JURNAL KARYA ILMIAH ANALISIS DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM UNDANGUNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH
RAHMAENI ZEBUA 100200155 Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
1
ABSTRAKSI Rahmaeni Zebua* Prof. Dr. Suwarto, SH., MH** Dr. Marlina, SH., MHum.*** Anak adalah generasi penerus bangsa yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu Negara. Perlindungan secara khusus harus diberikan terhadap anak termasuk juga terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Dewasa ini kejahatan yang dilakukan oleh anak mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sehingga seringkali menyerupai tindak pidana orang dewasa. Proses peradilan terhadap anak sering kali menimbulkan stigmatisasi dan efek buruk terhadap diri anak, salah satu kelemahannya dikarenakan peraturan perundang-undangan tidak mencegah anak secara dini masuk ke dalam peradilan formal. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah peraturan khusus mengatur hukum acara peradilan anak yang menghadirkan konsep diversi dan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian perkara anak. Diversi dan restorative justice bertujuan untuk menghindarkan anak dari sistem retributif yang selama ini dianut serta memberikan pemulihan terhadap anak dan akibat yang dilakukannya. Berdasarkan pokok pemikiran di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana sejarah perkembangan konsep diversi dan restorative justice dalam menyelesaikan perkara anak dan bagaimanakah penerapannya dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta apakah yang menjadi kelemahan pengaturan konsep tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu menitikberatkan pada data sekunder yaitu dengan memaparkan tentang peraturan yang berlaku dalam mengatur konsep diversi dan restorative justice dalam menyelesaikan perkara anak yang berkonflik dengan hukum. Analisis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif. Sejarah perkembangan konsep diversi dan restorative justice dalam menyelesaikan perkara anak telah dipraktekan diberbagai Negara. Diversi dan restorative justice merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan di setiap lini proses peradilan anak dengan melibatkan pihakpihak yang terkait. Undang-Undang ini merupakan suatu kemajuan dalam pembaharuan hukum terhadap anak. namun tidak dapat dipungkiri bahwa undang-undang ini masih terdapat kelemahan terutama dalam pengaturan konsep diversi dan restorative justice. * Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan ** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
i2
A. PENDAHULUAN Indonesia sebagai Negara hukum memiliki salah satu dari peraturan perundang-undangan tersebut dikenal dengan adanya suatu sistem pemidanaan (the sentencing system) yang merupakan aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan.1 Hukum pidana haruslah diakui sebagai suatu hukum sanksi istimewa, hukum pidana dapat membatasi kemerdekaan manusia dengan menjatuhkan hukuman penjara atau hukuman badan, bahkan menghabiskan hidup manusia. Hukum pidana memuat sanksisanksi atas pelanggaran kaidah hukum yang jauh lebih keras dari akibat sanksisanksi yang diatur dalam hukum lain.2 Pidana sendiri merupakan suatu pranata sosial kontrol yang dikaitkan dengan dan selalu mencerminkan nilai dan struktur masyarakat, sehingga merupakan suatu refarmasi simbolis atau pelanggaran terhadap “hati nurani bersama” atau collective conscience. Hukum pidana yang merupakan the punitive style of social control dan sebagai produk politik, sudah seharusnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan dirumuskan serta diterapkan oleh aparat dalam sistem peradilan pidana.3 Pemidanaan tidak lagi hanya berangkat pada pemikiran pembalasan kepada pelaku kejahatan atau pencegahan supaya melindungi masyarakat tetapi telah meluas hingga kepada suatu sistem pidana yang terpadu yang menyatukan berbagai sendi penegak hukum dalam melaksanakan sistem tersebut sesuai dengan yang dicita-citakan. Tanggung jawab sistem pidana sudah harus dimulai sejak dilakukannya pencegahan terhadap dilakukannya kejahatan, terciptanya kejahatan oleh pelaku kejahatan, dan tahapan-tahapan lainnya hingga kepada berintegrasinya kembali pelaku kejahatan sebagai manusia yang seutuhnya di dalam masyarakat serta kuatnya peran penegak hukum dalamnya.4 Dewasa ini, sistem pemidanaan sedang serius-seriusnya mengatur mengenai perlindungan hukum pidana terhadap anak yang apabila anak sebagai pelaku tindak pidana maka pengenaan pelaksanaan pemidanaan kepadanya tentu tidak dapat disamakan dengan orang dewasa sebagai pelaku kejahatan5. Pembicaraan terhadap anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang masa sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan Anak di Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia
1
Nandang Sambas, 2010., Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 1 2 Ibid. 3 Ibid., hlm. 4 4 Hadi Soepeno, 2010, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikan Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 21 5 Nandang Sambas, Op.Cit.,hlm 25.
1
Indonesia yang seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur secara materiil spritiual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.6 Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat perlu adanya penjaminan hukum bagi anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek yang pertama, berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hakhak anak dan aspek kedua menyangkut menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut7. Perlindungan khusus terhadap anak yang melakukan tindak pidana juga perlu dimuat dalam peraturan perundanganundangan khusus yang mengatur penyelesaian perkara anak. Anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum dalam UU No. 11 Tahun 2012 pada Pasal 1 angka 3, yaitu anak anak yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Tindak pidana yang dilakukan anak dianggap sudah tidak biasa lagi, karena tindak pidana tersebut seringkali sama dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa seperti pencurian, pemerkosaan, pembunuhan dan lainnya, namun bukan berarti dapat disamakannya proses peradilan sesuai dengan orang dewasa. Hal ini menjadi tolak ukur mendasar terhadap sistem peradilan formal di Indonesia untuk memberikan ruang yang berbeda dalam perlindungan terhadap anak serta akibat yang ditimbulkan olehnya. Kebijakan peraturan perundang-undangan mengenai anak sendiri dimulai dari konvensi-konvensi internasional hingga kepada peraturan perundangundangan nasional yang ada di Indonesia. Perlindungan untuk anak berupa peraturan perundang-undangan nasional dapat dilihat dari lahirnya Pasal 330 BW yang memberikan batasan orang belum dewasa, pasal 45, 46, 47, 72 KUHP, Pasal 153 secara eksplisit disebutkan oleh KUHAP, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Ratifikasi Konvensi Hak Anak dalam Kepres no. 36 tahun 1990 dan peraturan pelaksana lainnya. Peraturan perundangundangan di atas masih belum mumpuni dalam menyelesaikan penanganan anak salah satu kelemahannya adalah tidak adanya pengaturan secara tegas terhadap kewajiban aparat penegak hukum mencegah anak secara dini masuk ke dalam peradilan formal. Lahirnya UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi warna yang berbeda terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak 6
Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.1 7 Nashriana, Op.Cit, hlm. 3
2
di Indonesia. Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini menghadirkan konsep diversi dan restorative justice yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan, korban dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Restorative Justice merupakan proses penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak yang berkepentingan dengan tindak pidan yang terjadi dimulai dari korban, pelaku, keluarga pelaku & korban, masyarakat dan aparat penegak hukum atau unsur lain yang dianggap penting di dalamnya untuk terlibat menyelesaikan konflik (Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun). Restorative justice merupakan proses diversi yang bertujuan untuk pemulihan bukan untuk pembalasan, namun sistem retributif masih sangat kental digunakan oleh aparat penegak hukum. Pertanyaan yang timbul dengan dihadirkannya suatu undang-undang sistem peradilan pidana dan menggantikan undang-undang pengadilan anak yang lama yang menghadirkan konsep diversi dan restorative justice adalah apakah sistem restributif yang selama ini melekat di dalam peradilan Indonesia dapat tererus begitu saja dengan lahirnya konsep diversi dan restorative justice? Bagaimanakah ide legislator dalam mengembangkan konsep diversi dan restorative justice di dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?, serta bagaimana implementasinya dalam setiap tahapan sistem peradilan anak di Indonesia?. Berdasarkan uraian di atas, maka saya mengajukan judul “ANALISIS DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM UNDANG-UNDANG 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK”, yang selanjutnya akan dibahas pada bab-bab selanjutnya pada jurnal ini B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka adapun yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam jurnal ini adalah, sebagai berikut : 1. Bagaimanakah sejarah perkembangan konsep diversi dan restorative justice dalam menyelesaikan perkara anak? 2. Bagaimanakah pengaturan diversi dan restorative justice dalam UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? 3. Apakah kelemahan pengaturan yang terdapat pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut? C. Metode Penelitian Metode penelitian diperlukan agar tujuan penelitian dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ada 2 (dua) macam tipologi penelitian hukum yang lazim digunakan yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan Penelitian Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan 3
sekunder.8 Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian asas-asas hukum dan penelitian untuk menemukan hukum in concreto.9 Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan untuk bertingkah laku yang terdapat dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.10 Asas-asas hukum yang dimaksud dapat dibedakan menjadi asas hukum konstitutif dan asas hukum regulatif dimana kedua asas ini merupakan landasan dasar pembentukan hukum yang mengikat dan berkeadilan. Penelitian hukum in concreto yang dilakukan adalah untuk menemukan hukum yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu permasalahan yaitu konsep yang sesuai untuk menganalisa permasalahan dalam sistem peradilan pidana anak dalam UU No. 11 Tahun 2012 . 2. Jenis Data dan Sumber Data Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian, data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut : a) Bahan-bahan hukum primer. Yaitu bahan-bahan yang mengikat, antara lain : 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; 4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 6. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 7. Undang-Undang No. 4 tentang Kesejahteraan Anak; 8. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian; b) Bahan-bahan sekunder. Yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti buku-buku referensi yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel atau jurnal hukum, laporan atau hasil penelitian dan sebagainya yang diperoleh melalui media cetak maupun media elektronik. c) Bahan-bahan hukum tersier. Yaitu bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum misalnya biografi hukum, ensiklopedi hukum, kamus, direktori pengadilan dan lain sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (library research) dan juga media elektronok seperti internet. Untuk 8
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 13 9 Ibid., hlm. 63 10 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia Indonesia Jakarta,, hlm. 15
4
memperoleh data dari sumber ini penulis mengumpulkan, mengolah, menafsirkan dan membandingkan bahan-bahan yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan ditulis dalam skripsi ini. 4. Analisis data Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya 11. Metode analisis data yang dilakukan adalah metode analisis kualitatif12, yaitu dengan : a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini. b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan di atas agar sesuai dengan masing-masing permaslahan yang dibahas. c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. d. Memaparkan kesimpulan yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. D. HASIL PENELITIAN 1. Sejarah Perkembangan Diversi dan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Anak Sebelum lahirnya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012, pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum awalnya didasari kewenangan diskresi. Menurut Kamus Hukum, diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapinya menurut pendapatnya sendiri.13 Diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas yaitu asas hukum yang menyatakan setiap tindakan atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam kasus posisi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Diversi atau diversion pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia (President Crime Commission) di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). 14 11
Soerjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Depok, Universitas Indonesia Press, hlm. 69 12 Metode Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana penelitian adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. 13 JCT Simorangkir dkk, 2008, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm . 38 14 Marlina, 2010, Pengantar Konsep Diversi dan Resotative Justice, USU Press, Medan., hlm.10
5
Ide diversi dicanangkan dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules (Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 tanggal 29 November 1985), dimana diversi (Diversion) tercantum dalam Rule 11,1, 11.2 dan Rule 17.4 yang terkandung pernyataan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum harus dialihkan ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non-pemerintah. Menurut Robert M. Bohm, sasaran yang jelas harus tercapai dalam penerapan suatu diversi adalah menghindari anak terlibat dalam suatu proses peradilan pidana.15 Di Indonesia sendiri, ketentuan mengenai pelaksanaan diversi dapat dilihat dari pengaturan diskresi yang diberikan kepada aparat penegak hukum dalam menangani perkara anak. Dimulai dari pengaturan dalam KUHAP serta pengaturan secara khusus terhadap aparat penegak hukum itu sendiri. Konsep pendekatan restoratif merupakan suatu perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi peradilan dari peradaban bangsa-bangsa Arab purba, bangsa Yunani dan bangsa Romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaan masalah tindak pidana. Istilah umum tentang pendekatan restoratif diperkenalkan untuk pertama kali oleh Albert Eglash yang menyebutkan istilah restorative justice yang dalam tulisannya mengulas tentang reparation menyatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitatif.16 Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di Negara Canada. Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim. Program ini mengangap pelaku akan mendapatkan keuntungan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapat perhatian dan manfaat secara khusus sehingga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak yang bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional.17 Perkembangan konsep restorative justice dalam 20 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat di beberapa Negara seperti Australia, Canada, Inggris, Wales, New Zealand dan beberapa Negara lainnya di Eropa dan kawasan Pasifik. Begitu juga di Amerika Serikat sebagai sebuah Negara yang 15
Robert & Keith Haley, 2002, Introduction Criminal Justice, Glencoe McGraw Hill, Callifornia-USA, hlm. 494 16 Albert Eglash, 1977, Beyonde Restitution: Creative Restitution, Lexington, Massachusset-USA, hlm 95, yang dikutip oleh Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratif. 17 Ibid., hlm. 30
6
sering membentuk perkumpulan dengan Negara-negara untuk memperkenalkan ukuran penghukuman secara represif tidak dapat menghindar dari pengaruh kuat perkembangan restorative justice. Ada 4 (empat) kelompok praktik yang berkembang di Negara-negara yang menjadi pioner penerapan restorative justice yaitu Victim Offender Mediation (VOM), Family Group Conferencing (FGC), Circles, Restorative Board.18 Masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal konsep restorative justice dalam kebiasaan, hukum adat serta nilai-nilai yang lahir di dalamnya. Sebelum dicanangkan di dalam sebuah peraturan khusus di Indonesia, Negara yang terkenal dengan Pancasilanya ini juga sesungguhnya telah memiliki konsep restorative justice jauh sebelum ide ini hadir dan masuk ke dalam sistem peradilan pidana anak. Pada Sila ke-4 Pancasila, menyebutkan bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Artinya bangsa Indonesia sendiri telah mengagungkan prinsip musyawarah sebagai suatu kebiasaan yang mendarah daging untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Inilah bukti bahwa sebenarnya restorative justice juga telah berkembang di dalamnya. Musyawarah akan mencapai suatu kesepakatan yang win-win solution tanpa merugikan atau menyebabkan ketidakseimbangan terhadap satu pihak sehingga penyelesaian pun dapat tercapai. Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melakukan diversi menunjukan pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan. Petugas melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan.19 Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk memberikan keadilan kepada pelaku yang telah terlanjur melakukan tindak pidana serta memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya. Diversi juga salah satu usaha untuk mengajak masyarakat untuk taat dan menegakan hukum Negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana.20 Tujuan Diversi dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana, adalah untuk : a) Mencapai perdamaian antara korban dan pelaku; b) Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; c) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; d) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu: 21 a) Pelaksanaan kontrol secara sosial (sosial control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau 18
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice., Refika Aditama, Bandung, hlm. 181 19 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Resorative Justice, Op.Cit., hlm. 13 20 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Op.Cit., hlm. 14 21 Ibid., hlm 83-84
7
pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat. b) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (sosial service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan. c) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku. Susan Sharpe mengemukakan ada 5 (lima) prinsip dalam restorative justice, yaitu :22 1. Restorative justice invites full participation and consensus. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus. Dalam hal ini korban dan pelaku dilibatkan secara aktif dalam perundingan untuk menemukan penyelesaian secara komprehensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibnnya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memcah persoalan tersebut. Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib hanya sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku akan diikutkan, apabila tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional; 2. Restorative justice seeks to heat what is broken. Restorative Justice mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan atau kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termasuk juga upaya penyembuhan atau pemulian korban atas tindak pidana yang menimpanya. Namun pelaku juga membutuhkan penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan mereka dan ketakutan. 3. Restorative justice seeks full and direct accountability. Restorative Justice memberikan rasa tanggung jawab yang utuh bagi pelaku yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaku harus menunjukan rasa penyesalannya dan mengakui kesalahannya serta menyadari bahwa perbuatannya tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain; 4. Restorative justice seeks to recinite what has been devided. Restorative Justice berusaha menyatukan kembali pelaku sebagai warga masyarakat dengan masyarakatnya yang selama ini terpisah akibat tindak pidana. Hal ini dilakukan dengan mengadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku serta mengingtegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depannya yang lebih cerah.
22
Marlina, 2011, Hukum Penitensier., Refika Aditama, Bandung, hlm. 74
8
5.
Restorative justice seeks to sterghten the community in order to prevent futher harms. Restorative Justice memberikan kekuatan kepada masyarakat untuk mencegah supaya tindakan kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenanrnya bagi semua orang. Peradilan pidana anak dengan restorative justice bertujuan untuk :23 a. Mengupayakan perdamaian antara korban dan pelaku; b. Mengutamakan proses penyelesaian di luar peradilan; c. Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan; d. Menanamkan rasa tanggung jawab anak; e. Mewujudkan kesejahteraan anak; f. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; g. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; h. Menghindari stigma negatif; i. Meningkatkan keterampilan hidup anak. Dasar hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan diversi dan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebelum lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, baik dalam peraturan perundang-undangan internasional maupun peraturan perundangundangan nasional, antara lain adalah : a. Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak); b. The United Nations standard Minimum Rules Of The Administration Of Juvenille Justice (The Beijing Rules); c. The United Nations Rules Of The rotection of Juvenille Deprived Of Their Liberty (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Terampas Kebebasannya); d. The United Nations Guidelines For The Oervention Of Juvenille Deliquency (The Riyadh Guidelines); e. International Convenant On Civil and Political Rights (Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik); f. Undang-Undang Dasar 1945; g. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; h. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; i. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; j. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; k. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian republik Indonesia; l. Telegram Rahasian (TR) Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi bagi Kepolisian;
23
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, 2009, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak, Jakarta.
9
m. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia No : SE-002/j.a/1989 tentan Penuntutan Terhadap Anak. 2. Pengaturan Diversi dan restorative Justice dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Terdapat 3 (tiga) paradigma peradilan anak yang terkenal yaitu paradigma pembinaan individual, paradigma retributif, paradigma restoratif.24 Paradigma pembinaan individual adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi pelaku bukan pada perbuatan atau kerugian yang diakibatkannya. Tanggung jawab ini terletak pada tanggung jawab sistem dalam memenuhi kebutuhan pelaku. Penjatuhan sanksi dalam sistem peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual adalah tidak relevan, insidental dan secara umum tak layak. Paradigma retributif Ditentukan pada saat pelaku telah dijatuhi pidana, tujuan penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihatnya kenyataan apakah pelaku telah dijatuhi pidana dan dengan pemidaan yang tepat, pasti, setimpal dan adil. Bentuk pemidanaan berupa penyekapan, pengawasan elektronik, sanksi punitif, denda dan fee. Menciptakan perlindungan masyarakat dilakukan dengan pengawasan sebagai strategi terbaik seperti penahanan, penyekapan dan sebagainya. Keberhasilan perlindungan masyarakat dengan dilihat apakah pelaku telah ditahan, apakah residivis berkurang dengan pencegahan atau penahanan. Sedangkan paradigma restoratif, indikator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi. Penjatuhan sanksi mengikutsertakan pelaku, korban, masyarakat dan penegak hukum secara aktif. Pelaku bekerja aktif untuk merestore kerugian korban atau wakil korban, korban aktif dalam semua tahapan proses dan akan membantu dalam penentuan sanksi bagi si pelaku.
Pembaharuan sistem peradilan pidana anak merupakan penyusunan peraturan perundang-undangan yang baru karena peraturan perundang-undangan yang lama yaitu Undang-Undang Pengadilan Anak dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan hukum kepada anak. Beberapa hal yang menjadi landasan berfikir atas penerapan restorative justice ini adalah sebagai berikut :25 a. Sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang ada saat ini dalam praktiknya kerap menimbulkan permasalahan dan dinilai tidak efektif. Sistem pemidanaan model pemasyarakatan (Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan) masih dianggap tidak lebih dari proses pemenjaraan yang tujuannya adalah penjeraaan, balas dendam dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Sistem penjara yang ada saat ini, pendekatan yang menonjol lebih kepada pengamanan (security approach). Konsep pembinaan yang dapat bermanfaat bagi bakal hidup anak setelah bebas belum mengemuka, akibatnya stigma negatif yang melekat pada diri anak mantan narapidana agaknya justru akan menyulitkan mereka dalam menapaki kehidupan selanjutnya. 24
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice.,Op.Cit, hlm. 45-47 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,Op.Cit, hlm. 52 25
10
b.
Pemenjaraan membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi narapidana maupun keluarganya, selain itu sistem ini juga dinilai tidak memuaskan atau memenuhi rasa keadilan korban di samping membebani anggaran negara yang tinggi serta jangka waktu yang lama, dan lembaga pemasyarakatan sendiri yang pada umumnya sudah over capacity. Ide mengenai restorative justice masuk ke dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan keadilan restoratif, meliputi : 1) Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang ini; 2) Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; 3) Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. Mengaitkan antara kondisi Indonesia saat ini sebenarnya memiliki mekanisme penyelesaian hukum yang berdasarkan kearifan lokal (local wisdom). Sila Keempat Pancasila adalah suatu nilai yang sangat memungkinkan untuk mempraktikan keadilan restoratif karena musyawarah lebih menekankan jalan terbaik dan kebaikan untuk bersama, bukan jalan menang dan kalah sebagai cerminan kelompok yang kuat dan lemah. Implementasi keadilan restoratif tidak akan sulit dilaksanakan khususnya untuk pelaku delikuensi anak apabila kembali kepada akar filosofi bangsa dan penghargaan akan eksistensi hukum adat sebagai hukum dasar nasional. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri. Kata “wajib diupayakan” mengandung makna bahwa penegak hukum anak dari penyidik, penuntut, dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi dilaksanakan. Hal inilah yang membuat perdebatan dalam Panja RUU SPPA, bahwa bagi penegak hukum anak apabila tidak melakukan upaya diversi haruslah diberi sanksi.26 Proses diversi ditiap tingkatan pemeriksaan diberi waktu selama 30 hari pelaksanaannya untuk menghasilkan suatu kesepakatan diversi. Hal ini juga berbeda dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya yang hanya menyiratkan mengenai pelaksanaan diversi ini sebagai implementasi diskresi penegak hukum. Kewajiban mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dalam Rapat Panja dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan : a. Di ancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan 26
Pasal 98 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memberikan ancaman sanksi administratif dan Pasal 96 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memberika ancaman pidana paling lama 2 (dua) tahun pnjara atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
11
b.
B ukan merupakan pengulangan tindak pidana. Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan tindak pidana maka tidak wajib diupayakan diversi, hal ini memang penting mengingat bahwa ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada tindak pidana berat, sedangkan merupakan pengulangan tindak pidana baik itu sejenis ataupun tidak maka anak tersebut tidak perlu lagi untuk diselesaikan lewat diversi. Pengulangan tindak pidana menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindak pidana. Anak yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun meskipun tidak melalui tahap diversi namun diusahakan ditiap tingkat pemeriksaannya wajib mengutamakan keadilan restoratif. Hal ini juga dapat dilihat dari pengenaan pidana dan tindakan yang diberikan sebagai hukuman bagi mereka. Pidana pokok bagi anak terdiri atas : a. Pi dana peringatan; b. Pi dana dengan syarat : 1) Pe mbinaan di luar lembaga; 2) Pe layanan masyarakat; 3) Pe ngawasan; c. Pe latihan kerja; d. Pe mbinaan dalam lembaga; e. Pe njara. Pidana tambahan terdiri atas : a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat. Sedangkan tindakan yang dapat dilakukan oleh anak adalah sebagai berikut : a. Pengembalian kepada orang tua/wali; b. Penyerahan kepada seseorang; c. Perawatan di rumah sakit jiwa; d. Perawatan di LPKS; e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. Pencabutan surat izin mengemudi; g. Perbaikan akibat tindak pidana. 12
Pertimbangan dalam memberikan sanksi hukuman baik berupa pidana atau tindakan diserahkan kewenangannya kepada hakim terkecuali kepada anak yang berada di bawah usia 14 (empat belas) tahun wajib dikenai tindakan Substansi yang mendasar di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Perlindungan anak tersebut benar-benar membutuhkan partisipasi secara penuh oleh berbagai pihak, sebagai berikut : a. Anak Yang Berhadapan dengan Hukum; b. Orang tua atau Wali; c. Bantuan Hukum; d. Petugas Kemasyarakatan; e. Penyidik Anak; f. Penuntut Umum Anak; g. Hakim Anak; h. Lembaga Pemasyarakatan Anak; i. Masyarakat. Memasuki proses peradilan pidana anak, maka setiap tingkatan peradilan wajib melaksanakan proses diversi. Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012, proses diversi sendiri wajib memperhatikan : a. K epentingan korban; b. K esejahteraan dan tanggung jawab anak; c. Pe nghindaran stigma negatif; d. Pe nghindaran pembalasan; e. K eharmonisan masyarakat; f. K epatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pada proses penegakan hukum pidana anak didasarkan Pasal 9 ayat (1), maka aparat baik itu penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya. Hal ini mengindikasikan bahwa harus ada keaktifan dari korban dan keluarganya dalam proses diversi agar proses pemulihan keadaan dapat tercapai sesuai dengan keadilan restoratif. 13
Pada proses Penyidikan, Penyidik Anak wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai dan proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Proses diversi berhasil mencapai kesepakatan penyidik menyampaikan berita acara diversi kepada Ketua pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan, apabila diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara penuntut umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan. Pasal 27 UU NO. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara anak. Penyidik juga dapat meminta pertimbangan atau saran (dalam hal diangap perlu), dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial professional atau tenaga kesejahteraan sosial, dan tenaga ahli lainnya dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap anak korban dan anak saksi, penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial professional atau tenaga kesejahteraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan dan diadukan. Hasil penelitian kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada penyidik dalam waktu paling lama 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima. Penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam yang dapat ditempatkan di dalam ruang pelayanan khusus anak atau dititipkan di LPKS. Penahanan terhadap anak dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari, yang dilaksanakan di LPAS atau di LPKS setempat. Penahanan anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali/lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti dan atu tidak akan mengulangi tindak pidana kecuali anak tersebut telah berumur 14 (empat belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau lebih. Proses penuntutan Sama halnya dengan tahap penyidikan, setelah menerima berkas dari penyidik, penuntut umum anak wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik dan diversi sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penuntut umum menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan dan apabila dalam hal diversi gagal, penuntut umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan. Pada proses pemeriksaan di pengadilan, Ketua pengadilan wajib menetapkan hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum. Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri sebagai hakim, sehingga diversi sebagaimana dimaksud dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Pada prinsipnya, proses diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri. Proses diversi dinyatakan 14
berhasil mencapai kesepakatan, hakim menyampaikan berita acara diversi berserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapannya , apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan maka perkara akan tetap dilanjutkan ke persidangan. Persidangan anak dilanjutkan ketika diversi tidak mencapai suatu kesepakatan, yang dilakukan di dalam ruang sidang khusus anak yang tertutup untuk umum terkecuali pembacaan putusan oleh hakim (Pasal 54 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradailan Pidana Anak). Anak harus di dampingi oleh orang tua atau wali, advokat atau pemberi bantuan hukum serta pembimbing masyarakat selama persidangan, sama halnya juga terhadap anak korban atau anak saksi. Pemeriksaan terhadap anak korban atau anak saksi tidak diikuti oleh anak (pelaku) dalam persidangan dan juga hakim memberikan kesempatan kepada orang tua atau wali serta pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak, sehingga juga ikut menjadi pertimbangan hakim. 3. Kelemahan Pengaturan Diversi dan Restorative Justice dalam UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Diversi seperti yang telah dinyatakan sebelumnya wajib dilakukan melalui pendekatan Keadilan Restoratif yang dimulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Pada tiap tingkatan tersebut terdapat beberapa kelemahan dalam pengaturannya, antara lain adalah : a. Pengaturan sanksi pidana terhadap aparat penegak hukum apabila tidak mengupayaan diversi di setiap tingkatan pemeriksaan; b. Ketidakjelasan pnegaturan tindak pidana yang di ancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; c. Lemahnya pengaturan dalam mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak; d. Terbukanya peluang menggunakan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang memeriksa tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Ada pun beberapa kelemahan pengaturan restorative justice yang dapat mempengaruhi proses peradilan pidana anak, antara lain : a. Berlakunya masa penahanan anak di tiap tingkatan pemeriksaan; b. Tidak ada pengaturan secara jelas mengenai perbedaan antara LPKA dan lembaga Pemasyarakatan Anak; c. Masa transisi pembaharuan Lembaga-Lembaga Anak; d. Tidak ada pengaturan secara jelas mengenai anggaran terhadap petugas kemasyarakatan. E. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Diversi dan Restorative Justice dalam perkembangannya merupakan penyelesaian perkara anak yang sudah dipraktekan oleh berbagai Negara. Di Indonesia sendiri telah dimulai dengan musyawarah dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang terlah dipraktekan secara lama dalam hukum adat masyarakat. 15
b. Pengaturan Diversi dan Restorative Justice dalam Undang-Undang oleh legislator dikembangkan sebagai suatu penyelesaian perkara anak yang memberikan perlindungan hukum terhadap anak tersebut yang tidak didasarkan pada suatu pembalasan lagi namun untuk memulihkan anak pada keadaan semula. Penerapan kedua hal ini sangat membutuhkan dukungan serta partisipasi yang dimulai dari anak itu sendiri dan keluarganya, korban serta keluarganya, aparat penegak hukum, masyarakat, petugas kemasyarakatan serta pihak-pihak lain yang terkait sehingga dapat memulihkan segala akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. c. Kelemahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak masih memiliki kelemahan dalam mengatur diversi dan restorative justice sehingga dikuatirkan tidak dapat diterapkan secara efektif oleh pelaksananya. Secara substansi undang-undang ini harus dilengkapi dengan peraturan pelaksana serta adanya sarana dan prasarana yang mumpuni terhadap pelaksanaan peraturan ini. 2. Saran a. Diharapkan adanya peraturan pelaksana terhadap undang-undang ini seperti Peraturan Pemerintah terkait diversi sebelum undang-undang ini pada akhirnya berlaku. Peraturan ini juga harus dikaitkan dengan adat istiadat dan kebiasaan di dalam wilayah tertentu sebagai penghargaan terhadap cara penyelesaian perkara anak di wilayah tersebut. b. Pemerintah harus segera melakukan pelatihan teknis terhadap Penyidik, penuntut umum, hakim, petugas kemasyarakatan dan para tenaga social lainnya sehingga dapat menyelesaikan perkara anak dengan baik. Pelatihan teknis tersebut dapat menjadi patokan terhadap orang-orang yang telah layak untuk menyelesaikan perkara anak terutama untuk di daerah-daerah. c. Pemerintah juga harus meninjau kembali sanksi pidana yang ditetapkan kepada Penyidik, penuntut umum dan hakim yang apabila tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan diversi. Hal ini masih dipandang tidak efisien karena memandang pemulihan sebagai tujuan utama penyelesaian perkara anak. d. Konsep restorative justice sebenarnya dapat diterapkan oleh masyarakat itu sebelum atau sesudah tindak pidana terjadi tanpa mengikutsertakan aparat penegak hukum. Contohnya adalah mengadakan rapat atau musyawarah desa. Hal ini juga dapat mengabadikan kultur dan kebiasaan di masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan. e. Kemiskinan ekonomi dan keterbatasan akses untuk memperoleh keadilan merupakan faktor utama anak berkonflik dengan hukum. Sehingga Negara harus sepenuhnya menyelesaikan permasalahan tersebut secara komprehensif dan sistematis melalui sistem jaminan sosial anak untuk mewujudkan kesejahteraan anak.
16
DAFTAR PUSTAKA Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM, 2009, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Rancangan UndangUndang Pengadilan Anak, Jakarta. Haley, Robert & Keith., 2002, Introduction Criminal Justice, Glencoe McGraw Hill, Callifornia-USA, hlm. 494 Hutauruk, Rufinus Hotmaulana., 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice., Refika Aditama, Bandung, 2009. Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Resotative Justice, USU Press, Medan, 2010. Marlina, Hukum Penitensier., Refika Aditama, Bandung, 2011. Nandang Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010. Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011Sambas, Simorangkir, JCT dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2007. Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, Depok, Universitas Indonesia Press, 1994. Soemitro,Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007. Soepeno, Hadi, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikan Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
17