Puji Syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya Buletin Laboratorium Veteriner (VELABO) Velabo 36 Edisi 02 November 2016, dapat di terbitkan kembali ke hadapan pembaca Sekalian. Pada Velabo ini, pembaca dapat mengupas tentang Perbandingan Pengujian Serum Sapi Terhadap Antibodi Toxoplasma gondii dengan Menggunakan ToMat (Toxoplasma Modified Aglutination Test) yang dibuat oleh Balai Veteriner Lampung dan Kit ELISA Komersial. Identifikasi virus penyebab Malignant Cataral Fever (MCF) menggunakan metode Polimerase Chain Reaction (PCR) di Balai Veteriner Lampung, Gambaran Serologis Penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD) Di Wilayah Kerja Balai Veteriner Lampung Tahun 2016. Letupan Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) Di Kecamatan Jati Agung Oktober-desember 2015. Deteksi Penyakit Zoonosis Salmonella Spp. Secara Transovari Pada Telur Ayam Yang Berasal Dari Peternakan. Aplikasi Gonadotropin Releasing Hormone Pada Cysta Folikel Ovarium Sapi Bali di Provinsi Bengkulu Harapan kami sajian Velabo ini dapat bermanfaat untuk pembaca Selamat membaca
Redaksi
Velab
BALAI VETERINER LAMPUNG DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTRIAN PERTANIAN
BULETIN LABORATORIUM VETERINER
PENANGGUNG JAWAB
PENANGGUNG JAWAB
EDITOR
Kepala Balai Veteriner Lampung drh. Syamsul Ma’arif, M.Si
Pimpinan Redaksi: drh Tri Guntoro, MP
drh. Eko Agus Srihanto, M. S.c drh. Joko Siswanto
Di Terbitkan 2 kali setahun
SEKERTARIAT REDAKSI
SEKERTARIAT REDAKSI
TELP / FAX
Tuti Mulyani Ferro Safryl A,Md
Tuti Mulyani Ferro Safryl A,Md
Telp. 0721 701851 / 772894 Fax. 0721 772894
HTTP:// BVETLAMPUNG.DITJENNAK.PERTANIAN.GO.ID
DAFTAR ISI Perbandingan Pengujian Serum Sapi Terhadap Antibodi Toxoplasma gondii dengan Menggunakan ToMat (Toxoplasma Modified Aglutination Test) yang dibuat oleh Balai Veteriner Lampung dan Kit ELISA Komersial.
1
Identifikasi virus penyebab Malignant Cataral Fever (MCF) menggunakan metode Polimerase Chain Reaction (PCR) di Balai Veteriner Lampung
2
Gambaran Serologis Penyakit Chronic Respiratory Disease (crd) Di Wilayah Kerja Balai Veteriner Lampung Tahun 2016
3
Letupan Kasus Bovine Ephemeral Fever (bef) Di Kecamatan Jati Agung Oktober-desember 2015
4
Deteksi Penyakit Zoonosis Salmonella Spp. Secara Transovari Pada Telur Ayam Yang Berasal Dari Peternakan
5
Aplikasi Gonadotropin Releasing Hormone Pada Cysta Folikel Ovarium Sapi Bali di Provinsi Bengkulu
6
Contens
VOLUME 36 - EDISI 02 NOVEMBER 2016
TAKE US ANYWHERE http://bvetlampung. ditjennak.pertanian. go.id
Perbandingan Pengujian Serum Sapi Terhadap Antibodi Toxoplasma gondii dengan Menggunakan ToMat (Toxoplasma Modified Aglutination Test) yang dibuat oleh Balai Veteriner Lampung dan Kit ELISA Komersial. Sulinawati dan Sisca Valinata Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Lampung Email:
[email protected]
Abstrak Toxoplasma gondii merupakan spesies tunggal dari genus Toxoplasma. Toxoplasma telah banyak ditemukan meyebar pada mamalia dan burung. Pada penelitian ini digunakan serum sapi yang diuji degan ToMat (Toxoplasma Modified Aglutination Test) dibandingkan dengan hasil uji menggunakan teknik ELISA (Idexx, Cusabio, dan IdVet). Hasil yang diperoleh dari 50 serum yang diuji seropositif Cusabio yaitu 6%, IdVet 24%, Idexx dan ToMat 98% seropositif terhadap Toxoplasma gondii. Perbandingan hasil kesesuaian uji antara Elisa Cusabio, Elisa IdVet terhadap ToMat adalah jelek, sedangkan kesesuaian uji Elisa Idexx terhadap ToMat adalah baik sekali. Kata Kunci :Toxoplasma gondii, ELISA, tes aglutinasi. Comparison of Bovine Serum with Toxoplasma gondii antibody using ToMAT (Toxoplasma Modified Aglutination Test) that made by Balai Veteriner Lampung and ELISA test kit commercial
Sulinawati dan Sisca Valinata Laboratory Parasitology, Balai Veteriner Lampung Email:
[email protected]
Abstract Toxoplasma gondii is a single species by genus Toxoplasma. Toxoplasma has been found in very large range of mammals and birds. In this research used bovine serum that tasted by ToMAT (Toxoplasma Modified agglutination Test) which compare with ELISA Kit commercial (Idexx, Cusabio, and IdVet). The result is 50 serum with seropositive that test by Cusabio is 6%, IdVet 24 % , I d e x x a n d To m a t 9 8 % s e r o p o s i t i v e t o To x o p l a s m a g o n d i i . C o m p a r i s o n t h e r e s u l t s o f conformance testing between Elisa Cusabio, Elisa IdVet with ToMat is bad, while the suitability test between Elisa Idexx with Tomat is excellent. Keywords : Toxoplasma gondii, ELISA, aglutination test.
Pendahuluan Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan pada binatang rodensia Afrika pada tahun 1908 oleh Nicolle dan Manceaux. Setelah itu toxoplasma ini banyak ditemukan pada mamalia dan burung. Dua bentuk dari parasit ini adalah bentuk proliveratif (trophozoit) dan bentuk kista (Soulsby, 1977). Toxoplasma berasal dari kata toxon (bahasa Yunani) yang berarti busur (bow) yang mengacu pada bentuk takizoit Toxoplasma yang seperti bulan sabit. Sedangkan nama gondii berasal dari kata Ctenodactylus gondii, seekor rodensia dari Afrika Utara dimana parasite tersebut pertama kali ditemukan(Black d a n B o o t h r o y d , 2 0 0 0 ) . To x o p l a s m a g o n d i i
menyebabkan penyakit toxoplasmosis yang merupakan penyakit zoonosis dan banyak ditemukan pada manusia dan hewan. Seropositif toxoplasmosis pada hewan sangat bervariasi. Data yang ada di Indonesia saat ini masih bersifat acak dan hanya pada satuwaktu tertentu. Selain itu menurut Subekti dan Arrasyd (2006) Kelemahan lain dalam tata laksana pengendalian toxoplasmosis selain data yang bersifat acak yaitu tidak tersedianya genetic mengenai klonet atau tipe Toxoplasma gondii yang menyebabkan toxoplasmosis pada hewan dan manusia. Berikut rata-rata kasus toxoplasmosis pada beberapa hewan di Indonesia disajikan pada Tabel 1.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
1
Tabel 1. Rata-rata ksus toxoplasmosis pada beberapa hewan di Indonesia Spesies
Lokasi
Prevalensi (%)
Kucing
Bogor Kalsel Kalsel Kalteng Jateng Kalsel Surabaya Jakarta Medan Jogjakarta
10 40 21,74 28 5,56 61 40-46 48,3 23,5 43,65 43,3 32,18 42,79 27,54 71,97 27,3 36,4 19,6 6,1 28 32
Kambing
Domba
Sapi Kerbau Ayam Itik Babi
Jakarta Jateng Jogjakarta Jatim Jabar Sumut Sumut Sumut Sumut Kalsel Bali
Sumber : Disarikan dari Supriharti et al., 1998, Iskandar, 1999 dan Subekti, 2004 dalam Subekti, 2005.
Dilihat dari tabel diatas prevalensi kejadian toxoplasmosis yang cukup tinggi dan bervariasi pada berbagai spesies, serta mengingat bahwa toxoplasmosis merupakan zoonosis maka penting untuk mengetahui teknik yang tepat untuk mendiagnosa penyakit tersebut. Pada kali ini akan dibandingkan beberapa hasil dari beberapa pengujian yaitu menggunakan KitELISA yang umum dipakai (Idexx, Cusabio, d a n I d Ve t ) , s e r t a m e n g g u n a k a n T o M AT (Toxoplasma Modified Aglutination Test) yang dibuat oleh Tim Parasitologi Balai Veteriner Lampung dan bekerjasama dengan Balai Besar P e n e l i t i a n Ve t e r i n e r. P e r b a n d i n g a n a n t a r a beberapa jenis Kit ELISA dan ToMAT untuk mengetahui apakah Kit-kit tersebut memiliki kualitas yang sama dan untuk mengetahui p e r b a n d i n g a n To M AT d e n g a n K i t p e g u j i a n komersial.
Materi dan Metode Materi Materi yang digunakan adalah Kit ELISA yang beredar dipasaran (Idexx, Cusabio, dan IdVet), reagen ToMAT beserta platemikrotiter dengan dasar “U” dan 49 serum sapi dari sekitar wilayah Provinsi Lampung dan 1 sampel FBS.
Metode Materi yang digunakan adalah Kit ELISA yang beredar dipasaran (Idexx, Cusabio, dan IdVet), reagen ToMAT beserta platemikrotiter dengan dasar “U” dan 49 serum sapi dari sekitar wilayah Provinsi Lampung dan 1 sampel FBS. Metode untuk pengujian ELISA, sesuai dengan prosedur masing-masing kit ELISA yang digunakan. Pegujian ToMAT didasarkan pada metode aglutinasi reaksi antara antigen dengan antibodi pada serum. Sampel diencerkan dengan larutan dapar pengencer (1:20, yaitu 2 μl serum dengan 40 μl larutan dapar pengencer). Semua sampel yang telah diencerkan dihomogenisasi denganmixer vortex. Sebanyak 25 μl suspense ToMAT dimasukkan kedalam lubang mikrotiter menggunakan pipet multichannel. Masingmasing sampel dari mikrotube dimasukkan kedalam lubang mikrotiter sebanyak 25 μl. Sampel dan suspense takizoit dihomogenisasi dengan menggunakan pipet.Plate mikrotiter diinkubasi pada refrigerator (4-8) °C selama 24 jam. Kemudian lempeng mikrotiter dibaca ada tidaknya glutinasi. Hasil negatif akan memperlihatkan bentuk mengumpul menyeruai t i t i k p a d a d a s a r s u m u r. H a s i l p o s i t i f a k a n menunjukkan reaksi aglutinasi dengan bentuk yang lebih menyebar pada dasar plate.
Hasil dan Pembahasan Hasil pengujian serologis50 serum yang diuji dengan 3 Kit ELISA komersial (Cusabio, Idexx, IdVet) serta menggunakan ToMAT tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengujian serologis 50 serum dengan KitELISA dan ToMAT Pengujian No
Kode Sample
1
1
2
2
Asal
ELISA Cuabio
Exotik Exotic pesawaran Pesawaran
ELISA Idexx
+
-
+ +
ELISA idVet
-
+
Tomat
-
+ +
-
+
+
+
-
+
+
+
+
+
3
3
4
7
-
+
5
9
-
+
6
11
-
+
+
+
7
12
-
+
+
+
-
+
+
+
-
+
+
+
Lamsel Candipuro (4)
-
+
8
14
9
15
10
17
-
+
-
+
11
19
-
+
-
+
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
2
12
21
13
22
Lamsel Exotic Candipuro Pesawaran ( III )
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
-
+
-
-
+
-
14
23
15
24
16
28
17
34
Candipuro I
18
45
Candipuro ( II )
19
49
-
+
-
+
20
50
-
+
-
+
21
51
-
+
-
+
22
53
-
+
-
+
23
55
-
+
-
+
-
+
Liwa
+
+
+ +
+
+
+
+
24
56
25
57
-
+
-
+
26
58
-
+
-
+
27
59
-
+
-
+
28
60
-
+
-
+
29
62
-
+
-
+
30
67
-
+
-
+
31
69
-
+
-
+
32
70
-
+
-
+
33
73
-
+
-
+
34
74
-
+
-
+
35
75
-
+
-
+
36
76
-
+
-
+
37
77
-
+
-
+
38
78
-
+
-
+
39
79
-
+
-
+
40
80
-
+
-
+
41
81
-
+
-
+
42
82
-
+
-
+
43
83
-
+
-
+
44
84
-
+
-
+
45
87
-
+
-
+
46
88
-
+
-
+
47
89
-
+
-
+
48
90
-
+
-
+
49
91
-
+
-
+
50
FBS
Malang Sari
Dempo Utara
-
-
+
-
-
Jumlah
47
3
1
49
38
12
1
49
%
94
6
2
98
36
24
2
98
Dari hasil diatas didapatkan hasil dari pengujian serologis terhadap 50 sampel pengujian ELISA
dengan Cusabio mendapatkan hasil 6% seropositif terhadap Toxoplasma gondii. ELISA menggunakan Idexx 98% seropositif terhadap Toxoplasma gondii, sedangkan IdVet seropositif t e r d a p a t 2 4 % To x o p l a s m a g o n d i i . P e n g u j i a n aglutinasi menggunakan ToMAT mendapatkan hasil yang sama dengan ELISA menggunakan Idexxyaitu 98% sampel terdapat seropositif terhadap Toxoplasma gondii. Teknologi ELISA merupakan teknologi diagnosa yang banyak digunakan saat ini.Hal tersebut di karenakan ELISA memiliki tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan degan teknik diagnosa lainnya.Sampai saat ini pengujian secara serologis, hanya ELISA yang mampu melakukan pengukuran bersifat kuantitatif. Dari hasil perbandingan ketiga jenis Kit ELISA dipasaran yaitu Cusabio, Idexx dan I d Ve t t e r d a p a t p e r b e d a a n y a n g s a n g a t mencolok. Tingkat seropositif paling tinggi yaitu dideteksi oleh Kit ELISA Idexx yaitu 98%, selanjutnya IdVet 24% dan terkahir dengan kit ELISA Cusabio yaitu 6%. Te k n i k M o d i fi e d A g l u t i n a t i o n Te s t ( M AT ) memang sudah jarang digunakan pada manusia ,tetapi penggunaan teknik diagnosa ini pada hewan masih diaplikasikan. Teknik aglutinasi terbagi atas dua yaitu aglutinasi langsung termasuk didalamnya MAT dan aglutinasi tidak langsung termasuk didalamnya Latex Aglutination Test (LAT). Diagnosis serologis dengan teknik aglutinasi dilakukan hanya untuk penentuan positif atau negatif toxoplasmosis dengan penentuan titer secara semikuantitaif. Prinsip kerja aglutinasi langsung adalah terjadinya aglutinasi takizoit apabila bereaksi dengan antibodi terhadap Toxoplasma gondii d a l a m s e r u m . P a d a M AT d a p a t d i g u n a k a n formalin atau aceton untuk proses inaktifasi takizoit. Prinsip uji dari ToMAT ini yaitu takizoit To x o p l a s m a g o n d i i a k a n b e r i k a t a n d e n g a n antibodi serum. Ikatan antara antibodi dan antigen akan menyebabkan terjadinya aglutinasi. Kit ToMAT yang digunakan memiliki akurasi uji 94,89% dengan sensitivitas 98,55% dan spesifisitas 86,21%. Menurut Subekti (2005) aplikasi ELISA untuk diagnosis toxoplasmosis terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu konfigurasi ELISA, jenis protein atau antigen yang digunakan serta spesifikasi konjugat yang
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
3
dipergunakan. Konfigurasi ELISA pada hakikatnya untuk menigkatkan sensitivitas. Pemilihan jenis konjugat (misalnya whole molecule, Fab specific, Fc specific γ/μ/δ/ε chain specific) berkaitan dengan peningkatan spesifisitas dan modifikasi sensitivitas. Jenis protein yang digunakan menentukan spesifisitas sensitifitas dan intepretasi hasil. Oleh karena itu pemilihan jenis protein yang digunakan merupakan prioritas utama dalam pengembangan ELISA. Perbedaan hasil ELISA ketiga jenis Kit komersial tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan jenis protein. Toxoplasma gondii yang digunakan. Dalam sebuah jurnal Kader (2013) melakukan perbandingan pengujian serum kambing dan d o m b a m e n g g u n a k a n M AT d a n E L I S A d a n mendapatkan hasil tidak ada perbedaan yang signifikan. ELISA memang merupakan alat diagnosa yang banyak digunakan. Tetapi ELISA membutuhkan konjugat yang spesifik terhadap spesies tertentu dan membutuhkan peralatan spectrophotometer untuk menghitung aktifitas dari antibosi pada kit ELISA. Sebaliknya MAT tidak membutuhkan spesifik konjugat dan dapat digunakan untuk semua spesies, serta penggunaannya yang lebih simpel yang lebih memungkinkan untuk diagnosa yang lebih mudah untuk diaplikasikan pada hewan. Hasil dari keempat pengujian dapat dilakukan perbandimgan kesesuaian dua uji menggunakan pengolahan data statistic Kappa (K).Dari Tabel 2 kita dapat membandingkan ToMat dengan ketiga uji Elisa.Pertama perbandingan antara Kit Elisa Cusabio dengan ToMat.Hasil pengujian Cusabio dan ToMat yang sama-sama menunjukkan hasil positif adalah 3 sampel, yang menunjukan hasil sama-sama negatif antara Cusabio dan ToMat adalah 1 sampel.Sedangkan 46 sampel lainnya menunjukkan hail negatif pada Kit Elisa Cusabio d a n P o s i t i f p a d a p e n g u j i a n To M a t . D a r i d a t a tersebut kita dapat membandingkan kesesuaian dua pengujian tersebut yaitu diperoleh nilai Kappa adalah 0,002. Nilai Kappa yang diperoleh <0,4 yang artinya kesesuaian antara dua uji tersebut adalah jelek.
sedangkan yang sama-sama menunjukkan hasil negatif adalah 1 sampel. Perbedaan hasil ujipositif dan negatif antara keduanya tidak di temukan. Dari data tersebut perbandingan kesesuaian dua pengujian Elisa Idexx dengan ToMat adalah 1. Nilai Kappa yang diperoleh >0,7 yang artinya kesesuaian baik sekali. Perbandingan terakhir yaitu antara Elisa IdVet dengan ToMat. Hasil pengujian yang diperoleh yaitu, yang sama-sama menunjukkan hasil positif adalah 12 sampel. Hasil uji keduanya yang sama-sama menunjukkan hasil negatif yaitu 1 sampel, dan 37 sampel lainnya menunjukkan hasil negatif pada elisa IdVet dan positif pada pengujian ToMat. Dari data tersebut maka diperoleh nilah Kappa yaitu 0,01 yang artinya kesesuaian jelek. Perbedaan hasil yang berbeda antara masing masing kit, perlu dilakukan pengujian yang lebih mendalam mengenai KIT tersebut. Pegujian tersebut dapat menggunakan elektroforesis dan immunobloting untuk mengetahui lebih jelas tentang jenis protein yang digunakan pada masing -masing kit.Kesesuaian uji antara Elisa Cusabio dan ToMat yaitu jelek, antara Elisa Idexx dan ToMat yaitu baik sekali dan antara Elisa IdVet dengan Tomat jelek.
Kesimpulan dan saran Dari hasil pengujian didapatkan hasildari 50 serum yang diuji seropositif Kit ELISA Cusabio yaitu 6%, IdVet 24%, Idexx dan ToMat 98% s e r o p o s i t i f t e r h a d a p To x o p l a s m a g o n d i i . K i t ELISA Idexx dan ToMAT memiliki hasil pengujian yang sama.Kesesuaian uji pada yaitu jelek untuk Elisa Cusabio dengan ToMat, Elisa IdVet dengan ToMat.Sedangkan Kesesuaian uji antara Elisa Idexx dan ToMat baik sekali.Perbedaan hasil dari beberapa pengujian dengan Kit ELISA dimungkinkan dikarenakan penggunaan jenis protein Toxoplasma gondii yang berbeda antara masing-masing kit. Diperlukan uji lanjutan dengan elektroforesis dan immunobloting untuk mengetahui jenis protein yang digunakan masing-masing kit agar lebih dapat memastikan jenis Kit yang sebaiknya digunakan.
Perbandingan kesesuaian antara dua uji Elisa Idexx dengan ToMat yaitu, hasil pengujian yang sama-sama menunjukkan nilai positif terhadap kedua uji Elisa Idexx dan ToMat yaitu 49 sampel,
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
4
Daftar Pustaka Black, M. W. and J.C. Boothroyd. 2000. Lytic Cycle of Toxoplasma gondii. Microbiol. Mol.Biol. Rev. 64 : 607-623. K a d e r , J . M . , A l - K h a y a t , Z . A . Y, . 2 0 1 3 . Serodiagnosis of Toxoplasmosis in Sheep and Goats in Erbil city, Iraq. Iraqi Journal of Veterinary science, Vol.27, No.1 : 21-23 Soulsby, E.J.L. 1977. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals, Edisi ke-6. Waverly Press, Philadelphia : 736. Subekti,D.T., Artama, W.T., Iskandar, T,.2005. Perkembangan Kasus dan Teknologi Diagnosis Toxoplasmosis. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis : 253-264 Subekti, D.T., Arrasyid. 2006. Imunopatogenesis Toxoplasma gondii Berdasarkan Perbedaan Galur. Wartazoa Vol.16 No.3 : 128-145.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
5
Identifikasi virus penyebab Malignant Cataral Fever (MCF) menggunakan metode Polimerase Chain Reaction (PCR) di Balai Veteriner Lampung Angeliya, L dan Srihanto, E. A. Laboratorium Bioteknologi Email:
[email protected]
Abstrak Malignant Catarrhal Fever (MCF) adalah penyakit viral yang menyerang sapi, kerbau dan rusa disebabkan oleh alcelaphine herpesvirus 1 (AlHV-1) dan ovine herpesvirus 2 (OvHV-2). Wabah penyakit MCF sering terjadi pada daerah dengan populasi domba cukup tinggi karena domba berperan sebagai hewan reservoir. MCF di Indonesia pertama kali dilaporkan di Kediri pada tahun 1894, menyebar ke Madura, Lombok dan seluruh Jawa. Kasus MCF di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung telah dilaporkan di propinsi Lampung, Sumatra Selatan dan Bengkulu pada tahun 1988 dan 2015. Diagnosis MCF dilakukan dengan melihat gejala klinik dan kelainan patologik anatomi. Diagnosis tersebut dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang gejala klinisnya serupa dengan MCF, sehingga diperlukan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk identifikasi virus MCF secara cepat, sensitif dan spesifik. Penelitian ini menerapkan metode heminested PCR menggunakan 2 pasang primer 556/775 dan 556/555. Sampel yang digunakan adalah organ hewan yang telah menunjukkan gejala klinis penyakit MCF. Berdasarkan hasil pengujian dengan metode PCR, sampel tersebut positif MCF sehingga metode PCR ini dapat digunakan sebagai konfirmasi kasus lapangan. Kata Kunci : Catharral Fever, Polymerase Chain Reaction, Viral, DNA
Identification Virus caused by Malignant Catarhal Fever (MCF) with Polimerase Chain Reaction Metode in Disease Investigation Center Angeliya, L and Srihanto, E.A. Laboratory of Biotechnology Email:
[email protected]
Abstract Malignant Catarrhal Fever (MCF) adalah penyakit viral pada sapi, kerbau dan rusa yang menyebabkan proliferasi dan infiltrasi limfoid yang diikuti oleh nekrosis di berbagai jaringan (Plowright, 1984; Prabowo dan Ishitani, 1984). MCF pada domba diduga sudah lama terjadi baik secara epidemiologik maupun serologik. Domba berperan sebagai hewan reservoir (Wiyono dkk., 1994). Wabah penyakit MCF sering terjadi pada daerah dengan populasi domba cukup tinggi. Penyakit tersebut disebabkan oleh alcelaphine herpesvirus 1 (AlHV-1) dan ovine herpesvirus 2 (OvHV-2) (Fenner dkk., 2011). Mortalitas sangat tinggi hingga mencapai 100% (Hamilton, 1990), meskipun hewan yang sembuh setelah terinfeksi MCF telah dilaporkan (Penny, 1998).MCF pertama kali dilaporkan di Indonesia oleh Paszotta pada kerbau di Kediri pada tahun 1894, menyebar ke Madura, Lombok dan seluruh Jawa (Mansjoer, (1954) dalam Damayanti dan Wiyono, 2005). Kejadian penyakit ini dilaporkan di seluruh Indonesia kecuali di Propinsi Irian JayaMaluku, Kalimantan Tengah, Barat dan Selatan (Partadiredja dkk., 1988). Menurut Prabowo (1988) di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung telah dilaporkan di propinsi Lampung, Sumatra Selatan dan Bengkulu. Kasus terbaru Penyakit MCF pada sapi bali dilaporkan tahun 2015 di kota Bengkulu (Srihanto dkk, 2015. Diagnosis MCF dilakukan secara konvensional yaitu dengan melihat gejala klinik dan kelainan patologik anatomi. Diagnosis tersebut dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang gejala klinisnya serupa dengan MCF, sehingga diperlukan cara pengidentifikasian virus yang lebih spesifik dibandingkan dengan cara konvensional. Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan uji yang spesifik, sensitif dan cepat untuk pengidentifikasian virus MCF (Baxter dkk., 1993). Diagnosis MCF di Balai Veteriner Lampung pada kasus klinis lapangan di kota Bengkulu tahun 2015 berdasarkan gejala klinis, patologi anatomi dan histopatologi (Srihanto dkk, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi virus penyebab MCF secara molekuler.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
6
Materi Sampel yang diuji pada penelitian ini adalah organ sapi bali yang diduga MCF berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi.Sampel tersebut di preparasi dan diekstraksi untuk mengisolasi DNA. Bahan-bahan yang diperlukan pada metode molekuler antara lain : Purelink viral RNA/DNA minikit (Invitrogen), Platinum Blue (Invitrogen), 100 bp DNA Lodder (Invitogen), Primer forward dan reverse, TBE buffer 1 x, dan Sybr safe. Primer yang digunakan hasil desain dari Baxter (1993).
Metode Proses amplifikasi dilakukan dengan heminested Polymerase Chains Reaction (PCR) menggunakan primer forward dan reverse untuk mengamplifikasi target. Sepasang primer (forward 556 dan reverse 775) digunakan pada tahapan pertama. Reagen terdiri dari Platinum blue, 1 primer spesifik forward (556) dan 2 reverse (775 dan 555), NFW dan DNA hasil ekstraksi. Larutan tersebut diamplifikasi dengan menggunakan mesin Thermocycler. Volume total reaction mix dalam tube PCR pada masing-masing tahapan adalah 25 µl yang terdiri atas 21 µl Platinum blue, primer forward 556 (5'-AGTCTGGGTATATGAATCCAGATGG CTCTC-3') dan reverse 775 (5'-AAGATAAGCACCA GTTATGCATCTGATAAA-3') masing-masing 1 µl dengan konsentrasi 20 pmol serta 2 µl template DNA. Thermocycler disiapkan dengan program sebagai berikut: pre denaturasi (suhu 940C selama 5 menit) sebanyak 1 siklus; [denaturasi (suhu 940C selama 40 detik) ; annealing (suhu 57,80C selama 45 detik); elongasi (suhu 720C selama 60 detik)] sebanyak 35 siklus; post elongasi (suhu 720C selama 4 menit) sebanyak 1 siklus. Produk PCR pada tahapan pertama dijadikan template sebanyak 3 µl pada tahapan ke dua dengan menggunakan pasangan primer (forward 556 dan reverse 555) berikutnya yaitu forward 556 (5'-AGTCTGGGTATATGAATCCAGATG GCTCTC-3') dan reverse 555(5'-TTCTGGGGTAGTG GCGAGCGAAGGCTTC-3') dengan komposisi reaction mix sama dengan tahapan sebelumnya. Larutan tersebut diamplifikasi dengan menggunakan mesin Thermocycler. Thermocycler disiapkan dengan program ke dua sebagai berikut : pre denaturasi (suhu 940C selama 5 menit) sebanyak 1 siklus; [denaturasi (suhu 940C selama 40 detik) ; annealing (suhu 57,80C selama 45 detik); elongasi (suhu 720C selama 60 detik)] sebanyak 35 siklus; post elongasi (suhu 720C selama 4 menit) sebanyak 1 siklus.
Elektroforesis DNA dilakukan pada gel agarose 1,5 % dengan pewarnaan sybr safe dalam larutan TBE buffer 1 x. Produk PCR sebanyak 5 µl dicampur dengan 1,5 µl loading buffer. Suspensi sebanyak 6,5 µl tersebut dimasukkan ke masing-masing sumur pada gel agarose. Sumuran terakhir diisi dengan 5 µl penanda molekuler (DNA ladder 100 bp). Elektroforesis dijalankan pada voltase 125 volt selama 25 menit. Gel produk amplifikasi PCR divisualisasikan di atas UV transilluminator. Analisis hasil amplifikasi berdasarkan ukuran dari masing-masing fragmen atau pita DNA dibandingkan dengan posisi pita dari marker.
Hasil dan Pembahasan Hasil elektroforesis dan visualisasi sampel terduga MCF menunjukkan panjang amplikon 238 bp. Hasil ini sesuai dengan penelitian Baxter et al. (1993) pada sampel positip MCF. Hasil elektroforesis ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar. 1 Hasil elektroforesis identifikasi virus penyebab MCF menggunakan metode PCR. Amplikon menunjukkan hasil 238 bp; M: Marker 100 bp; A, B dan C: sampel penelitian; K- : kontrol negatip.
Sampel yang digunakan pada metode PCR dapat berupa organ hewan yang terinfeksi ataupun air liur hewan yang terduga terinfeksi virus penyebab MCF. Metode PCR pada penelitian ini menggunakan organ yang berasal dari sapi bali yang menunjukkan gejala klinis berupa suhu 400C anoreksia, hiperlakrimasi, hipersalivasi, keratokonjunctivitis, terdapat eksudat mukopurulen dengan bau yang khas (busuk) dan diare (Srihanto dkk., 2015). Keratokonjunctivitis, eksudat mukopurulen dengan bau khas dan vaskulitis merupakan ciri patognomonik dari kasus MCF (Murphy et al., 2008; Ressang, 1984). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah heminested PCR. Heminested PCR adalah suatu teknik replikasi DNA menggunakan bantuan enzyme DNA polymerase yang menggunakan dua pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
7
Pasangan primer kedua mengamplifikasi produk PCR dari amplifikasi menggunakan pasangan primer pertama sehingga uji ini lebih spesifik (Joshi and Deshpande, 1997). Dua pasang primer yang digunakan pada penelitian ini adalah pasangan primer 556/775 untuk tahap pertama dan pasangan primer 556/555 untuk tahapan ke dua (Baxter dkk., 1993). Hasil elektroforesis ditunjukkan dengan adanya pita DNA terlihat posisi antara marker ke 200 dan 300. Produk PCR pengujian dengan menggunakan primer 556/775 dan 556/555 sepanjang 238 bp (Baxter dkk, 1993). Sampel yang di uji menggunakan metode PCR teridentifikasi positif MCF. Metode PCR dapat digunakan sebagai identifikasi dini dan konfirmasi uji dari hewan yang menunjukkan gejala klinis MCF.
Kesimpulan Laboratorium Bioteknologi Balai Veteriner Lampung dapat menerapkan pengujian dengan metode heminested PCR untuk mengidentifikasi virus penyebab MCF. Metode PCR dapat digunakan untuk deteksi virus penyebab MCF lebih cepat, spesifik dan sensitif pada hewan hidup.
Saran Identifikasi penyebab virus MCF menggunakan metode PCR pada penelitian ini membutuhkan isolat virus MCF sebagai kontrol positif.
Daftar Pustaka Baxter, S. I. F., Pow, I., Bridgen, A., Reis, H. W., 1993. PCR Detection of the Sheep Associated Agent of Malignant Catharral Fever. Archives of Virology. 132:145-149 Damayanti, R. and Wiyono, A., 2005. Natural infection of malignant catarrhal fever in bali cattle: a case study. Jitv 10(2): 150-159 Srihanto, E.A., Siswanto, J., Triwibowo, B., Jananta, and Majestika. 2015. Gambaran Penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF) yang Menyerang Sapi Bali Di Uptd Bibd Propinsi Bengkulu. Buletin Laboratorium Veteriner. 33 (1): 33-38 Fenner, F.J., Barthold, S.W., Bowen, R.A., Hedrick, R.P., Knowles, D.P., Lairmore, M.D., Parrish, C . R . , S a i f , L . J . a n d S w a y n e , D . E . 2 0 11 . Veterinary Virology, 4th edition, Academyc Press Inc. 525 B Street, Suite 1800, San Diego, California 92101- 4311 : pp. 197-198 Hamilton, A.F. 1990. Account of three outbreaks of Malignant Catarrhal Fever in Cattle in the Republic of Ireland. J. Vet. Rec. 127; pp. 231-232
Joshi, M. and Deshpande, J. D.,1997. Polymerase Chain Reaction: Method, Principles and Application. International Journal of Biomedical Research 1: 640-645 Kirbas, A., Oruc, E.,Ozkanlar, Y.,Sozdutmaz, I., Aktas, M.S. and Saglam, Y.S., 2013. SheepAssociated Malignant Catarrhal Fever: First report in a Calf in Northeastern Turkey Israel Journal of Veterinary Medicine Vol. 68 (3) ; pp. 195-200 Mansjoer, M. 1954. dalam Damayanti, R. and Wi y o n o , A . , 2 0 0 5 . N a t u r a l i n f e c t i o n o f malignant catarrhal fever in bali cattle: a case study. Jitv 10 (2): 150-159. Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C., and Studdert, M.J. 2008, Poxviridae dalam Veterinary Virology, 3th edition, 525 B Street , Suite 1900, San Diego, California 92101-4495, USA : pp. 322-323 Partadiredja, M. I.G Sudana and Susilo. 1988. Malignant Catarrhal Fever in Indonesia. In: Malignant Catarrhal Fever in asian Livestock. P.W. Daniels, Sudarisman and P. Ronohardjo (Eds). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. pp.14-18. Prabowo, H. 1988. Malignant catarrhal fever in lampung, South sumatra and bengkulu. In: Malignant catarrhal Fever in asian livestock. P.w. Daniels, sudarisman And p. Ronohardjo (eds). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. pp.47-48 Prabowo, H., Ishitani, R., 1984. Studies on Rama Dewa, the Enzootic Disease of Cattle Occuring in Lampung Province of Sumatra Indonesia Its Histopathology and critical views on Name of the Disease. Japan International cooperation Agency Penny, C. 1998. Recovery of cattle from malignant catarrhal fever. Vet. Rec. 142(9): pp. 227 Plowright, W. 1984. Malignant Catarrhal Fever virus:A lymphotropic herpesvirus of ruminants. In: Latent Herpesvirus Infections in Veterinary Medicine. G. Wittmann, R.M. Gaskell and H.J. Rziha (Eds). Martinus Nijhoff Publishers, Boston, pp. 279-305. Ressang, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner, edisi 2; hal. 467-470 Wi y o n o , A . , B a x t e r, S . I . F. , S a e p u l l o h , M . , Damayanti, R., Daniels P.W. and Reid, H.W., 1994. PCR detection of ovine herpesvirus-2 DNA in Indonesian ruminants-normal sheep and clinical cases of malignant catarrhal fever. Vet.Microbiol. 42:45-52.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
8
Gambaran Serologis Penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD) Di Wilayah Kerja Balai Veteriner Lampung Tahun 2016 Arie Khoiriyah Laboratorium Bakteriologi Email:
[email protected]
Abstrak Chronic Respiratory Disease (CRD) adalah penyakit menular menahun pada ayam yang disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum yang ditandai dengan sekresi hidung katar, kebengkakan muka, batuk dan terdengarnya suara sewaktu bernafas. Penularan secara horizontal dapat berupa kontak langsung dari hewan ke hewan dan yang tidak langsung melalui makanan, air minum, debu, alat-alat kandang yang tercemar oleh M.gallisepticum dan melalui udara dengan jarak tidak melebihi 6 meter. Penularan secara vertikal terjadi lewat telur yang dihasilkan oleh induk penderita. Uji serologi denganmenggunakan Aglutinasi cepat (PUSVETMA) dilakukan terhadap 956 sampel serum ayam untuk mengetahui gambaran serologis penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD) di wilayah kerja Balai Veteriner Lampungtahun 2016. Hasil uji Aglutinasi cepatmenunjukkan bahwa terdapat 674 sampel (70,5%) serum Ayam positif Chronic Respiratory Disease. Kata Kunci : Mycoplasma gallisepticum, serologi, Aglutinasi cepat
Serologic Chronic Disease Respiratory Disease (CRD) in Disease Invetigation Center Region Lampung on 2016 Arie Khoiriah Laboratory of Bacteriology Email:
[email protected]
Abstract Chronic Respiratory Disease (CRD) is a chronic infectious disease in chickens caused by Mycoplasma gallisepticum characteristic by catarrh nasal secretions, swelling face, coughing, and hearing sound during breathing. Horizontal transmission may be direct contact from animal to animal and directly through food, drinking water, dust, equipment enclosure contaminated by Mycoplasma gallisepticum and through the air with distance not exceeding 6 meters. Vertical transmission occurs through the eggs produced by the mother. Serological test by using Rapid Aglutination Test (RAT) carried out on 956 samples of chicken serum to reveal the disease serological Chronic Respiratory Disease (CRD) from DIC Lampung in 2016. Resultsof the RAT indicated that 674sample (70,5%) chicken sera were positive Chronic Respiratory Disease (CRD). Keywords : Mycoplasma gallisepticum, serology, Rapid Aglutination Test (RAT)
Pendahuluan Chronic Respiratory Disease (CRD) adalah penyakit menular menahun pada ayam yang disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum yang ditandai dengan sekresi hidung katar, kebengkakan muka, batuk dan terdengarnya suara sewaktu bernafas. Ayam semua umur dapat terserang CRD. Pada kondisi tertentu dapat menyebabkan gangguan pernafasan akut terutama pada ayam muda, sedangkan bentuk kronis dapat menyebabkan penurunan produksi telur. CRD memiliki derajat morbiditas tinggi dan derajat mortalitas rendah. Infeksi dapat menyebar secara vertikal melalui telur yang terinfeksi. Penyakit ini akan lebih parah apabila diikuti dengan infeksi sekunder dengan virus lain diikuti dengan infeksi sekunder dengan virus lain seperti ND, IB atau bakteri seperti misalnya Escherichia coli (Anonim, 2014)
Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh CRD antara lain meliputi konversi makanan rendah, laju pertumbuhan lambat, mutu karkas menurun, jumlah ayam yang diafkir lebih banyak, produksi telur menurun, biasanya produksi tidak akan kembali mencapai normal kembali, dan biaya pengobatan relatif tinggi. Sebagai contoh di Amerika Serikat kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit ini diperkirakan mencapai 100 juta dollar US setahun. Agen penyebab CRD adalah Mycoplasma gallisepticum dari famili Mycoplasmataceae dan Ordo Mycoplasmatales. Mycoplasma gallisepticum berukuran 0,25-0,50 mikron berbentuk pleomorfik, biasanya kokoid dan tidak mempunyai dinding sel sejati.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
9
M.gallisepticum masih tetap hidup (viable) selama 1-3 hari dalam feses ayam pada suhu 20oC selama 1 hari, bila terdapat pada mesin tetas dengan suhu 37oC atau 3 hari pada suhu 20oC; selama 18 minggu dalam kuning telur pada suhu 37oC atau 6 minggu pada suhu 20oC, dalam cairan allantoik masih tetap infektif selama 4 hari pada suhu 37°C, 6 hari pada suhu kamar dan 32-60 hari pada suhu 4°C, dalam biakan cair tahan 2-4 tahun kalau disimpan pada suhu -30°C, sedangkan yang dikering bekukan (lyophilized) tahan 7 tahun pada suhu 4°C (Anonim, 2014)
Masa tunas CRD berkisar antara 4-21 hari. Bila CRD menyerang, biasanya seluruh kelompok ayam terkena meskipun derajat keparahannya berbeda. Tanpa komplikasi kelompok ayam yang terserang CRD, tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas. Pada kelompok ayam dewasa menunjukkan tanda klinis terdapat sekresi hidung katar yang makin lama makin bertambah, batuk dan bersuara pada waktu bernafas. Sebagian ayam yang terserang, menunjukkan muka bengkak akibat tertimbunnya eksudat dalam sinus infraorbitalis. Penularan dapat secara horisontal dan vertikal. Penularan secara horizontal dapat berupa kontak langsung dari hewan ke hewan dan yang tidak langsung melalui makanan, air minum, debu, alat-alat kandang yang tercemar oleh M.gallisepticum dan melalui udara dengan jarak tidak melebihi 6 meter. Penularan secara vertikal terjadi lewat telur yang dihasilkan oleh induk penderita. Derajat penularan tertinggi pada waktu induk baru terpapar infeksi mencapai 35% dan menurun menjadi 1% setelah 2-4 bulan kemudian. Salah satu metode yang digunakan di Laboratorium untuk mendiagnosa penyakit CRD adalah Rapid Aglutinasi Test (RAT). Uji ini termasuk uji cepat untuk mendeteksi dini apakah unggas terinfeksi oleh bakteri penyebab penyakit CRD atau tidak. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah memberikan gambaran serologis penyakit CRD di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung Ta h u n 2 0 1 6 . S e l a i n i t u s e m o g a p e n u l i s a n makalah ini juga dapat menjadi pedoman penyusunan rencana surveilans penyakit pada Unggas berikutnya.
Materi dan Metode Materi Materi yang digunakan adalah pengambilan secara acak serum ayam sebanyak 956 sampel yang berasal dari kegiatan pengambilan sampel aktif servis di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung yaitu Provinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu.
Metode Pengujian terhadap serum darah ayam dilakukan dengan metode Rapid Aglutinasi Test (RAT) untuk mendeteksi antibodi menggunakan antigen CRD produksi PUSVETMA. Sampel yang digunakan berupa serum dari ayam. Serum darah sebanyak 1 tetes (20 µl) ditambah antigen CRD sebanyak 1 tetes (20 µl) pada lempeng kaca. Kemudian serum dan antigen dicampur sampai rata menggunakan batang pengaduk. Lempeng kaca digoyang dengan gerakan berputar selama 2 menit. Reaksi positif adalah terjadinya aglutinasi atau gumpalan jelas dengan cairan di sekitarnya jernih (Anonim, 1999).
Hasil dan Pembahasan Hasil Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Rapid Aglutination Test (RAT) CRD pada Serum Ayam dari Provinsi Lampung Tahun 2016 Hasil Pemeriksaan Jumlah Sampel Seropositif %(+)
Kec.
Kab. Lampung Selatan
Tanjung Bintang
65
21
32,3
Lampung Timur
Purbolinggo
77
59
76,6
Pringsewu
Pringsewu
75
42
56
Tulang Bawang Barat
Tulang Bawang Tengah
47
19
40,4
Pesawaran
Gedong Tataan
38
32
84,2
Pesisir Barat
Krui Tengah
39
30
76,9
Pesisir Barat
Krui Selatan
4
4
100
Way Kanan
Banjit
44
44
100
Way Kanan
Baradatu
50
46
92
439
297
67,6
Jumlah
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
10
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Rapid Aglutination Test (RAT) CRD pada Serum Ayam dari Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2016 Kec.
Kab.
Hasil Pemeriksaan Jumlah Sampel Seropositif %(+)
OKU
Semidang Aji
15
10
66,6
OKU
Batu Raja Timur
40
40
100
OKU
Sinar Peninjauan
40
20
50
Muara Enim
Tanjung Agung
22
22
100
Muara Enim
Lembak
33
27
81,8
Muara Enim
Gelumbang
33
16
48,4
Muara Enim
Muara Enim
43
25
58,1
OKU Timur
Belitung
9
9
100
OKU Timur
Buay Pemuka Peliung
60
42
70
295
211
71,5
Jumlah
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Rapid Aglutination Test (RAT) CRD pada Serum Ayam dari Provinsi Bengkulu Tahun 2016. Kec.
Kab.
Hasil Pemeriksaan Jumlah Sampel Seropositif %(+)
Kota Bengkulu
Selebar
22
21
95,4
Kota Bengkulu
Kampung Melayu
22
8
36,3
Rejang Lebong
Bermani Ulu Raya
82
48
58,5
Bengkulu Selatan
Pasar Mana
77
70
90,9
Bengkulu Selatan
Bunga Mas
19
19
100
222
166
74,7
Jumlah
Pembahasan Hasil pemeriksaan serum ayam disajikan pada tabel 1, 2 dan 3. Sampel-sampel tersebut diambil secara acak yang berasal dari kegiatan pelayanan aktif di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung yaitu provinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Dari hasil pengujian diperoleh hasil sampel yang berasal dari Provinsi Lampung sebanyak 439 (67,6%) sampel seropositif CRD, Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 295 (71,5%) sampel seropositif CRD dan Provinsi Bengkulu sebanyak 222 (74,7%) sampel seropositif CRD.
Gambar 1. Grafik Prosentase Seropositif CRD dari Sampel Pelayanan Aktif Tahun 2016
Prosentase seropositif CRD pada Tahun 2016 yang tertinggi yaitu Provinsi Bengkulu sebanyak 74,7% yang diwakili dari 3 Kabupaten yaitu Rejang Lebong, kota Bengkulu dan Bengkulu Selatan, kemudian diikuti oleh Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 71,5% yang diwakili oleh 3 Kabupaten yaitu OKU, OKU Timur dan Muara Enim, sedangkan prosentase yang paling rendah yaitu Provinsi Lampung sebanyak 67,6% yang diwakili oleh 7 Kabupaten yaitu Lampung Selatan, Lampung Timur, Pringsewu, Tulang bawang barat, Pesawaran, Pesisir Barat dan Way Kanan. Meskipun cakupan wilayah pengambilan sampel belum mewakili dari semua Kabupaten yang ada di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung, paling tidak hasil pengujian serologis CRD dari sampel pelayanan aktif Tahun 2016 ini dapat memberikan gambaran serologis tentang penyakit CRD di beberapa wilayah kerja Balai Veteriner Lampung. Ayam dan kalkun secara alami rentan terhadap infeksi M.gallisepticum. Pada umumnya ayam umur muda lebih rentan terhadap infeksi terutama ayam pedaging. Tanpa komplikasi ayam lebih tahan terhadap infeksi dari pada kalkun Ayam muda biasanya lebih rentan terhadap CRD, kejadian penyakit biasanya dipengaruhi oleh pengaruh lingkungan. Berbagai faktor stres yang mendukung kejadian CRD adalah kondisi manajemen yang kurang memadai, kadar amoniak yang tinggi, kandang atau lingkungan yang berdebu, pemeliharaan ayam dengan umur yang berbeda dalam satu lokasi dan fluktuasi temperatur dan kelembaban yang tinggi (Anonim, 2014).
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
11
Berdasarkan data tahun 1974 hasil pemeriksaan serum ayam di beberapa daerah di Indonesia, diketahui bahwa CRD telah menyebar luas di Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Tegal, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Bali, Ujung Pandang, Palembang dan Medan. Reaktor terdapat tidak hanya pada ayam ras tetapi juga pada ayam kampung. Ayam yang dibeli di Bogor dan berasal dari Jawa Tengah, Sukabumi dan Priangan menunjukkan angka 80% ayam jantan dan 92% ayam betina positif serologis, sedangkan ayam kampung di Bali 80% reaktor. Data tersebut di atas menunjukkan fluktuasi jumlah reaktor tahun demi tahun tetap masih dalam batas persentase yang tinggi. Kasus CRD di Indonesia sudah menyebar dimana - mana, namun tidak dilaporkan (Anonim, 2014). Di Amerika, kontrol mikoplasmosis sudah diterapkan dalam program National Poultry Improvement Plan dengan menjadikan tes serologi sebagai dasar dari program kontrol kesehatan unggas (Soeripto, 2009), sehingga kasus mikoplasmosis dapat dikontrol penyebarannya. Sedangkan di Indonesia program kontrol kesehatan untuk pencegahan CRD pada ayam secara Nasional belum diterapkan. Metode uji Rapid Aglutination Test (RAT) merupakan uji screening ada tidaknya infeksi mycoplasma yang patogen pada suatu peternakan ( Purchase.,etall,1989).Untuk menghilangkan faktor sumber infeksi perlu terus diupayakan dengan tata laksana manajemen yang baik dan juga pengamatan biologis secara berkesinambungan Pengendalian dengan cara vaksinasi dapat dilakukan walaupun belum memberikan hasil yang memuaskan. Sanitasi yang ketat pada breeding farm meliputi telur tetas dan inkubatornya dapat mencegah penularan organisme dari induk ke anak melalui telur (Anonim, 2014).
Saran Pengawasan dan pengendalian penyakit dengan baik agar peternakan Ayamdi wilayah kerja Balai Veteriner Lampung berkembang dengan baik. Serta perlu adanya penambahan jumlah sampel dari masing-masing wilayah kerja Balai Veteriner Lampung agar didapatkan hasil pengujian yang lebih akurat.
Daftar Pustaka Anonim,1999. Manual Standar metoda Diagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Dirjennak. Deptan. Hal : 116 Anonim, 2014. Manual Penyakit Unggas. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dirkeswan. Kementan. Hal : 111-118 Purchase, H. Graham., Lawrence., Charles H. Domermuth andJames E. Pearson. 1989. A Laboratory Manual for The Isolation and Identification of Avian Pathogens. 3rd ed. Kendal/Hunt Publishing Company. Iowa. Page : 5761 Soeripto,2009. Chronic Respiratory Disease (CRD) pada Ayam. Jurnal Ilmiah Wartazoa Vol.19 No.3 th.2009.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Dari hasil uji serologi (RAT) penyakit Chronic Respiratory Disease (CRD) di wilayah kerja Balai Veteriner Lampungmenunjukkan hasil dari 956 sampel terdapat 282 seronegatif yaitu negatif terhadap antibodi Mycoplasma gallisepticum dan 674 seropositif yaitu positif terhadap antibodi Mycoplasma gallisepticum dengan prevalensi 70,5%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil gambaran serologis di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung kemungkinan ada penyakit Chronic Respiratory Disease,
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
12
Letupan Kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) Di Kecamatan Jati Agung Oktober-desember 2015 Siswanto, J1 dan Srihanto, E.A2 Laboratorium Epidemiologi 1 dan Laboratorium Patologi Email:Email:
[email protected]
Abstrak Bovine Ephemeral Fever (BEF) adalah salah satu penyakit viral pada ruminansia terutama sapi dan kerbau. Penularan melalui vektor nyamuk dan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim dan lingkungan. berkembang pesat pada saat terjadinya kenaikan suhu lingkungan. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis, dan subtropis, seperti Asia, Afrika dan Australia. Gejala klinis penyakit ini berupa demam dan kelumpuhan dapat menyebabkan kerugian ekonomis bagi peternak karena produktivitas ternak menurun, meskipun mortalitasnya rendah. Prevalensi kejadian penyakit sebesar 2,98%. Angka kematian yang ditimbulkan sebesar 0,19% dengan case fatality rate sebesar 6,4%. Tingkat kesembuhan sebesar 93,6% pada hewan sakit yang diobati. Pengobatan menjadi kunci utama dalam pengendalian penyakit ini. Pengobatan suportif dan pengendalian vektor mekanik sangat diperlukan agar penyakit tidak menyebar luas. Selain itu pengawasan terhadap lalu lintas ternak dari daerah kasus harus dilakukan untuk mencegah penularan penyakit ke daerah lain. Kata kunci : Bovine Ephemeral Fever, kematian, case fatality rate, vektor mekanik
Explotion cases of Bovine Ephemeral Fever (BEF) in Jati Agung Sub district october until December on 2015 Siswanto, J1 dan Srihanto, E.A2 Laboratory Epidemiology 1 dan Laboratory Patology Email: Email:
[email protected]
Abstract Bovine Ephemeral Fever (BEF) is viral disease in ruminants, especilly cattle and buffalo. Transmission through the mosquito vectors and strongly influenced by climate change and the environment. Growing rapidly at the time of the rise in ambient temperature. The disease is mostly found in the tropics and subtropics such as Asia, Africa and Australia. Clinical sign include fever and paralysis can cause harm economical for farmers as livestock productivity to decline, low mortality. Prevalence the disease by 2,98%, death rate 0,19% with case fatality rate of 6,4%, cure rate 93,6% after treatment. Treatment is the key factor for control the disease. Supportive treatment and vector control is needed for disease not wide spread. Also traffic control livestock from the area case must be made for prevent transmission of disease to another areas. Keyword : Bovine Ephemeral Fever, deaths, case fatality rate, vector mechanic
Pendahuluan Bovine Ephemeral Fever (BEF) merupakan penyakit viral yang banyak menyerang sapi dan kadang-kadang kerbau (Fenner, 2011). Penyakit BEF disebabkan oleh virus Ephemerovirus dari famili Rhabdoviridae (Nandi and Negi, 1990). Virus ini juga dapat ditularkan melalui vektor nyamuk Culicoides. Angka kesakitan yang diakibatkan pada hewan yang terinfeksi menjadi tinggi (100%), tetapi angka kematian sangat rendah (< 1%). Pada kasus yang berat angka kematian dapat mencapai 10-20% terutama pada hewan yang gemuk (Roya, 2008). Di beberapanegara seperti Iran, Indonesia, Palestina, India dan Australia penyakit BEF bahkan sudah menjadi penyakit endemik. Bovine Ephemeral Fever (BEF), dilaporkan di beberapa negara dalam beberapa tahun terakhir, antara lain Saudi Arabia (Abu Elzein et al. 2006), Iran (Abu Elzein et al. 2006; Momtaz et al., 2012), Afrika (Davies et al. 1990) dan Indonesia (Daniels et al. 1992; Ronohardjo dan Rastiko 1982). Umumnya, penyakit ini menyebar akibat perpindahan ternak terinfeksi dan vektornya. Perpindahan vektor dapat disebabkan oleh perubahan iklim atau terganggunya ekologi lingkungan. Perubahan iklim dapat mengakibatkan peningkatan jumlah populasi vektor/nyamuk. Kasus BEF dapat overheat shoers produksi ternak. Selain itu, perubahan iklim juga dapat berdampak terhadap peningkatan populasi vektor yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan kasus BEF pada ternak. Sebaliknya, peningkatan suhu yang
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
13
mencapai overheat dapat menyebabkan stres pada ternak yang juga berdampak pada produksi ternak menurun. Untuk itu penempatan breed ternak di suatu daerah harus disesuaikan dengan kondisi sekitarnya termasuk mengetahui epidemiologi penyakit dan data spesies vektornya sehingga prevalensi infeksi terhadap penyakit dapat diminimalkan. Kajian ini dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian penyakit yang menyerang pada sapi. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan untuk mendukung analisis data pada kajian ini.
Materi Materi kajian berupa data kejadian penyakit (Oktober-Desember 2015) dari Puskeswan Jati Agung dan gambaran gejala klinis pada sapi yang terduga BEF. Sapi yang terduga ditunjukkan dengan adanya gejala kepincangan dan tremor pada kaki depan atau belakang. Eksudat serous terlihat di lubang hidung. Terjadi penurunan nafsu makan yang disertai demam (390C – 400C). Data kasus kejadian terduga BEF ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Data kasus terduga BEF bulan Oktober Desember 2015 Bulan/tahun
Hewan Sakit
Hewan Sembuh
Hewan Mati
Oktober-2015
17 ekor
17 ekor
0 ekor
November-2015
54 ekor
52 ekor
2 ekor
Desember-2015
101 ekor
92 ekor
9 ekor
Jumlah
172 ekor
161 ekor
11 ekor
Sumber : Puskeswan Jati Agung
Metode Metode analisis dilakukan secara diskriptip. Hasil analisis untuk menghitung prevalensi, angka mortalitas, case fatality rate dan insidensi rate.
Gambar 1. Sapi di kandang yang masih menunjukkan gejala klinis
Selama 3 bulan kasus terduga BEF mengalami peningkatan. Data yang diperoleh dari petugas Poskeswan Jati Agung terlaporkan kasus mengalami peningkatan lebih dari 2 kali lipat dari kondisi normal (Tabel 1). Peningkatan jumlah kasus disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik peningkatan kasus terduga BEF bulan Oktober-Desember 2015
Sebaran kasus terjadi di beberapa desa meliputi Margakaya, Margo Agung, Karang anyar, Jati Agung dan Margodadi. Jumlah populasi sapi yang ada di wilayah tersebut berkisar 5761 ekor. Prevalensi kasus BEF tercatat sebesar 2,98%. Angka kematian mencapai 0,19% dengan case fatality rate sebasar 6,4%. Insidensi rate mengalami peningkatan dari 0,3% pada bulan Oktober menjadi 1,8% pada bulan Desember. Gambaran peningkatan insidensi rate disajikan pada Gambar 3.
Hasil dan Pembahasan Data gejala klinis pada sapi sakit didapatkan beberapa ekor sapi yang masih menunjukkan gejala sakit terlihat mengalami kepincangan di kaki depan atau belakang. Kaki bergetar dan beberapa ekor sapi ambruk setelah 3-4 hari menunjukkan gejala klinis. Eksudat serous terlihat di lubang hidung. Penurunan nafsu makan yang disertai demam. Gejala klinis yang tampak tesebut sama seperti yang dilaporkan oleh Snowdon 1970; St.George1985; Timoney et al. 1988; Tzipori 1975. Gambar 3. Grafik insidensi rate
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
14
Walaupun angka kematian sangat rendah tetapi kerugian Daftar Pustaka yang ditimbulkan sangat besar dikarenakan akan menyebabkan kerusakan performa tubuh hewan Abu-Elzein EM, Al-Afaleq AI, Housawi MF, Al(McLachlan and Dubovi, 2011). Temuan seperti ini sama Basheir AM. 2006. Study on Bovine Ephemeral Fever involving sentinel herds and sero-surveillance seperti kasus yang terjadi di Iran, Israel, India, Mesir dan in Saudi Arabia. Rev Sci Tech. OIE 25 : 1147-1151 Australia (Momtaz et al., 2012). Angka kematian yang terjadi kebanyakan dibawah 1%. Daniels PW, Soleha E, Sendow I, Sukarsih. 1992. Kunci penting dalam penanggulangan penyakit BEF Bovine Ephemeral Fever in Indonesia. In: St George TD, Uren MF, Young PL, Hoffmann D, editors. adalah perbaikan managemen. Pengobatan diberikan Proceedings of the 1st International Symposium on tidak dapat menghilangkan virus. Pengobatan yang Bovine Ephemeral Fever and Related dilakukan hanya sebatas perbaikan kondisi tubuh dengan Rhabdoviruses. Beijing, 25-27 August 1992. pemberian vitamin dan antibiotik serta obat analgesikCanberra (Aust): Australian Centre for International Agricultural Research. antipiretik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Manajemen pemeliharan juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan hewan.Manajemen pemeliharan yang Davies FG, Ochieng P, Walker AR. 1990. The occurrence of ephemeral fever in Kenya 1968-1988. buruk akan meningkatkan kejadian penularan penyakit Vet Microbiol. 22:129-136. menjadi semakin tinggi. Pemisahan hewan yang sakit harus dilakukan mengingat penyebaran virus ini sangat Fenner, F.J., Barthold, S.W., Bowen, R.A., Hedrick, R.P., Knowles, D.P., Lairmore, M.D., Parrish, C.R., cepat. Saif, L.J. and Swayne, D.E. 2011. Veterinary Kontrol terhadap vektor dilakukan untuk mencegah Virology, 4th edition, Academyc Press Inc. 525 B Street, Suite 1800, San Diego, California 92101terjadinya penularan penyakit. Nyamuk Colicoides 4311 : pp. 337-339 merupakan vektor alami pembawa virus. Penggunaan insektisida dapat dilakukan untuk membunuh atau menghilangkan vektor penyakit. Pencegahan terhadap Fenner, F.J., Barthold, S.W., Bowen, R.A., Hedrick, R.P., Knowles, D.P., Lairmore, M.D., Parrish, C.R., penyakit dilakukan dengan pelarangan keluarnya hewan Saif, L.J. and Swayne, D.E. 2011. Veterinary yang sakit karena dapat menyebabkan potensi Virology, 4th edition, Academyc Press Inc. 525 B Street, Suite 1800, San Diego, California 92101penyebaran ke daerahlain. Keputusan ini diambil untuk 4311 : pp. 337-339 mencegah penularan virus ke daerah lain. Hal yang sama juga dilakukan di Iran pada waktu terjadi letupan kasus Mc LACHLAN N.J., DUBOVI E.J.: Fenner's BEF tahun 2010 (Momtaz et al. 2012). Veterinary Virology. McLACHLAN N.J. and DUBOVI E.J. (eds), 4 edition, Academic press, Kesimpulan Amsterdam, 2011, 507 pages. Kasus penyakit yang menyerang sapi di wilayah kerja Puskeswan Jati Agung Lampung Selatan terduga sebagai BEF (Bovine Ephemeral Fever). Mortalitas yang ditimbulkan sebesar 0,19% dengan case fatality rate sebesar 6,4%.
Saran
Momtaz H, Nejat S, Moazeni M, Riahi M. 2012. Molecular epidemiology of Bovine Ephemeral Fever virus in cattle and buffaloes in Iran. Revue Méd Vét.163:415- 418. Nandi S and Negi BS. 1999. Bovine Ephemeral Fever: a review. Comparative immunology. Microbiol Infect Dis. 22:81-91.
Sanitasi dan kebersihan lingkungan, kontrol vektor mekanik, pemisahan sapi sakit dari sapi yang sehat perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran virus.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
15
Deteksi Penyakit Zoonosis Salmonella Spp. Secara Transovari Pada Telur Ayam Yang Berasal Dari Peternakan (Zoonotic diseases detection vertically of Salmonella spp. from eggs in farm) Saridewi, R and Novalia, D Laboratory Public Health, Disease Investigation Center Email:
[email protected]
Abstrak Salmonellosis merupakan salah satu penyakit zoonosis dan diawali melalui pemeriksaan telur berasal dari peternakan ayam petelur komersil di beberapa daerah yang mewakili provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka Belitung. Pengambilan sampel dilakukan pada beberapa flok dengan umur berbeda. Telur yang diambil merupakan telur baru yang masih berada di karpet kandang dengan kondisi tidak lebih dari sehari dan kerabang dalam keadaan bersih. Telur yang diambil diuji lanjut di laboratorium kesehatan masyarakat veteriner secara kultur Salmonella spp. Telur yang diuji sebanyak 120 sampel dan tidak satupun memberikan hasil positif. Hasil ini menunjukkan bahwa infeksi Salmonellosis dari induk ke telur belum ditemukan. Kata kunci : Peternakan, Salmonella spp., telur, zoonosis
(Zoonotic diseases detection vertically of Salmonella spp. from eggs in farm) Saridewi, R and Novalia, D Laboratory Public Health, Disease Investigation Center Email:
[email protected]
Abstract Salmonellosis is a zoonosis and begins by examining the eggs came fromcommercial poultry farm in some areas that represent the Lampung, South Sumatra,Bengkulu and Bangka Belitung. Samples were taken at several flocks with agedifferent. Eggs taken a new egg still on the carpet cage with no more conditionsof day and eggshell in a clean state. Eggs are taken tested further in the laboratory of public health with culture. The eggs were tested over 120 samples and none provide resultspositive. These results indicate that the infection Salmonellosis from parents the egg has not been found. Keywords : Livestock, Salmonella spp., Eggs, zoonosis
Pendahuluan Salmonellosis adalah penyakit zoonosis yang tersebar luas dan disebabkan oleh Salmonella spp. Salmonella spp. merupakan bakteri dari golongan Enterobacter dan pada manusia menyebabkan salmonellosis berupa demam tifoid, paratifoid dan non-tifoid atau gastroenteritis. Habitat utamanya di dalam saluran pencernaan hewan dan manusia. Salmonella spp. ditemukan pada spesies unggas dan dengan mudah dapat ditularkan ke manusia melalui telur atau daging yang terkontaminasi dan tidak dimasak secara sempurna. Data surveilans mengindikasikan infeksi gastroentritis oleh Salmonella spp. telah meningkat selama beberapa dekade terakhir (Akhtar et al. 2010). Sumber utama infeksi adalah telur, produk telur dan daging unggas (Porier et al. 2008). Salmonellosis pada manusia yang bersifat foodborne zoonosis diperoleh melalui konsumsi makanan asal hewan seperti daging, susu dan telur . Hasil penelitian menyebutkan bahwa telur ayam sebagai sumber infeksi Salmonella spp. pada manusia menyebabkan salmonellosis. Data menyebutkan bahwa lebih dari 44% outbreak salmonellosis yang terjadi di seluruh dunia melibatkan konsumsi telur ayam dan cara pengolahan atau proses memasak telur ayam yang kurang sempurna seperti telur yang dimasak setengah matang atau dikonsumsi masih mentah. Hal ini dapat terjadi pada telur- telur ayam yang telah dibekukan atau dikeringkan. Telur ayam utuh yang tidak disimpan dalam refrigerator baik selama di pedagang eceran bahkan di rumah tangga dan rumah makan atau usaha katering mampu menjadi seumber kontaminasi makanan (Supardi dan Sukamto 1999). pengolahan atau proses memasak telur ayam
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
16
yang kurang sempurna seperti telur yang dimasak setengah matang atau dikonsumsi masih mentah. Hal ini dapat terjadi pada telur-telur ayam yang telah dibekukan atau dikeringkan. Telur ayam utuh yang tidak disimpan dalam refrigerator baik selama di pedagang eceran bahkan di rumah tangga dan rumah makan atau usaha katering mampu menjadi seumber kontaminasi makanan (Supardi dan Sukamto 1999). Penularan salmonellosis tidak hanya ditularkan melalui telur yang terkontaminasi lingkungan, akan tetapi dapat berasal dari induk yang terinfeksi, disebut penularan secara transovari. Jika telur yang sudah terinfeksi Salmonella spp. berasal dari induk, maka jumlah Salmonella spp. dapat meningkat di dalam telur pada saat proses transportasi dan distribusi. Hal ini menunjukkan kurang baiknya kualitas telur yang diperoleh dari peternakan dan kemungkinan induk ayam yang berada di peternakan sudah terinfeksi Salmonella spp. Data tentang penularan Salmonella spp. dari induk ke telur di wilayah kerja Balai Ve t e r i n e r L a m p u n g b e l u m p e r n a h d i l a k u k a n sebelumnya, oleh sebab itu dilakukanlah surveilens untuk melihat sejauh mana infeksi Salmonella spp. dapat ditularkan dari induk ke telur melalui pengambilan sampel telur di peternakan. Telur-telur yang diambil selanjutnya diuji secara kultur di laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Balai Veteriner Lampung.
media, gunting, pinset, jarum inokulasi (ose), stomacher, pembakar bunsen,pH meter, timbangan, magnetic stirer, pengocok tabung (vortex), inkubator, penangas air, autoklaf, lemari steril (clean bench), lemari pendingin (refrigerator), freezer.Bahan yang dipakai dalam pengujian ini terdiri dari Lactose Broth (LB),Rappapport Vassiliadis (RV), Xylose Lysine Deoxycholate Agar (XLDA, Hektoen Enteric Agar (HEA), Bismuth SulfiteAgar (BSA), Triple Sugar IronAgar (TSIA), dan Lysine Iron Agar (LIA).
Metode Pengambilan Sampel di lapangan Sampel diambil sebanyak 120 dari beberapa perusahaan ayam petelur komersil dari provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Kepulauan Bangka Belitung. Pengambilan sampel mengikuti jadwal kegiatan surveilens Balai Veteriner Lampung. Telur yang diambil adalah telur segar dan kerabang bersih yang masih berada di karpet kandang. Setiap sampel diambil 4 butir telur dan diberi kode dengan menggunakan spidol untuk setiap butir. Telur-telur yang telah dikode diletakkan di dalam tray dengan posisi bagian ujung runcing ke atas dan dikemas baik agar tidak mudah pecah selama proses transportasi.
Tujuan
Pengujian di laboratorium
Mendeteksi adanya penularan Salmonella spp. secara transovari pada telur yang berasal dari peternakan ayam petelur.
Pengujian di laboratorium meliputi preparasi, pra pengayaan, pengayaan, isolasi dan identifikasi
Materi Waktu dan Tempat Kegiatan pengambilan telur dilakukan di beberapa kabupaten dan kota terpilih berdasarkan survey dari tim epidemiologi meliputi Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka Belitung. Pengujian laboratorium dilakukan di laboratorium kesehatan masyarakat veteriner Balai Veteriner Lampung. Kegiatan surveilens sampai pengujian merupakan satu rangkaian yang dimulai dari bulan Maret sampai Oktober 2015.
Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam pengujian ini terdiri dari cawan petri, tabung reaksi, tabung serologi ukuran 10x75 mm, pipet ukuran 1 ml; 2 ml; 5 ml; 10 ml, botol
Preparasi Kerabang telur ayam dibersihkan dengan kapas alkohol, lalu di bagian ujung kerabang yang tumpul dipecahkan dengan menggunakan gunting steril dan dibuang kulitnya dengan menggunakan pinset steril secara hati-hati. Kuning telur diambil sebanyak 25 ml dengan menggunanakan spuit steril dan dipindahkan ke dalam plastik steril juga serta diberi kode.
Pra pengayaan Kuning telur sebanyak 25 ml ditambahkan 225 ml larutan LB dan dihomogenkan dengan stomacher selama 2 menit. Lalu suspensi diinkubasikan pada suhu 35 ºC selama 24 jam.
Pengayaan Biakan pra pengayaan diaduk perlahan dan diambil
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
17
untuk dipindahkan masing-masing 0.1 ml ke dalam 10 ml media RV dan di inkubasikan pada suhu 42 ºC selama 24 jam.
Pringsewu
Agung S Wiwit Siska Aan Agung Erna
0 0 0 0 0 0
4 4 4 4 4 4
Way Kanan
Totok Toni Parno
0 0 0
1 1 2
Ogan Komering Ulu
Alwin Yandra Wili
0 0 0
3 3 3
Raja Lebong
Dasman
0
3
Isolasi dan Identifikasi Dua atau lebih koloni diambil dengan jarum ose steril dari masing-masing media pengayaan yang telah diinkubasikan, dan diinokulasikan pada media HE, XLD dan BSA pada suhu 35 ºC selama 24 jam. Identifikasi dilakukan dengan mengambil koloni yang diduga dari ketiga media tersebut. Lalu di inokulasikan ke TSIA dan LIA dengan cara menusuk ke dasar media agar dan digores pada media agar miring. Diinkubasikan pada suhu 35 ºC selama 24 jam. Koloni spesifik Salmonella pada TSIA dan LIA diamati dengan hasil reaksi pada Tabel 1.
Agar Miring(Slant)
Alkalin / K (merah) Alkalin / K (ungu)
TSIA LIA
H2S
Dasar Agar(Button)
Asam / A (kuning) Asam / A (unggu)
Positif (hitam) Positif (hitam)
Alimin
0
3
Aliong
0
4
Bengkulu
Argamakmur
0
5
0
120
Jumlah Total
Pembahasan
Tabel 1. Samonella spp. pada TSIA dan LIA Media
Seluma Pangkal Pinang
Gas
Positif (hitam) Positif (hitam)
Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif.
Hasil dan Pembahasan Hasil Telur-telur ayam yang langsung diambil dari peternakan ayam komersil memberikan hasil negatif. Dari 120 sampel telur yang diuji terhadap keberadaan Salmonella spp., maka tak satupun yang menunjukkan hasil positif. Lebih lengkap tampak Tabel 2. Tabel 2. Hasil pemeriksaan uji Salmonella spp. pada telur ayam yang berasal dari peternakan Kabupaten/Kota
Perternakan
Positif
Negatif
Banyu Asin
Lingguan Rudi Kris Aliong Bahasan Takobala
0 0 0 0
6 13 10 11
Lampung Selatan
Ade Ationg Rahman Olang
0 0 0 0
3 6 3 4
Lampung Timur
Ngadisan Suyanto Santoso Kisruh
0 0 0 0
3 3 3 2
Salmonella pertama kali ditemukan tahun 1885 pada tubuh babi oleh Theobald Smith, namun Salmonella dinamai oleh Daniel Edward Salmon, ahli patologi Amerika (Ryan dan Ray 2000). Salmonella spp. merupakan bakteri gram negatif, berbentuk basil dan bersifat fakultatif anaerob dan dapat tumbuh pada suhu 5–45 °C dengan suhu optimal 35–37 °C. Bentuk Salmonella spp. berupa rantai filamen panjang ketika berada pada suhu ekstrim yaitu 4-8 °C atau pada suhu 45 °C dengan kondisi pH 4.4 atau 9.4. Menurut Baharudin (2010), Salmonella spp. merupakan salah satu bakteri patogen terpenting di Eropa dan sebagai sumber infeksi utama pada manusia yang mengonsumsi daging babi. Kasus di Amerika dan Eropa di laporkan bahwa terjadi infeksi karena Salmonella berkaitan dengan konsumsi telur dan produknya yang dimasak kurang sempurna. Selain ditemukan pada unggas dan produknya, Salmonella juga dapat ditemukan pada daging babi, daging sapi, susu dan produknya. Studi yang dilakukan di China menunjukkan adanya Salmonella pada daging yang dijual di pasar (Yang et al. 2010). Penyakit yang disebabkan Salmonella spp. disebut salmonellosis. Bakteri ini dapat tumbuh dan menyebabkan kerusakan pada jaringan sel epitel usus. Gejala yang ditimbulkan berupa gastroenteritis, diare, sakit perut, demam atau tanpa demam, septikemia dan infeksi fokal.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
18
Keterangan : A. Salmonella masuk dalam tubuh unggas secara oral dan masuk ke dalam saluran pencernaan. Bakteri berkolonisasi dalam lumen usus untuk dapat menginvasi ke dalam sel epitel usus (gut colonization). Sebagai akibatnya, selimun, khususnya macrophages beraksi dengan invasi dan enclose bakteri Salmonella. Ini menyebabkan bakteri bertahan dan bermultiplikasi dalam lingkungan intraseluler dari makrofag. Makrofag yang terinfeksi ini bermigrasi ke organ dalam seperti organ reproduksi (systemic spread). Hal ini menyebabkan bakteri juga terdapat pada oviduk melalui ascending infection dari kloaka. B. Rute pertama yang menyebabkan kontaminasi telur oleh bakteri Salmonella spp. Permukaan kontaminasi dapat terjadi dari kontaminasi C. Rute kedua yang mungkin terjadi yaitu kontaminasi langsung kuning telur, membran kuning telur, albumin, membran cangkang, dan membran telur dari infeksi ovarium, infundibulum, magnum, isthmus dan kelenjar cangkang. D. Bakteri Salmonella spp. terdeposit dalam albumin dan pada membran vitelin yang dapat bertahan serta tumbuh pada lingkungan antibakterial. Salmonella spp. juga dapat bermigrasi dan berpenetrasi di membran vitelin untuk menembus kuning telur. Setelah menemukan lingkungan yang kaya nutrisi, Salmonella spp. dapat tumbuh dengan luas (Gantois 2009).
Salmonella spp. dapat bertahan dalam albumin telur karena mampu tumbuh dengan jangkauan pH, suhu dan water activity yang luas. Salmonella spp. dapat tumbuh pada pH 4.5-9.5 dengan suhu 7-45 C dan kadar air 0.94-1 yang kesemuanya tersedia di dalam albumin telur walaupun bukan merupakan tempat yang optimum untuk pertumbuhannya, tetapi bakteri ini dapat bertahan hidup sampai dengan kondisi yang memungkinkan untuk berkembang biak. Adanya lisozim di albumin yang dapat menghambat bakteri gram positif yang lain, tetapi tidak menghambat Salmonella spp. agar tetap eksis dan bertahan dalam putih telur. Gen yang dapat menghambat zat anti mikroba yang ada pada putih telur juga dapat membantu bakteri ini tetap bertahan di dalam putih telur.
Metode uji identifikasi Salmonella spp. dari telur yang dilakukan berdasarkan SNI 2897:2008. Prinsip uji ini adalah menumbuhkan Salmonella pada media selektif dengan pra pengayaan (pre-enrichment) dan pengayaan (enrichment) yang dilanjutkan dengan isolasi dan identifikasi, serta uji biokimia dan serologi. Setiap proses pengujian selalu disertai dengan menggunakankontrol positif. Salmonella merupakan bakteri motil yang menggunakan flagella peritrichous dalam pergerakannya. Secara umum Salmonella tidak mampu memfermentasikan laktosa, sukrosa atau salisin, katalase positif, oksidase negatif dan mefermentasi glukosa dan manitol untuk memproduksi asam atau asam dangas (Jay et al. 2005). Bakteri ini dapat tumbuh pada pH rendah dan umumnya sensitif pada konsentrasi garam tinggi. Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kultur yang menggunakan tiga jenis agar, yaitu BSA, XLD dan HE. Koloni Salmonella diamati pada media HE yang tampak berwarna hijaukebiruan dengan atau tanpa titik hitam (H2S). Pada media XLD koloni terlihat merah muda dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat hampir seluruh koloni hitam. Pada media BSA koloni terlihat keabu-abuan atau kehitaman, kadang metalik, media di sekitar koloni berwarna coklat dan semakin lama waktu inkubasi akan berubah menjadi hitam, tampak pada Gambar 2. Semua sampel yang diuji tidak menunjukkan perubahan positif pada media agar, akan tetapi pengujian terus dilanjutkan sampai kontrol positif memberikan hasil positif selama 10 hari.
Gambar 2. Koloni Salmonella spp. pada media agar BSA, XLD dan HE
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
19
Salmonelllosis tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga menyerang anak kecil dan usia lanjut. Salmonella spp. memiliki kemampuan untuk memproduksi sedikitnya 3 jenis toksin. Sebuah enterotoksin termolabil adalah salah satunya dan mengikat gangliosides, meningkatkan cAMP dan mengintensifkan sekresi cair. Cytotoxin merupakan toksin kedua bersifat non lipopolisakarida komponen dari membran luar, yang menghambat sintesis protein pada eukariota mengarah pada pemanjangan sel kultur jaringan sel. Endotoksin, lipid A, komponen dari lipopolisakarida dinding sel, mengaktifkan makrofag dan limfosit sehingga memicu serangkaian efek biologis seperti demam, leukositosis dan menurunkan tekanan darah (Biljana 2010). Salah satu surveilens penyakit zoonosis yang bersumber dari pangan asal hewan adalah identifikasi Salmonella spp. pada telur yang berasal dari peternakan. Sampel telur yang diambil difokuskan pada telur-telur baru yang dikeluarkan dari kloaka dengan umur tidak lebih dari satu hari, sehingga pengambilan sampel langsung di karpet kandang. Surveilens ini dilakukan untuk melihat sejauh mana tingkat penularan salmonellosis di peternakan terjadi, baik dari segi pemeliharaan, pakan, maupun sanitasi kandang dan lingkungan. Telur jugamerupakan resevoir untuk Salmonella spp. sebagai organisme yang dapat berkoloni pada ovarium ayam. Kontaminasi Salmonella spp. pada telur diketahui dengan dua mekanisme yaitu melalui induk yang terinfeksi oleh Salmonella spp. atau secara vertikal dan secara horizontal. Kontaminasi vertikal dikenal juga sebagai kontaminasi transovarial (transovarial contaminated). Teori penularan vertikal menyebutkan bahwa Salmonella spp. pada telur ayam, berasal dari induk ayam yang terinfeksi (Cox et al. 2000). Sampel telur yang diambil seluruhnya berjumlah 120 sampel. Peternakan ayam petelur yang disurvey adalah peternakan skala besar dengan populasi minimal 10.000 ekor dengan berbagai t i n g k a t u m u r, y a i t u u m u r m u d a y a n g b a r u belajar bertelur, umur subur yaitu yang lagi banyak produksi telurnya dan umur tua dengan produksi telur yang sudah menurun. Sebagian peternakan mempunyai kandang lumayan bersih dan tertata rapi serta
ada tempat khusus penyimpanan telur sebelumdiangkut untuk dipasarkan. Tetapi ada beberapa peternakan yang kurang diperhatikan kebersihannya, sehingga masih banyak ditemukan lalat di sekitar kandang. Kondisi ini kemungkinan dapat menyebabkan terinfeksinya ayam dengan mikroba patogen, seperti Salmonella spp. Bakteri ini dapat menginfeksi ayam dewasa dan dapat menularkannya melalui telur, sehingga disebut telur terinfeksi. Jalur masuk Salmonella spp. secara vertikal yaitu kontaminasi langsung dari kuning telur, albumin dan membran cangkang telur yang disebabkaninfeksi organ reproduksi oleh Salmonella spp.Teori penularan vertikal menyebutkan bahwa Salmonella spp. pada telur ayam, berasal dari induk ayam yang terinfeksi. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan ayam yang sedang bertelur dan diinfeksi dengan Salmonella spp., ternyata mengakibatkan telur-telur tersebut terinfeksi dengan strain Salmonella spp. yang sama. Salmonella spp. dapat menginfeksi telur yang berasal dari induk ayam yang sehat dimana kontaminasi terjadi sebelum kulit telur terbentuk, letak infeksi biasanya di putih telur dekat membran kuning telur. Survei mengenai keberadaan Salmonella spp. di telur membuktikan adanya Salmonella spp. dapat ada di kerabang, kuning dan putih telur. Sedangkan survei tentang keberadaan Salmonella spp. di tubuh ayam petelurditemukan Salmonella spp. di organ usus buntu, hati, ginjal, indung telur dan saluran indung telur. Mekanisme proses masuknya Salmonella spp. ke dalam telur dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Patogenesis Salmonella spp. pada telur.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
20
Sampel-sampel yang diuji semua hasil memberikan negatif, disebabkan ayam yang telurnya diambil pada saat surveilens kemungkinan tidak terinfeksi Salmnonella sppsehingga tidak ditemukan bakteri ini di dalam telur uji. Tindakan pencegahan perludiperhatikan jika suatu saat ditemukan kasus Salmonella spp. di dalam telur. Penelitian yang dilakukan oleh Oliveira et al (2006) adalah ide untuk dipping atau mencuci telur dengan desinfektan telah lama diketahui. Banyak desinfektan yang direkomendasikan karena telah banyak diuji baik dalam jumlah maupun bahan yang aman digunakan (Cox et al. 2000). Selain itu beberapa bahan aditif bersifat suplemen seperti disodium EDTA (E385) dan triethyl citrate (E1505) yang digunakan sebagai bahan pengawet dan juga menghambat perubahan warna pada telur (Cho et al. 2009). Memasak secara sempurna telur dan produk olahannya, mencuci tangan sebelum dan sesudah memegang telur mentah, menggunakan alat-alat memasak yang telah dicuci bersih (Schlundt et al. 2004). Pengetahuan dan keperdulian masyarakat terhadap bahaya infeksi salmonellosis perlu ditingkatkan. Tindakan pencegahan pada hewan/ternak dapat dilakukan dengan eliminasi karier, kontrol bakteri pada pangan, vaksinasi dan manajemen pengelolaan ternak yang tepat dan peternakan unggas. Okamura et al. (2007) menyatakan bahwa peningkatan jumlah kasus manusia akibat infeksi Salmonella spp. yang penularannya melalui telur, tidak hanya membuat strategi pada penghasil telur/ayam, tetapi peningkatan rekomendasi untuk konsumen juga diperlukan dalam menangani telur dan produknya sebelum dikonsumsi.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Tidak ditemukannya kasus infeksi Salmonella spp. dari induk ke telur secara transovarial dari beberapa peternakan ayam petelur di kabupaten/kota terpilih wilayah kerja Balai Veteriner Lampung.
Saran Perlu dilakukan survey lanjutan pemeriksaan penyakitt zoonosis Salmonella secara regular, baik pada hewan maupun pangan asal hewan guna mencegah penyebaran penularan salmonellosis pada manusia dan hewan.
Daftar Pustaka Akhtar F, Khan A, Rahman SU. 2010. Prevalence and Antibiogram Studies of Salmonella Enteritidis Isolated from Human and Poultry Sources. Pakistan Veterinary Journal (22). Baharuddin. 2010. Bahaya cemaran Mikroba pada Pangan Asal Ternak Diseminasi pada RPC pada hari Rabu, 2 April 2008 oleh Dr. Anni Kusumaningsih, M.Sc, peneliti senior pada Kelti Bakteriologi Bbalitvet. Biljana M, Tatjana B, Predrag S. 2010. Salmonella Enterica Subspecies Enteric Serovar Enteritidis actualities and importance. Acta ,edica medianae. 2010. Vol 49 (3). Review article udc: 579.842:616.981.49. Cho S, Jang JW, Jung SH, Lee BR, Lee KH. 2009. Precursor effects of citric acid and citrates on ZnO Crystal Formation. Langmuir 25 (6): 3825-3831. Cox NA, Berrang ME, Cason JA. 2000. Salmonella penetration of egg shell and proliferation in broiler hatching eggs-a review. Piltry Science 79: 1571-1574. Gantois I. 2009. Mechanisms of egg contamination by Salmonella Enteritidis. Federation of European Microbiological Societies Microbiol Rev 1–21. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology Seventh Edition Foodnome Gastroenteritis Caused by Salmonella and Shigella. Springer page 619-631. Okamura M, Kikuchi S, Suzuki A, Tachizaki H, Takehara K, Nakamura M. 2007. Effect of Fixed or Changing Temperatures During Prolonged Storage on the Growth of Salmonella enterica serovar Enteritidis Inoculated Artificially Into Shell Eggs. Epidemol. Infect. (2008). 136, 1210-1216. Oliveira FA, Brandelli A, Tondo EC. 2006. Antimicrobial resistence in Salmonella Enteritidis from foods involved in human salmonellosis outbreaks in Southern Brazil. The New Microbiologica, 29, 49-54 (01). Porier E, Watier L, Espie E, Weill FX, Devalk H, Desenclos JC. 2008. Evaluation of the impact on human salmonellosis of control measures targeted to Salmonella Enteritidis and Typhimurium in poultry breeding using time-series analysis and intervention models in France. Epidemiol. Infect. (2008), 136, 1217-1224.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
21
Ryan KJ, Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology (edisi ke-4th ed). McGraw Hill. ISBN 0-8385-8529-9. Schlundt JH, Toyofuku H, Jansen J, Herbst SA. 2004. Emerging Food Borne Zoonoses. Rev Sci Tech of Int Epiz 23 (2): 512-515; 522-527. Supardi I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengelolaan dan Keamanan Pangan. Edisi I tahun 1999. Diterbitkan atas kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation ISBN 979-414-038-4 halaman 157-175. Yang B, Qu D, Zhang X, Shen J, Cui S, Shi Y, Xi M, Sheng M, Zhi S, Meng J. 2010. Prevalence and characterization of Salmonella serovars in retail meats of marketpalce in shaanxi, China. International Journal of Food Microbiology 141 (2010) 63-72.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
22
Aplikasi Gonadotropin Releasing Hormone Pada Cysta Folikel Ovarium Sapi Bali di Provinsi Bengkulu 1
2
2
4
Considus Tarsisius , Guntoro Tri , Safryl Ferro , Viter David Olele , 1
Bagian Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana, Kupang 2 Balai Veteriner Lampung 3 Puskeswan Seluma, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu
Abastrak Cysta folikel ovarium merupakan salah satu faktor penting dari kejadian penurunan efisiensi reproduksi, subfertilitas atau infertilitas pada sapi.Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon kesembuhan yaitu keberadaan cysta folikel ovarium setelah injeksi Gonadotropin Relazing Hormone (GnRH). Sebanyak 5 ekor sapi Bali betina dengan umur minimal ± 4 tahun dilakukan pemeriksaan reproduksi pada peternakan rakyat di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 14 – 22 September 2015 dan 09-21 November 2016. Metode penelitian dilakukan dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan per rektal dan Ultrasonografi (USG) transrektal real-time dengan frekuensi probe 7.5-MHZ. Hormon yang digunakan dalam penelitian ini adalah GnRH (fertagil). Hasil penelitian diketahui bahwa diameter cysta folikel ovarium pada sapi Bali 28 mm, keberadaan cysta folikel ovarium dan S/C 2,4 pada Bali sangat bervariasi setelah injeksi GnRH (fertagil).Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa injeksi GnRH (fertagil) dapat dilakukan untuk mengobati cysta folikel ovarium dengan lama keberadaan folikel yang mengalami cysta sangat bervariasi diantara individu. Kata kunci: Gonadotropin Relazing Hormone, Cysta folikel ovarium, sapi Bali
The Applications of Gonadotropin-Releasing Hormone on Bali Cattle's Ovarian Follicles Cyst in Bengkulu Province 1
2
2
4
Considus Tarsisius , Guntoro Tri , Safryl Ferro , Viter David Olele , 1
Reproduction and Patology Clinic's of Veterinary Faculty - Nusa Cendana University, Kupang 2 DIC – Lampung 3 Seluma Veterinary Clinic, Seluma, Bengkulu Province
Abstract Cystic ovarian follicle is one of the important factors affect decreased the efficiency incidence of reproduction, subfertility or infertility in cows. This study was conducted to evaluate the healing response of the presence cystic ovarian follicles after Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) injection. Five female Bali cattles with a minimum age by 4 years old had been reproduction examined on traditional farm in North Bengkulu and Seluma Recidence in Bengkulu Province. This study was conducted on 14th until 22nd September 2015 and 9th until 21st November 2016. The methods of this research were done by clinical examination, rectal examination and real-time transrectal ultrasonography (USG) using a 7.5-MHz probe frequency. The hormone used in this study is a GnRH (fertagil). The results showed that cystic ovarian follicle in Bali cattle has 28 mm of diameter, the response of cystic ovarian follicles and S/C 2,5 in Bali cattles after injection of GnRH (fertagil) very considerably. Based on these results it can be concluded that the injection of GnRH (fertagil) has potential effects to treat cystic ovarian follicles with a long presence of cystic follicles experience varies greatly among individuals. Kata kunci: Gonadotropin Relazing Hormone, Cysta folikel ovarium, sapi Bali
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
23
Pendahuluan Cysta folikel ovarium merupakan salah satu faktor penting dari kejadian penurunan efisiensi reproduksi, subfertilitas atau infertilitas pada sapi (Todoroki et al, 2004; Hatler et al, 2006; Robinson et al, 2006; Braw-Tal et al, 2009; Salvetti et al, 2010; Mutinati et al, 2013). Cystafollikel ovariumdidefinisikan sebagai struktur follikel yang berada pada satu atau kedua ovarium dengan diameter minimal ≥2,5 cm berada selama minimalsepuluh hari tanpa ovulasi dan luteinisasi atau pembentukan corpus luteum (Todoroki etal, 2004; Halter et al, 2006; Johnson, 2008; Salvetti et al, 2010; Mutinati et al, 2013). Beberapa literatur dan fakta dilapangan telah membuktikan bahwa gejala klinis sapi yang mengalamicysta follikel adalah nymphomania. Nymphomania merupakan estrus terus menerus yang timbul secara intermiten dan non periodik dengan interval waktu yang tidak teratur (Hatler et al, 2006; Robinson et al, 2006; Braw-Tal et al, 2009; Salvetti et al, 2010; Mutinati et al, 2013), dan dapat mempengaruhi siklus yang normal dari ovarium (Todoroki et al, 2004;Hatler et al, 2006; Robinson et al, 2006). Menurut Hatler et al. (2006); Robinson et al. (2006); Braw et al. (2009) apabila betina tersebut dikawinkan (pejantan atau IB) pada saat estrus, perkawinan tersebut tidak menghasilkan fertilisasi. Dampak langsung yang ditimbulkan oleh cysta folikel adalah kegagalan fertilisasi, sedangkan secara tidak langsung akan mengakibatkan conception rateyang rendah, servis per conception> 1.5 kali, calving interval yang panjang, meningkatnya biaya tambahan untuk pengobatan dan perkawinan, panjangnya masa tidak produktif serta meningkatnya jumlah sapi yang harus diafkir (Todoroki et al, 2004; Hatler et al, 2006; Robinson et al, 2006;Johnson, 2008). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon kesembuhan yaitu keberadaan cysta folikel ovarium setelah injeksi Gonadotropin Relazing Hormone (GnRH).
Materi dan Metode Materi Sebanyak 5 ekor sapi Bali betina dengan umur minimal ± 4 tahun dilakukan pemeriksaan reproduksi pada peternakan rakyat di Kabupaten
Bengkulu Utara dan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 14 – 22 September 2015 dan 09-21 November 2016. Penentuan umur sapi berdasarkan wawancara, estimasi gigi atau lingkar tanduk. Sistem pemeliharaan sapi Bali tersebut adalah sistem semi intesif “ Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit ” (SISKA). Sistem ini merupakan pola pemeriharaan sapi Bali dengan cara pada waktu pagi 10.00 WIB sapi ditambat atau dilepas di perkebunan kelapa sawit dan pada sore hari 18.00 WIB sampai pagi hari sapi ditambat dalam kandang disekitar rumah pemilik. Sapi Bali tersebut memperoleh pakan berupa rumput dan daun kelapa sawit diarea perkebunan. Air minum dibawakan oleh peternak atau peternak membawa sapi ke sumber air pada saat-saat tertentu di siang hari. Sistemperkawinan sapi Bali tersebut adalah Inseminasi Buatan (IB). Bahan yang digunakan adalah hormon GnRH (Fertagyl), Spuit Disposable, Jarum 18 G dan kapas alkohol. Alat yang digunakan adalah Ultrasonografi (USG) transrektal real-time frekuensi probe 7.5-MHz.
Metode Pelaksanaan pemeriksaan sapi Bali dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu anamnesa dan wawancara untuk pengisian kuisioner, pemeriksaan klinis, pemeriksaan kondisi reproduksi secara per rektal dan menggunakanUSG transrektal real-time frekuensi probe 7.5-MHz terhadap struktur ovarium. Pemeriksaan klinis meliputi Body Condition Score(BCS), tingkah laku, leleran pada vulva dan warna pada mukosa vagina. Pada pemeriksaan per rektal terhadap ovarium, dominan struktur primer ovarium yang mengalami cysta folikel adalah folikel yang akan terasa fluktuasi pada saat ditekan, memiliki permukaan halus, diameter ≥ 2,5 cm, dinding folikel yang mengalami cysta terasa lebih tebal dari dinding folikel dominan ovulasi. Hasil pemeriksaan per rektal akan dikonfirmasi kembali menggunakan USG transrektal real-time frekuensi probe 7.5-MHz yang akan tergambar anechogenic dengan diameter folikel ≥ 2,5 cm (Todoroki et al, 2004; Hatler et al, 2006; Robinson et al, 2006; Johnson, 2008; Braw-Tal et al, 2009; Salvetti et al, 2010; Mutinati et al,
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
24
Berdasarkan hasil yang ditampilkan pada tabel 1 diketahui bahwa rata-rata diameter cysta folikel ovarium 28 mm, keberadaan cysta folikel ovarium rata-rata 13, 2 hari S/C2,4 sangat bervariasi setelah injeksi GnRH (fertagil). Hal ini menujukkan adanya perbedaan respon individual terhadap injeksi GnRH (fertagil). Setelah sembuh sapi tersebut mengalami siklus estrus yang normal secara periodik dengan Interval waktu yang normal. Sapi tersebut dapat bunting apabila dilakukan perkawinan pada waktu yang optimal. Diagnosa kebuntingan pada sapi setelah penanganan cysta folikel ovarium dilakukan dengan pemeriksaan per rektal dan dikonfirmasi dengan USG transrektal real-time frekuensi probe 7.5-MHz (gambar 2), terjadi kebuntingan pada semua sapi yang di IB setelah penanganan cysta folikel ovarium. Hal ini seperti yang dikemukan oleh Todoroki et al, (2004); Hatler et al, (2006); Robinson et al, (2006) bahwa cysta folikel ovarium hanya mengakibatkan inefisiensi reproduksi, subfertilitas dan infertilitas. Cysta folikel ovarium dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan per rektal atau USG transrektal realtime frekuensi probe 7.5-MHz terhadap struktur ovarium.
Hasil dan Pembahasan Folikel ovarium yang mengalami cysta dengan diameter 29 mm dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Cysta folikel ovarium pada sapi Bali tampak anechogenic (lingkaran berwarna merah)
Tabel 1. Hasil diagnosa dan penanganan cysta folikel pada sapi Bali Nomor Sapi & Ras
Diameter Cysta Folikel (mm)
Keberadaan Cysta Post Injeksi (GnRH)
Service/ Conseption S/C
Sp 1/Bali
27
10
2
Sp 2/Bali
29
15
3
Sp 3/Bali
29
10
2
Sp 4/Bali
28
15
3
Sp 5/Bali
27
16
2
Rerata
28
13,2
2,4
Gambar 2. Hasil USG kebuntingan 2,5 bulan pada sapi Bali
Menurut Johnson, (2008); Braw-Tal et al, (2009); Salvetti et al, (2010); Mutinati et al, (2013) cysta folikel adalah follikelovariumdengan diameter minimal ≥ 2,5 cm berada pada satu atau kedua ovarium bertahan selama minimal 10 hari. Follikel tersebut tidak mengalami ovulasi atau anovatori. Kejadian ini menimbulkan gejala klinis berupa nimpomania atau estrus terus menerus secara intermiten, non periodik dengan interval waktu yang tidak normal. Kondisi demikian akan menimbulkan gangguan pada siklus ovarium yang normal (Johnson, 2008; Braw-Tal et al, 2009; Salvetti et al, 2010; Mutinati et al, 2013). Cysta folikel ovarium berkembang ketika satu atau lebih folikel ovarium gagal ovulasi (anovulasi) kemudian secara berkala atau berturut-turut mempertahankan pertumbuhan dan steroidogenesis(Robinson et al, 2006; Johnson, 2008; Braw-Tal et al, 2009). Hal ini telah diketahui secara umum bahwa cysta berkembang dari folikel preovulasi yang telah gagal untuk ovulasi, bertahan dalam ovarium, sehingga mengganggu fungsi ovarium yang normal(Braw-tal et al, 2009). Tidak timbulnya jaringan luteal pada kejadian COF karena follikel ovarium tidak mengalami ovulasi atau anovulatori (Hatler et al, 2006; Johnson, 2008; Salvetti et al, 2010).
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
25
Pada pemeriksaan per rektal cysta folikel ovarium akan teraba fluktuatif apabila ditekan, memiliki permukaan halus, diameter ≥ 2,5 cm, dinding folikel yang mengalami cysta terasa lebih tebal dari dinding folikel dominan ovulasi. Hasil pemeriksaan per rektal akan dikonfirmasi kembali menggunakan USG transrektal real-time frekuensi probe 7.5-MHz yang akan tergambar anechogenic dengan diameter folikel ≥ 2,5 cm (Todoroki et al, 2004; Hatler et al, 2006; Robinson et al, 2006; Johnson, 2008; Braw-Tal et al, 2009; Salvetti et al, 2010; Mutinati et al, 2013). Etiologi cysta folikel ovarium adalah multifaktorial, berdasarkan hasil penelitian etio - patofisiologi cysta folikel ovarium, bahwa sebagian besar faktor penyebab nya adalah adanya disfungsi gangguan hormonal dari axis hipotalamus - hypophyseal dan gonad (ovarium) yang menghasilkan kegagalan ovulasi. Bukti penelitian menitik beratkan setiap bagian dari poros hipotalamushipofisis dan gonad (ovarium) sebagai organ penyebab cysta folikelovarium (Todoroki et al, 2004; Roelofset al, 2006; ).
Daftar Pustaka Braw-tal,R., Pen.,S., Roth.,Z. 2009. Ovarian cysts in high -yielding dairy cows. J.Theriogenology 72 (2009) 690-698. Hatler,T.B., Hayes ,S.H., Anderson.,L.H., Silvia W.J. 2006. Effect of a single injection of progesterone on ovarian follicular cysts in lactating dairy cows. The Veterinary Journal. 172 (2006) 329-333. Johnson.,W.H., 2008. Managing Anovulation and cystic ovaries in dairy cows. WCDS Advances in dairy technology (2008) Volume 20: 311-326. Mutinati, M.,Rizoo.A.,Sciorsci. 2013. Cystic ovarian follicles and thyroid activity in the dairy cow. J.Animal Reproduction Science. 138 (2013) 150-154.
Robinson.,R.,Hunter.,M.G.,Mann.,G.E., 2006. Supra -basal progesteron concentrations during the follicular phase are associated with development of cystic follicles in dairy cows. The Veterinary Journal 172 (2006) 340-346. Cysta folikel ovarium disebabkan oleh banyak faktor predisposisi seperti stres, manajemen nutrisi dan penyakit Roelofs, J.B., Graaat,E.A.M., Mullaart,E., Soede, menular. Hal ini dapat terjadi bersamaan, namun penyebab N.M., Harkema,W.V., Kemp, B. (2006) Effects of Insemination-Ovulation Interval on Fertilization utama dari penyakit dengan kejadian COF ini belum Rates and Embryo Characteristics in Dairy Cattle. dijelaskan. Kondisi post partum, penuaan, predisposisi J.Theriogenology 66 (2006) 2173.2181. genetik, kurangnya lonjakan LH adalah faktor awal merangsang pembentukan COF. Frekuensi yang tinggi dari pulsatif LH karena kurangnya efek umpan balik Salvetti.,N.R.,Stangaferro.,M.L.,Palomar.,M.M., Alfaro.,N.S.,Rey.F.,Gimeno.,E.J.,Ortega.,H.H negatif dari progesteron dalam situasi anovulasi berakibat .,2010. Cell proliferation and survival mechanisms pada pertumbuhan yang berlebihan dan terus dari folikel underlying the abnormal persistence of follicular dominan( Salvettiet al, 2010; Mutinati et al, 2012). cysts in bovine with cystic ovarian disease induced by ACTH. J.Animal Reprdoction Science. 122 (2010) 98-110. Simpulan
Cysta folikel ovarium merupakan salah satu gangguan Todoroki.,J.,Noguchi.,J.,Kikuchi.,K.,Ohnuma K.,Ozawa .,M.,Kaneko.,H.,2004. Plasma reproduksi yang bersifat reversible atau sembuh apabila concentrations of inhibin A in cattle with follicular dilakukan pengobatan. Injeksi GnRH (fertagil) dapat cysts: Relationships with turnover dilakukan untuk mengobati cysta folikel ovarium dengan of follicular waves and plasma levels of lama keberadaan folikel yang mengalami cysta sangat gonadotropins and steroid hormones. J.Domestic Animal Endocrinology. 27 (2004) 333-344. bervariasi diantara individu.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
26
Panduan Penulisan Naskah VELABO 1. Velabo memuat tulisan/ karya ilmiah dalam bidang laboratorium medik veteriner khususnya dan bidang kesehatan hewan umumnya. Naskah dapat berupa hasil penelitian, pengamatan, pengujian, kasus lapangan dan tinjauan epidemiologik. 2. Jadual penerbitan adalah bulan Juni dan Desember. 3. Redaktur berhak melakukan penyuntingan untuk perbaikan penulisan. Untuk penulisan makalah diharapkan lebih dari 2000 kata atau minimal 4 halaman, termasuk tabel foto dan daftar kepustakaan. 4. Adapun standar dalam penulisan : a. Naskah ditulis dengan jarak 2 spasi kecuali Judul, Abstrak, Judul Gambar, dan Lampiran diketik 1 spasi. Naskah diketik pada kertas ukuran A4 dengan jumlah lebih dari 2000 kata atau minimal 4 halaman termasuk tabel dan gambar yang diketik pada file terpisah dari teks. b. Huruf standar yang digunakan untuk penulisan adalah Times New Roman 12. c. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word, kecuali Tabel dan Grafik menggunakan program Microsoft Excel dan Gambar menggunakan format JPEG atau TIFF. d. Naskah disusun dengan urutan judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, tinjauan pustaka, materi dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih (kalau ada) serta daftar pustaka. 5. Adapun Tata Cara Penulisan Naskah : a. JUDUL harus pendek, spesifik dan informatif dan ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. b. IDENTITAS PENULIS berisi nama lengkap penulis (hindari penggunaan singkatan) dan dibubuhi angka Arab secara berurutan untuk keterangan tentang penulis (bila lebih dari satu penulis). c. ABSTRAK ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris maksimal 300 kata disertai dengan 3-5 kata kunci. d. PENDAHULUAN berisi latar belakang yang memuat arti penting dan tujuan penelitian, dan diakhiri dengan kegunaan dan/ atau harapan hasil penelitian. e. TINJAUAN PUSTAKA berisi tentang pustaka yang mendukung dalam penulisan makalah tersebut (jurnal, buku, tesis, desertasi dll) f. MATERI DAN METODE Cara penelitian ditulis secara singkat dan disertai cara analisisnya. g. HASIL DAN PEMBAHASAN diuraikan secara rinci dan jelas diakhiri dengan kesimpulan penelitian pada alinea terakhir. Foto berwarna atau hitam putih dapat dikirim dengan ukuran maksimum 2R 16 x 21 cm ukuran format naskah (khusus foto mikroskopik disertakan angka scale bar perbesarannya). h. KESIMPULAN memuat kesimpulan dari keseluruhan naskah ditulis secara ringkas tetapi menggambarkan substansi hasil penelitian yang diperoleh. i. DAFTAR PUSTAKA menurut abjad tanpa nomor urut (lihat contoh). Nama jurnal harus singkat sesuai dengan singkatan yang berlaku. 6. Pustaka : a. Menggunakan referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka jurnal di atas 50 %. Pengutipan pustaka dari internet hanya diperbolehkan dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti jurnal, instansi pemerintah atau swasta.
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
27
c. Daftar pustaka memuat nama pengarang yang dirujuk dalam naskah, disusun menurut abjad pengarang dan tahun penerbitan. Penulisan pustaka berupa buku: dicantumkan semua nama penulis, tahun, judul buku, penerbit dan kota tempat terbit. Penulisan pustaka berupa jurnal : dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasi dan halaman. Artikel dalam buku dicantumkan nama penulis, tahun, editor, judul buku, penerbit dan tempat. Beberapa contoh sumber acuan adalah sebagai berikut : Jurnal : Godfrey, R.W., Collins, J.R., Hensley, E.L., Wheaton, J.E. 1999. Estrus synchronization and artificial insemination of hair sheep in the tropics. Theriogenology 51 : 985 – 987. Buku: Benjamin, M.M. 1978. Outline of veterinary Clinical Pathology, edisi ke-3. The Iowa state University Press, Ames, USA: 61-62. Contoh terjemahan : Frandson, R.D. 1996. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Edisi ke-4. Diterjemahkan oleh Srigondo, B. Prasena, Soedarsono. UGM Press.: 108 – 522. Website: Barendse, W. 2001. DNA markers for meat tenderness. Patent publication number WO02064820. http://ep.espacenet.com/. [ 9 Februari 2004].
Volume 36 - Edisi 02 November 2016
Velab
28