan beban dan berbagi dengan seseorang. Tapi dengan siapa? Andai saja seseorang itu ada... Damara kembali memejamkan mata.
Sosok Imelda langsung terlintas di benak Damara. Kalau saja Imelda masih ada untuknya, pasti tidak terasa seberat ini. Kalau saja Imelda menjelaskan semuanya, dan tidak membiarkan ia terus bertanya ―mengapa‖ pasti akan terasa lebih baik.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar ruang kerja Damara, tanpa menunggu jawaban, Cakka, rekan kerja Damara, masuk dan menghampiri Damara yang masih terbaring di sofa.
―Kamu kenapa, Mar? Sakit?‖ tanya Cakka.
―Nggak... cuma kurang tidur aja,‖ jawab Damara, tanpa membuka matanya.
―Ada yang mau aku omongin sama kamu, Mar,‖ kata Cakka sambil duduk di kursi kecil yang ditariknya dari depan meja kerja Damara.
Damara membuka matanya dan mencoba mendudukkan dirinya. Ia kembali mengernyit saat rasa sakit kembali menusuk kepalanya.
―Mau ngomong soal apa, Kka?‖
―Soal Imelda,‖ jawab Cakka singkat.
―Imelda?!‖ Mata Damara melebar saat mendengar nama Imelda disebut. ―Ada apa sama Imelda?‖
―Tadi manajer Imelda telepon, katanya Imelda minta kasus naik banding perceraiannya nggak dipegang sama kamu lagi. Dia minta pengacara pengganti,‖ jelas Cakka.
Damara terdiam. Ada apa lagi ini? Setelah Imelda tidak menemuinya, sekarang tidak mau lanjutan kasusnya ditangani oleh Damara lagi. Sebesar itukah ketidaksukaan Imelda padanya?
―Kalau begitu, kasih aja dia pengacara pengganti,‖ kata Damara dingin. ―Kalau memang dia nggak mau aku jadi pengacaranya lagi, ya sudah. Kita kasih apa yang dia mau. Tapi sebelum aku nyerahin kasusnya ke orang lain, aku harus ketemu sama klien yang bersangkutan. Tolong bilangin, Kka, aku mau ketemu mereka dulu. Dan pastikan satu hal, Imelda harus ada, bukan cuma manajernya!‖
Cakka mendongak menatap Damara yang berdiri marah di depannya, heran mengapa Damara menjadi semarah itu.
―Sebenarnya, ada apa sih kamu sama Imelda? Aku nggak ngerti! Kemarin kerja sama kalian masih oke, tapi tiba-tiba sekarang jadi kayak gini. Kenapa sih, Mar?‖
―Kamu nggak bakal ngerti, Kka... Sekarang bilang aja ke mereka, aku mau ketemu sama Imelda sore ini,‖ tegas Damara.
***
Damara duduk di depan Imelda dan manajernya, di kafe milik Rio. Entah cara apa yang dilakukan Cakka hingga berhasil mendatangkan Imelda ke kafe untuk menemui Damara. Terserahlah, Damara tidak begitu memusingkannya. Yang penting sekarang Imelda sudah duduk di depannya.
Damara lebih banyak diam, hanya lebih sering berusaha menatap mata Imelda yang disembunyikannya di balik kacamata besar berwarna gelap.
―Kita di sini bukan hanya untuk minum kopi dan diam, kan?‖ kata Imelda setelah hampir setengah jam tidak ada yang bersuara. ―Atasan Anda bilang, Anda ingin menemui saya sebelum semua berkas hukum saya beralih pada pengacara pengganti. Kalau Anda hendak mendiskusikan sesuatu, lakukanlah dengan cepat. Saya tidak punya banyak waktu.‖
Imelda kembali menunjukkan keangkuhannya di depan Damara, seperti awal mereka berkenalan. Tapi keangkuhan Imelda kali ini dirasa Damara gak keterlaluan, bahkan manajer Imelda pun dibuat tercengang dengan sikap Imelda. Kata ―Anda‖ yang dulu terdengar biasa saja, kini terdengar begitu getir di telinga Damara.
―Oke, kalau memang Anda tidak punya banyak waktu...‖ Damara memaksimalkan kesabarannya, ―saya hanya ingin bertanya, apa alasan Anda meminta pengacara pengganti? Padahal kasus perceraian Anda sudah sejak awal saya tangani.‖
―Jawabannya simpel, saya hanya ingin kasus saya ditangani orang yang kompeten,‖ jawab Imelda santai.
―Maksud Anda, saya tidak kompeten dalam menangani kasus Anda selama ini?‖ sergah Damara, tidak percaya alasan yang dikemukakan Imelda.
―Mungkin penilaian kita tentang itu berbeda... Saya hanya mau kasus saya ditangani pengacara yang memiliki reputasi baik, yang tidak punya catatan hitam sama sekali. Dengan kata lain, pengacara yang bermoral baik!‖
Damara terperangah dan langsung menatap Imelda dengan tajam. Ingin sekali Damara mencopot kacamata yang dipakai Imelda agar ia bisa melihat sorot mata Imelda. Jika dugaannya benar tentang alasan Imelda ini, pasti alasan yang sama pula yang menjelaskan semua perubahan sikap Imelda. Damara ingin meyakinkan diri dan mengetahui kejujuran Imelda lewat sorot matanya.
―Oke, saya rasa semuanya sudah cukup jelas. Besok saya mau pengacara pengganti yang datang ke pengadilan menemani saya... Permisi.‖ Tanpa memberikan kesempatan pada Damara untuk bertanya, Imelda mengajak manajernya meninggalkan meja kafe.
―Bisa saya minta waktu Anda sebentar? Saya ingin kita bicara berdua sebelum Anda pergi,‖ pinta Damara, sebagai usaha terakhir untuk mendapat jawaban yang pasti.
Imelda berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya, kembali menghadap pada Damara.
―Kalau begitu Mbak jalan duluan ke mobil,‖ kata manajer Imelda, sebelum berjalan meninggalkan Imelda keluar kafe.
Dengan ekspresi enggan harus kembali menghadapi Damara, Imelda duduk di kursi yang tadi didudukinya. Berusaha santai ddengan menyilangkan kedua tangan halusnya di atas meja.
―Apa lagi yang mau Anda bicarakan?‖ tanya Imelda datar.
Damara tidak langsung membeberkan semua pertanyaan yang menjejali otaknya, terlalu takut dengan jawaban Imelda, takut kalau dugaannya selama ini benar adanya.
―Mau nanya kenapa aku menghindar dari kamu?‖ Imelda mendului Damara. ―Itu kan yang mau kamu tanyakan?‖ katanya, kembali ber-aku-kamu.
Damara mengangguk membenarkan. Ia tidak tahu apa yang sedang merasuki Imelda sekarang. Yang jelas, semua hal yang dilakukan Imelda dan semua yang telah dan akan dikatakan Imelda selanjutnya membuat nyali Damara menciut.
―Ya, aku memang ingin tahu alasan perubahan sikap kamu ke aku.‖
Senyum sinis tiba-tiba mengembang di wajah Imelda.
―Oke, memang tidak ada gunanya menunda terlalu lama... Aku juga ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan selama beberapa hari ini.‖
―Kamu bisa segera mengatakannya,‖ kata Damara tenang di tengah rasa gelisahnya.
―Rasa sakit di sini yang membuat segalanya harus berubah,‖ kata Imelda seraya menyentuh dadanya dengan sebelah tangannya. ―Rasa sakit karena kecewa, marah, dan sedih saat menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang menyatakan ketulusan cintanya ternyata tak lebih dari pembohong.‖
Imelda melepaskan kacamata yang ternyata digunakan untuk menutupi mata sembapnya, lalu menatap Damara dalam-dalam. Damara membatu, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan dikatakannya saat semua yang ditakutinya bergerak menjadi nyata.
―Menyakitkan ketika aku tahu siapa kamu sebenarnya dan siapa Anggun Damariva. Tapi yang lebih menyakitkan, saat aku harus memikirkan bahwa ketulusan kamu hanyalah cara mendapatkan mangsa lain setelah bosan dengan Anggun!‖
Damara menggeleng pucat. ―Kamu salah, Mel... Aku nggak pernah punya niat sejahat itu pada kamu, selama ini aku...‖
Imelda mengangkat tangannya, menghentikan semua penjelasan yang hendak keluar dari mulut Damara, ia tidak ingin mendengarnya lagi.
Damara frustasi, ia ingin meluruskan semua anggapan yang melenceng di pikiran Imelda, ia ingin Imelda mengerti yang sebenarnya.
―Di sini aku hanya mau memberi penjelasan, bukan mau mendengar pembelaan... Kalau kamu mengira aku bisa dijadikan pengganti Anggun Damariva atau entah siapa lagi wanita pelanggan kamu, kamu salah! Mulai detik ini aku nggak mau lagi berhubungan dengan lakilaki yang rela menukar hati dan tubuhnya dengan uang!‖
Imelda bangun dari kursinya dan memakai kembali kacamatanya sebelum pergi meninggalkan Damara. Pengacara itu terdiam seperti baru saja dihantam badai yang tidak mencederai tubuhnya tapi melukai hatinya.
Damara tidak menyangka akan seperti ini akhirnya. Hal yang paling ditakutkannya saat mencintai seseorang akhirnya terjadi juga. Saat ia begitu bahagia merasakan cinta yang sesungguhnya, ternyata cinta itu harus pergi dengan cara yang menyakitkan. Andai dulu ia tidak mengikuti kata hatinya dan tidak membiarkan rasa cintanya pada Imelda terus membuai, tentu kenyataan ini tidak akan begitu melukai.
Sekarang, apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki semuanya? Tidak ada.
***
Untuk kesekian kalinya Anka melihat jam dinding di ruang tengah, sudah hampir jam sepuluh malam, tapi baik Danu maupun Damara belum pulang juga. Ini di luar kebiasaan, terutama Danu. Selama ini ia tidak pernah meninggalkan rumah sampai selarut ini. Anka sudah berkali-kali mencoba menghubungi Danu, tapi handphone-nya tidak aktif. Begini rupanya kalau dua laki-laki bersaudara sedang bertengkar, masing-masing enggan untuk bertemu. Bagus juga sih, mencegah terjadinya pertengkaran lanjutan yang akan memperburuk masalah, tapi tidak bagus bagi orang yang mengkhawatirkan keadaan mereka, orang yang bertanya-tanya di mana mereka sekarang.
Duduk, berdiri, menyalakan TV, mematikannya lagi, sudah bosan dilakukan Anka selama menunggu Danu dan Damara kembali. Anka sadar sepenuhnya ia tidak perlu mengkhawatirkan keduanya, sebab baik Danu maupun Damara sudah cukup dewasa untuk menerima kekhawatiran berlebihan. Danu mungkin menginap di rumah Andro, Damara mungkin tidur di kantornya karena harus menyelesaikan pekerjaan hingga larut malam. Tapi bagaimanapun, Anka tetap mencemaskan keduanya. Ia sudah mencoba tidur, tapi hasilnya ia tidak henti-henti melihat ke arah jam dinding dan jendela.
Hampir jam dua belas malam saat Anka mendengar suara mobil masuk ke garasi rumah. Anka segera keluar dari kamarnya dan menyalakan lampu ruang tengah.
Saat Anka melihat ke luar lewat jendela, Damara terlihat berjalan agak limbung menuju pintu depan. Sepertinya Damara setengah sadar, ini semakin jelas terlihat saat Damara mendorong pintu tubuhnya langsung terhuyung hingga ia harus memegang tembok agar tetap bisa berdiri.
Anka mulai merasa ada yang tidak beres dan segera menghampiri Damara.
―Kak Damara...? Kakak kenapa?‖
Damara mendongak menatap Anka, senyum kecil tersungging dengan aneh di wajah lusuhnya.
―Anka... kamu belum tidur?‖ tanya Damara dengan suara dalam yang aneh.
―Saya terbangun denger suara mobil Kak Damara,‖ jawab Anka sedikit berbohong, matanya terus menatap khawatir pada Damara yang sepertinya untuk berdiri tegak saja kesulitan.
Damara mengangguk sekenanya, dan berusaha melanjutkan langkah limbungnya. Namun baru berapa langkah saja gerakan tubuhnya sudah tidak bisa terkontrol. Cepat-cepat Anka memegang lengan Damara, mencegah agar Damara tidak terjatuh.
―Saya bantu ya, Kak.‖
Anka memapah tubuh Damara yang samar-samar tercium bau alkohol dan mendudukkannya di sofa ruang tengah.
―Sebentar, saya ambilkan air hangat untuk Kakak.‖
―Terima kasih, Ka... Maaf membuat kamu repot,‖ kata Damara parau.
Anka mengangguk pelan, lalu berjalan menuju dapur untuk membuatkan segelas teh manis hangat yang mungkin bisa membuat Damara merasa lebih baik. Banyak alasan yang membuat Damara pulang dalam keadaan mabuk begini, pertengkarannya dengan Danu pasti salah satu di antaranya.
Saat Anka kembali ke ruang tengah dengan segelas teh hangat, Damara sudah tertidur, kepalanya terkulai lemas di lengan sofa. Anka meletakkan gelas teh yang dibawanya di atas meja, lalu mendudukkan dirinya di lantai, tepat di depan sofa yang ditiduri Damara.
Belum pernah Anka menatap Damara selekat dan sedekat ini. Ada rasa aneh yang dirasakan Anka, jantungnya seperti berdetak tak keruan membuat perasaannya campur aduk. Wajah Damara menyiratkan begitu banyak kepedihan yang disembunyikan di balik ketegaran yang selama ini ditampilkannya. Anka sangat mengenali raut wajah seperti itu, karena sudah berbulan-bulan ia melihatnya di pantulan cermin. Dan benar dugaan Anka, tak berapa lama ia melihat setitik air mata mengalir pelan dari mata terpejam Damara.
Anka menggerakkan tangannya mendekati wajah Damara, agak ragu menyeka lembut air mata yang mengalir ke pipi Damara. Apa yang dialami Damara pasti bukan hal sepele hingga membuatnya terpuruk seperti ini. Damara pasti kelewat sedih sampai-sampai saat ia tidak sadar pun kesedihan itu tetap bisa dirasakannya.
Sekali lagi Anka menyentuh wajah Damara. Seolah-olah dengan sentuhan itu ia bisa merasakan kesedihan yang sekarang sedang dirasakan Damara. Andai saja ia bisa selalu ada seperti sekarang ini setiap kali Damara merasa sedih, pasti ia akan sangat bahagia dan merasa berharga. Seperti memuaskan dahaga atas perasaan anehnya pada Damara yang entah sejak kapan hadir, dan pelan-pelan semakin terasa nyata. Perasaan yang baru kali ini dirasakan Anka.
Sementara Anka membiarkan perasaan anehnya menemukan aliran yang tepat malam ini, Danu berdiri beberapa meter di depan Anka, di balik pintu yang belum sepenuhnya tertutup. Terdiam saat melihat apa yang ditakutkannya selama ini menjadi begitu nyata.
***
- 20 -
WARTAWAN-WARTAWAN yang haus berita langsung menyerbu Imelda saat baru keluar dari ruang persidangan, memberondong dengan berbagai macam pertanyaan.
―Mbak Imelda, apa alasan Mbak mengganti kuasa hukum yang menangani kasus perceraian Mbak? Apa benar rumor yang mengatakan Mbak punya hubungan spesial dengan pengacara sebelumnya?‖
Tidak ada satu kata pun yang diberikan Imelda untuk menjawab semua pertanyaan dari para wartawan infotainment itu. Bersama manajernya Imelda menerobos kerumunan wartawan dibantu beberapa aparat keamanan pengadilan yang membuka jalan di tengah kerumunan agar Imelda bisa bergerak menuju mobilnya.
Imelda mengenyakkan diri di sandaran kursi belakang mobilnya, menutup kaca mobil agar para wartawan berhenti mengarahkan kamera dan mengajukan pertanyaan yang sama padanya.
―Wartawan-wartawan itu makin gila,‖ kata manajer Imelda saat mobil mereka sudah berjalan meninggalkan kantor pengadilan. ―Untuk sementara jangan bikin berita apa-apa dulu deh. Gosip skandal kamu belum benar-benar teredam, kamu sudah memicu berita lain dengan mengganti pengacara. Pokoknya Mbak nggak mau kamu buat keputusan gila lagi yang akan memunculkan gosip baru.‖
―Bukannya bagus? Semakin sering aku masuk infotainment, semakin dikenal banyak orang, bukan? Bahkan dulu, saat aku baru memulai karier, Mbak merekayasa gosip untuk membuat aku dikenal orang, kan?‖ timpal Imelda dingin.
―Sekarang beda, Mel, kamu sudah cukup terkenal tanpa gosip-gosip murahan itu... Berhentilah bersikap aneh, semua hal yang kamu perbuat sudah bikin banyak orang jengah.‖
Imelda menatap tajam pada manajer yang duduk di sampingnya. Inikah fungsi manajer saat artisnya sedang melewati banyak masalah? Seperti inikah kata-kata yang harus didengar dari orang yang selama ini menyatakan diri sebagai orang yang terdekat dan paling peduli pada dirinya?
―Kita langsung ke lokasi pemotretan, Pak,‖ manajer Imelda memberi instruksi pada sopir.
―Jangan, Pak! Kita balik ke apartemen,‖ ralat Imelda tegas.
Manajer Imelda menatap marah. ―Apa lagi sih, Mel? Hari ini kita ada pemotretan untuk majalah.‖
―Aku mau balik ke apartemen. Sekarang!‖ tegas Imelda.
―Nggak bisa dong, Mel, kita sudah sepakat, kan? Mereka bisa marah nanti, dan mungkin akan meminta ganti rugi.‖
―Aku bisa ganti, berapa pun yang mereka minta.‖
Manajer Imelda menghela napas putus asa. Dari raut wajahnya Imelda bisa melihat ketidakpercayaan di wajah manajernya. Mungkin selama ini manajernya mengira Imelda tidak akan pernah bisa membangkang, tidak bisa mengatakan ―tidak‖ untuk semua saran, perintah, dan jadwal yang harus dijalaninya.
Tapi Imelda yang sekarang adalah Imelda yang sudah sangat lelah menjadi robot, menjadi apa yang mereka kehendaki. Imelda yang sudah tidak ingin tersakiti lagi.
***
―Kopi lo, Mar,‖ kata Rio sambil meletakkan secangkir cappucino yang dipesan Damara.
―Thanks, Yo, tumben manajer sibuk kayak lo nganterin pesenan sendiri.‖
―Kebeneran aja gue lagi nggak ada kerjaan. Lagian gue kasihan liat lo duduk di sini malemmalem sendirian. Dan... juga gue lagi nyari tambahan, gue bisa jadi temen ngobrol kalo lo ngasih tip.‖
Damara tersenyum lebar menanggapi candaan temannya ini.
Setelah tawa Rio reda, ia mulai menatap serius ke arah Damara. ―Gue makin prihatin ngeliat muka lo, Mar. Dari hari ke hari gue perhatiin makin kusut aja, kayak orang nggak tidur tiga hari. Kenapa sih, Mar? Lo masih belum baikan sama Danu?‖
Damara mengulas senyum getir di bibirnya, terlalu banyak hal yang menyebabkan hidupnya terasa melelahkan, sampai-sampai ia sendiri tidak tahu mana yang membuatnya paling lelah.
―Udahlah, Yo, gue udah terlalu akrab sama berbagai masalah. Kalo gue nggak punya masalah, itu baru aneh...‖
―Eh, tadi sore gue liat di infotainment, Imelda ganti pengacara ya? Kok bisa gitu sih, Mar?‖
―Bisa aja, Yo, kalau dia udah nggak mau pake gue, ya... gue nggak bisa apa-apa,‖ jawab Damara sekenanya. ―Klien punya hak untuk ganti pengacara.‖
―Gue masih nggak ngerti kenapa dia harus ganti lo sama orang lain, padahal belakangan gue nyangka gosip kalian punya hubungan spesial itu bener...‖
―Namanya juga hidup, semua bisa berubah drastis kalau memang diharuskan berubah.‖
―Jadi bener lo punya hubungan sama Imelda?!‖ tanya Rio mendekatkan dirinya pada Damara dengan penuh keingintahuan.
―Sekarang udah nggak. Dia malah jadi orang yang paling benci sama gue,‖ jelas Damara lalu menghela napas lelah.
―Alasannya apa? Kenapa dia sampe benci sama lo?‖
Damara tidak langsung menjawab, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menceritakan semuanya pada Rio. Sebab untuk mengungkapkan alasan sebenarnya, ia harus mengakui masih berhubungan dengan Anggun. Dan itu pasti akan mengecewakan Rio, sahabat yang selama ini tidak henti-henti mengingatkannya untuk tidak lagi berhubungan dengan Anggun.
―Banyak... terlalu banyak alasan untuk membenci gue,‖ kata Damara lirih. ―Lagi pula gue ngerasa nggak pantes buat dia, Yo.‖
―Kok gitu?! Gue ngerasa nggak ada yang salah sama lo. Karier oke, kehidupan lo juga udah mapan.‖
Damara terdiam, bayangan Imelda saat mengatakan tidak ingin menyewa pengacara yang tidak bermoral tercetak jelas di benak Damara. Tatapan jijik Imelda saat mengatakan tidak mau berhubungan dengan laki-laki yang rela menukar hati dan tubuhnya demi uang telah menohok jantung Damara dan membuat hatinya mendadak kosong.
***
Banyak hal yang membuat Damara enggan pulang lebih awal dan memilih berlama-lama di kantor, mengerjakan apa pun yang bisa dikerjakan termasuk membereskan ruang kerjanya. Bukan hanya perseteruannya dengan Danu yang menyebabkan Damara merasa perlu menyibukkan diri, ada banyak alasan yang mengharuskan Damara untuk selalu bekerja. Damara menduga ia bisa gila kalau tidak mencari pelarian yang tepat dari semua masalah yang tengah memenuhi kepalanya.
Damara tidak akan membiarkan dirinya terpuruk, meratapi, menyesali, atau bahkan menyalahkan keadaan atas apa yang sedang dirasakannya. Ia tidak ingin kembali menjadi Damara yang lemah, walaupun sebenarnya sangat ingin menyandarkan tubuhnya pada seseorang yang dengan senang hati mendengar semua keluh-kesahnya, sejenak saja. Andai saja seseorang itu ada...
Handphone di saku kemeja Damara bergetar ketika ia tengah merapikan buku-buku yang menumpuk di atas meja kerjanya. Damara mengeluarkan handphone dari sakunya, dan begitu terkejut saat melihat nama Imelda terpampang. Merasa antara senang dan khawatir, Damara menekan tombol answer.
―Ya, halo...‖ kata Damara datar berusaha menutupi rasa senangnya. Tapi bukan suara Imelda yang terdengar di telinganya, melainkan suara seorang laki-laki asing yang langsung mengatakan ia menghubungi nomor Damara karena nomor teleponnya berada di urutan pertama recent calls di handphone Imelda.
―Iya, betul saya kenal dengan pemilik nomor ini... Ada apa? Kenapa Mas yang menelepon saya?‖ tanya Damara heran, sekaligus khawatir.
Laki-laki di telepon mengatakan Imelda mabuk berat di sebuah karaoke dan sekarang nyaris tak sadarkan diri. Laki-laki itu kemudian berinisiatif menelepon orang yang dikenal Imelda agar membantu membawanya pulang.
―Oke, saya segera ke sana! Bisa saya minta tolong? Sebisa mungkin jangan sampai ada yang tahu lagi keberadaan Imelda di sana... Terima kasih sebelumnya.‖
Damara memasukkan handphone ke sakunya. Tanpa berpikir panjang, ia segera keluar dari ruang kerjanya. Ia harus segera datang untuk Imelda, entah apa yang akan terjadi kalau ia tidak cepat-cepat membawa Imelda pergi dari tempat itu.
Tiga puluh menit mengendarai mobil dengan kecemasan, akhirnya Damara sampai juga ke tempat karaoke yang disebutkan lelaki di telepon tadi. Karaoke tersebut diapit dua bar kecil yang pintunya tak pernah berhenti terbuka dan tertutup saat orang-orang setengah mabuk melewatinya sambil menggandeng pasangan yang mungkin baru mereka temui di dalam bar. Damara mempercepat langkahnya. Entah apa yang membawa Imelda sampai ke tempat seperti ini, padahal tempat ini terlalu berbahaya untuknya.
Damara berjalan di koridor temaram menuju ruangan karaoke yang disewa Imelda, beberapa kali berpapasan dengan pengunjung karaoke yang tidak sepenuhnya sadar, bahkan berpapasan dengan pasangan yang tak segan-segan berciuman di koridor. Mengabaikan semua pemandangan yang ia temui, Damara mulai mencari kamar nomor 23 tempat Imelda berada. Damara langsung mendorong pintu berplakat kuningan yang sudah usang, matanya langsung mencari sosok Imelda di ruangan berpenerangan temaram.
Damara menemukan Imelda menelungkup di atas sofa dengan posisi yang aneh, botol-botol minuman keras berserak di atas meja.
―Mel... kamu nggak apa-apa, Mel?‖ Damara menepuk pelan pipi Imelda.
Imelda bergerak pelan, perlahan membuka mata dan menatap linglung ke sekeliling ruangan. Hingga akhirnya tatapan Imelda jatuh pada Damara yang menunduk di depannya.
―Ini sih udah kelewat mabok, masa sekarang gue lihat dia,‖ kata Imelda terkikik lalu menggeleng-geleng seakan meragukan sendiri penglihatannya. ―Gue bisa lihat dia!‖
Tawa Imelda nyaring, sampai-sampai ia menelungkup kembali di sofa untuk menahan tawa gelinya.
Damara merasakan dadanya nyeri melihat kondisi Imelda seperti ini. Ya Tuhan... mengapa Engkau menghukumku dengan membuatku harus menyaksikan wanita yang kucintai seperti ini? ratap Damara dalam hati.
―Bangun, Mel... Aku antar kamu pulang sekarang,‖ kata Damara parau.
Mendengar suara Damara, Imelda menghentikan tawanya. Matanya yang memerah menyipit menatap Damara, berusaha mengumpulkan kesadarannya.
―Kamu betulan ada di sini?‖
―Iya, aku mau jemput kamu,‖ kata Damara dengan sabar. ―Ayo pulang, tidak baik kamu berada di sini.‖
Damara meraih tangan Imelda bermaksud menuntun Imelda keluar, tapi Imelda menyentakkan tangannya dengan kuat dari tangan Damara.
―Aku nggak minta orang seperti kamu datang ke sini,‖ kata-kata dingin itu kembali terdengar. ―Aku nggak mau pulang sama kamu!‖
―Tolong, Mel, jangan mempersulit keadaan. Tempat ini terlalu berbahaya untuk kamu.‖
―Bahaya...? Bukannya ini tempat orang-orang seperti kamu berada? Tempat kalian menawarkan jasa? Kamu nggak bermaksud bilang orang-orang seperti kamu berbahaya, kan?‖
―Tolong, Mel...‖ desah Damara, rasanya ia sudah tidak tahan mendengar semua hinaan Imelda.
―Tolong untuk apa?! Tolong supaya aku berhenti mengatakan semua fakta tentang kamu?‖ tantang Imelda. ―Kenapa? Kamu merasa sakit mendengarnya?‖
Dengan menekan kemarahannya akibat hinaan Imelda, Damara membopong tubuh Imelda, memaksanya meninggalkan tempat ini.
―Lepasin! Apa-apaan kamu... Lepasin!‖ Imelda meronta kuat, memukul tubuh Damara yang terjangkau olehnya, membuat Damara terpaksa harus melepaskannya.
Imelda berusaha menegakkan tubuhnya yang sempoyongan, menatap marah pada Damara sebelum melayangkan tamparan keras.
―Jangan pernah sentuh aku dengan tangan kotormu! Salah kalo kamu kira aku wanita yang bisa kamu bodohi!‖ tandas Imelda sengit.
Damara mengusap pipinya yang baru saja ditampar Imelda. Terasa panas dan begitu nyeri. Tapi ucapan Imelda membuat tamparan itu jauh lebih menyakitkan.
―Kamu sebaiknya pergi! Pergi saja ke tempat wanita yang selama ini memberikan apa yang kamu mau. Atau merayu wanita lain supaya kamu bisa dapat lebih banyak... Seperti apa sih cara kamu merayu mereka?‖
Cukup! Rasanya Damara tidak sanggup lagi menahan kemarahannya. Yang ingin ia lakukan sekarang ini hanya membuat Imelda berhenti bicara. Damara meraih tubuh Imelda, mendorong tubuh wanita itu ke sofa dan mencium bibirnya dengan kasar. Damara bisa merasakan Imelda meronta kuat berupaya melepaskan diri darinya, tapi sekuat apa pun Imelda meronta Damara tidak ingin semudah itu melepaskannya. Ia ingin Imelda berhenti menghinanya, ia ingin Imelda berhenti menyakitinya.
―Seperti itu cara aku merayu! Seperti itu cara aku mendapatkan uang,‖ kata Damara keras, setelah akhirnya ia melepaskan Imelda. ―Kalau kamu mau bayar aku, kita bisa melakukan lebih dari ini!‖
Imelda menunduk, tubuhnya bergetar hebat. Air matanya menetes pelan ke tangan pucat di pangkuannya. Ada penyesalan menyelinap di batin Damara sekarang, ia sudah membuat Imelda begitu ketakutan dengan apa yang dilakukannya. Harusnya ia bisa mengontrol kemarahan dalam dirinya, seharusnya apa pun yang dikatakan Imelda untuk menyakitinya, ia tidak membuat wanita yang ia cintai seperti ini.
Dengan kemarahan yang seketika berubah menjadi penyesalan, Damara duduk kembali di samping Imelda, menatapnya dengan perasaan tidak keruan.
―Maaf, Mel, aku nggak bermaksud kasar sama kamu... Aku hanya nggak bisa mengontrol diriku,‖ kata Damara, dengan hati-hati ia coba merangkulkan tangannya ke tubuh gemetar Imelda.
―Kamu menyakiti aku, Mar... terlalu dalam kamu menyakiti aku...‖ Suara parau Imelda bercampur isak tangis, menghentikan gerak tangan Damara. Ia kembali menarik tangannya.
Imelda mendongak, dengan tatapan nanarnya ia mengunci pandangan Damara, tatapan yang baru kali ini dilihat Damara dari Imelda. Sorot mata Imelda mengisyaratkan begitu banyak luka, penuh rasa sakit. Sampai-sampai Damara ingin membunuh orang yang sudah membuat wanita yang dicintainya seluka ini, tapi itu berarti harus membunuh dirinya sendiri, bukan?
―Aku mau keluar dari sini,‖ kata Imelda tiba-tiba. Mengejutkan Damara.
Imelda bangun dari sofa, mengusap air mata, dan menghela napas dalam.
―Aku antar kamu,‖ kata Damara segera bangun dari sofa.
―Nggak perlu. Aku bukan wanita lemah yang butuh bantuan kamu,‖ tegas Imelda, tanpa menatap Damara, ia memakai kacamata hitamnya lalu menyambar tasnya dari atas meja.
Tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membuat Imelda mengerti dan membiarkannya membantu, Damara membiarkan Imelda berjalan meninggalkannya. Namun baru beberapa langkah saja, Damara melihat Imelda terhuyung, nyaris terjatuh. Damara refleks menangkap tubuh Imelda tepat sebelum jatuh menghantam lantai.
Tubuh Imelda melemah. Mata di balik kacamata gelap yang dilepaskan Damara terpejam. Setelah melepaskan jaket yang dipakainya untuk menutupi tubuh Imelda yang berpakaian agak terbuka, Damara segera membopong tubuh lemah Imelda.
***
Anka duduk di samping Danu, di sofa ruang tengah. Untuk pertama kali setelah mendengar pertengkaran antara Danu dan Damara, Anka mencoba memosisikan diri sebagai teman terbaik, yang siap mendengarkan segala keluh-kesah Danu.
―Ngapain, Nu?‖ Anka mengumumkan keberadaannya pada Danu yang sedang menunduk serius membaca buku tebal. ―Baca buku apaan?‖
―Bahasa Prancis, besok gue ulangan,‖ jawab Danu tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang tengah dibacanya.
Anka mengangguk singkat, bingung harus melanjutkan apa untuk mulai bicara tentang Danu dan kakaknya.
―Kak Damara belum pulang, dia lembur lagi ya, Nu?‖ tanya Anka di tengah kebingungannya harus mengatakan apa.
―Mana gue tahu,‖ cetus Danu sinis.
Anka terdiam. Rupanya ia salah menanyakan hal itu kepada Danu. Baru kali ini Anka melihat Danu sesinis ini bahkan selama bicara dengannya Danu sama sekali tidak melihat ke arahnya. Entah ini perasaannya saja atau memang benar adanya, Anka merasa ada yang berubah pada sikap Danu belakangan ini. Danu seperti tidak nyaman berada di dekatnya, sepertinya selalu menghindar.
―Lo kenapa sih, Nu? Gue ada salah ya sama lo?‖ tanya Anka akhirnya.
―Nggak ada yang salah. Gue lagi nggak pengin diganggu aja, Ka,‖ jawab Danu, lagi-lagi tanpa menatap Anka.
―Jadi gue ganggu lo nih?‖
―Bukan gitu. Gue cuma lagi pengin sendiri... Boleh, kan?‖
Anka menatap tidak percaya ke arah Danu. Entah apa yang sedang dipikirkan Danu, Anka benar-benar tidak bisa mengerti. Dulu, saat ia menutup diri akibat kematian ayahnya, Danu mengatakan bahwa ia harus membagi apa yang dirasakannya agar orang-orang yang peduli padanya dapat menunjukkan kepedulian mereka. Tapi lihat yang dilakukan Danu sekarang, ia malah menolak berbagi apa yang sedang dirasakannya pada orang yang selama ini disebutnya sebagai sahabat.
―Lo nggak mau cerita tentang apa yang lo rasain ke gue? Artinya lo udah nggak percaya lagi sama gue,‖ tandas Anka. Menatap tajam ke arah Danu.
Danu bergerak serbasalah, seakan bingung apa yang harus dikatakannya pada Anka. Danu menutup buku yang sedari tadi seakan-akan menjadi pusat perhatiannya. Akhirnya tanpa pilihan ia membalas tatapan Anka.
―Nggak kayak gitu, Ka... Gue... gue nggak bisa cerita apa yang gue rasain ke lo.‖
―Emang kenapa? Kenapa lo nggak bisa cerita sama gue, padahal selama ini lo selalu cerita semuanya sama gue, soal sekolah, Kak Damara, bahkan soal keadaan ayah lo di Bandung lo cerita semuanya. Kenapa sekarang nggak bisa?‖
Danu berdiri dan menghela napas panjang, lelah dengan perdebatan ini.
―Gue nggak mau bikin semua masalah yang ada jadi tambah ribet.‖
―Maksud lo...?‖
―Please, Ka, jangan paksa gue cerita,‖ kata Danu datar. Seraya bangun dari sofa. ―Gue mau tidur duluan, besok gue ulangan jam pertama... Kak Damara kayaknya nggak pulang, lo nggak perlu nunggu dia,‖ kata Danu sebelum berjalan meninggalkan ruang tengah.
***
Damara duduk di samping tempat tidur Imelda, matanya menatap lurus dengan tatapan sulit diartikan ke arah Imelda yang terbaring di atas tempat tidurnya. Damara mengusap pelan pipi Imelda, perasaan menyiksa ini mulai terasa lagi dan menyesakkan dadanya.
Imelda bergerak gusar dalam ketidaksadarannya, membalik-balikkan tubuhnya seakan mencari posisi yang nyaman. Damara menyibakkan rambut Imelda yang menutupi wajahnya, tepat saat mata terpejam Imelda merembeskan setetes air mata.
Rasa sakit di dada Damara makin terasa begitu menyiksa. Ya Tuhan... apa yang telah dilakukannya, sampai-sampai membuat wanita ini begitu menderita? Apa sesulit ini arti mencintai untuk orang-orang seperti dirinya? Kalau memang benar orang seperti dirinya tidak pantas untuk dicintai dan mencintai, mengapa ia ditakdirkan merasakannya?
Damara menghapus pelan air mata yang mengalir di pipi Imelda, berharap Imelda bisa merasakan penyesalannya. ―Maafin aku, Mel. Aku nggak nyangka kalau perasaanku padamu justru menyakiti kamu... Aku cinta kamu, Mel... hanya itu yang bisa aku katakan.‖
Damara bangun dari kursi yang didudukinya, membalikkan tubuhnya untuk beranjak pergi setelah merapikan selimut yang menutupi tubuh Imelda.
Damara berlalu tanpa tahu sebenarnya Imelda mendengar semua yang dikatakannya, tanpa melihat air mata yang mengalir di pipi Imelda lebih dari satu tetes yang dihapusnya.
***
―Gue harus ke Bandung, Ndro,‖ tegas Danu, saat ia mengeluarkan ransel besar dari lemari pakaiannya.
―Wah, jangan gila lo, Nu! Kak Damara kan bilang lo nggak boleh ke sana,‖ kata Andro, terkejut dengan keputusan tak terduga Danu. ―Nu, lo mana bisa pergi...‖
―Kenapa nggak bisa? Emang kalo tanpa izin Kak Damara, lo pikir gue nggak berani pergi... Lo salah, Ndro, gue udah cukup dewasa buat nentuin apa yang mau gue lakuin dalam hidup gue sendiri.‖ Mata Danu menatap tajam ke arah Andro, seakan ingin menunjukkan pada Andro bahwa ia juga memiliki hak memutuskan apa yang harus ia lakukan. Danu melempar beberapa potong baju yang diambil dari lemari ke atas tempat tidur lalu memasukkannya dengan asal ke dalam ranselnya.
―Gue tahu lo berhak membuat keputusan apa aja di hidup lo. Tapi, Nu... lo harus inget kita Ujian Nasional sebulan lagi... Lo salah kalo ngelakuin ini semua karena ngikutin emosi.‖
―Apa lo bilang?!‖ refleks Danu membanting keras pintu lemari, membuat Andro yang berdiri tepat di samping lemari terperangah kaget. ―Lo bilang gue ngambil keputusan ini gara-gara gue emosi?!‖
―Bukan gitu, Nu... Maksud gue...‖
―Hampir tiap malam gue selalu ngebayangin gimana keadaan ayah gue di sana... dia sakit, Ndro! Sendirian, nggak bisa ngapa-ngapain. Apa menurut lo gue cuma nurutin emosi buat nemuin dia?!‖
Danu mendudukkan dirinya di atas tempat tidur, menghela napas dalam sebelum menundukkan kepalanya dengan lesu.
―Gue takut kalo ayah gue kenapa-napa, Ndro... walaupun dia pernah jahat sama gue, dia tetap ayah gue dan gue tetap peduli sama dia,‖ kata Danu parau.
Andro duduk di samping Danu, menepuk pelan bahu sahabatnya itu.
―Gue ngerti apa yang lo rasain, Nu,‖ bujuk Andro. ―Gue tahu lo pasti khawatir banget sama keadaan ayah lo di sana. Tapi bukan begini caranya. Kalau lo pergi dengan cara kayak gini, lo malah bikin semuanya jadi tambah runyam,‖ jelas Andro. ―Sekarang bisa aja lo pergi nemuin ayah lo, tapi sori, Nu... apa sih yang bisa dilakuin anak SMA kayak lo? Ayah lo nggak cuma butuh perhatian dari anaknya, kan? Dia juga butuh biaya pengobatan. Apa lo bisa sediain? Cuma Kak Damara kan yang mampu ngasih itu semua?‖
Walaupun pahit, Danu harus mengakui apa yang dikatakan Andro memang benar. Tidak ada gunanya ia datang ke sana sendirian, tidak ada yang bisa dilakukannya di sana. Ayahnya tidak butuh sekadar perhatian, dia juga membutuhkan biaya besar untuk kelangsungan perawatannya. Dan sekali lagi Danu harus menelan kenyataan bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk itu.
Danu mendesah.
―Sori, Nu, kalo yang gue omongin ke elo terlalu kasar.‖
―Nggak, lo bener kok, buat apa gue ke sana kalo gue nggak bisa kasih apa-apa...‖
Dengan perasaan tidak keruan, Danu mengeluarkan semua pakaian yang tadi dijejalkannya ke dalam ransel, seperti mengeluarkan keinginannya untuk pergi menjauh dari semua hal yang membebaninya.
Tadinya Danu mengira dengan menemui ayahnya di Bandung ia bisa menghilangkan kecemasannya atas kondisi ayahnya, sekaligus belajar menerima kenyataan bahwa gadis yang selama ini begitu dipedulikannya, kini memberikan hatinya pada orang lain. Pada orang yang selama ini begitu dihormati dan dibanggakannya, orang yang selalu memiliki kemampuan untuk mengatasi segala masalah.
*** “Danu itu terlalu baik untuk menerima ajaran tentang kebencian. Sulit bagi Kakak membuat Danu mengerti apa yang Kakak rasakan,” - Damara
***
- 21 -
SIANG ini Damara duduk di kursi di depan meja kerja Cakka. Lima menit lalu Cakka meminta Damara datang ke ruangannya, karena ada klien yang meminta Damara untuk menangani kasus perceraiannya.
―Siapa sih, Kka, klien baruku kesannya spesial banget?‖ tanya Damara, penasaran dengan tingkah Cakka yang mengesankan klien yang akan memakai jasa Damara adalah orang yang istimewa.
―Pokoknya kamu lihat aja entar, soalnya kemarin dia minta supaya aku nggak ngasih tahu kamu siapa dia... Orangnya cantik, Mar! Beruntung kamu setelah lepas dari kasus Imelda malah dapat klien yang nggak kalah cantiknya.‖
―Aku kenal sama orangnya, Kka?‖ tanya Damara lagi.
―Mana aku tahu kamu kenal sama dia atau nggak, tapi yang pasti sih dia kenal sama kamu. Dia langsung minta supaya kamu yang menangani kasusnya.‖
Damara terdiam, berusaha menerka-nerka siapa gerangan calon kliennya. Rasanya ia tidak mengenal ciri-ciri orang seperti yang digambarkan Cakka padanya, terlebih lagi wanita yang akan bercerai.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Damara.
Agni, sekretaris biro hukum mereka, membuka pintu ruang kerja Cakka. ―Permisi, Pak... tamunya sudah datang.‖
―Oke, tolong kamu antarkan dia ke sini.‖
―Baik, Pak.‖
Tidak lama berselang terdengar langkah Agni kembali dengan seseorang yang diyakini Damara sebagai klien yang dimaksud Cakka. Dari dinding transparan ruang kerja Cakka yang sebagian tertutup kerai, Damara melihat sekilas tidak ada yang begitu istimewa dari sosok wanita yang berjalan bersama Agni, terlihat seperti wanita kelas atas biasa.
Baru setelah Agni membawa wanita itu masuk, Damara merasakan aliran darahnya seperti berhenti. Ia nyaris membatu melihat Anggun berdiri dua meter di depannya, dengan senyum yang biasa tersungging di wajahnya.
―Silakan, Mbak Anggun... Maaf ruangannya agak kecil.‖ Cakka mempersilakan Anggun duduk di sofa. ―Ini Damara, yang kemarin Mbak Anggun minta untuk menangani kasus perceraian Mbak.‖
Cakka mengerling ke arah Damara, memberi isyarat agar Damara mendekati mereka. Di tengah keterkejutannya, Damara mendekati Anggun dan Cakka. Seperti biasa Damara melihat Anggun mengulas senyum angkuhnya.
―Ini Mbak Anggun, Mar. Mbak Anggun yang minta kamu sebagai pengacara untuk kasus perceraiannya.‖
Anggun mengulurkan tangannya ke arah Damara. Dengan linglung Damara menggerakkan tangannya dan menjabat singkat tangan Anggun.
―Apa kabar, Mar?‖ sapa Anggun, tetap tidak menghilangkan senyumnya.
―Baik...‖ jawab Damara singkat.
―Oke, kalian bisa pakai ruangan ini untuk mendiskusikan kasusnya... Saya ada meeting di luar. Maaf, Mbak Anggun, saya tinggal ya.‖
Cakka keluar meninggalkan ruang kerjanya setelah menepuk pelan bahu Damara. Meninggalkan Damara berdua dengan Anggun.
―Mau apa kamu ke sini?‖ tanya Damara tegas, setelah akhirnya ia bebas berbicara empat mata dengan Anggun. ―Apa maksud semua ini?‖
―Apa begini cara kamu menghadapi semua klien yang kamu tangani kasus perceraiannya?‖
―Anggun, aku nggak bercanda! Aku serius... Aku mau tahu kenapa kamu bisa ada di sini?‖
Menerima todongan dari Damara, Anggun hanya tersenyum tipis. Ia kembali mendudukkan dirinya dengan santai di atas sofa, seakan menikmati keingintahuan Damara.
―Sama seperti klien-klien kamu yang lain, aku ke sini untuk meminta bantuan hukum untuk perceraianku,‖ jawabnya santai.
―Cerai...?! Apa maksud kamu dengan bercerai?‖ tanya Damara, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. ―Kamu nggak mungkin cerai dengan suami kamu... Itu nggak mungkin kamu lakukan.‖ Damara menggeleng.
―Kenapa? Apa kamu pikir akan selamanya aku nggak berani mengambil keputusan ini?‖ Mata Anggun menatap tajam ke arah Damara, membuat Damara tidak mengerti apa yang benar-benar diinginkan dan direncanakan Anggun kali ini. ―Dulu aku pernah bilang, akan tiba saatnya aku berani melepaskan semuanya. Demi kamu... Dan, sekaranglah saatnya.‖
Damara tercengang. Tidak tahu harus mengatakan apa untuk menanggapi pernyataan Anggun yang mengejutkan. Dulu mungkin ia akan senang menanggapi keputusan Anggun, tapi sekarang ia sudah melupakan keinginannya untuk mendapatkan ketulusan dari Anggun, ia tidak lagi menginginkan apa yang dirasakannya mendapat balasan dari Anggun.
Anggun bangkit dari duduknya, berjalan pelan mendekati Damara yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Perlahan Anggun melingkarkan lengan halusnya ke pinggang Damara, memeluk Damara seraya menyandarkan kepalanya di bahu Damara.
―Aku akan melepaskan semuanya untuk kamu, Mar. Jadi kembalilah padaku... Aku mencintaimu, Mar...‖
Baru kali ini Damara mendengar Anggun mengucapkan kata cinta untuknya. Satu kata yang selama ini nyaris tidak berani diharapkannya dari seorang Anggun, kini didengarnya dengan jelas. Tapi entah mengapa, kata itu sekarang begitu sakit didengar hingga membuatnya begitu lemah.
***
Saat keluar dari ruang karyawan, setelah mengganti pakaian dan bersiap pulang, Anka melihat Damara duduk di salah satu meja kafe. Damara terlihat menyandarkan kepalanya ke sofa yang didudukinya, matanya terpejam dan tampak begitu lelah di mata Anka.
―Mau balik ya, Ka?‖ tanya Nova sambil membawa baki dengan secangkir cappucino di atasnya.
―Iya...‖ jawab Anka singkat. ―Itu pesanan siapa, Mbak?‖
―Mas Damara... repot nih, Mas Damara kebiasaan dateng pas kita mau tutup. Untung ganteng, jadi nggak terlalu bikin kesel,‖ kata Nova setengah menggerutu.
―Sini, Mbak, biar saya yang bawa minumannya ke meja Mas Damara... sekalian saya jalan keluar.‖
―Oh, ya udah... Makasih ya.‖
Anka mengambil baki dari tangan Nova, berjalan menuju meja Damara. Damara sepertinya tidak menyadari ada yang mendatangi mejanya, ia tetap menyandarkan kepalanya ke sofa dengan mata terpejam. Dengan hati-hati Anka meletakkan cangkir cappucino hangat di atas meja Damara.
―Cappucino-nya, Kak,‖ kata Anka setelah meletakkan cangkir cappucino pesanan Damara.
Damara bergerak pelan, dengan linglung ia membuka matanya dan menegakkan duduknya. Matanya memandang tak terarah ke sekeliling kafe yang sudah sepi.
―Maaf, bikin Kakak kaget.‖
Mendengar suara Anka, Damara mengalihkan pandangannya ke arah Anka yang berdiri tepat di samping mejanya.
―Eh, Anka... sori Kakak nggak sadar kamu di sini,‖ kata Damara, tersenyum canggung, seakan malu dengan apa yang dilakukannya. ―Kakak ketiduran sebentar tadi, jadi agak nggak connect.‖ Damara mengusap wajahnya dengan lelah, menghela napas panjang.
―Kamu belum pulang, Ka?‖ tanya Damara, seraya mengangkat cangkir cappucino-nya.
―Abis nganterin cappucino pesenan Kak Damara, saya bisa langsung pulang, Kak,‖ jawab Anka.
―Jadi, jam kerja kamu udah selesai?‖ tanya Damara. Anka mengangguk pelan. ―Kamu nggak keberatan kan kalau duduk sebentar di sini? Nunggu Kakak habisin ini, terus kita pulang sama-sama.‖
Anka mengangguk, lalu duduk di depan Damara dalam diam. Menunggu Damara menghabiskan cappucino-nya.
Tidak berapa lama, Damara bersuara. ―Ayo kita pergi. Keberadaan Kakak pasti sudah cukup lama menahan mereka yang seharusnya sudah pulang,‖ kata Damara seraya melirik ke arah beberapa pelayan kafe yang merapikan meja-meja.
***
Anka dan Damara duduk di salah satu kursi taman yang biasa dilewati Anka menuju halte bus.
―Maaf ya, Ka, kamu jadi nemenin Kakak di sini, padahal kamu pasti capek seharian sekolah terus kerja. Nggak masalah kan kalau kita duduk di sini sebentar sebelum kita ke halte depan cari taksi?‖
―Nggak apa-apa, Kak. Anka biasa pulang jam segini juga, malah biasanya masih harus berebutan naik Metromini.‖
Damara tersenyum kecil, setelahnya ia menghela napas berat. Anka menatap Damara dengan saksama, wajah Damara terlihat begitu lelah, seperti ada begitu banyak masalah yang membebaninya.
―Mau sampai kapan kamu ngelihatin Kakak kayak gitu? Sejak di kafe tadi kamu ngelihatin terus... Tenang, Kakak nggak akan pingsan kok, kalo itu yang kamu khawatirkan.‖
Anka mengerjap kaget mendengar apa yang dikatakan Damara, rupanya dari tadi Damara sudah tahu Anka selalu menatap khawatir ke arahnya.
―Maaf, Kak, Anka cuma...‖
Anka tidak melanjutkan kata-katanya. Akan terdengar konyol kalau ia mengatakan khawatir dengan keadaan Damara. Apa sih yang dikhawatirkan gadis delapan belas tahun atas apa yang membebani pikiran orang dewasa seperti Damara?
Untuk beberapa saat, baik Anka maupun Damara tidak mengatakan apa-apa, mereka hanya diam. Hanya bunyi kendaraan bermotor di jalan raya yang sayup-sayup terdengar di telinga mereka. Angin malam menerpa wajah Anka, terasa sangat menyejukkan. Sekilas Anka melirik ke arah Damara yang hanya diam dengan mata menatap kosong ke depan. Anka bahkan sangsi Damara menyadari dan merasakan semilir angin yang menerpa wajah mereka.
―Andai hidup bisa setenang ini,‖ kata Damara lirih. ―Segalanya pasti akan berjalan baik. Sayangnya, dalam kehidupan sangat sulit menciptakan ketenangan seperti ini.‖
―Alasan Kakak bicara soal ketenangan hidup karena masalah Danu ya?‖ tanya Anka. Tapi tiba-tiba merasa lancang menanyakan hal itu.
―Mungkin itu salah satu alasannya...‖ Sekali lagi Damara menghela napas dengan lelah.
―Kakak tahu Sabtu besok Danu mau pergi ke Bandung? Dia bilang, dengan atau tanpa izin Kakak dia akan tetap pergi.‖
―Bukan Danu namanya kalau tidak melakukan itu... Kakak mengerti benar Danu pasti melakukannya,‖ kata Damara datar, ada nada kecewa dalam kata-katanya. ―Danu itu terlalu baik untuk menerima ajaran tentang kebencian. Sulit bagi Kakak membuat Danu mengerti apa yang Kakak rasakan.‖
―Kakak sama Danu hanya perlu lebih banyak bicara tentang hal ini berdua, saya tahu benar Danu tersiksa, Kak.‖
Damara memutar pandangannya ke arah Anka, sekali lagi mengulas senyum yang entah mengapa selalu berhasil membuat peredaran darah Anka bekerja tidak wajar.
―Kamu satu-satunya orang yang paling mengerti Danu. Tapi harusnya kamu juga tahu bahwa Kakak juga teriksa dengan semua ini.‖ Damara meraih tangan Anka, lalu meletakkannya tepat di dadanya. ―Di sini... rasanya begitu sesak.‖
Anka merasakan sekujur tubuhnya merinding saat tangannya berada dalam genggaman Damara, menyentuh dada Damara. Detak jantung Damara yang dirasakan tangannya seakan membuat jantung Anka bekerja tidak keruan.
Damara melepaskan tangan Anka, mengusap lembut rambut Anka. ―Kamu gadis yang sangat baik, Ka. Danu beruntung punya teman seperti kamu. Kalau saja Kakak punya teman seperti kamu yang mau mengerti semua hal yang Kakak alami, tentu akan sangat menyenangkan... Sayangnya Kakak tidak seberuntung Danu.‖
Damara bangun dari kursi taman, mengembuskan napas kuat-kuat, seakan dengan begitu ia bisa melepaskan semua beban menyesakkan dadanya.
―Ayo kita pulang, sudah malam... Kakak nggak mau kamu kecapekan di sekolah besok.‖
Anka masih diam, masih menelaah apa yang dikatakan Damara tadi. Kalau saja Damara memintanya menjadi orang yang mengerti semua hal yang dialaminya, dengan senang hati Anka bersedia menjadi sosok teman yang dibutuhkan Damara.
―Ayo, Ka...‖ ajak Damara sekali lagi.
Anka mengerjap, segera berdiri dari kursi taman yang didudukinya, tapi masih ada banyak hal yang dipikirkannya.
―Kak Damara... Saya bisa jadi teman Kakak kalo Kakak mau. Kakak bisa cerita apa saja sama saya, seperti Danu.‖
Senyum lebar menghiasi wajah Damara saat mendengar ucapan Anka. Sekali lagi dengan lembut Damara mengusap kepala Anka.
―Terima kasih atas kesediaan kamu, tapi rasanya mungkin kamu tidak akan mau lagi berada di dekat Kakak andai kamu mendengar apa yang Kakak ceritakan... dan Kakak nggak mau ambil risiko itu.‖
***
Kepala Damara yang terkulai membentur kaca pintu taksi yang membawa mereka pulang. Lima menit setelah masuk ke taksi, Damara langsung tertidur. Damara memang terlihat sangat lelah, tidak hanya fisiknya, tapi kelelahan batinnya juga tersirat jelas.
Banyak hal yang tidak dimengerti Anka tentang Damara. Mengapa pula Damara mengatakan bahwa ia mungkin tidak akan mau lagi berada di dekat Damara setelah mendengar cerita Damara? Semua ini begitu membingungkan bagi Anka, apa yang sebenarnya yang sedang dipikirkan Damara? Kalau hanya masalah Danu, tentu Damara tidak akan setertekan ini.
Suara benturan membuyarkan segala macam pertanyaan di kepala Anka. Lagi-lagi kepala Damara membentur pelan kaca pintu taksi. Anka menggeser posisi duduknya, dan dengan hati-hati Anka menyandarkan kepala Damara di bahunya. Wajah Damara begitu dekat sekarang, menimbulkan getaran yang sangat aneh yang sepertinya baru kali ini dirasakan Anka.
***
Sinar matahari pagi yang masuk lewat sela-sela jendela kamar membangunkan Danu pagi ini. Matanya terasa begitu sulit untuk dibuka. Wajar memang kalau Danu kesulitan bangun, karena ia baru benar-benar bisa tertidur pada pukul tiga pagi. Terlalu banyak hal yang membuatnya sulit terlelap dengan tenang semalam, dan yang paling membuat matanya enggan terpejam adalah, ketika untuk kesekian kalinya ia melihat Anka pulang bersama Damara.
Danu duduk di sisi tempat tidurnya, terdiam sebentar seraya benar-benar terbangun dan sadar. Seiring dengan kesadaran Danu, ingatan memenatkan itu kembali memenuhi pikirannya. Sulit untuk mengatakan ia tidak terganggu dengan apa yang ia saksikan. Kedekatan Damara dan Anka membuat Danu merasa ada yang aneh di dalam dirinya.
Sambil menghela napas panjang untuk mengusir semua pikiran memenatkan, Danu menyibakkan selimutnya dan bangun dari tempat tidurnya. Ia tidak punya banyak waktu memikirkan hal-hal seperti itu sekarang. Ia harus menyiapkan diri untuk berangkat ke Bandung hari ini. Seperti yang sudah direncanakannya, ia akan pergi ke Bandung, dengan atau tanpa Damara. Ia sudah terlalu lelah untuk membuat Damara bersedia melupakan semua kebenciannya. Terlalu sulit untuk membuat Damara mengerti kecemasan yang dirasakannya sekarang.
Danu membuka lemari pakaiannya, mengeluarkan beberapa helai pakaian dan ransel yang biasa ia pakai untuk bepergian. Danu melangkah menuju meja belajarnya berniat mengambil beberapa barang, tapi gerakannya langsung terhenti saat melihat amplop putih tergeletak di atas meja belajarnya.
Penasaran, Danu segera membuka amplop itu dan terkejut saat menemukan sebuah kartu ATM di dalamnya dan selembar kertas. Danu membuka lipatan kertas untuk membaca tulisan di atas kertas itu.
Pakai uang ini untuk keperluan kamu di Bandung, termasuk untuk biaya yang mungkin diperlukan orang yang mau kamu temui di sana. Maaf hanya ini yang bisa Kakak lakukan sekarang. Dalam hal ini Kakak masih belum bisa menjadi apa yang kamu harapkan. Lakukan apa saja yang menurut kamu benar. PIN kartu ATM ini sama dengan tanggal ulang tahun kamu.
***
―Ngapain, Nu?‖ tanya Anka, menghampiri Danu yang duduk di teras belakang. ―Pagi-pagi udah bengong di sini.‖
―Eh, Ka... Nggak ngapa-ngapain. Gue lagi mikirin sesuatu aja,‖ kata Danu pelan, tersenyum kaku pada Anka.
―Mikirin apa?‖ tanya Anka lagi. ―Kak Damara ya?‖
Danu mengangguk, membenarkan dugaan Anka.
―Kak Damara ninggalin kartu ATM di kamar gue. Dia minta gue pake uang itu buat semua keperluan gue di Bandung, termasuk buat biaya perawatan Papa kalo perlu.‖
―Bagus dong, berarti Kak Damara udah ngerti.‖
―Iya sih, tapi gue ngerasa Kak Damara ngelakuin itu sepenuhnya bukan buat nolong Papa,‖ kata Danu datar. ―Kak Damara belum bisa maafin Papa, padahal sebenarnya itu yang gue harapin dari Kak Damara.‖
Danu menatap Anka, berharap dengan menatap mata teduh Anka akan ada sedikit ketenangan yang bisa dirasakannya.
Anka tersenyum, seperti biasa mengusap bahu Danu setiap kali sahabatnya itu terlihat tidak bersemangat. ―Nu, lo nggak bisa menutut Kak Damara ngerti semua yang ada di pikiran lo. Kak Damara pasti punya pertimbangan sendiri. Buat lo mungkin gampang maafin ayah lo, tapi buat Kak Damara mungkin nggak segampang itu.‖
Danu tidak mengatakan apa pun, entah kenapa ia merasa apa yang dikatakan Anka terasa berat sebelah. Anka seperti begitu mengerti perasaan Damara. Dan Danu merasa Anka lebih membela Damara ketimbang dirinya.
―Dengan ngasih kartu ATM itu untuk biaya ayah lo, gue rasa itu awal yang bagus. Berarti Kak Damara sebenarnya masih peduli, walaupun dia nggak secara terang-terangan nunjukinnya.‖
―Oke, gue ngerti. Gue emang terlalu menuntut banyak dari Kak Damara. Seharusnya gue cukup bersyukur Kak Damara masih mau ngasih kartu ATM ke gue,‖ kata Danu dingin, seraya bangun dari lantai.
Sekali lagi Danu menatap Anka yang sepertinya masih mencoba mengerti apa yang baru saja dikatakannya.
―Gue mau siap-siap jalan ke Bandung... Lo baik-baik di rumah. Satu lagi, hari ini lo janji sama gue akan berhenti kerja di kafe. Lo harus beneran berhenti kerja hari ini. Nggak baik kalo cewek pulang malem terus, walaupun lo pulang bareng Kak Damara,‖ tandas Danu sebelum berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Anka yang tidak mengerti apa sebenarnya maksud Danu.
***
“Aku tidak pernah menyesal mencintai kamu, yang aku sesalkan hanya kamu terluka karenanya,” - Damara
***
- 22 -
DAMARA menerobos masuk ke kamar apartemen tempat ia dan Anggun biasa bertemu. Jantungnya berdetak begitu cepat sejak ia mendengar isak tangis Anggun di telepon. Mata Damara menebarkan pandangan cemas ke sekeliling apartemen mencari-cari sosok Anggun.
Anggun terlihat duduk di sofa di ruang tengah menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar, sementara isak tangis terdengar jelas di telinga Damara. Ia bergegas menghampiri Anggun, tanpa banyak pertimbangan Damara langsung meraih tubuh gemetar Anggun ke dalam pelukannya.
―Kamu jangan takut, aku ada di sini sekarang,‖ kata Damara, seraya mendekap tubuh gemetar Anggun.
Anggun menangis sejadi-jadinya di pelukan Damara. Baru pertama kalinya Damara melihat Anggun seperti ini. Perempuan angkuh itu kini begitu rapuh. Damara tidak tahu jelas apa yang sebenarnya dirasakannya pada Anggun sekarang. Perasaannya pada Anggun memang sudah banyak berubah sejak Imelda mengisi hatinya, tapi saat menghadapi Anggun dengan kerapuhannya, Damara tidak bisa benar-benar menghilangkan semua rasa yang dulu pernah ada.
Ada perih yang terasa saat Damara membelai lembut wajah Anggun. Luka memar tampak jelas di wajah halus Anggun menyulut amarah dalam diri Damara, membuat Damara ingin melakukan apa pun untuk lebih menyakiti orang yang sudah membuat Anggun seperti ini.
―Kita nggak bisa biarin ini semua! Kita harus bikin perhitungan sama suami kamu!‖ tegas Damara, bangkit berdiri. Kemarahan mulai menguasai dirinya.
―Jangan, Mar... Aku nggak mau kamu buat masalah sama dia.‖ Anggun menarik tangan Damara, menahan Damara agar tidak pergi. ―Kamu nggak tahu siapa dia, Mar.‖
―Aku nggak peduli siapa dia! Aku hanya peduli sama kamu. Aku mau buat orang itu berpikir dua kali bila akan menyakiti kamu lagi.‖
Anggun mengeratkan pegangannya pada lengan Damara, mata sembapnya menatap penuh permohonan.
―Aku mohon, Mar... Aku nggak mau kamu terluka. Dia berani membayar orang untuk melukai bahkan membunuh kamu. Terlebih setelah dia tahu bahwa kamu alasan aku menggugat cerai. Aku nggak mau kamu melakukan hal bodoh dengan mendatangi dia.‖
―Tapi, aku nggak bisa...‖
Cepat-cepat Anggun memeluk Damara, membuat Damara berhenti meneruskan kalimatnya.
―Aku cinta kamu, Mar. Aku nggak mau hal buruk terjadi sama kamu.‖
Tidak ada yang dapat dilakukan Damara lagi. Ia hanya diam membiarkan tubuhnya berada dalam pelukan Anggun, pelukan yang entah mengapa kali ini membuatnya begitu lemah.
***
Imelda menatap bayangannya dalam cermin, sesosok wanita pucat berwajah lusuh dengan lingkaran hitam di sekitar matanya menatap balik padanya. Imelda mengerjapkan matanya, seakan tidak percaya wanita di dalam cermin adalah pantulan dirinya. Imelda menghela napas pelan, menyisiri rambutnya yang berantakan dengan jari-jari tangannya. Ia tidak bisa terlalu lama seperti ini, pasti ada banyak hal yang perlu dikerjakannya. Tugas-tugas dan pekerjaan yang seperti biasa sudah dijadwalkan tanpa sepengetahuannya.
Cukup bagi Imelda menenggelamkan diri dengan semua sakit yang dirasakannya akibat terlalu ceroboh membiarkan dirinya memercayai ketulusan cinta. Sakit ini tidak akan dibiarkannya terus terasa. Tidak di saat ia ingin mengangkat wajah dengan tegak di depan Damara, tanpa membuat Damara tahu betapa sakit rasanya memaksa diri berhenti mencintai orang yang begitu dicintai.
***
Danu duduk di sisi tempat tidur rumah sakit tempat ayahnya dirawat sambil mengupas kulit jeruk dengan begitu telaten. Lelaki yang terbaring itu menatap Danu dengan penuh rasa terima kasih.
―Besok Danu pulang, Pa. Danu harus sekolah, sebentar lagi Ujian Nasional... tapi habis ujian Danu pasti balik lagi ke sini.‖
Ayah Danu mengangguk pelan. Memang tidak banyak yang bisa dilakukan lelaki itu setelah serangan stroke yang dialaminya. Ia tidak dapat berbicara dengan jelas, sebelah tangan dan kakinya tidak dapat bergerak dengan sempurna, membuatnya hanya bisa seadanya merespons kata-kata Danu.
―Danu udah bayar semua tagihan rumah sakit, jadi Papa nggak usah khawatir... Papa bisa tetep tinggal di rumah sakit ini selama Danu pulang,‖ jelas Danu, seraya memberikan jeruk yang sudah dikupas dan dibersihkan pada ayahnya.
―Pa... Papa nger... ti,‖ kata ayah Danu terbata-bata. ―Teri... ma ka... sih.‖
Ayah Danu mengusap tangan Danu dengan gerakan kaku, seakan dengan melakukan itu ia ingin mengatakan bahwa semua yang dilakukan Danu untuknya sangat berarti. Ada yang aneh saat Danu merasakan elusan tangan ayahnya, seperti merasakan apa yang selama ini dirindukannya setelah sekian lama, sesuatu yang mengubah kebencian menjadi rasa sayang.
―Kak Damara yang ngasih semua biaya Papa. Sekarang memang hanya uang Kak Damara yang ada di sini, tapi Danu janji akan bawa Kak Damara ke sini untuk Papa.‖
Ayah Danu kembali mengangguk, kali ini air mata menggenang di kelopak matanya. Tanpa kata-kata ia menunjukkan keharuannya, keharuan seseorang yang merasa bersalah dalam penyesalannya.
Danu bisa merasakan itu semua. Ia tahu ada banyak penyesalan di mata ayahnya, saat menatapnya. Hingga Danu merasa tidak ada lagi alasan untuk membenci ayahnya. Akan selalu ada kata maaf untuk sebuah kesalahan, bukan? Andai Damara mengerti ini semua.
***
Tepat pukul tujuh malam, Damara berjalan menuju parkiran gedung kantornya. Hari ini Damara sengaja pulang cepat atas permintaan Anka. Ada sedikit perayaan di rumah, perayaan ulang tahun Anka sekaligus merayakan hari ia resmi berhenti kerja di kafe. Danu juga sore ini akan pulang dari Bandung, jadi mungkin ini salah satu upaya Anka untuk mendamaikan Damara dan Danu.
Damara membuka pintu mobilnya, dengan refleks menoleh ke belakang saat merasa ada yang mengawasinya. Tapi tidak ada seorang pun di dekatnya, padahal tadi Damara dengan jelas menangkap gerak-gerik mencurigakan. Mengabaikan semuanya, Damara memutuskan masuk dan mulai melajukan mobilnya.
Di tengah jalan tatapan Damara tertumbuk pada deretan toko perhiasan, dan terpikir akan sangat baik jika ia menghadiahkan sesuatu di hari ulang tahun Anka. Damara menepikan mobilnya di depan toko perhiasan kecil itu, lalu membeli kalung perak berbandul lingkaran dengan permata kecil di tengahnya. Kalung termanis yang pernah dibeli Damara.
Damara kembali berjalan menuju mobilnya yang terparkir, setelah memasukkan kotak kecil berisi kalung yang sudah dilengkapi kartu ucapan selamat untuk Anka ke dalam sakunya.
Sekali lagi, Damara tidak memperhatikan sekelilingnya.
***
Anka meletakkan sepiring besar ayam goreng tepat di samping fruit cake berukuran sedang. Meja makan yang biasanya kosong, kini terlihat penuh dengan berbagai macam sajian yang sengaja disiapkan Anka sejak tadi sore untuk merayakan ulang tahunnya.
Selesai menata meja makan, Anka duduk di sofa menanti para penghuni rumah pulang. Danu mengabarkan ia baru saja sampai di terminal bus, sementara Damara sedang dalam perjalanan pulang.
Jika rencana Anka berjalan dengan baik, mungkin Damara dan Danu bisa kembali akur seperti dulu.
***
Mobil Damara berhenti tepat di depan pagar rumah. Baru saja Damara menjejakkan kakinya hendak turun untuk membuka pagar, tiga laki-laki bertubuh besar sudah berdiri di depannya tanpa alasan.
Bingung dengan keberadaan tiga orang laki-laki yang berdiri nyaris mengimpitnya, Damara hanya menatap mereka bergantian, mencoba mengenali.
―Lo Damara, kan?‖ tanya salah satu dari ketiga laki-laki itu.
Tanpa menunggu jawaban, laki-laki itu langsung memukul perut Damara. Aksi laki-laki itu diikuti kedua temannya, memukul dan menendang semua bagian tubuh Damara yang terjangkau oleh mereka.
Damara jelas tidak bisa melawan, ketiga orang itu memukulnya tanpa memberinya waktu untuk siaga, tanpa memberi sedikit jeda untuk bergerak dan balas menyerang.
Damara merasakan pukulan-pukulan yang diterimanya menyesakkan dadanya, darah hangat dan asin mengalir dari mulutnya saat salah satu laki-laki itu menghajar keras rahangnya. Pandangan Damara mengabur seketika.
***
Gelas di tangan Anka terlepas dari pegangannya, membentur lantai dengan suara nyaring. Serpihan kaca bertebaran di sekitar kaki Anka. Apa yang dilihatnya di luar sana membuat tangannya serasa tidak mampu menggenggam apa pun. Anka melesat ke luar, mengabaikan perih akibat serpihan kaca yang menusuk kakinya. Apa pun yang terasa saat ini tidak begitu penting dibanding apa yang sedang terjadi pada Damara di luar sana.
Jantung Anka seperti berhenti berdetak saat melihat Damara terkapar tak berdaya di atas aspal. Kernyit kesakitan terlihat jelas di wajah lebam Damara. Kemeja putih yang dipakainya ternodai bercak-bercak darah.
―Kak Damara...!‖ pekik Anka, seraya menerobos tubuh besar orang-orang yang memukuli Damara.
Anka meraih tubuh lemah Damara, berusaha membopong tubuh Damara. Tapi Anka jelas tak sanggup, hingga ia hanya bisa terduduk seraya menopang kepala Damara yang terkulai.
―Minggir!‖ hardik salah satu laki-laki bertubuh besar pada Anka.
―Nggak! Jangan pukul Kak Damara lagi... aku mohon...‖ ratap Anka, mengeraskan rangkulannya ke tubuh Damara. ―Jangan...‖
―Minggir!!‖ Sekali lagi suara dingin itu terdengar keras di telinga Anka.
Anka menggeleng cepat, pipinya sudah basah oleh air mata.
Kesal dengan kekeraskepalaan Anka, salah satu dari laki-laki bertubuh besar itu menarik Anka, berusaha melepaskan pegangan Anka dari Damara.
Anka meronta sekuat tenaga menolak melepaskan Damara, sementara tangan kuat laki-laki itu menyentakkannya menjauh. Anka menjerit sekeras-kerasnya sebagai usaha terakhir untuk mengakhiri penganiayaan terhadap Damara, berharap di lingkungan sepi ini ada yang mendengar jeritannya dan datang untuk menolong. Tapi sampai tenggorokan Anka sakit, tak ada seorang pun yang datang.
Damara kembali harus menerima pukulan dan tendangan dari ketiga laki-laki itu. Anka sendiri tidak tahu mereka siapa, dan apa alasan mereka tega menganiaya Damara sedemikian rupa.
Damara terlihat sudah tak sadarkan diri, tubuhnya menelungkup diam tanpa perlawanan, sementara tendangan bertubi-tubi mendarat di tubuh lemahnya.
Sekuat tenaga Anka melepaskan diri dari laki-laki yang memeganginya, berlari menghampiri Damara. Anka berdiri di depan tubuh Damara, merentangkan lengannya menghalangi lakilaki bengis itu.
―Berhenti!!‖ teriak Anka bercampur isak.
―Minggir lo, anak kecil!‖
Hardikan itu terdengar lagi, tapi apa pun yang terjadi kini Anka bertekad tidak akan menyingkir selangkah pun. Ia tidak akan membiarkan orang-orang itu melukai Damara lagi.
―Pengin mati lo, hah?!‖
―Kalo berani, pukul saja saya! Jangan pukul orang yang sudah tak berdaya,‖ tantang Anka dengan suara gemetar.
Sialnya, ketiga laki-laki itu bukan termasuk orang yang berpikir dua kali untuk memukul atau melukai wanita. Mereka menatap Anka bengis, tangan-tangan mereka mengepal seakan siap melayangkan pukulannya pada wajah Anka. Jantung Anka berdetak begitu cepat, membayangkan jika orang itu benar-benar melukainya.
Dengan sisa keberaniannya Anka memejamkan matanya, tetap memosisikan diri sebagai tameng Damara, seraya memohon kekejian ini akan berakhir saat ia membuka mata.
***
Danu berlari cepat menuju rumahnya, ketika beberapa puluh meter dari tempatnya berjalan ia melihat Anka berdiri di depan rumah menghadapi tiga laki-laki bertubuh besar. Entah apa yang membuat Anka harus berhadapan dengan orang-orang seperti itu, Danu tidak punya waktu untuk memikirkannya.
Hingga akhirnya Danu melihat tubuh kakaknya terkapar di jalan aspal dan Anka berdiri di depan Damara, menghalangi orang itu menyentuh Damara. Tatapan mata mereka seakan siap melumat Anka. Salah satu laki-laki itu bahkan sudah siap mengayunkan kayu seukuran stik soft ball ke arah Anka.
Di tengah napas tersengalnya, Danu melesat menghampiri Anka dan memeluk gadis itu. Seketika hantaman kayu mendera keras punggung Danu dan membuat pandangannya gelap. Dadanya terasa sesak dengan nyeri yang begitu menyiksa, bunyi berderak membuat Danu mengira tulang iganya telah patah dan menusuk organ dalam tubuhnya. Tapi di tengah deraan rasa sakit yang luar biasa, ia tetap berusaha berdiri untuk melindungi Anka dari hantaman selanjutnya.
―TOLOOONG!!!‖ Kali ini Anka berteriak lebih kencang dan lantang.
Teriakan minta tolong Anka yang melengking dan berulang-ulang akhirnya membuahkan hasil. Beberapa orang dari ujung jalan berlari mendekati mereka. Mau tidak mau ketiga lakilaki itu bergegas masuk mobil dan melajukan mobil mereka dengan cepat.
Danu melepaskan pelukannya pada Anka, lalu menyandarkan tubuhnya ke sisi mobil Damara. Berusaha menormalkan tarikan napasnya yang terhambat oleh rasa sakit.
Dengan wajah sangat khawatir, Anka langsung berlutut merangkul tubuh Damara yang tak bergerak. Air mata pilu kembali mengalir dari matanya sementara ia mengusap lembut dan tulus wajah Damara.
Sekarang, mendadak rongga dada Danu kosong melihat apa yang dilakukan Anka terhadap Damara. Anka terlihat begitu mengkhawatirkan Damara hingga tidak sadar keberadaan Danu di belakangnya, seseorang yang sudah menjadi tameng untuknya.
Rasa nyeri dan sesak yang dirasakan Danu terasa semakin parah.
***
- 23 -
DENGAN malas-malasan Danu mengganti kemeja sekolah dengan kaus olahraga, berkalikali menghela napas seraya menatap kosong dinding ruang ganti.
―Lo nggak apa-apa masuk hari ini? Kak Damara gimana? Lo nggak temenin di rumah sakit?‖ tanya Andro.
―Dia udah ada yang nungguin. Anka sengaja nggak masuk hari ini, dia bilang mau nungguin Kak Damara,‖ jawab Danu datar.
―Emang Kak Damara parah ya, Nu?‖
―Nggak terlalu sih, tadi pas gue berangkat sekolah dia udah bangun.‖
Bunyi peluit dari arah lapangan membuat jeda pembicaraan mereka. Danu, Andro, dan beberapa teman sekelasnya keluar dari ruang ganti dan bergegas menuju lapangan. Danu memegang dadanya. Rasa sesak kembali terasa. Nyatanya, pukulan orang-orang itu menyisakan rasa sakit yang lumayan menyiksa.
―Cepetan, lelet banget sih lo,‖ seru Andro, melambaikan tangannya mengisyaratkan agar Danu bergegas.
Mengabaikan rasa sakit di dadanya, Danu pun bergegas, berharap rasa sakit di dadanya baik akibat pukulan itu atau bukan, dapat segera pulih tak terasa lagi.
***
―Kamu masih kontak sama mantan pengacara kamu, Mel?‖ tanya manajer Imelda tiba-tiba. Mereka sedang di ruang makeup usai pagelaran busana yang baru saja diikuti Imelda.
―Nggak, Mbak, memang kenapa?‖ tanya Imelda berusaha membuat suaranya terdengar tidak terlalu antusias.
―Nggak... Kemarin malam waktu Mbak ambil resep vitamin kamu di rumah sakit, sepintas Mbak lihat dia di atas brankar, didorong ke ruang UGD. Kelihatannya dia pingsan, pakaiannya penuh darah... Apa mungkin kecelakaan ya?‖
Imelda terdiam. Kecemasan dan kekhawatiran menjalar cepat. Ingin rasanya ia memberondong manajernya dengan berbagai pertanyaan tentang Damara, tapi itu tidak mungkin dilakukannya. Ia tidak ingin manajernya berpikir macam-macam karena pertanyaan yang diajukannya.
―Mbak, aku nggak ikut pulang sama Mbak ya. Aku ada urusan sebentar, nanti kita ketemu di tempat pemotretan,‖ kata Imelda akhirnya, setelah beberapa menit terdiam.
―Kamu mau ke mana, Mel? Kita harus sampai di lokasi dua jam lagi lho.‖
―Aku tahu, Mbak... Cuma sebentar kok. Aku pasti sampai lokasi tepat waktu.‖
Tanpa menunggu persetujuan manajernya, Imelda meraih tasnya dan bergegas keluar ruang makeup.
―Jangan sampai terlambat, Mel! Ini pemotretan penting...‖ seru manajer Imelda.
Imelda tidak tahu mengapa ia berubah pikiran. Yang ia tahu, kecemasan ini membutuhkan penyelesaian agar tidak menyiksanya. Sudah cukup lelah ia menekan semua perasaannya selama ini, dan sepertinya ia tidak sanggup lagi. Tidak di saat seseorang yang pernah begitu ia cintai dan menjadi alasan mengapa ia rela menanggung siksaan perasaan, mungkin sedang melalui hal mengerikan. Meski ia sendiri tidak tahu apa.
***
Dari atas ranjang rumah sakit tempatnya berbaring, Damara menatap Anka yang sibuk membereskan minuman, buah, dan obat-obatan di lemari kecil di samping ranjang Damara. Tidak menyadari sedari tadi Damara sedang memperhatikannya.
―Kamu lagi ngapain, Ka?‖ tanya Damara pelan.
Anka langsung menoleh ke arah Damara, tersenyum melihat Damara sudah bangun.
―Kakak tidurnya kok sebentar banget? Kata dokter, Kakak harus banyak istirahat.‖
―Waktu dia nyuruh banyak istirahat, dia lupa kasih penghilang rasa sakit yang tahan lama,‖ kata Damara seraya mengernyit saat tangan kirinya yang dibebat perban tanpa sengaja menyenggol sisi ranjang.
―Kakak kebangun karena lukanya sakit ya? Apa Anka panggilin dokter?‖ tanya Anka cemas.
―Nggak usah, cuma sakit kayak gini masih bisa Kakak tahan.‖
―Bener nih nggak apa-apa? Kalo memang sakit jangan ditahan, Kak.‖ Anka menatap Damara dengan cemas, lalu duduk di kursi kecil di samping Damara.
Damara tersenyum kecil melihat reaksi Anka. ―Kamu terlalu khawatir, Ka... Seharusnya kamu pergi sekolah, bukannya di sini nemenin Kakak,‖ kata Damara. ―Tapi... terima kasih sudah ada di sini ya... Terima kasih juga kemarin kamu mau belain Kakak, untung kamu tidak terluka.‖
―Ngelihat kondisi Kakak kemarin, Anka takut Kakak nggak bisa bertahan... Takut kalau sekali lagi Anka harus kehilangan...‖ kata Anka lirih dengan mata berkaca-kaca.
Damara tercekat. Tidak pernah menyangka akan ada seseorang yang takut kehilangan dirinya.
―Kata-kata kamu bikin Kakak terharu, terima kasih ya...‖ Dengan tangan yang tak terbebat perban, Damara mengusap lembut rambut Anka dan berkata tulus, ―Kakak sayang kamu, Ka.‖
Damara menyunggingkan senyum lebar setelah mengatakan itu semua. Sedikit pun ia tidak menyadari ucapannya barusan meninggalkan arti khusus untuk Anka.
***
Kakak sayang kamu, Ka. Kata-kata itu terngiang bagai simfoni indah di telinga Anka.
Anka duduk di kursi tunggu di depan ruang rawat Damara, tersenyum lebar menikmati jantungnya berdetak dengan sensasi yang sangat menyenangkan. Kata-kata Damara seperti bisikan lembut ketika ia mengingatnya. Ini seperti... ah, Anka sendiri tidak tahu ini seperti apa. Ia baru pertama kalinya mengenal rasa ini. Sebagai gadis yang hampir menginjak usia 18 tahun, ia hanya bisa menduga inilah perasaan cinta.
Saat masih asyik menikmati perasaan indahnya, Anka melihat sosok wanita yang berjalan bergegas, setengah berlari ke arahnya. Wajah cantik wanita itu diliputi kepanikan. Semakin dekat, Anka bisa mengenali wanita itu. Imelda, model cantik yang...
Tanpa mengacuhkan Anka, Imelda membuka pintu ruang rawat Damara dan langsung masuk ke dalam seakan tidak menyadari keberadaan Anka yang hanya beberapa langkah dari pintu.
Dari celah jendela kaca ruang rawat yang tidak tertutup gorden, Anka menyaksikan adegan yang membuat perasaan indah dan tadinya begitu nyaman dirasakan berubah jadi menyesakkan dadanya.
***
Dengan pandangan nanar Imelda menatap Damara yang terbaring dengan mata terpejam di atas ranjang rumah sakit. Perlahan Imelda bergerak mendekat. Luka memar dan lebam memenuhi wajah Damara. Balutan perban di tangan dan wajah Damara membuat air mata Imelda mengalir pelan tanpa terasa. Sebab, wajah yang kini penuh luka inilah yang selama berhari-hari begitu dirindukannya.
Imelda menggerakkan tangan lembutnya, dengan perlahan menyentuh wajah Damara, seakan takut sentuhannya akan menyakiti Damara.
Damara bergerak pelan, Imelda segera menarik tangannya, lalu menghapus cepat air matanya.
―Mel...?‖ Suara Damara terdengar. Suara yang kembali membuat air mata yang coba ditahan Imelda menetes lagi tak terbendung.
Imelda memalingkan wajahnya dari Damara, berniat menjauh sebelum Damara membaca apa yang dirasakannya. Damara meraih tangan Imelda, menahan Imelda.
―Jangan pergi, Mel... Aku mohon...‖
Imelda menoleh, matanya langsung bertemu mata Damara yang menatapnya dan membuatnya merasa lemah.
―Aku mau kamu di sini, Mel... please.‖
Tidak ada yang dikatakan Imelda, ia hanya diam. Sebagian dirinya ingin berlari ke luar meninggalkan Damara, kembali menjadi Imelda yang memiliki harga diri karena tak ingin lagi tersakiti. Tapi nyatanya, ia tetap berdiri di samping Damara, membiarkan tangan Damara menggenggam erat tangannya, membiarkan logikanya terkalahkan oleh perasaannya.
―Terima kasih,‖ bisik Damara pelan. Senyum kelegaan tampak di wajah penuh memarnya saat merasa Imelda tidak akan pergi.
―Kamu kenapa bisa sampai begini?‖ Akhirnya Imelda bersuara juga, sebisa mungkin membuat nada suaranya terdengar dingin.
Damara kembali tersenyum, ada yang aneh tersirat dalam senyumnya kali ini.
―Ini konsekuensi atas apa yang aku lakukan selama ini... Mungkin ini juga hukuman karena aku sudah terlalu banyak menyakiti kamu.‖
Imelda kembali memalingkan wajahnya dari Damara. Ia tidak ingin melihat tatapan Damara, takut tidak bisa mengontrol keinginannya untuk memeluk Damara dan mengatakan, ―Semua akan baik-baik saja‖.
―Maafin aku, Mel. Seharusnya dari awal aku tahu apa yang aku rasakan akan menyakiti kamu... seharusnya aku tidak mencintai kamu.‖
―Kamu menyesal...?‖ tanya Imelda, sedikit terluka mendengar pernyataan Damara.
―Tidak...‖ Damara menggeleng pelan. ―Aku tidak pernah menyesal mencintai kamu, yang aku sesalkan hanya kamu terluka karenanya.‖
Sesak di dada Imelda terasa begitu menyiksa, air mata Imelda lagi-lagi menggenang, kali ini rasanya ia tidak bisa menahannya agar tak jatuh.
―Kamu tahu seberapa menyakitkannya ini buat aku...? Ini sangat menyakitkan,‖ kata Imelda parau di tengah tangisnya. ―Kamu tahu kenapa begitu sakit? Karena... sialnya, aku juga begitu mencintai kamu.‖
Imelda mengembuskan napas lega setelah mengatakan itu semua pada Damara, keluar sudah unek-unek yang membuat dadanya terasa begitu sesak belakangan ini. Imelda menghapus air matanya, setelahnya memaksakan senyum di wajahnya lalu menatap Damara.
―Tapi udahlah. Mungkin untuk aku, indahnya cinta hanya ada sebagai selingan,‖ kata Imelda getir. ―Lagi pula rasa sakit ini tidak akan permanen.‖ Imelda merasakan tangan Damara yang menggenggam tangannya tiba-tiba mendingin, ekspresi wajahnya sulit diartikan.
―Aku harus pergi, Mar,‖ kata Imelda akhirnya, merasa sudah cukup dengan pertemuan mereka. ―Apa pun yang baru saja terjadi sama kamu, aku senang kamu masih bertahan.‖ Imelda menarik tangannya pelan-pelan dari genggaman Damara, berniat untuk pergi.
Tapi belum sempat Imelda beranjak selangkah pun, Damara sudah merangkulkan sebelah tangannya ke tubuh Imelda. Imelda berusaha melepaskan diri, tapi sebelah tangan Damara begitu kuat menahannya.
―Sebentar, Mel... Biarin aku meluk kamu seperti ini, sebentar saja,‖ pinta Damara lirih.
Imelda terdiam, pelukan Damara membuatnya serasa membatu. Begitu tenang sekaligus pilu, merasa nyaman sekaligus gamang. Berbagai perasaan yang selama ini datang dan muncul secara bertahap, kini terasa dalam waktu bersamaan. Imelda hanya bisa berkata dalam hati, Andai cinta ini dapat berjalan dengan mudah.
―Semua ini terlalu melelahkan, Mel. Tanpa sandaran, rasanya aku sulit bisa bertahan.‖
Air mata hangat dirasakan Imelda merembes di bahunya, air mata yang sekali lagi harus membuatnya merasakan pedih. Mungkin ia bisa menyangkal semua perasaannya lewat katakata, tapi saat orang yang dicintainya bersandar di bahunya dengan segala keterpurukannya, ia hanya bisa mengabaikan penyangkalan itu dan ingin menjadi sandaran.
***
Anka mendorong pintu kamar Danu dengan detak jantung yang menggedor rongga dadanya. Kecemasan dan kekhawatiran terus mengiringi langkah cepatnya. Tadi Andro meneleponnya, mengabarkan bahwa Danu jatuh pingsan di sekolah. Sepanjang ia bersahabat dengan Danu, ini pertama kalinya ia mendengar Danu pingsan. Ini jelas mengkhawatirkan, sebab yang ia tahu, Danu memiliki fisik yang cukup kuat.
Anka mendapati Danu terbaring di atas tempat tidurnya, wajahnya begitu pucat. Anka mendekati Danu, ada perban yang terbebat di sekeliling dada Danu, terkesan menyesakkan di balik kemeja yang tidak terkancing sepenuhnya.
―Lo kenapa, Nu...? Dada lo kok dibalut perban?‖ rentetan pertanyaan tercetus penuh kekhawatiran dari mulut Anka. ―Lo jatuh?‖
―Gue nggak kenapa-napa,‖ kata Danu datar.
―Nggak kenapa-napa gimana?! Andro bilang lo pingsan di sekolah, badan lo aja panas gini,‖ kata Anka seraya memegang dahi Danu.
―Gue bilang, gue nggak apa-apa,‖ tegas Danu, seraya menyingkirkan tangan Anka dari dahinya. ―Lo nggak usah mikirin gue, mendingan balik ke rumah sakit aja jagain Kak Damara.‖
―Kok lo ngomong gitu sih? Gue di sini karena gue peduli sama lo, kok lo malah nyuruh gue balik ke rumah sakit?‖ kata Anka kesal dengan kata-kata Danu. ―Gue nggak ngerti jalan pikiran lo.‖
―Gue cuma butuh istirahat, Ka,‖ jawab Danu singkat, membalikkan tubuhnya memunggungi Anka, seakan ingin Anka segera pergi.
Anka menghela napas panjang. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai Danu bersikap sedingin itu padanya. ―Oke, kalo emang itu yang lo mau... gue pergi.‖ Anka menatap Danu yang tetap memunggunginya lalu melangkah keluar dari kamar.
***
Rasa sesak di dada Danu semakin terasa saat mendengar kata-kata Anka, menggantikan kesenangan sesaat ketika ia melihat Anka memasuki kamarnya dengan penuh raut kekhawatiran menanyakan kondisinya.
Ya Tuhan... Anka bahkan tidak mengacuhkan apa yang terjadi pada Danu kemarin. Padahal bukan hanya Damara yang terluka, Danu pun mati-matian menghalangi orang-orang itu melukai Anka dengan merelakan punggungnya menanggung hajaran tongkat kayu.
Kekecewaannya pada Anka membuat perasaan tidak suka saat Anka menyentuh dahinya. Membuat Danu terpaksa harus bersikap ketus pada gadis itu.
Danu menghela napas pelan, lelah harus merasakan ini semua. Kenapa ia harus memiliki rasa yang begitu menyesakkan ini?
Danu kembali teringat saat Anka mempertanyakan sikapnya yang dingin, bahkan menunjukkan terang-terangan ia menghindari Anka dengan memunggunginya, meskipun harus menanggung nyeri hingga keringat dingin mengalir di wajahnya. Tidak adil memang bersikap demikian sementara Anka tidak tahu apa-apa. Hanya saja Danu merasa perlu memberi sedikit ruang untuk rasa marahnya. Dan saat Anka berlalu, ia hanya bisa mencengkeram sisi tempat tidurnya kuat-kuat, berusaha mengalihkan rasa sakitnya.
Sama seperti perasaan menyenangkan yang dibawa Anka, obat penghilang rasa sakit yang diminumnya tadi pun hanya bersifat sementara.
***
―Anka...‖ Andro memanggil Anka sesaat setelah keluar dari kamar Danu. ―Gimana? Lo udah liat kondisi Danu?‖
Anka mengangguk pelan, senyum tipis terulas di bibirnya sambil berjalan menghampiri Andro yang duduk di lantai teras belakang. Anka lalu duduk di samping Andro.
―Danu aneh deh, dia malah nyuruh gue pergi,‖ kata Anka pelan. ―Dia bahkan nggak mau jawab kenapa dia bisa sampai kayak gitu.‖
―Lo nggak tau kenapa Danu pingsan?‖ tanya Andro, menatap Anka tidak percaya. Anka menggeleng tidak mengerti. ―Pantes Danu nyuruh lo keluar,‖ kata Andro.
―Maksud lo apa sih? Gue nggak ngerti.‖
―Gue nggak tahu ya, lo ini kurang peka apa memang nggak peduli sama Danu! Tapi gue rasa lo keterlaluan kalo sampe lo nggak tahu. Kemarin itu, bukan cuma Kak Damara doang yang terluka, tapi Danu juga,‖ jelas Andro, sedikit kesal dengan ketidaktahuan Anka.
Penjelasan Andro memutar paksa ingatan Anka pada kejadian kemarin. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin ia sampai tidak ingat Danu memeluknya untuk menghalangi orangorang itu meremukkan tubuhnya dengan tongkat kayu besar itu?
―Danu sempet muntah-muntah di sekolah sebelum akhirnya pingsan. Dokter bilang Danu harus di-rontgen supaya ketahuan sebenernya dia kenapa,‖ Andro melanjutkan penjelasannya. Penjelasan yang membuat rasa bersalah Anka semakin membuncah.
―Kalo gitu, kenapa Danu nggak dibawa langsung ke rumah sakit?‖ tanya Anka.
―Danu nggak mau, gue juga nggak tahu kenapa.‖
―Kalo gitu gue mau bujuk Danu supaya dia mau ke rumah sakit.‖ Anka sudah berdiri hendak kembali ke kamar Danu, tapi tangan Andro mencekal lengannya.
―Sekarang mending biarin Danu istirahat dulu,‖ kata Andro.
Benar yang dikatakan Andro, lebih baik membiarkan Danu istirahat. Sekarang mungkin bukan saat yang tepat untuk memaksakan sesuatu pada Danu. Anka kembali duduk di samping Andro.
―Danu lagi sedih, Ka...‖
―Sedih? Soal ayahnya dan kondisi Kak Damara?‖ tanya Anka kembali menatap Andro.
Andro tersenyum getir. Ia menunduk menatap rerumputan halaman belakang.
―Ternyata lo bener-bener nggak tahu.‖
―Tahu apa sih, Ndro?‖ tanya Anka, semakin tidak mengerti dan tidak suka cara Andro mengatakannya. Seperti meremehkannya.
―Mungkin Danu bakal marah setelah gue cerita ini ke lo. Mungkin juga dia bakal nggak mau ngomong lagi sama gue. Tapi gue rela ambil semua risiko itu. Gue udah capek lihat Danu kayak gini.‖
―Lo tuh mau ngomong apa sih, Ndro? Berbelit-belit. Gue nggak ngerti.‖
―Lo nggak ngerti karena lo emang nggak pernah nyoba ngerti,‖ kata Andro, menatap sinis pada Anka.
―Kayaknya kita nggak bakal bisa ngomong bener nih! Ada yang salah sama cara lo ngomong sama gue.‖ Anka berdiri. ―Gue lebih baik pergi,‖ tandas Anka.
Anka bangkit, berjalan meninggalkan Andro yang masih terdiam.
―Danu suka sama lo, Ka...‖ Suara datar Andro menahan Anka melanjutkan langkahnya.
Seketika Anka membalikkan tubuhnya, kembali menatap Andro yang sekarang menatap serius padanya. Ia tidak bisa menemukan sosok Andro yang sedang bercanda seperti biasanya.
*** “Anggap aja Andro nggak pernah ngomong apa-apa. Lo jangan sampe ngerasa terbebani sama apa yang lo denger tentang perasaan gue ke elo. Oke?” – Danu SEMINGGU berlalu sejak penganiayaan Damara terjadi.
Dua hari yang lalu Damara sudah keluar dari rumah sakit. Sementara Danu sampai saat ini tetap menolak melakukan pemeriksaan di rumah sakit, dan menunjukkan ia baik-baik saja dengan bangun dari tempat tidur dan kembali sekolah. Anka mulai menyibukkan diri dengan berbagai persiapan menempuh Ujian Nasional. Masing-masing mereka kembali melanjutkan rutinitas hidup yang sempat berjeda.
Damara bersandar di kursi, di balik meja kerja kantornya. Tangannya menyilang di depan dada dengan gelisah. Mata Damara menatap handphone-nya yang tergeletak di atas meja. Entah keberapa kalinya ia gagal menghubungi kliennya, Anggun. Sejak kejadian yang menimpa Damara, Anggun tidak pernah lagi datang menemuinya. Jangankan datang, memberi sedikit kabar lewat telepon pun Anggun tidak pernah.
Ini jelas membuat Damara khawatir. Terakhir kali mereka bertemu, kondisi Anggun yang babak belur akibat perlakuan suaminya pasti akan membuat siapa saja khawatir. Setelahnya, menyusul Damara diserang tiga laki-laki yang diyakini Damara sebagai orang suruhan suami Anggun. Dan kini, Anggun seakan menghilang tanpa kabar, tanpa sedikit pun penjelasan yang bisa membuat kekhawatiran Damara reda.
***
Damara menyapukan pandangannya ke setiap sudut apartemen. Ada kekecewaan di wajahnya saat tidak mendapati sosok yang dicarinya. Kekecewaan yang memang sudah diprediksi sejak kepalanya memunculkan ide mencari Anggun di apartemen ini.
Damara melangkah masuk semakin jauh, matanya tetap menebar pandangan ke sekeliling apartemen. Kali ini dengan tatapan sayu, seakan terlalu lelah untuk melakukannya. Apartemen ini terasa berbeda tanpa keberadaan Anggun, seperti kehilangan keangkuhannya. Langkah Damara sampai di beranda apartemen, ia mendongakkan kepala menatap langit Jakarta yang sore ini terlihat begitu suram. Damara menghela napas dalam, untuk kesekian kalinya. Tatapannya berbalik ke dalam apartemen. Ada rasa yang tiba-tiba menyergapnya, dan sialnya, membuatnya menginginkan Anggun hadir di depan matanya sekarang.
Yakin bahwa perasaannya akan semakin tidak keruan jika berada terlalu lama di sini, dengan langkah gontai Damara berjalan meninggalkan beranda. Kembali melewati ruang apartemen yang biasanya selalu ada Anggun di antaranya.
Tiba-tiba Damara menghentikan langkahnya, saat matanya tertumbuk pada sebuah amplop putih di atas meja kecil, di samping sofa ruang tengah apartemen.
Tanpa pikir panjang Damara meraih amplop itu dan membukanya.
Damara...
Aku minta maaf atas semua kejadian yang menimpa kamu. Ini semua salahku. Andai aku tidak gegabah memutuskan menggugat cerai tentu kamu tidak akan pernah terluka. Bersamaan dengan semua hal buruk yang terjadi, aku menyadari satu hal: aku memang tidak pernah bisa melepaskan diri dari orang itu. Kekuasaannya mengharuskan aku untuk tetap menuruti semuanya jika aku tidak ingin kehilangan lebih banyak lagi.
Dan aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku tidak ingin kamu kembali disakiti. Melihat kamu harus menerima begitu banyak pukulan sudah membuat aku merasa terluka, dan aku tidak bisa membayangkan yang lebih buruk dari itu... Maka di sinilah aku sekarang, menuruti keinginannya untuk tetap menjadi boneka porselen yang akan selamanya tersimpan di lemari kaca, agar bisa selalu dilihat sang pemiliknya.
Aku mencintai kamu... Mungkin hanya itu yang bisa menjelaskan mengapa aku rela menerima semuanya. Aku hanya ingin semua berjalan baik-baik saja untukmu.
Maaf kalau selama ini aku menggunakan topeng keangkuhanku untuk menutupi rasa cintaku padamu. Selama ini aku hanya berpikir perasaanku padamu akan melukai harga diriku.
Mungkin akan ada hal lain yang meyusul kejadian kemarin, aku ingin kamu bersiap-siap dan kuat menghadapinya. Aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Walaupun aku lelah memohon, tetap tidak bisa mengubah apa pun yang direncanakannya padamu.
Maaf... maaf untuk semuanya. Aku berjanji, setelah ini, setelah kamu terlepas dari aku, semua akan berjalan lebih baik.
Damara menghela napas dalam-dalam. Matanya memanas setelah membaca kalimat terakhir yang dituliskan Anggun untuknya. Kalimat Anggun mengguratkan luka di hati Damara. Ia tidak pernah menyangka, selama ini, di balik keangkuhannya, Anggun memiliki perasaan yang begitu dalam padanya.
―Ya Tuhan... Dia begitu menderita,‖ ratap Damara dalam hati.
Damara tidak pernah menyangka jalan hidupnya sedemikian rumit. Anggun juga menulis akan ada hal lain yang akan terjadi, tapi Damara tidak begitu peduli selama itu hanya menyangkut dirinya. Harapannya, sebagai laki-laki yang pernah begitu mengharapkan ketulusan cinta Anggun, di mana pun Anggun sekarang berada, ia ingin Anggun baik-baik saja. Ia ingin Anggun bahagia, bagaimana pun wujud kebahagiaan itu.
***
―Sori ya, Nu... gue udah bilang semuanya ke Anka.‖
Entah sudah berapa kali Danu mendengar Andro mengulang kalimat yang sama. Sejak Andro mengaku sudah memberitahu Anka tentang perasaan Danu, ia didera rasa bersalah. Awalnya Danu menyayangkan Anka mengetahui ini semua dari Andro. Tadinya ia berharap bisa mengatakan langsung pada Anka, tapi ya sudahlah, mungkin ada baiknya seperti itu. Setidaknya, sekarang Anka sudah tahu apa yang dirasakannya, ia tidak perlu lagi menyembunyikan apa-apa.
―Udahlah, Ndro. Nggak usah bahas itu lagi... Kita kan lagi ujian, jadi nggak usah macemmacemlah,‖ kata Danu, sambil membalik halaman buku paket tebal yang dibacanya di perpustakaan, di sela-sela waktu istirahat ujian.
―Abis... Gue perhatiin hubungan lo sama Anka jadi aneh sejak gue bilang itu ke Anka, gue jadi ngerasa nggak enak,‖ kata Andro datar. ―Kalian tuh kayaknya saling menghindar.‖
―Gue sama Anka biasa aja kok. Kita lagi sibuk-sibuknya ujian, jadi nggak ada waktu buat main atau ngobrol kayak biasanya. Bukan saling menghindar,‖ jelas Danu, sebisa mungkin
menunjukkan nada suara biasa. ―Nanti nih, dua jam dari sekarang, abis kita semua beresin soal ujian terakhir, lo bakal lihat semuanya akan kembali senormal biasa.‖
Andro mengangguk-angguk pelan, dengan raut wajah ragu ia menelan semua perkataan Danu dan kembali membuka buku paket yang dari tadi diabaikannya.
Danu menghela napas pelan, matanya kembali tertuju pada buku yang sedang berusaha dibacanya di menit-menit paling tidak mengenakkan bagi semua siswa yang sedang menempuh Ujian Nasional. Andai saja ucapannya pada Andro tadi, untuk fokus pada ujian saja, mudah diterapkan, maka penjelasan dalam buku yang sedari tadi coba ia sisipkan ke ruang otaknya tidak akan membutuhkan usaha keras. Andai saja semua kecemasannya, tentang bagaimana harus memosisikan diri di dekat Anka, bisa reda, pasti semuanya akan lebih mudah. Karena Danu sadar, ia tidak akan bisa selamanya menghindari Anka.
***
Handphone Imelda kembali berdengung di atas nakas. Imelda duduk di atas tempat tidur menatap handphone-nya dengan enggan, seakan menimbang perlu atau tidak ia menjawab panggilan itu.
Sudah tiga kali Imelda mengabaikan telepon dari Damara. Alasannya bukan karena tidak ingin menjawab telepon dari Damara, demi Tuhan... Imelda ingin sekali mendengar suara Damara. Sejak kejadian di rumah sakit, saat Damara dirawat, Imelda kembali merasakan ada yang aneh pada dirinya. Hatinya seakan dipenuhi cinta. Semua yang dilakukan Damara padanya seakan termaafkan begitu saja. Sandaran keterpurukan Damara di pelukannya tempo hari membuat segalanya bisa ia pahami. Kini Imelda harus mengakui, ia memang amat mencintai Damara.
Maka di sinilah Imelda, dengan sisa usahanya untuk tidak kembali terjerat cinta yang ia yakini akan kembali menyakitinya. Duduk diam menatap handphone yang terus berdering, seraya melawan keinginannya untuk meraih handphone itu dan mendengar suara Damara.
Akhirnya dengan segala macam pembenaran di kepalanya, Imelda meraih handphone-nya, menghela napas perlahan sebelum bicara.
―Halo...‖ sapa Imelda, berusaha terdengar tidak terlalu bersemangat.
―Halo... Akhirnya kamu mau angkat teleponku juga.‖ Suara laki-laki yang dirindukan Imelda terdengar. ―Kamu udah tidur, Mel?‖
―Baru akan,‖ jawab Imelda datar.
―Baru akan... Hm, pantas saja lampu apartemen kamu masih nyala,‖ kata Damara.
―Lampu apartemen...? Maksudnya? Kamu di mana?‖ Seperti orang linglung Imelda menoleh ke sana-sini, berharap bisa menemukan Damara di salah satu sudut apartemennya. ―Kok kamu tahu lampu apartemenku masih nyala?‖
―Karena aku melihatnya,‖ jawab Damara singkat.
Imelda berdiri dari tempat tidur, mondar-mandir di dalam apartemennya.
―Kamu di mana sekarang?‖ tanya Imelda lagi.
―Kalau kamu berjalan ke balkon dan melihat ke bawah, mungkin kamu bisa lihat di mana aku berada.‖
―Ya Tuhan...‖ keluh Imelda.
Dengan ponsel yang menempel di telinganya, Imelda bergegas ke balkon. Matanya mencaricari sosok kecil di bawah sana yang terlihat melambai ke arahnya.
―Aku melihat kamu sekarang,‖ kata Damara, ada nada lega di balik suaranya. ―Jika aku tidak sedang berkhayal, aku melihat kamu tersenyum.‖
Imelda memang sedang tersenyum. Melihat Damara ada di bawah sana membuatnya ingin berlari turun menghampirinya.
―Kamu ngapain?‖ tanya Imelda tetap menjaga nada suaranya agar tetap terdengar normal.
―Aku di sini karena butuh vitamin.‖ Suara Damara kembali terdengar lewat ponsel yang dipegang Imelda. ―Akan ada banyak hal melelahkan yang masih harus kuhadapi, karena itu... aku perlu melihat kamu.‖
Imelda menatap ke bawah, berusaha melihat raut wajah Damara di bawah sana yang hanya terlihat seperti titik kecil. Dari suaranya Imelda yakin ada yang sedang membebani Damara sekarang ini.
―Ada apa... kenapa kamu perlu melihat aku?‖
―Aku hanya memerlukan tambahan energi. Dan mendengar suara kamu, melihat kamu berdiri di sana menatap ke arahku, itu sudah menjadi hal istimewa untukku.‖
Nada suara Damara terdengar makin aneh di telinga Imelda, membuat perasaan Imelda semakin tidak keruan. Imelda menutup teleponnya dan bergegas masuk. Dengan cekatan ia menyambar sweternya dari atas tempat tidur dan memakainya untuk menutupi gaun tidur yang seadanya. Setengah berlari Imelda turun menghampiri Damara.
***
Damara menghentikan langkahnya, dan menoleh saat telinganya menangkap suara Imelda. Sosok Imelda terlihat samar di kejauhan, gaun tidur putihnya bergerak indah mengikuti langkah kakinya. Damara mengerjapkan matanya, seakan meragukan pandangannya bahwa yang sedang berjalan mendekat itu benar-benar Imelda.
Mereka akhirnya duduk di taman apartemen Imelda. Damara terus menatap Imelda lekatlekat. Tadinya, bisa kembali bersama Imelda sedekat ini hanya keinginan yang diyakini Damara sulit diwujudkan. Tapi nyatanya, malam ini, saat begitu banyak yang mengganggu pikirannya, kegalauan yang dirasakannya justru memunculkan ide gila, yang membawanya sampai di sini. Awalnya sekadar berharap bisa melihat Imelda dari kejauhan, nyatanya sekarang bagai anugerah bisa bersama Imelda sedekat ini.
―Berhenti lihatin aku kayak gitu,‖ cetus Imelda, setelah hampir sepuluh menit Damara hanya menatapnya dalam diam.
Damara mengalihkan pandangannya pada tanaman-tanaman yang menghiasi taman, wajah lelahnya mengulaskan senyum kecil.
―Maaf...‖ kata Damara pelan, ―aku hanya masih belum percaya benar kamu mau turun nemuin aku di sini. Tadi waktu kamu masuk ke dalam dan menutup telepon, aku kira kamu sudah nggak mau bicara dan lihat aku lagi. Dan melihat kamu di sini rasanya seperti...‖ Damara menghentikan kata-katanya, ragu apa ia perlu mengatakan apa yang dirasakannya sekarang.
―Seperti apa?‖ tanya Imelda. Seakan membaca keraguan Damara.
―Kamu sangat baik, Mel. Setelah aku menyakitimu, kamu masih mau nemuin aku malam ini... Terima kasih ya,‖ kata Damara, mengalihkan pembicaraan.
―Aku bisa apa? Mana mungkin aku hanya melihat kamu dari atas sana, sementara nada suara kamu, kalimat yang kamu ucapkan, seakan-akan kamu mau berangkat perang,‖ jelas Imelda.
Damara kembali menatap Imelda, kali ini lebih lekat. Ya Tuhan, andai aku bisa mencintainya dengan mudah, batin Damara. Imelda begitu sempurna di matanya, begitu baik, begitu lembut, hingga Damara tidak tega melukai Imelda dengan apa yang dirasakannya.
Damara menunduk, sadar bahwa ia tidak boleh memanjakan dirinya dan harus menerima kenyataan bahwa selamanya ia tidak akan pernah bahagia bila berurusan dengan cinta.
―Maaf, Mel... Aku selalu melibatkan kamu. Salahku memang, tidak bisa mencegah diriku menemui kamu. Seharusnya aku tidak melakukan hal ini,‖ kata Damara lirih. Menggeleng lemah.
―Jadi sekarang kamu mau bilang menyesal?!‖ sergah Imelda dingin.
―Aku gila kalau aku bilang menyesal... Aku hanya tidak ingin...‖
―Perasaan ini menyakiti kamu lagi?‖ Imelda meneruskan kata-kata Damara. ―Itu kan yang mau kamu bilang?‖ Imelda bangun dari kursi taman, berdiri memunggungi Damara seakan enggan menatapnya.
Damara dibuat diam.
―Iya benar! Perasaan kamu memang menyakiti aku. Bahkan sangat menyakiti aku!‖ lanjut Imelda parau. ―Setelah meninggalkan begitu banyak hal di kepalaku, dengan mudahnya kamu hendak menjauh dengan alasan tidak ingin menyakiti aku?! Kamu datang, pergi, datang, dan mau pergi lagi dari hidupku sesuka kamu. Membiarkan aku kembali merasakan sakit yang seharusnya sudah sembuh.‖
Imelda membalikkan badannya menghadap Damara, membuat Damara kini bisa melihat jelas kesedihan di wajah Imelda, dengan air mata yang mengalir pelan dari mata indah Imelda.
―Kamu tahu? Semua itu lebih menyakitkan, ketimbang aku harus menderita karena berada di samping kamu, untuk mencintai kamu.‖
Air mata Imelda mengalir semakin deras, seiring meluncurnya kalimat yang menjadi tamparan bagi Damara.
Dengan ragu-ragu Damara meraih Imelda ke dalam pelukannya. Imelda sempat berontak, memukul keras dada Damara, tapi Damara justru mengeraskan pelukannya di tubuh gemetar Imelda. Ia tidak akan melepaskan pelukannya, tidak di saat ia tahu ia sudah begitu dalam melukai wanita yang dicintainya.
Imelda terus menangis di pelukan Damara, tubuhnya gemetar hebat seiring isak tangisnya.
Aku mencintai kamu, Mel, andai saja rasa ini bisa terkatakan tanpa rasa sakit menyusul di kemudian hari, kata Damara dalam hati, seraya membelai lembut rambut Imelda di pelukannya. Rasa sesak di dadanya begitu menyiksa, hingga air matanya pun merembes tanpa suara.
***
Anka berjalan melintasi ruang tengah, langkahnya terhenti, mendapati Danu duduk di sofa. Tadinya Anka sengaja pulang terlambat hari ini dan menghabiskan waktu berjam-jam di toko buku, agar saat pulang ia bisa langsung masuk kamar dan tidak terlihat menghindari Danu. Tapi nyatanya, Danu yang biasanya menghindarinya malam ini justru duduk di ruang tengah seakan menunggu kepulangannya.
―Hai, Nu...‖ sapa Anka canggung.
―Baru balik?‖ tanya Danu, menyunggingkan senyum kaku.
Ini benar-benar suasana yang tidak seharusnya terjadi antara mereka, rasanya sungguhsungguh buruk.
―Iya, gue tadi ke toko buku dulu... Eh, gue ke kamar dulu ya, Nu, mau mandi. Badan gue udah lengket banget nih.‖ Merasa kecanggungan ini perlu disudahi, Anka segera melanjutkan langkahnya. Tapi baru dua langkah Anka beranjak, suara Danu terdengar lagi.
―Bentar, Ka... Kita bisa ngomong sebentar nggak, sebelum lo ke kamar?‖
Danu mengajak Anka duduk bersisian di teras belakang. Belum ada yang memulai bicara, keduanya berusaha menetralisir perasaan tidak nyaman.
―Rasanya aneh ya, kita duduk di sini tapi kita cuma diem-dieman. Beda kayak biasanya,‖ Danu memulai bicara. ―Ternyata dampaknya parah juga ya...‖
Anka menoleh, menatap Danu. Sekilas ada senyum datar di wajah Danu, senyum yang tidak pas berada di wajah Danu.
―Sori ya, Ka, gue udah bikin situasi jadi serbasalah kayak gini,‖ Danu kembali bicara. ―Seharusnya lo nggak perlu tahu perasaan gue. Seharusnya gue nggak bebanin lo dengan hal nggak penting yang gue rasain...‖ Danu tertunduk.
Ada ekspresi yang tidak dikenali Anka pada wajah Danu. Seperti... seperti, ah... Anka sendiri tidak tahu seperti apa. Ingin rasanya Anka mengusap bahu Danu, sekadar menunjukkan empati seperti biasanya. Tapi kepada apa harus berempati? Semua hal yang dirasakan Danu kali ini berhubungan dengan dirinya. Jika tentang hal lain, mungkin akan lebih mudah disikapi. Dengan segala ketidakmengertiannya, yang terasa seperti kebodohan, Anka hanya duduk diam tidak tahu harus mengatakan apa.
―Tapi ini nggak bakal lama kok, Ka. Gue mungkin bakal pindah ke Bandung.‖
Anka segera menoleh, menatap lurus ke arah Danu, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
―Bandung...? Lo mau pindah ke Bandung?‖
Danu mengangguk pelan, senyum datar kembali terlihat di wajahnya.
―Gue mungkin bakal nerusin kuliah di Bandung, Ka.‖
―Gara-gara masalah ini lo mutusin pindah ke Bandung?‖ tanya Anka lagi, sedikit sangsi dengan sempitnya pikiran Danu.
―Apa lo berharap gue pindah ke Bandung gara-gara gue suka sama lo?‖
Anka menggeleng cepat. Ia tentu tidak mau Danu harus menghindar darinya sejauh itu.
―Pikiran gue nggak sesempit itu, Ka. Gue pindah ke Bandung karena memang gue mau balik ke sana.‖
―Tapi, kenapa?‖
Danu kembali tertunduk, sepertinya begitu banyak hal yang membebani pikirannya.
―Karena gue pengin punya tujuan dalam hidup gue,‖ jawab Danu singkat. Jawaban yang tidak sepenuhnya dapat dimengerti Anka. ―Gue pengin ngejar apa yang seharusnya gue kejar di sana.‖
―Kenapa harus di Bandung? Lo bisa ngejar cita-cita apa pun di sini, kan?‖
―Lo belum lupa kan, Ka, di Bandung sana Papa masih butuh gue?‖
Anka mengangguk. Sekarang ia paham sepenuhnya, bahwa keputusan Danu untuk pindah ke Bandung sebagian besar karena keberadaan ayahnya. Anka mengerti banyak hal yang menjadi pertimbangan Danu mengambil keputusan itu. Melanjutkan kuliah di kota Bandung dengan begitu banyak pilihan perguruan tinggi bergengsi, sekaligus bisa tinggal dan merawat ayahnya yang sakit memang alasan yang paling tepat. Hanya saja Anka merasa ada yang
salah... Keputusan Danu meninggalkan Jakarta membuat Anka merasa ada yang terambil darinya.
―Jadi, mulai sekarang lo nggak usah ambil pusing omongan Andro ke elo soal perasaan gue,‖ ujar Danu. ―Anggap aja Andro nggak pernah ngomong apa-apa. Lo jangan sampe ngerasa terbebani sama apa yang lo denger tentang perasaan gue ke elo. Oke?‖
―Nu... gue sebenernya nggak pernah ngerasa terbebani sama perasaan lo. Gue cuma nggak tahu harus bersikap gimana. Lo tuh sahabat gue, Nu. Gue nggak ngerti lo tiba-tiba...‖ Anka menghentikan kata-katanya, menghela napas pelan, seraya menatap ke arah Danu yang duduk menunduk di sampingnya.
―Gue sayang sama lo sebagai orang yang selalu ada saat gue susah dan senang. Gue sayang lo sebagai sahabat. Gue nggak berani ambil risiko nyampurin perasaan macem-macem dalam persahabatan kita. Gue nggak mau ambil risiko kehilangan sahabat kayak lo, Nu...‖
Danu menunduk semakin dalam. Kata-kata Anka bukan kata-kata yang tak terduga. Danu sudah menyangka Anka akan mengatakan hal klise itu. Hanya, tetap saja kata-kata itu terdengar lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan.
Danu berusaha mendongak, memaksakan senyum tergurat di wajah kakunya. Ia tidak ingin Anka melihat ada yang tidak beres pada dirinya.
―Tenang aja, gue tetep jadi sahabat lo, apa pun keputusan lo. Lagian apa lo nggak sadar gue bakal pindah ke mana...?! Bandung, Anka! Bandung... Sarangnya cewek-cewek paling cantik se-Indonesia,‖ kata Danu dengan nada suara yang dibuat seceria mungkin. Danu merangkulkan sebelah tangannya ke bahu Anka, melebarkan senyum hingga rahangnya terasa nyeri. ―Berani taruhan, nggak sampe satu minggu gue pasti udah suka sama cewek sana.‖
―Becanda lo...‖ kata Anka menatap Danu, heran dengan reaksi Danu yang berubah drastis. ―Serius? Secepat itu?!‖
―Iya dong, gue kan masih muda. Perasaan gue bisa berubah kapan aja,‖ kata Danu, menyeringai lebar menutupi semua kebohongannya. ―Makanya mulai sekarang lo nggak usah menghindar lagi dari gue. Mulai sekarang, mending kita lebih sering main bareng. Sebelum gue beneran pindah ke Bandung, seharusnya kita bikin lebih banyak kenangan asyik.‖ Danu menyodorkan jari kelingkingnya pada Anka, kembali mengulas senyum termanisnya. ―Nah, sekarang janji, mulai hari ini lo nggak bakal ngehindarin gue lagi,‖ kata Danu.
Anka masih diam, seakan ragu.
Danu meraih tangan Anka, mengaitkan jari kelingking Anka ke jari kelingkingnya. ―Oke. Sekarang lo udah bikin perjanjian sama gue... Yang ingkar janji bakal belekan nggak sembuh-sembuh!‖
Anka tertawa akhirnya. Tawa yang begitu melegakan Danu. Mungkin hanya ini yang bisa dilakukan Danu, menyimpan baik-baik perasaannya. Jika Anka bisa tertawa seperti ini, perasaannya sudah tidak penting lagi. Ia hanya ingin mengingat wajah bahagia Anka sebelum pelan-pelan mulai menjauh darinya.
*** CAKKA masuk ke ruang kerja Damara tanpa mengetuk pintu seperti biasanya. Membuat Damara, yang sedang duduk di balik meja kerjanya dengan berkas yang baru setengah jalan dibacanya, mendongak seketika.
―Ini apa maksudnya, Mar?!‖ sergah Cakka tanpa basa-basi, seraya membanting sebuah tabloid di atas meja kerja Damara.
Tidak begitu mengerti ucapan Cakka, tanpa banyak pertanyaan, Damara langsung mengambil tabloid di atas mejanya. Membuka lembar demi lembar tabloid tersebut untuk tahu apa yang menyebabkan Cakka semarah ini. Hingga pada halaman empat, matanya menangkap foto Imelda yang sedang memeluknya di ruang sidang beberapa waktu lalu. Di atasnya tertulis headline dengan huruf-huruf meliuk tercetak tebal dan begitu menarik perhatian.
TERUNGKAPNYA ALASAN IMELDA AZIZAH MENGGANTI PENGACARANYA
Dengan konsentrasi terpecah-pecah, Damara mencoba membaca artikel yang nyaris penuh satu halaman tabloid. Artikel yang membeberkan berbagai spekulasi alasan Imelda Azizah menggunakan jasa pengacara berinisial DMR . Tidak hanya itu, bahasan skandal cinta yang pernah menyita perhatian publik antara Imelda dengan pengacara yang disewanya pun diuraikan.
Hingga Damara sampai pada paragraf yang membuat kecemasannya meluap...
Dari sumber yang tepercaya, diperoleh fakta mencengangkan bahwa Imelda Azizah bukan wanita pertama yang terjerat cinta sang pengacara. Layaknya Casanova, sang pengacara dengan mudah menebar pesonanya ke beberapa wanita kalangan atas. Bahkan yang lebih mengejutkan, sebelum menjalin hubungan dengan Imelda Azizah, pengacara GBR telah menjalin hubungan dengan seorang wanita pengusaha spa terkenal yang juga istri seorang pengusaha.
Kepiawaian sang pengacara menangani kasus perceraian kalangan atas rupanya berbanding lurus dengan kepiawaiannya menarik perhatian kliennya.
Damara tidak melanjutkan beberapa baris terakhir artikel itu, ia sudah tahu apa yang akan mereka tulis setelahnya.
―Yang mereka tulis di sini nggak bener kan, Mar?‖ tanya Cakka tidak sabar. ―Ini cuma gosip murahan, kan?‖
Damara tidak menjawab, ia hanya menghela napas dalam, mengusap wajahnya dengan lelah, sementara Cakka terus menatapnya menunggu jawaban.
―Aku nggak bisa jawab apa-apa sekarang, Kka. Aku nggak ngerti harus bilang apa sama kamu,‖ jawab Damara datar.
―Nggak ngerti gimana? Aku cuma pengin dengar kamu bilang ini berita bener apa nggak!‖ desak Cakka menatap serius ke arah Damara. ―Kalo kamu bilang semua berita di artikel ini cuma gosip murahan, aku percaya sama kamu, dan aku akan langsung tuntut tabloid yang udah bikin nama kamu juga biro hukum kita tercemar!‖
Sekali lagi Damara hanya menghela napas, jawaban apa yang harus dikatakannya pada Cakka, jika yang ditulis di artikel ini benar adanya?
―Mar, bilang kalau berita ini nggak bener!‖ tuntut Cakka.
―Kka, aku...‖
Suara ketukan di pintu terdengar dari luar ruang kerja Damara, Agni, sekretaris kantor, membuka pintu dengan hati-hati.
―Maaf, Pak Cakka, Pak Duta menunggu di ruangan Bapak. Beliau bilang ada hal penting yang perlu dibicarakan dengan Bapak,‖ kata Agni, dengan canggung melihat ke arah Damara dan Cakka, dan melanjutkan kalimatnya, ―beliau juga minta Mas Damara ikut.‖
***
Tangan Imelda gemetar memegang tabloid yang baru saja selesai ia baca, matanya menatap nanar artikel yang memuat berita tentang dirinya lengkap dengan fotonya bersama Damara.
―Ini keterlaluan!‖ sergah manajer Imelda. ―Mereka nggak bisa seenaknya bikin berita kayak gini tanpa bukti jelas... Tapi untungnya, dalam artikel ini mereka menempatkan kamu layaknya korban, jadi kemungkinan besar artikel ini tidak akan begitu berpengaruh pada karier kamu, malahan Mbak rasa akan banyak simpati yang mengalir untuk kamu. Yang kasihan itu pengacara kamu...‖
―Maksud Mbak?‖ tanya Imelda hati-hati.
―Ya kamu lihat sendiri apa yang mereka tulis di sini. Mereka seperti memperburuk citra pengacara itu menjadi laki-laki yang sangat tidak bermoral. Mereka bahkan berani
menyebutkan inisial namanya. Ini bakal jadi masalah besar buat pengacara itu, Mbak duga dia udah dipecat sekarang.‖
Ucapan manajernya membuat Imelda hanya bisa terduduk lemas di sofa. Artikel ini sepertinya memang sengaja dibuat untuk menjatuhkan Damara.
―Mungkin setelah ini tidak akan ada yang mau memakai jasa pengacara itu lagi... Keputusan kamu untuk ganti pengacara benar, Mel.‖
Lanjutan kalimat sang manajer membuat Imelda mati rasa. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan seperti ini akhirnya. Wajah lelah penuh keputusasaan yang diperlihatkan Damara beberapa hari lalu kembali terlintas jelas di ingatan Imelda. Seharusnya ia bisa merasakan apa yang dipikirkan Damara saat itu, seharusnya ia tahu apa yang membuat Damara terlihat begitu rapuh.
***
Damara menatap ke luar gedung melalui dinding transparan ruang kerjanya, sedikitnya sepuluh wartawan terlihat di pelataran gedung. Damara menghela napas berat, membalikkan badannya, lalu menyandarkan punggungnya ke dinding. Inilah yang dijanjikan suami Anggun untuknya, sentuhan kecil yang membuat semua yang diraihnya dengan banyak pengorbanan hancur dengan begitu mudah. Damara berpikir, mungkin ini pantas diterimanya, sebagai orang yang melakukan begitu banyak kesalahan. Mungkin ini belum seberapa, kehilangan karier yang dirintisnya dari titik terendah dengan cara tidak terhormat bukan hal yang pantas dikeluhkan... Kata ―terhormat‖ bahkan rasanya tidak pantas dipikirkannya.
Cakka masuk ke ruang kerja Damara dan berjalan mendekati, ekspresinya sama tertekannya seperti Damara. ―Wartawan di luar gila semua! Siapa aja yang keluar dari kantor ini langsung diserbu,‖ kata Cakka putus asa. ―Mereka nggak punya kerjaan lain apa, selain ngerecokin kehidupan orang?‖
Damara hanya tersenyum getir mendengar gerutuan Cakka, ia tahu benar Cakka sedang mencoba mencairkan suasana setelah mereka didamprat habis-habisan oleh petinggi biro hukum tempat mereka bekerja.
―Sori, Kka... Aku bikin semuanya jadi kacau kayak gini,‖ kata Damara penuh sesal. ―Garagara aku semua orang di kantor kena imbas nggak nyaman kayak sekarang.‖ Cakka diam, tampaknya tidak tahu harus mengatakan apa. Damara sendiri tahu benar ia sudah begitu banyak membawa kesulitan untuk Cakka.
―Akhirnya harus sampai di sini...‖ kata Damara lirih, seraya memasukkan beberapa barang ke tas kerjanya.
―Ini belum berakhir, Mar. Aku akan coba ngomong lagi sama Pak Duta. Kamu nggak bisa dikeluarin begitu saja karena masalah ini. Semua berita ini tentang kehidupan pribadi kamu, nggak ada hubungannya sama pekerjaan profesional, jadi nggak ada alasannya kamu keluar.‖
Damara tersenyum getir mendengar pernyataan Cakka. Andai semua orang beranggapan sama. ―Pak Duta nggak salah minta aku ninggalin biro hukum ini, Kka. Apa yang bisa diharap lagi dari pengacara yang punya skandal sama kliennya? Nggak akan ada lagi yang mau sewa pengacara yang kredibilitasnya dipertanyakan kayak aku. Jalan yang terbaik memang aku harus keluar sebelum ada dampak yang lebih buruk buat biro hukum ini.‖
―Tapi, Mar... Kamu kan udah berjuang bareng sama biro hukum ini dari awal. Kamu nggak bisa pergi gitu aja,‖ kata Cakka. ―Ibaratnya kamu tuh ikut besarin nama biro hukum ini, jadi Pak Duta nggak bisa gitu aja...‖
―Udahlah, Kka,‖ potong Damara, ―nggak usah diributin lagi, walaupun Pak Duta nggak minta aku mengundurkan diri, aku bakal keluar juga kok. Aku nggak mau biro hukum ini kena imbas gara-gara semua berita tentang aku.‖ Damara sekilas menatap Cakka, seraya tersenyum untuk mengisyaratkan bahwa ini bukan masalah besar untuknya. ―Besok aku baru bisa bawa barang-barang dari sini. Sekarang repot, di luar banayk wartawan,‖ lanjut Damara sambil menyandangkan tas kerjanya ke bahu sebelah kirinya. ―Thanks ya, Kka... Thanks buat semuanya.‖ Damara menepuk bahu Cakka.
Cakka tersenyum lesu, merangkul bahu Damara. ―Take care ya, Mar... Tapi aku nggak bakal biarin kamu berakhir kayak gini,‖ tegas Cakka.
Damara mengangguk pelan, sekali lagi menyunggingkan senyum kakunya sebelum pergi meninggalkan ruang kerjanya. Damara membawa langkah beratnya meninggalkan ruangan yang selama ini menjadi tempat ia mencurahkan tenaga dan pikiran untuk kariernya.
***
Anka duduk di sofa ruang tengah, sesekali matanya menatap tabloid yang terletak di atas meja. Di depannya duduk diam Danu, melakukan hal yang sama dengan Anka.
―Berita di tabloid ini nggak bener kan, Nu? Lo udah nanya Kak Damara soal ini? Dia pasti bilang ini nggak bener, kan?‖ Anka menanyakan pertanyaan yang hampir sama bertubi-tubi.
―Gue nggak tahu, Ka, dari tadi gue nggak bisa hubungin Kak Damara,‖ kata Danu mulai resah. ―Gue sama nggak tahunya sama lo soal berita-berita ini.‖
Kata-kata Danu berhasil membuat Anka diam. Danu menghela napas berat, mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Sejak pagi kepala Danu rasanya sudah hampir pecah, dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Apa yang tertulis di artikel ini rasanya begitu tidak masuk akal untuk menjadi kenyataan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mungkinkah yang tertulis di artikel ini benar? Rasanya Danu ingin sekali menenggelamkan dirinya agar semua hal memusingkan di kepalanya ikut tenggelam bersamanya.
Bunyi gerung mobil terdengar di luar rumah, baik Anka maupun Danu menegakkan duduk mereka, ekspesi wajah keduanya sama tegangnya. Danu bahkan bisa merasakan jantungnya berdetak begitu cepat, sementara ia menunggu Damara masuk. Sekilas Danu melirik ke arah Anka, gadis itu tampak tidak lebih baik dari dirinya.
Tak lama, terdengar bunyi tangkai pintu diputar, membuat jantung Danu semakin keras menggedor-gedor rongga dadanya. Beberapa detik kemudian Damara muncul dari balik pintu dengan wajah lusuh, lalu tersenyum kaku saat melihat Danu dan Anka berdiri di ruang tengah. Damara menghela napas, helaan napas yang Danu sendiri tidak tahu untuk mengekspresikan apa.
―Kalian nunggu Kakak rupanya,‖ kata Damara pelan, matanya melihat ke arah tabloid di atas meja. Damara berjalan pelan melewati Anka dan Danu lalu duduk di sofa, seakan siap menerima semua pertanyaan. ―Kalian mau mulai bertanya dari mana?‖ kata Damara datar, menatap keduanya bergantian seakan ia siap menjawab.
Danu bertukar pandang dengan Anka, yang tidak tahu apa dan bagaimana ia harus mempertanyakan semuanya. Padahal sebelumnya, begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, tapi sekarang di saat orang yang bersangkutan ada di depannya, semua pertanyaan itu seperti menguap dari kepalanya.
―Kak, sebaiknya kita bicara soal ini berdua,‖ saran Danu seraya menghindari tatapan Anka.
―Kita bicara di sini saja, lebih baik. Kakak pikir, Anka juga sama ingin tahunya seperti kamu... Setelah semua hal yang mungkin kalian lihat dan baca, ini saatnya Kakak jawab semua pertanyaan kalian.‖
Danu menatap kakaknya. Ada yang aneh dengan ekspresi yang diperlihatkan Damara. Menatap Damara kali ini membuat Danu cemas jika yang ditakutkan Danu sejak pagi tadi mendapat pembenaran dari Damara.
―Kak Damara nggak perlu jelasin apa-apa sama kita. Lebih baik Kakak istirahat aja, ini udah terlalu malem. Lagian kita percaya Kakak nggak mungkin seperti yang mereka bilang,‖ kata Danu. Setelahnya ia heran sendiri kenapa tiba-tiba mengatakan hal itu semua. Yang jelas di dalam pikirannya, ia lebih ingin tidak tahu apa-apa.
Damara tersenyum getir dan menunduk lesu, membuat Danu semakin tidak tenang.
―Kakak ingin semua terselesaikan hari ini,‖ kata Damara tegas, seraya mendongakkan wajahnya menatap Danu dan Anka. ―Kalau kalian ingin tahu benar atau tidaknya yang mereka beritakan tentang Kakak... dengan sangat menyesal Kakak harus mengatakan bahwa itu benar... Walaupun banyak bagian yang mereka lebih-lebihkan, tapi secara garis besar mereka menuliskan kenyataan.‖
Anka dan Danu terperangah lalu saling bertukar pandang. Wajah keduanya pucat, Danu bahkan bisa melihat mata Anka mulai memerah.
―Kak, itu nggak mungkin! Jangan becanda, Kak, nggak lucu,‖ tukas Danu, sekali lagi melirik khawatir ke arah Anka di sampingnya yang sepertinya sudah tidak bisa berkata-kata. ―Kak Damara mana mungkin ngelakuin semua yang mereka bilang... nggak mungkin!‖
―Sayangnya, seperti yang tadi Kakak bilang, itu semua benar, Nu... Maaf kalau bikin kamu kecewa, tapi itulah faktanya.‖
Damara menghela napas lelah selesai mengatakan hal itu, lalu berdiri menepuk bahu Danu yang merasa seakan baru saja diterpa badai besar. Damara melangkah pelan meninggalkan Anka dan Danu.
―Kak, kalau memang apa yang mereka beritakan itu benar, kenapa... kenapa Kakak ngelakuin itu semua?‖ Pertanyaan Danu menghentikan langkah Damara.
Damara membalikkan tubuhnya, kembali menatap Danu. Ada senyum aneh terlihat di wajah Damara.
―Danu, kamu masih terlalu kecil untuk bisa mengerti alasan mengapa semua terjadi sampai begini,‖ kata Damara datar. ―Sekali lagi Kakak minta maaf, membuat kamu kecewa dan malu dengan kenyataan ini, tapi hanya itu yang bisa Kakak katakan sekarang.‖
Damara kembali berbalik dan melangkah pelan meninggalkan ruang tengah. Namun baru beberapa langkah Damara menjauh, Danu menyusulnya, berdiri tegak di hadapan Damara.
Danu merasa ada banyak hal yang perlu dikatakannya pada Damara, mana boleh Damara pergi begitu saja setelah fakta mengejutkan yang dikatakannya.
―Danu kecewa sama Kakak! Danu nggak pernah nyangka Kakak bisa ngelakuin itu semua,‖ kata Danu dengan suara bergetar. Danu merasakan hawa panas menyergap di sekelilingnya. ―Kakak hancurin semua kebanggaan Danu ke Kakak!‖
―Kakak terima semua yang kamu bilang... Kakak memang salah.‖ Damara tetap tenang menanggapi kemarahan Danu, tapi sayangnya ketenangan itu malah membuat Danu berpikir Damara sama sekali tidak menyesali apa yang diperbuatnya.
―Kakak keterlaluan...!‖ sergah Danu lagi. ―Kakak sudah nyakitin banyak orang, termasuk Anka yang cinta sama Kakak...‖
Damara tersentak mendengar apa yang dikatakan Danu. Ketenangan yang semula coba dijaganya saat Danu berteriak marah, kini rasanya sulit dipertahankan. Anka mencintaiku? Ya Tuhan... masalah apa lagi sekarang? batin Damara.
Damara menatap Anka, namun tak ada yang bisa diartikan dari ekspresi wajah Anka. Wajah yang basah oleh air mata itu kini memucat, seakan ia sendiri tidak menyangka Danu akan mengatakan itu semua.
Tanpa berkata apa-apa, Anka bergegas, setengah berlari menuju kamarnya, disusul bunyi keras bantingan pintu dari kamarnya.
Damara berniat melangkah menyusul Anka, tapi tangan Danu mencekal lengan Damara. ―Kakak mau apa lagi sekarang? Kakak nggak boleh bikin Anka semakin sakit,‖ tegas Danu.
Damara menyentakkan cekalan Danu dari lengannya, kali ini menatap tajam ke arah Danu. ―Kakak tahu kamu peduli sama Anka, tapi itu tidak menjadikan kamu punya wewenang melarang Kakak bicara sama Anka.‖
Kata-kata tajam Damara berhasil membuat Danu terdiam. Damara melangkah, bergegas menuju kamar Anka. Damara tahu, ia tidak mungkin mengubah semua yang telanjur buruk menjadi kembali baik, tapi setidaknya ia ingin Anka mengerti.
***
Anka menyandarkan tubuhnya di balik pintu kamarnya. Air mata tak henti-hentinya mengucur, sampai-sampai ia merasa begitu lelah. Ini tidak bisa dipercaya! Setelah semua hal mencemaskan, mengganggu pikiran sejak pagi tadi, ia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Ia ingin mendengar penyangkalan dari Damara. Ia ingin mendengar Damara mengatakan semua itu hanya berita bohong. Tapi apa yang dikatakan Damara barusan membuat semua harapannya mustahil menjadi nyata.
Setelah Danu memberitahu Damara tentang perasaannya, Anka sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya, rasanya Anka ingin meraung keras-keras agar rasa sesak ini bisa hilang.
Bunyi ketukan terdengar dari balik pintu kamarnya, Anka menebak itu pasti Danu yang datang untuk mengatakan sesuatu setelah pernyataan spektakulernya.
Tapi tampaknya Anka salah, karena bukan suara Danu yang terdengar.
―Anka...‖
Anka merasakan jantung berdetak semakin cepat saat mendengar suara Damara terdengar dari balik pintu kamarnya. Apa yang harus dikatakannya setelah Damara tahu perasaannya? Anka mendengar bunyi gesekan berat di daun pintu, sepertinya Damara melakukan hal sama dengannya, menyandarkan diri ke pintu. Mungkin sekarang mereka berada di satu titik sandar yang sama. Anka menekan dadanya seakan ingin meredam detakan keras jantungnya, berharap Damara di balik pintu sana tidak bisa mendengarnya.
―Kamu baik-baik aja, Ka?‖ Suara Damara kembali terdengar.
Anka hanya diam, karena ia sendiri tidak tahu apakah baik-baik saja atau tidak.
―Pertanyaan bodoh ya...‖ Damara kembali bicara. ―Seharusnya Kakak sudah tahu jawaban kamu apa, setelah apa yang baru saja terjadi tentu kamu tidak mungkin baik-baik saja... Maafin Kakak ya, Ka.‖
Air mata Anka kembali mengalir pelan di pipinya. Mendengar permintaan maaf Damara, dadanya terasa sesak.
―Terima kasih, Ka, kamu memiliki perasaan itu untuk Kakak. Itu sangat berarti. Andai saja Kakak bisa membalas perasaan kamu.‖
Anka menekan kembali dadanya, berharap sesak ini bisa hilang di tengah tangis tertahannya.
―Kakak sayang kamu, Ka... Kakak ingin kamu memberikan perasaan itu kepada seseorang yang lebih pantas dan lebih berharga untuk menerima perasaan kamu.‖
Kata-kata Damara justru meluruhkan air mata yang semula coba dikendalikan Anka. Rasa ini seakan tidak memberinya sedikit jeda untuk menghentikan tangisnya.
“Kamu mau aku menunggu?” – Imelda DAMARA membuka mata. Menyadari ia berada di atas tempat tidurnya, tertidur dengan pakaian yang dikenakannya sejak siang. Ia bahkan tidak melepas sepatunya. Damara merasa tubuhnya begitu lemas, begitu lelah, seakan ia baru saja melewati begitu banyak siksaan.
Damara mendudukkan dirinya. Beban yang begitu berat seperti menekan pundaknya, membuatnya merasa sulit mengangkat wajahnya dengan penuh harapan.
Tak ada satu orang pun di meja makan pagi ini. Damara tidak terkejut dengan situasi yang ia hadapi. Ia sudah menyangka tak akan ada yang bersedia menemaninya sarapan. Justru malah mengherankan jika ada Anka atau Danu duduk di sini bersamanya. Semua pasti merasa tidak nyaman.
Damara mengolesi rotinya dengan selai kacang, seperti biasa, lalu melipat rotinya agar lebih mudah dimasukkannya ke mulut. Tapi Damara tidak kunjung menggigit rotinya. Damara merasa sesuatu menyekat tenggorokannya, yang membuatnya tidak ingin memasukkan apa pun ke mulutnya. Tanpa disadari, setitik air menetes ke punggung tangannya.
Damara tersenyum getir, seraya menghapus pelan air matanya. Beban ini rasanya terlalu menyiksa, membuat Damara terpaksa meluruhkan semua ketegaran yang selama ini coba selalu dijaganya.
***
―Aku harap kamu mau terima ini, Mar. Ini jalan keluar terbaik yang bisa aku usahakan buat kamu,‖ kata Cakka di ruang kerja Damara, saat Damara mengepak barang-barangnya.
Damara menghela napas lelah. ―Aku nggak percaya diri menerima tawaran kamu, Kka. Reputasi aku di sini telanjur hancur. Aku nggak mau di sana malah bikin susah temen kamu.‖
―Mar, di sana beda. Mereka nggak begitu peduli sama urusan pribadi dan kehidupan kamu selama kamu punya kinerja yang bagus,‖ jelas Cakka berusaha meyakinkan Damara. ―Aku sudah ceritain semua tentang kamu ke temenku di sana, dan dia nggak masalah. Setelah dia
lihat kinerja kamu dari kasus-kasus yang pernah kamu tangani, dia malah seneng banget kalau kamu mau bergabung di sana.‖
Damara mendudukkan diri di kursi kerjanya. Bingung, entah apa yang harus dilakukannya dengan tawaran Cakka yang luar biasa untuk orang sepertinya. Mendapat tawaran bekerja di sebuah biro hukum di Swiss, yang baru didirikan oleh salah satu kenalan dekat Cakka, mungkin adalah hal terbaik yang bisa didapat pengacara yang baru saja dihancurkan reputasinya.
―Kamu mau kan, Mar?‖ Suara Cakka menyadarkan Damara dari semua pertimbangannya. ―Aku harap kamu terima tawaran ini.‖
―Kka, ini mungkin tawaran langka yang bisa didapat orang kayak aku. Tapi aku ngerasa nggak mampu terima tawaran ini. Aku ngerasa...‖
―Ngerasa apa lagi sih, Mar?‖ sergah Cakka tidak sabar. ―Kamu ngerasa udah terpuruk banget gara-gara ini semua? Apa kamu mau tenggelam dalam perasaan terpuruk itu dan berhenti jadi pengacara, padahal kamu punya kemampuan... Aku nggak percaya Damara yang kukenal bisa begini. Aku tahu yang kamu alami memang berat, tapi Damara yang aku kenal bukan orang kayak gini!‖
Damara terdiam. Sekuat itukah ia di mata Cakka? Tapi terlepas dari anggapan itu, Cakka memang benar, ia tidak bisa tenggelam dalam keterpurukannya. Ia harus bangkit kembali, karena masih banyak hal yang harus diperjuangkannya. Ia harus kembali mengangkat wajah untuk melanjutkan hidupnya, demi orang-orang yang masih menyandarkan hidup padanya.
―Oke... Aku terima tawaran kamu,‖ kata Damara akhirnya. ―Kapan aku bisa bicara langsung sama temen kamu itu?‖
Dengan wajah berseri-seri Cakka menepuk bahu Damara. ―Gitu dong, Mar! Itu baru Damara yang aku kenal. Beberapa hari yang lalu aku sudah kirim CV dan jelasin semua hal tentang kamu termasuk semua kasus yang pernah kamu pegang. Jadi kamu tinggal ngomong Imel telepon sama dia. Aku akan bantu urusan keberangkatan kamu ke sana.‖
Damara tersenyum mendengar penjelasan Cakka. Cakka telah melakukan begitu banyak hal untuknya, bahkan memikirkan urusan yang tidak terpikir olehnya untuk mengatasi semua ini. Damara menghampiri Cakka, memeluk Cakka dengan rasa terima kasih yang sangat besar. ―Thanks ya, Kka. Aku nggak mungkin bisa lewatin ini semua tanpa bantuan kamu.‖
―Kamu sahabat aku, Mar. Aku nggak bakal biarin kamu berakhir begitu saja,‖ kata Cakka, seraya menepuk bahu Damara. ―Udah ah, lepasin. Aku geli lama-lama dipeluk sama kamu.‖
Damara melepaskan pelukannya, tersenyum kaku seraya mundur selangkah dari Cakka.
―Barang-barang kamu sudah selesai? Sini aku bantuin biar cepet beres.‖ Cakka memasukkan barang-barang Damara ke kardus besar di atas meja.
Damara menatap Cakka, berpikir betapa beruntungnya ia memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa. Tuhan menganugerahinya sahabat terbaik di tengah semua hal buruk dalam hidupnya.
***
―Senyumnya dong, Mel,‖ kata fotografer yang membidikkan kameranya pada Imelda untuk salah satu majalah mode.
Imelda membentuk senyum kaku, berharap ini terakhir kalinya fotografer itu menyuruhnya tersenyum, karena ia sedang tidak ingin tersenyum sekarang ini. Begitu banyak hal yang membuatnya merasa tidak punya daya untuk memberikan senyum lepasnya.
―Oke, selesai!‖ seru fotografer itu akhirnya. Ekspersi wajahnya tampak tidak terlalu puas melihat hasil jepretannya. Tapi Imelda tidak peduli, ia sedang tidak ingin berurusan dengan profesionalitasnya sekarang, ia segera berjalan menuju ruang ganti diikuti manajernya.
―Kamu tuh kenapa sih, Mel? Mereka bisa protes kalo kamu kayak begini,‖ tegur manajer Imelda. ―Lagian nggak biasa-biasanya.‖
―Aku ngerasa kurang enak badan, Mbak,‖ kata Imelda datar, seraya mencopot semua aksesoris glamor yang dipakainya.
―Kalau gitu kita pergi ke rumah sakit,‖ saran manajer Imelda.
―Nggak usah, Mbak, aku cuma butuh istirahat. Kalo setelah ini aku udah nggak ada jadwal lagi, aku mau pulang sendiri.‖
―Pulang sendiri gimana? Tadi kamu bilang nggak enak badan, mana mungkin pulang sendiri?‖
―Aku pengin pulang sendiri, Mbak. Please... biarin kali ini aku sendiri.‖
Imelda menatap manajernya, berharap kali ini manajernya menuruti permintaannya.
―Oke kalo kamu mau sendiri, tapi janji jangan matiin handphone!‖
Imelda mengangguk pelan, walaupun sebenarnya ia tidak yakin bisa menepati janjinya.
***
Imelda duduk di kursi taman, di tempat pertama kalinya ia menyadari memiliki perasaan lain pada Damara. Imelda menghidup udara segar yang memenuhi taman, berharap andai saat ini ia bersama seseorang yang begitu berarti untuknya. Andai saja Damara duduk di sampingnya, membiarkannya menyandarkan kepala ke bahu Damara, agar ia bisa melepaskan semua lelah yang terasa belakangan ini.
Semua pengandaian yang berputar di kepala Imelda membuatnya sekali lagi harus meneteskan air mata. Imelda mendongak, berharap apa yang dilakukannya bisa menahan air matanya. Ia tidak ingin menangis lagi. Tapi seperti yang sudah begitu dipahami otaknya, semakin tidak ingin ia menangis, air matanya semakin tidak bisa dikontrol.
Imelda menghapus air matanya, menghela napas panjang setelahnya. Imelda bangun dari kursi taman, merasa harus segera meninggalkan tempat ini. Ia tidak ingin kesedihan ini mengontrol dirinya dan menjajah pikiran rasionalnya.
Tapi baru satu langkah Imelda menggerakkan kakinya, matanya menangkap sosok yang begitu ingin ditemuinya. Laki-laki itu berjalan mendekat dengan wajah tertunduk lesu. Imelda benar-benar melihat Damara. Lega dan bahagia rasanya Imelda saat melihat Damara. Ia ingin berlari menghampiri Damara dan memeluknya.
***
Damara tidak mengerti alasan apa yang membuatnya merasa perlu ke taman ini. Ia hanya ingin merasakan kembali apa yang dulu pernah dirasakannya, walaupun sepertinya akan menyakitkan mengingat itu semua.
Damara menyeret langkah lelahnya di sepanjang jalan setapak di area taman. Wajahnya terus menunduk menatap susunan batu yang diinjaknya. Lelah yang dirasakannya membuatnya tidak mampu mengangkat kepala. Andai semua berjalan dengan baik, tentu akan sangat menyenangkan melangkah di jalan bebatuan ini. Tidak seperti sekarang, bebatuan ini seperti menusuk setiap senti telapak kakinya, menjalarkan rasa ngilu ke seluruh tubuhnya, padahal seharusnya ia tidak merasakan apa-apa.
Damara menghentikan langkahnya, pandangannya tertuju ke sisi jalan setapak. Sebatang pohon kaktus yang tidak terawat hidup segar di antara rumpun bunga aster yang mulai layu akibat cuaca yang begitu panas belakangan ini. Damara tersenyum, merasa dirinya terlalu payah jika dibandingkan dengan pohon kaktus yang bisa bertahan hidup dalam cuaca apa pun.
Saat akan memutar tubuh untuk kembali melanjutkan langkahnya, tiba-tiba ada yang memeluk punggungnya dari belakang, memeluknya begitu erat. Damara merasakan
jantungnya berdetak cepat di tengah keterkejutannya, sebab ia bisa mengenali jari-jari yang memeluk erat pinggangnya.
―Mel...?‖ kata Damara pelan, sedikit menoleh untuk memastikan dugaannya.
―Aku senang bisa ketemu kamu di sini. Rasanya aku nyaris gila karena mengkhawatirkan kamu beberapa hari ini.‖
Kata-kata Imelda mengalir cepat dari mulutnya seakan sudah terlalu lama ditahannya. Damara merenggangkan pelukan Imelda, membalikkan badannya untuk menatap Imelda. Mata Imelda penuh kekhawatiran dan penuh tanya, sepertinya banyak hal yang ingin diketahui Imelda darinya.
―Aku baik-baik aja, Mel... Paling nggak, aku masih bisa bertahan sampai sekarang,‖ kata Damara pelan.
Ada gurat kelegaan di wajah Imelda, tapi hanya sekilas, ia tetap memandang Damara dengan tatapan yang membuat Damara merasa bersalah.
―Memang terlihat berat, tapi nyatanya masih bisa aku atasi. Apa yang mungkin kamu baca atau kamu lihat di luar sana, itu berlebihan.‖ Damara berusaha mengguratkan senyum agar Imelda tahu bahwa ia baik-baik saja. Tapi alih-alih merasa lebih baik, Damara malah melihat mata Imelda mulai berkaca-kaca, dan sekali lagi Imelda memeluknya.
―Kamu cukup bersandar padaku, sekarang bukan saatnya berpura-pura kuat.‖
Damara menyandarkan kepalanya di bahu Imelda, mengeratkan rangkulannya ke tubuh Imelda. Beban yang berhari-hari begitu menyiksa mulai terasa ringan. Damara membiarkan dirinya lepas, mengabaikan semua pertimbangan tentang perasaan menyakitkan yang mungkin ada setelahnya. Sekarang ia hanya ingin merasakan cintanya, membiarkan tubuh lelahnya bersandar pada seseorang yang dicintainya. Walaupun sekarang ia harus menunjukkan sisi terlemahnya pada Imelda, dengan menangis di pelukan Imelda, ia tidak peduli.
Lalu Imelda dan Damara duduk bersebelahan di kursi taman. Keduanya masih belum banyak bicara, mereka seakan membiarkan diri masing-masing merasakan kebersamaan yang sudah lama tidak mereka rasakan.
―Kamu sudah merasa lebih baik?‖ tanya Imelda menatap Damara di sampingnya.
Damara tersenyum kecil, melihat kekhawatiran Imelda yang masih belum hilang.
―Aku baik-baik aja, Mel, apalagi setelah kamu izinin aku bersandar di pelukan kamu, rasanya lebih lega... Terima kasih ya, Mel,‖ kata Damara pelan. ―Maaf aku berlebihan tadi, seharusnya aku tidak perlu sampai seperti itu.‖
Imelda masih menatap Damara, ia sepertinya masih belum percaya sepenuhnya bahwa Damara sudah merasa lebih baik.
―Kamu manusia biasa, Mar. Kamu bisa sakit, kamu bisa terluka, dan kamu bisa terpuruk. Jadi jangan terlalu memaksa diri untuk menutupi semua. Paling tidak, kamu tidak menutupi di depan aku.‖
Damara menghela napas dalam, tersenyum kaku sebelum akhirnya menatap Imelda. ―Aku merasa tidak pantas seperti ini di depan kamu, Mel.‖
―Kenapa...?‖ Sekali lagi Imelda menatap tidak mengerti ke arah Damara. ―Kenapa kamu harus merasa seperti itu?‖
―Karena aku sudah terlalu banyak menyakiti kamu. Aku seharusnya malu bersandar pada seseorang yang sudah terlalu banyak aku sakiti.‖
Damara kembali menunduk, merasa tidak sanggup mengangkat kepalanya di depan Imelda. Hingga Damara merasakan lengan Imelda merangkul kepalanya, membelai lembut rambutnya, menjalarkan ketenangan yang menenteramkan ke seluruh tubuh lelahnya.
―Kenapa kamu selalu menganggap aku tersakiti dengan mencintai kamu? Sementara buat aku berada di dekat kamu merupakan kebahagiaan,‖ kata Imelda.
Damara mengangkat kepalanya, melepaskan diri dari rangkulan Imelda. Tersenyum getir mendengar kata-kata Imelda, seakan apa yang didengarnya bukan hal yang nyata.
―Terima kasih, Mel,‖ kata Damara akhirnya. ―Terima kasih untuk semuanya. Dan maaf, hanya itu yang bisa aku katakan untuk membalas semua kebaikan kamu.‖
Imelda tidak mengerti, ia hanya bisa menatap Damara dengan pandangan bertanya ke mana sebenarnya arah pembicaraan Damara.
―Kamu terlalu berharga untuk mencintai aku, Mel... Aku sama sekali bukan orang yang pantas menerima cintamu.‖
Melihat Imelda meneteskan air matanya setelah mendengar ucapannya, Damara merasa bahwa sekali lagi ia melukai Imelda, sat hal yang sebenarnya tidak ingin dilakukannya. Andai semuanya berjalan dengan mudah, batin Damara.
―Aku mencintai kamu, Mar! Dan aku yakin kamu memiliki perasaan yang sama dengan aku. Kenapa kita tidak menjadikannya lebih mudah dan sederhana? Aku tidak peduli dengan semua masa lalu kamu, persetan dengan semua itu! Yang aku butuhkan sekarang hanyalah, aku ingin rasa sakit ini hilang dengan berada bersama kamu...‖
Damara terdiam, menatap dalam mata Imelda yang basah. Begitu besar keinginan Damara untuk mengatakan pada Imelda bahwa ia sebenarnya ingin mengatakan hal sama, ia ingin mengabaikan semua pertimbangan yang menyesakkan di kepalanya.
―Andai aku bisa mengabaikan semuanya, dan memenuhi apa yang kamu inginkan,‖ kata Damara, ada semacam desahan putus asa dalam kata-katanya. ―Aku mencintai kamu, Mel...‖
―Lalu...?‖ tuntut Imelda.
―Aku mencintai kamu, dan aku tidak mau menghancurkan kamu. Yang terjadi sekarang hanyalah gambaran kecil dari hal besar yang akan kamu hadapi jika tetap bersama aku,‖ jelas Damara. ―Aku nggak mau apa yang kamu miliki sekarang hancur hanya karena mencintai aku.‖
―Aku nggak peduli itu, Mar! Aku lelah dengan kehidupanku sekarang. Aku udah nggak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi setelah ini.‖
―Tapi aku peduli, Mel... Tolong, jangan membuat rasa bersalah yang aku rasakan sekarang terasa lebih berat,‖ pinta Damara putus asa. ―Aku tidak bisa berada di samping kamu sekarang, walaupun aku ingin.‖
―Kamu pengecut kalau begitu!‖ tandas Imelda.
Kalimat yang dikatakan Imelda seperti guratan benda tajam di dada Damara, pedih dan begitu menyakitkan. Andai Imelda mengerti apa yang ia pikirkan.
―Kamu boleh bilang aku pengecut, bahkan dengan kata-kata yang lebih buruk pun tidak akan kubantah... Aku melawan semua keinginanku untuk bersama kamu sekarang, karena aku ingin bisa menegakkan kepalaku saat berdiri di samping kamu. Aku ingin merasa layak untuk kamu.‖
Keduanya terdiam setelah Damara selesai bicara. Angin sore di sekitar taman menerpa wajah mereka.
―Kapan kamu akan bisa merasa layak berada di samping aku?‖ tanya Imelda lagi.
Satu pertanyaan yang membuat Damara terdiam sesaat, tidak tahu harus menjawab apa karena ia sendiri tidak tahu jawabannya.
―Aku akan pergi ke Swiss,‖ kata Damara pelan, menjawab pertanyaan Imelda.
Imelda menoleh, menatap Damara seakan tidak yakin yang ia dengar barusan benar-benar keluar dari mulut Damara.
―Pergi ke Swiss, maksudnya...?‖
―Aku akan tinggal dan bekerja di sana,‖ jawab Damara datar.
―Untuk berapa lama?‖
Damara menggeleng pelan.
―Kamu mau aku menunggu?‖
Damara tersenyum pahit, sementara Imelda tetap menatapnya dengan serius seakan memerlukan kepastian.
―Aku tidak berani meminta kamu menunggu... Aku ingin kamu hidup dengan baik dan tenang setelah ini. Aku hanya ingin kamu hidup bahagia, walaupun kamu harus melupakan aku. Tidak apa. Lakukanlah...‖
Imelda menatap Damara nanar, tidak percaya Damara mengatakan ini semua. Kalimat Damara sejak awal terasa mengambang, tanpa kepastian. Imelda benci, sebab bukan itu yang ingin didengarnya. Ia berharap mendengar kepastian cinta, agar bisa menguatkan dirinya
untuk mengambil keputusan yang sebenarnya ia sendiri takut melaluinya. Tapi kenyataannya, saat ia membuang jauh-jauh harga dirinya dengan menunjukkan cinta dan kepeduliannya pada Damara, laki-laki itu malah melangkah mundur.
Imelda bangun dari kursi taman yang didudukinya, air matanya sudah mengalir deras tanpa bisa ditahannya.
―Kamu sakit jiwa, Mar!‖ sergah Imelda setengah terisak. ―Kamu gila... Kamu jahat! Kamu melakukannya kepadaku karena ingin melihat aku hancur. Apa sih maksud kamu dengan semua ini? Kamu membuat aku begitu mencintai kamu, setelah itu kamu menyakiti aku. Dan sekarang, setelah aku membuang jauh-jauh harga diriku, berharap kembali sama kamu, kamu malah pergi! Kamu bahkan tidak meminta aku menunggu!‖ Ucapan Imelda nyaris terdengar seperti teriakan di depan Damara. Imelda tidak peduli, ia hanya ingin mengeluarkan semua rasa sakit, kekecewaan, dan ketidakberdayaannya.
Imelda merasakan lengan Damara coba merangkul tubuhnya, berusaha memeluknya, tapi Imelda menolak. Ia memukul tubuh Damara, memukul bagian mana pun yang terjangkau oleh lengannya. Namun Damara tidak melepaskan pelukannya, ia tetap memeluk kuat tubuh Imelda walaupun pukulan keras tangan Imelda mendera tubuhnya. Hingga akhirnya Imelda menyerah, tubuhnya lunglai dan terisak di pelukan Damara yang mendekap erat tubuhnya.
*** “Danu nggak mungkin bisa tanpa Kak Damara, nggak mungkin...” - Danu
MALAM itu Danu duduk bersama Anka di ruang tengah, meminta Anka untuk bicara empat mata setelah kejadian kemarin. Danu tidak ingin atmosfer canggung dan tidak nyaman ini berlangsung terlalu lama.
―Gue minta maaf, karena ngungkapin tentang perasaan lo ke Kak Damara. Sebenarnya gue nggak bermaksud begitu...‖
Anka hanya duduk diam, tidak ada ekspresi berarti yang ditunjukkannya menanggapi perkataan Danu. Ia hanya diam memalingkan wajahnya dari Danu yang berusaha menatapnya.
―Sekali lagi gue minta maaf, Ka,‖ kata Danu terdengar menyesal.
―Udahlah, Nu. Nggak perlu dibahas lagi, semuanya udah lewat,‖ kata Anka datar, seakan apa yang sedang mereka bicarakan saat ini bukan hal penting. ―Lagian sebentar lagi gue balik ke rumah, jadi gue nggak perlu terlalu sering ketemu sama Kak Damara.‖
Danu terperangah mendengar rencana Anka untuk kembali tinggal di rumah orangtuanya.
―Lo mau pindah dari sini, Ka...? Kenapa?‖ tanya Danu. ―Gara-gara masalah ini ya?‖
Anka tersenyum canggung. ―Gue emang udah lama berencana balik ke rumah setelah selesai ujian. Gue kan nggak bisa selamanya bergantung sama kalian. Gue udah terlalu banyak ngerepotin kalian berdua, dan kini saatnya gue belajar mandiri.‖
Danu tidak tahu harus bereaksi apa mendengar rencana Anka. Ia tidak ingin Anka pergi, ia ingin Anka terus berada di sini. Tapi di sisi lain, Anka mungkin punya pemikiran berbeda, mungkin ia punya pertimbangan untuk hidupnya sendiri.
―Lo yakin bisa tinggal sendirian, Ka?‖ tanya Danu, dengan nada khawatir dalam suaranya.
―Gue kan udah gede, Nu. Gue juga udah ngelewatin banyak hal yang memaksa gue berpikir lebih dewasa dari yang seharusnya,‖ kata Anka ringan. ―Mau nggak mau gue harus berani kalo mau mandiri dan hidup tidak tergantung pada orang lain,‖ tandas Anka lalu tersenyum lagi.
Kali ini Danu melihat tekad kuat di balik senyum Anka, membuat Danu berpikir keputusan yang diambil Anka adalah keputusan terbaik untuknya.
―Tapi lo masih bisa tetep bergantung sama gue, Ka. Gue nggak mau gara-gara sok mandiri, lo jadi lupa kalau ada gue yang selalu siap bantu lo kapan aja.‖
―Pasti! Gue nggak mungkin ngelupain sahabat kayak lo.‖
Danu senang mendengar ucapan Anka. Ia seperti mendapatkan kembali sahabatnya. Walaupun perasaan Danu yang sesungguhnya tidak tersampaikan, itu bukan masalah besar lagi untuknya. Yang paling ia inginkan saat ini, semua kembali berjalan baik. Sekarang bukan saatnya mendramatisasi perasaan cintanya pada Anka. Masih terlalu banyak yang harus dipikirkannya, saking banyaknya sampai-sampai rasa sakit ini terasa samar-samar saja.
Tak berapa lama, mereka mendengar bunyi gerung mesin mobil di halaman depan, yang mereka yakini sebagai bunyi mobil Damara. Keduanya saling pandang, tak tahu harus melakukan apa. Bisa dibilang Danu masih belum siap bertemu Damara, masih terlalu banyak hal yang mengganggu pikirannya, mungkin hal yang sama juga sedang dipikirkan oleh Anka. Anka menatap Danu seakan bertanya apa yang seharusnya mereka lakukan, masuk ke kamar masing-masing atau tetap diam di ruang tengah?
Pintu depan terbuka, Danu menatap Damara melangkah masuk, sementara ia dan Anka masih duduk terdiam, tidak tahu harus melakukan apa.
***
Damara menghentikan langkahnya saat mendapati Danu dan Anka duduk di ruang tengah, tidak menyangka akan bertemu. Meski berada di bawah atap yang sama, Damara yang sepenuhnya bahwa Danu dan Anka masih akan menghindar bertemu dengannya. Aneh rasanya Damara harus bertemu mereka tanpa sedikit pun persiapan. Tapi baiklah, semuanya harus dihadapi, lagi pula Damara ingin semua ganjalan di antara mereka cepat selesai.
―Kalian belum tidur?‖ tanya Damara, dengan nada suara setenang mungkin.
Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan Damara, keduanya hanya duduk diam, seakan kehilangan suara.
Damara menghampiri mereka, tersenyum seperti biasa. ―Kalau kalian belum ngantuk, bisa Kakak bicara sama kalian sebentar?‖
Danu dan Anka, keduanya saling bertukar pandang seakan dalam diamnya mereka saling bertanya harus menjawab apa. Sementara itu Damara menyimpulkan sikap diam keduanya sebagai tanda setuju.
―Bisa Kakak mulai bicara sekarang?‖
Masih tidak terlalu banyak reaksi, hanya anggukan singkat Anka yang membuat Damara merasa mendapat izin untuk melanjutkan kata-katanya.
―Hm... Mungkin tidak lama lagi Kakak akan meninggalkan Indonesia,‖ kata Damara langsung ke inti pembicaraan, lelah untuk berbelit-belit.
Anka dan Danu yang semula menghindari kontak mata dengan Damara, sontak menatap kaget ke arahnya.
―Maksud Kakak...‖ Danu mengeluarkan suara tercekat. ―Meninggalkan Indonesia bagaimana...?‖
―Ya, Kakak dapat tawaran kerja di Swiss,‖ jawab Damara.
Danu masih menatap Damara bingung, begitu juga dengan Anka. Hanya saja gadis itu tidak berani mengajukan pertanyaan.
―Bisa Kakak perjelas...?‖ kata Danu.
Akhirnya Damara duduk dan mulai menjelaskan soal tawaran kerja dari Cakka, tawaran yang tak mungkin datang dua kali, terutama dalam kondisi sekarang ini. Tidak ada yang
berkomentar saat Damara menjelaskan rencananya. Danu dan Anka seperti kehilangan kemampuan atau keinginan untuk bicara, dan sepertinya bingung dengan keputusan Damara yang sangat tiba-tiba.
―Nggak masalah kan kalau Kakak menerima tawaran ini?‖ tanya Damara, mulai tidak sabar dengan keheningan di antara mereka.
Lagi-lagi Damara tidak mendapatkan tanggapan. Entah apa yang dipikirkan kedua adiknya ini. Kalau memang sikap diam mereka diartikan sebagai jawaban ―ya‖, Damara merasa ada sedikit rasa sakit timbul karena kekecewaannya.
―Baiklah... Hanya ini yang ingin Kakak katakan, tapi sebelum pergi Kakak akan menyelesaikan urusan kalian dan mempersiapkan segala sesuatunya. Kalian nggak perlu khawatir. Oke, kalian bisa tidur sekarang, Kakak nggak mau terlalu lama mengulur waktu istirahat kalian.‖
Damara bangun lebih dulu dari duduknya, sementara Danu dan Anka masih mematung. Merasa ia lebih baik masuk ke kamar lebih dulu, Damara melangkah meninggalkan ruang tengah.
―Danu belum siap, Kak... Danu belum siap Kakak tinggalin.‖
Ucapan Danu menghentikan langkah Damara. Ia kembali menoleh, memandang Danu yang kini sedang menatapnya dengan tatapan berbeda dari beberapa hari terakhir.
―Danu nggak mungkin bisa tanpa Kak Damara, nggak mungkin...‖
Suara Danu nyaris terdengar seperti isakan. Damara menghampiri Danu, meraih Danu ke dalam pelukannya. Ia merasakan tubuh Danu bergetar, menangis tanpa suara. Danu kembali menjadi adik kecilnya, adik yang amat dirindukannya belakangan ini. Tanpa terasa mata Damara basah, sulit baginya untuk meneteskan air mata sekarang ini.
Anka, yang berdiri tidak jauh dari Damara dan Danu, hanya menunduk dan menutupi wajah basahnya. Damara menatap Anka, dengan sebelah tangan ia mengulurkan lengan merangkul tubuh Anka, membiarkan Anka ikut menangis di pelukannya bersisian dengan Danu.
―Andai saja Kakak punya pilihan lain, Kakak tidak akan meninggalkan kalian...‖ kata Damara lirih, ia mengeratkan rangkulan tangannya ke tubuh Anka dan Danu.
Kesedihan mendominasi sebagian besar perasaan Damara, sisanya adalah ketidakberdayaan dan penyesalan. Banyak pengandaian yang dibuat Damara dalam kepalanya, pengandaian yang membuatnya rela menukar apa saja untuk kembali ke masa lalu dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Andai itu bisa dilakukan...
***
Minggu ini tampaknya minggu yang melelahkan bagi sebagian orang, termasuk Danu, Anka, dan Damara. Danu kembali disibukkan dengan berbagai urusan sekolah, mulai dari kelulusan sampai persiapan mengikuti tes di perguruan tinggi negeri. Anka pun sama, berkutat dengan urusan kelulusannya, dan mengurusi pindahan rumah. Dua hari setelah menyampaikan niatnya pada Danu, Anka memutuskan kembali ke rumahnya. Anka juga kembali bekerja di kafe Rio, sebab setelah menyelesaikan sekolahnya ia merasa punya banyak waktu untuk bekerja. Anka belum memutuskan untuk melanjutkan kuliah, atau menunda sampai ia merasa benar-benar mampu menanggung semua biayanya.
Nasib Damara tidak lebih baik dari Danu dan Anka, ia pun melewati minggu ini dengan sangat melelahkan. Mengurusi berbagai macam dokumen dan persyaratan untuk keberangkatannya ke Swiss, jelas menyita banyak waktu dan energi. Ia bahkan tidak sempat memikirkan rasa ragu atas keputusannya ini. Hingga keraguan itu pelan-pelan menjadi kayakinan saat ia bertekad menata kembali kehidupannya yang telanjur berantakan.
Kini Damara berhasil memantapkan diri berangkat ke Swiss dan memulai semuanya dari awal. Ia bertekad hidup dan berkarya dengan baik di sana, karena ia ingin saat kembali, kapan pun itu, ia bisa mengangkat kepalanya dengan bangga di depan Danu, Anka, dan terutama di hadapan Imelda. Ia ingin saat kembali nanti, bisa kembali menjadi kakak yang bisa dibanggakan Danu dan Anka. Dan yang membuat semua keraguannya hilang sepenuhnya adalah harapan bisa berdiri di samping Imelda, menjadi seseorang yang melindungi Imelda, dan menjadi orang yang pantas merengkuh cinta Imelda tanpa harus merasa rendah atau merasa bersalah.
―Kamu sudah benar-benar yakin mau kuliah di Bandung, Nu?‖ tanya Damara, saat mereka berdua menikmati sarapan di meja makan.
Danu mengangguk menjawab pertanyaan Damara. Ia semakin mantap kuliah di Bandung, terlebih setelah keputusan Damara meninggalkan Indonesia.
―Danu kuliah di Bandung supaya bisa deket sama Papa, Kak. Cuma Papa yang bikin Danu merasa masih punya keluarga selama Kakak pergi nanti.‖ Danu menatap kakaknya, ingin tahu reaksi Damara setelah ia menyebut soal ayahnya. Selama ini Damara tidak banyak berkomentar saat Danu menyinggung tentang ayahnya, padahal Danu ingin sebelum Damara pergi, sekali saja mereka menemui ayahnya di Bandung.
―Kamu nggak apa-apa ninggalin Anka?‖ tanya Damara terkesan mengalihkan topik pembicaraan. ―Kakak khawatir jika Anka sendirian di Jakarta.‖
―Anka lebih kuat dari yang Kakak kira, Danu yakin dia akan baik-baik saja,‖ kata Danu, menghela napas pelan. ―Andai Anka mau kuliah sama Danu di Bandung...‖
―Apa dia sudah memutuskan akan kuliah di Jakarta?‖
―Dia bahkan belum yakin akan kuliah atau nggak.‖ Danu terdengar putus asa saat mengatakannya. ―Anka ngerasa belum mampu biayain kuliahnya, Kak. Jadi sekarang dia memilih kembali bekerja.‖
Damara terdiam, berpikir mungkin akan lebih baik kalau ia berada di sini dan menjaga keduanya. Andai hidupnya tidak serumit sekarang.
Handphone Danu tiba-tiba berdering memecah keheningan di meja makan.
―Halo... Iya, saya sendiri,‖ Danu menjawab orang yang menghubunginya.
Di seberangnya, Damara memperhatikan ekspresi Danu yang berubah tegang. Entah apa yang dikatakan oleh si penelepon.
―Baik, saya segera ke sana, Pak!‖ kata Danu mengakhiri pembicaraannya.
Wajah Danu pucat, ia menatap Damara dengan pandangan bertanya apa yang harus dilakukannya sekarang. Damara yang tidak mengerti hanya balas menatap penuh tanya.
―Kenapa, Nu? Siapa yang telepon?‖ tanya Damara khawatir.
―Tadi dari Bandung, Kak... Mereka bilang Papa jatuh di kamar mandi rumah sakit,‖ jelas Danu dengan suara bergetar.
Ucapan Danu membuat pikiran Damara kosong untuk sesaat, tidak tahu harus mengatakan dan melakukan apa.
―Danu harus berangkat ke Bandung, Kak. Sekarang juga.‖ Danu bangkit dari kursinya, gerakannya mengembalikan Damara ke alam nyata.
Damara mengerjapkan matanya, menatap Danu yang berdiri di depannya. Damara masih tidak tahu harus melakukan apa. Perlukah ia pergi bersama Danu sekarang, mengabaikan semua kebenciannya, atau tetap di sini dan tidak peduli apa pun yang terjadi?
―Danu harus ke Bandung. Sekarang...‖ Danu kembali mengulang kata-katanya. Terlihat bingung dan linglung.
―Oke. Kakak antar kamu... Kita pergi sama-sama,‖ kata Damara akhirnya, menyerah dengan sisa kepeduliannya.
Tiga jam perjalanan menuju Bandung terasa bagai berhari-hari. Perjalanan mereka diliputi suasana tidak menyenangkan. Danu tak henti-hentinya bergerak gelisah, seakan meminta Damara lebih cepat memacu mobilnya.
Kalau memang ada teori yang mengatakan kegelisahan dan kekhawatiran itu menular, Damara akan memakai teori itu untuk menjelaskan apa yang dirasakannya sekarang. Damara sepenuhnya tidak mengerti segala reaksinya. Awalnya, saat mendengar berita tentang ayahnya, yang dirasakannya saat itu hanya kosong. Tidak ada kekhawatiran seperti yang dirasakan Danu. Ia justru berpikir akan bersikap seperti apa jika memang harus bertemu ayahnya. Namun sekarang, ada kekhawatiran yang terselip di benaknya, ada satu harapan berdetak, ia menginginkan ayahnya baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit tempat ayah mereka dirawat, tanpa menunggu mobil benar-benar berhenti, Danu membuka pintu mobil berlari cepat ke lobi rumah sakit tanpa sempat dicegah Damara. Setelah tergesa mengunci mobil, Damara setengah berlari menyusul Danu. Sebagian dirinya masih ragu apakah benar-benar ingin melihat kondisi ayahnya setelah sekian lama.
Damara memelankan langkahnya saat melihat Danu tengah berbicara dengan seorang dokter di depan ruang ICU, berpikir sebentar sambil melihat ragu pada Danu yang masih menunjukkan kecemasannya. Tak berapa lama Damara melangkah pelan menghampiri Danu dan dokter itu.
―Dok, tolong bantu ayah saya...‖ Danu memohon pada si dokter, yang hanya mengangguk pelan tanpa berani memberi harapan.
―Kami akan melakukan yang terbaik untuk menolong ayahmu, tapi segalanya Tuhan yang menentukan. Kita sama-sama berdoa saja.‖
Dokter itu pergi setelah menepuk bahu Danu, meninggalkan Danu yang berdiri diam dengan tatapan kosong. Danu duduk di kursi tunggu ruang ICU, menutup wajahnya dengan kedua tangannya, terlihat sangat putus asa.
Damara duduk di samping Danu, merangkul Danu untuk memberikan sedikit dukungan. Danu mengangkat wajahnya, menatap Damara dengan mata merahnya. Tidak tahan dengan perasaan khawatirnya, Danu menjatuhkan tubuh di pelukan kakak laki-laki satu-satunya.
Damara merasakan tubuh Danu bergetar dan terisak di pelukannya, tapi perlukah ia menangis bersama Danu?
Tidak berapa lama, pihak rumah sakit memberi izin mereka untuk melihat keadaan ayah mereka yang kondisinya tidak kunjung membaik. Damara dan Danu masuk ke ruang ICU lalu duduk di samping ayah mereka. Danu langsung menggenggam erat tangan ayahnya, seakan hendak menunjukkan kehadirannya agar ayahnya terbangun.
Damara sendiri berdiri dengan canggung beberapa langkah dari Danu. Jas hijau rumah sakit yang dipakainya serta bunyi alat-alat di ujung ranjang ayahnya membuat perasaannya tidak tenang.
Setelah sekian lama, akhirnya sekarang ia bertemu lagi dengan orang yang telah menelantarkan mereka dan meletakkan beban berat di pundaknya, memaksanya meletakkan harga diri hingga terjerat kesalahan demi kesalahan agar bisa hidup dan menghidupi adiknya dengan layak.
Damara menatap sosok tak berdaya ayahnya dengan alat bantu pernapasan mulut dan hidungnya. Damara tidak menyangka akan bertemu ayahnya dalam keadaan seperti ini. Damara berpikir, mungkin akan lebih baik kalau ia bertemu ayahnya dalam kondisi sehat dan berdiri tegak, saat ayahnya masih bisa bersikap tidak peduli seperti dulu, agar Damara bisa membencinya tanpa keraguan.
―Kak... sini, Kak,‖ pinta Danu dengan suara sengaunya, tangannya bergerak mengisyaratkan agar Damara mendekat
Damara melangkah ragu mendekati Danu, tidak mengerti harus melakukan apa.
―Pegang tangan Papa, Kak...‖ pinta Danu, seraya menatap penuh permohonan pada Damara.
Damara mengembuskan napas, merasakan tangannya bergerak kaku mendekati tangan ayahnya yang dipegang Danu. Ada perasaan aneh yang dirasakan Damara saat ia menggenggam tangan ayahnya, seperti perasaan yang sudah lama dirindukannya.
Danu bangun dari kursi yang didudukinya, memberi isyarat agar Damara menggantikannya. Dengan patuh Damara duduk menggantikan Danu, tangannya masih menggenggam tangan pucat ayahnya. Mata Damara kini menatap wajah ayahnya, rasa aneh itu terasa makin kuat, seperti mendorong Damara ke tepi, gamang dan takut kehilangan.
Beberapa saat Damara menggenggam tangan ayahnya, ia merasakan tangan di genggamannya bergerak samar. Damara terkesiap, bertukar pandang dengan Danu yang berdiri di sampingnya.
―Tangannya bergerak, Nu!‖ seru Damara, ada kelegaan dalam nada suaranya.
Danu tersenyum lega, ia pun menempelkan tubuhnya ke ranjang ayahnya.
―Papa sadar, Kak,‖ kata Danu tiba-tiba. Damara melihat kelopak mata ayahnya berkedut, lalu membuka perlahan.
Mata ayahnya bergerak lemah, menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang ICU, hingga pada akhirnya Damara merasakan tatapan lemah ayahnya tertuju padanya.
―Ini Kak Damara, Pa... Danu ngajak Kak Damara dateng buat Papa,‖ kata Danu, sebelum ia menggeser posisinya agar ayahnya bisa lebih jelas melihat sosok Damara.
Damara tidak tahu harus melakukan apa, tidak pernah menyangka akan menghadapi situasi semacam ini setelah sekian lama kebencian mengisi jiwanya. Situasi ini terasa begitu janggal.
Ayahnya menatap lemah ke arah Damara, ia bisa merasakan tangan ayahnya mengeraskan genggamannya ke tangan Damara, seakan-akan... kalau Damara boleh menyimpulkan,
ayahnya takut ia akan pergi. Damara masih terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa, otaknya kosong. Yang dilakukannya saat ini hanya diam seraya menatap ayahnya.
Damara melihat sekilas senyum lemah tergurat di bibir ayahnya yang tertutup alat bantu pernapasan, kepala ayahnya bergerak serupa anggukan pelan. Damara juga tidak mengerti mengapa ayahnya melakukan itu, air mata mengalir pelan membasahi pipi pucat ayahnya, tapi masih ada sisa senyuman yang tergurat di ujung bibirnya. Sekali lagi Damara menyimpulkan bahwa ayahnya lega bisa melihatnya dan Danu sekarang.
Dengan segala macam perasaan yang muncul secara bersamaan, Damara menggerakkan tangannya berniat mengusap air mata di wajah ayahnya. Namun sebelum tangan Damara menyentuh wajah ayahnya, mata lemah ayahnya terpejam, disusul bunyi denging mengerikan dari alat-alat yang sepertinya terhubung dengan tubuh ayahnya.
Damara belum menyadari apa yang terjadi saat melihat Danu menghambur keluar, berteriak memanggil dokter dan perawat. Sedetik kemudian Damara mematung, seakan mati rasa menatap garis lurus di monitor jantung ayahnya.
***
Sehari setelah pemakaman ayah mereka di Bandung, Damara dan Danu kembali ke Jakarta. Tidak banyak yang mereka bicarakan selepas kepergian sang ayah. Mereka lebih banyak diam, seperti enggan bicara satu sama lain. Seakan keduanya memilih diam dan larut dalam perasaan masing-masing ketimbang harus saling berbagi.
Danu meletakkan sendok dan garpu yang dipegangnya di atas piring, berhenti menyantap makan malamnya, padahal ia baru memasukkan beberapa suapan saja ke mulutnya.
―Kamu belum menghabiskan makanan kamu, Nu,‖ tegur Damara, saat melihat Danu hendak beranjak meninggalkan meja makan.
―Danu kenyang, Kak,‖ jawab Danu pelan. ―Danu capek, mau tidur.‖
―Bisa kita bicara sebentar sebelum kamu masuk kamar?‖
Danu kembali duduk, wajahnya masih menyiratkan kesedihan.
―Kakak tahu perasaan kamu, Kakak ngerti kamu amat kehilangan atas kepergian Papa,‖ Damara mulai bicara, ―tapi kamu nggak bisa berlama-lama seperti ini.‖
―Danu sedih, Kak. Sekarang Danu benar-benar sendiri. Tadinya Danu pikir saat Kakak pergi ke Swiss nanti, masih ada Papa, satu-satunya keluarga yang bisa jadi tempat Danu bersandar, tapi kenyataannya...‖ Danu menghela napas dalam, mendongakkan wajahnya seakan berusaha agar tak kembali meneteskan air mata.
Damara bangun dari duduknya, merangkul Danu dan menyandarkan kepala Danu ke rusuknya, satu hal yang seharusnya dilakukannya sejak kemarin. Ia memang benar-benar kakak yang tidak berguna!
―O ya, Kak... Kemarin Danu nemuin ini di laci rumah sakit,‖ kata Danu seraya mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi dari saku celananya dan menyodorkan kertas itu ke tangan Damara. ―Ini Papa yang nulis, Kak.‖
Damara mengambil lipatan kertas yang disodorkan Danu padanya, tidak langsung membukanya, Damara hanya menatap bimbang kertas yang dipegangnya.
―Suster yang merawat Papa bilang, beberapa hari sebelum meninggal, Papa minta bantuan suster untuk menulis itu.‖
Damara kembali duduk di kursinya, tangannya masih memegang lipatan kertas yang diberikan Danu padanya, agak ragu apakah perlu membuka dan membaca isinya atau tidak. Akhirnya tangan Damara bergerak membuka lipatan kertas itu. Tulisan tidak teratur terlihat menggurat di atas kertas, tapi Damara masih bisa membaca tulisan itu.
Aku memang bukan ayah yang baik, juga bukan ayah yang pantas mengharapkan sesuatu dari mereka. Aku pantas menerima semua kebencian mereka, bahkan saat anak bungsuku datang dengan ketulusannya, aku merasa tidak layak menerima perhatiannya.
Andai aku diberi kesempatan kembali ke masa lalu, aku akan menebus kebodohanku dan tidak akan melepaskan harta yang begitu berharga dalam hidupku. Sekarang yang ada hanya penyesalan. Masih pantaskah aku mengatakan menyesal? Masih pantaskah aku berharap mereka memaafkanku, dan masih berhakkah aku mengatakan bahwa aku mencintai mereka?
Damara menghela napas panjang selesai membaca tulisan di atas kertas itu. seakan ia menahan napas sejak membaca kata pertama. Damara cepat-cepat mendongak, menahan sesuatu yang hendak jatuh dari matanya meski ia tidak ingin. Nyatanya, sekuat apa pun Damara berusaha, air matanya tetap jatuh, menetes di atas kertas yang dipegangnya.
***
“Kalo sekarang gue minta lo untuk tetep di sini, lo mau menuhin permintaan gue?” – Anka
―INI, Nu... iced cappucino kesukaan lo.‖ Anka menyodorkan gelas ke tangan Danu yang sedang duduk di rerumputan taman kecil di depan kafe tempat Anka bekerja.
―Thanks, Ka,‖ kata Danu, tersenyum kecil.
Anka duduk di samping Danu, masih lengkap dengan seragam kerjanya. Anka meluruskan kaki lelahnya, mengistirahatkan diri di sela jam makan siangnya.
―Sori ya, Nu, gue nggak bisa pergi ke Bandung pas papa lo meninggal,‖ kata Anka pelan.
―Nggak apa-apa, Ka. Lo udah jutaan kali bilang sori sama gue. Gue ngerti kok alasan lo,‖ kata Danu maklum. ―Santai ajalah...‖
Ini memang bukan pertama kalinya Anka meminta maaf atas ketidakhadirannya pada Danu. Setiap kali mereka bertemu, kalimat maaf selalu keluar menggantikan sapaan Anka yang biasa. Anka merasa sangat bersalah tidak berada di samping Danu yang sedang terpuruk kehilangan sang ayah, sementara Danu selalu ada saat ia membutuhkan sandaran.
―Lo pasti sedih banget ya, Nu? Gue ngerti gimana rasanya kehilangan orang yang kita sayang,‖ kata Anka, sambil menatap Danu seakan ingin membaca perasaan Danu dari raut wajahnya.
―Awalnya gue emang sedih banget, ngerasa belum berbuat banyak untuk Papa. Tapi saat gue berpikir bahwa kepergian Papa pasti hal terbaik yang direncanakan Tuhan, gue mulai bisa terima,‖ jelas Danu. ―Paling nggak, sekarang Kak Damara udah maafin Papa.‖
Anka hanya mengangguk-angguk. Ia mengerti benar perasaan Danu sekarang, hanya saja ia tidak tahu bagaimana mengutarakan kepeduliannya, karena ia tahu tidak ada kata-kata yang benar-benar bisa menghibur saat kita sedang kehilangan.
―Kak Damara berangkat besok, Ka... Lo gimana?‖ kata Danu tiba-tiba, setelah lumayan lama mereka hanya terdiam.
―Maksud lo?‖ tanya Anka, heran sendiri kenapa Danu tiba-tiba menanyakan itu padanya. ―Harusnya gue yang nanya lo, gimana lo kalo Kak Damara pergi.‖
―Gue nanya gitu karena perasaan lo ke Kak Damara. Gue kira kalo Kak Damara pergi, lo bakal...‖ Danu tidak melanjutkan kata-katanya, kembali menunduk menatap hamparan rumput taman di bawah kakinya.
―Bakal apa?‖ Anka balik bertanya.
Danu bergerak gusar, seperti tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
―Ehm... lo kan suka sama Kak Damara, lo pasti sedih kalo Kak Damara pergi. Gue cuma khawatir lo nggak bisa bertahan aja.‖
―Elo tuh ngomong apa sih?! Lo nggak kenal gue kalo lo kira gue nggak bisa bertahan karena Kak Damara pergi,‖ jelas Anka. ―Tadinya memang gue sedih Kak Damara harus ninggalin Indonesia, tapi setelah ngerti Kak Damara ambil keputusan terbaik buat semuanya, gue rasa nggak ada masalah kalo Kak Damara pergi.‖
Anka menatap Danu yang hanya mengangguk pelan menanggapi kata-katanya. Mungkin Danu tidak begitu percaya dengan apa yang dikatakannya, tapi Anka yakin benar dengan ucapannya, ia mengerti keputusan Damara untuk pindah ke Swiss. Tadinya ia memang menyangka akan ada ketidakrelaan dan kesedihan dalam dirinya saat Damara memutuskan pergi tapi nyatanya ia bisa menerimanya dengan cukup baik, menggiringnya untuk menyadari apa yang benar-benar dirasakannya sekarang ini.
―Lo jadi kuliah di Bandung?‖ Anka kembali bertanya, untuk meredakan kekakuan.
―Ehm... belum tahu, Ka. Tadinya gue mau kuliah di Bandung karena ada Papa, tapi sekarang Papa udah nggak ada, gue nggak punya alasan lagi berada di sana.‖
Terdengar helaan napas berat dari Danu. Lagi-lagi Anka menatap Danu, menimbang apakah saat ini saat yang tepat untuk mengatakan apa yang dipikirkannya selama beberapa hari ini.
―Ngg... apa lo nggak pernah pertimbangin buat kuliah di sini aja?‖ tanya Anka lirih, sambil menjaga nada suaranya.
Danu tersenyum singkat, menatap Anka sekilas sebelum menebarkan pandangannya ke sekeliling taman. ―Gue kan pernah bilang, alasan lain gue milih Bandung untuk cari suasana baru. Lagian kalo gue nggak jadi ke Bandung berarti gue ingkar janji dong sama lo.‖
―Janji apa?‖ tanya Anka bingung.
―Janji buat cari cewek, biar gue lupa gue pernah suka sama lo...‖
Anka dibuat terdiam oleh kata-kata Danu. Ingatannya kembali pada percakapan dengan Danu dulu. Tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman menyergap dirinya, teringat rasa yang sudah beberapa hari ini menyelinap dalam benaknya.
―Kalo sekarang gue minta lo untuk tetep di sini, lo mau menuhin permintaan gue?‖
Danu menoleh, memandang Anka lekat-lekat seakan tidak begitu yakin Anka mengatakan itu padanya.
―Alasan lo minta gue tetep di sini apa?‖ Danu balik bertanya.
―Gue pengin lo tetep ada di deket gue, kayak dulu...‖ jawab Anka.
―Cuma itu?‖
Anka tidak langsung menjawab, ingin ia mengatakan apa yang ada dalam pikirannya belakangan ini, tapi apakah ini saat yang tepat? Karena ia sendiri belum begitu yakin.
―Lo cuma mau gue tetep nemenin lo di sini, kan?‖ Danu kembali bicara, nada suaranya terdengar datar.
―Nggak, bukan cuma itu... Gue minta lo tetep di sini karena... gue nggak yakin bisa tinggal di Jakarta sendiri tanpa lo...‖ Anka merasakan wajahnya memerah. Ia menundukkan wajahnya, tidak berani melirik Danu yang ia yakin benar sekarang sedang menatapnya.
Akhirnya apa yang ingin dikatakannya selama beberapa hari Danu pergi ke Bandung tercetus juga. Hari-hari tanpa Danu menyadarkan Anka bahwa ia membutuhkan Danu, ia ingin Danu selalu berada di dekatnya.
―Beneran lo mau gue di sini nemenin lo? Elo nggak lagi ngerayu gue karena lo cuma butuh temen naik Metromini kan, Ka?‖
Anka tersenyum lebar, mengerling jengkel ke arah Danu, yang masih menatapnya dengan ekspresi tidak percaya.
―Iya, Nu...! Gue butuh lo bukan cuma buat temen naik Metromini, tapi karena memang gue butuh lo!‖
Senyum di wajah Danu mengembang semakin lebar, membuat wajah Anka merasa panas saking malunya.
―Jadi, Kak Damara...?‖
―Kenapa sama Kak Damara?‖
―Perasaan lo sama Kak Damara gimana?‖ Danu menahan napas, menunggu jawaban Anka. Dalam hati ia berharap Anka akan memberikan jawaban yang ingin didengarnya. Akan terlalu kejam kalau ia harus menerima jawaban yang kembali mengempaskannya ke bumi setelah dibuat melayang ke langit tinggi.
―Hm... sekarang gue lebih nyaman menganggap Kak Damara sebagai kakak gue, cuma itu yang gue rasain ke Kak Damara sekarang... Kak Damara pantas bahagia dengan orang yang dicintainya tanpa harus terbebani sama perasaan gue.‖
Danu masih belum sepenuhnya mengerti maksud Anka, sepertinya otaknya sedang enggan berpikir keras.
―Maksudnya?‖
―Maksudnya, sekarang gue pengin bebanin perasaan gue ke seseorang yang spesial... Makanya gue nggak pengin lo pergi ke Bandung trus ketemu cewek baru dan ngelupain perasaan suka lo ke gue.‖
Danu mendadak linglung, terlalu takut kalau ia banyak bereaksi, semua yang di hadapannya tiba-tiba akan hilang seperti mimpi. Ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan untuknya. Benarkah kata-kata Anka bisa ia simpulkan sebagai balasan atas perasaannya?
Danu merangkul bahu Anka, mengusap rambut Anka, setengah mengacak-acak sebenarnya, karena ia terlalu bersemangat. ―Ribet banget sih lo mau bilang gitu aja ke gue, sampe panasdingin rasanya gue nunggunya.‖
Anka tersenyum malu-malu.
Setelah beberapa hari terakhir dihantam kenyataan yang membuat perasaannya jungkir balik, hari ini untuk pertama kalinya Danu merasa begitu lega, seakan ia bisa kembali merasakan kembali apa itu kebahagiaan.
***
Rio meletakkan secangkir cappucino di atas meja Damara. Damara yang semula menatap ke luar melalui jendela transparan kafe menoleh dan tersenyum pada Rio.
―Thanks, Yo.‖
―Danu mana? Tadi lo masuk sini bareng Danu, kan?‖ tanya Rio, menebarkan pandangan ke penjuru kafe mencari sosok Danu.
―Danu keluar, nemenin Anka makan siang kayaknya,‖ jawab Damara, seraya mengangkat cangkir cappucino-nya. Rio duduk di depannya.
―Besok penerbangan jam berapa, Mar?‖
―Ehm, pukul tiga sore,‖ jawab Damara datar.
―Udah siap berangkat?‖ tanya Rio lagi, ia tetap menatap Damara seperti menunggu Damara memberikan jawaban terjujur padanya.
Damara menghela napas berat, tidak langsung menjawab pertanyaan Rio, karena ia sendiri ragu apa ia benar-benar sudah siap pergi.
―Siap nggak siap, Yo. Gue nggak punya pilihan. Ini keputusan terbaik yang bisa gue ambil dalam situasi gue sekarang ini.‖
―Tapi gimana dengan semua urusan lo yang belum beres di sini?‖
―Urusan yang mana?‖ Damara mengerutkan keningnya.
―Maksud gue... masalah Anggun dan Imelda.‖
Damara tersenyum getir mendengar Rio menyebutkan dua nama itu.
―Anggun... Gue nggak banyak tahu lagi soal Anggun setelah kejadian itu. Gue cuma bisa berharap dia bahagia di mana pun sekarang dia berada. Dan Imelda...‖ Damara kesulitan meneruskan ucapannya. Ada rasa sakit saat ia menyebutkan nama itu. ―Gue rasa akan lebih baik untuk mereka kalau gue pergi.‖
―Yang gue tangkep dari semua cerita lo, gue rasa Imelda cinta sama lo, Mar,‖ kata Rio serius.
―Saat ini, gue ngerasa nggak pantas menerima cinta dari siapa pun, apalagi dari Imelda. Dia terlalu berharga, Yo... Gue bahkan nggak berani minta dia menunggu.‖ Sekali lagi Damara menghela napas panjang, mengisyaratkan begitu banyak hal yang membebani dirinya.
Rio bangun dari duduknya, menghampiri Damara, lalu menepuk-nepuk pelan bahu sahabatnya itu. ―Semua pasti ada penyelesaiannya. Gue yakin lo pasti bisa bertahan sampai semuanya selesai... Be strong, bro!‖
Damara mengangguk, berharap apa yang dikatakan Rio benar adanya, berharap ia sanggup bertahan sampai selesai.
***
Malam ini Danu membantu memasukkan barang Damara ke koper dengan perasaan campur aduk.
―Kak Damara berapa lama di sana?‖
Damara menoleh, tersenyum pada Danu. ―Hari ini udah lima kali kamu nanya pertanyaan yang sama ke Kakak...‖ kata Damara setengah menggoda. ―Kakak belum tahu akan berapa lama di sana...‖
Danu kembali menunduk, memang ini bukan pertama kalinya ia bertanya berapa lama Damara akan pergi, dan sekian kali pula ia berharap akan mendapat jawaban pasti dari Damara.
―Ini... untuk pegangan kamu selama Kakak nggak ada.‖ Damara meletakkan sebuah buku tabungan di atas koper di depan Danu.
Danu mengambil buku tabungan itu, membukanya, dan langsung tercengang dengan saldo yang tertera di tabungan itu.
―Itu tabungan Kakak selama ini, untuk masa depan kamu,‖ kata Damara.
―Tapi, Kak... Ini besar sekali! Danu cuma butuh biaya masuk kuliah, ke depannya Danu bisa kerja sambilan di kafe Kak Rio, bareng Anka.‖
―Kakak mau kamu megang uang itu, sebagai pengganti Kakak selama Kakak pergi,‖ jelas Damara. ―Kakak cuma minta satu hal sama kamu, gunakan uang itu untuk biaya kuliah Anka juga. Kakak mau kamu bisa kuliah bareng Anka di sini.‖
Mata Danu berkaca-kaca, menatap Damara penuh rasa terima kasih. Ia tidak menyangka Damara ternyata sudah memikirkan semua hal tentang dirinya sebelum pergi. Bahkan Damara memikirkan Anka juga. Dari dulu hingga sekarang, Damara memang selalu menjadi kakak kebanggaannya, tak peduli apa pun yang dikatakan orang di luar sana tentang Damara.
―Terima kasih, Kak!‖ Danu memeluk erat Damara, ketenangan tak terjelaskan menjalari Danu saat ia memeluk Damara. ―Danu sayang sama Kakak. Maafin Danu, kalo selama ini belum bisa jadi adik yang baik untuk Kakak...‖
―Apa pun yang terjadi, buat Kakak kamu tetap adik yang terbaik!‖
Danu merasakan air mata hangat mengalir pelan di pipinya seiring penyesalannya atas semua salah paham yang pernah terjadi antara mereka, seiring keengganannya melepaskan kepergian Damara.
***
Imelda masih berbaring di atas tempat tidurnya, walaupun pagi sudah lama berlalu. Begitu banyak yang dipikirkannya, hingga sulit terlelap. Semua karena mendengar penuturan Rio, manajer kafe yang tadi malam dikunjungi Imelda, yang juga teman dekat Damara, bahwa Damara akan berangkat ke Swiss sore ini.
Menyakitkan rasanya harus mendengar kabar kepergian Damara dari orang lain. Tadinya Imelda menyangka setelah ia menunjukkan sedalam apa perasaannya pada Damara, laki-laki itu akan berhenti menyakitinya. Tapi nyatanya, Damara tetap bertahan dengan pemikirannya, ia bahkan tega tidak mengabarkan keberangkatannya.
―Mel, kita ada meeting dengan klien siang ini,‖ manajer Imelda memberitahu. ―Kalau kamu nggak sakit, sebaiknya kamu segera bersiap-siap.‖
Imelda menyibakkan selimut yang menutupi wajahnya, menatap manajernya yang duduk di samping tempat tidurnya.
―Meeting-nya bisa ditunda besok kan, Mbak? Kalo bisa aku pengin di rumah aja hari ini,‖ pinta Imelda dengan suara seraknya dan mata merah akibat kurang tidur.
Manajernya menatap Imelda, seakan menimbang perlukah ia menuruti permintaan Imelda.
―Oke, untuk hari ini kamu boleh istirahat. Lagi pula nggak baik juga kamu nemuin klien dengan kondisi seperti ini,‖ kata manajer Imelda, sambil melemparkan tatapan prihatin. ―Tapi besok nggak ada alasan lagi ya, Mel.‖
Imelda mengangguk pelan, mengiyakan apa pun kata manajernya agar ia bisa ditinggalkan sendiri.
―Kamu istirahat aja. Kalo ada apa-apa telepon Mbak,‖ kata manajer Imelda, sebelum berjalan ke luar kamar.
Imelda kembali menarik selimutnya, sekali lagi berusaha tidur. Sayangnya semua hal yang berputar di kepalanya sama sekali tidak mengizinkannya terlelap walau sekejap. Semua hal tentang Damara tak henti bermunculan di benaknya, membuatnya ingin menjerit karena tidak tahan siksaan psikologis ini.
Akhirnya Imelda menyerah, ia menyibakkan selimut, duduk di tepi tempat tidur. Ia sudah tidak tahan dan merasa perlu melakukan sesuatu, melakukan apa pun yang bisa membuat siksaan ini pergi dan hilang meninggalkannya.
***
Damara memeluk erat Danu di bandara. Ini saatnya bagi Damara meninggalkan orang-orang yang disayanginya.
―Kamu baik-baik di sini ya, Nu. Kakak titip Anka sama kamu,‖ kata Damara melihat ke arah Anka yang berdiri di samping Danu. ―Kamu juga ya, Ka, baik-baik sama Danu di sini.‖ Damara berpaling pada Anka, seperti biasa mengusap pelan rambut gadis itu. Anka mengangguk singkat, senyum kaku terlihat di wajahnya yang lelah. ―Jangan terlalu memaksakan diri, ada saatnya tubuh kamu butuh sedikit jeda.‖
―Iya, Kak... Kakak hati-hati di sana.‖
Damara tersenyum, terdiam sesaat menatap kedua remaja yang seharusnya dijaganya, dua orang yang dengan berat hati harus ditinggalkannya. Damara kembali menoleh ke arah Danu, yang sejak pagi lebih banyak diam. ―Jangan bilang sekarang kamu mau nangis-nangis minta Kakak jangan pergi,‖ ledek Damara pada Danu. ―Malu tuh sama Anka kalo kamu sampai begitu.‖
Danu akhirnya tersenyum setengah terpaksa, ia meninju pelan lengan Damara, membuat Damara lega karena Danu sudah tersenyum untuknya.
―Gitu dong, cowok tuh harus kelihatan kuat!‖ Damara merangkul bahu Danu. ―Ingat pesan Kakak ya, Nu. Kakak yakin kamu bisa.‖
―Iya, Danu ngerti, Kak,‖ kata Danu, melegakan hati Damara.
―Ayo, Mar! Kamu masih harus selesaikan urusan di imigrasi sebelum kamu naik pesawat.‖ Cakka berjalan mendekati mereka.
Damara mengangguk mengerti, ia menghela napas pelan, sekali lagi menatap ke arah Danu dan Anka. Damara memeluk Anka dan Danu dalam satu rengkuhan, memeluk erat mereka seakan dengan rangkulan itu ia ingin mereka tahu bahwa ia benar-benar menyayangi keduanya.
―Kakak pergi dulu, kalian baik-baik di sini... Kakak sayang sama kalian...‖
Akhirnya tiba saatnya bagi Damara melambaikan tangannya pada Danu dan Anka, melangkahkan kakinya menjauh dari mereka. Seiring langkahnya, Damara berharap ini keputusan terbaik demi kebaikan semua orang yang disayanginya.
***
―Nih, minum dulu, Nu.‖ Anka menyodorkan sebotol air mineral pada Danu yang duduk di kursi tunggu lobby bandara. ―Untung lo tadi nggak beneran nangis di depan Kak Damara.‖
―Ya nggaklah, Ka. Gue emang sedih, tapi nggak sampe harus nangis di depan banyak orang, gue juga malu kali,‖ kata Danu, seraya mengambil botol dari tangan Anka dan meminumnya. ―Elo tuh yang tadi keliatan udah mau nangis pas Kak Damara meluk lo.‖
―Gue sih cewek, wajar kalo nangis,‖ kilah Anka. ―Yuk balik, udah sore nih, entar kita kejebak macet.‖
Danu bangun dari duduknya, berjalan pelan bersisian dengan Anka.
―Ka, mulai sekarang lo jadi tanggung jawab gue ya,‖ kata Danu tiba-tiba mengejutkan Anka.
―Tanggung jawab lo? Gimana maksudnya?‖ tanya Anka tidak mengerti.
―Ya, mulai sekarang gue yang jagain lo sesuai pesan Kak Damara. Kalo ada apa-apa yang terjadi sama lo, gue bakal selalu ada buat ngelindungin lo, apa pun itu.‖
Banyak kata sebenarnya yang berputar di kepala Anka untuk membantah pernyataan Danu, namun entah kenapa kata-kata itu tidak bisa dirangkainya menjadi kalimat sederhana sekalipun. Kata-kata Danu berhasil membuatnya terdiam, berhasil membuatnya merasa begitu aman.
Anka mempercepat langkahnya, malu rasanya kalau Danu sampai melihat wajahnya yang mulai memerah.
―Woi, Ka, tungguin dong...!‖ teriak Danu dari belakang Anka. Tapi itu tidak membuat Anka memperlambat langkahnya. Baru saat ia melihat sosok yang dikenalnya berjalan tergesa-gesa memasuki lobi bandara, langkah Anka seketika terhenti.
―Nu, lo kenal sama cewek itu nggak?‖ tanya Anka pada Danu, yang kini sudah berdiri sejajar dengannya.
Danu mengikuti arah pandangan Anka. ―Hmm... kayak pernah lihat, di mana gitu...‖ timpal Danu sambil mengingat-ingat.
―Dia itu Imelda Azizah, Nu! Model yang digosipin punya hubungan sama Kak Damara. Kalo gosip itu bener, berarti dia ke sini buat...‖
Anka bertatapan dengan Danu, seakan mereka paham apa yang berputar di pikiran masingmasing.
***
Imelda menekan dadanya yang terasa begitu sesak, napasnya tersengal-sengal setelah berlari menuju lobi bandara. Di tengah rasa sesaknya, Imelda menebarkan pandangannya ke sekeliling lobi bandara, mencari sosok yang begitu ingin ditemuinya.
―Damara... di mana kamu, Mar...‖ bisik Imelda pelan di tengah kegelisahannya mencari sosok Damara di antara begitu banyak orang yang lalu lalang melewatinya.
Di tengah keputusasaannya mencari Damara, Imelda mulai merasakan matanya panas, sepertinya air mata sialan ini akan menetes lagi! Tapi ia tidak bisa membiarkan itu terjadi, ia tidak akan bisa menemukan Damara kalau sampai menangis.
―Mbak Imelda!‖
Imelda menoleh cepat saat ada yang memanggil namanya. Seorang gadis dan laki-laki muda yang tampak sebaya berdiri di sampingnya. Imelda menatap heran ke arah mereka.
―Mbak Imelda cari Kak Damara ya?‖ tanya gadis itu.
Layaknya orang bodoh, Imelda mengangguk, dan tidak bisa berpikir mengapa ada orang asing yang bisa menebak keperluannya di bandara ini.
―Pesawat Kak Damara belum take off, mungkin Mbak Imelda masih sempat bertemu dengan Kak Damara.‖
―Di mana Damara sekarang?‖ Imelda merasakan suaranya bergetar saat menanyakan itu.
―Kami bisa antar Mbak Imelda ke sana.‖ Kali ini pemuda di samping gadis itu yang bicara.
Tanpa banyak pertanyaan Imelda mengikuti langkah mereka, yang akan membawanya bertemu dengan Damara. Imelda tidak peduli rasa nyeri yang mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Yang ada di kepalanya saat ini hanya Damara, menemui Damara, walaupun itu sekadar melepaskan kepergiannya.
Langkah kedua remaja di depannya berhenti. Imelda mengangkat wajahnya, sekali lagi mulai mencari sosok Damara. Imelda menjatuhkan pandangannya pada sosok yang begitu dikenalinya, walaupun sosok laki-laki tersebut sedang berdiri memunggunginya. Ia yakin benar itu sosok yang dicarinya.
Tanpa banyak pertimbangan, Imelda menghampiri Damara. Di antara begitu banyak orang yang mulai mengenalinya, Imelda memeluk erat punggung Damara. Kelegaan tak terjelaskan seketika menjalari dirinya membawa ketenangan yang sangat menyenangkan dan menghapus semua nyerinya.
―Ketemu... akhirnya ketemu...‖
Damara menoleh, jantungnya berdetak begitu cepat saat merasa seseorang memeluknya dari belakang.
―Mel...!‖ seru Damara, seraya memutar tubuhnya menghadap Imelda. ―Kamu kenapa di sini?‖
―Aku mencari kamu, Mar... Aku mau ketemu kamu.‖
Imelda mendongak menatap Damara dengan mata basahnya. Otak Damara rasanya kosong, tidak tahu harus bereaksi apa. Kedatangan Imelda begitu mengejutkannya.
―Aku ke sini karena aku ingin dengar kamu bilang sesuatu,‖ lanjut Imelda.
―Bilang apa, Mel?‖
Damara tidak mengerti apa maksud kalimat Imelda, kepalanya terlalu kosong untuk mengartikannya. Damara mengalihkan pandangan ke sekeliling bandara, sudah ada beberapa orang yang memperhatikan mereka, bahkan ada yang tidak segan-segan mengambil gambar mereka dengan kamera ponsel. Ini jelas tidak baik, terutama untuk Imelda, Damara tidak ingin lagi ada pemberitaan yang menyudutkan Imelda.
―Mel, kamu seharusnya nggak di sini! Terlalu banyak orang yang mengenali kamu,‖ kata Damara gelisah, melihat semakin banyak orang memperhatikan mereka. ―Kamu harus cepat pergi, sebelum ada wartawan yang tahu keberadaan kamu di sini.‖
―Aku nggak peduli!‖ tegas Imelda, mengeratkan genggaman tangan pada Damara.
―Tapi, Mel... Kamu...‖
―Aku bilang aku nggak peduli sama mereka!‖ kata Imelda lantang, mengejutkan Damara. ―Aku ke sini untuk ketemu kamu, dan aku nggak peduli dengan mereka!‖
Entah apa yang harus dilakukan Damara sekarang. Begitu besar keinginannya menerima semua ketulusan yang ditunjukkan Imelda, tapi rasanya itu tidak baik untuk Imelda. Ya Tuhan, andai semua ini bisa lebih mudah, desah Damara dalam hati.
―Aku harus pergi, Mel...‖ bisik Damara putus asa.
―Aku tau kamu harus pergi, aku nggak akan menghalangi kamu. Aku hanya mau kamu mengatakan sesuatu sebelum kamu pergi.‖
―Iya, tapi apa yang harus aku katakan?‖ tanya Damara serbasalah. ―Tolong, Mel, ini bukan tempat untuk berdebat, ini tidak baik untuk kamu!‖
Benar dugaan Damara, satu-dua wartawan sudah mengambil gambar mereka, bahkan ada yang sudah menyalakan alat perekam. Situasi ini semakin membuat Damara gusar, ia tidak ingin pergi dengan meninggalkan masalah baru untuk Imelda.
―Mel, kamu harus...‖
Imelda tiba-tiba menarik Damara, menempelkan bibirnya dengan bibir Damara, menghentikan kata-kata yang belum sempat keluar dari mulut Damara. Seketika saja Damara merasakan seluruh mata menatap ke arah mereka, jepretan kamera terdengar bertubi-tubi, gumam kekagetan menyusul hardikan tegas petugas keamanan bandara yang menertibkan wartawan haus berita, terdengar samar-samar di telinga Damara.
―Sekarang katakan kalau kamu meminta aku akan menunggu,‖ kata Imelda sesaat setelah melepaskan tautan bibirnya dari bibir Damara.
Andai apa yang ingin didengar Imelda bisa dikatakan Damara dengan mudah. Seperti halnya Imelda, Damara pun ingin kalimat itu terucap dari mulutnya. Tapi pertanyaan bergema di
kepalanya, apakah ia pantas meminta Imelda menunggunya? Pertanyaan itu mencekat kerongkongannya, menahan kata-katanya yang sudah hampir keluar, dan menjadikannya hanya menatap Imelda dalam diam dengan ketidakberdayaannya.
―Begitu sulitkah permintaanku, Mar?‖ tanya Imelda, ada kekecewaan dalam tersirat pada kata-katanya. ―Ternyata aku terlalu berharap banyak, Mar...‖ kata Imelda lirih dengan tatapan terluka, sesaat sebelum ia membalikkan tubuhnya.
Ketakutan mulai menyergap Damara. Apa benar ini yang diinginkannya? Atau ia tidak menginginkan Imelda menunggunya?
Tangan kiri Damara meraih lengan Imelda, sementara tangan kanannya merangkul tubuh Imelda dan memeluknya erat-erat. Kilat menyilaukan dari blitz kamera para wartawan langsung menderanya, tapi Damara tidak peduli lagi. Ini saatnya ia menuruti perasaannya, mengikuti kata hatinya. Apa pun yang terjadi setelah ini, ia siap melewatinya, asalkan tetap bisa menggapai cintanya.
―Ya, tunggu aku, Mel... Aku mau kamu menunggu aku kembali...‖
Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut Damara, seiring kelegaan yang dirasakan Damara saat memeluk Imelda. Berbagai pertimbangan yang selama berminggu-minggu mengekang keinginan untuk mengikuti kata hati kini lepas sudah.
―Aku akan nunggu kamu, Mar... Aku akan nunggu sampai kamu datang dan mengatakan kamu mencintai aku dengan wajah terangkat penuh kebanggaan.‖
Damara mengeratkan pelukannya seiring ucapan Imelda. Tanpa bisa ditahan air mata menetes pelan ke wajahnya, air mata yang keluar seiring rasa terima kasih untuk Imelda yang begitu tulus mencintainya.
Dalam hatinya Damara berjanji, apa pun yang terjadi dalam hidupnya, ia tidak akan pernah begitu bodoh menyia-nyiakan apa yang Tuhan anugerahkan untuknya.
*** “Kak Damara memang berhak untuk bahagia dengan cintanya... Aku bahagia melihatnya.” - Anka Tiga tahun kemudian...
MATA Imelda menatap lurus pada sosok lelaki yang berjalan mendekat ke arahnya, sosok yang selama tiga tahun terakhir ini tidak pernah ditemuinya. Imelda merasakan air matanya turun perlahan menghangatkan pipinya, seiring kelegaan yang membebaskan dadanya dari impitan. Imelda bertanya-tanya, mungkinkah ini akhir penantiannya?
Tanpa suara, laki-laki itu duduk di kursi taman, tepat di sebelah Imelda. Tersenyum kecil seraya menatap Imelda lekat-lekat. Lelaki itu begitu tenang, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal Imelda merasakan jantungnya berdetak begitu cepat, nyaris mendobrak dadanya.
―Aku sudah tahu kamu ada di sini,‖ kata lelaki itu. ―Kamu menunggu aku di sini, Mel?‖
Imelda tetap terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Kemunculan lelaki itu hari ini, setelah hampir tiga tahun berlalu, nyaris membuat Imelda mati rasa. Imelda memalingkan wajahnya, berusaha keras meredam keinginannya untuk memeluk erat lelaki itu.
―Kamu kembali... Damara...‖ Suara Imelda terdengar begitu dalam, bahkan untuk dirinya sendiri. ―Apa itu berarti kamu sudah menyelesaikan semuanya?‖
―Belum...‖
Imelda seketika mendongak mendengar jawaban Damara, bukan itu jawaban yang ingin ia dengar.
―Masih ada satu hal yang belum aku selesaikan,‖ lanjut Damara.
―Jadi untuk apa kamu di sini sekarang? Dulu kamu bilang akan datang setelah semuanya selesai.‖
―Ya. Dan aku di sini untuk menyelesaikannya,‖ jawab Damara santai, seakan tidak terpengaruh dengan apa yang dirasakan Imelda.
―Maksudmu...?‖
Kata-kata Imelda terhenti saat Damara mengeluarkan kotak kecil berbalut pita cantik, tersenyum seraya menyodorkan kotak itu ke depan Imelda.
―Aku cinta kamu, Mel, sekarang aku bisa mengungkapkan cintaku dengan wajah terangkat,‖ kata Damara, seraya membuka kotak kecil itu.
Mata Imelda menghangat menatap cincin cantik di dalam kotak yang dipegang Damara. Imelda merasakan kepalanya tidak bisa memikirkan apa-apa, kecuali merasakan kelegaan, kebahagiaan, dan keinginan meluapkan semua perasaannya.
Imelda menghambur memeluk Damara, begitu erat... seakan dengan begitu Damara tidak akan pernah meninggalkannya lagi Imelda menghela napas panjang, meluapkan kelegaan yang dirasakannya. Air mata mengalir pelan ke pipinya, untuk pertama kalinya Imelda menangis karena bahagia.
―Terima kasih telah menungguku selama ini, Mel... Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Aku akan terus mengatakan ini, apa pun yang terjadi nanti.‖
Imelda mengangguk pelan dalam pelukan Damara, air matanya kembali luruh. Kalaupun ini hanya mimpi, Imelda rela tak terbangun selamanya agar ia bisa membawa perasaan bahagia ini sampai mati.
***
―Perlu tisu untuk hapus air mata, Ka?‖ Danu tersenyum melihat Anka menunduk di sampingnya, pelan-pelan terlihat mengusapkan tangan ke wajahnya.
―Nggak perlu,‖ tolak Anka, sambil mendongak, mata sembapnya menatap lurus, ada senyum yang tergurat di wajahnya. ―Romantis ya, Nu?‖
Danu mengangguk membenarkan, kelegaan terasa saat ia melihat kakaknya, Damara, dan seseorang yang begitu dicintai Damara, bisa tersenyum bahagia setelah keduanya mengalami masa sulit yang tidak sebentar untuk cinta mereka. Dari tempatnya berdiri bersama Anka sekarang, beberapa meter dari pemandangan indah di depannya, Danu bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan Damara. Tawa yang diperlihatkan Damara sementara tangannya terus menggenggam tangan wanita yang dicintainya, membuat Danu merasa memang seperti inilah seharusnya akhir ketulusan cinta yang indah.
―Mereka terlihat bahagia, itu yang paling penting,‖ kata Danu, tersenyum lebar.
―Ya, mereka terlihat bahagia,‖ Anka membenarkan perkataan Danu. ―Kak Damara memang berhak untuk bahagia dengan cintanya... Aku bahagia melihatnya.‖
―Kamu bahagia, tapi kamu tadi menangis.‖ Danu tersenyum lebar saat mengatakan itu. Anka memukul bahu Danu dengan buku kuliah tebal yang dibawanya.
―Itu namanya air mata bahagia, Danu,‖ sahut Anka setengah kesal.
―Aku kira masih tangis patah hati,‖ ledek Danu, yang langsung membuat Anka cemberut.
―Jangan mentang-mentang suka nulis jadi suka berimajinasi nggak jelas.‖
Danu tertawa kecil, ia suka menggoda Anka seperti ini. Mungkin tiga tahun yang lalu ia tidak akan berani mengungkit tentang perasaan Anka pada kakaknya yang dulu sempat ada, tapi
sekarang saat ia tahu perasaan istimewa itu telah diberikan Anka hanya untuknya, ada rasa aman tak terjelaskan.
Setelah Damara pergi meninggalkan mereka, Danu kuliah di fakultas sastra Indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta, sementara Anka berhasil masuk ke fakultas kedokteran di salah satu universitas negeri ternama, Anka bahkan mendapatkan beasiswa dari fakultasnya, berkat prestasi akademisnya yang tidak pernah buruk. Mereka berdua berusaha hidup sebaik mungkin selama Damara meninggalkan mereka, agar mereka memiliki sesuatu yang dapat mereka banggakan untuk menghargai semua pengorbanan yang dilakukan Damara untuk mereka.
―Semua akan berjalan baik-baik saja setelah ini,‖ kata Danu pelan. Ada keyakinan dalam kalimat yang baru saja diucapkannya. ―Kita semua akan hidup bahagia.‖
Anka menatap Danu, keduanya tersenyum seolah masing-masing bisa merasakan kelegaan yang sama. Damara melambaikan tangan ke arah mereka, memberi isyarat agar mereka mendekat. Senyum lebar dari kejauhan terlihat mengembang di wajah Damara. Dengan Imelda berada dalam rangkulannya, Damara terlihat sangat bahagia.
Danu bertukar pandang dengan Anka, keduanya mengangguk mengerti. Sekarang sudah saatnya mereka bergabung dengan kebahagiaan yang dirasakan Damara, kebahagiaan yang akan turut membahagiakan mereka juga.
―Ayo ke sana!‖ Danu mengulurkan tangan kanannya pada Anka, Anka segera menyambut tangan Danu.
Dengan tangan saling bertaut keduanya berjalan menghampiri Damara dan Imelda, menghampiri kebahagiaan yang sudah lama ingin mereka rasakan bersama.
Anka pernah bercerita pada Danu bahwa ia ingin memiliki cinta seindah ibu dan ayahnya, yang bertahan sampai akhir hidup mereka. Keinginan indah yang pelan-pelan akan berusaha mereka wujudkan seiring langkah kecil mereka menjalani kehidupan yang penuh dengan kejutan.
***