TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Pembangunan di Indonesia
Banyak altc rnatif pemecahan masalah kemiskinan telah diterapkan tetapi masih ditemukan ketidakefektifan di dalam pelaksanaannya, antara lain : telah diperkenalkan berbagai program di Indonesia. Di samping keberhasilannya, tak sedikit terdapat puia kelemahan-kelemahan sehingga mengurangi efektivitas pencapaian tujuan program pembangunan tersebut (Sumardjo, 1994; Rusli et aZ.,1995). Kelemahan yang muncul, terutarna disebabkan oleh heterogenitas ciri masyarakat dan keragaman permasalahan yang kurang menjadi perhatian perencana di tingkat Pusat, pada hal sebenarnya memerlukan spesifikasi pula dalam pemecahannya.
Kelemahan lainnya,
bersumber dari pendekatan yang lebih bersifat top down, yang ternyata cenderung terjadipenyeragaman dalam penerapan berbagai program pembangunan pada hasyarakat yang demikian majemuk. Akibatnya sulit dihindarkan timbulnya berbagai konflik kepentingan yang bersumber pada ketidaksesuaian antira jenis program dengan potensi permasalahan yang cenderung bersifat-spesifik tersebut. Pada gilirannya program yang tidak sesuai dengan potensi dan permasalahan tersebut terasa kurang berdampak nyata dan kurang melembaga pada kehidupan masyarakat. Manakala model pembangunan yang diterapkan meletakkan pemerintah pusat sebagai pemrakarsa, perencana dan pelaksana pembangunan seperti yang sudah terjadi, maka peranan pemerintah daerah pada hakikatnya hanyalah terbatas sebagai fasilitator dari progradproyek pembangunan. Model pembangunan seperti ini ternyata mengandung beberapa kelemahan. Salah satu kelemahan utama adalah terjadinya ketidaksesuaian program atau proyek pembangunan yang dirancang oleh pemerintah pusat dengan sistem budaya setempat.
16
Akibatnya pembangunan menjadi sangat mahal. Pada ha1 kesesuaian ini, menurut Soetrisno (1995), merupakan suatu prasyarat akan terciptanya suatu pembangunan yang berkelanjutan. Kelemahan lainnya yaitu terjadi penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya dalam upaya mencari ide-ide atau strategi pembangunan alternatif yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan upaya pembangunan daerah mereka. Ke~ergantungan pemerintah daerah dan aparatnya yang luar biasa besar terhadap petunjuk pelaksanaan proyek (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) yang dikeluarkan oleh Pusat untuk proyek pembangunan, telah menyebabkan pelaksanaan proyek di daerah menjadi kaku. Pelaksana di daerah menjadi lebih terfokus pada kesesuaian pelaksanaan proyek dengan Juklak clan Juknis dari pada berusaha menyesuaikan progradproyek itu dengan permasalahan dan ptensi lingkungan fisik, sosial dan budaya setempat. Selama ini pendekatan program yang lebih bersifat "top down," di dalamnya 'lebih banyak bertumpu pada pola komunikasi yang linier, yang berciri searah dari sumber ("atas"1petugas pemerintah) ke penerima (petani). Pendekatan program seperti ini, padabatas tertentu membawa hasil, ketika itu tingkat pendidikan dan pengetahuan petani tentang berbagai informasi pembangunan masih relatif rendah. Kini tingkat pendidikan masyarakat sudah jauh meningkat dan keterdedahan media massa, khusus~yaelektronik telah menyebabkan informasi tersebut dapat langsung sampai ke khalayak (masyarakat). Timbul dugaan bahwa pendekatan "memaksa" pada masyarakat dengan tingkat komersialisasi perekonomian yang sudah tinggi pada saat ini akan berdampak pada tingkat partisipasi yang rendah. Makin terbukanya isolasi daerah sampai ke pelosok desa, ternyata membawa darnpak langsung pada penetrasi uang ke pedesaan, yaitu masyarakat pedesaan ternyata tidak selalu siap menerima inovasi kultural ini.
Akibatnya penetrasi perekonomian uang ke dalam
17
perekonomian tradisio la1 cenderung melemahkan ikatan solidaritas asli dari masyarakat tradisional tersebut, sehingga nilai kegotong-royongan, keswadayaan yang lebih didasarkan pada solidaritas sosial . .ang normatif telah mulai bergeser pada kecenderungan yang lebih bersifat parnrih. Kehadiran proyek dalam proses pembangun an ke pedesaan tampaknya mempercepat proses pergeseran nilai tersebut (Sumardjo, 1994). Ikatan kelompok diduga mengalami erosi atau setidaknya terjadi perubahan pola pijakan, dari semula yang berciri gemeinschji yang lebih bersifat guyub, berangsur mengarah pada ciri gesselschajl yang lebih
bersifat pamrih. Perencanaan program yang bersifat top dawn tersebut bila icurang didasarkan pada identifikasi potensi dan permasalahan atau semacam pemetaan potensi dan permasalahan wilayai~pengembangan yang aktual dan realistis, telah menyebabkan rendahnya efektivitas upaya pembangunan. Hal ini ternyata berdampak kurang menguntungkan b& golongan lemah dan sebaliknya golongan ekonomi kuat atau lapisan atas (elire) masyarakat menjadi lebih dapat meraih manfaat.
Akibatnya, ketidakrnerataan makin meningkat, kemiskinan
meski secara kuantitatif relatif terjadi penurunan namun secara kualitatif makin tampak nyata sejalan dengan terjadinya polarisasi di bidang ekonomi sebagai dampak kebijaksanaan politik yang Iebih mengutamakan pertumbuhan.
Kebijaksanaan yang sarna dibarengi dengan
penggunaan teknologi padat modal, peningkatan tingkat pendidikan, se~nentarapertumbuhan penduduk masih relatif tinggi (diatas zero growth) telah pula menyebabkan tingkat pengangguran pada kelompok usia produktif yang cukup memprihatinkan. Fenomena lain, juga tarnpak berkembangnya arus urbanisasi, penurunan minat generasi muda ke sektor pertanian dan berbagai gejala sosial lainnya (Rusli, Sumardjo dan Syaukat, 1995).
-
18
Permasalahan Pembangunan Pertania I Pengertian pertanian dalam arti luas mencakup sektor kehutanan dan sektor pertanian. Sektor pertanian mencakup sub sektor tanaman pangan dar Mikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Sasaran yang hendak dicapai dalam pendayagunaan jangka panjang adalah suatu struktur ekonomi yang seimbang, yaitu indusb-i yang h a t didukung oleh pertanian yang maju, efisien dan berkelanjutan. Sektor pertanian dalam ekonomi nasional memegang peranan yang sentral dan strategis (Bunasor, 1990:126). Hal ini dapat disimak sejak ditetapkannya pembangunan ekonomi nasional Orde Baru semenjak Pelita I sampai dengan Pelita V. Peranan sektor pertanian tampak terjadi penurunan, antara lain -dapat dilihat dari sumbangannya terhadap Gross Domestic product (GDP), dari 44.0 persen pada tahun 1971 menjadi 23.1 persen tahun 1985; kemampuan sektor pertanian menyaap tenaga kerja secara relatif juga menurun, dari 66.4 persen pada tahun 1971 menjadi 5 1.4 persen pada tahun 1985. Nainun, secara mutlak sumbangan sektor pertanian terhadap GDP masih lebih ti'nggi dibanding sektor-sektor lain. Kemampuan menyerap tenaga kerja juga masih memegang peranan atama. Demikian juga dalam pencapai penghematan devisa sektor pertanian melalui peningkatan produksi pangan nasional mempunyai peranan yang sangat penting, bahkan pada tahun 1984 mencapai swasembada beras. Menurut analisis Bunasor (1990) pada periode 1978- 1985, pertumbuhan sektor pertanian mencapai 4.3 persen, sedangkan perekonomian nasional mencapai 4.6 persen. Pertumbuhan tercepat terjadi pada sub sektor tanaman pangan, sebesar 5.4 persen per tahun, dengan padi masih sebagai komoditas dominan.
Berdasarkan pengamatan selama
19
Pembangunan Jangka Panjang Tahap I, kebijaksanaan pembangunan sektor pertanian diwarnai oleh hal-ha1 berikut : (1) Besarnya pengeluaran pemerintah (public expendzture). Hal ini dimungkinkan oleh karena penerimaan devisa pemerintah yang besar adalah dari sektor migas. Secara tradisional investasi pemerintah di sektor pertanian sebagian besar atialah untuk pembangunan prasarana pengairan, pembukaan areal pertanian baru, pembangunan dan penyuluhan pertanian. (2) Pengeluaran yang besar untuk subsidi sarana produksi (pupuk, pestisida dan kredit) dan
subsidi distribusi. (3) Program pembangunan sektor pertanian menekankan pada peningkatan produksi pangan
dengan produksi padi merupakan titik sentr- dan pelaksanaannya melalui penetapan target baik di tingkat nasiond maupun regional. Ini berarti tidak berdasar orientasi pasar atau prinsip ekonomi keunggulan komparatif. Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan dari : migas,
meningkatriya
proteksionisme negara maju dalam perdagangan internasional, laju pengangguran yang semakin meningkat dan iklim serta kepastian berusaha yang kurang mendukung kegiatan investasi di sektor pertanian. Berdasarkan pe.iga1aman tersebut, Indonesia dinilai perlu melakukan reorientasi dalam menetapkan program pembangunan sektor pertanian. Bunasor (1990) menyarankan, hendaknya program pembangunan pertanian beralih dari mengutamakan program peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya padi, dengan campur tangan pemerintah yang sangat besar, ke arah program diversifikasi pertanian yang berorientasi pada mekanisme pasar dan prinsip ekonomi keunggulan komparatif sehingga swasta dan koperasi lebih banyak
-
20
mengambil peranan.
Dengan demikian akan lebih di~nungkinkan tercapainya suatu
masyarakat petani dan pertanian yang berkelanjutan. Secara khusus beberapa faktor penghambat perubahan struktur ekonomi pedesaan menurut B lnasor antara lain : (1) Masalah hak dan penguasaan sumberdaya khususnya faktor produksi lahan, di sarnping
dikuasai oleh masyarakat terbatas, pemanfaatannya kurang maksimal karena banyaknya tanah guntai. (2) Tingkat adopsi teknologi baru yang lambat dari masyarakat desa: Program Insus yang
diperkirakan meliputi 80 persen petani, setelah dalam kurun waktu lima tahun hanya berkisar 40 persen dari jumlah petani (kasus Jawa Barat). (3) Tingkat ketrampilan dan pengetahuan masyarakat desa rnasih rendah.
(4) Kemampuan menghimpun dandmodai yang lemah dan kelangkaan modal sangat 1 1
dirasakan, sementara pendapatan petani yang rendah lebih banyak digunakan untuk pengeluaran konsumtif. - ( 5 ) Jiwa kewirausahaan masyarakat desa masih relatif rendah.
(6) Keadaan kelembagaan ekonomi dan sosial pedesaan belum mantap dan belum mapan
(seperti lernbaga keuangan formal). Beberapa kendala dapat dikemukakan berkaitan dengan diversifikasi yang berorientasi pasar dan yang dinilai menjadi arah pembangunan pertanian berkelanjutan antara lain : Subsektor pertanian tanaman pangan belum terintegrasi dengan kebijaksanaan pada subsektor industri pengolahan hasil pertanian. Sebagai contoh, pengembangan diversifikasi dengan perwilayahan komoditi hanya didasarkan pada pertimbangan ago-klimat, belurn mempertimbangkan aspek sosial ekonomi seperti "bagaimana kaitan diversifikasi tersebut dengan pengembangan industri pengolahan (diversifikasi vertikal) dan pemasaran hasil ?"
21
Kendala utama aspek kelembagaan dan sistem pelayanan terlihat pada strategi kelembagaan dan pelayanan, seperti lembaga penyuluhan, KUD, BRI Unit Desa, kios saprotan, lembaga penyediaan benih, juga berorientasi pada peningkatan produksi padi. Tidak jarang daya hidup kelembagaan tersebut di wilayah tertentu tergantung pada perkembangan produksi padi di wilayah tersebut. Dalam pengembangan pertanian berkelanjutan hams menempatkan diversifikasi tanaman pangan sebagai prioritas dalam strategi pelayanan dan penyuluhan.
Artinya,
penyuluhan dan pelayanan perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya tidak hanya memfokus pada komoditas padi, tetapi juga pada komoditas lain. Peningkatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sasaran dalam diversifikasi.
Sejalan dengan
upaya meningkatkan kemampuan petani sasaran maka :kualitas penyuluh maupun aparat pelayanan perlu ditingkatkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi ketangguhan pertanian adalah kaitan antara pertanian dan industri seperti yang disampaikan Baharsjah (1988) dan Bunasor (1990) antara lain : (1) Adanya efisiensi produksi dari sektor pertanian; (2) Sistem pemasaran produk pertanian yang efisien untuk diproses oleh industri. Ketidak
efisienan sistem pemasarail produk selama ini menyebabkan besarnya kehilangan, kerusakan dan penurunan mutu serta ongkos angkut yang mahal sehingga sebagai bahan mentah produk in dustri menjadi mahal dan kualitasnya juga rendah; (3) Keterkaitan industri hulu-hilir, yang masih kurang efisien, sehingga harga produk menjadi
tinggi; dan
22
(4) Tingkat campurtangan pemerintah dalam bentuk kebijaksanaan dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
5
2rta
Kenyataan campur tangan yang berlebihan justru
mengakibatkan inefisiensi dari alokasi sumberdaya untuk kegiatan ekonorni baik di sektor pertanian maupun industri. Campur tangan yang intensif pada PJP I mengakibatkan bias kebijakan dan menimbulkan biaya sosial yang cukup tinggi.
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dan interdependensi ekonorni
dan lingkungan (environment) merupakan konsep yang semakin penting di dunia sejak awal tahun 1970 an (Cole et al, 1973). Konsep sustainable development pertama dipublikasikan secara meluas oleh the World Conce~ationStrategy (IUNC, 1980). Mengacu laporan World Commission on Environment and Development (1 987) dan World Bank (1987; 1988), I
Pezzey (1992) mempromosikan konsep pembangunan berkelanjutan dengan definisi sebagai berikut (WCED, 1987:43): "Sustainable development is development that meets the needs of future generations without compromising the ability offuture generations to meet their own needs dan World Bank (1988:i) memasukkan proposisi bahwa economic growt, the ellmiation of poverfy, and sound environmental management are in many cases mutually consistent objectives".
Dalam penelitian ini, visi pembangunan berkelanjutan telah mewarnai rumusan konsep pembangunan pertanian bei-kelanjutan yang disusun secara deduktif Pada dasarnya dalam konsep pembangunan pertanian berkelanjutan mengandung aspek-aspek pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, pelestarian sumberdaya lingkungan (environmental management), dan pengentasan kerniskinan (poverty elimination).
23
Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Konsep pertanian berkelanjutan yang ingin diwujudkan di Indonesia dan menjadi t )pik penelitian ini menurut GBHN 1993 diartikan sebagai suatu kondisi yang petaninya
mampu mengelola produksi secara komersial dan benvawasan pada keserasian dan pelestarian lingkungan alami, secara berkelanjutan. Dalam GBHN 1993 konsep pertanian berkelanjutan ini disebut sebagai "Pertanian tangguh" Reijntjes et al. (1992) mengajukan konsep sustainable agriculture yang dapat dinilai relevan dengan konsep pertanian tangguh tersebut. Sustainability pada dasarnya mengacu pada the capacity to remain productive while maintaining the resource base (Reijntjes,
1992). Pertanian yang berkelanjutan, menurut konsep ini, adalah keberhasilan mengelola sumberdaya untuk pertanian yang dapat memenuhi kebutuhan manusia (human need) dengan a
menjaga kualitas lingkungan dan melestarikan (conce$ng) sumberdaya alam. Atas dasar itu, dalam penelitian ini "pertanian tangguh" versi GBHN 1993-1998 dianalogikan sebagai pertanian berkelanjutari (sustainable agriculture). Selanjutnya, menyangkut konsep "pertanian berkelanjutan" ini, banyak ahli berpendapat penggunaan definisi ini secara lebih meluas antara lain yang menyangkut konsep ekologis, ekonomis, sosial, kemanusiaan dan daya adaptasi (Reijntjes et al., 1992). Dalam penelitian ini konsep pertanian berkelanjutan mengacu pada suatu kondisi pertanian yang berorientasi komersial dan petani mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, serta dalam mengelola sumberdaya dilakukan secara optimal. Artinya, dalam mengelola agribisnis, petani mandiri berorientasi komersial.
Agribisnisnya itu akan bisa
berkelanjutan (szlstainable) apabila diterapkan dengan benvawasan lingkungan, serta mampu
24
beradaptasi terhadap
perubahan-perubahan
yang
terjadi
pada
lingkungan
fisik,
sosial-ekonomi dan budaya. Ciri-ciri Pertanian Berkelanjutan Di sektor pertanian, sasaran pembangunan jangka panjang I1 adalah mencapai pertanian yai~gakan mampu mendu~ungindustri yang h a t , sehingga tercapai struktur ekonomi yang seimbang. Menurut Departemen Pertanian (Bunasor, 1990), citra pertanian seperti itu pada dasarnya mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut : (1) Pertanian itu hams mampu memanfaatkan semua sumberdaya yang dijumpai se-cara optimal. Disini perlu memperhitungkan efisiensi dari aspek-aspek : ekonomi (.finance), aspek sosial (pemerataan) dan aspek keamanan nasional sehingga pada akhirnya tercapai kemakmuran sebesar-besarqya bagi seluruh rakyat. (2) Mengingat sifat produksi pertanian yang tergantung dari proses biologis alamiah (lahan,
air, sinar matahari, iklim dan sebagainya), maka pertanian mempunyai banyak hambatan. Pertanian berkelanjutan berciri mampu mengatasi hambatan baik fisik alamiah maupun ekonomi. (3) Pertanian harus mampu menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksinpa terhadap
perubahan yang terjadi baik perubahan permintaan pasar maupun perubahan teknologi. Dengan demikian diperlukan teknologi usahatani yang unggul dm fleksibel. (4) Pertanian memegang peranan yang aktif dalam konteks pembangunan nasional. Peranan
tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja, pengembangan wilayah dan akhirnya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
25
Sistem Pertanian Berkelanjutan Mengacu pada konsep Departemen Pertanian (1985; Bunasor, 1990) pendekatan sistem pertanian sebagai suatu sistem terdiri atas empat komponen subsistem. Komponen tersebut ialah (1) aparat pertanian, yang befingsi sebagai pembina, pengatur dan aparat pelayanan (2) petani yang merupakan pelaku langsung dalam produksi pertanian; (3) lembaga ekonomi sebagai wadah maupun fkngsi dalam melaksanakan kegiatan aspek ekonomilkerjasama ekonorni; dan (4) lembaga sosial/pedesaan wadah fungsi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan aspek msial dalam bentuk kerjasama sosial. Adapun ciri-ciri umum kemampuan dari keempat komponen sistem pertanian, yang diperlukan untuk menunjang pertanian berkelanjutan adalah sebagai berikut (Departemen Pertanian, 1985) :
a
(1) Aparat pertanian. Di bidang petzgatirrmt mampu menciptakan kebijaksanaan yang mantap dan efektif.
Di bidang yelayanan (yenelitian, pedclikan) haruslah peka
terhadap masalah-masalah pertanian yang berkembang.
Aparat pertanian seharusnya
mampu berkreasi secara dominan (berkualitas perilaku yang memadai) untuk menghasilkan inovasi (teknik maupun sosial).
Organisasi aparat :~aru,i mampu
mendorong daya kreatifitas petugas sehingga berkembang kealdian, ketrampilan yang tepat dan produktivitas yang tinggi. (2) Petani. Petani haruslah memiliki kemampuan mengambil keputusan dan ketrampilan dalam menerapkan inovasi (teknik maupun sosial), terutama penerapan inovasi dari temuan ilmu pengetahuan. Petani mampu memperoleh tingkat pelIdapatan yang layak diukur dari tingkat kewajaran hidup merupakan keharusan bagi petani. Dalam aspek
26
ekonomi petani hams mampu menghadapi berbagai resiko dan memanfaatkan azas skala usaha untuk pengembangan usahanya. Baik secara perorangan maupun berkelompok, para petani hams mampu mandiri.
(3) Lembaga Ekonomi. Lembaga ekonomi harus memiliki kemampuan dalam menerapkan inovasi untuk terus meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha, sehingga senantiasa berusaha untuk memperoleh tingkat kewajaran yang terus berkembang.
Lembaga
ekonomi haruslah mampu mengahadapi resiko usaha dari perubahan situasi ekonomi di
dalam maupun di luar negeri, juga dapat memanfaatkan skala usaha untuk mencapai efisiensi yang tinggi.
Di sini diperlukan lembaga ekonorni yang mempunyai
kemampuan mandiri menghadapi pihak-pihak lain dalam dunia usaha. 9
(4) Lembaga Sosial Pedesaan. Lemaga sosial haruslah mampu menciptakan iklim yang sehat baik jasmaniah maupun rokhaniah, sehingga
petani dapat mengembzngkan
usahanya secara aman dan tentram. Juga menciptakan iklim bersaing secara kreatif dengan menegakkan azas usaha bersarna dan kekeluargaan. Akhirnya dari lembaga sosial dituntut untuk menciptakan iklim yang mendorong anggota masyarakat bekerja keras, ulet dan jujur untuk mencapai tujuan. Aparat pertanian khusus~ya bidang pengaturan, kemampuan perencanaan dan penyusunan kebijaksanaan masih belum memuaskan dan bersifat kurang integratif, sektoral, horison perencanaan yang relatif pendek dan kurang evaluatif (World Bank, 1987). Demikian pula aparat pelayanan kurang kreatif, kurang peka terhadap pembahan-perubahan, dedikasi dan integritas serta motivasi yang kurang kuat (Direktorat Jendral Pengerahan dan Pembinaan, 1987).
27
Petani masih dihadapkan pada aspek sosio-kultural yang merupakan faktor penghambat, menurut hasil penelitian Affandi (1988), antara lain : latar belakang hidup, t ngkat pendidikan, status dalam pengusahaan lahan dan lainnya. Aspek ekonomi yang
dlanggap menghambat antara lain : rendahnya tingkat pendapatan di sektor pertanian dan usahataninya, sempitnya lahan yang dikuasai sebagai pencerminan dari skala usahanya (petani gurem) dan kapasitas manajemen usaha1 bisnis yang masih rendah. Hal yang perlu juga dicatat adalah bahwa kelembagaan penyuluhan dan pelayanan yang ada di pedesaan masih terbatas melaksanakan penyuluhan dan pelayanan dalam rangka pengelolaan usahatani, khususnya tanaman pangan. Menurut Bunasor (1 990) dalam rangka diversifikasi tanaman pangan, baik horizontal maupun vertikal, diperhkan model penyuluhan dan pelayanan yang terintegrasi terhadap pengelolaan usahatani dan industri pengolahan hasil pertanian. Data empiris benunjukkan adanya kelerr~ahahyang menjadi penghambat pembinaan kelembagaan petani, antara lain : pendekatan petugas dari berbagai dinas/instansi yang kurang koordinatif, kurangnya kemampuan, kemauan dan penghayatan pelgas dala~n menganalisis keadaan sosio-kultural dan ekonomi petani, juga kelernahan untuk rnelihat diri petani seperti yang telah diuraikan di atas. Berbagai ha1 yang menyangkut upaya menuju pertanian berkelanjutan yang telah diuraiakan oleh Bunasor dan peneliti lainnya seperti Affandi, Baharsjah serta hasil kajian dari pihak World Bank dan juga Direktorat Jenderal Pengerahan dan Pembinaan perlu dijadikan pertimbangan dalam menyusun tolok ukur dan indikator dalam penelitian ini. Dalam ha1 ini, Bunasor juga mengajukan variabel-variabel yang sangat bermanfaat untuk mengukur tingkat kesiapan sistem pertanian menuju sistem pembangunan pertanian yang berkelanjutan, yang telah menjadi topik penelitian ini.
Diversifikasi dan Agribisnis sebagai Pendekatan menuju Pertanian Berkelanjutan Kasryno (1988) dan Baharsjah (1988) memandang diversifikasi pertanian sebagai suatu proses untuk mentransformasikan sektor pertanian menjadi pertanian yang tangguh dan struktur ekonomi pedesaan yang lebih berimbang.
Dari berbagai definisi diversifikasi
(Dalrymple, 1968; Kasryno, 1988; dan Baharsiah, 1988; Bunasor, 1990) dapat dirangkum pengertian diversifikasi pertanian sebagai suatu usaha yang kompleks dan luas untuk meningkatkan perekonomian pertanian melalui upaya penganekaragaman komoditas (deversifikasi harizontal), pada sub sistem produksi, konsumsi dan distribusi baik ditingkat usahatani regional maupun nasional (diversifikasi vertikal) menuju tercapainya transformasi struktural sektor pertanian ke arah pertanian berkelanjutan. Sejalan dengan ha1 itu, Saragih (1995) berpendapat bahwa, paling tidak selama masa transisi
dalam
pembangunan
jangka
panjang
kedua
(PJP-I.), Indonesia
perlu
mengembangkan strategi dan kebijaksanaan yang menempatkan agribisnis (dan agroindustri) sebagai salah satu sektor unggulan. Sumber-sumber pertumbuhan 'yang cukup potensial perlu dimanfaatkan untuk memacu pertumbuhan, namun sekaligus juga memperbaiki berbagai kesenjangm d ~ l a mtingkct kesejahteraan antar golongan dan antar daerah, apabila sasarannya adalah sebagian besar penduduk berpendapatan rendah atau miskin yang terutama terkonsentrasi di sektor pertanian dan pedesaan. Perbaikan kesejahteraan itu sendiri sebagai upaya menekan kesenjangan merupakan sumber pertumbuhan yang cukup potensial. Hal itulah hakekat dari demand approach yang dimaksud oleh Saragih. Mengacu pada Jazairy el al.(1992) dan Saragih (1995) dapat dinyatakan bahwa bias kebijaksanaan merupakan salah satu sumber kemiskinan yang masih bertahan saat ini.
Pendudu : miskin, terutama petani kecil dan buruh tani tidak mampu lagi mempertahankan produktivitas sumberdaya alam yang dikuasainya (terutama lahan). Sebagian merambah hutan ya ~g dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang menjadi sistem penyangga kehidupa;,~. Pengembangan agribisnis dan agroindustri yang meningkatkan kesejahteraan penduduk berpendapatan rendah dan tergolong rniskin turut membantu dalam pelestarian hngsi lingkungan hidup dengan mengurangi ketergantungan terhadap alam.
Artinya,
pengembangan usaha agribisnis berskala kecil sangat penting dan strategis ditinjau dari berbagai pemikiran tersebut. Masalah yang paling mendasar adalah lemahnya posisi-tawar para pengusaha kecil tersebut. Masih menurut Saragih, sejalan dengan pemiluran Crawford (1991), di masa depan peranan agribisnis berskala kecil ini akan semakin penting dan memiliki keunggulan karena beberapa faktor berikut (Saragih, *1995): (1) Agribisnis bersakala kecil relatif tidak memerlukan banyak modal investasi terutama bagi yang bergerak di bidang jasa; (2) Usaha agribisnis kecil dapat bergerak luwes menyesuaikan diri dalam situasi yang berubah karena tidak perlu terharnbat oleh persoalan-persoalan birokrasi seperti yang dihadapi oleh perusahaan besar; (3) Usaha kecil memiliki tenaga-tenaga penjualan dan wirausaha yang tertempa secara alami
yang tidak berminat (vested interest) dalam sistem produksi yang sudah ada dan sudah mantap; dan (4) Perubahan selera konsumen yang semakin bergeser dari produk-produk tahan lama yang
dihasilkan secara massal ke produk-produk yang lebih manusiawi (persormlized goods) yang lebih tepat dilayani usaha-usaha kecil.
30
Jumlah pengusaha kecil berikut anggota rumahtangganya bisa mencapai 80 persen dari penduduk Indonesia, suatu potensi pasar yang sangat besar. Beberapa faktor unggulan usaha agribisnis kecil bisa juga tidak tercapai antara lain karena kurangnya akses usaha kecil terhadap kredit komersial perbankan. PHT sebagai Suatu Pilihan Pendekatan menuju Pertanian ~erkelanjutan Pengendalian Harna Terpadu (PHT) yang telah dikembangkan di Indonesia, merupakan suatu alternatif bentuk pengendalian hama atau organisme pengganggu tanaman pada umurnnya secara terintegrasi berdasarkan ekosistem lingkungan secara komprehensive (Oka, 1991). Melalui Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT), seorang Pengamat Hama dan Penyakit (PHP) bekerjasama dengan Penyuluh Pertanian Lapangan yang sudah dilatih sebelurnnya, telah melaksanakan penyuluhan kepada petani yang terpilih menjadi peserta SLPHT. Konsep pengendalian hama terpadu berimplikasi bahwa untuk melbdungi tanaman dari serangan harna hams ditekankan pada usaha-usaha yang mengupayakan lingliungan tidak sesuai bagi perkembangan hama dan jazat pengganggu lainnya. Untuk itu, dalam penerapan PHT ditempuh cara-cara menjaga kelestarian musuh alami hama sehingga menghambat perkembangan organisme pengganggu tanaman, dengan sedapat mungkin menghindari penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida yang mengandung racun itu telah terbukti menghasilkan residu pada tanaman, yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusial ternak yang mengkonsi produk pertanian, karena residu tersebut dalam batas tertentu merupakan racun yang berbahaya.
31
Konsep pengendalian hama yar g benvawasan lingkungan tersebut dapat diterapkan apabila petani memahami elemen dasar PHT (Bappenas dan PPSEP, 1991), yaitu : (1) pemahaman tentang bioekologi hama, 2) pengetahuan tentang pengendalian alamiah, (3) penetapan tentang ambang ekonomis pengendalian hama, dan (4) penguasaan teknik pemantauan populasi hama. Agar aplikasi pengetahuan tersebut efektif, maka petani perlu menguasai dengan baik komponen PHT yang terdiri dari (1) pola tanam, (2) budidaya, (3) varietas tahan hama, (4) pengendalian hayati, dan (5) pengendalian mekanik dan fisik, serta kimiawi. Beberapa keuntungan penerapan usahatani benvawasan lingkungan melalui semacam PHT ini antara lain: Produk usahatani dengan penerapan PHT terhindar dari residu racun yang terkandung dalam pestisida. Residu racun akibat penggunaan pestisida ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, maupun keamanan ternak dari racun pestisida. Di samping itu juga sekaligus merupakan upaya pelestarian lingkungan alami dari kepunahan jazat yang berguna bagi kehidupan manusia. SLPHT sebagai suatu metode pendidikan, telah menempatkan petani untuk mampu belajar mandiri, mampu mengenali dan mengembangkan kemampuan petani untuk mengendalikan proses produksi usahataninya, tanpa hams menderita kerugian. Artinya, SLPHT telah memanusiakan (hwr.zanisasi) petani, sehingga menumbuhkan kesadaran petani untuk senantiasa belajar dan menumbuhkan kepercayaan pada diri petani bahwa petani dapat belajar secara mandiri. Dalam kondisi seperti ini, iebih memungkinkan petani memanfaatkan tenaga dan fasilitas penyuluhan secara lebih optimal. Hal ini disebabkan, petani menjadi pihak yang belajar secara aktif karena telah memiliki kebutuhan belajar mengatasi permasalahan usahatani secara mandiri. Pada gilirannya, petani
32
makin mampu memutuskan sesuatu yang terbaik atau paling menguntungkan bagi usahataninya (Marse dan Sumardjo, 1993).
Peranan Penyuluh dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia Konsep Penyuluhan Pembangunan Ilmu penyuluhan pembangunan- adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajar~ bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantikannya dengan perilaku baru yang membawa pada perbaikan kualitas kehidupan orang yang bersangkutan (Slamet, 1992).
.
Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan
memulai proses perkembangannya dengan memijam dan merangkum konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin i!mu lain yang relevan, seperti ilmu pendidikan, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi sosial, dan manajemen.
Penyuluhan pembangunan selalu menitik-
beratkan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia, lahir dan batin, sehingga kegiatan yang dilakukan pun selalu berkaitan erat dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, pertanian, kesehatan dan ilmu-ilmu kesejahteraan sosial lainnya.
Jadi sebagai ilmu, penyuluhan
pembangunan bersifat interdisipliner. Hal ini berkaitan erat dengan praktek penyuluhan pembangunan di iapangan yang menuntut pendekatan interdisiplin. Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia terjadi karena ditopang oleh penggunaan pendekatan interdisiplin ilmu-ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi, dan komunikasi, seperti yang teranghxm dalam ilmu penyuluhan pembangunan (Slamet, 1992). Ilmu penyuluhan pembangunan, pada awal kegiatannya disebut dan dikenal sebagai Penyuluhan Pertanian (Agriculrz4tai fitensioil), terutama di beberapa negara seperti Amerika
.
33
Serikat, Inggris, dan Belanda.
Kemudian ternyata berkembang penggunaannya ke
bidang-bidang lain maka berubah namanya menjadi fitension Education, dan di beberapa negara lain disebut Development Communzca, ion. Meskipun antara tiga istilah itu ada perbedaan, namun pada dasarnya semua mer.gacu pada disiplin ilmu yang sama.
Di
Indonesia, disiplin ilmu itu disebut ilmu penyuluhan pembangunan sebagai pengembangan dari ilmu penyuluhan pertanian (Slamet, 1992). Lahirnya ilmu penyuluhan pembangunan mendapat sarnbutan luas dari berbagai pihak yang bergerak di berbagai sektor pembangunan, karena praktek-praktek penyuluhan sangat dirasakan kemanfaatamya dalam pembangunan. Kenyataan sdiap upaya pembangunan memerlukan adanya dukungan ilmu pengetahuan dan metodologi yang relevan.
Keberhasilan pembangunan nasional, dirasakan perlu segera
ditopang oleh program
penyuluhan
yang
mangkus
dan mampu
menghasilkan
perubahan-perubahdn nyata dan bukan sekadar perubahan-perubahan &mu. Kendala utama yang dirasakan pada saat ini adalah keterbatasan tenaga ahli atau tenzga profesional di bidang penyuluhan pembangunan. Menurut Slamet (1992), program penyuluhan pembangunan yang san&l
dan
mangkus dapat dikembangkan oleh tenaga-tenaga profesional di bidang penyuluhan pembangunan. Hal ini hanya dimungkinkan apabila program itu tenvadahi dalam suatu sistern kelembagaan penyuluhan dan pelaksanaannya didukung oleh tenaga-tenaga semi profesional di bidang penyuluhan.
Program semacam itu, berdasarkan empiris, perlu
dilandasi oleh kemauan politik yang kuat untuk menjamin adanya kesepakatan semua pihak yang terkait. Pembangunan juga perlu mengintegrasikan pendekatan yang topdown maupun yang r,
bottom-up. Pendekatan semacam ini menuntut partisipasi aktif dari rakyat banyak dan energi
34
ekstra untuk mempelajari hal-ha1 baru yang dibawa oleh pembangunan.
Kalau kriteria
keberhasilan pembangunan adalah meningkatkan kualitas hidup rakyat banyak dan peningkatan itu hanya tercapai kalau ada partisipasi rakyat dalam pembangunan (GBHN, 1993), maka tantangan utama pada pembangunan nasional adalah "bagaimana meningkatkan partisipasi rakyat?."
Kalau penyuluhan pembangunan diharapkan dapat meningkatkan
partisipasi rakyat, maka tantangannya ialah "bagaimana menciptakan, mengembangan d m melaksanakan progam penyuluhan pembangunan yang sangkil dan mangkus ?" Penyuluhan adalah suatu usaha pendidikan non formal, merupakan suatu sistem pendidikan praktis, yang orang-orangnya belajar sambil mengerjakan (Slamet dan Asngari, 1969). Sejalan dengan definisi tersebut, Wiriaatmadja (1986) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan di luar sekolah untuk keluarga-keluarga tani di pedesaan; mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi mau, tahb d m dapat menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya secara baik, menguntungkan dan memuaskannya. Jadi penyuluhan adalah suatu bentuk pendidikan di luar s&olah, yang cara, bahan dan sarananya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan, baik dari sasaran, waktu maupun keadaan.
Mosher (1966) menyebutkan bahwa penyuluhan disebut pendidikan
pembangunan karena sifatnya yang selektif, dalam aiti memilih bahan dan metoda pendidikannya yang bersifat langsung dan segera menunjang pembangunan yarig dikehendaki.
Melalui suatu upaya pendidikan pembangunan berupa penyuluhan,
kemampuan orang-orang, keluarga dan masyarakat untuk menerima perubahan yang dapat meningkatkan kesejahteraannya dapat dipercepat. Dalam melakukan pekerjaannya seorang penyuluh seharusnya menghayati dan berpegang pada falsafah dasar (Slamet, 1969), yaitu : (1) penyuluhan adalah proses
I I
!
i
35
pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses den okrasi dan (3) penyuluhan adalah proses kontinyu. Oleh karena itu, pada falsafah penyuluhan bermakna "Menolong orang agar orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri, n-elalui pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya" (To help people to help themselves through educational
means to improve their level of living). Penyuluhan sebagai proses pendidikan, penyuluh hams dapat membawa perubahan manusia dalam ha1 aspek-aspek perilaku, baik koqnitif, afektif maupun psikomotoriknya. Penyuluhan sebagai proses demokrasi, penyuluh hams mampu mengembangkan suasana bebas, untuk mengembangkan kemampuan masyarakat. Penyuluh harus mampu mengajak sasaran penyuluhan befikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang diantara mereka, sehingga berlaku penyelesaian dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Sebagai prbses yang kontinyu, penyuluhan hams dimulai dari keadaan petani pada waktu itu kearah tujuan yang mereka kehendaki, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang, yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan. Bila penyuluh melihat adanya kebutuhan, tetapi kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan, padahal kebutuhan tersebut dinilai sangat vital dan mendesak, maka penyuluh perlu berusaha terlebih dahulu untuk menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang ada tersebut (real need) menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran Cfelt teed). Elemen-elemen Penyuluhan
Roling (1983) mendefinisikan penyuluhan sebagai "suatu intervensi komunikasi yang diselenggarakan oleh sesuatu lembaga untuk menimbulkan (induce) perubahan perilaku
36
secara sukarela (wluntare change) bagi kesejahteraan masyarakat."
Elemen-elemen
penyuluhan mencakup : (1) penyuluhan merupakan suatu intervensi (intervention), (2) penyuluhan menggunakan komunikasi sebagai alat untuk menimbulkan perubahan (3) penyuluhan dapat efektif hanya jika terjadi perubahan secara sukarela,
(4) penyuluhan memusatkan perhatian pada sejumlah sasaran (target) proses dan hasil yang beragam, yang berbeda dari bentuk intervensi yang lainnya, (5) penyuluhan dilaksanakan oleh suatu lembaga.
Sebagai suatu intervensi (intervention), penyuluhan merupakan suatu upaya sistematis melalui penerapan strategi dengan mengkondisikan (maniplate) sumberdaya bagi berlangsungnya proses sosial, perubahan orientasi sehingga mengarahkan proses pada dorongan terjadinya perubahan yang dikehendaki bersama.
Penyuluhan adalah sesuatu yang
dipikirkan, direncanakan, diprogramkan, dirancang secara sistematis, diarahkan pada suatu tujuan dan aktivitas yang disengija (purposefil activity). Komunikasi dalam penyuluhan adalah suatu alat untuk menimbulkan perubahan di dalam penyuluhan. Beberapa profesional di tingkat dinas mungkin menggunakan cara lain, misalnya subsidi, regulasi untuk menimbulkan perubahan, tetapi berbeda dengan peny~luhan yang menekankan pada pengaruh penggunaan strategi komunikasi. Komunikasi diantaranya dapat berupa tindakan profesional seperti advertensi (advertising), public relation, pendidikan orang dewasa atau propaganda. Melalui penyuluhan, profesional, ilmuwan dapat belajar banyak dari pengetahuan dan pengalaman dari berbagai tipe komunikasi tersebut. Perubahan sukarela merupakan suatu yang dikehendaki terjadi sebagai dampak penerapan komunikasi dalam penyuluhan.
Target dalam penyuluhan adalah proses
37
perubahan yang disengaja. Beberapa definisi (yang nampaknya konsep ini j erlu ditinjau kembali) menyebutkan bahwa penyuluhan adalah transfer (trrmsferring) informasi, pengetahuan atau teknologi atau promosi sesuatu penggunaan sesuatu. Bebera )a yang lain mendefinisikan bahwa penyuluhan menyangkut urusan pengambilan keputusan dan pembentukan pendapat (opinion formation), tidak hanya sebagian idormasi eksternal, tetapi juga membantu memecahkan sesuatu tujuan yang b e r t e n t q atau merestruktur pengetahuan yang tepat. PrinsipPrinsip Penyuluban Setidaknya ada dua belas prinsip penyuluhan yang penting diperhatikan penyuluh dalam bertugas (Dahama dan Bhatnagar (1980), antara lain : (1)
Penyuluhan akan efektif kalau mengacu pada minat dan kebutu'nan masyarakat i
(Princ@les of interest and needs). (2)
Penyuluhan harus marnpu menyentuh organisasi masyarakat sasaran, keluargd kerabatnya (Grass-roots principle of organization).
(3)
Penyuluhan hams menyadari adanya keragaman budaya rnemerlukan keragaman pendekatan (Princrple of cultural dzference).
(4)
Kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan menimbulkan perubahan budaya (Priinciple of cultural change).
(5)
Penyuluhan harus marnpu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerja-sama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan (Principle of cooperation andparticipation).
38
(6) Penyuluhan hams selalu memberikan kesempatan kepada mas yarakat sasaran untuk ikut
memutuskan tujuan, alternatif pemecahan masalah dan metoda apa yang digunakan dalarn penyuluhan (Principle of applied science and democra' ic approach). (7) Prinsip belajar sambil bekerja (Principle of learning by doing). (8)
Penyuluh harus orang yang terlatih khusus dan benar-benar menguasai sesuatu yang sesuai dengan fbngsi seorang penyuluh (Principle of trained specialist)
(9) Penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metode yang disesuaikan dengan kondisi
(lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan sosial budaya) spesifik sasaran (A* tability principle in the use of extention teaching me-). (10) Penyuluhan hams mampu mengembangkan kepemimpinan (Principle of leadership)
(1 1) Penyuluhan hams memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial (Whole fmi&principle) karena alasan-alkn : (a) Penyuluhan ditujukan untuk seluruh keharga. -(b) Setiap anggota keluarga berpengaruh dalam pengambilan keputusan. (c) Penyuluhan menimbulkan kesaling-pengertian.
(d) Penyuluhan menyangkut kemampuan pengelolaan keuangan keluarga.
(e) Penyuluhan mendorong keseimbangan antara kebutuhan keluarga dan kebutuhan usahatani. ( f ) Penyuluhan mencakup pendidikan untuk anggota muda.
(g) Penyuluhan mengembangkan kegiatan keluarga. (h) Penyuluhan memperkokoh kesatuan keluarga, baik yang menyangkut masalah sosial, ekonomi, maupun keluarga.
39
(i) Penyuluhan mengembangkan pelayanan terhadap keluarga, kelompok dan masyarakat. (12) Penyuluhan dimaksudkan untuk mewujudkan tercapainya kepuasan sasarannya
(Principles of satisfaction). Tujuan Penyuluhan Tujuan, dimaksudkan sebagai arah dari suatu usaha atau kondisi yang dikehendaki. Tujuan penyuluhan dapat dilihat dari dua arah, yaitu : dari arah pemerintah (penyuluh) dan
dari arah rakyat atau sasaran penyuluhan (Margono Slamet dan Asngari, 1969). Ditinjau dari arah penyuluh, penyuluh harus mengetahui kepentingan sasaran peoyuluhan. Dilihat dari arah sasaran penyuluhan, mereka merasakan adanya sesuatu kebutuhan yang hams dipenuhi. Tugas penyuluh adalah menemukan cara yang dapat mernadukan kedua tujuan tersebut, sehingga tercapailah perbaikan tingkat kesejahteraan sasaran penyuluhan. Oleh sebab itu, agar kedua tujuan tersebut mendapat sambutan positif dari sasaran penyuluhan, maka tujuan-tujuan tersebut haruslah dinyatakan dari arah sasaran penyuluhan. Agar tujuan umum dan tujuan kerja mendapat sambutan dari sasaran penyuluhan, tujuan tersebut haruslah (Slamet dan Asngari, 1969) : (I) dinamis, menimbulkan kegiatan dan mendorong orang untuk berusaha, (2) dibutuhkan masyarakat, dirasakan sebagai kebutuhan sasaran penyuluhan. (3) meliputi mayoritas masyarakat sasaran penyuluhan,
(4) bersifat memperkembangkanlperbaikan, dan (5) dapat dinilaildiukur dan fakta-faktanya dapat dikumpulkan.
40
Dalam menyusun tujuan program penyuluhan perlu memperha .ikan unsur-unsur tujuan pendidikan berikut (Slamet, 1978a) (1) Orang yang menjadi sasaran penyuluhan.
(2) Perubahan perilaku apa yang diinginkan.
(3) Masalah (subject matter) yang diinginkan dengan perubahan perilaku tersebut. (4) Situasi lingkungan, yang tidak mutlak perlu diperhatikan.
Tujuan-tujuan tersebut dirumuskan sedemikian rupa, sebingga jelas dan dapat diukur clan dievaluasi atas keberhasilannya, serta dapat menjadi arah atau tolok ukur dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan penyuluhan. Pada saat ini penyuluhan pertanian di Indonesia memasuki suatu masa yang disebut periode Agribisnis-Agroindustri (1993-sekarang).
Ds!am PJP 11, penyeleng-garaan
penyuluhan pertanian di Indonesia menghadapi tantangan berupa : lingkungan sosial ekonomi nasional maupun global yang dinamis, antara lain dalam bentuk : (1) orientasi pembangunar, pertanian kearah penerapan pendekatan agribisnis; (2) peningltatan peranan dan peranserta masyarakat, dalam ha1 ini petani dan anggota masyarakat pedesaan lainnya; dan (3) pelaksanaan desentralisasi yang mengarah pada pelaksanaan otonorni Daerah Tingkat
II yang lebih luas dar, lebih bertanggungjawab (Abbas, 1995). Bila dilihat dari arah pemerintah (penyuluh), tujuan penyuluhan tersebut tidak terlepas dari menjawab tantangan tersebut.
Tantangan tersebut memerlukan perubahan
kebijaksanaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian, yaitu dari kebijaksanaan yang bertumpu pada menjadikan petani dan nelayan hanya terampil berproduksi menjadi kebijaksanaan yang dapat menciptakan iklim motivasi petani clan nelayan untuk lebih
41
ri.sional dan efisien dalam mengembangkan usaha berdasarkan kemampuan wilayah, informasi dan mengenali potensi pasar bagi hasil usahanya. Dalam Pelita VI, penyelenggaraan penyuluhan pertanian diarahkan untuk : (1)
Mengkondisikan berkembangnya kelembagaan tani dan nelayan kearah terciptanya sistem pengguna aktif informasi dan berbagai kesempatan berusaha yang muncul sebagai akibat perubahan lingkungan sosial ekonomi yang dinamis. Meningkatkan kemampuan kemandirian dalam mengambil keputusan, melalui mengambil kemanfaatan seoptimal munglun keberadaan lembaga Balai Penyuluhan Pertanian (BPP).
(2) BPP diperkuat dan diarahkan menjadi pusat pengelolaan pcayuluhan pertanian di
pedesaan, yang mampu melayani seluruh kepentingan pendidikan non formal bagi petani dan nelayan (yang menjadi pengguna aktif) beserta keluarganya serta masyarakat pedesaan pada umuninya. (3) Membangun dan mengembangkan jaringan kelembagaan penyuluhan pertanian yang
mampu mendukung kelembagaan petani dan nelayan, serta menciptakan iklim kepemimpinan demokratis dalam mengembangkan agribisnis.
Mewujudkan kaitan
sistern produksi pertanian dengan mata rantai agribisnis, melalui jaringan kelembzgaan penyuluhan pertanian yang berkarakter profesional. (4) Mengembangkan kemampuan sumberdaya penyuluh sesuai dengan perubahan orientasi
penyuluhan pertanian, terutarna yang menyangkut kemampuan bekerjasama dengan petani dan peneliti dalam merancang pengembangan wilayah keja. berpangkal
kerja
di BPP
mengkondisikan
suasana pengambilan
Penyuluh keputusan
pengembangan usaha petani dan nelayan secara partisipatif atas dasar efisiensi usaha dan informasi pasar.
42
(5) Mekanisme dan tata hubungan kerja penyuluhan pertanian didasarkan ata: prinsip
keterlibatan semua unsur penyuluhan pertanian sebagai suatu jaringan kelembagaan penyuluhan pertanian. Di samping berhngsi sebagai penyalur informasi ti knologi produksi, terutarna jaringan tersebut sebagai pendukung interaksi sasaran penpluhan dengan penyuluh.
Hal ini berintikan informasi pertanian yang dibutuhkan sasaran
..
penyuluhan seperti : pasar, harga, kualitas, standar, teknologi, ilmu pengetahuan, kredit, perbankan dan lain-lain kesempatan usaha. Jaring-an ini tidak saja menyangkut para petugas pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan pertanian, namun juga melibatkan sektor ekonomi swasta, BUMN dan lembaga sosi a l dan ekonomi pedesaan lainnya.
Fungsi Tugas Penyuluhan I
Menurut Padmanagara (Slamet, 1978a) tugas ideal seorang penyuluh adalah : (1) menyebarkan informasi yang bermanfaat, (2) mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan kecakapan sesuai bi2ang penyuluhannya, (3) memberikan rekomendasi yang Iebih menguntungkan untuk perbaikan kehidupan sasaran penyuluhan, (4) mengusahakan berbagai fasilitas usaha yang lebih menggairahkan sasaran penyuluhan, (5) menimbulkan keswadayaan dan keswakarsaan dalam usaha perbaikan. Oleh sebab itu, tugas penyuluh dinilai bcrhasil apabila penyuluhan yang dilakukan menimbulkan perubahan dalam aspek perilaku sasaran penyuluhan yang mengarah ke perbaikan taraf kehidupan. Pegangan dalarn pelaksanaan penyuluhan ini di Indonesia telah dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 73RMENPANI 1985. Fungsi Penyuluh Pertanian menurut jenjang jabatan dan kepangkatannya tertera dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Fungsi Penyuluh Pertanian menurut Jenjang Jabatan dan Kepangkatannya
No.
Fung ;i
1. Mengapdm pengetahuan, si-kap &in ketrampllan kepada petani clan
Pangka t Asisten Penyuluh (IIa-IIc)
da n Ajun Penyuluh (IId-IIId)
Jabat a Penyuluh Pertanian (IIIc-IVa)
n Penyuluh P.Utama (IVb-IVd)
Ya
Ya
-
-
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya Ya
Ya
Ya
Ya
ll&wQn percobgan
2. Mengembanglcan swadaya clan swa hpetani 3. M e n ~ p r o g r a m a 4. Membantu mengajar kursus tani 5. Mengajar pixla lnusus tani 6. Membantu pelaksanaan pengujian, survaidanevahlasi 7. Melaksanakan pengujian 8. Melatih dan membimbing penyu-luh pe9. bicmbtu menyiapkan petunjuk informasi pertanian 10. Menyiapkan petunjuk mformasi permian 11. Karya ilmiah 12. Merumuskan arah kebijaksanaan pengembav'an penyul-
-
-
-
Ya Ya
Ya
Ya
-
-
-
Ya Ya
Ya Ya
Ya Ya
Ya
Ya
-
-
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya Ya
-
-
Ya Ya
-
Ya -
-
Di Indonesia, tugas pokok dan fungsi Penyuluh Pertanian dalam menghadapi masa PJP I1 adalah melakukan kegiatan penyuluhan pertanian untuk dapat mengembangkan kemampuan petani-nelayan dalam menguasai, memanfaatkan dan menerapkan teknologi baru sehingga mampu bertani lebih baik, berusahatani lebih menguntungkan serta membina kehidupan berkeluarga yang lebih sejahtera.
I
44
Metode Penyuluhan Pertanian Beberapa ha1 yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan menggunakan metode penyuluhan yaitu: sebanyak-banyaknya sasaran yang harus dilayani, sesering-seringnya berinteraksi dengan sasaran dan semurah-murahnya, tetapi menjadi media pengalaman belajar yang efektif (Slamet dan Asngari, 1969; Wiriaatmadja, 1986; Kim, 1989). Selanjutnya
-
.
dijelaskan, penggunaan metode-metode (cara-cara melakukan kegiatan) penyuluhan hams didasarkan pada persyaratan-persyaratan sebagai berikut : (1) sesuai dengan keadaan sasaran, (2) cukup dalam jumlah dan mutu, (3) tepat mengenai sasaran dan pada waktunya, (4) amanat hams mudah diterima dan dimengerti dan (5) murah pembiayaannya atau efisien. Ada beraneka ragam metode di dalam penyuluhan.
Bila dilihat media yang
digunakan, metode penyuluhan dapat dikelompokkan secara : (1) lisan, (2) tertulis atau tercetak, (3) terlihat atau terprbyeksi dan (4) terperaga. ~ada-prinsipnya,makin banyak indera sasaran belajar dilibatkan dalam suatu proses belajar maka cenderung makin efektif Oleh karena itu, kombinasi metode akan meningkatkan efektivitas belajar. Keempat macam bentuk media atau cara tersebut dapat digunakan untuk mencapai tiga macam sasaran (pendekatan psiko-sosial), yaitu : (1) secara perorangan, (2) secara kelompok dan (3) secara massal. Pada prinsipnya makin sedikit sasaran belajar dengan menggunakan suatu metoda yang sama cenderung makin efektif, tetapi sebaliknya cenderung makin tidak efisien. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dapat dilakukan secara langsung Cface to face) atau misalnya dengan tilpun, dapat pula dilakukan secara tidak langsung, yaitu menggunakan alat seperti surat dan media massa tetapi umpan balik tidak dapat terjadi secara spontan. Hubungan antara tahap-tahap dalam proses komunikasi dan metoda penyuluhan pertanian digambarkan pada Tabel 2.2 (Wiriatmadja, 1986; Suriatna, 1988) :
45
Tabel !.2
Hubungan antara Tahaptahap dalam Proses Komunikasi Dengan Tahap Adopsi dan Metoda Penyuluhan
Metoda Penyu uhan
Tahap Komunikasi
Tahap Adopsi
Cara Perorangan
Menggerakkan Usaha
Adopsil penerapan
Cara Kelompok
Meyakinkan
Mencoba
Membar.gkitkan keinginan
Menilai
Menggugah hati
Menurnbuhkan minat
Menarik Perhatian
Menumbuhkan kesadaran
Cara Massal
Indikasi yang dapat dilihat pada diri seseorang dalarn setiap tahapan proses adopsi sebagai berikut : (1) Pada tahap kesadaran, seseorang sudah mulai mengetahui sesuatu yang baru karena
hasil dari berkomunikasi dengan orang lain atau penyuluh.
Pada tahap ini petani
memerlukan informasi untuk timbulnya perhatian atau kesadaran. Metode penyuluhan yang sebaiknya digunakan adalah pendekatan massal. Misalnya, penyampaian pesan melalui media massa : radio, televisi, surat kabar, majalah atau poster. (2) Pada tahap tumbuh minat, seseorang mulai ingin mengetahui lebih banyak tentang hirl
yang baru itu, dengan mencari keterangan yang lebih terinci. Pada tahap ini petani perlu informasi yang lebih rinci. Dengan demikian dapat tumbuh dan berkembang. Usaha ini lebih banyak terletak pada hubungan perorangan. Metode pendekatan kelompok seperti kursus tani, widyawisata dan pertemuan lainnya merupakan media pengalaman belajar yang tepat bagi petani/sasaran penyuluhan. (3) Pada tahap menilai, seseorang mulai menilai keterangan yang telah diperolehnya dan
menghubungkannya dengan keadaan dirinya sendiri, misalnya kesanggupannya dan resiko yang terjadi. Jadi keadaan teknis, ekonomis dan sosiologis menjadi pertimbangan
46
utama. Pada tahap ini diperlukan ketersediaan informasi di lingkungan sasaran penyuluhan yang dapat menjadi bahan pertimbangan agar seseorang mau mencoba. (4) Pada tahap mencoba, seseorang mulai menerapkan dalam luasan yang kecil. Adakalanya
dia tak melakukan sendiri, tetapi melihat orang lain yang mencoba. Kalau sudah yakin, barulah diterapkan secara lebih luas. Bila gaga1 percobaan ini, biasanya seorang akan menghentikan usaha splanjutnya dan timbul rasa tak percaya akan hal yang baru itu. Keberadaan data atau informasi teknis di lingkungan sasaran penyuluhan yang dapat meyakinkannya sangat diperlukan.
Metode pendekatan kelompok dinilai tepat
diterapkan disini, yaitu yang memungkinkan sasaran mencoba atau demonstrasi dilahannya sendiri. Widyawisata juga masih dinilai tepat diterapkan disini.
(5) Pada tahap adopsi atau penerapan, seseorang sudah yakin akan hal yang baru itu dan mulai menerapkan dalam skala usaha yang lebih luas. Pada tahap ini metode perorangan dinilai efektif, berupa bimbingan penyuluh, kunjungan 1
rumah atau kunjungan kantor dan konsultasi perorangan melahti suriit. Akan menjadi efisien metode tersebut bila dilakukan pada sasaran penyuiuhan yang potensial menjadi penyebar inovasi, yaitu sasaran penyuluhan yang punya pengaruh di lingkungan sosialnya.
Penyuluh yang ahii, mampu menilih rnetode secara tepat sesuai dengan situasi mea-cakcp kemampuan sasaran penyuluhzn dan petugas penyuluh, materi penyuluhan, situasi belajar (sosial dan fisik), serta saranaJfasilitas yang tersedia dengan tujuan perubahan perilaku yang diinginkan. Beberapa ha1 telah dapat menjadi pedoman yang tepat dalam menggunakan suatu metode penyuluhan, antara lain : (1)
Semakin sedikit jumlah sasaran penyuluhan dalam suatu a w a penyuluhan, sema-kin efektif komunikasi yang berlangsung antar penyuluh dan sasaran penyuluhan.
47
(2)
Semakin banyak sasaran yang dijangkau dengan sesuatu metode pada suatu acara penyuluhan, semakin efisien.
(3)
Efisiensi dan efektivitas suatu metode bersifat spesifik atas suatu acara penyu-luhan.
(4)
Semakin banyak indera yang dimanfaatkan oleh sasaran untuk menangkap rangsang an (stimli) dalam suatu acara penyuluhan semakin efektif komunikasi yang berlangsung. Jadi metode penyuluhan terperaga lebih efektif dibanding metode terbaca dan metode twbaca lebih efektif dibanding metode terdengar. Berdasarkan pertimbangan efektivitas dan efisiensi penerapan metode penyuluhan,
masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan, masing-masing cara mempunyai efektivas dan efisiensi yang tinggi untuk mencapai tujuan perubahan aspek-aspek tertentu. Tidak ada satu metode yang sekaligus efektif dan efisien untuk semua jenis sasaran dan tujuan &lam suatu acara penyuluhan. Oleh karena itu, demi efektivitas dan efisiensi dari suatu kegiatan penyuluhan dituntut kemampuan penyuluh untuk mengkombinasikan secara tepat, sehingga menjadi pengalaman belajar yang dapat meningkatkan efektivitas komunikasi dalam penyuluhan. Kemampuan seseorang sebagai penyuluh diantaranya dapat diukur dari kemampuannya menerapkan metoda penyuluhan secara tepat, atas dasar pertimbangan efektifitas (content area) dan efisiensinya (process area). Selama 90 tahun penyuluhan pertanian di Indonesia, agah~yatelah menerapkan semua pendekatan penyuluhan pertanian seperti yang telah diungkapan oleh Axinn (1988; Abbas, 1995), yakni : ( 1 ) Pendekatan penyuluhan pertanian secara umum;
(2) Pendekatan penyuluhan pertanian secara komoditas; (3) Pendekatan penyuluhan pertanian secara latihan dan kunjungan (LAKU)
(4) Pendekatan penyuluhan pertanian secara partisipatic
(5) Pendekatan penyuluhan pertanian secara proyek; (6) Pendekatan penyuluhan pertanian sistem usahatani;
(7) Pendekatan penyuluhan pertanian sumber dana (cost-shnng appr~ach) (8) Pendekatan penyuluhan pertanian kelembagaan pendidikan. Kenyataan menunjukkan semua jenis pendekatan tersebut baru akan berhasil bila dilandasi oleh kelompoktani yang kuat dan sistem penyuluhan yang kondusif untuk proses belajar sasaran penyuluhan secara efektif. Dinamika Kelompok sebagai Alternatif Metoda Pengembangan Perilaku Penyuluh Mengacu pada pendapat Carhwight dan Zander (1968) dan Slamet (1978b), pada dasarnya dinamika mengandung pengekian adanya hubungan (psikologis) yang saling ' mernpengaruhi antar anggota kelompok tersebut, yaitu t m j u d dalam perilaku anggota kelompek tersebut. Dengan kata lain, adanya dinamika kelompok berarti ada interhi d m .
interdependensi antara anggota kelompok secara keselumhan. Menurut cabang ilmu psikologi sosial tersebut, dinamika kelompok lebih menekankan p d a tingkat pengaruh interaksi sosial individu di dalam kelompok terhadap masing-masing individu sebagai anggota suatu kelompok.
Dalam penelitian ini juga
menggunakan kerangka analisis cabang ilmu psikologi sosial tersebut, yaitu lebih melihat atau mempelajari hubungan timbal-baliwsaling pengaruh antar sesama penyuluh maupun aparat lainnya.
49
Komunitas penyuluhan se wilayah administrasi pemerintahan menurut terminologi motivasi dan pemuasan kebutuhan (mengikuti konsep Cattel, 1951; Bass, 1960) merupakan "kumpulan penyuluh (sub korsa) yang berinteraksi dalam keseluruhan konstelasi (mereka saling menerima relationship) yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan masing-masing, khususnya dalam melaksanakan tugas dan hngsinya". Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan pengelolaan usahatani baik praproduksi, proses produksi, maupun pascaproduksi (agroindustri dan pemasaran produk) dengan berwawasan agribisnis, pada lingkungan dan kebutuhan n&ah hidup para petani, yang menjadi wilayah kerjanya (potensi lahan dan lingkungan sossial pertanian). Camwight dan Zander (1968) mengajukan analisis dinamika kelompok menurut dimensi atau unsur-unsur yang mempengaruhi dinamika tersebut, yaitu: (1) tujuan kelompok, (2) struktur kelompok, (3) hngsi tugas, (4) pengembangan dan pembinaan kelompok, (5)
kekompakan kelompok, (6) suasana kelompok, (7) tekanan kelompok, (8) efektivitas kelompok dan (9) maksud terselubung. Setiap unsur tersebut dapat diukur dengan beberapa indikator, yang d q a t menggambarkan secara lebih rinci intensitasnya. Kumulatif dari ciri tiap unsur tersebut secara keselumhan dapat digunakan untuk meogukur dinamika suatu kelompok, dan akan terlihat sebenarnya unsur yang mana yang lebih menonjol dan unsur yang mana yang relatif lebih lemah. Kelompok kerja penyuluh yang dinamis, akan menghasilkan produktivitas kelompok, bila dinamika tersebut menghasilkan perilaku penyuluh yang b e r k d i a s . Perilaku penyuluh dalam penelitian ini mengacu pada konsep Bloom (1977) dapat dibedakan ke dalam tiga kawasan, yaitu : kawasan pengetahuan (cognitives domain), sikap (affectives domain) dan ketrampilan (psychomotorics domain). Bloom (1 973), Krathwohl (1973) dan Dahama dan
50
Bhatnagar (1980) menyebutkan bahwa perilaku dapat diukur berdasarkan indikatc r-indikator tertentu sesuai dengan tingkat kedalaman seseorang atas masing-masing kawasan tersebut.
Kesiapan Penyuluh sebagai Potensi dalam Menuju Pertanian Berkelanjutan Kesiapan Penyuluh Penyuluh akan mampu mengembangkan menerapkan konsep-konsep pengembangan penyuluhan mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan apabila telah menguasai konsep-konsep yang terkandung dibalik konsep pembangunan pertanian berkelanjutan tersebut. Kesiapan penyuluhan menyongsong:pembangunan pertanian berkelanjutan dapat diukur dari kemampuan dan wawasan penyuluh yang mendasari pelaksanaan tugas atau fungsinya. Hal-ha1 tersebut menyangkut konsep-konsep yang tehh diuraikan terdahulu, antara lain visi sustai:~bIedevelopment dan sustainable agriculture, kemampuan menerapkan konsep penyuluhan pembangunan yang di dalamnya dijiwai dengan model komunikasi yang konvergen, wawasan pengembangan sumberdaya petani, dan kemampuan menerapkan metode penytuluhan secara tepat. Sebagai contoh konsep PHT sebagai salah satu konsep yang seyogyanya diterapkan dalam pertanian berkelanjutan dapat dikembangkan pada petani apabila dari segi penguasaan materi penyuluhan (content area) penyuluh telah ( 1 ) memahami elemen PHT dan (2) menguasai kentrampilan atas komponen PHT, serta (3) mau mengembangkan pengetahuan dan penerapan ketrampilannya tersebut kepada petani. Demikian pula dari segi penguasaan metoda dan teknik (pr0ces.s area) telah memadai dan mampu menerapkannya secara tepat, yaitu secara pendekatan partisipatif Artinya, kesiapan penyuluh dapat diukur dari ketiga ha1
I
51
ini, di c alamnya mengandung aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
Konsep
"kesiapan" (readmess) mengandung pengertian "keseluruhan pola-pola respon atau kecakapz n yang dimiliki oleh seseorang pada suatu saat" (Hamallk, 1993; Mahmud, 1990). Hulse, et a1 (1980) mendefinisikan reud~nes.~ sebagai :
".
.
. the adequacy of the shrdent's
existing in relation to some instructional objectives." "Meturationrefer to biolopcul growth wich occurs largely under the influences of herediv. Readines is the product of both training (or learning) and mehrration." Kesiapan berbeda dengan kematangan (mehrration). Kematangan semata-rnata berlangsung pada hereditas dan merupakan suatu proses pertumbuhan biologis, sedang kesiapan merupakan kematangan dari hasil belajar. Kesiapan akan menentukan tingkahlaku seseorang terhadap sesuatu situasi. Kesiapan dipengaruhi oleh pengalaman belajar masa lalu, yang juga mempengaruhi pilihanbahan yang akan dipelajari serta~caraseseorang belajar. Dalam pertanian yang berkelanjutan inovasi akan senantiasa dibutuhkan. Hal ini menuntut kesiapan penyuluh untuk memenuhi kebutuhan informasi inovasi bagi sasaran penyuluhan. Sementara pengembangan sumberdaya penyuluh melalui pelatihan sangat-lah penting dan perlu senantiasa dilakukan, namun relatif terba+a dan memerlukan waktu serta biaya mahal. Oleh karena itu, yang juga penting dikembangkan adatah selain pengembangan sumberdaya penyuluhan agar menjadi senantiasa siap adalah menciptakan suasana yang kondusif untuk terjadi proses belajar mandiri pada para penyuluh tersebut. Macan suasana yang kondusif itu, akan dicoba ditemukan dalam penelitian ini. Sehubungan dengan itu, memperhatikan saran Sudiyanto (1995), dalam ha1 kasus pemandu lapangan suatu "sekolah lapang" (penyuluhan pendekatan partisipatif) dapat ditarik pelajaran bahwa seyogyanya penyuluh mempunyai karakteristik penerapan metode dan
52
teknik (process area) sebagai berikut: (1) dapat melebur menjadi anggota kelompok sasaran penyuluhan, (2) mampu menciptakan iklim untuk belajar mengajar diantara sesama warga belajar, (3) mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggi, rasa pengabdian dan idealisme untuk kerjanya, (4) mau memikirkan orang lainlsasaran, (5) menyadari kelemahannya, tingkat keterbukaannya, kekuatannya dan tahu bahwa di antara kekuatan yang dimiliki dapat
-
menjadi kelemahan pada suatu situasi tertentu, (6) dapat melihat permasalahan secara tepatl proporsional dan menentukan pemecahannya, (7) peka dan mengerti perasaam orang lain lewat pengamatan, (8) mengetahui cara meyakinkan dan memperlakukan orang lain, (9) selalu optimis dan mempunyai itikad baik terhadap orang, (10) menyadari bahwa perannya bukan mengajar, tetapi menciptakan iklim untuk belajar, dan (1 1) rnenyadari bahwa segaia sesuatu mempunyai segi negatif dan positif Berkaitan dengan karakteristik penyuluh tersebut, ~ u d i a n t o(1995) berpendapat bahwa keberhasilan penyuluhlpemandu "sekolah lapang" terletak pada keterarnpilan dan sikapnya terhadap warga belajar, yaitu . (1) tidak berusaha menonjolkan diri, (2) selalu berusaha mamadukan dan menggugah proses berfikir sasaran didik, (3) selalu bersama menjalin kejasama dengan sasaran didik dengan cara menghargai d m menghomati- nya, (4) selalu mengembangkan proses dialog horizontal dengan sasaran didik, bukan merupakan komunikasi saru atas dan tidak menggurui. Sikap ini hams ditunjukkan dengan tindakan nyata, yaitu (1) mendengarkan pendapat sasaran didik, (2) turun ke lapangan (lahan) usaha-
tani bersama-sama untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh warga belajamya, (3) berdiskusi secara terbuka dengan sasaran didik tentang masalah mereka dan bukan berbicara selaku atas terhadap bawahan dan (4) menghormati sasaran didik dengan cara
53
mengWorang"kann)a (humanis), yaitu dengan mengemukakan pertanyaan, menaruh perhatian mereka sendiri, tidak memberikan jawaban secara langsung. Kedudukan Penyuluh dalam Proses Pembelajaran Petani Pembangunan pertanian berkelanjutan memerlukan penyuluh yang handal dan berkemampuan (competence), serta memiliki kredibilitas (credible) baik dalam materi penyuluhan maupun metoda penyuluhan. Penyuluhan pertanian adalah pendidikan bagi orang dewasa, sehingga untuk keberhasilannya penyuluh perlu memahami dan menerapkan prinsip belajar orang dewasa (J3arrington, 1981; Sudijanto,l995). Seorang penyuluh dalam proses pembelajaran (mengembangkan suasana belajar yang kondusif bagi) petani hams merasa terikat pada pandangan bahwa sasaran didiknya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan nyatanya Kehidupan nyata &an
didiknya tersebut adalah orang yang punya
tanggungjawab terhadap kehidupan keluarganya, orang yang hams rnampu mengambil keputusan yang paling baik bagi dirinya, orang yang hams mampu menyaring mana yang baik d m mana yang tidak baik bagi dirinya, orang yang harus menjawab tantangan yang dihadapi dalam kehidupannya, orang yang perlu memperbaiki kualitas usahanya dan kualitas kehidupannya, orang yang selalu terikat pada norma kehidupan kelompok dan masyarakatnya, orang yang perlu mandiri untuk dapat menemukan serta memecahkan masalah yang dihadapinya.
Mengingat kondisi yang demikian itu, penyuluh dituntut untuk rnemiliki
kualifikasi yang profesional. Profesional dalam arti ahli dalam bidang penguasaan materi yang "semestinya" disuluhkan (content area) dan ahli dalam bidang metode menyuluhkannya (process area)
54
Dalam penerapan "sekolah lapang", menurut Sudijanto (1995) penyuluhan perlu memperhatikan prinsip belajar orang dewasa berikut, orang dewasa akan belajir dengan baik apabila (1) dia ikut mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan, (2) menyangkut hal-ha1 yang menarik bagi kehidupannya, (3) menurutnya yang ia dipelajari bermanfaat dan praktis dan (4) terdapat dorongan semangat, pengulangan dan kesinambungan, (5) dia mempunyai kesempatan memanfitkan sepenuhnya pengetahuan, kemampuan dan ketrampilannya ddam waktu yang cukup, (6) terdapat kesaling pengertian (emphaty) atas tujuan belajar dan (7) berkaitan erat dengan pengalaman yang lalu dan sesuai dengan daya pikiiya. Beberapa karakteristik orang dewasa yang penting lainnya, perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran petani yaitu: (1) keragamk pengalaman, (2) kecenderungan untuk menentukan kehidupannya sendiri, (3) kecenderungan lebih menerima alternatif daripada digurui, (4) lebih memberi perhatian pada hal-ha1 menarik yang menjadi kebutuhannya, (5) lebih suka dihargai dari pada disalahkan atau diberi hukuman, (6) cenderung menilai lebih rendah (merendah) terhadap kemampuannya dm, (7) perlunya jalinan hubungan erat dan akrab disertai sikap saling percaya. Selanjutnya, agar proses pembelajaran petani berlangsung efektif, Sudijanto (1995) mengungkapkan sepuluh azas proses belajar-mengajar dalam suatu pelatihan bagi penyuluh pertanian, yaitu: (1) kemitraan, (2) pengalaman nyata, (3) kebersamaan, (4) partisipasi, (5) keswadayaan, (6) kesinambungan, (7) manfaat, (8) kesesuaian, (9) lokalitas dan (10) keterpaduan. Kesepuluh azas tersebut sejalan pula dengan konsep penyuluhan yang telah dikemukakan oleh Slamet dan Asngari (1969), maupun Dahama dan Bhatnagar (1980) tentang prinsip-prinsip penyuluhan. Di samping itu, azas tersebut sejalan dengan azas-azas
55
yang dianut oleh Bangsa Lndonesia dalam menerapkan pembangunan sebagaimana termuat dalam GBI-IN 1993 Berdasarkan pen ahaman atas azas-azas tersebut, berikut ini dicoba diadaptasikan dalam penerapan untuk ptases pembelajaran petani sebagai berikut. Azas kemrtram berarti menempatkan petani bukan sebagai murid, tetapi sebagai teman dan partner ("mitra") belajar bagi penyulih atau pihak-pihak yang berperan sebagai penyuluh. Azas pengaZaman nyuta, bermakna bahwa proses belajar yang berlangsung menyangkut situasi usahatani yang nyata, yang dihadapi oleh petani pada masa itu dan dalarn menghadapi kehidupannya menyambut masa depannya. Azas kebersamaan bermakna bahwa pembelajaran menekankan bahwa kelompok merupakan suatu media belajar yang penting, interaksi di dalamnya merupakan suatu media belajar yang efektif
Setiap anggota kelompok perlu mempunyai kesadaran
bahwa pennasalahan anggota se kelompok jugi dapat menjadi permasalahannya. Azas kesinumtbungan artinya menekankan bahwa hasil belajar menimbulkan efek ganda (muihpher efject), sehingga pembelajaran perlu berkembang dan berkesinambungan sesuai dengan perkembangan tingkat kebutuhan petani pada saat itu. Hal ini erat kaitan dengan azas manfaat. Penerapan azas manfaat artinya menekankan bahwa materi penyuluhan hams sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran belajar (petani) dan akan bermanfaat untuk mengatasi masalah yang dihadapi sekarang. Dalam ha1 ini perlu memperhatikan pula azas kesesuaian, artinya bahwa materi penyuluhan dipilih yang secara teknis memang sesuai dengan potensi lingkungan fisik setempat dan dari segi non teknis (sosial ekonomis) tidak bertentangan dengan sistem norma dan sistem sosial setempat dan penerapannya sesuai dengan tingkat kemampuan warga belajar (petani)
56
Azas lokalitas penting diterapkan dalam proses pembelajaran petani, mengingat bahwa tingkat keragaman kemampuan petani, penguasaan teknologi, tingkat ketersediaan saranalfasilitas penyuluhan dan prasarana ekonomi lainnya. Azas lokalitas artinya menekankan bahwa materi dan metoda penyuluhan perlu memperhatikan kesesuaikan materi, kondisi masyarakat dan sarana penyuluhan, serta prasarana setempat, sehingga materi dan
-
metoda penyuluhan bahkan program dan strategi penyuluhan bersifat spesifik lokal (locally spesrfrc). Artinya, tidak tertutup kemungkinan terjadi perbedaan antar wilayah, sepanjang terdapat perbedaan potensi dan kondisi wilayah seperti yang telah diuraikan tersebut. Azas keterpaduan artinya mengembangkan kekompakan antar materi penyuluhan, sehingga lebih sesuai dengan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, dengan pembahasan antar materi maupun antar berbagai pihak yang berperan sebagai penyuluh terintegrasi untuk suatu tujuan yang jelas, yaitu mkngatasi permasalahan sasaran penyuluhan. Azas ini merupakan mas yang paling sulit dilaksanakan, disebabkan oleh berbagai kepentingan antar sektor/subsektor yang lebih menonjol Pelaksanaan azas-mas tersebut dapat t-jud
dan tujuan penyuluhan pembangunan
pertanian akan tercapai apabila ditunjang oleh potensi sumberdaya manusia di bidang pembangunan pertanian (penyuluh dan petani) yang mernadai. Potensi sumberdaya manusia yang dimaksud adalah penyuluh dan petani yang mempunyai ciri kepribadian yang mandiri dan menempatkan kemandirian sebagai dasar dan arah dalam pengembangan sumberdaya manusia dalam pembangunan pertanian,
Kemandirian sc bagai Dasar dan Arah Pengembangan Sumba rdaya Manusia Pembangunan Menghadapi era globalisasi berbagai kemudahan seperti, subsidi, proteksi dan berbagai bentuk kemudahan lainn ra makin dikurangi dan pada akbimya ditiadakan. Pada saat itu dituntut kemampuan petani mengakomodasikan sifat-sifat baik manusia, untuk ditampilkan di dalam sikap dan perilaku yang tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh seorang individu, yaitu kemandian petani.
Hanya petani yang memiliki
kemampuan untuk meraih berbagai peluang dan kesempatan berusaha secara mandirilah yang mampu bersaing dan bertahan dalam mengusahakan pertaniannya secara menguntungkan. Menurut Nawawi clan Martini (1994), karakteristik manusia yang berkualitas kepribadian mandiri adalah individu yang memiliki sifat dan sikap: rajin, senang bekerja, sanggup bekerja h a s , tckun, gigigih, berdisiplin, berani merebut kesempatan, jujur, mampu bersaing dan mampu pula bekerjasarna, dapat dipercaya dan mempercayai orang lain, mempunyai cita-cita dan tahu apa yang hams diperbuat untuk mewjudkannya, terbuka pada kritik dan saran-saran, tidak mudah putus asa.
Hal itu berarti, seseorang yang memiliki kepribadian mandiri dalam menjalani kehidupan dan mernperoleh penghasilan tidak tergantung pada bantuan pihak lain, misalnya berupa sumbangan, petunjuk, perintah anjuran atau himbauan, tetapi individu yang mandiri tebih bersandar pada kekuatan sendiri.
Keberadaan atau kehadiran pihak lain lebih
ditempatkan sebagai mitra kerja (kolega) yang saling menguntungkan. Seorang penyuluh pertanian b e k q a tidak hanya diartikan sekedar menjadi pegawai negeri yang menunggu petunjuk dari atas, tetapi seorang penyuluh yang mandiri adalah penyuluh yang mampu menciptakan situasi belajar yang kondusif bagi pengembangan lcualitas perilaku petani dalam
58
meningkatkan taraf kehidupannya. Demikian halnya petani mandiri adalah petani yang dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya (kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya) tidak hanya bersandarl bergantung pada petunjuk dari penyuluh, aparat atau pihak lain, tetapi lebih bersandar pada kemampuan mengambil keputusan sendiri secara tepat dan kekuatan sendiri yang didorong oleh motivasinya untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Baik bagi penyuluh maupun petani, kemahdirian mereka juga ditandai adanya inisiatif mereka, yaitu: kemampuan pada mereka untuk: melihat kesempatan, memilih altematif (kreafij)dan memutuskan pilihan yang terbaik bagi peranannya dalam masyarakat, serta berusaha meraih kesempatan dengan segala kemampuan yang telah dan perlu dimilikinya. Karakteristik manusia yang berkualitas secara menunjuk pada kemampuan meraih sukses dalam kehidupannya Artinya, manusia yang berkualitas hams memiliki (Nawawi dan Martini, 1994) (1) Jasmmi yang sehat, yang memiliki pula sikap dan kemampuan untuk mewujudkan
kehidupan yang sehat, t m a s u k memelihara kesehatan, sehingga memunglankan berprestasi secara maksimal. ( 2 ) Kualitaspsikologis, dalam arti memiliki pengetahuan dengan keleluasaan dan kedalaman
yang memadai, sehingga mudah memahami sesuatu dan culcl~ptajam dalam befikir. (3) K e t e w a n &lam kualitas psiblogis aim jasmmiah, sehingga memiliki keterampilan
dan keahlian tertentu sesuai dengan pasaran kerja di masyarakat. (4) Sifat-sifat yang mendasari terbentuknya kualitas sikap aim perilaku sosial yang tepat dan
terpuji, terutama berupa kepekaankepedulian sosial yang tinggi dan sebagai warga negara yang baik.
59
(5) Kepribdan yang mandrri dalam mt rigaktualisasikan diri sebagai individu dalam
"kebersamaan" (kesetaraan) dengan pihak lain, terutama kemampuan mengakomodir sifat-sifat baik manusia, yang memungki ikan meraih sukses dalam kehidupannya. (6) Memiliki kualitas iman atau keiaqwaan fang tinggi pada Tuhan Yang Maha Esa, karena disamping meraih sukses di dunia tetapi juga mampu mengejar sukses di akhirat. Pada dasarnya manusia mempunyai naluri untuk hidup dengan manusia lain (gregariarsness) clan karena itu manusia juga disebut social mimal, yang mempunyai naluri
untuk senantiasa hidup bersama.
Oleh karena itu timbulah kelompok-kelompok sosial
(social-group) di dalam kehidupan manusia.
Di
dalarnnya terdapat kaitan hubungan
tirnbal-balik yang d i n g mempengamhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolongmenolong (MacIver dan Page, 1961). Atas dasar itu, pengembangan kualitas sumberdaya manusia sehamknya tidak terlepas dari perlunya ditumbuhkan keding-tergantungan yang saling menguntungkan diantara sesama manusia tersebut daam suatu kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Kaitannya dengan pembangunangertanian berkdanjutan, kesaling-tergantungan yang ditumbuhkan dalam pengembangan sumberdaya manusia tersebut ditempatkan pada kondisi kesetaraan satu sama lain dan bukan dalam kedudukan "penekanan satu pihak pada pihak lain" (sub-ordnation). Eksistensi manusia adalah satu interdependensi antara manusia yang satu dengan yang laimya (Sukardi, 1993), sehingga cepat atau lambat segala tindakan individu yang satu akan membawa dampak pada individu yang lain. Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari suatu karya manusia yang unik, yaitu teknologi dengan segala perwujudan dan perkembangannya.
Para pakar ilmu masa depan @tarolog) seperti Merton, Toffler, dan Naisbitt
(Sukardi, 1993) menyatakan bahwa menyatunya dunia, sebagai kata Lain dari globalisasi,
60
hanya dimungkinkan melalui pengembangan teknologi. Kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi modem secara lebih lanjut memungkinkan manusia untuk rnengeksplorasi, memanipulasi, dan mentransformasikan lingkungannya menjadi suatu lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya. Kesempatan d m pilihan muncul sebagai akibat pembangunan, dengan adanya globalisasi, ha1 tersebut tidak lagi hanya berasal dari .A
lingkungannya, tetapi juga dari belahan dunia lain. Menanggapi proses pembangunan yang terjadi di dunia sekarang ini serta mengingat hakikat manusia seperti yang telah diuraikan, seharusnya manusia menjadi issue atau tema sentral dalam pembangunan (Sukardi, 1993). Sebagai subyek pembangunan manusia harus sadar bahwa dialah yang mempunyai pilihan dan keputusan akhir "kearah mana
. pembangunan itu dilakukan?."
Kadang-kadang manusia tidak mampu menentukan pilihan
yang merupakan bagian dari aktualisasi dirinya.
Hal ini disebabkan oleh dinamika
masyarakat atau kondisi masyarakat lingkungannya yang membuat manusia menjadi obyek belaka, yang tidak mernungkinkan dia aktif berpartisipasi dalam phnsip interdependensi. Globalisasi dapat membawa manusia terhanyut dalam derasnya informasi sehingga menyebabkan manusia sulit memahami perbedaan antara kebutuhan dan keserakahan (needs and greed), serta keinginan d m kebutuhan (wish and need), yang pzda gilirannya akan mendorong manusia untuk terus menerus terlibat dalam kegiatan pemuasan pribadi. Keadaan inilah yang membuat manusia berkembang menjadi makluk yang egosenpis dan immrmenlal (Sukardi, 1993).
Bagi sekelompok manusia yang karena sesuatu ha1 tidak mampu
menemukan kesempatan d m pilihan, sehingga tidak mungkn memenuhi kebutuhan aktualisasi dirinya,
modernisasi dan pembangunan
menimbulkan pesimisme
dan
i /
61
kekhawatiran, yang pada gilirannya dapat menjadi ketidakpuasan dan menimbulkan protes terhadap perubahan yang tejadi dl lingkungannya Berdasarkan uraian diatas, manusia sebaga subyek sekaligus obyek pembangunan dihadapkan kepada perubahan-perubahan yang mengena pada dirinya sendiri temtama perubahan peia kogn~tlf, yang diikuti oleh perubahan menrngkaz?tya kemajemukan kebutuhannya, yang pada gilirannya juga diikuti oleh perubahan tatamlar yang dianutnya Berkaitan dengan analisis aspek-aspek perubahan-perubahan tersebut, disatu sisi manusia Indonesia menampilkan karakteristik tingkahiaku yang instrumental, egosentris, jalan pintas, ekspansif, dan tidak peka lagi terhadap hal-ha1 yang tidak secara langsung berkaitan dengan kepentingannya. Pada hal, dari berbagai hasil penelitian diungkapan (Sukardi, 1993) bahwa manusia yang "tangguh", sebagai subyek pembangunan dalam era globalisasi, diharapkan menampilkan karakteristik yang diwarnai etos keqa yang tinggi, prestatif, peka terhadap apa yang tejadi di lingkungannya, dan religius dengan mengacu pada nilai-nilai kompeten yang memprioritaskan moral. Salah satu ciri manusia Indonesia dalam era globalisasi adalah pemilikan identitas
diri yang tegar dan berakar pada kebudayaan lingkungannya. Ia pun haruspeka d m tanggap terhadap perubahan lingkungan d m mempunyai toleransi yang tin@ terhadap kegagalan, ujian, dan frustrasi. Dengan demikian, karakteristik manusia "tangguh" dalam era globalisasi masyarakat dunia adalah mencakup etos kerja, prestatg peka dun tanggq, inovatg religius, ji'ek~ihel,danjafi diri dengan swakendali (Sukardi, 1993). Dalam kaitannya dengan penyuluhan dan pembangunan pertanian berkelanjutan, perlu suatu usaha membina tejadinya hubungan antara penyuluh dan petani sehingga terjadi komunikasi yang baik.
Seorang penyuluh pertanian perlu memperhatikan sikap mental
62
petani (Asngari, 1996). Ada empat fakto - sikap mental yang mendasari usaha pembinaan hubungan tersebut, yakni : (1) value expressive attitude, (2) ego defensive attitude, (3) knowledge attitude, dan (4) utilitarian attia L Orang modem menurut Asngari ,1996) mempunyai faktor sikap mental seorang "tengkulak" pengalaman atau pengetahuan baru bagi perbaikan dan kesejahteraan dirinya (knowledge attitude) dan sikap mental seseorang sebagai makhluk sosial yang selalu akan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya uhlitarian attitude yang tinggi, sebaliknya, orang kolot (laggard) memiliki sikap mental menonjolkan diri (value expresive attifude) dan sikap mental curiga dan berprasangka (ego devensive attitude) yang tinggi. Penyuluh perlu mulai dengan "sikap berguru" dan bukannya menggurui.
Penyuluh bergurn tentang
nilai-nilai (kemampuan dan lain-lain) yang dibanggakan oleh klien (value expresive attitude), sehingga akan inengurangi prasangka/curiga atau sikap melawan &ari petani. Adanya faktor utiliiarim, attitudz klien &an
tertarik berguru pada penyuluh dan klien juga &an
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya yang memang selalu mendambakan perbaikan kesejahteraan hidupnya. Baik penyuluh maupun petani diantaranya perlu dikembangkan kearah kualitas perilaku orang modem, yang diantaranya mempunyai ciri kemandirian dalam menjalani kehidupannya. Ciri orang modem (Inkeles, 1966; Inkeles dan Smit, 1974; clan Asngari, 1996) adalah sebagai berikut, bahwa orang modern (1) mempunyai kesiapan menerima pengalaman baru dan terbuka akan inovasi dan
63
(2) mempunyai kecenderungan membentuk atau memegang pendapat tentang sejumlah besar
permasalahan dan pandangan lingkungan dan di luar lingkungannya, dan orientasinya adalah demokratis, (3) berorientasi pada masa kini dan masa mendatang dari pada masa silam, (4) berorientasi pada kehidupan yang direncanakan dan diorganisasikan, -.
(5) dapat belajar untuk menguasai lingkungannya dalam rangka mengernbangkan tujuannya, (6) percaya diri bahwa dunianya dapat diperhitungkanldibawah kontrol manusia,
(7) menyadari akan kelebihan orang lain dan menghargai ha1 tersebut, (8) percaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi, (9) percaya tentang hukum bahwa pengembangan tergantung pada andil atau partisipasi yang
diberikan, (10) bermi'hat dan memberi nilai yang tinggi pada pendidikan formal, dan (1 1) akan berprestasi secara penuh clan mempunyai kemampuan memiiah dan memilih (daya
saring), serta mempunyai sifat optimistik. Pengenalan dan pemahaman ciri-ciri individu petani dernikian akan sangat menentukan keberhasilan seorang penyuluh dalam melaksanakan tugasnya (Asngari, 1996). Itulah sebabnya, seorang penyuluh tidak hanya mengembangkan d i i untuk sod-soal teknis tetapi juga soal-soal yang menyangkut sosial-psikologis dan ekonomis. Pengembangan karakteristik manusia yang berkualitas tidak mungkin dilakukan hanya secara parsial atau hanya pada saat-saat tertentu saja. Pengembangan seharusnya mengikuti prinsip-prinsip perubahan tingkah laku pada umumnya (Sukardi, 1993), yaitu: (1) Usaha yang dilakukan hams usaha yang berkesinambungan dengan memperhi-tungkan
dukungan kelompok dan dukungan masyarakat (social support).
64
(2) Usaha itupun hams dikonsentrasikan pada pembangkitan kebutuhan untuk t erubah yang pada giluannya akan menjadi faktor pendorong (motivasi) untuk mengubah tingkah laku (3) Individu yang bersangkutan harus dibekali dengan pengetahuan dan ketra~lpilan yang
cukup supaya mampu melaksanakan perubahan tingkah laku seperti yang dicitacitakannya. (4) Dalam usaha mengubah tingkah laku, yang bersangkutan harus mendapatkan kesempatan
untuk memecahkan masalah-masalahnya yang berkaitan dengan adopsi inovasi (tingkah laku baru) dalam kondisi nyata. Sukardi menyimpulkan bahwa berdasarkan pengalaman hasil penelitian dengan analisis psikologi tentang pengembangan karakteristik manusia tangguh Indonesia (Sukardi mengacu pada penelitian-penelitian Setiadi, 1987; Achir, 1990, Sukardi, 1991; dan Soewondo, 1991), pada masa yang akan datang perlu dikembangkan penemuan-penemuan penting tentang "intewensi terencana yang menekankan analisis kebutuhan individu dan masyarakat, pengabangan iklim belajar partisipatif, penciptaan dukungan kelompok, serta pemanfaatan selumh sumber sebagai sarana belajar." Semua itu dinilai oleh para psikolog merupakan usaha yang mempunyai kelayakan pada era globalisasi.