Draft
Bagaimana SESA Seharusnya Isi
Pengantar...................................................................................................................................................... 3 Latar Belakang............................................................................................................................................... 5 a.
Antara SESA dan PRISAI .................................................................................................................... 5 a.1. SESA................................................................................................................................................ 5 a.2. PRISAI ............................................................................................................................................. 7
b.
Perbedaan antara Safeguards dan Standar ...................................................................................... 8
Proses SESA Saat Ini ...................................................................................................................................... 9 Hasil Diskusi Publik atas SESA .....................................................................................................................13 Bagaimana SESA Seharusnya ......................................................................................................................14 Lampiran 1: Presentasi dalam acara diskusi 13-14 Desember 2012 .......................................................... 15 Lampiran 2: Notulensi Diskusi 14 Desember 2012 .....................................................................................15
Draft
GLOSSARY: Singkatan
Kepanjangan
COP DKN ESMF FCPC FMT FPIC KEMENHUT OMS PADIATAPA PC PRISAI REDD R-PP SATGAS SESA STRANAS UNFCCC UKP4
Conference of Parties Dewan Ketahanan Nasional Environment and Social Management Framework Forest Carbon Partnership Facility Facility Management Team Free, Prior, Informed Consent Kementerian Kehutanan Organisasi Masyarakat Sipil Persetujuan dengan Informasi Awal tanpa Paksaan Participants Committee Prinsip Kriteria, Indikator Safeguards Indonesia Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Readiness Preparation Proposal Satuan Tugas Social and Environmental Strategic Assessment Strategi Nasional Nasional United Nations Framework Convention on Climate Change Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
Draft
Pengantar Kerangka pengaman atau Safeguards merupakan salah satu isu kunci dalam skema REDD+. Menurut keputusan COP UNFCCC ke 16 di Cancun dan COP 17 di Durban, safeguards seharusnya dipromosikan agar REDD+ dibangun di atas partisipasi, menghormati hak masyarakat, mendukung kesetaraan gender, mengubah wajah tata kelola kehutanan dan berbagai aspek sosial lainnya. Safeguards menjadi sentral dalam usulan skema REDD+ dipicu oleh berbagai kekuatiran di tingkat tapak. REDD+ dipandang oleh banyak komunitas adat maupun masyarakat lokal sebagai skema yang bisa merepetisi watak skema serupa di masa lalu yang secara brutal merampas tanah dan penghidupan mereka atas hutan. Kekuatiran ini mempunyai akar yang kuat secara historis. Banyak skema konservasi seperti Taman Nasional dan hutan lindung yang ditetapkan pemerintah secara sepihak dan semena-mena sehingga mengakibatkan tercerabutnya hak masyarakat atas wilayah itu. Padahal secara historis mereka berdiam dan mempunyai klaim yang sangat melekat di wilayah tersebut. Kekuatiran inilah yang coba dijembatani oleh isu safeguards. Dalam hal ini, safeguards bisa dipandang sebagai jalan tengah yang mencoba mencari titik temu antara kelompok yang menolak keras skema REDD+ dengan kelompok lain yang masih percaya sesuatu yang positif bisa datang dari REDD+. Secara historis, safeguards berkembang dalam kebijakan operasional internal dari lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk memandu staf mereka dalam pelaksanaan proyek yang mereka danai. Safeguards muncul setelah tekanan dari berbagai kelompok lingkungan hidup dan isu sosial pada tahun 1980an yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dan lingkungan dari pengaruh buruk kegiatan yang didanai lembaga keruangan multilateral dengan mengacu pada kesepakatan internasional, sekalipun perlindungan tersebut tidak secara eksplisit tersedia dalam hukum nasional negara peminjam.1 Safeguards adalah upaya dini untuk membuat sebuah kebijakan, program maupun proyek tidak membawa bencana bagi lingkungan dan manusia. Dalam kaitannya dengan REDD+, safeguards memastikan bahwa kegiatan REDD+ tidak hanya mengurangi pelepasan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan tetapi pada saat yang sama melindungi individu atau komunitas yang berkaitan dengan proyek REDD+. Dalam perjalanan selanjutnya, safeguards tidak hanya berkembang dalam ruang negosiasi antara para pihak dalam UNFCCC. Berbagai organisasi lain juga mengembangkan program untuk meracik fomat dan isi dan proses safeguards sendiri. Bank Dunia adalah salah satunya. Sebagai pemain global utama dalam isu-isu pembangunan, Bank Dunia mempunyai sumber daya untuk mendorong negara-negara pemilik hutan merespons skema-skema iklim dengan bangunan yang disiapkan oleh Bank Dunia. Salah satu bangunan tersebut adalah safeguards. Di Indonesia dan beberapa negara berhutan lainnya, skema yang dikembangkan Bank Dunia antara lain adalah FCPF (Forest Carbon Partnership Facility). Salah satu pilar FCPF adalah SESA (Social and Environmental Strategic Assessment) yaitu sebuah proses untuk membangun REDD+, termasuk membentuk safeguards. Dewan Kehutanan Nasional (DKN) yang mempunyai karakter multi-pihak diminta sebagai pelaksana proses SESA. Meski demikian, peran DKN ini sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan proses multi-pihak yang sudah berjalan sejak 2010 oleh Bappenas, Kemenhut hingga Satgas REDD+ dan UKP4. 1
http://www.brettonwoodsproject.org/art-565324, diunduh tanggal , 29 November 2010
Draft
Kajian ini berupaya untuk memetakan kembali posisi SESA dalam proses nasional persiapan REDD+ yang sudah berlangsung, terutama pembentukan safeguards nasional yang disebut PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator Safeguards REDD+ Indonesia). Pemetaan ini sangat penting untuk memberi pertimbangan bagi prakarsa SESA agar tidak mengabaikan proses yang sudah berjalan. Tetapi, justru memberikan dukungan terhadap proses tersebut melalui berbagai aktivitas yang memperkaya referensi analisa sosial dan lingkungan sehingga kelak bisa memberikan pertimbangan berarti bagi implementasi PRISAI.
Draft
Latar Belakang a. Antara SESA dan PRISAI a.1. SESA Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yang efektif berlaku pada bulan Juni 2008,mengeluarkan memorandum yang salah satunya mengatakan bahwa semua perangkat safeguards yang relevan akan diberlakukan dalam proses kesiapan (readiness process) REDD, termasuk proses konsultasi dan penilaian dampak untuk “Memastikan agar aktivitas dan strategi tidak akan mengakibatkan dampak buruk bagi sosial dan lingkungan”.2 Memorandum tersebut juga menyebutkan bahwa dalam readiness process tersebut, pemerintah yang mengajukan proposal FCPF harus menyiapkan Kerangka Acuan untuk penilaian dampak sosial dan lingkungan (SEA). Kemudian, Facility Management Team (FMT) mengusulkan bentuk proses SEA yang dimaksud di rapat Participants Committee bulan Juni 2008, dan pada bulan Oktober 2008 mengeluarkan draft panduan SESA. Strategic Environment and Social Assessment(SESA) yang dibentuk oleh FCPF adalah sebuah instrumen untuk memastikan bahwa masalah-masalah sehubungan dengan lingkungan (khususnya hutan) harus diintegrasikan dalam Strategi Nasional REDD, dan kegiatan-kegiatan persiapan REDD dalam FCPF mematuhi aturan Safeguards Bank Dunia. Bali Action Plan memutuskan agar , REDD dijalankan secara bertahap: 1) Tahap persiapan (preparedness), 2) tahap Implementasi dan 3) tahap kinerja . Bank Dunia kemudian menyambut keputusan ini melalui tahapan-tahapan FCPF dan SESA yang dikembangkan di bawah Tahap persiapan REDD. FCPF mendefinisikan SESA sebagai: “A number of analytical and participatory approaches in order to integrate environmental and social considerations into policies, plans and programs and evaluate their interactions with economic and institutional considerations” (Sejumlah pendekatan analisa dan partisipatoris dalam rangka mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dan sosial dalam kebijakan, perencanaan dan program serta mengevaluasi interaksi mereka dengan pertimbangan ekonomi dan institusi.) Menerapkan SESA dalam formulasi Strategi Nasional REDD+ bukan berarti harus melewati prosedur dan persyaratan baru, tapi merupakan lanjutan dari proposal persiapan (R-PP = Readiness Preparation Proposal) yang sudah dibuat sebelumnya. Karena itu, beberapa aspek dalam proses SESA seharusnya sudah dimulai sejak pembuatan R-PP, sebelum disetujui oleh Participants Committee (PC) FCPF. Antara lain misalnya, pengaturan kelembagaan, analisa para pihak dan rencana pelibatan para pihak, analisa awal mengenai resiko yang mungkin akan terjadi, juga gap analysis dalam mengidentifikasi reformasi kebijakan. Jadi, SESA merupakan proses persiapan yang dibangun untuk menyusun safeguards REDD+. Dalam perundingan REDD+ di UNFCCC, safeguards merupakan salah satu elemen yang paling penting. Dari proses SESA ini, nantinya akan menghasilkan disain Environment and Social Management Framework atau ESMF. 2
Lihat FCPF Information Memorandum di link http://www.forestcarbonpartnership.org/fcp/sites/forestcarbonpartnership.org/files/Documents/PDF/FCPF_Info_ Memo_06-13-08.pdf, download, 4 Januari 2013
Draft
Secara garis besar, panduan SESA yang dibuat oleh FCPF menjabarkan prosesnya sebagai berikut:3 a. Mengidentifikasi dan menentukan pri prioritas oritas penyebab deforestasi dan isu-isu isu kunci sehubungan dengan sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan deforestasi, termasuk yang berhubungan dengan Kebijakan Safeguards Bank Dunia. Dalam hal ini termasuk juga isu land tenure, benefit sharing sharing, akses terhadap sumber daya, dan dampak sosial dan lingkungan dari opsi opsi-opsi strategi REDD+. b. Melakukan kerja diagnosa terhadap aspek aspek-aspek aspek legal, kebijakan dan institusional dari kegiatan readiness REDD+ c. Menilai kapasitas dan gap untuk menjawab tantangan isu isu-isu sosial dan lingkungan yang sudah teridentifikasi d. Membuat draft strategi REDD+ dengan memasukkan isu isu-isu diatas e. Membangun kerangka kerja untuk memitigasi dan mengelola resiko dari opsi strategis yang ditawarkan – untuk dimasukkan dalam Environmental and Social Soc Management Framework (ESMF) f. Membangun embangun mekanisme outreach,, komunikasi dan konsultasi dengan pemangkukepentingan terkait untuk tiap tiap-tiap tiap tahap diatas. Konsultasi SESA harus teritegrasi teritegras dengan konsultasi proses persiapan REDD.
3
Dapat dilihat di R-PP PP Template V. 6: (Apr. 2012: ((Template with Guidelines, Country Submission Template
without Guidelines, and Annexes)
Draft
a.2. PRISAI Saat ini, Pemerintah Indonesia melalui UKP4/SATGAS REDD+ sudah menyusun safeguards sebagai inisiatif awal untuk membentuk safeguards nasional REDD+ yang disebut dengan PRISAI (Prinsip Kriteria, Indikator Safeguards Indonesia). PRISAI disusun dengan mempertimbangkan pengalaman berbagai standar yang telah ada, kerangka hukum nasional dan internasional serta melalui proses partisipatif dan konsultatif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (Pemerintah, Bisnis, LSM, Masyarakat, Lembaga Pendanaan, Pengembang). Setidaknya, terdapat 10 Diskusi Terfokus (FGD) dan dua konsultasi publik telah dilakukan sejak awal Januari hingga April 2012 sebagai arena mendiskusikan PRISAI. Sebelum seri diskusi dan konsultasi publik, telah didesain konsep awal PRISAI yang mengacu pada standar yang telah ada maupun berbagai diskusi informal. Desain ini dikerjakan atas dukungan UNREDD+. Ketika SATGAS REDD+ tahap II dibentuk, desain awal ini segera diintegrasikan ke dalam Working group Funding Instrumentdi UKP4 yang diberi mandat mengerjakan safeguards REDD+. PRISAI awalnya mempunyai sembilan prinsip yang mengacu pada standar maupun safeguards yang ada, juga dengan mempertimbangkan hukum nasional dan internasional. Masukan atas PRISAI menghasilkan beberapa prinsip dasar safeguards sosial dan lingkungan: 10 PRISAI Sosial dan Lingkungan 1. Memastikan status hak atas tanah dan wilayah 2. Melengkapi atau konsisten dengan target pengurangan emisi, konvensi dan kesepakatan internasional terkait 3. Memperbaiki tata kelola kehutanan 4. Menghormati dan memberdayakan pengetahuan dan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal 5. Partisipasi para pemangku kepentingan secara penuh dan efektif dan mempertimbangkan keadilan gender 6. Memperkuat konservasi hutan alam, keanekaragaman hayati, jasa ekosistem 7. Aksi untuk menangani resiko-balik (reversals) 8. Aksi untuk mengurangi pengalihan emisi 9. Manfaat REDD dibagi secara adil ke semua pemegang hak dan pemangku kepentingan yang relevan 10. Menjamin Informasi yang transparan, akuntabel dan terlembagakan PRISAI pada dasarnya merupakan alat esensial bagi pelaksanaan REDD+ agar tidak dijalankan dalam konteks seperti biasanya atau harus melampauibusiness as usual (BAU). Karena itu, sebagai bagian dari upaya perubahan yang lebih baik, isi PRISAI tidak stagnan, tapi terus berkembang. Sejauh dimaksudkan untuk mengembangkan perubahan positif pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam, penghargaan atas hak masyarakat dan perbaikan tata kelola, khususnya kehutanan, PRISAI akan selalu siap berubah. Meski demikian untuk menjamin kepastian dalam pelaksanaan aktivitas, siklus perubahan isi PRISAI akan ditentukan dalam kurun waktu tertentu oleh Komite Safeguards setelah mendapat masukan dari berbagai pihak.
Draft
Sebagaimana diutarakan dalam Strategi Nasional REDD+, kerangka pengaman atau safeguards bukan merupakan kebutuhan di tingkat internasional semata, tetapi pertama-tama merupakan kebutuhan yang mendesak pada tingkat nasional maupun sub-nasional. Meski demikian, PRISAI bukanlah satusatunya instrumen mitigasi resiko. Banyak perangkat safeguards lain maupun berbagai upaya di tingkat manajemen proyek dilakukan untuk mencegah kerugian sosial dan lingkungan akibat operasi proyek. Dalam hal ini, PRISAI diperlakukan sebagai kerangka pengaman minimum REDD+. Artinya, PRISAI masih perlu dilengkapi oleh safeguards lainnya. Di samping itu, sebagai instrumen minimum, kualitas safeguards REDD+ di Indonesia seharusnya tidak boleh lebih rendah dari PRISAI. PRISAI dibentuk dengan dua tujuan utama sebagai berikut: 1) Mencegah pelaksanaan REDD+ dari resiko-resiko sosial dan lingkungan yang bisa mencederai semangat REDD+ sebagai mekanisme yang potensial menyelamatkan lingkungan hidup dan manusia. Karena itu, PRISAI merupakan alat screening atau pemeriksaan terhadap usulan proyek maupun program REDD+ dan juga ukuran untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaan suatu proyek maupun program. 2) Mendorong terwujudnya perubahan kebijakan sumber daya alam, terutama hutan dan lahan gambut yang merealisasikan prinsip dan cara kerja tata kelola yang baik, prinsip hak-hak b. Perbedaan antara Safeguards dan Standar Safeguards tidak sama dengan Standard. Jika standar dimaksudkan untuk membuat aturan dan ukuran yang sama pada setiap kegiatan, safeguards bekerja secara kontekstual. Jadi, dalam proses SESA, juga harus dibedakan antara penyusunan standar yang akan diberlakukan, dengan aturan safeguards yang akan diberlakukan dalam proyek REDD. Lebih jelasnya, perbedaan antara keduanya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
Standard
Safeguards
Menjawab persoalan yang majemuk dengan beberapa ukuran yang pasti Mempunyai standar umum Mempunyai indikator sebagai representasi ukuran tertentu Standar dimulai dari penyusunan instrumen
Menjawab persoalan yang majemuk secara kontekstual Mempunyai prinsip umum Indikator dipakai untuk menjawab persoalan yang kompleks Safeguards harus dimulai dari assessment persoalan sosial-lingkungan Safeguards bisa merupakan kelanjutan dari standar tertentu Safeguards dibangun dari premis kemajemukan Safeguards cenderung kualitatif Pemenuhannya akan dinilai oleh pihak yang terkena dampak Safeguards berlaku secara kontekstual untuk proyek/aktivitas Konteks dalam safeguards berkaitan dengan prinsip-prinsip umum
Standar tidak mungkin meneruskan safeguards tertentu Standar dibangun dari premis persamaan Standar cenderung kuantitatif Kepatuhan pada standar akan dinilai oleh asesor independen Standar bisa berlaku untuk program maupun proyek Ukuran dalam standar berkaitan dengan standarstandar umum
Draft
Proses SESA Saat Ini SESA harus dilaksanakan dalam proses perjanjian hibah FCPF. Sekarang ada 36 negara yang sudah menandatangani perjanjian FCPF, antara lain Costa Rica, Mexico, Indonesia, Nepal, Republik Kongo, Liberia, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Thailand. Dalam Laporan Tahunan FCPF tahun 2012 disebutkan bahwa Costa Rica dan Meksiko memberikan pelajaran positif terhadap proses SESA. Menurut laporan tahunan FCPF 2012, ada pelajaran penting dari implementasi proses SESA yang diperoleh dari Costa Rica dan Mexico. Dalam tabel 8 dokumen tersebut dinyatakan bahwa hal krusial kesuksesan penerapan proses SESA adalah pada proses yang partisipatoris dan inklusif melibatkan semua stakeholder. Menemukenali masalah, resiko, serta kesempatan yang ada, harus melibatkan dialog antara NGO, CSO, Masyarakat adat, dan masyarakat lokal. Pelajaran dari Amerika latin ini kemudian diterapkan di Ghana dan Liberia. Kedua negara ini memperoleh bantuan teknis dari Bank Dunia untuk merencanakan dan mengimplementasikan prosesnya. Sebagai bagian dari proses perencanaan, semua pemangkukepentingan diidentifikasi dan dilibatkan, kewajiban institusional diidentifikasi dan dibagi secara jelas. Berikut kutipan dari dokumen tersebut: BOX 8: Pelajaran awal dari proses SESA di Costa Rica dan Mexico • Proses SESA harus dipimpin oleh instansi pemerintah sendiri dengan bantuan dari para Mitra. • Penyebaran informasi yang segera dan sistematis dengan cara yang sesuai dengan budaya adalah kunci keberhasilan. • Identifikasi semua pemangku kepentingan kunci adalah suatu keharusan; Masyarakat adat dan komunitas lokal lainnya adalah pemangku kepentingan utama, tetapi sering tidak memiliki akses seragam terhadap informasi tentang REDD +. • Keterlibatan dan dialog terus menerus dengan pemangku kepentingan utama adalah penting, termasuk dengan mereka yang menentang REDD+. • Pertemuan awal dengan kelompok pemangku kepentingan utama terkait isu-isu penting sangat dianjurkan. • Beradaptasi dengan situasi dinamis adalah penting karena pemangku kepentingan utama serta isu-isu yang diidentifikasi dapat berubah dari waktu ke waktu. Sementara di Indonesia proses SESA masih dalam tahap yang belum jelas. Pada saat yang sama, proses nasional justru telah lebih maju dari apa yang telah direncanakan dalam kerangka acuan SESA. Keterlibatan DKN dalam proses SESA pun belum secara utuh menerjemahkan partisipasi multi-pihak yang efektif sehingga dalam beberapa kesempatan justru mendapat protes keras dari konstituen DKN sendiri.4
4
Lihat surat Pernyataan atas Forum Dewan Kehutanan Nasional untuk FCPF/FIP oleh empat belas organisasi masyarakat sipil untuk keselamatan hutan, 8 Desember 2011
Draft
Proses Nasional REDD+ dan Pembentukan PRISAI
Safeguards dalam STRANAS Safeguards merupakan bagian integral dari STRANAS REDD+. Kehadirannya tak lepas dari intervensi berbagai pihak, terutama berbagai jaringan organisasi masyarakat sipil (OMS). Sejak draft pertama STRANAS disebarluaskan, jejaring masyarakat sipil mengangkat kembali persoalan-persoalan persoalan akut kehutanan Indonesia. ia. Misalnya mendorong terakomodasinya prinsip prinsip-prinsip prinsip hak asasi manusia, 5 penyelesaian konflik ik tenure dan penguatan hak masyarakat. Masukan atas draft kedua makin mempertegas dan memperdalam masukan yang sudah disampaikan sebelumnya. Secara khusus untuk isu safeguards, masukan OMS terhadap draft kedua setidaknya mencakup dua hal hal:
Mendukung indikator dan kriteria perlindungan suatu wilayah dengan konservasi tinggi dan memberi kerangka pengaman ((safeguards)) agar menghindari merosotnya mutu wilayah akibat alokasi peruntukan tertentu. Kriteria perlindungan dapat dilakukan dengan memfasilitasi model pengelolaan hutan masyarakat yang mendukung keberadaan konservasi bernilai tinggi, antara lain agroferstry; Membentuk peraturan yang mewajibkan institusi non non-negara ra yang beroperasi di bidang sumber daya alam untuk membentuk maupun membarui Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengadopsi free and prio rior informed consent dan standar-standar standar Hak Asasi Manusia serta membuka ruang bagi keterlibatan pihak luar dalam menyusun perubahan tersebut, termasuk menyediakan mekanisme penerimaan dan penangangan kompl komplain.6
5
Surat tersebut dikirim pada tanggal 25 Oktober 2010 oleh Perkumpulan HuMa yang ditandatangani oleh delapan organisasi yakni HuMa, LBBT, CAPPA, KpSHK, DtE, BIC, AMAN, YMP 6
Masukan dari 15 Organisasi Masyarakat Sipil terhadap Draft 2 STRATEGI NASIONAL REDD+ REDD+, Jakarta, 6 April 2011
Draft
Masukan-masukan ini pada akhirnya sebagian besar terakomodasi dalam STRANAS versi terakhir yang diserahkan ke Presiden. Dalam versi ini, kerangka pengaman sosial (social safeguards) disebutkansebagai instrumen yang bertujuan untuk memastikan landasan dan pemulihan hak-hak masyarakat dan proses tata kelola secara keseluruhan.7Di samping itu, STRANAS juga mencantumkanfree and prior informed consent(FPIC) atau PADIATAPA sebagai prinsip yang mengawal proses REDD+ agar memastikan keadilan dan akuntabilitas dari pelaksanaan program/proyek/kegiatan REDD+ bagi masyarakat adat/lokal yang kehidupan dan hak-haknya akan terpengaruh.8
STRANAS menyebut beberapa kriteria dan indikator yangsekurang-kurangnya perlu dimuat dalam pengembangan safeguards REDD+, yakni: (1) jenis‐jenis hak mendasar dari masyarakat untuk mendapatkan informasi yang mudah dipahami, berpartisipasi dan hak untuk mengajukan keberatan (sebagai bagian dari prinsip free and prior informed consent) atas keputusan publik yang berkaitan dengan proyek REDD+; (2) jaminan bahwa proyek atau program REDD+ melindungi dan mengakui hak masyarakat adat/lokal atas sumber daya alam yang tidak hanya berbasis pada bukti formal tetapi juga penguasaan dan klaim secara historis; (3) Indikator yang menjamin pengakuan terhadap hak‐hak dasar masyarakat adat dan lokal untuk menyatakan keputusannya atas sebuah kegiatan REDD+ di wilayah mereka; (4) Jenis‐jenis prinsip tata kelola pemerintahan dan tata administrasi yang baik (good governance), mencakup berbagai prinsip yang menjamin transparansi dan akuntabilitaspublik dari pelaksana pengelolaan kehutanan; (5) Indikator yang menjamin kesetaraan gender dan kaum rentan dalam berperan serta dalam pelaksanaan REDD+; (6) Indikator untuk memastikan bahwa sebelum kegiatan REDD+ dilaksanakan, terdapat suatu mekanisme penyelesaian konflik apabila terdapat konflik dan untuk mengatasi apabila terjadi konflik di masa yang akan datang; (7) Kriteria atas segala kemungkinan dampak maupun keuntungan yang akan ditimbulkan dari penerapan REDD+ termasuk jaminan atas penentuan pembagian manfaat yang akan timbul sebagai konsekuensi REDD+; (8) Kriteria jaminan yang memastikan REDD+ tidak bertentangan dengan upaya penyelamatan keanekaragaman hayati dan standar lingkungan hidup yang berkelanjutan; dan (9) Indikator yang menjamin adanya tindakan pemulihan bila terjadi pelanggaran atau pengabaian terhadap hak maupun standar lingkungan hidup yang berkelanjutan. PRISAI9 Merujuk pada STRANAS, PRISAI kemudian dikembangkan dengan dilengkapi kriteria dan indikator.Secara umum, PRISAI mencakup tiga hal. Pertama, performa atau capaian yang menjadi acuan dalam pelaksanaan aktivitas. Capaian ini kerap disebut sebagai capaian non-karbon karena sebagian besar aspek yang akan diatasi adalah isu-isu sosial.Hal ini akan nampak dalam kriteria dan indikator PRISAI. Kedua, proses tinjauan terhadap pelaksanaan PRISAI serta mekanisme yang menjamin kualitas dan akuntabilitas seperti konsultasi dengan komunitas dan telaah dari panel maupun pemangku kepentingan serta mekanisme komplain dan penyelesaian konflik. Ketiga, safeguards bersentuhan dengan tindakan atau langkah-langkah ke dalam seperti pelatihan, pelaporan, dan insentif yang dilakukan untuk memastikan kepatuhan dan akuntabilitas secara institusional.Bagian ini terdeskripsikan dalam tahapan pemeriksaan proposal dan dalam mekanisme pasca pelaksanaan safeguards, termasuk insentif. Saat ini terdapat 10 Prinsip PRISAI, 29 Kriteria dan 102 indikator. PRISAI membangun upaya untuk melakukan proses perubahan yang terus menerus di tingkat tapak. Karena itu, PRISAI membuka diri terhadap perubahan indikator-indikatornya sejauh diperlukan untuk membuat tujuan besar PRISAI tercapai. 7
Strategi Nasional REDD+, Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, Juni 2012, hal. 33 Strategi Nasional REDD+, hal. 31
8
9
Lihat lampiran 3
Draft
Setidaknya terdapat empat tahapan utama dalam pelaksanaan PRISAI, yakni tahap identifikasi atau ata penyusunan konsep, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, dan pelaporan. Tahap paling awal adalah identifikasi masalah sebagai basis dalam penyusunan rancangan pelaksanaan PRISAI. Selanjutnya, dibuat rancangan atau konsep untuk mengatasi masalah tersebut. Desain itu dihubungkan dengan PRISAI. Pada tahap berikutnya, desain inilah yang senantiasa menjadi rujukan Safeguards bisa merujuk pada baik dalam pelaksaan, pemantauan dan evaluasi maupun pada standar tertentu jika dalam laporan pelaksanaan PRISAI. Karena itu, tahapan PRISAI identifikasi masalah ditemukan selanjutnya merupakan pengembangan maupun penguatan atas gap yang bisa diatasi oleh standar desain pelaksanaan PRISAI. Hal yang patut dicatat adalah PRISAI dimaksud. Misalnya, standar bisa menggunakan standar tertentu jika berdasarkan kebutuhan HAM dan tata kelola yang baik lapangan sebuah standar diperlukan atau harus ada untuk mencapai tujuan PRISAI. Uji Coba PRISAI Pada tahap selanjutnya, PRISAI harus memiliki panduan pelaksanaan. Agar panduan tersebut bisa menjawab persoalan lapangan yang kompleks kompleks, maka PRISAI diuji seccara empirik di berbagai kasus dengan melibatkan beberapa pihak dengan beragam karakter program/proyek maupun pendekatan. Saat ini terdapat empat mitra yang diajak untuk menguji PRISAI yakni WARSI yang mengembangkan program hutan desa di Jambi, CSF UNMUL yang bekerja sama dengan TNC untuk melihat kontekstualisasi PRISAI di program Karbon Hutan Berau Kalimantan Ti Timur, mur, WWF dari proyek Kutai Barat di Kalimantan Timur dan RMU/PUTER dari proyek restorasi ekosistem di Katingan dan Kota Waringin Timur.. Mereka mewakili pelaksana dari komunitas, NGOs, swasta maupun kombinasi antara NGOs dan Pemerintah Daerah. Mereka juga m mewakili ewakili karakteristik uji coba REDD+ berdasarkan tipologi kawasan hutan berdasarkan fungsi dan status. Berdasarkan fungsi, keempat pelaksana ini bekerja di kawasan hutan produksi, hutan lindung dan konservasi. Sementara berdasarkan status, mereka bekerja di kawasan hutan maupun Area Penggunaan Lain (APL) dengan menggunakan sejumlah basis kerangka legal, antara lain restorasi ekosistem, hutan kemasyarakatan, hutan desa maupun kerja kolaboratif. Pendekatan berbasis pengalaman lapangan ini diambil mengingat tingginya kompleksitas persoalan yang dihadapi safeguards dan sangat mustahil satu safeguards bisa digunakan serta merta di semua konteks konteks.. Harapannya, kekayaan pengalaman lapangan akan membuat Panduan Pelaksanaan PRISAI lebih mampu menjawab kebutuhan lapangan, lapan dengan tidak mengkompromikan prinsip-prinsip prinsip dasarnya.
Draft
Hasil Diskusi Publik atas SESA Diskusi yang diselenggarakan Dewan Kehutanan Nasional tanggal 13-14 Desember 201210 menghasilkan beberapa masukan atas proses maupun substansi yang akan dikembangkan SESA, sebagai berikut:
Untuk membangun proses yang baik dan benar, DKN harus mengutamakan kualitas dan tidak dikejar oleh waktu. Karena itu, SESA perlu didudukan dalam konteks nasional. Agenda kerja global yang terkait SESA harus disesuaikan dengan perkembangan di tingkat nasional.
SESA ketinggalan cukup jauh dari proses nasional saat ini. Dari segi perencanaan program, SESA seharusnya hadir sebelum STRANAS terbentuk. Saat ini, STRANAS hampir tuntas dan hanya menunggu payung hukum dari Presiden. Sementara SESA belum menemukan wujud dan bentuk yang jelas. Karena itu, perlu dikonstruksikan ulang, dimana seharusnya SESA bisa berkontribusi saat ini agar tidak mengulang atau bahkan menafikan proses lain di tingkat nasional yang sudah berjalan cukup partisipatif. Beberapa usulan yang muncul antara lain: 1. SESA tetap mendalami kajian maupun analisa sosial-politik-ekonomi terkait REDD+ untuk menjadi bacaan bagi rencana implementasi REDD+ dan secara khusus pertimbangan-pertimbangan dini dalam penerapan PRISAI; 2. SESA harus berkontribusi untuk memperkuat PRISAI agar menjadi rujukan secara nasional.
SESA harus mendalami lebih lanjut berbagai aspek sosial-lingkungan di tingkat tapak calon lokasi REDD+ melalui assessment masalah maupun peluang yang di kemudian hari dapat berkontribusi pada efektivitas pelaksanaan PRISAI. Assessment ini bisa juga dilakukan di wilayah-wilayah yang mempunyai karakteristik ekosistem yang berbeda dengan wilayah dimana PRISAI sedang melakukan uji coba saat ini. Pemetaan persoalan yang majemuk akan menjadi basis bagi penerapan PRISAI secara kontekstual.
Perlu mendorong adanya safeguards nasional yang sifatnya mandatory untuk semua pelaksana REDD+. Dalam hal ini, proses SESA seharusnya mendorong agar PRISAI bisa ditempatkan sebagai safeguards yang mandatory.
Dari segi proses, perlu dibangun kesepakatan atas proses agar SESA bisa secara tepat ditempatkan dalam proses pengembangan safeguards (PRISAI) maupun REDD+ saat ini.
Hasil-hasil diskusi terlampir dalam kajian ini.
10
Diskusi ini mengundang berbagai pihak, antara lain masyarakat sipil, pemerintah, akademisi, pengusaha, namun tidak semua undangan hadir karena berbagai alasan.
Draft
Bagaimana SESA Seharusnya Berkaca pada proses nasional REDD+ secara khusus pembentukan PRISAI dan juga hasil diskusi publik tanggal 13-14 Desember 2012 maka beberapa hal yang harus dilakukan SESA ke dalam konteks proses nasional REDD+ adalah sebagai berikut: 1.1.
1.2.
1.3.
SESA harus ditempatkan sebagai salah satu proses untuk menyiapkan instrumen yang nantinya digunakan PRISAI untuk melakukan assessment di tingkat tapak. Saat ini, PRISAI sedang mengembangkan lebih tajam kriteria dan indikator agar bisa aplikatif di lapangan. Namun pada saat yang sama, PRISAI juga membutuhkan berbagai instrumen lain untuk secara lebih dalam dan holistik menganalisa konteks sosial-lingkungan di lapangan. Pendalaman konteks akan membantu desain implementasi PRISAI lebih mampu menjangkau persoalan yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya. SESA seharusnya berkontribusi untuk memperkaya assessment seperti ini. SESA harus memulai proses dari wilayah yang menjadi target lokasi proyek REDD+. Tujuannya adalah agarassessmentyang dilakukan lebih mendekati kompleksitas lapangan.Hasil darilapangan akan memperkaya uji coba PRISAI yang nantinya bisa membantu desain pelaksanaan PRISAI Proses FCPF dan SESA Bank Dunia terlambat. Padahal SESA seharusnya dibuat untuk membantu negara dalam menentukan prioritas-prioritas apa dalam penanganan deforestasi dan degradasi hutan, dan mekanisme pelibatan multi-pihak dalam pembentukan Strategi Nasional REDD+. Meski demikian, SESA masih bisa dilanjutkan untuk bisa mengejar sekaligus mengisi inisiatif yang sudah berjalan secara nasional. Dalam hal ini, SESA tidak boleh menegasikan dan membajak proses yang sudah berjalan. Tetapi membantu melakukan identifikasi atas kekurangan dari proses saat ini. SESA hanya dapat menjadi komplementer dari inisiatif nasional saat ini.
Draft
Lampiran 1: Presentasi dalam acara diskusi 13-14 Desember 2012 Lampiran 2: Notulensi Diskusi 14 Desember 2012