BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG
TESIS
Oleh
TORKIS F. SIREGAR 077005030/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Torkis F. Siregar : Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh TORKIS F. SIREGAR 077005030/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG : Torkis F. Siregar : 077005030 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Tanggal lulus : 23 Juli 2009
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada Tanggal 23 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
ABSTRAK Salah satu hal yang merusak sistem masyarakat adalah adanya penjahatpenjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis. Para penjahat ini biasanya mengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi hukuman. Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem yang disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan sarana dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Untuk itu diperlukan proses pembinaan yang tepat untuk dapat mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, artinya hanya menggambarkan analisis terhadap kredit dengan jaminan hak atas tanah. Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah dengan melaksanakan wawancara (field research) dan penelusuran kepustakaan (library research). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisis kualitatif. Penyebab terjadinya tindak pidana residivis dalam sistem hukum pidana di Indonesia adalah karena adanya stigmatisasi masyarakat dan kondisi lingkungan areal pemasyarakatan. Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Penyebab lain adalah dampak dari prisonisasi atau terjadinya penyimpangan sendiri di dalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara. Bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong dilakukan dengan 2 cara, yaitu bentuk pembinaan individual dan pembinaan kelompok. Pembinaan individual dilakukan lagi dengan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pembinaan residivis adalah Kalangan internal (birokrasi), Kelebihan penghuni (over capacity), lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat oleh pejabat internal lapas dan pengawasan fungsional, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia petugas pemasyarakatan (gaspas) dan anggaran yang minim Upayaupaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong dilakukan dengan cara mempermudah birokrasi, mempercepat proses pengeluaran narapidana, Dalam penelitian ini dikemukakan saran agar diberlakukan sistem database online yang berlaku di seluruh Indonesia mengenai data pelaku kejahatan. Selain itu perlu ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga petugas memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kegiatan keterampilan. Kesejahteraan petugas pemasyarakatan hendaknya lebih diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraannya oleh Pemerintah.
Kata Kunci : Bentuk Pembinaan, Residivis, Penanggulangan tindak pidana
ABSTRACT
One of factors destroying the correctional system is the presence of repetitive or recurrent criminal, often called redivisit. These criminals usuallly commit the same crimes, although the punishment has been imposed for their crimes. The management of residivist crimes is caned out in a set of systems called criminal justice system as a facility in community to overcome the crimes. There fore, there should be an appropriate correstional process to prevent the recurrent or repetitive criminal matters. This was an analytical and descriptive research, it means it simple describes the analysis on appropriate correstional process to prevent the recurrent or repetitive criminal matters. The instrument of collecting the data in this research was by interview (field research) and library research. The data gained was then analyzed qualitatively. The causes of residivist criminal matter in criminal law system of Indonesia included stigmatization of people and enviromental condition of correcctional system area.. Actually the stigmatization appeared from the fear of community for former inmutes, that they would effect others to commit something breaking the law. Another reason was the impact of prisonization or selfaberration in community of prison caused by destructive force in mate's life. The type of correction practiced for recidivist in correccional system of class IIB Siborongborong was accomplished in two methods: individual and group correction. The individual correction was then carried out throught personal and independence correction. The factors inhibiting the implementation of recidivist correction included internal factor (birocration), over capacity, the weak control and supervision inherently by internal officials and functional control, the minimum quality and human power of proffesionals and budgeting. The measures taken to overcome toses obstacles in implementation of residivist correction in Correcctional System of Clas IIB Siborongborong included shorten the birocration process, to accelerate the releasing process of the inmates. It is suhhested, that online database system should be applied throught Indonesia regarding the criminal records. In addition, the human power of correctional system frofessionals should be improvedthus they Hill have sufficient professionalism in assuming their task, especially their skills and expertise. The prosperity of correctional be also considered and improved by the government
Key words : Type of correction, Residivist, Criminal matter management
KATA PENGANTAR
Pertama-tama Peneliti bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, keselamatan dan ilmu pengetahuan yang merupakan amanah, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian tesis yang diberi judul: "BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK
MENCEGAH
PENANGGULANGAN
TINDAK
PIDANA
DI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG adalah
merupakan
salah
satu
syarat
yang
harus
dipenuhi
untuk
menyelesaikan program studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Peneliti menyadari tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan, perhatian dan kasih sayang dari berbagai pihak, baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada Peneliti. Pada waktu pembuatan tesis ini, peneliti banyak mendapat bantuan baik materil dan moril, kemudian motivasi, pengarahan serta doa restu dari semua pihak yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu, tanpa mengurangi rasa hormat peneliti terhadap yang lainnya. Di saat yang berbahagia Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua peneliti Alm. P. Siregar dan ibunda P. Bore Purba serta istri tercinta Angelina Hospita Sinaga dan buah hati Peneliti Ricky Prima Steven Siregar, Richard Harry Christ Siregar. dan putri bungsu Ririn Patricia Br. Siregar yang selalu menjadi motivasi peneliti untuk menjadi orang.
Terima kasih secara khusus Peneliti haturkan kepada: 1.
Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2.
Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3.
Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing Penulis.
4.
Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan motivasi kepada peneliti.
5.
Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing yang juga memberikan masukan pada tesis peneliti.
6.
Bapak Thurman Hutapea, Bc.IP, SH, mantan Ka Lapas Klas II B Siborongborong.
7.
Bapak Sardiaman Purba, Bc.IP, SH, Ka Lapas Klas II B Siborong-borong yang banyak memberikan dispensasi waktu selama peneliti menyelesaikan tesis.
8.
Bapak S. Lumbantoruan, selaku Kasi Pembinaan dan Pendidikan Lapas Klas II B Siborongborong yang telah memberikan data dan menjadi informan penulis selama penelitian.
9.
Bapak Sartowali, Bc.IP, SH, Ka. Bapas Sibolga.
10. Kepada
rekan-rekan
Siborongborong.
sejawat
di
jajaran
Lembaga
Pemasyarakatan
11. Kepada rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang selalu menjadi teman penulis selama masa perkuliahan. 12. Kepada abanganda Hotman Efendi Siregar, SE, Ak, Jeffri P. Siregar, SE, dan adik Penulis, Jonathan M. Siregar, SH, Ida Pola Artha Br. Siregar, Am.G, David M. Siregar, ST, dan adik bungsu Penulis Joshua Franklin, SE, yang selalu menjadi tiang penyangga Penulis dalam menjalani kehidupan. 13. Kepada tulang Ir.Saut Purba, M.Sc, terima kasih peneliti ucapkan atas bantuannya dalam memberikan bahan-bahan untuk kepentingan tesis peneliti. 14. Mertua Penulis, Alm. St. J. Sinaga, dan Veronica br. Tambunan dan abang ipar, kakak ipar, dan adik ipar penulis. 15. Kepada seluruh jajaran staf biro Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberi infromasi kepada Peneliti Akhirnya sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari keterbatasan, Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, dan sebagai insan akademik Peneliti dengan senang hati membuka diri untuk menerima sumbangan fikiran, saran yang konstruktif guna pengembangan keilmuan bagi kepentingan masyarakat.
Peneliti juga menyadari hanya Allah jualah yang memiliki ilmu yang tiada terhingga. Harapan Peneliti semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para akademisi, pembuat kebijakan dan juga bagi pembaca. Medan, Juni 2009
Torkis F. Siregar
RIWAYAT HIDUP
Nama
:
Torkis Freddy Siregar
Tempat/Tanggal Lahir
:
Medan, 10 Juni 1973
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Agama
:
Kristen Protestan
Pekerjaan
:
Pegawai Negeri Sipil
Alamat
:
Jalan Kemiri 2 Gang Kelapa 3 No. 12 Medan
Pendidikan
:
SD Methodist I Medan Tamat Tahun 1987 SMP Methodist I Medan Tamat Tahun 1990 SMA Negeri 5 Medan Tamat Tahun 1993 Strata Satu (S1) Universitas Panca Budi Tamat Tahun 1999 Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ...........................................................................................................
i
ABSTRACT .........................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................
vii
DAFTAR ISI.......................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
xi
DAFTAR SKEMA .............................................................................................
xii
BAB
PENDAHULUAN.............................................................................
1
A. Latar Belakang ...........................................
1
B. Perumusan Masalah .......................................................................
10
A. C. Tujuan penelitian ...................................................................
11
D. Manfaat Penelitian ........................................................................
11
E. Keaslian Penelitian.........................................................................
12
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi ....................................................
12
G. Metode Penelitian .........................................................................
23
1. Jenis dan Sifat Penelitian ........................................................
23
2. Sumber Data............................................................................
23
3. Teknik Pengumpulan Data......................................................
25
4. Analisa Data ............................................................................
25
I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA RESIDIVIS DAN PENGATURANNYA DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA .............................
27
A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong ...........................................................................
27
B. Pengertian Recidive (Residivis)...................................................
31
C. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pengulangan Tindak Pidana / Recidivis.........................................................................
32
D. Pengertian Residivis dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia......................................................................................
41
BENTUK PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS YANG DIBERLAKUKAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG ................................................
51
A. Bentuk Pembinaan Terhadap Narapidana ................................. .
51
B. Mekanisme Pembinaan Terhadap Narapidana Residivis ............
70
FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN UPAYA UNTUK MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN RESIDIVIS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG ...................................................................
91
A. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong............................................................................
91
B. P e r a n a n H a k i m P e n g a w a s D a n P e n g a m a t D a l a m Masalah Pembinaan Dan Pengamatan Narapidana .....................
100
C. Upaya Untuk Menghadapi Hambatan dalam Pembinaan Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong............................................................................
110
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
115
A. Kesimpulan ...................................................................................
115
B. Saran .............................................................................................
116
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
118
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1.
Penghuni LP Siborongborong ..............................................
28
2.
Jenis Kejahatan Yang Menonjol Tahun 2008 ........................
29
3.
Daftar Nama Narapidana Residivis Lapas Klas II B Siborongborong ......................................................................
39
DAFTAR SKEMA
No 1.
Judul Struktur Organisasi LAPAS Klas II B Siborongborong ........
Halaman 30
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktivitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi kausa kejahatan. Si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. 41 Masyarakat sudah terbiasa, atau dibiasakan, memandang pelaku sebagai satusatunya faktor dalam gejala kejahatan. Maka tidaklah mengherankan bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan penghukuman terhadap pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap sebagai 'obat manjur'
41
Syafruddin Hussein, Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya, makalah, Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, (Medan, 2003), hlm. 1.
untuk 'menyembuhkan' baik luka atau derita korban maupun kelainan perilaku yang diidap pelaku kejahatan. Herbert L. Packer dalam bukunya 'The Umits of The Criminal Sanction' menyebutkan bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Sanksi pidana merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat, cermat, dan manusiawi. Sementara sebaliknya, bisa merupakan ancaman jika digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana. Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya, tak ada bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis. Menurut John Delaney, 42 pengintegrasian kembali narapidana ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisation process. Yaitu satu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan
42
Adrianus Meliala, et.all, Restorative Justice System: Sistem Pembinaan Para Narapidana Untuk Pencegahan Resedivisme, Artikel ini Disajikan Dalam Kerangka Kerjasama Antara Tim Penulis (Dept. Kriminologi FISIP UI) dengan Australian Agency for International Development, Jakarta, 2009, hlm.2
dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya, kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal. Suatu putusan pemidanaan dijatuhkan, oleh Pasal 193 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Dapat dibandingkan dengan perumusan van Bemmelen sebagai berikut: Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana. 43 Salah satu hal yang merusak sistem masyarakat adalah adanya penjahatpenjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis. Para penjahat ini biasanya mengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi hukuman. Sebagai contoh seseorang telah melakukan pembunuhan terhadap orang lain dikenai pelanggaran Pasal 338 KUHP dan dikenai hukuman 10 tahun. Setelah 10 tahun dia menjalani hukuman, dia kembali melakukan pembunuhan.” 44 Terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, seperti contoh di atas, dapat dianggap mengulangi kejahatan yang sama (residivis) dan dapat dijadikan dasar pemberat hukumannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 486 KUHP ia dapat diancam
43
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 104. 44
Rikson, “Hukum Pidana, Ne Bis in Idem, ” http://www. rizkykios. com/Sistem% 20penjatuhan%20pidana%20, diakses tanggal 02 November 2008.
hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman yang normal. Dengan catatan bahwa perbuatan yang jenisnya sama tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 5 tahun setelah menjalani hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman yang dijatuhkan. Delik pengulangan (recidive) tidak dijumpai dalam aturan umum, tetapi di Pasal 486-488, mengatur tentang penerapan unsur recidive dalam dalam Aturan Khusus (Buku II atau Buku III). Bab XXXI KUHP sebagaimana yang diatur dalam pemidanaan kepada seorang terpidana. Pada prinsipnya batas tenggang waktu menentukan apakah seseorang dapat dikualifikasi sebagai residivis atau tidak digantungkan pada jangka waktu 5 tahun antara hukuman yang sedang dijalani dalam suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini memandang jika dalam kurun waktu di bawah lima tahun seseorang yang melakukan kejahatan yang sama kembali melakukannya, maka ia merupakan orang yang harus diwaspadai. Pengulangan tindak pidana bukan hal yang baru dalam dunia hukum, karena dimana ada kejahatan di situ pula ada pengulangan kejahatan dan pengulangan kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat jahat sebagaimana dikemukakan oleh Bartolus seorang ahli hukum, bahwa ”Humanum enimest peccare, angilicum, se emendare, diabolicum perseverare” atau kejahatan dan pengulangan kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat jahat, maka dapat dipastikan bahwa praktik pengulangan kejahatan itu sendiri sama tuanya dengan praktik kejahatan. 45
45
Abidin Zainal Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 432.
Pandapat ini dikemukakan untuk menjelaskan betapa pentingnya kedudukan pengulangan tindak pidana dalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Hal ini terbukti dengan dimasukkannya pengulangan tindak pidana itu ke dalam bagian yang esensi dalam ajaran hukum pidana di berbagai negara. Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. 46 Sama seperti dalam concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Seseorang melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurang bekerjanya salah satu subsistem secara efektif dari salah satu sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia, faktor ekonomi, sosial dan budaya. Dalam KUHP Indonesia, pengulangan tindak pidana hanya dikenal dalam bentuk residivisme, 47 tanpa batasan jumlah pengulangan. Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana pada awalnya berfungsi untuk memberikan efek jera kepada si pelaku, sehingga si pelaku akan berfikir lagi jika ingin melakukan perbuatan yang melawan hukum. Namun adakalanya si pelaku bukannya merasa jera, malah melakukan kejahatan yang sama, padahal dia sudah
46
Hand Out Hukum Pidana, “Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)” http://syariah. uinsuka. ac. id/file_ilmiah/7. %20Recidive. pdf, diakses tanggal 3 November 2008. 47
Diatur di dalam Buku II Bab XXXI Pasal 486 sampai dengan Pasal 488 Kitab UndangUndang Hukum Pidana.
pernah dihukum karena kejahatannya. Kondisi ini disebut dengan pengulangan tindak pidana (residive). Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem yang disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan sarana dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. 48 Adapun komponen dalam sistem tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus bekerja dan berproses secara terpadu dalam peradilan pidana dan diharapkan menjadi tumpuan dalam penegakan hukum dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum. Namun keberadaannya saat ini jauh dari harapan sebab apa yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana belum dapat dicapai. Hal ini diungkapkan oleh Rusli Muhammad yang menyatakan bahwa apa yang menjadi tujuan utama Sistem Peradilan Pidana sulit dicapai. Melindungi, mengamankan dan menentramkan masyarakat belum dirasakan sebagian besar masyarakat. Demikian juga pelaku kriminal yang telah menjalani pidana, diharapkan kembali ke jalan yang benar dan tidak mengulangi perbuatannya belum berhasil. 49 Lembaga pemasyarakatan merupakan subsistem peradilan pidana terakhir yang menjalankan sistem pemasyarakatan bagi pelaku tindak pidana. Sistem pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, maka prinsip substansial di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang 48
Marjono Reksodiputro, Reformasi Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997), hlm. 84. 49
Rusli Muhammad, “ Reformasi Sistem Pemasyarakatan,” dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 1 Volume 6, (Yogyakarta, 1999), hlm. 45
Pemasyarakatan mengandung nilai bahwa pada dasarnya sistem pemasyarakatan diarahkan pada tatanan arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat. Hal ini secara tersirat dapat dilihat pada teks Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 yang menyebutkan: Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Peraturan substansial yang ada di dalam Undang-undang Pemasyarakatan ini dijadikan landasan berpijak bagi waga binaan pemasyarakatan dan pembina secara terintegrasi pada satu sistem pemasyarakatan di Indonesia, maka Undang-undang Pemasyarakatan adalah sebagai kerangka berpijak perilaku yang pantas dan standar (patokan) untuk bertindak. 50 Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pengayoman membuka jalan bagi perlakukan terhadap narapidana dengan cara sistem pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara dan juga menjadi cara untuk membimbing dan membina. 51
50
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 2, bahwa patokan-patokan timbul dari pandangan manusia mengenai apa yang dianggap baik, pandangan untuk bertindak secara pantas ini lazimnya disebut dengan nilai sebagai proses abstarkasi dari perilaku yang berulang-ulang secara nyata. Patokan-patokan untuk berprilaku secara pantas mengatur pula kehidupan antar pribadi manusia, norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan, dimana kedamaian berarti antara ketertiban dan ketentraman, atau keserasian antara keterikatan dengan kebebasan dan itulah tujuan hukum . 51
RA. Koesnoen yang berjasa dalam upaya memperbaiki narapidana dengan filsafat bangsa yaitu Pancasila, maka orang yang tidak bisa dilupakan adalah Saharjo, yang saat itu menjabat Menteri kehakiman menerima gelar Doctor Honoris Causa dan dalam orasi ilmiahnya memberi judul “Pohon
Dalam perlakuan terhadap narapidana, adalah melakukan pembinaan agar narapidana menjadi manusia yang berguna di masa mendatang. Program-program pembinaan yang teratur dan disusun secara matang dan yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta kelayakan akan menjamin integritas sistem pemasyarakatan. Apabila sistem pemasyarakatan difahami dari arti katanya dan diperhatikan pada saat dicetuskannya gagasan tersebut pada tahun 1964, serta dihubungkan dengan perkembangan pembaharuan pidana penjara secara universal sesudah tahun enampuluhan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemasyarakatan merupakan perubahan yang menyangkut upaya baru pelaksanaan pidana penjara yang dilaksanakan dengan semangat azas perikemanusiaan dan perlakuan baru terhadap narapidana menurut pokok-pokok ketentuan standard minimum rules. 52 Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana, terutama narapidana residivis dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU)
Beringin Pengayoman; yang menurut beliau “Hukum Pengayoman” termasuk juga mengayomi narapidana. 52
Mardjaman, “Beberapa Catatan Rancangan Undang-undang tentang Sistem Kemasyarakatan,” makalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: 2005), hlm. 1.
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi asimilasi atau reintergrasi sosial. Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana. Asimilasi sebagai tujuan pemasyarakatan menampakkan ciri utama adalah
aktifnya kedua
belah pihak, yaitu pihak narapidana dan kelompok keluarga narapidana dan masyarakat. 53 Asimilasi juga bertujuan untuk menghilangkan citra buruk penjara, serta mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana. Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. a.
Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan bulan.
53
Asimilasi diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PK. 04. 10 Tahun 1989 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Pasal 1: Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan masyarakat. Pasal 5 menyatakan maksud Asimilasi adalah memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat dan memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan. Pasal 6 menyebutkan tujuan Asimilasi adalah membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan. Asimilasi terbagi dua yaitu Asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan, khususnya menerima kunjungan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan Asimilasi keluar, mempunyai persyaratan minimal sudah menjalani 2/3 masa pidana (atau telah masuk tahap III dari proses persyaratan narapidana). Adapun bentuk Asimilasi keluar adalah: bekerja pada pihak ketiga, baik instansi pemerintah atau swasta, bekerja mandiri.
b.
Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidana, di mana masa dua pertiga itu sekurangkurangnya sembilan bulan. Seluruh program pembinaan bagi narapidana bertujuan agar bekas narapidana
tidak mengulangi kembali perbuatan jahatnya dan tidak lagi menjadi warga binaan pemasyarakatan. Kondisi inilah yang menjadi tantangan besar bagi Lembaga Pemasyarakatan untuk melakukan pembinaan dalam upaya mengendalikan terjadinya residivis, karena lembaga pemasyarakatan selalu mendapat hambatan dan tantangan dalam mencapai tujuan pembinaan narapidana. Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan, maka peneliti ingin mengangkatnya sebagai topik tesis yang berjudul “Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong.” B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut 1.
Bagaimanakah penyebab terjadinya tindak pidana residivis dan pengaturannya dalam sistem hukum pidana di Indonesia?
2.
Bagaimanakah bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong ?
3.
Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong ?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan seperti disebutkan di atas, adapun tujuan penulisan ini adalah: 1.
Untuk
mengetahui
penyebab
terjadinya
tindak
pidana
residivis
dan
pengaturannya dalam sistem hukum pidana di Indonesia 2.
untuk mengetahui bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong.
3.
Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menghambat dan Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis: 1.
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum pidana khususnya mengenai bagaimana cara melakukan pembinaan yang efektif bagi narapidana sebagai realisasi konsepsi sistem pemasyarakatan untuk mencegah meningkatnya residivis.
2.
Secara praktis penelitian ini dapat berguna sebagai masukan bagi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan dan juga pihak Lembaga Pemasyarakatan dan pemerintah serta pihak terkait lainnya guna penyempurnaan dalam membina narapidana di masa yang akan datang.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelurusan yang dilakukan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang masalah Pola Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong belum pernah dilakukan dalam masalah yang sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada penelitian yang benar-benar sama dengan masalah yang akan diteliti jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teoritis Dan Konsepsi 1.
Kerangka Teoritis Untuk mendukung pentingnya suatu penelitian diperlukan adanya kerangka
teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk
memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah disertai dengan pemikiran teoritis. 54 Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia, dihukumnya seseorang adalah berdasarkan perbuatan yang salah yang dilakukannya, dan melanggar UndangUndang sehingga yang menjadi fokus adalah pada perbuatan salah atau tindakan pidana yang telah dilakukan pelaku. 55 Artinya bahwa perbuatan berperan besar dan merupakan syarat mutlak yang harus ada untuk adanya hukumnya (punishment) Dijatuhkannya pidana pada seseorang diperlukan dua syarat yaitu perbuatan itu bersifat melawan hukum dan dapat dicela. 56 Berbicara masalah pembinaan narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan tentang pidana, pemidanaan dan pembenaran pidana. Mengenai pengertian pidana menurut beberapa pendapat ahli hukum, seperti: Muladi dan Barda Nawawi Arief yang mengutip pendapat Alf Ross bahwa pidana merupakan reaksi sosial yang: a.
Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum
b.
Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar.
54
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982) hlm. 37
55
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992) , hlm. 6. 56
D. Schaffmeister, et al, Hukum Pidana, Editor Penerjemah J. E. Sahetapi, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 27.
c.
Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi lain yang tidak menyenangkan.
d.
Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar. 57 Selanjutnya Muladi dan Barda Nawawi berkesimpulan bahwa:
a.
Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat yang tidak menyenangkan.
b.
Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
c.
Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 58 Mengenai teori pemidanaan pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga
golongan besar yaitu: a.
Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldigns theorien)
b.
Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)
c.
Teori menggabungkan (verenigings teorien). 59 Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori
pemidanaan maka dibawah ini akan dibahas satu persatu mengenai teori tesebut 1) Teori absolut atau teori pembalasan (Retributive /Vergeldings Teorrien)
57
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 4. 58
Ibid.
59
E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta: Universitas Jakarta, 1958), hlm. 157.
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindakan pidana (quia peccatum est) dan pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Jadi fungsi pidana di sini adalah pembalasan bagi orang yang melakukan kejahatan dan untuk memuaskan tuntutan keadilan, 60 sehingga keberadaan pemidanaan itu sendiri tergantung pada ada tidaknya kejahatan 2) Teori relatif atau teori tujuan (Utilitarian/ Doel Theorieen) Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana. untuk melindungi kepentingan masyarakat dan mengurangi frekuensi kejahatan. 60
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, edisi Kedua Cetakan ke 2: 1998), hlm. 11. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” bahwa “pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hlm. harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahwa walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hlm. ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap pada anggota masyarakat karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.
Karena tujuannya yang bermanfaat ini maka teori relatif disebut juga teori tujuan (utilitarian theory) dimana pidana dijatuhkan bukan karena orang itu telah membuat kejahatan (”quia peccatum est”) tetapi supaya orang itu jangan melakukan kejahatan lagi (”nepeccetur”). 61 jadi tujuan pidana menurut relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu dengan kata lain pidana yang dijatuhkan kepada sipelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatanya, melainkan untuk memelihara ketertiban umum. Dalam ilmu pengetahuan pidana, teori relatif ini dapat dibagi 2 (dua), yakni: a)
Prevensi umum (generale preventie); 62 Pada intinya, prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana.
b)
Prevensi khusus (speciale preventie); Pada intinya prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar terpidana jangan melakukan atau mengulangi perbuatannya lagi dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya. 63
3) Teori Gabungan Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kekesalan, penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban. 64 Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan 61
Ibid , hlm. 16
62
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 76. 63
Ibid
64
Ibid.
perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan, dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali di masyarakat. 65 Menurut H. L. Packer tujuan pemidanaan adalah pemidanaan yang untuk mencegah, menghentikan dan mengendalikan kejahatan yang menurut rumusan adalah: 66 a.
Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki, atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or undesired conduct or offending conduct).
b.
Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar (the deserved infliction of suffering on evil doers / retribution for perceived wrong doing). Jadi menurut rumusan di atas, pemidanaan dijatuhkan kepada seseorang
sebagai penjeraan kepadanya karena ia telah melakukan suatu perbuatan salah, juga sebagai penderitaan untuk mencegah dilakukannya kembali kejahatan untuk kedua-
65
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana (Jakarta: Erlangga, 1980) hlm. 14. Van Bemmelen menyatakan pidana bertujuan membalas kejahatan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan, jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat 66
Ibid, hlm. 6.
duanya. 67 Kedua pemikiran Packer ini didasari oleh 3 teori dari pemidanaan yang telah disebut di atas. Sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa konsep kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan yang terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, dipadukan dengan usaha yang bersifat ”non penal” Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Tujuan utama usaha-usaha non penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial atau pembangunan nasional. Pertimbangan itu mengarah pada pilihan yang tersedia yaitu pemakaian sarana penal dan juga sarana non penal dengan mengingat bahwa hukum pidana itu adalah suatu sistem yang terbuka (open system) yang dalam bekerja memberikan peluang bagi campur tangan lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia pada umumnya. 68 Seperti bidang ekonomi, politik, pendidikan serta subsistem pada sistem peradilan itu sendiri. Hukum adalah suatu gejala sosial-budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam 67
Roger Hood, Research on the Effectivenes of Punishment and Treatments. Collection Studies in Crimnological Research, Vol I, 1997 p.74 yang dikutip dari Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.Cit. hlm. 102. 68
La Patra menggambarkan inter face (interaksi) inter koneksi dan inter dependensi) system peradilan pidana dengan lingkungannya ini dalam peringkat-peringkat level sebagai berikut: peringkat 1. Society , Peringkat 2, Economics, Technology, Education, Politiks, Peringkat 3, Subsystems Of Criminal justice system.
masyarakat. 69 Untuk melakukan penerapan tersebut diperlukan adanya perangkat undang-undang yang dijadikan sebagai landasan dalam penerapan kaidah-kaidah tersebut, misalnya Undang-undang pemasyarakatan yang memberikan dasar dan landasan terhadap pembinaan warga binaan pemasyarakat yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. 70 Pentingnya pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan terutama sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik. Juga untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyararakatan dan yang tidak
69
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 9. 70
Lihat, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka dalam kerangka teori ini dipaparkan tentang sistem peradilan pidana, tujuan pemidanaan dan teori pemidanaan serta sistem pemasyarakatan. Menurut Sahardjo untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan sistem pemasyarakatan. Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi lagi perbuatan oleh narapidana, melainkan juga oleh orang yang tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara...tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan .. negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat. 71 Pengetahuan tentang apakah seorang bersalah telah melakukan tindak pidana sehingga harus menjalani suatu jenis pidana, merupakan cara untuk menanggulangi masalah kejahatan. Oleh karena itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub sistem di dalam criminal justice system guna untuk menanggulangi meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana adalah: a.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b.
Menyelesaikan kejahatan yang tejadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pihak yang bersalah dipidana.
71
Sahardjo, “Pohon Beringin Pengayom Hukum Pancasila”, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963,
c.
Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 72
2.
Konsepsi Untuk dapat mengambarkan rasionalitas suatu kajian ilmiah, maka cakupan
kerangka pemikiran harus ditentukan secara tegas dan jelas. Beberapa istilah yang berhubungan dengan judul penelitian, yaitu: a.
Residivis adalah suatu pengulangan tindak pidana atau melakukan kembali perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya. 73
b.
Yang dimaksud narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan. 74
c.
Yang dimaksud dengan lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 75
d.
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
warga
binaan
pemasyarakatan
berdasarkan
Pancasila
yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina yang dibina dan masyarakat, untuk
72
Lihat, Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Krimonologi) Universitas Indonesia, 1997), hlm. 85. 73
Gerson W Bawengan, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Di Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Pradnya Paramitha,1979), hlm. 70. 74
Lihat Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
75
Ibid, Pasal 1 angka 3.
meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.76 e.
Yang dimaksud dengan pemidanaan adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. 77
f.
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. 78
g.
Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal yang lebih
menitiberatkan
pada
sifat
represive
(penindakan/
pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan sifat preventif (pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. 79
G. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Sifat Penelitian
76
Ibid, Pasal 1 angka 2.
77
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT Eresco Cet ke 3, 1981), hlm. 1. 78 79
Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Barda Nawawi Arief, “Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,“ Makalah disampaikan pada seminar Kriminologi VI, Semarang, tanggal 16-18 September 1991, hlm. 2.
Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deksriptif analisis dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.
2.
Sumber Data Sumber data dalam pengumpulan data ini dipergunakan cara penelitian yuridis
normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang meliputi: 80 a.
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Batang tubuh UUD1945 TAP MPR Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, KUH Pidana, PP No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. 80
Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafiko Persada, Cet Kelima, 2001), hlm. 14.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti rancangan Undang-undang Pemasyarakatan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lain-lain.
c.
Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, jurnal-jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian. 81
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa: a.
Penelitian kepustakaan, yaitu meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik bahasan dalam penelitian berupa peraturan-peraturan hukum, buku-buku teks, artikel, dan jurnal serta dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
b.
Penelitian lapangan yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber dari narapidana, mantan narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Siborongborong dan masyarakat, pendapatpendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam
81
Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 195, dan Soerjono Soekanto, “et.al”., Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.
bentuk formil maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.
4. Analisa Data Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisa secara kualitatif, kemudian diolah dengan solusi dari permasalahan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mengumpulkan peraturan perundangundangan dengan melakukan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang terkait dengan tata cara pembinaan narapidana dan mengumpulkan teori-teori yang ada terkait dengan judul penelitian. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat. Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara berfikir yang bersifat induktif. Dengan metode induktif diharapkan akan diperoleh jawaban permasalahan. Cara berpikir deduktif akan digunakan untuk menggambarkan bentukbentuk pembinaan terhadap narapidana residivis.
BAB II PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA RESIDIVIS DAN PENGATURANNYA DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong Lembaga
Pemasyarakatan
Siborongborong
Klas
IIB
Siborongborong
merupakan wadah untuk menampung narapidana dan tahanan untuk dididik dan dibina berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Lembaga pemasyarakatan Siborongborong Klas IIB Siborongborong berdiri sejak Tahun 1992. Kondisi bangunan cukup baik, bersih, nyaman dan sejuk karena terisolir/ jauh dari kota atau keramaian. Namun melihat kondisi sekarang, di LP tersebut perlu dibuat pembatasan area agar pengawasan para napi dan tahanan bisa lebih diperketat agar terhindar dari peredaran narkoba yang sengaja didatangkan dari luar dengan alasan menjenguk atau bertamu kepada para Napi. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong merupakan salah satu lapas terbaik di wilayah Sumatera Utara dengan pelaksanaan program Bulan Tertib Pemasyarakatan (Buterpas) yang selama ini dijalankan. Hal ini terbukti dengan diterimanya Penghargaan Juara III Nasional Lapas Terbaik di Indonesia oleh Menteri Hukum dan Ham. penghargaan ini diberikan kepada UPT Pemasyarakatan yang telah sungguh-sungguh melaksanakan program Buterpas yang dicanangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 14 Februari 2008 di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Jakarta. Program ini tidak hanya berlaku satu bulan saja, tetapi berkelanjutan
dan selalu direvisi secara terus menerus. Pemberian penghargaan seperti ini akan terus dilakukan pada momen-momen penting. Dikatakan, sekarang ini keluar masuk pengunjung ke LP Siborongborong dilakukan secara ketat, bahkan tamu yang datang tidak diperbolehkan memberikan uang secara langsung. Jika ada pemberian uang kepada napi atau tahanan harus dilakukan dengan penukaran kupon yang sudah disediakan. Hal ini menjaga jika napi atau tahanan dapat melarikan diri, tidak dapat membelanjakan kupon tersebut. Penghuni LP Siborongborong pada Tahun 2008 berjumlah 203 orang, terdiri dari 165 napi dan 38 tahanan. 34% di antaranya terlibat kasus Narkoba yang didominasi narapidana pindahan dari Rutan Kelas I Medan, Lapas Klas I Medan, Lapas Klas IIA Binjai, Lapas Klas IIB Tebing Tinggi, Lapas Klas IIA Siantar, Lapas Klas IIA Rantau Prapat dan Lapas Klas IIA Sibolga. Tabel 1 Penghuni LP Siborongborong No
Kapasitas
Narapidana
Tahanan
Jumlah
1
150
165
38
203
Sumber : Data Primer Lapas Klas IIB Siborongborong 82 Selanjutnya jenis kejahatan yang dilakukan oleh tahanan maupun narapidana dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
82 Sumber data diperoleh dari Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
Tabel 2 Jenis Kejahatan Yang Menonjol Tahun 2008 No.
Jenis Kejahatan
Jumlah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Narkotika 73 Pencurian 35 Pembunuhan 9 Penganiayaan 19 Pemerasan 22 Penggelapan 7 Penipuan 2 Terhadap Kamtib 1 Perampokan 23 Dan lain-lain 14 Jumlah 203 Sumber : Data Primer Lapas Klas IIB Siborongborong 83 Lapas Klas IIB Siborong-borong dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) yang saat ini dijabat Sardiaman Purba, Bc.IP, SH. Adapun Stuktur organisasi Lapas Klas IIB Siborong-borong dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
83 Sumber data diperoleh dari Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
KALAPAS
KPLP
PETUGAS PENGAMANAN
URUSAN KEPEGAWAIAN DAN KEUANGAN
SEKSI BIMBINGAN NARAPIDANA / ANAK DIDIK
SUB BAGIAN TATA USAHA
URUSAN UMUM
SUB SEKSI KEGIATAN KERJA
SUB SEKSI REGISTRA SI
SEKSI ADMIN KAMTIB
SUB SEKSI PERAWAT AN
SUB SEKSI KEAMANAN
SUB SEKSI PELAPORAN DAN TATA TERTIB
Skema 1 Struktur Organisasi LAPAS KLS II B Siborongborong
30
Torkis F. Siregar : Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
B. Pengertian Recidive (Residivis) Residivis atau pengulangan tindak pidana berasal dari Bahasa Perancis yaitu Re dan Cado. Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya. 84 Atau apabila “Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri yang atas satu atau lebih perbuatan telah dijatuhi hukuman oleh hakim. 85 Rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau residivisme, yaitu: 1.
Pelakunya adalah orang yang sama
2.
Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu keputusan hakim.
3.
Si bersalah harus pernah menjalani seluruhnya atau sebahagian hukuman penjara yang dijatuhkan terhadapnya atau dibebaskan sama sekali dari hukuman tersebut.
4.
Keputusan hakim tersebut tidak dapat diubah lagi atau sudah berkekuatan hukum tetap.
5.
Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.
84 Recidivism Among Juvenille Offenders: An Analysis of Timed to Reappearance in Court? Australian Institute of Criminology, 1999, hlm. 8 85 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur Mahasiwa, hlm.233.
Budiono menyatakan bahwa residivisme adalah “kecenderungan individu atau sekelompok orang untuk mengulangi perbuatan tercela, walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan perbuatan itu.” 86 Selanjutnya Recidivism juga diartikan sebagai orang yang telah menjalankan kejahatan kembali. Sedangkan recidivis adalah orang yang pernah melakukan suatu kejahatan yang sama. 87
C. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pengulangan Tindak Pidana / Recidivis 1. Stigmatisasi Masyarakat Dalam lingkungan masyarakat perilaku orang yang tidak sesuai dengan norma atau tidak seharusnya dilakukan dikatakan sebagai prilaku yang menyimpang, dampak dari penyimpangan prilaku tersebut kemudian memunculkan berbagai akibat yaitu positip dan negative. Akibat positip dari adanya hal tersebut selalu terjadi perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek sosial, sehingga dapat mengasah kreatipitas
manusia
untuk
mengatasinya,
sedangkan
dampak
negatif
dari
penyimpangan prilaku menjurus kepada pelanggaran hukum kemudian menimbulkan ancaman ketenangan lingkungan sekitar atau mengganggu ketertiban masyarakat, yang mana kerap menimbulkan respon tertentu bagi masyarakat yang merasa terganggu atau terancam ketenangannya.
86 Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya, hlm. 416. 87 Rudi Haryono dan Mahmud Mahyung, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Lintas Media, Jakarta, hlm. 215.
Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan lingkungan dan ketertiban masyarakatnya kemudian memunculkan stigmatisasi terhadap individu yang melakukan prilaku yang menyimpang tersebut. Stigmatisasi sebagai mana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya merupakan proses pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam proses peradilan bahwa ia adalah seseorang yang jahat. Lebih jauh dan lebih dalam lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum yang jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya. 88 Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikwatirkan akan mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Desa Pasar Siborongborong-Tapanuli Utara : “ secara pribadi masih ada rasa khawatir terhadap mantan narapidana, namun walaupun demikian kita sebagai kepala desa ada melakukan pendekatan secara bathin dan kekeluargaan, walaupun di dalam hati ada rasa khawatir, kwatirnya bukan apa-apa, takut nantinya mempengaruhi yang lainnya. ‘’ 89
88 Didin Sudirman “ Masalah-masalah actual tentang pemasyarakatan”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok, 2006 hal 52. 89 Hasil wawancara dengan Kepala Desa Pasar Siborongborong –Tapanuli Utara.
Dengan adanya kekhwatiran tersebut kemudian secara tidak langsung berdampak kepada sikap dan perbuatannya dalam berinteraksi dengan masyarakat yang mana secara bertahap lingkungan akan menjauhi dan menutup diri dengan mantan narapidana, sedangkan permasalahan bagi narapidana adalah kebanyakan mereka dan rata-rata setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan baik itu yang bebas murni atau pun yang masih dalam bimbingan Balai pemasyarakatan (BAPAS) tidak mempunyai atau tidak dibekali dengan keahlian khusus, mengingat selama berada di dalam LAPAS tidak ada bentuk pembinaan yang sekiranya dapat membantu mencari pekerjaan di luar LAPAS. Sedangkan dari hasil pembimbingan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan walaupun ada bimbingan kemandirian (keterampilan kerja)namun itu sifatnya hanya sebagai bekal dalam mencari pekerjaan, dan untuk sampai menyalurkan ke tempat kerja dari pihak Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sendiri belum bisa menyalurkannya, sehingga narapidana harus mencari pekerjaannya sendiri dan hal ini menjadi dilema bagi narapidana, di satu sisi keberadaan mantan narapidana ditengah-tengah masyarakat masih dianggap jahat. Di sisi lain narapidana atau mantan narapidana walaupun dibekali dengan keterampilan khusus namun tidak disertai dengan penyaluran ke bursa kerja ataupun pemberian modal sehingga narapidana ataupun mantan narapidana tidak dapat mengembangkan bakat dan keterampilannya, padahal satu-satunya peluang bagi narapidana atau mantan narapidana adalah berwiraswasta atau membuka usaha
sendiri yang kemudian dari dalam diri narapidana atau mantan narapidana muncul persepsi bahwa dirinya tidak lagi diterima di lingkungannya dan kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan serta satu-satunya jalan adalah dengan jalan mencari jalan pintas yaitu mengulangi perbuatannya melanggar hukum. Sebagaimana yang dikemukan oleh Edwin Lemert, dimana menurutnya tindakan penyimpangan dibagi menjadi dua yaitu :penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder, yang mana terjadinya penyimpangan sekunder sendiri dapat digambarkan sebagai berikut : a.
Seseorang anak muda melakukan perbuatan menyimpang yang ringan (primary deviation) seperti melempari rumah tetangganya dengan batu.
b.
Kemudian terjadi suatu reaksi sosial yang informal, tetangga tersebut menjadi marah
c.
Anak muda tersebut melakukan reaksi sosial(primary deviation) dengan melepaskan anjing tetanganya itu keluar halaman.
d.
Terjadi peningkatan reaksi sosial primer, tetangga tersebut memarahi anak tersebut.
e.
Anak muda tadi kemudian melakukan perbuatan menyimpang yang lebih serius, ia melakukan pencurian toko(masih primary deviation).
f.
Terjadi suatu reaksi formal, anak muda tersebut diadili sebagai Juvenile Delinquency di pengadilan.
g.
Anak muda itu kemudian di beri label delinquency (nakal /jahat) oleh pengadilan dan bad (buruk/jelek) oleh tetangganya, teman- temannya dan oleh orang lain.
h.
Anak muda tadi mulai befikir tentang dirinya sendiri sebagai Delenquency dan bergabung dengan anak-anak muda tidak baik
i.
. Anak muda itu melakukan penyimpangan lain yang lebih serius (Secondary deviation), seperti merampok toko bersama anggota geng lainnya
j.
Anak muda itu kembali kepengadilan, mendapat lebih banyak lagi catatan kejahatan, semakin jauh dari masyarakat normal, dan
menempuh jalan
hidup yang sepenuhnya menyimpang. 90 Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa prilaku menyimpang primer dapat terjadi pada setiap orang, akan tetapi manakala anak muda tersebut di tangkap dan ditahan, terjadilah pemberian cap/ label terhadap anak muda tersebut (terjadilah stigmatisasi
terhadap yang bersangkutan), yang kemudian anak muda tersebut
dikeluarkan dari interaksi dengan sistem nilai yang berlaku sebelumnya dimasyarakat, untuk selanjutnya di dorong dalam keadaan berinteraksi dan berasosiasi dengan orang-orang yang mendapat label/ cap yang sama. Perilaku menyimpang sekunder adalah akibat yang timbul karena adanya stigmatisasi formal ini. Perilaku menyimpang sekunder ini dapat membawa akibat
90 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 101
timbulnya perilaku-perilaku kriminal yang sekunder yang seringkali sulit diatasi seperti terjadinya pengulangan tindak pidana atau pelanggaran hukum.
2. Dampak dari Prisonisasi Dalam kaitannya dengan sistem pemasyarakatan, masalah prisonisasi bukanlah hal yang baru, dimana prisonisasi sendiri diartikan sebagai proses terjadinya pengaruh negatif (buruk) yang diakibatkan sistem nilai yang berlaku dalam budaya penjara. Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh Sahardjo pada tahun 1963, salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa Negara tidak berhak memnbuat orang lebih buruk atau jahat pada saat sebelum dan dipenjara, asumsi ini secara langsung menunjukkan adanya pengakuan bahwa tindakan pemenjaraan secara potensial dapat menimbulkan dampak negatife, sebagaimana yang dinyatakan dalam Poin 53, Implementation The Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners (Implementasi SMR) yang berbunyi ;“ Tujuan-tujuan pembinaan dalam rangka pemasyarakatan cenderung berbelok kearah yang menyimpang, karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusak yang terdapat di dalam hubungan para penghuni. 91 Sehingga dari sini dapat di jelaskan bahwa ajaran-ajaran sosiologis mengenai masyarakat lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) telah menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan dengan peraturan-peraturan keamanan maksimum terdapat suatu 91 Didin Sudirman “ Masalah-masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan “ Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok, 2006
pertumbuhan kehidupan yang menghambat kemungkinan integrasinya narapidana kali dapat membuat tumbuhnya sifat-sifat kelainan pada narapidana, dengan lebih memperlihatkan ciri-ciri persamaannya dengan pola-pola penjahat serta ciri-ciri perbuatan jahatnya. Terjadinya penyimpangan sendiri didalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara, sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan seseorang selama berada didalam penjara tidak sebebas orang yang berada di luar tembok penjara. Tingkat kenaikan dan penurunan residivis selain merupakan indikator berhasil atau tidaknya suatu pembinaan terhadap narapidana tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berkembang dalam masyarakat seperti susahnya mencari pekerjaan, tidak adanya tempat untuk berteduh atau kesejahteraan di dalam Lapas yang lebih terjamin daripada apabila mereka berada di luar lapas. Data-data yang terkumpul narapidana Siborongborong yang pernah melakukan pengulangan tindak pidana dalam lima tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3 Daftar Nama Narapidana Residivis LAPAS Klas II B Siborongborong No
No Reg
Nama
Perkara
Hukuman
Tgl Bebas
Reg Sekarang
Hukuman
1
36/00
Ferdinan Siahaan
Pembunuhan
10 tahun
15-04-2005 (PB)
12/07
06 tahun
2
09/01
Usman Bangun
Narkotika
07 tahun
17-08-2005
79/07
05 tahun
3
10/01
Ratin Tarigan
Narkotika
07 tahun
17-08-2005
22/06
06 tahun
4
12/01
Binsar Ginting
Pembunuhan
06 tahun
05-01-2005
24/05
06 tahun
5
14/02
Iswandi
Narkotika
05 tahun
12-08-2005
25/06
06 tahun
6
18/02
Maniti Simanullang
Penganiayaan 05 tahun
17-08-2005
29/06
07 tahun
7
21/02
Tomi Pasaribu
Pembunuhan
05 tahun
19-07-2005
21/06
03 tahun
8
31/02
Samud Tumanggor
Penganiayaan 05 tahun
25-12-2005
40/08
04 tahun
9
35/02
Darwin Simbolon
Pemerkosaan
06 tahun
17-08-2005
52/06
04 tahun
10
43/02
Sahar
Narkotika
08 tahun
13-04-2005
61/06
05 tahun
11
23/01
Saragih
Pembunuhan
12 tahun
27-12-2006 (PB)
24/07
10 tahun
12
26/01
Rikson Tambunan
Pembunuhan
11 tahun
18-09-2006 (PB)
26/07
07 tahun
13
27/01
Jainal Sianipar
Pembunuhan
11 tahun
04-03-2006 (PB)
76/06
06 tahun
39
Lanjutan Tabel 3 No
No Reg
Nama
Perkara
Hukuman
Tgl Bebas
14
28/01
Surung Sianipar
Pembunuhan
12 tahun
02-03-2006 (PB)
21/08
06 tahun
15
12/02
Radianson Purba
Pembunuhan
09 tahun
17-08-2006
27/08
05 tahun
16
17/02
Janes Situmeang
Narkotika
09 tahun
30-08-2006
19/08
05 tahun
17
27/02
Azmi Rizal
Pembunuhan
06 tahun
16-05-2006
29/07
05 tahun
18
28/02
Sadrak Marbun
Perampokan
09 tahun
23-05-2006 (PB)
48/08
05 tahun
19
32/02
James L. Gaol
Pembunuhan
07 tahun
12-02-2006 (PB)
44/08
06 tahun
20
42/02
Pansius Sianturi
Narkotika
08 tahun
29-03-2006
26/06
08 tahun
21
46/02
Nasarudin Tanjung
Narkotika
06 tahun
17-08-2006
67/07
05 tahun
22
48/02
Andi Mulia
Narkotika
08 tahun
08-02-2006
17/07
05 tahun
23
03/03
Asnawi
Narkotika
05 tahun
13-05-2006
03/09
06 tahun
24
13/06
Jhon Willi Saragih
Pencurian
01 thn 06 bln
17-08-2007
28/08
2 tahun
25
19/06
Damero nainggolan
Pencurian
01 thn 02 bln
04-06-2008
11/09
2 tahun
Reg Sekarang
Hukuman
Sumber: Data Primer Kasi Binadik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong
40
41
D. Pengertian Residivis dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia KUHP tidak ada mengatur tentang pengertian dari pengulangan (recidive) secara umum. Namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang mengatur tentang akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan (recidive). Ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan (recidive), yaitu: 1. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP. 2. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386 sampai dengan Pasal 388, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3) KUHP, Pasal 489 ayat (2), Pasal 495 ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3). 92 Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) Nasional 2000. Di samping itu juga adanya perkembangan pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan para sarjana berpikir untuk merumuskan tujuan pemidanaan yang ideal. Di samping itu dengan adanya kritikkritik mengenai dasar pemidanaan yang menyangkut hubungan antara teori pidana, pelaksanaan pidana dan tujuan yang hendak dicapai serta hasil yang diperoleh dari penerapan pidana. Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu:
92 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. hlm.. 81.
42
1. Pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan, yaitu: a. Pelanggar hukum bukan residivis (mono deliquent/pelanggar satu kali/first offenders) yaitu yang melakukan hanya satu tindak pidana dan hanya sekali saja. b. Residivis yang dibagi lagi menjadi: 1) Penjahat yang akut yaitu meliputi pelanggar hukum yang bukan residivis dan mereka yang berkali-kali telah dijatuhi pidana umum namun antara masing-masing putusan pidana jarak waktunya jauh, atau perbuatan pidananya begitu berbeda satu sama lain sehingga tidak dapat dilakukan ada hubungan kriminalitas atau dengan kata lain dalam jarak waktu tersebut (misalnya 5 tahun menurut Pasal 486, 487 dan 488 KUHP Indonesia atau 2 tahun menurut pasal 45 KUHP Indonesia) 2) Penjahat kronis, adalah golongan pelanggar hukum yang telah mengalami penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu singkat di antara masing-masing putusan pidana
43
3) Penjahat berat,
93
yaitu mereka yang paling sedikit telah dijatuhi
pidana 2 kali dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi mereka yang karena kelakuan anti sosial sudah merupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang telah menetap bagi mereka. 4) Penjahat sejak umur muda.
Tipe ini memulai karirnya dalam
kejahatan sejak ia kanak-kanak dan dimulai dengan melakukan kenakalan anak. Kritikan tersebut dapat berpengaruh besar terhadap proses pembuatan rancangan KUH Pidana Nasional yang telah rampung pada Tahun 2000 yang lalu dan telah disosialisasikan sejak bulan Desember Tahun 2000. “Konsep KUH Pidana Nasional tersebut telah mengalami beberapa perubahan mulai dari konsep Tahun 1971/1972, konsep KUH Pidana 1982/1983, konsep KUH Pidana 1993 dan yang terakhir konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000.” 94 Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu: 1.
Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain: a.
Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan suatu rangkaian kejahatan tanpa diselingi suatu penjatuhan pidana/ condemnation.
93 Friedrich Stumpl dikutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi Sansuran Ny. L. Moeljatno, hlm. 161. 94 Mulyana W. Kusumah, Loc. Cit.
44
b.
Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis (homologus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
2.
Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain: a. Accidentale recidive
yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang
dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya b. Habituele recidive, yaitu pengulangan tidak pidana yang dilakukan karena si pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya 3.
Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga dibedakan atas: a. Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dapat dikenakan pemberatan hukuman. 95 b. Recidive khusus yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak
95 Utrecht E, Hukum Pidana II Rangkaian Sari Kuliah, Pustaka Surabaya Tinta Mas, hlm. 200.
45
pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan hukuman. 96 Sejak Tahun 1972 hal mengenai tujuan pemidanaan telah menjadi pemikiran para perancang undang-undang. Hal ini terbukti dengan telah diaturnya tujuan pemidanaan dalam Pasal 2 konsep Tahun 1971/1972, selengkapnya Pasal 2 konsep Undang–undang Hukum Pidana Tahun 1971-1972 menentukan: (1). Maksud tujuan pemidanaan: a) Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk; b) Untuk membimbing terpidana agar insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna; c) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana (2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Kemudian tujuan pemidanaan tersebut mengalami perubahan pada konsep KUH Pidana Tahun 1982/1983, Buku I menyatakan bahwa tujuan pemberian pidana adalah: 1. Pemidanaan bertujuan untuk: a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
96 Ibid.
46
dari pengayom masyarakat; b) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat; c) Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d) Membebaskan rasa bersalah para terpidana. 1. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam konsep rancangan KUH Pidana Nasional Tahun 1991/1992 tujuan pidana ditentukan sebagai berikut: (1). Pemidanaan bertujuan untuk: a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dari pengayom masyarakat; b) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bernasyarakat; c) Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d) Membebaskan rasa bersalah para terpidana.
47
(2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000 mengenai tujuan pemidanaan secara tegas diatur dalam Pasal 50, yaitu: (1).
Pemidanaan bertujuan untuk: a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayom masyarakat; b) Memasyarakatkan
terpidana
dengan
mengadakan
pembinaan
sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna; c) Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d) Membebaskan rasa bersalah para terpidana. (2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Pengulangan (recidive) juga diatur secara umum dalam Buku I (sebagai alasan pemberatan pidana yang umum). Jadi berbeda dengan KUHP saat ini, yang mengaturnya sebagai alasan pemberatan pidana yang khusus untuk delik-delik tertentu (diatur dalam Buku II dan III). Dikatakan ada “pengulangan” menurut Konsep (Pasal 23), apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima) tahun sejak :
48
1. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; 2. Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau 3. Kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa. Pemberatan pidananya diatur dalam Pasal 132 KUHP, yaitu maksimumnya diperberat sepertiga. Salah satu unsur yang menentukan terjadinya kejahatan residive adalah berdasarkan waktu terjadinya tindak pidana. Batasan yang dipergunakan, asal surat dakwaan menguraikan suatu tempus delikti yang didasarkan pada perkiraan yang bersifat fleksibel, yang mengacu pada patokan: 1) sedapat mungkin uraian tempus delikti memuat penegasan waktu yang pasti yang berisi penjelasan jam, tanggal (hari), bulan dan tahun secara positip dan mutlak, 2) bila uraian yang seperti itu tidak dapat dipenuhi, terbuka kebolehan untuk menuturkan uraian tempus delikti yang bersifat perkiraan yang bercorak dugaan di sekitar bulan dan tahun tertentu tanpa dilengkapi penjelasan jam dan hari tertentu. Dimungkinkan membuat uraian tempus delikti yang bersifat luas dalam bentuk alternatip dengan mempergunakan perkataan atau kira-kira maupun atau di sekitar tanggal, bulan dan tahun sekian. Asal tetap terpenuhi persyaratan, uraiannya tetap cermat, jelas dan lengkap.
49
Dasar pemberat pidana di atas adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri). Adapun rasio pemberatan pidana pada kejahatan recidive ini terletak pada 3 (tiga) faktor, yaitu: “a. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana. b. Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang pertama. c. Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan. ” 97 Apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima) tahun sejak : “a. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; b. Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau c. Kewajiban
menjalani
pidana
pokok
yang
dijatuhkan
belum
kedaluwarsa.” 98 Namun ketentuan tentang pemberatan pidana ini tidak berlaku untuk anakanak. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat Pasal 45, 46 dan Pasal 47 yang mengatur penerapan hukum pidana terhadap anak-anak. Pasal-pasal tersebut antara lain mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama, dalam menuntut orang yang belum cukup umur karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan: (1) memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtua atau walinya, tanpa pidana; (2) 97 Ibid , hlm. 82. 98 Ibid , hlm. 86.
50
memerintahkan yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah tanpa pidana; atau (3) menjatuhkan pidana. Kedua, jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah, atau badan hukum tertentu untuk dididik, hal tersebut dilakukan paling lama sampai umur 18 tahun. Ketiga, jika dijatuhi hukuman pidana, maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga; sementara terhadap yang bersalah tidak diberlakukan hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Para penyusun naskah baru KUHP Nasional sudah berfikir lebih maju dengan mencantumkan pada bagian khusus jenis-jenis pidana dan tindakan bagi anak dengan tidak kurang dari 17 aturan, mulai dari pasal 94-a sampai dengan 94-q, dengan aturan terpenting antara lain sebagai berikut: Pertama, seorang anak yang melakukan tindak pidana dan berumur 12 tahun, tidak dapat dipertanggungjawabkan. pemberatan pidana bagi pengulangan tindak pidana tidak bagi anak-anak. Ketiga, pidana penjara yang dijatuhkan seorang anak hanya dapat dilaksanakan dalam penjara yang khusus diperuntukkan bagi anak. 99
belum Kedua, berlaku kepada
Pasal-pasal yang dirumuskan dalam naskah RUU KUHP Nasional yang baru tersebut disusun dengan mempertimbangkan, selain aspek-aspek psikologi anak (seperti emosional, intelektual dan mental), juga aspek-aspek lingkungan sosial yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana oleh anak-anak, serta penyesuaian dengan perkembangan hukum modern yang menyangkut perlindungan hak-hak anak.
99 Mulyana W. Kusumah, Penegakan Hukum dan Hak-hak Anak, Loc. Cit.
51
BAB III BENTUK PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS YANG DIBERLAKUKAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG
A. Bentuk Pembinaan Terhadap Narapidana Untuk mewujudkan pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan dibutuhkan berbagai upaya, antara lain program pelatihan bagi petugas dan narapidana, program asimilasi yang teratur dan. mengandung manfaat tidak saja bagi narapidana tetapi jugs bagi masyarakat. 1. Program Pelatihan Bagi Petugas dan Narapidana Untuk mengisi waktu narapidana agar bermanfaat, ditentukan jadwal-jadwal kegiatan yang dilakukan dari pagi hingga sore harinya setiap hari. Salah satu kegiatan yang dinilai penting dan manfaatnya besar sekali adalah program pelatihan, baik kepada petugas pemasyarakatan maupun narapidana. Sebagai petugas mengikuti program pelatihan merupakan keharusan karena mereka langsung berhadapan dengan narapidana. Dengan kata lain terampilnya narapidana dalam bidang pekerjaan tertentu sangat tergantung kepada keterampilan petugas, oleh karena itu menurut pengakuan petugas, mereka membutuhkan pelatihan seperti pertukangan, memainkan alat musik, dan senam untuk kesehatan. Perlunya pelatihan untuk petugas, semata-mata demi memenuhi kebutuhan narapidana. Selama ini bentuk pelatihan yang diberikan kepada petugas hanya bersifat insidentil dan tergantung dana proyek. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Seksi
52
Pembinaan, bahwa bentuk pelatihan yang diberikan tidak bersifat rutin, artinya kalau dana dari proyek ada dan itupun tidak setiap tahun mendapat kesempatan, karena dibagi secara bergilir untuk seluruh Lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia. Selanjutnya beliau tnengatakan bahwa pelatihan yang diberikan seperti pelatihan teknis pembinaan, keamanan, kesempatan, HAM, bahkan HIV. 100 Di samping itu sesuai dengan prinsip pemasyarakatan yang mengatakan pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya untuk kepentingan jawatan atau kepentingan negara saja, akan tetapi pelatihan diharapkan bermanfaat sebagai bekal hidup di masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan narapidana bahwa program pelatihan bermanfaat bagi narapidana jika diikuti dengan sungguh-sungguh dalam waktu 3 bulan, dan. sebaliknya menurut narapidana kurang bermanfaat jika tidak tidak mempunyai
modal
untuk
membuka
usaha
setelah
keluar
dari
lembaga
pemasyarakatan. 101 Hal ini menunjukkan bahwa narapidana menginginkan pelatihan yang benar-benar berguna dan bermanfaat bagi dirinya sebagai bekal bekerja di masyarakat, namun sering terkendala dengan modal untuk membuka usaha seperti pertukangan atau yang lainnya. Program pelatihan keterampilan ini ternyata mendapat respon dari narapidana, karena narapidana berharap pelatihan torsebut dapat dijadikan bekal bekerja di masyarakat. Di samping pelatihan keterampilan yang diberikan oleh petugas/pembina 100 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009 101 Ibid
53
di dalam lembaga pemasyarakatan, ada juga pelatihan keterampilan yang diberikan oleh Dinas Sosial maupun organisasi-organisasi sosial yang datang ke lembaga pemasyarakatan. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Seksi Pembinaan, bahwa pelatihan yang diberikan kepada narapidana oleh Dinas Sosial berupa kursus pertukangan dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan yang berlangsung di dalam lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya beliau mengemukakan kalau dari organisasi sosial, dan lain sebagainya, pelatihan yang diberikan berupa kerajinan tangan yang berlangsung 2 (dua) atau 4 (empat) hari dan paling lama 1 (satu) minggu. 102 Semua peralatan menjahit, seperti mesin jahit dan alat-alat untuk pelatihan diberikan oleh Dinas Sosial, dan gurunya juga dibawa oleh Dinas Sosial ke lembaga pemasyarakatan. Namun hal ini tidak bersifat rutin tetapi isidentil, dalam arti jika dana proyek dari Dinas Sosial ada, dan itupun secara bergilir untuk seluruh lembaga pemasyarakatan yang ada di Sumatera Utara. Biasanya peralatan dan alat-alat kerajinan tangan diberikan oleh Dinas Sosial ke lembaga pemasyarakatan. Kursus atau pelatihan ini diberikan kepada narapidana sesuai dengan jumlah narapidana yang diminta oleh Dinas Sosial maupun organisasiorganisasi sosial, misalnya 20 (dua puluh) orang narapidana atau 40 (empat puluh) orang narapidana. Menurut Kepala Seksi pembinaan, kalau 40 (empat puluh) orang narapidana yang dibutuhkan, maka yang diutamakan adalah narapidana yang akan habis masa
102 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
54
pidananya, sehingga kursus atau pelatihan yang diberikannya akan berguna bagi narapidana untuk kembali ke masyarakat. Dan biasanya peralatan yang digunakan, diberikan kepada narapidana yang bersangkutan. 103 Dengan demikian akan bermanfaat bagi narapidana sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat. Di samping itu, pendidikan keterampilan bertujuan antuk membentuk manusia narapidana agar menjadi manusia mandiri, yakni manusia yang akan mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keterampilan yang mereka peroleh selama di lembaga pemasyarakatan. 104 Pekerjaan itu dapat memotivasi narapidana untuk memper-slapkan dirinya kelak bekerja, di masyarakat dan pendidikan keterampilan itu harus sesuai dengan pekerjaan di luar. Sebagaimana dikatakan oleh Daniel Glase : a.
That prison have difficulty Procuring enough work for all of their in mates.
b.
That incentives are frequently not opi, imis fi)r motivating immates to pursue the prison work than curt ui be most useful to them in their past release life;
c.
That record of prison work performance are poor; and
d.
That relatively small proportion and released prisioners find employment which utilities their prison training. 105
103 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009 104 Thaher Abdullah, Pelaksatiaan Pembinaan Keterampilan Narapidana Sebagai Bekal Reintegrasi Dalam Masyarakat, Makalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas I, Cirebon 1984, hal. 1. 105 Daniel Glaser, Prison Work and Subseguet Employment, The Sociology of Punishment and Corestion, Norman Johnston (edition) John Wiley and Sons, Inc. New York, 1970, hal. 513.
55
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut : a.
Bahwa penjara kesulitan memperoleh pekerjaan yang cukup untuk semua penghuni penjara;
b.
Pekerjaan insentif sering tidak optimum dilakukan untuk memotivasi penghuni penjara atau narapidana dalam melaksanakan tugas-tugasnya dipenjara yang dapat berguna bagi mereka setelah bebas nanti;
c.
Penilaian terhadap pekerjaan para narapidana sangat rendah;
d.
Relatif kecilnya kesempatan bagi narapidana yang telah bebas untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pelatihan yang diberikan di penjara. Memahami pendapat Daniel Glaser di atas, jelas bahwa bukan program
pelatihan saja yang diperlukan tetapi pekerjaan yang dapat mendukung narapidana agar memiliki motivasi. Pendapat demikian sejalan dengan prinsip pemasyarakatan yang tidak selalu melihat kesalahan pelaku, sebagaimana sistem kepenjaraan. Dalam sistem pemasyarakatan mengandung sifat pembinaan dengan melatih narapidana agar kelak keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat menerapkan kepandaiannya sebagai bekal hidup dan tidak lagi melakukan tindak pidana. 106 Sehubungan dengan itu adanya kerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diharapkan dapat membantu untuk menerima dan menyalurkan tenaga kerja mantan narapidana. Saat ini LSM yang datang berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, menurut Kepala Seksi Pembinaan adalah
106 C.I. Harsono, Op. cit., 1991, hal. 22.
56
LSM Galatea, yang berkunjung 4 (empat) kali dalam sebulan, yakni setip hari Senin dan Jumat minggu kedua dan minggu keempat. Kunjungan LSM ini memberikan ceramah agama, bimbingan tentang narkoba, dan HIV AIDS. LSM ini jugs menampung mantan narapidana khusus kasus narkoba dan mempekerjakannya di LSM tersebut. 107 Dengan demikian LSM ini bersedia membantu mantan narapidana khususnya yang terlibat dalam kasus narkoba, karena mantan narapidana tersebut masih dapat dibina melalui pendekatan secara individu maupun keagamaan. Untuk itu, program pelatihan tidak sekedar memberikan kesibukan kepada petugas dan narapidana, tetapi lebih berorientasi pada individualisasi yang menempatkan narapidana sebagai manusia yang tersesat dan mendapatkan pembinaan sesuai dengan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995. Dalam hal ini program pelatihan setidak-tidaknya dapat mengembalikan rasa percaya diri sehingga narapidana dapat berintegrasi dengan masyarakat.
2. Asimilasi Meskipun narapidana kehilangan kemerdekaan selama menjalani hukuman, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Prinsip ini menghendaki narapidana tidak terisolasi di dalam tembok
107 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
57
penjara serta narapidana harus melakukan kontak dengan masyarakat luar. Asimilasi ini dijamin oleh UU No. 12/1995 dalam Pasal 14 ayat (1) huruf j. Asimilasi 108 sebagai tujuan pemasyarakatan, cirri utamanya adalah aktifnya kedua belah pihak, yaitu pihak narapidana dan kelompok keluarga narapidana dan masyarakat. Asimilasi juga bertujuan untuk menghilangkan citra buruk penjara pasca kemerdekaan, serta mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana. Untuk menghilangkan citra buruk lembaga pemasyarakatan dan mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana, maka perlu diadakan asimilasi kedalam lembaga pemasyarakatan berupa kunjungan dari keluarga dan arakat ke dalam lembaga pemasyarakatan serta kunjungan dari organisasi-organisasi kemasyarakatan
108 Asimilasi diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor : M, 01-PK04 10/th 1989 Tentang Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang Lepas. Pasal 1 : Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan masyarakat. Pasal 5, maksud Asimilasi adalah : a. Memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat; b. Memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan Pasal 6, tujuan Asimilasi adalah: a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan. b. Memberi kesempatan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan untuk pendidikan dan ketrampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana c. mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan. Asimilasi terbagi dua yaitu : Asimilasi kedalam lembaga pemasyarakatan, khususnya menerima kunjungan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan Asimilasi keluar, mempunyai persyaratan minimal sudah menjalani 2/3 masa pidana (atau telah masuk tahap III dari. proses persyaratan narapidana). Adapun bentuk Asimilasi keluar adalah : bekeda pada pihak ketiga, balk instansi pemerintah atau swasta, bekerja mandiri, misalnya menjadi tukang cukur, bengkel, tukang memperbaiki radio, mengikuti pendidikan dan latihan keterampilan di luar lembaga pemasyarakatan, kerja bersama masyarakat, berolafiraga bersama masyarakat.
58
dengan memberikan ceramah keagamaan, penyuluhan hukum, maupun berbagai bentuk keterampilan. Dengan adanya asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan maka narapidana tidak merasa dirinya terasing dari lingkungan masyarakat. Asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan berupa kunjungan keluarga yang berlangsung 2 (dua) kali dalam seminggu pada jam jam tertentu selama lebih kurang dari 15 menit. Pentingnya arti pertemuan keluarga dengan narapidana tidak bisa dibantah oleh siapapun karena, pengaruhnya besar sekali dalam memotivasi narapidana. Kunjungan keluarga dapat memulihkan rasa percaya diri narapidana sebagai manusia yang mandiri. Dengan adanya kunjungan tersebut, narapidana tidak merasa dilupakan oleh keluarganya, dan secara psikologis hal tersebut akan membawa dampak positif pada diri narapidana. Kurangnya perhatian keluarga dapat mengakibatkan narapidana frustasi, dan hal itu akan mempersulit pembinaan narapidana. Kunjungan keluarga kepada narapidana di lembaga pemasyarakatan merupakan kegiatan rutin yang berlangsung dua kali dalam satu minggu. Sebagaimana yang dikemukakan Kepala Seksi Pembinaan, bahwa kunjungan keluarga berlangsung pada hari Senin dan Kamis, yakni pagi hari dari jam 9.00 Wib sampai dengan jam 12.00 Wib, dan sore hari dari jam 14.00 sampai dengan jam 16.00 Wib, dan waktu yang diberikan lima belas menit, tetapi bagi keluarga narapidana yang datang dari luar kota waktu yang diberikan satu jam. Kunjungan ini
59
dimanfaatkan oleh kedua belch pihak untuk saling tukar informasi atau menumpahkan segala keluh kesah serta dapat melepaskan rasa rindu di antara mereka dan juga narapidana merasa diperhatikan oleh keluarganya. Pada waktu kegiatan ini, petugas biasanya memberi kebebasan seluas-luasnya kepada narapidana selama waktu yang ditentukan. 109 Asimilasi khususnya keluar lembaga pemasyarakatan sebagai media narapidana dengan masyarakat merupakan sisi penting dari pemasyarakatan. Oleh karenanya asimilasi sangat diperlukan agar narapidana dapat menyesuaikan dari dengan masyarakat. Sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa asimilasi keluar lembaga pemasyarakatan masih terbatas pada pembebasan bersarat dan cuti menjelang bebas. Sedangkan asimilasi dalam bentuk bekerja di luar lembaga seperti bekerja pada pihak swasta, belum diberikan karena petugas merasa khawatir melepas narapidana bekerja ke luar lembaga pemasyarakatan. Kekhawatiran ini wajar mengingat tanggung jawab petugas terhadap narapidana cukup besar, terlebih lagi jika terjadi sesuatu terhadap narapidana maka petugas dapat disalahkan. Berasimilasinya narapidana dengan masyarakat menjadi tolak ukur bagi proses penerimaan selanjutnya setelah bebas. Asimilasi dengan bentuk cuti, seperti dijamin undang-undang mempunyai tujuan tertentu, apakah itu untuk mengunjungi keluarga karena hal-hal tertentu atau untuk memenuh kebutuhan biologis semata.
109 Wawancara dengan Kepala Seksi Peminaan di .Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009.
60
Sehubungan dengan hal itu, menurut Kepala Seksi Pembinaan proses asimilasi keluar Lembaga Pemasyarakatan ini tidak berjalan, hal ini disebabkan petugas merasa khawatir dengan adanya proses asimilasi ke luar lembaga dapat menyebabkan narapidana berprilaku tidak baik karena dapat bertemu dengan teman-temannya, dan juga khawatir narapidana akan hamil sehingga dapat menggangu keamanan dan ketertiban lembaga. 110 Sehubungan dengan program asimilasi ini menurut narapidana perlu adanya asimilasi ke dalam maupun keluar lembaga pemasyarakatan, karena narapidana dapat berbaur dengan masyarakat sehingga narapidana merasa tidak canggung lagi apabila nantinya keluar dari lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya menurut narapidana asimilasi ini sangat berguna bagi narapidana karena dengan adanya kunjungan dari organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti LSM, maupun dari lembaga sosial lainnya, dapat memberi kegernibiraan bagi narapidana dengan adanya hiburan, ceramah, dan menga'jarkan berbagai bentuk keterampilan lainnya. 111 Dengan demikian narapidana merasa terhibur dan termotivasi untuk berbuat baik serta berkarya dan timbul rasa percaya diri dalam diri narapidana. Namun asimilasi ke luar lembaga pemasyarakatan masih terbatas dan terkendala. Terbatas hanya dalam bentuk cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur yang berlaku. 110 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009 111 Wawancara dengan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
61
Sedangkan bekerja di luar lembaga pemasyarakatan masih terkendala dengan. adanya kekhawatiran dari pihak lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana maupun kurangnya kepercayaan masyarakat untuk memerdekakan narapidana. Dalam hal ini menurut mantan narapidana yang kembali menjadi narapidana, walaupun mereka telah bebas keluar dari lembaga pemasyarakatan, namun tetap saja masyarakat tidak mau mempekerjakan mereka (tidak mau menerima mereka bekerja di tempatnya). 112 Assimilasi sebagai salah satu cara memperkenalkan narapidana ke masyarakat, oleh karena itu kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidananya diberikan Cuti Menjelang Bebas (CMB). Untuk itu menurut Kepala Seksi Pembinaan pemberian cuti bagi narapidana harus ada ijin dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP), dan adanya jaminan dari pihak keluarga narapidana serta lurah setempat dan juga ijin dari BAPAS. 113 Dengan
adanya
surat
jaminan
tersebut,
maka
Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan baru dapat memberikan surat cuti menjelang bebas (CMB), dan apabila masa cutinya berakhir maka narapidana dapat melaporkannya ke lembaga pemasyarakatan terdekat. Asimilasi lebih tertuju kepada narapidana, karena merekalah yang memanfaatkannya. Asimilasi itu sendiri menjadi jembatan bagi narapidana bertukar pikiran dengan keluarga. Namun saat pertemuan narapidana
112 Wawancara dengan narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009 113 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
62
dengan keluarga, disitu dapat diketahui apakah ada keharmonisan atau terjadi keretakan rumah tangga (renggangnya hubungan keluarga dengan narapidana). Asimilasi sebagai media komunikasi narapidana dengan keluarga, atau masyarakat dapat menimbulkan masalah barn, seperti adanya ajakan kawan-kawan kembali kekebiasaan semula, serta tidak adanya pekerjaan. Asimilasi baik ke dalam maupun ke luar Lembaga Pemasyarakatan bagi narapidana selalu dilihat untung ruginya. Adanya sikap dan cara berfikir demikian, karena mereka berada di bawah tekanan berupa tidak adanya kebebasan. Sehubungan dengan ini, asimilasi ke dalam pemasyarakatan berupa kunjungan-kunjungan keluarga maupun anggota masyarakat lainnya, sangat dirasakan manfaatnya oleh narapidana. Selain kunjungan keluarga, asimilasi ke dalam Lembaga. Pemasyarakatan juga sering dilakukan oleh lembaga pendidikan dan kelompok keagamaan yang ada di masyarakat. Kunjungan itu dapat berupa aksi bakti sosial, serta penyuluhan hukum. Maksud dari kunjungan kelompok masyarakat tersebut pada dasarnya adalah untuk mendekatkan diri kepada narapidana. Kunjungan itu sendiri dipandang sebagai kesempatan
mendapatkan
bimbingan
rohani
dan
melepaskan
keterasingan.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kunjungan dari organisasiorganisasi sosial dan LSM juga merupakan bentuk asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan, di samping memberikan ceramah juga pelatihan keterampilan. Perlunya asimilasi bagi narapidana sebelum kembali ke masyarakat, hal itu bermanfaat untuk mencegah kecenderungan pemberian cap penjahat dari masyarakat
63
dan ditolaknya narapidana di masyarakat. Adanya pemberi cap dari masyarakat tersebut merupakan beban tersendiri bagi narapidana. Dikatakan demikian karena menurut
prinsip
pemasyarakatan,
terpidana
dihukum
dalam penjara
tidak
dimaksudkan membuat mereka lebih jahat, namun sebaliknya mendidik agar mereka menjadi manusia-manusia yang baik. Namun begitu mereka meninggalkan lembaga, masyarakat menolak kehadiran dan cap sebagai penjahat tetap disandang oleh bekas narapidana tersebut. Adanya penolakan sosial, pengasingan dan pengucilan begitu memojokkan mereka sehingga mengakibatkan timbulnya kembali penjahat kambuhan, hal ini seperti dikatakan Ronny Nitibaskara : Orang-orang ini selalu dibayang-bayangi dan dicurigai secara berlebihan oleh Penegak Hukum maupun masyarakat terpaksa memilih "comeback" bergelut dalam dunia kriminalitas yang sesungguhnya belum tentu mereka senangi. Kontrol sosial yang tidak pada tempatnya itu sangat mempengaruhi keberhasilan mereka mengisolirnya dari masyarakat umum. Terjadinya proses stigmatisasi yang menempatkan individu sebagai tidak dapat diterima atau sebagai orang yang berkelakuan salah. 114 Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan proses pemasyarakatan narapidana tidak sebatas dinding tembok penjara saja. Sebagaimana dikatakan Loebby Loqman, bahwa proses pembinaan narapidana : Tidak berhenti pada saat narapidana tersebut keluar dari Lembaga pemasyarakatan setelah menjalani pidananya, akan tetapi masih berlanjut di dalam masyarakat di mana bekas narapidana tersebut akan menerimanya, suatu Stigma yang sampai sekarang sulit untuk dihilangkan adalah suatu
114 Ronny Nitibaskara, Beberapa Faktor Penghambat Reintegrasi Sosial Bekas Narapidana di Indonesia, Makalah (Jakarta : Fakultas Hukum U1, 1988), hal. 3
64
pendapat bahwa seseorang yang pernah dipidana, merupakan orang yang harus dijauhkan, masih terdapat di dalam masyarakat kita, dengan bukti dimintainya Surat Kelakuan Baik bagi mereka yang melamar, pekerjaan, kalau jalan ini sudah ditutup keberhasilan pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang pernah melakukan kejahatan akan menonjol. 115 Dengan demikian, sepatutnya masyarakat tidak menjadi hakim terakhir, karena lembaga pemasyarakatan fungsinya bukan hanya sebagai tempat menjalani pidana tetapi juga tempat pembinaan. Di samping itu, ada kelemahan pada UndangUndang Hukum Pidana yang tidak menegaskan bahwa bila pelaku kejahatan telah menjalani seluruh masa pidananya, maka tidak boleh ada lagi stigma atau penolakan serta prasangka buruk. Stigma penjahat dalam kenyataannya tidak ditujukan kepada orangnya saja, tapi juga kepada produk barang-barang basil kerja bekas narapidanapun cenderung menjadi sasaran. Kecenderungan seperti ini, menunjukkan semakin sempitnya kesempatan bekas narapidana memperbaiki dirinya. Padahal pendidikan keterampilan yang dijalani narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, belum tentu sesuai dengan jenis pekerjaan yang mereka jalani ketika keluar nanti. Di samping itu pula pekerjaan semacam itu hanya dibutuhkan untuk lembaga, serta salah satu cara mencegah rutinitas penjara. Penilaian keberhasilan rehabilitasi tidak lagi ada pada narapidana serta lembaga pemasyarakatan, tapi juga masyarakat. Di sini stigma atas pidana penjara merupakan masalah utama, oleh karena itu, selesai menjalani pidana penjara, orang-
115 Loebby Loqman, 0p. cif., hal. 7.
65
orang yang dijatuhi pidana penjara berupaya untuk menyembunyikan identitas sosial mereka, sebagaimana dikatakan D. Schafmeister, di mana setiap narapidana merasakan kebutuhan untuk, menyembunyikan identitas mereka atau untuk tetap anonim/tidak dikenal. Kebanyakan dari mereka takut, untuk dikenal di dalam lingkungan sosial atau lingkungan masyarakat, sebagai pelanggan penjara yang oleh setiap orang akan selalu ditunjuk-tunjuk. 116 Dari pendapat ini, dapat dikatakan bahwa kecenderungan penolakan terhadap bekas narapidana hingga sekarang sangat sulit dihilangkan. Berbeda halnya dengan perlakuan terhadap pelaku carok di masyarakat Madura. Carok itu sendiri diartikan sebagai suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena ada kalanya berupa penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam pada umumnya celurit yang dilakukan oleh orang laki-laki (tidak pernah perempuan) terhadap laki-laki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri (balk secara individu sebagai suami maupun . secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga) terutama berkaitan dengan masalah kehormatan istri hingga membuat malo. 117 Ada kecenderungan yang tinggi bahwa bekas narapidana itu ditolak kembali ke masyarakat. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana apapun itu di mata masyarakat, maka pelakunya setelah selesai menjalani pidana cenderung tidak diterima. Di sini ada perbedaan yang mencolok, walaupun nyata-nyata bahwa pelaku telah melakukan suatu pembelaan harga diri dan dinyatakan bersalah dari segi hukum pidana sebagai tindakan membela kehormatan. 116 D. Schafrneister, Pidana badan singkat sebagai pidana diwaktu Luang, Penerjemah: Tristan Pascal Moelyono, Editor, Agustinus Pohan, Robertus BP, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal 67-68 117 A. Latief Wiyata, Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta LKIS, 2002), halaman 184.
66
Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan pembinaan umum narapidana. Pembinaan umum terhadap narapidana dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a.
Tahap pertama (dimulai sejak diterima dan didaftar hingga sekurang-kurangnya ½ (setengah) dari sisa pidana yang harus dijalani. 1) Pada tahap ini narapidana berada dalam pembinaan dengan tingkat keamanan maksimum dan pembinaannya dilaksanakan dalam LAPAS 2) Pembinaan yang dilaksanakan: a)
Pendidikan disiplin dapat berwujud mematuhi semua jadwal kegiatan yang ditentukan oleh LAPAS secara umum maupun dalam pelaksanaan program pembinaan, di samping
itu diberikan pula
penyuluhan hukum b)
Pendidikan umum-pedidikan formal yang antara lain dapat berwujud: (1)
Pemberantasan 3 (tiga) buta, yaitu buta aksara, buta baca dan serta buta angka.
c)
(2)
Pendidikan utama (SD, SMP, SLTA).
(3)
Kursus-kursus atau kuliah tertulis.
Pendidikan agama- kerohanian-mental spiritual yang antara lain dapat berwujud : (1)
Pelajaran atau ceramah agama.
(2)
Sholat berjama’ah, kebaktian.
(3)
Budi pekerti dan kepribadian.
67
(4) d)
Penataran.
Latihan keterampilan kerja yang antara lain dapat berwujud: (1)
Kursus montir
(2)
Kursus pertukangan kayu
(3)
Kursus las karbit dan las listrik
(4)
Kursus lain-lainnya
e)
Pemberian pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya
f)
Adaptasi dan pembauran sosial yang antara lain dapat berwujud: (1)
Kujungan keluarga, saudara-saudaranya, handai taulan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) minggu selama 30 menit
(2)
Kunjungan
badan-badan
sosial,
perkumpulan
olah
raga,
perkumpulan kesenian. (3)
Mengirim dan menerima surat sewaktu-waktu
g)
Pemberian pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya
h)
Adaptasi dan pembauran sosial yang antara lain dapat bewujud: (1)
Kunjungan keluarga, saudara-saudaranya, handai taulan 2 (dua) kali seminggu selama 30 (tiga puluh) menit
(2)
Kunjungan
badan-badan
sosial,
perkumpulan
perkumpulan kesenian. (3) i)
Mengirim dan menerima surat sewaktu-waktu
Rekreasi yang antara lain dapat berwujud:
olah
raga,
68
b.
(1)
Olah raga
(2)
Kesenian
(3)
Membaca buku dan lain-lain
Tahap kedua Pada
tahap ini narapidana berada dalam pembinaan
dengan tingkat
keamanan medium yang pembinaannya dapat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar LAPAS. 1. Pembinaan yang dilaksanakan di dalam LAPAS berwujud sama dengan yang dilaksanakan di dalam LAPAS pada tahap pertama dan dapat bersifat pengulangan, penyegaran atau peningkatan dengan ketentuan: a. Kunjungan keluarga, saudara-saudaranya, hadai taulan 3 (tiga) kali dalam satu minggu, waktunya 30 (tiga puluh) menit b. Kunjungan badan-badan sosial, perkmplan olah raga, perkumpulan kesenian sewaktu-waktu. c. Mengirim surat ditingkatkan menjadi 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan. 2. Pembinaan yang dilaksanakan di luar LAPAS dapat berwujud: a. Belajar di tempat-tempat latihan kerja milik LAPAS (pertanian, perladangan peternakan, perikanan dan lain sebagainya). b. Bekerja (produktif) di tempat-tempat pekerjaan milik LAPAS (pertanian, perladangan peternakan, perikanan dan lain sebagainya).
69
c. Program-program pembinaan tersebut dilaksanakan dengan pengawalan dan kembali ke LAPAS setelah selesai. d. Cuti 2 x 24 jam tidak dihitung waktu pulang pergi, berpakaian preman, tanpa pengawalan, dilaksanakan setelah tenggang waktu 2 (dua) bulan. e. Cuti berikutnya dilaksanakan masing-masing selang tenggang waktu 3 (tiga) bulan. c.
Tahap ketiga Tahap petiga dimulai sejak berakhirnya tahap kedua hingga 2/3 (dua pertiga)
dari sisa pidana yang harus dijalani. Pada tahap ini narapidana berada dalam pembinaan dengan tingkat pra minimum yang pembinaannya dapat dilaksanakan di dalam maupun di luar LAPAS: 1. Pembinaan yang dilaksanakan di dalam LAPAS berwujud sama dengan yang di dalam LAPAS pada tahap pertama dan dapat bersifat pengulangan, penyegaran atau peningkatan dengan ketentuan: a. Kunjungan keluarga, saudara-saudaranya, hadai taulan 3 (tiga) kali dalam satu minggu, hanya waktunya ditingkatkan 45 (empat puluh lima) menit b. Kunjungan badan-badan sosial, perkmplan olah raga, perkumpulan kesenian sewaktu-waktu sebagaimana pada tahap pertama. c. Mengirim surat ditingkatkan menjadi 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) bulan. 2. Pembinaan yang dilaksanakan di luar LAPAS dapat berwujud:
70
a.
Belajar di tempat-tempat latihan kerja milik LAPAS (pertanian, perladangan peternakan, perikanan dan lain sebagainya).
b.
Bekerja (produktif) di
tempat-tempat
pekerjaan
milik LAPAS
(pertanian, perladangan peternakan, perikanan dan lain sebagainya) dengan pengawalan. c.
Berolah raga antar narapidana atau dengan perkumpulan olah raga dari luar, baik di lapangan milik LAPAS maupun bukan milik LAPAS dengan pengawalan.
d.
Sekolah, kursus-kursus tanpa pengawalan, berpakaian bebas.
e.
Beribadah (sholat Jum’at, kebaktian, pemujaan) dengan pengawalan, berpakaian bebas.
f.
Cuti 3 x 24 jam dihitung waktu pulang pergi, berpakaian preman, tanpa pengawalan, dilaksanakan setelah tahap kedua berakhir
g.
Cuti berikutnya dilaksanakan masing-masing selang tenggang waktu 2 (dua) bulan tanpa pengawalan.
B. Mekanisme Pembinaan Terhadap Narapidana Residivis Pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dimulai sejak yang bersangkutan ditahan rumah tahanan negara (rutan) sebagai tersangka atau terdakwa untuk kepentingan penyelidikan penuntutan dan pemeriksaan di sidang
71
pengadilan. Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan rohani maupun jasmani. Secara umum tidak ada perbedaan mekanisme pembinaan narapidana biasa dengan naarapidana residivis. Pembinaan terhadap narapidana residivis lebih difokuskan kepada kegiatan yang bersifat mandiri, sehingga diharapakan kepada residivis yang sudah pernah melakukan tindak pidana tidak lagi berbuat kejahatan dan setelah keluar dari masa hukuman dapat diterima baik oleh masyarakat luar. 118 Narapidana yang telah divonis hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
yang
kemudian
pemasyarakatan (lapas).
disebut
narapidana,
penempatannya
di
lembaga
Lembaga Pemasyarakatan Siborong-borong memberikan
pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani WBP yang dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu: Kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perancanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian. Waktunya dimulai pada saat narapidana berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam lapas dan pengawasannya maksimum (maximum security).
118 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
72
Kegiatan lanjutan dari program pembinaan kepribadian dan kemandirian sampai dengan penentuan perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi yang pelaksanaannya terdiri atas dua bagian. Kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya masa pidana dari napi yang bersangkutan. Menyadari bahwa pembinaan WBP berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan kegiatan interaktif antara komponen narapidana, petugas dan masyarakat, maka peran serta masyarakat merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan. Tanpa peran serta masyarakat dalam pembinaan, tujuan sistem pemasyarakatan melalui upaya reintegrasi WBP tidak akan tercapai bagaimanapun baiknya kualitas programprogram pembinaan yang diterapkan. a.
Untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan yang Mahaesa, sikap dan perilaku, dijalin kemitraan dan kerjasama dengan Dapartemen Agama dan organisasi-organisasi keagamaan lainnya.
b.
Untuk meningkatkan kualitas intelektual, kecintaan dan kesetiaan kepada bangsa negara dijalin kemitraan dengan Departemen Pendidikan Nasional.
c.
Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme/ketrampilan, dijalin kemitraan dengan Departeman Tenaga Kerja dan instansi pemerintah dan swasta terkait lainnya.
73
d.
Untuk meningkatkan kualitas kesehatan jasmani dan rohani, dijalin kemitraan dengan Departemen Kesehatan. 119 Dalam membina narapidana, dapat digunakan banyak metode pembinaan.
Metode pembinaan merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan, agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana dan dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana, baik perubahan dalam berpikir, bertindak atau dalam bertingkahlaku. Penyampaian materi pembinaan bukan hanya dilakukan asal dapat menyampaikan, atau dengan kata lain berdasar kemauan penyampai materi (pembawa materi), tetapi harus juga diperhatikan sampai seberapa jauh kesiapan para narapidana dalam menerima materi pembinaan. Narapidana adalah suatu masyarakat yang sangat heterogen, yang terdiri dari berbagai macam manusia, dengan segala karakteristik, latar belakang ekonomi, sosial, pendidikan dan lain sebagainya yang seringkali tidak sama. Dengan demikian, maka penyampaian materi harus melihat banyak sudut pandang. Maksud pembinaan yang sama, dapat disampaikan secara berbeda kepada beberapa narapidana. Sebab itu dalam membina narapidana, diperlukan banyak sekali metode penyampaian materi pembinaan, baik metode itu digunakan secara sendiri-sendiri atau digabungkan. Pembina narapidana harus mengenal banyak metode pembinaan, sebelum melakukan pembinaan. Pembina narapidana tidak dapat menyamaratakan pembinaan narapidana secara sama untuk seluruh narapidana yang memiliki latar belakang 119 Lapas Narkotika Jakarta, Pembinaan Bagi Tahanan & Napi, http://hukumham. info/index. php?option=com_content&task=view&id=75&Itemid=50, diakses tanggal 10 Januari 2009.
74
kehidupan yang heterogen. Penelitian awal untuk memulai pembinaan bagi narapidana, harus dilakukan pada saat narapidana masuk atau memasuki kehidupan Lembaga Pemayarakatan atau Rutan. Penelitian harus akurat, dengan metode yang benar, sehingga setiap narapidana dapat menerima metode pembinaan yang dilakukan oleh para pembina. Situasi pembinaan harus dipertimbangkan sebelum suatu pembinaan berlangsung, baik situasi lingkungan tempat pembinaan berlangsung, atau situasi kejiwaan dari narapidana yang dibina. Adalah sesuatu yang membuang waktu dan biaya saja, jika pembinaan narapidana tidak memperhatikan situasi yang menyertai pembinaan. Situasi pembinaan seringkali tidak diperhatikan oleh para pembina, bukan saja dalam pembinaan narapidana, tetapi juga dalam pendidikan formal di luar Lembaga Pemasyarakatan/Rutan. Sehingga sering didengar bahwa anak didik hanya mampu menyerap 60% dari materi pendidikan yang diberikan oleh para pendidik. Situasi dalam membina narapidana harus diciptakan, agar narapidana dapat larut dan mencintai materi pembinaan dengan sempurna. Situasi kejiwaan narapidana, kekacauan pikiran terhadap segala sesuatu, misalnya terhadap keluarga di rumah, terhadap hubungan dengan sesama narapidana, dihilangkan dan dapat dengan serius menerima materi pembinaan dan dapat mengikuti pembinaan dengan tuntas. Beberapa hal dari metode pembinaan, dapat diikuti dalam uraian berikut.
75
1.
Metode Pembinaan Berdasarkan Situasi Dalam kehidupan sehari-hari, apakah narapidana atau orang biasa, akan
mempunyai kecenderungan untuk terpengaruh oleh situasi. Apakah situasi itu adalah situasi alam, sosial, kejiwaan, atau yang lain. Ada orang yang menjadi malas untuk pergi bekerja atau sekolah, karena situasi alam tidak menyenangkan, misalnya mendung, gerimis, hujan, gempa bum!, banjir dan lain sebagainya. Namun ada banyak orang yang sama sekali tidak terpengaruh oleh situasi tadi. Orang-orang yang tidak terpengaruh tadi tetap bekerja, belajar, kuliah, tanpa memperhatikan situasi alam. Dengan menguasai situasi dalam pembinaan, dapat kita berikan dun pendekatan dalam pembinaan, menurut kebutuhan pembinaan bagi narapidana, yaitu: a.
Pendekatan dari atas (top down approach) Dalam pembinaan ini, materi pembinaan berasal dari pembina, atau paket pembinaan bagi narapidana telah disediakan dari atas. Narapidana tidak ikut menentukan jenis pembinaan yang akan dijalaninya, tetapi langsung saja menerima pembinaan dari para pembina.
b.
Pendekatan dari bawah (Bottom up approach) Pendekatan pembinaan narapidana dari bawah merupakan suatu cara pembinaan narapidana dengan memperhatikan kebutuhan pembinaan atau kebutuhan belajar narapidana. Tidak setiap narapidana mempunyai kebutuhan belajar yang sama, minat belajar yang sama. Semua sangat tergantung dari
76
pribadi narapidana sendiri, dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh Lembaga Pemasyarakatan/Rutan setempat. Seringkali seorang narapidana tidak tahu apa kebutuhan pembinaan bagi dirinya atau kebutuhan belajarnya. Hal ini disebabkan narapidana tersebut tidak tahu dan tidak mengenal diri sendiri. Kesuksesan dalam membina narapidana terletak kepada kunci para pembina untuk mengenalkan narapidana dengan diri sendiri. Tanpa mengenal diri sendiri, tidak mungkin seorang narapidana tahu kebutuhan belajarnya, kebutuhan pembinaannya dan tidak tahu arah dari perubahan diri sendiri akan tertuju. Dengan mengenal diri sendiri, seorang narapidana akan mampu menentukan tujuan hidupnya, akan mampu menentukan arah perubahan hidupnya. Penentuan arah perubahan diri, akan menentukan kebutuhan belajar, kebutuhan pembinaan. Kebutuhan pembinaan, kebutuhan belajar, akan mampu menentukan skala prioritas terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kebutuhan belajar, kebutuhan pembinaan yang sangat mendesak untuk dilakukan dan mana kebutuhan belajar atau pembinaan yang belum mendesak untuk dilakukan. Dalam pendekatan dari bawah, seorang narapidana akan menentukan kebutuhan pembinaan, kebutuhan belajarnya sendiri. Kebutuhan pembinaan, kebutuhan belajar akan pula ditentukan dari mana mulainya, apakah dari awal atau mulai dari tingkat yang sedikit tinggi. Pembinaan narapidana dengan pendekatan dari bawah, membawa konsekuensi yang tinggi bagi para pembina, karena pihak pembina harus mampu menyediakan sarana dan prasarana bagi
77
tercapainya tujuan pembinaan. Macam pembinaan akan menjadi sangat beragam sekali, tetapi kalau fasilitas untuk itu tidak ada, kebutuhan belajar, kebutuhan pembinaan dapat dibatasi sesuai fasilitas yang ada. Perbedaan yang paling menyolok antara, pendekatan dari atas dengan pendekatan dari bawah adalah tujuan yang hendak dicapai. Dalam pendekatan dari atas, tujuan yang hendak dicapai telah ditentukan oleh pembina, sedang pendekatan dari bawah, tujuan yang hendak dicapai ditentukan oleh narapidana. sendiri. Pendekatan dari atas, membuat para pembina menentukan arah pembinaan narapidana, tujuan pembinaan, sesuai dengan keinginan pembina. Sedang pendekatan dari bawah, narapidana telah menentukan akan menjadi apa, sesuai dengan tujuan yang dibuatnya.
2.
Pembinaan Perorangan (Individual Treatment) Pembinaan perorangan diberikan kepada narapidana secara perorangan oleh
petugas pembina. Pembinaan perorangan tidak harus terpisah sendiri-sendiri, tetapi dapat dibina dalam kelompok bersama dan penanganannya secara sendiri-sendiri. Seperd halnya dalam pendidikan di sekolah taman kanak-kanak, seorang guru taman kanak-kanak akan menggunakan pembinaan terhadap anak didik, secara kelompok, tetapi juga secara, perorangan. Hal ini disebabkan tingkat kematangan setiap anak didik tidak sama. Demikian pula dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan/ Rutan, tingkat kematangan intelektual, emosi, logika, dari tiap-tiap narapidana
78
tidaklah sama. Ketidaksamaan ini menuntut diterapkannya pembinaan secara perorangan. Dalam pembinaan narapidana, pembinaan perorangan sering tidak atau kurang diperhatikan oleh para pembina. Para pembina lebih suka mengadakan pembinaan secara kelompok, karena pembinaan secara kelompok dianggap dan dirasa lebih cepat penyajiannya dan lebih mudah penyampaiannya. Padahal dari segi keefektifan dan keefisienan pembinaan, pembinaan secara perorangan akan jauh lebih mengena. Narapidana secara, umum adalah orang yang kurang mendapat perhatian, baik dari masyarakat maupun dari keluarganya. Sebab itu ia memerlukan perhatian yang cukup dari petugas Lembaga Pemasyarakatan/Rutan, untuk dapat memulihkan rasa percaya diri. Perhatian dalam pembinaan, akan membawa banyak perubahan dalam diri narapidana, sehingga akan sangat berpengaruh dalam merealisasi perubahan diri sendiri. Pembinaan secara perorangan akan banyak bermanfaat jika narapidana juga mempunyai kemauan untuk merubah dirinya sendiri. Tanpa kemauan untuk merubah diri sendiri, akan sulit dicapai hasil pembinaan yang maksimal. Sekalipun kemauan untuk merubah diri sendiri dapat timbul bare setelah dilakukan pembinaan secara perorangan, tetapi hal itu akan membantu narapidana untuk mampu melakukan perubahan bagi diri sendiri. Pemecahan
masalah
sedapat
mungkin
tetap
dibebankan
kepada
narapidana, beberapa alternatif pemecahan masalah kita diskusikan bersama untuk
79
diambil alternatif yang terbaik. Peran pembina hanya sebagai fasilitator, motivator, agar setiap narapidana mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. Kebiasaan memecahkan masalah akan menjadikan narapidana mempunyai rasa percaya diri yang lebih besar, dan akan terbiasa untuk memecahkan masalahnya sendiri di kemudian hari, setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan. Pembinaan perorangan terdiri dari: a.
Dari Dalam Diri Sendiri Kemauan untuk membina diri sendiri dapat muncul dari dalam diri sendiri. Munculnya kemauan untuk membina diri sendiri, setelah seseorang mengenal diri sendiri. Bila seseorang belum radar akan diri sendiri, belum mengenal did sendiri, tidak akan pernah muncul kemauan membina diri sendiri. Seperti juga sering diulang dalam buku ini, mengenal diri sendiri merupakan bagian yang pokok, yang penting dalam pembinaan narapidana, sehingga narapidana dapat mengenal diri sendiri, dan dapat membina diri sendiri. Jika narapidana telah memiliki kemauan untuk membina diri sendiri, sebenarnya dia telah mampu untuk menentukan tujuan hidupnya. Narapidana dapat melihat kehidupan dimasa lalu, barangkali suatu kehidupan yang tanpa tujuan, dan melihat kernasa depan, suatu kehidupan dengan tujuan yang pasti. Kehidupan yang akan dipilihnya. Narapidana berhak untuk memilih hidup sebagai manusia biasa, memilih hidup bukan sebagai
80
narapidana. Semua manusia pasti tidak berharap untuk hidup sebagai narapidana. Agar mampu untuk hidup sebagai manusia biasa, narapidana harus mampu mengubah dirinya, harus mengenal. dirinya. b.
Dari luar diri sendiri Pembinaan secara individual terhadap narapidana dapat dilakukan oleh para Pembina, baik para Pembina dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan, atau para Pembina dari luar, yaitu Pembina keagamaan, kelompok masyarakat, atau Lembaga Swadaya masyarakat. Pembinaan dari luar diri sendiri, dapat merupakan pembinaan yang berasal atau yang sesuai dengan kebutuhan pembinaan narapidana, atau pembinaan dari luar yang dianggap oleh Pembina perlu dilakukan. Pembinaan dari luar dapat berupa, pembinaan secara umum, artinya materinya adalah materi umum, seperti
Penghayatan
dan
Pengamalan Pancasila, Kesadaran hukum, Etika, Agama dan lain sebagainya. Sedang pembinaan secara khusus dapat berupa konsultasi pribadi, psikologi, pembinaan hukum, etika, pendidikan keahlian dan lain sebagainya. Pembinaan dari luar diri sendiri, biasanya didasari atas analisa dari data pribadi seorang narapidana, yang mengharuskan seorang narapidana mendapat pembinaan yang telah ditentukan oleh Pembina. Jadi kebutuhan pembinaan ditentukan oleh Pembina. Dapat terjadi bahwa narapidana tidak merasa membutuhkan jenis pembinaan itu, tetapi karena berdasar evaluasi ia harus
81
mendapatkan pembinaan, maka ia harus menerimanya. Di sini dituntut keahlian Pembina untuk menyampaikan materi pembinaan secara baik dan menarik bagi narapidana, sehingga akan menghasilkan pembinaan sesuai yang diharapkan. 3.
Pembinaan Secara Kelompok (Classical Treatment) Di samping pembinaan secara perorangan, narapidana dapat juga dibina
secara kelompok, baik menurut kebutuhan pembinaan yang ditentukan oleh pihak pembina, atau pembinaan sesuai dengan kebutuhan pembinaan yang dirasakan oleh narapidana. Pembinaan secara kelompok dapat dilakukan dengan metode ceramah, tanya-jawab, simulasi, permainan peran, atau pembentukan tim (team building). Pemilihan metode tergantung kepada materi yang akan disajikan, tujuan yang hendak dicapai dari proses pembinaan. Metode yang digunakan tidak harus berdiri sendiri, tetapi dapat digabungkan sesuai dengan kondisi pembinaan dan tujuannya. Dalam pembinaan secara kelompok, peran kelompok harus tetap dilibatkan, baik secara individual maupun secara kelompok. Jadi bukan hanya pembina Baja yang aktif, yang dibina juga harus aktif. Narapidana yang pasif harus ditumbuhkan, sehingga ikut aktif dan berpartisipasi dalam pembinaan. Materi pembinaan tidak harus datang dari pembina, tetapi dapat juga datang dari narapidana, atau materi pembinaan yang menjadi kesepakatan bersama.
82
Dalam pembentukan tim (team building), semua anggota tim ikut aktip, ambil bagian dalam terbentuknya suatu tim yang tangguh. Pembentukan tim dimaksudkan sebagai cara mencari persepsi yang sama bagi anggota tim, mengenai tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah tim. Tim dapat berupa, tim olahraga, tim kerja, tim penyuluhan, tim kcamanan dan lain sebagainya, sesuai dengan tujuan dari dibentuknya tim tersebut. Tim building sangat bermanfaat bagi terciptanya kekompakan tim dan peningkatan sumber daya manusia, bagi tercapainya hasil yang maksimal. Hanya dengan tim yang kompak dan memiliki tujuan yang sama, kerja tim dapat efisien dan efektif. Dalam pembinaan narapidana, untuk mencapai hasil yang maksimal, narapidana dapat menyusun pembinaan bagi diri sendiri, baik secara sendirisendiri, maupun secara kelompok. Dalam pembinaan secara kelompok, kita harus mampu mengajak narapidana untuk memahani nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat atau di kelompok, untuk dijadikan bahan pembinaan secara kelompok. Karena setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan, narapidana akan berbaur lagi dengan masyarakat atau kelompok (keluarga), sehingga nilai positif yang tumbuh dalam keluarga, kelompok, masyarakat akan sangat berguna sekali bagi pemahaman hidup bermasyarakat, hidup dalam saling ketergantungan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan
83
kepribadian dan kemandirian. Pada dasarnya arah pelayanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan adalah untuk memperbaiki tingkah laku narapidana residivis. Ruang lingkup dari pembinaan terbagi dalam 2 bidang yaitu : 1. Pembinaan Kepribadian yang meliputi : a. Pembinaan kesadaran beragama, usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama memberi pengertian agar warga binaan dapat menyadari akibat-akibat dari perbuatannya baik perbuatan yang benar maupun yang salah. Dalam ruang lingkup pembinaan kepribadian dalam prakteknya diwujudkan dalam bentuk kegiatan / program sebagai berikut: 120 Mengikuti ceramah agama pada pagi hari dan sholat berjamaah pada siang siang di Musolla setiap harinya. Sholat Tarawih berjamaah pada bulan Ramadhan juga Sholat Idul Fitri dan Sholat Idul Adha. Kebaktian setiap hari di Gereja bagi narapidana yang beragama Kristen juga sembahyang di Vihara bagi narapidana yang beragama Budha. b. Kesadaran berbangsa dan bernergara, usaha ini dilaksanakan melalui penataran, termasuk menyadarkan mereka agar dapat menjadi warga negara yang baik dan berbakti pada bangsa dan negaranya. Perlu disadarkan bahwa berbakti pada bangsa dan Negara adalah sebagian dari keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam prakteknya kegiatan
120 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
84
tersebut diwujudkan dalam bentuk mengikuti upacara Bendera setiap hari Senin pagi. c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan), usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berfikir para warga binaan pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama menjalani masa pembinaan. Pembinaan intelektual dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Pendidikan formal diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada yang ditetapkan pemerintah agar dapat diterapkan kepada warga binaan pemasyarakatan. Pendidikan formal yang paling mudah dan murah seperti kegiatan-kegiatan ceramah umum dan membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh informasi dari luar misalnya, menonton TV, mendengar radio yang disediakan ditempat yang khusus. Juga membaca koran, majalah, bukubuku, novel yang ada dan tersedia diperpustakaan lapas. Untuk mengejar ketinggalan dibidang pendidikan baik formal maupun non formal diupayakan cara belajar melalui kejar paket A. d. Pembinaan kesadaran hukum, dilaksanakan dengan memberi penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga
sebagai
anggota
masyarakat
mereka
menyadari
hak
dan
kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan,
85
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, kepasrian hukum dan terbentuknya perilaku warga negara Indonesia yang taat kepada hukum. Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk keluarga sadar hukum yang dibina selama berada dalam lingkungan pembinaan maupun diselenggarakan secara langsung yaitu penyuluh berinteraksi langsung dengan warga binaan permasyarakatan. e. Pembinaan pengintegrasian diri dengan masyarakat, pembinaan dibidang ini dapat juga dikatakan pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan yang bertujuan pokok agar warga binaan pemasyarakatan yang telah selesai menjalani hukumannya dapat diterima kembali oleh masyarakat sekitar dimana dia tinggal. 2. Pembinaan Kemandirian yang diberikan melalui program-program : a. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri pembinaan ini dapat diwujudkan dalam bentuk kerajinan tangan, industri dan rumah tangga. Seperti membuat hiasan dinding, membuat boneka, merangkai bunga, membuat keset kaki dari kain perca, menerima jahitan, sulaman atau kaitan, membuat kue, usaha salon dan memasak. b. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya pengolahan bahan mentah menajdi bahan jadi seperti, membuat kue baik kue basah maupun kue kering, makanan ringan ataupun menerima catering kalau ada pesanan untuk berbagai acara.
86
c. Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing dalam hal ini bagi warga binaan yang memiliki bakat tertentu diusahakan pengembangan bakat tersebut seperti kemampuan dibidang seni misalnya, bernyanyi, menari, bermain gitar atau membaca puisi dan semua bakat tersebut akan ditampilkan apabila ada acara ataupun kalau ada yang mengundang. d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian (perkebunan) seperti, menanam ubi, jagung, sayur-sayuran maupun bunga dan beternak ayam serta beternak itik. Secara garis besar program pembinaan baik pembinaan kepribadian maupun kemandirian yang diberikan di Lembaga Permasyarakatan Kelas IIB Siborongborong disesuaikan
dengan
hobby
dan
bakat
masing-masing
dari
warga
binaan
permasyarakatan. Pembinaan kepribadian dan kemandirian dilakukan secara berkelompok maupun secara perorangan. Kegiatan pembinaan tersebut berupa: 121 1. Bidang Kerohanian Pada dasarnya pembinaan kerohanian disesuaikan dengan agama masingmasing narapidana. Kegiatan kerohanian dilakukan setiap harinya dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga keagamaan.
121 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
87
2. Bidang Jasmani Melakukan kegiatan-kegiatan olah raga seperti senam kesegaran jasmani setiap hari, senam aerobic setiap hari jum’at pagi, kemudian bermain bola volley, tennis meja, bola kasti dan bulu tangkis. 3. Bidang Rekreasi dan Hiburan Kepala Lembaga Pemasyarakatn Kelas Kelas IIB Siborongborong dan para pegawai membuat acara hiburan sebagai upaya penyegaran, dimana antara narapidana dan para Petugas terlihat seperti saudara dan saling menghibur. Selain itu bagi yang beragama Islam dibentuk grup nasyid marhaban dan bagi yang beragama Kristen dibentuk vocal group serta koor. 4. Bidang Pendidikan Umum Disediakan Program Kejar Paket A dalam hal ini yang menjadi target utama adalah narapidana yang masih buta huruf agar bisa membaca dan menulis. Minimal narapidana tersebut sudah bisa menulis dan membaca ketika selesai menjalani pidananya. Untuk mendukung program pembinaan tersebut maka disediakan fasilitasfasilitas pendukung seperti : 122 1. Bidang Kerohanian Adanya tenaga–tenaga yang bersifat sosial keagamaan atau dengan kata lain lembaga pemasyarakatan mengadakan kerjasama dengan pihak luar dalam hal
122 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
88
melakukan pembinaan spritual narapidana tersebut. Selain itu fasilitas pendukung seperti musholla, gereja kecil sebagai tempat kebaktian dan vihara kecil juga disediakan, serta diatur jadwal–jadwal kegiatan spritual yang diadakan setiap harinya. 2. Bidang Jasmani Disediakan lapangan olah raga, peralatan-peralatan olah raga, tape dan kaset untuk senam kesegaran jasmani setiap pagi juga mengundang instruktur senam aerobic dari luar untuk memimpinsenam setiap hari jumat pagi. 3. Bidang Rekreasi Disediakan ruangan khusus (joglo) untuk menonton TV dan tempat narapidana bersantai ria juga ruangan khusus untuk alat-alat musik seperti gitar, keyboard dan alat-alat musik lainnya 4. Bidang Ketrampilan dan Pendidikan Umum Ruangan khusus untuk melaksanakan Program Kejar Paket A, juga disediakan wartel untuk mendukung program pembinaan dan pendidikan. 5. Bidang Kesehatan Tersedianya poliklinik dengan tenaga medis 1 (satu) orang perawat kesehatan dilengkapi dengan peralatan medis beserta obat-obatan. Wujud pembinaan tersebut diatas merupakan wujud pembinaan yang dilakukan di dalam Lapas yang disebut juga dengan intramural. Sedangkan pembinaan yang dilaksanakan diluar Lapas disebut extramural yang dikenal dengan
89
nama asimilasi yaitu proses pembinaan narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkannya ke dalam kehidupan masyarakat. Bagi narapidana interaksi sosial dengan masyarakat mutlak diperlukan. Oleh karena tahap pembinaan di luar lembaga permasyarakatan adalah sebagai kelanjutan pembinaan yang dilakukan didalam lembaga permasyarakatan. 123 Dalam usaha mencapai tujuan permasyarakatn yang sasaran utamanya adalah pemulihan kesatuan hubungan yang retak dengan masyarakatnya, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat sehingga tidak boleh diasingkan. Pembinaan narapidana ketika menjelang bebas dimaksudkan untuk mengurangi efek negatof sebagai akibat pengasingan selama berada dilembaga pemasyarakatn serta membantu narapidana dalam menyesuaikan dirinya kedalam kehidupan masyarakat. Dari gambaran tentang program pembinaan narapidana tersebut menunjukkan bahwa pembinaan narapidana itu tidak hanya sekedar pembinaan mental spritual belaka yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas akhlak narapidana, akan tetapi juga dilakukan pembinaan yang sifatnya memberikan ketrampilan (keahlian). Dengan pembinaan yang demikian itu maka sasaran yang hendak dicapai adalah agar setelah narapidana selesai menjalani pidanya, dan kembali ke masyarakat keahlian tersebut dapat dijadikan bekal usaha apalagi bagi narapidana yang berlatar belakang tidak mempunyai keahlian sebagai modal kerja.
123 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
90
Program pembinaan sebagaimana disebutkan di atas, jika dapat terealisir dengan baik akan sangat bermanfaat sebagai bekal narapidana untuk kembali ke masyarakat dengan harapan tidak mengulangi lagi perbuatan melanggar hukum. Tetapi dalam prakteknya untuk melaksanakan program pembinaan seperti disebutkan diatas bukanlah hal yang mudah. Diperlukan dukungan dari berbagai pihak, juga kualitas dan kuantitas petugas Lapas, partisipasi masyarakat baik dengan mengadaklan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap yang menunjukkan bersedia menerima keluarga narapidana yang telah selesai menjalani pidananya terutama anggota keluarga narapidana, petugas permasyarakatan dan masyarakat. Dukungan fasiliyas dan dana juga merupakan faktor yang sangat menentukan terealisasi atau tidaknya program pembinaan yang telah diprogramkan.
91
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN UPAYA UNTUK MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN RESIDIVIS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG
A. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong Lembaga pemasyarakatan adalah intansi terakhir dari rangkaian sub-sub sistem dari sistem peradilan pidana yang berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pembinaan yang dilakukan harus didasarkan pada bakat, minat serta kebutuhan narapidana, di mana kebutuhan pembinaan bagi narapidana Residivis dan narapidana non-residivis tentunya berbeda karena narapidana residivis dapat dikatakan telah gagal dalam menerapkan hasil pembinaan pada waktu pertama menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan. 124 Namun
demikian
dalam
pelaksanaan
pembinaan
tersebut
lembaga
pemasyarakatan menghadapi beberapa faktor yang bisa menghambat berhasilnya pembinaan antara lain belum adanya klasifikasi bagi narapidana residivis, non resedivis, penempatannya, program program pembinaan seperti : pemberian remisi, pembebasan bersarat, cuti menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga, asimilasi,
124 Didik Budi Waluyo, Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Iia Banceuy Bandung, http://www. digilib. ui.ac.id /opac/themes/libri2/metadatapdf.jsp?id=100235
92
yang diperuntukkan masing-masing klasifikasi, dana pembinaan yang terbatas, perbandingan jumlah petugas dengan narapidana yang kurang seimbang, sikap narapidana dalam mengikuti pembinaan, dan kurangnya partisipasi pemerintah dan masyarakat. Untuk memberantas kejahatan maka pelaku tindak pidana dimasukan ke dalam penjara. Harapannya, pelaku akan memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak kejahatan melalui sistem pembinaan. Tapi di sisi lain, faktanya tingkat kejahatan tidak kunjung menurun. Kejahatan justru semakin merajalela dan makin canggih modusnya. Kalau sudah begini, sistem pembinaan harus dipertanyakan. Terlepas dari itu, nyatanya kini terjadi peningkatan kapasitas penghuni alias over capacity pada Lembaga pemasyarakatan (Lapas) di hampir semua lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Hal ini menjadi hak-hak narapidana terabaikan adalah: a.
Kalangan internal (birokrasi) Lapas yang menjadikan ketenangan dan keamanan sebagai
ukuran
atau
parameter
keberhasilan
dan
kinerja
Lembaga
Pemasyarakatan b.
Kelebihan penghuni (over capacity) yang disebabkan adanya kebiasaan memperlama napi dalam penjara dengan menghambat proses pemberian pembebasan bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas dan lain-lain
c.
Lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat oleh pejabat internal lapas dan pengawasan fungsional oleh Inspektorat Jenderal Dephukham
93
d.
Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia petugas pemasyarakatan (gaspas).
e.
Anggaran yang minim 125 Korban jiwa di pihak napi sebanyak 440 orang. Jumlah tersebut terdiri dari
312 narapidana dan 128 tahanan. Penyebabnya pun beragam, dari kasus narkoba dalam Lapas sampai tawuran antar narapidana karena Lapas yang over capacity. 126 Pihak Depkumham sepertinya tak menutup telinga terhadap catatan kedua LSM ini. Terkait over capacity, Menteri Hukum dan HAM Andi Matalata, beberapa waktu lalu, menyatakan akhir 2007 merupakan awal pengoperasian 20 lapas dan rutan yang baru. Dengan total tambahan kapasitas sejumlah 9. 400 orang. Sistem pemidanaan yang ada sekarang ini seharusnya diubah. Contohnya, dengan mengefektifkan pidana kerja sosial dan pengguna narkoba yang ditaruh ditempat rehabilitasi. Ia menyadari bahwa perubahan secara komprehensif ini memang harus melibatkan pembentuk undang-undang. Seperti pidana kerja sosial dalam RUU KUHAP. Disamping itu Pemerintah, khususnya Depkumham, harus membuat peraturan pelaksana sebagai turunan dari UU No 12 Tahun 1995. Sistem Pemasyarakatan bersifat multilateral-oriented treatment dengan pendekatan yang berpusat pada potensipotensi yang ada, baik pada individu yang bersangkutan (WBP) maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat sebagai suatu keseluruhan. 127 Dalam arti pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang terdiri
125 Sekelumit Catatan untuk Lembaga Permasyarakatan di Tahun 2007, hukumonline. Diakses tanggal 10 Juli 2009. 126 Ibid 127 Adi Sujatno, Pemasyarakatan, 2004, hlm.7
94
dari narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan dalam kerangka kemasyarakatan adalah pembinaan manusia yang melibatkan semua aspek, sehingga yang dipentingkan dalam upaya pemulihan kesatuan hubungan ini adalah prosesnya yaitu proses interaktif yang didukung dengan program pembinaan yang sesuai untuk itu. Tegasnya Sistem Pemasyarakatan menjembatani proses kehidupan negatif antara narapidana dengan unsur-unsur masyarakat melalui pembinaan, perubahan menuju kehidupan yang positif. Secara singkat Sistem Pemasyarakatan adalah konsekuensi adanya pidana penjara yang merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang kemerdekaan. 128
Dalam
perkembangan
selanjutnya
pelaksanaan
Sistem
Pemasyarakatan sejak lebih dari 35 tahun semakin mantap dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Secara tegas dalam Pasal 1 ayat (2) UU No.12 Tahun 1995 disebutkan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan. Agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
128 Ibid
95
Dalam melaksanakan pembinaan Lapas terdapat faktor-faktor yang mendapat perhatian karena dapat berfungsi sebagai faktor pendukung dan lebih lagi yang perlu diperhatikan yakni apabila terdapat sebagai faktor yang menjadi kendala. Munculnya kendala-kendala tersebut tentunya perlu untuk segera dicari pemecahannya agar dalam proses pembinaan terhadap anak didik pemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Secara umum, beberapa hambatan yang berhubungan dengan pembinaan narapidana residivis dapat dibagi menjadi: 1.
Dana Dana merupakan faktor utama yang menunjang untuk pelaksanaan pembinaan
anak didik pemasyarakatan dalam pelaksanaannya maka dibutuhkan peralatan dan bahan-bahan. Sebab program pembinaan tidak hanya 1 (satu) macam saja melainkan banyak macamnya sesuai dengan bidang minat maupun pekerjaan atau keterampilan yang mungkin diperlukan untuk kebutuhan dan kepentingan bagi napi setelah mereka keluar dari Lapas. Kurang atau tidak adanya dana menjadi salah satu faktor penyebab yang menjadi faktor penghambat bagi pelaksanaan pembinaan, karena dapat mengakibatkan tidak berjalan dan tidak terealisasinya semua program pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan karena sangat minimnya dana yang tersedia
96
2.
Sikap/prilaku petugas Dalam pembinaan, petugas mempunyai peran yang sangat penting. Hal yang
menjadi dasar yang dapat mempengaruhi pola perilaku dan bertindak para petugas tentunya berupa tingkat pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan itu sendiri. Sehingga petugas dituntut untuk dapat mengerti tentang persoalan-persoalan yang timbul demi lancarnya proses pembinaan tersebut. 129 Proses pemasyarakatan pidana dapat memberikan output positif, bila didukung oleh sikap/perilaku petugas yang mempunyai visi tentang pemasyarakatan, khususnya tugas-tugas yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995. adapun tugas yang dijalankan adalah di bidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan. Hasil wawancara dengan petugas Lapas Klas IIB Siborong-borong menyatakan bahwa ada beberapa kendala pembinaan sehubungan dengan kinerja petugas. Dengan alasan gaji yang tidak mencukupi petugas menetapkan pungutan tertentu kepada keluarga yang mengunjungi narapidana. Bila hal ini terjadi maka segala macam barang-barang terlarang, seperti alat komunikasi, obat-obat terlarang dapat masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan. Kaburnya narapidana dari lembaga pemasyarakatan menjadi bukti petugas tidak lagi mementingkan tanggung jawabnya.
129 Nur Rochaeti, Pembinaan narapidana di LP Kedung Pane Semarang, Majalah Hukum Undip, Semarang, 2004, hlm.90.
97
3.
Sarana/prasarana di Lembaga Pemasyarakatan Keberhasilan pemasyarakatan narapidana tidak terlepas dari sarana/prasarana
yang tersedia. Dalam hal ini sarana yang dimaksud pun harus mengacu kepada The Standar Minimum Rules, apakah itu kamar tidur atau kamar berventilasi, air serta lampu penerang kamar. Makanan yang bersih dan sehat, sarana kesehatan seperti rumah seperti rumah sakit dan fasilitas olahraga. Semua itu bertujuan untuk mendukung jalannya pembinaan. Oleh karena itu ketersediaan sarana merupakan salah satu ukuran berhasilnya sistem pemasayarakatan. Kurangnya peralatan atau fasilitas baik dalam jumlah dan mutu juga banyaknya peralatan yang rusak menjadi salah satu faktor penghambat untuk kelancaran proses pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana, karena dari semuanya itu tidak tertutup kemungkinan faktor tersebut menjadi penyebab tidak aman dan tertibnya keadaan di dalam penjara. Terbatasnya sarana/prasarana di lembaga pemasyarakatan dapat menjadi penghambat dalam implementasi ide individualisasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995. Hal seperti ini dikemukakan oleh petugas lembaga kemasyarakatan, bahwa sarana/prasarana yang ada di lembaga pemasyarakatan dapat menjadi penghambat dalam melakukan pembinaan. 130 Di samping itu narapidana juga merasakan manfaat sarana yang diperlukan, namun apabila sarana tidak tersedia sangat mungkin menjadi hambatan. Adapun sarana/prasarana yang dibutuhkan oleh narapidana di lembaga pemasyarakatan,
130 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
98
seperti rumah sakit, dokter, peralatan keterampilan, sarana olah raga, serta makanan yang layak.
4.
Narapidana Keberhasilan dari terlaksananya program pembinaan terhadap napi tidak
hanya tergantung dari faktor petugasnya, melainkan juga dapat berasal dari faktor napi itu sendiri juga memegang peran yang sangat penting. Adapun hambatanhambatan yang berasal dari narapidana antara lain : a. Tidak adanya minat b. Tidak adanya bakat c. Watak diri 131 5.
Sumber daya manusia Setiap pembinaan di lembaga pemasyarakatan, bertujuan untuk mempersiapkan
narapidana kembali ke masyarakat dengan bekal pendidikan dan latihan yang diterimanya di dalam lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu peran narapidana, petugas dan masyarakat, sangat dibutuhkan agar pembinaan berhasil. Dalam hal ini baik narapidana maupun petugas saling berinteraksi agar program pembinaan dapat berjalan. Untuk narapidana dan petugas sebagai sumber daya manusia yang terlibat dalam hal ini harus menyadari peranannya dalam berlangsungnya proses pembinaan. 131 Rommy Pratama, Sistem Pembinaan Para Narapidana Untuk Pencegahan Residivisme, http://rommypratama.blogspot.com/2009/03/sistem-pembinaan-para-narapidana-untuk.html, diakses tanggal 02 April 2009.
99
Kondisi yang terjadi di lembaga pemasyarakatan, pola pembinaan
bagi
narapidana biasa tidak dibedakan dengan pola pembinaan residivis atau narapidana lainnya. Di samping jumlah petugas yang tidak sebanding dengan jumlah narapidana, kualitas petugas juga tidak memadai untuk melakukan pembinaan. Secara umum, pembinaan di lembaga pemasyarakatan tidak dapat berlangsung maksimal, karena petugas yang merangkap sebagai pembina di lembaga pemasyarakatan tidak mengerti fungsinya sebagai pembina. Minimnya pengetahuan petugas dalam membina narapidana, ditambah lagi kurangnya kursus-kursus keterampilan yang diberikan kepada petugas dalam menunjang program pembinaan, menyebabkan program pembinaan berlangsung seadanya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman petugas. Kualitas dan bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata ditentukan oleh anggaran maupun sarana dan fasilitas yang tersedia. Tetapi diperlukan programprogram pembinaan yang kreatif dan murah serta mudah untuk dilakukan, sehingga dapat berdampak sebagai pembelajaran yang optimal bagi napi sebagai bekal keterampilannya untuk kelak setelah keluar dari Lapas.
6.
Kesejahteraan petugas Disadari sepenuhnya bahwa faktor kesejahteraan petugas pemasyarakatan di
Indonesia memang dibilang masih memprihatinkan, hal ini disebabkan karena keterbatasan dana dan kemampuan untuk memberikan tunjangan bagi petugas pemasyarakatan. Maka imbalan yang diperolehnya menjadi belum seimbang
100
dibandingkan dengan tenaga yang mereka sumbangkan untuk bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah di dalam Lapas. Namun pada dasarnya faktor kesejahteraan petugas ini jangan sampai menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya pembinaan dan keamanan serta ketertiban di dalam Lapas. 7.
Masyarakat dan pihak korban Pada dasarnya masyarakat juga merupakan faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan pembinaan terhadap napi, karena masyarakat secara tidak langsung menjadi penentu berhasil tidaknya proses pembinaan di Lapas. Dalam hal pembinaan berupa program integrasi, masih terdapat kendala-kendala seperti kebanyakan lingkungan masyarakat dan pihak korban tidak mengizinkan kepadanya untuk kembali lagi ke masyarakat meskipun hanya sebentar.
B. Peranan Hakim Pengawas Dan Pengamat Dalam Masalah Pembinaan Dan Pengamatan Narapidana Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI) menengarai kelebihan kapasitas lapas tidak hanya disebabkan oleh buruknya sistem pemenjaraan, tetapi juga dipengaruhi pandangan untuk memelihara napi selama mungkin dipenjara. Caranya, dengan mengabaikan hak-hak narapidana, seperti hak asimilasi dan pembebasan bersyarat (PB). Hak itu sering diabaikan tanpa alasan yang jelas. Sebagai contoh kasus: Susongko, yang tersandung kasus korupsi di KPU, mencontohkan pengalamannya saat ditahan. Ia menuturkan selama menjalani hukuman ia tidak pernah mendapatkan asimilasi. Padahal SK Asimilasinya sudah
101
turun dari Kanwil. Tidak hanya itu, proses pemberian pembebasan bersyarat pun terlambat. Menanggapi hal itu, Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Dephukham, Harkristuti Harkrisnowo menyatakan pelanggaran hak narapidana disebabkan karena buruknya sistem koordinasi antara aparat penegak hukum. 132 Contohnya saat masa tahanan narapidana habis, pihak lapas sudah memberitahukan kepada Kejaksaan pada H-10 atau H-3. Tetapi Jaksa tidak melakukan eksekusi. Masalahnya Lapas tidak mungkin membebaskan orang tanpa eksekusi dari Jaksa. Begitu juga dengan konsep Hakim Wasmat (pengawas dan pengamat) yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Harkristuti seharusnya hakim tersebut melakukan pengecekan terhadap pelaksanaan dari hukuman seorang narapidana. Itu sebagai bentuk akuntabilitas hakim. Hakim yang memasukan orang ke penjara. Jadi dia bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hukumannya. Sebagai penengak hukum yang menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana, tidak berhenti tugasnya. Tugas Hakim sebagai pengawas dan pengamat, sebagaimana diatur dalam Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menghendaki adanya tanggung jawab moral Hakim yang mewajibkannya mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana di dalam penjara. Dalam hal ini, Hakim Pengawas dan Pengamat menitik beratkan pengawasannya, antara lain apakah narapidana memperoleh remisi, assimilasi, cuti,
132 Ibid
102
lepas bersyarat, integrasi, perawatan kesehatan, jika Hakim pengamat berpendapat pembinaan dan perlakuan yang diberikan kepada narapidana kurang baik, ia dapat menyarankan kepada kepala Lembaga Pemasyarakatan usul-usul perbaikan. Di samping itu, tugas lain yang tidak kalah pentingnya adalah menghindari terjadinya pelanggaran atas hak-hak terpidana. Oleh karena itu, Surat Edaran MA No. 7 Tahun 1985 menggariskan perlunya diadakan Chekking on the Spot paling sedikit tiga bulan sekali. Bagi
masyarakat,
Lembaga
Pemasyarakatan
bukan
sekedar
tempat
pembinaan, tetapi wujud dari kekejaman manusia. Sisi buram dari Lembaga Pemasyarakatan mengharuskan dia berjalan bagaikan kapal tua yang sarat penumpang, yang sewaktu-waktu dapat tenggelam. Untuk menyelamatkannya, mau tidak mau Pemerintah harus memperbaiki infrastruktur penjara, seperti mengganti bangunan lama, menyediakan fasilitas kesehatan, kamar tidur, serta penyediaan tenaga medis, meningkatkan kualitas petugas, dan yang utama lagi adalah peningkatan peran Hakim Pengawas dan Pengamat . Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) juga meyoroti kinerja Lapas. KRHN menilai pemenuhan hak-hak narapidana masih jauh dari harapan. Padahal, hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan lain-lain . Bahkan, di Tahun 1955, PBB telah mengeluarkan
103
Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners atau Peraturan-Peraturan Standar Minimum bagi perlakuan terhadap narapidana. Pengumpulan data-data yang lengkap mengenai diri terdakwa tidak saja akan bermanfaat bagi keperluan pemidanaan, akan tetapi juga bagi keperluan pembinaan dan pengamatan narapidana itu selama dalam lembaga pemasyarakatan dan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Dengah hal-ihwal yang lengkap itu Hakim Pengawas dan Pengamat beserta pejabat lembaga pemasyarakatan akan dapat mengarahkan pembinaan dengan lebih tepat lagi. Berdasarkan Undang-undang Hukum Acara. Pidana No. 8 Tahun 1981 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 itu hakim. mendapat "tambahan". tugas untuk melakukan pengawasan dan pengamatan. Pasal 277 mengatur: 1.
Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan . pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
2.
Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua tahun. . Pengamatan yang ditugaskan kepada hakim itu tidak hanya terhadap narapidana
yang berada dalam lembaga pemasyarakatan, akan tetapi diperluas sehingga meliputi narapidana setelah selesai menjalani pidananya. Pasal 280 KUHAP mengatur : 1.
Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guns memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
104
2.
Hakim pengawas clan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal-balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya.
3.
Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat , (2) tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya.
4.
Pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat. Suatu hal baru lainnya yang terkandung dalam Pasal 280 ayat 2 ialah
kewajiban yang dibebankan kepada hakim untuk mengadakan penelitian dan selanjutnya memberikan saran-saran kepada, ketua pengadilan negeri mengenai pemidanaan. Di sini hakim, pengawas dan pengamat mempunyai peranan penting karena selain turut berkecimpung dalam cara-cara, pembinaan dan pengamatan narapidana, juga ia dapat membantu memperbaiki "sentencing policy" hakim pidana. Agar tugasnya dapat dilaksanakan dengan baik seharusnya setiap, hakim pengawas dan pengamat mempunyai program pembinaan dan pengamatan yang baik dan kontinu, yang dapat disusun bersama-sama dengan pejabat lembaga, pemasyarakatan. Pasal 282 mengatur: "Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat memblearakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu. "
105
Pasal-Pasal dalam KUHAP beserta penjelasannya, tidak mengatur lebih terperinci bagaimanakah pembinaan dan pengamatan narapidana itu harus dilaksanakan. Di dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sepintas lalu dijelaskan bahwa: Hakim yang bertugas khusus tersebut melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap narapidana selama menjalani pidana penjara/kurungan dalam lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan sebagai pelaksana dari putusan hakim pengadilan negeri tersebut, tentang kelakuan masing-masing
maupun
tentang
perlakuan
para
petugas
pengsuh
dari
lembaga
pemasyarakatan tersebut terhadap diri para narapidana yang dimaksud. Hakim pengawas dan pengamat tersebut ditunjuk untuk waktu dua tahun. Dengan ikut campurnya Hakim dalam pengawasan yang dimaksud, maka selain Hakim akan dapat mengetahui sampai di mana putusan pengadilan itu tampak hasil baik buruknya pada diri narapidana masing-masing yang bersangkutan, juga penting bagi penelitian demi ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan pada umumnya. " Setiap tahun ribuan narapidana dilepas dari Lembaga, Pemasyarakatan karena telah selesai menjalani masa pidananya, atau dilepas bersyarat sebelum masa pidananya berakhir. Untuk dapat mengetahui berhasil atau tidaknya pembinaan selama di dalam, Lembaga Pemasyarakatan, dapat dilihat persentase residivis (rate of recidivism). Jika persentase residivis kecil maka dapatlah dikatakan bahwa program pembinaan yang telah dilakukan cukup berhasil. Namun sebaliknya apabila
106
persentase residivis besar maka program pembinaan dianggap kurang berhasil. Masalah yang diatur dalam Pasal 280 ayat (3) menentukan bahwa pengamatan terhadap narapidana setelah selesai menjalani pidananya merupakan ketentuan baru yang tidak diatur dalam KUHP maupun HIR dahulu. Ketentuan mengenai pengawasan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan sebelum masa pidana berakhir yaitu dalam hal diberikan pelepasan bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal15 s/d 17 KUHP. Pasal 15 menentukan: a.
Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
b.
Dalam memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa, percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang
belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang baru, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan. Di dalam Pasal 15 KUHP itu, diatur dengan jelas masa percobaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama, masa percobaan, sedangkan di dalam Pasal 280 (3) hal-hal tersebut tidak diatur. Sehubungan dengan prosentase residivis yang cukup tinggi di beberapa wilayah hukum, kiranya hal itu perlu mendapat perhatian yang lebih khusus lagi dari hakim yang menjatuhkan pidana maupun hakim pengawas dan pengamat. Selain
107
daripada itu penggunaan pelepasan bersyarat seperti yang diatur dalam Pasal 15/KUHP sebaiknya dilaksanakan dengan lebih hati-hati lagi. Sehubungan dengan gagasan pemasyarakatan bagi narapidana di Indonesia maka dalam rangka pembinaan, oleh Direktorat Pemasyarakatan pada tanggal 8 Pebruari 1965 telah dikeluarkan Surat edaran No.: 10.13/3/1, dimana diinstruksikan agar dalam membina para tunawarga perlu diperhatikan pendapat dan penjelasan dari pihak Instansi yang bersangkutan seperti Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, POLRI, Kepala Desa, dan lain-lain. Pertanyaan yang tercantum dalam formulir keterangan yang dikirimkan kepada pejabat tertentu ialah : 1.
Bagaimana kesan Saudara pada waktu narapidana tersebut diperiksa perkaranya dimuka sidang pengadilan? (Penjelasan atas perbuatannya apakah is seorang yang lekas marsh, naik darah, suka mendusta, dan sebagainya)
2.
Peranan apa yang diambil olehnya dalam perbuatan itu? Apakah ia sudah berulang-ulang melakukan atau tersangkut sesuatu perbuatan yang dapat dihukum?
3.
Motif apakah yang mendorong sehingga ia melakukan kejahatan itu? (Karena lalai, sengaja, terpaksa, direncanakan sebelumnya, dsb.)
4.
Bagaimanakah menurut pendapat Saudara jika : narapidana tersebut. sudah menjalani 2/3 dari mass pidananya dan telah memenuhi syarat-syarat lainnya nanti diusulkan untuk mendapatkan pelepasan bersyarat (V. I.) sehingga yang dimaksud bunyi pass 15 (1) KUHP karena selama berada. dalam Lembaga
108
Pemasyarakatan ia berkelakuan baik dan menyesali serta menginsyafi perbuatannya. Sebetulnya
keterangan-keterangan
yang
diperlukan
oleh
Lembaga
Pemasyarakatan akan dapat dijawab dengan mudah apabila bagi setiap putusan pidana (terutama yang pidananya lebih dari satu tahun) telah diberikan data-data atau pertimbangan yang lengkap, yang dengan cepat dapat dilihat dari berkas perkaranya. Untuk pelepasan bersyarat, tentunya diperlukan data-data atau informasi lebih lengkap lagi, karena selain ada perubahan dari tingkah laku dari terpidana selama dalam pembinaan harus dilihat juga faktor-faktor extern lainnya yang positip dan negatip. Suatu hal lainnya yang harus diperhatikan ialah bahwa keterangan yang diberikan oleh pejabat-pejabat tersebut tidak akan efektif lagi apabila diminta setelah kasus itu lama diselesaikan. Hal ini mungkin terjadi apabila terpidana atau penuntut umum mengajukan banding dan kasasi, yang prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun. Mengingat waktu yang lama itu dan banyaknya perkara yang serupa yang dihadapi setiap hari, tentu-nya mereka sudah tidak dapat mengingat dengan pasti lagi hal-hal yang berkenaan dengan terpidana tersebut, terlebih lagi apabila hakim atau pejabat yang bersangkutan telah pindah kelain tempat. Mengenai pelepasan bersyarat ini kantor Besar Jawatan Kepenjaraan Departemen Kehakiman pada tanggal 25 Pebruari 1964 telah mengeluarkan Surat
109
Edaran No. JH. 7. 4/319 yang ditujukan kepada Kepala Inspektorat Kepenjaraan Daerah I s/d IX, Direktur, Direktorat Kepenjaraan Daerah, dan Pemimpin Kepenjaman aerate di Indonesia yang berisi : "Berhubung usul-usul kelepasan bersyarat yang diterima banyak sekali yang kurang memenuhi Surat Edaran No. J. H. 7. 4/2/101 tanggal 7 Agustus 1957, hingga mempersukar pertimbangan dan memperlambat putusan maka dengan ini sambil sekedar menyegarkan kembali soal kelepasan bersyarat, diminta dengan hormat tetapi sangat, hendaknya usul kelepasan bersyarat ini dilengkapi dengan Salinan-salinan surat-surat vonis semuanya. a.
Keterangan asli dari hakim, tentang sikapnya diwaktu sidang dan motif apa yang mendorong pelanggaran itu.
b.
Kemampuannya keluarga narapidana yang bersangkutan dan/ atau kemampuan yang sanggup menerimanya, berupa apa (asli keterangan ini hams dari pamong praja setempat).
c.
Keterangan asli kesanggupan dari yang akan menerimanya.
d.
Keterangan ash dari pamong praja dan polisi untuk menerimanya didaerah serta sikap dan pandangan masyarakat terhadapnya.
e.
Keterangan ash dari pamong praja tentang riwayat hidupnya.
f.
Keterangan asli dari Direktur/Kepala Kepenjaraan tentang riwayat hidupnya dengan mengirimkan/mengisi risalah pemasyar4katan seperti contoh terlampir.
g.
Daftar huruf "F".
h.
Daftar perobahan.
110
i.
Keterangan kesehatan.
j.
Keterangan asli tidak keberatan dari Jawatan Imigrasi setempat, jika mengenai narapidana yang bukan warga negara Indonesia. Berhubung waktu sekarang banyak pelanggaran hukum yang bukan warga
negara Indonesia dan untuk mempermudah mendapatkan syarat No. 12 dari usul kelepasan bersyarat tersebut, maka sesuai dengan surat edaran No. J. H. 7/226 tanggal 8 Pebruari 1964 diharap jika Saudara menerima narapidana yang bukan warga negara Indonesia, segera melaporkan kepada diri ke : 1.
Nama
2.
Tempat tinggal terakhir
3.
Pelanggarannya
4.
Lama pidananya dan
5.
Putusan Pengadilan Negeri apa dan dimana".
C. Upaya Untuk Menghadapi Hambatan dalam Pembinaan Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborong-borong Jika melihat perkembangan penologi saat ini sudah ada pemikiran bahwa melakukan penghukuman tidak harus di dalam lembaga permasyarakatan. Akan tetapi penghukumannya di dalam masyarakat itu sendiri sehingga muncul pidana alternatif dengan cara bekerja sosial atau membayar denda dengan sejumlah uang
111
tertentu kepada Negara. 133 Dari berbagai kendala dalam pembinaan narapidana, maka upaya- upaya yang dapat dilakukan terhadap narapidana adalah sebagai berikut: Secara umum, beberapa hambatan yang berhubungan dengan pembinaan narapidana residivis dapat dibagi menjadi: 1.
Dana Dalam mengatasi kendala dana yang kurang, maka harus diupayakan
kenaikan anggaran dan mencari pihak lain sebagai pemodal. Biasanya pemodal melatih narapidana ketrampilan dan hasilnya dapat dijual. Keuntungannya biasanya akan dibagi. 2.
Sikap/prilaku petugas Petugas hendaknya berlaku adil kepada seluruh narapidana, tanpa
membedakan status sosial, ekonomi dan yang lainnya, sehingga narapidana dapat menerima bentuk pembinaan yang dilakukan oleh petugas. Petugas pemasyarakatan harus terus menerus bertingkah laku baik dan melaksanakan kewajiban mereka sedemikian rupa untuk memberi teladan kepada narapidana dan membangkitkan penghormatan mereka.
133 Ghali Zakaria, “Sistem Pemasyarakatan Indonesia Belum Tersentuh Semangat Reformasi Dan Kebangkitan Nasional”, http://klipinglakota.blogspot.com/2008/06/sistempemasyarakatan-indonesia-belum.html, diakses tanggal 20 Juni 2009.
112
3.
Sarana/prasarana di Lembaga Pemasyarakatan Hendaknya sarana dan prasarana yang mendukung program pembinaan bagi
residivis dan narapidana di Lapas segera dilengkapi. Pemenuhan sarana dan prasarana 4.
Narapidana Dalam kegiatan pengenalan lingkungan bagi narapidana yang baru masuk ke
lembaga pemasyarakatan, yang pada saat itu diberikan pengenalan fisik lingkungan, juga seyogyanya diberikan pengenalan atas peraturan-peraturan yang eksis dalam lembaga, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh narapidana, juga tentang hak dan kewajiban narapidana. Bila dalam instrumen internasional, informasi-informasi tersebut wajib diberikan oleh pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi dalam instrumen nasional pemberian pengenalan lingkungan ini diberikan oleh kepala blok. Kepala blok adalah narapidana, yang biasanya dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa hukuman dan perilaku patuh “hukum” (sesungguhnya hanya patuh kepada petugas) serta memiliki kewibawaan atas narapidana lain, pihak yang diberikan tanggung jawab oleh petugas yang berwenang dalam lembaga sebagai penyambung lidah petugas, dan menjadi penanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas beberapa kamar dan dihuni oleh sejumlah narapidana. 5.
Sumber daya manusia Kualitas dan bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata ditentukan
oleh anggaran maupun sarana dan fasilitas yang tersedia. Tetapi diperlukan program-
113
program pembinaan yang kreatif dan murah serta mudah untuk dilakukan, sehingga dapat berdampak sebagai pembelajaran yang optimal bagi napi sebagai bekal keterampilannya untuk kelak setelah keluar dari Lapas. Selain itu hendaknya mengikuti pelatihan yang diadakan khusus bagi petugas agar dapat memberikan materi yang baik pada narapidana.
6.
Kesejahteraan petugas Disadari sepenuhnya bahwa faktor kesejahteraan petugas pemasyarakatan di
Indonesia memang dibilang masih memprihatinkan, hal ini disebabkan karena keterbatasan dana dan kemampuan untuk memberikan tunjangan bagi petugas pemasyarakatan. Maka imbalan yang diperolehnya menjadi belum seimbang dibandingkan dengan tenaga yang mereka sumbangkan untuk bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah di dalam Lapas. Namun pada dasarnya faktor kesejahteraan petugas ini jangan sampai menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya pembinaan dan keamanan serta ketertiban di dalam Lapas.
7.
Masyarakat dan pihak korban Pada dasarnya masyarakat juga merupakan faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan pembinaan terhadap napi, karena masyarakat secara tidak langsung menjadi penentu berhasil tidaknya proses pembinaan di Lapas. Dalam hal pembinaan berupa program integrasi, masih terdapat kendala-kendala seperti kebanyakan
114
lingkungan masyarakat dan pihak korban tidak mengizinkan kepadanya untuk kembali lagi ke masyarakat meskipun hanya sebentar. Dalam instrumen internasional, secara jelas diatur tentang keberadaan lembaga pengawas yang independen (ombudsman atau oversight committee) atas bekerjanya lembaga-lembaga dan administrasi pemenjaraan, untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga ini telah bekerja sebagaimana aturan dan perundangundangan yang berlaku. Lembaga yang independen ini juga memiliki otoritas atas akses yang luas ke dalam lembaga pemenjaraan dan terhadap narapidana. Narapidana pun memiliki hak untuk menyampaikan keluhan kepada lembaga. Pengawas yang independen ini secara bebas dan tanpa didengarkan oleh pejabat lembaga pemenjaraan. Tentang lembaga pengawas yang independen ini tidak diatur dalam instrumen nasional.
115
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari uraian bab-bab di muka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Penyebab terjadinya tindak pidana residivis dalam sistem hukum pidana di Indonesia adalah karena adanya stigmatisasi masyarakat dan kondisi lingkungan areal pemasyarakatan. Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa pketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Penyebab lain adalah dampak dari prisonisasi atau terjadinya penyimpangan sendiri di dalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara.
2.
Bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu bentuk pembinaan perorangan (pembinaan individual) dan pembinaan kelompok. Pembinaan individual dilakukan lagi dengan dua cara, yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.
3. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong adalah Kalangan internal (birokrasi),
116
Kelebihan penghuni (over capacity), lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat oleh pejabat internal lapas dan pengawasan fungsional oleh Inspektorat Jenderal Dephukham, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia petugas pemasyarakatan (gaspas) dan anggaran yang minim Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong dilakukan dengan cara mempermudah birokrasi, mempercepat proses pengeluaran narapidana,
B. Saran 1.
Untuk memudahkan aparat penegak hukum (criminal justice system) seperti Polisi, Kejaksaan, Pengadilan dan Petugas Pemasyarakatan dalam menentukan status residivis seseorang, maka hendaknya diberlakukan sistem database online yang berlaku di seluruh Indonesia. Dengan adanya database online tentang datadata narapidana, maka dapat dilihat apakah seseorang pernah melakukan kejahatan yang sama di tempat lain.
2.
Agar program pembinaan terhadap narapidana berjalan dengan baik, perlu ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga petugas memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kegiatan keterampilan
117
3.
Kesejahteraan petugas pemasyarakatan hendaknya lebih diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraannya oleh Pemerintah, mengingat pengabdian yang mereka berikan untuk kepentingan bangsa dan negara bukan untuk kepentingan mereka sendiri
4.
Agar pelatihan ketrampilan yang dilakukan di Lapas dapat berhasil guna, hendaknya dilakukan kerjasama dengan instansi lain untuk memasarkan hasil produk napi di Lapas, apabila ada produk yang dihasilkan.
118
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU: Abidin, Zainal Farid, Hukum Pidana I, Jakarta, Cet I, Sinar Grafika: 1995 Ahcmad Soemadipradja, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia, Bandung Bina Cipta, 1979 Arif, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali, 1990 Atmasasmita, Romli, Dari Pemenjaraan Ke Pembinaan Narapidana, Bandung: Alumni 1997 Bawengan, Gerson, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Di Dalam Teori dan Praktik, Jakarta, Pradnya Paramita: 1979. Bemmelen, Mr. J. M. Van, Hukum Pidana 2, Hukum Penitentier, diterjemahkan oleh Hasnan, Bandung, Binacipta, Cet ke 2: 1991. Cole F. George: The American System of Criminal Justice, 4th Edition, Monterey, California, Brooks / Cole Publishing Company: 1986. Dirdjosisworo, Soedjono, Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan), Bandung: Armico, 1984 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, Pemasyarakatan Dalam Prospeksi Membangun Manusia Mandiri (Renstra Ditjen Pemasyarakatan Tahun 2001-2005) Ensiklopedia Of Criminal susunan Fernon C. Barnham Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika, Cet I: 1995 Gunarso Singgih, Perubahan Sosial dalam Masyarakat: Makalah yang disampaikan dalam Seminar Keluarga dan Budaya Remaja di Perkotaan, Pusat Antara Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta: 1989 Harsono, H. S. C. I. Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1995
119
Jonkers, Mr. J. E. Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Judul asli: Handboek van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Jakarta, P. T. Bina Aksara Cet Pertama: 1987 Kapita Selekta, Hukum Pidana Dan Krimonologi, Bandung:MandarMaju, 1995 Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah, bagian kedua ; Balai Lektur Mahasiswa Ketetapan MPR RI. No. II / MPR / 1993 Tentang Garis-Garis Haluan Besar Negara. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Koesnoen, S. H. Susunan Pidana Dalam Negara Sosialis Indonesia, Bandung, Sumur Bandung: 1964 Kosnoen, R. A, Politik Penjara Nasional, Bandung: Sumur, !961. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, cet Pertama: 19984 Lopa, Baharudin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan hukum di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1987 Makarao, Taufik Mohammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung:Alumni, 1992 Musychan, Teori-teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992 Panjaitan, Petrus, Irwan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., 1995 Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986 Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1998
120
PERUNDANG-UNDANGAN: Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. PP No. 32 Tahun 1999 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Rancangan Undang-Undang KUHP yang dikeluarkan oleh Direktorat PerundangUndangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman dan Perundangan-undangan, 1999-2000. PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ______________, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku ke Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1994. Nawawi, Barda, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung Alumni, Edisi Kedua, cetakan ke-2: 1998 Kapita Selekta, Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Cet. II 2002 Barda Nawawi Srief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, Cet ke-1: 1992. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cet kelima, Jakarta, PT. Rineka Cipta: 1993. Praja, R. Achmad Soema DI, Asas-asas Hukum Pidana, Bandung Penerbit Alumni: 1982. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung PT. Eresco Jakarta, cet ke-3: 1981 Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1992. Sanusi Has, Dasar-Dasar Penologi, Medan:Monora, 1977
121
Soekanto, Soerjono dan Puji, Santoso, Kamus Kriminologi, Jakarta:Ghalia, 1985 Soemadipraja, R. Ahmad S, dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Indonesia, Bandung: Bina Cipta 1979 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung:Alfabeta, 2005 Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001 Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana ; Kumpulan Karangan Buku Ketiga; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi Pertama, Cetakan ketiga: 1999. Reksodiputro, Mardjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan ; Kumpulan Karangan Buku Kesatu; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi Pertama, Ceakan kedua: 1997. Reksodiputro, Mardjono, Pembaharuan Hukum Pidana ; Kumpulan Karangan Buku Keempat; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi Pertama, Ceakan kedua: 1997. Reksodiputro, Mardjono, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana; Kumpulan Karangan Buku Kelima; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi Pertama, Ceakan kedua: 1997. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. PP No. 32 Tahun 1999 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan