Republik Indonesia Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Laporan Akhir Kajian Pemetaan dan Evaluasi Efektivitas Regulasi Sektoral dan Desentralisasi Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah
Direktorat Otonomi Daerah Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Tahun 2010
BAPPENAS
LAPORAN AKHIR KAJIAN PEMETAAN DAN EVALUASI EFEKTIVITAS REGULASI SEKTORAL DAN DESENTRALISASI TERHADAP PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
DIREKTORAT OTONOMI DAERAH DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH 2010
Pengarah: Budhi Santoso
Tim Penyusun: Wariki Sutikno Daryll Ichwan Akmal Antonius Tarigan Agus Manshur Sudira Asep Saepudin Taufiq Hidayat Putra Ervan Arumansyah Alen Ermanita Arum Rusmartini Luh Nyoman Dewi Triyandayani Djamhur Perdana Nusawan
Tim Pendukung : Mira Berlian Bakat Supradono Suharyono
Diterbitkan Oleh : Direktorat Otonomi Daerah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310 Telp/Fax : 021 – 31935289
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
ii
Sebagai bagian dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) utama Kementerian PPN/Bappenas, Direktorat Otonomi Daerah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah-Bappenas, melaksanakan kegiatan pengkajian (studi) yang pada tahun anggaran 2010 mengambil tema “Kajian Pemetaan dan Evaluasi Efektivitas Regulasi Sektoral dan Desentralisasi terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah”. Kegiatan ini sebagaimana
berdasarkan
Peraturan
Menteri
PPN/Kepala
Badan
Perencanaan
Pembangunan Nasional Nomor : PER:01/M.PPN/09/2005. Buku Laporan kegiatan Kajian Pemetaan dan Evaluasi Efektivitas Regulasi Sektoral dan Desentralisasi terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah ini disusun dalam rangka untuk menghasilkan peta dan efektivitas kebijakan desentralisasi saat ini dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang akan menjadi masukan bagi perumusan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah ke depannya. berdasarkan hasil analisis terhadap isu-isu, permasalahan, dan tantangan yang sedang dan akan dihadapi. Buku Laporan Akhir kegiatan Kajian Pemetaan dan Evaluasi Efektivitas Regulasi Sektoral dan Desentralisasi terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah ini terdiri dari 6 (enam) bab yang meliputi Pendahuluan, Kajian Pustaka, Metode Penelitian, Pemetaan Kebijakan Otonomi Daerah dan Sektoral, Efektivitas Kebijakan Otonomi Daerah Dan Kebijakan Sektoral yang Mempengaruhi Implementasi Otonomi Daerah, Analisis Hasil Survei (Penyebaran Angket) dan Pembahasan, serta bab Kesimpulan dan Rekomendasi. Kami berharap studi ini dapat menjadi bahan masukan bagi perumusan kebijakan strategis di bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Selain itu, kajian ini dilakukan dengan mengelaborasi isu dan permasalahan di tingkat pusat serta dengan memperhatikan perkembangan dan aspirasi di daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Hal ini karena stakeholders proses desentralisasi dan
otonomi daerah tidak hanya pemerintah pusat. Untuk selanjutnya, diharapkan dapat menjadi dasar untuk perumusan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah ke depannya. Kami menyadari masih terdapat beberapa kekurangan dalam hal format/tampilan, maupun kelengkapan datanya (daerah dan waktu-time series). Namun demikian, Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
iii
diharapkan laporan kajian ini dapat memberikan manfaat dalam mendukung kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ke depan. Selanjutnya kami sangat mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak untuk perbaikan laporan ini di masa yang akan datang. Saran dan masukan tersebut dapat disampaikan kepada Sekretariat Direktorat Otonomi Daerah Bappenas, Jln. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310; tel./fax : (021) 31935289.
Jakarta,
Desember 2010
Direktur Otonomi Daerah, Bappenas
Budhi Santoso
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
iv
TIM PENYUSUN ..................................................................................................... KATA PENGANTAR ............................................................................................... DAFTAR ISI .............................................................................................................
ii iii v
BAB I
Pendahuluan ......................................................................................... 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1.2. Tujuan ............................................................................................ 1.3. Keluaran (Output) . ......................................................................... 1.4. Ruang Lingkup Kegiatan ............................................................... 1.5. Sistematika Penulisan .....................................................................
I–1 I–1 I–2 I–3 I–4 I–5
BAB II
Kajian Pustaka ...................................................................................... 2.1. Kebijakan Publik ......................... .................................................. 2.1.1. Implementasi Kebijakan Publik.......................................... 2.1.2. Evaluasi Kebijakan Publik ................................................. 2.1.3. Metode Evaluasi Kebijakan ................................................ 2.2. Perundang-Undangan. .................................................................... 2.3. Desentralisasi .................................................................................. 2.4. Otonomi Daerah . ........................................................................... 2.4.1. Manfaat Otonomi Daerah ................................................... 2.4.2. Tujuan Otonomi Daerah .....................................................
II – 1 II – 1 II – 1 II – 1 II – 2 II – 3 II – 7 II – 10 II – 12 II – 13
BAB III
Metode Penelitian ................................................................................. 3.1. Disain Penelitian ............................................................................ 3.2. Lokasi Penelitian ............................................................................ 3.3. Teknik Penarikan Sampel ............................................................... 3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 3.5. Teknik Analisis Data ......................................................................
III – 1 III – 1 III – 2 III – 2 III – 2 III – 3
BAB IV
Pemetaan Kebijakan Otonomi Daerah dan Sektoral ........................ IV – 1 4.1. Peta Kebijakan Sektoral.................................................................. IV – 1 4.2. Analisis Kebijakan Sektoral ........................................................... IV – 5
BAB V
Analisis Efektivitas Kebijakan Otonomi Daerah Dan Kebijakan Sektoral yang Mempengaruhi Implementasi Otonomi Daerah ........ V – 1 5.1. Analisisi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah ............... V – 1 5.1.1. Analisis UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerahasi ...... V – 2
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
v
BAB VI
5.2. Analisis Kebijakan Sektoral .......................................................... 5.2.1. Tata Ruang .......................................................................... 5.2.2. Pendidikan ........................................................................... 5.2.3. Kesehatan ............................................................................ 5.3. Evaluasi Efektivitas Kebijakan Pemerintah Daerah .......................
V–7 V–7 V – 26 V – 31 V – 42
Analisis Hasil Survei (Penyebaran Angket) dan Pembahasan .......... 6.1. Gambaran Umum . ......................................................................... 6.2. Peraturan Perundangan Terkait Pengelolaan Keuangan Daerah. ... 6.3. Pengelolaan Dana Perimbangan. .................................................... 6.3.1. Dana Alokasi Khusus (DAK) ............................................... 6.3.2. Arah Kebijakan Pengalokasian DAK ................................... 6.3.3. DAK Bidang Prasarana Pemerintahan .................................
VI – 1 IV – 1 IV – 2 IV – 4 VI – 10 VI – 10 VI – 12
BAB VII Penutup .................................................................................................. VII – 1 7.1. Kesimpulan ................................................................................... VII – 1 7.2. Rekomendasi ................................................................................ VII – 3 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
vi
PENDAHULUAN
BAB
1 1.1.
LATAR BELAKANG Sejak tahun 1999, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kerangka peraturan
perundang-undangan sebagai pedoman untuk implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Namun mengingat luasnya dimensi desentralisasi yang berlangsung di Indonesia, belum semua elemen pemerintahan dan pembangunan daerah sudah memiliki pedoman. Belum lagi kebutuhan untuk menyesuaikan dengan dinamika pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat segera efektif sesuai dengan amanat dari UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004, maka hingga kini pemerintah terus berupaya untuk menyusun berbagai Peraturan Pemerintah, baik sebagai revisi peraturan yang sudah ada, maupun peraturan baru sebagaimana diamanatkan oleh kedua UU tersebut. Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang efektif diharapkan mampu mendorong proses transformasi pemerintahan daerah yang efisien, akuntabel, responsif dan aspiratif. Untuk itu, dalam tataran pelaksanaan diperlukan sejumlah perangkat pendukung (regulasi) baik berupa peraturan atau perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan teknis guna menunjang keberhasilan tersebut. Masalahnya adalah bahwa setelah kebijakan desentralisasi dilaksanakan sejak awal tahun 2001, banyak persoalan yang perlu segera diselesaikan terkait dengan koordinasi kebijakan yang bukan hanya menyangkut lembaga-lembaga di jajaran pemerintah pusat, tetapi juga di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Meskipun semangat desentralisasi tetap dijadikan sebagai landasan berpikir dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah dan tugas-tugas pembangunan, di dalam praktik banyak kementrian dan departemen sektoral yang masih belum paham mengenai strategi kebijakan desentralisasi di tingkat nasional dan bagaimana melaksanakan devolusi kewenangan kepada jenjang pemerintahan yang lebih rendah. Persoalan ini muncul bukan hanya karena keengganan dari sebagian pejabat di tingkat pusat untuk mendelegasikan kewenangan mereka kepada
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
I-1
daerah tetapi juga disebabkan oleh kerangka peraturan perundangan yang memang dijadikan sebagai rujukan dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan selama ini. Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah merupakan ketentuan perundangan yang bersifat generik bagi kerangka kebijakan nasional desentralisasi. Pelaksanaan UU No 32/2004 selama lima tahun terakhir masih banyak yang harus dibenahi. Permasalahan yang paling pokok adalah ketidakharmonisan undangundang ini dengan berbagai undang-undang sektoral yang menjadi rujukan bagi kementrian dan departemen teknis. Oleh sebab itu, seiring dengan momentum untuk melaksanakan upaya pembenahan peraturan perundang-undangan, upaya penyempurnaan kebijakan desentralisasi juga harus disertai dengan pemahaman yang menyeluruh tentang evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan serta kemungkinan tantangan kebijakan di masa mendatang. Berangkat dari kondisi tersebut, maka diperlukan suatu kajian untuk mengevaluasi kinerja pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan efektivitas implementasi pengaturan dalam regulasi terkait kebijakan desentralisasi, baik regulasi sektoral maupun regulasi desentralisasi yang bersifat generik.
Untuk dapat mengevaluasi efektivitas regulasi
tersebut, maka perlu lebih dahulu dilakukan pemetaan terhadap regulasi sektoral dan desentralisasi sebagai landasan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah.
Kajian ini
dilakukan dengan mengelaborasi isu dan permasalahan di tingkat pusat serta dengan memperhatikan perkembangan dan asipirasi di daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini karena stakeholders proses desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya pemerintah pusat.
Stakeholders terbesar justru adalah daerah, dan penerima benefit
akhirnya adalah seluruh masyarakat Indonesia.
1.2.
TUJUAN Kegiatan ini dimaksudkan untuk menghasilkan peta dan efektivitas kebijakan
desentralisasi saat ini dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang akan menjadi masukan bagi perumusan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah ke depannya. Sedangkan tujuan dari kegiatan studi ini adalah sebagai berikut: Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
I-2
1.
Untuk memetakan regulasi sektoral dan desentralisasi yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah.
2.
Untuk mengevaluasi efektivitas regulasi sektoral dan desentralisasi dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
3.
Untuk mengidentifikasi pengaturan yang saling tumpang tindih serta pengaturan yang menghambat dan mendorong pelaksanaan otonomi daerah menjadi lebih efisien, akuntabel, repsonsif, dan aspiratif.
4.
Untuk mengidentifikasi pengaturan-pengtaturan yang dibutuhkan oleh daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah.
5.
Untuk merumuskan rekomendasi sistem koordinasi dalam penyusunan dan harmonisasi regulasi tentang desentralisasi di semua tingkatan kewenangan pemerintahan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
1.3.
KELUARAN (OUTPUT) Keluaran (output) dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Peta regulasi sektoral dan desentralisasi yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. 2. Evaluasi efektivitas regulasi sektoral dan desentralisasi dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. 3. Identifikasi pengaturan yang saling tumpang tindih serta pengaturan yang menghambat dan mendorong pelaksanaan otonomi daerah menjadi lebih efisien, akuntabel, responsif dan aspiratif. 4. Identifikasi pengaturan-pengaturan yang dibutuhkan oleh daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. 5. Rekomendasi sistem koordinasi dalam penyusunan dan harmonisasi regulasi tentang desentralisasi di semua tingkatan kewenangan pemerintahan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
I-3
1.4.
RUANG LINGKUP KEGIATAN Lingkup kegiatan studi ini meliputi
1. Melakukan kajian literatur terhadap isu-isu dalam efektivitas pengaturan desentralisasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah. 2. Melakukan inventarisasi dan tinjauan regulasi sektoral dan desentralisasi. Sehingga, dapat dihasilkan pemetaan regulasi dan sector terkait dalam pelaksanaan kebijakan bidang desentralisasi dan otonomi daerah selama ini. 3. Melakukan survey pengumpulan data dan informasi. 4. Melakukan konsinyiring diseminasi kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menangkap persoalan di lapangan dan menghimpun isu-isu dan aspirasi dari stakeholders, baik di kalangan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tentang efektivitas regulasi sektoral dan desentralisasi ke daerah sebagai pelaksana otonomi daerah disamping untuk mendapatkan masukan terkait dengan kebutuhan untuk pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Kajian ini akan mengambil 4 provinsi sebagai daerah sampel (uji petik). Empat provinsi ini akan ditentukan kemudian melalui stratified random sampling berdasarkan keterwakilan dari wilayah pulau/kepulauan di Indonesia (Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan). Meskipun basis pemilihan daerah sampel adalah Provinsi, akan tetapi diseminasi yang dilakukan dapat sampai pada tingkat Kabupaten/Kota di provinsi tersebut sebagai pelaksana otonomi daerah. 5. Melakukan analisis untuk mengkompilasi dan mengolah data-data yang diperoleh untuk merumuskan hasil evaluasi terhadap efektivitas regulasi sektoral dan desentralisasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah. 6. Menyusun sintesa hasil kajian dan rekomendasi sesuai maksud dan tujuan kegiatan kajian ini. 7. Melakukan FGD di daerah tentang hasil yang dicapai pada setiap tahapan pelaksanaan kegiatan kajian meliputi hasil desk study, dan penjaringan aspirasi di tingkat pusat dan daerah sampel. FGD juga dilaksanakan untuk mendapatkan masukan penyempurnaan bagi penyusunan laporan kegiatan. 8. Seminar Lokakarya mengenai hasil kajian dan rekomendasi yang telah dihasilkan kepada stakeholder terkait baik dari Pusat maupun Daerah.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
I-4
1.5.
SISTIMATIKA PENULISAN Laporan Akhir Kajian terdiri atas 7 (tujuh) bab, yakni:
a. BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang; tujuan; keluaran dan sistematika penulisan b. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan berbagai konsep yang digunakan dalam kajian, diantaranya: undangundang, utamanya tentang pembentukan dan analisis undang-undang; desentralisasi dan otonomi daerah; dan kebijakan publik, utamanya tentang evaluasi kebijakan publik. c. BAB III : METODOLOGI Berisikan : metode pengumpulan data; metode analisis data; metode penarikan sampel (lokasi studi dan pemilihan perundangan sektoral) d. BAB IV : PEMETAAN REGULASI SEKTORAL DAN DESENTRALISASI YANG MENJADI DASAR PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH Berisikan daftar peraturan perundangan sektoral yang terkait dengan desentralisasi e. BAB V : ANALISIS UU 32/2004 DAN REGULASI SEKTORAL (PENDIDIKAN & KESEHATAN) Berisikan: analisis dokumen peraturan perundangan (teknis & isi); analisis tentang peraturan perundangan sektoral yang tumpang tindih dan atau menghambat penerapan UU 32/2004 f. BAB VI : ANALISA HASIL SURVEI (PENYEBARAN ANGKET) DAN PEMBAHASANNYA Berisikan hasil uji statistik atas penyebaran angket g. BAB VII : KESIMPULAN & REKOMENDASI Berisikan kesimpulan dan Rekomendasi kajian
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
I-5
BAB
KAJIAN PUSTAKA
2 2.1.
Kebijakan Publik Kebijakan publik menjawab pertanyaan apa yang harus dilakukan oleh
administrator publik dan birokrrasi publik. Kebijakan publik sering tidak hanya menguraikan apa yang dilakukan, tetapi juga proses pengerjaannya. 2.1.1. Implementasi Kebijakan Publik Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program, atau melalui formulasi kebijakan publik turunan dari kebijakan publik tersebut. (Riant Nugroho, 2009. Public Policy. Elex Media Komputindo. Hal. 494) 2.1.2. Evaluasi Kebijakan Publik Evaluasi merupakan kegiatan untuk menilai atau melihat keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi atau unit kerja dalam melakukan tugas dan fungsi yang dibebankan kepadanya. (Prof.Dr.H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si. Public Policy: Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek. PMN, Suabaya, 2009. Hal. 155) Evaluasi kebijakan perlu dilakukan untuk: 1) Mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh suatu kebijakan mencapai tujuannya; 2) Mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal.
Dengan melihat tingkat
efektivitasnya, maka dapat disimpulkan apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal; 3) Memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dengan melakukan penilaian kinerja suatu kebijakan, maka dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publik; 4) Menunjuk pada stakeholder manfaat suatu kebijakan; 5) Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 1
2.1.3. Metode Evaluasi Kebijakan 1)
Evaluasi Semu (Pseudo Evaluation) Evaluasi ini adalah yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan manfaat atau nilai dari hasil tersebut terhadap perseorangan, kelompok maupun masyarakat. Teknik evaluasi yang digunakan antara lain adalah dengan teknik sajian grafik, tampilan tabel, angka indeks, analisis seri terinterupsi, analisis seri terkontrol, dan analisis diskontinyu-regresi.
2)
Evaluasi Formal Evaluasi ini menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, dengan melakukan evaluasi atas dasar tujuan program kebijakan yang secara formal telah diumumkan oleh para pembuat kebijakan dan administrator program. Tujuan dan target yang diumumkan merupakan asumsi bagi pengukuran yang tepat mengani manfaat atau nilai kebijakan program. Teknik yang digunakan dalam bentuk evaluasi ini adalah pemetaan sasaran, klarifikasi nilai, kritik nilai, pemetaan hambatan, analisis dampak silang dan diskonting
3)
Evaluasi Keputusan Teoritis Adalah evaluasi yang menggunakan pendekatan deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara ekspilisit dinilai oleh berbagai pelaku kebijakan. Teknik yang bisa digunakan dalam evaluasi jenis ini adalah brain-storming, analisis argumentasi, dan analisis survai pemakai. Evaluasi dalam hubungannya dengan perubahan masyarakat dapat dilihat dari
dampak yang terjadi, atau outcome suatu kebijakan. Ada beberapa kebijakan yang tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan. Hal itu disebabkan oleh lima faktor, yakni: (a) adanya keterbatasan dana yang mengakibatkan program gagal; (b) kesalahan administrasi yang dapat ditunjukkan dengan isi kebijakan, walaupun isi kebijakan sangat baik, tetapi Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 2
jika administrasi tersebut buruk, maka implementasi dari kebijakan tersebut akan mengalami kesulitan; (c) kurang komprehensifnya pertimbangan kebijakan, karena hanya memperhatikan beberapa faktor tertentu; (d) kebijakan publik yang bertentangan dengan kebijakan yang lain; (e) adanya usaha untuk memecahkan masalah yang cukup besar dengan sumber yang lebih kecil daripada bobot masalah itu sendiri.
2.2.
Perundang-undangan Undang-undang adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan yang menjamin
tuntutan-tuntutan negara berdasar atas hukum, yang menghendaki dapat diperkirakannya akibat suatu aturan hukum, dan adanya kepastian dalam hukum. Menurut pendapat Peter Badura, dalam pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia, undang-undang ialah produk yang dibentuk bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan presiden, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 hasil perubahan pertama). Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum dalam arti yang luas. Peraturan perudang-undangan adalah keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum. Bersifat dan berlaku secara umum, maksudnya tidak mengidentifikasikan individu tertentu, sehingga berlaku bagi setiap subjek hukum yang memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai pola tingkah laku tersebut. Pada kenyataannya, terdapat juga peraturan perundang-undangan seperti undang-undang yang berlaku untuk kelompok orang-orang tertentu, objek tertentu, daerah dan waktu tertentu. Dengan demikian, mengikat secara umum pada saat ini sekadar menunjukkan tidak menentukan secara konkret (nyata) identitas individu atau objeknya. Menurut S.J. Fockema Andrea, perundang-undangan atau legislation mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu: Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturanperaturan negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; Perundang-undangan adalah segala peraturan-peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 3
Pembentukan Undang-Undang Menurut Jan Michael Otto dan kawan-kawan teori tentang pembentukan undangundang memungkinkan untuk mengenali faktor-faktor relevan yang mempengaruhi kualitas hukum dan subtansi undang-undang. “ The agenda-building theory clarifies that the lawmaker is not one single central legal actor, but that lawmaking is a long, complex transformation-process upon which many different actors and factors can have an impact”. Teori ini mengandung persamaan unsur-unsur dengan proses pembentukan undang-undang di Indonesia, mengingat bahwa: “it conceives lawmaking not as a well-organised and directed process but rather as the outcome of a societal process in which different parties with different ideas and interests clash”. Landasan Pembentukan Undang-Undang Menurut Bagir Manan, agar pembentukan undang-undang dapat menghasilkan suatu undang-undang yang tangguh dan berkualitas, dapat digunakan tiga landasan dalam menyusun undang-undang, yaitu: pertama, landasan yuridis, kedua, landasan sosiologis, dan ketiga, landasan filosofis. Pentingnya ketiga unsur landasan pembentukan undangundang yang dibentuk, memiliki kaidah yang sah secara hukum, dan mampu berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secara wajar, serta berlaku untuk waktu yang panjang. Menurut Jimly Asshiddiqie, berkaitan dengan landasan pembentukan undangundang dengan melihat dari sisi teknis, pembentukan undang-undang haruslah tergambar dalam “konsiderans” suatu undang-undang.
Dalam konsiderans suatu undang-undang
haruslah memuat norma hukum yang baik, yang menjadi landasan keberlakuan bagi undang-undang tersebut, yaitu terdiri dari: Pertama, landasan filosofis. Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak diarahkan. Kedua, landasan sosiologis. Bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undangundang haruslah mencerminkan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 4
Ketiga, landasan politis. Bahwa dalam konsiderans harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan. Keempat, landasan yuridis. Dalam perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis ini haruslah ditempatkan pada bagian konsiderans “Mengingat”. Kelima, landasan administratif. Dasar ini bersifat “fakultatif” (sesuai kebutuhan), dalam pengertian tidak semua undang-undang mencantumkan landasan ini.
Dalam teknis
pembentukan undang-undang, biasanya landasan dimasukkan dalam konsiderans “Memperhatikan”. Landasan ini berisi pencantuman rujukan dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara administratif. Jika kelima landasan tersebut terpenuhi dalam setiap proses dan substansi pembentukan perundang-undangan, kiranya keseluruhan undang-undang yang dihasilkan menjadi undang-undang yang baik, kualitas, dan berkelanjutan. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Menurut Purnadi Purbaracaka dan Soerjono Soekanto, mencoba memperkenalkan beberapa asas dalam perundang-undangan, yaitu: 1) Undang-undang tidak boleh berlaku surut; 2) Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula; 3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum; 4) Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu; 5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat; 6) Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaruan atau pelestarian.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 5
Berkaitan dengan ciri-ciri intrinsik yang dimilikinya, substansi pembentukan aturan yang baik, terdiri dari: 1) Penetapan tujuan dan hasil yang diharapkan; 2) Subsidiaritas dan keseimbangan; 3) Keterlaksanaan dan keberlangsungan/keberlanjutan; 4) Rechtmatigheid dan asas-asas hukum; 5) Kejelasan asas usul peraturan; 6) Kesatuan, kejelasan dan dapat dimasuki; 7) Tuntutan demokratisasi. Salah satu aspek yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kualitas pembentukan undang-undang sehingga mempunyai makna berkelanjutan, ialah keharusan dilakukan harmonisasi dalam pembentukan undang-undang, disamping perlunya dilakukan sinkronisasi. Harmonisasi berarti berkeselarasan, keserasian, kecocokan, kesesuaian, kerukunan. Menurut L.M. Lapian Ghandi, dalam praktik hukum di Indonesia, dijumpai penyebab timbulnya disharmoni itu, yakni: 1) Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Selain itu, jumlah peraturan yang semakin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenal semua peraturan tersebut.
Dengan demikian pula, ketentuan yang
mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua undang-undang yang berlaku niscaya tidak efektif. 2) Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan. 3) Perbedaan
antara
peraturan
perundang-undangan
dengan
kebijakan
instansi
pemerintah. Kita kenal pelbagai juklak, yaitu petunjuk pelaksanaan yang malahan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang akan dilaksanakan. 4) Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung. 5) Kebijakan-kebijakan instansi pemerintah pusat yang saling bertentangan 6) Perbedaan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 6
7) Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu. 8) Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Pada prinsipnya, harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan. Pentingnya menganalisa peraturan perundang-undangan: 1) Untuk menilai sinkronisasi vertikal antar beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya, atau antar peraturan perundang-undangan dengan aturan dasar negara.
Sinkronisasi vertikal didasarkan pada hirarki peraturan perundang-
undangan untuk menilai apakah secara formal maupun materiil sesuai atau tidak antara peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. 2) Untuk melakukan penilaian terhadap sinkronisasi antar beberapa peraturan yang setingkat agar tidak terjadi tumpang tindih. 3) Untuk menilai apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku sudah sesuai atau tidak dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat, terutama untuk menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat. 4) Untuk menghindari terjadinya perlawanan oleh masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang sedang dan akan diberlakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ini muncul karena adanya keharusan sinkronisasi vertikal terhadap
peraturan perundang-undangan. 5) Untuk membuka kemungkinan dilakukan perbaikan terhadap peraturan perundangundangan yang sedang berlaku untuk merespon perkembangan masyarakat.
2.3.
Desentralisasi Esensi desentralisasi adalah memberikan otonomi bagi daerah dalam rangka
mendekatkan pelayanan bagi masyarakat. Dengan demikian, desentralisasi merupakan sarana pemerintah pusat untuk melayani kebutuhan masyarakat agar lebih efektif dan Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 7
efisien dengan cara berbagi tugas dengan gubernur, bupati, dan walikota. Daniel Triesman mengkategorisasikan desentralisasi atas 5 tipe atau aspek, yakni: 1) Struktural desentralisasi.
Struktural desentralisasi mengacu pada jumlah daerah
administratif. Semakin banyak jumlah daerah administratif, semakin terdesentralisasi sistemnya. 2) Desentralisasi keputusan (decision decentralization).
Mengacu pada lingkup isu
dimana pemerintah daerah dapat memutuskan sendiri. 3) Desentralisasi sumber daya (resource decentralization). Mengacu pada bagaimana sumber-sumber pemerintah didistribusikan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 4) Electoral decentralization. Mengacu pada bagaimana pegawai pemda dipilih. Jika pegawai pemda dipilih di daerah (melalui pemilihan atau diminta oleh masyarakat lokal), maka systemnya lebih decentralized dibandingkan jika dipilih oleh pemerintah pusat. 5) Desentralisasi institusional. Mengacu pada tingkatan dimana masyarakat daerah atau perwakilannya mempunyai hak formal dalam prosedur pembuatan keputusan pusat. Desentralisasi menurut Bryant & White dapat bersifat administrative dan politik. Desentralisasi administrative biasanya disebut dekonsentrasi, yang berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada tingkat-tingkat lokal. Desentralisasi politik atau devolusi berarti wewenang pembuatan keputusan dan control tertentu terhadap sumber-sumber daya diberikan
pada
pejabat-pejabat
regional
dan
lokal.
Dalam
devolusi,
yang
didesentralisasikan adalah wewenang mengambil keputusan politik dan administrasi (Joko Widodo, hal.40) G.Shabir Cheema dan Rennis A Rondinelli menyatakan ada 4 bentuk pokok dari desentralisasi, yakni: dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi/debirokratisasi. 1) Dekonsentrasi. Dekonsentrasi adalah pengalihan beberapa kewenangan atau tanggung jawab administrasi di dalam (internal) suatu kementrian atau jawatan. Disini tidak ada transfer kewenangan yang nyata.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 8
2) Delegasi. Delegasi adalah pelimpahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi-organisasi di struktur birokrasi pemerintah dan dikontrol tidak secara langsung oleh Pemerintah Pusat. 3) Devolusi. Pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintah di tingkat lokal oleh pemerintah pusat dengan control pusat seminimal mungkin dan terbatas pada bidangbidang tertentu saja. 4) Privatisasi/debirokratisasi. tanggung
jawab
Privatisasi/debirokratisasi
fungsi-fungsi
kepada
adalah
organisasi-organisasi
pelepasan pemerintah
semua atau
perusahaan-perusahaan swasta. Rondinelli (1981), membedakan desentralisasi atas 4 kategori yang berbeda, yakni: (i) dekonsentrasi yang didefinisikan sebagai pemindahan kekuasaan pemerintah pusat kepada kantor administrasi lokal; (ii) delegasi, yang didefinisikan sebagai pemindahan kekuasaan kepada pemerintah lokal/daerah, atau entitas pemerintah lainnya; (iii) devolusi, yang didefinisikan sebagai pemindahan kekuasaan entitas politik lokal; (iv) privatisasi, yang didefinisikan sebagai pemindahan kekuasaan kepada sector swasta. (dalam Parker, hal.246). Dimensi-dimensi desentralisasi: (i) efektivitas dalam menyediakan effectivenessproviding minimum standards of service delivery cost-effectively, and targeted toward disadvantaged groups; (ii) the responsiveness of decentralized institutions to the demands of local communities, at the same time as meeting the aims of broader public policy; and (iii) sustainability as indicated by political stability, fiscal adequacy and institutional flexibility. Desentralisasi menurut Hoessein (2009) adalah pembentukan daerah otonom dan atau penyerahan wewenang pemerintahan tertentu kepadanya oleh pemerintah.
Jadi
desentralisasi mempunyai pengertian: (a) merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang pemerintahan tertentu kepadanya oleh pemerintah; (b) penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah. Perwujudan desentralisasi adalah otonomi daerah atau disingkat otonomi.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 9
2.4.
Otonomi Daerah Dalam wacana masyarakat awam, penggunaan istilah desentralisasi dengan
otonomi daerah sering dipertukarkan. Sesungguhnya kedua konsep tersebut tidak persis sama. Kebijakan otonomi hadir karena adanya kebijakan desentralisasi. Otonomi merupakan konsekuensi logis dari dari kebijakan desentralisasi.
Dengan kata lain,
konsekuensi logis dari kebijakan desentralisasi adalah dibentuknya daerah otonom. Otonomi diartikan kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya yang bersifat lokal, bukan yang bersifat nasional. Perbedaan daerah otonom dengan otonomi daerah adalah daerah menunjuk pada daerah/tempat (geografi) sedangkan otonomi daerah menunjuk pada isi otonomi/kebebasan masyarakat. Charles Einsenmann menjelaskan bahwa otonomi adalah kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dengan tetap menghormati perundang-undangan (Hoessein, 1993:75 dalam Hanif Nurcholis (2005:23). Jadi otonomi adalah hak yang diberikan kepada penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati perundangan yang berlaku. dengan demikian, otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati peraturan perundangan yang berlaku. Otonomi dilaksanakan dalam sebuah negara dengan menghormati peraturan yang berlaku yang menjamin hak-hak dasar dan kebebasan nasional. Dan hal ini sebaiknya dilihat sebagai bagian dari tatanan negara (substate arrangement) yang membiarkan kelompok minoritas untuk melakukan hak mereka dan menunjukkan identitas kultural dengan menjamin kesatuan, menjunjung kewibawaan dan integritas wilayah. Secara yuridis konstitusional, kebijakan otonomi daerah dalam UUD 1945, terlihat dalam sistem pemerintahan, didalamnya juga mengatur tentang pemerintahan daerah. Dan dalam penjabaran UUD 1945 pada kebijakan otonomi daerah senantiasa termuat dalam kebijakan pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Amanat tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal dalam UUD 1945 berikut:
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 10
Pasal 18 UUD 1945
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undangundang.
Pasal 18A UUD 1945
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B UUD 1945
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 11
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 2.4.1. Manfaat Otonomi Daerah Menurut Shabbir Cheema dan Rondinelli (1983) dan kemudian dikutip oleh Dadang Solihin (www.dadangsolihin.com), otonomi daerah memiliki beberapa manfaat, yakni: 1)
Perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen.
2)
Memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat.
3)
Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik.
4)
Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya "penetrasi" yang lebih baik dari Pemerintah Pusat bagi Daerah-Daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
5)
Representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
6)
Peluang bagi pemerintahan serta lembaga privat dan masyarakat di Daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.
7)
Dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di Pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di Pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat Daerah.
8)
Dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat Daerah dan sejumlah NGOs di berbagai Daerah. Propinsi, Kabupaten, dan Kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah.
9)
Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 12
10) Dapat meningkatkan pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elite lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan. 11) Administrasi pemerintahan menjadi mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh Daerah yang lainnya. 12) Memungkinkan pemimpin di Daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pejabat di Pusat. 13) Memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di Daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik. 14) Meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah Pusat karena sudah diserahkan kepada Daerah. 2.4.2. Tujuan Otonomi Daerah Menurut UU 32/2004 bagian Penjelasan Umum, tujuan otonomi daerah adalah: 1)
Mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui: (i) peningkatan pelayanan; (ii) pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
2)
Meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan: (i) prinsip demokrasi; (ii) pemerataan; (iii) keadilan; (iv) keistimewaan dan kekhususan serta; (v) potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
II - 13
BAB
METODE PENELITIAN
3
3.1.
Disain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian mixed methods, yakni penelitian yang dilakukan
secara kualitatif dan kuantitatif.
Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif
adalah penelitian yang menggunakan interpretasi sebagai cara memahami dunia. Pendekatan kualitatif memandang realitas tergantung pada persepsi masing-masing partisipan, sehingga realitas bersifat ganda.
Dalam hubungannya dengan peneliti,
pendekatan kualitatif menempatkan peneliti tidak dipisahkan dari obyek yang diteliti. Interaksi langsung antara peneliti dengan yang diteliti justru dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap bagi peneliti tentang hal yang sedang diteliti. Dalam kaitan dengan metodologi, proses analitis untuk pendekatan kualitatif dilakukan secara induktif dengan mengumpulkan informasi secara mendalam terhadap suatu kasus tertentu. Pendekatan kualitatif sangat detail akan berbagai hal yang terjadi secara alamiah, yang dikumpulkan untuk meyakinkan pembaca bahwa mereka telah mencapai penafsiran yang reasonable atas pengalaman partisipan. Penelitian yang menggunakan kuantitatif merupakan sebuah penyelidikan tentang masalah sosial manusia yang berdasarkan pada pengujian sebuah teori yang terdiri dari variabel-variabel, diukur dengan angka, dan dianalisa dengan prosedur statistik untuk menentukan apakah generalisasi prediktif teori tersebut benar (John W. Creswell, 2002, hal.1)
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
III - 1
Gambar 3.1. Bagan Langkah-langkah Pengkajian
Output : peta kebijakan
Identifikasi Kebijakan
PEMETAAN DAN EVALUASI EFEKTIVITAS REGULASI SEKTORAL DAN DESENTRALISASI TERHADAP PELAKSANAAN OTONOMI DAE
Output: efektivitas pelaksanaan otonomi daerah
Evaluasi Efektivitas
3.2.
Teknik : (1) mengidentifikasi aturan turunan yang diamanatkan UU 32 dan 33 Thn 2004, dan regulasi sektoral; (2) analisis regulasi sektoral
Teknik: (1) evaluasi kinerja pemerintah daerah, untuk melihat efektivitas penerapan regulasi otonomi daerah; (2) menilai kualitas urusanurusan yang menjadi wewenang daerah , untuk melihat efektivitas penerapan regulasi sektoral
Teknik pengumpulan data: FGD/wawancara mendalam dengan menggunakan panduan WD/FGD
Teknik pengumpulan data: survei dengan penyebaran kuesiner
Lokasi Penelitian Selain dilakukan di tingkat pusat, penelitian juga dilakukan di beberapa daerah
untuk mengumpulkan informasi/data terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi dan sektoral. Dengan pertimbangan keterbatasan waktu dan sumber daya dalam pelaksanaan penelitian ini, maka hanya 4 (empat) daerah yang dijadikan sebagai lokasi penelitian, yakni: Surabaya (Jawa Timur), Palembang (Sumatera Selatan), Gorontalo, dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan).
3.3.
Teknik Penarikan Sampel Pemilihan sampel kab/kota dilakukan dengan cara diundi. Kemudian pemilihan
sampel responden dilakukan secara purposive, khusus kepada instansi yang terkait dengan 31 urusan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Demikian pula halnya dalam menntukan kebijakan sektoral yang dianalisis secara mendalam.
Pemilihan kebijakan
sektoral bidang tata ruang, pendidikan, dan kesehatan didasarkan atas pertimbangan: (1) Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
III - 2
kebijakan tata ruang mendatangkan banyak masalah ketika diterapkan; (2) kesehatan dan pendidikan merupakan hak dasar yang menjadi prioritas dalam penciptaan kesejahteraan rakyat, dimana tujuan dari desentralisasi adalah mempercepat penciptaan kesejahteraan rakyat di daerah.
3.4.
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer dikumpulkan melalui FGD dan penyebaran angket. Sebelum dilakukan FGD, dilakukan pengumpulan data melalui angket kepada responden di 4 lokasi. Kelebihan metode angket: hanya membutuhkan biaya relatif lebih murah; pengumpulan data lebih mudah; tepat digunakan untuk sampel di atas 1000; membutuhkan sedikit waktu. (M.Burhan Bungin, hal. 123). Metode ini dilakukan untuk membantu peneliti dalam mengidentifikasi berbagai permasalahan penerapan otonomi daerah. Pengumpulan data lewat angket dilakukan untuk mengetahui karakteristik masalah pelaksanaan otonomi daerah terkait dengan 31 urusan yang dilimpahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kajian dokumentasi (desk study) atas berbagai dokumen yang relevan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan.
3.5.
Teknik Analisis Data
1) Analisis Data yang diperoleh melalui FGD (analisis data dalam metode kualitatif) Analisis data dalam metode kualitatif yang diperoleh melalui FGD dilakukan dengan cara: reduksi data , penyajian data, dan penarikan simpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan. Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang disusun sesuai dengan kerangka penelitian, sehingga mampu menyajikan informasi untuk penarikan simpulan. Kegiatan membuat kesimpulan dilakukan selama proses penelitian.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
III - 3
2) Analisis Perundang-Undangan Penilaian terhadap suatu peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan cara perubahan formal karena adanya beberapa bagian yang perlu dilakukan perubahan. Ini dilakukan karena ada beberapa bagian atau keseluruhan pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum di masyarakat, perubahan ini dapat dilakukan kapan saja, walaupun sebuah peraturan perundang-undangan baru saja diundangkan. Beberapa langkah/cara sederhana untuk menganalisa suatu peraturan perundangundangan: Pertama, terlebih dahulu harus menyiapkan dan mengumpulkan peraturan perundangundangan yang akan diteliti serta peraturan perundang-undangan lainnya yang merupakan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan yang akan diteliti. Kedua, setelah itu barulah penelitian terhadap latar belakang dari peraturan perundangundangan yang hendak diteliti, yaitu dengan melihat pada Konsideran dan Penjelasan Umum dari peraturan perundang-undangan tersebut. Ketiga, kemudian dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan tersebut beserta penjelasan pasal demi pasal tersebut secara keseluruhan, atau hanya difokuskan terhadap pasal-pasal tertentu saja yang menjadi fokus permasalahan yang sedang dibahas. Keempat, berdasarkan penelitian mengenai latar belakang pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut, serta melihat ketentuan dalam pasal-pasalnya, maka kita dapat melakukan analisa terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti tersebut. Analisa terhadap peraturan perundang-undangan tersebut dapat disesuaikan dengan tujuan dari penelitian yang dilakukan.
Misalnya, apakah peraturan perundang-
undangan tersebut dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, apakah ketentuan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan fungsi maupun materi muatannya, apakah peraturan perundangundangan tersebut mempunyai daya guna yang memadai dalam pelaksanannya, dan sebagainya.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
III - 4
3) Pengujian Structural Equational Model Pengujian dilakukan dengan menggunakan dua tahap pendekatan atau yang sering dikenal dengan istilah “two-step approach” (Wijanto 2008), yaitu tahap Analysis Model Pengukuran (Measurement Model) dan tahap Analisis Model Struktural (Structural Model). Analisis
Model
Pengukuran
(Measurement
Model)
ini
menggunakan
Confirmatory Factor Analysis (CFA). Analisis dilakukan untuk memastikan apakah berbagai indikator atau variabel teramati yang ditentukan secara teoretis dapat dimasukkan dalam kelompok masing-masing variabel laten seperti dalam model penelitian. Analisis model pengukuran, beberapa langkah pengolahan data, yaitu (a) menganalisis model-model pengukuran yang ada dalam model penelitian; (b) menghitung Latent Variable Score (LVS) dari variabel variabel laten yang diperlukan untuk penyederhanaan model; dan (c) menganalisis model pengukuran dari model penelitian yang telah disederhanakan. Ada tiga jenis analisis atau pengujian didalam analisis model pengukuran, yiatu a) pengujian kecocokan keseluruhan model yang dilihat dari Goodness of Fit Indices (GOFI) yang dihasilkan, b) analisis validitas, dan c) analisis realibilitas. Pengujian kecocokan keseluruhan model ditujukan untuk melihat sejauh mana tingkat kecocokan antara model penelitian dan data penelitian yang berhasil dikumpulkan. Tingkat kecocokan tersebut dapat dilihat dari perbandingan hasil perhitungan GOFI dengan standar nilai GOFI untuk beberapa indeks goodness of fit sebagai berikut, RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation), NFI (Normed Fit Index), NNFI (Non Normed Fit Index), CFI (Comparative Fit Index), IFI (Incremental Fit Index), RFI (Relative Fit Index), Standardized RMR (Root Mean Square Residual), GFI (Goodness of Fit Index), dan AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index). Setelah diperoleh kecocokan yang baik dari keseluruhan model, langkah berikutnya adalah melakukan pengujian atau analisis validitas dari model pengukuran. Menurut Wijanto (2008), ukuran sebuah variabel observasi/teramati memiliki validitas yang baik adalah sebagai berikut:
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
III - 5
Nilai-t (t-value) ≥ 1,96 atau 2 Nilai muatan faktor standar (Standardized Loading Factor/ SLF) ≥ 0,50
Setelah analisis validitas dilakukan, berikutnya adalah analisis reliabilitas dari model pengukuran. Kriteria dari model pengukuran yang reliabilitasnya baik adalah jika nilai Construct Reliability (CR) ≥ 0,70 dan Variance Extracted (VE) ≥ 0,50. Adapun nilai CR dan VE tersebut dapat dihitung dengan rumus seperti di bawah ini. CR =
(Standardized Loading) 2 (Standardized Loading) 2 Error
Standardized Loading 2 N di mana N adalah banyaknya variabel teramati VE =
Analisis Model Struktural (Structural Model) dilakukan untuk menganalisis hubungan antarvariabel laten yang telah disederhanakan. Tahap ini berkaitan dengan evaluasi terhadap koefisien-koefisien dari hubungan antarvariabel laten tersebut. Koefisien-koefisien ini mewakili hipotesis-hipotesis penelitian yang telah diuraikan sebelumnya. Adapun langkah-langkah analisis model struktural adalah sebagai berikut.
Evaluasi
terhadap
kecocokan
keseluruhan
model
dari
model
penelitian
yang
disederhanakan.
Memeriksa ulang validitas dan reliabilitas model pengukuran dari model penelitian yang disederhanakan.
Evaluasi terhadap koefisien hubungan antarvariabel laten dilakukan dengan memeriksa nilai-t dari setiap koefisien hubungan antarvariabel laten. Jika [nilai-t] ≥ 1,96; maka nilai koefisien hubungan antarvariabel laten yang terkait adalah signifikan. Hal ini berarti hipotesis penelitian yang bersangkutan dengan antarvariabel laten terkait diterima (ketika tanda hipotesis sama dengan tanda koefisien hubungan antar variabel laten).
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
III - 6
BAB
4
PEMETAAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN SEKTORAL
4.1.
4.1.
Peta Kebijakan Sektoral Esensi dari desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat
kepada daerah otonom. Mengacu pada Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, terdapat tidak kurang dari 31 jenis urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yakni: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan. Dengan demikian, identifikasi atas aturan sektoral yang terkait dengan desentralisasi dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang 31 urusan tersebut. Dari identifikasi yang dilakukan, diperoleh gambaran sebagai berikut: 1. Peraturan Perundangan Sektoral yang terkait dengan desentralisasi: No
Sektor
UU
1
Pendidikan
Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2
Kesehatan
1. Undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan; 2. Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3
Pekerjaan Umum
1. 2. 3. 4. 5.
4
Perumahan
Undang-undang No 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman
5
Penataan Ruang
1. Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 2. Undang-undang no. 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus; 3. Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
6
Perencanaan Pembangunan
1. Undang-undang no. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 2. UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 ; 3. UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-undang No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang; Undang-undang No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung; Undang-undang No 38 Tahun 2004 Tentang Jalan; Undang-undang No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air; Undang-undang No 18 tahun 1999 Tentang Jasa konstruksi
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 1
4. UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 5. UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 7
Perhubungan
1. Undang-undang no. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 2. Undang-undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan; 3. Undang-undang No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran; 4. Undang-undang No 23 tahun 2007 Tentang Perkeretaapian;
8
Lingkungan Hidup
1. Undang-undang no. 32 tahun2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. Undang-undang no. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 3. Undang-undang no. 19 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants; 4. Undang-undang no. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang; 6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan; 7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; 8. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Perairan
9
Pertanahan
1. Undang-undang no. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara; 2. Undang-undang no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 3. Undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
10
Kependudukan dan Catatan Sipil
1. Undang-undang no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia; 2. Undang-undang no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
11
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
1. Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; 2. Undang-undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 3. Undang-undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; 4. Undang-undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
12
Keluarga Berencana Undang-undang no. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan dan Keluarga Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
13
Sosial
Undang-undang no. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
14
Ketenagakerjaan dan
1. Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan; 2. Undang-Undang No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 2
Ketransmigrasian 3.
4. 5. 6. 7. 8.
Perselisihan Hubungan Industrial; Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian; Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; Undang-Undang No.21 Tahun 2003 Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan; Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
15
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Undang-undang no. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
16
Penanaman Modal
1. Undang-undang no. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 2. Undang-undang no. 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus; 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia
17
Kebudayaan dan Pariwisata
1. Undang-undang no. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan; 2. Undang-undang no. 33 tahun 2009 tentang Perfilman.
18
Kepemudaan dan Olah Raga
Undang-undang no. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
19
Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
20
Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian, dan Persandian
1. Undang-undang no. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara; 2. Undang-undang no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil 3. Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 4. 1. Undang-undang no. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 2. Undang-undang no. 1 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; 3. Undang-undang no. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-undang no. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan; 5. Undang-undang no. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; 6. Undang-undang no. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 3
7. Undang-undang 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 21
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Undang-undang 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
22
Statistik
Undang-undang No 16 Tahun 1997 Tentang Statistik
23
Kearsipan
Undang-undang No 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan
24
Perpustakaan
Undang-Undang No 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan
25
komunikasi dan informatika
1. Undang-undang no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; 2. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
26
Pertanian dan Ketahanan Pangan
1. Undang-undang no. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan; 2. Undang-undang No 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dn Kesehatan Hewan; 3. Undang-undang No 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan; 4. Undang-undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
27
Kehutanan
1. Undang-undang no. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan; 2. Undang-undang no. 19 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang; 3. Undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
28
Energi dan Sumber Daya Mineral
1. 2. 3. 4. 5.
29
Kelautan dan Perikanan
1. Undang-undang no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 2. Undang-undang No 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; 3. Undang-undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan; 4. Undang-undang No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
30
Perdagangan
1. Undang-Undang No 36 Tahun 2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang; 2. Undang-Undang No 37 Tahun 2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang;
Undang-Undang No 4 Tahun 2009 Tentang Minerba; Undang-undang No 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan; Undang-undang No 30 Tahun 2007 Tentang Energi; Undang-undang No 27 tahun 2003 Tentang Panas Bumi; Undang-undang No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Gas dan Bumi
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 4
31
4.2.
Perindustrian
1. Undang-Undang No 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri; 2. Undang Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian; 3. Undang - Udang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajkan Menjadi Undang – Undang
Analisis Kebijakan Sektoral Analisis terhadap kebijakan sektoral dilakukan untuk melihat apakah terjadi
tumpang tindih antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya yang sejajar, dan juga untuk melihat apakah terdapat potensi masalah.
Berikut ini peta analisis kebijakan
sektoral:
No
Regulasi Sektor
Tumpang tindih atau Problem dlm Pelaksanaan YA
1
Sosial
V
Keterangan
TDK Pengelolaan panti sosial oleh daerah memberatkan daerah dengan kapasitas fiskal rendah Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007, pengelolaan pantipanti sosial merupakan kewenangan pemerintah daerah. Pada kenyataannya terdapat beberapa daerah yang tidak mampu mengelola sehingga mengembalikan kewenangan panti-panti sosial itu kepada Pemerintah. Hal ini disebabkan pengelolaan panti merupakan kegiatan yang menghabiskan anggaran dan tidak menghasilkan PAD. Beberapa pengembalian kewenangan pengelolaan pantipanti sosial ini telah disetujui oleh Sidang DPOD. Walaupun pengembalian kewenangan ini tidak bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004, tetapi ini merupakan indikasi permasalahan otonomi daerah khususnya bagi daerah-daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah. Hal ini bertentangan dengan tujuan dasar otonomi daerah yang salah satunya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik.
2
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian
V
Senada dengan sektor sosial, pengelolaan balai latihan kerja juga memberatkan daerah dengan kapasitas fiskal rendah Balai Latihan Kerja (BLK) yang menjadi kewenangan daerah mengalami permasalahan yang serupa dengan panti-panti sosial. Beberapa daerah mengembalikan kewenangan pengelolaan BLK kepada Pemerintah. Hal ini disebabkan karena BLK membebani APBD dan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 5
dianggap tidak seksi sebagai penghasil PAD. Walaupun pengembalian kewenangan ini juga sudah disetujui oleh sidang DPOD, tetapi hal ini juga menambah list permasalahan otonomi daerah. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 80% tidak terurus www.tempointeraktif.com tanggal 2 Juni 2010 mengutip pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menyatakan dampak otonomi daerah adalah tidak terurusnya dinas tenaga kerja dan transmigrasi yang berada di tingkat kabupaten. Menakertrans mengungkapkan sekitar 80% Dinas Nakertrans di daerah tidak terurus karena Gubernur dan Bupati sangat menganaktirikan sehingga banyak pekerjaan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian yang terbengkalai. Menakertrans berinisiatif untuk menarik pekerjaan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian berada vertikal dibawah Kementerian dan status pegawainya jadi pegawai pusat. Permasalahan Tenaga Kerja berdasarkan kajian KPPOD: Dari kajian tekstual yang dilakukan KPPOD (2006) , dalam aspek kebijakan dan regulasi (Perda/SK Kepala Daerah), peta persoalan umum yang menandai distorsi kebijakan ketenagakerjaan di sejumlah daerah dalam masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini adalah : Pertama, pelanggaran dalam hal perijinan dan pungutan terkait penggunaan tenaga kerja asing. Padahal, Perijinan (menurut Pasal 42 UU No.13 Tahun 2003) maupun pungutan (menurut Pasal 3 PP No.92 Tahun 2002) yang terkait dengan penggunaan TKA berada di pusat. Kedua, pungutan yang tidak proporsional dan amat lemah dalam acuan konsiderans. Ketiga, diskriminasi gender. Di sejumlah daerah ditemukan cukup banyak perda yang mengatur jam kerja lembur atau ijin kerja lembur malam bagi wanita dan mengenakan pungutan (retribusi) tertentu atasnya. Keempat, proteksionisme (perlindungan berlebihan) bagi tenaga kerja lokal. Tidak hanya terjadi dalam sektor pemerintahan, dimana muncul tuntutan preferensi berlebihan bagi putera daerah untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis (politik dan birokrasi), gejala serupa juga terjadi dalam dunia swasta (bahkan tidak sekedar sebagai tuntutan pemerintah) terkait pemberian kesempatan kerja, dimana perusahaan wajib memberikan jatah, yang bahkan dengan patokan kuota tertentu bagi putera daerah untuk sesuatu pekerjaan dalam perusahaan tersebut.
3
Koperasi UKM
V
Dalam meningkatkan PADnya banyak daerah yang menyusun Perda yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan menghambat perkembangan UMKM:
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 6
Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengatakan ada 340 perda menghambat iklim investasi dan bertentangan dengan pemberdayaan KUMKM sesuai Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dari 340 perda yang bertentangan tersebut sejumlah 234 peraturan daerah telah diusulkan pembatalannya kepada Kementerian Dalam Negeri dan sebanyak 63 di antaranya telah disetujui pembatalannya sedangkan 171 perda lainnya masih dalam proses pertimbangan di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Dari 63 perda yang telah disetujui pembatalannya, 26 di antaranya yang terkait langsung dengan pemberdayaan KUMKM. Sebanyak 26 perda yang dibatalkan karena bertentangan dengan kepentingan umum ataupun kalah dengan peraturan lebih tinggi di tingkat pusat itu sembilan di antaranya terkait dengan meliputi retribusi, yakni pengesahan anggaran dasar koperasi, izin pembukaan kantor cabang koperasi, pendaftaran ulang anggaran dasar koperasi, izin usaha, permohonan izin kredit, pembatasan masa berlaku SITU (surat izin termpat usaha), pembatasan masa berlaku SIUP (surat izin usaha perdagangan), pendaftaran anggaran dasar koperasi, pengaturan SHU (sisa ha-sil usaha) koperasi. 4
Penanaman Modal
V
Di era otonomi daerah, bidang penanaman modal tidak jelas masuk kategori urusan yang mana, apakah urusan wajib yang bersifat pelayanan atau urusan wajib non pelayanan. Sampai saat ini masih menjadi perdebatan, apakah penyusunan SPM bidang penanaman modal ini harus dilakukan atau tidak. Hal ini terkait apakah penanaman modal termasuk urusan wajib yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik atau urusan wajib yang tidak bersentuhan langsung dengan pelayanan publik. Perbedaan persepsi antara Pemerintah dan daerah khusus bidang penanaman modal dalam pelaksanaan otonomi daerah Pemerintah menilai daerah memanfaatkan kewenangannya dengan menerbitkan izin yang cenderung menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Sementara daerah menuding justru karena pusat belum rela mendelegasikan kewenangannya menjadi penyebab urusan perizinan menjadi lebih lama dan berbiaya tinggi. Banyaknya peraturan daerah yang menimbulkan biaya tinggi ini menjadi isu nasional, dimana Presiden melalui 11 prioritas pembangunannya mengamanatkan dilakukannya evaluasi untuk 12.000 Perda.
5
Kebudayaan dan Pariwisata
V
Pengembangan pariwisata mengalami perlambatan di era otonomi daerah Isu strategis pertama dalam masa penerapan otonomi
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 7
daerah di sektor pariwisata adalah timbulnya persaingan antar daerah, persaingan pariwisata yang bukan mengarah pada peningkatan komplementaritas dan pengkayaan alternatif berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: a. lemahnya pemahaman tentang pariwisata b. lemahnya kebijakan pariwisata daerah c. tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsi. Akibatnya pengembangan pariwisata daerah sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial. Artinya banyak daerah mengembangkan pariwisatanya tanpa melihat, menghubungkan dan bahkan menggabungkan dengan pengembangan daerah tetangganya maupun propinsi/kabupaten/kota terdekat. Bahkan cenderung meningkatkan persaingan antar wilayah, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Padahal pengembangan pariwisata seharusnya lintas Provinsi atau lintas Kabupaten/Kota, bahkan tidak tidak lagi mengenal batas karena kemajuan teknologi informasi. Salah satu kelemahan produk wisata Indonesia, yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan negaranegara tetangga adalah kurangnya diversifikasi produk dan kualitas pelayanan wisata Indonesia. Para pelaku kepariwisataan Indonesia kurang memberikan perhatian yang cukup untuk mengembangkan produk-produk baru yang lebih kompetitif dan sesuai dengan selera pasar. Setelah penerapan otonomi daerah, hal ini lebih dirasakan lagi karena kapasitas pemerintah daerah masih rendah. 6
7
Kepemudaan dan Olah Raga
Komunikasi dan Informatika
V
Isu Bidang yang kurang populer Bidang Kepemudaan dan Olah Raga bukan merupakan bidang yang populer pra dan pasca diterapkannya otonomi daerah.
V
Permasalahan yang cukup menimbulkan kontroversi perihal UU No.14 tahun 2008 (tentang Keterbukaan Informasi Publik) adalah tidak adanya kejelasan mengenai komposisi dari Anggota Komisi Informasi Pusat , Provinsi, serta Kabupaten / Kota. Dalam UU No.14 tahun 2008 pasal 25 hanya disebutkan bahwa “Anggota Komisi Informasi Provinsi dan/atau Komisi Informasi Kabupaten/Kota berjumlah lima orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat..”. Sayangnya tidak ada penjelasan lebih komprehensif mengenai komposisi dari Komisi Informasi tersebut sehingga berpotensi menyebabkan perbedaan persepsi antara msyarakat dan pemerintah daerah. Dapat terbuka kemungkinan pemerintah akan menggunakan wewenangnya untuk menetapkan komposisi yang lebih besar bagi unsur pemerintah dibandingkan masyarakat. Hal yang juga masih rancu adalah keterangan pada pasal 26 ayat 2 yang menyatakan bahwa “ Komisi Informasi Pusat bertugas menerima, memeriksa dan mengutus Sengketa Informasi Publik di daerah selama Komisi Informasi Provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota belum terbentuk..”
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 8
Ada setidaknya dua hal yang dapat dikritisi. Pertama, bagaimana dengan wewenang atas Sengketa Informasi Publik di daerah, di mana sengketa tersebut sedang dalam proses sementara Komisi Informasi Provinsi baru terbentuk (apakah tetap menjadi wewenang Komisi Informasi Pusat hingga sengketa selesai atau langsung diserahkan pada Komisi Informasi Provinsi). Sedangkan hal yang kedua adalah bahwa disebutkan Komisi Informasi Pusat yang bertanggung jawab selama Komisi Informasi Kabupaten/Kota belum terbentuk. Substansi atas pasal ini kurang reevan dengan semangat otonomi daerah yang terkandung dalam UU No.32 tahun 2004 sebab seharusnya Komisi Informasi Provinsi yang mengemban tanggung jawab tersebut (sebagai pelaksana pemerintah di daerah). 8
Pertanian dan Ketahanan Pangan
V
Regulasi mengenai Pangan (UU No.7 tahun 1996) masih sarat dengan nilai sentralisasi. Contohnya mengenai ketahanan pangan yang sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah pusat (Pasal 46 dan 47), termasuk penyediaan cadangan pangan yang hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat (pasal 47). Permasalahan lain yang cukup mendapat sorotan adalah penyediaan cadangan pangan untuk kondisi darurat yang juga menjadi tanggung jawab dari Pemerintah Pusat (pasal 45 UU No.7 tahun 1996 menyebutkan bahwa Pemerintah (pusat) mengambil tindakan dalam keadaan darurat). Pasalnya, proses birokrasi yang cukup berbelit serta kurang efisien, yang identik dengan Pemerintah Pusat, seharusnya diantisipasi dalam kondisi darurat. Oleh sebab itu, sebenarnya andil pemerintah daerah terkait cadangan pangan dalam kondisi darurat sebenarnya diharapkan untuk memotong jalur birokrasi dan meningkatkan efisiensi serta efektivitas program penanggulangan. Regulasi terbaru mengenai Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU No.18 tahun 2009) juga masih memiliki kesan sentralisasi yang cukup kuat. Sebagai contoh, kewenangan Pemerintah pusat bahkan mencakup pengaturan mengenai pembibitan/pembenihan (pasal 13 dan pasal 14), alat dan mesin peternakan (pasal 24 dan 25), budidaya (pasal 27 dan 28) hingga panen, pascapanen, pemasaran dan industri pengolahan hasil peternakan (pasal 34 – 37). Sebab pasal yang membahas mengenai kewenangan pemerintah daerah hanya terkait budidaya dan kegiatan panen, pascapanen, pemasaran dan industri pengolahan.
9
Kehutanan
V
UU No.41 tahun 1999 pasal 61 menyatakan bahwa “Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah”. Sementara dalam Pasal 62 dikatakan bahwa “Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga..”. Ditambah lagi dalam pasal 66 dikatakan bahwa pengaturan kewenangan daerah diserahkan kepada
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 9
Peraturan Pemerintah. Ketiga pasal tersebut mengindikasikan bahwa daerah tidak memiliki kewenangan mengurus dan mengatur hutan secara otonom, dan hanya memiliki kewenangan perizinan (bukan merupakan kewenangan substantif). Padahal berdasarkan UU No.32 tahun 2004 dikatakan bahwa seharusnya urusan yang bukan merupakan ‘urusan pemerintah pusat’ merupakan wewenang dari pemerintah daerah (yakni mencakup wewenang teknis dan substantif). Akibatnya, untuk pengelolaan sektor SDA ini, treatment dalam pengawasan yang dilakukan kurang mempertimbangkan kondisi ekonomi serta sosial-budaya dari masyarakat lokal. 10
Energi dan Sumber Daya Mineral
V
UU Pertambangan (UU No.4 tahun 2009) menimbulkan kesan bersifat sentralistik mengingat banyaknya ketetapan yang masuk sebagai cakupan kewenangan pemerintah daerah. Sementara merujuk pada UU No.32 tahun 2004, tampak adanya komitmen dari pemerintah pusat untuk mendesentralisasikan berbagai kewenangan, termasuk pertambangan. Salah satu contohnya adalah dalam UU No.32 tahun 2004 (pasal 13) disebutkan bahwa perencanaan, peemanfaatan dan pengawasan tata ruang merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang dari pemerintah daerah. Namun, dalam UU No.4 tahun 2009 (pasal 9) disebutkan bahwa Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan, di mana WP ditetapkan oleh Pemerintah (pusat) setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan DPRD RI. Tak hanya dengan UU No.32 tahun 2004, UU Minerba (UU No.4 tahun 2009) juga dikatakan memiliki permasalahan dengan regulasi sektor lain, terutama sektor kehutanan dan lingkungan hidup.
11
Kelautan dan Perikanan
V
Pertama, terkait tumpang tindih kewenangan Dalam pasal 18 ayat 1 UU No.32 tahun 2004 dikatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kemudian, dalam pasal 18 ayat 3 disebutkan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum; pemeliharaan keamanan; dan pertahanan kedaulatan negara. Sementara dalam UU No.31 tahun 2004 secara tersirat tampak bahwa pemerintah pusat memilki kewenangan terkait perikanan, bahkan dalam pasal 7 disebutkan mengenai kebijakan yang dapat ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kedua, tumpang tindih daerah operasi Dalam UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, pasal 61 ayat 1 disebutkan bahwa ’Nelayan Kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 10
perikanan Republik Indonesia..” Dalam pasal 18 ayat 1 UU No.32 tahun 2004 dikatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Selanjutnya dalam ayat 4 dan 5 disebutkan mengenai batasan jarak kewenangan untuk mengelola sumber daya laut. Namun dalam ayat 6 juga disebutkan bahwa ketentuan dalam ayat 4 dan 5 tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Sedangkan di sisi lain, UU No.31 tahun 2004 pasal 6 menyatakan bahwa ”Pengelolaan Perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat..” Ini memicu adanya perbedaan pemahaman antara nelayan lokal dengan nelayan daerah lain (nelayan andon) perihal kawasan teritorial untuk penangkapan ikan. Jika mengacu pada UU No. 32 tahun 2004, maka luas cakupan kewenangan Pemerintah Daerah tidak menyentuh nelayan kecil. Sementara jika merujuk pada UU No.31 tahun 2004, maka seharusnya hukum adat serta kearifan lokal dipertimbangkan oleh nelayan kecil dari daerah lain. 12
Perdagangan
V
Struktur organisasi Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) yang belum lengkap, serta belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) UU No.37 tahun 2000 tentang Penetapan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas berpotensi sebagai penghambat bagi realisasi investasi ataupun kegiatan ekonomi lainnya di kawasan Subang.
13
Perindustrian
V
Regulasi mengenai perindustrian (UU No.5 tahun 1984) memang tidak memiliki permasalahan tumpang tindih dengan UU No.32 tahun 2004. Namun, isu dari regulasi ini adalah adanya tumpang tindih dengan UU Pasar Modal dan UU Investasi sehingga membutuhkab revisi agar tidak menghambat investasi.
14
Pendidikan
V
UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas tidak mengatur secara jelas mengenai pendistribusian kewenangan antar level pemerintahan. Hal-hal detail/khusus memang idealnya diharapkan dapat diatur melalui PP sektor pendidikan dan PP Nomor 38 /2007 (turunan UU 32/2004) yang harus sinkron satu sama lainnya. Pada kenyataanya dalam regulasi tersebut masih teridentifikasi beberapa kategori permasalahan diantaranya: Ketidakseimbangan Pendistribusian Kewenangan: Pembagian urusan dalam bidang pendidikan mengindikasikan beberapa urusan yang sifatnya kurang seimbang dan proporsional antar tingkat pemerintahan. Kabupaten/kota dalam hal ini memegang proporsi beban urusan yang lebih besar dibandingkan provinsi. Inkonsistensi dalam Pembagian Urusan Inkonsistensi dalam kewenangan yang sudah terbagi
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 11
antar tingkat pemerintahan di bidang pendidikan pun masih terdapat pada beberapa urusan. Inkonsistensi ini terjadi pada pembagian urusan antar tingkat pemerintahan yang didasarkan pada jenjang pendidikan antara jenjang pendidikan reguler dengan taraf internasional. Ketidakjelasan Pembatasan Kewenangan Dalam pemetaan distribusi urusan bidang pendidikan versi PP Nomor 38 Tahun 2007 ini, diidentifikasi beberapa aspek pengelolaan yang batasannya masih belum tegas. Hal ini terlihat dalam beberapa nomenklatur urusan yang tidak memiliki perbedaan antar satu tingkat pemerintahan dengan yang lain. 15
Kesehatan
V
Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam UU tersebut kewenangan yang dijalankan masih terkesan sentralistis sehingga pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan tidak diatur secara jelas. Kendati demikian, UU tersebut memberikan petunjuk penting tentang substansi apa yang harus diatur di bidang kesehatan. Meredusir beberapa urusan penting bidang kesehatan Dalam PP 38/2007 (turunan dari UU 32/2004) beberapa urusan penting bidang kesehatan terlalu disimplifikasi bahkan cenderung diredusir. Misalnya, kegiatan kesehatan dalam UU 23/1992 yang berjumlah 15 kegiatan direduksi menjadi 4 upaya kesehatan. Aktifitas manajerial yang diatur dalam UU 23/1992 juga diabaikan dan yang diperhatikan hanya aspek pembiayaannya. Campuraduknya urusan manajerial dengan materi urusan Misalnya perihal tenaga medis dan obat-obatan seharusnya tuntas diatur melalui urut-urutan aktivitas manajerial. Kesemrawutan ini muncul karena absennya dasar pembagian urusan ke dalam sub bidang.
16
Pekerjaan Umum
V
Dalam bidang pekerjaan umum pembagian urusan yang dilakukan sudah relatif lebih baik. Hal ini karena bidang kePU-an memang relatif sudah lebih “terbiasa” dengan pembagian urusan ini sejak dulu. Bukan karena alasan otonomi daerah, melainkan karena secara teknis pelaksanaan bidang ke-PU-an ini sejak dulu memang membutuhkan kerjasama antara semua tingkatan pemerintahan. Karena sifatnya memang lebih banyak berupa pembangunan fisik, pembangunan itu memang tidak mungkin dilakukan semua oleh Pemerintah Pusat. Inkonsistensi Pembagian Peran Dalam PP No. 38 Tahun 2007, kalaupun ada deviasideviasi yang terjadi, biasanya lebih pada konsistensi pembagian peran saja. Secara umum pola yang digunakan adalah berdasarkan wilayah pemerintahan, akan tetapi pola pikir yang digunakan relatif sudah lebih
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 12
jelas dibanding urusan-urusan lain. 17
Perumahan
V
Isu sektor ini sama dengan Bidang ke-PU an.
18
Penataan Ruang
V
Ketidakselarasan Pembagian Urusan antara UU 26/2007 dengan PP 38/2007 (turunan regulasi UU 32/2004) Terdapat sedikit ketidakselarasan dalam pembagian sub bidang dalam PP 38/2007 (turunan dari UU 32/2004) yang membagi urusan bidang pertanahan menjadi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. Dalam hal ini sub bidang pengaturan dapat disejajarakan dengan perencanaan yang jauh lebih luas ketimbang berbicara masalah regulasi. Demikian halnya dengan sub bidang pembangunan yang sebenarnya dapat lebih mudah dikategorikan sebagai penggorganisasian atau pelaksanaan. Ada beberapa hal aspek manajemen yang belum dimasukkan dalam PP 38/2007 yaitu evaluasi. Padahal aspek ini sebenarnya diamanatkan dalam UU 26/2007 karena digunakan untuk melihat efektifitas pelaksanaan aktivitas tertentu, yang dalam hal ini adalah penyelenggaraan penataan ruang.
19
Perencanaan Pembangunan
V
Tidak sinkronnya Cara Penetapan Dokumen Perencanaan Daerah antara UU 32/2004 dengan UU 25/2004 Dalam UU 32/2004, RPJP daerah dan RJMD ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. RPTD (RKPD) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. Dalam UU 25/2004, RPJP Daerah ditetapkan dengan Perda. Sedangkan RPJMD dan RPTD (RKPD) ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah. Perbedaan Istilah Dalam UU 32/2004 perencanaan tahunan daerah dikenal dengan RPTD (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah) sedangkan dalam UU 25/2004 adalah RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah).
20
Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
V
Tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah provinsi dalam hal pengelolaan wilayah negara dan kawasan perbatasan. UU No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara tidak membagi dengan jelas kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah provinsi dalam hal pembangunan kawasan perbatasan antar pemerintah daerah dan/atau antar pemerintah daerah dengan pihak ketiga. Inkonsistensi antara UU sektoral lainnya dari segi normatif maupun empiris UU 27/2007 inkonsisten dengan peraturan yang terkait Sumber Daya Alam (SDA) lainnya. Untuk meminimalkan ketidak konsistenan antar berbagai UU sektoral, perlu
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 13
didorong terbitnya UU tentang Pengelolaan SDA untuk mewujudkan pengelolaan SDA sebagai satu sistem. UU sektoral sebagai sub sistem pengelolaan SDA, harus dilandasi dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh UU tentang Pengelolaan SDA.
21
22
Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian
V
Pemberdayaan masyarakat dan desa
V
Ketidakjelasan Batasan Kewenangan dan Pemahaman yang Beraneka Ragam Mengenai Otonomi Daerah Di sektor ini hingga saat ini batasan kewenangan lintas batas dalam UU tidak jelas, sehingga sulit menetapkan kewenangan mana yang harus dikerjasamakan dan mana yang sepenuhnya merupakan kewenangan Pusat, Provinsi, dan kab/kota. Tidak sinkronnya UU 22/1999 dengan UU 32/2004 dalam hal demokratisasi dan posisi desa UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, posisi desa sebagai bagian otonomi daerah. Dimana kewenangan dan hak desa menjadi bagian kekusasaan Pemerintahan Kabupaten. Namun dalam UU 22/1999 desa mendapat kesempatan untuk membangun pilar pemerintahan Desa yang oleh UU tersebut ada badan legislasi desa yang disebut BPD (Badan Perwakilan Desa). BPD merupakan elemen yang sangat setrategis dalam menggerakan proses pembaharuan desa yang lebih demokratis dan menuju ke arah semi otonom. Indikatornya adalah: (a) Desa dapat merumuskan dan mengesahkan peraturan desa yang memenuhi prinsip prinsip demokrasi. (b) Desa dapat mengembangkan system pertanggungjawaban publik dengan cara BPD meminta LPJ Tahunan dan Limatahunan kepada penyelenggara pemerintah desa. (c) Desa dapat mengembangkan dan medorong partisipasi warga melalui BPD untuk mengesahkan atau menolah rencana pembangunan desa. (e) Desa dapat mengembangkan system menejemen yang terbuka dan terawasi rakyat melalui fungsi kontrol BPD. (f) Desa dapat mengaktualisasi dan melindungi adat istiadat desa melalui fungsi BPD yang melindunginya. (g) BPD dan kepala desa besrta pamong dapat membangun aliansi untuk melakukan advokasi hak dan kewenangan desa yang menurut UU 22/1999 masih dikuasai Pemerintah kabupaten. Walaupun UU 22/1999 tidak secara tegas memberi peluang desa untuk memperoleh hak dan kewenangannya, namun penyebab ambruknya demokrasi desa oleh camat sebagai penguasa di desa oleh UU tersebut dihilangkan. Sehingga desa sedikit terlepas dari cengkeraman kekuasaan pemerintah di atasnya. UU 32/2004 sungguh sangat mematikan proses demokratisasi desa dan menutup kemungkinan desa untuk untuk memperoleh hak dan kewenangannya. Secara rinci UU 32/2004 yang merugikan desa adalah: (1) Di hilangkannya legislasi desa (BPD) sebagai elemen strategis berkembangnya demokratisasi dan otonomi desa
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 14
dalam bidang pemerintahan. (2) Kepala desa bertanggungjawab (dalam bentuk LPJ) bukan kepada rakyat desa tetapi kepada Bupati/Wali Kota melalui camat. Artinya hilangnya kedaulatan rakyat desa secara kongkrit. (3) Tidak ada lagi perlindungan kepada adat istiadat desa oleh undang undang. (4) Hampir semua pengaturan desa berada di Pemerintahan Kabupaten. (5) Sekertaris desa secara bertahap diisi oleh PNS, dengan demikianadministrasi pemerintahan desa secara tidak langsung dikendalikan oleh birokrasi pemerintahan di atasnya. (6) Di tunjukan sumber dana desa yang cukup kongkrit tetapi hak dan pengaturannya tidak jelas diberikan kepada desa. (7) Pengelolaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa dibawah asuhan, bimbingan, kontrol dan arahan dari camat. 23
Statistik
V
Penataan pembagian urusan tidak diatur secara jelas yang dapat menimbulkan disintegrasi penyajian informasi. UU 16/1997 tentang Kearsipan, walaupun memang badan statistik ini merupakan instansi vertikal, kewenangan yang dijalankan masih terkesan sentralistis sehingga pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan tidak diatur secara jelas. Karena itu, perlu penataan pembagian urusan untuk meningkatkan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi seluruh proses pengumpulan, pengolahan, dan penyajian informasi geospasial guna menghindari tumpang tindih di antara penyelenggaranya. Penataan juga bertujuan agar informasi yang dihasilkan sesuai dengan standar pemenuhan kepentingan multisektor dan pengambilan keputusan, serta pengawasan terhadap pelanggarannya.
24
Kearsipan
V
Terjadinya tumpang tindih kewajiban melaksanakan pengelolaan arsip statis. UU 43/2009 tentang Kearsipan sudah membagi beberapa urusan dan pembatasan kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Namun, terjadi tumpang tindih kewajiban dalam melaksanakan pengelolaan arsip statis yang diterima dari (1) Perusahaan, (2) Organisasi Politik, (3) Organisasi Kemasyarakatan, dan (4) Perseorangan. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan siapa yang lebih bertanggungjawab dalam pengelolaan arsip statis ini. Sebaiknya dalam UU ini langsung diatur saja pengelolaan arsip dari tiap-tiap subyek tersebut menjadi tanggung jawab tingkatan pemerintahan yang mana.
25
Perpustakaan
V
Ketidakjelasan kewenangan pusat dan daerah di bidang perpustakaan UU 43/2007 tidak mengatur secara jelas kewajiban dan kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dalam UU 43/2007 ini juga terdapat beberapa permasalahan yang mendasar, antara lain: Aspek kelembagaan/organisasi. UU ini hanya mengatur kelembagaan perpustakaan secara normatif. Selama ini
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 15
aspek kelembagaan perpustakaan belum jelas dan menumpang pada peraturan perundangan lain. Ada baiknya perlu dipertegas status eselon bagi masingmasing jenis perpustakaan. Misalnya, perpustakaan umum provinsi berbentuk badan (eselon II A), perpustakaan umum kabupaten/kota berbentuk kantor (eselon III A), perpustakaan umum kecamatan berbentuk UPTD (eselon IVA), perpustakaan desa dan sekolah (eselon IV B). Dengan aturan semacam ini perpustakaan akan lebih diperhatikan oleh pemerintah daerah. Aspek anggaran. UU ini hanya mengatur alokasi anggaran untuk perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi. Untuk kedua jenis perpustakaan ini ditetapkan sebesar 5 persen dari anggaran sekolah/perguruan tinggi. UU ini lupa mengatur alokasi anggaran untuk perpustakaan daerah provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Agar perpustakaan daerah dapat berbuat banyak, anggaran untuk perpustakaan daerah juga perlu ditetapkan minimal 5 persen dari APBD. Aspek sumber daya manusia. Pasal 29 menyebutkan bahwa tenaga perpustakaan terdiri dari tenaga pustakawan dan nonpustakawan yang terkait dengan perpustakaan, dokumentasi, dan informasi. Lagi-lagi, RUU ini lupa menyentuh hakikat suatu masalah. Saat ini yang menjadi masalah adalah pemerintah daerah tidak punya niat baik untuk membuka formasi pustakawan bagi perpustakaan umum kabupaten, kecamatan, desa, dan sekolah. UU tersebut mesti menegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota wajib mengangkat tenaga pustakawan bagi seluruh perpustakaan milik pemerintah daerah. Selain itu, perlu ditetapkan pula komposisi tenaga pustakawan dan nonpustakawan sebesar 70:30 persen. Saat ini jumlah pustakawan masih cukup langka, bahkan banyak perpustakaan yang tidak memiliki tenaga khusus pustakawan. Aspek koleksi. Saat ini jumlah koleksi perpustakaan di Tanah Air rata-rata belum sebanding dengan misinya untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Perpustakaan umum kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 700 ribu sampai 900 ribu jiwa, rata-rata hanya memiliki koleksi di bawah angka 100 ribu buku dengan jumlah penambahan buku per tahun kurang dari 10 ribu buku. Pasal 15 UU ini terlalu datar karena sekadar mewajibkan pemerintah mendukung program pengembangan koleksi perpustakaan. Kalau hanya menyediakan koleksi, pemerintah sudah lama melakukannya. Yang menjadi masalah adalah jumlah koleksi yang dianggarkan pemerintah itu sangat tidak memadai untuk meningkatkan minat baca masyarakat.
26
Sosial
V
Pengelolaan panti sosial oleh daerah memberatkan daerah dengan kapasitas fiskal rendah Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007, pengelolaan pantipanti sosial merupakan kewenangan pemerintah daerah. Pada kenyataannya terdapat beberapa daerah yang tidak
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 16
mampu mengelola sehingga mengembalikan kewenangan panti-panti sosial itu kepada Pemerintah. Hal ini disebabkan pengelolaan panti merupakan kegiatan yang menghabiskan anggaran dan tidak menghasilkan PAD. Beberapa pengembalian kewenangan pengelolaan pantipanti sosial ini telah disetujui oleh Sidang DPOD. Walaupun pengembalian kewenangan ini tidak bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004, tetapi ini merupakan indikasi permasalahan otonomi daerah khususnya bagi daerah-daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah. Hal ini bertentangan dengan tujuan dasar otonomi daerah yang salah satunya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik. 27
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian
V
Senada dengan sektor sosial, pengelolaan balai latihan kerja juga memberatkan daerah dengan kapasitas fiskal rendah Balai Latihan Kerja (BLK) yang menjadi kewenangan daerah mengalami permasalahan yang serupa dengan panti-panti sosial. Beberapa daerah mengembalikan kewenangan pengelolaan BLK kepada Pemerintah. Hal ini disebabkan karena BLK membebani APBD dan dianggap tidak seksi sebagai penghasil PAD. Walaupun pengembalian kewenangan ini juga sudah disetujui oleh sidang DPOD, tetapi hal ini juga menambah list permasalahan otonomi daerah. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 80% tidak terurus www.tempointeraktif.com tanggal 2 Juni 2010 mengutip pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menyatakan dampak otonomi daerah adalah tidak terurusnya dinas tenaga kerja dan transmigrasi yang berada di tingkat kabupaten. Menakertrans mengungkapkan sekitar 80% Dinas Nakertrans di daerah tidak terurus karena Gubernur dan Bupati sangat menganaktirikan sehingga banyak pekerjaan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian yang terbengkalai. Menakertrans berinisiatif untuk menarik pekerjaan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian berada vertikal dibawah Kementerian dan status pegawainya jadi pegawai pusat. Permasalahan KPPOD:
Tenaga
Kerja
berdasarkan
kajian
Dari kajian tekstual yang dilakukan KPPOD (2006) , dalam aspek kebijakan dan regulasi (Perda/SK Kepala Daerah), peta persoalan umum yang menandai distorsi kebijakan ketenagakerjaan di sejumlah daerah dalam masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini adalah :
Pertama, pelanggaran dalam hal perijinan dan pungutan terkait penggunaan tenaga kerja asing. Padahal, Perijinan (menurut Pasal 42 UU No.13 Tahun 2003) maupun pungutan (menurut Pasal 3 PP No.92 Tahun 2002) yang terkait dengan penggunaan TKA berada di pusat.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 17
Kedua, pungutan yang tidak proporsional dan amat lemah dalam acuan konsiderans. Ketiga, diskriminasi gender. Di sejumlah daerah ditemukan cukup banyak perda yang mengatur jam kerja lembur atau ijin kerja lembur malam bagi wanita dan mengenakan pungutan (retribusi) tertentu atasnya. Keempat, proteksionisme (perlindungan berlebihan) bagi tenaga kerja lokal. Tidak hanya terjadi dalam sektor pemerintahan, dimana muncul tuntutan preferensi berlebihan bagi putera daerah untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis (politik dan birokrasi), gejala serupa juga terjadi dalam dunia swasta (bahkan tidak sekedar sebagai tuntutan pemerintah) terkait pemberian kesempatan kerja, dimana perusahaan wajib memberikan jatah, yang bahkan dengan patokan kuota tertentu bagi putera daerah untuk sesuatu pekerjaan dalam perusahaan tersebut. 28
Koperasi UKM
V
Dalam meningkatkan PADnya banyak daerah yang menyusun Perda yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan menghambat perkembangan UMKM: Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengatakan ada 340 perda menghambat iklim investasi dan bertentangan dengan pemberdayaan KUMKM sesuai Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dari 340 perda yang bertentangan tersebut sejumlah 234 peraturan daerah telah diusulkan pembatalannya kepada Kementerian Dalam Negeri dan sebanyak 63 di antaranya telah disetujui pembatalannya sedangkan 171 perda lainnya masih dalam proses pertimbangan di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Dari 63 perda yang telah disetujui pembatalannya, 26 di antaranya yang terkait langsung dengan pemberdayaan KUMKM. Sebanyak 26 perda yang dibatalkan karena bertentangan dengan kepentingan umum ataupun kalah dengan peraturan lebih tinggi di tingkat pusat itu sembilan di antaranya terkait dengan meliputi retribusi, yakni pengesahan anggaran dasar koperasi, izin pembukaan kantor cabang koperasi, pendaftaran ulang anggaran dasar koperasi, izin usaha, permohonan izin kredit, pembatasan masa berlaku SITU (surat izin termpat usaha), pembatasan masa berlaku SIUP (surat izin usaha perdagangan), pendaftaran anggaran dasar koperasi, pengaturan SHU (sisa ha-sil usaha) koperasi.
29
Penanaman Modal
V
Di era otonomi daerah, bidang penanaman modal tidak jelas masuk kategori urusan yang mana, apakah urusan wajib yang bersifat pelayanan atau urusan wajib non pelayanan.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 18
Sampai saat ini masih menjadi perdebatan, apakah penyusunan SPM bidang penanaman modal ini harus dilakukan atau tidak. Hal ini terkait apakah penanaman modal termasuk urusan wajib yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik atau urusan wajib yang tidak bersentuhan langsung dengan pelayanan publik. Perbedaan persepsi antara Pemerintah dan daerah khusus bidang penanaman modal dalam pelaksanaan otonomi daerah Pemerintah menilai daerah memanfaatkan kewenangannya dengan menerbitkan izin yang cenderung menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Sementara daerah menuding justru karena pusat belum rela mendelegasikan kewenangannya menjadi penyebab urusan perizinan menjadi lebih lama dan berbiaya tinggi. Banyaknya peraturan daerah yang menimbulkan biaya tinggi ini menjadi isu nasional, dimana Presiden melalui 11 prioritas pembangunannya mengamanatkan dilakukannya evaluasi untuk 12.000 Perda. 30
Kebudayaan dan Pariwisata
V
Pengembangan pariwisata mengalami perlambatan di era otonomi daerah Isu strategis pertama dalam masa penerapan otonomi daerah di sektor pariwisata adalah timbulnya persaingan antar daerah, persaingan pariwisata yang bukan mengarah pada peningkatan komplementaritas dan pengkayaan alternatif berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: a. lemahnya pemahaman tentang pariwisata b. lemahnya kebijakan pariwisata daerah c. tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsi. Akibatnya pengembangan pariwisata daerah sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial. Artinya banyak daerah mengembangkan pariwisatanya tanpa melihat, menghubungkan dan bahkan menggabungkan dengan pengembangan daerah tetangganya maupun propinsi/kabupaten/kota terdekat. Bahkan cenderung meningkatkan persaingan antar wilayah, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Padahal pengembangan pariwisata seharusnya lintas Provinsi atau lintas Kabupaten/Kota, bahkan tidak tidak lagi mengenal batas karena kemajuan teknologi informasi. Salah satu kelemahan produk wisata Indonesia, yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan negaranegara tetangga adalah kurangnya diversifikasi produk dan kualitas pelayanan wisata Indonesia. Para pelaku kepariwisataan Indonesia kurang memberikan perhatian yang cukup untuk mengembangkan produk-produk baru yang lebih kompetitif dan sesuai dengan selera pasar. Setelah penerapan otonomi daerah, hal ini lebih dirasakan lagi karena kapasitas pemerintah daerah masih rendah.
31
Kepemudaan dan Olah Raga
V
Isu Bidang yang kurang populer Bidang Kepemudaan dan Olah Raga bukan merupakan bidang yang populer pra dan pasca diterapkannya otonomi
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 19
daerah.
Dari tabel di atas tampak bahwa dari 31 bidang, 29 bidang diantaranya, memiliki kebijakan yang bermasalah atau tumpang tindih dengan kebijakan lain.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
IV - 20
BAB
5
5.1.
5.1.
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN SEKTORAL YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH
Analisis Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi merupakan penyerahan tugas atau urusan kepada Pemerintah tingkat
bawah. Dengan pengertian ini, prosedur penyerahan pada lazimnya ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar, dan penyerahan dilakukan oleh/dengan Undang-Undang. (Muljadi, 2010, hal. 43) Ramlan Surbakti mengemukakan tentang parameter rinci terkait dengan pembagian sistem pembagian kekuasaan/urusan Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten Kota, yakni: 1) Wilayah Indonesia sebagai suatu entitas politik yang berdaulat mengharuskan ada suatu kesatuan hukum dan tindakan, dengan 5 (lima) jenis urusan Pemerintahan Pusat, yakni: (1) Moneter dan Fiskal, (2) Pertahanan dan Keamanan, (3) Hubungan Luar Negeri, (4) Peradilan, (5) Urusan Agama, yang sebagian dapat dikonsentrasikan kepada pejabat pemerintah daerah di daerah/wilayah 2) Daerah Provinsi/Pemerintah Provinsi menangani tugas dan urusan Pemerintah tertentu dengan pertimbangan perlu mengatur: (1) subsidi pada Pusat atau Kabupaten/Kota, seperti urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota, (2) efisiensi dan skala ekonomi, dan (3) pendayagunaan sumber daya alam, serta (4) mengatur redistribusi pendapatan antar kabupaten/kota, dan (5) penanganan tugas dan urusan yang belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota 3) Kabupaten/Kota menangani tugas dan urusan wajib, yang berkaitan dengan: (1) produksi dan distribusi pelayanan publik dan (2) kebutuhan pokok Dengan demikian, dalam melakukan penyusunan pembagian urusan pusat dan daerah, hal yang penting diingat adalah: 1) “apa saja” urusan pemerintah pusat senantiasa dilaksanakan di “wilayah” dan untuk kepentingan masyarakat daerah/wilayah, propinsi/propinsi 2) “apa saja” urusan pemerintah propinsi senantiasa dilaksanakan di area/wilayah dan untuk kepentingan masyarakat daerah otonom kabupaten/kota dan desa dalam provinsi bersangkutan Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V-1
Prinsip desentralisasi diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya, yaitu sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, sampai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sejak Indonesia
merdeka hingga kini, baik dengan UUD 1945, Konstitusi RIS, maupun UUD Sementara, diberlakukan kebijakan desentralisasi dalam semua UU tentang Pemerintahan Daerah, yaitu UU No 1 Tahun 1945, UU No 2 Tahun 1948, UU No 1 Tahun 1957, UU No 18 Tahun 1965, UU No 5 Tahun 1974 dan juga UU No 22 Tahun 1999 serta UU No 32 Tahun 2004. Secara yuridis konstitusional, kebijakan Otonomi Daerah jelas terlihat dalam sistem pemerintahan, di dalamnya juga mengatur tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 18). Dan dalam penjabaran UUD 1945, kebijakan otonomi daerah senantiasa termuat dalam kebijakan pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya: UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan berbagai macam ketentuan lainnya. Dari sudut pandang Hukum Tata Negara dalam konteks NKRI sebagaimana diamanatkan UUD 1945, otonomi daerah merupakan sarana kebijakan yang tepat untuk memelihara keutuhan negara, bangsa serta memperkuat persatuan dan kesatuan. Tujuan dari otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan pelayanan publik di daerah, serta pada akhirnya diharapkan pula dapat menciptakan pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance).
5.1.1. Analisis UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Analisis terhadap UU 32/2004 dilakukan untuk melihat : (1) apakah peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (2) apakah ketentuan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan fungsi maupun materi muatannya. Kesesuaian muatan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (UUD 1945)
Pertama, materi muatan dari UU NO 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya tentang pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, tidak menjadikan Pasal 22 E UUD 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, dan DPRD”, sebagai konsiderans atau rujukan, yang digunakan sebagai rujukan adalah Pasal 18 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 18 ayat (4) yang berbuyi “Gubernur, Bupati, dan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V-2
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Karena rujukan UU NO 32/2004 adalah Pasal 18 ayat (4) bukan Pasal 22E UUD 1945, maka pemilihan kepala daerah tidak dikategorikan pemilihan umum. Oleh karena itu, berdasarkan pasal 57 ayat 1 UU No 32/2004 menegaskan bahwa KPUD (bukan KPU) diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Kedua, sebuah prosedur baru yang ditentukan dalam pasal 106 UU NO 32/2004 adalah keberatan yang berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pilkada, disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk Pilkada Propinsi dan kepada Pengadilan Negeri untuk pilkada kabupaten/kota. Mahkamah Agung akan melaksanakan kewenangannya, dan dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil perhitungan suara Pilkada Kabupaten/Kota.
Penyerahan kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum kepada pengadilan yang berujung pada Mahkamah Agung, juga tidak konsisten dengan Pasal 24 C ayat 1 UUD 1945.
Pemilihan Kepala Daerah memang tidak dikategorikan
sebagai pemilihan umum tetapi bahwa asas dan tahapannya merupakan pemilihan umum, karenanya proses penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum jelas tidak sama dengan proses penyelesaian perkara pidana biasa. Karenanya, dari segi apapun, pemilihan Kepala Daerah merupakan pemilihan umum, maka perselisihan hasil pemilihan Kepala Daerah seharusnya diselesaikan menurut ketentuan UUD, yaitu oleh Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, posisi Pemerintah Pusat berdasarkan ketentuan Pasal 109 UU No 32 Tahun 2004 masih menentukan nasib Kepala Daerah terpilih.
Pasal 109 ayat 1 menyatakan bahwa pengesahan pengangkatan calon Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Ayat (2) menyatakan bahwa pengesahan pengangkatan calon Bupati atau Walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.
Berdasarkan Pasal 109 UU NO 32/2004, posisi Pemerintah Pusat dalam Pilkada masih diposisikan sebagai penentu akhir.
Hal ini dikhawatirkan Presiden dengan alasan
tertentu dapat saja menggagalkan atau tidak mengesahkan Kepala Daerah terpilih. Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V-3
Karenanya, dengan paradigma kedaulatan rakyat dan negara hukum yang dianut oleh UUD 1945, seharusnya Pasal 109 UU No 32 Tahun 2004 memformulasikan “Presiden wajib mengesahkan pengangkatan Calon Kepala Daerah terpilih”. Jika Presiden tidak mengesahkan Kepala Daerah terpilih ini berarti menyimpang dari konsep negara hukum menjadi konsep negara kekuasaan.
Keempat, dengan diberlakukannya UU No 32 Tahun 2004 posisi partai politik dalam sistem langsung ini sangat diuntungkan, hal ini dapat dilihat terutama pada pasal 56 ayat (2) yang menegaskan partai politik adalah satu-satunya pintu yang bisa dilalui oleh bakal calon kepala daerah. Pasal tersebut berbunyi, “calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”.
Dengan ketentuan tersebut, tidak dimungkinkan adanya calon independen yang bisa maju dalam pencalonan Kepala Daerah. Dari sudut pandang Hukum Tata Negara, hal ini jelas bertentangan dengan ajaran kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945. Nmaun demikian, pasal 59 ayat 3 UU No 32/2004 menegaskan bahwa parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon perseorangan atau independen untuk mengikuti proses seleksi internal parpol melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.
Kesesuaian muatan dengan fungsi dan materinya Pasal-pasal dalam UU 32 Tahun 2004 telah memuat tentang otonomi daerah, diantaranya: Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan dan pemerintahan dan kepentingan daerah setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Pasal 1 angka 6 UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan “ daerah otonom adalah kesatuan daerah hukum yang mempunyai batasan wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Roh dari kebijakan otonomi daerah adalah desentralisasi kewenangan, dan bicara mengenai desentralisasi merupakan salah satu bentuk dari pemindahan tanggung jawab, wewenang dan sumber-sumber daya (dana, personil, dll) dari pemerintah pusat ke level pemerintahan daerah. Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V-4
Beberapa aspek pemerintah yang diatur UU 32 Tahun 2004 adalah: kewenangan pemerintahan dan relasi antara kabupaten-propinsi-negara; a) Kewenangan pemerintahan dan relasi antara kabupaten-propinsi-negara UU ini mengatur urusan-urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat, propinsi,dan kabupaten (pasal 13-14).
Jika dicermati, wewenang propinsi dan
kabupaten berada dalam bidang-bidang yang sama, mulai dari perencanaan pembangunan hingga pengembangan koperasi, ditambah pelayanan dasar yang lain. Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di wilayah propinsi, memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kab/kota, koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah serta pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan du daerah propinsi dan kab/kota (pasal 38). Konsekuensi dari pasal ini adalah kab/kota tidak bisa menolak kehadiran gubernur terkait tugas- tugas tersebut. Pasal 2 (1) yang berbunyi “NKRI dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan
daerah”,
mendatangkan
konsekuensi
bahwa
secara
hirarki,
pemerintah kab/kota adalah bawahan propinsi, karena pasal ini tidak lagi mencatumkan kalimat “tidak mempunyai hubungan hirarki”. Ini artinya otonomi kabupaten menjadi lebih sedikit/kecil karena kabupaten manjadi dapat dikontrol oleh propinsi, yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. b) Kekuasaan DPR Propinsi dan Kabupaten UU ini mengembalikan hubungan legislatif dan eksekutif
menjadi setara dan
bersifat kemitraan, karena UU 22/1999 memberikan kekuasaan yang luar biasa kepada DPR Propinsi dan Kabupaten. Salah satu “kekuasaan” DPR Prop dan Kab yang dihilangkan adalah bahwa mereka tidak lagi memilih gubernur maupun bupati yang melalui UU ini dipilih secara langsung oleh rakyat. c) Kepegawaian dan Organisasi UU ini menentukan bahwa pegawai dikelola secara unified maupun separated system. Artinya, ada bagian yang menjadi wewenang pemerintah pusat, dan ada pula yang menjadi wewenang propinsi dan kabupaten. Kondisi ini sesungguhnya
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V-5
berarti kewenangan daerah yang semula amat besar dalam mengelola pegawai, menjadi berkurang. Pasal 128 (2) yang berbunyi “Pengendalian organisasi perangkat daerah dilakukan oleh Pemerintah untuk propinsi, dan oleh Gubernur untuk kab/kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Konsekuensi dari aturan ini adalah
daerah tidak bisa sekehendaknya membentuk dinas atau lembaga teknis baru. d) Keuangan Konsekuensi positif dari UU ini adalah lebih ketatnya pengawasan oleh negara kepada propinsi, dan propinsi kepada kab, karena pasal 185 (1-4) dan pasal 186 (14) mengatur bahwa RAPBD maupun rancangan penjabarannya harus disetujui terlebih dahulu oleh pemerintah atasan sebelum disahkan. e) Partisipasi Warga Melalui UU ini, sesungguhnya terjadi pengurangan peran warga yang terjadi di tingkat desa. Dengan pengaturan dalam pasal 200 dan 210 tentang BPD, dimana anggota BPD yang sebelumnya dipilih langsung oleh warga, menjadi diisi oleh ketua RW, pemangku adat, dan tokoh masyarakat lain, yang ditetapkan secara “musyawarah dan mufakat”. Meskipun ada kalimat “musyawarah dan mufakat”, hak warga untuk memilih secara langsung tidak ada, karena sudah ditetapkan siapa saja yang menjadi anggota BPD.
5.2.
Analisis Kebijakan Sektoral
5.2.1. Tata Ruang Gambaran Umum UU No 26 Tahun 2007 UU No 26 tahun 2007 merupakan landasan hukum dalam pelaksanaan penataan ruang di Indonesia. Sebagai pengganti UU No 24 tahun 1992, UU ini berusaha merespon berbagai permasalahan bidang penataan ruang, terutama yang terkait dengan semakin meningkatnya kejadian dan tingkat kerusakan akibat bencana alam; meningkatnya kemacetan lalu lintas, perumahan kumuh, serta semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di perkotaan; kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk; dan masih kurang seimbangnya pembangunan antar wilayah maupun antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V-6
Sebagai bagian dari ketentuan perundang-undangan, UUPR tidak terlepas dari UU lainnya. Tidak kurang, 28 UU bisa dikatakan terkait dengan UUPR berdasarkan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 25 A, Pasal 28 I ayat (3), Pasal 30, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UU tersebut adalah: a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif; d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; e) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut; f) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Konservasi Alam dan Ekosistemnya; g) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman; h) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; i) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; j) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; k) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran; l) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; m) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua; n) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; o) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara; p) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; r) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; s) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; t) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; u) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan; v) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. w) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; x) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; y) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara z) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V-7
aa) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; bb) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahkan untuk UU No 32 Tahun 2004, secara eksplisit dijelaskan dalam pasal 237 bahwa semua peraturan perundang-undangan yang terkait dan menyangkut dengan daerah otonom, harus mendasarkan dan menyesuaikan dengan UU 32 tahun 2004 tersebut. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang, UU ini diharapkan dapat mendorong penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif demi terwujudnya ruang wilayah nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan yang bermuara pada makin sejahteranya masyarakat. UUPR sebagai sebuah UU juga memiliki amanah aturan pelaksana. Tidak kurang dari 18 substansi aturan tertera dengan tegas dalam UUPR harus diatur dengan Peraturan Pemerintah, 2 (dua) pokok materi harus diatur dengan Peraturan Presiden, 8 (delapan) materi yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, dan 4 (empat) pokok materi yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Substansi aturan-aturan tersebut adalah: 1)
Peraturan Pemerintah
Pasal 13 ayat (4): Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 14 ayat (7): Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana tata ruang diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 16 ayat (4): Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 17 ayat (7): Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 20 ayat (6): Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 33 ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V-8
Pasal 36 ayat (3) (a): Peraturan zonasi ditetapkan dengan peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nacional
Pasal 37 ayat (1): Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masingmasing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37 ayat (8): Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 38 ayat (6): Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan peraturan pemerintah
Pasal 40: Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan pemerintah
Pasal 41 ayat (3): Kriteria mengenai kawasan perkotaan menurut besarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 47 ayat (2): Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perkotaan diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 48 ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan agropolitan diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 48 ayat (6): Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perdesaan diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 54 ayat (2): Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kawasan agropolitan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten diatur dengan peraturan daerah kabupaten, untuk kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten diatur dengan peraturan daerah provinsi, dan untuk kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah provinsi diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 64: Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 65 ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V-9
Ketentuan lebih lanjut tentang PP
Pasal 78 ayat (1): Peraturan pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
Pasal 78 ayat (4): Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disesuaikan paling lambat dalam waktu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan;
2)
Peraturan Presiden
Pasal 21 ayat (1): Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a diatur dengan peraturan presiden.
Penjelasan Pasal 78 Ayat (2): Batas akhir penyelesaian peraturan presiden paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan
mengandung pengertian bahwa Pemerintah harus segera memulai proses penyusunan peraturan presiden yang diamanatkan Undang-Undang ini sehingga dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun sudah ada peraturan presiden yang ditetapkan. Peraturan presiden yang disusun dan ditetapkan mencakup pula peraturan presiden tentang penetapan rencana tata ruang kawasan strategis nasional. Ketentuan lebih lanjut tentang Peraturan Presiden Pasal 78 ayat (2): Peraturan presiden yang diamanatkan Undang- Undang ini diselesaikan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan. 3)
Peraturan Menteri
Pasal 18 ayat (3): Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan;
Pasal 18 ayat (3): Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 21 ayat (2): Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang (pulau/kepulauan dan rencana tata
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 10
ruang kawasan strategis nasional) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 24 ayat (2): Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang (kawasan strategis provinsi) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 27 ayat (2): Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan
rencana
rinci
tata
ruang
(rencana
detail
tata
ruang
kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 31: Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka nonhijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dan huruf b diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 58 ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 59 ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang diatur dengan peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut tentang Keputusan Menteri Pasal 78 ayat (3): Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang- Undang ini diselesaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan. 4)
Peraturan Daerah
Pasal 23 ayat (6): Rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi.
Pasal 24 ayat (1): Rencana rinci tata ruang (kawasan strategis provinsi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi.
Pasal 26 ayat (7): Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten.
Pasal 27 ayat (1): Rencana rinci tata ruang (rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
kawasan strategis kabupaten/kota)
V - 11
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten.
Pasal 36 ayat (3)(b): Peraturan zonasi ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi
Pasal 36 ayat (3)(c): Peraturan zonasi ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.
Pasal 54 ayat (2): Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kawasan agropolitan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten diatur dengan peraturan daerah kabupaten, untuk kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten diatur dengan peraturan daerah provinsi, dan untuk kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah provinsi diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut tentang peraturan daerah
Pasal 78 ayat (4)(b): Semua peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan
Pasal 78 ayat (4)(c): Semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
Semua amanah substansi aturan tersebut dapat dilihat dalam matriks sebagai berikut:
No
1
2 3
4
Dasar Pengaturan UU Peraturan Pelaksana Status Penyusunan No 26 Tahun 2007 I. Peraturan Pemerintah PP tentang penyelenggaraan Pasal 13 ayat (4) Selesai dengan diterbitkannya PP No 15 Tahun 2010 Tentang pembinaan Penyelenggaraan Penataan Ruang Pasal 14 ayat (7) Masih dalam tahap pembahasan PP tentang tingkat ketelitian peta rencana tata ruang PP tentang kriteria dan tata cara Pasal 16 ayat (4) Selesai dengan diterbitkannya PP No 15 Tahun 2010 Tentang peninjauan kembali rencana tata Penyelenggaraan Penataan Ruang ruang PP tentang tata cara penyusunan Pasal 17 ayat (7) Masih dalam tahap pembahasan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 12
5
6
7 8
9
10
11
12
13
rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah PP tentang Rencana Tata Ruang Pasal 20 ayat (6) Wilayah Nasional
PP tentang penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya PP tentang arahan peraturan zonasi sistem nasional PP tentang ketentuan perizinan untuk pengendalian pemanfaatan ruang PP tentang prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak
Pasal 33 ayat (5)
Selesai dengan diterbitkannya PP No 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Masih dalam tahap pembahasan
Pasal 36 (3)(a) Pasal 37
Masih dalam tahap pembahasan
ayat Masih dalam tahap pembahasan
Pasal 37 ayat (8)
Selesai dengan diterbitkannya PP No 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
PP tentang bentuk dan tata cara Pasal 38 ayat (6) pemberian insentif dan disinsentif PP tentang pengendalian Pasal 40 pemanfaatan ruang
Selesai dengan diterbitkannya PP No 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Selesai dengan diterbitkannya PP No 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Selesai dengan diterbitkannya PP No 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Selesai dengan diterbitkannya PP No 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Selesai dengan diterbitkannya PP No 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Selesai dengan diterbitkannya PP No 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Masih dalam tahap pembahasan
PP tentang kriteria mengenai Pasal 41 ayat (3) kawasan perkotaan menurut besarannya PP tentang penataan ruang Pasal 47 ayat (2) kawasan perkotaan
14
PP tentang penataan kawasan agropolitan
ruang Pasal 48 ayat (5)
15
PP tentang penataan kawasan perdesaan
ruang Pasal 48 ayat (6)
16
PP tentang penataan ruang Pasal 54 ayat (2) kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah provinis PP tentang kriteria dan tata cara Pasal 64 pengenaan sanksi administratif
17
18
PP tentang tata cara dan bentuk Pasal 65 ayat (3) peran masyarakat dalam penataan ruang
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
Selesai dengan diterbitkannya PP No 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Masih dalam tahap pembahasan
V - 13
1 2
1
II. Peraturan Presiden Perpres tentang rencana rinci tata Pasal 21 ayat (1) ruang Penjelasan Pasal Perpres tentang penetapan 78 ayat (2) rencana tata ruang kawasan strategis nasional III. Peraturan Menteri Menteri PU Permen tentang pedoman dan tata Pasal 18 ayat (3) Peraturan No15/PRT/M/2009 Tentang cara penyusunan rencana tata Pedoman Penyusunan Rencana ruang wilayah provinsi Tata Ruang Wilayah Provinsi
2
Permen tentang pedoman dan tata Pasal 18 ayat (3) cara penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
3
Permen tentang muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional. Permen tentang muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan strategis provinsi Permen tentang muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota Permen tentang penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka nonhijau Permen tentang standar pelayanan minimal bidang penataan ruang perencanaan tata ruang,
4
5
6
7
Pasal 21 ayat (2)
Peraturan Menteri PU No 11/PRT/M Tahun 2009 Tentang Pedoman Persetujuan Substansi Dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Beserta Rencan Rincinya; Peraturan Menteri PU No16/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; Peraturan Menteri PU No17/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Masih dalam tahap pembahasan
Pasal 24 ayat (2)
Masih dalam tahap pembahasan
Pasal 27 ayat (3)
Masih dalam tahap pembahasan
Pasal 31
Masih dalam tahap pembahasan
Pasal 58 ayat (5)
Masih dalam tahap pembahasan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 14
8
1
2
3
4
pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, penataan ruang provinsi dan penataan ruang kabupaten/kota. Permen tentang tata cara Pasal 59 ayat (3) Masih dalam tahap pembahasan pengawasan terhadap pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang IV. Peraturan Daerah Perda tentang Rencana tata ruang Pasal 23 ayat (6) dan Pasal 26 wilayah provinsi dan kabupaten ayat (7) Rencana rinci tata ruang kawasan strategis provinsi, rencana detail tata ruang kabupaten/kota, dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota Perda tentang peraturan zonasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi dan peraturan zonasi. Perda tentang penataan ruang kawasan perdesaan untuk kawasan agropolitan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten dan kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten
Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1)
Pasal 36 ayat (3)(b) dan Pasal 36 ayat (3)(c) Pasal 54 ayat (2)
Sedangkan secara tersirat (tidak langsung diamanatkan UUPR), cukup banyak peraturan pelaksanaan setingkat Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri yang perlu ditetapkan, antara lain Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (menurut PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN ada 76 Kawasan Strategis Nasional), Peraturan Menteri yang jumlahnya bisa sangat banyak karena mengatur hal-hal teknis yang berbentuk Pedoman dalam penyelenggaraan penataan ruang, dan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang di daerah. Fenomena menumpuknya pekerjaan untuk membuat aturan pelaksana dari UUPR ini memicu reaksi pemerintah untuk menyederhanakan aturan-aturan yang tegas diamanatkan dalam UUPR. PP yang tadinya berjumlah 18, disusutkan menjadi 6 (enam) PP. Sedangkan untuk Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri, mengalami penambahan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 15
dikarenakan amanat yang tersirat dalam UUPR banyak memberikan ruang pengaturan di 2 (dua) wilayah tersebut. Berikut adalah hasil dari pendataan tersebut: 1. Peraturan Pemerintah No
Penanggungjawab Substansi
Judul
Status
1
PP tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Kementerian Pekerjaan Umum
Telah ditetapkan PP No 26 Tahun 2008
2
RPP tentang Peraturan Pelaksana UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Kementerian Pekerjaan Umum
Telah ditetapkan PP No 15 Tahun 2010
3
RPP Tentang Kriteria dan Tata Cara Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Pertahanan
Kementerian Pertahanan
Dalam Pembahasan
4
RPP tentang Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang
Bakosurtanal
Dalam Pembahasan
5
Substansi Pengaturan Tentang Penatagunaan Tanah
Badan Nasional
Substansi Pengaturan Tentang Penatagunaan Air
Kementerian Pekerjaan Umum
Penatagunaan Substansi Pengaturan Ruang Tentang Penatagunaan Udara Substansi Pengaturan Tentang Penatagunaan Sumber Daya Alam Lainnya
6
Pertanahan
Dalam Pembahasan
LAPAN Kementerian Lingkungan Hidup
RPP tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Kementerian Masyarakat Negeri
Dalam Dalam Pembahasan
2. Peraturan Presiden/ Keputusan Presiden No
Judul
Penanggung Jawab Substansi
1
Penataan Ruang Jabodetabekjur
Kawasan Dirjen Penataan Ruang
2
Pembentukan Badan Koordinasi BKTRN Pentaan Ruang (BKPRN) (Revisi Keppres 62 / 2000)
3
RTR Pulau Sumatra
4
RTR Jawa-Bali
5
RTR Kalimantan
6
RTR Sulawesi
Status Telah ditetapkan Peraturan Presiden No 54 Tahun 2008 Telah ditetapkan Kepres Nomor 4 Tahun 2009
Dirjen Penataan Ruang, Belum ditetapkan Kementerian PU
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 16
No
Penanggung Jawab Substansi
Judul
7
RTR Kepulauan Nusa Tenggara
8
RTR Kepulauan Maluku
9
RTR Pulau Papua
10
RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi NAD-Sumatera Utara
11
RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Kepri-Riau
12
RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Sulawesi Utara
13
RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Maluku Utara-Irian Jaya Barat-Papua
14
RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Nusa tenggara Timur
15
RTR Kawasan Perbatasan Laut Provinsi Maluku
16
RTR Kawasan Perbatasan Darat Provinsi Nusa Tenggara Timur
17
RTR Kawasan Perbatasan Darat Dirjen Penataan Ruang, Provinsi Papua Kementerian PU Penataan Ruang Kawasan Cekungan Bandung
18 19
Penataan Ruang Gerbangkertasusilo
20
Penataan Ruang Kawasan KendalUngaran-Semarang-Purwodadi (Kedungsepur)
21
Penataan Ruang Kawasan Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita)
22
RTR Kawasan Sungguminasa-Takalar (Mamminasata)
23
RTR Kawasan Perbatasan Darat Provinsi Kalimantan BaratKalimantan Timur
Status
Kawasan
Maros-
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 17
3. Peraturan Menteri/Keputusan Menteri No
Judul
Penanggungjawab
Status
1
Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
Telah ditetapkan Permen PU No 20/PRT/M/2007
2
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Berapi dan Kawasan rawan Gempa Bumi
Telah ditetapkan Permen PU No 21/PRT/M/2007
3
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor
Telah ditetapkan Permen PU No 22/PRT/M/2007
4
Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai
Telah ditetapkan Permen PU No 40/PRT/M/2007
5
Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya
Telah ditetapkan Permen PU No 41/PRT/M/2007
6
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
Telah ditetapkan Permen PU 05/PRT/M/2008
7
Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
8
Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
Telah ditetapkan Permen Dirjen Penataan PU No 15/PRT/M/2009 Ruang, Kemen PU Telah ditetapkan Permen PU No 11/PRT/M/2009; Permen PU No 16/PRT/M/2009; Permen PU No 17/PRT/M/2009
9
Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
10
Pedoman dan Tata Cara Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota
11
Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang
12
Tata Cara Pengawasan Terhadap Pengaturan, Pembinaan, dan Pelaksanaan Penataan Ruang
Seluruh peraturan perundang-undangan tersebut, kalau sudah ditetapkan akan membentuk suatu sistem peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 18
Gambar 5.1. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Bidang Penataan Ruang
Sumber: Ditjen Penataan Ruang
Evaluasi Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat baik itu kelemahan maupun keberhasilan UUPR. Pertama Fungsi muatan yang diatur didalam UUPR dan Kedua UUPR sebagai bagian dari ketentuan perundang-undangan nasional. Kedua pendekatan ini menekankan kajian terhadap UUPR dari sisi internal dan eksternalnya. Harapannya, akan teridentifikasi wajah UUPR (terutama kelemahannya) sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat untuk rekomendasi penyelesaiannya. Berikut adalah kelemahan dari UUPR: 1.
Muatan yang diatur dalam UUPR UUPR pada dasarnya memuat tiga hal pokok, yaitu perencanaan tata ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, dan kelembagaan penataan ruang. Sisi perencanaan dibandingkan dua hal pokok lainnya, lebih banyak mendapat perhatian dalam UUPR. Fokus terhadap hal ini diharapkan dapat memberi kematangan aksi dalam penataan ruang. Namun kemudian pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam menjelaskan dan mengaplikasikan “perencanaan” ke dalam peraturan daerah. Belum hadirnya peraturan pelaksana, terutama peraturan pemerintah, meninggalkan kegamangan pada
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 19
pemerintah daerah dalam menafsirkan perencanaan. Pemerintah daerah pun kemudian masih meraba-raba ketentuan yang tepat untuk membentuk peraturan daerah. Terang saja kemudian UUPR dikatakan tidak implementatif oleh beberapa pihak. Peraturan daerah, sebagai ujung tombak pelaksana penataan ruang, belum dapat dibentuk sehingga meninggalkan status UUPR sebagai UU yang mandul. 2.
Kepentingan daerah kurang terakomodir Posisi pemerintah pusat, dhi kementerian sektoral, sebagai penengah dalam masalah penataan ruang memiliki dampak psoitif dan negatif. Positifnya adalah terkendalinya penataan ruang sesuai standar yang ada. Namun, negatifnya adalah peran pemerintah pusat yang cukup besar sehingga hanya menempatkan pemerintah daerah sebagai objek dalam bidang penataan ruang. Tentunya fenomena ini akan menciptakan ekses penataan ruang yang tidak sesuai dengan kearifan lokal dan kepentingan daerah.
3.
Lamanya proses dan prosedur penataan ruang Proses penataan ruang jika ditotal menghabiskan waktu selama 24 bulan. Hal ini baru dalam persepktif teknis sesuai Peraturan Menteri PU tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah baik Provinsi maupun Kabupaten. Namun, secara teknis tentu hal ini bisa lebih dari waktu yang ditentukan. Potret birokrasi yang lelet dan bertele-tele serta ego sektoral cukup menjawab keraguan terlaksananya Inpres No 1 Tahun 2010 yang mengamantkan bahwa perda RTRW harus selesai tahun ini.
4.
Tidak ada standar penggunaan data Belum adanya PP tentang Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang memberikan kesulitan tersendiri dalam penyusunan penataan ruang. Hal ini disebabkan oleh aturan penggunaan data yang tidak diatur secara spesifik akibat absennya PP tersebut. Tentunya ketidakseragaman penggunaan peta dasar akan tercermin dari kondisi ini. Kemampuan pemetaan akan sangat tergantung sekali dengan kemampuan daerah tersebut membiayai kegiatan ini. Terbayang kemudian kesimpangsiuran antar daerh/provinsi dalam menyinergikan RTRW nya.
5.
Tanggung jawab pemda yang menumpuk Sebagai subyek penyelenggaraan pembangunan daerah, Pemerintah Daerah dituntut mampu mengintegrasikan berbagai payung hukum sektoral dalam pembangunan daerah.
Urusan
yang
dilimpahkan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
kepada
daerah,
sebagai
konsekuensi V - 20
penyelenggaraan otonomi daerah, pada gilirannya menjadikan daerah sebagai obyek ‘limpahan’ tugas-tugas dari pusat melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengharuskan Pemerintah Daerah menyusun Rencana Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (RAPBD). UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Daerah, termasuk Rencana Kerja Pembangunan Daerah serta Rencana Strategis dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Bencana mewajibkan daerah menyusun Rencana Penanggulangan Bencana. Belum lagi dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang meminta daerah menyusun RTRW, RDTR, dan Pengaturan Zonasi. Demikian pula dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengharuskan daerah menyusun Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kesemuanya dilakukan dalam kerangka UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan diintegrasikan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah. Semua amanat tersebut tentu akan memberikan beban dalam pelaksanaan
ketentuan-ketentuan
tersebut.
Padahal
sejatinya
pemda
wajib
menyejahterakan rakyatnya, bukan malah sibuk dengan urusannya sendiri. 6.
Penegakkan hukum yang tidak maksimal Hal yang perlu dicermati terkait aspek penegakan hukum ini adalah adanya aturan yang mengatur tentang pelanggaran hukum, baik itu pelanggarannya, prosedur, maupun sanksinya. Namun pada faktanya, dalam bidang penataan ruang hal tersebut masih hanya aturan kosong. Belum dibentuknya PP tentang Kriteria Dan Pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana yang diamanatkan Pasal 64 dan juga PP tentang Bentuk Dan Tata Cara Pemberian Insentif dan Disintensif Dalam Pemanfaatan Ruang sebagai amanat dari Pasal 38 ayat (6) bukanlah kabar yang menggembirakan dari penegakkan UUPR. Kasus-kasus seperti penelantaran tanah sudah jamak terjadi di negeri ini. Belum lagi kecenderungan pembiaran pemerintah dalam merespon permasalahan yang ada, seperti kasus Tanjung Priok (Makam Mbak Priok) dan tragedi situ gintung. Terkait hal-hal semacam ini, fungsi sosialisasi dalam penyelenggaraan penataan ruang sangat penting agar masyarakat memahami hak dan kewajibannya dalam penataan ruang
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 21
sehingga partisipasi masyarakat diharapkan dapat menunjang keberhasilan penataan ruang daerah. 7.
UUPR sebagai bagian dari ketentuan perundang-undangan nasional. Sedangkan dari sisi aturan organik, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tidak kurang dari 18 substansi aturan harus diatur dengan Peraturan Pemerintah, 2 (dua) pokok materi harus diatur dengan Peraturan Presiden, 8 (delapan) materi yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, dan 4 (empat) pokok materi yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Namun, dari kesemuanya itu dari 18 substansi aturan PP baru 2 (dua) PP yang dibentuk, yaitu PP No 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan PP No 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Menariknya, untuk PP No 15 tahun 2010, PP ini merupakan gabungan 10 (sepuluh) substansi aturan yang dikerucutkan menjadi sebuah PP dikarenakan kesulitan pemerintah untuk memenuhi target tenggat waktu pembentukkan PP. Fenomena ini yang kemudian memicu pereduksian 18 substansi aturan menjadi 6 (enam) PP sebagai pelaksana UU 26 Tahun 2007. Sedangkan untuk peraturan presiden/ keputusan presiden, baru dua yang ditelurkan. Sisanya masih dalam tahap pembahasan. Menilik Peraturan Menteri, sudah ada 10 (sepuluh) peraturan yang berhasil ditelurkan. Fakta unik juga tidak bisa dilepaskan dari peraturan-peraturan menteri ini. Total dari kesepuluh peraturan tersebut, beberapa peraturan dibentuk sebelum Peraturan Pemerintah yang mengamanatkannya, yaitu PP No 10 Tahun 2010. Sedangkan dari sisi peraturan daerah, diperkirakan baru 19 provinsi yang bisa merampungkan rencana tata ruang wilayahnya untuk tahun 2010 ini. Padahal berdasarkan Instruksi Presiden No 1 tahun 2010, seluruh 33 provinsi diperintahkan untuk
merampungkan
rencana
tata
ruang
wilayahnya
dan
kemudian
mengundangkannya ke dalam bentuk perda. 19 provinsi itupun dalam tahap yang berbeda-beda. Lima provinsi telah merampungkan dalam bentuk perda, yaitu provinsi Lampung, DIY, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan. Lima Provinsi telah mendapatkan persetujuan teknis tim terpadu yang diketuai LIPI, yaitu provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo. Sembilan provinsi lainnya, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat, baru dalam proses persetujuan Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 22
tim teknis Kementerian Kehutanan dan Kementerian PU. Sedangkan 14 provinsi lainnya, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, DKI Jakarta, Bangka-Belitung, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, serta Papua masih dalam tahap yang sangat awal dalam perancangan tata ruangnya. Belum selesainya perda-perda tentang tata ruang, jelas merupakan cerminan dari belum selesainya aturan-aturan di atasnya. Mengingat amanat UUPR dalam Pasal 78 yang menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah yang diamanatkan harus diselesaikan paling lambat 2 tahun, Perpres harus diselesaikan dalam 5 tahun, Peraturan Menteri harus diselesaikan dalam 3 tahun, Perda tentang RTRW Propinsi harus diselesaikan dalam 2 tahun, dan Perda tentang RTRW Kabupaten/Kota harus diselesaikan dalam 3 tahun sejak UUPR diberlakukan, maka masih banyak hutang pemerintah yang belum terpenuhi. Fakta bahwa baru ada 2 (dua) PP yang dibentuk dari 6 (enam) PP yang ditargetkan, meneguhkan bahwa UUPR tidak implementatif. Belum terbitnya Peraturan Pemerintah jelas menyebabkan efek domino pada aturan-aturan di bawahnya. Tidak adanya pedoman penyusunan dan pembentukkan aturan tata ruang terang akan memicu kesimpangsiuran, khususnya bagi peraturan daerah. Walaupun peraturan daerah yang terbit sebelum adanya PP yang bersangkutan tetap dianggap berlaku asalkan formil pembentukkannya tetap terpenuhi dan substansi aturan tidak bertentangan dengan aturan di atasnya. Namun itikad baik daerah akan menjadi bumerang bagi pemerintah daerah jika ternyata peraturan yang diterbitkan ternyata bertentangan dengan peraturan pusat (PP, Perpres, dan Permen) yang diterbitkan kemudian. Mau tidak mau, daerah harus mengulang kembali pembuatan perda. Contoh potret pemborosan birokrasi.
Layaknya anggota keluarga, disharmonisasi juga terjadi pada hub antara UUPR dengan UU lainnya. Fakta ini terjadi antara langsung dan tidak langsung. Berikut adalah beberapa permasalahan yang terjadi dalam konteks baik potensi maupun konflik antara UUPR dengan UU lainnya: 1. Koordinasi Menteri.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 23
Pengaturan sektoral sering memberikan kewenangan pengaturan secara spesifik kepada menteri yang bersangkutan. Hal ini bisa kita temukan pada UU Kehutanan, Minerba, Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, dan UU lainnya. Ketika kewenangan ini dibenturkan pada UUPR, sebenarnya sudah ada pengaturan pada Pasal 9 yang menerangkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh menteri. Namun hal ini belum menjamin terlaksanyan penataan ruang yang komprehensif dan terarah. Sentimen dan kepentingan sektoral sering menjadi hambatan dalam melakukan koordinasi. 2. Perebutan Kewenangan Pengaturan. Pengaturan terhadap hal-hal tertentu membutuhkan kejelasan wewenang. Kejelasan yang dapat memastikan bahwa suatu bidang diatur oleh suatu UU. Tapi dalam perjalanannya, UU memiliki peran ganda dengan UU lainnya. Hal ini memicu multi tafsir. Tentu tidak akan bermasalah jika ada penerapan lex specialis derogat legi generalis. Seperti halnya UU 32 tahun 2004 yang menempatkan dirinya sebagai kiblat dalam otonomi daerah. Tapi dalam UUPR tidak demikian. Sebagai contoh, UUPR memiliki kesamaan wilayah pengaturan dengan UU No 27 Tahun 2007, secara spesifik dalam hal “pantai”. Hal ini memicu pertanyaan tentang menjadi kewenangan siapakah masalah tersebut? UUPR atau UU No 27 Tahun 2007? 3. Tidak sesuainya pengaturan nasional dengan RTR daerah. Pengaturan nasional merupakan sebuah standar acuan bagi daerah di bawahnya. Namun pada faktanya, seringkali pengaturan nasional tersebut tidak sesuai dengan kearifan lokal daerah yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH). Berdasarkan Pasal 29 UUPR, RTH pada wilayah kota adalah 30 % dari wilayah kota dan RTH Publiknya paling sedikit 20 % dari wilayah kota tersebut. Walaupun memiliki tujuan yang mulia, tapi hal ini akan cukup sulit diterapkan bagi daerah-daerah padat seperti Jakarta. Hal serupa juga menimpa pengaturan mengenai kawasan hutan. Pasal 17 UUPR dirasa tidak melihat fakta di lapangan bahwa banyak kawasan hutan telah beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, niaga, perkantoran, dan lainnya. Tentunya diperlukan jalan keluar yang solutif dan apliklatif bagi kota tersebut untuk memenuhi hasrat UUPR. Tidak hanya sekedar mengatur dan menebarkan ancaman sanksi kosong.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 24
4. Posisi BKPRN yang tidak jelas. Melalui KepPres No 4 Tahun 2009 tentang BKPRN, pemerintah memaksudkan adanya suatu lembaga sentral dalam masalah penataan ruang. Lembaga ini memegang peran koordinasi terkait fungsi pengaturan, pelaksanaan, dan pengawasan tata ruang. Namun, pada pelaksanaannya peran ini mungkin perlu dipertegas lagi karena sering justru dominasi kementerian sektoral sangat berpengaruh dalam penentuan penataan ruang. Sebagai contoh, posisi BKPRN dalam Tata Cara Konsultasi Dalam Rangka Pemberian Persetujuan Substansi Kehutanan Atas Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah yang hanya bersifat ad-hoc, memberikan kecenderungan fakta di lapangan bahwa daerah dalam hal konsultasi persetujuan teknis cenderung tidak melakukan konsultasi ke BKPRN tetapi langsung ke kementerian terkait. Secara substansi, UUPR bisa dikatakan tidak implementatif karena beberapa hal. Namun sumber utama keloyoan UU ini karena belum diterbitkannya peraturan pelaksana UU. Jika dilihat secara sektoral, UUPR sebenarnya saling bersinergis dengan masing-masing sektoral. Poin utama yang menyebabkan UUPR bertentangan dengan UU sektoral lainnya adalah belum terdeteksinya potensi dari peraturan pelaksana turunan UUPR jika dihadapkan dengan UU sektoral lainnya. Selain belum diterbitkannya peraturan pelaksana, hal yang menjadi perhatian adalah sanksi hukum yang tidak menjerat pelaku pelanggaran penataan ruang. Ketentuan sanksi administratif, pidana, dan perdata dalam UUPR menyisakan banyak tanda tanya atas tidakjelasnya pengertian dan maksud di sanksi hukum tersebut. Belum lagi ditambah pelaksanaan sanksi yang hanya menjadi ancaman kosong. Semoga hal ini tidak mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menyukseskan UUPR.
5.2.2. Pendidikan Gambaran Umum Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dirumuskan untuk memenuhi amanat UUD 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan pendidikan, Undang-Undang ini diharapkan dapat mewujudkan sistim pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 25
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-Undang Sisdiknas sebagai sebuah Undang-Undang juga memiliki amanah aturan pelaksana. Tidak kurang dari 25 substansi aturan tertera dengan tegas harus diatur dengan Peraturan Pemerintah, 2 (dua) pokok materi harus diatur dengan Peraturan Presiden, 8 (delapan) (pasal 22 ayat 2; pasal 23; pasal 24; materi yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, dan 4 (empat) pokok materi yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Substansi aturan-aturan tersebut adalah: Peraturan Pemerintah
Pasal 12 ayat (4): Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 17 ayat (2): Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 18 ayat (4): Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 20 ayat (4): Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 21 ayat (7):Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 24 ayat (4): Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 25 ayat (3): Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 26 ayat (7): Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 26
Pasal 27 ayat (3): Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 28 ayat (6): Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 29 ayat (4): Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 30 ayat (5): Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 31 ayat (4): Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 32 ayat (3): Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 34 ayat (4): Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 35 ayat (4): Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 36 ayat (4): Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 37 ayat (3): Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41 ayat (4): Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 42 ayat (3): Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 27
Pasal 43 ayat (3): Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 45 ayat (2): Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 46 ayat (3): Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 47 ayat (3): Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 48 ayat (2): Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut tentang PP
Pasal 78 ayat (1): Peraturan pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
Pasal 78 ayat (4): Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disesuaikan paling lambat dalam waktu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan;
Undang-Undang
Pasal 39 ayat (4): Ketentuan mengenai guru pada ayat (3) diatur dengan undangundang tersendiri. Dipenuhi dengan adanya UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen
Evaluasi UU Sisdiknas Kesesuaian dengan Aturan yang Lebih Tinggi (UUD 1945) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dirumuskan untuk memenuhi amanat UUD 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Kesesuaian dengan UU 32/2004
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 28
Melihat keterkaitan UU 20/2003 dengan UU 32/2004 harus melihat pada pembagian urusan bidang pendidikan antara Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 50 UU Nomor 20 Tahun 2003 diatur beberapa hal mengenai pembagian urusan yang terdiri atas:
Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri
Pemerintah menentukan kebijakan dan standar nasional pendidikan
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional
Pemerintah
daerah
provinsi
melakukan
koordinasi
atas
penyelenggaraan
pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas lintas kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah
Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal
Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya Dalam pasal tersebut sebenarnya pengaturannya hanya dikategorikan menjadi 3 hal
yaitu:
penetapan kebijakan strategis oleh Pusat
fungsi koordinasi lintas kabupaten/kota oleh provinsi, dan
operasionalisasi dititikberatkan pada kabupaten/kota Sedangkan hal-hal detail/khusus idealnya diharapkan bisa diatur melalui PP sektor
pendidikan dan PP Nomor 38 /2007 yang harus sinkron satu sama lainnya. Pada kenyataanya dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 khususnya pada matriks pemetaan pembagian urusan di bidang pendidikan teridentifikasi beberapa kategori permasalahan diantaranya sebagai berikut: Ketidakseimbangan Pendistribusian Kewenangan Kabupaten/kota dalam hal ini memegang proporsi beban urusan yang lebih besar dibandingkan provinsi. Beban urusan dalam hal ini mencakup pengelolaan pendidikan Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 29
reguler dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, sekolah dasar internasional, sekolah berbasis keunggulan lokal, serta non formal yang ditangani seluruhnya oleh kabupaten/kota. Kewenangan kabupaten/kota ini meliputi sisi perencanaan kebutuhan tenaga pendidik, pengelolaannya, pengangkatan dan penempatan
pegawai,
fasilitasi
penjaminan
mutu,
pembinaan,
pemberian
izin/pencabutan izin, supervisi penjaminan mutu, dan evaluasi capaian standar nasional pendidikan Inkonsistensi dalam Pembagian Urusan Inkonsistensi terjadi pada pembagian urusan antar tingkat pemerintahan yang didasarkan pada jenjang pendidikan antara jenjang pendidikan reguler dengan taraf internasional Ketidakjelasan Pembatasan Kewenangan Hal ini terlihat dalam beberapa nomenklatur urusan yang tidak memiliki perbedaan antar satu tingkat pemerintahan dengan yang lain. Berikut ini contoh urusan pendidikan yang dalam pembagiannya tidak ditemukan batasan yang jelas mana yang menjadi urusan Pusat, Provinsi, dan kabupaten/kota.
Tabel 5.1. Contoh Ketidakjelasan Pembatasan Kewenangan Pusat
Provinsi
Kab/Kota
1. Fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu 2. Dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi 3. Sosialisasi Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah 4. Pemantauan satuan pendidikan bertaraf internasional 5. Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan 6. Supervisi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional 7. Evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 30
5.2.3. Kesehatan Gambaran Umum Undang-Undang Kesehatan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dirumuskan untuk memenuhi amanat UUD 1945 dan Pancasila dimana dinyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan. Secara garis besar, Undang-Undang ini mengatur tentang: hak dan kewajiban warga negara Indonesia atas kesehatan; tanggung jawab pemerintah atas penyediaan layanan kesehatan; sumber daya di bidang kesehatan; upaya kesehatan; pembinaan pengawasan; dan sanksi. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, UU ini diharapkan dapat mendorong pembangunan kesehatan yang dapat meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Pasal 3). Lingkup pengaturan Undang-Undang ini diantaranya: (Fovilia, Health Info, Februari 2010)
Kesehatan adalah Investasi Azas pembangunan kesehatan adalah perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender, dan nondiskriminasi dan norma-norma agama. Sedangkan tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
Hak dan Kewajiban Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Juga memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan dan mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Juga berkewajiban menghormati
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 31
hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat baik fisik, biologi, maupun sosial.
Tanggungjawab Pemerintah Pemerintah bertanggungjawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat
untuk
memperoleh
derajat
kesehatan
yang
setinggi-tingginya.
Bertanggungjawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perseorangan.
Dilarang Menolak Pasien Fasilitas pelayanan kesehatan terdiri atas pelayanan kesehatan perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat.fasilitas pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan tingkat pertama, pelayanan kesehatan tingkat kedua, dan pelayanan kesehatan tingkat ketiga. Fasilitas pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta. Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Harga Obat Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial. Dalam menjamin ketersediaan obat dalam keadaan darurat, pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat. Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan masyarakat akan perbekalan kesehatan terpenuhi. Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 32
esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga dan gaktor yang berkaitan dengan pemerataan Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat. Daftar dan jenis tersebut ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap dua tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi. Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh pemerintah.
Perlindungan Pasien Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Hak menerima atau menolak tidak berlaku pada penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke masyarakat yang lebih luas. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara / petugas kesehatan.
Pelayanan Kesehatan Tradisional Pelayanan kesehatan tradisional meliputi kesehatan tradisional yang menggunakan ketrampilan dan yang menggunakan ramuan. Pelayanan kesehatan tradisional dibina dan diawasi oleh pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma-norma agama. Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang. Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional
dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan
perlindungan masyarakat..
Pencegahan Penyakit Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan
oleh
pemerintah,
pemerintah
daerah
dan/atau
masyarakat
untuk
mengoptimalkan kesehatan dan menghindari atau mengurangi resiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit. Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 33
Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi meliputi saat sebelum hamil, sudah hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan; pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; kesehatan sistem repsoduksi. Setiap orang dilarang melakukan aborsi. Larangan aborsi dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Tindakan dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
Pelayanan Darah Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidka untuk tujuan komersial.darah diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi kriteria seleksi pendonor dengan mengutamakan kesehatan pendonor. Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela sebelum digunakan harus dilakukan pemeriksaan laboratorium guna mencegah penularan penyakit. Penyelenggaraan donor darah dilakukan oleh Unit Transfusi Darah (UTD). UTD dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi sosial yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalang-merahan.
Pengamanan Zat Adiktif Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu an membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Zat adiktif meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persayaratan yang ditetapkan.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 34
Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama enam bulan, kecuali ada indiaksi medis. Selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakt harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus yaitu di tempat kerja dan tempat sarana umum. Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggungjawab sehingga memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal. Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggarakan perlindungan bayi dan anak dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuasi dengan kebutuhan.
Penyakit Menular Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggungjawab melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta dampak yang ditimbulkannya. Upaya itu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat, dan/atau meninggal dunia serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular. Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 35
Penyakit Tidak Menular Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan pendekatan surveilansa faktor resiko, registrasi penyakit, dan surveilans kematian. Kegiatan dimaksud bertujuan memperoleh informasi yang esensial serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya pengendalian penyakit tidak menular. Kegiatannya dilakukan melalui kerja sama lintas sektor dan dengan membentuk jejaring baik nasional maupun internasional.
Pembiayaan Kesehatan Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta dan sumber lain. Besar anggaran pemerintah dialokasikan minimal lima persen dari anggaran pendapatan belanja negara diluar gaji. Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal sepuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah diluar gaji. Besaran anggaran kesehatan diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarnya sekurang-kurangnya dua per tiga dari anggaran kesehatan dalam APBN dan APBD.
Badan Pertimbangan Untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pembangungan bidang kesehatan dibentuk Badan Pertimbangan Kesehatan Pusat dan Daerah. Badan Pertimbangan Kesehatan Pusat dinamakan Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional (BPKN) berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. Badan Pertimbangan Kesehatan Daerah (BPKD) berkedudukan di ibukota propinsi dan ibukota kabupaten/ kota.
Pidana Pimpinan unit pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak dua ratus juta rupiah.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 36
Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat mengakibatkan kecacatan dan/atau kematian dipidana dengan pidana paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak satu milyar rupiah. Setiap orang yang tanpa ijin melakukan praktek pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat, dan/atau kematian dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah. UU Kesehatan sebagai sebuah UU juga memiliki amanah aturan pelaksana. Tidak kurang dari 12 substansi aturan tertera dengan tegas harus diatur dengan Peraturan Pemerintah, 8 materi yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Substansi aturan-aturan tersebut adalah: Peraturan Pemerintah
Pasal 21 ayat (2): Ketentuan mengeni perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 25 ayat (3): Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan/dan atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26 ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 27 ayat (3): Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 35 ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 43 ayat (2): Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 44 ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji coba terhadap manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 45 ayat (2): Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 37
Pasal 51 ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 54 ayat (2): Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 59 ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 65 ayat (3): Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 68 ayat (2): Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 69 ayat (3): Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 74 ayat (3): Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Peraturan Menteri
Pasal 22 ayat (2): Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23 ayat (5): Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri
Pasal 24 ayat (3): Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri
Pasal 33 ayat (2): Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Pasal 39: Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Pasal 40: Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 38
Pasal 62 ayat (4): Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit diatur dengan Peraturan Menteri
Pasal 70 ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri
Evaluasi UU Kesehatan Kesesuaian dengan Aturan yang lebih tinggi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dirumuskan untuk memenuhi amanat UUD 1945 dan Pancasila dimana dinyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan Kesesuaian muatan dengan fungsi dan materi Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, UU ini diharapkan dapat mendorong pembangunan kesehatan yang dapat meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis Hal tersebut terwujud dalam pasal-pasal Undang-Undang ini, yang secara garis besar mengatur tentang: hak dan kewajiban warga negara Indonesia atas kesehatan; tanggung jawab pemerintah atas penyediaan layanan kesehatan; sumber daya di bidang kesehatan; upaya kesehatan; pembinaan pengawasan; dan sanksi. Keterkaitan dengan UU 32/2004 Melihat
keterkaitan
UU
36/2009
dengan
UU
32/2004
dilakukan
dengan
membandingkan urusan yang diatur dalam UU 32/2004 dengan urusan yang diatur dalam bidang kesehatan yang diatur dalam aturan turunan dari UU 36/2009. Dari hasil kajian tentang Pembagian Urusan yang ada, terdapat beberapa hal yang masih memerlukan penyesuaian dan kejelasan dari bentuk urusan yang akan dijalankan oleh masing-masing tingkatan (Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota).
Dalam aspek Pengelolaan Sub Bidang Upaya Kesehatan, Sub-Sub Bidang Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Masyarakat, disitu dijelaskan mengenai pembagian urusan di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Yang perlu mendapatkan kejelasan adalah bentuk pelayanan kesehatan rujukan sekunder dan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 39
tersier (provinsi) dengan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sekunder (kab/kota). Pengistilahan ini perlu mendapatkan penjelasan.
Untuk aspek Pelaksanaan (Penyelenggaraan) Sub Bidang Upaya Kesehatan, SubSub Bidang Lingkungan Sehat, urusan yang diberikan adalah Penyehatan Lingkungan yang mana kewenangan urusan ini diberikan kepada Kab/kota. Melihat pada urgensi kegiatan yaitu Lingkungan Sehat maka hal ini sebenarnya kurang tepat jika kewenangan hanya dilimpahkan menjadi urusan Kab/Kota semata. Urusan ini seharusnya mendapat dukungan dari Pusat dan Provinsi sebagai penguatan untuk mendorong agar penyehatan lingkungan benar-benar dapat diwujudkan. Penguatan seperti ini bisa diwujudkan dalam bentuk gerakan sosial yang tingkatannya disesuaikan berdasarkan skala tingkat kewenangannya. Begitu juga untuk aspek Pelaksanaan (Perbaikan) Sub Bidang Upaya Kesehatan
dengan Sub-Sub Bidang Perbaikan gizi masyarakat, dengan memberikan kewenangan kepada Kab/Kota saja untuk peningkatan gizi keluarga dan masyarakat akan dirasa sangat memberatkan target pencapaiannya. Adanya inisiatif dan upaya dorongan dari Pusat dan Provinsi akan mempercepat perbaikan dan target peningkatan gizi keluarga dan masyarakat. Sehingga jargon Indonesia Sehat di Indonesia akan mudah terwujud.
Pada aspek Pengelolaan (Registrasi, Akreditasi, dan Sertifikasi) Sub Bidang Upaya Kesehatan, Sub-Sub Bidang Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Masyarakat. Urusan yang diberikan kepada Pusat, Provinsi dan Kab/Kota seragam yaitu sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan. Pembagian urusan ini jelas membagi kepada tiap komponen tingkatan namun tidak secara spesifik menggambarkan mana urusan Pusat, provinsi dan Kab/kota sehingga apabila tidak dilakukan pengkhususan atau pengklasifikasian secara jelas,dimungkinkan akan terjadi tumpang tindih pelaksanaan urusan.
Aspek Pengelolaan (registrasi) dan Aspek Pengawasan dan Monitoring (Pengawasan) Sub Bidang Obat dan Perbekalan Makanan, Sub-Sub Bidang Ketersediaan, Pemerataan, Mutu Obat dan Keterjangkauan Harga Obat Serta Perbekalan Kesehatan memperlihatkan tidak adanya keterkaitan dengan urusan kewenangan yang diberikan karena yang menjadi fokus kegiatan adalah obat, mutu obat dan perbekalan kesehatan sedangkan kewenangan urusan yang diberikan adalah makanan dan minuman produksi rumah tangga di tingkat Kab/Kota sehingga perlu mendefinisikan kembali bentuk
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 40
urusan yang diberikan dengan memperhatikan fokus kegiatan baik pada Sub Bidang maupun Sub-Sub Bidangnya. Memperhatikan beberapa poin diatas, masih ada hal-hal dari pembagian urusan yang diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007 terkait Bidang Kesehatan yang perlu dilakukan penajaman dan melihat kembali konsistensi keterkaitan antara aspek, sub bidang serta subsub bidangnya. Ini perlu ditegaskan karena pembagian urusan tersebut akan menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan pembangunan bidang kesehatan di Indonesia dan dengan adanya pembagian urusan ini secara tidak langsung sudah membangun mesin kerja yang dinamis yang terkait satu sama lain sebagai sebuah sistem. Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam pembagian urusan kewenangan ini adalah pentingnya untuk memperhitungkan kompetensi masing-masing tingkat pemerintahan yang secara umum bersifat berbanding lurus (semakin rendah tingkat pemerintahan, semakin terbatas kapasitas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan), dengan demikian sudah jelas bahwa dalam pembagian urusan ini Pemerintah Pusat akan lebih berkonsentrasi pada urusan strategis yang lingkupnya nasional sementara Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kab/Kota) akan lebih banyak melakukan kegiatan yang sifatnya operasional dengan sedikit aktivitas strategis (Lele, 2009).
5.3.
Evaluasi Efektivitas Kebijakan Otonomi Daerah Untuk dapat mengevaluasi UU No.32 Tahun 2004 diperlukan beberapa indikator,
antara lain: 1)
Angka Kemiskinan Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia menupakan salah satu dari negara yang memiliki banyak pendududuk miskin atau angka kemiskinan yang tinggi, terbukti dengan meningkatnya jumlah gelandangan, jumlah pengemis dan banyaknya orang yang tidak mempunyai tempat tinggal yang layak. Dengan adanya Otda yang bertujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah daerah lebih dapat langsung menyentuh warganya, jika dibandingkan dengan pemerintah pusat, ternyata belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menghapuskan kemiskinan yang menjadi permasalahan klasik.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 41
2)
Peningkatan Kualitas SDM Untuk dapat memajukan sutu negara dibutuhkan orang-orang yang mempunyai kompetensi, dalam artian dibutuhkan Sumber Daya Manusia yang baik
3)
Pemenuhan hak-hak dasar, seperti Pendidikan dan Kesehatan dll,
yang juga
terkait dengan Peningkatan/Pengembangan Kualitas SDM Banyak sekali hak-hak masyarakat yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah dalam hal pelaksanaan Otonomi Daerah, pemerintah daerah sebagai tangan kanan pemerintah pusat juga belum dapat mmemberikan hak-hak masyarakat. Dapat diketahui bersama bahwa banyak sekali anak-anak yang putus sekolah bahkan sama sekali tidak dapat bersekolah karena mahalnya biaya pendidikan, meskipun ada satu, dua daearh yang telah mencanangkan sekolah secara gratis. Setali tiga uang dengan pemenuan pendidikan, pemenuan atas pelayanan kesehatan juga belum dapat terwujud, masih banyak masyarakat yang mendapatkan diskriminasi atas pelayanan kesehatan, terbukti dengan masyarakat yang kurang mampu, kurang mendapatkan pelayanan yang baik dibandingkan dengan masyarakat yang mampu secara ekonomi. Selain itu kurangnya kegiatan peningkatan sumber daya manusia menyebabkan adanya perbedaan yang mencolok antara kualitas masyarakat di pusat dan daerah. 4)
Lapangan Kerja dan Angka Pengangguran Angka pengangguran yang cukup tinggi menjadi masalah yang sangat serius, dan belum terdapat jalan keluara atas masalah ini. Tidak dapat dielakkan lagi jumlah penduduk yang semakin meningkat tidak di imbangi dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia menyebabakan angka pengangguran yang tinggi, bahwa lulusan sarjana pun sulit mendapatkan pekerjaan. Salah satu tujuan yang hendak di capai dalam Otonomi daerah dengan usaha pemerintah daerah membuka lapangan pekerjaan di daerah dan memanfaatkan masyarakatnya guna diserap sebagai tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi angka pengangguran nasional, ternyata belum dapat terlaksana dengan baik esuai harapan.
5)
Pengembangan Infrastruktur, minimal seperti Jalan, Penerangan dan Air Bersih Pengembangan infrastruktur berupa jalan memang sudah lumayan bagus, kini masyarakat pedesaan dimudahkan dalam hal transportasi. Namun pembangunan tersebut terkadang tidak disertai dengan upaya perawatan. Dalam hal penerangan,
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 42
pemerintah telah membuat program listrik masuk desa, yang hingga kini sudah bisa dirasakan manfaatnya. Namun hal tersebut ternyata belum merata, karena pernah ditayangkan di televisi, suatu daerah kreatif membuat pembangkit tenaga listrik menggunakan tenaga air terjun lantaran jaringan listrik tak menyentuh wilayahnya. Nasib air bersih pun hanya sebatas janji, hal ini terlihat setiap musim kemarau tiba, masyarakat terutama didaerah terpencil harus ”berjibaku” berjalan berkilo – kilo guna mendapatkan air bersih. 6)
Pertumbuhan dan Pemberdayaan Ekonomi, terkait dengan Peluang Investasi, Lapangan Kerja dan Angka Pengangguran. Dalam hal pemberdayaan ekonomi terkait dengan peluang investasi, lapangan kerja dan angka pengangguran, nampaknya masih menjadi ”PR” pemerintah, bagaimana tidak, pertumbuhan ekonomi yang kian sulit juga berdampak bagi pemerintahan di daerah, upaya penciptaan lapangan kerja juga masih belum terealisasi akibatnya jumlah pengangguran kian bertambah.
7)
Kualitas Pengelolaan Pemerintahan dilihat dari Prinsi-prinsip Good Governance Kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang luas dekat dengan pentingnya kebijakan dalam membuat keputusan, hal-hal apa saja yang perlu diatur secara khusus dalam sebuah Perda, dengan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan Negara yang baik yang nantinya dapat membangun Good Governance. Selain menggunakan indikator-indikator di atas, efektivitas UU 32 Tahun 2004 dapat dilihat dari pemenuhannya atas asas- asas pemerintahan yang baik, yakni:
1)
Asas kepastian hukum Asas kepastian hukum di sini dapat di artikan bahwa asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan.
2)
Asas tertib penyelenggara Negara Yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 43
3)
Asas kepentingan umum Yaitu asas mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif
4)
Asas keterbukaan Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasiyang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas asas pribai, golongan, dan rahasia negara.
5)
Asas proporsionalitas Yaitu asas yang mengutamakan anatara hak dan kewajiban penyelenggara negara
6)
Asas profesionalitas Yaitu asas yang mengutamakan keahlianyang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7)
Asas akuntabilitas Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat di pertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
8)
Asas efisiensi, dan Asas efektivitas.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
V - 44
BAB
6
ANALISA HASIL SURVEI (PENYEBARAN ANGKET) DAN PEMBAHASAN
Sesuai sumber data primer dari jawaban responden riil, didukung dengan tatap muka (depth interview) untuk menghindari perbedaan persepsi atau ambigu (bias) dari sisi responden terhadap isi kuesioner, akhirnya dari kuesioner yang terkumpul dapat diuraikan hasil analisa survey pemetaan untuk 31 sektor sebagai berikut :
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Pendidikan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden pada no 1 dan 3 untuk bidang pendidikan, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan UN dan kurikulum berbasis KBK dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini, dibandingkan ujian sertifikasi guru/tenaga pengajar pada no 2.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 1
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Kesehatan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang kesehatan, maka dapat disimpulkan bahwa pernyataan program penurunan angka kematian bayi dan kesakitan, ibu melahirkan serta pelayanan kesehatan pada sektor pelayanan public seperti posyandu, rumah sakit, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini pada no 1 hingga 3, dibandingkan pernyataan pada no 4 mengenai tersedianya tenaga medis yang terampil yang merata di seluruh wilayah.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 2
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Pekerjaan Umum
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang pekerjaan umum, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai mulai dari peningkatan pemanfaatan fasilitas sosial penyandang cacat, trotoar, jembatan, pemberhentian kendaraan dan penumpang yang memadai, serta fasilitas pengairan, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 4.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 3
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Perumahan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang perumahan, maka dapat disimpulkan bahwa pernyataan no 1 dan 2
pada kuesioner
mengenai dukungan pelaksanaan GNPRS (Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah), dan terciptanya keterpaduan prasarana dan keserasian kawasan perumahan dan permukiman, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini, dibandingkan pernyataan no 3 dan 4 mengenai terciptanya kelembagaan yang bertanggungjawab dalam pengembangan kawasan perumahan dan pendayagunaan tanah untuk perumahan serta kepastian hukumnya.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 4
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Penataan Ruang
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang penataan ruang, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai penataan ruang mulai dari meningkatnya kesadaran dan peran positif masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, tersosialisasinya rumusan dan keterlibatan masyarakat, peran positif dalam penataan ruang dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Perencanaan Pembangunan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 5
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang perencanaan pembangunan, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai perencanaan pembangunan mulai dari terciptanya arah pedoman untuk prioritas pembangunan, koordinasi lintas sektoral dan informasi yang akurat di Pusat dan Daerah mengenai penyelenggaraan pembangunan dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Perhubungan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang perhubungan,
maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner
mengenai perhubungan baik tersedianya pelayanan jasa transportasi, aksesibilitas masyarakat terhadap jasa perhubungan dan penggunaan dana pemerintah yang tepat sasaran dan tepat guna untuk operasional, pemeliharaan, rehabilitasi maupun investasi baik di Pusat dan Daerah, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 6
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Lingkungan Hidup
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang lingkungan hidup, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai lingkungan hidup baik terciptanya budaya dan gaya hidup bersih, terkendalinya kerusakan dan pencemaran lingkungan, terlaksananya konservasi dan diversifikasi energi serta kebijakan kependudukan untuk menahan laju pertumbuhan penduduk, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 4.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 7
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Pertanahan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang pertanahan, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai pertanahan baik keberhasilan penataan kembali segala perundang-undangan dan peraturan bidang agraria, penataan kembali penguasaan, kepemilikan, terselesaikannya konflik agraria dan pengelolaan tanah, serta tersedianya pembiayaan bagi program pembaruan agraria dan penyelesaikan konflik-konflik agraria maupun dalam pengelolaan sumberdaya alam, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 4.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 8
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Kependudukan dan Catatan Sipil
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang catatan sipil, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai catatan sipil baik terjaminnya pelayanan publik sesuai kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat, pemberian pelayanan publik yang mengutamakan kepentingan umum, dan terciptanya keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik dengan non diskriminasi sesuai peraturan perundang-undangan dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 9
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,
baik terjaminnya dalam hal meningkatnya kampanye anti kekerasan terhadap
perempuan dan anak, meningkatkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik dan jabatan publik, serta memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan dalam hal gender dan anak dalam perencanaan, pelaksanaan, serta peningkatan partisipasi masyarakat, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 10
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang keluarga berencana dan keluarga sejahtera,
maka dapat disimpulkan bahwa seluruh
pernyataan pada kuesioner mengenai bidang tersebut, baik menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk, penggunaan kontrasepsi yang efektif dan efisien, serta meningkatnya partisipasi keluarga dalam tumbuh kembang anak dan kesehatan reproduksi, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 11
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Sosial
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang sosial,
maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai
bidang tersebut, baik meningkatnya kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan pada masyarakat miskin, adanya rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dalam penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar, serta akses pelatihan, modal usaha dan pemasaran hasil usaha, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 12
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai bidang tersebut,
baik
terlaksananya pemberdayaan dan
pendayagunaan tenaga kerja secara optimal tanpa diskriminasi dalam hal kesempatan kerja, mengedepankan tenaga kerja lokal yang terampil dan terdidik, serta tersusunnya perencanaan tenaga kerja yang sinergis, hingga hubungan industrial yang baik dengan adanya jaminan sosial tenaga kerja, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 4.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 13
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah,
maka dapat disimpulkan bahwa seluruh
pernyataan pada kuesioner mengenai bidang tersebut, baik meningkatkan produktivitas dan daya saing KUMKM, formalisasi usaha mikro, kecil dan menengah, meningkatnya akses KUMKM pada berbagai sumberdaya yang produktif, serta meningkatnya jumlah KUMKM yang berbasis IPTEK didukung sistem pendataan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan perkembangan dan pemberdayaan KUMKM, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 4.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 14
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Penanaman Modal
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang penanaman modal, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai bidang tersebut, baik tercapainya perizinan penanaman modal di daerah yang kondusif, hubungan kerja yang jelas antara instansi yang menerbitkan izin / IMB, serta meningkatkan kualitas pelayanan dalam perizinan penanaman modal, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 15
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang kebudayaan dan pariwisata, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada kuesioner mengenai bidang tersebut, baik terlaksananya penetapan kawasan strategis pariwisata dengan memperhatikan aspek persatuan dan kesatuan bangsa, budaya, sosial, dan agama pada masyarakat setempat, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 16
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Kepemudaan dan Olahraga
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang kepemudaan dan olahraga,
maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pernyataan pada
kuesioner mengenai bidang tersebut, baik penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan pemuda, terjaminnya sumber pendanaan bagi program pengembangan kepemudaan, serta pengembangan potensi kader pemuda di masa yang akan datang,
dinyatakan
penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang kesatuan bangsa dan politik dalam negeri,
maka dapat disimpulkan bahwa seluruh
pernyataan pada kuesioner mengenai bidang tersebut, baik transparansi pijakan kebebasan arus informasi yang memadai, mekanisme pengaduan dan keluhan masyarakat, serta terciptanya mekanisme yang mengatur kewajiban untuk mepertanggungjawabkan pencapaian organisasinya, dengan melindungi kebebasan berkumpul, berserikat dan berpendapat, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
hingga 3. VI - 17
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Otonomi Daerah, Pemerintah Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah serta kepegawaian dan persandian,
terlihat bahwa pernyataan no 2 dan 3 tentang
suksesnya realisasi program pendidikan dan pelatihan yang terlihat dari kualitas SDM yang meningkat, serta terlaksananya kooordinasi yang baik antara pusat dan daerah, jauh dinilai lebih penting dibandingkan pernyataan no 1 tentang prinsip good governance.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 18
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang pemberdayaan masyarakat dan desa, baik terpenuhinya sarana komunikasi dan informasi, terbentuknya kelembagaan masyarakat, aspek teknologi dan modal serta komitmen pada seluruh stakeholder pada kepentingan pembelajaran dan mencari keuntungan bersama dalam bentuk pola horizontal, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 4.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 19
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Statistik
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang statistik, baik sudah terselenggaranya dengan baik sensus penduduk, dapat melakukan proyeksi penduduk lebih baik, masyarakat merasakan manfaat sensus penduduk, dan informasi yang didapatkan dari sensus dalam penentuan proyeksi penduduk dan indikator di bidang kependudukan, pendidikan dan kesehatan, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 4.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 20
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Kearsipan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang kearsipan, dimana pernyataan no 1 dan 2 yaitu tersedianya arsip sebagai tulang punggung manajemen
pemerintahan
dan
pembangunan
sebagai
bukti
kinerja
aparatur,
memberdayakan arsip sebagai bukti sah di pengadilan dinilai lebih penting dibandingkan dengan pernyataan no 3 menjadikan arsip sebagai akses seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dinyatakan
penting/signifikan dalam kajian ini.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 21
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Perpustakaan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang perpustakaan, dimana pernyataan no 3 dan 4 tentang berhasilnya proses pelestarian bahan pustaka berupa karya cetak dan hasil dari budaya bangsa, dan terselenggaranya layanan perpustakaan yang memadai dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, dibandingkan pernyataan no 1 dan 2 yaitu terbinanya proses pengembangan dan pendayagunaan semua jenis perpustakaan yang ada, dan terciptanya minat dan kebiasaan membaca masyarakat.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 22
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang KInfo
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang komunikasi dan informatika, baik adanya mekanisme pengimplementasian komunikasi dan informatika yang simpel yang bertanggungjawab, adanya mekanisme komunikasi dan informatika yang transparan, dan mekanisme komunikasi dan informatika yang cocok di seluruh masyarakat, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 23
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang ketahanan pangan, baik mengedepankan peran pembangunan ketahanan pangan atas dasar partisipasi masyarakat, memperjuangkan perdagangan internasional yang adil dan efektif memberi manfaat langsung kepada masyarakat, dan kebijakan fiskal untuk mendukung ketahanan pangan, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Kehutanan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang kehutanan, baik terciptanya peraturan daerah didasarkan pada kebutuhan masyarakat, mendorong masyarakat lokal untuk mematauhi peraturan kehutanan yang bijaksana, dan memberdayakan
pemerintah
daerah
untuk
pengawasan
kehutanan,
dinyatakan
penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 24
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Energi dan Sumberdaya Mineral
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang ESDM, baik mendukung kegiatan perekonomian nasional yang berkelanjutan, dengan melindungi konsumen energi yang kurang mampu, dengan terwujudnya pembangunan berkelanjutan di sektor energi dan sumberdaya mineral, melakukan penyediaan energi dan produk mineral yang cukup, efisien, dan terlaksananya restrukturisasi sektor energi dan sumberdaya mineral pada tatanan makro, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 25
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Kelautan dan Perikanan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang kelautan dan perikanan, baik pembangunan kelautan dan perikanan yang meningkatkan kesejahteraan nelayan, terciptanya penguatan kelembagaan nelayan di tingkat nasional, serta penataan struktur dan lingkungan usaha, praktek usaha dan perdagangan yang adil dan sehat, dinyatakan penting/signifikan dalam kajian ini mulai dari no 1 hingga 3.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 26
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Perdagangan
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang perdagangan, baik untuk pernyataan no 2 hingga 4 tentang kebijakan kesepakatan, koordinasi dan sosialisasi, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan, berkembangnya kegiatan pengembangan ekspor, baik nasional maupun internasional, serta pengawasan, pembinaan pasar lelang dan bursa efek dan komoditi, dibandingkan pernyataan no 1 yaitu adanya pedoman baku serta pembinaan dan pemberian izin.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 27
Gambar Hasil Analisa Statistik Kajian Pemetaan Bidang Perindustrian
Dari hasil analisa statistik terlihat bahwa nilai Standardized Loading Factor (SLF) dimana nilai SLF > 0.50 dianggap valid dan mewakili jawaban responden untuk bidang perindustrian, dimana pernyataan no 1 tentang tersedianya sumberdaya manusia yang siap dan
terampil
dalam
mengembangkan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
untuk
pengembangan industri nasional, dibandingkan dengan no 2 dan 3 mengenai dihasilkannya produk penelitian yang teruji dan siap pakai, serta kebijakan strategis dan konstektual yang berpengaruh pada pengembangan usaha dari mitra dengan memiliki tren perkembangan industri dan teknologi yang digunakan.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VI - 28
BAB
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7
7.1.
Kesimpulan Dari pembahasan bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni:
1) Terkait dengan pemetaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta kebijakan sektoral yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah Terdapat kurang lebih 87 Regulasi Sektoral yang mengatur 31 urusan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dalam rangka penerapan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Tumpang tindih dan masalah dalam penerapannya terjadi di hampir semua kebijakan. Paling tidak, kebijakan yang terkait dengan 29 bidang urusan terjadi tumpang tindih dan atau masalah dalam penerapannya. Mengacu pada konsep kebijakan publik dan perundang-undangan, beberapa faktor dapat menjadi penyebab terjadinya disharmoni dan permasalahan dalam penerapan kebijakan. Menurut, dalam praktik hukum di Indonesia, dijumpai penyebab timbulnya disharmoni itu, yakni:
Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Selain itu, jumlah peraturan yang semakin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenal semua peraturan tersebut. Dengan demikian pula, ketentuan yang mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua undang-undang yang berlaku niscaya tidak efektif
Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan
Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah. Kita kenal pelbagai juklak, yaitu petunjuk pelaksanaan yang malahan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang akan dilaksanakan.
Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung
Kebijakan-kebijakan instansi pemerintah pusat yang saling bertentangan
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VII - 1
Perbedaan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah
Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu
Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. (L.M. Lapian Ghandi)
Sedangkan dari sudut pandang kebijakan publik, penyebab beberapa kebijakan tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan disebabkan oleh lima faktor, yakni: (a) adanya keterbatasan dana yang mengakibatkan program gagal; (b) kesalahan administrasi yang dapat ditunjukkan dengan isi kebijakan, walaupun isi kebijakan sangat baik, tetapi jika administrasi tersebut buruk, maka implementasi dari kebijakan tersebut akan mengalami kesulitan; (c) kurang komprehensifnya pertimbangan kebijakan, karena hanya memperhatikan beberapa faktor tertentu; (d) kebijakan publik yang bertentangan dengan kebijakan yang lain; (e) adanya usaha untuk memecahkan masalah yang cukup besar dengan sumber yang lebih kecil daripada bobot masalah itu sendiri. 2) Terkait dengan evaluasi efektivitas kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta kebijakan sektoral Pelaksanaan otonomi daerah belumlah efektif. Otonomi daerah yang tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata baik di daerah perkotaan sampai pelosok tanah air dirasa belum menampakkan perubahan signifikan baik kualitas maupun kuantitas terhadap pelayanan publik. Masih banyak pihak yang mengeluh atas pelaksanaan otonomi daerah. Terlebih belum jelasnya pembagian kewenangan atas urusan pemerintahan, baik pusat, provinsi kabupaten/kota, kondisi ini ditambah dengan lemahnya supervisi dari pemerintah pusat Faktor – faktor yang mempengaruhi efektifitas kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah antara lain: a) Aspek politis Pembentukan hukum oleh lembaga yang berwenang, yang dibentuk oleh karir politik, melahirkan suatu kewajaran bahwa hukum yang dibentuk tidak sesuai dengan paradigma yang ada.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VII - 2
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan termasuk dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tidak lepas dari faktor politis, setiap kepentingan ikut berpengaruh didalamnya, begitupula dalam pelaksanaannya, sehingga berpengaruh pada evaluasi terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Faktor politis di sini termasuk pula pembuat undang – undang, undang itu sendiri, serta aparat penegak hukum. Tak dapat dielakkan, pada tahapan pembuatan undang – undang mungkin terjadi suatu intervensi pihak luar yang mempengaruhi pembuatan suatu kebijakan. Dalam undang – undang otonomi daerah sebenarnya sudah tercantum hal – hal mengenai otonomai daerah itu seperti apa, serta hak – hak yang diberikan kepada daerah, namun kenyataanya, hal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda, sehingga timbul masalah dalam pelaksanaan, yang menyebabkan otonomi daerah belum efektif. Pemerintah daerah sendiri sebagai pelaksana, harus memahami dengan jelas apa yang ada dalam undang – undang otonomi daerah. Pemberian otonomi daerah dilakukan dengan haharapan agar pemerintah di daerah mampu memberika kesejahteraan bagi daerahnya, dan bukan bertujuan “melegalkan” pemerintah daerah untuk membentuk semacam negara bagian yang lepas dari pemerintah pusat. b) Aspek yuridis Faktor yuridis sebagai dasar dalam pelasanaan kebijakan, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah diperlukan adanya sebuah Perda sebagai dasar hukum dilaksanakannya sebuah kebijakan di suatu daerah. Namun demikian dalam rumusan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 34 Tahun 2000 maupun sejumlah peraturan Menteri, memang tidak diketemukan
ketentuan
yang
mengatur
sanksi
apabila
Pemda
tidak
menyampaikan rancangan Perda tentang pajak dan retribusi kepada pemerintah. Akibatnya, Pemda
”ogah-ogahan” dan
terkesan ”membangkang”.
Ini
menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih belum mampu memaknai secara komprehensif dan holistik mengenai hak, wewenang serta kewajiban sebagai bagian dari pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Intinya bahwa, Undang – Undang no. 32 Tahun 2004, masih terdapat kelemahan – kelemahan yang perlu segera diperbaiki.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VII - 3
c) Aspek sosiologis Masyarakat melihat adanya ”noda” dalam pelaksanaan otonomi daerah, ini menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat belum siap menerima sebuah ”otonomi daerah”. Masyarakat belum sepenuhnya paham, apa itu otonomi, yang mereka ketahui hanyalah otonomi berarti kebebasan menjalankan pemerintahan di daerah. Bagi masyarakat,terutama di daerah, kebebasan seperti itu mereka anggap adalah kebebasan yang sebebas – bebasnya, padahal tidak seperti itu.
7.2.
Rekomendasi Berangkat dari kesimpulan di atas, dapat diberikan beberapa rekomendasi bagi
perbaikan kebijakan dan pelaksanaannya: 1) Dalam penyusunan suatu kebijakan hendaknya benar – benar memperhatikan asas – asas umum pemerintahan yang baik, karena ternyata dari hasil analisis tentang tumpang tindih kebijakan, sebagian besar menampakkan terjadi tumpang tindih antar kebijakan, dan juga permasalahan dalam penerapannya 2) Untuk menghindari terjadinya disharmoni kebijakan, perlu dilakukan harmonisasi kebijakan. Pada prinsipnya, harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan, kegunaan dan kejelasan hukum. 3) Terkait dengan kebijakan yang tumpang tindih dan bermasalah, perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan oleh pihak yang saat ini telah menjalankan tugas untuk itu, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu, perlu ada koordinasi antar kementerian dan lembaga pemerintah lain yang memilki tugas dan fungsi dalam perumusan, pengesahan, pelaksanaan, hingga evaluasi kebijakan. Misalnya, koordinasi reguler antara Kementerian Hukum dan HAM dan DPR, serta perwakilan dari masyarakat sipil.
Laporan Akhir Kajian Direktorat Otonomi Daerah, 2010
VII - 4
Daftar Pustaka Dye, Thomas R., 2002. Understanding Public Policy (tenth edition). New Jersey. Prentice Hall HR, Ridwan., 2010. Hukum Administrasi Negara. Jakarta. Rajawali Press Muljadim, Dr.H.M. Arief, S.H., M.Si., W.U., Prinsip-Prinsip Negara Kesatuan dan Desentralisasi dalam Negara Republik Indonesia. 2010. Jakrta. Prestasi Pustaka Nawawi, Prof. Dr. H. Ismail, MPA, M.Si, 2009. Public Policy: Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek. Surabaya. PMN Prof. Dr. Yuliandri, SH., M.H., 2010. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta, Rajawali Press Sembiring, Dr. Sentosa, S.H., M.H., 2009. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia: Pemerintarahan Daerah (Disertai dengan Peraturan yang Terkait). Surabaya. Nuansa Aulia Wijanto, Setyo Hari. 2008. Teori dan Tutorial Structural Equation Modelling (SEM). Graha Ilmu, Yogyakarta.