Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
RINGKASAN KAJIAN BIDANG KERJA SAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA PENYUSUNAN DRAF RPJMN TAHUN 2015-2019
DIREKTORAT KERJA SAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS TAHUN 2014
Abstrak “Kerja sama pembangunan internasional” adalah terminologi baru dalam kebijakan ekonomi internasional dan perdagangan bagi Indonesia khususnya sejak dibentuknya Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional di Bappenas pada tahun 2012. Makna kerja sama internasional sebelumnya didominasi oleh negara maju dengan pola pemberian bantuan ke negara berkembang atau dalam literatur ekonomi lebih dikenal sebagai Northern-led growth. Dua dekade terakhir mencatat bahwa pola ini mengalami perubahan mendasar dengan lebih artinya peran negara-negara berkembang dalam berbagai fora kerja sama internasional yang menggeser pola Northern-led growth menjadi multipolar-growth. Indonesia dengan beberapa peran, baik sebagai penerima bantuan sekaligus mitra pembangunan, maupun pemain aktif pada berbagai fora internasional baik regional maupun global harus beradaptasi dan menempatkan kebijakan kerja sama internasionalnya dengan baik dan tepat. Studi ini bertujuan untuk memetakan isu berupa tantangan yang dihadapi Indonesia dalam merumuskan kebijakan kerja sama pembangunan interasionalnya khususnya sejak periode RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) II. Metode yang digunakan dalam Kajian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Beberapa rekomendasi kebijakan studi ini meliputi penguatan sekaligus sinergi keterlibatan aktif dalam berbagai fora di tingkat global dan regional kerja sama selatan-selatan dan triangular, melaui pelaksanaan kerja sama yang dapat memberikan tangible benefit baik secara ekonomi, politk, maupun sosial budaya. Modalitas kerja sama lain yang dapat digunakan adalah melalui forum knowledge sharing sebagai kelanjutan dari Country Led Knowledge Hub (CLKH).
1
1.
Latar Belakang
Paradigma kerja sama antarbangsa telah mengalami perubahan mendasar sejak dua dekade terakhir. Hal tersebut ditandai dengan munculnya kekuatan baru dari negara-negara berkembang dalam pemberian bantuan internasional maupun kerja sama dalam berbagai fora global dan kerja sama kawasan. Salah satu bentuk praktis pemahaman dari perubahan paradigma ini adalah munculnya terminologi kerja sama pembangunan internasional bagi Indonesia dan berbagai bangsa di dunia. Frase kunci berupa “beyond aid” dan “development cooperation” menjadi konsep yang diikuti semua bangsa termasuk Indonesia. Perubahan paradigma ini menuntut para pemain baru tersebut termasuk Indonesia untuk beradaptasi dan mereposisi peran dan kontribusinya dalam berbagai level kerja sama internasional tersebut. Perkembangan kerja sama pembangunan internasional Indonesia telah memasuki babak baru dengan berakhirnya periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) II periode 2010-2014 dan memasuki periode RPJMN III periode 2015-2019. Dinamika baik kawasan maupun global dalam hal konstelasi kerja sama pembangunan internasional berpengaruh kuat terhadap perkembangan dan arah kebijakan kerja sama pembagunan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu dari bentuk dinamika global dan kawasan adalah mulai menguatnya pengakuan komunitas internasional atas peran negara-negara berkembang dalam diplomasi ekonomi internasional. Dalam berbagai literatur fenomena tersebut dikenal sebagai terbentuknya arsitektur baru kerja sama internasional khususnya di bidang pembangunan dari pola yang disebut sebagai Northern-led (pola negara maju) menjadi multipolar-led (pola campuran). Hadirnya periode atau babak baru tersebut sekaligus menuntut adanya review (peninjauan ulang) dan evaluasi untuk memperbaiki pelaksanaan kebijakan kerja sama pembangunan internasional yang selama ini telah berjalan. Berbagai living document yang memuat landasan hukum kerja sama pembangunan internasional di Indonesia memberikan ruang atas review (peninjauan ulang) dan evaluasi tersebut mengingat perkembangan dinamis konstelasi global yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan kerja sama pembangunan internasional maupun kesiapan dan perkembangan lokal pelaksanaannya.
2. Tujuan Studi ini dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk memberikan masukan konstruktif dalam perspektif review dan evaluasi atas pelaksanaan kerja sama pembangunan internasional di Indonesia dan sebagai kontributor rumusan isu strategis dan arah kebijakan bidang kerja sama pembangunan internasional. Studi ini berawal dari perspektif institusional kerja sama pembangunan internasional di Indonesia yang memotret capaian tujuan berdasarkan pengamatan terhadap subyek pelaksana kerja sama pembangunan internasional. Hal ini dilakukan mengingat institusionalisasi pelaksanaan kerja sama pembangunan 2
internasional di Indonesia termasuk baru dan berada di tahap awal perkembangannya. Adanya tuntutan peran yang serius dan di sisi lain kemajuan pelaksanaan kerja sama pembangunan internasional yang perlu terus ditingkatkan menjadi landasan urgensi studi evaluasi sekaligus perumusan arah kebijakannya. Untuk itu, secara spesifik studi ini bertujuan untuk: 1. Melakukan identifikasi perkembangan kerja sama pembangunan internasional di Indonesia periode 2009-2014; 2. Melakukan identifikasi isu strategis kebijakan di bidang kerja sama pembangunan internasional; 3. Merumuskan arah kebijakan bidang kerja sama pembangunan internasional. Adapun ruang lingkup dari sub bidang kerja sama pembangunan internasional yang dikaji dalam studi ini adalah: 1. Sub Bidang Kerja Sama Pembangunan Global dan Kawasan. 2. Sub Bidang Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST). 3. Knowledge Sharing Hub
3.
Metodologi
3.1
Kerangka Analisis
Topik tentang kerja sama pembangunan internasional sebagai sebuah paradigma baru dalam literatur kerja sama internasional. Martinussen dan Pedersen (2005) memperkenalkan prediksi atas perubahan pola baru atas kerja sama internasional dalam konteks pembangunan (aid) pada abad 21. Sebuah pola baru yang berasal dari evaluasi kritis atas hasil dari pola kerja sama aid dari negara maju ke ke negara berkembang selama satu abad sebelumnya, yaitu tanpa hasil yang efektif dan menggembirakan. Evaluasi kritis tersebut kemudian bermuara pada munculnya arah kebijakan baru baik dari donor dan penerima dalam membentuk kerja sama pembangunan antarbangsa. Dua argumen mendasar yang sering dikemukakan sebagai arah baru kerja sama pembangunan adalah tidak tercapainya tujuan-tujuan pembangunan seperti penurunan tingkat kemiskinan di negara berkembang sebagai hasil dari aid. Argumen berikutnya adalah diakui atau tidak, dari sisi motif, alasan negara maju dalam memberi bantuan bukanlah mencapai kemajuan pembangunan negara berkembang dan penurunan angka kemiskinan sedangkan di sisi perencanaan dan implementasi masih sangat sering dijumpai ketidakcocokan program dengan kebutuhan negara berkembang itu sendiri. Evolusi pemikiran terhadap kerja sama pembangunan kemudian tidak mengarah kepada bahwa aid harus dihapuskan sama sekali, namun belajar dari kesalahan dan pengalaman dan lebih lanjut mengerucut pada ide knowledge
3
sharing. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang cukup diperhitungkan potensi perannya di masa depan berada dalam arus perubahan tersebut dan secara natural terlibat secara aktif dalam transformasi pemikiran dan praktik kerja sama pembangunan internasional yang baru tersebut. Literatur mengenai studi yang terkatit dengan arah dan kebijakan kerja sama pembangunan dengan paradgima baru sebagaimana disebutkan di atas di lingkup Indonesia masih sangat terbatas. Muhibat et al. (2014) adalah salah satu literatur terkini yang mencoba memetakan implementasi kerja sama pembangunan internasional Indonesia dalam kerangka Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular (KSST). Studi ini dengan cukup komprehensif mengurai aspek kelembagaan KSST di Indonesia. Namun studi ini masih terbatas berfokus pada implementasi kerja sama pembangunan internasional dalam lingkup KSST. Bappenas (2014) memiliki pandangan yang sejalan dengan Martinussen dan Pedersen (2005) bahwa kerja sama pembangunan internasional dapat berdimensi multilateral dan bilateral. Dengan pemahaman ini, kerja sama pembangunan internasional dapat meliputi kerja sama di tingkat global, regional maupun KSST. Kebijakan dan praktik kerja sama internasional bangsa Indonesia secara mendasar termaktub pada pembukaan UUD 1945 yang jelas menyatakan bahwa arah kebijakan politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional. Kebijakan ini menitikberatkan pada solidaritas antar negera berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk serta meningkatakan kemandirian bangsa dan kerja sama untuk kesehjateraan rakyat. Secara historis, pada dua sampai tiga dekade setalah merdeka kebijakan ini kemudian diterjemahkan dalam bentuk keterlibatan aktif dalam fora internasional dan lebih spesifik mewakili negara berkembang. Beberapa keterlibatan aktif tersebut tercatat dalam berbagai fora penting seperti menjadi tuan rumah KAA pada 1955, pendiri Gerakan NonBlok pada 1961 dan pendiri ASEAN pada 1967. Dalam perkembangannya, dominasi pola kerja sama dalam spirit ini tenggelam dalam dominasi pola kerja sama yang dimotori oleh negara maju yang disebut sebagai Developmennt Assistance Committe (DAC)-OECD selama bertahun-tahun pada suatu pola yang disebut sebagai Northern-led growth, sampai tahun 2010. Tahun tersebut adalah saat bangsa-bangsa melakukan konferensi Busan sebagai lanjutan dari deklarasi Paris dan menyepakati paradigma baru dalam kerja sama pembangunan internasional. Dalam hal ini, Mawdsley (2012) menekankan pentingnya para pemain baru (emerging’ or ‘New’ donors) Non-DAC donors. Mawdsley mengkritik pendekatan tradisional dalam kerja sama pembangunan yang hanya menekankan pada bantuan (aid), dan memberikan sebuah bentuk kontribusi baru dari para pemain baru tersebut yang akan bertolak jauh dari sekedar bantuan. Berikut adalah kutipan pemikiran Mawdsley dalam bukunya “From Recipients to Donors: Emerging Powers” and the Changing Development Landscape:
4
“… the rising powers are increasingly important drivers of development theory and practice, leading to alternative conceptualizations of development cooperation or, as some experts describe it, to a “post-aid world”. This means that dichotomies like North/South or donor/recipient are becoming outdated and being questioned by diverse actors and processes that go well beyond aid ..” (Mawdsley, 2012). Dengan landscape baru kerja sama pembangunan internasional tersebut, peran dan kontribusi Indonesia dalam berbagai fora, kerja sama triangular dan kawasan seperti halnya negara-negara berkembang lainnya menjadi semakin strategis dan memiliki ruang atau legitimasi internasional yang semakin kuat. 3.2
Metode Pelaksana Kajian
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Hal ini didasarkan pada tujuan kajian untuk memetakan arah dan tantangan kerja sama pembangunan internasional Indonesia. Penelitian deskriptif menurut Zulganef (2008) adalah “penelitian yang bertujuan menggambarkan suatu kondisi atau fenomena tertentu, tidak memilah-milah atau mencari faktor-faktor atau variabel tertentu.” Adapun studi yang mencoba melihat dan memetakan faktorfaktor tertentu dalam tema kerja sama pembangunan internasional Indonesia diantaranya adalah Hastiadi dan Nasrudin (2013) dan Muhibat et al. (2014). “Riset yang bersifat paparan ini ditujukan untuk mendeskripsikan hal-hal yang ditanyakan dalam riset, seperti: siapa, yang mana, kapan, di mana dan mengapa” (Umar, 2002:40). Dengan definisi tersebut, tujuan dari kajian ini akan dapat dicapai dengan baik. Desain penelitian deskriptif ini umumnya dapat menggunakan metode studi kasus, tindak lanjut, analisis isi, kecenderungan atau korelasional (Umar, 2002). Untuk itu, dalam studi ini akan dipergunakan analisis isi dan studi kasus. Merujuk pada Hastiadi dan Nasrudin (2013) dan Muhibat et al. (2014) studi kasus tentang KSST dan implementasi kerja sama pembangunan internasional di tingkat kawasan adalah hal yang dianggap tepat dalam studi ini. 3.3 1.
2.
Data Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam kajian ini, yaitu: Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh peneliti. Dalam kajian ini data primer diperoleh melalui wawancara dan diskusi langsung dengan narasumber di beberapa institusi yang ditetapkan sebagai lingkup sampel yaitu: Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri dan pakar (Universitas). Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian orang lain maupun literatur. Studi kepustakaan dilakukan guna memperoleh data sekunder yang mendukung penelitian.
5
Teknik wawancara dan diskusi langsung dipergunakan dalam studi ini karena menurut Hasan (2002) paling tidak terdapat 3 hal yang menjadi kekuatan metode wawancara. Pertama, mampu mendeteksi kadar pengertian subjek terhadap pertanyaan yang diajukan. Jika responden tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan penjelasan. Kedua, bersifat fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing responden. Ketiga, menjadi satu-satunya hal yang dapat dilakukan disaat tehnik lain sudah tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini, dokumentasi literatur ilmiah tentang kerja sama internasional yang berasal dari sumber utama masih sangat terbatas, dan untuk itu teknik wawancara dan diskusi terarah menjadi pilihan metodologi yang tepat.
4.
Hasil Kajian Dan Analisis
4.1
Menggali kesempatan dalam forum kerja sama global dan Kawasan
Peran konstruktif dan kepemimpian Indonesia semakin diakui secara internasional. Saat ini, Indonesia merupakan kekuatan ekonomi yang semakin meningkat, demokrasi yang dinamis, negara yang diperhitungkan dalam Perhimpunan negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN), Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan anggota dari G20. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berkontribusi pada penurunan angka kemiskinan tahunan sebesar hampir 6 persen dalam lima tahun terakhir (SEADI, 2013). Bagi Indonesia keterlibatan ini merupakan sebuah wadah yang jika dioptimalisasi maka Indonesia dapat mencapai kepentingan-kepentingan nasionalnya. Namun Indonesia juga memahami posisi vital untuk mewakili negara-negara berkembang. Pertama, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang karena pertumbuhan ekonominya tercatat cukup tinggi di antara negara-negara berkembang lainnya dimasukkan dalam kategori emerging economy. Tentu saja bisa ditambahkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang di masa lalu pernah terpuruk oleh krisis ekonomi dan kini telah berhasil mengatasinya dengan relatif baik. Indonesia berupaya mengatasi tantangan dalam negeri dan pada saat yang sama memainkan peran penting di panggung pembangunan dunia. Selain menjadi anggota G20, Indonesia adalah ketua Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) tahun 2013, ketua Dana Global untuk Memerangi AIDS, Tuberkulosis,dan Malaria (GF), dan salah satu ketua panel tingkat tinggi untuk Agenda Pembangunan Pasca 2015. Negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia, yang merupakan donor dan penerima bantuan, memperlihatkan perspektif yang unik tentang pengalaman pembangunan, dan memainkan peran yang semakin penting dalam kampanye global untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium. Delapan Tujuan Pembangunan Milenium yaitu menurunkan kemiskinan ekstrim hingga separuhnya sampai dengan menghentikan penyebaran HIV/AIDS, penanganan berbagai permasalahan lingkungan, dan menyediakan pendidikan dasar untuk semua telah menjadi tonggak penting dalam upaya pembangunan
6
global dan nasional Indonesia. Kemitraan global dalam pembangunan semakin berfokus pada solidaritas dan kerja sama antar negara. Dengan semakin dekatnya tenggat waktu pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium yang akan berakhir pada tahun 2015, Indonesia turut membantu upaya internasional menentukan tonggak kemajuan melalui kepemimpinannya dalam proses penyusunan agenda pembangunan pasca 2015. Pada ketiga forum tersebut maupun forum internasional lainnya, Indonesia berhasil mengembangkan diri sebagai negara terkemuka dalam mengatasi tantangan pembangunan global yang mempengaruhi kemakmuran dalam negeri. Bahkan, Indonesia saat ini sudah mulai meningkatkan bantuan kepada negara lain. Selain itu, Indonesia ingin mencapai "daya saing ekonomi dari sumber daya alam terus meningkat, sumber daya manusia yang lebih baik, dan peningkatan kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi" pada tahun 2020 (Bappenas, 2007, hal. 33). Berkenaan dengan hal tersebut, tantangan terbesar bagi Indonesia adalah memanfaatkan keberadaannya di forum-forum global tersebut sebesar-besarnya untuk kepentingan bangsa. Pemerintah Republik Indonesia saat ini telah melakukan kerja sama pembangunan internasional, dimana kerja sama tersebut merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan pembangunan nasional. Pembangunan nasional Indonesia sampai dengan tahun 2025 telah direncanakan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang dibagi ke dalam empat periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yaitu RPJMN 2005-2009, RPJMN 2010-2014, RPJMN 20152019 dan RPJMN 2020-2025. Pilot Project dari program Knowledge Sharing Berikut ini adalah beberapa Pilot Project dari program Knowledge Sharing yang sudah ada di Indonesia: 1. 2. 3. 4. 5. 4.2
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Program Keluarga Harapan (PKH) Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) United Cities and Local Governments (UCLG)
Tantangan Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular
Peraturan Perundangan yang Menaungi KSST Perubahan arsitektur kerja sama pembangunan menghasilkan berbagai landasan dan regulasi internasional yang dinamis. Diantara landasan legal pelaksanaan KSST berdasarkan berbagai kesepakatan internasional dan menjadi faktor pendorong utama adalah ditandantanganinya Komitmen Jakarta pada awal tahun 2009. Kontras dengan perkembangan tersebut, dalam pelaksanaan KSST, peraturan perundangan yang dapat menjadi rujukan saat ini adalah:
7
a. b. c. d. e.
UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri; UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional; UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; f. Keputusan Presidium Kabinet No 81/U/KEP/4/1967 tentang koordinasi bantuan teknik luar negeri; g. Keputusan Presiden No. 60 Tahun 1981 tentang susunan keanggotaan panitia koordinasi bantuan teknik luar negeri; Perkembangan peran aktif Indonesia dalam pelaksanaan KSST menuntut adanya kerangka regulasi yang mengatur legitimasi pelaksanaan KSST dan selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan kualitas koordinasi, kejelasan visi, tujuan, dan mandat, transparansi, efektivitas dan meningkatnya dukungan pemangku kepentingan domestik. Kesiapan Menghadapi Periode 2 2015-2019 Pada periode I pelaksanaannya (2011-2014), kebijakan pengembangan KSST difokuskan pada pengembangan kelembagaan, penguatan mekanisme pendanaan, penguatan kerangka program kerja sama, pengembangan Knowledge Management dan sistem informasi, penguatan promosi dan publikasi, serta penguatan pemantauan dan evaluasi. Selanjutnya, pada periode II kebijakan pengembangan KSST akan difokuskan kepada peningkatan dan perluasan kerja sama, pengembangan program baru, peningkatan keterlibatan lembaga nonpemerintah, dan evaluasi. Terkait dengan capaian pada periode I, terdapat beberapa isu strategis yang perlu diperhatikan dalam merumuskan arah kebijakan dalam periode II berdasarkan rumusan fakta kebijakan pengembangan KSST pada periode I. Prinsip Demand Driven vs. One Gate Policy Salah satu prinsip pelaksanaan KSST di luar negeri adalah demand driven yang berarti berdasarkan potensi, prioritas kebutuhan, dan permintaan dari negara penerima. Fakta kebijakan penerapan prinsip ini pada periode I mengindikasikan bahwa permintaan dari negara penerima langsung ditujukan secara ad hoc dan terfragmentasi pada kementerian teknis pelaksana KSST. Hal ini berimplikasi pada belum terintegrasinya program dan sinergi dengan kebijakan penting dan terkait KSST lain misalnya kebijakan diplomasi luar negeri kementerian luar negeri. Untuk itu diperlukan reorientasi one gate policy dengan Tim Koordinasi sebagai sentral permohonan, penilaian dan penetapan bentuk program KSST atas pemintaan dari negara penerima. Penguatan wewenang Tim Koordinasi melalui arah kebijakan dalam isu strategis pertama (kerangka regulasi) dapat menjadi landasan arah kebijakan terkait isu strategis ini. Integrasi Penggunaan dan Sumber Keuangan Studi tentang evaluasi KSST periode I mengindikasikan belum adanya mekanisme utama untuk memvalidasi nilai moneter dari kontribusi Indonesia dalam KSST. Berbagai sumber menyebutkan sejak dimulai sampai akhir periode I, jumlah tersebut diindikasikan mencapai USD 49,8 juta. Namun demikian tidak 8
dapat dilakukan verifikasi secara formal mengenai kepastian nilai tersebut. Fakta kebijakan berikutnya yang sejalan dengan kondisi ini adalah tidak/belum adanya kewajiban pelaporan keuangan oleh masing-masing kementerian teknis pelaksana KSST dan selanjutnya tidak adanya data yang memadai tentang hal ini. Di sisi sumber pembiayaan, KSST sejauh ini dapat mempergunakan APBN, Kemitraan Pemerintah dan Swasta, Pendanaan Swasta, Kerja Sama Bilateral dan Multilateral dan Dana Perwalian. Untuk itu arah kebijakan menuju pemusatan keuangan menjadi hal penting berdasarkan isu strategis ini. Kepedulian tentang Keberlanjutan Program Salah satu capaian penting dalam periode I pelaksanaan KSST adalah dirumuskannya Prosedur Operasional Standar atas 17 program KKST oleh Tim Koordinasi. Di sisi lain, terdapat tuntutan lebih lanjut untuk dapat merumuskan instrumen yang mendukung terlaksananya prinsip berkelanjutan dalam pelaksanaan KSST. Studi evaluasi periode I mengindikasikan belum adanya instrumen kebijakan di lingkup Tim Koordinasi untuk memetakan kebutuhan, kesesuaian dengan kapasitas dan keunggulan komparatif Indonesia menuju penyediaan program yang memiliki indikator sukses kuat dan berjamin keberlanjutannya. Isu Kapasitas untuk Menjadi Key Player Mitra multilateral dan triangular dalam pelaksanaan KSST pernah melibatkan Indonesia dalam program-program peningkatan kapasitas/training untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan pelaksanaan KSST. Di sisi lain terdapat fakta bahwa dalam struktur Tim Koordinasi, Tim Pelaksana dan Tenaga Pendukung menjalankan tugasnya bersamaan dengan tugas utama mereka di institusi masing-masing. Dalam hal ini upaya peningkatan kapasitas saja tidak cukup. Pada saat yang sama, terkait dengan semakin besarnya dorongan eksternal dan hadirnya momentum bagi Indonesia untuk berperan sebagai Key Player KSST di tingkat kawasan, diperlukan arah kebijakan untuk meningkatkan kapasitas pelaksanaan KSST. Penciptaan Proses Umpan Balik Melalui Monitoring dan Evaluasi yang Kuat Studi evaluasi pelaksanaan KSST menunjukkan bahwa pemangku kepentingan domestik mengakui belum mendapatkan umpan balik yang memadai baik dalam konteks langsung maupun tidak langsung dari negara penerima program KSST, kecuali pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Untuk itu, perumusan proses umpan balik melalui monitoring dan evaluasi yang kuat menjadi kebutuhan dalam rangka menuju periode II pelaksanaan KSST yang memiliki fokus peningkatan dan perluasan kerja sama, pengembangan program baru, peningkatan keterlibatan lembaga non-pemerintah.
9
5.
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Kerja sama global, regional dan selatan-selatan merupakan tiga sub-bidang hal yang memiliki inter-koneksi yang kuat sehingga pembahasannya merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan. Kemajuan demokrasi dan ekonomi selama 15 tahun terakhir telah menjadikan Indonesia muncul sebagai pemimpin terkemuka di tingkat regional dan menyuarakan kepentingan global. Melihat lebih dalam, tantangan pembangunan Indonesia melampaui batas-batas nusantara dan berdampak di tingkat regional dan global. Dengan demikian, Indonesia dalam ruang lingkup regional, global dan juga antara negara-negara di selatan, kini memiliki peran yang sangat sentral. Dalam konteks kerja sama global, Indonesia saat ini sedang berupaya mengatasi tantangan dalam negeri dan kawasan dan pada saat yang sama memainkan peran penting di panggung pembangunan dunia. Posisi Indonesia semakin diakui di tingkat dunia dan pengaruhnya semakin meningkat, tetapi manfaat demokratisasi dan pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya terwujud di Indonesia. Dengan keterlibatan Indonesia di organisasi-organisasi internasional, Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan sharing pengalaman dari negara-negara lain, khususnya negara-negara maju, terkait dengan upaya-upaya efektif mereka dalam menghadapi pelbagai permasalahan mereka sehingga Indonesia dapat mengambil manfaat dari pengalaman tersebut. Keterlibatan ini diharapkan juga mampu membawa pesan-pesan positif bagi pembangunan kawasan dan mampu diberdayakan Indonesia untuk menyuarakan kepentingan regional di ranah global. Dengan demikian interdependensi antara KSST, regional serta global menjadi lebih nyata. 5.2
Rekomendasi
Isu Knowledge Sharing telah lama menjadi bahan pembahasan dalam berbagai forum internasional, regional dan juga selatan-selatan namun belum dapat dihasilkan suatu mekanisme yang terstruktur dan dapat digunakan dengan mudah pada tingkat negara (country level) untuk peningkatan kapasitas dalam mengatasi persoalan pembangunan. Diperlukan adanya mekanisme knowledge sharing yang lebih terstruktur dengan baik yang dapat mempertemukan kebutuhan dan penyediaan dari best practices (supply-demand), yang memadai untuk dipakai oleh suatu negara (best fit) sesuai karakteristik yang terdapat pada masing-masing negara. Selain itu, mekanisme terstruktur dapat digunakan untuk membantu perkuatan kapasitas pemerintah daerah yang luas (dalam konteks kebutuhan Indonesia yang mempunyai banyak pemerintah daerah). Salah satu isu krusial dalam pengembangan Country Led Knowledge Hub (CLKH) adalah mekanisme untuk mendorong semua pihak (supplier dan demander) untuk menjalankan creation dan sharing pengetahuan. Beberapa strategi dan mekanisme yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut: a. Insentif berupa pemberian porsi anggaran yang lebih besar bagi Bappeda yang berhasil mendorong knowledge sharing.
10
b. Membuat suatu mekanisme yang mengharuskan pelaku pembangunan untuk membuat laporan eksplisit yang memuat lessons learned sehingga bisa dijadikan best practices. c. Penguatan leadership di daerah sehingga mekanisme tersebut dapat dipastikan berjalan dengan baik. d. Membuat mekanisme yang “mewajibkan” Bappeda di daerah untuk mereplikasi suatu best practices yang sesuai. Disamping itu, dibutuhkan pula adanya sosialisasi ke Bappeda sehingga muncul kesadaran untuk mengembangkan knowledge sharing di daerahnya. Dari uraian di atas, studi ini merumuskan beberapa isu strategis yang dapat menjadi dasar arah kebijakan kerja sama pembangunan internasional: Pertama, kerja sama pembangunan internasional dalam konteks praktisnya penyelenggaraan kerja sama selatan-selatan menjadi keniscayaan kebijakan nasional atas tiga alasan: (1) amanat konstitusi (2) peran hitoris Indonesia yang cukup panjang dan strategis dalam pola kerja sama tersebut (2) dukungan legitimasi ekonomi sebagai negara dengan status baru yaitu Newly Middle Income Country. Kerja sama global dan kawasan adalah complementarity kebijakan ini dalam konteks diplomasi ekonomi. Kedua, secara potensial, pemangku kepentingan KPI memandang bahwa manfaat secara langsung dalam konteks diplomasi ekonomi dan tidak langsung terhadap perekonomian domestik cukup besar. Hal ini yang mendasari dukungan untuk menyelenggarakan KPI secara lebih intesif. Pengalaman negara maju maupun negara termasuk Newly Middle Income Country yang secara efektif memanfaatkan dampak tidak langsung dari adanya KPI menunjukkan efek positif terhadap perekonomian domestik mereka. Untuk itu diperlukan desain nasional yang memuat secara jelas visi dan misi KPI, indikator keberhasilan dan format kelembagaan di tingkat nasional. Ketiga, kesamaan sejarah dan kondisi pembangunan ekonomi (development proximity) sangat memungkinkan Indonesia untuk dapat menjadi mitra yang efektif dengan negara berkembang lain khususnya yang memiliki tingkat kemajuan pembangunan (sektor) yang sama atau lebih rendah dalam kerangka Knowldge sharing hub. Keempat, peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelengaraan KPI masih sangat terbatas. Untuk memberikan ruang gerakyang lebih leluasa termasuk efektivitas koordinasi dan kejelasan visi dan misi KPI diperlukan pengaturan yang lebih lanjut dalam konteks peraturan perundangan atas penyelenggaraan KPI. Kelima, dari kajian ini juga dapat direkomendasikan pentingnya koordinasi yang lebih efektif diantara kementerian dan lembaga yang selama ini mengambil bagian dalam kerja sama global, regional dan KSST baik dalam hal program dan aktivitas, maupun pendanaan. Pelaporan tentang aktivitas dan pendanaan menjadi penting untuk menunjukkan tingkat keseriusan Indonesia dalam memenuhi komitmennya dalam forum-forum internasional.
11
DAFTAR PUSTAKA [Bappenas] (2007), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025, Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. ----------------, (2012), Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 7 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor PER. 005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. ----------------, (2014) (tidak dipublikasikan), ‘Profil Kerja sama Global’, Direktorat Kerja sama Pembangunan Internasional. Hasan, Iqbal (2002) Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesi. Hastiadi, Fithra Faisal (2012) 'Making East Asian Regionalism Work: From Regionalization to Regionalism'. Lambert Academic Publishing Hastiadi, Fithra dan Rus’an Nasrudin, (2013), Kajian Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional di Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional, Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional, Report. Hermawan, Yulius P, Wulani Sriyuliani, Getruida H Hardjowijono, Sylvie Tanaga (2011), Peran Indonesia dalam G-20: Latarbelakang, Peran dan Tujuan Keanggotaan Indonesia, Friedrich Ebert Stiftung. Martinussen, John Degnbol dan Engberg Pedersen (2005), Aid: Understanding International Development Cooperation London: Zed Books Mawdsley, Emma (2012), ‘From Recipients to Donors: Emerging Powers and the Changing Development Landscape’ London: Zed Books. Muhibat, Shafiah M, Rizal Sukma dan Medelina K. Hendytio, (2014) Studi tentang Implementasi Kebijakan dan Strategi Kemitraan Pendanaan Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular, Center for Strategic And International Studies, Report. [SEADI] (2013). USAID Democracy, Governance, and Human Rights Assessment of Indonesia, Support for Economic Analysis Development in Indonesia (SEADI) Stiglitz, Joseph (2006), ‘Making Globalisation Work’ New York: W.W Norton and Company inc. Umar, Husein (2002), Metode Riset Bisnis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
12
[World Bank]. (1992) ‘Effective Implementation: Key to University Press. Development Impact." Report of the World Bank's Management Task Force. Washington, D.C. ---------------. (1998) ‘Assessing Aid: What Works, What Doesn't, and Why.’ A World Bank Policy Research Report. Oxford University PressU.N. document, A/RES/60/1 (2005) World Summit Outcome, adopted September 16, 2005, p. 36. Zulganef, (2008) Metode Penelitian Sosial dan Bisnis. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.
13