Bab 1
Dina sangat bingung apa yang harus dilakukannya sekarang. Ia merasa sangat terpojok. Kenapa disaat-saat seperti ini ia bertemu lagi dengannya padahal ia sudah berhasil melupakannya. “Dina kan?” seorang cowok yang kelihatan sangat tampan itu menyapanya. Waduh, dia mengenali ku. Padahal aku sudah buang muka dan pura-pura tidak mengenalnya, Dina berbicara dalam hati. “Eh... saya... saya bu....” Dina ingin berbohong bahwa dirinya bukan orang yang dimaksud tapi... “Hoi Din, gue minta lo nunggu di toko sepatu sana eh malah disini. Susah tau nyariin lo. Eh Din siapa nih? kenalin dong,” Mita, yang tidak tahu apa yang terjadi dengan Dina, menyapa Rio. Dina lupa kalau ia sedang bersama-sama dengan Mita. Yang pasti rencananya untuk menghindar gagal. “Wah, ternyata benar Dina. Halo apa kabar?” cowok itu bertanya lagi. “Mmm... Baik... Baik-baik aja tapi.... anda.... siapa ya?” Biarpun cara yang pertama gagal Dina tidak kehabisan akal.
4
“Ingatan lo ternyata payah ya. Ini gue Rio. Inget nggak?” “Rio... Rio yang mana ya?” “Ok deh, gue maklum kalo lo lupa. Ini gue Rio, senior lo di Univ Nasional Jakarta.” Mendengar jawaban Rio itu Dina menyerah juga. Dina sudah tidak bisa menghindar. Kalau ia berpura-pura lagi jadinya tidak masuk akal. Nanti ia malah dicurigai. “Oh iya... saya ingat... a-apa kabar juga?” “Formal amat sih Din. Ya, sama seperti lo, gue juga baik-baik aja,” Rio menjawab pertanyaan Dina. “Eh Din kenalin gue dong. Udah dari tadi gue minta kenalan tapi gue dicuekin.” Mita yang sedari tadi berdiri menunggu untuk dikenalkan menggerutu kesal karena sejak tadi Dina tidak menanggapi permintaannya. “Oh ya.. Mit ini kak Rio, senior gw waktu kuliah dan kak Rio ini Mita, teman saya.” “Halo,” Mita dan Rio saling menyapa dan saling berjabat tangan. “Tapi Din jangan panggil gue kakak. Panggil aja Rio. Dari dulu juga lo kan selalu manggil gue nama doang. Nggak usah formal-formal amat. Soalnya nggak enak dengernya. Hehe…” “Eh iya kak.... em Rio.” Dina sudah tak tahan lagi berada dalam situasi ini. Ia tidak ingin berlama-lama lagi disana. Ingin rasanya cepat-cepat pulang dan tidak melihat wajah Rio lagi. Dengan lirikan matanya Dina meminta pertolongan Mita. 5
Mitapun meliriknya. Tapi Mita belum juga berbicara. Akhirnya Dina yang turun tangan juga. “Emm Rio... gue...” Dina berbicara terbata-bata. Belum selesai Dina berbicara untuk pamit, Mita memotong perkataannya. Menurut Dina, Mita baru menyadari maksud lirikkan Dina tadi. Wah, terima kasih Mit. “Eh, Rio belum makan siang kan? Bagaimana kalau kita makan bareng? Kita berdua juga belum makan siang.” Oh tidak, Dina salah menduga. Mitapun salah mengerti apa maksud lirikkan Dina. Bagi Dina hal ini jadi tambah rumit. Dina hanya bisa berharap Rio menolak ajakan tersebut. “Wah kebetulan belum tuh dan dengan senang hati gue terima ajakan makan siang ini. Lagipula gue udah lama nggak ketemu Dina dan pengen bicara banyak. Yuk, kalau gitu kita makan aja sekarang. Gue udah laper. Nanti biar gue yang traktir deh.” Dina hanya bisa tersenyum masam. Keinginannya tidak terkabulkan. Mau menghindar tidak bisa. Ikut bergabung pun tidak mau. Jadi bagaimana dong supaya aku tidak ikut? Jawabannya adalah TIDAK ADA CARA LAIN! Dina harus ikut. Wah kacau nih. ***
6
“Eh Din, lo punya temen cakep kok nggak bilangbilang sih.” “Temen? Cakep? Siapa?” “Ya ampun, masih muda begini udah pikun. Itu si Rio.” “Oh... dia. Rio itu bukan temen gue. Lagipula menurut gue dia nggak cakep. Dilihat dari sudut manapun.” Dina yang tidak ingin mengingat-ingat kejadian kemarin jadi teringat lagi. Dina sangat ingin melupakannya. Tapi kenapa sekarang malah bicara tentang Rio? “Ah nggak kok menurut gue dia cakep banget. Comblangin gue dong sama dia. Gue bener-bener naksir nih. Plis...” Ya ampun, sekarang Mita minta gue jadi mak comblangnya, Dina berbicara dalam hati. “Sori Mit, kayaknya gue nggak bisa. Kita udah nggak pernah ketemuan lagi. Lagipula gue nggak tau dimana rumahnya, berapa nomor teleponnya, dan dia kuliah dimana sekarang. Jadi sori sekali lagi dan gue mohon Mit jangan ngomongin dia lagi ya, plis...” “Ah bo’ong lo. Lo pasti punya nomer teleponnya kan? Soalnya waktu gue nanya Rio, dia bilang lo punya nomornya dia. Gue disuruh nanya ama lo aja katanya. Ayo dong bantuin gue.” Kesabaran Dina sudah habis. Dari tadi yang diomongin Rio terus. Apa tidak ada topik lain ya? “Mit, tadi kan gue udah bilang gue ngga punya dan jangan
7
ngomongin dia lagi, NGERTI!” Tanpa sadar Dina meninggikan suaranya. Mita terkejut mendengar bentakan Dina dan langsung menundukkan mukanya. Ia belum pernah melihat Dina seperti itu. Ada apa dengan Dina? Tanya Mita dalam hati. Tidak hanya Mita, Dina pun sangat terkejut atas apa yang barusan keluar dari mulutnya. Kenapa jadi begini, padahal aku tidak pernah begini sebelumnya apalagi terhadap Mita teman baikku sendiri. “Sori Mit. Gue nggak bermaksud seperti itu, sori... Gue... gue cuman lagi... banyak pikiran aja... Sori banget.” Dina mulai menangis. Kehadiran Rio kemarin membuat luka lamanya terbuka. “Din gue maklum kok akan masalah-masalah lo tadi. Gue juga minta maaf. Tapi ceritain dong masalah lo itu. Gue kan temen baik lo. Kalo ada masalah harusnya lo ceritain ke gue supaya lo enakkan. Ayo dong....” Dina tersentuh mendengarnya. Tapi Dina tidak kuat menceritakan apa yang menjadi beban dipikirannya itu. Lagipula ia tidak tega menceritakan hal ini pada Mita. Pasti Mita akan merasa sedih dan kecewa. Jadi Dina hanya bisa terdiam. “Ayo dong Din. Jangan lo simpen sendiri. Mmm... pasti ada hubungannya... dengan... Rio, ya?” “...” “Benerkan tebakan gue itu?” “Tapi...”
8