1 A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini berbicara mengenai relasi antaraktor yang terlibat dalam penyelesaian perkara di pengadilan dan untuk tahap awal, akan dibahas mengenai penerapan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam rangka pengawasan oleh KY. Salah satu prinsip penting negara hukum
di
Indonesia
adalah
adanya
jaminan
penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.1 Diantara kata kunci dalam pembicaraan mengenai kekuasaan kehakman adalah indepenensi pengadilan (dan/atau hakim) dalam organisasi peradilan. Sehubungan dengan pemisahan kekuasaan itulah muncul anggapan bahwa salah satu watak dasar dari kekuasaan kehakiman adalah independensi. Adapun independensi itu bukan hanya dipahami melalui ketentuan konstitusi saja, akan tetapi juga bagaimanakah kenyataannya di dalam praktik. Ia tidak hanya berbicara mengenai dirinya sendiri, tetapi juga bagaimanakah lembaga negara yang lain memberikan pengaruh kepada derajat independensi badan pengadilan, termasuk bagaimanakah aktor pengadilan itu memandang dirinya dalam berhubungan dengan kenyataan-kenyataan di sekitarnya. Independensi pengadilan berkaitan erat dengan tuntutan kinerja para hakim dalam menerima, memeriksa, dan memutus perkara demi kepentingan pencari keadilan. Profesionalitas hakim terletak pada independensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Hal ini ditegaskan Pasal 20A Ayat (1) Huruf (d) UU No 18/2011 tentang Komisi Yudisial. Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah
satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan 1
Lihat Pasal 24 UUD 1945.
2 hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan mandiri
yang memenuhi
kriteria
(independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang
dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya
dipertanggungjawabkan
kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada titik inilah, maka Hakim2 sebagai aparat hukum, mempunyai peran sangat strategis negara yang berdasarkan hukum, karena hakim yang ada di pengadilan memeriksa dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sehubungan dengan hal ini, ada tuntutan perilaku hakim yang profesional dan tuntutan ini tercermin dari keterbukaan proses peradilan, kepaturahan para pihak terhadap peraturan perundang-undangan, serta pelembagaan perilaku etis hakim. Untuk mewujudkan perilaku etis tersebut, perlu adanya kode etik profesi hakim yaitu aturan tertulis yang merupakan pedoman perilaku setiap hakim di Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai hakim. Adapun maksud dan tujuan adanya kode etik profesi 2
Hakim adalah sebuah gelar yang mempunyai pengetahuan tentang masalahmasalah yang tinggi nilainya, Dalam literature Islam Istilah hakim sering disebut dan digunakan untuk filosof. Lihat Ensiklopedia Indonesia, Jakarta , Gramedia, 1983: 1208. Definisi Hakim menurut Abdul Kadir Muhammad: Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai pejabat penegak hukum mengadili perkara berdasarkan syarat-syarat dan prosedur yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang berlaku. Dan untuk hakim Agung dipilih DPR dari hasil seleksi awal oleh Komisi Yidisial dan diangkat oleh Presiden selaku kepala Negara.
3 hakim adalah sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter hakim dan pengawasan tingkah laku hakim. Selain itu juga, sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan ekstra judisial, dan pencegah timbulnya kesalahpahaman dan konflik antar sesama hakim dan antara hakim dengan masyarakat. Tujuan dari kode etik ini adalah memberikan jaminan peningkatan integritas moral bagi hakim dan
kemandirian
fungsional
bagi
hakim
dan
menumbuhkan
kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan itu sendiri. 3 Dengan adanya kode etik profesi hakim, diharapkan hakim dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum. Namun dalam kenyataannya masih ada sebagian hakim yang menyimpang dari kode etik tersebut. Banyak melalui media cetak dan elektronik yang memberitakan tentang adanya penyimpangan aparat hukum, mulai dari tingkat penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, hingga putusan peradilan. Sebagian media juga mengekspose adanya penyimpangan dan tidak profesionanya hakim sampai terjerat kasus pelanggaran kode etik profesi hakim, baik berupa suap menyuap maupun grativikasi dari pihak-pihak yang berperkara.4 Bahkan, profesionalitas hakim pun pernah dikecam sehubungan dengan kinerja pengadilan yang begitu tegas dalam menangani perkara yang dianggap remeh.5 3
Wildan Suyuti, 2005, Kode Etik Dan Hakim Dalam Pandangan Agama, Jakarta, Mahkamah Agung RI, hlm. 23. 4
Wasingatu Zakiyah dkk. , 2002, Menyikap Tabir Mafia Peradilan, Jakarta, ICW, hlm. 9. Baca juga: Asep Rachmat Fajar, 2013, Perilaku Koruptif Penegakan Hukum dalam Penyelesaian Perkara di Peradilan, Jakarta, BPHN. 5
Ini untuk kritik soal peran peradilan dalam penanganan beberapa kasus yang melibatkan wong cilik sebagai tersangka/terdakwa sebagaimana yang menimpa Nenek Minah (pencurian tiga biji kakao) di Banyumas dan Manisih (pencurian sisa panen kapuk randu) di Batang. Selain itu, ada juga Basar dan Cholil (pencurian semangka) di Kediri, Syukri (pencurian sisa panen kelapa Sawit) di Bangkinang Riau, serta Kuatno dan Topan (pencurian pisang) di Cilacap. Meski Amar Abdullah telah mengalami kebutaan pada mata
4 Pada sisi lain, data KY mengkonfirmasikan pelanggaran etika yang dilakukan oleh hakim. Sepanjang 2009-2014, KY telah memeriksa 37 orang hakim. Pada 2009-2012, mayoritas kasus yang diperiksa mayoritas adalah dugaan penyuapan hakim. Namun dalam 2013-2014, mayoritas kasus adalah perselingkuhan. pada tahun 2014 kasus perselingkuhan menempati posisi pertama sebesar 38.46% (sebanyak 5 kasus) dan kasus gratifikasi menempati urutan kedua sebesar 23.07% (sebanyak 3 kasus) dari total 13 kasus. Pada Periode Januari s.d Desember
2014, sebanyak 13 orang Hakim sudah diproses dalam
Sidang), dimana 6 orang diajukan atas usul KY, 6 orang atas usul MA dan 1 orang diajukan bersama MA.6 Pengawasan terhadap perilaku hakim telah dilaksanakan. Agar pengawasan terhadap
perilaku hakim dapat
berjalan
efektif,
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI telah menyusun Surat Keputusan
Bersama (SKB). Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan
02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 berupa Kode Etik Hakim dan Pedoman Perilaku Hakim di Indonesia, yang berisikan 10 prinsip pedoman Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesiah, yang meliputi kewajiban untuk: 1. Berperilaku adil, 2. Berperilaku jujur, 3. Berperilaku arif dan bijaksana, 4. Bersikap mandiri, 5. Berintegrasi
kanan akibat insiden penganiayaan berat oleh Fenly M Tumbuan sehingga harus dilakukan perawatan intensif demi mencegah kerusakan lebih parah, namun PN Jaktim tetap saja melakukan penahanan kepada yang bersangkutan. Hal yang lebih parah lagi menimpa Samuri bin Darimin (35) yang mengambil bebatuan kira-kira 1/2 karung di sawahnya sendiri dengan kandungan tembaga 0,03 persen, tiba-tiba divonis bersalah oleh PN Trenggalek Jatim sebagai pelaku illegal mining (Pasal 158 jo 67 UU No 04/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara). Lihat juga putusan putusan PN Rantau Prapat 2008 yang menjatuhkan pidana 33 tahun kepada M Nur dan Warsiah, sepasang suami-istri tunanetra dengan kasus narkoba. Menariknya, karena meski keduanya telah mengajukan grasi, presiden hanya mengabulkan permohonan grasi Warsiah, itu pun hanya pengurangan hukuman selama lima tahun. Sehingga, Warsiah terpaksa menitipkan ke dua anaknya kepada orang tuanya yang sudah renta lantaran ia harus menjalani sisa hukuman 10 tahun lagi. 6
Laporan Tahunan KY tahun 2014.
5 tinggi, 6. Bertanggung jawab, 7. Menjunjung tinggi harga diri, 8. Berdisipilin tinggi, 9. Berperilaku rendah hati, 10. Bersikap professional. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI ini diharapkan para hakim dan aparat peradilan lainnya lebih memahami dan mengimplementasikan kode etik hakim, baik dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan (penanganan perkara) maupun perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Dengan demikian, peraturan tentang Kode Etik Hakim dan Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan harapan ideal yang diharapkan dari hakim dan sifat yang mewarnai perilaku hakim. Namun, pada sisi lainnya masih ada sebagian para hakim yang terkena sanksi akibat pelanggaran dan kelalaian hakim dalam menjalankan tugas sebagai hakim. Ini kondisi riil, yang menjadi fakta di lapangan, yang membuat kesenjangan antara dassollen dan dessain. Penelitian ini akan melakukan untuk mengetahui penerapan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam penegakan hukum di pengadilan. Lokasi penelitian adalah KY. Lembaga ini diambil sebagai tempat penelitian, dengan pertimbangan KY adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi jalannya peradilan di Indonesia. Pada lembaga tersebut terdapat sumber data dokumenter tentang para hakim yang mendapatkan hukuman disiplin sebagai hakim karena melakukan pelanggaran Kode Etik Hakim yang telah diputus dalam persidangan Majelis Kehormatan Hakim (MKH). B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana penerapan kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh KY?
6 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rangka mengetahui penerapan kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh KY. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Yaitu untuk memberikan data dan informasi bahwa lembaga peradilan telah ada peraturan yang mengikat kepada para hakim sebagai struktur hukum dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum dan keadilan, agar hakim lebih berhati-hati dan waspada dengan adanya keterbukaan informasi dan Trasparansi, apabila berperilaku dan bertindak tidak profesional dan inkonstitusional, dan bertindak atau perilaku yang terpengaruh dari kultur budaya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) telah terbaca dan dilihat masyarakat, berakibat pula akan menjadi jatuhnya martabat dan harga diri sebagai hakim. 2. Manfaat Teoritis Yaitu
untuk
menjadi
sumbangan
pemikiran
terhadap
ilmu
pengetahuan khususnya di bidang pelaksanaan dan implementasi kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam melaksanakan tugas sebagai hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia, serta dapat mengembangkan konsep-konsep pemikiran yang berhubungan dengan kode etik perspektik filsafat etika dan peran antisipatif dalam menghadapi arus perkembangan hukum di era modern. E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian eksploratif.
ini
merupakan
Eksplorasi
penelitian
ialah
kualitatif
penggambaran
yang
bersifat
(deskriptif)
dan
penjelasan (eksplanasi). Dalam konteks ini, penelitian eksplorasi
7 adalah usaha untuk membentuk pengertian umum terhadap suatu
fenomena. Dengan demikian fokus penelitiannya adalah
pada struktur hukum, yaitu para hakim dan struktur hukum yang mengawasi implementasi bidang kode etik hakim oleh Komisi Yudisial RI. 2. Sifat Penelitian Penelitian merupakan penelitian kepustaan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah suatu metode dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasi, menganalisis, dan menginterpretasikannya. 3. Sumber Data Penulis
menggunakan
melakukan
penelitian
lapangan
dan
sumber
data-data diambil dari buku-buku dan data dokumenter
yang diperoleh dari Komisi Yudisial. Dalam sebuah penelitian datadata yang diperoleh tidak bisa langsung diakui keabsahannya. Untuk dapat membuktikan kebenaran dari data yang ada diperlukan teknik yang tepat sehingga data-benar-benar valid. Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber yang menurut Patton berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui alat dan waktu yang berbeda dalam metode kualitatif. 4. Jangka Waktu Penelitian Penelitian berlangsung selama 4 bulan, yaitu bulan Maret-Juni 2015. Penelitian pada bulan Maret dan bulan April 2015 difungsikan untuk sistematisasi fenomena yang berkembang dengan lahirnya Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di Indonesia, untuk menjalankan tugas sebagai hakim yang menerima, memeriksa dan memutus perkara di pengadilan apakah telah berjalan efektif di Indonesia, setelah berjalannya era reformasi di bidang penegakan
8 hukum di Indonesia. Kajian ini dilakukan dengan dikaitkan teori tentang filsafat etika oleh para ahli, dan teori para ahli di bidang penegakan hukum. Pada bulan Mei 2015 digunakan untuk melakukan identifikasasi dan pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan Fungsi dan kedudukan Kode Etik Hakim Indonesia sebagai subtansi hukum sebagai pedoman hakim dalam menjalankan tugas memeriksa dan mengadili perkara. Pada bulan Juni 2015 dilakukan diskusi tersutruktur dan penyampaian hasil-hasil penelitian melaui Seminar Nasional dengan narasumber KY.
9 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Independensi Kekuasaan Kehakiman Lembaga negara merupakan institusi yang diciptakan untuk menjalankan kehendak rakyat, maka sesungguhnya seluruh lembaga negara harus merepresentasikan kehendak rakyat dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Untuk mempermudah dilaksanakannya tugas dan kewenangan yang diamanahkan warga negara maka dibentuklah cabang-cabang kekuasaan tertentu. Secara umum cabang kekuasaan tersebut dibagi menjadi tiga (trias politica), yaitu; cabang kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Dalam teori ketatanegaraan agar setiap cabang kekuasaan dapat maksimal dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, maka antara sesama cabang-cabang kekuasaan tersebut dilaksanakan fungsi saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) tanpa berupaya memengaruhi satu dan yang lainnya. fungsi tersebut
sangat
penting
untuk
saling
mengawasi
mencegah kegagalan cabang
kekuasaan negara dalam menjalankan tugasnya. Itu sebabnya jika dalam penyelenggaraan negara terjadi penyimpangan pelaksanaan tugas dan kewenangan dari lembaga-lembaga negara, maka warga negara adalah lembaga
pihak
negara
yang paling dirugikan. Ketidakberfungsian dengan
baik
menyebabkan
sia-sianya
amanat/penyerahan kedaulatan yang diberikan rakyat kepada organorgan negara. Istilah independen atau independensi merupakan serapan dari kata Independence yang berarti “The state of quality of being independent; a country freedom to manage all its affairs, whether
10 external or internal without countrol by other country.”7 Dalam Kamus Besar
Bahasa
Indonesia
tidak
ditemukan
definisi daripada
independen tetapi memiliki padanan kata yakni mandiri8, kemandirian, bebas yang memiliki makna tidak memiliki ikatan pada pihak lain dalam melakukan
segala
bentuk
aktifitasnya,
bebas,
otonom,
ketidak
berpihakan, kemandirian, atau hal lain yang memiliki persamaan makna tidak memiliki ketergantungan pada organ atau lembaga lain, dan dapat menjalankan
tindakan
sendiri
termasuk
dalam
membuat
suatu
keputusan. Jika frase kata independen atau kemandirian dilekatkan dengan kekuasaan Kehakiman, maka yang dimaksudkan adalah suatu kondisi yang
menunjukan suatu kehendak yang bebas terhadap lembaga
kekuasaan kehakiman yang merdeka di mana makna merdeka adalah berdiri sendiri; bebas dari penghambatan; penjajahan dan sebagainya, tidak terkena tuntutan; leluasa; tidak terikat; tidak tergantung pada pihak tertentu atau freedom of independency judiciary yang tidak terbatas dalam organ struktural dan fungsional.9 Kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independen itu bersifat universal.10 7
Bryan A Garner, 1999, Black Law Dictionary, seventh edition, West group :United States of America, hlm. 773. 8
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka., hlm 655. 9
Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, hlm. 274.
10
Ketentuan universal sebagaimana diatur dalam The Universal Declaration of Human Rights, Pasal 10 mengatakan: Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligation of any criminal charge agains him. Dalam artian secara bebas (Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tak memihak, dalam hal menetapkan hakhak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya). Sehubungan dengan itu, Pasal 8 The Universal Declaration of Human Rights berbunyi sebagai berikut: Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for act violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law (Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakimhakim nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberitakan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang- undang).
11 Independensi kekuasaan kehakiman sangat diperlukan untuk menjamin hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan yang menjadi unsur penting dalam negara demokrasi, antara demokrasi dan hukum tidak dipahami sebagai dua entitas yang contradictio in terminis di
mana
keduanya
bisa
berada
dalam
suasana
hidup
yang
berdampingan secara damai (peacefull co-existance) tanpa salah satu diunggulkan.11 Sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan mengenai pengertian untuk independensi kekuasaan kehakiman setiap negara memberi pengertian yang berbeda yang ditunjukan melalui struktur kekuasaan kehakiman dalam tata politik dan tata hukum suatu negara, serta independensi kekuasaan kehakiman adalah konsep yang bersifat relatif bukan absolut namun sebagai suatu konsep independensi kekuasaan kehakiman telah berkembang dan masuk dalam tata politik dan
tata
hukum
negara-negara
modern
dewasa
ini
melalui
konstitusi negara. Dalam pandangan Md. Hussein Mollah, “Independent judiciary is the sin qua non-of a democratic government.”12 Hal ini karena, “Independence of judiciary truly means that the judges are in a position to render justice in accordance with their oath of office and only in accordance with their own sense of justice without submitting to any kind of pressure or influence be it from executive or legislative or from the parties themselves or from the superiors and colleagues.”13 Selanjutnya dikatakan bahwa, “Independence of judiciary depends on some certain conditions like mode of appointment of the judges, security of their tenure in the office and adequate remuneration and 11
A. Ahsin Thohari, “Demokrasi sekaligus Nomokrasi”, Harian Kompas edisi Jumat 7 November 2003, hlm. 4. 12
Md. Hossein Mollah, “Separation of Judiciary and Judicial Independence in Bangladesh”, Journal Comparative Law Studies, Vol. 7 No. 48, Spring 2006, hlm. 445. 13
Ibid.
12 privileges.”14 Untuk mewujudkan hal ini, maka separasi kekuasaan peradilan menjadi penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, “The concept of separation of the judiciary from the executive refers to a situation in which the judicial branch of government acts as its own body frees from intervention and influences from the other branches of government particularly the executive.”15 Lebih lanjut dikatakan bahwa, “Complete separation is relatively unheard or outside of theory, meaning no judiciary is completely severed from the administrative and legislative bodies because this reduces the potency of checks and balances and creates inefficient communication between organs of the state.”16
Hal
ini
mengkonfirmasi
pandangan
L.P.
Thean
yang
mengatakan bahwa “That the most common and most discussed feature of judicial independence is from governmental or executive intereference.”17 Independensi peradilan sering diakumulasikan sebagai tingkat diskresi hakim dalam berhadapan dengan cabang kekuasaan yang lain, yaitu eksekutif dan legislatif. Cakupan independensi itu misalnya berhubungan dengan bagaimanakah peradilan menafsirkan ketentuan Undang-Undang
(statutory
interpretation)18,
atau
dalam
tradisi
ketatanegaraan Amerika Serikat, bagaimana peradilan “menempatkan diri” pada relasi Kongres dengan eksekutif yang semakin ekstensif kekuasaannya.19 Pada sisi lainnya, independensi peradilan dikaitkan 14
Ibid., hlm. 447.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
L.P. Thean, “Judicial Independence and Effevtivenes”, Sourtern California Law Review, No. 72 No. 23, Januari-Maret 1999, hlm. 535. 18
Lihat misalnya tulisan J. Ferejohn dan B. Weingast (1992); “A Positive Theory of Statutory Interpretation”, International Review of Law and Economics, Vol. 12, 1992, hlm. 263-279. 19
Baca misalnya: T.M. Moe, “Political Institutions: The Neglected Side of the Story”, Journal of Law, Economics, and Organization, Vol. 6, 1990, hlm. 213-253;
13 dengan seberapa besar eksekutif dan legislatif “memasok” anggaran bagi badan pengadilan.20 Perspektif lain, indepensi peradilan tercipta jika “if politicians fear to lose power and the farther the ideal points of the rival parties are apart.”21 Secara umum, tradisi hukum Anglo-Saxon menetapkan bahwa hanya mereka yang telah mempunyai rekam jejak panjang dalam profesi hukum yang dapat dipilih sebagai hakim. Mereka dipilih dari orang-orang yang cakap hasil didikan perguruan tinggi. Ini yang dikatakan sebagai the
professional model
corresponding.22 Namun
dalam tradisi civil law, yang dikenal sebagai beurocratic model corresponding, hakim adalah aparatur negara, yang mengalami pendidikan khusus setelah menyelesaikan pendidikan universitas. 23 J.R.Macey, “Separated Powers and Positive Political Theory: The Tug of War Over Administrative Agencies”, Georgetown Law Journal, Vol. 80, 1992, hlm. 671-703; dan N.S. Zeppos, “Deference to Political Decisionmakers and the Preferred Scope of Judicial Review”, Northwestern University Law Review, Vol. 88, 1993, hlm. 296-371. 20
Misalnya tulisan Eugenia Toma, “Congressional Influence and the Supreme Court: The Budget as a Signaling Device”, Journal of Legal Studies, Vol. 20, 1991, hlm. 131-146. 21
M. Ramseyer, “The Puzzling (In)dependence of Courts: A Comparative Approach”, Journal of Legal Studies Vol. 2 No.23, 1994, hlm. 721-747. 22
In common law, only experienced practitioners may become judges. It has a system of training based primarily on scholarly knowledge, with universities as the main providers for future judges’ education. Lihat: D. Woodhouse, “The Law and Politics: More Power to the Judge – and to the People?”, Parliamentary Affairs, 2001, Vol. 54, hlm. 223–237. 23
In civil law tradition, judges are trained in special schools after a recruitment conducted amongst university graduates. But the training is strictly separated between the legal actors who will be on the side of the parties, defending or not, and the legal actor who will be on the side of thestate – the judge. Furthermore, the judge is effectively a civil servant: they are there to serve the state, and ultimately the social structure, in accordance with their curia regis origin. The judge in civil law does not appear to be a totem similar to that found in common law. The only connection between the different actors of the legal team in the case of civil law is that of education. But the way the career of judges is organised (shaped by the civil service structure, itself conditioned by the weight of the authority and symbolism of “public power”) creates a flow through the system, between “lower-level (young) judges” and “higher-level (older) judges”. Lihat dalam David Marrani, “Confronting the symbolic position of the judge in western European Legal Traditions: A comparative Essay”, European Journal of Legal Studies, Vol. 3 Issue 1 (2010), hlm. 60.
14 Feld
dan
Voigt
misalnya,
membangun
argumen
bahwa
independensi kekuasaan kehakiman dapat dilacak ke dalam 2 indikator, yaitu secara de jure, dengan memperhatikan dokumen legal yang mengaturnya, dan secara de facto, ialah dengan memperhatikan derajat kebebasannya dalam praktik.24 Kedua penulis ini menyimpulkan bahwa
judicial
independence
mempunyai
kaitan
erat
dengan
pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dengan sampel kepada 56 negara, Feld dan Voigt memperoleh data bahwa secara
de jure,
kekuasaan kehakiman yang independen tidak mempunyai hubungan dengan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi sebaliknya, secara de facto, mempunyai kaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Independensi peradilan sering diakumulasikan sebagai tingkat diskresi hakim dalam berhadapan dengan cabang kekuasaan yang lain, yaitu eksekutif dan legislatif. Cakupan independensi itu misalnya berhubungan dengan bagaimanakah peradilan menafsirkan ketentuan Undang-Undang
(statutory
interpretation)25,
atau
dalam
tradisi
ketatanegaraan Amerika Serikat, bagaimana peradilan “menempatkan diri” pada relasi Kongres dengan eksekutif yang semakin ekstensif kekuasaannya.26 Pada sisi lainnya, independensi peradilan dikaitkan dengan seberapa besar eksekutif dan legislatif “memasok” anggaran
24
Lihat selengkapnya dalam L.P. Feld, L.P. dan S. Voigt, “Economic Growth and Judicial Independence: Cross-Country Evidence using a new set of indicators”, European Journal of Political Economy Vol. 3, No. 19, 2003, hlm. 497-527. 25
Lihat misalnya tulisan J. Ferejohn dan B. Weingast (1992); “A Positive Theory of Statutory Interpretation”, International Review of Law and Economics, Vol. 12, 1992, hlm. 263-279. 26
Baca misalnya: T.M. Moe, “Political Institutions: The Neglected Side of the Story”, Journal of Law, Economics, and Organization, Vol. 6, 1990, hlm. 213-253; J.R.Macey, “Separated Powers and Positive Political Theory: The Tug of War Over Administrative Agencies”, Georgetown Law Journal, Vol. 80, 1992, hlm. 671-703; dan N.S. Zeppos, “Deference to Political Decisionmakers and the Preferred Scope of Judicial Review”, Northwestern University Law Review, Vol. 88, 1993, hlm. 296-371.
15 bagi badan pengadilan.27 Perspektif lain, indepensi peradilan tercipta jika “if politicians fear to lose power and the farther the ideal points of the rival parties are apart.”28 Makna kemandirian atas lembaga pengadilan sesungguhnya memiliki
dua
kelembagaan
pengertian, dan
yaitu
kemandirian
kemandirian yang
dalam
meliputi
pengertian
individu hakim
sebagai tokoh sentral dari bekerjanya lembaga ini. Semuanya dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan melalui irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam putusan, menunjukkan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, seyogianya independensi atas kekuasaan kehakiman adalah suatu hal yang mutlak, namun demikian jaminan atas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman harus didasarkan pada hukum dan keadilan sebagai letak akuntabilitas dari kekuasaan kehakiman yang merdeka. B. Etika dan Etika Profesi Hakim Secara etimologis, menurut Endang Syaifuddin Anshari, etika berarti perbuatan, dan ada sangkut pautnya dengan kata-kata Khuliq (pencipta) dan Makhluq (yang diciptakan). Akan tetapi, ditemukan juga pengertian etika berasal dari kata jamak dalam bahasa Arab “Akhlaq”.29 Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (moralitas). Meskipun sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral 27
Misalnya tulisan Eugenia Toma, “Congressional Influence and the Supreme Court: The Budget as a Signaling Device”, Journal of Legal Studies, Vol. 20, 1991, hlm. 131-146. 28
M. Ramseyer, “The Puzzling (In)dependence of Courts: A Comparative Approach”, Journal of Legal Studies Vol. 2 No.23, 1994, hlm. 721-747. 29
20-21.
Muhammad Alfan, 2011, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia, hlm.
16 memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih cenderung pada pengertian “nilai baik dan huruk dari setiap perbuatan manusia, etika mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi,bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dan perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilm al-akhlaq) dan moral (akklaq) adalah praktiknya. Sering pula yang dimaksud dengan etika adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik maupun buruk.30 Etika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, perkataan etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti adat kebiasaan. Etika adalah sebuah pranata prilaku seseorang atau kelompok orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiyah sekelompok
masyarakat
tersebut.31 Istilah etika diartikan sebagai
suatu perbuatan standar (standard of conduct) yang memimpin individu, etika adalah suatu studi mengenai perbuatan yang sah dan benar dan moral yang lakukan seseorang.32 Sebagai cabang ilmu filsafat, etika dimengerti sebagai filsafat moral atau filsafat mengenai tingkah laku. Etika berbeda dengan moral, moral berisi ajaran-ajaran sedangkan
etika berisi alasan-alasan
mengenai moralitas itu sendiri.33 Aristoteles mendefinisikan etika sebagai suatu kumpulan aturan yang harus dipatuhi oleh manusia.34 Etika juga memiliki penekanan
30
Ibid.
31
Faisal Badroen, 2006, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta : Kencana Perdana Media Group, hlm. 5. 32
Hamzah Ya’kub, 1983, Etika Islami : Pembinaan Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), Bandung: CV, Diponegoro, hlm. 12. 33
Majid Fakhry, 1996, Etika Dalam Islam, alih bahasa Zakiyuddin Baidawi, cet. ke-1, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. xv 34
A.W. Wijaya, 1991, Etika Pemerintah, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 26.
17 terhadap kajian sistem nilai-nilai yang ada.35 Ajaran etika berpedoman pada
kebaikan
dari
suatu
perbuatan
yang
dapat
dilihat
dari
sumbangasihnya dalam menciptakan kebaikan hidup sesama manusia, baik buruknya perbuatan seseorang dapat dilihat berdasarkan besar kecilnya
dia
memberikan
manfaat
kepada
orang
lain.
Dalam
menentukan baik atau buruknya perbuatan seseorang, maka yang menjadi tolak ukur adalah akal pikiran. Selain etika ada juga yang dapat menentukan suatu perbuatan baik atau buruk yaitu akhlak. Etika sudah cukup lama berkembang menjadi wacana yang diperdebatkan
dalam
pelbagai
profesi
hukum,
politik,
filsafat,
administrasi publik, dan sektor-sektor lainnya. Pengertian selalu dikaitkan dengan prinsip-prinsip untuk mengevaluasi seuatu perbuatan baik atau buruk, benar atau salah. Etika berkaitan dengan standarstandar pertimbangan mengenai nilai benar dan salah yang harus dijadikan pegangan bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.36 Nilai-nilai etika itu dapat dibedakan antara nilai yang bersifat normatif (normative ethics) dan nilai bersifat deskriptif (descriptive ethics). ‘Normative ethics’ menggambarkan standar-standar tentang perbuatan yang benar dan salah, sedangkan ‘descriptive ethics’ berkenaan dengan penyelidikan empiris mengenai keyakinan-keyakinan moral seseorang. ‘Descriptive ethic’ berusaha menentukan seberapa besar porsi warga masyarakat yang percaya bahwa pembunuhan itu selalu salah, sedangkan ‘normative ethics’ berusaha menentukan
35
Ahmad Charis Zubair, 1995, Kuliah Etika, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,
36
Jimly Asshiddiqie, “Sejarah Etika Profesi dan Etika Hukum”, makalah, 2015,
hlm.13. hlm. 1.
18 apakah dapat dibenarkan untuk memegang kepercayaan yang demikian itu.37 Menurut sejarahnya, tradisi membangun etika positif berupa prinsip-prinsip etika dan perilaku yang dirumuskan yang
sebagai
diidealkan bagi para anggota suatu komunitas
jabatan
standar
profesi
atau
tertentu yang membutuhkan kepercayaan publik,
pada
mulanya muncul dalam praktik di Inggris, dan kemudian dikembangkan dalam arti yang lebih modern di Amerika Serikat. Bidang profesi yang pertama kali memperkenalkan sistem etika positif ini adalah di dunia kedokteran
(medical
ethics).
Namun
ide
awal
mengenai
etika
kedokteran ini pertama kali sebenarnya berasal dari banyak sarjana, termasuk dari pemikiran Muslim al-Ruhawi dan al-Razi (Rhazes) pada abad pertengahan. Profesi kedua yang tercatat paling awal membangun sistem etika profesi ini adalah profesi akuntan. Dalam ilmu akuntansi, yang biasa dianggap sebagai ‘the father of accounting’ adalah Luca Pacioli yang menulis buku tentang etika akuntansi pertama kali pada tahun 1494, yaitu buku “Summa de Arthmetica, Geometri, Proportione, et Proportionalita”. Tetapi, dalam pengertian modern, kode etik akuntan baru
ada
setelah
dibentuknya
American
Association
of
Public
Accountant (AAPA). Organisasi profesi ini didirikan pada tahun 1887, dan kode etik pertama yang ditulis dan disahkan untuk mendidik para anggotanya pada tahun 1905, tetapi kode etik yang lebih efektif yang tertuang dalam anggaran dasar (by laws) organisasi, baru ditetapkan pada tahun 1907 bersamaan dengan ulangtahun AAPA yang ke-20. Nama organisasi ini beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir
37
Ibid.
19 berubah menjadi American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) sampai sekarang.38 Profesi ketiga yang membentuk kode etik profesi ini adalah profesi hukum. Pada tahun 1854, Hakim George Sharswood menulis essai berjudul “Legal Ethics”. Dari buku ini muncul ide untuk menyusun kode etik hukum di pelbagai negara bagian. Negara bagian pertama Amerika Serikat yang menyusun dan mengesahkan kode etik ini adalah Alabama, yaitu pada tahun 1887. Pada tahun 1854, American Bar Association (ABA) didirikan, dan baru pada tahun 1908 atau 54 tahun kemudian menyusun dan mengsahkan berlakunya kode etika professional yang disebut pertama kali sebagai “Canons of Professional Ethics”. Kode Etik American Bar ini juga merujuk kepada tulisan George Sharswood tentang “Legal Ethics” tersebut di atas.39 Setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Menurut Sidharta, etika secara umum merupakan bagian dari pembahasan filsafat bahkan merupakan satu cabang dari filsafat. Filsafat tidak selalu diartikan sebagai ilmu, tetapi juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup. Sebagai ilmu, filsafat akan terus bergulir dan tidak mengenal kata selesai, sedangkan filsafat sebagai pandangan hidup berarti suatu produk (nilai-nilai atau sistem nilai) yang diyakini kebenarannya dan dijadikan pedoman berprilaku oleh suatu individu atau masyarakat. Etika profesi hukum 38
Ibid., hlm. 2.
39
Ibid.
dapat dipandang dari kedua
20 pengertian tersebut. Jika etika profesi hukum dimaksudkan sebatas kode etik yang diberlakukan masing- masing organisasi maka itu berarti etika sebagai sistem nilai. Jika, profesi hukum dikaji secara sistematis, metodis, dan obyektif untuk mencari rasionalitas di balik alasan-alasan moral dari sistem nilai yang dipilih maka etika dalam konteks itu berarti bagian atau cabang dari ilmu (filsafat).40 Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku
hakim
dalam
menjalankan
profesinya. Hakim
memiliki
kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat
beberapa
nilai yang dianut dan wajib
dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.41 C. Penegakan Hukum Menurut Satjipto Rahardjo, hukum itu ialah instrumen yang bisa dipakai,
dan
dipakai
oleh
pihak
yang
menggunakannya untuk
kepentingan mereka sendiri. Memang menggunakan hukum modern itu tidak mungkin bisa melepaskan dari praktek penggunaan hukum seperti itu, tetapi menurut Satjipto kita harus waspada dalam bernegara hukum karena tidak semua hukum yang dipakai sebagai sarana untuk keadilan tetapi dapat juga untuk tujuan dan kepentingan lain.42
40
Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung, Penerbit Refika Aditama, hlm. 2. 41
Wildan Suyuthi, “Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama,” dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, (Mahkamah Agung RI, 2006), hal. 26-28. 42
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 170- 171.
21 Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas
atau sempit. Dalam arti luas, proses
penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai
upaya
aparatur
penegakan
hukum
tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan
hukum
seharusnya.
berjalan
sebagaimana
Dalam
memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang
22 tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang
yang
menggunakan
hukum
sekedar
sebagai alat kekuasaan belaka. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan
mencari
dan
menemukan
kebenaran
materiel
yang
menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
23
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Kewajiban
hakim
untuk
memelihara
kehormatan
dan
keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan. Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses
pengambilan
keputusan
yang
bukan
saja
berlandaskan
peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat. Sebagaimana
halnya
kehormatan,
keluhuran martabat
merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat hakim dapat dijaga dan ditegakkan. Kehormatan dan keluhuran martabat berkaitan erat dengan etika perilaku. Etika adalah kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak mengenai benar dan salah yang dianut satu golongan atau masyarakat. Perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atas
24 reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap) dan ucapan yang sesuai dengan apa yang dianggap pantas oleh kaidah- kaidah hukum yang berlaku. Etika berperilaku adalah sikap dan perilaku yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Implementasi terhadap kode etik dan pedoman perilaku
hakim
dapat
menimbulkan
kepercayaan,
atau ketidak-percayaan masyarakat kepada putusan pengadilan. Oleh sebab itu, hakim dituntut untuk selalu berperilaku yang berbudi pekerti luhur. Hakim yang berbudi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan (officium nobile). Profesi
hakim
memiliki
sistem
etika
yang
mampu
menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas
sosialnya,
juga terikat dengan norma-norma etika dan
adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Namun demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi keamanan
bagi
Hakim
dan
Pengadilan,
jaminan
termasuk kecukupan
kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi di atas belum sepenuhnya terwujud, hal
25 tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat. Sebelum
disusun
Kode
Etik
dan
Pedoman
Perilaku
Hakim ini, Mahkamah Agung telah mengadakan kajian dengan memperhatikan masukan dari Hakim di berbagai tingkatan dan lingkungan peradilan, kalangan praktisi hukum, akademisi hukum, serta pihak-pihak lain dalam masyarakat. Selain itu memperhatikan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetuskan dalam Kongres IV Luar Biasa IKAHI Tahun 1966 di Semarang, dalam
bentuk
Kode
Etik
Hakim Indonesia dan disempurnakan
kembali dalam Munas XIII IKAHI Tahun 2000 di Bandung. Untuk
selanjutnya
ditindaklanjuti
dalam
Rapat
Kerja
Mahkamah Agung RI Tahun 2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim yang didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsipprinsip
internasional,
maupun
peraturan-peraturan
serupa
yang
ditetapkan di berbagai Negara, antara lain The Bangalore Principles of Yudicial Conduct. Selanjutnya
Mahkamah
Agung
menerbitkan
pedoman
Perilaku Hakim melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal tentang Pedoman Perilaku Hakim Mahkamah
Agung
RI
dan
22
Desember
2006,
Surat
Keputusan
Ketua
Nomor 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19
Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim. Demikian pula KY
telah melakukan pengkajian yang
mendalam dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak
26 melalui kegiatan Konsultasi Publik yang diselenggarakan di 8 (delapan) kota yang pesertanya terdiri dari unsur hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, serta unsur-unsur masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan memenuhi pasal 32A juncto pasal 81B Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim melalui Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung
dan
Ketua
047/KMA/SKB/IV/2009/02/SKB/P.KY/IV/2009.
KY
Nomor
Keputusan
ini
merupakan pegangan bagi para Hakim seluruh Indonesia serta Pedoman bagi MA dan KY dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun eksternal. Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional. Prinsip profesionalisme dan pedoman pelaksanaan dalam Bangalore Principle tersebut
dianut
di
dalam
Kode
Etik
dan
Pedoman Perilaku Hakim pada prinsip ke-10. Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan
yang dipilihnya
dengan kesungguhan,
oleh keahlian atas dasar pengetahuan, luas.
Sikap
profesional
akan
keterampilan
yang didukung dan wawasan
mendorong terbentuknya pribadi
yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga
27 tercapai
setinggi- tingginya
mutu
hasil
pekerjaan,
efektif
dan
efisien. Prinsip profesional ini dilaksanakan antara lain dalam bentuk upaya meningkatkan kemampuan dan kualitas dalam menjalankan tugas,
tanggungjawab
administratif,
dan
kerjasama
melaksanakan
tugas
mengutamakan tugas judisial, dan wajib menghindari
terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan. Sayangnya, rumusan
penerapan
sikap profesional
yang
terdapat dalam butir 10.1 sampai butir 10.4 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut
telah dibatalkan oleh Putusan MA Nomor
36P/HUM/2011 tanggal 9 Februari 2012 terkait permohonan keberatan hak uji material terhadap Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009. Putusan ini menarik perhatian karena majelis hakim menerima permohonan 4 orang advokat untuk menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 SKB bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perudangundangan tingkat lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Majelis hakim berpendapat bahwa Kewenangan KY berdasarkan Pasal 40 UU Kekuasaan merupakan
kewenangan pengawas
atas perilaku
Kehakiman
hakim
sebagai
bentuk pengawasan eksternal. Sebagai konsekuensinya, semua butir yang disebutkan di atas dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, dan memerintahkan kepada Ketua MA dan Ketua KY untuk mencabut butirbutir di atas. Panitera MA diperintahkan utuk mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara,
28 serta biaya perkara sebesar satu juta rupiah dibebankan kepada para termohon (Ketua MA dan Ketua KY). Dengan demikian pengawasan eksternal oleh KY menurut Undang-Undang harus semata-mata menyangkut “perilaku hakim” guna
menegakkan
martabat
dan kehormatan
hakim.
KY tidak
memiliki wewenang mengawasi teknis hukum. Rumusan butir 8.1. dan butir 10.4. dinilai tidak memuat sebuah cakupan tentang perilaku
(behaviour)
tetapi
soal
pengetahuan
atau pemahaman
yang masuk ke wilayah kognitif. Oleh sebab itu, hal ini tidak termasuk ke dalam wilayah pengawasan eksternal KY karena tidak termasuk ”perilaku”. Di dalam putusan ini sangat jelas bahwa antara argumentasi hukum di dalam Pertimbangan Hukum hakim sama sekali tidak berangkat dari argumentasi hukum yang diajukan oleh Pemohon sebagai dasar permohonan. Pemohon mengajukan Argumentasi utama yang digunakan sebagai dasar permohonan untuk menyatakan bahwa butir-butir Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku bertentangan dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung adalah dalil bahwa substansi butir-butir Keputusan Bersama dimaksud adalah norma hukum, bukan norma etik atau perilaku. Hal ini sama sekali tidak dipertimbangkan dan dinilai oleh Majelis Hakim. Sangat menarik bahwa yang dijadikan “sasaran tembak” pengujian adalah kedelapan butir KEPPH di dalam SKB, sementara butir
induknya,
yaitu
angka
8
dan
10
sama
sekali
tidak
dipermasalahkan. Angka 8 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bertajuk “Berdisiplin Tinggi,” sedangkan angka 10 bertajuk “Bersikap Profesional”. Dengan dihapusnya butir-butir ini, berarti angka 8 dan 10 tidak lagi diberikan rumusan penerapannya, melainkan dibiarkan
29 terumuskan secara abstrak. Amar putusan MA ini tidak eksplisit memerintahkan MA dan KY untuk melakukan susun ulang butir-butir yang dicabut itu, sekalipun dalam pertimbangan ada disebutkan katakata: “...dan selanjutnya perlu disusun atau diterbitkan petunjuk pelaksanaan
atau
petunjuk
teknis
dalam
penerapannya
untuk
memperjelas dan memberikan definisi yang konkrit tentang bentukbentuk teknis pengawasan yang menjadi wewenang Mahkamah Agung dan pengawasan perilaku dan pelanggaran kode etik yang menjadi ranah kewenangan Komisi Yudisial,...” Apabila kedua kelompok struktur aturan ini dihadaphadapkan, yaitu antara kelompok Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) UndangUndang Mahkamah Agung versus kelompok penerapan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, maka sesungguhnya dapat dilihat, bahwa secara eksplisit tidak ada pertentangan prinsip di antara kedua struktur itu. Struktur aturan pertama dialamatkan ke KY, sedangkan struktur kedua ditujukan ke setiap hakim. KY diperintahkan oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan dan hakim adalah sasaran yang diawasinya. Untuk melakukan pengawasan itu, dikondisikan harus ada KEPPH yang ditetapkan bersama oleh MA dan KY. Amanat undangundang itu sudah pula dilaksanakan melalui pemberlakuan Keputusan Bersama tersebut. Permasalahan
baru
terlihat
setelah
pertimbangan-
pertimbangan hukum dari majelis hakim disimak secara mendalam. Di situ terlihat bahwa analisis atas pertentangan struktur aturan KEPPH ternyata pertama-tama tidak dihadapkan dengan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14
30 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana diajukan pemohon. Pasal-pasal yang dikonfrontasikan melalui pertimbangan hakim justru pertama-tama adalah Pasal 39 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya ayat (4). Subjek norma dari pasal ini adalah MA, tetapi oleh majelis dianggap berlaku juga secara mutatis mutandis bagi KY dalam hal melakukan pengawasan eksternal. Dengan putusan pengujian tersebut, MA dan KY diposisikan oleh majelis hakim dalam posisi sejajar, yakni sebagai sesama lembaga pengawas. Baru pada penalaran berikutnya, majelis hakim menyatakan bahwa sumber kewenangan kedua lembaga tersebut berbeda. MA mendasarkan kewenangannya pada Pasal 39, sedangkan KY pada Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman. Dengan menggunakan rumusan Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman, majelis ingin menonjolkan kata “perilaku hakim” sebagai area pengawasan KY. Hal ini berbeda dengan area pengawasan MA yang mencakup tiga bidang sekaligus, yaitu teknis yuridis, administrasi, dan perilaku hakim. Namun, majelis hakim kemudian menambahkan bahwa di bidang teknis yuridis pun ada kewenangan KY, yakni dengan pembatasan hanya pada analisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 42 UU Kekuasaan Kehakiman). Area kewenangan di atas lalu dipertentangkan dengan butir 8.1 yang menurut pertimbangan majelis sama sekali tidak masuk ke dalam cakupan kedua area itu. Soal pengetahuan atau pemahaman, menurut majelis, masuk ke wilayah kognitif bukan wilayah perilaku (behavior). Selain butir 8.1, ada butir lain yang juga dimaknai sama, yaitu butir 10.4. Bunyi butir itu adalah: “Hakim wajib menghindari menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan
31 terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.” Menurut majelis hakim, pasal ini adalah di dalam wilayah kognisi. Majelis
hakim
MA
dalam
putusan
ini
kurang
lebih
mengatakan bahwa KY perlu “dikecualikan” dari keleluasaan demikian karena dengan keleluasaan itu terbuka peluang bagi KY untuk mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Misalnya, KY dikhawatirkan akan berwenang memanggil hakim-hakim yang diduga telah melakukan kekeliruan itu, sehingga hal ini dipandang termasuk ke dalam kategori membahayakan kemandirian hakim. Dalam pertimbangan hukum yang diajukan oleh majelis hakim MA dalam kasus ini, terdapat sebuah isu etis yang tampil ke permukaan. Saat majelis hakim memuat pertimbangan atas butir 10.4, tercantum kata-kata sebagai berikut: Kewenangan pengawasan teknis yuridis dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui penggunaan upaya-upaya hukum sesuai hukum acara oleh para pihak berperkara. Kewenangan Komisi Yudisial bersumber pada Pasal 40 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, yaitu pengawasan atas perilaku hakim sebagai bentuk pengawasan eksternal. Dengan demikian, pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial menurut ketentuan UndangUndang harus semata-mata menyangkut “perilaku hakim” guna menegakkan martabat dan kehormatan hakim. Kewenangan atas masalah teknis hukum hanya sebatas kewenangan menganalisis putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) sesuai ketentuan Pasal 42 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, sehingga tidak ada dasar hukum kewenangan bagi Komisi Yudisial untuk melakukan tugas pengawasan teknis hukum terhadap kasus yang belum berkekuatan hukum tetap.
32 Sekalipun
tidak
eksplisit
disebutkan,
ada
kesan
dari
pertimbangan di atas, ditambah dengan amar berupa pencabutan atas delapan
butir
Kode
Etik
dan
Pedoman
Perilaku
Hakim,
menggarisbawahi bahwa penghormatan hakim terhadap hukum acara dipandang hanya bersentuhan dengan masalah teknis yuridis yang ada di bawah kewenangan MA untuk mengawasinya. Atas dasar kesan ini, patut dipertanyakan, benarkah hukum acara (hukum formal) lebih bersentuhan pada dimensi hukum daripada dimensi etis? Apabila mengikuti pandangan demikian, kita disadarkan bahwa uraian tentang moralitas (sebagai bahan kajian etika) menjadi penting untuk diangkat kembali. Ulasan berikut ini, sekalipun agak berbau filosofis, kiranya diperlukan untuk mendudukkan secara tepat dan proporsional tenteng hakikat pengawasan yang seyogianya diperankan oleh KY. Moralitas kewajiban ditujukan kepda para warga masyarakat sedangkan
moralitas
aspirasi
diarahkan
ke
individu.
Moralitas
kewajiban selalu terbuka untuk diubah atau ditransformasikan ke hukum positif. Moralitas ini juga bisa dipaksakan dengan sanksi. Di sisi lain, moralitas aspirasi lebih ditujukan untuk kesempurnaan individu sebagai manusia yang baik. Moralitas demikian tidak bisa dipaksakan atau ditransformasikan ke hukum positif. Moralitas
kewajiban
adalah
moralitas
hukum
yang
sebenarnya. Moralitas hukum ini masih bisa dibagi lagi menjadi moralitas hukum internal (inner morality of law) dan moralitas hukum eksternal (outer morality of law). Moralitas hukum internal berisi syarat-syarat formal yang harus dipenuhi agar sesuatu moralitas dapat disebut hukum.
Sementara itu, moralitas hukum eksternal adalah
syarat-syarat substansial agar hukum bisa berfungsi mencapai keadilan dan kebenaran.
33 Sampai di sini segera dapat diketahui bahwa Lon F. Fuller menunjukkan betapa moralitas hukum internal itu bersinggungan langsung dengan hukum acara. Jadi, hukum acara sebenarnya ada di dalam aras internal sebuah sistem hukum. Ketika Fuller menunjukkan ada delapan prinsip legalitas, maka terlihat bahwa kedelapan prinsip legalitas itupun merupakan asas-asas penting hukum formal. Dengan
demikian,
tuntutan
agar
hakim
menghormati
ketentuan hukum acara, dalam perspektif ini, harus dilihat sebagai tuntutan etis terhadap profesi hakim. Dalam ketentuan-ketentuan formal itu diberikan koridor perilaku supaya aparat penegak hukum, termasuk
hakim,
tidak
menyalahgunakan
kewenangan
yang
dimilikinya. KY dengan demikian, tidak akan keliru bila tetap menjadikan
penghormatan
hakim
terhadap
ketentuan-ketentuan
hukum acara dalam sebuah putusan sebagai indikasi atas dugaan pelanggaran Majelis Hakim mengkonstruksikan argumentasi berbeda untuk menyatakan bahwa butir-butir Keputusan Bersama dimaksud bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung berdasarkan materinya yang dinilai justru tidak menyakut perilaku, melainkan soal pengetahuan atau pemahanan yang masuk wilayah kognitif, yang menurut Majelis Hakim tidak termasuk wilayah pengawasan KY, dan hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum. Pertimbangan hukum tersebut mengkonstruksikan bahwa apa yang dimaksud dengan teknis hukum menurut Majelis Hakim adalah
sesuatu
yang
terkait
dengan
wilayah
kognitif,
yaitu
pengetahuan dan pemahaman hukum hakim dalam menjalankan tugas di persidangan. Padahal yang dimaksud dengan teknis hukum
34 tentu juga meliputi perilaku dalam memimpin persidangan dan menerapkan hukum acara. Bahkan, tingkat pengetahuan dan pemahaman hakim juga hanya dapat dilihat dari perilakunya. Kalaupun seandainya ketentuan dalam butir-butir Keputusan Bersama dimaksud berada pada wilayah pengetahuan dan pemahaman (kognitif), tetap saja hal itu merupakan bagian dari norma kode etik yaitu hakim harus profesional sesuai dengan pedoman perilaku ke-10 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pertimbangan hukum Majelis Hakim juga sangat parsial. Dari butir-butir Keputusan Bersama yang diajukan permohonan, Majelis Hakim hanya menganalisis
butir 8.1. dan butir 10.4. Butir-butir
Keputusan Bersama lain yang dimohonkan sama sekali tidak dianalisa dan diberikan pendapat hukum. Hanya terhadap
butir
menyatakan
8.1.
dan
bahwa
butir
semua
berdasarkan
10.4.
butir-butir
Majelis SKB
pertimbangan
Hakim kemudian yang
dimohonkan
adalah terkait dengan pengetahuan, bukan perilaku, sehingga bukan merupakan wilayah pengawasan MA dan KY. Pendapat
Majelis
Hakim
yang
pengawasan tidak dapat mempersoalkan
menyatakan proses
bahwa
persidangan
bertentangan dengan maksud dari pengawasan itu sendiri, yaitu untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. Hal ini yang sangat menentukkan keluhuran martabat,
kehormatan,
dan perilaku hakim adalah perilaku di
persidangan. Perilaku dipersidangan adalah perilaku hakim dalam proses persidangan. Jika pengawasan tidak dapat dilakukan terhadap perilaku hakim dalam
proses
pengawasan
hakim
perilaku
persidangan,
maka kewenangan
akan teramputasi, tidak lagi meliputi
35 pengawasan di dalam dan di luar persidangan, tetapi hanya terbatas pengawasan perilaku di luar persidangan. Dengan Putusan MA yang membatalkan butir 8.1 sampai butir 8.4, serta butir 10.1 sampai butir 10.4, satu lagi instrumen upaya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, dan perilaku hakim diamputasi. KY dan MA sendiri semakin tidak berdaya dalam melakukan pengawasan terhadap hakim. Terhadap putusan hakim memang dapat dilakukan upaya hukum, tetapi terhadap hakim yang tidak profesional tidak ada lagi tindakan yang dapat dilakukan, kecuali menunggu hingga pensiun. Di luar pokok perkara, terdapat hal-hal yang perlu ditinjau kembali seperti ius standi pemohon, konflik kepentingan para hakim, dan
status
Keputusan
Bersama
sebagai
peraturan
perundang-
undangan atau peraturan kebijakan. Para advokat yang menempatkan diri sebagai pemohon berkeyakinan kepentingan hukum mereka telah dirugikan dengan butir-butir dalam Keputusan Bersama itu, tetapi patut juga dipertanyakan mengapa selama ini justru advokat-advokat lain banyak yang memanfaatkan kompetensi KY melalui butir-butir tersebut, sebagaimana terlihat dari banyaknya pengaduan ke KY melalui jasa para advokat ini. B. Penerapan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam Pelaksaan Fungsi Komisi Yudisial Kenyataannya banyak kasus perilaku hakim yang menyimpang dari apa yang seharusnya beberapa contoh, yaitu kasus Hakim Syarifudin yaitu Hakim Pengawas di Pengadilan Negeri di Jakarta Pusat yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap dari Kurator Puguh Iriawan. Kasus tersebut telah menjadi perkara Tindak Pidana Korupsi dan Hakim Syarifudin telah divonis 4 tahun
36 penjara sedangkan Puguh Iriawan divonis 3 tahun 8 bulan penjara. Dalam tahap upaya hukum. Juga Hakim Imas Dianasari yaitu Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industri di Pengadilan Negeri Bandung, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap. Perkaranya telah diputus di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung dan Hakim Imas divonis dengan hukuman penjara selama 6 tahun. Kartini Juliana Mandalena Marpaung Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Semarang dari jalur pengacara yang ditangkap oleh KPK, aktif bertemu dengan Heru untuk mengatur vonis Yaeni, ditugaskan Pragsono menerima duit dari Yaeni melalui Heru, bakal menerima jatah suap dari Yaeni, bersama Lilik dan Asmadinata menjadi majelis hakim yang kerap membebaskan koruptor di Semarang dan sejak 9 Agustus 2012 lalu seharusnya sudah pindah ke Pengadilan Negeri Gorontalo karena terbukti melanggar kode etik hakim. Asmadinata Hakim Ad Hoc Pengadilan Korupsi Semarang dari jalur pengacara bertemu dengan Heru untuk mengatur vonis Yaeni, kemudian diduga bakal menerima jatah suap dari Yaeni dan bersama Lilik dan Kartini menjadi Majelis Hakim yang kerap memvonis bebas koruptor di Semarang, sejak 9 Agustus 2012 lalu seharusnya sudah pindah ke Pengadilan Negeri Ambon karena terbukti melanggar kode etik hakim. Lilik Nuraini sebelum dipindah ke Pengadilan Negeri Tondano dan digantikan Pragsono, ia Ketua Majelis perkara Yaeni, diduga terlibat mengatur perkara Yaeni sejak awal dan berhubungan dengan Heru lewat kartini, lalu dimutasi karena terbukti melanggar kode etik. Ada pula kasus hakim yang menyalahgunakan narkotika yaitu dengan memakai dan pesta narkotika. Hal ini dilakukan oleh seorang hakim Pengadilan Negeri Bekasi berinisial PW yang ditangkap oleh
37 aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 16 Oktober 2012 di sebuah tempat hiburan kawasan Jalan Hayam Wuruk Jakarta yang sedang
berpesta
narkoba
bersama-sama 3 orang perempuan
mendampingi hakim tersebut. Bersamaan dengan penangkapan itu disita pula barang bukti berupa ekstasi dan sabu-sabu. Kasus-kasus di atas yang melibatkan hakim sebagai tersangka perkara korupsi dan penyalahgunaan narkoba, hanya sebagian kecil dari sekian banyak kasus korupsi dan tindak pidana lainnya serta pelanggaran kode etik hakim yang dilakukan oleh hakim. Padahal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial telah ada sejak tahun 2004. Di dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud Pasal 13 huruf b” Komisi Yudisial bertugas mengajukan
usul menjatuhkan sanksi terhadap hakim kepada
pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi .“ Dari bunyi pasal tersebut di atas bisa ditarik pengertian bahwa KY
hanya
bisa
sanksi/menghukum
mengajukan/merekomendasikan (administrasi/disiplin)
seorang
untuk hakim
memberi kepada
pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Jadi KY tidak boleh menjatuhkan hukuman sendiri kepada para hakim. Dalam hal ini, KY hanya dapat memeriksa kasus yang melibatkan seorang hakim, itu pun terbatas kepada perilaku hakim yang melanggar kode etik hakim, di luar pro justisia, yang normanya diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sedangkan apabila ditemukan dan terbukti adanya perbuatan yang melanggar hukum pidana, maka KY tidak dapat mengambil langkah lebih lanjut seperti kewenangan untuk penyidikan. Ini merupakan kelemahan yang ada di tubuh KY.
38 Terhadap usulan penjatahan hukuman administrasi oleh KY kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, sikap Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terhadap usulan KY itu tidak otomatis harus dijalankan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi bisa saja Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tidak melaksanakan rekomendasi seperti yang direkomen- dasikan oleh Komisi Yudisial tersebut. Walau dalam prakteknya banyak juga usulan penjatahan hukuman terhadap hakim dari Komisi Yudisial yang diakomodir oleh pimpinan Mahkamah Agung. Begitu juga terhadap hasil pemeriksaan Komisi Yudisial yang menemukan adanya unsur pidana dari perbuatan hakim, belum ada patron yang baku untuk tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial. Melihat kenyataan tersebut di atas, maka untuk itu di masa yang akan datang agar supaya peran KY lebih menggigit, maka KY harus
diberi
kewenangan
tambahan
yaitu
kewenangan
untuk
menjatuhkan hukuman administrasi/disiplin sesuai dengan kode etik hakim. Di samping itu KY harus diberi kewenangan pro justitia yaitu kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap para hakim yang diduga atau diindikasikan melakukan tindak pidana. Untuk kewenangan itu tentu harus didukung oleh perangkat perundang-undangan yaitu dengan merubah Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dengan menyisipkan pasal-pasal kewenangan penyidikan oleh Komisi Yudisial terhadap para hakim yang diduga melakukan tindak pidana. Akibat dari ketidakpunyaan kewenangan dari Komisi Yudisial untuk menjatuhkan hukuman sendiri terhadap para hakim yang melakukan pelanggaran kode etik serta ketidakpunyaan kewenangan dari Komisi Yudisial untuk melakukan penyidikan terhadap para hakim
39 yang diduga melakukan tindak pidana, hal ini menimbulkan peran KY terhadap pengawasan para hakim menjadi kurang menggigit, akibatnya maka para hakim tidak mempunyai rasa jera di dalam melakukan perbuatan penyimpangan yang negatif, baik itu pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim maupun pelanggaran terhadap hukum pidana. Berdasarkan amanah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, salah satu tugas dan wewenang Komisi Yudisial adalah menjalankan Pengawasan Perilaku Hakim dan Investigasi. Dalam hal ini, KY sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap perilaku hakim melakukan pengawasan baik secara pasif berdasarkan laporan masyarakat maupun secara aktif melalui berbagai kegiatan dalam bentuk pemantauan persidangan. Arah kebijakan Komisi Yudisial pada tahun 2014 tertuang dalam Peraturan Komisi Yudisial Nomor 02 Tahun 2012 tentang Garis Besar Kebijakan dan Strategi Komisi Yudisial Tahun 2012-2016, seluruh komponen dalam Komisi Yudisial bertekad untuk mewujudkan Visi Komisi Yudisial yaitu:“Terwujudnya Komisi Yudisial yang bersih, transparan, partisipatif, akuntabel, dan kompeten dalam mewujudkan hakim yang bersih, jujur, dan profesional.” Arah
kebijakan
Komisi
Yudisial
merupakan
penjabaran
operasional dari tugas dan wewenang Komisi Yudisial yang meliputi: peningkatan kualitas seleksi pengangkatan hakim, hakim agung dan hakim Adhoc di Mahkamah Agung, peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim sebagai upaya menjaga kehormatan hakim, peningkatan kualitas penanganan laporan masyarakat sebagai upaya menegakkan kehormatan hakim, pemantapan proses penegakkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
40 Dalam
rangka
menjaga
dan
menegakkan
kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku Hakim di atas Komisi Yudisial mempunyai tugas: melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim, menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim, melakukan verifikasi,
klarifikasi,
dan
investigasi
terhadap
laporan
dugaan
pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup, memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim, dan mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Selain
itu
KY
juga
mempunyai
tugas
mengupayakan
peningkatan kapasitas dan kesejahteraan Hakim. Dalam melakukan pengawasan Hakim, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan perilaku pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Untuk melaksanakan pengawasan itu KY dapat meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim. Pimpinan Badan Peradilan dan/atau Hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta oleh KY sebagaimana dimaksud. Dalam pelaksanaan tugas dimaksud di atas
KY dapat:
melakukan verifikasi terhadap laporan, melakukan pemeriksaan atas dugaan
pelanggaran,
melakukan
pemanggilan
dan
meminta
keterangan dari Hakim yang diduga melanggar pedoman kehormatan, keluhuran
martabat,
serta
perilaku
hakim
untuk
kepentingan
pemeriksaan, melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari saksi, dan menyimpulkan hasil pemeriksaan.
41 Pemeriksaan oleh KY meliputi: pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dan permintaan
klarifikasi
terhadap
Hakim
yang
diduga
melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas. Dalam setiap pemeriksaan sebagaimana dimaksud dibuatkan berita acara pemeriksaan yang disyahkan dan ditandatangani oleh terperiksa dan pemeriksa. Klarifikasi sebagaimana dimaksud, diajukan oleh hakim yang diduga melakukan pelanggaran dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya pemanggilan yang menyebutkan
adanya
dugaan
pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara patut oleh KY. Hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim berisi dugaan pelanggaran dinyatakan terbukti, atau dugaan pelanggaran dinyatakan tidak terbukti. Dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan terbukti, Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap
hakim
yang
diduga
melakukan
pelanggaran
kepada
Mahkamah Agung sanksinya berupa: sanksi ringan terdiri atas teguran lisan, teguran tertulis, atau pernyataan tidak puas secara tertulis. Sanksi sedang terdiri atas penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun, penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun, penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) tahun, atau hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan. Sanksi berat terdiri atas pembebasan dari jabatan struktural, hakim non palu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap dengan hak pensiun, atau pemberhentian tetap tidak dengan hormat. Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
42 yang diusulkan oleh KY dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima. Pelaksanaan pengawasan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial salah satunya dilakukan dengan penanganan laporan masyarakat. Penanganan laporan masyarakat merupakan rangkaian kegiatan mulai dari menerima laporan masyarakat, pendalaman laporan masyarakat, sidang panel hasil pendalaman laporan masyarakat, pemeriksaan para pihak dan saksi, sidang pleno hasil pemeriksaan, dan rekomendasi penjatuhan sanksi. Sejak berdirinya Komisi Yudisial tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 Komisi Yudisial telah menerima laporan masyarakat sebanyak 9.752 laporan.43 Laporan masyarakat yang diterima oleh Komisi Yudisial pada periode Januari s.d 31 Desember 2013 sejumlah 2.193 laporan, sedangkan laporan atau surat yang ditembuskan ke Komisi Yudisial sejumlah
1.982 laporan
sehingga totalnya 4.175
laporan.44 Rekapitulasi laporan masyarakat yang masuk ke Komisi Yudisial paling banyak adalah
adalah
surat tembusan setelah
itu
laporan melalui via pos.45 Dalam periode yang sama untuk tahun 2014, penerimaan laporan masyarakat mengenai perilaku hakim yang diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim periode Januari s.d Desember 2014 adalah sebanyak 1.781 laporan. Selain menerima laporan masyarakat secara langsung, KY juga menerima 2.003 surat tembusan terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.46 Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2014 jumlah laporan masyarakat yang masuk ke Komisi Yudisial mengalami 43
Laporan Tahunan KY 2013, hlm. 15.
44
Ibid.
45
Ibid., hlm. 16.
46
Laporan Tahun KY 2014, hlm. 27.
43 kenaikan dan penurunan. Dalam kurun waktu 5 tahun, sejak tahun 2010 hingga 2014 rata-rata laporan masyarakat yang masuk sebanyak 1723 laporan setiap tahunnya, dan untuk Penerimaan laporan masyarakat menurut jenis perkara yang dilaporkan sejak tahun 2010 hingga 2014. Laporan masyarakat yang diterima oleh KY setiap tahunnya mayoritas terkait perdata dan pidana. Jumlah laporan masyarakat terkait pelanggaran KEPPH yang ditangani oleh Komisi Yudisial pada tahun 2014 adalah sebanyak 672 laporan.47 Dari Jumlah 2.193
Laporan Masyarakat yang diterima tahun
2013, dapat dipetakan laporan-laporan yang diterima berdasarkan dugaaan Pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
dilaporkan ke Komisi Yudisial, yaitu:48 No.
Jenis Dugaan Pelanggaran
Jumlah
Prosentase (%)
1
Berperilaku Adil
375
17.09 %
2
Berperilaku Jujur
15
0.68 %
3
Berperilaku Arif Dan Bijaksana
90
4.10 %
4
Berperilaku Mandiri
15
0.68 %
5
Berintegritas Tinggi
81
3.69 %
6
Bertangung jawab
10
0.4 %
7
Menjunjung Tinggi Harga Diri
9
0.41 %
8
Berdisplin Tinggi
35
1.59 %
9
Berperilaku Rendah Hati
0
0.00 %
10
Bersikap Profesional
775
35.33 %
11
Gabungan semua laporan dugaan
34
1.55 %
12
Bukan Kewenangan KY
230
10.48 %
47
Ibid., hlm. 34.
48
Ibid., hlm. 17.
44
13
Permohonan Pemantauan
355
16.18 %
14
Lain-lain
169
7.70%
2.193
100%
Total
Dengan
banyaknya
mengkampanyekan
laporan
wewenang
dan
ini
berarti
tugasnya
KY
berhasil
dalam
menjaga
kehormatan hakim. Dari jumlah total laporan tersebut yang tidak ada laporan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim hanya pada poin Berperilaku Rendah Hati. Bisa jadi tidak adanya laporan tersebut karena poin ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Dari data
pemetaan tersebut diatas juga memberikan perspektif bahwa
laporan-laporan yang masuk terdiri dari banyak dugaan pelanggaran yang ada dalam surat laporan pelapor, yaitu sebanyak 34 (1.55 %), artinya masyarakat melaporkan lebih dari satu pelanggaran. Bersikap profesional adalah butir yang paling banyak dilanggar oleh hakim, hal ini menunjukan adanya ketidakmampuan para hakim dalam
menerapkan
hukum
acara
yang
berlaku.
Prosentase
pelanggaran dari butir ini sebesar 35.33% atau sebanyak 775 dari jumlah 2.193 laporan selama tahun 2013. Kemudian, Berperilaku adil menempati urutan kedua terbanyak untuk pelanggaran butir-butir kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hal ini disebabkan bahwa butir bersikap adil dan bersikap profesional terkadang masih dipersepsikan sama oleh masyarakat, sehingga dalam laporan yang disampaikan, kedua butir tersebut selalu bersinggungan. Prosentase pelanggaran bersikap adil sebesar 17.09 %, atau sebanyak 375 laporan. Selanjutnya, pada peringkat ketiga, poin “Berperilaku arif dan bijaksana” sebesar 4,10 %, atau sebanyak 90 laporan. Pelanggaran ini berkaitan dengan tindakan tercela. Urutan pelanggaran selanjutnya adalah butir “berintegritas tinggi “, sebanyak 81 laporan atau 3.69
45 %. Bentuk pelanggaran ini paling banyak berupa penundaan eksekusi, yaitu banyaknya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkract) tidak dapat dilaksanakan oleh Terlapor, hal ini menyebabkan putusan tersebut akhirnya terbengkalai. Hal yang sama juga ditemui dalam laporan menyangkut poin “Berperilaku jujur” 15 laporan (0,68 %), yaitu pada perbuatan tercela. Dalam laporan ini didominasi oleh laporan yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang ditangani oleh hakim yang bersangkutan, namun murni perbuatan di luar kedinasan. Ditemukan juga adanya intervensi yang diterima oleh terlapor sehingga mempengaruhi putusannya, hal ini dapat dilihat dari ‘‘Berperilaku mandiri’’ sebanyak 15 laporan (0,68 %). Laporan tentang pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim“menjunjung tinggi harga diri” sebanyak 9 laporan (0.41 %). Butir pelanggaran lain yang banyak dilaporkan masyarakat ke Komisi Yudisial adalah bentuk pelanggaran pada butir ‘‘Berdisiplin
tinggi’’, yaitu ditunjukkan dengan
laporan masyarakat sebesar 35 laporan atau 1.59%. Jenis pelanggaran ini cenderung berkaitan
dengan perilaku hakim dalam memimpin
persidangan. Dari laporan masyarakat tersebut ada yang memang meminta tim
pemantauan
persidangan
persidangan ataupun perkara dilihat
Komisi
Yudisial
yang masih
untuk
berjalan.
memantau
Hal ini dapat
dari data yang masuk sebanyak 355 laporan (16.18 %)
permohonan pemantauan, artinya adalah bahwa masyarakat mengerti akan kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan pemantauan persidangan. Selain itu ada juga laporan yang secara tegas bukan merupakan kewenangan Komisi Yudisial karena tidak berkaitan dengan Hakim, 230 laporan (10.48 %). Biasanya laporan seperti ini akan
46 diteruskan ke instansi yang berwenang seperti ke Kejaksaan atau Kepolisian atau bila berkaitan dengan Panitera akan di teruskan ke Bawas MA. Laporan
masyarakat
yang
telah
diregistrasi
selanjutnya
dilakukan pendalaman melalui kegiatan anotasi, investigasi, dan pemantauan. Hasil anotasi, investigasi, dan pemantauan dibahas dalam sidang panel untuk menentuka apakah laporan masyarakat dapat ditindaklanjuti atau tidak. Sepanjang tahun 2013, Dari 70 laporan yang telah diregister, sebanyak 621 laporan masyarakat telah dibahas dalam sidang panel. Dari jumlah tersebut, 365 laporan tidak dapat ditindaklanjuti dan 256 laporan dapat
ditindaklanjuti. Dalam hal dugaan
pelanggaran Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan
terbukti,
KY
mengusulkan penjatuhan sanksi tehadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 huruf D Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, sanksi terhadap pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim berupa sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi berat. Dari jumlah 98 laporan
yang dinyatakan
terbukti
dalam
Sidang Pleno KY, sejumlah 63 laporan diusulkan untuk dijatuhi sanksi kepada terlapor, dengan komposisi sebagai berikut:49
49
Ibid., hlm. 25.
47
1.
Januari
4
1
2
Lain-lain (Peringatan bukan sanksi) 5
2.
Februari
0
0
0
0
0
3.
Maret
3
0
1
3
7
4.
April
3
0
0
5
8
5.
Mei
6
0
2
2
10
6.
Juni
0
0
0
0
0
7.
Juli
0
1
3
5
9
8.
Agustus
6
1
1
3
11
9.
September
6
3
1
2
12
10.
Oktober
4
0
1
3
8
11.
November
0
0
0
0
0
12.
Desember
4
5
5
36
11
16
7 35
No
Bulan
Sidang
Sanksi Ringan
Sanksi Sedang
Sanksi Berat
Majelis Kehormatan
Hakim
Jumlah (laporan) 12
21 98
merupakan
forum
pembelaan diri bagi hakim yang direkomendasikan Komisi Yudisial untuk dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun
dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sidang
Majelis
Kehormatan Hakim dilaksanakan berdasarkan Peraturan Bersama tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Pengambilan
Kerja, dan
Tata
Keputusan Majelis Kehormatan Hakim yang
Cara
dibentuk
oleh KY bersama dengan MA. Keberadaan Majelis Kehormatan Hakim ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 22F ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial jo. pasal 11A ayat (6) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 dan Pasal 20 ayat (6) UU Nomor 49 Tahun 2009, yang pada intinya menyatakan bahwa hakim yang akan diusulkan pemberhentian tetap diberikan hak untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
48 Adapun mengenai komposisi keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim berdasarkan ketentuan pasal 22F ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 11A ayat (8) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 yaitu terdiri dari 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial dan 3 (tiga) orang hakim agung. Forum pembelaan diri hakim ini terkait
dengan tata
cara
pembentukan dan mekanisme kerja yang telah diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dengan menerbitkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 129/KMA/SKB/IX/2009
Nomor:
04/SKB/P.KY/IX/2009
tanggal
8
September 2009 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim. Periode Januari hingga Desember 2013, telah dilaksanakan 7 (tujuh) kali sidang Majelis Kehormatan Hakim yang terdiri sebanyak 5 (tiga) orang hakim yang diajukan atas rekomendasi KY, sedangkan sisanya sebanyak 2 (dua) orang hakim atas rekomendasi Mahkamah Agung. Sejak diterbitkannya keputusan bersama tersebut tahun 2009 sampai dengan 2013, Majelis Kehormatan Hakim telah dilaksanakan sebanyak 25 (dua puluh lima) kali. Kecenderungan kasus pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditangani dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim pada tahun 2009 sampai dengan 2012, mayoritas merupakan kasus penyuapan.Namun mulai tahun 2013 dan 2014 kecenderungan kasus pelanggaran
bergeser
di
mana
mayoritas
merupakan
kasus
perselingkuhan. Pada tahun 2014 kasus perselingkuhan menempati posisi pertama sebesar 38.46% (sebanyak 5 kasus) dan kasus gratifikasi menempati urutan kedua sebesar 23.07% (sebanyak 3
49 kasus) dari total 13 kasus. Pada Periode Januari hingga Desember 2014, sebanyak 13 orang Hakim sudah diproses dalam Sidang), dimana 6 orang diajukan atas usul KY, 6 orang atas usul MA dan 1 orang diajukan bersama MA. Peran KY konteks
sebagai
pemantauan
lembaga
perilaku
pengawasan eksternal
hakim
terhadap
dalam
jalannya
sistem
pada
laporan
persidangan dirasakan semakin tinggi, baik berasal
masyarakat maupun inisiatif KY untuk menemukan dan membuktikan bahwa hakim telah menerapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
dalam
menangani
suatu
perkara
maupun
pergaulan
di
masyarakat. Pada tahun 2013, KY telah memperoses 355 permohonan pemantauan dari masyarakat dan 24 perkara
berdasarkan
inisiatif
Komisi Yudisial atas dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam proses persidangan di pengadilan.50 Jumlah permohonan pemantauan yang diterima KY selama tahun 2014 adalah 379 permohonan. Permohonan tersebut kemudian dianalisis dan disimpulkanperlu tidaknya dilakukan pemantauan. 51 Dari 379 permohonan, KY hanya dapat melakukan 72 pemantauan (19%). Terhadap 272 permohonan yang tidak dapat ditindaklanjuti dengan pemantauan, disebabkan (1) tidak adanya dugaan pelanggaran kode etik hakim dalam perkara, (2) bukan wewenang KY, (3) perkara telah diputus, atau (4) ditindaklanjuti dengan pendalaman lainnya di KY.
50
Ibid., hlm. 27.
51
Laporan Tahun KY 2014, hlm. 39.
50 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, maka penerapan kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh KY dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Ditinjau dari legitimasi, KY sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap perilaku hakim melakukan pengawasan baik secara pasif berdasarkan
laporan masyarakat maupun secara aktif melalui
berbagai kegiatan dalam bentuk pemantauan persidangan. b. Ditinjau dari peraturan perundang-undangan, ada kelemahan dalam
regulasi
yaitu
tidak
mempunyai
kewenangan
untuk
menjatuhkan hukuman administrasi sendiri terhadap hakim yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga KY tidak mempunyai kewenangan penyidikan terhadap para hakim yang terbukti di dalam pemeriksaan melanggar aturan pidana. B. Saran Supaya kepada Komisi Yudisial selain diberi kewenangan untuk memeriksa dan membuktikan adanya pelanggaran kode etik dan tindak pidana, menghukum berdasarkan kode etik dan perilaku hakim serta diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap hakim yang diduga melakukan tindak pidana.
51 DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Ilmiah Ahmad Charis Zubair, 1995, Kuliah Etika, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada. Asep Rachmat Fajar, 2013, Perilaku Koruptif Penegakan Hukum dalam Penyelesaian Perkara di Peradilan, Jakarta, BPHN. A.W. Wijaya, 1991, Etika Pemerintah, Jakarta: Bumi Aksara. Bryan A Garner, 1999, Black Law Dictionary, seventh edition, West group: United States of America. Faisal Badroen, 2006, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta : Kencana Perdana Media Group. David Marrani, “Confronting the symbolic position of the judge in western European Legal Traditions: A comparative Essay”, European Journal of Legal Studies, Vol. 3, No. 1, 2010. D. Woodhouse, “The Law and Politics: More Power to the Judge – and to the People?”, Parliamentary Affairs, 2001, Vol. 54. Eugenia Toma, “Congressional Influence and the Supreme Court: The Budget as a Signaling Device”, Journal of Legal Studies, Vol. 20, 1991. Hamzah Ya’kub, 1983, Etika Islami : Pembinaan Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), Bandung: CV, Diponegoro. J. Ferejohn dan B. Weingast (1992); “A Positive Theory of Statutory Interpretation”, International Review of Law and Economics, Vol. 12, 1992. L.P. Thean, “Judicial Independence and Effevtivenes”, Sourtern California Law Review, No. 72 No. 23, Januari-Maret 1999. J.R.Macey, “Separated Powers and Positive Political Theory: The Tug of War Over Administrative Agencies”, Georgetown Law Journal, Vol. 80, 1992. Komisi Yudisial, 2014, Laporan Tahunan 2013, Jakarta.
52
Komisi Yudisial, 2015, Laporan Tahunan 2014, Jakarta. L.P. Feld, L.P. dan S. Voigt, “Economic Growth and Judicial Independence: Cross-Country Evidence using a new set of indicators”, European Journal of Political Economy Vol. 3, No. 19, 2003. Majid Fakhry, 1996, Etika Dalam Islam, alih bahasa Zakiyuddin Baidawi, cet. ke-1, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Md. Hossein Mollah, “Separation of Judiciary and Judicial Independence in Bangladesh”, Journal Comparative Law Studies, Vol. 7 No. 48, Spring 2006. M. Ramseyer, “The Puzzling (In)dependence of Courts: A Comparative Approach”, Journal of Legal Studies Vol. 2 No.23, 1994. Muhammad Alfan, 2011, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia. N.S. Zeppos, “Deference to Political Decisionmakers and the Preferred Scope of Judicial Review”, Northwestern University Law Review, Vol. 88, 1993. Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung, Penerbit Refika Aditama. T.M. Moe, “Political Institutions: The Neglected Side of the Story”, Journal of Law, Economics, and Organization, Vol. 6, 1990. Wasingatu Zakiyah dkk. , 2002, Menyikap Tabir Mafia Peradilan, Jakarta, ICW. Wildan Suyuti, 2005, Kode Etik Dan Hakim Dalam Pandangan Agama, Jakarta, Mahkamah Agung R.I. Wildan Suyuthi, 2006, “Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama,” dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Jakarta, Mahkamah Agung R.I.
53 Artikel Ahsin Thohari, “Demokrasi sekaligus Nomokrasi”, Harian Kompas edisi Jumat 7 November 2003. Makalah Jimly Asshiddiqie, “Sejarah Etika Profesi dan Etika Hukum”, makalah, 2015. Kamus Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.