i
BATAS USIA ANAK DALAM TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERADILAN ANAK
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S-1) Dalam Ilmu Syari’ah Ahwal Syahsiyah
Oleh: WIHDATUL HASANAH NIM: 1210060
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AS-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU) JEPARA 2015
ii
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Jepara, 16 Maret 2015 Deklarator,
Wihdatul Hasanah NIM. 1210060
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : Hal
: Naskah Skripsi A.n. Sdri. Wihdatul Hasanah
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudari: Nama
: Wihdatul Hasanah
Nomor Induk : 1210060 Judul
: “Batas Usia Anak dalam Tindak Pidana menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Peradilan Anak”.
Dengan ini saya mohon kiranya naskah skripsi Saudari tersebut dapat segera dimunaqosyahkan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jepara, 16 Maret 2015 Pembimbing
Drs. H. Ahmad Barowi, M.Ag.
iv
LEMBAR PENGESAHAN
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang dengan ikhlas telah berkorban dan membantu penulis dalam mengarungi perjalanan panjang dalam menggapai cita-cita: 1. Kepada Bapak dan Ibuku tercinta yang telah banyak memberikan motivasi dan dorongan hingga cita-cita ini tercapai. 2. Kepada adik-adikku yang tercinta semoga apa yang engkau cita-citakan dapat terwujud. 3. Kepada teman-teman seperjuanganku Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara.
vi
Motto
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia member pelajaran kepadanya: "Haianakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman: 13)
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Batas Usia Anak dalam Tindak Pidana menurut Hukum
Islam dan Undang-Undang Peradilan Anak”.Ini disusun guna
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (satu) pada UNISNU Jepara. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terealisasikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr KH. Muhtarom HM., selaku Rektor UNISNU Jepara yang telah merestui pembahasan skripsi ini. 2. Drs. H. Ahmad Barowi, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara yang telah memberikan arahan tentang penulisan skripsi ini. 3. Drs. H. Ahmad Barowi, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan fikiran untuk memberikan bimbingan, pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Kepala Perpustakaan UNISNU Jepara yang telah memberikan izin dan layanan perpustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Para dosen dan staf pengajar di lingkungan UNISNU Jepara yang membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 6. Segenap keluarga besar yang langsung maupun tidak langsung telah membantu, baik moril maupun materiil dalam penyusunan skripsi ini. Dan semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu. 7. Teman-teman semua yang telah memberikan support dan motivasi dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
viii
Semoga amal baik beliau tersebut di atas dan juga semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan mendapatkan balasan pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT. Amien. Akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya.
Kudus, 16 Maret 2015 Penulis,
Wihdatul Hasanah NIM. 1210060
ix
ABSTRAKSI Anak sebagai generasi muda merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan memelihara, mempertahankan dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Dalam hukum Islam seorang anak tidak akan dikenakan hukuman had karena kejahatan yang dilakukannya, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak pada usia berapapun sampai dia mencapai usia puber, qadhi hanya akan berhak untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikinya dan menghendakinya dari membuat kesalahan di masa yang akan datang. Kajian tentang batas usia anak dalam tindak pidana menurut hukum Islam dan Undang-undang peradilan anak merupakan fenomena yang sangat menarik untuk dikaji, apalagi selama ini banyak fenomena seorang anak kecil di bawah umur duduk di bangku tertuduh dan ditahan seperti layaknya penjahat besar hanya karena perkara sepele. Metode penelitian ini termasuk jenis penelitian library research, maka dalam penulisan ini, penulis melakukan pengumpulan data lewat studi dan penelitian kepustakaan terhadap buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis kaji. Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif yang berusaha menggambarkan, menganalisa dan menilai data yang terkait. Hasil yang di dapat dari penelitian ini yaitu batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya menjadi jelas yaitu dalam hukum Islam, batas usia anak adalah di bawah usia 15 atau 18 tahun dan perbuatan anak dapat dianggap melawan hukum, hanya keadaan tersebut dapat mempengaruhi pertanggungjawaban. Sehingga perbuatan melanggar hukum oleh anak bisa dimaafkan atau bisa dikenakan hukuman, tetapi bukan hukuman pokok melainkan hukuman ta’zir. Sedangkan dalam hukum positif batas usia anak adalah usia 8 tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah kawin dan semua perbuatan anak yang melanggar hukum dapat dikenakan hukuman akan tetapi hukumannya maksimal setengah dari hukuman orang dewasa, untuk penjara atau kurungan maksimal 10 tahun, hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati tidak berlaku bagi anak-anak. Kata kunci: “Batas usia anak dalam tindak pidana menurut hukum Islam dan Undang-undang peradilan anak”.
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
HALAMAN DEKLARASI ...........................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... iii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................
v
HALAMAN MOTTO ....................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii ABSTRAK........................................................................................................ ix DAFTAR ISI .................................................................................................. BAB I
x
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Penegasan Judul .....................................................................
7
C. Telaah Pustaka .......................................................................
8
D. Rumusan Masalah.................................................................... 10 E. Tujuandan Kegunaan ............................................................ 10 F. Metode Penelitian ………………………………………….. 11 G. Sistematika Pembahasan …………………………………… 13 BAB II
:
PELANGGARAN
PIDANA
ANAK-ANAK
DALAM
HUKUM ISLAM A. KriteriaAnakdanHukuman
................................................. 15
1. PengertianAnak .............................................................. 15 2. PengertianHukuman ....................................................... 21 B. PerbuatanAnak Yang DianggapSebagaiPelanggaran
......... 23
C. KetentuanPemidanaan........................................................... BAB III :
PELANGGARAN
PIDANA
ANAK-ANAK
25
DALAM
HUKUM POSITIF A. Batas Usia Anak Menurut Hukum Islam ................................ 36 1. Batas Usia Anak .............................................................. 33
xi
2. Kriteria Pidana ................................................................. 40 B. Batas Usia Anak Menurut UU Peradilan Anak ...................... 42 1.
Batas Usia Anak ............................................................. 42
2.
Ketentuan Pidana ........................................................... 48
BAB IV : ANALISI S DATA A. Batas Usia Anak Dalam Tindak Pidana Menurut Hukum Islam danHukumPositif
………..………………………… 57
B. Persamaan Dan PerbedaanTentang Batas UsiaAnak Dan PertanggungjawabanPidananyaAntaraHukumIslam Dan Hukum Positif …………...……………………………. 68 BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 73 B. Saran-Saran ............................................................................ 75 C. Penutup ................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 78 LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan kemajaun budaya dan iptek, perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara semakin kompleks dan bahkan multikomplek. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai norma hukum yang berlaku, tidak menjadi masalah. Terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat menimbukan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat.1 Seorang individu dalam berinteraksi dengan individu lainnya menjadikannya tidak luput dari adanya suatu kesalahan terhadap suatu aturan, baik sifatnya moril yang nantinya hanya Allah-lah yang memberikan sanksi atau hukuman di akhirat maupun kesalahan yang sifatnya dapat langsung diberikan suatu tindakan hukum berupa hukuman atas kesalahannya itu, sebagaimana firman Allah SWT
:
....ت عَهَيْكُ ُم انْقِصَبصُ فِي انْقَزْهَي َ ِه امَىُُْا كُز َ ْيَب اَيٍَُّب انَّزِي Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh
1
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, cet. ke 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
hlm. 1. 2
Al-Baqarah (2) : 178.
1
2
Istilah hukum dalam Islam mempunyai dua pengertian, yaitu syariat dan fiqih. Syariat terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad, dan fiqih adalah pemahaman dan hasil pemahaman tentang syari’at. Sumber syariat adalah al-Quran dan Sunnah, dan sumber fiqih adalah al-Quran dan Sunnah, dan sumber fiqih adalah al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu.3 Sehubungan dengan itu, salah satu masalah yang penting dan mendapat banyak perhatian dalam hukum pidana adalah masalah hukuman. Dalam masalah hukuman, hukum pidana positif menawarkan pembedaan antara tujuan hukum pidana (strafrechtscholen) di satu sisi dengan tujuan hukuman (strafrechstheorieen) di sisi lain, hal ini dikarenakan tujuan dari susunan hukum pidana adalah merupakan tujuan ditetapkannya suatu aturan hukum yakni untuk melindungi masyarakat dari kejahatan,4 sedangkan tujuan hukuman adalah pembinaan dan bimbingan tentang tujuan ini masih banyak diperdebatkan dan banyak pendapat yang mendasarkan pada beberapa teori yang ada. Hampir semua orang tua mengeluh bahwa banyak generasi muda berani kepada orang tua, berakhlak buruk, dan tidak memiliki sopan santun. Setelah direnungkan nampaklah bahwa penyebab utama sikap anak-anak berani kepada orang tua adalah karena orang tua lalai dalam menanamkan pengetahuan dan pendidikan Islam kepada anak-anak mereka. Sebaliknya para orang tua mendidik anaknya dalam lingkungan yang sama sekali tidak Islami 3
Ibnu Rahman, Hukum Islam Dalam Perspektif Filsafat, (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), hlm. 74. 4 Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, cet. ke-5, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 31.
3
dan mendidik mereka dengan tingkah laku berdasarkan gaya hidup dan ajaran barat.5 Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial sering berperilaku dan bertindak asosial dan bahkan antisosial yang merugikan dirinya, keluarga dan masyarakat. Untuk itu salah satu pertimbangan Undang-undang nomor 3 Tahun 1997 menyatakan: “bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.6 Dalam Islam pemeliharaan anak adalah tanggung jawab bagi kedua orang tuanya, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
ط ََانْحِجَبسَ ُح عَهَيٍَْب مَهَـئِكَ ٌخ ُ ه امَىُُْا قُُْااَوْفُسَكُ ْم ََاٌَْهِيْكُ ْم وَبسًا ََقُذٌَُب انىَّب َ ْيَبايٍَُّبانَزِي ن َ َُْن مَبيُؤْمَش َ ُُْن انهًَّ مَباَمَشٌَُ ْم ََيَفْعَه َ ؼِهَبظٌ شِذَادٌ الّيَعْصُُْا Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
5
Maulana Musa Ahmad, Mendidik Anak Secara Islami, cet. ke 4, (Yogyakarta: Ashshaff, 2006), hlm. 5-6. 6 Bambang Waluyo, Op. Cit., hlm. 3. 7 At-Tahrim (66) : 6.
4
Ayat tersebut menegaskan akan fungsi dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya yang pada hakikatnya ada dua macam, yaitu:8 1. Fungsi orang tua sebagai pengayom. 2. Fungsi orang tua sebagai pendidik. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan system terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Menurut Undang-undang dianggap tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang mengalami pertumbuhan. Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman had karena kejahatan yang dilakukannya, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak atas usia berapapun sampai dia mencapai usia puber, qadhi hanya akan berhak untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan
baginya
yang
akan
membantu
memperbaikinya
dan
menghentikannya dari membuat kesalahan di masa yang akan datang.9 Memang dalam pergaulan sehari-hari, masalah batas umur antara kata dewasa dan kata anak cukup menjadi problema yang rumit. Klasifikasi umur akan menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi hukuman serta dapat tidaknya suatu tindak pidana dipertanggungjawabkan kepadanya dalam lapangan kepidanaan. Secara umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai inti dalam persoalan ini adalah kedewasaan, walaupun kedewasaan seseorang 8
H.Mustafa Kamal Pasha, Fiqh Islam, disusun berdasarkan keputusan Majlis Tarjih, (Yogyakarta : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Majelis Pendidikan Dasar, Menengah dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2000), hlm. 287. 9 Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, alih bahasa Sulaiman Rasjid, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 16.
5
dengan orang lain tidak disamakan, namun dalam peristiwa hukum klasifikasi ini akan selalu sama untuk suatu lapangan tertentu,10 karena menyangkut titik akhir yang ingin dicapai oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam perasaan keadilan yang sebenarnya. Sementara, selama ini banyak fenomena seorang anak kecil di bawah umur duduk di bangku tertuduh dan ditahan seperti layaknya penjahat besarhanya karena perkara sepele. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain : 1. Adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat. 2. Arus globalisasi di bidang informasi dan komunikasi 3. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi 4. Perubahan gaya dan cara hidup sebagian para orang tua Di samping itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya.
10
E. Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 19.
6
Karena itu dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya harusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut. Mengingat ciri dan sifat yang khas, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak nakal diupayakan agar anak dimaksud jangan sampai dipisahkan dari orang tuanya.Hubungan orang tua dengan anaknya merupakan hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologi maupun mental spiritual. Bilamana hubungan orang tua dan anak kurang harmonis atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tadi semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri secara sehat dan wajar. Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka sangat signifikan dan urgen untuk meneliti lebih jauh mengenai “Batas Usia Anak dalam Tindak Pidana menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Peradilan Anak”. B. Penegasan Judul 1. Batas usia anak: Merujuk dari Kamus Umum Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.11 Dalam Pasal 45 KUHP,
11
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka: Armico, 1984), hlm. 25.
7
definisi anak yang belum dewasa ialah apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. 2. Tindak pidana: Suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.12 3. Hukum islam: Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.13 4. Undang-undang peradilan anak: yaitu suatu peraturan undang-undangan yang sudah disahkan oleh pemerintah, yaitu dalam undang-undang no.3 Tahun 1997 tentang peradilan anak. C. Telaah Pustaka Guna membahas pokok masalah yang terdapat dalam rumusan di atas, maka uraian literatur berikut dapat menjadi kajian dalam pembahasan skripsi ini. Ada beberapa skripsi yang telah membahas tentang anak-anak dalam lingkungan hukum,
di
antaranya adalah skripsi
Badruzzaman yang
menjelaskan tentang sistem pemidanaan dan pemberian sanksi anak nakal dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dalam hukum Islam ditinjau dari pendekatan normatif,14 dan skripsi Laily Dyah Rejeki yang
12
Bambang Poernomo, Op.Cit., hal 91. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Cet.ke-3, (Kencana: Jakarta, 2010), hlm. 9 14 Badruzzaman, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pemidanaan dan Pemberian Sanksi Anak Nakal dalam UU No.` 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003). 13
8
menguraikan
tentang
kenakalan
anak
dalam
kaitannya
dengan
pertanggungjawaban pidana menurut hukum positif dan hukum Islam.15 Para pakar pidana dan pemikir Islam sudah banyak yang membahas mengenai status hukum seorang anak. Dari kalangan tokoh hukum Islam di antaranya adalah Ahmad Wardi Muslich yang berjudul Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah yang menjelaskan tentang permasalahan yang berkaitan dengan hukuman dalam tindak pidana.16 Adapun buku dari kalangan tokoh atau pakar huhum yang membahas tentang hukum anak di antaranya adalah buku karya Wagiati Sutedjo yang berjudul Hukum Pidana Anak yang memberikan penjelasan bahwasanya pengaturan hukum anak dalam berbagai tingkat perundang-undangan.17 Dan buku Undang-Undang Peradilan Anak yaitu undang-undang no. 3 tahun 1997. Perkembangan zaman saat ini banyak mempengaruhi perkembangan jiwa masyarakat dan membuat orang untuk selalu memenuhi kebutuhan hidupnya. Seseoarang yang hidup dalam masyarakat tentu akan mengadakan hubungan dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Pergaulan yang ada tidak terbatas pada satu golongan masyarakat tertentu saja, seorang di bawah umur juga tidak tertutup kemungkinan untuk bergaul dengan orang yang sudah dewasa. Dengan melihat dari berbagai kemungkinan di atas maka dalam penelitian ini juga diperlukan literatur-literatur yang membahas tingkah laku 15
Laily Dyah Rejeki, Kenakalan Anak dalam Kaitannya dengan Pertanggungjawaban Pidana menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2001) 16 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) 17 Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak, cet. ke-2, (Bandung: Refika Aditama, 2008)
9
anak dari segi psikologi dan sosiologi, di antaranya adalah buku karya Kartini Kartono yang berjudul Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja18 dan bukunya Aat Syafaat, Sohari Sahrani, dan Muslih yang berjudul Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency).19 Dan masih banyak lagi kajian psikologi dan sosiologi yang mengungkap kenakalan anak dari perkembangan jiwa dan lingkungan di mana anak tersebut hidup. Pada tulisan sebelumnya, keduanya merupakan tulisan yang lebih menguraikan tentang sistem pemidanaan anak dan menguraikan pemberian sanksi pada anak nakal. Sedangkan dalam skripsi yang disusun ini, lebih menitikberatkan bahasan pada batas usia anak yang dapat dipidanakan yakni menurut hokum islam dan undang-undang peradilan anak. D. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, dapat dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana batas usia anak dapat di pidana menurut hukum Islam dan undang-undang peradilan anak? 2. Bagaimana ancaman pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana dalam hukum islam dan undang-undang peradilan anak?
18
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali, 1992) Aat Syafaat, Sohari Sahrani, dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency),(Jakarta: Rajawali Press, 2008). 19
10
3. Bagaimana mengenai pertanggungjawaban anak antara hukum Islam dan undang-undang peradilan anak? E. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan penelitian: a. Menjelaskan batas usia anak dalam tindak pidana pidana menurut hukum Islam dan undang-undang peradilan anak. b. Menjelaskan ketentuan pidana anak dan pertanggungjawabannya menurut hukum Islam dan undang-undang peradilan anak. 2. Kegunaan penelitian: a. Sebagai sumbangan bagi pengembangan hukum Islam dan undangundang peradilan anak khususnya yang berkenaan dengan batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya. b. Untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat akan tanggung jawab pemeliharaan anak sebagai generasi penerus bangsa. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis peneltian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara mengkaji dan menelaah berbagai dokumen baik berupa buku atau tulisan yang berkaitan dengan bahasan tentang usia anak dan ketentuan pidana anak dalam Hukum Pidana Islam dan undang-undang peradilan anak.
11
2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu berusaha memaparkan tentang batas usia anak dalam tindak pidana menurut hukum Islam dan Undang-Undang peradilan anak. Selanjutnya data-data yang ada diuraikan dan dianalisis dengan secermat mungkin sehingga dapat ditarik kesimpulan. 3. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normative yuridis, yang mengkaji masalah batas usia anak, ketentuan pidana dan pertanggungjawaban pidananya dengan berdasarkan pada aturan-aturan hukum Undang-undang peradilan anak dan juga berdasarkan aturan-aturan Hukum Islam. 4. Teknik Pengumpulan Data Karena jenis penelitian ini adalah library research, maka pada tahap pengumpulan data menggunakan bahan-bahan pustaka tentang batas usia anak, ketentuan pidana dan pertanggungjawaban pidananya. Undangundang peradilan anak dan Hukum Islam yang relevan dan representatif. Sebagai data primer dalam penelitian ini adalah al-Qur’an dan alHadits yang merupakan sumber Hukum Islam, dan beberapa buku peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak. Sedangkan data sekundernya adalah buku-buku atau bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan bahasan mengenai batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya baik menurut hukum islam maupun undang-undang peradilan anak.
12
5. Analisis Data Sedangkan data yang telah ada dianalisis secara komparatif, yaitu dengan membandingkan data mengenai batas usia anak dalam tindak pidana menurut hukum Islam dan Undang-undang peradilan anak serta melihat persamaan dan perbedaan di antara keduanya. G. Sistematika Pembahasan Agar pembahasan ini dapat tersaji secara teratur dan tersusun secara sistematis, pembahasannya akan disajikan dalam lima bab, yaitu sebagai berikut. Bab pertama berisi pendahuluan, yang di dalamnya menguraikan tentang latar belakang masalah yang menjadi kajian dalam skripsi ini, penegasan judul, telaah pustaka, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan metode penelitian yang berfungsi sebagai kendali untuk meluruskan alur penelitian sampai pada titik akhir pembahasan. Pada bab kedua menguraikan telaah tentang tinjauan umum tentang anak menurut hukum islam dan Undang-undang perdilan anak. Bahasan dalam bab ini meliputi pengertian anak, tahap-tahap perkembangan anak, kriteria tindak pidana anak dalam hukum islam dan undang-undang peradilan anak. Pembahasan dimulai pada bab ketiga yang menguraikan telaah tentang batas usia anak dan ketentuan pidana anak dalam hukum Islam dan batas usia anak dan ketentuan pidana dalam Undang-undang peradilan anak. Selanjutnya
pada
bab
keempat,
batas
usia
anak
dan
pertanggungjawaban pidananya dianalisis secara komparatif dari segi
13
pengertian dasar hukum, kriteria (bentuk) hukuman dari kedua sistem hukum tersebut. Dengan pembahasan ini akan dapat diketahui batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya sehingga hak-hak anak cukup terpenuhi dan terlindungi. Sedangkan bab kelima, adalah penutup yang di dalamnya diuraikan kesimpulan dari apa-apa yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Kemudian dilanjutkan dengan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK A. Pengertian Anak 1. Pengertian anak menurut hukum Islam Anak menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil antara hubungan antara pria dan wanita. Adapun ada istilah anak ada itu mempunyai arti umum bagi seluruh manusia, karena adalah manusia pertama yang diciptakan Allah.
1
Dalam Bahasa Arab terdapat dua kata yang berarti anak, yaitu: a. Walad
2
Walad mempunyai arti secara umum.Baik anak yang dilahirkan oleh manusia, maupun binatang yang dilahirkan oleh induknya. 3
b. Ibnun
Ibnun yang berarti anak manusia. Penggunaan kata walad dan ibnun dalam penerapannya berbeda. Walad dipakai untuk istilah anak secara umum, baik anak manusia atau 4
anak binatang. Sedangkan kata ibnun hanya dipakai untuk manusia. Idealnya
dunia
anak
adalah
dunia
istimewa
tidak
ada
kekhawatiran dan tidak ada beban yang harus dipikul pada masa itu.
1
Fuad Mochamad Fachrudin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam (Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Zina), (Jakarta: Pedoman Jaya, 1985), hlm.38. 2 Kata walad secara etimologi berarti anak atau keturunan. Lihat Attabik Ali Dan A Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Jogjakarta: Multi Karya Grafika, 2003), hlm. 3029. 3 Kata ibnun secara etimologi berarti anak laki-laki, Ibid., hlm. 12. 4 Fuad Mochamad Fachrudin, Op. cit., hlm. 40.
37
15
Namun terkadang anak harus menanggung beban seperti orang dewasa karena dianggapnya sebagai miniatur orang dewasa terlebih lagi tidak diperlukan karakteristik dan ciri khasnya mereka yang juga punya keinginan, harapan dan dunia mereka sendiri. Al-Qur’an secara jelas memberikan gambaran-gambaran tentang kedudukan anak dalam kehidupan, diantaranya:
5
a. Harta dan anak adalah sebagai cobaan
.ٌهلل عِىْذَ ُي اَجْشٌعَظِيْم َ َن ا َّ ََاعْهَمُُاَاوَّمَباَمَُْانُكُ ْم ََاََْنَب دُكُمْ فِزْىَ ٌخ ََا Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. b. Harta dan anak sebagai perhiasan hidup di dunia, firman Allah SWT:
ن صِيْىَ ُخ اْنحَيَُ ِح الُّدوْيَب َ ُُْل ََانْجَى ُ اَنْمَب Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan di dunia... c. Keduanya biasanya kebanyakan bukan mendekatkan diri kepada Allah, firman Allah:
م َ ه ََعَ ِم َ َه اَم ْ ََمَب اَمَُْانُكُ ْم ََالَاَ َْالَدُكُ ْم ثِبنَّزِى رُقَشِّثُكُ ْم عِىْذَوَب صُنْفَى إِنَّب َم 8
5
.َذ اَمِىُُْن ِ َف ثِمَب عَمِهُُا ٌََُمْ فِى انْؽُشُف ِ ْك نٍَُ ْم جَضَاءُانضِّع َ ِصَهِحًب فَأُنَئ
Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 231. 6 Al-Anfal (8) : 28. 7 Al-Kahfi (18) : 46. 8 Saba’ (34) : 37.
16
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orangorang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam syurga). d. Janganlah harta dan anak melalaikan diri untuk mengingat Allah (shalat dan lain-lain), firman Allah:
م ْ ه يَفْ َع ْ َهلل ََم ِ ه رِكْشِا ْ َال اََْنَبدُكُ ْم ع َ ََ ه ءَامَىُُا الَرُهٍِْكُ ْم اَمَُْانُكَ ْم َ ْيَب اَيٍَُّب انَّزِي 9
.َك ٌُ ُم انْخَسِشَُْن َ ِرَنِكَ فَأَُْنَئ
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikianmakamereka itulah orang-orang yang merugi. e. Harta dan anak orang kafir tidak dapat menolak siksa yang menimpanya, firman Allah:
ك َ ِه اهللِ شَيْئًب ََاَُنَئ َ ِال اَ َْالَدٌُُ ْم م َ ََ ي عَىٍُْ ْم اَمَُْانٍُُ ْم َ ه رُؽْ ِى ْ َه كَفَشَُْا ن َ ْن انَّزِي َ ِا 10
.ٌُِ ْم ََقُُْ ُد انىَّبس
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikit pun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka.
2. Pengertian anak menurut undang-undang peradilan anak Merujuk dari Kamus Umum Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.
11
Pengertian tersebut juga
terdapat dalam Pasal 45 KUHP disebutkan bahwa ”Dalam menuntut orang 9
Al-Munafiqun (63) : 9. Al-Imran (3) : 10. 11 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka: Armico, 1984), hlm. 25. 10
17
yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim boleh: memerintahkan, supaya sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan, supaya si tersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman, dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan; atau menghukum anak yang bersalah itu.” Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana adalah seseorang sebelum umur enam belas tahun.
12
Namun dalam Undang-undang nomor 3 tahun 1997
tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa” Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (Delapan belas) tahun dan belum pernah kawin dan dikenal dengan sebutan anak nakal. Sebagaimana kutipan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) berbunyi:
13
1. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
12
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan, & Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 98. 13 Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Peradilan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 3.
18
2. Anak nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan diundangkannya Undang-undang ini, maka Pasal 45 KUHP tidak berlaku lagi. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 67 Undangundang nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang berbunyi ”pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.” Sedangkan ketika melihat definisi anak per pasal dalam perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Menurut UU No.4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak pasal 1 no 2 “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.
14
b. Menurut UU No.3 Tahun 1997 tentang peradilan Anak pasal 1 no 1 “Anak adalah orang yan dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.
14 15
15
Perundangan Tentang Anak (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), Cet. ke 1, hlm. 6. Ibid.hlm. 15.
19
c. Menurut
UU No. 23 Tahun 2002tentang perlindungan anak yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.
16
d. Menurut UU No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 1 no 20, anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun. Tentang
pengertian
anak,
hubungan dengan orang tua yaitu:
anak
digolongkan
berdasarkan
17
a. Anak kandung adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat ikatan perkawinan yang sah. b. Anak tiri adalah anak yang bukan terlahir dari kedua orang tua yang sama misalnya si istri tergolong janda dan ia membawa anak dari suami pertama, atau sebaliknya si pria adalah duda yang membawa anak dari istri pertama. Kedudukan anak seperti demikian pada umumnya tidak sama di mata kedua orang tua, baik dalam curahan kasih sayang maupun dalam berbagi harta warisan dikemudian hari. c. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Hal ini sebagaimana 16
Ibid., hlm. 66. Bismar Siregar, Telaah tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Wanita, (Yogyakarta: Pusat Studi Kriminologi F. H. UII, 1986), hlm. 3 lihat juga Pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 17
20
yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 9 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. d. Anak asuh adalah anak yang di asuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang secara wajar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. B. Tahap- tahap perkembangan anak Perkembangan anak pada dasarnya merupakan hal yang bersifat kontinyu, sehingga untuk mendapatkan penyebab yang jelas mengenai masalah-masalah perkembangan anak, biasanya seseorang menggambarkan perkembangan itu dalam periode-periode. Disamping itu dikatakan pula bahwa “pada saat perkembangan anak secara umum memperlihatkan ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang hampir sama. Karena itu orang lalu membagi masa perkembangan anak dalam beberapa periode”. Pembagian fase-fase perkembangan anak menurut pandangan para ahli pada umumnya sarjana-sarjana psikologis umumnya membagi periode perkembangan menurut pertimbangan sendiri, hal ini disebabkan karena dasar yang dipakai ada yang dari sudut biologis, didaktis maupun psikologis.
21
Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase, yang digolongkan dalam 3 fase:18 1. Fase pertama adalah dimulai pada usia 0 tahun sampai dengan 7 tahun yang disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, perkembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (trozalter) pertama dan tubuhnya seksualitas awal pada anak. 2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 sampai 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, digolongkan dalam 2 periode, yaitu: a. Masa anak Sekolah Dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode intelektual. Periode intelektual adalah masa belajar awal dimulai dengan memasuki masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan sekolah kemudian teori pengamatan anak dan hidupnya perasaan, kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai mcam potensi, namun masih bersifat tersimpan atau masa latensi (masa tersembunyi). b. Masa remaja/pra-pubertas atau pubertas awal yang
dikenal dengan
sebutan periode pueral. Pada periode ini, terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan berkembangnya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal, kurang sopan, liar dan lain-lain. 18
7-8
Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak, cet.II, (Refika Aditama: Bandung, 2008), Hlm.
22
3. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14-21 tahun, yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan adolescent, di mana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi dewasa. Masa remaja atau masa pubertas bisa dibagi dalam 4 fase, yaitu: a. Masa awal pubertas, disebut sebagai masa pueral/prapubertas. b. Masa menentang kedua, fase negatif, trozalter kedua, periode verneinung. c. Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari pada masa pubertas anak laki-laki. d. Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar 19 hingga 21 tahun. Elizabeth B. Hurlock mengadakan tahapan perkembangan sebagai berikut: 1. Masa prenatal (sebelum lahir), pra lahir. 2. Masa natal a. Masa infacy: baru lahir neoratus, dari lahir sampai 14 hari. Fase ini merupakan fase penyesuaian terhadap lingkungan. Pada masa ini bayi menjalani masa tenang dan tak banyak terjadi perubahan. b. Masa bayi: antara 2 minggu sampai 2 tahun. c. Masa anak-anak: mulai 2 tahun sampai 10 tahun atau 11 tahun. 3. Masa remaja, yaitu masa peralihan atau masa transisi dari anak ke dewasa, dapat di bagi ke dalam:
23
a. Pra remaja untuk wanita: 11-12 / 12-13 tahun dan untuk laki-laki 12-13 / 13-14 tahun. b. Remaja awal: umur 13 / 14-17 tahun. c. Remaja lanjut: umur 17-20 / 21 tahun. 4. Dewasa a. Dewasa awal: umur 21-40 tahun. b. Dewasa menengah: umur 40-60 tahun. c. Dewasa lanjut: umur 60 tahun ke atas. Filman memberikan periodesasi yang lebih terperinci, sedangkan umur yang mendekati tiap-tiap periode adalah sebagai berikut: 1. Prenatal: sejak konsepsi sampai lahir. 2. Infacy: sejak lahir sampai 2 minggu. 3. Baby Hood: sejak 2 minggu sampai 2 tahun. 4. Early Childhood: 2 ; 0 sampai 6 ; 0. 5. Late Childhood: 6 ; 0 sampai 12 ; 0. 6. Pubertyof Preadolescence: 10 ; 0 (12 ; 0) sampai 14 ; 0. 7. Early Adolescence: 14 ; 0 sampai 17 ; 0. 8. Late Adolescence: 21 ; 0 sampai 60 ; 0. 9. Senescence: 60 ; 0 sampai meninggal. Khonstam membagi periode perkembangan sebagai berikut: 1. Masa bayi dan anak-anak: 0 ; 0 sampai 7 ; 0. a. Masa bayi: 0 ; 0; sampai 1 ; 0. b. Masa kanak-kanak:
24
Masa vital: 1 ; 0 sampai 2 ; 0. Masa estetis: 2 ; 0 sampai 7 ; 0. 2. Masa sekolah atau intelektual: 7 ; 0 sampai 13 ; 0. 3. Masa social: 13 ; 0 sampai 21 ; 0. a. Masa pueral: 13 ; 0 sampai 14 ; 0. b. Masa pra pubertas: 14 ; 0 sampai 15 ; 0. c. Masa pubertas: 15 ; 0 sampai 18 ; 0. d. Masa adolescent: 18 ; 0 sampai 21 ; 0. Dari pendataan tersebut maka dapat disimpukan bahwa fase-fase perkembangan manusia meliputi: 1. Masa bayi: 0 ; 0 sampai 2 ; 0 2. Masa kanak-kanak: 2 ; 0 sampai 6 ; 0. 3. Masa anak sekolah: 6 ; 0 sampai 12 ; 0. 4. Masa remaja: 12 ; 0 sampai 21 ; 0. 5. Masa dewasa: 21 ; 0 sampai 60 ; 0. 6. Masa usia lanjut: 60 ; 0 sampai mati. C. Tindak Pidana Anak 1. Pengertian tindak pidana Dalam suatu peraturan hukum pidana baik yang memuat larangan melakukan maupun perintah untuk melakukan sudah semestinya disertai dengan adanya sanksi atau hukuman supaya bentuk larangan maupun perintah itu diakui oleh segenap anggota masyarakat yang bersangkutan. Kemudian bagaimana cara menghukum pelanggar aturan itu tentunya
25
memerlukan aturan lebih lanjut yang merupakan bagian dari suatu sistem hukuman. Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang di kenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
19
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang di definisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
20
Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaar feit sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undangundang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
21
Sedangkan Vos merumuskan bahwa straafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundangundangan.
22
19
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan, & Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.69. 20
Ibid., hlm. 71 Ibid., hlm. 72. 22 Ibid. 21
26
Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan disertai sanksi ancaman pidana bagi yang melanggar ancaman tersebut. 2. Tindak pidana anak Perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, terjadinya arus globalisasi dapat memengaruhi kehidupan manusia pada umumnya dan khususnya terhadap tingkat kenakalan anak. Kenakalan anak bukan hanya merupakan bentuk gangguan keamanan dan ketertiban melainkan juga merupakan bahaya yang dapat mengancam masa depan anak tersebut dan masa depan suatu bangsa. Oleh karena itu, anak nakal berhak mendapatkan perlindungan hukum, khususnya dalam proses peradilan anak. Secara umum, perbuatan-perbuatan anak yang secara yuridis dikategorikan melawan hukum dapat diidentifikasi dari rumusan pengertian tentang kenakalan anak. Kenakalan anak di ambil dari istilah asing Juvenile Delinquency, Juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,
sedangkan
Delinquency
artinya
doing
wrong,
terabaikan/
mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, penteror, tidak dapat diperbaiki 23
lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.
23
Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak, cet. ke-2, (Bandung: Refika Aditama, 2008),
hlm. 8-9.
27
Menurut Kartini Kartono kenakalan anak adalah perilaku jahat/dursia, kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
24
Dalam Undang-undang Peradilan Anak Pasal 1 ayat (2) menggunakan istilah anak nakal, sedang pengertian anak adalah anak yang melakukan tindak pidana atas anak yang
menurut peraturan baik
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain menyimpang dari aturan yang ditetapkan dan peraturan tersebut hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan mengenai kenakalan anak, yaitu setiap perbuatan atau tingkah laku eseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi anak yang bersangkutan.
25
Pemaparan tersebut melahirkan kesimpulan bahwa unsur dari perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah: a. Perbuatan dilakukan oleh anak-anak b. Perbuatan itu melanggar aturan atau norma c. Perbuatan itu merugikan bagi perkembangan si anak tersebut.
24
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali, 1992), hlm.
7. 25
Wagiati Sutedjo, Op. Cit., hlm. 11.
28
Ketiga unsur di atas harus dipenuhi untuk dapat diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak. Bentuk-bentuk kenakalan anak yang didasarkan pada berbagai pengertian tentang kenakalan anak yang dikemukakan oleh para pakar, misalnya oleh Moedikno, setidaknya terdapat tiga kategori perbuatan yang masuk dalam klasifikasi kenakalan anak atau Juvenile Delinquency, yaitu:
26
a. Semua perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa sementara perbuatan itu menurut ketentuan hukum normatif adalah perbuatan pidana, seperti mencuri, menganiaya dan lain sebagainya. b. Semua perbuatan atau perilaku yang menyimpang dari norma tertentu atau kelompok tertentu yang dapat menimbulkan kemarahan dalam masyarakat. c. Semua aktifitas yang pada dasarnya membutuhkan perlindungan sosial, semisal gelandangan, mengemis dan lain sebagainya. Lebih jelas lagi, bentuk-bentuk kenakalan anak dapat disebutkan sebagai berikut:
27
a. Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan diri sendiri serta orang lain. b. Perilaku ugal-ugalan yang mengacaukan ketenteraman masyarakat sekitar.
26
Ibid., hlm. 9. Kartini Kartono, Op. Cit., hlm. 21-23.
27
29
c. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku, dan kadang-kadang membawa korban jiwa. d. Membolos sekolah lalu bergelandang di sepanjang jalan. e. Kriminalitas seperti; mengancam, memeras, mencuri, mencopet, membunuh dan lain sebagainya. f. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan. g. Pemerkosaan, agresifitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual. h. Kecanduan bahan-bahan narkotika. i. Tindakan-tindakan imoral, seksual secara terang-terangan dan kasar j. Homo seksualitas, erotisme, anal dan oral. k. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan l. Komersialisasi seks, pengguguran janin dan pembunuhan bayi m. Tindakan radikal dan ekstrim. n. Perbuatan asosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan o. Tindakan kejahatan disebabkan karena penyakit tidur atau karena luka pada otak. p. Penyimpangan tingkah laku yang disebabkan karena organ-organ yang inferior. Bentuk kenakalan anak dan remaja sangat bervariasi, dapat ditinjau dari segi penyimpangan nilai atau pelanggaran hukum (Soetarso, 2004). Friedlander dan Apte, dalam bukunya Introduction to Sicial Welfare yang dikutip Soetarso menyebutkan jenis-jenis kenakalan anak
30
berbeda-beda.28 Dari data resmi pihak kepolisian ditemukan perbedaan antara kenakalan yang dilakukan anak perempuan dan laki-laki. Anak perempuan
umumnya
melakukan
pelacuran,
promiskuitas
sosial,
menentang pada orang tua dan melarikan diri. Namun yang diperoleh melalui penelitian pribadi menunjukkan bahwa anak perempuan dan lakilaki melakukan tindak kenakalan yang sama: mencopet, membolos, mencuri, vandalisme, berkelahi penggunaan alkohol dan penyalahgunaan bahan (narkotika). Anak laki-laki lebih banyak melakukan pelanggaran hukum disertai diserai kekerassan, selanjutnya anak dari golongan masyarakat bawah lebih banyak melakukan pelanggaran hukum dari pada anak dengan golongan atas.29 Teori yang banyak dianut untuk memahami penyebab kenakalan anak adalah Teori Penyebab Ganda (Multiple Causation Theory). Friedlander dan Apte dalam Soetarso menjelaskan bahwa kenakalan tidak disebabkan satu sumber, antara lain faktor heredeter, struktur biologis, atau pengaruh lingkungan, tetapi oleh beranekaragam faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut antara lain:30 a. Faktor heredeter dan biologis: kesehatan yang buruk, cacat fisik, ketidaknormalan, gangguan syaraf, berbagai tingkatan gangguan mental, instabilitas mental, perasaan selalu tidak aman, dorongan seksual tidak terkontrol, atau prilaku neurotis.
28
Abu Hurairah, Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke 3, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2012), hlm. 95. 29 Ibid. 30 Ibid., hlm. 95-96.
31
b. Faktor lingkungan: penelantaran atau penolakan oleh orang tua, anggota keluarga lain atau teman, pengaruh merusak keluarga pecah; sikap kriminal keluarga, tetangga atau kelompok penjahat di daerah kumuh; kemiskinan keluarga; perjudian; pergaulan buruk; pendidikan rendah; kurangnya rekreasi sehat; pengaruh merusak tv, radio, koran, cerita kriminal, bioskop dan buku komik. D. Tindak pidana anak menurut hukum islam 1. Pengertian jarimah (tindak pidana) Menurut hukum Islam, tindak pidana identik dengan perkataan “jinayat” yang mempunyai bentuk jamak dari kata “jinayah” yang berarti perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang mengandung arti suatu keja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani. Adapun pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya wanita yang berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek perbuatan si pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban.
31
Dr. Abdul Qadir Audah dalam kitabnya At-Tasyri Al Jina’i Al Islamy menjelaskan arti kata jinayah:
31 32
32
Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 12. Ibid.
32
Jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang dan dicegah oleh syara’ (hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda. Istilah jinayah secara harfiah artinya sama halnya dengan jarimah. Jarimah berasal dari kata jarama yang sinonimnya kasaba wa qatha’a artinya: usaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha di sini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia.
33
Secara istilah Imam Al Mawardi mengemukakan jarimah sebagai berikut:
ٍَذ اََْرَعْضِيْش ٍّ اَنْجَشَائِ ُم مَحْظُُْسَادٌ شَشْعِيَّ ٌخ صَجَشَانهّ ًُ رَعَب نَى عَىٍَْب ثِج Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Perbuatan
yang
dilarang
)(محظُساد
34
adakalanya
berupa
mengerjakan perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan lafaz )ًّ (ششعيdalam definisi tersebut mengandung pengertian, bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara’ dan diancam dengan hukuman.
33
Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa Al ‘Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, (Kairo: Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, tanpa tahun), hlm. 22 34 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 9.
33
2. Pembagian jarimah menurut hukum Islam Jarimah (tindak pidana) dalam Islam, jika dilihat dari segi berat 35
ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qisas diyat dan ta’zir. a. Jarimah Hudud
Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis ancaman dan hukumannya ditentukan oleh nas, yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama sepakat bahwa yang termasuk kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu: zina, qazf (menuduh zina), pencurian, perampokan atau penyamunan (hirabah), pemberontakan (al-baghy), minum-minuman keras, dan riddah (murtad). b. Jarimah Qisas Diyat Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas dan diyat. Yang termasuk dalam kategori jarimah qisas diyat: 1. pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd) 2. pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-amd) 3. pembunuhan keliru (al-qatl khata’) 4. penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd) 5. penganiayaan salah (al-jarh khata’) c. Jarimah Ta’zir
35
Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hlm 17-19.
34
Yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir yaitu hukuman yang selain had dan qisas diyat. Yang termasuk dalam kategori jarimah ta’zir seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan, mengingkari janji, menghianati amanat, dan menghina agama. Berdasarkan sanksi hukum, para ulama mengelompokkan jarimah dengan melihat kepada hak siapa yang melanggar dalam peristiwa kejahatan. Pengelompokan ini berdasarkan berkaitan dengan boleh tidaknya pelaku kejahatan itu dimaafkan. Pengelompokan ini dibagi 4 macam:
36
1. Kejahatan yang melanggar hak hamba Yaitu kejahatan yang diancam hukuman qishash atau diat, yaitu: pembunuhan, tindakan menghilangkan bagian/anggota badan, dan tindakan pelukaan yang pelaksanaan hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada korban kejahatan. 2. Kejahatan yang melanggar hak Allah Yang termasuk kejahatan ini yaitu: perzinaan, minuman keras, perampokan, makar, dan murtad. Adanya pemberian maaf dari korban kejahatan tidak memengaruhi pelaksanaan hukuman. 3. Kejahatan yang melanggar hak hamba yang berbaur dengan
hak
Allah, namun hak hamba lebih dominan.
36
Hasan Salaeh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Perss, 2008), hlm. 420-421.
35
Yang termasuk kategori kajahatan ini adalah tuduhan zina (qadzaf) tanpa bukti. Menurut sebagian ulama, ancaman hukuman pelaku ini dapat dihindarkan bila ada maaf dari pihak korbn kejahatan. 4. Kejahatan yang melanggar hak hamba yang berbaur dengan hak Allah, namun hak Allah lebih dominan. Yang termasuk tindak kejahatan ini adalah pencurian. Menurut sebagian ulama, pihak korban kejahatan dapat memaafkan pelaku kejahatan selama kasusnya belum masuk pengadilan.
BAB III PELANGGARAN PIDANA ANAK-ANAK DALAM DALAM HUKUM POSITIF A. Batas Usia Anak Menurut Hukum Islam 1. Batas usia anak Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Mengetahui batasan umur anak-anak, terjadi berbagai pendapat mengenai batasan usia anak yang dapat dihukum. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan batas anak adalah apabila ia telah bermimpi dengan kata lain sudah balligh. Salah satu tanda balligh itu adalah telah sampai umur 15 tahun seperti riwayat dari Ibnu Umar. Menurut Abdul Qadir Audah anak di bawah umur dapat ditentukan bahwa laki-laki itu belum keluar sperma dan bagi perempuan 1
belum haid, ikhtilam dan belum pernah hamil. Menurut jumhur fuqaha berpendapat bahwa kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sama yakni tentang kedewasaannya yaitu keluarnya sperma dan telah haid serta 2
terlihatnya kecerdasan. Dari dasar ayat al-Qur’an dan Hadis serta dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa kedewasaan 1
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1994), I : 603. 2
Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid, (tn.p: Wahriyai al-Kitab al-Arabiyah, t.t.), II : 211.
37
menurut islam adalah dengan ikhtilam, namun terjadi perselisihan mengenai batas umurnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan iklim, suhu, temperamen, dan tabiat seseorang serta lingkungan sekitarnya. Adapun yang menjadi dasar tidak cakapnya seorang anak adalah disandarkan pula pada ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.
وأَوَسْزُ ْم مِّىٍُْ ْم سُشْذًا فَبدْفَعُُْااِنَيٍِْ ْم
ِفَب.َََاثْزَهُُااْنيَزَبمَى حَزّى اِرَاثَهَؽُُاانىِّكَبح
. ْاَمَُْانٍَُم Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Para ahli tafsir menafsirkan lafaz حزى ارا ثهؽُا انىكبحtersebut apabila mereka telah sampai umur balligh atau dewasa ditandai dengan mimpi basah yang menyiapkan mereka untuk kawin dan selanjutnya disebut baligh.
4
Kemudian kapan seorang anak dapat dikatakan telah mencapai dewasa? Untuk menjawab hal ini dapat dilihat dari pendapat Imam Syafi’i, sebagaimana yang telah dikutip oleh Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis dalam bukunya hukum perjanjian dan hukun Islam. Imam Syafi’i mengungkapkan apabila telah sempurna umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, kecuali bagi laki-laki yang sudah ikhtilam atau
3 4
An-Nisa’ (4) : 6. Ismail Haqqi, Tafsir Rūh al-Bayan, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), II : 126.
38
perempuan yang sudah haid sebelum mencapai umur 15 tahun maka sudah dianggap dewasa.
5
Seorang anak laki-laki yang mimpi bersetubuh sehingga mengeluarkan air mani walaupun belum berumur 15 tahun sudah dianggap dewasa adalah disebabkan ketentuan hukum yang terdapat dalam alQur’an:
. ََْاِرَاثَهَ َػ انْبَطْفَب ُل مِىْكُ ُم انْحُهُمَ فَهْيَسْزَأْرِوُُْاكَمَباْسزَأْرَ َن انَّزِيْ َه مِىْقَجْهٍِِم Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.
Jika anak-anak kecil dari anak-anak dan kaum kerabat kalian yang merdeka telah mencapai masa baligh, yaitu 15 tahun, maka kapanpun mereka tidak perbolehkan masuk ke kamar kalian tanpa izin, tidak pada ketika waktu aurat itu, tidak pula pada waktu-waktu lain, sebagaimana orang dewasa dari anak atau kerabat seseorang meminta izin.
7
Pendapat para ahli fiqh mengenai tiga masa yang dialami setiap orang sejak ia lahir sampai dewasa, yaitu:
8
a. Masa tidak adanya kemampuan berpikir (idrak) Masa ini dimulai sejak seseorang dilahirkan sampai usia 7 tahun. Pada masa ini seorang anak dianggap tidak mempunyai 5
Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 10. 6 An-Nur (24) : 59. 7 Ahmad Mustofa Al-Maraghi, TerjemahanTafsir Al-Maraghi, cet. ke 2, (Semarang: Thoha Putra, 1993), hlm. 239. 8 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 133-134.
39
kemampuan berpikir, dan ia disebut anak yang belum tamyiz. Perbuatan pidana yang dilakukannya tidak dikenai hukuman. b. Masa kemampuan berpikir lemah Masa ini dimulai sejak anak berusia 7 tahun sampai usia dewasa (baligh). Para fuqaha membatasi usia baligh dengan usia 15 tahun. Imam Abu Hanifah menetapkan usia dewasa dengan 18 tahun. Menurut satu riwayat 19 tahun untuk laki-kaki dan 17 tahun untuk perempuan. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Pada masa ini mereka dijatuhi hukuman pengajaran (ta’dibiyah). Pengajaran ini meskipun sebenarnya hukuman namun tetap dianggap sebagai hukuman mendidik bukan hukuman pidana. c. Masa kemampuan berpikir penuh. Masa ini dimulai sejak anak mencapai usia dewasa yaitu usia 15 tahun menurut kebanyakan fuqaha atau 18 tahun menurut Imam Abu Hanifah dan mazhab Maliki. Seorang anak dikenakan petanggungjawaban pidana atas semua perbuatan yang dilakukannya, apapun jenis dan macamnya.
40
2. Ketentuan pidana Hukuman atas tindakan pidana dibagi dalam empat kelompok yaitu:
9
a. Hukuman fisik yang meliputi hukuman mati, potong tangan, cambuk, rajam sampai mati, b. Membatasi kebebasan yang meliputi hukuman penjara atau mengirim si terhukum ke pengasingan. c. Membayar denda. d. Peringatan yang diberikan hakim Adapun secara rinci suatu hukuman yang diterapkan terhadap pelaku jarimah dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu:
10
1. Berdasarkan pertalian satu hukuman dengan hukuman lainnya. Poin ada empat tipologi, yaitu: a. Hukuman Pokok (al-‘uqubah al-asliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman asli, seperti hukuman qishash dalam jarimah pembunuhan, dera 100 kali untuk jarimah zina dan potong tangan untuk pencurian. b. Hukuman Pengganti (al-‘uqubah al-badaliyah), yaitu hukuman yang mengganti hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti diat sebagai pengganti
9
Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, alih bahasa Sulaiman Rasjid, cet. ke-1 (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 11. 10 Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hlm. 143-144.
41
hukuman qishash, atau hukuman ta’zir sebagai pengganti hukuman had atau qishash. c. Hukuman Tambahan (al-‘uqubah al-taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara tersendiri, seperti larangan menerima warisan bagi orang yang akan diwarisnya, dan itu merupakan tambahan dari hukuman qishash atau diat. d. Hukuman Pelengkap (al-‘uqubat al-takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah di potong lehernya. 2. Berdasarkan kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman, dibagi dua bagian: a. Hukuman yang mempunyai satu batas, yaitu hukuman itu tidak ada batas tertinggi dan terendahnya. Seperti hukuman had dengan 80 kali cambukan b. Hukuman yang mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan terendah di mana hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai di antara dua batas tersebut. Seperti penjara atau jilid dalam jarimah ta’zir. 3. Berdasarkan keharusan untuk memutuskan dengan hukuman tersebut, di bagi dua bagian:
42
a. Hukuman yang telah ditentukan (‘uqubah muqaddarah), yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya telah ditentukan oleh syara’ dan hakim
berkewajiban
untuk
memutuskan
tanpa
mengurangi,
menambah atau menguranginya dengan hukuman lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan (uqubah lazimah), karena ulil amri tidak berhak untuk menggugurkannya atau memaafkannya. b. Hukuman yang belum ditentukan (uqubah ghair muqaddarah), yaitu hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilih jenisnya dari sekumpulan hukuman yang ditetapkan oleh syara’ dan menentukan jumlahnya untuk kemudian disesuaikan dengan pelaku dan perbuatannya. Hukuman ini disebut hukuman pilihan (uqubah mukhayyarah), karena hakim dibolehkan memilih diantara hukuman tersebut. 4. Berdasarkan tempat dilakukannya hukuman, dibagi tiga bagian: a. Hukuman badan (uqubah badaniyah), yaitu hukuman yang dikenakan pada anggota badan manusia, seperti hukuman mati, jilid, dan penjara. b. Hukuman jiwa (uqubah nafsiyah), yaitu hukuman yang dikenakan atas jiwa manusia, seperti ancaman, peringatan, atau teguran. c. Hukuman harta (uqubah maliyah), yaitu hukuman yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diat, denda, dan perampasan harta. 5. Berdasarkan macamnya jarimah yang diancam hukuman, dibagi empat bagian:
43
a. Hukuman had, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud. Antara lain: jilid 100 kali, pengasingan, rajam. Tiga macam hukuman tersebut ditetapkan bagi jarimah perzinahan. Jilid 80 kali bagi jarimah Qadaf dan peminum khamr, potong tangan bagi jarimah pencurian dan hukuman mati bagi pembunuhan. Hukuman mati dan salib, pemotongan anggota badan, dan pengasingan. Ketiga hukuman tersebut ditetapkan dalam jarimah hirabah. Hukuman mati dan perampasan harta bagi jarimah murtad dan pemberontakan. b. Hukuman Qisas-Diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah: 1) Qisas, yaitu pelaku jarimah dijatuhi hukuman setimpal bagi perbuatannya. 2) Diyat, yaitu hukuman pokok bagi jarimah pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja. 3) Pencabutan hak waris dan menerima wasiat merupakan hukuman tambahan dalam jarimah pembunuhan tidak sengaja. c. Hukuman Ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimahjarimah ta’zir seperti penjara kurungan, pengasingan, ancaman, dan denda. Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah sebagai berikut:
11
a. pencegahan serta balasan (ar-rad‘u wa al-zajru), adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar tidak mengulangi perbuatan jarimah, atau agar tidak terus-menerus melakukan perbuatan jarimah.
11
Ibid., hlm. 137-138.
44
b. perbaikan dan pendidikan (al-islah wa at-tahzib), adalah mendidik pelaku jarimah agar menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Pada dasarnya hukum-hukum syariat Islam lurus dan adil, prinsip-prinsipnya yang universal berkisar di sekitar penjagaan berbagai keharusan asasi yang tidak bisa di lepas oleh manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa hukum. Dalam hal ini, para imam mujtahid dan ulama ushul fiqh membatasi pada lima perkara. Mereka menamakannya sebagai alkulliyat al-khamsah (lima prinsip universal), yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga kehormatan, menjaga akal, dan menjaga harta benda. Janganlah menghukum atau memukul anak sampai si anak menjerit-jerit sampai amat sakit. Karena para ahli berpendapat bahwa hukuman yang kejam akan membuat anak menjadi penakut, rendah diri, dan akibat-akibat lain yang negatif separti sempit hati, pemalas, pembohong. Dia berani berbohong, karena bila tidak kekerasan akan menimpanya.
12
Menurut M. Athiyah dalam Nur Uhbiyati mengemukakan tiga syarat apabila seorang pendidik ingin menghukum anak dengan hukuman badan, yaitu:
13
12
Aat Syafaat, Sohari Sahrani, dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 47. 13
Ibid., hlm. 48.
45
3. sebelum usia 10 tahun anak-anak tidak boleh dipukul; 4. pukulan tidak boleh lebih dari tiga kali (pukulan dengan lidi atau tongkat kecil); 5. diberikan kesempatan kepada anak-anak untuk taubat untuk apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya. Sedang menurut Abdul Karim Bakkar, adab-adab memberi hukuman adalah:
14
1. anak yang usianya belum 10 tahun tidak boleh dipukul; 2. tidak memukul kepala atau muka; 3. tidak memukulnya saat pendidik berada dalam puncak kemarahan; 4. boleh memberi ancaman saat melihat kesalahan; 5. setelah marahnya reda barulah memukul; 6. tidak memukul anak di hadapan orang lain; 7. pukulan tidak melukai atau membahayakan; 8. tidak menyuruh kepada anak agar ia meminta maaf sebelum dipukul. Selanjutnya, Abdul Lathif al-Ajlan memberikan batasan-batasan dalam adab-adab pemukulan, yaitu sebagai berikut:
15
a. sanksi pukulan dilaksanakan sebagai sarana didik terakhir; b. Allah menetapkan sanksi pukuan untuk tujuan ta’dib (mengajarkan adab);
14
Ibid., hlm. 49. Ibid.
15
46
c. Allah melarang sanksi pukulan yang dilakukan dengan cara semenamena sehingga keluar dari tujuannya; d. Hendaknya sanksi ini dilakukan pada saat dan waktu yang tepat, dilengkapi oleh sarana yang yang tepat dan tidak membahayakan orang lain; e. Anak yang akan dihukum harus menyadari kesalahan dan pelanggaran yang dibuatnya; f. Faktor usia anak harus diperhatikan saat sanksi pukulan akan dijatuhkan; g. Ampunan dan maaf diberikan kepada anak yang tidak mengetahui perbuatannya adalah salah; h. Sebelum dihukum anak harus terlebih dahulu diberitahukan kesalahannya; i. Tidak dibenarkan dua bentuk hukuman, inderawi dan maknawi, dijatuhkan kepada anak secara sekaligus; j. Sanksi pukulan tidak boleh dari sepuluh dera. Hukuman itu harus adil, anak harus mengetahui mengapa ia dihukum. Selanjutnya, hukuman itu harus membawa anak kepada kesadaran akan kesalahannya. Hukuman jangan meninggalkan dendam pada anak. Dalam kondisi tertentu kadang-kadang orang tua merasa perlu memberikan hukuman fisik kepada anak. Dan yang harus diperhatikan
47
tujuan memberkan hukuman adalah untuk mendidik anak. Oleh sebab itu, hukuman harus diberikan dengan cara-cara yang baik. B. Batas Usia Anak Menurut Undang-Undang Peradilan Anak 1. Batas Usia Anak Batasan umur anak dapat diajukan ke pengadilan menurut Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang peradilan anak terdapat dalam pasal 4 ayat 1 dan 2: a.
16
Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
b.
Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke sidang anak. Dalam hal anak melakukan tindak pidana dan belum mencapai
umur 8 (delapan) tahun maka dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, sebagaimana terdapat dalam Undang-undang peradilan anak pasal 5: 1.
Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh anak.
16
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Peradilan Anak (UU No.3 Tahun 1997), (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 4.
48
2.
Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
3.
Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada departemen sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan. Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara
pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Mengetahui batasan umur anak-anak, terjadi keberagaman diberbagai negara yang mengatur tentang usia anak yang dapat dihukum. 2. Ketentuan pidana Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hokum dilarang dan diancam pidana.17
17
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm 59.
49
Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu, pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan.18 Hal-hal yang memperingan pidana diatur dalam pasal 52 (konsep 1987/1988), yang berbunyi sebagai berikut:19 1. Seseorang yang melakukan tindak pidana dan pada waktu itu berumur 12 tahun atau lebih, tetapi masih dibawah 18 tahun; 2. Seseorang yang mencoba melakukan atau mebantu terjadinya tindak pidana; 3. Seseorang setelah melakukan tindak pidana dengan sukarela menyerahkan diri kepada yang berwajib; 4. Seorang wanita hamil muda melakukan tindak pidana; 5. Seseorang setelah melakukan tindak pidana, dengan sukarela memberi ganti
kerugian
yang
layak
atau
memperbaiki
kerusakan
akibat
perbuatannya; 6. Seseorang melakukan tindak pidana karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat sebagai akibat yang sangat berat dari keadan pribadi atau keluarganya.
18
Scaffmeister, Keizer, dan Sutorius, Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 3. 19 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, cet. ke-3, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 130.
50
Mengenai lamanya peringanan pidana diatur dalam pasal 53 yang saat ini (Juli 1989) perumusannya berbunyi sebagai berikut:20 1. Peringanan pidana berarti, bahwa maksimum ancaman pidananya dikurangi sepertiga; 2. Dalam hal ancaman pidananya adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka maksimum pidananya adalah pidana penjara 15 tahun; 3. Peringanan atau pengurangan pidana sepertiga menurut ayat (1) berlaku juga terhadap minimum pidana yang diancam untuk tindak pidana tertentu; 4. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berarti peringanan jenis pidana. Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana timbul pertanyaan, apakah setiap anak yang bersalah melakukan suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan? pada mulanya, sistem pertanggungjawaban bagi anak-anak didasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab, sistem yang mendasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab dan batas usia tertentu bagi seseorang anak, tidak dianut lagi dalam hukum pidana di Indonesia dewasa ini. Namun yang dianut sekarang adalah sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa semua anak asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggung jawab dan dapat dituntut.
20
Ibid.,hlm. 131-132.
51
Bagi
anak
yang
mampu
bertanggung
jawab
masih
tetap
dimungkinkan untuk tidak dipidana, terutama bagi anak yang masih sangat muda. Namun tidak harus diartikan bahwa Undang-undang masih membedakan antara yang mampu dan tidak mampu bertanggung jawab. Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Dengan menyimak Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) diatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal. 1. Pidana Pokok21 Ada beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, yaitu: a. pidana penjara b. pidana kurungan c. pidana denda, atau d. pidana pengawasan. 2. Pidana Tambahan22 Seperti telah disebutkan bahwa selain pidana pokok naka terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan terdiri dari: a. perampasan barang-barang tertentu b. pembayaran ganti rugi. 3. Tindakan23 21
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, cet. ke 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
22
Ibid.
hlm. 27.
52
Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah: a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Selain tindakan tersebut, hakim dapat memberi teguran dan menetapkan syarat tambahan. Penjatuhan tindakan oleh hakim dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain. Dalam segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur di atas 12 (dua belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal itu mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Sedang rumusan pengenaan tindakan terhadap anak menurut Pasal 132 rancangan KUHP adalah:24 a. pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya, 23 24
Ibid. Ibid., hlm. 28.
53
b. penyerahan kepada pemerintah atau seseorang, c. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau suatu badan swasta, d. pencabutan surat izin mengemudi, e. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, f. perbaikan akibat tindak pidana, g. rehabilitasi dan atau h. perawatan di dalam suatu lembaga. 4. Pidana Penjara Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal lamanya ½ (satu perdua) dari ancaman pidana orang dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun. Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup. Dan sebagai gantinya adalah dijatuhkan salah satu tindakan.25 Mengenai ancaman pidana penjara bagi nanak yang melakukan tindak pidana, mengacu pasal 26 Undang-undang nomor 3 tahun 1997, pada pokoknya sebagai berikut: b. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancman pidana penjara bagi orang dewasa.
25
Ibid., hlm. 29.
54
c. Apabila melakukan tindak pidana yang diancaman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. d. Apabila anak tersebut belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka hanya dapat dijatuhkan tindakan berupa “menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja”. e. Apabila anak tersebut belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup maka dijatuhkan salah satu tindakan. 5. Pidana Kurungan Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal maksimal setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi dewasa. Mengenai apakah yang dimaksud maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa, adalah maksimum ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP atau Undang-undang lainnya (penjelasan Pasal 27).26 6. Pidana Denda
26
Ibid.
55
Seperti pidana penjara dan pidana kurungan maka penjatuhan pidana denda juga dijatuhkan setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa (pasal 28 ayat 1). Bila denda itu tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan latihan kerja (pasal 28 ayat 2), selama 90 hari dengan jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari dan tidak boleh dilakukan di malam hari. Tentunya hal demikian mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak serta perlindungan anak.27 7. Pidana Bersyarat Garis besar ketentuan pidana bersyarat bagi anak nakal sesuai dengan rumusan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah:28 a. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, sedangkan jangka waktu masa pidana bersyarat adalah paling lama 3 (tiga) tahun. b. Dalam putusan pidana bersyarat diberlakukan ketentuan berikut. 1) Syarat umum, yaitu anak nakal tersebut tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat. 2) Syarat khusus, yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. c. Pengawasan dan bimbingan
27
Ibid., hlm. 30. Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang No.3 Tahun 1997, hlm.12
28
56
1) Selama menjalani masa pidana bersyarat, jaksa melakukan pengawasan dan bimbingan kemasyarakatan melakukan bimbingan agar anak nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan. 2) Anak nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh balai pemasyarakatan berstatus sebagai klien pemasyarakatan. 3) Selama anak nakal berstaus sebagai klien pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah. 8. Pidana Pengawasan Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Anak nakal yang diputus oleh hakim untuk diserahkan kepada negara di tempatkan di lembaga pemasyarakatan anak sebagai anak negara, dengan maksud untuk menyelamatkan masa depan anak atau bila anak menghendaki anak dapat diserahkan kepada orang tua asuh yang memenuhi syarat.29
29
Ibid., hlm. 13.
BAB IV ANALISIS DATA A. Batas Usia Anak Dalam Tindak Pidana Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Peradilan Anak Sistem peradilan anak merupakan seperangkat pelaksanaan peradilan yang secara khusus diperuntukkan bagi yang melakukan tindak pidana, sehingga terdapat perbedaan dengan peradilan pidana umum untuk orang dewasa. Hal ini merupakan suatu upaya untuk menjamin hak-hak anak dalam proses peradilaan. Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, terdapat Bab yang mengatur tentang pemidanaan terhadap batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak yaitu dalam Bab I Pasal 4. Sebelum membahas lebih jauh tentang batas usia seorang anak yang dapat dipidana, akan lebih menarik bila terlebih dahulu mencermati pengertian anak dari berbagai disiplin ilmu yang ada. Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Bab I Pasal 4 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah orang dalam perkara anak telah mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah kawin.1 Berdasarkan ketentuan undangundang tersebut, bila seorang anak telah melebihi batas usia anak yang telah ditentukan maka pelaku tersebut tidak dikatakan anak-anak lagi. Pernyataan
1
Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Peradilan Anak, cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000), hlm. 2.
58
tersebut juga didukung oleh kalangan ahli psikologi yang mengungkapkan bahwa masa anak-anak merupakan masa progresif yang biasanya dimulai dari masa usia sekolah atau usia 7 tahun sampai usia 20 tahun. Namun terkadang batasan dari sifat anak-anak tersebut tidak dapat ditentukan dengan pasti karena hal ini berkaitan erat dengan sifat pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang dikerjakan sehingga istilah anak-anak akan terlepas dengan perkembangan dan kematangan jiwa seseorang. Hal ini dapat dimungkinkan sifat kedewasaan terjadi lebih lambat dari yang biasanya terjadi.2 Para sosiolog juga tidak menyangkal batasan umur anak seperti yang disebutkan dalam Undang-undang Peradilan Anak. Akan tetapi usia anakanak tersebut akan dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang terdapat di sekitar lingkungannya dan faktor lingkungan itulah yang sangat mempengaruhi terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Sehingga kasusnya akan sama seperti yang telah diungkapkan oleh para ahli sosiologi. Sedangkan dalam fiqh Islam tidak memberi batasan yang pasti terhadap batasan usia anak-anak di samping banyaknya perbedaan pendapat di antara para ulama. Para ulama fiqh berijma bahwa seorang anak bila telah berihtilam maka dipandang balig. Begitu juga seorang gadis, dengan kedatangan haid atau kuat untuk hamil. Sesuai dengan ayat al-Qur’an:
.َحنُم ُل مِىْكُ ُم اْل ُ ال طْفَب َ غ ْا َل َََاِرَا ة
2 3
Samoel Soeitoe, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Cahaya Tunggal, 1973), hlm. 51. An-Nur (24): 59.
59
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin Menurut ulama ushul, ahliah (cakap) dibagi menjadi dua bagian: 1. Ahliatul wujub Ahliatul wujub yaitu kepantasan seseorang yang diberi hak dan kewajiban. Ahliatul wujub dibagi dua: a. Ahliatul wujub sempurna yaitu seseorang yang sudah pantas menerima hak dan kewajiban. Keadaan ini dimiliki oleh manusia sejak lahir sampai ia meninggal dunia. Misalkan seorang anak kecil dikenakan wajib zakat karena ia belum dewasa maka yang melaksanakannya adalah orang tua atau walinya, dan dia punya hak waris atas harta yang ditinggalkan oleh orangtua atau walinya. b. Ahliatul wujub kurang sempurna Ahliatul wujub kurang sempurna yaitu kondisi seseorang yang hanya mampu menerima hak. 2. Ahliatu ada’ Ahliatul ada’ yaitu kepantasan seseorang yang dipandang sah atas segala perkataan dan perbuatannya. Seperti misalnya ketika ia melakukan perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakannya dianggap syah dan mempunyai akibat hukum. Ahliatul ada’ dibagi menjadi tiga: a. Ada kalanya seseorang tidak mempunyai ahliatul ada’ (kecakapan berbuat) sama sekali, atau kehilangan kecakapan berbuat. Misalnya anak kecil, karena dia tidak mempunyai ahliatul ada’, maka segala
60
tindakannya tidak berpengaruh dalam dalam syara’ sehingga segala bentuk perilaku muamalahnya dianggap tidak sah dan batal. b. Keadaan seseorang yang mempunyai ahliatul ada’ namun kurang sempurna, seperti anak yang sudah mumayyiz, akan tetapi belum mencapai kondisi kedewasaannya. c. Ahliatul ada’ sempurna, yakni kondisi seseorang yang sudah mencapai kedewasaan dan dapat berfikir secara sempurna, maka segala tindakan muamalahnya dianggap sah, karena sudah rasyid (dapat berfikir dengan cerdas). Anak dibawah 18 (delapan belas) tahun adalah kondisi dimana seseorang dianggap belum mampu mengendalikan harta benda yang dimilikinya, keadaan ini juga merupakan masa seseorang belum bisa bertanggungjawab atas segala perbuatannya dan belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Masa ini pada umumnya adalah masa belum mempunyai pikiran seseorang, maka Allah melarang memberikan harta mereka. Namun terjadi ikhtilaf di antara para ulama dalam penentuan umur. Ada tiga pendapat tentang hal tersebut, yaitu: 1. Mazhab Hanafi Mereka
berpendapat
bahwasanya
seorang
laki-laki
tidak
dipandang balligh sebelum ia mencapai usia 18 tahun. Adapun hujjahnya ialah:
61
. ُي اَحْسَ ُه حَزَّي يَجْهُ َػ اَشُذَّي َ ٌِ ي ْ ل انْيَزِيْ ُم اِنَّب ثِب نَّ ِز َ ََنَبرَقْشَثُُْا مَب Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa Kedewasaan anak laki-laki sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah dari usia 18 tahun. Adapun anak perempuan perkembangan dan kesadarannya adalah lebih cepat, oleh sebab itu usia awal kedewasaannya dikurangi satu tahun sehingga anak perempuan menjadi dewasa pada usia 17 tahun. 2. Mazhab Syafi’i dan Hambali Mereka berpendapat bahwa bila seorang anak laki-laki dan perempuan apabila telah sempurna berusia 15 tahun, kecuali bagi laki-laki yang sudah ihtilam dan perempuan yang sudah haid sebelum usia 15 tahun maka keduanya dinyatakan telah balligh. Mereka juga berhujjah dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dirinya diajukan kepada Nabi saw pada hari perang Uhud sedang ia ketika itu berusia 14 tahun, kemudian Nabi tidak memperkenankannya ikut dalam peperangan. Setelah setahun dirinya mengajukan kembali pada hari perang Khandak yang ketika itu ia telah berumur 15 tahun dan ia diperkenankan oleh Nabi untuk perang Khandak.5 3. Jumhur Ulama Fiqh
4
Al-An’aam (6): 152 Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir fi al-Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, diterjemahkan oleh Saleh Mahfud, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, (Bandung: AlMa’arif, 1994), II: 369. 5
62
Bahwasanya usia balligh bisa ditentukan berdasarkan hukum kelaziman. Kebiasaan yang terjadi adalah setelah terjadinya ihtilam dan hal itu sering terjadi pada usia 15 tahun. Dengan demikian, maka umur 15 tahun itulah ditentukan usia balligh yang dipandang usia taklif (usia pembebanan hukum). Sedangkan dalam literatur bahasa yang lain disebutkan juga anak dengan istilah mumayyiz yaitu anak yang mengerti maksud dari kata-kata yang diucapkannya. Biasanya usia anak itu genap 7 tahun sehingga bila kurang dari 7 tahun maka belum dikatakan mumayyiz. Hukum anak mumayyiz itu tetap berlaku sampai anak itu dewasa. Dewasa ini maksudnya cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda-tanda lakilaki dan perempuan yang biasanya pencapaian umur bagi laki-laki berusia 12 tahun sedang perempuan 9 tahun. Kemudian kalau anak sudah melewati usia tersebut bagi laki-laki 12 tahun dan 9 tahun bagi perempuan namun belum tampak gejala-gejala bahwa ia sudah dewasa dari segi lahiriah maka keduanya ditunggu sampai berusia 15 tahun. Dalam batasan umur menurut Undang-undang peradilan anak terdapat dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 dalam pasal 4 ayat 1 dan 2: a. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
63
b. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke sidang anak. Dalam menetapkan batas usia dewasa, perundang-undangan dewasa ini berbeda-beda, ada yang menetapkan usia 12 tahun bagi perempuan dan 14 tahun bagi laki-laki dan ini sudah berlaku sejak zaman Romawi dahulu di saat orang-orang hidup dewasa dan bahaya belum begitu dikhawatirkan terjadi. Karena anak-anak selalu dikelilingi oleh kerabatnya sehingga tidak ada motif untuk memperlambat batas kedewasaan anak-anak. Namun setelah masyarakat berkembang pesat dengan kemajuan diberbagai bidang kehidupan yang dapat memicu seorang anak bisa lebih cepat menjadi dewasa, maka batas usia dewasa dapat ditentukan lebih awal. Sehingga dalam hukum Islam yang lebih luas, hal tersebut tidak disebutkan secara terperinci dengan tidak adanya nas al-Qur’an yang membatasi batasan umur bagi anak-anak. Dalil yang secara umum hanyalah mengatur agar anak dijaga, dirawat, dan dididik sampai anak itu menikah. Menurut Abdul Wahab Khalaf, manusia dalam kaitannya dengan keahlian melaksanakan suatu tugas terbagi dalam tiga keadaan yaitu:
64
a. Manusia terkadang tidak mempunyai keahlian melaksanakan atau kehilangan keahlian. Dalam hal ini berlaku pada anak-anak yang masih kanak-kanak dan pada orang gila pada usia berapa pun. b. Manusia terkadang tidak sempurna dalam keahlian melaksanakan tugas, hal itu terjadi pada anak-anak yang baru mencapai usia mumayyiz atau masa sebelum menginjak usia balligh. c. Manusia terkadang sempurna dalam keahlian melaksanakan tugas, hal itu terjadi pada orang yang telah mencapai usia dewasa dan berakal. Jadi usia itu disebut dengan ahliyat al-‘ada yang sempurna yang juga dapat dinyatakan dengan kedewasaan manusia atau akalnya.6 Tingkatan pertama kesepakatan ulama mengatakan bahwa tidak adanya kemampuan menggunakan akal pikirannya bermula dari anak itu dilahirkan dan berakhir sampai berusia tujuh tahun. Tingkatan kedua menunjukkan adanya kemampuan untuk mempergunakan akal pikirannya, akan tetapi masih lemah. Tingkatan ini bermula dari anak berumur tujuh tahun dan berakhir sampai balligh. Adapun tingkatan ketiga menunjukkan bahwa kemampuan untuk mempergunakan akal pikirannya secara sempurna itu dimulai dari ballighnya seorang anak yang berumur 15 tahun (pendapat keumuman ulama fiqh) atau setelah berumur 18 tahun (pendapat Abu Hanifah dan Masyhur Malikiyah). Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah bahwa orang yang tidak pernah bermimpi (mengeluarkan mani) itu tidak dinyatakan dewasa kecuali bila telah sampai pada usia 17 tahun.
6
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul Fiqh, (Beirut: Dar al-Kuwaitiyah, 1998), hlm. 137.
65
Sedang dalam riwayat lain yang termasyhur dari Abu Hanifah adalah 19 tahun. Sehingga dari pernyataan di atas terlihat bahwa keduanya lebih cenderung memilih usia anak dari pada ikhtilam itu sendiri.7 Suatu perbuatan dinamakan jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal ini yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya.8 Selain perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian kepada pihak lain, perbuatan tersebut telah ditetapkan oleh negara dalam bentuk undangundang, demikian pula dalam hukum pidana Islam, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jarimah) apabila perbuatan tersebut telah diatur oleh nas. Undang-undang maupun nas tersebut tidak mempunyai arti tanpa adanya dukungan yang dapat memaksa seseorang untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah penyertaan ancaman hukuman atau sanksi. Bagi anak yang mampu bertanggung jawab masih tetap dimungkinkan untuk tidak dipidana, terutama bagi anak yang masih sangat muda. Namun tidak harus diartikan bahwa Undang-undang masih membedakan antara yang mampu dan tidak mampu bertanggung jawab.
7
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa H. A. Ali, (Semarang: Toha Putra t. t.), III:
410. 8
Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah, cet. ke 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 17.
66
Adapun ketentuan sanksi jika melakukan perbuatan tindak pidana terdapat pada ketentuan Undang-undang Peradilan Anak No.3 Tahun 1997 terdiri dari: a. Pidana penjara (maksimal 10 tahun) b. Pidana kurungan c. Pidana denda d. Pidana pengawasan. Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup. Adapun pidana tambahan bagi anak nakal dapat berupa perampasan barang-barang tertentu dan pembayaran ganti kerugian. Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal maksimal setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi dewasa. Demikian juga pidana denda dapat dijatuhkan setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi dewasa. Bila denda itu tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan latihankerja selama 90 hari dengan jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari dan tidak boleh dilakukan di malam hari. Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
67
Mengenai hukuman bagi anak yang melakukan tindak pidana, hukum pidana Islam tidak memberikan ketentuan yang jelas karena menurut hukum Islam anak itu merupakan amanat yang diberikan oleh Allah SWT yang harus dijaga, dirawat sebaik mungkin. Sehingga ketika seorang anak melakukan perbuatan melanggar hukum maka anak tersebut tidak dikenakan hukuman dan sebagai gantinya, yang menjalankan hukuman adalah orang tuanya.
68
E. Analisis Tentang Pertanggungjawaban Pidana Anak Suatu perbuatan tidak dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana sebelum ada ketentuan Undang-undang yang melarang suatu perbuatan dan pelanggaran dari ketentuan Undang-undang tersebut berakibat pada pelaku tindak pidana untuk diminta pertanggungjawabannya. Adapun pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan terhadap seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.9 Adapun pelaku tindak pidana dapat dibebani pertanggungjawaban pidana apabila memenuhi syarat adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan itu dikerjakan dengan kemauannya sendiri dan pelakunya mengetahui akibat dari perbuatan tersebut.10 Apabila terdapat hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dengan demikian orang gila, anak dibawah umur, orang yang dipaksa dan terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban. Pembebasan pertanggungjawaban terhadap mereka didasarkan kepada hadis Nabi dan Alquran.11 Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan:
9
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.74. 10 Ibid., hlm 74. 11 Ibid.
69
سُفِ َع:ْهلل عَهَيْ ًِ ََسَهَّم ُ هلل صَهَّى ا ِ لا ُ ُْ ُل سَس َ قَب:ْهلل عَىٍَْب قَبنَذ ُ ىا َض ِ َه عَبئِشَ َخ س ْ َع ِى ِّ ه انصَّج ِ َه انْمُجْزَهَى حَزَّى يَجْشََأ ََع ِ َع ََع َ ِه انىَّبئِ ِم حَزَّى يَسْزَيْق ِ َه ثَالَثَ ٍخ ع ْ َانْقَهَ ُم ع .َحَزَّى يّكْجُش Dari Aisyah ra. Ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw.: dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa.
ح َ َه مَهْ شَش ْ ِن ََنَك ِ ِه ثِبنْبِيْمَب ٌّ ه اُكْشِ َي ََقَهْجُ ًُ مُطْمَئ ْ َه ثَعْ ِذ إِيْمَبوِ ًِ إِنََّب م ْ ِهلل م ِ ه كَفَ َش ثِب ْ َم 12
.ٌة عَظِيْم ٌ هلل ََنٍَُ ْم عَزَا ِ ها َ ِت م ٌ َثِبنْكُفْ ِش صَذْسًا فَعَهَيٍِْ ْم ؼَض
Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah ia iman, kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya masih tetap iman, tetapi orang yang terbuka dadanya kepada kekafiran, maka atas mereka amarah Allah dan baginya siksaan yang besar. Ketentuan di atas adalah ketentuan terhadap keadaan seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan sekaligus apabila ia berbuat jarimah maka ia dikenakan sanksi pidana. Konsep
yang
dikenakan
oleh
syari’at
Islam
tentang
pertanggungjawaban anak yang belum dewasa merupakan konsep yang baik sekali meskipun telah lama namun tetap menyamai teori terbaru dikalangan hukum positif. Menurut hukum Romawi yang mendasari hukum bangsa Eropa sebagai bentuk hukum positif menyatakan bahwa apabila anak-anak sudah berusia 7 tahun maka ia dikenai pertanggungjawaban pidana.13
12 13
An-Nahl (16): 106 . Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hlm. 132.
70
Pendapat para ahli fiqh mengenai tiga masa yang dialami setiap orang sejak ia lahir sampai dewasa, yaitu: a. Masa tidak adanya kemampuan berpikir (idrak) Masa ini dimulai sejak seseorang dilahirkan sampai usia 7 tahun. Pada masa ini seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan berpikir, dan ia disebut anak yang belum tamyiz. Perbuatan pidana yang dilakukannya tidak dikenai hukuman. b. Masa kemampuan berpikir lemah Masa ini dimulai sejak anak berusia 7 tahun sampai usia dewasa (baligh). Para fuqaha membatasi usia baligh dengan usia 15 tahun. Imam Abu Hanifah menetapkan usia dewasa dengan 18 tahun. Menurut satu riwayat 19 tahun untuk laki-kaki dan 17 tahun untuk perempuan. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Pada masa ini mereka dijatuhi hukuman pengajaran (ta’dibiyah). Pengajaran ini meskipun sebenarnya hukuman namun tetap dianggap sebagai hukuman mendidik bukan hukuman pidana. c. Masa kemampuan berpikir penuh. Masa ini dimulai sejak anak mencapai usia dewasa yaitu usia 15 tahun menurut kebanyakan fuqaha atau 18 tahun menurut Imam Abu Hanifah dan mazhab Maliki. Seorang anak dikenakan petanggungjawaban pidana atas semua perbuatan yang dilakukannya, apapun jenis dan macamnya.
71
Sedangkan menurut syari’at Islam pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir dan pilihan (iradah dan ikhtiar). Sehubungan dengan kedua dasar tersebut, maka kedudukan anak berbeda-beda
sesuai
dengan
perbedaan
masa
yang
dilalui
dalam
kehidupannya.14 Unsur-unsur jarimah dalam hukum pidana Islam, yaitu:15 1. Adanya nas (ketentuan) yang melarang dan mengancam dengan hukuman 2. Perbuatan tersebut benar-benar telah dilakukan 3. Orang yang melakukan adalah orang yang cakap (mukallaf) yaitu baligh dan berakal. Dalam syarat sahnya memberi hukuman kepada mukallaf ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu memahami nas-nas hukum yang dibebankan al-Qur’an dan sunnah baik langsung maupun yang melalui perantara. 2. Sang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya, pengertian ahli secara etimologis adalah kelayakan atau layak. Oleh karena itu kedua syarat tersebut apabila telah terdapat pada seseorang maka ia dapat dikenai pertanggungjawaban. Jadi prinsip dasar dari kedua prinsip syarat tersebut adalah kemampuan membedakan dengan menggunakan akalnya. Tanggung jawab dapat diartikan bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan. Sedang bertanggung jawab merupakan sikap tidak 14
Ibid., hlm. 133. Ibid., hlm. 28.
15
72
tergantung dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Jelasnya pengertian tanggung jawab di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri seseorang bahwa setiap tindakan akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Salah satu ciri dari perkembangan emosi dan sosial pada anak adalah adanya perasaan tanggung jawab yang tidak besar.16 Tetapi batasan menurut ilmu pendidikan, lain lagi yaitu seseorang bila telah benar-benar dewasa jasmaniah dan rohaniyahnya. Untuk lebih jelasnya ada beberapa aspek penting yang merupakan faktor-faktor kedewasaan, yaitu:17 1. Aspek kejasmanian yang meliputi tingkah laku luar yang tampak seperti cara berbuat, berbicara. 2. Aspek kejiwaan seperti cara berpikir dan merasa, sikap, minat dan lain sebagainya yang merupakan aspek-aspek yang tidak mudah nampak. 3. Aspek kerohanian yang meliputi aspek kejiwaan dan lebih abstrak lagi seperti filsafat, pandangan hidup, kepercayaan dan sistem nilai-nilai. Jadi seseorang yang mampu bertanggung jawab dan telah dapat memutuskan baik buruknya itu serta mampu mengatur dan mengontrol dirinya sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya yakni Islam, maka dengan itu telah dewasalah dia menurut pendidikan Islam.
16 17
hlm. 128.
Alex Sobur, Komunikasi Orang Tua dan Anak, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 63. Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak dalam Islam, cet. ke-2, (Bandung: Pelita, 1969),
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penyusun mengadakan pembahasan dan pengkajian sesuai dengan kadar kemampuan dan cakrawala berpikir penyusun membahas hasil dari penelitian yang penulis laksanakan, maka dalam bab ini penulis akan menyampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya menurut hukum Islam dan Undang-undang peradilan anak. Menurut hukum Islam, perbuatan anak dapat dianggap melawan hukum,
hanya
keadaan
tersebut
dapat
mempengaruhi
pertanggungjawaban. Sehingga perbuatan melanggar hukum oleh anak bisa dimaafkan atau bisa dikenakan hukuman, tetapi bukan hukuman pokok melainkan hukumanta’zir. Menurut undang-undang peradilan anak yaitu dalam Undangundang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, sanksi hukuman pidana bagi anak dibedakan menjadi 3 (tiga): a. Di bawah usia 8 tahun, tidak diajukan kesidang pengadilan dan tidak dikenai hukuman pidana hanya dikenakan pengawasan. b. Usia 8 hingga 12 tahun, diajukan ke sidang pengadilan dan tidak dikenai hukuman pidana namun dikenakan tindakan.
73
74
c. Usia 12 hingga 18 tahun, diajukan kesidang pengadilan dan dikenai hukuman pidana. Hukuman pidana maksimal setengah dari hukuman orang dewasa baik pidana kurungan maupun hukuman penjara. 2. Persamaan dan perbedaan pertanggungjawaban pidana menurut hukum Islam dan undang-undang peradilan anak Persamaan pertanggungjawaban pidana menurut hukum Islam dan Undang-undang peradilan anak adalah : a. Menetapkan perbuatan pidana yang dilakukan anak-anak menurut asas legalitas. b. Menetapkan faktor akal dan faktor kehendak sebagai syarat mampu bertanggungjawab c. Memberikan pengajaran dan pengarahan kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana. Sedangkan perbedaan pertanggungjawaban pidana menurut hukum Islam dan undang-undang peradilan anak adalah : a. Dasar hukum Hukum Islam berdasarkan pada al-Qur’an, Hadis Rasul, Ijmā’ dan Ijtihad hakim sedangkan Undang-undang peradilan anak berdasarkan pada Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. b. Batasan usia dan alternatif hukuman Dalam hukum Islam, batas usia anak adalah di bawah 15 tahun atau 18 tahun dengan alternatif:
75
1) Di bawah 7 tahun, bebas dari hukuman pidana dan hukuman pengajaran tetapi dikenai pertanggungjawaban perdata. 2) Usia 7 hingga 15 tahun atau 18 tahun, bebas dari hukuman pidana tetapi dikenai hukuman pengajaran dan pertanggungjawaban perdata. Sedangkan dalam Undang-undang peradilan anak batasan usia anak adalah di bawah 18 tahun dengan alternatif : 1) Di bawah 8 tahun, dilakukan penyidikan kemudian dikembalikan kepada orang tua atau diserahkan kepada Departemen Sosial. 2) Usia 8 hingga 12 tahun, diajukan kesidang pengadilan, kemudian dikembalikan kepada orang tua atau diserahkan kepada Negara atau diserahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi social kemasyarakatan dengan dapat disertai teguran dan syarat tambahan. 3) Usia 12 hingga 18 tahun, diajukan kesidang pengadilan dan dikenai hukuman pidana dengan ketentuan maksimum pidana pokok dikurangi setengah atau sepertiga. B. Saran-saran Saran-saran yang sepantasnya disampaikan oleh penyusun di dalam skripsi ini yaitu: 1. Perlunya sosialisasi dan penyadaran hukum baik tentang hukum pidana Islam maupun Undang-undang peradilan anak yang berkaitan dengan batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya kepada masyarakat agar dapat memberikan perlindungan kepada anak nakal secara benar.
76
2. Perlunya pengkajian ulang oleh praktisi hukum tentang hakikat hukuman bagi anak nakal yang tidak mangabaikan dimensi sosiologi dan psikopedagogis, karena hal tersebut merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari akibat setelah diterapkannya suatu hukuman yang pada akhirnya hukuman itu sesuai dengan keadilan yang berlaku dalam masyarakat 3. Sepantasnya dikembangkan pemikiran tentang pertanggungjawaban struktural/fungsional. Artinya pemidanaan tidak hanya berfungsi untuk mempertanggungjawabkan dan membina anak sebagai pelaku kejahatan, akan tetapi juga berfungsi untuk mempertanggungjawabkan dan mencegah pihak-pihak lain yang secara struktural atau fungsional mempunyai potensi dan kontribusi besar untuk terjadinya kejahatan yang dlakukan oleh anak. C. Penutup Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, penulis mengisi bagian penutup ini karena dengan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan taklupa shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa Risalah Ilahiah, serta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan motivasi, bimbingan, bantuan, dan do’anya yang tulus terhadap penulisan skripsi ini.
77
Untaian kata demi kata dalam skripsi ini ditulis dengan serius dan penuh tanggung jawab. Namun harus tetap diakui bahwa segala kekurangan dan kesalahan tentu masih melekat dalam segala rangkaian kata-kata dari awal hingga akhir, untuk itu tidak ada usaha yang lebih berharga kecuali melakukan kritik konstruktif setiap elemen pembangun dalam skripsi ini, demi perbaikan dan kebaikan semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada pembaca pada umumnya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Proyek Penggandaan Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Toha Putra, 1989. A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. Ahmad, Maulana Musa, Mendidik Anak Secara Islami, cet. ke 4, Yogyakarta: Ash-shaff, 2006. Aji, S. Sapto, UU RI. No. 1 Tahun 1995 tentang Pemilihan Umum, cet. ke-3, Semarang: Aneka Ilmu, 1986. Al-Maraghi, Ahmad Mustofa, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, cet. ke-2, Semarang: Thoha Putra, 1993. Al-Sabuni, Muhammad Ali, Rawai’ul Bayan Tafsir fi al-Ayat al-Ahkam min alQur’an, diterjemahkan oleh Saleh Mahfud, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, Bandung: Al-Ma’arif, 1994. Audah, Abdul Qadir, Al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Beirut: Dar al-Kitab alArabi, 1994. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, cet. ke-3, Jakarta: Kencana, 2011. Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Chazawi, Adami Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan, & Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Doi, Abdurrahman I, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, alih bahasa Sulaiman Rasjid, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000. E. Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1985. Fachruddin, Fuad M., Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
Hadhiri, Choiruddin, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an,Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Hakim, Rahmad, Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah, cet. ke-2, Bandung: Pustaka Setia, 2010. Hasyim, Umar, Cara Mendidik Anak dalam Islam, cet. ke-2, Bandung: Pelita, 1969. Haqqi, Ismail, Tafsir Rūh al-Bayan, Beirut : Dar al-Fikr, t.t. Hurairah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke 3, Bandung: Nuansa Cendekia, 2012. Kartono, Kartini, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali, 1992. Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Usul Fiqh, Beirut: Dar al-Kuwaitiyah, 1998. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Pasha, H.Mustafa Kamal, Fiqh Islam, disusun berdasarkan keputusan Majlis Tarjih, Yogyakarta: Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Majelis Pendidikan Dasar, Menengah dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2000. Prinst, Darwan, Hukum Anak di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997. Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006. Purnomo, Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, cet. ke-5, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Rahman, Ibnu, Hukum Islam Dalam Perspektif Filsafat, Yogyakarta: Philosophy Press, 2001. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek: Dengan Tambahan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994. R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, t. t. Redaksi Bumi Aksara, Undang-undang Pokok Perkawinan, cet. ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Rusyd, Ibnu, Bidayah al- Mujtahid, tn.p: Wahriyai al-Kitab al-Arabiyah, t.t. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 9, alih bahasa Mohammad Nabhan Husein, Bandung: Alma’arif, 1984. Saleh, Hasan, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta: Rajawali Perss, 2008. Scaffmeister, Keizer, dan Sutorius, Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011. Siregar, Bismar, Telaah tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Wanita, Yogyakarta: Pusat Studi Kriminologi F. H. UII, 1986. Sobur, Alex, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung: Angkasa, 1991. Soeitoe, Samoel, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Cahaya Tunggal, 1973. Sutedjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, cet. ke-2, Bandung: Refika Aditama, 2008. Syafaat, Aat, Sohari Sahrani, dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), Jakarta: Rajawali Press, 2008. Syarifuddin, Amir,Garis-Garis Besar Fiqih, Cet.ke-3, Kencana: Jakarta, 2010. Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, cet. ke 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Armico, 1984. Zahrah, Muhammad Abu, Al Jarimah wa Al ‘Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, (Kairo: Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, tanpa tahun.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : WIHDATUL HASANAH Tempat & tgl Lahir : Jepara, 5 Mei 1991 Alamat : Pecangaan Kulon Rt 04 Rw 03, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara Agama : Islam Fakultas : Syari’ah (al-Ahwal al-Syakhsiyyah) UNISNU Jepara NIM : 1210060 Pendidikan Formal : 1. SDN 02 Pecangaan Jepara : Lulus 2002/2003 2. MTs NU BANAT Kudus : Lulus 2005/2006 3. MA NU BANAT Kudus 4. UNISNU Jepara
: Lulus 2008/2009 : 2010 – sekarang
Jepara, 16 Maret 20015
Penulis
Wihdatul Hasanah NIM: 1210060