Beda dan Sama dalam Keterampilan Produktif: Satu Kemungkinan Perpaduan Silabus Sribagus, Sahuddin, L. Nurtaat FPBS, IKIP Mataram Email: Abstract: Speaking and Writing are two productive skills. They are taught in all levels of education in Indonesia. The reason for inserting them in curriculum, is probably that students are not competent writers yet they know writing but they are not skilled writers. Of these two skills wriitng is claimed to be much more difficult compared to speaking though they have similarities and differences. It is suggested that the syllabus be the same for both, for they are the same in principle although in practice they show a clear cut. Abstrak: Berbicara dan Menulis adalah dua ketrampilan produktif dalam bahasa. Keduanya diajarkan pada semua jenjang pendidikan di Indonesia. Kemungkinan alasan memasukkannya dalam kurikulum adalah karena pembelajar bahasa hanya sekedar mampu berbicara dan menulis tetapi mereka belum terampil. Menulis diklaim sebagai ketrampilan berbahasa yang lebih sulit daripada Berbicara walaupun keduanya memiliki kesamaan dan perbedaan. Diharapkan nantinya silabus keduanya disamakan karena pada dasarnya keduanya sama; hanya berbeda dalam pelaksanaan. Kata kunci: Keterampilan Produktif, Kurikulum, Silabus, Keterampilan Reseptif, Perpaduan Silabus
Pendahuluan Setiap manusia menggunakan bahasa untuk menyalurkan ide, pikiran, pendapat, dan perasaannya. Bahasa yang digunakan bisa dalam bentuk ujaran untaian vokal atau goresan ejaan di atas kertas. Keterampilan melakoni keduanya lazim disebut sebagai keterampilan berbicara (speaking) dan keterampilan menulis (writing). Kedua keterampilan berbahasa ini disebut ketrampilan produktif. “Writing and speaking are productive skills. That means that they involve producing language rather than receiving it” (Spratt, 2005). Dua keterampilan berbahasa lainnya adalah keterampilan passip atau dikenal juga dengan istilah keterampilan receptip yaitu keterampilan mendengarkan dan membaca. “Like reading, listening is a receptive skill, as it involves responding to language rather than producing it” (Spratt, 2005).
© 2013 LPPM IKIP Mataram
Senada dengan pendapat di atas, Harmer (1991) lebih rinci menjelaskan sebagai berikut: “Speaking and Writing involve language production and are therefore often referred to as productive skills. Listening and Reading, on the other hand, involve receiving messages and are therefore often referred to as receptive skills”. Penggunaan istilah seperti ini tidak perlu diperlebar dengan mengusik dan mengutak-atik muasalnya karena kalau orang berbicara istilah tidak akan pernah sampai pada kesepakatan karena setiap pencetus memiliki titik pandang berbeda dan kesenangan yang berbeda pula. Perhatian pada keterampilan berbicara pada awalnya tidak banyak mendapatkan perhatian sebagaimana halnya dengan keterampilan menulis. Pada jaman dahulu kala orang mendokumentasikan buah pikiran dengan menuliskannya di atas batu, kayu, lontar, tulang, dinding, dan sebagainya. Dokumen bahasa tersebut ada yang berupa
Jurnal Kependidikan 12 (2): 187-198
lambang/gambar, ada juga berupa kata-kata seperti yang banyak dijumpai di relief kuno atau prasasti. Pamor bahasa tulis kian cemerlang sehingga aprersiasi banyak orang, terutama kaum cendekiawan, lebih terfokus pada bahasa tulis. Tidak mengherankan jika pernah ada masanya bahwa bahasa tulis (pengajarannya) dikatakan sebagai bahasa orang terpelajar. “For most of its history, language teaching has been concerned with the study of written language. The written language is the language of literature and of scholarship. It is language which is admired, studied, and rich in excellenct exemplification. Any well educated person ought to have access to literature and scholarship in the language he is acquiring” (Brown and Yule, 1983). Sebaliknya ungkapan lisan tidak ada dokumentasinya karena belum adanya alat rekam suara sehingga cenderung diabaikan. Salah satu cara mengabadikannya kalau dianggap penting adalah dengan menghafalnya secara turun temurun menjadi cerita tutur tinular, dongeng dan sebagainya. Sifatnya yang abstrak (kasat mata) menyebabkan tidak banyak perhatian tercurahkan untuk mempelajari teknik-teknik pengungkapannya secara proporsional. Perhatian lebih difokuskan pada pengabadian pikiran melalui tulisan. Dengan demikian minat dan motivasi ke arah kemampuan menulis melebihi minat pengembangan keterampilan berbicara. Sejarah terus berputar, teknologi terus berpacu, ilmu pengetahuan semakin berkembang, dan kebutuhan hidup manusia semakin kompetitip dari masa ke masa. Tentunya generasi kita tidak ikut menyak-
188
sikan dan merasakan awal-awal perubahannya, tetapi efek dari perubahan itu kini kita masih merasakannya bahkan bisa mengirangira kondisinya sepuluh sampai dua puluh tahun yang silam. Komunikasi antara sahabat dekat atau tetangga tidak cukup dengan mengandalkan media tulis. Negeri kita dengan negeri tetangga tidak bisa menyelesaikan segala urusan hanya dengan surat menyurat. Ilmuan, politisi, ekonom, dan businessmen tidak leluasa berkiprah hanya lewat ujung pena, media cetak, atau slide. Ada yang lebih urgen dari sekedar tulisan. Akhirnya keputusan bermuara pada keterampilan berbahasa (speaking) dan mendapatkan perhatian sejajar dengan keterampilan menulis. Kiranya dengan pertimbangan kebermaknaan keduanya yang sama – sama penting, para praktisioner, kaum cendekiawan terutama yang berkecimpung dalam dunia pendidikan tidak merasa ragu lagi untuk memasukkannya di dalam kurikulum mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedua keterampilan berbahasa ini pada perkembangan selanjutnya dinamakan sebagai keterampilan produktip atau aktip. Para pakar bahasa menamakannya seperti itu kiranya bertolak dari fakta bahwa kedua keterampilan tersebut bisa terwujud dengan usaha aktif melalui alat ucap dan tangan sehingga menghasilkan bahasa yang dapat didengar dan dibaca (produk bahasa). Akan tetapi walupun kedua keterampilan berbahasa ini dinamakan produktip/ aktif, tidak berarti terlepas dari keterampilan lainnya. Keterampilan berbicara, misalnya, tidak akan bisa terwujud kalau tidak didasari keterampilan mendengarkan (listening).
Sribagus, dkk, Beda dan Sama dalam Keterampilan Produktif
Dengan kata lain, keterampilan berbahasa pertama akan memicu keterampilan yang ke dua. Hal yang sama terjadi pada keterampilan produktip menulis. Seseorang akan cakap menulis kalau dia banyak membaca. Artinya adalah bahwa keterampilan ke tiga adalah prasyarat utama bagi keterampilan ke empat (menulis). Seorang orator ulung tidak akan mendapatkan gelarnya tanpa banyak aksesnya dari mendengarkan. Seorang kolumnis kawakan tidak akan mendapatkan kelas di antara pesaingnya jika dia tidak banyak mendapatkan wawasan dan referensi dari membaca. Khusus kedua keterampilan terakhir ini, Smith (1983) dalam (Krashen 1984) menegaskannya sebagai berikut: “… conventions of writing are acquired by reading: To learn how to write for newspapers, you must read newspapers; textbooks about them will not suffice. For magazines, browse through magazines rather than through correspondence courses on magazine writing. To write poetry, read it. For the conventional style of memoranda in your school, consult you school file” Artikel singkat ini akan mengetengahkan kaitan antara keterampilan (ke dua dan ke empat) yang pemerolehannya justru tidak berurut karena diselingi oleh keterampilan membaca (ke tiga). Penulis melihat adanya kesamaan dan perbedaan di antara keduanya yang cukup menarik. Perbedaan dan persamaan tersebut sangat perlu diketahui baik oleh pengajar maupun oleh mahasiswa. Secara rinci keduanya akan diuraikan dalam artikel ini. Diharapkan dari uraian yang disajikan di dalamnya dapat dijadikan alternatip referensi dalam menyusun silabus pengajaran untuk keduanya terutama yang
diterapkan di perguruan tinggi. Semua orang tahu bahwa di dalam kurikulum masingmasing keterampilan berbahasa mulai dari mendengarkan sampai menulis dikembangkan secara terpisah, terlebih lagi antara kedua keterampilan produktip cenderung dianggap dua sesuatu yang berada di dua kutub yang totolitas berjauhan. Akibatnya adalah masing-masing pembinanya berdiri dengan benderanya sendiri. Tidak ada koordinasi atau semacam “diskusi kecil” yang mengarah pada penyatuan ide. Penulis tidak bermaksud kontroversial bahwa hanya kedua skill ini yang memiliki kaitan satu sama lain dan mengesampingkan skill yang dua lainnya. Memecah-belahkan skill bahasa tentu hal yang tidak pas dilakukan oleh pengajar bahasa. Mengembangkan keterampilan berbahasa secara utuh adalah seperti menjaga sebuah sistem yang membentuk jalinan mata rantai yang jika satu gelang rantai diputuskan di tengah maka berhamburanlah gelanggelang rantai yang lainnya. Adalah bijak jikalau artikel menyangkut keterampilan yang lain penulis serahkan kepada pembaca untuk menyajikannya. Target berikutnya adalah bahwa dengan pemahaman bersama tentang keterkaitan kedua keterampilan berbicara dan menulis para pengampunya tidak akan terlalu banyak beban kerjanya. Pengampu mata kuliah berbicara dapat merangkap pengampu kuliah menulis dan sebaliknya. Tentunya karena adanya perbedaan dalam persamaan dan persamaan dalam perbedaan kedua keterampilan ini memungkinkan penentuan butir-butir silabus yang sama. Yang beda hanya cara pelaksanaan butirbutir silabus tersebut yaitu yang satu
189
Jurnal Kependidikan 12 (2): 187-198
dikembangkan secara lisan dan yang satunya secara tulisan. Sekali mendayung seribu pulau terlampaui. Sambil menyelam minum air. Permasalahan Keterampilan berbicara dan menulis dalam bahasa asing khususnya di perguruan tinggi dibina oleh dua atau beberapa orang dosen. Walaupun demikian, kedua keterampilan ini masih dianggap momok oleh mahasiswa. Satu alasan yang cukup masuk akal mengapa berbicara, misalnya, dianggap sulit adalah karena keterampilan ini memerlukan beberapa prasyarat seperti kemampuan menata kata-kata ke dalam kalimat yang benar yang diikat erat oleh peraturan selanjutnya yang disebut tenses. Tentu ini jauh berbeda dengan kalau mereka ingin berekspresi dalam bahasanya sendiri. Selanjutnya adalah perbendaharaan kata (vocabulary) yang dimiliki oleh mahasiswa tidak selamanya memadai untuk mengekspresikan kebutuhannya. Kesulitan juga dialami mahasiswa dalam menulis. Tulisan sederhana yang penulis istilahkan composing, misalnya, masih menjadi beban bagi mahasiswa karena mereka tetap membuat kesalahan. Terutama sekali jika tuntutan mulai mengarah pada style atau academic writing kesalahan akan muncul lebih banyak. Keterampilan ini akan tetap dirasakan sulit untuk diajarkan atau dikembangkan bila tidak dicarikan solusi baru atau tidak diadakan sejenis pembaharuan pada diri mahasiswa sebagai pelaku ajar. Tidak kalah pentingnya adalah penanganan dari dosen Pembina yang walaupun tidak etis
190
kalau dikatakan yang terbaik tetapi sebagai alternatip terbaru. Pengganjal laten untuk tinggal landas dalam kedua keteramppilan tersebut adalah masih kokohnya benteng pemisah antara kedua keterampilan yang dibangun dan dijaga ketat oleh pembinanya masingmasing. Masing-masing ketua kubu merasa fanatik/fiodal dengan lingkungan dan prinsipnya. Benarkah tidak ada hal yang dapat ditangani bersama? Benarkah dari kedua keterampilan tersebut tidak ditemukan persamaannya. Ataukah selama ini tidak terditeksi perbedaan keduanya sehingga tidak pernah ada langkah-langkah untuk mencari titik temunya? Atau sebaliknya, kalau ada persamaan, tidak ikhlaskah kedua kubu meruntuhkan bersama benteng yang selama ini tegak menghadang, lalu keduanya saling mengisi dan mendukung? Permasalah dalam mengembangkan keterampilan berbahasa tidak identik dengan sebuah industry/pabrik kendaraan bermotor dimana terdapat bagian-bagian khusus untuk membuat spare part (suku cadang). Pada sebuah pabrik motor dapat dibayangkan berapa dapur spare part yang tersedia. Di dalam pabrik tersebut berseliweran juga beberapa teknisi dengan kostum dan spesialisasi masing-masing. Misalnya dapur piston berbeda dengan dapur pedal, bamper, mesin, saringan, busi, asesoris, sampai pada kabel dan penempelan stiker. Mereka bekerja tanpa mencampuri urusan masingmasing walaupun berada di bawah satu atap pabrik. Yang penulis lihat di perguruan tinggi adalah analogi teknisi di sebuah industri motor. Mahasiswa diharapkan untuk mendapatkan setiap komponen bahasa dan
Sribagus, dkk, Beda dan Sama dalam Keterampilan Produktif
adalah tugas mereka untuk merakitnya sendiri (assembling ada di tangan mereka). Jika mereka salah merakit maka terkesan perancang spare part tidak mau tahu. Pembahasan Berbicara dan menulis adalah dua keterampilan monumental bagi setiap manusia normal. Andaikan tidak ada orang berbicara maka tidak akan pernah ada ungkapan/ bahasa yang didengar. Untuk membuktikan bahwa seseorang mengerti apa yang dibicarakan teman bicara/orang lain, maka dia harus memiliki keterampilan mendengarkan. Akan tetapi kemampuan mendengarkan tersebut tidak dapat dilihat secara kongkrit alias tidak monumental. Untuk membuktikan keberadaannya maka apa yang didengarkan harus dikongkritkan dengan ujaran yang disebut berbicara. Hal yang sama terjadi pada kaitan keterampilan membaca dan menulis. Andaikan manusia tidak memiliki kemampuan membaca tulisan baik yang berupa coretan, kode, gambar, atau kalimat, maka tidak akan pernah ada manusia menulis. Suara/ujaran yang didengar akan sirna ditelan angin lalu. Coretan-coretan, kode, gambar tidak akan pernah berkembang karena tidak dikomunikasikan. Manusia hanya akan saling pandang dengan pasangannya. Akhirnya apa yang dibaca dikomunikasikan dengan tulisan. Dengan demikian sesuatu yang didengar dan dibaca di(re)produksi dengan cara diungkapkan secara lisan dan digoreskan. Peradaban berkembang dari jaman batu sampai sekarang sehingga manusia mulai mampu berbicara dan menulis. Namun di
tengah-tengah pengguna keterampilan ini masih tersisa masalah yang dipermasalahkan. Persis seperti selentingan pelawak di TV yang berbunyi “menyelesaikan masalah tanpa solusi”. Yang mempermasalahkan adalah justru pemakainya sendiri karena kepintarannya dan bukan karena ketidakmampuannya. Mereka dengan jeli mengkotakkan antara kemampuan berbicara dengan keterampilan berbicara. Mereka juga memandang tidak sama antara mampu menulis dan terampil menulis. Di sinilah inti masalahnya. Kedua keterampilan ini digalakkan di tengah para pembelajar yang diharap peduli terhadap kesempurnaan bahasanya baik yang dipahaminya (comprehension) maupun yang dihasilkannya (production). Pengalaman belajar mengajar menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan di antara kedua keterampilan produktip (berbicara dan menulis). Kasus ini sering ditelantarkan dalam pengajaran, dan kurang dihayati oleh para pengajarnya. Siswa/ mahasiswa terperangkap dengan kasus yang berlarut-larut tanpa berani mempertanyakannya, dan pengajar terbiasa berspekulasi bahawa apa yang disampaikan di kelas sudah semua jelas. Berikut adalah beberapa perbedaan dan kesamaan yang perlu diperhatikan. Perbedaan Kedua Keterampilan Produktif Jika manusia/seseorang hanya berujar satu atau beberapa kata yang tidak tersusun secara sistematis, maka dia akan dikatakan sebagai orang yang belum bisa berbicara. Kalaupun apa yang dibicarakannya dapat dipahami dalam takaran sintaksis tetapi dia baru dikatakan mampu berbicara namun
191
Jurnal Kependidikan 12 (2): 187-198
belum cakap berbicara. Ujaran seseorang yang tidak diakui sebagai bahasa yang dipahami adalah ujaran yang tidak terikat dengan kaidah bahasa yang lazim digunakan oleh orang dewasa. Menulis (writing), walaupun memiliki aturan sintaksis dan lain sebagainya tidak persis sama dengan aturan yang digunakan dalam berbicara (speaking). Dalam bahasa tulis, misalnya, penulis harus menggunakan rumus-rumus yang tepat. Tidak boleh satu pun kode bahasa yang keliru pasang. Satu hurup yang tertingggal – seperti pada pluralisasi “S” – tidak bisa ditolerir sebagai hasil tulisan yang benar. Pemilihan kata harus dengan cermat bergantung kepada siapa tulisan dialamatkan, dan tidak diperkenankan menggunakan bahasa singkatan atau istilah sendiri seperti dalam bahasa SMS. Dan yang paling jelas adalah bahwa dalam menulis tidak mungkin terjadi pengulangan atau bantuan isyarat tubuh. Hal yang kecil tetapi bermakna – seperti tanda baca – tidak bisa dikesampingkan. Tepat seperti yang disinyalir oleh Essberger (2001) sebagai berikut. “We usually write with correct grammar and in a structured way. We organize what we write into sentences and paragraphs. We do not usually use contractions in writing (though if we want to appear very friendly, then we do sometimes use contractions in writing because this is more like speaking). We use more formal vocabulary in writing (for example, we might write “the car exploded” but say “the car blew up” and we do not usually use slang. In writing, we must use punctuation marks like commas and question marks (as a symbolic way of
192
representing things like pauses or tone of voice in speaking”). Berbeda dengan menulis, berbicara lazimnya lebih permisip dalam penggunaan symbol-simbol bahasa, sintaks, istilah atau pilihan kata sampai pada tahapan style bahasa. Pengulangan kata atau kalimat jika tidak dipahami oleh lawan bicara dapat segera dilakukan karena mereka berhadapan langsung. Yang akan diucapkanpun tidak pernah dirancang secara sistematis. Kalimat yang digunakan kadang-kadang tidak sempurna dikomunikasikan oleh pembicara tetapi masih dapat dipahami oleh pendengarnya karena ketersediaan media berupa isyarat tubuh (body language). False starts, seperti aahm, sort of, hum, oh, well, see dan sebagainya sangat lazim digunakan. “We usually speak in a much less formal, less structured way. We do not always use full sentences and correct grammar. The vocabulary that we use is more familiar and may include slang. We usually speak in a spontaneous way, without preparation, so we have to make up what we say as we go. This means that we often repeat ourselves or go off the subject. However, when we speak, other aspects are present that are not present in writing, such as facial expression or tone of voice. This means that we can communicate at several levels, not only with words” (Essberger, 2001). Contoh yang paling mudah dipahami mahasiswa adalah bahwa apa saja yang mereka bicarakan, baik itu sebatas satu kata atau pembicaraan beberapa jam tidak pernah akan terlihat lagi. Jadi kesalahan apapun yang dikeluarkan tidak akan pernah dibuktikan dan dihiraukan lagi karena pada detik yang sama, yang dibicarakan akan
Sribagus, dkk, Beda dan Sama dalam Keterampilan Produktif
hilang dalam sekejap dibawa angin (kecuali direkam untuk keperluan tertentu). Sedangkan tulisan, selama kertas tidak hancur terkena air atau musnah terbakar api, hasil tulisan akan tetap masih dapat dibaca ulang. Jikalau ada kesalahan di dalamnya maka kesalahan itu akan langgeng di atas kertas sebagai dokumen tertulis. Beberapa perbedaan lainnya yang lebih rinci adalah sebagai berikut: Setiap manusia normal (tidak gagu/bisu) memperoleh kemampuan berbicara secara alami. Berbicara adalah fitrah yang universal yang dimiliki manusia mulai beranjak usia dua tahun sampai dewasa. Sedangkan kemampuan dan kecakapan menulis tidak diperoleh segampang berbicara. Dan tidak setiap orang belajar/terampil menulis walaupun dalam bahasa pertamanya. Pada saat berbicara manusia menggunakan alat ucap yang mengandalkan supra segmental phonemes seperti intonasi, ritme, jedah dan sebagainya. Sebaliknya, penulis wajib bergantung pada penciptaan kata yang harus dituang di atas kertas dengan simbol-simbol konvensional. Di samping itu, berbicara lebih permissive dalam arti bahwa pengulangan boleh terjadi di mana saja (repetitip atau rekursip), sementara produk tulisan sunyi dari digresi dan bersifat linier. Lebih jauh dari itu adalah bahwa dalam berbicara, reaksi – kesan menolak, setuju, ataupun tidak mengerti dari pendengar dapat dirasakan langsung oleh pembicara. Sangat berbeda dengan audiensi pada bahasa tulis dimana kebutuhan dan respon pembaca terbatas pada penilaian atau kebijakan penulis secara subyektif (diadap-
tasi dari file://F:\Speaking%20Writing.htm, akses 14/05/2008). Dengan fakta seperti di atas, menulis sering dianggap jauh lebih sulit daripada berbicara. Tuntutan yang harus ditaati lebih banyak dibandingkan dengan yang ada dalam berbicara. Oleh karena itu pelajaran menulis sebenarnya lebih diarahkan kepada kompetensi komunikatip (keterampilan) bukan kepada kompetensi linguistik (pengetahuan). Sementara yang banyak kita alami di instansi pendidikan atau di mana saja kegiatan menulis dilakukan adalah tuntutan mampu menulis – belum sampai pada tataran terampil menulis. Pembina mata ajar menulis khususnya mesti peka bahwa jika kasus seperti ini dibiarkan berlarut-larut maka tidak akan ada bedanya belajar menulis di bangku sekolah dan belajar menulis di atas pasir atau tanah di halaman rumah. Menulis dalam arti makro disamakan saja dengan arti mikro dimana yang diketahui tentang menulis adalah menulis dalam arti harfiah saja – menulis kata sekehendak hati di atas kertas tanpa melihat kebermaknaan yang ditulis. Tidak ada bedanya dengan aksi mencoret. Bila demikian maka tidak ada gunanya memasukkan mata ajar menulis dalam kurikulum di setiap tingkat pendidikan. Tidak ada artinya pengajaran writing di perguruan tinggi. Lebih jauh dari itu – dalam mengajarkan menulis untuk bahasa asing menulis lebih dari sekedar mencoret, dan kegiatan belajar mengajar menulis lebih dari kegiatan mencoret. “If learning to write in a second language were simply a matter of knowing how to “write things down” in the new code, then
193
Jurnal Kependidikan 12 (2): 187-198
teaching writing would be a relatively easy task. A few minutes in each class period could be devoted to dictation, transcription, or manipulative written exercises, and a few guided compositions could be assigned for homework during the course of the semester…. Unfortunately, learning to write – even in one’s native language – is not simply a matter of “writing things down”. …Most people who have attempted to put pen to paper to communicate ideas would agree that expressing oneself clearly on writing can be a slow and painful process”. (Omaggio, 1986). Berbicara, sebaliknya, tidak terikat ukuran standard. Yang penting adalah komunikatif. Seseorang bisa saja menggunakan bahasa dengan caranya sendiri. Kalaupun seseorang ingin mengungkapkan isi hatinya, maka dia boleh mulai dari inti komunikasi, lalu berpindah ke awalnya, kemudian mengulang beberapa inti, istirahat sebentar karena ada gangguan sesuatu dan lain hal, mengulangi lagi yang sudah dikatakan sebelumnya, baru melaju ke bagian akhir pembicaraan. Dan kode-kode konvensional bahasa dapat diabaikan tergantung reaksi pendengarnya. Perhatikan dialog berikut ini: Father : How’s your homework? You know, your history? Son : Easy Father : You sure? Son : It’s just… I mean all we need to do is, well... just read some stuff. Father : But d’you understand it? Son : Yeah. Can I go and play with Tom? (dikutip dari Spratt, 2005) Walaupun dalam berbicara ada juga yang namanya terampil berbicara disamping
194
mampu berbicara, akan tetapi karakteristik penentunya sangat berbeda dengan yang ada dalam keterampilan menulis. Bumbu-bumbu bicara yang memikat walaupun lepas nada, disampaikan dengan expresi wajah tertentu, atau irama dan intonasi bahasa yang eksentrik justru akan mengantar kepada indahnya bahasa yang disebut terampil atau cakap. Raimes (1983), dalam bukunya Techniques in Teaching Writing, membeberkan perbedaan Menulis dengan Berbicara sebagai berikut: “… Speakers use simple sentences connected by a lot of and’s and but’s. Writers use some complex sentences, with connecting words like however, who, and in addition. While we could easily say, “His father runs ten miles every day and is very healthy,” we might well write, “His father, who runs ten miles every day, is very healthy”. Richards (1983) in Omaggio (1986) menekankan beberapa perbedan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan. 1. “Whereas the organizational unit for written discourse is the sentence, spoken language is generally delivered a clausa at atime. In conversational discourse, longer utterances usually consist of a series of clauses coordinated with “ands” and “buts” 2. In most written material, the grammatical conventions of the language are rather carefully observed. In speech, however, one encounters more ungrammatical forms, as well as reduced form. 3. “… Speaking is not planned, and therefore not as organized as written discourse.
Sribagus, dkk, Beda dan Sama dalam Keterampilan Produktif
4.”… Many things are left unsaid in a conversation because both parties assume some common knowledge. In many types of written discourse, however, the person communicating the message may be addressing it to a wide and essentially anonymous audience and therefore has no opportunity to negotiate meaning directly with the reader. Perbedaan di atas mengisyaratkan bahwa sesulit apapun keterampilan berbicara, komunikasi antara pembicara dengan pendengarnya masih bisa terjalin dengan lancar. Tidak pernah ada orang ditegur di sebuah konferensi besar sekalipun atau ditinggal pergi oleh para peserta gara-gara bahasanya tidak standard. Tidak pernah ada mahasiswa dikeluarkan dari kelas oleh dosennya (dosen yang faham filosofi speaking) hanya karena membuat kesalahan dalam tataran sintaksis, mofologi, atau fonologi. Juga kalau kita mencermati perbedaan di atas, ada kesan yang dapat diterima bahwa adalah wajar jika pembelajar bahasa asing/Inggris merasakan bahwa menulis jauh lebih rumit daripada berbicara baik di level formal maupun informal. Terlalu banyak tirai kode yang harus disingkap untuk menemukan jati diri sebagai orang yang cakap menulis. Terlalu banyak waktu dihabiskan untuk berkonsentrasi untuk menyelesaikan sebuah tulisan yang bagus dan baik. Terlalu berat beban yang harus dipikul untuk mendapatkan perhatian dan senyum ceria seorang pembaca. Adalah lumrah jika dikatakan oleh sebagian besar pembelajar bahasa terutama bahasa asing bahwa menulis adalah keterampilan yang
paling sulit di antara keterampilan yang lainnya. “There is no doubt that writing is the most difficult for L2 learners to master. The difficulty lies not only in generating and organizing ideas, but also in translating these ideas into readable text. The skills involved in writing are highly complex. L2 writers have to pay attention to higher level skills of planning and organizing as well as lower level skills of spelling, punctuation, word choice, and so on. The difficulty becomes even more pronounced if their language proficiency is weak” (Richards and Renandya, 2005). Persamaan Kedua Keterampilan Produktif Yang jelas adalah bahwa keduanya memiliki fungsi yang pasti yaitu penyampaian informasi kepada audiens atau interlocutor baik secara transaksional maupun interaksional. Dalam speaking ada situasi formal dan ada pula informal. Demikian pula dalam writing. Nada bahasa dan pemilihan kata sama–sama bergantung kepada tingkat usia, intimasi, dan status sender dan recivient. Dari segi organisasi, wacana lisan memiliki pembukaan atau salam yang sangat bervariasi yang bergantung pada prosedur, tone, dan pendengar. Dalam writing hal serupa juga ada yang disebut introduction, body dan closing. Masing - masing skill bahasa ini memiliki kalimat inti yang disertai kalimat-kalimat penunjang yang diperkaya dengan pemberian contoh. Yang terakhir, baik berbicara maupun menulis memiliki penggalan wacana. Tidak mungkin manusia berbicara bagaikan kincir angin sejak berdiri di depan pendengarnya 195
Jurnal Kependidikan 12 (2): 187-198
tanpa istirahat sampai dengan mengucapkan kata-kata penutup/pamit. Demikian pula dengan penulis. Tidak mungkin dan tidak diterima tulisan seseorang kalau tidak jelas pokok-pokok pikiran, ujung pangkal, dan penanda pergeseran cerita karena ditulis rata sekedar memenuhi halaman kertas/buku. Keduanya memiliki cara pemenggalan. Hanya cara, bentuk, dan istilahnya yang berbeda. Dalam writing, cara tersebut dinamakan paragrap, sedangkan dalam berbicara diwujudkan dengan tarikan nafas dengan intonasi tertentu yang mengisyaratkan akan muncul cerita baru. Jadi, helaan nafas itulah paragrap. Simpulannya adalah bahwa kedua keterampilan ini memiliki persamaan yang berbeda atau perbedaan yang sama. Tulisan diberhentikan dengan tanda baca titik, sedangkan ujaran diberhentikan sejenak dengan diam yang menurun. Paragraf baru adalah penanda untuk satu unit cerita tertulis berikutnya, sedangkan tarikan nafas sebagai penanda ungkapan berikutnya dalam berbicara. Untuk memperkuat argumentasi, seorang orator menyitir secara bebas dengan kata-kata sendiri perkataan atau tulisan orang lain. Seorang penulis/kolumnis juga melakukan hal yang sama. Perbedaannya adalah penulis harus melengkapi kutipannya dengan prosedur penulisan tersendiri. Persamaannya adalah bahwa keduanya – orator dan kolumnis dapat melakukannya dengan memparaprase kutipannya. Perpaduan Silabus Ketrampilan Produktif Dalam buku Pedoman penyelenggaraan pendidikan FKIP Universitas Mataram tahun 2009, 2012 tercantum mata kuliah berbicara 196
dan menulis mulai dari tingkat pertama sampai lanjut seperti public speaking dan academic writing. Silabusnya masingmasing disusun oleh dosen pengampunya. Jadi ada silabus berbicara dan ada silabus menulis, ada dosen speaking dan ada dosen writing. Berbicara mengenai silabus atau topik untuk mata kuliah speaking selama ini penulis memang tidak begitu sepakat karena berbicara itu tidak perlu direncanakan. Kalu direncanakan maka yang akan terjadi adalah hafalan dan performansi mahasiswa akan menjadi semu (baca Sribagus, 2006). Akan tetapi demi kelengkapan administrasi prinsip penulis seperti di atas kiranya belum bisa diterapkan karena satu dan lain hal. Kita atau para penentu kebijakan belum terinspirasi untuk berani berkiprah sendiri. Padahal dalam filosopi pengajaran bahasa, baik bahasa pertama atau ke dua tidak pernah ada yang namanya merencanakan dan menghafal bahasa, apa lagi dengan menentukan topik untuk waktu tertentu. Yang jelas ada yakni pemerolehan bahasa dengan cara alami. Bahasa tidak diajarkan tetapi dikembangkan (baca Krashen, 1983) dalam sub bahasan learning virsus Acquisition. Karena berbicara tidak perlu dihafal dan direncanakan maka logikanya adalah bahwa berbicara tidak perlu disiapkan silabus. Yang ekstrim dan belum diterima orang banyak seperti pendapat penulis di atas tentu tidak terjangkau oleh target artikel ini. Yang difokuskan adalah silabus seperti yang lazimnya berlaku sekarang ini di instansi pendidikan yang mengajarkan bahasa asing yang sudah pasti berisi empat keterampilan berbahasa.
Sribagus, dkk, Beda dan Sama dalam Keterampilan Produktif
Sebagai contoh perpaduan adalah dalam silabus Speaking ada “introducing oneself”, “spending spare time”, “describing people, things, place, arguing dan lain-lain. Butir silabus yang sama bisa digunakan untuk silabus Writing. Jadi seperti yang disebutkan di atas silabus bisa sama tetapi wujud pelaksanaan atau praktiknya yang berbeda karena yang satu direalisasikan dengan lisan sedangkan yang satu lagi melalui goresan di atas kertas. Dengan alasan seperti di atas satu dosen dapat berperan ganda untuk mahasiswa/kelas yang sama. Secara psikologis mahasiswa akan merasakan lebih familiar dengan alur strategi mengajarnya. Ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan menghadirkan dosen yang berbeda karena mahasiswa akan mengikuti alur berfikir secara terpecah belah. Tentunya tidak berarti satu dosen dapat dengan sembarang mengampu apa saja dengan alasan pengiritan personil pengajar. Yang dimaksud perpaduan silabus dalam artikel ini adalah dua mata kuliah yang berkaitan erat bisa menggunakan silabus atau topik yang sama. Konsekuensi dari perpaduan seperti di atas adalah bahwa dosen Speaking dituntut benar-benar memiliki kesenangan dan keterampilan dalam Writing dan sebaliknya. Dengan demikian dosen lebih leluasa mengembangkan kedua keterampilan tersebut dengan pengayaan contoh-contoh wacana. Dari dua wacana yang berbeda pola dan bunyi mahasiswa akan mendapatkan semacam analisa kontrastip yang sangat berguna untuk pengembangan wawasan mereka. Sepanjang pengalaman dan pengamatan penulis hanya kedua keterampilan produktip ini yang bisa pas untuk dipadukan
silabusnya. Dengan kata lain, keterampilan reseptip seperti Listening dan Reading, menurut hemat penulis, sulit untuk dipadukan. Simpulan dan Saran Ada empat macam kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh setiap manusia terhitung mulai berumur dua tahun. Akan tetapi tidak semua manusia memiliki keempat macam kecakapan/keterampilan berbahasa. Kecakapan berbicara dan menulis khususnya biasanya akan diperolehnya setelah mendapatkan pengajaran dan pelatihan di bangku sekolah. Dua keterampilan berbahasa ini lazim disebut Productive Skills. Walaupun diajarkan dan dilatih dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, kedua keterampilan ini masih menjadi momok bagi para pembelajar bahasa. Menulis misalnya, jika dibandingkan dengan berbicara yang sama-sama dalam golongan keterampilan produktip, dirasakan jauh lebih rumit. Penyebabnya bermacam-macam mulai dari penggalan bahasa yang paling sederhana seperti huruf atau kata. Dalam menulis para pemebelajar harus ekstra hatihati untuk menuangkan idenya karena jika satu kata yang salah eja karena penempatan huruf atau kurang lengkap maka akan terjadi pergeseran makna atau bahkan tidak bermakna sama sekali. Terutama sekali kalau ini terjadi dalam pembelajaran bahasa asing seperti bahasa Inggris maka pembacanya akan berubah tidak simpatik. Menyusul kekeliruan dalam takaran kecil seperti di atas adalah kalimat. Kalimat dalam bahasa tulis harus memenuhi standar grammatical yang konvensional, tidak ada regresi atau pengulangan, tidak dibolehkan munculnya false starts, atau vocal fillers, 197
Jurnal Kependidikan 12 (2): 187-198
atau hesitations, seperti ahm, err, uhm, yeap, well, what is it, dan sebagainya. Sementara dalam berbicara, peraturan yang ketat tersebut bisa ditolerir, bahkan keberadaannya sering merupakan penyedap wacana yang dibarengi dengan bahasa isyarat (body language). Disamping perbedaan ada juga persamaan antara keduany. Keduanya memiliki tujuan sama dan sama–sama memiliki kode atau cara tersendiri. Keduanya memiliki jeda, berhenti sebentar, dan berhenti. Keduanya juga memiliki cara pemenggalan ide yang disebut paragrap. Intinya dalah baik berbicara maupun menulis memiliki kesamaan, tetapi kesamaan itu berbeda. Melihat kenyataan yang ada dalam dua keterampilan ini, akan sangat menguntungkan dari pihak dosen maupun mahasiswa jika dosen speaking adalah dosen writing juga karena silabus keduanya dapat dikolaborasikan. Untuk itu dosen yang diharapkan berperan ganda adalah dosen yang mencintai dan berkompeten dalam keduanya.
198
Daftar Pustaka Brown, G. and G. Yule, 1983, Teaching the Spoken Language, Great Britain, Cambridge University Press. Essberger, J., 2001, “Speaking Versus Writing”, http://www.englishclub. com/esl-articles/200108.htm Harmer, Jeremy, 1991, The Practice of Language Teaching, London, Longman. Krashen, S.D., 1983, The Natural Approach, New York, Pergamon Krashen, S. D., 1984, Writing: research, theory, and applications, USA, Laredo Publishing. Omaggio, Alice C., 1986, Teaching Language in Context, Boston, Heinle and Heinle Publishers. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan FKIP Universitas Mataram, 2009. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan FKIP Universitas Mataram, 2012. Raimes, Ann, 1983, Techniques in Teaching Writing, New York, Oxford University Press. Speaking Versus Writing, file://F:\Speaking %20Writing.htm, akses 14/05/2008. Spratt, Mary, et al, 2005, The Teaching Knowledge Test Course, New York, Cambridge University Press. Sribagus, 2006, “Speaking: Jati Diri yang Hampir Hilang”, Journal Pendidikan FKIP Universitas Mataram, 59,XII Juni