Bagaimana Seharusnya Menyikapi PHK? Oleh: Hendra Sunandar
Akhir-akhir ini, pemberitaan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap buruh di beberapa perusahaan besar di Indonesia menjadi sorotan publik. Media online dan offline menjadi ruang bagi masyarakat untuk meluapkan keberatannya terhadap isu PHK yang membayang-bayangi masyarakat sejak akhir 2015 hingga saat ini. Tak hanya itu, berjumlah 20.000 buruh yang dikoordinir oleh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dikerahkan untuk melakukan demonstrasi di depan Istana Negara pada hari Sabtu lalu (06/02) sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah yang dinilai gagal memberikan kesejahteraan bagi warganya dan dipandang lebih mengutamakan tenaga kerja asing yang berimbas pada terjadinya PHK bagi buruh di Indonesia. Berdasarkan data yang terhimpun oleh Kementerian Tenaga Kerja hingga 25 Agustus 2015 sudah terjadi PHK sebesar 26.506 orang. Dari jumlah itu, Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah PHK terbesar, yakni 12.000 orang. Selanjutnya Banten dengan 5.424 orang, Jawa Timur 3.219 orang, Kalimantan Timur 3.128 orang, dan DKI Jakarta 1.430 orang. Selain itu, yang membuat masyarakat tambah jengkel adalah Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang diterbitkan Kementerian Ketenagakerjaan per Januari 2014 hingga Mei 2015 diberikan kepada 41.000 pekerja asal Tiongkok untuk dapat bekerja di Indonesia. Meskipun begitu, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyebutkan bahwa IMTA yang dikeluarkan hanya bersifat sementara dengan masa kerja hanya enam bulan di setiap konstruksi, bukan produksi. Oleh karenanya pekerja asal Tiongkok tersebut hanya boleh menempati posisi yang sifatnya pakar. Selain itu, jumlah tenaga kerja asal Tiongkok di Indonesia hanya sekitar 70 ribu, dan sangat jauh perbandingannya dengan jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 129 juta jiwa. Sehingga dari segi jumlah, pandangan bahwa pemerintah lebih proaktif dan lebih mengutamakan tenaga kerja asing adalah keliru. Lebih jauh, memasuki tahun 2016 isu mengenai PHK semakin menguat setelah 2 perusahaan besar seperti PT Panasonic Lighting di Cikarang dan PT Toshiba Indonesia di Cikarang akan melakukan PHK terhadap 2.500 pekerja. Menurut kabar yang beredar, sepinya pasar dan terjadinya penurunan daya beli menjadi penyebab utama. Yang menggelitik buat saya, alasan yang berkembang di masyarakat terkait PHK adalah, pertama hal itu terjadi karena dampak pasar bebas dan kedua, modernisasi mesin perusahan yang tidak lagi mengandalkan sumber daya manusia, Apakah keduanya patut dipersalahkan? Tulisan ini akan mengulas kedua mitos tersebut. Namun singkatnya, pandangan itu tidak saja keliru, namun menggemaskan. Lebih tegas, saya meyakini bahwa masyarakat seluruh dunia patut berterimakasih dengan adanya pasar bebas dan kemajuan teknologi karena telah membawa perkembangan peradaban manusia hingga saat ini.
Pasar Bebas Menjauhkan PHK Kini pasar bebas sudah menjadi arus utama dalam perekonomian dunia, tak ada negara yang menolak pasar bebas jika kemunduran ekonomi akan menjadi keniscayaan bagi yang menolaknya. Pasar bebas membuat negara maju dan berkembang menjadi saling membutuhkan sehingga di dalam persaingan pasar keduanya berada dalam kesempatan yang sama. Sikap saling membutuhkan ini dalam studi ekonomi dikenal dengan teori keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh David Ricardo dalam The Principles of Political Economy and Taxation (1817). Dalam konteks ini, maka antar negara bisa saling tukar barang dan jasa sesuai dengan spesialisasi yang dimiliki. Misalnya, ada negara yang kurang mampu menghasilkan produk unggulan tertentu dibandingkan negara lain, maka antar negara tersebut bisa melakukan perdagangan yang saling menguntungan kedua belah pihak, atau singkatnya bertukar spesialisasi agar dapat memenuhi kebutuhannya. Begitu juga dengan bursa tenaga kerja, misalnya ada tenaga kerja yang berasal dari suatu negara yang memiliki spesialisasi yang tidak bisa dihasilkan oleh tenaga kerja di negara lain, maka antar negara bisa saling mengisi terhadap bidang keahlian di suatu negara yang tidak memiliki spesialisasi tertentu. Dengan demikian, pada titik tertentu hal ini akan memperluas jangkauan tenaga kerja yang ruang lingkupnya tidak saja terbatas pada satu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia memiliki potensi yang besar untuk mengirimkan tenaga kerjanya ke negara lain, namun hal itu juga perlu diimbangi dengan kualitas tenaga kerja yang baik pula. Misalnya, dalam beberapa tahun belakangan Indonesia dipandang memiliki tenaga konstruksi yang menunjukkan peforma signifikan. Selain itu, tenaga kerja di bidang pertanian, pertambangan, indstri serta gas masih menjadi empat bidang tenaga kerja yang dominan bagi masyarakat di Indonesia. Potensi itu bisa saja dialihkan untuk dipekerjakan di luar negeri jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi. Dalam pasar bebas, segala keunggulan komparatif itu bisa disimbiosiskan dengan negara lain, seperti negara-negara maju yang dalam hal produksi pertanian tidak memiliki keunggulan bisa menggunakan jasanya dari negara berkembang yang dalam sektor tersebut memiliki keunggulan. Begitu juga dengan negara berkembang yang membutuhkan negara maju untuk alat persenjataan, kelautan, teknologi informasi dan lain-lain. Namun, kita perlu realistis bahwa Human Development Indeks (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2015 masih menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 187 negara dengan nilai indeks 0,684. Peringkat tersebut belum mencapai 50 % terbesar dalam peringkat yang dipublikasikan. Meskipun HDI Indonesia belum mencapai separuh dari Indeks terbesar, Indonesia tetap bisa mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas dengan mendatangkannya dari negara lain yang memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan Indonesia dalam sektor tertentu. Begitu juga dengan Indonesia yang bisa mengirimkan tenaga kerjanya di sektor tertentu yang dirasa kurang dimiliki keunggulannya dibanding negara lain. Ya, dalam pasar bebas maka keunggulan komparatif adalah keniscayaan agar negara bisa saling bersimbiosis mutualisme. Hampir tidak mungkin kita hidup dalam dunia yang mengutamakan persaingan namun tidak diimbangi dengan kualitas tenaga kerja yang baik pula. Singkatnya, semakin anda berkualitas maka semakin anda bisa bertahan dan mencapai keberhasilannya dalam pasar bebas. Begitu pula sebaliknya. Itulah ‘roh’ dari pasar bebas yang membuat adu kualitas menjadi semakin kompetitif serta pertarungan harga yang semakin membuat kuntungan dari sisi konsumen dalam memilih barang dan jasa yang akan digunakan.
Bagaimana dengan PHK? Ya, PHK adalah salah satu konsekuensi yang tidak bisa dielakkan dalam pasar bebas, karena persaingan sehat adalah hal yang utama dalam menentukan siapa yang menang dan kalah dalam pasar. Ya, tentu saja yang menentukan menang atau kalah adalah konsumen. Dalam hal ini, konsumen adalah juri yang menentukan. Lalu bagaimana menyikapi orang-orang yang terkena PHK untuk menyambung hidup? Bagi sebagian orang, hal ini yang menyulitkan untuk bisa diterima. Namun, jika dilihat dari pesepektif kebebasan, maka orang yang terkena PHK bisa mendapatkan kebebasan yang lebih luas untuk lebih menentukan arah kehidupan ke depan, terlepas dari sikap saling ketergantungan antara pekerja dengan perusahaan. Jika mereka memiliki keahlian tertentu, maka mereka bisa bekerja di tempat lain yang mungkin lebih menguntungkan dari perusahaan sebelumnya. Ya, keahlian adalah kunci untuk bisa bertahan. Ini adalah fakta yang tidak bisa ditolak. Di sisi lain, saya punya pandangan bahwa pasar bebas justru menjauhkan orang dari PHK jika seseorang itu memiliki spesialisasi keahlian di bidang tertentu. Seperti yang tertuang dalam teori keunggulan komparatif, sehingga tenaga kerja antar negara bisa saling bertukar untuk disesuaikan dengan kebutuhan. Indonesia yang memiliki tenaga kerja konstruksi yang dominan bisa dikirimkan ke negara yang belum memiliki infrastruktur yang memadai negara lain seperti Kamboja. Begitu juga dengan produksi alat transportasi asal Indonesia yang dirasa masih minim, meskipun begitu Indonesia masih tetap bisa menikmati alat transportasi buatan Jepang dan Cina. Tantangan datang dari individu-individu yang tidak memiliki keahlian spesifik inilah yang perlu menjadi perhatian pemerintah untuk mendorong mereka untuk terus meningkatkan kualitas diri untuk bersaing dengan tenaga asing. Itu adalah pilihan yang tidak bisa ditolak karena pasar bebas selalu bersikap adil untuk menempatkan orang berdasarkan keahlian. Indonesia yang memiliki penduduk terbesar keempat di dunia memiliki potensi untuk mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri jika kesempatan kerja di dalam negeri sudah terpenuhi. Ini adalah kesempatan untuk menambah devisa negara. Bagi mereka yang memiliki pandangan negatif akan selalu menilai PHK sebagai hal yang menjengkelkan. Bagi saya itu adalah dampak dari dependensi antara pekerja dengan perusahaan. Jika perusahaan itu mati, maka pekerjanya juga akan mati. Dengan demikian, seseorang yang telah dependen terhadap perusahaan telah menghapus hak dan kebebasannya untuk hidup merdeka. Sikap dependensi itu pula yang membuat ekspresi kemarahan tidak bisa ditolak ketika terjadi PHK. Saya selalu berpandangan positif bahwa kesempatan akan selalu ada bagi pekerja yang memiliki spesialisasi untuk bisa mengabdikan dirinya ditempat manapun. Oleh karenanya, tantangan yang ada saat ini adalah bagaimana kita bisa meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia agar bisa bertahan dalam pasar bebas. Jika spesialisasi itu bisa dibangun, maka kesempatan untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih tinggi sangat mungkin terjadi. Tindakan yang mengutuk pasar bebas sebagai biang keladi dari PHK adalah keliru dan menyesatkan. Selain itu, yang patut mendapatkan perhatian terkait masalah PHK dan lesunya industri otomotif adalah menurunnya daya beli masyarakat akibat kenaikan berbagai harga, belum lagi melonjaknya pajak terhadap industri otomotif. PT Mabua Harley Davidson adalah salah satu perusahaan yang dikabarkan akan menutup usahanya di Indonesia akibat pajak yang tinggi. Hal itu terlansir pada 4 Februari 2016 dalam surat yang ditandatangani oleh Direktur Mabua Harlet Davidson Indonesia, Djonnie Rahmat.
“Selama beberapa tahun terakhir, iklim usaha di sektor otomotif mengalami kendala yang antara lain, pelemahan mata uang US$ yang dimulai sejak tahun 2013 dan berlanjut sampai sekarang yang mencapai kurang lebih 40 persen,” ujar Djonnie dalam surat internal di perusahaannya. Pajak yang tinggi adalah faktor utama yang menjadi keluhan. Sebagaimana diketahui, kebijakan Indonesia mengenai bea masuk dan pajak untuk impor motor mencapai 300%. Hal itu berdasarkan pada empat aturan yang menjadi beban, yakni: 1. Peraturan Menteri Keuangan No. 175/PMK.011/2013 tentang Kenaikan Tarif PPh Pasal 22 terkait pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen. 2. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2014 tentang kenaikan Pajak Penjualan Barang Mewah yang memberlakukan tarif dari 75 persen menjadi 125 persen. 3. Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2015 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah untuk motor besar dengan kapasitas mesin di atas 500 cc dari 0 persen menjadi 5 persen. 4. Peraturan Menteri Keuangan No. 132/PMK.010/2015 tentang Kenaikan Tarif Bea Masuk Motor Besar dari semula 30 persen menjadi 40 persen. Bagi Direktur perusahaan yang sudah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1997 itu, aturan-aturan yang ada membuat perusahannya gulung tikar. “Faktor itu mengakibatkan kelesuan pasar dan turunnya minat beli,” papar Djonnie. Selain itu yang perlu mendapatkan sorotan adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Saat ini PPnBM untuk kendaraan sedan kecil mencapai 30 persen, sementara mobil penumpang 4x2 seperti multi purpose vehicle (MPV) hanya terkena PPnBM sebesar 10 persen. Dengan demikian, pajak yang tinggi ini membuat mobil menjadi mahal dan sulit terjual. Pada akhirnya, hal ini menghambat perputaran aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pajak tinggi yang harus ditanggung konsumen menjadi faktor mengapa daya beli konsumen menurun terlepas dari strategi pemasaran yang dilakukan. Dengan demikian, industri otomotif menjadi lesu, sehingga mau tidak mau harus melakukan PHK. Untuk itu, pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan terkait pajak yang dibebankan kepada kendaraan maupun kebijakan ekonomi terkait lainnya, sehingga semaksimal mungkin pemerintah bisa menghasilkan kebijakan yang ramah terhadap pasar dan tidak merugikan konsumen dan produsen. Di sisi lain, terkait dengan hengkangnya beberapa perusahaan yang dimungkinkan terjadi dalam pasar bebas adalah hal yang tidak bisa ditolak mengingat rasionalitas perusahaan untuk melakukan produksi secara efisien dan mendapatkan keuntungan yang optimal. Hal ini juga merupakan konsekuensi dari kebijakan yang pemerintah yang tidak ramah terhadap pasar. Di sisi lain, para pelaku ekonomi termasuk perusahaan bebas menentukan strategi untuk menjalankan aktivitasnya dengan efisien dan menguntungkan. Sekali lagi, kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak ramah terhadap pasar juga menjadi faktor yang membuat kerugian tersendiri bagi pekerja-pekerja Indonesia.
Modernisasi Teknologi sebagai Efisiensi SDM
Isu lain yang tidak bisa diabaikan adalah perkembangan teknologi dipandang menjadi faktor determinan yang menyebabkan PHK. Bahkan, Kompas edisi 4 Februari 2016 dalam publikasinya yang berjudul “Perkembangan Teknologi Picu PHK” menyebutkan perusahaan seperti Panasonic dan Toshiba melakukan restrukturisasi alat teknologi guna mencapai efisiensi produksi. Sebagai konsekuensinya sejumlah karyawan harus PHK. Ini pula yang menyebabkan perkembangan teknologi menjadi bully bagi orang-orang yang terkena dampak PHK. Melihat fenomena ini, saya langsung teringat novel yang ditulis oleh Ken Schoolland tentang kisah Jonathan Gullible yang merasa prihatin melihat seorang perempuan bernama Drawbaugh yang disiksa oleh buruh penebang pohon karena dirinya telah menebang pohon dengan teknologi mesin yang bisa memotong dengan waktu cepat. Hal itu dinilai telah mengancam pekerjaan buruh penebang pohon yang dalam kerjanya menggunakan gergaji dan membutuhkan banyak tenaga dan waktu lama untuk menyelesaikannya. Berbeda dengan Drawbaugh yang bisa menyelesaikannya seorang diri dan waktu yang cepat. Oleh karenanya, perempuan itu disiksa karena kreativitasnya. Sungguh memalukan! Berhubungan dengan cerita di atas, saya pun menyadari bahwa masyarakat kini masih menganggap kemajuan teknologi sebagai biang dari kemiskinan. Hal itu disebabkan teknologi telah menghilangkan pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh individu secara manual, seperti yang teruang dalam kisah buruh penebang pohon. Namun, pandangan ini pada dasarnya telah mengambaikan hal yang tak terlihat atau pekerjaan baru yang mungkin dihasilkan dari temuan baru tersebut. Misalnya saat sudah ada alat teknologi untuk memotong pohon denggan cepat, maka orang yang sebelumnya bekerja sebagai penebang pohon dengan cara tradisional akan kehilangan pekerjaannya. Tetapi kehilangan pekerjaannya itu bisa digantikan dengan pekerjaan baru yang mungkin terjadi, seperti pekerjaan mengolah kayu yang sebelumnya dipotong dengan mesin untuk dijadikan pahatan atau ukiran sehingga membuat nilai jual kayu menjadi lebih tinggi. Dalam hal ini, kebebasan berinovasi yang telah menghasilkan alat teknologi pemotong pohon bisa mendorong efisiensi sumber daya manusia dan menciptakan lapangan kerja baru yang kemudian diikuti oleh percepatan pertumbuhan. Saya sangat yakin, tanpa adanya kebebasan berinovasi, maka kemajuan tidak akan ada. Kemajuan itu tertuang dalam keberadaan teknologi yang bisa mengerjakan tugasnya dengan lebih cepat, menghemat ongkos, dan jumlah tenaga kerja, sehingga bisa berdampak pada harga barang yang lebih murah. Dalam hal ini, konsumen adalah pihak yang diuntungkan karena bisa membeli barang lebih banyak dari sebelumnya. Selain itu, perusahaan yang menggunakan teknologi tersebut dapat menambah penghasilan yang lebih besar dan daya beli barang yang lebih tinggi. Dengan sendirinya, hal ini akan membuat roda perekonomian berputar lebih cepat. Saya menyadari bahwa penggunaan teknologi akan berdampak pada pengangguran yang terjadi secara kasat mata. Seperti yang tertuang dalam kisah Drawbaugh yang menggunakan alat teknologi untuk menebang pohon dan menyebabkan puluhan penebang pohon tradisional kehilangan pekerjaannya, karena sudah ada alat yang mampu menyelesaikan pekerjaan itu dengan waktu singkat. Namun, hal itu hanya merupakan dampak sementara, karena perkembangan teknologi akan berdampak pada kesempatan kerja yang lebih luas dan mendorong bakat bagi pekerjanya karena akan lebih mengerjakan hal-hal yang lebih produktif. Misalnya dengan adanya alat teknologi penebang pohon, orang yang sebelumnya bekerja sebagai penebang pohon bisa mengalihkan pekerjaannya menjadi tenaga pemahat kayu sehingga
membuat hasil kayu yang ditebang dengan alat tersebut bisa meningkatkan harga jual. Dengan demikian, hal ini akan berdampak positif bagi roda perekonomian. Dimanapun, akan selalu ada pihak yang terganggu dengan adanya perkembangan teknologi seperti yang terjadi dalam aksi demonstrasi menolak PHK yang dikoordinir FSPMI dan KSPI pada 6 Februari lalu di Istana Negara. Dalam hal ini, saya sepakat dengan Ken Schoolland, bahwa mereka yang terganggu dengan perkembangan teknologi akan berupaya mendorong kepada penguasa untuk menghentikan proses produksi dan menuntut hukum terhadap mereka yang menginisiasi dan menggunakan kemajuan teknologi demi kepentingan pribadinya. Dalam hal ini, kepentingan pribadi menyangkut upaya untuk menghambat kreativitas orang dalam menghadapi persaingan. Seperti yang terjadi dalam kisah Drawbaugh, dimana dirinya mengalami siksaan oleh para buruh penebang pohon karena dianggap telah menghilangkan pekerjaan penebang pohon yang dilakukan dengan cara tradisional. Penyiksaan itu adalah upaya untuk menghalangi kemajuan demi kepentingan pribadi penebang pohon, yakni menyelamatkan pekerjaannya agar bisa bertahan hidup. Di akhir tulisan ini, saya kira tidak selayaknya kita mempersoalkan lagi pasar bebas dan perkembangan teknologi sebagai biang dari PHK. Keduanya telah berkontribusi besar bagi kemajuan peradaban manusia hingga saat ini. Dampak dari pasar bebas dan teknologi seharusnya menjadi motivasi para pelaku pasar untuk memperbaiki kapasitas dan kualitas dalam berkompetisi dan bertahan dalam pasar. Saya juga yakin kemajuan peradaban tidak akan berhenti sampai di sini, tetapi akan terus maju hingga batas yang tidak bisa kita prediksi. Selain itu, kita perlu meningkatkan kualitas tenaga kerja agar bisa bertahan dalam persaingan pasar ketimbang melakukan protes terhadap penguasa maupun pengusaha dan melupakan kemajuan teknologi yang berdampak positif bagi masyarakat banyak. Inisiatif untuk meningkatkan kualitas kerja juga perlu digalakkan agar menjadi pekerja yang mandiri dan tidak ketergantungan.
Sikap Kita? Sebagaimana dipaparkan di atas, sikap untuk terus meningkatkan kualitas tenaga kerja adalah hal yang tidak bisa diabaikan dalam pasar bebas. Meskipun begitu, kepedulian tentang mekanisme PHK juga perlu diperhatikan, misalnya dengan mempertimbangkan masa kerja, kontribusi dan keterampilan yang dimiliki. Kepedulian terhadap tenaga kerja juga perlu digalakkan, di samping mendorong upaya untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja. Namun, jangan sampai hal ini mengabaikan aspek kompetisi dengan meminta negara mengeluarkan kebijakan populis dengan menurunkan harga BBM yang ditanggung subsisi atau meningkatkan pajak terhadap orang-orang yang memiliki penghasilan tinggi, dan lain-lain. Aspek-aspek penting, seperti kemampuan bahasa dan akses informasi juga perlu dipacu agar tenaga kerja bisa lebih optimal dalam menunjukkan kreativitasnya. Hal ini penting karena dalam mekanisme pasar bebas, keseimbangan informasi dan sumber daya yang memadai, serta lingkungan yang kondusif merupakan hal yang penting untuk meningkatkan produktivitas dan kreativitas. Jangan sampai, individu-individu potensial dibatasi ruang geraknya karena ketidaktahuan informasi terkait kesempatan kerja. Hal ini yang perlu lebih digalakkan pemerintah karena informasi terkait kesempatan kerja juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas pekerja. Kegiatan-kegiatan
seperti pameran bursa kerja perlu dijadikan agenda rutin Kementerian Ketenagakerjaan untuk menjaring pekerja yang potensial. Jika informasi yang diperoleh masyarakat dapat berimbang, maka individu potensial juga bisa memiliki kesempatan untuk berpindah sektor atau menjadi tenaga kerja asing yang memiliki iklim perekonomian yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraannya masing-masing.
Hendra Sunandar adalah alumni Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyelesaikan jenjang Strata 1 pada bulan Agustus 2015 dengan judul skripsi “Analisis Sistem Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Studi atas Divided Government dalam Relasi Eksekutif dan Legislatif Pemerintahan Jokowi-JK.” Hendra dapat dihubungi di
[email protected] atau Twitter @hendra_lfc