PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh :
Maman Abdul Rahman 108043200013
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
ABSTRAK MAMAN ABDUL RAHMAN : 108043200013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK , Skripsi. Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. 1 x 82 halaman + 75 Lampiran Masalah pidana anak yang bermula dari kenakalan anak dewasa ini merupakan persoalan yang aktual, hampir disemua negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Pidana anak diklasifikasikan sebagai perbuatan kejahatan yang dianggap sebagai kenakalan anak (juvenile delinquency). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dilakukan seseorang yang termasuk dalam kategori anak menurut hukum Islam dan hukum positif di Indonesia. Penelitian ini merupakan kajian literatur dengan pendekatan normatif yang dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka (library research), yaitu dengan menelaah buku-buku, media cetak dan elektronik atau bahan bacaan lain yang berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana anak. Dalam pada ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Hukum Islam pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan kepada anak yang telah baligh, adapun ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan oleh ulil amri sebagai bentuk pendidikan, pengajaran dan perbaikan diri yang disesuaikan dengan kondisi psikologi anak. Berdasarkan pendekatan yang dilakukan diatas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal pertanggungjawaban pidana anak menurut UU No. 11 Tahun 2012 dengan hukum Islam sama-sama menitik beratkan kepada pengurangan hukuman kepada anak dan hukuman yang diberikan sifatnya adalah mendidik. Sedangkan perbedaannya terletak pada ketentuan kategorisasi anak dan hukuman yang dijatuhkan. Kata kunci Pembimbing Daftar Pustaka
: pertanggungjawaban pidana, pidana anak, peradilan anak. : Dr. Asmawi, M.Ag : tahun 2001 s/d tahun 2012
iv
KATA PENGANTAR
الرِحي ِم َّ الر ْْحـَ ِن َّ بِ ْس ِم اللّ ِه Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, sholawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang. Skripsi ini berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK “ disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin, MA., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Khamami Zada, M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum dan Ibu Siti Hanna, Lc., M.A., Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
3. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu memberikan arahan, saran, dan motivasi selama penulisan skripsi ini. 4. Bapak Dr. H. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc., M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik. 5. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis mendapatkan referensi dan memberikan fasilitas bagi penulis dalam mengadakan studi perpustakaan. 6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan berbagai wawasan ilmu pengetahuan dari awal hingga akhir masa studi ini. 7. Kedua Orang Tua Penulis yang tercinta ayahanda H. Kamaludin dan ibunda Nyai Rusmiati yang rela memberikan segala pengorbanannya baik harta maupun jiwa demi membesarkan penulis agar dapat tumbuh bahagia, serta saudara-saudariku tersayang kakanda Daden Ahmad Ridwan, Dasep Ahmad Rukbi, S.Pd.I, Jamaludin, Cucu Syamsul Romli, adinda Empay Ja’far Sidik, S.Kom, Anwar Fauzi, Ahmad Hasan Sajili, Hilyatul Millah, dan Ari Asy’ari yang selalu memberikan doa dan semangat untuk penulis. 8. Pendiri sekaligus Pengasuh PP Daar El-Hikam Ciputat Abi K.H. Bahrudin, S.Ag dan Umi Tuti Rosmaya, A.Md. yang telah memberikan ilmu dan keberkahannya kepada Penulis, serta keluarga Besar ISDAH (Ikatan Santri
vi
Daar El-Hikam). Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan ridho-Nya. 9. Teman-Teman kelas Perbandingan Hukum Tahun 2008, Rizki Syafa’at Nur Rahim, S.Sy., Imron Rosyadi, S.Sy., Robbi Chahyadi S.Sy., Muhammad Syafe’i, S.Sy., Fandi Ahmad, S.Sy, Septianto Purnomo Akhsan, S.Sy., H. Imam Taufik, S.Sy., Rian Badruzzaman, S.Sy., Hayyu Arrafika, Rudi Haryanto, Sigit Budiyono, Nawa-ul Hurriyah dan Gesa Romadhona Aulia serta kawan-kawan PMH angkatan 2008 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih kawan untuk masa-masa yang menyenangkan di kampus. Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan berfikir bagi setiap orang yang membaca. Bogor, 10 Nopember 2014 Penulis
MAMAN ABDUL RAHMAN
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... PENGESAHAN TIM PENGUJI .......................................................................... LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................
iii
ABSTRAK .............................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
v
DAFTAR ISI .........................................................................................................
viii
BAB I
BAB II
:
:
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
11
D. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu .................................
12
E. Metode Penelitian ....................................................................
14
F. Sistematika Penulisan .............................................................
17
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF
A. Pengertian Anak dan Batasannya ............................................
19
B. Anak Menurut Perspektif Psikologi ........................................
23
C. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum positif.................
27
D. Kesalahan ................................................................................
28
E. Kemampuan Bertanggungjawab .............................................
30
F. Alasan Penghapusan Pidana ....................................................
32
G. Pertanggungjawaban Yuridis Bagi Anak Di Dalam KUHP…
33
viii
H. Pertanggungjawaban Yuridis Bagi Anak Di Luar KUHP ......
BAB III
:
35
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Anak Menurut Hukum Islam ...................................................
37
B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam ..................
46
C. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana ...................................
50
1. Disebabkan Perbuatan Mubah (Asbâb al-Ibâhah)..............
50
2. Disebabkan Hapusnya Hukuman (Asbâb Raf’i al-‘Uqâbah) 53
BAB IV
:
PERSPEKTIF
HUKUM
PIDANA
ISLAM
TERHADAP
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
A. Segi Hukum Pidana Nasional Tentang Anak Sebagai Pelaku
BAB V
:
Kejahatan..................................................................................
59
B. Ketentuan Batas Umur Anak .......................................................
61
C. Jenis Pidana Anak ............................................................................
67
D. Penjatuhan Pidana dan Tindakan .............................................
68
E. Sanksi Pidana Bagi Anak .........................................................
71
PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................
78
B. Saran ........................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ajaran agama menyatakan setiap anak terlahir kedunia dalam fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang anak, menjadi baik ataukah sebaliknya, jahat. Anak nakal itu merupakan anak yang wajar-wajar saja, karena tidak seorangpun dari orang tua menghendaki kenakalan anaknya berlebihan hingga menjurus ke tindak pidana. Pada kenyataannya banyak kasus kejahatan yang pelakunya anak-anak. Jika ditelusuri, seringkali anak yang melakukan tindak pidana adalah anak bermasalah yang hidup ditengah keluarga atau pergaulan sosial yang tidak sehat.1 Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.2 Keberadaan anak yang ada dilingkungan kita memang perlu mendapat perhatian, terutama mengenai tingkah lakunya. Dalam perkembangannya kearah dewasa, kadang-kadang seorang anak melakukan perbuatan yang lepas
1
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia,( Bandung : Mandar Maju, 2005), h. 1 2 Jufri Bulian Ababil, Raju Yang Diburu Buruknya Peradilan Anak Di Indonesia, (Jogjakarta:Pondok edukasi), 2006, h.1
1
2
kontrol, ia melakukan perbuatan yang tidak baik sehingga dapat merugikan orang lain atau merugikan diri sendiri. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertubuhan sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan pergaulannya. Sudah banyak terjadi karena lepas kendali, kenakalan anak sudah menjadi tindak pidana atau kejahatan, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat ditolerir lagi. Anak yang melakukan kejahatan harus berhadapan dengan dengan aparat hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.3 Pada akhir abad
ke-19 keprihatinan mulai melanda negara-negara
Eropa dan Amerika, kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda jumlahnya meningkat. Dalam menghadapi fenomena tersebut, ketika itu perlakuan terhadap perilaku kriminal disamakan terhadap anak maupun orang dewasa, sehingga diberbagai negara dilakukan usaha-usaha ke arah perlindungan anak. Termasuk dalam upaya ini yaitu dengan dibentuknya pengadilan anak (Juvenile Court) pertama di Minos, Amerika Serikat tahun 1889, dimana undang-undangnya didasarkan pada azas parent patrie, yang berarti ”penguasa harus bertindak apabila anak-anak yang membutuhkan pertolongan”, sedangkan anak dan pemuda yang melakukan kejahatan sebaiknya tidak diberi pidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan. Demikian pula halnya di Inggris, disini dikenal dengan apa yang dikatakan hak preogratif Raja sebagai Parens patriae (untuk melindungi
3
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta:Djambatan, 2007), h. 1
3
rakyat dan anak-anak yang membutuhkan bantuannya). Dengan demikian, dalam sejarah ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan anak senatiasa ditujukan guna menanggulangi keadaan yang kurang menguntungkan bahkan cenderung membahayakan bagi anak, eksploitasi terhadap anak dan kriminalisasi terhadap anak.4 Lalu bagaimana halnya di Indonesia sendiri, kurang lebih sejak tahun 1954 di Indonesia terutama di Jakarta, sebagai ibukota negara, sudah terbentuk hakim khusus yang mengadili anak-anak dengan dibantu oleh pegawai prayuwana, tetapi penahanan pada umumnya masih disatukan dengan orangorang dewasa. Tahun 1957 perhatian pemerintah terhadap kenakalan remaja semakin membaik, terbukti dengan dikirimnya beberapa ahli dari berbagai departemen ke luar negeri untuk mempelajari hal-hal yang menyangkut junevile
delinquency,
terutama
sejak
penyelidikannya
sampai
cara
penyelesaianya di muka pengadilan. Adapun departemen yang dimaksud adalah kejaksaan, kepolisian dan kehakiman. Sekembalinya dari luar negeri, maka dibentuklah agrement secara lisan antara ketiga instansi diatas untuk mengadakan perlakuan khusus bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana. Sebagaimana diketahui Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha penting dalam rangka menciptakan tata tertib ketentraman dalam masyarakat, baik yang bersifat preventif maupun represif, setelah terjadinya pelanggaran hukum. Oleh karena itu sangat diperlukan
4
Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak,(Bandung:Refika Aditama, 2006), h.1
4
adanya kesatuan gerak, langkah dan pandangan dalam rangka penegakan hukum sehingga dicapai sasaran semaksimal mungkin. Pelanggaran terhadap kaidah hukum yang berupa terganggunya rasa keadilan yang dirasakan sedemikian rupa mendalam, maka reaksi yang ditekankan adalah berupa reaksi yang ditentukan oleh pemegang kedaulatan hukum yaitu penguasa atau negara. Pengadilan adalah tiang teratas dan landasan negara hukum. Peraturan yang diciptakan memberikan faedah apabila ada peradilan yang berdiri kokoh/kuat dan bebas dari pengaruh apapun, yang dapat memberikan isi dan kekuatan kepada kaedah-kaedah hukum yang diletakkan dalam UndangUndang dan peraturan lainnya. Peradilan juga merupakan instansi yang merupakan tempat setiap orang mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hak dan kewajibannya menurut hukum.5 Berbicara tentang anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin bangsa pada masa mendatang. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sebagai
sumber
daya
manusia
bagi
pembangunan
nasional,
dalam
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta melihat kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah kesatuan Republik Indonesia yang Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
5
1983), h.143
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3S,
5
Proses pembinaan anak dapat dimulai dalam suatu kehidupan keluarga yang damai dan sejahtera lahir dan batin. Pada dasarnya kesejahteraan anak tidak sama, tergantung dari tingkat kesejahteraan orang tua mereka. Seperti di negara kita masih banyak anak yang tinggal di daerah kumuh dan diantaranya harus berjuang mencari nafkah untuk membantu keluarga. Kemiskinan, pedidikan yang rendah, keluarga yang berantakan dan lingkungan pergaulan akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan anak. 6 Anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (LNRI Tahun 2002 Nomor 109; TLNRI Nomor 4235) (selanjutnya disingkat UU No. 23/2002) adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. 7 Sebagai seorang anak yang berarti belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, padahal anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, dan anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus citacita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak 6
Ibid.,h.145 Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 7
6
mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hakhaknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Anak yang belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, maka dalam segala hal anak perlu mendapatkan perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang
dieksploitasi
secara
ekonomi
dan/atau
seksual,
anak
yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana Pasal 1 angka 15 UU No. 23/2002.8 Ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 23/2002 mengenai anak yang mendapatkan perlindungan khusus, yaitu anak yang berhadapan dengan hukum, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hukum yang dihadapi oleh anak tersebut, apakah hukum perdata atau hukum pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum dalam lingkup hukum pidana, anak tersebut disebut anak nakal atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan sebagaimana Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik
8
Pasal 1 angka 15 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
7
Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU No. 11/2012). Anak meskipun nakal masih perlu mendapatkan perlindungan khusus yang tidak diberikan kepada pelaku tindak pidana orang dewasa. Terhadap anak nakal menurut Pasal 69 UU No. 11/2012 “hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini”. Kata “hanya dapat” menunjukkan bahwa setiap anak nakal, maka ada dua kemungkinan sanksi yang dijatuhkan yaitu sanksi pidana penjara atau berupa tindakan. Pidana pada umumnya dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan sebagaimana pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana pokok di antaranya pidana mati; pidana penjara; pidana kurungan; pidana denda; pidana tutupan. Pidana tambahan terdiri atas pencabutan
hak-hak
tertentu;
perampasan
barang-barang
tertentu;
pengumuman putusan hakim. Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal menurut pasal 82 UU No. 11 Tahun 2012 ialah a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.9 Dalam
perspektif
Islam,
pertanggungjawaban
pidana
adalah
pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak perbuatan)
9
Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Ank
8
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksudmaksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu. Dengan dasar ini, maka sebuah pertanggungjawaban pidana berlaku atas tiga hal yakni (1) adanya perbuatan yang dilarang; (2) dikerjakan dengan kemauan sendiri; dan (3) pelaku mengetahui akibat perbuatan tersebut. Ketiga hal di atas merupakan ratio logis bagi berlakunya sebuah pertanggungjawaban pidana.10 Dengan demikian, bagi orang-orang dewasa yang berakal dan berkemauan sendiri berlaku pertanggungjawaban pidana. Sebaliknya, tidak ada pertanggungjawaban pidana bagi komunitas anak-anak, orang gila, dungu, orang yang sudah hilang kemauannya dan orang yang berada dalam kapasitas terpaksa ataupun di paksa. Nash-nash syariat menegaskan makna ini dengan jelas melalui sabda Rasullulah SAW, yang menyatakan,:
َىَاللهَعََلَي َوَ َوسََل َمََهرفَعََ َالقَلَ هَمَعَ َن َ صَل َ َالل َ ََالََر هسَ َوله َ َق: َ ََاَق َالت َ َاللهَعَنَه َ َعَ َنَعَ َائشَ َةََرضَ َي
َ َجنهَ َونََ َحَتىَيَعَ هقَل َ حَتَل َمَ َوعَ َنَالَ َم َ ىَي َ ستَيَقَظََ َوعَ َنَالصََب َيَ َحَت َ ىَي َ ثَ َع َنَالنَ َائمََحََت َ ل َ َث َ 11)َ(رواهَالبخاريَوَالترمذيَوالنسائي
Artinya :“Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda ;Pena (pembebanan hukum) diangkat atas tiga golongan yaitu orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh dan orang yang gila hingga ia sembuh.”(HR. Bukhori, atTirmidzi, dan an-Nasai‟) Telah tegas dan menjadi konsensus di kalangan ulama bahwa anakanak terbebas dari pertanggungjawaban pidanan. Hal ini di karenakan mereka dalam status tidak cakap untuk bertindak secara hukum, dalam istilah pidana
10
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.80 11 Muhammad ibn „Isya at-Tirmidzi, Jami‟ at-Tirmidzi, (Mesir: Dar el-Kutub, t.t.), h.1339
9
Islam disebut sebagai laysa min ahli al-,uqubah ( bukan termasuk kelompok yang mendapatkan hukuman ).12 Namun demikan penting ditegaskan bahwa persoalan tentang statusnya dalam kapasitas sebagai anak-anak menimbulkan problematika tersendiri. Di antaranya adalah percepatan iklim dewasa semakin menjadi fenomena di kalangan anak-anak, terutama akibat pengaruh media komunikasi dan informasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para ulama kemudian membuat batasan yang meskipun terkesan sangan simplistik, namun pada dasarnya dapat dipergunakan sebagai acuan dalam melihat tingkat perkembangan dan sikap yang di tampilkan oleh mereka yang berada dalam usia yang disebut anak-anak. Dibahasnya mengenai anak nakal ini ada kaitannya dengan kasus kecelakaan maut pada tahun 2013 yang menewaskan 6 orang, dimana seorang anak yang bernama Abdul Qodir Jaelani atau yang lebih akrab disapa Dul putra dari seorang musisi ternama Ahmad Dhani mengendarai sebuah mobil sedan Lancer pada malam hari di Jalan Tol Jagorawi dengan kecepatan tinggi yang kemudian lepas kendali dan menabrak kendaraan lain yaitu Toyota Avanza dan Daihatsu Grand Max di KM 8 Tol Jagorawi, Dul diketahui saat itu berumur 13 tahun. Kecelakaan tersebut menyebabkan korban 5 orang tewas ditempat dan 1 orang tewas di rumah sakit.
12
Ibid., h.81
10
Dari uraian permasalahan tersebut diatas, penyusun tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang :PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANGUNDANG NO.11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Dengan bertitik tolak dari latar belakang masalah dan pemilihan judul sebagaimana tersebut diatas, maka pembahasan selanjutnya bertumpu pada identifikasi masalah yaitu: 1. Bagaimana UU No. 11 Tahun 2012 memposisikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak? 2. Bagaimana Hukum Pidana Islam memposisikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak? 3. Bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam terhadap ketentuan batasan
usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam UU No.11 Tahun 2012? Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi masalah mengenai ketentuan pertanggungjawaban pidana anak dan penulis memfokuskan pembahasan pada Undang-undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu: -
Pasal 20 yang mengatur tentang batas umur seorang anak yang melakukan tindak pidana dapat diajukan ke sidang pengadilan anak;
11
-
Pasal 24 yang mengatur tentang anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa;
-
pasal 69 yang mengatur tentang penjatuhan pidana atau tindakan terhadap anak; dan
-
pasal 71 mengenai sanksi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menjelaskan posisi anak yang melakukan tindak pidana menurut UU No.11 Tahun 2012. 2. Menjelaskan posisi anak yang melakukan tindak pidana menurut Hukum pidana Islam. 3. Menjelaskan pandangan Hukum Pidana Islam terhadap ketentuan batasan
usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam UU No.11 Tahun 2012. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi tentang pertanggungjawaban pidana anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 2. Memberikan
informasi
tentang
pertanggungjawaban
dilakukan oleh seorang anak menurut Hukum Pidana Islam.
pidana
yang
12
3. Memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syari‟ah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka diperlukan kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan kajian yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Penulis lebih memfokuskan masalah yang terjadi tentang pertanggungjawaban pidana anak persfektif UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan menurut hukum Islam . Adapun review yang digunakan oleh penulis adalah karya ilmiah yang berkenaan dengan penelitian; Pertama skripsi oleh Fahrul Rozi Tahun 2005 dengan judul “Sanksi Pidana Bagi Anak-Anak yang melakukan Tindak Pidana Ditinjau dari Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif”, Jurusan Pidana Islam, Fakultas Syari‟ah dan Hukum. Dalam skripsi ini membahas tentang sanksi pidana bagi anakanak yang melakukan tindak pidana menurut hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Pengadilan Anak dan ditinjau dari persfektif Hukum Islam yaitu fiqh jinayah. Kedua skripsi oleh Ibnu Abbas Tahun 2011 dengan judul “Batas Minimal Usia Cakap Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Ditinjau dari Persfektif Hukum Islam”, Jurusan Perbandingan Hukum, Fakultas Syari‟ah dan Hukum. Dalam skripsi ini
13
membahas tentang membahas tentang batasan usia minimal cakap hukum bagi seorang anak dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan dalam pandangan Hukum Islam. Sebuah tesis yang berjudul Pidana Anak dalam persfektif UndangUndang Pengadilan Anak dan Hukum Islam karya Ahmad Gunaldi. Dalam tesis ini membahas tentang sanksi pidana bagi anak nakal yang melakukan tindak pidana menurut undang-undang pengadilan anak dan ditinjau dari hukum Islam. Dalam buku Hukum Pidana Anak karya Wagianti Soetodjo. Buku ini menguraikan dengan lugas mulai dari gejala dan timbulnya kenakalan anak serta prosedur pemeriksaan serta batas pemidanaan anak hingga hak-hak anak atas perlindungan hokum. Buku ini juga menguraikan tentang hasil penelitian yang membahas tentang sebuah studi singkat di Lembaga Permasyarakatan (LP) Anak Tangerang. Sebuah buku karya Moch. Faisal Salam yang berjudul Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia. Dalam buku ini dibahas tentang tata cara dan prosedur persidangan anak yang melakukan tindak pidana dari sisi hokum pidana positif di Indonesia dan bukan dari sisi Hukum Islam. Dalam buku yang berjudul Hukum Acara Pengadilan Anak yang ditulis oleh Gatot Supranomo. Dalam buku ini dibahas tentang pembahasan sistem peradilan anak yang ada di Indonesia serta perlindungan yang diberikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dari masa penangkapan sampai dengan waktu berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP).
14
Dalam bukunya Ahmad Wardi Muslich yang berjudul Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah. Pada buku tersebut dibahas tentang teori-teori tentang hokum pidana islam dan asas-asas hokum pidana islam termasuk juga sanksi bagi orang yang melakukan tindak pidana dalam hokum Islam. Demikian beberapa karya yang telah penyusun telaah dan masih ada lagi beberapa karya tulis baik buku-buku, jurnal maupun skripsi yang belum terjangkau
dari
pengamatan,
terutama
seputar
pembahasan
tentang
pemidanaan anak dibawah umur dan dari sekian banyak studi terdahulu yang penulis paparkan diatas semuanya mengenai pidana anak, akan tetapi ada perbedaan dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, yakni penulis mencoba mencari suatu jawaban bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak ditinjau dari pandangan hokum pidana Islam dan hokum pidana positif Indonesia dalam hal ini UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
E. Metode Penelitian Mengingat dalam karya ilmiah, metode merupakan strategi yang utama dan mempunyai peran yang sangat penting, karena dalam penggunaan metode adalah upaya untuk memahami dan menjawab persoalan yang akan diteliti.13 Untuk sampai pada rumusan yang tepat terhadap kajian yang dibahas maka untuk itu penulis menggunakan metode sebagai berikut:
13
h. 27-28
Bambamg Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997),
15
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian data yang digunakan di sini adalah penelitian kualitatif, selanjutnya digunakan pembahasan analysis deskriptif. Kemudian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka (library reseach) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji data primer yang bersumber dari Al-Qur‟an, Hadits dan Peraturan Perundang-Undangan yang bertujuan untuk mengeksporasi dan memahami berbagai konsep yang berkaitan dengan tema penulis sehingga diperoleh data-data seluas mungkin dengan mengacu pada kepada teori yang sudah dijelaskan yang berkaitan dalam penelitian ini. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini penulis menggunakan studi literatur atau kepustakaan yaitu dengan cara mengkaji dan menelaah bukubuku yang berkaitan dengan judul skripsi ini baik berupa perundangundangan maupun buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Sedangkan sumber data yang diperoleh untuk penelitian ini dibagi menjadi dua macam yaitu data primer yaitu Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam hal ini peraturan hukum yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam penelitian ini. yakni Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadits. Selanjutnya data sekunder adalah data-data pendukung yang diperolah dari literatur-literatur atau dokumen-dokumen,
16
dan buku-buku, internet dan bahan informasi lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 3. Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data yang diperoleh oleh penulis adalah menggunakan pengolahan data secara analisis kualitatif.14 Yakni pendekatan content analysis yang menekankan pengambilan dari kesimpulan analisa yang bersifat deskriptif dan deduktif. Metode analisa data dalam penelitian yang dilakukan penulis adalah kajian isi (content analysis). Analisa data adalah proses mengatur data.15 Seluruh data yang diperoleh akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum kemudian dikaji dan diteliti selanjutya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan mengenai data tersebut. Analisis yang ingin dituangkan dalam penelitian ini adalah analisis dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dalil-dalil yang bersumber dari Hukum Islam. Setelah itu hasil penelitian dituangkan ke dalam tulisan untuk kemudian diklasifikasikan dan dianalisis, sehingga memperoleh kesimpulan tentang topik yang sedang dibahas. Adapun teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Ke-3, h. 11-13 15
2004), h. 6
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif,
(Bandung: PT Remaja Roda Karya,
17
F. Sistematika Penulisan Sistematika merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub-sub yang secara logis saling berhubungan dan merupakan satu kebulatan dari masalah yang sedang diteliti. Dan untuk mempermudah dalam mempertimbangkan penulisan skripsi ini, saya membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu: Pada Bab I merupakan bagian pendahuluan, pada pertama ini akan memberikan gambaran secara obyektif untuk dapat melanjutkan kemateri selanjutnya. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah yang menjadi dasar, dan menjelaskan tentang tujuan dan manfaat penelitian serta metode yang digunakan dalam penulisan ini serta sistematika penulisannya. Pada Bab II adalah kajian teoritis yang berdasarkan tinjauan pustaka akan memaparkan tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur dari sisi pandangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang meliputi istilah dan pengertian serta unsur-unsurnya, teori-teori terhadap pidana dan pemidanaan, sistem perumusan sanksi pidana, setra pemidanaan terhadap anak. Pada Bab III berisi tentang persfektif hukum Islam tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang meliputi dasar hukum pemidanaan anak yang melakukan tindak pidana atau jarimah.
18
Pada Bab IV merupakan bab analisi perbandingan yang didalamnya terdapat persamaan dan perbedaan antara persfektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Hukum Islam baik dari segi pengertian dan sanksi yang diberikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Pada Bab V adalah Penutup, yaitu berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran dari penulis. Adapun isi dari kesimpulan itu sendiri adalah kesimpulan dari jawaban rumusan masalah. Dan saran merupakan masukan dari penulis terkait dengan ilmu pengetahuan khususnya dalam masalah hukum pidana. Terakhir penutup.
BAB II PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF
A. Pengertian Anak dan Batasannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan (venia aetetis, Pasal 419 KUHPer) Pasal ini senada dengan Pasal 1 Angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 tahun dan Pasal 283 yang memberi batasan 17 tahun.1 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang.2 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 1
1 2
Lihat KUHP Pasal 153 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
19
20
Tahun 1974, maka batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menurut Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1979, maka anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.3 Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, menurut pasal 1 angka 8 huruf a,b, dan c UU 12/1995 bahwa anak didik pemasyarakatan baik Anak Pidana, Anak Negara dan Anak sipil untuk dapat dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah paling tinggi sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak bagi anak yang mempunyai masalah, menurut ketentuan 3
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
21
ini, anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Hukum adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam hukum adat Indonesia, batasan umur untuk disebut anak bersifat Pluralistik, dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya: telah “kuat gawe”, “akil balig”,menek bajang”, dan sebagainya.4 Dilihat dari tingkatan usia, batasan seseorang dikategorikan sebagai anak dapat dillihat pada gambaran berikut ini, dimana di berbagai Negara dunia tidak ada keseragaman tentang batasan umur seseorang dikategorikan sebagai anak, seperti: 1. Amerika Serikat, terdapat 27 negara bagian yang memiliki batas umur maksimal 18 tahun, 6 negara bagian memiliki batas usia maksimal 17 tahun, dan Negara bagian lainnya batas usia maksimalnya 16 tahun, sedangkan batas usia minimum rata-rata 8 tahun. 2. Inggris, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia minimum 12 tahun. 3. Australia, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 8 tahun. 4. Belanda, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 12 tahun. 4
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2011), h. 7
22
5. Kamboja, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 12 tahun. 6. Srilangka, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia minimum 8 tahun. 7. Taiwan, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 14 tahun. 8. Jepang dan Korea, batas usia maksimalnya adalah 20 tahun dan batas usia minimum 14 tahun. 9. Iran, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 7 tahun. 10. Philipina, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia minimum 7 tahun. 11. Malaysia, batas usia maksimalnya adalah 18 tahun dan batas usia minimum 7 tahun. 12. Singapura, batas usia maksimalnya adalah 16 tahun dan batas usia minimum 7 tahun.5 Penentuan batas usia minimum dan maksimum itu diperlukan karena di Negara-negara tersebut dibedakan antara delinquent child (anak yang melakukan pelanggaran) dengan dependant. Alasan membedakan kedua istilah ini karena
5
Sri Widowati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983), h. 11.
23
delinquent child mengenal batas usia minimum, sedangkan neglected child (dependant) tidak mengenal minors. 6 Batasan usia juga dapat dilihat pada Dokumen-dokumen Internasional, seperti: 1. Task Force on Juvenile Deliquency Prevention, menentukan bahwa seyogyanya batas usia penentuan seseorang dikategorikan sebagai anak dalam konteks pertanggungjawaban pidananya, ditetapkan usia terendah 10 tahun dan batas atas antara 16 – 18 tahun. 2. Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the Administrasion of Juvenile Justice (Beijing Rules) menetapkan batasan anak yaitu seseorang yang berusia 7 – 18 tahun. 3. Resolusi PBB 45/113 hanya menentukan batas atas 18 tahun, artinya anak adalah seseorang yang berusia dibawah 18 tahun.7 B. Anak Menurut Perspektif Psikologi Pengertian anak dalam persfektif lain penting untuk diketahui karena pada fase mana akan timbul kecenderungan kenakalan pada anak. Jika dilihat dari segi biologis, maka terdapat istilah bayi/balita, anak, remaja, pemuda, dan dewasa. Departemen Kesehatan menggolongkan anak menjadi 4 golongan, yaitu: 1. Usia 0 tahun sampai dengan 5 tahun disebut dengan usia bayi/balita; 2. Usia 5 tahun sampai dengan 10 tahun disebut dengan usia anak-anak; 6
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung: PT. Alumni, 2010), h.
57. 7
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2011), h. 9
24
3. Usia 10 tahun sampai dengan 20 tahun disebut dengan usia remaja (teenager atau juvenile); 4. Usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun disebut dengan usia menjelang dewasa.8 Secara khusus Psikologi anak dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) psikologi perkembangan anak tiga tahun tahun pertama (atitima), (2) anak psikologi perkembangan anak lima tahun pertama (alitima), dan (3) psikologi perkembangan anak tengah (6-12 tahun).9 Sedangkan Psikologi Perkembangan Remaja terbagi menjadi dua periode yaitu periode remaja awal (early childhood), dan periode remaja akhir (Late Adolescent).10 Berbeda dengan perspektif hukum yang mendefinisikan anak sebagai individu berusia di bawah 18 tahun, dalam perspektif psikologi, anak adalah individu yang berusia antara 3 – 12 tahun. Diatas usia 12 tahun individu dianggap sudah memasuki usia remaja. Selain didasarkan oleh tanda-tanda perkembangan fisik, yang memang sangat membedakan anak dengan individu yang sudah memasuki masa remaja, perbedaan juga berdasarkan perkembangan kognisi dan moral individu.
8
Muhammad Thohir, Seminar Kesehatan Anak, (Rumah Sakit Islam Surabaya, 1993), h.
6 9
Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Anak Usia Tiga Tahun Pertama (Psikologi Atitima), (Bandung: Refika Aditama, 2007), h.8 10 Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam, ( Jakarta: UIN Jakarta Press), h.106
25
1. Pada usia 2 – 7 tahun anak memasuki tahap kognisi yang disebut sebagai tahap pre–operasional, dimana anak belum mampu berpikir menggunakan logika. 2. Pada usia 7 – 11 tahun, individu memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap konkrit operasional. Ciri utama pada tahap ini adalah kemampuan untuk membandingkan antar peristiwa, dan anak mulai mampu menggunakan logika meskipun masih didalam tahap yang terbatas dan sederhana. 3. Pada usia 11 tahun ke atas, individu memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut tahap operasional dimana kemampuan berpikirnya sepenuhnya menggunakan logika. Pada tahap ini anak mulai bisa berpikir lebih fleksibel karena anak mulai bisa melihat lebih dari satu sudut pandang, meskipun pihak autoritas (orang tua) masih memegang peranan penting dalam mengarahkan perilaku anak. 11 Anak-anak yang berusia 12 atau 13 tahun sampai dengan 19 tahun sedang berada dalam pertumbuhan yang mengalami masa remaja. Masa remaja termasuk masa yang sangat menentukan karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya. Terjadinya perubahan kejiwaan menimbulkan kebingungan di kalangan remaja sebabnya karena mereka mengalami penuh gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mudah menyimpang dari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan masyarakat.12
11 12
Penney Upton,Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga,2012), h.198 Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 64
26
Apabila dilihat batasan usia anak dari sudut Psikososial, Singgih Gunarso dalam makalahnya yang berjudul Perubahan Sosial Dalam Masyarakat yang disampaikan dalam Seminar “Keluarga dan Budaya Remaja Perkotaan” yang dilakukan di Jakarta, mengemukakan bahwa klasifikasi perkembangan anak hingga dewasa dikaitkan dengan usia dan kecenderungan kondisi kejiwaannya, menurut Singih Gunarso terbagi menjadi lima tahap, yaitu: 1. Anak, seseorang yang berusia dibawah 12 tahun; 2. Remaja dini, yaitu seseorang yang berusia antara 12 – 15 tahun 3. Remaja penuh, yaitu seseorang yang berusia antara 15 – 17 tahun; 4. Dewasa muda, yaitu seseorang yang berusia antara 17 – 21 tahun; dan 5. Dewasa, seseorang yang berusia diatas 21 tahun.13 Lebih lanjut Singgih Gunarso dengan mensitir pendapat dari J. Pikunas dan R.J. Havighurts menjelaskan bahwa masing-masing tingkatan usia mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Sebagai Contoh: Kategori remaja dini (usia 12 – 15 tahun) memiliki kecenderungan kejiwaan: 1. Sibuk menguasai tubuhnya, karena faktor ketidakseimbangan postur tubuhnya, atau kekurangnyamanan tubuhnya. 2. Mencari identitas dalam keluarga, satu pihak menjurus pada sifat egosentris, pada pihak lain ia belum dapat sepenuhnya diserahi tanggung jawab, sehingga masih sangat memerlukan dukungan keluarga.
13
Ibid. h. 12
27
3. Kepekaan sosial tinggi, solidaritas pada teman tinggi, dan besar kecenderungannya mencari popularitas. Dalam fase ini, ia sibuk mengorganisasikan dirinya dan mulai mengalami perubahan sikap, minat, pola-pola hubungan pertemanan, mulai timbul dorongan seksual, bergaul dengan lain jenis. 4. Minat keluar rumah tinggi, kecenderungan untuk “Trial and error” tinggi, dan kemauan untuk belajar dari pengalaman tinggi. 5. Mulai timbul usaha-usaha untuk menguasai diri baik di lingkungan rumah, sekolah, klub olah raga, kesenian, dan lingkungan pergaulan pada umumnya.14 Di dalam kategori inilah, anak membawa pengaruh pada sikap kearah yang lebih agresif sehingga pada periode ini banyak tindakan anak-anak yang dapat mengarah kepada gejala kenakalan anak. Kenakalan anak ini timbul karena anak sedang mengalami perkembangan fisik dan perkembangan jiwa. Selain itu, pengaruh lingkungan (terutama lingkungan di luar rumah) juga turut mempengaruhi. Kategori remaja penuh, mempunyai kecenderungan kejiwaan: 1. Sudah mulai menampakan dirinya mampu dan bisa menerima menerima kondisi fisiknya; 2. Mulai bisa menikmati kebebasan emosionalnya; 3. Mulai lebih mampu bergaul;
14
Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam, ( Jakarta: UIN Jakarta Press), h.112
28
4. Sudah menemukan identitas dirinya; 5. Mulai memperkuat penguasaan dirinya dan menyesuaikan perilakunya dengan norma-norma keluarga dan kemasyarakatn; 6. Mulai secara perlahan-lahan meninggalkan reaksi-reaksi dan sikap-sikap kekanak-kanakan.15 C. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum positif Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana yang secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. 16 Pertanggungjawaban dalam hukum pidana atau yang juga disebut criminal responsibility artinya : ”orang yang telah melakukan suatu tindak pidana disitu belum belum berarti ia harus dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas pebuatannya yang telah dilakukan.” Mempertanggungjawaban atas suatu perbuatan berarti untuk menentukan pelaku salah atau tidak.17 Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid,”
“criminal
reponsibilty,”
“criminal
liability,”
pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu.18
15
Ibid., h.113 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.20 17 Suharto R.M., Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.106 18 S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,Cet IV, ( Jakarta :Alumni Ahaem-Peteheam,1996),h .245 16
29
Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuatanya.19 Sebagaimana telah diketahui, untuk adanya pertanggungjawaban pidana, suatu syarat yang diperlukan adalah si pembuat harus mampu bertanggung jawab, dengan lain perkataan harus ada kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat. Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) ini KUHP tidak merumuskannya, sehingga harus dicari dalam doktrin atau Memorie van Toelichting (MvT).20 D. Kesalahan (geen straf zonder schuld). Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Maka tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana. Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi
19
Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ) ,h.75 20 I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta:Fikahati Aneska, 2010), h. 38
30
masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.21 Jadi disamping orang telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan padanya. Asas pertanggungjawaban pidana berbunyi “Tiada pidana tanpa kesalahan” asas ini oleh masyarakat Indonesia dijunjung tinggi dan akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika ada orang tidak bersalah tidak dijatuhi hukuman. Kesalahan adalah suatu keadaan psychologisch yang oleh penilaian hukum pidana ditentukan sebagai keliru dan dapat dicela. Dengan adanya kesalahan, orang harus bertanggungjawab atas perbuatannya untuk dapat ia jatuhi pidana. Karena ajaran tentang kesalahan juga disebut “pertanggung jawaban pidana” atau dengan istilah criminal responsibility.22 . Menurut Moeljatno, kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. geen straf zonder schuld, no punishment without fault, actus non facit reum nisi mens sist rea, an act does not make a person guilty unless his mind is guilty. Adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti: tiada pidana dicela. Tetapi sesungguhnya, pasti dalam hukum pidana, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut. Karena itu asas kesalahan disini diartikan sebagai: tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut
21 22
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.20 Suharto R.M., Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.106
31
yang objektif, yang dapat dicelakakan kepada pelakunya, dengan lain perkataan, kesalahan adalah perilaku alasan pemidanaan yang sah (menurut undangundang).23 E. Kemampuan Bertanggungjawab Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mempunyai akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk. Atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab. Demikian halnya dengan ketentuan pasal 44 KUHP yang berbunyi: “1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.”24
23 24
I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta:Fikahati Aneska, 2010), h. 38 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.20
32
Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggung jawab pidana. Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab. Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 44 (1) KUHP, yakni: 1. Karena jiwanya cacad dalam pertumbuhan, atau 2. Jiwanya terganggu karena penyakit.25 Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) ini KUHP tidak merumuskannya, sehingga harus dicari dalam doktrin atau Memorie van Toelichting (MvT). Simons mengatakan, “kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya peniadaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”.26 F. Alasan Penghapusan Pidana Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada „pembenaran‟ atas 25
26
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h.143 I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta:Fikahati Aneska, 2010), h. 38
33
tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada „pemaafan‟ pembuatannya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum. 27 Dalam hukum pidana yang termasuk kedalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain, daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses), dan pelaksaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik. Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan: “perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.”28 G. Pertanggungjawaban Yuridis Bagi Anak Di Dalam KUHP Hukum Pidana Indonesia di dasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersumber pada KUHP Belanda yang diangkat dari Keputusan Raja tanggal 15 Oktober 1915 No. 33, dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Materi yang diatur dalam KUHP ini, pada prinsipnya merupakan warisan (turunana) dari KUHP Belanda (Straf wetboek) yang dibuat pada tahun 1881 dan mulai diberlakukan pada tahun 1886.29 Pada waktu KUHP dinyatakan berlaku di Indonesia belum memilki hukum pidana yang khusus untuk anak-anak atau orang yang belum dewasa. Hanya
27
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011), h.37 Ibid., h.20 29 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, (Bandung: Alumni, 2010), h. 39 28
34
terdapat Pasal 45, 46, dan 47 KUHP yang mengatur tentang pemidanaan terhadap mereka yang belum berumur 16 tahun. Pasal 46 tidak bersangkut-paut dengan hal apakah seseorang yang masih muda atau anak-anak dianggap pertumbuhan jiwanya sempurna atau belum, tetapi hanya mengatur tentang apa yang dapat dilakukan oleh hakim dalam mengambil keputusan terhadap orang yang belum berumur 16 tahun jika ia melakukan tindak pidana. Dikatakan di dalamnya bahwa dalam hal demikian hakim dapat memerintahkan agar: 1. Yang bersalah dikembalikan kepada orang tua/walinya tanpa dipidana. 2. Yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana untuk kejahatan atau pelanggaran tertentu; selanjutnya diserahkan kepada orang tua atau lembaga pendidikan sampai berumur 18 tahun (pasal 46 KUHP). 3. Menjatuhkan pidana, dengan ancaman maksimumnya dikurangi sepertiga dari ancaman pidana biasa, atau 15 tahun penjara untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati; juga dalam hal diputuskan pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan pidana tambahan perampasan barangbarang tertentu.30 Bertalian
dengan pertanggungjawaban yuridis terhadap anak dibawah
umur tersebut, dalam Pasal 45, 46, dan 47 KUHP, sebelum dicabut telah ditegaskan secara alternatif dan pemecahannya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Jika tindak pidana dilakukan oleh anak berusia 9 tahun sampai 13 tahun, disarankan kepada Hakim untuk mengembalikan anak tersebut kepada orang tua atau walinya dengan tanpa pidana; 2. Jika tindak pidan tersebut dilakukan oleh anak yang masih berusia 13 sampai 15 tahun dan tindak pidananya masih dalam tingkat pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 30
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2012), h. 93
35
517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 KUHP, Hakim dapat memerintahkan supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah atau badan hukum swasta untuk dididik sampai berusia 18 tahun. (Pasal 46 KUHP). 3. Jika Hakim menghukum sitersalah, maka maksimal hukuman utama dikurangi sepertiga, jika perbuatannya diancam hukuman mati, maka ddijatuhi pidana selama-lamanya 15 tahun dan hukuman tambahan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 huruf (b) 1e dan 3e tidak dijatuhkan (Pasal 47 KUHP).31 H. Pertanggungjawaban Yuridis Bagi Anak Di Luar KUHP Pertanggungjawaban pidana anak tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada hokum materiil seperti yang diatur dalam KUHP, karena KUHP tersebut ketentuan hukumnya tidak saja bersifat konvensional, tetapi juga karena perilaku dan peradaban manusia sudah demikian kompleks bahkan perkembangannya jauh lebih cepat daripada aturan yang ada. Oleh karena itu, melalui Pasal 103 KUHP, masih dibenarkan adanya perbuatan lain yang menurut Undang-Undang selain KUHP dapat dipidana sepanjang Undang-Undang tersebut bertalian dengan masalah anak dan tidak bertentangan dengan ketentuan KUHP berdasarkan asas (Lex Specialis Derogat Legi Generali).32 Adapun Undang-Undang lain di luar KUHP yang bertalian dengan masalah hukum pidana anak seperti:
31 32
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, (Bandung: Alumni, 2010), h. 48 Ibid., h. 49
36
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 8. Undang-Undang
Nomor
9
Tahun
1998
tentang
Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Tempat Umum . 9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. 10. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 11. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.dan Instrumen Hukum lain yang bertalian dengan masalah anak.33
33
Ibid., h. 50
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
Seperti dikemukakan oleh para pakar hukum, dewasa ini ada lima sistem hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat hukum dunia. Kelima sistem hukum itu adalah: Sistem Hukum Eropa Kontinental, Sistem Hukum Anglo Saxon, Sistem Hukum Adat, Sistem Hukum Islam, dan Sistem Hukum Sosialis-Komunis. Kecuali yang terakhir, keempat sistem hukum tadi telah lama dan masih tetap berlaku di Negara Hukum Indonesia.1 A. Anak Menurut Hukum Islam Dalam bahasa Arab sebutan untuk anak ada bermacam-macam, ada sebutan anak yang merupakan perubahan dari bentuk fisik yang dikenal dengan istilah shabiy (sebutan sangat umum untuk anak), sebutan untuk anak pecahan dari shabiy adalah walad (sebutan untuk anak laki-laki dan wanita)2, dârijun (anak kecil yang berjalan berjalan),3 thiflun (anak yang mendapatkan keringanan hukuman dan sebutan bagi orang sejak lahir hingga mendapatkan mimpi),4 ghulâm (manusia sejak lahir hingga remaja, dipakai untuk sebutan anak laki-laki dan wanita)5. Kemudian ada sebutan anak yang merupakan perubahan secara kejiwaan yang berhubungan dengan kecerdasan/intelektualitas (tamyîz). Sedangkan 1
M. Amin Suma dkk, Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.11 2 Ibnu Mundhir, Lisan al-Arab,(Beirut: Darul Ma’arif, t.t.), Jilid 5, h. 4914 3 Ahmad Warson Al-Munawir, al-Munawir, (Jakarta: Penerbit tidak ditemukan, 1984), h.427 4 Jamaludin Muhammad bin Mukram al-Anshari, Lisan al-Arab, (Kairo: Muassasah alMisriyah, t.t.), Jilid 13, h. 426. 5 Ibnu Mundhir, Lisan al-Arab,(Beirut: Darul Ma’arif, t.t.), Jilid 5, h. 3289
37
38
perubahan anak secara kombinasi baik dari segi fisik maupun kejiwaan dikenal dengan dewasa (baligh). Baligh terdiri atas dua macam yaitu: Pertama, baligh bi thaba‟i yakni baligh yang dapat diketahui dari tingkah lakunya atau tanda-tanda, jadi dalam hal ini pertanda baligh dapat diketahui dari penglihatan. Kedua, baligh bi sinni yakni baligh dengan menetapkan ketentuan umur apabila secara tabiat tidak terlihat tanda-tanda baligh maka ukuran baligh ini ditentukan dengan menetapkan umur baik untuk laki-laki maupun perempuan. Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas baligh. Berikut adalah pendapat dari sebagian para ulama’ madzhab : 1. Menurut ulama’ Hanafiyah, batas baligh bagi laki-laki adalah ihtilâm (mimpi keluar mani) dan menghamili perempuan. Sedangkan untuk perempuan ditandai dengan haidh dan hamil. Apabila tidak dijumpai tanda-tanda tersebut, maka balighnya diketahui dengan umurnya. Menurutnya umur baligh bagi laki-laki adalah 18 tahun dan bagi perempuan 17 tahun. 6 2.
Menurut ulama’ Malikiyah, batas baligh bagi laki-laki adalah keluar mani secara mutlak, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam mimpi. Dan bagi perempuan adalah haidh dan hamil.
3. Menurut ulama’ Syafi’iyyah, batasan baligh bagi laki-laki maupun perempuan dengan sempurnanya usia 15 tahun dan keluar mani, apabila
6
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib Al- Arbaah, (Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Beirut, 1972), h. 350
39
keluar mani sebelum usia itu maka mani yang keluar itu adalah penyakit bukan dari baligh, maka tidak dianggap baligh. Dan haidh bagi perempuan dimungkinkan mencapai umur 9 tahun. 4. Menurut ulama’ Hanabilah, batas baligh bagi laki-laki maupun perempuan
ada tiga hal yaitu : a. Keluar mani dalam keadaan terjaga ataupun belum mimpi, dengan bersetubuh. b. Mencapai usia genap 15 tahun. c. Bagi perempuan ditambahkan adanya tanda haidh dan hamil. Dan bagi banci (khuntsa) diberi batasan usia 15 tahun. 7 Imam Abdul Qadir Audah menjelaskan fase-fase yang ditempatkan oleh seorang sejak lahir sampai dewasa. Ada tiga fase yaitu : 1. Masa Tidak Adanya Kemampuan Berpikir (Marhalah In „Idâm al-Idrâk)
Fase ini dimulai sejak seseorang dilahirkan sampai mencapai umur 7 tahun dengan kesepakatan para fuqahâ‟. Dalam masa marhalah ini seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan berpikir dan ditetapkan belum mempunyai kesadaran dalam bertindak. Seorang anak dalam marhalah ini disebut anak belum mampu berpikir (ghoiru mumayyîz). Sebenarnya kemampuan berpikir dan kemampuan bisa membedakan, (tamyîz) seorang anak itu tidak terbatas pada usia tertentu dan tidak dapat dipastikan dengan tercapainya umur ini, sebab kemampuan berpikir kadangkadang bisa timbul sebelum usia 7 tahun dan kadang-kadang terlambat, menurut 7
Ibid., h. 353
40
perbedaan orang, lingkungan, keadaan dan mentalnya. mengingat kondisi jasmani dan iklim daerah tempat anak itu berada. Namun demikian para fuqaha‟ menetapkan umur 7 tahun itu sebagai ketetapan ketamyîzan seorang anak demi keseragaman hakim. Para fuqaha‟ berpedoman dengan usia dalam menentukan batas-batas kemampuan berpikir, agar bisa berlaku untuk semua orang, dengan mendasarkan kepada keadaan yang banyak terjadi pada anak-anak kecil. Pembatasan tersebut diperlukan untuk jangan sampai terjadi kekacauan hukum dan agar mudah bagi seseorang untuk meneliti apakah kemampuan berpikir sudah terdapat atau belum, sebab usia anak bisa diketahui dengan mudah. Boleh jadi, seorang anak yang berusia 7 tahun menunjukkan kemampuan berpikir sudah terdapat atau belum, sebab usia anak bisa diketahui dengan mudah. Boleh jadi, seorang anak yang belum berusia 7 tahun menunjukkan kemampuan berpikir, tetapi ia tetap dianggap belum tamyîz, karena yang menjadi ukuran adalah kebanyakan orang, bukan perseorangan.8 Perbuatan jarîmah yang dilakukan oleh anak dibawah usia tujuh tahun tidak dijatuhi hukuman, baik sebagai hukuman pidana atau sebagai pengajaran. Akan tetapi anak tersebut dikenakan pertanggungjawaban perdata, yang dibebankan atas harta milik pribadi, yakni memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita oleh harta milik atau diri orang lain (wujûd ad-dhaman fî
8
390
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
41
mâlihi).9walaupun demikian, kewajiban mengganti rugi tetap tidak terlepas dari padanya, sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Amidi.10 Mengenai tidak berlakunya hukum qishâsh bagi anak-anak oleh karena ketiadaan taklîf, di tegaskan juga oleh Syarbani Khatib11 dan Imam ar- Ramli.12 2. Masa Kemampuan Berpikir Lemah (Marhalah al-Idrâk al-Dha‟îf )
Fase ini dimulai sejak seseorang anak berumur 7 tahun sampai berumur 15 tahun. Anak dalam masalah ini disebut anak mumayyiz. Anak mumayyiz tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi anak yang munayyiz berarti seorang anak yang telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, tetapi ia belum mampu dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang ia lakukan. Akan tetapi ia dapat dijatuhi pidana pengajaran. Dalam soal perdata ia disamakan dengan anak belum tamyîz. Masa ini dimulai sejak usia tujuh tahun sampai mencapai kedewasaan (baligh), dan kebanyakan fuqahâ‟ membatasinya dengan usia lima belas tahun. Kalau seorang anak telah mencapai usia tersebut maka ia dianggap dewasa, meskipun boleh jadi ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya. Imam Abu Hanifah sendiri membataskan kedewasaan kepada usia delapan belas tahun, dan menurut suatu riwayat sembilan belas tahun. Pendapat yang terkenal dalam madzhab Maliki sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
9
Ibid., h. 397 Al-Amidi, Saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- Hikam fi Usul al-Ahkam , juz I, ( Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt), h. 78 11 Khatib, Muhammad Syarbani, Mughni al-Muhtaj Ila –Ma‟rifat , Ma‟ani Alfadz Minhaj „ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II ( kairo : Dar al- Fikr, 1958), h . 279 12 Ar-Ramli, Muhammad Syihabuddin , Nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al –Minhaj, juz V (Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt) h.246 10
42
Pada masa tersebut seseorang anak tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, akan tetapi ia bisa dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya berupa hukuman juga, akan tetapi tetap dianggap sebagai hukuman pengajaran, bukan sebagai hukuman pidana, dan oleh karena itu kalau anak tersebut berkali-kali memperbuat jarîmah dan berkali-kali pula dijatuhi pengajaran, namun ia dianggap pengulang kejahatan (recidivist). Mengenai pertanggungjawaban perdata, maka ia dikenakan, meskipun bebas dari pertanggungjawaban pidana.13 3. Masa Kemampuan Berpikir Penuh (Marhalah al-Idrâk al-Tâmm)
Masa ini dimulai sejak seseorang anak mencapai usia kecerdikan (sinnurrusydi), atau dengan perkataan lain, fase ini dimulai sejak seorang berumur 15 tahun sampai delapan belas tahun, menurut perbedaan pendapat dikalangan fuqahâ sampai meninggal dunia. Pada masa ini seseorang dikenakan pertangungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya bagaimanapun juga macamnya Maka ia telah dewasa dan karenanya ia sudah mempunyai pertanggungjawaban penuh, baik dalam lapangan hukum perdata, pidana dan dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan Tuhan.14 Dalam Islam seorang akan dikenakan pembebanan hukum apabila seseorang itu mukallaf. Dengan demikian segala perbuatan itu akan dikenakan
13
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
397 14
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah, t.th.), h.
601
43
hukum seperti yang berhubungan dengan kewajiban, larangan, makruh dan Ibahah. Orang mukallaf menurut ulama‟ ushuliyyin disebut mahkûm „alaîh. 15 Dalam hal ini, ada beberapa syarat bagi mukallaf untuk dapat dikenakan pembebanan hukum yaitu : 1. Mukallaf dapat memahami taklîf, seperti mampu memahami nash-nash yang dibebankan dari Al Qur’an dan Al Sunah secara atau perantaraan. Karena orang yang tidak mampu memahami dalil taklîf dia tidak dapat mengikuti apa yang dibebankan kepadanya dan tidak tahu apa yang menjadi tujuannya. Akal orang yang belum bisa memahami baik itu orang yang lupa, tidur, gila dan anak-anak tidak bisa diberi beban hukum, sebagai mana sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi :
ِ ََع َنَ َعَ َائِشَ َةََر َىَاللَُ َعَلََي َِوَ ََو َسََل ََمََُرفَِ َعََ َالقَلَ َُمَ َعَ َن َ صَل ََ َالل َِ ََُالَََر ُسَ َول ََ ََق:ََاللَُ َعَنَ َهَاََقالَت َ َضَ ََي َ ِ ِ ِ ِ َ َجنَُ َونََ ََحَتىَيََ َع ُقَ َل َ حَتََل ََمَ ََو َعَ َِنَالَ ََم َ َىَي َ ستََيَقَظََ ََو َعَ َِنَالصََبِ َيَ ََحَت َ َىَي َ ثَ ََع َِنَالنَ َائ ِمََ َحََت ٍَ ل ََََث َ 16)َ(رواهَالبخاريَوَالترمذيَوالنسائي Artinya :“Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda ;Pena (pembebanan hukum) diangkat atas tiga golongan yaitu orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh dan orang yang gila hingga ia sembuh.”(HR. Bukhori, atTirmidzi, dan an-Nasai‟) Syarat ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Khudlori Beik, sebagai berikut :
15 16
h.1339
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Amzah, 2010), h. 50 Muhammad ibn ‘Isya at-Tirmidzi, Jami‟ at-Tirmidzi, (Mesir: Dar el-Kutub, t.t.),
44
ََ اب ََت َِ َخط َِ َف َقُدَََرَةُ ََم َن يَُ َو ََج َُد َاِلَيَ ِوَ َفِىَ فَهَ َِم ال َِ َِمنَ َ ُشَ َُرَو ِطَ تَ َو َِجيَ َِو َالتَكََلَِي َص َوِرَ ََم ََع َانِي اَل َ 17ف َُ َاظ الََتِيَ َبِ ََها التَكََلِي َِ لَ َف Artinya : “Diantara syarat taklif adalah mampu memahami nashnash (khithob) dalam arti memahami arti bentuk lafadl yang menunjukkan pembebanan.” 2. Mukallaf adalah orang yang ahli (cakap) dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya. pengertian ahli/ahliyah menurut bahasa adalah : (
الصلحية
)
yang berarti (kecakapan). Sedangkan pengertian ahliyah menurut Abu Zahrah adalah kecakapan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban.18 Menurut Ulama‟ Ushul, ahliyah itu terbagi menjadi dua macam yaitu : a. Aḥliyyah al-Wujûb (Kecakapan dalam menerima kewajiban hukum) Pada dasarnya dapat ditetapkan sebagai ahli wajib karena keadaannya (wujudnya) sebagai manusia. Keahlian manusia sebagai ahli wajib ini sejak permulaan manusia, mulai/sejak janin sampai meninggal dunia. Ketika masih dalam bentuk janin (dalam kandungan) ahli wajib itu berkurang karena baginya hanya ditetapkan hak-haknya saja. Kalau janin itu lahir maka dikatakan sebagai ahliyyah dan bila lahir dengan keadaan mati dianggap tidak pernah ada. b. Aḥliyyah al-Adâ‟ (kecakapan dalam bertindak secara hukum) Pada dasarnya ditetapkannya ahli melaksanakan wujudnya
17 18
sebagai
manusia,
akan
tetapi
bukan karena
ditetapkannya
ahli
Khudlari Beik, Ushul Fiqh, (Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Mesir, 1979), h. 110 Muh. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Dar Al-Fikr, Beirut, t.th.), h. 229
45
melaksanakan adalah bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Ahli
melaksanakan
ialah
layaknya
mukallaf
untuk
diperhitungkan menurut syara‟, ucapan dan perbuatannya. Keahlian melaksanakan ini melihat kadar akalnya karena akal itulah yang dijadikan sebagai asas. Ahliyyah ada‟ yang sempurna adalah ketika sempurnanya akal karena baligh yang sudah dibebani syara‟ dan baligh itu disertai dengan sehatnya akal. Sedang ahliyyah ada‟ yang kurang
yaitu
anak
kecil
yang
sudah
mumayiz
dan
yang
menyerupainya.19 Menurut Wahbah Az-zuhaili sanksi di dunia bermacam-macam sesuai dengan jenis perbuatan yang dilanggarnya, misalnya perbuatan pidana Islam memberikan sanksi di dunia berupa ketentuan yang secara tegas disebutkan dalam Al-qur’an, yaitu Qishâsh, had, diyat, dan kafarat. Sedangkan perbuatan pidana yang secara tidak tegas ditentukan sanksinya dalam Al-qur’an dan As-Sunah diserahkan kepada umat Islam untuk menentukan sanksinya, yakni dengan hukuman ta‟zîr.20 Dalam kitab subul al-salam disebutkan hukuman ta‟zîr selain oleh hakim dapat dilakukan oleh tiga orang: 1. Ayah, ia boleh menjatuhkan ta‟zîr terhadap anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif dan mencegah dari akhlak yang jelek. Menurut
19 20
Abd. Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Majlis A’la Indonesia, Jakarta), h. 135 Wahbah az-Zuhaily, al-fiqh al-Islamy wa Adilatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), VI, h. 197
46
pendapat yang kuat bahwa sang ibu pun boleh berbuat serupa selagi anak masih berada dalam asuhannya. 2. Majikan, sang majikan diperbolehkan menta‟zîr hambanya baik yang bersangkutan dengan hak dirinya atau hak Allah. 3. Suami, sang suami diperbolehkan menta‟zîr isterinya dalam masalah
nusyûz yang dilakukan isteri, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam AlQur’an. 21 B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam Pengertian
pertanggungjawaban
pidana
dalam
syariat
Islam
adalah
pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.22 Dalam syariat Islam pertanggungjawaban pidana dikenal dengan istilah almas‟ûliyyah al-jinâiyyah itu didasarkan kepada tiga hal: 1. Adanya perbuatan yang dilarang, 2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan 3. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatannya itu.23
Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dengan
21
22
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, t.t.), Jilid 10, Cet ke-3, h. 165 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
197 23
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.74
47
demikian orang gila, anak dibawah umur, orang yang dipaksa dan orang yang terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban, karena dasar pertanggungjawaban pada mereka itu tidak ada. Pembebasan pertanggungjawaban pada mereka ini didasarkan kepada Hadits Nabi dan Al-Qur’an. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan:
ِ ََع َنَ َعَ َائِشَةَََر َىَاللَُ َعَلََي َِوَ ََو َسََل ََمََُرفَِ َعََ َالقَلَ َُمَ َعَ َن َ صَل ََ َالل َِ ََُالَََر ُسَ َول ََ ََق:ََاللَُ َعَنَ َهَاَقَالَت َ َضَ ََي َ َ َجنَُ َو ِنََ ََحَتىَيََ َع ُقَ َل َ حَتََِل ََمَ ََو َعَ َِنَالَ ََم َ َىَي َ ستََيَ ِقَظََ ََو َعَ َِنَالصََبِ َيَ ََحَت َ َىَي َ ثَ ََع َِنَالنَ َائِ ِمََ َحََت ٍَ ل ََََث َ 24)َ(رواهَالبخاريَوَالترمذيَوالنسائي Artinya :“Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda ;Pena (pembebanan hukum) diangkat atas tiga golongan yaitu orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh dan orang yang gila hingga ia sembuh.”(HR. Bukhori, atTirmidzi, dan an-Nasai‟) Dalam
hal
pertanggungjawaban
pidana,
hukum
Islam
hanya
membebankan hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum Islam juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya di jatuhkan bagi orang dewasa kecuali ia ialah baligh.25 Hal ini di dasarkan pada dalil Al-Qur’an:
ِ ُ وإِ َذاَب لَ َغَاْلَط َف ِ ِ َكَيُبَ ي َُنَاللوَُلَ ُكم َ ِين َِمنَقَ بلِ ِهمَ َك َذل َ َ َ الَمن ُك ُمَال ُحلُ َمَفَليَستَأذنُواَ َك َماَاستَأ َذ َنَالذ ِ ِ ِِ ٌَ َحك يم َ َُواللو َ يم ٌ َعل َ آيَاتو Artinya:” Dan apabila anak-anakmu Telah sampai umur baligh, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS. An-Nur:59)
24 25
Muhammad ibn ‘Isya at-Tirmidzi, Jami‟ at-Tirmidzi, (Mesir: Dar el-Kutub, t.t.), h.1339 Ibid., h. 75
48
Menurut Syari’at Islam pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir dan pilihan (irâdah dan ikhtiyar). Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan masa yang dilaluinya hidupnya, mulai dari waktu kelahirannya sampai masa memiliki kedua perkara tersebut. Hasil penyelidikan para fuqahâ‟ mengatakan bahwa masa tersebut ada tiga: yaitu: masa tidak adanya kemampuan berpikir, masa kemampuan berpikir lemah, dan masa kemampuan berpikir penuh. Konsep yang dikemukakan oleh Syariat Islam tentang pertanggungj awaban anak belum dewasa merupakan konsep yang baik sekali, dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru dikalangan hukum positif. Hukum Romawi sebagai bentuk hukum positif yang paling maju pada masa turunnya Syari’at Islam dan yang menjadi dasar Hukum-hukum Eropa modern mengadakan
pemisahan
antara
pertanggungjawaban
anak-anak
dengan
pertanggungjawaban orang dewasa dalam batas yang sempit sekali, yaitu usia 7 tahun. Jadi apabila anak-anak telah berumur 7 tahun keatas, maka ia dikenakan pertanggungjawaban pidana sedang kalau belum mencapai usia tersebut maka tidak dikenakan, kecuali kalau ketika memperbuat jarimah ia mempunyai niatan untuk merugikan orang lain, maka dalam hal ini dikenakan pertanggungjawaban pidana.26 Hukum Islam tidak juga menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang di paksa dan orang yang hilang kesadarannya. Atas dasar ini seseorang hanya mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap apa yang telah dilakukannya 26
397
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
49
dan tidak dapat dijatuhi hukuman atas tindakan pidana orang lain.27 Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri dan bukan orang lain. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam Al-Qur’an.
ِ ِ ِ ِ َع ِمل َساءَفَ َعلَي َها َ َ َ َمن َ َصال ًحاَفَلنَ فس َوَ َوَمنَأ Artinya :”Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuk dirinya dan barangsiapa yang berbuat kejahatan maka akibatnya atas dirinya”.(QS. Fushilat:46) C. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana Tidak semua tindak pidana dapat dikenai sanksi atau pidana. Ada beberapa alasan yang menyebabkan pelakunya terbebas dari sanksi. Dalam Hukum pidana Islam mengenai beberapa alasan yang dapat menghapuskan tindak pidana dikenal dengan istilah asbâb al-ibâhah dan asbâb raf‟i al-uqûbah. 28 1. Disebabkan Perbuatan Mubah (Asbâb al-Ibâhah) Asbâb al-ibâhah atau sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang pada umumnya berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Seseorang tidak akan mendapatkan sanksi setelah ia melakukan perbuatan tertentu yang merupakan perbuatan pidana, yaitu apabila ada dasar pembenar. Dasar pembenar adalah alasan yang dapat menjadikan hilangnya sifat melawan hukum, sehingga
27
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam,;Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas, Cet . Kedua, (Bandung : Asy Syaamil Press &Grafika,2001) , h. 16 28 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.90
50
perbuatan yang semula tidak boleh dilakukan menjadi boleh, dan pelakunya tidak disebut sebagai pelaku tindak pidana serta tidak dikenai sanksi. Alasan-alasan yang bisa dijadikan sebagai dasar pembenar dalam hukum pidana Islam, sekaligus alasan tersebut akan menghapuskan sansi pidana adalah sebagai berikut. a. Karena menggunakan hak, b. Karena menjalankan kewajiban, c. Karena membela diri.29
Ahmad Wardi Muslich mengutip Abdul Qadir ‘Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu: a. Pembelaan yang sah Islam membolehkan seseorang membela diri ketika ada penjahat yang ingin membunuhnya, dengan syarat harus ada keseimbangan dan tidak ada jalan lain. b. Pendidikan dan pengajaran
Orang tua dalam mendidik anaknya diperkenankan memukul tanpa melampaui batas sebagai tindakan persuasif. Atau seorang suami boleh memukul istrinya dengan pukulan yang tidak menyakiti sebagai bentuk pelajaran.
29
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h. 87
51
c. Pengobatan Seorang dokter ia harus melukai pasiennya yang hendak dioperasi, karena hal itu memang perlu dilakukan. Padahal seseorang yang melukai orang lain ada sanksinya, tetapi tidak berlaku dalam kasus tersebut. d. Permainan olahraga Permainan olahraga atau kesatrian terkadang menimbulkan cedera atau luka-luka, baik yang menimpa pemain maupun orang lain, jika dalam permainan olahraga tersebut kecelakaan yang berakibat luka-luka maka hukum islam akan berlaku umum. Kalau luka tersebut terjadi akibat menggunakan kekerasan dengan kesengajaan, akan tetapi permainan olahraga atau kekesatrian yang sifatnya menggunakan kekuatan badan dalam menghadapi lawan seperti gulat , tinjau dan sejenisnya maka tidak dikenai hukuman asal tidak melampui batas-batas tertentu yang telah di tetapkan. e. Hapusnya jaminan keselamatan Di maksudkan dengan hapusnya jaminan adalah boleh di ambil tindakan terhadap jiwa atau anggota badan seseorang untuk di lukai atau di bunuh bahkan terhadap hartanya sekalipun , dalam istilah agama hapusnya jaminan keselamatan di sebut dengan „ismah.30 f. Menggunakan wewenang dan kewajiban bagi pihak yang berwajib. Dalam hukum Islam ada suatu kewajiban yang harus dipikul dan dilaksanakan oleh penguasa atau pemimpin untuk mewujudkan suatu 30
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.95
52
kemaslahatan bagi masyarakat pada umumnya. orang-orang yang melaksanakan kewajiban tersebut merupakan orang-orang yang memang bertugas sebagai pelayan publik/masyarakat pada umumnya. Islam meletakkan dasar terhadap tanggungjawab bagi pemimpin atau penguasa. Kaedah hukum Islam menetapkan bahwa petugas pemerintah tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana apabila menunaikan tugasnya /kewajibannya sesuai denagan batas-batas kewenanganya. Apabila terjadi pelanggaran
dalam
menunaikan
kewajibanya
tersebut
maka
bertanggungjawab secara pidana jika dia tahu bahwa itu adalah bukan hanya atau itu adalah pelanggaran. 31 2. Disebabkan Hapusnya Hukuman (Asbâb Raf’i al-Uqûbah) Sebab hapusnya hukuman tidak mengakibatkan perbuatan yang di lakukan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan si pelaku tidak mungkin dilaksanakannya hukuman maka ia di bebaskan dari hukuman. Dalam Islam ada beberapa sebab yang dapat menghapuskan hukuman:32 a. Lupa Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan dan tercabutnya rasa ingat dari hatinya, baik karena kelalaian atau kesengajaan. Dalam syariat Islam lupa disejajarkan dengan keliru, seperti pada ayat 286 Surat Al-Baqarah:
31
Ali Yafie , Ahmad Sukarja ,Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia , hlm. 220 32 ibid , h. 225
53
ِ رب ناَلََتُ َؤ اخذنَاَإِنَن ِسينَاَأَوَأَخطَأنَا ََ Artinya :”Ya Tuhan kami janganlah Engkau menuntut kami apabila kami lupa atau keliru. (QS. Al-Baqarah:286) Juga seperti dalam hadis: 33
)اَعَلََي َِوَ(رواهَابنَماجوَوالبيهقي َ َخ َطاءََُ ََوالن َ ََُرفَِ َعََ ََع َنَاَُمَتَِ َيََال َ سَيَا َُنَ ََوَمَااسَتَُ َكَِرَُى َو
Artinya :”Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan atasnya. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)” Dalam membicarakan hukum dan pengaruh lupa para fuqaha terbagi kepada dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa lupa adalah yang umum, baik dalam urusan ibadah maupun urusan pidana. Mereka berpegang kepada prinsip umum yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa, ia tidak berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Meskipun demikian ia tetap dikenakan
pertanggungjawaban
perdata,
apabila
perbuatannya
itu
menimbulkan kerugian kepada orang lain.34 Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat, karena hukuman akhirat didasarkan atas kesengajaan, sedangkan pada orang lupa kesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman-hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan 33
Tajuddin ‘Abdul Wahab ibn ‘Ali al-Subki, Thabaqat as-Syafi‟iyah al-Kubro, (Mesir: Dar el-Salam ). h. 218 34 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.97
54
hapusnya hukuman sama sekali, kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan hak Allah, dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukan perbuatannya itu dan tidak ada hal-hal yang mengingatkannya sama sekali. Lupa kelompok kedua ini terdiri atas dua macam; pertama, lupa yang dimaklumi dan tidak berdosa. Lupa jenis ini terjadi karena kelalaian atau tidak sengaja, misalnya orang yang terlambat shalat karena ia ketiduran. Namun, hal ini pun perlu diperhatikan, apakah ketiduran yang menyebabkan ia terlambat shalat terjadi berulang kali atau baru sekali. Jika ketidurannya belum pernah terjadi sebelumnya atau bukan merupakan suatu kebiasaan, maka hal ini bisa dimaklumi. Kedua,
lupa
yang tidak
bisa
dimaklumi
dan
pelakunya
mendapatkan dosa. Lupa jenis ini terjadi karena kesengajaan, baik dalam bentuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh, seseorang sudah mengetahui bahwa ketika azan bergema hendaknya ia bersegera mengambil air wudhu untuk menunaikan salat. Akan tetapi. Ia sengaja menunda dengan alasan bahwa waktu salatnya masih panjang. Ia lebih memilih bermain atau mengerjakan sesuatu yang mubah. Kemudian Allah menakdirkan ia lupa akan shalatnya, dan baru ingat setelah masuk waktu salat berikutnya.35
35
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h. 88
55
Meskipun demikian, pengakuan lupa semata-mata dari pelaku tidak bisa membebaskannya dari hukuman, sebab pelaku harus dapat membuktikan kelupaannya dalam hal ini sangat sukar dilakukan.36 b. Keliru
Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarîmah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat atau kesengajaan, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati. Dalam segi pertanggungjawaban pidana, orang yang keliru dipersamakan dengan orang yang sengaja berbuat, apabila perbuatan yang dilakukannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara‟. Hanya saja sebab pertanggungjawabannya berbeda. Dalam perbuatan sengaja sebabnya adalah sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, sedangkan dalam perbuatan karena kekeliruan sebabnya adalah melenggar ketentuan syara‟ bukan karena sengaja, melainkan karena kelalaian dan kurang hatihati. Keliru dapat menghapuskan pidana, tetapi tidak bagi tindak pidana jinâyat. Dalam tindak pidana, syariat telah menentukan bahwa pelaku tindak pidana jinâyat harus dijatuhi sanksi, meskipun perbuatannya dilakukan karena keliru. Dengan kata lain, unsur kekeliruan dapat
36
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.80
56
mengahapuskan hukuman bagi pelaku tindak pidana selain jinâyat, karena hapusnya unsur kesengajaan.37 Apabila melihat dasar-dasar yang ada dalam syara‟ maka sebenarnya pertanggungjawaban itu hanya dibebankan kepada perbuatan sengaja yang diharamkan oleh syara‟ dan tidak dikenakan terhadap kekeliruan. Dalam surah Al-Ahzab ayat 5 disebutkan:
ِِ ِ ََعلَي َُكمَجن ََولَ ِكنَماَتَ َعم َدتَقُلُوبُ ُكم َ س ٌ ُ َ يماَأَخطَأتُمَبو َ احَف َ َولَي Artinya:”Dan tidak ada dosa atasmu tentang apa yang kamu kerjakan karena keliru, tetapi tentang apa yang disengajakan oleh hatimu.”(QS. Al-Ahzab:5) Akan tetapi, dalam keadaan tertentu syara‟ membolehkan dijatuhkannya hukuman atas kekeliruan sebagai pengecualian dari ketentuan pokok tersebut.
Misalnya tindak pidana pembunuhan,
sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 93.
ِ ِ ٍ ِ ٍ اَخطَئًاَفَ تَح ِرير ٌََو ِديَة َ ًَمؤِمن َ َمؤِمنًاَإِل ُ اَوَمنَقَتَ َل ُ َوَماَ َكا َنَل ُمؤم ٍنَأَنَيَقتُ َل َ َرقَ بَةَمؤمنَة َ ُ َ ًَخطَئ سل َمةٌَإِلَىَأَى ِل َِو َم Artinya :”Dan tidaklah boleh bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin yang lain kecuali karena keliru. Barangsiapa yang membunuh orang mukmin karena keliru maka hukumannya memerdekakan hamba yang mukmin dan membayar diat kepada keluarganya…” (QS. An-Nisa:93)
37
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h. 89
57
Dengan adanya dua ketentuan tersebut diatas, yang satu merupakan ketentuan pokok dan yang satu lagi merupakan pengecualian dari ketentuan pokok maka kelanjutannya untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari syara‟. Dengan demikian, apabila syara‟ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan pokok, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak dikenakan hukuman.38 c. Pelakunya Orang gila
Keadaan gila adalah hilangnya akal untuk mempertimbangkan suatu tindakan secara logis. Gila menghalangi seseorang untuk berbicara dan bertindak secara wajar. Keadaan gila pada diri seseorang dapat dibedakan dari segi waktu, yaitu sebagai berikut: 1) Gila yang berlansung dalam waktu yang lama dan berkelanjutan (aljunûn al-muabbad). Keadaan gila ini membebaskan seseorang dari pertanggungjawaban hukum, baik dalam hal ibadah, muamalah maupun jinâyah. 2) Gila yang berlangsung sementara dan tidak berkelanjutan (al-junûn al-
muaqqat). Keadaan gila ini tidak menghalangi beban taklîf padanya.39 d. Pelakunya adalah anak-anak Anak-anak adalah golongan yang tidak dikenai pidana atas perbuatannya, karena bukan termasuk orang yang mampu untuk
38
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.81 39 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Amzah, 2010), h. 102
58
bertanggung jawab. Jika anak-anak melakukan suatu perbuatan pidana, maka perbuatannya dimaafkan.40 Pertanggungjawaban pidana dibebankan pada seseorang yang mukallaf, yaitu yang memiliki kemampuan berpikir dan pilihan dalam berbuat. Jika kedua faktor tersebut tidak dimiliki oleh seorang maka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Kemampuan berpikir seseorang itu bisa atau dapat hilang karena suatu bawaan sejak lahir atau karena suatu sebab adanya gangguan dari luar. Manusia ketika mencapai kedewasaan sudah dapat dengan matang menggunakan kekuatan berpikirnya, akan tetapi karena adanya suatu gangguan atau karena serangan penyakit baik itu sebagian atau seluruh alam berpikirnya hilang bisa kapan dan di mana saja tanpa ada waktu tertentu. Hilangnya kemampuan berpikir (akal sehat) dalam kehidupan sehari-hari dapat dinamakan dengan gila. Hilangnya kekuatan berpikir secara sempurna terkadang terus menerus maka itu dinamakan dengan gila terus menerus, artinya hilangnya kekuatan berpikir hanya beberapa saat (gila kambuhan/berselang).41
40
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
397 41
Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri‟ al jian‟iy al- islamy, muqaranan bil-Qammil Wadhi‟iy, Juz Awal ,(Beirut : Muasasah Riasalah , 1996), h.127
BAB IV PERSFEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM UNDANGUNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Segi Hukum Pidana Nasional Tentang Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Konsep hukum pidana positif (KUHP) tentang pelaku kejahatan meliputi 4 (empat) kategori sebagai berikut: 1. Mereka yang melakukan perbuatan. 2. Mereka yang menyuruh melakukan perbuatan. 3. Mereka yang turut serta melakukan perbuatan. 4. Mereka yang menganjurkan orang lain melakukan perbuatan dengan empat cara atau daya (dengan janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan/ martabat, dengan kekerasan/ancaman, kekerasan/penyesatan, dan dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan).1 Keempat kategori pelaku tersebut diatas tidak berlaku sepenuhnya bagi seorang anak karena dilihat dari segi usia dan perkembangan fisiknya, hanya perbuatan yang termasuk kategori pertama dan ketiga yang dapat menempatkan anak sebagi subjek kejahatan. Pernyataan ini dapat diterima secara akal sehat akan
1
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2005), h. 6
59
60
tetapi kemungkinan seorang anak dapat melakukan perbuatan kategori dua dan empat bukanlah sesuatu yang mustahil.2 Pembentuk undang-undang pidana ini tidak membedakan secara sosiologispsikologis seorang anak, kecuali hanya menetapkan keempat kategori tersebut diatas dan dengan asumsi bahwa, seorang anak memiliki kemampuan untuk melakukan salah satu dari keempat kategori perbuatan tersebut. Pembentuk Undang-Undang ini hanya memberikan pengecualian tentang pertanggung jawaban seorang anak yang melakukan kejahatan atau pertanggungjawaban pidananya. Pengecualian ini dimasukkan dalam Pasal 45-47 KUHP. Dibawah judul, “hal-hal yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan pidana”. Pasal 45 KUHP menetapkan pengecualian pertanggungjawaban pidana pada mereka yang belum berusia 16 tahun dengan langkah-langkah baik yang bersifat pemidanaan atau tindakan dikembalikan kepada orang tua/walinya tanpa dipidana, diserahkan kepada pemerintah, atau dipidana dengan pengurangan sepertiga dari ancaman maksimum pidana pokok atau dijatuhi pidana maksimum 15 tahun jika kejahatan yang dilakukan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Pasal 46 KUHP menetapkan tempat-tempat penampungan bagi seorang anak yang telah dijatuhi putusan, diserahkan kepada pemerintah. Pasal 47 KUHP ketentuan tentang lamanya pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana.
2
Ibid., h.7
61
Ketiga Pasal tersebut diatas sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 3 Januari 1997 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Pada Pasal 67 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 dinyatakan bahwa “pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.3 Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah dengan pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.4 B. Ketentuan Batas Umur Anak Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Adanya ketegasan dalam sutau peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut akan menjadi pegangan bagi para petugas dilapangan agar tidak terjadi salah tangkap, salah tahan, salah sidik, salah tuntut maupun salah mengadili, karena menyangkut hak asasi seseorang.
3 4
Ibid., h.8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
62
Mengenai batasan umur anak dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, tampaknya ketentuan Pasal 1 ayat 3 sejalan dengan Pasal 20, karena ketentuan yang belakangan itu sebenarnya dimaksudkan untuk menjabarkan lebih lanjut. Pasal 1 ayat 3: Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.5 Ketentuan dalam pasal ini hanya membatasi diri khususnya dalam perkara anak yang berkonflik dengan Hukum saja, tanpa membedakan jenis kelamin lakilaki atau perempuan dengan umur dibatasi secara minimal yaitu 12 (dua belas) tahun dan maksimal 18 (delapan belas) tahun. Pada ayat sebelumnya yaitu pada Pasal 1 ayat (2) dikatakan bahwa anak yang berhadapan dengan Hukum dibagi menjadi tiga, yaitu anak yang berkonflik dengan Hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pasal 20 : Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Batasan umur dalam kedua ketentuan diatas, menunjukkan bahwa yang disebut anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan dalam hal ini
5
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
63
diperkarakan secara pidana ketika berumur antara 18 – 21 tahun. Apabila anak telah mencapai umur 21 tahun harus dianggap sudah dewasa bukan sebagai kategori anak lagi. Dengan demikian tidak diproses berdasarkan Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, tetapi berdasarkan KUHP dan KUHAP. Disini tampak bahwa pembentuk Undang-Undang mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak dibawah umur sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan yang khusus bagi kepentingan psikologi anak. Bagaimana menentukan seseorang itu termasuk anak? Dalam menangani perkara anak, petugas harus teliti dengan meminta surat-surat yang ada hubungannya dengan kelahiran di anak, seperti akta kelahiran. Kalau anak tidak mempunyai akta tersebut, dapat dilihat pada surat-surat yang lain, misalnya Surat Tanda Tamat Belajar, Kartu Pelajar, Surat Keterangan Kelahiran. Hal yang demikian diperlukan biasanyan terjadi apabila seorang anak memiliki badan yang bongsor (besar), sehingga secara kasad mata agak meragukan umurnya, apakah benar yang bersangkutan belum mencapai umur 18 tahun.6 Surat-surat itu hanya sekedar untuk mengetahui saja, bukan dipakai sebagai surat bukti untuk dipersidangan, karena bukti surat untuk perkara pidana dengan bukti surat untuk perkara perdata syaratnya berbeda. Pada bukti surat
6
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, ( Jakarta: Djambatan,2007), h.19
64
dalam perkara pidana dipersyaratkan ada hubungannya dengan sumpah, sedangkan untuk perkara perdata tidak demikian.7 Batasan umur anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dibandingkan dengan batasan dalam Pasal 45 KUHP (yang sudah tidak berlaku), tampak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak batasannya lebih tinggi karena dalam Pasal 45 KUHP hanya membatasi umur sampai sebelum 16 tahun dan tidak ada batasan minimal. Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, biasanya usia anak ditetapkan dalam suatu batasan umur tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan dalam Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin. Namun lain halnya menurut Hukum Islam, dimana batasan ini tidak berdasarkan atas hitungan usia tetapi dimulai sejak adanya tanda-tanda perubahan badaniyyah, baik pria maupun wanita.8 Khusus dalam konteks pertanggungjawaban pidana, hukum Islam mensyaratkan kebalighan (dewasa).9 Maka, anak-anak tidak dikenakan kewajiban mempertanggungjawabkan
perbuatan
pidana.
Menurut
syariat
Islam,
pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yakni pertama kekuatan
7
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, ( Jakarta: Djambatan,2007), h.20 Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), h.26 9 Kata baligh terambil dari akar kata balagha yang atrinya menerima, tiba (sampai), mencapai pubertas dan tahap usia dewasa. Usia baligh adalah usia yang di pandang tepat sebagai batas di mulainya kewajiban-kewajiban agama. 8
65
berpikir dan kedua pilihan ( irâdah dan ikhtiyar). ketentuan ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
َىَاللهَعََلَي َوَ َوسََل َمََهرفَعََ َالقَلَ هَمَعَ َن َ صَل َ َالل َ ََالََر هسَ َوله َ َق: َ ََاَق َالت َ َاللهَعَنَه َ َعَ َنَعَ َائشَ َةََرضَ َي
َ َجنهَ َونََ َحَتىَيَ َع هقَل َ حَتَل َمَ َوعَ َنَالَ َم َ ىَي َ ستَيَقَظََ َوعَ َنَالصََب َيَ َحَت َ ىَي َ ثَ َع َنَالنَ َائمََحََت َ ل َ َث َ 10)َ(رواهَالبخاريَوَالترمذيَوالنسائي
Artinya :“Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda ;Pena (pembebanan hukum) diangkat atas tiga golongan yaitu orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh dan orang yang gila hingga ia sembuh.”(HR. Bukhori, atTirmidzi, dan an-Nasai‟) Pertanggungjawaban pidana dalam Islam dapat ditegakkan atas 3 hal yaitu pertama adanya perbuatan kejahatan yang dilakukannya. Kedua, pelaku atau pembuatnya mengetahui akibat dari perbuatan tersebut. Ketiga, bahwa perbuatan yang dilakukannya dilarang menurut hukum. Sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah menjelaskan : 11
الَحكمَالفعالَالعقلءَقبلَورودالنص
Artinya: “Tiada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sehat sebelum adanya Nash.” Kecakapan berbuat hukum dalam batas minimal seorang anak adalah saat memasuki periode baligh, karena baligh menjadi tanda seorang dalam perkembangan kecerdasan akalnya dan mampu untuk membedakan perbuatan baik dan buruk dan sempurna pikirannya. Mengenai kedewasaan (baligh) sebagai pembebanan kewajiban agama (taklîf) ada beberapa pendapat ulama. Baligh terdiri atas dua macam : 10
Muhammad
ibn „Isya at-Tirmidzi, Jami‟ at-Tirmidzi, (Mesir: Dar el-Kutub, t.t.),
h.1339 11
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.74
66
Pertama, baligh bi thabi‟i yakni baligh yang dapat diketahui dari tingkah lakunya atau tanda-tanda, dalam hal ini pertanda baligh dapat diketahui melalui tanda-tanda yang tampak dan jelas terlihat yaitu: 1. Mimpi senggama bagi laki-laki, 2. Menstruasi atau datangnya masa haidh bagi perempuan, 3. Berubahnya suara, 4. Tumbuh bulu ketiak, 5. Tumbuh rambut disekitar kemaluan. Kedua, baligh bi sinni yakni baligh dengan menetapkan ketentuan umur apabila secara tabiat tidak terlihat tanda-tanda baligh maka demi kepastian hukum baligh ini ditentukan dengan menetapkan umur. Adapun penentuan kedewasaan dengan umur ini terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, antara lain: 1. Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah serta jumhur ulama berpendapat bahwa usia baligh anak baik laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun.12 Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat Ibnu Umar:
َاَاَب هَنَاََربَ َع َ َىَاللهَعََلَيوََ َوسََل َمَيَ َومََاَه هَح َدَ َواَن َ صَل َ َىَالنَب َي َ تَ َعَل َض ه َ عَ َنَاَبَ َنَ هعَ َم َرَقَالََ َعَر
َشَرَة َ سَ َع َ اَاَب هَنَخَ َم َ ََوَان, َ ق َ خَن َد َ َتَيَ َومََال َض ه َ الَ َوعََر َ َجَزَنيَََفيََ َالقَت َ َشَرَةَ َسَنةََفََرَدَن َيَ َولَ َمَي َ َع 13
)سََن َةَفَاَجَاَزنَ َيَ(رواهَمسلم َ
12
Abdurrahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „Ala al-Madzahib al-„Arba‟ah, (Beirut:Daar al-Fikr, Juz II, 1985.), h.349 13 Muhammad ibn „Isya at-Tirmidzi, Syarh al-Nawawi ala Muslim, juz I (Mesir: Dar alKhoir, 1996), h.868
67
Artinya: “Dari Ibnu Umar berkata: Aku datang kepada Rasulullah untuk ikut berperang Uhud ketika usiaku 14 tahun lalu Rasulullah tidak mengizinkan, setahun kemudian aku datang kepada Rasulullah untuk ikut perang Khandak lalu Rasulullah mengizinkan ketika usiaku 15 tahun.”(HR. Bukhari) 2. Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. 3. Imam Malik menetapkan umur dewasa adalah 18 tahun bagi laki-laki dan perempuan. 4. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berusia 21 tahun.14 5. Menurut pendapat Hadawiyah yang dikutip oleh Kahlani, seorang perempuan dianggap telah cukup apabila telah mencapai usia 15 tahun, dan telah menampakkan pertumbuhan biologis kedewasaanya.15 Sebelum batas kedewasaan tersebut dicapai seseorang, maka belum dapat di katakan mukallaf (orang yang mendapatkan kewajiban agama), dan karenanya, berdasarkan ketentuan hadis di atas, maka kepada orang itu tidak dapat di pertanggungjawabkan tindak pidana yang di perbuatanya, dan karenanya ia tidak dapat dihukum atas perbuatan tersebut.16
C. Jenis Tindak Pidana Anak Apabila diteliti dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, ternyata tidak ditemukan jenis pidana anak apakah
14
Ibid.,h.350 Al-kahlani,Muhammad Ibn Ismail, Subul as-Salam; Syarh Bulugh al-Maram, juz III (Mesir :Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960), hal 180 16 Ibid, h.185 15
68
dilakukan sendiri atau bersama-sama. Namun dalam Pasal 24 dapat diindikasikan pembagian pidana dan penanganannya. Pasal 24 : Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan Anak, sedangkan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan yang berwenang.17 Ketentuan ini dalam penjelasan Pasal 24 dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Undang-Undang ini memberikan perlakuan khusus terhadap Anak, dalam arti harus ada pemisahan perlakuan terhadap Anak dan perlakuan terhadap orang dewasa atau terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia dalam perkara koneksitas. D. Penjatuhan Pidana dan Tindakan Apa saja yang menjadi sanksi hukum yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Mengenai sanksi hukumnya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah mengaturnya sebagaimana ditetapkan dalam Bab V dan secara garis besar sanksi tersebut ada 2 (dua) macam yaitu berupa pidana dan tindakan (Pasal 69). Pasal 69 (1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
17
Anak
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
69
(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan. Dalam penjelasan Pasal ini cukup jelas dan secara tegas bahwa anak yang berhadapan dengan hukum hanya dapat diproses hukum berdasarkan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang ini.18 Pada Pasal 69 ayat (2) dijelaskan bahwa pidana tidak dapat dijatuhkan pada anak yang berkonflik dengan hukum yang belum berumur 14 tahun dan hanya dapat dikenai tindakan. Menurut syariat Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu ketentuan berpikir dan pilihan (iradâh dan ikhtiyar),19 oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan masa hidupnya. Setidaknya fuqahâ‟ memberikan batasan masa kanak-kanak sebagai berikut : 1. Masa tidak adanya kemampuan berpikir Masa ini di mulai sejak dilahirkan dan berakhir pada usia tujuh tahun. Pada masa tersebut seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan berpikir, atau biasa disebut dengan anak belum mumayyiz. Sebenarnya kemampuan berpikir (bisa membedakan, tamyîz) tidak terbatas pada usia tertentu, sebab kemampuan berpikir kadang-kadang bisa timbul sebelum usia tujuh tahun dianggap paling lazim dan memadai bagi seorang anak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. jika pada usia tersebut mereka melakukan perbuatan pidana, maka tidak di jatuhi hukuman, baik sebagai hukum pidana, atau
18
Maksud dari pasal ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 19 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.73
70
sebagai pengajaran. Akan tetapi, anak tersebut di kenakan pertanggungjawaban perdata, yang di bebankan kepada orang tua, yaitu memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang di derita oleh diri dan harta milik orang lain.walaupun demikian, kewajiban mengganti rugi tetap tidak terlepas dari padanya, sebagaimana telah ditegaskan oleh Amidi.20 mengenai tidak berlakunya hukum qishash bagi anak-anak oleh karena ketiadaan taklîf, di tegaskan juga oleh Syurbaini Khatib.21 dan Imam ar- Ramli.22 2. Masa kemampuan berpikir lemah Masa ini di mulai sejak usia 7 (tujuh) tahun sampai mencapai kedewasaan ( baligh ), dan kebanyakan fuqahâ membatasinya dengan usia 15 (lima belas) tahun. Kalau seorang anak telah mencapai usia tersebut maka ia di anggap dewasa, meskipun boleh jadi ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya. Menurut A. Hanafi, pada masa tersebut seorang anak tidak dikenankan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukannya, melainkan anak tersebut mendapat hukuman dalam bentuk pengawasan, bukan hukuman pidana. Kalau pun anak dalam usia tersebut melakukan tindak pidana secara berulang-ulang, hal itu tidak di kategorikan sebagai pengulang kejahatan (recidivist). hukuman pengajaran itu, tidak berarti melepaskan dirinya dari hukuman ganti rugi sebgai bentuk pertanggungjawaban perdata.
20
Al – amidi , saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- ihkam fi Usul al-Ahkam , juz I ( Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt), h. 78 21 Khatib, Muhammad Syarbani, Mughi al-Muhtaj Ila –Ma‟rifat , Ma‟ani Alfadz Minhaj „ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II ( kairo : Dar al- Fikr, 1958), h. 279 22 Ar-Ramli , Muhammad Syihabuddin , nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al –minaj, juz V ( Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt) h. 246
71
3. Masa kemampuan berpikir penuh Masa ini di mulai sejak seseorang mencapai usia kecerdikan (sinnurrusydi), atau dengan kata lain, setelah mencapai usia lima belas tahun atau delapan belas tahun. Jika pada usia tersebut melakukan perbutan pidana, maka berlaku pertanggungjawaban pidana atasnya dari seluruh jenis jarîmah yang dilakukannya tanpa terkecuali.23 Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa pertanggungjawaban pidana atas delik pidana yang dilakukan anak-anak mendapatkan tempat pembahasan khusus dalam lingkup hukum pidana Islam. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa komunitas usia anak mendapatkan perhatian tersendiri dalam hukum Islam. Sebagaimana ditegaskan, dalam pandangan Islam, komunitas usia anak belum dipandang sebagai mukallaf, maka dalam konteks perbuatan hukumannya pun dipandang belum sempurna, usia anak-anak, baik dalam ibadah maupun di luar ibadah Islam tidak dikategorikan sebagai perintah wajib. Dengan kata lain, perbuatan anak-anak, tepatnya, masih dalam kategori anjuran, ajakan dan pembinaan. E. Sanksi Pidana Bagi Anak Sanksi hukum yang berupa pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Untuk pidana pokok ada lima macam, sebagaimana ditetapkan pada Pasal 71 ayat (1), yaitu:
23
397
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet.II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
72
Pasal 71 (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan. c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara.24 Apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP dapat dilihat bahwa hukuman pokok juga ada empat macam, berupa: -
pidana mati
-
pidana penjara
-
pidana kurungan
-
pidana denda25
Dari perbandingan tersebut tampak bahwa dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak menghendaki seorang anak dijatuhi pidana pokok yaitu berupa pidana mati. Sebagaimana diketahui dalam memeriksa dan mengadili perkara anak, harus memperhatikan kepentingan anak. Anak merupakan generasi muda yang berpotensi sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka 24
Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 25 Lihat Pasal 10 KUHP
73
menjamin pertumbuhan perkembangan fisik dan mentalnya. Oleh karena itu kalau seorang anak dijatuhi pidana mati, nantinya tidak mungkin terpidana akan mendapat pembinaan ke masa depan dan tidak mungkin akan memperbaiki dirinya dari kesalahan yang telah lalu. Demikian pula dengan pidana seumur hidup, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tidak menginginkannya sama sekali. Sedangkan mengenai pidana tambahan berdasarkan Pasal 71 ayat (2) ada dua macam, yaitu: (2) Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat.26 Kemudian tentang hukuman tambahan dalam Pasal 10 KUHP terdapat tiga macam, yaitu berupa: -
Pencabutan beberapa hak yang tertentu.
-
Perampasan barang tertentu.
-
Pengumuman keputusan hakim.27
Dari perbandingan pidana tambahan diatas, tampak Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak menghendaki adanya ketentuan pencabutan hak yang dimikili seorang anak. Pada umumnya anak pekerjaannya atau kegiatannya adalah sekolah, kalau ini merupakan hak seorang anak, maka kalau ada anak terlibat kejahatan dan kemudian oleh hakim dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan
26
Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 27 Lihat Pasal 10 KUHP
74
hak untuk menjadi siswa sekolah, malah nantinya hukuman ini mengakibatkan keadaan buruk bagi anak yang bersangkutan.28 Anak yang dicabut haknya sebagai siswa sekolah, akibat praktis tidak dapat sekolah. Ia dikeluarkan sekolah dan tidak dapat masuk sekolah lagi meskipun disekolah lain. Akibat selanjutnya ia akan frustasi dan menjadi anak bodoh. Hal yang demikian tidak sejalan dengan tujuan negara yang hendak mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal meskipun anak dijatuhi hukuman pidana, masih mungkin untuk memperbaiki dirinya dan meneruskan sekolah sampai sarjana serta masih dapat diharapkan untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi bangsa dan negara.29 Dalam Hukum Islam sanksi pidana atau hukuman dikenal dengan istilah “uqûbah”. Pengertian hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah:
اءمقررَلمصلحةَالجماعةَعلىَعصيانَامرَالشارع َ العقوبةَىىَالجز Artinya: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuanketentuan syara‟.30 Allah SWT telah menatapkan hukum-hukum „uqûbah (pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”.31 Para
28
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2005), h. 7 29 Ibid., h.8 30 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah, t.th.), h. 80 31 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.9
75
ulama atau para ahli hukum Islam membagi jenis-jenis atau bentuk-bentuk hukum pidana Islam menjadi hudûd, qishash, diyat, dan ta‟zîr. 1. Hudûd Hudûd adalah hukuman kejahatan yang telah ditetukan kadarnya sebagai hak Allah, baik kualitas maupun kuantitasnya telah ditentukan dan tidak mengenal tingkatan. Kejahatan yang diancam dengan hukuman had ini adalah zina, tuduhan palsu zina, minum khamar, pencurian, perampokan, pemberontakan, dan murtad. 2. Qishâsh Jenis dan hukuman pidana qishâsh telah ditentukan, sama halnya dengan pidana hudûd, hanya saja qishâsh menjadi hak adamiy yang membuka kesempatan pemaafan bagi pelaku oleh orang yang menjadi korban, wali, atau ahli warisnya. Jadi, dalam qishâsh korban atau ahli warisnya dapat memaafkan pelaku dengan meniadakan qishâsh dan menggantinya dengan diyat (denda/ganti rugi) atau bahkan meniadakan diyat sama sekali. Contoh dari hukuman qishsâsh adalah pembunuhan sengaja (qatl al„amdi), pelukaan sengaja (jarh al-„amdi), dan menghilangkan anggota tubuh dengan sengaja. 3. Diyat Diyat atau ganti rugi merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok (qishâsh) yang apabila pelakunya dimaafkan atau adanya suatu sebab syar‟i yang menghalangi atau mencegah qishâsh. oleh karena itu diyat dan qishâsh mempunyai hubungan yang sangat erat. Contoh dari hukum diyat
76
adalah pembunuhan semi sengaja (qatl sibh al-„amdi), pembunuhan tidak sengaja, pelukaan tidak sengaja, dan menghilangkan anggota badan yang tidak disengaja. 4. Ta‟zîr Ta‟zîr merupakan bentuk hukuman yang tidak ditentukan kadar batasannya oleh syara‟ sebagaimana had, qishâsh, dan diyat, dan yang menetukan hukumannya adalah hakim dan menjadi kekuasaan waliyul amri.32 Dalam hukuman ta‟zîr, hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat bagi pelaku, sesuai dengan kondisi pelaku, situasi dan tempat kejahatan.33 Bentuk pidana ta‟zîr merupakan pengembangan lebih lanjut dari gagasan pemidaan dalam Alqur‟an dan Sunnah, khusunya terhadap bentuk-bentuk tindak pidana yang tidak atau belum diatur dalam kedua sumber hukum itu, tetapi kenyataannya memerlukan pengaturan tertentu yang bersifat pidana. Hal ini dimungkinkan, karena ketentuan-ketentuan pidana yang secara tegas diatur dalam Al-Qur‟an dan cotoh-contoh dari Nabi memang masih terbatas kepada kenyataan empiris di zaman Nabi, sedangkan kebutuhan masyarakat semakin hari semakin kompleks dan berkembang, karena bentuk-bentuk dan jenis-jenis kejahatan semakin menjadi kompleks. Oleh karena itu adanya pidana ta‟zîr ini sebagai
32
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah, t.th.), h.
81 33
Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi, 1966), h.273
77
produk ijtihad para ahli hukum dan hakim, sangat perlu untuk dikaji dan dijabarkan secara lebih luas.34 Dalam persepektif hukum pidana Islam, jenis hukuman yang dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, sebagaimana ditegaskan dalam pembahasan sebelumnya, sangat tergantung kepada kemampuanya untuk mempertanggungjawabkan perbuatanya. Adapun jenis hukuman yang diberikan adalah hukuman pokok dalam tindak pidana qishâsh-diyat, yakni hukuman qishâsh dan hukuman pengganti, yakni membayar diyat ( denda). Penting ditegaskan bahwa hukuman qishâsh dan diyat sangat terkait dengan jenis perbuatan pidana. Sebagaimana dimaklumi bahwa kategori usia anak-anak (ash-shobiyyun) tidaklah sama dengan kategori dewasa (mukallafun). Kategori anak-anak dalam hukum Islam tidak termasuk kategori yang diwajibkan hukum padanya (laysa lahu khilabun).35 Maka, kalaupun mereka melakukan tindak pidana, hal itu tidak disebut sebagai perbuatan pidana sempurna. Maksudnya, terdapat pengecualian hukuman bagi mereka. Hukuman bagi kategori shobiyyun adalah wujûd ad-dhaman fî mâlihi (kewajiban membayar ganti rugi dari hartanya). Begitupun hakim memiliki kekuasaan untuk melihat secara jernih dan proporsional tingkat intensitas perbuatan dan kematangan pola pikir anak. Hakim dapat saja berpandangan lain, manakala terdapat indikator kuat bahwa kematangan pola pikir anak tercermin dari perbuatan pidana yang dilakukannya. Di sinilah hukuman ta‟zîr atau dapat
34
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet.II Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h.
35
Ibid., h.399
398
78
pula diartikan sebagai ta‟dîb atau pelajaran dapat pula dikenakan kepada mereka.36 Sedangkan untuk kategori tindak pidana ta‟zîr, hakim memiliki kewenangan penuh untuk menjatuhkan hukuman termasuk jenis hukuman kepada anak sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan dalam hukum Islam hanya menyebutkan bahwa melalui pertimbangan hakim tersebut, maka batasan hukuman tidak tertentu, dari hukuman yang terendah sampai hukuman yang tertinggi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak-anak tidaklah semat-mata sebagai persoalan yuridis, tetapi juga persoalan psikologis, sosiologis, pedagogis, dan faktor kemaslahatan bagi anak. Kaum anak dalam batasan umur yang disebutkan di atas, wajib
mendapatkan
perlindungan
hukum,
sekalipun
mereka
harus
mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan.
36
80
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah, t.th.), h.
BAB V PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka akhir dari penulisan skripsi ini dapat di tarik kesimpulan dan saran sebagai berikut : A. Kesimpulan :
1. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak-anak dalam persepktif hukum pidana positif di kenal dengan criminal responsibility berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja tindak pidana tersebut di golongkan kepada perilaku anak-anak, sehingga anak sebagai pelaku pidana teresebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks hukum materil maupun hukum formil.
2. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak-anak dalam perspektif hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al-mas’ûliyyah al-jinâiyyah berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja terdapat pembatasan keberlakuannya yang disesuaikan dengan umur anak dan kematangan pola pikir anak. Dua kategori penting yang harus diperhatikan adalah adanya unsur irâdah ( keinginan/maksud) dan ikhtiyar (kompetensi). 3. Persamaan antara hukum pidana positif dengan hukum pidana Islam adalah bahwa kondisi masa anak-anak merupakan alasan pembenar untuk mengurangi dan menghapuskan hukuman. Kedua sistem hukum juga sama dalam memandang adanya batasan tentang usia yang termasuk kategori anakanak. Akan tetapi ditemukan perbedaan antara hukum pidana positif dan
79
80
hukum pidana Islam bahwa dalam hukum pidana positif, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah menggariskan batas usia seseorang dalam kategori anak, yakni minimal 12 (dua belas) tahun maksimal 18 (delapan belas) tahun. Pertimbanganpertimbangan lain seperti pertimbangan psikologis, sosiologis dan pedadogis ini patut diberikan dalam menyelesaikan perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Hal yang lebih menarik adalah usia pertanggungjawaban anak, penjatuhan hukuman tindakan untuk anak yang berusia dibawah 14 (empat belas) tahun dan penjatuhan pidana untuk anak telah mencapai usia 14 (empat belas) tahun sampai usia 18 (delapan belas) tahun. Batas usia ini muncul
sebagai
konsekuensi
pembatasan
usia
dengan
melihat
kencenderungan perkembangan psikologis anak. Dan menurut perspektif hukum pidana Islam bahwa hukum pidana Islam memandang batas usia tidak serta merta menjadi alasan penjatuhan hukuman, selain usia hal kematangan pola pikir dan mental rohani turut menjadi faktor penting dalam mengkualifikasi status sebagai anak. B. Saran 1. Pertanggungjawaban pidana merupakan elemen penting dalam upaya penegakan dan kepastian hukum. Maka dalam konteks pelaku pidana dalam kategori usia anak-anak dibutuhkan sebuah kepastian hukum dalam rangka penegakan hukum yang adil dan beradab. Maka, diharapkan kepada penegak hukum agar menerapkan prinsip kemaslahatan terbesar bagi anak. 2. Bagi aparatur hukum diharapkan memiliki pengetahuan psikologi hukum yang dapat menopang ketajaman dan pertimbangan hukum sehingga kasus-
81
kasus pidana yang dilakukan anak-anak, tidak saja memenuhi unsur formalitas yuridis, tetapi juga dapat memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat. 3. Dalam kerangka penguatan sistem hukum pidana nasional, maka penelitian terhadap khazanah sistem hukum pidana Islam harus terus dilakukan. Telah menjadi keyakinan dan konsensus nasional terpenting bersama dengan sistem hukum nasional. Maka kepada para sarjana hukum dan sarjana hukum Islam agar dapat menjadikan kedua sistem hukum pidana ini sebagai kajian akademik unuk melahirkan seperangkat sistem hukum pidana nasional yang kuat dan tangguh.
DAFTAR PUSTAKA Ababil,Jufri Bulian. Raju Yang Diburu Buruknya Peradilan Anak Di Indonesia, (Jogjakarta:Pondok Edukasi), 2006 Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Anak Usia Tiga Tahun Pertama (Psikologi Atitima), (Bandung: Refika Aditama, 2007) Al -Amidi , Saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- ihkam fi Usul alAhkam , juz I ( Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt) Al Faruk, Assadulloh.Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009) Al-Anshari, Jamaludin Muhammad bin Mukram. Lisan al-Arab, (Kairo: Muassasah al-Misriyah, t.t.), Jilid 13 Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta :Sinar Grafika, 2011) Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh Ala Mazahib Al- Arbaah, (Al-Maktabah AlTijariyah Al-Kubra, Beirut, 1972) Al-kahlani,Muhammad Ibn Ismail, Subul as-Salam; Syarh Bulugh al-Maram, juz III (Mesir :Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960) Al-Mawardi, Abu Hasan.al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Kairo: Mustafa al-Bab alHalabi, 1966) Al-Munawir, Ahmad Warson.al-Munawir, (Jakarta: Penerbit tidak ditemukan, 1984) Aqsa,
Al-Ghiffari dan Muhammad Isnur, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, (Jakarta: LBH Jakarta, 2012)
Ar-Ramli, Muhammad Syihabuddin.Nihayat al-Muhtaj ‘ala Syarh al –minhaj, juz V ( Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt) Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’ Al-Jina’ Al-Islami, (Juz I, Muassasah arrisalah, t.th.) Az-Zuhaily, Wahbah, al-fiqh al-Islamy wa Adilatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), VI Beik, Khudlari.Ushul Fiqh, (Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Mesir, 1979)
82
83
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada) Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Amzah, 2010) Hanafi, A. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976) Hidayat, Bunadi, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung: PT. Alumni, 2010) Khalaf, Abd. Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Majlis A’la Indonesia, Jakarta) Khatib, Muhammad Syarbani, Mughi al-Muhtaj Ila –Ma’rifat , Ma’ani Alfadz Minhaj ‘ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II ( kairo : Dar al- Fikr, 1958) Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, 2004)
(Bandung: PT Remaja Roda Karya,
Mundhir, Ibnu, Lisan al-Arab,(Beirut: Darul Ma’arif, t.t.), Jilid 5 Muslich, Ahmad Wardi.Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2011) Penney Upton,Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga,2012 Prakoso, Djoko.Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama, ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1987 ) Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2012) S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,Cet IV, ( Jakarta :Alumni Ahaem-Peteheam,1996) Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, t.t.), Jilid 10, Cet ke-3 Salam, Moch. Faisal, Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia,(Bandung : Mandar Maju, 2005) Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam,;Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas, Cet . Kedua, (Bandung : Asy Syaamil Press &Grafika,2001) Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Ke-3
84
Soekito, Sri Widowati Wiratmo, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983) Suharto, R.M., Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002) Suma, M. Amin dkk, Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997) Supramono, Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, ( Jakarta: Djambatan,2007) Sutedjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006) Thohir, Muhammad.Seminar Kesehatan Anak, (Rumah Sakit Islam Surabaya, 1993) Widyana, I Made, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta:Fikahati Aneska, 2010) Yafie, Ali, Ahmad Sukarja ,Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia Zahrah, Muh. Abu.Ushul Fiqh, (Dar Al-Fikr, Beirut, t.th.) Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam, ( Jakarta: UIN Jakarta Press) Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009),
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; b. bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan; c. bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum; d. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G, dan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang- . . .
-22. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235); 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635); 5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan:
UNDANG-UNDANG PIDANA ANAK.
TENTANG
SISTEM
PERADILAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 2. Anak . . .
8.
-3Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Penyidik adalah penyidik Anak.
9.
Penuntut Umum adalah penuntut umum Anak.
10.
Hakim adalah hakim Anak.
11.
Hakim Banding adalah hakim banding Anak.
12.
Hakim Kasasi adalah hakim kasasi Anak.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
13. Pembimbing . . .
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
-4Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial Anak. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak. Keluarga adalah orang tua yang terdiri atas ayah, ibu, dan/atau anggota keluarga lain yang dipercaya oleh Anak. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh Anak untuk mendampinginya selama proses peradilan pidana berlangsung. Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya. 21. Lembaga . . .
21.
22.
23.
24.
-5Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak. Klien Anak adalah Anak yang berada di dalam pelayanan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan. Pasal 2
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas: a. pelindungan; b. keadilan; c. nondiskriminasi; d. kepentingan terbaik bagi Anak; e. penghargaan terhadap pendapat Anak; f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; g. pembinaan dan pembimbingan Anak; h. proporsional; i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. penghindaran pembalasan. Pasal 3 Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. dipisahkan . . .
b. c. d. e.
f. g.
h.
i. j. k. l. m. n. o. p.
-6dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; melakukan kegiatan rekreasional; bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; tidak dipublikasikan identitasnya; memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; memperoleh advokasi sosial; memperoleh kehidupan pribadi; memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; memperoleh pendidikan; memperoleh pelayananan kesehatan; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 (1)
Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: a. mendapat pengurangan masa pidana; b. memperoleh asimilasi; c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. memperoleh pembebasan bersyarat; e. memperoleh cuti menjelang bebas; f.
memperoleh cuti bersyarat; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Hak . . .
(2)
-7Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Anak yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5
(1)
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2)
Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3)
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.
BAB II DIVERSI Pasal 6 Diversi bertujuan: a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Pasal 7 . . .
-8Pasal 7 (1)
Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2)
Diversi sebagaimana dilaksanakan dalam dilakukan:
dimaksud pada ayat (1) hal tindak pidana yang
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pasal 8 (1)
Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2)
Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.
(3)
Proses Diversi wajib memperhatikan: a. b. c. d. e. f.
kepentingan korban; kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pasal 9 (1)
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan: a. kategori tindak pidana; b. umur Anak; c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. (2) Kesepakatan . . .
(2)
-9Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk: a. b. c. d.
tindak pidana yang berupa pelanggaran; tindak pidana ringan; tindak pidana tanpa korban; atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Pasal 10
(1)
Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.
(2)
Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk: a. b. c. d.
pengembalian kerugian dalam hal ada korban; rehabilitasi medis dan psikososial; penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. Pasal 11 Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; c. keikutsertaan . . .
c.
d.
- 10 keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat.
Pasal 12 (1)
Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi.
(2)
Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.
(3)
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.
(4)
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan.
(5)
Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan. Pasal 13
Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal: a. b.
proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan. Pasal 14 . . .
- 11 Pasal 14 (1)
Pengawasan atas proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan.
(2)
Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan.
(3)
Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
Pasal 15 Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III ACARA PERADILAN PIDANA ANAK Bagian Kesatu Umum Pasal 16 Ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pasal 17 . . .
- 12 Pasal 17 (1)
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memberikan pelindungan khusus bagi Anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat.
(2)
Pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi tanpa pemberatan. Pasal 18
Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.
Pasal 19 (1)
(2)
Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.
Pasal 20 Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Pasal 21 . . .
- 13 Pasal 21 (1)
Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: a. b.
menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
(2)
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(3)
Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4)
Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
(5)
Instansi pemerintah dan LPKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan perkembangan anak kepada Bapas secara berkala setiap bulan.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 22 . . .
- 14 Pasal 22 Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan. Pasal 23 (1)
(2)
(3)
Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial. Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang sedang diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi orang tua. Pasal 24
Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan Anak, sedangkan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan yang berwenang. Pasal 25 (1)
(2)
Register perkara Anak dan Anak Korban wajib dibuat secara khusus oleh lembaga yang menangani perkara Anak. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman register perkara anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua . . .
- 15 Bagian Kedua Penyidikan Pasal 26 (1)
Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)
Pemeriksaan terhadap Anak Korban atau Anak Saksi dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. telah berpengalaman sebagai penyidik; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(4)
Dalam hal belum terdapat Penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tugas penyidikan dilaksanakan oleh penyidik yang melakukan tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.
Pasal 27 (1)
Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.
(2)
Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya. (3) Dalam . . .
(3)
- 16 Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi, Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.
Pasal 28 Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima.
Pasal 29 (1) (2)
(3)
(4)
Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi. Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Dalam hal Diversi gagal, Penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan berita acara Diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.
Bagian Ketiga Penangkapan dan Penahanan Pasal 30 (1)
(2)
Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak. (3) Dalam . . .
(3)
(4)
(5)
- 17 Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di LPKS. Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Pasal 31 (1) (2)
Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik berkoordinasi dengan Penuntut Umum. Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak dimulai penyidikan.
Pasal 32 (1)
Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
(2)
Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
(3)
Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. (4) Selama . . .
(4) (5)
- 18 Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi. Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS.
Pasal 33 (1)
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari.
(2)
Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari.
(3)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.
(4)
Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS.
(5)
Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat.
Pasal 34 (1)
Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari.
(2)
Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari.
(3)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Pasal 35 . . .
- 19 Pasal 35 (1)
Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(2)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari.
(3)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.
Pasal 36 Penetapan pengadilan mengenai penyitaan barang bukti dalam perkara Anak harus ditetapkan paling lama 2 (dua) hari.
Pasal 37 (1)
Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, Hakim Banding dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(2)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Banding dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi paling lama 15 (lima belas) hari.
(3)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Banding belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. Pasal 38 . . .
- 20 Pasal 38 (1)
Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, Hakim Kasasi dapat melakukan penahanan paling lama 15 (lima belas) hari.
(2)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Kasasi dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.
Pasal 39 Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) telah berakhir, petugas tempat Anak ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi hukum.
Pasal 40 (1)
Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada Anak dan orang tua/Wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum.
(2)
Dalam hal pejabat tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penangkapan atau penahanan terhadap Anak batal demi hukum.
Bagian Keempat . . .
- 21 Bagian Keempat Penuntutan Pasal 41 (1)
Penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
(2)
Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(3)
Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Pasal 42
(1)
Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik.
(2)
Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3)
Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
(4)
Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
(1)
Bagian Kelima . . .
- 22 Bagian Kelima Hakim Pengadilan Anak Paragraf 1 Hakim Tingkat Pertama Pasal 43 (1)
Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri yang bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi.
(2)
Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(3)
Dalam hal belum terdapat Hakim yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas pemeriksaan di sidang Anak dilaksanakan oleh hakim yang melakukan tugas pemeriksaan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Pasal 44
(1)
Hakim memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat pertama dengan hakim tunggal.
(2)
Ketua pengadilan negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya.
(3)
Dalam setiap persidangan Hakim dibantu seorang panitera atau panitera pengganti.
oleh
Paragraf 2 . . .
- 23 Paragraf 2 Hakim Banding Pasal 45 Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan. Pasal 46 Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Banding, berlaku syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2). Pasal 47 (1)
Hakim Banding memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat banding dengan hakim tunggal.
(2)
Ketua pengadilan tinggi dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya.
(3)
Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Banding dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti. Paragraf 3 Hakim Kasasi Pasal 48
Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 49 Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Kasasi, berlaku syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2). Pasal 50 . . .
- 24 Pasal 50 (1) (2)
(3)
Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat kasasi dengan hakim tunggal. Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya. Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Kasasi dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti.
Paragraf 4 Peninjauan Kembali Pasal 51 Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara Anak yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh Anak, orang tua/Wali, dan/atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya kepada Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keenam Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 52 (1)
(2)
(3)
Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum. Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim. Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. (4) Proses . . .
(4) (5)
(6)
- 25 Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri. Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.
Pasal 53 (1) (2) (3)
Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak. Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa. Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa.
Pasal 54 Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan. Pasal 55 (1)
(2)
(3)
Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak. Dalam hal orang tua/Wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan. Dalam hal Hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sidang Anak batal demi hukum.
Pasal 56 . . .
- 26 Pasal 56 Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, Anak dipanggil masuk beserta orang tua/Wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 57 (1)
Setelah surat dakwaan dibacakan, Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi: a. data pribadi Anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial; b. latar belakang dilakukannya tindak pidana; c. keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa; d. hal lain yang dianggap perlu; e. berita acara Diversi; dan f. kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 58
(1)
Pada saat memeriksa Anak Korban dan/atau Anak Saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Anak dibawa keluar ruang sidang.
(2)
Pada saat pemeriksaan Anak Korban dan/atau Anak Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua/Wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir. (3) Dalam . . .
(3)
- 27 Dalam hal Anak Korban dan/atau Anak Saksi tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, Hakim dapat memerintahkan Anak Korban dan/atau Anak Saksi didengar keterangannya: a. di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya; atau b. melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual dengan didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya. Pasal 59
Sidang Anak dilanjutkan setelah Anak diberitahukan mengenai keterangan yang telah diberikan oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi pada saat Anak berada di luar ruang sidang pengadilan. Pasal 60 (1)
(2)
(3)
(4)
Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua/Wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak. Dalam hal tertentu Anak Korban diberi kesempatan oleh Hakim untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan. Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara. Dalam hal laporan penelitian kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim, putusan batal demi hukum. Pasal 61 . . .
- 28 Pasal 61 (1)
Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh Anak.
(2)
Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar.
Pasal 62 (1)
Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum.
(2)
Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum.
BAB IV PETUGAS KEMASYARAKATAN Bagian Kesatu Umum Pasal 63 Petugas kemasyarakatan terdiri atas: a. Pembimbing Kemasyarakatan; b. Pekerja Sosial Profesional; dan c. Tenaga Kesejahteraan Sosial.
Bagian Kedua . . .
- 29 Bagian Kedua Pembimbing Kemasyarakatan Pasal 64 (1)
Penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
(2)
Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pembimbing Kemasyarakatan sebagai berikut: a. berijazah paling rendah diploma tiga (D-3) bidang ilmu sosial atau yang setara atau telah berpengalaman bekerja sebagai pembantu Pembimbing Kemasyarakatan bagi lulusan: 1) sekolah menengah kejuruan bidang pekerjaan sosial berpengalaman paling singkat 1 (satu) tahun; atau 2) sekolah menengah atas dan berpengalaman di bidang pekerjaan sosial paling singkat 3 (tiga) tahun. b. sehat jasmani dan rohani; c. pangkat/golongan ruang paling rendah Pengatur Muda Tingkat I/ II/b; d. mempunyai minat, perhatian, dan dedikasi di bidang pelayanan dan pembimbingan pemasyarakatan serta pelindungan anak; dan e. telah mengikuti pelatihan teknis Pembimbing Kemasyarakatan dan memiliki sertifikat.
(3)
Dalam hal belum terdapat Pembimbing Kemasyarakatan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dilaksanakan oleh petugas LPKA atau LPAS atau belum terbentuknya LPKA atau LPAS dilaksanakan oleh petugas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Pasal 65 . . .
- 30 Pasal 65 Pembimbing Kemasyarakatan bertugas: a. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan; b. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA; c. menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya; d. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan e. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.
Bagian Ketiga Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Pasal 66 Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional sebagai berikut: a. berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4) di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial; b. berpengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun di bidang praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; c. mempunyai . . .
c.
d.
- 31 mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang pekerjaan sosial dan minat untuk membina, membimbing, dan membantu Anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan pelindungan terhadap Anak; dan lulus uji kompetensi sertifikasi Pekerja Sosial Profesional oleh organisasi profesi di bidang kesejahteraan sosial. Pasal 67
Syarat untuk dapat diangkat sebagai Tenaga Kesejahteraan Sosial sebagai berikut: a. berijazah paling rendah sekolah menengah atas pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial atau sarjana nonpekerja sosial atau kesejahteraan sosial; b. mendapatkan pelatihan bidang pekerjaan sosial; c. berpengalaman kerja paling singkat 3 (tiga) tahun di bidang praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan d. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang pekerjaan sosial dan minat untuk membina, membimbing, dan membantu Anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan pelindungan terhadap Anak. Pasal 68 (1)
Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial bertugas: a. membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi Anak dengan melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri Anak; b. memberikan pendampingan dan advokasi sosial; c. menjadi sahabat Anak dengan mendengarkan pendapat Anak dan menciptakan suasana kondusif; d. membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku Anak; e. membuat . . .
(2)
- 32 e. membuat dan menyampaikan laporan kepada Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan; pertimbangan kepada aparat f. memberikan penegak hukum untuk penanganan rehabilitasi sosial Anak; g. mendampingi penyerahan Anak kepada orang tua, lembaga pemerintah, atau lembaga masyarakat; dan h. melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia menerima kembali Anak di lingkungan sosialnya. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan.
BAB V PIDANA DAN TINDAKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 69 (1)
(2)
Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam UndangUndang ini. Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan. Pasal 70
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Bagian Kedua . . .
- 33 Bagian Kedua Pidana Pasal 71 (1)
(2)
(3)
(4) (5)
Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan. c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara. Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 72
Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Pasal 73 (1)
(2)
Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus. (3) Syarat . . .
(3)
- 34 Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat.
(4)
Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak.
(5)
Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada masa pidana dengan syarat umum.
(6)
Jangka waktu masa pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun.
(7)
Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar Anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan.
(8)
Selama Anak menjalani pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Anak harus mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun. Pasal 74
Dalam hal Hakim memutuskan bahwa Anak dibina di luar lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 1, lembaga tempat pendidikan dan pembinaan ditentukan dalam putusannya. Pasal 75 (1)
Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan: a. mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; b. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. (2) Jika . . .
(2)
- 35 Jika selama pembinaan anak melanggar syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4), pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan. Pasal 76
(1)
Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana yang dimaksudkan untuk mendidik Anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif.
(2)
Jika Anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan Anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan terhadapnya.
(3)
Pidana pelayanan masyarakat untuk Anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam.
Pasal 77 (1)
Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 3 paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
(2)
Dalam hal Anak dijatuhi pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pasal 78 . . .
- 36 Pasal 78 (1)
Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf c dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia Anak.
(2)
Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 79 (1)
Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal Anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan.
(2)
Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.
(3)
Minimum khusus terhadap Anak.
(4)
Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
pidana
penjara
tidak
berlaku
Pasal 80 (1)
Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun swasta.
(2)
Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan dan perbuatan Anak tidak membahayakan masyarakat.
(3)
Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (4) Anak . . .
(4)
- 37 Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di dalam lembaga dan tidak kurang dari 3 (tiga) bulan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Pasal 81
(1)
Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.
(2)
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(3)
Pembinaan di LPKA dilaksanakan berumur 18 (delapan belas) tahun.
(4)
Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
(5)
Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
(6)
Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
sampai
Anak
Bagian Ketiga Tindakan Pasal 82 (1)
Tindakan meliputi: a. b. c. d.
yang
dapat
dikenakan
kepada
Anak
pengembalian kepada orang tua/Wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa; perawatan di LPKS; e. kewajiban . . .
(2)
(3)
(4)
- 38 e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 83 (1)
(2)
Tindakan penyerahan Anak kepada seseorang kepentingan Anak yang dilakukan untuk bersangkutan. Tindakan perawatan terhadap Anak dimaksudkan untuk membantu orang tua/Wali dalam mendidik dan memberikan pembimbingan kepada Anak yang bersangkutan.
BAB VI PELAYANAN, PERAWATAN, PENDIDIKAN, PEMBINAAN ANAK, DAN PEMBIMBINGAN KLIEN ANAK Pasal 84 (1) (2)
Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS. Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) LPAS . . .
(3)
- 39 LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)
Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 85
(1)
Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LPKA.
(2)
Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3)
LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4)
Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)
Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 86
(1)
Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. (2) Dalam . . .
(2)
(3)
- 40 Dalam hal Anak telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi belum selesai menjalani pidana, Anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan Anak. Dalam hal tidak terdapat lembaga pemasyarakatan pemuda, Kepala LPKA dapat memindahkan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ke lembaga pemasyarakatan dewasa berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 87 (1)
Anak yang berstatus Klien Anak menjadi tanggung jawab Bapas.
(2)
Klien Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mendapatkan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Bapas wajib menyelenggarakan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Bapas wajib melakukan evaluasi pelaksanaan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 88 Pelaksanaan tugas dan fungsi Bapas, LPAS, dan LPKA dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII . . .
- 41 BAB VII ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI Pasal 89 Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua pelindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 90 (1)
(2)
Selain hak yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Anak Korban dan Anak Saksi berhak atas: a. upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan c. kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hak Anak Korban dan Anak Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 91 (1)
Berdasarkan pertimbangan atau saran Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Penyidik dapat merujuk Anak, Anak Korban, atau Anak Saksi ke instansi atau lembaga yang menangani pelindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial anak.
(2)
Dalam hal Anak Korban memerlukan tindakan pertolongan segera, Penyidik, tanpa laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional, dapat langsung merujuk Anak Korban ke rumah sakit atau lembaga yang menangani pelindungan anak sesuai dengan kondisi Anak Korban. (3) Berdasarkan . . .
(3)
(4)
- 42 Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan dan laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial dari lembaga atau instansi yang menangani pelindungan anak. Anak Korban dan/atau Anak Saksi yang memerlukan pelindungan dapat memperoleh pelindungan dari lembaga yang menangani pelindungan saksi dan korban atau rumah perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Pasal 92 (1)
(2)
(3)
(4)
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dan pihak terkait secara terpadu. Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling singkat 120 (seratus dua puluh) jam. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB IX PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 93 Masyarakat dapat berperan serta dalam pelindungan Anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara: a. menyampaikan . . .
- 43 a. menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak Anak kepada pihak yang berwenang; b. mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan Anak; c. melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak; d. berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif; e. berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial Anak, Anak Korban dan/atau Anak Saksi melalui organisasi kemasyarakatan; f. melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan perkara Anak; atau g. melakukan sosialisasi mengenai hak Anak serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Anak.
BAB X KOORDINASI, PEMANTAUAN, DAN EVALUASI Pasal 94 (1)
Kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait.
(2)
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka sinkronisasi perumusan kebijakan mengenai langkah pencegahan, penyelesaian administrasi perkara, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.
(3)
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan oleh kementerian dan komisi yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan . . .
(4)
- 44 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 95 Pejabat atau petugas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (1), Pasal 39, Pasal 42 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 55 ayat (1), serta Pasal 62 dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 96 Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 97 Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 98 . . .
- 45 Pasal 98 Penyidik yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 99 Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 100 Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 101 Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 102 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, perkara anak yang: a. masih dalam proses penyidikan dan penuntutan atau yang sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri, tetapi belum disidang harus dilaksanakan berdasarkan hukum acara Undang-Undang ini; dan b. sedang . . .
- 46 b. sedang dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan berdasarkan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.
Pasal 103 (1)
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, anak negara dan/atau anak sipil yang masih berada di lembaga pemasyarakatan anak diserahkan kepada: a. orang tua/Wali; b. LPKS/keagamaan; atau c. kementerian atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
(2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 104 Setiap lembaga pemasyarakatan anak harus melakukan perubahan sistem menjadi LPKA sesuai dengan UndangUndang ini paling lama 3 (tiga) tahun.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 105 (1)
Dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang ini: a. setiap kantor kepolisian wajib memiliki Penyidik; b. setiap kejaksaan wajib memiliki Penuntut Umum; c. setiap pengadilan wajib memiliki Hakim; d. kementerian . . .
(2)
(3)
- 47 d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun Bapas di kabupaten/kota; e. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun LPKA dan LPAS di provinsi; dan f. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial wajib membangun LPKS. Ketentuan mengenai pembentukan kantor Bapas dan LPKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf f dikecualikan dalam hal letak provinsi dan kabupaten/kota berdekatan. Dalam hal kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum tidak memiliki lahan untuk membangun kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, pemerintah daerah setempat menyiapkan lahan yang dibutuhkan.
Pasal 106 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 107 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak UndangUndang ini diberlakukan.
Pasal 108 Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar . . .
- 48 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan ini dengan pengundangan Undang-Undang penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2012 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd. AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 153 52 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
I.
UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi Anak. Anak perlu mendapat pelindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku Anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Anak, antara lain, disebabkan oleh faktor di luar diri Anak tersebut. Data Anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminalitas serta pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif semakin meningkat. Prinsip pelindungan hukum terhadap Anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child . . .
-2the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan Anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum. Penyusunan Undang-Undang ini merupakan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin pelindungan kepentingan terbaik terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Undang-Undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun, Undang-Undang ini merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum. Adapun . . .
-3Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Dari kasus yang muncul, ada kalanya Anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga Anak Korban dan/atau Anak Saksi juga diatur dalam Undang-Undang ini. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi pelindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. II. PASAL . . .
-4II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Huruf a
Yang dimaksud dengan ”pelindungan” meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis. Huruf b
Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak. Huruf c
Yang dimaksud dengan ”nondiskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental. Huruf d
Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak. Huruf e Yang dimaksud dengan ”penghargaan terhadap pendapat Anak” adalah penghormatan atas hak Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan Anak. Huruf f Yang dimaksud dengan ”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Huruf g . . .
-5Huruf g Yang dimaksud dengan ”pembinaan” adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Yang dimaksud dengan ”pembimbingan” adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan. Huruf h Yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak. Huruf i Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir” adalah pada dasarnya Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara. Huruf j Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud dengan “kebutuhan sesuai dengan umurnya” meliputi melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapat kunjungan dari keluarga dan/atau pendamping, mendapat perawatan rohani dan jasmani, mendapat pendidikan dan pengajaran, mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, mendapat bahan bacaan, menyampaikan keluhan, serta mengikuti siaran media massa. Huruf b . . .
-6Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “rekreasional” adalah kegiatan latihan fisik bebas sehari-hari di udara terbuka dan Anak harus memiliki waktu tambahan untuk kegiatan hiburan harian, kesenian, atau mengembangkan keterampilan. Huruf e Yang dimaksud dengan “merendahkan derajat dan martabatnya” misalnya Anak disuruh membuka baju dan lari berkeliling, Anak digunduli rambutnya, Anak diborgol, Anak disuruh membersihkan WC, serta Anak perempuan disuruh memijat Penyidik laki-laki. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Selama menjalani proses peradilan, Anak berhak menikmati kehidupan pribadi, antara lain Anak diperbolehkan membawa barang atau perlengkapan pribadinya, seperti mainan, dan jika anak ditahan atau ditempatkan di LPKA, Anak berhak memiliki atau membawa selimut atau bantal, pakaian sendiri, dan diberikan tempat tidur yang terpisah. Huruf m . . .
-7Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Ketentuan “pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun” mengacu pada hukum pidana. Huruf b . . .
-8Huruf b Pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui Diversi. Pasal 8 Ayat (1) Orang tua dan Wali korban dilibatkan dalam proses Diversi dalam hal korban adalah anak. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “masyarakat” antara lain tokoh agama, guru, dan tokoh masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Ketentuan ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun. Huruf b Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian Diversi dan semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas Diversi. Huruf c Cukup jelas.
Huruf d . . .
-9Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan mengenai “Persetujuan keluarga Anak Korban” dimaksudkan dalam hal korban adalah Anak di bawah umur. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tindak pidana ringan” adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Kesepakatan Diversi dalam ketentuan ini ditandatangani oleh para pihak yang terlibat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) . . .
- 10 Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud “atasan langsung” antara lain kepolisian, kepala kejaksaan, dan ketua pengadilan.
kepala
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Laporan tersebut sekaligus berisi rekomendasi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”situasi darurat” antara lain situasi pengungsian, kerusuhan, bencana alam, dan konflik bersenjata. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 . . .
- 11 Pasal 18 Yang dimaksud dengan “pemberi bantuan hukum lainnya” adalah paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. Suasana kekeluargaan misalnya suasana yang membuat Anak nyaman, ramah Anak, serta tidak menimbulkan ketakutan dan tekanan. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Sesuai dengan asas praduga tidak bersalah, seorang Anak yang sedang dalam proses peradilan tetap dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Anak yang sudah kawin dan belum berumur 18 (delapan belas) tahun tetap diberikan hak dan kewajiban keperdataan sebagai orang dewasa. Pasal 21 Ayat (1) Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap Anak dilakukan bukan dalam rangka proses peradilan pidana, melainkan digunakan sebagai dasar mengambil keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional. Dalam ketentuan ini, pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan berupa laporan penelitian kemasyarakatan yang merupakan persyaratan wajib sebelum Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan. Huruf a . . .
- 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Keikutsertaan program pendidikan, pembinaan, dan dalam ketentuan ini termasuk pembimbingan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi psikososial. Dalam ketentuan ini, Anak yang masih sekolah tetap dapat mengikuti pendidikan formal, baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun swasta. Dalam pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat melibatkan dinas pendidikan, dinas sosial, Pembimbing Kemasyarakatan atau lembaga pendidikan, dan LPKS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ketentuan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa UndangUndang ini memberikan perlakuan khusus terhadap Anak, dalam arti harus ada pemisahan perlakuan terhadap Anak dan perlakuan terhadap orang dewasa atau terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia dalam perkara koneksitas. Pasal 25 . . .
- 13 Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak” adalah memahami: 1) pembinaan Anak yang meliputi pola asuh keluarga, pola pembinaan sopan santun, disiplin Anak, serta melaksanakan pendekatan secara efektif, afektif, dan simpatik; 2) pertumbuhan dan perkembangan Anak; dan 3) berbagai tata nilai yang hidup di masyarakat yang memengaruhi kehidupan Anak. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan ini dimaksudkan agar penyidikan tetap dapat dilaksanakan walaupun di daerah yang bersangkutan belum ada penunjukan Penyidik. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
- 14 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan ini dimaksudkan agar pemeriksa pada tahap selanjutnya mengetahui ada tidaknya upaya Diversi dan sebab gagalnya Diversi. Pasal 30 Ayat (1) Penghitungan 24 (dua puluh empat) jam masa penangkapan oleh Penyidik dihitung berdasarkan waktu kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Koordinasi dilakukan dengan memberi petunjuk dan visi agar kelengkapan berkas dapat segera terpenuhi secara formal dan materiil.
Pasal 32 . . .
- 15 Pasal 32 Ayat (1) Pada dasarnya penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, tetapi penahanan terhadap Anak harus pula memperhatikan kepentingan Anak yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, maupun sosial, Anak dan kepentingan masyarakat. Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga, baik pemerintah maupun swasta, di bidang kesejahteraan sosial Anak, antara lain panti asuhan, dan panti rehabilitasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kebutuhan rohani Anak termasuk kebutuhan intelektual Anak. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup Jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 . . .
- 16 Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Ketentuan bantuan hukum mengacu Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. Pemberitahuan mengenai hak memperoleh bantuan hukum dilakukan secara tertulis, kecuali apabila Anak dan orang tua/Wali tidak dapat membaca, pemberitahuan dilakukan secara lisan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penuntut umum yang memahami masalah Anak.
ditunjuk
sekurang-kurangnya
Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hakim yang ditunjuk masalah Anak.
sekurang-kurangnya
memahami
Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 . . .
- 17 Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Pemeriksaan perkara Anak harus dilakukan secara tertutup di ruang sidang khusus Anak. Walaupun demikian, dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka, tanpa mengurangi hak Anak. Hal tertentu dan dipandang perlu tersebut antara lain karena sifat dan keadaan perkara harus dilakukan secara terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka, misalnya perkara pelanggaran lalu lintas, dan dilihat dari keadaan perkara, misalnya pemeriksaan perkara di tempat kejadian perkara. Pasal 55 . . .
- 18 Pasal 55 Ayat (1) Meskipun pada prinsipnya tindak pidana merupakan tanggung jawab Anak sendiri, tetapi karena dalam hal ini terdakwanya adalah Anak, Anak tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran orang tua/Wali. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Ketentuan “tanpa kehadiran Anak“ dimaksudkan untuk menghindari adanya hal yang memengaruhi jiwa Anak Korban dan/atau Anak Saksi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . .
- 19 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Batal demi hukum dalam ketentuan ini adalah tanpa dimintakan untuk dibatalkan dan putusan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas.
Pasal 71 . . .
- 20 Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kewajiban adat” adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental Anak. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Jangka waktu percobaan.
dalam
ketentuan
ini
merupakan
masa
Ayat (7) . . .
- 21 Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pejabat pembina” adalah petugas yang mempunyai kompetensi di bidang yang dibutuhkan oleh Anak sesuai dengan asesmen Pembimbing Kemasyarakatan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelayanan masyarakat” adalah kegiatan membantu pekerjaan di lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial. Bentuk pelayanan masyarakat misalnya membantu lansia, orang cacat, atau anak yatim piatu di panti dan membantu administrasi ringan di kantor kelurahan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 . . .
- 22 Pasal 77 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pidana pengawasan” adalah pidana yang khusus dikenakan untuk Anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap perilaku Anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah Anak dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja” antara lain balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi yang dilaksanakan, misalnya, oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, atau sosial. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa” adalah maksimum ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau undang-undang lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 80 . . .
- 23 Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”penyerahan kepada seseorang” adalah penyerahan kepada orang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab, oleh Hakim serta dipercaya oleh Anak. Huruf c Tindakan ini diberikan kepada Anak yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan ”perbaikan akibat tindak pidana” misalnya memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh tindak pidananya dan memulihkan keadaan sesuai dengan sebelum terjadinya tindak pidana. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
- 24 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat LPKA, Anak dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang penempatannya terpisah dari orang dewasa. Ayat (2) Hak yang diperoleh Anak selama ditempatkan di LPKA diberikan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Dalam pemberian hak tersebut, tetap perlu diperhatikan pembinaan bagi Anak yang bersangkutan, antara lain mengenai pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, maupun sosial. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 86 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penempatan Anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai dengan umur 21 (dua puluh satu) tahun. Ayat (3) . . .
- 25 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 87 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan” antara lain Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 88 Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “memerlukan tindakan pertolongan segera” adalah kondisi anak yang mengalami penderitaan, baik fisik maupun psikis, sehingga harus segera diatasi. Ayat (3) . . .
- 26 Ayat (3) Yang dimaksud dengan “rehabilitasi medis” adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk memulihkan kondisi fisik Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi. Yang dimaksud dengan “rehabilitasi sosial” adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat. Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” adalah proses penyiapan Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi untuk dapat kembali ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas.
Pasal 100 . . .
- 27 Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “menyiapkan” adalah memberikan dan menyerahkan hak kepemilikan lahan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang hukum. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5332