Implementasi UUD 1945 Pasal 33 dalam Kasus Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan
Oleh: Fatimah Azzahra/I34110023 Nafiah Kurniasih/I34110031 Nabiela Rizki Alifa/ I34110099 Futri Amelia/I34110104 Habib Muhammad Tawaqal/I34110143
Departemen Sains Komuikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2013 i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat yang diberikanNya, makalah Pengantar Ekonomi Kelembagaan ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun dalam rangka memnuhi tugas akhir Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Kelembagaan. Dalam makalah ini, penulis menjelaskan berbagai sub bab yang membahas mengenai implementasi UUD 1945 pasal 33 dalam kasus perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, mulai dari bagaimana implementasi tersebut dilakukan hingga apakah implementasi yang dilakukan sudah benar. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Kelembagaan yang telah memberikan kesempatan dan arahan kepada kami untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat untuk kemudian penulis bahas dalam bentuk makalah ini. Penulis menyadari tanpa bantuan dan kerjasama semua pihak, makalah ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Bogor, April 2013 Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................................ii BAB 1 ................................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1 1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 1 Bab 2 ................................................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................. 2 BAB 3 ................................................................................................................................... 3 PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 3 3.1 Kelembagaan.............................................................................................................. 3 3.2 Kelembagaan SDA formal di Indonesia dalam UUD 1945 pasal 33............................. 5 3.3 Sistem Perkebunan dan Fenomena Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan ............... 6 3.4 Implementasi Undang-Undang Dasar Negara 1945 pasal 33 terkait dengan Kasus Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan .......................................................................... 8 BAB 4 ................................................................................................................................. 10 PENUTUP ........................................................................................................................... 10 4.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 10 4.2 Saran ........................................................................................................................ 10
iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan yang ada di Indonesia merupakan salah satu aset besar yang dimiliki oleh Negara. Dalam mengolah, mendistribusi dan memanfaatkan hasil perkebunan pun perlu di atur oleh undang-undang yang dapat menata hal-hal tersebut, agar tidak terjadi kesalahan, diskriminasi dan pemanfaatan yang di anggap illegal didalamnya. Oleh karena itu dirancang atau dibuatlah suatu rancangan perundang-undangan yang mengatur hal-hal tentang kekayaan alam yang ada di Indonesia. Seperti pasal 33 UUD 45 yang mengatur tentang perekonomian, produksi dan yang menyangkut dengan kekayaan alam. Namun halnya, konflik pertanahan yang sering terjadi antara pemerintah maupun badan hukum swasta dengan petani di sekitar perkebunan seringkali tidak berpihak pada rakyat kecil. Negara, katanya, tidak boleh mengorbankan rakyatnya demi kepentingan pihak investor. Indonesia mempunyai lahan sawit terluas di dunia tetapi dinilai tidak memiliki kedaulatan di sector kelapa sawit. Krisis kedaulatan pangan ini melengkapi beragam kebijakan sebelumnya seperti kebijakan alih fungsi lahan kepada sektor tambang dan industri sehingga mengakibatkan sebanyak tiga juta hektar lahan pertanian beralih fungsi. Mengacu pada pasal 33 UUD 1945, bisnis kelapa sawit ini jelas merupakan aset nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak. Perlu dilakukan pengambilalihan aset tersebut dari tangan para konglomerat untuk diabdikan bagi kepentingan nasional dan rakyat banyak.
1.2 Rumusan Masalah Bagaimana implementasi kelembagaan formal SDA di Indonesia dalam hal ini UUD 1945 Pasal 33? Mengapa implementasi dalam perkebunan kelapa sawit belum merujuk pada UUD 1945 Pasal 33?
1.3 Tujuan Penulisan Bagaimana implementasi kelembagaan formal SDA di Indonesia dalam hal ini UUD 1945 Pasal 33? Mengapa implementasi dalam perkebunan kelapa sawit belum merujuk pada UUD 1945 Pasal 33?
1
Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelembagaan dapat diartikan sebagai suatu aturan main (rule of game) yang berlaku dalam sebuah masyarakat/komunitas/ organisasi yang disepakati bersama sebagai
sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi dengan
tujuan terciptanya
keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat/ komunitas/ organisasi terkait kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan budaya dan lain-lain. Kelembagaan penting sebagai instrumen yang membantu mendistribusikan sumberdaya ekonomi secara adil dan merata seperti yang tertera pada UUD 1945 PASAL 33. Jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan barang untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara. Pemerintah sebagai pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang mengontrol kebijakan yang dibuatnya dan dilakukannya, sehingga dapat tercipta peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi. Dalam rumusan UUD 1945 terdapat secara eksplisit ataupun implisit pandangan-pandangan dan nilai-nilai fundamental, UUD 1945 disamping sebagai konstitusi politik (political constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic constitution), bahkan konstitusi sosial (social constitution). UUD 1945 tidak hanya terkait dengan pengaturan lembagalembaga kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun Iebih dari itu, konstitusi juga memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam pasal 33 UUD 1945. Sistem perkebunan yang ada di Indonesia bukan merupakan suatu sistem yang berasal dari masyarakat Indonesia sendiri namun menurut Beckford (1972) sistem perkebunan merupakan expansi bersamaan dengan langkah awal perkembangan modern di Negara-negara barat, serta usaha meningkatkan exploitasi dari daerah koloni secara sistematis untuk keperluan perdagangan global dari daerah metropolis.
2
BAB 3 PEMBAHASAN 3.1 Kelembagaan Kelembagaan adalah batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial, dan ekonomi (Douglas North). Kelembagaan adalah serangkaian peraturan yang membangun struktur interaksi dalam sebuah komunitas (Jack Knight). Jadi dapat diartikan kelembagaan adalah aturan main (rule of game) yang berlaku dalam sebuah masyarakat/komunitas/ organisasi yang disepakati bersama sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat/ komunitas/ organisasi terkait kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan budaya dan lain-lain. Lembaga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu lembaga formal dan nonformal. Lembaga formal adalah kumpulan dua orang atau lebih yang memiliki hubungan kerja rasional dan mempunyai tujuan bersama, biasaya mempunyai struktur organisasi yang jelas, contohnya perseroan terbatas, sekolah, partai politik, badan pemerintah, dan sebagainya. Lembaga non-formal adalah kumpulan dua orang atau lebih yang mempunyai tujuan bersama dan biasanya hanya memiliki ketua saja. Contohnya arisan ibu-ibu rumah tangga, belajar bersama, dan sebagainya. Lembaga formal memiliki struktur yang menjelaskan hubunganhubungan otoritas, kekuasaan akuntabilitas dan tanggung jawab serta bagamaina bentuk saluran komunikasi berlangsung dengan tugas-tugas bagi masing-masing anggota. Lembaga formal bersifat terencana dan tahan lama, karena ditekankan pada aturan sehingga tidak fleksibel. Pada kenyataannya kelembagaan sangat penting untuk mengurangi ketidakpastian melalui pembentukan struktur/pola interaksi, meningkatkan derajat kepastian dalam interaksi antar individu dan mengarahkan perilaku individu/kelompok ke suatu arah yang diinginkan. Kelembagaan penting sebagai instrumen yang membantu mendistribusikan
3
sumberdaya ekonomi secara adil dan merata seperti yang tertera pada UUD 1945 PASAL 33 yang berbunyi sebagai berikut: 1. Perekonomian
disusun
sebagai
usaha
bersama
berdasar
atas
azas
kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. 3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang. Pada butir tiga dijelaskan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Jelaslah bahwa segala sesuatu yang mengenai sumberdaya alam dikuasi oleh pemerintah (milik
Negara) , serta dikelola,
didistribusikan, diatur dan dikuasai oleh Negara dan hanya diperuntukkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Untuk menjalankan kewajibannya, pemerintah telah membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengurusi sumberdaya tersebut seperti PAM (Perusahaan Air Minum), PLN (Perusahaan Listrik Negara), Pertamina, migas, dan BUMN-BUMN lainnya. Namun setelah terbentuk dan berdirinya lembaga-lembaga tadi masih banyak rakyat yang masih belum mendapatkan hasil kerja dari lembaga tersebut untuk mensejahterakan kehidupan mereka. Pada kasus perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, banyak perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh pihak asing dan bukan dikuasai oleh pemerintah. Masyarakat sekitar perkebunan pun tetap hidup
4
dalam kemiskinan walaupun terdapat lapangan kerja di tempat tinggal mereka berupa perkebunan kelapa sawit. 3.2 Kelembagaan SDA formal di Indonesia dalam UUD 1945 pasal 33 Peraturan perundangan di buat oleh suatu lembaga formal pemerintah yang berlandasakan untuk kemakmuran rakyatnya, dengan asumsi rakyat akan sejahtera dan makmur dengan landasan perundangan ini, tetapi fakta yang terjadi dilapangan adalah berbeda. Banyaknya penyimpangan yang terjadi disini, itu semua bukan karena perundangannya tetapi kelembagaan yang mengatur diatasnya. Perlunya keseriusan dan ketelitian dalam mencerna permasalahan ini. Penjelasan dalam pasal 33 menyebutkan bahwa “dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang”. “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33. Permasalahnya yang terjadi sekarang adalah sistem ekonomi yang diterapkan bersikap mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu menjadi dapat didelegasikan oleh sektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik Negara buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan rakyat. “Mendua” karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam ini.
5
Adanya kelembagaan formal milik pemerintah yang bersikap tak adil dalam mengelola sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui untuk keperluan privat bukan untuk keperluan public secara arti luar. Tujuan dan fokus dalam menggunakan
sumberdaya
alam
untuk
kemakmuran
rakyatnya
bukan
memakmurkan kelembagaan atas yang berdampak dalam memiskinkan rakyat untuk terus hidup di bawah garis kemiskinan. Pengertian “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” menjadi sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti ini akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang didapat hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. 3.3 Sistem Perkebunan dan Fenomena Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Sebelum Indonesia merdeka, hakekat sistem perkebunan colonial menurut Alec Gordon (1982) adalah kepemilikan dan penguasaan asing atas tanah, ketersediaan tanah dengan harga murah, ketersediaan buruh murah, beroperasi dengan dukunga penuh dari Negara colonial melalui kebijaksanaan dan organisasi ekstra-ekonomi untuk beroperasinya “land, labour, and capital” yang mendukung sistem perkebunan. Pada sistem colonial di Indonesia, masyarakat dipilah-pilah berdasarkan warna kulit dan asal serta dikaitkan dengan hak-hak dan sistem hukum yang mengaturnya. Selain itu, difasilitasi oleh sistem penguasaan tanah dan pengerahan tenaga melalui sistem tradisional. Setelah Indonesia merdeka, terdapat pengambilalihan aset perkebunan asing oleh Negara, namun hal ini tidak berarti bahwa rakyat atau petani kecil juga mendapatkan aset Negara tersebut untuk mereka olah sehingga dapat meningkatkan taraf hidup petani local. Pengambil-alihan perkebunan-perkebunan ex-kolonial tersebut dikuasai oleh birokrat militer Indonesia untuk kepentingan memperkuat posisi sendiri,
6
ketimbang sebagai bagian dari suatu strategi ekonomi nasional baru. Digambarkan oleh Tauchid (1952) bahwa penguasaan tanah-tanah onderneming oleh saudaranya bangsa Indonesia dari tangan bangsa asing itu ternyata tidak merupakan jaminan akan ikut sertanya rakyat miskin mendapatkan bagian kekayaan itu. Salah satu sistem perkebunan yang masih ada hingga sekarang adalah sistem perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848, saat itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mamitius dan Amsterdam lalu ditanam di kebun Raya Bogor. Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet (orang Belgia). Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Luas areal tanaman kelapa sawit terus berkembang dengan pesat di Indonesia. Hal ini menunjukkan meningkatnya permintaan akan produk olahannya. Ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia antara lain ke Belanda, India, Cina, Malaysia dan Jerman, sedangkan untuk produk minyak inti sawit (PKO) lebih banyak diekspor ke Belanda, Amerika Serikat dan Brasil. Minyak sawit kasar dan minyak inti sawit dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan minyak goreng dan berbagai produk oleokimia. Pembangunan yang dilakukan secara besar-besaran oleh pemerintah Indonesia dengan mengizinkan investor perkebunan masuk dan memperluas area perkebunan kelapa sawit
ternyata tidak memberikan
kesejahteraan untuk masyarakat local sekitar perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan sawit di Kalimantan hanya dapat menjadi buruh, bahkan lahan-lahan mereka diambil sehingga dapat dikatakan masyarakat termiskin di Indonesia adalah masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan. Masyarakat local tidak mendapatkan akses sumber daya alam di tanahnya sendiri, di tanah Indonesia, namun keuntungan ini dinikmati oleh kaum pemodal, masyarakat local tetap hidup dalam belenggu kemiskinan. Selain itu, harus diperhitungkan juga kerusakan lingkungan, tutupan hutan, erosi kawasan 7
yang kehilangan tutupan hutan, rusaknya jutaan hektar hutan mangrove, rusaknya sistem aliran air permukaan oleh perubahan landscape secara besar-besaran oleh penebangan hutan, perkebunan, pertambangan, polusi air permukaan oleh kegiatan-kegiatan skala besar yang sama. Semua sangat merugikan kehidupan dan ekonomi dari masyarakat local. Konsekuensi dari kombinasi faktor-faktor seperti agresifitas pengusaha besar kelapa sawit, prioritas pembangunan dari pemerintah pusat dan daerah serta monopoli pendefinisian kawasan hutan Negara, bagi kesempatan ekonomi akses atas tanah dari msyarakat local. 3.4 Implementasi Undang-Undang Dasar Negara 1945 pasal 33 terkait dengan Kasus Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Implementasi Undang-Undang Dasar Negara 1945 pasal 33 dapat dilihat dari terbentuknya undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mengatur tentang kepemilikan atas sumberdaya alam. Namun UUPA 1960 tersebut belum dapat terealisasikan dengan maksimal dikarenkan berbeda pemerintahan akan berbeda pula cara mengimpementasikan UUPA tersebut, di Kalimantan impelementasi dari Undang-Undang Dasar Negara 1945 pasal 33 terkait dengan kasus perkebunan kelapa sawit dilihat dari peguasaan Negara dalam sumberdaya alam yang ada di Kalimantan dengan mengacu pada isi pasal 33 yang menyatakan bahwa "Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”, dengan isi pasal tersebut, jelaslah sudah bahwa Negara memiliki wewenang atas hamparan sumberdaya alam yang luas di Kalimantan, namun melupakan isi pasal 33 yang yang lain, yaitu:
Perekonomian
disusun
sebagai
usaha
bersama
berdasar
atas
azas
kekeluargaan.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan,
8
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang. Kasus perkebunan kelapa sawit di Kalimantan memperlihatkan bahwa UUPA 1960 yang merupakan turunan dari pasal 33 UUD 1945 tidak dijalankan sebagaimana mestinya, begitu pula dengan pasal 33 itu sendiri, dimana sumberdaya alam yang seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun pada kenyataannya hanya memakmurkan golongan swasta, dan perekonomian nasional yang seharusnya diselenggarakan berdasar pada demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional belum dapat terealisasikan, dikarenakan pembagian penguasaan atas sumberdaya alam tidak merata dikalangan masyarakat setempat dengan perusahaan swasta, dimana masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengolah atau mendapatkan sumberdaya dikarenakan perusahaan swasta yang diberikan izin untuk menggarap sumberdaya alam tersebut sedangkan masyarakat tidak, ketidakadilan seperti inilah yang tercermin dalam kasus perkebunan kelapa sawit di Kalimantan.
9
BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Kelembagaan adalah aturan main (rule of game) yang berlaku dalam sebuah masyarakat/komunitas/ organisasi yang disepakati bersama sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi dengan
tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian
interaksi di antara sesama anggota masyarakat/ komunitas/ organisasi terkait kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan budaya dan lain-lain. Dalam hal ini, pasal 33 UUD 1945 merupakan kelembagaan formal yang merupakan peraturan perundangan hasil rancangan suatu lembaga formal pemerintah yang berlandasakan untuk kemakmuran rakyatnya. Sehingga, apabila tidak mengimplementasikan seluruh isi pasal 33 UUD 1945, maka kesejahteraan yang diimpikan tentu saja tidak akan tercapai, dimana pemerintah memberi kesempatan pada perusahaan swasta untuk menggarap sumberdaya alam yang ada di Kalimantan untuk perkebunan sawit, tanpa memikirkan
keberlanjutan
hidup
masyarakat
disekitar
perkebunan
dan
menyelewengkan pasal 33 tersebut, dan tidak mengaplikasikan kesemuanya namun hanya mengambil isi yang hanya mementingkan pemerintah dan swasta. 4.2 Saran Konstitusi memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam pasal 33 UUD 1945 yang berfungsi untuk mengalokasikan sumberdaya alam bagi rakyat. Peraturan perundangan yang di buat oleh suatu lembaga formal pemerintah harus bisa menjadikan rakyat sejahtera dan makmur. Monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33. Karena itu lah pasal 33 ini diharapkan dapat mengatur atau bahkan melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-perseorangan agar masyarakat
memiliki kesempatan untuk
mengakses dan mengolah sumberdaya alam yang ada.
10
DAFTAR PUSTAKA Sunito, Satyawan. 2012. Perkebunan sebagai ekonomi colonial dan dampaknya terhadap ekonomi post-kolonial. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Sunito, Satyawan. 2012. Struktur agrarian post-kolonial. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Chakim, L.M. 2011. ANALISIS PENAFSIRAN PASAL 33 UUD 1945 DALAM KAITANNYA DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI JUDICIAL REVIEW UNDANG UNDANG DI BIDANG SUMBER DAYA ALAM.
Malang:
Universitas
Muhammadiyah.
http://www.lutfichakim.blogspot.com. (diunduh 22 April 2013). Saefullah,
Syarif.(tidak
ada
tahun).
Kajian
pasal
33
UUD
1945.
http://www.facebook.com/topic.php?uid=124412517615&topic=16461. (diunduh 23 April 2013).
11