Chapter 1 ‘Mendung sudah berlalu, langit pun sudah gelap Aku duduk diam di sini, kembali merasakan saat-‐saat itu Saat di mana kamu menepuk pundakku dari belakang Saat di mana wajahku menengok ke belakang dan memberikan senyuman Kepada sesuatu yang aku tahu hari ini bernama cinta Namun aku tahu sesuatu itu tidak akan pernah kembali lagi’ “Stefan lagi?” Livi menepuk pundak gue dari belakang. Gue sedikit tersentak dengan tepukan itu. ”Lo kok udah masuk kamar gue aja? Gue nggak denger lo buka pintu atau ngetok.” Gue bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah CD player untuk mengecilkan volume. “Yah gimana lo mau denger, gue udah ngetok sampe jari gue butuh refleksi, itu musik kenceng bener ciin...” Jawab Livi sambil mengambil botol bir dari kulkas kamar gue. Gue tertawa kecil “Tuhan adil nggak, si Vi?” Livi yang duduk di depan gue tertegun. Dia menatap mata gue yang hampir memerah dengan kikuk. Setelah menarik napas sejenak, dia menyentuh pundak gue dan berbisik, “I know it hurts, Yes, I know...! Gue tau hidup sendiri dengan keluarga yang nggak karuan itu nggak enak, gue tau rasanya sayang sama seseorang tapi karena jarak nggak bisa bersatu itu, perih, gue tau disakitin sama orang yang udah kita percaya itu ngeselin, tapi jauh lebih pedih lagi kalo kita saat ini nggak ada di sini, kalo kita misalnya musti ngemis-‐ngemis buat dapat makanan, mau sekolah aja nggak bisa, ngerasain naik pesawat aja nggak pernah, mau ketawa-‐ketawa di mal aja nggak bisa karena harus kerja jualan nasi pagi-‐pagi, diluar sana banyak anak-‐anak yang ga bisa menikmati hidup nyaman seperti kita, Tuhan itu bukan cuma adil tapi luar biasa baik sama kita.” Gue memeluk Livi. Berusaha untuk menahan air mata yang mengalir. Livi mendorong pundak gue pelan. “Udahlah Yes, lo itu unik, lo itu spesial, emang penting gitu mikirin yang ada di Jerman? He’s taken, udah ngelupain lo,
nggak pernah anggep lo ada... sorry, tapi mending lo mikir begitu daripada terus-‐ terusan begini. Jadi gila ntar! Kalo lo gila gue udah nggak bisa ngambil bir gratis di kamar lo, bo!” Livi cengengesan. “Hahahahahaha, dasar sinting. Nggak penting lo bahas bir di tengah kegalauan,” gue mulai tersenyum, berjalan ke arah jendela, mengambil botol bir di meja, kemudian meneguknya sambil memandang langit. Benar juga kata-‐kata Livi, bahwa kita harus bersyukur walaupun kadang susah banget. Iya ya... ngapain gue mikirin dia? Tapi, emang ngobatin hati yang retak akibat patah hati itu gampang? Segampang mengucap, ”Ngapain dipikirin?” segampang membalikkan telapak tangan? Kalau segampang itu sih, enak. Lah, ini udah 5 tahun berkali-‐kali ngomong sama diri sendiri... ngapain dipikirin... akhirnya mikirin lagi... lagi, dan lagi! Bingung juga kadang gue, kenapa masih mikirin pepesan kosong yang udah nggak jelas ke mana tahu. Jaraknya juga jauh banget dan perlu menempuh beribu-‐ribu mil untuk ketemu orang yang gue dambakan itu. Tapi kalo emang dia cuma pepesan kosong, seharusnya gue nggak usah mikirin, kan? Karena kalau gue pikirin berarti kan, nggak kosong, berarti ada isinya…. Tapi nyatanya ini hanya pepesan kosong. Apa berarti gue yang galau gila getoh?? Aneh.... ***
Chapter 2 Cerita ini berawal dari 5 tahun lalu. Jerman 2008.... Waktu sudah menunjukan pukul 10 pagi di Frankfurt. Gue keluar dari pesawat menuju airport untuk mencari domestic flight ke Stuttgart. Ketika gue sampai di pintu keluar pesawat di terminal kedatangan, gue cengok! Semua berbahasa Jerman. Gue meneguk ludah. Boro-‐boro bahasa Jerman, bahasa Inggris aja grammar gue nggak benar-‐benar amat. Mati gue! Gimana cara komunikasinya? Kepala gue celingukan, mencari-‐cari domestic flight ke Stuttgart. Gue mengikuti orang-‐orang yang keluar dari pesawat menuju peta bandara besar yang terpampang di sebuah papan listrik, dengan latar belakang cahaya lampu untuk memperjelas detail peta. “Ke arah mana yah domestic flightnya...” jari telunjuk kanan gue menyusuri peta itu dengan pikiran mumet. Ah, makin lama kalau begini? Bukannya makin jelas, tapi bikin gue makin bete. Bahasa Jerman bo! “Hey, do you need help?” seseorang menepuk pundak gue dari belakang. Gue berputar dan sedikit syok demi melihat si penepuk itu. Mata gue tanpa sadar terbelalak. Gila, ini kan cowok tinggi-‐ganteng yang gue taksir pas transit di Dubai tadi! Cowok berbadan tinggi, berkulit putih, dengan brewok tipis di wajahnya itu, memandang gue sambil menggoyangkan tangannya di depan mata gue. “Hellooow!” katanya lagi. DAMN ! ... mirip Ashton Kutcher.... Gue inget waktu di Dubai itu, gue melongo kagum melihat sosoknya. Kalau digambarkan dalam film kartun mungkin iler gue udah netes-‐netes tuh. “Hmm… yeah, do you live here?” Tanya gue gugup. “Are you looking for some places? Yes, I am German.” Senyum manis ramahnya benar-‐benar alami. Sejak gue melihatnya ketika transit tadi, gue udah terpaku karena... he seemed like such a nice guy.
“Oh, I need to go to Stuttgart, I need to find domestic airport, my flight is 11.50.” Gue berkata dengan agak cemas sambil melihat tiket dan jam tangan. Cowok keren itu menaikkan alisnya. “Well, now is already 10.40 am, and from here to domestic airport will take about 30 minutes, and I think you’re gonna be late. I’m living in Esslingen, it’s one stop away from Stuttgart, I think you just need to buy train ticket and we can go together, so after I get off from the train then you can get off one stop after me.” Urainya panjang lebar. Mata gue pun melebar. Gila ini cowok kok baik benar? Apa emang cowok di Jerman baik-‐baik, ya? Gue nggak habis pikir... zaman sekarng gitu loh, masih ada kebaikan model begini? “Er... ehm… okay,” jawab gue gugup. “I’m Stefan,” cowok itu menjulurkan tangannya. “Ayes,” gue menyambut tangannya. Kami berjabatan tangan erat untuk sesaat. Ada getaran singkat yang gue rasa. “Come on, let’s go buy the ticket!” Jawabnya sambil menggoyangkan kepalanya ke arah kanan. Gue mengangguk dan mengikutinya, berjalan di sampingnya. Cowok tampan dengan tinggi kurang lebih 180 cm ini sangat ramah. Nggak pernah terpikir di otak gue kalau cowok yang tampangnya tampan dan belagu ini bisa dengan ramah menawarkan bantuan ke gue yang lagi planga-‐ plongo di depan papan peta. Bayangin deh cyiin... gue 15 jam dalam pesawat, belum mandi, bau badan, dan tampang kucel, eh, ada cowok ganteng mau nyamperin! Mustahil, kan? Kalaupun ada pasti cuma malaikat. Oke, sepertinya gue mulai ngaco. “Okay, so you can buy the ticket here, just say one way to Stuttgart,” Stefan menunjuk ke arah loket tiket. Gue mengangguk dan langsung berjalan ke arah loket. Dengan jantung berdegup kencang, gue bicara dalam bahasa Inggris dengan petugas loket, seraya berdoa dalam hati agar petugas itu pun lancar berbahasa Inggris. Sukses! “Okay, now I got the ticket, let’s go!” Gue memegang tiket sambil tersenyum sumringah.
“Do you wanna have a coffee first for a moment, I feel a little bit dizzy, yeah you know 15 hours flight really drove me crazy,” Stefan memutar bola matanya. “Sure, I'll treat you coffee,” mata gue berbinar. Yah eyalah yaaa... jangankan sebentar, 3 jam juga di samping dia nggak apa-‐apa hehehe. Tapi, mendadak gue teringat sesuatu. “Hmm… I need to call someone, I think he’s waiting for my call because he’s gonna pick me up in Stuttgart.” “Okay, do you have coins? There’s a public phone, just call from there, here I have some coins, just use it then let’s go grab a coffee, please be fast our train leaving in 50 minute,” jawabnya sambil menunjuk ke arah telepon umum. “Thanks,” gue berjalan ke arah telepon umum dan menelepon. Kurang lebih 5 menit kemudian gue kembali, “Let’s go, where we gonna have a coffee?” “While waiting for the train, there is a small coffee place.” Stefan berjalan langsung ke sana, mukanya agak sedikit pucat, gue mengikutinya dari belakang. Tidak lama kemudian kami sampai di kafe kecil tempat para penumpang yang menuju line yang sama dengan kami, menunggu sambil menikmati kopi hangat. Kami berdua berdiri di sebrang papan menu dan membaca daftar kopi yang tertera. “What do you prefer?” Gue langsung menawarkan sambil membuka dompet. “Oh that’s fine I'll get it for you, what would you like?” balasnya sambil mengambil dompet dari tas ranselnya. “Noooo that’s fine, please...” gue mendorong dompetnya dan maju ke arah kasir. “If you insist… okay, one black no sugar please?” Gue langsung menuju kasir dan membeli kopi untuk kami, sementara Stefan mencari meja untuk kami berdua. Setelah pesanan kopi tersaji, gue membawa dua cup kopi ke meja kecil yang dipilih Stefan. Letaknya di ujung dekat pintu keluar. “Thanks,” jawabnya sambil menerima gelas kopi dari tangan gue.
Tapi... ups! “Aaaaaaaaa….” teriak Stefan. Oh my God! Secara tak sengaja gue menumpahkan kopi ke kausnya. Stefan langsung berdiri dan mengipaskan kausnya sambil berkata panik, “Are you okay?” dan gue terdiam. Are you okay? Nggak salah tuh pertanyaan? Perasaan gue yang numpahin kopi ke kausnya... kok dia yang nanya apakah gue baik-‐baik aja. It’s too good to be true! “I'll get a tissue for you,” dia langsung berlari ke arah kasir untuk mengambil ekstra tisyu setelah mengelap kausnya dengan tisyu dari meja. Dan... saat itu juga.... Gue. Langsung. Jatuh. Cinta. Oke, that’s too fast, but that was impressive. GILA, udah nolongin gue, ditumpahin kopi pula, plus gue lupa minta maaf, oh oke. bahkan gue.not.even.say.sorry. “I’m so sorry… I don’t know why…” kata gue gugup ketika dia kembali. “Oh never mind, wipe the coffee with this, here,” Stefan memotong pembicaraan dan mengelapkan tisyu, mengeringkan tangan gue yang terkena tumpahan kopi. He. Is. So. Cool. He is not a flirty guy but he is just simply awesome. “Now is better…” “But your shirt….” Kata gue menunjuk kausnya. “Ah don’t worry about that, hey ! the train's coming, let’s go!” Stefan menarik tangan gue menuju kereta. Kami berjalan menuju kereta yang datang dan masuk ke dalam. Kereta ini begitu nyaman, bangkunya berwarna merah dan dalamnya super bersih. Stefan menunjuk ke arah jendela di bangku pertama, sebagai isyarat kami akan duduk di sana. “Oh, finally we're here,” katanya sambil menghela napas dan tersenyum ke gue. Gue membalas senyumannya. Di sepanjang perjalanan kami mengobrol. Stefan rupanya tipe cowok bawel karena dia bertanya detail about my life, seperti: mau apa ke Jerman, sekolah di mana, tinggal di mana, dan hal lainnya.
Pokoknya hari itu bisa dibilang hari keberuntungan. Gue naksir cowok dan cowoknya yang nyamperin duluan, hahaha. Keren! Setelah kurang lebih ngobrol selama 2 jam, tak terasa kami udah hampir sampai. “Sooo… I think we will arrive in Esslingen in 15 minutes, you got my email right? Please... please... send to me your email and we’ll keep in touch, here is my phone number, let me know if you want to catch up,” Katanya dengan wajah sumringah. “Sure, I will contact you as soon as I get the internet or something,” jawab gue. Dan cowok tampan, bertubuh atletis, dan berwajah ramah itu pun keluar dari kereta. Namun dia tak langsung pergi, tapi berdiri di sana sambil menatap gue dari balik jendela kereta. Gue melambaikan tangan dari jendela, yang dibalasnya sambil tersenyum. Rupanya dia menunggu kereta ini pergi. Ah, so sweet. Ketika kereta akhirnya berangkat, seperti ada yang menyayat hati gue karena berpisah dengan seseorang yang sepertinya sangat berarti, padahal baru ketemu kurang dari 24 jam. Sebenarnya tujuan gue ke Jerman adalah menengok pacar. Gila emang kedengarannya. Punya pacar kok bisa-‐bisanya masih naksir orang lain, but cowok ini benar-‐benar beda banget, personalitinya luar biasa, tatapan matanya seperti terisi dengan sesuatu yang penuh makna. Geli emang kedengarannya, tapi itu fakta. Gue bukan orang yang gampang jatuh cinta, but once I get interested in someone berarti emang itu orang benar-‐benar punya sesuatu. Berarti orang itu unik, sampai bisa-‐bisanya nyempil di hati gue. Ke Jerman itu juga sebenarnya hadiah valentine dari pacar gue yang lagi tugas di Jerman. Dia ingin banget gue ke sana untuk nemenin dia tugas, padahal saat itu gue lagi ada ujian dari kampus gue di Jakarta. Sesampainya di Stuttgart, Sam, pacar gue udah menanti di pintu kedatangan. “Halo, sayang!” dia memeluk gue erat. Gue membalas pelukannya.
“Sayang, kamu kok bisa sih sampe nyasar, kan di Frankfurt pada bisa bahasa Inggris,” tanya Sam heran. Gue berusaha menjelaskan dengan alur yang berputar-‐putar, yang bisa saja terlihat seperti orang bohong. Tapi pacar gue yang luar biasa baik banget itu sepertinya emang udah nggak mau pusing dan langsung mengajak gue ke restoran untuk makan. Udah 2 tahun ini gue pacaran sama Sam, cowok yang luar biasa baik, sabar, namun punya dua kepribadian. The other side of him? Tukang mukul! Kenapa gue bisa bilang dia baik? Karena emang pada saat dia lagi normal, he will do everything for me, even misalnya gue suruh untuk mindahin gunung pun, gue rasa dia mau. Tapi pada saat dia stres, dia bisa jambak rambut gue sampai gue nangis dan bisa tengah malem dia mukul gue dalam keadaan tidur. Banyak yang bertanya kenapa gue masih mau sama dia? Udah dipukul, masih mau pacaran? Klise. Umur gue saat itu emang udah 19 tahun, tapi perasaan (yang gue pikir) sayang banget dan kebaikan dia (yang gue pikir: again) benar-‐benar istimewa, dan pengorbanan luar biasa karena dia seorang manager suatu perusahaan mesin terkenal yang harus keluar negeri sebulan tiga kali, tapi kalau gue sakit, dia bisa hari itu juga balik dari (you named it) Europe, Amrik or negara mana pun untuk jengukin gue dan balik lagi ke negara itu untuk kerja, asal udah ngeliat gue. Gila? Yes it happened. Itulah sebabnya gue masih belum bisa melepaskan Sam. Di satu sisi gue ngeri dengan kebengisannya, tapi di sisi lain gue kagum dengan kebaikannya pada saat dia lagi normal. Dilemma.... Namun sejak kenal Stefan, selama kurang lebih 2 bulan gue menjalani hubungan dengan dua hati, sucks indeed. Pagi sampai sore gue jalan-‐jalan sama Stefan, hang out ngelilingin seputar suburb, jam 5 ketika Sam pulang, gue kembali ke hotel dan menjelma menjadi putri baik hati yang seakan bosan nungguin pacar tercintanya di dalam kamar hotel. Ketika gue putus dengan Sam (akhirnya!) pun, hubungan gue dengan Stefan tetap berlanjut. Selama 5 tahun kami menjalani long distance relationship tanpa kejelasan status. Hubungan kami kebanyakan melalui skype.
Kami sama-‐sama tahu kalau we both love each other, tapi jarak dan waktu, dan kerasnya hati untuk nggak mau saling pindah negara (Jerman atau Indonesia?) menjadikan kami berdua menderita selama 5 tahun. Selama 5 tahun kami menjalani open relationship. Artinya... meski kami ‘berpacaran’ namun terbuka kemungkinan untuk menjalani hubungan dengan orang lain. Nyatanya... nggak satu cowok atau cewek pun yang sanggup menggantikan posisi kami masing-‐masing. Kami sama-‐sama tak sanggup berpaling dari satu sama lain. Bahkan sampai gue dan dia udah keliling dunia pun, tak menemukan pengganti yang pas. Namun, hubungan kami tiba juga pada satu titik: buat apa ketemu lagi kalau akhirnya cuma pelukan untuk kangenan dan berpisah lagi? Toh tidak akan ada sebuah solusi yang menjanjikan. Hingga kemudian Stefan memutuskan untuk punya pacar, artinya... dia berhasil mendapatkan pengganti gue dan hati gue pun remuk. Patah. Pecah. Gue terpukul... hingga detik ini.... ***