ANALISIS WACANA: PERANAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGAJARAN KETERAMPILAN BERBAHASA PRODUKTIF
Makalah disajikan dalam Musyawarah dan Seminar Nasional ke-3 Asosiasi Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (AJPBSI) yang diselenggarakan oleh Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret Surakarta Jumat s.d. Sabtu, 24 s.d. 25 Oktober 2014
Oleh Sutji Muljani, M.Hum. NIPY 10452571970
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 2014
ANALISIS WACANA: PERANAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGAJARAN KETERAMPILAN BERBAHASA PRODUKTIF Sutji Muljani ABSTRAK Berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi, Samsuri mendefinisikan wacana sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, baik menggunakan bahasa lisan maupun tulisan (1998; h.1). Sasaran kajian atau analisis wacana adalah wujud pemakaian bahasa dalam komunikasi natural yang tidak terlepas dari tautan tuturan dengan ciri interaksi pemeran dan konteks social yang melatarbelakanginya (Brown dan Yule, 1995, h. 21). Berkaitan dengan konsep wacana dan sasaran analisisnya, wacana sangat berperan dalam pengajaran keterampilan berbicara dan keterampilan menulis sebagai keterampilan berbahasa yang bersifat produktif. Satuan bahasa dapat dikatakan sebagai sebuah wacana jika memiliki syarat kohesi (kaitan bentuk), koherensi (kaitan makna), dan tekstual. Syarat kohesi dan koherensi wacana di dalam membentuk sebuah karangan utuh tidak terlepas dari syarat keutuhan dalam membentuk paragraf. Artinya, kemampuan kita untuk menguasai pemakaian pemarkah-pemarkah kohesi dan koherensi akan mendukung kemampuan atau keterampilan kita dalam membuat sebuah paragraf yang utuh. Di situlah letak peranan analisis wacana dalam pengajaran keterampilan menulis.Di dalam keterampilan berbicara, analisis wacana berperan dalam memberikan prinsip kooperatif dan prinsip maksim untuk terciptanya percakapan atau tutur kata yang jujur, relevan, jelas, dan cukup memberikan informasi. Prinsip maksim pembicaraan yang dimaksud adalah prinsip kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara bercakap. Berkaitan dengan peranan dan implikasi analisis wacana dalam pengajaran keterampilan berbahasa produktif, sudah seharusnya para guru bahasa mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dunia linguistik, termasuk perkembangan studi analisis wacana. Kata kunci: Analisis wacana, keterampilan berbahasa produktif
A. Pendahuluan Wacana merupakan studi bahasa yang masih tergolong baru di dalam dunia ketatabahasaan. Munculnya studi wacana diawali dengan terbitnya sebuah artikel di dalam majalah Language yang berjudul “Discourse Analysis” pada tahun 1952. Artikel tersebut ditulis oleh Z.S. Harris, seorang linguis Inggris, karena merasa tidak puas dengan analisis tata bahasa kalimat yang bersifat kajian internal kalimat. Sejak munculnya artikel tersebut, mulailah timbul perhatian pada discourse atau wacana. Menurut Kridalaksana (1994), Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap; dalam hierarki linguistik merupakan satuan bahasa tertinggi atau terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk karangan utuh (novel, buku); paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap. Sebagai satuan bahasa yang terlengkap, wacana memiliki unsur-unsur pembentuk yang terdiri dari unsur segmental, unsur suprasegmenta, dan unsur nonsegmental. Berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi, Samsuri mendefinisikan wacana sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, baik menggunakan bahasa lisan maupun tulisan (1998; h.1). fungsi komunikasi tersebut bisa bersifat transaksional maupun interaksional. Fungsi bahasa yang transaksional menghasilkan wacana transaksional yaitu wacana yang mementingkan isi komunikasi dan berorientasi pada pesan. Fungsi bahasa yang bersifat interaksional menghasilkan wacana interaksional yaitu wacana yang mementingkan komunikasi timbal balik; menyatakan hubungan sosial dan sikap individu. Berdasarkan batasan-batasan wacana tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebuah wacana memiliki unsur-unsur penting, yaitu: a. Satuan bahasa/proposisi/satuan gramatikal/rekaman kebahasaan; b. Tataran tertinggi, terbesar, dan terlengkap maknanya; c. adanya susunan kalimat yang kohesif secara bentuk; d. adanya susunan kalimat yang koheren secara makna e. berbentuk lisan maupun tulisan
Sebagai tataran tertinggi dalam hierarki linguistik, wacana merupakan organisasi bahasa yang lebih luas dari kalimat atau paragraf. Akan tetapi, pada kenyataannya sebuah wacana pun dapat dibentuk dari sebuah fonem atau sebuah kata saja. Hal ini dikarenakan adanya makna konteks dan situasi yang melatarbelakangi munculnya sebuah teks sebagai realisasi wacana. Pendekatan konteks dan situasi merupakan salah satu pendekatan yang dipakai dalam mengkaji atau menganalisis wacana untuk sampai pada suatu penafsiran. Di samping itu, sebuah wacana dapat juga dianalisis dari aspek prinsip penafsiran local, prinsip analogi, maupun prinsip kerja sama. Bagaimana prinsip dasar analisis wacana; bagaimana peranan analisis wacana dalam pengajaran keterampilan berbahasa produktif; serta bagaimana implikasinya dalam pengajaran keterampilan berbahasa produktif; akan menjadi bahasan-bahasan di dalam makalah ini.
B. Prinsip Dasar Analisis Wacana Analisis wacana merupakan analisis bahasa dalam penggunaannya yang bersifat pragmatis. Analisis wacana tidak dapat dibatasi hanya pada deskripsi bentuk-bentuk linguistik yang terpisah dari tujuan dan fungsi bahasa dalam proses komunikasi antarmanusia. Akan tetapi, analisis wacana merupakan usaha mencari jawaban untuk apa bahasa digunakan oleh manusia. Analisis wacana memandang wacana sebagai pemerian dan interpretasi makna dari unsur dan hubungan antarunsur suatu paparan bahasa dalam peristiwa komunikasi. Hubungan antarunsur harus memperhatikan untaian kalimat dalam satuan teksnya, sedangkan interpretasi makna bertalian sengan penafsiran suatu ciri relasi semantis antara makna yang secara konvensional terkandung dalam suatu paparan bahasa dengan dunia acuannya. Sasaran kajian atau analisis wacana adalah wujud pemakaian bahasa dalam komunikasi natural yang tidak terlepas dari tautan tuturan dengan ciri interaksi pemeran dan konteks social yang melatarbelakanginya (Brown dan Yule, 1995, h. 21).
Analisis wacana bertalian dengan suatu sistem yang bersifat makro, umum, sekaligus abstrak. Unsur-unsur pembangun wacana sebagai suatu sistem makro tidak hanya menunjukkan hubungan sebab akibat, tetapi terdapat juga unsur-unsur yang terjadi secara simultan dan memiliki hubungan secara interpendensi (Aminudin, 1998, h. 4). Hal tersebut tampak pada ruang lingkup analisis wacana yang meliputi: a. Analisis wacana merujuk pada wujud objektif paparan bahasa berupa teks; b. Analisis wacana berkaitan dengan dunia acuan, konteks, dan aspek pragmatik yang ada pada penutur maupun penanggap; c. Analisis wacana berkaitan dengan unsur luar teks yang berupa referensi, inferensi, praanggapan, dan kaidah implikatur; d. Analisis wacana berkaitan dengan aspek tekstual berupa ciri pengembangan topik dan tema, struktur informasi, analisis ciri sekuensi, kohesi dan koherensi, serta prediksi tingkat keberterimaan untaian kalimat dalam suatu peristiwa komunikasi. Secara umum, analisis wacana adalah analisis bahasa yang tidak terlepas dari konteksnya. Ini berarti konteks itu memegang peranan yang sangat penting dalam analisis wacana. Dalam analisis wacana, para analisis memikirkan apa yang dilakukan oleh penutur pada waktu menggunakan bahasanya; datanya merupakan rekaman proses yang dinamis di mana bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi dalam suatu konteks oleh seorang penulis atau penutur untuk menyampaikan maksud dan buah pikirannya. Pentingnya konteks dalam menafsirkan berbagai macam kalimat, makin disadari oleh para linguis sejak awal 1970-an (Wahab, 1992, h. 131). Sebuah ujaran yang sama dapat memiliki arti yang berlainan dalam konteks situasi yang berbeda. Misalnya ujaran “Rumahmu bersih sekali” Ujaran tersebut bisa bermakna sanjungan atau sindiran tergantung pada konteks situasi yang melatarbelakangi munculnya sebuah ujaran.
Unsur-unsur konteks menurut Dell Hymes (dalam Stubbs, 1983, h. 46-47) adalah sebagai berikut: a. Penyampai, yaitu penutur atau penulis yang menghasilkan ujaran atau tulisan; b. Penerima, yaitu pendengar atau pembaca yang menerima pesan dalam ujaran atau tulisan; c. Topik, yaitu apa yang sedang dibicarakan oleh penyampai dan penerima; d. Setting, yaitu waktu, tempat, peristiwa, serta kesesuaian antara ketiganya; e. Kode, yaitu jenis bahasa atau dialek yang digunakan dalam interaksi; f. Tujuan, yaitu hasil akhir dalam komunikasi antara penyampai dan penerima. Pengetahuan seorang analis wacana tentang unsur-unsur konteks tersebut akan memudahkan dia dalam memperkirakan bentuk dan isi suatu wacana. Hal ini menandakan bahwa konteks berperanan penting dalam penafsiran makna wacana; dan merupakan prinsip dasar dalam pemaknaan sebuah wacana. Artinya, penafsiran makna konteks dan situasi akan mendasari pemaknaan wacana dari prinsip pemaknaan yang lain, seperti prinsip penafsiran lokal dan prinsip analogi. Prinsip penafsiran lokal yaitu prinsip penafsiran makna wacana yang mengharuskan pendengar untuk melihat konteks yang terdekat; pesapa tidak membentuk konsep yang lebih besar daripada yang diperlukan untuk sampai pada suatu penafsiran (Kartomihardjo, 1993; Samsuri, 1995). Prinsip ini memberikan tuntunan kepada pendengar, pembaca atau analis wacana untuk tidak menciptakan konteks yang lebih luas dari yang diperlukan agar dapat diperoleh interpretasi yang paling mendekati maksud asli si penyampai. Prinsip ini sangat tergantung kepada kemampuan pendengar, pembaca, atau analis wacana dalam menggunakan pengetahuannya tentang dunia luar dan dalam menggunakan pengalaman masa lampau yang telah dimiliki mengenai kejadian-kejadian yang sama. Pengetahuan dan pengalaman tersebut dapat
membantu
penafsir
untuk
menginterpretasikan
gejala
bahasa
yang
dijumpainya; dan dapat menentukan apa kira-kira maksud suatu wacana. Jadi, seandainya ada dua orang di dalam kamar sedang bertengkar, kemudian salah seorang dari mereka berteriak, “keluar kamu!”, maka kita hanya menafsirkan keluar dari kamar itu. Tetapi, jika keluar dari kamar itu berarti pula keluar rumah, maka pengertian keluar itu hendaknya ditafsirkan sebagai keluar rumah. Prinsip analogi yaitu prinsip penafsiran yang mengharuskan pendengar atau pembaca menginterpretasikan suatu teks yang telah diketahui sebelumnya; suatu wacana ditafsirkan dengan mengingat wacana lain yang semacam, yang sudah pernah diketahui oleh pendengar. Misalnya, “Di sini sedia bensin campur” Berdasarkan analogi, bensin campur yang dimaksud adalah bensin campur oli. Di sini seorang analis berasumsi bahwa segala sesuatu akan tetap seperti dalam keadaan sebelumnya, kecuali jika analis mendapatkan informasi bahwa beberapa aspek telah berubah, misalnya: “Di sini sedia bensin campur solar” Prinsip analogi merupakan heuristik dasar yang dipakai oleh pembicara maupun pendengar untuk menentukan penafsiran dalam konteks. Prinsip ini dimaksudkan untuk mendapatkan tempat berpijak yang sama berdasarkan pengalaman-pengalaman yang mirip sebagai suatu dasar untuk kelancaran komunikasi. Dalam menilai seseorang pun kita sering menggunakan prinsip analogi, dan dari pengalaman-pengalaman itu lahirlah ungkapan, “Sekali lancing ke ujian, selamanya orang tak percaya”. Namun, adakalanya terjadi kekecualian jika ada seorang bekas napi pada akhirnya mendidik bekas napi yang lain dan mengumpulkan mereka dalam sebuah pondok pesantren. Dari pengalaman tersebut, orang dapat memakainya sebagai analogi untuk menjawab pernyataan sebelumnya. Prinsip lokalitas dan analogi dalam wacana tidak dapat terlepas dari konsep koherensi, yaitu konsep yang menunjukkan bahwa kalimat-
kalimat yang berurutan dalam satu wacana dianggap mempunyai kaitan satu sama lain, walaupun tidak ada tanda-tanda linguistik yang sama.
C. Peranan
dan
Implikasi
Analisis
Wacana
dalam
Pengajaran
yaitu
keterampilan
Keterampilan Berbahasa Produktif Keterampilan
berbahasa
produktif
menggunakan bahasa sehingga dapat dihasilkan lisan dan tulisan untuk dapat dipahami oleh orang lain. Keterampilan berbahasa produktif meliputi berbicara dan menulis. Dalam berbicara, dikenal istilah ekspresi lafal; ekspresi mimik; ekspresi lagu bicara; dan eksprisi fisik untuk menunjang penampilan gaya bicara seseorang. Berkaitan dengan analisis wacana, untuk menunjang makna pembicaraan diperlukan adanya maksimum kerja sama atau kesepakatan bersama dalam berbicara. Dalam hal menulis, dikenal adanya istilah kohesi dan koherensi antarkalimat dalam satu paragraf atau antarparagraf dalam satu karangan utuh sebagaimana yang disyaratkan di dalam pemebentukan wacana yang apik (wacana yang kohesif dan koheren). Dari deskripsi tersebut, secara sekilas terlihat adanya peranan dan implikasi analisis wacana dalam menunjang keterampilan berbicara dan menulis. 1. Peran dan Implikasi Analisis Wacana dalam Keterampilan Berbicara Peranan analisis wacana dalam proses belajar keterampilan berbicara atau bertutur kata diperkuat oleh salah satu aspek pragmatik yang disebut the theory of implikature yang diperkenalkan oleh H.P. Grice (1975). Teori tersebut berasumsi bahwa “jika kita mengatakan sesuatu, terutama dalam percakapan, maka apa yang kita katakana mempunyai makna lebih daripada makna literal kalimat itu”. Implikatur percakapan tersebut dikuasai oleh suatu hukum atau kaidah pragmatik umum yang disebut dengan kaidah Grice, yaitu kaidah tentang penggunaan bahasa. Kaidah ini mencakup peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Kaidah Grice terdiri dari dua pokok kaidah, yaitu:
a. Cooperative principle (prinsip kooperatif), yang berkaidah sbb. “Di dalam percakapan, sumbangkanlah apa yang diperlukan, pada saat terjadinya percakapan itu, dengan memegang tujuan percakapan itu”. b. Maxim of Conversations (Maksim Percakapan), terdiri dari empat maksim, yaitu: 1. Maksim Kualitas Di dalam percakapan, berusahalah menyatakan sesuatu yang benar: -
Jangan menyatakan sesuatu yang Anda percaya bahwa hal itu tidak benar
-
Jangan menyatakan sesuatu yang tidak ada buktinya atau buktinya kurang cukup
2. Maksim Kuantitas -
Berilah keterangan secukupnya;
-
Jangan mengatakan sesuatu yang tidak diperlukan
3. Maksim Relevan -
Katakanlah hanya yang berguna atau relevan
4. Maksim Cara Berbicaralah dengan terang, khususnya: -
Jangan mengatakan sesuatu yang tidak jelas;
-
Jangan mengatakan sesuatu yang ambigu;
-
Berbicaralah dengan singkat; -
Berbicaralah secara khusus. Pada pokoknya, keempat prinsip tersebut memberikan arahan
kepada orang yang sedang bertutur kata tentang apa yang harus dikerjakan agar ia memperoleh hasil yang maksimal, efisien, rasional, dan kooperatif. Untuk itu, ia harus berbicara dengan jujur, relevan, jelas, dan mau memberikan informasi secukupnya seperti yang diperlukan. Jika ada tanda-tanda bahwa suatu dasar atau maksim tidak diikuti, maka kita harus memutuskan bahwa ada sesuatu di balik apa yang dikatakan.
Untuk menentukan apa yang dimaksudkan di belakang apa yang dikatakan, diperlukan pengetahuan tentang kaidah pertuturan. Jika suatu ucapan mempunyai makna di balik apa yang dikatakan, maka ucapan itu mempunyai implikatur. Misalnya: Rumahmu bagus sekali → pujian Nasinya sudah masak
→ silahkan makan
2. Peranan Analisis Wacana dalam Keterampilan Menulis Menulis adalah mewujudkan ide ke dalam bentuk tulisan untuk menjadikan sebuah karangan yang utuh. Dalam hal menulis, kita mengenal adanya istilah kohesi dan koherensi baik antarkalimat dalam satu paragraf maupun antar paragraf dalam satu karangan utuh. Tujuan utama pembagian suatu karangan ke dalam paragrafparagraf ialah untuk memisahkan dan menekankan adanya peralihan dari satu gagasan ke gagasan yang lain yang masih erat kaitannya dengan gagasan pokok yang lebih besar. Pengalihan topik dari satu paragraf ke paragraf berikutnya tidak boleh meninggalkan prinsip kohesi dan koherensi sebuah wacana sehingga akan dihasilkan sebuah karangan yang apik. Kohesi yaitu hubungan gramatikal di antara kalimat-kalimat yang dirangkai. Moeliono mendefinisikan istilah kohesi sebagai keserasian hubungan antarunsur dalam suatu wacana sehingga tercipta suatu pengertian yang apik (1988). Secara formal, tingkat kekohesivan sebuah paragraf dapat dilihat pada pemakaian penanda atau pemarkah kohesi secara proporsional dan fungsional, baik penanda kohesi gramatikal maupun leksikal. Misalnya: Lembaga koperasi harus bisa menampung dan menyalurkan hasil produksi masyarakat. Penampungan dan penyaluran hasil produksi tersebut harus sesuai dengan prosedur yang berlaku. (pemarkah kohesi leksikal reiterasi)
Pidatonya sangat berapi-api. Itu yang membuat Amir dikenal sebagai orator. (pemarkah kohesi gramatikal penggantian atau substitusi) Penulis yang menguasai dasar-dasar analisis wacana, akan secara sadar memikirkan keutuhan paragraf yang akan disajikan kepada pembacanya. Kesadaran tersebut akan mengingatkan penulis pada dua syarat penulisan paragraf yang utuh. Syarat keutuhan atau kekohesivan paragraf adalah (1) hadirnya kalimat topik dalam tiap paragraf; (2) pengucilan materi atau rincian yang tidak ada hubungannya dengan kalimat topik. Koherensi adalah paduan semantis antara proposisi yang satu dengan proposisi yang lain. Suatu rentetan kalimat dapat disebut koheren jika mampu memunculkan satu pesan makna. Koherensi merupakan sarana yang dapat
membangun pertalian makna suatu
makna sehingga mampu
menimbulkan satu pesan. Penulis yang sadar akan pentingnya koherensi dalam sebuah karangan utuh, paling tidak dia akan memikirkan dua syarat dalam mengatakan gagasannya. Kedua syarat itu adalah (1) penyusunan materi yang logis; dan (2) penggunaan kata-kata transisi yang mengaitkan buah pikiran dalam satu kalimat dengan buah pikiran yang terkandung pada kalimat yang lain. Marilah kita pertimbangkan contoh paragraf di bawah ini! Tulisan ini menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara. Dalam khasanah peristilahan yang dipergunakan mata kuliah yang dijadikan pokok pembicaraan dalam tulisan ini terdapat banyak kata-kata lain. Hokum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Usaha, Hukum Tata Usaha Pemerintahan. Jelaslah kiranya bahwa istilah-istilah ini masing-masing dapat dipertahankan dengan alas an dan dasar yang kuat dan bahwa masing-masing mempunyai kelemahan atau kelebihannya sendiri-sendiri. Buku ini beranggapan bahwa istilahistilah itu merupakan ekuivalen, menunjuk pada materi yang sama. Hanya sebaiknya memang andaikata dapat digunakan satu kata yang seragam, hingga dapat dihindarkan sepenuhnya tafsiran yang bukanbukan.
Paragraf tersebut sudah memenuhi persyaratan kelengkapan dan kesatuan; adanya kalimat topik dan kalimat penjelasnya. Akan tetapi, urutan kalimat atau koherensi wacana tersebut terganggu karena munculnya kata-kata yang tidak diperlukan/kata yang mubadir. Perhatikan perbaikan paragraf tersebut sehingga dapat diperoleh gambaran mengenai bagian-bagian yang lemah. Di dalam buku ini digunakan istilah hokum administrasi negara. Di dalam khasanah peristilahan yang berkaitan dengan pokok pembicaraan dalam buku ini terdapat banyak istilah, antara lain hukum tata pemerintahan, hukum tata usaha negara, hukum tata usaha, dan hukum tata usaha pemerintahan. Istilah-istilah ini masing-masing dapat dipertahankan dengan alas an dan dasar yang kuat meskipun masingmasing istilah tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihan. Penulis beranggapan bahwa istilah-istilah itu merupakan ekuivaler karena menunjuk pada materi yang sama. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan istilah yang seragam agar terhindar dari tafsiran yang bukan-bukan. Paragraf di atas lebih mudah dipahami dibandingkan dengan paragraf sebelumnya. Bagaimana menurut pendapat Anda? Koherensi
sebuah
paragraf
dapat
dicapai
dengan
cara
menggunakan kata-kata yang menandakan adanya transisi yang mengaitkan buah pikiran pada kalimat yang satu dengan isi gagasan pada kalimat yang lain. Jadi, pertautan antara buah pikiran yang satu dengan buah pikiran yang lain dapat diketahui dari tanda-tanda linguistic yang berfungsi menghubungjan butir-butir pikiran itu. Penjelasan-penjelasan tersebut di atas memberikan gambaran tentang bagaimana peranan analisis wacana di dalam pengajaran keterampilan berbahasa produktif, baik keterampilan berbicara maupun keterampilan menulis. Di dalam berbicara, secara pragmatis analisis wacana memberikan peranan tentang konsep kooperatif dan konsep maksim untuk terciptanya suatu pembicaraan atau tutur kata yang jujur, relevan, jelas, dan cukup memberikan informasi. Di dalam menulis, secara teoretis analisis wacana berperan dalam memberikan konsep kohesi dan koherensi wacana untuk mendapatkan atau
menghasilkan sebuah karangan utuh, baik dari aspek kohesi maupun koherensinya. Studi analisis wacana terimplikasi pada pengajaran keterampilan berbahasa produktif. Hal ini terlihat pada kurikulum pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang memasukkan materi keterampilan berbahasa untuk mendidik siswa supaya dapat berbahasa dengan baik dan benar, terutama supaya cakap dalam berbicara dan menulis larangan.
D. Simpulan dan Saran Analisis wacana yaitu analisis bahasa dalam penggunaannya sehingga tidak bisa dibatasi hanya pada deskripsi bentuk-bentuk linguistik yang terpisah dari tujuan dan fungsi bahasa dalam proses interaksi antarmanusia. Analisis wacana berusaha mencari jawaban tentang fungsi dan kegunaan bahasa oleh manusia. Satuan bahasa dapat dikatakan sebagai sebuah wacana jika memiliki syarat kohesi (kaitan bentuk), koherensi (kaitan makna), dan tekstual. Syarat kohesi dan koherensi wacana di dalam membentuk sebuah karangan utuh tidak terlepas dari syarat keutuhan dalam membentuk paragraf. Artinya, kemampuan kita untuk menguasai pemakaian pemarkah-pemarkah kohesi dan koherensi akan mendukung kemampuan atau keterampilan kita dalam membuat sebuah paragraf yang utuh. Di situlah letak peranan analisis wacana dalam pengajaran keterampilan menulis. Di dalam keterampilan berbicara, analisis wacana berperan dalam memberikan prinsip kooperatif dan prinsip maksim untuk terciptanya percakapan atau tutur kata yang jujur, relevan, jelas, dan cukup memberikan informasi. Prinsip maksim pembicaraan yang dimaksud adalah prinsip kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara bercakap. Analisis wacana terimplikasi di dalam pengajaran keterampilan berbicara dan menulis. Hal ini terlihat di dalam materi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang memasukkan keterampilan berbahasa, antara lain keterampilan berbicara dan menulis. Pemberian materi ini bertujuan untuk
mendidik siswa supaya cakap di dalam berbicara dan menulis/membuat sebuah karangan sesuai dengan kaidah tata bahasa. Dengan kata lain, teori analisis wacana mampu memberikan sumbangan untuk memperbaiki mutu pengajaran dalam aspek kebahasaan produktif. Berkaitan dengan peranan dan implikasi analisis wacana dalam pengajaran keterampilan berbahasa produktif, maka sudah seharusnya para guru bahasa mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dunia linguistik, termasuk perkembangan studi analisis wacana.
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin.1989.”Analisis Wacana dan Telaah Karya Sastra”,dalam Puitika.edisi 01/th.1/1989.Malang:HISKI. Brown dan Yule.1995.Analisis Wacana.Jakarta:Gramedia. Dardjowidjojo, Soenjono.1986.”Benang Pengikat Wacana”, dalam Pusparagam Linguistik dan Pengajaran Bahasa(disunting oleh Bambang Kaswanti Purwo).Jakarta:Unika Atmajaya. Depdikbud.1999.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka. Oetomo, dede.1993.”Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana”, dalam Pellba 6 (disunting oleh Bambang Kaswanti Purwo).Jakarta:Unika Atmajaya. Purwo, Bambang Kaswanti.1987.”Pragmatik dan Linguistik”, dalam Bacaan Linguistik.Yogyakarta:MLI Komisariat UGM. Samsuri.1988.Analisis Wacana (Buku Pegangan Pengajaran Bahasa.Program Pascasarjana IKIP Malang.) Soemarmo, Marmo.1994.”Pragmatik dan Perkembangan Mutakhirnya”. Wahab, Abdul.1992.”Peranan Analisis Wacana dalam Pengajaran Keterampilan Bahasa”,
dalam
Isu
Linguistik:
Pengajaran
Bahasa
dan
Sastra.Surabaya:Airlangga University Press. Hoed, B.H.1995.”Wacana, Teks, dan Kalimat”, dalam Bahasawan Cendekia (disunting oleh Anton Moeliono).Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.