Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
Daftar Isi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Blog Cinta – 4 Double Gagal – 19 Don’t Be Lazy – 28 Harapan Baru – 49 Tragedi Gigi Palsu – 60 Mendadak Bisu – 78 It’s Nightmare Time – 91 Never Give Up – 107 Bos Baru – 118 Hari Gini Berantem? Malu Sama Dunia! – 126 7 in 1 Futsal Team – 137 Successfully First Action – 151 Perfect Revenge – 163 Rejected But Happy – 172 Sang Kampiun : 7 in 1 – 193 The Next Action of 7 in 1 – 219 Prolog (Happy Ending) – 238 Tentang Penulis – 241
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
14
Rejected But Happy …………………………………………………......... Usai sholat isya Orik berangkat menuju rumah Farah. Ia melajukan Honda Jazz-nya dengan santai membelah jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru, yang malam itu tampak semarak dengan cahaya penerangan lampu jalan yang cukup baik. Mulutnya terus bernyanyi mengikuti alunan bait dan nada Be Your Self-nya Audio Slave melalui tape mobilnya. Hatinya riang. Pantas saja, sore tadi kan timnya menang di semifinal turnamen futsal, dan besok lusa, hari sabtu ia dan timnya akan kembali berlaga untuk memperebutkan gelar juara di pertandingan Final. Tapi, eit, tunggu dulu, emang sih ia senang banget karena kesuksesan ia dan timnya itu. Namun keceriaannya malam hari ini soal lain, tidak ada hubungannya dengan peristiwa membanggakan tadi sore, karena kesenangan malam ini adalah karena untuk pertamakalinya ia akan menemui Farah di rumahnya, sendirian, tanpa ditemani Mario seperti saat buat blog bareng waktu itu. Orik menghentikan mobilnya di luar pagar rumah Farah. Dengan percaya diri ia keluar dari mobilnya, lalu berjalan santai masuk ke pekarangan rumah. Stelannya sudah oke banget dengan kemeja putih bermotif kotakkotak bergaris biru tipis, dipadu dengan celana army santai, ditambah lagi aroma harum lembut yang terpancar dari tubuhnya. Pokoknya keren abis, deh, perasaan Orik sih! Hehehe…
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
“Ting, tong!” Orik memencet bel di sebelah kanan pintu. Ia menanti sejenak sambil menikmati debaran aneh yang mulai membelai dadanya. “Ting, tong!” setelah memencet bel untuk kedua kalinya pintu pun terbuka. “Assalammu ‘alaikum, Bu Ema,” sapa Orik sopan begitu seorang wanita paruh baya muncul dari pintu yang terbuka. “Wa ‘alaikum salam. Oh, Nak Orik rupanya,” sambut Bu Ema sambil tersenyum ramah. “Farahnya ada, Bu?” tanya Orik sedikit kikuk. “Ada, ayo masuk dulu,” ajak Bu Ema. Orik masuk, kekikukan masih betah mengiringi langkahnya. “Silahkan duduk, Nak Orik,” kata Bu Ema mempersilahkan. “Sebentar, Ibu panggil Farah dulu, ya?” lanjutnya dan berlalu. Gue kok jadi nervous gini, ya? Mana tangan gue dingin banget lagi. Padahal tadi pas berangkat girang banget, hangat, pikirnya begitu duduk di sofa sambil menggosokgosokkan telapak tangannya. Berulang kali ia mencoba berileksasi dengan menghirup nafas pelan dan juga menghembuskannya perlahan, namun usahanya tidak menampakkan hasil, malah debaran jantungnya semakin mengencang. Baru mau nemuin gebetan aja udah kayak gini, apalagi kalo mau melamar, bisa awut-awutan jantung gue. Sebentar Bro, rambut kali awut-awutan! “Assalammu ‘alaikum, Bang Orik,” suara lembut yang akhir-akhir ini selalu terngiang akrab di telinganya (saat melamun tentunya) membuat Orik memindahkan pandangannya ke sebelah kanan.
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
Subhanallah, sungguh indah sekali makhluk ciptaanMu ini, ya Allah, kagum Orik yang terperangah melihat Farah yang berdiri dan tersenyum manis di depannya. Bahkan di rumah pun ia masih mengenakan jilbabnya. “Assalammu’ alaikum, Bang Orik,” ulang Farah. “Oh, iya… Wa ‘alaikum salam,” gagap Orik. Wadduh, kok gue jadi tambah nervous, ya? “Silahkan duduk,” lanjut Orik sambil berdiri, dan juga mencoba menampakkan senyum termanisnya. Oh, my god, ini kan rumahnya dia, kok malah gue sih yang nyuruh dia duduk. Senyum menyejukkan hati itu masih belum pudar dari wajah Farah ketika ia duduk di sofa sebelah depan Orik, sedikit berjarak dari posisi Orik duduk, tidak berhadapan langsung. “Bang Orik mau minum apa?” lanjut Farah. “Susu!” jawab Orik sigap, tapi segera wajahnya berubah pias. Lho, kok susu sih. Ntar, Farah ngira gue kolokan lagi! Kebiasaan, soalnya Orik emang milky mania, penggemar berat susu. Bahkan sampai hampir masuk SD makanan pokoknya hanyalah susu, bukan nasi. Namun setelah mulai sekolah dan malu diolokolok temannya secara berangsur ia mulai bisa menjadi manusia normal yang mengkonsumsi makanan orang dewasa pada umumnya. Tapi tetap saja dua kali sehari, yaitu sebelum berangkat ke sekolah dan sebelum tidur ia tidak pernah lupa meminum minuman favoritnya itu. Sehingga saat Farah menawarkannya minuman, maka spontan kata susulah yang terlontar dari mulutnya. Tidak ada perubahan berarti yang diekspresikan wajah Farah karena permintaan Orik itu, ia masih tetap menampakkan paras lembut dan manisnya. “Sebentar,
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
ya? Farah buatin dulu,” katanya sambil berdiri. “Susu coklat apa susu putih, Bang Orik.” Kenapa sih mulut gue nggak toleran banget. Malah ngucapin susu lagi. Bodoh, bodoh, malu-maluin, kolokan! sesal Orik dalam hati, masih terpukul oleh kelancangan mulutnya tadi. “Nggg… nggak, air putih aja, deh, Fa,” katanya malu-malu. Farah mengernyit. “Lho, kok tiba-tiba berubah dari susu ke air putih,” herannya. “Nggg… nggak apa-apa kok, Fa. Air putih aja,” jawab Orik sambil berusaha melebarkan senyum kecutnya. Sial, dasar nih mulut, malah ngucapin air putih lagi. Standar amat! Sirup dingin kek, cappuccino kek, atau jamu aja sekalian! “Tapi kok air putih sih, Bang,” ujar Farah. “Cappuccino aja, ya?” tawarnya. “Ya… boleh,” jawab Orik lega. Uh, untung aja Farah bisa baca pikiran gue. Farah tersenyum lagi dan berlalu. Sesaat kemudian Farah sudah kembali lagi sambil membawa nampan berisi cangkir minuman dan tempat kue. “Silahkan diminum dulu, Bang,” katanya setelah meletakkan cangkir dan tempat kue di atas meja di depan Orik, lalu ia bergeser ke arah kanan sofa dengan posisi duduk yang kembali tidak berhadapan langsung dengan Orik. “Makasih Fa,” sahut Orik sambil meraih cangkir di depannya. Wah, pasti cappucino bikinin Farah enak banget. Soalnya yang bikin cakep sih. Hihihi… gue seruput dulu, ah. Orik mendekatkan bibir cangkir ke bibirnya, dan menyesap minuman dalam cangkir dengan segenap
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
perasaan. Tapi baru setetes saja minuman itu menghampiri lidahnya, matanya jadi membelalak. Ini cappucino rasa baru kali, ya? Kok rasanya agak sepet-sepet pahit gini, pikirnya sambil meletakkan kembali cangkir itu di atas meja. Farah mengernyit. “Kenapa Bang? Nggak enak, ya?” herannya. Orik tersentak. “Oh, enak kok. Enak banget! Abang minum lagi, ya?” Emang dasar nih mulut nggak mau diatur, pake bilang enak lagi, trus pake bilang mau minum lagi. Brrr, sumpret, sumpret! Kok makin pahit aja sih rasanya. Baunya juga kayak obat-obatan gitu. Tapi nggak apa-apa deh, demi nyenengin gebetan, gue hajar aja nih minuman. Gluk, gluk. Orik minum lagi hingga menyisakan setengah dari isi cangkir itu. “Mmm, tuh kan, enak! Farah pintar deh bikin minumannya,” komentarnya sambil pura-pura mendecap enak. Dasar mulut kurang ajar. Munafiiikhh! Farah hanya tersenyum ketika Orik kembali meletakkan cangkir minumannya di atas meja. “Gimana Bang, pertandingan tadi sore, pasti seru banget, ya?” ucapnya lembut. Dan segera membuat rasa sepet dan pahit yang semula begitu kental melumuri mulut Orik hilang tak berbekas. “Wah, seru banget, Fa. Pertama tim kami tampil tegang banget, pokoknya under pressure, deh. Tapi alhamdulillah, kami berhasil keluar dari tekanan dan akhirnya memenangkan pertandingan itu,” jawabnya dengan ekspresi wajah bersemangat. “Abang bikin gol lagi, ya? Dan karena itu tim abang bisa menang,” lanjut Farah.
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
“Iya, Fa. Tapi itu semua karena kerja sama tim, bukan prestasi orang per orang,” kata Orik. “Dan juga karena doa kamu tentunya,” sambungnya sambil menatap Farah. Spontan Farah menundukkan wajahnya, ada rona merah yang membias di wajah cantik dan bersahaja itu. Uh, Farah manis banget sih. Tapi… Astaghfirullah, gue nggak boleh natap dia kayak gini. Dia sampai nunduk gitu. “Oh, ya, Fa. Ayah sama ibumu mana?” kata Orik mencoba mencairkan suasana yang mendadak berubah kaku. “Ada, lagi di ruang tengah,” jawab Farah sambil menegakkan sedikit wajahnya. Sementara itu di ruang tengah, Pak Hasyim Ayah Farah dan Ibu Farah lagi nonton tivi. “Bang, jamunya kok belum diminum sih. Dari tadi sudah ditaruh Kak Ema di meja. Nanti keburu dingin, nggak enak lagi,” kata Ibu Farah. Pak Hasyim manggut-manggut sejenak. “Iya, sebentar, beritanya lagi seru, nih,” jawabnya tanpa melepaskan pandangannya dari acara tivi yang menayangkan berita-berita mengenai carut marut politik dalam negeri yang tidak pernah usai, dan terkadang membuat perut mual menyaksikannya. Isterinya tersenyum. “Pantas saja asam urat Abang sering kambuh. Habis, minum jamunya mesti diingatkan terus. Sering kan Abang lupa minum jamu yang sudah dibikin Kak Ema.” “Iya, iya, sekarang Abang minum,” kata Pak Hasyim seraya mengambil cangkir di depannya. Lalu menyeruput sambil terus memeloti tontonannya. Tapi tiba-tiba keningnya mengernyit. “Kok, jamunya manis
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
sekali, ya?” ia menarik cangkir dari bibirnya, lalu memerhatikan isi cangkir itu sejenak. “Hah? Ini kan cappuccino!” “Cappuccino?” heran isterinya, lalu menarik cangkir dari tangan suaminya. “Benar, ini cappuccino. Kak Ema kok bisa salah bikin, ya?” lanjutnya, lalu bangkit dari duduknya sambil membawa cangkir itu ke dapur. Mungkin Kak Ema kecapean, makanya salah bikin. Biar aku saja yang bikinin jamunya lagi. Sebenarnya tadi di dapur, saat Farah lagi menyeduh cappuccino buat Orik, Bu Ema baru saja selesai membuatkan jamu buat Pak Hasyim, dan kebetulan meletakkan cangkir berisi jamu itu di sebelah cangkir tempat Farah menyiapkan cappuccino. Ketika Farah sedang mengambil kue di almari, kemudian tanpa sengaja karena bentuk kedua cangkir itu sama dan warna jamu yang juga rada mirip cappuccino, Bu Ema membawa cangkir berisi cappuccino ke ruang tengah, dan tanpa sadar Farah pun mengangkut cangkir berisi jamu ke ruang tamu. Jadi deh, Orik menyesap jamu untuk obat asam urat, dan Pak Hasyim yang kebagian minum cappucino. Kembali ke ruang tamu. Orik agak kesulitan menemukan topik yang bisa mengarahkan pembicaraannya dengan Farah untuk menjurus ke pembicaraan masalah hati ke hati. Jadilah pembicaraan mereka hanya berputar sekitar masalah pelajaran di sekolah. Jujur, Orik bosan juga membicarakan hal-hal seperti itu. Apalagi terkadang Farah begitu antusias menanyakan mengenai pelajaran kelas satu yang kurang dimengertinya pada Orik. Maklum, ilmu dan pengetahuan Orik seputar pelajaran yang telah
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
dilewatinya itu memang tergolong pas-pasan banget. Jadi jelas saja ia kelabakan ketika Farah nanya ini itu yang tidak dipahaminya. Tapi akhirnya Orik memberanikan diri untuk memulai pembicaran mengenai perasaan antara dua anak manusia pencari cinta. “Fa, kamu udah boleh pacaran belum sama orang tuamu,” katanya pelan, penuh kehati-hatian. Farah agak terkejut dengan arah pembicaraan Orik yang tiba-tiba berubah. Namun gadis belia yang masih berumur lima belas tahun itu cepat menguasai keadaan. Ia tersenyum. “Bang Orik, Ayah dan Ibu Farah tidak pernah membicarakan, menanyakan atau membuat aturan-aturan tentang masalah itu sama Farah. Kalo soal keseriusan belajar dan menuntut ilmu sih, Ayah dan Ibu hampir setiap saat mengingatkan Farah.” Di dalam hatinya Orik bersorak kegirangan. Artinya Farah nggak dilarang pacaran sama ortunya. Artinya juga, gue bisa nembak Farah, dunk, buat jadi pacar gue. “Tapi aku tidak akan menjadikan pacaran sebagai bagian dari proses kehidupanku,” lanjut Farah. Langsung membuat Orik terperanjat. “Dalam Islam tidak ada istilah pacaran, Bang.” Kekecewaan merayapi Orik. “Terus gimana caranya kita menyampaikan rasa kasih sayang kita kepada lawan jenis. Kita kan perlu pacaran untuk saling mengenal satu sama lain,” katanya, menyusul keberaniannya yang sudah mulai tumbuh. “Dalam Islam namanya ta’aruf, Bang. Maksudnya, kalo kita menyukai seseorang untuk dijadikan pendamping hidup, maka kita diberi kesempatan untuk
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
saling mengenal selama masa tiga bulan. Setelah merasa cocok baru deh hubungan itu dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Itu aturan menurut syariah Islam, Bang,” terang Farah. Orik mendesah kecewa. “Jadi Farah nggak mau pacaran, dong.” Farah tersenyum. “Iya, Bang. Lagian Farah kan masih lima belas tahun dan masih sekolah. Emangnya kenapa, Bang?” Orik terdiam beberapa saat. Ia mencoba mengumpulkan keberanian di tengah dadanya yang terasa agak menyesak. “Karena Abang suka sama Farah,” katanya. Setelah itu dadanya terasa lapang, seperti baru terlepas dari himpitan beban berat. Farah terkejut, dan langsung menundukkan wajahnya. Lalu juga terdiam. “Farah, sejak pertama kali melihatmu, aku udah suka sama kamu,” Orik diam lagi sambil mencoba menyusun kalimat di benaknya. “Farah, aku juga tau kalo gaya pacaran zaman sekarang ini banyak sekali yang menjurus ke hal-hal negatif. Tapi sungguh, aku benar-benar sayang sama kamu. Aku ingin kamu jadi pacarku. Aku akan jaga kesucian kamu. Dan kamu bisa terus belajar dan sekolah tanpa terganggu oleh status hubungan itu,” kata Orik panjang lebar, tapi tetap terdengar begitu pelan. Namun sekarang keberanian itu sudah mutlak menjadi miliknya. Setelah terdiam beberapa saat Farah akhirnya bicara juga. “Bang Orik, aku senang karena Abang suka sama aku. Di mataku Abang orangnya baik, dan juga humoris. Tapi Abang jangan kecewa ya, atau bahkan marah. Bukannya aku menolak ungkapan rasa sayang
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
Abang itu. Tapi aku emang nggak mau pacaran, Bang. Syariah Islam yang melarangku melakukannya. ” Orik sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Jawaban Farah begitu jelas terdengar di telinganya. Memang, rasa kecewa dengan cepat menyelimutinya. Namun tak ada secuil rasa marah pun karena penolakan gadis yang di sukainya itu. “Nggak apa-apa, Fa. Aku nggak marah kok. Itu kan hak kamu untuk tidak atau mau menerima ungkapan cinta seseorang. Aku juga nggak mau memaksakan kehendak. Aku menghargai keputusanmu,” kata Orik lirih namun terdengar mantap, dan ia tersenyum di akhir kalimatnya. Farah juga tersenyum lega. “Bang Orik. Biarlah Allah yang menentukan kelak, soalnya Dia yang mengatur segalanya. Kalo Allah berkehendak tentu suatu saat nanti kita akan berjodoh.” Darah Orik berdesir cepat. Semangatnya bangkit. “Kamu benar Fa. Dan aku harap Allah akan menjodohkanmu dengan aku,” harapnya. “Insya Allah, Bang,” kata Farah mengamini, dan menunduk lagi. Orik semakin bersemangat. Farah mengamini harapan gue. Berarti dia mau jadi pacar eh, pendamping hidup gue, isteri gue. Bundaaa… aku pengen cepet-cepet nikah. Ya, nggak sekaranglah. Emangnya mau dikasih makan apa anak orang. Hihihi… “Sekarang sebaiknya kita menyiapkan diri dulu untuk menghadapi masa depan. Kita juga masih harus menunjukkan bakti kepada orang tua, yaitu memberikan prestasi dan kebanggaan kepada mereka yang telah begitu susah payah mendidik dan membesarkan kita.
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
Kita juga harus membuktikan diri kalo suatu saat nanti kita bisa hidup sukses dan mandiri,” lanjut Farah. Hebat, nggak nyangka gue, ternyata pola pikir Farah lebih dewasa dibanding gue. Gue jadi malu, nih. Orik tersenyum. “Kamu benar, Fa. Kewajiban kita saat ini adalah mempersiapkan diri untuk menjadi manusia yang berdaya guna, siap pakai, dan tidak membebani orang lain. Aku janji, akan mempersiapkan masa depan itu sebaik mungkin. Insya Allah, abis SMU ini aku akan kuliah dan setelah itu melamar kamu…” Orik buruburu mengunci mulutnya. Farah mengernyitkan dahinya. “Maksudku melamar pekerjaan,” koreksi Orik sambil tertawa ringan. Maksudku abis melamar kerja, ya melamar kamu, beb, sambungnya dalam hati. Dan senyuman manis Farah tampak lagi………………
Firman Al Karimi – Lo - Gue : 7 in 1
Tentang Penulis Firman Al Karimi lahir di Bangkinang, Riau pada tanggal 16 Juli 1979. Anak Kedua dari alm. Abdul Karim dan Hj. Erdawati ini adalah lulusan Universitas Islam Riau, jurusan Akuntansi. Mantan koki magang di Grand Hyatt Hotel Bali dan di Nusa Dua Beach Hotel & Spa Bali, dan juga mantan teller di sebuah perusahaan pembiayaan sebelum akhirnya memutuskan lebih memilih Penulis sebagai profesi. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di http://firman-alkarimi.blogspot.com. Untuk menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan penulis bisa melalui : Telepon : 083167643316 Facebook :
[email protected] Komunitas FB : Firman Al Karimi Twitter : firman_alkarimi
Segera terbit novel karya Firman Al Karimi berikutnya:
“ROMEO DON’T CRY” (Novel Islami tentang perjuangan tiada henti seorang hamba Allah dalam usahanya meraih "Double Winner", menjadi pemenang di dua sisi kehidupan, yaitu menjadi pemenang di kehidupan dunia dan menjadi pemenang di kehidupan akhirat) *Dapatkan masih di www.nulisbuku.com*