LAPORAN KEMAJUAN November 2014
BAGAIMANA KINERJA PEMERINTAH DAN EKONOMI? Gustav F. Papanek Penasihat Senior Pusat Transformasi Kebijakan Publik
Foto : Mohamad Burhanudin
Pengukuran Obyektif atas Kemajuan Sasaran Pertumbuhan 10 persen dan 4 Juta Pekerjaan Layak per Tahun Sasaran Presiden meliputi pertumbuhan 7 persen pada tahun 2017 dan peningkatan penghasilan masyarakat miskin. Untuk mencapai sasaran Presiden ini, kami mengusulkan pertumbuhan 10 persen pada tahun terakhir pemerintahan beliau, serta 21 juta pekerjaan layak yang baru, sebagian besar di sektor manufaktur, sebagai satu-satunya jalan untuk secara permanen meningkatkan penghasilan masyarakat miskin. Laporan ini memberikan evaluasi professional yang obyektif tentang ekonomi Indonesia dan kemajuannya untuk mencapai sasaran tersebut. Penekanan laporan ini adalah hal yang paling penting bagi masyarakat miskin di Indonesia: apakah mereka mempunyai pekerjaan yang layak dengan penghasilan tetap. INDIKATOR PRIMER Upah buruh tani terus menurun sejak 2008. Buruh tani termasuk di dalam 20 persen masyarakat termiskin. Penurunan upah mereka sebesar 12 persen, sementara penghasilan rata-rata meningkat 28 persen, menunjukkan kegagalan untuk meningkatkan penghasilan masyarakat miskin dan adanya peningkatan dalam hal ketidaksetaraan. Tentu saja buruh tani tidak terbantu oleh adanya peraturan upah minimum atau serikat pekerja. Upah mereka ditentukan oleh pasar. Saat ini persediaan tenaga kerja meningkat sebesar dua juta pekerja setiap tahun, tapi hanya satu juta pekerjaan yang diciptakan.
Laporan Kemajuan - November 2014
Dengan persediaan meningkat lebih cepat daripada permintaan, upah akhirnya jatuh: lebih banyak pekerja yang mencari pekerjaan dibandingkan dengan jumlah pekerjaan yang tersedia. Perubahan upah pertanian adalah salah satu indikator yang paling sensitif untuk menunjukkan keberhasilan atau kegagalan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan dari 40 persen masyarakat termiskin. Konsumsi riil dari 40 persen masyarakat termiskin menunjukkan peningkatan kecil namun stabil sejak 2011, yaitu sekira lima persen per tahun. Upah riil buruh tani turun, namun upah pekerja industri naik secara signifikan jika mereka dilindungi oleh undang-undang upah minimum. Mereka tidak termasuk ke dalam 20 persen masyarakat termiskin, tapi 20 persen di atasnya. Kemajuan dalam meningkatkan kuantitas ekspor manufaktur padat karya tidaklah memadai, yaitu sekitar lima persen per tahun. Targetnya adalah 22 persen. Ini adalah pengukuran yang menunjukkan jumlah pekerjaan layak yang diciptakan di sektor manufaktur. Jika kuantitas ekspor meningkat, pabrik-pabrik harus mempekerjakan lebih banyak pekerja, namun jika harga-harga barang yang diekspor meningkat, tidak diperlukan pekerja tambahan. Jadi lapangan kerja di sektor manufaktur hanya dapat diciptakan jika jumlah barang yang diekspor meningkat, bukan jika nilai ekspor meningkat karena kenaikan harga.
Mengukur Kemajuan terhadap Sasaran Pertumbuhan 10% dan 4 Juta Pekerjaan Layak per Tahun INDIKATOR PRIMER Indeks upah riil buruh tani (2008 = 100) Pendapatan per kapital riil dari 40% masyarakat termiskin (dalam juta rupiah)*
Pendapatan per kapital riil dari 40% masyarakat termiskin sebagai % dari 20% masyarakat terkaya* Jumlah ekspor manufaktur padat karya pada harga konstan (dalam miliar dollar AS) INDIKATOR SEKUNDER Ekspor manufaktur padat karya pada harga konstan (dalam miliar dollar AS)
Ekspor manufaktur pada harga konstan (dalam miliar dollar AS) Rata-rata upah bulanan sektor industri (dalam dollar AS)* Investasi swasta langsung luar negeri (dalam miliar dollar AS) Upah minimum di Jawa Tengah (dalam dollar AS)*
Sebagian di tahun
2011 94 7.5
2012 92 7.8
17.4%
17.5% 17.5% 17.2% 17.7%
2013 90 6.0
9.0
2014 88 6.3
13
14
15
2011 19 65 152 19 74
2012 18 64 163 19 78
2013 19 65 163 19 82
9.0
2013 11.4 38 154 14 82
116% $44
116% $44
2014 11.2 40 171 17 84 24% $16
Sebagian di tahun
Ketimpangan antara upah sektor manufaktur di Jaw Tengah & pesaing terendah (Bangladesh) dalam % & dollar* Lapangan kerja sektor manufaktur – formal (dalam juta)* Lapangan kerja tambahan untuk pekerja berpendidikan rendah di sektor manufaktur (dalam juta) Peringkat daya saing* Peringkat infrastruktur* Peringkat korupsi* Peringkat kemudahan melakukan usaha*
2013 89 8.1
Sasaran 2015 94
24 Sasaran 2015 30 76 30
9.1
10.6
10.6
10.6
10.8
12.2
0.6
0.1
-0.6
-0.7
0.1
0.4
46 76 100 121
50 78 118 129
38 61 114 128
38 61 114 128
34 56 107 120
CATATAN: *Mengindikasikan bahwa data TIDAK tersedia setiap bulan. Angka berwarna hitam mengindikasikan tidak adanya perubahan atau hanya perubahan kecil. Angka berwarna merah dan miring mengindikasikan pergerakan negatif. Angka berwarna biru dan tebal mengindikasikan peningkatan yang signifikan. Jumlah yang diekspor adalah nilai pada harga konstan. Inilah satu-satunya cara menghitung jumlah agregat. Upah minimum di Jawa Tengah adalah rata-rata upah minimum untuk Provinsi tersebut, bukan upah di Semarang.
Laporan Kemajuan - November 2014
Periode yang dicakup dalam kolom ‘Sebagian di Tahun’: Indeks upah riil buruh tani Jumlah ekspor padat karya Pendapatan per kapita riil dari 40% masyarakat termiskin Ekspor padat karya Ekspor manufaktur Rata-rata upah bulanan sektor industri Investasi swasta langsung luar negeri Lapangan kerja di sektor manufaktur – formal Lapangan kerja tambahan di sektor manufaktur
: Januari – Oktober : Januari – Juli : Januari – Maret : Januari – Juli : Januari – Juli : Januari – Juni : Januari – Juni : Mei : Mei
Foto : Mohamad Burhanudin
INDIKATOR SEKUNDER Indikator sekunder adalah pengukuran kemajuan secara tidak langsung. Nilai ekspor manufaktur dan padat karya tidak terlalu penting bagi penciptaan lapangan kerja. Hal ini sudah stagnan selama 3 tahun. Peningkatan upah di sektor manufaktur adalah indikator negatif, karena hal itu mengurangi kemampuan Indonesia untuk bersaing di pasar dunia. Upah minimum di Jawa Tengah telah meningkat sekitar empat persen per tahun, sebuah peningkatan yang kecil. Akibatnya, ketimpangan antara upah di Jawa Tengah dan di Bangladesh, pesaing dengan upah terendah, telah berkurang dari 44 dollar AS menjadi 16 dollar AS dan dari 116 persen menjadi hanya 24 persen, suatu peningkatan yang besar. Bulan lalu, ketimpangan antara upah di Indonesia dan Bangladesh telah mengecil dan tenaga kerja Indonesia telah menjadi lebih kompetitif akibat dari terjadinya sedikit devaluasi nilai rupiah. Posisi kompetitif Indonesia secara keseluruhan meningkat dengan dramatis dari peringkat 55 ada tahun 2008 menjadi peringkat 34 pada tahun 2014. Alasan utama peningkatan ini adalah kualitas tata kelola pemerintah publik dan swasta (naik 14 tingkat menjadi peringkat 53). Indonesia tertahan oleh kinerja buruknya terkait pasar tenaga kerja, yaitu peringkat 110 (turun tujuh tingkat) dan penggunaan teknologi komunikasi informasi (ICT) menurut populasi, di mana peringkatnya adalah ke 94 (turun 10 tingkat). Korupsi dan kemudahan melakukan usaha menunjukkan sedikit peningkatan, tapi peringkat Indonesia masih sangat rendah dan hal itu seharusnya dapat ditingkatkan.
Laporan Kemajuan - November 2014
Foto : Nury Sybli
Negara Indonesia Bangladesh India Vietnam
Peringkat korupsi 2011 100 120 95 112
2012 118 144 94 123
2013 114 136 94 116
2014 107 145 85 119
Peringkat Kemudahan Melakukan Usaha 2011 2012 2013 2014 121 129 128 120 107 122 129 130 134 132 132 134 78 98 99 99
Peringkat daya saing 2011 46 108 56 65
2012 50 118 59 75
2013 38 110 60 70
2014 34 109 71 68
KESIMPULAN Hanya sedikit kemajuan yang dibuat untuk mencapai sasaran pertumbuhan 10 persen dan 4 juta pekerjaan layak per tahun pada tahun 2013 atau di enam bulan pertama pada tahun 2014. Hal ini tidak mengejutkan karena sasaran tersebut hanya dapat dicapai dengan perubahan kebijakan, yang diusulkan untuk diterapkan pada tahun 2015. Di antara pengukuran utama keberhasilan, upah buruh tani terus menurun. Jumlah barang yang diekspor sedikit meningkat pada ahun 2013, namun jauh dibawah 22 persen per tahun, angka yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran tersebut. Lapangan kerja di sektor manufaktur merupakan indikator positif, sedikit meningkat pada tahun 2012 dan sejauh ini pada tahun 2014. Namun, itu hanya sedikit lebih baik dari rata-rata peningkatan yang terjadi dalam 12 tahun terakhir, dan jauh dibawah sasaran untuk 2015. Kinerja pada tahun 2013 dan enam bulan pertama pada tahun 2014 sekali lagi menggarisbawahi perlunya perubahan kebijakan yang substansial apabila Indonesia ingin mengambil alih sebagian pasar Tiongkok, yang dimungkinkan karena Tiongkok semakin tidak mampu bersaing dalam hal barang padat karya dan tersedianya jutaan pekerja surplus di Indonesia.
Laporan Kemajuan - November 2014
Foto : Aries Subekti
Ekspor RINGKASAN Harga komoditas terus menurun sejak 2011. Akibatnya, pendapatan ekspor Indonesia juga menurun. Jumlah ekspor batu bara dan kelapa sawit terus meningkat, tetapi tidak dapat menutupi penurunan harga. Jumlah ekspor minyak/gas bumi terus berkurang karena ladang minyak yang lama menjadi kurang produktif dan hanya ada sedikit pengeboran yang terjadi untuk menemukan atau mengembangkan ladang minyak baru. Ekspor manufaktur telah menjadi stagnan sejak 2011 dan karenanya tidak dapat menutupi penurunan pendapatan komoditas. Penurunan sebesar 27 miliar dollar AS dalam pendapatan ekspor dari tahun 2011 hingga 2013, terjadi terutama karena penurunan sebagai berikut: - Minyak/gas bumi sebesar 12 miliar dollar AS - Komoditas pertanian sebesar 7 miliar dollar AS, hanya 2 miliar dollar diantaranya kelapa sawit - Mineral sebesar 6 miliar dollar AS, 4 miliar dollar diantaranya tembaga dan 2 miliar dollar batu bara, atau - Berkurangnya pendapatan komoditas sebesar 25 miliar dollar dan hanya 2 miliar dollar berkurangnya pendapatan manufaktur. Gambaran jangka pendeknya adalah penurunan harga komoditas lebih jauh dan karena itu, tidak ada peningkatan signifikan dalam pendapatan ekspor. Ekspor tembaga akan meningkat seiring diselesaikannya persengketaan atas peleburan, tapi hal itu hanya berjumlah 5% dari total ekspor, sehingga hanya akan berdampak sedikit. Gambaran jangka panjangnya tidak pasti, karena hal ini tergantung pada investasi baru, yang tergantung pada kebijakan pemerintah. Dalam jangka menengah, peningkatan jumlah batu bara yang diekspor kemungkinan besar akan melambat, lalu berhenti. Dengan berkurang tajamnya harga-harga, investasi baru menjadi kurang menarik. Kelapa sawit masih menguntungkan di harga murah dan akan terus berkembang. Akan tetapi, hanya ekspansi cepat ekspor manufaktur, terutama ekspor manufaktur padat karya, yang dapat membawa peningkatan signifikan dalam pendapatan ekspor.
Laporan Kemajuan - November 2014
Pendapatan Ekspor Indonesia Tetap Sangat Tergantung pada Harga Komoditas Pendapatan ekspor meningkat lebih dari empat kali lipat dari tahun 1996 hingga 2011. Dari total peningkatan pendapatan ekspor sebesar 153 miliar dollar AS, 120 miliar dollar diantaranya terjadi karena peningkatan pendapatan dari komoditas, dan 33 miliar dollar karena peningkatan ekspor manufaktur. Peningkatan pendapatan komoditas terjadi terutama karena harga-harga yang meningkat. Naiknya harga juga menstimulasi peningkatan besar dalam jumlah kelapa sawit dan batu bara yang diekspor dan peningkatan yang lebih kecil pada komoditas lain. Namun, kenaikan harga adalah faktor utama yang mengakibatkan peningkatan besar dalam pendapatan ekspor. Peningkatan tersebut dibagi menjadi: - Peningkatan 85 miliar dollar AS terjadi karena kenaikan harga-harga dan - Peningkatan 35 miliar dollar AS terjadi karena meningkatnya kuantitas ekspor. Tentu saja peningkatan ini terjadi juga karena kenaikan harga. Jatuhnya harga komoditas setelah tahun 2011 mengakibatkan berkurangnya pendapatan ekspor sebesar 13%. Dua puluh lima miliar dollar AS dari penurunan tersebut terjadi karena pendapatan komoditas dan hanya 2 miliar dollar AS karena pendapatan dari sektor manufaktur. Berkurangnya Ekspor Minyak/Gas Bumi berkaitan dengan Kebijakan Sekitar separuh dari penurunan pendapatan ekspor sebesar 25 miliar dollar AS dari komoditas dari tahun 2011 hingga 2013 terjadi karena minyak dan gas bumi. Penuruan sebesar 30% dalam 2 tahun tersebut diikuti dengan penurunan 10% di tahun 2014 sejauh ini. Penurunan tajam ini salah satunya disebabkan oleh – sekitar 10% nya- penuruan harga-harga dunia, tapi terutama karena penuruan jumlah yang diekspor. Penurunan kuantitas terutama terjadi karena kebijakan pemerintah, yaitu subsidi untuk membuat BBM di Indonesia murah dan peningkatan konsumsi domestik. Perjanjian bagi hasil yang lama, yang memberikan investor sebagian kecil dari keuntungan yang diperoleh hanyalah tepat ketika relatif mudah untuk menemukan ladang produktif di Indonesia. Kini, ketika minyak dan gas bumi sulit untuk ditemukan dan mahal untuk dikembangkan, hal itu tidak memberikan insentif yang memadai. Hasilnya, Indonesia tidak lagi dianggap lokasi yang menarik untuk berinvstasi dalam pengeboran minyak dan gas. Akibatnya, jumlah sumur yang dibor menurun drastis. Bukannya meningkatkan insentif untuk melakukan pengeboran di perairan dan lahan di Indonesia, justru terdapat pembicaraan untuk mengimpor Gas Alam Cair – seperti Kontrak Bagi Hasil dimana bagian Indonesia adalah 0% dan bagian investornya 100%. Salah Satu Sebab Penurunan Tembaga dan Mineral Lain juga adalah Kebijakan. Penurunan pendapatan dari tembaga dan mineral lain dari tahun 2011 hingga 2013 terjadi seluruhnya karena penurunan harga dunia. Namun, penurunan lebih jauh di tahun 2014 terjadi karena persengketaan atas persyaratan bahwa bijih besi harus diproses di Indonesia. Ini akan mengurangi keuntungan menambang di Indonesia. Keuntungan sangatlah tinggi selama ledakan komoditas dan persyaratan peleburan dapat dengan mudah diserap. Namun, dengan turunnya harga tembaga menjadi 24% dari nilai tertinggi mereka di than 2011, Berinvestasi menjadi kurang menarik, dan tambahan biaya membangun pusat peleburan akan mengurangi investasi masa depan dan produksi, kecuali jika investor memperoleh konsensi lainnya atau keuntungan dari investasi tertentu cukup tinggi untuk menutupi biaya ekstra tersebut. Karena itu, tidak dapat dipastikan sejauh mana ekspor tembaga akan sekali lagi menyamai jumlah ekspor sebelumnya.
Foto : Mohamad Burhanudin
Laporan Kemajuan - November 2014
LAPORAN KEMAJUAN EKSPOR NILAI EKSPOR DALAM MILIAR DOLLAR AS PADA HARGA TERKINI, DARI 1996 HINGGA JULI 2014 Jan-Juli Jan-Juli 1996 2004 2011 2012 2013 2013 2014 20 Minyak/Gas Bumi 12 16 41 37 29 18 Komoditas Pertanian 6 11 43 39 36 21 23 20 20 18 10 12 Minyak kelapa sawit & minyak lain 1 4 Mineral 4 8 45 40 39 23 18 Tembaga 2 3 8 5 4 2 1 Batubara 1 3 27 26 25 15 13 Hasil Hutan 7 6 9 9 9 5 5 Sub-total: Ekspor berbasis komoditas
31
44
151
137
126
76
72
Ekspor sektor manufaktur Sektor manufaktur padat karya Total
18 10 50
28 11 72
52
52
50
31
32
19 203
18 189
19 176
11 108
11 104
VOLUME EKSPOR, DALAM MILIAR DOLLAR AS PADA HARGA KONSTAN, DARI 1996 HINGGA JULI 2014 Jan-Juli Jan-Juli 1996 2004 2011 2012 2013 2013 2014 8 Minyak/Gas Bumi 22 16 16 13 13 7 Komoditas Pertanian 7 13 20 21 23 13 14 9 10 11 6 7 Minyak kelapa sawit & minyak lain 1 5 Mineral 7 10 28 32 38 21 12 Tembaga 3 3 3 2 3 1 0 Batubara 1 4 13 14 16 9 9 Hasil Hutan 6 6 7 7 8 4 5 Sub-total: Ekspor berbasis komoditas
44
49
80
81
91
51
42
Ekspor sektor manufaktur Sektor manufaktur padat karya Total
21 9 64
56 12 105
47 14 127
47 14 128
47 15 138
28 9 78
27 9 68
Sumber: Perdagangan Luar Negeri BPS (Badan Pusat Statistik) CATATAN: Ekspor bahan kimia dan pupuk biasanya digolongkan sebagai barang manufaktur. Namun sebenarnya kedua hal tersebut adalah bahan baku yang baru diproses. Karena itu, dalam tabel ini, mereka digolongkan sebagai ekspor komoditas.
Gambaran ekspor kelapa sawit lebih baik daripada ekspor batu bara Meski terjadi penurunan harga minyak kelapa sawit sebesar 36% dan harga batubara sebesar 47% dari tahun 2011 hingga Oktober 2014, jumlah ekspor kedua komoditas itu terus meningkat hingga 2013, sehingga sedikit menutupi penurunan harga tersebut. Kelapa sawit tampaknya tetap menguntungkan bahwa di harga terkini yang rendan dan jumlah yang diekspor kembali meningkat di tahun 2014. Namun, peningkatan ekspor batubara terjadi karena adanya tambang-tambang baru yang dikembangkan ketika harga-harga masih tinggi. Di harga terkini yang rendah, sebagian besar pengembangan batubara telah berhenti: jumlah yang diekspor di tahun 2014 tidak lebih tinggi dibndingkan tahun 2013. Dengan harga yang semakin rendah setiap bulannya dibandingkan bulan sebelumnya, pendaptan ekspor dari batubara telah turun, dan akan tetap turun di tahun depan. Hanya kelapa sawit yang masih menjadi bintang terang di antara komoditas lainnya: peningkatan jumlah jauh melebihi harga-harga yang turun, dan total pendapatannya meningkat.
Laporan Kemajuan - November 2014
Nilai Ekspor Barang Manufaktur Perlahan Meningkat Sejak 1996. Nilai ekspor manufaktur meningkat perlahan sebesar 6% per tahun dari 1996 hingga 2013. Ini lebih lambat dibandingkan dengan negara Asian lainnya yang setara dengan Indonesia. Sementara nilai riil ekspor manufaktur Indonesia naik dua kali lipat, nilai tersebut di Vietnam naik 12 kali lipat.1 Pertumbuhan bahkan lebih lambat hingga 2004 sebesar 5%, tapi tampak meningkat dengan cepat selama ledakan komoditas. “Tampak”, karena peningkatan tersebut terjadi karena kenaikan harga-harga dunia, bukan karena peningkatan jumlah yang diekspor. Bahkan pada harga konstan, yang merupakan pengukuran jumlah yang diekspor, ekspor manufaktur sebenarnya berkurang dari tahun 2004 hingga 2013. Lebih jauh lagi, hampir 8 miliar dollar AS dari 34 miliar dollar AS peningkatan pada harga terkini, atau hampir satu perempatnya, terjadi karena peningkatan ekspor pupuk dan bahan kimia. Kami mencantumkan ini di bawah ekspor komoditas, bukan ekspor manufaktur, karena hampir seluruh nilai ekspornya merupakan sumbangsih dari bahan baku yang digunakan – sebagina besar minyak dan gas – bukan dari prosesnya. Barang terbesar kedua adalah “Peralatan Transportasi Lainnya”, yang mencerminkan keputusan sebagian perusahaan mobil untuk menggunakan suku cadang Indonesia dalam proses produksi mereka. Industri padat karya menambahkan 8 miliar dollar AS ke dalam ekspor dalam 9 tahun ini. Namun lebih dari separuh peningkatan tersebut adalah karena naiknya harga-harga, dan karenanya tidak meningkatkan jumlah pekerjaan yang diciptakan. Fakta bahwa ini bukanlah peningkatan ekspor manufaktur yang sejati dapat juga dilihat dari kenyataan bahwa ketika ledakan komoditas berakhir di tahun 2011, begitu pula dengan pertumbuhan ekspor manufaktur. Pada harga terkini, pendapatan ekspor dari sektor manufaktur sedikit menurun hingga 2013 dan terlihat tidak berubah di tahun 2014. Indonesia tidak berhasil menutupi penurunan pendapatan dari ekspor komoditas dengan cepatnya peningkatan ekspor sektor manufaktur.
Dari 1997 hingga 2011; see Papanek, Pardede, Nazara “Pilihan Ekonomi yang Dihadapi Presiden Baru”, Transformasi 2014 1
Foto : Mohamad Burhanudin
Laporan Kemajuan - November 2014
Foto : Mohamad Burhanudin
Tenaga Kerja dan Upah RINGKASAN Dalam enam tahun terakhir, antara tahun 2008 hingga 2014, rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Indonesia meningkat 28 persen. Rata-rata upah tenaga kerja sektor industri naik 39 persen selama periode yang sama, sebagai hasil dari meningkatnya rata-rata upah minimum. Buruh di sektor industri pun menerima pendapatan jauh di atas rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia. Sebaliknya, upah tenaga kerja di sektor pertanian turun 12 persen pada periode yang sama. Akibatnya, ketimpangan antara dua kelompok sektor tenaga kerja tersebut kian melebar. Pada tahun 2008, upah rata-rata sektor industri 30 persen lebih tinggi daripada upah buruh di sektor pertanian. Peningkatan upah yang pesat sektor industri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penurunan tingkat upah tenaga kerja pertanian (dan sektor informal lainnya). Upah sektor industri yang tinggi mengakibatkan lambatnya pertumbuhan sektor industri padat karya dan sektor-sektor yang mengandalkan metode-metode produksi lainnya. Akibat selanjutnya, permintaan jumlah tenaga kerja cenderung rendah daripada penawaran, dan tingkat upah tenaga kerja yang tak terproteksi oleh upah minimum, menjadi kian turun. Hanya sedikit tenaga kerja sektor konstruksi yang digaji sesuai dengan upah minimum. Sebagian besar hanya merupakan pekerja tidak tetap atau pekerja kasual. Selama era lonjakan harga komoditas (commodity boom), sektor konstruksi mengalami lonjakan, sehigga berdampak pada peningkatan upah tenaga kerja di sektor ini rata-rata sebesar 24 persen. Tapi, pada tahun 2014 upah di sektor konstruksi turun sekitar 5 persen . Upah pembantu rumah tangga meningkat kurang dari 1 persen per tahun. Jumlah tersebut jauh di bawah rata-rata peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia per tahun. Intinya, sekitar 20 persen tenaga kerja menerima manfaat dari upah minimum dalam enam tahun terakhir; namun 80 persen tidak tercakup dalam penerapan upah minimum tak menerima manfaatnya, yang ditandai degan menurunnya tingkat upah mereka. Akibatnya, distribusi pendapatan menjadi kian tak seimbang. Perubahan dalam tingkat upah pada kelompok tenaga kerja yang berbeda-beda tersebut menjelaskan kepada kita tentang apa yang sedang terjadi pada pendapatan kelompok terbesar di antara 40 persen penduduk termiskin di Indonesia itu.
Laporan Kemajuan - November 2014
Upah sektor pertanian terus menurun Upah pekerja sektor pertanian terus menurun dalam istilah yang sesungguhnya, yang mengakibatkan menurunnya daya beli tenaga kerja di sektor ini, sejak tahun 2008. Meskipun ada sedikit kenaikan, selama periode ini upah secara keseluruhan berangsur turun dan pada bulan Oktober 2014 menjadi 12 persen lebih rendah daripada yang mereka pernah capai selama enam tahun. Upah tenaga kerja sektor pertanian selalu lebih rendah dibanding dengan mereka yang bekerja di sektor industri. Bahkan, upah mereka hanya setengah daripada pekerja di sektor manufaktur. Dan, upah mereka dari tahun ke tahun terus turun. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kenyataan bahwa sejak tahun 1996 jumlah tenaga kerja di sektor pertanian terus meningkat. Penawaran jumlah tenaga kerja terus meningkat dan lebih besar daripada permintaan tenaga kerja, sehingga makin banyak pekerja tak terlindungi kebijakan upah minimum, atau faktor lain terkait penurunan upah mereka seiring terjadinya inflasi.
Foto : Joko Santoso
Upah tenaga kerja sektor industri dan sektor lainnya yang dilindungi oleh kebijakan upah minimum yang terus meningkat Rata-rata nominal upah minimum di Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 2008 ke tahun 2014, yaitu sekitar 215 persen. Hasilnya, upah riil tenaga kerja yang tercakup oleh upah minimum meningkat, demikian pula daya belinya. Peningkatan upah minimum ini tidak hanya menguntungkan para pekerja yang berada di bawah upah minimum, tetapi juga pekerja yang berupah lebih tinggi daripada upah minimum. Ketika upah tenaga kerja yang dibayar paling rendah mengalami kenaikan, upah untuk tenaga kerja lain biasanya juga meningkat guna menjaga agar tenaga kerja yang lebih berketerampilan dan lebih pengalaman tetap menerima upah di atas tenaga kerja dengan upah terendah. Dampak dari upah minimum dan gerakan serikat pekerja, upah sektor industri rata-rata meningkat 39 persen antara tahun 2008 dan kuartal pertama tahun 20014. Proporsi jumlah tenaga kerja sektor industri yang telah tercakup oleh upah minimum terus bertambah. Kenaikan upah minimum pun meningkatkan rata-rata upah semua tenaga kerja di sektor industri. Kenyataannya, meskipun rata-rata upah minimum pada tahun 2014 mencapai Rp 1,6 juta per bulan, rata-rata aktual upah pekerja di sektor produksi mencapai Rp 2 juta per bulan. Dengan upah sektor pertanian yang terus menurun dan upah sektor industri terus melonjak selama 6 tahun terakhir sejak tahun 2008, ketimpangan antara dua kelompok tersebut kian melebar. Pada tahun 2008, upah di sektor industri hanya sekitar 30 persen di atas rata-rata upah di sektor pertanian. Tapi, pada tahun 2014 ketimpangan itu kini melebar hingga lebih dari 100 persen. Ini berarti upah sektor industri dua kali lipat dibanding upah sektor pertanian pada tahun 2014 ini.
Laporan Kemajuan - November 2014
Kenaikan upah sektor industri berkontribusi terhadap penurunan upah bagi tenaga kerja sektor pertanian Pesatnya kenaikan upah di sektor industri membuat industri padat karya di Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar global. Akibatnya, impor manufaktur tumbuh pesat, sedangkan ekspor manufaktur tumbuh lebih lambat. Biaya tenaga kerja yang lebih tinggi juga mengakibatkan padat karya sebagai metode produksi menjadi kurang kompetitif. Hasilnya, banyak pabrik lebih memilih meningkatkan penggunaan mesin dan mengurangi tenaga buruh. Selanjutnya, akibat dari dua kecenderungan itu, pertumbuhan penciptaan lapangan kerja di sektor manufaktur sangat lambat antara tahun tahun 2008 hingga 2014. Rendahnya permintaan tenaga kerja di sektor manufaktur, banyak tenaga kerja yang kemudian terdorong masuk ke sektor pertanian dan pekerjaan di sektor informal. Padahal, penghasilan di sektor-sektor tersebut tidak dilindungan oleh kebijakan upah minimum. Akibatnya, penghasilan mereka stagnan, bahkan turun. Pesatnya kenaikan upah di sektor industri and menurunnya upah di sektor pertanian menjadi saling terkait. Dengan upah yang lebih tinggi, sektor industri berkontribusi terhadap kian rendahnya upah di sektor pertanian dan sektor lapangan kerja informal lainnya. Secara absolut, sebenarnya upah sektor industri masih rendah dan, bahkan, sangat rendah dibandingkan negara lain. Sebuah argumen yang baik dapat dibuat sebagai alasan untuk terus menaikkan upah untuk pekerja industri. Tapi harus diakui, hal tersebut justru menghadirkan beban bagi pekerja berpenghasilan rendah yang tidak mendapatkan keuntungan dari upah minimum. Upah tenaga kerja sektor konstruksi berada di antara sektor industri dan pekerja sektor pertanian Hanya sedikit tenaga kerja di sektor konstruksi yang dilindungi oleh upah minimum. Rata-rata upah di sektor konstruksi meningkat 19 persen dari tahun 2008 ke tahun 2014. Angka tersebut masih jauh di bawah rata-rata upah tenaga kerja sektor industri, tetapi secara signifikan lebih tinggi daripada upah buruh sektor pertanian. Sebagian besar tenaga kerja di sektor konstruksi merupakan tenaga kerja tidak tetap atau bebas, yang diupah secara harian atau mingguan dengan upah yang setara dengan mereka yang bekerja di sektor pertanian, tapi sedikit lebih tinggi untuk mengimbangi biaya hidup yang lebih besar di daerah perkotaan. Sebagian kecil dari pekerja konstruksi secara permanen
Laporan Kemajuan - November 2014
Foto : Nury Sybli
dipekerjakan terutama karena mereka lebih terampil dan berpengalaman. Jika majikan mereka perusahaan besar, mereka dapat mengambil manfaat dari kebijakan upah minimum. Jika tidak, mereka digaji dengan upah di bawah upah minimum. Kenaikan upah riil tenaga kerja sektor konstruksi terjadi antara tahun 2008 dan paruh pertama tahun 2003 selama periode lonjakan harga komoditas (commodity boom), saat konstruksi juga mengalami booming. Pada periode tersebut pula, permintaan tenaga kerja di sektor ini sangat tinggi. Seiring berakhirnya era commodity boom. Upah pekerja konstruksi juga turun. Jika kondisi perekonomian tumbuh lambat seperti sepanjang tahun 2014, upah tenaga kerja sektor konstruksi mungkin akan terus mengalami stagnasi atau bahkan penurunan. Upah pembantu rumah tangga hampir tidak pernah meningkat sejak 2008 Upah pembantu rumah tangga pernah meningkat sangat cepat sebesar 10 persen (pada 2009); kemudian jatuh beberapa persen, naik lagi, lalu turun lagi hingga tinggal 5 persen. Angka tersebut bertahan lebih dari setahun. Dengan kata lain, selama 6 tahun upah mereka hanya naik total 5 persen atau kurang dari 1 persen. Padahal, dalam periode ini, penghasilan per kapita di negeri ini sedang naik sekitar 3,5 persen per tahun. Upah merupakan bagian yang setidaknya paling diandalkan oleh pembantu rumah tangga, karena bagian substansial dari penghasilan pembantu rumah tangga memiliki bentuk sendiri dan berubah dalam elemen kompensasi yang tak terukur.
Foto : Joko Santoso
Didukung oleh :
RAJAWALI FOUNDATION
Foto : Nury Sybli
Foto : Mohamad Burhanudin
Transformasi Center for Public Policy Transformation Graha Iskandarsyah 11th floor. Jalan Raya Sultan Iskandarsyah 66C. Melawai, Kebayoran Baru. Jakarta 12160. Indonesia | Phone +62-21-2702-401/2 | Fax +62-21-7209-946 Email
[email protected] | www.transformasi.org