PENDAHULUAN
Sorgum merupakan serealia yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dan telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan pokok ke-5 di dunia setelah gandum, beras, jagung dan barley (FAO 2005). Sorgum merupakan bahan pangan pokok di negara semi tropis baik di Afrika maupun Asia. Konsumen sorgum sering diidentikkan dengan masyarakat marginal. Sifat inferior ini berimplikasi pada kurang berkembangnya komoditas sorgum. Perhatian pemerintah masih kurang dalam pengembangan sorgum di Indonesia, padahal sorgum berpotensi sebagai sumber karbohidrat alternatif pengganti beras yang dapat menunjang program diversifikasi pangan. Tepung sorgum dapat sebagai pendamping tepung beras dan terigu, diolah menjadi aneka pangan tradisional, aneka cake dan cookies. Sorgum sosoh dapat dikonsumsi sebagai mana layaknya nasi dan aneka produk bentuk butiran (brondong/pop sorghum, renginang, tape, wajik). Tepung sorgum dapat sebagai pendamping tepung beras dan terigu, diolah menjadi aneka pangan tradisional, aneka cake dan cookies. Saat ini sudah dikembangkan produk sorgum instan seperti nasi sorgum instan, bubur dan sereal sarapan (Widowati 2010). Sorgum mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan secara komersial di Indonesia, karena didukung oleh kondisi agroekologi dan ketersediaan lahan yang cukup luas. Luas lahan kering mencapai 23.3 juta hektar yang tersebar di pulau Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan belum dimanfaatkan sekitar 39% (Direktorat Serealia 2004). Analisis komponen kimia merupakan analisis yang diterapkan untuk mengetahui nutrisi yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksana), lalu pelarut kepolarannya menengah atau semi polar (etilasetat) kemudian pelarut bersifat polar (etanol) (Harborne 1996). Metode ekstraksi yang umum digunakan adalah maserasi (penggunaan pelarut organik). Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut
organik dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan dalam temperatur ruangan.
Proses
ini
sangat
menguntungkan
karena
perendaman
akan
mengakibatkan pemecahan membran sel akibat perbedaaan tekanan antara di dalam sel dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik. Komposisi kimia dan senyawa fitokimia terdistribusi dengan kadar yang berbeda pada setiap bagian. Perbedaan komposisi kimia dan kadar fitokimia pada biji atau buah sangat dipengaruhi oleh tingkat ketuaan atau kematangan, kondisi tanah, kondisi lingkungan dan cara pengolahan (Chludil et al. 2008). Perbedaan distribusi komponen kimia dan senyawa fitokimia pada sorgum serta perbedaan kelarutan dalam berbagai pelarut mendasari dilakukannya analisis kimia dan pengujian keberadaan senyawa fitokimia. Pemilihan ekstraksi dengan pelarut berdasarkan tingkat kepolaran diharapkan mampu mengekstrak secara maksimal komponen bioaktif yang terdapat pada sorgum. Komponen bioaktif yang terlarut dalam ekstrak diharapkan dapat berfungsi menghambat sel kanker melalui aktivitas biologisnya.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Januari – Maret 2010 di Laboratorium Kimia SEAFAST Center dan Departemen Ilmu & Teknologi Pangan IPB.
Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah sorgum varietas kawali dari daerah gunung kidul, Yogyakarta. Bahan kimia untuk analisis, terdiri dari n-heksan, etil asetat, etanol, Folin Ciocalteu Fenol, asam galat, asam askorbat, enzim termamyl, dan 1,1-difenil-2-pikrilhidrasil (DPPH). Peralatan antara lain : satake polisher, dismill, evaporator, spektrofotometer dan alat penunjang lainnya.
Metode Penelitian
Proses penyosohan dan penepungan biji sorgum Sorgum
yang
digunakan
adalah
varietas
Kawali
karena
banyak
dibudidayakan petani di Indonesia dan telah digunakan oleh peneliti sebelumnya. Pembersihan biji sorgum dari material selain biji sorgum, seperti potongan batang, daun, sorgum yang tidak sehat (kecil, keriput, dan pecah), batu-batuan, dll. Selanjutnya biji sorgum yang telah bersih tersebut disosoh dengan alat satake polisher berdasarkan waktu penyosohan 10, 20, 30, 40, 50, 60 detik. Kulit akan terpisah selama proses penyosohan. Rendemen hasil sosohan dihitung sebagai persen bobot hasil dari bobot awal sebelum disosoh. Dari tahapan di atas, diperoleh sorgum sosohan. Biji sorgum hasil penyosohan selanjutnya dibuat tepung dengan menggunakan alat dishmill menjadi tepung sorgum dengan ukuran partikel 60 mesh. DS (%) =
∑produk sampingan hasil sosoh biji serealia waktu sosoh tertentu ∑produk sampingan hasil sosoh biji serealia waktu sosoh sempurna
RS (%) =
∑ biji serealia waktu sosoh tertentu
x 100%
∑ biji serealia utuh
Keterangan :
DS = derajat sosoh (%) RS = rendemen biji serealia tersosoh (%)
Komposisi Kimia Sorgum Analisis komponen kimia tepung biji sorgum non sosoh, DS 50% dan DS 100% dilakukan dengan metode AOAC (2004). Analisis proksimat biji sorgum yang dilakukan meliputi kadar air (metode oven), kadar abu (metode tanur), kadar lemak (metode ekstraksi soxhlet), protein (metode mikro-kjeldahl), dan karbohidrat (by difference). Kadar air (AOAC 2004). Tepung sorgum ditentukan kadar airnya dengan metode gravimetrik. Tepung sorgum sebanyak 2 g dimasukkan dalam wadah kosong yang sudah diketahui beratnya. Sampel dikeringkan dalam oven vakum suhu 70oC selama 24 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
x 100%
Selisih berat sampel setelah pemanasan merupakan jumlah kadar air yang terkandung dalam sampel.
Kadar abu metode tanur (AOAC 2004). Tepung sorgum sebanyak 5 g dimasukkan dalam wadah kosong yang sudah diketahui beratnya. Sampel dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 300oC selama 1 jam, kemudian suhu tanur dinaikkan hingga 450oC selama 6 jam. Sampel didinginkan ke dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang apabila beratnya sudah konstan.
Kadar protein total metode Kjeldahl (AOAC 2004). Penentuan protein berdasarkan oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia. Tepung sorgum ±5 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Kemudian ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2 ± 0.1 mL H2SO4 serta ditambahkan beberapa butir batu didih. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Selanjutnya didinginkan, setelah dingin ditambahkan air perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Setelah dingin, isi labu dipindahkan ke alat distilasi. Labu dibilas 5-6 kali dengan air 1-2 ml air. Air bilasan ini dipindahkan ke alat distilasi. Di bawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metilen merah dan metilen biru). Ujung tabung kondensor terendam di bawah larutan H3BO3. Pada alat distilasi ditambahkan 8-10 mL larutan NaOH-Na2S2O3, kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml distilat dalam erlenmeyer. Distilasi dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Hal ini juga dilakukan terhadap blanko. Persentase kadar nitrogen dalam sampel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: N (%) =
(mL HCl sampel-mL HCl blanko) x normalitas HCl x 14.007 mg sampel
% Protein = % N x faktor konversi
x 100
Penentuan Kadar Serat Pangan ( Asp et al.1983) Tepung sorgum ± 5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Erlemeyer. Ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat 0.1 M pH 6 sambil diaduk. Enzim termamyl ditambahkan 0.1 ml. Labu erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air suhu 100oC selama 15 menit. Dibiarkan dingin kemudian ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1.5 dengan HCl. Ditambahkan 100 mg enzim pepsin, labu erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40oC selama 60 menit. Kemudian ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6.8 menggunakan NaOH. Enzim pankreatin ditambahkan 100 mg, labu erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40oC selama 60 menit. pH diatur menjadi 4.5 menggunakan HCl. Dilakukan penyaringan dengan menggunakan Crucible (porosity 2) yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0,5 celite kering. Dilakukan pencucian 2 x 10 ml air destilata. Selanjutnya antara residu dan filtrat dipisahkan untuk analisis lebih lanjut.
Residu (analisis serat pangan tidak larut). Residu ditambahkan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 105oC sampai mencapai berat konstan (semalam). Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan pada suhu 550oC selama 5 jam. Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator.
Filtrat (analisis serat pangan yang larut). Filtrat (100ml) ditambahkan 400 ml etanol 95% dalam keadaan hangat (suhu 60oC). Biarkan mengendap selama 1 jam. Dilakukan penyaringan menggunakan crucible (porosity 2) yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0.5 gram celite. Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 105oC selama semalam. Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Diabukan pada suhu 555oC selama 5 jam. Ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I2). Blanko dibuat sesuai dengan prosedur diatas tetapi tanpa sampel (B1 dan B2).
D1-I1-B1 % Serat pangan tidak larut = --------------------- x 100 W
% Serat pangan larut
D2-I2-B2 = --------------------- x 100 W
Keterangan : W = berat sampel (gram) D = berat setelah pengeringan (gram) I = berat setelah pengabuan (gram) B = berat blanko bebas abu (gram)
Kadar Pati (AOAC 2004) Tepung sorgum sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam labu erlemeyer, ditambahkan 200 ml larutan HCl 3% dan dipanaskan pada pendingin balik tegak. Setelah dingin dan dinetralkan dengan NaOH 10%. Larutan diencerkan sampai 500 ml di dalam labu takar, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml larutan (filtrat) dipipet dan dimasukkan ke dalam labu erlemeyer 250 ml dan ditambahkan 25 ml larutan luff Schoorl, 15 ml air suling dan beberapa batu didih. Larutan dipanaskan pada pendingin balik tegak. Pemanas diatur sehingga isi labu erlemeyer mendidih dalam waktu kurang lebih 3 menit dan dipertahankan selama 10 menit. Kemudian didinginkan secara cepat pada air mengalir serta ditambahkan 10 ml KI 30% dan 25 ml H2SO4 25% secara perlahan. Setelah reaksi selesai dititrasi dengan larutan tiosulfat 0,1 N yang telah distandarisasi (a ml). Larutan kanji digunakan sebagai petunjuk. Blanko dibuat seperti diatas (b ml). A x F x 0.9 Kadar pati (%) = ---------------- x 100% mg dimana : A = angka tabel Luff Schoorl, berdasarkan selisih ml titrasi (b-a) F = faktor pengenceran mg = bobot contoh (mg) 0.9 = angka perbandingan
Ekstraksi tepung sorgum metode maserasi (Houghton & Raman 1998).
Ekstraksi tepung sorgum utuh (S0), sorgum derajat sosoh 50% (DS50), sorgum derajat sosoh 100% (DS100) berdasarkan tingkat kepolaran pelarut, yaitu heksana (nonpolar), etil asetat (semipolar), dan etanol (polar). Tepung sorgum 100 gram dimaserasi dengan pelarut heksana 400 ml pada suhu ruang selama 24 jam. Perbandingan tepung dengan pelarut 1:4 (b/v). Campuran tersebut disaring menggunakan saringan vakum. Filtrat heksana diuapkan dengan rotavapor pada suhu 40oC dan sisa pelarut heksana dihembuskan dengan gas nitrogen sampai bobot tetap. Substrat heksana berupa padatan yang tidak lolos dalam filterisasi kemudian digunakan sebagai sampel untuk ekstraksi dengan pelarut etil asetat. Ekstraksi dengan pelarut etil asetat diulangi lagi seperti prosedur ekstraksi heksana. Substrat etil asetat berupa padatan yang tidak lolos dalam filterisasi kemudian digunakan sebagai sampel untuk ekstraksi dengan pelarut etanol. Ekstraksi dengan pelarut etanol diulangi lagi seperti prosedur ekstraksi heksana. Rendemen ekstrak dihitung sebagai persentase bobot ekstrak kering (tanpa pelarut) dengan bobot tepung awal.
Analisis fitokimia kualitatif
Analisis fitokimia dilakukan untuk mengetahui keberadaan alkaloid, flavonoid, sterol, triterpenoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan tannin dalam ekstrak sorgum (Harborne 1996). Analisis Flavonoid dan Fenolik. Penentuan adanya flavonoid dan senyawa fenolik dilakukan dengan melarutkan 0.1 g sampel dengan metanol sampai semua sampel terendam, kemudian dipanaskan. Larutan dipipet dan diteteskan pada 2 spot plate masing-masing 5 tetes. Pada spot plate pertama ditambahkan NaOH 10% (b/v), timbulnya warna merah menandakan positif senyawa fenol hidrokuinon. Pada spot plate kedua ditambahkan 1 tetes H2SO4 pekat, timbulnya warna merah menandakan positif senyawa flavonoid . Analisis Triterpenoid dan Sterol. Penentuan adanya triterpenoid dan sterol dilakukan dengan menambahkan etanol pada 0.1 g sampel dan dipanaskan
lalu disaring. Filtrat diuapkan dan ditambahkan eter. Lapisan eter yang terbentuk dipipet dan diteteskan pada spot plate lalu ditambahkan pereaksi LB (3 tetes asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4). Adanya triterpenoid ditandai dengan timbulnya warna merah atau ungu, sedangkan adanya sterol ditandai dengan adanya warna hijau. Analisis Flavonoid, Saponin dan Tanin. Penentuan adanya flavonoid, saponin dan tanin dilakukan dengan memasukkan 0.1 g sampel dalam gelas piala, lalu ditambahkan 10 mL air panas dan didihkan selama 5 menit. Kemudian dimasukkan masing-masing 3 mL larutan ke dalam 2 tabung reaksi. Pada tabung pertama dimasukkan serbuk mg dan beberapa tetes HCl pekat dan amil alkohol. Campuran dikocok dan dibiarkan memisah, adanya flavonoid ditunjukkan adanya warna merah coklat pada lapisan amil alkohol. Pada tabung reaksi kedua dilakukan pengocokan secara vertikal selama 10 detik dan dibiarkan selama 10 menit. Adanya busa yang stabil menunjukkan adanya saponin, sedangkan sisa campuran didihkan lagi selama 10 menit lalu disaring. Filtrat ditambahkan dengan beberapa mL larutan FeCl3 1% (b/v). Timbulnya warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin.
Analisis total fenol (Sahreen et al. 2010). Total fenol dari ekstrak sorgum ditentukan dengan metode spektrometri. Ekstrak sorgum (± 1000 mg/ml) sebanyak 1 ml ditambahkan 4 ml larutan natrium karbonat (75 g/l) kemudian dikocok. Pereaksi Folin-Ciocalteu fenol sebanyak 0.2 mL ditambahkan dan dikocok lagi. Setelah homogen ditambahkan akuades hingga 10 ml dan dikocok kembali. Campuran dibiarkan pada suhu kamar selama 1 jam dan diukur λ 725 nm. Total fenol ditentukan dengan menggunakan larutan standar asam gallat. Hasil yang diperoleh dinyatakan dengan ekuivalen asam gallat (GAE). Analisis kemampuan menangkap radikal bebas DPPH (Sahreen et al. 2010) Aktifitas antioksidan dianalisa berdasarkan kemampuannya menangkap radikal bebas (radical scavenging activity) DPPH. Larutan ekstrak (± 1000 mg/ml) sebanyak 1 ml ditambahkan 3 ml larutan pereaksi DPPH (60 µM) dan
metanol hingga 10 ml. Ketika radikal DPPH bereaksi dengan senyawa antioksidan maka kemampuan senyawa ini mendonorkan hidrogen berkurang. Penurunan kemampuan absorbansi diukur pada panjang gelombang 517 nm setelah 30 menit diinkubasi. Kemampuan menghambat radikal bebas DPPH dinyatakan dengan % penghambatan = [(A0 – At)/A0] x 100%, dimana A0 adalah absorbansi kontrol saat t = 0 detik dan At adalah absorbansi antioksidan pada saat t. Aktivitas antioksidan ditentukan dengan menggunakan larutan standar asam askorbat konsentrasi 21.6, 43.2, 86.4, 129.6, 172.8, 216 mg/ml sehingga hasil yang diperoleh dinyatakan dengan ekuivalen asam askorbat (AEAC).
Analisis Data
Data penelitian dinyatakan sebagai rata-rata ± SD dari dua pengukuran secara paralel. Semua data dianalisis dengan prosedur sidik ragam (ANOVA) dengan bantuan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 17. Apabila hasil analisis sidik ragam menunjukkan ada perbedaan maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan New Multiple Range Test/DMRT) pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Derajat Sosoh terhadap Komposisi Kimia Sorgum utuh (whole sorghum) terdiri dari lapisan perikarp, endosperm, dan lembaga. Proses penyosohan biji sorgum utuh (whole grain) menjadi sorgum sosoh merupakan proses awal sebelum pengolahan lebih lanjut menjadi produkproduk pangan berbahan baku sorgum. Penyosohan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan konsumen karena penampakan dan rasa yang kurang disukai (sepet). Sorgum utuh apabila dikonsumsi akan menimbulkan rasa agak getir di lidah karena mempunyai tekstur yang lebih kasar. Penyosohan
secara mekanis biasa disebut dengan dehulling atau
decortication bertujuan memisahkan lapisan perikarp dan lapisan testa dari endosperma biji sorgum (Awika et al. 2005). Mesin penyosoh sorgum yang
digunakan adalah mesin tipe abrasif. Prinsip abrasif didasarkan pada gesekan antara biji sorgum dengan batu gerinda, biji sorgum dengan rumah batu gerinda dan juga antara masing-masing biji, sehingga menyebabkan kulit biji terabrasi dengan cepat mulai dari arah luar hingga permukaan endosperma. Oleh karena itu derajat sosoh dengan metode ini dapat diukur dengan lama penyosohan (Mudjisihono & Suprapto, 1987). Proses penyosohan biji sorgum menghasilkan dedak (bran), lembaga, dan endosperm. Dedak merupakan hasil samping dari proses penggilingan yang terdiri dari lapisan luar butiran sorgum (perikarp) dan sejumlah lembaga. Derajat sosoh merupakan istilah yang menunjukkan seberapa banyak bagian perikarp yang dipisahkan dari endosperm. Penentuan derajat sosoh berdasarkan perbandingan jumlah produk sampingan hasil sosoh biji sorgum waktu sosoh tertentu dan jumlah produk sampingan hasil sosoh biji sorgum tersosoh sempurna (Tabel 4). Proses penyosohan berdasarkan waktu penyosohan, merupakan metode konvensional yang paling mudah, murah dan hingga saat ini masih digunakan di beberapa negara penghasil sorgum. Hasil menunjukkan semakin lama waktu penyosohan
maka
semakin
susut
bobot
biji
sorgum
karena
terjadi
pelepasan/kehilangan lapisan kulit perikarp (bran). Tabel 4 Penentuan derajat sosoh biji sorgum TS(s)
WA(g)
WS (g)
WD(g)
WH(g)
RS (%)
DS(%)
0
170
0
0
0
0
0
10
170
149.79
18.21
2
88.11
34.21
20
170
140.14
26.86
3
82.44
50.46
30
170
131.77
36.23
2
77.51
68.06
40
170
122.72
43.28
4
72.19
81.31
50
170
117.72
49.28
3
69.25
92.58
60
170
112.77
53.23
4
66.34
100
Keterangan: TS(s) : waktu sosoh , WA(g): Bobot awal, WS (g): Bobot biji sosoh, WD(g): Bobot produk sampingan, WH(g): bobot yang hilang, RS (%): Rendemen biji sosoh, DS(%): Derajat sosoh
Penghitungan rendemen hasil penyosohan biji sorgum bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kehilangan lapisan luar (perikarp) akibat proses
penyosohan. Derajat sosoh (DS) mempengaruhi rendemen sorgum akibat perlakuan waktu penyosohan. Semakin tinggi waktu penyosohan maka rendemen semakin kecil.
S0
S50
S100
Gambar 12 Biji sorgum berdasarkan tingkat penyosohan
Komposisi kimia sorgum berbeda-beda tergantung pada varietas dan waktu penyosohan. Biji sorgum utuh/whole sorghum (S0) dan sorgum sosoh hasil penyosohan dengan derajat sosoh 50% (S50) dan derajat sosoh 100% (S100) dipilih untuk dianalisis komponen kimianya. Tabel 5 Komposisi kimia sorgum S0 12.53b 8.91b 4.14c 1.36b 73.06c
Kadar * S50 12.42ab 8.59b 1.98b 0.83ab 76.18b
S100 12.03a 7.49a 1.61a 0.28a 78.58a
2.39a 6.44c 8.83c
2.52b 4.23b 6.75b
2.59b 3.53a 6.12a
64.23a
69.43b
72.47c
Komposisi kimia Air (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Karbohidrat(by difference) Serat pangan: a. Serat pangan larut (%) b.Serat pangan tidak larut (%) c. Serat pangan total (%) Pati (%) *
Konsentrasi dinyatakan dalam basis kering, kecuali kadar air dalam basis basah huruf superskrip menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf 5% S0 = tepung sorgum utuh, S50 = tepung sorgum DS 50%, S100 = tepung sorgum DS 100%. a-c
Biji sorgum memiliki kadar karbohidrat yang tinggi dibandingkan dengan komposisi kimia lainnya (Tabel 5). Hal ini menunjukkan sorgum dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras sehingga dapat menunjang program diversifikasi pangan. Sebagian besar karbohidrat sorgum adalah pati (67% - 72%) yang tersimpan dalam bentuk granula. Pati sorgum mengandung amilosa sekitar 12 - 22 g/100 g bobot basah dan amilopektin sekitar 45 – 55 g/100 g bobot basah. Energi yang dihasilkan dari tepung biji sorgum utuh sekitar 356 kkal/100 g (Dicko et al. 2006). Komposisi kimia tepung sorgum ketiga kelompok penyosohan berbeda secara signifikan (p<0.05). Abrasi yang sangat cepat menyebabkan sebagian endosperma ikut terkikis, sehingga biji sorgum sosoh yang dihasilkan tidak utuh. Penyosohan menyebabkan penurunan beberapa kandungan zat gizi protein, serat, vitamin serta mineral. Protein yang terdapat pada biji sorgum 8.91 %, sedangkan pada sorgum yang disosoh sebagian (S50) sebesar 8.59 % dan sorgum yang disosoh 100% (S100) sebesar 7.49 %. Hal ini berarti sekitar 4 - 16 % protein terdapat dalam dedak (bran) yang terpisah dari biji sorgum saat penyosohan. Kadar protein S50 lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Yanuar (2009). Kadar protein sorgum yang disosoh 20 detik dilaporkan 6.23% bk dan 60 detik 5.91% bk. Kandungan protein endosperma, lembaga dan perikarp sorgum berturut-turut 80 %, 16 %, dan 3 % (Rooney 2001). Protein sebagai komponen gizi terbesar kedua setara dengan terigu atau lebih tinggi dibandingkan dengan beras. Protein biji sorgum terdiri dari 4 fraksi yaitu prolamin (larut dalam alkohol), glutenin (larut dalam alkali), albumin (larut dalam air) dan globulin (protein larut dalam garam). Prolamin merupakan fraksi protein terbesar yaitu 27 - 43.1 %, diikuti oleh glutenin 26.1 39.6 %, globulin 12.9 - 16 %, dan albumin 2 - 9 % dari kandungan protein biji sorgum (FAO, 1995). Proses penyosohan menurunkan kandungan lemak biji sorgum sekitar 52 61%. Kandungan lemak sorgum lebih tinggi dibandingkan dengan beras (0,51,5%) dan terigu (2%). Komposisi lemak sorgum kaya akan linoleat, oleat, palmitat, linolenat, dan stearat umumnya terdapat pada bagian lembaga (FAO 1995).
Selain sebagai sumber energi dan protein, sorgum juga mengandung
berbagai unsur mineral dan vitamin. Proses penyosohan menurunkan nilai gizi secara signifikan karena mengikis lapisan kulit ari yang mengandung komponen gizi termasuk protein, lemak dan mineral. Sebagian besar mineral terdapat pada bagian dedak dan hanya sekitar 21 - 69 % yang tertinggal pada biji sorgum yang telah disosoh. Sorgum mengandung berbagai mineral esensial, seperti P, Mg, Ca, Fe, Zn, Cu, Mn, Mo dan Cr (Glew et al. 1997; Dicko et al. 2006). Kadar serat pangan dan β-glukan sorgum cukup tinggi sehingga memungkinkan sebagai sumber serat pangan. Kadar serat pangan sorgum dilaporkan cukup bervariasi 2 - 9% (Dicko et al. 2006). Serat pangan yang terdapat sorgum adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, dan β-glukan. Umumnya serat tidak larut seperti selulosa dan hemiselulosa tahan terhadap degradasi mikrobial sehingga hanya sebagian kecil yang terfermentasi. Sebaliknya hampir semua serat larut β-glukan dapat dengan cepat difermentasi secara sempurna. βglukan berperan dalam bidang medis dan farmakologi karena berpotensi mencegah
terjadinya
penyakit
degeneratif
seperti
hiperglikemia,
hiperkolesterolemia, obesitas, penyakit kardiovaskular, kanker, dan membantu meningkatkan pertumbuhan probiotik (Laroche & Michaud, 2006) Fermentasi serat dalam kolon menghasilkan produk berupa gas seperti gas hidrogen, metana, karbondioksida dan asam lemak rantai pendek (Short Chain Fatty Acid) seperti asam asetat, propionat dan butirat. Asam lemak rantai pendek (SCFA) diserap oleh mukosa kolon dan menghasilkan energi bagi inang sehingga serat bisa dianggap sebagai sumber kalori yang jumlahnya kira-kira 1.5 – 2.5 kkal/gram. Jumlah SCFA yang dihasilkan tergantung pada tingkat fermentasi masing-masing serat. Hubungan serat pangan dengan pencegahan penyakit degeneratif telah banyak dilaporkan. Serat pangan dapat memperpendek waktu kontak sisa pencernaan dalam usus besar sehingga mengurangi resiko terjadinya kanker kolorektal (Tungland & Meyer, 2002).
Ekstraksi Sorgum Tepung sorgum diekstraksi secara bertahap dengan beberapa jenis pelarut dengan tingkat polaritas berbeda. Ekstraksi tepung sorgum utuh dan sosohan dilakukan untuk mengekstrak komponen bioaktif yang terdapat pada sorgum.
Pelarut heksana digunakan untuk mengekstrak komponen aktif yang larut dalam pelarut non polar. Etil asetat untuk mengekstrak komponen aktif yang larut dalam pelarut semi polar dan etanol untuk mengekstrak komponen aktif yang larut dalam pelarut polar. Rendemen merupakan perbandingan antara berat bagian bahan yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendemen ini berguna untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Apabila nilai rendemen suatu produk atau bahan semakin tinggi, maka nilai ekonomisnya juga semakin tinggi sehingga pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif. Tabel 6 Sifat fisik dan rendemen ekstrak biji sorgum Jenis Ekstrak
Heksana Etilasetat Etanol
Fisik Ekstrak
Kuning kecoklatan, kental Kuning jingga, kental Jingga kecoklatan, kental
Rendemen ekstrak(%) S0
S50
S100
0.71a±0.28
0.67a±0.08
0.26a±1.74
0.42a±0.31
0.36a±0.03
0.11a±0.28
4.55b±0.21
3.61b±0.06
1.47b±0.27
a-b
Huruf superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf 5 % S0 = tepung sorgum utuh, S50 = tepung sorgum DS 50%, S100 = tepung sorgum DS 100%.
Sifat fisik dan rendemen ekstrak sorgum pada Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil pelarutan dengan etanol paling tinggi dibandingkan dengan pelarut lainnya. Hasil menunjukkan bahwa rendemen ekstrak sorgum dipengaruhi oleh jenis pelarut. Dilaporkan oleh Yanuar (2009) tepung sorgum sosohan 20 detik yang diekstrak dengan pelarut aseton dan aquades menghasilkan rendemen ekstrak berturut-turut 2.61% dan 5.3%. Ekstrak sorgum dengan pelarut etanol menunjukkan rendemen ekstrak tertinggi pada biji sorgum utuh (S0). Kemampuan etanol dalam mengekstrak jaringan tanaman disebabkan pelarut ini secara efektif dapat melarutkan senyawa polar, seperti gula, asam amino, dan glikosida (Houghton dan Raman,1998). Rendemen ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut etanol berbeda nyata dengan ekstrak etil asetat dan heksana. Sorgum yang disosoh 100% (S100) tidak dianalisis lebih lanjut karena proses penyosohan mengurangi sejumlah komponen bioaktif dan rendemen ekstrak yang dihasilkan sangat kecil sekitar 0.26% hingga 1.47% .
Pengujian Komponen Fitokimia
Uji
fitokimia
merupakan
pengujian
kualitatif
untuk
mengetahui
keberadaan senyawa-senyawa fitokimia. Kandungan fitokimia ketiga kelompok ekstrak ditunjukkan pada Tabel 7. Senyawa fitokimia yang teridentifikasi pada ekstrak sorgum meliputi flavonoid, triterpenoid, sterol, tannin, dan fenol hidrokuinon. Pengujian secara kualitatif menunjukkan keberadaan senyawa flavonoid, triterpenoid, sterol, tanin, dan fenol hidrokuinon pada ekstrak sorgum ditunjukkan oleh terbentuknya warna merah, ungu, hijau, biru, merah. Penentuan intensitas warna didasarkan pada perbandingan kepekatan warna yang diamati secara visual dari semua senyawa fitokimia yang teruji.
Tabel 7 Komponen fitokimia ekstrak biji sorgum Ekstrak Heksana
Komponen Fitokimia
Ekstrak etil asetat
Ekstrak Etanol
S0
S50
S0
S50
S0
S50
Flavonoid
+
+
++
+
+++
+++
Fenol Hidrokuinon
+
+
+++
++
++
++
Sterol
+
+
++
++
++
++
Triterpenoid
+
+
++
++
++
++
Tanin
-
-
++
++
++
+
Saponin
+ + = menunjukkan intensitas dan didasarkan pada perbandingan intensitas warna secara visual - = menunjukkan tidak terdeteksi S0 = tepung sorgum utuh, S50 = tepung sorgum DS 50%
Ket. : +
Data pada Tabel 7 menunjukkan intensitas senyawa yang ditemukan pada ketiga kelompok ekstrak. Intensitas senyawa fitokimia pada sorgum non sosoh lebih tinggi dari sorgum yang tersosoh. Intensitas senyawa fitokimia pada heksana (non polar) lebih rendah dari ekstrak etil asetat (semipolar) dan ekstrak etanol (polar). Pelarut etil asetat dapat mengekstrak senyawa alkaloid, aglikon dan glikosida, sterol, terpenoid, dan flavonoid (Cowan 1999, Houghton & Raman, 1998). Senyawa flavonoid dengan intensitas warna tertinggi ditemukan pada ekstrak etanol sorgum. Kemampuan etanol dalam mengekstrak jaringan tanaman
disebabkan pelarut ini secara efektif dapat melarutkan senyawa polar, seperti gula, asam amino, dan glikosida (Houghton dan Raman 1998), fenolik dengan berat molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang, flavonoid aglikon, antosianin, terpenoid, saponin, tannin, flavon, fenon dan polifenol, vitamin C (Cowan 1999; Dalimarta 2003; Dehkharghanian et al. 2010). Berdasarkan hasil pengujian kualitatif atas warna yang dihasilkan menunjukkan bahwa senyawa flavonoid, fenol hidrokuinon, sterol ditemukan pada ketiga jenis ekstrak, tetapi intensitasnya semakin berkurang dengan meningkatnya derajat penyosohan. Tanin ditemukan pada ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol dan saponin hanya ditemukan pada ekstrak etanol. Tanin yang terdapat pada sorgum memiliki berbagai peranan, antara lain untuk melindungi biji dari predator burung, serangga, kapang (Fusarium tapsinum dan Aspergillus flavus) serta dari cuaca (Waniska et al. 1989). Jenis tanin kondensat yang terdapat pada sorgum memiliki banyak cincin aromatik dan gugus hidroksil sehingga memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan tidak dapat bereaksi sebagai prooksidan karena dapat membentuk oligomer. Semakin banyak jumlah cincin aromatik dan gugus hidroksil akan semakin tinggi aktivitas antioksidannya (Hagerman et al. 1998).
Total Fenol dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Sorgum Hasil pengujian total fenol pada ketiga kelompok ekstrak berbeda secara signifikan. Derajat penyosohan mempengaruhi total fenol dan aktivitas antioksidan kemampuan menangkal radikal bebas DPPH (Tabel 8).
Tabel 8 Kadar total fenol dan aktivitas antioksidan ketiga kelompok ekstrak Jenis senyawa
Ekstrak H0
Total fenol (mg GAE/100 g bk) Aktivitas Antioksidan (mg AEAC/ 100 g bk) Ket. : GAE AEAC H0, A0, E0 H5, A5, E5
419.86
5.19
H5
A0
398.55 1043.36
4.79
21.91
A5
E0
E5
975.61 545.17 467.29
21.43
14.28
13.43
: ekuivalen asam gallat : Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity : ekstrak heksana, etil asetat, etanol pada tepung sorgum tanpa sosoh : ekstrak heksana, etil asetat, etanol pada tepung sorgum DS50%
Ekstrak etil asetat mempunyai kadar total fenol paling tinggi pada ekstrak sorgum. Hal ini menunjukkan senyawa fenolik lebih terkonsentrasi pada ekstrak etil asetat. Kondisi ini seiring dengan hasil uji kandungan fitokimia pada ketiga ekstrak (Tabel 7). Mohamed et al. (2009) melaporkan total polifenol ekstrak metanolik dari beberapa jenis sorgum sekitar 229 – 590 mg GAE/100g dan total karotenoid sekitar 8-17µg β-karoten/100g bobot kering. Komponen
fenolik
yang
terdapat
pada
sorgum
adalah
asam
hidroksibenzoat, asam hidroksisinamat (kaumarat, kafeat, ferulat, sinapat). Komposisi fenolik pada biji sorgum antara lain asam ferulat (300 - 500mg/g) dan asam kaumarat (100 - 200mg/g) (Verbruggen, 1993). Kadar asam fenolik yang terdapat pada bran (lapisan luar biji sorgum) dilaporkan lebih tinggi dari bran wheat dan bran rye. Komponen flavonoid yang terdapat dalam sorgum adalah antosianin (0 - 2800 mg/g), 3-deoksiantosianidin (0 - 4000 mg/g), flavan 4-ol (0 1300 mg/g) dan proantosianidin (0 - 68000mg/g) (Verbruggen et al. 1993; Awika et al. 2003; Dicko et al. 2005). Keberadaan senyawa flavonoid pada ekstrak etil asetat menyebabkan kemampuan menangkap radikal bebas DPPH lebih tinggi dibandingkan ekstrak lainnya. Hal ini sejalan dengan informasi dari Kill et al. (2009) yang menginformasikan bahwa ekstrak metanolik, fraksi heksana, fraksi etil asetat dan fraksi butanol yang diekstrak dari berbagai kultivar sorgum di Korea Selatan mampu menangkal radikal bebas DPPH lebih tinggi dari BHA (Butylated hidroxyanisole) dan BHT. Kandungan 3-deoksiantosianin pada berbagai jenis sorgum mempengaruhi aktivitas antioksidan. Jenis sorgum hitam lebih tinggi kandungan 3-deoksiantosianin dari sorgum merah dan sorgum putih. Semakin tinggi total fenol maka kemampuan menangkap radikal bebas semakin tinggi. Kadar total fenol ketiga kelompok ekstrak berkorelasi positif dengan kapasitas menangkap radikal bebas. Komponen polifenol yang terdapat pada bran sorgum mampu mendonorkan atom hidrogen pada radikal oksigen (ORAC) lebih tinggi dari blubery, strawbery, anggur dan jeruk (Awika & Rooney 2004). Efektivitas flavonoid sebagai penangkal radikal bebas ditentukan oleh kemampuan struktur molekul flavonoid membentuk radikal yang terstabilkan oleh resonansi (Tapas et al. 2008). Keefektifan flavonoid mendonorkan atom hidrogen
dipengaruhi oleh jumlah dan posisi gugus hidroksil, adanya gugus ikatan rangkap terkonjugasi serta gugus karbonil pada strukturr benzo-γ-piron (Amic et al. 2003). Polifenol ekstrak metanolik sorgum mampu menangkap radikal bebas DPPH lebih tinggi (14 - 56%) dari kontrol BHA dan α-tokoferol (13%) namun lebih rendah dari kontrol asam askorbat. Kapasitas reduksi ekstrak metanolik sorgum terhadap ion Fe3+ menjadi Fe2+ lebih tinggi dibandingkan kontrol. Keberadaan redukton dalam ekstrak mampu memutus rantai radikal bebas dengan mendonorkan atom hidrogen atau elektron sehingga mampu mereduksi ion Fe3+. Hal ini mengindikasikan polifenol yang terdapat dalam ekstrak sorgum berperan sebagai elektron dan donor hidrogen (Mohamed et al. 2009).
SIMPULAN
Proses penyosohan 50% menurunkan kadar protein, lemak, serat total dan mineral sorgum. Semakin tinggi derajat sosoh maka kadar pati yang terdapat pada endosperma semakin tinggi. Senyawa fitokimia yang terkandung dalam sorgum adalah flavonoid, fenol hidroquinon, sterol, dan tanin. Komponen kimia dan fitokimia lebih terkonsentrasi pada sorgum non sosoh (whole grain) dibandingkan dengan sorgum yang disosoh 50%. Senyawa fitokimia, terutama fenolik lebih terkonsentrasi pada ekstrak etil asetat. Total fenol ekstrak etil asetat sorgum > ekstrak etanol > ekstrak heksana. Hal ini berkorelasi dengan kemampuan menangkap radikal bebas DPPH.
AKTIVITAS EKSTRAK SORGUM TERHADAP PENGHAMBATAN PROLIFERASI BEBERAPA ALUR SEL KANKER SECARA IN VITRO ABSTRAK Sorgum berpotensi sebagai sumber antioksidan karena mengandung komponen fitokimia seperti flavonoid, fenol hidrokuinon, sterol dan tanin. Antioksidan fenolik dan flavonoid sorgum sebagai penangkal radikal bebas berpotensi menghambat proliferasi sel kanker. Penelitian ini bertujuan mempelajari aktivitas ekstrak heksana, etil asetat, dan ekstrak etanol sorgum terhadap penghambatan proliferasi beberapa alur sel kanker. Ketiga ekstrak sorgum dievaluasi sitotoksik pada Artemia salina Leach, sel limfosit dan alur sel kanker paru-paru (A549), kanker kolon (HCT 116), kanker servik (Hela), kanker limfoma (Raji). Hasil menunjukkan ekstrak sorgum dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit dan menghambat proliferasi sel kanker. Konsentrasi ekstrak dalam menghambat sel kanker bervariasi dan umumnya semakin tinggi konsentrasi ekstrak semakin tinggi aktivitas penghambatan sel kanker. Ekstrak sorgum menghambat proliferasi sel kanker A549 ≤ 24%, HCT 116 ≤ 22%, Hela ≤ 25%, dan sel kanker Raji ≤ 80%. Aktivitas penghambatan ekstrak sorgum tertinggi pada sel kanker limfoma Raji. Penghambatan sel kanker Raji (80,08%) ditemukan pada ekstrak etanol sorgum (2600µg/ml). Kata Kunci : ekstrak sorgum, sel kanker, limfosit, A549, HCT 116, Hela, Raji.
ABSTRACT Sorghum is potential source of antioxidants because it contains phytochemical components such as flavonoids, phenols hydroquinone, sterols and tannins. Phenolic antioxidants and flavonoids in sorghum as scavenger to free radicals potentially inhibit cancer cell proliferation. This research aims to study the activity of extracts of hexane, ethyl acetate, and ethanol extracts of sorghum on the inhibition of proliferation of several cancer cell line. All three extracts of sorghum were evaluated on the cytotoxic Artemia salina Leach, lymphocytes, lung cancer cells (A549), colon cancer cells (HCT 116), cervical cancer cells (Hela), and lymphoma cancer cells (Raji). The results showed sorghum extract can enhance cell proliferation of lymphocyte but inhibit proliferation of cancer cells. The concentration of extract in inhibiting cancer cell varied and generally the higher the concentration the higher the inhibitory activity of extracts of cancer cells. Sorghum extract inhibits proliferation of A 549 cancer cells ≤ 24 %, HCT 116 ≤ 22%, Hela ≤ 25 %, and Raji cancer cells ≤ 80 %. Sorghum extract has the highest inhibitory activity on Raji cells. Inhibition of cancer cells Raji (80.08 %) were shown by ethanol extracts of sorghum (2600μg/ml). Key words : sorghum extracts, cancer cell lines, lymphocyte, A 549, HCT 116, Hela, Raji
PENDAHULUAN
Komponen fitokimia yang terdapat pada ekstrak sorgum meliputi flavonoid, fenol hidrokuinon, sterol, dan tanin. Senyawa tersebut mempunyai kelarutan berbeda berdasarkan tingkat kepolaran pelarut dan lebih terkonsentrasi pada ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol. Kadar total fenol pada ekstrak etil asetat > etanol > heksana. Semakin tinggi total fenol yang terdapat pada sorgum semakin tinggi kemampuan menangkap radikal bebas. Keberadaan senyawa antioksidan alami terbukti mencegah berbagai kerusakan oksidatif dan penyakit yang banyak melibatkan reaksi radikal bebas (Amic et al. 2003). Kultur sel menjadi alat penting
untuk penelitian-penelitian di biologi
molekuler dan seluler, memberikan model sistem yang baik untuk penelitian sifat fisiologi dan biokimia sel, pengaruh komponen pangan terhadap sel, mutagenesis dan karsinogenesis. Cell line sering digunakan dalam riset kanker dengan pertimbangan faktor fisiko-kimia dapat dikontrol dan kondisi fisiologis sel dapat dipertahankan secara konstan. Sel secara langsung mengakses bahan atau zat yang diuji, sehingga kebutuhan sampel yang diuji relatif sedikit. Kultur sel limfosit sering digunakan sebagai model untuk mengetahui pengaruh suatu bahan pangan terhadap sistem imun. Kultur sel limfosit tidak berbeda jauh dengan yang digunakan untuk mengkultur cell line dan sel lainnya. Sel limfosit tidak menempel pada permukaan kaca atau plastik seperti kultur pada sel monolayer (Freshney 1994). Oleh karena itu pengujian kultur sel secara in vitro penting dilakukan untuk mengetahui potensi ekstrak sorgum terhadap sel limfosit dan sel kanker. Sel kanker yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel kanker kolon HCT 116, sel kanker servik HeLa, sel kanker paru-paru A549, dan sel kanker limfoma Raji. Tujuan pengujian aktivitas penghambatan proliferasi sel kanker secara in vitro sebagai referensi pengujian praklinis (in vivo) untuk mempelajari peran sorgum sebagai pangan fungsional dalam penghambatan kanker.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian berlangsung dari Maret 2011 hingga Oktober 2011. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia dan Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fateta, Laboratorium Kultur Jaringan Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi & Patologi FKH IPB dan Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, Pusat Studi Satwa Primata IPB Bogor.
Bahan dan Alat
Sorgum varietas kawali diperoleh dari petani di daerah gunung Kidul. Sel kanker paru-paru A549 (ATCC CCL-185) koleksi Laboratorium Kultur Jaringan FKH IPB. Sel kanker servik HeLa (ATCC CCL-2), sel kanker limfoma Raji (ATCC CCL-86), dan sel kanker kolon HCT-116 (ATCC CCL-247) dari Stem Cell Cancer Institute Jakarta. Bahan lain diantaranya heksana, etil asetat, dan etanol untuk ekstraksi, bahan untuk keperluan kultur seperti RPMI (Roswell Park Memorial Institute), Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium (DMEM), Fetal Calf Serum (FCS), penisilin 100U/ml, streptomisin 100ug/ml, 3-(4,5-dimethylthiazol2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT). Peralatan yang digunakan antara lain elisa mikroplate reader, timbangan, sentrifus, inkubator.
Metode Penelitian
Pengujian Sitotoksik terhadap larva Artemia salina L dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (Meyer et al. 1982).
Uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan pengujian toksisitas pada larva Artemia salina L. Uji ini dilakukan terhadap ketiga ekstrak yang didapat. Sebanyak 25 mg kista A.salina dimasukkan ke dalam wadah yang telah diisi 250 ml air laut. Tempat penetasan dilengkapi dengan aerasi dan lampu
sehingga telur menetas sempurna. Setelah 24 jam larva menetas dan selanjutnya dipipet ke dalam botol percobaan dan diberi perlakuan selanjutnya dengan ekstrak sampel. Larutan ekstrak dengan konsentrasi 5000, 1000, 500, 100, 50, dan 10 (μg/ml) diuji dengan larva A.salina. Uji biologis dilakukan dengan memasukkan 10 ekor larva A.salina yang berumur 48 jam ke dalam botol yang telah berisi larutan ekstrak dan air laut sesuai konsentrasi yang diinginkan. Sebagai kontrol adalah air laut yang tidak diberi ekstrak sorgum. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam. Jumlah larva yang mati dicatat, kemudian dihitung persentase kematiannya, dan data selanjutnya diolah dengan analisis probit, yaitu suatu metode regresi menggunakan program computer SAS 604 untuk mencari data LC50 (suatu nilai yang menunjukkan tingkat konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk mematikan 50% dari hewan yang diuji larva Artemia salina L.).
Isolasi sel limfosit limpa tikus Pengujian pada sel limfosit adalah untuk melihat kemampuan ketiga ekstrak sorgum dalam meningkatkan sistem imun limfosit. Pengujian aktivitas proliferasi sel limfosit menggunakan metode MTT. Tikus dieutanasia secara dislocasio os cervicalis dan diambil organ limfanya secara steril, dicuci dengan 5 ml PBS. Limfa digerus sampai homogen pada cawan petri steril yang berisi 5 ml RPMI-1640 selanjutnya dipindahkan ke tabung sentrifus dan disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet (bagian bawah) dijentik-jentikkan dan ditambah 2 ml NH4Cl 0,85%, didiamkan selama 2 menit, ditambahkan 3 ml RPMI-1640, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Supernatan yang berisi sel darah merah yang lisis dibuang. Pelet sel yang mengandung sel limfosit ditambahkan 5 ml RPMI1640 dan disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Pencucian dengan RPMI-1640 dilakukan dua kali. Endapan sel limfosit disuspensikan dengan 3-5 ml media RPMI. Suspensi sel limfosit yang telah dihomogenkan dihitung jumlah selnya dengan pewarna tripan biru 1:1. Sel yang siap dikultur mengandung jumlah sel limfosit dalam kondisi hidup 95%. Perhitungan sel limfosit dilakukan dengan bantuan alat hemasitometer di bawah mikroskop pada pembesaran 400 kali. Sel
hidup tampak terang, jernih berbentuk bulat dan sel mati akan terwarnai menjadi biru mengkerut. Berdasarkan hasil perhitungan pada area 2 kotak besar (@ 16 kotak kecil) kemudian ditentukan jumlah sel yang hidup dengan rumus: N = V/2 x F x 104 Keterangan : N = jumlah sel/ml V/2 = rata-rata jumlah sel terhitung dari 2 bidang pandang F = faktor pengenceran 104 = Faktor koreksi volume hemasitometer yang setiap kotak sekundernya berukuran 1 x 1mm dan kedalaman 0,1 mm, sehingga volume 0,1 mm3 (1 ml = 1 cm3 = 1000 mm3).
Pengujian aktivitas ekstrak sorgum terhadap kultur sel limfosit. Suspensi sel (2 x 106 sel/ml) hasil isolasi sel limfosit diambil sebanyak 70µl dan dikultur pada lempeng 96 well steril. Konsentrasi ketiga ekstrak sorgum diuji aktivitasnya berdasarkan hasil yang didapat dari pengujian BSLT. Konsentrasi berdasarkan LC50 dengan pembulatan angka yang paling dekat. Untuk konsentrasi kode simbol H0 adalah ekstrak heksana dari tepung sorgum non sosoh, H5 adalah ekstrak heksana dari tepung sorgum DS 50%, A0 adalah ekstrak etil asetat dari tepung sorgum non sosoh, A5 adalah ekstrak etil asetat dari tepung sorgum DS 50%, E0 adalah ekstrak etanol dari tepung sorgum non sosoh, E5 adalah ekstrak etanol dari tepung sorgum DS 50%. Kode simbol akhir C1 adalah konsentrasi ½ x LC50, kode C2 adalah konsentrasi LC50 , kode C3 adalah konsentrasi 1½ x LC50, dan kode C4 adalah konsentrasi 2 x LC50. Tabel 9 Konsentrasi ekstrak sorgum dalam kultur Ekstrak Heksana
Konsentrasi (μg/ml)
Ekstrak Etil asetat
Konsentrasi (μg/ml)
Ekstrak Etanol
Konsentrasi (μg/ml)
H0C1
75
A0C1
610
E0C1
1340
H0C2
150
A0C2
1220
E0C2
2680
H0C3
225
A0C3
1830
E0C3
4020
H0C4
300
A0C4
2440
E0C4
5360
H5C1
100
A5C1
675
E5C1
1300
H5C2
200
A5C2
1350
E5C2
2600
H5C3
300
A5C3
2025
E5C3
3900
H5C4
400
A5C4
2700
E5C4
5200
Selanjutnya setiap sumur lempeng ditambahkan ekstrak sorgum sebanyak 20 µl yang menghasilkan konsentrasi ekstrak pada kultur seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9 dan FCS 10 µl. Pada setiap sumur kontrol standar (sebagai kontrol negatif) diisi 20 µl RPMI-1640, suspensi sel sebanyak 70 µl dan FCS 10 µl. Sumur kontrol positif dari suspensi sel sebanyak 70 µl ditambahkan larutan mitogen (LPS, Con A) dan FCS 10 µl. Jumlah total volume dalam tiap sumur sebanyak 100µl. Kultur diinkubasi pada suhu inkubator 37oC dengan kondisi 5% CO2, dan RH 90% selama 72 jam. Menjelang akhir waktu inkubasi 10 µl reagen MTT (0,5 mg/ml) ditambahkan pada tiap sumuran, selanjutnya diinkubasi selama 4 (empat) jam di dalam inkubator. HCl-isopropanol 0,04 N ditambahkan 80 µl. Serapan diukur dengan Elisa reader λ 595 nm. Nilai OD atau absorbansi bersifat proporsional terhadap jumlah sel hidup. Indeks Stimulasi (IS) dihitung dengan persamaan berikut: .
IS = ODsampel/ODkontrol
Keterangan : OD = Optical Density (Absorbansi) pada λ 595 nm.
Persiapan suspensi sel dan pemeliharaan kultur sel kanker Sel A549, HCT 116, Hela, dan Raji dipelihara dalam media kultur yaitu DMEM/F12 (Dulbecco’s Modified Eagle Medium) yang dilengkapi 10% fetal bovine serum (FBS), 100U/ml penisilin dan 100ug/ml streptomisin 1%. Sel diinkubasi pada suhu 37oC, 5% CO2. Untuk pemeliharaan sel Raji, dilakukan pergantian media setiap 3 hari sekali atau bila suspensi sel telah berubah warna dari merah menjadi kuning yang menandakan terjadinya penurunan pH. Suspensi sel disentrifugasi pada 228 x g selama 10 menit, supernatan dibuang dan pelet ditambah media kultur, kemudian disentrifugasi kembali. Pelet sel ditambahkan media kultur dan dihomogenisasi, selanjutnya suspensi sel diinkubasi pada inkubator dengan 5% CO2 pada suhu 37oC. Pemeliharaan sel selapis (Hela, HCT 116 dan A549) sama dengan sel suspensi, hanya dalam pencucian atau pergantian media didalam flask diperlukan
larutan enzim tripsin-EDTA (tripsin 0,25%) untuk pengangkatan sel yang melekat pada dinding flask. media kultur ± 5 ml ditambahkan untuk menginaktifkan tripsin. sel diresuspensi dengan pipet sampai sel terlepas satu-satu. Keadaan sel diamati di mikroskop. Sel diresuspensi kembali jika masih ada sel yang menggerombol. Sel yang telah lepas ditransfer ke dalam flask steril baru. Media penumbuh ditambahkan 3 - 5 ml. Viabilitas sel dihitung (suspensi sel dan tripan blue 1:1) dengan alat haemacytometer. Viabilitas sel dihitung dengan persamaan seperti perhitungan jumlah sel limfosit.
Perlakuan ekstrak sorgum terhadap suspensi sel kanker Kultur sel ditransfer ke dalam sumuran (96 well plate), masing-masing 100 μl dan disisakan 3 sumuran kosong (jangan diisi sel) sebagai kontrol media. Keadaan sel diamati menggunakan alat mikroskop inverted untuk melihat distribusi sel. Inkubasi sel di dalam inkubator selama semalam. Ekstrak sorgum dengan konsentrasi ½ kali, 1 kali, 1½ kali dan 2 kali LC50 untuk perlakuan dan tanpa perlakuan (kontrol sel dan kontrol DMSO). Plate yang telah berisi sel dikeluarkan dari inkubator CO2. Untuk sel selapis (A549, HeLa, dan HCT 116) media sel dibuang (plat dibalikkan 180°). PBS 100 μl dimasukkan ke dalam semua sumuran yang terisi sel, kemudian PBS dibuang dengan cara membalikkan plat. Sampel dengan beberapa seri konsentrasi dimasukkan ke dalam sumuran (triplo) dan diinkubasi di dalam inkubator CO2 selama 48 jam. Kontrol sel hanya diisi oleh media kultur lengkap. Kelompok perlakuan diisi oleh sampel (ekstrak tepung biji sorgum) 20 μl yang ditambahkan dalam sumur. Sebagai kontrol positif anti kanker adalah senyawa doxorubisin. Kultur diinkubasi pada inkubator dengan kondisi 5% CO2, 37oC, dan RH 90%. Menjelang akhir waktu inkubasi dilakukan pengujian dengan metode MTT untuk mengukur aktivitas penghambatan proliferasinya. Pereaksi garam tetrazolium (MTT) ditambahkan pada tiap sumur mikroplate, selanjutnya diinkubasi selama 4 (empat) jam. HCl-isopropanol 0,04 N ditambahkan 80 µl setelah masa inkubasi berakhir. Pengujian aktivitas penghambatan sel kanker diukur dengan elisa reader pada serapan λ 595 nm dengan metode 3-(4,5dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT).
Data absorbansi perlakuan dihitung dan dikonversi ke rumus : % Penghambatan = (1-ODsampel/ODkontrol) x 100% Keterangan : OD = Optical Density (Absorbansi) pada λ 595 nm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sitotoksik ekstrak sorgum terhadap Artemia salina Leach Pengujian sitotoksik merupakan pengujian pendahuluan untuk mengamati efek farmakologi suatu senyawa. Penggunaan Brine Shrimp sebagai uji bioaktivitas memiliki beberapa keuntungan yaitu cepat, murah, sederhana (tidak memerlukan ketrampilan dan peralatan khusus), tidak perlu aseptik, akurat dan memiliki spektrum aktivitas farmakologi yang luas. Metode ini telah berkembang menjadi metode bioassay konvensional yang umum digunakan untuk menguji komponen aktif tumbuhan dilakukan untuk mengetahui efek toksik dari suatu bahan atau obat (Meyer et al. 1982). Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) untuk mengamati tingkat mortalitas Artemia salina Leach yang disebabkan oleh ekstrak sorgum. Data yang diperoleh akan diolah untuk mendapatkan nilai LC50 (lethal concentration 50%) pada tingkat kepercayaan 95% dengan probit analysis method. LC50 merupakan besarnya konsentrasi (µg/ml) ekstrak yang diuji untuk mematikan 50% dari hewan uji. Hasil perolehan LC50 dapat memberikan informasi konsentrasi komponen yang terkandung dalam ekstrak yang masih memungkinkan sel mampu bertahan hidup (Doyle dan Griffiths, 2000).
Tabel 10 Hasil Pengujian BSLT pada ketiga jenis ekstrak Jenis Ekstrak Ekstrak Heksana
Ekstrak etilasetat
Ekstrak etanol
Keterangan :
Konsentrasi (µg/ml) 10 100 1000 5000 10 100 1000 5000 10 100 1000 5000
Persentase mortalitas (%) S0 S50 35.8 43.3 41.2 45.7 100 95.1 100 100 34.1 15.3 32.8 31.7 42.2 25.5 100 100 17.4 12.9 21.2 10.6 39.6 43.8 100 55.1
LC50 (µg/ml) S0
S50
151
198
1224
1352
2679
2595
S0 = ekstrak biji sorgum non sosoh S50 = ekstrak sorgum DS 50%
Data yang ditunjukkan pada Tabel 10 merupakan data mortalitas yang dianalisis dengan probit analysis method untuk mendapatkan nilai LC50 (lethal concentration 50%). Data menunjukkan sitotoksik nilai LC50 ekstrak heksan < 1000 µg/ml dan ekstrak etil asetat dan etanol > 1000 µg/ml. LC50 digunakan sebagai konsentrasi atau dosis pada pengujian ekstrak sorgum terhadap sel limfosit dan sel kanker.
Aktivitas ekstrak sorgum terhadap proliferasi limfosit Salah satu parameter untuk melihat aktivitas imunomodulator suatu komponen adalah kemampuan menstimulasi proliferasi sel limfosit. Proliferasi pada sel limfosit adalah proses pendewasaan dan perbanyakan sel melalui pembelahan sel atau mitosis. Proses tersebut menghasilkan sel-sel efektor aktif yang berperan pada respon spesifik dan non spesifik untuk eliminasi mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya. Respon proliferasi sel limfosit menggambarkan status imun individu (Zakaria et al. 2003). Aktivitas sel limfosit T dan B yang berproliferasi ini dapat diukur melalui nilai indeks stimulasi (IS). Mitogen untuk memicu terjadinya proliferasi non spesifik dari sel limfosit, dimana mitogen lipopolisakarida (LPS) dan Concavalin A (Con A) digunakan
sebagai kontrol positif. Con A berasal dari ekstrak tanaman kacang jaks (Concavalin ensiformis) dan LPS berasal dari suatu bakteri gram negatif seperti E.coli dan S. Typhymurium. Aktivitas mitogen bersifat spesifik seperti Con A umumnya menginduksi proliferasi sel limfosit T dan LPS menginduksi proliferasi sel limfosit B. Pengaruh konsentrasi ekstrak sorgum terhadap proliferasi sel limfosit sangat tergantung pada kondisi kultur limfosit.
3
Indeks Stimulasi
2.5 2 C1
1.5
C2 1
C3
0.5
C4
0 H0
A0
E0
K-
LPS
Con A
Perlakuan Sampel
Gambar 13 Indeks stimulasi proliferasi sel limfosit ekstrak tepung sorgum non sosoh. (H0 = ekstrak heksana, A0 = ekstrak etil asetat, E0 = ekstrak etanol, K- = kontrol media RPMI 1640, LPS = mitogen lipopolisakarida, Con A = mitogen concavalin A, konsentrasi C1, C2, C3, C4 ditunjukkan pada tabel 9). Data pada Gambar 13 menunjukkan bahwa ketiga ekstrak sorgum non sosoh (whole grain) mampu menstimulasi sel limfosit. Peningkatan indeks stimulasi (IS) ketiga ekstrak sorgum sebesar 2-46%. Ekstrak etil asetat (1830 µg/ml) mempunyai nilai indeks stimulasi (IS) tertinggi 1,46 yang berarti terjadi peningkatan 46% dari kontrol. Dugaan bahwa sebagian besar senyawa fenolik semi polar penyusun ekstrak etil asetat, didukung oleh Mariod et al. (2010) bahwa etil asetat dapat mengekstrak senyawa fenolik dengan berat molekul rendah hingga tingkat tinggi dengan kepolaran sedang, dalam bentuk aglikon maupun glikosida. Umumnya, semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam kultur, berarti semakin tinggi kandungan komponen aktifnya. Mitogen LPS dan Con A sebagai kontrol positif mampu meningkatkan proliferasi peningkatan 78% dan 204%.
Peningkatan proliferasi yang nyata oleh ekstrak sorgum dapat diduga karena adanya kandungan komponen bioaktif seperti asam fenolik dan flavonoid yang memiliki sifat antioksidan (Dykes & Rooney 2006). Adanya sifat antioksidan dari komponen fenolik tersebut dapat melindungi sel limfosit dari stres oksidatif.
Indeks Stimulasi
3 2.5 2 C1
1.5
C2 1
C3
0.5
C4
0 H5
A5
E5
K-
LPS
Con A
Perlakuan sampel
Gambar 14 Indeks stimulasi proliferasi sel limfosit tepung ekstrak sorgum DS 50%. (H0 = ekstrak heksana, A0 = ekstrak etil asetat, E0 = ekstrak etanol, K- = kontrol media RPMI 1640, LPS = mitogen lipopolisakarida, Con A = mitogen concavalin A, konsentrasi C1, C2, C3, C4 ditunjukkan pada tabel 9). Data pada Gambar 14 menunjukkan bahwa ketiga ekstrak sorgum DS 50% mampu menstimulasi sel limfosit. Ekstrak etil asetat (2700 µg/ml) mempunyai nilai indeks stimulasi (IS) 1,71 (peningkatan 71%) hampir setara dengan mitogen LPS yang mempunyai IS 1,78 (peningkatan 78%). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam kultur, berarti semakin tinggi kandungan komponen aktifnya. Kemampuan pelarut etanol dalam mengekstrak jaringan tanaman disebabkan pelarut ini secara efektif dapat melarutkan senyawa polar, seperti gula, asam amino, dan glikosida, fenolik dengan berat molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang, flavonoid aglikon), antosianin, terpenoid, saponin, tannin, flavon, fenon dan polifenol, vitamin C (Cowan 1999; Dalimarta 2003; Dehkharghanian et al. 2010; Houghton & Raman 1998). Senyawa fenolik mudah larut dalam pelarut etanol dan sering ditemukan berikatan dengan protein dan gula glikosida sehingga terjadi peningkatan proliferasi sel limfosit.
Peningkatan respon proliferasi sel limfosit mungkin dijelaskan oleh dua sebab yaitu 1) karena sifat fenol dari tanaman yang mudah terikat pada protein, dan 2) karena sifat antioksidatif fenol sehingga dapat melindungi limfosit dari molekul oksigen reaktif. Terikatnya senyawa fenol pada protein reseptor membran limfosit sehingga mengaktivasi sistem enzim membran yang berperan dalam proliferasi. Pengikatan komponen bioaktif sorgum pada reseptor permukaan sel T mengaktivasi protein G yang kemudian memproduksi fosfolipase C. Enzim ini menghidrolisis fosfatidil inositol bifosfat (PIP2) menjadi produk reaktif diasilgliserol (DAG) dan inositol trifosfat (IP3), dua molekul yang berperan dalam penandaan membran sel. Inositol trifosfat berdifusi dari membran plasma ke sitosol dan berikatan dengan protein reseptor pada permukaan sitoplasmik Calcium-sequestering
Compartement.
Pengikatan
tersebut
menyebabkan
terbukanya pintu saluran Ca2+ dan berakibat pada peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosol. Peningkatan Ca2+ ini berperan penting dalam menstimulasi kerja enzim protein kinase C. Protein kinase C teraktivasi memfosforilasi atau memindahkan gugus fosfat ke residu serin atau treonin spesifik pada protein membran sehingga mengaktivasi pertukaran Na+-H+ dan berakibat pada peningkatan pH. Peningkatan pH tersebut memberi tanda pada sel untuk melakukan proliferasi. Pengikatan ion Ca2+ pada kalmodulin menyebabkan perubahan konformasi protein dan mengaktivasi enzim protein kinase C yang berperan dalam produksi interleukin-2 (IL-2) yang selanjutnya mengaktivasi sel limfosit B dan T untuk berproliferasi.
Kemampuan ekstrak sorgum dalam menghambat proliferasi beberapa alur sel kanker Uji bioaktivitas ekstrak sorgum terhadap berbagai alur sel kanker dengan metode MTT. Kemampuan penghambatan ekstrak sorgum diuji pada alur sel kanker HeLa, A549, raji, dan HCT 116. Alur sel A549 berasal dari sel karsinoma paru-paru dari pria berumur 58 tahun dengan morfologi menyerupai epitelial. Alur sel HCT 116 merupakan sel turunan kanker kolon stadium lanjut pada manusia (late phase adenocarcinoma). Sel HeLa diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (serviks) manusia. Ketiga sel ini secara morfologi merupakan sel epithelial berbentuk polygonal dan tumbuh melekat dalam substrat dengan bagian yang
terpisah-pisah (sel monolayer). Sel Raji adalah sel yang berasal dari kultur sel lymphoblastoid yang diturunkan dari lymphoma Burkitt. Burkitt merupakan sejenis kanker yang terdapat pada sistem limpa khususnya pada limfosit B. Sel ini termasuk sel limfoblast yang secara morfologi berbentuk bulat dan tumbuh dalam suspensi tanpa melekat di permukaan. Sel A549, HeLa dan HCT 116 tergolong dalam kelompok sel monolayer (selapis), karena pertumbuhannya ditandai adanya perlekatan sel pada permukaan botol atau wadah pertumbuhan sel. Perlekatan sel dapat dilepaskan dengan penambahan larutan tripsin EDTA, setelah seluruh media pertumbuhan dibuang. Perlekatan antara sel satu dengan sel yang lain dan terhadap substrat kultur diperantarai oleh adanya glikoprotein permukaan sel, ion Ca2+ dan Mg2+. Proteinprotein lain yang dihasilkan oleh cell line dan serum, bergabung dengan permukaan sel dan substrat sehingga terjadi adisi sel. Pada mamalia, perkembangbiakan sel diatur oleh serangkaian protein yang diproduksi oleh gen-gen susceptible tumor yang disebut onkogen (yang dalam keadaan normal disebut protoonkogen) dan gen penekan tumor. Gen yang termasuk onkogen meliputi gen-gen yang terlibat dalam signal mitogenik dan pemacu pertumbuhan ditemukan dalam proses daur sel (siklus sel). Kerusakan pada gen-gen tersebut beresiko terjadinya kanker atau proliferasi berlebihan. Sel kanker yang sedang berproliferasi mengalami beberapa fase yaitu fase mitosis (M), fase pasca mitosis (G1) yang meliputi sintesis RNA dan protein, fase sintesis DNA (fase S) dan fase pra-mitosis (G2) untuk persiapan mitosis. Perbedaan sifat proliferasi sel normal dan sel kanker terlihat dari beberapa ciri. Yang pertama adalah kemampuannya untuk membentuk gumpalan tumor, tidak seperti sel normal. Sifat yang kedua adalah responnya terhadap populasi di kultur. Sifat yang ketiga adalah sifat pertumbuhan yang tidak tergantung pada perlekatan yang menyebabkan sel kanker akan terus membelah, sehingga sering disebut sel lestari atau sel yang abadi.
A
B
C
D
E
F
Gambar 15 Mikrograf penghambatan sel kanker oleh ekstrak sorgum. (A. kontrol negatif yaitu sel kanker HeLa tanpa ekstrak, B. Hela + perlakuan ekstrak etil asetat 2440 µg/ml, C. sel kanker HCT 116 tanpa ekstrak, D. HCT 116 + perlakuan ekstrak etanol 2700 µg/ml, E. sel kanker Raji tanpa ekstrak, F. Raji + perlakuan ekstrak etanol 2600 µg/ml).
% Penghambatan
30 25 20 15 10 5 0 -5 -10 -15
C1 C2 C3 C4 H0
H5
A0
A5
E0
E5
Perlakuan Ekstrak terhadap Sel Kanker HeLa
25
% Penghambatan
20 15 C1 10
C2
5
C3 C4
0 -5
H0
-10
H5
A0
A5
E0
E5
Perlakuan Ekstrak terhadap Sel HCT 116
30 25
% Penghambatan
20 15
C1
10
C2
5
C3
0 -5
C4 H0
H5
A0
A5
E0
E5
-10 -15
Perlakuan Ekstrak terhadap Sel Kanker A549
Gambar 16 Pengaruh ekstrak sorgum terhadap penghambatan proliferasi sel kanker HeLa, HCT 116, A549. (H0 = ekstrak heksana, A0 = ekstrak etil asetat, E0 = ekstrak etanol, konsentrasi C1, C2, C3, C4 ditunjukkan pada tabel 9).
Data pada Gambar 16 menunjukkan antiproliferasi terhadap beberapa alur sel kanker ditemukan pada ketiga kelompok ekstrak. Jenis pelarut sangat mempengaruhi
besar
kecilnya
penghambatan
proliferasi.
Penghambatan
proliferasi sel kanker servik HeLa oleh ekstrak etil asetat sorgum > ekstrak etanol > ekstrak heksana. Penghambatan tertinggi sebesar 25.4% pada konsentrasi 2440 µg/ml ekstrak etil asetat sorgum non sosoh. Pelarut etil asetat dapat mengekstrak senyawa alkaloid, aglikon dan glikosida, sterol, terpenoid, dan flavonoid (Houghton & Raman, 1998; Cowan 1999). Penghambatan proliferasi sel kanker HCT 116 oleh ekstrak etanol sorgum > ekstrak etil asetat > ekstrak heksana. Penghambatan tertinggi sebesar 22.3 % pada konsentrasi 5200 µg/ml ekstrak sorgum DS 50%. Penghambatan proliferasi sel kanker A549 oleh ekstrak etanol sorgum > ekstrak etil asetat > ekstrak heksana. Penghambatan tertinggi sebesar 23.7 % pada konsentrasi 4020 µg/ml ekstrak sorgum non sosoh (Gambar 16). Etanol dapat melarutkan komponen polifenol yang telah terbukti bersifat toksik terhadap sel kanker. Kemampuan ekstrak etanol sorgum menghambat sel kanker karena ekstrak ini mengandung senyawa polar, seperti gula, asam amino, dan glikosida fenolik dengan berat molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang, flavonoid aglikon, antosianin, terpenoid, saponin, tannin, flavon, fenon dan polifenol (Houghton dan Raman 1998; Dehkharghanian et al. 2010). Ekstrak heksana kurang menunjukkan efek penghambatan pada sel kanker HeLa. Hal ini diduga karena komponen bioaktif terekstrak dalam kadar yang sangat rendah oleh pelarut heksana.
100 90 % Penghambatan
80 70 60 50
C1
40
C2
30
C3
20
C4
10 0 H0
H5
A0
A5
E0
E5
K+
Perlakuan Ekstrak terhadap Sel Kanker Raji
Gambar 17 Pengaruh ekstrak sorgum terhadap penghambatan sel kanker Raji. (H0 = ekstrak heksana, A0 = ekstrak etil asetat, E0 = ekstrak etanol, konsentrasi C1, C2, C3, C4 ditunjukkan pada tabel 9). Ketiga ekstrak secara nyata menghambat proliferasi sel kanker Raji yang berasal dari kultur cell line lymphoblastoid yang diturunkan dari lymphoma Burkitt (Gambar 17). Penghambatan sel kanker Raji (80,08%) ditemukan pada ekstrak etanol sorgum (2600µg/ml). Ekstrak kasar dari beberapa varietas sorgum dilaporkan menghambat proliferasi sel kanker dengan konsentrasi IC50 59 – 389 µg/ml pada sel kanker kolon HT-29 dan
98 – 604 µg/ml pada sel kanker
esophagus (Awika et al. 2009). Penghambatan pada sel kanker diduga karena adanya flavonoid dan antosianin yang terdapat pada ekstrak sorgum menyebabkan siklus sel arrest (terhenti) sehingga sel tidak dapat berproliferasi. Mekanisme penghambatan sel kanker lambung AGS oleh komponen antosianin (malvidin, sianidin, delfinidin, pelargonidin, peonidin) dilaporkan oleh Shih et al. (2005). Malvidin (0 - 200µM) menunjukkan aktivitas antiproliferasi sel dan menyebabkan siklus sel arrest (terhenti) pada fase G0/G1. Akumulasi malvidin pada fase G1 sel AGS 20% (100µM) dan 30% (200µM). Sel kanker dalam siklus proliferatif merupakan selsel yang sensitif terhadap efek senyawa anti-tumor dan umumnya senyawa sitotoksik bekerja dengan jalan merusak enzim atau substrat yang dipengaruhi oleh sistem enzim. Sebagian besar efek pada enzim atau substrat berhubungan
dengan sintesis DNA. Dengan demikian senyawa bioaktif yang terdapat dalam sorgum diduga menghambat sel yang sedang membelah atau sintesis DNA. Pengujian secara in vitro yang dilaporkan oleh Shih et al. (2007) menunjukkan bahwa 3-deoksiantosianidin yang diisolasi dari sorgum dapat menghambat proliferasi sel kanker leukemia HL60 sebesar 90% dan sel kanker hepatoma HepG2 50%. Sitotoksik 3-deoksiantosianidin terhadap sel kanker lebih tinggi
dari
antosianin
analog
deoksiantosianidin merupakan
3-hidroksilasi.
Komponen
flavonoid
3-
senyawa yang unik dan jarang terdapat pada
tanaman lain. Komponen penyusun 3-deoksiantosianidin adalah luteolinidin (BM 271) dan apigeninidin (BM 255) diduga sebagai komponen yang menyebabkan sitotoksik terhadap sel kanker manusia dibandingkan sianidin dan pelargonidin. Potensi 3-deoksiantosianidin sebagai pewarna alami dilaporkan lebih stabil dan tahan terhadap cahaya, panas, dan perubahan pH dibandingkan antosianin yang umumnya terdapat pada buah dan sayur (Awika et al. 2005). Komponen bioaktif seperti asam fenolat berperan dalam mencegah kanker dan antigenotoksik karena langsung berinteraksi dengan reseptor aril hidrokarbon (Kampa et al. 2003). Senyawa bioaktif yang terdapat pada sorgum diduga berinterkalasi dengan DNA sehingga secara langsung akan mempengaruhi transkripsi dan replikasi. Polifenol dilaporkan
mampu membentuk komplek
tripartit dengan topoisomerase II dan DNA. Topoisomerase II adalah suatu enzim tergantung ATP yang bekerja mengikat DNA dan menyebabkan double-strand break pada ujung 3’fosfat sehingga memungkinkan penukaran strand dan pelurusan DNA superkoil. Pelurusan strand ini diikuti dengan penyambungan strand DNA oleh topoisomerase II. Topoisomerase ini sangat penting fungsinya dalam replikasi dan perbaikan DNA. Pembentukan kompleks tripartit tersebut akan
menghambat
penyambungan
kembali
strand
DNA,
menyebabkan
penghambatan daur sel terhenti di fase G1 dan G2 serta memacu terjadinya apoptosis. Adanya gangguan pada sistem perbaikan DNA double strand akan memicu kematian sel secara apoptosis (Bandele et al. 2008). Adanya korelasi aktivitas antioksidan dan antiproliferasi sel kanker merupakan salah satu mekanisme yang diduga menghambat kanker.
Hal ini
dilaporkan oleh Awika et al. (2009) yang menyatakan bahwa ekstrak sorgum yang
mengandung tanin menghambat proliferasi sel kanker esophagus OE33 dan kolon HT-29 (IC50 38 - 105 µg/ml). Ekstrak sorgum diduga menghambat sel kanker melalui mekanisme apoptosis dilaporkan oleh Mohamed et al. (2009). Apoptosis dicirikan dengan morfologi sel mengerut, terjadinya kondensasi dan fragmentasi inti sel. Kematian sel disebabkan karena perubahan metabolik yang terganggu diikuti dengan pecahnya sel menjadi benda apoptotik. Proantosianin dilaporkan menginduksi apoptosis pada sel lestari SNU-C4 melalui jalur mitokondria dengan meningkatkan ekspresi gen proapoptossis (Bax) dan menurunkan ekspresi gen antiapoptosis (Bcl-2). Weigun et al. (2004) melaporkan bahwa epigeninidin menginduksi apoptosis pada fase G2. Apoptosis yang diinduksi pada sel Hep G2 mungkin dimediasi melalui jalur p53 dan induksi ekspresi p21 berasosiasi dengan sel siklus arrest G2. Mekanisme lain yang diduga adalah ekstrak sorgum mampu menginduksi enzim fase II dan apoptosis. Yang et al. (2009) melaporkan bahwa 3deoksiantosianidin yang terdapat dalam sorgum merah, hitam dan putih mampu menghambat proliferasi sel kanker kolon HT-29 lebih tinggi dari ekstrak pigmen cabe merah. Apigeninidin dan derivat metoksilatnya pada ekstrak sorgum hitam mampu menginduksi enzim fase II NAD(P)H:quinone oxidoreductase (NQO) pada sel hepatoma Hepa1c1c7 tiga kali lebih tinggi selama perlakuan 24 jam.
SIMPULAN
Ekstrak sorgum yang diuji aktivitasnya terhadap sel limfosit menunjukkan bahwa ketiga ekstrak mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit.
Ekstrak
etanol yang diekstraksi dari sorgum utuh menunjukkan aktivitas proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak etil asetat dan heksana. Ekstrak etanol dan etil asetat yang diekstraksi dari sorgum penyosohan 50% (S50) menunjukkan hasil yang signifikan meningkatkan sistem imun tubuh. Peningkatan proliferasi sel limfosit mengindikasikan bahwa sorgum aman untuk dikonsumsi. Ekstrak etil asetat dan etanol memberikan hasil yang efektif dalam menghambat pertumbuhan dan proliferasi sel kanker limfoma Raji 50% dibandingkan dengan sel kanker A549, HCT 116, HeLa. Ekstrak heksana kurang menunjukkan efek penghambatan pada sel kanker HeLa. Hal ini diduga karena komponen bioaktif yang terlarut dalam ekstrak kadarnya sangat rendah oleh pelarut heksana. Aktivitas antiproliferasi sel kanker oleh ekstrak sorgum diduga karena polifenol yang terdapat pada sorgum menyebabkan siklus sel arrest (terhenti) sehingga sel tidak dapat berproliferasi.
DAFTAR TABEL Halaman Perbandingan kandungan nutrisi 100 gram sorgum dan beras.....................................................................................................
10
2
Komposisi makronutrisi, vitamin dan mineral sorgum.......................
11
3
Komposisi fitokimia biji sorgum.........................................................
13
4
Penentuan derajat sosoh biji sorgum...................................................
47
5
Komposisi kimia sorgum.....................................................................
48
6
Sifat fisik dan rendemen ekstrak biji sorgum......................................
51
7
Komponen fitokimia ekstrak biji sorgum............................................
52
8
Kadar total fenol dan aktivitas antioksidan ketiga kelompok ekstrak..................................................................................................
53
9
Konsentrasi ekstrak sorgum dalam kultur………………………......
61
10
Hasil Pengujian BSLT pada ketiga jenis ekstrak.................................
11
Komposisi pakan mencit BALB/c (AIN 1993 yang dimodifikasi) …………………………………………………….......
1
65 82
12
Komposisi ransum standar dan ransum uji mencit………………......
13
Konsumsi ransum dan kenaikan bobot badan pada mencit BALB/c................................................................................................
95
14
Berat relatif organ...............................................................................
96
15
Profil kolon mencit BALB/c dengan pewarnaan HE..........................
104
16
Profil kolon mencit BALB/c dengan antibodi antiCOX-2……….....
107
82
DAFTAR LAMPIRAN 1
Hasil analisa varian (Anova) komposisi kimia biji sorgum ................
127
2
Hasil analisa varian (Anova) kadar serat biji sorgum..........................
131
3
Hasil analisa varian (Anova) kenaikan bobot badan mencit...............
133
4
Hasil analisa varian (Anova) konsumsi ransum mencit......................
134
5
Hasil analisa varian (Anova) skor histopatologi HE biji sorgum...........................................................................................
136
6
Komposisi mineral pada ransum mencit Balb/c ................................
137
7
Rasio konsentrasi ekstrak dan tepung sorgum...................................
8
Komposisi DMEM...............................................................................
138 139
9
Komposisi media RPMI-1640............................................................
140
10
Pembuatan media kultur sel.................................................................
141
11
SOP kultur sel kanker.........................................................................
142
DAFTAR SINGKATAN
AOM
Azoksimetana
DSS
Dekstran sodium sulfat
DNA
Deoxyribo nucleic acid
bk
bobot kering
DPPH
1,1-difenil-2-pikrilhidrasil
DS
Derajat Sosoh
S0
Sorgum utuh (tanpa disosoh)
S50
Sorgum derajat sosoh 50%
S100
Sorgum derajat sosoh 100%
H0
Ekstrak heksana dari tepung sorgum non sosoh
H5
Ekstrak heksana dari tepung sorgum DS 50%
A0
Ekstrak etil asetat dari tepung sorgum non sosoh
A5
Ekstrak etil asetat dari tepung sorgum DS 50%
E0
Ekstrak etanol dari tepung sorgum non sosoh
E5
Ekstrak etanol dari tepung sorgum DS 50%
MTT
3-(4,5-dimethyl-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide
A
kelompok mencit kontrol negatif dengan perlakuan ransum standar dengan sumber karbohidrat maizena
B
kelompok mencit kontrol positif dengan perlakuan ransum standar dan diinduksi karsinogen azoksimetan (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS)
C
kelompok mencit perlakuan dengan sumber karbohidrat sorgum 50% dan maizena 50%, diinduksi karsinogen azoksimetan (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS)
D
kelompok mencit perlakuan dengan sumber karbohidrat sorgum 100% dan diinduksi karsinogen azoksimetan (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS)
HE
Hematoksilin-eosin
IHK
Imunohistokimia
COX
Siklooksigenase
SCFA
Short Chain Fatty Acid
PENDAHULUAN Latar Belakang
Prevalensi penyakit kanker di Indonesia diperkirakan akan meningkat terus seiring dengan meningkatnya perubahan pola konsumsi pangan. Pola makan tradisional yang kaya akan karbohidrat kompleks dan serat pangan sudah ditinggalkan oleh sebagian masyarakat. Sebaliknya pola makan modern yang siap saji cenderung digemari. Makanan dengan kandungan lemak tinggi, daging dan produk-produk daging, garam serta makanan olahan yang mengandung lemak dan gula cenderung dikonsumsi lebih tinggi. Demikian juga kecenderungan meningkatnya konsumsi pangan yang mengandung senyawa mutagen akibat pencemaran kimia dan bahan tambahan pangan. Kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan sel tidak normal, cepat dan tidak terkendali yang diawali oleh mutasi genetika. Globocan (2008) memperkirakan pada tahun 2008 terdapat 12.7 juta kasus kanker dan 7.6 juta kasus berakhir dengan kematian. Prevalensi kanker diperkirakan pada tahun 2020 akan meningkat sekitar 15 juta kasus dengan tingkat mortalitas sekitar 12 juta jiwa. Sekitar 64% dari keseluruhan kasus kematian karena kanker terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kanker payudara merupakan
jenis kanker yang terbanyak ditemukan pada wanita (23%) dan menjadi penyebab utama kematian (14%) dari keseluruhan kasus kanker. Insiden kanker paru-paru tertinggi pada pria (17%) dan menjadi penyebab utama kematian (23%) dari keseluruhan kasus kanker. Kanker kolorektal menempati urutan ketiga yang paling sering didiagnosa pada pria dan urutan kedua pada wanita dengan angka kejadian tertinggi ditemukan di Australia, Eropa, dan Amerika Utara sedangkan yang terendah ditemukan di Afrika (Jemal et al. 2011). Sekitar 90 - 95% penyebab kanker terjadi karena faktor eksternal dan hanya 5 - 10% dari faktor internal (genetik). Sekitar 30 - 35% dari faktor eksternal terkait dengan pola makan yang salah (Anand et al. 2008). Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan mahalnya obat-obatan, maka tindakan pencegahan terhadap penyakit menjadi sangat penting. WCRF/AICR (2007) merekomendasikan bahwa pola konsumsi pangan yang sehat adalah rendah lemak dan kolesterol, banyak mengkonsumsi buah-buahan, sayur-sayuran dan serealia dengan kandungan serat tinggi. Serealia dan produk-produknya merupakan suatu kelompok pangan yang sudah banyak dimanfaatkan sebagai pangan fungsional. Sorgum merupakan salah satu serealia yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat dan serat pangan (Dirjentanpan 2006). Kontribusi sorgum di Indonesia sebagai sumber karbohidrat hingga saat ini masih sangat rendah.
Sorgum kurang populer karena belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah meskipun sudah lama di kenal oleh petani khususnya di Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pengembangannya tidak sebaik padi dan jagung, hal ini dikarenakan masih sedikitnya daerah yang memanfaatkan sorgum sebagai bahan pangan. Sorgum dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat di daerah gunung kidul sebagai pangan pengganti beras pada musim paceklik. Produksi sorgum masih sangat rendah dan belum tersedia di pasar-pasar (Mudjisihono & Suprapto 1987). Sorgum mengandung serat pangan β-glukan 2 - 6% (Laroche & Michaud 2006) dan sejumlah senyawa fitokimia seperti tanin, asam fenolik, antosianin, fitosterol, dan polikosanol (Awika & Rooney 2004). Komponen bioaktif ini menyebabkan sorgum mempunyai beberapa aktivitas biologis seperti aktivitas
antioksidan (Choi et al. 2007), antikarsinogen (Kwak et al. 2004), menurunkan kadar kolesterol dan resiko penyakit kardiovaskular (Ha et al. 1998; Cho et al. 2000). Peningkatan aktivitas antioksidan dan antimikroba ekstrak metanol dari tepung biji sorgum dilaporkan oleh Kill et al. (2009). Penelitian sebelumnya telah menginformasikan bahwa tepung biji sorgum lokal varietas kawali penyosohan 20 detik memberikan hasil berupa produk yang paling baik penerimaanya oleh konsumen serta mempunyai aktivitas antioksidan dan imunomodulator (Yanuar 2009). Tepung sorgum varietas kawali dapat meningkatkan enzim-enzim antioksidan terutama enzim superoksidadismutase (SOD) sebesar 98% pada tikus jantan yang diberi 50% tepung sorgum dan peningkatan 91% pada tikus yang diberi 100% tepung sorgum (Puspawati 2009, Zakaria et al. 2011). Pengujian terhadap sel kanker secara in vitro menunjukkan bahwa 3-deoksiantosianidin (3-DXA) yang diisolasi dari sorgum dapat menghambat proliferasi sel kanker leukemia sebesar 90% dan sel kanker hepatoma 50%. Aglikon 3-DXA, apigeninidin dan luteolinidin sitotoksik terhadap sel kanker dibandingkan dengan analog antosianidin, sianidin dan pelargonidin (Shih et al. 2007). Adanya korelasi aktivitas antioksidan dan antiproliferasi sel kanker esofagus OE33 dan kolon HT29 oleh ekstrak sorgum yang mengandung tanin dilaporkan oleh Awika et al. (2009). Konsumsi sorgum banyak dikaitkan dengan insiden penurunan kanker pada saluran pencernaan terutama kanker esofagus. Epidemiologi kanker esofagus dilaporkan lebih rendah pada daerah yang mengkonsumsi sorgum dibandingkan dengan daerah yang mengkonsumsi tepung gandum dan jagung sebagai makanan pokoknya (Chen et al. 1993; Isaacson et al. 2005). Sorgum lokal varietas Kawali telah diketahui mempunyai aktivitas antioksidan dan meningkatkan proliferasi sel limfosit, namun ekstrak sorgum dengan pelarut berdasarkan tingkat kepolaran belum pernah dikaji aktivitas antikankernya dan kemampuan tepung sorgum dalam menghambat kanker kolon belum diteliti. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian ekstrak sorgum (in vitro) dan tepung sorgum (in vivo) pada mencit BALB/c dalam penghambatan kanker.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Sorgum DS 50% mengandung komposisi kimia, serat pangan, dan komponen fitokimia flavonoid, tanin, steroid. 2. Ekstrak sorgum mampu meningkatkan sel limfosit. 3. Ekstrak sorgum mampu menghambat proliferasi sel kanker secara in vitro. 4. Tepung sorgum lokal yang disosoh sebagian mampu menghambat perkembangan sel kanker kolon pada mencit percobaan yang diinduksi karsinogen.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah meningkatkan peranan sorgum sebagai pangan fungsional pencegah penyakit kanker.
Tujuan Khusus Penelitian ini secara khusus dilakukan untuk: 1. Menganalisis komponen kimia dan fitokimia yang terdapat pada sorgum. 2. Menguji pengaruh ekstrak sorgum dalam meningkatkan proliferasi sel limfosit secara in vitro. 3. Menguji pengaruh ekstrak sorgum dalam menghambat proliferasi sel kanker A549, HeLa, HCT 116, dan Raji. 4. Mengevaluasi aktivitas sorgum secara in vivo pada mencit BALB/c yang diinduksi karsinogen azoksimetana (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS) terhadap penghambatan kanker kolon.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang :
1. Tersedianya informasi tentang komposisi kimia, serat pangan dan fitokimia sorgum yang disosoh 50%. 2. Tersedianya informasi tentang aktivitas ekstrak sorgum dalam meningkatkan sel imun melalui proliferasi sel limfosit dan menghambat proliferasi sel kanker. 3. Tersedianya informasi tentang kemampuan sorgum dalam mencegah kanker kolon pada mencit yang diinduksi azoksimetana (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS). 4. Manfaat jangka panjang: sorgum sebagai pangan fungsional pengganti nasi menunjang diversifikasi pangan dan mencegah kanker.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap penelitian, yaitu tahap karakterisasi ekstrak sorgum berdasarkan tingkat penyosohan, tahap pengujian aktivitas antikanker ekstrak sorgum secara in vitro, dan tahap pengujian tepung sorgum sebagai pangan fungsional dalam menghambat kanker kolon pada mencit yang diinduksi azoksimetana (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS). Rincian bagan alir ruang lingkup penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Tahap I
Biji Sorgum Penyosohan
Sorgum sosoh Penepungan
Tepung Sorgum
Ekstraksi dengan pelarut berdasarkan tingkat kepolaran
Rendemen dan derajat sosoh (DS) Analisis komponen kimia, analisis kadar pati, kadar serat pangan dan pati
Rendemen ekstrak
Ekstrak Sorgum
Identifikasi komponen fitokimia
Total fenol, DPPH
Tahap II Penentuan dosis ekstrak dengan metode BSLT
Larutan Ekstrak Sorgum
Pengujian terhadap sel limfosit splenosit tikus (in vitro)
Pengujian terhadap sel kanker A549, Hela, HCT 116, Raji (in vitro) -
Tahap III
Pengujian terhadap pemberian tepung sorgum pada mencit yang diinduksi AOM dan DSS (in vivo): Evaluasi makroskopis (berat badan, jumlah konsumsi ransum, pengamatan terhadap organ) Evaluasi mikroskopis secara histopatologi dengan pewarnaan HE dan imunohistokimia dengan pewarnaan DAB
Gambar 1 Bagan alir ruang lingkup penelitian.