BAB I INTRO Nama gue adalah Panji Sulistio. Gue berumur 20 tahun. Gue biasa dipanggil Panji. Gue sekarang kuliah di salah satu Universitas terkemuka di Jakarta. Sejak dari SMP gue ingin sekali punya band. Dan tentu aja band gue ini di masa yang akan datang akan menjadi sebuah band yang terkenal seantero negeri. Impian gue adalah menjadi seorang vokalis sekaligus gitaris. Bisa dibilang kemampuan olah vokal serta kemahiran gue dalem bergitar sangatlah biasa aja. Gak ada yang istimewa. Tetapi gue tetap ingin bisa punya band seperti yang udah gue impi – impikan sejak lama. Sering kali gue merasa iri jika gue meliat orang – orang di kampus berbincang tentang latihan band. Terlebih ketika gue menyaksikan temen – temen kampus gue pentas untuk mengisi sebuah acara di kampus. Ada perasaan menyeruak penuh sesak di sanubari. Ingin rasanya gue bisa seperti mereka. Atau bahkan gue yang ada dalem acara tersebut. “ ah, hanya bisa dalem mimpi “, kata gue dalem hati. Pikiran gue udah mengangkasa. Gue udah ngebayangin bahwa mereka yang saat ini sedang pentas di panggung adalah gue bersama band gue. Khayalan gue semakin memuncak. Gue udah mulai senyum – senyum sendiri membayangkan ketika gue dengan penuh semangat bernyanyi.
“ damn, kapan ya gue bisa punya band sendiri “, Tanya gue dalem hati. Dan akhirnya gue memutuskan untuk segera meninggalkan acara. Karena khayalan gue semakin gak jelas arah dan tujuannya. Gue putuskan untuk segera kembali ke dalem ruang kelas. Itung – itungan sambil ngadem di ruangan ber - AC. Sesampainya di kelas gue ngeliat suasana kelas agak sedikit berbeda. Dan perasaan gue berubah menjadi gak karuan. Perasaan gak enak memudarkan perasaan gue sebelumnya. “ ah, cuma perasaan aja. Gak akan terjadi apa – apa “, pikir gue positif. Ketika gue duduk di kursi dimana gue sering duduk di kelas ada sesuatu hal asing yang gue rasain. Perasaan gak enak yang tadi udah berhasil gue redam kali ini memuncak kembali. Dan ketika gue bangun dari kursi, hal yang paling gue khawatirkan pun terjadi. Celana gue robek karena kursi yang gue duduki diolesi lem besi super kuat. Seisi kelas pun tertawa seketika. “ eh, bangsat. Siapa nih yang iseng ? “, tanya gue. Gak ada yang menjawab. Mereka semua masih tertawa terbahak – bahak sambil menunjuk ke arah gue. Perasaan malu dan emosi menjadi satu. “ eh, bangsat. Kalo ngajak berantem gak usah pake cara kaya gini “, teriak gue. “ loe ngomong apa ?”, jawab seseorang santai. Ternyata dia adalah Mario. Mario adalah orang yang sangat gemar menjahili semua orang di kelas. Termasuk dosen. Selain itu, Mario adalah salah seorang anggota 2
band di kampus. Mungkin taun ini bandnya akan segera merilis album. Faktor inilah yang terkadang membuat gue merasa iri terhadapnya. “ jadi loe yang ngisengin gue ? “, tanya gue emosi. “ loe gak suka ? “, dia balik bertanya. “ pikir pake otak bangsat. Emang loe gak punya otak ? “, tanya gue kembali. “ barusan loe bilang apa ? “, dia kembali balik bertanya. “ loe itu bangsat !!! “, jawab gue emosi. Dia tersenyum. Kemudian menghampiri gue dan hadiah bogem mentah menghujam pipi sebelah kanan gue. Temen – temen yang lain berusaha melerai kami berdua. Jujur baru kali ini gue merasakan yang namanya bogem mentah. “ liat aja nanti pas loe balik. Idup loe bakal gak tenang “, ancamnya. “ gue gak takut “, sahut gue. Kemudian dia bergegas pergi meninggalkan kelas. Sementara gue masih harus memikirkan nasib pas pulang nanti. Terlebih karena celana gue sekarang robek. “ ah, damn. Mau cari dimana nih celana “, kata gue dalem hati. Gak terasa sebulan berlalu dari kejadian itu namun gue masih terbayang akan ancamannya. “ ternyata cuma gertak sambal aja. Buktinya udah sebulan gak terjadi apa – apa “, gumam gue sambil 3
sumringah. Namun gue gak menduga bahwa ternyata hari ini akan menjadi hari apes nasional bagi gue. Tiba – tiba aje gue sakit perut dan segera ingin membuang air besar. Gue segera berlari dan menuju kamar mandi. Mungkin karena saking buru – burunya dan gue pun gak ngeliat bahwa kamar mandi yang gue masuki adalah untuk anak cewek. Sekitar lima belas menit gue berurusan dengan perut dan akhirnya selesai juga. Begitu gue mau membuka pintu kamar mandi ternyata pintunya gak bisa dibuka. “ sial dikunci dari luar “, kata gue. Perlahan terdengar suara orang masuk. Dan apes bener ternyata yang masuk adalah anak – anak cewek yang sedang sibuk bergosip ria. Gue mencoba berpikir tenang. Namun tetep gak bisa karena selain pintu gak bisa dibuka, gue juga takut ketauan bahwa gue salah masuk kamar mandi. Lebih apesnya adalah bisa – bisa gue abis dipukulin sama semua anak cewek di kampus. Setelah gak terdengar lagi suara anak – anak cewek, gue mencoba berteriak , “ woi tolongin gue donk “. Lalu terdengar suara Mario, “ gimana rasanya buang air besar di kamar mandi perempuan ??”. “ eh, Mario bangsat cepet buka nih pintu ”, teriak gue memohon. “ okeh aja. Tapi loe jangan pernah ngebantah gue. Dan kalo loe berani ngebantah, gue laporin loe ke rektorat kalo loe masuk kamar mandi cewek untuk ngintip !!! “, dia mengancam. Gak ada pilihan lain. Mau gak mau gue harus ikutin permintaan dia. “ okeh deh gue janji “, jawab gue melas.
4
Segera dia buka pintunya. Dan gue langsung disiram air sabun. Mario dan temen – temennya langsung tertawa. Sepertinya mereka sangat puas sekali.
5
BAB II MOMENT Dalem perjalanan pulang gue tanpa sengaja ngeliat dua orang preman sedang memalak seorang anak laki – laki yang sepertinya seusia dengan gue. Dengan sok pemberani layaknya super hero segera gue menghampiri mereka dan memukul dengan tas. “ eh bocah tengik siapa loe ikut – ikut ?? “, jawab salah satu preman. “ dia temen gue “, jawab gue. Langsung aja salah satu preman yang lain memberikan bogem mentah ke arah pelipis gue. Gue terjatuh. Dan perkelahian gak seimbang terjadi. Gue bersama anak laki – laki tersebut babak belur. “ Loe gak apa – apa “, tanya gue. “ saya gak apa – apa “, jawabnya. “ loe mau kemana ? “, tanya gue kembali. “ saya ingin pergi ke studio musik untuk latihan band “, jawabnya. “ loe serius ?. Loe masih bonyok begini “, gue mencoba menahannya. “ gak apa – apa. Saya masih bisa jalan “, jawabnya. “ udah loe gak usah latihan band dulu. Gue anterin loe dulu ke klinik. Sekalian gue juga mau periksa. Kita sama – sama bonyok begini “, kata gue. 6
“ tapi nanti saya nanti bisa dikeluarin dari band saya “, jawabnya. “ nih loe SMS temen – temen loe pake HP gue. Bilang loe abis kena musibah “, kata gue sambil memberikan HP. “ ah, gak usah Mas “, jawabnya. “ eh, jangan panggil gue Mas donk. Kenalin nama gue Panji “, kata gue. “ nama saya Wijayanto. Biasa dipanggil Jay “, jawabnya. “ keren juga nama panggilan loe “, kata gue. Dia hanya tersenyum aja. Dan kami segera bergegas menuju klinik untuk memeriksa luka – luka kami. “ stick drum saya patah “, tiba – tiba Jay membuka perbincangan saat kami menuju klinik. “ kan loe masih bisa beli yang baru lagi Jay. Banyak kok yang jual “, jawab seadanya. “ iya sih, tapi ini stick drum kesayangan saya “, jawabnya. “ ngomong – ngomong loe udah lama latihan band ? “, tanya gue. “ lumayanlah, mungkin sekitar 6 bulan “, jawabnya. “ gue juga sebenernya ingin banget punya band “, kata gue. “ terus kenapa gak nyari anggota “, dia balik bertanya. 7
“ wah, susah Jay. Hampir sebagian besar gak yakin dengan prospek band yang ingin gue bentuk. Padahal nama bandnya udah dapet “, jawab gue. “ wah, kamu harus sabar “, dia berkata. Tanpa terasa kami udah sampai klinik. Kami segera registrasi dan menjelaskan perihal luka – luka kami.
8
BAB III ANAK BARU Ada anak baru. Namanya Mahendra Moreno. Dia duduk di sebelah gue. Awalnya sih gue acuh aja. Gue udah yakin bahwa si anak baru adalah anak yang sombong dan angkuh. Saat waktu istirahat dia mengeluarkan MP4 dan sambil menggunakan headset dia memejamkan mata. Gue hanya terperangah meliatnya. Gue perhatiin terus aja dia. “ sial juga nih anak baru. Kelakuannya sombong bener “, kata gue dalem hati. Tiba – tiba Mario bersama temen – temennya datang menghampirinya. “ eh, anak baru !! “, bentak Mario. Gue hanya bisa diem aja. Gue udah sering dikerjain sama si Mario. “ eh, buset. Tuh anak baru nyantai banget “, gumam gue. Dia hanya mengangguk – angguk aja. Mungkin terbawa irama musik yang didengarnya. Mario pun geram dan segera mencopot headset dari telinga si anak baru. Si anak baru hanya tersenyum. “ eh, anak baru !!! “, bentak Mario kembali. “ maaf nama gue Mahendra Moreno. Bisa dipanggil dengan Hendra“, jawabnya sambil tersenyum kembali. “ eh, banyak omong loe ya anak baru “, sahut Tomo yang merupakan anak buah Mario. 9
“ gua minta loe pergi ke kantin untuk beliin gua jus mangga “, perintah Mario. “ maaf gue gak mau. Loe kan punya tangan dan kaki, bukan ? ”, jawabnya. Mario makin geram dan berkata, “ loe nanti jangan pulang dulu. Gua tunggu di lapangan basket “, pintanya. Hendra hanya tersenyum aja. “ Mungkin udah gila nih anak “, kata gue dalem hati. Kemudian Hendra mengajak istirahat. Saat istirahat kami berbincang dan menjelaskan siapa Mario serta kesialan gue jika udah disuruh Mario. Hendra hanya tersenyum aja. Sepertinya dia gak memikirkan apa yang akan terjadi nanti. “ wah udah benar – benar gak waras “, kata gue dalem hati kembali. “ santai aja kawan “, kata Hendra. Gue hanya bisa geleng – geleng kepala aja. Lalu kami segera kembali lagi menuju kelas. Justru gue yang malah kepikiran dan panik sendiri dengan ancaman Mario tadi. “ treeeettt “, suara bel berbunyi tanda waktu untuk pulang. “ Woi anak baru. Gue tunggu di lapangan basket “, perintah Mario. Hendra hanya tersenyum. Hendra segera bergegas. Gue udah tau pasti Hendra bakalan ikutin perintah Mario untuk ke lapangan basket. 10
“ gue duluan Nji “, kata Hendra. “ okeh “, sahut gue. Setelah Hendra keluar ruangan kelas, diam – diam gue ikuti Hendra. Dan ternyata benar apa yang gue takuti terjadi. Hendra diberikan sambutan selamat datang oleh Mario and Friends. Entah bisikan dari mana atau mungkin gue udah niat segera gue menghampiri pasukan Mario. “ eh, Mario bangsat “, kata gue sambil memberikan bogem mentah ke pipi sebelah kiri. Mario terliat kehilangan keseimbangan. “ mau jadi jagoan loe ? “, tanya Mario sambil mengusap pipinya. “ gue mau sekarang aja diselesaiin. Kalo emang loe berani kita battle satu lawan satu “, tantang gue. Mario bener – bener emosi mendengar gue berkata seperti itu. Gue dan Hendra melawan sekitar dua belas orang. Gue dan Hendra babak belur meskipun gak terlalu parah. Mario tampak puas dan segera meninggalkan gue dan Hendra. Hendra berkata, “ kenapa loe ikut bantuin gue ?. Loe jadi ikut bonyok Nji ”. “ gak apa – apa. Slow aja. Udah lama gue ingin bales kelakuan minusnya si Mario. Walaupun kenyataannya malah gue yang lebih apes “, jawab gue. Lalu kami hanya tertawa aja meliat wajah kami yang banyak luka. Segera kami meninggalkan lapangan basket dan bergegas pulang. Dalem perjalanan pulang kami berbincang – bincang mengenai hobby. Lalu Hendra berkata, “ gue hobby bermain gitar dan dulu saat di Liverpool, Inggris gue mempunyai band 11
bernama The Smithy. Dan gue adalah gitarisnya. Tapi gue terpaksa mengundurkan diri dari band tersebut karena keluarga gue balik ke Indonesia “. Mendengar Hendra bercerita gue teringat dengan sosok Jay. Segera gue bercerita mengenai sosok Jay dan berniat mempertemukan mereka. Gue yakin bahwa Hendra yang akan membuat impian gue terwujud yaitu mempunyai band yang sangat terkenal. “ loe mau gue kenalin sama temen gue, namanya Jay. Dia sih bilang katanya dia itu drummer “, tanya gue semangat. “ heeemmm. Boleh aja sih “, jawab Hendra santai. Tanpa panjang lebar segera gue SMS si Jay untuk memberitaukan maksud dan tujuan gue. “ Ok, datang aja kawan “, begitulah isi SMS yang gue terima. Sesampainya dirumah Jay, mengenalkan Hendra kepada Jay.
gue
langsung
“ wow, kamu suka bermain musik juga rupanya ya ? “, tanya Jay. “ Sure “, jawab Hendra. Kemudian Hendra bercerita bahwa dia adalah gitaris dan pernah mempunyai band saat di Inggris dulu. “ very good story “, kata Jay. Hendra hanya tersenyum aja seperti biasa. Tapi gue kembali termenung mengingat gue yang gak bisa apa – apa. Main gitar dan nyanyi pun hanya sekedar bisa. Meliat drummer dan gitaris berbincang semakin gue merasa kecil di hadapan mereka berdua. 12
BAB IV GUITAR LESSON “ Ndra, loe bisa kan ngajarin gue main gitar ? “, tanya gue. “ Sure. You can come to my home “, jawabnya. “ Indonesia donk jawabnya “, kata gue ketus. “ boleh aja. Gue akan ngajarin loe dengan sungguh – sungguh “, jawab Hendra. “ nah gitu donk. Gratis ya “, kata gue. “ yeah, it’s free “, kata Hendra. Gue pun semakin bersemangat untuk bisa bermain gitar. Emang gue sebenernya bisa sih main gitar. Tapi gue cuma baru bisa kunci dasar. Itulah sebabnya ide gue untuk membuat band itu sulit tercapai. “ kapan loe bisa mulai ngajarin gue, Ndra ? “, tanya gue. “ balik dari kampus gue juga siap ngajarin loe “, jawab Hendra. “ serius loe ? “, tanya gue. “ yes, bro “, jawab Hendra. Dan gak terasa waktu pulang ngampus pun tiba. Gue semakin semangat untuk belajar main gitar. “ rumah loe daerah mana, Ndra ? “, tanya gue. “ Cibubur “, jawab Hendra. “ eh, buset lumayan juga ya “, kata gue. 13
Kami segera menuju parkiran motor dan segera mengendarai motor masing – masing. Setelah hampir satu jam setengah perjalanan akhirnya sampai juga rumah Hendra. “ buset deh Ndra, rumah loe jauh bener. Bikin pinggang encok aja “, kata gue. Hendra gak menjawab. mengajak gue masuk ke rumahnya.
Hendra
langsung
“ loe istirahat dulu aja Nji. Nah kalo loe udah gak cape baru gue ajarin loe main gitar “, kata Hendra. “ boleh juga tuh “, jawab gue singkat. Setelah lima belas menit gue istirahat, gue diajak ke ruang tengah depan kamar dia. Ternyata dia mengoleksi berbagai jenis poster band – band internasional dan tentu aja mengoleksi gitar. Hendra kemudian datang sambil membawa makanan dan minuman. “ banyak juga koleksi gitar loe Ndra “, kata gue. “ gak kok hanya sedikit “, jawab Hendra merendah. “ apanya yang sedikit. Ini mah banyak Ndra “, kata gue. Kemudian Hendra mengambil salah satu gitar dan diberikan ke gue. Gitar dengan logo tim sepakbola terkenal, Liverpool yang berhiaskan kalimat “ You Never Walk Alone “. “ itu gitar yang dibelikan bokap saat di Liverpool dulu. Ini adalah gitar pertama gue “, ceritanya. “ pasti mahal nih gitar “, kata gue sedikit meledek. 14
Hendra hanya tersenyum aja. “ baik, segera kita mulai pelajaran pertama “, kata Hendra. “ okeh “, kata gue. “ gue akan ajarin loe tentang kunci dasar dalem bermain gitar “, kata Hendra. “ kalo kunci dasar sih gue udah bisa Ndra “, jawab gue. “ hemmm, kalo begitu gue akan ajarin loe kunci balok karena loe udah bisa kunci dasar “, kata Hendra. Dengan sabar Hendra ngajarin gue. Sesekali gue meliat wajahnya untuk memastikan apakah ada rasa kesal ngajarin gue. Hampir selama dua jam gue dilatih untuk membiasakan jari – jari gue agar gak kaku. Lalu Hendra berkata, “ baik, kita coba mainkan sebuah lagu. Kita coba mainkan lagu dari The Cable Instrument berjudul That Night “. “ hah? Lagu apaan tuh ? “, tanya gue. “ nanti juga loe akan tau sendiri “, jawab Hendra. Kemudian Hendra memainkan DVD Player. Ternyata agar gue lebih tau siapa dan bagaimana lagu serta band yang disebut oleh Hendra tadi. “ keren “, kata gue. “ ini nih yang namanya The Cable Instrument “, kata Hendra. “ kira – kira bisa gak gue mainin lagunya ? “, tanya gue.
15
“ I’m very sure that you can. Akan gue buatin salinan nada serta patiturnya lengkap dengan Chordnya “, kata Hendra. “ Hah ? serius loe ? “, kata gue. “ iya biar loe bisa berlatih dirumah. Dan biar loe makin jago “, jelas Hendra. “ jago ? emangnya loe kira gue ayam “, kata gue. “ hahaha. Bisa aja loe Nji “, kata Hendra sambil tertawa. “ thanks bro. Gue akan terus berlatih “, kata gue. Gak terasa jam dinding menunjukan pukul 7 malam. Gue pun harus segera pulang. Hendra meminjamkan gitarnya kepadaku. “ nih Nji gue pinjemin gitar gue agar loe bisa berlatih sekalian gue pinjemin CD kompilasi dari band – band kelas dunia saat mereka konser. Siapa tau bisa menjadi inspirasi buat loe , “ kata Hendra. “ ah, gue takut gitar loe rusak Ndra “, kata gue. “ santai aja Nji “, kata Hendra sambil tersenyum. “ tapi thanks banget ya Ndra “, kata gue. “ slow kawan “, kata Hendra. Gue segera berpamitan sama Hendra. Dalem perjalanan pulang dari rumah Hendra, gue ngebayangin saat gue tampil bersama band gue. Gue hanya bisa senyum – senyum sendiri. Setibanya gue di rumah, gue segera berlatih kembali dengan menggunakan gitar milik Hendra dan mencoba salinan yang diberikan oleh Hendra. Dan gue pun juga gak lupa menyetel CD yang diberikan oleh 16
Hendra. Gue bener – bener terpana ngeliat penampilan mereka. Sangat – sangat memukau. Pikiran gue akan bermusik semakin terbuka. Dan gue semakin mantap untuk mempunyai band.
17
BAB IV KEJADIAN DI KAFE “ Ndra, semalem si Jay SMS gue. Dia minta hari ini loe sama gue ke rumah dia. Ada yang mau diomongin “, kata gue. “ Sure. Let’s go to Jay’s house “, jawab Hendra. “ semangat bener loe “, kata gue. “ I think that he is going to give us an awesome news “, kata Hendra. “ bisa dijelasin pake bahasa Indonesia ? “, tanya gue agak sedikit kesal. “ kalo gitu kita segera berangkat deh ke rumah Jay “, kata Hendra. “ ah, ngeles aja lo “, kata gue. Hendra gak menjawab. Dia hanya tersenyum aja. Hampir selama satu jam perjalanan menuju rumah Jay. Dan akhirnya gue bersama Hendra sampai juga di rumah Jay. “ ada apaan bro ? “, tanya gue. “ saya mau mengajak kalian untuk menyaksikan band saya tampil hari ini di sebuah kafe “, kata Jay. “ jam berapa ? “, tanya Hendra. “ jam 7 malam “, jawab Jay.
18
“ lah, berarti tinggal dua jam lagi donk “, kata gue. “ yup, kalo gitu kita segera berangkat agar gak terjebak macet “, kata Jay. “ eh, buset. Ngaso dulu kawan “, kata gue yang agak sedikit kelelahan. “ lima belas menit cukup ya ? “, tanya Jay. “ cukup “, kata gue. Setelah lima belas menit untuk beristirahat, gue bersama Hendra dan Jay segera menuju kafe dimana Jay akan tampil. Ternyata lokasi kafe tersebut gak terlalu jauh dari rumah Jay. Cuma 30 menit perjalanan. Begitu sampai di kafe, Jay segera menuju back stage untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Terliat anggota band yang lain sangat emosi menunggu kedatangan Jay di depan pintu masuk sebuah ruangan. “ hei Jay, come on man. I already told you before. Jika kita gagal meyakinkan produser yang akan meliat performance band kita nanti, terpaksa saya akan memecat kamu “, kata salah satu anggota band tersebut. “ ok, Joe. saya gak akan mengecewakan kalian. I swear for this “, jawab Jay. Gue dan Hendra segera menuju front stage. Untuk menyaksikan Jay tampil. “ marilah kita sambut penampilan dari Blacksmith Band “, sambut MC kepada para penonton. Lalu band tersebut muncul dan ada Jay di sana. Baru pertama kali gue masuk kafe. Dan sesaat kemudian mata gue tertuju pada sosok manis di kursi sebelah utara. Menggunakan sweater berwarna krem. 19
“ oh, Tuhan. Dia cantik sekali “, kata gue. “ loe bicara sama siapa ? “, tanya Hendra. “ ah gak apa – apa “, jawab gue. “ gue yakin loe barusan bicara sesuatu “, kata Hendra. “ perasaan loe aja kali “, kata gue. Gue pun kembali menyaksikan penampilan Jay. Terliat Jay menunjukkan kemahirannya bermain drum namun hal yang gak terduga terjadi. Salah satu stick drumnya melayang ke arah seseorang. Suasana berubah hening. Jay hanya terperangah. Lalu muncul suara, “ band kampungan seperti ini ingin sukses !!! “. “ maaf Pak Produser ”, kata seorang pria di sebelahnya. Pria berkepala botak dan berbadan gemuk hanya berkata, “ carikan band yang lain !!! “. “ Baik Pak “, jawab pria di sebelahnya. Akibat kejadian itu terpaksa The Blacksmith mengakhiri penampilan mereka. Dan segera menuju back stage. Gue dan Hendra segera menuju back stage untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. “ kamu udah membuat kesempatan emas kita melayang jauh “, maki salah seorang anggota band. “ I’m sorry man “, jawab Jay. “ no more sorry Jay “, balas anggota band tersebut. Suasana berubah tegang di back stage. 20
“ you’re fired !!! “, teriak anggota band tersebut. “ no problem. As you know, saya akan membentuk sebuah band yang akan mampu menyaingi band kamu “, kata Jay. ” Ok, Jay. We’ll see that !!! “, jawab anggota band tersebut. “ you’ll see Joe “, kata Jay. Ternyata anggota band tersebut bernama Joe. Gue dan Hendra segera menghampiri Jay. “ calm down man “, kata Hendra. “ saya kira kalian udah pulang “, kata Jay. “ penampilan loe tadi keren kok “, kata Hendra. “ wah situ menghina saya “, kata Jay. “ serius Jay. Penampilan loe keren. Itu di luar peristiwa tadi “, gue ikut menimpali. “ kalo gitu kalian ke rumah saya dulu. Kita santai – santai sejenak “, ajak Jay. “ okeh boss “, kata gue. Kami pun segera bergegas meninggalkan kafe dan kembali ke rumah Jay. Setibanya di rumah Jay, gue memutuskan untuk istirahat sejenak. Begitu pula dengan Hendra. Lalu Hendra mengeluarkan CD dari dalem tasnya kemudian memberikan CD tersebut kepada Jay. “ what’s this ? “, tanya Jay. “ My own Collection “, jawab Hendra. Jay menerimanya dengan sedikit heran. Lalu memasukkan CD
21
tersebut ke dalem Media Player. Suara instrument gitar yang sangat indah pun terdengar. “ Ini kamu yang memainkannya ? “, tanya Jay kepada Hendra. “ Yes “, jawab Hendra. “ you’re very talented guitarist “, sahut Jay. Hendra hanya tersenyum aja. Dan gue yakin pasti mereka akan merencanakan sesuatu. Tentu aja gue berharap banget bahwa gue bisa dilibatkan.
22
BAB V OBSERVASI Hari ini gue sama Hendra udah janjian ketemu Jay di kafe. Kafe yang sama dimana Jay dikeluarkan dari band akibat melayangnya stick drum. “ woi, Jay !! “, sahut gue. “ woi kawan, please take seat besides me “, sambut Jay. “ ada hal apaan sampai gue sama Hendra disuruh kemari ? “, tanya gue. “ nanti kalian akan liat dan tau apa yang sebenernya ingin saya utarakan “, kata Jay. “ I hope that is an awesome news from you, Jay “, kata Hendra. “ I hope so “, kata Jay. Setelah itu kami memesan makanan dan minuman. Sesaat setelah memesan tanpa sengaja gue ngeliat sosok itu lagi. Ya bener banget, sosok serupa yang gue liat saat gue menyaksikan penampilan Jay. Sungguh cantik dan manis sekali. Pikiran gue jauh menerawang tentang siapa dan sedang apa dia di kafe ini. “ eh kawan, kenapa ngelamun ? “, tanya Jay. “ ah, gak kok “, jawab gue seadanya.
23
Diam – diam gue mencoba curi pandang. Ingin rasanya gue menghampirinya dan mencoba berkenalan dengannya. Sesaat kemudian terdengar suara dari atas panggung. Sang gitaris dari band tersebut memperkenalkan diri. Ternyata ada sebuah band yang akan membawakan lagu – lagu Blues bernama Perfect Color. Kami pun mencoba menikmati penampilan mereka sambil makan dan minum apa yang udah kita pesen tadi. Mata Jay dan Hendra menatap tajam pada sosok wanita cantik berambut panjang sebahu berkacamata yang memainkan bass. Entah apa yang mereka pikirkan. “ kamu tau kan Ndra apa yang sedang saya pikirkan ? “, tanya Jay. “ yes, I know “, jawab Hendra. “ so what do you think ? “, tanya Jay. “ hemmm, I think her skill is quiet enough “, jawab Hendra. Ternyata mereka sedang menilai sang bassist band tersebut. Gue makin yakin bahwa mereka pasti akan merencanakan sesuatu. Dan itu udah pasti yaitu membentuk sebuah band. “ kira – kira gue bakal diajak gak ya “, tanya gue dalem hati. Tiba – tiba gue teringat akan sosok manis nan cantik tersebut. Gue perhatikan sekitar ternyata dia masih di posisi yang sama. Gue makin penasaran akan siapa dia.
24
Gak terasa penampilan band bernama Perfect Color pun selesai. Gue mencoba mencuri pandang, tapi apes dia udah gak ada. Sekilas terliat dia beranjak pergi menuju meja sebelah selatan. “ penampilan band tadi adalah yang terakhir “, kata Jay. “ loe tau dari mana Jay ? “, tanya gue. “ dari seoarang temen “, jawab Jay. “ gaya bener loe “, kata gue ketus. “ kafe ini adalah milik temen saya. Dia keturunan Jerman – Indonesia. Namanya Ruhrer Kusuma Jati. Dan tadi dia sempat SMS saya. Bahkan saya diminta untuk mencarikan band lain “, jawab Jay. “ ah gak mungkin “, kata gue. “ oke, saya akan panggilkan dia untuk ke sini “, jawab Jay. “ let’s find out “, kata Hendra. “ Ruhrer, may you join with us ? “, teriak Jay. Dan sesaat kemudian datanglah sosok yang dimaksud oleh Jay. “ coba beri tau mereka bahwa penampilan band tadi adalah yang terakhir “, kata Jay. “ yap, memang benar. Itu adalah penampilan terakhir mereka. Sebab udah hampir sebulan ini penampilan mereka bukannya membuat tamu terhibur tetapi justru membuat tamu kabur “, terang Ruhrer. “ bahasa Indonesia loe fasih juga “, ledek gue. “ hahahaha “, kami pun tertawa bersama. 25
Terliat sosok wanita sang pembetot bass dari band tadi sedang duduk bersama sosok cantik nan manis. Gue tambah makin penasaran akan sosok tersebut. “ siapa sih dia “, tanya gue dalem hati. Kemudian meninggalkan kafe.
26
kami
pun
segera
bergegas
BAB VI MEETING Gue sama Hendra disuruh datang hari sabtu jam satusatu siang. Gue semakin yakin bahwa Jay pasti akan mengajak Hendra untuk membentuk sebuah band. “ gue udah tau apa yang akan dibicarakan Jay nanti “, kata gue. “ yeah, I already know too “, kata Hendra. Dan akhirnya gue sama Hendra pun tiba di rumah Jay. “ Hendra, to the point aja ya. Saya mau membentuk sebuah band. Kamu mau bergabung ? “, tanya Jay. Dugaan gue ternyata tepat. “ hemmm. Boleh aja. Tapi loe harus bisa cari vokalis yang keren “, jawab Hendra. “ kok loe gak nyari bassist juga ? “, gue ikut bertanya. “ untuk bassist, saya dan Hendra udah sepakat untuk mengajak bergabung bassist dari band yang pernah kita liat di kafe “, jawab Jay. “ maksud loe bassist cewek itu ? “, tanya gue. “ ya benar sekali “, jawab Hendra. Tiba – tiba gue pun langsung teringat akan sosok manis nan cantik yang gue liat di kafe. Kalo bener bassist cewek
27
tersebut akan bergabung berarti kesempatan gue untuk semakin deket dengan sosok manis nan cantik tersebut. “ tapi masalahnya kita harus segera mencari siapa yang mau untuk mengisi posisi vokal “, kata Jay. “ loe bener banget tuh “, sahut gue. “ sore ini saya mau ketemu Ruhrer. Saya mau minta contact number dari band bernama Perfect Color. Siapa tau ada contact number si bassist “, kata Jay. “ good decision “, kata Hendra. “ besok akan saya kabari “, kata Jay. “ terus fungsi gue apa di sini “, tanya gue. “ loe nanti akan tau Nji “, jawab Hendra. “ asal gak jadi kambing congek aja “, kata gue. “ hahahaha “, kami tertawa bersama. Tepat pukul 4 sore gue dan Hendra segera berpamitan pulang. Hari ini gue gak bawa motor. Gue goncengan sama Hendra. “ kapan Ndra bisa latihan gitar lagi ? “, tanya gue. “ terserah loe Nji “, jawab Hendra. “ rabu depan gimana Ndra ? “, tanya gue. “ yes, please “, jawab Hendra. “ nah gitu donk “, kata gue.
28