KESIAPAN KEMENTERIAN SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI 2015
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Editor: Heru Susteyo, Ph.D Penulis: Badrun Susantyo Hari Harjanto Setiawan Irmayani Muslim Sabarisman Tata letak & Desain Sampul: Tim Inovasi Cet. I. Jakarta 2015 viii + 128 hal; 14,8 x 21cm. ISBN 978-602-363-015-8 Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial bekerja sama dengan P3KS Press Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta-Timur. Telp. (021) 8017126 Email:
[email protected] Website: puslit.kemsos.go.id
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau seluruhnya tanpa izin dari penerbit
KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan nikmatNya buku “Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” ini akhirnya terselesaikan. Buku ini merupakan tulisan hasil penelitian dengan topik Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam pelaksanannya, penelitian ini melibatkan beberapa instansi terkait, Kementerian Sosial, diwakili oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbang Kesos) Jakarta, dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P2KS) Yogyakarta dan Kementerian Hyukum dan Hak Asasi Manusia, diwakili oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-Hak Kelompok Khusus, Badan Litbang Hukum dan HAM. Penelitian ini dilaksanakan di (empat) wilayah dimana terdapat pelayanan perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), yaitu Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP), Unit Pelaksanan Teknis (UPT) Kementerian Sosial. Keempat wilayah tersebut meliputi, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Mataram dan Sulawesi Selatan. Permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum sudah menjadi permasalahan yang serius, dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat. Seorang anak terlibat kasus tindak pidana, mayoritas pada permasalahan ringan (petty crime). Mereka melakukannya agar tetap hidup, dan tanpa melihat resikonya. Seorang anak belum bisa membuat keputusan yang benar, sehingga anak tidak boleh diperlakukan seperti orang dewasa. Anak-anak yang berhadapan dengan hukum memiliki hak untuk diperlakukan secara baik, agar dapat meningkatkan martabat dan harga dirinya. Lahirnya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 merupakan perubahan paradigma penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Masih dijumpainya banyak hambatan dan kenadal dalam implementasinya, mengingat banyak hal yang harus banyak yang dipersiapkan.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
iii
Tiga variabel penting dalam pelaksanaan Undang-Undang yang dikaji dalam penelitian ini, antara lain regulasi, kelembagaan dan sumber daya manusia. Secara regulasi masih diperlukan beberapa pedoman teknis dalam pelaksanaan pelayanan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Secara kelembagaan, perlu adanya sistem monitoring dan evaluasi yang yang transparan dan terus menerus untuk menjamin standart dan kualitas pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap ABH. Sementara dari sisi Sumberdaya manusia, proporsi dan komposisi, serta kualifikasi petugas pelayanan masih harus mendapatkan perhatian yang serius. Hasil penelitian maupun isi dari buku ini masih banyak kekurangan baik dalam proses penelitian maupun dalam penulisannya. Untuk itu kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Akhirnya kepada semua pihak yang terlibat dari awal hingga tersusunnya buku hasil penelitian ini, kami sampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih.
Jakarta, Desember 2015 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kepala,
DR. Dwi Heru Sukoco, M.Si
iv
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
v
DAFTAR TABEL BAB I: PENDAHULUAN
vii 1
LATAR BELAKANG
1
MASALAH PENELITIAN
3
TUJUAN 4 MANFAAT 5 BAB II: KONSEP DAN TEORI A. PERSPEKTIF TEORITIK B. KERANGKA PIKIR BAB III: METODE PENELITIAN
6 6 21 23
PENDEKATAN PENELITIAN
23
LOKASI PENELITIAN
26
SUMBER DATA
26
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
28
TEKNIK ANALISIS DATA
28
BAB IV: HASIL PENELITIAN
30
POTRET PANTI SOSIAL MARSUDI PUTRA (PSMP)
30
1. DKI JAKARTA
30
2. JAWA TENGAH
52
3. MATARAM
70
4. MAKASSAR
74
KEBIJAKAN DAN LANGKAH-LANGKAH
77
PELAKSANAAN KEGIATAN
78
PEMBAHASAN 107 KELEMBAGAAN 110 SUMBERDAYA MANUSIA
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
114
v
BAB V: PENUTUP
116
KESIMPULAN 116 REKOMENDASI 117 IMPLIKASI KEBIJAKAN
118
DAFTAR PUSTAKA
121
SEKILAS PENULIS
124
INDEK
127
vi
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
DAFTAR TABEL Tabel 1. Daftar Informan yang Memberikan Informasi Dalam Penelitian
27
Tabel 2. Data Penerima Manfaat PSMP Handayani Tahun 2015
31
Tabel 3. Jumlah penerima Manfaat PSMP Handayani
37
Tabel 4. Data ABH Berdasarkan Jenis Permasalahan/ Pidana PSMP Antasena Magelang Tahun 2015
52
Tabel 5. Sumber Daya Manusia Di PSMP Antasena Magelang
61
Tabel 6. Peran Serta Instansi Terkait dalam Program Pelayaan Dan Rehabilitasi Sosial ABH Di PSMP Antasena
63
Tabel 7. Data ABH Berdasarkan Asal Daerah PSMP Antasena Magelang Tahun 2015
64
Tabel 8. Data ABH Berdasarkan Asal Rujukan/Pengirim PSMP Antasena Magelang Tahun 2015
65
Tabel 9. Kegiatan Sosialisasi Program dan Pelayanan Panti Tahun 2014
80
Tabel 10. Data Penerima Manfaat berdasarkan Hasil Case Confrence Tahun 2014
86
Tabel 11. Data Penyakit Yang Diderita Penerima Manfaat Tahun 2014
87
Tabel 12. Data Penerima Manfaat dalam Bimbingan Mental Keagamaan Tahun 2014
88
Tabel 13. Data Jenis Masalah Penerima Manfaat Tahun 2014
89
Tabel 14. Data Daerah Lokasi Binjut Tahun 2014
97
Tabel 15. Data Hasil Bimbingan Lanjut Tahun 2014
98
Tabel 16. Data ABH berdasarkan Kasus Tahun 2014
99
Tabel 17. Keadaan Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Golongan
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
103
vii
Tabel 18. Keadaan Tenaga Honorer
104
Tabel 19. Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (UPTD dan LKS Masyarakat/Swasta Tahun 2015
112
Tabel 20. PembangunanLembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Baru oleh Kementerian SosialTahun 2015
113
viii
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Di Indonesia, Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) sudah menjadi permasalahan yang serius, karena dari tahun ke tahun jumlahnya cukup tinggi. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM RI, jumlah anak yang berada di lembaga penahanan dan lembaga pemasyarakatan pada tahun 2011 berjumlah 6.141, tahun 2012 berjumlah 5.226 dan tahun 2013 berjumlah 4.953. Sementara itu, data dari Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak (KSA) Kementerian Sosial, populasi ABH mencapai 8.394 orang (Dit. KSA, Kemensos., 2015).Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa sebagian besar (70,2%) dari anak-anak tersebut ditahan bersama para tahanan dan/atau narapidana dewasa. Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) adalah anak yang melaukan tindak pelanggaran hukum (pelaku), anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak melakukan tindak pidana sesungguhnya karena kondisi obyektif yang melingkupi diri anak dan lingkungannya. Data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial RI menunjukkan bahwa, faktor kemiskinan menempati urutan tertinggi yaitu 29,35% disusul oleh faktor lingkungan sebanyak 18.07%, salah didik sebesar 11, 3%, keluarga tidak harmonis sebesar 8,9% dan minimnya pendidikan agama hanya 7,28% yang memicu terjadinya tindak pidana oleh anak. Sementara itu, data penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 tentang tindak kriminal anak, menunjukkan bahwa tindak pidana pencurian adalah jenis kenakalan atau tindak pidana yang paling sering dilakukan oleh anak-anak. Sebanyak 200 anak pidana (narapidana anak) yang diteliti, sebanyak 120 anak atau sekitar 60,0 persen adalah pelaku tindak pidana pencurian. Jenis tindak pidana menonjol lainnya berturut-
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
1
turut adalah penyalahgunaan narkoba 9,5 persen, perkosaan/pencabulan 6,0 persen, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian orang lain 5,0 persen, pengeroyokan 4,0 persen dan penganiayaan 4,0 persen (BPS, 2010). Dampak negatif dari proses hukuman dialami oleh anak selain secara psikologis juga secara sosial. Setelah proses hukuman selesai, permasalahan anak tidak akan berhenti dengan sendirinya. Pemberian label (stigma) oleh masyarakat yang tidak baik kepada anak yang dijatuhi hukuman merupakan permasalahan tersendiri. Setelah keluar dari penjara, anak diasingkan oleh lingkungan sosial, lingkungan bermainnya dan lingkungan keluarganya. Hal itu dapat menyebabkan anak merasa sangat terasing dan terbuang dari lingkungan sosialnya. Kondisi yang demikian jauh dari terpenuhinya hak-hak anak. Hal demikian menunjukkan bahwa penjara bukanlah tempat yang baik bagi anak-anak (ABH), perlu diupayakan alternatif lain untuk tetap mendukung proses tumbuhkembangnya anak-anak ABH ini. Salah satunya bisa mendesain “penjara” yang “ramah bagi anak”. Atau melalui proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (diversi). Apabila peradilan harus dilaksanakan, diharapkan hasilnya adalah memulihkan, bukan dijatuhkan hukuman pidana penjara. Anak yang berada di dalam lembaga juga harus terpenuhi hak-hak anak lainnya, seperti kesehatan, hak atas proses asimilasi dan hak berpartisipasi dalam kegiatan pembinaan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan diluar institusi didasarkan pada data bahwa sebagian besar ABH di Jakarta 96% masih memiliki orang tua. Disamping itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk mengembangkan pendekatan berbasis institusi. Inilah yang mendasari perlunya dikembangkan pendekatan diluar institusi yang berkeadilan atau restorative justice. Terkait dengan implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012, khususnya terkait dengan proses maupun pasca putusan diversi, lembaga yang terkait dengan pelayanan bagi ABH harus berubah,
2
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
mengikuti amanah Undang Undang ini. Disamping itu, ada beberapa isu yang menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Beberapa isu tersebut meliputi; 1. Kesiapan regulasi, karena dengan diberlakukannya Undang Undang No 11 tahun 2012 maka konsekuensinya adalah Pemerintah, melalui beberapa kementerian/lembaga terkait harus mempersiapkan regulasi untuk pelaksanaannya. Regulasi ini baik dalam tataran makro (nasional), maupun mikro (internal kementerian maupun Unit Pelaksana Teknisnya). 2. Kesiapan menerima ABH pasca putusan diversi, karena dengan diberlakukannya Undang Undang No 11 tahun 2012 maka konsekuensinya adalah Pemerintah, melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) kementerian, harus menerima ABH. Bagaimana pemerintah mempersiapkan lembaga pelayanan bagi ABH (sarana dan prasarananya) tersebut? 3. Undang Undang No 11 tahun 2012 BAB IV menyebutkan mengenai Petugas Kemasyarakatan, yang didalamnya meliputi Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Professional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial. Bagaimana masing-masing kementerian mempersiapkan hal ini?
MASALAH PENELITIAN Kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan tersebut antara lain, pada tahun 1990 telah merativikasi konvensi hak anak melalui Keputusan Presiden RI No. 36 dan diundangkan melalui Undang-Undang Perlindungan anak No.23 tahun. Peraturan Perundangan terkait dengan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) antara lain, undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan undangundang No.39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Undang Undang Peradilan Anak dianggap tidak berpihak pada anak, sehingga dilakukan perubahan menjadi undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang “Sistem Peradilan Pidana Anak”. Peraturan tersebut baru diberlakukan setelah dua tahun di tetapkan yaitu bulan Agustus 2014. Pelaksanaan program yang tidak terkoordinasi menjadi kendala sitematis dalam penerapan
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
3
kebijakan tersebut. Untuk mengkoordinasikan antar sektor, dibuatlah kesepakatan bersama antara Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesejatan, Kementerian Agama, Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Diberlakukannya Undang Undang No 11 tahun 2012 membutuhkan persiapan yang tidak sederhana. Kesiapan regulasi, lembaga dan pelaksana (SDM) undang-undang ini menjadi sangat penting. Sehingga memunculkan permasalahan penelitian berikut ini; a) Bagaimana Kementerian Sosial mempersiapkan regulasi terkait implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini? b) Bagaimana Kementerian Sosial mempersiapkan lembaga/institusi beserta sarana dan prasarananya terkait implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini? c) Bagaimana Kementerian Sosial mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini?
TUJUAN a) Mengetahui sejauh mana kebijakan Kementerian Sosial dalam mempersiapkan regulasi sesuai amanat Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012, hal-hal apa saja yang sudah dan yang semestinya dipenuhi? b) Mengetahui bagaimana kebijakan Kementerian Sosial dalam mempersiapkan lembaga/institusi pelaksana beserta sarana dan prasarananya sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012. c) Melihat sejauh mana kebijakan Kementerian Sosial dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012.
4
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
MANFAAT a) Diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi Kementerian Sosial terkait dengan implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini. b) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi penyusunan Peraturan Pemerintah terkait dengan Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
5
BAB II KONSEP DAN TEORI A. PERSPEKTIF TEORITIK Perlindungan Anak Hak asasi manusia adalah a claim right held by individuals in virtue of the fact that they are human beings. Human rights are not tied to a particular social class, professional group, cultural collective, racialgroup, gender, or any other exclusive category (Ward & Birgden, 2007, p. 630) . Secara ringkas Ward dan Birgden menjelaskan bahwa ada dua nilai dalam hak asasi manusia yaitu kebebasan (freedom) dan kesejahteraan (well being). Pada konteks perlindungan, anak juga memiliki hak yang berguna dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya. Pengakuan terhadap hak anak secara Internasional dilakukan PBB melalui konvensi pada tahun 1989. Prinsip yang dianut Konvensi Hak Anak adalah: 1) NonDiscrimination atau Non Diskriminasi (Pasal 2). Semua hak anak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa perbedaan apapun. 2) The Best Interest of The Child atau Kepentingan terbaik untuk anak (Pasal 3). Semua tindakan yang menyangkut anak, pertimbangannya adalah yang terbaik untuk anak. 3) The Right to Life, Survival and Development atau Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui atas perkembangan hidup dan perkembangannya harus dijamin. 4) Respect for The Views of the Child atau Penghargaan terhadap pendapat anak (Pasal 12). Definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, yang telah disepakati dalam Convention On The Right Of The Child. Senada dengan definisi di California bahwa “child” means a person under the age of 18 years (Miller-Perrin & Perrin, 2007, p. 20). Pengertian tersebut bukan satu-satunya yang membedakan seseorang anak dengan dewasa. Selain dari usia,
6
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
kedewasaan seseorang dilihat dari fisik maupun psikologisnya. Ada seseorang yang secara fisik masih seperti anak, namun secara psikis sudah dewasa, begitu pula sebaliknya. Hingga dekade awal 1990-an, dunia mengenal istilah Children in Especially Difficult Circumstance (CECD) atau anak-anak yang berada dalam kondisi sulit. Kondisi sulit yang dimaksud adalah tidak terpenuhi hak-haknya dan rawan terhadap pelanggaran haknya. Tetapi ketika berubah menjadi Children in Need of Special Protection, maka istilah Special Protection merupakan langkah kerja aktif yaitu suatu langkah untuk mencegah dan mengambil tindakantindakan yang diperlukan dalam melindungi anak dari segala bentuk pelanggaran hak-hak mereka. Anak yang berkebutuhan khusus menurut Komite Hak-Hak Anak PBB mengatur tentang anak yang berkonflik dengan hukum yaitu penghindaran dari hukuman keji, hukuman mati, dan pengaturan penahanan anak (Pasal 37 a ). Penelitian ini mengacu pada konvensi hak anak dan undang undang perlindungan anak bahwa anak adalah mereka yang berumur sampai dengan 18 tahun dan yang dimaksud dengan anak yang berkonflik dengan hukum adalah: “any person below the age of 18 years who is alleged as, accused of, or recognised as having infringed the penal law (see art. 40 of the CRC). Depending on the local context, children may also be in conflict with the law where they are dealt with by the juvenile justice or adult criminal justice system for reason of being considered to be in danger by virtue of their behaviour or the environment in which they live (Detrick, Abel, Berger, Delon, & Meek, 2008). Perlindungan khusus tersebut lebih ditegaskan dalam konvensi hak anak bahwa ”Tidak seorang anak akan secara tidak sah atau sewenang-wenang, direnggut kemerdekaannya. Penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan anak akan dilakukan sesuai hukum dan diterapkan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa paling singkat yang dimungkinkan.” (pasal 37 b). Sebaiknya penerapan pemidanaan yang tepat terhadap anak sebagai pelaku tindak Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
7
pidana berupa pemidanaan edukatif dalam sistem peradilan pidana anak (Rinita, 2012, p. 128). Namun pemidanaan yang edukatif ini mengalami kendala karena pegawai lembaga pemasyarakatan tidak memiliki keahlian khusus untuk menangani persoalan anak (Setyobudi, 2012, p. 125). Sehingga lembaga pemasyarakatan yang seharusnya adalah lembaga pendidikan, suasana dan perlakuan yang diberikan terhadap anak seperti berada dalam penjara. Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa definisi anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Sementara itu, anak yang berkonflik dengan hokum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Artikel ini melihat definisi tersebut dari berbagai pandangan antara lain: perkembangan anak, hak asasi manusia, dan kesejahteraan sosial. Menurut pandangan perkembangannya anak, masa ini yang paling mendasar dan penting dalam membentuk masa selanjutnya yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Perkembangan anak tidak selamanya baik, sehingga anak terpaksa berkonflik dengan hukum yang dalam perkembangan anak disebut delinkuen. Perilaku anti sosial ini antara lain: It includes acts prohibited by the criminal law, such as theft, burglary, robbery, violence, vandalism, and drug use; (West & Farrington, 1977). Pandangan hak asasi manusia mengenai hal ini adalah a claim right held by individuals in virtue of the fact that they are human beings. Human rights are not tied to a particular social class, professional group, cultural collective, racialgroup, gender, or any other exclusive category. Definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, yang telah disepakati dalam Convention On The Right Of The Child. Perlindungan khusus tersebut
8
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
lebih ditegaskan dalam konvensi hak anak bahwa ”Tidak seorang anak akan secara tidak sah atau sewenang-wenang, direnggut kemerdekaannya. Penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan anak akan dilakukan sesuai hukum dan diterapkan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa paling singkat yang dimungkinkan.” (pasal 37 b). Sebaiknya penerapan pemidanaan yang tepat terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berupa pemidanaan edukatif dalam sistem peradilan pidana anak. Namun pemidanaan yang edukatif ini mengalami kendala karena pegawai lembaga pemasyarakatan tidak memiliki keahlian khusus untuk menangani persoalan anak. Pandangan Kesejahteraan Sosial, memperlihatkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum disebabkan karena pelanggaran terhadap hukum atau tindak kriminal yang diperbuatnya. Pengertian tersebut menunjukkan pentingnya peranan nilai atau norma dalam suatu masyarakat yang menjadi bagian dari hukum yang ditetapkan oleh suatu negara. Namun lebih luas lagi bahwa anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang melanggar nilai atau norma dalam masyarakat. Sehingga keterpisahan anak dari nilai atau norma dalam suatu masyarakat termasuk didalamnya adalah nilai atau norma keluarga merupakan indikator awal pelanggaran hukum. Konsep kesejahteraan sosial yakni suatu keadaan yang lebih baik, kebahagiaan dan kemakmuran pada individuals, families, groups, communities and even whole societies. Pada kontek kesejahteraan anak yang berhadapan dengan hukum, Child welfare encompasses programs and policies oriented toward the protection, care,and healthy development of children. Pelanggaran hukum disebut juga perilaku menyimpang “conceive of deviance as a collection of conditions, persons, or acts that society disvalues (Sagarin, 1975: 9), finds offensive (Higgins and Butler, 1982: 3), or condemns (Weitzer, 2002: 2). Permasalahan tersebut membutuhkan Intervensi psikososial adalah intervensi pekerjaan sosial profesional yang menekankan pada penggunaan metode pekerjaan sosial dengan individu, keluarga (social casework) dan kelompok (social group work). Anak yang melakukan tindak kriminal dianggap sebagai deviation karena ada penyimpangan terhadap kaidah dan nilainilai dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan sifatnya, perilaku Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
9
menyimpang dibedakan menjadi dua yaitu penyimpangan positif dan penyimpangan negatif. Restorative Justice Sebagai Tujuan Pelayanan Tujuan praktek pekerjaan sosial adalah menciptakan kondisi restoractive justice (UNODC, 2006, p. 6). Pada proses untuk menciptakan kondisi restorative justice ini pekerja sosial berusaha menyatukan kembali anak dengan orang tuanya dan masyarakat. Penyatuan anal kembali secara sosial (Social reintegration) is often understood as the support given to offenders during their reentry into society following imprisonment. Integrasi sosial berarti adanya keterikatan dengan merasakan menjadi bagian dari kehidupan bersama dapat memberi pengalaman kepada perorangan untuk memperoleh ketentraman psikologis tertentu dan memberikan arti pada kehidupannya. Pendekatan ini merupakan paradigma penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan mediasi dan rekonsiliasi dan mengupayakan diversi. Pada prosesnya, komponen yang dipertemukan yaitu the individual victim, the offender and the communitythe victim, the victim’s family, the offender, the offender’s family, and the community. Sehingga pendampingan pekerja sosial merupakan hal penting yang harus selalu di lakukan baik pada proses peradilan maupun saat mengembalikan pada kehidupan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk merubah status offender menjadi non-offender dalam rangka mewujudkan restorative justice. Restoratif justice bertentangan dengan pemenjaraan yang merupakan bentuk keadilan yang retributive atau pembalasan. Hal ini kurang baik bagi perkembangan anak, sebagaimana dikemukakan oleh Bandura bahwa: “that punishment does not stimulate or negate behavior as well as reinforcement; therefore, reinforcement is more important in development”. Di Indonesia bentuk pemenjaraan masih terlihat walaupun secara konsep sebenarnya pemasyarakatan merupakan filsafat reintegrasi sosial. Restoratif justice merupakan tujuan utama dalam juvenile justice. Salah satu bentuk reintegrasi adalah penerapan diversi. Di
10
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Indonesia, setelah disahkan Undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka penerapan diversi dapat dilakukan oleh jaksa. Selain diversi, aktivitas integrasi adalah mengembalikan anak kepada keluarga, melanjutkan berhubungan dengan masyarakat, vokasional training dan pelayanan lain merupakan fondasi suksesnya reintegrasi anak kembali kedalam kehidupan masyarakat. Keluarga dapat menjadi kelompok dukungan (family support) seperti dikemukakan Audio Commission (1994) medefinisikan family support adalah any activity or facility provided either by statutory agencies or by community groups or individuals aimed at providing advice and support to parents to help them bring up their children. Dengan demikian seluruh pelayanan yang dilakukan untuk anak yang berhadapan dengan hukum, tujuan utamanya adalah anak dapat terintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, proses reintegrasi dilakukan dengan cara sosialisasi melalui keluarga, masyarakat, kelompok-kelompok sebaya mereka, sekolah-sekolah, pelatihan kejuruan dan dunia kerja serta melalui organisasi sukarela. Pekerja Sosial dalam UU No.11 tahun 2012 Pekerjaan sosial bukan hanya pekerjaan amal namun merupakan profesi yang didalamnya adalah ada tiga unsure pokok yaitu keilmuan, ketrampilan dan nilai. Namun secara spesifik yang dimaksud pekerja sosial professional pada Bagian ketiga Undang Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 66 menyatakan bahwa syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional sebagai berikut: a. berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D4) di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial; b. berpengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun di bidang praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; c. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang pekerjaan sosial dan minat untuk membina, membimbing, dan Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
11
membantu Anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan pelindungan terhadap Anak; dan d. lulus uji kompetensi sertifikasi Pekerja Sosial Profesional oleh organisasi profesi di bidang kesejahteraan sosial. Adapun tugas seorang pekerja sosial professional terdapat pada pasal 68 ayat (1) Pekerja Sosial Profesional bertugas: a. membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi Anak dengan melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri Anak; b. memberikan pendampingan dan advokasi sosial; c. menjadi sahabat Anak dengan mendengarkan pendapat Anak dan menciptakan suasana kondusif; d. membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku Anak; e. membuat dan menyampaikan laporan kepada Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan; f. memberikan pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk penanganan rehabilitasi sosial Anak; g. mendampingi penyerahan Anak kepada orang tua, lembaga pemerintah, atau lembaga masyarakat; dan h. melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia menerima kembali anak di lingkungan sosialnya. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan. Karakteristik profesionalisme pekerja sosial adalah penekanannya pada tiga dimensi yaitu kerangka pengetahuan, nilai dan keterampilan yang harus dikembangakan ketiga-tiganya secara seimbang dan simultan. Profesi lain, pada umumnya hanya menekankan pada dua aspeknya saja yaitu pengetahuan dan keterampilan praktek. Pekerja Sosial sejak semula mempunyai komitmen tinggi terhadap penanaman nilai dalam proses pendidikannya, serta merumuskan
12
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
dirinya sebagai profesi atau disiplin yang bukan bebas nilai. Pekerja sosial berkiprah dalam suatu posisi nilai yang jelas dan eksplisit, seperti martabat manusia, keadilan sosial, keberpihakan kepada mereka yang tidak beruntung. Pekerja Sosial menamakan dirinya “normative discipline”. Pekerja Sosial lebih dari sekedar aktifitas teknis. Pekerja Sosial berada diluar lingkungan yang semakin dikuasai oleh birokrasi dan manager, di mana akuntabilitas terhadap manager lebih ditenkankan dari pada akuntabilitas terhadap publik atau konsumen. Lingkungan praktek Pekerja Sosial tidak memungkinkan bagi diskresi, prakarsa, kreatifitas, serta menemukan alternatif sesuai dengan komitmennya terhadap nilai. Penekanan pada pengetahuan, keterampilan dan nilai mempunyai implikasi terhadap hakikat pratek Pekerjaan Sosial. Bila pengetahuan dipandang sebagai sama pentingnya dengan keterampilan, maka pemahaman sama pentingnya dengan kompetensi. Pekerja Sosial memandang dirinya sebagai pemikiran dan pekerja, serta sebagai orang yang harus membuat pertimbangan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelum bertindak. Situasi ini bertentangan dengan lingkungan praktek dimana manager menentukan tujuan, sasaran dan arahan untuk mencapainya, dan menyingkirkan pertimbangan diskresioner dari Pekerja Sosial. Pekerja Sosial melakukan praktek dalam lingkungan pengaturan, panduan praktek, serta arahan adinistratif. Menghubungkan dan memperkuat pengetahuan, nilai dan keterampilan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Pekerja Sosial dalam lingkungan politik, birokrasi dan managerial dimana Pekerja Sosial perlu menyesuaikan diri. Dalam bekerja dengan anak khususnya anak yang berhadapan dengan hukum, seorang Pekerja Sosial harus melakukan tindakantindakan yang profesional dalam arti harus sesuai dengan ketiga dimensi diatas. Pengetahuan dalam arti seorang pekerja sosial harus mempunyai latar belakang pendidikan pekerjaan sosial. Nilai dalam arti praktek pekerjaan sosial harus dilandasi dengan nilai-nilai Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
13
yang tertentu yaitu kode etik praktek pekerjaan sosial. Ketrampilan seorang pekerja sosial banyak dipengaruhi oleh semakin banyaknya praktek yang di lakukan (jam terbang). Tujuan akhir dari program penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum adalah untuk membantu mereka agar mampu membuat keputusan sendiri (help people to help them self). Kunci agar pelayanan berjalan efektif terletak pada kemampuan pekerja sosial untuk menganalisis dan menetapkan prioritas kebutuhan serta mencapai beberapa keseimbangan dalam melakukan tugas secara berkesinambungan. Peran dan fungsi pekerja sosial dengan anak yang berhadapan dengan hukum berdasarkan hasil penelitian terapan (action research) di Kelurahan Cipinang Besar Utara, antara lain : Case Manager, assesor, Perencana (Planner), Penghubung (Broker), Pembela (Advocate), Konduktor Layanan (Conductor), Pengevaluasi (Evaluator), Fasilitator,Pelatih (Trainner), Peneliti, Pemberi Informasi, Partisipator, Mobilisator, Konsultatif, Pemberdaya, Negoisator dan Peran Kemitraan. Sebagai Case Manager, pekerja sosial melakukan langkahlangkah dan proses interaksi dalam satu jejaring (network) pelayanan untuk memastikan seorang anak atau kelompok rentan mendapatkan pelayanan yang komprehensif, kompeten, efektif dan efisien. Manajemen kasus merupakan metode untuk memberikan berbagai pelayanan dimana seorang manajer kasus melakukan asesmen kebutuhan anak dan keluarganya yang diperlukan untuk merancang, mengkoordinasikan, mengadvokasi, memonitor, dan mengevaluasi berbagai pelayanan untuk memenuhi kebutuhan spesifik anak yang komplek. Sebagai seorang Asesor, pekerja sosial mempunyai peran untuk melakukan kajian kerentanan serta melakukan diagnosis awal terhadap tingkat keselamatan anak dari ancaman tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan diskriminasi. Disamping itu pekerja sosial melakukan asesmen terhadap kondisi ketersediaan dan kelayakan pelayanan yang ada maupun potensi dan sumber-sumber
14
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang tersedia untuk merespon permasalahan anak. Sebagai seorang Asesor pekerja sosial mempunyai tugas: 1) Melakukan verifikasi terhadap kasus yang masuk, baik dari hasil outreach, referral dan laporan masyarakat untuk melihat urgensi masalah. 2) Melakukan asesmen kebutuhan anak, permasalahan anak, harapan-harapan anak, potensi, kapasitas anak. 3) Melakukan asesmen terhadap kondisi sosial ekonomi keluarga, kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar anak, sistem pengasuhan, sistem nilai, potensi keluarga, permasalahan keluarga, kebutuhan keluarga, stabilitas dan konsistensi keluarga, sistem perlindungan anak. 4) Melakukan asesmen terhadap lingkungan: kondisi rumah, riwayat keluarga, keluarga dan kerabat, kondisi sosial ekonomi lingkungan, kondisi keamanan lingkungan, jejaring sosial dan kemampuan penyedia layanan sosial. 5) Hasil assessment anak, keluarga dan lingkungannya digunakan sebagai dasar dalam penyusunan rencana yang akan dibahas dalam case conference. Sebagai Perencana (Planner), pekerja sosial adalah seorang agen perubahan. Perubahan yang terjadi harus direncanakan dengan baik. pekerja sosial menyusun perencanaan pelayanan yang dibutuhkan oleh anak dan keluarga berdasarkan hasil asesmen termasuk melakukan pengembangan rujukan. Sebagai seorang perencana, tugas seorang pekerja sosial antara lain: 1) Menyelenggarakan analisis tentang sumber dan potensi anak untuk dijadikan bahan dalam membuat program agar supaya program tersebut dapat dijalankan. 2) Mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber seperti: Kepolisian, Rumah Sakit, LSM, Guru, dan lain-lain yang terlibat dalam penanganan anak. 3) Menganalisa data dan informasi yang telah dikumpulkan, selanjutnya melakukan pengembangan rencana pelayanan. 4) Mengembangkan rencana pelayanan yang komprehensif meliputi tahap dan jenis pelayanan yang dibutuhkan anak, lembaga pelayanannya termasuk rencana monitoringnya, hasil yang diharapkan serta kerangka waktu pelaksanaannya. 5) Mendorong keterlibatan profesi dari berbagai disiplin ilmu dan memaksimalkan keterlibatan anak dan keluarga. Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
15
Sebagai Penghubung (Broker), pekerja sosial menghubungkan anak dan keluarga pada pelayanan yang tersedia, serta mengupayakan kemudahan dalam mendapatkan pelayanan sosial dasar yang dibutuhkan, baik pelayanan formal dan informal. Sebagai seorang penghubung pekerja sosial bertugas: 1) Menjelaskan kebutuhan spesifik anak kepada lembaga penyedia layanan. 2) Memastikan anak dapat mengakses pelayanan. Sebagai Mediator, seorang pekerja sosial mempertemukan antara keluarga pelaku dan korban yang dihadiri tokoh masyarakat yang dianggap perlu untuk melakukan musyawarah dalam rangka mecapai restorative justice. Musyawarah keluarga dilakukan secara tertutup di tempat yang dapat menjamin kerahasiaan klien. Sebelum musyawarah dilakukan, mediator menjelaskan tujuan musyawarah keluarga kepada kedua belah pihak sehingga mereka betul-betul paham atas hal-hal yang ingin dicapai dalam musyawarah yang akan dilakukan. Masing-masing pihak diberikan kesempatan untuk menjelaskan kasus menurut versi masing-masing. Memotivasi pelaku dan keluarganya untuk meminta maaf secara lisan maupun tulisan kepada korban dan keluarga korban; juga memotivasi korban dan keluarga korban untuk memafkan pelaku. Korban dan keluarganya diberi kesempatan untuk mengajukan permintaan upaya perbaikan, pengobatan atau penggantian kerugian atas kerusakan, kehilangan atau kecelakaan yang telah diakibatkan oleh tindakan pelaku. Pelaku dan keluarganya juga diberi kesempatan untunk menyatakan kesanggupannya. Kesempatan diberikan kepada keluarga korban dan pelaku untuk bernegosiasi menyepakati hal tersebut. Sebagai Pembela (Advocate), pekerja sosial bertindak mewakili kepentingan anak dan keluarga untuk mendapatkan hak-haknya. pekerja sosial juga memberikan masukan untuk perbaikan program dan kebijakan pelayanan bagi anak dan keluarga. pekerja sosial dalam menangani anak yang berkonfllik dengan hukum, perlu melakukan kolaborasi dengan profesi seperti pengacara. Pengacara adalah bagian dari pihak yang memberikan perlindungan hukum kepada anak yang
16
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
berhadapan dengan hukum. Advokasi kepada aparat penegak hukum harus dilakukan oleh pekerja sosial, terutama menekankan kepada perlunya pemenuhan perlindungan sosial terhadap anak yang sedang ditahan atau dipenjara. Advokasi dilakukan kepada aparat penegak hukum disemua tingkatan, baik ketika masih pada tingkat penyidikan di kantor polisi maupun tingkat penuntutan. Fokus lain dari advokasi yaitu pekerja sosial mempengaruhi polisi pada tingkat penyidikan agar aparat kepolisian melakukan diskresi (kewenangan yang dimiliki oleh pihak polisi untuk menghentikan kasus) terutama untuk kasus-kasus dalam kategori “petty crime” (kejahatan sepele, remeh, kecil). Secara khusus tugas pekerja sosial sebagai advokat antara lain: 1) Membantu menganalisis dan mengartikulasikan isu kritis yang berkaitan dengan anak maupun permasalahan-permasalahan yang terkait. 2) Membantu anak untuk memahami dan melakukan refleksi atas isu tersebut untuk selanjutnya dijadikan leason learn untuk melangkah dalam kehidupan selanjutnya. 3) Membangkitkan dan merangsang diskusi dan aksi kegiatan yang berarti dalam rangka memperoleh dukungan dari berbagai pihak dalam penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum. 4) Bertindak atas kepentingan anak dan keluarganya untuk mendapatkan layanan sesuai dengan kebutuhannya. 5) Menyampaikan saran perbaikan program, kebijakan pelayanan bagi anak dan keluarga kepada lembaga pelayanan dan pembuat kebijakan. Sebagai Konduktor Layanan (Conductor), pekerja sosial melakukan fungsi koordinasi dan juga mensinkronisasikan pelaksanaan layanan-layanan agar sesuai dengan kebutuhan anak dan keluarga, dari sisi kualitas maupun waktu penyelenggaraannya. Sebagai seorang konduktor, pekerja sosial mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Memastikan berjalannya mekanisme koordinasi antar lembaga pemberi pelayanan yang terlibat dalam penanganan kasus anak. 2) Mengorganisir penyelenggaraan kegiatan pembahasan kasus (case conference). 3) Mengkoordinir penyimpanan secara detail seluruh data yang terkait proses pelayanan dan mengendalikan arus data sesuai dengan kepentingan kasus. Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
17
Sebagai Pengevaluasi (Evaluator), pekerja sosial melakukan monitoring dan evaluasi terhadap proses pelaksanaan pelayanan sampai pengakhiran layanan terhadap anak dan keluarga. Sebagai seorang evaluator, pekerja sosial mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Memantau pelaksanaan rencana pelayanan, status perkembangan, pelaksanaan pelayanan serta keterlibatan jejaring sosial lainnya dalam penanganan kasus anak. 2) Mengevaluasi efektifitas pelaksanaan rencana pelayanan, dampak terhadap keberfungsian sosial anak, dukungan kapasitas dan jejaring sosial serta kemampuan penyedia layanan pada anak. 3) Memastikan tersusunnya laporan penanganan kasus secara komprehensif. Sebagai fasilitator, pekerja sosial bertanggung jawab dalam mempercepat usaha perubahan dengan mangajak orang-orang dan saluran komunikasi secara bersama-sama, menghubungkan aktifitas mereka dengan sumber-sumber, dan menyediakan akses terhadap berbagai bidang keahlian. Sebagai seorang fasilitator dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum antara lain: pertama, membantu meningkatkan kemampuan anak supaya mampu hidup mandiri di masyarakat. Kedua, mempertinggi peran kelompok anak untuk bisa keluar dari permasalahannya, dengan membentuk peer support group (kelompok dukungan sebaya). Ketiga, membantu anak untuk merespon interest masyarakat sehingga mereka dapat hidup bermasyarakat secara wajar. Sebagai Trainner/pelatih, seorang pekerja sosial merancang dan memberikan pelatihan keterampilan sosial kepada kelayan antara lain: Pertama, memperkirakan kebutuhan pelatihan bagi anak yang selanjutnya dibuat suatu program pelatihan yang cocok bagi mereka. Kedua, membantu merencakan dan menyelenggarakan program pendidikan untuk meningkatkan kapabilitas anak. Ketiga, membantu peer support group dalam melatih teman-teman lainnya. Keempat, membantu dalam pengembangan peer support group dalam hal keterampilan dan sikap untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi.
18
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Sebagai Peneliti, pekerja sosial bertanggung jawab terhadap pengembangan sebuah ilmu dalam praktek yang dikembangkannya. Pengalaman praktek adalah sebuah ilmu yang dapat dipelajari oleh teman sejawatnya. Sebagai seorang peneliti pekerja sosial melakukan: Pertama, menyelenggarakan analisis sosial yang berkaitan dengan isu anak yang berhadapan dengan hukum untuk membangun opini masyarakat yang positif karena masyarakat selama ini berpandangan negatif terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Kedua, terlibat dalam penelitian partisipatory di mana peer support group belajar keterampilan untuk terlibat dalam pengumpulan data. Ketiga, mempermudah konsep-konsep dan keterampilan penelitian yang tepat dengan tujuan agar konsep dan keterampilan tersebut berfungsi sebagai daya tarik bagi masyarakat umum dalam memahami konsep tersebut. Keempat, terlibat dalam integrasi sosial untuk memahami fenomena sosial dari sudut pandang dan pendirian anak yang berhadapan dengan hukum. Sebagai Pemberi Informasi, merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memberikan penjelasan tentang kelembagaan, personel, kebijakan, program dan sumber pembangunan kesejahteraan sosial yang berekaitan dengan perubahan. Informasi yang disampaikan secara berkesinambungan dengan pesan dan media yang sesuai dengan karakteristik khalayak sasaran diharapkan mampu: Pertama, meredam berbagai bentuk keresahan yang diakibatkan oleh ketidak pastian sehubungan dengan aneka ragam persepsi. Kedua, meningkatkan pengertian, perhatian, kepedulian komitmen dan partisipasi pemilik sumber untuk mendukung pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagai Partisipator, merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: Pertama, penyelenggaran pertemuan-pertemuan berkala guna peningkatan kualitas personel, antara lain berupa diklat, seminar, lokakarya dan lain-lain. Kedua, Penentuan bentuk-bentuk pelayanan sosial yang perlu dilaksanakan secara terkoordinasi. Ketiga, Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
19
Peningkatan rujukan antar lembaga pelayanan yang dikelola, baik rujukan pelayanan maupun rujukan kelayan. Sebagai Mobilisator, pekerja sosial berusaha untuk menghimpun, pendayagunaan, mengembangkan dan mempertanggungjawabkan seluruh sumber-sumber yang ada guna mencapai kualitas pelayanan yang optimal. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain: Pertama, mendata dan menghimpun seluruh sumber yang ada. Kedua, menseleksi dan menentukan sumber-sumber yang memungkinkan untuk didayagunakan. Ketiga, mendayagunakan sumber terpilih. Keempat, mempertanggungjawabkan hasil pendayagunaan sumber terpilih. Sebagai Konsultan, Peran konsultatif merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah dan mengatasi berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugasnya serta memanfaatkan faktor-faktor pendukung atau peluang yang tersedia di dalam masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: Pertama, penyelenggaraan pertemuan-pertemuan konsultatif berkala dengan menghadirkan nara sumber/pakar terkait. Kedua, penyediaan konsultan yang ditugaskan untuk membantu dalam kaitan dengan tugasnya. Sebagai Pemberdaya merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan motifasi dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain berupa: Pertama, penyelenggaraan pertemuan-pertemuan berkala guna peningkatan kualitas SDM antara lain berupa diklat, seminar, lokakarya baik di dalam maupun di luar negeri. Kedua, penyelenggaraan kunjungan studi banding ke daerah lain sesuai kebutuhan. Ketiga, pendekatan persuasif untuk menggabungkan diri. Keempat, penyelenggaraan kampanye sosial kepada anak yang berhadapan dengan hukum secara berkala dan berkesinambungan melalui berbagai media masa. Sebagai Negosiator, pekerja sosial perlu menjalin hubungan dengan semua pihak yang terkait dengan kedudukan dan peranan
20
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
jaringan kerja guna memperoleh dukungan kerja yang diperlukan. Kegiatan yang diperlukan antara lain : Pertama, mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dalam jaringan kerja. Kedua, mengadakan pendekatan dengan memberikan informasi tentang jaringan kerja yang perlu dibangun. Ketiga, mengupayakan persetujuan dan dukungan untuk kelancaran proses jaringan kerja. Peran Kemitraan, merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kerjasama timbal balik yang saling menguntungkan dengan berbagai pemilik sumber guna peningkatan kemampuan, motivasi dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Kegiatankegiatan tersebut antara lain berupa: Pertama, penyelenggaraan pertemuan-pertemuan secara terencana dan berkala dengan para pemilik sumber, dengan menghadirkan nara sumber/pakar terkait sebagai motivator. Kedua, penyediaan lahan-lahan pelayanan sosial profesional terpadu, misalnya pusat pelatihan ketrampilan terpadu bagi anak yang berhadapan dengan hukum, yang dapat dikunjungi oleh pemilik sumber setiap waktu. Ketiga, peningkatan kemampuan administrasi dalam pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaan sumber yang diperoleh.
B. KERANGKA PIKIR Perlindungan social bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) merupakan salah satu bentuk pelayanan sosial bagi ABH. Bentuk pelayanan social ini merupakan hak asasi yang harus diterima oleh ABH. Oleh karena, perlindungan social bagi ABH ini merupakan sebuah kewajiban Negara (state obligation) bagi warga negaranya. Sebagaimana diktum dalam Pasal 64 ayat (2) Undang Undang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa Negara mengupayakan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, oleh karenanya Negara wajib mengupayakan; a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b. Penyediaan tenaga/petugas pendamping khusus anak sejak dini;
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
21
c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus; d. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; dan e. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau lembaga. Untuk mengupayakan ke lima hal tersebut diatas, Negara perlu mempersiapkan kerangka regulasi /kebijakan dan kelembagaannya. Hal demikian untuk memastikan dan menjamin hak-hak asasi anak yang berhadapan dengan hukum terlindungi dan terpenuhi, serta memastikan bahwa Undang Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini diimplementasikan. Pemerintah selaku representasi kehadiran Negara dalam hal ini adalah Kementerian Sosial dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sehingga, kerangka pikir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut;
Bagan tersebut menggambarkan kerjasama antara Kementerian Hukum dan Ham dan Kementerian Sosial dengan peran yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama yaitu terpenuhinya hak-hak ABH. Kementerian Sosial RI fokus pada peran pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial dalam kelembagaan LPKS, sebagaimana ditunjukkan dalam lingkaran pada bagan diatas.
22
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
BAB III METODE PENELITIAN
PENDEKATAN PENELITIAN Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kesiapan pemerintah dalam pelaksanaan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Agar dapat menggambarkan hal tersebut dengan detail maka pendekatan yang dipilih oleh peneliti adalah pendekatan kualitatif. Pada pendekatan ini, peneliti memulai dengan a self-assesment and reflections about them selfs as situated in a sociohistorical context (Neuman, 2006, pp. 14-15) dengan harapan dapat memperoleh penghayatan, pengalaman, persepsi pemahaman dan pemberian arti. Pendekatan kualitatif dipilih dengan tujuan agar dapat membangun pemahaman tentang kesiapan pemerintah karena ”...qualitative researcher are more interested in understanding how others experiences life, in interpreting meaning and social phenomena, and in exploring new concept and developing new theories” (Alston & Bowles, 1998, p. 62). Pada akhirnya diharapkan penelitian ini mendapatkan konsep atau teori baru dalam upaya penanganan anak berhadapan dengan hukum yang diperoleh langsung tentang kesiapan pemerintah saat ini. Sebagai ilustrasi proses penelitian mengutip pendapat Norman Denzim dan Yvonna, yang mendeskripsikan perbedaan tipis pada sejumlah tahapan penelitian kualitatif (Neuman, 2006, p. 14). Proses penelitian kualitatif sebagai berikut:
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
23
Bagan 1. Tahapan Penelitian Qualitatif
Sumber: Figure 1.2. Steps in the Qualitative Research Process (Neuman, 2006, p. 15)
Pada prosesnya, peneliti melakukan pengamatan dan berinteraksi dengan subyek penelitian untuk berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka atas dunianya secara alamiah karena “qualitative research in a natural setting where the researcher is an instrument of data collection” (Creswell, 1998, p. 14). Sebagai referensi lain dalam proses penelitian, peneliti juga mengacu pada pendapat Foster (Bryman, 2008) karena tahapan penelitian tersebut masih terkesan kaku dan dibatasi desain penelitian yang di susun sebelumnya. Penelitian menurut foster lebih terkesan alami dibandingkan Neuman karena tidak diawali dengan menyusun desain penelitian tetapi diawali dengan pertanyaan penelitian. Berikut adalah ilustrasi mengenai tahapan penelitian kualitatif menurut Foster :
24
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Bagan 2. Tahapan Penelitian Qualitatif
Sumber : Figure 16.1. An Outline of the main step of qualitative research (Bryman, 2008, p. 370)
Tahapan penelitian kualitatif dari Neuman dan Bryman pada prinsipnya sama, namun ada beberapa perbedaan. Neuman mengemukakan konsep dan teori sebagai dasar dalam melakukan penelitian. Berbeda dengan Bryman, bahwa yang dijadikan dasar dalam melakukan penelitian adalah cukup dengan pertanyaan penelitian secara umum saja. Konsep dan teori dipakai untuk interpretasi data dan bahkan apabila memungkinkan akan memunculkan pertanyaan secara spesifik sehingga harus dilakukan pengumpulan data kembali. Dasar teori penelitian kualitatif adalah: “Some of these theories on wich farious type of qualitative research methods are based include; symbolic interactionism, phenomenology, ethnomethodology, ethnography and hermeneutics” (Teori ini terdapat berbagai tipe pada metode-metode penelitian yang mendasar meliputi: interaksi simbolis, fenomenologi, etnometodologi, etnografi dan hermeneutics) (Alston & Bowles, 1998, p. 9). Pendapat yang lain bahwa “Dasar teoritis penelitian kualitatif adalah pendekatan fenomenologi, interaksi simbolis, kebudayaan dan etnometodologis” (Moleong, 2000). Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
25
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran, deskripsi atau lukisan terhadap suatu permasalahan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta informasi, sifat-sifat hubungan antar fenomena saat ini. Jenis penelitian ini apabila dilihat dari penjabarannya adalah penelitian deskriptif. ”Qualitative research is descriptive in that the researcher is interested in process, meaning, and understanding gained through words or pictures” (Creswell, 1998).
LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian adalah daerah dimana Kementerian Sosial melalui Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak telah mempersiapkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) bagi penanganan masalah Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), melalui Panti Sosial Pamardi Putra (PSMP), yaitu: a. Jawa Tengah : PSMP Antasena b. Nusa Tenggara Barat : PSMP Paramita c. Sulawesi Selatan : PSMP Tudopoli d. DKI Jakarta : PSMP Handayani
SUMBER DATA Pemberi informasi dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat didalam pelaksanaan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 sehingga dalam penelitian ini disebut informan yang dipilih sesuai dengan kebutuhan penelitian yaitu keterwakilan mereka yang mengetahui informasi tentang Undang Undang tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan grounded research sehingga lebih menyesuaikan situasi dan kondisi dilapangan. Informan yang dipilih harus sesuai dengan kriteria sebagai berikut : 1) Mengetahui karakteristik anak yang berhadapan dengan hukum 2) Mengetahui Sistem Peradilan Pidana Anak 3) Mengetahui pelaksanaan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012. Dengan demikian pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling bahwa “Most writers on sampling in qualitative research based on interviews recommend that purposive sampling is conducted. Such
26
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
sampling is essentially strategic and entails an attempt to establish a goot correspondence between research questions and sampling. In other words, the researcher samples on the basis of wanting to interview people who are relevant to the research question”. (Bryman, 2008, p. 458). Informan pada penelitian ini adalah seseorang yang mengetahui informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, informan yang dapat berkontribusi dalam memberikan data pada penelitian secara langsung antara lain : Tabel 1. Daftar Informan yang Memberikan Informasi Dalam Penelitian NO INFORMASI YANG DIBERIKAN
INFORMAN
JUMLAH
1. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses penyelidikan, penyidikan, peradilan dan reintegrasi selama dalam pendampingan pekerja sosial.
Anak yang berhadapan dengan hukum
6 anak (3 lakilaki dan 3 perempuan)
2. Proses keseluruhan dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum
Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial
4 orang
3. Peranan dan fungsi pekerja sosial selama anak dalam penanganan polisi dan dan dalam proses diversi.
Polisi (1 dari Polres dan 1 dari Polsek)
2 orang
4. Peranan dan fungsi pekerja sosial selama anak dalam penanganan Jaksa dan dan dalam proses diversi.
Jaksa
1 orang
5. Peranan dan fungsi pekerja sosial selama anak dalam proses persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan
Hakim
1 orang
6. Kebijakan pemerintah daerah dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum.
Dinas Sosial
1 orang
Jumlah
15 Orang *)
*) Jumlah tersebut adalah dalam satu daerah penelitian
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
27
TEKNIK PENGUMPULAN DATA Beberapa teknik pengumpulan data dalam penelitian tentang kesiapan pemerintah dalam implementasi ini meliputi: 1) Wawancara dengan pedoman umum, untuk menggali dan mendapatkan informasi tentang semua aspek yang berkaitan dengan masalah penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang hanya memuat garis besar (keynote) dari pertanyaan yang akan diajukan sehingga proses wawancara dapat lebih dikembangkan. 2) Partisipasi observasi, dimana peneliti melakukan pengamatan langsung untuk memperoleh data tentang hal-hal yang mungkin tidak dapat diungkapkan pada saat wawancara. Observasi langsung dilaksanakan dengan cara mengamati langsung aktivitasaktivitas Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) di lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan pelayanan kepada ABH. 3) Diskusi Kelompok Terfokus yang diikuti paling banyak 20 orang, dilakukan untuk mengumpulkan informasi dan pendalaman data yang diperoleh melalui hasil wawancara melalui diskusi instansi terkait dengan pelayanan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) 4) Studi kepustakaan/dokumentasi, berupa data-data yang diperoleh dari catatan/tulisan/laporan yang pernah dibuat yang yang relevan dengan tujuan penelitian
TEKNIK ANALISIS DATA Pengolahan data kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, hasil duskusi kelompok terfokus dan sebagainya. Setelah dibaca maka langkah berikutnya adalah reduksi data yang dilakukan dengan membuat abstraksi. Abstraksi adalah usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan, yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Langkah berikutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Selanjutnya satuan-satuan tersebut dikategorisasikan dengan membuat koding.
28
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Tiga tahapan dalam membuat koding yaitu open coding, axial coding, dan selective coding. (Neuman, 2006, p. 460). Pertama, open coding, Di sini narasi atau cerita dari wawancara atau observasi dirinci ke dalam tema-tema atau kategori-kategori. Kategori-kategori itu memandu perbaikan pertanyaan dan observasi yang akan datang. Kategori seperti ini disebut taksonomi yaitu systems of classification used by collectivities to order and make sense of everyday experience (Bloor & Wood, 2006, p. 163). Kedua, tahap axial coding, yaitu tema-tema dan kategori-kategori dihubungkan, kemudian hubungan tersebut di tes lebih lajut di sekitar pengumpulan data. Pada tahap kedua ini, pengumpulan data analisis data dan pengambilan sample, dimaksudkan untuk pengembangan hipotesis-hipotesis. Ketiga, Tahap selective coding, yaitu tahap membangun suatu pernyataan teoritis. Sifat hubungan antara tema dan kategori diidentifikasi dan dimasukan kedalam suatu pernyataan yang komprehensif. Pada tahapini, kegiatan pengumpulan data, analisis data dan pengambilan sampel ditujukan untuk menemukan kategori inti yang merupakan fokus terintegrasinya kategori-kategori lain. Tahap selanjutnya adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai, tahap selanjutnya adalah penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substantif. Data kualitatif disajikan secara diskriptif. Analisa data observasi disajikan dan dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan kutipan verbatim dari informan sebagai data. Selain kutipan verbatim, yang dimaksud data adalah transkrip interview, catatan lapangan observasi, jurnal, dokumen literatur, foto, website, email dan lain sebagainya. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan. Penulisan hasil penelitian ini menggunakan pedoman American Psychological Association (APA) yang merupakan salah satu alternatif dalam menulis karya ilmiah. Dalam buku manual menyebutkan bahwa ”the Publication Manual Presents explicid style requirement but acknowledges that alternatives are sometimes necessary; authors should balance the rules of the publication Manual with good judgement” (APA, 2010).
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
29
BAB IV HASIL PENELITIAN
POTRET PANTI SOSIAL MARSUDI PUTRA (PSMP) 1. PSMP HANDAYANI, JAKARTA Berdasarkan survei di Panti Sosial yang menampung ABH yang dilakukan oleh Dinas Sosial Provinsi DKI tahun 2014, bahwa data usia yang paling dominan menghuni panti yaitu 27% berusia 14 tahun, kemudian 16 tahun sebanyak 24%, lalu 22% berusia 17 tahun, dan usia 15 tahun sebanyak 15%. Selanjutnya minoritas usia 18 dan 13 tahun masing-masing sebanyak 5%, dan paling sedikit di usia 12 tahun sebanyak 2%. Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas ABH yang terdata di panti masih berusia sekolah sebagai pelajar SMA/SMK yang rentan mengalami perubahan perkembangan anak yang akan menginjak dewasa. Data yang terkait dengan usia sekolah menunjukkan bahwa sebanyak 44% merupakan tamatan SMP yang sedang melanjutkan ke jenjang SMA, kemudian sebanyak 32% sedang bersekolah ditingkat SMP. Selanjutnya sebanyak 17% tidak bersekolah, kemudian 5% tamat SMK dan 2% ABH tamatan SMA yang sudah menginjak usia 18 tahun yang bukan lagi anak-anak. Kemudian untuk data jenis kelamin jumlah ABH laki-laki 88% lebih dominan dibandingkan dengan perempuan yang hanya 12 % saja. Selain itu data yang paling penting adalah data jenis pelanggaran hukum yang dilakukan ABH sebanyak 17% adalah kasus pencurian, lalu 12% kasus perkelahian atau tawuran, kemudian 10% kasus yang dilakukan ABH adalah pembunuhan dan 7% pelanggaran hukum berikutnya adalah pemerkosaan. Selain itu terdapat 54% mayoritas pelanggaran hukum yang dilakukan ABH adalah kategori lainnya seperti: bolos sekolah, pencabulan, tabrak lari, narkoba, penodongan, penadah, pencurian dengan tindak kekerasan.
30
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Selanjutnya data penerima manfaat yang mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi di PSMP Handayani bulan Mei tahun 2015, sebagai anak nakal dan anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak 64 anak. Penerima manfaat pelayanan dan rehabilitasi di PSMP Handayani ini, didominasi oleh laki-laki sebanyak 55 anak dan perempuan sebanyak 9 anak. Selanjutnya usia yang paling banyak yaitu antara 15 – 17 tahun, dan kasus yang paling dominan adalah narkotika, kejahatan susila dan pencurian, yang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Data Penerima Manfaat PSMP Handayani Tahun 2015 No
Kriteria
Jumlah
1
Usia: 12 tahun 13 tahun 14 tahun 15 tahun 16 tahun 17 tahun 18 tahun 19 tahun
1 5 5 13 15 14 9 2
2
Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan
55 orang 9 orang
3
Jenis Kasus: Pencurian Pencurian dengan kekerasan fisik Narkotika Kejahatan Susila Perkelahian Kekerasan Fisik Lain-lain (Judi, mabuk, pelanggaran)
13 6 18 12 7 4 3
orang orang orang orang orang orang orang orang
kasus kasus kasus kasus kasus kasus kasus
Sumber : PSMP Handayani Mei 2015
REGULASI Dalam penanganan ABH membutuhkan langkah-langkah kongkrit Pemerintah utamanya para penegak hukum mengingat persoalan perlindungan anak dengan cluster perlindungan khusus atau Children Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
31
in Need of Special Protection (CNSP) membutuhkan langkah-langkah di luar kebiasaan atau kebijakan pemerintah di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System). Kebijakan ini disebut dengan kebijakan Restorative Justice atau Keadilan Restoratif. Melihat dari berbagai permasalahan dan persoalan perlindungan terhadap anak, pemerintah sudah mengeluarkan berbagai peraturan yang terkait dengan ABH. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dimana Undang-Undang tersebut merupakan penyempurnaan atas UndangUndang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam UndangUndang Nomor 11 tahun 2012 ini, terdapat pengaturan khusus yang berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya, yang meliputi definisi anak, ketentuan penyidikan, ketentuan sangsi pidana dan pembentukan lembaga-lembaga perlindungan dan pembinaan anak yang mengutamakan pendekatan dengan penyelesaian hukum di luar pengadilan. Diharapkan adanya peraturan tersebut Pelaksananan diversi dan restorative justice bisa memberikan dukungan terhadap proses perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan prinsip utama dari diversi dan restorative justice adalah menghindarkan pelaku tindak pidana dari sistem peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan pelaku menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara. Diversi sangat berhubungan dengan konsep restorative justice, dan dapat diterapkan apabila anak nakal mau mengakui kesalahannya, sekaligus memberi peluang anak memperbaiki kesalahannya. Diversi adalah bentuk intervensi yang baik dalam mengubah perilaku anak nakal, dengan adanya keterlibatan keluarga, komunitas/masyarakat dan polisi, maka anak dapat memahami dampak atas tindakannya yang telah dilakukan. (Taufik Hidayat, 2006). Hukum yang baik tidaklah cukup bila tidak diikuti oleh efektifitas bekerjanya Penegak hukum dan lembaga lain yang terkait dengan penanganan ABH, ketersediaan sarana dan prasarana yang dianjurkan menurut aturan, seperti pusat-pusat Penanganan Trauma, Rumah Aman, Shelter atau Rumah Singgah dan Rumah Perlindungan Sosial
32
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Anak (RPSA) sebagai alternatif pengganti Lapas hanya ada di PSMP Handayani. Kesadaran hukum masyarakat dan dukungan budaya dari masyarakat, akan sangat besar pengaruhnya dalam implementasi keadilan restoratif terhadap perlindungan dan penanganan ABH. Kemudian untuk perlindungan anak khusus ABH yang sesuai dengan Undang-Undang SPPA ini, sebaiknya disosialisasikan sampai tingkat bawah, jangan hanya di tingkat pembuat kebijakan saja, akan tetapi sampai ke unit-unit teknis antar lembaga yang terkait dalam penanggulangan anak berkonflik dengan hukum. Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, masalah anak yang berhadapan dengan hukum, meliputi anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai pelaku pidana, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi pidana di DKI dari waktu ke waktu jumlahnya cukup tinggi. Dengan tingginya angka permasalahan ABH di provinsi DKI ini, ternyata belum ada peraturan daerah yang khusus dalam penanganan ABH. Pemerintah DKI dalam penangangan anak masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dari Tindak Kekerasan. Adapun kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta pada tahun 2014, yaitu membuat kajian dan merencanakan program kegiatan penganan ABH dengan mendirikan LPKS bagi ABH sesuai dengan Undang-Undang SPPA tahun 2012, yang kemungkinan akan terealisasi jika ada dana dan persetujuan dari DPRD dan Bappeda Provinsi DKI Jakarta pada tahun mendatang. Dengan belum adanya peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA ini, akan menghambat pada pembuatan juklak, juknis dan pedoman yang akan dilaksanakan oleh lembaga yang terkait dalam penanganan ABH sampai tingkat bawah. Kemudian dalam regulasi penanganan ABH ini, antara lembaga terkait belum sama persepsi dalam memahami UU Nomor 11 tahun 2012, hal ini sebagai penghambat dalam penganan ABH secara khusus di provinsi DKI Jakarta. Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
33
Landasan Hukum yang digunakan PSMP Handayani sebagai dasar pelayanan dan rehabilitasi anak yang berhadapan dengan hukum, adalah: 1. Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 2. Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 3. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindunagan Anak 4. Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1998 tentang Usaha Kesejahteraan bagi Anak yang mempunyai Masalah. 5. SKB (Surat Kesepakatan Bersama) 6 Lembaga Pemerintah tanggal 5 Desember 2009. 6. Keputusan RI No. 106/HUK/2009 tentang Struktur Organisasi PSMP Handayani. 7. Keputusan Mentri Sosial RI No. 15 A/HUK/2010 tentang Panduan umum Kesejahteraan Anak.
KELEMBAGAAN Gambaran Panti Sosial Marsudi Putra HANDAYANI Panti sosial Marsudi Putra Handayani adalah Pusat Pelayanan dan Rehabilitasi Anak Nakal dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (AN/ABH) yang berbasis institusional (dalam panti). Namun berkaitan dengan merebaknya berbagai macam kasus AN/ABH diseluruh wilayah Indonesia pada tahun-tahun belakangan ini semakin mewajibkan peran nyata PSMP Handayani untuk memberikan pelayanan terbaik di dalam (internal) maupun di luar (masyarakat). Mulai tahun 2005-2014 sudah lebih dari 500 ABH yang telah mendapatkan pelayanan. Dengan terbitnya Undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA),yang mulai efektif berlaku per 1Agustus 2014 di seluruh wilayah Indonesia,maka kedepannya diharapkan penanganan ABH akan semakin optimal. Peran dan tanggung jawab kita yang optimal akan selalu dituntut untuk mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak (best interests of the child) dan partisipasi anak (right to participation), memastikan mereka diperlukan dengan penuh rasa kemanusiaan (right to dignity) dan tidak diskriminatif (right to non-discrimination).
34
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah salah satu alternatif dari sekian banyak lembaga Pemerintah maupun swasta yang memberikan pelayanan sosial kepada anak yang mengalami gangguan perilaku dan emosi. Konkritnya, PSMP Handayani merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis yang tugas pokok dan fungsinya adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal dan anak berhadapan hukum agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan. PSMP Handayani sebagai unit pelaksana teknis yang berada langsung dibawah koordinasi Direktorat Jenderal Rehabilirasi Sosial Kementerian Sosial RI, juga dituntut untuk mengembangkan layanan tanggap situasi dan kondisi AN/ABH selaras dengan kemajuan informasi dan teknologi. Demi melaksanakan amanat tersebut PSMP Handayani harus terus berbenah diri agar dapat mewujudkan profesionalitas pelayanan dan rehabilitasi AN/ABH. 1. Visi dan Misi Visi PSMP Handayani : “Mitra Terbaik dalam Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal dan Anak Berhadapan Hukum (AN/ ABH)” Misi PSMP Handayani : - Memberikan pelayanan social secara professional - Meningkatkan Sumber Daya Manusia yang professional - Menjadi Pusat Kajian dan Model percontohan penanganan Anak nakal dan Anak Berhadapan dengan Hukum - Mengembangkan jejaring social (Social networking) - Memberdayakan Anak nakal dan Anak Berhadapan dengan Hukum, Keluarga, Masyarakat, dan Organisasi Sosial/Lembaga Swadaya Masyarakat
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
35
2. Maksud dan Tujuan Maksud : -
Memulihkan kondisi fisik sosial serta fungsi sosial anak sehingga mereka hidup tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif, dan berkualitas serta berakhlak mulia
- Menghilangkan label dan stigma negative masyarakat terhadap anak yang menghambat tumbuh kembang mereka untuk berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat. -
Kemudian maksud tersebut dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sehingga pada akhirnya dapat tercipta suatu pelayanan yang komprehensif dan berorientasi pada kepentingan penerima manfaat pelayanan
Tujuan : Secara umum adalah pulihnya kepribadian , sikap mental, dan kemampuanAN/ABH sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. 3. Tugas dan Fungsi PSMP Handayani Adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal dan anak berhadapan dengan hukum agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan. 4. Saranan dan Prasarana Sebagai panti percontohan PSMP Handayani telah dilengkapi berbagai sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk mendukung proses pelayanan. Berbagai upaya pembenahan sarana dan prasarana terus dilakukan agar pelayanan yang diberikan dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi penerima manfaat dan masyarakat yang membutuhkan.
36
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Beberapa sarana dan prasarana yang ada tersebut adalah : 1. Sarana gedung Manajemen dan cottage tempat penerima manfaat yang representative 2. Sarana peralatan keterampilan dan pendukung keterampilan lainnya sesuai dengan kebutuhan 3. Kondisi lingkungan yang cukup nyaman, asri dan ramah bagi anak penerima manfaat 5. Sumber Daya Manusia 1. Pekerja Sosial merangkap Pengasuh : 11 orang 2. Guru
: 4 orang
3. Bagian Tata Usaha
: 20 orang
4. Seksi Program dan Advokasi
: 5 orang
5. Seksi Rehabilitasi Sosial
: 8 orang
6. Instruktur Ketrampilan
: 4 orang
7. Satpam
: 2 orang
8. Juru Masak
: 2 orang
6. Jumlah Penerima Manfaat PSMP Handayani : Tabel 3. Jumlah penerima Manfaat PSMP Handayani No
Tahun
Jumlah
1
2005
163
2
2006
195
3
2007
219
4
2008
206
5
2009
192
6
2010
195
7
2011
258
8
2012
257
Jumlah
1.685
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
37
JEJARING KERJA Untuk mewujudkan penanganan ABH perlu dibentuk jejaring dan kerjasama lintas instansi, organisasi profesi, akademisi/pakar, ormas dipusat dan daerah. Dalam mengembangkan profesionalisme pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi AN/ABH, PSMP Handayani perlu mengembangkan jaringan kerja baik dengan kemasyarakatan. Sejalan dengan konsep multi layanan yang harus dilaksanakan jaringan kerja menjadi sangat penting. ini berkaitan dengan sasaran garapan yang akan diberikan pelayanan. Jaringan kerja yang telah dikembangkan oleh PSMP Handayani dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya adalah: 1. Instansi pemerintah lain seperti dengan Ditjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM dalam pembinaan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Selain itu juga berkoordinasi dengan kementrian Pendidikan Nasional (Direktorat Pendidikan Dasar) dalam kabupaten/kotamadya dalam kegiatan penjangkauan penerima manfaat (klien). 2. Dinas Sosial Wilayah Provinsi maupun kabupaten. Kotamadya dalam kegiatan penjangkauan penerima manfaat (klien) 3. Orsos/Ormas/LSM, dewan kelurahan, sanggar kegiatan belajar dalam kegiatan penjangkauan penerima manfaat (klien). 4. Dunia usaha yang terdiri dari perusahaan-perusahaan bengkelbengkel yang bergerak di bidang service AC, service motor, dan las dalam kegiatan praktik belajar kerja (PBK) atau magang penerima manfaat (klien). 5. Kalangan Akademisi seperti Universitas Padjajaran, Universitas Indonesia, UPI Bandung, STKS Bandung, IISP Jakarta, Universitas Persada YAI dalam kegiatan Praktik Kerja Lapangan bagi mahasiswa. Komunikasi dan koordinasi antar lembaga yang menangani ABH belum secara intens dilakukan. Sosialisasi UU PA, SPPA, Kesepakatan Bersama belum menyeluruh sampai ke tingkat bawah (masyarakat, sekolah, kesehatan)
38
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Belum ada kerjasama dengan unit kedaruratan seperti: Tim Reaksi Cepat (TRC) dan KPAI (hanya per kasus). Belum lagi dengan keterbatasan anggaran pihak PSMP harus melihat prioritas program dan kegiatan terlebih dahulu yang disesuaikan dengan kebutuhan.
SUMBER DAYA MANUSIA Sumber daya manusia yang ada di PSMP Handayani merupakan penggerak utama suatu program dalam melaksanakan pelayanan sosial terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.Diperlukan manajemen pengelola dan tenaga pekerja sosial yang profesional dengan kualitas yang cukup handal. Untuk itu PSMP Handayani dalam pengembangan SDM nya melakukan beberapa langkah dalam upaya memberikan pelayanan dan rehabilitasi yang terbaik bagi anak, seperti berikut : 1. Memfasilitasi pegawai untuk melanjutkan studi melalui program Tugas Belajar maupun program Ijin Belajar sesuai dengan profesi dan bidang kerjanya, di dalam maupun di luar negeri. 2. Memberikan kesempatan pegawai untuk dapat mengikuti pelatihan pengembangan dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial, Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. 3. Mengikutsertakan pegawai dalam seminar dan workshop/lokakarya baik yang diselenggarakan oleh internal kementrian maupun lembaga lain 4. Studi banding ke instansi/UPT lain di lingkungan Kementrian Sosial RI maupun Pemda.
SISTEM LAYANAN Status PSMP Handayani merupakan panti milik pemerintah pusat, sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI. Adapun Tugas Pokoknya adalah untuk merehabilitasi anak nakal (AN) dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) melalui bimbingan fisik, mental, sosial, pendidikan dan keterampilan. Sedangkan fungsinya adalah sebagai 1) Pusat (sistem) rujukan 2) Tempat uji coba model Pelayanan, dan 3) Pusat Studi AN-ABH.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
39
PSMP Handayani memberikan beberapa alternatif penanganan permasalahan AN/ABH. Pelayanan yang diberikan tidak lepas dari kontribusi keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan terdekat dari AN/ ABH. Anak nakal adalah anak usia 10 sampai dengan 18 tahun yang berperilaku menyimpang dari norma-norma sosial, moral dan agama yang merugikan keselamatan dirinya, mengganggu dan meresahkan ketentraman dan ketertiban masyarakat serta kehidupan keluarga dan atau masyarakat (Kepmensos RI No.23/HUK/1996). Sedangkan Anak Berhadapan Hukum (ABH) adalah mereka yang bermasalah dengan hukum yang sedang dalam proses penyelidikan polisi, sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum, menjalani proses putusan hakim, dan usai menjalani pidana anak atau dalam putusan diversi. Pelayanan yang diberikan tidak terlepas dari kontribusi keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan terdekat dari ABH. Dengan demikian partisipasi aktif dari keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan bagi proses pelayanan rehabilitasi. Permasalahan ABH sudah semakin komplek dan semakin beragam kasus yang di alami oleh anak, maka untuk menyikapi hal tersebut Kementerian Sosial bersama 5 Kementerian/lembaga pemerintah (Sosial, Agama, Pendidikan Nasional, Kesehatan, Hukum dan HAM serta Kepolisian RI) menandatangani MoU (Memorandum Of Understanding) Penanganan ABH pada tanggal 15 Desember 2009. Hal ini dimaksudkan agar PSMP Handayani merupakan salah satu show window Kementerian Sosial yang mempunyai peran sebagai panti pelayanan profesional yang berorientasi pada konsep pelayanan prima. Berdasarkan kondisi permasalahan tersebut maka ABH yang dapat diberikan pelayanan memiliki dua klasifikasi rujukan: 1) Rujukan dari keluarga, tokoh masyarakat, Pekerja Sosial Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Sosial atau organisasi masyarakat lainnya; dan 2) Rujukan dari kepolisian, Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Pelayanan reguler merupakan bentuk pelayanan yang diberikan pada anak nakal/ABH sesuai dengan kemampuan masing-masing anak. Pelayanan pengembangan sifatnya
40
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
lebih multisektoral yang meliputi rehabilitasi luar panti bagi ABH dengan kasus-kasus tertentu. Pelayanan ini dilakukan bekerjasama dengan berbagai orsos/ormas/lembaga pemerintah yang ada, tujuannya agar dapat memberikan respon positif terhadap permasalahan anak nakal/ ABH yang terjadi di masyarakat. PSMP Handayani dalam memberikan pelayanan kepada penerima manfaat mempunyai tahapan proses pelayanan, sebagai berikut : 1. Pendekatan Awal Pendekatan awal ini, merupakan kegiatan penjangkauan (out reach) penerima manfaat (klien). Pendekatan awal dilakukan dengan langsung mendatangi lokasi dimana terdapat permasalahan ABH. PSMP Handayani dalam melakukan penjangkauan sudah bekerjasama dengan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dan tokoh masyarakat dalam melakukan seleksi. Selain itu dalam penjangkauan penerima manfaat, PSMP Handayani juga bekerjasama dengan Polsek, Polres, Bapas, maupun Lapas, Pekerja Sosial langsung mendatangi dan menangani klien ABH dalam proses pelaksanaan diversi ABH di Polres/Polsek yang melibatkan Kanit PPA, pelaku, korban, orang tua pelaku dan orang tua korban. 2. Penerimaan Calon Penerima manfaat yang akan diterima di PSMP Handayani akan diseleksi terlebih dahulu. Penerima manfaat dapat langsung datang ke PSMP Handayani untuk melakukan serangkaian tes, berupa wawancara, tes sosiometri, tes fisik, tes buta warna, dan yang lainnya. Setelah dinyatakan lulus tes maka dilakukan pemeriksaan berkas kelengkapan administrasi. Selain itu calon penerima manfaat juga dapat diterima berdasarkan rujukan dari Polres/Polsek, BAPAS/ LAPAS sesuai dengan syarat dan ketentuan yang sudah disepakati bersama. Biasanya ABH yang diterima di PSMP Handayani adalah ABH yang masih dalam proses sidang putusan hukuman ABH yang dititipkan oleh BAPAS, ataupun ABH yang sudah mendapat putusan diversi dari beberapa pihak tertentu.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
41
3. Pengasramaan Calon penerima manfaat yang sudah memenuhi syarat dapat ditempatkan di panti. Pengasramaan di PSMP Handayani menggunakan sistem kepengasuhan, dimana penerima manfaat tinggal bersama-sama dengan orang tua asuh/keluarga asuh sebagai keluarga pengganti ABH penerima manfaat. 4. Orientasi Pada awal proses pelayanan, penerima manfaat diwajibkan mengikuti orientasi selama kurang lebih dua minggu. Materi pada saat orientasi bertujuan untuk memberikan pendidikan disiplin kepada penerima manfaat sehingga mereka dapat menyesuaikan dengan pola pelayanan yang teratur dan sistematis. 5. Assesmen Langkah awal dalam proses pelayanan adalah kegiatan assesmen dengan tujuan untuk mengungkap dan memahami latar belakang permasalahan klien. Dengan maksud untuk dapat menentukan fokus masalah sehingga dapat menentukan jenis pelayanan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan penerima manfaat. 6. Perumusan Rencana Intervensi Berdasarkan hasil assesmen pekerja sosial, maka dirumuskan rencana intervensi pelayanan rehabilitasi untuk masing-masing penerima manfaat. Rencana intervensi diberikan sesuai dengan karakteristik masing-masing penerima manfaat serta berdasarkan tingkat kedalaman masalahnya. 7. Bimbingan fisik, Mental, Sosial dan Keterampilan Dalam rangka peningkatan konsep program pelayanan dan rehabilitasi, dilakukan bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan sebagai penilaian terhadap kemampuan kognitif, afektif, serta psikomotorik ABH sebagai anak didik. Hal ini juga dilakukan sebagai tolak ukur serta optimalisasi program rehabilitasi dalam rangka penilaian evaluasi mutu pelayanan, sekaligus juga sebagai evaluasi kemampuan klien/penerima manfaat dalam pengembangan dirinya sendiri (self evaluation).
42
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
8. Resosialisasi masyarakat dan pihak dunia usaha yang dapat memberikan dukungan bagi perkembangan maksimal penerima manfaat. PSMP Handayani telah menjalin kerjasama dengan berbagai bengkel motor kecil dan menengah di wilayah DKI Jakarta untuk dapat menerima klien magang/praktek belajar kerja (PBK). Selanjutnya dengan resosialisasi diharapkan mereka dapat diterima di masyarakat dan memberikan lapangan kerja bagi eks penerima manfaat. 9. Penyaluran Penerima manfaat yang telah selesai mengikuti program magang akan di salurkan ke bengkel-bengkel yang dapat menerimanya bekerja, sesuai dengan minat dan bimbingan keterampilan yang diberikan oleh PSMP. Sedangkan penerima manfaat yang mengikuti program bimbingan pendidikan SLB-E akan dirujuk ke Sekolah Menengah Atas atau yang sederajat. 10. Bimbingan Lanjut Tahap ini merupakan tahap sebagai dasar untuk mengadakan evaluasi dan monitoring terhadap eks penerima manfaat. Manajemen PSMP Handayani melakukan bimbingan lanjut secara berkala dalam waktu satu tahun setelah penerima manfaat disalurkan, di rujuk dan di pulangkan ke keluarganya. Tujuannya adalah memantau perkembangan penerima manfaat di lingkungan keluarga dan masyarakat serta tempat mereka bekerja. PSMP Handayani juga dituntut harus mampu memaksimalkan kondisi lingkungan yang dapat menjaga konsistensi perbahan perilaku ABH. 11. Terminasi Setelah melalui bimbingan lanjut selama satu tahun dan dinilai bahwa eks penerima manfaat sudah menunjukkan perubahan perilaku dan mengalami kemandirian dalam merubah sikap dan tingkah laku yang baik di lingkungan keluarga dan masyarakatnya, maka akan dilakukan terminasi oleh pihak PSMP
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
43
Alur Pelayanan Rehabilitasi ABH
Beberapa temuan lapangan di Provinsi DKI Jakarta dalam penganan ABH, antara lainadalah : Aspek Hukum: 1. Undang Undang No. 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak masih belum sepenuhnya dipahami oleh lembaga terkait dalam penanganan ABH, sehingga belum adanya persamaan persepsi dalam mekanisme atau standar yang baku dalam penanganan ABH, sehingga masih terlihat berjalan sendiri-sendiri, masing-masing lembaga melaksanakan program penanganan ABH berdasarkan tugas dan fungsinya dari lembaga tersebut. 2. Lemahnya posisi Pekerja Sosial dalam UU Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA pasal 8, dimana Peksos pada proses diversi dilibatkan “hanya dalam hal diperlukan” 3. Dalam perjalanannya penanganan kasus anak masih tetap harus dikontrol dengan ketat karena dalam kegiatannya masih sering terjadi pelanggaran atas hak-hak asasi anak yang berhadapan hukum
44
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
4. Lembaga Bantuan hukum/pengacara/advokat belum semuanya bisa memberikan bantuan hukum secara langsung kepada ABH, karena sesuatu hal yang membebani/memberatkan kliennya dalam hal biaya proses hukum serta minimnya pengacara yang mau menangani ABH dari kalangan keluarga ekonomi lemah. Aspek dari Lembaga Pihak Kepolisian 1. Belum sepenuhnya percaya diri dan memahami dalam menggunakan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus-kasus ABH sesuai Undang-Undang SPPA 2. Pihak Kepolisian baik di jajaran Polres hingga Polsek belum semuanya membentuk Kelompok Kerja Penanganan ABH secara khusus dan kurang melakukan sosialisasi internal. 3. Dijajaran Polres/polsek yang ada di provinsi DKI Jakarta, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan Ruang Khusus Pemeriksaan untuk Perempuan dan Anak belum seluruhnya tersedia. Pihak Kejaksaan 1. Kejaksaan Tinggi kurang mengefektifkan bimbingan pengawasan jalannya penuntutan terhadap ABH.
dan
2. Pihak Kejaksaan belum mengefektifkan kelompok Kerja Penanganan ABH dan kurang melakukan sosialisasi internal soal ABH dan terkesan tidak semuanya mengetahui tentang UU Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA dalam penangan ABH, hanya sebatas menjalankan program dan pelayanan sesuai tupoksinya Pihak Bapas 1. Kurangnya koordinasi dan integrasi antar lembaga terkait yang menangani ABH, sehingga dalam melaksanakan kegiatan penganan ABH berjalan sendiri-sendiri sesuai tupoksinya. 2. Belum adanya peraturan pemerintah yang khusus menangani ABH serta belum adanya standar pelayanan berupa juklak, juknis dan pedoman tentang prosedur penanganan ABH.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
45
Pihak PSMP Handayani 1. Kurangnya koordinasi dan integrasi antar lembaga terkait yang menangani ABH, sehingga dalam melaksanakan kegiatan penganan ABH berjalan sendiri-sendiri sesuai tupoksinya. 2. Minimnya anggaran dalam penjangkauan dan pendampingan kasus anak 3. Minimnya SDM Peksos, khususnya yang tersertifikasi, minimnya bimbingan dan diklat khusus dalam penanganan ABH terutama dari aspek pengetahuan tentang hukum. 4. Belum adanya ketentuan atau batasan ON OFF bagi ABH yang dititipkan di Panti, karena pihak panti belum punya ketentuan yang tegas dan jelas tentang tupoksi PSMP Handayani. Pihak Dinas Sosial 1. Belum menyiapkan pekerja sosial dan pendamping psikososial dalam pelayanan masalah sosial ABH bersertifikasi 2. Dinsos belum optimal mendorong dan memperkuat peran keluarga, masyarakat serta LSM untuk peduli ABH 3. Dinsos belum menyusun Kebijakan, panduan dan pedoman SOP Perlindungan & Rehabilitasi Sosial penanganan ABH 4. Dinsos belum membentuk POKJA penanganan ABH dan masih kurangnya sosialisasi internal 5. Dinsos belum optimal memfasilitasi penjangkauan kasus ABH 6. Dinsos belum optimal melakukan advokasi sosial agar terciptanya diversi penyelesaian kasus ABH 7. Dinsos kurang berkoordinasi dengan BAPAS dalam memfasilitasi pendampingan psikososial selama proses peradilan sampai reunifikasi keluarga dan reintegrasi sosial 8. Dinsos belum mensosialisasikan dan mengembangkan model berbasis institusi, keluarga dan masyarakat 9. Dinsos belum membentuk Komite Perlindungan & Rehabilitasi Sosial ABH 10. Dinsos belum mendirikan LPKS yang melayani khusus ABH, baru rencana akan mempersiapkan dan mendirikan LPKS di
46
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
PSAA 6 di Cengkareng yang secara fisik sudah ada, tinggal menunggu peraturan pemerintah sebagai turunan dari UndangUndang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA. Kemudian rencana mendirikan LPKS yang khusus menangani ABH ini, menunggu persetujuan DPRD dan Bappeda provinsi DKI karena kendali administari penganggaran harus melalui persetujuan dari pemerintah daerah , sehingga nantinya jika ada penerima manfaat dari luar daerah tidak dipersalahkan oleh pemeriksa. Pihak Dinas Pendidikan 1. Belum menetapkan kebijakan perlindungan ABH untuk memperoleh pendidikan dan alternative layanan pendidikan yang dibutuhkan ABH melalui pendidikan Formal, Non formal dan Informal; 2. Pihak Diknas belum bisa memfasilitasi pendidikan ABH di dalam dan di luar lembaga yang menyelenggarakan Kesejahteraan sosial, LP Anak dan Rutan 3. Pihak Diknas belum mengembangkan model pendidikan ABH secara khusus 4. Pihak Diknas belum menyediakan sarana dan prasarana dan tenaga untuk layanan pendidikan ABH 5. Pihak Diknas belum mengembangkan model pelatihan untuk petugas & Tenaga pendidik dalam pendidikan ABH 6. Pihak Diknas kurang berkoordinasi para pihak berkaitan dengan peserta didik yang diduga melakukan tindak pidana untuk tetap mengikuti pendidikan. Pihak Dinkes 1. Pihak Dinkes belum mempunyai kebijakan penetapan Standard Pelayanan Kesehatan Anak di LAPAS dan RUTAN anak 2. Pihak Dinkes perlu meningkatkan kualitas pembinaaan kesehatan anak melalui pelayanan di Tingkat Dasar di Puskesmas dan pelayanan rujukan di Rumah Sakit, maupun di panti sosial. 3. Pihak Dinkes belum optimal menyediakan biaya pengobatan melalui JAMKESMAS/BPJS bagi ABH yang terdaftar sebagai keluarga miskin dan ABH yang berasal dari kelompok
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
47
gelandangan, pengemis dan terlantar atas rekomendasi dinsos setempat. Aspek Masyarakat : 1. Masih adanya persepsi negatif masyarakat terhadap ABH sebagai pelaku kejahatan yang tidak bisa membedakan dengan kenakalan anak/remaja. 2. Kesadaran masyarakat kurang mendukung reintegrasi, reunifikasi keluarga dan rehabilitasi sosial bagi ABH 3. Masih banyak masyarakat yang belum memahami tentang jalur hukum terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga rentan dimanfaatkan oleh oknum aparat 4. Masih terjadi pengucilan dan stigmatisasi atau labelisasi pelaku kejahatan terhadap ABH meski telah menjalani hukuman atau dijalaninya masa bimbingan/pembinaan lanjut (after care). 5. Ketidaktahuan dari aparat kelurahan tentang sistem peradilan anak karena tidak ada sosialisasi dari lembaga yang terkait yang menangani permasalahan ABH, sehingga masyarakat bersikap apatis terhadap permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum, terlebih banyak kasus hukum yang terjadi pada anak bukan orang yang berasal dari wilayahnya. Terlebih program dan kegiatan di lingkungan kelurahan/masyarakat sering tidak jalan dikarenakan sering terjadinya pergantian pejabat kelurahan. Aspek Budaya Masyarakat 1. Belum tergalinya model penanganan dan pembinaan berbasis kearifan lokal dan budaya masyarakat dalam menagani kasus anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan menurut hukum atau norma yang berlaku di masyarakat. 2. Belum adanya model penyelesaian permasalahan dan pembinaan ABH dengan pendekatan budi pekerti dan keagamaan di lingkungan masyarakat setempat. Dari hasil temuan lapangan penerapan keadilan terhadap ABH yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA, dalam penanganan ABH di DKI Jakarta masih banyak
48
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang harus dibenahi. Seperti masih adanya perbedaan persepsi antar lembaga terkait dalam penanganan kasus anak bermasalah dengan hukum. Sehingga dalam pelaksanaanya masih berjalan sendiri-sendiri sesuai tupoksinya masing-masing. Dapat dikatakan pula bahwa dalam penanganan ABH di DKI Jakarta masih belum optimal karena kurang koordinasi lintas sektor dalam menangani kasus-kasus ABH. Pada aspek penegak hukum ini, forum koordinasi lintas sektor belum optimal dilaksanakan utamanya lembaga di luar kepolisian, kejaksaan dan Hukum dan HAM. Masih tergambar bahwa sektorsektor yang terkait masih berjalan sendiri tanpa adanya integrasi dan sinkronisasi program yang seharusnya dilakukan dan dibutuhkan dalam penanganan ABH. Agar peraturan perundang-undangan dapat ditegakkan dengan baik, hendaknya aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim petugas memasyarakatan) dan pekerja sosial yang akan diangkat untuk menangani permasalahan anak khusunya ABH diseleksi terlebih dahulu dan dipilih dari orang-orang yang betul-betul mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah-masalah anak serta pengetahuan tentang hukum, dan selanjutnya diberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai. Anak-anak yang terpaksa harus ditahan atau menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan atau di LPKS (Panti) hendaknya diberi hak pendidikan pada sekolah umum terdekat di luar RUTAN/LAPAS/ LPKSA, sehingga anak-anak tersebut dapat berintegrasi dengan masyarakat dan tidak putus sekolah. Kemudian sebaiknya proses penanganan dan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik dalam proses peradilan formal maupun dalam proses penyelesaian kasus diselesaikan dengan pendekatan restoratif justice ( informal ). Hal ini dilakukan untuk menjamin pemenuhan hak anak untuk hidup, tumbuh, kembang dan berpartisipasi serta melindungi anak dari diskriminasi, tindak kekerasan, eksploitasi dan penelantaran. Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
49
Tantangan kedepan sebagai rekomendasi dalam mengimplementasikan UU Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA: 1. Bahwa tantangan ke depan untuk Kementerian Sosial melalui panti (PSMP dan PSBR) akan semakin berat, karena semakin dituntut tindakan nyata sebagai perwujudan dari pelaksanaan Undang – Undang No. 11 Tahun 2012. Bukan hanya menerima pelimpahan dari LAPAS/BAPAS saja tetapi lebih berperan aktif dan berkoordinasi dengan lembaga terkait dan lintas sektor karena semakin luas wilayah penanganannya. 2. Penyamaan persepsi tentang tujuan, peran, serta mekanisme penganan ABH antar lintas sektor/lembaga yang terkait. 3. Mengatasi terjadinya potensi konflik peran dan kepentingan lembaga dengan membuat pola interaksi atau koordinasi antar lembaga secara tegas dan jelas. 4. Menyeimbangkan potensi fisik dan jumlah penerima manfaat yang ada dengan kapasitas sumber daya manusia 5. Perlu membuat pedoman juklak juknis penanganan ABH sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 dan standar pelayanan yang tegas dalam pengendalian aturan/sistem penanganan bagi penerima manfaat model ON/ OFF didalam panti. 6. PSMP Handayani perlu lebih ditingkatkan lagi pelayanannya sesuai visi misinya yang didukung dengan kebijakan atau regulasi yang jelas. 7. Karena belum ada LPKS di Provinsi DKI Jakarta, maka harus segera merealisasikannya baik secara fisik maupun dalam pelaksanaan program dan kegiatannya. Yang tentunya dalam proses pembentukan LPKS ini harus diketahui oleh Gubernur dan disetujui oleh DPRD dan Bappeda provinsi DKI Jakarta sebagai penyiapan anggaran dalam merealisaikan penanganan ABH. 8. PSMP Handayani sebagai panti Kemensos yang menangani ABH dalam memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada penerima manfaat masih mempunyai keterbatasan, sehingga dalam hal ini PSBR ikut dilibatkan dan terjun di dalam penanganan ABH tersebut.
50
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
9. Perlu dipersiapkan Pekerja Sosial profesional dan tersertifikasi untuk penanganan terhadap ABH, kalau perlu ada Pekerja Sosial koreksional yang multifungsi dimana ilmu dan kompetensinya lebih ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan sesuai kebutuhan, dan diberi ID card serta seragam sebagai Pekerja Sosial dalam melaksanakan tugasnya. 10. Pekerja Sosial harus melakukan pendampingan dan penjangkauan secara pro aktif dalam mendampingi anak selama proses hukum maupun selama pembinaan didalam panti, pro aktif untuk mengetahui perkembangan Penerima Manfaat (PM) secara komprehensif baik pada saat bimbingan sosial, bimbingan keterampilan, bimbingan psikologis, bimbingan agama dan kegiatan lainnya. 11. Penyusunan laporan perkembangan PM oleh Pekerja Sosial harus sesuai dengan kondisi faktual dan aktual yang dialami PM, oleh karena itu harus benar-benar melakukan pendampingan terhadap PM di lapangan maupun di dalam panti. 12. Perlu dialokasikannya anggaran untuk pelaksanaan ABH di PSMP dan PSBR sesuai kebutuhan di lapangan. 13. Pelayanan di UPT diupayakan untuk selalu dinamis, kreatif dan inovatif, dan dalam pelaksanaan kegiatan harus bervariatif. Misalnya, pelaksanaan Praktik Belajar Kerja tidak harus serentak, tergantung pada kondisi dan kompetensi PM, penggunaan waktu senggang yang bermanfaat dan menerapkan sistem piket di ruangan asrama. 14. Bimbingan sosial merupakan kegiatan yang utama, agar PM berperilaku yang baik dan normatif sesuai aturan dan norma di masyarakat. Sementara itu, pelatihan keterampilan sebagai unsur pendukung minat PM, perlu juga diperhatikan terutama dalam penyaluran keterampilan ke dunia usaha. 15. Lembaga yang terkait dalam mengimplementasikan Undang – Undang No.11 tahun 2012 (SPPA), harus ada ketegasan dan kejelasan sehingga tidak ragu-ragu dalam melaksanakan program dan mekanisme penangannya, asalkan sesuai dengan sitem prosedur dan ketentuan yang berlaku dan memahami apa yang harus dilakukan dengan mencermati undang-undang tersebut sebaik- baiknya.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
51
2. PSMP ANTASENA, MAGELANG Setiap tahun anak yang menjadi pelaku tindak pidana selalu meningkat, anak yang menjadi pelaku mendapat perhatian khusus bagi aparat penegak hukum. Diperkirakan dengan berkembangnya teknologi informasi yang mudah diakses oleh anak-anak terutama berita-berita yang berisi konten kekerasan dapat berdampak terhadap psikologis anak-anak sehingga mendorong anak melakukan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan tercela. Dalam paparan “Peran Kanwil Kementerian Hukum dan HAM provinsi Jawa Tengah dalam pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum (ABH)” pada tanggal 15 April 2015 menyebutkan bahwa jumlah napi anak pada tahun 2014 sebanyak 152 orang dan jumlah tahanan anak pada tahun yang sama sebanyak 45 orang. Data anak berdasarkan jenis tindak pidana sampai dengan bulan Nopember 2014 adalah pencurian, narkotika, pengeroyokan, pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, persetubuhan dan pemerasan. Lebih meyedihkan karena anak-anak tersebut berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang dewasa. Kenyataan ini cukup memprihatinkan karena masih jauh dari amanat UndangUndang Nomer 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berikut kasus-kasus ABH yang berada di PSMP Antasena, Magelang sampai dengan Juni 2015. Tabel 4. Data ABH Berdasarkan Jenis Permasalahan/ Pidana PSMP Antasena Magelang Tahun 2015 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
JENIS PERMASALAHAN Pencurian Tindak Kekerasan/ Berkelahi Pencabulan Pengedar obat terlarang/ Narkotika Perjudian Minuman Keras Keluyuran Melawan Orang Tua
JUMLAH 67 19 14 2 4 21 44 19
Sumber: PSMP Antasena, Magelang Juni 2015
52
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Dalam perspektif Hukum Pidana, dikenal dua macam hal yang dapat dikategorikan melanggar hukum dan dapat dikenai hukuman yaitu pelanggaran dan kejahatan. Pelanggaran relatif memiliki kualitas pelanggaran hukum yang lebih ringan dan biasanya dikenai hukuman denda. Kejahatan memiliki kualitas pelanggaran hukum yang lebih besar dan dapat dikenai hukuman pidana yang cukup berat, tergantung jenis kejahatan yang dilakukan dan kerugian atau akibat yang ditimbulkan. Contoh dalam kasus hukum disini, yaitu kasus mengenai tertangkapnya sepuluh orang anak-anak yang bermain judi di bandara Soekarno Hatta, bisa kita kategorikan sebagai kasus kejahatan, karena kualitas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku tergolong berat dan dapat dikenai sanksi Pidana, dalam hal ini Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal yang membuat kasus ini perlu dilihat dalam perspektif hukum yang berbeda ketimbang kasus hukum biasa adalah dari segi pelaku kejahatan. Hal ini disebabkan karena pelaku masih dikategorikan belum dewasa secara umur karena belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah., sehingga padanya belum dapat diberlakukan prosedur hukum sebagaimana layaknya orang dewasa. Kasus hukum yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku kejahatan memang membutuhkan penanganan khusus, mengingat sebagai subjek hukum, anak-anak belum terikat hak dan kewajiban yang sepenuhnya mengikat. Anak-anak dianggap belum mampu menyadari akibat dan konsekuensi dari perbuatannya yang melanggar hukum dan memungkinkan terjadinya kerugian, ketidak-seimbangan dan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mereka masih dalam tahap bermain, berkembang dan pencarian jati diri. Apakah layak mereka menerima perlakuan layaknya orang dewasa yang mencuri kambing? Jika mengacu pada kaca mata sosial tentu saja penangkapan tersebut sangat jauh dari rasa keadilan. Begitu berat dan begitu banyak konsekuensi yang harus anak-anak itu terima akibat dari perbuatan yang mereka
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
53
lakukan tanpa mereka menyadari nya. Namun demikian, hukum tetaplah hukum, semua orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum dan hal tersebut harus kita terima sebagai bentuk perwujudan persamaan hak di muka hukum bagi setiap warga Negara Indonesia. “Indonesia adalah Negara hukum.” Kalimat tersebut adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Anak yang berhadapan dengan hukum berdasarkan undangundang sistem peradilan anak Nomor 11 tahun 2012 ditekankan upaya diversi/musyawarah baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan yang bertujuan pemulihan hak-hak korban tindak pidana maupun pelaku tindak pidana, upaya proses peradilan merupakan jalan terakhir yang ditempuh terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum perlu dilakukan, salah satunya adalah melalui penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak. Tujuannya tidak semata-mata untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada pertanggungjawaban pelaku terhadap korban tindak pidana, demi kesejahteraan anak yang bersangkutan, tanpa mengurangi perhatian kepentingan masyarakat. Generasi muda harusnya memiliki pengetahuan dasar tentang peraturan-peraturan khususnya hukum pidana serta proses penanganan suatu perkara terutama yang melibatkan anak sebagai pelaku pidana, anak sebagai korban serta anak yang menjadi saksi. REGULASI Undang-Undang Nomer 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mulai diberlakukan pada bulan Juli 2014, yang mengatur tentang Restorative Justice dengan cara Diversi. Dasar filosofis dari aturan tersebut bahwa anak harus mendapatkan perlakuan sebaik-baiknya dan demi kepentingan terbaik bagi anak karena masih terdapat di Republik Indonesia ini anak yang dipidana penjara dicampur bersama dengan orang dewasa, hal ini tentu menimbulkan dampak yang tidak baik bagi anak. Persoalan lain yang timbul dari akan diterapkan UU SPPA tersebut diantaranya
54
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
adalah masalah kesiapan SDM dan Sarana Prasarana, keterlibatan banyak pihak dalam penanganan kasus anak akan menimbulkan benturan kepentingan. Selain itu belum adanya peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA ini, akan menghambat pada pembuatan juklak, juknis dan pedoman yang akan dilaksanakan oleh lembaga yang terkait dalam penanganan ABH sampai tingkat bawah. Kemudian dalam regulasi penanganan ABH ini, antara lembaga terkait belum mempunyai persepsi yang sama dalam memahami UU Nomor 11 tahun 2012, hal ini sebagai penghambat dalam penanganan ABH secara khusus di provinsi Jawa Tengah. Walau belum ada Peraturan Pemerintah turunan UU SPPA atau Peraturan Gubernur yang mengatur khusus ABH namun PSMP Antasena Magelang menggunakan landasan hukum yang ada sebagai dasar pelayanan dan rehabilitasi anak yang berhadapan dengan hukum. Yang menggembirakan adalah PSMP Antasena, sudah mempunyai Pedoman Standar Penanganan ABH (pada ke 3 PSMP lain belum ada). Berikut merupakan peraturan perundanganundangan yang berlaku secara nasional maupun perarutan pemerintah daerah propinsi Jawa Tengah, yaitu: 1. Undang undang Perlindungan anak No. 23 tahun 2002 yang di amandemen melalui UU No. 35 tahun 2014. 2. Undang undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” 3. Permensos No 15 tahun 2014 tentang Standar Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum. 4. Peraturan Makamah Agung No 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak 5. Peraturan Mahkamah Agung No. 02 tahun 2012 tentang penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. 6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
55
7. Surat Edaran Kapolri Nomor : B/2160/IX/2009/ Bareskrim tgl 3 September 2009 tentang Pedoman penanganan ABH. 8. Bareskrim POLRI melalui TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, tanggal 16 Nopember 2006 dan TR/395/VI/2008 tanggal 9 Juni 2008 dan TR/1124/XI/2006 tanggal 16 Nopember 2006 tentang pedoman penanganan dan perlakuan terhadap ABH. 9. Surat Keputusan Bersama 6 Kementerian dan POLRI tanggal 15 Desember 2009tentang : perlindungan anak dan rehabilitasi sosial ABH 10.Surat Keputusan Bersama Ketua MA, Jaksa Agung, Kapolri, Menkumham, Mensos, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No 166A/KMA/SKB/XII/ 2009; No 148/A/A/ JA/12/2009; No B45/XII/2009; No M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009; No. 10/PRS-2/KPTS/2009; No. 02/Men.PP dan PA/XII2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. 11.Surat Kesepakatan Bersama Departemen Sosial, Departemen Diknas, Departemen Kesehatan, Departemen Agama, POLRI, No 12/PRS-2/KPTS/2009; No M.HH.04.HM.03.02 Tahun 2009; No 11/XII/KB/2009; No 1220/MENKES/SKB/XII/ 2009; No 06/xii/2009; No B/43/XII/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum. 12.Keputusan Menteri Sosial Nomor 106 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial. 13.Peraturan Menteri Sosial Nomor 86/HUK/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial 14.Peraturan Menteri Sosial Nomor 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. Peraturan perundang- undangan diatas bertujuan memberikan perlindungan kepada anak dan merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dimana kegiatan perlindungan anak dapat membawa akibat hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum merupakan
56
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
jaminan bagi kepastian perlindungan anak. Sebab perlindungan anak merupakan bidang pembangunan nasional. Melindungi anak berarti melindungi manusia, yaitu membangun manusia seutuhnya. Seperti yang diungkapkan Gosita (1985) bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Gosita (1985) menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak yang sesuai dengan kepentingannya dan hak asasinya. KELEMBAGAAN Sistem peradilan pidana anak dibangun sebagai suatu mekanisme administrasi dengan menggunakan pendekatan sistem yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, nalai kemasyarakatan, kementerian sosial, keluarga dan masyarakat. Masing-masing komponen memunyai prosedur standar yang sudah ditetapkan sesuai dengan fungsi yang telah diatur dalam perundangundangan yang berlaku. Kementerian Sosial sebagai bagian dari sistem peradilan pidana anak diharuskan memiliki Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) khusus Anak yang Berhadapan dengan Hukum, dimana kebutuhan tersebut sudah sebagian terpenuhi dengan adanya Pant Sosial Marsudi Putera (PSMP) yang merupakan Unit Pelaksana eknis dari Ditjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial R.I. Panti Sosisal Marsudi Putra (PSMP) “Antasena” Magelang dibangun tahun 1982 melalui Proyek Bantuan dan Pengentasan ANKN Kanwil Departemen Sosial Propinsi Jawa Tengah dengan nama SRAN “Among Putro” dan diresmikan oleh Menteri Sosial Sapardjo pada tanggal 30 Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
57
April 1982 dan mulai operasional bulan Agustus 1982. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial No 6/HUK/1994 tanggal 5 Februari 1994 berganti nama menjadi PSMP “Antasena” Magelang. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial Nomer 22 Tahun 1995, PSMP “Antasena” Magelang meningkat statusnya dari tipe C menjadi tipe A. Sejak tanggal 1 Juni 2000 status PSMP “Antasena” Magelang beralih dari UPT Kantor Wilayah Departmen Sosial Jawa Tengah menjadi UPT Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN). Pada tanggal 1 Juli 2001 beralih menjadi UPT Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia. Sejalan dengan Keputusan Menteri Sosial Nomer 6/HUK/2001 tanggal 26 Oktober 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial, status PSMP “Antasena” Magelang balih menjadi UPT Departemen Sosial Republik Indonesia dan pada tahun 2004 meningkat eselonnya dari eselon IIIb menjadi IIIa, sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial Nomer 59/HUK/2003. Sehubungan dengan disahkannya Undang-Undang Nomer 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden Nomer 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kemneterian Negara dan sesuai surat dari Sekretaris Jenderal Nomer 1502/SJOrpeg/XII/2009 tanggal 30 Desember 2009, Departemen Sosial berganti nama menjadi Kementerian Sosial. Panti Sosial Marsudi Putera Antasena yang berlokasi di Jl. Raya Magelang-Purworejo KM. 14 Kec. Salaman, Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah mempunyai tugas pokok memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabiliasi sosial yang bersifat preventif, rehabilitative dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan ketrampilan, resosialisasi serta bimbingan lanjut bagi anak berhadapan dengan hukum agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan. TUGAS POKOK: Memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitative, promotif dalam
58
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan ketrampilan, resosialisasi serta bimbingan lanjut bagi anak yang berperilaku menyimpang agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan. VISI : Tahun 2015 menjadi pusat pengembangan pertolongan sosial pada Anak Berhadapan dengan Hukum, pusat studi atau pusat pelaksanaan sistem rujukan berstandar nasional, professional dan terpercaya. MISI: 1. Menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi sosial anak yang berperilaku menyimpang dan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dalam sistem cottage dengan menggunakan pendekatan multi disipliner, teknik pelayanan yang unggul dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 2. Menyelenggarakan pengkajian model pelayanan dan rehabilitasi sosial anak berperilaku menyimpang dan anak yang berhadapan dengan hukum. 3. Memfasilitasi tumbuh kembang, motivasi dan usaha masyarakat dalam penanggulangan kenakalan anak. 4. Mengembangkan sistem rujukan sebagai jaringan kerja dengna instansi terkait. FUNGSI: 1. Penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan. 2. Pelaksana registrasi, observasi, identifikasi, assessment. 3. Pelaksanaan layanan dan rehabilitasi yang meliputi terapi dan bimbingan mental, sosial, fisik dan ketrampilan. 4. Pelaksanaan resosialisasi, penyaluran dan bimbingan lanjut. 5. Pelaksanaan pemberian informasi dan advokasi. 6. Pelaksanaan pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rehabilitasi sosial Anak Berhadapan dengan Hukum. 7. Pelaksanaan urusan tata usaha. Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
59
PROGRAM: 1. Pelayanan regular 2. Day care services 3. Family support 4. Shelter Workshop 5. Pelayanan Jarak Juh (PJJ) 6. Pendampingan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) 7. Tim Reaksi Cepat (TRC) 8. Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) bagi Anak yang Mmebutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK) SASARAN KEGIATAN: 1. Anak (usia 10-18 tahun), penyandang sebagian atau keseluruhan dari tindak kelyuran, berjudi, mabuk, mencuri, tindak asusila, berkelahi dan tindak kekerasan lainnya, termasuk eks anak Negara dan atau hasil putusan pengadilan anak dan anak jalanan yang telah dibina melalui rumah singgah yang berminat dan memerlukan binaan lebih intensif. 2. Orang tua atau keluarga penyandang masalah dan lingkungan sosial. 3. Kelompok sebaya dan masyarakat Selain PSMP Antasena, Magelang, provinsi Jawa Tengah sedang mempersiapkan beberapa LPKS yang dikelola baik pemerintah daerah maupun swasta/masyarakat. Berikut beberapa LKPS tersebut: 1. Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Ungaran 2. PSAA Satria, Batu Raden 3. PSAA Tunas Bangsa, Pati 4. Yayasan Pembinaan Anak Nakal (YPAN) Surakarta 5. Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH Berbasis Masyarakat (PRSABH-BM) Ceria, Klaten. 6. PRSABH-BM Aster, Klaten 7. PRSABH-BM, Sanggar Pengayoman, Klaten. 8. Yayasan KAKAK, Surakarta 9. LKS Orsos, Pasca 45, Demak.
60
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
SDM PELAKSANA Sumber daya manusia di PSMP Antasena terdiri dari ejabat structural, pekerja sosial fungsional. pembimbing keterampilan/sisal/ fisik/mental dari dalam dan dari luar, selain itu juga staf lain dan non organik (tabel dibawah ini). Tabel 5. Sumber Daya Manusia Di PSMP Antasena Magelang NO
JABATAN
JUMLAH
1.
Pejabat structural
2.
Pekerja sosial fungsional
4 orang
3.
Penyuluh sosial
2 orang
4.
Psikolog
2 orang
5.
Pembimbing ketrampilan (dalam)
13 orang
6.
Pembimbing ketrampilan (luar)
12 orang
7.
Staf
25 orang
8.
Non organik
12 orang
6 orang
Pembimbing keterampilan baik dari dalam maupun dari luar adalah mereka yang memberikan bimbingan keterampilan otomotif, perbengkelan, paving block, pangkas rambut, mejahit, komputer, las, dan dekorasi ruangan. Terkait SDM pelaksana ada beberapa permasalahan dimana terbatasnya jumlah SDM yang khusus menangani ABH (PSMP/LKS, BAPAS, Kejaksaan, Kepolisian). Permasalahan lain adalah Pekerja Sosial yang menangani ABH terkendala oleh aturan “sertifikasi”, reposisi Sakti Peksos (kluster ABH) ke masing-masing Dinas Sosial/Pemda setempat (tidak lagi di LKS/LKSA) turut mempengaruhi capaian kinerja LKS/LKSA ABH. Ditambah adanya 3 pekerja sosial yang akan pensiun dan belum ada ganti penambahan pekerja sosial. Semakin meningkatnya ABH yang ditampung di PSMP Antasena menyebabkan semakin banyaknya pekerja sosial menangani ABH, padahal idealnya 1 pekerja sosial menangani maksimal 5 ABH.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
61
JEJARING KERJA PSMP Antasena dalam menjalankan program pelayanan dan rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum menjalin kerjasama dengan keluarga/wali/penanggung jawab dan beberapa instansi terkait. PSMP Antasena Magelang tidak dapat bekerja sendiri dalam memberikan layanan kepada anak yang membutuhkan perlindungan dan rehabilitasi sosial. Peran keluarga/orang tua/wali dalam mendukung pembinaan penerima manfaat di PSMP Antasena Magelang, yaitu: 1. Orang tua bekerjasama dengan PSMP Antasena Magelang selama dalam proses pembinaan dan rehabilitasi sosial yaitu dengan memberikan informasi dan keterangan yang lengkap dan konkrit dalam rangka assesmen sampai tuntasnya program pelayanan. 2. Orang tua turut serta memperhatikan anaknya selama dalam proses rehabilitasi sosial, antara lain dengan mengunjungi ABH di PSMP, memberikan uang saku dan memberikan motivasi terhadap anak pada saat ijin pulang ke rumah. 3. Orang tua/wali siap menerima kembali anak yang pasca pembinaan dan rehabilitasi sosial di PSMP Antasena Magelang dan melanjutkan kepengasuhan yang sejalan dengan kepengasuhan pada saat proses rehabilitasi sosial di PSMP. 4. Kesediaan orang tua/wali untuk memberikan motivasi dan bimbingan kepada Penerima Manfaat di tengah keluarga. 5. Orang tua/wali bekerjasama dengan pekerja sosial untuk mengatasi permasalahan perilaku pada anak. Beberapa hal yang memerlukan peran instansi terkait dalam menunjang program rehabilitasi sosial penerima manfaat, adalah: 1. Berkoordinasi dalam proses pencegahan permasalahan anak berhadapan dengan hukum sesuai wilayah kerjanya. 2. Berkoordinasi dan bekerjasama dalam permasalahan anak sesuai wilayah kerjanya.
62
penjangkauan
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
3. Melanjutkan monitoring dan pendampingan terhadap anak pasca rehabilitasi sosial anak berhadapan dengan hukum. Adapun bentuk peran serta instansi terkait dalam program pelayanan dan rehabilitasi sosial anak berhadapan dengan hukum tercantum dalam table berikut. Tabel 6. Peran Serta Instansi Terkait dalam Program Pelayaan Dan Rehabilitasi Sosial ABH Di PSMP Antasena NO. BIDANG KERJASAMA INSTANSI 1 • Riset dan pengembangan Perguruan Tinggi • Penongkatan kapasitas SDM 2 Penyuluhan dan Bantuan Sosial PEMDA, Dinas Sosial dan LSM 3 Bantuan Hukum BAPAS, LBH, PPT Kabupaten, Kejaksaan, Pengadilan, POLRI 4 Penjangkauan PEMDA, Dinsos, TKSK, POLRI 5 Layanan Psikologis/psikiater RSJ Dr. Suroyo, Depkes, Psikolog 6 Jaminan Sosial PEMDA, Dinas Sosial 7 Penyuluhan sosial, sosialisasi Media massa, Dinas Sosial dan publikasi 8 Pelayanan terpadu PPT Kabupaten, PEMDA, Dinas Sosial 9 Pelayanan kesehatan Depkes, Puskesmas 10 Bimbingan lanjut Dinas Sosial, PEMDA, Dunia Usaha 11 Praktek Belajar Kerja (PBK) Dunia Usaha dan Industri penempatan kerja 12 Bimbingan mental dan agama Kemenag 13 Bimbingan fisik dan Koramil dan POLRI kesamaptaan
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
63
Tabel 7. Data ABH Berdasarkan Asal Daerah PSMP Antasena Magelang Tahun 2015 NO ASAL DAERAH JUMLAH A. PROPINSI JAWA TENGAH 1. Kota Magelang 8 2. Kabupaten Magelang 3. Kabupaten Temanggung 4. Kabupaten Wonosobo 5. Kabupaten Purworejo 6. Kabupaten Salatiga 7. Kabupaten/ Kota Semarang 8. Kabupaten Demak 9. Kabupaten Kebumen 10. Kabupaten Banjarnegara 11. Kabupaten Brebes
NO ASAL DAERAH
JUMLAH
13. Kabupaten Banyumas 14. Kabupaten Cilacap 15. Kabupaten Purbalingga 16. Kabupaten Kendal
5
1
1 4
17. Kabupaten Karanganyar 18. Kabupaten Klaten 19. Kabupaten Boyolali
3 6 3
20. Kabupaten Wonogiri 21. Kabupaten Pati 22. Kabupaten Jepara
4 1 1
16 4 3 7
8 1 3
1 4
23. Kabupaten 1 Pekalongan 12. Kabupaten Tegal 2 24. Kabupaten Grobogan 2 B.DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA D.PROPINSI KALIMANTAN TIMUR 25. Kabupaten Sleman 1 32. Kabupaten Kutai 2 Kartanegara 26. Kabupaten Kulon 1 33. Kabupaten Kutai 1 Progo Barat C. PROPINSI JAWA TIMUR E. PROPINSI KALIMANTAN TENGAH 27. Kabupaten Magetan 1 34. Kabupaten 1 Sukamara 28. Kabupaten/ Kota 2 Kediri 29. Kabupaten Sidoarjo 1 30. Kabupaten Pacitan 1 31. Kabupaten Ngawi 5
64
1
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Tabel 8. Data ABH Berdasarkan Asal Rujukan/Pengirim PSMP Antasena Magelang Tahun 2015 NO
ASAL RUJUKAN/ PENGIRIM
A.
PROPINSI JAWA TENGAH
1.
Rujukan Polsek Mertoyudan - Magelang
3
Rujukan Polsek Muntilan - Magelang
1
Rujukan Polsek Borobudur - Magelang
1
Titipan Polsek Secang - Magelang
1
Rujukan Polres Mungkid - Magelang
1
Putusan Pengadilan Negeri Mungkid - Magelang
5
2.
Putusan Pengadilan Negeri Wonosobo
1
3.
Putusan Pengadilan Negeri Purworejo
4
Rujukan Dinsosnakertrans Purworejo
1
Putusan Pengadilan Negeri Temanggung
1
Rujukan Dinas Sosial Kab. Temanggung
1
5.
Putusan Pengadilan Negeri Boyolali
4
6.
Putusan Pengadilan Negeri Kebumen
2
7.
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto
1
8.
Putusan Pengadilan Negeri Banjarnegara
3
9.
Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga
1
10.
Putusan Pengadilan Negeri Semarang
4
11.
Putusan Pengadilan Negeri Kab. Semarang
1
12.
Titipan Poltabes Semarang
1
13.
Putusan Pengadilan Negeri Karanganyar
1
14.
Putusan Pengadilan Kendal
3
15.
Putusan Pengadilan Negeri Salatiga
1
16.
Putusan Pengadilan Negeri Demak
2
17.
Rujukan Dinas Sosial Grobogan
1
18.
Putusan Pengadilan Negeri Klaten
1
19.
Rujukan Dinas Sosial dan Transmigrasi Tegal
2
4.
JUMLAH
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
65
20.
Rujukan Polres Pekalongan Kota
1
21.
Rujukan Dinsosnakertrans Cilacap
1
B.
PROPINSI JAWA TIMUR
22.
Rujukan Polres Kediri
3
C.
PPROPINSI KALIMANTAN TIMUR
23.
Rujukan Polres Kutai Kartanegara
2
24.
Rujukan Polres Kutai Barat
1
25.
Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong
2
D.
PROPINSI KALIMANTAN TENGAH
26.
Putusan Pengadilan Negeri Sukamara
1
Tabel-tabel diatas menunjukkan bahwa PSMP Antasena telah menjalin kerjasama dengan berbagai instansi terkait yang meliputi wilayah kerja prioritas di 35 kabupaten/kota se Provinsi Jawa, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Komunikasi dan koordinasi antar lembaga yang menangani ABH cukup intens dilakukan oleh PSMP Antasena Magelang. SISTEM LAYANAN Proses rehabilitasi sosial di PSMP Antasena dengan sasaran adalah anak-anak yang bermasalah dengan perilaku sehingga putus sekolah dan saat ini ditambah dengan kriteria anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Proses rehabilitasi sosial atau pelayanan sosial di PSMP Antasena dilaksanakan dengan 3 (tiga) tahapan besar yaitu kegiatan (1) bimbingan sosial; (2) resosialisasi dan (3) pembinaan lanjut. Adapun tahapan bimbingan sosial meliputi: 1. Pendekatan awal (pre intake) 2. Penerimaan (intake) 3. Assesmen dan perumusan masalah 4. Bimbingan dan pelayanan sosial 5. Resosialisasi 6. Penyaluran dan pembinaan lanjut 7. Terminasi
66
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Yang membedakan dengan PSMP lain adalah bahwa PSMP Antasena Magelang telah menyusun “Panduan Sistem Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum” menjadi 4 bagian yaitu: 1. Antara 1 bulan s/d 3 bulan 2. Antara 3 bulan s/d 6 bulan 3. Antara 6 bulan s/d 9 bulan 4. Antara 9 bulan s/d 12 bulan Seluruh pelayanan diperuntukkan bagi penerima manfaat yang setelah melalui telaah tingkat permasalahan anak yang dilakukan oleh pekerja sosial, berdasarkan assesmen permasalahan pekerja sosial, keinginan penerima manfaat atau orang tua/wali atau dikarenakan sesuatu hal (sekolah, kerja, dll). Untuk rehabilitasi sosial antara 1-3 bulan dan 3-6 bulan tidak ada target vokasional, sedangkan yang antara 6-9 bulan dan 6-12 bulan ada target vokasional. (program akan ditaruh di lampiran, hasil scan) Jenis kegiatan rehabilitasi sosial tersebut antara lain: registrasi, kontrak pelayanan, akomodasi, identifikasi dan assesmen masalah, case conference, motivasi, pemeriksaan dan pelayanan kesehatan, pendampingan psikososial (sosial dan keagamaan), kegiatan mandiri (activity daily living), konseling dan terapi psikososial dan kesibukan eksresif seperti olah raga, prakarya dan seni). Selain memberikan rehabilitasi sosial kepada ABH, PSMP Antasena Magelang juga memberikan pelayanan kepada Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) sejak tahun 2009 sebanyak 86 anak yang meliputi anak korban KSA, ABH, anak korban trafficking, anak korban penelantaran, anak korban kekerasan fisik, anak saksi KSA, anak penderita cacat fisik, anak korban bencana kebakaran dengan memberikan layanan kunjungan. Wilayah asal AMPK meliputi seluruh kabupaten/kota se provinsi Jawa Tengah. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENDUKUNG 1. Semangat semua pihak ikut bertanggung jawab thd masa depan ABH (perubahan perilaku, kelanjutan sekolah, kembali ke Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
67
keluarga dan masyarakat) 2. Sinergi dan koordinasi yg cukup baik diantara stake holder penanganan ABH 3. Masyarakat di lingkungan sekitar panti ikut mengawasi keberadaan ABH 4. Sarpras di PSMP Antasena yang cukup refresentatif dan memadai (untuk saat ini), walaupun masih perlu penyesuaian dan penambahan. 5. Keberadaan ABH di panti didukung keluarga demi perubahan perilaku ABH menjadi lebih baik. 6. Partisipasi masyarakat (melalui LSM) dalam penanganan ABH. PENGHAMBAT 1. Belum ada payung hukum/Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU No.11 tahun 2012 tentang SPPA 2. Belum ada kesamaan persepsi/standar operasional lintas sektor/ jejaring kerjasama dalam penanganan ABH sebagai dasar juklak dan juknis dalam penanganan ABH 3. Belum intensif sosialisasi dan pemahaman SPPA, baik di tingkat atas sebagai pembuat kebijakan maupun ditingkat pelaksanaan teknis dilapangan 4. SDM/peksos ABH yang tersertifikasi masih terbatas (sangaat) 5. Alokasi anggaran untuk penjangkauan dan pemulangan ABH yang terbatas. 6. Belum ada evaluasi mengenai sistem pengasuhan yang terbaik bagi ABH, apakah melalui wisma atau asrama? TEMUAN LAPANGAN Beberapa temuan lapangan di provinsi Jawa Tengah dalam penanganan ABH adalah: 1. Penanganan ABH tidak hanya di “hulu” tetapi lebih utama di “hilir” dimana peran keluarga dan masyarakat sangat diperlukan untuk mendidik, membimbing dan mengawasi perkembangan anak-anaknya sehingga terhindar dari perbuatan tindak pidana dan pergaulan yang negatif.
68
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Belum ada Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU no 11 tahun 2012 tentang SPPA dan regulasi lain yang mendukung pelaksanaan UU SPPA dari tingkat pusat/kementerian sampai ke pemerintah daerah/kabupaten khususnya penanganan ABH (Keputusan Gubernur tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH sudah ada). 3. Masih adanya beberapa perbedaan persepsi antar Aparat Penegak Hukum (Hakim, Jaksa dan Polisi) dalam dalam penanganan ABH sesuai SPPA di lembaga terkait terutama penafsiran pasal-pasal dalam UU SPPA, contoh kasus di lapangan ketika anak menjadi pelaku pencurian usia 18 tetapi sudah menikah. Pengadilan mengacu UU, untuk sementara sebagai anak tetapi karena sudah punya anak. Aturan seperti ini perlu dipertegas agar tidak terjadi salah tafsir di lapangan. 4. PSMP Antasena Magelang telah menyusun Pedoman Standar Penanganan ABH (pada ke 3 PSMP lain belum ada) dimana terdapat perbedaan pelayanan bagi ABH berdasarkan lama ABH berada di PSMP. 5. Perlu adanya filter/penyaring ABH dengan jenis tindak pidana dan ancaman hukuman seberat apa yang bisa di rehabilitasi di PSMP Antasena Magelang. Deteksi awal perlu dilakukan mulai dari rekam medic/kesehatan, apakah mempunyai penyakit berat, pemakaian narkoba atau penyakit kejiwaan. 6. Sosialisasi UU Perlindungan Anak, UU SPPA, Kesepakatan Bersama belum menyeluruh sampai ke tingkat bawah (masyarakat, sekolah, kesehatan). Respons kasus dan penjangkauan ABH perlu pemberdayaan potensi kesos setempat. 7. PSMP dan LPKS perlu menyusun rasio antara SDM, sarana prasarana dan keberagaman penerima manfaat untuk dapat mengajukan Satuan Biaya Khusus (SBK). 8. SDM yang terbatas terutama pekerja sosial menuntut PSMP dan LPKS untuk mengajukan penambahan pekerja sosial ke pemerintah pusat dan daerah. Selain itu beban kerja pekerja sosial di PSMP berbeda dengan panti lainnya karena menangani ABH yang perlu perhatian khusus sehingga kadang terabaikan tugas yang lainnya.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
69
9. LPKS yang dipersiapkan perlu mendapat perhatian khusus agar ditingkatkan sistem pelayanan, SDM, sarana prasarana karena semakin meningkatnya kasus ABH sehingga dapat melebihi kapasitas PSMP Antasena Magelang. Fokus ABH selama ini pada pelaku, lupa pada korban. Ada kasus tadinya korban lalu menjadi pelaku. Perubahan perilaku belum terukur. PSMP Antasena belum menampung pelaku perempuan. Hanya memenuhi kebutuhan materi belum banyak menyentuh perubahan perilaku. PSMP Antasena dapat mengajak LSM untuk berbagi ilmu ke LSM lain yang mendampingi ABH di lapangan.
3. PSMP PARAMITA, MATARAM 1. Regulasi • Undang undang Perlindungan anak No. 23 tahun 2002 yang di amandemen melalui UU No. 35 tahun 2014. • Undang undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” • Permenson No 15 tahun 2014 tentang Standar Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum. • Peraturan Makamah Agung No 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak • Peraturan Makamah Agung No. 02 tahun 2012 tentang penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2. Kelembagaan Nama Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) PARAMITA Status Lembaga Panti Sosial Marsudi Putra “Paramita” Mataram merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Sosial RI yang berada di Kota Mataram dan mempunyai ruang lingkup yang berada di wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bali.
70
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Visi Mewujudkan PSMP “Paramita” Mataram sebagai lembaga pelayanan dan rehabilitasi sosial anak yang bermutu, terpercaya dan religius. Misi • Peningkatan profesionalitas sumber daya manusia dalam melaksanakaan tugas pokok dan fungsinya. • Peningkatan penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi sosial sesuai dengan standar operasional prosedur • Peningkatan dan optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi sosial • Pengembangan jaringan kerja dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial • Penyelenggaraan fungsi promotif lembaga secara optimal Struktur Organisasi
Sumber Daya Manusia Jumlah pegawai PSMP Paramita Mataram - S2 sebanyak 2 orang - S1/D IV sebanyak 19 orang - D3 Sebayak 7 orang Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
71
- SMU/SLTA sebanyak 13 orang - SMP sebanyak 3 orang - SD sebanyak 2 orang Untuk menunjang kinerja pegawai PSMP Paramita pegawai honorer : - Perawat sebanyak 2 orang - Supir sebanyak 2 orang - Tenaga keamanan (satpam) sebanyak 2 orang - Penjaga perpustakaan Sarana Dan Prasarana :
Sumber pendanaan bagi LPKS meliputi : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; sumber pendanaan yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 3. Program Layanan Program Perlindungan Sosial: Perlindungan sosial yang ditujukan kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial yang berupa kegiatan tanggap darurat dan penjangkauan terhadap permasalahan/ kasus berdasarkan informasi yang diterima oleh PSMP, kemudian petugas yang berkompeten melakukan tanggap darurat dan penjangkauan kasus untuk melihat kasus yang terjadi dan mengamankan anak/orang bila diperlukan dan merujuk ke lembaga
72
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
mitra yang sesuai dengan kebutuhannya Program Rehabilitasi Sosial: Sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan sosial dari keadaan yang tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik yang berbasis intitusi/lembaga dengan pendekatan pada individu dan kelompok, yang bertujuan agar penerima manfaat bisa memahami fungsi sosialnya dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik di masyarakat 4. Temuan kasus 1. Penyebab anak berkonflik dengan hukum sebagian besar (90%) adalah orang tua, sehingga intervensi terhadap orang tua (FDS) perlu mendapat perhatian yang lebih. 2. Diversi dalam undang undang No.11 tahun 2012 terindikasi adanya pemanfaatan anak oleh orang dewasa terutama dalam kasus curanmor dan narkoba. 3. Kurangnya sosialisasi, sehingga pemenuhan hak anak dalam proses penyelesaian masalah anak berhadapan hukum masih belum bisa dilakukan. (misal : masih ada kekerasan, ditahan bersama orang dewasa, tidak diikutsertakan dalam ujian). 4. Walaupun sudah dilakukan mediasi dan menghasilkan kesepakatan perdamaian namun karena ancaman pasalnya lebih dari 7 tahun atau kasus pemgulangan maka tidak dapat dilakukan diversi dan perkara tetap dilanjutkan. 5. Ada perasaan rendah diri dari anak akibat dari pemisahan tempat antara ABH dan reguler. Terlebih lagi anak yang ditempatkan di kamar yang ada terali besinya. 6. Jumlah LPKS di Propinsi NTB masih terbatas, sehingga masih kesulitan dalam menjangkau kasus ABH di luarkota Mataram (pulau Sumbawa). 7. Belum ada turunan dari undang undang No. 11 tahun 2012 berupa peraturan pemerintah sehingga masih ada perbedaan persepsi dan masih memakai aturan sebelumnya. 8. Saksi anak dengan pelaku orang dewasa, masih dihadirkan dalam ruang sidang dewasa. Undang undang No 11 tahun 2012 di lapangan masih ada gesekan dengan peraturan lain terutama tentang kasus narkoba.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
73
4. PSMP TODDOPULI MAKASSAR Penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Hakikat pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat yang memiliki harkat dan martabat dimana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan. Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) “Toddopuli” Makassar adalah panti sosial yang melaksanakan fungsi pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), anak bermasalah sosial atau anak nakal yang berada di wilayah Kawasan Timur Indonesia dengan kapasitas daya tampung untuk 120 anak. PSMP “Toddopuli” Makassar mulai tahun 2014 selama satu tahun anggaran memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak-anak yang berada dalam jangkauan pelayanan di Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, NTT, serta Papua. Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan anak bermasalah sosial atau anak nakal di PSMP “Toddopuli” Makassar dilaksanakan melalui beberapa tahapan kegiatan pelayanan yang meliputi : kegiatan sosialisasi program dan pelayanan panti, kegiatan pendekatan awal, kegiatan penerimaan, kegiatan pemahaman dan pengungkapan masalah (assessment), kegiatan penempatan ke dalam program pelayanan, kegiatan pelaksanaan program pelayanan (bimbingan sosial, bimbingan mental keagamaan, bimbingan fisik, bimbingan keterampilan), evaluasi, resosialisasi dan bimbingan lanjut.
74
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), anak bermasalah sosial (anak nakal) lebih di arahkan kepada pembentukan sikap mental dan perilaku yang normatif agar menjadi remaja yang produktif dan berbudi pekerti yang luhur. A. Tugas dan Fungsi 1. Tugas Tugas pokok PSMP “Toddopuli” Makassar adalah melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan anak bermasalah sosial lainnya sebagai penerima manfaat pelayanan dalam bentuk bimbingan sosial, bimbingan mental keagamaan, bimbingan fisik, bimbingan pelatihan keterampilan kerja (komputer, elektronika, tata rias, meubel, penjahitan, perbengkelan otomotif dan las), resosialisasi serta bimbingan lanjut agar penerima manfaat mampu beradaptasi dengan lingkungan dalam melaksanakan peran sosialnya di masyarakat dengan baik. 2. Fungsi PSMP “Toddopuli” Makassar dalam melaksanakan tugastugasnya mempunyai fungsi sebagai berikut : a. Fungsi preventif Melaksanakan fungsi pencegahan terhadap munculnya permasalahan dan meluasnya permasalahan sosial yang biasa sering terjadi pada anak/remaja yang berhadapan dengan hukum dan anak yang rawan atau yang sedang mengalami masalah sosial dengan memberikan pembinaan dan bimbingan sosial mental keagamaan serta keterampilan sebagai bekal mempersiapkan masa depan mereka. b. Fungsi rehabilitatif Melaksanakan fungsi rehabilitasi untuk memulihkan dan memperbaiki keberfungsian sosial Anak Berhadapan dengan Hukum dan anak yang sedang menghadapi permasalahan sosial agar memiliki motivasi dan kepercayaan diri dalam mengembangkan potensi diri menjadi insan yang produktif dan mandiri untuk masa depan mereka.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
75
c. Fungsi penunjang Melaksanakan pembinaan kepada anak berhadapan dengan hukum dan anak yang sedang menghadapi permasalahan sosial melalui bimbingan sosial, mental keagamaan dan bimbingan keterampilan guna mendukung usaha pembangunan kesejahteraan sosial terutama dalam upaya mewujudkan kesejahteraan anak. B. Visi dan Misi 1. Visi Terwujudnya pelayanan rehabilitasi sosial pada penerima manfaat agar menjadi produktif dan berbudi pekerti yang luhur. 2. Misi a. Mengembangkan potensi penerima manfaat secara optimal melalui pembinaan mental, sosial, keagamaan dan ketrampilan yang bermutu guna keberfungsian sosial. b. Menjalin kerjasama dengan lembaga instansi terkait untuk meningkatkan program pelayanan dan penciptaan sistem sumber bagi penerima manfaat. C. Struktur Organisasi PSMP ”Toddopuli” Makassar merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Lingkungan Kementerian Sosial Republik Indonesia yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial yang sehari-hari secara fungsional dibina oleh Direktur Kesejahteraan Sosial Anak, maka berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 106/HUK/2009 mempunyai susunan Struktur Organisasi terdiri dari 5 bagian, yaitu : 1. Pimpinan/Kepala Panti 2. Sub. Bagian Tata Usaha 3. Seksi Program dan Advokasi Sosial 4. Seksi Rehabilitasi Sosial 5. Kelompok Jabatan Fungsional
76
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
KEBIJAKAN DAN LANGKAH-LANGKAH A. Kebijakan Pembangunan kesejahteraan sosial sebagai bagian dari kesejahteraan rakyat adalah upaya dan gerakan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan sosial oleh dan untuk seluruh rakyat Indonesia, yang dilakukan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial sebagaimana amanat UUD 1945. Oleh karena itu setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan sekaligus mempunyai kewajiban yang sama pula untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Kebijakan yang diterapkan dalam melaksanakan program pelayanan dan rehabilitasi sosial di PSMP “Toddopuli” Makassar yaitu mengarah pada usaha perlindungan, pembentukan sikap mental dan pemenuhan taraf kesejahteraan sosial anak untuk mempersiapkan masa depan yang sebaik-baiknya. Adapun kebijakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan anak nakal atau anak yang sedang bermasalah sosial adalah : 1. Meningkatkan dan memeratakan pelayanan sosial terhadap anak penyandang permasalahan sosial khususnya Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan anak nakal di wilayah jangkauan pelayanan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, NTT, serta Papua. 2. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme pelayanan. 3. Memperluas jangkauan wilayah pelayanan (Kawasan Indonesia Timur). 4. Meningkatkan relasi dan kerjasama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan semangat usaha kemandirian bagi penerima manfaat yang telah mengikuti program pelayanan di PSMP “Toddopuli” Makassar. B. Langkah-langkah Adapun langkah-langkah yang dilakukan PSMP “Toddopuli” Makassar guna mendukung terwujudnya kebijakan tersebut di atas adalah :
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
77
1. Membangun sistem informasi serta sosialisasi program pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan anak nakal/anak yang menghadapi masalah sosial. 2. Meningkatkan manajemen pelayanan sosial yang mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan serta koordinasi atau keterpaduan, sehingga mencerminkan pengelolaan pelayanan sosial yang professional, semakin berkualitas dan akuntabel. 3. Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan instansi dan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, NTT serta Papua untuk memeratakan jangkauan sasaran pelayanan 4. Melaksanakan kegiatan work shop kejurnalisan bagi seluruh petugas kehumasan Pemerintah/Polri dan para jurnalis, LSM/ NGO, kalangan akademisi, serta wartawan media cetak, elektronik dan radio yang peduli Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). 5. Turut serta dalam penyelenggaraan Pameran Expo Indotera (Pameran Indonesia Sejahtera) yang diadakan di Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk mensosialisasikan atau mengkampanyekan program PSMP “Toddopuli” Makassar melalui tanya jawab dengan pengunjung pameran, pendistribusian brosur, sticker, poster, kalender, majalah maupun merchandise yang berkaitan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). 6. Melaksanakan Talk Show dengan SUN TV Sulawesi Selatan di Trans Studio, Press Gathering di Kabupaten Bantaeng, dan Dialok Interaktif melalui radio swasta di 4 (empat) daerah Kabupaten/ Kota se-Sulawesi Selatan. 7. Menjalin kerjasama dengan mitra usaha agar dapat membantu penyerapan tenaga kerja bagi penerima manfaat yang telah selesai mengikuti program pelayanan sosial di PSMP “Toddopuli” Makassar.
PELAKSANAAN KEGIATAN A. Sosialisasi Program dan Pelayanan Panti Pelayanan Sosial bagi penerima manfaat khususnya ABH telah dituangkan dalam MoU antara Departemen Sosial RI Nomor : 12/
78
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
PRS-2/KPTS/2009, Departemen Hukum dan HAM RI Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor : 11/XII/KB/2009, Departemen Kesehatan RI Nomor : 1220/Menkes/SKB/XII/2009, Departemen Agama RI Nomor : 06/ XII/2009, dan Kepolisian Negara RI Nomor : B/43/XII/2009Tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum sebagai bentuk upaya mengimplementasikan berbagai instrumen baik yang bersifat nasional maupun internasional telah dilaksanakan, namun sampai saat ini belum maksimal mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari para aparat penegak hukum. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dibuat Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 166 A/KMA/SKB/XII/2009, Jaksa Agung RI Nomor : 148 A/A/ JA/12/2009, Kepala Kepolisian Negara RI Nomor : B/45/XII/2009, Menteri Hukum dan HAM RI Nomor : M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, Menteri Sosial RI Nomor : 10/PRS-2?KPTS/2009, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor : 02/Men.PP dan PA/XII/2009 Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum untuk memperkuat MoU yang telah ada. Hanya saja penegakan hukum yang berdimensi terhadap penanganan ABH belumlah memiliki standar yang baku, meskipun Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 1997 dan Undang Undang Nomor: 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah diberlakukan. Demikian pula tentang pedoman pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi ABH juga belum tersosialisasikan secara luas, oleh karenanya guna mengimplementasikan hal tersebut diatas dilaksanakan sosialisasi program pelayanan dan rehabilitasi PSMP ”Toddopuli” Makassar. Sosialisasi program dilaksanakan untuk memperkenalkan program-program pelayanan yang ada di Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar seperti: pelayanan bagi anak berhadapan dengan hukum, korban trafficking, dan masalah sosial lainnya.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
79
Mengingat permasalahan yang dialami dan dihadapi oleh penerima manfaat sangat kompleks, untuk itu dituntut penanganan yang melibatkan beberapa disiplin ilmu. Disamping itu, guna mendapatkan hasil yang optimal perlu dikembangkan sistem keterpaduan lintas program, baik yang bersifat sistem maupun inter-sektoral. Adapun perolehan dari sosialisasi program, penerima manfaat mendapat dukungan dari instansi terkait berupa kesempatan memperoleh lapangan pekerjaan, dukungan baik secara moril maupun materil dan lain-lain. Berikut ini tabel kegiatan sosialisasi program dan pelayanan panti selama periode tahun 2014. Tabel 9. Kegiatan Sosialisasi Program dan Pelayanan Panti Tahun 2014 NO
JENIS KEGIATAN
TUJUAN
KENDALA
PEMATERI
(1)
(2)
(4)
(5)
1
Press Gathering di Kabupaten Bantaeng
Agar program pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, korban traficking, dan masalah sosial lainnya yang dialami oleh anak dapat diketahui oleh masyarakat dan dapat membantu penerima manfaat melaksanakan fungsi sosialnya secara baik di masyarakat
Aparat hukum dan masyarakat mengetahui program pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, anak korban traficking, dan masalah sosial lainnya yang dialami oleh anak di Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar
-
- Nur Alam (Humas PSMP Toddopuli Makassar) - Kompol Jamila Nompo (Kanit PPA Polda SulSel) - Andika Pratama (LSM Pemerhati Hati Anak)
2
Penyelenggaraan kegiatan Workshop Jurnalistik dan Kehumasan
Agar program pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum,
Aparat hukum dan masyarakat mengetahui program pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum,
-
- Dr. Syamsu Rijal MI, S.Sos, M.Si (Wakil Walikota Makassar)
80
(3)
HASIL
(6)
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
korban trafficking, dan masalah sosial lainnya yang dialami oleh anak dapat diketahui oleh masyarakat dan dapat membantu penerima manfaat melaksanakan fungsi sosialnya secara baik di masyarakat
anak korban traficking, dan masalah sosial lainnya yang dialami oleh anak di Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar
- Kompol Jamila Nompo (Kanit PPA Polda SulSel) - Hj. Suriaty, S.Sos (Kepala PSMP Toddopuli Makassar)
3
Penyelenggaraan kegiatan dialog interaktif media radio di Kabupaten Polman dan Majene Prov. Sulawesi Barat
Agar program pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, korban trafficking, dan masalah sosial lainnya yang dialami oleh anak dapat diketahui oleh masyarakat dan dapat membantu penerima manfaat melaksanakan fungsi sosialnya secara baik di masyarakat
Aparat hukum dan masyarakat mengetahui program pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, anak korban traficking, dan masalah sosial lainnya yang dialami oleh anak di Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar
- Kompol Jamila Nompo (Kanit PPA Polda SulSel) - Wahidin, AKS, M.Si (PSMP Toddopuli) - Nur Alam (PSMP Toddopuli)
4
Penyelenggaraan kegiatan dialog interaktif media radio di Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba Prov. Sulawesi Selatan
Agar program pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, korban trafficking, dan masalah sosial lainnya yang dialami oleh anak dapat diketahui oleh masyarakat dan dapat membantu penerima manfaat melaksanakan fungsi sosialnya secara baik di masyarakat
Aparat hukum dan masyarakat mengetahui program pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, anak korban trafficking, dan masalah sosial lainnya yang dialami oleh anak di Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar
- Kompol Jamila Nompo (Kanit PPA Polda SulSel) - Budi Dharma Saputra, S.Sos (PSMP Toddopuli)
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
81
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
5
Penyelenggaraan kegiatan Workshop Jurnalistik dan Kehumasan
Agar program pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, korban trafficking, dan masalah sosial lainnya yang dialami oleh anak dapat diketahui oleh masyarakat dan dapat membantu penerima manfaat melaksanakan fungsi sosialnya secara baik di masyarakat
Aparat hukum dan masyarakat mengetahui program pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, anak korban trafficking, dan masalah sosial lainnya yang dialami oleh anak di Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar
-
- Andi Astrid Fauziah Abidin(Ketua Jurusan komunikasi UVRI Makassar - Zena Rahmat (SUN TV) - Fotografer Harian Kompas
6
Pengadaan Leaflet/brosur
Tersedianya 400 eksemplar leaflet/brosur tentang tahapan kegiatan di PSMP Toddopuli Makassar
-
7
Pengadaan Majalah Empati
Tersedianya majalah sebanyak 2 edisi
Sumber Data: Seksi PAS dan Humas
B. Penerimaan Calon Penerima Manfaat Kegiatan ini meliputi: 1. Registrasi Registrasi adalah kegiatan pencatatan data Identifikasi Penerima Manfaat yang defenitif. Tujuan utama kegiatan ini adalah diperolehnya Identitas penerima manfaat secara tertib. Adapun kegiatan tersebut dilaksanakan selama enam(6) hari antara lain: pencatatan identitas penerima manfaat, keluarga, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Disamping itu juga pemberian nomor (penomoran) untuk buku induk, observasi terhadap penerima manfaat, pemberian perlengkapan tempat tidur, mandi dan kebersihan, serta penempatan dalam asrama.
82
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Identifikasi Identifikasi adalah kegiatan untuk mengenali dan mengkaji lebih lanjut kondisi objektif penerima manfaat dan lingkungannya agar dapat diketahui dan ditetapkan kebutuhan-kebutuhan pelayanan dan rehabilitasi yang diperlukan dan faktor pendukung serta penghambat dalam penanganan masalah penerima manfaat. Kegiatan yang dilakukan berupa pengumpulan data, pengelompokkan data, analisis serta perumusan hasil identifikasi. Data Penerima Manfaat Yang telah diregistrasi adalah sebanyak 185 Anak dengan rincian : Data ABH Murni Berjumlah
: 83 Orang
Laki - laki
: 80 Orang
Perempuan
: 3 Orang
Rawan Nakal
: 102 Orang
Jenis Kasus Kasus Pencurian
: 50 Orang
Senjata Tajam
: 10 Orang
Pelecehan Seksual
: 6 Orang
Narkotika
: 16 Orang
Penganiyaan
: 1 Orang
Korban Kekerasan Seksual/Titipan : 2 Orang Data Sosial Support Tabungan ABH: 10 Orang dengan rincian : Kabupaten Gowa : 4 Orang ( Saksi Dan Korban) Makassar
: 6 Orang (Pelaku)
Penerima Manfaat Yang Sudah Disalurkan Ke Perusahaan Alifa Motor
: 2 Orang
Sumber Jaya Motor
: 2 Orang
Bengkel Las Classic
: 3 Orang
Data ABH Didalam Panti berjumlah : 120 Orang
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
83
3. Orientasi Lingkungan Sosial Orientasi Lingkungan Sosial bertujuan untuk mempercepat proses adaptasi dan interaksi penerima manfaat dengan lingkungan panti, menjalin kesetiakawanan sosial antar penerima manfaat dengan penerima manfaat dan antar penerima manfaat dengan karyawan panti, serta untuk membentuk kesiapan fisik dan mental penerima manfaat dalam mengikuti program pelayanan dan rehabilitasi sosial di Panti Sosial Marsudi Putra Toddopuli Makassar. Kegiatan OPP dilaksanakan selama 4 (empat) hari dengan jumlah peserta 120 orang penerima manfaat yang berasal dari berbagai daerah di kawasan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Papua. Adapun hasil yang dicapai dalam kegiatan tersebut adalah : a. Penerima Manfaat mengenal Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar. b. Penerima Manfaat mengetahui dan memahami hak dan kewajiban di PSMP ”Toddopuli” Makassar. c. Penerima Manfaat memiliki rasa kesetiakawanan sosial. d. Penerima Manfaat memiliki kedisiplinan. Sasaran dalam kegiatan Orientasi Lingkungan Sosial (OLS) adalah seluruh penerima manfaat Angkatan XXIII Tahun 2014, berjumlah 120 orang dan berasal dari berbagai daerah di kawasan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Ende, Alor dan Papua. C. Penelaahan dan Pengungkapan Masalah (Assessment) Penelaahan dan pengungkapan masalah atau assessment merupakan kegiatan yang terencana untuk menafsirkan atau memprediksi tentang keadaan penerima manfaat yang dikaitkan dengan keadaan yang akan datang. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan dan jati diri penerima manfaat. Oleh sebab itu penerima manfaat harus mengikuti pemeriksaan dan pengukuran assessment yang dilaksanakan oleh pegawai yang sudah pernah mengikuti pendidikan serta pelatihan assessment. Kegiatan asessment meliputi:
84
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
a. Pemeriksaan aspek fisik. Kegiatan ini terdiri dari: Pengukuran tinggi badan, pengukuran berat badan, tes kekuatan punggung dan genggam, serta tes buta warna. b. Pemeriksaan aspek mental psikologis. c. Pemeriksaan aspek minat dan mental psikologis. Tes ini bertujuan untuk mengetahui minat dan kepribadian penerima manfaat. Tes ini terdiri dari Tes warteg yaitu tes yang dilakukan dengan membuat gambar disetiap kotak dan menjadikan tanda-tanda kecil yang ada disetiap kotak bagian gambar yang akan dibuat, yang bertujuan untuk mengetahui kepribadian penerima manfaat khususnya motivasi, penyesuaian diri, serta penyelesaian terhadap masalah. Tes Grafis yaitu tes yang dilakukan oleh penerima manfaat dengan membuat gambar orang dan pohon yang bertujuan untuk mengetahui kepribadian dari penerima manfaat. Tes RMIB yaitu tes yang dilakukan dengan mengurutkan pilihan minat yang diinginkan, yang bertujuan untuk mengetahui minat dari penerima manfaat. d. Wawancara aspek Sosial. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan penerima manfaat dalam bersosialisasi dengan teman-temannya di asrama serta kegiatan penerima manfaat sehari-hari. Selain kegiatan tersebut diatas, harus ada pula pertimbangan mengenai latar belakang pendidikan dan kondisi daerah asal penerima manfaat serta pasaran kerja di daerahnya. Kegiatan ini dilaksanakan secara bergantian bagi semua penerima manfaat dan berlangsung secara on-off mengikuti datangnya penerima manfaat. Setelah data dari assessment akurat, barulah diajukan guna dibahas dalam Case Confrence (CC). Case Confrence bertujuan untuk menempatkan penerima manfaat pada salah satu jenis keterampilan yang ada di panti. D. Penempatan Kedalam Program Penempatan penerima manfaat di dalam program/keterampilan merupakan tindak lanjut dari kegiatan CC yang telah dilaksanakan dengan mempertimbangkan berbagai aspek antara lain: aspek fisik, Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
85
aspek mental psikologis, dan aspek keterampilan, selain itu kondisi daerah asal dan pasaran kerja penting menjadi perhatian. Adapun penempatan penerima manfaat kedalam program keterampilan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 10. Data Penerima Manfaat berdasarkan Hasil Case Confrence Tahun2014 NO
KETERAMPILAN
JUMLAH
1.
Tata Rias
13
2.
Penjahitan
9
3.
Elektronika
13
4.
Otomotif
85
5.
Meubel
7
6.
Komputer
7.
Las JUMLAH
KET
21 36 185
Sumber Data: Seksi Rehabilitasi Sosial
E. Pelaksanaan Pelayanan (Bimbingan Sosial, Mental Keagamaan, Fisik dan Keterampilan) 1. Bimbingan Fisik dan Mental mencakup: a. Bimbingan Pemeliharaan Kesehatan dan Lingkungan Kegiatan ini mengarahkan penerima manfaat pada perkembangan sikap dan perilaku positif penerima manfaat tentang kondisi fisik dan kesehatannya. Pelayanan kesehatan di PSMP ”Toddopuli” Makassar dilakukan oleh dua orang perawat dan seorang dokter (kerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan), yang bertujuan untuk menentukan kondisi fisik penerima manfaat serta pemberian informasi mengenai pemeliharaan kesehatan diri dan lingkungan mulai dari mandi yang sehat dan bersih, merapikan tempat tidur, membersihkan kamar, ruang wisma, dan lain-lain yang berkaitan dengan kebersihan, kesehatan diri dan lingkungan.
86
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Berikut ini data penyakit yang diderita penerima manfaat selama tahun 2014. Tabel 11. Data Penyakit Yang Diderita Penerima Manfaat Tahun 2014 NO
Jenis Penyakit
Jumlah Penderita
Prognosa
1
Infeksi Saluran pernafasan (ISPA)
107 orang
Membaik
2
Sakit Kepala
112 orang
Membaik
3
Dermatitis
128 orang
Membaik
4
Mialgia
57 orang
Membaik
5
Asma
13 orang
Membaik
6
Gastritis
67 orang
Membaik
7
Luka/Cedera/Keseleo
54 orang
Membaik
8
Cacar Air
1 orang
Membaik
9
Bisul
4 orang
Membaik
10
Disminore
6 orang
Membaik
11
Sakit gigi
45 orang
Membaik
12
Insomnia
4 orang
Membaik
13
Anemia
24 orang
Membaik
14
Diare
9 orang
Membaik
15
Sariawan
12 orang
Membaik
16
Sakit mata
42 orang
Membaik
17
Demam
31 orang
Membaik
18
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
2 orang
Membaik
19
Sipilis
1 orang
Membaik
Ket.
Sumber Data: Seksi Rehabilitasi Sosial
b. Bimbingan Olah Raga/Senam Kegiatan ini bertujuan untuk pembinaan fisik pada penerima manfaat yang berguna bagi pemulihan kesehatan dan kesegaran jasmani serta menanamkan kedisiplinan pola
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
87
hidup sehat. Adapun bentuk kegiatan antara lain : 1) Baris-berbaris dan latihan dasar 2) Senam Pagi 3) Senam Kesegaran Jasmani 4) Permainan olahraga dan seni 5) Pemberian informasi kesehatan c. Bimbingan Mental Keagamaan Bimbingan Mental Keagamaan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penerima manfaat dalam menjalankan ibadah agama, guna meminimalisir terhadap pengaruh buruk lingkungan sosialnya dan mampu berintegrasi sosial secara wajar dimasyarakat. Adapun pemberian pembinaan berupa; pendidikan teori dalam kelas, belajar sholat berjamaah, belajar membaca Al - Qur’an (Iqra dan Tajwid), latihan ceramah, serta latihan pembacaan kultum. Tabel 12. Data Penerima Manfaat dalam Bimbingan Mental Keagamaan Tahun 2014
NO
Jenis Kegiatan
Jumlah Anak yang telah mampu mengikuti kegiatan
Jumlah Anak yg blm mampu mengikuti kegiatan
1
Shalat
95 orang
10 orang
2
Membaca Iqra
95 orang
10 orang
3
Membaca Al-Qur’an
75 orang
30 orang
4
Hafalan surah-surah pendek
60 orang
45 orang
5
Ceramah Shalat Jum’at
15 orang
70 orang
6
Kultum
60 orang
45 orang
Ket
Non Muslim 15 Orang
Sumber Data: Seksi Rehabilitasi Sosial
d. Bimbingan Psikologis Pemberian bimbingan mental psikologis bagi penerima manfaat diharapkan dapat menstimulasi tumbuh dan berkembang sesuai
88
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
dengan tugas-tugas perkembangannya.Sehingga penerima manfaat dapat terbentuk konsep diri yang positif, serta berfungsi secara sosial di masyarakat. Pemberian bimbingan psikologis antara lain berupa : 1) Mencatat dan mempelajari perkembangan sikap mental penerima manfaat 2) Memahami diagnosa permasalahan yang dihadapi penerima manfaat dan mencari pemecahannya 3) Mengadakan konseling individu maupun kelompok dalam rangka terapi penerima manfaat. Tabel 13. Data Jenis Masalah Penerima Manfaat Tahun 2014 NO
Jenis Masalah
Jumlah Anak
Tindakan
1
Perkelahian
19 orang
CC, Konseling
2
Takut
12 orang
Konseling
3
Cemas
39 orang
Konseling
4
Melanggar tata tertib
16 orang
CC, Konseling
5
Membolos keterampilan
5 orang
CC, Konseling
6
Tidak percaya diri
7
Impulsif
8
Kurang disiplin
9
Melanjutkan pendidikan yang tengah diikuti
11 orang
CC, Konseling, Home Visit
10.
Melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
2 orang
CC, Home Visit, Konseling
12 orang
Konseling
2 orang
Konseling
18 orang
Konseling
Ket.
Sumber Data: Tim CC
2. Bimbingan Sosial Kegiatan ini bertujuanuntuk menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan sikap dan keterampilan sosial dimasyarakat, sehingga mereka mampu melakukan fungsi dan peranan sosialnya. Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
89
Materi yang diperoleh oleh Penerima Manfaat dalam kegiatan bimbingan sosial adalah; a. Permildas dan Kamtibmas b. Kewarganegaraan c. Budi pekerti d. Advokasi Sosial e. Dinamika Kelompok f. Motivasi dan Relasi Sosial g. Kesehatan diri dan Lingkungan h. Interaksi dan bekomunikasi i. Tingkah Laku dan Lingkungan Sosial 3. Bimbingan Keterampilan Kerja Bimbingan ini dimaksudkan untuk menanamkan, menumbuhkan mengembangkan pengetahuan dan kemampuan penerima manfaat dalam bidang usaha/kerja, sehingga mereka memperoleh atau dapat menciptakan pekerjaan sebagai sumber kehidupan dan penghidupan bagi diri dan keluarganya. Jenis keterampilan yang diberikan pada penerima manfaat antara lain: a. Keterampilan Otomotif b. Keterampilan Elektronika c. Keterampilan Meubel d. Keterampilan Las e. Keterampilan Komputer f. Keterampilan Penjahitan g. Keterampilan Tata Rias 4. Resosialisasi Resosialisasi merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pelayanan dan rehabilitasi Sosial bagi anak yang berkonflik dengan hukum agar penerima manfaat diintegrasikan kembali ke dalam suatu kehidupan sosial budaya. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai upaya penyiapan penerima manfaat dan keluarga untuk
90
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menumbuh kembangkan kemampuan penerima manfaat dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kegiatan Resosialisasi meliputi: Widyawisata, Kewirausahaan, Praktek Belajar Kerja (PBK)/magang, Bimbingan Sosial Keluarga serta Penempatan Kerja/Penyaluran. a. Praktek Belajar Kerja Salah satu usaha untuk melihat dan mengukur keberhasilan pelayanan dan rehabilitasi sosial di dalam panti maka dilaksanakanlah Praktek Belajar Kerja ( PBK ). Hal ini dilakukan untuk melihat dan mengukur kesiapan kerja penerima manfaat, baik dipandang dari keterampilan kemampuan kerja, sikap dan prilaku serta emosi penerima manfaat. Oleh sebab itu PBK ini juga dirancang sebagai proses resosialisasi penerima manfaat sebelum kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat setelah menjalani proses rehablitasi di panti. Hal ini disebabkan karena dari proses pelaksanaan PBK ini dapat dilihat kemampuan penerima manfaat dalam bekerja, bersikap dan beradaptasi dengan lingkungan kerja dan lingkungan masyarakat disekitar tempat kerja. Melihat manfaat dan keuntungan yang bisa didapatkan dan diperoleh dari pelaksanaan PBK, maka pelaksanaan PBK menjadi penting dan sudah seharusnya dilaksanakan pada PSMP Toddopuli Makassar. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung dan menunjang keberhasilan proses pelayanan rehabilitasi sosial pada panti. Dengan demikian Program Pelayanan Rehabilitasi Sosial pada PSMP Toddopuli Makassar dapat terus dievaluasi dari waktu ke waktu yang pada akhirnya mutu pelayanan yang diberikan dapat terus meningkat. Praktek Belajar Kerja (PBK) dilaksanakan 2 (dua) kali dalam setahun.PBK pertama pada tanggal 19 Mei s/d 1 Juli 2014 dengan diikuti oleh 21 penerima manfaat. Sedangkan PBK yang kedua sebelum dilaksanakan Praktek diperusahaan diadakan pembekalan PBK kepada peserta yang dilaksanakan selama 1 hari yaitu tanggal 23 September 2014 Praktek Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
91
Belajar Kerja diperusahaan dilaksanakan selama 30 hari kerja dari tanggal 24 September s/d 04 November 2014. Tempat pelaksanaan dilakukan di 25 (Dua puluh lima) lokasi di perusahaan sekota Makassar sesuai dengan jenis keterampilan yang terdapat di PSMP Toddopuli Makassar. Adapun ke-25 ( Dua puluh lima ) perusahaan tersebut adalah: ( terlampir ). b. Ujian Akhir/ Evaluasi Peningkatan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial bagi Penerima Manfaat PSMP “Toddopuli Makassar melalui seksi rehabilitasi sosial, perlu dilaksanakan ujian tahap akhir bimbingan mental, sosial, fisik dan keterampilan tingkat dasar bagi penerima manfaat PSMP “Toddopuli” Makassar angkatan XXIII tahun anggaran 2014 yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pelayanan yang telah dilaksanakan selama 1 tahun di panti. Ujian akhir dilaksanakan melalui bebrapa tahap yaitu : 1) Ujian teori tentang bimbingan sosial, mental keagamaan, dan ketrampilan dilaksanakan pada tanggal 1 s/d 2 Desember 2014. 2) Ujian praktek bimbingan fisik dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 2014. 3) Ujian Praktek bimbingan keterampilan dilaksanakan pada tanggal 4 s/d 12 Desember 2014. 4) Ujian ulangan/ her dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2014. c. Pelatihan Kewirausahaan Pelatihan Kewirausahaan bertujuan untuk memberikan pengetahuan, informasi bagi penerima manfaat guna kesiapan memasuki dunia kerja secara mandiri. Pelaksanaan pelatihan kewirausahaan dilaksanakan selama 3 hari kerja yaitu dari tanggal 8 s/d 10Desember 2014 di aula PSMP “Toddopuli” Makassar yang diikuti oleh seluruh penerima manfaat yang akan disalurkan.
92
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Adapun materi bimbingan meliputi : 1) Kebijakan Kementerian Sosial dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Bagi Penerima Manfaat 2) Pengantar Kewirausahaan 3) Peluang Usaha Bagi Tenaga Kerja Muda 4) Membangun Jejaring Kerja 5) Strategi Memulai Usaha Mandiri 6) Pengembangan Sumber Daya Manusia ( SDM ) 7) Manajemen KUBE 8) Informasi Tentang Kredit Perbankan 9) Manajemen Keuangan & Administrasi Pembukuan 10) Seni penyusunan proposal & Praktek Membuat Surat Lamaran Kerja d. Widyawisata Pelaksanaan kegiatan widyawisata dilaksanakan selama 1 hari yaitu pada tanggal 19November2014 di Maros Water Park Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan yang diikuti oleh seluruh penerima manfaat, pegawai organik dan non organik, serta ibu - ibu Dharma Wanita PSMP “ Toddopuli “ Makassar. Adapun tujuan kegiatan tersebut adalah; 1) Agar para penerima manfaat tidak merasa jenuh selama masa rehabilitasi dalam panti 2) Agar para penerima manfaat dapat berbaur dengan yang lainnya terutama dengan para penerima manfaat itu sendiri dan para pegawai serta keluarga pegawai. 3) Secara tidak langsung dengan adanya kegiatan seperti ini Panti Sosial Marsudi Putra Toddopuli Makassar mensosialisasikan keadaan Panti kepada khalayak masyarakat luas karena dengan rekreasi/widyawisata secara otomatis masyarakat akan tahu keberadaan Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar. 4) Meningkatkan rasa kepedulian masyarakat dari stigma negatif terhadap penyandang masalah sosial yaitu anak berhadapan dengan hukum.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
93
F. Advokasi Sosial 1. Trauma Centre Trauma Centre merupakan salah satu rangkaian kegiatan atau tahapan pelayanan dalam rehabilitasi sosial bagi anak yang bermasalah, dengan tujuan agar anak-anak yang menghadapi masalah keberfungsian sosial yang mengakibatkan perasaan trauma bagi kondisi psikososial anak tersebut, dapat dibina ataupun diberikan bentuk perhatian agar dapat bersosialisasi dengan baik di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan lingkungan dimana anak tersebut berdomisili. Kegiatan ini juga bertujuan untuk menghilangkan trauma yang dialami oleh anak. Trauma Centre ini melibatkan petugas dari Dinas Sosial setempat, para Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang ada di masing-masing daerah, petugas Bapas, serta petugas dari Lapas/Rutan. Kegiatan Trauma Centre telah dilaksanakan sebanyak 6 kali di kabupaten yang berbeda. Keenam Kabupaten tersebut adalah sebagai berikut : Kabupaten Majene, Kota Menado, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Gowa, Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Barru. a. Di Kabupaten Majene ada sebanyak tujuh anak yang mendapatkan pelayanan trauma centre akibat bencana puting beliung. b. Di Kota menado ada 30 anak yang mendapatkan pelayanan trauma centre akibat bencana banjir bandang. c. Di Kabupaten Sidrap ada 4 anak yang mendapatkan pelayanan trauma centre. d. Di Kabupaten Gowa ada 2 anak yang mendapatkan pelayanan trauma centre akibat bencana kebakaran. e. Di Kabupaten Jeneponto ada 2 anak yang mendapatkan pelayanan trauma centre. f. Di Kabupaten Barru tidak ada anak yang mendapatkan pelayanan trauma centre karena sudah selesai menjalani
94
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
masa hukuman dan tinggal di luar daerah. 2. Sosialisasi Program ABH Panti Sosial Marsudi Putra merupakan perwujudan dari mandat Kementerian Sosial RI berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS). Untuk mendukung pelayanan yang optimal maka dilaksanakan kegiatan sosialisasi program untuk memperkenalkan programprogram pelayanan yang ada di Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar. Melihat permasalahan yang dialami dan dihadapi oleh penerima manfaat untuk itu dalam penanganannya perlu melibatkan beberapa disiplin Ilmu. Guna mendapatkan hasil yang optimal perlu dikembangkan sistem keterpaduan lintas program baik yang bersifat sistem maupun inter sektoral. Sosialisasi Program Pelayanan Rehabilitasi bagi ABH bertujuan agar program rehabilitasi sosial bagi ABH dan penanganan ABH dapat dipahami oleh semua instansi pemerintah yang terkait dalam penanganan ABH dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Sasaran dalam kegiatan ini adalah Dinas Sosial, Kepolisian, Bapas, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lapas/Rutan. Ada tiga lokasi kegiatan Sosialisasi ini yaitu : a. Kabupaten Sidrap, dengan jangkauan wilayah sebagai berikut: Kabupaten Sidrap, Kabupaten Wajo, Kabupaten Soppeng, dan Kota Pare-pare. b. Kabupaten Polewali Mandar, dengan jangkauan wilayah sebagai berikut : Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamasa. c. Kabupaten Bantaeng, dengan jangkauan wilayah sebagai berikut : Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Jeneponto, dan Kabupaten Takalar Setiap Kabupaten pesertanya terdiri dari Dinas Sosial, Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
95
Kepolisian, Bapas, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lapas/Rutan. 3. Bimbingan Lanjut Kegiatan Bimbingan Lanjut ini atau dengan kata lain kunjungan kerumah ataupun daerah serta lingkungan sekitar tempat tinggal para eks penerima manfaat yang telah mendapatkan pembinaan ataupun telah mengikuti program rehabilitasi sosial pada Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Toddopuli Makassar. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan atau tahapan pelayanan dalam rehabilitasi sosial bagi anak yang bermasalah secara sosial, yang telah mendapatkan pembinaan pada Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) “Toddopuli” Makassar dengan tujuan untuk melihat langsung kondisi lingkungan sosial ekonomi dan keluarga anak tersebut. Pelaksanaan kegiatan Bimbingan Lanjut ini melibatkan Dinas Sosial setempat, aparat kelurahan/desa, tokoh masyarakat, dan orang tua/wali anak eks penerima manfaat Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) “Toddopuli” Makassar. Ada 16 lokasi pelaksanaan kegiatan Bimbingan Lanjut yaitu di Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Maros, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Wajo, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Takalar, Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Polewali Mandar Adapun hasil dari kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
96
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Tabel 14. Data Daerah Lokasi Binjut Tahun 2014 NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
DAERAH BINJUT
Kab. Luwu Utara Kab. Luwu Timur Kab. Bulukumba Kab. Bantaeng Kab. Pangkep Kab. Maros Kab. Soppeng Kab. Sidrap Kab. Wajo Kab. Pinrang Kab. Takalar Kab. Gowa Kota Makassar Kab. Polewali Mandar Kab. Majene Kab. Mamuju Jumlah
JUMLAH
6 10 1 4 2 2 13 2 2 5 1 3 10 6 4 5
Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang
76 Orang
KETERANGAN PUTRA
PUTRI
4 9 3 1 1 12 1 1 5 1 1 8 3 2 3
2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 3 2 2
55
21
Sumber Data: Seksi PAS Tahun 2014
Adapun hasil dari Bimbingan Lanjut di tahun 2014 diperoleh hasil sebagai berikut:
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
97
Tabel 15. Data Hasil Bimbingan Lanjut Tahun 2014 Penerima Manfaat Jenis Keterangan
Bekerja
Membuka Usaha Mandiri
Belum Bekerja
1
Tata Rias
2 orang
-
4 orang
2
Penjahitan
2 orang
6 orang
3 orang
3
Otomotif
11 orang
3 orang
10 orang
4
Las
7 orang
1 orang
3 orang
5
Elektronik
3 orang
4 orang
4 orang
6
Meubel
2 orang
-
2 orang
7
Komputer
2 orang
-
7 orang
29 orang
14 orang
NO
Jumlah
Ket.
33 orang
Sumber Data: Seksi PAS Tahun 2014
4. Pendampingan Sosial ABH Permasalahan anak yang membutuhkan perlindungan khusus terus mengalami peningkatan yang signifikan baik dari sisi kualitas, kuantitas maupun penyebarannya.Meningkatnya aksi kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi pada anak, baik berupa kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, tidak mendapatkan perlindungan khusus yang memadai sehingga anak berulang kali menjadi korban.Anak seharusnya dapat memandang dunia dengan mata berbinar, wajah ceria dan hidup aman tenteram di bawah kasih sayang dan perlindungan keluarga, serta memperoleh jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya. Adapun maksud dan tujuan dari kegiatan Pendampingan Sosial Anak Berhadapan Hukum ini adalah sebagai berikut : a. Maksud Adalah melaksanakan kegiatan pendampingan psikososial secara langsung kepada ABH (Anak Berhadapan Hukum).
98
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
b. Tujuan 1) Untuk menjamin terpenuhinya hak-hak ABH. 2) Untuk mencegah terjadinya trauma psikis pada ABH Petugas Panti Sosial Marsudi Putra melakukan pendampingan pada penerima manfaat baik berada di dalam panti maupun di luar panti (ABH). Untuk ABH petugas selama tahun 2014 telah 12 kali melakukan pendampingan di Pengadilan Negeri Makassar, Kepolisian, maupun sekolah dengan kasus asusila, pencurian dan penganiayaan. Pada tahun 2014 terdapat 79 ABH yang ditangani berasal dari Lapas Kelas I Makassar, Kepolisian Gowa, Kepolisian Makassar, dan Bapas Makassar, Putusan Pengadilan Negeri Maros serta Putusan Pengadilan Negeri Makassar, dan Putusan Pengadilan Negeri Gowa untuk diberikan pembinaan di Panti Sosial Marsudi Putra Toddopuli Makassar. Data ABH berdasarkan jenis kasus di Tahun 2014 yang tertangani di dalam Panti Sosial Marsudi Putra Toddopuli Makassar adalah sebagai berikut: Tabel 16. Data ABH berdasarkan Kasus Tahun 2014 NO
KASUS
Jenis Kelamin L
P
14
-
1.
Asusila
2.
Pembunuhan
3.
Penganiayaan
11
-
4.
Pencurian
27
-
5.
Perkelahian
5
-
6.
Psikotropika
17
1
7.
Perjudian
-
8.
Pengancaman
-
KET.
JML
-
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
99
9.
Aborsi
10. Membawa sajam
3
-
11. Pemerasan
-
12. Laka Lantas
-
13. Penggelapan TOTAL
1
-
78
1
79
Sumber Data: Seksi PAS Tahun 2014
5. Penjangkauan Layanan Jarak Jauh ABH Program rehabilitasi sosial Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) melalui kegiatan penjangkauan layanan jarak jauh yang dilakukan oleh Panti Sosial Marsudi Putra “Toddopuli” Makassar yang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Kementerian Sosial RI sudah melakukan banyak pembinaan terhadap anak yang melakukan pelanggaran hukum, baik statusnya sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Kegiatan pelayanan ini bersifat rutinitas dengan tujuan untuk memberikan motivasi, arahan dan penguatan bagi para ABH untuk segera memahami dan sadar atas kekeliruan yang telah dilakukannya sehingga keberfungsian sosial mereka dapat berfungsi secara wajar di masyarakat. Selain itu, mengingat daya tampung Panti Sosial Marsudi Putra “Toddopuli” Makassar yang tidak dapat menampung semua ABH yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan, Barat, Tenggara, dan Tengah sehingga dilakukan kegiatan Penjangkauan layanan jarak jauh bagi ABH yang merupakan bagian dari proses rehabilitasi sosial yang dilakukan pada Lapas/Rutan itu sendiri. Ada 4 lokasi pelaksanaan kegiatan Penjangkauan Layanan Jarak Jauh ABH yaitu di Pulau Lae-lae, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Pangkep. Dari ketiga lokasi tersebut diperoleh output sebanyak 25 anak yang ditangani di luar panti.
100
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Kegiatan yang diberikan antara lain pemulihan kondisi psikososial, dinamika kelompok, motivasi dan bimbingan sosial, penguatan nilai dari anak itu sendiri dan orang tuanya. 6. CC (Case Coference) Eksternal Kegiatan Case Coference Eksternal adalah salah satu bentuk program pelayanan PSMP “Toddopuli” Makassar yang menitikberatkan kepada hasil perubahan yang terjadi pada setiap penerima manfaat selama mereka dibina di PSMP “Toddopuli” Makassar. Hasil inilah yang disampaikan kepada orang tua penerima manfaat, tokoh masyarakat dan aparat Dinas Sosial setempat serta untuk menggali informasi tentang potensi-potensi daerah setempat yang disinergikan dengan proses rehabilitasi penerima manfaat tersebut. a. Maksud Membahas perubahan perilaku serta pola sikap anak selama menjalani proses rehabilitasi di PSMP “Toddopuli” Makassar b. Tujuan 1) Menyampikan kondisi penerima manfaat secara umum khususnya yang berasal dari Kabupaten Luwu Utara 2) Membahas perubahan-perubahan baik perilaku, sikap, prestasi-prestasi dan sebagainya yang dilakukan anak kepada semua pihak terkait 3) Mencari solusi terbaik bagi anak terhadap perubahanperubahan perilaku penerima manfaat c. Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam pelaksanaan kegiatan Case Conference Eksternal ini adalah Pemerintah Daerah,para orang tua/wali, Tokoh Agama dan Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat serta Orsos atau lembaga terkait lainnya Case Conference Eksternal telah dilaksanakan sebanyak tiga kali, yaitu di Kabupaten Sidrap, Kabupaten Luwu Timur, dan Kabupaten Luwu Utara. Adapun output pembahasannya Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
101
adalah sebanyak 18 penerima manfaat yang sedang dibina di PSMP Toddopuli Makassar. Kegiatan ini sendiri dihadiri oleh orang tua penerima manfaat itu sendiri, Aparat Dinas Sosial setempat, LSM Pemerhati Anak, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, dan Aparat Desa setempat dimana anak itu berdomisili.
G. Out Bond Outbond (Dinamika Alam Terbuka) secara garis besar dimaksudkan untuk mempermudah penerima manfaat dalam proses beradaptasi dengan lingkungan panti dan untuk mensosialisasikan program pelayanan yang diselenggarakan didalam panti serta proses saling mengenal antara sesama penerima manfaat dengan penerima manfaaat dengan pembina atau staf pegawai Panti Sosial Marsudi Putra “Toddopuli” Makassar. Kegiatan Outbond tahun 2014 dilaksanakan satu kali dengan tempat pelaksanaan Out Bond di kawasan Taman Nasional Bantimurung Kabupaten Maros selama satu hari pada tanggal 10April2014, dengan sasaran kegiatan adalah penerima manfaat dan pegawai PSMP ”Toddopuli” Makassar. Diharapkan dengan kegiatan tersebut penerima manfaat dapat: 1. Saling memiliki sikap keterbukaan dengan yang lain. 2. Memiliki tanggung jawab terhadap tugas-tugasyang diberikan setiap hari di panti. 3. Membina kerjasama dalam kelompok, menjadi pemimpin, dan berkomunikasi secara efektif, dapat mengambil keputusan dengan tepat, mengendalikan diri, berdisiplin dan bertanggung jawab.
H. Terminasi Kegiatan terminasi merupakan akhir dari pelayanan dan bimbingan yang diberikan Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar dengan penerima manfaat, untuk selanjutnya diserahkan pada pembinaan yang baru. Kegiatan ini bertujuan untuk mengakhiri
102
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
pembinaan dan bimbingan yang diberikan pada penerima manfaat. Selanjutnya diharapkan penerima manfaat dapat hidup mandiri baik dibidang ekonomi maupun sosial dan proses pembinaan selanjutnya sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pemda atau Dinas Sosial setempat. Dari 120 penerima manfaat terdapat beberapa anak yang masih harus melanjutkan proses pembinaan, dikarenakan penerima manfaat tersebut masih belum dapat bersosialisasi karena waktu rujukan yang mepet dengan pemulangan serta belum menguasai keterampilan yang telah ditekuni. Disamping itu, penerima manfaat tersebut belum genap satu tahun mengikuti pembinaan di Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar. A. Sumberdaya Manusia Dalam administrasi kepegawaian tercatat bahwa jumlah pegawai di Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar pada bulan Januari 2014 adalah sebanyak 31 orang kemudian sampai akhir tahun 2014 berjumlah 33 orang. Perubahan jumlah data pegawai selama tahun 2014 disebabkan karena ada dua orang pegawai honorer yang terangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Adapun keadaan pegawai Panti Sosial Marsudi Putra “Toddopuli” Makassar dapat dilihat dengan tabel sebagai berikut: Tabel 17.Keadaan Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Golongan Golongan
No.
Tingkat Pendidikan
I
II
III
IV
1
SD
1
-
-
-
1
2
SLTP
2
-
-
-
2
3
SLTA
-
2
1
-
3
No.
Tingkat Pendidikan
I
II
III
IV
D2
-
-
-
-
5
Golongan
Jumlah
Jumlah
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
-
103
6
D3
-
5
-
-
5
7
D4
-
-
3
-
3
8
S1
-
-
13
-
13
9
S2
-
-
5
1
6
10
S3
-
-
-
-
-
Jumlah
3
7
22
1
33
Sumber Data : Sub Bagian Tata Usaha.
Selain itu di Panti Sosial Marsudi Putra ”Toddopuli” Makassar terdapat tenaga honorer/pegawai non organik yang berjumlah 31 orang dapat dilihat pada tabel berkut ini : Tabel 18. Keadaan Tenaga Honorer No
Tenaga Honorer
Tingkat Pendidikan SD
D1
D2
D3
S1
S2
S3
1
Instruktur
-
1
6
-
-
-
1
-
-
8
2
Satpam
-
2
1
-
-
-
1
-
-
4
3
Sopir
-
-
2
-
-
-
-
-
-
2
4
Kebersihan
2
-
2
-
-
-
-
-
-
4
5
Perawat
-
-
1
-
-
-
-
-
-
1
6
Petugas Dapur
3
-
2
-
-
-
-
-
-
5
7
Petugas TBS
-
-
-
-
1
-
1
-
-
2
8
Pesuruh
-
2
1
-
-
1
-
-
-
4
9
Dokter Jumlah
SLTP SLTA
Jml
-
-
-
-
-
-
1
-
-
1
5
5
15
-
1
1
4
-
-
31
Sumber Data: Sub Bagian Tata Usaha
Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia bagi para pegawai, maka PSMP ”Toddopuli” Makassar dalam tahun 2014 mengirim beberapa orang pegawai untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. B. Jejaring Kerja Panti Sosial Marsudi Putra “Toddopuli” Makassar telah
104
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, baik instansi pemerintah, swasta maupun pada pengusaha, diantaranya: 1. Pemerintah daerah se-Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Papua bentuk kerjasamanya yaitu koordinasi dalam hal pengiriman dan pemulangan penerima manfaat. 2. Dinas Sosial se-Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Papua, bentuk kerjasamanya yaitu dalam hal pelaksanaan pendekatan awal dan bimbingan lanjut bagi calon penerima manfaat dan eks penerima manfaat. 3. Rumah Sakit Daya dan Rumah Sakit Umum Sayang Rakyat, bentuk kerjasamanya yaitu memberikan pelayanan medis bagi penerima manfaat yang membutuhkan opname yang dapat dirujuk melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS). 4. Kepolisian, bentuk kerjasamanya yaitu dalam hal pelatihan kedisiplinan , perlindungan hukum dan keamanan bagi penerima manfaat Panti Sosial Marsudi Putra “Toddopuli” Makassar. 5. Instansi pemerintah di lingkup Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, meliputi kerja sama dalam memberikan pelayanan dan pembinaan terhadap anak-anak yang sedang menghadapi masalah dengan hukum atau Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). 6. Lembaga Sosial non Pemerintah di wilayah propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat seperti LPA, Yayasan Cacat Bina Mandiri dan institusi sosial lain yang bergerak dibidang perlindungan dan pelayanan anak. Faktor Pendukung Dan Penghambat A. Faktor Pendukung dalam Pelaksanaan Kegiatan Berbagai faktor yang mendukung keberhasilan pelaksanaan kegiatan pada Panti Sosial Marsudi Putra “Toddopuli” Makassar Tahun 2014 adalah sebagai berikut :
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
105
1. Secara kuantitatif anak nakal atau ABH yang disantun di Panti Sosial Marsudi Putra “Toddopuli” Makassar masih cukup besar, hal ini sangat mendukung terpenuhinya target pelayanan dan rehabilitasi. 2. Adanya dukungan dan partisipasi masyarakat yang dapat menunjang kelancaran proses pelayanan dan rehabilitasi anak nakal dan ABH. 3. Sejalan dengan Undang – Undang Nomor: 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI nomor : 12/PRS-2/KPTS/2009, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional RI nomor : 11/XII/KB/2009, Departemen Kesehatan RI nomor : 1220/Menkes/SKB/XII/2009, Departemen Agama RI nomor : 06/XII/2009, dan Kepolosian Negara RI nomor : B/43/XII/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum, membuktikan bahwa keberadaan PSMP “Toddopuli” Makassar masih sangat dibutuhkan untuk membina anak nakal dan ABH. 4. Terciptanya hubungan kerjasama yang baik antar Panti Sosial Marsudi Putra “Toddopuli” Makassar dengan Instansi terkaitseperti :Kementerian Kesehatan/RSU Daya, LAPAS Kelas II A Pare-pare, Lapas Kelas II A Watampone (Bone), Rutan Makassar, Lapas Makassar, Kementerian Agama, Pengadilan Negeri Makassar, dan BAPAS Makassar. Jalinan kerjasama ini mendukung terlaksananya pemberian pelayanan rehabilitasi yang baik kepada anak berhadapan dengan hukum. 5. Tersedianya kendaraan operasional yang masih layak pakai. B. Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Kegiatan Beberapa faktor yang dihadapi sebagai hambatan dalam pelaksanaan kegiatan pada Panti Sosial Marsudi Putra “Toddopuli” Makassar tahun 2014 adalah sebagai berikut: 1. Sampai akhir Desember 2014 pegawai PSMP Toddopuli Makassar kurang memadai dengan jumlah 33 orang pegawai melayani 120 orang penerima manfaat. Kondisi perbandingan
106
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
ini dianggap kurang memadai, khususnya untuk pembinaan dan pelayanan prima. 2. Masih kurangnya tenaga seperti: Peksos, Arsiparis, Pranata Komputer, Keuangan dan Perencana. 3. Sosialisasi kemasyarakatan untuk menjangkau wilayah kerja PSMP “Toddopuli” Makassar belum dapat dilaksanakan sepenuhnya karena keterbatasan dana, hal ini mengakibatkan ada diantara calon penerima manfaat yang dikirim tidak sesuai dengan persyaratan panti. 4. Kondisi jalan yang masih rusak akibat adanya proyek pembangunan PIP sehingga menyulitkan akses masuk ke PSMP “Toddopuli” Makassar. Hal ini juga yang menyebabkan kurang maksimalnya kinerja pegawai. 5. Anggaran yang dikelola PSMP Toddopuli dirasakan masih kurang guna perbaikan sarana dan prasarana di bidang keterampilan, lingkungan panti dan pengasramaan.
PEMBAHASAN REGULASI Regulasi merupakan seperangkat perturan perundangan yang bertujuan untuk menjalankan kebijakan terkait dengan penyelenggaran rehabilitasi sosial ABH dalam bingkai Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Regulasi terbagi dalam bentang kebijakan yang sifatnya nasional, baik yang bersumber dari sistem perundang-undangan maupun yang terkait dengan tugas, fungsi dan wewenang Kementerian Sosial dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Regulasi secara nasional dan lintas kementerian/lembaga, telah ada beberapa produk hukum yang menjadi pijakan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak ini. Beberapa diantara adalah; 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun. Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
107
3) Peraturan Presiden Nomor 175 Tahun 2014 tentang Pendidikan dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak. 4) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. 5) Keputusan BersamaKetua Mahkamah Agung Republik Indonesia,Jaksa Agung Republik Indonesia,Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia,Menteri Sosial Republik Indonesia,danMenteri Pemberdayaan Perempuandan PerlidunganAnak Republik Indonesia, Nomor:166 A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor:148 A/A/JA/12/2009, Nomor:B/45/XII/2009, Nomor:M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, Nomor:10/PRS-2/KPTS/2009 dan Nomor:02/Men.PP dan PA/ XII/2009TentangPenanganan Anak Yang BerhadapanDenganHukum. 6) Kesepakatan Bersama Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor : 12/PRS-2/ KPTS/2009, Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th. 2009, Nomor : 11/XII/KB/2009, Nomor : 1220/Menkes/SKB/XII/2009, Nomor: 06/XII/2009, Nomor : B/43/XII/2009 Tentang Perlindungan Dan Rehabilitasi SosialAnak Yang Berhadapan Dengan Hukum Sementara itu, untuk tingkat Kementerian Sosial sendiri, telah lahir beberapa produk hukum yang bisa dijadikan payung dalam penyelenggaraan perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi ABH sesuai amanat Undang-Undang, yaitu: 1) Peraturan Menteri Sosial Nomor 09 Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. 2) Keputusan Menteri Sosial Nomor 44/HUK/2015 tentang Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sebagai Pelaksana Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
108
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
3) Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Standar Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. 4) Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor: 110/RSKSA/KEP/2011 Tentang Pedoman Kerjasama Antar Kementerian/ Lembaga Dalam Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Terkait dengan penyiapan regulasi ini, Kementerian Sosial menempuh beberapa strategi, yaitu: 1. Perumusan Standart Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) dan Standart Pelayanan Rehabilitasi ABH di LPKS. Hal ini terbukti dengan telah disyahkannya Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Standar Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. 2. Perumusan Pedoman-pedoman, berupa ; pedoman rehabilitasi Sosial ABH, pendampingan ABH di masyarakat dan Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH. Salah satu produk hokum terkait dengan hal ini adalah dengan lahirnya Peraturan Menteri Sosial Nomor 09 Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. 3. Perumusan tentang Standar Operasional dan Prosedur (SOP) rehabilitasi sosial ABH di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteran Sosial (LPKS). 4. Sertifikasi Pekerja Sosial Profesional. Terkait dengan sertifikasi ini, temuan lapangan menunjukkan masih banyak para Pekerja Sosial Profesional yang belum disertifikasi, walaupun banyak diantara mereka sudah memiliki kualifikasi sebagai pendamping ABH. 5. Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial ABH. Akreditasi ini menjadi penting, mengingat relevansi dengan standart pelayanan bagi ABH. Namun dalam banyak hal, justru Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang ada, seperti PSMP belum tersertifikasi. Sedangkan regulasi pada tingkat mikro adalah merupakan produk kebijakan untuk penyelenggaraan program yang sifatnya lebih teknis. Beberapa hal itu diataranya adalah:
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
109
1) Pedoman Penyelenggaraan Layanan Respon Kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum. 2) Pedoman (draft) Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum Berbasis Keluarga 3) Panduan Sistem Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Antasena Magelang, Jawa Tengah. Sementara itu, pada ketiga PSMP lainnya (PSMP Paramita Mataram, PSMP Handayani Jakarta dan PSMP Toddopuli Makassar) belum memiliki panduan sebagaimana yang ada di PSMP Antasena. Keempat PSMP yang ada ini memiliki tugas dan fungsi yang sedikit berbeda, walaupun keempatnya merupakan lembaga yang ditugaskan oleh kementerian sosial untuk memberikan perlindungan dan pelayanan rehabilitasi bagi ABH.
KELEMBAGAAN Kelembagaan merupakan aspek penting dalam implementasi kebijakan melalui penyelenggaraan setiap kegiatannya. Aspek kelembagaan dalam hal ini meliputi institusi, lembaga yang ditunjuk untuk menyelenggarakan rehabilitasi sosial bagi ABH, juga pembenahan sarana dan prasarananya. Kementerian Sosial, melalui Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, hingga tahun 2015 ini telah menetapkan sebanyak 81 Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Hal demikian sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial Nomor 44/HUK/2015 tentang Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sebagai Pelaksana Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Ke delapan puluh satu LPKS tersebut terdiri atas UPT Pusat, UPT Daerah dan LKS/LPKS Masyarakat/Swasta. Terkait dengan penunjukan lembaga sebagai LPKS ini diperlukan penambahan atau bahkan penyesuaian (rehabilitasi) sarana dan prasaran yang diperlukan guna mendukung penyelenggaraan perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH. Strategi yang ditempuh Kementerian Sosial, untuk memenuhi kecukupan sarana dan prasarana LPKS dengan cara:
110
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Optimalisasi Panti Sosial Anak (Unit Pelaksana TeknisPusat) Pada strategi ini, Kementerian Sosial melakukan pembenahan dan pelengkapan sarana dan prasarana pada keempat Panti Sosial Marsudi Putra (PSM), yaitu PSMP Handayani Jakarta, PSMP Paramita Mataram, PSMP Antasena Magelang Jawa Tengah dan PSMP Toddopuli Makassar, Sulawesi Selatan. Pelengkapan dan rehabilitasi sarana dan prasaran pada keempat PSMP tersebut saat ini masih berlangsung. 2. Optimalisasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Strategi ini ditempuh dengan pertimbangan, di beberapa wilayah/ daerah sebenarnya telah ada Lembaga Kesejahteraan Sosial yang berpotensi dikembangkan sebaga LPKS, dengan melihat karakteristik dan kondisi permasalahan yang dominan pada daerah/wilayah tersebut. Sebagai contoh, dibeberapa daerah telah dibangun Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), hal ini bisa dikembangkan menjadi LPKS yang nantinya akan menangani ABH korban. Atau di beberapa daerah telah terbangun Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) milik Pemerintah Daerah setempat, hal ini sangatv potensial untuk dikembangkan sebagai LPKS baik bagi ABH pelaku (yang berkonflik dengan hukum) maupun ABH korban, dengan menyertakan latihan vokasional maupun bimbingan sosial dan ketrampilan yang ada pada lembaga tersebut. 3. Pelibatan peran serta lembaga/ Lembaga Kesejahteraan Sosial milik masyarakat/ swasta.
Penyelenggaraan
Strategi ini ditempuh dengan jalan memberikan stimulant bagi lembaga/LPKS terpilih (yang ditunjuk oleh Kementerian Sosial). Stimulan ini bisa berupa kucuran dana maupun fasilitas yang diperlukan dalam kaitannya dengan Rehabilitasi Sosial bagi ABH. Kucuran dana stimulan juga digunakan untuk operasional respon kasus pada kegiatan penjangkauan ABH. Bantuan dana untuk respons kasus sebesar Rp. 1.700.000,- (satu juta tujuh ratus ribu rupiah per kasus). Disamping itu juga bantuan dalam bentuk tabungan, Bantuan Sosial Anak (BSA) sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per anak. BSA ini diperuntukan bagi: a). Pemenuhan kebutuhan sehari-hari ABH,
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
111
b). Pembuatan akta kelahiran, dan c). Untuk keperluann aksesibilitas (kesehatan, pendidikan dan lainlain). Untuk mendukung pelaksanaan Undang Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) ini, Tahun 2015 Kementerian Sosial juga sedang merehabilitasi sarana dan prasarana pada 12 (dua belas) LPKS terpilih. Kedua belas LPKS ini adalah merupakan upaya optimalisasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan pelibatan peran serta lembaga/ LPKS milik masyarakat/swasta. Tabel 19. Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (UPTD dan LKS Masyarakat/Swasta Tahun 2015 No.
Nama LPKS
Alamat
1
Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Tengku Yuk
Jl. Jend. Sudirman No. 239 Pekanbaru Prov. Riau
2
Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Dharmapala
Jl. Raya Kayu Agung KM.32 Indralaya Kab. Ogan Ilir Prov. Sumatera Selatan
3
Panti Sosial Anak dan Remaja (PSAR) Tanjung Morawa Deli Serdang
Jl. Industri No. 47 Tanjung Morawa, Deli Serdang Prov. Sumatera Utara
4
Panti Sosial Bina Remaja dan Karya Wanita (PSBRKW) Palangka Raya
Jl. Rajawali No. 10 Palangka Raya Prov. Kalimantan Tengah
5
Rumah Seujahtra Aneuk Meutuah
Jl. Malikulsaleh No. 35 Kec. Kuta Alam - Banda Aceh Prov. Aceh
6
Balai Pengembangan Anak dan Jl. Batanghari No. 2 Kel. Padang Remaja (BPAR) Harapan Harapan - Kota Bengkulu - Prov. Bengkulu
7
Panti Sosial Asuhan Anak dan Bina Remaja Bina Utama (PSAABR) Lubuk Alung
Jl. M. Yamin SH Lubuk Alung Kab. Padang Pariaman Prov. Sumatera Barat
8
Panti Mualaf Al Hijrah
Jl. Beringin No. 166 Kel. Tuladenggi Kec. Dungingi Kota Gorontalo, Prov. Gorontalo
112
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
9
Yayasan Pembinaan Anak Nakal (YPAN) Bina Putera
Jl. Bibis Baru No. 03 Cengklik, Kota Surakarta Prov. Jawa Tengah
10
Yayasan Ianatush-shibyan
Dusun Babakan Rt.001 Rw 001 Desa Sindang Jaya Kec. Mangunjaya Kab. Pangandaran Prov. Jawa Barat
11
Yayasan Maha Bhoga Marga
Jl. Raya Kapal No. 20 Kapal, Mengwi Badung Prov. Bali
12
Yayasan Lembaga Pengembangan Sumber Daya (Le-Pas)
Lintas Dompu-Mbawi KM,09 Kec. Dompu Kab. Dompu Prov. Nusa Tenggara Barat
Sumber : Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, Kementerian Sosial (2015)
4. Pembangunan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial baru Disamping itu, pada tahun yang sama pula Kementerian Sosial telah mengupayakan untuk pembangunan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) baru. Pembangunan LPKS baru ini dengan pertimbangan bahwa pada regional/ wilayah tersebut belum terdapat Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat/Kementerian yang memberikan pelayanan Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial bagi ABH, seperti halnya Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP). Tabel 20. PembangunanLembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Baru Oleh Kementerian SosialTahun 2015 No.
Lokasi LPKS
1
Kota Padang Provinsi Sumatera Barat
2
Provinsi Lampung
3
Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa Timur
4
Provinsi Jawa Barat
5
Kabupaten Padang Lawas Provinsi Sumatera Utara
6
Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah
Sumber : Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, Kementerian Sosial (2015)
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
113
SUMBERDAYA MANUSIA Sumberdaya Manusia sebagai pelaksana program merupakan unsur strategis terhadap keberhasilan maupun keberlanjutan sebuah kebijakan maupun program, tak terkecuali kebijakan dalam perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH yang merupakan amanat Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 kepada Kementerian Sosial. Terkait amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Kementerian Sosial melalui Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak telah menetapkan tiga strategi utama penyiapan SDM, yaitu meliputi : 1. Pekerja Sosial Profesional Penyiapan SDM ini terdiri atas Pekerja Sosial pada Panti Sosial dan Satuan Bhakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) Perlindungan Anak. 2. Tenaga Kesejahteraan Sosial Pekerja Sosial Panti Sosial Masyarakat, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), dan Relawan Sosial. 3. Pengelola Lembaga Penyelengaraan Kesejahraan Sosial/Lembaga Kesejahteran Sosial Anak. Terdiri atas Pimpinan Lembaga dan tenaga teknis lembaga. Terkait dengan penyiapan SDM dalam penanganan ABH, Tahun 2015 Kementerian menganggarkan untuk melatih pekerja sosial pendamping ABH sebanyak 1000 orang. Hal ini terbagi atas 700 merupakan pekerja sosial professional (satuan bhakti pekerja sosial) dan 300 orang dari unsur tenaga kesejahteran sosial. Pelatihan ini merupakan upaya untuk memenuhi kesiapan Kementerian Sosial dalam menyediakan Pekerja Sosial Profesional pendamping ABH. Hanya saja, para Pekerja Sosial Profesional ini (Satuan Bhakti Pekerja Sosial) tidak ditempatkan pada masing-masing LPKS ataupun LKS/LKSA yang memiliki tugas dan fungsi dalam pendampingan bagi ABH. Mereka ditempatkan pada Dinas Sosial Kabupaten/Kota, sehingga dalam beberapa hal kecepatan respons terkait penanganan ABH. Sementara itu, di beberapa LPKS yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), proporsi
114
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
antara Pekerja Sosial Profesional yang ada dengan besarnya kasus yang ditangani tidak sebanding. Sebagai contoh, di empat PSMP, ratarata jumlah Pekerja Sosial (fungsional) berkisar belasan (11-13 orang) saja, dengan jumlah kelayan ABH berkisar 90 - 120 kelayan. Apalagi jumlah Pekerja Sosial pada UPTD, bahkan hanya 3 atau 2 orang saja. Hal demikian jelas tidak sebanding dengan beban permasalahn yang ditangani. Bahkan di beberapa LPKS swasta/masyarakat hanya ada satu pekerja sosial/ Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
115
BAB V PENUTUP KESIMPULAN Secara regulasi, telah cukup banyak peraturan mapun pedoman yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Sosial Terkait dengan upaya Perlindungan dan Rehabuilitasi Sosial bagi ABH ini. Untuk regulasi tingkat Nasional, lahirnya Peraturan Menteri Sosial, Keputusan Menteri Sosial bahkan sampai Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial sepertinya sudah cukup menjadikan dasar bagi penyelenggaraan perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi ABH, khususnya yang berbasis institusi. Justru yang saat ini diperlukan adalah pedoman/petunjuk teknis terkait dengan penyelenggaraan perlindungan sosial bagi ABH dalam skala lembaga. Hal ini mengingat, beberapa LPKS memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Ada LPKS/LKS yang berfungsi untuk perlindungan dan rehabilitasi bagi Anak yang berkonflik dengan hukum. Ada pula LPKS/ LKS/LKSA yang berfungsi melaksanakan perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi korban dan saksi. Bahkan ada pula LPKS yang memiliki tugas dan fungsi menyelenggarakan perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi anak keseluruhan ABH (baik pelaku, korban maupun saksi, seperti miaslnya PSMP Toddopuli Makassar). Tentunya hal ini memiliki beban dan tanggung jawab yang berbeda. Secara kelembagaan, dengan telah ditunjuknya delapan puluh satu lembaga sebaga Lembaga Pnyelenggaraan Kesejahteran Sosial (LPKS) yang berfungsi sebagai upaya perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi ABH, secara nasional masih memungkinkan untuk dipertimbangkan penambahan maupun persebarannya. Terlebih persebaran LPKS ini belum menjawab persebaran permasalahan yang ada di wilayahwilayah tertentu di Indonesia. Oleh karena itu, pemetaan wilayah yang rawan terjadinya pelanggaran hukum bagi anak dengan melibatkan stakeholder terkait, seperti dengan Kementerian Hukum dan HAM dan Kepolisian, harus terus meneruskan diupayakan lebih intensif, sehingga
116
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
akan diperoleh akurasi data yang maksimal. Upaya Kementerian Sosial dengan melakukan rehabilitasi sarana dan prasaran LPKS sangat tepat, hal ini untuk mencapai standart pelayanan yang memadai bagi penanganan ABH. Juga pembangunan LPKS baru di beberapa daerah. Juga langkah Kementerian Sosial untuk menggandeng UPTD yang potensial dikembangkan sebagai LPKS di beberapa daerah sangatlah bijak, sehingga kesinambungan pembangunan antara pusat dan daerah semakin terjalin dengan baik. Secara sumber daya manusia, khususnya Pekerja Sosial professional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dengan dilatihnya 1000 orang pekerja sosial, merupakan langkah besar Kementerian Sosial guna memenuhi kebutuhan akan pekerja sosial pendamping ABH. Namun demikian, penugasan para pekerja sosial di masing-masing kantor Instansi sosial di Kabupaten/Kota ini justru dapat menghambat pelaksanaan tugas mereka sebagai pendamping ABH. Mengingat, rata-rata satu instansi sosial hanya ada satu pekerja sosial (sakti peksos), dan tugas mereka bukan hanya sebagai pendamping ABH saja.
REKOMENDASI Terkait dengan regulasi, mungkin lebih banyak disusun pedoman/ panduan teknis terkait dengan perlindungan dan rehabilitasi bagi ABH ini. Disusunya Pedoman Penyelenggaraan Layanan Respon Kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum bisa dijadikan contoh untuk perumusan beberapa pedoman teknis lainnya. Misalnya, Pedoman Penyelenggaraan Musyawarah Diversi bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum, yang bisa dirumuskan berdasarkan pengalaman dari penanganan diversi pada masing-masing kasus dibeberapa wilayah ataupun lembaga.Contoh lain adalah Pedoman Penyelenggaraan Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum Berbasis Masyarakat, dan lain-lain pedoman. Terkait dengan kelembagaan. Perlunya system monitoring dan evaluasi yang transparan dan terus menerus terkait dengan pelaksanaan kegiatan perlindungan dan rehabilitasi Sosial bagi ABH yang dilaksanakan
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
117
oleh LPKS, baik LPKS dari UPT Pusat, UPTD maupun LPKS/LKS masyarakat/swasta. Hal demikian untuk menjamin standart dan kualitas pelayanan dalam perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH. Disamping itu, pengkajian terhadap beberapa LKS/LKSA lain baik UPT Pusat/UPTD maupun masyarakat/swasta masih perlu dilakukan untuk menambah jumlah pelaksana perlindungan dan rehabilitasi sosial ABH, khususnya di daerah. Disamping itu, Kementerian Sosial perlu membentuk LPKS Percontohan yang nantinya berfungsi sebagai LPKS Pembina bagi LPKSLPKS lainnya. Idelanya LPKS ini ada pada masing regional. Untuk Sumberdaya Manusia, khususnya para Pekerja Sosial Profesional Pendamping ABH, akan lebih efektif apabila mereka ditempatkan pada LPKS/LKS/LKSA yang berfungsi dalam upaya Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH. Oleh karena, kuantitas dan kualitas mereka harus terus menerus ditingkatkan. Peningkatan kualitas bisa dilakukan dengan penyelenggaraan pengembangan kapasitas (pendidikan dan latihan) yang berkelanjutan. Karena hal ini merupakan mandat Undang-Undang. Juga proses sertifikasi bagi para pekerja sosial ini agar dipermudah, khususnya dari segi aksesibilitasnya. Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah posisi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteran Sosial dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012. Dimana dalam Pasal 66 ayat d, bahwa syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional adalah lulus uji kompetensi sertifikasi Pekerja SosialProfesional oleh organisasi profesi di bidangkesejahteraan sosial, sementara hal demikian tidak berlaku bagi Tenaga Kesejahteraan Sosial. Mungkinkah dilakukan peninjauan kembali terkait pasal tersebut?
IMPLIKASI KEBIJAKAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana kesiapan Pemerintah; yang dalam penelitian ini diwakili oleh Kementerian Sosial; dalam penyiapan regulasi, kelembagaan maupun sumberdaya manusia terkait dengan implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
118
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Berdasarkan temuan penelitian menunjukkan bahwa Kementerian Sosial melalui Unit-unit Pelaksana Teknis telah mencoba menjawab kebutuhan pelayanan sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut. Secara regulasi kementerian, telah lahir beberapa produk hukum yang bisa dijadukan acuan dalam penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Anak. Secara kelembagaan, Kementerian Sosial sudah mempersiapkan unit-unit pelaksana teknis (UPT) bahkan juga telah bekerja sama dengan Pemerintah Daerah untuk memanfaatkan Unit Pelaksana Teknis Daerah dan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak milik swasta/masyarakat untuk menyediakan pelayanan sosial bagi ABH di daerah. Yang tidak kalah penting dalam implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah kesamaan persepsi tentang hal-hal pokok dalam penyelenggaraan SPPA ini. Untuk mencapai kondisi tersebut maka dibutuhkan koordinasi dan kolaborasi antar kementerian/Lembaga, untuk merespon semua hal yang terkait dengan ABH, seperti penanganan multi sektor dengan mengikutsertakan sistem kesejahteraan sosial, kepolisian dan hukum, pendidikan, kesehatan masyarakat, perawat kesehatan dan organisasi atau kelompok kerja perlindungan anak dan bidang lain yang terkait baik tingkat nasional, regional dan lokal. Beberapa implikasi kebijakan terkait dengan hasil tentang Kesiapan Pemerintah (Kementerian Sosial) dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 ini beberapa diantaranya adalah: 1) Pengembangan peraturan dan regulasi untuk mengimplementasikan berbagai produk hukum terkait perlindungan anak, membangun kerangka prosedur penanganan ABH lintas kementerian/ lembagadilengkapi dengan peran dan tanggung jawab masingmasing kementerain/lembaga, dalam pencegahan, penanganan ABH. Kementerian Sosial dapat mengembangkan aturan dan regulasi perlindungan dan rehabilitasi bagi anak yang berhadapan dengan hukum. 2) Mendorong Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum (LKS-ABH) untuk melakukan penanganan
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
119
komprehensif terhadap anak-anak yang yng berhadapan dengan hukum. 3) Meningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia di LKS-ABH/ LPKS (Pekerja Sosial dan Pengelola) dalam praktek pekerjaan sosial terutama pada manajemen kasus, konseling, traumahealing dalampenanangananABH. 4) Penelitian lanjutan tentang system perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi Anak yang berhadapan dengan hukum, baik melalui system institusional based maupun community based. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan supply and demands dalam pelayanan sosial bagi ABH.
120
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
DAFTAR PUSTAKA Clinard, M. B., & Meier, R. F. (2001). Sociology og Deviant Behavior (Fourteenth Edition ed.). USA: Wadsworth Cengage Learning. Convention On The Right Of The Child (1989) tentang perlindungan anak, Perserikatan Bangsa Bangsa. Cipriani, D. (2009). Children's Rights and the minimum age of Criminal Responsibility a Global Perspektive. Ashgate Publishing Limited. Ditjen Pemasyarakatan (2014) Data Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Tahun 2011-2013. Jakarta. www.ditjenpas.go.id. Depsos. (2001). Intervensi psikososial. Jakarta: Departemen Sosial. Detrick, S., Abel, G., Berger, M., Delon, A., & Meek, R. (2008). Violence Against Children In Coflict With The Law, A Study on Indicators and Data Collection in Belgium, England and Wales, France and the Netherlands. Nederland: Defence for Children International The Netherlands. Farrington, D. P. (1998). Youth Crime and antisocial behavior. In A. Campbell, & S. Muncer, The Social Child (p. 355). UK: Psychology Press Ltd. Gerungan, W. A. (1988). Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco. Griffiths, C. T., Dandurand, Y., & Murdoch, D. (2007). The Social Reintegration of Offenders And Crime Prevention. Canada: The International Center for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy (ICCLR). Junus, A. R. (2012). Peran Jaksa Dalam Menerapkan Konsep Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (Tesis). Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kementerian_PP&PA. (2011). Profil Anak Indonesia 2011. Jakarta: Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik. Khaeruddin. (2006). Raju Masih Kecil kok sudah dipenjara. Sumatera Utara: www.kompas.com. Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
121
Kurniasari, A. (2009). Profil Pendamping Dalam Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum. Jakarta: P3KS Press. LBH-Jakarta. (2012). Situasi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Proses Hukum Pidana. Jakarta. Mamik Sri Suparmi. (2014). Situasi Penahanan Anak di Indonesia. Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia - TIFA. Depok; Universitas Indonesia. Midgley, J. (1995). Social Development, The Developmental Perspektive In Social Welfare. London: SAGE Publications. Mizrahi, T., & Davis, L. E. (2008). Encyclopedia of Social Work (20th ed., Vols. Volume 3 : J - R). NASW Press, OXFORD University Press. NASW. (2005). NASW Standards for Social Work Practice in Child Welfare. NASW. o'loughlin, M., & o'louhglin, S. (2008). Transforming Social Work Practice, Social Work With Children and Families (second ed.). Learning Matters. Ltd. Pedoman_Riyadh. (1990). United Nation Guidelines for Prevention of Jufenile Deliquency. Pusdatin. (2008). Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Jakarta: www.depsos.go.id. Rinita, I. I. (2012). Analisa Yuridis Penerapan Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Tesis). Jakarta: Fakultas Hukum. SKB (2009) Surat Keputusan Bersama tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Indonesia. SPPA (2012) Undang Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Indonesia. Setyobudi (2012), Pembinaan Anak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang, Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Soekanto, S. (1993). Sosiologi Suatu Pengantar (Keempat ed.). Jakarta: Rajawali Pers, PT. Raja Grafindo Persada.
122
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Sutarso. (2005). Praktek Pekerjaan Sosial dalam Pembangunan Masyarakat. (C. Jusuf, Ed.) Jakarta: Balatbangsos Depsos RI. Shireman, J. (2003). Critical Issues in Child Welfare. New York: Columbia University Press. Smith, D. (2005). Probation And Social Work. British Journal Of Social Work, 35, 621-637. Satler, Jerome M (1992) Assesment of Children, San Diego Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA). (2002). Undang Undang Perlindungan Anak. Indonesia. Ward, T., & Birgden, A. (2007). Human rights and correctional clinical practice. Elsevier, 12 (Aggresion and Violent Behavior), 628643. Zastrow, C. (2004). Introduction To Social Welfare (Eight Edition ed.). USA: Thomson Brooks/Cole. Zulva, E. A. (2009). Keadilan Restoratif di Indonesia (Disertasi). Depok: Universitas Indonesia.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
123
SEKILAS PENULIS BADRUN SUSANTYO, Lahir di Sragen pada 20 Agustus 1967. Adalah peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejehateraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Menyelesaikan pendidikan Sarjana di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, kemudian melanjutkan pendidikan magister di Institut Pertanian Bogor (IPB), untuk program studi Penyuluhan Pembangunan. Doktor dalam bidang Pembangunan Sosial/Pekerjaan Sosial diraihnya dari Universiti Sains Malaysia (USM) Penang Malaysia. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan diantaranya; Pemberdayaan Masyarakat Tepi Hutan di Desa Banyurip Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen (1991), Studi Sosial Budaya Masyarakat Terasing di Lokasi Iloa Desa Kusuri Kecamatan Tobelo, Kabupaten Maluku Utara (1996), Motivasi Petani Dalam Berusahatani di Kawasan Tepi Hutan di Wilayah Bandung Selatan (2000), Model Penanggulangan NAPZA Berbasis Kompetensi Masyarakat di Kota Bandung (2002), Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA melalui Penguatan Institusi Lokal di Kelurahan Pasir Kaliki Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi (Action Research, 2003), Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial pada Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Indonesia (2004), Tingkah Laku Agresif Remaja di Kawasan Permukaman Kumuh di Kota Bandung (2010), Survei Kekerasan terhadap Anak di Indonesia (2013), Perlindungan Sosial Anak Korban Kekerasan (2014), Kesiapan Pemerintah dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Kerjasama Puslitbangkesos Kemensos dan Puslitbang Hak Hak Kelompok Khusus, Balitbang Hukum dan HAM, Kemenkum HAM, 2015), Survei Kesejahteran Sosial Dasar (2015).
124
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
HARI HARJANTO SETIAWAN, Lahir di Klaten, padatanggal 2 November 1973. Menamatkan pendidikan Diploma IV pada tahun 1998 di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, tahun 2001 menamatkanpendidikan Magister di Universitas Indonesia Program Studi Sosiologi dengan kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial, dan pendidikan Doktoral di Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial lulus tahun 2014. Saat ini menjabat sebagai tenaga fungsional Peneliti Muda pada Kementerian Sosial RI dengan kepakaran Kebijakan Sosial. Kajian yang diminati adalah kajian tentang permasalahan sosial anak, khusunya anak yang berkonflik dengan hukum. Penelitian yang pernah diikuti antara lain: Penelitian Profil Pendamping dalam Perlindungan Anak yang Berkonflik Dengan Hukum. IRMAYANI, Lahir di Jakarta tanggal 20 Februari 1968. Menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Trisakti tahun 1992 dan pendidikan Magister Psikologi Sosial di Universitas Gajah Mada tahun 2002. Peneliti Muda pada Pusat Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan antara lain Survey Anak Jalanan, Survey Penyalahgunaan Narkoba di kalangan remaja, Peranan Pranata Sosial dalam menangani Masalah Narkoba, Kemitraan Dunia Usaha dalam Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, Pemberdayaan Pranata Sosial melalui Desa Berketahanan Sosial, Evaluasi Pelayanan LK3 dalam menangani Masalah Keluarga, Indikator Ketahanan Sosial Keluarga, Perberdayaan Masyarakat Miskin melalui Lembaga Ketahanan Sosial, Program Keluarga Harapan di Indonesia, Survey Kekerasan terhadap Anak, Perlindungan Sosial bagi Anak Korban Tindak Kekerasan, Survey Kesejahteraan Sosial Dasar.
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
125
MUSLIM SABARISMAN, Peneliti pertama di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan dan Penelitian Kementerian Sosial RI. Penelitian yang pernah diikuti Penelitian Evaluasi Pelaksanaan Program Subsidi Panti dalam Mendukung Kelangsungan Pelayanan Panti Sosial, Implementasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin (Studi Evaluasi di Delapan Provinsi Indonesia), Penelitian Pemberdayaan Keluarga; Penelitian Profil Pendamping Dalam Perlindungan Anak Berkonflik Dengan Hukum; Pendampingan Sosial Bagi Anak Berhadapan Dengan Hukum di Kota Mataram; Penelitian Sikap Masyarakat Terhadap Trafficking Anak di Daerah Pengirim; Penelitian Gaya Hidup sebagai Penyebab Terjadinya Trafficking Anak; Penelitian Pemberdayaan Mayarakat Miskin kawasan Pantai di Provinsi Kalimantan Barat.
126
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
INDEK
A Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH), 33, 73 Assessment, 15, 59, 74, 84, 85
D Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, 39
F Family support, 11, 60
H Hak asasi manusia, 3, 6, 8, 22, 105, 106
I Informan, 26, 27, 29
K Keluarga1, 9, 11, 15, 16, 17, 18, 33, 36, 40, 42, 43, 45, 46, 48, 54, 60, 62, 68, 74, 82, 90, 91, 93, 94
O Outbond, 102
P Peer support group, 18, 19 Pekerja Sosial Profesional, 11, 12, 51, 109, 114, 118 Pelayanan, 2, 10, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 28, 31, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 50, 55, 58, 59, 60, 62, 66, 70, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85,
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
127
86, 90, 91, 96, 102, 105, 106, 110, 113, 117, 118 Pemenjaraan, 7, 9, 10, 52 Pemidanaan, 7, 8, 9 Penahanan, 1, 7, 9, 52 Penangkapan, 7, 9, 53 Perlindungan khusus, 7, 8, 31, 60, 67, 98 Perubahan, 3, 12, 15, 18, 30, 43, 67, 68, 70, 101, 103 Petty crime, 17 PSMP Antasena, 26, 52, 55, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 68, 70, 110 PSMP Handayani, 26, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 46, 50, 110, 111 PSMP Paramita, 26, 70, 71, 72, 110 PSMP Toddopuli, 74, 80, 81, 82, 91, 92, 102, 106, 110, 116
S Selective coding, 29 Special Protection, 7, 32
T Tindak kriminal anak, 1 Tindak pidana, 1, 8, 10, 47, 52, 54, 55, 68, 69, 70
U Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012, 2, 4, 5, 23, 26, 114, 118, 119
128
Kesiapan Kementerian Sosial Dalam Implementasi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak