Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD 1945? Almizan Ulfa, Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI
Pokok Permasalahan Banyak yang berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu mengatur tata kelola sumber daya alam dan sektor-sektor ekonomi Indonesia yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pandangan tersebut salah. Pasal 33 UUD 1945 tidak mengatur apa-apa. Frasa “dikuasai oleh negara” pasal 33 tersebut dilaksanakan semaunya oleh rezim (ruling parties) yang sedang berkuasa dan/atau iklim politik dan ekonomi ketika itu, atau, oleh UU pelaksananya. Selain itu pelaksanaan frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” tidak didukung oleh bukti yang kuat dalam berbagai tafsir dan/atau perubahan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” termaksud. Hal ini berbeda dengan banyak pasal UUD45 yang lain yang tidak mengandung multi tafsir. Misalnya, Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Pasal 7, yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Dan, Pasal 22E angka (3), berbunyi: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.” Selanjutnya dapat kita lihat bahwa di satu UU tentang bidang ekonomi (cabang produksi) tertentu, itu diinterpretasikan sebagai pemberian hak eksklusif monopoli pada perusahan Pasal 33 UUD 1945 sisi lain, DPR RI belum juga negara/badan usaha milik negara memilik kesatuan Box:usaha 1 (PN/BUMN). Tetapi, dalam UU penggantinya “(1) Perekonomian disusun Text sebagai bersama berdasar atas azas kekeluargaan; hak eksklusif monopoli BUMN dicabut dan (2) Cabang cabang produksi yang penting bagi BUMN diperlakukan relatif setara dengan Negara dan yang menguasai hajat hidup orang badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap banyak dikuasai oleh Negara; swasta lainnya termasuk yang dimiliki oleh (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung asing. Kemudian berdasarkan Putusan didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan Mahkamah Konstitusi Hak Eksklusif BUMN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; tersebut dikembalikan lagi tetapi tidak/belum (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar dilaksanakan oleh Pemerintah hingga saat ini. atas demokrasi ekonomi dengan prinsip Lebih jauh lagi, di banyak UU pelaksana yang kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, lain dan untuk bidang ekonomi (cabang berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan produksi) yang lain juga tentunya, peran menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan BUMN bukan saja ditetapkan relatif setara ekonomi nasional; dan 1 dengan perusahaan swasta tetapi juga (5) ; Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan terpaksa hanya sebagai pemain minoritas. pasal ini diatur dalam undang-undang Hasan (2013) mengatakan bahwa Perubahan Keempat UUD 1945 Bung Hatta, proklamator Indonesia, sendiri sebetulnya tidak mengharuskan pemerintah Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
untuk menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer dalam mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Dikatakannya lebih lanjut bahwa yang terpenting adalah negara “tetap menguasai dan mengatur”. Selanjutnya, disampaikan sebagian kutipan dari pemikiran Bung Hatta tersebut, yaitu:
“Dikuasai negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, Hak Eksklusif Monopoli usahawan atau ondernemer. Lebih tepat Pertamina dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan Terlihat sekali UU Pertambangan tahun 1960 jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula memberikan kewenangan yang sangat luas ‘penghisapan’ orang yang lemah oleh orang lain kepada perusahaan negara (PT Pertamina) yang bermodal…..”1 untuk mengelola sektor minyak dan gas bumi Indonesia. Kewenangan tersebut mencakup pengelolaan baik sektor hilir maupun sektor hulu Migas, membuat deals (menandatangani Sektor Pertambangan Minyak dan Gas kontrak) dengan perusahaan MIgas swasta, Bumi serta yang sangat strategis sekali adalah kewenangan untuk menciptakan kebijakan Mencla menclenya dan tidak konsistenya (policy/bleeid) nasional di bidang minyak dan interpretasi, atau, pelaksanaan frasa-frasa gas bumi Indonesia. termaksud sangat mencolok di cabang produksi minyak dan gas bumi. Di era awal kemerdekaan ketika mulai diberlakukannya UUD 1945 hingga terbitnya UU Pertambangan tahun 1960, frasa “dikuasai oleh negara” dilaksanakan dengan pemberian konsesi (perizinan) kepada perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan asing seperti Royal Dutch/Shell, Caltex, dan Stanvac masih beroperasi dengan pola konsesi, yang sebetulnya merupakan kelanjutan dari warisan kolonial Belanda. Publik belum sempat mengekspus isu Pasal 33 UUD 1945 di masa ini, yang kelihatannya disebabkan oleh buruknya kondisi sosial ekonomi dan politik. Masifnya berbagai gerakan separatist, langkahnya berbagai komoditas pokok termasuk obat-obatan dan sembako, dan sangat rapuhnya pemerintahan. Pembubaran dan pembentukan kabinet pemerintahan silih berganti dalam waktu yang sangat pendek dan banyak kabinet itu yang hanya berumur dalam beberapa bulan saja. Selain itu, UUD Indonesia mengalami perubahan beberapa kali hingga Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Seiring dengan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 yang menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945, UU Pertambangan tahun 1960 disyahkan. UU ini menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 sebagai pemberian hak pengelolaan pertambangan (kuasa pertambangan) minyak dan gas bumi hanya kepada perusahaan negara. Perusahaan swasta utamanya swasta asing hanya diizinkan beroperasi sebagai kontraktor perusahaan negara. Ini dituangkan secara eksplisit dalam dua pasal dan penjelasan UU Pertambangan 1960 (Perpu No. 44/1960), sebagai berikut: Pasal 1 huruf h berbunyi:
1
Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979, hlm. 201 – 204, dalam Hasan (2013)
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
“Kuasa pertambangan: wewenang yang diberikan kepada perusahaan negara untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.” Pasal 3 berbunyi: “(1) ……pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara.” (2) Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata.” Selanjutnya, penjelasan pada angka 10 alinea terakhir Perpu No.44/1960 berbunyi: “……perusahaan minyak asing hanya dapat mempunyai status kontraktor saja berdasarkan suatu atau beberapa “perjanjian karya” dengan Perusahaan Negara yang bersangkutan.” Implikasi dari tafsir frasa “dikuasai oleh negara” pada UU Pertambangan tahun 1960 (Perpu No. 44/1960) tersebut adalah tidak berlaku laginya hak konsesi pertambangan perusahaan swasta, utamanya hak konsesi tiga perusahaan asing terbesar, yaitu, Shell, Stanvac, dan Caltex. Negosiasi yang panjang dan berlarut-larut antara ketiga perusahaan tersebut dengan Indonesia yang difasilitasi oleh Amerika Serikat mencapai kesepakatan di tahun 1963. Dalam kesepakatan ini dinyatakan bahwa tiga perusahaan asing tersebut masing-masing diperlakukan sebagai konktraktor perusahaan minyak nasional yaitu Permigan, Permina, dan Pertamin, yang kewajiban masing-masing mencakup 60% dari laba masing-masing kontraktor tersebut diserahkan kepada Indonesia. Dengan kata lain, pola kerjasama dengan para kontraktor tersebut adalah KKS Bagi Laba. Selain itu, disepakati juga bahwa manajemen dari masing-masing perusahaan kontraktor tersebut sepenuhnya ada ditangan masing-masing kontraktor tersebut.2 Pengaturan-pengaturan yang demikian, terkait erat dengan jasa-jasa pejuang kemerdekaan yang mengambil alih dan/atau menyita berbagai ladang dan kilang Migas yang ketika itu ditinggalkan oleh Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua. Sebelumnya, ladang dan kilang tersebut dimiliki oleh perusahaanperusahaan asing terutama perusahaan Balanda. Gale (2006), menulis: “With the end of the war in ……….country's anticolonial independence fighters,...…quickly seized on what remaining oil fields and installations they could secure from the retreating Japanese. ……... At the same time, independence fighters in south Sumatra retained control of regional oil facilities and set up their own company, Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Elsewhere in Java, another oil company, Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMN), held jurisdiction.” Pengekspusan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka adalah sangat penting di era ini. Hembusan angin nasionalisasi perusahaan asing sangat populer yang merupakan bagian gerakan penghapusan banyak atribut “warisan penjajah Belanda”. Persepsi publik yang dihembuskan adalah konstruksi (pola) konsesi itu hanya menguntungkan penjajah yaitu Pemerintah Hindia Belanda. Walaupun demikian, tidak begitu jelas apakah dengan menerapkan sistem kontrak ini akan menghasilkan “sebesarbesarnya kemakmuran bagi segenap prakyat dan tumpah darah Indonesa”.
2
Encyclopedia.com. 2004. Pertamina: International Directory of Company Histories. 2004. Diakses 27 April 2016
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Di tahun 1966, Direktur Utama PN Pertamina pada waktu itu, Ibnu Sutowo, mengadopsi model kontrak baru tanpa perlu melanggar interpretasi frasa “dikuasai oleh negara.” Model kontrak baru tersebut adalah model Kontrak Production Sharing (PSC) Bagi Hasil, atau KKS Bagi Hasil. Berbeda dengan model kontrak terdahulu yang membagi laba, disini yang dibagi adalah hasil produksi. Misalnya, untuk minyak bumi Pemerintah dan kontraktor berbagi volume lifting (natura dan bukan uang yang dibagi). Selain itu, kontraktor juga masih memiliki kewajiban-kewajiban untuk membayar beberapa jenis iuran dan perpajakan. PSC pertama PN Pertamina adalah PSC dengan Independent Indonesian American Petroleum Company (IIAPCO), yang ditandatangani oleh Dirut PN Pertamina, Ibnu Sutowo. di tahun 1966.3 Model IIAPCO ini kemudian dituangkan dalam UU PN Pertamina tahun 1971. Kembali lagi, pertimbangan frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” terabaikan disini. Tidak jelas dan tidak ada fakta yang dapat diakses oleh publik yang memperlihatkan konstruksi KKS Bagi Hasil itu lebih superiror dibandingkan dengan KKS Bagi Laba yang diterapkan sebelumnya. Tidak ada referensi yang terurai dengan baik dan shahih yang mengatakan bahwa ada pertimbangan “kemakmuran” dalam melakukan perubahan dari konstruksi “Bagi Laba” menjadi konstruksi “Bagi Hasil”. Yang jelas, terlepas dari itu, PN Pertamina mendapat fee dari pengelolaan KKS bagi hasil tersebut. Nilainya adalah 5% dari hasil penjualan Migas bagian pemerintah dalam KKS tersebut. Nilai fee terkini hingga tahun 2004 dan berpola hak retensi yaitu dipotong langsung dari hasil penjualan termaksud, berkisar antara 2 s/d 5 triliun rupiah pertahun. (Mahkamah Konstitusi (2004)) Lebih jauh lagi, tidak jelas apakah hasil keseluruhan dari perubahan pola tersebut lebih menguntungkan Indonesia. Maksudnya, tidak jelas apakah nilai uang secara keseluruhan yang diterima Indonesia lebih besar dengan Pola Bagi Hasil dibandingkan dengan Pola Bagi Laba, terlepas dari pola pembagian antara Pemerintah dengan PN Pertamina. Lebih tidak jelas lagi perbedaan dalam aspek makroekonomi. Selain itu,juga, tidak jelas ada tidaknya klausal cost recovery dalam pola bagi hasil ketika itu. Setelah tergulingnnya rezim Soekarno dan berkuasanya rezim Orde Baru Soeharto di tahun 1965, kesinambungan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” seperti itu dipertahankan. Tafsir tersebut lebih diperkuat lagi dengan disyahkannya UU PN Pertamina di tahun 1971, yang memberikan hak eksklusif monopoli kepada PN Pertamina untuk mengelola sektor Migas Indonesia. Dengan kata lain, sejak berlakunya UU Pertamina ini frasa “dikuasai oleh negara” ditafsirkan sebagai pemberian hak eksklusif monopoli kepada PT (Persero) Pertamina untuk mengelola sektor minyak dan gas bumi Indonesia, dari sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) hingga ke sektor hilir (distribusi dan penjualan BBM/gas). Ini dituangkan dalam Pasal 3 dan Pasal 2 seperti berikut ini. Pasal 3 ayat (3) UU PN Pertamina 1971 berbunyi: “Definisi Perusahaan Negara yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Pasal 1 ...............harus dibaca Perusahaan dalam pengertian Undang-undang ini.” Perusahaan yang dimaksud tersebut adalah tidak lain dari PN Pertamina dan ini dijelaskan oleh Pasal 2 ayat (1) UU PN Pertamina 1971 tersebut, yang menyatakan:
3
Seda (2005) dalam Resosudarmo, Budy P. eds. (2005)
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
“…disingkat Pertamina, selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Perusahaan, …..” Mencla mencle interpretasi/pelaksanaan frasa “dikuasai oleh negara” terus berlanjut seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto dan mulainya Era Reformasi di tahun 1997/1998. Di Era ini pada mulanya, tafsir frasa “dikuasai oleh negara,” yang dituangkan dalam UU MIgas 2001, adalah identik dengan penghapusan hak eksklusif Text Box: 3 : Fitur PSC & Impor LNG Salah satu monopoli pengelolaan Migas PT Pertamina. fitur unggulan PSC/KKS berpola bagi hasil yang sering Selanjutnya, wewenang dan tanggungjawab pengelolaan dialihkan dari PT Pertamina ke BP didengungkan sebagai bentuk nyata dari kedaulatan Migas untuk sektor hulu dan BPH Migas untuk ekonomi serta sebagai pelaksanaan langsung dari sektor hilir4 Migas, yang keduanya adalah frasa “dikuasai oleh negara” adalah hasil tambang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan bukan termaksud tetap menjadi milik negara hingga ke titik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT penyerahan. Walaupun demikian, tidak jelas apa Pertamina dengan demikian diperlakukan pentingnya disini utamanya jika dikaitkan harga dan setara dengan badan usaha swasta dan bentuk kontrak ekspor. Untuk LNG, misalnya, para usaha tetap. Perbandingan wewenang dan kontraktor tersebut memiliki kewajiban kontrak tanggungjawab antara BP MIgas, BPH MIgas, ekspor jangka panjang dengan pembeli di luar negeri dan PT Pertamina, disajikan dalam Tabel 1 hingga tahun 2022. Dengan demikian, walaupun dbawah ini. dalam aspek peraturan perundang-undangan produksi itu masih dimiliki oleh Indonesia, tidak demikian halnya dengan apa yang tercantum dalam KKS. Lebih jauh lagi, PT Pertamina akan mengimpor LNG dari USA sebanyak 0,76 juta ton/tahun mulai tahun 2019 berdasarkan perjanjian kontrak 20 tahun. Sebelumnya, PT pertamina sudah menandatangani kontrak serupa sebanyak 0,8 juta ton LNG per tahun yang akan mulai direalisasikan di tahun 2018. Terkait dengan harga, tidak ada artinya frasa “produksi tambang itu tetap dimiliki negara hingga ke titik penyerahan” jika harga jualnya untuk pasokan dalam negeri ditetapkan oleh para kontraktor tersebut dan/atau terikat kuat dengan harga Migas di pasar dunia.
4
BP Migas adalah singkatan dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan BPH Migas adalah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi. Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Terabaikannya tafsir frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” kembali terjadi. Tidak tersedia data, fakta, dan analisis yang mumpuni, yang dapat diakses oleh publik terkait isu “kemakmuran rakyat” atas keputusan untuk Krisis Pertamina 1975 mengalihkan wewenang PT Petamina ke BP MIgas. Sederhananya, publik tidak memiliki Krisis menghantam PT Pertamina di tahun 1975 informasi yang memadai terkait masalah dengan terkuaknya lilitan utang sebesar US$10.5 dan/atau kendala apa saja yang melekat pada miliar dan gagal bayar atas kewajiban-kewajiban PT Pertamina sehingga kebijakan pencabutan utang yang jatuh tempo. Ada dua sebab utama yang kewenangan dan tanggungjawabnya tersebut menjadi sumber krisis tersebut, yaitu:: digulirkan. Atau, jika kita lihat dari sisi yang 1. Membangun proyek-proyek besar nonlain, publik tidak memiliki akses informasi migas dengan pinjaman luar negeri jangka yang mencukupi terkait janji “kemakmuran pendek; rakyat” yang lebih besar dengan pengalihan 2. Perjanjian sewa-beli sejumlah tanker kewenangan termaksud. Persisnya, publik pengangkut minyak bumi yang besar tidak dapat mengakses, jika ada, Naskah ukurannya (super tanker) dan banyak Akademis RUU Migas 2001 tersebut. Juga, jumlahnya. (Note: terulang kembali dalam walaupun NA Itu ada, tetap saja belum ada kasus serupa atas penjualan super tanker jaminan bahwa isu sebesar-besar milik PT Pertamina yg dilakukan oleh kemakmuran rakyat disajikan dengan baik dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi tahun meyakinkan (kredibel) di NA RUU itu. 2002) Walaupun demikian, pola fee hak Selain itu, PT Pertamina juga terlibat penggelapan retensi PT Pertamina5 (2 s/d 5 triliun rupiah pajak dan penerimaan bukan pajak pemerintah per tahun hingga tahun 2001) tetap termasuk tidak membayar utang-utang pajaknya dilanjutkan oleh BP Migas untuk menutupi sendiri. pengeluaran-pengeluaran dan/atau biaya operasi yang tinggi. Kesemua pengeluaran dan biaya tersebut tidak didanai oleh APBN. Nitisastro (2010), Sidharta (2012), dan Sistem APBN tidak mungkin dapat Wikipedia menutupinya sebab BP MIgas banyak sekali menggunakan tenaga-tenaga profesional kelas satu baik yang berasal dari dalam negeri sendiri maupun yang merupakan rekrutan internasional. Selain itu, BP MIgas juga memerlukan berbagai data dan analisa Migas yang hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dan/atau profesional kaliber dunia, yang tentunya juga akan banyak menelan dana dalam jumlah yang besar. Diatas kesemua itu, BP Migas memerlukan uang untuk menutupi biaya kegiatan untuk menjual miyak dan gas bumi bagian pemerintah. Setelah berjalan selama 11 tahun, yaitu, di tahun 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan sembilan LSM dan 33 pemohon perorangan untuk mencabut keseluruhan wewenang dan tanggungjawab BP Migas, utamanya ketujuh wewenang dan tanggungjawab yang disajikan dalam tabel diatas. Lebih jauh lagi, MK menyatakan bahwa seluruh pasal-pasal beserta penjelasannya yang terkait dengan Badan Pelaksana (BP Migas) dalam UU Migas 2001 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
5
Lihat diskusi terdahulu tentang pola Bagi Hasil Vs pola Bagi Laba KKS yang dikelola oleh PT Pertamina.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kata lain, MK memerintahkan pembubaran BP Migas. Tabel 1. Perbandingan Kewenangan & Tanggungjawab BP/BPH Migas dan PT Pertamina Kewenangan dan Tanggung Jawab BP Migas Kewenangan dan Tanggung Jawab BPH Migas
Melakukan pengelolaan dan pengendalian
Melakukan pengelolaan dan pengendalian
Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang mencakup: 1. melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu minyak dan gas; 2. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijakannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerjasama; 3. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; 4. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; 5. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; 6. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; 7. menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Kegiatan Usaha Hilir di bidang Minyak dan Gas Bumi yang mencakup a. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak; b. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional; c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak; d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa; e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi. (UU No 22 tahun 2001)
(UU No 22 tahun 2001)
Kewenangan & Tanggung Jawab PT Pertamina 1. Sebagai Kuasa Pertambangan untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi yang mencakup eksplorasi, eksplotasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, dan penjualan. 2. Membangun dan memelihara ketahan enerji nasional. 3. Menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak dan gas bumi untuk dalam negeri 4. Mengelola Kontrak Kerja Sama (persisnya, Kontrak Bagi Hasil (Kontrak Production Sharing) dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap (UU Pertambangan 1960 dan UU Pertamina 1971)
Pembubaran BP Migas tersebut dituangkan dalam butir 1.1 sampai dengan 1.4 Amar Putusan MK 2012. Butir-butir tersebut terkait dengan 12 pasal, yang seluruhnya atau sebagian ayat-ayatnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu, butir 1.5 dan 1.6 Amar Putusan MK ini menyatakan seluruh hal yang terkait dengan Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas 2001 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ada beberapa pertimbangan hukum MK2012 ini untuk membubarkan entitas BP Migas itu. Walaupun demikian, pertimbangan hukum yang terkait dengan tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD1945 secara berulang dijadikan acuan dalam pertimbangan-pertimbangan hukum yang lain. Tafsir tersebut merujuk ke tafsir yang tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK 2004 yaitu bahwa penguasaan oleh negara, atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak termasuk atas “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,” atau dapat kita disingkat menjadi sumber daya alam (SDA), adalah pemerintah melaksanakan lima fungsi secara setara dan/atau terintegrasi. Kelima fungsi tersebut adalah: 1.kebijakan (beleid); 2.pengurusan (bestuursdaad); 3.pengaturan (regelendaad); 4.pengelolaan(beheersdaad); dan 5.pengawasan (toezichthoudensdaad). Kecuali untuk unsur kebijakan (beleid), keempat unsur yang lain disertai dengan penjelasan pengertian masing-masing unsur tersebut. Selain itu, penjelasan tentang fungsi pengelolaan (beheersdaad) dalam pertimbangan hukum Putusan MK2012 menyimpang dengan penjelasan yang tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK2004. Sementara itu untuk melengkapi pengertian fungsi dikuasai oleh negara, coba kita lihat pengertian unsur beleid (kebijakan) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Beleid/be·leid/ /beléid/ Bld n cara (langkah) yang ditempuh untuk melaksanakan program dan sebagainya; kebijaksanaan: usaha ekspor yang mereka lakukan semakin seret karena terjegal oleh -- negara asing. Contoh KBBI itu menyatakan kebijakan impor negara asing membuat usaha eskpor mereka menjadi seret. Kebijakan impor itu dapat berupa kebijakan hambatan tarif atau hambatan bukan tarif. Contoh lain adalah kebijakan OJK yang dirilis oleh Detik.com baru-baru ini yaitu tentang beleid asuransi digital. Disini OJK memberikan izin dan/atau kesempatan pada perusahaan asuransi untuk menjual asuransinya secara online (lewat internet). Kebijakan OJK ini menyusul realita sudah banyaknya produk lain yang sudah lebih dulu dijual secara online seperti tiket pesawat, paket wisata/hotel, baju, dan lain sebagainya. Untuk lebih memahami konsep terintergasinya fungsi-fungsi “dikuasai oleh negara” menurut Putusan MK 2004 itu, berikut ini diuraikan masing-masing dari keempat fungsi termaksud. Kutipan langsung dari masing-masing pengertian keempat fungsi tersebut menurut Putusan MK 2004 adalah sebagai berikut. “Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
penguasaan oleh negara atassumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat” Kita mulai dulu dari pengawasan. Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad). Menurut putusan MK2004 ini, ini dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. ” Ini merupakan fungsi umum manajemen yaitu fungsi untuk mengarahkan agar pelaksanaan dari kebijakan/perencanaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Selanjutnya kita ke fungsi pengurusan. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) menurut putusan MK2004 ini dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Tidak ada penjelasan lebih lanjut baik tentang fungsi ini maupun keempat fungsi yang lainnya. Walaupun demikian, kita tentu saja dapat menguraikannya sendiri dengan memperlihatkan beberapa contoh yang logis. Misalnya, untuk melaksanakan fungsi ini pemerintah menerbitkan/mencabut Izin Usaha Pertambangan batubara, tembaga, emas, dan Minerba yang lainnya. Contoh yang lain adalah penerbitan/pencabutan izin pengusahaan hutan yang berupa konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), dan konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI). Contoh yang selanjutnya adalah penerbitan/pencabutan hak-hak atas tanah yang mencakup hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan hak membuka tanah. Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad). Menurut putusan MK ini, ini dilakukan sesuai dengan kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Ini dapat kita urai lebih lanjut sebagai berikut. Kewenangan legislasi itu mencakup pembuatan dan revisi UU seperti UU Migas, UU Agraria, UU Kehutanan, UU Pajak, dan lain sebagainya. Regulasi itu adalah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UU dan sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut dan lebih teknis. Ini mencakup penerbitan Peraturan Pemerintah, Peraturan/Keputusan Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, dan regulasi-regulasi lain yang lebih teknis lagi. Fungsi pengelolaan (beheersdaad). Ini merupakan fungsi kunci dalam analisa tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD1945. Menurut putusan MK ini, ini dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada dua unsur penting yang perlu kita cermati disini. Pertama unsur pemilikan saham (share-holding) dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN. Kedua unsur instrumen kelembagaan BHMN. Kita coba menafsirkan konsep yang pertama dulu yaitu pemilikan saham dan keterlibatan langsung dalam manejemen BUMN. Badan usaha dikendalikan oleh para investornya yaitu para pemilik modal yang menanamkan uang di badan usaha itu. Pemilik saham mayoritas (50% + 1) memegang kendali yang besar dan akan memegang kendali penuh jika 100 persen saham dimiliki. Saham mayoritas BUMN dimiliki oleh negara dan banyak BUMN yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh negara.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Dengan demikian, mungkin maksud frasa kepemilikan saham dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN tersebut dalam pertimbangan hukum MK tersebut adalah pemerintah memberikan wewenang dan tanggungjawab kepada badan usaha milik negara (BUMN) untuk mengelola sumber-sumber kekayaan negara seperti yang dimaksud oleh Pasal 33 UUD1945. BUMN itu yang akan melakukan kegiatan usaha yang bersifat operasional dan investasi. Misalnya, kegiatan operasional dan investasi itu mencakup kegiatan eksplorasi dan eksplotasi untuk sektor hulu Migas6. Kegiatan eksplorasi bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi. Sedangkan kegiatan eksploitasi bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. Konsep kedua adalah instrumen kelembagaan. Instrumen kelembagaan ini biasanya diartikan sebagai Satker (Satuan Kerja) Instansi Pemerintah seperti Satker Direktorat Jenderal, atau, Badan, yang langsung bertanggungjawab kepada Menteri Kabinet. Selain itu, instrumen kelembagaan ini dapat juga kita artikan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri dan mencakup yang langsung bertanggungjawab kepada presiden. Entitas ini lebih umum disebut sebagai badan hukum milik negara (BHMN). Contoh entitas ini adalah Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BHMN untuk sektor hulu MIgas yang kita kenal adalah BP dan SKK MIgas. Sampai disini, pengabungan konsep pertama dan kedua itu mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa ada dua opsi penyerahan wewenang pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara tersebut. Opsi pertama adalah BUMN dan opsi kedua adalah Satker pemerintah atau badan hukum milik negara. Opsi mana yang akan dipilih dan/atau bagaimana cara memilihnya dan/atau cara menetapkan prioritas pilihan tidak disinggung dalam pertimbangan hukum MK2004 itu. Walaupun demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Tim Hakim Konstitusi MK 2004 ini memposisikan kesetaraan BUMN dengan BHMN. Entitas mana yang akan diserahkan untuk mengelola sumber-sumber kekayaan negara termaksud tergantung dari parameter efisiensi. Entitas mana yang dipilih adalah tidak menjadi masalah sepanjang entitas yang terpilih itu memang lebih efisien untuk mengelola sumber-sumber kekayaan negara tersebut. Bahkan walaupun BUMN yang diserahkan tugas itu nantinya akan diprivatisasi tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang tujuan privatisasi dan/atau kompetisi adalah untuk pencapaian efisiensi yang lebih tinggi dan prinsip negara tetap menguasai atau mengendalikan BUMN itu masih tetap terjaga. Pertimbangan hukum pengujian materil yang tertuang dalam Putusan MK2004 berbunyi:
“Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 …..maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan 6
Definisi eksplotasi dan eskploitasi menurut UU Migas 2001. Definisi ini pada prinsipnya sama dengan defisini yang tertuang dalam UU Pertambangan tahun 1960. Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. ….Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, …juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, …...” Kelihatannya pertimbangan hukum ini dijadikan pertimbangan utama oleh Tim Hakim Konstitusi MK2004 untuk menolak permohonan pembubaran BP MIgas dan/atau membatalkan UU Migas 2001 secara keseluruhan. Ironinya, pertimbangan hukum ini digunakan oleh Tim Hakim Konstitusi MK2012 untuk mengabulkan permohonan pembubarkan BP MIgas. Untuk melakukan ini, Tim MK2012 terlebih dahulu merekayasa dan/atau menggunakan pendekatan alternatif bertingkat tiga untuk menafsirkan frasa “dikuasai oleh negra” Pasal 33 UUD1945. Butir [3.12] pertimbangan hukum MK2012 ini berbunyi: “…..kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara ……. harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. … peringkat pertama dan yang paling penting …. Peringkat kedua adalah… dan fungsi negara dalam peringkat ketiga…”
Pengertian masing-masing tingkatan itu menurut MK2012 adalah sebagai berikut. Tingat pertama dan yang paling penting dari makna dikuasai oleh negara itu adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam Migas. Sedangkan penguasaan negara pada tingkat kedua adalah negara sebagai pembuat kebijakan dan melakukan pengurusan. Tingkat ketiga adalah negara melaksanakan fungsi-fungsi pengaturan dan pengawasan. Pengelolaan langsung yang dimaksud dalam pertimbangan hukum MK2012 ini adalah pengelolaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dengannya negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Pertimbangan hukum [3,12] Putusan MK2012 berbunyi: “…..Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam….Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara…” Seperti sudah disampaikan diatas, untuk sektor hulu Migas itu ada dua kegiatan utama yaitu kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi. Kedua kegiatan ini harus dilakukan oleh BUMN dan BUMN yang ada untuk itu sekarang ini hanya PT Pertamina. Dengan kata lain, MK 2012 ini secara tidak langsung menghendaki PT Pertamina untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. PT Pertamina memang melakukan kegiatan eksploitasi (memproduksi Migas) untuk ladang Migas dan kilang minyak, yang dimilikinya. Namun demikian, kegiatan eksplorasi, yang membutuhkan modal dan kapasitas manajemen yang tinggi serta mengandung risiko yang sangat tinggi juga, bukan dilakukan oleh PT Pertamina. Kegiatan eksplorasi dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai badan usaha dan bentuk usaha tetap7. Perusahaan-perusahan swasta ini juga, yang sebagian besar adalah perusahaan 7
Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan terjemahan dari kata Permanent Establishment. Bentuk BUT itu mencakup cabang perusahaan asing yang beroperasi di luar negeri termasuk di Indonesia. Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
asing, juga memproduksi Migas (melakukan kegiatan eskploitasi). Lebih jauh lagi, seperti nanti dijelaskan secara lebih terurai, produksi kegiatan eksploitasi Migas (produksi Migas) PT Pertamina sangat kecil dibandingkan dengan produksi Migas nasional Indonesia. Misalnya, di tahun 2013, produksi Migas PT Pertamina hanya 12% dari produksi nasional. Selebihnya, 82% diproduksi oleh badan usaha dan bentuk usaha tetap itu. Ini berarti bahwa hanya sebagain kecil saja dari kegiatan-kegiatan sektor hulu Migas yang dikelola secara langsung oleh PT Pertamina. Sebagian besarnya dikelola oleh perusahaan swasta yang berbadan hukum badan usaha dan bentuk usaha tetap. Dengan demikian, pertimbangan hukum MK2012 itu masih belum terpenuhi seandainya BUMN yang ditugaskan untuk itu adalah PT Pertamina. Itu juga masih belum terpenuhi seandainyapun dibuat BUMN baru untuk menggantikan dan/atau mendampingi PT Pertamina. Indonesia belum memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen untuk melakukan seluruh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA Migas. Selain itu, sebagian besar kegiatan eksploitasi (memproduksi Migas) yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang ada sekarang ini sudah memiliki kontrak jangka panjang dengan Indonesia, yang sebagian lebih dari 20 tahun. Sangat sulit sekali untuk membatalkan kontrak-kontrak yang sudah ada tersebut dan/atau menerapkan kebijakan (beleid) nasionalisasi perusahaan-perusahaan pertambangan Migas swasta tersebut. Kemustahilan untuk melaksanakan pertimbangan hukum ini juga sudah diantisipasi oleh Tim Hakim Konstitusi MK2012 tersebut. Ini terlihat dari pertimbangan hukum lebih lanjut dari Tim Hakim Konstitusi MK2012 tersebut, yang menyatakan bahwa pengelolaan langsung oleh BUMN ini tidak mutlak. Pengelolaan itu dapat juga diserahkan kepada asing sepanjang negara belum memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen. Untuk memperkuat argumen ini, MK 2012 ini juga menyatakan bahwa tafsir ini adalah tafsir seperti yang dikehendaki oleh Proklamator Mohammad Hatta. Untuk itu MK2012 menyatakan: “……Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia…. Uraian-uraian diatas mengarahkan kita pada dua kesimpulan penting. Pertama, negara akan lebih diuntungkan jika SDA yang dalam hal ini Migas dikelola oleh BUMN. Kedua, keuntungan yang lebih besar itu hanya mungkin terjadi jika negara memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen. Jika tidak memiliki hal-hal tersebut, maka akan lebih menguntungkan jika SDA Migas itu tidak dikelola secara langsung oleh pemerintah. Beri kesempatan kepada badan usaha dan bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA Migas. Dengan demikian, isu kritis yang perlu kita bahas sekarang adalah menentukan pilihan entitas yang diserahkan wewenang dan tanggungjawab untuk mengelola deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap itu. Maksud melakukan deals itu termasuk melakukan rangkaian kegiatan yang mencakup penandatanganan kontrak. Dan, pertimbangan hukum MK2012 menghendaki bahwa yang melakukan deals itu adalah BUMN. Butir [3.14] pertimbangan hukum MK dalam putusan ini berbunyi: “…dikonstruksi dalam bentuk KKS8 ….. BUMN yang diberikan konsesi ….sehingga BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap……” 8
KKS adalah Kontrak Kerja Sama yang merupakan padanan frasa Kontrak Production Sharing.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Tidak ada penjelasan mengapa MK2012 ini menghasilkan pertimbangan hukum seperti diatas. Tidak ada penjelasan bagaimana negara diuntungkan dengan menunjuk BUMN untuk melakukan deals tersebut. Diatas kesemua ini, tidak ada penjelasan apakah kegiatan BP MIgas selama 11 tahun terakhir untuk melakukan deals dengan perusahaan swasta tidak membuat negara lebih diuntungkan. Yang ada hanyalah petimbangan bahwa BP Migas tidak melakukan kegiatan pengelolaan SDA Migas secara langsung. BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas. Pertimbangan hukum Putusan MK 2012 pada butir [3.13.1], yang menyatakan bahwa BP Migas tidak melakukan pengelolaan langsung SDA Migas tetapi hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan, berbunyi: “….BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas ….” Seperti sudah disampaikan diatas, memang betul, fungsi pengelolaan (beheersdaad) tidak dilakukan oleh BP Migas. Tetapi, hal yang sama berlaku juga untuk PT Pertamina. PT Pertamina hanya melakukan sebagian kecil saja dari fungsi pengelolaan tersebut. Lebih persis lagi, wewenang dan tanggungjawab PT Pertamina dalam melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan tersebut yang mencakup melakukan deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap adalah persis sama dengan yang melekat pada BP Migas. Dalam kaitan ini Hasan (2013) menyatakan: “…..tugas BP Migas sebagaimana ditetapkan ….. pada prinsipnya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh PT PERTAMINA berdasarkan …..Tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. …dalam pelaksanaan KKS yang menjangkau hingga ke manajemen operasi. Disini tanggung jawab BP Migas mencakup memberikan persetujuan mengenai Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang diajukan oleh Kontraktor, termasuk pelaksanaan dari RKA seperti misalnya memberikan persetujuan untuk pengeluaran biaya (Authorization for Expenditure atau AFE), dan penetapan pihak ketiga sebagai sub-kontraktor.”
Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa pertimbangan hukum butir [3.14] MK2012 termaksud adalah cacat hukum. Pertimbangan hukum tersebut memihak ke PT Pertamina walaupun BP Migas berada pada posisi yang sama dengan PT Pertamina. Baik PT Pertamina maupun BP Migas tidak melakukan pengelolaan SDA Migas secara langsung. Masing-masing entitas tersebut hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas untuk wilayah kerja pertambangan yang dikelola oleh badan usaha dan bentuk usaha tetap. Selanjutnya, coba kita lihat unsur lain dari pokok pikiran pertimbangan hukum MK 2012 yang menyebabkan pembubaran BP Migas. Disini MK berpendirian bahwa jika BP Migas yang membuat deals dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, maka Pemerintah kehilangan diskresi dalam membuat regulasi yang bertentangan dengan kontrak tersebut. Kehilangan diskresi ini, menurut putusan MK Ini, berarti negara kehilangan kedaulatan dan/atau keleluasaan membuat aturan yang diperlukan demi tercapainya manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pokok pikiran kehilangan diskresi ini tertuang dalam kalimat-kalimat yang lebih awal dari butir [3.14], yang berbunyi: Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Tafsir Pasal 33 UUD 1945 dalam Putusan MK 2004: Text Box 5 1.kebijakan (beleid); 2.pengurusan(bestuursdaad); 3.pengaturan (regelendaad); 4.pengelolaan(beheersdaad); 5.pengawasan(toezichthoudensdaad). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Catatan: BHMN atau BUMN untuk melakukan pengelolaan SDA Migas secara tidak langsung adalah tidak bertentangan dengan konstitusi. Juga, yang patut dicermati bahwa keempat unsur selain unsur keempat, pengelolaan (beheersdaad), pada prinsipnya otomatis melekat pada fungsi atau peran negara dan ini bersifat universal
“….ketika kontrak telah ditandatangani, negara menjadi terikat pada isi KKS. Akibatnya, negara kehilangan diskresi untuk membuat regulasi …….. kehilangan kedaulatannya dalam penguasaan sumber daya alam ……. Padahal negara, ….harus memiliki keleluasaan membuat aturan yang membawa manfaat bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.”
Mungkin kita sependapat bahwa pokok pikiran MK itu cacat hukum. Pertama, MK tidak dapat menunjukan satupun bukti tentang terjadinya ketidakleluasaan pemerintah untuk menerbitkan regulasi termaksud, jika ada, dalam kurun waktu 11 tahun Rezim KKS BP Migas. Dari sisi sebaliknya, MK juga tidak dapat menunjukan satupun bukti, juga jika ada, tentang tersedianya keleluasaan pemerintah untuk menerPutusan Nomor 002/PUU-I/2003 Tahun 2004 bitkan regulasi termaksud selama 51 tahun rezim KKS PT pertamina. Kedua, Pemerintah tidak dapat sesuka hati (sewenang-wenang), dengan dalih apapun, membuat regulasi yang bertentangan dengan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak yang sudah ditandatangani, terlepas apakah kontrak itu ditandatangani oleh BUMN atau BHMN. Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang merasa dirugikan dengan terbitnya regulasi baru pemerintah tetap saja dapat memperkarakan regulasi itu ke badan arbitrase internasional, terlepas dari apakah itu BUMN, atau, BHMN yang menandatangani kontrak termaksud. Lebih jauh lagi, perlu dipahami bahwa kapasitas diskresi pemerintah dalam membuat regulasi dan/atau peraturan perundang-undangan dengan tujuan pencapaian “kemakmuran” tersebut, tetap terbatas sekalipun pada rezim konsesi dan bukan rezim KKS. Diskresi yang berlebihan dan menjurus kesewenang-wenangan akan menyebabkan investasi di sektor hulu Migas menjadi tidak menarik lagi dan para kontraktor hengkang ke luar negeri. Ini tentu saja tidak menguntungkan dan oleh karena itu tidak diingini serta bertentangan dengan semangat pengelolaan SDA Proklamator Mohamad Hatta. Faktor penting yang menyebabkan ini adalah besarnya nilai investasi dan/atau risiko dalam bidang usaha sektor pertambangan. Selain itu, sektor ini membutuhkan highly skilled manpower dan tingginya tingkat efisiensi dalam pengelolaan organisasi perusahaan.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Contoh terkini tentang terbatasnya diskresi pemerintah untuk membuat regulasi yang bertentangan dengan kontrak-ontrak yang sudah ditandatangani adalah kasus UU Minerba 2009 yang mulai diberlakukan dalam tahun 2010. UU ini menyatakan bahwa KKS-KKS pengusahaan batubara dan/atau mineral yang sudah ditandatangani masih tetap berlaku. Pasal 169 huruf a berbunyi: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya UndangUndang ini tetap diberlaltukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian” Ketentuan tersebut berlaku secara umum dan terlepas apakah dengan deals PT (Persero) Bukit Asam, atau, PT (Persero) Antam, atau, deals yang dibuat langsung oleh Pemerintah c.q. Kementerian ESDM (d/h Kementerian Pertambangan). Misalnya, kasus KKS antara PT Bukit Asam (Persero) dengan PT Gunung Bayan Pratama Coal tetap dinyatakan berlaku walaupun banyak regulasi yang tertuang dalam UU Minerba 2009 bertentangan dengan isi kontrak antara kedua perusahaan pertambangan batubara tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk KKS yang ditandatangani oleh Menteri Pertambangan dan Energi, I.B. Sudjana dengan PT Kalimantan Energi Lestari. Jauh ke belakang, hal yang serupa juga berlaku dalam kasus pemberlakuan UU Pertambangan 1960. UU ini jelas menyatakan bahwa rezim pengelolaan sektor pertambangan Indonesia adalah kontrak kerja sama (KKS). Walaupun, demikian perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi dengan konstruksi izin (konsesi) dan juga diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, utamanya tiga terbesar perusahaan asing ketika itu yaitu Shell, Stanvac, dan Caltex tidak secara otomatis mengganti konstruksi hukum usaha mereka. Diperlukan negosiasi yang memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kesepakatan perubahan konstruksi konsesi menjadi konstruksi kontrak (lihat uraian terdahulu). Terlepas dari cacatnya pokok-pokok pikiran pertimbangan hukum MK diatas, kita masih dapat mengatakan bahwa pertimbangan hukum tersebut adalah sebagai tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945. Disini kelihatannya yang ingin dikatakan adalah bahwa “pengelolaan cabang produksi hulu Migas dengan konstruksi (pola) Kontrak Kerja Sama (KKS), yang mencakup penandatanganan (KKS) dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap, harus diserahkan ke BUMN seperti PT Pertamina9.” Perlu juga kita cermati kata kunci “konstruksi”. Kata konstruksi Ini perlu kita artikan sebagai batasan dari tafsir tersebut yaitu keharusan penyerahan pengelolaan sektor hulu Migas kepada BUMN hanya sebatas jika konstruksi pengelolaan tersebut adalah Kontrak Kerja Sama (KKS). Keharusan BUMN tersebut gugur dengan sendirinya jika menggunakan konstruksi lain seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP) Migas. Disini tidak ada kontrak yang perlu dibuat antara Pemerintah dan/atau BUMN dengan perusahaan-perusahaan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi sektor hulu Migas. Yang diperlukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah izin konsesi atau izin usaha. Konstruksi IUP ini berlaku di rezim pertambangan mineral dan batubara (UU Minerba 2009). Konstruksi yang serupa terdapat juga di banyak cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak yang lain. Misalnya, di sektor kehutanan, izin-izin usaha yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencakup penerbitan IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) pada hutan alam. 9
Sebagai catatan, mungkin juga bermanfaat untuk mengingat bahwa tafsir KKS dikelola oleh BUMN adalah serupa dengan tafsir yang ada pada UU Pertambangan 1960 Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Lihat juga sektor agraria (pertanahan) yang dikelola langsung oleh Pemerintah dan tidak ada penugasan sama sekali ke BUMN. Pemerintah c.q. Badan Pertanahan Nasional (Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) menerbitkan beberapa hak pemanfaatan tanah yang mencakup Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Sewa. Guna Tanah. (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa keberadaan entitas BHMN SKK Migas masih dapat dipertahankan jika rezim pengelolaan sektor hulu Migas diganti dari rezim kontrak menjadi rezim perizinan. Disini BHMN SKK MIgas sangat jelas adalah setara dengan BHMN BPN (Badan Pertanahan Nasinal). Jika demikian halnya, maka SKK Migas dapat diberikan tugas dan tanggungjawab lain misalnya pengelolaan perizinan dan pegawasan sektor hulu Migas. Selanjutnya, coba kita lanjut dengan Amar Putusan MK 2012 butir 1.7, yang nantinya, minimum, membawa implikasi hukum yang berlarut-larut. Butir ini berbunyi: “Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi10 dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya Undang-Undang yang baru yang mengatur hal tersebut.” Setelah dibubarkan, MK mengalihkan tugas BP Migas ke pemerintah. Namun, yang menarik adalah ternyata Pemerintah bukan saja tetap mempertahankan rezim kontrak tetapi juga tidak segera menunjuk BUMN seperti PT Pertamina untuk mengelola sektor hulu Migas yang merupakan bagian terpenting dari Amar Putusan MK 2012 ini. Coba kita lihat kembali sebagian kutipan dari Pertimbangan hukum MK butir [3.14] yang sudah disajikan diatas, yang berbunyi: “…….BUMN yang diberikan konsesi ….sehingga BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap……” Sebaliknya, Pemerintah setelah membubarkan BP Migas membentuk BHMN baru yaitu SKK Migas yang ditugaskan untuk melakukan KKS dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap. Wewenang dan tanggungjawab SKK MIgas, yang masih tetap melanjutkan pola (konstruksi) KKS, pada prinsipnya persis sama dengan BP Migas. Hanya ganti nama doang, dari BP Migas menjadi SKK Migas. Perbandingan antara tugas dan fungsi BP Migas dengan SKK Migas disajikan dalam tabel dibawah ini. Tabel 2. Perbandingan Tugas dan Fungsi BP/SKK Migas Tugas dan Fungsi BP Migas Tugas dan Fungsi SKK Migas 1. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan 1. Melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha usaha hulu minyak dan gas; hulu minyak dan gas bumi berdasarkan 2. Memberikan pertimbangan kepada Menteri Kontrak Kerja Sama atas kebijakannya dalam hal penyiapan dan 2. Memberikan pertimbangan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atas penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan Kerjasama; penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja 3. Melaksanakan penandatanganan Kontrak Sama; Kerja Sama; 10
BP Migas
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
4. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; 5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; 6. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; 7. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. (UU No 22 tahun 2001)
3. Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; 4. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mendapatkan persetujuan; 5. Memberikan persetujuan rencana pengembangan selain sebagaimana dimaksud dalam poin sebelumnya; 6. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; 7. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; dan 8. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. (Peraturan Menteri ESDM No 9/2013 & Perpres No 9/2013)
Masing-masing butir 1 dari BP Migas dan SKK Migas pada prinsipnya menyatakan bahwa baik BP maupun SKK Migas diberikan wewenang dan tanggungjawab yang sama untuk mengelola sektor hulu MIgas. Selanjutnya, wewenang dan tanggungjawab tersebut dijabarkan dalam butir-butir selanjutnya, yang untuk BP Migas itu dijabarkan dalam butir 2 sampai dengan butir 7 dan untuk SKK Migas dijabarkan dalam butir 2 hingga butir 8. Namun demikian, perbedaan jumlah butir tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan wewenang dan tanggungjawab yang prinsipil. Hal ini mirip dengan dagelan Tukul Arwana, yang menurut Mujiburohman (2013) adalah: “Ingat dengan program Talk Show Tukul Arwana di Trans7, yang kemudian pada tahun 2008 empat mata dilarang oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dianggap tidak layak tayang karena tidak sesuai dengan norma dan tradisi ke-Indonesia-an. Namun, justru pihak Trans7 mengakali vonis tersebut dengan mengubah nama program tersebut menjadi Bukan Empat Mata dan tetap menayangkannya. Hal ini serupa dengan yang terjadi dengan BP Migas…….Tidak ada perbedaan yang berarti antara BP Migas dengan SKK Migas” Dalam nuansa yang sama tetapi dengan perspektif yang sedikit berbeda, Wicaksono (2015) di topik Analisis Akibat Hukum menyatakan:
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
“……hak menguasai negara yang dipermasalahkan ketika BP Migas eksis pun terulang kembali dengan adanya SKK Migas. Kewenangan BP Migas yang hanya sebatas pengendalian dan pengawasan ….ternyata tetap diterapkan pada SKK Migas.” Wicaksono (2015) tersebut dalam kesimpulannya menggugat agar SKK Migas juga segera dibubarkan dan diganti dengan BUMN. Ini dinyatakannya sebagai berikut: “….revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ….kelembagaan pengelola minyak dan gas bumi yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara ….sesuai dengan pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi… Desakan untuk sesegera mungkin merevisi UU MIgas 2001 tersebut juga disuarakan jauh sebelum ini oleh LSM Gerakan Menegakan Kedaulatan Negara (GMKN). Aspirasi LSM ini yang disampaikan di Gedung DPR RI tanggal 8 Januari 2013 disampaikan oleh beberapa politisi nasional seperti Fuad Bawazier dan beberapa tokoh yang juga merupakan penggugat UU Migas 2001 tersebut seperti Adhie M. Massardi, Marwan batubara, dan Din Syamsudin. Adhie M. Massardi menyatakan:11 “Kami mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera membentuk UU Migas baru yang sesuai dengan amanat UUD 45 Pasal 33.” Dapat kita duga bahwa UU Migas yang baru yang mereka maksudkan tersebut tentunya adalah yang memberikan kewenangan dan/atau semacam kuasa pertambangan ke BUMN seperti PT Pertamina. BHMN semacam BP/SKK Migas tentunya menurut pendapat mereka itu tidak sesuai dengan konstitusi. Dari berbagai uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa sebetulnya penunjukan SKK Migas oleh Pemeritah sebagai ganti BP Migas, sepanjang masih menggunakan konstruksi kontrak, adalah
11
Hukum Online.com, “Segeara Susun Revisi UU Migas” 9 Januari 2013 diakses 6 Juni 2016
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
bertentangan dengan konstitusi dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. SKK Migas yang saat ini operasinya Deals SKK Migas: 2014-15 sudah memasuki tahun keempat Text Box: 6 seharusnya segera dibubarkan. Walaupun demikian, status Ada 7 KKS yang ditandatangani SKK Migas tahun 2014. quo SKK Migas tetap dipertahankan 1. PT Baradinamika Citra Lestari; 2. Konsorsium Bukit Energy oleh Pemerintah. Pemerintah Palmerah Baru Pte Ltd-NZOG Palmerah baru Pty Ltd. – PT Surya belum mengalihkan wewenang dan Selaras Sejahtera; 3. Konsorsium Krisenergy (Sakti) B.V. - Golden tanggungjawab SKK Migas ke PT Heaven Jaya; 4. Golden Code Commercial Ltd; 5. Husky Pertamina dan/atau ke BUMN yang Anugerah Limited; 6. PT Innovare Gas; 7. PT Pertamina Cepu lain yang dapat merupakan BUMN Cepu ADK. baru. Pemerintah kelihatannya baru akan melaksanakan hal tersebut (Siaran Pers Kementerian ESDM 26 Februari 2014, diakses 29 April 2016) setelah revisi UU Migas 2001 disyahkan. Pertanyaannya sekarang KKS yang ditandatangani SKK Migas tahun 2015: 12 kontrak adalah kapan revisi tersebut 1. Konsorsium Conocophilips – PC Kualakurun; 2. Mentari disyahkan? Garung Energy Ltd; 3. Shell Pulau Moa Pte Ltd; 4. Konsorsium Pertanyaan tersebut layak Sepapua Energy Pte. Ltd – Kau 2 Pte. Ltd; 5. PT Pertamina Hulu kita angkat sebab draft revisi UU Energi Abar; Migas 2001 tersebut sudah 6. PT Pertamina Hulu Energi Anggursi; 7. PC North Madura II Ltd; disampaikan oleh Pemerintah ke 8. Statoil Indonesia Aru Trough I B.V; 9. Konsorsium Pacific Oil DPR RI di tahun 2013. Pembahasan & Gas Ltd. – Bukit Energy – NZOG MNK KIsaran; 10. Konsorsium di DPR sangat alot dan berlarut-larut Bukit Energy Resources Sakakemang Deep Pte. Ltd – PT dan belum tercapai kesepakatan pertamina Hulu Energi MNK Sakakemang; 11. Petroselat NC hingga berakhirnya jabatan DPR RI Ltd.; dan periode 2009 -2014. Hasil 12. Konsorsium Bukit Energy – NZOG MNK – PT Surya Selaras pembahasan tersebut menjadi MNK hangus dengan sendirinya. Blok MNK Kisaran, Sumatera Utara, dengan kontraktor Dalam kaitan ini, Tambang (Februari, 2016), menyatakan: (Siaran Pers Kementerian ESDM, 22 Mei 2015, diakses 29 April 2016)
“Namun, …. revisi UU Migas menjadi prioritas yang terbelakang,……. Dalam periode sebelumnya, DPR telah melakukan kajian dan hasilnya ‘hangus’ seiring dengan berakhirnya tugas mereka… ……Khusus soal Migas ……. bisa dibayangkan proses yang terjadi, tarik menarik antara kepentingan yang berbeda.” Mungkin kita sependapat dengan penulis diatas bahwa faktor utama yang menyebabkan berlarutlarutnya penyelesaiaan revisi UU tersebut adalah adanya unsur tarik menarik antara “kepentingan” yang berbeda. Kementerian ESDM terkesan berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan entitas BHMN SKK MIgas dengan alasan yang tidak begitu jelas. Di sisi lain, terkesan DPR berkeberatan akan hal
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Lima konten utama Revisi UU Migas 2001 yang diusulkan oleh Menteri ESDM, Sudirman Said: Text Box: 7 1. Perbaikan iklim investasi; 2.Merubah entitas BHMN SKK Migas menjadi BUMN Khusus yang diberikan hak kuasa pertambangan; 3.Mensinergikan BUMN Migas yang sudah ada seperti PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN); 4. Mendorong peningkatan daya saing PT Pertamina dan memberikan keistimewaan pada PT Pertamina untuk mendapatkan blok-blok Migas yang masa kontraknya telah habis; dan 5. Memperbaiki sistem pungutan negara di sektor Migas untuk menghilangkan cara pandang bahwa Migas hanya dijadikan sebagai alat penerimaan negara saja.1 Butir kedua merupakan butir yang terpenting. Katadata.co.id, 2015. “Pemerintah Segera Finalisasi Draft Revisi UU Migas,” 12 Maret 2015 dan diakses 6 Juni 2016
ini dan lebih menyukai untuk menugaskan BUMN yang sudah ada seperti PT Pertamina dan PT PGN. Lagi-lagi, kita belum melihat alasan utama apa yang menyebabkan DPR berkehendak demikian. Lebih jauh lagi, dapat kita katakan bahwa pihak-pihak yang berperkara dan/atau terkait tersebut lebih terobsesi memperdebatkan frasa “dikuasai oleh negara” dan mengkerdilkan frasa “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam hal kedua frasa tersebut diperlakukan setara, maka implementasi Pasal 33 UUD 1945 tersebut tidak akan menimbulkan polemik kronis seperti ini. Pentingnya penyatuan kedua frasa “dikuasai oleh negara” dan “dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat,” secara eksplisit tertuang dalam Putusan MK (2012). Butir [3.11] alinea kedua Pertimbangan Hukum Putusan ini
berbunyi: “Menurut Mahkamah, Pasal 33 UUD 1945, menghendaki bahwa penguasaan negara itu harus berdampak pada sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, “pengertian dikuasai oleh negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna untuk “sebesarbesar kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan Pasal 33 UUD 1945.” Perlu kita ingat bahwa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” tercapai jika tercapainya efisiensi penguasaan oleh negara tersebut. Termasuk dalam pengertian efisiensi ini adalah tidak terjadinya pemborosan dan/atau KKN dalam pelaksanaan dikuasai oleh negara tersebut. Biaya-biaya yang dikorbankan adalah terkecil untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut. Ini konsisten dengan frasa “efisiensi” yang dituangkan dalam ayat 4 Pasal 33 UUD 1945. Lebih jauh lagi, ayat 4 ini merangkum roh ketiga ayat yang terdahulu: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuian bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga roh tersebut harus dipersatukan dalam kesatuan wadah “efisiensi.” Ayat 4 Pasal 33 UUD 1945 berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan ……dengan prinsip ……, efisiensi,..”
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Di sektor hulu Migas, bebarapa indikator efisiensi tersebut mencakup investasi, konservasi sumber daya alam Migas, kesempatan kerja dan berusaha termasuk kesempatan berusaha perusahaan nasional, tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), dan tentu saja penerimaan negara dalam bentuk pajak dan bukan pajak (royalty). Adanya tafsir yang berbeda dan/atau perubahan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 tersebut seharusnya hanya dapat terjadi jika dilandasi oleh pertimbangan efisiensi sebagaimana tertuang dalam ayat 4 Pasal 33 UUD1945 dan dalam kerangka “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Isu efisiensi juga sebetulnya tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK 2012. Butir [3.13.4] pertimbangan hukum tersebut berbunyi: “Menimbang bahwa tujuan utama …..pengelolaan sumber daya alam “untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat” sehingga implementasinya …..harus disusun berdasar rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan. ….segera memulai penataan ulang pengelolaan sumber daya alam ….yang berorientasi … “manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat” dengan organisasi yang efisien….” Walaupun demikian, sebagaimana sudah disampaikan terdahulu, Putusan MK 2012 tersebut gagal menghadirkan bukti-bukti yang terkait dengan isu efisiensi ini. MK tidak dapat memperlihatkan bukti terjadinya inefisiensi selama 11 tahun operasi BP Migas sejauh ini dan/atau potensi kerugian di masa depan jika BP Migas tetap dipertahankan12. Hal serupa juga tertuang dalam dissenting opinion Putusan MK 2012 (Hakim Konstitusi Harjono) dan artikel Hasan (2013). Pertimbangan efisiensi tersebut akan memperluas dan memperluwes tafsir “dikuasai oleh negara” termaksud. Ini berarti bahwa semua pola yang akan diterapkan tidak akan bertentangan dengan konstitusi sepanjang pola yang dipilih tersebut menjamin tercapainya efisiensi tertinggi dibandingkan dengan pola lain yang tersedia. Dengan kata lain, pertimbangan efisiensi lah yang akan menetapkan pola pengelolaan sektor ekonomi yang dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945 termasuk sektor hulu Migas. Dengan demikian, apakah pola pengelolaan tersebut konsesi atau kontrak kerjasama, kontrak bagi laba atau bagi hasil, BUMN atau BHMN, tergantung dari pola mana yang akan menghasilkan efisiensi tertinggi. Grafik 1. Perkembangan Produksi Minyak Mentah Indonesia: 1980 - 2016
12
Salah satu persyaratan legal standing MK adalah bukti bahwa para pemohon dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan oleh UU yang dimohonujikan terhadap UUD 1945. Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Produksi Minyak Mentah Indonesia; Ribu BBL/Hari 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
MK12
2016
2014
2012
2010
2008
2006
2004
2002
UU Migas 2001
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
UU Pertambangan 1960 & UU Pertamina 1971
Sumber: Index Mundi & NKRAPBN untuk 2014 – 2016 Grafik 1 diatas memperlihatkan trend menurun produksi minyak mentah Indonesia. Trend menurun sebetulnya sudah mulai di tahun 1982 ketika PT Petamina masih memegang hak eksklusif monopoli atas SDA Migas. Walaupun demikian, trend penurunan di Era Monopoli Pertamina yang terus berlanjut baru dimulai tahun 1991. Ketika pengelolaan sektor hulu Migas, yang mencakup kegiatan produski minyak mentah, dialihkan dari PT Pertamina ke BP Migas seiring dengan berlakunya UU Migas 2001, penurunan produksi minyak mentah Indonesia sudah mencapai titik 1.340 barrel/hari, yang pada tahun 1991 masih pada titik 1.592 barrel/hari. Terlihat bahwa BP Migas tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah laju penurunan produksi Migas Indonesia ini. Penurunan ini terus berlanjut dan sudah mencapai 875 barrel/hari pada tahun 2012 ketika MK mencabut kewenangan BP Migas dan menyerahkannya ke Pemerintah/SKK Migas. Selanjutnya, dalam periode pengelolaan SKK Migas, hal yang sama terus berlanjut dan produksi minyak mentah Indonesia penurunannya sudah mencapai 810 barrel/hari di tahun 2016 (asumsi makro APBNP_2016). Pelajaran yang dapat kita ambil disini adalah terlihat indikasi yang kuat bahwa perubahan penyerahan kewenangan pengelolaan sektor hulu Migas, dari PT Pertamina ke BP Migas dan kemudian ke SKK Migas, tidak mempengaruhi pola alami penurunan produksi minyak mentah Indonesia. Dengan kata lain, ketiga entitas tersebut sama-sama tidak berhasil menghentikan deplesi dan/atau meningkatkan produksi minyak bumi Indonesia dalam periode 1981 hingga saat ini; selama 35 tahun. Dengan demikian, UU Migas 2001 dapat dikatakan gagal memenuhi amanat Pasal 33 UUD 1945, dari perspektif efisiensi produksi utamanya peningkatan produksi minyak mentah Indonesia. Hal yang serupa terjadi kembali dengan Putusan MK 2012. Putusan ini tidak berdampak sama sekali atas upaya peningkatan produksi minyak mentah Indonesia. Penciptaan perangkat hukum yang sia-sia dan hanya menghabiskan sumber-sumber langkah negara yang ada. Walaupun demikian, sebetulnya kita masih bisa membandingkan tingkat efisiensi dari ketiga entitas tersebut dalam aspek biaya dan penerimaan negara. Unsur biaya tersebut utamanya mencakup
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
cost recovery dan fee penjualan bagian Migas Pemerintah. Sedangkan unsur penerimaan negara adalah penerimaan pajak dan penerimaan hasil penjualan Migas bagian pemerintah. Kalu kita kembali pada opsi KKS bagi laba atau KKS bagi hasil, dalam kaitannya dengan analisa efisiensi tersebut, sementara dapat kita lihat bahwa ada dua kelemahan yang menonjol dari pola KKS bagi hasil. Pertama, pemerintah perlu mengeluarkan biaya cost recovery atas pembelian aset-aset yang dibeli dan digunakan oleh kontraktor KKS. Aset-aset tersebut ketika diserahkan ke pemerintah dalam waktu 20 hingga 30 tahun mendatang, sebagian sudah merupakan besi tua dan/atau teknologi yang digunakan sudah berubah. Kedua, pemerintah perlu mengeluarkan fee jasa penjualan Migas bagian pemerintah. Nilai fee tersebut berkisar antara 1,84 hingga 3,89 triliun rupiah setiap tahunnya. Sebelum UU Migas 2001 fee ini diterima PT Pertamina. Setelah UU Migas 2001 hingga Putusan MK 2012, penerima fee tersebut adalah BP Migas dan PT Pertamina. Sedangkan pasca Putusan MK 2012, penerima fee adalah SKK Migas hingga tahun 2014. Penerima fee kembali ke PT Pertamina di tahun 2015 ketika pengelolaan SKK Migas didanai oleh APBN yaitu ketika SKK Migas dijadikan Satker di Kementerian ESDM. Perkembangan fee penjualan Migas bagian pemerintah dari tahun 2007 hingga tahun 2012, disajikan di tabel dibawah ini. Formula fee tersebut 5% nilai jual – 60% pajak13. Sedangkan nilai jual merupakan hasil perkalian antara volume produksi dan harga. Grafik 2. Perkembangan Fee untuk Pertamina/BP (SKK) Migas: 2007 – 2015. Rp Triliun 2007
2.72
2008
3.71
2009
2.31
2010
2.56
2011
3.68
2012
3.89
2013
1.84
2014
1.84
2015
2.13 0
1
2
3
4
5
Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), LKPP, beberapa edisi, diolah. Perlu diketahui bahwa sebagian besar produksi minyak dan gas Indonesia berasal dari perusahaan swasta yang didominasi oleh perusahaan asing. Chevron Pacific Indonesia menguasai sebesar 47% dan PT Pertamina hanya 18%, selebihnya adalah swasta yang sebagian besar adalah swasta asing. Grafik 3 dibawah ini menyajikan komposisi produsen Migas Indonesia di tahun 2013.
13
Putusan MK 2004; data dari para pemohon.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Grafik 3. Distribusi Produksi Produsen Migas Indonesia
Produsen Migas Indonesia: 2013 PetroChina Int. (Jabung) Ltd
2%
Mobil Cepu Ltd.
4%
Cico
4%
Conoco Phillips Ind. Ltd
5%
CNOOC Ses.Ltd
5%
PHE-ONWJ
6%
Total E&P Indonesia
9%
Pertamina
18%
Chevron Pacific Indonesia
47% 0%
10%
20%
30%
40%
50%
Sumber: SKK Migas-IPA Technical Division presentation dalam PwC (2014), diolah
Grafik itu sebetulnya dapat mengarahkan kita pada opsi efisiensi dengan masih merujuk ke konstruksi KKS bagi hasil (natura/in kind). Pertanyaannya adalah PT Pertamina atau SKK/BP Migas yang paling efisien dalam mengelola sembilan perusahaan-perusahaan Migas tersebut? Jika itu SKK/BP Migas dimana letak urgensi merubah status hukumnya menjadi BUMN baru? (lihat Tabel 1 dan 2 diatas). Opsi selanjutnya adalah KKS bagi hasil, seperti sekarang, atau, KKS bagi laba seperti yang dilaksanakan di tahun 1960? Atau, pertanyaan yang lebih strategis lagi adalah apakah tidak sebaiknya pemerintah lebih menyempurnakan sistem perpajakan di sektor hulu Migas ini dan beralih ke rezim perizinan (konsesi) saja? Misalnya, dengan mengadopsi sistem Pajak Super Profit seperti yang diterapkan oleh Pemerintah Australia14. Dengan demikian, adalah mendesak sekali untuk mengembangkan perbandingan tingkat efisiensi antara berbagai pola (konstruksi) yang tersedia. Hasil ini dengan demikian dapat dijadikan sebagai sebagian rujukan dalam menyusun Naskah Akademis revisi RUU Migas 2001. Sekali lagi, semua alternatif yang tersedia tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang menjamin tingkat efisiensi tertinggi dalam kerangka tercapai “sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.” Lebih menarik lagi, kesimpulan untuk lebih fokus pada isu efisiensi tersebut mengarahkan kita pada premis awal yang disampaikan dalam tulisan ini bahwa sebetulnya Pasal 33 UUD 1945 itu tidak mengatur apa-apa. Dengan kata lain, pencabutan/pembatalan Pasal 33 UUD 1945 tidak akan menggugurkan kewajiban negara untuk memakmurkan dan mensejahterahkan segenap bangsa dan rakyat Indonesia. Secara universal, adalah fitrah suatu negara untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan sumber-sumber langkah yang tersedia, termasuk SDA Migas, dalam kerangka maksimalisasi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh, Faisal Basri, Ekonom Universitas Indonesa, bahkan menyampaikan gagasan yang lebih revolusioner. Menurutnya, tidak
14
Lihat, Australia (2010)
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
diperlukan mengutakatik SKK Migas dan/atau merevisi UU Migas2001 untuk pencapaian efisiensi pengelolaan sektor minyak dan gas bumi Indonesia. Syeirezi (2015) menyatakan: “Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM), yang dipimpin ekonom Faisal Basri, ….merilis 12 rekomendasi final, mencakup reformasi tata kelola hulu dan tata niaga hilir… …..,..TRTKM sama sekali tidak menyinggung dan merekomendasikan revisi UU Migas.” Hikmah yang dapat kita ambil disini adalah bahwa terlalu naif (sangat keterlaluan) untuk menyerahkan tafsir Pasal 33 UUD 1945 hanya kepada Tim Hakim Konstitusi. Lebih mendasar lagi, perlu kita ingat bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu terkait dengan prinsip tatanan ekonomi Indonesia. Perumusan tersebut seharusnya melibatkan juga para ekonom dan pakar pertambangan dalam skala nasional selain melibatkan para pakar hukum. Tugas Pokok Negara secara Universal Lebih jauh lagi, kita tentunya sepakat bahwa memang betul Naskah Akademis (NA) Text Box: 8 sebagai dasar dari penyusunan RUU melibatkan berbagai pakar termasuk pakar ekonomi dan USA Embassy (2016), misalnya, menyatakan: pakar teknik. Walaupun demikian, perekrutan “…The United States and many other para pakar termaksud tidak begitu terbuka dan countries have intervened in their transparans serta umumnya pembahasan economies to limit concentrations of power and address many of the social dan/atau perdebatan substansi yang dilakukan problems associated with unchecked lebih bersifat dalam lingkungan internal dan private commercial interests. As a result, tidak tuntas. Lebih parah lagi, banyak substansi the American economy is perhaps better penting NA RUU merujuk ke hasil kajian yang described as a "mixed" economy, with tidak dipublikasikan dan/atau tidak dapat government playing an important role diakses oleh publik. along with private enterprise…..” Coba kita berkunjung ke website pihakHasan (2006) menyatakan: “Prinsip hak menguasai dari negara pihak yang terkait dengan legislasi dan/atau terhadap kekayaan alamnya telah diakui produk hukum. Di website DPR RI, misalnya, secara universal dalam hubungan dan jangankan Naskah Akademis RUU, Naskah hukum internasional…seperti Resolusi RUUnya sendiri pun tidak dapat kita akses. Majelis Umum PPBB 626 (VII) tanggal 21 Kebuntuan yang serupa terjadi jika kita Desember 1952….Declaration on the berkunjung baik ke website Kementerian Human Environment (1972).” Hukum dan Hak Asasi Manusia maupun ke Kementerian Sektretariat Negara. Semua instansi pemerintah tersebut hanya menyediakan peraturan perundang-undangan yang sudah disyahkan. Dengan demikian, sulit untuk mengatakan bahwa NA RUU sejauh ini sudah mengakomodir arus utama berbagai disiplin ilmu yang yang dibutuhkan. Untuk itu, penulis berpendapat memang sebaiknya jangan membuat UU Migas baru dulu sebelum adanya kesepakatan nasional tentang tafsir frasa “dikuasai oleh negara,” dan, tafsir frasa “sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat,” atau, lebih luas lagi, sebelum adanya penyatuan tafsir Pasal 33 UUD 1945 secara utuh. Hasan (2013) merupakan salah seorang penggagas penyatuan tafsir Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Menurutnya penyatuan tafsir tersebut lebih memberikan kepastian hukum atas tafsir frasa-frasa dalam
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Ini akan membantu meyakinkan para investor dalam pengambilan keputusan investasi. Sebaliknya, tindakan pemerintah yang tidak dapat diprediksi akan menghambat kegiatan investasi. Disini dikatakannya” “…..usaha keberhasilan menarik investasi …tergantung pada tiga faktor, yakni peluang, kestabilan politik dan kepastian hukum. … risiko ….ketidakpastian dalam hukum dan kebijakan yang memungkinkan pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang tidak dapat diprediksikan …Risiko politik ini merupakan faktor terbesar yang menghambat partisipasi modal (terutama asing) dalam kegiatan hulu migas.” Pemikiran tentang perlunya kesepakatan nasional tersebut lebih diperkuat dengan memperhatikan bahwa tafsir frasa “dikuasai oleh negara” yang serupa dan/atau mendekati dengan yang ada di sektor hulu Migas hanyalah untuk sektor kelistrikan. Disini PT PLN diberikan hak ekslusif monopoli dalam pengelolaan kelistrikan di Indonesia. Tafsir frasa termaksud berbeda untuk banyak cabang produksi yang lain yang juga penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pertama, coba lihat di sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba). Disini tidak ada perintah UU yang berlaku bahwa “kuasa pertambangan” diserahkan ke badan usaha milik negara seperti PT BA, PT Antam, dan PT Timah. Maksudnya, tidak ada perintah UU yang mewajibkan perusahaan swasta untuk membuat perikatan bisnis dengan BUMN-BUMN termaksud seperti yang ditafsirkan oleh MK untuk sektor hulu Migas. Di sektor Minerba ini Kuasa Pertambangan diserahkan oleh negara kepada Pemerintah dan selanjutnya Pemerintah c.q. Kementerian ESDM menerbitkan semacam surat Izin Usaha Pertambangan. Kedua, coba lihat juga sektor-sektor pertanahan, perkebunan, kehutanan, dan sumber daya air. Di kesemua sektor itu tidak ada UU yang berlaku sejauh ini yang menyerahkan kuasa sektornya ke badan usaha milik negara. Negara menyerahkan kuasa sektor masing-masing tersebut ke Pemerintah dan selanjutnya Pemerintah c.q. kementerian dan lembaga negara terkait menerbitkan semacam konsesi, atau surat izin pungusahaan (izin usaha). Di sektor agraria, Hasan (2013) berpendapat bahwa pengertian kata “dikuasai” dari Pasal 33 UUD 1945 tidak identik dengan kata “dimiliki”. Pengertian kata dikuasai itu menurutnya adalah sebagai: “ ‘yang memberi wewenang kepada negara’ sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk: 1). Mengatur dan menyelenggarakan …. ; 2). Menentukan dan mengatur hak-hak….; 3).Menentukan dan mengatur …. mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran rakyat.” Jelas sekali bahwa tafsir Pasal 33 UUD1945 yang dituangkan dalam UU Agraria ini tidak menyatakan bahwa sektor agraria harus dikelola langsung oleh pemerintah melalui BUMN. Ini menjadi tambah menarik mengingat sejauh ini tidak ada atau belum adanya yang menggugat bahwa UU yang mengatur sektor-sektor tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Lebih luas lagi serta merisaukan jika kita melihat fakta atas terjadinya deplesi SDA ini dalam skala yang besar. Ini utamanya sangat jelas untuk sektor minyak bumi dan hutan alam.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Dibawah ini disajikan analisis tafsir frasa “dikuasai oleh negara” yang lebih terurai untuk masingmasing sektor (cabang produksi) tersebut termasuk juga untuk sektor Migas. Selain itu, sajian termaksud akan dimulai dengan tafsir yang ada di Era Awal-awal kemerdekaan.
Era Awal-awal Kemerdekaan Era ini ditandai oleh semangat kebangsaan yang sangat tinggi tetapi organ-organ dan aset pemerintah sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, masih merupakan warisan kolonial Belanda. Tafsir penguasaan oleh negara adalah identik dengan kepemilikan dan pengelolaan langsung pemerintah atas aset-aset yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ini dilakukan oleh jawatan-jawatan dan dinasdinas pemerintah misalnya untuk kegiatan angkutan trem dan bis kota serta penyediaan air minum. Lebih jauh lagi, beberapa perusahaan minyak asing yang sudah memiliki konsesi kuasa pertambangan sebelumnya masih diizinkan untuk beroperasi. Beberapa diantaranya adalah Royal Dutch/Shell dan Standard-Vacuum Oil Company (Stanvac) serta Caltex, yang masa konsensinya akan berakhir pada tahun 195115. Wilayah Pertambangan Stanvac di Sumatera Selatan dan Caltex/Royal Dutch/Shell rasanya di Sumatera Utara/Tengah/Riau. Kegiatan eksplorasi dan/atau esploitasi dari masing-masing perusahaan asing tersebut kemudian diperpanjang sekitar 25 hingga 30 tahun lagi, walaupun dengan pola izin/kontrak dengan Indonesia yang berbeda. (Disarikan dari Hasan (2006) dengan diberikan sedikit penekanan dan tambahan ilustrasi)
Sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas) Uraian tentang sektor minyak dan gas bumi sudah disampaikan diatas dengan cukup terinci. Disini hanya akan ditambahkan dua elemen penting. Pertama, rangkuman tafsir-tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 Pra-Putusan Mahkamah Konstitusi 2012. Kedua, tambahan ilustrasi atas tiga pengujian UU Migas 2001 yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi. Ada dua kesimpulan dari tafsir frasa “dikuasai oleh negara,” Pasal 33 UUD 1945 sektor minyak dan gas Pra-Putusan Mahkamah Konstitusi 2012. Pertama, pengertian sektor migas dikuasai oleh negara adalah identik dengan kepemilikan dan penguasaan langsung (melalui dinas/jawatan pemerintahan) atau tidak langsung oleh negara (melalui badan usaha/perusahaan milik negara seperti PT Pertamina). Isu terpenting disini adalah deals dengan perusahaan-perusahaan pertambangan diserahkan kepada dinas/jawatan pemerintah (penguasaan langsung) dan kemudian berubah menjadi itu diserahkan hanya ke PT Pertamina (penguasaan tidak langsung). (UU Pertambangan tahun 1960 dan UU PT Pertamina tahun 1971). Kedua, deals dengan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut diserahkan kepada BHMN BP Migas. Walaupun demikian, konsep yang dipegang adalah yang terpenting negara tetap mengatur dan/atau mengendalikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak termasuk cabang produksi hulu minyak dan gas bumi. Dengan kata lain, pengelolaan sektor hulu migas (eksplorasi dan eksploitasi) beralih dari yang sebelumnya dilakukan secara monopoli oleh PT Pertamina (d/h PN Pertamina) menjadi dilakukan oleh BP Migas. (UU Migas 2001) 15
Encyclopedia.com. 2004. Pertamina: International Directory of Company Histories. 2004. Diakses 27 April 2016
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
UU Migas tahun 2001 mengalami tiga kali gugatan dan pada gugatan ketiga Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membubarkan BP Migas. Keputusan ini terutama didasarkan pada pertimbangan hukum MK bahwa tugas dan fungsi entitas BP Migas, utama yang terkait dengan dengan pembuatan deals dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, bertentangan dengan semangat frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945. Selanjutnya ditegaskan bahwa tugas dan fungsi BP Migas perlu dikembalikan lagi ke badan usaha milik negara semacam PT Pertamina walaupun tidak harus tunggal. Berikutnya dan sebagai bahan perbandingan, disajikan juga tafsir/interpretasi frasa “dikuasai oleh negara” menurut beberapa UU yang lain yang tentunya terkait dengan sektor produksi yang penting bagi negara dan/atau sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak yang lain juga. Ini mencakup sektor mineral dan batubara, sektor agraria (pertanahan), sektor kehutanan, sektor perkebunan, dan sektor daya air.
Gugatan/Pengujian UU No 22/2001 ke Mahkamah Konstitusi
Gugatan Kedua UU Migas 2001 Putusan Nomor: 20/PUU-V/2007, 13 Desember 2007
Gugatan atau permohonan pengujian UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Penggugat: Gas Bumi ke Mahkamah Konsitusi (MK) 1. Zainal Arifin; 2. Sonny Keraf; 3. Alvin Lie; 4. Ismayatun; 5. sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Hendarso Hadiparmono; 6. Bambang Wuryanto; 7. Dradjad Gugatan pertama, 2003 – 2005, dan Wibowo; dan 8. Tjatur Sapto Edy. (Kesemuanya adalah ketiga, 2012, pada prinsipnya anggota DPR RI 2004 – 2009) mencakup substansi (materi) Hakim Konstitusi: mendasar yang sama yaitu menggugat 1. Jimly Asshidiqie; 2. H.A.S. Natabaya; 3. H.M. Laica agar kewenangan pengelolaan sektor Marzuki; 4. H Achmad Roestandi; 5. H. Abdul Mukthie minyak dan gas bumi Indonesia Fadjar; 6. Soedarsono; 7. H. Harjono; 8. Maruarar Siahaan; diserahkan kembali ke BUMN seperti dan 9. I Dewa Gede Palguna PT Pertamina. Ini menurut para penggugat adalah wujud/implementasi yang paling benar dari semangat Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, institusi seperti BP Migas perlu dibubarkan karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam gugatan ketiga ini, seperti sudah disajikan diatas, sebagian besar permohonan pengujian pasal-pasal UU Migas a quo diterima oleh Mahkamah dan diantaranya yang paling penting adalah pembubaran BP Migas. Sebaliknya, dalam gugatan pertama hanya permohonan yang tidak prinsipil dan tidak memiliki dampak penting yang diterima oleh Mahkamah. Selanjutnya, gugatan kedua mencakup substansi yang berbeda dibandingkan dua gugatan yang disebutkan terdahulu itu. Gugatan kedua ini lebih terkait dengan fungsi dan wewenang DPR dalam persetujuan/pengawasan perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah. Gugatan kedua ini ditolak sepenuhnya sebab MK berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kualifikasi (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian suatu UU terhadap UUD 1945.
Text Box: 9
Gugatan kedua Substansi gugatan kedua ini, yang dimohonkan oleh perseorangan sebanyak delapan orang dan mereka ini semuanya adalah anggota DPR RI ketika itu, menuntut adanya persetujuan DPR atas kontrak yang Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Commented [AU1]: mungkin sektor listrik perlu juga diulas sedikit.
dibuat oleh BP Migas dengan para para kontraktor perusahaan pertambangan. Dengan kata lain, menurut mereka bahwa tidak cukup kontrak termaksud hanya dilaporkan saja ke DPR tetapi setiap kontrak antara BP Migas dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap asing harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR. Kontrak-kontrak tersebut menurut para pemohon ini adalah sama dengan Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Catatan text box16. Pasal-Pasal UUD 1945 yang mereka rujuk adalah Pasal 11 ayat (2), yang berbunyi: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Menurut para pemohon tersebut, Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tersebut sudah sudah dilanggar oleh Pasal 11 Ayat (2) UU Migas No. 22/2001, yang selengkapnya berbunyi: “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.” Perjanjian internasional tersebut menurut UUD 1945 harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR. Sebaliknya, itu tidak perlu menurut UU Migas karena perjanjian/kontrak yang dibuat oleh BP Migas tersebut tidak termasuk Perjanjian Internasional seperti yang dimaksud oleh UUD 1945 tersebut. Dengan kata lain, para pemohon menyatakan pasal dalam UU Migas diatas bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dan untuk itu perlu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai “bertentangan dengan konstitusi dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.” Persisnya, mereka menuntut agar Pasal 11 ayat (2) tersebut dicabut. Gugatan kedua ini ditolak secara keseluruhan oleh MK sebab para pemohon tidak memenuhi syarat (legal standing) untuk menyampaikan permohonan pengujian UU a quo terhadap UUD 1945. Pendapat MK [3.13] bullet 8 berbunyi: “…para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK, .. Dengan demikian, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) selaku para Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang a quo.” Mahkamah juga memberikan penjelasan tambahan bahwa jikapun permohonan tersebut dikabulkan, artinya Pasal 11 ayat (2) UU Migas termaksud dicabut, posisi DPR dalam kaitan kontrak BP Migas ini bertambah buruk dengan tidak tersedianya akses informasi langsung terhadap kontrak-kontrak tersebut. BP Migas tidak mempunyai lagi kewajiban untuk menyampaikan secara tertulis atas kontrak kerja sama yang sudah ditandatanganinya. Keterangan ini konsisten dengan Putusan Mahkamah tahun 2012 yang tidak mencabut pasal ini ketika sebagian besar pasal-pasal dalam UU Migas a quo dinyatakan tidak berlaku (tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat). Mungkin bermanfaat untuk mengetahui bahwa para pemohon tidak dapat dapat menghadirkan bukti yang kuat tentang kerugian yang sudah mereka alami dan/atau berpotensi untuk dialami dengan berlakunya UU a quo ini. Mereka hanya menyatakan bahwa terdapat arus uang yang demikian besar dalam pengelolaan sektor hulu Migas dan oleh karena itu penandatanganan kontrak KKS harus mendapat 16
Nama Hakim I Dewa Gede Palguna tidak tercantum dalam File PDF Putusan MK No. 20/PUU-V/2007
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
persetujuan terlebih dahulu dari DPR. Dengan adanya persetujuan terlebih dahulu dari DPR ini, maka, menurut pemohon, potensi kerugian negara dapat dihindari dan/atau diminimalisir. Hanya pernyataan verbal itu saja. Tidak ada dukungan fakta, data, apalagi analisism yang mumpuni. Alasan permohonan pengujian 3.3.4.2 berbunyi: “……betapa besarnya pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan minyak dan gas bumi yang ada di bumi dan air Indonesia, yang apabila tanpa …..diawasi secara ketat oleh DPR-RI dalam bentuk pemberian persetujuan, akan sangat berpotensi merugikan Negara, …..” Gugatan pertama Tuntutan utama para pemohon Disini para pemohon tidak menggugat pasal-pasal tertentu dari UU Migas 2001 ini melainkan mereka menggugat UU a quo secara keseluruhan. Untuk itu para pemohon menyampaikan 20 alasan/unsur yang menurut mereka membuktikan bahwa UU Migas a quo bertentangan dengan Pasal 33 Persyaratan Legal Standing UUD 1945. Untuk mendukung alasan ini, Text Box: 10 kemudian mereka tambahkan penjelasan a) Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; tentang lima dampak buruk (negatif) dari b) Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut berlakunya UU Migas ini, yang dilengkapi dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh dengan uraian/paparan tentang kontribusi undang-undang yang diuji; efisiensi monopoli alamiah sektor c) Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang pertambangan Migas Indonesia yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual dimiliki oleh PT Pertamina selama ini. atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat Penyampaian 20 alasan/unsur dipastikan akan terjadi; yang menurut para pemohon tersebut d) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) bertentangan dengan konstitusi, dimulai antara kerugian dan berlakunya undang-undang dengan pengungkapan fakta sejarah yang dimohonkan untuk diuji; tentang tafsir frasa “dikuasai oleh negara”. e) Adanya kemungkinan bahwa dengan Disini frasa itu mereka identikan dengan dikabulkannya permohonan tersebut maka pemberian hak eksklusif monopoli kepada kerugian konstitusional yang didalilkan tidak PT Pertamina (d/h PN Pertamina) dalam akan atau tidak lagi terjadi. pengelolaan pertambangan minyak dan gas bumi Indonesia termasuk pengelolaan sektor hilir (kilang) dan distribusi BBM dan Putusan MK No. 006/PUU-III/2005 gas. Kesemua ini sebetulnya hanyalah perintah UU Pertambangan tahun 1960 dan UU Pertamina tahun 1971. Kedua UU ini dibatalkan oleh UU Migas 2001. Butir 1.c. pertimbangan pemohon berbunyi: “Dalam hal ini pengertian "dikuasai oleh negara" di dalam Pasal 33 UUD 1945 bagi kekayaan alam minyak dan gas bumi ……secara fakta historis ditunjukkan oleh kenyataan dikuasainya lapangan MIGAS berikut kilang ….. oleh negara (c.q. Perusahaan Milik Negara/BUMN). ….. secara prinsipiil Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
setelah masa kontraknya berakhir maka lapangan17 yang dikerjakan oleh Kontraktor Bagi Hasil tersebut harus kembali kepada negara c.q. BUMN ….” Dalam pengungkapan fakta sejarah ini juga para pemohon menyebut dua orang founding fathers Indonesia, Mr. Wilopo dan Bung Hatta, dalam kapasitas sebagai Ketua dan Penasehat Komisi Anti Korupsi tahun 1969/70. Mereka juga menyatakan bahwa Bung Hatta (Mantan Wapres Presiden Soekarno) sebagai arsitek dari Pasal 33 UUD 1945. Disini para pemohon mengemukakan bahwa Beliau berdua itulah yang menginisiasi pembentukan PN Pertamina di tahun 1971 dan dengan demikian pemberian hak eksklusif monopoli PN Pertamina untuk mengelola sektor (cabang produksi) minyak dan gas bumi Indonesia adalah wujud nyata dari pelaksanaan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD !945. Selanjutnya pemohon menyatakan bahwa PN Pertamina diberikan wewenang untuk menandatangani kontrak dengan badan usaha swasta. Ini merupakan bagian dari pertimbangan butir 1.b pemohon, yang berbunyi: “PERTAMINA diperbolehkan menjalin kerjasama dengan perusahaan swasta nasional maupun asing dalam bentuk Production Sharing Contract (selanjutnya disingkat PSC) sehingga para pengusaha asing dan nasional hanya berperan sebagai kontraktor jasa dari BUMN.” Dengan kata lain, para pemohon berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 menghendaki agar yang melakukan deals dengan perusahaan Migas swasta hanyalah BUMN dan BUMN itu adalah PT Pertamina. Namun demikian, terlepas dari adanya perintah dari UU pertambangan dan UU Pertamina yang sudah dibatalkan tersebut, para pemohon tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang pentingnya untuk mempertahankan PT Pertamina sebagai pengelola deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap. Para pemohon hanya memberikan alasan-alasan secara parsial, sepotong-sepotong, dan tidak komprehensif. Misalnya, mereka menyampaikan beberapa isu terkait dengan keberlanjutan dan/atau investasi pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Sebagai contoh adalah utang untuk investasi seperti utang investasi invetasi pembangunan LNG Arun. Menurut pemohon, utang ini akan jadi utang PT Pertamina tetapi jika dilakukan oleh BP Migas itu akan jadi utang Pemerintah. (Penjelasan Tim Ahli Pemohon: Ir. Ramses Octavianus Hutapea). Tidak disampaikan perbandingan tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan utang antara jika dilakukan oleh PT Pertamina dan jika dilakukan oleh BP Migas. Contoh lain yang disampaikan oleh para pemohon terkait dengan rendahnya kinerja penandatangan kontrak kerja sama (KKS) yang dilakukan oleh BP Migas. Menurut mereka, hingga gugatan ini disampaikan ke MK (2002 – 2003) hanya ada 1 (satu) KKS yang berhasil ditandatangani oleh BP Migas. Dilanjutkan dengan pernyataan bahwa seharusnya minimal 10 KKS yang ditandatangani setiap tahun agar Indonesia dapat menambah produksi minyak sebesar 500 juta barrel setiap tahunnya dalam kerangka menghindari posisi Indonesia sebagai net importer minyak mentah. Pemerintah menyatakan bahwa pendapat para pemohon ini salah. Sudah ada 17 KKS yang disetujui (ditandatangani?) hingga saat gugatan ini disampaikan ke MK. Namun demikian, pemerintah tidak menyampaikan perkembangan produksi minyak mentah Indonesia dibawah rezim BP Migas. Jika kita melihat grafik perkembangan produksi minyak mentah Indonesia diatas, terlihat bahwa BP MIgas tidak mampu mencegah penurunan produksinya. Selain itu, seperti sudah disampaikan terdahulu bahwa baik PT Pertamina, BP Mgas, maupun SKK Migas tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengrem laju penurunan produksi tersebut.
17
Sebetulnya bukan ladang migas itu saja yang kembali ke pemeritah tetapi aset lain perusahaan pertambangan kontraktor tersebut yang mencakup mesin dan peralatan juga harus diserahkan ke pemerintah. Ini disebabkan pemerintah sudah membayar aset termaksud melalui mekanisme cost recovery. Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesimpulan para pemohon bahwa deals yang dilakukan oleh BHMN seperti SKK MIgas adalah bertentangan dengan konstitusi, hanyalah retorika frasa hukum belaka. Ini tidak terkait dengan tindakan konkrit peningkatan efisiensi yang mencakup efisinsi peningkatan produksi minyak mentah yang gagal dilaksanakan. Selain itu, itu juga tidak terkait dengan bukti konkrit implementasi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan bersandar kepada tolok ukur efisiensi. Para pemohon lebih banyak mengulas dan mengkutak-katik frasa hukum yang terkait. Misalnya, pandangan mereka bahwa hanya PT Pertamina yang diperintahkan oleh Pasal 33 UUD 1945 untuk melakukan deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap tertuang dalam pertimbangan hukum pemohon (butir lima). Alinea terakhir dari butir 5 ini berbunyi: “Pengertian dikuasai oleh negara sebenarnya telah dengan tepat diterjemahkan dan atau diartikan oleh Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, yaitu sebagai: ……..1. ………3. Khusus untuk endapan Migas, pelaksanaan pertambangan Migas hanya diusahakan oleh negara dan dilakukan oleh Perusahaan negara yang diberi Kuasa Pertambangan oleh negara.”
Gugatan Pertama UU Migas 2001 Putusan No: 002/PUU-I/2003, 15 Desember 2004 Text Box: 11 Penggugat: 1. APHI (Asosiasi Penasehat Hukum Indonesia) Jakarta; 2. PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Asasi Indonesia) Jakarta; 3. Yayasan 324, Jakarta; 4.SNB (Solidaritas Nusa Bangsa), Jakarta; 5. SP KEP – FSPSI Pertamina, Jakarta; dan 6. Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, Jakarta Hakim Konstitusi: 1. Jimly Asshidiqie; 2. H.A.S. Natabaya; 3. H.M. Laica Marzuki; 4. H Achmad Roestandi; 5. H. Abdul Mukthie Fadjar; 6. Soedarsono; 7. H. Harjono; 8. Maruarar Siahaan; dan 9. I Dewa Gede Palguna
Selanjutnya dalam 20 alasan atau pertimbangan tersebut, pemohon menyatakan minimal ada dua alasan pokok dari Pengaturan Kuasa Pertambangan (KP) di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Alasan pertama dari pemohon berbunyi: “Pengertian/definisi KP di dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001 hanya dibatasi pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi saja seperti dinyatakan: "Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi”
Dengan kata lain, para pemohon tidak setuju dengan kebijakan untuk memisahkan (unbundling) sektor hulu dan sektor hilir Migas. Ini berarti, menurut para pemohon, Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001 ini telah meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus sepenuhnya mencakup sektor hulu hingga dan sektor hilir Migas. Sedangkan dalam alasan kedua, pemohon dengan keras menyatakan bahwa adalah kesalahan besar dan bertentangan dengan Pasal 33 UUD untuk memberikan KP kepada badan usaha dan bentuk usaha tetap (semuanya perusahaan asing). Alasan kedua ini berbunyi: “…….Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2001 yang menentukan bahwa Menteri menetapkan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)…….” Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi untuk permohonan ini praktis tidak berdampak sama sekali. Putusan ini tidak menyentuh sama sekali keberadaan entitas BP Migas, yang mengelola sektor hulu Migas, dan entitas BPH Migas, yang mengelola sektor Hilir Migas. Pasca, Putusan MK ini, semuanya berjalan seperti biasa, dan ini lebih populer dengan kata business as usual. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang hanya terkait dengan pasal-pasal dan/atau ayat-ayatnya yang tidak strategis. Itupun hanya terkait dengan tiga pasal saja dari UU Migas 2001 yang digugat secara keseluruhan; 14 Bab dan 66 Pasal. Lebih jauh lagi, itupun hanya beberapa bagian/ayat dari pasal-pasal termaksud. Pasal dan/atau ayat-ayatnya yang dibatalkan oleh MK tersebut adalah: “Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) Undangundang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi….” Coba kita lihat Pasal 12 ayat (3) yang kata-kata “diberi wewenang” dibatalkan. “Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”. Dengan dibatalkannnya kata “diberi wewenang,” maka Pasal 12 ayat 3 berbunyi: “Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”. Penghapusan dua kata tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali baik bagi perusahaanperusahaan Migas maupun bagi BP Migas. Ada atau tidak ada kata “diberi wewenang,” perusahaanperusahaan tersebut tetap melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas seperti biasanya. Yang lebih menarik adalah ketika penulis mengunduh UU Migas 2001 di tahun 2015; 11 tahun pasca keputusan MK 2004 ini. Penulis belum menemukan Copy PDF yang Pasal 12 ayat 3 tersebut sudah hilang kata-kata “diberi wewenang.” Copy PDF yang berhasil diunduh adalah seperti naskah asli UU Migas 2001 tersebut yaitu yang masih tercantum kata-kata “diberi wewenang”. Kita lihat juga Pasal 22 ayat (1) yang kata-kata “paling banyak” dibatalkan/dicabut dari pasal ini. “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.” Dengan dibatalkannya kata “paling banyak tersebut,” maka pasal ini berbunyi:
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.” Pasal ini menjadi janggal sebab jika pemerintah hanya membutuhkan kurang dari 25%, maka apa pemerintah wajib membeli dalam volume yang lebih besar dari kebutuhan? Juga, misalkan tidak ada kesepakatan harga antara BU dan/atau BUT tersebut, apa arus pasokan itu tidak terkendala? Lebih jauh lagi, MK gagal menghadirkan bukti kuantitas pasokan dan kebutuhan Migas dalam negeri Indonesia. Terakhir kita lihat Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang sepenuhnya dicabut/dibatalkan oleh MK. “(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”. Dengan demikian Pasal 28 hanya memiliki satu ayat saja yaitu ayat (1), yang berbunyi: “Bahan Bakar Minyak serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.” Ini pernyataan normatif dan bersifat universal. Pemerintah di negara manapun wajib melakukannya terlepas ada atau tidak adanya UU yang berlaku di negara masing-masing. Bahkan setiap produk olahan dan/atau fabrikan wajib mengikuti standar dan mutu yang ditetapkan pemerintah. Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi tetap mengikuti mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Kenapa? Karena BBM dan BBG itu dibelinya dari mekanisme persiangan usaha yang sehat dan wajar. Misalnya, ketika itu subsidi BBM dan BBG tetap diberlakukan seperti biasanya. Sekarang subsidi pemerintah untu BBM dan BBG tinggal sedikit sekali dan dengan demikian sudah mendekati titik harga yang searah dengan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Gugatan Ketiga Seperti sudah disampaikan terdahulu, UU No. 21/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi digugat untuk ketiga kalinya ke Mahkamah Konstitusi (MK) Pada tanggal 29 Maret 2012. Bagian terpenting dari gugatan ketiga ini yang dikabulkan oleh Keputusan MK No. 36/PUU-X/2012 ini adalah pembubaran BP Migas dan tugas BP Migas diserahkan ke pemerintah (Kementerian ESDM) sampai dengan disyahkannya UU Migas yang baru. Terdahulu juga sudah disampaikan analisis tentang putusan MK ini secara terurai dan kritis. Ini mencakup tentang pembatalan-pembatalan tersebut yang tidak memiliki implikasi sosial ekonomi dan untuk entitas BP MIgas hanya berubah nama menjadi SKK Migas saja. Operasi SKK Migas dapat dikatakan persis sama dengan operasi BP MIgas.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Selanjutnya, disini hanya disajikan beberapa unsur penting dari Putusan MK 2012 in. Unsur-unsur tersebut adalah: 1. Pasal-pasal yang dibatalkan yang terkait langsung dengan BP Migas; 2. Daftar pemohon dan Tim Ahli serta Tim Hakim Konstitusi; dan 3. Analisis Dissenting Opinion Hakim Konstitusi Harjono. Terdapat enam pasal yang terkait langsung dengan pembubaran BP Migas, yaitu: 1. Pasal 1 angka 23; 2. Pasal 4 ayat (3); 3. Pasal 41 ayat (2); 4. Pasal 44; 5. Pasal 45; dan Pasal 61. Kutipan lengkap dari keenam pasal tersebut disajikan dibawah ini. Pasal 1 angka 23 berbunyi: “Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.” Pasal 4 ayat (3) berbunyi: “Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.” Pasal 41 ayat (2) berbunyi: “Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.” Pasal 44 berbunyi: “(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal a ayat (3).” “(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap Kegiatan usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.” “(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. Dst; b. Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. Dst; d. dst; e. Dst; f. Dst.; dan g. Menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.” Pasal 45 berbunyi: “(1) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) merupakan badan hukum milik negara.” “(2) Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, dst.” “(3) Kepala Badan Pelaksana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan dalam melaksanakan tugas bertanggung jawab kepada Presiden.” Pasal 61 berbunyi: “Pada saat Undang-undang ini berlaku: a. Pertamina tetap melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan kontraktor Eksplorasi dan Eksploitasi Kontraktor Kontrak Bagi Hasil sampai terbentuknya Badan Pelaksana; b. Pada saat terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana untuk melanjutkan Eskplorasi dan Eksploitasi pada bekas Wilayah Kuasa Pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga.” Tabel 3. Daftar Hakim Konstitusi pada Gugatan Ketiga UU Migas tahun 2001 No. Nama Hakim Konstitusi Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012. Urut 1. Moh. Mahfud MD (Ketua merangkap Anggota) 2. Achmad Sodikin (Anggota) 3. Harjono (Anggota) 4. Hamdan Zoelva (Anggota) 5. M. Akil Mochtar (Anggota) 6. Muhammad Alim (Anggota) 7. Maria Farida Indrawati (Anggota) 8. Ahmad Fadkik Sumadi (Anggota) 9. Anwar Usman (Anggota)
Tabel 4. Daftar Penggugat pada Gugatan Ketiga UU Migas 2001: Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012 No. Urut Nama dan Kota Pemohon No. Urut Nama dan Kota Pemohon 1. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 22. Adhie M. Massardi, Bekasi, Jabar Yogyakarta dan Jakarta 2. Lajna Siasiyah Hizbut Tahrir 23. Ali Mochtar Ngabalain, Jakarta Indonesia, Jakarta 3. Pimpinan Pusat Persatuan Ummat 24. Hendri Yosodiningrat, SH., Jakarta Islam, Jakarta 4. Pimpinan Pusat Syarikat Islam 25. Laode Ida, Jakarta Indonesia, Jakarta 5. Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah 26. Sruni Handayani, Jakarta Syarikat Islam, Jakarta 6. Pimpinan Pusat Persaudaraan 27. Juniwati T. Maschun S., Jakarta Muslimin Indonesia, Jakarta 7. Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al- 28. Nuraiman, Tangerang, Banten Islamiyah, Jakarta 8. Pimpinan Besar Pemuda Muslimin 29. Sultana Saleh, Jakarta Indonesia, Jakarta 9. Al-Jami’yatul Washliyah, ? 30. Marlis, Jakarta 10. Solidaritas Juru Parkir, Jakarta 31. Fauziah Silvia Thalib, Jakarta 11. K.H. Achmad Hasyim Muzadi, 32. King Faisal Sulaiman, SH, LLM., Ternate, Malang Maluku Utara
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Drs. H. Amidhan, Jakarta Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Tanggerang, Banten Dr. Eggi Sudjana, SH, M.Si., Bogor Marwan Batubara, Jakarta Drs. Fahmi Idris, MH., Jakarta Moch. Iqbal Sullam, Jakarta Drs. H. Ichwan Sam, Bekasi, Jabar Ir. H. Salahuddin Wahid, Jombang, Jawa Timur Nirmala Chandra Dewi M., SH, Jakarta HM. Ali Karim Oei, SH, Jakarta
33. 34.
Soerasa, BA., Jakarta Mohammad Hatta, Jakarta
35. 36. 37. 38. 39. 40.
M. Sabil Raun, Jakarta Edy Kuscahyanto, SSI, Jakarta Yudha Ilham, SH., Cianjur, Jabar Joko Wahono, Yogyakarta Dwi Saputro Nugroho, Jakarta A.M. Fatwa, Jakarta
41.
Hj. Elly Zanibar Madjid, Jakarta
42,
Jamilah, Jakarta.
Tabel 5. Daftar Ahli pada Gugatan Ketiga UU Migas 2001: Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012 No. Urut Ahli Pemohon No. Urut Ahli Pemerintah 1. Dr. Kurtubi 1. Rudi Rubiandini 2. Dr. Ichsanudin Noorsy 2. Dr. Ir. Rachmat Sudibyo 3. Kwik Kian Gie 3. Dr. Erman Rajagukguk 4. Irman Putra Sidin ‘4. Prof. Dr. Hikmahanto Juwana 5. Margarito Kamis ‘5. Sampe L. Purba 6. Rizal Ramli
Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Keputusan MK No. 36/2012 tidak ditetapkan dengan suara bulat (aklamasi). Diantara sembilan, satu hakim konstitusi yaitu Harjonoi menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Pendapat yang berbeda tersebut dituangkannya dalam delapan butir pendapat yang jika delapan hakim konstitusi yang lainnya tersebut, sebaliknya, sependapat dengan Hakim Konstitusi Harjono, entitas lembaga negara BP Migas tidak perlu dibubarkan. Butir pertama dissenting opinion Hakim Konstitusi ini adalah sangat mendasar yaitu para pemohon tidak memenuhi persyaratan legal standing (kedudukan hukum) untuk menggugat UU Migas No. 22/2001. Mahkamah Konstitusi yang mengadili perkara ini, menurut Hakim Konstitusi Harjono, gagal memperlihatkan bukti yang kuat dan shahih tentang adanya kerugian dan/atau potensi kerugian para pemohon dengan berlakunya UU nomor 22/2001 utamanya yang terkait dengan pasal-pasal pengalihan sebagian tugas PT Pertamina ke BP Migas. Kutipan dari sebagian substansi butir pertama tersebut: “Bahwa Mahkamah kurang saksama dalam mempertimbangkan legal standing para Pemohon ..... Mahkamah tidak mengemukakan argumentasi yang sangat mendasar, yaitu bagaimana hak para
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas yang dimohonkan untuk diuji......” Penulis sepakat dengan pendapat Hakim Konstitusi Harjono ini. Coba kita lihat pokok pertimbangan tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon yang dituangkan dalam butir [3.7] Pertimbangan Hukum Mahkamah, yang berbunyi: “........menurut Mahkamah, para Pemohon dikategorikan sebagai perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) yang secara potensial dirugikan hak konstitusional mereka oleh berlakunya pasal-pasal dari UU Migas.... Oleh karena itu, menurut Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.” Kata kunci yang penting disini adalah potensi18 kerugian. Artinya Mahkamah berpendapat bawah sejak berlakunya UU Migas tahun 2001 hingga saat Putusan Mahkamah ini diambil yaitu pada tahun 2012, atau, selama sekitar 11 tahun, Mahkamah tidak memiliki bukti yang kuat bahwa Para Pemohon tersebut sudah dirugikan hak-hak konstitusional mereka oleh pasal-pasal UU Migas tersebut. Mahkamah hanya membuat penalaran yang “wajar” bahwa Para Pemohon tersebut akan dirugikan pada masa yang akan datang. Walaupun demikian, tidak jelas bagaimana cara Mahkamah menghasilkan penalaran yang wajar bahwa kerugian termaksud pasti akan terjadi. Menurut penulis potensi kerugian tersebut, yang seharusnya tetapi gagal diperlihatkan dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah tersebut, harus diuraikan serinci mungkin yang mencakup dari satu atau beberapa unsur-unsur sebagai berikut yaitu: lingkungan, limbah, kesempatan bekerja/berkarir, cadangan migas, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, investasi, penerimaan negara, harga migas dalam negeri, produksi pengolahan migas. dan pasokan migas untuk produksi dan konsumsi dalam negeri. Misalnya, Mahkamah, berdasarkan hasil analisis Ahli (kualitatif dan/atau kuantitatif termasuk pendekatan modeling), berkeyakinan bahwa akan terjadi kerusakan lingkungan yang parah dan/atau terjadinya deplesi cadangan migas yang sangat besar jika tugas dan wewenang lembaga negara semacam BP Migas tidak dicabut dan tidak diserahkan kembali ke BUMN semacam Pertamina yang tidak harus tunggal. Menarik untuk disajikan disini bahwa terdapat ratusan blok migas yang sudah dikontrakkan oleh BP Migas dengan para kontraktor, dalam sekitar 11 tahun tersebut. Namun Mahkamah tidak menemukan satupun dari kegiatan usaha pertambangan dari ratusan blok migas tersebut yang secara spesifik (aktual) telah merugikan Para Pemohon akibat kontrak kerja sama tersebut dilakukan oleh BP Migas dan bukan dilakukan oleh PT Pertamina, seperti dalam periode-periode sebelumnya. Sebagai contoh dan sejauh informasi yang penulis dapat akses, BP Migas sudah menandatangani Kontrak Kerja Sama 12 Blok Migas dengan perusahaan swasta di tahun 2004. Perusahaan-perusahaan swasta tersebut antara lain adalah: 1. Anardako Petroleum (North East Madura III); 2. Petronas Carigali (North East Madura IV); 3. PT Waropen Perkasa (Manokwari Papua); 4. PT Medco E &P Indonesia
18
Definisi kerugian potensial menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: “Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat .....potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.” Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
(Nunukan, Kaltim); 5. Transworld Exploration Ltd ( Aceh-NAD); dan 6. Genting Oil and Gas LPG (Natuna)19. Penulis yakin bahwa ada puluhan blok migas dalam tahun-tahun berikutnya yang dikontrakan oleh BP Migas ke badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap.
Sektor Kehutanan Eksploitasi kawasan hutan Indonesia yang dikenal sebagai hutan tropis basah (tropical rain forest) yang terluas di dunia setelah Brazilia di Amerika Selatan sudah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Walaupun demikian, eksploitasi secara besar-besaran mulai dilakukan pada awal-awal rezim Orde Baru Soeharto dan mencapai puncaknya di tahun 1980an. Menurut Gillis (1988) Indonesia menguasai 40 persen ekspor kayu bulat/gelondongan (log) dunia di tahun 1980/81. Selanjutnya, akan disampaikan bagaimana cara negara Indonesia “menguasai” eksploitasi hutannya tersebut menurut peraturan perundangundangan yang ada sejauh ini. Semua UU Pelaksana Pasal 33 UUD 1945 beserta semua peraturan-perturan perundangan dibawahnya memberikan penafsiran yang sama atas frasa “dikuasai oleh negara” di cabang produksi (sektor) kehutanan ini. Negara (Pemerintah) diberikan mandat sebatas regulator saja sedangkan operator untuk eksploitasi kehutanan diserahkan kepada Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha MIlik Daerah, dan Badan Usaha Milik Swasta. Posisi badan usaha koperasi, badan usaha milik negara/daerah, dan badan usaha milik swasta adalah setara dan persis sama. Masing-masing beroperasi berdasarkan Izin pengusahaan hutan yang berupa konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), dan konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI).ii Izin atau pemberian hak konsesi kehutanan tersebut diterbitkan oleh Kementerian Pertanian di Era 1960an (UU No. 5 Tahun 1967iii beserta aturan-aturan pelaksananya). Sedangkan di Era 1970an hingga akhir Kabinet SBY II izin konsensi tersebut diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan dan saat ini Era Presiden Jokowi (2014 -2019), izin konsesi tersebut diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan). Payung hukum eksploitasi hutan sejak tahun 1999 hingga saat ini adalah UU Kehutanan Tahun 1999 (UU No. 41 Tahun 1999). Izin konsensi eksploitasi hutan Indonesia tersebut saat ini dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) pada hutan alam; 2. IUPHHK pada hutan tanaman; dan 3. Izin eksploitasi untuk TSL (tumbuhan dan satwa liar). Lingkup eksploitasi untuk masing-masingmasing kategori adalah sebagai berikut. IUPHHK pada hutan alam adalah izin konsensi untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan alam produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan, penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil hutan. Sedangkan IUPHHK pada hutan tanaman adalah izin konsensi untuk memanfaatkan kayu tanaman pada hutan tanaman yang kegiatanya terdiri dari penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, dan pemasaran hasil hutan kayu. Kelompok ini sebagian besar bergerak di industri pulp and papers dan Sinar Mas Grup memiliki pangsa pasar yang terbesar. Terakhir, TSl adalah perusahaan yang mengupayakan pembiakan satwa dan tumbuhan liar melalui pengembangbiakan dan pembesaran dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
19
Detikfinance.com, 2 Desember 2004, diakses 25 April 2016.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
BPS (2015) melaporkan jumlah perusahaan yang memiliki izin-izin tersebut. Menurut laporan ini terdapat 706 perusahaan kehutanan yang terdiri dari 276 perusahaan HPH (alam) atau IUPHHK pada hutan alam, 258 perusahaan hutan tanam (HPHT) atau IUPHHK pada hutan tanaman, dan 172 perusahaan Tanaman dan Satwa Liar. Sebagian besar perusahaan kehutanan tersebut berada di Pulau Kalimantan, diikuti yang berada di Pulau Sumatera. Belum dapat diakses keberadaan Koperasi dan badan usaha milik daerah di sektor kehutanan ini. Sedangkan badan usaha milik negara adalah Perum Perhutani. Menurut website Perum Perhutani areal kawasan hutan yang dimilikinya adalah 2,4 juta Ha yang tersebar di Jawa Barat dan Banten (0,7 juta Ha), di Jawa Tengah 0,6 juta Ha, dan di Jawa Timur (1,13 juta Ha). Dengan demikian, peran Perum Perhutani20 di sektor kehutanan ini sangat kecil dengan izin konsensi pengusahaan hutan yang kurang dari dua persen dari seluruh luas kawasan hutan Indonesia. Sebagai informasi tambahan, berikut ini disampaikan potret luas kawasan hutan Indonesia. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) 2015 di tahun 2013 tutupan hutan Indonesia, hutan alam yang relatif masih utuh, tinggal 82,5 juta Ha, atau, 62,6 persen dari seluruh luas kawasan hutan Indonesia. Dari jumlah ini, sebagian besar (lebih dari 51%) berada di wilayah Kalimantan Timur dan di Papua (Barat dan Timur). Sedangkan menurut Gillis (1988), luas seluruh kawasan hutan Indonesia adalah 143 juta Ha yang terdiri dari hutan alam (rain forest) 82,2 juta Ha, hutan rawa (swamp forest) 12 juta Ha, hutan sekunder (secondary forest) 14,6 juta Ha, dan hutan lain-lain 34,2 juta Ha.
Sektor Agraria UU yang mengatur agraria atau pertanahan nasional adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU ini menyatakan bahwa peran pemerintah dalam masalah pertanahan nasional hanya sebatas sebagai regulator saja. Pemerintah hanya berperan sebagai pemberi dan pencabut hak hakhak atas tanah yang dimiliki oleh orang pribadi, kelompok masyarakat, badan usaha swasta termasuk swasta asing, dan badan usaha milik negara. UU ini masih tetap berlaku hingga saat ini dan belum ada revisi atau amendmen sama sekali. Ada beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait dengan UU Pokok Agraria ini dan semuanya menetapkan bahwa peran pemerintah hanya sebagai regulator saja. Posisi perorangan, badan usaha miliki negara/daerah, dan badan usaha swasta dapat dikatakan sama yaitu terbatas sebagai pemegang hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga tahun 2014. BPN yang tadi merupakan lembaga negara yang bertanggung jawab ke presiden kemudian ditingkatkan menjadi kementerian negara dengan nama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Era Presiden Jokowi saat ini (2014 – 2019). Pasal 2 dari UU No. 5/1960 ini menyatakan: “(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 20
Produk kehutanan yang dihasilkan oleh Perum Perhutani mencakup kayu bundar (log) serta retail dan property.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.” Selanjutnya, Pasal 16 mengatur tentang jenis-jenis hak yang dapat diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang sekarang menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Kutipan penuh dari Ayat 1 Pasal 16 adalah: (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah : a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Satu dan/atau beberapa hak termaksud dalam Pasal 16 diatas dapat diberikan kepada: perorangan warga negara Indonesia, perorangan warga negara asing, badan hukum Indonesia/asing sesuai dengan peruntukan jenis-jenis hak tersebut. Tentunya dipahami bahwa badan hukum Indonesia tersebut mencakup koperasi, badan usaha milik swasta, dan badan usaha milik negara/daerah. Jelas terlihat bahwa posisi Badan Usha Milik Negara/Daerah dalam sektor pertanahan ini adalah hanya sebatas pemegang hak tanah yang dapat hanya satu jenis hak saja, atau, bebarapa hak yang lain, atau, semua hak yang tersedia. BUMN tidak diberikan mandat sama sekali untuk bertindak sebagai regulator dan/atau pemain utama dalam bidang pertanahan nasional. Kutipan penuh dari pasal-pasal yang terkait langsung dengan peran negara dan BUMN dalam bidang pertanahan ini disajikan dalam catatan akhir bab iniiv.
Sektor Daya Air Pengelolaan daya air Indonesia yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengevaluasian penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
Sumber Daya Air (UU No. 7 Tahun 2004). Disini tafsir Pasal 33 UUD 1945 atas frasa “dikuasai oleh negara” adalah pemerintah bertindak sebagai regulator yang fungsinya mencakup penerbitan hak atas air yang terdiri dari Hak Guna Air, Hak Guna Pakai Air, dan Hak Guna usaha Air. Pengertian hak guna tersebut dituangkan dalam Pasal 1 Angka 13, 14, dan 15 UU No. 7 UU tahun 2004 ini. pengendalian daya rusak air diatur dalam UU
Angka 13 “Hak Guna Air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan.”
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Angka 14 “Hak Guna Pakai Air adalah untuk memperoleh dan memakai air.” Dan Angka 15 “ Hak Guna Usaha Air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.” Hak Guna Usaha Air mencakup pemberian hak oleh Pemerintah kepada perseorangan dan badan usaha. Ayat (1) Pasal 6 dari UU No. 7 Tahun 2004 menyatakan” “Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Pasal 9 Ayat (1) UU No. 7/2004 menyatakan: “Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.” Ini berarti bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha. Dengan kata lain, badan usaha milik negara/daerah posisinya hanya sebatas penerima manfaat untuk menggunakan hak guna usaha daya air tersebut. BUMN/D tidak mendapat mandat baik sebagai pemain utama maupun sebagai regulator di sektor daya air ini. Lebih jauh lagi, dinyatakan secara eksplisit dalam UU Sektor Daya Air ini bahwa penggunaan air untuk keperluan orang banyak bukan saja tidak wajib untuk dikelola oleh BUMN/D tetapi juga tidak perlu mendapat izin dari pemerintah (negara). Pasal 8 Ayat (1) menyatakan: “Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari perseorangan dan bagi pertanian rakyta yang berada dalam sistem irigasi.” Sedangkan Ayat (4) berbunyi: “Hak guna pakai air sebagai mana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya memalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.”
Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) Pengertian pertambangan mineral dan batubara menurut UU No. 4/1999 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010, adalah seperti berikut ini. “Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah,” (Pasal 1 Angka 4), dan Angka 5 berbunyi: “Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.” Perlu diingat bahwa menurut UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, yang antara lain sudah diganti dengan UU Menerba tahun 2009 ini, jenis bahan galian panas bumi, minyak dan Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
gas bumi, serta air tanah termasuk dalam golongn bahan galian strategis atau bahan galian golongan a. Untuk lebih memahami penggolongan bahan galian menurut UU Pertambangan tahun 1967 tersebut kita dapat merujuk ke beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait. Misalnya, PP No 27 Tahun 198021 menjelaskan ada tiga kelompok jenis pertambangan (bahan-bahan galian), yaitu: a. golongan bahan galian strategis; b. golongan bahan galian vital; dan c. golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan a atau b. Golongan bahan galian a mencakup minyak bumi dan gas alam, serta batubara, timah dan nikel/kobalt. Sedangkan bahan galian golongan b mencakup besi, tembaga, emas, bauksit dan intan. Terakhir, bahan galian golongan c mencakup nitrat-nitrat, asbes, marmer, dan pasir (sepanjang tidak mengandung mineral golongan a dan b). Selanjutnya, UU Minerba tahun 2009 ini secara eksplisit menyatakan bahwa peran (kewenangan) pemerintah hanya sebatas regulator yang mencakup penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), yaitu, izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Dengan kata lain, tafsir frasa “dikuasai oleh negara” dari Pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU Minerba ini dalam bentuk penerbitan izin usaha pertambangan (IUP). Pemerintah tidak terlibat sama sekali, misalnya melalui instansi/jawatan/dinas pemerintah, dalam kegiatan usaha pertambangan. Yang melakukan kegiatan usaha pertambangan adalah badan usaha milik negara/daerah, koperasi, perseorangan, dan badan usaha (perusahaan) swasta. Posisi badan usaha milik negara/daerah adalah sama dengan poisi yang dimiliki oleh perseorangan dan/atau badan usaha milik swasta. Lebih persisnya, Pasal 38 UU/2009 ini menyatakan: “IUP diberikan kepada: a. badan usaha; b. koperasi; dan c. perseorangan.” Sedangkan pengertian badan usaha menurut Pasal 1 UU Minerba/2009 adalah: “Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Sederhananya, badan usaha tersebut adalah perusahaan pertambangan mineral batubara yang berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Ini dapat berupa perusahaan swasta atau perusahaan milik negara (BUMN) dan BUMD serta Koperasi. Pada tanggal 30 Juni 2011 kementerian ESDM mempublikasikan daftar perusahaan MInerba dengan IUP yang masuk dalam kategori C and C (Clear and Clean). Kategori C and C adalah yang sudah memenuhi persyaratan PP 23 Tahun 2010 serta Surat Edaran Menteri ESDM No 03.E/31/DJB/2009, yang mencakup: wilayah tidak tumpang tindih, diterbitkan sebelum 1 Mei 2010, dan lain sebagainya. Jumlah usaha pertambangan dengan IUP yang sudah memenuhi kriteria CNC ini banyak sekali dan dalam hitungan ribuan. Walaupun demikian, jumlah kumulatif BUMN/D/koperasi yang memiliki IUP C and C ini sangat kecil dibandingkan dengan yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Seluruh provinsi di Indonesia memiliki 21
Perubahan PP No. 25/1964 dan di UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan, tidak ada definisi tentang masing-masing golongan bahan galian. Disini hanya dikatakan bahwa bahan-bahan galian terdiri dari tiga golongan yaitu a, b, dan bukan a dan b. Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
kegiatan usaha pertambangan yang sudah IUP C and C. Daftar perusahaan pertambangan kategori C and C untuk 10 provinsi disajikan dibawah ini. Tabel 6. Daftar Jumlah IUP C and C Pertambangan Mineral dan Batubara di 10 Provinsi Indonesia No Provinsi Jumlah IUP Badan Hukum Pemegang IUP 1 Bangka Belitung 303 16 BUMN dan 287 Perusahaan Swasta 2 Banten 14 Semua perusahaan swasta 3 Bengkulu 68 2 BUMN dan 66 perusahaan swasta 4 Yogyakarta 2 Semua usaha perseorangan 5 Gorontalo 11 1 Koperasi dan 10 perusahaan swasta 6 Jawa Barat 312 3 BUMD, 2 BUMN, 11 Koperasi, dan 296 perusahaan swasta/perseorangan 7 Jambi 90 3 BUMN dan 87 perusahaan swasta 8 Jawa Tengah 118 1 BUMN dan 117 perusahaan swasta/perseorangan 9 Jawa Timur 209 2 BUMN, 3 BUMD, 5 Koperasi, dan 199 usaha perseorangan dan perusahaan swasta 10 Kalimantan Barat 235 2 BUMN, 2 BUMD, dan 231 perusahaan swasta 11 Kalimantan >1000 Pola yang sama seperti no 1 s/d 10 yaitu hanya terdapat Selatan, dan beberapa koperasi, beberapa BUMN/D, selebihnya adalah provinsi di perusahaan swasta. Indonesia yang lain Sumber: Ditjen Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, 2011. Pengumuman Hasil Rekonsialisasi IUP Sekarang coba kita mundur sedikit untuk melihat tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UD 1945 tersebut di sektor (cabang produksi) mineral dan batubara ini dalam periode-periode sebelum diberlakukannya UU Mineral dan Batubara tahun 2009 ini. Dalam periode-periode tersebut masih berlaku UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Sejauh yang penulis dapat akses sampai saat ini, ada enam peraturan pelaksana UU ini yang terkait lansgung dengan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945. Tiga dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)22 dan tiga dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres). Ketiga Keppres tersebut hanya terkait dengan subsektor pertambangan batubara. Selanjutnya coba kita lihat aturan utamanya dulu yaitu UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan. Tafsir “dikuasai oleh negara” di undang-undang ini tidak tegas dan berbelit-belit. Namun demikian, dapat kita tafsirkan “dikuasai oleh negara” adalah dikuasai oleh Menteri Pertambangan. Menteri pertambangan diberikan mandat oleh UU ini untuk memberikan izin kegiatan usaha pertambangan, hak kuasa pertambangan, di setiap wilayah pertambangan, baik kepada instansi pemerintah/perusahaan negara (badan usaha milik negara) maupun kepada perusahaan swasta. Menteri Pertambangan lah nantinya akan memutuskan ada tidaknya hak eksklusif monopoli kuasa pertambangan
22
1. PP No 32/1969; 2. PP No 79/1992; dan 3. PP No. 75 tahun 2001.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
baik untuk instansi pemerintah maupun untuk badan usaha milik negara (d/h perusahaan negara). Ini dapat berlaku di seluruh subsektor pertambangan (seluruh golongan bahan galian) atau hanya untuk satu dan/atau beberapa subsektor saja. Jika nantinya tidak ada dan/atau dalam perkembangan terkini ternyata tidak ada, maka dengan demikan, ini dapat berarti bahwa posisi instansi pemerintah/BUMN dengan perusahaan swasta akan relatif sama di sektor pertambangan ini. Untuk lebih mempertajam tafsir frasa tersebut, berikut ini disajikan beberapa kasus golongan bahan baku.
Bahan Galian Golongan a UU Pertambangan tahun 1967 ini membagi sektor pertambangan kedalam tiga subsektor yaitu: 1. Bahan galian golongan a (bahan galian strategis); 2. Bahan galian golongan b (bahan galian vitaL; dan 3. Bahan galian yang tidak termasuk a dan b. Pasal 3 Huruf (1) berbunyi: “Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan: a. golongan bahan galian strategis; b. golongan bahan galian vital; c. Golongan bahan galian yang tidak termasuk a atau b.” PP No. 27 /198023 tentang Penggolongan Bahan Galian mendefinisikan pengertian masing-masing golongan bahan galian tersebut sebagai berikut. Bahan galian strategis mencakup minyak bumi dan gas alam, nikel, timah dan batubara; Bahan galian vital mencakup besi, tembaga, emas, platina, perak, seng, belerang, dan arsin. Bahan galian bukan a dan b mencakup nitra-nitrat, asbes. Yarosit, batu permata, pasir kwasa, dan pasir sepanjang tidak mengandung bahan yang ada di golongan a dan/atau b. Coba kita lihat beberapa Pasal UU No. 11/1967 ini, misalnya pada Pasal 6 dan Pasal 7 UU ini, yang merujuk ke Pasal 3 huruf (1) diatas. Pasal 6 berbunyi: “usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf (a) dilakukan oleh: a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri. b. Perusahaan Negara.” Pasal 6 ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa instansi pemerintah dan/atau perusahaan negara perlu diprioritaskan dan/atau hak ekslusif monopoli untuk melakukan usaha pertambangan golongan a (golongan bahan galian startegis). Namun demikian, Pasal 7 dibawah ini mementahkan kesimpulan pemberian prioritas dan/atau hak eksklusif monopoli tersebut. Pasal 7 ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa posisi instansi pemerintah dan/atau perusahaan negara dengan perusahaan swasta adalah setara. Masing-masing memiliki hak yang sama untuk mendapatkan izin usaha pertambangan. Pasal 7 berbunyi: “Bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a, dapat pula diusahakan oleh pihak swasta yang memenuhi syarat-syarat sebagai dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), apabila menurut pendapat Menteri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari segi ekonomi dan
23
PP No. 27/1980 ini mencabut PP No. 25 tahun 1964 tentang Penggolongan Bahan Galian.Namun demikian, kedua PP ini pada prinsipnya tidak berubah banyak. Untuk minyak dan gas bumi, batubara, emas, tembaga, misalnya, tetap berada dalam golongan bahan galian yang sama. Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
perkembangan-perkembangan, lebih menguntungkan bagi negara apabila diusahakan oleh pihak swasta.” Kata “lebih menguntungkan bagi negara” dapat kita tafsirkan usaha pertambangan tersebut dapat lebih besar memberikan kontribusi keuangan ke negara, dapat lebih baik dan lebih berkelanjutan dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi serta komersialisasi, dan/atau dapat lebih baik memelihara lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam pertambangan, dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah dengan pengorbanan sumber-sumber langkah yang paling kecil. Secara sederhana, pertimbangan efisiensilah yang menentukan kepada siapa suatu wilayah pertambangan tertentu akan diberikan. Menteri Pertambangan memutuskan pemberian hak kuasa pertambangan kepada siapa saja, ya itu, bisa BUMN/D, koperasi, perseorangan, atau, perusahaan swasta tergantung dari kemampuan masing-masing untuk menciptakan efisiensi yang lebih baik. Dengan demikian, kesan prioritas apalagi hak eksklusif monopoli di sektor Pertambangan untuk BUMN/D menjadi hilang disini. Tidak adanya ketentuan prioritas tersebut lebih diperkuat oleh Pasal 1 PP No. 32/1969 yang berbunyi: “Setiap usaha pertambangan bahan galian jang termasuk dalam golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan dari Menteri Pertambangan……” Dengan demikian, terlepas apakah itu instansi pemerintah, atau, perusahaan negara, atau, perusahaan swasta, masing-masing wajib memiliki Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri Pertambangan untuk dapat melakukan usaha pertambangan. Selanjutnya, Kuasa Pertambangan tersebut dapat berbentuk salah satu dari: a. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan; b. Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat; dan c. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan. (Pasal 2 Ayat (1) PP No. 32/1969 tersebut diatas.
Pertambangan Galian Batubara (sub bahan golongna a; bahan galian strategis) Sebagaimana telah disampaikan diatas, khusus untuk pertambangan bahan galian batubara (sub bagian pertambangan bahan galian golongan a) terdapat tiga peraturan pelaksana UU No. 11/1967 yang terkait langsung dengan frasa “dikuasai oleh negara” pasal 33 UUD 1945 24. Ketiga peraturan pelaksana yang berbentuk Keppres ini adalah Keppres No. 49/1981, Keppres No. 21/1993, dan Keppres No. 75/1996. Keppres No. 75/1996 ini mencabut hak eksklusif monopoli Kuasa Pertambangan PT Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA) yang diberikan oleh dua Keppres terdahulu itu. Selanjutnya, dalam Keppres tahun 1996 ini, Kuasa Pertambangan langsung diberikan oleh Kementerian Pertambangan kepada perusahaan swasta. Di dua Keppres terdahulu Kuasa Pertambangan untuk perusahaan swasta diberikan oleh PT BA kepada perusahaan swasta melalui Perjanjian Kontrak Karya.
24
Sejauh yang penulis dapat akses hingga saat ini.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Dengan demikian, Keppres No. 75/1996 ini menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 sebagai pemerintah memiliki mandat penuh berdasarkan UU No. 11/1967 untuk secara langsung membuat perjanjian dengan perusahaan swasta dalam pengusahaan pertambangan batubara. Perusahaan swasta adalah kontraktor pemerintah secara langsung, yang kewajibannya mencakup memberikan 13.5 persen hasil produksinya ke negara selain dari kewajiban-kewajiban perpajakan yang lain. Pasal 1 Keppres no. 75/1996 ini berbunyi: “Dalam Keputusan Presiden ini, yang dimaksud dengan Perjanjian adalah Perjanjian Karya antara Pemerintah dan perusahaan Kontraktor Swasta untuk melaksanakan pengusahaan pertambangan galian batubara.” Disini akan disajikan dua contoh Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah cq Kementerian Pertambangan dan Energi dengan kontraktor swasta. Pertama, dengan PT Kalimantan Energi Lestari yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 20 November 1997. Kontrak karya ini berjangka waktu selama 30 tahun (periode eksploitasi) dan dapat diperpanjang serta Kementerian Pertambangan dan Energi bertindak selaku wakil Pemerintah RI. Kedua, dengan PT Mahakam Sumber Jaya yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2000. Kontrak Karya ini berjangka waktu selama 30 tahun (periode eksploitasi) dan dapat diperpanjang serta sebagai wakil pemerintah adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sebaliknya, dua Keppres terdahulu yaitu Keppres No. 21/1993 dan Keppres No. 49/1981 menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 sebagai pemberian mandat oleh UU No. 11/1967 kepada perusahaan negara (BUMN) yang dalam hal ini adalah PT BA untuk membuat peerjanjian dengan kontraktor swasta dalam pengusahaan pertambangan batubara. Sedangkan kewajiban kontraktor kepada negara pada prinsipnya sama dengan yang diatur dalam Keppres tahun 1996 tersebut yaitu mencakup memberikan 13.5 persen hasil produksinya ke negara selain dari kewajiban-kewajiban perpajakan yang lain. Pasal 1 Keppres No. 49/1981 berbunyi: “Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Perjanjian Kerjasama adalah perjanjian antara Perusahaan Negara Tambang Batubara sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan dan pihak swasta sebagai Kontraktor untuk pengusahaan tambang batubara untuk jangka waktu 30 (tigapuluh) tahun berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam Keputusan Presiden ini.” Contoh Kontrak Karya antara PT BA dengan kontraktor swasta dalam periode ini adalah Kontrak Karya dengan PT Kaltim Prima Coal. Perjanjian ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 8 April 1982 dan berlaku selama 30 tahun serta dapat diperpanjang. Sedangkan Pasal 1 Keppres No. 21/1993 berbunyi: “Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Perjanjian Kerjasama adalah perjanjian antara Perusahaan Negara Tambang Batubara sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan dan perusahaan kontraktor baik dalam rangka Penanaman Modal Asing maupun dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri untuk mengadakan pengusahaan pertambangan bahan galian batubara.” Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Disini jelas terlihat bahwa Keppres tahun 1993 itu hanya menegaskan bahwa pihak swasta yang dimaksud dalam Keppres terdahulu mencakup swasta asing. Prinsip tafsir frasa “dikuasai oleh negara” dalam kedua Keppres ini persis sama yaitu entitas yang diberikan mandat untuk memberikan izin pengusahaan tambang batubara kepada perusahaan swasta, yang dalam hal ini berbentuk Kontrak Karya, adalah PT Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA). Contoh Kontrak Karya antara PT BA dengan kontraktor swasta dalam periode ini adalah Kontrak Karya dengan PT Gunung Bayan Pratama Coal. Perjanjian ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1994 dan berlaku selama 30 tahun serta dapat diperpanjang. Sebagai catatan Keppres Nomor 75 tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara ditujukan untuk mencabut Keppres Nomor 21 tahun 1993 tentang hak Kuasa Pertambangan PT Tambang Batubara Bukit Asam.
Bahan Galian Golongan b Tafsir “dikuasai oleh negara” untuk bahan galian golongan b (vital) pada prinsipnya sama dengan kasus bahan galian a yaitu Menteri Pertambangan diberikan mandat oleh UU ini untuk memberikan izin kepada entitas-entitas tertentu untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan. Dengan kata lain, Menteri Pertambangan diperintahkan oleh UU ini untuk memberikan hak Kuasa Pertambangan kepada entitasentitas tertentu dengan syarat-syarat tertentu. Selanjutnya, pihak yang dapat diberikan hak oleh Menteri Pertambangan untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, yaitu, hak Kuasa Pertambangan untuk bahan galian vital ini (golongan b) hanya: 1. Koperasi; 2. Badan hukum swasta; dan c. Perseorangan. Dengan demikian, jangankan hak eksklusif monooli kuasa pertambangan, hak kuasa pertambangan biasa saja tidak dapat dimiliki oleh perusahaan negara/daerah untuk bahan galian golongan b (vital) ini. Kesimpulan dari dua alinea diatas merujuk ke Pasal 12 UU No.11/1967 ini. Ayat (1)nya berbunyi: “Kuasa Pertambangan untuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yang tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada: a. Badan Hukum Koperasi; b. Badan Hukum Swasta…..; dan c. Perseorangan…” Sebagai contoh pemberian Kuasa Pertambangan untuk jenis bahan galian golongan b (logam dalam bentuk emas dan perak) dalam periode-periode ini adalah pemberian Kuasa Pertambangan kepada PT Freeport Indonesia (PT FPI) pada tanggal 7 April 196725. Kuasa pertambangan yang diberikan tersebut dalam bentuk Kontrak Karya I antara Menteri Pertambangan RI, Slamet Bratana, dengan PT FPI untuk masa 30 tahun untuk wilayah Pertambangan di Papua (d/h Irian Barat) yang dinamakan juga sebagai Proyek Ertsberg. Usahanya adalah pertambangan mineral logam tembaga dan emas. Di tahun 1981 Pemerintah Indonesia membeli 8,5% saham PTFI dan cadangan Grasberg ditemukan di tahun 1988.
25
Sebetulnya ini diatur dalam UU (Perpu) No. 37/1960 tentang Pertambangan. Walaupun demikian, pengaturan untuk bahan galian golongan b pada prinsipnya sama dengan yang diatur pada UU No. 11/1967. Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Kontrak Karya II antara Pemerintah RI dengan PTFI ditandatangi di tahun 1991 untuk masa waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 2x 10 tahun.26 Referensi Australia, 2010. Australia’s future tax system Report to the Treasurer. Commonwealth of Australia 2010 Dauvergne, Peter. 2001. Loggers and Degradation in the Asia-Pacific, Cambridge University Press Forest Watch Indonesia (FWI), 2015. Intip Hutan. Media Informasi Seputar Hutan Indonesia. Februari 2015. Gale, Thomson, 2006. International Directory of Company Histories 2004. Diakses via Ecyclopedia.com, 21 Juni 2016 Hasan, Madjedi. 2013. Penyatuan Makna Pasal 33 UUD 1945 dalam pengelolaan Sumber Daya Energi. Makalah yang disajikan dalam diskusi Forum Eksekutip Energi Bimasena II, Jakarta, 16 September 2013. ……………………….. 2006. Kajian atas Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Konstitusional Undang-undang tentang Sumber Daya. Makalah (Term Paper) Kapita Selekta Hukum Tata Negara Program Doktoral Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadajaran, Bandung, Indonesia. Mujiburohman, Dian Aries. 2013. “Akibat Hukum Pembubaran BP Migas,” Mimbar Hukum Vol. 25, No. 3, Oktober 2013, Halaman 462 – 475 Mahkamah Konstitusi RI, 2012a. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bmi terhadap Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 36/PUU-X/2012, 5 November 2012. ………………………………….., 2012b. Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012. ………………………………….., 2007. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bmi terhadap Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 20/PUU-V/2007, 13 Desember 2007. ………………………………….., 2004. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 002/PUU-I/2003, 15 Desember 2004. Nitisastro, Widjojo. 2010. Pengalaman pembangunan Indonesia: kumpulan tulisan dan uraian. PT Kompas Media Nusantara, Jl. Palmerah Selatan 26 -28, Jakarta Nurjaya, I Nyoman. 2005. “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia,” Jurisprudence, Vol.2, No. 1, Maret 2005: 35 – 55 PwC, 2014. Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide. Tersedia di www.pwc.com/id, Repetto, Robert and Malcolm Gillis, Eds, 1988. Public policies and the misuse of forest resources, Cambridge University Press. Seda, Francisia S.S.E. 2005. “Petroleum Paradox: The Politics of Oil and Gas,” dalam Resosudarmo eds. 2005. The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources. Singapore: ISEAS.
26
Sumber: Berita Kita, media komunikasi komunitas Freeport Indonesia. Edisi No. 240, Maret 2014 http://ptfi.co.id/media/files/publication/5626fabe75911_bk240.pdf, diakses 20 April 2016
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Sidharta, Edi H. 2012. Pertamina: Belajar dari Sejarah. Kompasiana, sosial media Kompas Grup. W.W.W. Kompasiana.com, diakses 14 Juni 2016 Syeirazi, M. Kholid, 2015. “Mengawal Revisi UU Migas,” Sindonews.com, 7 Juli 2015, dakses 6 Juni 2016 Tambang.co.id, 2016. “Revisi UU Migas dan Penataan Sektor Hilir,” 29 Februari 2016, diakses 6 Juni 2016. USA Embassy, 2016. “How the U.S. Economy Works,” Http://usa.usembassy.de/etexts/oecon /chap2.htm, diakses 24 Maret 2016 Wicaksono, Ganesha Patria. 2015. “Kelembagaan Pengelola Minyak dan Gas Bumi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,” Yuridika: Volume 30 No 1, Januari – April 2015 Wikipedia bahasa Indonesia, 2016. Ibnu Sutowo. W.w.w.Wikipedia.org., diakses 14 Juni 2016 Peraturan Perundang-undangan Undang-undang (UU)
UU No. 5/1960 (UU Agraria/Pertanahan) UU No. 20/1961 (UU Agraria/Pertanahan) UU No. 5/1967 (UU Kehutanan) UU No. 41/1999 (UU Kehutanan) UU No. 21/2001 (UU Minyak dan Gas Bumi) UU No. 4/1982 (UU Lingkungan Hidup) UU No. 23/1997 (UU Lingkungan Hidup) UU No. 7/2004 ( UU Daya Air) Please insert and analyse UU Kelistrikan dan UU Perkebunan
Peraturan Pemerintah (PP)/Peraturan Menteri i
PP No. 21/1970 (Kehutanan) PP No. 18/1975 (Kehutanan) PP No. 40/1996 (Agraria) PP No. 24/1997 (Agraria) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 5/2015
Pokok-pokok pendapat yang berbeda dari Hakim Konstitusi Harjono, adalah sebagai berikut:
1. Tidak terpenuhinya legal standing para pemohon (42 pemohon). Mahkamah gagal memperlihatkan bukti dan/atau argumentasi yang mendasar tentang “bagaimana hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas yang dimohonkan untuk diuji.” 2. Frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 perlu ditafsirkan secara situasionil dan tidak dapat ditafsirkan secara otomatis dan mutlak bahwa negara harus mengelola sumber daya alam secara langsung. Alternatif terbaik, first best solution, adalah memang pemerintah perlu terlibat langsung. Namun demikian, disebabkan kendala modal, teknologi, risiko, dan manejemen, model kontrak kerja sama bagi hasil dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dapat saja dilakukan untuk sementara waktu sampai lembaga negara Presiden dan DPR menyatakan hal yang lain. Dengan kata lain, menurut penulis, Hakim Konstitusi Harjono
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
berpendapat bahwa tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 tidak identik dengan pelaksanaan kelima unsur : 1.kebijakan (beleid); 2. pengurusan (bestuurdaad); 3. pengelolaan (beheersdaad); 4. Pengaturan (regelendaad); dan 5. Pengawasan (toezichthoudensdaad), secara terintegrasi dan menyeluruh. Unsur ketiga, pengelolaan (beheersdaad), dapat diserahkan ke badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap dalam kondisi dan situasi tertentu serta tidak harus diserahkan ke BUMN seperti PT Pertamina. 3. Badan pemerintahan (penulis duga yang dimaksud disini termasuk Badan Pengelola Migas) yang dibentuk oleh pemerintah tetapi tidak diatur dan/atau ditetapkan oleh UUD, tidak secara otomotis bertentangan dengan UUD. 4. Kewenangan BP Migas untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap tidak merendahkan (mendegradasi) martabat negara jika dalam pengadilan arbitase internasional ternyata BP Migas kalah. BP Migas dalam hal ini tidak mewakili negara secara langsung, yang tentunya berbeda jika kontrak tersebut ditandatangnai oleh jajaran menteri kabinet pemerintahan. Jajaran menteri kabinet pemerintahan tersebut mewakili negara (pemerintah) secara langsung. ii
UU No. 5/1967. Landasan hukum eksploitasi dan/atau izin konsensi hutan di Era Orde Baru ini adalah UU No. 5 Tahun 1967 yang aturan operasionilnya dituangkan dalam PP No. 21 Tahun 1970. Pasal 9 PP ini kemudian direvisi melalui PP No. 18 Tahun 1975. Izin-izin tersebut menurut PP No. 21 Tahun 1970 diterbitkan oleh Menteri Pertanian. Pasal 14 Ayat 3 UU No. 5 Tahun 1967 berbunyi: “Kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan hak pengusahaan hutan.” Ketentuan ini kemudian diperjelas dan diperluas yang memungkin swasta asing dapat mendirikan perusahaan patungan pengusahaan hutan. Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970 menyatakan: “Hak pengusahaan hutan dapat diberikan kepada: a. Perusahaan Milik Negara; b. Perusahaan Milik Swasta; dan c. Perusahaan campuran.” UU Kehutanan Tahun 1999 ( UU No. 41/1999)
Pasal 28 Ayat 2 Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pasal 29 Ayat 3 dan 4 Ayat 3 “Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.”
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Ayat 4 “Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.”
iii
Di Era Orde Baru, pemain utama dalam penentuan/pengaturan kebijakan eksploitasi hutan di Indonesia adalah Mohamad Bob Hasan yang lebih dikenal dengan nama Bob Hasan saja. iv
UU No. 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 21 (1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik; Pasal 30 (1) Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah :a. warganegara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Pasal 36 (1) Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah : a. warganegara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia . Pasal 42, Yang dapat mempunyai hak pakai ialah : a. warga negara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pasal 45, Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah : a. warganegara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing yang mempunyai perwalikan di Indonesia
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53