i
EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN CILACAP
SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun Oleh : Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti E1A007190 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
ii
PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN CILACAP Oleh : Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti E1A007190
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal.....................2012
Penguji I/ Pembimbing I
Penguji II/ Pembimbing I
Penguji III
Haryanto Dwiatmodjo S.H,M.Hum Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H Sunaryo S.H.,M.Hum NIP.195404261980031004 NIP.196105271987021001 NIP.196409231989011001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Dr.Angkasa, S.H,M.Hum NIP. 196409231989011001
iii
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN CILACAP
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto,
November 2012
Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti. E1A007190
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat, petunjuk, dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas Pembinaan Terhadap
Warga Binaan
Pemasyarakatan Masa Pidana Penjara Pendek Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap. Tujuan penulisan skripsi ini adalah guna memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Melalui skripsi ini penulis menyadari besarnya bantuan dari berbagai pihak dan penulis selayaknya menghaturkan terima kasih tak terhingga kepada : 1. Allah SWT, atas segala rahmat dan kemudahan yang telah diberikan; 2. Bapak Dr.Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 3. Bapak Haryanto Dwiatmodjo, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini; 4. Bapak Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;
v
5. Bapak Sunaryo, S.H.,M.Hum., selaku dosen penguji yang telah memberikan penilaian dan masukkan saran perbaikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini; 6. Bapak Supriyanto, S.H, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan nasehat kepada penulis dari awal perkuliahan hingga sekarang; 7. Kedua orang tua, yang tak ternilai pengorbanannya dan tak pernah berhenti memberikan dukungan dan doanya, serta kakak-kakak tersayang yang memberikan bantuan dan dukungannya bagi penulis; 8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Hanya keikhlasan doa dan untaian kata terima kasih yang penulis dapat sampaikan, semoga kebaikan kalian semua akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat oleh Allah SWT. Tiada gading yang tak retak, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis sangat menghargai dan mengharapkan saran demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana. Purwokerto,
November 2012
Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN Thanks to......
My Beloved family : Luvly Mom and Dad (Alm),,beribu kata maaf dan terima kasih dari ade ga akan sanggup mengganti semua kasih sayang kalian untuk ade,,terutama Mamah u’re my Hero, my Wonder Woman n my Inspiration. Semua pengorbanan dan perjuangan mamah untuk ade dan kluarga ga pernah akan ada tandingannya. Sabar , Ikhlas , Mandiri, dan Pantang Menyerah itu yang selalu Mamah ajarkan terapkan di hati ade, dan semua adalah salah satu yang mendorong ade dapat menyelesaikan Skripsi ini. Maaf banget ya mah, sampai detik ini ade masih nyusahin Mamah. Sabar ya Mah sampai nanti ade bisa ngebales semua pengorbanan dan perjuangan Mamah. Untuk (Alm) Papah di Surga, walau singkat keberadaan Papah buat nyayangin dan ngedidik ade,tapi semua ajaran dan didikan Papah dulu masih slalu ade inget,dan bener2 ngebantu ade hingga saat ini. Pokoknya Luv U All dimana dan kapanpun kalian berada. Luvly Brothers n Sisters Mas Ari, Mba Uli, Mas Ririn, Mba Nurul, Mas Gofur,n My Brother in law Raja Segaran yang jauh-jauh disana, makasih banyak juga buat semua sayangnya ke ade, walau kadang saling nyebelin dan nyusahin tapi gimanapun kalian tetep Saudara tersayang yang ade punya. My best friends, my 2’nd Family :
Mamih icha, mba nia n kisty sahabat dari jaman SMA,,kalian semua keluarga pertama aq di Purwokerto,sekarang giliran aq yg ingin sukses kaya kalian semua..hehe Miss u all of you soo much..
Girls Of f14,,, Mamih Uphie Palupi S.S my sister dikosan yang paling baiiiiiiikkk (tapi polahnya msh kaya bocah) dan dia yang paling banyaak aq repotiinn karena semuaa kekurangankuuu selama kost d F14, makasih banget dah warisin kertas buat ngeprint skripsi sampe skripsi aq selese, hehe.. thanks a lot for everything n anything mih.. Mamaaahh Winiiee Widya S.E,, wlo awal pindah kosaan juteeeekk bgt ma aq karna provokasi pihak tak bertanggung jawab akhirnya semua bisa clear,dan saat aq mati2an ngejar nyelesein Skripsi, kamu dah banyak ngebantuu juga, makasih buat pinjeman kendaraannya buat bolak balik kampus dan penelitian ke Cilacap ya mam,, hehe.. Dyah Mira E, S.H (JoeMira), Mbull (Niken), MbaDetol (Dita), Lilay (Lily), Dindong (Dini), Luthe, Nila, dan CengiLuse (Mey), kalian semua adalah pelengkap keluarga kedua aq disini, belajar menyayangi, berbagi, sabar dan ikhlas dalam suatu persahabatan dan bermasyarakat bisa aq dapet selama tinggal bersama kalian, dan aq bakal kangeeeeennn bgt kalian semua saat aq pindaah dr F14 besok.
vii
Bascoommm… Bundoooh Yan Desiana S.H , Mpok Esty Setiawati S.H, Sulistya Enenk S.H n Noviitarini Nophe S.ip,, walo aq yang paling trakhir kenal kalian,,tpi semua seru saat-saat kita bersama..kalian kluarga Rock n Roll dah pkknya,,!!
Erlina Puspa Induun my best friend,my best sister,my best rival dan my best Partner on Unsoed Basket Ball Team,,jadi musuh tiap Faculty Cup,,Hukum VS Ekonomi musuh bebuyutan slalu,,haha..banyak hal yg terjadi selama kita temenan, seneng bareng, sedih bareng, sama2 sakit hati, gila-gilaan, diem2an, kompakan sekompak2nya, udah pernah kita lewati selama 4,5 tahun lebih ini, tapi finally tetep aja ga bisaa benci , marah beneran, dan menjauh jdi musuh,,brasa dh sodara banget yg sering ribut,, hahaha.. makasih buat semua dan maaf klo ada salah yg blm bisa km maafin, hehe.. buruan lulus jugaa yaa,, kan dah janji mau foto sama bola basket di Lap.Soemarjto pas Wisuda, bertiga sama BIGMAN Unsoed yg paling Tembem si Dewi Wulaaanbabii,hahaha,, SUKSES buat kita semua..amiiiiinn..!!!!!!
Dwi Haryoko,Trisna Indra Saputra n’ maulana muhamad akbar S.Psi thank you so much for all your help, care and patience while accompanying me at the time,, learned a lot from you, about patience and sincerity..:)
All of my friends n the others: Friends in Faculty of Law..temen2 angkatan 2007 klas B, Novira Sapii temen pertama saat pertama kuliah di kelas baru, Linaa Lele n’ Ayu Beoo,,gr2 mrekaa aq punya panggilan “Pandaa” dikampus smpai skrg,,,haha Ofutgas maupun anak angkatan lain yang kenal aku, makasiii yaaaa kalian udah bantu aku selama aku kuliah di fakultas hukum UNSOED, dari pertama kali aku masuk sampe skrg aku lulus . Basketball teammates in that team Unsoed Basket Ball Team n IUS Basket Ball,, semua yang pernah mau bekerja sama dalam tim Basket yang paling aku SUKA dan menjalankan organisasi bersama aku ucapkan banyak terima kasih dan maaf kalau ada salah2 yaaa..especially My ExCoach Andri Kurniawan S.Ip,, who has taught me about the discipline!!! One more, my Junior my Lil Sister, Dahlya Sekartadji makasiih udaah bantuiin seminar kmrn yaahh,,hehe lanjutkan perjuangan IBB n UBB UNSOED selanjutnyaaa,, (^,^)p Friends of KKN Banteran.. Dewi, Tami, Lia, Ade, Ridho, Via, Faris n Tomi,, makasii kalian uda jdi temen, sahabat, dan keluarga aku selama KKN, tanpa klian mgkn KKN jadi sepi dan mgkn aku ga betah di selama KKN.
viii
And the other........yang ga bs aku sebutin satu per satu, termasuk aa’ rental, mas-mas fotocopyan dan orang-orang yang uda bantu aku selama aku kuliah di Fakultas Hukum Unsoed,, makasiiii,makasiiih,,n makaasiiih semuanyaaaaa........ Special thanks to:
Sandy Oscar… the weirdest ever in my life, the most amusing, but often angered, who already taught me to care about each other in between a "differences". The sacrifice and your hard work to help me finish my college, made me very, very precious.. and now I could only always been praying for your success of later as a sense of gratitude for all the your sacrifices during the this time .. God Bless You..
Thanks a lot and I love you all.. God bless us whenever and wherever we’re we are,,
ix
ABSTRAK Skripsi ini berjudul "Efektivitas Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan Masa Pidana Penjara Jangka Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Cilacap". Skripsi ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan serta penggunaan pidana penjara jangka pendek dalam sistem pemidanaan dan kemudian mengetengahkan alternatif pemikiran sehubungan dengan eksistensi pidana penjara jangka pendek dalam pembaharuan hukum pidana. Hal ini didasarkan oleh pengalaman empiris yang tampaknya untuk menunjukkan pembinaan untuk tahanan hukuman jangka pendek atau narapidana tidak efektif. pidana penjara jangka pendek adalah hukuman yang diberikan kepada seseorang atas tindak pidana yang dia lakukan, dengan hukuman di bawah 1 (satu) tahun (kurang dan atau sama dengan satu tahun). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dirumuskan bahwa ada 2 masalah dalam hal ini,masalah tersebut adalah: bagaimana pelaksanaan pembinaan untuk narapidana pidana penjara jangka pendek agar dapat mencapai tujuan pemidanaan serta menganalisa faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pembinaan untuk narapidana masa pidana penjara jangka pendek. Analisis ini dirumuskan dari penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologisyuridis. Data yang diambil adalah data primer yang berasal dari sumber daya petugas penjara dan narapidana (napi) dengan pidana penjara jangka pendek. Selain data primer, terdapat data sekunder yang digunakan. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan teori hukum pidana dan pemidanaan. Pembinaan untuk narapidana masa pidana penjara jangka pendek yang didasarkan pada peraturan pemerintah No 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan membimbing narapidana penjara sebagai pola pelatihan umum ternyata tidak efektif sebagai tujuan pelatihan narapidana. Hal ini mengingat waktu hukuman singkat sehingga program pembinaan tidak bisa mendapatkan banyak keuntungan. Di sisi lain, hal itu menyebabkan implikasi negatif bagi narapidana dalam bentuk keterasingan dan stigma. Berdasarkan hal itu, dapat disarankan hal beberapa sebagai berikut. Pertama, untuk mendukung keberhasilan pembinaan bagi narapidana pidana penjara jangka pendek dalam penjara membutuhkan pengaturan khusus, metode pelatihan dan proses interaksi dengan masyarakat. Kedua, perlu menelaah kembali penggunaan hukuman penjara jangka pendek sebagai hukuman dengan mempertimbangkan implikasi negatif terutama bagi pelaku. Jika tidak ada kebutuhan untuk memberikan hukuman jangka pendek, penulis menyarankan penggunaan pidana denda. Ketiga, peran masyarakat dalam pembinaan pemasyarakatan narapidana dengan hukuman pidana penjara jangka pendek, lebih ditekankan untuk memaksimalkan proses pelatihan dalam mencapai tujuan hukuman. Keempat, membangun penjara khusus untuk narapidana hukuman penjara jangka pendek, sehingga dalam penempatan antara narapidana hukuman jangka pendek dan narapidana dengan hukuman lebih dari satu tahun dapat dipisahkan. Kelima, kebutuhan peraturan dan hukum yang mengatur pola pelatihan bagi narapidana hukuman jangka pendek sehingga petugas dapat lebih efektif dalam melakukan pelatihan. Kata kunci: efektivitas, pembinaan, narapidana, jangka pendek.
x
ABSTRACT
This thesis entitled "Development Effectiveness On Prisoner Short Periode Of Criminal Prison in Prison District Class IIB Cilacap", this paper is intended to gain an overview of the implementation and the use of short-term imprisonment in the system and then presents the alternative punishment of thought with respect to the existence of long imprisonment short in criminal law reform. This is based by the empirical experience which seems to show the training for short term punishment prisoner or inmate not effective. Short term punishment is a punishment which is given to a person for a what he did, which receives judge or court sentence with punishment under 1 (one) year (less and or equal to a year). Based on the things mentioned above, so it is formulated that there are 2 problems in the these, they are : how do the training for short term punishment inmate achieve the aim of punishment and what factors obstruct the training application for short term punishment inmate. The analysis is formulated by first, making research by using the sosiological-yuridical approach. The data taken is primary data which comes from resources of penitentiary officers and inmate (prisoner) with short term punishment. Beside primary data, the secondary data is used. The data collected are analyzed by criminal law theory and criminology. The training for short term punishment inmate which based on government regulation No. 31 in 1999 about the training and guiding of penitentiary inmate as a general training pattern turns out to be ineffective the aim of inmate training. This is considering the short punishment time so that the training program can not get many advantages. On the other side, it causes negative implications for the inmate in the form of alienation and stigmatisasion. Based on it, it can be suggested few thing as follows. First, to support the success of the training for the short term punishment inmate in penitentiary needs a special arrangement, training method and interaction process with the society. Second, it needs to be reanalyze the use of short term jail punishment as a punishment by considering the negative implication especially for the does. If there is no need to give short term punishment, the writer suggests the use of conditional punishment and social work punishment. Third, the role of society in penitentiary inmate training with short term punishment, is more emphasized to maximize training process in achieving punishment aim. Fourth, build a penitentiary specialized for short term punishment penitentiary inmate, so that in the placement between the short term punishment inmate and the inmate with punishment more than a year can be separated. Fifth, the needs of regulation and law which organize the training pattern for the short term punishment inmate so that the officer can be more effective in conducting the training. Key words : effectiveness, development, inmate, short term.
xi
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL...........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN....................................................................................
iii
KATA PENGANTAR.........................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN..........................................................................
vi
ABSTRAK...........................................................................................................
ix
ABSTRACT...........................................................................................................
x
DAFTAR ISI........................................................................................................
xi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………....
1
B. Perumusan Masalah………………………………………………...
11
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………...
11
D. Kegunaan Penelitian………………………………………………..
12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Hukum............................................................................
13
1. Pengertian Efektivitas Hukum.......................................................
13
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum................
15
xii
B. Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan……………………...
20
1.
Pengertian pembinaan………………………………………....
20
2.
Wujud pembinaan …………………………………………….
30
C. Narapidana dan Masa Pidana Pendek……………………………..
37
1. Pengertian Narapidana…………………………………………….
37
2. Pengertian masa pidana penjara pendek…………………………..
39
D. Pengertian pidana dan pemidanaan, Tujuan dan Kebijakan Pemidanaan…………………………………………………………..
41
1. Pengertian Pidana…………………………………………….......
41
2. Tujuan dan Kebijakan Pemidanaan……………………………….
51
BAB. III METODE PENELITIAN……………………………………….
55
A. Metode Penelitian…………………………………………………….
55
B. Spesifikasi Penelitian……………………………………………….…
55
C. Lokasi Penelitian……………………………………………………...
56
D. Jenis dan Sumber Data………………………………………………..
56
E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………........
56
F. Metode Penyajian Data……………………………………………….
58
G. Metode Analisis Data……………………………………………........
58
BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………...... 60 A. Hasil Penelitian…………………………………………………..........
60
1. Data Sekunder……………………………………………………….... 60 a. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.......
60
xiii
b. Ketentuan Pelaksanaan Pembinaan………………………………..
83
c. Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana Penjara Pendek……...
89
2. Data Primer………………………………………………………….... 92 B. Pembahasan…………………………………………………………... 102 1.
Efektivitas Pelaksanaan Pembinaan Warga Binaan Masa Pidana Penjara Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap…………………………………………………………..
2.
103
Faktor – faktor Penghambat Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana Penjara Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap………………………………………………………......
119
BAB. V PENUTUP…………………………………………………………..
129
A. Simpulan…………………………………………………………….. 129 B. Saran……………………………………………………………........ 131 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………....... 134 LAMPIRAN
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ilmu Hukum Pidana yang dikembangkan dewasa ini,masih lebih banyak membicarakan masalah-masalah dogmatik hukum pidana daripada sanksi pidana.1Pembahasan tentang sanksi pidana yang bersifat memperkokoh norma hukum pidana belum banyak dilakukan, sehingga pembahasan seluruh isi hukum pidana dirasakan masih belum serasi. Selama ini yang banyak dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggungan jawab pidana, yang pada dasarnya terletak di luar bidang pidana, yang pada dasarnya terletak di luar bidang pidana dan sistem pemidanaan. Pertentangan pendapat antara para ahli mengenai pentingnya pidana inilah yang harus dicari penyelesainnya, antara lain dapat dilakukan dengan mengadakan penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka masalah pidana dan pemidanaan sebagai salah satu masalah pokok dalam ilmu hukum pidana tidak dapat dianggap lagi sebagai “anak tiri dari ilmu hukum pidana”. Persoalan tentang pemberian pidana serta pelaksanaan pidana serta pelaksanaan pidana , tidak hanya berkaitan dengan hukum acara pidana saja,
1
J.E Sahetapy, 1982, Ancaman pidana mati terhadap pembunuhan berencana, Disertasi di Universitas Airlangga (1978), Rajawali, Jakarta, , hal.1.
2
tetapi juga hukum pelaksanaan pidana. Akibatnya, masalah pidana penjara dan pelaksanaannya dapat menjadi ruang lingkup telaah hukum pidana. 2 Mempelajari tingkah laku manusia sebagai gejala sosial secara empiris, dipandang tidak termasuk bidang ilmu hukum, antara lain oleh madzhab ilmu hukum analitis. Ajaran madzhab ilmu hukum sosiologis telah membekali pandangan tentang hukum yang tidak hanya terbatas pada hukum yang dogmatis. Hukum mempunyai aspek tingkah laku manusia, sehingga hukum merupakan gejala sosial yang dapat diteliti secara empiris. 3 Sistem Pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini, secara konseptual dan historis berbeda dengan yang berlaku dalam Sistem Kepenjaraan. Sistem Pemasyarakatan menempatkan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai subjek dan dipandang sebagai pribadi, warga biasa serta dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan tetapi menganut asas pembinaan serta bimbingan. Perbedaan sistem tersebut, memberi implikasi pada perbedaan dalam caracara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara merupakan salah satu bagian dari sistem peradilan pidana ( criminal justice system) , mempunyai posisi yang sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan reintegrasi social pelanggar 2
Sudarto, 1981, ”Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan”, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 78. 3 Moeljanto, 1983, Asas Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal . 14
3
hukum, bahkan sampai penanggulangan kejahatan, di mana penilaian terhadap Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara ditentukan oleh hasil pembinaan yang dilakukan oleh lembaga tersebut lebih mengarah kepada keberhasilan atau kegagalan. Di Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara inilah proses pembinaan dan bimbingan narapidana berlangsung di bawah
pengelolaan
aparat
atau
petugas
pemasyarakatan
khususnya
Departemen Kehakiman pada umumnya. Pembinaan pun dilakukan dengan mendasarkan pada peraturan undang-undang. Pembinaan Narapidana merupakan persiapan terhadap Narapidana agar dapat melakukan proses berintegrasi terhadap masyarakat, hingga dapat berperan kembali menjadi anggota masyarakat yang bebas bertanggung jawab. Pembinaan Narapidana di Indonesia dewasa ini dikenal dengan nama pemasyarakatan yang mana istilah penjara telah di ubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan untuk melenyapkan sifat-sifat jahat melalui pendidikan. Seseorang yang melakukan tindak pidana akan mendapatkan ganjaran berupa hukuman pidana, jenis dan beratnya hukuman pidana itu sesuai dengan sifat perbuatan yang telah ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Orang-orang yang dikenakan hukuman atas pebuatannya lazim disebut dengan narapidana. Para narapidana akan ditempatkan pada suatu tempat tertentu yakni di Lembaga Permasyarakatan yang dulu dikenal dengan istilah penjara. Dunia penjara bukan merupakan dunia kehidupan para tahanan dan
4
penjahat yang baru lahir, melainkan lembah hitam ini sudah dikenal manusia sejak berabad-abad tahun lalu, dapat terbukti dengan sistem penjara demikian sudah ada sewaktu masa pemerintahan Romawi Kuno. Hal ini di cetuskan oleh Saharjo, pada tahun 1963 yang menyatakan: " ….Di bawah pohon beringin yang telah kami tetapkan untuk menjadi penyuluh dalam petugas untuk memperlakukan narapidana agar bertaubat juga mendidik agar supaya ia menjadi anggota masyarakat yang pancasialis dan berguna. Jadi tujuan penjara itu adalah pemasyarakatan.”.4 Sistem Pemasyarakatan yaitu suatu sistem pembinaan yang pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan bahwa sekalipun narapidana sebagai orang hukuman yang di batasi kebebasannya, akan tetapi narapidana tetap sebagai manusia yang pada hakekatnya memiliki harkat dan martabat sekalipun sebagai anggota masyarakat Indonesia. Sistem Pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini secara konseptual dan historis sangatlah berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan. Azas yang dianut dalam Sistem Pemasyarakatan menempatkan Narapidana sebagai subjek dan dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa serta dihadapkan bukan dengan latar belakang pembalasan, tetapi dengan pembinaan dan bimbingan. Perbedaan dua sistem tersebut memberikan implikasi pada perbedaan dalam
4
R. Achmad S Soemadi Pradja, et. Al., 1979 , “Sistem Pemasyarakat an di Indonesia “, Badan Pemnbinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta, Jakarta, hal. 19.
5
cara-cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan disebabkan tujuan yang ingin dicapai. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan harus ditingkatkan melalui pendekatan persuasif dan pendekatan pembinaan mental, dasar dan tujuan pokok bimbingan penyuluhan agama adalah pemulihan harga diri Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai pribadi dan warga negara yang meyakini dirinya masih memiliki potensi produktif
bagi
pembangunan
bangsa.
Untuk
itu,
Warga
Binaan
Pemasyarakatan dididik (dilatih) guna menguasai berbagai pembinaan keterampilan tertentu guna dapat hidup mandiri dan berguna bagi pembangunan. Pembinaan bagi Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menghadapi kehidupan setelah bebas dari masa hukuman. Istilah Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara muncul sebagai ganti dari istilah pejara. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Prayudha dkk, sebagai berikut; Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menghadapi kehidupan setelah bebas dari masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya, perisitilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Tentang istilah lahirnya Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Istilah ini
6
dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H yang menjabat Menteri Kehakiman RI pada saat itu.5
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu system pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Sistem Pemasyarakatan dalam perkembangan selanjutnya mulai dilaksanakan dengan ditopang oleh UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang – undang Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Dengan mengacu pada pemikiran itu, Hamid Awaludin mengatakan: Pemasyarakatan adalah suatu system yang dilakukan oleh Negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.6
Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses
5
Andre Dicky Prayudha dan Anna Maria Ayu.. 2008, Esensi Lembaga Pemasyarakatan sebagai Wadah Pembinaan Narapidana ( Sebuah Tinjauan berdasarkan Konsep menurut Rahardjo, S.H).. 6 Diakses melalui www.depkumham.go.id
7
pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Proses pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan akan lebih baik lagi, karena warga binaan mendapat pengayoman dan pembinaan dalam arti mereka dibina untuk menjadi warga masyarakat yang baik, sejalan dengan butir pertama dari Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan, yaitu : “Ayomi dan berikan kepada mereka bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat”.7 Tujuan pembinaan bukan pembalasan atau penjeraan tetapi suatu proses perlakukan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan, dalam rangka mendapatkan pembinaan agar dapat menjadi manusia seutuhnya sebagai layaknya warga negara lain. Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan meliputi segala upaya yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan untuk mengembalikan Warga Binaan yang sementara hidupnya tersesat agar dapat diterima kembali di tengah masyarakat. Pembinaan terhadap Warga Binaan yang dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan, pada hakekatnya mengandung maksud dan tujuan membentuk sikap dan kepribadian manusia seutuhnya.
7
R. Achmad S Soemadi Pradja, et. Al., 1979 , “Sistem Pemasyarakat an di Indonesia “, Badan Pembinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta, Jakarta, hal. 19.
8
Secara umum pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan bertujuan agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya sebagai yang telah menjadi arah pembangunan nasional melalui pendekatan : 1. Memantapkan iman (ketahanan mental) mereka; 2. Membina agar mereka mampu berintegrasi secara wajar di dalam kehidupan kelompok selama dalam Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara
dan kehidupan yang lebih luas
(masyarakat) setelah selesai menjalani pidananya. 8 Secara khusus pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan bertujuan agar selama masa pembinaan dan sesudah selesai menjalani pidananya : 1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya; 2. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal ketrampilan untuk bekal,
mampu
hidup
mandiri
dan
berpartisipasi
dalam
pembangunan nasional; 3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin dalam sikap dan perilakunya yang tertib dan disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan social;
8
S . Hartoyo, “Pemasyarakatan dan tanggapan masyarakat”, Majalah Bina Taruna Warga, No. 11 Nopember 1997, hal. 6.
9
4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara. 9 Warga Binaan Pemasyarakatan
yang menjalani pidana dalam
Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara, berdasarkan jangka waktu lamanya pidana penjara yang dijatuhkan dapat dibedakan menjadi narapidana dengan masa pidana penjara jangka panjang dan narapidana dengan masa pidana penjara jangka pendek. Masa pidana jangka panjang adalah suatu pidana penjara yang dijatuhkan atau diberikan kepada seorang terpidana dengan masa pidana di atas 1 (satu) tahun. Menurut Schaftmister, masa pidana penjara jangka pendek adalah suatu pidana yang dijatuhkan atau diberikan kepada seseorang atas perbuatannya yang telah mendapatkan keputusan hakim atau pengadilan dengan pidana penjara dibawah 1 (satu) tahun (kurang dan atau sama dengan satu tahun).10 Golongan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masa pidana dibawah 1 (satu) tahun di Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara secara administratif digolongkan pada beberapa register, yaitu : 1.
Register B.I, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana lebih dari 1 (satu) tahun.
2.
Register B.IIa, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun.
9
“Romli Atmasasmita, 1979, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, Hal : 19. Schaftmister , 1979. Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana di Waktu Luang.
10
10
3.
Register B.IIb, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana lebih dari 1 (satu) hari sampai dengan 3 (tiga) bulan.
4.
Register B.III, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana kurungan termasuk pidana pengganti denda. Penggolongan yang demikian oleh Lembaga Pemasyarakatan / Rumah
Tahanan Negara juga dapat dijadikan acuan untuk menyusun program pembinaan, terkait juga dengan proses dan pentahapan pembinaan Warga Binaan, yaitu : Maximum Security, Medium Security, dan Minimum Security.11 Memperhatikan hal tersebut untuk Warga Binaan yang mendapatkan pidana penjara lebih dari satu tahun (B.I) dapat melewati dan menjalani pembinaan secara bertahap dan teratur untuk mendapatkan pembinaan yang optimal karena dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, tentu akan lebih memudahkan untuk menentukan kapan warga binaan beralih dari suatu tahap ke tahap berikutnya dan menentukan bentuk pembinaan apa yang tepat, sedangkan pembinaan terhadap Warga Binaan masa pidana pendek yang kurang dari 1 (satu) tahun atau golongan B.IIa dan B.IIb tidak sepenuhnya dapat menjalani proses pentahapan pembinaan dan pembimbingan, sehingga tujuan pembinaan sulit untuk diwujudkan.
11
Departemen Kehakiman RI, 1990, Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan, Jakarta.
11
Untuk itu penulis membahas dan meneliti secara langsung dari beberapa Warga Binaan dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik memaparkan dalam skripsi yang berjudul “EFEKTIVITAS
PEMBINAAN
TERHADAP
WARGA
BINAAN
PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN
KLAS
IIB
KABUPATEN
CILACAP”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan masa pidana penjara pendek dalam sistem pelaksanaan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap? 2. Faktor-faktor apakah yang menghambat pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan masa pidana penjara pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap? C. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan masa pidana penjara pendek dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan. b. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
pembinaan terhadap pidana penjara pendek.
menghambat
pelaksanaan
12
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi perkembangan sistem pemidanaan dan menambah wawasan serta pengetahuan tentang Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara bagi penulis dan pembaca. b. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan penetapan kebijakan
dan
strategi
pemasyarakatan
di
lingkungan
Lembaga
Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara khususnya dalam menangani warga binaan masa pidana penjara pendek yang berorientasi pada tujuan pemidanaan.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Efektivitas Hukum 1.
Pengertian Efektivitas Hukum
Kata efektivitas banyak dilontarkan oleh para ahli hukum khususnya aliran sosiologi, istilah tersebut didasarkan atas suatu pemikiran para ahli yang memang mempunyai dasar tersendiri yang tumbuh menjadi teori, yang kemudian teori-teori ini akan digunakan sebagai pisau analisis untuk membahas suatu permasalahan. Kata efektivitas berarti : “ Ada efeknya (Akibat, pengaruhnya, kesannya); manjur atau mujarab (tentang obat, obat itu ternyata cukup efektiv mengurangi rasa sakit); dapat membawa hasil; berhasil guna (tentang usaha, tindakan); hal mulai berlakunya (tentang undang-undang,peraturan).”12
Efektivitas menurut Soerjono Soekanto adalah : “ Efektivitas hukum banyak sekali menyangkut warga masyarakat sebagai subyek atau pemegang peranan. Hukum menentukan peranan apa yang sebaiknya dilakukan oleh subyek hukum dan hukum akan semakin efektif apabila peranan yang dijalankan oleh para subyek hukum semakin mendekati apa yang telah ditentukan dalam hukum.”13
12 13
Pusat Bahasa, 2003, Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, hal 284. Suprianto, 2008, Efektivitas Pelaksanaan Asimilasi Di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman hal. 11.
14
Menurut A. Emerson, efektivitas adalah : “ Pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Jelas bila sasaran atau tujuan telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya adalah efektif. “14 Subekti, menambahkan bahwa : “ Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Ditambahkan hukum juga melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan ”keadilan” dan ”ketertiban”, syaratsyarat yang pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Keadilan berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi manusia diberi kecakapan dan kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan keadilan. Dan segala kejadian di alam dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan dasardasar keadilan itu pada manusia. 15 Efektivitas merupakan proses yang bertujuan agar suatu sistem berlaku efektif. Efektivitas juga diartikan harus memenuhi syarat : a.
Hukumnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis, filosofis.
b.
Penegak hukumnya betul-betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku,
c.
Fasilitas dan prasarana yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya,
d. 14
15
Kesadaran hukum masyarakat dan warga masyarakatnya mendukung,
Astuti Ajie Probo Retno, 2006, Pengaruh Iklim Organisasi & Pembinaan Pegawai TerhadapEfektivitas Pelayanan Umum di Kantor Kecamatan Banyumas, FISIP UNSOED, Purwokerto, hal. 17. C.S.T. Kansil. 1986, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal, 40 - 41.
15
e.
Budaya hukumnya perlu ada syarat yang tersirat. 16
2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum Lawrence M Friedman dalam Esmi Warassih
17
, mengemukakan
bahwa setiap sistem hukum mengandung tiga unsur yang mempengaruhi yaitu: a.
Komponen yang disebut dengan structure of the law (struktur hukum) merupakan kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum;
b.
Komponen substance of the law (materi hukum) berupa norma-norma hukum (peraturan-peraturan, keputusan-keputusan).
c.
Komponen hukum yang bersifat kultural atau legal culture (budaya hukum) dalam sebuah masyarakat. Untuk memperoleh efektifitas hukum mempunyai hubungan yang erat
dengan usaha-usaha yang dilakukan, agar hukum benar-benar dapat hidup di masyarakat.
Hal
ini
sebenarnya
terletak
pada
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya, menurut Soerjono Soekanto18 efektivitas hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a.
Hukumnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis, filosofis;
b.
Penegak hukumnya betul-betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku;
16
17
18
Suryono. 2009 Konsep-Konsep Sosiologi Hukum, Dalam Website http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/sosiologi-hukum-2/sosiologi. Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama. Semarang, , hal. 104-105. Soerjono Soekanto. 1983., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajagarafindo Persada.Jakarta. hal 7
16
c.
Fasilitas dan prasarana yang mendukung dalam proses Penegakan hukumnya;
d.
Kesadaran hukum masyarakat dan warga masyarakatnya mendukung;
e.
Budaya hukumnya perlu ada syarat yang tersirat. Selain itu Paul dan Dias dalam Esmi Warassih
19
mengajukan 5
syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu pertama sudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami, kedua luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan hukum yang bersangkutan, ketiga efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum, keempat adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa, kelima adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan masyarakat bahwa aturan dan pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan efektif. Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum yang di maksud berarti mengkaji kembali hukum yang harus memenuhi syarat; yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara filosofis. Bekerjanya hukum dalam masyarakat menurut Donald Black, dipengaruhi 19
Esmi Warassih, Op.cit. hal. 104-106.
17
oleh faktor personal (diantaranya adalah pengalaman, pengetahuan, sikap, perilaku, persepsi, opini, kecerdasan, kepatuhan, kepemimpinan, dan lainlain), faktor pemegang peran, faktor pelaksana hukum dan faktor sosial. Menurut Khairul 20 agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap tindak atau prilaku, maka diperlukan kondisi tertentu yaitu: a.
Hukum harus dikomunikasikan, tujuannya menciptakan pengertian bersama, supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi prilaku warga masyarakat, maka hukum harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat.
b.
Diposisi untuk berperilaku, artinya hal-hal yang menjadi pendorong bagi manusia untuk berprilaku tertentu. Ditambahkan oleh Khairul dalam penelitian yang sama menyebutkan
bahwa masalah pokok dari efektivitas bekerjanya hukum dalam masyarakat sebenarnya terletak pada faktor– faktor yang mempengaruhinya yaitu : a. Faktor hukumnya sendiri. Faktor hukumnya sendiri yang harus menjadi persyaratan utama adalah mempunyai cukup kejelasan makna dan arti ketentuan, tidak adanya kekosongan karena belum ada peraturan pelaksanaanya, peraturan tersebut sinkron secara vertikal dan horizontal sehingga mengurangi luasnya interprestasi masyarakat. 20
K. Khairul. 2005. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok), Tersedia pada Website Sumber http://www.google.co.id.
18
b. Faktor penegak hukum. Secara sosiologis, antara hukum dan pelaksana hukum merupakan dua hal yang berbeda hukum termasuk perundang– undangan dan berbagai azas hukum yang mendasarinya merupakan suatu yang abstrak, sebaliknya peningkatan hukum merupakan suatu yang konkret. Penghubung antara yang abstrak dan konkret itu dalam penegakan hukum adalah penegak hukum.. Secara
sosiologis
setiap
penegak
hukum
mempunyai
kedudukan dan peranan. Kedudukan merupakan posisi tertentu dalam struktur kemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang atau rendah. Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya adalah hakhak dan kewajiban–kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajibankewajiban tadi merupakan peranan. Oleh karena itu maka seseorang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan. Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan berfungsi apabila sesorang berhubungan dengan pihak lain atau dengan beberapa pihak. Peranan tersebut dapat berupa peranan yang ideal, peranan yang seharusnya dan peranan yang aktual. Peranan yang seharusnya dari penegak hukum tertentu, telah dirumuskan dalam undang–undang.
19
c. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah suatu sistem normal dan nilai yang teorganisasi menjadi pegangan bagi masyarakat
tersebut.
Faktor
masyarakat
dan kebudayaan
ini
memegang peranan sangat penting, hal ini berkaitan dengan taraf kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat. Kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup unsur pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum. Tingkat kesadaran hukum tercapai apabila masyarakat mematuhi hukum. Warga masyarakat mematuhi hukum karena: 1) rasa takut pada sanksi negatif sebagai akibat melanggar hukum; 2) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan lingkungan; 3) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan penguasa. 21 Konsep budaya menurut Linton 22 adalah ” Suatu tatanan pola perilaku yang dipelajari, diciptakan, serta ditularkan di antara suatu anggota masyarakat tertentu.”
21
22
K. Khairul. 2005. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok). Tersedia pada Website Sumber http://www.google.co.id.. Upaya Pelayanan Kesehatan Jiwa.Tersedia dalam Website http//www.depkes.go.id.
20
Hubungan
budaya
dengan
bekerjanya
hukum
adalah
bahwa
kemampuan untuk menempatkan pranata hukum di tengah-tengah sistem budaya masyarakat. Hukum merupakan simbol dari sistem budaya yakni adanya kesesuaian antara hukum dan sistem budaya yang ada dalam masyarakat sebagai nilai-nilai dan sikap-sikap hukum. Dengan demikian perubahan pada sistem budaya harus diikuti dengan perubahan sistem hukumnya. Pemahaman akan konsep budaya, membawa kita pada kesimpulan bahwa gagasan, perasaan dan perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya sangat dipengaruhi oleh budaya yang berlaku di masyarakat. Demikian pula pergeseran ataupun perubahan pada tatanan budaya dalam suatu masyarakat akan diiringi dengan perubahan perilaku dari individu yang hidup di dalamnya. Budaya tercipta sebagai upaya manusia untuk beradaptasi terhadap masalah-masalah yang timbul dari lingkungan hidupnya. Selanjutnya budaya mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kepribadian manusia dalam kelompoknya. Interaksi keduanya membentuk suatu pola spesifik perilaku, proses pikir, emosi dan persepsi individu atau kelompok.
B. Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan 1. Pengertian Pembinaan Masyarakat Sebelum penerapan sistem pemasyarakatan, sebelumnya dilaksanakan system kepenjaraan yang mulai berlaku di Indonesia
21
mulai tahun 1917, bertepatan dengan diberlakukannya Gestichen Reglement ( Peraturan Penjara) Stb. 1917 No. 708 dalam sistem kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan yang tidak lain adalah suatu penjeraan, artinya seseorang yang dipidana dibuat jera atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukannya dengan maksud agar tidak mengulangi tindak pidana lagi. Penjeraan disini dapat berarti memperlakukan mereka yang dipidana (Narapidana) dengan cara yang tidak baik, tidak manusiawi dan masih banyak lagi perlakuan lainnya yang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepenjaraan narapidana ditempatkan hanya sebagai objek
yang
harus
dipekerjakan
saja
tanpa
memperhatikan
eksistensinya sebagai manusia. Seolah-olah keberadaan narapidana di penjara adalah semata-mata karena wujud dari pembalasan dendam. Pada sistem kepenjaraan tujuan pembinaan adalah sebagai penjeraan dengan maksud membuat jera agar tidak melakukan tindak pidana lagi, sehingga peraturan yang ada di buat keras bahkan sering tidak manusiawi. Adapun maksud dari kepenjaraan itu sendiri adalah: “ Pidana penjara yang diartikan sebagai pidana perampasan atau pembatasan kemerdekaan seseorang untuk menentukan kehendak (psikis) dalam berbuat sesuatu yang di akibatkan oleh putusan hakim”.23 23
Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sisstem Pemasyarakatan. Liberty. Yogyakarta. hal 125.
22
Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa waktu yang lalu tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila, jika di amati sistem kepenjaraan tersebut terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang, karena tiap harinya mereka harus ditempatkan dalam sel yang dikelilingi tembok yang tinggi dengan sistem pengawasan yang sangat ketat. Sistem yang demikian jelas sangat menghambat proses rehabilitas dan resosialisasi dari warga binaan, sehingga stigma-stigma terhadap warga binaan sulit di hilangkan setelah mereka kembali ke masyarakat. Dalam sistem kepenjaraan dimana narapidana di tempatkan sebagai objek, mereka di klasifikasikan menjadi beberapa golongan menurut besar kecilnya masa pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan. Adapun klasifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Golongan B-I Golongan B-I adalah narapidana yang dijatuhi pidana di atas satu tahun. b. Golongan B-II a Golongan B-II a adalah narapidana yang dijatuhi pidana antara empat sampai dua belas bulan.
23
c. Golongan B-II b Golongan B-II b adalah narapidana yang dijatuhi pidana antara satu hari sampai tiga bulan. d. Golongan B-III Golongan B-III adalah narapidana yang dipidana kurungan atau pidana kurungan pengganti pidana denda. 24 Dari klasifikasi tersebut diatas menunjukkan dengan jelas adanya perlakuan narapidana yang semata-mata hanya sebagai objek saja, karena dalam pendekatan yang dilakukan mengelompokkan narapidana dalam suatu golongan hanya berdasarkan pada besar kecilnya masa pidana tanpa memperhatikan faktor lain yang menjadi penyebab orang tersebut melakukan tindak pidana yang pada akhirnya mereka berstatus sebagai narapidana. Permulaan pembaharuan pidana diawali oleh kritik yang tajam mengenai keadaan buruk di lingkungan rumah penjara, kemudian meningkat pada tuntutan perbaikan nasib narapidana berdasar alasan kemanusiaan. Peningkatan lebih lanjut tertuju pada konsepsi menjauhkan narapidana dari lingkungan buruk tembok penjara dengan dasar pemikiran bahwa narapidana tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Yasid Effendi dan Kuat Puji Prayitno, dalam hal ini berpendapat sebagai berikut: Seiring perkembangan jaman, negara dan masyarakat mulai memperhatikan juga cara untuk merubah mereka yang dihukum penjara agar nantinya bisa menjadi warga negara yang baik. 24
Ibid.
24
Pembaharuan pidana tersebut dituntut untuk lebih memperhatikan nilai humanism yang bersifat universal. Adanya pembaharuan tersebut di harapkan agar dikemudian hari dapat mencegah dan mengurangi kejahatan. Menurut Masters, pemidanaan tidak digunakan untuk balas dendam tetapi untuk pembinaan, yaitu untuk menyembuhkan pelaku kejahatan dari sakitnya.25 Pembaharuan pidana penjara yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanism juga dikemukakan oleh Romli Atmasasmita sebagai berikut: Pemidanaan dengan Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu pembaharuan pidana penjara yang dinilai mempunyai nilai humanisme yang lebih bersifat universal. Pemasyarakatan yang berarti memasyarakatkan kembali terpidana sehingga menjadi warga negara yang baik dan berguna, pada hakekatnya adalah resosialisasi. Menurut Brim dan Wheeler, resosialisasi digunakan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam sosialisasi. 26 Sistem Pemasyarakatan yang bersifat kemanusiaan menumbuhkan pemikiran tentang metode baru untuk mencegah kejahatan dan memperbaiki penjahat melalui pembinaan sebagai upaya untuk membina narapidana menjadi manusia yang baik. Bambang Poernomo dalam hal ini berpendapat sebagai berikut: Sistem pemasyarakatan merupakan salah satu pilihan pembaharuan pelaksanaan pidana penjara yang mengandung upaya baru pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru terrhadap narapidana yang berlandaskan kemanusiaan yang bersifat universal. Pembaharuan tersebut menumbuhkan pemikiran tentang metode baru untuk mencegah kejahatan dan memperbaiki penjahat. Sistem pemasyarakatan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mewujudkan upaya baru pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru 25
Yasid Effendi dan Kuat Puji Prayitno. 2005. Hukum Panitensier Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. hal. 45. 26 Romli Atmasasmita. 1982 op. cit. hal. 45.
25
terhadap narapidana baik. 27
agar hasil pembinaan menjadi manusia yang
Pembinaan narapidana dilakukan sejak si terpidana masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan dan secara bertahap dilakukan pembimbingan lanjutan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soedjono Dirdjosisworo, yaitu: Usaha pembinaan terpidana dimulai dari hari pertama ia masuk dalam lembaga hingga pada saat ia keluar dari lembaga dan setelah itu di lanjutkan dengan usaha pembimbingan lanjutan yang diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah atau swasta bila diperlukan, dengan mengingat pribadi tiap-tiap terpidana secara progresif sesuai dengan cepat atau lambatnya kemajuan sikap, tingkah laku terpidana. 28 Dalam
Undang-undang
Nomor
12
Tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan Pasal 1 angka 1 dirumuskan definisi pemasyarakatan sebagai berikut: Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana. Pada Pasal 1 angka 2 dirumuskan mengenai pengertian sistem pemasyarakatan sebagai berikut: Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang di bina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan 27
Bambang Poernomo. 1993. op. cit. hal.ss 20. Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan), Armico. Bandung. hal. 200. 28
26
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Nampak jelas dari pengertian tersebut bahwa hubungan yang baik antara pembina atau petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang di bina atau warga binaan pemasyarakatan dan masyarakat mutlak diperlukan untuk menyiapkan kembali warga binaan dapat kembali ke masyarakat dan di terima baik oleh masyarakat. Di Indonesia istilah pembinaan (treatment) bagi narapidana lebih dikenal dengan istilah “Pemasyarakatan”. Hal ini disebabkan karena metode pembinaan (treatment) yang digunakan di Indonesia adalah Sistem Pemasyarakatan. Konsepsi Pemasyarakatan ini, bukan semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan suatu sistem pembinaan dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik itu ada pada individu yang bersangkutan, maupun yang ada ditengah-tengah masyarakat sebagai suatu keseluruhan.29 Ada dua aspek yang sangat menonjol dalam Sistem Pemasyarakatan : a. Sebagai pembinaan dari pelaksanaan pidana ( pidana penjara ); b. Sebagai pembinaan yang dikenakan pidana.
29
Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan), Armico. Bandung.
27
Istilah pidana penjara sesungguhnya lebih menuju pada tujuan dari penjeraan kepada yang dikenakan pidana itu. Yang menjadi masalah sekarang adalah manakah yang harus mengikuti, apakah lembaga pidananya yang sudah berusia satu setengah abad ataukah pelaksanaannya yang secara de facto menyangkut manusia-manusia yang bukan lagi manusia setengah abad yang lalu.30 Apabila berbicara mengenai usaha-usaha apa yang telah dilaksanakan dalam penerapan Sistem Pemasyarakatan
selama ini maka tidak dapat
dilepaskan dari institusi pelaksanaannya yaitu Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga ( Dirjen. Pemasyarakatan ). Menurut Keputusan Presiden No. 44 / 45 tahun 1974 tentang PokokPokok Organisasi Departemen dalam melaksanakan tugasnya Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga dibantu oleh: a. Direktorat
Pemasyarakatan yang bertugas melaksanakan tugas
pembinaan dalam lembaga; b. Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak yang bertugas dalam lembaga khusus untuk membina anak didik. Berlandaskan Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1985 proses pemasyarakatan dapat dibagi menjadi 4 (empat) tahapan, yaitu :
30
Ibid, Hal : 70
28
a. Tahapan Pertama Setiap narapidana yang masuk Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara dilakukan penelitian untuk mengetahui perihal kejahatan yang dilakukan, sebab-sebab melakukan pelanggaran, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya . b. Tahap Kedua Narapidana tersebut yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan /
Rumah Tahanan Negara sudah menjalani 1/3 masa pidananya dan menurut Dewan Pembina sudah cukup ada kemajuan, diantaranya sudah menunjukkan keinsyafan, disiplin dan patuh. c. Tahapan Ketiga Proses pembinaan narapidana yang sudah menjalani 1/2 masa pidana yang sebenarnya menurut Dewan Pembina telah cukup mencapai kemajuan baik secara fisik maupun mental maka narapidana tersebut mendapat asimilasi dengan masyarakat luar, antara lain : ikut beribadah dengan masyarakat luar, olah raga bersama, ikut pendidikan umum, bekerja diluar dengan pihak ketiga. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya masih tetap berada dalam pengawasan dan bimbingan petugas Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara.
29
d. Tahapan Keempat Jika pembinaan telah menjalani 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan maka narapidana yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat. Berdasarkan proses pemasyarakatan sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapatlah diketengahkan sebagai berikut : a. Sistem Pemasyarakatan selain mengandung unsur rehabilitasi juga menitikberatkan pada unsur edukatif; b. Tujuan memasyarakatkan narapidana berarti : 1) berusaha agar narapidana tidak melanggar hukum lagi ditengah masyarakat kelak; 2) menjadikan narapidana sebagai peserta aktif dan kreatif dalam pembangunan; 3) membantu narapidana agar kelak berbahagia dunia akhirat. c. Berlandaskan pada tujuan pokok di atas maka unsur yang sangat berperan dalam unsur pemasyarakatan adalah : 1)
Petugas;
2)
Narapidana;
3)
Masyarakat .31
Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan yang lain.
31
Ibid, Hal : 24.
30
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum 32: Faktor hukumnya sendiri yang dibatasi oleh Undang-Undang. a. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; b. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum; c. Faktor masyarakat lingkungan dimana hukum itu berlaku atau diterapkan; d. Faktor kebudayaan hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Keempat faktor tersebut di atas saling berkaitan, oleh karena itu memerlukan esensi penegakkan hukum serta tolak ukur dari pada efektifitas penegakkan hukum. 2. Wujud Pembinaan Setiap Warga Binaan Pemasyarakatan wajib mengikuti semua program pembinaan yang diberikan kepadanya, adapun wujud tersebut meliputi 33: 1.
Pendidikan umum, misalnya : pemberantasan 3 buta (aksara, angka, dan bahasa) melalui pelajaran kejar paket A yang
32
Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Raja Grafindo Hal : 5 33 Departemen Kehakiman RI, 1990., Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan, Jakarta.
31
dilaksanakan oleh warga binaan dengan pengajar pegawai Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara yang secara teknis mendapat bimbingan dan pengawasan dari Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan; 2.
Pendidikan ketrampilan, misalnya : menjahit, pertukangan, dan pertanian;
3.
Pembinaan mental spiritual, misalnya : pendidikan agama, penyuluhan-penyuluhan dan budi pekerti;
4.
Sosial budaya, misalnya : kunjungan keluarga, belajar seni musik, seni suara, dan kesenian lainnya;
5.
Kegiatan rekreasi diarahkan pada pemupukan kesehatan jasmani dan rohani melalui : olah raga, menonton TV, membaca buku atau surat kabar.
Dalam program pembinaan khususnya terhadap warga binaan pemasyarakatan dibagi menjadi dua program pembinaan yaitu : b.
Pembinaan kepribadian yang meliputi : 1) Pembinaan Kesadaran Beragama. Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama
memberi pengertian agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat menyadari akibat–akibat perbuatan yang benar dan yang salah. Pembinaan kesadaran beragama dapat dilaksanakan melalui ceramah keagamaan, pendidikan agama dan memberikan kesempatan kepada narapidana untuk melakukan
32
ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Usaha ini di lakukan dengan
tujuan supaya narapidana mendapat keteguhan iman serta
memberikan pengertian bahwa perbuatan yang telah mereka lakukan merupakan perbuatan yang harus di jauhi. Dengan mempertebal iman dan memperbanyak ibadah itu mempunyai beraneka ragam arti bagi narapidana, antara lain insan manusia berkewajiban menyembah kepada pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu
dengan
mendalamnya iman dan ibadahnya, narapidana dan anak didik dapat mengendalikan hawa nafsunya, mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Sehingga narapidana / anak didik menyesali perbuatanya yang sesat dan selanjutnya akan selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya demi kehidupan di akhirat nanti. Hal ini termasuk menjauhi
pelanggaran-pelangggaran
hukum
sebagai
konsekwensi
kehidupan di dunia, antara lain: a) Kegiatan penyuluhan rohani meliputi : i. Ceramah, penyuluhan dan pendidikan agama; ii. Ceramah, penyuluhan dan pendidikan umum. b) Untuk keperluan ceramah, penyuluhan dan pendidikan sebagaimana dimaksud butir (i), dapat diadakan kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah setempat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
33
2) Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara. Usaha ini dilaksanakan melalui penyuluhan, termasuk menyadarkan mereka agar dapat menjadi warga negara yang baik sehingga dapat berbhakti untuk bangsa dan negara. 3) Pembinaan Kemampuan Intelektual (Kecerdasan) Setiap narapidana dan anak didik, kecuali yang sedang menjalani hukuman disiplin oleh Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara, harus memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan umum yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan umum harus lebih diutamakan kepada narapidana dan anak didik yang buta huruf dengan tidak memandang usia. Pendidikan umum bagi narapidana dewasa disamping pemberantasan buta huruf Umum,
juga pendidikan Pengetahuan
Pancasila dan lain-lain untuk
menambah kecerdasan /
pengetahuan umum dan kesadaran nasional, kesadaran bernegara hukum segala sesuatunya diatur dan diselesaikan secara hukum. Usaha pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara bertujuan supaya narapidana dapat menjadi warga negara yang baik serta dapat berbakti kepada bangsa dan negara. Perlu disadarkan pula bahwa berbakti kepada bangsa dan negara merupakan sebagian iman (taqwa). Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara dapat diwujudkan melalui ceramahceramah tentang bela negara dan kecintaan kepada tanah air.Usaha ini
34
diperlukan agar pengetahuan dan kemampuan berfikir Warga Binaan Pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang kegiatankegiatan positif yang diperlukan selama pembinaan.
Pembinaan
intelektual dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. 4) Pembinaan Kesadaran Hukum Pembinaan kesadaran hukum Warga Binaan Pemasyarakatan dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai anggota masyarakat mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan. Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya perilaku setiap warga negara Indonesia yang taat pada hukum. Bentuk pembinaan kesadaran hukum ini dapat dilakukan melalui penyuluhan hukum yang dilaksanakan
secara langsung
dengan
narapidana sebagai sasaran yang diberikan penyuluhan, sehingga dapat berdialog dan berkomunikasi secara langsung. Misalnya melalui ceramah, diskusi, sarasehan, temu wicara, peragaan dan simulasi hukum. Metode pendekatan yang digunakan adalah dengan metode persuasif, edukatif, dan komunikatif.
35
5) Pembinaan Olah Raga Untuk menjaga kondisi kesehatan jasmani, kepada Warga Binaan Pemasyarakatan diberikan kegiatan olah raga sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Setiap narapidana dan anak didik (kecuali yang sedang sakit atau menjalani hukuman disiplin) diberikan kesempatan berolah raga baik sendiri-sendiri maupun terpimpin dengan mengingat keamanan dan ketertiban baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara. 6) Pembinaan Kesenian Setiap narapidana dan anak didik tanpa terkecuali diperbolehkan mengikuti kesenian yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara. Kesenian berupa seni suara (menyanyi), instrumen (band, angklung, gamelan, dan lain-lain), tari atau kesenian daerah
setempat.
Kesenian
ini
diselenggarakan
di
Lembaga
Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara untuk membentuk budi pekerti yang halus / tinggi / luhur bagi narapidana dan anak didik serta mengembangkan bakat-bakat yang sudah ada pada mereka. 7) Pembinaan Mengintegrasikan Diri Pada Masyarakat. Pembinaan di bidang ini dapat dikatakan juga pembinaan kehidupan sosial, pemasyarakatan, yang bertujuan pokok agar bekas warga binaan mudah diterima kembali oleh masyarakat dilingkungannya. Untuk mencapai tujuan ini kepada warga binaan selama di Lembaga
36
Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara dibina untuk patuh beribadah dan dapat melakukan usaha usaha sosial secara gotong-royong, sehingga pada waktu mereka kembali kepada masyarakat telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat dilingkungannya.
c. Pembinaan Kemandirian meliputi : Pembinaan kemandirian diberikan melalui program–program : a. Ketrampilan untuk
mendukung usaha-usaha
mandiri
misalnya, kerajinan industri rumah tangga, reparasi mesin dan alat-alat elektronik lainnya; b. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil misalnya : pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan setengah jadi (pembuatan sapu, keset, dan lain-lain); c. Ketrampilan yang dikembangkan sesuai bakat masingmasing dalam hal ini mereka yang memiliki kemampuan dibidang seni, diusahakan untuk disalurkan kedalam bakat guna mengembangkan bakatnya sekaligus mendapatkan nafkah;
37
d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian dengan menggunakan tekhnologi madya misalnya menanam sayur-mayur didalam poliback. C.
Narapidana dan Masa Pidana Pendek 1. Pengertian Narapidana Narapidana adalah terdakwa yang dalam suatu persidangan di Pengadilan diputus pidana penjara / kurungan dan putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenal dengan sebutan orang hukuman. Dalam Pasal 4 Gestichten Reglement, mereka disebut orang terpenjara, maka dalam hal ini seorang yang dikenakan hukuman kriminal kita sebut narapidana. 34 Namun dalam hal ini petugas juga memberikan pendapatnya mengenai narapidana, yaitu seseorang yang telah melanggar hukum dan telah divonis oleh hakim dan ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara untuk menjalani pidana. Pada perkembangan selanjutnya adalah dengan diterapkannya pemidanaan dengan sistem pemasyarakatan terhadap narapidana. Narapidana adalah anggota masyarakat yang dipisahkan dari induknya dan selama waktu tertentu itu diproses dalam lingkungan
tempat
tertentu
dengan
tujuan,
metode,
dan
sistem
pemasyarakatan. Pada suatu saat narapidana itu akan kembali menjadi manusia anggota masyarakat yang baik dan taat hukum. Tujuan dari proses pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki diri narapidana agar dapat mematuhi 34
R. A. Koesnoen. 1961, Politik Penjara Nasional. Sumur Bandung. Hal : 10.
38
tata tertib yang berlaku tersebur sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita sebagai berikut: Orang yang paling berjasa untuk merubah pandangan orang tentang orang-orang yang terpidana adalah John Howard, yang berpengaruh terhadap pembaharuan pidana. Ia menggambarkan keadaan yang paling buruk dari kehidupan orang-orang hukuman di rumah-rumah penjara. Sejak saat itu orang menghendaki tujuan pidana bukan hanya untuk membuat jera terdakwa saja, tapi juga memperbaiki diri narapidana agar dapat mematuhi tata tertib yang berlaku dan kembali ketengah-tengah masyarakat.35
Dr. Sahardjo dalam pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum, pada tahun 1963 oleh Universitas Indonesia, telah menggunakan istilah “nara-pidana” bagi mereka yang telah dijatuhi pidana “kehilangan kemerdekaan”. Sebelum itu, pada tahun 1961, Mr. R.A. Koesnoen telah menulis sebagai berikut : “Pidana penjara adalah pidana pencabutan kemerdekaan. Menurut asalusul kata penjara berasal dari penjoro (jawa) yang berarti tobat. Dipenjara berarti dibikin tobat. Menurut politik penjara sekarang yang bertujuan memperbaiki nara-pidana tidak sesuai lagi, karena tidak dapat seorang nara-pidana menjadi baik karena dibikin tobat. Menurut pengalaman pun tidak dapat seorang betul-betul menjadi tobat”. 36
35 36
Romli Atmasasmita. 1982. Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai. Armico. Bandung. hal. 21. R.A Koesnoen, Op.cit Hal : 10.
39
2. Pengertian Masa Pidana Penjara Pendek Masa pidana jangka pendek adalah suatu pidana penjara yang dijatuhkan atau diberikan kepada seseorang atas perbuatannya yang telah mendapatkan keputusan hakim atau pengadilan dengan pidana di bawah 1 (satu) tahun / kurang dan atau sama dengan satu tahun. Pidana penjara jangka pendek pada dasarnya merupakan dasar perampasan kemerdekaan, atau merupakan pidana pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 KUHP, hanya saja pidana penjaranya relative singkat yakni 3 bulan atau di bawah 1 tahun. Mengingat pidana penjara pendek adalah pidana penjara juga, maka sudah pasti apabila pidana penjara jangka pendek memiliki seluruh kelemahan yang ada pada pidana penjara. Tentang hal ini Schaftmister37 mengatakan: Secara
umum
bilamana
dinyatakan
pidana
penjara
pendek
dibandingkan dengan penjara biasa, maka pidana penjara pendek memiliki semua kelemahan pidana penjara, tetapi tidak memiliki aspek positif darinya. Dalam penulisan ini yang dimaksud dengan masa pidana pendek adalah batas waktu yang telah ditetapkan oleh keputusan hakim sebagai batas maksimum lamanya seseorang menjalani hukuman pidana selama-lamanya 1 (satu) tahun ke bawah.
37
Schaftmister , 1979, Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana di Waktu Luang, hal.15.
40
Sebagai landasan dalam melaksanakan pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan khususnya masa pidana pendek penulis berpedoman kepada : a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 13, 14, 14a s.d f, 15, 16, 17, 19, 23, 24, 25, dan Pasal 29 yang antara lain pasal-pasal tersebut merumuskan sebagai berikut : 1)
2)
Pasal 14 : orang yang dijatuhi pidana penjara wajib menjalankan pekerjaan yang dijalankan kepadanya menurut aturan yang diadakan guna pelaksanaan Pasal 29. Pasal 19 ayat (1) : orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang diserahkan kepadanya, sesuai dengan aturan-aturan yang diadakan guna melaksanaan Pasal 29 ayat ( 2 ), ia diserahi pekerjaan yang lebih ringan dari pada orang-orang yang dijatuhi pidana.
b. Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terdapat pada Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan Pasal 15. Pasal 5, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, terjaminnya hak untuk dapat tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu. c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 7 ayat ( 1 ) pembinaan narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan, dalam ayat ( 2 ) tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 )
41
terdiri atas 3 tahap yaitu pembinaan tahap awal, pembinaan tahap lanjutan, dan pembinaan tahap akhir.
D. Pengertian Pidana dan Pemidanaan, Tujuan dan Kebijakan Pemidanaan 1.
Pengertian Pidana Penelaahan tentang pidana dan pemidanaan akan penulis kemukakan
terlebih dahulu dalam bab ini sebagai langkah awal untuk membicarakan topik selanjutnya tentang pidana penjara dan pelaksanaan pidana penjara yang meliputi pembinaan narapidana. Hal tersebut didasarkan bahwa pembinaan narapidana sebagai pelaksanaan pidana penjara adalah merupakan bagian dari pidana dan pemidanaan. Pembahasan pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasardasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan suatu pengenaan derita atau akibat lain yang tidak menyenangkan oleh yang berwenang terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan pidana penjara adalah suatu pidana berupa perampasan kebebasan seseorang untuk bergerak (Pasal 1 (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Menurut P.A.F. Lamintang mengemukakan pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang
42
dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan. Didalam membicarakan masalah pidana, khususnya dalam perkara pidana, oleh hakim disinonimkan perkataan “penghukuman” dengan “pemidanaan” atau “pemberian / penjatuhan pidana”. Menurut Sudarto dalam hal ini “penghukuman” mempunyai makna yang sama dengan “sentence” atau veroordeling” misalnya dalam pengertian “sentenced coditionally” atau “voorwardelic veroordeeled” yang sama artinya dengan “dihukum pidana bersyarat”. 38 Dari definisi-definisi pidana tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur berikut : a. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tidak menyenangkan : b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang) : c. pidana itu diberikan kepada yang telah melakukan pidana menurut undang-undang.39 Sebelum mengetahui tentang tujuan dari hukum pidana itu sendiri , akan lebih baik jika diketahui terlebih dahulu fungsi dari hukum pidana. Hal
38
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung, Hal : 7 Muladi & Barda Nawawi Arief , 1983, Pidana dan Pemidanaan, Badan Penyedia Bahan Kuliah Bahan Kuliah Fakultas Hukum Undip Semarang Hal : 4 39
43
ini dikarenakan tanpa mengetahui fungsi dari hukum pidana, maka tidak bisa diketahui apa sebenarnya hukum pidana itu ada. Hukum dibuat untuk dilaksanakan , yang berarti hukum itu bekerja di dalam masyarakat atau Negara. Fungsi hukum pidana dapat di bedakan menjadi 2 (dua) yaitu fungsi umum dan fungsi yang khusus. Fungsi yang umum dan khusus hukum pidana oleh Sudarto dijelaskan sebagai berikut: a.
Fungsi umum Fungsi umum dari hukum pidana sama dengan fungsi hukum pada umumnya, karena hukum pidana merupakan sebagian keseluruhan lapangan hukum, yaitu mengatur hidup atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat terjadi hubungan sosial diantara para anggota masyarakat itu sendiri. Setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang seringkali berlawanan dengan kepentingan anggota masyarakat lainnya, sehingga seringkali menimbulkan konflik dan ketidakharmonisan dalam masyarakat, hukum pidanalah sarana yang diterapkan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
b.
Fungsi khusus Fungsi yang khusus dari hokum pidana adalah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam cabang-cabang
44
hukum lainnya. Kepentingan – kepentingan hukum (benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang daari badan atau kolektiva, misalnya masyarakat atau Negara. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda , kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat dikatakan, bahwa hukum pidana itu member aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.40 Bentuk-bentuk dari adanya sanksi umum dan khusus dari hukum pidana adalah dengan adanya penjatuhan sanksi. Mengenai penjatuhan sanksi ini Sudarto menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum. Pengaruh ini tidak hanya ada apabila sanksi hukum pidana itu benar-benar diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit, akan tetapi sudah ada, karena sudah tercantum dalam perturan hukum (Theorie des psychischen Zwanges= ajaran paksaan psychis). Sebagai alat “social control” fungsi hukum pidana adalah subsidier, artinya artinya hukum pidana hendaknya diadakan , apabila usaha-usaha lain kurang memadai. Selain daripada itu , karena sanksi hukum pidana adalah tajam, sehingga berbeda dengan sanksi hukum pada cabang hukum lainnya, maka hukum pidana harus dianggap sebagai “ultimum remidium” (obat terakhir) apabila upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan, oleh karena itu
40
Ibid., hal. 9-10.
45
penggunaannya harus dibatasi, kalau masih ada jalan lain janganlah mengunakan hukum pidana.41
Berdasarkan apa yang ada diatas dalam perkembangannya dapat dilihat bermunculan pendapat dari para sarjana tentang apa yang menjadi tujuan hukum pidana tersebut. Menurut Wirjono Projodikoro tujuan dari hukum pidana adalah memenuhi rassa keadilan.42 Menurut Tirtamidjaja yang dikutip oleh Bambang Poernomo, maksud dari hukum pidana ialah melindungi masyarakat.43 Pada umumnya didalam membuat suatu uraian tentang tujuan hukum pidana, sebagian penulis hukum pidana tidak mengadakan pemisahan antara tujuan hukum itu sendiri dengan tujuan diadakannya hukuman atau pidana. Diantara para sarjana hukum diantarabahwa tujuan hukum pidana adalah: 1)
Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak ( generale preventive ) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventive ).
41
Ibid., hal. 10 Wirjono Projodikoro. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama. Bandung .hal.18 43 Bambang Poernomo. 1993, Op. Cit., hal 23. 42
46
2)
Untuk
memperbaiki atau
mendidik
orang-orang
yang
sudah
menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 44 Hukum pidana pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu hukum pidana formil dan hukum pidana materiil. Pengertian dari kedua hukum pidana tersebut dikemukakan oleh Sudarto sebagai berikut: 1.
Hukum pidana materiil, yang memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang memuat
syarat-syarat
untuk dapat menjatuhkan pidana dan mengenai pidana, seperti KUHP. 2.
Hukum pidana formil, mengatur bagaimana negara dengan perantara alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan hukum pidana. Hukum pidana formil juga disebut hukum pidana.45 Selain pendapat tersebut diatas, beberapa ahli juga memberikan
penjelasan mengenai hukum pidana materii dan pidana formil, sebagaimana dikutip oleh P.A.F. Lamintang. Sebagai berikut: a.
Van Hamel Hukum pidana material itu menunjukan asas-asas dan peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman, sedangkan
44 45
Wirjono Projodikoro. 2002. Op. Cit., hal. 18 Sudarto, 2001. Op. Cit,. hal. 8.
47
pidana formal menunjukan bentuk-bentuk dan jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana material. 46 b.
Van Hattum Termasuk kedalam hukum pidana material yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tinadakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakantindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut. Hukum pidana formal memuat peraturanperaturan yang mengatur bagaimana hukum pidana material harus diberlakukan, biasanya disebut juga hukum acara pidana. 47
c.
Simons Hukum pidana material memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan tindak pidana, perturan-peraturan mengenai syarat-syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri, jadi ia menentukan bilamana seseorang itu dapat dihukum dan bilamana hukuman itu dapat dijatuhkan. Hukum pidana formal itu mengatur bagaimana caranya Negara dengan perantara
46
alat-alat
kekuasaanya
menggunakan
haknya
untuk
P.A.F Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal. 10 47 Ibid., hal. 11.
48
menghukum dan menjatuhkan hukuman, dengan demikian ia memuat acara pidana. 48 Jenis-jenis pidana pidana berdasarkan rumusan yang terdapat dalam KUHP sebagai hukum pidana positif di Indonesia , sesuai dengan rumusan Pasal 10 KUHP yang menentukan : Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok: 1. Pidana mati, 2. Pidana penjara, 3. Pidana kurungan, 4. Pidana denda, 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan barang-barang tertentu, 3. Pengumuman putusan hakim. Selain pidana yang disebutkan di atas, dalamhukum pidana positif di Indonesia, juga diatur atau dikenal juga sanksi pidana lainnya yaitu jenis sanksi pidana berupa tindakan yaitu:
48
Ibid., hal. 11.
49
a. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat di pertanggung jawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit (Pasal 44 KUHP). b. Bagi anak yang belum berumur 16 (enam belas) tahun yang melakukan tindak pidana, hakim dapat mengenakan pidana berupa: 1) Pengembalian
kepada
orang
tuanya,
walinya,
atau
diserahkan
pada
pemeliharanya (Pasal 45 KUHP). 2) Memerintahkan
agar
anak
tersebut
pemerintah.49 Dalam bab ini yang akan dibahas adalah Pidana Pemasyarakatan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan, jadi pidana ini adalah custodial punishment atau institusional punishment.50 Pidana Pemasyarakatan ini adalah pidana pengecualian, artinya pidana baru dapat dikenakan apabila ada syarat yang “ agak luar biasa”. Sifat eksepsionil dari pidana disimpulkan oleh Sudarto, dari dua hal: 1. Dari penjelasan umum yang menyertai Konsep tersebut yang antara lain “…sebaiknya pidana pencabutan kemerdekaan, yang berasal dari pandangan hidup individualis dan melalui weetbook van strafrech sejak berlaku 1 Januari 1918 berlaku di Indonesia, karena selain tidak sesuai dengan Pancasila pula karena dalam pelaksanaan menurut wujud aslinya baik di Negara asal usulnya maupun di Indonesia menemui kegagalan-kegagalan dalam hendak mencapai tujuannya, 49
P.A.F Lamintang . 1987. Op.Cit,. hal. 69. Pasal 45,46,47 KUHP tidak berlaku lagi sehubung adanya UU Pengadilan Anak (UU No.3 1997). 50 Djoko Prakoso,S.H. 1984. Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori Dan Praktek Peradilan. Ghalia Indonesia.
50
2.
ditinggalkan dan diganti dengan pidana baru. Terpidana menurut pandangan hidup Pancasila adalah individu dan anggota masyarakat sekaligus, yang hidupnya yang tak dapat diasingkan dari masyarakat. Pidana pemasyarakatan ini menurut Sudarto, tetap merupakan pidana pencabutan pidana kemerdekaan, setidaknya pembatasan kemerdekaan. Kemerdekaan menurut Sudarto diartikan sebagai dapat berdiri di tempat di mana dan pergi kemana saja yang orang kehendaki, dan orang yang dijatuhi pidana pidana pemasyarakatan itu tidak dapat berdiri di tempat atau pergi kemana saja yang ia kehendaki. Dari ketentuan yang menetapkan syarat kapan pidana pemasyarakatan itu dapat diajatuhkan, yang mana dalam hal ini menyangkut diri terpidana yang berhubungan dengan keadaan dan perbuatannya akan membahayakan masyarakat apabila dalam keadaan bebas, sehingga untuk pembinaannya perlu diasingkan. Jadi apabila terpidana tidak membahayakan masyarakat, maka hakim tidak boleh mengenakan pidana pemasyarakatan. Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang
dewasa ini, sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dari para penulis abad yang lalu, yang telah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar pembenaran atau rechtvaardigings ground dari suatu pemidanaan, baik yang melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengaitkan dengan pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaannya itu sendiri. Dalam rangka sistem pemidanaan, apabila diartikan secara luas maka dapat dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan
51
atau dioperasionalkan secara konkrit, sehingga seseorang dijatuhi sanksi. Pelaksanaan pidana merupakan salah satu mata rantai untuk sampai pada tujuan pemidanaan. Apabila dilihat dari sudut sistem peradilan pidana, maka pelaksanaan pidana merupakan salah satu subsistem yang tidak terlepas dari subsistem lainnya dalam keseluruhan sistem. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya arti pelaksanaan pidana dalam sistem hukum pidana, khususnya pelaksanaan pidana penjara.
2. Tujuan dan Kebijakan Pemidanaan a. Tujuan Pemidanaan Di atas sudah dibahas tentang pengertian pidana serta teori pemidanaan yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dikemukakan tentang tujuan pemidanaan di Indonesia sebagai tahap formulatif dalam penegakkan hukum yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pemidanaan khususnya pidana penjara dan pembinaan narapidana sebagai tahap eksekusi dalam penegakkan hukum. Salah satu upaya untuk mengetahui tujuan pemidanaan kita adalah dengan melihat pada peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini adalah KUHP.Untuk mengetahui tujuan pemidanaan dalam KUHP yang sekarang masih berlaku tampaknya tidak mudah, mengingat dalam KUHP tersebut tidak secara jelas mencantumkan tujuan pemidanaan.
52
Upaya yang dapat ditempuh guna mengetahui tujuan pemidanaan tersebut adalah dengan menganalisis terhadap ketentuan-ketentuan lain maupun dari doktrin yang berkaitan. Tujuan pemidanaan tersebut di atas tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi di Indonesia sehingga perlu dirumuskan kembali tujuan pemidanaan yang sesuai dengan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila. 51 Rumusan di atas oleh Moeljatno dikatakan bahwa dasar unsur pidana kita lain daripada yang lain. Tujuan pidana itu adalah kompleks, yang dengan singkat dapat disimpulkan bahwa bukan saja harus dipandang untuk mendidik terpidana ke arah jalan yang benar seperti anggota masyarakat yang lainnya (membimbing) tetapi juga untuk melindungi dan memberi ketenangan bagi masyarakat (mengayomi). Definisi tersebut di atas yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan terlihat bahwa terdapat pergeseran tujuan pemidanaan, dari tujuan pemidanaan seperti yang terkandung dalam KUHP. Tujuan pemidanaan yang dikehendaki tidak hanya sebagai pengimbalan semata, namun terkandung adanya tujuan lain, misalnya kesejahteraan masyarakat atau perbaikan narapidana. Tujuan pemidanaan selain dilakukan dengan berorientasi ke muka (prospektif) hal lain terlihat bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna. 51
Sudarto. 1981. Op. Cit,. Hal. 70-71
53
b. Kebijakan Pemidanaan Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial, dan merupakan ancaman riil atau potensi bagi berlangsungnya ketertiban sosial.
Dengan
demikian
kejahatan
disamping
merupakan
masalah
kemanusiaan, juga merupakan masalah sosial. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dilihat
sebagai
suatu
masalah
kebijakan,
maka
ada
yang
mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Ada sementara pendapat bahwa pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini, pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban kita di masa lalu (a vestige of our savege past) yang
54
seharusnya dihindari. Pendapat ini tampaknya didasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindak perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi masalah. Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto berpendapat bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning, yang inipun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.
52
Sudarto. 1981. Op. Cit,. Hal. 104
52
55
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis sosiologis, hukum dipelajari dan diteliti sebagai suatu studi mengenai law in action. Karena mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga social yang lain. Studi terhadap law in action merupakan studi ilmu social yang non doctrinal dan bersifat empiris. Hukum secara empiris merupakan gejala masyarakat yang dapat dipelajari sebagai suatu variable penyebab yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan social. Selain itu hukum dapat dipelajari sebagai variable segi kehidupan social. Selain itu hukum dapat dipelajari sebagai variable akibat yang timbul sebagai hasil akhir dari berbagai kekuatan dalam proses sosial. 53 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden dan informan secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak semata-mata bertujuan
53
Ronny Hanintijo Soemitro. 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 34.
56
untuk mengungkap kebenaran namun juga memahami suatu kebenaran. Hasil penelitian yang diperoleh akan diolah sehingga memunculkan hipotesa yang akan diperoleh akan diolah sehingga memunculkan hipotesa yang akan berujung pada ditemukannya kebenaran sementara. C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap. D. Jenis dan Sumber Data 1. Data Primer Data primer yakni data yang diperoleh langsung dari responden yang bersumber pada petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB dan Warga Binaan Pemasyarakatan yang terkait dengan fokus penelitian. 2. Data Sekunder Data sekunder bersumber pada Peraturan
Perundang-undangan,
Dokumen-Dokumen Resmi, Buku-Buku, Literatur dan Arsip-Arsip Penelitian yang terdahulu yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian. E. Teknik Pengumpulan Data 1. Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap dan Warga Binaan Pemasyarakatan. Responden yang dijadikan sampel adalah :
57
Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap meliputi : a. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap; b. Kepala Kesatuan Pengamanan LAPAS; c. Kasubsi. Pelayanan Tahanan. Warga Binaan Pemasyarakatan yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah yaitu golongan B.IIa dan B.IIb.54 2. Teknik Sampling ( purposive sampling )55 a.
Purposive sampling atau penarikan sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu. Teknik ini biasanya dipilih karena alasan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar jumlahnya dan jauh letaknya.
b.
Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi pendahuluan.
54
55
Romli Artasasmita, 1979, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung,. Komarudin, 1974, Metodelogi Penelitian Skripsi dan Tesis, Penerbit Angkasa, Bandung,.
58
F. Metode Pengumpulan Data 1. Data Primer Data primer diperoleh dengan cara wawancara terarah, dalam wawancara terarah terdapat pengarahan atau struktur tertentu, antara lain : a. Rencana pelaksanaan wawancara; b. Mengatur
daftar
pertanyaan
sesuai
dengan
pokok
permasalahan; c. Memperhatikan karakteristik yang diwawancarai.; d. Membatasi aspek-aspek dari masalah yang diperiksa. 2. Data Sekunder Untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan
(library
research)
terhadap
peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, buku-buku literatur dan arsip-arsip penelitian yang terdahulu yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian. G. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, maksudnya bahwa seluruh bahan atau data primer yang diperoleh akan dihubungkan antara satu dengan yang lainya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan sehingga tercipta suatu kesatuan yang utuh tentang masalah yang diteliti.
59
H. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data hasil penelitian yang diperoleh secara sistematis dengan didasarkan pada norma-norma hukum, khususnya dalam hukum pidana yang relevan dengan pokokpokok masalah yang diteliti. 56
56
Komarudin, 1974, Metodelogi Penelitian Skripsi dan Tesis, Penerbit Angkasa, Bandung.
60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Data Sekunder a. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sebelum dipaparkan dan dibahas pokok permasalahan, maka akan dipaparkan dan dibahas terlebih dahulu hal-hal yang bersifat umum, namun berkaitan dengan pokok permasalahan. Hal-hal yang bersifat umum yang dimaksud adalah tentang kondisi lokasi penelitian dengan segala aspeknya yang dapat dipergunakan untuk mendukung analisis permasalahan dan pembahasan. Sesuai dengan judul yang ada yaitu penelitian dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, maka terlebih dahulu akan dipaparkan kondisi secara umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. 1)
57
Sejarah Ringkas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap berdiri pada tahun 1887, dan berlokasi di jalan Kerinci Nomor : 120 Cilacap. Pada jaman penjajahan Belanda Lembaga Pemasyarakatan ini dikenal dengan nama “Penjara Kolonial”. Setelah Belanda pergi, digantikan oleh penjajah Jepang (yang 57
Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.
61
dikenal dengan Sistem Kerja Paksanya), hal ini berlangsung sampai dengan Indonesia merdeka, yang kemudian dkenal dengan nama “Jawatan Penjara”. Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1963, nama Jawatan Penjara tersebut, kemudian dirubah lagi namanya menjadi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan tempat pelaksanaan pembinaan bagi Narapidana dan Tahanan. Pada tahun 1985 dengan keputusan Menteri Kehakiman No : M.04.PR.07.03. tahun 1985 difungsikan sebagai Rutan Klas IIB Cilacap. Kemudian pada tanggal 16 April 2003 dengan keputusan Menteri Kehakiman No : 05.PR.07.03 tahun 2003 Tentang Penetapan Peningkatan Klas Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara status Rutan diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, yang berarti berubah pula fungsi dan tugas pokoknya yaitu sebagai wadah atau tempat pembinaan narapidana. Walaupun dalam prakteknya tetap merangkap sebagai rutan yang melaksanakan tugas perawatan tahanan. Perubahan nama ini tidak merubah kesan terhadap bentuk bangunan tersebut, walaupun sudah berubah nama, tetapi bentuk bangunan yang ada masih relatif berkesan angker dan menyeramkan. Bentuk bangunan Lembaga Pemasyarakatan yang angker ini, pada hakikatnya tidak mendukung pembinaan narapidana dengan Sistem Pemasyarakatan, karena bentuk yang angker ini secara tidak langsung, justru akan membentuk karakter narapidana menjadi keras, dan menjauhkan jiwanya dari rasa kemanusiaan. Untuk menghindari kesan angker pada bangunan Lembaga Pemasyarakatan dan
62
untuk lebih mendukung pembinaan dengan sistem pemasyarakatan, pada tahun anggaran 2003/2004 bangunan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap direnovasi. Renovasi bangunan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap meskipun tidak merubah banyak dari arsitek lamanya yaitu bangunan peninggalan Belanda, tetapi memberi kesan lebih representatif untuk mendukung pembinaan dengan sistem permasyarakatan. Hal ini bisa dilihat pada ruangan pembinaan kerja keterampilan (Bingker) yang cukup luas dan bersih.
demikian juga dengan ruang
kerja petugas Lembaga
Pemasyarakatan yang direnovasi menjadi dua lantai. 2)
Letak dan Kondisi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap secara keseluruhan menempati areal tanah seluas 5.979,99 meter persegi, dan luas gedung (bangunan) adalah 2370,26 meter persegi, dengan perincian : 5.520 meter persegi untuk bangunan kantor, 775,33 meter persegi blok hunian depan, 152 meter persegi poliklinik, 147 meter persegi dapur, 24 meter persegi pos pengamanan atas, 170 meter persegi bangunan aula, 77 meter persegi Mushola, dan 90 meter persegi bengkel latihan kerja (Bingker). Bangunan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap selain ruang kantor untuk petugas, dibagi menjadi dua sisi. Satu sisi untuk kamar hunian tahanan, dan satu sisi untuk kamar hunian narapidana, hal ini
63
dikarenakan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap juga berfungsi sebagai Rumah Tahanan. 3)
Sarana dan Prasarana Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Adapun komponen-komponen bangunan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap adalah sebagai berikut: a) Ruang kamar (sel) narapidana: 10 unit barak; b) Ruang kamar (sel) tahanan: 8 unit; c) Ruang portir (pintu) gerbang: 1 buah, yang dibatasi dengan pintu gerbang 1 dan 2; d) Pos-pos penjagaan terdiri atas: Komandan Jaga, Wakil Komandan Jaga; Portir (pintu I); pintu II; pintu III; 4 Pos atas I; Pos atas II; Pos atas III; Pos atas IV; e) Ruang penyimpanan senjata: 1 buah yang disebut dengan ruang khusus gudang senjata. Dimana tempat penyimpanan senjata, hanya berupa lemari khusus. Keadaan umum lemari: kuat, aman, dan masih layak, untuk menyimpan senjata pengaman tersebut. Pos yang dipersenjatai terbagi atas: Portir, Pos Atas (I, II, III, dan IV), dan Pos I. Penanggung jawab penyimpanan senjata, adalah Kepala Seksi Administratif, dan Keamanan dan Ketertiban. Senjata yang dipakai : dalam kondisi seperti sekarang ini cukup bagus walaupun masih kurang. Senjata yang dipakai oleh Petugas Lembaga
64
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap adalah jenis senjata laras panjang (Shot Gun) dan senjata laras pendek. Dengan demikian secara umum, kondisi senjata yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, sebagian besar masih layak pakai. Untuk penggantian senjata, sejak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap ini berdiri sampai saat ini, baru dilakukan terhadap senjata laras panjang (Shot Gun), dimana Shot Gun ini, merupakan pengganti senjata laras panjang
Gerund yang merupakan pinjaman dari KODIM 0703
Cilacap kepada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Selain senjata-senjata di atas tadi, untuk menjaga keamanan Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap juga memiliki pos-pos pengamanan, baik yang ada di bawah tiap-tiap blok hukuman untuk lingkungan blok, maupun yang ada di atas tembok keliling, yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup tinggi, sehingga walaupun dalam keadaan duduk, petugas tetap dapat mengawasi daerah tugasnya, termasuk juga ruang kunjungan. f) Ruang pertemuan (Aula): Kondisi aula secara umum cukup memenuhi syarat. Sarana dan prasarana yang tersedia di aula tersebut, yaitu sejumlah kursi, meja dan juga papan tulis. Semua sarana tersebut terawat dan tertata rapi. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap hanya memiliki 1 (satu)
65
buah aula, dengan ukuran yang cukup luas, dan cukup memadai, untuk menampung jumlah penghuni yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Kegunaan aula tersebut, selain untuk acara pertemuan, juga sebagai tempat pembinaan rohani agama Kristen, pendidikan dan acara hiburan. g) Dapur Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, hanya memiliki 1 (satu) buah dapur saja, walaupun begitu, dapur tersebut berukuran cukup luas, bersih, dan terawat meskipun dinding dapur berwarna hitam terkena asap. Semua peralatan masaknya tertata dengan rapi. Letak dapur berada di belakang bersebelahan dengan blok wanita. Narapidana yang bertugas di dapur adalah narapidana (sebagai tamping) berjumlah 8 narapidana setiap harinya. Serta kompor yang digunakan adalah kompor kompresor. h) Pos pengamanan Letaknya, di atas tembok keliling, ada 4 buah. Petugasnya 1 (satu) orang, pada setiap blok. Petugas-petugas tersebut, melakukan pergantian jaga setiap 2 (dua) jam sekali. 31 petugas pengamanan yang terdiri dari 1 orang kepala keamanan, 3 orang staff pengamanan, 4 regu pengamanan yang masing-masing regu berjumlah 6 orang dan 3 orang petugas wanita mengamankan blok wanita. Dalam 1 (satu) hari, yang bertugas ada 3 (tiga) regu petugas
66
KPLP,
yang
tanggung
jawabnya
meliputi
keamanan
dan
pengamanan seluruh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Utuk regu jaga atas dan bawah, terbagi dalam dinas pagi, dinas siang, dinas malam, dan istirahat. i) Bangsal sakit : Bangsal sakit di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap ini berkapasitas 5 (lima) tempat tidur dengan ukuran standart, dan diberi kasur, bantal, serta selimut yang berada di bekas ruangan registrasi. Di dalam bangsal sakit tersebut, juga terdapat tempat untuk mandi, yang dilengkapi dengan satu bak mandi, dan WC. Dimana Bangsal sakit ini, hanya untuk merawat penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang menderita sakit ringan saja. j) Mushola Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap mempunyai sebuah Mushola, yang bernama “Nurul Iman ” yang terletak di halaman belakang. Untuk mendukung kegiatan islami bagi penghuni, maka Mushola “Nurul Iman” ini, kemudian dilengkapi dengan saranasarana sebagai berikut: Bedug dan Kenthongan kayu, Sound system dan Mic, Kitab Suci Al-Qur’an, Mimbar, Sajadah, Papan tulis, kapur tulis, dan penghapus, Kalender, dan Karpet hijau. Dimana kondisi umum Musholla adalah sebagai berikut, letak Musholla di halaman belakang, ukuran Mushola ini cukup luas, cukup untuk
67
menampung penghuni dan petugas Lembaga Pemasyarakatan, (jika diadakan sholat berjamaah) bersih, dan terawat. Kondisi sekeliling Mushola bersih, di kelilingi taman kecil yang bersih. Beberapa petak kecil tanah ditanami sayur-sayuran. Karena petugas Lembaga Pemasyarakatan ada yang perempuan, maka ruang dalam Mushola, dipisahkan menjadi dua dengan menggunakan kain hijau, supaya petugas yang perempuan dapat ikut juga dalam sholat berjamaah. k) Ruang tempat mandi, Water closet (WC), dan tempat cuci: Tempat mandi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu kamar mandi yang berada di dalam dan kamar mandi yang berada di luar. Untuk yang di dalam kamar setiap kamar tahanan
disediakan kamar mandi. Khusus untuk
kamar narapidana yang letaknya di masing-masing kamar dengan kapasitas penghuni sampai 30 orang narapidana dilengkapi dengan 1 (satu) kamar mandi disetiap kamar, berupa bak untuk mandi dan beberapa ember. Narapidana yang bertugas mengisi ember tersebut, adalah penghuni yang piket, dalam kamar masing-masing. Secara umum, kondisi tempat mandi dalam kamar cukup bersih, dan terpelihara. Kamar mandi di luar kamar terletak disamping sel selatan berjumlah 1 (satu) dan disamping sel utara berjumlah 1(satu). WC untuk buang air besar juga tersedia di sel tahanan tersedia 6 (enam) WC dan di sel narapidana tersedia 6 (enam) WC.
68
Dan untuk tempat mencuci, apabila ingin mencuci pakaian, maka kegiatan ini harus dilakukan di tempat-tempat mandi, yang berada di luar kamar, penjemuran pakaian juga di luar kamar. l) Kamar (Sel) Pengasingan: Kamar (sel) pengasingan ini diperuntukan bagi penghuni yang melakukan pelanggaran dan masuk atau tercatat di dalam buku daftar pelanggaran, milik Staf KPLP. Hal ini disebut hukuman tutupan sunyi. Narapidana yang menjalani hukuman tutupan sunyi tidak diperbolehkan memakai baju lengkap. m) Ruang pembinaan kerja keterampilan: Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, mempunyai 2 (dua) buah ruang pembinaan kerja keterampilan, namun hanya 1 (satu) yang difungsikan terletak di samping mushola. Secara umum kondisi ruang pembinaan kerja cukup luas, bersih dan terpelihara. n) Ruang poliklinik: Lembaga Pemasyarakatan IIB Cilacap juga mempunyai sebuah ruang poliklinik. Ruang poliklinik terletak bersebelahan dengan ruang besukan. Di dalamnya tersedia obat-obatan untuk melayani narapidana yang sakit. Apabila ada narapidana yang sakit serius akan dikirim obat-obatan ke Rumah Sakit Umum Cilacap. Poliklinik dijaga oleh seorang perawat dan dua Staf Lembaga Pemasyarakatan yang bertugas untuk membantu. Untuk saat ini
69
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap belum mempunyai dokter tetap. o) Ruang kunjungan: Ruang kunjungan disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, untuk keluarga narapidana atau tahanan yang datang untuk menjenguk. Ruang kunjungan tersebut tidak diberi penyekat ruangan antara pengunjung dengan narapidana atau tahanan, sehingga
sanak
keluarga
dapat
mengunjungi
penghuni
(keluarganya) dalam kondisi tidak terhalang, walaupun tetap diawasi oleh petugas yang bersangkutan. 4)
Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Keadaan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Susunan organisasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cilacap
terdiri atas: a) Sub Bagian Tata Usaha Sub bagian tata usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha
dan
rumah
tangga
Lembaga
Pemasyarakatan.
Untuk
menyelenggarakan tugas tersebut, sub bagian tata usaha mempunyai fungsi melakukan urusan kepegawaian dan melakukan urusan surat menyurat, perlengkapan, dan rumah tangga. Sub bagian tata usaha terdiri atas :
70
(1) Urusan kepegawaian dan keuangan. Urusan kepegawaian dan keuangan mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian dan keuangan. (2) Urusan umum Urusan umum mempunyai tugas melakukan urusan surat menyurat, perlengkapan dan rumah tangga. b) Seksi Bimbingan Narapidana atau Anak Didik dan Kegiatan Kerja Seksi bimbingan narapidana atau anak didik mempunyai tugas memberikan bimbingan pemasyarakatan narapidana atau anak didik. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, seksi bimbingan narapidana atau anak didik dan kegiatan kerja mempunyai fungsi sebagai berikut : (1) Melakukan registrasi dan membuat statistik serta dokumen sidik
narapidana atau anak didik;
(2) Mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi narapidana atau anak didik; (3) Memberikan bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas sarana kerja dan mengelola hasil kerja. Seksi bimbingan narapidana atau anak didik dan kegiatan kerja terdiri atas :
71
(1) Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan mempunyai tugas melakukan pencatatan, membuat statistik, dekumenasi sidik jari serta memberikan bimbingan dan penyuluhan
rohani,
memberikan
latihan
olah
raga,
peningkatan pengetahuan, asimilasi, cuti dan penglepasan narapidana atau anak didik. (2) Sub Seksi Perawatan Narapidana atau Anak Didik Sub seksi perawatan narapidana atau anak didik mempunyai tugas mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi narapidana atau anak didik. (3) Sub Seksi Kegiatan Kerja Sub seksi kegiatan kerja mempunyai tugas memberikan bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas sarana kerja dan mengelola hasil kerja. (4) Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib Seksi administrasi keamana dan tata tertib mempunyai tugas mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan, menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengaman yang bertugas serta menyusun laporan berkala di bidang keamanan dan penegakkan tata tertib. Untuk menyelenggarakan tugas
72
tersebut seksi administrasi keamanan dan tata tertib mempunyai penggunaan
fungsi
untuk
perlengkapan
mengatur dan
jadwal
tugas,
pembagian
tugas
pengamanan dan menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang menegakkan tata tertib. Dimana seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib terdiri atas : I.
Sub Seksi Keamanan, yang mempunyai tugas mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan, dan pembagian tugas pengamanan.
II. Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib, yang mempunyai tugas menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta mempersiapkan laporan berkala di bidang keamanan dan penegakkan tata tertib. c) Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam Lembaga Pemasyarakatan. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai fungsi sebagai berikut :
73
(1) Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana atau anak didik; (2) Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban; (3) Melakukan pengawalan, penerimaan, penempatan, dan pengeluaran narapidana atau anak didik; (4) Melakukan
pemeriksaan
terhadap
pelanggaran
keamanan; (5) Membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan pengamanan. Kesatuan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan dipimpin oleh seorang Kepala dan membawahkan petugas pengamanan Lembaga Pemasyarakatan. Kepala Kesatuan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Lembaga Pemasyarakat. d) Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Adapun struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap sebagai berikut:
74
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Sub. Bag Tata Usaha
Urusan Kepegawaian & Keuangan
KPLP
Seksi Binadik & Giatja
Sub Seksi Registrasi & Bim.Kemas
Sub Seksi Perawatan Napi / Anak Didik
Sub Seksi Kegiatan Kerja Petugas Pengamanan
Sumber : Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No. M.05.PR.07.03 Tahun 2003 Tanggal 16 April 2003.
Urusan Umum
Seksi Adm. Keamanan & Tata Tertib
Sub Seksi Keamanan
Sub Seksi Pelaporan & Tata Tertib
75
e) Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Lembaga Pemasyarakatan Cilacap dengan klasifikasi Klas IIB mempunyai tata kerja sebagai berikut : (1) Dalam
melaksanakan
tugasnya
Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan, Kepala Kesatuan Pengamanan, Kepala Seksi, dan kepala Sub Seksi baik dalam lingkungan masing-masing maupun antar LAPAS sesuai dengan tugas pokok masingmasing. (2) Setiap
pimpinan
satuan
organisasi
wajib
mengawasi
bawahannya masing-masing dan apabila terjadi penyimpangan agar mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Setiap
pimpinan
satuan
organisasi
bertanggung
jawab
memimpin dan mengkoordinasi bawahannya masing-masing dan memberikan bimbingan serta petunjuk-petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan. (4) Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk-petunjuk dan bertanggung jawab kepada atasan masing-masing dan menyampaikan laporan berkala tepat pada waktunya.
76
(5) Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan organisasi dari bawahan wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan untuk penyusunan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada bawahan. (6) Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan laporan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman. (7) Dalam menyampaikan laporan masing-masing kepala atasan, tembusan laporan wajib disampaikan pula kepada satuan organisasi lain yang secara fungsional mempunyai hubungan kerja. (8) Dalam melaksanakan tugasnya setiap pimpinan satuan organisasi dibantu oleh Kepala Satuan Organisasi di bawahnya dan dalam rangka pembinaan bimbingan kepada bawahan masing-masing wajib mengadakan rapat berkala. (9) Bimbingan Teknis Pemasyarakatan kepada LAPAS secara fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan (Keputusan Menteri
Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.01-PR.07.03 Tahun 1985).
77
f) Keadaan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Pelaksanaan pembinaan terhadap
narapidana
di dalam
Lembaga Pemasyarakatan, tidak hanya cukup dengan fasilitas-fasilitas fisik yang tersedia, namun ada faktor lain yang juga sangat berperan yaitu kualitas dan kuantitas pegawai. Diharapkan pegawai dapat selalu menjawab tantangan-tantangan dan masalah-masalah yang selalu muncul dan ada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan. Pada saat ini, isi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap per tanggal 14 Februari 2011 bejumlah 370 orang yang terdiri dari 183 orang tahanan dan 206 narapidana. Sementara jumlah petugas 57 orang yang terdiri atas 31 petugas pengamanan yang terdiri dari 1 orang kepala keamanan, 3 orang staff pengamanan, 4 regu pengamanan yang masing-masing regu berjumlah 6 orang dan 3 orang petugas wanita mengamankan blok wanita. Selanjutnya 26 orang petugas lainya bertugas di bagian administrasi ketata usahaan dan pembinaan.
Sedangkan
petugas
yang
menangani
pembinaan
kepribadian sejumlah 4 orang dan yang menangani pembinaan kemandirian sejumlah 1 orang petugas. Tabel-tabel di bawah ini akan menggambarkan secara jelas kondisi pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.
78
Tabel 1. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Berdasarkan Jenis Kelamin. No.
Jenis Kelamin
Jumlah (orang)
Persentase
1.
Laki-laki
36
63,2 %
2.
Perempuan
21
36,8 %
Jumlah
57
100 %
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16 Februari 2011. Dari hasil penelitian pada Tabel 1, Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap memiliki jumlah pegawai sebanyak 57 orang, dengan perincian berdasarkan jenis kelamin, yaitu 36 orang (63,2%) berjenis kelamin laki-laki dan 21 orang (36,8%) berjenis kelamin perempuan. Tabel 2. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Berdasarkan Jenjang Pendidikan Terakhir No.
Jenjang Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase
1.
Strata 2 (S2)
4
7,0 %
2.
Strata 1 (S1)
24
42,1 %
3.
Sarjana Muda (D III)
-
-
4.
SLTA
28
49,1 %
5.
SLTP
1
1,8 %
6.
SD
-
-
57
100 %
Jumlah
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16 Februari 2011.
79
Tabel 2 di atas menunjukkan tingkat pendidikan pegawai yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Dari 57 pegawai yang mempunyai pendidikan S2 sebanyak 4 orang (7%), S1 sebanyak 24 orang (42,1%) , sedangkan pegawai berpendidikan SLTA yaitu sejumlah 28 orang (49,1%) dan 1 orang (1,8%) yang berpendidikan SLTP. Tabel 3. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Berdasarkan Golongan NO
Golongan
Jumlah (orang)
Persentase
1.
Golongan I
-
-
2.
Golongan II
10
17,5 %
3.
Golongan III
46
80,7 %
4.
Golongan IV
1
1,8 %
Jumlah 57 100 % Sumber: Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16 Februari 2011. Tingkat pendidikan pegawai yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Cilacap otomatis menentukan golongan dan kepangkatan pegawai. Dari tabel di atas bisa diketahui bahwa golongan tertinggi adalah golongan IV berjumlah 1 orang pegawai (1,8%), pegawai yang memiliki golongan III terdiri dari 46 orang pegawai (80,7%) dan golongan terendah adalah golongan II yang terdiri dari 10 orang pegawai (17,5%).
80
Tabel 4. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Berdasarkan Usia No.
Usia
Jumlah (orang)
Persentase
1.
18-30 tahun
7
12,2%
2.
31-40 tahun
20
35,1%
3.
41-45 tahun
10
17,5%
4.
46-50 tahun
12
21,1%
5.
51-55 tahun
8
14,1%
Jumlah
57
100%
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16 Februari 2011. Dari tabel di atas bisa diketahui bahwa sebagian besar usia pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap berusia antara 31 tahun sampai 40 tahun dengan jumlah 20 orang pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap sebagian besar berusia produktif. Tabel 5. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Berdasarkan Masa Kerja No.
Masa Kerja
Jumlah (orang)
Persentase
1.
0-10 tahun
16
28,1%
2.
11-20 tahun
24
42,1%
3.
21-30 tahun
17
29,8%
Jumlah
57
100%
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16 Februari 2011.
81
Dari data yang diperoleh mengenai lamanya masa kerja pegawai Lembaga Pemasyarakatan Cilacap menunjukkan bahwa masa kerja pegawai yang masih baru sampai 10 tahun, hanya sebanyak 16 orang (28,1%), lebih sedikit jumlahnya di bandingkan dengan pegawai telah mempunyai masa kerja sekitar 11 sampai 20 tahun, sejumlah 24 orang (42,1%). Sedangkan yang paling lama masa kerjanya adalah 21 sampai 30 tahun, sejumlah 17 orang (28,9%). 5)
Keadaan Warga Binaan Pidana Pendek Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Dari sejumlah warga binaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, berikut adalah contoh data warga binaan yang menjalani masa pidana penjara pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap: Tabel 6. Daftar Warga Binaan Pidana Penjara Pendek B-IIa Bagian Ke I :Laki-laki No
1. 2.
3.
Nama MuhamadAbdu l Rozak bin Alm.Soekirman Akhir Kuat Darmawan bin Sanwikarto Gunandi bin Samrin Supriyadi
Tindak Pidana
Lama Pidana 3 Bulan
Potongan Tahanan 2 Bulan 22 Hari
Masa Menjalani Pidana penjara 8 Hari
Ps. 363 KUHP “Pencurian”
3 Bulan
2 Bulan 15 Hari
15 Hari
Ps. 335 KUHP “Perbuatan Tidak Menyenangkan”
3 Bulan
1 Bulan 6 Hari
1 Bulan 24 Hari
Ps. 363 KUHP “Pencurian”
82
4.
5. 6. 7.
Kuat Rahayu Ps. 303 KUHP 3 Bulan 2 Bulan 9 Hari bin “Perjudian” 21 Hari Sarkum Sasi Marsudi Ps. 303 KUHP 3 Bulan 2 Bulan 9 Hari bin Wiryamsya “Perjudian” 21 Hari Barkah bin Ps. 303 KUHP 3 Bulan 2 Bulan 9 Hari Moh. Soderi “Perjudian” 21 Hari Firman Ps. 363 KUHP 2 Bulan 2 Bulan Harsiono Budhy “Persaingan 29 Hari 29 Hari bin Yahuda curang” Budir Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16 Februari 2011. Bagian Ke II : Perempuan
No 1. 2. 3.
4. 5.
Nama
Tindak Pidana
Lama Pidana 3 Bulan 15 hari 4 Bulan
Potongan Tahanan 3 Bulan
Masa Menjalani Pidana penjara 15 Hari
Muslimah binti Ps. 372 KUHP Khaerudin “Penggelapan” Tia Novianti Ps. 303 KUHP 2 Bulan 1 Bulan 15 Hari binti Kosim “Perjudian” 15 Hari Kristina Setyo Ps. 303 KUHP 4 Bulan 2 Bulan 1 Bulan 15 Hari Astuti binti “Perjudian” 15 Hari Alm.Jarot Pujiati binti Ps. 378 KUHP 1 Tahun 2 Bulan 9 Bulan 25 Hari Alm.Simun “Penipuan” 5 Hari Endang Ps. 365 KUHP 4 Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Hari Yulianti binti “Pencurian” 27 Hari Kashim Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16 Februari 2011. Berdasarkan Tabel 6 tersebut dapat diketahui daftar responden warga binaan masa pidana pendek berjumlah 12 orang yang terdiri dari warga binaan laki-laki dan perempuan, dan pada saat penelitian dilakukan yang
83
bersangkutan masih berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Dari 12 orang responden, 6 orang warga binaan yang dipidana selama 3 (tiga) bulan setelah dipotong selama dalam tahanan sehingga sisa pidana yang harus dijalani selama 2 bulan, sedangkan sisanya 4 orang yang dipidana kurang dari 1 tahun apabila dipotong selama dalam tahanan maka sisa pidana yang harus dijalani antara 3 bulan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan dari 12 orang responden, 7 diantaranya adalah laki-laki dan 5 lainnya adalah wanita. Contoh tindak pidana yang dilakukan oleh warga binaan pidana pendek tersebut adalah tindak pidana ringan, antara lain : pencurian, penggelapan, perjudian dan persaingan curang. Dari seluruh responden masa lamanya menjalani pidana mempunyai tenggang waktu antar 3 sampai dengan 4 bulan, merupakan waktu yang amat pendek dalam rangka pembinaan, sedangkan waktu yang diperlukan dalam tahap pembinaan minimal dengan sisa pidana selama 1 tahun, sehingga tahapan pembinaan tidak dapat terpenuhi keseluruhan. b. Ketentuan Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 menegaskan bahwa pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan. Ketentuan tersebut menentukan sebagai berikut:
84
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 lebih lanjut memberikan pengaturan mengenai sistem pemasyarakatan, bahwa: Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina ,dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri , dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Tempat untuk melaksanakan pembinaan bagi narapidana disebut dengan Lembaga Pemasyarakatan, sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 sebagai berikut: Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Sistem pembinaan didasarkan pada asas-asas sebagaimana diatur dalam
Pasal
5
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan yang menentukan sebagai berikut: Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: a. Pengayoman; b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; c. Pendidikan; d. Pembimbingan; e. Penghormatan harkat dan martabat manusia; f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;dan
85
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Pembinaan dan pembimbingan warga
binaan pemasyarakatan
diselenggarakan oleh Menteri dan dalam implementasinya dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 yang menentukan sebagai berikut: (1)
(2)
Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan. Ketentuan mengenai pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Petugas
pemasyarakatan
merupakan
pejabat
fungsional
yang
melaksanakan tugas di bidang melaksanakan tugas di bidang pembinaan warga binaan pemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 yang menegaskan sebagai berikut: (1) Petugas Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. (2) Pejabat Fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di angkat dan diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 selanjutnya menegaskan sebagai berikut: (1) Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintahan terkait, badan-badan
86
kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. (2) Ketentuan mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai landasan dalam melaksanakan pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan khususnya masa pidana pendek berpedoman kepada : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 13, 14, 14a s.d f, 15, 16, 17, 19, 23, 24, 25, dan Pasal 29 yang antara lain pasalpasal tersebut merumuskan sebagai berikut : a) Pasal 14 : orang yang dijatuhi pidana penjara wajib menjalankan pekerjaan yang dijalankan kepadanya menurut aturan yang diadakan guna pelaksanaan Pasal 29. b) Pasal 19 ayat (1) : orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang diserahkan kepadanya, sesuai dengan aturan-aturan yang diadakan guna melaksanaan Pasal 29 ayat ( 2 ), ia diserahi pekerjaan yang lebih ringan dari pada orang-orang yang dijatuhi pidana. 2) Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terdapat pada Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan Pasal 15. 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan
dan
Pembimbingan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan. Pasal 7 ayat ( 1 ) pembinaan narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan, dalam ayat ( 2 ) tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) terdiri atas 3 tahap yaitu pembinaan tahap awal, pembinaan tahap lanjutan, dan pembinaan tahap akhir.
87
Konsideran Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan tentang hakikat warga binaan sebagai berikut:
Bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusia dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Selain itu dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 1999 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 3 menyatakan :
(1) Hubungan kerja sama pembinaan dilaksanakan berdasarkan program pembinaan untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. (2) Program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. kesadaran berbangsa dan bernegara; c. intelektual; d. sikap dan perilaku; e. kesehatan jasmani dan rohani; f. kesadaran hukum; g. reintegrasi sehat dengan masyarakat; h. keterampilan kerja; dan i. latihan kerja dan produksi. Dalam Simposium Pembaharuan Hukum pidana Nasional tahun 1980, dalam salah satu laporannya menyatakan: Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat negara, korban, dan pelaku. Atas dasar tujuan pemidanaan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat :
88
a. Kemanusiaan,
dalam
arti
bahwa
pemidanaan
tersebut
menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang; b. Edukatif di sini dalam arti bahwa pemidanaan yang diberikan mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatannya yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi
usaha penanggulangan
kejahatan; c. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.58 Kemudian dalam Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional59 tujuan pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1) Pemidanaan bertujuan: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Mensyaratkan warga binaan dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terbina; e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
58 59
Barda Nawawi Arief, 1994. Op.cit. hal. 82 Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999-2000, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor… Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
89
Pembinaan dapat dilakukan selama narapidana di dalam lembaga ataupun di luar lembaga, sesuai dengan ketentuan Keputusan Presiden No. 183 tahun 1968 dan Surat Edaran Dirjen. B. T. W. No. DDP. 2.2/10/5 tanggal 5 April 1970 jo. Surat Edaran Kepala Direktorat Pemasyarakatan No. KP. 10.13./3/1 tanggal 8 Februari 1965. Keputusan Presiden No. 183 tahun 1968 itu menentukan susunan Direktorat Pemasyarakatan dan Direktorat Bimbingan
Kemasyarakatan dan Pengentasan
Anak,
dengan tugas
menyelenggarakan pembinaan dan bimbingan. c. Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Lembaga Pemasyarakatan memiliki fungsi strategis sekaligus tempat paling potensial dalam mewujudkan tujuan pemidanaan dengan pembinaan, tetapi tanpa kesadaran akan tujuan pidana yang dijalankan oleh warga binaan itu sendiri, hal ini tidak akan terwujud. Pembinaan terhadap warga binaan masa pidana pendek yang telah dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap antara lain meliputi : 1) Pembinaan kemandirian dan ketrampilan : Pertukangan kayu/mebelair, menjahit, merajut, peternakan ayam,
budidaya
ikan
lele,
pembuatan
perbengkelan, dan pembuatan keset.
paving
blok,
90
2) Pembinaan Rohani: Wajib melaksanakan sholat 5 (lima) waktu, pengajian, tadarusan dan tahlilan bersama bagi warga binaan yang Muslim, dan kebaktian bagi yang Nasrani. Serta program tambahan nonton bareng film religi 2 (dua) kali dalam sebulan. 3) Pembinaan Pendidikan: Pelatihan pendidikan Bahasa Inggris setiap minggu dan baca tulis bagi yang buta aksara. 4) Pembinaan Olah raga: Senam pagi yang rutin dilaksanakan setiap pagi, ada pula olah raga futsal, bola voli, dan bulutangkis. Adapun contoh jadwal kegiatan pembinaan bagi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Cilacap adalah sebagai berikut :
91
No.
Waktu
Jenis Kegiatan
Pengawas
1.
Pukul 07.00 s/d 08.00
- Senam Pagi & Olah raga (Bola Voli dan Futsal).
-
2.
Pukul 08.00 s/d 08.30
- Mandi & Makan Pagi
-
3.
Pukul 09.00 s/d 11.30
- Pengajian / Penyuluhan Agama Islam - Kebaktian bagi umat Nasrani - Pelatihan Ketrampilan - Pelatihan Bengkel Kerja - Pelatihan B.Inggris
-
-
Kasubsi. Registrasi & Bim. Kemas. Kasubsi. Perawatan Kasubsi. Registrasi & Bim. Kemas Kasubsi. Kegiatan Kerja
Kasubsi. Registrasi & Bim. Kemas. 5. Pukul 12.30 - Makan Siang & Istirahat - Kasubsi. Perawatan Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap Juli 2012 4.
Pukul 11.30 s/d 12.30
- Sholat Berjamaah
-
Kegiatan-kegiatan pembinaan tersebut di maksudkan untuk pemberian bekal setelah bebas, terutama bekal untuk memperdalam iman dan takwa para warga binaan agar lebih religius dan selalu mengingat Tuhan, sehingga di harapkan tidak mengulangi pebuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat pada umumnya. Selain itu walaupun kegiatan sifatnya hanya sangat sederhana, namun diharapkan warga binaan tersebut memperoleh ketrampilan yang sebelumnya tidak didapat di luar Lembaga Pemasyarakatan.
92
2. Data Primer a. Pelaksanaan Pembinaan Warga Binaan Pidana Pendek Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan melalui wawancara dengan Kadiyono, Bc.IP,S.IP,M.S.i selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dan warga binaan mengenai pelaksanaan pembinaan warga binaan pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap di dapatkan hasil penelitian yang antara lain menunjukkan bahwa petugas telah memberikan program kegiatan yang diharapkan sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Yaitu untuk membina warga binaan agar menjadi manusia yang lebih baik lagi bagi Tuhannya dan masyarakat. Kadiyono, Bc.IP,S.IP,M.S.i selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap yang antara lain menyatakan sebagai berikut: “ Saya melihat pembinaan bagi mereka yang tujuannya baik sebagaimana di amanatkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada, tidaklah terlalu efektif mengingat terbatasnya waktu sehigga rasa-rasanya tujuan pembinaan itu terkesan untuk sekedar pengisi waktu agar mereka tidak menganggur. Karena kalau menganggur memang rawan terjadi masalah, terutama menimbulkan keributan. Yah…kalau mau jujur saya boleh mengatakan bahwa pembinaan terhadap warga binaan pidana penjara pendek membawa manfaat baik atau tidaknya semua itu kembali pada individu warga binaan itu sendiri…mereka tidak akan dapat berubah sikap mentalnya hanya dengan pembinaan sebentar dan seringan itu. Artinya kita tidak boleh berharap banyak atas hasil pembinaan itu. Di samping itu ada sisi negatifnya juga yang mungkin dapat terjadi yakni tertularnya mereka dengan kebiasaan-kebiasaan buruk para warga binaan dengan pidana penjara panjang. Kita sebagai petugas Lembaga Pemasyarakatan hanya berusaha semaksimal mungkin memberikan pembinaan yang diharapkan membawa efek baik terhadap semua warga binaan tanpa terkecuali. Yang saya amati
93
selama masa pembinaan sebenarnya para warga binaan tersebut dapat mengikuti semua kegiatan pembinaan yang diberikan dengan baik. Itu semua terlihat dari teraturnya para warga binaan dalam menjalankan ibadah mereka masing-masing tanpa harus selalu diperintah oleh para petugas Lapas. Mungkin itu salah satu efek positif yang kecil dalam pembinaan,memang kita tidak dapat menjamin saat warga binaan tersebut telah habis masa pidananya dan keluar dari Lapas tidak akan melakukan kejahatan kembali’’. 60 Hal senada juga dinyatakan oleh Tia Novianti, salah satu warga binaan wanita yang menjalani pidana pendek, menyatakan : “ Kegiatan pembinaan yang telah diberikan oleh pihak lembaga memang positif,dapat merubah sikap para napi yang tadinya terlihat jahat bisa menjadi lebih baik. Seperti contohnya saya jadi semakin rajin menjalankan sholat 5 waktu dan bisa merajut sejak disini. Saat di ajarkan merajut saya senang melakukanya,tapi sayangnya biasanya ada napi yang belum bisa merajut,sebelum pelajaran merajut selesai di ajarkan napinya sudah keburu keluar penjara. Jadi menurut saya belajarnya cuma setengah-setengah,kan sayang tuh. Selain itu yang bisa terlihat perubahannya karena binaan di Lapas hanya napi yang memang sudah lama di penjara. Memang buat saya yang menganggap masa pidana saya yang sebentar ini cuma sebagai teguran dari Tuhan agar saya beristirahat dari semua urusan duniawi di luar sana. Jadi saya cukup menikmati semua kegiatan pembinaan yang di berikan di Lapas ini,saya jadi lebih merasa dekat dengan Tuhan dan sedikit belajar disiplin.”61 Dikemukakan pula oleh Akhir Kuat Darmawan salah satu warga binaan pidana pendek, menyatakan sebagai berikut : “ Pemberian pembinaan kepada kami yang sebenarnya hanya sebentar di penjara cukup bagus, karena saya saat belum di penjara belum pernah melakukan beberapa kegiatan yang 60 61
Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan 11 Juli 2012. Wawancara dengan warga binaan Tia Novianti binti Kosim, tanggal 12 Juli 2012.
94
dijarkan kaya di Lapas ini. Contoh kegiatan yang ada antara lain: membuat sangkar burung, belajar ngaji dan bahasa Inggris,membuat keset, dan sebagai kuli / pembantu pembuatan paving blok.’’62 Selain itu juga dikemukakan oleh Drs. Tavipiadi Sukmo Wibowo selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha sebagai berikut : ‘’ Kami telah memberikan pembinaan kepada Warga binaan masa pidana pendek semaksimal mungkin,seperti memberikan pendalaman iman dengan kegiatan-kegiatan religi, seperi menonton film religi 2 (dua) kali dalam sebulan, manganjurkan para warga binaan mengikuti Tadarusan dan Tahlilan selama 40 malam penuh yang telah dilakukan beberapa bulan terakhir. Dimana seluruh kegiatan tersebut telah menghabiskan uang negara dikarenakan tidak dapat menghasilkan pendapatan yang disetorkan kepada negara kaitannya dengan kegiatan kerja selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, namun kami tetap berharap kegiatan tersebut membawa dampak yang lebih baik lagi bagi keadaan psikis warga binaan’’.63 Sedangkan kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, berdasarkan hasil wawancara dengan Basuki Raharjo A.Md.IP, selaku Kepala Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik di dapat data sebagai berikut:64 1. Pembinaan Akhlak dan Mental Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Pembinaan yang dilakukan sendiri oleh WBP yaitu pesantren khusus model Lapas. Yang menjadi penceramah/guru ngaji berasal dari WBP yang mempunyai kemampuan Agama lebih, dan tetap diawasi pelaksanaannya oleh Petugas Lapas. Dimana hal tersebut terbukti dari adanya kegiatan Tadarusan dan Tahlilan selama 40 malam oleh para warga binaan yang muslim. 62
Wawancara dengan warga binaan Akhir Kuat Darmawan 12 Juli 2012. Wawancara dengan Drs. Tavipiadi Sukmo Wibowo Kasubag. Tata Usaha tanggal 11 Juli 2012. 64 Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 11 Juli 2012. 63
95
Ceramah dari luar Lapas, seperti dari Depag Kab.Cilacap, dan lain sebagainya dilaksanakan 2 x dalam seminggu. Untuk warga binaan yang beragama Nasrani juga diadakan kebaktian di dalam Lapas 2 x dalam seminggu. 2. Bengkel Kerja WBP dibina dan di beri ketrampilan di dalam Lapas sebagai bekal agar pada saat bebas nanti sudah dapat mandiri, seperti kegiatan pertukangan kayu, pembuatan paving blok, pembuatan sangkar burung , budidaya ikan lele, penjahitan dan pembuatan kerajinan merajut bagi warga binaan perempuan. Selain itu adanya program terbaru yang yang di berikan adalah adanya pelatihan bahasa asing, yaitu bahasa Inggris 2(dua) kali dalam 1 minggu. 3. Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan didalam Lapas sudah cukup baik, ini dibuktikan dengan tingkat kematian WBP di Lapas yang sangat rendah, yaitu mencapai 0%. Untuk pelayanan kesehatan belum ada komplain dari masyarakat luar maupun WBP sendiri.
b. Faktor-faktor Penghambat Pembinaan Warga Binaan Pidana Pendek Pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap memang sudah berdasarkan peraturan undang-undang yang ada, namun ternyata beberapa kegiatan tersebut di atas cenderung kurang efektif bagi warga binaan pidana pendek, karena terdapat beberapa faktor-faktor yang menghambat kegiatan pembinaan. Salah satu hambatan utamanya yaitu, sempitnya atau singkatnya waktu yang tersedia, di mana para warga binaan tidak dapat mengikut tahapan pembinaan sesuai dengan peraturan undang-
96
undang
yang
berlaku
tentang
pembinaan
narapidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Di samping itu ada faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan tidak dapat mencapai efektifnya tujuan pidana. Hal tersebut dapat terlihat dalam pendapat responden sebagai berikut ini: Berdasarkan pendapat Basuki Raharjo A.Md.IP, selaku Kepala Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik menyatakan sebagai berikut : “ Pembinaan terhadap warga binaan masa pidana pendek sulit untuk dilaksanakan sesuai dengan program pembinaan yang ada khusus terhadap warga binaan masa pidana pendek karena mereka hanya mengikuti beberapa tahapan saja, misalnya : Admisi Orientasi, Maksimum Sekuriti, Medium Sekuriti dan Minimum Sekuriti tidak melewati tahap Asimilasi. 65 Hal senada dikemukakan oleh Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi selaku Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan yang menganggap terbatasnya waktu pidana penjara juga salah satu faktor yang menghambat pembinaan, yang dinyatakan sebagai berikut : “ Untuk penempatan warga binaan masa pidana pendek kurang efektif, mereka hanya menempati kamar / blok tahanan dan blok admisi orientasi dan sebagian kecil ditempatkan di blok warga binaan karena pendeknya pidana atau singkatnya waktu pidana penjara yang dijatuhkan terhadap mereka, sehingga singkat pula waktu pembinaan yang mereka terima.66 Selain kedua faktor tersebut adapun faktor dari diri warga binaan itu sendiri juga sangat berpengaruh bagi tercapainya efektivitas pembinaan.
65
Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 11 Juli 2012. Wawancara dengan Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan tanggal 12Juli 2012. 66
97
Pendapat tersebut dikemukakan oleh warga binaan Muhamad Abdul Rozak adalah sebagai berikut: “ Pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dirasakan kurang ada manfaatnya karena pidana yang saya terima hanya 3 bulan, dan setelah dipotong masa tahanan sisa masa pidana penjara saya hanya 8 hari,jadi ya agak malas mengikuti kegiatan yang ada pada awalnya, namun saat sudah mulai terbiasa dengan semua kegiatan pembinaan,ternyata masa pidana saya sudah selesai,jadi saya hanya bisa dapat manfaatnya sedikit saja”. 67 Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa responden menganggap masa pidana pendek itu tidak begitu membawa pengaruh bagi dirinya, hanya sedikit saja mendapatkan manfaatnya selama masa pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pendapat lebih lanjut dinyatakan oleh Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi sebagai adalah sebagai berikut : “Warga binaan masa pidana pendek biasanya ada yang malasmalasan menerima pengarahan dari petugas karena mereka tahu hukuman bagi mereka hanya paling lama 4 Bulan selain itu struktur bangunan lembaga pemasyarakatan tidak memadai jika akan mengikuti prosedur pembinaan yang benar-benar memenuhi mutu standar,berbeda dengan narapidana yang telah lama menjalani pidana penjara”.68 Begitu juga pendapat yang dikemukakan oleh warga binaan Kristina Setyo Astuti sebagai berikut :
67
Wawancara dengan Muhamad Abdul Rozak warga binaan Lapas Cilacap tanggal 11 Juli 2012. Wawancara dengan Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan tanggal 12 Juli 2012. 68
98
“ Pidana yang dijalankan oleh saya hanya 4 bulan, bagaimana saya dapat melaksanakan pembinaan karena setelah putusan hakim saya hanya menjalani sisa pidana beberapa hari saja, ibaratnya begitu tidur bangun langsung bebas. Padahal sebenarnya kegiatan yang diajarkan cukup bagus bagi warga binaan dan bermanfaat untuk kedepannya,namun karena singkatnya waktu pembinaan jadi belum maksimal efeknya,jadi menurut saya dampak dari pembinaan pidana penjara pendek itu baik buruknya tergantung dari orangnya masing-masing dalam menerima hasil pembinaan selama di Lapas. 69 Selain faktor warga binaan, tampaknya faktor petugas juga turut andil sebagai faktor penghambat pembinaan dengan pidana pendek sebagaimana dipaparkan oleh Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan berikut ini : “Petugas merupakan tenaga yang mengkoordinir kegiatan pembinaan, jika petugasnya kurang memiliki pendidikan tekhnis dan pendidikan khusus maka program kegiatan pembinaan tidak akan berjalan dengan baik. Disamping itu profesionalisme (kualitas ketrampilan / keahlian) petugas yang kurang juga dapat menghambat proses pembinan, karena petugas tidak dapat membina dan teladan kepada warga binaan tentang program pembinaan yang dijalankan, khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap petugasnya sangat kurang sehingga menyebabkan program pembinaan tidak berjalan dengan lancar’’.70
Responden lain Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja menyatakan sebagai berikut : “Kurangnya peran serta Pemerintah Daerah terhadap perkembangan pembinaan warga binaan di Lapas, serta belum 69
Wawancara dengan Kristina Setyo Astuti wargabinaan Lapas Cilacap tanggal 12 Juli 2012. Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11Juli 2012. 70
99
adanya landasan hukum yang pasti sehingga menimbulkan tidak adanya pedoman tugas yang pasti dalam melaksanakan program pembinaan dalam program pembinaan itu sendiri. Pada saat ini dasar hukum pembinaan jangka pendek mengacu pada ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1999 yang peraturan tersebut pada dasarnya ditujukan untuk pelaksanaan pembinaan secara umum, sedangkan untuk warga binaan masa pidana pendek seharusnya dibuatkan dasar dan pola khusus sehingga dapat dipenuhinya tahap-tahap pembinaan’’.71 Kemudian faktor hambatan yang lain adalah kurangnya prasarana berupa bangunan yang khusus diperuntukkan bagi narapidana masa pidana pendek. Hal ini tampak dari pernyataan responden Tutut Jemi S, Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan sebagai berikut : “Belum adanya bangunan Lembaga Pemasyarakatan khusus bagi warga binaan masa pidana pendek menurut saya termasuk sebagai faktor kendala, karena program pembinaan tersebut memerlukan bangunan khusus agar dapat berjalan dengan baik dan terpusat. Di samping itu penempatan penghuni yang masih campur antara warga binaan yang menjalani program yang satu dengan yang lainnya akan mengakibatkan pelaksanaan program pembinaan tidak berjalan dengan optimal.72 Pernyataan tersebut menyatakan bahwa seharusnya kamar atau blok narapida pendek memang seharusnya di pisahkan agar dapat dilakukan kegiatan pembinaan yang lebih fokus lagi kepada para narapida masa pidana pendek.
71
Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 12 Juli 2012. Wawancara dengan Tutut Jemi S, Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan tanggal 12 Juli 2012. 72
100
Faktor lain juga ditemukan yakni sikap keluarga warga binaan yang kurang mendukung upaya program pembinaan yang dilakukan oleh pihak lembaga. Hal ini tampak dari penuturan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan berikut ini : “Banyak keluarga warga binaan yang bersikap acuh terhadap anggota keluarganya yang telah menjadi warga binaan karena mereka telah dianggap berbuat jahat dan memalukan nama baik keluarga serta biasanya keluarga dari warga binaan tidak mau menerima kembali karena sudah dianggap sampah masyarakat, karena itulah narapidana masa pidana pendek yang sensitive akan dapat berdampak pada psikisnya dengan perlakuan orang sekitarnya,namun bagi narapidana yang tidak sensitive menganggap pidana penjara pendek hanya sebagai hukuman singkat dan koreksi atas pelanggaran yang mereka lakukan”.73 Masih di luar faktor lembaga sebagai kendala, tampaknya instansi di luar lembaga yang seharusnya dapat bekerja sama ternyata tidak serius dalam bekerja sama. Hal ini tampak dalam paparan berikut yang berasal dari Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan : “Masih banyak instansi-instansi pemerintah dan swasta (Departemen Agama, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Kesehatan, dan Pemerintah Daerah itu sendiri) masih kurang memberikan perhatian atau belum menunjukan keseriusan dalam membantu proses pembinaan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dikarenakan mereka lebih menginginkan suatu keuntungan atau mendapat timbal balik dari mereka. 74
73
Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11 Juli 2012. 74 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11 Juli 2012.
101
B. Pembahasan
Sistem Pemasyarakatan yang dikenal sekarang ini merupakan suatu proses pembinaan warga binaan yang didasarkan Asas Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia dan memandang warga binaan sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat. Bertolak dari upaya membela dan mempertahankan “Hak Asasi Manusia” pada suatu negara hukum (si pelanggar hukum juga harus mendapat perlindungan hukum), maka oleh Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 telah dikemukakan suatu gagasan “Sistem Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara. Tujuan pembinaan yaitu pemasyarakatan, untuk memperbaiki perlakuan terhadap warga binaan yang dikenal dengan sebutan Standart Minimum Rules for Treathment of Prisoners (SMR) yang dipergunakan sebagai pedoman perlakuan terhadap warga binaan.
Konkritnya, Sistem Peradilan Pidana dapat dikaji melalui perdekatan dimensi hukum, sosiologi , ekonomi dan manajemen sebgaimana asumsi dan deskripsi Satjipto Raharjo bahwasanya:
Ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hukum seperti sistem peradilan pidana (criminal justice system), yaitu dengan pendekatan hukum dan dengan pendekatan yang lebih luas , seperti sosiologi , ekonomi dan manajemen. Dari segi professional ,SPP lazim dibicarakan sebagai suatu lembaga hukum yang berdiri sendiri. Dari sini kita memberikan perhatian terhadap asas , doktrin dan perundang-
102
undangan yang mengatur Sistem Peradilan Pidana tersebut. Dalam ilmu hukum, pendekatan seperti itu disebut positivis-analitis. 75 Tujuan aliran pemidanaan yang memperhatikan aspek perbuatan dan aspek manusia dapat digolongkan pada teori utilitarian reform yang meliputi aspek-aspek perlindungan terhadap masyarakat (protection of the public), pencegahan
kejahatan
(prevention
of
crime),
dan
sekaligus
usaha
memperbaiki manusia pelanggaran hukum (reform of the offender). Sedangkan untuk mengukur efektivitasnya harus dilihat seberapa jauh sistem hukum itu dapat mewujudkan atau mencapai tujuan-tujuannya.76 1.
Efektivitas Pelaksanaan Pembinaan Warga Binaan Masa Pidana Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap sudah berjalan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti di atur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995 dalam Pasal 5, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, terjaminnya hak untuk dapat tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu. 75
Satjipto Raharjo. 1998. Sistem Peradilan Dalam Wacana Kontrol Sosial. Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi. Vol.I/Nomor I/1998. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.97. 76 Muladi & Barda Nawawi Arief , Pidana dan Pemidanaan, Badan Penyedia Bahan Kuliah Bahan Kuliah Fakultas Hukum Undip Semarang, 1983.
103
Hanya saja dampak dari pembinaan yang telah di jalankan oleh para petugas tampaknya belum mencapai efektifitasnya atau tujuan-tujuan dari pembinaan warga binaan pidana pendek. Apalagi untuk mencapai tujuan dari pemidanaan bagi warga binaan pidana pendek, yaitu salah satunya dampak memberikan efek jera atau tidak akan mengulangi perbuatan yang telah di lakukannya, sehingga pelaku pelanggaran tindak pidana atau narapidana akan memperbaiki diri dengan sendirinya. Pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek tidak dapat terlaksana secara efektif tanpa melalui proses pembinaan dilihat dari 4 (empat) pentahapan yang telah ditentukan sebagai berikut 77 : Tahap pertama, Terhadap setiap warga binaan yang masuk lembaga pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala ikhwal perihal dirinya, termasuk: sebab-sebabnya ia melakukan pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang menangani perkaranya. Tahap kedua, Jika proses pembinaan terhadap warga binaan yang bersangkutan telah berlangsung selama 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh 77
Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Pebruari 1965 tentang "Pemasyarakatan sebagai Proses" dinyatakan bahwa pembinaan warga binaan dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap, yang merupakan suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu.
104
pada peraturan tata-tertib yang berlaku di lembaga, maka kepada warga binaan yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada Lapas yang medium security. Tahap ketiga, Jika proses pembinaan terhadap warga binaan telah dijalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik ataupun
mental
dan
juga
segi
ketrampilan,
maka
wadah
proses
pembinaannnya diperluas dengan diperbolehkannya mengadakan assimilasi dengan masyarakat luar, antara lain: ikut beribadah dengan masyarakat luar; mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum, bekerja di luar, akan tetapi dalam pelaksanaanya tetap masih berada di bawah pengawasan dan bimbingan petugas lembaga. Tahap keempat, Jika proses pembinaannya telah dijalani 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka kepada warga binaan yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat dan pengusulan lepas bersyarat ini ditetapkan oleh Tim Pembina Pemasyarakatan. Efektivitas pidana penjara itu sendiri dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan pelaku. Yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana, dan memulihkan keseimbangan masyarakat, antara lain menyelesaikan konflik,
mendatangkan rasa
aman,
memperbaiki
kerugian/kerusakan,
105
menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenangan di luar hukum. 78 Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.79 Pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dimulai sejak yang bersangkutan ditahan rumah tahanan negara (Rutan) sebagai tersangka atau terdakwa untuk kepentingan penyelidikan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dan akhirnya hingga di bina dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan rohani maupun jasmani. Untuk mereka yang telah divonis hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang kemudian disebut narapidana, penempatannya di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Terhadap narapidana, diberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan
78
Priyatno Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama. Hal. 82-83. 79 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
106
kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani Warga Binaan Pemasyarakatan
yang
dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu: kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perancanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian. Waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam lapas dan pengawasannya maksimum (maximum security). Kegiatan lanjutan dari program pembinaan kepribadian dan kemandirian sampai dengan penentuan perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi yang pelaksanaannya terdiri atas dua bagian. Kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya masa pidana dari napi yang bersangkutan. Menyadari bahwa pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan kegiatan interaktif antara komponen narapidana, petugas dan masyarakat, maka peran serta masyarakat merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan. Tanpa peran serta masyarakat dalam pembinaan, tujuan sistem pemasyarakatan melalui upaya reintegrasi Warga Binaan Pemasyarakatan tidak akan tercapai bagaimanapun baiknya kualitas program-program pembinaan yang diterapkan. Dalam rangka memperkaya pola pembinaan, sepatutnya petugas Lembaga Pemasyarakatan harus dibekali pengetahuan yang berhubungan
107
dengan instrumen-instrumen hukum yang memiliki keterkaitan dengan kebutuhan pola pembinaan dan sifat jenis tindak pidana yang dilakukan oleh warga binaan pemasyarakatan, sehingga semua program kegiatan pembinaan yang diberikan kepada para narapidana yang menjalani masa pidana penjara pendek atau singkat akan mencapai tujuan pemidanaannya. Dewan Pembinaan Pemasyarakatan (D.P.P) memegang peranan utama untuk diserahi tugas melakukan pembinaan. Pembinaan dapat dilakukan selama narapidana di dalam lembaga ataupun di luar lembaga, sesuai dengan ketentuan Keputusan Presiden No. 183 tahun 1968 dan Surat Edaran Dirjen. B. T. W. No. DDP. 2.2/10/5 tanggal 5 April 1970 jo. Surat Edaran Kepala Direktorat Pemasyarakatan No. KP. 10.13./3/1 tanggal 8 Februari 1965. Keputusan Presiden No. 183 tahun 1968 itu menentukan susunan Direktorat Pemasyarakatan dan Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, dengan tugas menyelenggarakan pembinaan dan bimbingan. Sejak
berlakunya
Keputusan
Presiden
tersebut,
mulailah
pemasyarakatan bertugas ganda yang tidak dapat dibatasi dan dibedakan secara terpisah antara tugas pembinaan dan tugas bimbingan. Pembinaan didalam lembaga adalah sebagian tugas sistem pemasyarakatan sesudah dikurangi
oleh
pembinaan
diluar
lembaga,
namun
dalam
praktek
108
pelaksanaanya pembagian tugas yang demikian itu masih dijalankan bersama karena pertimbangan tenaga dan fasilitas kurang. 80 Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari wawancara dengan beberapa responden yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dapat diperoleh keterangan bahwa dengan tidak terimplementasinya 10 prinsip pemasyarakatan dan juga tidak tuntasnya pentahapan pembinaan yang ada maka tujuan pemidanaan dari pembinaan warga binaan dengan masa pidana pendek cenderung tidak tercapai dengan kata lain pembinaan yang dilakukan menjadi tidak efektif. 81 Hal itu terlihat dari beberapa pendapat responden, salah satunya responden dari Petugas Lapas yang bernama Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan
bahwa
para
petugas
Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, telah melaksanakan program pembinaan yang diberikan terhadap warga binaan pidana pendek sudah sesuai dengan peraturan undang-undang yang ada, hanya saja efektivitas pembinaan tersebut belum tercapai sesuai tujuan pemidanaan untuk memberikan efek jera kepada warga binaan setelah menyelesaikan masa pidananya. 82 Beberapa warga
80
Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty. Hal. 188-190. 81 Efektivitas pidana sering dikaitkan dengan tujuan atau hasil yang ingin dicapai. Jadi sama halnya dengan menetapkan efektivitas sistem hukum pada umumnya.(Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, hal.96. ) 82 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11 Juli 2012.
109
binaan pidana pendek seperti Tia Novianti
83
dan Akhir Kuat Darmawan84
juga berpendapat bahwa kegiatan yang mereka terima selama masa pembinaan pidana mereka yang singkat cukup bagus, karena mereka mendapat beberapa ketrampilan yang sebelumnya belum pernah mereka dapatkan sebelum di pidana,walaupun sebelum mereka benar-benar merasakan manfaat sepenuhnya dari semua kegiatan yang telah diberikan oleh petugas. Beberapa contoh kegiatan tersebut yaitu seperti diajarkan berbagai macam ketrampilan seperti pembuatan paving blok, budidaya ikan lele, peternakan ayam, menjahit, dan merajut bagi warga binaan wanita. Pendapat tersebut juga didukung oleh pendapat Drs.Tavipiadi Sukmo Wibowo85 selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan bahwa para petugas telah memberikan pembinaan secara maksimal, terutama dalam pembinaan rohani seperti program kegiatan mengaji,tadarusan dan tahlilan, bagi warga binaan yang beragama muslim dan kebaktian bagi warga binaan yang beragama nasrani, serta menonton bersama film religi. Semua kegiatan tersebut diharapkan agar para warga binaan terutama warga binaan pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dapat menjadi manusia yang lebih baik lagi dan tidak mengulangi kesalahannya setelah mendapatkan pembinaan serta dapat diterima kembali dalam masyarakat sebagai pribadi yang lebih baik lagi. 83
Wawancara dengan warga binaan Tia Novianti binti Kosim, tanggal 12 Juli 2012. Wawancara dengan warga binaan Akhir Kuat Darmawan 12 Juli 2012. 85 Wawancara dengan Drs. Tavipiadi Sukmo Wibowo Kasubag. Tata Usaha tanggal 11 Juli 2012 84
110
Adapun 10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan merumuskan sebagai berikut : 1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik, berguna dalam masyarakat, yakni masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup tidak hanya finansiil dan materiil tetapi yang penting adalah mental, fisik, keahlian, ketrampilan, hingga diri orang mempunyai kemampuan dan kemauan yang potensiil dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum lagi, dan berguna bagi pembangunan negara. 2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Terhadap warga binaan tidak boleh ada penyiksaan, baik berupa ucapan, tindakan, cara perawatan maupun penempatan. Satusatunya derita hanya dihilangkan kemerdekaannya. 3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Kepada warga binaan harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Warga binaan dapat
diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk
menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.
111
4. Negara tidak berhak membuat seseorang menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari sebelumnya. Karena itu harus diadakan pemisahan antara : a) Yang residivis dan yang bukan; b) Yang telah melakukan tindak pidana berat dan ringan; c) Macam tindak pidana yang diperbuat . 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, warga binaan harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari padanya.
Menurut
paham lama, pada waktu mereka
menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan pengasingan
dari
pemasyarakatan
masyarakat.
mereka
tidak
Kini
menurut
sistem
boleh
diasingkan
dari
masyarakat dalam arti kultural. Secara bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan
dalam
Pemasyarakatan community
ini
centered
interdisiplinair
proses
pemasyarakatan.
didasarkan dan
approach
masyarakat dan warga binaan.
pada
berdasarkan antara
Sistem
pembinaan
yang
aktivitas
dan
unsur-unsur
pegawai,
112
6. Pekerjaan yang diberikan kepada warga binaan tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau negara sewaktu saja. Pekerjaan harus sesuai dengan pekerjaan di masyarakat yang ditujukan kepada pembangunan
nasional, karenanya harus ada integrasi
pekerjaan warga binaan dengan pembangunan nasional. 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. Dalam pendidikan dan bimbingan harus berisikan asas-asas yang tercantum dalam Pancasila. Kepada warga binaan harus diberikan pendidikan agama, serta diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong royongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, rasa persatuan, rasa kebangsawanan Indonesia, jiwa bermusyawarah untuk bermufakat yang positif. Warga binaan harus diikut sertakan dalam kegiatan
demi kepentingan-kepentingan
bersama dan umum. 8. Tiap manusia harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat. Tidak boleh selalu ditunjukkan pada warga binaan bahwa ia itu adalah penjahat. Ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Sehubungan dengan itu, petugas pemasyarakatan tidak boleh
113
bersikap maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung perasaan. 9. Warga binaan tidak hanya dijatuhi pidana namun mendapat mata
pencaharian
untuk
keluarganya
dengan
jalan
menyediakan pekerjaan dengan upah. Bagi pemuda dan anakanak disediakan lembaga-lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun
diberi
kesempatan
kemungkinan
mendapatkan
pendidikan di luar lembaga. 10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang
sesuai
dengan
kebutuhan
pelaksanaan
program
pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada di tengah-tengah kota ke tempat-tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan. Sebaiknya juga ada bangunan khusus sehingga dapat diadakan pemisahan antara warga binaan-warga binaan. 86 Sepuluh prinsip bimbingan dan pembinaan tersebut apabila ditinjauan dari kerangka teoritis akan menjadi tiga pokok pikiran pemasyarakatan , yaitu sebagai suatu tujuan, sistem proses, dan metode untuk pelaksanaan pidana penjara di Indonesia. Konsepsi pemasyarakatan pada tingkat permulaan merupakan tujuan dari pidana penjara. Pemasyarakatan sebagai tujuan
86
R. Achmad S Soemadi Pradja, et. Al., 1979, “Sistem Pemasyarakat an di Indonesia “, Badan Pembinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta, Jakarta, hal. 19.
114
menurut teori pembinaan dalam hal menjatuhkan pidana hilang kemerdekaan tidak terlepas dari prinsip pengimbalan atas perbuatan melanggar hukum pidana, namun tetap diperlakukan sebagai manusia sekalipun ia telah tersesat, sehingga sesuai dengan prinsip ajaran hukum pidana aliran klasik dan aliran modern. Selain tidak efektif, berdasarkan data tersebut di atas tampak pula bahwa pidana penjara pendek menimbulkan implikasi negatif bagi si warga binaan. Sisi negatifnya antara lain tampak bahwa para eks warga binaan dengan masa pidana pendek juga tetap mendapat penilaian yang buruk di mata masyarakat setelah lepas atau selesai menjalani masa pidananya. Di sisi lain berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa sisi negatif yang muncul adalah penularan perilaku buruk dari para warga binaan (antar warga binaan) termasuk mereka warga binaan yang menjalani masa pidana pendek. Selama masa pembinaan di dalam lembaga dan pembinaan di masyarakat kepada setiap narapidana yang mengalami pidana lebih dari 3 (tiga) bulan dapat diberikan dorongan berupa upaya remisi untuk memperpendek masa pidana , apabila telah menunjukan prestasi dengan berbuat dan berkelakuan yang baik atau turut mengambil bagian berbakti terhadap negara. Tujuan pemidanaan walau saat ini tidak dirumuskan dalam ketentuan normatif, namun terdapat tolak ukur dan dasar pembenaran dalam membahas pidana penjara yang bersifat teoritis, khususnya dilihat dari sudut politik kriminal. Tujuan politik kriminal selama ini adalah “perlindungan masyarakat
115
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Hal ini juga tampak pada konsepsi hasil Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 dalam kesimpulannya menyatakan : Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sasaran untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.87 Demikian dalam Simposium Pembaharuan Hukum pidana Nasional tahun 1980, dalam salah satu laporannya menyatakan: 1) Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat negara, korban, dan pelaku. 2) Atas dasar tujuan pemidanaan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat : a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang; b. Edukatif di sini dalam arti bahwa pemidanaan yang diberikan mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatannya yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan; c. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.88
87 88
Keputusan Seminar Kriminologi ketiga, 26 dan 27 Oktober 1976, hal. 4. Barda Nawawi Arief, 1994. Op.cit. hal. 82
116
Kemudian dalam RUU KUHP Nasional89 tujuan pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1)
Pemidanaan
bertujuan: a. Mencegah dilakuannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Mensyaratkan warga binaan dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terbina; e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Berdasarkan paparan tersebut maka tampak bahwa salah satu tujuan pemidanaan, adalah untuk memperbaiki si pelaku. Berbagai istilah sering digunakan untuk menyatakan tujuan ini, antara lain : rehabilitasi, reformasi, treament
of
offenders,
re-edukasi,
re-adaptasi
sosial,
re-sosialisasi,
pemasyarakat, pembebasan.90 Sedangkan penjara saat ini tidak lagi hanya dimaksudkan sebagai bentuk hukuman badan, tetapi metode yang digunakan untuk bekerja pada pikiran seseorang serta tubuhnya, melalui 3 area yang berbeda yang meliputi: Hukuman, Pencegahan, dan Rehabilitasi. Ketika 3 bidang ini saling terkait ke dalam suatu proses tunggal dimaksudkan untuk memungkinkan masyarakat untuk menghapus penjahat dari posisi di mana mereka dapat terus melakukan perilaku kriminal mereka. Menempatkan 89
Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999-2000, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor… Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 90 Ibid. hal. 86
117
mereka ke dalam lembaga yang memenuhi massa yang menginginkan beberapa bentuk retribusi, memberikan pengaruh kepada penjahat bahwa kegiatan tersebut tidak menguntungkan, dan dalam waktu yang singkat untuk membentuk mereka menjadi warga negara yang taat hukum dan produktif melalui pengkondisian psikologis positif yang kemudian mungkin reintegrasi ke dalam masyarakat. Dengan perbaikan pada diri si pelaku, maka diharapkan orang tersebut tidak mengulangi lagi perbuatan jahatnya. Bertolak dari hal ini maka sering pula dikatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk mencegah terjadinya pengulangan (recidive). Menjaga aman umumnya terdiri dari menjaga narapidana terkunci, dihitung, dan dikontrol sementara memungkinkan untuk saat terisolasi dari kegiatan kesejahteraan untuk memenuhi kebutuhan melalui rekreasi, pendidikan dan konseling. Sayangnya, kesejahteraan dan kebebasan psikologis dari tahanan individu tidak tergantung pada berapa banyak pendidikan, rekreasi, dan konseling yang ia terima melainkan, bagaimana dia bisa hidup dan berhubungan dengan narapidana lain yang merupakan penting dan hanya dunia yang berarti. Karena pada akhirnya tidak ada efek jera pada para narapidana dengan adanya pidana penjara pendek, walaupun memang ada narapidana yang merasa jera melakukan tindak pidana, yang lebih tepatnya mereka hanya merasa “malu” mempunyai cap atau stigma bahwa mereka adalah mantan narapidana. Dimana ada beberapa narapidana yang masih beranggapan bahwa tindak pidana yang mereka lakukan lebih baik
118
dibandingkan para narapidana jangka panjang karena memang dilihat dari segi jenis tindak pidananya, narapidana yang di jatuhi masa pidana penjara jangka pendek adalah mereka yang melanggar tindak pidana ringan, seperti pencurian dan perjudian, lain halnya dengan narapidana jangka panjang yang biasanya melanggar perbuatan pidana yang dianggap jauh lebih memalukan dan merugikan korbannya, seperti tindak pidana pembunuhan dan pemerkosaan. Bagi narapidana yang tidak terlalu sensitive menganggap bahwa pembinaan selama masa pidana penjara pendek hanya sebagai pengisi waktu luang atau masa istirahat setelah banyak melakukan banyak pekerjaan saat di luar penjara. Jadi ada kemungkinan mereka dapat melakukan perbuatan pidana lagi setelah keluar penjara dan telah selesai masa pidananya. Sedangkan bagi narapidana yang sensitif, pidana penjara pendek tetap membawa efek jera, terutama bagi keadaan psikisnya, karena pasti ada penilaian yang buruk di mata masyarakat setelah lepas atau selesai menjalani masa pidananya disebut juga sebagai stigmatisasi. Sekalipun pidana penjara tersebut berjangka pendek, maka justru akan sangat merugikan, sebab di samping kemungkinan terjadi hubunganhubungan yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek jelas tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi warga binaan di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat. Stigmatisasi ini pada dasarnya akan menghasilkan segala bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut menimbulkan stigma lagi. Suatu
119
kejahatan seseorang secara resmi dipidana, sehingga ia kehilangan pekerjaannya di luar lingkungan teman-temannya, dan kemudian stigmatisasi menyingkirkannya dari lingkungan orang-orang yang benar. Stigma meningkatkan sanksi negatif dan sanksi negatif tersebut memperkuat stigma. 2. Faktor-Faktor Penghambat Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap Adapun pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap terdapat beberapa hambatan atau faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan tidak efektifnya tujuan pemidanaan. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa pendapat para petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap serta warga binaan pidana pendek sebagai responden tentang hal-hal apa saja yang dapat menghambat pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek selama masa pidana berlangsung. Hal itu terlihat dari pendapat Basuki Raharjo A.Md.IP,selaku Kepala Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik menyatakan bahwa adanya pembinaan terhadap warga binaan masa pidana pendek sulit untuk dilaksanakan sesuai dengan program pembinaan yang ada khusus terhadap warga binaan masa pidana pendek. Dengan singkatnya waktu pembinaan, mereka hanya mengikuti beberapa tahapan saja, misalnya : Admisi Orientasi, Maksimum Sekuriti, Medium Sekuriti dan Minimum Sekuriti, dan tidak melewati tahap Asimilasi, sesuai
120
peraturan yang telah ada dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, di mana tahap Asimilasi merupakan salah satu tahap yang harus dijalani untuk mengembalikan narapidana kedalam lingkungan masyarakat sebagai warga yang baik. Selain itu kurangnya peran serta Pemerintah Daerah terhadap perkembangan pembinaan warga binaan di Lapas, serta belum adanya landasan hukum yang khusus tentang pembinaan warga binaan pidana pendek dapat menimbulkan tidak adanya program yang pasti bagi petugas dalam melaksanakan pembinaan terhadap warga binaan pidana pendek. 91 Pendapat tersebut juga di dukung dengan pendapat Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M. Selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, bahwa petugas merupakan tenaga yang harus mengkoordinir kegiatan pembinaan, namun jika petugas tidak professional untuk memberikan program kegiatan yang telah terprogram dengan pasti kepada warga binaan pidana pendek, pastilah pelaksanaan pembinaan tersebut juga akan terhambat. Selain itu dari luar petugas, kurangnya peran serta masyarakat dan keluarga warga binaan untuk mendukung program pembinaan agar warga binaan serius mengikuti semua kegiatan pembinaan yang telah diberikan juga menjadi salah
91
Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 12 Juli 2012.
121
satu faktor terhambatnya pembinaan warga binaan, terutama warga binaan pidana pendek. 92 Selain itu ada pula pendapat dari warga binaan pidana pendek yang bernama Muhamad Abdul Rozak93 dan Kristina Setyo Astuti94 dimana keduanya berpendapat bahwa singkatnya waktu pidana mereka menjadi alasan mereka sedikit merasa malas untuk mengikuti semua kegiatan dengan lebih serius yang di berikan petugas, walaupun sebenarnya mereka mengerti bahwa semua kegiatan yang diberikan adalah kegiatan positif yang dimaksudkan sebagai bekal mereka agar mereka menjadi orang yang lebih baik lagi dan dapat diterima oleh masyarakat saat masa pidananya telah selesai. Pendapat senada dengan warga binaan tersebut dinyatakan pula oleh Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi
selaku
Kepala
Kesatuan
Pengaman
Lembaga
Pemasyarakatan, bahwa ada warga binaan yang malas mendengarkan pengarahan dari petugas karena mereka tahu hukuman mereka hanya singkat, disamping itu ada hambatan lainnya, yaitu struktur bangunan Lembaga Pemasyarakatan tidak memadai untuk mengikuti prosedur pembinaan yang benar-benar memenuhi mutu standar yang efektif bagi warga binaan pidana pendek. 95
92
Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11Juli 2012. 93 Wawancara dengan warga binaan pidana pendek Muhamad Abdul Rozak tanggal 12 Juli 2012 94 Wawancara dengan warga binaan pidana pendek Kristina Setyo Astuti tanggal 12 Juli 2012 95 Wawancara dengan Tutut Jemi S, Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan tanggal 12 Juli 2012.
122
Berdasarkan pendapat responden yang terdapat dalam data primer di atas, maka dapat dinyatakan bahwa faktor-faktor penghambat pembinaan terhadap pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dapatlah dikelompokan menjadi dua, pertama yakni faktor internal dan kedua faktor eksternal. a. Faktor internal, meliputi waktu pembinaan yang sempit atau singkat, petugas yang masih kurang dalam kuantitas serta kualitas untuk membedakan pembinaan terhadap warga binaan pidana penjara pendek, belum adanya peraturan perundang-undangan yang khusus
untuk
pengaturan program pembinaan pidana pendek, serta bangunan yang kurang memadai untuk memisahkan warga binaan pidana pendek dengan warga binaan yang menjalani pidana penjara lebih lama. 96 b. Faktor eksternal yakni kurangnya kesadaran pada diri warga binaan untuk memanfaatkan pembinaan yang diberikan selama masa pidana dengan lebih serius, serta kurangnya dukungan dari pihak keluarga warga binaan
96
Wawancara dengan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dan Warga Binaan Pidana Pendek.
123
serta instansi terkait yang seharusnya turut berpartisipasi dalam pembinaan warga binaan pidana pendek. 97 Masalah pokok dari efektivitas bekerjanya hukum dalam masyarakat sebenarnya terletak pada faktor– faktor yang mempengaruhinya yaitu : 98 a. Faktor hukumnya sendiri. Faktor hukumnya sendiri yang harus menjadi persyaratan utama adalah mempunyai cukup kejelasan makna dan arti ketentuan, tidak adanya kekosongan karena belum ada peraturan pelaksanaanya, peraturan tersebut sinkron secara vertikal dan horizontal sehingga mengurangi luasnya interprestasi masyarakat. Seperti dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai pola pembinaan yang bersifat umum ternyata tidak dapat efektif untuk mencapai tujuan pembinaan narapidana. b. Faktor pembina Lembaga Pemasyrakatan Klas IIB Cilacap Secara sosiologis, antara hukum dan pelaksana hukum merupakan dua hal yang berbeda hukum termasuk perundang–undangan dan berbagai azas hukum yang mendasarinya merupakan suatu yang abstrak, sebaliknya peningkatan hukum merupakan suatu yang 97
Wawancara dengan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dan Warga Binaan Pidana Pendek. 98 Soerjono Soekanto. 1983., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajagarafindo Persada. Jakarta. hal 7
124
konkret. Penghubung antara yang abstrak dan konkret itu dalam penegakan hukum adalah penegak hukum.. Suatu peranan berfungsi apabila sesorang berhubungan dengan pihak lain atau dengan beberapa pihak. Peranan tersebut dapat berupa peranan yang ideal, peranan yang seharusnya dan peranan yang aktual. Peranan yang seharusnya dari penegak hukum tertentu, telah dirumuskan dalam undang–undang. Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap kurangnya pedoman pembinaan yang terpogram dan kurangnya inisiatif para pembina untuk membuat dan melaksanakan program kegiatan pembinaan yang lebih khusus kepada waraga binaan pidana pendek, sehingga kegiatan tidak efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan. c. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan Masyarakat
adalah
suatu
organisasi
manusia
yang
saling
berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah suatu sistem normal dan nilai yang teorganisasi menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut. Faktor masyarakat dan kebudayaan ini memegang peranan sangat penting, hal ini berkaitan dengan taraf kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat. Kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup unsur pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum. Tingkat kesadaran hukum tercapai apabila masyarakat mematuhi
125
hukum. Warga masyarakat mematuhi hukum karena: 1) rasa takut pada sanksi negatif sebagai akibat melanggar hukum; 2) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan lingkungan; 3) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan penguasa.99 Seperti yang di nyatakan oleh Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan bahwa kurangnya peran serta masyarakat dan keluarga warga binaan untuk mendukung agar warga binaan serius mengikuti semua program kegiatan pembinaan yang telah diberikan juga menjadi salah satu faktor terhambatnya pembinaan warga binaan, terutama warga binaan pidana pendek yang sangat singkat masa pembinaannya. 100 Dari hal-hal tersebut di atas maka harus dipikirkan kembali tentang penggunaan sanksi pidana berupa pidana penjara pendek dengan mengingat impliasi negatif terutama bagi pelaku. Harus terdapat alternatif sanksi pidana penjara pendek yang dapat lebih efektif dalam pencapaian tujuan pidana dan pemidanaan serta menghindari efek negatif atas pemenjaraan. Alternatif sanksi yang tepat adalah berupa pidana bersyarat dan pidana denda. Selain itu
99
K. Khairul. 2005. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok). 100 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Tanggal 11 Juli 2012.
126
adanya Psikologis Penjara101 mungkin memainkan peran penting dalam koreksi kelembagaan, dalam mengurangi efek psikologis yang dialami oleh narapidana.
Dimana Psikolog dapat merekomendasikan program-program yang terbaik akan cocok pelanggar dengan kebutuhan mereka. Ini mungkin termasuk
program
pengobatan
penyalahgunaan
zat-zat
terlarang,
pengembangan keterampilan membaca dan menulis, pengambilan keputusan, kontrol kemarahan, pelatihan kerja yang berarti, kontak dengan keluarga, atau pengobatan seks pelaku. Tujuan minimal mereka mungkin untuk membantu narapidana mengatasi realitas kehidupan penjara. Namun, program tersebut hanya akan bermanfaat jika narapidana memasukkan mereka secara sukarela dan dengan serius serta lamanya waktu untuk rehabititasi atau perbaikan.
Alternatif solusi sebagai upaya untuk mengindari efek negatif pidana penjara pendek yakni dengan Pidana bersyarat. Pidana bersyarat dalam KUHP diatur dalam ketentuan Pasal 14 a sampai Pasal 14 f dengan segala bentuk aturan pelaksanaannya.
Dalam Pasal 14a KUHP dinyatakan bahwa pidana bersyarat hanya dapat dijatuhkan bilamana memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 101
Bartol, CR, & Bartol, AM (1994) Psikologi dan Hukum: Penelitian dan Aplikasi (2 nd ed.). Pacific Grove, CA: Brooks / Cole.
127
a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara, dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana penjara yang diancamkan atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi yang akan dijatuhkan pada si terdakwa; b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda. Mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun. c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa. Menurut Muladi lembaga pidana bersyarat memang mempunyai tujuan pemidanaan berupa penyelamatan warga binaan dari penderitaan pidana pencabutan kemerdekaan khususnya yang berjangka pendek dengan segala aspeknya.102 Alasan ini sangat penting apabila benar-benar tidak perlu dikhawatirkan bahwa yang bersalah akan mengulangi suatu tindak pidana yang agak berat. Dengan menghindarkan warga binaan dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan maka masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat, yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Pemenjaraan itu sendiri tampaknya bekerja dengan baik pada dua populasi. Pada beberapa, jangka pendek dari penjara meyakinkan mereka bahwa mereka harus memperbaiki perbuatan-perbuatan jahat mereka. Penjara bertindak untuk meyakinkan pelaku bahwa tindakan melawan hukum 102
Muladi, 1985. Op.cit, hal. 89.
128
memiliki konsekuensi serius. Selanjutnya dengan memberikan kesempatan bagi warga binaan untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, yang secara fakultatif dapat dibantu oleh lembaga yang disebut Balai Pemasyarakatan (Bapas), hal ini merupakan pencerminan dari aliran “defence sociale nouvelle” yang mengutamakan pengakuan, penggunaan, dan pengembangan atas rasa tanggung-jawab yang merupakan bagian yang penting dari setiap manusia, termasuk pelaku tindak pidana.
129
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan masa pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap yang didasarkan Tentang
pada Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 Pembinaan
dan
Pembimbingan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan sudah sesuai, sebagai pola pembinaan yang bersifat umum. Namun ternyata hal tersebut tidak dapat efektif untuk mencapai tujuan pembinaan narapidana. Hal ini mengingat pendekmya waktu pidana sehingga program pembinaan tidak dapat
memperoleh
menimbulkan
banyak
implikasi
manfaat.
negatif
bagi
Di
sisi
lain
si
terpidana
justru berupa
“stigmatisasi”. 2. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan pembinaan Warga Binaan masa pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dapatlah dikelompokan menjadi dua pertama yakni faktor internal dan kedua faktor eksternal. Yaitu:
130
a. Faktor internal: Meliputi waktu pembinaan yang pendek dan singkat, karakter warga binaan yang cenderung malas dan menganggap pidana penjara pendek adalah hukuman yang ringan dan singkat , petugas yang masih kurang dalam kuantitas serta kualitas, belum adanya peraturan perundang-undangan yang khusus
untuk pengaturan
program pembinaan pidana pendek, serta bangunan yang kurang memadai untuk menjalankan semua program dan kegiatan pembinaan bagi warga binaan pidana pendek. b. Faktor eksternal: Kurangnya dukungan dari pihak keluarga warga binaan,
masyarakat
untuk
mendukung
program
pembinaan yang diberikan oleh petugas terhadap warga binaan
pidana
pendek
agar,
dengan
memberi
support/dukungan warga binaan untuk lebih serius mengikuti
semua
kegiatan
pembinaan
walaupun
simgkat waktu pembinaannya. Serta peran instansi terkait yang seharusnya turut berpartisipasi dalam pembinaan warga binaan pidana pendek.
131
B. Saran
1. Untuk menunjang keberhasilan pembinaan terhadap Warga Binaan masa pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap perlu pengaturan khusus, baik mengenai tahap pembinaan, metode pembinaan, dan proses interaksi dengan masyarakat. Peran masyarakat dalam pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan masa pidana pendek, harus lebih ditekankan untuk tidak memberikan stigma kepada warga binaan pidana pendek yang telah menyelesaikan masa pidananya, agar dapat memaksimalkan proses pembinaan dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan. Selain itu harus dibuat atau dibangun ruangan khusus di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, khusus bagi Warga Binaan Pemasyarakatan masa pidana pendek, agar dalam penempatannya antara warga binaan masa pidana penjara pendek dengan warga binaan masa pidana penjara lebih dari satu tahun dapat dipisahkan, sehingga pembinaan yang dilakukan oleh petugas dapat lebih fokus dan terprogram dan diharapkan tercapainya efektifitas pembinaan dan pemidanaannya. 2. Harus dipikirkan kembali tentang penggunaan sanksi pidana berupa pidana penjara pendek dengan mengingat implikasi negatif terutama bagi pelaku. Apabila tidak terdapat hal-hal yang sangat
132
perlu untuk menjatuhkan pidana penjara pendek, maka alangkah baiknya cukup dengan memberikan pidana bersyarat atau pidana denda.
133
DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur Achmad S Soemadi Pradja, R, et. Al., “Sistem Pemasyarakatan di Indonesia “,
Badan Pembinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta,
Jakarta, 1979.
Angkasa, Prisonisasi dan Permasalahannya terhadap Pembinaan Warga binaan ( Suatu studi di Lembaga Pemasyarakatan Semarang dan Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto), Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang. 1993.
Arief,
Barda Nawawi,
Kebijakan Legislatif
dalam Penanggulangan
Kejahatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 1994. Atmasasmita, Romli, Kepenjaraan dalam Suatu Bunga Rampai. Armico, Bandung, 1983.. -----------------------, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1979.
-----------------------, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakkan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni. 1982. Bartol, CR, & Bartol , AM (1994) Psikologi dan Hukum: Penelitian dan Aplikasi . Pacific Grove, CA: Brooks / Cole. Dirdjosisworo, Soedjono. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan), Armico. Bandung. 1984.
134
Hanintijo Soemitro, Ronny. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Kansil ,C.S.T,. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.
Kant, Philosopy Of Law, Bahan Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, Semarang.
Koesnoen, Politik Penjara Nasional, Sumur Bandung, Bandung, 1961.
Komarudin, Metodelogi Penelitian Skripsi dan Tesis, Penerbit Angkasa, Bandung, 1974.
Khairul. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok). Tersedia pada Website Sumber http://www.google.co.id. 2005.
Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Amiko, Bandung, 1984. ---------------------,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1997.
--------------------------, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung.
1985. ---------------------, Pembinaan Warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Makalah Seminar di Universitas Indonesia tanggal 21-22 Oktober 1992.
135
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 2002. Muladi & Barda Nawawi Arief , Pidana dan Pemidanaan, Badan Penyedia Bahan Kuliah Bahan Kuliah Fakultas Hukum Undip Semarang, 1983. Poernomo,
Bambang,
Pelaksanaan Pidana
Penjara Dengan Sistem
Pemasyarakatan, Liberty, Jakarta, 1986.
Prakoso, Djoko, S.H. Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori Dan Praktek Peradilan. Ghalia Indonesia. 1984.
Projodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama. Bandung . 2002.
Raharjo, Satjipto. Sistem Peradilan Dalam Wacana Kontrol Sosial. Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi. Vol.I/Nomor I/1998. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
Sahetapy, J.E, Ancaman pidana mati terhadap pembunuhan berencana, Disertasi di Universitas Airlangga (1978), Rajawali, Jakarta, 1982.
Sudarto, Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1981.
Suprianto, Efektivitas Pelaksanaan Asimilasi Di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2008.
136
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 1983.
Schaftmister , Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana di Waktu Luang, 1979.
Warassih, Esmi. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama. Semarang, 2005.
Yasid Effendi dan Kuat Puji Prayitno. Hukum Panitensier Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. 2005.
Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan,
1999-2000,
Rancangan
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor… Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,
Dari Sangkar ke Sanggar, Jakarta,
1975. Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan, Jakarta, 1990.
Keputusan Menteri Kehakiman No. Y.S 4/3/7 tahun 1975, yang mengatur kegiatan bimbingan di Lembaga Pemasyarakatan dan Bispa.
137
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan.
Surat
Edaran No.
KP.10.13/3/1 tanggal 8
"Pemasyarakatan sebagai Proses".
Pebruari 1965 tentang