BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
HASIL PEMERIKSAAN SEMESTER II TAHUN ANGGARAN (TA) 2007 ATAS KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (RHL) DI PROVINSI JAWA BARAT AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA IV
Nomor : 02/LHP/XVII/01/2008 Tanggal :
31 Januari 2008
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN EKSEKUTIF……………………………………………………………………………………….
i
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………….
1
Dasar Pemeriksaan…….................................................................................................................
1
Standar Pemeriksaan.....................................................................................................................
1
Tujuan Pemeriksaan.....................................................................................................................
1
Sasaran Pemeriksaan.……………………………………………………………................................
1
Objek Pemeriksaan………………………..…...…………………………………………………………
1
Lingkup Pemeriksaan…..............................................................................................................
2
Jangka Waktu Pemeriksaan …………………………………………………………...……………….
2
Metodologi Pemeriksaan................................................................................................................
2
Batasan Pemeriksaan……………………………………. ………………………….…………………..
3
Kriteria Pemeriksaan..……………………………………..................................................................
3
BAB II GAMBARAN UMUM..................................................................................................................
4
Hutan di Indonesia.........................................................................................................................
4
Kondisi Hutan Indonesia................................................................................................................
4
Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Jawa Barat...............................................................................
6
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan........................................................................................
6
Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan...........................................................................................
8
Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis...........................................................................
9
Pembiayaan RHL...........................................................................................................................
9
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL).........................................................
9
Anggaran GN-RHL di Jawa Barat..................................................................................................
12
Realisasi GN-RHL di Jawa Barat...................................................................................................
13
PP RI No.89 Tahun 2007 tentang GN-RHL...................................................................................
13
DAK-DR di Jawa Barat...................................................................................................................
14
Sistem Pengendalian Intern RHL...................................................................................................
14
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA...............
17
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN.............................................................................................................
18
Pelaksanaan RHL di Provinsi Jawa Barat Belum Dapat Meningkatkan Kualitas Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan ................................................................................................................
18
Pemilihan Bibit Tanaman GN-RHL Tidak Memperhitungkan Kondisi Lahan Sehingga Meningkatkan Risiko Kegagalan Tanaman....................................................................................
21
Pembangunan Penghijauan/Hutan Kota Di Kota Bogor dan Hutan Kota Di Kabupaten Sumedang Tidak Sesuai Dengan Peruntukkannya Sebesar Rp84.831.050,00............................
23
Pengadaan Bibit Dengan Menggunakan Dana GN-RHL Untuk Penghijauan Lingkungan Sebesar Rp2.570.911.200,00 Tidak Optimal Untuk Mencapai Tujuan GN-RHL...........................
27
Penanaman Pohon Pada Areal Jalan Tol Cipularang (Sadang dan By Pass Padalarang) Tahun 2006 Tidak Sesuai Dengan Ketentuan..........................................................................................
30
Pengadaan Bibit Sebanyak 500.000 Batang Untuk Penghijauan Lingkungan Lebih Mahal Senilai Rp979.775.650,00.............................................................................................................
32
Kelebihan Pembayaran Bibit Sebanyak 902 Batang Senilai Rp2.390.300,00...............................
34
KESIMPULAN..........................................................................................................................................
36
LAMPIRAN
RINGKASAN EKSEKUTIF
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan di Indonesia mempunyai fungsi untuk mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, melindungi sistem penyangga kehidupan dan memproduksi hasil hutan. Hutan mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Kualitas hutan perlu dipelihara agar dapat berfungsi dengan baik. Kualitas hutan yang buruk seperti kritis dan gundul akan cenderung mengakibatkan banyak ekosistem yang rusak dan meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dan Instansi terkait lainnya, diketahui luas hutan serta lahan kritis di wilayah Provinsi Jawa Barat posisi per tahun 2004 adalah seluas 580.397, sedangkan luas hutan dan lahan 1.528.600 Ha Hutan dan lahan kritis seluas 580.397 Ha tersebut harus segera direhabilitasi agar dapat berfungsi dengan normal dan dapat mempertahankan serta meningkatkan kualitas DAS. Pemerintah Pusat dan Daerah telah melakukan upaya merehabilitasi hutan dan lahan dengan program GN-RHL sejak tahun 2003 s.d. 2007. Kegiatan-kegiatan ini dibiayai dari Dana Reboisasi yang dipungut dari perusahaanperusahaan yang melakukan eksploitasi hutan. Jumlah realisasi program GN-RHL di Provinsi Jawa Barat posisi per tahun 2004 adalah seluas 200.005 Ha, sedangkan target program GN-RHL seluas 302.528 Ha. Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) telah melakukan pemeriksaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang bersumber dari Dana APBN dan APBD Tahun 2003 s.d. 2007 pada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Cimanuk-Citanduy, BP DAS Citarum-Ciliwung, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kehutanan Kabupaten Garut, Sumedang, Indramayu, Majalengka, Cilacap, Purwakarta, Sukabumi, Kota Sukabumi, Cianjur dan Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung serta Dinas Agribisnis Kota Bogor. Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Tahun 2007 dan Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) BPK-RI Tahun 2002. Tujuan pemeriksaan adalah menilai apakah pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah telah sesuai dengan ketentuan, entitas telah menggunakan dana tersebut untuk kegiatan yang sesuai dengan ketentuan, dan kegiatan RHL telah dilaksanakan dengan ekonomis dan efektif.
Hasil Pemeriksaan–Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
i
Sasaran pemeriksaan di fokuskan kepada perencanaan RHL, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman. Hasil pemeriksaan mengungkapkan bahwa masih ada kelemahan-kelemahan yang mempengaruhi kinerja pelaksanaan RHL di Provinsi Jawa Barat, antara lain sebagai berikut : Efektifitas Pencapaian Target GN-RHL dan RHL DAK-DR Realisasi fisik kegiatan GN-RHL yang dibiayai dari dana APBN Tahun 2003-2006 hanya mencapai seluas 200.005 Ha. Hal ini berarti bahwa kegiatan RHL dengan APBN (GN-RHL) Tahun 2003 sampai dengan 2006 belum dapat mengurangi secara signifikan lahan kritis di wilayah Jawa Barat yaitu seluas 580.397 Ha Pemborosan Penggunaan Dana Dalam RHL Ditemukan pemborosan penggunaan dana reboisasi sebesar Rp 3.635.517.900,00 yang disebabkan oleh lemahnya perencanaan, pengadaan bibit dan pembuatan tanaman, dengan perincian antara lain sebagai berikut : 1. Pembangunan penghijauan/hutan kota di Kota Bogor dan Kabupaten Sumedang sebesar Rp84.831.050,00 tidak sesuai peruntukannya sehingga mengakibatkan terjadinya ketidakhematan pengadaan bibit sebesar Rp84.831.050,00, tingkat keberhasilan rehabilitasi dan penghijauan lahan menjadi rendah dan Rancangan Teknis Penghijauan Kota Bogor menjadi tidak sah. Hal ini disebabkan penunjukkan kawasan rehablitasi hutan kota dan pengalihan fungsi hutan oleh pejabat daerah tidak mengacu pada peraturan yang ada. 2. Pengadaan bibit dengan menggunakan dana GN-RHL untuk penghijauan lingkungan sebesar Rp2.570.911.200,00 tidak optimal untuk mencapai tujuan GN-RHL sehingga Pemerintah kehilangan kesempatan untuk menggunakan dana sebesar Rp2.570.911.200,00 untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II dalam memperbaiki kualitas DAS sekitar dan mengatasi terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan. Hal tersebut terjadi karena Menteri Kehutanan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan strategi awal kebijakan GN-RHL yang ditetapkan oleh Menko Kesra dalam membuat MoU dengan sejumlah LSM dan Ormas. 3. Penanaman pohon pada areal jalan tol Cipularang (Sadang dan By Pass Padalarang) Tahun 2006 tidak sesuai ketentuan sehingga Pemerintah kehilangan kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II dalam memperbaiki kualitas DAS sekitar dan mengatasi terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan. Hal tersebut terjadi karena penyelenggaraan penanaman pohon pada areal jalan tol tidak mengacu pada peraturan tentang RHL yang ada.
Hasil Pemeriksaan–Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
ii
4. Pengadaan bibit sebanyak 500.000 batang untuk penghijauan lingkungan lebih mahal senilai Rp979.775.650,00 sehingga terjadi ketidakhematan sebesar Rp979.775.650,00. Hal tersebut terjadi karena Kepala BP DAS tidak mengacu pada Harga Standar yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dan Kepala BP DAS kurang melakukan pengawasan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK-RI menyarankan agar dilakukan perbaikan kinerja di masa mendatang dan segera diambil langkah-langkah tindak lanjut seperlunya sesuai saran/rekomendasi yang dimuat dalam hasil pemeriksaan ini.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penanggung Jawab Pemeriksaan,
HADI PRIYANTO NIP. 240000961
Hasil Pemeriksaan–Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
iii
BAB I PENDAHULUAN
Dasar Pemeriksaan
Dasar pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah : 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 E; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. 3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
Standar Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK Tahun 2007
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah untuk menilai apakah: 1. Pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah sesuai dengan ketentuan; 2. Entitas pengelola menggunakan dana Rehabilitasi Hutan dan Lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah dilaksanakan dengan ekonomis dan efektif untuk mencapai tujuan RHL.
Sasaran Pemeriksaan
Untuk mencapai tujuan pemeriksaan tersebut maka sasaran pemeriksaan diarahkan pada area kunci kegiatan RHL dengan mempertimbangkan resiko manajemen dari sisi ekonomi, efisiensi dan efektivitas serta kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mempertimbangkan resiko tersebut, maka area kunci pemeriksaan diarahkan pada hal-hal berikut: 1. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2. Pengadaan bibit yang dilaksanakan baik secara swakelola, penunjukan langsung maupun pelelangan kepada pihak kontraktor. 3. Pembuatan dan pemeliharaan tanaman baik yang dilakukan secara swakelola maupun oleh Kelompok Tani. Area kunci pemeriksaan tersebut akan disesuaikan dengan perkembangan pemeriksaan di lapangan dan dari waktu ke waktu pada saat pemeriksaan berlangsung.
Obyek Pemeriksaan
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Cimanuk-Citanduy, BP DAS Citarum-Ciliwung, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kehutanan Kabupaten Garut, Sumedang, Indramayu, Majalengka, Cilacap, Purwakarta, Sukabumi, Kota Sukabumi, Cianjur dan Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung serta
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
1
Dinas Agribisnis Kota Bogor. Lingkup Pemeriksaan
Pemeriksaan mencakup Tahun 2006 s.d.. 2007, khusus untuk penilaian efektivitas dilakukan terhadap hasil kegiatan periode 2003 s.d. 2007.
Jangka Waktu Pemeriksaan dilaksanakan selama 30 hari, mulai tanggal 4 September 2007 sampai Pemeriksaan dengan tanggal 3 Oktober 2007 berdasarkan Surat Tugas Anggota/Pembina Auditama Keuangan Negara IV No.03 /ST/VIII-XIV/08 /2007 tanggal 27 Agustus 2007. Metodologi Pemeriksaan
Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dilaksanakan dengan metodologi sebagai berikut : 1. Evaluasi dan analisa data dan dokumen yang diberikan oleh Unit Kerja Yang Diperiksa (Unit Kerja). Pemeriksaan RHL yang dilakukan adalah pemeriksaan atas kegiatan yang telah selesai dilaksanakan oleh unit kerja yang diperiksa (Post Audit). Pemeriksa mendasarkan pemahaman dan pembuktian atas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan oleh Unit Kerja. Berkaitan dengan hal tersebut realisasi pengadaan bibit termasuk jumlah yang sebenarnya diserahkan kepada para petani, realisasi penanaman, pemberian pupuk dan kegiatan lainnya di evaluasi dan di-review serta diperiksa hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan. Termasuk dalam hal ini pengujian atas keberhasilan penanaman hanya dilakukan dengan menggunakan data dan dokumentasi laporan hasil penilaian lembaga independen. 2. Pengamatan (observasi) Fisik ke lapangan Sebagai upaya untuk menyakinkan realisasi pelaksanaan rehabilitasi hutan, Pemeriksa juga melakukan uji petik secara sangat terbatas kelokasi penanaman atau RHL. 3. Wawancara Pemeriksaan juga melakukan pengumpulan informasi terkait kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. 4. Uji Petik (sampling) Pemeriksaan dilakukan tidak atas populasi kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pemeriksaan menggunakan mekanisme sampling dengan memperhatikan faktorfaktor seperti ketersediaan sumber daya manusia dan waktu serta risiko terjadinya ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan serta ketidakpatuhan. Pendekatan uji petik ini dilakukan dalam menentukan kabupaten/kota yang akan diuji petik, lokasi hutan dan lahan yang akan diobservasi, dokumen-dokumen yang akan dibahas dan kegiatan-kegiatan yang akan diuji. 5. Sistem Pengendalian Intern Pemahaman dan evaluasi atas efektivitas sistem pengendalian intern dilakukan
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
2
untuk mengidentifikasikan area kunci, fokus pemeriksaan, daerah yang akan diuji petik dan kegiatan serta dokumen yang akan diuji lebih mendalam. Jika ditemukan kelemahan terkait dengan sistem pengendalian intern maka akan disajikan dalam laporan sebagai temuan tersendiri dan atau bagian dari penyajian temuan pemeriksaan. Batasan Pemeriksaan
Pemeriksaan RHL ini dilaksanakan dengan batasan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan atas tingkat keberhasilan Rehabilitasi Hutan dan Lahan hanya dilakukan atas laporan hasil penilaian yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh unit kerja. BPK tidak melakukan penilaian secara khusus atas pelaksanaan rehabilitasi lahan. Untuk wilayah yang belum dilakukan penilaian maka BPK tidak menilai tingkat keberhasilan wilayah tersebut. 2. BPK juga tidak melakukan penilaian atas kebenaran metodologi dan mekanisme penilaian lembaga independen penilai keberhasilan RHL. 3. Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tidak dilakukan atas rehabilitasi hutan dan lahan yang di laksanakan dengan menggunakan dana swasta atau diluar pemerintah.
Kriteria Pemeriksaan
Kriteria atau standar yang akan digunakan untuk menilai pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) diantaranya adalah: 1. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. UU No.22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. UU No.25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No.104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 6. Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 7. Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 8. Peraturan Presiden No.8 Tahun 2006 tentang perubahan keempat atas Keppres No.80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahan-perubahannya; 9. Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No.09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No.Kep16/M.Ekon/03/2003, No.Kep08/ Menko/Polkam/III/2003 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Hidup Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional; 10. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No.18/Kep/Menko/Kesra/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL; 11. Berbagai Keputusan Menteri Kehutanan tentang Standar Harga Bibit, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Kegiatan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
3
BAB II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Hutan di Indonesia Status dan Fungsi
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan UU tentang Kehutanan, status hutan di Indonesia terbagi dua yaitu : 1. Hutan Negara Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat yang ditetapkan statusnya oleh Pemerintah. 2. Hutan Hak Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan di Indonesia memegang peranan yang sangat penting baik dari segi ekonomi dan lingkungan hidup. Secara garis besar terdapat tiga fungsi utama hutan, yaitu : 1. Fungsi Konservasi Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 2. Fungsi Lindung Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3. Fungsi Produksi Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sesuai dengan data Departemen Kehutanan tahun luas hutan di Indonesia adalah sebagai berikut : Kawasan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi Terbatas d. Hutan Produksi Tetap e. Hutan Produksi Yang Dapat Di Konversi f. Fungsi Hutan Khusus Jumlah Luas Daratan Kawasan Hutan Jumlah Luas Kawasan Hutan dan Perairan
Luas (Ha)
a.
23.597.991,57 31.782.576,02 21.717.309,26 35.813.616,43 14.057.816,00 7.268,00 123.459.513,58 126.976.577,28
Sumber : Web Site Departemen Kehutanan (Badan Planologi Kehutanan)
Kondisi Hutan Indonesia
Hutan memenuhi dua pertiga dari luas daratan Indonesia (kurang lebih 120 juta hektar). Hutan Indonesia merupakan habitat tempat 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, serta 17 persen spesies burung dan juga tempat jenis palem terbanyak di dunia. Kenyataan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaaan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia. Selama 50 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hingga 40% dari seluruh luas hutannya. Laju degradasi hutan/deforestasi di wilayah Indonesia mencapai 1,5 juta Ha sampai 2,8 juta
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
4
Ha per tahun1. Meskipun keprihatinan akan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari meluasnya kerusakan hutan tropis, tetap saja tingkat kerusakan hutan dan lahan meningkat dengan drastis. Kerusakan hutan tersebut menimbulkan lahan kritis yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Meningkatnya lahan kritis yang merupakan tanda dari kerusakan hutan dan lahan ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak baik secara nasional maupun internasional. Gambar 1 : Hutan dan Lahan Kritis
Departemen Kehutanan telah melakukan inventarisasi atas indikasi luas hutan dan lahan kritis pada tahun 2000 dan 2003. Hasil inventarisasi menunjukkan laju pertambahan hutan dan lahan kritis yang cukup drastis yaitu 177 % dari semula 56,98 juta Ha di tahun 2000 menjadi 100,6 juta Ha di tahun 2003. Pertambahan hutan lahan kritis terutama terjadi di luar kawasan hutan. Gambar 2. Pertambahan Hutan dan Lahan Kritis 2000-2003 Luas (Ha) 70.000.000 60.000.000 50.000.000 40.000.000
Dalam Kawasan Luar Kawasan
30.000.000 20.000.000 10.000.000 2000
2003 Tahun
Sumber: Laporan Updating Database RHL, Departemen Kehutanan, 2006
Berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan hutan dan lahan yang mengalami kerusakan lebih dari 67,64 juta Ha yang terdiri atas 39,12 juta Ha dalam kawasan hutan dan 28,52 juta Ha di luar kawasan hutan.
1
Baplan Departemen Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
5
Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Jawa Barat
Berdasarkan data spatial lahan kritis Tahun 2003 s.d. Tahun 2006, diketahui luas hutan dan lahan kritis di Provinsi Jawa Barat mencapai 580.397 hektar, yang terdiri dari luas lahan kritis di dalam kawasan hutan sebesar 151.689 hektar dan luas lahan kritis di luar kawasan hutan sebesar 428.708 hektar, yaitu dengan rincian sebagai berikut: LAHAN KRITIS
1 1 2
2 KAB. GARUT KAB. SUKABUMI
DIDALAM KAWASAN HUTAN (Ha) 3 13.643 21.301
3
KAB. BANDUNG
14.050
33.315
47.365
4
KAB. MAJALENGKA
7.968
39.147
47.115
5
KAB. CIANJUR
14.507
32.266
46.773
6
KAB. BOGOR
22.275
23.362
45.637
7
KAB. INDRAMAYU
6.957
33.537
40.494
8
KAB. KARAWANG
10.259
20.864
31.123
9
KAB. SUBANG
14.304
16.593
30.897
10
KAB. CIAMIS
2.789
22.575
25.364
11
KAB. SUMEDANG
4.259
19.431
23.690
12
KAB. TASIKMALAYA
7.937
15.472
23.409
13
KAB. PURWAKARTA
6.562
11.633
18.195
14
KAB. KUNINGAN
4.877
13.188
18.065
15
KAB. BEKASI
-
13.454
13.454
16
KAB. CIREBON
-
8.056
8.056
17
KOTA TASIKMALAYA
-
4.928
4.928
18
KOTA BANJAR
-
2.500
2.500
19
KOTA BOGOR
-
884
884
20
KOTA CIMAHI
-
609
609
21
KOTA DEPOK
-
432
432
22
KOTA BANDUNG
-
350
350
23
KOTA SUKABUMI
-
293
293
24
KOTA BEKASI
-
279
279
25
KOTA CIREBON
-
262
262
NO
KABUPATEN/KOTA
JUMLAH
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan
151.689
DILUAR KAWASAN HUTAN (Ha)
JUMLAH
4 69.053 46.224
5 82.696 67.525
428.708
580.397
Kerusakan hutan dan lahan merupakan masalah yang serius yang jika tidak ditangani dengan baik dan serius akan menimbulkan dampak yang besar bagi perekonomian dan lingkungan. Kerusakan hutan dan lahan pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab baik yang disebabkan oleh ulah manusia dan alam.
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
6
Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Penebangan hutan (produksi hutan) tanpa upaya rehabilitasi yang optimal. Pemberian ijin Hak Pengusahaan Hutan kepada perusahaan-perusahaan mendorong kegiatan pemanfaatan potensi hutan seperti kayu. Pemberian ijin pengusahaan hutan ini seyogyanya diikuti juga dengan upaya rehabilitasi atau upaya-upaya lainnya yang menjamin kelestarian hutan di wilayah ijin pengusahaan hutan. Ketimpangan antara upaya pelestarian dan produksi telah meningkatkan pengundulan dan kerusakan hutan. Tabel 1 : Jatah Produksi Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam Tahun 2003 – 2005 No.
Tahun Produksi
Jatah Produksi (M3)
1.
2003
6.892.000
2.
2004
5.743.759
3. 2005 Jumlah
5.456.470 18.092.229
Sumber : SK Dirjen BPK No. 02/Kpts/VI-PHA/2003, No. 47/Kpts/VI-PH/2003 dan No 195/VI-BPHA/2004
Lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberikan andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal kriteria Departemen Kehutanan mengenai Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sebenarnya sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang telah dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. “tapi di lapangan, kriteria itu tidak berjalan akibat lemahnya pengawasan,” kata Soekotjo2. 2. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan/atau lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan/atau hasil hutan. Kebakaran hutan ini telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar. Kebakaran hutan dan lahan terjadi baik karena ulah manusia maupun karena faktor alam. Kebakaran hutan dapat disebabkan karena ulah masyarakat dan atau pengusaha yang membutuhkan lahan untuk areal pemukiman dan atau pertanian/perkebunan. Masyarakat dan pengusaha membuka lahan atau melakukan pembersihan lahan (land clearing) dengan cara membakar lahan yang berpotensi merusak lingkungan, menambah kerusakan hutan dan mencemari udara. Selain karena pembukaan hutan, kebakaran hutan juga disebabkan oleh ulah manusia yang membakar sampah dan membuang puntung rokok sembarangan di areal hutan dan lahan serta kondisi lahan yang terbuka sehingga memudahkan terjadinya kebakaran pada waktu musim kemarau yang sangat panas dan lama. Kebakaran hutan dan lahan karena musim kemarau yang sangat panjang dan panas ini banyak terjadi di daerah gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Doktor Soekotjo, kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1997, membuat hampir 70% hutan terbakar. 3
2 3
Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia. Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
7
3. Illegal Logging Penjarahan hutan masih tetap berlaku dan terus berlangsung hingga sekarang. Illegal logging terjadi antara lain karena adanya ketimpangan pasokan dan permintaan, lemahnya penegakan hukum, dan masalah kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Illegal logging meningkatkan proses penggundulan dan kerusakan hutan. Tabel 2 : Perbandingan antara pasokan dan kebutuhan kayu tahun 1999 Kebutuhan dan Produksi Kayu
Volume (Juta M3)
Kebutuhan Kayu Bulat (1999) a.
Industri Terkait HPH
41,09
b.
Industri tidak Terkait HPH
17,15
Total Kebutuhan per tahun
58,24
Produksi Kayu Bulat (1995 – 1999) Produksi Rata-rata pertahun
25,36
Kesenjangan produksi dan kebutuhan
32,88
Sumber : Rencana Strategic Departemen Kehutanan dan Perkebunan 2001-2005 (Pusat Data dan Perpetaan, Baplan, tahun 2000)
Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Lantaran hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar. 4. Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk mendorong munculnya kebutuhan akan lahan untuk areal pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kebutuhan akan sumber pangan dan bahan baku industri (CPO dan komoditi lainnya) meningkatkan peralihan fungsi hutan menjadi lahan-lahan non kehutanan. Hal inilah yang meningkatkan jumlah penggundulan hutan dan kerusakan hutan dan lahan. Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan
Kerusakan hutan dan lahan akan mengakibatkan antara lain: 1. Rusaknya fungsi Konservasi dari hutan telah menimbulkan punahnya keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Harimau Sumatera dan Orangutan di Kalimantan Tengah telah menjadi spesies yang paling langka di dunia. 2. Rusaknya Fungsi Lindung dari hutan telah mengakibatkan : a. Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau; b. Terjadinya arus permukaan tanah (run off) pada waktu musim hujan yang dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Bencana ekologi tersebut telah
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
8
menimbulkan kerugian nasional yang besar berupa kerusakan infrastruktur, berbagai asset pembangunan serta terganggunya tata kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan menyebabkan kemiskinan masyarakat. c.
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
3. Rusaknya Fungsi Produksi dari hutan telah menurunkan kesuburan tanah yang mengakibatkan turunnya produktivitas lahan dan produksi pertanian menyebabkan turunnya kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Khusus untuk kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan hutan dan lahan akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor. Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan menjadi kurang optimal. Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis
Pemerintah telah berupaya untuk menghutankan kembali lahan kritis dengan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan/RKL (reboisasi/penghijauan) yang meliputi antara lain:
Pembiayaan RHL
Pembiayaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperoleh dari Dana Reboisasi yang dipungut dari Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang Berupa Kayu untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. Dana Reboisasi tersebut di setorkan ke Bendaharawan Penerimaan DR di Departemen Kehutanan oleh Para Pemegang Ijin yang selanjutnya akan disetorkan ke rekening Pemerintah Pusat Khusus Dana Reboisasi. Berdasarkan jumlah yang diperoleh, Pemerintah Pusat membagi DR tersebut 60% menjadi bagian Pemerintah Pusat dan 40% menjadi bagian Daerah Penghasil.
1. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) yang pembiayaannya berasal dari Dana Bagian Anggaran 69 APBN. 2. Program lain yang diupayakan oleh pemerintah daerah seperti Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) APBD.
Pemerintah pusat menggunakan DR bagian 60% tersebut antara lain untuk melaksanakan kegiatan GN-RHL. Sedangkan bagian DR untuk daerah penghasil sebanyak 40% disalurkan dengan cara atau mekanisme DAK-DR/DBH DR. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL)
Pemerintah perlu melakukan kegiatan rehabilitasi untuk dapat mencegah laju pertambahan luas hutan dan lahan kritis tersebut. Sampai dengan tahun 2003, pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan skema keproyekan. Namun kegiatan RHL tersebut selalu menghadapi kendala, baik ketidaktersediaan dana yang cukup maupun kendala teknis dan sosial. Hal tersebut yang mengakibatkan pemerintah, sejak tahun 2003 melakukan perubahan skema RHL dengan menggunakan skema Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL melibatkan seluruh stakeholders kehutanan di berbagai jenjang pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan mencakup kawasan hutan dan lahan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No. 09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No. Kep.16/M.Ekon/03/2003, No.Kep.08/Menko/
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
9
Polkam/III/2003, tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (TKPLRRN), Pemerintah telah membentuk TKPLRRN yang akan melaksanakan GN-RHL. Berdasarkan Lampiran Keputusan Menko Kesra/Ketua TKPLRRN No. 18/Kep/MENKO/KESRA/X/2003 sasaran Rehabilitasi Hutan dan Lahan 5 tahun (2003 – 2007) dari GN-RHL adalah seperti di tabel berikut : Tabel 3 : Sasaran Rehabilitasi Hutan dan Lahan 5 tahun Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Total
Area Target (Ha) 300.000 500.000 600.000 700.000 900.000 3.000.000
Prosentase (%) 10,00% 16,67% 20,00% 23,33% 30,00% 100,00%
GN-RHL ini dibiayai dari APBN dan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehinga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Sasaran program dan luas GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Sasaran Program. a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. c.
Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL.
d.
Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL.
2. Sasaran Luas. Sasaran luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap. Ruang Lingkup kegiatan dan wilayah GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Lingkup Kegiatan. Ruang lingkup kegiatan GN-RHL ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu : a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan adalah meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum. Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
10
b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi Lahan meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dam penahan, gully plug, pembuatan teras (terasering), sumur resapan, grass barrier, dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan. 2. Lingkup Wilayah. Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani. Rencana lokasi dan luas sasaran disusun berdasarkan kriteria fisik dengan sistem skor dan pertimbangan manajemen daerah, yaitu : 1. Kriteria Fisik : a. DAS Prioritas (SK Menhut No.284 tahun 1999). b. Indikasi Hutan dan Lahan yang perlu direhabilitasi. c.
Daerah rawan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan.
d. Bangunan vital (waduk/bendung/danau) yang perlu dilindungi. e. Khusus untuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai, mempertimbangkan kriteria kerusakan hutan mangrove dan hutan pantai serta kerawanan bencana abrasi atau tsunami. 2. Syarat : Kriteria fisik tersebut harus dimasukkan kedalam Rencana Teknik Tahunan yang disusun oleh Dinas/Instansi Kehutanan Pusat/ Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah. 3. Pertimbangan Manajemen a. Kinerja RHL Daerah; b. Kelembagaan dan Komitmen di Daerah; c.
Sumberdana RHL lainnya di daerah.
4. Pertimbangan khusus bagi Daerah Kabupaten tertinggal. Rencana lokasi memperhatikan saran pertimbangan inter-departemen yaitu Departemen Pekerjaan Umum/Kimpraswil, Kelautan dan Perikanan, Pertanian. Alokasi indikator tahunan (pulau/provinsi) secara nasional di dasarkan atas proporsi luas areal indikatif hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003-2007), dengan mempertimbangkan kriteria rencana lokasi pusat dan kondisi terakhir lahan kritis DAS. Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
11
Mengacu kepada rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan RTT Kabupaten/Kota disusun berdasarkan pada nilai skor kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi dengan memperhatikan sasaran GNRHL/Gerhan nasional tahun yang bersangkutan. Dalam menentukan alokasi sasaran (jenis kegiatan & volume) mempertimbangkan : a. Kinerja pelaksanaan GN-RHL tahun sebelumnya. b. Kelembagaan dan komitmen daerah. c.
Sumber dana lainnya (Bagi Hasil/DAK-DR) dan,
d. Pertimbangan khusus daerah Kabupaten/Kota tertinggal yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Sistem Perencanaan GN-RHL berdasarkan Pedoman Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2005 adalah mengacu kepada kaidah teknis perencanaan RHL, dengan hirarkhi yaitu Pola Umum, Rencana Teknis RHL Lima Tahun, Rencana Teknik Tahunan (RTT) serta Rancangan Teknis Kegiatan. Gambar 3 : Hierarki Perencanaan GN-RHL
Anggaran GN-RHL di Jawa Barat
Pola Umum RHL
Rencana RHL 5 Tahun
Rencana Teknik Tahunan (RTT)
Ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan Kep No. 20/Menhut-V/2000
Penanganan DAS/Sub DAS, Sasaran Indikatif, Rawan Bencana dan Perlindungan bangunan vital DAS.
Rencana Fisik Pembuatan tanaman dan bangunan konservasi tanah dan air setiap tahun pada satu atau lebih DAS yang berada dalam wilayah Kab/Kota.
Kegiatan RHL dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Bagian Anggaran (BA) 69 dari Departemen Keuangan. Jumlah anggaran RHL dan realisasinya dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 di 21 Dinas Kehutanan diperiksa di wilayah Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut: No.
Anggaran (Rp)
KEGIATAN
1
Kab.Purwakarta
2
Realisasi (Rp)
3.708.607.000,00
7.295.308.700,00
Kab.Bandung
15.862.337.000,00
8.640.579.815,00
3
Kota Bandung
128.335.717.400,00
52.012.113.420,00
4
Kab.Subang
6.440.589.000,00
2.004.197.000,00
5
Kab.Bogor
10.311.868.000,00
4.624.462.550,00
6
Kota Bogor
147.222.000,00
73.606.000,00
7
Kota Sukabumi
568.987.000,00
563.997.000,00
8
Kab.Sukabumi
16.472.772.000,00
9.864.097.250,00
9
Kota Bekasi
1.393.251.000,00
1.296.707.000,00
10
Kab. Bekasi
2.210.070.000,00
1.225.367.000,00
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
12
Realisasi GNRHL di Jawa Barat
12
Kab. Tangerang
1.864.761.000,00
639.567.300,00
13
Kota Tangerang
687.960.000,00
372.723.000,00
14
Kota Cilegon
1.266.250.000,00
773.020.500,00
15
Kab. Pandeglang
20.467.540.000,00
9.845.268.400,00
16
Kab. Serang
8.694.229.000,00
633.035.500,00
17
Kota Depok
NA
NA
18
Kota Cimahi
NA
NA
19
Kab.Cirebon
NA
NA
20
Kota Cirebon
NA
NA
21
Kab. Karawang
NA
NA
233.867.524.400,00
108.126.409.371,00
Tingkat pencapaian fisik kegiatan RHL yang bersumber dari dana GN-RHL TA 2004 s.d.. 2006 di Provinsi Jawa Barat masih rendah sebagaimana dimuat dalam daftar berikut : Tahun
Sasaran GN-RHL (Ha)
Realisasi GN-RHL (Ha)
Prosentase Pencapaian (%)
2003
51.804
20.542
39,65
2004
70.597
55.266
78,28
2005
40.925
22.342
54,59
2006
50.065
24.025
47,98
2007
89.137
77.830
25,72
Total
302.528
200.005
66,11
Sumber : Laporan Tahunan GN-RHL Tahun 2006, Departemen Kehutanan
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Pada tanggal 3 September 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 89 tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Berkaitan dengan keluarnya peraturan baru ini maka terdapat beberapa perbedaan yang signifikan bagi penunjangan keberhasilan program GN-RHL. Perubahan-perubahan tersebut adalah antara lain : 1. Penyelenggaraan Gerhan a. Penyelenggaraan Gerhan berdasarkan prinsip sistem silvikultur dan tahun jamak (multi years). b. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di kawasan hutan yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara kontraktual yang berbasis tahun jamak (multi years) dengan menggerakkan potensi badan usaha nasional dan daerah serta melibatkan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. c.
Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di daerah tertentu dalam kawasan hutan dengan mempertimbangkan kondisi tertentu dari aspek
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
13
keamanan, yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola berbasis tahun jamak (multi years) melalui operasi bakti Tentara Nasional Indonesia. d. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di luar kawasan hutan yang di biayai APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola yang berbasis tahun jamak (multi years) melalui SPKS dengan kelompok tani dengan menggerakkan potensi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pembiayaan untuk menyelenggarakan Gerhan bersumber pada APBN dan APBD, Dana Reboisasi dan/atau sumber-sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. DAK-DR di Jawa Barat
Pemerintah tidak mengalokasikan Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) di Provinsi Jawa Barat.
Sistem Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan Pengendalian meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya Intern RHL dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pada periode 2003 – 2007, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melaksanakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan menggunakan sumber dana yang berasal dari BA 69, BA 29 (Anggaran Departemen Kehutanan), Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) dan sumber dana lainnya dari Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Masing-masing sumber dana ini mempunyai kegiatan yang berbeda tetapi tetap berkaitan dengan RHL. Kegiatan RHL yang menggunakan sumber dana BA 69 adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL adalah suatu kegiatan terkoordinasi yang mendayagunakan segenap kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai. Mekanisme perencanaan, realisasi dan pelaporan anggaran BA 69 menggunakan mekanisme anggaran pemerintah. Organisasi yang terlibat dalam kegiatan GN-RHL adalah unit-unit kerja Departemen Kehutanan di daerah seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai (BP DAS) dan unit-unit teknis kehutanan yang terkait milik Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. BP DAS mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan bibit secara terpusat bagi keperluan seluruh kegiatan rehabilitasi di wilayah yang menjadi wewenangnya. BP DAS juga mempunyai fungsi untuk menetapkan hutan dan lahan kritis di wilayah kerjanya yang akan menjadi prioritas kegiatan GN-RHL. Pelaksanaan rehabilitasi lahan di serahkan kepada Unit-unit kerja Kehutanan di Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan melibatkan kelompok-kelompok tani dan masyarakat. Khusus untuk yang terkait dengan rehabilitasi di kawasan hutan konservasi dilakukan oleh UPT Departemen Kehutanan Balai Konservasi Sumber Daya Hutan (BKSDA) dan untuk kawasan hutan lindung dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Sumber dana RHL lainnya seperti DAK-DR dan Dana Murni APBD mempunyai kegiatan yang serupa dengan BA 69 hanya mekanisme anggarannya menggunakan mekanisme APBD Kabupaten/Kota. Organisasi RHL yang menggunakan sumber dana diluar BA 69 melibatkan sepenuhnya unit-unit kerja milik Pemda Kabupaten/Kota. Khusus untuk DAK-DR Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
14
penggunaannya dibatasi hanya untuk kegiatan terkait dengan reboisasi lahan di kawasan hutan dan eks hutan. Berdasarkan hasil pemahaman, evaluasi dan review terhadap Sistem Pengendalian Intern Rehabilitasi Hutan dan Lahan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Organisasi RHL
Pelaksanaan RHL melibatkan dua organisasi pemerintah pusat dan daerah yaitu Departemen Kehutanan beserta UPT-UPTnya di daerah dan Dinas-dinas Kehutanan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Organisasi yang berbeda ini cenderung akan mempersulit untuk melakukan koordinasi pelaksanaan RHL di lapangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan kegiatan-kegiatan RHL yang menjadi tidak efektif dan boros karena tidak adanya koordinasi dalam pencairan anggaran, pengadaan bibit dan penentuan lokasi rehabilitasi yang dibiayai dengan DAK-DR. Masih banyak pengadaan bibit yang tidak sesuai dengan kondisi ekologis dan lingkungan areal yang akan di rehabilitasi.
Anggaran RHL
Anggaran RHL terdiri dari BA 69, DAK-DR dan Sumber Dana lainnya. Masing-masing anggaran ini mempunyai mekanisme anggaran yang berbeda, BA 69 menggunakan mekanisme APBN dan Sumber Dana lainnya menggunakan mekanisme APBD. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan banyaknya kegagalan penanaman Rehabilitasi Hutan dan Lahan karena terlambatnya proses pencairan anggaran khususnya yang terkait dengan BA 69 dan pengadaan bibit yang terkesan terburu-buru sehingga berpotensi meningkatkan risiko ketidaksesuaian pemilihan jenis bibit. Pemerintah telah memperbaiki mekanisme ini dengan mengeluarkan PP No.89 Tahun 2007.
Kebijakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah pusat untuk GNRHL dan Pemerintah Daerah untuk RHL yang menggunakan sumber dana DAK-DR. Pemerintah pusat membuat berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan kegiatan GN-RHL dengan mengacu kepada UU No. 5 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 41 tahun 1999, PP No. 68 tahun 1998, PP No. 25 tahun 2000, PP No. 34 tahun 2002, PP No. 35 tahun 2002, Keppres RI No. 102 tahun 2001, Keppres RI No. 228 tahun 2001. Keppres RI No.80 Tahun 2003 dan SKB Menteri Koordinator Kesra, Menko Perekonomian dan Keuangan dan Menko Bidang Politik dan Keamanan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan permasalahan terkait dengan lemahnya kebijakan terkait dengan penentuan lahan dan hutan yang akan di rehabilitasi. Masih ditemukan kegiatan-kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dilakukan dilokasi yang tidak berhubungan dengan fungsi DAS seperti kegiatan penghijauan di wilayah yang bukan hutan kota. Pengalihan fungsi areal yang telah di rehabilitasi menjadi areal pusat bisnis dan areal lainnya. Disamping hal diatas, ditemukan juga kelemahan kebijakan pelaksana dilapangan terkait dengan pemilihan bibit yang lebih memperioritaskan keinginan kelompok tani dan atau masyarakat tanpa memperhatikan ekosistem dan ekologis wilayah. Pemerintah juga cenderung kurang melakukan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga masih ditemukan masyarakat yang memilih bibit murni hanya untuk kebutuhan jangka pendek (ekonomi) tanpa memperhatikan aspek ekologis dan kesinambungan daya dukung lingkungan.
Perencanaan
Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan mengarah pada tujuan untuk memulihkan hutan
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
15
dan lahan dalam rangka perbaikan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan mendasarkan pada masing-masing kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya penyusunan rencana RHL dilaksanakan secara terpadu dari atas dan dari bawah (top down and bottom up planning). Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS diwilayah kerja BP DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003 – 2007). Mengacu kepada Rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Kabupaten/kota disusun berdasarkan kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi. Dengan mendasarkan pada RTT, disusun Rancangan Teknis Kegiatan (Rantek) yang memuat kegiatan teknis secara rinci (bestek) dari setiap komponen pekerjaan yang meliputi rancangan pekerjaan fisik, anggaran dan tata waktu. Prosedur Kerja
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan GN-RHL, Menteri Kehutanan telah menerbitkan pedoman teknis dan petunjuk pelaksanaan, antara lain: 1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V//2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GN-RHL tahun 2004; 2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2005; 3. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.81/Menhut-V/2006 tentang Penyelenggaraan Dan Sasaran Kegiatan GN-RHL Tahun 2006; 4. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2007. Dalam pedoman dan petunjuk pelaksanaan tersebut telah diatur mengenai pelaksanaan penyediaan bibit, pembuatan tanaman reboisasi hutan lindung dan hutan produksi, pembuatan tanaman hutan rakyat, pembuatan tanaman penghijauan kota, pembuatan tanaman turus jalan dan pembuatan bangunan konservasi tanah serta pelaksanaan penilaian kinerja kegiatan GNRHL.
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
16
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA
Pemantauan Tindak Lanjut
BPK selama periode 2003 s.d.. 2006 belum melakukan pemeriksaan atas kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di Provinsi Jawa Barat maupun kegiatan RHL di Kabupaten/Kota se-Provinsi Jawa Barat yang dananya bersumber dari APBN atau APBD.
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
17
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN
Pelaksanaan RHL
Degradasi hutan dan lahan di Indonesia saat ini telah menjadi keprihatinan banyak
di Provinsi Jawa
pihak baik nasional maupun internasional. Secara indikatif, kawasan hutan dan
Barat Belum Dapat
lahan yang mengalami kerusakan dan perlu direhabilitasi mencapai seluas + 56
Meningkatkan
juta hektar, dengan laju deforestasi sebesar 1,5 juta sampai 2,8 juta per tahun
Kualitas Daerah
(data Baplan Tahun 2000). Kerusakan hutan dan lahan tersebut telah
Aliran Sungai
mengakibatkan bencana alam antara lain berupa banjir, tanah longsor dan
(DAS) dan
kekeringan. Bencana tersebut telah menimbulkan kerugian besar berupa
Lingkungan.
kerusakan infrastruktur, berbagai aset pembangunan serta terganggunya kehidupan masyarakat. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas kawasan hutan dan lahan yang dapat mendukung lingkungan termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk-Citanduy dan Citarum-Ciliwung, maka pemerintah melaksanakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pelaksanaan rehabilitasi tersebut antara lain dengan melaksanakan kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). GN-RHL dilaksanakan dalam kurun waktu 2003 – 2007 oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan BP DAS dan Unit Teknis Pemerintah Daerah. Diharapkan dalam kurun waktu 5 tahun tersebut, UPT Departemen Kehutanan dan unit teknis daerah dapat merehabilitasi hutan dan lahan seluas 302.528 Ha sehingga dapat meminimalisasi kemungkinan terjadinya bencana dan menurunnya kualitas DAS di sekitar wilayah kerjanya. 1. Berdasarkan data lahan kritis yang ada pada BP DAS Cimanuk-Citanduy dan BP DAS Citarum-Ciliwung, diketahui bahwa tingkat Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang diperoleh dari sumber dana APBN dalam kurun waktu 2003 – 2006 hanya mencapai 21,34% dari luas lahan kritis dengan rincian sebagai berikut:
No A 1 2 3 4 5 6 7 8
Kabupaten JABAR Bandung Subang Purwakarta Karawang Cianjur Sukabumi Bogor Bekasi
Luas Lahan Kritis Ha
Jumlah 2003-2006 Ha
Sisa Lahan Kritis Ha
59.481,20 21.173,80 10.351,90 13.841,10 82.302,80 88.031,90 45.108,00 13.454,40
12.991,16 5.730,00 8.579,90 766,45 16.004,06 13.185,00 8.857,60 1.595,00
46.490,04 15.443,80 1.772,00 13.074,65 66.298,74 74.846,90 36.250,40 11.859,40
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
Prosentase
21,84% 27,06% 82,88% 5,54% 19,45% 14,98% 19,64% 11,85%
18
9 10 11 12 13 14 15
Sumedang Kota Bandung Kota Cimahi Kota Sukabumi Kota Bogor Kota Depok Kota Bekasi
B 16 17 18 19 20 21
6.000,00 452,60 310,90 160,80 883,50 729,00 444,60
3.628,53 200,00 275,00 225,00 200,00 215,00 200,00
2.371,47 252,60 35,90 -64,20 683,50 514,00 244,60
60,48% 44,19% 88,45% 13,93% 22,64% 29,49% 44,98%
Jumlah JABAR
342.726,50
72.652,70
270.073,80
21,20%
BANTEN Tangerang Serang Pandeglang Lebak Kota Tangerang
7.010,00 10.828,40 21.427,60 110.964,90 1.804,90
800,00 4.660,00 13.537,00 12.856,00 300,00
6.210,00 6.168,40 7.890,60 98.108,90 1.504,90
11,41% 43,03% 63,18% 11,59% 16,62%
2.615,00
1.311,00
1.304,00
50,13%
Jumlah BANTEN
Cilegon
154.650,80
33.464,00
121.186,80
21,64%
TOTAL
497.377,30
106.116,70
391.260,60
21,34%
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa realisasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan selama kurun waktu 2003 – 2007 adalah seluas 106.116,70 Ha atau lebih rendah seluas 391.260,00 Ha (21,34%) dari target rehabilitasi seluas 497.377,30 Ha. Hal tersebut tidak sesuai dengan Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan No.18/Kep/Menko/Kesra/X/2003 tanggal 3 Oktober 2003 Butir C yaitu: 1. Point (1) Sasaran program a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. c. Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL d. Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL. 2. Point (2) Sasaran Luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap. Hal ini mengakibatkan : 1. Kualitas Daerah Aliran Sungai Cimanuk-Cintanduy dan Citarum-Ciliwung menjadi menurun sehingga berpotensi meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. 2. Kualitas hutan dan lahan yang kritis dan tidak direhabilitasi akan semakin kritis dan sulit untuk di rehabilitasi. Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
19
Hal tersebut disebabkan oleh BP DAS dan Dishut Kabupaten/Kota kurang optimal melakukan pembangunan kapasitas penduduk atau masyarakat agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan penduduk untuk menjaga hutan dan merehabilitasi hutan dan lahan. Atas temuan-temuan tersebut, Dishut Kabupaten menanggapi bahwa Persentase luasan rencana GN-RHL disesuaikan dengan skala prioritas dan ketersediaan anggaran, tidak terkait dengan keterlambatan turunnya anggaran. Gerhan adalah gerakan moral untuk membangkitkan dan mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat. Target 3.000.000 Ha dalam 5 tahun adalah hanya + 5% dari luas lahan yang terdegradasi, maka untuk menyelesaikan target tersebut perlu diupayakan adanya anggaran dari sumber dana lain. Upaya percepatan rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat, selain dari sumber dana APBN, juga difasilitasi dari dana APBD I dalam bentuk kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) maupun APBD II. Tidak semua lahan kritis yang ada di Wilayah BP DAS Cimanuk-Citanduy dan Citarum-Ciliwung dapat direhabilitasi dalam waktu kurang dari
5 tahun, hal
tersebut dikarenakan cukup luasnya lahan kritis baik didalam maupun diluar kawasan secara nasional yang harus direhabilitasi, sementara target nasional dan penganggaran yang tersedia terbatas. Berdasarkan tanggapan tersebut, BPK berpendapat bahwa semua pihak termasuk BP DAS di wilayah Jawa Barat harus berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas Rehabilitasi Hutan dan Lahan di wilayahnya. Upaya tersebut harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya pusat dan daerah yang tersedia serta meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat. Berdasarkan Surat Sekretaris Ditjen RLPS No.S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK menyarankan Menteri Kehutanan agar menginstruksikan Dirjen RLPS memerintahkan Kepala BPDAS CimanukCitanduy dan Citarum-Ciliwung berkoordinasi dengan unit pelaksana teknis terkait di daerah untuk meningkatkan kapasitas penduduk dalam pelaksanaan RHL. Pemilihan Bibit
BP DAS Cimanuk-Citanduy melakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan kritis untuk
Tanaman GN-RHL
meningkatkan kualitas Daerah Aliran Sungai. Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Tidak
tersebut dilakukan dengan menanam tanaman jenis kayu-kayuan dan Multi
Memperhitungkan
Purpose Tree Species (MPTS). Pemilihan bibit tanaman baik kayu-kayuan dan
Kondisi Lahan
MPTS sangat memegang peranan penting bagi keberhasilan Rehabilitasi Hutan
Sehingga
dan Lahan. Bibit kayu-kayuan dan MPTS di pilih dengan mempertimbangkan
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
20
Meningkatkan
tujuan penanaman dan kondisi ekologis dari lahan penanaman. Diharapkan BP
Risiko Kegagalan
DAS dapat meningkatkan kualitas tanaman dengan memilih bibit yang sesuai dan
Tanaman
paling optimum bagi lokasi lahan yang akan ditanam. Departemen Kehutanan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) telah melakukan penelitian terhadap kondisi ekologis beberapa lahan di wilayah Jawa Barat. UPT BPTH telah membagi wilayah Jawa Barat menjadi beberapa zona-zona dengan dilengkapi jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk masing-masing zona. Berdasarkan hasil perbandingan antara pemilihan jenis bibit yang pengadaannya oleh BP DAS dan jenis bibit berdasarkan zona UPT BPTH pada 7 (tujuh) dari 25 (dua puluh lima) kabupaten di wilayah Jawa Barat diketahui bahwa pengadaan bibit oleh BP DAS tidak sesuai dengan jenis bibit berdasarkan zona UPT BPTH dengan perincian sebagai berikut : No
Kabupaten
Jenis Tanaman Yang Digunakan
Kayu-kayuan Jati, Mahoni, Suren, Manglid, albazia, Eucalyptus Jati, Mahoni, Suren, Manglid
1
Garut
2
Sumedang
3
Majalengka
Jati lokal, Mahoni, Suren, Manglid
4
Indramayu
5
MPTS Mangga,Petai, Durian,Alpukat
Zona
Jenis Tanaman sesuai Zona Benih Tanaman
3.1
Akasia,kayumanis, pinus
Mangga, Petai, Alpukat, Sukun, Nangka Mangga, Petai, Rambutan, Alpukat, Durian
5.1
Suren,meranti,dammar minyak,rasamala, puspa, pinus Akasia,kayumanis, pinus
Jati, Mahoni, Suren, Eucalyptus, Manglid, Mangrove
Mangga
1.1
Mangrove,bakau, cemara laut, pulai,ketapang,jati
Kuningan
Jati, Albazia
Mangga, Petai
2.2
6
Ciamis
Jati, Manglid, Mahoni, Pulai
Petai, Durian
4.2
Mamba,johar, kayuputih,mahoni,jati Puspa,bungur,akasia, mahoni,jati
7
Tasikmalaya
Mahoni, Manglid
Durian, Manggis, Kemiri
4.2
3.1
Puspa,bungur,akasia, mahoni,jati
Sumber data: Zona Bibit yang diterbitkan oleh BPTH
Pengujian lebih lanjut atas kualitas tanaman yang tidak sesuai dengan zona UPT BPTH tersebut mengungkapkan hal-hal sebagai berikut : 1. Pada Kabupaten Garut terdapat bibit tanaman jenis MPTS rambutan dan durian sebanyak 1.540 batang senilai Rp7.700.000,00 untuk pengkayaan hutan rakyat sebanyak 50% dalam keadaan mati. 2. Pada Kabupaten Sumedang untuk pembangunan hutan kota sebanyak 11.000 batang jenis kayu-kayuan senilai Rp54.000.000,00 sebanyak 90% dalam keadaan mati. 3. Pada Kabupaten Majalengka tanaman jenis MPTS dan kayu-kayuan sebanyak 48.340 batang untuk pengkayaan hutan rakyat sebanyak 60-70% Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
21
dalam keadaan mati. Hal tersebut tidak sesuai dengan : 1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 November 2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2005
Bab II
Penyusunan Rancangan Bagian B Pengumpulan Data dan Informasi yaitu informasi yang dikumpulkan yaitu informasi bio fisik meliputi topografi, curah hujan/musim tanam, tanah/lahan, jenis tanaman, sarana prasarana, pola tanam setempat. 2. Keppres No.80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Bagian Kedua Pengguna barang/jasa bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan. 3. Zona Benih Tanaman Hutan Jawa dan Madura kerjasama Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan dengan Indonesia Forest Seed Project Desember 2001: Zona Benih sebagai alat untuk memilih sumber benih yang tepat. Hal tersebut mengakibatkan penanaman yang tidak menggunakan bibit tanaman yang sesuai dengan ekologis penanaman akan meningkatkan risiko rusaknya ekosistem pada daerah tersebut dan meningkatkan risiko kegagalan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, terjadi karena : 1. Kurangnya koordinasi antara BP DAS dan BPTH dalam pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2. Perencanaan penanaman termasuk pengadaan bibit tanaman hanya mengacu kepada keinginan para kelompok tani tanpa memperhitungkan aspek ekosistem dan ekologis. Hal tersebut disebabkan : 1.
Kurangnya koordinasi antara BPDAS dan BPTH dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan.
2.
Perencanaan penanaman termasuk pengadaan bibit tanaman hanya mengacu kepada keinginan para kelompok tani tanpa memperhitungkan aspek ekosistem dan ekologis.
Atas temuan BPK tersebut Kepala BP DAS Cimanuk-Citanduy dan CitarumCiliwung menanggapi bahwa perencanaan jenis tanaman dilakukan secara bottom-up dengan mempertimbangan jenis tanaman yang banyak tumbuh di wilayah tersebut. Jenis tanaman (kayu-kayuan dan MPTS) yang dikirim ke kelompok tani pelaksana GN-RHL adalah sesuai usulan masing-masing Dinas Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
22
Kehutanan Kabupaten/Kota. (Dituangkan dalam BA Kesepakatan Jumlah dan Jenisnya dari masing-masing Kabupaten). Dinas Kehutanan Kab/ Kota mengusulkan jenis tanaman ke BP DAS , didasarkan pada pertimbangan usulan masing-masing kelompok dan pertimbangan teknis/ kessuaian tempat tumbuh tanaman yang akan diusahakan. Adapun kematian tanaman sebesar 40%-50%, bukan disebabkan perencanaan jenis yang kurang tepat, namun lebih disebabkan karena penanaman diakhir musim hujan dan sebagai akibat kelambatan turunnya anggaran. Kematian tanaman MPTS juga disebabkan karena sifatnya yang secara umum memerlukan pemeliharan yang lebih intensif dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan. Berdasarkan Surat Sekretaris Ditjen RLPS No.S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. Berdasarkan tanggapan tersebut, BPK berpendapat bahwa pemilihan bibit yang hanya mempertimbangkan usulan masing-masing kelompok tani tanpa mempertimbangkan kondisi ekologis dan ekosistem akan cenderung mengurangi kualitas daya dukung tanaman atas lingkungannya. Berkenaan dengan hal tersebut di atas BPK menyarankan Menteri Kehutanan memerintahkan Dirjen RLPS agar: 1. Meningkatkan koordinasi antara BP DAS dan BPTH dalam melaksanakan kegiatan RHL 2. Meningkatkan pembangunan kapasitas kelompok tani supaya memahami hakekat rehabilitasi hutan dan lahan yang selain aspek ekonomi juga perlu mempertimbangkan aspek ekologis dan ekosistem.
Pembangunan Penghijauan/Hutan Kota di Kota Bogor dan Hutan Kota di Kabupaten Sumedang Tidak Sesuai Peruntukkannnya Sebesar Rp84.831.050,00.
Dalam rangka keberhasilan pembuatan hutan kota perlu dilakukan sosialisasi untuk menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya hutan kota. BP DAS Cimanuk-Citanduy dan BP DAS Citarum-Ciliwung Provinsi Jawa Barat melalui Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan sesuai Rencana Teknis Tahunannya (RTT) dan Rencana Tata Ruang Wilayahnya (RTRW) Tahun 2005, melaksanakan pembuatan tanaman atau
penghijauan
lingkungan/hutan kota. Sebagai akibat pembangunan yang terus meningkat di perkotaan tanpa menghiraukan lahan yang semula ditempati vegetasi, maka produksi oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia semakin berkurang, sebaliknya polutan dan gas karbonmonoksida semakin tinggi karena asap kendaraan bermotor dan limbah
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
23
industri semakin meningkat. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pembuatan hutan kota. Namun dalam pelaksanaannya, pemilihan lokasi hutan kota tidak sesuai dengan hakekat kegiatan GN-RHL yaitu dilakukan pada lokasi yang tidak termasuk kategori lahan kritis. Hutan kota dimaksud berada pada Kabupaten Sumedang dan Kota Bogor, dengan perincian sebagai berikut: 1. Pada BP DAS Cimanuk-Citanduy Bandung (Kabupaten Sumedang) Berdasarkan Rencana Teknis
Tahunan Kegiatan Pembuatan Tanaman
Penghijauan Kota Tahun 2005, BP DAS Cimanuk-Citanduy Bandung telah melakukan Kegiatan penanaman Penghijauan Hutan Kota yang dilaksanakan oleh CV Gita Citra Konsultindo dengan Kontrak No.SPPP.284/BP.DAS.CKY.1/ 2006 tanggal 2 Pebruari 2006 senilai Rp967.630.500,00 dan telah dibayar 100 % dengan SPM No.00025/IV-K.11/SPM.3/2006 tanggal 11 April 2006. Dari laporan hasil pendistribusian bibit diketahui bahwa penanaman hutan kota dilakukan di Blok Toga Desa Sukajaya Kecamatan Sumedang Selatan dengan jumlah dan jenis bibit sebagai berikut: No
Jenis Bibit 1 1 2 3 4
2 Lame Kayu Manis Kenari Puspa Total
Jumlah (Batang) 3 4.500 2.250 2.250 2.000 11.000
Harga Satuan (Rp) 4 5.000 5.000 5.000 4.500
Jumlah (Rp) 5(3x4) 22.500.000 11.250.000 11.250.000 9.000.000 54.000.000
2. Pada BP DAS Citarum-Ciliwung Bogor (Kota Bogor) Berdasarkan Rencana Teknis Kegiatan Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota Tahun 2005 diketahui penanaman hutan kota dilakukan pada 5 (lima) Kecamatan Tanah Sereal dan 25 (dua puluh lima) Kelurahan dengan jumlah dan jenis bibit adalah sebagai berikut: No 1 1 2 3 4 5 6
Jenis Bibit 2 Rambutan Durian Bungur Rasamala Puspa Tanjung Total
Jumlah (Batang) 3 3.515 1.315 2.485 1.860 655 1.170 10.000
Harga Jumlah (Rp) Satuan (Rp) 4 5(3x4) 2.170 7.627.550 3.100 4.076.500 3.100 7.703.500 3.100 5.766.000 3.100 2.030.500 3.100 3.627.000 30.831.050
Hasil pemeriksaan mengungkapkan beberapa hal sebagai berikut: a. Lokasi Kabupaten Sumedang Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
24
1) Penanaman dilakukan di Bukit Toga yang merupakan kawasan hutan lindung dimana di dalam kawasan tersebut telah dibangun Pusat Bisnis Pariwisata ”Toga Resor dan Spa” yang merupakan milik dan dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang. Disamping itu penanaman bibit RHL pada lokasi pusat bisnis tersebut dilakukan dengan menggunakan dana APBN. 2) Penanaman dilakukan di dalam lahan seluas 25 Ha dengan jenis tanaman yaitu: lame 4.500 batang, kayu manis 2.250 batang, kenari 2.250 batang dan puspa 2.000 batang dengan kondisi saat ini hampir 90% tanaman kayu manis, kenari dan puspa dalam keadaan mati. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani diperoleh informasi bahwa jenis tanaman yang ditanam adalah bukan tanaman asli daerah dan pendistribusian bibit dilaksanakan pada saat musim kemarau. b. Lokasi Kota Bogor 1) Rancangan Teknis Kegiatan Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yaitu Kepala Dinas Agribisnis Kota Bogor, Kepala BP DAS Citarum-Ciliwung maupun oleh Kepala Bidang Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2) Pada lokasi penanaman di Kecamatan Tanah Sereal, diketahui bahwa penghijauan kota dilakukan di tepian Sungai Ciliwung yang bukan merupakan lahan kritis. Penanaman dilakukan pada beberapa titik lokasi. Menurut petugas Dinas Agribisnis diperoleh informasi bahwa penghijauan kota tidak dilakukan di tengah kota Bogor karena pekerjaan tersebut telah dilakukan oleh Suku Dinas Pertamanan, selain itu tidak tersedianya lahan kosong di tengah kota untuk ditanami. 3) Tingkat Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kota Bogor hanya mencapai 22,64% dari luas lahan kritis. Dengan demikian lokasi penghijauan kota bukan merupakan skala prioritas bagi rehabilitasi lahan di kota Bogor. Hal tersebut tidak sesuai dengan : 1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 November 2005 Tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, yaitu pada: a. Lampiran I Bagian Kelima tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan (Hutan Kota, Penghijauan Lingkungan dan Turus Jalan) Sasaran lokasi hutan kota adalah hamparan lahan di wilayah perkotaan sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai peruntukan dalam RTRW Kabupaten/Kota. b. Bab II Penentuan lokasi dan luas didasarkan pada luas wilayah, jumlah penduduk, kondisi fisik kota dan ketersediaan lokasi. Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
25
2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:SK.37/Menhut-V/2004 tanggal 14 Januari 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Tanaman dan Bangunan Konservasi Tanah serta Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Bab II Kriteria dan Standar Penilaian Tanaman
Reboisasi,
yang
menetapkan
bahwa
Rancangan
harus
ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang. Hal ini mengakibatkan : 1. Perubahan fungsi hutan lindung menjadi Pusat Bisnis Pemerintah Kabupaten Sumedang dan penghijauan di luar lahan dan hutan kritis mengakibatkan terjadinya ketidakhematan pengadaan bibit sebesar Rp84.831.050,00. 2. Tingkat keberhasilan rehabilitasi dan penghijauan lahan menjadi rendah karena tidak berdasarkan perencanaan yang baik. 3. Rancangan Teknis Penghijauan Kota Bogor menjadi tidak sah. Hal tersebut disebabkan penunjukkan kawasan rehabilitasi hutan kota dan pengalihan fungsi hutan oleh pejabat daerah tidak mengacu pada peraturan yang ada. Atas temuan tersebut Kepala Dinas Kehutanan Sumber Daya Mineral dan Energi Kabupaten Sumedang menanggapi bahwa dasar acuan pembangunan hutan kota di Kabupaten Sumedang antara lain: 1. Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No.34 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan Perkotaan Ibukota Kabupaten Sumedang; 2. Master Plan Kota Sumedang 2002-2012; 3. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan Ibukota Kabupaten Sumedang; 4. Keputusan Bupati Sumedang No.522.8/Kep.106-Dishutbun/2006 tentang Penunjukan Lokasi Hutan Kota di Kabupaten Sumedang. Atas dasar peraturan tersebut di atas maka wilayah kawasan perkotaan ibukota Kabupaten Sumedang yaitu Kampung Toga, Gunung Palasari serta Gunung Kunci dan sekitarnya telah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Sehubungan kondisi kawasan lindung tersebut khususnya Kampung Toga pada saat ini memiliki penutupan lahan/vegetasi yang belum optimal, sehingga memerlukan upaya rehabilitasi yang salah satunya melalui program pembangunan hutan kota. Kepala Dinas Agribisnis Pemerintah Kota Bogor, menanggapi bahwa: 1. Rencana Teknis Kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Kota telah ditandatangani oleh Kepala Bagian Tata Usaha Pangan dan Holtikultural, sehubungan dengan adanya alih tugas dan jabatan Kepala Balai Pengelolaan Derah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung lama yaitu Ir. Nandang S, maka Rantek Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
26
belum dapat ditandatangani akan tetapi dalam minggu ini akan diajukan secepatnya untuk ditandatangani pejabat terkait. 2. Penanaman penghijauan hutan kota di kota Bogor dilaksanakan di sepanjang kanan kiri sungai Ciliwung dan sekitar mata air karena daerah-daerah rawan longsor dan berada pada kemiringan lebih dari 30 %. Salah satu kriteria lahan kritis adalah kemiringan lahan yang melebihi 30 % , Kota Bogor tidak memiliki lokasi yang luas dan meskipun ada lokasi yang luas, tetapi dimiliki oleh Pengembang/Developer. 3. Penghijauan Hutan Kota di Kota Bogor masih merupakan skala prioritas akan tetapi penghijauan hutan kota tidak dapat dilaksanakan pada satu hamparan yang luas tetapi dibeberapa titik tertentu seperti di lokasi fasum/fasos milik pemerintah daerah. BPK tidak sependapat dengan tanggapan Kepala Dinas Kehutanan Sumber Daya Mineral dan Energi Kabupaten Sumedang karena di lokasi yang dikatakan sebagai hutan lindung telah didirikan bangunan pusat bisnis pariwisata. Berkaitan dengan tanggapan Kepala Dinas Agribisnis Kota Bogor, BPK berpendapat bahwa penggunaan dana GN-RHL harus seoptimal mungkin diarahkan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II serta dilakukan berdasarkan perencanaan yang matang. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK menyarankan agar Menteri Kehutanan : 1. Berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri supaya memberikan sanksi kepada Bupati Sumedang yang mengalihfungsikan hutan lindung menjadi Pusat Bisnis Pemerintah Daerah 2. Memerintahkan Dirjen RLPS menegur Kepala BP DAS supaya lebih selektif dalam menyetujui rehabilitasi hutan dan lahan agar lebih opimal mencapai tujuan GN-RHL.
Pengadaan Bibit
Luas kawasan hutan dan lahan di Jawa Barat berdasarkan data Rencana Hutan
Dengan
dan Lahan 5 (Lima) Tahun mencapai seluas 1.528.600 Ha, diantaranya seluas
Menggunakan GN-
580.397 Ha berada dalam kondisi kritis, terdiri dari 151.689 Ha yang berada di
RHL Untuk
dalam kawasan hutan dan 428.708 Ha di luar kawasan hutan.
Penghijauan Lingkungan Sebesar
Kondisi hutan dan lahan kritis tersebut jika tidak segera direhabilitasi akan berdampak kepada meningkatnya risiko terjadinya banjir, tanah longsor dan
Rp2.570.911.200,00
kekeringan di beberapa wilayah.
Tidak Optimal
Sebagai upaya untuk mengurangi laju pertambahan hutan dan lahan kritis,
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
27
Untuk Mencapai
Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan bersama-sama aparat
Tujuan GN-RHL.
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten telah melaksanakan kegiatan GN-RHL mulai sejak Tahun 2003 sampai dengan 2006 yang antara lain kegiatannya adalah pemberian bibit sebanyak 926.109 batang senilai Rp2.570.911.200,00 kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), rumah-rumah ibadah dan Organisasi Kemasyarakatan untuk penghijauan wilayah pemukiman, areal kosong di lokasi rumah ibadah dan lain-lain . Berdasarkan hasil pemeriksaan atas kegiatan pengadaan dan pemberian bibit untuk kegiatan penghijauan di wilayah Jawa Barat tersebut diketahui hal-hal sebagai berikut : 1. Pemberian bibit sebanyak 926.109 batang tersebut dilakukan kepada 6 (enam) organisasi masyarakat dan lembaga kemasyarakatan yang tersebar di wilayah Jawa Barat. 2. Penanaman bibit-bibit tersebut dilakukan secara swakelola di wilayah yang dikategorikan sebagai hutan rakyat yaitu di tanah pertanian atau tanah kosong milik masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, tanah dan lahan kosong yang berada di dekat rumah ibadah dan areal pemukiman masyarakat. Lahan non hutan yang akan ditanam dengan menggunakan bibit penghijauan dari GN-RHL tersebut bukan merupakan lahan atau hutan kritis yang dapat menimbulkan daya rusak besar dan mempengaruhi tata air Daerah Aliran Sungai. Pemberian bibit untuk kegiatan rehabilitasi lahan yang tidak kritis dan tidak termasuk wilayah prioritas I dan II pada saat target lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II atau yang berdampak langsung kepada kualitas DAS belum tercapai akan cenderung mengurangi kemampuan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat untuk mencapai target yang diharapkan dalam memperbaiki DAS dan mencegah bencana banjir, tanah longsor serta kekeringan. Hal tersebut tidak sesuai dengan Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan No.18/Kep/Menko/Kesra/X/2003 tanggal 3 Oktober 2003 yang menetapkan bahwa : 1. Tujuan GN-RHL adalah untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumber daya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
28
air DAS serta memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. 2. Strategi GN-RHL yang antara lain menyatakan bahwa GN-RHL diprioritaskan pada hutan dan atau lahan kritis yang menimbulkan daya rusak besar. 3. Sasaran Program : a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. c. Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL d. Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL. Hal ini akan mengakibatkan pemerintah kehilangan kesempatan menggunakan dana sebesar Rp2.570.911.200,00 untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II dalam memperbaiki kualitas DAS sekitar dan mengatasi terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan, terjadi karena kebijakan Menteri Kehutanan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan strategi awal kebijakan GN-RHL yang ditetapkan oleh Menko Kesra dalam membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan sejumlah LSM dan Organisasi Masyarakat. Atas temuan tersebut di atas pihak BP DAS (Cimanuk-Citanduy dan CitarumCiliwung) menanggapi bahwa sebagaimana Lampiran I. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-V/2005, tanggal 1 Nopember 2005, bagian kelima pedoman pembuatan tanaman penghijauan (hutan Kota, Penghijauan Lingkungan dan Turus Jalan) GN-RHL Tahun 2005, bahwa organisasi pelaksana pembuatan tanaman penghijauan lingkungan adalah gerakan masyarakat yang mengusulkan. Kegiatan Penghijauan Lingkungan tidak hanya atas usulan Ormas, namun dapat diusulkan oleh Pihak lain (termasuk melalui Dinas Kehutanan) yang menurut penilaian layak untuk dilaksanakan, yang sasarannya fasiltas umum dan sosial seperti halaman sekolah, tempat ibadah/perkantoran/pemukiman, sepadan sungai dan lain-lain (lahan kosong). Fasilitas Pemerintah dalam kegiatan penghijauan lingkungan hanya berupa bantuan bibit, sedangkan biaya penanaman dan pemeliharaannya adalah swadaya masyarakat pelaksana kegiatan. Bentuk-bentuk kegiatan yang Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
29
meningkatkan partisipasi dan swadaya masyarakat perlu terus didorong dan dikembangkan. Atas temuan tersebut akan ditindaklanjuti dengan penyusunan rancangan yang memuat
sket
lokasi
penanaman,
status
kepemilikan
lahan,
nama
pemilik/penggarap serta rincian kebutuhan bibit dan tata waktu penanaman. Berdasarkan Surat Sekretaris Ditjen RLPS No.S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK sependapat dengan tanggapan tersebut bahwa daerah kosong perlu untuk ditanami dengan tanaman tetapi tidak menggunakan dana GN-RHL yang strategi awalnya untuk meningkatkan kualitas DAS dan daya dukung lingkungan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas BPK menyarankan agar Menteri Kehutanan dalam membuat MoU dengan sejumlah LSM dan Organisasi Masyarakat (Ormas) lebih memperhatikan dan mempertimbangkan strategi awal kebijakan GN-RHL dan fokus kepada LSM dan Ormas yang mengelola hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II untuk meningkatkan kualitas DAS dan daya dukung lingkungan. Penanaman Pohon
Areal jalan tol merupakan daerah yang relatif terbuka dan rentan terhadap polusi,
Pada Areal Jalan
baik polusi udara maupun polusi suara. Areal jalan tol tersebut dapat dijadikan
Tol
suatu areal konservasi jenis-jenis pohon, yang penataannya dapat disesuaikan
Cipularang
(Sadang dan By Pass
Padalarang)
Tahun 2006 Tidak Sesuai Ketentuan.
dengan nilai-nilai estetika. Untuk mewujudkan keinginan tersebut Departemen Kehutanan dan Departemen Pekerjaan Umum membuat perjanjian kerjasama penanaman pohon pada areal jalan tol yang tertuang dalam Surat Perjanjian Kerjasama No NK.02/MENHUT-V/2006 tentang penanaman pohon pada areal jalan tol di Indonesia tanggal 8 Nopember 2006. Kerjasama dimaksud meliputi inventarisasi lokasi penanaman, identifikasi jenisjenis tanaman dan penetapan zonasi, inventarisasi lokasi penanaman, penyusunan rancangan, penyediaan bibit tanaman, penanaman, pemeliharaan dan pengamanan. Untuk mendukung hal tersebut, pihak BP DAS CitarumCiliwung mengadakan bibit tanaman dengan pihak CV Nurtani Jaya sesuai dengan kontrak No.789/SPPP/V/BP.DAS.CTW/2006 tanggal 29 Nopember 2006 dengan senilai Rp97.212.500,00. Sedangkan pihak PT Jasa Marga (Persero) menyediakan dana untuk kegiatan
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
30
pembelian bahan pupuk serta pembayaran upah penanaman, pemupukan, penyulaman, pemeliharaan dan pengawasan. Sasaran penanaman pohon pada areal jalan tol di wilayah BP DAS CitarumCiliwung yaitu tol Cipularang (Sadang) sebanyak 14.302 batang dan By Pass Padalarang sebanyak 7.698 batang dengan jenis tanaman flamboyan, bungur, tanjung, kupu-kupu, angsana, asam Jawa dan kayu manis. Mengingat prosentase rehabilitasi lahan kritis di wilayah BP DAS Citarum-Ciliwung hanya mencapai 21,34% dan jalan tol adalah jalan khusus yang penggunaannya diwajibkan membayar tol, maka seharusnya prioritas rehabilitasi adalah pada lahan kritis yang dalam kategori “sangat kritis” dan dari segi finansial PT Jasa Marga (Persero) mampu melakukan rehabilitasi atas lahan jalan tol. Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan atas pengadaan bibit dan penanaman di areal jalan tol, diketahui bahwa kondisi tanaman yang hidup hanya sekitar 50 (lima puluh) persen. Hal tersebut tidak sesuai dengan Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nomor:18/KEP/MENKO/KESRA/X/2003 tanggal 3 Oktober 2003 Butir B Strategi penyelenggaraan GN-RHL menyebutkan pada Point A bahwa harus diselaraskan dengan upaya penekanan laju kerusakan hutan dan lahan dan pada Point (b) bahwa diprioritaskan pada hutan dan atau lahan kritis yang menimbulkan daya rusak besar. Hal tersebut akan mengakibatkan pemerintah kehilangan kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II dalam memperbaiki kualitas DAS sekitar dan mengatasi terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan, yang terjadi karena penyelenggaran penanaman pohon pada areal jalan tol tidak mengacu pada peraturan tentang RHL yang ada. Atas temuan tersebut Kepala BP DAS Citarum-Ciliwung menanggapi bahwa penyediaan bibit untuk penghijauan jalan tol didasari oleh kesepakatan bersama antara Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum No.NK.02/MenhutV/2006 dan No.04/PKS/M/2006 tanggal 8 Nopember 2006 tentang penanaman pohon pada areal jalan tol di Indonesia. Pada tahap awal disediakan bibit sebanyak 22.000 batang untuk penghijauan jalan tol Cipularang, yang penanaman dan pemeliharaan tanaman selanjutnya menjadi tanggung jawab pihak PT Jasamarga sepenuhnya.
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
31
Berdasarkan Surat Sekretaris Ditjen RLPS No.S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK sependapat dengan tanggapan bahwa daerah kosong perlu untuk ditanami dengan tanaman tetapi tidak menggunakan dana GN-RHL yang strategi awalnya untuk meningkatkan kualitas DAS dan daya dukung lingkungan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas BPK menyarankan agar Menteri Kehutanan dalam membuat MoU dengan Menteri Pekerjaan Umum lebih memperhatikan dan mempertimbangkan strategi awal kebijakan GN-RHL untuk merehabilitasi lahan prioritas I dan II dalam rangka meningkatkan kualitas DAS dan daya dukung lingkungan. Pengadaan Bibit Sebanyak 500.000 Batang Untuk Penghijauan Lingkungan Lebih Mahal Senilai Rp979.775.650,00
Dalam rangka memulihkan kondisi lahan dan sumber daya hutan serta lingkungan untuk memperbaiki hutan dan lahan kritis, maka Departemen Kehutanan melakukan kerjasama dengan beberapa Ormas Agama yaitu Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), Muslimat NU, Pemuda Muhammadiyah, PERSIS (Persatuan Islam), Pengurus Besar Nahdhalatul Ulama (PBNU) dan SI (Syarikat Islam) pada BP DAS Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Kerjasama tersebut dilakukan berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri Kehutanan dengan beberapa ormas tersebut diatas. Memenuhi Memorandum of Understanding (MoU) Menteri Kehutanan tersebut di atas, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Cimanuk-Citanduy Jawa Barat dalam melaksanakan kegiatan GN-RHL Tahun Anggaran 2006 , telah mengadakan bibit tanaman untuk Penghijauan Lingkungan sebanyak 500.000 batang senilai Rp1.839.860.250,00 antara lain yang dilaksanakan oleh : 1. PT Tjarata Adiguna Nusantara Kontrak No.SPPP.3871/V/BP DAS.CKY.3/ 2006 tanggal 4 Desember 2006 dengan jumlah bibit sebanyak 398.885 batang senilai Rp1.498.540.500,00 termasuk PPN dan telah dibayar lunas dengan SPM No.620080E/022/110 tanggal 26 Desember 2006 2. PT Hantarja Candra Gemilang Kontrak No.SPPP.3893/V/BP.DAS.CKY.3/ 2006 tanggal 4 Desember 2006 dengan jumlah bibit sebanyak 101.115 batang senilai Rp341.319.750,00 termasuk PPN dan telah dibayar lunas dengan SPM No.620079E/022/110 tanggal 26 Desember 2006 Hasil pemeriksaan dokumen dan konfirmasi kepada Kepala BP DAS Cimanuk-
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
32
Citanduy, diketahui bahwa: 1. Didalam Rancangan Teknis Penghijauan Lingkungan tidak diatur tinggi tanaman/bibit yang digunakan untuk kegiatan penghijauan lingkungan. 2. Harga Perhitungan Sendiri (HPS) yang disusun oleh Panitia Pengadaan Bibit kegiatan GN-RHL/Gerhan tahun 2006 (Penghijauan Lingkungan) ternyata menggunakan standar harga bibit kayu-kayuan minimal setinggi 100 cm dan bibit MPTS tinggi minimal 50 cm, sehingga pengadaan bibit tersebut menjadi lebih mahal sebesar Rp979.775.650,00 dengan rincian kemahalan harga untuk kayu-kayuan sebesar Rp747.775.150,00 dan MPTS sebesar Rp 232.000.500,00. Data lebih rinci terlampir . Hal tersebut tidak sesuai dengan: 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Pasal 12 ayat (1) menyebutkan bahwa pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut: hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan, 2. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-V/Tahun 2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2005 BAB V Standar Hasil yang menyatakan bahwa untuk memperoleh bibit yang berkualitas dalam jumlah yang cukup serta tepat waktu diperlukan standar hasil, kriteria dalam penentuan standar bibit GN-RHL/Gerhan, adalah kualitas bibit, jumlah bibit dan jenis bibit. Secara rinci standar bibit pada masing-masing kegiatan sebagimana tabel Standar hasil pengadaan bibit GN-RHL/Gerhan Nomor urut 11 bahwa Penghijauan Lingkungan untuk jenis Kayu-kayuan dan MPTS tinggi minimal 30 cm (disesuaikan jenisnya) media kompak akar belum keluar dari polybag. Hal ini mengakibatkan ketidakhematan dalam penggunaan dana GN-RHL sebesar Rp979.775.650,00, terjadi karena: 1. Kepala BP DAS tidak mengacu pada Harga Standar yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan yang menggunakan tinggi bibit minimal 30 cm dalam menetapkan HPS. 2. Pengawasan Kepala BP DAS atas pekerjaan bawahannya masih lemah. Atas temuan tersebut Kepala BP DAS menanggapi bahwa sasaran lokasi adalah hutan kota, penghijauan lingkungan dan turus jalan memiliki karakteristik yang sama, sehingga spesifikasi bibit untuk penghijauan lingkunganpun kami samakan Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
33
dengan hutan kota dan turus. Dengan beberapa pemahaman kami terhadap kondisi tersebut serta untuk lebih meningkatkan survival bibit di lapangan maka spesifikasi bibit untuk hutan kota dan turus jalan. Berdasarkan Surat Sekretaris Ditjen RLPS No.S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK menyarankan agar Menteri Kehutanan memerintahkan Dirjen RLPS supaya : 1. Menegur Kepala BP DAS Cimanuk-Citanduy karena mengadakan bibit melebihi standar yang ditetapkan. 2. Memerintahkan Kepala BP DAS Cimanuk-Citanduy untuk meningkatkan pengawasan atas pekerjaan anak buahnya. Kelebihan
BP DAS Citarum-Ciliwung Jawa Barat, telah mengadakan bibit tanaman untuk
pembayaran bibit
Tahun Anggaran 2005 (diluncurkan pada Tahun 2006) sebanyak 154.000
sebanyak 902
batang senilai Rp167.475.000,00, yang dilaksanakan oleh Koperasi Bio
batang senilai
Agroforestri dengan kontrak No.32/SPPP/V/BP. DAS.CTW/2006 tanggal 25
Rp2.390.300,00
Januari 2006. Jangka waktu pelaksanaan selama 45 (empat puluh lima) hari kalender. Kontrak menetapkan bahwa bibit tanaman harus dinilai terlebih dahulu oleh Konsultan Pengawas dhi. PT ASK dan berdasarkan hasil penilaian
ini
kemudian dibuatkan Berita Acara Serah Terima (BAST) dengan BP DAS Citarum-Ciliwung sebagai dasar pembayaran kepada KBAN. Hasil pemeriksaan terhadap dokumen pendukung menunjukkan bahwa pada Berita Acara Penilaian dari PT ASK Tally Sheet No. BSATN hari Kamis tanggal 23 Maret 2006 dilokasi titik bagi Desa Nanggaleng Kecamatan Cipeundeuy Kabupaten Bandung pada Tally Sheet-nya seharusnya bibit diserahkan 3.300 batang ternyata jumlah bibit pada Tally Sheet hanya 2.398 batang atau kurang diserahkan sebanyak 902 batang. Dengan demikian terdapat kelebihan pembayaran kepada KBAN sebesar Rp2.390.300,00 (902 bt x Rp2.650,00). Hal tersebut tidak sesuai dengan Keppres No.42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pasal 12 ayat (2) menetapkan bahwa Belanja atas beban anggaran negara dilakukan berdasarkan atas hak dan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran. Hal tersebut mengakibatkan kerugian negara atas kelebihan pembayaran sebesar Rp2.390.300,00 , disebabkan oleh Kepala BP DAS Citarum-Ciliwung Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
34
tidak teliti dalam memberikan persetujuan pembayaran kepada rekanan. Atas temuan tersebut Kepala BP DAS menanggapi setelah mencermati kembali rekapitulasi hasil pemeriksaan dan tally sheet, pada rekapitulasi yang ditandatangani para pihak tidak ada kekurangan bibit, namun ditemui kekurangan 1 (satu) lembar tally sheet yang saat ini sedang ditelusuri ke pihak LPI yaitu PT Alma. Berdasarkan Surat Sekretaris Ditjen RLPS No.S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. Berkaitan dengan tanggapan tersebut, BPK berpendapat bahwa kebenaran, daftar rekapitulasi yang ditandatangani para pihak dapat diandalkan jika didukung oleh bukti data dari tally sheet. Berkenaan dengan hal tersebut di atas BPK menyarankan Menteri Kehutanan agar memerintahkan Dirjen RLPS untuk memberikan teguran kepada Kepala BP DAS Citarum-Ciliwung untuk lebih teliti dalam memberikan persetujuan pembayaran dan diperintahkan untuk mempertanggung jawabkan kelebihan pembayaran sebesar Rp2.390.300,00 dengan menyetorkan kembali ke kas negara dan bukti setornya disampaikan kepada BPK.
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
35
BAB V KESIMPULAN
Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan isu nasional dan internasional yang penting pada saat ini. Berdasarkan laporan Bank Dunia tentang Kondisi Perubahan Iklim di Indonesia disebutkan bahwa Indonesia termasuk penyumbang terbesar Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan. Gas-gas Rumah Kaca dari Sektor kehutanan antara lain disebabkan oleh pengundulan hutan dan kebakaran hutan. Disamping dampak terhadap perubahan iklim, pengundulan hutan di Indonesia juga sudah sangat merisaukan karena berdasarkan data Baplan tahun 2000 laju kerusakan hutan adalah 1,5 s/d 2,8 juta Ha pertahun. Laju kerusakan yang begitu pesat perlu diikuti dengan upaya yang intensif untuk merehabilitasinya. Pemerintah telah berupaya merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan tersebut dengan melakukan program GN-RHL dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan menggunakan DAK-DR. Upaya yang dilakukan pemerintah melibatkan juga aparat pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota serta masyarakat di wilayah sekitar hutan dan lahan yang rusak. Hasil Pemeriksaan BPK atas pelaksanaan GN-RHL dan RHL dengan DAK-DR di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa secara umum upaya pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Jawa Barat belum berhasil untuk mencapai target yang diharapkan sebelumnya. Dengan mengingat laju pertambahan kerusakan hutan dan lahan diatas maka ketidakmampuan pemerintah mencapai target tersebut lebih lanjut akan berdampak kepada semakin bertambahnya hutan dan lahan yang rusak di Jawa Barat. Disamping itu, masih ditemukan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang boros (tidak hemat), tidak efektif, dan melanggar ketentuan mengakibatkan pemborosan keuangan negara sebesar Rp3.635.517.900,00 dan upaya meningkatkan kualitas DAS Cimanuk-Citanduy dan DAS CitarumCiliwung menjadi tidak berhasil, antara lain sebagai berikut: 1.
Pembangunan penghijauan/hutan kota di Kota Bogor dan Kabupaten Sumedang sebesar Rp84.831.050,00 tidak sesuai peruntukannya sehingga terjadi perubahan fungsi hutan lindung menjadi pusat bisnis Pemerintah Daerah dan penghijauan di luar lahan dan hutan kritis.
2.
Pengadaan bibit dengan menggunakan dana GN-RHL untuk penghijauan lingkungan sebesar Rp2.570.911.200,00 tidak optimal untuk mencapai tujuan GN-RHL sehingga Pemerintah kehilangan kesempatan untuk menggunakan dana sebesar Rp2.570.911.200,00 untuk
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
36
merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II dalam memperbaiki kualitas DAS sekitar dan mengatasi terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan. 3.
Penanaman pohon pada areal jalan tol Cipularang (Sadang dan By Pass Padalarang) Tahun 2006 tidak sesuai ketentuan sehingga Pemerintah kehilangan kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II dalam memperbaiki kualitas DAS sekitar dan mengatasi terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan.
4.
Pengadaan bibit sebanyak 500.000 batang untuk penghijauan lingkungan lebih mahal senilai Rp979.775.650,00 sehingga terjadi ketidakhematan sebesar Rp979.775.650,00.
Kondisi diatas antara lain terjadi karena pemerintah tidak tegas dalam menentukan lokasi RHL hanya di lokasi yang menjadi prioritas DAS, belum sepenuhnya berkomitmen secara berjenjang untuk merehabilitasi hutan dan lahan, kurang melakukan koordinasi diantara pihak yang terkait dan belum optimal meningkatkan sistem anggaran agar terintegrasi dengan proses penanaman.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Barat
37
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
HASIL PEMERIKSAAN SEMESTER II TAHUN ANGGARAN (TA) 2007 ATAS KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (RHL) DI PROVINSI JAWA TIMUR
AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA IV
Nomor : 04/LHP/XVII/01/2008 Tanggal : 31 Januari 2008
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN EKSEKUTIF………............................................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................................................................
1
Dasar Pemeriksaan…….................................................................................................................
1
Standar Pemeriksaan.....................................................................................................................
1
Tujuan Pemeriksaan......................................................................................................................
1
Sasaran Pemeriksaan.……………………………………………………………................................
1
Obyek Pemeriksaan……………………..…...…………………………………………………………...
1
Lingkup Pemeriksaan….................................................................................................................
2
Jangka Waktu Pemeriksaan …………………………………………………………...……………….
2
Metodologi Pemeriksaan................................................................................................................
2
Batasan Pemeriksaan……………………………………. ……………………………………………...
3
Kriteria Pemeriksaan..……………………………………..................................................................
3
BAB II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN ...................................................
4
Hutan di Indonesia : Status dan Fungsi ........................................................................................
4
Kondisi Hutan Indonesia................................................................................................................
4
Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Jawa Timur..............................................................................
6
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan........................................................................................
6
Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan...........................................................................................
8
Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis...........................................................................
9
Pembiayaan RHL...........................................................................................................................
9
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL)..........................................................
9
Anggaran GNRHL di Jawa Timur...................................................................................................
12
Realisasi GNRHL di Jawa Timur....................................................................................................
13
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan...................
13
DAK DR di Jawa Timur..................................................................................................................
14
Sistem Pengendalian Intern RHL...................................................................................................
14
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA ..............
17
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN ............................................................................................................
18
Pelaksanaan GNRHL Tahun 2005-2006 Tidak Mencapai Target yang Ditetapkan dalam Rencana Lima Tahunan................................................................................................................
18
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
i
Pembangunan Hutan Mangrove TA
2004 dan 2005 di Provinsi Jawa Timur Senilai
20
Rp8.051.256.300,00 Mengalami Kegagalan................................................................................. Pembuatan Hutan Rakyat dengan Bibit Tanaman Kayu-kayuan dan Multy Purpose Trees Species (MPTS) Sebagian Mengalami Kegagalan........................................................................
22
Pengadaan Pupuk dan Obat-obatan untuk GNRHL di Kabupaten Kediri Tahun 2005/2006 Terlambat Dilaksanakan................................................................................................................
27
Kegiatan Pemeliharaan Tahun Pertama atas Pembuatan dan Pengkayaan Hutan Rakyat Tahun 2005/2006 dengan Biaya Sebesar Rp80.062.500,00 di Kabupaten Situbondo Kurang Efektif.............................................................................................................................................
29
Penyaluran Dana Pemeliharaan Pertama di Kabupaten Bangkalan Tidak Mendasarkan Hasil Penilaian Pertumbuhan Tanaman.................................................................................................
31
Lelang Pengadaan Bibit pada BPDAS Brantas Dilaksanakan Tidak Sesuai Ketentuan Menimbulkan Ketidakhematan Sebesar Rp549.380.375,00.........................................................
34
Panitia Pengadaan Pupuk Majemuk Lepas Terkendali (PMLT) di Kabupaten Blitar Tidak Profesional Mengakibatkan Ketidakhematan Sebesar Rp65.000.000,00.....................................
37
Penetapan Biaya Upah untuk Pembuatan Tanaman Reboisasi pada Taman Hutan Raya (Tahura) Melebihi Standar Menimbulkan Ketidakhematan Sebesar Rp.523.482.000,00..............
40
Kegiatan Pembuatan Hutan Rakyat dan Pengkayaan Tanaman Hutan Rakyat TA 2006/2007 Tidak Sesuai Ketentuan Menimbulkan Ketidakhematan Sebesar Rp199.500.000,00..................
42
Pelaksanaan Pengadaan Pupuk Bio Kompos di Kabupaten Blitar Menyalahi Ketentuan Mengakibatkan Harga Pengadaan Terlalu Mahal Merugikan Negara Sebesar Rp485.800.000,00.........................................................................................................................
43
Pengadaan Ajir, PMLT serta Peralatan dan Perlengkapan Pertanian di Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur Tidak Sesuai Ketentuan Sebesar Rp81.758.493,50....................................
46
Pengadaan Bibit Tinjang Paket XVI TA 2005/2006 untuk Kabupaten Bangkalan Tidak Sesuai Spesifikasi yang Ditentukan..........................................................................................................
48
Mark Up Harga Penggandaan Buku Rancangan GN-RHL Tahun 2007 di Kabupaten Kediri Tidak Wajar Sebesar Rp20.250.000,00.........................................................................................
50
BAB V KESIMPULAN ...........................................................................................................................
53
LAMPIRAN ...............................................................................................................................................
55
Lampiran 1 Rencana Lokasi dan Luas sasaran RLT RHL di luar Kawasan Hutan, Tahura dan TN BTS.
55
Lampiran 2 Daftar Pertumbuhan Hutan Mangrove TA 2004/2005 di Kab/Kota..........................................
56
Lampiran 3 Daftar Pertumbuhan Hutan Mangrove TA 2005/2006 di Kab/Kota........................................
57
Lampiran 4 Perkiraan Kerugian Karena Kegagalan Pembuatan Hutan Mangrove di Wilayah Propinsi Jawa Timur…………………………………………………………………………………………
58
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
ii
Lampiran 5 Bibit MPTS sebanyak 791.276 batang tidak cocok ditanam di Kabupaten Blitar…………….
59
Lampiran 6 Data Bibit Jati Dan Gmalina Yang Mati Di Kabupaten Situbondo..........................................
60
Lampiran 7 Hasil Uji Petik Pada Tally Sheet Penilaian Bibit Tinjang Kontrak Pengadaan Paket XVITA 2005/2006 Kabupaten Bangkalan………………………………………………………………….
63
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan di Indonesia mempunyai fungsi untuk melestarikan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, melindungi sistem penyangga kehidupan dan memproduksi hasil hutan. Hutan mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Kualitas hutan perlu dipelihara agar dapat berfungsi dengan baik. Kualitas hutan yang buruk seperti kritis dan gundul cenderung mengakibatkan ekosistem yang rusak dan meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dan Instansi terkait lainnya, diketahui luas hutan dan lahan kritis di wilayah Provinsi Jawa Timur khususnya yang berada di SWP-DAS Brantas posisi per tahun 2001 adalah seluas 365.080 Ha, sedangkan luas hutan dan lahan 1.575.285 Ha. Hutan dan lahan kritis seluas 365.080 Ha tersebut harus segera direhabilitasi agar dapat berfungsi dengan normal dan dapat mempertahankan serta meningkatkan kualitas DAS. Pemerintah Pusat dan Daerah telah melakukan upaya merehabilitasi hutan dan lahan melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RL) sejak tahun 2003 s.d. 2007. Kegiatan-kegiatan ini dibiayai dari Dana Reboisasi (DR) yang dipungut dari perusahaan-perusahaan yang melakukan eksploitasi hutan. Jumlah realisasi program GN-RL di Provinsi Jawa Timur khususnya di SWP DAS Brantas posisi per tanggal 31 Agustus 2007 adalah seluas 69.283 Ha, sedangkan target program GN-RL seluas 188.859 Ha. Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) telah melakukan pemeriksaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang dibiayai dengan Dana APBN dan APBD Tahun 2003 s.d. 2007 pada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Brantas, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Dinas Kehutanan Kabupaten Malang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar, Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Lingkugan Hidup Kabupaten Kediri, BP-DAS Sampean-Madura, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bondowoso, Dinas Pertanian Kabupaten Situbondo, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember, Kantor Kehutanan Kabupaten Bangkalan. Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Tahun 2007 dan Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) BPK-RI Tahun 2002. Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai apakah pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah telah sesuai dengan ketentuan, entitas telah menggunakan dana tersebut untuk kegiatan yang sesuai dengan ketentuan, dan kegiatan RHL telah dilaksanakan dengan hemat dan efektif. Sasaran pemeriksaan difokuskan kepada perencanaan RHL, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
iv
Hasil pemeriksaan mengungkapkan bahwa masih ada kelemahan-kelemahan yang mempengaruhi kinerja pelaksanaan RHL di Provinsi Jawa Timur, sebagai berikut : Efektivitas Pencapaian Target GN-RL Realisasi fisik kegiatan GN-RL yang dibiayai dengan dana APBN melalui Program GN-RL Tahun 2003 s.d. 2006 hanya mencapai seluas 69.283 Ha. Hal ini berarti bahwa kegiatan RHL belum dapat mengurangi secara signifikan lahan kritis di wilayah Provinsi Jawa Timur khususnya di DAS Brantas yaitu seluas 365.080 Ha. Pemborosan Penggunaan Dana Dalam RHL Ditemukan pemborosan dalam penggunaan dana RHL sebesar Rp12.408.517.475,00 yang disebabkan oleh lemahnya perencanaan, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman, dengan perincian: 1. Pembangunan hutan mangrove TA 2004 dan TA 2005 di Provinsi Jawa Timur senilai Rp8.051.256.300,00 mengalami kegagalan mengakibatkan tujuan untuk meningkatkan fungsi hutan mangrove sebagai penyangga ekosistem pantai tidak tercapai, yang terjadi karena Dinas Kehutanan atau dinas yang membidangi fungsi kehutanan di daerah yang bersangkutan dan BP-DAS tidak melakukan penelitian terlebih dahulu mengenai prosedur penanaman dan kesesuaian jenis bibit mangrove dengan lahan/lokasi penanaman. 2. Pembuatan hutan rakyat dengan bibit tanaman kayu-kayuan dan Multy Purpose Trees Species (MPTS) di Jawa Timur sebagian mengalami kegagalan yang mengakibatkan salah satu tujuannya untuk pengembangan investasi dan pemanfaatan hasilnya bagi masyarakat tidak tercapai. Hal tersebut terjadi karena kebijakan pengadaan bibit GN-RHL oleh BP-DAS Brantas dan Sampean Madura yang tidak didasarkan pada hasil penelitian kesesuaian dengan agroklimat dan ekosistem lahan serta tidak mendasarkan permintaan dari masyarakat. 3. Penyaluran dana pemeliharaan pertama di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Situbondo tidak mendasarkan hasil penilaian pertumbuhan tanaman mengakibatkan kegiatan pemeliharaan tidak efektif, yang terjadi karena Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten yang bersangkutan tidak tegas dalam menetapkan hasil pencapaian tingkat pertumbuhan tanaman dan kurangnya sosialisasi kepada kelompok tani. 4. Lelang pengadaan bibit pada BP-DAS Brantas dilaksanakan tidak sesuai ketentuan sehingga menimbulkan ketidakhematan pengeluaran negara yaitu hilangnya kesempatan untuk mendapatkan harga yang lebih rendah sebesar Rp549.380.375,00. Hal tersebut terjadi karena Panitia Pengadaan dalam membuat persyaratan dokumen pengadaan tidak sepenuhnya mendasarkan pada ketentuan peraturan perundangan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) masih lemah dalam mengendalikan tugas panitia pengadaan. 5.
Penetapan biaya upah untuk pembuatan Taman Hutan Raya (Tahura) melebihi standar harga yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan mengakibatkan ketidakhematan sebesar Rp523.482.000,00. Hal tersebut terjadi karena Kepala BP-DAS Brantas dan Kepala Bidang RHL dan Kepala Balai Tahura
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
v
R. Soeryo tidak cermat dalam melaksanakan tugas serta Kepala Dinas Kehutanan masih kurang dalam mengendalikan bawahannya. Kepatuhan Entitas Pengelola Dalam Melaksanakan RHL Entitas pengelola menggunakan dana pemerintah pusat dan daerah untuk merehabilitasi hutan dan lahan tidak sesuai dengan ketentuan sehingga merugikan negara sebesar Rp587.808.493,50 dan mengurangi kualitas DAS antara lain pelaksanaan pengadaan pupuk bio kompos di Kabupaten Blitar menyalahi ketentuan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK-RI menyarankan agar dilakukan perbaikan kinerja di masa mendatang dan segera diambil langkah-langkah tindak lanjut sesuai saran/rekomendasi yang dimuat dalam hasil pemeriksaan ini.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penanggung Jawab Pemeriksaan,
HADI PRIYANTO NIP. 240000961
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
vi
BAB I PENDAHULUAN
Dasar Pemeriksaan
Dasar pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah : 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 E; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara; 3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Standar Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK-RI Tahun 2007.
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan atas RHL adalah untuk menilai apakah: 1. Pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah sesuai dengan ketentuan; 2. Entitas pengelola menggunakan dana Rehabilitasi Hutan dan Lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah dilaksanakan dengan ekonomis dan efektif untuk mencapai tujuan RHL.
Sasaran Pemeriksaan
Untuk mencapai tujuan pemeriksaan tersebut maka sasaran pemeriksaan diarahkan pada area kunci kegiatan RHL dengan mempertimbangkan resiko manajemen dari sisi ekonomi, efisiensi dan efektivitas serta kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mempertimbangkan resiko tersebut, maka area kunci pemeriksaan diarahkan pada hal-hal berikut: 1. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2. Pengadaan bibit yang dilaksanakan baik secara swakelola, penunjukan langsung maupun pelelangan kepada pihak kontraktor. 3. Pembuatan dan pemeliharaan tanaman baik yang dilakukan secara swakelola maupun oleh Kelompok Tani. Area kunci pemeriksaan tersebut akan disesuaikan dengan perkembangan pemeriksaan di lapangan dan dari waktu ke waktu pada saat pemeriksaan berlangsung.
Obyek Pemeriksaan
Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Brantas, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Dinas Kehutanan Kabupaten Malang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar, Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Kediri,
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
1
BP-DAS Sampean-Madura, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bondowoso, Dinas Pertanian Kabupaten Situbondo, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember, Kantor Kehutanan Kabupaten Bangkalan. Lingkup Pemeriksaan
Pemeriksaan mencakup TA 2006 s.d. 2007 dan khusus untuk penilaian efektivitas dilakukan terhadap hasil kegiatan periode TA 2003 s.d TA 2007.
Jangka Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan dilaksanakan selama 30 hari, mulai tanggal 4 September 2007 sampai dengan tanggal 3 Oktober 2007 berdasarkan Surat Tugas Anggota/Pembina Auditama Keuangan Neagara IV No.03 /ST/VIII-XIV/08 /2007 tanggal 27 Agustus 2007.
Metodologi Pemeriksaan
Pemeriksaan RHL dilaksanakan dengan menggunakan metodologi pemeriksaan sebagai berikut : 1. Evaluasi dan analisa data dan dokumen yang diberikan oleh Unit Kerja Yang Diperiksa (Unit Kerja). Pemeriksaan RHL yang dilakukan adalah pemeriksaan atas kegiatan yang telah selesai dilaksanakan oleh unit kerja yang diperiksa (Post Audit). Pemeriksa mendasarkan pemahaman dan pembuktian atas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan oleh Unit Kerja. Berkaitan dengan hal tersebut realisasi pengadaan bibit termasuk jumlah yang sebenarnya diserahkan kepada para petani, realisasi penanaman, pemberian pupuk dan kegiatan lainnya dievaluasi dan direview serta diperiksa hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan. Termasuk dalam hal ini pengujian atas keberhasilan penanaman hanya dilakukan dengan menggunakan data dan dokumentasi laporan hasil penilaian lembaga independen. 2. Pengamatan (observasi) Fisik Kelapangan Sebagai upaya untuk menyakinkan realisasi pelaksanaan rehabilitasi hutan, Pemeriksa juga melakukan uji petik secara sangat terbatas ke lokasi penanaman atau RHL. 3. Wawancara Pemeriksaan juga melakukan pengumpulan informasi terkait kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. 4. Uji Petik (sampling) Pemeriksaan dilakukan tidak atas populasi kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pemeriksaan menggunakan mekanisme sampling dengan memperhatikan faktorfaktor seperti ketersediaan sumber daya manusia dan waktu serta risiko terjadinya ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan serta ketidakpatuhan. Pendekatan uji petik ini dilakukan dalam menentukan kabupaten/Kota yang akan diuji petik, lokasi hutan dan lahan yang akan diobservasi, dokumen-dokumen yang akan dibahas dan kegiatan-kegiatan yang akan diuji. 5. Sistem Pengendalian Intern Pemahaman dan evaluasi atas efektivitas sistem pengendalian intern dilakukan untuk
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
2
mengidentifikasikan area kunci, fokus pemeriksaan, daerah yang akan diuji petik dan kegiatan serta dokumen yang akan diuji lebih mendalam. Jika ditemukan kelemahan terkait dengan sistem pengendalian intern maka akan disajikan dalam laporan sebagai temuan tersendiri dan atau bagian dari penyajian temuan pemeriksaan. Batasan Pemeriksaan
Pemeriksaan RHL ini dilaksanakan dengan batasan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan atas tingkat keberhasilan RHL hanya dilakukan atas laporan hasil penilaian yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh unit kerja. BPKRI tidak melakukan penilaian secara khusus atas pelaksanaan rehabilitasi lahan. Untuk wilayah yang belum dilakukan penilaian maka BPK-RI tidak menilai tingkat keberhasilan wilayah tersebut. 2. BPK-RI juga tidak melakukan penilaian atas kebenaran metodologi dan mekanisme penilaian lembaga independen penilai keberhasilan RHL. 3. Pemeriksaan RHL tidak dilakukan atas rehabilitasi hutan dan lahan yang di laksanakan dengan menggunakan dana swasta atau diluar pemerintah.
Kriteria Pemeriksaan
Kriteria atau standar yang digunakan untuk menilai pelaksanaan kegiatan RHL diantaranya adalah: 1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 6. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 7. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 8. Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahan-perubahannya; 9. Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No.09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No.Kep16/M.Ekon/03/2003, No.Kep08/ Menko/Polkam/III/2003 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Hidup Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional; 10. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan No.18/Kep/Menko/Kesra/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL;
Rakyat
11. Berbagai Keputusan Menteri Kehutanan tentang Standar Harga Bibit, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Kegiatan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
3
BAB II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
Hutan di Indonesia Status dan Fungsi
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, status hutan di Indonesia terbagi dua yaitu : 1. Hutan Negara Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat yang ditetapkan statusnya oleh Pemerintah. 2. Hutan Hak Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan di Indonesia memegang peranan yang sangat penting baik dari segi ekonomi dan lingkungan hidup. Secara garis besar terdapat tiga fungsi utama hutan, yaitu : 1. Fungsi Konservasi Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 2. Fungsi Lindung Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3. Fungsi Produksi Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sesuai dengan data Departemen Kehutanan tahun luas hutan di Indonesia adalah sebagai berikut : Tabel 1 : Luas Hutan Berdasarkan Fungsi Kawasan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi Terbatas d. Hutan Produksi Tetap e. Hutan Produksi Yang Dapat Di Konversi f. Fungsi Hutan Khusus Jumlah Luas Daratan Kawasan Hutan Jumlah Luas Kawasan Hutan dan Perairan
Luas (Ha)
a.
23,597,991.57 31,782,576.02 21,717,309.26 35,813,616.43 14,057,816.00 7,268.00 123,459,513.58 126,976,577.28
Sumber : Web Site Departemen Kehutanan (Badan Planologi Kehutanan)
Kondisi Hutan Indonesia
Hutan memenuhi dua pertiga dari luas daratan Indonesia (kurang lebih 120 juta hektar). Hutan Indonesia merupakan habitat tempat 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, serta 17 persen spesies burung dan juga tempat jenis palem terbanyak di dunia. Kenyataan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaaan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
4
Selama 50 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hingga 40% dari seluruh luas hutannya. Laju degradasi hutan/deforestasi di wilayah Indonesia mencapai 1,5 juta Ha sampai 2,8 juta Ha per tahun1. Meskipun keprihatinan akan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari meluasnya kerusakan hutan tropis, tetap saja tingkat kerusakan hutan dan lahan meningkat dengan drastis. Kerusakan hutan tersebut menimbulkan lahan kritis yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Meningkatnya lahan kritis yang merupakan tanda dari kerusakan hutan dan lahan ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak baik secara nasional maupun internasional. Gambar 1 : Hutan dan Lahan Kritis
Departemen Kehutanan telah melakukan inventarisasi atas indikasi luas hutan dan lahan kritis pada tahun 2000 dan 2003. Hasil inventarisasi menunjukkan laju pertambahan hutan dan lahan kritis yang cukup drastis yaitu 177 % dari semula 56,98 juta Ha di tahun 2000 menjadi 100,6 juta Ha di tahun 2003. Pertambahan hutan lahan kritis terutama terjadi di luar kawasan hutan. Gambar 2 : Pertambahan Hutan dan Lahan Kritis 2000-2003 70.000.000 Luas 60.000.000 (Ha) 50.000.000 40.000.000
Dalam Kawasan Luar Kawasan
30.000.000 20.000.000 10.000.000 2000
2003 Tahun
Sumber: Laporan Updating Database RHL, Departemen Kehutanan, 2006
1
Baplan Departemen Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
5
Berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan hutan dan lahan yang mengalami kerusakan lebih dari 67,64 juta Ha yang terdiri atas 39,12 juta Ha dalam kawasan hutan dan 28,52 juta Ha di luar kawasan hutan. Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Jawa Timur
Berdasarkan hasil inventarisasi lahan kritis Provinsi Jawa timur tahun 1997 yang telah disesuaikan tahun 2001 dan inventarisasi sasaran lokasi GN-RHL tahun 2003, luas hutan dan lahan kritis di Provinsi Jawa Timur khususnya SWP BP-DAS Brantas mencapai 365.080 hektar yang terdiri dari lahan kritis dalam kawasan hutan sebesar 98.005 hektar dan luas lahan kritis di luar kawasan hutan sebesar 267.075 hektar, yaitu dengan rincian sebagai berikut: Tabel 2 : Luas Wilayah dan Lahan Kritis di Provinsi Jawa Timur No.
Kabupaten/Kota
Lahan Kritis (Ha) Dalam Kawasan Luar Kawasan
1 2 3 4
Kota Batu Kota Malang Kab. Malang Kab. Blitar
9.287 7.144 373.274 148.188
3.357 19.059 12.260
917 820 57.856 38.714
5 6 7 8 9 10 11
Kota Blitar Kab. Tulungagung Kab. Trenggalek Kab. Kediri Kota Kediri Kab. Nganjuk Kab. Jombang
1.874 131.529 111.815 184.857 7.585 129.391 91.430
14.871 7.324 2.764 16.927 6.544
364 27.864 25.361 17.662 815 26.068 16.824
12
Kab Mojokerto
96.792
11.070
18.282
13
Kota. Mojokerto
1.188
-
195
14
Kab. Pasuruan
156.570
3.829
25.719
15
Kota Pasuruan
3.529
-
1.953
16
Kab. Sidoarjo
64.108
-
175
17
Kota Surabaya
21.643
-
7.486
18
Kab. Ponorogo
4.579
N/A
N/A
19
Kab. Madiun
14.403
N/A
N/A
20
Kab. Gresik
16.108
N/A
N/A
1.575.285
98.005
267.075
Jumlah
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan
Luas Wilayah (Ha)
Kerusakan hutan dan lahan merupakan masalah yang serius yang jika tidak ditangani dengan baik dan serius akan menimbulkan dampak yang besar bagi perekonomian dan lingkungan. Kerusakan hutan dan lahan pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab baik yang disebabkan oleh ulah manusia maupun alam. Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Penebangan hutan (produksi hutan) tanpa upaya rehabilitasi yang optimal. Pemberian Ijin Hak Pengusahaan Hutan kepada perusahaan-perusahaan mendorong kegiatan pemanfaatan potensi hutan seperti kayu. Pemberian ijin pengusahaan hutan ini seyogyanya diikuti juga dengan upaya rehabilitasi atau upaya-upaya lainnya yang menjamin kelestarian hutan di wilayah ijin pengusahaan hutan. Ketimpangan antara upaya pelestarian dan produksi telah meningkatkan penggundulan dan kerusakan hutan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
6
Tabel 3 : Jatah Produksi Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam Tahun 2003 – 2005 No.
Tahun Produksi
Jatah Produksi (M3)
1.
2003
6,892,000
2.
2004
5,743,759
3.
2005
5,456,470
Jumlah
18,092,229
Sumber : SK Dirjen BPK No. 02/Kpts/VI-PHA/2003, No. 47/Kpts/VI-PH/2003 dan No 195/VI-BPHA/2004
Lemahnya pengawasan lapangan terhadap penebangan resmi (berizin) juga memberikan andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal kriteria Departemen Kehutanan mengenai Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sebenarnya sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan lestari yang telah dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. “Tetapi di lapangan, kriteria itu tidak berjalan akibat lemahnya pengawasan,” kata Soekotjo2. 2. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan/atau lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan/atau hasil hutan. Kebakaran hutan ini telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar, yang disebabkan oleh ulah manusia maupun karena faktor alam. Kebakaran hutan dapat disebabkan karena ulah masyarakat dan atau pengusaha yang membutuhkan lahan untuk areal pemukiman dan atau pertanian/perkebunan. Masyarakat dan pengusaha membuka lahan atau melakukan pembersihan lahan (land clearing) dengan cara membakar lahan yang berpotensi merusak lingkungan, menambah kerusakan hutan dan mencemari udara. Selain karena pembukaan hutan, kebakaran hutan juga disebabkan oleh ulah manusia yang membakar sampah dan membuang puntung rokok sembarangan di areal hutan dan lahan serta kondisi lahan yang terbuka sehingga memudahkan terjadinya kebakaran pada waktu musim kemarau yang sangat panas dan lama. Kebakaran hutan dan lahan karena musim kemarau yang sangat panjang dan panas ini banyak terjadi di daerah gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Doktor Soekotjo, kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1997, membuat hampir 70% hutan terbakar. 3 3. lllegal Logging Penjarahan hutan masih tetap berlaku dan terus berlangsung hingga sekarang. Illegal logging terjadi antara lain karena adanya ketimpangan pasokan dan permintaan, lemahnya penegakan hukum, dan masalah kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Illegal logging meningkatkan/mempercepat proses penggundulan dan kerusakan hutan.
2 3
Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia. Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
7
Tabel 4 : Perbandingan antara pasokan dan kebutuhan kayu tahun 1999 Kebutuhan dan Produksi Kayu
Volume (Juta M3)
Kebutuhan Kayu Bulat (1999) a.
Industri Terkait HPH
41,09
b.
Industri tidak Terkait HPH
17,15
Total Kebutuhan per tahun
58,24
Produksi Kayu Bulat (1995 – 1999) Produksi Rata-rata pertahun
25,36
Kesenjangan produksi dan kebutuhan
32,88
Sumber : Rencana Strategic Departemen Kehutanan dan Perkebunan 2001-2005 (Pusat Data dan Perpetaan, Baplan, tahun 2000)
Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Lantaran hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar. 4. Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk mendorong munculnya kebutuhan akan lahan untuk areal pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kebutuhan akan sumber pangan dan bahan baku industri (CPO dan komoditi lainnya) meningkatkan peralihan fungsi hutan menjadi lahan-lahan non kehutanan. Hal inilah yang meningkatkan jumlah penggundulan hutan dan kerusakan hutan dan lahan. Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan
Kerusakan hutan dan lahan akan mengakibatkan antara lain: 1. Rusaknya fungsi konservasi dari hutan telah menimbulkan punahnya keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Harimau Sumatera dan Orangutan di Kalimantan Tengah telah menjadi spesies yang paling langka di dunia. 2. Rusaknya fungsi lindung dari hutan telah mengakibatkan : a. Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau; b. Terjadinya arus permukaan tanah (run-off) pada waktu musim hujan yang dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Bencana ekologi tersebut telah menimbulkan kerugian nasional yang besar berupa kerusakan infrastruktur, berbagai aset pembangunan serta terganggunya tata kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan menyebabkan kemiskinan masyarakat. c. Penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
8
3. Rusaknya fungsi produksi dari hutan telah menurunkan kesuburan tanah yang mengakibatkan turunnya produktivitas lahan dan produksi pertanian menyebabkan turunnya kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Khusus untuk kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan hutan dan lahan akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor. Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan menjadi kurang optimal. Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis
Pemerintah telah berupaya untuk menghutankan kembali lahan kritis dengan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan/RHL (reboisasi/penghijauan) yang meliputi antara lain:
1. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) yang pembiayaannya berasal dari Dana Bagian Anggaran 69 APBN.
2. Program lain yang diupayakan oleh pemerintah daerah seperti Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) APBD. Pembiayaan RHL
Pembiayaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperoleh dari Dana Reboisasi yang dipungut dari pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang Berupa Kayu untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. Dana Reboisasi tersebut disetorkan ke Bendaharawan Penerimaan DR di Departemen Kehutanan oleh Para Pemegang Ijin yang selanjutnya akan disetorkan ke rekening Pemerintah Pusat Khusus Dana Reboisasi. Berdasarkan jumlah yang diperoleh, Pemerintah Pusat membagi DR tersebut 60% menjadi bagian Pemerintah Pusat dan 40% menjadi bagian daerah penghasil. Pemerintah pusat menggunakan DR bagian 60% tersebut antara lain untuk melaksanakan kegiatan GN-RHL. Sedangkan Bagian DR untuk daerah penghasil sebanyak 40% disalurkan dengan cara atau mekanisme DAK-DR/DBH DR.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)
Pemerintah perlu melakukan kegiatan rehabilitasi untuk dapat mencegah laju pertambahan luas hutan dan lahan kritis tersebut. Sampai dengan tahun 2003, pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan skema keproyekan. Namun kegiatan RHL tersebut selalu menghadapi kendala, baik ketidaktersediaan dana yang cukup maupun kendala teknis dan sosial. Hal tersebut yang mengakibatkan pemerintah, sejak tahun 2003 melakukan perubahan skema RHL dengan menggunakan skema Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL melibatkan seluruh stakeholders kehutanan di berbagai jenjang pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan mencakup kawasan hutan dan lahan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No. 09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No. Kep 16/M.Ekon/03/2003, No. Kep. 08/Menko/Polkam/III/2003, tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (TKPLRRN), Pemerintah telah membentuk TKPLRRN yang akan melaksanakan GN-RHL.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
9
Berdasarkan Lampiran Keputusan Menko Kesra/Ketua TKPLRRN No. 18/Kep/MENKO/ KESRA/X/2003 sasaran rehabilitasi hutan dan lahan 5 tahun (2003 – 2007) dari GN-RHL adalah seperti di tabel berikut : Tabel 5 : Sasaran GN-RHL selama 5 tahun Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Total
Area Target (Ha) 300.000 500.000 600.000 700.000 900.000 3.000.000
Prosentase (%) 10,00% 16,67% 20,00% 23,33% 30,00% 100,00%
GN-RHL ini dibiayai dari APBN dan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehinga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Sasaran program dan luas GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Sasaran Program. a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. c. Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL. d. Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL. 2. Sasaran Luas. Sasaran luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap. Ruang Lingkup kegiatan dan wilayah GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Lingkup Kegiatan. Ruang lingkup kegiatan GN-RHL ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu : a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan adalah meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum. b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi adalah meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dan penahan, gully
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
10
plug, pembuatan teras (terasering), sumur resapan, grass barrier, dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan. 2. Lingkup Wilayah. Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani. Rencana lokasi dan luas sasaran disusun berdasarkan kriteria fisik dengan sistem skor dan pertimbangan manajemen daerah, yaitu : 1. Kriteria Fisik : a. DAS Prioritas (SK Menhut No. 284 tahun 1999). b. Indikasi Hutan dan Lahan yang perlu direhabilitasi. c. Daerah rawan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. d. Bangunan vital (waduk/bendung/danau) yang perlu dilindungi. e. Khusus untuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai, mempertimbangkan kriteria kerusakan hutan mangrove dan hutan pantai serta kerawanan bencana abrasi atau tsunami. 2. Syarat : Kriteria fisik tersebut harus dimasukkan kedalam Rencana Teknik Tahunan yang disusun oleh Dinas/Instansi Kehutanan Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah. 3. Pertimbangan Manajemen a. Kinerja RHL Daerah. b. Kelembagaan dan Komitmen di Daerah. c.
Sumberdana RHL lainnya di daerah.
4. Pertimbangan khusus bagi Daerah Kabupaten tertinggal. Rencana lokasi memperhatikan saran pertimbangan inter-departemen yaitu Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Departemen Pertanian. Alokasi indikator tahunan (pulau/provinsi) secara nasional didasarkan atas proporsi luas areal indikatif hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP-DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003-2007), dengan mempertimbangkan kriteria rencana lokasi pusat dan kondisi terakhir lahan kritis DAS. Mengacu kepada rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan Rencana Teknik Taunan (RTT) Kabupaten/Kota disusun berdasarkan pada nilai skor kriteria fisik yang disepakati dinas/instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi dengan memperhatikan sasaran GN-RHL/Gerhan nasional tahun yang bersangkutan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
11
Dalam menentukan alokasi sasaran (jenis kegiatan dan volume) mempertimbangkan : 1. Kinerja pelaksanaan GN-RHL tahun sebelumnya. 2. Kelembagaan dan komitmen daerah. 3. Sumber dana lainnya (DAK-DR/Dana Bagi Hasil), dan 4. Pertimbangan khusus daerah Kabupaten/Kota tertinggal yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Sistem Perencanaan GN-RHL berdasarkan Pedoman Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2005 adalah mengacu kepada kaidah teknis perencanaan RHL, dengan hirarkhi yaitu Pola Umum, Rencana Teknis RHL Lima Tahun, Rencana Teknik Tahunan (RTT) serta Rancangan Teknis Kegiatan. Gambar 3 : Hirarkhi Perencanaan GN-RHL
Anggaran GNRHL di Jawa Timur
Pola Umum RHL
Rencana RHL 5 Tahun
Rencana Teknik Tahunan (RTT)
Ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan Kep No. 20/Menhut-V/2000
Penanganan DAS/Sub DAS, Sasaran Indikatif, Rawan Bencana dan Perlindungan bangunan vital DAS.
Rencana Fisik Pembuatan tanaman dan bangunan konservasi tanah dan air setiap tahun pada satu atau lebih DAS yang berada dalam wilayah Kab/Kota.
Kegiatan RHL dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Bagian Anggaran (BA) 69 yang sebelumnya BA 16 dari Departemen Keuangan. Jumlah anggaran RHL dan realisasinya dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 di Dinas Kehutananan Kabupaten/Kota dan dua BP-DAS yang ada di Provinsi Jawa Timur sebagai berikut: Tabel 6. Anggaran dan Realisasi GN-RHL Provinsi Jawa Timur No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Instansi/Kab/Kota BP-DAS Brantas BP-DAS Sampean Madura Dinas Kehutanan Prov. Jatim Malang Blitar Tulungagung Trenggalek Kediri Nganjuk Jombang Mojokerto Pasuruan Sidoarjo Kota Batu Malang Blitar Kediri Mojokerto Pasuruan Surabaya Balai BTS Jumlah
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
Anggaran (Rp) 133.190.207.400 61.892.284.000 12.194.150.000 12.270.710.000 14.597.750.000 7.666.850.000 9.940.000.000 8.820.250.000 8.793.800.000 10.920.000.000 5.222.500.000 3.657.300.000 2.162.250.000
Realisasi (Rp) 63.755.886.070 24.253.861.950 6.068.612.950 7.800.282.954 11.251.264.000 6.547.047.265 7.371.314.950 7.362.974.000 8.478.363.000 10.176.300.000 4.838.066.000 3.452.290.000 1.628.460.000
1.244.500.000 718.000.000 375.400.000 411.000.000 170.500.000 1.336.200.000 1.180.750.000 2.517.000.000 299.281.401.400
1.244.076.400 622.000.000 375.400.000 411.000.000 170.500.000 916.000.000 751.000.000 1.939.000.000 169.413.699.539
12
Realisasi GNRHL di Jawa Timur
Tingkat pencapaian fisik kegiatan RHL yang bersumber dari dana GN-RHL TA 2004 s.d. 2006 di Provinsi Jawa Timur masih rendah sebagaimana dimuat dalam daftar berikut : Tabel 7: Realisasi GN-RHL No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Satuan Kerja Kabupaten/Kota Kota Batu Kota Malang Kab. Malang Kab. Blitar Kota Blitar Kab. Tulungagung Kab. Trenggalek Kab. Kediri Kab. Kota Kediri Kab. Nganjuk Kab. Jombang Kota Mojokerto Kab. Mojokerto Kab. Kab. Pasuruan Kota Pasuruan Kab. Sidoarjo Kota Surabaya Jumlah
Dalam kawasan (Ha) target realisasi 3.357 N/A N/A 19.059 N/A 12.260 N/A N/A 14.871 N/A 7.324 N/A 2.764 N/A N/A 16.927 N/A 6.544 N/A 11.070 N/A N/A 3.829 N/A N/A N/A N/A 98.005 N/A
Luar kawasan (Ha) target realisasi 970 917 515 820 7.682 38.797 10.030 26.454 300 364 6.645 12.993 6.841 18.037 7.825 14.898 350 815 7.210 9.141 8.750 10.280 4.790 7.758 200 195 3.325 22.480 1.200 2.734 1.850 1.224 800 8.582 176.589 69.283
Sumber : RLT DAS Brantas, NA = Data tidak tersedia (Pelaksanaan oleh Perhutani)
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Pada tanggal 3 September 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 89 tahun 2007 tentang GN-RHL. Berkaitan dengan keluarnya peraturan baru ini maka terdapat beberapa perbedaan yang signifikan bagi penunjangan keberhasilan program GN-RHL. Perubahan-perubahan tersebut antara lain : 1. Penyelenggaraan GN-RHL a. Penyelenggaraan GN-RHL berdasarkan prinsip sistem silvikultur dan tahun jamak (multi years). b. Penyelenggaraan GN-RHL yang berupa pembuatan tanaman di kawasan hutan yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara kontraktual yang berbasis tahun jamak (multi years) dengan menggerakkan potensi badan usaha nasional dan daerah serta melibatkan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. c. Penyelenggaraan GN-RHL yang berupa pembuatan tanaman di daerah tertentu dalam kawasan hutan dengan mempertimbangkan kondisi tertentu dari aspek keamanan, yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola berbasis tahun jamak (multi years) melalui operasi bakti Tentara Nasional Indonesia. d. Penyelenggaraan GN-RHL yang berupa pembuatan tanaman di luar kawasan hutan yang dibiayai APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola yang berbasis tahun jamak (multi years) melalui SPKS dengan kelompok tani dengan menggerakkan potensi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
13
2. Pembiayaan untuk menyelenggarakan GN-RHL bersumber pada APBN dan APBD, Dana Reboisasi dan/atau sumber-sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. DAK-DR di Jawa Timur
Pemerintah tidak mengalokasikan Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) di Provinsi Jawa Timur.
Sistem Pengendalian Intern RHL
RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pada periode 2003 – 2007, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan sumber dana yang berasal dari BA 69 (Pembiayaan Lain-Lain) yaitu GN-RHL. GN-RHL adalah suatu kegiatan terkoordinasi yang mendayagunakan segenap kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai. Mekanisme perencanaan, realisasi dan pelaporan anggaran BA 69 menggunakan mekanisme anggaran pemerintah. Organisasi yang terlibat dalam kegiatan GN-RHL adalah unit-unit kerja Departemen Kehutanan di daerah seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan unit-unit teknis kehutanan yang terkait milik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota. BP-DAS mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan bibit secara terpusat bagi keperluan seluruh kegiatan rehabilitasi di wilayah yang menjadi wewenangnya. BP-DAS juga mempunyai fungsi untuk menetapkan hutan dan lahan kritis di wilayah kerjanya yang akan menjadi prioritas kegiatan GN-RHL. Pelaksanaan rehabilitasi lahan diserahkan kepada Unit-unit kerja Kehutanan di Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan melibatkan kelompok-kelompok tani dan masyarakat. Khusus yang terkait dengan rehabilitasi di kawasan hutan konservasi dilakukan oleh UPT Departemen Kehutanan yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan untuk kawasan hutan lindung dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Berdasarkan hasil pemahaman, evaluasi dan review terhadap Sistem Pengendalian Intern Rehabilitasi Hutan dan Lahan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Organisasi RHL
Pelaksanaan RHL melibatkan dua organisasi pemerintah pusat dan daerah yaitu Departemen Kehutanan beserta UPT-UPTnya di daerah dan Dinas-dinas Kehutanan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Organisasi yang berbeda ini cenderung akan mempersulit untuk melakukan koordinasi pelaksanaan RHL di lapangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan kegiatan-kegiatan RHL yang menjadi tidak efektif dan boros karena tidak adanya koordinasi dalam pencairan anggaran, pengadaan bibit dan penentuan lokasi yang direhabilitasi. Masih banyak pengadaan bibit yang tidak sesuai dengan kondisi ekologis dan lingkungan (agroklimat) areal yang akan direhabilitasi.
Anggaran RHL
Anggaran RHL untuk Provinsi Jawa Timur berasal dari BA 69 berupa Program GN-RHL yang menggunakan mekanisme APBN. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan banyaknya kegagalan penanaman rehabilitasi
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
14
hutan dan lahan karena terlambatnya proses pencairan anggaran khususnya yang terkait dengan BA 69 dan pengadaan bibit yang terkesan terburu-buru sehingga berpotensi meningkatkan risiko ketidaksesuaian pemilihan jenis bibit. Kebijakan
GN-RHL dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah pusat. Pemerintah pusat membuat berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan kegiatan GN-RHL dengan mengacu kepada UU No. 5 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 41 tahun 1999, PP No. 68 tahun 1998, PP No. 25 tahun 2000, PP No. 34 tahun 2002, PP No. 35 tahun 2002, Keppres RI No. 102 tahun 2001, Keppres RI No. 228 tahun 2001, Keppres RI No.80 Tahun 2003 dan SKB Menteri Koordinator Kesra, Menko Perekonomian dan Keuangan dan Menko Bidang Politik dan Keamanan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan permasalahan terkait dengan lemahnya kebijakan khususnya penentuan lahan dan hutan yang akan direhabilitasi, pemilihan bibit yang tidak mendasarkan keinginan kelompok tani dan atau masyarakat serta tidak memperhatikan ekosistem dan ekologis wilayah. Pemerintah juga cenderung kurang melakukan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga masih ditemukan masyarakat yang memilih bibit murni hanya untuk kebutuhan jangka pendek (ekonomi) tanpa memperhatikan aspek ekologis dan kesinambungan daya dukung lingkungan.
Perencanaan
Perencanaan RHL mengarah pada tujuan untuk memulihkan hutan dan lahan dalam rangka perbaikan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan mendasarkan pada masing-masing kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya penyusunan rencana RHL dilaksanakan secara terpadu dari atas dan dari bawah (top down and bottom up planning). Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP-DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003 – 2007). Mengacu kepada Rencana RHL 5 tahun tersebut, disusun sasaran kegiatan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Kabupaten/kota berdasarkan kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi. Dengan mendasarkan pada RTT, disusun Rancangan Teknis Kegiatan (Rantek) yang memuat kegiatan teknis secara rinci (bestek) dari setiap komponen pekerjaan yang meliputi rancangan pekerjaan fisik, anggaran dan tata waktu. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perencanaan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para penanggungjawab dan pelaksana kegiatan RHL, yaitu Rencana Teknis yang tidak memuat rencana kegiatan dengan rinci.
Prosedur Kerja
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan GN-RHL, Menteri Kehutanan telah menerbitkan pedoman teknis dan petunjuk pelaksanaan, antara lain: 1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V//2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GN-RHL tahun 2004; 2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2005; 3. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.81/Menhut-V/2006 tentang Penyelenggaraan Dan Sasaran Kegiatan GN-RHL Tahun 2006; 4. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Dan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
15
Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2007. Dalam pedoman dan petunjuk pelaksanaan tersebut telah diatur mengenai pelaksanaan penyediaan bibit, pembuatan tanaman reboisasi hutan lindung dan hutan produksi, pembuatan tanaman hutan rakyat, pembuatan tanaman penghijauan kota, pembuatan tanaman turus jalan dan pembuatan bangunan konservasi tanah serta pelaksanaan penilaian kinerja kegiatan GNRHL. Dalam pelaksanaannya prosedur tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para pelaksana kegiatan. Hal ini masih terlihat antara lain komposisi jenis untuk hutan rakyat yang tidak sesuai dengan ketentuan, pengadaan dan penyaluran pupuk yang tidak sesuai ketentuan, tidak berhasilnya penanaman turus jalan serta pemeliharaan yang tidak seharusnya dibiayai dari APBN.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
16
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA
Pemantauan Tindak Lanjut
Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2004 telah melakukan pemeriksaan atas kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2003 pada BP-DAS Brantas. Tindak lanjut atas temuan pemeriksaan adalah sebagai berikut: 1. GN-RHL Tahun 2003 belum direncanakan dengan baik. Masalah tersebut sudah ditindaklanjuti dengan perbaikan perencanaan. 2. Hasil pengadaan bibit tanaman di Kecamatan Wajak Kabupaten Malang sebagian dalam kondisi rusak, mati dan tidak sesuai spesifikasi teknis. Masalah tersebut sudah ditindak lanjuti dengan mengadakan sulaman atas bibit yang mati.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
17
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN
Pelaksanaan GN-
GN-RHL merupakan upaya yang dilakukan untuk mendorong perbaikan kerusakan
RHL Tahun 2005-
lingkungan pada hutan dan lahan yang terjadi di seluruh Indonesia. GN-RHL
2006 Tidak Men-
diprogramkan dalam lima tahun mulai tahun 2003 sampai dengan 2007 dengan sasaran
capai Target Yang
hutan dan lahan yang rusak pada DAS prioritas I, II dan III berdasarkan Keputusan
Ditetapkan Dalam
Menteri Kehutanan Nomor:284/Kpts-2/1999 tentang Penetapan Urutan Prioritas DAS. Dari
Rencana Lima
seluruh DAS Prioritas di Indonesia termasuk di antaranya terdapat sebanyak 14 DAS
Tahunan.
Prioritas yang terletak dalam SWP DAS Brantas. Rencana Lima Tahun Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RLT-RHL) SWP DAS Brantas memuat sasaran luas serta lokasi hutan dan lahan yang akan ditangani dan jenis kegiatan RHL yang akan dilaksanakan dari tahun 2003 s.d 2007. Penetapan sasaran perencanaan RHL lima tahun yang meliputi sasaran wilayah, lokasi dan kegiatan RHL, adalah sebagai berikut: 1. Sasaran wilayah ditentukan menurut prioritas penanganan DAS/Sub DAS, 2. Sasaran lokasi dan luas hutan/lahan yang akan direhabilitasi ditentukan menurut tingkat kekritisan lahan, 3. Sasaran kegiatan RHL ditentukan menurut standar teknis penerapan kegiatan RHL pada kegiatan fisik dan permasalahan di masing-masing lokasi sebagaimana yang direko-mendasikan dalam Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTL RLKT) DAS/Sub DAS yang bersangkutan. Hasil pemeriksaan terhadap dokumen rencana dan realisasi pencapaian target GN-RHL, diketahui realisasi GN-RHL Tahun 2005 dan 2006 tidak mencapai target yang direncanakan dalam RLT. Berdasarkan RLT SWP DAS Brantas yang ditetapkan pada bulan Desember 2003, BP-DAS menetapkan sasaran rencana lokasi GN-RHL seluas 188.859 Ha yang tersebar pada lahan tegalan, lahan kota dan lahan pantai di sepuluh kabupaten dan tujuh kota di Jawa Timur serta pada Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN. BTS). Untuk melaksanakan RLT-RHL, pihak Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur dan Dinas-Dinas yang membidangi kehutanan Kabupaten/Kota menyusun RTT yang disetujui oleh BP-DAS Brantas. Menurut penjelasan dari BP-DAS Brantas diperoleh infomasi bahwa RLT disusun berdasarkan jumlah luas kekritisan lahan yang ada di wilayah DAS Brantas. RLT diharapkan dapat mengurangi jumlah lahan kritis seluas 185.343 Ha yang terdapat dalam area Luar Kawasan Hutan dan Hutan Konservasi. RTT sendiri disusun berdasarkan usulan dari Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota yang terkait pada setiap tahunnya sehingga ketidaksesuaian sasaran luas lahan yang direhabilitasi pada RTT dengan RLT dapat
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
18
terjadi. BP-DAS Brantas sebagai koordinator setiap tahunnya menerima usulan dari daerah dan menyampaikannya ke Pemerintah Pusat sebagai rencana tahunan kegiatan GN-RHL yang akan dilaksanakan di SWP DAS Brantas sedangkan penyediaan alokasi anggaran GN-RHL tergantung dari Pusat. Jumlah luas lahan yang direhabilitasi dilaksanakan berdasarkan jumlah alokasi anggaran tiap tahun yang diterima. Menurut data RLT, RTT dan realisasi pencapaian target GN-RHL, luas lahan yang dapat direhabilitasi pada tahun 2005 dan 2006 sangat rendah seperti tabel berikut : Tabel 8 : Realisasi RHL Tahun 2005 – 2006
No.
Tahun
RLT (Ha)
RTT (Ha)
Realisasi (Ha)
%
a
b
C
d
e
f = e/c X 100
1
2005
43.029
23.234,60
19.175
44,56
2
2006
43.725
43.196
7.260
16,60
Rincian selengkapnya lihat Lampiran No. 1. Kepmen No.18/KEP/MENKO/KESRA/X/2003 tanggal 3 Oktober 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan GN-RHL poin C yang menyatakan bahwa Sasaran Penyelenggaraan GN-RHL yaitu:
1. Sasaran Program. a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. c.
Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL
d. Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL.
2. Sasaran Luas. Sasaran luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap. Permenhut No: P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2005 Bab II poin A.3.b yang menyatakan bahwa RTT disusun oleh Dinas yang mengurusi Kehutanan Kabupaten/Kota setempat mengacu kepada Rencana RHL 5 Tahun dan memperhatikan acuan lain yang relevan dengan pertimbangan Dinas terkait (PU, Kelautan dan Perikanan, dan Pertanian). Target RHL yang ditetapkan dalam RLT BP-DAS Brantas tidak tercapai mengakibatkan resiko terjadinya bencana lingkungan seperti kekeringan, banjir dan longsor pada wilayahwilayah kritis relatif masih tinggi, yang terjadi karena : 1. Kepala BP-DAS dalam menerima usulan kegiatan GN-RHL dari Dinas Kehutanan Kabupaten/ Kota terkait untuk pengesahan RTT tidak sepenuhnya memperhatikan RLT.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
19
2. Alokasi anggaran kegiatan GN-RHL Bagian Anggaran 69 tidak mencukupi dan turunnya tidak tepat waktu. Atas masalah tersebut, Kepala BP-DAS Brantas menanggapi bahwa pada tahun mendatang BP-DAS Brantas akan lebih cermat lagi dalam menerima usulan kegiatan GNRHL dari Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Sedangkan realisasi yang tidak sesuai dengan rencana disebabkan kegiatan penanaman masih bertumpu dari dana pemerintah pusat. Rencana yang tertuang dalam RTT maupun RLT sifatnya indikatif, dimana pelaksanaannya sangat tergantung sumber anggaran pemerintah. Berdasarkan Surat Sekretaris Jenderal Ditjen RLPS No. S.58/set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan agar meningkatkan upaya untuk menjamin ketersediaan anggaran dan ketepatan waktu turunnya anggaran RHL serta menginstruksikan Dirjen RLPS memberikan teguran kepada Kepala BP-DAS Brantas supaya dalam mengesahkan RTT senantiasa memperhatikan target dalam RLT. Pembangunan
Pembuatan Hutan Mangrove dalam rangka pelaksanaan program GN-RHL tahun 2004 di
Hutan Mangrove TA
wilayah Provinsi Jawa Timur dilaksanakan pada empat kabupaten/kota seluas 470 Ha.
2004 dan 2005 Di
Penanaman untuk pembuatan hutan mangrove tersebut dilaksanakan dengan bibit
Provinsi Jawa
Tinjang dan Api-api sebanyak 5.500 batang/ha atau seluruhnya sebanyak 2.585.000
Timur Senilai
batang (5.500 x 470 Ha). Pembuatan Hutan Mangrove TA 2005/2006 dilaksanakan pada
Rp8.051.256.300,00
12 kabupaten/kota seluas 1.900 ha dengan penanaman bibit 3.600 batang/ha atau
Mengalami
seluruhnya sebanyak 6.840.000 batang (3.600 x 1.900 Ha).
Kegagalan.
Penilaian atas hasil kegiatan penanaman hutan mangrove pada TA 2004 telah dilakukan oleh LPI PT Bumiharmoni Indoguna (BHI). Berdasarkan Laporan Akhir Penilaian Kinerja GN-RHL Tahun 2004/2005 yang diterbitkan oleh PT BHI, diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan hutan mangrove pada tahun tersebut hanya mencapai ± 5,14%. Secara rinci pertumbuhan hutan mangrove TA 2004/2005 di setiap wilayah kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran No. 2. Selanjutnya penilaian atas hasil kegiatan penanaman hutan mangrove pada TA 2005/2006 dilakukan oleh LPI PT Aura Jasa Consulindo (PT AJC). Berdasarkan Laporan Akhir Penilaian Kinerja GN-RHL Tahun 2005/2006 Provinsi Jawa Timur yang diterbitkan oleh PT AJC, diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan hutan mangrove TA 2005/2006 di Provinsi Jawa Timur hanya mencapai ± 27,7%,
secara rinci pertumbuhan hutan
mangrove TA 2005/2006 di setiap wilayah kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran No. 3. Berdasarkan hasil penilaian LPI tersebut, dapat dinyatakan bahwa pembuatan Hutan Mangrove tahun 2004 dan 2005 di wilayah Provinsi Jawa Timur mengalami kegagalan. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
20
Kegagalan tersebut menurut LPI karena waktu penanaman yang salah dan adanya serangan hama pengganggu. Selain itu, karena jenis bibit yang ditanam tidak sesuai dengan kondisi tempat penanaman. Adapun jumlah kerugian karena kegagalan penanaman bibit mangrove tersebut diperkirakan untuk TA 2004 mencapai ± Rp2.878.164.300,00 dan TA 2005 mencapai ± Rp5.173.092.000,00 sehingga jumlah kerugian seluruhnya senilai Rp.8.051.256.300,00 (Rincian perhitungan lihat pada Lampiran No. 4). Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/MenhutV/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman Kegiatan GN-RHL tahun 2005, antara lain memuat bahwa dalam pembuatan hutan mangrove, jenis tanaman dipilih sesuai dengan kondisi ekologis, fisik dan sosial ekonomi masyarakat. Selain itu pemeliharaan (meliputi penyiangan, penyulaman dan pengendalian hama) harus dilakukan setelah penanaman dilakukan. Hal
ini
mengakibatkan
pembangunan
hutan
mangrove
minimal
senilai
Rp8.051.256.300,00 tidak mencapai tujuan untuk meningkatkan fungsi hutan mangrove sebagai penyangga ekosistem pantai, yang terjadi karena Penyusunan Rancangan Teknik Tahunan oleh Kepala Dinas Kehutanan atau Dinas yang diserahi tugas-tugas RHL di daerah yang bersangkutan khususnya mengenai jenis bibit yang akan ditanam di Hutan Mangrove belum didasarkan pada penelitian yang matang. Atas masalah tersebut, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur menanggapi bahwa tingkat keberhasilan pengembangan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu pemilihan dan penetapan jenis tanaman mangrove yang sesuai dengan kondisi tanah dan klimatologi setempat serta pola pikir, perilaku dan partisipasi masyarakat setempat. Menindaklanjuti laporan kegagalan pembuatan mangrove tahun 2005/2006 dari LPI, Dinas Kehutanan Provinsi telah melakukan upaya peningkatan teknik budidaya dengan langkah persiapan yang memadai. Selain itu, pada TA 2005/2006 terdapat penambahan jumlah satker dari 4 satker menjadi 12 satker dan penambahan volume luasan dalam kegiatan penanaman hutan mangrove yaitu dari 470 Ha menjadi 1.900 Ha dengan tujuan sebagai bahan penelitian agar dapat diketahui lokasi dan jenis tanaman mangrove yang sesuai di Provinsi Jawa Timur. BPK-RI menyarankan: 1. Menteri Kehutanan agar menginstruksikan Dirjen RLPS memberikan teguran kepada Kepala BP-DAS dan Kepala Dinas Kehutanan supaya meningkatkan penelitian mengenai pembangunan hutan mangrove dengan modelling skala kecil sebelum dilakukan
pembangunan secara besar-besaran, untuk meminimalkan tingkat
kegagalan. 2. Kepala BP-DAS dan Kepala Dinas Kehutanan yang bersangkutan mempertanggungjawabkan kepada Menteri Kehutanan atas kegagalan pembangunan hutan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
21
mangrove tersebut. Pembuatan Hutan Rakyat Dengan Bibit Tanaman Kayu-kayuan dan Multy Purpose Trees Species (MPTS) Sebagian Mengalami Kegagalan.
Pertumbuhan tanaman pada pembuatan hutan rakyat di empat Kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Timur yang dijadikan sample pemeriksaan, diketahui bahwa beberapa jenis tanaman kayu-kayuan dan MPTS tingkat pertumbuhannya tidak bagus dan banyak yang mati, sebagai berikut: 1. Kabupaten
Blitar,
bibit
MPTS
sebanyak
791.276
batang
senilai
Rp2.350.363.600,00 tidak cocok dengan agroklimat setempat. Kabupaten Blitar mempunyai luas 177.079 Ha yang terbagi dalam 220 desa dan 28 kelurahan yang tersebar di 22 kecamatan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BP-DAS Brantas tahun 2003 di Kabupaten Blitar terdapat lahan kritis milik masyarakat seluas 38.743 Ha. Sebagai upaya pencegahan terjadinya banjir dan tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau maka dilaksanakan Program GN-RHL sejak tahun 2003. Pemilihan lokasi kegiatan GN-RHL Kabupaten Blitar berupa hutan rakyat dengan kemiringan bervariasi hingga lebih dari 45% diantaranya tegalan, pekarangan dan lahan tidur serta lahan pinggir sungai yang membutuhkan tutupan lahan. Jenis pohon yang ditanam di Kabupaten Blitar untuk kayu-kayuan adalah Jati, sedangkan MPTS adalah alpokat, petai, durian, mangga dan lain-lain. Pada pelaksanaan GN-RHL tahun 2003 s.d 2006 dilakukan RHL seluas 10.030 Ha, dengan komposisi tanaman sebagai berikut: Tabel 9 : Jumlah dan Jenis Bibit untuk Kegiatan RHL di Kab. Blitar No
Jenis Bibit
I. Kayu-kayuan 1. Jati 2. Sengon 3. Mahoni 4. Akasia Sub Jumlah I II. MPTS 5. Alpokat 6. Petai 7. Melinjo 8. Rambutan Sub Jumlah II Jumlah
2003 1.700 Ha
Tahun / Luas / Jumlah Bibit 2004 2005 2006 4.860 Ha 2.550 Ha 920 Ha
Jumlah 10.030 Ha
680.000 0 0 0 680.000
2.020.579 7.700 7.700 7.700 2.043.679
785.400 28.600 0 0 814.000
619.130 90.790 1.500 0 711.420
4.105.109 127.090 9.200 7.700 4.249.099
102.000 68.000 85.000 0 255.000 935.000
144.716 105.248 12.752 0 262.716 2.306.395
0 101.750 101.750 0 203.500 1.017.500
25.580 26.000 8.800 9.680 70.060 781.480
272.296 300.998 208.302 9.680 791.276 5.040.375
Dari tabel tersebut diketahui bahwa MPTS yang ditanam sejak tahun 2003 s.d. 2006 sebanyak 791.276 batang dengan nilai sebesar Rp2.350.363.600,00 (rincian perhitungan nilai lihat lampiran No. 5). Hasil pemeriksaan di lapangan pada tanggal 16 dan 17 September 2007 dan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
22
penjelasan dari para kelompok tani empat desa di dua kecamatan yaitu Desa Kali Tengah dan Margomulyo di Kecamatan Panggungrejo serta Desa Pakisaji dan Desa Sumberejo di Kecamatan Kademangan diketahui bahwa tanaman MPTS berupa alpokat, petai dan melinjo yang ditanam hampir semuanya mati, sedangkan yang hidup tingkat perkembangannya sangat lambat. Menurut penjelasan para petani, kondisi tersebut kemungkinan disebabkan ketidakcocokan bibit MPTS dengan agroklimat di wilayah tersebut, sedangkan bibit yang sesuai dengan agroklimat di wilayah Blitar Selatan dan diinginkan oleh petani adalah jati. Hal tersebut dibenarkan oleh pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar, sehingga bibit yang diusulkan ke BP-DAS Brantas adalah bibit jati. 2. Kabupaten Kediri, Bibit Kegiatan GN-RHL Yang Ditanam Sebanyak 264.605 Batang Mati Kabupaten Kediri mempunyai luas 1.386,05 km2 yang terbagi menjadi 344 desa/kelurahan yang tersebar di 24 kecamatan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Lingkungan Hidup (Dishutbunling) Kabupaten Kediri pada tahun 2006 terdapat lahan kritis yang belum ditangani seluas 14.987 Ha yang tersebar pada sepuluh wilayah kecamatan. Pada pelaksanaan GN-RHL tahun 2003 s.d 2006 dilakukan RHL seluas 7.950 Ha, dengan komposisi tanaman sebagai berikut: Tabel 10 : Jumlah dan Jenis Bibit untuk Kegiatan RHL di Kab. Kediri No.
Jenis Bibit
I. Kayu-kayuan 1. Jati 2. Sengon 3. Trembesi 4. Mindi 5. Glodokan Tiang 6. Mahoni Sub Jumlah I II. MPTS 7. Petai 8. Durian 9. Alpukat 10. Srikaya 11. Sirsat 12. Rambutan 13. Mangga Sub Jumlah II Jumlah
2003 600
Tahun / Luas / Jumlah Bibit 2004 2005 2006 5.000 1.700 650
Jumlah 7.950
213.750 14.250 3.000 0 0 0 231.000
1.460.578 25.365 27.420 144.338 0 0 1.657.701
352.505 0 5.695 11.400 0 57.400 427.000
398.350 73.600 6.390 34.300 400 44.125 557.165
2.425.183 113.215 42.505 190.038 400 101.525 2.872.866
48.125 12.375 12.375 8.250 8.250 5.500 4.125 99.000 330.000
239.360 48.785 159.280 0 11.220 101.695 36.960 597.300 2.255.001
62.700 12.375 42.900 0 0 0 40.250 158.400 585.400
56.000 58.800 34.210 2.750 5.280 20.600 23.760 201.400 758.565
406.185 132.335 248.765 11.000 24.750 127.795 105.095 1.055.925 3.928.791
Berdasarkan hasil pemeriksaan di lapangan dan penjelasan dari para kelompok tani dan Petugas Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) diketahui hal-hal sebagai berikut:
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
23
a. Bibit alpukat sebanyak 248.765 batang senilai Rp427.240.000,00 mati karena tidak cocok dengan agroklimat di wilayah Kabupaten Kediri Diketahui bahwa tanaman MPTS yaitu Alpokat hampir semuanya mati, sedangkan yang masih hidup tingkat perkembangannya sangat lambat dan tumbuhnya merana. Menurut penjelasan para petani di Kecamatan Mojo yaitu Desa Ngetrep dan Desa Jugo, kondisi tersebut kemungkinan disebabkan bibit alpokat tidak cocok dengan agroklimat di wilayah tersebut dan bibit ditanam saat musim hujan telah berakhir sehingga tidak cukup air bagi tanaman khususnya jenis alpukat. Hal tersebut dibenarkan oleh pihak Dishutbunling Kabupaten Kediri, bahwa bibit alpokat tidak dapat tumbuh di wilayah Kabupaten Kediri. Pengadaan bibit alpokat yang telah ditanam di Kabupaten Kediri sejak tahun 2003 s.d. 2006 adalah sebanyak 248.765 batang dengan nilai sebesar Rp427.240.000,00.
b. Bibit jati, sengon dan durian untuk kegiatan GN-RHL tahun 2006 sebanyak 15.840 batang senilai Rp40.312.800,00 yang ditanam di Dusun Sambiroto Desa Jugo Kecamatan Mojo mati. Desa Sambiroto pada awal tahun 2007 mendapatkan alokasi kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat tahun 2006 untuk daerah bencana seluas 40 Ha. Jenis bibit yang ditanam berupa sengon sebanyak 6.160 batang, jati sebanyak 6.160 batang dan durian sebanyak 5.280 batang. Hasil pemeriksaan fisik ke lokasi tanam GN-RHL 2006 pada tanggal 22 September 2007, untuk luas lahan 13 Ha ditemukan bahwa bibit jati, sengon dan durian hampir 90% mati. Menurut penjelasan Ketua Kelompok Tani Dusun Sambiroto diperoleh informasi bahwa kondisi tersebut terjadi hampir di seluruh area penanaman seluas 40 Ha dikarenakan penanaman bibit pada waktu musim penghujan hampir berakhir sehingga tanaman kekurangan air. Jumlah bibit yang mati diperkirakan sebanyak 15.840 batang senilai Rp40.312.800,00 dengan perincian sebagai berikut: Tabel 11 : Jumlah Bibit Jati, Sengon dan Durian yang Mati di Kab. Kediri Jenis Bibit 1. Jati 2. Sengon 3. Durian Jumlah No.
Jumlah Bibit yang ditanam 6.160 6.160 5.280 17.600
Jumlah Bibit Mati (90%) 5.544 5.544 4.752 15.840
Harga/Bt. Rp3.725,00 Rp 975,00 Rp3.000,00
Nilai bibit yang mati Rp 20.651.400,00 Rp 5.405.400,00 Rp 4.256.000,00 Rp 40.312.800,00
3. Kabupaten Malang, Bibit Jati Yang Ditanam di Tiga Kecamatan Pertumbuhannya Tidak Optimal Kabupaten Malang mempunyai luas 323.827,32 Ha yang terbagi dalam 383 desa yang
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
24
tersebar di 33 kecamatan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BP-DAS Brantas tahun 2003 terdapat lahan kritis pada lahan milik masyarakat seluas 38.743 Ha. Pada pelaksanaan GN-RHL tahun 2003 dan 2004 dilakukan RHL masing-masing seluas 882 Ha dan 2.790 Ha dengan komposisi tanaman dan hasil penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI) atas tingkat pertumbuhan tanaman yang dilaksanakan pada tahun 2006 adalah sebagai berikut: Tabel 12 : Prosentase Pertumbuhan Tanaman Kayu-kayuan dan MPTS di Kab. Malang No. 1. 2. 3. 4. Jumlah
Jenis Bibit Jati Sengon Mindi MPTS
2003 Jumlah % Tumbuh 128.082 78% 64.170 78% 142.521 78% 145.529 40% 485.115
Jumlah 415.543 369.343 74.433 368.280 1.227.599
2004 % Tumbuh 74,86% 68,25% 74,22% 40,22%
Hasil pemeriksaan di lapangan pada tanggal 10 dan 11 September 2007 dan penjelasan dari para kelompok tani di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Wajak, Kecamatan Ampelgading dan Kecamatan Tirtoyudo diketahui bahwa bibit jati yang ditanam pada tahun 2003 dan 2004 banyak yang mati namun belum ada invetarisasi jumlah tanaman yang mati, sedangkan yang hidup tingkat perkembangannya sangat lambat, mati pucuk dan melengkung. Menurut penjelasan para petani diperoleh informasi bahwa kondisi tersebut kemungkinan disebabkan ketidakcocokan bibit jati dengan agroklimat di wilayah tersebut. Jumlah bibit jati yang ditanam di ketiga kecamatan tersebut sebanyak 141.232 batang dengan rincian sebagai berikut: Tabel 13 : Jumlah Bibit Jati yang Mati di Kab. Malang No.
Kecamatan
1. Wajak 2. Ampelgading 3. Tirtoyudo Jumlah
Jumlah Bibit Jati 2003 2004 19.251 20.532 9.625 23.100 15.786 38.500 59.100 82.132
4. Kabupaten Situbondo, Bibit Jati Dan Gmalina yang ditanam Kurang Berhasil Kabupaten Situbondo pada TA 2006 telah merencanakan untuk kegiatan vegetatif seluas 650 Ha berupa pembuatan hutan rakyat. Bibit untuk pembuatan hutan rakyat tersebut disediakan oleh BP-DAS Sampean Madura. Pemilihan lokasi kegiatan GN-RHL Kabupaten Situbondo berupa hutan rakyat dengan kemiringan bervariasi diantaranya tegalan, pegunungan, pekarangan dan lahan tidur serta lahan pinggir sungai yang membutuhkan tutupan lahan. Jenis pohon yang ditanam di Kabupaten Situbondo untuk GN-RHL Tahun 2006 yang ditanam awal tahun 2007 untuk jenis kayu-kayuan adalah Jati dan Gmalina dengan perincian sebagai
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
25
berikut: Tabel 14 : Jumlah dan Jenis Bibit Jati dan Gmalina untuk Kegiatan RHL di Kab. Situbondo No.
Jenis Bibit
1
Jati
2
Gmalina
Jumlah Bibit (btg)
Nilai bibit (Rp)
206.000
37.800.000,00
54.000
278.100.000,00
260.000
315.900.000,00
Jumlah
Hasil pemeriksaan fisik di lapangan yang dilakukan bersama dengan Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) dan Ketua Kelompok Tani di Desa Sliwung Kecamatan Panji, Desa Kembangsari dan Desa Wringinanom Kecamatan Jatibanteng, diketahui bahwa tingkat tumbuh jati dan gmalina tidak bagus dan banyak yang mati. Hal ini sesuai dengan hasil monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan oleh PT Praja Bhakti Daya Teknika. (Rincian selengkapnya lihat Lampiran No. 6) Hal tersebut tidak sesuai dengan: 1. Permenhut No.P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 Lampiran I Bagian KetigaPedoman Pembuatan Hutan Rakyat GN-RL tahun 2005 Bab II Penyusunan Rancangan huruf E Rancangan Kegiatan angka 2 Pemilihan Jenis Tanaman dinyatakan bahwa pemilihan jenis tanaman hutan rakyat disesuaikan dengan kehendak/minat masyarakat, kesesuaian dengan agroklimat dan ekosistem lahannya, permintaan pasar dan dikembangkan dalam luasan yang secara ekonomis dapat dipasarkan, serta menguntungkan yang diwujudkan melalui kesepakatan kelompok. Di samping itu juga harus memperhatikan waktu penanaman bibit yang tepat. 2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.81/Menhut-V/2006 tentang Penyelenggaraan dan Sasaran Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2006 dalam Bab IV poin B nomor 2 menyatakan bahwa jenis dan jumlah bibit yang akan diadakan harus dikoordinasikan oleh BP-DAS dengan pihak pelaksana penanaman (Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan). Hal ini mengakibatkan pembuatan tanaman hutan rakyat dengan bibit MPTS senilai Rp2.939.836.300,00 (Rp2.350.363.600,00 + Rp467.552.800,00 + Rp121.919.900,00) yang salah satu tujuannya untuk pengembangan investasi dan pemanfaatan hasilnya bagi masyarakat tidak tercapai, karena kebijakan pengadaan bibit GN-RHL oleh BP-DAS Brantas dan Sampean Madura tidak didasarkan pada hasil penelitian kesesuaian dengan agroklimat dan ekosistem lahan serta tidak mendasarkan permintaan dari masyarakat Atas masalah tersebut, 1. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar menanggapi bahwa tanaman MPTS di Blitar selatan banyak yang mati karena musim kemarau panjang
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
26
ditanam jenis kayu-kayuan terutama jati. 2. Kepala Dinas Kehutanan Perkebunan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Kediri menanggapi bahwa keadaan biofisik wilayah Kabupaten Kediri terbelah Sungai Brantas menjadi dua wilayah yang menjadi indikasi agroklimat. Jenis tanah di Wilayah Barat Sungai Brantas antara lain Kecamatan Mojo umumnya memiliki solum tanah tipis atau tanpa solum tanah dengan kondisi kritis dan kurang subur. Berdasarkan laporan terakhir pertumbuhan tanaman alpokat di Desa Ngetrep Kecamatan Mojo, tingkat pertumbuhan alpokat hanya 13,67%. 3. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Malang menanggapi bahwa pada kenyataannya pertumbuhan tanaman jati di tiga kecamatan tersebut tidak optimal karena secara agroklimat memang kurang cocok. Namun, Dinas Kehutanan tidak mampu menolak permintaan bibit jati dari kelompok tani yang pada waktu itu menjadi korban iklan Jati Emas. Saat ini, petani sudah menyadarinya sehingga tidak lagi mengusulkan bibit tanaman Jati. 4. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Situbondo mengakui bahwa bibit jati dan gmelina di Kabupaten Situbondo kurang berhasil mengingat kondisi iklim di Situbondo sangat eksterm yaitu 3 bulan hujan dan 9 bulan kemarau, umur bibit kurang, sehingga tidak tahan terhadap kekeringan, sering terjadi kondisi tidak turun hujan selama tenggang waktu 7-10 hari pada musim hujan. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar: 1. Menginstruksikan Dirjen RLPS memberikan teguran kepada Kepala BP-DAS supaya dalam pengadaan bibit disesuaikan dengan permintaan dari Dinas Kehutanan yang mendasarkan pada kecocokan bibit yang akan ditanam dengan agroklimat setempat dan keinginan masyarakat. 2. Meminta Bupati terkait untuk menegur Kepala Dinas Kehutanan yang bersangkutan supaya sebelum melakukan pembangunan hutan rakyat terlebih dahulu dilakukan penelitian mengenai tingkat kecocokan bibit yang akan ditanam dengan agroklimat setempat dan keinginan masyarakat. Pengadaan Pupuk
Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Lingkungan Hidup (Dishutbunling) Kabupaten Kediri
Dan Obat-obatan
pada tahun 2006 melaksanakan kegiatan GN-RHL untuk penyelesaian target tahun 2005
Untuk GN-RHL DI
diantaranya pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 1.700 Ha. Pelaksanaan pembuatan
Kabupaten Kediri
tanaman ini diserahkan kepada kelompok tani meliputi kegiatan sebagai berikut:
Tahun 2005/2006
1. Penentuan larikan, pemancangan ajir, pembuatan piringan dan lubang tanam,
Terlambat
2. Pengangkutan bibit lokal dan penanaman,
Dilaksanakan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
27
3. Pengangkutan pupuk dan pemupukan, 4. Pemeliharaan tanaman yaitu penyiangan, pendangiran, pemberantasan hama. Ikatan kerja antara kelompok tani dengan pihak Dishutbunling atas kegiatan pembuatan tanaman tersebut dituangkan dalam SPKS pada bulan Pebruari 2006 dan proses penanaman sudah diselesaikan pada bulan Maret 2006. Hasil pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa pengadaan pupuk bokashi dan PMLT baru dilaksanakan pada bulan Oktober dan Nopember 2006, seperti daftar berikut: Tabel 15 : Penyedia pupuk bokashi dan PMLT di Kab. Kediri Tahun 2006 No. 1.
2.
Penyedia (Supplier) Bokashi CV. Tunas Alam Martani SPK Nomor: 602.1/1511/418.44/2006 tanggal 8 Nopember 2006 PMLT CV. Mekar Jaya SPK Nomor: 602.1/1532/408.44/2006 Tanggal 23 Nopember 2006
Kuantitas (Kg)
Nilai Kontrak (Rp)
Titik Bagi
Tanggal Penyelesaian
40.000
24.000.000,00
Kelompok Tani di Desa Ngetrep, Desa Selopanggung, Desa Kanyoran dan Desa Bulusari
20 Nov 2006
26.600
239.400.000,00
Kelompok Tani Di berbagai desa di Kec. Mojo, Semen, Tarokan, Banyakan, Kandangan, Kepung, Puncu, Plosoklaten
23 Nov 2006
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada saat pembuatan tanaman bulan Maret 2006 belum dilakukan pemupukan. Padahal fungsi dari pupuk bokashi merupakan pupuk dasar yang harus dicampurkan pada tanah di lubang tanam sebelum bibit ditanam. Pupuk bokashi dan PMLT sangat berpengaruh pada tingkat pertumbuhan tanaman, oleh karena itu diperlukan pada awal bibit ditanam, guna mendukung penguatan perakaran dan pertumbuhan tanaman. Kesimpulan ini diperkuat dengan hasil penilaian kinerja GN-RHL Tahun 2005/2006 Provinsi Jawa Timur yang dilaksanakan oleh PT Aura Jasa Consulindo yang menyatakan bahwa tingkat hidup rata-rata pembuatan tanaman hutan rakyat Kabupaten Kediri sebesar 64,80% diantaranya terdapat dua lokasi kelompok tani yang tingkat hidup tanamannya dibawah 55% yaitu : 1. Serba Jaya I Desa Ngetrep seluas 25 Ha sebesar 48,75%, dan 2. Serba Jaya II Desa Ngetrep seluas 25 Ha sebesar 51,25%. Selain itu, tingkat hidup rata-rata tanaman pada kegiatan pengkayaan tanaman hutan rakyat hanya 54,60%, diantaranya terdapat enam lokasi kelompok tani dibawah 55% yaitu: 1. Harapan Jaya desa Kebonrejo seluas 50 Ha sebesar 37,5%, 2. Tani Mulya desa Besowo seluas 50 Ha sebesar 37%, 3. Tani Mulya desa Mlancu seluas 75 Ha sebesar 40% 4. Tani Makmur II desa Medowo seluas 40 Ha sebesar 40%. 5. Tani Makmur desa Puncu seluas 25 Ha sebesar 50%, dan 6. Widodo desa Asmorobangun seluas 25 Ha sebesar 45%.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
28
Hal tersebut tidak sesuai dengan: 1. Keppres No. 80 Tahun 2003 jo Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 3 huruf b yang menyatakan bahwa pengadaan barang dan jasa wajib menerapkan prinsip efektif berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan. 2. Permenhut No.P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 Lampiran I Bagian Ketiga Pedoman Pembuatan Hutan Rakyat GN-RL tahun 2005 Bab III Pelaksanaan huruf B Pembuatan Tanaman angka 3 mengenai Penanaman dinyatakan bahwa penanaman diupayakan dilakukan pada awal musim hujan yang meliputi kegiatan diantaranya pemberian pupuk dasar (pupuk kandang/bokasi) sesuai dengan rancangan. Pemberian pupuk kandang bokashi sebaiknya dilakukan seminggu sebelum bibit ditanam. Hal tersebut mengakibatkan tujuan GN-RHL untuk hutan rakyat diantaranya untuk memulihkan fungsi dan meningkatkan produktivitas lahan dan memperbaiki kualitas lingkungan tidak tercapai secara maksimal, karena penyediaan anggaran (DIPA) untuk penanaman bibit dan pengadaan bahan dan perlengkapan turunnya tidak bersamaan. Atas masalah tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lingkungan Hidup Kabupaten Kediri menanggapi bahwa turunnya anggaran GN-RHL 2005 Kabupaten Kediri dalam 2 (dua) tahap yang tidak bersamaan, sehingga menunda pengadaan pupuk dan obat-obatan justru merupakan follow up dalam menyikapi keterlambatan anggaran GNRHL, dengan memprioritaskan pelaksanaan penanaman (sesuai Rancangan Teknik) dan saat tersebut bibit telah dikirim ke Kabupaten Kediri oleh BP-DAS Brantas. Untuk pengadaan pupuk dan obat-obatan tanaman (insektisida) karena keterbatasan tersedianya anggaran dilaksanakan setelah turun DIPA berikutnya. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar menginstruksikan Dirjen RLPS dalam mengalokasikan dana untuk GN-RHL satu musim tanam semaksimal mungkin dapat mengakomodasi kebutuhan bibit, penanaman dan pemeliharaan tahun berjalan. Kegiatan Pemeliha-
Dinas Pertanian Bidang Kehutanan Kabupaten Situbondo pada TA 2005 melaksanakan
raan Tahun Pertama
kerjasama dengan 52 kelompok tani dalam rangka pembuatan hutan rakyat dan
Atas Pembuatan
pengkayaan tanaman hutan rakyat yang mencakup 1300 ha hutan rakyat. Sebanyak 24
Dan Pengkayaan
Kelompok tani melakukan pembuatan hutan rakyat masing-masing seluas 25 ha, atau
Hutan Rakyat
seluruhnya seluas 600 ha. Sedangkan 28 kelompok tani lainnya melaksanakan
Tahun 2005/2006
pengkayaan tanaman hutan rakyat masing-masing seluas 25 ha, atau seluruhnya seluas
Dengan Biaya
700 ha. Pekerjaan penanaman dilakukan setelah bibit diterima dari BP-DAS Sampean
Sebesar
Madura, yaitu pada periode Februari s.d Maret 2006. Hasil pembuatan tanaman tersebut
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
29
Rp80.062.500,00 Di Kabupaten Situbondo Kurang Efektif.
sampai dengan akhir tahun 2006 belum dilakukan penilaian keberhasilan oleh LPI. Pada TA 2006, setiap kelompok tani yang melaksanakan pembuatan/pengkayaan hutan rakyat pada tahun 2005 menerima alokasi dana pemeliharaan tahun pertama, masingmasing
sebesar
Rp3.812.500,00,
atau
seluruhnya
sebesar
Rp80.062.500,00
(Rp3.812.500,00 x 21 kelompok). Dana pemeliharaan tersebut diserahkan kepada setiap kelompok tani dalam dua tahap yaitu tahap pertama pada 21 Desember 2006 dan tahap kedua pada 21 maret 2007. Dengan demikian pemberian dana pemeliharaan dan bibit sulaman tersebut dilakukan sebelum adanya penilaian tanaman hutan rakyat oleh LPI. Berdasarkan Laporan Akhir Penilaian Kinerja GN-RHL Tahun 2005/2006 Provinsi Jawa Timur yang disampaikan oleh LPI PT Aura Jasa Consulindo, yang terbit pada bulan Mei 2007 diketahui bahwa
dari 24 kelompok yang melakukan pembuatan hutan rakyat,
terdapat enam kelompok yang tingkat keberhasilan tumbuh tanaman < 55%. Disamping itu dari 28 kelompok yang melakukan pengkayaan hutan rakyat, terdapat 15 kelompok yang tingkat keberhasilan tumbuh tanaman < 55% dengan rincian sebagai berikut: Tabel 16 : Prosentase Pertumbuhan Tanaman Keg. Pembuatan Hutan Rakyat di Kab. Situbondo Lokasi Luas Rata-rata % No. Nama Kelompok (ha) hidup Kecamatan Desa A Pembuatan Hutan Rakyat 1. Suka Maju Kendit Tambak Ukir 25 41,88 2. Sumber Jaya I Kendit Rajekwesi 25 52,08 3. Murta Jaya II Panji Juglagan 25 38,75 4. Pembaharuan I Jangkar Sopet 25 51,88 5. Lestari Situbondo Kotakan 25 50,04 6. Taman Gayam Kepongan Curah Cotok 25 51,04 B Pengkayaan Hutan Rakyat 1. Mandala Sumber Malang Taman sari 25 46,67 2. Alam Berseri Sumber Malang Taman 25 46,25 3. Makmur Jaya Sumber Malang Taman 25 47,50 4. Pahala Tani Sumber Malang Plalangan 25 52,08 5. Tirto Agro I Jati Banteng Sumber Anyar 25 51,25 6. Tirto Agro II Jati Banteng Sumber Anyar 25 43,25 7. Agung Jati Jati Banteng Patemon 25 37.08 8. Rengganis I Jati Banteng Pategalan 25 49,58 9. Rengganis II Jati Banteng Pategalan 25 49,17 10. Layar Tani III Jati Banteng Kembang Sari 25 50,00 11. Wana Bhakti II Jati Banteng Kembang Sari 25 46,25 12. Mustika Tani Banyuglugur Kalisari 25 49,33 13. Tani Rahayu Banyuglugur Kalisari 25 51,25 14. Rimba Jaya Arjasa Kayumas 25 50,42 15. Rimba Jaya II Arjasa Kayumas 25 49,58
Pelaksanaan penilaian LPI dilakukan satu tahun setelah pekerjaan pembuatan/pengkayaan hutan rakyat selesai. Dalam periode tersebut kelompok tani di Kabupaten Situbondo telah menerima alokasi biaya penanaman atas bibit awal dan biaya pemeliharaan tahun pertama. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dana pemeliharaan tahun pertama tersebut tidak efektif.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
30
Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman Kegiatan GN-RHL Tahun 2005, menyebutkan bahwa pemberian dana pemeliharaan tahun pertama dilakukan jika keberhasilan persentasi tumbuh tanaman setelah sulaman tahun berjalan ≥ 55%. Masalah ini mengakibatkan penyaluran dana pemeliharaan tahun pertama atas HR TA 2005/2006 sebesar Rp80.062.500,00 tidak efektif, terjadi karena Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Situbondo dalam mengalokasikan biaya pemeliharaan lalai tidak memperhatikan ketentuan serta kurangnya sosialisasi kepada masyarakat kelompok tani tentang syarat-syarat penerimaan dana pemeliharaan dan kapan dana tersebut harus diberikan. Atas masalah tersebut, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Situbondo menanggapi bahwa kontrol penyaluran bibit dan perkembangan tanaman di masing-masing kelompok dilakukan oleh Petugas Lapangan, tetapi tidak dilaporkan kepada Dinas. Dengan demikian, Dinas tidak bisa membuat kontrol kepada hasil penilaian LPI, sehingga Dinas belum bisa meyakini hasil penilaian dari LPI. Untuk itu, Dinas akan memperbaiki sistem laporan dan kontrol pada kegiatan-kegiatan yang akan datang. Selain itu, jenis tanaman MPTS tidak cocok ditanam di lahan kritis Kab. Situbondo, sehingga bibit MPTS yang ditanam maupun yang disulam tidak bisa hidup. Untuk selanjutnya, akan dikoordinasikan melalui BP-DAS Sampean Madura agar jenis MPTS tidak ditanam di wilayah Situbondo. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta kepada Bupati Situbondo untuk memberikan teguran kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan atas kelalaiannya memberikan biaya pemeliharaan tahun pertama yang tidak memperhatikan tingkat pencapaian pertumbuhan tanaman dan diperintahkan untuk meningkatkan sosialisasi kepada kelompok tani tentang dana pemeliharaan tanaman GN-RHL. Penyaluran Dana
Kantor Kehutanan Kabupaten Bangkalan pada TA 2005/2006, melaksanakan kegiatan
Pemeliharaan
Pembuatan HR seluas 1.000 ha dan Pengkayaan HR seluas 1.000 ha. Kegiatan
Pertama Di Kabu-
Pembuatan HR dilakukan oleh 30 kelompok tani, sedangkan kegiatan pengkayaan HR
paten Bangkalan
dilakukan oleh 28 kelompok tani. Penanaman untuk kedua kegiatan tersebut mulai
Tidak Mendasar-
dilaksanakan pada bulan Januari s.d Februari 2006, yakni setelah diterima bibit dari BP-
kan Hasil Penilai-
DAS Sampean-Madura. Kegiatan pembuatan dan pengkayaan HR tersebut telah dinilai
an Pertumbuhan
oleh LPI yaitu PT Aura Jasa Consulindo sesuai laporan penilaian bulan Mei 2007. Laporan
Tanaman.
tersebut menyatakan bahwa kegiatan pembuatan HR di Kabupaten Bangkalan diantaranya terdapat 11 kelompok tani yang nilai pertumbuhan tanamannya < 55%, dan untuk kegiatan pengkayaan HR diantaranya terdapat tujuh kelompok tani yang nilai pertumbuhan tanamannya < 55%. Pembuatan hutan rakyat TA 2005/2006 juga telah dievaluasi oleh Kantor Kehutanan Kabupaten Bangkalan sesuai laporan monitoring dan evaluasi bulan Mei 2006. Namun demikian hasil evaluasi Kantor Kehutanan dan hasil penilaian LPI menunjukkan perbedaan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
31
penilaian atas beberapa kelompok, yaitu di satu pihak LPI menilai tingkat pertumbuhan tanaman dinilai kurang dari 55% sedangkan hasil monitoring dan evaluasi Kantor Kehutanan menunjukkan tingkat pertumbuhan tanamn mencapai lebih 55% atau sebaliknya. Rincian selengkapya lihat Lampiran No. 8. Tabel 17 : Perbandingan Hasil Penilaian LPI dgn Hasil Monev Dinas Kehutanan Kab. Bangkalan Penilaian LPI No.
Kecamatan
Desa
Nama Kelompok ≥ 55 %
A. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 B. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pembuatan Hutan Rakyat Sepulu Maneron Sepulu Bangsereh Sepulu Klabetan Sepulu Kunilap Kokop Katol Timur Geger Noning Daya Blega Kampao Blega Alas Raja Blega Kajjan Galis Tellok Galis Talaga Labang Bunajih Labang Jukong Labang Ba'engas Klampis Bragang Klampis Buluh Agung Pengkayaan Hutan Rakyat Sepulu Klapayan Sepulu Kelbung Sepulu Gangserah Blega Gigir Lombang Daya Blega Blega Ko'olan Galis Galis Galis Kelbung Klampis Banteyan
Karya Bhakti Berdikari Sejahtera Adil Makmur Rukun Damai Banyuning I Harapan Sido Makmur Serayu Batu Bantal Lar-lar Kramat Tlagah Kolpoh Tani Membangun Bahagia I
Hasil Monev Dinas
< 55 %
≥ 55 %
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √
< 55 %
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √
√ √
Sapayan Tani Mandiri Tani Makmur Harapan Makmur
√ √ √ √
√ √ √ √
Harapan Mulya Ngudi Makmur Galis I Raas Al Wahidin
√ √
√ √
√ √ √
√ √ √
Hasil cek fisik secara uji petik di Kecamatan Geger menunjukkan bahwa solum tanah yang tebal dan kelembaban yang cukup di daerah tersebut telah berdampak positif dan membuat program penanaman hutan rakyat berhasil. Dengan kata lain tidak terjadi kegagalan hutan rakyat di kecamatan Geger. Dapat disimpulkan bahwa terdapat ketidakakuratan dalam hasil penilaian LPI. Namun demikian setiap kelompok tani tidak melakukan administrasi atas pertumbuhan dan kematian tanaman, dan petugas penyuluh kecamatan juga tidak melakukan pendataan atas pertumbuhan tanaman di masing-masing kelompok. Hasil penilaian yang berbeda tersebut akan mempengaruhi perencanaan dan pengambilan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
32
keputusan dalam penentuan mengenai alokasi dana pemeliharaan atas HR TA 2005/2006 kepada kelompok tani. Berdasarkan informasi dari Kepala Kantor Kehutanan Kabupaten Bangkalan, diketahui bahwa setiap kelompok tani menuntut agar biaya pemeliharaan diberikan kepada seluruh kelompok, tanpa memperhatikan hasil penilaian dari LPI. Pada TA 2006, Kantor Kehutanan Bangkalan telah menyalurkan dana pemeliharaan tahun pertama atas hutan rakyat TA 2004 kepada seluruh kelompok sebesar Rp282.000.000,00. Tanpa adanya data yang akurat untuk menentukan kelompok yang layak atau tidak layak menerima dana pemeliharaan, maka penyaluran dana pemeliharaan yang telah terjadi tidak dapat dinilai kewajarannya, dan diindikasikan akan terjadi hal yang sama pada penyaluran dana pemeliharaan atas hutan rakyat TA 2005/2006. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman Kegiatan GN-RHL Tahun 2005, yang menyebutkan bahwa pemberian dana pemeliharaan tahun pertama dilakukan jika keberhasilan persentasi tumbuh tanaman setelah sulaman tahun berjalan ≥ 55%. Kelompok tani atau petugas kehutanan yang berada di kecamatan memiliki data tentang pertumbuhan tanaman, yang dapat dibandingkan dengan hasil penilaian LPI, sebagai dasar untuk mengajukan klaim bahwa kelompok layak menerima dana pemeliharaan tersebut. Hal ini mengakibatkan pihak Kantor Kehutanan kesulitan dalam mengambil keputusan untuk mengalokasikan dana pemeliharaan hutan rakyat TA 2005/2006 kepada kelompok tani, yang terjadi karena: 1. Pihak Kantor Kehutanan tidak tegas dalam menetapkan hasil pencapaian tingkat pertumbuhan tanaman. 2. Kurangnya sosialisasi dari Kantor Kehutanan kepada kelompok tani GN-RHL tentang kapan dan bagaimana syarat-syarat untuk memperoleh alokasi dana pemeliharaan. Atas masalah tersebut, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Bangkalan menanggapi bahwa waktu pelaksanaan penilaian dan metodologi yang digunakan oleh LPI dan Kantor Kehutanan Kabupaten Bangkalan berbeda. Untuk kegiatan Hutan Rakyat TA 2004/2005 Dinas Kehutanan tidak menerima hasil penilaian baik dari LPI maupun Dinas Provinsi Jawa Timur, maka pemeliharaan dilakukan pada semua lokasi dengan pertimbangan permintaan kelompok tani untuk dilakukan pemeliharaan tahun berikutnya. Sedang untuk kegiatan Hutan Rakyat Tahun 2005 akan diadakan akurasi data terhadap dua penilaian yang berbeda dan akan disosialisasikan kepada semua kelompok tani mengenai kriteria keberhasilan tanaman yang akan menentukan perolehan dana pemeliharaan tahun berikutnya. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta kepada Bupati Bangkalan supaya memberikan teguran kepada Kepala Kantor Kehutanan atas kelalaiannya memberikan biaya pemeliharaan tahun pertama yang tidak memperhatikan tingkat pencapaian
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
33
pertumbuhan tanaman dan diperintahkan untuk meningkatkan sosialisasi kepada kelompok tani tentang dana pemeliharaan tanaman GN-RHL. Lelang Pengadaan Bibit pada BPDAS Brantas Dilaksanakan Tidak Sesuai Ketentuan Menimbulkan Ketidakhematan Sebesar Rp549.380.375,00.
BP-DAS Brantas pada tahun 2005 dan 2006 melakukan pengadaan bibit masing-masing sebanyak 28 paket untuk 8.936.400 batang senilai Rp16.274.977.400,00 dan sebanyak 15 paket untuk 7.452.522 batang senilai Rp14.924.429.850,00. Pengadaaan bibit tersebut dilakukan dengan cara pelelangan umum dengan pascakualifikasi yaitu proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia bibit setelah memasukkan penawaran, yang mendasarkan pada Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Perpres No. 8 tahun 2006 dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Metode penyampaian penawaran yang digunakan adalah Metode Dua Sampul dengan sistem gugur sebagai metode evaluasi penawaran. Hasil pemeriksaan terhadap dokumen evaluasi pelelangan ditemukan bahwa panitia menggugurkan rekanan peserta lelang dengan nilai penawaran terendah dengan alasan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagai berikut: 1.
Pengadaan Tahun 2005 Dalam dokumen evaluasi pelelangan umum pengadaan bibit tahun 2005 yang dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa yang ditunjuk dengan SK KPA No.09/V/ BP-DAS.Bts/2005 tanggal 4 Mei 2005 diketahui bahwa terdapat lima paket pengadaan dimana rekanan yang sudah lulus dari evaluasi administrasi dan evaluasi teknis dengan nilai penawaran terendah digugurkan pada saat evaluasi harga. Alasan panitia menggugurkan karena tidak sesuai dengan dokumen pengadaan bibit yang salah satunya mensyaratkan surat penawaran asli bermeterai Rp6.000,00 dan diberi tanggal, bulan dan tahun yang jelas dan dicap stempel perusahaan, seperti terlihat dalam tabel berikut: Tabel 18 : Perbandingan Nilai Penawaran Pemenang Lelang dan Penawar yang Gugur Tahun 2005
No. 1.
2.
3.
4.
5.
Paket NK-4
K-6
K-7
K-13
K-18
Pemenang PT Ecotropic Wanakrida Rp1.239.677.250
Nama dan nilai Penawar gugur CV Aditya Permai Rp932.365.250,00
Alasan pengguguran Selisih (Rp) 307.312.000,00
CV Buana Bakti Rp147.510.000,00
CV Jayengrono Rp124.650.000,00
22.860.000,00
CV Buana Bakti Rp134.321.000,00
CV Agieta Mandiri Rp112.400.750,00
21.920.250,00
CV Jasa Karya Rp83.011.500,00
CV Jayengrono Rp67.265.000,00
15.746.500,00
CV Almiva Pratama Rp155.562.000,00
CV Jati Kusumo Rp100.986.875,00
54.575.125,00
Jumlah Selesih harga
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
Surat penawaran harga dan RAB sudah bermeterai dan ditandatangani, namun tidak dicap. Surat penawaran harga sudah sesuai. Sedangkan RAB sudah ditandatangani dan dicap, namun tidak bermeterai. Surat penawaran harga dan RAB sudah bermeterai dan ditandatangani, namun tidak dicap. Surat penawaran harga sudah sesuai. Sedangkan RAB sudah ditandatangani dan dicap, namun tidak bermeterai. Surat penawaran harga sudah sesuai. Sedangkan RAB sudah ditandatangani dan dicap, namun tidak bermeterai.
422.413.875,00
34
Alasan panitia pengadaan tersebut tidak tepat (terlalu berlebihan) dan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. 2.
Pengadaan Tahun 2006 Dalam dokumen evaluasi pelelangan umum pengadaan bibit tahun 2006 yang dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa yang ditunjuk dengan SK KPA No.87/V/ BP-DAS.Bts/2006 tanggal 3 Juli 2006 diketahui terdapat satu paket pengadaan dimana rekanan yang sudah lulus dari evaluasi administrasi dan evaluasi teknis dengan nilai penawaran terendah digugurkan pada saat evaluasi harga, seperti terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 19 : Perbandingan Nilai Penawaran Pemenang Lelang & Penawar yang Gugur Tahun 2006 No. 1.
Paket NK-1
Pemenang PT Indonesia Bumi Permai Rp1.167.697.000
Nama dan nilai Penawar gugur CV Mojo Asri 1.040.730.500
Jumlah Selisih harga
Alasan pengguguran Selisih Terdapat salah satu jenis bibit yang ditawarkan 126.966.500,00 melampaui pagu anggaran. Bibit tersebut adalah Kesemek sebanyak 700 btg ditawarkan Rp3.385,00 senilai Rp2.369.500, sementara harga standar Rp3.000,00/btg. 126.966.500,00
Alasan panitia pengadaan tersebut tidak tepat karena bertentangan dengan prosedur pelelangan dimana yang dapat menggugurkan penawaran apabila jumlah harga penawaran melebihi Harga Perkiraan Sendiri (HPS), bukan harga satuan per item pekerjaan/jenis bibit. Hal tersebut tidak sesuai dengan: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai menyatakan: a. Pasal 2 ayat (1) huruf a. bahwa dikenakan bea meterai atas dokumen yang berbentuk Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata; b. Pasal 7 ayat (8) bahwa jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai. Hal ini berarti untuk RAB yang merupakan lampiran surat penawaran tidak diwajibkan adanya meterai. 2. Keppres No. 80 Tahun 2003 tanggal 3 November 2003 dengan perubahannya tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah : a. Pasal 5 Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut: 1) bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
35
kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa; 2) menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa; 3) menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; b. Lampiran I BAB I huruf F Penyusunan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa angka 1.f.8) Bentuk Surat Penawaran merupakan pernyataan resmi mengikuti pengadaan barang/jasa, pernyataan bahwa penawaran dibuat sesuai dengan peraturan pengadaan barag/jasa, harga total penawaran dalam angka dan huruf, masa berlaku penawaran, lamanya waktu penyelesaian pekerjaan, nilai jaminan penawaran dalam angka dan huruf, kesanggupan memenuhi persyaratan yang ditentukan, dilampiri dengan daftar volume dan harga pekerjaan, dan ditandatangani oleh pimpinan/direktur utama perusahaan atau yang dikuasakan diatas meterai dan bertanggal. Hal ini berarti bahwa apabila surat penawaran sudah ditandatangani oleh yang berwenang diatas meterai, tidak diwajibkan adanya cap stempel perusahaan. c.
Lampiran I BAB II Proses Pengadaan Barang dan Jasa yang memerlukan penyedia barang/jasa huruf A Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa angka 1.f.12) Unsur-unsur yang perlu diteliti dan dinilai dalam evaluasi kewajaran harga adalah diantaranya apabila total harga penawaran melebihi pagu anggaran dinyatakan gugur. Harga satuan timpang yang nilainya lebih besar dari 110% HPS dilakukan klarifikasi. Mata pembayaran yang harga satuannya nol atau tidak ditulis dilakukan klarifikasi dan kegiatan tersebut harus tetap dilaksanakan, dianggap sudah termasuk dalam harga satuan pekerjaan lainnya. Hal ini berarti bahwa harga satuan pekerjaan/bibit tidak menyebabkan digugurkannya penawaran. Justru variasi dari harga satuan yang ditawarkan oleh rekanan merupakan esensi dari pelelangan umum.
Hal ini mengakibatkan BP-DAS Brantas kehilangan kesempatan untuk mendapatkan harga yang lebih murah sebesar Rp549.380.375,00, disebabkan oleh: 1. Panitia Pengadaan dalam membuat persyaratan dokumen pengadaan tidak sepenuhnya mendasarkan pada ketentuan peraturan perundangan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) masih lemah dalam mengendalikan tugas panitia pengadaan. 2. Kepala BP-DAS Brantas kurang melakukan pengendalian atas pelaksanaan pengadaan bibit di unit kerjanya.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
36
Atas masalah tersebut, Kepala BP-DAS Brantas menanggapi bahwa di masa yang akan datang Panitia Pengadaan dalam membuat persyaratan dokumen pengadaan akan sepenuhnya mendasarkan pada ketentuan peraturan perundangan dan PPK akan melakukan upaya pengendalian tugas panitia pengadaan secara optimal. Berdasarkan Surat Sekretaris Jenderal Ditjen RLPS No. S.58/set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK-RI menyarankan agar: 1. Menteri Kehutanan memerintahkan Dirjen RLPS untuk menginstruksikan kepada Kepala BP-DAS Brantas meningkatkan pengendalian dan memberikan teguran kepada PPK dan Panitia Pengadaan supaya dalam mengevaluasi penawaran mendasarkan ketentuan yang berlaku. 2. Panitia Pengadaan melalui Kepala BP-DAS mempertanggungjawabkan kepada Menteri Kehutanan atas proses pelelangan yang menimbulkan inefisiensi tersebut.
Panitia Pengada-
Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Blitar pada tahun 2007
an Pupuk Maje-
melaksanakan pengadaan pupuk berupa PMLT untuk mendukung pembuatan tanaman
muk Lepas Ter-
hutan rakyat GN-RHL Kabupaten Blitar tahun 2006/2007. Pengadaan tersebut
kendali (PMLT) Di
dilaksanakan oleh CV Dirgantara, Blitar, sesuai kontrak No.552/589/409.110/2007 tanggal
Kabupaten Blitar
27 Juli 2007 senilai Rp646.100.000,00 (termasuk pajak, biaya umum dan keuntungan
Tidak Profesional
rekanan), yang dibiayai dari DIPA BA 69 (Pembiayan Lain-lain). Kegiatan pengadaan
Mengakibatkan
PMLT ini masih dalam pelaksanaan dan belum ada pembayaran.
Ketidakhematan Sebesar Rp65.000.000,00
Hasil pemeriksaan atas proses penetapan rekanan penyedia pupuk tersebut ditemukan halhal sebagai berikut: 1. Panitia pengadaan bekerja tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Penetapan rekanan penyedia PMLT dilaksanakan dengan cara pelelangan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa Dishutbun Kabupaten Blitar yang dibentuk dengan Surat Keputusan No.SK.04/KPA-GN-RHL/II/2007 tanggal 12 Februari 2007. Pengumuman pelelangan pengadaan PMLT sebanyak 65.000 kg pada tanggal 19 Juni 2007 sesuai dengan Pengumuman Pelelangan No. 522/524/409.110/2007. Berdasarkan dokumen hasil evaluasi pelelangan diketahui kronologi pelelangan sebagai berikut: a. Tanggal 11 Juli 2007, sesuai dengan Berita Acara Pembukaan Penawaran No. 522/583/409.110/2007 jumlah rekanan yang memasukkan penawaran sebanyak lima perusahaan yaitu CV Sumber Makmur, CV Alfiros, CV Dirgantara, CV Baruna Jaya, dan CV Hutama Data. b. Tanggal 12 Juli 2007, sesuai dengan Berita Acara Evaluasi Administrasi No. 522/584/409.110/2007 kelima rekanan dinyatakan memenuhi syarat.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
37
c.
Tidak dijumpai adanya proses evaluasi teknis dalam pelelangan tersebut, namun panitia pengadaan melakukan klarifikasi dan negosiasi kepada lima penawar yang
dituangkan
dalam
Berita
Acara
Klarifikasi
dan Negosiasi
No.
522/584.A/409.110/2007 tanggal 12 Juli 2007, dimana terjadi penurunan harga dan disepakati bersama antara panitia pengadaan dengan kelima penawar seperti tabel berikut: No. 1 2 3 4 5
Tabel 20 : Daftar Penawar, Volume, HPS, Harga Penawaran dan Hasil Negoisasi Penawar Volume HPS Pnawaran Negosiasi Jumlah Harga CV Hutama Data 65.000 10.000,00 9.955,00 9.950,00 646.750.000,00 CV Sumber Makmur 65.000 10.000,00 9.991,00 9.985,00 649.025.000,00 CV Dirgantara 65.000 10.000,00 9.950,00 9.940,00 646.100.000,00 CV Baruna Jaya 65.000 10.000,00 9.957,00 9.955,00 647.075.000,00 CV Alfiros 65.000 10.000,00 10.000,00 10.000,00 650.000.000,00
Hal tersebut menunjukkan panitia pengadaan tidak memahami ketentuan dalam pelelangan barang/jasa bahwa panitia tidak boleh merubah harga satuan yang ditawarkan oleh rekanan. Tindakan yang dapat dilakukan oleh panitia adalah melakukan klarifikasi atas hal-hal yang dirasa tidak jelas dan koreksi aritmatik (membenarkan perhitungan dalam penawaran, tetapi tidak boleh merubah harga satuan). 2.
Penetapan
HPS
tidak
cermat
mengakibatkan
pemborosan
sebesar
Rp65.000.000,00. Dalam rangka pengadaan PMLT di lingkungan Dishutbun Kabupaten Blitar tahun 2006, Panitia Pengadaan telah membuat HPS dengan mendasarkan pada surat penawaran yang diajukan oleh produsen PT Saraswati Anugerah Makmur, Sidoarjo, dan PT Dupan Anugerah Sejati, Sidoarjo, per kg sebesar Rp10.000,00. Dengan mengetahui HPS sebesar tersebut, maka para rekanan penawar mengajukan harga yang mendekati HPS yaitu paling rendah sebesar Rp9.950,00 dan paling tinggi Rp10.000,00. Penelusuran pada toko-toko penyedia pupuk pertanian dan perkebunan di Wilayah Kabupaten Blitar mengenai potensi supply PMLT di pasaran, tidak menjumpai adanya PMLT. Apabila dibandingkan dengan harga pengadaan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Malang yang sejak tahun 2005 telah mengadakan PMLT dengan kualitas yang sama dan wilayah jangkauan titik bagi yang relatif sama, HPS untuk awal tahun 2007 adalah sebesar Rp9.000,00 per kg (termasuk PPN) dan harga kontrak PMLT adalah sebesar Rp8.976,00. Dengan
demikian
penetapan
HPS
sebesar
Rp10.000,00
tersebut
tidak
menguntungkan negara (pengeluaran negara menjadi lebih tinggi) sebesar Rp65.000.000,00 {(Rp10.000,00 – Rp9.000,00) X 65.000 kg}. Hasil konfirmasi kepada panitia pengadaan dijelaskan bahwa diakui panitia belum berpengalaman dalam pengadaan barang/jasa khususnya PMLT dan tidak melihat
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
38
kegiatan yang sama di kabupaten tetangga. Hal tersebut tidak sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 tanggal 3 November 2003 jo. Perpres No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah: 1. Pasal 5 Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut : a. bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa; b. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa; 2. Pasal 9 Tugas pokok pengguna barang/jasa dalam pengadaan barang/jasa antara lain adalah Pengguna barang/jasa bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya. 3. Pasal 10 ayat (4) Panitia pengadaan harus memenuhi persyaratan diantaranya memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan, memahami isi dokumen pengadaan/metode dan prosedur berdasarkan Keppres ini. 4. Pasal 13 ayat (1) pengguna barang/jasa wajib memiliki HPS yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. 5. Lampiran I Bab I Poin C nomor 3a2) menyatakan bahwa dalam mengevaluasi penawaran, panitia/pejabat pengadaan berpedoman pada kriteria dan tata cara evaluasi yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan dan penjelasan sebelumnya. Bila terdapat hal-hal yang kurang jelas dalam suatu penawaran, panitia pengadaan dapat melakukan klsrifikasi dengan calon penyedia barang/jasa yang bersangkutan. Dalam klarifikasi, penawar hanya diminta untuk menjelaskan hal-hal yang menurut panitia pengadaan kurang jelas, namun tidak diperkenankan mengubah substansi penawaran. Demikian juga, calon penyedia barang/jasa tidak diperbolehkan menambah atau mengurangi atau mengubah penawarannya setelah penawaran dibuka (post bidding). Dalam pengadaan barang/jasa, Panitia pengadaan maupun peserta dilarang melakukan tindakan post bidding. Hal
ini
mengakibatkan
ketidakhematan
dalam
pengeluaran
negara
sebesar
Rp65.000.000,00, terjadi karena: 1. Panitia Pengadaan tidak memahami ketentuan dan prosedur yang harus dilaksanakan dalam pelelangan. 2. Kepala Dishutbun kurang melakukan pengendalian atas pelaksanaan pengadaan di unit kerjanya. Atas masalah tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar menanggapi bahwa dalam penetapan rekanan pengadaan pupuk PMLT melalui metode pelelangan, Panitia Pengadaan telah melakukan evaluasi teknis dengan mengecek
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
39
langsung ke produsen/pabrikan sebagai supplier PMLT, namun jaminan supply dari pabrikan kepada rekanan pemenang lelang tidak dituangkan secara tertulis sebagai jaminan supply. Panitia Pengadaan mengakui berinisiatif sendiri melakukan negoisasi untuk memperoleh efisiensi. Panitia Pengadaan telah menetapkan HPS pupuk PMLT berdasarkan daftar biaya/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan. Oleh karena itu, untuk ke depannya Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar akan meningkatkan dan melaksanakan pelelangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Blitar supaya menegur Kepala Dishutbun untuk meningkatkan pengendalian atas pelaksanaan pengadaan di unit kerjanya dengan meningkatkan pemahaman panitia atas ketentuan pengadaan barang dan jasa.
Penetapan Biaya
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur pada tahun 2005 melaksanakan kegiatan GN-RHL
Upah Untuk Pem-
berupa pembuatan tanaman reboisasi untuk Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soeryo
buatan Tanaman
dalam rangka penyelesaian target tahun 2004 dengan luas 2.029 Ha yang tersebar di
Reboisasi Pada
empat kabupaten, yaitu Mojokerto seluas 1.429 Ha, Malang seluas 500 Ha, Jombang
Taman Hutan Ra-
seluas 50 Ha dan Pasuruan seluas 50 Ha.
ya (Tahura) Mele-
Pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman reboisasi Tahura R. Soeryo diserahkan kepada
bihi Standar Me-
Kelompok Tani Tahura (KTT) dengan Surat Perjanjian Kerja Sama (SPKS) meliputi
nimbulkan Keti-
pekerjaan :
dakhematan
1. pemasangan patok batas dan papan nama,
Sebesar
2. pembersihan lapangan dan pembuatan jalan rintisan,
Rp523.482.000,00
3. pemancangan ajir, pembuatan piringan dan lubang tanam, 4. biaya pengangkutan lokal dan pemeliharaan bibit, 5. pengangkutan bibit, penanaman dan penyulaman tahun berjalan, 6. pemeliharaan tanaman (penyiangan, pendangiran, pemupukan, dan pemberantasan hama), 7. pemeliharaan bibit sulaman, 8. biaya pengangkutan bibit dari TPS ke titik bagi, 9. insentif pengawasan/supervisi. SPKS dibuat berdasarkan pada rancangan teknis yang disusun oleh Kepala Balai Tahura R Soeryo, yang dinilai oleh Kepala BP-DAS Brantas dan disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Hasil pemeriksaan terhadap SPKS dan rancangan teknis diketahui bahwa biaya upah yang ditetapkan dalam SPKS untuk beberapa pekerjaan melebihi standar yang ditetapkan dalam Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK) yang dikeluarkan oleh Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) sebagai berikut:
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
40
Tabel 21 : Perbandingan Upah Satuan pada SPKS Pembangunan Tahura R. Soerjo dengan HSPK No. 1 2 3
Uraian biaya
SPKS
HSPK
Selisih
pemancangan ajir, pembuatan piringan dan lubang tanam pengangkutan bibit, penanaman dan penyulaman tahun berjalan pemeliharaan tanaman (penyi-angan, pendangiran, pemupu-kan, pemberantasan hama dan pemeliharaan bibit sulaman)
12,5 HOK
10 HOK
2,5 HOK
14 HOK
10 HOK
4 HOK
14 HOK
10 HOK
4 HOK
40,5 HOK
30 HOK
10,5 HOK
Jumlah
Selisih nilai kelebihan SPKS dibandingkan standar secara keseluruhan adalah sebesar Rp426.090.000,00 (2.029 Ha X 10,5 HOK X Rp20.000,00). Di samping itu, penetapan tarif pengawasan/supervisi sebesar 0,24 OB per Ha dalam SPKS yang diperhitungkan sebesar Rp400.000,00/OB, ternyata melebihi sebesar Rp200.000,00/OB dari tarif standar sebesr Rp200.000,00/OB. Kelebihan tersebut untuk seluruh kegiatan pengawasan seluas 2.029 Ha adalah sebesar Rp97.392.000,00 (2.029 Ha X 0,24 OB/Ha X Rp200.000,00). Dengan demikian nilai selisih kelebihan SPKS dari standar HSPK adalah sebesar Rp523.482.000,00 (Rp426.090.000,00 + Rp97.392.000,00). Hal ini mengakibatkan pemborosan keuangan negara sebesar Rp523.482.000,00, yang terjadi karena : 1. Kepala BP-DAS Brantas tidak mentaati ketetapan Departemen Kehutanan. 2. Kepala Bidang RHL dan Kepala Balai Tahura R. Soeryo selaku penyusun rancangan teknis tidak cermat dalam melaksanakan tugas. 3. Kepala Dinas Kehutanan masih kurang dalam mengendalikan bawahannya. Atas masalah tersebut, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur menanggapi bahwa dalam membuat SPKS Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur belum mendapatkan Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK) untuk pembuatan tanaman reboisasi yang secara resmi dikeluarkan oleh Ditjen RLPS ataupun BP-DAS Brantas sebagai ancar-ancar. Demikian pula untuk Tarif Insentif senilai Rp400.000,00, karena belum didapatkannya pedoman yang pasti maka tarif ditetapkan berdasarkan pada nilai Upah Minimum Regional wilayah tersebut yang pada waktu itu sudah di atas Rp.400.000,00 dan penetapan harga tersebut didasarkan pada hasil koordinasi dengan BP-DAS Brantas. Namun demikian, realisasi akhir tidak melebihi plafon anggaran di dalam SKOR/DIPA. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Gubernur Jawa Timur supaya menegur dan meminta pertanggungjawaban Kepala Dinas Kehutanan Provinsi atas tidak dipakainya HSPK, dan menginstruksikan kepada Dirjen RLPS supaya menegur Kepala BP-DAS Brantas atas persetujuan yang diberikannya terhadap rencana teknis yang diajukan Dinas Kehutanan Provinsi.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
41
Kegiatan Pem-
Untuk melaksanakan program GN-RHL/GN-RHL TA 2006/2007, Dinas Kehutanan dan
buatan Hutan
Perkebunan Kabupaten Jember melaksanakan kegiatan fisik vegetatif antara lain:
Rakyat Dan Peng-
1. Pembuatan hutan rakyat dalam rangka penanggulangan bencana seluas 500 ha,
kayaan Tanaman
dengan anggaran sebesar Rp500.000.000,00 dan telah direalisasikan seluruhnya.
Hutan Rakyat TA
Realisasi kegiatan dilakukan melalui Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) dengan 20
2006/2007 Tidak
kelompok tani penghijauan. Untuk kegiatan ini diterapkan pola subsidi atau
Sesuai Ketentuan
pembiayaan penuh.
Menimbulkan Ke-
Rp24.725.000,00 untuk pembuatan hutan rakyat seluas 25 ha.
tidakhematan
Masing-masing kelompok memperoleh dana sebesar
2. Pembuatan hutan rakyat seluas 150 ha dengan anggaran sebesar Rp90.000.000,00
Sebesar
dan telah direalisasikan sepenuhnya. Realisasi kegiatan dilakukan melalui SPKS
Rp199.500.000,00
dengan 6 kelompok tani penghijauan. Kegiatan ini menerapkan pola insentif, seperti yang diterapkan di Kabupaten Jember pada tahun-tahun sebelumnya. Masing-masing kelompok tani pelaksana memperoleh alokasi dana sebesar Rp14.750.000,00 untuk pembuatan hutan rakyat seluas 25 ha. 3. Pengkayaan hutan rakyat seluas 200 ha dengan anggaran sebesar Rp60.000.000,00 dan telah direalisasikan sepenuhnya. Realisasi kegiatan dilakukan melalui SPKS dengan 8 kelompok tani penghijauan, dan menerapkan pola insentif. Masing-masing kelompok tani pelaksana memperoleh alokasi dana sebesar Rp7.250.000,00 untuk pengkayaan HR seluas 25 ha. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan dua pola yang berbeda pada kegiatan vegetatif di Kabupaten Jember telah mengakibatkan ketidakhematan penggunaan anggaran dan mengabaikan aspek keadilan terhadap masyarakat. Hutan rakyat yang seharusnya dapat dibiayai dengan nilai Rp14.750.000,00 tetapi dibiayai dengan Rp24.725.000,00 sehingga terjadi inefisiensi Rp9.975.000,00 per kelompok atau seluruhnya sebesar Rp199.500.000,00 {(Rp24.725.000,00 – Rp14.750.000,00) x 20 kelompok}. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman Kegiatan GN-RHL, menyebutkan bahwa pola subsidi atau pembiayaan penuh diterapkan di daerah tertinggal. Sedangkan pola insentif diterapkan di daerah yang tidak termasuk kategori tertinggal. Sedangkan Kabupaten Jember bukan merupakan daerah tertinggal sehingga seharusnya menerapkan pola insentif. Hal tersebut mengakibatkan ketidakhemtan penggunaan anggaran untuk pembuatan HR sebesar Rp199.500.000,00, terjadi karena PPK beranggapan bahwa dalam pembuatan HR Rawan Bencana harus menerapkan pola subsidi atau pembiayaan penuh. Atas masalah tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember menanggapi bahwa dalam melaksanakan kegiatan mengikuti target sesuai alokasi kegiatan yang ada di DIPA tahun 2007.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
42
BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Jember untuk memberikan teguran kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan atas kelalaiannya yang mengakibatkan pemborosan keuangan negara. Pelaksanaan
Dalam rangka penyelesaian target pembuatan tanaman hutan rakyat GN-RHL Tahun 2005,
Pengadaan Pupuk
maka Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Blitar pada tahun 2006
Bio Kompos Di
melakukan pengadaan pupuk bio kompos. Pengadaan pupuk itu dibiayai dari DIPA BA 69
Kabupaten Blitar
(Pembiayan Lain-lain), yang pelaksanaannya dilakukan oleh PT Barokah Indo Teknik (BIT),
Menyalahi Keten-
Kediri,
tuan Mengakibat-
Rp1.001.000.000,00 (termasuk pajak, biaya umum dan keuntungan rekanan).
kan Harga Pengadaan Terlalu Mahal Merugikan Negara Sebesar Rp485.800.000,00
sesuai
kontrak
No.248/GN-RHL/V/2006
tanggal
4
Mei
2006
senilai
Kegiatan pengadaan pupuk bio kompos tersebut telah dinyatakan selesai dilaksanakan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Barang/Hasil Pekerjaan No.47/PPB/GN-RHL/2006 tanggal 23 Mei 2006 dan telah dibayarkan seluruhnya (100%) sesuai Berita Acara Pembayaran
No.49/BAP/
GN-RHL/2006
tanggal
21
Mei
2006
dan
kuitansi
No.(kosong)/LS/V/2006 tanggal (kosong). Hasil pemeriksaan mengungkapkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Pengadaan pupuk bio kompos senilai Rp 1.001.000.000,00 yang seharusnya dilakukan dengan pelelangan tetapi secara formalitas dilakukan dengan penunjukan langsung kepada PT BIT. Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan Ketua Panitia Pengadaan yang dituangkan dalam Berita Acara Permintaan Keterangan No. 01/BAPK/TIM-RHLJATIM/9/2007 tanggal 15 September 2007. Panitia Pengadaan tidak mengetahui sama sekali proses penunjukan langsung pengadaan pupuk bio kompos tersebut, namun disodorkan oleh Kepala Dishutbun Kabupaten Blitar untuk menandatangani dokumendokumen
penunjukan
langsung.
Hal
tersebut
menunjukkan
telah
terjadi
penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Dishutbun Kabupaten Blitar dalam proses pengadaan pupuk bio kompos. Selain itu, terbukti pula dari tanggal penandatanganan kontrak pengadaan dilakukan pada tanggal 4 Mei 2006, sedangkan pengadaan dan pengiriman pupuk bio kompos kepada kelompok tani oleh PT BIT dilaksanakan sejak tanggal 27 Februari 2006 sampai dengan 6 Maret 2006. Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan pekerjaan mendahului/tidak didasarkan pada ikatan kontrak. Alasan penujukan langsung karena waktu yang mendesak sangat tidak relevan karena apabila dibandingkan dengan Dishut Kabupaten Malang dimana turunnya dana DIPA juga bersamaan, untuk kegiatan yang serupa proses penetapan rekanan dilaksanakan dengan cara pelelangan untuk anggaran yang melebihi Rp100 juta. Demikian juga apabila dilihat dari waktu selama tiga bulan (Desember 2005, Januari dan Februari 2006) yang tidak dipakai, seharusnya dapat dimanfaatkan untuk proses pengadaan barang secara pelelangan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
43
2.
Pengujian lebih lanjut diketahui bahwa PT BIT tidak memproduksi sendiri pupuk bio kompos merk Sekartadji seperti yang dipilih oleh Kepala Dishutbun yang melandasi dipilihnya PT BIT sebagai rekanan pengadaan. PT BIT membeli pupuk bio kompos yang diproduksi oleh Pabrik Gula (PG) Ngadirejo (PTPN 10) di daerah Sumber Lumbu, Kediri, hasil pengolahan limbah pabrik gula (blothong dan abu ketel yang dicampur dengan bio aktivator). Menurut manajer PG Ngadirejo, harga jual pupuk bio kompos adalah Rp250,00/kg franco gudang Sumber Lumbu (sudah dikemas per 40 kg). Sedangkan untuk pengiriman pupuk dari gudang Sumber Lumbu ke lokasi titik bagi, PT BIT mengadakan kerja sama dengan Ag dan P (tanpa perjanjian) untuk pengangkutan menggunakan truk kapasitas 5 ton. Biaya angkut termasuk bongkar muat pupuk disepakati rata-rata sebesar Rp50,00/kg. Oleh karena itu, harga yang wajar untuk pengadaan pupuk bio kompos tersebut adalah per 1 kg sebesar Rp368,00 dengan perhitungan sebagai berikut: - Biaya pembelian pupuk franco Sumber Lumbu
: Rp 250,00
- Biaya pengangkutan s.d. titik bagi
: Rp 50,00
Sub Jumlah
Rp 300,00
- Biaya umum dan keuntungan (10%X Rp300,00)
: Rp 30,00
Jumlah biaya sebelum pajak
: Rp 330,00
- Pajak PPN 10% + PPh 1,5% (11,5%XRp330,00)
: Rp 37,95
Nilai yang wajar per kg
: Rp 367,95
(dibulatkan Rp368,00) Berdasarkan catatan angkutan yang dibuat oleh P, jumlah surat jalan truk (delivery order/DO) sebanyak 280 lembar dengan rincian sebagai berikut: Tabel 22 : Rekapitulasi Surat Jalan Truk pengagkut pupuk No. Tanggal 1 27 Februari 2006 2 28 Februari 2006 3 1 Maret 2006 4 2 Maret 2006 5 3 Maret 2006 6 4 Maret 2006 7 6 Maret 2006 Jumlah DO
Jumlah DO 14 lbr 43 lbr 35 lbr 65 lbr 36 lbr 24 lbr 63 lbr 280 lbr
Sehingga jumlah pupuk bio kompos yang dikirim adalah 1.400.000,00 kg (280 X 5.000,00 kg). Dengan demikian terjadi kemahalan harga sebesar Rp485.800.000,00
atas
pengadaan pupuk bio kompos yang telah dilakukan pembayaran, dengan perhitungan sebagai berikut : -
Nilai yang telah dibayarkan
1.430.000 kg X Rp700,00 = Rp1.001.000.000,00
-
Nilai yang seharusnya dibayar 1.400.000 kg X Rp368,00 = Rp 515.200.000,00
-
Nilai kelebihan pembayaran
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
= Rp 485.800.000,00
44
Hal ini bertentangan dengan: 1. Keppres No. 80 Tahun 2003 tanggal 3 November 2003 dengan perubahannya tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah : a. Pasal 3 Pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan. b. Pasal 5 Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut:
1) bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa;
2) menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa;
3) menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; c.
Pasal 9 Tugas pokok pengguna barang/jasa dalam pengadaan barang/jasa antara lain adalah Pengguna barang/jasa bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya.
d. Pasal 11 Persyaratan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan adalah sebagai berikut : 1) memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha/ kegiatan sebagai penyedia barang/jasa; 2) memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan barang/jasa; 3) memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan, dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa. Hal tersebut mengakibatkan Kerugian Negara sebesar Rp485.800.000,00, yang terjadi karena: 1. Kepala Dishutbun Kabupaten Blitar tidak menaati ketentuan yang berlaku dan diduga sengaja menyalahgunakan wewenang dengan merekayasa proses pengadaan barang. 2. Panitia Pengadaan dan Petugas Penerimaan Barang lalai tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya serta PT BIT selaku rekanan penyedia pupuk diduga mencari keuntungan yang tidak wajar.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
45
Atas masalah tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar menanggapi bahwa pelaksanaan pengadaan pupuk bio kompos yang dianggap merugikan negara sebesar Rp485.800.000,00 tersebut dilaksanakan oleh KPA Tahun 2005 (Ir. R, MM). Hasil klarifikasi dengan penyedia PT BIT mengenai harga jual pupuk bio kompos kepada KPA adalah sebesar Rp571,00/kg, sehingga masih terdapat selisih sebesar Rp201.600.000,00. Berdasarkan modus operandi penyimpangan yang terjadi diduga adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, maka temuan pemeriksaan ini dilimpahkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. Pengadaan Ajir,
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur pada tahun 2004 melaksanakan pengadaan ajir,
PMLT serta Pera-
pupuk tablet MLT serta peralatan dan perlengkapan pertanian berupa cangkul dan sabit
latan dan Perleng-
untuk mendukung pembuatan tanaman reboisasi GN-RHL Taman Hutan Raya R. Soerjo
kapan Pertanian
(Tahura) tahun 2004/2005. Pengadaan tersebut dilaksanakan oleh CV. Wahana Kreasindo
di Dinas Kehu-
yang
tanan Provinsi
No.027/6424/116.01/2004 tanggal 26 Oktober 2004 senilai Rp598.493.500,00 (termasuk
Jawa Timur Tidak
pajak, biaya umum dan keuntungan rekanan), yang dibiayai Anggaran SKO-R dari sumber
Sesuai Ketentuan
dana cadangan GN-RHL Tahun 2004. Kegiatan tersebut telah dinyatakan selesai
Sebesar
dilaksanakan oleh CV. Wahana Kreasindo sesuai dengan Berita Acara Penerimaan Barang
Rp81.758.493,50
No: 027/7591/116.01/2004 tanggal 14 Desember 2004 dan telah dibayar lunas.
beralamat
di
Jalan
Sumatera
No.1/30
Surabaya
sesuai
kontrak
Hasil pemeriksaan mengungkapkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Pengadaan ajir, PMLT, cangkul dan sabit dilaksanakan dengan cara pelelangan. Panitia Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur (Panitia) menetapkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) secara formalitas. Hal ini terbukti dari tanggal penetapan HPS yaitu tanggal 20 Oktober 2004, setelah pembukaan penawaran tanggal 15 Oktober 2004. Di samping itu, harga satuan dan jumlah nilai HPS sama persis dengan nilai penawaran dari penawar terendah. Panitia menetapkan HPS sebesar Rp598.493.500,00 dengan perincian sebagai berikut: Tabel 23 : Daftar Penyusunan HPS Pengadaan Barang dan Peralatan Dishut Prov. Jatim
No. 1 2 3 4
Jenis Barang Ajir Pupuk Tablet MLT Cangkul Sabit Jumlah PPN 10% Total
Harga Pasar 325 9.500 40.500 23.000
Standar Harga 300 9.000 40.000 22.500
Estimasi Harga 273 8.182 35.826 20.455
Kuantitas 811.600 bt 32.464 kg 1.015 bh 1.015 bh
Nilai (Rp) 221.345.455 265.614.545 36.363.636 20.761.364 544.085.000 54.408.500 598.493.500
Penetapan HPS tidak mengacu kepada harga bahan yang tercantum dalam Rancangan Teknis Tahun 2004 yang disusun oleh Kepala Balai Tahura R. Soerjo. Dalam Rantek tersebut dicantumkan bahwa harga satuan ajir sebesar Rp200,00
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
46
(sudah termasuk pajak, biaya umum serta keuntungan perusahaan). Di lain pihak, panitia menetapkan harga ajir per batang adalah Rp300,00 sehingga terjadi kemahalan harga sebesar Rp81.160.000,00 {(Rp300,00-Rp200,00) x 811.600 batang}. 2. Jangka waktu pelaksanaan kontrak adalah selama 30 hari kerja terhitung mulai tanggal 26 Oktober 2004 s.d 13 Desember 2004, ternyata serah terima pekerjaan baru dilaksanakan pada tanggal 14 Desember 2004 sesuai dengan Berita Acara Penerimaan
Barang
No:
027/7591/116.01/2004.
Dengan
demikian,
terjadi
keterlambatan satu hari dan atas keterlambatan tersebut ternyata rekanan tidak dikenakan denda sebesar Rp598.493,50 (1 hari x 1‰ x Rp598.493.500,00). Hal tersebut bertentangan dengan: 1. Keppres No. 80 Tahun 2003 tanggal 3 November 2003 dengan perubahannya tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah :
a. Lampiran I Bab I Poin C nomor 3a2) menyatakan bahwa dalam mengevaluasi penawaran, panitia/pejabat pengadaan berpedoman pada kriteria dan tata cara evaluasi yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan dan penjelasan sebelumnya. Dan nomor 3a5) menyatakan bahwa dalam pengadaan barang/jasa panitia/pejabat pengadaan maupun peserta dilarang melakukan tindakan post bidding.
b. Pasal 5 Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut:
1) bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa;
2) menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa;
3) menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
c. Pasal 9 Tugas pokok pengguna barang/jasa dalam pengadaan barang/jasa antara lain adalah Pengguna barang/jasa bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya.
d. Pasal 13 Penyusunan HPS dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Pengguna barang/jasa wajib memiliki HPS yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan;
2) HPS disusun oleh panitia/pejabat pengadaan dan ditetapkan oleh pengguna barang/jasa;
3) HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
47
termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran;
4) Nilai total HPS terbuka dan tidak bersifat rahasia; 5) HPS merupakan salah satu acuan dalam menentukan tambahan nilai jaminan. 2. Perjanjian kontrak No. 027/6424/116.01/2004 tanggal 26 Oktober 2004 pasal 6 yang menyatakan bahwa apabila sampai dengan tanggal 13 Desember 2004 Pihak Kedua tidak melakukan penyerahan barang kepada Pihak Kesatu, maka Pihak Kedua diwajibkan membayar denda keterlambatan sebesar 1‰ (satu permil) dari harga borongan untuk tiap hari keterlambatan maksimum 5% (lima persen) dari jumlah harga borongan. Kemahalan
harga
tersebut
mengakibatkan
kelebihan
pembayaran
sebesar
Rp81.160.000,00 dan atas denda yang tidak dipungut mengakibatkan pendapatan negara sebesar Rp598.493,50 belum diterima oleh Kas Negara, terjadi karena: 1. Panitia Pengadaan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya; 2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur kurang melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap bawahannya; 3. Rekanan supplier CV. Wahana Kreasindo, Panitia Pengadaan dan Pejabat Pengadaan mempunyai itikad tidak baik untuk mendapatkan keuntungan yang tidak wajar dalam pengadaan barang. Atas masalah tersebut, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur menanggapi bahwa diakui Panitia Pengadaan membuat OE/HPS setelah pembukaan penawaran dan dalam melakukan pengadaan barang tidak memperhatikan ketentuan yang ada dalam Rancangan Teknis. Berkaitan dengan hal tersebut, Panitia Pengadaan akan diberikan teguran atas kesalahannya sehingga tidak terulang lagi. Berkaitan dengan terjadinya keterlambatan penyelesaian pekerjaan, maka kepada rekanan akan diperintahkan menyetor denda keterlambatan ke Kas Negara. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Gubernur Jawa Timur supaya memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi memberikan sanksi kepada Panitia Pengadaan dan PPK atas kelalaiannya yang merugikan negara tersebut sesuai ketentuan yang berlaku serta memerintahkan kepada rekanan untuk menyetorkan ke Kas Negara.
Pengadaan Bibit
BP-DAS Sampean Madura pada TA 2005/2006 melakukan pengadaan bibit untuk GN-RHL
Tinjang Paket XVI
yang terbagi dalam 23 paket kontrak. Salah satu paket pekerjaan tersebut yaitu paket XVI
TA 2005/2006
berupa pengadaan 900.000 batang bibit tanaman Tinjang, untuk pembuatan mangrove di
untuk Kabupaten
Kabupaten Bangkalan yang dilaksanakan oleh PT Sumber Tani Agro (PT STA) sesuai
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
48
Bangkalan Tidak
kontrak No.82.2/V/BP-DAS. SM-1/2006 tanggal 24 Januari 2006 senilai Rp922.500.000,00.
Sesuai Spesifi-
Menurut kontrak tersebut, spesifikasi bibit Tinjang yang harus diserahkan adalah bibit
kasi Yang Diten-
dengan teknik perbanyakan generatif, tinggi > 50 cm dan minimal memiliki 4 daun.
tukan
Pekerjaan pengadaan bibit telah dinyatakan selesai dan diserahkan oleh PT STA kepada BP-DAS Sampean Madura, sesuai BAST No.042/STA/II/2006 tanggal 13 Februari 2006. Menurut BAST tersebut, bibit Tinjang yang diserahkan adalah bibit dengan spesifikasi teknik perbanyakan generatif, dengan tinggi 20 – 50 cm dan minimal memiliki 4 daun. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi bibit Tinjang dalam BAST tidak sesuai dengan spesifikasi tinggi bibit menurut kontrak. BAST tersebut didasarkan pada hasil pemeriksaan bibit Tinjang yang dilakukan oleh LPI PT. Almasentra Konsulindo (PT AK) di lokasi titik bagi dan dituangkan/ dimuat dalam Tally Sheet Penilaian Bibit, yang ditandatangani oleh LPI, penyedia bibit, Dinas Kehutanan Kabupaten dan BP-DAS. Dalam tally sheet tersebut dinyatakan bahwa bibit yang dinilai sebanyak 3% dari jumlah bibit, ternyata seluruhnya dibawah 50 cm bahkan terdapat bibit dengan tinggi < 20 cm. Hal ini menunjukkan bahwa BAST No.042/STA/II/2006 tanggal 13 Februari 2006 dibuat tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Hasil uji petik atas Tally Sheet Penilaian Bibit, diketahui rata-rata bibit yang tidak sesuai spesifikasi dalam BAST mencapai 61,67% (rincian lihat Lampiran No.7). Adanya empat pihak yang menandatangani tally sheet menunjukkkan bahwa spesifikasi bibit yang tidak sesuai tersebut telah diketahui dan disetujui oleh seluruh pihak yang menandatanganinya. Dengan demikian, seharusnya bibit yang diserahkan oleh pengada/supplier secara keseluruhan senilai Rp922.500.000,00 tidak boleh diterima oleh BP-DAS. Hal tersebut tidak sesuai dengan: 1. Keppres No. 80 Tahun 2003 tanggal 3 November 2003 dengan perubahannya tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 5, huruf a menyatakan bahwa Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika untuk bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa; 2. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman Kegiatan GN-RHL Tahun 2005, yang mengatur bahwa sebelum penyerahan pekerjaan dari pengada bibit kepada PPK, dilakukan penilaian bibit oleh LPI di persemaian dan di titik bagi. Atas dasar hasil penilaian tersebut, kemudian dilaksanakan serah terima bibit dengan dilengkapi BAST. Sehingga seharusnya pembuatan BAST mengacu pada hasil penilaian bibit yang dilakukan LPI. Bibit yang tidak sesuai spesifikasi mengakibatkan/mempengaruhi daya tumbuh tanaman di lokasi/tempat penanamannya rendah. Hal tersebut terbukti dari hasil penilaian LPI atas
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
49
penanaman bahwa tingkat pertumbuhan mangrove tersebut rata-rata hanya 10%, sehingga tujuan pembuatan hutan mangrove yaitu mencegah intrusi air laut dan kerusakan lingkungan pantai tidak tercapai, yang terjadi karena: 1. LPI tidak bekerja secara profesional melakukan penilaian terhadap bibit yang diserahkan oleh pengada/supplier. 2. BP-DAS Sampean Madura tidak sepenuhnya melakukan verifikasi terhadap BAST sebagai dasar untuk melakukan pembayaran. Atas masalah tersebut, Kepala BP-DAS Sampean Madura menanggapi bahwa pengukuran pertumbuhan diukur dari propagul di atas tanah sampai ujung daun sedangkan dalam tallysheet hanya dicatat tinggi tunas dan jumlah daunnya saja. Tanggapan Kepala BP-DAS Sampean Madura tersebut kurang tepat, karena dalam tallysheet yang dibuat oleh LPI tersebut dengan jelas dituliskan secara rinci panjang tiaptiap batang dan diketahui bahwa tidak ada yang lebih dari 50 cm. Berdasarkan Surat Sekretaris Jenderal Ditjen RLPS No. S.58/set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar menginstruksikan Dirjen RLPS memberikan teguran kepada Kepala BP-DAS Sampean Madura atas kelalaiannya menerima bibit yang tidak memenuhi spesifikasi teknis dan memerintahkan Kepala BP-DAS Sampean Madura meminta pertanggungjawaban dari LPI atas kinerjanya dalam menilai bibit yang diserahkan oleh penyedia bibit. Mark-up Harga
Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Lingkungan Hidup (Dishutbunling) Kabupaten Kediri
Penggandaan
pada tahun 2007 melakukan penggandaan buku rancangan pada kegiatan GN-RHL tahun
Buku Rancangan
2007. Kegiatan penggandaan tersebut dilaksanakan oleh CV Akar Pribumi, Kediri, sesuai
GN-RHL Tahun
SPK No.602.1/602/418.44/2007 tanggal 21 Juni 2007 senilai Rp22.350.000,00 (termasuk
2007 Di Kabu-
pajak, biaya umum dan keuntungan rekanan), yang dibiayai dari DIPA BA 69 (Pembiayan
paten Kediri Tidak
Lain-lain). Penetapan rekanan dilaksanakan dengan penunjukan langsung, namun harga
Wajar Sebesar
yang ditetapkan dalam kontrak sama dengan harga yang ditawarkan oleh rekanan
Rp20.250.000,00.
(negosiasi tidak berhasil menurunkan harga). Kegiatan penggandaan buku rancangan tersebut telah dinyatakan selesai dilaksanakan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Barang No. 602.1/669/418.44/2007 tanggal 10 Juli 2007 dan telah dibayarkan seluruhnya (100%) sesuai dengan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) Nomor: 123926G/034/118 tanggal 30 Juli 2007. Hasil pemeriksaan menemukan bahwa harga yang ditetapkan sangat tidak wajar. Penggandaan buku rancangan sebanyak 420 eksemplar dilakukan dengan fotocopy dengan spesifikasi cover warna kuning biasa, kertas HVS folio 70 gr, jilid lakban hitam, dengan ketebalan rata-rata 25 lembar. Harga yang ditetapkan adalah untuk buku rancangan pembuatan tanaman hutan rakyat sebesar Rp80.000,00 dan rancangan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
50
bangunan sebesar Rp50.000,00. Padahal harga yang wajar untuk penggandaan buku rancangan tersebut hanya sebesar Rp5.000,00 per eksemplar. Dengan demikian terjadi markup harga sebesar Rp20.250.000,00 dengan perhitungan sebagai berikut: Tabel 24 : Perbandingan Harga Satuan dan Harga Wajar Penggandaan Buku Rancangan No.
Uraian
Jumlah
Hrg satuan
Nilai
Hrg Wajar
Nilai
Selisih
Rancangan Kegiatan Penanggulanan Bencana
I 1
Rantek pemb. Tanaman HR
30
80.000
2.400.000
5.000
150.000
2.250.000
2
Rantek Dam Penahan
15
50.000
750.000
5.000
75.000
675.000
3
Rantek Gully Plug
60
50.000
3.000.000
5.000
300.000
2.700.000
Rancangan Keg. Rehabilitasi Hutan dan Lahan
II 1
Rantek pemb. HR Blok Grant
3
80.000
240.000
5.000
15.000
225.000
2
3
80.000
240.000
5.000
15.000
225.000
3
Rantek pemb. HR Insentif Rantek pemb. HR Penkayaan
9
80.000
720.000
5.000
45.000
675.000
4
Rantek Dam Penahan
60
50.000
3.000.000
5.000
300.000
2.700.000
5
Rantek Gully Plug
120
50.000
6.000.000
5.000
600.000
5.400.000
6
Rantek Sumur Resapan
120
50.000
6.000.000
5.000
600.000
5.400.000
JUMLAH
420
2.100.000
20.250.000
22.350.000
Hal tersebut tidak sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 tanggal 3 November 2003 jo. Perpres No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah: 1.
Pasal 5 Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut : a. bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa; b. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa; c.
menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
2.
Pasal 9 Tugas pokok pengguna barang/jasa dalam pengadaan barang/jasa antara lain adalah Pengguna barang/jasa bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya.
Mark-up harga penggandaan buku tersebut merugikan negara sebesar Rp20.250.000,00, yang terjadi karena Panitia Pengadaan dan Pejabat Pembuat Komitmen lalai dalam
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
51
melaksanakan tugas. Atas masalah tersebut, Kepala Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Kediri telah menindaklanjuti dengan memerintahkan kepada CV. Akar Pribumi Kediri
sebagai
Pelaksana
Penggandaan
Buku
Rancangan
Teknik
untuk
mempertanggungjawabkan secepatnya dengan menyetor kembali kelebihan biaya penggandaan Buku Rancangan Teknik dan CV Akar Pribumi telah menyetor kembali kelebihan biaya penggandaan buku sebesar Rp20.250.000,00 ke Kas Negara melalui Bank Jatim Cabang Kediri. Pengujian lebih lanjut atas tindak lanjut yang dilakukan tersebut membuktikan bahwa penyetoran kembali kelebihan harga penggandaan buku sebesar Rp20.250.000,00 ke Kas Negara memang telah dilakukan dengan bukti setor berupa Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) ke KPPN No. (kosong) tanggal 26 September 2007. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar
meminta Bupati Kediri supaya
memerintahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Kediri untuk memberikan teguran kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan Panitia Pengadaan atas kelalaiannya tersebut.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
52
BAB V KESIMPULAN
RHL merupakan isu nasional dan internasional yang penting pada saat ini. Berdasarkan laporan Bank Dunia tentang Kondisi Perubahan Iklim di Indonesia disebutkan bahwa Indonesia termasuk penyumbang terbesar Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan. Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan antara lain disebabkan oleh penggundulan hutan dan kebakaran hutan. Disamping dampak terhadap perubahan iklim, penggundulan hutan di Indonesia juga sudah sangat merisaukan karena berdasarkan data Baplan tahun 2000 laju kerusakan hutan adalah 1,5 s/d 2,8 juta Ha pertahun. Laju kerusakan yang begitu pesat perlu diikuti dengan upaya yang intensif untuk merehabilitasinya. Pemerintah telah berupaya merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan di Wilayah Provinsi Jawa Timur dengan melakukan program GN-RHL. Upaya yang dilakukan pemerintah melibatkan aparat pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota serta masyarakat di wilayah sekitar hutan dan lahan yang rusak. Hasil Pemeriksaan BPK-RI atas pelaksanaan GN-RHL di Jawa Timur menunjukkan bahwa secara umum upaya pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan belum berhasil untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Dengan mengingat laju pertambahan kerusakan hutan dan lahan diatas maka ketidakmampuan pemerintah mencapai target tersebut lebih lanjut akan berdampak kepada semakin bertambahnya hutan dan lahan yang rusak dan mengakibatkan resiko terjadinya bencana lingkungan seperti kekeringan, banjir dan longsor pada wilayah-wilayah kritis di Jawa Timur relatif masih tinggi. Disamping itu, masih ditemukan penyaluran dana RHL yang tidak sesuai dengan ketentuan dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang tidak hemat, tidak efektif, dan melanggar ketentuan mengakibatkan pemborosan keuangan negara sebesar Rp12.408.517.475,00 kerugian negara sebesar Rp587.808.493,50 dan upaya meningkatkan kualitas DAS Brantas dan DAS Sampean-Madura menjadi tidak berhasil, antara lain sebagai berikut: 1. Pembangunan hutan mangrove TA 2004 dan TA 2005 di Propinsi Jawa Timur senilai Rp8.051.256.300,00 mengalami kegagalan mengakibatkan tujuan untuk meningkatkan fungsi hutan sebagai penyangga ekosistem pantai tidak tercapai. 2. Pembuatan hutan rakyat dengan bibit tanaman kayu-kayuan dan Multy Purpose Trees Species (MPTS) di Jawa Timur sebagian mengalami kegagalan yang mengakibatkan salah satu tujuannya untuk pengembangan investasi dan pemanfaatan hasilnya bagi masyarakat tidak tercapai. 3. Penyaluran dana pemeliharaan pertama di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Situbondo tidak mendasarkan hasil penilaian pertumbuhan tanaman mengakibatkan kegiatan pemeliharaan tidak efektif. 4. Lelang pengadaan bibit pada BP-DAS Brantas dilaksanakan tidak sesuai ketentuan sehingga menimbulkan ketidakhematan pengeluaran negara yaitu hilangnya kesempatan untuk mendapatkan harga yang lebih rendah sebesar Rp549.380.375,00.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
53
5. Penetapan biaya upah untuk pembuatan Taman Hutan Raya (Tahura) melebihi standar harga yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan mengakibatkan ketidakhematan sebesar Rp523.482.000,00. 6. Pelaksanaan pengadaan pupuk bio kompos di Kabupaten Blitar menyalahi ketentuan mengakibatkan harga pengadaan terlalu mahal yang merugikan negara sebesar Rp485.800.000,00. Kondisi diatas antara lain terjadi karena pemerintah tidak tegas dalam menentukan lokasi RHL hanya di lokasi yang menjadi prioritas DAS, belum sepenuhnya berkomitmen secara berjenjang untuk merehabilitasi hutan dan lahan, kurang melakukan koordinasi di antara pihak yang terkait khususnya mengenai penentuan jenis bibit yang disesuakan dengan agroklimat setempat, sistem anggaran belum mengakomodasi masa tanam, pengendalian dari atasan langsung terhadap kinerja bawahan (unit kerjanya) masih lemah, dan kekurangpahaman terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan baik pengadaan barang/jasa maupun pedoman teknis pelaksanaan GN-RHL. BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan
54
Lampiran 1 Rencana Lokasi dan Luas sasaran RLT RHL di luar Kawasan Hutan, Tahura dan TN BTS No.
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5
2003 (Ha) 250 100 882 1.700 -
Sasaran Rencana Lima Tahun 2004 2005 2006 2007 (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) 520 147 260 150 150 160 6.119 9.532 10.018 12.246 6.944 6.239 5.151 6.420 250 48 35 31
Kota Batu Kota Malang Kabupaten Malang Kabupaten Blitar Kota Blitar Kabupaten 750 3.044 6 Tulungagung 7 Kabupaten Trenggalek 1.100 2.845 8. Kabupaten Kediri 600 2.161 9 Kota Kediri 100 150 10 Kabupaten Nganjuk 1.400 2.275 11 Kabupaten Jombang 1.300 3.012 12 Kabupaten Mojokerto 850 1.770 13 Kota Mojokerto 100 14 Kab. Pasuruan 750 1.305 15 Kota Pasuruan 200 327 16 Kabupaten Sidoarjo 50 375 17 Kota Surabaya 500 Dishut Provinsi 18 2.143 2.021 (Tahura) 19 TN. BTS 708 708 Jumlah 12.883 34.686 Sumber: Rencana Lima Tahun SWP Brantas
HR 5 th (Ha) 917 820 38.797 26.454 364
3.228
3.421
2.550
12.993
4.882 3.513 285 1.900 1.510 737 95 4.409 624 300 2.000
5.221 4.141 160 1.672 1.266 437 5.380 743 300 3.270
3.989 4.483 120 1.894 3.192 3.963 10.636 840 199 2.812
18.037 14.898 815 9.141 10.280 7.758 195 22.480 2.734 1.224 8.582
2.500
2.360
1.000
10.024
930 43.029
43.725
54.536
2.346 188.859
Rencana Lokasi dan Luas sasaran RTT RHL di luar Kawasan Hutan, Tahura dan TN BTS No.
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5
Kota Batu Kota Malang Kabupaten Malang Kabupaten Blitar Kota Blitar Kabupaten Tulungagung Kabupaten Trenggalek Kabupaten Kediri Kota Kediri Kabupaten Nganjuk Kabupaten Jombang Kabupaten Mojokerto Kota Mojokerto Kab. Pasuruan Kota Pasuruan Kabupaten Sidoarjo Kota Surabaya Dishut Provinsi (Tahura) TN. BTS Jumlah
6 7 8. 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Rencana Teknik Tahunan 2005 2006 2007 (Ha) (Ha) (Ha) 150,00 100 190,00 75 200 4.585,00 9.230 12.900 4.517,00 9.000 6.420 43,50 75 31
2003 (Ha) 250 100 882 1.700 -
2004 (Ha) 520 260 2.790 4.860 250
800
2.895
1.730,00
4.000
2.550
11.975
1.100
2.191
3.763,00
11.846
3.989
22.889
600 100 1.400 1.300 850 750 200 50 -
5.000 150 4.000 5.000 2.350 100 1.050 300 900 500
1.900,00 1.242,00 839,00 910,00 79,10 985 510,00 0,00 425,00
1.950 50 300 3.850 720 50 1.275 125 400 50
4.483 150 1.894 1.780 1.130 50 1.970 395 200 342
13.933 450 8.836 12.769 5.960 279,10 6.030 1.530 1.550 1.317
2.143
2.029
1.156
100
2.000
7.428
708 12.933*
700 35.845
210 23.234,60
43.196
200 40.684
1.818 155.892,60
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
HR 5 th (Ha) 1.020 825 30.387 26.497 399,50
55
Lampiran 2
Daftar Pertumbuhan Hutan Mangrove TA 2004/2005 di Kab/Kota Jumlah Penanaman Bibit Rata% (batang) tumbuh 1. Kab. Sampang 45 247.500 0,16 2. Kab. Bangkalan 75 412.500 0,19 3. Kota Surabaya 100 550.000 11,20 4. Kab. Sidoarjo 250 1.375.000 9,00 Jumlah / Rata-rata 470 2.585.000 5,14 Sumber: Laporan Akhir Penilaian Kinerja GERHAN Tahun 2004/2005 PT Bumiharmoni Indoguna, April 2006 No.
Kabupaten/Kota
Luas (ha)
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
56
Lampiran 3
Daftar Pertumbuhan Hutan Mangrove TA 2005/2006 di Kab/Kota Luas Jumlah Penanaman Bibit Rata% (ha) (batang) tumbuh 1. Kab. Tuban 100 360.000 42,02 2. Kota Pasuruan 300 1.080.000 78,80 3. Kab. Pasuruan 100 360.000 66,91 4. Kota Probolinggo 150 540.000 dtt 5. Kab. Banyuwangi 100 360.000 39,8 6. Kab. Sumenep 200 720.000 3,09 7. Kab. Sampang 50 180.000 0,01 8. Kab. Pamekasan 200 720.000 28,77 9. Kab. Bangkalan 250 900.000 10,07 10. Kota Surabaya 100 360.000 13,57 11. Kab. Gresik 50 180.000 0,01 12. Kab. Sidoarjo 300 1.080.000 21,64 Jumlah / Rata-rata 1.900 6.840.000 27,70 Sumber: Laporan Akhir Penilaian Kinerja GN-RHL Tahun 2005/2006 Provinsi Jawa Timur oleh PT Aura jasa Consulindo, Mei 2007. No.
Kabupaten/Kota
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
57
Lampiran 4
Perkiraan Kerugian Karena Kegagalan Pembuatan Hutan Mangrove di Wilayah Propinsi Jawa Timur A. TA 2004 No.
Kab/Kota
Luas (Ha)
Jumlah benih
% Tumbuh
% mati
Perkiraan Jml Kerugian
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6) = 100- (5)
(7) = Rp1.200 x {(4) x (6)}
45 75 100 250
247.500 412.500 550.000 1.375.000
0,16 0,19 11,20 9,00
99,84 99,81 88,80 91,00
296.524.800 494.059.500 586.080.000 1.501.500.000
470
2.585.000
5,14
94,86
2.878.164.300
Luas (Ha)
Jumlah benih
% Tumbuh
% mati
Perkiraan Jml Kerugian
1 2 3 4
Kab. Sampang Kab. Bangkalan Kota Surabaya Kab. Sidoarjo JUMLAH
B. TA 2005 No. (1)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kab/Kota / Kelompok Tani (2)
Kab. Tuban Kota Pasuruan Kab. Pasuruan Kota Probolinggo Kab. Banyuwangi Kab. Sumenep Kab. Sampang Kab. Pamekasan Kab. Bangkalan Kota Surabaya Kab. Gresik Kab. Sidoarjo JUMLAH
(3)
(4)
(5)
(6) = 100- (5)
(7) = Rp1.200 x {(4) x (6)}
100 300 100 150 100 200 50 200 250 100 50 300
360.000 1.080.000 360.000 540.000 360.000 720.000 180.000 720.000 900.000 360.000 180.000 1.080.000
42,02 78,80 66,91 dtt 39,80 3,09 0,01 28,77 10,07 13,57 0,01 21,64
57,98 21,20 33,09 dtt 60,20 96,91 99,99 71,23 89,93 86,43 99,99 78,36
250.473.600 274.752.000 142.948.800 dtt 260.064.000 837.302.400 215.978.400 615.427.200 971.244.000 373.377.600 215.978.400 1.015.545.600
1900
6.840.000
27,70
72,30
5.173.092.000
Jumlah 2004 dan 2005
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan
8.051.256.300
58
Lampiran 5
Bibit MPTS sebanyak 791.276 batang tidak cocok ditanam di Kabupaten Blitar
Jenis Tanaman
Jumlah Bibit (bt)
Melinjo Alpukat Petai Rambutan
85.000 102.000 68.000 -
Jumlah
255.000
2003 Harga satuan (Rp.) 3.500 3.500 3.500 -
Jumlah Harga (Rp.)
Jumlah Bibit (bt)
2004 Harga Jumlah satuan Harga (Rp.) (Rp.)
Jumlah Bibit (bt)
297.500.000 357.000.000 238.000.000 -
12.752 144.716 105.248 -
3.000 1.600 3.500 -
38.256.000 231.545.600 368.368.000 -
101.750 101.750 -
892.500.000
262.716
638.169.600
203.500
2005 Harga satuan (Rp.) 3000* 3000* -
Jumlah Harga (Rp.)
Jumlah Bibit (bt)
2006 Harga satuan (Rp.)
317.845.000 281.160.000 -
8.800 25.580 26.000 9.680
3.150 3.150 3.150 3.150
599.005.000
70.060
*harga bervariasi dari Rp2.000,- s.d. Rp3.500,-
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
59
Jumlah Jumlah Harga (Rp.)
Bibit (bt)
Rupiah
27.720.000 80.577.000 81.900.000 30.492.000
208.302 272.296 300.998 9.680
681.321.000 669.122.600 969.428.000 30.492.000
220.689.000
791.276
2.350.363.600
Lampiran 6
DATA BIBIT JATI DAN GMALINA YANG MATI DI KABUPATEN SITUBONDO
1 1
2 Kec Mlandingan
3 Jati Gmalina
Jumlah Bibit (Bt) 4 7.700 3.300
2
Kec Suboh
Jati Gmalina
7.700 3.300
3
Kec Besuki
Jati Gmalina
4
Kec Sumbermalang Ds Tamansari
No
Satker
Ds Tlogosari Ds Plalangan
5
Kec Jatibanteng Ds Kembang sari Ds Wringinanom Ds Patemon Ds Pategalan
Jenis Bibit
Harga Satuan (Rp) 5 1.350 700
Mati
Jumlah
Kondisi Fisik
Keterangan
6 2.800 1.200
7 3.780.000 840.000
8 Tanaman Jati dan Gmalina banyak yang mati
9 Bibit Relatif Muda
1.350 700
1.600 400
2.160.000 280.000
Tanaman Jati kurang subur, Gmalina banyak yang mati
Bibit Relatif Muda
7.700 3.300
1.350 700
5.600 2.550
7.560.000 4.914.000
Tanaman Jati tumbuh kurang subur
Bibit Relatif Muda
Jati Gmalina Jati Gmalina Jati Gmalina Jati Gmalina
7.700 3.300 7.700 3.300 7.700 3.300 33.000 6.150
1.350 700 1.350 700 1.350 700 1.350 700
Tanaman jati dan Gmalina tumbuh kurang subur
- Bibit Relatif Muda
Jati Gmalina Jati Gmalina Jati Gmalina Jati Gmalina
7.700 3.300 7.700 3.300 7.700 3.300 7.700 3.300
1.350 700 1.350 700 1.350 700 1.350 700
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
- Bibit kurang bagus - Curah hujan kurang 12.790 2.129
17.266.500 1.490.300 Tanaman Jati tumbuh kurang baik Tanaman Jati tumbuh kurang baik Tanaman jati banyak yang mati Tanaman jati banyak yang mati
60
- Curah hujan rendah - Curah hujan rendah - Tanaman jati banyak mati - Tanaman jati banyak mati
No
Satker
1
2
Jumlah Bibit (Bt) 4 44.000
Harga Satuan (Rp) 5 1.350
Gmalina
8.200
Jati Gmalina Jati Gmalina Jati Gmalina Jati
Jenis Bibit 3 Jati
6
Kec Banyuglugur
7
Kec Panji Ds Panji Kidul
Ds Sliwung
8
Kec Bungatan
Mati
Jumlah
Kondisi Fisik
Keterangan
6 8.164
7 11.021.400
8 Tanaman jati banyak yang mati
9 - Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
700
7.020
4.914.000
Tanaman Gmalina banyak yang mati
- Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
7.700
1.350 700
3.470 1.640
4.684.500 1.148.000
Jati tumbuh kurang baik
Bibit Relatif Muda
Tanaman banyak yang mati 11.000 11.000 22.000
1.350 1.350 1.350
- Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
10.500
14.175.000
Kondisi tanaman kurang baik Tanaman jati banyak yang mati
- Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda - Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
1.350
4.760
6.426.000
Tanaman jati banyak yang mati
- Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
700
3.180
2.226.000
Tanaman Gmalina banyak yang mati
- Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
Jati
Gmalina
9
Kec Kapongan
Jati
44.000
1.350
9.000
12.156.000
Tanaman jati banyak yang mati
- Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
10
Kec Kendit
Jati
99.000
1.350
6.440
8.694.000
Tanaman jati banyak yang mati
- Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
11
Kec Banyuputih
Jati
44.000
1.350
2.080
2.808.000
Tanaman jati banyak yang mati
- Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
12
Kec Asambagus
Jati
77.000
1.350
4.212
5.686.200
Tanaman jati banyak yang mati
- Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
13
Kec Jangkar
Jati
44.000
1.350
5.500
7.425.000
Tanaman jati banyak yang mati
- Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan
61
No 1 14
Satker 2 Kec Arjasa
Jumlah
Jati
Jumlah Bibit (Bt) 4 44.000
Jati Gmalina
484.000 41.200
Jenis Bibit 3
Total
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan
Harga Satuan (Rp) 5 1.350
Jati Gmalina
Mati
Jumlah
6 4.000
7 5.400.000
80.916 18.119
109.236.600 12.683.300
99.035
121.919.900
Kondisi Fisik 8 Tanaman jati banyak yang mati
62
Keterangan 9 - Curah hujan kurang - Bibit Relatif Muda
Lampiran 7
HASIL UJI PETIK PADA TALLY SHEET PENILAIAN BIBIT TINJANG KONTRAK PENGADAAN PAKET XVI TA 2005/2006 KABUPATEN BANGKALAN
Desa
Kecamatan
No.Bedeng
Tanggal
Jumlah Bibit yang diperiksa
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Sapiyan Sapiyan Sapiyan Pageranan Pageranan Pangpajung Pangpajung Pangpajung Pangpajung Pangpajung Pangpajung Patereman Patereman Patereman Patereman
3 8 14 5 13 2 9 15 27 33 41 1 6 10 14
8 Febr 2006 8 Febr 2006 8 Febr 2006 8 Febr 2006 8 Febr 2006 9 Febr 2006 9 Febr 2006 9 Febr 2006 9 Febr 2006 9 Febr 2006 9 Febr 2006 9 Febr 2006 9 Febr 2006 9 Febr 2006 9 Febr 2006
5.393 6.411 6.857 5.329 7.533 4.619 4.910 4.249 3.963 4.093 5.680 6.558 7.742 6.847 4.367
162 192 206 160 226 139 147 127 119 123 170 197 232 205 131
64 91 177 19 122 95 125 104 96 79 132 130 28 174 86
(9) = (8) : (7) 39,51 47,40 85,92 11,88 53,98 68,35 85,03 81,89 80,67 64,23 77,65 65,99 12,07 84,88 65,65
84.551
2.536
1.522
61,67
No.
Lokasi Titk Bagi
Bangkalan Bangkalan Bangkalan Bangkalan Bangkalan Modung Modung Modung Modung Modung Modung Modung Modung Modung Modung
Hasil Laporan Tally Sheet
Jumlah / Rata-rata
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Timur
Jumlah sampel penilaian mutu fisik-fisiologis (3%)
Jumlah sampel bibit dengan tinggi < 20 cm
63
%
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
HASIL PEMERIKSAAN SEMESTER II TAHUN ANGGARAN (TA) 2007 ATAS
KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (RHL)
DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
Nomor : 5/LHP/XVII/01/2008 Tanggal : 17 Januari 2008
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
i
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN EKSEKUTIF………............................................................................................................ BAB I
i
PENDAHULUAN Dasar Pemeriksaan…….................................................................................................................
1
Standar Pemeriksaan.....................................................................................................................
1
Tujuan Pemeriksaan......................................................................................................................
1
Sasaran Pemeriksaan.……………………………………………………………................................
1
Objek Pemeriksaan………………………..…...…………………………………………………………
1
Lingkup Pemeriksaan……..............................................................................................................
2
Jangka Waktu Pemeriksaan …………………………………………………………...……………….
2
Metodologi Pemeriksaan................................................................................................................
2
Batasan Pemeriksaan……………………………………. ……………………………………………..
3
Kriteria Pemeriksaan..……………………………………..................................................................
3
BAB II GAMBARAN UMUM Hutan di Indonesia Status dan Fungsi..........................................................................................
4
Kondisi Hutan Indonesia................................................................................................................
4
Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Jawa Timur..............................................................................
6
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan.......................................................................................
6
Dampak Kerusakan Lahan dan Hutan..........................................................................................
8
Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis..........................................................................
8
Pembiayaan RHL..........................................................................................................................
9
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL).........................................................
9
Anggaran GNRHL di Sulawesi Selatan.........................................................................................
12
Realisasi GNRHL di Sulawesi Selatan..........................................................................................
12
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan...................
13
Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR).........................................................................
13
DAK DR di Sulawesi Selatan.........................................................................................................
14
Perubahan DAK DR menjadi DBH.................................................................................................
14
Sistem Pengendalian intern RHL...................................................................................................
15
a. Organisasi RHL.......................................................................................................................
15
b. Anggaran RHL........................................................................................................................
16
c.
Kebijakan................................................................................................................................
16
d. Perencanaan..........................................................................................................................
16
e. Prosedur Kerja........................................................................................................................
17
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
1
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA
18
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN Bibit untuk kegiatan penghijauan sebanyak 35.570 batang senilai Rp143.220.000,00 belum diserahkan kepada masyarakat.....................................................................................................
19
Mekanisme penyaluran pupuk di Kabupaten Bone tidak sesuai dengan ketentuan………………………………………………………………………......................................
20
Rancangan Teknis untuk pembuatan turus jalan belum dibuat sesuai dengan ketentuan…………………………………………………………………………………………………..
22
Pengadaan Pupuk NPK Tablet di Kabupaten Pinrang tahun 2004, 2006 dan 2007 menyalahi ketentuan mengakibatkan harga pengadaan terlalu mahal sebesar Rp149.985.638,00 .............
23
Pengadaan Pupuk organik sebanyak 300 ton di Kabupaten Pinrang pada tahun 2004 menyalahi ketentuan mengakibatkan harga pengadaan terlalu mahal sebesar Rp251.250.000,00........................................................................................................................
30
Pupuk dan herbisida hasil pengadaan tahun 2007 yang telah dibuatkan nota penyaluran kepada kelompok tani masih disimpan di gudang milik Kop. BI ...................................................
33
Kegiatan pemeliharaan tanaman GN-RHL tahun Pertama yang tingkat pertumbuhannya di bawah 55% dibiayai dari APBN sebesar Rp75.170.000,00 tidak sesuai ketentuan..........................................
35
Kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat di Kecamatan Salomekko Kabupaten Bone tidak sesuai dengan ketentuan.............................................................................................................
37
BAB V KESIMPULAN
39
LAMPIRAN Lampiran 1 ...............................................................................................................................................
41
Lampiran 2 ...............................................................................................................................................
45
Lampiran 3 ...............................................................................................................................................
47
Lampiran 4 ...............................................................................................................................................
48
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
2
RINGKASAN EKSEKUTIF Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan di Indonesia mempunyai fungsi untuk mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, melindungi sistem penyangga kehidupan dan memproduksi hasil hutan. Hutan mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Kualitas hutan perlu dipelihara agar dapat berfungsi dengan baik. Kualitas hutan yang buruk seperti kritis dan gundul akan cenderung mengakibatkan banyak ekosistem yang rusak dan meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dan Instansi terkait lainnya, diketahui luas hutan serta lahan kritis di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan khususnya yang berada di SWP-DAS Jeneberang Wallanae posisi per tahun 2004 adalah seluas 750.571,65 Ha, sedangkan luas hutan dan lahan 2.109.611,75 Ha. Hutan dan lahan kritis seluas 750.571,65 Ha tersebut harus segera di rehabilitasi agar dapat berfungsi dengan normal dan dapat mempertahankan serta meningkatkan kualitas DAS. Pemerintah Pusat dan Daerah telah melakukan upaya merehabilitasi hutan dan lahan dengan program GN RHL sejak tahun 2003 s.d. 2007 dan RHL dari DAK DR. Kegiatan-kegiatan ini dibiayai dari Dana Reboisasi yang dipungut dari perusahaan-perusahaan yang melakukan eksploitasi hutan. Jumlah realisasi program GN RHL di Provinsi Sulawesi Selatan adalah seluas 59.359 Ha, sedangkan target program GN RHL seluas 77.161 Ha. Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) telah melakukan pemeriksaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang dibiayai dengan Dana APBN dan APBD Tahun 2003 s.d. 2007 pada Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Jeberang Walanae dan BPDAS Saddang, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gowa, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang. Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Tahun 2007 dan Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) BPK-RI Tahun 2002. Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai apakah pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah telah sesuai dengan ketentuan, entitas telah menggunakan dana tersebut untuk kegiatan yang sesuai dengan ketentuan, dan kegiatan RHL telah dilaksanakan dengan hemat dan efektif. Sasaran pemeriksaan di fokuskan kepada perencanaan RHL, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
i
Hasil Pemeriksaan mengungkapkan bahwa masih ada kelemahan-kelemahan yang mempengaruhi kinerja pelaksanaan RHL di Provinsi Sulawesi Selatan, sebagai berikut : Efektivitas Pencapaian Target GN RHL dan RHL DAK DR Realisasi fisik kegiatan RHL yang didanai dari APBN melalui Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) Tahun 2003 s.d. 2006 hanya mencapai seluas 59.359 ha sedangkan dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) tidak ada yang melakukan pantauan,
sehingga
disimpulkan bahwa kegiatan RHL yang didanai dari APBN maupun DAK-DR Tahun 2003 s.d. 2006 belum dapat mengurangi secara signifikan lahan kritis di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yaitu seluas 750.571,65 Ha. Pemborosan Penggunaan Dana RHL Ditemukan pemborosan penggunaan dana GNRHL sebesar Rp218.390.000 yang disebabkan oleh lemahnya perencanaan, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman, dengan perincian : 1.
Bibit untuk kegiatan penghijauan sebanyak 35.570 Batang belum diserahkan kepada masyarakat sehingga tidak dapat
mendukung tercapainya tujuan kegiatan penghijauan dan berpotensi
merugikan negara sebesar Rp143.220.000,00. Hal ini disebabkan lemahnya pengawasan dari Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang dan Tana Toraja atas proses pendistribusian bibit kepada masyarakat. 2.
Kegiatan pemeliharaan tanaman GN-RHL tahun Pertama yang tingkat pertumbuhannya di bawah 55% dan dibiayai dari APBN tidak sesuai ketentuan sehingga terjadi pemborosan keuangan negara sebesar Rp75.170.000,00. Hal ini disebabkan Pemerintah Daerah Kabupaten Pinrang belum berpartisipasi dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di wilayahnya dengan menggunakan APBD.
3.
Rancangan teknis untuk pembuatan turus jalan belum dibuat sesuai dengan ketentuan sehingga belum dapat dijadikan acuan dalam pembuatan dan evaluasi keberhasilan kegiatan penanaman turus jalan. Hal ini disebabkan perencanaan pembuatan turus jalan dibuat tidak mengacu kepada ketentuan dan pedoman yang ada.
Kepatuhan Entitas Pengelola Dalam Melaksanakan RHL Entitas Pengelola menggunakan dana pemerintah pusat dan daerah untuk merehabilitasi hutan dan lahan tidak sesuai dengan ketentuan sehingga merugikan negara sebesar Rp401.235.638,00 dan mengurangi kualitas DAS dengan perincian : 1. Pengadaan Pupuk NPK Tablet di Kabupaten Pinrang tahun 2004, 2006 dan 2007 menyalahi ketentuan mengakibatkan harga pengadaan terlalu mahal sebesar Rp149.985.638,00 yang harus disetor kembali ke kas Negara. Hal ini diduga terjadi karena adanya unsur melanggar hukum yang dilakukan oleh Pengguna Barang, Panitia Pengadaan Barang/Lelang, Panitia Pemeriksaan Barang, Penyedia Barang dan Supplier pupuk.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
ii
2. Pengadaan Pupuk organik sebanyak 300 ton di Kabupaten Pinrang pada tahun 2004 menyalahi ketentuan mengakibatkan harga pengadaan terlalu mahal sebesar Rp251.250.000,00 yang harus disetorkan kembali ke kas negara. Hal ini diduga terjadi karena adanya unsur melanggar hukum yang dilakukan oleh Pengguna Barang, Panitia Pengadaan Barang/Lelang, Panitia Pemeriksaan Barang, Penyedia Barang dan Supplier pupuk. 3. Pupuk dan herbisida hasil pengadaan tahun 2007 yang telah dibuatkan nota penyaluran kepada kelompok tani masih disimpan di gudang milik Kop.BI sehingga pendistribusian pupuk kompos, NPK tablet dan Herbisida rawan diselewengkan karena Kop.BI juga melakukan penjualan pupuk secara eceran/satuan kepada petani. Hal ini disebabkan perencanaan yang tidak baik, kurangnya pengawasan dari Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang dalam kegiatan penyaluran pupuk serta Pimpinan Pelaksana dengan sengaja membuat dokumentasi penyaluran pupuk proforma. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK-RI menyarankan agar dilakukan perbaikan kinerja di masa mendatang dan segera diambil langkah-langkah tindak lanjut seperlunya sesuai saran/rekomendasi yang dimuat dalam hasil pemeriksaan ini.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penanggung Jawab Pemeriksaan,
HADI PRIYANTO NIP. 240000961
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
iii
BAB I PENDAHULUAN
Dasar Pemeriksaan
Dasar pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah : 1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 E; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara; 3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Standar Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK-RI
Tujuan
Tujuan pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah untuk menilai apakah:
Pemeriksaan
1. Pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan telah sesuai dengan ketentuan; 2. Entitas pengelola menggunakan dana rehabilitasi hutan dan lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah dilaksanakan dengan ekonomis dan efektif untuk mencapai tujuan RHL.
Sasaran Pemeriksaan
Untuk mencapai tujuan pemeriksaan tersebut maka sasaran pemeriksaan diarahkan pada area kunci kegiatan RHL dengan mempertimbangkan resiko manajemen dari sisi ekonomi, efisiensi dan efektivitas serta kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mempertimbangkan resiko tersebut, maka area kunci pemeriksaan diarahkan pada hal-hal berikut: 1. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2. Pengadaan bibit yang dilaksanakan baik secara swakelola, penunjukan langsung maupun pelelangan kepada pihak kontraktor. 3. Pembuatan dan pemeliharaan tanaman baik yang dilakukan secara swakelola maupun oleh Kelompok Tani. Area kunci pemeriksaan tersebut akan disesuaikan dengan perkembangan pemeriksaan di lapangan dan dari waktu ke waktu pada saat pemeriksaan berlangsung.
Obyek Pemeriksaan
Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Jeberang Walanae dan BPDAS Saddang, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gowa, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tana Toraja, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
1
Kabupaten Pinrang. Lingkup Pemeriksaan Jangka Waktu Pemeriksaan
Metodologi Pemeriksaan
Pemeriksaan mencakup Tahun 2003 s.d. 2007, khusus untuk penilaian efektivitas dilakukan terhadap hasil kegiatan periode 2003 s.d 2007. Pemeriksaan dilaksanakan selama 30 hari, mulai tanggal 4 September 2007 sampai dengan tanggal 3 Oktober 2007 berdasarkan Surat Tugas Anggota/Pembina Auditama Keuangan Negara IV No.03 /ST/VIII-XIV/08 /2007 tanggal 27 Agustus 2007. Pemeriksaan RHL dilaksanakan dengan menggunakan metodologi pemeriksaan sebagai berikut : 1. Evaluasi dan analisa data dan dokumen yang diberikan oleh Unit Kerja Yang Diperiksa (Unit Kerja). Pemeriksaan RHL yang dilakukan adalah pemeriksaan atas kegiatan yang telah selesai dilaksanakan oleh unit kerja yang diperiksa (Post Audit). Pemeriksa mendasarkan pemahaman dan pembuktian atas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan oleh Unit Kerja. Berkaitan dengan hal tersebut realisasi pengadaan bibit termasuk jumlah yang sebenarnya diserahkan kepada para petani, realisasi penanaman, pemberian pupuk dan kegiatan lainnya di evaluasi dan direview serta diperiksa hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan. Termasuk dalam hal ini pengujian atas keberhasilan penanaman hanya dilakukan dengan menggunakan data dan dokumentasi laporan hasil penilaian lembaga independen. 2. Pengamatan (observasi) Fisik Kelapangan Sebagai upaya untuk menyakinkan realisasi pelaksanaan rehabilitasi hutan, Pemeriksa juga melakukan uji petik secara sangat terbatas kelokasi penanaman atau RHL. 3. Wawancara Pemeriksaan juga melakukan pengumpulan informasi terkait kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. 4. Uji Petik (sampling) Pemeriksaan dilakukan tidak atas populasi kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pemeriksaan menggunakan mekanisme sampling dengan memperhatikan faktorfaktor seperti ketersediaan sumber daya manusia dan waktu serta risiko terjadinya ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan serta ketidakpatuhan. Pendekatan uji petik ini dilakukan dalam menentukan kabupaten/Kota yang akan di uji petik, lokasi hutan dan lahan yang akan di observasi, dokumen-dokumen yang akan dibahas dan kegiatan-kegiatan yang akan di uji. 5. Sistem Pengendalian Intern Pemahaman dan evaluasi atas efektivitas sistem pengendalian intern dilakukan untuk mengidentifikasikan area kunci, fokus pemeriksaan, daerah yang akan diuji petik dan kegiatan serta dokumen yang akan di uji lebih mendalam. Jika ditemukan kelemahan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
2
terkait dengan sistem pengendalian intern maka akan disajikan dalam laporan sebagai temuan tersendiri dan atau bagian dari penyajian temuan pemeriksaan. Batasan Pemeriksaan
Pemeriksaan RHL ini dilaksanakan dengan batasan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan atas tingkat keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan hanya dilakukan atas laporan hasil penilaian yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh unit kerja. BPK-RI tidak melakukan penilaian secara khusus atas pelaksanaan rehabilitasi lahan. Untuk wilayah yang belum dilakukan penilaian maka BPK-RI tidak menilai tingkat keberhasilan wilayah tersebut. 2. BPK-RI juga tidak melakukan penilaian atas kebenaran metodologi dan mekanisme penilaian lembaga independen penilai keberhasilan RHL. 3. Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tidak dilakukan atas rehabilitasi hutan dan lahan yang di laksanakan dengan menggunakan dana swasta atau diluar pemerintah.
Kriteria Pemeriksaan
Kriteria atau standar yang akan digunakan untuk menilai pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) diantaranya adalah: 1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 6. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 7. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 8. Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahan-perubahannya; 9. Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No.09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No.Kep16/M.Ekon/03/2003, No.Kep08/ Menko/Polkam/III/2003 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Hidup Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional; 10. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan No.18/Kep/Menko/Kesra/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL;
Rakyat
11. Berbagai Keputusan Menteri Kehutanan tentang Standar Harga Bibit, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Kegiatan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
3
BAB II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
Hutan di Indonesia Status dan Fungsi
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, status hutan di Indonesia terbagi dua yaitu : 1. Hutan Negara Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat yang ditetapkan statusnya oleh Pemerintah. 2. Hutan Hak Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan di Indonesia memegang peranan yang sangat penting baik dari segi ekonomi dan lingkungan hidup. Secara garis besar terdapat tiga fungsi utama hutan, yaitu : 1. Fungsi Konservasi Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 2. Fungsi Lindung Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosii, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3. Fungsi Produksi Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sesuai dengan data Departemen Kehutanan tahun luas hutan di Indonesia adalah sebagai berikut : Tabel 1: Hutan di Indonesia berdasarkan fungsi Kawasan a. Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi Terbatas d. Hutan Produksi Tetap e. Hutan Produksi Yang Dapat Di Konversi f. Fungsi Hutan Khusus Jumlah Luas Daratan Kawasan Hutan Jumlah Luas Kawasan Hutan dan Perairan
Luas (Ha) 23,597,991.57 31,782,576.02 21,717,309.26 35,813,616.43 14,057,816.00 7,268.00 123,459,513.58 126,976,577.28
Sumber : Web Site Departemen Kehutanan (Badan Planologi Kehutanan)
Kondisi Hutan Indonesia
Hutan memenuhi dua pertiga dari luas daratan Indonesia (kurang lebih 120 juta hektar). Hutan Indonesia merupakan habitat tempat 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, serta 17 persen spesies burung dan juga tempat jenis palem terbanyak di dunia. Kenyataan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaaan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
4
Selama 50 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hingga 40% dari seluruh luas hutannya. Laju degradasi hutan/deforestasi di wilayah Indonesia mencapai 1,5 juta Ha sampai 2,8 juta Ha per tahun1. Meskipun keprihatinan akan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari meluasnya kerusakan hutan tropis, tetap saja tingkat kerusakan hutan dan lahan meningkat dengan drastis. Kerusakan hutan tersebut menimbulkan lahan kritis yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Meningkatnya lahan kritis yang merupakan tanda dari kerusakan hutan dan lahan ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak baik secara nasional maupun internasional. Gambar 1 : Hutan dan Lahan Kritis
Departemen Kehutanan telah melakukan inventarisasi atas indikasi luas hutan dan lahan kritis pada tahun 2000 dan 2003. Hasil inventarisasi menunjukkan laju pertambahan hutan dan lahan kritis yang cukup drastis yaitu 177 % dari semula 56,98 juta Ha di tahun 2000 menjadi 100,6 juta Ha di tahun 2003. Pertambahan hutan lahan kritis terutama terjadi di luar kawasan hutan. Gambar 2. Pertambahan Hutan dan Lahan Kritis 2000-2003 70.000.000 Luas 60.000.000 (Ha) 50.000.000 40.000.000
Dalam Kawasan Luar Kawasan
30.000.000 20.000.000 10.000.000 2000
2003 Tahun
Sumber: Laporan Updating Database RHL, Departemen Kehutanan, 2006
1
Baplan Departemen Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
5
Berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan hutan dan lahan yang mengalami kerusakan lebih dari 67,64 juta Ha yang terdiri atas 39,12 juta Ha dalam kawasan hutan dan 28,52 juta Ha di luar kawasan hutan.
Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Sulawesi Selatan
Berdasarkan data spatial lahan kritis 2002 luas hutan dan lahan kritis di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 750.571,65 hektar yang terdiri dari lahan kritis kawasan hutan sebesar 362.272,00 hektar dan luas lahan kritis di luar kawasan hutan sebesar 388.299,65 hektar, yaitu dengan rincian sebagai berikut: Tabel 2: Lahan Kritis di Sulawesi Selatan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan
Kabupaten/ Kota Bantaeng Barru Bone Bulukumba Enrekang Gowa Jeneponto Luwu Luwu Timur Luwu Utara Makasar Maros Palopo Pangkep Pare-pare Pinrang Selayar Sindrap Sinjai Soppeng Takalar Tana Toraja Wajo TOTAL
Luas Wilayah (Ha) 39.583,00 117.471,00 455.900,00 115.467,00 178.601,00 188.332,00 73.764,00 300.025,00 694.488,00 750.258,00 17.577,00 161.912,00 24.752,00 111.229,00 9.933,00 196.177,00 90.335,00 188.325,00 81.996,00 135.944,00 56.651,00 320.577,00 250.619,00 4.559.916,00
Lahan Kritis (Ha) Luar Dalam Kawasan Kawasan Hutan Hutan 3.165,51 23.092,66 25.582,40 2.601,23 23.151,13 35.449,62 5.480,90 15.884,90 1.600,00 50.625,00 21.240,91 500,00 14.057,93 2.443,97 29.087,16 404,25 11.315,17 12.929,00 9.534,45 6.969,30 57.336,22 9.820,29 362.272,00
3.060,41 15.535,48 74.869,80 486,39 18.868,36 5.054,36 8.623,02 35.124,45 1.700,00 8.327,91 968,09 22.319,13 2.435,60 12.985,66 594,91 13.067,64 2.024,40 8.512,15 18.617,00 11.719,34 5.131,65 102.990,59 15.283,31 388.299,65
Jumlah 6.225,92 38.628,14 100.452,20 3.087,62 42.019,49 40.503,98 14.103,92 51.009,35 3.300,00 58.952,91 968,09 43.560,04 2.935,60 27.043,59 3.038,88 42.154,80 2.428,65 19.827,32 31.546,00 21.253,79 12.100,95 160.326,81 25.103,60 750.571,65
Kerusakan hutan dan lahan merupakan masalah yang serius yang jika tidak ditangani dengan baik dan serius akan menimbulkan dampak yang besar bagi perekonomian dan lingkungan. Kerusakan hutan dan lahan pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab baik yang disebabkan oleh ulah manusia dan alam. Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Penebangan hutan (produksi hutan) tanpa upaya rehabilitasi yang optimal. Pemberian ijin Hak Pengusahaan Hutan kepada perusahaan-perusahaan mendorong
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
6
kegiatan pemanfaatan potensi hutan seperti kayu. Pemberian ijin pengusahaan hutan ini seyogyanya diikuti juga dengan upaya rehabilitasi dan pengamanan atau upaya-upaya lainnya yang menjamin kelestarian hutan di wilayah ijin pengusahaan hutan. Ketimpangan antara upaya pelestarian dan produksi telah meningkatkan penggundulan dan kerusakan hutan. Tabel 3 : Jatah Produksi Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam Tahun 2003 – 2005 No.
Tahun Produksi
Jatah Produksi (M3)
1.
2003
6,892,000
2.
2004
5,743,759
3.
2005
Jumlah
5,456,470 18,092,229
Sumber : SK Dirjen BPK No. 02/Kpts/VI-PHA/2003, No. 47/Kpts/VI-PH/2003 dan No 195/VI-BPHA/2004
Lemahnya pengawasan lapangan atas penebangan resmi juga memberikan andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal kriteria Direktoran Kehutanan mengenai Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sebenarnya sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang telah dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. Tetapi di lapangan, kriteria itu tidak berjalan akibat lemahnya pengawasan,” kata Soekotjo2. 2. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan/atau lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan/atau hasil hutan. Kebakaran hutan ini telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar. Kebakaran hutan dan lahan terjadi baik karena ulah manusia maupun karena faktor alam. Kebakaran hutan dapat disebabkan karena ulah masyarakat dan atau pengusaha yang membutuhkan lahan untuk areal pemukiman dan atau pertanian/perkebunan. Masyarakat dan pengusaha membuka lahan atau melakukan pembersihan lahan (land clearing) dengan cara membakar lahan yang berpotensi merusak lingkungan, menambah kerusakan hutan dan mencemari udara. Selain karena pembukaan hutan, kebakaran hutan juga disebabkan oleh ulah manusia yang membakar sampah dan membuang puntung rokok sembarangan di areal hutan dan lahan serta kondisi lahan yang terbuka sehingga memudahkan terjadinya kebakaran pada waktu musim kemarau yang sangat panas dan lama. Kebakaran hutan dan lahan karena musim kemarau yang sangat panjang dan panas ini banyak terjadi di daerah gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Doktor Soekotjo, kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1997, membuat hampir 70% hutan terbakar. 3 3. Illegal Logging Penjarahan hutan masih tetap berlaku dan terus berlangsung hingga sekarang. Illegal Logging terjadi antara lain karena adanya ketimpangan pasokan dan permintaan, lemahnya
2 3
Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia. Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
7
penegakan hukum, dan masalah kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Illegal Logging meningkatkan proses pengundulan dan kerusakan hutan. Tabel 4 : Perbandingan antara pasokan dan kebutuhan kayu tahun 1999 Kebutuhan dan Produksi Kayu
Volume (Juta M3)
Kebutuhan Kayu Bulat (1999) a. Industri Terkait HPH b. Industri tidak Terkait HPH Total Kebutuhan per tahun
41,09 17,15 58,24
Produksi Kayu Bulat (1995 – 1999) Produksi Rata-rata pertahun
25,36
Kesenjangan produksi dan kebutuhan
32,88
Sumber : Rencana Strategic Departemen Kehutanan dan Perkebunan 2001-2005 (Pusat Data dan Perpetaan, Baplan, tahun 2000)
Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu. Lantaran hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar. 4. Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk mendorong munculnya kebutuhan akan lahan untuk areal pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kebutuhan akan sumber pangan dan bahan baku industri (CPO dan komoditi lainnya) meningkatkan peralihan fungsi hutan menjadi lahan-lahan non kehutanan. Hal inilah yang meningkatkan jumlah pengundulan hutan dan kerusakan hutan dan lahan. Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan
Kerusakan hutan dan lahan akan mengakibatkan antara lain: 1. Rusaknya fungsi Konservasi dari hutan telah menimbulkan punahnya keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Harimau Sumatera dan Orangutan di Kalimantan Tengah telah menjadi spesies yang paling langka di dunia. 2. Rusaknya Fungsi Lindung dari hutan telah mengakibatkan : a. Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau; b. Terjadinya arus permukaan tanah (runoff) pada waktu musim hujan yang dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Bencana ekologi tersebut telah menimbulkan kerugian nasional yang besar berupa kerusakan infrastruktur, berbagai asset pembangunan serta terganggunya tata kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan menyebabkan kemiskinan masyarakat. c.
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosii, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
3. Rusaknya fungsi produksi dari hutan telah menurunkan kesuburan tanah yang mengakibatkan turunnya produktivitas lahan dan produksi pertanian dan juga menyebabkan turunnya jumlah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
8
Khusus untuk kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan hutan dan lahan akan menimbulkan dampak negatif bencana ekologis seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor. Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan menjadi kurang optimal. Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis
Pembiayaan RHL
Pemerintah telah berupaya untuk menghutankan kembali lahan kritis dengan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan/RHL (reboisasi/penghijauan) yang meliputi antara lain: 1. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) yang pembiayaannya berasal dari Dana Bagian Anggaran 69 APBN. 2. Program lain yang diupayakan oleh pemerintah daerah seperti Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK/DR) APBD. Pembiayaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperoleh dari Dana Reboisasi yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang Berupa Kayu untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. Dana Reboisasi tersebut di setorkan ke Bendaharawan Penerimaan DR di Departemen Kehutanan oleh Para Pemegang Ijin yang selanjutnya akan disetorkan ke rekening Pemerintah Pusat Khusus Dana Reboisasi. Berdasarkan jumlah yang diperoleh, Pemerintah Pusat membagi DR tersebut 60% menjadi bagian Pemerintah Pusat dan 40% menjadi bagian Daerah Penghasil. Pemerintah pusat menggunakan DR bagian 60% tersebut antara lain untuk melaksanakan kegiatan GN RHL. Sedangkan bagian DR untuk daerah penghasil sebanyak 40% disalurkan dengan cara atau mekanisme DAK DR/DBH DR.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)
Pemerintah perlu melakukan kegiatan rehabilitasi untuk dapat mencegah laju pertambahan luas hutan dan lahan kritis tersebut. Sampai dengan tahun 2003, pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan skema keproyekan. Namun kegiatan RHL tersebut selalu menghadapi kendala, baik ketidaktersediaan dana yang cukup maupun kendala teknis dan sosial. Hal tersebut yang mengakibatkan pemerintah, sejak tahun 2003 melakukan perubahan skema RHL dengan menggunakan skema Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). GN-RHL melibatkan seluruh stakeholders kehutanan di berbagai jenjang pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan mencakup kawasan hutan dan lahan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No. 09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No. Kep 16/M.Ekon/03/2003, No. Kep. 08/Menko/Polkam/III/2003, tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (TKPLRRN), Pemerintah telah membentuk TKPLRRN yang akan melaksanakan GN RHL. Berdasarkan Lampiran Keputusan Menko Kesra/Ketua TKPLRRN No. 18/Kep/MENKO/KESRA/X/2003 sasaran rehabilitasi hutan dan lahan 5 tahun (2003 – 2007) dari GN RHL adalah seperti di tabel berikut : Tabel 5 : Sasaran Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2003 2004
Area Target (Ha) 300.000 500.000
Prosentase (%) 10,00 16,67
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
9
2005 2006 2007 Total
600.000 700.000 900.000 3.000.000
20,00 23,33 30,00 100,00
GN-RHL ini dibiayai dari APBN dan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehinga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Sasaran program dan luas GNRHL adalah sebagai berikut : 1. Sasaran Program. a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. c. Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL. d. Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL. 2. Sasaran Luas. Sasaran luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap. Ruang Lingkup kegiatan dan wilayah GN RHL adalah sebagai berikut : 1. Lingkup Kegiatan. Ruang lingkup kegiatan GN-RHL ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu : a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan adalah meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum. b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi adalah meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman, area model dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dan penahan, gully plug, pembuatan teras (terasering), sumur resapan, grass barrier, dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan. 2. Lingkup Wilayah. Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis (DAS prioritas) . Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis yang perlu segera Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
10
ditangani. Rencana lokasi dan luas sasaran disusun berdasarkan kriteria fisik dengan sistem skor dan pertimbangan manajemen daerah, yaitu : a. Kriteria Fisik : 1) DAS Prioritas (SK Menhut No. 284 tahun 1999). 2) Indikasi Hutan dan Lahan yang perlu direhabilitasi. 3) Daerah rawan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. 4) Bangunan vital (waduk/bendung/danau) yang perlu dilindungi. 5) Khusus untuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai, mempertimbangkan kriteria kerusakan hutan mangrove dan hutan pantai serta kerawanan bencana abrasi atau tsunami. b. Syarat : Kriteria fisik tersebut harus dimasukkan kedalam Rencana Teknik Tahunan yang disusun oleh Dinas/Instansi Kehutanan Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah. c.
Pertimbangan Manajemen 1) Kinerja RHL Daerah. 2) Kelembagaan dan Komitmen di Daerah. 3) Sumberdana RHL lainnya di daerah.
d. Pertimbangan khusus bagi Daerah Kabupaten tertinggal. Rencana lokasi memperhatikan saran pertimbangan inter-departemen yaitu Departemen Pekerjaan Umum/Kimpraswil, Kelautan dan Perikanan, Pertanian. Alokasi indikator tahunan (pulau/provinsi) secara nasional di dasarkan atas proporsi luas areal indikatif hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BPDAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritaskan untuk direhabilitasi selama 5 tahun (2003-2007), dengan mempertimbangkan kriteria rencana lokasi pusat dan kondisi terakhir lahan kritis DAS. Mengacu kepada rencana RHL 5 tahun tersebut, disusun sasaran kegiatan RTT Kabupaten/Kota disusun berdasarkan pada nilai skor kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi dengan memperhatikan sasaran GN RHL/Gerhan nasional tahun yang bersangkutan. Dalam menentukan alokasi sasaran (jenis kegiatan dan volume) mempertimbangkan : 1) Kinerja pelaksanaan GN RHL tahun sebelumnya. 2) Kelembagaan dan komitmen daerah. 3) Sumber dana lainnya (Bagi Hasil/DAK DR) dan, 4) Pertimbangan khusus daerah Kabupaten/Kota tertinggal yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
11
Sistem Perencanaan GN RHL berdasarkan Pedoman Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2005 adalah mengacu kepada kaidah teknis perencanaan RHL, dengan hirarkhi yaitu Pola Umum, Rencana Teknis RHL Lima Tahun, Rencana Teknik Tahunan (RTT) serta Rancangan Teknis Kegiatan. Gambar 3 : Hirarkhi Perencanaan GN RHL
Anggaran GN RHL di Sulawesi Selatan
Pola Umum RHL
Rencana RHL 5 Tahun
Rencana Teknik Tahunan (RTT)
Ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan Kep No. 20/Menhut-V/2000
Penanganan DAS/Sub DAS, Sasaran Indikatif, Rawan Bencana dan Perlindungan bangunan vital DAS.
Rencana Fisik Pembuatan tanaman dan bangunan konservasi tanah dan air setiap tahun pada satu atau lebih DAS yang berada dalam wilayah Kab/Kota.
Kegiatan RHL dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Bagian Anggaran (BA) 69 dari Departemen Keuangan. Jumlah anggaran RHL dan realisasinya dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 di 5 Dinas Kehutanan dan 2 BPDAS yang diperiksa di Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut: Tabel 6: Anggaran dan Realisasi GN-RHL di Sulawesi Selatan KEGIATAN
1 2 3 4 5 6
BP DAS Jeneberang Walanae BP DAS Saddang Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Gowa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Bone Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pinrang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Tana Toraja Total
7
Realisasi GN RHL di Sulawesi Selatan
Anggaran (Rp)
No
Realisasi (Rp)
%
107.305.033.750 94.682.574.000 dtt 22.558.319.250 44.638.893.000 31.783.373.000
69.017.057.325 47.046.494.045 dtt 10.977.605.000 20.259.381.200 8.805.081.600
64,32 49,69 dtt 48,66 45,39 27,70
23.365.519.305 324.189.232.305
10.563.692.520 166.669.311.690
45,21 51,41
Tingkat pencapaian fisik kegiatan RHL yang bersumber dari dana GNRHL TA 2004 s.d. 2006 di Provinsi Sulawesi Selatan masih rendah sebagaimana dimuat dalam daftar berikut : Tabel 7: Realisasi GN-RHL di Sulawesi Selatan No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
KABUPATEN/ SATUAN KERJA Bantaeng Barru Bone Bulukumba Enrekang Gowa Jeneponto Luwu Luwu Timur Luwu Utara Makasar
Dalam kawasan (Ha) target realisasi 1.955 1.905 1.390 940 5.212 4.962 800 800 2.424 574 4.388 4.308 2.110 1.900 2.135 1.345 470 310 2.100 1.500 -
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
Luar kawasan (Ha) target realisasi 765 640 710 391 2.100 2.025 1.000 500 1.505 1.080 3.725 3.250 3.237 2.987 1.405 955 550 100 925 600 156 156 12
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Maros Palopo Pangkep Pare0pare Pinrang Selayar Sindereng Rappang Sinjai Soppeng Takalar Tana Toraja Wajo Dinas Kehutanan Provinsi BKSDA Sulsel BPDAS Jeneberang BPDAS Saddang BPTH Sulsel Jumlah
1.980 750 1.350 400 2.394 600 2.240 2.535 1.915 1.581 3.270 2.425 2.350 150 50 80 47.054
1.275 1.300 300 1.624 470 1.715 1.950 1.515 1.551 2.350 862 2.270 100 2 35.828
1.685 625 600 150 650 700 2.531 525 2.068 1.515 1.375 1.525 50 30 30.107
1.170 575 100 400 180 2.456 400 1.993 1.465 600 1.428 50 30 23.531
Sumber : Laporan Tahunan GNRHL Tahun 2006, Departemen Kehutanan PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Pada tanggal 3 September 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 89 tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Berkaitan dengan keluarnya peraturan baru ini maka terdapat beberapa perbedaan yang signifikan bagi penunjangan keberhasilan program GN RHL. Perubahan-perubahan tersebut adalah antara lain : 1. Penyelenggaraan Gerhan a. Penyelenggaraan Gerhan berdasarkan prinsip sistem silvikultur dan tahun jamak (multi years). b. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di kawasan hutan yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara kontraktual yang berbasis tahun jamak (multi years) dengan menggerakkan potensi badan usaha nasional dan daerah serta melibatkan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. c.
Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di daerah tertentu dalam kawasan hutan dengan mempertimbangkan kondisi tertentu dari aspek keamanan, yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola berbasis tahun jamak (multi years) melalui operasi bakti Tentara Nasional Indonesia.
d. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di luar kawasan hutan yang di biayai APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola yang berbasis tahun jamak (multi years) melalui SPKS dengan kelompok tani dengan menggerakkan potensi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pembiayaan untuk menyelenggarakan Gerhan bersumber pada APBN dan APBD, Dana Reboisasi dan/atau sumber-sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
13
Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR)
DR adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Dana ini dapat digunakan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan perananannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (rehabilitasi). Disamping itu dana ini juga dapat digunakan untuk upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong, alang-alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan (reboisasi). Sebagai upaya untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut pemerintah memungut DR dari pengusaha yang memanfaatkan kayu hutan. DR tersebut akan digunakan oleh pemerintah pusat (60%) dan pemerintah daerah (40%). Jatah pemerintah daerah tersebut dalam kurun waktu sampai dengan 2005 menggunakan mekanisme DAK DR dan setelah 2005 menggunakan mekanisme DBH. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, maka Departemen Kehutanan menyampaikan usulan alokasi DAK DR per Provinsi kepada Menteri Keuangan, sesuai dengan proyeksi penerimaan DR masing-masing provinsi. Atas dasar usulan alokasi tersebut, Menteri Keuangan menetapkan alokasi DAK DR setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Kehutanan dan Kepala Bappenas. Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan menyampaikan Alokasi DAK DR tersebut kepada masing-masing Gubernur untuk ditetapkan Alokasi DAK DR per Kabupaten/kota. Sebagai dasar kriteria penetapan alokasi oleh Gubernur adalah proyeksi penerimaan DR masing-masing kabupaten/kota, luas hutan rusak dan lahan kritis pada DAS/Sub DAS Prioritas serta tingkat kekritisan ekosistem DAS/Sub DAS dengan mempertimbangkan hubungan hulu dan hilir. Surat Keputusan Gubernur tentang Alokasi DAK DR per kabupaten disampaikan kepada Menteri Keuangan dhi. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan berikut Nomor Rekening dan Nama Bank yang dituju. Selanjutnya Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk memindahbukukan DAK DR tersebut ke bank yang ditunjuk dengan nomor rekening sesuai SK Gubernur tersebut.
DAK DR di Sulawesi Selatan
Perubahan DAK DR menjadi DBH
Pemerintah sejak tahun 2001 telah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus yang berasal dari 40 % Dana Reboisasi untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan di Kabupaten/Kota (APBD). Provinsi Sulawesi Selatan telah mendapatkan Dana Alokasi DAKDR/DBH DR sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 sebesar Rp7.239.784.460,00 untuk 23 kabupaten, namun atas penggunaan dana DAK-DR tersebut tidak ada pihak yang melakukan pemantauan realisasi fisik dan keuangannya sehingga tidak diketahui efektivitas rehabilitasi hutan dan lahan yang menggunakan dana tersebut. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang menggunakan DAK DR sepenuhnya dilaksanakan oleh perangkat pemerintah daerah kabupaten yang memperoleh alokasi DR Kemudian dengan dikeluarkannya UU No 33 Tahun 2004 dan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan sebagai aturan pelaksanaannya, maka terjadi perubahan dalam pengelompokan PNBP DR dari DAK menjadi DBH SDA sektor Kehutanan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
14
Dalam PP tersebut DBH SDA didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Untuk PNBP SDA Kehutanan seperti DR, ratio prosentase pembagiannya masih tetap sama yaitu 60% Bagian Pemerintah digunakan untuk RHL secara Nasional dan 40% Bagian Daerah digunakan untuk kegiatan RHL di Kabupaten/Kota Penghasil. Selanjutnya ketentuan tersebut antara lain menyebutkan bahwa Menteri Kehutanan menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH DR paling lambat 60 hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan, kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan, dan paling lambat 30 hari dari setelah diterima, Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH DR. Penghitungan realisasi DBH DR dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah dan penyalurannya dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan DR tahun anggaran berjalan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Sistem Pengendalian Intern RHL
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pada periode 2003 – 2007, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan sumber dana yang berasal dari BA 69, BA 29 (Anggaran Departemen Kehutanan), Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR) dan sumber dana lainnya dari Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Masing-masing sumber dana ini mempunyai kegiatan yang berbeda tetapi tetap berkaitan dengan RHL. Kegiatan RHL yang menggunakan sumber dana BA 69 adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL adalah suatu kegiatan terkoordinasi yang mendayagunakan segenap kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai. Mekanisme perencanaan, realisasi dan pelaporan anggaran BA 69 menggunakan mekanisme anggaran pemerintah. Organisasi yang terlibat dalam kegiatan GN-RHL adalah unit-unit kerja Departemen Kehutanan di daerah seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai (BP DAS) dan unit-unit teknis kehutanan yang terkait milik Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. BP DAS mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan bibit secara terpusat bagi keperluan seluruh kegiatan rehabilitasi di wilayah yang menjadi wewenangnya. BP DAS juga mempunyai fungsi untuk menetapkan hutan dan lahan kritis di wilayah kerjanya yang akan menjadi prioritas kegiatan GN-RHL. Pelaksanaan rehabilitasi lahan di serahkan kepada Unit-unit kerja Kehutanan di Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan melibatkan kelompok-kelompok tani dan masyarakat. Khusus untuk yang terkait dengan rehabilitasi di kawasan hutan konservasi dilakukan oleh UPT Departemen Kehutanan Balai Konservasi Sumber Daya Hutan (BKSDA) dan untuk kawasan hutan lindung dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Sumber dana RHL lainnya seperti DAK DR dan Dana Murni APBD mempunyai kegiatan yang serupa dengan BA 69 hanya mekanisme anggarannya menggunakan mekanisme APBD Kabupaten/Kota. Organisasi RHL yang menggunakan sumber dana diluar BA 69 melibatkan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
15
sepenuhnya unit-unit kerja milik Pemda Kabupaten/Kota. Khusus untuk DAK DR penggunaannya dibatasi hanya untuk kegiatan terkait dengan reboisasi lahan di kawasan hutan dan eks hutan. Berdasarkan hasil pemahaman, evaluasi dan review terhadap Sistem Pengendalian Intern atas kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Provinsi Sulawesi Selatan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Organisasi RHL
Pelaksanaan RHL melibatkan dua organisasi pemerintah pusat dan daerah yaitu Departemen Kehutanan beserta UPT-UPTnya di daerah dan Dinas-dinas pada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Organisasi yang berbeda ini cenderung akan mempersulit untuk melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan RHL di lapangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan di Provinsi Sulawesi Selatan masih ditemukan kegiatan-kegiatan RHL yang menjadi tidak efektif karena tidak adanya koordinasi antar pelaksana hal ini terlihat dari masalah penentuan lokasi kegiatan yang belum sesuai dengan prioritas pengurangan lahan kritis, bibit hasil pengadaan yang belum tersalurkan dan pengamanan tanaman hasil kegiatan.
Anggaran RHL
Anggaran RHL terdiri dari BA 69, DAK DR dan Sumber Dana lainnya. Masing-masing anggaran ini mempunyai mekanisme anggaran yang berbeda, BA 69 menggunakan mekanisme APBN dan Sumber Dana lainnya menggunakan mekanisme APBD. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan banyaknya kegagalan penanaman rehabilitasi hutan dan lahan karena terlambatnya proses pencairan anggaran khususnya yang terkait dengan BA 69 dan pengadaan bibit yang terkesan terburu-buru sehingga berpotensi meningkatkan risiko ketidaksesuaian pemilihan jenis bibit. Khusus untuk DAK DR tidak dapat dilakukan pemantauan atas penggunaannya di seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
Kebijakan
Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah pusat untuk GN-RHL dan Pemerintah Daerah untuk RHL yang menggunakan sumber dana DAK DR. Pemerintah pusat membuat berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan kegiatan GN-RHL dengan mengacu kepada UU No. 5 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 41 tahun 1999, PP No. 68 tahun 1998, PP No. 25 tahun 2000, PP No. 34 tahun 2002, PP No. 35 tahun 2002, Keppres RI No. 102 tahun 2001, Keppres RI No. 228 tahun 2001. Keppres RI No.80 Tahun 2003 dan SKB Menteri Koordinator Kesra, Menko Perekonomian dan Keuangan dan Menko Bidang Politik dan Keamanan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan permasalahan terkait dengan lemahnya kebijakan terkait dengan penentuan lahan dan hutan yang akan di rehabilitasi. Masih ditemukan kegiatan-kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dilakukan dilokasi yang tidak berhubungan dengan fungsi DAS seperti kegiatan penghijauan di wilayah yang bukan hutan kota dan turus jalan mau pun pemilihan lokasi yang lebih memperhatikan pemerataan pembangunan daerah. Disamping hal diatas, ditemukan juga kelemahan kebijakan pelaksana dilapangan terkait dengan pemilihan bibit yang lebih memperioritaskan keinginan kelompok tani dan atau masyarakat tanpa memperhatikan ekosistem dan ekologis wilayah. Pemerintah juga cenderung kurang melakukan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga masih ditemukan masyarakat yang meemilih bibit murni hanya untuk kebutuhan jangka pendek (ekonomi) tanpa memperhatikan aspek ekologis dan kesinambungan daya dukung lingkungan.
Perencanaan
Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan mengarah pada tujuan untuk memulihkan hutan dan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
16
lahan dalam rangka perbaikan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan mendasarkan pada masing-masing kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya penyusunan rencana RHL dilaksanakan secara terpadu dari atas dan dari bawah (top down and bottom up planning). Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS diwilayah kerja BP DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003 – 2007). Mengacu kepada Rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Kabupaten/kota disusun berdasarkan kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi. Dengan mendasarkan pada RTT, disusun Rancangan Teknis Kegiatan (Rantek) yang memuat kegiatan teknis secara rinci (bestek) dari setiap komponen pekerjaan yang meliputi rancangan pekerjaan fisik, anggaran dan tata waktu. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perencanaan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para penanggungjawab dan pelaksana kegiatan RHL, yaitu Rencana Teknis yang tidak memuat rencana kegiatan dengan rinci. Prosedur Kerja
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan GNRHL, Menteri Kehutanan telah menerbitkan pedoman teknis dan petunjuk pelaksanaan, antara lain: 1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V//2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GN-RHL tahun 2004; 2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2005; 3. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.81/Menhut-V/2006 tentang Penyelenggaraan Dan Sasaran Kegiatan GN-RHL Tahun 2006; 4. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiata GN-RHL Tahun 2007. Dalam pedoman dan petunjuk pelaksanaan tersebut telah diatur mengenai pelaksanaan penyediaan bibit, pembuatan tanaman reboisasi hutan lindung dan hutan produksi, pembuatan tanaman hutan rakyat, pembuatan tanaman penghijauan kota, pembuatan tanaman turus jalan dan pembuatan bangunan konservasi tanah serta pelaksanaan penilaian kinerja kegiatan GNRHL. Dalam pelaksanaannya prosedur tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para pelaksana kegiatan. Hal ini masih terlihat antara lain : komposisi jenis untuk hutan rakyat yang tidak sesuai dengan ketentuan, pengadaan dan penyaluran pupuk yang tidak sesuai ketentuan, tidak dilakukannya pengamanan tanaman turus jalan serta pemeliharaan yang tidak seharusnya dibiayai dari APBN.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
17
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA
Pemantauan Tindak Lanjut
Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2004 telah melakukan pemeriksaan atas kegiatan GNRHL tahun 2003 pada BPDAS Jeneberang Walanae, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gowa, Bone, Sopeng dan Sindrap. Hasil pemeriksaan tersebut mengungkapkan 6 temuan dengan 13 saran. Hasil pemeriksaan tindak lanjut diketahui bahwa 5 saran telah ditindaklanjuti dan 8 saran belum ditindaklanjuti. (Rincian pada Lampiran 1)
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
18
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN
Bibit untuk
Penghijauan merupakan salah satu kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, yang
Kegiatan
kegiatannya dapat berupa pembuatan hutan kota, penghijauan lingkungan dan
Penghijauan
penanaman turus jalan nasional/provinsi. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Sebanyak 35.570
Pinrang dan Kabupaten Tana Toraja pada tahun 2007 melaksanakan kegiatan
Batang Senilai
penghijauan lingkungan dengan menyediakan/memberikan bibit secara cuma-cuma
Rp143.220.000,00
kepada masyarakat. Tujuan dari kegiatan penghijauan adalah untuk mewujudkan
Belum diserahkan
lingkungan hidup yang hijau, sehat, rapi, dan indah dalam suatu hamparan tertentu baik di
Kepada
wilayah perkotaan, lingkungan tempat tinggal maupun sepanjang jalan nasional/provinsi
Masyarakat.
sehingga dapat memperbaiki dan menjaga iklim mikro, nilai estetika dan fungsi resapan air, serta menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan. Berdasarkan Berita Acara Serah Terima (BAST) bibit tanaman dari Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Kabupaten Pinrang dan Tana Toraja kepada masyarakat diketahui bahwa terdapat sisa bibit penghijauan yang belum disalurkan sebanyak 35.570 batang, dengan rincian sebagai berikut:
No.
Kabupaten
1 2
Pinrang Tana Toraja Jumlah
Bibit dari BPDAS (btg) 80.000 110.000 190.000
Bibit disalurkan ke masyarakat (btg) 73.400 72.230 145.630
Sisa bibit yang belum disalurkan (btg) 6.600 28.970 35.570
Nilai sisa bibit (Rp) 6.600.000,00 136.620.000,00 143.220.000,00
Berdasarkan penjelasan Dinas Kehutanan terkait diketahui bahwa sisa bibit yang belum diserahkan kepada masyarakat tersebut masih berada di persemaian. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/menhutV/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2004 pada Bab III tentang Jenis Kegiatan dan Pelaksanaan GN-RHL tahun 2004 poin A.1.g mengenai mekanisme serah terima bibit tanaman pada angka 6 dan 7 menyatakan bahwa Kepala BPDAS menyerahkan kepada Kepala Pelaksana Penanaman (Dinas
Kehutanan)
untuk
selanjutnya
diserahkan
kepada Atasan
Langsung
Bendaharawan untuk dilakukan penanaman di lapangan. Hal ini mengakibatkan kualitas bibit hasil pengadaan yang belum diserahkan akan menurun sehingga berpotensi mengurangi kualitas pertumbuhannya, terjadi karena Kepala Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Tana Toraja selaku Kuasa Pengguna Barang Kegiatan GN-RHL lalai dalam melakukan penyerahan bibit penghijauan kepada masyarakat.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
19
Atas permasalahan tersebut, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang menanggapi bahwa bibit penghijauan sebanyak 6.600 batang merupakan bibit yang tersisa pada lokasi pembibitan di Desa Kaballangan Kec. Duampanua Kab. Pinrang yang pemanfaatannya akan dikonsultasikan dengan BPDAS. Selanjutnya pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Tana Toraja menanggapi bahwa bibit yang masih tersisa sebanyak 28.970 batang yang belum diserahkan kepada masyarakat disebabkan musim kemarau yang tidak memungkinkan bagi masyarakat melakukan penanaman dan sisa bibit untuk sementara ditampung di TPS Tikala dan TPS Eran Batu. BPK RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Pinrang dan Bupati Tana Toraja menegur Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab Pinrang dan Tana Toraja atas kelalaiannya dan diperintahkan supaya menyalurkan bibit penghijauan lingkungan yang masih tersisa kepada masyarakat serta meningkatkan pengawasan pelaksanaan GNRHL.
Mekanisme
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Bone pada Tahun Anggaran (TA) 2004, s.d TA
Penyaluran Pupuk
2006, telah melakukan pengadaan Pupuk Majemuk Lepas Terkendali (PMLT) NPK
di Kabupaten
20:10:10 sebanyak 137.855 Kg senilai Rp1.500.096.000,00 dengan rincian sbb :
Bone Tidak Sesuai Dengan Ketentuan.
No
Tahun
1 2 3
2004 2005 2006 Total
Pupuk NPK 20:10:10 Jumlah (Kg) Nilai (Rp) 85.600 1.027.200.000 22.505 206.196.000 29.750 266.700.000 137.855 1.500.096.000
Seluruh pupuk hasil pengadaan tersebut telah disalurkan kepada kelompok tani berdasarkan Berita Acara Serah Terima (BAST) oleh perusahaan (supplier) dengan di ketahui oleh pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone (dhi. Pimpinan Pelaksana) dan Kepala Desa setempat. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas dokumen yang terkait dengan kegiatan pengadaan pupuk tersebut diketahui hal-hal sebagai berikut : 1. Penyerahan pupuk kepada pengguna akhir (kelompok tani) dan pembayaran kepada penyedia pupuk (supplier) dilakukan sebelum dilakukan pemeriksaan barang hasil pengadaan oleh Panitia Pemeriksa Barang atas kebenaran jumlah, kualitas dan jenis pupuk sesuai dengan ketentuan di dalam kontrak. 2. Berita Acara Pemeriksaan dan Berita Acara Serah Terima dari penyedia barang kepada pengguna barang dilakukan bukan berdasarkan kondisi dilapangan tetapi hanya mengacu kepada kompilasi Berita Acara Serah Terima (BAST) dari penyedia barang kepada pengguna barang (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone). Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
20
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Presiden No.80 Tahun 2003 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No.85 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 36 ayat 1 sampai 3 yang menyebutkan bahwa : 1. Setelah pekerjaan selesai 100% (seratus persen) sesuai dengan yang tertuang dalam kontrak, penyedia barang/jasa mengajukan permintaan secara tertulis kepada pengguna barang/jasa untuk penyerahan pekerjaan. 2. Pengguna barang/jasa melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan, baik secara sebagian atau seluruh pekerjaan, dan menugaskan penyedia barang/jasa untuk memperbaiki dan/atau melengkapi kekurangan pekerjaan sebagaimana yang disyaratkan dalam kontrak. 3. Pengguna barang/jasa menerima penyerahan pekerjaan setelah seluruh hasil pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak. Hal ini mengakibatkan pupuk hasil pengadaan yang belum dilakukan pemeriksaan oleh panitia pemeriksa barang rawan diselewengkan baik dari segi jumlah, jenis dan kualitas pupuknya, terjadi karena kebijakan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone dalam menerima penyerahan pupuk dari rekanan tidak dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Barang. Atas permasalahan tersebut di atas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone menanggapi sebagai berikut: 1. Pengadaan pupuk oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone pada tahun 2004 s/d 2006 sebanyak 137.855 Kg dengan total biaya Rp1.500.000.000,00 dengan sistem serah terima pada lini IV (kelompok tani) dimana perusahaan menyerahkan pupuk langsung kepada kelompok tani dengan diketahui oleh pimpinan pelaksana (Pinlak) yang mewakili pengguna barang sehingga pemeriksaan barang oleh panitia pemeriksaan barang dilakukan lokasi pembagian. 2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone belum memiliki gudang penyimpanan barang yang memadai. 3. Berita Acara Pemeriksa Barang sebagai hasil kompilasi dari seluruh hasil pemeriksaan barang di tingkat kelompok tani menjadi dasar pembayaran kepada penyedia barang. BPK-RI tidak sependapat dengan tanggapan tersebut di atas karena tidak ada surat yang melimpahkan kewenangan panitia pemeriksa barang kepada Pinlak untuk melaksanakan pemeriksaan barang di lokasi tujuan serta membuat berita acara pemeriksaan barang. Pemeriksaan atas bukti serah terima pupuk untuk tahun 2004 menunjukkan sebagian besar serah terima tidak ketahui oleh Pinlak. Sedangkan untuk tahun 2005 dan 2006 BAST yang ada berasal dari perusahaan kepada kelompok tani dengan diketahui oleh Pinlak namun tidak ada berita acara pemeriksaan barang yang dibuat oleh Pinlak. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
21
BPK RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Bone menegur Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone supaya dalam melakukan pekerjaan mengikuti mekanisme aturan yang berlaku dan meningkatkan pengawasan pelaksanaan kegiatan di wilayah kerjanya. Rancangan Teknis
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2006 melakukan kegiatan
Untuk Pembuatan
pembuatan turus jalan sepanjang 50 km dengan menggunakan tanaman Mahoni
Turus Jalan Belum
sebanyak 20.000 batang yang ditanam disepanjang kanan dan kiri jalan provinsi poros
Dibuat Sesuai
Palopo-Tana Toraja dan Luwu - Masamba.
Dengan Ketentuan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas dokumen pelaksanaan kegiatan diketahui bahwa : 1. Penanaman turus jalan tersebut tidak berdasarkan rencana teknis yang sesuai dengan pedoman baku GNRHL, yaitu dalam rancangan teknis tidak terdapat jumlah tanaman yang ada untuk setiap kilometer ruas jalan. Peta yang dibuat juga tidak merinci jenis dan jumlah tanaman, serta tidak ada gambar pemasangan srumbug, steger dan brojong yang merinci bahan, ukuran dan bentuk serta posisi/tata letak pemasangan srumbug, steger dan brojong terhadap tanaman. 2. Pengamanan tanaman turus jalan masih lemah, terbukti dari hasil cek fisik tanggal 11 September 2007 sebagian tanaman turus jalan digunakan sebagai tambatan ternak dan terbakar akibat masyarakat membakar sampah dengan sembarangan. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P33/MenhutV/2005 Tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan : 1. Bagian Kelima Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan (Hutan Kota, Penghijauan Lingkungan dan Turus Jalan) yang menyebutkan Buku rancangan memuat peta maupun gambar yang merinci : a. lokasi pembuatan tanaman,mencakup ruas jalan yang akan ditanam b. bagian-bagian ruas jalan yang akan ditanami/tidak ditanami c.
jenis dan jumlah tanaman
d. gambar pemasangan srumbung, steger dan bronjong yang menggambarkan bahan, ukuran dan bentuk serta posisi/tata letak pemasangan srumbug, steger dan brojong terhadap tanaman 2. Bab III Bagian C Nomor 3 huruf d tentang Pemeliharaan dan Pengamanan yang menyatakan : a. Sebelum selesai kegiatan, pemeliharaan masih dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi b. Setelah selesai kegiatan (3 tahun) maka diadakan serahterima dengan Dinas Bina Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
22
Marga/Kimpraswil/PU Provinsi untuk pengelolaan lebih lanjut. Hal ini mengakibatkan fungsi tanaman turus jalan sebagai peneduh jalan, penahan angin dan penahan polusi tidak tercapai, terjadi karena : 1. Rencana pembuatan turus jalan dibuat dengan tidak mengacu kepada ketentuan dan pedoman yang ada serta pengawasan atasan langsung secara berjenjang atas pembuatan turus jalan masih lemah. 2. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan belum memahami tugasnya untuk mengamankan tanaman turus jalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Atas permasalahan tersebut di atas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi menanggapi bahwa temuan tersebut akan dijadikan masukan dalam penyusunan rancangan teknis pembuatan tanaman turus jalan untuk tahun berikutnya dan untuk meningkatkan pengawasan atas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Kekurangan yang ditemukan pada rancangan teknis tidak sampai mengurangi jumlah tanaman dan tidak mengubah jenis tanaman yang direncanakan. Demikian halnya untuk bahan dan ukuran sungkup serta steiger dan posisi pemasangannya atas tanaman. BPK RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Gubernur Sulawesi Selatan menegur Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan supaya dalam pembuat rancangan turus jalan (buku rancangan) berpedoman pada petunjuk teknis dan diperintahkan meningkatkan kualitas pelaksanaan GNRHL dan mengamankan tanaman hasil kegiatan yang telah dibuat di wilayahnya sesuai pedoman yang ada.
Pengadaan Pupuk
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang pada TA 2004, 2006 dan 2007
NPK Tablet di
telah melakukan pengadaan pupuk NPK 20:10:10 tablet sebanyak 53.141Kg senilai
Kabupaten
Rp611.376.000,00 yang seluruhnya dilakukan oleh Koperasi Berkat Ilahi (Kop. BI).
Pinrang Tahun 2004, 2006 dan 2007 Menyalahi Ketentuan Mengakibatkan
Rincian pengadaan pupuk tersebut adalah sebagai berikut : Pengadaan Jumlah pengadaan Nilai Pengadaan No. & Tgl. SPK
Harga Pengadaan Terlalu Mahal Sebesar Rp149.985.638,00
Mekanisme pengadaan Pemenang lelang
Tahun 2004 26.961 Kg Rp323.352.000,00 No.42/SPK/Gerhan /Hutbun/ /2004 5 Oktober 2004
Tahun 2006 23.760 Kg Rp285.120.000,00 No.03/SPPP/GerhanHutbun/X/2006 11 Oktober 2006
Lelang terbuka
Lelang terbuka
Kop. BI
Kop. BI
Tahun 2007 2.420 kg Rp29.040.000,00 No.09/SPK/GNPG/V /2007 18 Mei 2007 Penunjukan langsung Kop. BI
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas dokumen yang terkait dengan pengadaan pupuk diatas diketahui hal-hal sebagai berikut :
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
23
1. Panitia Pengadaan Barang/Lelang dalam menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) TA 2004, 2006 dan 2007 tidak berdasarkan perhitungan yang dikalkulasikan secara keahlian tetapi dilakukan setelah mendapat arahan lisan dari Kadishutbun Kabupaten Pinrang selaku Pengguna Barang untuk menggunakan harga pupuk NPK dari PT TBJ (salah satu supplier pupuk) sebagai acuan satu-satunya dengan harga sebesar Rp12.000/kg dengan perincian sebagai berikut : Tahun / Komponen HPS Harga pokok / kg Biaya angkut ke gudang kel. Tani Estimasi profit PPN 10% + PPh 22 1,5% HPS per kg pupuk
2004 9.000 1.000 745 1.255 12.000
(Dalam Rupiah) 2006 2007 9.000 1.000 745 1.255 12.000 12.000
Lebih lanjut diketahui bahwa HPS yang telah disusun oleh panitia dimaksud tidak ditetapkan dan disahkan oleh Pejabat Pengguna Barang dhi. Kadishutbun Kab. Pinrang. 2. Pengadaan pupuk tahun 2004 senilai Rp323.352.000,00 patut di duga dilakukan dengan penunjukan langsung yang direkayasa seolah-olah melalui pelelangan terbuka. Hal tersebut diketahui karena adanya kejanggalan-kejanggalan dengan uraian sebagai berikut: a. Ketua Kop.BI adalah Pegawai Negeri Sipil aktif pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang yang merupakan bawahan dari Atasan ALB (Pengguna Barang). PNS bersangkutan tidak sedang mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat mendaftarkan diri sebagai peserta tender sebagaimana dipersyaratkan dalam mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah. b. Kop.BI sudah mengetahui lebih dahulu jenis barang yang akan diadakan sebelum dilakukan Aanwjzing. Kop.BI juga tetap dipilih sebagai pemenang meskipun secara teknis tidak memiliki dukungan finansial yang memadai untuk memenuhi nilai pengadaan. c.
Klausul kontrak mengenai lokasi serah terima barang di gudang yang terletak di Ibukota Kabupaten berbeda dengan rincian HPS yang memasukkan komponen biaya angkut ke gudang kelompok tani, sehingga sebenarnya biaya angkut tersebut tidak terealisasi. Hal ini diperkuat dengan Berita Acara Cek Fisik pada tanggal 23 September 2007 di lokasi gudang Kop.BI yang ternyata pupuk pengadaan tahun 2007 masih tersimpan di gudang meskipun nota penyaluran telah dibuat dan Kelompok Tani mengakui bahwa pupuk diambil sendiri dari gudang Koperasi BI.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
24
d. Penggunaan istilah jabatan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk Kepala Dinas dalam surat-surat tanggal 4 Oktober 2004 tentang penetapan pemenang lelang antara panitia lelang dengan Kuasa Pengguna Anggaran sedangkan sebagian dokumen lain masih menggunakan istilah jabatan Atasan langsung ALB. Penggunaan istilah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tersebut mendahului penetapan istilah KPA berdasarkan PMK No.606/KMK.06/2004 tanggal 28 Desember 2004 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sehingga dapat diduga bahwa dokumen tersebut dibuat setelahnya. e. Pada sebagian dokumen berkas lelang sebutan bagi panitia adalah panitia lelang, dan di sebagian dokumen berkas lelang lainnya panitia disebut dengan panitia pengadaan barang sebagaimana istilah yang lazim digunakan dalam penunjukan langsung. Demikian juga dengan tahapan kegiatan dalam dokumen yang menggunakan istilah panitia pengadaan barang merupakan bagian dari proses kegiatan pengadaan dengan penunjukkan langsung. f.
Penomoran surat-surat/dokumen pengadaan tidak seragam dan tidak bernomor urut (prenumbered) yang logis. Ada sebagian nomor surat yang tidak digunakan (lompat
nomor)
yaitu
Surat
Keputusan
SK.03/GERHAN/HUTBUN/2004,
SK.01/GERHAN/HUTBUN/2004,
SK.06/GERHAN/HUTBUN/2004
&
SK.07/GERHAN/HUTBUN/2004. Kronologis dari rekayasa tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan data tersebut di atas diduga adanya kolusi dalam pengadaan pupuk antara pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pinrang, Kop.BI dan PT TBJ. Diketahui bahwa pupuk yang diadakan oleh Kop.BI di subkontrakkan seluruhnya kepada PT TBJ. Kop.BI melakukan pemesanan pupuk kepada PT TBJ sebanyak jumlah yang dibutuhkan oleh pengguna barang (Dishutbun Kab. Pinrang) setelah Kop.BI ditetapkan sebagai pemenang lelang pengadaan pupuk. Harga pupuk yang diperoleh Kop.BI dari PT. TBJ adalah Rp8.620,00/Kg belum termasuk PPN atau sebesar Rp9.482,00/Kg termasuk pajak dan biaya pengiriman (franco gudang). Dengan demikian pengadaan pupuk NPK dengan cara disubkontrakkan selurhnya kepada pihak ketiga tersebut telah mengakibatkan kemahalan harga per kg sebesar Rp2.518,00/Kg (Rp12.000-Rp9.482) atau selurhnya senilai Rp67.887.798,00 (26.961 x Rp2.518,00). Ringkasan dokumen/surat dapat dilihat di Lampiran 3. Disamping itu pengadaan pupuk oleh Kop. BI pada tahun 2004 terlambat 52 hari yang terlihat dari bon pengiriman ternyata pupuk tersebut baru diterima oleh Kop. BI dari subkontraktor PT. TBJ pada bulan Desember 2004 atau 52 hari dari tanggal 21 Oktober 2004, yaitu tanggal batas akhir penyerahan barang berdasarkan SPK. Keterlambatan tersebut tidak dikenakan sanksi administrasi oleh pihak Dinas
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
25
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang karena semua dokumen Berita Acara diduga telah direkayasa seperti berita acara pemeriksaan barang dan berita acara serah terima pekerjaan dibuat pada bulan Oktober 2004 atau lebih dahulu 52 hari dibandingkan realisasi penyerahan fisiknya. Keterlambatan ini harus dikenakan denda maksimal sebesar Rp16.176.600,00 (5 % x Rp323.352.000,00). 3. Pengadaan pupuk tahun 2006 patut diduga dilaksanakan dengan mekanisme lelang yang direkayasa. Sebagaimana terlihat dari dokumen lelang yang menunjukan bahwa pemenang lelang adalah rekanan lama Dishutbun Kab.Pinrang yaitu Kop.BI. Hal ini terbukti pula dari Berita Acara Hasil Evaluasi Pelelangan tanggal 18 September 2006 yang mendahului Berita Acara Pembukaan Penawaran tanggal 25 September 2006. Disamping itu HPS yang digunakan tidak sesuai dengan harga pasar, hasil pemeriksaan menunjukan bahwa HPS yang disusun panitia lelang masih menggunakan komponen yang sama dengan HPS tahun 2004. HPS disusun tanpa memperhatikan harga pasaran yang berlaku, sebagai perbandingan harga pengadaan pupuk untuk jenis yang sama di Kabupaten Bone adalah Rp9.047,00/kg termasuk pajak. Dalam pengadaan tahun 2006 Kop.BI juga melakukan subkontrak dengan PT TBJ dan telah memesan pupuk berdasarkan Surat Permintaan Pupuk NPK Tablet No.30/BKI/IX/06 tanggal 29 September 2006 dengan harga satuan yang sama yaitu Rp9.482,00/kg setelah pajak sebanyak 23.760kg. Dengan demikian dalam pengadaan pupuk di tahun 2006 juga terjadi rekayasa proses lelang dan mengakibatkan kemahalan harga per kg pupuk sebesar Rp2.518,00 (Rp12.000,00-Rp9.482) atau total senilai Rp59.827.680,00 (23.760 x Rp2.518,00). Pengadaan
pupuk tahun 2007 senilai Rp29.040.000,00 dilaksanakan melalui
penunjukan langsung dengan penyedia pupuk yang ditunjuk adalah Kop.BI yaitu rekanan yang sama di tahun 2004 dan 2006. HPS pupuk PMLT 20:10:10 per kg masih menggunakan
harga
yang
sama
dengan
tahun-tahun
sebelumnya
yakni
Rp12.000,00/kg sedangkan harga pasar adalah berkisar Rp8.965,00/kg termasuk pajak (harga pengadaan pupuk dengan jenis yang sama di Kabupaten Bone). Kop.BI pada tahun 2007 juga melakukan subkontrak pengadaan pupuk kepada PT TBJ dengan harga satuan sebesar Rp9.482,00/kg termasuk pajak. Dengan demikian pengadaan pupuk tahun 2007 juga mengalami kemahalan senilai Rp2.518,00/kg atau seluruhnya senilai Rp6.093.560,00 (2.420 x Rp2.518,00). Berdasarkan hasil cek fisik yang dilakukan Tim Pemeriksa pada tanggal 23 September 2007 diketahui bahwa pupuk hasil pengadaan tahun 2007 belum digunakan dan masih disimpan di gudang Kop.BI. Seluruh pupuk tersebut telah dibuatkan berita acara serah terima kepada kelompok tani. Informasi dari Ketua Kop.BI pupuk tersebut dititipkan oleh panitia pengadaan barang tanpa ada surat penitipan sehingga rawan diselewengkan. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan: Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
26
1. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pada: a. Pasal 3 huruf a yang berbunyi: Pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip : Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat di pertanggungjawabkan. b. Pasal 5 huruf f dan g, berbunyi: Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut: 1)
Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa.
2)
Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/ atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.
c.
Pasal 9 ayat (3) berbunyi : Tugas pokok pengguna barang/jasa dalam pengadaan barang/jasa adalah: 1) menyusun perencanaan pengadaan barang/jasa; 2) menetapkan dan mengesahkan harga perkiraan sendiri (HPS), jadual, tata cara pelaksanaan dan lokasi pengadaan yang disusun panitia pengadaan; 3) menyiapkan dan melaksanakan perjanjian/kontrak dengan pihak penyedia barang/jasa; 4) menandatangani
pakta
integritas
sebelum
pelaksanaan
pengadaan
barang/jasa dimulai Ayat (5) berbunyi : Pengguna barang/jasa bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan barang/jasa yang dilaksanakannya d. Pasal 11 ayat (3), berbunyi: Pegawai negeri, pegawai BI, pegawai BHMN/BUMN/BUMD dilarang menjadi penyedia barang/jasa, kecuali yang bersangkutan mengambil cuti di luar tanggungan negara/BI/BHMN/BUMN/ BUMD. e. Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi:
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
27
Pengguna barang/jasa wajib memiliki harga perkiraan sendiri (HPS) yang dikalkulasikan
secara
keahlian
dan
berdasarkan
data
yang
dapat
dipertangungjawabkan. f.
Pasal 32 ayat (3) dan (5) yang berbunyi: (3) Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain. (5) Terhadap pelanggaran atas larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kontrak.
g. Pasal 49 poin (1) yang berbunyi: Kepada para pihak yang ternyata terbukti melanggar ketentuan dan prosedur pengadaan barang/jasa, maka : a) dikenakan sanksi administrasi; b) dituntut ganti rugi/digugat secara perdata; c) dilaporkan untuk diproses secara pidana. 2. Pasal 6 Surat Perjanjian Kerja (SPK) Nomor: 42/SPK/GERHAN/HUTBUN/
/2004
tentang Sanksi/Denda yang berbunyi Keterlambatan atas penyelesaian/penyerahan pekerjaan dikenakan sanksi berupa denda 1 0/00 (per mil) untuk setiap hari keterlambatan dan setinggi-tingginya 5% dari nilai SPK. Kemahalan harga atas pengadaan pupukNPK tablet tahun 2004, 2006 dan 2007 sebesar Rp133.809.038,00 (Rp67.887.798,00+ Rp59.827.680,00
+ Rp6.093.560,00) dan
pendapatan dari denda keterlambatan sebesar Rp16.176.600,00 yang tidak diterima oleh negara mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp149.985.638,00, diduga terjadi karena adanya unsur melanggar hukum yang dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Dinas Kehutanan danPerkebunan KabupatenPinrang, Panitia Lelang/Pengadaan Barang, Panitia Pemeriksa Barang , Kop.BI dan PT TBJ. Atas permasalahan tersebut di atas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang menanggapi hal tersebut: 1. Pupuk NPK yang digunakan adalah pupuk NPK tablet Pullet dengan komposisi kandungan hara N=20%, P2O5=10%, K2O=10%, MgO=4%, CaO=8%, SO4=3%, To=1%. Jenis pupuk NPK yang tertera dalam standar harga yang ditetapkan Bupati Pinrang tidak mengandung unsur hara mikro sehingga harganya murah dibandingkan pupuk NPK tablet Pullet (PMLT). 2. Penetapan HPS adalah atas dasar analisa harga pasar. 3. Atas dasar rasa tanggung jawab pengguna anggaran: Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
28
a. Terhadap penyelamatan bibit yang telah diserahkan oleh BPDAS begitu banyak, maka langkah yang ditempuh adalah seluruh pinlak diminta mengadakan pertemuan dengan kelompok tani untuk segera mengadakan kegiatan penanaman sebelum musim kemarau tiba. b.
Pada kondisi yang demikian inilah KPA/Kepala Dinas secara proaktif mengajak ALB/PPK, Panitia pengadaan barang untuk segera membuat jadwal proses pengadaan barang agar sejalan dengan kegiatan lapangan, sehingga pada saatnya sarana yang diperlukan petani tersedia tepat waktu dan sasaran tercapai dengan baik.
4. Pengadaan pupuk NPK tahun 2004, 2005 dan 2006 betul tanpa rekayasa sekali lagi kami tidak pernah berniat, apalagi melaksanakan pengadaan dengan rekayasa, yang bisa terjadi adalah pengetahuan panitia yang kurang, pengalaman minim dibuktikan bahwa waktu itu panitia belum ada yang mengikuti kursus pengadaan barang apalagi memiliki sertifikat. 5. Tahun 2004 sebutan Kuasa Pengguna Anggaran sudah ada dimana Atasan Langsung Bendaharawan adalah KPA atau Kepala Dinas. a. Berdasarkan UU Nomor 25 tahun 1992 tentang Koperasi dimana dalam UndangUndang tersebut tidak ada larangan bagi Pegawai Negeri menjadi pengurus Koperasi bahkan berdasarkan Keppres No.80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pasal 45 dimungkinkan peran serta usaha kecil termasuk Koperasi kecil dalam pengadaan barang dan jasa. b. Atas pertimbangan tersebut Koperasi Berkat Ilahi diikutkan dalam proses pengadaan barang/jasa kegiatan Gerhan. 6. Berdasarkan kontrak Koperasi Berkat Ilahi bahwa pupuk NPK sampai dilokasi petani masih menjadi tanggung jawabnya sehingga kelebihan harga sebesar Rp2.518,digunakan untuk membiayai angkutan dari gudang koperasi sampai lokasi petani yang kita ketahui sangat sulit dijangkau oleh kendaraan roda empat bahkan roda dua sehingga membutuhkan biaya cukup besar. BPK-RI tidak sependapat dengan tanggapan di atas, karena: 1. Pembandingan harga yang dilakukan oleh tim pemeriksa BPK-RI tersebut adalah terhadap produk identik berupa NPK pullet PMLT yang diperoleh dari Supplier yang menerima subkontrak dari penyedia barang dengan memperhitungkan pajak. Adapun komponen biaya angkut yang diperhitungkan dalam HPS tidak terealisasi karena barang tersebut diserahterimakan di gudang rekanan/penyedia barang. Untuk komponen keuntungan dalam HPS juga tidak seharusnya diterima rekanan karena keuntungan
tersebut
merupakan
keuntungan
rekanan
(d.h.i
Kop.BI)
dari
mensubkontrakkan pengadaan tersebut kepada pihak ketiga (d.h.i PT TBJ). Dalam Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
29
proses tender yang wajar dan terbuka, Kop.BI seharusnya tidak memenuhi persyaratan prakualifikasi administrasi dan teknis karena tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk memenuhi pengadaan barang sebesar nilai kontrak. 2. Ketidakkonsistenan penggunaan istilah antara atasan langsung ALB dengan KPA pada dokumen tender tahun 2004 tersebut menunjukkan bahwa proses rekayasa dokumen terjadi setelah PMK No.606/KMK.06/2004 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang mulai diberlakukan 1 Januari 2005 serta SK penetapan KPA diterbitkan. Selain itu Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang tidak dapat menunjukkan Surat Keputusan pengangkatan dirinya sebagai KPA di tahun 2004. 3. Kelompok tani mengambil sendiri ke gudang tempat penyimpanan sehingga tidak terdapat biaya angkut ke gudang petani. Berdasarkan modus operandi penyimpangan yang terjadi diduga adanya unsur perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, maka temuan pemeriksaan ini dilimpahkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. Pengadaan Pupuk
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang tahun 2004 telah melakukan
Organik Sebanyak
pengadaan pupuk organik sebanyak total 300.000 Kg. Pengadaan pupuk ditenderkan
300 Ton di
kepada pihak ketiga. Dari hasil penelaahan atas pelaksanaan kegiatan pengadaan pupuk
Kabupaten
organik di Kabupaten Pinrang pada tahun 2004, diketahui bahwa pengadaan pupuk tahun
Pinrang pada
2004 merupakan penunjukan langsung yang direkayasa seolah-olah dilakukan dengan
Tahun 2004
mekanisme
Menyalahi
Rp251.250.000,00, dengan penjelasan sebagai berikut:
Ketentuan Mengakibatkan Harga Pengadaan Terlalu Mahal Sebesar Rp251.250.000,00
pelelangan
terbuka
sehingga
menimbulkan
kemahalan
sebesar
1. PT Sinar Arkilen Mandiri (PT. SAM) telah menyatakan minat untuk mengikuti proses pengadaan sebelum pengumuman lelang dan mengetahui jenis barang (pupuk organik) yang akan diadakan sebelum aanwijzing. Hal ini terlihat dari dokumen pernyataan minat PT. SAM yang dilakukan satu hari sebelum tanggal pengumuman (7 September 2004). 2. Pakta Integritas telah ditandatangani sebelum lelang diumumkan dan pemasukan penawaran. 3. Pengumuman lelang dari siaran radio RRI Cabang Madya Makassar (pada tanggal 7 dan 8 September 2007) mendahului permintaan untuk pengumuman lelang dari panitia pengadaan yang dilakukan setelahnya (pada tanggal 9 September 2007). 4. Tidak terdapat kegiatan pengambilan dokumen lelang untuk mempermudah rekanan dalam memahami pekerjaan yang akan diadakan dan tidak dialokasikan waktu yang cukup antara pemasukan penawaran dengan pembukaan penawaran. 5. Ketidakkonsistenan penggunaan istilah jabatan antara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dengan Atasan langsung ALB dalam surat-surat tanggal 27 September 2004
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
30
tentang penetapan pemenang lelang. Penggunaan istilah KPA tersebut juga mendahului peraturan resmi mengenai penggunaan istilah Kuasa Pengguna Anggaran dalam
pedoman
pembayaran
dalam
pelaksanaan
APBN
sesuai
PMK
No.606/KMK.06/2004 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2005. 6. Pada sebagian dokumen berkas lelang sebutan bagi panitia adalah panitia lelang, dan disebagian dokumen berkas lelang lainnnya panitia disebut dengan panitia pengadaan barang sebagaimana istilah yang lazim digunakan dalam penunjukan langsung. Demikian juga dengan tahapan kegiatan dalam dokumen yang menggunakan istilah panitia pengadaan barang merupakan bagian dari proses kegiatan pengadaan dengan penunjukkan langsung. Kronologis dari rekayasa tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4. Dengan demikian, patut diduga pengadaan pupuk organik tahun 2004 senilai Rp375.000.000,00 tidak dilakukan dengan mekanisme lelang sebagaimana ditentukan dalam aturan pengadaan barang dan jasa untuk pengadaan dengan nilai di atas Rp50.000.000,00. Selain itu, diketahui bahwa harga standar pupuk organik untuk Kabupaten Pinrang tahun 2004 sebesar Rp375,00 per Kg belum termasuk pajak atau sama dengan Rp413,00 termasuk PPN 10%. Dari pembandingan antara HPS untuk pupuk organik yang disusun oleh panitia dengan standar harga pasar setempat yang mengacu kepada Surat Keputusan Bupati Pinrang No. 06 Tahun 2004 tentang Standarisasi Harga Satuan Barang/Bahan/Peralatan dan Jasa di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Pinrang Tahun 2004, diketahui terdapat kemahalan sebesar Rp251.250.000,00. Adapun rincian kemahalan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Harga
Total
No.
Tahun
Volume
Harga SPK
Harga Pemda
Selisih
Nilai Kontrak
Kemahalan
1
2004
300.000
1.250,00
413,00
838,00
375.000.000,00
251.250.000,00
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Keppres 80 Tahun 2003 sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006 Tentang pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, 1. Pasal 3 huruf a yang berbunyi: Pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip : Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat di pertanggungjawabkan. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
31
2. Pasal 5 huruf f dan g, berbunyi: Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut: huruf f: Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa huruf g: Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/ atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; 3. Pasal 13 poin (1) yang berbunyi: Pengguna barang/jasa wajib memiliki harga perkiraan sendiri (HPS) yang dikalkulasikan
secara
keahlian
dan
berdasarkan
data
yang
dapat
dipertangungjawabkan. Hal ini mengakibatkan terjadi kemahalan dalam pengadaan pupuk organik tahun 2004 sehingga negara dirugikan sebesar Rp251.250.000,00 diduga terjadi karena adanya unsur melanggar hukum yang dilakukan secara bersama-sama oleh oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang, Panitia Lelang/Pengadaan Barang, dan Panitia Pemeriksa Barang. Atas permasalahan tersebut di atas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang menanggapi sebagai berikut: 1. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk organik padat hasil olahan pabrik sedangkan yang tertera dalam harga standar Bupati merupakan pupuk organik yang masih mentah dan belum diolah sehingga harganya lebih murah dari pupuk organik yang telah melalui proses pengolahan, sehingga harga Rp413,- sebagai pembanding mohon dipertimbangkan. 2. Pada setiap pertemuan bulanan pengguna barang atau Kuasa Pengguna Anggaran senantiasa meminta kepada Panitia Pengadaan dan semua Petugas Gerhan agar melakukan kegiatan dengan baik sesuai peraturan yang berlaku. 3. Tahun 2004 Atasan Langsung ALB adalah Kuasa Pengguna Anggaran atau Kepala Dinas. 4. Pengguna barang dalam menetapkan HPS mengacu kepada survey harga pasar/toko terlampir. Disadari bahwa dalam proses pengadaan pupuk organik pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pinrang ternyata disana sini terdapat kekurangan, kekeliruan dan atau kurang konsistensi dalam penggunaan istilah. Hal tersebut Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
32
menggambarkan betapa kurangnya pengetahuan, pengalaman panitia pengadaan barang, namun mereka mempunyai dedikasi yang tinggi untuk belajar dan mengoreksi dalam melaksanakan kegiatan proses pengadaan barang dan jasa sesuai aturan yang berlaku. BPK-RI tidak sependapat dengan tanggapan di atas, karena: a. Di dalam SPK tidak menyebutkan spesifikasi barang hanya mencantumkan pupuk organik padat, oleh karena itu Tim Pemeriksa meyakini bahwa pupuk yang dimaksud adalah sama dengan yang ada di standar harga Pemda. b. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang tidak dapat menunjukan Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Berdasarkan modus operandi penyimpangan yang terjadi diduga adanya unsur perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, maka temuan pemeriksaan ini dilimpahkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. Pupuk dan
Pada Tahun 2007 Pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang
Herbisida Hasil
melakukan kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) berupa
Pengadaan Tahun
pembuatan tanaman pada 2 (dua) lokasi yaitu pembuatan tanaman reboisasi pada hutan
2007 yang Telah
lindung di lokasi Mallang desa Pakeng Kecamatan Lembang seluas 170 ha dan
Dibuatkan Nota
pembuatan tanaman hutan rakyat di Passolengan desa Buttu Sawe kecamatan
Penyaluran
Duampanua seluas 50 ha.
Kepada Kelompok Tani Masih Disimpan di Gudang Milik Kop.BI.
Untuk menunjang kegiatan penanaman GN-RHL tersebut, tanggal 18 Mei 2007 pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pinrang melaksanakan pengadaan Pupuk NPK Tablet sebanyak 2.420 Kg dan Pupuk kompos sebanyak 15.000 Kg dengan rekanan Kop.BI serta tanggal 25 Mei 2007 melaksanakan pengadaan Herbisida sebanyak 440 liter dengan rekanan CV. Sinar Muda Mandiri (CC.SMM). Sesuai Berita Acara Penerimaan Barang (BAPB) No.06/BAPnB/GN-PG/V/2007 tanggal 31 Mei 2007 dan BAPB No.11/BAPnB/GN-PG/V/2007 tanggal 31 Mei 2007 telah diserahterimakan pupuk NPK tablet sebanyak 2.420 Kg dan pupuk kompos sebanyak 15.000 Kg dari Koperasi Berkat Ilahi selaku penyedia barang kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pinrang. Selain itu berdasarkan serta nota pengiriman barang dari CV.SMM juga telah diserahkan barang berupa Herbisida merk Round Up sebanyak 440 liter. Pemeriksaan lebih lanjut atas dokumen kegiatan penyaluran pupuk diketahui bahwa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pinrang telah menyalurkan seluruh pupuk dan herbisida hasil pengadaan tersebut kepada kelompok tani. Penyaluran tersebut terlihat dari : 1. Nota Penyaluran Barang (NPB) tanggal 10 Agustus 2007 yang menyebutkan telah disalurkan pupuk kompos sebanyak 15.000 Kg dan Herbisida sebanyak 100 liter
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
33
kepada Ketua Kelompok Tani Kambirang untuk kegiatan penanaman hutan rakyat seluas 50 ha di Passolengan desa Buttu Sawe Kec. Duampanua. 2. Nota Penyaluran Barang tanggal 11 September 2007 yang menyebutkan telah disalurkan Pupuk NPK Tablet sebanyak 2.420 Kg dan Herbisida sebanyak 340 liter kepada Ketua Kelompok Tani Sipatujue untuk kegiatan penanaman reboisasi seluas 170 ha di Mallang desa Pakeng Kec. Lembang. Pada tanggal 23 September 2007 tim pemeriksa melakukan cek fisik di gudang milik Koperasi Berkat Ilahi dan menemukan Pupuk Kompos sebanyak 15.000 Kg, Pupuk NPK Tablet sebanyak 2.420 Kg dan Herbisida sebanyak 440 liter (hasil pengadaan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pinrang dengan CV. SMM) masih berada di gudang dan belum disalurkan sebagaimana disebutkan dalam nota penyaluran. Menurut pengakuan dari pegawai yang ada bahwa pupuk dan herbisida tersebut dititipkan kelompok tani kepada Kop.BI, tetapi tanpa disertai Berita Acara Penitipan Barang. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Keppres No.42 tahun 2002 sebagaimana terakhir diubah dengan Keppres No.72 tahun 2004 pada pasal 12 (1) yang berbunyi Pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan; 2. efektif, terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan, serta fungsi setiap departemen/lembaga/ pemerintah daerah; 3. mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri. Hal ini mengakibatkan pendistribusian pupuk kompos, NPK tablet dan Herbisida rawan diselewengkan karena Kop.BI juga melakukan penjualan pupuk secara eceran/satuan kepada petani. Masalah tersebut terjadi karena : 1. Perencanaan yang tidak baik. 2. Kurangnya pengawasan dari Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang dalam penyaluran pupuk kompos, NPK tablet, dan herbisida kepada kelompok tani. 3. Pimpinan Pelaksana dengan sengaja membuat dokumentasi penyaluran pupuk proforma. Atas permasalahan tersebut di atas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang menanggapi Pengadaan sarana pupuk dan herbisida kegiatan Gerhan tahun 2007 dilaksanakan dengan penunjukan Kop.BI sudah diserahkan kepada kelompok tani untuk digunakan. Pemanfaatannya belum langsung digunakan sehingga masih dititipkan di gudang Kop.BI yang juga pengadaan sarana tersebut, pertimbangannya : 1. Tidak ada tempat/gudang penyimpanan yang lebih aman selain pada gudang tersebut, Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
34
umumnya petani menyimpan sarana pupuk atau herbisida di bawah/kolong rumah sehingga dari segi keamananya sangat rawan. 2. Pemanfaatan kedua sarana tersebut belum dilaksanakan karena dana upah kerja untuk mengadakan pemupukan dan penyemprotan herbisida belum dicairkan. 3. Pertimbangan musim, apabila pemupukan dilaksanakan diluar yang direkomendasikan yaitu akhir musim hujan atau awal musim hujan tidak akan termanfaatkan oleh tanaman sehingga pemupukan saat musim kemarau sangat beresiko terhadap kematian tanaman. BPK-RI tidak sependapat dengan tanggapan di atas, dari hasil pemeriksaan di gudang penyimpanan milik Kop.BI diketahui penyimpanan sementara pupuk dan herbisida tanpa disertai dengan nota penitipan, nota penitipan yang ada baru dibuatkan oleh pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pinrang setelah adanya temuan pemeriksaan ini. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Pinrang untuk memberikan teguran secara tertulis kepada Kuasa Pengguna Anggaran BA 69 Dishutbun Pinrang agar segera menyalurkan pupuk NPK tablet, kompos, dan herbisida kepada kelompok tani.
Kegiatan
Berdasarkan pedoman kegiatan GN-RHL, kegiatan pemeliharaan tanaman tahun I dapat
Pemeliharaan
dibiayai dari APBN apabila hasil penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI) terhadap
Tanaman GN-RHL
prosentase tumbuh tanaman diatas 55%.
Tahun Pertama yang Tingkat
Pada tahun 2005 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang telah melakukan
Pertumbuhannya
pemeliharaan Hutan Produksi seluas 200 ha di Desa Bittoeng Kec. Duampanua
di Bawah 55%
Kabupaten Pinrang dengan mengadakan bibit gmelina sebanyak 60.000 batang senilai
Dibiayai Dari
Rp48.000.000,00 dan pekerjaan pembuatan tanaman senilai Rp27.170.000,00. Total
APBN Sebesar
biaya pemeliharaan dengan menggunakan anggaran APBN tersebut adalah sebesar
Rp75.170.000,00
Rp75.170.000,00 (Rp48.000.000,00 + Rp27.170.000,00). Berdasarkan hasil penilaian LPI
Tidak Sesuai
diketahui bahwa tingkat pertumbuhan tanaman di lokasi tersebut adalah 25,34% sehingga
Ketentuan.
seharusnya tidak layak untuk memperoleh biaya pemeliharaan tahun I dari APBN. Dengan demikian Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang seharusnya menganggarkan biaya pemeliharaan dari sumber pembiayaan lain seperti APBD. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan: 1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut-V/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2004 bahwa pengadaan bibit tanaman dilakukan oleh instansi BPDAS. 2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.03/Menhut-V/2004 Tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
35
dan Lahan Tahun 2004, Lampiran I Bagian Kedua mengenai Pedoman Pembuatan Tanaman Reboisasi GN-RHL Tahun 2004 bahwa Pemeliharaan Tahun I dan Tahun II dapat dilakukan dengan biaya pemerintah/APBN apabila prosentase tumbuh tanaman ≥ 55 %. Apabila presentase tumbuh kurang dari 55 %, maka pemeliharaan harus dilakukan dengan dana APBD. Pemeliharaan tanaman pada tahun I dan ke II meliputi kegiatan penyulaman, penyiangan, pendangiran, dan pemupukan. Hal
tersebut
mengakibatkan
terjadi
pemborosan
keuangan
negara
sebesar
Rp75.170.000,00.untuk kegiatan pemeliharaan tanaman tahun I Hal tersebut terjadi karena Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pinrang tidak berpedoman pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut-V/2004 dan P.03/Menhut-V/2004 dalam menetapkan wilayah/ areal yang mendapat anggaran pemeliharaan dari APBN, tidak menganggarkan biaya pemeliharaan dari APBD untuk lokasi yang persentase pertumbuhan tanamannya di bawah 55% dan tidak cermat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan GN-RHL/Gerhan di wilayahnya. Atas permasalahan tersebut di atas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang menanggapi di Kec. Duampanua Desa Bettoeng berdasarkan hasil penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI) pada lokasi 200 ha terdapat areal 100 ha dengan persentase tumbuh sehat 61,00%. PerMenhut No. P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 November 2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Gerhan Tahun 2005 Lampiran I bahwa Pemeliharaan Tahun I dan Tahun II dapat dilakukan dengan biaya APBN apabila persentase tumbuh >55% sehingga kegiatan penyulaman dan pemeliharaan dapat dilaksanakan pada lokasi 100 ha dengan persentase tumbuh 61,00% dapat dipahami bahwa kegiatan pembibitan yang dilaksanakan adalah untuk penyulaman dan tidak bertentangan dengan aturan yang ada. BPK-RI tidak sependapat dengan tanggapan di atas, bahwa berdasarkan laporan dari Lembaga Penilaian Independen (LPI) PT. Properindo Jasatama, diketahui bahwa tingkat tumbuh di lokasi penanaman Desa Bettoeng Kec. Duampanua adalah sebesar 25,34 %. Sesuai aturan teknis yang ada, bahwa kegiatan pemeliharaan tahun I dilakukan terhadap lokasi yang tingkat tumbuhnya ≥ 55%. Untuk area dengan persentase 61% hanya 100 ha, sedangkan untuk 100 ha lainnya tingkat tumbuhnya hanya 25,34% sehingga rata-rata tingkat tumbuh tanaman pada kedua area tersebut hanya sebesar 43,17%. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Pinrang untuk mengupayakan tersedianya anggaran APBD Kabupaten untuk pemeliharaan tanaman GN-RHL yang tingkat pertumbuhannya kurang dari 55% serta menegur Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pinrang agar meningkatkan kualitas pelaksanaan dan pengawasan kegiatan GN-RHL di wilayahnya. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
36
Kegiatan
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone pada tahun 2007 telah melaksanakan
Pembuatan
rehabilitasi lahan kritis pada hutan rakyat seluas 25 Ha di lokasi Bulu Kempang, Desa
Tanaman Hutan
Pancaitana, Kecamatan Salomekko, Kabupaten Bone dengan menggunakan anggaran
Rakyat di
GNRHL tahun 2006 yang diluncurkan ke tahun 2007. Kegiatan di lokasi tersebut tidak
Kecamatan
tercantum dalam Rencana Teknik Tahunan (RTT). Dalam Rancangan Teknis (Rantek)
Salomekko
yang merupakan acuan pelaksanaan kegiatan pada lokasi yang akan direhabilitasi
Kabupaten Bone
disebutkan jenis bibit yang digunakan adalah gmelina (jati putih) sebanyak 7.700 batang
Tidak Sesuai
dan mahoni sebanyak 3.300 batang (sudah termasuk untuk sulaman 10%) dengan jarak
dengan
tanam antar bibit 5m x 5m sehingga terdapat tanaman sebanyak 400 batang untuk setiap
Ketentuan.
areal seluas 1 Ha atau sebanyak 10.000 batang untuk areal seluas 25 Ha. Berdasarkan hasil pemeriksaan di lokasi yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa BPK RI pada tanggal 19 September 2007 diketahui hal-hal sebagai berikut : 1. Seluruh tanaman yang ditanam di lokasi tersebut adalah jenis gmelina (jati putih) yang merupakan tanaman kayu-kayuan namun bukan merupakan tanaman unggulan lokal. 2. Jarak tanam bervariasi, ada yang ditanam dengan jarak 2,5m x 2,5m dan disebagian tempat ditanam dengan jarak 5m x 5m. Menurut Ketua kelompok tani tanaman tambahan tersebut merupakan hasil swadaya masyarakat sebanyak 15.000 batang. Namun pada lokasi dekat patok P14 terlihat areal kosong karena sebanyak 1.257 batang (seluas 3,14 Ha) tanaman sebagian dipindahkan keluar lokasi dekat patok P15 dan sebagian lagi digunakan untuk memperkecil jarak tanam di dalam lokasi. 3. Pupuk NPK diterima dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone sebanyak 12 dus (setara 250 kg) dan baru digunakan sebanyak 6 dus. Pupuk yang tersisa tersebut disimpan di rumah ketua kelompok tani dan tidak ada kepastian bahwa sisa pupuk tersebut akan digunakan untuk pupuk tanaman GNRHL. Hal tersebut menunjukkan masih terdapat pelaksanaan kegiatan dilapangan (di Kecamatan Salomekko) yang tidak sesuai dengan aturan rehabilitasi hutan dan lahan. Kondisi ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 sebagaimana diubah terakhir dengan P.23/Menhut-V/2006 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GNRHL Tahun 2005 tentang Perencanaan Teknis Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat yang menyebutkan bahwa : 1. Lokasi kegiatan harus tercantum dalam RTT yang sudah disahkan 2. Komposisi jenis tanaman terdiri dari tanaman kayu-kayuan dan tanaman unggulan lokal minimal 60% dan MPTS maksimal 40%. 3. Pemupukan dilakukan dalam kegiatan penanaman. Hal ini mengakibatkan Lahan kritis seluas 25 Ha di Kabupaten Bone tetap belum direhabilitasi, dan adanya potensi kerugian bila pupuk yang tersisa tidak digunakan untuk
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
37
kegiatan GNRHL, yang terjadi : 1. Pelaksana GNRHL pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone sengaja mengabaikan petunjuk pelaksanaan GNRHL sebagai pedoman penentuan lokasi yang mendapat prioritas untuk direhabilitasi. 2. Kurangnya pengawasan yang di lakukan oleh Pimpinan Kegiatan Lapangan (Pinlak) atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tani. Atas permasalahan di atas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone menanggapi bahwa: 1. Lokasi penanaman di Kelurahan Pancaitana Kecamatan Salomekko tidak masuk dalam Rencana Teknik Tahunan (RTT) tahun 2006, namun direalisasikan penanaman pada lokasi tersebut karena permintaan/animo masyarakat yang sangat tinggi dalam merehabilitasi hutan dan lahan dalam rangka perbaikan lingkungan yang merupakan penyangga wilayah pemukiman di sekitarnya karena setiap tahunnya selalu kekeringan pada musim kemarau. 2. Komposisi jenis tanaman antara kayu-kayuan dan MPTS tidak sesuai ketentuan dan jenis tanamannya berubah dari jenis yang direncanakan dalam Rantek karena adanya permintaan masyarakat dalam bentuk usulan perubahan bibit untuk mengganti mahoni menjadi Gmelina seluruhnya. 3. Jarak tanam yang tidak sesuai ketentuan tersebut karena adanya petani yang menambah tanaman secara swadaya untuk optimalisasi pemanfaatan lahan. 4. Terdapat sisa pupuk yang belum digunakan sebanyak 6 dus karena kondisi curah hujan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pemupukan pada saat itu, sehingga pemupukan ditangguhkan setelah musim hujan tiba (periode Oktober – Desember 2007). Penggunaannya dikontrol dengan surat keterangan penitipan barang/pupuk pada Ketua Kelompok Tani. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Bone menegur Kepala Dinas Kehutanan Kab. Bone supaya mematuhi ketentuan pemilihan lokasi penanaman sesuai dengan prioritas pengurangan lahan kritis serta meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan GNRHL di wilayahnya.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
38
BAB V KESIMPULAN
Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan isu nasional dan internasional yang penting pada saat ini. Berdasarkan laporan Bank Dunia tentang Kondisi Perubahan Iklim di Indonesia disebutkan bahwa Indonesia termasuk penyumbang terbesar Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan. Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan antara lain disebabkan oleh penggundulan dan kebakaran hutan. Disamping dampak terhadap perubahan iklim, pengundulan hutan di Indonesia juga sudah sangat merisaukan karena berdasarkan data Badan Planologi Departemen Kehutanan tahun 2000 laju kerusakan hutan adalah 1,5 s/d 2,8 juta Ha pertahun. Laju kerusakan yang begitu pesat perlu diikuti dengan upaya yang intensif untuk merehabilitasinya. Pemerintah telah berupaya merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan tersebut dengan melakukan program GN RHL dan RHL yang menggunakan DAK DR. Upaya yang dilakukan pemerintah melibatkan juga aparat pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota serta masyarakat di wilayah sekitar hutan dan lahan yang rusak. Hasil Pemeriksaan BPK-RI atas pelaksanaan GN RHL dan RHL dengan DAK DR di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa secara umum upaya pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan Sulawesi Selatan belum berhasil untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Dengan mengingat laju pertambahan kerusakan hutan dan lahan diatas maka ketidakmampuan pemerintah mencapai target rehabilitasi lebih lanjut akan berdampak kepada semakin bertambahnya hutan dan lahan yang rusak di Sulawesi Selatan. Disamping pencapaian target diatas, masih ditemukan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang tidak hemat, tidak efektif, dan melanggar ketentuan mengakibatkan pemborosan keuangan negara sebesar Rp218.390.000,00, kerugian negara sebesar Rp401.235.638,00, dan upaya meningkatkan kualitas DAS Jeneberang Walanae dan Saddang menjadi kurang berhasil, dengan perincian antara lain sebagai berikut : 1. Bibit untuk kegiatan penghijauan sebanyak 35.570 Batang belum diserahkan kepada masyarakat sehingga tidak dapat mendukung tercapainya tujuan kegiatan penghijauan dan berpotensi merugikan negara sebesar Rp143.220.000,00. 2. Kegiatan pemeliharaan tanaman GN-RHL tahun Pertama yang tingkat pertumbuhannya di bawah 55% dan dibiayai dari APBN tidak sesuai ketentuan sehingga terjadi pemborosan keuangan negara sebesar Rp75.170.000,00. 3. Rancangan teknis untuk pembuatan turus jalan belum dibuat sesuai dengan ketentuan sehingga belum dapat dijadikan acuan dalam pembuatan dan evaluasi keberhasilan kegiatan penanaman turus jalan. 4. Pengadaan Pupuk NPK Tablet di Kabupaten Pinrang tahun 2004, 2006 dan 2007 menyalahi ketentuan mengakibatkan harga pengadaan terlalu mahal sebesar Rp149.985.638,00 yang harus disetorkan kembali ke kas Negara.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
39
5. Pengadaan Pupuk organik sebanyak 300 ton di Kabupaten Pinrang pada tahun 2004 menyalahi ketentuan mengakibatkan harga pengadaan terlalu mahal sebesar Rp251.250.000,00 yang harus disetorkan kembali ke kas negara. 6. Pupuk dan herbisida hasil pengadaan tahun 2007 yang telah dibuatkan nota penyaluran kepada kelompok tani masih disimpan di gudang milik Kop.BI sehingga pendistribusian pupuk kompos, NPK tablet dan Herbisida rawan diselewengkan karena Kop.BI juga melakukan penjualan pupuk secara eceran/satuan kepada petani.
Kondisi diatas antara lain terjadi karena pemerintah tidak tegas dalam menentukan lokasi RHL hanya di lokasi yang menjadi prioritas DAS, kurangnya koordinasi dan sosialisasi antar pihak terkait pelaksana RHL dalam melakukan perencanaan RHL, belum memadainya sistem pengendalian dan pengawasan untuk kegiatan RHL dan adanya itikad tidak baik oleh pelaksana kegiatan RHL yang menyebabkan kerugian negara.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
40
Lampiran 1 PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA
NO
URAIAN TEMUAN
SARAN / REKOMENDASI
TINDAK LANJUT
KET/ PENJAB
1
2
3
4
5
BPK RI menyarankan agar : BPDAS Jeneberang Walanae meminta kepada kedua rekanan tersebut segera mengganti bibit tanaman yang tidak sesuai spesifikasi dan apabila sampai dengan berakhirnya musim tanam 2004 – 2005 belum ditindaklanjuti maka supaya mengembalikan pembayaran sebesar Rp. 7.631.250,00 + Rp. 12. 337.500,00 = Rp. 19.968.750,00 untuk disetor ke Kas Negara
Telah dilakukan pengembalian pembayaran oleh kedua perusahaan pengada bibit GN-RHL masing-masing PT. Inhutani I Unit III makasar dan PT. Fajar Agribisnis sebesar Rp. 19.968.750 dan telah disetor ke Kas Negara sesuai bukti setoran SSBP Tanggal 28 Maret 2005 melalui KPPN Makassar
Selesai belum klarifikasi
1
Pengadaan bibit tanaman tidak sesuai dengan spesifikasi tahnis yang ditetapkan. Pengadaan bibit tanaman sebanyak 5.783.589 OLEH pt. Inhutani I dengan kontrak No. 19997/V/BPDAS.J.W.1/2003 ; No. 27/IVB-3/INH-III/MKS/2003 tanggal 9 Oktober 2003 seharga Rp. 7.710.109.000,00 diantaranya sebanyak 1.014.160 batang dialokasikan untuk kabupaten Gowa. Pengadaan bibit tanaman sebanyak 1.014 5.224.736 batang oleh PT Fajar Agribisnis (PT FA) dengan kontrak No. 1998/V/BPDAS.JW.I/2003; No. 169/FA.Drut/GNRHL/X/2003 tanggal 9 Oktober 2003 seharga Rp. 11.264.764,00 diantaranya sebanyak 732.050 batang dialokasikan untuk kabupaten Sidrap. Hasil pengecekan fisik tgl. 19 dan 296 Oktober menunjukan bahwa : Pengadaan bibit oleh PT Inhutani I. Kondisi Bibit tanaman hasil pengadaan PT. Inhutani I di Desa Bulu Ganjeng Kec. Tombolopao Kabupaten Gowa menunjukan bahwa bibity tanaman jenis Gamelyna sebanyak 8.250 batang (seharga Rp. 7.631.250,00) tingginya dibawah 20 cm.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
41
NO
URAIAN TEMUAN
SARAN / REKOMENDASI
TINDAK LANJUT
BPK RI menyarankan agar : Menteri kehutanan berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri untuk mengenakan sanksi terhadap pelaksana GNRHL yang terkait dan memerintahkan penyetoran kelebihan pembayaran ke Kas Negara.
a. Telah dilaksanakan penyetoran kelebihan pembayaran ke Kas Negara atas temuan BPK RI No. LHP.01/Tim/BPK-MKS/11/2004 pada kegiatan pembuatan gubuk kerja dan papan nama masing-masing satu unit sebesar Rp.5.800.000,-. sesuai bukti setoran SSBP Tanggal 14 Januari 2005 melalui KPPN Makassar
KET/ PENJAB
Pengadaan Bibit tanaman oleh PT. FA Kondisi hasl pengaaa bibit tanaman oleh Pt FA di lokasi kelompok tani Pattiro Pasa Desa Bilokka Kabupaten Sidrap menunjukan bahwa bibnit jenis jambu mete sebanyak 5.250 batang ( seharga Rp. 12.337.500,00 ) tinginya dibawah 20 cm.
2
Beberapa pekerjaan dalam kegiatan penanaman bibit tidak dilaksanakan. ALB GNRHL pada Kabupaten GOWA. Dalam rangka peanaman di hutan lindung di Desa Erelembang Kec. Tombolopao, ALB GNRHL telah membuat satu unit gubuk kerja dan satu unit papan naman secara swakelola dengan realisasi biaya sebesar Rp. 5.800.000,00 (Bukti kas No. 826.859,828 dan 884 tangal 27 September 2004 ) Hasil pengecekan fsik tanggal 19 Oktober 2004 didesa tersebut gubuk kerja dan papan naman dimaksud tidak ditemukan dan pinlak telah mengakui bahwa kedua pekerjaan tersebut belum dilaksanakan.
ALB GNRHL pada Kabupaten Bone, Sopeng, dan Sidrap. Penanaman bibit GNRHL di areal hutan rakyat di Kabupaten Bone, Sopeng dan Sidrap dilaksanakan leh tani setempat melalui Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS). Dlam setiap SPKS terdapat komponen biaya angkut dan pemeliharaan bibit sementara dari lokasi TPS ke TPA. Hasil pengecekan fisik tanggal 21 Oktober 2004 di Desa
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
b.1 Dinas Kabupaten Bone telah menyetor kelebihan biaya angkut pemeliharaan bibit sementara dari lokasi TPS ke TPA yang
42
Selesai belum klarifikasi
NO
URAIAN TEMUAN
SARAN / REKOMENDASI
TINDAK LANJUT
Seberang Kec. Lamuru Kab. Bone, tgl 23 Oktober 2004 di Desa Watu kec. Marioriwawe Kab. Sopeng dan tanggal 26 Oktober 2004 di Desa Tepo Kab. Sidrap menunjukan bahwa ternyata ditiga desa tersebut lokasi TPA adalah juga lokasi TPS karena Lokasi TPS berdekatan dengan lokasi penanaman.
tidak perlu diabayarkan sebesar Rp. 8.850.000,- ke Kas Negara sesuai bukti setoran SSBP Tanggal 28 April 2005 melalui KPPN Watampone
Dengan demikian biaya angkut dan pemeliharaan untuk tiga desa tersebut tidak perlu dibayarkan karena telah tersedia upah pengangkutan bibit dari TPA kelubang tanam. Dengan demikian telah terjadi kelebihan pembayaran sebesar Rp. 29.550.000,00 ( Rp. 8.850.000,00 + Rp. 5.700.000,00 + 15.000.000,00 ).
b2. Dinas Kabupaten Sopeng telah menyetor kelebihan biaya angkut pemeliharaan bibit sementara dari lokasi TPS ke TPA yang tidak perlu dibayarkan sebesar Rp. 6.600.000,- ke Kas Negara sesuai bukti setoran SSBP Tanggal 3 Mei 2005 (Rp.5.700.000,-+Rp.900.000,untuk pengembalian kelebihan biaya pemondokan)
ALB GNRHL pada kabupaten Sidrap Dalam rangka penanaman bibit seluas 75 ha di desa Bila Riase Kecamatan Pitu Riase Kabupaten Sidrap, ALB GNRHL pada Dinas Kehutanan Kab. Sidrap menunjuk Kelompok Tani Poda Idi untuk melaksanakannya dengan SPKS No. 16/SPKS/GNRHL/II/2004 Februari 2004 seharga Rp. 129.230.000,00. Komponen biaya dalam SPKS terdiri dari gaji/upah, bahan bahan dan ongkos angkut bibit. SPKS menetapkan gaji/upah sebesar Rp. 100.580.000,00 dengan perhitungan 5.029 HOK x Rp. 20.000,00 (1 HOK=20.000,00). Pekerjaan tersebut telah diselesaikan dan terhadap kelompok tani telah dibayar lunas. Namun hasil pemeriksaan mengungkapkan ternyata ALB GNRHL membayar gaji/upah kepada kelompok tani hanya sebesar Rp. 74.435.000,00 dengan perhitungan 5.029 HOK x Rp. 15.000,00. Kondisi ini menunjukan bahwa ALB GNRHL Kabupaten Sidrap telah bekerja sama dengan kelompok tani Poda Idi untuk
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
Progres Januari 2007 ALB menyatakan bahwa lokasi yang dekat dengan TPS hanya seluas 30 Ha, sehingga dana pengangkutan yang bisa dikembalikan yaitu : 30 Ha x 500 batang x Rp. 150 = Rp.2.250.000. ALB pada tgl. 11 Mei 2006 telah menyetor pengembalian biaya pengangkutan tersebut diatas sebesar Rp. 2.250.000 sesuai SSBP Tanggal 11Mei 2006 melalui KPPN Pare-Pare Progres Januari 2007 (SIDRAP) ALB menyatakan bahwa terdapat dana yang disimpan oleh kelompok tani sebesar Rp. 12.572.500 yang berasal dari pembayaran biaya
43
KET/ PENJAB
NO
URAIAN TEMUAN
SARAN / REKOMENDASI
gaji/upah. Uang tersebut telah dibagikan kepada Anggota kelompok tani pada bulan Nopember 2004 (surat pernyataan terlampir ) Pernyataan Pinlak (Sdr. Guntur) bahwa : Biaya gaji / upah sebesar Rp. 100.580.000 telah masuk dalam rekening Kelompok Tani. Pimpinan Kelompok Tani (Nurdin, P) telah meninggal dunia.
melakukan “ Mark up “ biaya gaji/upah sehingga terjadi kelebihan pembayaran sebesar Rp. 25.145.000,00 ( Rp. 100.580.000,00 – Rp. 75.435.000,00 ). ALB GNRHL paa Kabupaten Sidrap ALB GNRHL pada Dishut dan Perkebunan Kabupaten Sidrap melaksanakan pekerjaan pembuatan Dam pengendali di Desa Talumae Kecamatan Siderang Rappang secara swakelola. Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa seluruh pekerjaan tersebut telah selesai dilaksanakan pada bulan Juli 2004 dan seluruh pengeluaran dana telah dipertanggungjawabkan dengan realisasi sebesar Rp. 100.000.000,00 namun hasil pengecekan fisik tanggal 26 Oktober 2004 ternyata terdapat pekerjaan yang tidak dilaksanakan yaitu pekerjaan gebalan rumput seharga Rp. 3.125.500,00. Akibatnya terjadi kelebihan pembayaran yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 138.020.500 yang disebabkan kesengajaan pihak pelaksana GNRHL kabupaten yang bersangkutan melanggar ketentuan yang berlaku untuk keuntungan pribadi.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
TINDAK LANJUT
Progres Januari 2007 (SIDRAP) ALB menyatakan bahwa pemasangan / penanaman gebalan rumput telah dilaksanakan pada tanggal 6 s/d 24 Desember 2004, dengan volume pekerjaan sebesar 266 M2 senilai Rp. 3.125.000,Pekerjaan dilaksanakan oleh Kelompok Tani Perhutani Desa Talumae, sesuai berita acara penyelesaian pekerjaan tanggal 24 Desember 2004 dan dokumen visual (foto terlampir ).
44
KET/ PENJAB
Lampiran 2 KRONOLOGIS PENGADAAN PUPUK NPK TABLET
1 September
Permintaan untuk menyiarkan Pengumuman Pelelangan No.01/PP-
2004
Gerhan/IX/04 melalui siaran radio RRI Cabang Madya Makassar pada tanggal 3 dan 4 September 2004 jam 10.00 WITA dari Ketua panitia melalui surat No. 01/Gerhan/IX/Hutbun. Pengumuman tersebut tidak secara spesifik menyebutkan jenis barang yang akan diadakan.
8 September 2004
Penunjukan/Penetapan Panitia Pengadaan Barang/Jasa Kegiatan GNRHL oleh Atasan Langsung Bendaharawan (ALB) yang diketahui oleh Atasan Langsung ALB dengan SK.04/GERHAN/HUTBUN/2004 Penunjukan/Penetapan Panitia Pemeriksaan Barang/Bahan dan Peralatan Kegiatan GNRHL oleh Atasan Langsung Bendaharawan yang diketahui oleh Atasan Langsung ALB (dhi. Kadishutbun Kab. Pinrang) dengan SK.05/GERHAN/HUTBUN/2004
10 September 2004
Surat pernyataan minat untuk mengikuti pengadaan dari Ketua Koperasi Perkebunan Berkat Ilahi (Kop.BI) yang menyatakan ”berminat mengikuti proses pengadaan paket pekerjaan/kegiatan pengadaan pupuk NPK tablet sampai selesai” Kop.BI hanya memiliki asset senilai Rp20.637.185,00 per 31 Desember 2004 sedangkan nilai pengadaan sebesar Rp323.352.000,00 Penandatangan Pakta Integritas oleh panitia pengadaan barang dan Ketua Kop.BI
15 dan 16
Undangan untuk mengikuti Aanwijzing dan pembuatan Berita Acara
September
Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing). Dalam aanwijzing baru dijelaskan bahwa
2004
barang yang akan diadakan adalah pupuk tablet NPK.
28 dan 29
Undangan
September
Pemasukan/Pembukaan
2004
yang menyebutkan pemenang akan diumumkan melalui Surat Penunjukan
pembukaan
penawaran Penawaran
dan
Berita
Acara
Hasil
No.02/BA-Pen/gerhan/hutbun/2004
4 Oktober 2004 Berita Acara Hasil Evaluasi Penawaran
No.02/BAEPen/gerhan/
hutbun/IX/2004 yang mengusulkan Kop.BI sebagai calon rekanan untuk seterusnya ditetapkan dengan SK Penunjukan. Surat Keputusan Atasan Langsung Bendaharawan Kegiatan GNRHL Kab Pinrang No.SK.08/GERHAN/HUTBUN/2004 tentang Penunjukan Kop.BI Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
45
sebagai rekanan pengada pupuk NPK yang diketahui Atasan Langsung ALB. Berita Acara Hasil Pelelangan yang mengusulkan 3 calon pemenang I yang ditandatangani oleh panitia pelelangan Surat panitia pelelangan kepada Kuasa Pengguna Anggaran tgl 4 Oktober 2004 perihal Usulan Penetapan Pemenang Pelelangan Pekerjaan Pengada Pupuk NPK Tablet. Surat Kuasa Pengguna Anggaran No.02/KPA/Gerhan/Hutbun kepada panitia pelelangan perihal penetapan pemenang pelelangan pekerjaan pengadaan pupuk NPK Pengumuman pemenang pelelangan barang/jasa pengadaan No.03/PPGerhan/IX/04 yang ditandatangani panitia lelang 5 Oktober 2004
Penandatanganan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan antara ALB Kegiatan GNRHL dengan Ketua Kop.BI dengan diketahui oleh Atasan Langsung ALB. Dalam kontrak diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dari tanggal 5-20 Oktober 2004. Pada klausul lain disebutkan lokasi serah terima barang adalah di gudang yang terletak di ibukota Kabupaten.
20 Oktober 2004
BA Pemeriksaan Barang BA Pembayaran Pekerjaan yang ditandatangani oleh Ketua Kop.BI, ALB dan diketahui Atasan Langsung ALB Diterbitkan kwitansi yang ditandatangani ALB dan Bendaharawan untuk pembayaran pupuk NPK sebanyak 26.961 kg senilai Rp323.532.000,00 kepada Kop.BI
21 Oktober
BAST Barang dari Ketua Kop.BI kepada ALB yang diketahui Atasan
2004
Langsung ALB
14 Desember
Diterbitkan SPP SKOR-DR untuk pembayaran sebesar Rp323.532.000,00 atas
2004
nama Ketua Kop.BI
20 Desember
SSP PPN 10% sebesar Rp29.412.000,00 dan PPH 22 1,5% sebesar
2004
Rp4.411.800,00 atas nama Kop.BI
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
46
Lampiran 3 KRONOLOGIS ADANYA SUB KONTRAK DALAM PENGADAAN PUPUK NPK TABLET
29 Juli 2004
Surat dari PT Tunas Bonanda Jaya No.028/TBJ/VII/2004 perihal Perkenalan pupuk NPK PMLT pullet sekaligus permintaan bantuan pemasaran produk. Surat tersebut ditujukan kepada Ketua Kop.BI yang merupakan bawahan dari Kepala Dinas Kehutanan & Perkebunan Pinrang
19 Agustus 2004
Surat dari PT Tunas Bonanda Jaya No.34/TBJ/VIII/2004 perihal penawaran harga pupuk NPK tablet Rp8.620/kg tidak termasuk PPN diterima di gudang Kop.BI (franco gudang)
5 Oktober 2004
Kontrak antara ALB dengan Ketua Koperasi Berkat Ilahi (BI) yang diketahui oleh atasan langsung ALB.
6 Oktober 2004
Surat Pemesanan pupuk NPK sebanyak 26.961kg dari Kop.BI ke PT
Tunas Bonanda Jaya. 21 Oktober 2004 Sesuai dengan SPK & BAST dari Koperasi BI kepada ALB, barang seharusnya sudah diterima di gudang (yang berada di ibukota Kabupaten). 7 dan 11 Desember Bon pengiriman barang pupuk NPK dari PT Tunas Bonanda Jaya ke 2006 Kop.BI masing-masing sebanyak 11.961kg dan 15.000kg. Dengan demikian, terjadi keterlambatan selama 52 hari yang belum dikenakan denda keterlambatan maksimal. Dalam bon disebut bahwa pengiriman sesuai dengan SPK tanggal 30 September 2004. 27 Desember 2004
Kwitansi pembayaran kepada PT Tunas Bonanda Jaya untuk pembelian pupuk NPK PMLT
sebanyak 26.961kg senilai
Rp232.403.820,00.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
47
Lampiran 4
KRONOLOGIS PENGADAAN PUPUK ORGANIK 6 September 2004
7 September 2004
PT Sinar Arkilen Mandiri menyatakan minat untuk mengikuti proses pengadaan dengan Surat Pernyataan Minat Untuk Mengikuti Pengadaan. Pernyataan minat tersebut mendahului pengumuman lelang dan telah menyebutkan jenis barang (pupuk organik) yang akan diadakan. Penandatanganan Pakta Integritas dalam rangka pengadaan pupuk organik/kompos oleh pengguna barang, panitia pengadaan, dan penyedia barang/jasa (PT Sinar Arkilen Mandiri). Pengumuman Pelelangan No.01/PP-Gerhan/IX/04 melalui siaran radio RRI Cabang Madya Makassar pada tanggal 7 dan 8 September 2004 jam 13.15, 07.15 dan 20.15 Wita. Pengumuman tersebut tidak secara spesifik menyebutkan jenis barang yang akan diadakan dan sama dengan pengumuman untuk pupuk NPK tablet.
8 September
Undangan Pemberian Penjelasan (Aanwijzing) untuk tanggal 9 September 2004 dari
2004
Ketua Panitia Pengadaan melalui Pengumuman No. 522/275.a/Gerhan-Hutbun/2004.
9 September
Permintaan untuk menyiarkan Pengumuman Pelelangan melalui siaran radio RRI
2004
Cabang Madya Makassar pada tanggal 10 dan 11 September 2004 jam 10.00 WITA dari Ketua panitia melalui surat No. No.P.02/Gerhan/IX/Hutbun. Pemberian Penjelasan (Aanwijzing) dengan Berita Acara No.01/B419.D/GerhanHutbun/IX/2004 yang diketahui oleh Atasan Langsung Bendaharawan (ALB) dan disahkan ketua Panitia. Diikuti oleh 3 peserta yaitu: PT. Sinar Arkilen Mandiri, CV.Rafli, dan Koperasi Rimbani. Dalam aanwijzing baru dijelaskan bahwa barang yang akan diadakan adalah pupuk organik.
21
Undangan pemasukaan penawaran dan juga sekaligus pembukaan penawaran
September
untuk tanggal 23 September 2004 dengan Surat No.522/307.a/Gerhan-Hutbun/2004
2004
dari Ketua Panitia Pengadaan.
23
Berita Acara pemasukan dan pembukaan penawaran untuk tanggal 23
September
September 2004 dengan Surat No.01/BA.Pen/Gerhan/Hutbun/2004 dari Ketua
2004
Panitia Pengadaan. Ditetapkan Ketua Panitia pengadaan dan diketahui oleh Atasan Langsung Bendaharawan (ALB) yang menyebutkan pemenang akan diumumkan melalui Surat Penunjukan. Penawaran
Pengadaan
Barang
dari
PT.
Sinar
Arkilen
Mandiri
No.068/SAM/IX/2004. 27
Berita Acara Hasil Evaluasi Penawaran No.02/BAEPen/gerhan/ hutbun/IX/2004
September
yang mengusulkan Kop.BI sebagai calon rekanan untuk seterusnya ditetapkan
2004
dengan SK Penunjukan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
48
Berita
Acara
Hasil
Pelelangan
No.01/BAHP/gerhan/Hutbun/2004
yang
mengusulkan 3 calon pemenang I yang ditandatangani oleh panitia pelelangan. Surat panitia pelelangan No.03/Gerhan/IX/Hutbun kepada Kuasa Pengguna Anggaran tgl 27 September 2004 perihal Usulan Penetapan Pemenang Pelelangan Pekerjaan Pengadaan Pupuk Organik. Surat Kuasa Pengguna Anggaran No.01/KPA/Gerhan/Hutbun kepada panitia pelelangan perihal penetapan pemenang pelelangan pekerjaan pengadaan pupuk Organik. Surat Keputusan Atasan Langsung Bendaharawan Kegiatan GNRHL Kab Pinrang No.SK.07/GERHAN/HUTBUN/2004 tentang Penunjukan PT.Sinar Arkilen Mandiri sebagai rekanan pengada pupuk organik yang diketahui Atasan Langsung ALB. 28
Penandatanganan Surat Perintah Kerja (SPK) No.44/SPK/Gerhan/Hutbun/IX/2004
September
antara ALB Kegiatan GNRHL dengan PT.Sinar Arkilen Mandiri dengan diketahui
2004
oleh Atasan Langsung ALB untuk pengadaan 300 ton pupuk organik padat senilai Rp375.000.000,00. Pelaksanaan pekerjaan adalah selama 17 hari dari tanggal 28 September -14 Oktober 2004. Pemesanan barang sebanyak 300 ton pupuk @Rp1.250,00 (termasuk biaya angkut
ke
lokasi
dan
pajak)
dengan
Nota
pemesanan
No.41/NP/Gerhan/hutbun/2004 dari ALB Gerhan kepada PT Sinar Arkilen Mandiri dengan diketahui oleh Atasan Langsung ALB. 14 Oktober 2004
BA Pemeriksaan Barang No.02/BAPP/Gerhan/Hutbun/ /2004 BAST Barang dari Direktur PT.Sinar Arkilen Mandiri kepada ALB yang diketahui Atasan Langsung ALB untuk SPK No.42/SPK/Gerhan/Hutbun/IX/2004 BA Pembayaran Pekerjaan yang ditandatangani oleh Direktur PT.Sinar Arkilen Mandiri, ALB dan diketahui Atasan Langsung ALB
20 Desember 2006
Dibayar kepada PT.Sinar Arkilen Mandiri dengan SPM-LS No.823851Y/057/110. Pada SPM tertulis pembayaran sesuai SPK No.42/SPK/Gerhan/Hutbun/2004 ( SPK ini merupakan kontrak pengadaan Pupuk NPK Tablet).
20 Desember
SPP PPN 10% sebesar Rp34.090.909,00 dan PPH 22 1,5% sebesar Rp5.113.636,00
2006
atas nama PT.Sinar Arkilen Mandiri
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan
49
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
HASIL PEMERIKSAAN SEMESTER II TAHUN ANGGARAN (TA) 2007 ATAS KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (RHL) DI
PROVINSI JAWA TENGAH AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA IV
Nomor : 03/LHP/XVII/01/2008 Tanggal : 31 Januari 2008
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN EKSEKUTIF ......................................................................................................................
iii
Bab I PENDAHULUAN.............................................................................................................................
1
1.
Dasar Pemeriksaan ........................................................................................................................
1
2.
Tujuan Pemeriksaan ......................................................................................................................
1
3.
Standar Pemeriksaan ......................................................................................................................
1
4.
Sasaran Pemeriksaan .....................................................................................................................
1
5.
Obyek Pemeriksaan ... ....................................................................................................................
1
6.
Cakupan Pemeriksaan ....................................................................................................................
1
7.
Jangka Waktu Pemeriksaan ............................................................................................................
2
8.
Metodologi Pemeriksaan .................................................................................................................
2
9.
Batasan Pemeriksaan ...................................................................................................................
3
10
Kriteria Pemeriksaan........................................................................................................................
3
Bab II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN .......................................................
4
1.
Hutan di Indonesia ............................................................................................................................
4
2.
Kondisi Hutan di Indonesia................................................................................................................
4
3.
Kondisi Hutan dan Lahan di Provinsi Jawa Tengah..........................................................................
6
4.
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan ...........................................................................................
6
5.
Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan ..............................................................................................
8
6.
Upaya Penganggulangan Hutan dan Lahan Kritis ...........................................................................
9
7.
Pembiayaan RHL ..............................................................................................................................
9
8.
Gerakan
(GN-RHL)
9
9.
Anggaran GN-RHL di Jawa Tengah ...................................................................................................
12
10
Realisasi GN-RHL di Jawa Tengah ....................................................................................................
13
11
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan ......................
13
12
DAK-DR di Jawa Tengah ..................................................................................................................
14
13
Sistem Pengendalian Intern RHL ......................................................................................................
14
Bab III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA...................
17
Bab IV HASILPEMERIKSAAN...................................................................................................................
18
Nasional
Rehabilitasi
Hutan
dan
Lahan
..............................................................
1.
Pelaksanaan RHL di Jawa Tengah Belum Dapat Meningkatkan Kualitas Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan.........................................................................................................................................
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
18
2.
Pelaksanaan Penanaman Bibit Di BP-DAS Pemali Jeratun Sebanyak 660 Batang Tidak Sesuai Dengan Kondisi Lahannya..................................................................................................................
3.
Pengadaan Bibit Dengan Menggunakan Dana GN-RHL Untuk Penghijauan Sebesar Rp2.000.000.000,00 Tidak Optimal Untuk Mencapai Tujuan GN-RHL ..............................................
4.
20 22
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Solo Belum Menyerahkan Kegiatan Pembuatan Tanaman Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GN-RHL) ke Pemerintah Daerah .......
KESIMPULAN ............................................................................................................................................
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
24 26
RINGKASAN EKSEKUTIF Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan di Indonesia mempunyai fungsi untuk melestarikan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, melindungi sistem penyangga kehidupan dan memproduksi hasil hutan. Hutan mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Kualitas hutan perlu dipelihara agar dapat berfungsi dengan baik. Kualitas hutan yang buruk seperti kritis dan gundul cenderung mengakibatkan banyak ekosistem yang rusak dan meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dan Instansi terkait lainnya, diketahui luas hutan dan lahan kritis di wilayah Provinsi Jawa Tengah posisi per tahun 2003 adalah seluas 735.259 Ha, sedangkan luas hutan dan lahan 2.195.179 Ha. Hutan dan lahan kritis seluas 735.259 Ha tersebut harus segera direhabilitasi agar dapat berfungsi dengan normal dan dapat mempertahankan serta meningkatkan kualitas DAS. Pemerintah Pusat dan Daerah telah melakukan upaya merehabilitasi hutan dan lahan melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) sejak tahun 2003 s.d. 2007. Kegiatan-kegiatan ini dibiayai dari Dana Reboisasi (DR) yang dipungut dari perusahaan-perusahaan yang melakukan eksploitasi hutan. Jumlah realisasi program GN-RHL di Provinsi Jawa Tengah posisi per tanggal 31 Agustus 2007 adalah seluas 141.569 Ha, sedangkan target program GN-RHL seluas 151.442 Ha. Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) telah melakukan pemeriksaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang dibiayai dengan Dana APBN dan APBD Tahun 2003 s.d. 2007 pada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Pemali Jratun, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pemalang, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kendal, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Solo, Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Wonogiri dan Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar. Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Tahun 2007 dan Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) BPK-RI Tahun 2002. Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai apakah pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah telah sesuai dengan ketentuan, entitas telah menggunakan dana tersebut untuk kegiatan yang sesuai dengan ketentuan, dan kegiatan RHL telah dilaksanakan dengan hemat dan efektif. Sasaran pemeriksaan difokuskan kepada perencanaan RHL, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan kelemahan-kelemahan yang mempengaruhi kinerja pelaksanaan RHL di Provinsi Jawa Tengah, sebagai berikut :
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
iii
Efektivitas Pencapaian Target GN-RHL Realisasi fisik kegiatan GN-RHL yang didanai dari APBN melalui Program GN-RHL Tahun 2003 s.d. 2007 (s.d semester I tahun 2007) hanya mencapai seluas 141.569 Ha. Hal ini berarti bahwa kegiatan RHL belum dapat mengurangi secara signifikan lahan kritis di wilayah Provinsi Jawa Tengah yaitu seluas 735,259
Ha. Pemborosan Penggunaan Dana RHL Ditemukan pemborosan penggunaan dana reboisasi sebesar Rp2.000.000.000,00 yang disebabkan oleh lemahnya perencanaan, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman antara lain pengadaan bibit dengan menggunakan dana GN-RHL untuk penghijauan sebesar Rp2.000.000.000,00 tidak optimal untuk mencapai tujuan GN-RHL sehingga Pemerintah kehilangan kesempatan menggunakan dana tersebut untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas dalam memperbaiki kualitas DAS sekitar dan memitigasi terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan. Kepatuhan Entitas Pengelola Dalam Melaksanakan RHL Entitas pengelola menggunakan dana pemerintah pusat dan daerah untuk merehabilitasi hutan dan lahan tidak sesuai ketentuan antara lain, yaitu : 1.
Pelaksanaan penanaman bibit di BP-DAS Pemali Jratun sebanyak 660 batang tidak sesuai dengan kondisi lahannya sehingga tujuan untuk merehabilitasi hutan dan lahan tidak tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini disebabkan penyuluhan kepada kelompok tani/masyarakat dan pengawasan pelaksanaan kegiatan masih lemah.
2. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Solo belum menyerahkan kegiatan pembuatan tanaman Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) ke Pemerintah Daerah sehingga tidak jelas instansi/pihak yang bertanggungjawab atas kegiatan GN-RHL yang telah selesai masa pemeliharaannya. Hal ini disebabkan Pejabat Pembuat Komitmen tidak memahami peraturan yang berlaku dan pengawasan dari atasan langsung masih lemah. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK-RI menyarankan agar dilakukan perbaikan kinerja di masa mendatang dan segera diambil langkah-langkah tindak lanjut seperlunya sesuai saran/rekomendasi yang dimuat dalam hasil pemeriksaan ini.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penanggung Jawab Pemeriksaan,
HADI PRIYANTO NIP. 240000961
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
iv
BAB I PENDAHULUAN
Dasar Pemeriksaan
Dasar pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah : 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 E; 2. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. 3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia;
Standar Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK-RI Tahun 2007.
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan atas RHL adalah untuk menilai apakah: 1. Pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan Lahan telah sesuai dengan ketentuan; 2. Entitas pengelola menggunakan dana Rehabilitasi Hutan dan Lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah dilaksanakan dengan ekonomis dan efektif untuk mencapai tujuan RHL.
Sasaran Pemeriksaan
Untuk mencapai tujuan pemeriksaan tersebut maka sasaran pemeriksaan diarahkan pada area kunci kegiatan RHL dengan mempertimbangkan resiko manajemen dari sisi ekonomi, efisiensi dan efektivitas serta kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mempertimbangkan resiko tersebut, maka area kunci pemeriksaan diarahkan pada hal-hal berikut: 1. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2. Pengadaan bibit yang dilaksanakan baik secara swakelola, penunjukan langsung maupun pelelangan kepada pihak kontraktor. 3. Pembuatan dan pemeliharaan tanaman baik yang dilakukan secara swakelola maupun oleh Kelompok Tani. Area kunci pemeriksaan tersebut akan disesuaikan dengan perkembangan pemeriksaan di lapangan dan dari waktu ke waktu pada saat pemeriksaan berlangsung.
Obyek Pemeriksaan
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Pemali Jratun, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pemalang, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kendal, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Solo, Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Wonogiri, dan Dinas Pertanian Kabupaten
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
1
Karanganyar. Lingkup Pemeriksaan
Pemeriksaan mencakup TA 2006 s.d. 2007 dan khusus untuk penilaian efektivitas dilakukan terhadap hasil kegiatan periode TA 2003 s.d TA 2007.
Jangka Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan dilaksanakan selama 30 hari, mulai tanggal 4 September 2007 sampai dengan tanggal 3 Oktober 2007 berdasarkan Surat Tugas Anggota/Pembina Auditama Keuangan Neagara IV No.03 /ST/VIII-XIV/08 /2007 tanggal 27 Agustus 2007.
Metodologi Pemeriksaan
Pemeriksaan RHL dilaksanakan dengan menggunakan metodologi pemeriksaan sebagai berikut : 1. Evaluasi dan analisa data dan dokumen yang diberikan oleh Unit Kerja yang diperiksa (Unit Kerja). Pemeriksaan RHL yang dilakukan adalah pemeriksaan atas kegiatan yang telah selesai dilaksanakan oleh unit kerja yang diperiksa (Post Audit). Pemeriksa mendasarkan pemahaman dan pembuktian atas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan oleh Unit Kerja. Berkaitan dengan hal tersebut realisasi pengadaan bibit termasuk jumlah yang sebenarnya diserahkan kepada para petani, realisasi penanaman, pemberian pupuk dan kegiatan lainnya dievaluasi dan direview serta diperiksa hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan. Termasuk dalam hal ini pengujian atas keberhasilan penanaman hanya dilakukan dengan menggunakan data dan dokumentasi laporan hasil penilaian lembaga independen. 2. Pengamatan (observasi) Fisik Kelapangan Sebagai upaya untuk menyakinkan realisasi pelaksanaan rehabilitasi hutan, Pemeriksa juga melakukan uji petik secara sangat terbatas ke lokasi penanaman atau RHL. 3. Wawancara Pemeriksaan juga melakukan pengumpulan informasi terkait kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. 4. Uji Petik (sampling) Pemeriksaan dilakukan tidak atas populasi kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pemeriksaan menggunakan mekanisme sampling dengan memperhatikan faktorfaktor seperti ketersediaan sumber daya manusia dan waktu serta risiko terjadinya ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan serta ketidakpatuhan. Pendekatan uji petik ini dilakukan dalam menentukan Kabupaten/Kota yang akan diuji petik, lokasi hutan dan lahan yang akan diobservasi, dokumen-dokumen yang akan dibahas dan kegiatan-kegiatan yang akan diuji. 5. Sistem Pengendalian Intern Pemahaman dan evaluasi atas efektivitas sistem pengendalian intern dilakukan untuk mengidentifikasikan area kunci, fokus pemeriksaan, daerah yang akan diuji petik dan kegiatan serta dokumen yang akan diuji lebih mendalam. Jika ditemukan kelemahan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
2
terkait dengan sistem pengendalian intern maka akan disajikan dalam laporan sebagai temuan tersendiri dan atau bagian dari penyajian temuan pemeriksaan. Batasan Pemeriksaan
Pemeriksaan RHL ini dilaksanakan dengan batasan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan atas tingkat keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan hanya dilakukan atas laporan hasil penilaian yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh unit kerja. BPK-RI tidak melakukan penilaian secara khusus atas pelaksanaan rehabilitasi lahan. Untuk wilayah yang belum dilakukan penilaian maka BPK-RI tidak menilai tingkat keberhasilan wilayah tersebut. 2. BPK-RI juga tidak melakukan penilaian atas kebenaran metodologi dan mekanisme penilaian lembaga independen penilai keberhasilan RHL. 3. Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tidak dilakukan atas rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan menggunakan dana swasta atau di luar Pemerintah.
Kriteria Pemeriksaan
Kriteria atau standar yang akan digunakan untuk menilai pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di antaranya adalah: 1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 6. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 7. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 8. Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahan-perubahannya; 9. Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No.09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No.Kep16/M.Ekon/03/2003, No.Kep08/ Menko/Polkam/III/2003 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Hidup Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional; 10. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan No.18/Kep/Menko/Kesra/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL;
Rakyat
11. Berbagai Keputusan Menteri Kehutanan tentang Standar Harga Bibit, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Kegiatan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
3
BAB II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
Hutan di Indonesia Status dan Fungsi
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan UU tentang Kehutanan status hutan di Indonesia terbagi dua yaitu : a. Hutan Negara Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat yang ditetapkan statusnya oleh Pemerintah. b. Hutan Hak Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan di Indonesia memegang peranan yang sangat penting baik dari segi ekonomi dan lingkungan hidup. Secara garis besar terdapat tiga fungsi utama hutan, yaitu : a. Fungsi Konservasi Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. b. Fungsi Lindung Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. c. Fungsi Produksi Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sesuai dengan data Departemen Kehutanan, luas hutan di Indonesia adalah sebagai berikut : Tabel 1: Luas Hutan Berdasarkan Fungsi Kawasan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi Terbatas d. Hutan Produksi Tetap e. Hutan Produksi Yang Dapat Di Konversi f. Fungsi Hutan Khusus Jumlah Luas Daratan Kawasan Hutan Jumlah Luas Kawasan Hutan dan Perairan
Luas (Ha)
a.
23.597.991,57 31.782.576,02 21.717.309,26 35.813.616,43 14.057.816,00 7.268,00 123.459.513,58 126.976.577,28
Sumber : Web Site Departemen Kehutanan (Badan Planologi Kehutanan)
Kondisi Hutan Indonesia
Hutan memenuhi dua pertiga dari luas daratan Indonesia (kurang lebih 120 juta hektar). Hutan Indonesia merupakan habitat tempat sepuluh persen spesies tanaman berbunga, dua belas persen spesies mamalia, serta tujuh belas persen spesies burung dan juga tempat jenis palem terbanyak di dunia. Kenyataan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
4
kekayaaan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia. Selama 50 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hingga 40% dari seluruh luas hutannya. Laju degradasi hutan/deforestasi di wilayah Indonesia mencapai 1,5 juta Ha sampai 2,8 juta Ha per tahun1. Meskipun keprihatinan akan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari meluasnya kerusakan hutan tropis, tetap saja tingkat kerusakan hutan dan lahan meningkat dengan drastis. Kerusakan hutan tersebut menimbulkan lahan kritis yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Meningkatnya lahan kritis yang merupakan tanda dari kerusakan hutan dan lahan ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak baik secara nasional maupun internasional. Gambar 1 : Hutan dan Lahan Kritis
Departemen Kehutanan telah melakukan inventarisasi atas indikasi luas hutan dan lahan kritis pada tahun 2000 dan 2003. Hasil inventarisasi menunjukkan laju pertambahan hutan dan lahan kritis yang cukup drastis yaitu 177 % dari semula 56,98 juta Ha di tahun 2000 menjadi 100,6 juta Ha di tahun 2003. Pertambahan hutan lahan kritis terutama terjadi di luar kawasan hutan. Gambar 2 : Grafik Pertambahan Hutan dan Lahan Kritis 2000-2003
Luas (Ha) 70.000.000 60.000.000 50.000.000 40.000.000
Dalam Kawasan Luar Kawasan
30.000.000 20.000.000 10.000.000 2000
2003 Tahun
Sumber: Laporan Updating Database RHL, Departemen Kehutanan, 2006
Berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan hutan dan
1
Baplan Departemen Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
5
lahan yang mengalami kerusakan lebih dari 67,64 juta Ha yang terdiri atas 39,12 juta Ha dalam kawasan hutan dan 28,52 juta Ha di luar kawasan hutan. Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Provinsi Jawa Tengah
Berdasarkan data spatial lahan kritis tahun 2003, luas hutan dan lahan kritis di Provinsi Jawa Tengah mencapai 735.259 hektar yang terdiri dari lahan kritis kawasan hutan seluas 17.187 hektar dan luas lahan kritis di luar kawasan hutan 718.072 hektar, yaitu dengan rincian sebagai berikut: Tabel 2 : Luas Wilayah dan Lahan Kritis di Provinsi Jawa Tengah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Satuan Kerja/Provinsi/ Kabupaten/Kota Brebes Tegal Pemalang Pekalongan Batang Kendal Kota Semarang Demak Jepara Rembang Pati Kudus Grobogan Blora Boyolali Semarang Kota Salatiga Wonogiri Sukohardjo Klaten Karanganyar Sragen Surakarta Jumlah
Luas Wilayah (Ha) 165.773 91.419 101.190 88.109 78.895 100.227 37.367 89.743 100.416 101.410 148.120 42.517 197.585 179.440 101.507 94.686 5.796 182.236 46.666 65.556 77.379 94.181 4.961 2.195.179
Lahan Kritis (Ha) Dalam Luar Kawasan Kawasan NA 50.041 NA 27.869 NA 38.291 NA 27.652 NA 25.357 NA 43.959 NA 14.973 NA 15.316 NA 48.029 NA 22.715 NA 86.539 NA 6.525 NA 49.924 NA 41.515 NA 37.407 NA 57.290 NA 700 8.797 47.447 121 17.142 851 6.357 3.430 24.924 3.988 28.071 29 17.187
718.072
Jumlah (Ha)
%
50.041 27.869 38.291 27.652 25.357 43.959 14.973 15.316 48.029 22.715 86.539 6.525 49.924 41.515 37.407 57.290 700 56.244 17.263 7.208 28.354 32.059 29
30,20 30,50 37,84 31,36 32,14 43,86 40,00 17,00 47,83 22,40 58,43 15.35 25,27 23,14 36,86 60,51 12,08 30,86 36,99 11,00 36,65 34,04 0,58
735.259
33,54
Sumber data : BP-DAS Pemali Jratun dan BP-DAS Solo
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan
Kerusakan hutan dan lahan merupakan masalah yang serius yang jika tidak ditangani dengan baik dan serius akan menimbulkan dampak yang besar bagi perekonomian dan lingkungan. Kerusakan hutan dan lahan pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab baik yang disebabkan oleh ulah manusia dan alam. Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Penebangan hutan (produksi hutan) tanpa upaya rehabilitasi yang optimal. Pemberian Ijin Hak Pengusahaan Hutan kepada perusahaan-perusahaan mendorong kegiatan pemanfaatan potensi hutan seperti kayu. Pemberian ijin pengusahaan hutan ini seyogyanya diikuti juga dengan upaya rehabilitasi atau upaya-upaya lainnya yang menjamin kelestarian hutan di wilayah ijin pengusahaan hutan. Ketimpangan antara upaya pelestarian dan produksi telah meningkatkan pengundulan dan kerusakan hutan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
6
Tabel 3 : Jatah Produksi Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam Tahun 2003 – 2005 No.
Tahun Produksi
Jatah Produksi (M3)
1.
2003
6.892.000
2.
2004
5.743.759
3.
2005
5.456.470
Jumlah
18.092.229
Sumber : SK Dirjen BPK No. 02/Kpts/VI-PHA/2003, No. 47/Kpts/VI-PH/2003 dan No 195/VI-BPHA/2004
Lemahnya pengawasan lapangan terhadap penebangan resmi juga memberikan andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal kriteria Departemen Kehutanan mengenai Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI) sebenarnya sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang telah dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. Kriteria itu tidak berjalan akibat lemahnya pengawasan,” kata Soekotjo2. 2. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan/atau lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan/atau hasil hutan. Kebakaran hutan ini telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar. Kebakaran hutan dan lahan terjadi baik karena ulah manusia maupun karena faktor alam. Kebakaran hutan dapat disebabkan karena ulah masyarakat dan atau pengusaha yang membutuhkan lahan untuk areal pemukiman dan atau pertanian/perkebunan. Masyarakat dan pengusaha membuka lahan atau melakukan pembersihan lahan (land clearing) dengan cara membakar lahan yang berpotensi merusak lingkungan, menambah kerusakan hutan dan mencemari udara. Selain karena pembukaan hutan, kebakaran hutan juga disebabkan oleh ulah manusia yang membakar sampah dan membuang puntung rokok sembarangan di areal hutan dan lahan serta kondisi lahan yang terbuka sehingga memudahkan terjadinya kebakaran pada waktu musim kemarau yang sangat panas dan lama. Kebakaran hutan dan lahan karena musim kemarau yang sangat panjang dan panas ini banyak terjadi pada lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Doktor Soekotjo, kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1997, membuat hampir 70% hutan terbakar. 3 3. Illegal Logging Penjarahan hutan masih tetap berlaku dan terus berlangsung hingga sekarang. Illegal logging terjadi antara lain karena adanya ketimpangan pasokan dan permintaan, lemahnya penegakan hukum, dan masalah kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Illegal logging meningkatkan proses pengundulan dan kerusakan hutan.
2 3
Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia. Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
7
Tabel 4 : Perbandingan antara pasokan dan kebutuhan kayu tahun 1999 Kebutuhan dan Produksi Kayu
Volume (Juta M3)
Kebutuhan Kayu Bulat (1999) a. Industri Terkait HPH b. Industri tidak Terkait HPH Total Kebutuhan per tahun
41,09 17,15 58,24
Produksi Kayu Bulat (1995 – 1999) Produksi Rata-rata pertahun
25,36
Kesenjangan produksi dan kebutuhan
32,88
Sumber : Rencana Strategic Departemen Kehutanan dan Perkebunan 2001-2005 (Pusat Data dan Perpetaan, Baplan, tahun 2000)
Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Lantaran hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar. 4. Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk mendorong munculnya kebutuhan akan lahan untuk areal pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kebutuhan akan sumber pangan dan bahan baku industri (CPO dan komoditi lainnya) meningkatkan peralihan fungsi hutan menjadi lahan-lahan non kehutanan. Hal inilah yang meningkatkan jumlah pengundulan hutan dan kerusakan hutan dan lahan. Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan
Kerusakan hutan dan lahan akan mengakibatkan antara lain: 1. Rusaknya fungsi konservasi dari hutan telah menimbulkan punahnya keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Harimau Sumatera dan Orangutan di Kalimantan Tengah telah menjadi spesies yang paling langka di dunia. 2. Rusaknya fungsi lindung dari hutan telah mengakibatkan : a. Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau; b. Terjadinya arus permukaan tanah (run-off) pada waktu musim hujan yang dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Bencana ekologi tersebut telah menimbulkan kerugian nasional yang besar berupa kerusakan infrastruktur, berbagai aset pembangunan serta terganggunya tata kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan menyebabkan kemiskinan masyarakat. c. Penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3.
Rusaknya Fungsi Produksi dari hutan telah menurunkan kesuburan tanah yang mengakibatkan turunnya produktivitas lahan dan produksi pertanian menyebabkan turunnya kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
8
Khusus untuk kondisi sumber daya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan hutan dan lahan akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor. Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan menjadi kurang optimal. Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis
Pemerintah telah berupaya untuk menghutankan kembali lahan kritis dengan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan/RHL (reboisasi/penghijauan) yang meliputi antara lain: 1. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) yang pembiayaannya berasal dari Dana Bagian Anggaran 69 APBN. 2. Program lain yang diupayakan oleh Pemerintah Daerah seperti Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) APBD.
Pembiayaan RHL
Pembiayaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperoleh dari Dana Reboisasi yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang Berupa Kayu untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. Dana Reboisasi tersebut disetorkan ke Bendaharawan Penerimaan DR di Departemen Kehutanan oleh Para Pemegang Ijin yang selanjutnya akan disetorkan ke rekening Pemerintah Pusat Khusus Dana Reboisasi. Berdasarkan jumlah yang diperoleh, Pemerintah Pusat membagi DR tersebut sebesar 60% menjadi bagian Pemerintah Pusat dan 40% menjadi bagian daerah penghasil. Pemerintah Pusat menggunakan bagian DR sebesar 60% tersebut antara lain untuk melaksanakan kegiatan GN-RHL. Sedangkan bagian DR untuk daerah penghasil sebesar 40% disalurkan dengan cara atau mekanisme DAK-DR/DBH DR.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)
Pemerintah perlu melakukan kegiatan rehabilitasi untuk dapat mencegah laju pertambahan luas hutan dan lahan kritis tersebut. Sampai dengan tahun 2003, Pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan skema keproyekan. Namun kegiatan RHL tersebut selalu menghadapi kendala, baik ketidaktersediaan dana yang cukup maupun kendala teknis dan sosial. Hal tersebut yang mengakibatkan Pemerintah, sejak tahun 2003 melakukan perubahan skema RHL dengan menggunakan skema Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). GN-RHL melibatkan seluruh stakeholders kehutanan di berbagai jenjang pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan mencakup kawasan hutan dan lahan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No.09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No.16/M.Ekon/03/2003, No.Kep.08/Menko/Polkam/III/2003, tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (TKPLRRN), Pemerintah telah membentuk TKPLRRN yang akan melaksanakan GN-RHL. Berdasarkan Lampiran Keputusan Menko Kesra/Ketua TKPLRRN No. 18/Kep/MENKO/KESRA/X/2003 sasaran rehabilitasi hutan dan lahan 5 tahun (2003 – 2007) dari GN-RHL adalah seperti di tabel berikut :Tabel 5 : Sasaran Rehabilitasi Hutan dan Lahan 5 Tahun Tahun 2003 2004 2005
Area Target (Ha) 300.000 500.000 600.000
Prosentase (%) 10,00% 16,67% 20,00%
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
9
2006 2007 Total
700.000 900.000 3.000.000
23,33% 30,00% 100,00%
GN-RHL ini dibiayai dari APBN dan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehinga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Sasaran program dan luas GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Sasaran Program. a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. c. Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL. d. Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL. 2. Sasaran Luas. Sasaran luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap. Ruang lingkup kegiatan dan wilayah GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Lingkup Kegiatan. Ruang lingkup kegiatan GN-RHL ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu : a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan adalah meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum. b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi adalah meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dan penahan, gully plug, pembuatan teras (terasering), sumur resapan, grass barrier, dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan. 2. Lingkup Wilayah. Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani. Rencana lokasi dan luas sasaran disusun berdasarkan kriteria fisik dengan sistem skor dan pertimbangan manajemen daerah, yaitu : Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
10
1. Kriteria Fisik : a. DAS Prioritas (SK Menhut No. 284 tahun 1999). b. Indikasi hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. c. Daerah rawan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. d. Bangunan vital (waduk/bendung/danau) yang perlu dilindungi. e. Khusus untuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai, mempertimbangkan kriteria kerusakan hutan mangrove dan hutan pantai serta kerawanan bencana abrasi atau tsunami. 2. Syarat : Kriteria fisik tersebut harus dimasukkan ke dalam Rencana Teknik Tahunan yang disusun oleh Dinas/Instansi Kehutanan Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah. 3. Pertimbangan Manajemen a. Kinerja RHL Daerah. b. Kelembagaan dan Komitmen di daerah. c. Sumber dana RHL lainnya di daerah. 4. Pertimbangan khusus bagi Daerah Kabupaten tertinggal. Rencana lokasi memperhatikan saran pertimbangan inter-departemen yaitu Departemen Pekerjaan Umum / Kimpraswil, Kelautan dan Perikanan, Pertanian. Alokasi tahunan secara nasional didasarkan atas proporsi luas areal indikatif hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP-DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003-2007), dengan mempertimbangkan kriteria rencana lokasi pusat dan kondisi terakhir lahan kritis DAS. Mengacu kepada rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan RTT Kabupaten/Kota disusun berdasarkan pada nilai skor kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi Kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi dengan memperhatikan sasaran GNRHL/Gerhan nasional tahun yang bersangkutan. Dalam menentukan alokasi sasaran (jenis kegiatan dan volume), mempertimbangkan : 1. Kinerja pelaksanaan GN-RHL tahun sebelumnya. 2. Kelembagaan dan komitmen daerah. 3. Sumber dana lainnya (Bagi Hasil/DAK-DR) dan, 4. Pertimbangan khusus daerah Kabupaten/Kota tertinggal yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Sistem Perencanaan GN-RHL berdasarkan Pedoman Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2005 adalah mengacu kepada kaidah teknis perencanaan RHL, dengan hirarkhi yaitu Pola Umum, Rencana Teknis RHL Lima Tahun, Rencana Teknik Tahunan (RTT) serta Rancangan Teknis Kegiatan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
11
Gambar 3 : Hirarkhi Perencanaan GN-RHL
Anggaran GNRHL di Jawa Tengah
Pola Umum RHL
Rencana RHL 5 Tahun
Rencana Teknik Tahunan (RTT)
Ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan Kep No. 20/Menhut-V/2000
Penanganan DAS/Sub DAS, Sasaran Indikatif, Rawan Bencana dan Perlindungan bangunan vital DAS.
Rencana Fisik Pembuatan tanaman dan bangunan konservasi tanah dan air setiap tahun pada satu atau lebih DAS yang berada dalam wilayah Kab/Kota.
Kegiatan RHL dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Bagian Anggaran (BA) 69 dari Departemen Keuangan. Jumlah anggaran RHL dan realisasinya dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 (Semester I) di Provinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut: Tabel 6 : Anggaran dan Realisasi kegiatan RHL No. A. 1.
4.
Kegiatan BP-DAS Pemali Jratun Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pekalongan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kab. Tegal Dinas Pertanian Kab. Semarang Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kab. Boyolali Kantor Kehutanan Kabupaten Blora Dinas Tanaman Pangan, Kehutanan dan Perkebunan Kab. Grobogan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kab. Batang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pati Dinas Pertanian Kehutanan dan Konservasi Tanah Kab. Brebes Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Jepara Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kab. Pemalang Kegiatan Dinas Pertanian Kota Semarang Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab. Kendal Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Rembang Jumlah A BP-DAS Solo Dinas Pertanian Kab. Karanganyar Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Kehutanan Kab. Wonogiri Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab. Klaten Dinas Lingkungan Hidup Kab. Sukoharjo
5.
Dinas Kehutanan Kab. Sragen
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. No. 12. 13. 14. B. 1. 2. 3.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
Anggaran (Rp)
Realisasi (Rp)
100.497.712.000,00 5.672.000,000,00
24.429.749.251,00 3.763.176.720,00
6.908.712.000,00
3.388.638.650,00
17.837.203.500,00 13.159.810.000,00
12.169.387.000,00 9.945.216.725,00
14.301.806.400,00 9.482.400.000,00
11.744.599.395,00 7.417.430.000,00
9.095.288.000,00
4.519.603.340,00
13.179.650.000,00
9.189.478.700,00
12.983.822.000,00
7.037.559.900,00
14.776.859.000,00
9.594.671.450,00
9.920.887.000,00
6.009.417.000,00
Anggaran (Rp)
Realisasi (Rp)
7.787.452.160,00 10.903.867.000,00
4.269.839.325,00 4.735.886.600,00
12.707.532.500,00
4.622.294.125,00
259.215.001.560,00 198.088.240.000,00 16.094.482.100,00 45.986.001.500,00
122.836.948.181,00 92.999.074.812,00 9.269.286.225,00 29.416.203.000,00
10.871.426.500,00
7.188.688.000,00
17.896.849.500,00
9.155.335.000,00
19.755.070.000,00
11.990.179.000,00
12
6.
Dinas Pertanian Kota Surakarta Jumlah B Jumlah A + B
75.026.000,00 308.767.095.600,00 567.982.097.160,00
65,000.000,00 160.083.766.037,00 282.920.714.218,00
Sumber data : DIPA dan Penyerapan Anggaran TA 2003 s.d 2007(Semester I)
Realisasi GNRHL di Jawa Tengah
Tingkat pencapaian fisik kegiatan RHL yang bersumber dari dana GN-RHL TA 2004 s.d. 2006 di Provinsi Jawa Tengah masih rendah sebagaimana dimuat dalam daftar berikut : Tabel 7 : Rencana dan Realisasi Fisik Kegiatan RHL No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Satuan Kerja/Provinsi/ Kabupaten/Kota Brebes Tegal Pemalang Pekalongan Batang Kendal Kota Semarang Demak Jepara Rembang Pati Kudus Grobogan Blora Boyolali Semarang Kota Salatiga Wonogiri Suhardjo Klaten Karanganyar Sragen Surakarta Jumlah
Rencana (Ha) Dalam Luar Kawasan Kawasan 50.041 27.869 38.291 27.652 25.357 43.959 14.973 15.316 48.029 22.715 86.539 6.525 49.924 41.515 37.407 57.290 1.700 22,476 17,142 4.369 10,300 10,536 29 659,954
Realisasi (Ha) Dalam Luar Kawasan Kawasan 8.275 5.550 7.725 8.575 8.425 7.600 2.626 3.285 8.070 8.469 10.610 2.995 12.864 10.531 10.825 11.534 1.685 19,491 6,189 3,749 6,150 8,121 25 173.369
% 16,54 19,91 20,17 31,01 33,23 17,29 17,54 21,45 16,80 37,28 12,25 45,90 25,77 25,37 28,94 20,13 99,12 86,72 36,10 85,81 59,71 77,08 86,21 26,270
Sumber data : BP-DAS Pemali Jratun dan BP-DAS Solo
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Pada tanggal 3 September 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 89 tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Berkaitan dengan keluarnya peraturan baru ini maka terdapat beberapa perbedaan yang signifikan bagi penunjangan keberhasilan program GN-RHL. Perubahan-perubahan tersebut adalah antara lain : 1. Penyelenggaraan Gerhan a. Penyelenggaraan Gerhan berdasarkan prinsip sistem silvikultur dan tahun jamak (multi years). b. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di kawasan hutan yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara kontraktual yang berbasis tahun jamak (multi years) dengan menggerakkan potensi badan usaha nasional dan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
13
daerah serta melibatkan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. c. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di daerah tertentu dalam kawasan hutan dengan mempertimbangkan kondisi tertentu dari aspek keamanan, yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola berbasis tahun jamak (multi years) melalui Operasi Bakti Tentara Nasional Indonesia. d. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di luar kawasan hutan yang di biayai APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola yang berbasis tahun jamak (multi years) melalui SPKS dengan kelompok tani dengan menggerakkan potensi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pembiayaan untuk menyelenggarakan Gerhan bersumber pada APBN dan APBD, Dana Reboisasi dan/atau sumber-sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. DAK-DR Jawa Tengah
Pemerintah tidak mengalokasikan Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) di Provinsi Jawa Tengah.
Sistem Pengendalian Intern RHL
RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pada periode 2003 – 2007, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan sumber dana yang berasal dari BA 69 (Pembiayaan Lain-Lain) yaitu GN-RHL. GN-RHL adalah suatu kegiatan terkoordinasi yang mendayagunakan segenap kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai. Mekanisme perencanaan, realisasi dan pelaporan anggaran BA 69 menggunakan mekanisme anggaran Pemerintah. Organisasi yang terlibat dalam kegiatan GN-RHL adalah unit-unit kerja Departemen Kehutanan di daerah seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan unit-unit teknis kehutanan yang terkait milik Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota. BP-DAS mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan bibit secara terpusat bagi keperluan seluruh kegiatan rehabilitasi di wilayah yang menjadi wewenangnya. BP-DAS juga mempunyai fungsi untuk menetapkan hutan dan lahan kritis di wilayah kerjanya yang akan menjadi prioritas kegiatan GN-RHL. Pelaksanaan rehabilitasi lahan diserahkan kepada unit-unit kerja Kehutanan di Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan melibatkan kelompok-kelompok tani dan masyarakat. Khusus yang terkait dengan rehabilitasi di kawasan hutan konservasi dilakukan oleh UPT Departemen Kehutanan yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan untuk kawasan hutan lindung dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat. Berdasarkan hasil pemahaman, evaluasi dan review terhadap Sistem Pengendalian Intern Rehabilitasi Hutan dan Lahan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Organisasi
Kegiatan RHL melibatkan dua organisasi Pemerintah Pusat dan Daerah yaitu Departemen Kehutanan beserta UPT-UPT nya di daerah dan Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
14
Organisasi yang berbeda ini cenderung mempersulit untuk melakukan koordinasi pelaksanaan RHL di lapangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan kegiatan-kegiatan RHL yang menjadi tidak efektif, pengadaan bibit dan penentuan lokasi rehabilitasi yang tidak sesuai dengan kondisi ekologis dan lingkungan areal yang akan di rehabilitasi. Anggaran
Kebijakan
Anggaran RHL untuk Provinsi Jawa Tengah berasal dari BA 69 berupa Program GN-RHL yang menggunakan mekanisme APBN, BA 69, dan Sumber Dana Lainnya. Masing-masing anggaran ini mempunyai mekanisme angaran yang berbeda, BA 69 menggunakan mekanisme APBN, dan Sumber Dana Lainnya menggunakan mekanisme APBD. GN-RHL dilakukan berdasarkan kebijakan Pemerintah Pusat melalui GN-RHL. Pemerintah Pusat membuat berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan kegiatan GN-RHL dengan mengacu kepada UU No. 5 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 22 tahun 1999 jo UU No.32 tahun 2004, UU No. 41 tahun 1999, PP No. 68 tahun 1998, PP No. 25 tahun 2000, PP No. 34 tahun 2002, PP No. 35 tahun 2002, Keppres RI No. 102 tahun 2001, Keppres RI No. 228 tahun 2001. Keppres RI No. 80 Tahun 2003 dan SKB Menko Kesra, Menko Perekonomian dan Keuangan dan Menko Bidang Politik dan Keamanan. Berdasarkan hasil pemeriksaan, tim pemeriksa menemukan lemahnya kebijakan perencanaan dalam penentuan lahan dan hutan yang akan direhabilitasi. Hal ini diketahui dari adanya kegiatan-kegiatan RHL yang dilakukan di lokasi yang tidak berhubungan dengan fungsi DAS seperti kegiatan penghijauan di wilayah yang bukan hutan kota dan turus jalan.
Perencanaan
Prosedur Kerja
Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan mengarah pada tujuan untuk memulihkan hutan dan lahan dalam rangka perbaikan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan mendasarkan pada masing-masing kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya penyusunan rencana RHL dilaksanakan secara terpadu dari atas dan dari bawah (top down and bottom up planning). Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP-DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003 – 2007). Mengacu kepada Rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Kabupaten/Kota disusun berdasarkan kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi Kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi. Dengan mendasarkan pada RTT, disusun Rancangan Teknis Kegiatan (Rantek) yang memuat kegiatan teknis secara rinci (bestek) dari setiap komponen pekerjaan yang meliputi rancangan pekerjaan fisik, anggaran dan tata waktu. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan GN-RHL, Menteri Kehutanan telah menerbitkan Pedoman Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan, antara lain : a. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V//2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GN-RHL tahun 2004; b. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2005; c. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.81/Menhut-V/2006 tentang Penyelenggaraan dan Sasaran Kegiatan GN-RHL Tahun 2006;
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
15
d. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiata GN-RHL Tahun 2007. Dalam Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan tersebut telah diatur mengenai pelaksanaan penyediaan bibit, pembuatan tanaman reboisasi hutan lindung dan hutan produksi, pembuatan tanaman hutan rakyat, pembuatan tanaman penghijauan kota, pembuatan tanaman turus jalan dan pembuatan bangunan konservasi tanah serta pelaksanaan penilaian kinerja kegiatan GN-RHL. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan ketidakpatuhan terhadap prosedur kerja yang ada dan lemahnya pengawasan secara berjenjang dari atasan pelaksana di lapangan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
16
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA
Pemantauan Tindak Lanjut
BPK-RI selama periode tahun 2003 s.d 2006 belum melakukan pemeriksaan atas Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di Provinsi Jawa Tengah maupun kegiatan RHL di Kabupaten/Kota se-provinsi Jawa Tengah yang dananya bersumber dari APBN atau APBD.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
17
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN
Pelaksanaan RHL di Jawa Tengah Belum Dapat Meningkatkan Kualitas Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan
Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas kawasan hutan dan lahan yang dapat mendukung lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo dan Pemali Jratun, Pemerintah melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan dibiayai dari APBN. Kegiatan rehabilitasi tersebut merupakan bagian dari kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) yang dilaksanakan dalam kurun waktu 2003 – 2007 oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan BP-DAS dan Unit Teknis Pemerintah Daerah. Berdasarkan peta indikasi lahan kritis tahun 2004, kedua DAS tersebut memiliki lahan kritis seluas + 664.948 Ha (4.109 Ha berada di dalam kawasan hutan dan 660.839 Ha di luar kawasan hutan). Untuk merehabilitasi lahan kritis tesebut Departemen Kehutanan setiap tahun menetapkan target rehabilitasi untuk setiap provinsi. Selama kurun waktu tahun 2003 – 2007 target rehabilitasi GN-RHL Provinsi Jawa Tengah adalah seluas 151.442 Ha dengan rincian : Tahun
Target (Ha)
2003
NA
2004
85.300
2005
29.875
2006
8.660
2007
NA
Jumlah
123.835
Berdasarkan data Laporan Perkembangan Gerhan Tahun 2003 – 2007 diketahui tingkat rehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah kerja BP-DAS Bengawan Solo dan Pemali Jratun mencapai 141.569 Ha atau mencapai 93,48% dari target rehabilitasi lahan kritis GN-RHL yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. TARGET - REALISASI GNRHL Sisa Target 9.873 Ha (6,52%)
Realisasi 141.569 Ha (93,48%)
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
18
Namun bila dibandingkan dengan luas lahan kritis keseluruhan, maka rehabilitasi yang telah dilakukan dengan GN-RHL di Jawa Tengah hanya mencapai 21,29%. LAHAN KRITIS DAN REHABILITASI
800,000 600,000 400,000
664.948
200,000
141.569
0 Lahan Kritis
RHL
Penetapan target GN-RHL yang terlalu kecil yaitu sebesar 151.442 Ha bila dibandingkan dengan luas lahan kritis seluas 664.948 Ha akan mengakibatkan tidak seluruh lahan kritis dapat direhabilitasi dengan GN-RHL. Dari 23 (dua puluh tiga) Kabupaten di Jawa Tengah, lahan kritis yang paling luas ditemukan di Kabupaten Wonogiri yang merupakan daerah hulu DAS Bengawan Solo yaitu seluas 56.244 Ha. Dengan luas lahan kritis yang masih tinggi pada daerah hulu, maka luas wilayah tangkapan air di daerah hulu sungai akan semakin sempit sehingga meningkatkan risiko terjadinya bencana seperti banjir. Data lahan kritis pada setiap Kabupaten terdapat pada Bab 2. Di samping itu diketahui juga bahwa pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Jawa Tengah hanya dilakukan oleh Departemen Kehutanan dengan program GN-RHL. Dengan hanya mengandalkan GN-RHL maka Pemerintah tidak akan mampu meningkatkan kualitas hutan dan lahan kritis di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan perlu mengoptimalkan upaya pembangunan kapasitas masyarakat di lingkungan lahan-lahan kritis sehingga dapat berperan lebih aktif untuk merehabilitasi lahan kritis di wilayahnya tersebut. Hal tersebut tidak sesuai dengan Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nomor:18/KEP/MENKO/KESRA/X/2003 tanggal 3 Oktober 2003 Butir C Point (1) Sasaran Program ; yaitu : 1. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. 2. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. 3. Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL 4. Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL. Point (2) Sasaran Luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
19
Kondisi lahan kritis yang belum direhabilitasi tersebut jika tidak segera ditangani akan mengakibatkan terjadinya hal-hal sebagai berikut : 1. Kualitas Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo dan Pemali Jratun menjadi menurun sehingga berpotensi meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. 2. Kualitas hutan dan lahan yang kritis dan tidak direhabilitasi akan semakin kritis dan sulit untuk di rehabilitasi. Hal tersebut terjadi karena : 1. Target yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan terlalu kecil sehingga tidak dapat merehabilitasi luas lahan kritis secara maksimal. 2. BP-DAS dan Dishut Kabupaten/Kota kurang optimal melakukan pembangunan kapasitas penduduk atau masyarakat agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan penduduk untuk menjaga hutan dan merehabilitasi hutan dan lahan. BPK-RI menyarankan Departemen Kehutanan agar mengoptimalkan upaya untuk membangun kapasitas penduduk dan masyarakat di wilayah-wilayah lahan kritis agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk kelompok masyarakat untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis. Pelaksanaan Penanaman Bibit di BP-DAS Pemali Jratun Sebanyak 660 Batang Tidak Sesuai Dengan Kondisi Lahannya
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Pemali Jratun Tahun 2006 telah melaksanakan pengadaan bibit untuk kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di wilayah Jawa Tengah, antara lain untuk Kabupaten Pemalang dengan jumlah bibit sebanyak 594.000 batang senilai Rp1.488.920.000,00. Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pemalang telah menyerahkan bibit sesuai Berita Acara Serah Terima tanggal 10 Pebruari 2007 kepada kelompok tani Maju Tani I Desa Tlagasana Kecamatan Watukumpul sebanyak 11.000 batang senilai Rp13.852.500,00, terdiri dari: 1) 2) 3) 4)
Albasia sebanyak 4.500 batang, Jati sebanyak 4.500 batang, Durian sebanyak 1.000 batang, Pete sebanyak 1.000 batang,
@ Rp675,00 sebesar Rp3.037.500,00 @ Rp1.240,00 sebesar Rp5.580.000,00 @ Rp2.995,00 sebesar Rp2.995.000,00 @ Rp2.240,00 sebesar Rp2.240.000,00
Bibit tanaman tersebut telah ditanam di kawasan hutan rakyat seluas 25 Ha pada bulan April 2007 oleh kelompok tani Tani Maju 1. Hasil pengecekan fisik tanaman secara uji petik di Desa Tlagasana Kecamatan Watukumpul diketahui bahwa : 1) Petak 7 lahan milik Tolani seluas 0,5 Ha ditanami bibit GN-RHL sebanyak 220 batang, terdiri dari : No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Bibit Albasia Jati Durian Pete
Jumlah (batang) 90 90 20 20
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
Hidup
Mati
90 78 7 8
12 13 12
20
2) Petak 1 lahan milik Sugiri seluas 1 Ha ditanami bibit GN-RHL sebanyak 440 batang, terdiri dari : No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Bibit Albasia Jati Durian Pete
Jumlah (batang) 180 180 40 40
Hidup
Mati
107 68 15
73 112 40 25
Hasil wawancara dengan kelompok tani Maju Tani I dan Petugas Penyuluh Kehutanan Lapangan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pemalang diketahui bahwa bibit pete dan durian tidak cocok ditanam di Desa Tlagasana Kecamatan Watukumpul Kabupaten Pemalang. Hal tersebut tidak sesuai dengan Permenhut No. 33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 Lampiran I Bagian Ketiga Pedoman Pembuatan Hutan Rakyat Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2005 Bab II Penyusunan Rancangan huruf E rencana kegiatan angka 2 Pemilihan Jenis Tanaman dinyatakan bahwa pemilihan jenis tanaman hutan rakyat disesuaikan dengan kehendak/minat masyarakat, kesesuaian dengan agroklimat dan ekosistem lahannya, permintaan pasar dan dikembangkan dalam luasan yang secara ekonomis dapat dipasarkan, serta menguntungkan yang diwujudkan melalui kesepakatan kelompok. Di samping itu juga harus memperhatikan waktu penanaman bibit yang tepat. Hal tersebut mengakibatkan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) tidak tercapai sesuai yang diharapkan. Hal tersebut terjadi karena : a. Petugas Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pemalang belum maksimal dalam melaksanakan tugasnya, dan atasan langsung PKL tidak melaksanakan review atas hasil pekerjaan bawahannya; b. Pengawasan dari atasan langsung masih lemah. Atas permasalahan tersebut pihak Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Pemalang mengakui bahwa kebutuhan bibit belum sepenuhnya memperhatikan kebutuhan riil, Petugas Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) belum melaksanakan tugasnya secara maksimal, dan pengawasan masih lemah. BPK-RI menyarankan agar Menteri Kehutanan meminta Dirjen RLPS untuk memerintahkan Kepala BP-DAS Pemali Jratun meningkatkan pengawasan secara berjenjang terhadap pekerjaan bawahannya dan hanya menyetujui kegiatan penanaman dan penyediaan bibit yang telah sesuai dengan kondisi lahannya, serta memaksimalkan PKL dalam melaksanakan tugasnya, serta meningkatkan pengawasan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
21
Pengadaan Bibit Dengan Menggunakan Dana GN-RHL Untuk Penghijauan Sebesar Rp2.000.000.000,00
Tidak Optimal Untuk Mencapai Tujuan GN-RHL
Luas kawasan hutan dan lahan di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan data yang diperoleh dari BP-DAS Pemali Jratun dan BP-DAS Solo seluas 2.195,179 Ha. Di antaranya seluas 735.259 Ha berada dalam kondisi kritis yang terdiri dari hutan dalam kawasan seluas 17,187 Ha dan hutan di luar kawasan seluas 718.072 Ha. Provinsi Jawa Tengah mendapat target untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis kurun waktu tahun 2003 sampai dengan 2007 seluas 659,954 Ha. Luas areal hutan dan lahan kritis yang direhablitasi dengan menggunakan dana GN-RHL sampai dengan saat pemeriksaan seluas 174.044 Ha atau hanya 26,372 % dari target. Kondisi hutan dan lahan kritis tersebut akan berdampak kepada terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan di beberapa wilayah. Sebagai upaya untuk mengurangi laju pertambahan hutan dan lahan kritis, Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan bersama-sama aparat Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten di Jawa Tengah telah melaksanakan kegiatan GN-RHL mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 yang antara lain kegiatannya tahun 2006 adalah pemberian bibit sebanyak 500.000 batang senilai Rp2.000.000.000,00 kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Rumah-rumah Ibadah, Organisasi Kemasyarakatan untuk penghijauan wilayah pemukiman, areal kosong di lokasi rumah ibadah dan lain-lain. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas kegiatan pengadaan dan pemberian bibit untuk kegiatan penghijauan diketahui hal-hal berikut : a. Pemberian bibit sebanyak 500.000 batang tersebut dilakukan kepada 7 (tujuh) organisasi masyarakat dan lembaga kemasyarakatan yang tersebar di wilayah Jawa Tengah. b.
Penanaman bibit-bibit tersebut dilakukan secara swakelola di wilayah yang bukan dikategorikan sebagai hutan rakyat, hutan kota, dan lahan kritis. Lahan non hutan yang akan ditanam dengan menggunakan bibit penghijauan dari GN-RHL tersebut bukan merupakan lahan atau hutan kritis yang dapat menimbulkan daya rusak besar dan mempengaruhi tata air Daerah Aliran Sungai.
Pemberian bibit untuk kegiatan rehabilitasi atau penghijauan di lokasi lahan yang tidak kritis dan tidak termasuk wilayah prioritas I dan II pada saat target lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II (atau lahan kritis yang berdampak langsung kepada kualitas Daerah Aliran Sungai (DAS) belum tercapai akan cenderung mengurangi kemampuan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mencapai target yang diharapkan dalam memperbaiki DAS dan mencegah bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Hal tersebut tidak sesuai dengan Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nomor 18/Kep/Menko Kesra/X/2003 tanggal 3 Oktober 2003 : a. Tujuan GN-RHL GN-RHL bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumber daya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS serta
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
22
memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. b. Strategi GN-RHL yang antara lain menyatakan bahwa GN-RHL diprioritaskan pada hutan dan atau lahan kritis yang menimbulkan daya rusak besar. c.
Strategi GN-RHL yang antara lain menyatakan bahwa GN-RHL diprioritaskan pada hutan dan atau lahan kritis yang menimbulkan daya rusak besar.
d. Sasaran Program : 1) Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. 2) Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. 3) Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL. 4) Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL. Hal ini akan mengakibatkan pemerintah kehilangan kesempatan menggunakan dana sebesar Rp2.000.000.000,00 untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas dalam memperbaiki kualitas DAS sekitar dan memitigasi terjadinya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Hal tersebut terjadi karena kebijakan Menteri Kehutanan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan strategi awal kebijakan GN-RHL yang ditetapkan oleh Menko Kesra dalam membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan sejumlah LSM dan Organisasi Masyarakat. Atas permasalahan tersebut pihak BP-DAS Solo menanggapi bahwa pengadaan bibit tersebut merupakan kebijakan Pemerintah cq Departemen Kehutanan untuk mengajak masyarakat dalam rangka merehabilitasi hutan dan lahan yang diprioritaskan pada lahanlahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan negara. Karena adanya keterbatasan anggaran, dan banyaknya organisasi masyarakat yang ingin berpartisipasi, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibuatlah beberapa MoU antara Menteri Kehutanan dengan Organsisasi Masyarakat. Berdasarkan Surat Sekretaris Ditjen RLPS No S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. Berkenaan dengan hal tersebut, BPK-RI menyarankan agar Menteri Kehutanan dalam membuat MoU dengan sejumlah LSM dan Organisasi Masyarakat (Ormas) lebih memperhatikan dan mempertimbangkan strategi awal kebijakan GN-RHL dan fokus kepada LSM atau Ormas yang mengelola hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas I dan II untuk meningkatkan kualitas DAS dan daya dukung lingkungan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
23
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Solo Belum Menyerahkan Kegiatan Pembuatan Tanaman Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GNRHL) ke Pemerintah Daerah
Pada tahun 2006, BP-DAS Solo telah mengeluarkan biaya GN-RHL untuk memelihara tanaman tahun tanam 2004 dan 2005 di wilayah kerjanya. Biaya yang dikeluarkan tersebut termasuk biaya pengadaan bibit sebanyak 5.122.220 batang dengan nilai Rp9.272.076.390,00. Bibit tersebut digunakan antara lain untuk pemeliharaan tanaman tahun tanam 2004 (pemeliharaan tahun kedua) sebanyak 3.151.720 batang dengan nilai Rp4.447.370.000,00. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa areal hutan dan lahan kritis yang telah menerima pemeliharaan tahun kedua (tahun tanam 2004) sampai dengan tanggal pemeriksaan (30 September 2007) belum diserahterimakan oleh BP-DAS Solo kepada Pemerintah Daerah setempat untuk mendapatkan biaya pemeliharaan tahun berikutnya dan diserahkan kepada masyarakat. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Mehut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 Tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2005 bagian ketiga Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat pada Bab III huruf D disebutkan bahwa hasil kegiatan pembuatan tanaman tersebut setelah pemeliharaan tahun kedua diserahterimakan dari Kepala Satker kepada Kepala Instansi Satker pelaksana yang selanjutnya diserahkan kepada Bupati untuk pemeliharaan tanaman berikutnya, yang kemudian diserahkan kepada masyarakat dan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah setempat. Hal tersebut mengakibatkan tidak jelasnya instansi/pihak yang bertanggungjawab atas kegiatan GN-RHL yang telah selesai masa pemeliharaannya oleh BP-DAS Solo, sehingga dapat meningkatkan risiko tanaman mati. Hal tersebut terjadi karena : a. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak memahami peraturan yang berlaku; b. Pengawasan dari atasan langsung masih lemah. Atas permasalahan tersebut pihak BP-DAS Solo akan menindaklanjuti sambil menunggu petunjuk lebih lanjut dari Departemen Kehutanan cq. Direktorat Jenderal RLPS. Berdasarkan Surat Sekretaris Ditjen RLPS No S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK-RI menyarankan agar Menteri Kehutanan memerintahkan Dirjen RLPS untuk menginstruksikan kepada BP-DAS Solo segera menyerahkan kegiatan pembuatan tanaman GN-RHL di wilayah Jawa Tengah kepada Pemerintah Daerah terkait.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
24
BAB V KESIMPULAN
Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan isu nasional dan internasional yang penting pada saat ini. Pada Laporan Bank Dunia tentang Kondisi Perubahan Iklim di Indonesia disebutkan bahwa Indonesia termasuk penyumbang terbesar Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan. Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan antara lain disebabkan oleh pengundulan hutan dan kebakaran hutan. Di samping dampak terhadap perubahan iklim, pengundulan hutan di Indonesia juga sudah sangat merisaukan karena berdasarkan data Baplan tahun 2000 laju kerusakan hutan adalah 1,5 s/d 2,8 juta Ha pertahun. Laju kerusakan yang begitu pesat perlu diikuti dengan upaya yang intensif untuk merehabilitasinya. Pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan tersebut dengan melakukan program GN-RHL. Upaya yang dilakukan Pemerintah melibatkan juga aparat Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta masyarakat di wilayah sekitar hutan dan lahan yang rusak. Hasil Pemeriksaan BPK-RI atas pelaksanaan GN-RHL di Jawa Tengah menunjukkan bahwa secara umum upaya Pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan belum berhasil untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Dengan mengingat laju pertambahan kerusakan hutan dan lahan di atas maka ketidakmampuan Pemerintah mencapai target tersebut lebih lanjut akan berdampak kepada semakin bertambahnya hutan dan lahan yang rusak dan mengakibatkan resiko terjadinya bencana lingkungan seperti kekeringan, banjir dan longsor pada wilayah-wilayah kritis di Jawa Tengah relatif masih tinggi. Di samping itu, masih ditemukan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang tidak hemat, tidak efektif, dan melanggar ketentuan sehingga mengakibatkan pemborosan keuangan negara sebesar Rp2.000.000.000,00 dan upaya meningkatkan kualitas DAS Bengawan Solo dan DAS Pemali Jratun menjadi tidak berhasil, antara lain sebagai berikut : 1. Pelaksanaan penanaman bibit di BP-DAS Solo sebanyak 660 batang tidak sesuai dengan kondisi lahannya sehingga tujuan untuk merehabilitasi hutan dan lahan tidak tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini disebabkan penyuluhan kepada kelompok tani/masyarakat dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan masih lemah. 2. Pengadaan bibit dengan menggunakan dana GN-RHL untuk penghijauan sebesar Rp2.000.000.000,00 tidak optimal untuk mencapai tujuan GN-RHL, sehingga Pemerintah kehilangan kesempatan untuk menggunakan dana tersebut untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang menjadi prioritas dalam memperbaiki kualitas DAS sekitar dan memitigasi terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan. Hal ini disebabkan Menteri Kehutanan tidak mempertimbangkan strategi awal kebijakan GN-RHL yang ditetapkan oleh Menko Kesra dalam membuat MOU dengan sejumlah LSM dan Organisasi Masyarakat. 3. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Solo belum menyerahkan kegiatan pembuatan tanaman Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) ke Pemerintah Daerah, sehingga tidak jelas instansi/pihak yang bertanggung jawab atas kegiatan GN-RHL yang telah selesai masa pemeliharaannya. Hal ini disebabkan Pejabat Pembuat Komitmen tidak memahami peraturan yang berlaku dan pengawasan dari atasan langsung masih lemah. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
25
Kondisi di atas antara lain terjadi karena para pelaksana dan penanggung jawab kegiatan kurang mematuhi ketentuan yang berlaku. Selain itu, pemerintah tidak tegas dalam menentukan lokasi RHL hanya di lokasi yang menjadi prioritas DAS, belum sepenuhnya berkomitmen secara berjenjang untuk merehabilitasi hutan dan lahan, dan kurang melakukan koordinasi diantara pihak yang terkait.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Jawa Tengah
26
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA HASIL PEMERIKSAAN SEMESTER II TAHUN ANGGARAN (TA) 2007 ATAS KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (RHL) PADA DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL DAN SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN KEHUTANAN, DEPARTEMEN KEUANGAN SERTA DINAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN PROVINSI DKI JAKARTA BESERTA SUKU DINASNYA DI PROVINSI DKI JAKARTA AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA IV Nomor : 01/LHP/XVII/01/2008 Tanggal : 31 Januari 2008
DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif
HALAMAN
i
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................................. Dasar Pemeriksaan .....................................................................................................................
1
Standar Pemeriksaan .....................................................................................................................
1
Tujuan Pemeriksaan...................................................................................................................
1
Sasaran Pemeriksaan...................................................................................................................
1
Objek Pemeriksaan .....................................................................................................................
1
Lingkup Pemeriksaan ................................................................................................................
2
Jangka Waktu Pemeriksaan ........................................................................................................
2
Metodologi Pemeriksaan .............................................................................................................
2
Batasan Pemeriksaan ..................................................................................................................
3
Kriteria Pemeriksaan ....................................................................................................................
3
BAB II. GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN ...........................................
4
Hutan di Indonesia Status dan Fungsi..........................................................................................
4
Kondisi Hutan Indonesia................................................................................................................
4
Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di DKI Jakarta..............................................................................
5
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan.......................................................................................
6
Dampak Kerusakan Lahan dan Hutan..........................................................................................
8
Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis..........................................................................
8
Pembiayaan RHL..........................................................................................................................
9
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL).........................................................
9
Anggaran GNRHL di DKI Jakarta.........................................................................................
12
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan...................
13
Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR).........................................................................
14
Perubahan DAK DR menjadi DBH.................................................................................................
14
Sistem Pengendalian intern RHL...................................................................................................
15
BAB III. HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA...........
18
BAB IV. HASIL PEMERIKSAAN ........................................................................................................
19
1.
Pengalokasian dan Penyaluran Dana Alokasi Khusus DR (DAK DR) dan Dana Bagi Hasil DR (DBH DR) Kepada Daerah Belum Sesuai Dengan Ketentuan Serta Terdapat Dana Sebesar
Rp846.305.002.843,91 yang Belum disalurkan Oleh Pemerintah. …....................................... 2.
19
Pelaksanaan Anggaran BA 69 GNRHL Tahun 2006 yang Bersumber dari Dana Reboisasi oleh Direktorat Jenderal RLPS Menghilangkan Kesempatan Untuk Merehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis Seluas 9.400 Ha ……………………………………………………….........................
3.
25
Pelaksanaan Penyusunan Buku Informasi Perkembangan Kegiatan GERHAN Tidak Sesuai Ketentuan ……………………………………………………………………………………………….
28
4.
Perubahan Sebagian Hutan Mangrove Angke Kapuk Untuk Perumahan Tidak Tepat…………
31
5.
Penetapan Provinsi DKI Jakarta Sebagai Sasaran GNRHL Tidak Sesuai Dengan Rencana Lima Tahun GNRHL Untuk Tahun 2003 - 2007.........................................................................
6.
35
Penunjukan LPI Untuk Penilaian Kinerja GNRHL Tahun 2004 dan 2005 Oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta Tidak Dilakukan Dengan Cermat…………….
BAB V. KESIMPULAN ....................................................................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN TABEL
38 43
RINGKASAN EKSEKUTIF
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan di Indonesia mempunyai fungsi untuk mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, melindungi sistem penyangga kehidupan dan memproduksi hasil hutan. Hutan mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Kualitas hutan perlu dipelihara agar dapat berfungsi dengan baik. Kualitas hutan yang buruk seperti kritis dan gundul akan cenderung mengakibatkan banyak ekosistem yang rusak dan meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dan instansi terkait lainnya, diketahui luas lahan potensial kritis di wilayah Provinsi DKI Jakarta posisi per tahun 2006 adalah seluas 886,64 Ha, sedangkan luas hutan dan lahan 74.840,60 Ha. Hutan dan lahan potensial kritis seluas 886,64 Ha tersebut harus segera di rehabilitasi agar dapat berfungsi dengan normal dan dapat mempertahankan serta meningkatkan kualitas DAS. Pemerintah Pusat dan Daerah telah melakukan upaya merehabilitasi hutan dan lahan dengan program GN RHL sejak tahun 2003 s.d. 2007 dan RHL dari DAK DR. Kegiatan-kegiatan ini dibiayai dari Dana Reboisasi yang dipungut dari perusahaan-perusahaan yang melakukan eksploitasi hutan. Jumlah realisasi program GN RHL di Provinsi DKI Jakarta posisi per semester I tahun 2007 adalah seluas 1.056,59 Ha, sedangkan target program GN RHL seluas 2.525,00 Ha. Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) telah melakukan pemeriksaan atas: 1. Kegiatan GN RHL yang dibiayai dengan Dana APBN melalui Bagian Anggaran (BA) 69 Tahun 2003 s.d.
2007
pada
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS)
Departemen Kehutanan dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, beserta Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat. 2. Kegiatan pengalokasian dan penyaluran Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR) dan Dana Bagi Hasil (DBH) DR untuk RHL pada Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan serta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Perbendaharaan Departemen Keuangan. Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Tahun 2007 dan Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) BPK-RI Tahun 2002. Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai apakah pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah telah sesuai dengan ketentuan, entitas telah menggunakan dana tersebut untuk kegiatan yang sesuai dengan ketentuan, dan kegiatan GN RHL telah dilaksanakan dengan hemat dan efektif. Sasaran Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
i
pemeriksaan di fokuskan kepada perencanaan GN RHL, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa masih ada kelemahan-kelemahan yang mempengaruhi kinerja pelaksanaan GN RHL di Provinsi DKI Jakarta, antara lain sebagai berikut : Efektivitas Pencapaian Target GN RHL dan RHL DAK DR Pengalokasian dan penyaluran Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR) dan Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR) Kepada daerah belum sesuai dengan ketentuan serta terdapat dana DAK DR dan DBH DR sebesar Rp846.305.002.843,91 yang belum disalurkan oleh Pemerintah kepada daerah, akibatnya pendapatan daerah yang bersumber dari DAK DR dan DBH DR kurang diterima sebesar Rp846.305.002.843,91. Selain itu pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2004 sampai dengan 2007 di daerah menjadi terlambat serta berpotensi tidak terlaksana. Hal tersebut terjadi karena rekonsiliasi atas bukti setoran DR yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi tidak optimal serta kebijakan Departemen Kehutanan berupa penerapan sistem informasi 15 (lima belas) digit dalam pelaksanaan pembayaran iuran hasil hutan belum efektif. Kepatuhan Entitas Pengelola Dalam Melaksanakan RHL Entitas pengelola menggunakan dana Pemerintah Pusat untuk merehabilitasi hutan dan lahan tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga penggunaan dana yang tidak tepat sasaran sebesar Rp22.793.949.910,00 dan merugikan negara sebesar Rp165.993.000,00, akibatnya mengurangi kualitas DAS dengan perincian sebagai berikut: 1. Pelaksanaan anggaran BA 69 GNRHL Tahun 2006 yang bersumber dari Dana Reboisasi oleh Direktorat Jenderal RLPS menghilangkan kesempatan untuk merehabilitasi Hutan dan Lahan kritis seluas 9.400 Ha sehingga mengakibatkan alokasi dana BA 69 untuk penyelenggaraan kegiatan GNRHL pada Ditjen RLPS sebesar Rp15.040.000.000,00 tidak tepat sasaran dan tepat guna sesuai program/kegiatan yang telah ditetapkan dan pemerintah kehilangan kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahan seluas tersebut di atas. Hal tersebut terjadi karena Kuasa Pengguna Anggaran Tahun 2006 tidak cermat dalam bekerja, pengendalian oleh Direktur Jenderal terhadap pelaksanaan GNRHL tahun 2006 tidak efektif dan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan dan penggunaan Dana Reboisasi oleh Menteri Kehutanan tidak efektif. 2. Penetapan Provinsi DKI Jakarta sebagai sasaran GN RHL tidak sesuai dengan Rencana Lima Tahun GNRHL untuk Tahun 2003 - 2007 mengakibatkan penggunaan dana GN RHL sebesar Rp7.753.949.910,00 yang tidak tepat sasaran, mengurangi kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis di DAS Prioritas I seluas 4.307,75 Ha. Hal tersebut terjadi karena Ditjen RLPS belum sepenuhnya mengacu pada Rencana Lima Tahun GNRHL Tahun 2003 sampai dengan 2007 dalam menyusun Rencana Tahunan GNRHL. 3. Pelaksanaan penyusunan Buku Informasi Perkembangan Kegiatan GERHAN tidak sesuai ketentuan, mengakibatkan kelebihan pembayaran kepada PT Wanacipta Lestari atas pekerjaan penyusunan buku informasi perkembangan kegiatan GNRHL tahun 2003 – 2005 sebesar Rp165.993.000,00. Hal tersebut terjadi karena PT Wanacipta Lestari sengaja tidak melaporkan seluruh pertanggungjawaban keuangan Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
ii
yang sebenarnya terjadi di lapangan kepada Kuasa Pengguna Anggaran Tahun 2006, Tim Pengendali Pengadaan Jasa Konsultan Kegiatan Penyusunan Buku Informasi Perkembangan Kegiatan GNRHL Tahun 2003 – 2005 tidak cermat dalam bekerja dan pengawasan serta pengendalian oleh Kuasa Pengguna Anggaran Tahun 2006 terhadap pelaksanaan pekerjaan penyusunan buku informasi perkembangan kegiatan GNRHL tahun 2003 – 2005 tidak efektif. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK-RI menyarankan agar dilakukan perbaikan kinerja di masa mendatang dan segera diambil langkah-langkah tindak lanjut seperlunya sesuai saran/rekomendasi yang dimuat dalam hasil pemeriksaan ini.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penanggung Jawab Pemeriksaan,
HADI PRIYANTO NIP. 240000961
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
iii
BAB I PENDAHULUAN
Dasar Pemeriksaan
Dasar pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah : 1.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 E;
2.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara;
3.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
4.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Standar Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK-RI Tahun 2007.
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah untuk menilai apakah:
Sasaran Pemeriksaan
1.
Pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah sesuai dengan ketentuan;
2.
Entitas pengelola menggunakan dana Rehabilitasi Hutan dan Lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
3.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah dilaksanakan dengan ekonomis dan efektif untuk mencapai tujuan RHL.
Untuk mencapai tujuan pemeriksaan tersebut maka sasaran pemeriksaan diarahkan pada area kunci kegiatan RHL dengan mempertimbangkan resiko manajemen dari sisi ekonomi, efisiensi dan efektivitas serta kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mempertimbangkan resiko tersebut, maka area kunci pemeriksaan diarahkan pada hal-hal berikut: 1. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2. Pengadaan bibit yang dilaksanakan baik secara swakelola, penunjukan langsung maupun pelelangan kepada pihak kontraktor. 3. Pembuatan dan pemeliharaan tanaman baik yang dilakukan secara swakelola maupun oleh Kelompok Tani. Area kunci pemeriksaan tersebut akan disesuaikan dengan perkembangan pemeriksaan di lapangan dan dari waktu ke waktu pada saat pemeriksaan berlangsung.
Obyek Pemeriksaan
Obyek yang diperiksa adalah Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS) dan Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, beserta Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat serta Direktorat Perimbangan Keuangan dan Direktorat Perbendaharaan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
1
Departemen Keuangan. Lingkup Pemeriksaan
Pemeriksaan mencakup Tahun 2006 s.d. 2007, khusus untuk penilaian efektivitas dilakukan terhadap hasil kegiatan periode 2003 s.d 2007.
Jangka Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan dilaksanakan bertahap, tahap pertama selama 30 hari, mulai tanggal 27 Agustus 2007 sampai dengan tanggal 5 Oktober 2007 berdasarkan Surat Tugas Anggota/Pembina Auditama Keuangan Negara IV No.03/ST/VIII-XIV/08/2007 tanggal 27 Agustus 2007, sedangkan tahap kedua selama 10 hari, mulai tanggal 5 Nopember sampai dengan tanggal 17 Nopember 2007 berdasarkan Surat Tugas Anggota/Pembina Auditama Keuangan Negara IV No.18/ST/VIII-XIV/11/2007 tanggal 2 Nopember 2007.
Metodologi Pemeriksaan
Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dilaksanakan dengan metodologi sebagai berikut : 1. Evaluasi dan analisa data dan dokumen yang diberikan oleh Unit Kerja Yang Diperiksa (Unit Kerja). Pemeriksaan RHL yang dilakukan adalah pemeriksaan atas kegiatan yang telah selesai dilaksanakan oleh unit kerja yang diperiksa (Post Audit). Pemeriksa mendasarkan pemahaman dan pembuktian atas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan oleh Unit Kerja. Berkaitan dengan hal tersebut realisasi pengadaan bibit termasuk jumlah yang sebenarnya diserahkan kepada para petani, realisasi penanaman, pemberian pupuk dan kegiatan lainnya di evaluasi dan direview serta diperiksa hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan. Termasuk dalam hal ini pengujian atas keberhasilan penanaman hanya dilakukan dengan menggunakan data dan dokumentasi laporan hasil penilaian lembaga independen. 2. Pengamatan (observasi) Fisik Kelapangan Sebagai upaya untuk menyakinkan realisasi pelaksanaan rehabilitasi hutan, Pemeriksa juga melakukan uji petik secara sangat terbatas kelokasi penanaman atau RHL. 3. Wawancara Pemeriksaan juga melakukan pengumpulan informasi terkait kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. 4. Uji Petik (sampling) Pemeriksaan dilakukan tidak atas populasi kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pemeriksaan menggunakan mekanisme sampling dengan memperhatikan faktorfaktor seperti ketersediaan sumber daya manusia dan waktu serta risiko terjadinya ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan serta ketidakpatuhan. Pendekatan uji petik ini dilakukan dalam menentukan kabupaten/Kota yang akan di uji petik, lokasi hutan dan lahan yang akan di observasi, dokumen-dokumen yang akan dibahas dan kegiatan-kegiatan yang akan diuji.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
2
5. Sistem Pengendalian Intern Pemahaman dan evaluasi atas efektivitas sistem pengendalian intern dilakukan untuk mengidentifikasikan area kunci, fokus pemeriksaan, daerah yang akan diuji petik dan kegiatan serta dokumen yang akan di uji lebih mendalam. Jika ditemukan kelemahan terkait dengan sistem pengendalian intern maka akan disajikan dalam laporan sebagai temuan tersendiri dan atau bagian dari penyajian temuan pemeriksaan. Batasan Pemeriksaan
Pemeriksaan GN RHL ini dilaksanakan dengan batasan sebagai berikut: 1. Pemeriksaan atas tingkat keberhasilan GN RHL hanya dilakukan atas laporan hasil penilaian yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh unit kerja. BPK-RI tidak melakukan penilaian secara khusus atas pelaksanaan rehabilitasi lahan. Untuk wilayah yang belum dilakukan penilaian maka BPK-RI tidak menilai tingkat keberhasilan wilayah tersebut. 2. Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tidak dilakukan atas rehabilitasi hutan dan lahan yang di laksanakan dengan menggunakan dana swasta atau diluar pemerintah.
Kriteria Pemeriksaan
Kriteria atau standar yang akan digunakan untuk menilai pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) diantaranya adalah: 1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 6. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 7. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 8. Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahan-perubahannya; 9. Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No.09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No.Kep16/M.Ekon/03/2003, No.Kep08/ Menko/Polkam/III/2003 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Hidup Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional; 10. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No.18/Kep/Menko/Kesra/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL; 11. Berbagai Keputusan Menteri Kehutanan tentang Standar Harga Bibit, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Kegiatan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
3
BAB II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Hutan di Indonesia Status dan Fungsi
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan UU tentang Kehutanan status hutan di Indonesia terbagi dua yaitu : 1. Hutan Negara Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat yang ditetapkan statusnya oleh Pemerintah. 2. Hutan Hak Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan di Indonesia memegang peranan yang sangat penting baik dari segi ekonomi dan lingkungan hidup. Secara garis besar terdapat tiga fungsi utama hutan, yaitu : 1. Fungsi Konservasi Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 2. Fungsi Lindung Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3. Fungsi Produksi Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sesuai dengan data Departemen Kehutanan tahun luas hutan di Indonesia adalah sebagai berikut : Tabel 1: Hutan di Indonesia berdasarkan Fungsi Kawasan a.
Luas (Ha)
Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam.
23.597.991,57
b.
Hutan Lindung
31.782.576,02
c.
Hutan Produksi Terbatas
21.717.309,26
d.
Hutan Produksi Tetap
35.813.616,43
e.
Hutan Produksi Yang Dapat Di Konversi
14.057.816,00
f.
Fungsi Hutan Khusus
7.268,00
Jumlah Luas Daratan Kawasan Hutan
123.459.513,58
Jumlah Luas Kawasan Hutan dan Perairan
126.976.577,28
Sumber : Web Site Departemen Kehutanan (Badan Planologi Kehutanan)
Kondisi Hutan Indonesia
Hutan memenuhi dua pertiga dari luas daratan Indonesia (kurang lebih 120 juta hektar). Hutan Indonesia merupakan habitat tempat 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, serta 17 persen spesies burung dan juga tempat jenis palem terbanyak di dunia. Kenyataan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaaan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia. Selama 50 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hingga 40% dari seluruh luas hutannya. Laju degradasi hutan/deforestasi di wilayah Indonesia mencapai 1,5 juta Ha sampai 2,8 juta Ha
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
4
per tahun1. Meskipun keprihatinan akan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari meluasnya kerusakan hutan tropis, tetap saja tingkat kerusakan hutan dan lahan meningkat dengan drastis. Kerusakan hutan tersebut menimbulkan lahan kritis yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Meningkatnya lahan kritis yang merupakan tanda dari kerusakan hutan dan lahan ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak baik secara nasional maupun internasional. Gambar 1 : Hutan dan Lahan Kritis
Departemen Kehutanan telah melakukan inventarisasi atas indikasi luas hutan dan lahan kritis pada tahun 2000 dan 2003. Hasil inventarisasi menunjukkan laju pertambahan hutan dan lahan kritis yang cukup drastis yaitu 177 % dari semula 56,98 juta Ha di tahun 2000 menjadi 100,6 juta Ha di tahun 2003. Pertambahan hutan dan lahan kritis terutama terjadi di luar kawasan hutan. Gambar 2: Grafik Pertambahan Hutan dan Lahan Kritis 2000-2003 70.000.000 60.000.000 Luas (Ha) 50.000.000 40.000.000
Dalam Kawasan Luar Kawasan
30.000.000 20.000.000 10.000.000 2000
2003 Tahun
Sumber: Laporan Updating Database RHL, Departemen Kehutanan, 2006
Berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan hutan dan lahan yang mengalami kerusakan lebih dari 67,64 juta Ha yang terdiri atas 39,12 juta Ha dalam kawasan hutan dan 28,52 juta Ha di luar kawasan hutan. Kondisi 1
Berdasarkan data lahan kritis, maka wilayah DKI Jakarta sejak tahun 2002 sampai dengan 2006
Baplan Departemen Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
5
Hutan dan Lahan Kritis di DKI Jakarta
tidak mempunyai lahan kritis. Lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya baik sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Sesuai dengan tingkat kekritisannya, lahan kritis yang dikategorikan sebagai sasaran RHL adalah lahan sangat kritis, kritis dan agak kritis. Menurut hasil analisis lahan kritis Direktorat Pengelolaan DAS Tahun 2006, Luas lahan di Provinsi DKI Jakarta adalah sebesar 74.840,60 Ha yang terdiri dari lahan dengan kategori potensial kritis seluas 886,64 Ha dan kategori tidak kritis seluas 73.953,96 Ha, dengan perincian sebagai berikut : Tabel 2: Lahan Kritis di Provinsi DKI Jakarta No 1 2 3 4 5
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan
Kriteria Lahan Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis 13.293,64 750,71 5.278,01 14.854,39 79,07 24.954,65 56,86 15.573,27 73.953,96 886,64
Nama Kabupaten / Kota Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Utara Jumlah
Kerusakan hutan dan lahan merupakan masalah yang serius yang jika tidak ditangani dengan baik dan serius akan menimbulkan dampak yang besar bagi perekonomian dan lingkungan. Kerusakan hutan dan lahan pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab baik yang disebabkan oleh ulah manusia dan alam. Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Penebangan hutan (produksi hutan) tanpa upaya rehabilitasi yang optimal. Pemberian Ijin Hak Pengusahaan Hutan kepada perusahaan-perusahaan mendorong kegiatan pemanfaatan potensi hutan seperti kayu. Pemberian ijin pengusahaan hutan ini seyogyanya diikuti juga dengan upaya rehabilitasi atau upaya-upaya lainnya yang menjamin kelestarian hutan di wilayah ijin pengusahaan hutan. Ketimpangan antara upaya pelestarian dan produksi telah meningkatkan pengundulan dan kerusakan hutan. Tabel 3 : Jatah Produksi Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam Tahun 2003 – 2005 No.
Tahun Produksi
Jatah Produksi (M3)
1.
2003
6.892.000
2.
2004
5.743.759
3. 2005 Jumlah
5.456.470 18.092.229
Sumber : SK Dirjen BPK No. 02/Kpts/VI-PHA/2003, No. 47/Kpts/VI-PH/2003 dan No 195/VI-BPHA/2004
Lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberikan andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal kriteria Departemen Kehutanan mengenai Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sebenarnya sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang telah dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
6
tetapi di lapangan, kriteria itu tidak berjalan akibat lemahnya pengawasan,” kata Soekotjo2. 2. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan/atau lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan/atau hasil hutan. Kebakaran hutan ini telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar. Kebakaran hutan dan lahan terjadi baik karena ulah manusia maupun karena faktor alam. Kebakaran hutan dapat disebabkan karena ulah masyarakat dan atau pengusaha yang membutuhkan lahan untuk areal pemukiman dan atau pertanian/perkebunan. Masyarakat dan pengusaha membuka lahan atau melakukan pembersihan lahan (land Clearing) dengan cara membakar lahan yang berpotensi merusak lingkungan, menambah kerusakan hutan dan mencemari udara. Selain karena pembukaan hutan, kebakaran hutan juga disebabkan oleh ulah manusia yang membakar sampah dan membuang puntung rokok sembarangan di areal hutan dan lahan serta kondisi lahan yang terbuka sehingga memudahkan terjadinya kebakaran pada waktu musim kemarau yang sangat panas dan lama. Kebakaran hutan dan lahan karena musim kemarau yang sangat panjang dan panas ini banyak terjadi di daerah gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Doktor Soekotjo, kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1997, membuat hampir 70% hutan terbakar. 3 3. Illegal Logging Penjarahan hutan masih tetap berlaku dan terus berlangsung hingga sekarang. Illegal logging terjadi antara lain karena adanya ketimpangan pasokan dan permintaan, lemahnya penegakan hukum, dan masalah kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Illegal logging meningkatkan proses pengundulan dan kerusakan hutan. Tabel 4 : Perbandingan antara pasokan dan kebutuhan kayu tahun 1999 Kebutuhan dan Produksi Kayu
Volume (Juta M3)
Kebutuhan Kayu Bulat (1999) a.
Industri Terkait HPH
41,09
b.
Industri tidak Terkait HPH
17,15
Total Kebutuhan per tahun
58,24
Produksi Kayu Bulat (1995 – 1999) Produksi Rata-rata pertahun
25,36
Kesenjangan produksi dan kebutuhan
32,88
Sumber : Rencana Strategic Departemen Kehutanan dan Perkebunan 2001-2005 (Pusat Data dan Perpetaan, Baplan, tahun 2000)
2 3
Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia. Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
7
Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Lantaran hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar. 4. Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk mendorong munculnya kebutuhan akan lahan untuk areal pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kebutuhan akan sumber pangan dan bahan baku industri (CPO dan komoditi lainnya) meningkatkan peralihan fungsi hutan menjadi lahan-lahan non kehutanan. Hal inilah yang meningkatkan jumlah pengundulan hutan dan kerusakan hutan dan lahan. Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan
Kerusakan hutan dan lahan akan mengakibatkan antara lain: 1. Rusaknya fungsi Konservasi dari hutan telah menimbulkan punahnya keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Harimau Sumatera dan Orangutan di Kalimantan Tengah telah menjadi spesies yang paling langka di dunia. 2. Rusaknya Fungsi Lindung dari hutan telah mengakibatkan : a. Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau; b. Terjadinya arus permukaan tanah (runoff) pada waktu musim hujan yang dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Bencana ekologi tersebut telah menimbulkan kerugian nasional yang besar berupa kerusakan infrastruktur, berbagai asset pembangunan serta terganggunya tata kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan menyebabkan kemiskinan masyarakat. c. penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3. Rusaknya Fungsi Produksi dari hutan telah menurunkan kesuburan tanah yang mengakibatkan turunnya produktivitas lahan dan produksi pertanian menyebabkan turunnya jumlah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Khusus untuk kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan hutan dan lahan akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor. Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan menjadi kurang optimal.
Upaya Penanggula ngan Hutan dan Lahan Kritis
Pemerintah telah berupaya untuk menghutankan kembali lahan kritis dengan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan/RKL (reboisasi/penghijauan) yang meliputi antara lain: 1. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) yang pembiayaannya berasal dari Dana Bagian Anggaran 69 APBN. 2. Program lain yang diupayakan oleh pemerintah daerah seperti Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK/DR) APBD.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
8
Pembiayaan RHL
Pembiayaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperoleh dari Dana Reboisasi yang dipungut dari Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang Berupa Kayu untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. Dana Reboisasi tersebut di setorkan ke Bendaharawan Penerimaan DR di Departemen Kehutanan oleh Para Pemegang Ijin yang selanjutnya akan disetorkan ke rekening Pemerintah Pusat Khusus Dana Reboisasi. Berdasarkan jumlah yang diperoleh, Pemerintah Pusat membagi DR tersebut 60% menjadi bagian Pemerintah Pusat dan 40% menjadi bagian Daerah Penghasil. Pemerintah pusat menggunakan DR bagian 60% tersebut antara lain untuk melaksanakan kegiatan GN-RHL. Sedangkan bagian DR untuk daerah penghasil sebanyak 40% disalurkan dengan cara atau mekanisme DAK-DR/DBH-DR.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL)
Pemerintah perlu melakukan kegiatan rehabilitasi untuk dapat mencegah laju pertambahan luas hutan dan lahan kritis tersebut. Sampai dengan tahun 2003, pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan skema keproyekan. Namun kegiatan RHL tersebut selalu menghadapi kendala, baik ketidaktersediaan dana yang cukup maupun kendala teknis dan sosial. Hal tersebut yang mengakibatkan pemerintah, sejak tahun 2003 melakukan perubahan skema RHL dengan menggunakan skema Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL melibatkan seluruh stakeholders kehutanan di berbagai jenjang pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan mencakup kawasan hutan dan lahan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No. 09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No. Kep 16/M.Ekon/03/2003, No. Kep. 08/Menko/Polkam/III/2003, tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (TKPLRRN), Pemerintah telah membentuk TKPLRRN yang akan melaksanakan GN-RHL. Berdasarkan Lampiran Keputusan Menko Kesra/Ketua TKPLRRN No. 18/Kep/MENKO/KESRA/X/2003 sasaran rehabilitasi hutan dan lahan 5 tahun (2003 – 2007) dari GN-RHL adalah seperti di tabel berikut : Tabel 5 : Sasaran Rehabilitasi Hutan dan Lahan 5 tahun Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Total
Area Target (Ha) 300.000 500.000 600.000 700.000 900.000 3.000.000
Prosentase (%) 10,00% 16,67% 20,00% 23,33% 30,00% 100,00%
GN-RHL ini dibiayai dari APBN dan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehinga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
9
Sasaran program dan luas GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Sasaran Program. a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. c.
Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL.
d.
Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL.
2. Sasaran Luas. Sasaran luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap. Ruang Lingkup kegiatan dan wilayah GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Lingkup Kegiatan. Ruang lingkup kegiatan GN-RHL ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu : a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan adalah meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum. b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi enan meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dam penahan, gully plug, pembuatan teras (terasering), sumur resapan, grass barrier, dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan. 2. Lingkup Wilayah. Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani. Rencana lokasi dan luas sasaran disusun berdasarkan kriteria fisik dengan sistem skor dan pertimbangan manajemen daerah, yaitu : 1. Kriteria Fisik : a. DAS Prioritas (SK Menhut No. 284 tahun 1999). b. Indikasi Hutan dan Lahan yang perlu direhabilitasi. c. Daerah rawan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
10
d. Bangunan vital (waduk/bendung/danau) yang perlu dilindungi. e. Khusus untuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai, mempertimbangkan kriteria kerusakan hutan mangrove dan hutan pantai serta kerawanan bencana abrasi atau tsunami. 2. Syarat : Kriteria fisik tersebut harus dimasukkan kedalam Rencana Teknik Tahunan yang disusun oleh Dinas/Instansi Kehutanan Pusat/ Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah. 3. Pertimbangan Manajemen a. Kinerja RHL Daerah; b. Kelembagaan dan Komitmen di Daerah; c. Sumberdana RHL lainnya di daerah. 4. Pertimbangan khusus bagi Daerah Kabupaten tertinggal. Rencana lokasi memperhatikan saran pertimbangan inter-departemen yaitu Departemen Pekerjaan Umum/Kimpraswil, Kelautan dan Perikanan, Pertanian. Alokasi indikator tahunan (pulau/provinsi) secara nasional di dasarkan atas proporsi luas areal indikatif hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003-2007), dengan mempertimbangkan kriteria rencana lokasi pusat dan kondisi terakhir lahan kritis DAS. Mengacu kepada rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan RTT Kabupaten/Kota disusun berdasarkan pada nilai skor kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi dengan memperhatikan sasaran GNRHL/Gerhan nasional tahun yang bersangkutan. Dalam menentukan alokasi sasaran (jenis kegiatan & volume) mempertimbangkan : a. Kinerja pelaksanaan GN-RHL tahun sebelumnya. b. Kelembagaan dan komitmen daerah. c. Sumber dana lainnya (Bagi Hasil/DAK-DR) dan, d. Pertimbangan khusus daerah Kabupaten/Kota tertinggal yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Sistem Perencanaan GN-RHL berdasarkan Pedoman Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2005 adalah mengacu kepada kaidah teknis perencanaan RHL, dengan hirarkhi yaitu Pola Umum, Rencana Teknis RHL Lima Tahun, Rencana Teknik Tahunan (RTT) serta Rancangan Teknis Kegiatan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
11
Gambar 3 : Hirarkhi Perencanaan GN-RHL
Anggaran GN-RHL di DKI Jakarta
Pola Umum RHL
Rencana RHL 5 Tahun
Rencana Teknik Tahunan (RTT)
Ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan Kep No. 20/Menhut-V/2000
Penanganan DAS/Sub DAS, Sasaran Indikatif, Rawan Bencana dan Perlindungan bangunan vital DAS.
Rencana Fisik Pembuatan tanaman dan bangunan konservasi tanah dan air setiap tahun pada satu atau lebih DAS yang berada dalam wilayah Kab/Kota.
Kegiatan RHL dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Bagian Anggaran (BA) 69 yang sebelumnya BA 16 dari Departemen Keuangan. Jumlah anggaran RHL dan realisasinya dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 di Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut: Tabel 6: Anggaran GN-RHL DKI Jakarta No a.
a
b
Instansi
d
Realisasi ( Rp )
%
Ditjen RLPS TA 2003
4.500.000.000,00
-
-
TA 2004
13.198.923.000,00
-
-
TA 2005
18.788.967.000,00
-
-
TA 2006
38.578.271.000,00
18.764.844.200,00
48,64
TA 2007
51.043.990.000,00
-
-
Dinas Pertanian & Kehutanan DKI Jakarta TA 2003
-
-
-
TA 2004
217.410.000,00
212.146.400,00
97,58
TA 2005
323.920.000,00
3.630.000,00
1,12
TA 2006
1.084.441.000,00
632.044.000,00
58,28
414.590.000,00
82.000.000,00
19,78
-
-
-
TA 2007 Kantor Seksi Dinas Pertanian & Kehutanan Kab Kepulauan Seribu TA 2003
c
Anggaran ( Rp )
TA 2004
-
-
-
TA 2005
437.793.000,00
-
-
TA 2006
794.773.000,00
701.518.500,00
88,27
709.452.000,00
194.535.000,00
27,42
TA 2003
-
-
-
TA 2004
582.172.000,00
563.931.400,00
96,87
TA 2005
994.284.000,00
-
-
TA 2006
1.715.107.000,00
1.122.114.350,00
65,43
517.320.000,00
65.477.000,00
12,66
TA 2007 Suku Dinas Pertanian & Kehutanan Kota Jakarta Pusat
TA 2007 Suku Dinas Pertanian & Kehutanan Kota Jakarta Barat TA 2003
-
-
-
TA 2004
193.670.000,00
188.732.300,00
97,45
TA 2005
392.112.000,00
TA 2006
529.463.000,00
383.358.000,00
72,41
TA 2007
451.320.000,00
-
-
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
-
12
e
f
g
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Suku Dinas Pertanian & Kehutanan Kota Jakarta Timur TA 2003
315.525.000,00
-
-
TA 2004
688.927.000,00
664.939.500,00
96,52
TA 2005 TA 2006
579.612.000,00 934.342.000,00
775.896.960,00
83,04
TA 2007
664.070.000,00
-
-
TA 2003
315.525.000,00
-
-
TA 2004
1.212.452.000,00
867.592.600,00
71,56
TA 2005
111.162.000,00
-
-
TA 2006
484.692.000,00
76.897.000,00
15,87
535.695.000,00
80.475.000,00
15,02
Suku Dinas Pertanian & Kehutanan Kota Jakarta Utara
TA 2007 Suku Dinas Pertanian & Kehutanan Kota Jakarta Selatan TA 2003
-
-
-
TA 2004
499.422.000,00
498.943.000,00
99,90
TA 2005
483.187.000,00
29.626.000,00
6,13
TA 2006
772.321.000,00
530.014.900,00
68,63
TA 2007
563.295.000,00
80.078.000,00
14,22
Pada tanggal 3 September 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 89 tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Berkaitan dengan keluarnya peraturan baru ini maka terdapat beberapa perbedaan yang signifikan bagi penunjangan keberhasilan program GN-RHL. Perubahan-perubahan tersebut adalah antara lain : 1. Penyelenggaraan Gerhan a. Penyelenggaraan Gerhan berdasarkan prinsip sistem silvikultur dan tahun jamak (multi years). b. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di kawasan hutan yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara kontraktual yang berbasis tahun jamak (multi years) dengan menggerakkan potensi badan usaha nasional dan daerah serta melibatkan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. c. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di daerah tertentu dalam kawasan hutan dengan mempertimbangkan kondisi tertentu dari aspek keamanan, yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola berbasis tahun jamak (multi years) melalui operasi bakti Tentara Nasional Indonesia. d. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di luar kawasan hutan yang di biayai APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola yang berbasis tahun jamak (multi years) melalui SPKS dengan kelompok tani dengan menggerakkan potensi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pembiayaan untuk menyelenggarakan Gerhan bersumber pada APBN dan APBD, Dana Reboisasi dan/atau sumber-sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan peraturan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
13
perundang-undangan. Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR)
DR adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Dana ini dapat digunakan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan perananannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (rehabilitasi). Disamping itu dana ini juga dapat digunakan untuk upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong, alang-alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan (reboisasi). Sebagai upaya untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut pemerintah memungut DR dari pengusaha yang memanfaatkan kayu hutan. DR tersebut akan digunakan oleh pemerintah pusat (60%) dan pemerintah daerah (40%). Jatah pemerintah daerah tersebut dalam kurun waktu sampai dengan 2005 menggunakan mekanisme DAK-DR dan setelah 2005 menggunakan mekanisme DBH. Mekanisme pengalokasian dan penyaluran DR ke daerah penghasil diawali dengan penyampaian usulan alokasi DAK-DR per Provinsi kepada Menteri Keuangan oleh Departemen Kehutanan, sesuai dengan proyeksi penerimaan DR masing-masing provinsi. Atas dasar usulan alokasi tersebut, Menteri Keuangan menetapkan alokasi DAK-DR setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Kehutanan dan Kepala Bappenas. Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan menyampaikan Alokasi DAK-DR tersebut kepada masing-masing Gubernur untuk ditetapkan Alokasi DAK-DR per Kabupaten/kota. Sebagai dasar kriteria penetapan alokasi oleh Gubernur adalah proyeksi penerimaan DR masing-masing kabupaten/kota, luas hutan rusak dan lahan kritis pada DAS/Sub DAS Prioritas serta tingkat kekritisan ekosistem DAS/Sub DAS dengan mempertimbangkan hubungan hulu dan hilir. Surat Keputusan Gubernur tentang Alokasi DAK-DR per kabupaten disampaikan kepada Menteri Keuangan dhi. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan berikut Nomor Rekening dan Nama Bank yang dituju. Selanjutnya Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk memindahbukukan DAK-DR tersebut ke bank yang ditunjuk dengan nomor rekening sesuai SK Gubernur tersebut.
Perubahan DAK-DR menjadi DBH
Pada tahun 2005 Pemerintah mengeluarkan UU No 33 Tahun 2004 dan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan sebagai aturan pelaksanaannya. Sejak dikeluarkannya UU dan PP ini maka terjadi perubahan dalam pengelompokan PNBP DR dari DAK menjadi DBH SDA sektor Kehutanan. Dalam PP tersebut DBH SDA didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Untuk PNBP SDA Kehutanan seperti DR, ratio prosentase pembagiannya masih tetap sama yaitu 60% Bagian Pemerintah digunakan untuk RHL secara Nasional dan 40% Bagian Daerah digunakan untuk kegiatan RHL di Kabupaten/Kota Penghasil.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
14
Selanjutnya ketentuan tersebut antara lain menyebutkan bahwa Menteri Kehutanan menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH-DR paling lambat 60 hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan, kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan, dan paling lambat 30 hari dari setelah diterima, Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH-DR. Penghitungan realisasi DBH-DR dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah dan penyalurannya dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan DR tahun anggaran berjalan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Sistem Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan Pengendalian meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya Intern RHL dalam mendukung ystem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pada periode 2003 – 2007, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan sumber dana yang berasal dari BA 69, BA 29 (Anggaran Departemen Kehutanan), Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) dan sumber dana lainnya dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Masing-masing sumber dana ini mempunyai kegiatan yang berbeda tetapi tetap berkaitan dengan RHL. Kegiatan RHL yang menggunakan sumber dana BA 69 adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL adalah suatu kegiatan terkoordinasi yang mendayagunakan segenap kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai. Mekanisme perencanaan, realisasi dan pelaporan anggaran BA 69 menggunakan mekanisme anggaran pemerintah. Organisasi yang terlibat dalam kegiatan GN-RHL adalah unit-unit kerja Departemen Kehutanan di daerah seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai (BP DAS) dan unit-unit teknis kehutanan yang terkait milik Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. BP DAS mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan bibit secara terpusat bagi keperluan seluruh kegiatan rehabilitasi di wilayah yang menjadi wewenangnya. BP DAS juga mempunyai fungsi untuk menetapkan hutan dan lahan kritis di wilayah kerjanya yang akan menjadi prioritas kegiatan GN-RHL. Pelaksanaan rehabilitasi lahan di serahkan kepada Unit-unit kerja Kehutanan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan melibatkan kelompok-kelompok tani dan masyarakat. Khusus untuk yang terkait dengan rehabilitasi di kawasan hutan konservasi dilakukan oleh UPT Departemen Kehutanan Balai Konservasi Sumber Daya Hutan (BKSDA) dan untuk kawasan hutan lindung dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Sumber dana RHL lainnya seperti DAK-DR dan Dana Murni APBD mempunyai kegiatan yang serupa dengan BA 69 hanya mekanisme anggarannya menggunakan mekanisme APBD Kabupaten/Kota. Organisasi RHL yang menggunakan sumber dana diluar BA 69 melibatkan sepenuhnya unit-unit kerja milik Pemda Kabupaten/Kota. Khusus untuk DAK-DR penggunaannya dibatasi hanya untuk kegiatan terkait dengan reboisasi lahan di kawasan hutan dan eks hutan. Berdasarkan hasil pemahaman, evaluasi dan review terhadap Sistem Pengendalian Intern Rehabilitasi Hutan dan Lahan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Organisasi
Pelaksanaan RHL melibatkan organisasi pemerintah pusat dan daerah yaitu Departemen
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
15
RHL
Kehutanan beserta UPT-UPTnya di daerah dan Dinas-dinas Kehutanan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Organisasi yang berbeda cenderung akan mempersulit untuk melakukan koordinasi pelaksanaan RHL di lapangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan kegiatan-kegiatan RHL yang menjadi tidak efektif dan boros karena tidak adanya koordinasi dalam pencairan anggaran, pengadaan bibit dan penentuan lokasi rehabilitasi. Masih banyak pengadaan bibit yang tidak sesuai dengan kondisi ekologis dan lingkungan areal yang akan di rehabilitasi.
Anggaran RHL
Anggaran RHL terdiri dari BA 69, DAK-DR dan Sumber Dana lainnya. Masing-masing anggaran ini mempunyai mekanisme anggaran yang berbeda, BA 69 menggunakan mekanisme APBN dan Sumber Dana lainnya menggunakan mekanisme APBD. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan banyaknya kegagalan penanaman rehabilitasi hutan dan lahan karena terlambatnya proses pencairan anggaran.
Kebijakan
Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah pusat untuk GN-RHL dan Pemerintah daerah untuk RHL yang menggunakan sumber dana DAK-DR. Pemerintah Pusat membuat berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan kegiatan GN-RHL dengan mengacu kepada UU No.5 tahun 1960, UU No.5 tahun 1990, UU No.23 tahun 1997, UU No.2 tahun 1999, UU No.41 tahun 1999, PP No.68 tahun 1998, PP No.25 tahun 2000, PP No.34 tahun 2002, PP No.35 tahun 2002, Keppres RI No.102 tahun 2001, Keppres RI No.228 tahun 2001, Keppres RI no.80 tahun 2003 dan SKB Menteri Koordinator Kesra, Menko Perekonomian dan Keuangan dan Menko Bidang Polkam dan Keamanan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan permasalahan sebagai berikut : a. Lemahnya kebijakan perencanaan terkait dengan penentuan lahan dan hutan yang akan direhabilitasi dan penetapan lokasi bangunan konservasi yang tidak tepat sasaran. Hal ini diketahui dari adanya kegiatan-kegiatan RHL yang dilakukan di lokasi yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan penanaman (bantaran sungai) dan pembangunan sumur resapan. b.
Lemahnya kebijakan pelaksanaan di lapangan terkait dengan pemilihan bibit. Hal ini diketahui dari pemilihan bibit yang dilaksanakan oleh BPDAS tanpa melakukan koordinasi dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi, tanpa memperhatikan ekosistem dan ekologis wilayah dan daya dukung lingkungan.
Perencanaan
Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan mengarah pada tujuan untuk memulihkan hutan dan lahan dalam rangka perbaikan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan mendasarkan pada masing-masing kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya penyusunan rencana RHL dilaksanakan secara terpadu dari atas dan dari bawah (top down and bottom up planning).
Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan
(penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS diwilayah kerja BP DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
16
(2003 – 2007). Mengacu kepada Rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Kabupaten/kota disusun berdasarkan kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi. Dengan mendasarkan pada RTT, disusun Rancangan Teknis Kegiatan (Rantek) yang memuat kegiatan teknis secara rinci (bestek) dari setiap komponen pekerjaan yang meliputi rancangan pekerjaan fisik, anggaran dan tata waktu. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan bahwa perencanaan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para penanggungjawab dan pelaksana kegiatan RHL, seperti pada penetapan Provinsi DKI Jakarta sebagai sasaran GN-RHL tidan sesuai dengan Rencana Lima Tahun GN-RHL Tahun 2003 – 2007. Prosedur Kerja
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan GN-RHL, Menteri Kehutanan telah menerbitkan pedoman teknis dan petunjuk pelaksanaan, antara lain : a. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V//2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GN-RHL tahun 2004; b. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2005; c. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.81/Menhut-V/2006 tentang Penyelenggaraan Dan Sasaran Kegiatan GN-RHL Tahun 2006; d. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiata GN-RHL Tahun 2007. Dalam pedoman dan petunjuk pelaksanaan tersebut telah diatur mengenai pelaksanaan penyediaan bibit, pembuatan tanaman reboisasi hutan lindung dan hutan produksi, pembuatan tanaman hutan rakyat, pembuatan tanaman penghijauan kota, pembuatan tanaman turus jalan dan pembuatan bangunan konservasi tanah serta pelaksanaan penilaian kinerja kegiatan GNRHL.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
17
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA Pemantauan Tindak Lanjut
BPK selama periode tahun 2003 s.d 2006 belum melakukan pemeriksaan atas kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di Provinsi DKI Jakarta maupun kegiatan RHL di Kotamadya se-provinsi DKI Jakarta yang dananya bersumber dari APBN .
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
18
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN
Pengalokasian dan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan upaya untuk memulihkan,
Penyaluran Dana
mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung,
Alokasi Khusus DR
produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap
(DAK DR) dan Dana
terjaga. Sumber pembiayaan pelaksanaan kegiatan tersebut adalah dari Dana Reboisasi
Bagi Hasil DR (DBH-
(DR) baik berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) DR maupun APBN (BA 69) melalui GN-
DR) Kepada Daerah
RHL/GERHAN.
Belum Sesuai Dengan Ketentuan Serta Terdapat Dana Sebesar Rp846.305.002.843,91 yang Belum disalurkan Oleh Pemerintah.
Berdasarkan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, disebutkan bahwa DAK yang berasal dari 40% DR disediakan Pemerintah untuk membiayai kegiatan RHL yang dilaksanakan oleh Daerah. Namun dengan diberlakukannya UU No. 33 Tahun 2004 dan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan sebagai aturan pelaksanaannya, maka terjadi perubahan dalam pengelompokan PNBP DR dari DAK menjadi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA) sektor Kehutanan. Dalam PP tersebut DBH-SDA didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Untuk PNBP SDA Kehutanan seperti DR, ratio prosentase pembagiannya masih tetap sama yaitu 60% Bagian Pemerintah digunakan untuk RHL secara Nasional dan 40% Bagian Daerah digunakan untuk kegiatan RHL di Kabupaten/Kota Penghasil. Menurut Kebijakan Menteri Kehutanan bahwa Perhitungan Bagian Daerah Penghasil SDA sektor Kehutanan berdasarkan realisasi setoran DR murni yang disetor ke Rekening Departemen Kehutanan/Bendahara Penerima PNBP Kehutanan yang selanjutnya disetor ke Kas Negara. Sedangkan usulan penyalurannya dilakukan secara bertahap sesuai hasil rekonsiliasi antara Departemen Kehutanan dengan Dinas Provinsi. Hasil pemeriksaan terhadap dokumen pertanggungjawaban pengalokasian DR untuk DAK dan DBH Departemen Kehutanan dan penyaluran Departemen Keuangan dapat diungkapkan hal-hal sebagai berikut: 1. Realisasi DR murni yang disetor ke Kas Negara oleh Departemen Kehutanan dari tahun
2004
sampai
dengan
Semester
I
2007
adalah
sebesar
Rp6.447.277.081.137.27, dari jumlah tersebut di atas , Menteri Kehutanan telah menyusun Alokasi Bagian Pemerintah Pusat (60%) dan Daerah (40%) dengan perincian sebagai berikut:
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
19
(dalam Rupiah) No
Tahun
Penerimaan DR (murni)
1. 2. 3. 4.
2004 2005 2006 Sem. I 2007 Jumlah
2.371.259.120.923,83 1.921.488.719.263,59 1.544.312.676.069,27 610.216.564.880,58
Alokasi Bagian Pemerintah Pusat (60%) 1.422.755.472.554,30 1.152.893.231.558,15 926.587.605.641,56 366.129.938.928,35
Alokasi Bagian Daerah (40%) 948.503.648.369,53 768.595.487.705,44 617.725.070.427,71 244.086.625.952,23
6.447.277.081.137.27
3.868.366.248.682.36
2.578.910.832.454.91
Menurut data tersebut di atas Alokasi Bagian Daerah (40%) dari tahun 2004 sampai dengan Semester I 2007 sebesar Rp2.578.910.832.454,91. Namun demikian Menteri Kehutanan belum dapat mengusulkan Alokasi tersebut kepada Menteri Keuangan, karena Departemen Kehutanan belum dapat mengetahui asal usul Daerah Penghasil dari setoran-setoran DR tersebut. Sehingga Departemen Kehutanan bersama-sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi telah melakukan rekonsiliasi terhadap bukti-bukti setoran DR dan dari hasil rekon tersebut dapat diketahui jumlah DR yang disetor oleh masing-masing Kabupaten/Kota penghasil. Berdasarkan hasil rekonsiliasi atas penerimaan DR murni tersebut, maka Departemen Kehutanan dapat mengetahui jumlah penerimaan DR murni yang telah teridentifikasi daerah penghasilnya sebagai berikut: (dalam Rupiah) Penerimaan DR (Murni) belum teridentifikasi
No
Tahun
Penerimaan DR (Murni)
Penerimaan DR (Murni) teridentifikasi
1. 2. 3. 4.
2004 2005 2006 2007
2.371.259.120.923,83 1.921.488.719.263,59 1.544.312.676.069,27 610.216.564.880,58
1.996.343.683.041,43 1.707.010.429.197,13 1.436.632.624.802,83 455.456.844.954,80
374.915.437.882,41 214.478.290.066,46 107.680.051.266,44 154.759.719.925,78
6.447.277.081.137,27
5.595.443.581.996,19
851.833.499.141,09
Selanjutnya dari jumlah penerimaan DR murni yang telah teridentifikasi daerah penghasilnya sebesar Rp5.595.443.581.996,19, Menteri Kehutanan menyusun Alokasi Bagian Pemerintah dan Daerah yang besarannya sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: (dalam Rupiah) No
Tahun
1 2 3
2004 2005 2006 Sem I 2007
4
Penerimaan DR (Murni) yg teridentifikasi 1.996.343.683.041,43 1.707.010.429.197,13 1.436.632.624.802,83
Bagian Pusat 60% 1.197.806.209.824,85 1.024.206.257.518,28 861.979.574.881,70
Bagian Daerah 40% 798.537.473.216,57 682.804.171.678,85 574.653.049.921,13
455.456.844.954,80
273.274.106.972,88
182.182.737.981,92
5.595.443.581.996.19
3.357.266.149.197.71
2.238.177.432.798.47
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
20
Kemudian Alokasi tersebut oleh Menteri Kehutanan diusulkan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dan selanjutnya untuk disalurkan kepada Daerah Penghasil. Dari surat-surat usulan alokasi Menteri Kehutanan atau Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan ternyata usulan Alokasi tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan secara bertahap tergantung dari hasil rekonsiliasi yang dilakukan dengan Dinas Kehutanan Provinsi. Perincian usulan Alokasi Bagian Daerah per tahun dan per provinsi dari tahun 2004 sampai dengan Semester I 2007 yang telah disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk selanjutnya disalurkan kepada Daerah Penghasil seluruhnya sebesar Rp2.238.177.432.798,47 yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Sebenarnya dalam tata cara penyetoran DR, Departemen Kehutanan telah menerapkan kebijakan berupa referensi 15 (lima belas) digit untuk memudahkan pelacakan nama perusahaan penyetor, kabupaten dan provinsi penghasil, yaitu setiap Wajib Bayar yang akan membayar DR diharuskan untuk mencantumkan kode referensi tersebut pada kolom berita yang ada dalam formulir setoran baik melalui Bank Mandiri atau Bank Persepsi. Referensi 15 (lima belas) digit dimaksud terdiri dari 2 (dua) digit kode provinsi, 2 (dua) digit kode kabupaten/kota, 3 (tiga) digit kode regristrasi perizinan, 4 (empat) digit kode nama pemegang izin/Wajib Bayar, 2 (dua) digit kode tahun tagihan dan 2 (dua) digit terakhir adalah kode bulan tagihan. Namun dalam pelaksanaannya belum efektif. Hal ini terbukti dengan masih ditemukannya setoran-setoran DR Tahun 2004 sampai dengan Semester I 2007 yang diterima oleh Pusat belum teridentifikasi Daerah Penghasilnya sebesar Rp851.833.499.141,09 yang diantaranya terdapat Bagian Daerah sebesar Rp340.733.399.656,44 (40% dari Rp851.833.499.141,09). 2. Dari Alokasi Bagian Daerah yang telah diusulkan oleh Menteri Kehutanan sebesar Rp2.238.177.432.798,47, ternyata penyalurannya oleh Menteri Keuangan hanya mencapai sebesar Rp1.732.605.829.611,00 yang terdiri dari DAK DR sebesar Rp1.009.752.190.178,00 dan DBH-DR sebesar Rp722.853.639.433,00, sebagai berikut: Bagian Daerah (Rp)
Realisasi Penyaluran (Rp)
DAK DR
1.481.341.644.895,42
1.009.752.190.178,00
DBH-DR Jumlah
756.835.787.903,05 2.238.177.432.798,47
Uraian
722.853.639.433,00 1.732.605.829.611,00
Selisih Lebih/ (Kurang) (Rp) (471.589.454.717,42) (33.982.148.470,05) (505.571.603.187,47)
Perincian dari Bagian Daerah yang telah disalurkan oleh Menteri Keuangan kepada masing-masing provinsi sebesar Rp1.732.605.829.611,00 dapat dilihat dalam Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
21
Dari tabel di atas menunjukan bahwa masih terdapat Bagian Daerah yang belum disalurkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp505.571.603.187,47 terdiri dari DAK DR sebesar Rp471.589.454.717,42 dan DBH-DR sebesar Rp33.982.148.470,05. Atas masalah tersebut, Departemen Keuangan menjelaskan bahwa sisa DAK DR tahun 2004 dan 2005 serta DBH-DR tahun 2006 dan 2007 yang belum disalurkan tersebut terjadi karena Departemen Kehutanan belum dapat menetapkan daerah penghasil atas setoran-setoran tersebut, dan terdapat beberapa daerah belum menyampaikan nomor rekening penampungan DAK DR kepada Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan serta adanya kesalahan pada nomor rekening yang disampaikan kepada Menteri Keuangan sehingga terjadi retur. Padahal untuk DBH-DR telah ditetapkan dengan PP No. 55 Tahun 2005 bahwa DBH-DR disalurkan langsung ke Daerah melalui Rekening Kas Umum Daerah. 3. Berdasarkan dokumen pertanggungjawaban penyaluran tahun 2004 sampai dengan Semester I 2007, menunjukan bahwa penyaluran Bagian Daerah tersebut oleh Menteri Keuangan dilakukan dengan beberapa tahap. Hal tersebut terbukti dari: a. Penyaluran DAK DR tahun 2004 dilakukan sebanyak 20 (dua puluh) kali dari tahun 2004 sampai dengan 2006; b. Penyaluran DAK DR tahun 2005 dilakukan sebanyak 9 (sembilan) kali dari tahun 2005 sampai dengan 2007; c. Penyaluran DBH-DR tahun 2006 dilakukan pada bulan September dan Oktober 2007; d. Penyaluran DBH-DR tahun 2007 disalurkan pada bulan September dan Oktober 2007. Pelaksanaan penyaluran tersebut masing-masing dapat dilihat dalam Lampiran 3 sampai dengan Lampiran 6. Dari ketentuan-ketentuan yang ada tentang pelaksanaan penyaluran diketahui bahwa pemerintah belum mengatur secara tegas mengenai batas waktu penyaluran DAK DR kepada Daerah. Namun demikian untuk pelaksanaan penyaluran DBH-DR telah ditentukan batas waktunya sesuai dengan PP No. 55 tahun 2005 yaitu secara triwulanan. Menurut penjelasan dari pihak Departemen Keuangan bahwa DBH-DR tahun 2006 terlambat disalurkan karena pedoman umum pelaksanaan DBH-DR baru diterbitkan pada tanggal 8 Oktober 2007 sesuai Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2007. Masalah tersebut tidak sesuai dengan: 1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah bahwa ; Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
22
a. Pasal 2 ayat (2) antar lain menyebutkan bahwa Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proposional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka
pendanaan,
penyelenggaraan
Desentralisasi
dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. b. Pasal 16 antara lain menyebutkan bahwa Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b : 1)
60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional; dan
2)
40% (empat puluh persen) bagian Daerah digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil.
2. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan Pasal 29 antara lain menyebutkan bahwa: a. Ayat (1) Penyaluran DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan sumber daya alam tahun anggaran berjalan; b. Ayat (2) Penyaluran DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan secara triwulanan. 3. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 556/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penyaluran DAU dan DAK Pasal 5 Ayat (1) huruf c antara lain menyebutkan bahwa “DAK terdiri dari dana untuk reboisasi, yang diambil dari bagian daerah yang ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen) dari penerimaan dana reboisasi tahun anggaran bersangkutan”. 4. Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2007 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan DBH SDA Kehutanan-DR Pasal 8 antara lain menyebutkan bahwa: a. Ayat (1) DR yang dialokasikan kepada daerah sebagai DAK-DR yang belum teridentifikasi sampai dengan tanggal 31 Desember Tahun 2006, apabila teridentifikasi daerah penghasilnya setelah Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku, diberlakukan sebagai DBH SDA-DR yang pelaksanaannya mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK ini. b. DR yang dialokaikasikan kepada daerah sebagai DAK-DR yang belum teridentifikasi sampai dengan tanggal 31 Desember Tahun 2006, apabila sampai dengan 31 Oktober 2007 tidak dapat teridentifikasi daerah penghasilnya, diberlakukan sebagai DBH SDA-DR yang disalurkan kepada daerah tertentu oleh Menteri Keuangan berdasarkan criteria yang ditetapkan Menteri Kehutanan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
23
Hal ini mengakibatkan: 1 Pendapatan Daerah berupa DAK DR dan DBH-DR menjadi kurang diterima sebesar Rp846.305.002.843,91 (.Rp340.733.399.656.44 + Rp505.571.603.187,47). 2 Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2004 sampai dengan 2007 di daerah menjadi terlambat dan berpotensi tidak terlaksana. Hal tersebut disebabkan oleh: 1. Rekonsiliasi atas bukti setoran DR yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi tidak optimal. 2. Kebijakan Departemen Kehutanan berupa Penerapan Sistem Informasi 15 (lima belas) Digit dalam Pelaksanaan Pembayaran Iuran Hasil Hutan belum efektif. Atas masalah-masalah tersebut di atas, Departemen Kehutanan menjelaskan bahwa: atas dana Bagian Daerah yang belum dibuat usulan alokasinya, Departemen Kehutanan masih terus melakukan identifikasi untuk dapat mengetahui Daerah Penghasilnya. Indentifikasi dilakukan oleh Departemen Kehutanan bersama-sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi melalui kegiatan rekonsiliasi terhadap bukti-bukti setoran DR yang telah diterima oleh Pusat. BPK RI menyarankan kepada: 1. Menteri Kehutanan agar: a.
Melakukan rekonsiliasi dengan Daerah secara efektif dan memerintahkan Sekretaris Jenderal segera menyusun Alokasi Bagian Daerah minimal sebesar Rp340.733.399.656,44 untuk disampaikan kepada Menteri Keuangan yang kemudian supaya segera disalurkan kepada Daerah;
b.
Meningkatkan sosialisasi sistem pembayaran iuran kehutanan dengan menggunakan referensi 15 digit kepada Daerah khususnya kepada Pejabat Penagih dan Wajib Bayar.
2. Menteri Keuangan agar menyalurkan Dana Bagian Daerah tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan segera menyalurkan sisa Bagian Daerah yang belum disalurkan minimal sebesar Rp505.571.603.187,47 sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Menteri Kehutanan dan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
24
Pelaksanaan Anggaran BA 69 GNRHL Tahun 2006 yang Bersumber dari Dana Reboisasi oleh Direktorat Jenderal RLPS Menghilangkan Kesempatan Untuk Merehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis Seluas 9.400 Ha
Departemen Kehutanan telah menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) Rehabilitasi Hutan dan Lahan/ Kawasan Lindung pada daerah bencana/rawan bencana Tahun 2006 melalui program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam dengan sasaran seluas 37.155 Ha pada 18 provinsi 67 kabupaten/kota dan anggaran sebesar Rp177.344.667.000,00. Usulan RKA tersebut telah mendapat persetujuan dari DPR RI. Dari RKA Rehabilitasi Hutan dan Lahan/ Kawasan Lindung pada daerah bencana/rawan bencana Tahun 2006 Departemen Kehutanan diketahui bahwa anggaran yang digunakan untuk program tersebut di atas berasal dari efisiensi pengadaan bibit GN-RHL/GERHAN Tahun 2005. Adapun kegiatan yang diusulkan meliputi, perencanaan RHL, kegiatan RHL, penyediaan bibit, penanaman dan pembuatan bangunan konservasi tanah, serta kegiatan pendukung lainnya berupa pengembangan kelembagaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan, serta kegiatan pengawasan/pengendalian dan kesekretariatan/administrasi umum. Kemudian setelah RKA Rehabilitasi Hutan dan Lahan/ Kawasan Lindung pada daerah bencana tahun 2006 dibahas dengan Departemen Keuangan dan disetujui, maka dilakukan revisi kedua DIPA BA 69 Ditjen RLPS yaitu No. 0145.2/069-03.0/-/2006 tanggal 17 Nopember 2006 dan menambah kegiatan Penanggulangan Bencana dengan anggaran sebesar Rp14.655.000.000,00, Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebesar Rp4.129.850.000,00 serta Pengembangan Agroforestry dan Aneka Usaha Kehutanan (AUK) sebesar Rp2.133.230.000,00. Dengan demikian anggaran Ditjen RLPS (Kantor Pusat)
yang
semula
sebesar
Rp17.660.191.000,00
menjadi
sebesar
Rp38.578.271.000,00. Kegiatan DIPA tersebut dirinci di dalam Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) TA 2006 yang disyahkan oleh Sekretariat Ditjen RLPS tanggal 22 Nopember 2006. Menurut POK tersebut bahwa dari anggaran sebesar Rp38.578.271.000,00 diantaranya sebesar Rp14.655.000.000,00 merupakan kegiatan penanggulangan Bencana dan sebesar Rp3.995.598.000,00 merupakan kegiatan monitoring/ pengawasan pelaksanaan program/ kegiatan. Hasil pengujian atas dokumen pertanggungjawaban keuangan Ditjen RLPS tahun 2006 menunjukan bahwa : a) Anggaran kegiatan untuk penanggulangan bencana sebesar Rp14.655.000.000,00, terdiri dari kegiatan : 1) Penyebarluasan informasi RHL, sebagai upaya penanggulangan bencana banjir/tanah longsor sebesar Rp139.000.000,00; 2) Penyusunan buku risalah kegiatan bidang RLPS tahun 2006 sebesar Rp50.000.000,00; 3) Pertemuan Focal Point ASEAN Social Forestry Network (ASOF) sebesar Rp146.000.000,00; Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
25
4)
Penyusunan RUU Konversi Tanah sebesar Rp40.000.000,00;
5)
Pembinaan kelembagaan UPT Ditjen RLPS sebesar Rp110.000.000,00;
6)
Rapat-rapat koordinasi GERHAN sebesar Rp200.000.000,00;
7)
Pengadaan sarana prasarana berupa kendaraan roda 2 dan 4 sebesar Rp10.450.000.000,00;
8)
Pengadaan kendaraan dinas roda 4 untuk Ditjen RLPS beserta biaya prosesnya sebesar Rp3.520.000.000,00.
Namun demikian anggaran sebesar Rp14.655.000.000,00 tersebut seluruhnya direalisasikan untuk belanja modal berupa kendaraan dinas roda 4 dan 2 masingmasing sebanyak 62 unit dan 100 unit. Dari Surat Direktur Jenderal RLPS No. S.427/V-Set/2006 tanggal 12 Oktober 2006 yang ditujukan kepada Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan diketahui bahwa hasil pembahasan intern antara Ditjen RLPS dengan Biro Perencanaan dan Keuangan serta unsur Departemen Keuangan terhadap dana sebesar Rp177.344.667.000,00, maka menghasilkan costing dana sebesar Rp14.655.000.000,00 yaitu sebagai sisa dana yang tidak terpakai. Kemudian Ditjen RLPS mengusulkan kepada Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan untuk memanfaatkan sisa dana tersebut untuk dukungan sarana dan prasarana lingkup Ditjen RLPS. Namun Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan belum menanggapi surat tersebut. Menurut penjelasan dari Ditjen RLPS bahwa kegiatan pengadaan kendaraan roda 2 dan 4 tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan dengan surat No. 9766/M/T tanggal 17 Oktober 2006. Namun demikian, dari Surat Menteri Kehutanan tersebut diketahui bahwa persetujuan dimaksud adalah persetujuan pelaksanaan lelang penunjukan langsung kendaraan bermotor, bukan pemanfaatan dana sisa bibit GN-RHL/GERHAN tahun 2005 untuk belanja modal kendaraan dinas roda 4 dan 2. b.
Dari anggaran kegiatan monitoring/ pengawasan pelaksanaan program/kegiatan sebesar Rp3.995.598.000,00, diantaranya sebesar Rp1.098.200.000,00 untuk kegiatan penyusunan data base GN-RHL/GERHAN yang diantaranya sebesar Rp385.000.000,00 direalisasikan untuk belanja modal berupa Laptop, Komputer Desktop, Printer, Scanner, Camera Digital, Multi Media Projector dan Handycam.
Dari data tersebut di atas menunjukan bahwa Ditjen RLPS dalam mengelola anggaran BA 69 TA 2006, tidak taat asas, yaitu masih melakukan belanja modal minimal sebesar Rp15.040.000.000,00 atau 38,98% dari total anggaran pusat, yang tidak terkait langsung dengan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Selanjutnya apabila dana sebesar Rp15.040.000.000,00 dimanfaatkan untuk kegiatan Reboisasi Hutan Konservasi dengan asumsi bahwa harga per ha untuk penanaman Reboisasi Hutan Konservasi di wilayah Rayon III sebesar Rp1.600.000,00 (sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) No. SK.152/V-SET/2005) maka seluas (Rp15.040.000.000,00/Rp1.600.000,00 x 1 Ha) ±9.400 Ha lahan kritis pada daerah Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
26
bencana/ rawan bencana di wilayah Rayon III dapat direhabilitasi, antara lain yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Sulawesi Selatan. Hal tersebut tidak sesuai dengan : a. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi: 1) Pasal 16 Ayat 1 menyebutkan antara lain bahwa Dana Reboisasi (DR) digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya. 2) Pasal 17 Ayat 5 menyebutkan antara lain bahwa Kegiatan pendukunnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 melalui kegiatan : a. Perlindungan hutan; b. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan; c.
Penataan batas kawasan;
d. Pengawasan
dan
Pengendalian,
pengenaan,
penerimaan
dan
penggunaan DR; e. Pengembangan perbenihan; f.
Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan serta pemberdayaan masyarakat setempat dalam kegiatan rehabilitasi hutan.
b. Keppres No. 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pasal 12 Ayat 1.b menyebutkan antara lain bahwa Pelaksanaan anggaran belanja Negara didasarkan atas prinsip efektif, terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan serta fungsi setiap departemen/lembaga/ pemerintah daerah. c. Keputusan Direktur Jenderal RLPS No. 093/Kpts/V/2002 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Dana Reboisasi Bagian Pusat (60%) untuk penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Provinsi, Kabupaten/Kota melalui Skema Dokumen Anggaran Tahun 2002, dalam Lampiran Bagian II Nomor 4 b. menyebutkan antara lain bahwa Pembiayaan kegiatan RHL sebagaimana dimaksud butir 2 di atas, tidak diperkenankan untuk membiayai pengadaan kendaraan, sarana dan prasarana kantor (gedung, meja, kursi, komputer dll). Keadaan tersebut mengakibatkan alokasi dana BA 69 untuk penyelenggaraan kegiatan GN-RHL pada Ditjen RLPS sebesar Rp15.040.000.000,00 tidak tepat sasaran dan tepat guna sesuai program/kegiatan yang telah ditetapkan dan pemerintah kehilangan kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahan seluas 9.400 Ha. Hal tersebut terjadi karena : a. Kuasa Pengguna Anggaran Tahun 2006 tidak cermat dalam bekerja; Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
27
b. Pengendalian oleh Direktur Jenderal terhadap pelaksanaan GN-RHL tahun 2006 tidak efektif; c.
Pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan dan penggunaan Dana Reboisasi oleh Menteri Kehutanan tidak efektif.
Atas masalah tersebut pihak Departemen Kehutanan menyatakan bahwa tujuan pengalokasian anggaran untuk sarana prasarana mobilitas bagi UPT Ditjen RLPS dimaksudkan untuk mendukung aktivitas UPT tersebut yang sangat mendesak karena kendaraan yang lama sudah berumur di atas 8 tahun. Dasar pengalokasian tersebut adalah Disposisi Menteri Kehutanan atas nota dinas Ditjen RLPS No. S.427/V-Set/06. Lebih lanjut Sekretaris Jenderal RLPS melalui Surat No. S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, menyatakan bahwa Dirjen RLPS pada prinsipnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar : a. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan dan penggunaan Dana Reboisasi untuk penyelenggaraan GN-RHL; b. Menginstruksikan kepada Direktur Jenderal RLPS supaya meningkatkan pengendalian terhadap pelaksanaan anggaran kegiatan GN-RHL di Ditjen RLPS; c.
Menegur Kuasa Pengguna Anggaran Tahun 2006 supaya bekerja secara cermat dan sesuai dengan program yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan
Ditjen RLPS berdasarkan kontrak No. S.2223/SET-4/2006 tanggal 13 Oktober 2006 telah
Penyusunan Buku
mengadaan perjanjian kerja sama dengan PT Wanacipta Lestari (PT WCL) untuk
Informasi
Penyusunan Buku Informasi Perkembangan Kegiatan GN-RHL/ GERHAN Tahun 2003
Perkembangan
s.d. 2005 sebesar Rp418.800.000,00 (termasuk pajak). Jangka waktu kontrak 2 (dua)
Kegiatan GERHAN
bulan dari tanggal 13 Oktober s.d. 13 Desember 2006.
Tidak Sesuai
Pekerjaan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan Berita Acara (BA) Serah Terima
Ketentuan
Pekerjaan tanggal 11 Desember 2006 dan sudah dibayar lunas melalui 3 tahap pembayaran yaitu Tahap I sebagai uang muka kerja sebesar Rp83.760.000,00 sesuai SPM No. 0044/RLPS/GN/XI/2006 tanggal 13 September 2006, Tahap II sebesar Rp134.016.000,00 sesuai SPM no. 0065/RLPS/GN/XII/2006 tanggal 11 Desember 2006 dan
pembayaran
Tahap
III
sebesar
Rp201.024.000,00
sesuai
SPM
no.
0066/RLPS/GN/XII/2006 tanggal 11 Desember 2006. Dari hasil konfirmasi BPK RI kepada BPDAS Musi, BPDAS Cimanuk Citanduy, BPDAS Unda Anyar, BPDAS Barito, dan BPDAS Jeneberang Walanae serta dinas-dinas kehutanan provinsi/kabupaten yang dijadikan sampel pemeriksaan diketahui bahwa realisasi biaya mobilisasi tenaga ahli dan asisten tenaga ahli lebih kecil dari nilai yang tercantum di dalam kontrak, yang berarti telah terjadi kelebihan pembayaran sebesar Rp165.993.000,00 yang terdiri atas Biaya Personil sebesar Rp144.000.000,00 dan Biaya Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
28
Non Personil sebesar Rp21.993.000,00 dengan penjelasan sebagai berikut : a. Sesuai dengan kontrak jumlah tenaga ahli dan asisten tenaga ahli PT Wanacipta Lestari (WCL) masing-masing sebanyak 10 orang dan 12 orang. Sedangkan biaya tenaga ahli berupa upah untuk 10 orang sebesar Rp122.000.000,00 dan biaya asisten tenaga ahli untuk 12 orang adalah sebesar Rp96.000.000,00. Namun jumlah tenaga ahli yang berada di lapangan hanya sebanyak 4 orang dan jumlah asisten ahli sebanyak 3 orang. Selain itu di lapangan terdapat beberapa nama personil yang tidak diusulkan sebelumnya di dalam kontrak oleh PT WCL yaitu sebanyak 3 orang. Menurut kontrak disebutkan bahwa PT WCL menyerahkan laporan pertengahan dan laporan akhir kepada Ditjen RLPS setelah laporan tersebut dibahas oleh Tim Pengendali Jasa Konsultasi. Berkaitan dengan hal tersebut Tim Pengendali Jasa Konsultasi telah melakukan pembahasan laporan pertengahan dan laporan akhir dengan PT WCL yang masing-masing dituangkan di dalam suatu berita acara pembahasan laporan. Dari pelaksanaan pembahasan laporan tersebut diketahui bahwa dari tenaga ahli dan asisten tenaga ahli PT WCL yang hadir hanya 8 orang dan 3 orang diantaranya sebagai asisten tenaga ahli yang tidak pernah diusulkan sebelumnya oleh PT WCL. Sehingga dari data di atas diketahui bahwa terdapat selisih lebih biaya tenaga ahli dan asisten tenaga ahli sebesar Rp144.000.000,00. Perincian perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel 1. b. Dari jadual/ tata waktu pelaksanaan pekerjaan yang telah diajukan oleh PT WCL dan disetujui oleh Ditjen RLPS diketahui bahwa jumlah hari pelaksanaan tugas baik untuk tenaga ahli maupun asisten tenaga ahli masing-masing 2 bulan atau 8 minggu, dengan perincian 6½ minggu berada di home base Jakarta
dan 1½
minggu berada di daerah-daerah sample terpilih. Namun sesuai Rincian Anggaran Biaya PT WCL, perincian jumlah hari di daerah-daerah sample terpilih adalah 10 hari dengan biaya lumpsum untuk 19 orang adalah sebesar Rp28.500.000,00. Selanjutnya dalam kontrak pelaksanaan pengambilan sample dilakukan di 5 provinsi yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Bali, Kalimantan Selatan dan Provinsi Sulawesi Selatan dengan biaya sebesar Rp26.261.600,00 untuk 10 orang tenaga ahli dan 12 orang asisten tenaga ahli. Selain itu terdapat transpor lokal untuk 5 daerah tersebut selama 10 hari sebesar Rp10.000.000,00. Jumlah tenaga ahli dan asisten tenaga ahli yang melakukan perjalanan kelima provinsi tersebut di atas hanya 17 orang dengan jumlah hari yang berbeda-beda antara 1 hari sampai dengan 10 hari. Sehingga dari data di atas diketahui bahwa terdapat selisih lebih biaya lumpsum sebesar Rp14.100.000,00, biaya transpor sebesar Rp3.693.000,00 dan biaya transpor lokal sebesar Rp4.200.000,00. Perincian perhitungan tersebut dapat dilihat masing-masing pada tabel 2 sampai dengan 4. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
29
Hal tersebut tidak sesuai dengan Keppres RI No. 42 Tahun 2002 jo Keppres RI No. 72 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada : a. Pasal 12 Ayat 1 huruf a. antara lain menyebutkan bahwa Pelaksanaan anggaran belanja Negara didasarkan atas prinsip hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan. b. Pasal 12 Ayat 2 antara lain menyebutkan bahwa “Belanja atas beban anggaran belanja Negara dilakukan berdasarkan atas hak dan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran.” Keadaan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran kepada PT WL atas pekerjaan penyusunan buku informasi perkembangan kegiatan GN-RHL tahun 2003 – 2005 sebesar Rp165.993.000,00 (Rp144.000.000,00 + Rp14.100.000,00 + Rp3.693.000,00 + Rp4.200.000,00), terjadi karena: a. PT WL sengaja tidak melaporkan seluruh pertanggungjawaban keuangan yang sebenarnya kepada Kuasa Pengguna Anggaran Tahun 2006; b. Tim Pengendali Pengadaan Jasa Konsultan Kegiatan Penyusunan Buku Informasi Perkembangan Kegiatan GN-RHL Tahun 2003 – 2005 tidak cermat dalam bekerja; c.
Pengawasan dan pengendalian oleh Kuasa Pengguna Anggaran Tahun 2006 terhadap pelaksanaan pekerjaan penyusunan buku informasi perkembangan kegiatan GN-RHL tahun 2003 – 2005 tidak efektif.
Atas masalah tersebut pihak Departemen Kehutanan menyatakan bahwa pekerjaan pembuatan buku informasi perkembangan kegiatan Gerhan 2003-2005 dilaksanakan secara kontraktual, sehingga secara keseluruhan pekerjaan tersebut diserahkan kepada PT Wanacipta Lestari. Selain itu Kuasa Pengguna Anggaran dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pekerjaan tersebut dibantu oleh Tim Pengendali sesuai SK Sekretaris Ditjen RLPS No. SK.107/SET-3/2006 tanggal 7 Juni 2006. Lebih lanjut Sekretaris Jenderal RLPS melalui Surat No. S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, menyatakan bahwa Dirjen RLPS pada prinsipnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar menegur Kuasa Pengguna Anggaran TA 2006 supaya lebih meningkatkan pengawasan dan pengendalian dalam penyelenggaraan GN-RHL dan diperintahkan supaya : a. Mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran sebesar Rp165.993.000,00 dengan menyetorkan ke Kas Negara dan bukti setor disampaikan kepada BPK-RI b. Memberikan teguran kepada Tim Pengendali kegiatan penyusunan buku informasi perkembangan kegiatan Gerhan tahun 2003 – 2005 untuk bekerja lebih cermat. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
30
Perubahan Sebagian
Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 161/Kpts/Um/1977 bahwa Kawasan Hutan Muara
Hutan Mangrove
Angke Kapuk ditetapkan sebagai Hutan Lindung yaitu sejajar pantai sepanjang 5 Km dan
Angke Kapuk Untuk
selebar 100 M dari garis pasang surut, yang di areal tersebut terdapat Cagar Alam seluas
Perumahan Tidak
15 Ha, Hutan Wisata, dan Kebun Pembibitan Kehutanan. Kawasan Hutan Muara Angke
Tepat
Kapuk merupakan kawasan hutan rawa-rawa yang ditumbuhi oleh tanaman api-api (Avicennia sp) dan bakau-bakau (Rhizophora sp) yang dikenal sebagai kawasan hutan mangrove. Kemudian dalam rangka pemanfaatan dan pengembangan kawasan Hutan Angke Kapuk, maka pada tanggal 14 Juni 1984, Menteri Kehutanan telah mengadakan perjanjian tukar menukar tanah Kawasan Hutan Angke Kapuk seluas 831,63 Ha, dengan PT Mandara Permai (PT MP). Sebagai pelaksanaan perjanjian tukar menukar tersebut, PT Mandara Permai (MP) telah menyerahkan areal pengganti seluas 1.704,95 Ha terdiri dari: 1.
Tanah di Ciharum seluas 1.1650,9 Ha;
2.
Tanah di Kabupaten Cianjur seluas 1.190 Ha;
3.
Tanah Rumpi di Kabupaten Bogor seluas 75 Ha;
4.
Nagrak Kabupaten Sukabumi seluas 350 Ha;
5.
Pulau Penjaliran Barat di Kabupaten Kepulauan Seribu seluas 18,4 Ha;
6.
Pulau Penjaliran Timur di Kabupaten Kepulauan Seribu seluas 19,5 Ha.
Berkaitan dengan perjanjian tukar menukar tersebut, maka Menteri Kehutanan dengan SK No. 097/Kpts-II/88 telah melakukan pelepasan Kawasan Hutan Angke Kapuk di Wilayah DKI Jakarta seluas tersebut di atas untuk diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri, selanjutnya untuk diserahkan kepada PT MP yang akan memanfaatkan dan mengembangkan kawasan tersebut. Untuk memperoleh luas dan batas yang definitif atas areal yang diserahkan kepada PT MP dan sebagian areal yang masih dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung, maka Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (sekarang Badan Planologi Kahutanan) dengan surat No. 08/Kpts/VII-4/1994 telah membentuk Panitia Tim Tata Batas Kawasan Hutan Angke Kapuk dan hasilnya dituangkan di dalam Berita Acara tanggal 2 Juni 1994 dengan perincian luas sebagai berikut :
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
31
No A.
Lokasi
SK.Menhut No.097 +/- (Ha)
L u a s (Ha) Proyeksi Riel
Areal Yang Dipertahankan 1.
Hutan Wisata
101,60
101,68
99,87
2.
Hutan Lindung
50,80
51,00
44,76
3.
Cagar Alam
25,00
25,02
25,02
4.
Kebun Pembibitan
10,47
10,51
10,51
5.
Cengkareng Drain
28,36
28,39
28,39
6.
Jalur Transmisi PLN
25,90
25,80
23,70
7.
Jalan TOL dan Jalur Hijau
91,37
97,50
95,50
333,50
339,90
327,75
831,63
823,94
823,94
Jumlah A B.
Areal yang dilepaskan
0
1.
PT Mandara Permai
2.
Areal GAP
-
1,26
1,26
3.
Break Water
-
1,98
1,98
831,63
827,18
827,18
1.165,13
1.167,08
1.154,93
Jumlah B J u m l a h (A + B)
Dari data tersebut menunjukan bahwa luas areal Hutan Wisata dan Hutan Lindung menurut SK Menhut masing-masing adalah 101,60 Ha dan 50,80 Ha namun telah mengalami abrasi laut masing-masing menjadi seluas 99,87 Ha dan 44,76 Ha sehingga luas areal yang mengalami abrasi masing-masing adalah 1,73 Ha dan 6,04 Ha. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di lapangan oleh BPK RI bersama-sama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta dan Sudin Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Utara yang dilakukan pada Kawasan Hutan Angke Kapuk antara lain diketahui bahwa: a. Kawasan Hutan Muara Angke Kapuk merupakan bagian dari Pantai Utara Jawa sebagai rawa-rawa tempat hidupnya mangrove (bakau) yang terletak di antara Bandara Soekarno-Hatta dan Pluit. Secara administrasi merupakan lingkup wilayah kerja Walikotamadya Jakarta Utara. b. PT MP telah memanfaatkan areal seluas 827,18 Ha untuk permukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi dan lapangan golf yang disebut sebagai Pantai Indah Kapuk (PIK). Untuk mencegah terjadinya air pasang di lokasi PIK, maka PT MP telah membuat bendungan disepanjang pantai tersebut. Selanjutnya menurut pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta selaku pengelola kawasan Hutan Angke Kapuk menyatakan bahwa dengan dibuatnya bendungan tersebut oleh PT MP maka telah terjadi pengalihan air pasang (banjir) ke Kelurahan Muara Angke dan Keluaran Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta Utara. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
32
c.
Semula lokasi kawasan PIK merupakan Kawasan Hutan Mangrove dan terdapat rawa-rawa dan tambak milik nelayan setempat. Namun demikian lokasi tersebut telah diubah fungsinya sebagai kawasan pemukiman. Perubahan fungsi tersebut secara tertulis telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian pada tanggal 31 Juli 1982. Atas perubahan tersebut Gubernur DKI Jakarta menyetujuinya, karena dari nilai ekonomi kawasan tersebut dapat meningkatkan Iuran Pendapatan Daerah (Ipeda). Atas perubahan tersebut Pemerintah mendapatkan areal seluas 1.704,95 Ha, diantaranya seluas 37,90 Ha berada di wilayah DKI Jakarta yaitu Pulau Penjaliran Barat seluas 18,4 Ha dan Pulau Penjaliran Timur seluas 19,5 Ha.
d. Hutan Lindung seluas 50,80 Ha telah mengalami abrasi dan berdasarkan pada pengukuran terakhir tahun 1994 menjadi seluas 44,76 Ha. Namun demikian saat ini masalah abrasi atau erosi pantai di daerah tersebut menjadi sangat parah seperti yang diungkap oleh Walikota Jakarta Utara pada saat mengajukan permohonan kegiatan pembuatan Dam Pengendali Ombak di Hutan Lindung Angke Kapuk, program GN-RHL tahun 2003 sampai dengan 2007 kepada Ditjen RLPS. Menurut penjelasan Kepala Sub Dinas Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta diketahui bahwa disekitar wilayah Jakarta Utara telah mengalami intrusi air laut sehingga berpengaruh pada perubahan air tanah di daerah tersebut menjadi payau. Dari hasil Analisa Dampak Lingkungan oleh Bapedal diketahui bahwa Proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) mencakup kawasan budidaya seluas 831,63 Ha dan hutan seluas 333,50 Ha. Namun, kawasan hutan tidak hanya terdiri dari hutan saja, melainkan juga mencakup kebun pembibitan, Cengkareng Drain, jalan transmisi PLN, jalur hijau dan jalan tol. Sementara yang disebut kawasan budidaya di antaranya padang golf, rekreasi air, pemukiman dan bangunan umum. Dengan adanya perubahan fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman dan sebagainya tersebut, maka setiap tahun musim hujan jalan menuju bandara Soekarno-Hatta mengalami banjir. Dari data-data tersebut di atas menunjukan bahwa menurut SK Menhut No. 097/KptsII/88 luas kawasan Muara Angke Kapuk adalah 1.165,13 (termasuk areal yang dilepas kepada PT MP seluas 831,63 Ha), namun sampai dengan tahun 2007 areal hutan mangrove yang masih ada menjadi seluas 180,16 Ha yaitu terdiri dari hutan wisata seluas 99,87 Ha, hutan lindung seluas 44,76 Ha, Cagar alam seluas 25,02 dan kebun pembibitan kehutanan seluas 10,51 Ha. Hal tersebut tidak sesuai dengan dengan : a. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
33
1) Pasal 19 : b. Ayat (1) antara lain menyatakan bahwa “Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a berupa segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan”; c.
Ayat (2) antara lain menyatakan bahwa “Pemanfaatan kawasan sebagaimana dalam ayat (1) meliputi usaha budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, perlebahan dan penangkaran satwa liar atau sarang burung wallet”.
2)
Pasal 20 Ayat (3) antara lain menyebutkan bahwa “Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain berupa: usaha wisata alam, olah raga tantangan, pemanfaatan air, perdagangan karbon atau penyelamatan hutan dan lingkungan”.
d. SK Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan : 1) Pasal 7 antara lain menyatakan bahwa “pada dasarnya kawasan hutan yang dapat dirubah statusnya adalah Kawasan Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK)”; 2) Pasal 8 antara lain menyatakan bahwa “Dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perubahan status kawasan hutan produksi apabila memenuhi persyaratan diantaranya tidak berdampak negatif lingkungan yang didasarkan hasil penelitian terpadu”. Keadaan tersebut mengakibatkan : a.
Berkurangnya tanaman mangrove di Kawasan Hutan Muara Angke Kapuk minimal seluas 984,97 Ha (1.165,13 Ha – 180,16 Ha) yang secara ekologis berfungsi sebagai penyanggah gelombang air laut dan pelindung pantai sehingga lebih lanjut akan meningkatkan risiko perubahan air tanah di daerah tersebut menjadi payau;
b.
Berpotensi makin meluasnya abrasi/erosi pantai di daerah kawasan Muara Angke kapuk dan terjadinya banjir di wilayah Kotamadya Jakarta Utara.
Hal tersebut terjadi karena adanya kebijakan Menteri Kehutanan dan Gubernur DKI Jakarta mengenai perubahan fungsi hutan Angke Kapuk menjadi perumahan dan bisnis. Lebih lanjut Sekretaris Direktorat Jenderal RLPS melalui Surat No. S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, menyatakan bahwa Dirjen RLPS pada prinsipnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
34
BPK RI menyarankan kepada : a. Menteri Kehutanan agar tidak memberikan izin kawasan pada hutan lindung untuk diubah fungsinya sebagai kawasan pemukiman yang dapat berdampak negatif pada lingkungan dan melakukan koordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup untuk mengevaluasi kembali Analisis Mengenai Dampak Lingkungan di Kawasan Hutan Muara Angke Kapuk; b. Gubernur DKI Jakarta agar melakukan rehabilitasi terhadap kawasan hutan payau dengan dana dari APBD Provinsi DKI Jakarta.
Penetapan Provinsi
Menindaklanjuti
DKI Jakarta Sebagai
Perekonomian dan Menko Politik dan Keamanan No. 09/KEP/MENKO/KESRA/III/2003,
Sasaran GN-RHL
No. KEP 16/M.EKON/03/2003, No. KEP/08/MENKO/POLKAM/III/2003 tanggal 31 Maret
Tidak Sesuai Dengan
2003, maka pada bulan Juli 2003 Dirjen RLPS telah menyusun Rencana Lima Tahun
Rencana Lima Tahun
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RLT GN-RHL) untuk tahun 2003 sampai
GN-RHL Untuk Tahun
dengan 2007, sebagai dasar untuk penyelenggaraan GN-RHL yang memuat arahan
2003 - 2007
kebijakan, ruang lingkup kegiatan dan sasaran fisik indikatif, yang diproyeksikan dalam
Keputusan
Bersama
Menko
Kesejahteraan
Rakyat,
Menko
kegiatan tahunannya dengan proses perencanaan terpadu “top down buttom up planning”. Menurut RLT GN-RHL tahun 2003 – 2007 bahwa sasaran lokasi kegiatan GN-RHL adalah hutan dalam kawasan hutan negara (hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi) dan lahan di luar kawasan hutan seluas 3.000.000 (tiga juta) Ha, yang berada dalam kondisi kritis/terbuka pada 68 DAS Prioritas terdiri atas 60 DAS Perioritas I dan 8 DAS Perioritas II, yang terletak di 27 provinsi dan ±256 kabupaten/kota. Dari RLT GNRHL tersebut diketahui bahwa Provinsi DKI Jakarta tidak termasuk dalam DAS Prioritas I maupun II. Menurut pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta bahwa Provinsi DKI Jakarta tidak termasuk dalam DAS Perioritas I maupun II. Namun demikian, menurut data penyelenggaraan dan lokasi GN-RHL yang ditetapkan setiap tahun oleh Menteri Kehutanan diketahui bahwa terdapat sasaran lokasi GN-RHL pada Provinsi DKI Jakarta mulai tahun 2003 sampai dengan 2007 sebagai berikut: No 1. 2.
Propinsi DKI Jakarta Dalam Kawasan Hutan Luas Kawasan Hutan /Areal Penggunaan Lainnya
2003 0,00
Luas sasaran lokasi GN-RHL (Ha) 2004 2005 2006 2007 100,00 0,00 0,00 750,00
0,00
850,00
425,00
0,00
Total 850,00
200,00 1.475,00
Dari data diatas, menunjukkan bahwa penetapan sasaran lokasi pelaksanaan GN-RHL yang dibuat setiap tahun oleh Ditjen RLPS tidak mengacu pada Rencana Lima Tahun GN-RHL (2003 – 2007) yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
35
Menurut hasil analisis lahan kritis Direktorat Pengelolaan DAS Tahun 2006, Luas lahan di Provinsi DKI Jakarta adalah seluas 74.840,60 Ha yang terdiri dari lahan dengan kategori potensial kritis seluas 886,64 Ha dan kategori tidak kritis seluas 73.953,96 Ha, sehingga provinsi DKI Jakarta tidak termasuk DAS Prioritas I maupun DAS Prioritas II yang merupakan sasaran lokasi GN-RHL tahun 2003 sampai dengan 2007. Pada kenyataannya Provinsi DKI Jakarta sejak Tahun 2003 s.d. Tahun 2007 mendapat alokasi dana GN-RHL sebesar Rp17.518.054.000,00 dengan realisasi sebesar Rp7.753.949.910,00 atau 44,26% dari alokasi dana. Penetapan dan penyaluran dana GN-RHL pada Provinsi DKI Jakarta yang tidak tepat dalam hal ini tidak sesuai dengan Rencana Lima Tahun GN-RHL berpengaruh pada rendahnya penyerapan anggaran sehubungan adanya kendala atau kesulitan dalam hal pencarian lokasi atau lahan untuk kegiatan GN-RHL yang lebih lanjut kegiatan GN-RHL yang telah ditetapkan dan dialokasikan dananya kemudian dibatalkan atau direalisasikan pencairan dananya tetapi kegiatannya tidak terlaksana, sedangkan yang terlaksana tidak efektif sebagai berikut: 1. Pembuatan sumur resapan tahun 2003 dan tahun 2007 sebanyak 130 unit di Jakarta Utara tidak dapat dilaksanakan karena permukaan air di Jakarta Utara tinggi tidak tepat untuk lokasi sumur resapan, sehingga alokasi dana untuk kegiatan tersebut sebesar Rp325.000.000,00 tidak direalisasikan oleh Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Utara. Namun demikian Kepala Sudin Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Utara dengan surat nomor 343/077.7 tanggal 16 Desember 2003 yang ditujukan kepada Direktur Jenderal RLPS mengajukan permohonan pengalihan kegiatan pembuatan sumur resapan menjadi pembuatan dam pengendali ombak di areal hutan lindung Angke Kapuk karena kondisi hutan lindung Angke Kapuk saat ini sudah mengalami abrasi/erosi pantai yang cukup parah, namun Departemen Kehutanan belum menanggapi surat tersebut. 2. Bibit tanaman sebanyak 8100 pohon senilai Rp77.472.000,00 hasil pengadaan tahun 2004 oleh BP DAS yang sedianya untuk ditanam di Kecamatan Menteng tidak jadi ditanam karena kesulitan lokasi yang akhirnya bibit tersebut mati. Sementara itu Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Pusat telah merealisasikan biaya upah/gaji untuk persiapan penanaman bibit sebesar Rp18.301.763,00, namun bibit tidak jadi ditanam. 3. Pelaksanaan penanaman bibit GN-RHL sebanyak 9.840 bibit di Wilayah Kota Jakarta Utara pada tahun 2004 tidak efektif yaitu sebanyak 9.000 bibit tanaman mati, antara lain karena adanya okupasi oleh masyarakat yang terkena program penertiban penghuni liar di bawah jalan tol oleh Pemerintah DKI Jakarta. Masyarakat tersebut melakukan pengrusakan dan penggusuran tananam GN-RHL
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
36
4. Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Timur dalam menyusun Rancangan Teknis Pembuatan Tanaman Hutan Kota belum mengacu pada RTRW Kota Jakarta Timur. Hal tersebut terbukti dalam pelaksanaan pembuatan tanaman Hutan Kota Tahun 2006 oleh Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Timur di Komplek Halim Perdana Kusuma Kecamatan Makasar Jakarta Timur seluas 15 Ha tidak berhasil atau gagal karena lokasi tanaman tersebut ternyata oleh Pengelola Lanud Halim Perdana Kusuma telah direncanakan untuk lapangan golf. Untuk pelaksanaan pembuatan lapangan golf di lokasi tersebut Pengelola Lanud Halim Perdana Kusuma telah melakukan penggusuran terhadap hasil tanaman GN-RHL tahun 2006. Sehingga biaya pembuatan tanaman Hutan Kota minimal sebesar Rp6.450.000,00 yang telah direalisasikan oleh Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Timur menjadi tidak efektif. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, apabila dana yang telah direalisasikan sebesar Rp7.753.949.910,00 untuk kegiatan GN-RHL di Provinsi DKI Jakarta tersebut dialokasikan untuk kegiatan penanaman reboisasi Hutan Lindung/Hutan Produksi yang kritis pada DAS Prioritas I di Wilayah Rayon II antara lain Sumatera Selatan yang berdasarkan RLT GN-RHL Tahun 2003 – 2007 mempunyai sasaran untuk pemulihan terluas yaitu 319.036 Ha dengan asumsi bahwa harga per Ha untuk penanaman reboisasi Hutan Lindung/Hutan Produksi di wilayah tersebut di atas sebesar Rp1.800.000,00 (sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial), maka seluas ±4.307,75 Ha (Rp7.753.949.910,00/Rp1.800.000,00 x 1 Ha) lahan kritis dapat direhabilitasi. Hal tersebut tidak sesuai dengan : a. Pedoman Penyelenggaraan GN-RHL No.18/Kep/Menko Kesra/X/2003 tanggal 3 Oktober 2003 : 1) Tujuan GN-RHL GN-RHL bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif sehingga, sumber daya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS serta memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. 2) Strategi GN-RHL yang anatara lain menyatakan bahwa GN-RHL diprioritaskan pada hutan dan atau lahan kritis yang menimbulkan daya rusak besar. 3) Sasaran Program : a) Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b) Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
37
c) Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL. d) Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL b. Rencana Lima Tahun Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2003 sampai dengan 2007 yang merupakan proyeksi dan rencana fisik dan acuan penyelenggaraan RHL, memuat arah kebijakan maupun pelaksanaan kegiatan secara fisik dan alokasi pembiayaan sehingga dapat dicapai kinerja RHL yang ditetapkan. Penggunaan dana GN-RHL sebesar Rp7.753.949.910,00 yang tidak tepat sasaran berakibat mengurangi kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis di DAS Prioritas I seluas 4.307,75 Ha. Hal tersebut terjadi karena penyusunan Rencana Tahunan GN-RHL oleh Ditjen RLPS belum sepenuhnya mengacu pada Rencana Lima Tahun GN-RHL untuk Tahun 2003 s.d. 2007. Atas masalah tersebut pihak Departemen Kehutanan sependapat dengan BPK RI dan pada masa mendatang Departemen Kehutanan akan melakukan evaluasi kembali terhadap alokasi Gerhan di DKI Jakarta sesuai dengan kemampuan daerah. BPK RI menyarankan agar Menteri Kehutanan di masa yang akan datang tidak mengalokasikan anggaran GN-RHL untuk provinsi DKI Jakarta dan meminta Gubernur DKI Jakarta mengalokasikan APBD untuk membiayai rehabilitasi lahan yang potensial kritis di wilayahnya.
Penunjukan LPI Untuk
Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta tahun 2006 telah menunjuk PT
Penilaian Kinerja GN-
Interkonagro Mitratama dan PT Caturbina Guna Persada melalui penunjukan langsung,
RHL Tahun 2004 dan
masing-masing dengan SPK No.20/PPSDH/DIPA-L69/II/2006 tanggal 8 Pebruari 2006
2005 Oleh Dinas
dengan harga kontrak sebesar Rp49.390.000,00 dan SPK No.20/PPSDH/DIPA/X/2006
Pertanian dan
tanggal 5 Oktober 2006 dengan harga kontrak sebesar Rp64.542.500,00 masing-masing
Kehutanan Provinsi
untuk melaksanakan penilaian kinerja kegiatan GN-RHL Tahun 2004 dan 2005.
DKI Jakarta Tidak
Pekerjaan tersebut telah dibayar lunas sesuai SPM No. 00027/AP.1/DIPA-L/IV/2006
Dilakukan Dengan
tanggal 2 April 2006 dan SPM No.00010/SPM-PPSDH/XII/2006 tanggal 19 Desember
Cermat
2006. Hasil pengujian terhadap dokumen pengadaan LPI pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta menunjukan hal-hal sebagai berikut : a. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan pejabat/panitia pengadaan barang/jasa tidak membuat pakta integritas. b. Penyerahan laporan penilaian kinerja GN-RHL TA 2007 dari PT Interkonagro Mitratama kepada Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta dilakukan tanpa berita acara. Hal tersebut karena Kuasa Pengguna Anggara (KPA) belum
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
38
membentuk baik Panitia Pemeriksa Barang maupun Panitia Serah Terima Barang untuk pekerjaan kinerja GN-RHL/GERHAN Tahun 2004. Namun demikian pada pelaksanaan kegiatan GN-RHL tahun 2005 KPA telah menetapkan Tim Pemeriksa Barang sekaligus sebagai Tim Penerima Barang, sehingga laporan penilaian kinerja GN-RHL tahun 2005 yang dilaksanakan oleh PT Catur Bina Guna Persada telah diserahterimakan
sesuai
dengan
Berita
Acara
Serah
Terima
No.
40/BA/GERHAN/XI/2006 tanggal 29 November 2006. c.
Panita Pengadaan telah menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Pengadaan Jasa Penilaian Kinerja Tahun 2004. Namun belum dapat digunakan sebagai pembanding nilai penawaran yang diajukan oleh Pihak ketiga, karena variable perhitungan harga satuan antara HPS dengan surat penawaran yang diajukan pihak ketiga berbeda.
d. Dari Laporan Hasil Penilaian Kinerja Kegiatan GERHAN Tahun 2004 dan 2005 oleh PT Interkonagro Mitratama dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: 1) Rencana dan realisasi kegiatan GN-RHL Tahun 2004 dan 2005 di Wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut : No
Penanaman ( Ha )
Th
Lokasi
1
2004
2
2005
Jakarta Pusat Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Utara Jumlah Jakarta Pusat Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Utara Kep. seribu BTN Kep Seribu Jumlah
Rencana 185,56 199,99 250,00 200,00 835,55 50,00 35,00 50,00 50,00 36,00 46,00 267,00
Realisasi 178,63 185,00 235,00 192,50 791,13 50,00 35,00 50,00 50,00 36,00 46,00 267,00
Tanaman mangrove ( Ha ) Rencana Realisasi 150,00 150,00 150,00 150,00 304,00 304,00 600,00 600,00 904,00 904,00
Sumur Resapan ( Unit ) Rencana Realisasi 50 50 50 50 50 50 50 50 200 200 100 100 100 100 102 102 150 150 50 50 502 502
2) Prosentase Hidup dan Nilai kinerja kegiatan GN-RHL Tahun 2004 dan 2005 di Wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut : No
Tahun
Lokasi
Prosentase Hidup/Tumbuh
1
2004
Jakarta Pusat Jakarta Selatan Jakarta Barat
66,27% 72,42% Tidak melaksanakan kegiatan penanaman 69,57% 52,17% 41,40% 68,64% 38,00% 60,11% 49,97% 60,83% 54,72%
2
2005
Jakarta Timur Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Utara Kep. seribu BTN Kep Seribu
Nilai Kinerja 82,66% 71,90% 64,21% 69,95% 55,58% 64,21% 77,59% 67,22% 74,24% 70,53% 55,58% 70,24%
Pengujian lebih lanjut terhadap Laporan Tahunan Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL tahun 2004 dan 2005 pada masing-masing Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan di Wilayah Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
39
Provinsi DKI Jakarta menunjukkan antara lain bahwa : a. Terdapat perbedaan angka rencana dan realisasi penanaman pada tahun 2004 antara Laporan PT Interkonagro Mitratama dengan Laporan Tahunan yang dibuat oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta yaitu sesuai tabel di atas rencana penanaman menurut PT Interkonagro Mitratama 835,55 Ha dan realisasinya 791,13 Ha. Sedangkan menurut Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, rencana penanaman 850 Ha dan realisasinya 831,59 Ha. Sehingga terjadi selisih rencana 14,45 Ha dan realisasi 40,46 Ha. b. Terdapat perbedaan realisasi penanaman antara Laporan PT Interkonagro Mitratama dengan Laporan Tahunan Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Pusat yaitu menurut PT Interkonagro Mitratama pada lokasi Taman dan Waduk Situ Lembang Kelurahan Menteng Kecamatan Menteng Kota Jakarta Pusat terdapat kegiatan penanaman seluas 2,67 Ha sebanyak 1.071 pohon. Sedangkan menurut Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Pusat di lokasi tersebut tidak ada penanaman karena adanya perubahan lokasi penanaman oleh BPDAS Citarum Ciliwung. Hal tersebut menunjukan bahwa PT Interkonagro Mitratama tidak cermat melakukan penilaian terhadap sample yang dipilih. c. Terdapat perbedaan realisasi penanaman antara laporan PT Interkonagro Mitratama dengan Laporan Tahunan Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Pusat yaitu menurut PT Interkonagro Mitratama tidak ada rencana dan realisasi penanaman pada lokasi Yaporti Rumah Sakit Mitra Kemayoran Kecamatan Kemayoran Kota Jakarta Pusat. Sedangkan menurut Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Pusat bahwa di lokasi tersebut telah dilakukan penanaman seluas 2,50 Ha. Kemudian dari hasil cek fisik Tim BPK-RI bersama-sama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 27 September 2007 di lokasi yang sama diketahui bahwa di lokasi tersebut terdapat penanaman. d. Terdapat perbedaan jumlah pembuatan sumur resapan antara PT Caturbina Guna Persada dengan Berita Acara Serah Terima Barang No.11/075.8 tanggal 9 Januari 2006 yaitu menurut PT Caturbina Guna Persada terdapat realisasi pembuatan sumur resapan Tahun 2005 di Rumah Warga Kelurahan Setu Kecamatan Cipayung Kota Jakarta Timur sebanyak 39 unit. Sedangkan menurut Berita Acara Serah Terima Barang No.11/075.8 tanggal 9 Januari 2006 terdapat pembuatan sumur resapan sebanyak 40 unit. Kemudian dari hasil cek fisik Tim BPK-RI bersama-sama Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Timur pada tanggal 26 September 2007 di lokasi yang sama diketahui bahwa di lokasi tersebut terdapat pembuatan sumur resapan sebanyak 40 unit, namun terdapat 1 unit sumur resapan dalam keadaan tidak berfungsi. e. Terdapat perbedaan rencana dan realisasi penanaman antara laporan PT Caturbina Guna Persada dengan Laporan Tahunan Suku Dinas Jakarta Utara yaitu menurut Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
40
PT Caturbina Guna Persada tidak ada rencana dan realisasi penanaman pada lokasi Yayasan Bangun Kelurahan Papanggo Kecamatan Tanjung Priok seluas 2 Ha dan dilokasi RW 02/03 Kelurahan Sunter Jaya Kecamatan Tanjung Priok seluas 3 Ha. Sedangkan menurut Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Jakarta Utara bahwa di lokasi tersebut telah dilakukan penanaman seluas 2 Ha sebanyak 800 pohon dan 3 Ha sebanyak 1.200 pohon. Hal tersebut menunjukan bahwa PT Caturbina Guna Persada tidak cermat melakukan penilaian terhadap sample yang dipilih. Dari data-data di atas menunjukkan bahwa HPS tidak dapat digunakan untuk menilai harga penawaran Pihak Ketiga. Selain itu dengan adanya perbedaan yang menyolok antara laporan penilaian kinerja menurut LPI dengan laporan tahunan menurut masingmasing satker kegiatan GN-RHL tahun 2004 dan 2005 di wilayah Provinsi DKI Jakarta, maka laporan LPI tersebut sulit digunakan sebagai alat untuk menilai keberhasilan kegiatan GN-RHL tahun 2004 dan 2005. Hal tersebut tidak sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 jo Perpres No. 85 Tahun 2006: a.
Pasal 9 ayat (3) menyebutkan bahwa tugas pokok Pejabat Pembuat Komitmen dalam pengadaan barang/jasa antara lain : 1) Huruf c : menetapkan dan mengesahkan harga perkiraan sendiri (HPS), jadwal, tata cara pelaksanaan dan lokasi pengadaan yang disusun oleh panitia pengadaan/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan. 2) Huruf j : menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan pengadaan barang/jasa dimulai.
b. Pasal 10 ayat (5) menyebutkan bahwa tugas, wewenang, dan tanggung jawab pejabat/panitia pengadaan/Unit Layanan Pengadaan meliputi: 1) Huruf b: menyusun dan menyiapkan harga perkiraan sendiri (HPS) 2) Huruf i: menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan pengadaan barang/jasa dimulai. c.
Pasal 13 Ayat (1) menyebutkan bahwa Pengguna barang/jasa wajib memiliki harga perkiraan sendiri (HPS) yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabnya.
Keadaan tersebut mengakibatkan : a. Harga kontrak penilaian kinerja kegiatan GN-RHL Tahun 2004 oleh LPI sebesar Rp113.932.500,00 tidak dapat di nilai kewajarannya. b. Laporan penilaian kinerja kegiatan GN-RHL Tahun 2004 dan 2005 yang dilakukan oleh PT Interkonagro Mitratama dan PT Caturbina Guna Persada kurang layak untuk dijadikan dasar mendapatkan biaya pemeliharaan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
41
Hal ini terjadi karena : a. Panitia Pengadaan Barang/Jasa kurang cermat dalam menyusun HPS dan Pejabat Pembuat Komitmen tidak mengevaluasi kembali HPS yang disusun oleh Panitia. b. Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta kurang melakukan pengendalian atas pelaksanaan kegiatan dalam hal ini yang menjadi tanggungjawabnya, terbukti tidak membentuk Tim Pengendali Teknis sebagai pengawas akhir Laporan LPI. c.
PT Interkonagro Miratama dan PT Caturbina Guna Persada tidak cermat dalam melakukan penilaian hasil pembuatan tanaman GN-RHL tahun 2004 dan 2005.
Atas masalah tersebut pihak Departemen Kehutanan menyatakan Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta sependapat dengan BPK RI bahwa Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta belum membentuk Tim Pengendali Teknis untuk pelaksanaan penilaian oleh LPI, namun dimasa yang akan datang Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta akan membentuk Tim tersebut serta akan lebih cermat dalam membuat HPS serta akan lebih meningkatkan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan GN-RHL. BPK RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta Gubernur DKI Jakarta memerintahkan Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta supaya: a. Lebih meningkatkan pengendalian atas pelaksanaan kegiatan di unit kerjanya; b. Menegur Pejabat Pembuat Komitmen dan Panitia Pengadaan Barang agar bekerja lebih cermat.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
42
BAB V KESIMPULAN
Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan isu nasional dan internasional yang penting pada saat ini. Berdasarkan laporan Bank Dunia tentang Kondisi Perubahan Iklim di Indonesia disebutkan bahwa Indonesia termasuk penyumbang terbesar Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan. Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan antara lain disebabkan oleh pengundulan hutan dan kebakaran hutan. Disamping dampak terhadap perubahan iklim, penggundulan hutan di Indonesia juga sudah sangat merisaukan karena berdasarkan data Baplan tahun 2000 laju kerusakan hutan adalah 1,5 s/d 2,8 juta Ha pertahun. Laju kerusakan yang begitu pesat perlu diikuti dengan upaya yang intensif untuk merehabilitasinya. Pemerintah telah berupaya merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan tersebut dengan melakukan Program GN-RHL dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan menggunakan DAK DR. Upaya yang dilakukan pemerintah melibatkan juga aparat pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota serta masyarakat di wilayah sekitar hutan dan lahan yang rusak. Hasil Pemeriksaan BPK-RI atas pelaksanaan kegiatan GN-RHL Tahun 2003 sampai dengan 2007 pada Departemen Kehutanan menunjukan bahwa penyelenggaraan kegiatan GN-RHL oleh Departemen Kehutanan belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yaitu masih ada penggunaan anggaran GN-RHL untuk kegiatan-kegiatan yang tidak tepat sasaran sesuai program/kegiatan GN-RHL yang telah ditetapkan yaitu sebesar Rp15.040.000.000,00 dan adanya ketidakhematan sebesar Rp165.993.000,00. Disamping itu masih ditemukan dana sebesar Rp846.305.002.867,67 yang tidak efektif pada pelaksanaan penyaluran DAK DR dan DBH DR oleh Pemerintah untuk kegiatan RHL di Daerah. Sedangkan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa secara umum pelaksanaan kegiatan GN-RHL di Provinsi DKI Jakarta belum berhasil, karena penetapan dan penyaluran dana GN-RHL pada Provinsi DKI Jakarta yang tidak tepat dalam hal ini tidak sesuai dengan Rencana Lima Tahun GN-RHL, sehingga berpengaruh pada rendahnya penyerapan anggaran yaitu sebesar Rp7.753.949.910,00 sehubungan adanya kendala atau kesulitan dalam hal pencarian lokasi atau lahan untuk kegiatan GN-RHL yang lebih lanjut kegiatan GN-RHL yang telah ditetapkan dan dialokasikan dananya kemudian dibatalkan atau direalisasikan pencairan dananya tetapi kegiatannya tidak terlaksana, dengan perincian sebagai berikut : 1. Pelaksanaan Anggaran BA 69 GN-RHL Tahun 2006 yang bersumber dari Dana Reboisasi oleh Direktorat Jenderal RLPS menghilangkan kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas + 9.400 Ha sehingga mengakibatkan alokasi dana BA 69 untuk penyelenggaraan kegiatan GNRHL pada Ditjen RLPS sebesar Rp15.040.000.000,00 tidak tepat sasaran dan tepat guna sesuai program/kegiatan yang telah ditetapkan dan pemerintah kehilangan kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahan seluas + 9.400 Ha . 2. Pelaksanaan Penyusunan Buku Informasi Perkembangan Kegiatan GERHAN Tidak Sesuai Ketentuan, mengakibatkan terjadi kelebihan pembayaran kepada PT Wanacipta Lestari atas pekerjaan Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
43
penyusunan buku informasi perkembangan kegiatan GN-RHL tahun 2003 – 2005 sebesar Rp165.993.000,00. 3. Pengalokasian dan penyaluran Dana Alokasi Khusus DR (DAK DR) dan Dana Bagi Hasil DR (DBH DR) kepada Daerah tidak tepat waktu serta terdapat dana Sebesar Rp846.305.002.843,91 yang belum disalurkan oleh Pemerintah mengakibatkan pendapatan Daerah berupa DAK DR dan DBH DR menjadi kurang diterima sebesar Rp846.305.002.867,67 serta pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2004 sampai dengan 2007 di daerah menjadi terlambat dan berpotensi tidak terlaksana. 4. Penetapan Provinsi DKI Jakarta sebagai sasaran GN-RHL tidak sesuai dengan Rencana Lima Tahun GN-RHL untuk Tahun 2003 - 2007 mengakibatkan penggunaan dana GN-RHL sebesar Rp7.753.949.910,00 yang tidak tepat sasaran, mengurangi kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis di DAS Prioritas I seluas 4.307,75 Ha. Kondisi diatas antara lain terjadi karena pemerintah tidak tegas dalam menentukan lokasi RHL hanya di lokasi yang menjadi prioritas DAS, belum sepenuhnya berkomitmen secara berjenjang untuk merehabilitasi hutan dan lahan, kurang melakukan koordinasi diantara pihak yang terkait dan belum optimal meningkatkan sistem anggaran agar terintegrasi dengan proses penanaman.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi DKI Jakarta
44
Lampiran 1 DAFTAR RINCIAN USULAN ALOKASI BAGIAN DAERAH PER PROVINSI TAHUN 2004 s.d. SEMESTER I 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Gorontalo Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Banten Papua Irian Jaya Barat
Tahun 2004 782.177.607,18 7.271.509.936,99 36.042.654.570,18 134.236.659.616,67 181.178.123,20 17.780.598.219,50 530.922.774,80 332.908.665,52 191.746.287,48 40.410.480,00 68.912.136.800,08 149.020.953.101,96 16.028.202.099,80 249.320.723.486,84 215.895.710,62 683.726.925,44 7.995.941.755,44 2.117.413.853,90 1.826.952.170,96 284.295.731,36 1.002.403.142,46 23.379.547.188,16 34.933.176.780,52 15.849.124.534,92 29.576.213.652,59 798.537.473.216,57
2005
2006
2007
1.499.935.976,00 10.183.644.840,14 14.055.462.900,14 116.374.536.827,19 68.072.297,60 23.290.189.711,08 759.153.444,20 313.675.606,60 94.333.799,70 40.775.024.231,20 144.676.628.827,16 3.492.466.965,87 196.332.038.574,84 572.373.799,24 323.778.885,76 9.619.663.235,61 1.045.744.917,89 2.508.616.822,89 579.757.471,66 1.171.185.569,53 13.701.051.723,73 45.603.938.961,00 21.687.694.418,36 34.075.201.871,48 682.804.171.678,87
732.489.870,04 2.132.978.718,40 2.935.043.870,25 92.117.339.721,99 178.982.117,24 26.330.759.368,71 360.630.454,68 1.355.496.262,76 54.652.707,51 12.951.853.242,32 129.574.007.227,63 4.495.308.670,19 170.296.331.753,17 155.505.552,40 1.014.017.196,72 5.975.638.272,36 577.090.954,74 630.080.881,80 2.781.810.284,66 1.246.393.587,19 12.335.801.359,95 53.046.880.420,17 30.772.154.029,42 22.601.803.396,81 574.653.049.921,11
130.712.932,48 1.917.983.194,02 410.969.983,00 31.186.318.388,58 26.961.622,40 7.576.623.881,52 791.366.286,44 873.373.320,02 5.089.910.546,90 38.797.533.238,04 2.060.349.505,22 45.101.996.059,33 192.366.976,00 84.924.244,00 2.787.494.188,67 2.969.050,68 8.859.384,00 496.714.501,21 440.268.344,16 4.643.142.767,33 15.099.262.939,82 12.908.511.137,16 11.554.125.490,92 182.182.737.981,92
Jumlah 3.145.316.385,70 21.506.116.689,56 53.444.131.323,58 373.914.854.554,43 455.194.160,44 74.978.171.180,81 1.650.706.673,68 2.793.446.821,32 1.214.106.114,72 40.410.480,00 127.728.924.820,50 462.069.122.394,78 26.076.327.241,08 661.051.089.874,18 1.136.142.038,26 2.106.447.251,92 26.378.737.452,08 3.743.218.777,21 4.974.509.259,65 4.142.577.988,89 3.860.250.643,33 54.059.543.039,18 148.683.259.101,51 81.217.484.119,86 97.807.344.411,80 2.238.177.432.798,47
Lampiran 2 REALISASI PENYALURAN BAGIAN DAERAH PER PROVINSI TAHUN 2004 - SEMESTER I 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Provinsi Jumlah Alokasi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Gorontalo Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat
Tahun 2004 (Rp) 640.632.786.667,00 6.800.664.023,00 31.909.653.000,00 103.925.619.973,00 14.321.077.000,00 110.000.000,00 224.274.000,00 124.880.000,00 44.362.102.049,00 127.159.428.542,00 15.167.528.448,00 165.329.857.313,00 103.653.000,00 448.447.000,00 7.531.050.000,00 1.248.540.000,00 540.371.295,00 710.739.328,00 857.168.612,00 15.888.379.000,00 3.490.708.993,00 100.378.645.091,00 -
Tahun 2005 (Rp) 369.119.403.511,00 8.642.858.024,00 6.500.000.000,00 5.595.996.773,00 19.107.635.000,00 53.500.000,00 22.339.749.176,00 105.290.641.952,00 2.104.358.574,00 143.095.041.164,00 7.190.939.000,00 289.203.090,00 419.089.000,00 453.611.820,00 9.078.242.711,00 38.958.537.227,00 -
Tahun 2006 (Rp) 540.670.901.500,00 730.253.200,00 2.132.978.400,00 2.646.896.100,00 81.342.967.700,00 178.981.900,00 17.309.768.200,00 185.119.600,00 1.355.496.200,00 54.652.400,00 12.951.852.900,00 127.812.232.200,00 4.495.308.200,00 170.296.331.100,00 155.505.500,00 1.014.017.100,00 1.567.118.600,00 577.090.700,00 314.096.800,00 2.663.973.600,00 1.246.393.500,00 12.173.626.300,00 51.791.270.700,00 26.385.230.700,00 21.289.739.900,00
Tahun 2007 (Rp) 182.182.737.933,00 130.712.930,00 1.917.983.193,00 410.969.981,00 31.186.318.385,00 26.961.621,00 7.576.623.878,00 791.366.286,00 873.373.318,00 5.089.910.544,00 38.797.533.232,00 2.060.349.503,00 45.101.996.055,00 192.366.975,00 84.924.244,00 2.787.494.186,00 2.969.050,00 8.859.384,00 496.714.501,00 440.268.343,00 4.643.142.765,00 15.099.262.937,00 12.908.511.134,00 11.554.125.488,00
Jumlah Penyaluran (Rp) 1.732.605.829.611,00 860.966.130,00 19.494.483.640,00 41.467.519.081,00 222.050.902.831,00 205.943.521,00 58.315.104.078,00 295.119.600,00 2.424.636.486,00 1.052.905.718,00 84.743.614.669,00 399.059.835.926,00 23.827.544.725,00 523.823.225.632,00 451.525.475,00 1.547.388.344,00 19.076.601.786,00 2.117.802.840,00 1.282.416.479,00 4.325.039.249,00 2.543.830.455,00 41.783.390.776,00 109.339.779.857,00 139.672.386.925,00 32.843.865.388,00
Lampiran 3 TAHAPAN PENYALURAN DAK DR TAHUN 2004
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Gorontalo Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Jumlah
S.4607/PB/2005 21 Jul 2005 (Thp I) 9.933.056.000,00 147.074.000,00 124.880.000,00 29.956.049.000,00 49.925.557.317,00 11.157.278.490,00 21.430.471.000,00 103.653.000,00 155.000.000,00 153.233.104,00 857.168.612,00 10.351.379.000,00 134.294.799.523,00
S.6110/PB/2005 9 Sept 2005 (Thp II & III 53.252.731.998,00 53.252.731.998,00
S.6376/PB/2005 19 Sept 2005 (Thp IV) 5.424.619.501,00 5.424.619.501,00
S.7162/PB/2005 17 Okt 2005 (Thp V) 181.380.010,00 16.700.000.000,00 100.572.858.000,00 40.000.000,00 10.000.000,00 27.864.246.000,00 203.898.314,00 3.600.000.000,00 149.172.382.324,00
S.8558/PB/2005 30 Nov 2005 (Thp VI) 2.605.041.000,00 2.954.269.000,00 183.239.877,00 5.742.549.877,00
S.8892/PB/2005 8 Des 2005 (Thp VII) 11.197.653.000,00 8.672.037.701,00 11.299.840.000,00 250.000.000,00 31.419.530.701,00
S.9714/PB.3/2005 29 Des 2005 (Thp VIII) 125.324.275,00 22.792.235.000,00 448.447.000,00 870.000.000,00 300.000.000,00 24.536.006.275,00
S.1810/PB.3/2006 14 Mar 2006 (Thp IX) 315.000.000,00 315.000.000,00
S.2700/PB.3/2006 19 Apr 2006 (Thp X) 70.000.000,00 70.000.000,00
Jumlah Pemindahbukuan S.3863/PB.3/2006 S.6092/PB.3/2006 1 Jun 2006 (ThpXI) 22 Agus 2006 (Thp II-1 86.062.211,00 86.062.211,00
47.125.913.093,00 47.125.913.093,00
S.6205/PB.3/2006 24 Agus 2006 (Thp II-2
S.8246/PB.3/2006 14 nov 2006 (Thp II-3)
S. /PB.3/2007 Feb 2007 (Thp II-4)
911.880.583,00 1.725.000.000,00 706.876.000,00 33.300.000,00 512.610.394,00 8.545.556.568,00 2.188.558.584,00 11.443.000.000,00 1.206.461.000,00 378.000.000,00 926.723.114,00 28.577.966.243,00
262.000.000,00 771.137.000,00 23.200.000,00 6.728.011.425,00 16.937.247.420,00 23.181.924.313,00 749.559.000,00 350.000.000,00 102.342.662,00 49.105.421.820,00
71.397.443,00 350.000.000,00 3.352.761.973,00 1.153.373.387,00 24.839.451.568,00 1.561.683.296,00 11.758.000.000,00 834.643.000,00 478.540.000,00 1.209.000.000,00 2.461.643.217,00 48.070.493.884,00
S.
/PB.3/2007 Mei-07
12.635.100.000,00 12.635.100.000,00
S.2498/PB.3/2007 3 Mei 2007 (Thp II-5 1.000.000.000,00 2.428.048.000,00 3.203.814.964,00 14.733.752.852,00 20.320.000.000,00 710.739.328,00 42.396.355.144,00
S.3379/PB.3/2007 S.3381/PB.3/2007 S.4125/PB.3/2007 S.4124/PB.3/2007 14 Jun 2007 (Thp II-6) 14 Jun 2007 (Thp I-13) 18 Jul 2007 (Thp II-7) 18 Jul 2007 (Thp IV-1) 675.000.000,00 10.700.000,00 166.118.000,00 851.818.000,00
500.000.000,00 500.000.000,00
481.960.000,00 3.505.825.116,00 260.008.078,00 4.247.793.194,00
2.808.242.879,00 2.808.242.879,00
Jumlah Pemindahbukuan Tahun 2004 6.800.664.023,00 31.909.653.000,00 103.925.619.973,00 14.321.077.000,00 110.000.000,00 224.274.000,00 124.880.000,00 44.362.102.049,00 127.159.428.542,00 15.167.528.448,00 165.329.857.313,00 103.653.000,00 448.447.000,00 7.531.050.000,00 1.248.540.000,00 540.371.295,00 710.739.328,00 857.168.612,00 15.888.379.000,00 3.490.708.993,00 100.378.645.091,00 640.632.786.667,00
Lampiran 4 TAHAPAN PENYALURAN DAK DR TAHUN 2005
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Gorontalo Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Jumlah
S.6204/PB.3/2006 24 Agus 2006 (Thp I-2) 3.441.522.495,00 2.500.000.000,00 1.350.000.000,00 26.500.000,00 1.770.490.892,00 16.132.388.206,00 1.148.435.152,00 24.443.225.000,00 4.812.000.000,00 752.000.000,00 4.806.461.133,00 61.183.022.878,00
S.6619/PB.3/2006 8 Sep 2006 (Thp 1-1)
4.418.958.176,00
2.623.897.000,00
34.441.712.000,00
240.000.000,00 42.203.090,00
5.256.000.000,00 24.641.058.003,00
71.663.828.269,00
S.8247/PB.3/2006 14 Nop 2006 (ThpI-3) 400.000.000,00 9.070.000.000,00 18.500.000,00 9.862.505.001,00 42.627.167.278,00 36.052.968.164,00 1.100.000.000,00 806.242.711,00 2.897.757.137,00 102.835.140.291,00
Jumlah Pemindahbukuan S.935/PB.3/2007 S. /PB.3/2007 21Feb 2007 (Thp I-4) Mei 2007 (Thp I-5) 782.377.353,00 700.000.000,00 5.595.996.773,00 1.580.864.545,00 35.076.090.104,00 819.485.486,00 27.774.013.000,00 762.000.000,00 247.000.000,00 2.264.000.000,00 6.613.260.954,00 82.215.088.215,00
1.800.000.000,00 4.463.738.000,00 4.705.829.344,00 5.943.029.590,00 20.383.123.000,00 304.573.000,00 453.611.820,00 38.053.904.754,00
S.3380/PB.3/2007 14 Jun 2007 (Thp 1-6)
1.100.000.000,00
8.500.000,00
276.939.000,00 114.516.000,00
1.499.955.000,00
S.4123/PB.3/2007 18 Jul 2007 (Thp I-7) 1.600.000.000,00 5.511.966.774,00 136.437.936,00 7.248.404.710,00
S.4127/PB.3/2007 18 Jul 2007 (Thp3-1) 3.521.843.373,00 3.521.843.373,00
S.4126/PB.3/2007 18 Jul 2005 (Thp 2-1) 898.216.021,00 898.216.021,00
Jumlah Pemindahbukuan Tahun 2005 8.642.858.024,00 6.500.000.000,00 5.595.996.773,00 19.107.635.000,00 53.500.000,00 22.339.749.176,00 105.290.641.952,00 2.104.358.574,00 143.095.041.164,00 7.190.939.000,00 289.203.090,00 419.089.000,00 453.611.820,00 9.078.242.711,00 38.958.537.227,00 369.119.403.511,00
Lampiran 5 TAHAPAN PENYALURAN DBH DR TAHUN 2006
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Gorontalo Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Jumlah
Jumlah Pemindahbukuan S.6095/PB.3/2007 S.6560/PB.3/2007 20-Sep-07 05-Okt-07 725.801.200,00 2.132.978.400,00 2.646.896.100,00 81.342.967.700,00 178.981.900,00 15.975.665.000,00 185.119.600,00 1.355.496.200,00 54.652.400,00 12.951.852.900,00 120.538.685.200,00 4.495.308.200,00 170.296.331.100,00 155.505.500,00 1.267.537.800,00 577.090.700,00 314.096.800,00 2.549.528.600,00 1.246.393.500,00 12.173.626.300,00 43.927.677.700,00 26.385.230.700,00 21.289.739.900,00 522.767.163.400,00
4.452.000,00 1.334.103.200,00 7.273.547.000,00 1.014.017.100,00 299.580.800,00 114.445.000,00 7.863.593.000,00 17.903.738.100,00
Jumlah Pemindahbukuan Tahun 2006 730.253.200,00 2.132.978.400,00 2.646.896.100,00 81.342.967.700,00 178.981.900,00 17.309.768.200,00 185.119.600,00 1.355.496.200,00 54.652.400,00 12.951.852.900,00 127.812.232.200,00 4.495.308.200,00 170.296.331.100,00 155.505.500,00 1.014.017.100,00 1.567.118.600,00 577.090.700,00 314.096.800,00 2.663.973.600,00 1.246.393.500,00 12.173.626.300,00 51.791.270.700,00 26.385.230.700,00 21.289.739.900,00 540.670.901.500,00
Lampiran 6 TAHAPAN PENYALURAN DBH DR TAHUN 2007 (SEMESTER I)
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Bangka Belitung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Gorontalo Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Jumlah
Jumlah Pemindahbukuan SP2D 007740Z/999/100 SP2D 007905Z/999/100 27-Sep-07 06-Okt-07 130.712.930,00 1.917.983.193,00 410.969.981,00 31.186.318.385,00 26.961.621,00 7.576.623.878,00 791.366.286,00 873.373.318,00 5.089.910.544,00 38.797.533.232,00 2.060.349.503,00 45.101.996.055,00 192.366.975,00 84.924.244,00 1.989.525.735,00 2.969.050,00 8.859.384,00 496.714.501,00 440.268.343,00 4.643.142.765,00 15.099.262.937,00 12.908.511.134,00 10.899.817.089,00 180.730.461.083,00
797.968.451,00 654.308.399,00 1.452.276.850,00
Jumlah Pemindahbukuan Tahun 2007 130.712.930,00 1.917.983.193,00 410.969.981,00 31.186.318.385,00 26.961.621,00 7.576.623.878,00 791.366.286,00 873.373.318,00 5.089.910.544,00 38.797.533.232,00 2.060.349.503,00 45.101.996.055,00 192.366.975,00 84.924.244,00 2.787.494.186,00 2.969.050,00 8.859.384,00 496.714.501,00 440.268.343,00 4.643.142.765,00 15.099.262.937,00 12.908.511.134,00 11.554.125.488,00 182.182.737.933,00
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
HASIL PEMERIKSAAN SEMESTER II TAHUN ANGGARAN (TA) 2007 ATAS KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (RHL) DI PROVINSI RIAU
AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA IV
Nomor Tanggal
: :
05/LHP/XVII/02/2008 31 Januari 2008
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................... i Bab I
Bab II
PENDAHULUAN .........……………………………………...…………..................................
1
Dasar Pemeriksaan .....……………….……………………………........................................
1
Standar Pemeriksaan ....…………….…………………………………………........................
1
Tujuan Pemeriksaan ...........................................................................................................
1
Sasaran Pemeriksaan ……………………………………………………………………………
1
Obyek Pemeriksaan .................………………………………………....................................
1
Lingkup Pemeriksaan .........................................................................................................
2
Jangka Waktu pemeriksaan ...............................................................................................
2
Metodologi Pemeriksaan ....................................................................................................
2
Batasan Pemeriksaan ........................................................................................................
3
Kriteria Pemeriksaan ..........................................................................................................
3
GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN ............................................
4
Hutan di Indonesia : Status dan Fungsi ..............................................................................
4
Kondisi Hutan Indonesia .................................................. ..................................................
4
Kondisi Hutan dan lahan Kritis di Riau ..............................................................................
6
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan .............................................................................
6
Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan ...............................................................................
8
Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis ...............................................................
9
Pembiayaan RHL ...............................................................................................................
9
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) .............................................
9
Anggaran GN-RHL di Riau .................................................................................................
12
Realisasi GN-RHL di Riau ..................................................................................................
12
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang GN-RHL .......................................................................
13
Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) .............................................................
14
DAK-DR di Riau ..................................................................................................................
14
Perubahan DAK-DR menjadi DBH .....................................................................................
15
Sistem Pengendalian Intern RHL .......................................................................................
16
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
iv
Bab III
HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA .......
19
Bab IV
HASIL PEMERIKSAAN .................................................................................................... Pengendalian Pengelolaan Dana DAK-DR Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Kampar Belum Memadai guna Menjamin Terlaksananya Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ..........................................................................................................................
20
20
Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) Kabupaten Pelalawan Sebesar Rp48.146.947.115,00 Belum Dimanfaatkan Untuk Merehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis.
22
Kegiatan Penanaman di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim yang Dilaksanakan Dinas Kehutanan Provinsi Riau Tahun 2007 Tidak Efektif Sebesar Rp40.327.200,00 ......
23
Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat pada Kegiatan GN-RHL Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2006 Senilai Rp378.000.000,00 Terlambat Dilaksanakan ......................................
24
Kegiatan Pemeliharaan Tanaman atas Hasil Kegiatan Rehabiltasi Hutan dan Lahan GN-RHL TA 2004 s.d TA 2006 Tidak Dilaksanakan ..........................................................
27
Tingkat Keberhasilan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kota Pekanbaru, Kabupaten Rokan Hulu, dan Kabupaten Siak Rendah ......................................................
29
Hasil Kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat (Sagu) Desa Tolam Seluas 300 Ha yang Dilaksanakan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan TA 2004 Tidak Efektif Sebesar Rp522.855.000,00 ................................................................................................
32
Pengiriman Bibit dan Pelaksanaan Kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat dan Kegiatan Pengkayaan Reboisasi Tahun 2006 Pada Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu Tidak Tepat Waktu .....................................................................
34
Harga Bibit yang Diperhitungkan dalam Kontrak Pengadaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove Kabupaten Bengkalis Tahun Anggaran 2005 yang Bersumber dari DAK-DR Melebihi Harga Standar Sebesar Rp3.727.350.000,00. ......................................
38
Kegiatan Penanaman Turus Jalan yang Dilaksanakan Dinas Kehutanan Provinsi Riau Tahun 2006 Belum Efektif Senilai Rp251.470.139,50 dan Kelebihan Pembayaran Biaya Upah Kerja Sebesar Rp41.550.000,00 ..............................................................................
41
Pembayaran Biaya Langsung Personil atas Pekerjaan Jasa Konsultasi Penilaian Kinerja Gerhan pada Dinas Kehutanan Provinsi Riau TA 2006 Tidak Sesuai Ketentuan Sebesar Rp18.945.000,00 .................................................................................................
43
Pelaksanaan Pekerjaan Pengkayaan Tanaman Di Kawasan Hutan Blok I Desa Sipang Kabupaten Indragiri Hulu Seluas 300 Ha TA 2005 dan TA 2006 yang Bersumber dari DAK-DR Tidak Sesuai Ketentuan Sebesar Rp30.870.850,00 ............................................
45
Dua Paket Pekerjaan Tidak Diselesaikan Pelaksana dan Tidak Dikenakan Denda Sebesar Rp195.062.750,00................................................................................................
47
Pembayaran Biaya Pekerjaan Penyusunan Rancangan Teknis oleh PT Graha Inforesindo Melebihi Ketentuan Sebesar Rp12.810.000,00 ...............................................
50
BAB V KESIMPULAN .................................................................................................................... LAMPIRAN ..............................................................................................................................................
53 55
Lampiran 1 ............................................................................................................................................... Lampiran 2 ............................................................................................................................................... Lampiran 3 ............................................................................................................................................... Lampiran 4 ...............................................................................................................................................
55 56 57 58
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
v
RINGKASAN EKSEKUTIF
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan di Indonesia mempunyai fungsi untuk mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, melindungi sistem penyangga kehidupan dan memproduksi hasil hutan. Hutan mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Kualitas hutan perlu dipelihara agar dapat berfungsi dengan baik. Kualitas hutan yang buruk seperti kritis dan gundul akan cenderung mengakibatkan banyak ekosistem yang rusak dan meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dan Instansi terkait lainnya, diketahui luas hutan dan lahan kritis di wilayah Provinsi Riau per tahun 2005 adalah seluas 2.416.928 Ha, sedangkan luas hutan dan lahan 8.598.757 Ha. Hutan dan lahan kritis seluas 2.416.928,00 Ha tersebut harus segera direhabilitasi agar dapat berfungsi dengan normal dan dapat mempertahankan serta meningkatkan kualitas DAS. Pemerintah Pusat dan Daerah telah melakukan upaya merehabilitasi hutan dan lahan dengan program GN RHL sejak tahun 2003 s.d. 2007 dan RHL dari DAK DR. Kegiatan-kegiatan ini dibiayai dari Dana Reboisasi yang dipungut dari perusahaanperusahaan yang melakukan eksploitasi hutan. Jumlah realisasi program GN RHL di Provinsi Riau per tahun 2006 adalah seluas 24.458 Ha, sedangkan target program GN RHL seluas 39.715 Ha. Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) telah melakukan pemeriksaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang dibiayai dengan Dana APBN dan APBD Tahun 2003 s.d. 2007 pada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan, Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Pertanian Kota Pekanbaru, Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu, Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, Dinas Kehutanan Kabupaten Siak, Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hulu, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis, dan Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kota Dumai. Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Tahun 2007 dan Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) BPK-RI Tahun 2002. Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai apakah pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah telah sesuai dengan ketentuan, entitas telah menggunakan dana tersebut untuk kegiatan yang sesuai
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
i
dengan ketentuan, dan kegiatan RHL telah dilaksanakan dengan hemat dan efektif. Sasaran pemeriksaan difokuskan kepada perencanaan RHL, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman. Hasil pemeriksaan mengungkapkan bahwa masih ada kelemahan-kelemahan yang mempengaruhi kinerja pelaksanaan RHL di Provinsi Riau, sebagai berikut : Efektivitas Pencapaian Target GN RHL dan RHL DAK DR Realisasi fisik kegiatan RHL yang didanai dari APBN melalui Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) Tahun 2003 s.d. 2006 hanya mencapai seluas 24.458,00 Ha sedangkan dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) hanya mencapai seluas 54.613,21 Ha, sehingga disimpulkan bahwa kegiatan RHL yang didanai dari APBN maupun DAK-DR Tahun 2003 s.d. 2006 belum dapat mengurangi secara signifikan lahan kritis di wilayah Provinsi Riau yaitu seluas 2.416.928,00 Ha. Kepatuhan Entitas Pengelola Dalam Melaksanakan RHL Entitas Pengelola menggunakan dana pemerintah pusat dan daerah untuk merehabilitasi hutan dan lahan tidak sesuai dengan ketentuan sehingga terjadi kelebihan pembayaran sebesar Rp3.809.095.000,00, kekurangan penerimaan sebesar Rp274.253.600,00, pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang tidak efektif senilai Rp50.854.099.454,50 dan upaya meningkatkan kualitas DAS Indragiri Rokan menjadi tidak berhasil, dengan perincian antara lain sebagai berikut : 1. DAK-DR Kabupaten Pelalawan sebesar Rp48.146.947.115,00 belum dimanfaatkan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis. hal ini disebabkan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan beserta jajaran di bawahnya tidak mengajukan rencana dan melaksanakan kegiatan RHL untuk mengurangi luas lahan kritis, meskipun DAK-DR dari pemerintah Pusat telah masuk ke Kas Daerah. 2. Harga bibit yang diperhitungkan dalam kontrak pengadaan atas kegiatan rehabilitasi hutan mangrove Kabupaten Bengkalis TA 2005 yang bersumber dari DAK-DR melebihi harga standar sebesar Rp3.727.350.000,00. Hal ini disebabkan Panitia Lelang lalai tidak menyusun HPS dan tidak mempedomani Surat Menteri Kehutanan No. S.131/Menhut-1/2004 tanggal 19 April 2004 dan Peraturan Menteri Kehutanan No.272/Menhut-V/2004 tanggal 22 Juli 2004 serta Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian. 3. Dua paket pekerjaan tidak diselesaikan pelaksana dan tidak dikenakan denda sebesar Rp195.062.750,00. Hal ini disebabkan Panitia Pengadaan Barang, Pemimpin Kegiatan dan Pengguna Anggaran Dinas Kabupaten Indragiri Hilir tidak cermat dalam menerapkan ketentuan denda yang tercantum dalam masingmasing kontrak pekerjaan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
ii
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK-RI menyarankan agar dilakukan perbaikan kinerja di masa mendatang dan segera diambil langkah-langkah tindak lanjut sesuai saran/rekomendasi yang dimuat dalam hasil pemeriksaan ini.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penanggung Jawab Pemeriksaan,
Hadi Priyanto NIP. 240000961
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
iii
BAB I PENDAHULUAN
Dasar Pemeriksaan
Dasar pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah : 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 E; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara; 3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Standar Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK Tahun 2007.
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah untuk menilai apakah: 1. Pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah sesuai dengan ketentuan; 2. Entitas pengelola menggunakan dana Rehabilitasi Hutan dan Lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah dilaksanakan dengan ekonomis dan efektif untuk mencapai tujuan RHL.
Sasaran Pemeriksaan
Untuk mencapai tujuan pemeriksaan tersebut maka sasaran pemeriksaan diarahkan pada area kunci kegiatan RHL dengan mempertimbangkan resiko manajemen dari sisi ekonomi, efisiensi dan efektivitas serta kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mempertimbangkan resiko tersebut, maka area kunci pemeriksaan diarahkan pada hal-hal berikut: 1. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2. Pengadaan bibit yang dilaksanakan baik secara swakelola, penunjukan langsung maupun pelelangan kepada pihak kontraktor. 3. Pembuatan dan pemeliharaan tanaman baik yang dilakukan secara swakelola maupun oleh Kelompok Tani. Area kunci pemeriksaan tersebut akan disesuaikan dengan perkembangan pemeriksaan di lapangan dan dari waktu ke waktu pada saat pemeriksaan berlangsung.
Obyek Pemeriksaan
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Indragiri Rokan, Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Pertanian Kota Pekanbaru, Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu, Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, Dinas Kehutanan Kabupaten Siak, Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hulu, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis, dan Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kota Dumai.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
1
Lingkup Pemeriksaan
Pemeriksaan mencakup Tahun 2006 s.d. 2007, khusus untuk penilaian efektivitas dilakukan terhadap hasil kegiatan periode 2003 s.d 2007.
Jangka Waktu Pemeriksaan dilaksanakan selama 30 hari, mulai tanggal 4 September 2007 sampai Pemeriksaan dengan tanggal 3 Oktober 2007 berdasarkan Surat Tugas Anggota/Pembina Auditama Keuangan Neagara IV No.03 /ST/VIII-XIV/08 /2007 tanggal 27 Agustus 2007. Metodologi Pemeriksaan
Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dilaksanakan dengan metodologi sebagai berikut : 1.
Evaluasi dan analisa data dan dokumen yang diberikan oleh Unit Kerja Yang Diperiksa (Unit Kerja). Pemeriksaan RHL yang dilakukan adalah pemeriksaan atas kegiatan yang telah selesai dilaksanakan oleh unit kerja yang diperiksa (Post Audit). Pemeriksa mendasarkan pemahaman dan pembuktian atas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan oleh Unit Kerja. Berkaitan dengan hal tersebut realisasi pengadaan bibit termasuk jumlah yang sebenarnya diserahkan kepada para petani, realisasi penanaman, pemberian pupuk dan kegiatan lainnya dievaluasi dan direview serta diperiksa hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan. Termasuk dalam hal ini pengujian atas keberhasilan penanaman hanya dilakukan dengan menggunakan data dan dokumentasi laporan hasil penilaian lembaga independen.
2. Pengamatan (observasi) Fisik Kelapangan Sebagai upaya untuk menyakinkan realisasi pelaksanaan rehabilitasi hutan, Pemeriksa juga melakukan uji petik secara sangat terbatas kelokasi penanaman atau RHL. 3. Wawancara Pemeriksaan juga melakukan pengumpulan informasi terkait kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. 4. Uji Petik (sampling) Pemeriksaan dilakukan tidak atas populasi kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pemeriksaan menggunakan mekanisme sampling dengan memperhatikan faktorfaktor seperti ketersediaan sumber daya manusia dan waktu serta risiko terjadinya ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan serta ketidakpatuhan. Pendekatan uji petik ini dilakukan dalam menentukan kabupaten/Kota yang akan diuji petik, lokasi hutan dan lahan yang akan diobservasi, dokumen-dokumen yang akan dibahas dan kegiatan-kegiatan yang akan diuji. 5. Sistem Pengendalian Intern Pemahaman dan evaluasi atas efektivitas sistem pengendalian intern dilakukan untuk mengidentifikasikan area kunci, fokus pemeriksaan, daerah yang akan diuji petik dan kegiatan serta dokumen yang akan diuji lebih mendalam. Jika ditemukan kelemahan terkait dengan sistem pengendalian intern maka akan disajikan dalam Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
2
laporan sebagai temuan tersendiri dan atau bagian dari penyajian pemeriksaan. Batasan Pemeriksaan
temuan
Pemeriksaan RHL ini dilaksanakan dengan batasan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan atas tingkat keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan hanya dilakukan atas laporan hasil penilaian yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh unit kerja. BPK tidak melakukan penilaian secara khusus atas pelaksanaan rehabilitasi lahan. Untuk wilayah yang belum dilakukan penilaian maka BPK tidak menilai tingkat keberhasilan wilayah tersebut. 2. BPK juga tidak melakukan penilaian atas kebenaran metodologi dan mekanisme penilaian lembaga independen penilai keberhasilan RHL. 3. Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tidak dilakukan atas rehabilitasi hutan dan lahan yang di laksanakan dengan menggunakan dana swasta atau diluar pemerintah.
Kriteria Pemeriksaan
Kriteria atau standar yang akan digunakan untuk menilai pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) diantaranya adalah: 1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 6. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 7. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 8. Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahan-perubahannya; 9. Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No.09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No.Kep16/M.Ekon/03/2003, No.Kep08/ Menko/Polkam/III/2003 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Hidup Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional; 10. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan No.18/Kep/Menko/Kesra/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL;
Rakyat
11. Berbagai Keputusan Menteri Kehutanan tentang Standar Harga Bibit, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Kegiatan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
3
BAB II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Hutan di Indonesia Status dan Fungsi
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan UU tentang Kehutanan status hutan di Indonesia terbagi dua yaitu : 1. Hutan Negara Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat yang ditetapkan statusnya oleh Pemerintah. 2. Hutan Hak Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan di Indonesia memegang peranan yang sangat penting baik dari segi ekonomi dan lingkungan hidup. Secara garis besar terdapat tiga fungsi utama hutan, yaitu : 1. Fungsi Konservasi Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 2. Fungsi Lindung Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3. Fungsi Produksi Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sesuai dengan data Departemen Kehutanan, luas hutan di Indonesia adalah sebagai berikut : Tabel 1 : Luas Hutan Berdasarkan Fungsi Kawasan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi Terbatas d. Hutan Produksi Tetap e. Hutan Produksi Yang Dapat Di Konversi f. Fungsi Hutan Khusus Jumlah Luas Daratan Kawasan Hutan Jumlah Luas Kawasan Hutan dan Perairan
Luas (Ha)
a.
23.597.991,57 31.782.576,02 21.717.309,26 35.813.616,43 14.057.816,00 7.268,00 123.459.513,58 126.976.577,28
Sumber : Web Site Departemen Kehutanan (Badan Planologi Kehutanan)
Kondisi Hutan Indonesia
Hutan memenuhi dua pertiga dari luas daratan Indonesia (kurang lebih 120 juta hektar). Hutan Indonesia merupakan habitat tempat 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, serta 17 persen spesies burung dan juga tempat jenis palem terbanyak di dunia. Kenyataan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaaan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
4
Selama 50 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hingga 40% dari seluruh luas hutannya. Laju degradasi hutan/deforestasi di wilayah Indonesia mencapai 1,5 juta Ha sampai 2,8 juta Ha per tahun1. Meskipun keprihatinan akan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari meluasnya kerusakan hutan tropis, tetap saja tingkat kerusakan hutan dan lahan meningkat dengan drastis. Kerusakan hutan tersebut menimbulkan lahan kritis yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Meningkatnya lahan kritis yang merupakan tanda dari kerusakan hutan dan lahan ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak baik secara nasional maupun internasional. Gambar 1 : Hutan dan Lahan Kritis
Departemen Kehutanan telah melakukan inventarisasi atas indikasi luas hutan dan lahan kritis pada tahun 2000 dan 2003. Hasil inventarisasi menunjukkan laju pertambahan hutan dan lahan kritis yang cukup drastis yaitu 177 % dari semula 56,98 juta Ha di tahun 2000 menjadi 100,6 juta Ha di tahun 2003. Pertambahan hutan lahan kritis terutama terjadi di luar kawasan hutan.
Luas (Ha)
Gambar 2 : Grafik Pertambahan Hutan dan Lahan Kritis 2000-2003
70.000.000 60.000.000 50.000.000 40.000.000
Dalam Kawasan Luar Kawasan
30.000.000 20.000.000 10.000.000 2000
2003 Tahun
Sumber: Laporan Updating Database RHL, Departemen Kehutanan, 2006
1
Baplan Departemen Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
5
Berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan hutan dan lahan yang mengalami kerusakan lebih dari 67,64 juta Ha yang terdiri atas 39,12 juta Ha dalam kawasan hutan dan 28,52 juta Ha di luar kawasan hutan. Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Riau
Berdasarkan hasil interprestasi citra satelit liputan Tahun 2002, luas hutan dan lahan kritis di Provinsi Riau (termasuk Provinsi Kepulauan Riau) mencapai 3,7 juta hektar yang terdiri dari lahan kritis kawasan hutan sebesar 1,3 juta hektar dan luas lahan kritis di luar kawasan hutan sebesar 2,4 juta hektar. Sementara data terakhir lahan kritis di Provinsi Riau Tahun 2005 yang diterbitkan oleh BP DAS Indragiri Rokan adalah sebagai berikut: Tabel 2 : Luas Wilayah dan Lahan Kritis di Provinsi Riau No.
Kabupaten/Kota
1
Kampar
2
Kuantan Singingi
3
Pelalawan
Luas Wilayah
%
1.062.352,00
445.296,00
41,92
434.046,00
351.141,00
80,90
1.249.042,00
319.565,00
25,58
4
Rokan Hulu
744.985,00
268.872,00
36,09
5
Siak
855.609,00
265.726,00
31,06
6
Pekanbaru
63.226,00
36.868,00
58,31
7
Indragiri Hulu
819.826,00
293.589,00
35,81
8
Indragiri Hilir
1.160.597,00
27.910,00
2,40
9
Rokan Hilir
888.159,00
212.945,00
23,98
10
Bengkalis
1.148.177,00
176.797,00
15,40
11
Dumai
172.738,00
18.219,00
10,55
8.598.757,00
2.416.928,00
28,11
Jumlah
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan
Lahan Kritis
Kerusakan hutan dan lahan merupakan masalah yang serius yang jika tidak ditangani dengan baik dan serius akan menimbulkan dampak yang besar bagi perekonomian dan lingkungan. Kerusakan hutan dan lahan pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab baik yang disebabkan oleh ulah manusia dan alam. Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Penebangan hutan (produksi hutan) tanpa upaya rehabilitasi yang optimal. Pemberian Ijin Hak Pengusahaan Hutan kepada perusahaan-perusahaan mendorong kegiatan pemanfaatan potensi hutan seperti kayu. Pemberian ijin pengusahaan hutan ini seyogyanya diikuti juga dengan upaya rehabilitasi atau upaya-upaya lainnya yang menjamin kelestarian hutan di wilayah ijin pengusahaan hutan. Ketimpangan antara upaya pelestarian dan produksi telah meningkatkan pengundulan dan kerusakan hutan. Tabel 3 : Jatah Produksi Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam Tahun 2003 – 2005 No.
Tahun Produksi
Jatah Produksi (M3)
1.
2003
6.892.000
2.
2004
5.743.759
3. 2005 Jumlah
5.456.470 18.092.229
Sumber : SK Dirjen BPK No. 02/Kpts/VI-PHA/2003, No. 47/Kpts/VI-PH/2003 dan No 195/VI-BPHA/2004
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
6
Lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberikan andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal kriteria Departemen Kehutanan mengenai Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sebenarnya sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang telah dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. “Tetapi di lapangan, kriteria itu tidak berjalan akibat lemahnya pengawasan,” kata Soekotjo2. 2. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan/atau lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan/atau hasil hutan. Kebakaran hutan ini telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar. Kebakaran hutan dan lahan terjadi baik karena ulah manusia maupun karena faktor alam. Kebakaran hutan dapat disebabkan karena ulah masyarakat dan atau pengusaha yang membutuhkan lahan untuk areal pemukiman dan atau pertanian/perkebunan. Masyarakat dan pengusaha membuka lahan atau melakukan pembersihan lahan (Land Clearing) dengan cara membakar lahan yang berpotensi merusak lingkungan, menambah kerusakan hutan dan mencemari udara. Selain karena pembukaan hutan, kebakaran hutan juga disebabkan oleh ulah manusia yang membakar sampah dan membuang puntung rokok sembarangan di areal hutan dan lahan serta kondisi lahan yang terbuka sehingga memudahkan terjadinya kebakaran pada waktu musim kemarau yang sangat panas dan lama. Kebakaran hutan dan lahan karena musim kemarau yang sangat panjang dan panas ini banyak terjadi di daerah gambut di Riau dan Selatan. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Doktor Soekotjo, kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1997, membuat hampir 70% hutan terbakar. 3 3. Illegal Logging Penjarahan hutan masih tetap berlaku dan terus berlangsung hingga sekarang. Illegal logging terjadi antara lain karena adanya ketimpangan pasokan dan permintaan, lemahnya penegakan hukum, dan masalah kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Illegal logging meningkatkan proses pengundulan dan kerusakan hutan.
2 3
Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia. Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
7
Tabel 4 : Perbandingan antara pasokan dan kebutuhan kayu tahun 1999 Kebutuhan dan Produksi Kayu
Volume (Juta M3)
Kebutuhan Kayu Bulat (1999) a. Industri Terkait HPH b. Industri tidak Terkait HPH Total Kebutuhan per tahun
41,09 17,15 58,24
Produksi Kayu Bulat (1995 – 1999) Produksi Rata-rata pertahun
25,36
Kesenjangan produksi dan kebutuhan
32,88
Sumber : Rencana Strategic Departemen Kehutanan dan Perkebunan 2001-2005 (Pusat Data dan Perpetaan, Baplan, tahun 2000)
Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Lantaran hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar. 4. Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk mendorong munculnya kebutuhan akan lahan untuk areal pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kebutuhan akan sumber pangan dan bahan baku industri (CPO dan komoditi lainnya) meningkatkan peralihan fungsi hutan menjadi lahan-lahan non kehutanan. Hal inilah yang meningkatkan jumlah pengundulan hutan dan kerusakan hutan dan lahan. Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan
Kerusakan hutan dan lahan akan mengakibatkan antara lain: 1. Rusaknya Fungsi Konservasi dari hutan telah menimbulkan punahnya keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Harimau Sumatera dan Orangutan di Riau telah menjadi spesies yang paling langka di dunia. 2. Rusaknya Fungsi Lindung dari hutan telah mengakibatkan : a. Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau; b. Terjadinya arus permukaan tanah (run-off) pada waktu musim hujan yang dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Bencana ekologi tersebut telah menimbulkan kerugian nasional yang besar berupa kerusakan infrastruktur, berbagai aset pembangunan serta terganggunya tata kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan menyebabkan kemiskinan masyarakat. c.
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
3. Rusaknya fungsi produksi dari hutan telah menurunkan kesuburan tanah yang mengakibatkan turunnya produktivitas lahan dan produksi pertanian menyebabkan Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
8
turunnya kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Khusus untuk kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan hutan dan lahan akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor. Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan menjadi kurang optimal. Upaya Penanggulan gan Hutan dan Lahan Kritis
Pemerintah telah berupaya untuk menghutankan kembali lahan kritis dengan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan/RHL (reboisasi/penghijauan) yang meliputi antara lain:
Pembiayaan RHL
Pembiayaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperoleh dari Dana Reboisasi yang dipungut dari Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang Berupa Kayu untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. Dana Reboisasi tersebut di setorkan ke Bendaharawan Penerimaan DR di Departemen Kehutanan oleh Para Pemegang Ijin yang selanjutnya akan disetorkan ke rekening Pemerintah Pusat Khusus Dana Reboisasi. Berdasarkan jumlah yang diperoleh, Pemerintah Pusat membagi DR tersebut 60% menjadi bagian Pemerintah Pusat dan 40% menjadi bagian Daerah Penghasil.
1. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) yang pembiayaannya berasal dari Dana Bagian Anggaran 69 (sebelumnya BA 16) APBN. 2. Program lain yang diupayakan oleh pemerintah daerah seperti Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) APBD.
Pemerintah pusat menggunakan DR bagian 60% tersebut antara lain untuk melaksanakan kegiatan GN-RHL. Sedangkan bagian DR untuk daerah penghasil sebanyak 40% disalurkan dengan cara atau mekanisme DAK-DR/DBH DR. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)
Pemerintah perlu melakukan kegiatan rehabilitasi untuk dapat mencegah laju pertambahan luas hutan dan lahan kritis tersebut. Sampai dengan tahun 2003, pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan skema keproyekan. Namun kegiatan RHL tersebut selalu menghadapi kendala, baik ketidaktersediaan dana yang cukup maupun kendala teknis dan sosial. Hal tersebut yang mengakibatkan pemerintah, sejak tahun 2003 melakukan perubahan skema RHL dengan menggunakan skema Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL melibatkan seluruh stakeholders kehutanan di berbagai jenjang pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan mencakup kawasan hutan dan lahan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No. 09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No. 16/M.Ekon/03/2003, No. Kep. 08/Menko/Polkam/III/2003, tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (TKPLRRN), Pemerintah telah membentuk TKPLRRN yang akan melaksanakan GN-RHL. Berdasarkan Lampiran Keputusan Menko Kesra/Ketua TKPLRRN No. 18/Kep/MENKO/KESRA/X/2003 sasaran rehabilitasi hutan dan lahan 5 tahun (2003 – 2007)
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
9
dari GN-RHL adalah seperti di tabel berikut :
Tabel 5 : Sasaran Rehabilitasi Hutan dan Lahan 5 tahun Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Total
Area Target (Ha) 300.000 500.000 600.000 700.000 900.000 3.000.000
Prosentase (%) 10,00% 16,67% 20,00% 23,33% 30,00% 100,00%
GN-RHL ini dibiayai dari APBN dan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehinga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Sasaran program dan luas GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Sasaran Program. a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. c.
Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL.
d.
Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL.
2. Sasaran Luas. Sasaran luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap. Ruang Lingkup kegiatan dan wilayah GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Lingkup Kegiatan. Ruang lingkup kegiatan GN-RHL ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu : a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan adalah meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum. b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi adalah meliputi penyediaan bibit
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
10
tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dan penahan, gully plug, pembuatan teras (terasering), sumur resapan, grass barrier, dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan. 2. Lingkup Wilayah. Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani. Rencana lokasi dan luas sasaran disusun berdasarkan kriteria fisik dengan sistem skor dan pertimbangan manajemen daerah, yaitu : 1. Kriteria Fisik : a. b. c. d. e.
DAS Prioritas (SK Menhut No. 284 tahun 1999). Indikasi Hutan dan Lahan yang perlu direhabilitasi. Daerah rawan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Bangunan vital (waduk/bendung/danau) yang perlu dilindungi. Khusus untuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai, mempertimbangkan kriteria kerusakan hutan mangrove dan hutan pantai serta kerawanan bencana abrasi atau tsunami.
2. Syarat : Kriteria fisik tersebut harus dimasukkan kedalam Rencana Teknik Tahunan yang disusun oleh Dinas/Instansi Kehutanan Pusat/ Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah. 3. Pertimbangan Manajemen a. Kinerja RHL Daerah; b. Kelembagaan dan Komitmen di Daerah; c. Sumberdana RHL lainnya di daerah. 4. Pertimbangan khusus bagi Daerah Kabupaten tertinggal. Rencana lokasi memperhatikan saran pertimbangan inter-departemen yaitu Departemen Pekerjaan Umum/Kimpraswil, Kelautan dan Perikanan, Pertanian. Alokasi indikator tahunan (pulau/provinsi) secara nasional di dasarkan atas proporsi luas areal indikatif hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003-2007), dengan mempertimbangkan kriteria rencana lokasi pusat dan kondisi terakhir lahan kritis DAS. Mengacu kepada rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan RTT Kabupaten/Kota disusun berdasarkan pada nilai skor kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi dengan memperhatikan sasaran GN-RHL/Gerhan nasional tahun yang bersangkutan. Dalam menentukan alokasi sasaran (jenis kegiatan & volume) mempertimbangkan : Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
11
1. Kinerja pelaksanaan GN-RHL tahun sebelumnya. 2. Kelembagaan dan komitmen daerah. 3. Sumber dana lainnya (Bagi Hasil/DAK-DR) dan, 4. Pertimbangan khusus daerah Kabupaten/Kota tertinggal yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Sistem Perencanaan GN-RHL berdasarkan Pedoman Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2005 adalah mengacu kepada kaidah teknis perencanaan RHL, dengan hirarkhi yaitu Pola Umum, Rencana Teknis RHL Lima Tahun, Rencana Teknik Tahunan (RTT) serta Rancangan Teknis Kegiatan. Gambar 3 : Hirarkhi Perencanaan GN-RHL
Anggaran GN-RHL di Riau
Pola Umum RHL
Rencana RHL 5 Tahun
Rencana Teknik Tahunan (RTT)
Ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan Kep No. 20/Menhut-V/2000
Penanganan DAS/Sub DAS, Sasaran Indikatif, Rawan Bencana dan Perlindungan bangunan vital DAS.
Rencana Fisik Pembuatan tanaman dan bangunan konservasi tanah dan air setiap tahun pada satu atau lebih DAS yang berada dalam wilayah Kab/Kota.
Jumlah anggaran RHL dan realisasinya dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 di Provinsi Riau adalah sebagai berikut: Tabel 6 : Anggaran dan Realisasi RN-RHL Provinsi Riau No
Satuan Kerja/Provinsi Kabupaten/Kota
Realisasi (Rp)
%
1
Kabupaten Indragiri Hilir,
3.778.894.000,00
2.032.662.000,00
53,79
2
Kabupaten Indragiri Hulu
4.035.919.000,00
3.089.197.000,00
76,54
3
Kabupaten Rokan Hulu,
10.221.241.000,00
2.105.257.000,00
20,60
5
Kabupaten Siak,
3.160.645.000,00
184.000.000,00
5,82
6
Kabupaten Kampar
28.139.677.000,00
5.107.153.000,00
18,15
7
Kabupaten Pelalawan
9.028.913.000,00
4.759.946.000,00
52,72
8
Kabupaten Kuantan Singingi
8.453.721.000,00
3.202.750.000,00
37,89
9
Kabupaten Bengkalis
10
Kota Pekanbaru
1.173.327.000,00
334.727.000,00
28,53
11
Kota Dumai
2.471.259.000,00
438.126.000,00
17,73
12
Provinsi Riau
5.782.612.000,00
4.224.776.000,00
73,06
13
BP-DAS Indargiri Rokan
59.577.894.000,00
51.682.074.000,00
86,75
14 15
BKSAD Riau Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh
16.207.638.000,00 1.122.635.000,00
Jumlah
Realisasi GN-
Anggaran (Rp)
483.477.000,00
153.637.852.000,00
-
77.160.668.000,00
0,00
0,00 0,00 50,22
Tingkat pencapaian fisik kegiatan RHL yang bersumber dari dana GN-RHL TA 2004 s.d. 2006
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
12
RHL di Riau
di Provinsi Riau masih rendah sebagaimana dimuat dalam daftar berikut :
Tabel 7: Realisasi GN-RHL No.
Satuan Kerja/Provinsi/ Kabupaten/Kota
Realisasi (Ha)
%
1
Kabupaten Indragiri Hilir,
2.325,00
503,00
21,63
2
Kabupaten Indragiri Hulu
3.660,00
3.567,00
97,46
3
Kabupaten Rokan Hulu,
5.125,00
1.775,00
34,63
5
Kabupaten Siak,
1.240,00
80,00
6,45
6
Kabupaten Kampar
10.900,00
9.100,00
83,49
7
Kabupaten Pelalawan
3.350,00
2.350,00
70,15
8
Kabupaten Kuantan Singingi
4.300,00
1.393,00
32,40
9
Kabupaten Bengkalis
350,00
-
0,00
10
Kota Pekanbaru
140,00
100,00
71,43
11
Kota Dumai
770,00
130,00
16,88
12
Provinsi Riau
1.005,00
910,00
90,55
13
BP-DAS Indargiri Rokan
400,00
400,00
100,00
14
BKSAD Riau
6.150,00
4.150,00
67,48
39.715,00
24.458,00
61,58
Jumlah
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Rencana (Ha)
Pada tanggal 3 September 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 89 tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Berkaitan dengan keluarnya peraturan baru ini maka terdapat beberapa perbedaan yang signifikan bagi penunjangan keberhasilan program GN-RHL. Perubahan-perubahan tersebut adalah antara lain : 1. Penyelenggaraan Gerhan a. Penyelenggaraan Gerhan berdasarkan prinsip sistem silvikultur dan tahun jamak (multi years). b. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di kawasan hutan yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara kontraktual yang berbasis tahun jamak (multi years) dengan menggerakkan potensi badan usaha nasional dan daerah serta melibatkan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. c.
Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di daerah tertentu dalam kawasan hutan dengan mempertimbangkan kondisi tertentu dari aspek keamanan, yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola berbasis tahun jamak (multi years) melalui operasi bakti Tentara Nasional Indonesia.
d. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di luar kawasan hutan yang di biayai APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola yang berbasis tahun jamak (multi years) melalui SPKS dengan kelompok tani dengan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
13
menggerakkan potensi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pembiayaan untuk menyelenggarakan Gerhan bersumber pada APBN dan APBD, Dana Reboisasi dan/atau sumber-sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR)
DR adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Dana ini dapat digunakan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (rehabilitasi). Disamping itu dana ini juga dapat digunakan untuk upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong, alang-alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan (reboisasi). Sebagai upaya untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut pemerintah memungut DR dari pengusaha yang memanfaatkan kayu hutan. DR tersebut akan digunakan oleh pemerintah pusat (60%) dan pemerintah daerah (40%). Jatah pemerintah daerah tersebut dalam kurun waktu sampai dengan 2005 menggunakan mekanisme DAK-DR dan setelah 2005 menggunakan mekanisme DBH. Mekanisme pengalokasian dan penyaluran DR ke daerah penghasil diawali dengan penyampaian usulan alokasi DAK-DR per Provinsi kepada Menteri Keuangan oleh Departemen Kehutanan, sesuai dengan proyeksi penerimaan DR masing-masing provinsi. Atas dasar usulan alokasi tersebut, Menteri Keuangan menetapkan alokasi DAK-DR setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Kehutanan dan Kepala Bappenas. Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan menyampaikan Alokasi DAK-DR tersebut kepada masing-masing Gubernur untuk ditetapkan Alokasi DAK-DR per Kabupaten/kota. Sebagai dasar kriteria penetapan alokasi oleh Gubernur adalah proyeksi penerimaan DR masing-masing kabupaten/kota, luas hutan rusak dan lahan kritis pada DAS/Sub DAS Prioritas serta tingkat kekritisan ekosistem DAS/Sub DAS dengan mempertimbangkan hubungan hulu dan hilir. Surat Keputusan Gubernur tentang Alokasi DAK-DR per kabupaten disampaikan kepada Menteri Keuangan dhi. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan berikut Nomor Rekening dan Nama Bank yang dituju. Selanjutnya Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk memindahbukukan DAK-DR tersebut ke bank yang ditunjuk dengan nomor rekening sesuai SK Gubernur tersebut.
DAK-DR di Riau
Pemerintah sejak tahun 2001 telah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus yang berasal dari 40 % Dana Reboisasi untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan di Kabupaten/Kota. Provinsi Riau telah mendapatkan Dana Alokasi DAK-DR sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 sebesar Rp482.592.858.516,94 dan telah direalisasikan sebagai belanja daerah sebesar Rp212.968.404.082,00 dengan rincian
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
14
pembagian per-kabupaten/kota sebagai berikut:
Tabel 8 : DAK-DR No.
Kabupaten/Kota
Alokasi (Rp)
Belanja
%
(Rp)
1.
Kampar
53.313.687.559,91
16.606.471.225,00
31,15
2.
Kuantan Singingi
50.513.276.384,07
25.067.766.616,00
49,63
3.
Pelalawan
80.319.090.937,82
31.488.721.700,00
39,20
4.
Rokan Hulu
45.927.678.400,66
26.916.446.321,00
58,61
5.
Siak
44.694.162.467,81
11.483.921.760,00
25,69
6.
Pekanbaru
11.767.810.675,87
4.960.885.140,00
42,16
7.
Indragiri Hulu
38.892.929.553,14
27.427.390.780,00
70,52
8.
Indragiri Hilir
42.663.281.896,88
20.983.989.900,00
49,19
9.
Rokan Hilir
47.185.679.035,26
9.852.929.928,00
20,88
10.
Bengkalis
49.177.295.862,65
30.177.688.942,00
61,37
11
Dumai
18.137.965.742,87
8.002.191.770,00
44,12
482.592.858.516,94
212.968.404.082,00
44,13
Jumlah
Pemulihan fungsi hutan dalam program RHL melalui Dana Reboisasi (DR) adalah untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dananya dipungut dari pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Berdasarkan PP No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, DR didistribusikan 40% untuk daerah penghasil berupa Dana Alokasi Khusus DR (DAK-DR) dan 60% untuk pemerintah pusat. Penyelenggaraan dan pengelolaan DAK-DR diatur dalam Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR yang merupakan arahan atau pedoman bagi daerah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan kegiatan RHL. Penetapan dan pelaksanaan kegiatan RHL yang dibiayai dari DAK-DR sepenuhnya ditetapkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang menggunakan DAK-DR sepenuhnya dilaksanakan oleh perangkat pemerintah daerah provinsi dan kabupaten yang terkait dengan kehutanan. Perubahan DAK-DR menjadi DBH
Pada tahun 2005 Pemerintah mengeluarkan UU No 33 Tahun 2004 dan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan sebagai aturan pelaksanaannya. Sejak dikeluarkannya UU dan PP ini maka terjadi perubahan dalam pengelompokan PNBP DR dari DAK menjadi DBH SDA sektor Kehutanan. Dalam PP tersebut DBH SDA didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Untuk PNBP SDA Kehutanan seperti DR, ratio prosentase pembagiannya masih tetap sama yaitu 60% Bagian Pemerintah digunakan untuk RHL secara Nasional dan 40% Bagian Daerah digunakan untuk kegiatan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
15
RHL di Kabupaten/Kota Penghasil. Selanjutnya ketentuan tersebut antara lain menyebutkan bahwa Menteri Kehutanan menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH DR paling lambat 60 hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan, kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan, dan paling lambat 30 hari dari setelah diterima, Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH DR. Penghitungan realisasi DBH DR dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah dan penyalurannya dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan DR tahun anggaran berjalan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Sistem Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan Pengendalian meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya Intern RHL dalam mendukung ystem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pada periode 2003 – 2007, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan sumber dana yang berasal dari BA 69, BA 29 (Anggaran Departemen Kehutanan), Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) dan sumber dana lainnya dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Masing-masing sumber dana ini mempunyai kegiatan yang berbeda tetapi tetap berkaitan dengan RHL. Kegiatan RHL yang menggunakan sumber dana BA 69 adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL adalah suatu kegiatan terkoordinasi yang mendayagunakan segenap kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai. Mekanisme perencanaan, realisasi dan pelaporan anggaran BA 69 menggunakan mekanisme anggaran pemerintah. Organisasi yang terlibat dalam kegiatan GN-RHL adalah unit-unit kerja Departemen Kehutanan di daerah seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai (BP DAS) dan unit-unit teknis kehutanan yang terkait milik Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. BP DAS mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan bibit secara terpusat bagi keperluan seluruh kegiatan rehabilitasi di wilayah yang menjadi wewenangnya. BP DAS juga mempunyai fungsi untuk menetapkan hutan dan lahan kritis di wilayah kerjanya yang akan menjadi prioritas kegiatan GN-RHL. Pelaksanaan rehabilitasi lahan di serahkan kepada Unit-unit kerja Kehutanan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan melibatkan kelompok-kelompok tani dan masyarakat. Khusus untuk yang terkait dengan rehabilitasi di kawasan hutan konservasi dilakukan oleh UPT Departemen Kehutanan Balai Konservasi Sumber Daya Hutan (BKSDA) dan untuk kawasan hutan lindung dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Sumber dana RHL lainnya seperti DAK-DR dan Dana Murni APBD mempunyai kegiatan yang serupa dengan BA 69 hanya mekanisme anggarannya menggunakan mekanisme APBD Kabupaten/Kota. Organisasi RHL yang menggunakan sumber dana diluar BA 69 melibatkan sepenuhnya unit-unit kerja milik Pemda Kabupaten/Kota. Khusus untuk DAK-DR penggunaannya dibatasi hanya untuk kegiatan terkait dengan reboisasi lahan di kawasan hutan dan eks hutan. Berdasarkan hasil pemahaman, evaluasi dan review terhadap Sistem Pengendalian Intern Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
16
Rehabilitasi Hutan dan Lahan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Organisasi RHL
Kegiatan RHL melibatkan beberapa instansi yakni Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten/Kota, badan usaha milik pemerintah/swasta dan masyarakat. Tugas dari masing-masing instansi pemerintah tersebut antara lain: 1. Departemen Kehutanan: Koordinasi, kebijakan, perencanaan, latihan dan penyuluhan, kehumasan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan. 2. UPT Departemen Kehutanan di daerah (BP-DAS, BPTH, BKSDA, BTN): Koordinasi, penyediaan bibit, informasi teknis, dan monitoring dan evaluasi, khusus BKSDA dan BTN termasuk juga penyediaan bibit dan penanaman pada kegiatan reboisasi. 3. Pemerintah Daerah c.q Dinas Kehutanan: Tim pelaksana RHL diketuai oleh Bupati dengan wilayah kerja meliputi kawasan hutan dan luar kawasan hutan. Lingkup tugas Tim Pelaksana meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan dan konservasi tanah. 4. Lembaga Penilai Independen (LPI) Tim Penilai Bibit ditunjuk oleh Kepala BP-DAS sedangkan Tim Penilai Tanaman ditunjuk oleh Kepala Dinas Kehutanan setempat. Dalam melaksanakan penilaian kinerja RHL, Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan perguruan tinggi yang telah mempunyai badan usaha atau konsultan penilai. Pelaksanaan RHL melibatkan organisasi pemerintah pusat dan daerah tersebut cenderung mempersulit untuk melakukan koordinasi pelaksanaan RHL di lapangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan kegiatan-kegiatan RHL yang menjadi tidak efektif karena tidak adanya koordinasi dalam pencairan anggaran, pengadaan bibit dan penentuan lokasi rehabilitasi yang dibiayai dengan DAK-DR.
Anggaran RHL
Anggaran RHL terdiri dari BA 69, DAK-DR dan Sumber Dana lainnya. Masing-masing anggaran ini mempunyai mekanisme anggaran yang berbeda, BA 69 menggunakan mekanisme APBN dan Sumber Dana lainnya menggunakan mekanisme APBD. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan banyaknya kegagalan penanaman rehabilitasi hutan dan lahan karena terlambatnya proses pencairan anggaran khususnya yang terkait dengan BA 69 dan pengadaan bibit yang terkesan terburu-buru sehingga berpotensi meningkatkan risiko ketidaksesuaian pemilihan jenis bibit. Khusus untuk DAK-DR masih ditemukan penyerapan anggaran yang rendah.
Kebijakan
Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah pusat untuk GNRHL dan Pemerintah Daerah untuk RHL yang menggunakan sumber dana DAK-DR. Pemerintah pusat membuat berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan kegiatan GN-RHL dengan mengacu kepada UU No. 5 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 41 tahun 1999, PP No. 68 tahun 1998, PP No. 25 tahun 2000, PP No. 34 tahun 2002, PP No. 35 tahun 2002, Keppres RI No. 102 tahun 2001, Keppres RI
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
17
No. 228 tahun 2001. Keppres RI No.80 Tahun 2003 dan SKB Menteri Koordinator Kesra, Menko Perekonomian dan Keuangan dan Menko Bidang Politik dan Keamanan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan permasalahan terkait dengan lemahnya kebijakan terkait dengan penentuan lahan dan hutan yang akan di rehabilitasi. Pengalihan fungsi areal yang telah di rehabilitasi menjadi areal perkebunan dan areal lainnya. Disamping hal diatas, ditemukan juga kelemahan kebijakan pelaksana dilapangan terkait dengan pemilihan bibit yang lebih memperioritaskan keinginan kelompok tani dan atau masyarakat tanpa memperhatikan ekosistem dan ekologis wilayah. Pemerintah juga cenderung kurang melakukan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga masih ditemukan masyarakat yang memilih bibit murni hanya untuk kebutuhan jangka pendek (ekonomi) tanpa memperhatikan aspek ekologis dan kesinambungan daya dukung lingkungan. Perencanaan
Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan mengarah pada tujuan untuk memulihkan hutan dan lahan dalam rangka perbaikan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan mendasarkan pada masing-masing kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya penyusunan rencana RHL dilaksanakan secara terpadu dari atas dan dari bawah (top down and bottom up planning). Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS diwilayah kerja BP DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003 – 2007). Mengacu kepada Rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Kabupaten/kota disusun berdasarkan kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi. Dengan mendasarkan pada RTT, disusun Rancangan Teknis Kegiatan (Rantek) yang memuat kegiatan teknis secara rinci (bestek) dari setiap komponen pekerjaan yang meliputi rancangan pekerjaan fisik, anggaran dan tata waktu. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perencanaan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para penanggungjawab dan pelaksana kegiatan RHL.
Prosedur Kerja
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan GN-RHL, Menteri Kehutanan telah menerbitkan pedoman teknis dan petunjuk pelaksanaan, antara lain: 1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V//2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GN-RHL tahun 2004; 2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2005; 3. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.81/Menhut-V/2006 tentang Penyelenggaraan Dan Sasaran Kegiatan GN-RHL Tahun 2006; 4. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiata GN-RHL Tahun 2007. Dalam pedoman dan petunjuk pelaksanaan tersebut telah diatur mengenai pelaksanaan penyediaan bibit, pembuatan tanaman reboisasi hutan lindung dan hutan produksi, pembuatan tanaman hutan rakyat, pembuatan tanaman penghijauan kota, pembuatan tanaman turus jalan dan pembuatan bangunan konservasi tanah serta pelaksanaan penilaian kinerja kegiatan GNRHL.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
18
Dalam pelaksanaannya prosedur tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para pelaksana kegiatan. Hal ini masih terlihat antara lain jangka waktu pengadaan bibit dan penanaman yang terlalu lama, pembuatan tanaman hutan rakyat di areal kawasan hutan produksi, tidak berhasilnya penanaman turus jalan dan belum dilaksanakan pemeliharaan tahun berjalan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
19
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA Pemantauan Tindak Lanjut
BPK selama periode tahun 2003 s.d 2006 belum melakukan pemeriksaan atas kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di Provinsi Riau maupun kegiatan RHL di Kabupaten/Kota se-provinsi Riau yang dananya bersumber dari APBN atau APBD.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
20
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN
Pengendalian Pengelolaan Dana DAK-DR Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Kampar Belum Memadai guna Menjamin Terlaksananya Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Pemerintah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Riau memperoleh alokasi Dana DAK-DR yang ditampung dalam Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dan atau di rekening khusus DAK-DR berdasarkan ketetapan alokasi DAK-DR dari Gubernur Riau tanpa melalui persyaratan bahwa dana tersebut dapat disalurkan apabila Pemerintah Kabupaten/Kota telah merencanakan penggunaannya untuk kegiatan rehabiltasi lahan dan hutan. Mekanisme pengelolaan tersebut tidak mempunyai pengendalian yang memadai untuk mencegah penggunaan dana DAK-DR tersebut di luar kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Hasil pemeriksaan atas pengelolaan Dana DAK-DR di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Kampar diketahui hal-hal sebagai berikut: a. Kabupaten Bengkalis 1) Kabupaten Bengkalis memperoleh alokasi DAK-DR tahun 2001 s.d. 2005 sebesar 49.177.295.862,65 dan telah direalisasikan sebagai belanja daerah Rp30.177.688.942,00 2) DAK-DR disalurkan ke Bank Riau Cabang Bengkalis, dalam dua (2) rekening yaitu Nomor 00901.04.042220-8 dan Nomor 00901.04.041668-0. 3) Saldo per 2 Oktober 2007 untuk kedua nomor rekening tersebut adalah Rp 0,00. 4) Mutasi Debet (penambahan) dan Kredit (pengurangan) terhadap kedua rekening tersebut dilakukan baik terhadap Saldo Pokok (penerimaan pokok sesuai alokasi) maupun Jasa Gironya, yaitu dengan cara memindahkan seluruh saldo DAK-DR ke rekening Kas Daerah, sehingga saldo akhir kedua rekening DAK-DR tersebut menjadi Rp 0,00. 5) Pemindahan saldo rekening DAK-DR ke Rekening Umum Kas Daerah (RKUD) telah dilakukan sejak periode tahun 2003 hingga tahun Oktober 2007. Atas mekanisme penerimaan dana DAK-DR tersebut, Pemerintah Kabupaten Bengkalis belum mempunyai pengendalian yang memadai guna menjamin bahwa dana yang sudah tercampur di rekening kas daerah pemerintah Kabupaten Bengkalis seluruhnya diperuntukkan/digunakan untuk membiayai kegiatan RHL. b. Kabupaten Kampar 1) Kabupaten Kampar memperoleh alokasi DAK-DR tahun 2001 s.d. 2005 sebesar Rp53.313.687.559,91 dan telah direalisasikan sebagai belanja daerah Rp16.606.471.225,00. 2) Tahun 2003 DAK-DR disalurkan ke Rekening Umum Kas Daerah (RKUD), yaitu di Bank BNI Cabang Pasar Pusat Pekanbaru dengan Nomor Rekening: 147.000543244.011. Posisi Saldo DAK-DR per 31 September 2003 dalam
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
20
rekening tersebut adalah Rp9.044.540.000,00. 3) Mulai tahun 2005 DAK-DR tersebut dipisah/disendirikan dari RKUD, ditempatkan di Bank Riau Cabang Bangkinang dengan Nomor Rekening : 010 01.03.0000011. Saldo per 31 Desember 2005 adalah Rp12.812.126.375,00. Selama tahun 2005 tidak terjadi mutasi kredit, namun hanya mutasi Debit yaitu penerimaan bunga jasa giro. 4) Saldo DAK-DR per tanggal 31 Desember 2006 adalah sebesar Rp13.332.654.863,00. Selama tahun 2005 tidak terjadi mutasi kredit, namun hanya mutasi Debit yaitu penerimaan bunga jasa giro. Atas mekanisme penerimaan dana DAK-DR tersebut, Pemerintah Kabupaten Kampar belum mempunyai pengendalian yang memadai guna menjamin bahwa dana yang sudah tercampur di rekening kas daerah pemerintah Kabupaten Kampar seluruhnya diperuntukkan/digunakan untuk membiayai kegiatan RHL. Masalah tersebut belum sesuai dengan: a. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada penjelasan pasal 35 ayat 1 antara lain menyatakan : Dana Reboisasi adalah dana yang dipungut dari Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Dana tersebut digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya. b. PP No. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi Pasal 16 ayat 1 menyatakan bahwa Dana Reboisasi digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan serta kegiatan pendukungnya. c. Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan, Departemen Kehutanan, Depdagri dan Bappenas Nomor SE-59/A/2001, Nomor SE-720/Menhut-II/2001, Nomor 2035/D.IV/05/2001, Nomor SE 522.4/947/V/BANGDA Tahun 2001 yang menyatakan bahwa DAK-DR dialokasikan oleh Pemerintah kepada daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan fisik rehabilitasi hutan dan lahan kritis didalam DAS prioritas sekaligus sebagi sarana pengembangan kapasitas dan kapabilitas masyarakat. Masalah tersebut mengakibatkan upaya penurunan hutan dan lahan kritis di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Kampar tidak segera tercapai dan cenderung akan mengurangi kualitas Daerah Aliran Sungai serta meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor di wilayah sekitarnya, terjadi karena tidak adanya mekanisme pengendalian yang dapat mencegah atau mengurangi risiko penggunaan dana DAK-DR sebagai sumber dana investasi dan pemanfaatan DAK-DR untuk kepentingan diluar rehabilitasi Hutan dan Lahan. Atas permasalahan tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis menyatakan bahwa menerima temuan BPK dan ke depan akan diupayakan pengelolaan DAK-DR dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis akan meningkatkan koordinasi dengan Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kabupaten Bengkalis dalam rangka mensinergikan pengelolaan administrasi keuangan DAK-DR. Sementara Kepala Dinas Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
21
Kabupaten Kampar menyatakan bahwa akan dikonfirmasikan dengan Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kabupaten Kampar. BPK menyarankan agar Bupati Bengkalis dan Bupati Kampar menyusun mekanisme pengendalian penggunaan dana DAK-DR antara lain dengan membuat laporan berkala rencana dan realisasi pelaksanaan kegiatan RHL. Dana Alokasi Khusus
Berdasarkan data lahan kritis dalam Master Plan RHL Provinsi Riau Tahun 2003 dan
Dana Reboisasi
data lahan kritis yang diterbitkan oleh BP-DAS Indragiri Rokan pada Tahun 2005
(DAK-DR) Kabupaten
diketahui bahwa Kabupaten Pelalawan pada tahun 1997 memiliki lahan kritis diluar
Pelalawan Sebesar
kawasan hutan seluas 54.071 Ha sedangkan lahan kritis di dalam kawasan pada tahun
Rp48.146.947.115,00
2001 seluas 108.736,35 Ha. Pada tahun 2005 lahan kritis tersebut meningkat menjadi
Belum Dimanfaatkan
seluas 183.096 Ha di luar kawasan hutan dan seluas 136.469 Ha di dalam kawasan
Untuk Merehabilitasi
hutan.
Hutan dan Lahan Kritis
Salah satu upaya guna menanggulangi/merehabilitasi hutan dan lahan kritis tersebut adalah mengalokasikan dana kepada masing-masing Kabupaten/Kota melalui DAK-DR dan sejak TA 2003 telah digulirkan Program GN-HRL yang dananya bersumber dari APBN Bagian Anggaran 69. Kabupaten Pelalawan sejak Tahun Anggaran (TA) 2001 s.d TA 2005 memperoleh alokasi DAK-DR sebesar Rp80.319.091.557,82 dan telah diterima di Kas Daerah/BUD Kabupaten Pelalawan s.d. September 2007 sebesar Rp80.109.878.715.00. Dari Penerimaan DAK-DR tersebut yang sudah direalisasikan penggunaannya untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan s.d. 2007 hanya sebesar Rp31.962.931.600,00 sehingga masih terdapat sisa dana yang belum dimanfaatkan sebesar Rp48.146.947.115,00 ( rincian terlampir). Hasil pemeriksaan mengungkapkan bahwa Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan hanya melaksanakan kegiatan RHL yang bersumber dari DAK-DR pada TA 2002, 2003 dan 2004 (luncuran 2003) yang meliputi 62 kegiatan dengan realisasi fisik seluas 10.577 Ha dan realisasi anggarannya sebesar Rp31.962.931.600,00. Masalah tersebut tidak sesuai dengan Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Bappenas No. SE-59/A/2001, No. SE-720/Menhut-II/2001, No. 2035/D.IV/05/2001 dan SE-522.4/947/V Bangda tanggal 21 Mei 2001 tentang Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR untuk Penyelenggaraan RHL, antara lain menyatakan bahwa DAK-DR digunakan secara efektif dan efisien dalam mencapai keberhasilan penyelenggarahan rehabilitasi hutan dan lahan. Penjelasan Huruf V tentang Pengelolaan Kegiatan RHL angka 3 menyatakan bahwa dalam penerapan prinsip kesinambungan perlu menyesuaikan dengan sistem silvikultur. Untuk itu
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
22
pengelolaan kegiatan harus memperhatikan kesinambungan dengan tahun sebelumnya dan rencana tahun berikutnya serta kesediaan dana. Masalah ini mengakibatkan tingkat keberhasilan RHL di Kabupaten Pelalawan rendah dan luas lahan kritis pada Kabupaten Pelalawan belum menurun secara signifikan, karena Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan beserta jajaran di bawahnya tidak mengajukan rencana dan melaksanakan kegiatan RHL untuk mengurangi luas lahan kritis, meskipun DAK-DR dari pemerintah Pusat telah masuk ke Kas Daerah. Atas permasalahan tersebut, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan menyatakan bahwa wilayah kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan adalah kawasan hutan produksi tetap maupun hutan produksi terbatas yang telah dikeluarkan ijinnya/dibebani perijinan padahal dalam pedoman DAK-DR terhadap kawasan hutan yang sudah dibebani ijin bukan tugas Dinas Kehutanan untuk melaksanakan kegiatan RHL-nya. Untuk kegiatan Tanaman Hutan Rakyat, masyarakat Kabupaten Pelalawan lebih cenderung menanam kelapa sawit dibandingkan komoditas kayu-kayuan. Selain itu para pelaksana/penanggung jawab kegiatan RHL trauma terhadap aspek hukum yang timbul karena banyaknya “intervensi” dari berbagai pihak sehingga menyulitkan pelaksana kegiatan dalam melaksanakan pekerjaannya. BPK menyarankan agar Bupati Pelalawan memberikan teguran tertulis kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan supaya menyusun rencana kegiatan RHL yang bersumber dari DAK-DR sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di Kabupaten Pelalawan dan mengusulkan anggaran belanjanya dalam APBD TA 2008 dan TA berikutnya serta melaporkan secara berkala rencana dan realisasi pelaksanaan kegiatan RHL. Kegiatan Penanaman di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim yang Dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Riau Tahun 2007 Tidak Efektif Sebesar Rp40.327.200,00
Dalam rangka pelaksanaan GN-RHL/Gerhan pada tahun 2007 Dinas Kehutanan Provinsi Riau memperoleh alokasi anggaran luncuran dari DIPPA No. 0149.2/069-03.0/-/2006 Revisi II tanggal 12 November 2006 sebesar Rp3.583.396.000,00 Dari alokasi dana tersebut antara lain dianggarkan untuk kegiatan rehabilitasi lahan kritis sebesar Rp930.721.000,00 yang diantaranya dialokasikan sebesar Rp230.000.000,00 untuk kegiatan penanaman reboisasi di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim seluas 100 Ha. Pekerjaan penanaman reboisasi tersebut dilaksanakan secara swakelola, yaitu upah dan bahan dikelola./dibayar oleh Dinas Kehutanan Provinsi dengan anggaran sebesar Rp230.000.000,00, sementara pengadaan bibitnya dilaksanakan oleh CV Giat Perkasa yang ditetapkan oleh BP-DAS Indragiri Rokan berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Kontrak No.SPK.674/X-BP-DAS/2006 tanggal 1 Desember 2006 senilai Rp173.272.000,00. Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan selama 18 hari kalender dan telah dinyatakan selesai berdasarkan BA Serah Terima Pekerjaan No.487/X-BPDAS/2006 tanggal 12 Desember 2006 serta telah dibayar lunas sebesar Rp173.272.000,00. Realisasi biaya untuk kegiatan reboisasi Tahura Sultan Syarif Hasyim seluruhnya menjadi sebesar Rp403.272.000,00. Hasil pemeriksaan fisik dan wawancara kepada koordinator pelaksana pekerjaan pada tanggal 13 September 2007 diketahui bahwa seluas 10 Ha dari 100 Ha areal rebobisasi
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
23
Tahura Sultan Syarif Hasyim atau 10% dari areal penanaman sudah rusak karena telah ditanami pohon sawit secara sporadis oleh masyarakat walaupun telah dilaksanakan kegiatan kepeloporan TNI dengan biaya sebesar Rp80.000.000,00. Masalah tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.369/KptsII/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan GN-RHL tanggal 31 Oktober 2003 yang antara lain menyatakan bahwa Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan perannya dalam mendukung system penyangga kehidupan tetap terjaga. Masalah ini mengakibatkan kegiatan reboisasi pada Tahura Sultan Syarif Hasyim tidak efektif minimal sebesar Rp40.327.200,00 (10% X Rp403.272.000,00) apabila tidak segera dilakukan kegiatan pemeliharaan tanaman, yang terjadi karena : a. Petugas pelaksana dan Pengawas Lapangan kegiatan Gerhan pada Dinas Kehutanan Provinsi Riau tidak cermat dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. b. Kuasa Pengguna Anggaran dan Pemimpin Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau lemah dalam melakukan pengendalian. Atas permasalahan tersebut, Penanggung Jawab kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau mengakui bahwa penanaman tidak efektif apabila tidak segera dilakukan pemeliharaan namun dalam DIPA Gerhan 2007 anggaran pemeliharaan untuk Tahura tersebut tidak tersedia. BPK menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta kepada Gubernur Riau : a. Memberikan teguran tertulis secara berjenjang kepada Kuasa Pengguna Anggaran kegiatan Gerhan pada Dinas Kehutanan Provinsi Riau yang lemah dalam melaksanakan pengendalian kegiatan Gerhan di lingkungannya. b. Memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau memberikan teguran tertulis kepada petugas pelaksana dan pengawas lapangan pekerjaan Tahura tahun 2007 supaya bekerja lebih cermat dan meningkatkan koordinasi dengan aparat keamanan terkait. Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat pada Kegiatan GN-RHL Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2006 Senilai Rp378.000.000,00 Terlambat Dilaksanakan
Berdasarkan Rancangan Teknis pembuatan Tanaman Hutan Rakyat (pola insentif) kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 diketahui beberapa hal berikut: a. Lokasi : Non kawasan/tanah milik di Desa Karya Tunas Jaya Kec. Tempuling b. Luas : 600 Ha c. Bibit : Pulai dan karet/MPTS dengan jumlah keseluruhan 264.000 batang, terdiri dari tanaman pokok sebanyak 240.000 batang dan sulaman sebanyak 24.000 batang. Pelaksanaan kegiatan dibagi menjadi 2 tahap, yaitu: a. Tahap I dilaksanakan pada bulan November 2005 s/d April 2006 seluas 180 Ha senilai Rp162.000.000,00 yang dibiayai melalui DIPA-L No. 0217.0.L/069-03.0/IV/2006 tanggal 31 Desember 2005. Bibit yang diterima sebanyak 70.400 batang, yang terdiri
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
24
dari tanaman pokok sebanyak 64.000 batang dan sulaman sebanyak 6.400 batang. b. Tahap II dilaksanakan pada bulan Juli 2006 s/d Desember 2006 seluas 420 Ha senilai Rp378.000.000,00 yang dibiayai melalui DIPA No. 0149.1/069-03.0/IV/2006 tanggal 31 Desember 2005 Revisi ke-I tanggal 12 Juni 2006. Bibit yang diterima sebanyak 193.600 batang, yang terdiri dari tanaman pokok sebanyak 176.000 batang dan sulaman sebanyak 17.600 batang. Pelaksanaan tahap kedua tersebut dilaksanakan oleh Kelompok Tani Purnama Jaya sesuai dengan Surat Perjanjian Kerja Sama (SPKS) Nomor 004.02/Gerhan/SPKS/2006 tanggal 1 November 2006 untuk pembuatan tanaman hutan rakyat (pola insentif) seluas 420 Ha senilai Rp378.000.000,00 dengan jangka waktu pelaksanaan selama 60(enam puluh) hari kerja terhitung mulai tanggal 1 November 2006 sampai dengan 30 Desember 2006. Kelompok tani telah dibayar langsung lunas sebesar Rp378.000.000,00 dengan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) Nomor 436231E/092/114 tanggal 19 Desember 2006 meskipun belum berakhir jangka waktu pelaksanaan kegiatan. Hasil pemeriksaan fisik ke lokasi kegiatan dan wawancara dengan ketua kelompok tani pelaksana kegiatan tanggal 19 September 2007 menunjukan bahwa kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat tersebut belum selesai dilaksanakan atau telah terlambat selama lebih dari 9 bulan. Berdasarkan catatan pada buku kas kelompok tani diketahui bahwa bibit yang tertanam baru sebanyak 50.400 batang dari 264.000 batang yang harus ditanam (atau 19,09%) Disamping itu, Kelompok Tani Purnama Jaya juga belum pernah membuat laporan kemajuan fisik dan keuangan, serta bersama-sama dengan petugas pendamping belum pernah membuat Laporan Penyelesaian Pelaksanaan Pekerjaan (LP3) dan Surat Pernyataan Tahap Penyelesaian Pelaksanaan Pekerjaan (SP4). Masalah tersebut tidak sesuai dengan: a. Rancangan Teknis pembuatan Tanaman Hutan Rakyat (pola insentif) seluas 600 Ha yang telah dinilai oleh BP-DAS Indragiri Rokan Provinsi Riau dan disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir pada bulan Desember 2005. b. Surat Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir Nomor 820/Dishutbun-UP/198 tanggal 1 Oktober 2006 tentang Penetapan Kelompok Tani dan Petugas Fasilitator /Pendamping Pelaksana Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Pola Insentif Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Anggaran 2006 pada Diktum ketiga tentang Tugas dan tanggung jawab kelompok tani pelaksana diantaranya adalah pada: 1) Angka 7 yang menyatakan bahwa ketua kelompok dibantu oleh sekretaris dan bendahara kelompok membuat laporan kemajuan fisik dan keuangan sesuai dengan kegiatan yang ditetapkan. 2) Angka 8 yang menyatakan bahwa ketua kelompok bersama dengan ketua seksi dibantu oleh petugas pendamping yang ditunjuk membuat Laporan Penyelesaian
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
25
Pelaksanaan Pekerjaan (LP3) dan menandatangani Surat Pernyataan Tahap Penyelesaian Pelaksanaan Pekerjaan (SP4) 3) Diktum keempat yang menyatakan bahwa kelompok tani dan petugas fasilitator/pendamping bertanggung jawab atas penyelesaian pekerjaan pembuatan tanaman hutan rakyat pola insentif kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir, sesuai dengan jadwal dan target yang telah ditetapkan. Masalah tersebut mengakibatkan pelaksanaan kegiatan pembuatan Tanaman Hutan Rakyat (pola insentif) tahap kedua seluas 420 Ha senilai Rp378.000.000,00 tidak tercapai, terjadi karena: a. Pejabat Pembuat Komitmen lalai dalam menyusun SPKS tidak mematuhi peraturan yang berlaku, yaitu dalam menetapkan termin pembayaran secara sekaligus tidak bertahap sesuai dengan kemajuan fisik. b. Kelompok tani Purnama Jaya lalai tidak mengerjakan kegiatan sesuai dengan jadwal dan target yang telah ditetapkan. c. Petugas pendamping/fasilitator lalai dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. d. Pengawasan dan pengendalian Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran Kegiatan Gerhan Kabupaten Indragiri Hilir belum optimal. Atas permasalahan tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir menyatakan bahwa kegiatan pembuatan THR yang dilaksanakan adalah pola insentif HOK = Rp10.000,00 sehingga kelompok tani kurang bersemangat untuk bekerja. Keterlambatan pekerjaan disebabkan karena kelompok tani melakukan pembersihan lahan secara total bukan sebagaimana dimaksud dalam rancangan teknis namun kelompok tani berkomitmen untuk menyelesaikan pekerjaan. BPK menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Indragiri Hilir supaya memberikan instruksi tertulis kepada Kuasa Pengguna Anggaran kegiatan Gerhan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir untuk memberikan teguran tertulis kepada : a. Pejabat Pembuat Komitmen yang lalai dalam menyusun SPKS dan melakukan pengendalian atas dana yang telah diterima oleh Kelompok Tani Purnama Jaya sebesar Rp378.000.000,00 supaya dipergunakan sesuai dengan perencanaan teknis yang ditetapkan. b. Ketua Kelompok Purnama Jaya agar menyelesaikan pekerjaan penanaman hutan rakyat seluas 420 ha c. Petugas pendamping yang lalai melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
26
Kegiatan Pemeliharaan Tanaman atas Hasil Kegiatan Rehabiltasi Hutan dan Lahan GN-RHL TA 2004 sampai dengan TA 2006 Tidak Dilaksanakan
Tingkat keberhasilan kegiatan GN-RHL antara lain dinilai dari keberhasilan tumbuh tanaman yang dipengaruhi oleh kegiatan pemeliharaan tanaman. Hasil penilaian kinerja kegiatan GN-RHL TA 2004/2005 yang dilaksanakan oleh Koperasi Pegawai Universitas Lancang Kuning pada Tahun 2006 diantaranya diketahui bahwa tingkat keberhasilan tumbuh tanaman di Provinsi Riau bervariasi dengan rincian sebagai berikut : No. 1.
2.
Kabupaten/Kota/lokasi
Luas
Tingkat
(Ha)
Tumbuh (%)
Hutan Lindung - Bukit Suligi
200
68,04
Hutan produksi terbatas –Rambah
38,4
61,12
Hutan Tanaman Rakyat- Munai
68,4
98,44
63
59,50
160
48,00
Hutan Produksi - Bayas Jaya
58
38,00
Hutan Tanaman Rakyat – Kritang
68
54,20
Hutan Mangrove – Tanjung pasir
65
4,00
Hutan Produksi Terbatas –Katipo
58
11,00
Tanaman Hutan Rakyat –Peranap
49
-
500
69,00
85
22%
394
57,00
Kab. Rokan Hulu
Kab. Kuantan Singingi Hutan Produksi Terbatas – Logas
3.
Kab. Siak Hutan Rakyat
4.
5.
6.
Kab. Indragiri Hilir
Kab. Indragiri Hulu
Kab Pelalawan Hutan Konservasi Taman Nasional -Teso Nilo
7.
Kota Pekanbaru Tanaman Hutan Rakyat -Kampung Badak dan Binjai
8.
Provinsi Riau Tahura – Minas
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa tingkat keberhasilan tumbuh tanaman di Provinsi Riau relatif rendah. Hasil konfirmasi dengan pihak Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan pihak dinas yang membawahi kehutanan pada Kabupaten/Kota diketahui bahwa kegiatan pemeliharaan atas pekerjaan GERHAN TA 2004 dan 2005 belum pernah dilaksanakan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, Dinas Kehutanan Provinsi Riau berkewajiban menunjuk pihak ketiga (LPI) untuk melakukan penilaian tingkat keberhasilan tumbuh
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
27
penanaman, apabila dari hasil penilaian tersebut tingkat tumbuh penanaman > 55% maka pemeliharaan hasil penanaman dianggarkan melalui APBN (dana GN-RHL), dan apabila tingkat tumbuh penanaman < 55% maka pemeliharaan hasil penanaman dianggarkan melalui APBD masing-masing pemerintah daerah terkait. Hasil konfirmasi dengan PPK GN-RHL Pemerintah Provinsi Riau diketahui bahwa pihak Pemerintah Provinsi Riau belum pernah menunjuk pihak ketiga (LPI) untuk melakukan penilaian tingkat keberhasilan tumbuh penanaman kegiatan GN-RHL TA 2004 dan 2005. Hal inilah yang menyebabkan pihak dinas yang membawahi kehutanan pada Kabupaten/Kota tidak melakukan kegiatan pemeliharaan atas pekerjaan GERHAN karena tidak mempunyai dasar pengajuan anggaran pemeliharaan melalui APBN (dana GN-RHL) atau melalui APBD masing-masing. Masalah tersebut tidak sesuai dengan Lampiran I Peraturan Menteri Kehutanan No P.03/MENHUT-V/2004 tanggal 22 Juli 2004, No. P.33/MENHUT-V/2005 tanggal 1 November 2005 yang antara lain menyatakan bahwa : a. Pemeliharaan tanaman adalah perlakuan tanaman dan lingkungannnya dalam luasan dan kurun waktu tertentu agar tanaman tumbuh sehat dan berkualitas sesuai dengan standar hasil yang diperlukan. b. Pemeliharaan meliputi : 1) Pemeliharaan tahun berjalan (T-0) dilakukan dengan penyulaman tanaman yang mati sekitar satu bulan setelah penanaman. 2) Pemeliharaan tahun pertama dan tahun kedua dilakukan atas keberhasilan tanaman setelah penyulaman > 55%. c. Penilaian hasil tanaman dilakukan oleh LPI yang ditunjuk/diadakan oleh Dinas Provinsi. Masalah tersebut mengakibatkan tujuan kegiatan GN-RHL untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis di Provinsi Riau tidak tercapai dan berpotensi meningkatkan risiko kematian tanaman karena tidak dipelihara, yang terjadi karena Kuasa Pengguna Anggaran pada Dinas Kehutanan Provinsi beserta jajaran dibawahnya lalai tidak mengajukan usulan anggaran secara rutin pengadaan konsultan penilai tanaman (LPI) bersamaan dengan usulan anggaran penanaman tanaman. Atas permasalahan tersebut, Penanggung jawab Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau menyatakan bahwa dana pemeliharaan selama ini tidak turun seperti pedoman yang ditetapkan sedangkan mekanisme pengusulan anggaran kegiatan RHL perlu penegasan kembali dari Dirjen RLPS Departemen Kehutanan. BPK menyarankan agar : a. Menteri Kehutanan dalam menyusun pedoman penyelenggaraan Gerhan mempertimbangkan aspek anggaran secara komprehensif supaya kegiatan Gerhan dapat berjalan secara efektif. b. Kuasa Pengguna Anggaran dan Penanggungjawab Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau mengajukan usulan penilaian tanaman kepada Departemen
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
28
Kehutanan bersamaan usulan rencana kegiatan penanaman, yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar mengajukan rencana kegiatan pemeliharaan. Tingkat Keberhasilan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kota Pekanbaru, Kabupaten Rokan Hulu, dan Kabupaten Siak Rendah
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan di Kota Pekanbaru, Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Siak diketahui bahwa tingkat tumbuh tanaman rendah yaitu : a. Dinas Pertanian Kota Pekanbaru pada TA 2006 melaksanakan paket kegiatan GNRHL berupa pembuatan hutan kota dengan sumber dana dari APBN. Pekerjaan pembuatan hutan kota tersebut dilaksanakan secara swakelola dengan melibatkan kelompok masyarakat. Paket pekerjaan tersebut berupa penanaman bibit mahoni, pulai, matoa dan tembesi seluas 15 Ha. Jumlah keseluruhan bibit yang ditanam adalah sebanyak 6.000 batang. Hasil pemeriksaan fisik di lapangan diketahui bahwa pekerjaan pembuatan hutan kota ternyata dilakukan berupa turus jalan di area komplek perumahan di beberapa lokasi, yaitu: Perumahan Bukit Mutiara, Perumahan Kapau Sari, Perumahan Pemda, Perumahan Lancang Kuning, Perumahan Duta Insani, Perumahan Cendana dan Perumahan Cendana III. Pelaksanaan pekerjaan hutan kota berupa pembuatan turus jalan di komplek perumahan tersebut tidak tepat karena pembuatan hutan kota dan pembuatan turus jalan merupakan dua paket pekerjaan yang berbeda. Selain itu, pembuatan turus jalan seharusnya berada di area jalan nasional dan jalan provinsi, bukan di area komplek perumahan. Dari yang seharusnya tertanam sebanyak 6.000 batang yang masih tumbuh hanya 608 batang mahoni atau berkisar 10%. Selain pembuatan hutan kota tersebut, Dinas Pertanian Kota Pekanbaru pada TA 2006 melaksanakan paket kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang bersumber dari DAK-DR berupa pembuatan turus jalan sepanjang 10 KM2 dengan anggaran sebesar Rp66.856.000,00 terealisasi sebesar Rp66.856.000,00 atau 100%. Pekerjaan pembuatan turus jalan itu dilaksanakan secara swakelola dengan melibatkan kelompok masyarakat. Paket pekerjaan turus jalan berupa penanaman bibit mahoni sebanyak 4.400 batang termasuk sulaman. Hasil pemeriksaan fisik di lapangan, diketahui bahwa area pekerjaan turus jalan meliputi wilayah Kecamatan Tenayan Raya, yaitu di Jalan Harapan Raya dan Jalan Bukit Barisan. Dari yang seharusnya tertanam sebanyak 4.400 batang yang masih tumbuh hanya 601 batang mahoni atau berkisar 14%. b. Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hulu pada TA 2005 melaksanakan paket pekerjaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di lokasi Hutan Lindung Bukit Suligi seluas 100 Ha dengan sumber dana dari APBN (Gerhan). Pekerjaan pembuatan hutan rakyat tersebut dilaksanakan secara swakelola dengan melibatkan kelompok masyarakat dengan penanaman bibit mahoni dan karet. Dari hasil pemeriksaan fisik di lokasi Hutan Lindung Bukit Suligi pada tanggal 19 September 2007 diketahui bahwa tanaman bibit mahoni dan karet yang masih tumbuh berkisar 25%. Hasil konfirmasi kepada Pemimpin Kegiatan diketahui bahwa
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
29
rendahnya tingkat keberhasilan tersebut disebabkan banyaknya tanaman yang dicabut oleh masyarakat untuk ditanami bibit sawit. c. Dinas Kehutanan Kabupaten Siak pada Tahun Anggaran 2006 melaksanakan paket kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan berupa pengadaan bibit jenis buah-buahan dan pepohonan di hutan tanaman rakyat sebanyak 34.776 batang dengan sumber dana DAK-DR. Anggaran kegiatan tersebut sebesar Rp218.536.000,00 terealisasi sebesar Rp218.536.000,00 atau 100%. Pekerjaan penanaman hutan tanaman rakyat tersebut dilaksanakan secara swakelola dengan melibatkan kelompok tani/masyarakat. Pekerjaan itu meliputi penanaman bibit rambutan 6.517 batang, durian 6.524 batang, cempedak hutan 6.517 batang, petai 6.524 batang dan mahoni sebanyak 8.694 batang. Dari hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 21 September 2007 diketahui bahwa tanaman yang masih tumbuh berkisar 10 %. Menurut keterangan dari kelompok petani, bibit-bibit yang sudah ditanam tersebut banyak yang dicabut masyarakat dan mati akibat tidak dipelihara. Masalah ini tidak sesuai dengan : a. Lampiran I Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 pada Bagian Kelima tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan (Hutan Kota, Penghijauan Lingkungan dan Turus Jalan) Tahun 2005, yaitu bahwa hutan kota adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan yang bertumbuhan pohon-pohonan yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Pembuatan turus jalan hanya meliputi area jalan nasional dan jalan provinsi. b. Lampiran I Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V/2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Reboisasi Hutan Lindung, dan Hutan Produksi GN-RHL yang antara lain menyatakan bahwa apabila prosentase tumbuh tanaman di bawah 55% menunjukkan bahwa penanaman tidak tepat. c. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.04/Menhut-V/2004 tentang Pedoman Penyelengaraan kegiatan RHL DAK-DR yang antara lain menyatakan bahwa untuk kegiatan pemeliharaan dapat dilakukan apabila prosentase tumbuh tanaman di atas 55% dan/atau tingkat keberhasilan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan minimal 55%. Masalah tersebut mengakibatkan tujuan pelaksanaan RHL : a. Di Kota Pekanbaru berupa terwujudnya tanaman dalam suatu hamparan tertentu di wilayah kota untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro, nilai estetika dan fungsi resapan air serta menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota tidak tercapai. b. Di Kabupaten Rokan Hulu berupa tertanaminya kembali kawasan hutan lindung yang terdegradasi untuk memulihkan dan meningkatkan fungsi hutan sebagai perlindungan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
30
sistem penyangga kehidupan dan pengatur tata air tidak tercapai. c. Di Kabupaten Siak berupa terwujudnya tanaman hutan rakyat sebagai upaya rehabilitasi, untuk meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil tanaman rakyat dan meningkatkan kualitas lingkungan tidak tercapai. Hal tersebut terjadi karena: a. Kepala Dinas Pertanian Kota Pekanbaru dalam menyusun Rancangan Teknis Kegiatan belum sepenuhnya mempedomani peraturan Menteri Kehutanan. b. Kepala BP-DAS Indragiri Rokan dalam mengesahkan usulan Rancangan Teknis Dinas Pertanian Kota Pekanbaru tidak mempedomani peraturan Menteri Kehutanan. d. Tidak adanya program pengamanan area rehabilitasi hutan dan lahan setelah masa tanam. e. Rendahnya kesadaran masyarakat. Atas permasalahan tersebut di atas : a. Kepala Seksi Bina Usaha Kehutanan dan Perkebunan Dinas Pertanian Kota Pekanbaru menyatakan bahwa kegiatan yang dilaksanakan adalah pembuatan hutan kota tipe pemukiman sedangkan tingkat keberhasilan/tumbuh tanaman yang rendah menunjukan bahwa tingkat kesadaran masyarakat masih rendah untuk memelihara tanaman. b. Kepala Sub Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura selaku Penanggung jawab kegiatan DAK-DR tahun 2006 Dinas Pertanian Kota Pekanbaru menyatakan bahwa penyebab tingkat keberhasilan yang rendah adalah tingkat kesadaran masyarakat rendah, adanya proyek pelebaran jalan dan kegiatan pengamanan/pemeliharaan baru dianggarkan pada tahun 2007 dan pencairannya tidak sesuai dengan jadwal yang ditetapkan c. Kepala Sub Dinas Konservasi tanah Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hulu menyatakan bahwa tingkat keberhasilan hanya 25% disebabkan oleh rendahnya tingkat kesadaran masyarakat, pada umumnya hutan lindung sudah dirambah oleh masyarakat untuk ditanami kelapa sawit dan masih kurangnya kegiatan pengamanan atas hasil kegiatan RHL karena keterbatasan personil polisi hutan. d. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Siak menyatakan bahwa penyebab tingkat keberhasilan yang rendah adalah tingkat kesadaran masyarakat rendah dan adanya keterlambatan APBD Kabupaten Siak TA 2007 yang baru disahkan Mei 2007 sehingga kegiatan pemeliharan terlambat dilaksanakan. Tanggapan dari Dinas Pertanian Kota Pekanbaru tidak sepenuhnya tepat karena sesuai dengan Kriteria bahwa Hutan Kota dan Turus Jalan definisinya berbeda. BPK menyarankan agar : a. Menteri Kehutanan meminta : 1) Walikota Pekanbaru agar memberikan instruksi tertulis kepada :
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
31
a) Kuasa Pengguna Anggaran Kegiatan Gerhan Dinas Pertanian Kota Pekanbaru supaya meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat dan memberikan teguran tertulis kepada unsur perencana Dinas Pertanian Kota Pekanbaru agar dalam menyusun rencana kegiatan RHL disesuaikan dengan Pedoman yang telah diterbitkan oleh Departemen Kehutanan. b) Kepala Dinas Pertanian Kota Pekanbaru supaya meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang kegiatan RHL dan berkoordinasi dengan instansi terkait baik Dinas PU maupun Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kota Pekanbaru agar hasil kegiatan RHL menjadi efektif. 2) Bupati Rokan Hulu agar memberikan instruksi kepada : a) Kuasa Pengguna Anggaran Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hulu supaya meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat dan mengusulkan kegiatan pemeliharaan dan pengamanan atas hasil-hasil kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. b) Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Siak supaya meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang kegiatan RHL dan berkoordinasi dengan instansi terkait dhi Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kabupaten Siak agar hasil kegiatan RHL menjadi efektif b. Ditjen RLPS Departemen Kehutanan menegur secara tertulis Kepala BP-DAS Indragiri Rokan agar lebih cermat dalam mengesahkan rancangan teknis kegiatan RHL sesuai dengan pedoman penyelenggaraan RHL yang diterbitkan Departemen Kehutanan. Hasil Kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat (Sagu) Desa Tolam Seluas 300 Ha yang Dilaksanakan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan TA 2004 Tidak Efektif Sebesar Rp522.855.000,00
Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan pada Tahun 2004 melaksanakan dua kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat luncuran TA 2003 yang bersumber dari dana DAK-DR, yaitu kegiatan pembuatan Tanaman Hutan Rakyat (THR) Pola Sagu di Desa Tolam seluas 300 Ha dengan anggaran sebesar Rp580.950.000,00 telah direalisasikan 100% serta kegiatan pembuatan THR Pola Akasia di Desa Telayap seluas 235 Ha dengan anggaran sebesar Rp701.472.500,00 telah direalisasikan 100%. Kedua pekerjaan pembuatan THR tersebut dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat melalui Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS). Pekerjaan pembuatan THR Pola Sagu di Desa Tolam seluas 300 Ha dilaksanakan oleh enam kelompok tani sedangkan pekerjaan THR Pola Akasia di Desa Telayap seluas 235 Ha dilaksanakan oleh dua kelompok Tani, dengan rincian terlampir. Kedua Pekerjaan THR tersebut telah dinyatakan selesai dikerjakan oleh masing-masing kelompok tani berdasarkan Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan pada tanggal 4 November 2004. Hasil pemeriksaan fisik dan wawancara yang dilaksanakan tanggal 26 dan 27 September 2007 diketahui hal-hal sebagai berikut : a. Dinas Kehutanan Pelalawan pada TA 2005 dan TA 2006 tidak menganggarkan dan melaksanakan kegiatan pemeliharaan tahun pertama dan kedua atas kegiatan pembuatan kedua THR tersebut.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
32
b. THR Pola Akasia di Desa Telayap seluas 235 Ha telah dilaksanakan dengan tingkat tumbuh tanaman/keberhasilan sekitar 75% namun karena tidak pernah dilakukan pemeliharaan sehingga dipenuhi dengan semak belukar c. THR Pola Sagu di Desa Tolam seluas 300 Ha telah dilaksanakan namun tingkat tumbuh/keberhasilan tanaman Sagu hanya tinggal 10% atau hanya tumbuh di lahan seluas 30 Ha, sementara sekitar 20% dari lahan telah dialihfungsikan oleh masyarakat menjadi perkebunan sawit dan ladang untuk menanam padi, sedangkan sisanya atau 70% dari lahan kembali ditumbuhi semak belukar.. d. Dinyatakan oleh Kepala Desa Tolam bahwa rendahnya tingkat keberhasilan/tumbuh tanaman sagu disebabkan adanya bencana banjir yang melanda lokasi penanaman sagu pada saat penanaman (tahun 2004) dan setelah penanaman berlangsung (tahun 2005) disamping tidak adanya kegiatan pemeliharaan pada TA 2005 dan 2006. Masalah tersebut tidak sesuai dengan : a. Lampiran SE Bersama No. SE-59/A/2001, No. SE-720/Menhut-II/2001, No. 2035/D.IV/05/2001 dan SE-522.4/947/V Bangda tanggal 21 Mei 2001 Departemen Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Bappenas tentang Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR untuk Penyelenggaraan RHL antara lain menyatakan bahwa DAK-DR digunakan secara efektif dan efisien dalam mencapai keberhasilan penyelenggarahan rehabilitasi hutan dan lahan. Penjelasan Huruf V tentang Pengelolaan Kegiatan RHL angka 3 menyatakan bahwa dalam penerapan prinsip kesinambungan perlu menyesuaikan dengan system silvikultur. Untuk itu pengelolaan kegiatan harus memperhatikan kesinambungan dengan tahun sebelumnya dan rencana tahun berikutnya serta kesediaan dana. b. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.04/Menhut-V/2004 tanggal 2 Agustus 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL sumber DAK-DR antara lain menyatakan bahwa tingkat tumbuh tanaman/keberhasilan kegiatan RHL minimal 55%. Masalah ini mengakibatkan kegiatan pembuatan THR Pola sagu di Desa Tolam tidak efektif senilai Rp522.855.000,00 (90% X Rp580.950.000,00) guna merehabilitasi lahan kritis, yang terjadi karena : a. Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan tidak menganggarkan dan melaksanakan kegiatan pemeliharaan tahun pertama dan tahun kedua atas kedua kegiatan pembuatan THR tersebut. b. Adanya bencana alam banjir yang melanda lokasi pembuatan THR tanaman sagu di Desa Tolam pada Tahun 2004 dan 2005. Atas permasalah tersebut, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan menyatakan bahwa kegiatan pemeliharaan tahun ke-1 dan tahun ke-2 tidak dapat dilaksanakan karena tidak dianggarkan kembali pada kegiatan RHL dalam APBD. Rendahnya tingkat keberhasilan karena adanya bencana banjir pada akhir tahun 2004 dan tahun 2005. BPK menyarankan agar Bupati Pelalawan memberikan instruksi secara tertulis kepada Kepala Dinas Kehutanan Pelalawan supaya menyusun perencanaan kegiatan RHL yang bersumber dari DAK-DR dengan melakukan survei mengenai lokasi maupun
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
33
kemungkinan tingkat keberhasilan dengan memperhatikan berbagai aspek untuk dianggarkan dalam APBD TA 2008. Pengiriman Bibit dan Pelaksanaan Kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat dan Kegiatan Pengkayaan Reboisasi Tahun 2006 Pada Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu Tidak Tepat Waktu.
BP-DAS Indragiri Rokan pada TA 2006 melakukan dua paket pengadaan bibit untuk kegiatan RHL di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu sebagai berikut : a. Paket pengadaan bibit untuk Kabupaten Pelalawan dilaksanakan oleh PT Fajar Agung Raya berdasarkan kontrak No. SPK.505/X-BP-DAS/2006 tanggal 12 Oktober 2006 sebesar Rp866.892.000,00 dengan jangka waktu pelaksanaan 45 hari kalender mulai tanggal 5 Oktober 2006 sampai dengan 19 November 2006. Pekerjaan telah dinyatakan selesai sesuai dengan Berita Acara Serah Terima Bibit GN-RHL Tahun 2006 dari PT Fajar Agung Raya kepada PPK Kegiatan GN-RHL BP-DAS No. BA 005/FAR-XI/2006 tanggal 14 November 2006 dan dinyatakan telah dinilai oleh LPI PT Properindo Jasatama. Selanjutnya BP-DAS Indragiri Rokan menyatakan telah menyerahkan bibit tersebut kepada pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan sesuai dengan Berita Acara Serah Terima Bibit GN-RHL Tahun 2006 (Lanjutan Tahun 2005) Tahap II dari Kepala BP-DAS Indragiri Rokan kepada Kepala Dinas Kehutanan KAbupaten Pelalawan No. BA 425/X-BP-DAS/2006 tanggal 16 November 2006. Pekerjaan tersebut telah dibayar lunas sebesar Rp866.892.000,00. Meskipun telah diterbitkan berita acara serah terima seperti tersebut di atas ternyata sampai dengan saat dilakukan pemeriksaan lapangan ternyata bibit belum dikirim seluruhnya oleh PT Fajar Agung Raya kepada para kelompok tani. Hasil pemeriksaan secara uji petik pada kegiatan penanaman hutan rakyat (THR) di Kelurahan Pangkalan Kerinci Barat, Kecamatan Pangkalan Kerinci diketahui bahwa sampai dengan tanggal 26 September 2007, bibit yang telah diterima baru sebanyak 34.930 batang atau masih terdapat kekurangan bibit sebanyak 9.070 batang. Sebelumnya Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan telah 2 (dua) kali mengirimkan surat kepada Kepala BP-DAS Indragiri Rokan dengan Nomor 522.4/PHPS/GERHAN/VI/2007/6507 tanggal 4 Juni 2007 dan Nomor 522.5/PHPS/GERHAN/VII/2007/4309 tanggal 24 Juli 2007 untuk perihal yang sama, yaitu Kekurangan Bibit Karet Okulasi untuk Hutan Rakyat Kabupaten Pelalawan Tahun 2007 yang isinya adalah permohonan agar pihak BP-DAS Indragiri Rokan selaku penanggung jawab pengadaan bibit untuk kegiatan hutan rakyat supaya mendesak rekanan/PT Fajar Agung untuk menyelesaikan kekurangan pengiriman bibit karet okulasi ke Kabupaten Pelalawan. Selain itu, lokasi kegiatan yang berada Kelurahan Pangkalan Kerinci Barat, Kecamatan Pangkalan Kerinci mengalami kebakaran di bulan Agustus 2007 sehingga bibit Karet yang telah tertanam diperkirakan terbakar sekitar 85% dari sekitar 37 Ha lahan yang telah ditanami. Keterlambatan pengiriman bibit Tahun 2006 oleh PT Fajar Agung ke Kabupaten Pelalawan disebabkan adanya perubahan lokasi penanaman HTR yang disebabkan lahan/lokasi yang telah disiapkan sebelumnya di Kelurahan Langgam Kecamatan Langgam seluas 500 Ha terkena musibah banjir sehingga Kepala Dinas Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
34
Kabupaten Pelalawan mengajukan penangguhan pengiriman bibit GERHAN kepada BP-DAS Indragiri Rokan sesuai dengan surat Nomor 522.4/PHPS/GERHAN/XI/2006/6018A tanggal 14 November 2006. Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan mengganti lokasi yang terkena bencana dengan lokasi baru yang tersebar di beberapa lokasi sesuai rancangan teknis yang disusun dengan data berikut: No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Blok/Lokasi Ds. Batang Nilo Kecil, Kec. Pelalawan Desa Sungai Buluh, Kec. Pangkl Bunut Desa Tambak, Kec. Langgam Desa Lubuk Agung, Kec. Bndr Sei Kijang Desa Langgam, Kec. Langgam Kel Pangkalan Kerinci Barat, Kec Pangkl Kerinci Jumlah
Luas (Ha) 60
Kebutuhan Bibit 26.400 batang
Jumlah Biaya (Rp) 78.000.000,00
140
61.600 batang
182.000.000,00
100
44.000 batang
130.000.000,00
50
22.000 batang
65.000.000,00
50
22.000 batang
65.000.000,00
100
44.000 batang
130.000.000,00
500
220.000 batang
650.000.000,00
Tata Waktu Des 2005 Apr 2006 Des 2005 Apr 2006 Des 2005 Apr 2006 Des 2005 Apr 2006 Des 2005 Apr 2006 Des 2005 Apr 2006
s.d s.d s.d s.d s.d s.d
Oleh karena keterbatasan waktu pada tahun 2006, maka kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat tersebut diluncurkan lagi ke tahun 2007. Berdasarkan keterangan dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) GN-RHL diketahui bahwa kegiatan tersebut mulai dilakukan oleh para kelompok tani pada bulan April 2007. Selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen dan cek fisik di lapangan pada tanggal 26 September 2007 diketahui beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) Kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat tersebut telah dilaksanakan meskipun belum dibuat Surat Perjanjian Kerja Sama (SPKS) dengan para kelompok tani. 2) Kegiatan tersebut masih belum selesai dilaksanakan sehingga belum dilakukan pembayaran kepada para kelompok tani. Sementara itu, kelompok tani belum dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut karena bibit belum diterima seluruhnya dan kesulitan dana untuk operasional. b. Paket pengadaan bibit untuk untuk kegiatan pengkayaan reboisasi di Kabupaten Indragiri Hulu dilaksanakan oleh PT Fajar Agung Raya berdasarkan kontrak No. SPK. 501/X-BP-DAS/2006 tanggal 12 Oktober 2006 sebesar Rp1.135.215.000,00 dengan jangka waktu pelaksanaan selama 45 hari kalender mulai tanggal 5 Oktober sampai dengan 19 November 2006. Berdasarkan dokumen yang ada diketahui bahwa pengadaan bibit telah dinilai oleh LPI PT Properindo Jasatama dan Pekerjaan bibit telah dinyatakan selesai sesuai dengan Berita Acara Serah Terima Bibit No. BA 006/FAR-XI/2006 tanggal 14 November 2006 dari PT Fajar Agung Raya kepada BPDAS Indragiri Rokan. Selanjutnya pihak BP-DAS Indragiri Hulu menyatakan telah melakukan serah terima bibit kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu sesuai dengan Berita Acara Serah Terima Bibit No. BA -/X-
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
35
BP-DAS/2006 tanggal 14 November 2006. Meskipun telah diterbitkan berita acara serah terima seperti tersebut di atas ternyata sampai dengan saat dilakukan pemeriksaan lapangan bibit belum dikirim seluruhnya oleh PT Fajar Agung Raya kepada para kelompok tani. Kegiatan Pengkayaan Reboisasi areal Hutan Produksi tahun 2006 di Kabupaten Indragiri Hulu adalah sebagai berikut: No.
Blok/Lokasi
Luas (Ha)
Kebutuhan Bibit (batang)
Jumlah Biaya (Rp)
Target Waktu
Pelaksana (Kelompok Tani)
1.
I/Sp. Lubuk Kandis
140
61.600
182.000.000,00
Okt s.d Des. 2006
Tunas Muda
2.
II/Sp. Lubuk Kandis
175
77.000
227.500.000,00
Okt s.d Des. 2006
Makmur
3.
III/Sp. Lubuk Kandis
175
77.000
227.500.000,00
Okt s.d Des. 2006
Jasa Kawan
4.
IV/Sp. Lubuk Kandis
175
77.000
227.500.000,00
Okt s.d Des. 2006
Mulya
Jumlah
665
292.600
864.500.000,00
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas kegiatan tersebut di lokasi Sub DAS Peranap yang dilakukan oleh empat kelompok tani yang seharusnya selesai Desember 2006 ternyata kegiatan tersebut sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 21 September 2007 belum selesai dilaksanakan. Hasil wawancara dengan Pejabat Pembuat Komitmen dan Bendahara Gerhan Tahun 2006 diperoleh informasi bahwa keterlambatan kegiatan oleh kelompok tani karena keterlambatan pengiriman bibit dari Pekanbaru, bibit diterima oleh kelompok tani pada bulan November 2006 sampai dengan September 2007. Berdasarkan keterangan dari koordinator ketua kelompok tani pelaksana diketahui bahwa bibit yang diterima pada bulan November 2006 adalah sekitar 180.000 batang, sedangkan sisanya diterima bulan September 2007 sekitar 112.600 batang (292.600 batang – 180.000 batang). Bibit yang diterima di bulan November 2006 tersebut ditanam mulai bulan Desember 2006 sampai dengan Juni 2007. Sampai dengan pemeriksaan berakhir tanggal 3 Oktober 2007 atas keterlambatan pengiriman bibit oleh PT Fajar Agung, BP-DAS Indragiri Rokan tidak mengenakan denda keterlambatan sebesar Rp56.760.750,00 (5% x Rp1.135.215.000,00) Masalah tersebut tidak sesuai dengan: a. Rancangan Teknis Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat keseluruhan seluas 500 Ha Tahun 2005 di Kabupaten Pelalawan yang menyatakan bahwa target waktu pelaksanaan kegiatan antara bulan Desember 2005 s.d. April 2006. b. Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Otoda, serta BAPPENAS No. SE-59/A/2001, No. SE720/MENHUT-II/2001, No. 2035/D.IV/05/2001, No. SE-522.4/947/V/BANGDA tanggal
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
36
21 Mei 2001 perihal Pedoman Umum Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Reboisasi dan Penghijauan) Tahun 2001 pada Lampiran Angka V.2.b yang menyatakan bahwa Kegiatan RHL dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat melalui Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS), kecuali kegiatan RHL pada kawasan hutan (reboisasi) yang oleh karena alasan kuat kegiatan tersebut tidak memungkinkan dilaksanakan oleh masyarakat setempat secara swakelola. c. Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada pasal 1 ayat (17) yang menyatakan bahwa kontrak adalah perikatan antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Dengan demikian pelaksanaan pekerjaan harus setelah penandatanganan kontrak. d. Rancangan Kegiatan Pengkayaan Reboisasi keseluruhan seluas 665 Ha (140 Ha + 175 Ha + 175 Ha + 175 Ha) pada Blok I s.d IV Tahun 2006 dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu yang menyatakan bahwa target waktu pelaksanaan kegiatan antara bulan Oktober sampai dengan Desember 2006. e. Kontrak pengadaan bibit No. SPK. 501/X-BP-DAS/2006 tanggal 12 Oktober 2006 pasal 7 dan 10 ayat 3 yang antara lain menyatakan bahwa lokasi pengiriman bibit/titik bagi yang menjadi sasaran pengiriman bibit oleh rekanan adalah lokasi penanaman kegiatan Gerhan. Pembayaran akan dibayar apabila Rekanan telah mengirim bibit sampai dilokasi titik bagi yang telah disepakati dan telah diperiksa dan dinilai oleh LPI. f. Keppres No. 80 Tahun 2003 pasal 37 ayat 1 menyatakan bahwa Bila terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan akibat dari kelalaian penyedia barang/jasa, maka penyedia barang/jasa yang bersangkutan dikenakan denda keterlambatan sekurang-kurangnya 1o/oo (satu perseribu) per hari dari nilai kontrak. Masalah ini mengakibatkan :
a. Pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat di Kabupaten Pelalawan seluas 500 Ha senilai Rp650.000.000,00 dan kegiatan Pengkayaan Reboisasi di Kabupaten Indragiri Hulu seluas 665 Ha senilai Rp864.500.000,00 tidak tercapai sesuai dengan jadwal dan target yang telah ditetapkan.
b. Pelaksanaan pembuatan tanaman hutan rakyat di Kabupaten Pelalawan seluas 500 Ha senilai Rp650.000.000,00 tidak memiliki dasar hukum pelaksanaan yang sah.
c. Kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp56.760.750,00 dari denda keterlambatan yang tidak dikenakan Hal tersebut terjadi karena: a. Adanya bencana alam banjir yang merubah lokasi penanaman pembuatan THR di Kabupaten Pelalawan. b. PPK GN-RHL Kabupaten Pelalawan lalai telah menyetujui pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat tanpa diikat dengan SPKS terlebih dahulu. c. Kelompok tani Tunas Muda, Makmur, Jasa Kawan dan Mulya di Kabupaten Indragiri
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
37
Hulu lalai tidak mengerjakan kegiatan sesuai dengan jadwal dan target yang telah ditetapkan. d. PT Fajar Agung lalai tidak mengirimkan bibit ke Kabupaten Indaragiri Hulu sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. e. PPK Gerhan BP-DAS Indragiri Rokan lalai tidak memuat aturan/pasal tentang sanksi denda atas keterlambatan pekerjaan pada kontrak pengadaan bibit antara BP-DAS dengan pelaksana pekerjaan. Atas permasalahan tersebut, a. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan menyatakan bahwa berdasarkan prinsip kehati-hatian Dinas Kehutanan mengambil kebijakan belum mengadakan ikatan dengan kelompok tani dalam bentuk SPKS akan tetapi meminta masing-masing kelempok tani membuat surat pernyataan yang isinya bahwa pembayaran akan dilaksanakan apabila seluruh pekerjaan telah selesai dilaksanakan. Mengingat pekerjaan belum selesai maka Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan belum menandatangani SPKS: b. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu menyatakan bahwa keterlambatan pelaksanaan disebabkan penerimaan bibit pada bulan November 2006 baru 61,52%. BPK menyarankan Menteri Kehutanan agar : a. Meminta kepada: 1) Bupati Pelalawan supaya memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran Kegiatan GN-RHL/Gerhan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan memberikan instruksi tertulis kepada Pejabat Pembuat Komitmen Gerhan untuk segera menyusun dan menandatangi SPKS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2) Bupati Indragiri Hulu supaya memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran kegiatan Gerhan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu untuk memberikan teguran tertulis kepada Ketua Kelompok Tani Tunas Muda, Makmur, Jasa Kawan dan Mulya. b. Memerintahkan Dirjen RLPS Departemen Kehutanan supaya memberikan instruksi tertulis kepada Kepala BP-DAS untuk memberikan teguran tertulis kepada Pejabat Pembuat Komitmen kegiatan Gerhan pada BP-DAS atas kelalainya tidak memuat sanksi denda keterlambatan dalam kontrak pengadaan bibit dan segera menarik denda keterlambatan kepada PT Pajar Agung sebesar Rp56.760.750,00 untuk disetor ke kas negara dan bukti setornya disampaikan ke BPK. Harga Bibit yang Diperhitungkan dalam Kontrak Pengadaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove Kabupaten Bengkalis
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis pada Tahun Anggaran 2005 melakukan pelelangan empat paket kegiatan reboisasi berupa rehabilitasi hutan mangrove untuk empat lokasi di Kabupaten Bengkalis, yaitu desa Kembung Luar, desa Teluk Lancar, desa Baran Melintang dan desa Tanjung Sari. Penetapan pelaksana pekerjaan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
masing-masing paket pekerjaan tersebut dengan
38
Tahun Anggaran 2005 yang Bersumber dari DAK-DR Melebihi Harga Standar Sebesar Rp3.727.350.000,00
proses lelang yang dilaksanakan oleh Panitia Lelang Barang dan Jasa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis. Kontraktor yang ditetapkan sebagai pemenang adalah kontraktor dengan penawaran harga bibit bakau (mangrove) terendah dan memenuhi syarat, yaitu: No 1 2 3 4
Paket Kegiatan
Kontraktor yg menang CV Dekha Cikas Abadi (Bengkalis) PT Putra Nuri Perkasa (Pekanbaru) CV Putra Bina Tama (Bengkalis) PT Cakra Abdi Pertiwi (Jakarta)
Rehabilitasi Hutan Mangrove Desa Kembung Luar 70 Ha Rehabilitasi Hutan Mangrove Desa Teluk Lancar 285 Ha Rehabilitasi Hutan Mangrove Desa Baran Melintang 70 Ha Rehabilitasi Hutan Mangrove Desa Tanjung Sari 70 Ha Total
Nilai Penawaran (Rp) 1.351.500.000,00 5.400.844.500,00 1.355.579.900,00 1.285.677.800,00 9.393.602.200,00
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Panitia Lelang Barang dan Jasa tidak menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS), selain itu harga bibit Bakau pada masing-masing dokumen penawaran dan kontrak lebih tinggi dari standar harga bibit bakau (mangrove) yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebesar Rp3.727.350.000,00, dengan rincian sebagai berikut: Kuantitas No
Kontraktor
1 1
2 PT Putra Nuri
(batang)
Harga Satuan Bibit Bakau (Rp) Kontrak
3
4
1.567.500
2.850,00
Total
Selisih
Kemahalan
Kemahalan
Harga (Rp)
6
7
Standar
5 1.500,00
1.350,00
2.116.125.000,00
1.385,00
533.225.000,00
1.400,00
539.000.000,00
1.400,00
539.000.000,00
Perkasa No. Kontrak 01/SPK/DAK-DR/2005, tgl 14-10-2005, jangka waktu 75 hari 2
CV Dekha Cikas
385.000
2.885,00
1.500,00
Abadi No. Kontrak 02/SPK/DAK-DR/2005, tgl 19-10-2005, jangka waktu 70 hari 3
CV Putra Bina
385.000
2.900,00
1.500,00
Tama No. Kontrak 03/SPK/DAK-DR/2005, tgl 19-10-2005, jangka waktu 70 hari 4
PT Cakra Abdi
385.000
2.900,00
1.500,00
Pertiwi No. Kontrak 04/SPK/DAK-DR/2005, tgl 19-10- 2005, jangka waktu 70 hari Jumlah :
3.727.350.000,00
Seluruh kontrak tersebut telah dinyatakan selesai dikerjakan dengan didukung Berita Acara Serah Terima Pekerjaan dan telah dibayar lunas. Masalah tersebut tidak sesuai: a. Keputusan Presiden No.80 Tahun 2003 Pasal 9 ayat 3 huruf d, yang menyatakan bahwa Tugas pokok pengguna barang/jasa dalam pengadaan barang/jasa adalah menetapkan dan mengesahkan harga perkiraan sendiri (HPS), jadwal, tata cara pelaksanaan dan lokasi pengadaan yang disusun panitia pengadaan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
39
b. Surat Menteri Kehutanan No. S.131/Menhut-1/2004 tanggal 19 April 2004 perihal pelaksanaan RHL dengan DAK-DR yang antara lain menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan RHL maka mulai periode tahun 2004, pelaksanaan RHL dengan menggunakan dana DAK-DR harus memenuhi Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR tahun 2001 dan harus mengikuti tata cara seperti diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan GN-RHL dan standar biaya yang berlaku untuk pelaksanaan GN-RHL. c. Keputusan Menteri Kehutanan No.272/Menhut-V/2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Standar Harga Bibit Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2005, bahwa harga bibit tanaman mangrove (bakau) untuk wilayah Riau (rayon IV) sebesar Rp1.500,00 per batang. Masalah ini mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar Rp3.727.350.000,00, yang terjadi karena: a. Panitia Lelang lalai tidak menyusun HPS dan tidak mempedomani Surat Menteri Kehutanan No. S.131/Menhut-1/2004 tanggal 19 April 2004 dan Peraturan Menteri Kehutanan No.272/Menhut-V/2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Standar Harga Bibit Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2005 dalam mengevaluasi penawaran rekanan. b. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap panitia lelang yang melaksanakan proses lelang pengadaan bibit dalam rangka rehabilitasi hutan mangrove tahun 2005. Atas permasalahan tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis menyatakan bahwa harga bibit yang dilelangkan menggunakan standar harga yang tertuang dalam Rencana Definitif dari hasil pembahasan instansi terkait di tingkat kabupaten dan provinsi. Harga bibit telah mempertimbangkan letak geografis yang terdiri dari pulau-pulau dan telah membandingkan dengan harga bibit menurut Keputusan Menteri Kehutanan No.272/Menhut-V/2004 tanggal 22 Juli 2004. BPK menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Bengkalis supaya secara berjenjang memberikan teguran tertulis kepada: a. Panitia Lelang pengadaan bibit TA 2005 yang lalai tidak menyusun HPS serta tidak mempedomani Surat Menteri Kehutanan No.S.131/Menhut-1/2004 tanggal 19 April 2004 dan No.272/Menhut-V/2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Standar Harga Bibit Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2005. b. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis yang lemah dalam pengawasan dan pengendalian terhadap panitia lelang dan selanjutnya diperintahkan supaya mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran kepada CV Dekha Cikas Abadi sebesar Rp533.225.000,00, PT Putra Nuri Perkasa sebesar Rp2.116.125.000,00, CV Putra Bina Tama sebesar Rp539.000.000,00 dan PT Cakra Abdi Pertiwi sebesar Rp539.000.000,00 dengan menyetor ke kas daerah dan bukti setornya disampaikan kepada BPK.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
40
Kegiatan Penanaman Turus Jalan yang Dilaksanakan Dinas Kehutanan Provinsi Riau Tahun 2006 Belum Efektif Senilai Rp251.470.139,50 dan Kelebihan Pembayaran Biaya Upah Kerja Sebesar Rp41.550.000,00.
Dinas Kehutanan Provinsi Riau pada Tahun 2006 memperoleh alokasi anggaran dari DIPPA No. 0149.2/069-03.0/IV/2006 Revisi I /12 Juni 2006 dan DIPPA No. 01693.0.L/069-03.0/IV/2006 31 Desember 2005 sebesar Rp2.528.007.000,00 untuk membiayai pelaksanaan GNHRL/Gerhan. Dari alokasi dana tersebut antara lain dianggarkan untuk kegiatan rehabiltasi lahan kritis sebesar Rp2.287.567.000,00 telah direalisasikan sebesar Rp2.037.505.500,00. Kegiatan rehabiltasi lahan kritis tersebut antara lain berupa penanaman turus jalan sepanjang 100 km di lokasi ruas jalan Provinsi/Nasional yaitu ruas jalan Tandun–Kandis 50 Km, ruas jalan BangkinangPatepahan 25 Km dan ruas jalan Pekanbaru-Lipat Kain 25 Km yang dianggarkan sebesar Rp993.450.000,00 dan telah direalisasikan sebesar Rp981.730.000,00. Pekerjaan penanaman turus jalan dilaksanakan secara swakelola dengan upah dan sebagian bahan dikelola./dibayar oleh Dinas Kehutanan Provinsi Riau sebesar Rp409.950.000,00 sementara pengadaan bahan berupa bibit, tanah hitam, dan pagar tanaman dilaksanakan oleh oleh CV Tani Mulya berdasarkan Surat Perjanjian pekerjaan kontrak No.7/SPK/GN-HRL/BBK/2006 tanggal 7 April 2006 dengan nilai kontrak sebesar Rp571.780.000,00. Jangka waktu pelaksanaan selama 20 hari kalender dan telah dinyatakan selesai berdasarkan BA Serah Terima Pekerjaan No37/BBK/BA/2006 tanggal 25 April 2006 serta telah dibayar lunas sebesar Rp571.780.000,00 terakhir dengan SP2D No2335976A tanggal 4 Mei 2006. Pemeriksaan atas dokumen teknis dan keuangan mengungkapkan bahwa kegiatan penanaman turus jalan sepanjang 100 Km terbagi menjadi empat paket pekerjaan masing-masing 25 km yaitu ruas jalan Patapahan-Bukit Kemuning,-Ds Sukaramai Suram Kampar, ruas jalan Bangkinang-Patapahan, ruas jalan Patepahan –Kota Garo Kampar dan ruas jalan Pekanbaru-Lipat Kain. Target bibit yang tertanam sebanyak 10.000 buah pohon per paket dengan biaya upah sebesar Rp56.550.000,00 per paket dengan pelaksana pekerjaan penanaman adalah kelompok kerja. Berdasarkan dokumen SPJ Bendahara Gerhan, pembayaran per paket untuk upah buruh dilakukan setelah setiap tahapan pekerjaan selesai dilaksanakan oleh kelompok kerja yaitu sebagai berikut : No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Tahapan Kegiatan Pembuatan lubang dan piringan Pupuk kandang Pengisian tanah hitam Pengangkutan steger Menanam, pasang steger dan pagar Pengangkutan Bibit Ke Lubang tanam Penyulaman, penyiangan Penyiraman Jumlah biaya per paket (25 Km) Biaya per pohon (Rp56.550.000 : 10.000)
Jumlah (Rp) 9.000.000,00 6.000.000,00 6.000.000,00 2.250.000,00 15.000.000,00 3.000.000,00 7.200.000,00 8.100.000,00 56.550.000,00 5.655,00
Biaya keseluruhan upah dan bahan per paket 25 Km adalah Rp245.432.500,00 ((Rp409.950.000,00 + 571.780.000,00) /4)
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
41
Hasil pemeriksaan fisik dan wawancara dengan pelaksana pekerjaan tanggal 13 September 2007 di lapangan sepanjang 50 Km yang dihadiri pengawas lapangan diketahui bahwa : a. Paket pertama jalan Bangkinang-Patepahan sepanjang 25 km jumlah tanaman yang tumbuh sebanyak 6.105 buah dari total 10.000 buah yang harus tertanam atau 61,05%. b. Paket kedua jalan patepahan-Kota Garo sepanjang 25 km jumlah tanaman yang tumbuh sebanyak 3.649 buah dari total 10.000 buah yang harus tertanam atau 36,46%. c. Rata rata tingkat tumbuh/keberhasilan dari kedua paket tersebut adalah 48,75%. d. Pembayaran upah buruh kepada kelompok kerja pada paket Bangkinang-Patepahan sepanjang 25 Km tidak dibayar per tahapan pekerjaan melainkan dibayarkan secara borongan yaitu sebesar Rp1.500,00 per pohon. Biaya borongan tersebut meliputi biaya upah penanaman mulai pembuatan lubang tanaman s.d. penyiraman tanaman. e. Dengan demikian terdapat selisih antara pembayaran yang dilakukan oleh Bendahara Gerhan dengan pembayaran yang senyatanya kepada kelompok kerja pada paket pekerjaan penanaman turus jalan Bangkinang-Patepahan sepanjang 25 Km sebesar Rp41.550.000,00 (10.000 X (Rp5.655,00 – Rp1.500,00)). Masalah tersebut tidak sesuai dengan : a. Lampiran Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 BAB III tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dengan Swakelola huruf B. angka 1. tentang Swakelola oleh pengguna barang/jasa huruf b dan h yang menyatakan bahwa Pembayaran upah tenaga kerja yang diperlukan dilakukan secara harian berdasarkan daftar hadir pekerja atau dengan cara upah borong; Pengawasan pekerjaan fisik di lapangan dilakukan oleh pelaksana yang ditunjuk oleh pengguna barang/jasa, berdasarkan rencana yang telah ditetapkan. b. Keputusan Menteri Kehutanan No.369/Kpts-II/2003 tentang Petunjuk Pelaksnaan GNHRL tanggal 31 Oktober 2003 yang antara lain menyatakan bahwa tingkat tumbuh tanaman/keberhasilan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan minimal 55%. Masalah tersebut mengakibatkan : a. Kegiatan penanaman turus jalan tidak efektif minimal sebesar Rp251.470.139,50 ((100%-61,05%) X Rp 245.432.500,00 + (100%-36,49%) X Rp245.432.500,00) apabila tidak segera dilakukan kegiatan pemeliharaan. b. Kelebihan pembayaran upah pekerja sebesar Rp41.550.000,00. Masalah tersebut terjadi karena : a. Petugas pelaksana, Pengawas Lapangan penanaman turus jalan dan Bendahara kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau lalai dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya b. Kuasa Pengguna Anggaran dan Pemimpin Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
42
Provinsi Riau lemah dalam melakukan pengendalian. Atas permasalahan tersebut, Penanggung jawab Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau menyatakan bahwa penanaman turus jalan belum efektif apabila tidak segera dilakukan pemerliharaan namun anggaran pemeliharaan tahun ke satu baru turun bulan Juni 2007. Terhadap temuan kelebihan pembayaran upah sebesar Rp41.550.000,00 menyatakan bahwa keterangan dari pelaksana pekerjaan yang mengerjakan seluruh rangkaian kegiatan penanaman adalah tidak benar karena pekerja yang bersangkutan mempunyai kinerja yang tidak baik dan pekerja tersebut hanya menanam sepanjang 1 km namun diakui bahwa pekerja tersebut dibayar Rp1.500,00 per penanaman dan SPJ keuangan tetap menggunakan nama pekerja tersebut. Tanggapan dari Penanggung jawab Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau tidak tepat karena keterangan dari pekerja tersebut telah dituangkan dalam berita acara pemeriksaan fisik dan wawancara tanggal 13 September 2007 yang ditandatangani oleh pekerja yang bersangkutan dan oleh pengawas lapangan serta koordinator pengawas lapangan dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau. BPK menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta kepada Gubernur Riau supaya: a. Memberikan teguran tertulis kepada Kuasa Pengguna Anggaran kegiatan Gerhan pada Dinas Kehutanan Provinsi Riau yang lemah dalam melaksanakan pengendalian kegiatan Gerhan di lingkungannya. b. Memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau agar memberikan teguran tertulis kepada penanggungjawab kegiatan, pelaksana kegiatan, pengawas lapangan dan bendahara kegiatan Gerhan yang lalai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. c. Memerintahkan Penanggung jawab kegiatan Gerhan pembuatan turus jalan supaya mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran upah pekerja sebesar Rp41.550.000,00 dengan menyetor ke kas negara dan bukti setornya disampaikan kepada BPK. Pembayaran Biaya Langsung Personil atas Pekerjaan Jasa Konsultasi Penilaian Kinerja Gerhan pada Dinas Kehutanan Provinsi Riau TA 2006 Tidak Sesuai Ketentuan Sebesar Rp18.945.000,00
Dinas Kehutanan Provinsi Riau pada Tahun 2006 dalam rangka pelaksanaan GNHRL/Gerhan memperoleh alokasi anggaran dari DIPPA L No. 01693.0.L/06903.0/IV/2006 tanggal 31 Desember 2005 sebesar Rp2.528.007.000,00 Dari alokasi dana tersebut antara lain dianggarkan untuk kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan Gerhan berupa pengadaan jasa konsultasi Penilaian Gerhan sebesar Rp518.737.000,00 yang direalisasikan sebesar Rp447.488.750,00 atau 86,26% dari anggaran. Pekerjaan jasa konsultansi Penilaian Kinerja Gerhan tersebut terbagi menjadi dua peket pekerjaan, yaitu Penilaian Kinerja Gerhan Tahun 2003/2004 dilaksanakan oleh PT Aksara Ganesha Lima berdasarkan Surat Perjanjian pekerjaan kontrak No20/SPK/GNRHL/BBK/2006 tanggal 13 April 2006 dengan nilai kontrak sebesar Rp307.188.750,00. Jangka waktu pelaksanaan selama 18 hari kalender dan pekerjaan telah dinyatakan selesai berdasarkan BA Serah Terima Pekerjaan No.45/BBK/BA/2006 tanggal 28 April 2006 dan telah dibayar lunas sebesar Rp307.188.750,00 terakhir dengan SP2D No.053015C/008/110 tanggal 4 Mei 2006. Pekerjaan Penilaian Gerhan Tahun 2004/2005
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
43
dilaksanakan oleh Koperasi Pegawai Universitas Lancang Kuning berdasarkan Surat Perjanjian Kerja (Kontrak) No. /SPK/GN-RHL?BBK/2006 tanggal 13 April 2006 dengan nilai kontrak sebesar Rp140.300.000,00. Jangka waktu pelaksanaan selama 17 hari kalender dan telah dinyatakan selesai berdasarkan BA Serah Terima Pekerjaan No.42/BBK/BA/2006 tanggal 28 April 2006 dan telah dibayar lunas sebesar Rp140.300.000,00 terkahir dengan SP2D No.053016C/008/110 tanggal 4 Mei 2007. Hasil pemeriksaan atas OE dan RAB kedua kontrak tersebut di atas diketahui bahwa perhitungan biaya langsung personil dalam masing-masing kontrak dihitung satu bulan bukan selama 18 hari dan 17 hari sebagaimana jangka waktu pelaksanaan yang tercantum dalam masing-masing kontrak sehingga terdapat kelebihan perhitungan sebesar Rp18.945.000,00 (rincian perhitungan terlampir). Masalah tersebut tidak sesuai dengan SE Bersama Bapenas dan Departemen Keuangan No.1203/D.II/03/2000 dan No. SE. 38/A/2000 tanggal 17 Maret 2000 Perihal Petunjuk Penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk jasa konsultan (Biaya Langsung Personil dan Biaya Langsung Non Personil) romawi I No. 4, 5 dan 6 yang antara lain meyatakan bahwa Biaya Langsung Personil bagi seorang tenaga ahli yang memberikan jasa konsultansi dihitung menurut jumiah satuan waktu tertentu (bulan, minggu, hari, dan jam) dikalikan dengan Biaya Langsung Personil yang ditetapkan berdasarkan pengalaman profesional riil sejak lulus dari pendidikan tinggi, dan akreditasi dari asosiasi profesi, atau lembaga yang ditunjuk Pemerintah (bagi konsultan perorangan).Perhitungan Konversi Maksimum Biaya Langsung Personil menurut satuan waktu adalah sebagai berikut: Satuan Biaya Orang per Hari (SBOH) = (Satuan Biaya Orang per Bulan (SBOB)/22) x 1,1. Masalah ini mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar Rp18.945.000,00, yang terjadi karena : a. Panitia Pengadaan barang/jasa kegiatan Gerhan pada Dinas Kehutanan Provinsi Riau tidak cermat dalam melaksanakan ketentuan yang berlaku. b. Kuasa Pengguna Anggaran dan Pemimpin Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau Lemah dalam melaksanakan pengendalian. Atas permasalahan tersebut, Penanggung Jawab Kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau menyatakan bahwa pekerjaan jasa konsultan dilaksanakan secara kontrak dengan kesepakatan harga dan target penyelesaian pekerjaan. Pembayaran biaya langsung personil yang digunakan dalam HPS adalah satuan bulan bukan harian dengan mempertimbangkan pekerjaan persiapan dan evaluasi sedangkan waktu efektif dilapangan selama 17 dan 18 hari Tanggapan Penanggung Jawab kegiatan Gerhan tidak tepat karena yang seharusnya dibayar adalah pekerjaan yang dituangkan dalam kontrak yaitu selama 17 dan 18 hari. BPK menyarankan Menteri Kehutanan agar meminta kepada Gubernur Riau untuk memberikan instruksi tertulis kepada Kuasa Pengguna Anggaran kegiatan Gerhan Dinas Kehutanan Provinsi Riau supaya memberikan teguran tertulis kepada Penanggung Jawab dan Panitia Pengadaan Barang/Jasa Kegiatan Gerhan yang tidak cermat dalam melaksanakan ketentuan yang berlaku dan mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran sebesar Rp18.945.000 dengan menyetor kelebihan pembayaran tersebut ke Kas Negara dan bukti setornya disampaikan kepada BPK.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
44
Pelaksanaan Pekerjaan Pengkayaan Tanaman Di Kawasan Hutan Blok I Desa Sipang Kabupaten Indragiri Hulu Seluas 300 Ha TA 2005 Dan TA 2006 yang Bersumber dari DAK-DR Tidak Sesuai Ketentuan Sebesar Rp30.870.850,00
Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hulu pada TA 2005 memperoleh alokasi anggaran untuk pekerjaan rehabilitasi lahan dan hutan yang bersumber dari DAK-DR sebesar Rp13.093.301.815,00 direalisasikan sebesar Rp8.957.114.195,00 (atau 68,41% dari anggaran). Realisasi tersebut antara lain digunakan untuk melaksanakan Pekerjaan Pengkayaan Tanaman di Kawasan Hutan Blok I Desa Sipang Kecamatan Batang Cinaku Seluas 300 Ha, yang dilaksanakan oleh CV Areka Kontraktor berdasarkan hasil pelelangan dan Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu selaku Pengguna Anggaran No. KPT.700/DISHUTBUN-X/2005/914 tanggal 3 Oktober 2005. Perjanjian Kerjasama antara Dinas Dishutbun Kabupaten Indragiri Hulu dengan CV Areka Kontraktor dituangkan didalam Kontrak No. 700/DISHUTBUN-X/2005/957 tanggal 7 Oktober 2005 senilai Rp747.695.000,00, dengan jangka waktu pelaksanaan selama 60 hari kalender terhitung dari tanggal 10 Oktober s.d. 13 Desember 2005, dan tidak ada Addendum kontrak. Hasil Pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa pekerjaan Pengkayaan Tanaman di Kawasan Hutan Blok I Desa Sipang Kecamatan Batang Cinaku Seluas 300 Ha tidak dapat diselesaikan pelaksanaannya oleh CV Areka Kontraktor. Berdasarkan BA Panitia Pemeriksa Barang dan Fisik Pekerjaan No.05/BAP-Termin/RHL/XII/2005 tanggal 19 Desember 2005 dan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan tanggal 21 Desember 2005 diketahui bahwa prestasi fisik pekerjaan hanya mencapai 28,33%. Terhadap CV Areka Kontraktor selaku pelaksana pekerjaan, Dishutbun Kabupaten Indragiri Hulu telah melakukan pemutusan Kontrak melalui Berita Acara Pemutusan Kontrak tanggal 26 Desember 2005 dan telah dilakukan pembayaran total sebesar Rp211.833.600,00 (28,33% dari nilai kontrak) dengan SPMU 1401/SPM/BT/BL XII/2005 tanggal 22 Desember 2005. Hasil konfirmasi dengan pemimpin kegiatan menyatakan bahwa tidak selesainya pekerjaan tersebut disebabkan adanya kendala alam di lapangan namun tidak dapat disertai dengan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Terhadap CV Areka Kontraktor selaku pelaksana pekerjaan yang telah wanprestasi, ternyata Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu tidak mencairkan jaminan pelaksanaan yang seharusnya dapat diklaim oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hulu dan tidak mengenakan denda keterlambatan sebesar Rp22.430.850,00 (Rp747.695.000,00 X 3%). Sisa anggaran pekerjaan Pengkayaan Tanaman di Kawasan Hutan Blik I Desa Sipang Kecamatan Batang Cinaku Seluas 300 Ha TA 2005 dianggarkan kembali oleh Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu dalam APBD TA 2006 sebesar Rp535.861.400,00 dengan realisasi sebesar Rp528.181.600,00 (atau 98,57% dari anggaran). Hasil pemeriksaan atas kegiatan lanjutan Pengkayaan Tanaman di Kawasan Hutan Blik I Desa Sipang Kecamatan Batang Cinaku Seluas 300 Ha tersebut diketahui bahwa setelah dilakukan proses pengadaan barang/jasa melalui pelelangan yang dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa pada Dishutbun Kabupaten Indragiri Hulu, ternyata pekerjaan tersebut dilaksanakan kembali oleh CV Areka Kontraktor berdasarkan Surat Perjanjian Pekerjaan Kontrak No.700/DISHUTBUN-XI/2006/1055 tanggal 18 September
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
45
2006 dengan harga kontrak sebesar Rp515.131.600,00 dan jangka waktu pelaksanaan selama 60 hari kalender. Pekerjaan telah dinyatakan selesai sesuai BA Serah Terima Pekerjaan tanggal 6 Desember 2006 dan kepada rekanan telah dibayar lunas sebesar Rp515.131.600,00 terakhir dengan SPM No.1397/SPM/BT/BL XII/2006 tanpa tanggal Desember 2006. Dari hasil cek fisik ke lokasi pekerjaan yang dilaksanakan tanggal 22 September 2007 yang dihadiri koordinator pelaksana pekerjaan, rekanan dan Pemimpin Kegiatan RHL DAK-DR diketahui bahwa terdapat beberapa volume pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang terdapat di dalam kontrak berupa papan nama, pondok kerja dan gubuk kerja senilai Rp8.440.000,00 (perhitungan terlampir). Masalah tersebut tidak sesuai dengan : a. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 Pasal 36 Ayat (2) yang menyatakan bahwa Pengguna Barang/Jasa melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan, baik secara sebagian atau seluruh pekerjaan, dan menugaskan penyedia barang/jasa untuk memperbaiki dan/atau melengkapi kekurangan pekerjaan sebagaimana yang disyaratkan dalam kontrak; b. Surat Perjanjian/Kontrak No. 700/DISHUTBUN-X/2005/957 tanggal 7 Oktober 2005 dan No.700/DISHUTBUN-XII/2006/1055 tanggal 18 September 2006 pasal 12 yang antara lain menyatakan bahwa apabila dalam masa pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan ketentuan dalam dokumen kontrak yang antara lain meliputi spesifikasi teknis dan jumlah barang yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan mutu dan jumlah pekerjaan, jadwal pelaksanaan dan administrasi kontrak maka pihak pertama (Dishutbun) dapat melakukan tindakan berupa memberikan teguran dan peringatan tertulis, penangguhan pembayaran, pemberian perintah penggantian, pemutusan kontrak dan memasukan rekanan ke dalam Daftar Hitam Rekanan. Pengenaan denda sebesar satu permil untuk setiap hari keterlambatan sampai setinggi-tingginya 3% dari nilai Kontrak. Masalah ini mengakibatkan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp22,430,850.00 atas denda keterlambatan yang tidak dipungut dan kelebihan pembayaran sebesar Rp8.440.000,00 atas pondok kerja, gubuk kerja dan papan nama yang tidak dibangun/dibuat. Masalah ini terjadi karena : a. Pengawas Lapangan lalai belum melaksanakan tugas sesuai tanggung jawabnya. b. Panitia Pemeriksa Barang/Pekerjaan lalai telah menerbitkan Berita Acara yang tidak sesuai Masalah sebenarnya. c. Panitia Lelang lalai telah menetapkan kembali rekanan yang sudah diputus kontrak untuk melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. d. Kuasa Pengguna Anggaran dan pemimpin kegiatan lemah dalam melakukan pengendalian dan pengawasan. e. Pihak rekanan lalai menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jadwal dan spesifikasi teknis yang telah disepakati dalam kontrak.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
46
Atas permasalahan tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu menyatakan bahwa terlambatnya pelaksanaan pekerjaan karena jembatan yang menuju lokasi terputus. Sedangkan atas kekurangan pekerjaan berupa gubuk kerja dinyatatakan telah dibuat di lokasi terpisah dan papan nama telah dibuat tapi tidak dipasang. Tanggapan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu tidak tepat karena dalam dokumen pemutusan kontrak tidak menyebutkan bahwa penyebabnya adalah bencana alam dan tidak ada dokumen pendukung telah terjadinya bencana alam. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Fisik tanggal 22 September 2007 yang ditandangani oleh Pemimpin Kegiatan dan koordinator pelaksana lapangan diketahui bahwa pondok kerja, gubuk kerja dan papan nama tidak dilaksanakan sesuai dengan jumlah/spesifikasi yang tertuang dalam kontrak. BPK menyarankan agar Bupati Indragiri Hulu memberikan instruksi tertulis kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu supaya memberikan teguran tertulis kepada : a. Panitia Pengadaan Barang dan Pengawas Lapangan yang lalai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya b. CV Areka Kontraktor atas keterlambatan dan kekurangan volume pekerjaan c. Pemimpin Kegiatan supaya mempertanggungjawabkan keterlambatan dan kekurangan volume pekerjaan dengan menarik denda dan kelebihan bayar kepada CV Areka Kontraktor sebesar Rp30.870.850,00 untuk disetor ke kas daerah dan buktinya disampaikan kepada BPK. Dua Paket Pekerjaan Tidak Diselesaikan Pelaksana dan Tidak Dikenakan Denda Sebesar Rp195.062.750,00
Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir pada TA 2004 memperoleh alokasi anggaran untuk enam paket pekerjaan rehabilitasi lahan dan hutan yang bersumber dari DAK-DR sebesar Rp 6.029.721.000,00 dan direalisasikan sebesar Rp4.470.813.900,00 atau 74,14% dari anggaran. Dari realisasi anggaran tersebut antara lain digunakan pekerjaan Pemeliharaan Tanaman Tahun Pertama Reboisasi Hutan Bakau seluas 1.140 Ha dan pekerjaan Pemeliharaan Tanaman Tahun Kedua Reboisasi Hutan Bakau seluas 460 Ha. Pekerjaan Pemeliharaan Tanaman Tahun Pertama Reboisasi Hutan Bakau seluas 1.140 Ha dilaksanakan oleh PT Tasik Serai berdasarkan kontrak No. 028/KontrakRHL/X/857/2004, No 030/Kontrak-TS/X/2004 tanggal 15 Oktober 2004 dengan nilai kontrak sebesar Rp2.822.870.000,00 jangka waktu pelaksanaan 75 hari kalender terhitung tanggal 15 Oktober s.d. 30 Desember 2004, dan tidak ada Addendum kontrak. Pekerjaan Pemeliharaan Tanaman Tahun Kedua Reboisasi Hutan Bakau seluas 460 Ha dilaksanakan oleh PT Fandi Cempaka berdasarkan kontrak No. 028/KontrakRHL/X/888a/2004, No 025/Kontrak-Q/FC/X/2004 tanggal 15 Oktober 2004 dengan nilai kontrak sebesar Rp1.081.850.000,00 jangka waktu pelaksanaan 75 hari kalender terhitung tanggal 15 Oktober s.d. 30 Desember 2004, dan tidak ada Addendum kontrak. Hasil pemeriksaan atas proses pengadaan kedua paket pekerjaan tersebut diketahui bahwa penetapan kedua rekanan pelaksana pekerjaan tersebut dilaksanakan tidak melalui pelelangan melainkan dengan penunjukan langsung berdasarkan usulan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir kepada Bupati Indragiri Hilir dengan surat
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
47
No.522.2/PR/706 tanggal 14 September 2004 dan Surat persetujuan prinsip dari Bupati Indragiri Hilir No.84.26.2/um-p/010 tanggal 15 September 2004. Penyedia jasa/pelaksana kegiatan RHL TA 2004 yang berasal dari DAK-DR ditetapkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Indragiri Hilir tanggal 14 Oktober 2004. Penetapan pelaksana pekerjaan tanpa proses pelelangan tersebut walaupun telah memperoleh persetujuan prinsip dari Bupati Indragiri Hilir tetap tidak mengacu pada Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadan Barang/Jasa Pemerintah pasal 17 ayat (5) mengenai kriteria bahwa dalam keadaan tertentu dan khusus. Hasil pemeriksaan lebih lanjut atas dua pekerjaan di atas diketahui bahwa pekerjaan Pemeliharaan Tanaman Tahun Pertama Hutan Bakau di Kecamatan Manggah dan Ketamen seluas 1.141 Ha yang dilaksanakan oleh PT Tasik Serai senilai Rp2.820.316.000,00 dan pekerjaan Pemeliharaan Tanaman Tahun Ke-2 Hutan Bakau di Kecamatan Manggah seluas 460 Ha yang dilaksanakan oleh PT Fandi Cempaka senilai Rp1.080.939.000,00 tidak diselesaikan oleh kontraktor. Berdasarkan Laporan Fisik dan Keuangan tanggal 31 Desember 2004 kemajuan fisik pekerjaan PT Tasik Serai dan PT Fandi Cempaka masing-masing mencapai 70% dan Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir telah membayar masing-masing sebesar Rp1.833.205.400,00 dan sebesar Rp702.544.700,00. Terhadap kedua kontraktor pelaksana pekerjaan yang telah wanprestasi, ternyata Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir tidak melakukan pemutusan pekerjaan dan tidak mencairkan jaminan pelaksanaan yang seharusnya dapat diklaim serta tidak mengenakan denda keterlambatan sebesar Rp195.062.750,00 (Rp2.820.316.000,00 X 5% + Rp1.080.939.000,00 X 5%). Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan : a. Pasal 3 Keppres 80 Tahun 2003 yang antara lain menyatakan bahwa Pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip Efisien: berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan; Terbuka dan bersaing: berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan; b. Pasal 18 Kontrak No. 028/Kontrak-RHL/X/857/2004-No 030/Kontrak-TS/X/2004 dan kontrak No. 028/Kontrak-RHL/X/888A/2004,-No. 025/Kontrak-Q/FC/X/2004 tanggal 15 Oktober 2004 yang antara lain menyatakan bahwa jika pihak kedua (kontraktor) tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang tercantum dalam perjanjian, maka setiap hari keterlambatan pihak kedua wajib membayar denda sebesar satu permil dari harga borongan dengan jumlah maksimum denda kumulatif sebesar 5% dari harga borongan. Masalah ini mengakibatkan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir : a. Kehilangan kesempatan untuk memperoleh harga yang lebih bersaing atas kegiatan RHL yang berasal dari DAK-DR TA 2004.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
48
b. Kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp195.062.750,00 dari denda yang belum dipungut. Hal tersebut terjadi karena: a. Kepala Dinas Kehutanan selaku pemberi usul penunjukkan langsung pelaksana pekerjaan RHL yang berasal dari DAK-DR 2004 dan Bupati Indragiri Hilir selaku pemberi persetujuan prinsip tentang proses pengadaan barang/jasa melalui penunjukkan langsung tidak mengacu pada Keppres No.80 Tahun 2003. b. Panitia Pengadaan Barang, Pemimpin Kegiatan dan Pengguna Anggaran Dinas Kabupaten Indragiri Hilir tidak cermat dalam menerapkan ketentuan denda yang tercantum dalam masing-masing kontrak pekerjaan. Atas permasalahan tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan RHL lebih dominan pada pengadaan bibit yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga atau swakelola. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.04/Menhut-V/2004 tanggal 2 Agustus 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL DAK-DR, pelaksanaan oleh pihak ketiga dapat dilakukan dengan penunjukkan langsung karena keadaan tertentu yaitu waktu terbatas dan harus segera dilaksanakan. Proses produksi bibit membutuhkan minimal 3 bulan dan anggaran biasanya turun di akhir tahun sehingga dengan keterbatasan ini tidak mungkin melaksanakan proses lelang umum. Keadaan khusus yaitu pekerjaan pengadaan bibit unggul merupakan pekerjaan yang spesifik dan proses produksi bibit sangat ditentukan oleh musim tanam. Sedangkan terhadap rekanan yang tidak menyelesaikan pekerjaan pada intinya Dinas mengkategorikan hal tersebut pada hal pemutusan perjanjian disamping tidak adanya permohonan penambahan waktu oleh pelaksana pekerjaan. Sanksi tidak dikenakan karena sesuai kontrak terhadap permasalah yang timbul dapat dilakukan “penyelesaian perselisihan” yaitu dengan disepakatinya bobot pekerjaan yang dilaksanakan dan sisanya akan dilakukan proses pengadaan barang periode berikutnya. Tanggapan dari Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir tidak tepat karena dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.04/Menhut-V/2004 tanggal 2 Agustus 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL DAK-DR tidak ada BAB khusus yang mengatur tentang Metode Penyelenggaraan dan kriteria/pengaturan tentang pelaksanaan pengadaan barang dan jasa adalah Keppres 80 Tahun 2003, jika ada peraturan lain dibawahnya harus mengacu sesuai dengan Keppres No. 80 tahun 2003. Terhadap dua kontraktor yang tidak menyelesaikan pekerjaannya, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir tidak melakukan pemutusan kontrak secara resmi dan tidak alasan telah terjadinya force mayoer sehingga kontraktor telah wanprestasi dari kontrak yang telah disepakati. BPK menyarankan agar : a. Bupati Indragiri Hilir tidak mengeluarkan kebijakan pemberian ijin prinsip Penunjukan Langsung pengadaan barang/jasa yang tidak sesuai dengan Ketentuan yang berlaku dan memberikan teguran tertulis kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2004:
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
49
b. Kepala Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Indragiri Hilir memberikan teguran tertulis kepada : 1) Panitia Pengadaan Barang yang tidak cermat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya 2) PT Tasik Serai dan PT Fandi Cempaka yang tidak menyelesaikan pekerjaanya. 3) Pemimpin Kegiatan untuk menarik denda kepada PT Tasik Serai sebesar Rp141.015.800,00 dan PT Fandi Cempaka sebesar Rp54.046.950,00 untuk disetor ke kas daerah dan buktinya disampaikan kepada BPK. Pembayaran Biaya Pekerjaan Penyusunan Rancangan Teknis oleh PT Graha Inforesindo Melebihi Ketentuan Sebesar Rp12.810.000,00
Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir pada Tahun Anggaran 2006 mengadakan pekerjaan pengadaan jasa konsultansi penyusunan rancangan teknis kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (DAK-DR) dengan PT Graha Inforesindo sesuai dengan kontrak Nomor
510/DISHUTBUN - TU/620.A (Pihak I) tanggal 19 Juli 2006 senilai 028/SPK/GI/VII/2006 (Pihak II)
Rp255.211.000,00. Jangka waktu pelaksanaan selama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung mulai tanggal 19 Juli 2006 sampai dengan 19 Agustus 2006. Pengadaan jasa konsultansi tersebut dilaksanakan melalui seleksi umum oleh panitia pengadaan barang dan jasa yang dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir Nomor 820/Dishutbun-UP/198 tanggal 5 April 2006. Pengadaan jasa konsultansi tersebut telah selesai dilaksanakan dan telah dibayar 100% sesuai dengan Berita Acara Pembayaran No. 510/DISHUTBUNTU tanggal 18 Agustus 2006. Hasil pemeriksaan terhadap dokumen penawaran PT Graha Inforesindo dan wawancara dengan pihak panitia pengadaan barang/jasa menunjukan bahwa terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut: a. Biaya buruh harian untuk tenaga pendukung dalam biaya langsung personil adalah sebesar Rp80.000,00 per orang, sedangkan dalam standarisasi harga dan upah Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Anggaran 2006 sebagai acuan harga tertinggi untuk buruh terlatih adalah sebesar Rp40.000,00 per orang sehingga melebihi sebesar Rp40.000,00 per orang (Rp80.000,00 – Rp40.000,00) atau total kelebihan sebesar Rp10.560.000,00 (Rp40.000,00 x 264 HOK). Pemeriksaan selanjutnya menunjukan bahwa dalam HPS (Harga Perkiraan Sendiri) yang dibuat oleh panitia pengadaan barang dan jasa menunjukan bahwa harga satuan untuk biaya buruh harian adalah sebesar Rp80.000,00 per orang. b. Dalam rincian penawaran biaya/RAB untuk biaya langsung non personil terdapat beberapa item pengeluaran yang seharusnya tidak diperkenankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebesar Rp2.250.000,00, yaitu: 1) Biaya konsumsi peserta rapat (15 orang) untuk pembahasan laporan pendahuluan sebesar Rp750.000,00.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
50
2) Biaya konsumsi peserta rapat (15 orang) untuk pembahasan laporan akhir sebesar Rp750.000,00. 3) Biaya konsumsi peserta rapat (15 0rang) untuk pembahasan laporan kemajuan sebesar Rp750.000,00 Masalah tersebut tidak sesuai dengan: a. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Lampiran I, BAB II, Bagian B tentang Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konsultasi, angka 1.p. tentang Klarifikasi dan Negosiasi pada point 2 (d) yang menyatakan bahwa klarifikasi dan atau negosiasi terhadap unit biaya personil dilakukan berdasarkan daftar gaji yang telah diaudit dan atau bukti setor pajak penghasilan tenaga ahli konsultan yang bersangkutan. b. Surat Edaran Bersama Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Menteri Keuangan Nomor 1203/D.II/03/2000 perihal Petunjuk Penyusunan Rencana SE - 38 /A /2000 Anggaran Biaya (RAB) untuk jasa konsultansi Biaya langsung personil (Remuneration) dan Biaya langsung Non Personil (Direct Reimbursable Cost) pada angka II tentang Biaya Langsung Non Personil (Direct Reimbursable Cost) pada point 1.a yang menyatakan bahwa Biaya Langsung Non Personil yang dapat diganti yang sebenarnya dikeluarkan oleh konsultan untuk pengeluaran-pengeluaran sesungguhnya / sesuai pengeluaran (at cost) meliputi: •
Tiket penerbangan
•
Kelebihan bagasi
•
Bagasi yang tidak dibawa sendiri (unaccompanied baggage)
•
Temporary lodging
•
Perjalanan domestik
•
Perlengkapan kantor
•
Biaya komunikasi (telex, telepon dan facsimile)
•
Biaya komputer (mencakup fasilitas komputer, perangkat lunak dan royalty untuk program yang dipergunakan)
•
Pembelian peralatan kantor
•
Perlengkapan khusus
•
Meninggalkan tempat tigas (temporary leave)
•
Dokumen perjalanan
•
Biaya perjalanan darat (dari kantor ke bandara udara terdekat)
•
Relokasi (storage allowance)
•
Tunjangan penempatan
•
Biaya fiskal
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
51
•
Tunjangan harian (per diem allowance)
•
Tunjangan perumahan
•
Biaya sewa kantor
•
Biaya sewa kendaraan (roda 4 dan roda 2)
•
Biaya pelaporan
c. Keputusan Bupati Indrgiri Hilir Nomor 395/XII/HK-2005 tanggal 12 Desember 2005 tentang Standarisasi Harga dan Upah untuk Keperluan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Anggaran 2006 pada sub bidang upah pekerja untuk buruh terlatih adalah sebesar Rp40.000,00. Masalah ini mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar Rp12.810.000,00 (Rp10.560.000,00 + Rp2.250.000,00), yang terjadi karena: a. Pemimpin kegiatan dan Panitia pengadaan barang/jasa lalai dalam menyusun HPS belum sepenuhnya mengacu pada standarisasi harga dan upah Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Anggaran 2006, serta lalai dalam mengevaluasi biaya langsung non personil yang diperbolehkan. b. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan lemah dalam melalukan pengendalian dan pengawasan terhadap panitia pengadaan barang/jasa. Atas permasalahan tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir menyatakan bahwa penilaian dilakukan terhadap teknis dan biaya dengan komposisi 80% penilaian teknis dan 20% penilaian biaya. HPS yang disusun merupakan standarisasi upah teknis termasuk keuntungan perusahaan disamping pertimbangan kondisi geografis, ekonomi masyarakat dan biaya transportasi. BPK menyarankan agar Bupati Indragiri Hilir memberikan instruksi tertulis kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir supaya memberikan teguran tertulis kepada : a. Panitia Pengadaan barang yang lalai dalam melaksanakan tugas pengadaan jasa konsultan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku b. Pemimpin Kegiatan agar mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran sebesar Rp12.810.000,00 dengan menyetor ke Kas Daerah serta bukti setor ke Kas Daerah tersebut disampaikan kepada BPK.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
52
BAB V KESIMPULAN
Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan isu nasional dan internasional yang penting pada saat ini. Berdasarkan laporan Bank Dunia tentang Kondisi Perubahan Iklim di Indonesia disebutkan bahwa Indonesia termasuk penyumbang terbesar Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan. Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan antara lain disebabkan oleh penggundulan hutan dan kebakaran hutan. Di samping dampak terhadap perubahan iklim, penggundulan hutan di Indonesia juga sudah sangat merisaukan karena berdasarkan data Baplan tahun 2000 laju kerusakan hutan adalah 1,5 s/d 2,8 juta Ha pertahun. Laju kerusakan yang begitu pesat perlu diikuti dengan upaya yang intensif untuk merehabilitasinya. Pemerintah telah berupaya merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan tersebut dengan melakukan program GN-RHL dan RHL dengan menggunakan DAK-DR. Upaya yang dilakukan pemerintah melibatkan juga aparat pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota serta masyarakat di wilayah sekitar hutan dan lahan yang rusak. Hasil Pemeriksaan BPK-RI atas pelaksanaan GN-RHL dan RHL dengan DAK-DR di Provinsi Riau menunjukkan bahwa secara umum upaya pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Riau belum berhasil untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Dengan mengingat laju pertambahan kerusakan hutan dan lahan diatas maka ketidakmampuan pemerintah mencapai target tersebut lebih lanjut akan berdampak kepada semakin bertambahnya hutan dan lahan yang rusak di Riau. Di samping pencapaian target diatas, masih ditemukan penyaluran DAK-DR yang tidak sesuai dengan ketentuan,
pelaksanaan
kegiatan
rehabilitasi
hutan
dan
lahan
yang
tidak
efektif
senilai
Rp50.854.099.454,50 dan melanggar ketentuan mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar Rp3.809.095.000,00 dan kekurangan penerimaan sebesar Rp274.253.600,00 serta upaya meningkatkan kualitas DAS Indragiri Rokan menjadi tidak berhasil, dengan perincian antara lain sebagai berikut : 1. DAK-DR Kabupaten Pelalawan sebesar Rp48.146.947.115,00 belum dimanfaatkan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis. hal ini disebabkan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan beserta jajaran di bawahnya tidak mengajukan rencana dan melaksanakan kegiatan RHL untuk mengurangi luas lahan kritis, meskipun DAK-DR dari pemerintah Pusat telah masuk ke Kas Daerah. 2. Harga bibit yang diperhitungkan dalam kontrak pengadaan atas kegiatan rehabilitasi hutan mangrove Kabupaten Bengkalis TA 2005 yang bersumber dari DAK-DR melebihi harga standar sebesar Rp3.727.350.000,00. Hal ini disebabkan Panitia Lelang lalai tidak menyusun HPS dan tidak mempedomani Surat Menteri Kehutanan No. S.131/Menhut-1/2004 tanggal 19 April 2004 dan Peraturan Menteri Kehutanan No.272/Menhut-V/2004 tanggal 22 Juli 2004 serta Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkalis lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian.
Hasil Pemeriksaan-RehabiIitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
53
3. Dua paket pekerjaan tidak diselesaikan pelaksana dan tidak dikenakan denda sebesar Rp195.062.750,00. Hal ini disebabkan Panitia Pengadaan Barang, Pemimpin Kegiatan dan Pengguna Anggaran Dinas Kabupaten Indragiri Hilir tidak cermat dalam menerapkan ketentuan denda yang tercantum dalam masing-masing kontrak pekerjaan Kondisi di atas antara lain terjadi karena para pelaksana dan penanggung jawab kegiatan kurang mematuhi ketentuan yang berlaku. Selain itu, pemerintah tidak tegas dalam menentukan lokasi RHL hanya di lokasi yang menjadi prioritas DAS, belum sepenuhnya berkomitmen secara berjenjang untuk merehabilitasi hutan dan lahan, kurang melakukan koordinasi di antara pihak yang terkait dan belum optimal meningkatkan sistem anggaran agar terintegrasi dengan proses penanaman.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Hasil Pemeriksaan-RehabiIitasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
54
Lampiran 1
Pelaksana THR Pola Akasia dan Pola Sagu Kabupaten Pelalawan TA 2004 (DAK DR) No.
I.
Kegiatan/ Kelompok Tani (KT)
Vol (Ha)
Nilai (Rp
No/Tanggal SPKS
Jangka waktu (Hari)
235
701.472.500,00
1
THR Pola Akasia Ds Telayap KT. Kuala Kelayap
100
180
2
KT Telayap Makmur
135
II.
300
1
THR Pola Sagu Ds Kuala Tolam KT Usaha Baru
298.550.000,00 01/SPKS-Luncuran/KRK/VIII /2004 26-8-2004 402.922.500,00 02/SPKS-Luncuran/KRK/VIII /2004 26-8-2004 580.950.000,00
120
2
KT Usaha Mandiri
50
3
KT Sinar Baru
50
4
KT Sinar Abadi
50
5
KT Usaha Bersama
50
6
KT Sinar Harapan
50
96.825.000,00 03/SPKS-Luncuran/KRK/VIII /2004 26-8-2004 96.825.000,00 04/SPKS-Luncuran/KRK/VIII /2004 26-8-2004 96.825.000,00 05/SPKS-Luncuran/KRK/VIII /2004 26-8-2004 96.825.000,00 06/SPKS-Luncuran/KRK/VIII /2004 26-8-2004 96.825.000,00 07/SPKS-Luncuran/KRK/VIII /2004 26-8-2004 96.825.000,00 08/SPKS-Luncuran/KRK/VIII /2004 26-8-2004 1.282.422.500,00
Jumlah
50
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
180
120 120 120 120 120
55
Lampiran 2
Alokasi, Realisasi Pendapatan DAK DR dan Realisasi Belanja Kabupaten Pelalawan TA 2001 s.d. TA 2007 Realisasi No.
Tahun
Alokasi
1.
2001
15,740,640,000.00
-
-
-
2.
2002
16,942,118,000.00
22,669,025,000.00
15,470,720,350.00
7.198.304.650,00
3.
2003
8,671,400,000.00
10,013,733,000.00
15,209,788,750.00
2.002.248.900,00
4.
2003
4,392,944,620.00
13,064,344,000.00
-
15.066.592.900,00
5.
2004
15,303,397,615.00
1,282,422,500
13.784.170.400,00
6.
2004
4,632,907,454.66
-
-
13.784.170.400,00
7.
2005
14,635,683,868.16
15,303,397,615.00
-
29.087.568.015,00
8.
2006
-
-
-
29.087.568.015,00
9.
2007
-
19,059,379,100.00
-
48.146.947.115,00
80,319,091,557.82
80,109,878,715.00
31,962,931,600.00
48,146,947,115.00
Jumlah
Pendapatan
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
Belanja
Sisa Dak DR
56
Lampiran 3 Perhitungan Biaya Langsung Personil PT Aksara Ghanesa Lima No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Biaya Langsung Personil Ketua Tim Tenaga Ahli Tenaga Ahli Kehutanan Koordinator Lapangan Teknisi Lapangan Tenaga Pengukuran Juru Gambar Sekretaris Operator Komputer Keuangan
SBOB 7,500,000.00 6,000,000.00 5,000,000.00 4,000,000.00 3,000,000.00 2,500,000.00 1,500,000.00 1,500,000.00 2,000,000.00
SBOH = SBOB/22 340,909.09 272,727.27 227,272.73 181,818.18 136,363.64 113,636.36 68,181.82 68,181.82 90,909.09 Jumlah A
SBOH*1.1 375,000.00 300,000.00 250,000.00 200,000.00 150,000.00 125,000.00 75,000.00 75,000.00 100,000.00
Hari 18 18 18 18 18 18 18 18 18
Seharusnya 6,750,000.00 5,400,000.00 4,500,000.00 3,600,000.00 2,700,000.00 2,250,000.00 1,350,000.00 1,350,000.00 1,800,000.00
Selisih 750,000.00 600,000.00 500,000.00 400,000.00 300,000.00 250,000.00 150,000.00 150,000.00 200,000.00
Volume 1 3 3 3 16 2 1 2 2
Jumlah 750,000.00 1,800,000.00 1,500,000.00 1,200,000.00 4,800,000.00 500,000.00 150,000.00 300,000.00 400,000.00 11,400,000.00
Perhitungan Biaya Langsung Personil Koperasi Karyawan Universitas Lancang Kuning No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Biaya Langsung Personil Tenaga Ahli/Ketua Tim Tenaga Ahli Kehutanan Koordinator Lapangan Teknisi Lapangan Tenaga Pengukuran Juru Gambar Sekretaris Operator Komputer Keuangan
SBOB 4,000,000.00 3,200,000.00 2,500,000.00 2,000,000.00 1,000,000.00 1,500,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00
SBOH = SBOB/22 181,818.18 145,454.55 113,636.36 90,909.09 45,454.55 68,181.82 45,454.55 45,454.55 45,454.55 Jumlah B
SBOH*1.1 200,000.00 160,000.00 125,000.00 100,000.00 50,000.00 75,000.00 50,000.00 50,000.00 50,000.00
Hari 17 17 17 17 17 17 17 17 17
Seharusnya 3,400,000.00 2,720,000.00 2,125,000.00 1,700,000.00 850,000.00 1,275,000.00 850,000.00 850,000.00 850,000.00
Selisih 600,000.00 480,000.00 375,000.00 300,000.00 150,000.00 225,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00
Volume 1 4 4 4 11 1 1 1 1
Jumlah 600,000.00 1,920,000.00 1,500,000.00 1,200,000.00 1,650,000.00 225,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 7,545,000.00
Jumlah A + B = Rp11.400.000,00 + Rp7.545.000,00 = Rp18.945.000,00 Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
57
Lampiran 4 Hasil Pemeriksaan Fisik atas Pekerjaan Pengkayaan Tanaman Blok I seluas 300 Ha Kec. Batang Cenaku di Kabupaten Indragiri Hulu No
Uraian Pekerjaan
Sat
RAB
Fisik
Selisih
Harga Satuan
Jumlah
Ket
1
2
3
4
5
6
7
8
9
A
B
Blok Kayu-kayuan 210 Ha 1 Papan nama
unit
8
0
8
190.000,00
1.520.000,00
2 Gubuk kerja
unit
8
5
3
450.000,00
1.350.000,00
3 Pondok Kerja
unit
2
1
1
5.000.000,00
5.000.000,00
Blok karet 90 Ha
-
1 Papan nama
unit
3
0
3
190.000,00
2 Gubuk kerja
unit
3
3
0
450.000,00
Jumlah
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Riau
570.000,00 8.440.000,00
58
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
HASIL PEMERIKSAAN SEMESTER II TAHUN ANGGARAN (TA) 2007 ATAS KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (RHL) DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA IV
Nomor : 07/LHP/XVII/01/2008 Tanggal : 31 Januari 2008
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN EKSEKUTIF .…………………………………………………………………………………………..
iii
BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................................................................................
1
Dasar Pemeriksaan ..........................................................................................................................
1
Standar Pemeriksaan........................................................................................................................
1
Tujuan Pemeriksaan ………..…………………………………………………………............................
1
Sasaran Pemeriksaan ......................................................................................................................
1
Obyek Pemeriksaan ………………………………………………………………………………………..
1
Lingkup Pemeriksaan …..……………………………………………………………………………….....
2
Jangka Waktu Pemeriksaan .............................................................................................................
2
Metodologi Pemeriksaan ..................................................................................................................
2
Batasan Pemeriksaan ……….……………………………………………………………………………..
3
Kriteria Pemeriksaan ……………………………………………...........................................................
3
BAB II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN ...........................................................
4
Hutan di Indonesia : Status dan Fungsi .………………………...........................................................
4
Kondisi Hutan di Indonesia ................................................................................................................
4
Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Kalimantan Tengah .....................................................................
6
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan ............................................................................................
6
Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan ..............................................................................................
8
Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis ..............................................................................
9
Pembiayaan RHL ..............................................................................................................................
9
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) ............................................................
9
Anggaran GN-RHL di Kalimantan Tengah ........................................................................................
12
Realisasi GN-RHL di Kalimantan Tengah .........................................................................................
13
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan ......................
13
Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR) .............................................................................
14
DAK DR di Kalimantan Tengah .........................................................................................................
15
Perubahan Dak DR Menjadi DBH .....................................................................................................
15
Sistem Pengendalian Intern RHL ......................................................................................................
16
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA .....................
20
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
i
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN ……………………......................................................................................
21
Ketidakselarasan TGHK dan RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah Mempersulit Penentuan Sasaran Lokasi Kegiatan RHL ……………………………………………….…………………………….. Penyusunan Rencana Kegiatan GN-RHL Provinsi Kalimantan Tengah Tidak Efektif Untuk Mencapai Tujuan GN-RHL…………………………………………………………………………..……….
23
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Belum Menetapkan Lembaga Penilai Independen (LPI)/Penyediaan Jasa Konsultansi Untuk Melaksanakan Penilaian Kinerja………..………………....
24
Penanaman Turus Jalan Yang Dilaksanakan Oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006 Tidak Berhasil..................................................................................................................
27
Pelaksanaan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Di Kab. Kapuas Seluas 225 Ha Tidak Efektif...................................................................................................................................................
29
Bibit Sebanyak 185.000 Batang Senilai Rp237.300.000,00 Pada Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Tidak Ditanam……………………………………………………………..…………………………
31
Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Belum Membuat SPKS Kepada Dua Kelompok Tani Yang Sudah Menerima Bibit ........................................................................................................................
33
Bibit Tanaman Kayu-kayuan Jenis Belangiran Sebanyak 2.960 Batang Tidak Ditanam Oleh Kelompok Tani Berkat Baik................................................................................................................. Bibit Jenis Jelutung Sebanyak 4.007 Batang Tidak Ditanam Oleh Kelompok Tani Karya Kami......... Bibit Jenis Kayu-kayuan Sebanyak 65.563 Batang Senilai Rp119.654.300,00 Di Kabupaten Pulang Pisau Tidak Ditanam Oleh Kelompok Tani ………………………………………………………. Penetapan Lokasi Pengembangan Dan Pengkayaan Hutan Rakyat Di Kawasan Hutan Produksi.... Pemilihan Jenis Tanaman Hutan Rakyat Di Kab. Pulang Pisau Kurang Memperhitungkan Kesesuaian Tempat Tumbuh………………………………………………………………………………...
21
34 36 37 40 42
Pengamanan Hasil Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Dishutbun Kab. Pulang Pisau Dari Kebakaran Lemah...............................................................................................................................
43
Penentuan Calon Lokasi Pengayaan Hutan Produksi Seluas 500 ha Di Kabupaten Kotawaringin Timur Lemah.......................................................................................................................................
45
Penetapan Izin Usaha Perkebunan Atas Nama PT Sukajadi Sawit Mekar oleh Bupati Kotawaringin Timur pada Eks Areal HPH PT Mentaya Kalang Tidak Sesuai dengan Ketentuan............................................................................................................................................
47
Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Seluas 500 Ha Di Kabupaten Kapuas Tidak Sesuai Ketentuan dan Merugikan Negara Sebesar Rp92.500.000,00 ………………………..………………..
50
Pendapatan Jasa Giro Rekening DAK-Dana Reboisasi Sebesar Rp4.736.398.093,00 Digunakan Untuk Keperluan di Luar Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan ……………………………………..
52
Realisasi Penggunaan DAK-DR Untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kabupaten Katingan Tidak Maksimal…………………………………………………………………………………….
55
BAB V KESIMPULAN
58
LAMPIRAN : Perhitungan Pemborosan dan Kelebihan Pembayaran Kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat di Kabupaten Kapuas ………………………………………………………………………...
60
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan di Indonesia mempunyai fungsi untuk melestarikan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, melindungi sistem penyangga kehidupan dan memproduksi hasil hutan. Hutan mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Kualitas hutan perlu dipelihara agar dapat berfungsi dengan baik. Kualitas hutan yang buruk seperti kritis dan gundul cenderung mengakibatkan ekosistem yang rusak dan meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dan Instansi terkait lainnya, diketahui luas hutan dan lahan kritis di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah posisi per tahun 2002 adalah seluas 4.775.332,18 Ha, sedangkan luas hutan dan lahan adalah 10.940.154,88 Ha. Hutan dan lahan kritis seluas 4.775.332,18 Ha tersebut harus segera direhabilitasi agar dapat berfungsi dengan normal dan dapat mempertahankan serta meningkatkan kualitas DAS. Pemerintah Pusat dan Daerah telah melakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) sejak tahun 2003 s.d. 2007. Kegiatan-kegiatan ini dibiayai dari Dana Reboisasi (DR) yang dipungut dari perusahaan-perusahaan yang melakukan eksploitasi hutan. Jumlah realisasi program GN-RHL di Provinsi Kalimantan Tengah posisi per Desember 2006 adalah seluas 42.650 Ha dan program RHL seluas 10.150 Ha, sedangkan target program GN-RHL selama tahun 2003 s.d. 2007 seluas 93.743 Ha. Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) telah melakukan pemeriksaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang dibiayai dengan Dana APBN dan APBD Tahun 2003 s.d. 2007 pada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Kahayan, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pulang Pisau, Dinas Kehutanan Kabupaten Kotawaringin Timur, dan Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan. Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Tahun 2007 dan Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) BPK-RI Tahun 2002. Tujuan pemeriksaan adalah menilai apakah pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah telah sesuai dengan ketentuan, entitas telah menggunakan dana tersebut untuk kegiatan yang sesuai dengan ketentuan, dan kegiatan RHL telah dilaksanakan dengan ekonomis dan efektif untuk mencapai tujuan RHL.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
iii
Sasaran pemeriksaan difokuskan kepada perencanaan RHL, pengadaan bibit serta pembuatan dan pemeliharaan tanaman. Hasil pemeriksaan mengungkapkan bahwa masih terdapat kelemahan-kelemahan yang mempengaruhi kinerja pelaksanaan RHL di Provinsi Kalimantan Tengah, sebagai berikut : Efektivitas Pencapaian Target GN-RHL dan RHL DAK-DR Realisasi fisik kegiatan GN-RHL yang dibiayai dengan dana APBN melalui program GN-RHL Tahun 2003 s.d. 2006 hanya mencapai seluas 42.650 Ha, sedangkan RHL yang dibiayai dengan DAK-DR hanya mencapai 10.150 Ha. Hal ini berarti bahwa kegiatan RHL yang dibiayai dengan APBN maupun DAK-DR Tahun 2003 s.d. 2006 belum dapat mengurangi secara signifikan lahan kritis di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yaitu seluas 4.775.332,18 Ha. Pemborosan Penggunaan Dana Dalam RHL Ditemukan pemborosan dalam penggunaan dana RHL sebesar Rp825.404.300,00 yang disebabkan oleh lemahnya perencanaan, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman, dengan perincian sebagai berikut : 1.
Penanaman turus jalan yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2006 tidak berhasil sehingga penggunaan biaya pembuatan tanaman turus jalan sebesar Rp468.450.000,00 tidak efektif dan tujuan pembuatan tanaman turus jalan untuk memperbaiki kualitas lingkungan tidak tercapai. Hal ini disebabkan oleh pemilihan jenis tanaman untuk turus jalan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah tidak didasarkan pada hasil penelitian kesesuaian dengan agroklimat setempat dan lemahnya koordinasi antara Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah.
2.
Bibit sebanyak 185.000 batang senilai Rp237.300.000,00 pada Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas tidak ditanam sehingga pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 500 Ha dengan menanam bibit sebanyak tersebut di atas tidak tercapai. Hal ini disebabkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kapuas lalai tidak segera melaksanakan kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat sesuai dengan Rancangan Teknis Kegiatan Hutan Rakyat yang telah dibuat.
3.
Bibit untuk pembuatan tanaman hutan rakyat sebanyak 65.563 batang
senilai Rp119.654.300,00
di kabupaten Pulang Pisau tidak ditanam oleh Kelompok Tani sehingga pembuatan tanaman hutan rakyat untuk memperbaiki kualitas lingkungan dengan menanam bibit sebanyak tersebut diatas tidak tercapai. Hal tersebut disebabkan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pulang Pisau kurang cermat memeriksa hasil pekerjaan kelompok tani dalam Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat. 4.
Pengamanan dan pemeliharaan hasil kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dishutbun Kab. Pulang Pisau lemah sehingga areal yang telah dilakukan rehabilitasi dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas lingkungan menjadi tidak tercapai. Hal tersebut terjadi karena Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
iv
Kabupaten Pulang Pisau belum bekerja secara maksimal khususnya dalam pengamanan areal hasil rehabilitasi dari bahaya kebakaran. Kepatuhan Entitas Pengelola Dalam Melaksanakan RHL Entitas Pengelola menggunakan dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk merehabilitasi hutan dan lahan tidak sesuai dengan ketentuan dan mengurangi kualitas DAS dengan perincian sebagai berikut : 1. Ketidakselarasan TGHK dan RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah mempersulit penentuan sasaran lokasi kegiatan RHL dan pelaksanaan RHL. Hal tersebut terjadi karena lemahnya koordinasi antara pihak BPDAS Kahayan dan Pemda Provinsi/Kabupaten dan belum adanya penetapan penunjukan kawasan hutan sebagai hasil paduserasi antara TGHK dan RTRWP Provinsi Kalteng. 2. Pendapatan Jasa Giro Rekening DAK-Dana Reboisasi sebesar Rp4.736.398.093,00 digunakan untuk keperluan di luar kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan sehingga mengurangi pencapaian kegiatan RHL. Hal tersebut terjadi karena Pemerintah Kabupaten dhi. Bupati dan Setda Kabupaten Kapuas tidak mematuhi ketentuan mengenai pengelolaan DAK-DR dan Pendapatan Jasa Giro DAK-DR. 3. Realisasi Penggunaan DAK-DR untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kabupaten Katingan tidak maksimal sehingga hutan dan lahan kritis di wilayah Kab. Katingan tidak segera diatasi, karena kurangnya komitmen Bupati Katingan untuk segera merealisasikan kegiatan RHL yang bersumber dari DAK-DR. 4.
Penyusunan Rencana Kegiatan GN-RHL Provinsi Kalimantan Tengah tidak efektif untuk mencapai tujuan GN-RHL sehingga pelaksanaan RHL tidak dapat meningkatkan kualitas DAS secara optimal, disebabkan oleh lemahnya koordinasi antara UPT Departemen Kehutanan di daerah sebagai pelaksana kegiatan GNRHL dan Pemda Provinsi sebagai pelaksana RHL.
5.
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah belum menetapkan Lembaga Penilai Independen (LPI)/Penyediaan Jasa Konsultansi untuk melaksanakan penilaian kinerja sehingga pemeliharaan tanaman tahun pertama dan kedua belum bisa dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kab/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah lalai melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya dan pengendalian oleh Gubernur Kalimantan Tengah terhadap pelaksanaan kegiatan GN-RHL oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah lemah.
Selain itu, penggunaan dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk merehabilitasi hutan dan lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan sehingga merugikan negara sebesar Rp4.015.456.000,00 adalah sebagai berikut : 1. Penetapan Izin Usaha Perkebunan atas nama PT SSM oleh Bupati Kotawaringin Timur pada Eks areal HPH PT MK menyalahi ketentuan, sehingga terjadi kerugian negara sebesar Rp3.922.956.000,00 atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan Produksi Tahun 2004 dan Tahun 2005. Hal tersebut disebabkan oleh Bupati Kotawaringin Timur dalam menetapkan ijin usaha perkebunan telah melampaui kewenangannya.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
v
2. Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat seluas 500 Ha di Kabupaten Kapuas tidak sesuai ketentuan sehingga merugikan negara sebesar Rp92.500.000,00. Hal tersebut disebabkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) DIPA Luncuran TA 2006 Satker Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas dalam membuat SPKS tidak disesuaikan dengan jumlah bibit yang diserahkan kepada Kelompok Tani dan pengawasan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas terhadap pelaksanaan kegiatan GN-RHL masih lemah. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK-RI menyarankan agar dilakukan perbaikan kinerja di masa mendatang dan segera diambil langkah-langkah tindak lanjut sesuai saran/rekomendasi yang dimuat dalam hasil pemeriksaan ini.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penanggung Jawab Pemeriksaan,
HADI PRIYANTO NIP. 240000961
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
vi
BAB I PENDAHULUAN
Dasar Pemeriksaan
Dasar pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah : 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 E; 2. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. 3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
Standar Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK-RI Tahun 2007.
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah untuk menilai apakah: 1. Pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah sesuai dengan ketentuan; 2. Entitas pengelola menggunakan dana Rehabilitasi Hutan dan Lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah dilaksanakan dengan ekonomis dan efektif untuk mencapai tujuan RHL.
Sasaran Pemeriksaan
Untuk mencapai tujuan pemeriksaan tersebut maka sasaran pemeriksaan diarahkan pada area kunci kegiatan RHL dengan mempertimbangkan resiko manajemen dari sisi ekonomi, efisiensi dan efektivitas serta kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mempertimbangkan resiko tersebut, maka area kunci pemeriksaan diarahkan pada hal-hal berikut: 1. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2. Pengadaan bibit yang dilaksanakan baik secara swakelola, penunjukan langsung maupun pelelangan kepada pihak kontraktor. 3. Pembuatan dan pemeliharaan tanaman baik yang dilakukan secara swakelola maupun oleh Kelompok Tani. Area kunci pemeriksaan tersebut akan disesuaikan dengan perkembangan pemeriksaan di lapangan dan dari waktu ke waktu pada saat pemeriksaan berlangsung.
Obyek Pemeriksaan
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Kahayan, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pulang Pisau, Dinas Kehutanan Kabupaten Kotawaringin Timur, dan Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
1
Lingkup Pemeriksaan
Pemeriksaan mencakup TA 2006 s.d. TA 2007 dan khusus untuk penilaian efektivitas dilakukan terhadap hasil kegiatan periode TA 2003 s.d TA 2007.
Jangka Waktu Pemeriksaan dilaksanakan selama 30 hari, mulai tanggal 4 September 2007 sampai Pemeriksaan dengan tanggal 3 Oktober 2007 berdasarkan Surat Tugas Anggota/Pembina Auditama Keuangan Negara IV No.03 /ST/VIII-XIV/08 /2007 tanggal 27 Agustus 2007. Metodologi Pemeriksaan
Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dilaksanakan dengan metodologi sebagai berikut : 1. Evaluasi dan analisa data dan dokumen yang diberikan oleh Unit Kerja Yang Diperiksa (Unit Kerja). Pemeriksaan RHL yang dilakukan adalah pemeriksaan atas kegiatan yang telah selesai dilaksanakan oleh unit kerja yang diperiksa (post audit). Pemeriksa mendasarkan pemahaman dan pembuktian atas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan oleh Unit Kerja. Berkaitan dengan hal tersebut realisasi pengadaan bibit termasuk jumlah yang sebenarnya diserahkan kepada para petani, realisasi penanaman, pemberian pupuk dan kegiatan lainnya dievaluasi dan direview serta diperiksa hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan. Termasuk dalam hal ini pengujian atas keberhasilan penanaman hanya dilakukan dengan menggunakan data dan dokumentasi laporan hasil penilaian lembaga independen. 2. Pengamatan (observasi) Fisik Kelapangan Sebagai upaya untuk menyakinkan realisasi pelaksanaan rehabilitasi hutan, Pemeriksa juga melakukan uji petik secara sangat terbatas ke lokasi penanaman atau RHL. 3. Wawancara Pemeriksaan juga melakukan pengumpulan informasi terkait kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. 4. Uji Petik (sampling) Pemeriksaan dilakukan tidak atas populasi kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pemeriksaan menggunakan mekanisme sampling dengan memperhatikan faktorfaktor seperti ketersediaan sumber daya manusia dan waktu serta risiko terjadinya ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan serta ketidakpatuhan. Pendekatan uji petik ini dilakukan dalam menentukan kabupaten/kota yang akan di uji petik, lokasi hutan dan lahan yang akan diobservasi, dokumen-dokumen yang akan dibahas dan kegiatan-kegiatan yang akan diuji. 5. Sistem Pengendalian Intern Pemahaman dan evaluasi atas efektivitas sistem pengendalian intern dilakukan untuk mengidentifikasikan area kunci, fokus pemeriksaan, daerah yang akan diuji petik dan kegiatan serta dokumen yang akan diuji lebih mendalam. Jika ditemukan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
2
kelemahan terkait dengan sistem pengendalian intern maka akan disajikan dalam laporan sebagai temuan tersendiri dan atau bagian dari penyajian temuan pemeriksaan. Batasan Pemeriksaan
Pemeriksaan RHL ini dilaksanakan dengan batasan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan atas tingkat keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan hanya dilakukan atas laporan hasil penilaian yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh unit kerja. BPK-RI tidak melakukan penilaian secara khusus atas pelaksanaan rehabilitasi lahan. Untuk wilayah yang belum dilakukan penilaian maka BPK-RI tidak menilai tingkat keberhasilan wilayah tersebut. 2. BPK-RI juga tidak melakukan penilaian atas kebenaran metodologi dan mekanisme penilaian lembaga independen penilai keberhasilan RHL. 3. Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tidak dilakukan atas rehabilitasi hutan dan lahan yang di laksanakan dengan menggunakan dana swasta atau diluar pemerintah.
Kriteria Pemeriksaan
Kriteria atau standar yang akan digunakan untuk menilai pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) diantaranya adalah: 1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 6. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 7. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 8. Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahan-perubahannya; 9. Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No.09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No.Kep16/M.Ekon/03/2003, No.Kep08/ Menko/Polkam/III/2003 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Hidup Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional; 10. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No.18/Kep/Menko/Kesra/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL; 11. Berbagai Keputusan Menteri Kehutanan tentang Standar Harga Bibit, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Kegiatan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
3
BAB II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Hutan di Indonesia Status dan Fungsi
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan UU tentang Kehutanan status hutan di Indonesia terbagi dua yaitu : 1. Hutan Negara Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan Negara ini dapat berupa hutan adat yang ditetapkan statusnya oleh Pemerintah. 2. Hutan Hak Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan di Indonesia memegang peranan yang sangat penting baik dari segi ekonomi dan lingkungan hidup. Secara garis besar terdapat tiga fungsi utama hutan, yaitu : 1. Fungsi Konservasi Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 2. Fungsi Lindung Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3. Fungsi Produksi Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sesuai dengan data Departemen Kehutanan, luas hutan di Indonesia adalah sebagai berikut : Tabel 1 : Luas Hutan di Indonesia Berdasarkan Fungsi Kawasan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi Terbatas d. Hutan Produksi Tetap e. Hutan Produksi Yang Dapat Di Konversi f. Fungsi Hutan Khusus Jumlah Luas Daratan Kawasan Hutan Jumlah Luas Kawasan Hutan dan Perairan
Luas (Ha)
a.
23,597,991.57 31,782,576.02 21,717,309.26 35,813,616.43 14,057,816.00 7,268.00 123,459,513.58 126,976,577.28
Sumber : Web Site Departemen Kehutanan (Badan Planologi Kehutanan)
Kondisi Hutan Indonesia
Hutan memenuhi dua pertiga dari luas daratan Indonesia (kurang lebih 120 juta hektar). Hutan Indonesia merupakan habitat tempat 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, serta 17 persen spesies burung dan juga tempat jenis palem terbanyak di dunia. Kenyataan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaaan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia. Selama 50 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hingga 40% dari seluruh luas
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
4
sampai 2,8 juta Ha per tahun1. Meskipun keprihatinan akan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari meluasnya kerusakan hutan tropis, tetap saja tingkat kerusakan hutan dan lahan meningkat dengan drastis. Kerusakan hutan tersebut menimbulkan lahan kritis yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Meningkatnya lahan kritis yang merupakan tanda dari kerusakan hutan dan lahan ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak baik secara nasional maupun internasional. Gambar 1 : Hutan dan Lahan Kritis
Departemen Kehutanan telah melakukan inventarisasi atas indikasi luas hutan dan lahan kritis pada tahun 2000 dan 2003. Hasil inventarisasi menunjukkan laju pertambahan hutan dan lahan kritis yang cukup drastis yaitu 177 % dari semula 56,98 juta Ha di tahun 2000 menjadi 100,6 juta Ha di tahun 2003. Pertambahan hutan lahan kritis terutama terjadi di luar kawasan hutan. Gambar 2 : Grafik Pertambahan Hutan dan Lahan Kritis 2000-2003 Luas (Ha) 70.000.000 60.000.000 50.000.000 40.000.000
Dalam Kawasan Luar Kawasan
30.000.000 20.000.000 10.000.000 2000
2003 Tahun
Sumber: Laporan Updating Database RHL, Departemen Kehutanan, 2006
Berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan hutan dan lahan yang mengalami kerusakan lebih dari 67,64 juta Ha yang terdiri atas 39,12 juta Ha dalam kawasan hutan dan 28,52 juta Ha di luar kawasan hutan.
1
Baplan Departemen Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
5
Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Kalimantan Tengah
Berdasarkan data spatial lahan kritis, diketahui bahwa luas hutan dan lahan kritis di Provinsi Kalimantan Tengah mencapai 4.775.332,18 hektar, yaitu dengan rincian sebagai berikut: Tabel 2 : Luas Wilayah dan Lahan Kritis di Prov. Kalimantan Tengah No
Kabupaten/Kota
Jumlah Lahan Kritis (Ha)
1
Gunung Mas
1.025.616,26
411.233,85
2
Kapuas
1.607.869,74
596.727,33
3
Katingan
1.969.052,24
578.546,86
4
Kota Palangkaraya
243.054,45
90.419,53
5
Kotawaringin Barat
949.826,85
302.467,53
6
Kotawaringin Timur
1.548.322,59
973.295,36
7
Lamandau
617.479,59
288.633,01
8
Pulang Pisau
1.011.870,26
482.967,14
9
Seruyan
1.631.951,94
891.946,83
10
Sukamara
335.110,95
159.094,74
10.940.154,88
4.775.332,18
Jumlah
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan
Luas Wilayah (Ha)
Prosentase (%) 37,20 40,10 47,73 37,11 29,38 62,86 54,66 31,84 47,48 46,74 43,65
Kerusakan hutan dan lahan merupakan masalah yang serius yang jika tidak ditangani dengan baik dan serius akan menimbulkan dampak yang besar bagi perekonomian dan lingkungan. Kerusakan hutan dan lahan pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab baik yang disebabkan oleh ulah manusia dan alam. Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Penebangan hutan (produksi hutan) tanpa upaya rehabilitasi yang optimal. Pemberian Ijin Hak Pengusahaan Hutan kepada perusahaan-perusahaan mendorong kegiatan pemanfaatan potensi hutan seperti kayu. Pemberian ijin pengusahaan hutan ini seyogyanya diikuti juga dengan upaya rehabilitasi atau upaya-upaya lainnya yang menjamin kelestarian hutan di wilayah ijin pengusahaan hutan. Ketimpangan antara upaya pelestarian dan produksi telah meningkatkan pengundulan dan kerusakan hutan. Tabel 3 : Jatah Produksi Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam Tahun 2003 – 2005 No.
Tahun Produksi
Jatah Produksi (M3)
1.
2003
6,892,000
2.
2004
5,743,759
3. 2005 Jumlah
5,456,470 18,092,229
Sumber : SK Dirjen BPK No. 02/Kpts/VI-PHA/2003, No. 47/Kpts/VI-PH/2003 dan No 195/VI-BPHA/2004
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
6
Lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberikan andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal kriteria Departemen Kehutanan mengenai Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sebenarnya sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang telah dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. “tapi di lapangan, kriteria itu tidak berjalan akibat lemahnya pengawasan,” kata Soekotjo 2. 2. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan/atau lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan/atau hasil hutan. Kebakaran hutan ini telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar. Kebakaran hutan dan lahan terjadi baik karena ulah manusia maupun karena faktor alam. Kebakaran hutan dapat disebabkan karena ulah masyarakat dan atau pengusaha yang membutuhkan lahan untuk areal pemukiman dan atau pertanian/perkebunan. Masyarakat dan pengusaha membuka lahan atau melakukan pembersihan lahan (land clearing) dengan cara membakar lahan yang berpotensi merusak lingkungan, menambah kerusakan hutan dan mencemari udara. Selain karena pembukaan hutan, kebakaran hutan juga disebabkan oleh ulah manusia yang membakar sampah dan membuang puntung rokok sembarangan di areal hutan dan lahan serta kondisi lahan yang terbuka sehingga memudahkan terjadinya kebakaran pada waktu musim kemarau yang sangat panas dan lama. Kebakaran hutan dan lahan karena musim kemarau yang sangat panjang dan panas ini banyak terjadi di daerah gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Doktor Soekotjo, kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1997, membuat Hampir 70% hutan terbakar. 3 3. Illegal Logging Penjarahan hutan masih tetap berlaku dan terus berlangsung hingga sekarang. Illegal logging terjadi antara lain karena adanya ketimpangan pasokan dan permintaan, lemahnya penegakan hukum, dan masalah kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Illegal logging meningkatkan proses pengundulan dan kerusakan hutan.
2 3
Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia. Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
7
Tabel 4 : Perbandingan antara pasokan dan kebutuhan kayu tahun 1999 Kebutuhan dan Produksi Kayu
Volume (Juta M3)
Kebutuhan Kayu Bulat (1999) a.
Industri Terkait HPH
41,09
b.
Industri tidak Terkait HPH
17,15
Total Kebutuhan per tahun
58,24
Produksi Kayu Bulat (1995 – 1999) Produksi Rata-rata pertahun
25,36
Kesenjangan produksi dan kebutuhan
32,88
Sumber : Rencana Strategis Departemen Kehutanan dan Perkebunan 2001-2005 (Pusat Data dan Perpetaan, Baplan, tahun 2000)
Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Lantaran hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar. 4. Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk mendorong munculnya kebutuhan akan lahan untuk areal pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kebutuhan akan sumber pangan dan bahan baku industri (CPO dan komoditi lainnya) meningkatkan peralihan fungsi hutan menjadi lahan-lahan non kehutanan. Hal inilah yang meningkatkan jumlah pengundulan hutan dan kerusakan hutan dan lahan. Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan
Kerusakan hutan dan lahan akan mengakibatkan antara lain: 1. Rusaknya fungsi konservasi dari hutan telah menimbulkan punahnya keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Harimau Sumatera dan Orangutan di Kalimantan Tengah telah menjadi spesies yang paling langka di dunia. 2. Rusaknya Fungsi Lindung dari hutan telah mengakibatkan : a. Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau; b. Terjadinya arus permukaan tanah (run-off) pada waktu musim hujan yang dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Bencana ekologi tersebut telah menimbulkan kerugian nasional yang besar berupa kerusakan infrastruktur, berbagai aset pembangunan serta terganggunya tata kehidupan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
8
masyarakat yang pada akhirnya akan menyebabkan kemiskinan masyarakat.
c.
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
3. Rusaknya fungsi produksi dari hutan telah menurunkan kesuburan tanah yang mengakibatkan turunnya produktivitas lahan dan produksi pertanian menyebabkan turunnya kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Khusus untuk kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan hutan dan lahan akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor. Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan menjadi kurang optimal. Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis
Pemerintah telah berupaya untuk menghutankan kembali lahan kritis dengan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan/RKL (reboisasi/penghijauan) yang meliputi antara lain: 1. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) yang pembiayaannya berasal dari Dana Bagian Anggaran 69 APBN. 2. Program lain yang diupayakan oleh Pemerintah Daerah seperti Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) APBD.
Pembiayaan RHL
Pembiayaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperoleh dari Dana Reboisasi yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang Berupa Kayu untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. Dana Reboisasi tersebut di setorkan ke Bendaharawan Penerimaan DR di Departemen Kehutanan oleh Para Pemegang Ijin yang selanjutnya akan disetorkan ke rekening Pemerintah Pusat Khusus Dana Reboisasi. Berdasarkan jumlah yang diperoleh, Pemerintah Pusat membagi DR tersebut 60% menjadi bagian Pemerintah Pusat dan 40% menjadi bagian Daerah Penghasil. Pemerintah pusat menggunakan DR bagian 60% tersebut antara lain untuk melaksanakan kegiatan GN-RHL. Sedangkan bagian DR untuk daerah penghasil sebanyak 40% disalurkan dengan cara atau mekanisme DAK-DR/DBH DR.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)
Pemerintah perlu melakukan kegiatan rehabilitasi untuk dapat mencegah laju pertambahan luas hutan dan lahan kritis tersebut. Sampai dengan tahun 2003, pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan skema keproyekan. Namun kegiatan RHL tersebut selalu menghadapi kendala, baik ketidaktersediaan dana yang cukup maupun kendala teknis dan sosial. Hal tersebut yang mengakibatkan pemerintah, sejak tahun 2003 melakukan perubahan skema RHL dengan menggunakan skema Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GNRHL melibatkan seluruh stakeholders kehutanan di berbagai jenjang pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan mencakup kawasan hutan dan lahan di seluruh Indonesia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
9
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No. 09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No. 16/M.Ekon/03/2003, No. Kep. 08/Menko/Polkam/III/2003, tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (TKPLRRN), Pemerintah telah membentuk TKPLRRN yang akan melaksanakan GN-RHL. Berdasarkan Lampiran Keputusan Menko Kesra/Ketua TKPLRRN No. 18/Kep/MENKO/KESRA/X/2003 sasaran rehabilitasi hutan dan lahan 5 tahun (2003 – 2007) dari GN-RHL adalah seperti di tabel berikut : Tabel 5 : Sasaran Rehabilitasi Hutan dan Lahan 5 tahun
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Total
Area Target (Ha) 300.000 500.000 600.000 700.000 900.000 3.000.000
Prosentase (%) 10,00% 16,67% 20,00% 23,33% 30,00% 100,00%
GN-RHL ini dibiayai dari APBN dan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehingga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Sasaran program dan luas GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Sasaran Program. a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. c.
Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL.
d.
Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL.
2. Sasaran Luas. Sasaran luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
10
Ruang Lingkup kegiatan dan wilayah GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Lingkup Kegiatan. Ruang lingkup kegiatan GN-RHL ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu : a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan adalah meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum. b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi adalah meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dam penahan, gully plug, pembuatan teras (terasering), sumur resapan, grass barrier, dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan. 2. Lingkup Wilayah. Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani. Rencana lokasi dan luas sasaran disusun berdasarkan kriteria fisik dengan sistem skor dan pertimbangan manajemen daerah, yaitu : 1. Kriteria Fisik : a. DAS Prioritas (SK Menhut No. 284 tahun 1999). b. Indikasi Hutan dan Lahan yang perlu direhabilitasi. c.
Daerah rawan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan.
d. Bangunan vital (waduk/bendung/danau) yang perlu dilindungi. e. Khusus
untuk
rehabilitasi
hutan
mangrove
dan
hutan
pantai,
mempertimbangkan kriteria kerusakan hutan mangrove dan hutan pantai serta kerawanan bencana abrasi atau tsunami. 2. Syarat : Kriteria fisik tersebut harus dimasukkan kedalam Rencana Teknik Tahunan yang disusun oleh Dinas/Instansi Kehutanan Pusat/ Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah. 3. Pertimbangan Manajemen a. Kinerja RHL Daerah; b. Kelembagaan dan Komitmen di Daerah; c.
Sumberdana RHL lainnya di daerah.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
11
4. Pertimbangan khusus bagi Daerah Kabupaten tertinggal. Rencana lokasi memperhatikan saran pertimbangan inter-departemen yaitu Departemen Pekerjaan Umum/Kimpraswil, Kelautan dan Perikanan, Pertanian. Alokasi indikator tahunan (pulau/provinsi) secara nasional di dasarkan atas proporsi luas areal indikatif hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP-DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (20032007), dengan mempertimbangkan kriteria rencana lokasi pusat dan kondisi terakhir lahan kritis DAS. Mengacu kepada rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan RTT Kabupaten/Kota disusun berdasarkan pada nilai skor kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi dengan memperHatikan sasaran GN-RHL/Gerhan nasional tahun yang bersangkutan. Dalam menentukan alokasi sasaran (jenis kegiatan & volume) mempertimbangkan : a. Kinerja pelaksanaan GN-RHL tahun sebelumnya. b. Kelembagaan dan komitmen daerah. c.
Sumber dana lainnya (Bagi Hasil/DAK-DR) dan,
d. Pertimbangan khusus daerah Kabupaten/Kota tertinggal yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Sistem Perencanaan GN-RHL berdasarkan Pedoman Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2005 adalah mengacu kepada kaidah teknis perencanaan RHL, dengan hirarkhi yaitu Pola Umum, Rencana Teknis RHL Lima Tahun, Rencana Teknik Tahunan (RTT) serta Rancangan Teknis Kegiatan. Gambar 3 : Hirarkhi Perencanaan GN-RHL
Anggaran GNRHL di Kalimantan Tengah
Pola Umum RHL
Rencana RHL 5 Tahun
Rencana Teknik Tahunan (RTT)
Ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan Kep No. 20/Menhut-V/2000
Penanganan DAS/Sub DAS, Sasaran Indikatif, Rawan Bencana dan Perlindungan bangunan vital DAS.
Rencana Fisik Pembuatan tanaman dan bangunan konservasi tanah dan air setiap tahun pada satu atau lebih DAS yang berada dalam wilayah Kab/Kota.
Kegiatan RHL dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Bagian Anggaran (BA) 69 yang sebelumnya BA 16 Departemen Keuangan. Jumlah anggaran RHL dan realisasinya dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 di Provinsi Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut: Tabel 6 : Anggaran dan Realisasi GN-RHL Prov. Kalimantan Tengah No
Instansi
1 2
BP-DAS Kahayan Dishut Provinsi Kalteng
Anggaran (Rp) 119.399.856.000,00 10.984.243.000,00
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
Realisasi (Rp) 66.493.278.555,00 740.727.230,00
% 55,69 6,96
12
Realisasi (Rp) 3.395.354.300,00 9.993.601.600,00
15,33 35,58
21.772.185.000,00 19.532.861.000,00
3.692.248.820,00 9.065.583.800,00
16,96 46,61
Total
221.927.224.000,00
93.380.794.305,00
42,08
Instansi
3 4 5 6
Realisasi GNRHL di Kalimantan Tengah
Dishut Kab. Kapuas Dishutbun Kab. Pulang Pisau Dishut Kab. Kotim Dishut Kab. Katingan
Anggaran (Rp) 22.147.765.000,00 28.090.314.000,00
No
Tingkat pencapaian fisik kegiatan RHL yang bersumber dari dana GN-RHL TA 2004 s.d. 2006 di Provinsi Kalimantan Tengah masih rendah sebagaimana dimuat dalam daftar berikut : Tabel 7 : Realisasi GN-RHL No
Satuan Kerja/Provinsi /Kabupaten/Kota
1
Gunung Mas
2
Rencana (Ha) Dalam Luar Kawasan Kawasan
Realisasi (Ha) Dalam Luar Kawasan Kawasan
10.300
6.900
3.025
2.275
Kapuas
6.050
9.075
2.225
3.175
3
Katingan
3.850
4.350
2.150
3.750
4
Kota Palangkaraya
200
990
550
975
5
Kotawaringin Barat
1.350
9.003
3.300
3.575
6
Kotawaringin Timur
1.200
1.175
1.950
1.400
7
Lamandau
6.100
2.570
2.375
975
8
Pulang Pisau
2.400
8.660
3.200
2.375
9
Seruyan
2.600
4.000
0
300
10
Sukamara
9.550
3.420
3.825
1.250
43.600
50.143
22.600
20.050
Jumlah
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
%
Pada tanggal 3 September 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 89 tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Berkaitan dengan keluarnya peraturan baru ini maka terdapat beberapa perbedaan yang signifikan bagi penunjangan keberhasilan program GN-RHL. Perubahan-perubahan tersebut adalah antara lain : 1. Penyelenggaraan Gerhan a. Penyelenggaraan Gerhan berdasarkan prinsip sistem silvikultur dan tahun jamak (multi years). b. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di kawasan hutan yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara kontraktual yang berbasis tahun jamak (multi years) dengan menggerakkan potensi badan usaha nasional dan daerah serta melibatkan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
13
c.
Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di daerah tertentu dalam kawasan hutan dengan mempertimbangkan kondisi tertentu dari aspek keamanan, yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola berbasis tahun jamak (multi years) melalui operasi bakti Tentara Nasional Indonesia.
d. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di luar kawasan hutan yang di biayai APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola yang berbasis tahun jamak (multi years) melalui SPKS dengan kelompok tani dengan menggerakkan potensi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pembiayaan untuk menyelenggarakan Gerhan bersumber pada APBN dan APBD, Dana Reboisasi dan/atau sumber-sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR)
DR adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Dana ini dapat digunakan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (rehabilitasi). Disamping itu dana ini juga dapat digunakan untuk upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong, alang-alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan (reboisasi). Sebagai upaya untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut pemerintah memungut DR dari pengusaha yang memanfaatkan kayu hutan. DR tersebut akan digunakan oleh Pemerintah Pusat (60%) dan Pemerintah Daerah (40%). Jatah Pemerintah Daerah tersebut dalam kurun waktu sampai dengan 2005 menggunakan mekanisme DAK-DR dan setelah 2005 menggunakan mekanisme DBH. Mekanisme pengalokasian dan penyaluran DR ke daerah penghasil diawali dengan penyampaian usulan alokasi DAK-DR per Provinsi kepada Menteri Keuangan oleh Departemen Kehutanan, sesuai dengan proyeksi penerimaan DR masing-masing provinsi. Atas dasar usulan alokasi tersebut, Menteri Keuangan menetapkan alokasi DAK-DR setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Kehutanan dan Kepala Bappenas. Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan menyampaikan Alokasi DAK-DR tersebut kepada masing-masing Gubernur untuk ditetapkan Alokasi DAK-DR per Kabupaten/Kota. Sebagai dasar kriteria penetapan alokasi oleh Gubernur adalah proyeksi penerimaan DR masing-masing kabupaten/kota, luas hutan rusak dan lahan kritis pada DAS/Sub DAS Prioritas serta tingkat kekritisan ekosistem DAS/Sub DAS dengan mempertimbangkan hubungan hulu dan hilir. Surat Keputusan Gubernur tentang Alokasi DAK-DR per kabupaten disampaikan kepada Menteri Keuangan dhi. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan berikut Nomor Rekening dan Nama Bank yang
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
14
dituju. Selanjutnya Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk memindahbukukan DAK-DR tersebut ke bank yang ditunjuk dengan nomor rekening sesuai SK Gubernur tersebut. DAK-DR di Kalimantan Tengah
Pemerintah sejak tahun 2001 telah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus yang berasal dari 40 % Dana Reboisasi untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan di Kabupaten/Kota (APBD). Provinsi Kalimantan Tengah memperoleh Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 sebesar Rp244.033.577.244,00 dan telah direalisasikan sebagai belanja daerah sebesar Rp139.150.124.354,34 dengan rincian pembagian pada 4 (empat) Kabupaten sebagai berikut : Tabel 8 : DAK-DR No
Kabupaten/Kota
Anggaran (Rp)
Realisasi (Rp)
%
1.
Kapuas
66.250.601.500,00
52.937.139.609,00
79,90
2.
Kotawaringin Timur
58.154.822.000,00
31.072.336.657,00
53,43
3.
Katingan
105.542.851.844,00
46.784.274.138,34
44,33
4.
Pulang Pisau
14.085.302.000,00
8.356.373.950,00
59,33
244.033.577.344,00
139.150.124.354,34
57,02
Jumlah
Pemulihan fungsi hutan dalam program RHL melalui Dana Reboisasi (DR) adalah untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dananya dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Berdasarkan PP No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, DR didistribusikan 40% untuk daerah penghasil berupa Dana Alokasi Khusus DR (DAKDR) dan 60% untuk pemerintah pusat. Penyelenggaraan dan pengelolaan DAK-DR diatur dalam Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR yang merupakan arahan atau pedoman bagi daerah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan kegiatan RHL. Penetapan dan pelaksanaan kegiatan RHL yang dibiayai dari DAK-DR sepenuhnya ditetapkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang menggunakan DAK-DR sepenuhnya dilaksanakan oleh perangkat pemerintah daerah provinsi dan kabupaten yang terkait dengan kehutanan. Perubahan DAK-DR menjadi DBH
Kemudian dengan dikeluarkannya UU No 33 Tahun 2004 dan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan sebagai aturan pelaksanaannya, maka terjadi perubahan dalam pengelompokan PNBP DR dari DAK menjadi DBH SDA sektor Kehutanan. Dalam PP tersebut DBH SDA didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuHan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Untuk PNBP SDA Kehutanan seperti DR, ratio prosentase pembagiannya masih tetap sama yaitu 60% Bagian Pemerintah digunakan untuk RHL secara Nasional dan 40% Bagian Daerah digunakan untuk kegiatan RHL di Kabupaten/Kota Penghasil.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
15
Selanjutnya ketentuan tersebut antara lain menyebutkan bahwa Menteri Kehutanan menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH DR paling lambat 60 Hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan, kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan, dan paling lambat 30 Hari dari setelah diterima, Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH DR. Penghitungan realisasi DBH DR dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah dan penyalurannya dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan DR tahun anggaran berjalan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Sistem Pengendalian Intern RHL
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pada periode 2003 – 2007, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan sumber dana yang berasal dari BA 69, Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) dan sumber dana lainnya dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Masing-masing sumber dana ini mempunyai kegiatan yang berbeda tetapi tetap berkaitan dengan RHL. Kegiatan RHL yang menggunakan sumber dana BA 69 adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL adalah suatu kegiatan terkoordinasi yang mendayagunakan segenap kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai. Mekanisme perencanaan, realisasi dan pelaporan anggaran BA 69 menggunakan mekanisme anggaran pemerintah. Organisasi yang terlibat dalam kegiatan GN-RHL adalah unit-unit kerja Departemen Kehutanan di daerah seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) dan unit-unit teknis kehutanan yang terkait milik Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. BP-DAS mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan bibit secara terpusat bagi keperluan seluruh kegiatan rehabilitasi di wilayah yang menjadi wewenangnya. BP-DAS juga mempunyai fungsi untuk menetapkan hutan dan lahan kritis di wilayah kerjanya yang akan menjadi prioritas kegiatan GN-RHL. Pelaksanaan rehabilitasi lahan di serahkan kepada Unit-unit kerja Kehutanan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan melibatkan kelompok-kelompok tani dan masyarakat. Khusus untuk yang terkait dengan rehabilitasi di kawasan hutan konservasi dilakukan oleh UPT Departemen Kehutanan Balai Konservasi Sumber Daya Hutan (BKSDA) dan untuk kawasan hutan lindung dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Sumber dana RHL lainnya seperti DAK-DR dan Dana Murni APBD mempunyai kegiatan yang serupa dengan BA 69 hanya mekanisme anggarannya menggunakan mekanisme APBD Kabupaten/Kota. Organisasi RHL yang menggunakan sumber dana diluar BA 69 melibatkan sepenuhnya unit-unit kerja milik Pemda Kabupaten/Kota. Khusus untuk DAK-DR penggunaannya dibatasi hanya untuk kegiatan terkait dengan reboisasi lahan di kawasan hutan dan eks hutan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
16
Berdasarkan hasil pemahaman, evaluasi dan review terhadap Sistem Pengendalian Intern Rehabilitasi Hutan dan Lahan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Organisasi RHL
Kegiatan RHL melibatkan beberapa instansi yakni Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten/Kota, badan usaha milik pemerintah/swasta dan masyarakat. Tugas dari masing-masing instansi pemerintah tersebut antara lain: 1. Departemen Kehutanan: Koordinasi, kebijakan, perencanaan, latihan dan penyuluhan, kehumasan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan. 2. UPT Departemen Kehutanan di daerah (BP-DAS, BPTH, BKSDA, BTN): Koordinasi, penyediaan bibit, informasi teknis, dan monitoring dan evaluasi, khusus BKSDA dan BTN termasuk juga penyediaan bibit dan penanaman pada kegiatan reboisasi. 3. Pemerintah Daerah c.q Dinas Kehutanan: Tim pelaksana RHL diketuai oleh Bupati dengan wilayah kerja meliputi kawasan hutan dan luar kawasan hutan. Lingkup tugas Tim Pelaksana meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan dan konservasi tanah. 4. Lembaga Penilai Independen (LPI) Tim Penilai Bibit ditunjuk oleh Kepala BP-DAS sedangkan Tim Penilai Tanaman ditunjuk oleh Kepala Dinas Kehutanan setempat. Dalam melaksanakan penilaian kinerja RHL, Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan perguruan tinggi yang telah mempunyai badan usaha atau konsultan penilai. Pelaksanaan RHL melibatkan organisasi pemerintah pusat dan daerah tersebut cenderung mempersulit untuk melakukan koordinasi pelaksanaan RHL di lapangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan kegiatan-kegiatan RHL yang menjadi tidak efektif dan boros karena tidak adanya koordinasi dalam pencairan anggaran, pengadaan bibit dan penentuan calon lokasi rehabilitasi.
Anggaran RHL
Anggaran RHL terdiri dari BA 69, DAK-DR dan Sumber Dana lainnya. Masing-masing anggaran ini mempunyai mekanisme anggaran yang berbeda, BA 69 menggunakan mekanisme APBN dan Sumber Dana Lainnya menggunakan mekanisme APBD. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan banyaknya kegagalan penanaman rehabilitasi hutan dan lahan karena terlambatnya proses pencairan anggaran khususnya yang terkait dengan BA 69 dan pengadaan bibit yang terkesan terburu-buru sehingga berpotensi meningkatkan risiko ketidaksesuaian pemilihan jenis bibit. Khusus untuk DAK-DR masih ditemukan penyerapan anggaran yang rendah.
Kebijakan
Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah pusat untuk GN-RHL dan Pemerintah Daerah untuk RHL yang menggunakan sumber dana DAKDR. Pemerintah pusat membuat berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
17
kegiatan GN-RHL dengan mengacu kepada UU No. 5 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 41 tahun 1999, PP No. 68 tahun 1998, PP No. 25 tahun 2000, PP No. 34 tahun 2002, PP No. 35 tahun 2002, Keppres RI No. 102 tahun 2001, Keppres RI No. 228 tahun 2001. Keppres RI No.80 Tahun 2003 dan SKB Menteri Koordinator Kesra, Menko Perekonomian dan Keuangan dan Menko Bidang Politik dan Keamanan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan permasalahan terkait dengan lemahnya kebijakan terkait dengan penentuan lahan dan hutan yang akan di rehabilitasi. Pengalihan fungsi areal yang telah direhabilitasi menjadi areal perkebunan dan areal lainnya. Di samping hal di atas, ditemukan juga kelemahan kebijakan pelaksana dilapangan terkait dengan pemilihan bibit yang lebih memperioritaskan keinginan kelompok tani dan atau masyarakat tanpa memperhatikan ekosistem dan ekologis wilayah. Pemerintah juga cenderung kurang melakukan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga masih ditemukan masyarakat yang memilih bibit murni hanya untuk kebutuhan jangka pendek (ekonomi) tanpa memperhatikan aspek ekologis dan kesinambungan daya dukung lingkungan. Perencanaan
Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan mengarah pada tujuan untuk memulihkan hutan dan lahan dalam rangka perbaikan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan mendasarkan pada masing-masing kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya penyusunan rencana RHL dilaksanakan secara terpadu dari atas dan dari bawah (top down and bottom up planning). Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP-DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003 – 2007). Mengacu kepada Rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Kabupaten/kota disusun berdasarkan kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi. Dengan mendasarkan pada RTT, disusun Rancangan Teknis Kegiatan (Rantek) yang memuat kegiatan teknis secara rinci (bestek) dari setiap komponen pekerjaan yang meliputi rancangan pekerjaan fisik, anggaran dan tata waktu. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perencanaan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para penanggungjawab dan pelaksana kegiatan RHL, yaitu Rencana RHL 5 (Lima) Tahun yang merupakan acuan untuk menyusun Rencana Teknik Tahunan (RTT) belum disusun oleh BP-DAS Kahayan. Sebagai gantinya BPDAS Kahayan menggunakan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Prov. Kalteng, RTT tahun 2005 dan 2006 belum ditandatangani oleh Dinas Kehutanan Kab./Kota di Provinsi Kalimantan Tengah serta Rancangan Teknis Kegiatan Kabupaten Kapuas belum ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan Kapuas dan belum dinilai oleh Kepala BP-DAS Kahayan.
Prosedur Kerja
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan GN-RHL, Menteri Kehutanan telah menerbitkan pedoman teknis dan petunjuk pelaksanaan, antara lain:
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
18
1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V//2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GN-RHL tahun 2004; 2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2005; 3. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.81/Menhut-V/2006 tentang Penyelenggaraan Dan Sasaran Kegiatan GN-RHL Tahun 2006; 4. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiata GN-RHL Tahun 2007. Dalam pedoman dan petunjuk pelaksanaan tersebut telah diatur mengenai pelaksanaan penyediaan bibit, pembuatan tanaman reboisasi hutan lindung dan hutan produksi, pembuatan tanaman hutan rakyat, pembuatan tanaman penghijauan kota, pembuatan tanaman turus jalan dan pembuatan bangunan konservasi tanah serta pelaksanaan penilaian kinerja kegiatan GN-RHL. Dalam pelaksanaannya prosedur tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para pelaksana kegiatan hal ini masih terlihat antara lain : pemilihan bibit dengan kualitas rendah (tidak bersertifikat); kurangnya pemahaman prosedur dan pengawasan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten terhadap penyerahan bibit kepada kelompok tani; pemeliharaan tahun berjalan kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat yang terlambat dilaksanakan; tidak berhasilnya penanaman turus jalan; terdapat perbedaan harga satuan pekerjaan pembuatan tanaman hutan rakyat dan belum adanya penilaian kinerja kegiatan GN-RHL oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
19
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA Pemantauan Tindak Lanjut
BPK-RI selama periode tahun 2003 s.d 2006 belum melakukan pemeriksaan atas Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di Provinsi Kalimantan Tengah maupun kegiatan RHL di Kabupaten/Kota se-provinsi Kalimantan Tengah yang dananya bersumber dari APBN atau APBD.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
20
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN
Ketidakselarasan TGHK dan RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah Mempersulit Penentuan Sasaran Lokasi Kegiatan RHL
Sebagai upaya untuk mencegah menurunnya kualitas lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dapat meningkatkan resiko terjadinya bencana banjir, tanah longsor, kekeringan dan lain-lain, maka pemerintah melaksanakan kegiatan GNRHL. Kegiatan GN-RHL ini difokuskan pada hutan dan lahan kritis yang secara signifikan akan mempengaruhi kualitas DAS. Luas hutan dan lahan kritis di wilayah kerja Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Kahayan adalah seluas 4.775.332,18 Ha atau 43,65 % dari luas wilayah kerja seluas 10.940.154,88 Ha yang meliputi wilayah di 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Adapun rincian luas lahan kritis wilayah kerja BP DAS Kahayan berdasarkan fungsi kawasan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) untuk masing-masing Kabupaten adalah sebagai berikut : No
Kabupaten/Kota
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Palangkaraya Gunung Mas Pulang Pisau Kapuas Katingan Kotawaringin Timur Seruyan Kotawaringin Barat Sukamara Lamandau Jumlah
Dalam Kawasan Hutan (ha) 90.419,53 411.233,85 481.201,40 590.329,05 578.546,86 973.295,36 891.946,83 301.354,73 159.067,62 288.633,01 4.766.028,24
Luar Kawasan Hutan (ha) 1.765,74 6.398,28 1.112,80 27,12 9.303,94
Total (ha) 90.419,53 411.233,85 482.967,14 596.727,33 578.546,86 973.295,36 891.946,83 302.467,53 159.094,74 288.633,01 4.775.332,18
Luas lahan kritis tersebut di atas adalah merupakan sasaran lokasi untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, namun berdasarkan Perda No. 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah, ternyata sebagian lahan kritis di wilayah kerja BP-DAS Kahayan tersebut di atas atau seluas 2.247.660 Ha berada pada Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lainnya (KPPL), yaitu antara lain sebagai berikut : No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kabupaten/Kota Palangkaraya Gunung Mas Pulang Pisau Kapuas Katingan Kotim Seruyan Kobar
Tingkat Kekritisan Lahan (Ha) Sangat Agak Kritis Kritis Kritis 37.420,40 6.194,16 74.392,21 120.548,96 21.842,44 195.525,43 15.800,65 73,39 213.297,93 103.895,94 12.983,88 105.960,88 74.109,50 3.832,40 274.731,29 333.290,78 24.727,80 131.832,89 154.516,76 10.100,54 77.174,41 39.072,35 4.258,08
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
Jumlah (Ha) 43.614,56 216.783,61 211.399,47 330.177,76 183.902,78 632.749,88 296.450,19 120.504,83
21
9. 10.
Sukamara Lamandau Jumlah
47.810,62 60.480,22 1.218.626,27
30.632,30 56.797,08 934.858,48
3.960,99 12.395,73 94.175,25
82.403,91 129.673,02 2.247.660,01
Pemanfaatan KPP dan KPPL digunakan untuk kawasan budi daya non kehutanan yang sebagian besar peruntukannya dimanfaatkan untuk bidang perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian akan menyulitkan pihak BP-DAS dalam menentukan sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis, khususnya pada lahan kritis DAS prioritas yang masuk KPP dan KPPL. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/MenhutV/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL lampiran 1 Bagian Kesatu pedoman penyusunan rencana GNRHL Bab II poin 2.b sasaran areal rehabilitasi hutan dan lahan ditentukan menurut kriteria : 1.
Urutan prioritas penanganan DAS/Sub DAS yang dapat ditentukan dari tingkat kekritisan DAS setempat;
2.
Sasaran indikatif rehabilitasi hutan dan lahan, diindikasikan dari penutupan lahan hasil interpretasi satelit dan data lahan kritis (data spatial lahan kritis) yang diverifikasi dengan pengecekan lapangan untuk akurasi sesuai kondisi aktual
Keadaan tersebut mengakibatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis DAS di kawasan KPP dan KPPL akan sulit dilakukan, sehingga berpotensi semakin menurunkan kualitas DAS dan meningkatkan resiko terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan, yang terjadi karena : 1. Koordinasi antara pihak BP-DAS Kahayan dan Pemda Provinsi/kabupaten dalam menentukan calon lokasi kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan masih lemah; 2. Belum adanya penetapan penunjukan kawasan hutan sebagai hasil paduserasi antara Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan RTRWP Prov. Kalimantan Tengah sebagai salah satu pedoman dan acuan untuk menentukan sasaran lokasi kegiatan RHL; Atas masalah tersebut Kepala BP-DAS Kahayan menyatakan bahwa penanganan lahan kritis pada KPP dan KPPL pada prinsipnya tetap dilakukan rehabilitasi sesuai peraturan dan pedoman yang berlaku. Penyusunan data spasial lahan kritis BP-DAS Kahayan tahun 2004 dilakukan berdasarkan peraturan Dirjen RLPS No. SK.167/VSET/2004 tanggal 22 September 2004 dan RTRWP Kalimantan Tengah (Perda No. 8 Tahun 2003). Perkembangan saat ini Departemen Kehutanan tidak bisa menggunakan RTRWP Kalteng karena belum melalui proses paduserasi dengan peta TGHK, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tetap mengacu pada TGHK. Untuk dapat melaksanakan RHL dengan baik, maka perlu segera diselesaikan Peta
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
22
Rencana RHL 5 Tahun berdasarkan fasilitas penataan ruang yang clear and clean. Sesuai Surat Sekretaris Ditjen RLPS No. S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar berkoordinasi dengan Gubernur Kalimantan Tengah untuk mempercepat penetapan penunjukan kawasan hutan wilayah Provinsi Kalimantan Tengah hasil pemaduserasian TGHK dengan RTRWP sesuai dengan ketentuan. Penyusunan Rencana Kegiatan GN-RHL Provinsi Kalimantan Tengah Tidak Efektif Untuk Mencapai Tujuan GN-RHL
Salah satu tujuan dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan adalah memperbaiki kualitas lingkungan DAS. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu disusun perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan yang mengacu pada kaidah teknis perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dengan tahapan yaitu Penyusunan Pola Umum, Rencana RHL 5 (lima) tahun, Rencana Teknik Tahunan (RTT) serta Rancangan Teknis Kegiatan. Rencana RHL 5 (lima) tahun disusun berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP-DAS, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003 – 2007). Mengacu kepada Rencana RHL 5 (lima) tahun tersebut, sasaran kegiatan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Kabupaten/Kota disusun berdasarkan kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi Kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi. Dengan mendasarkan pada RTT tersebut, disusun Rancangan Teknis Kegiatan (Rantek) yang memuat kegiatan teknis secara rinci (bestek) dari setiap komponen pekerjaan yang meliputi rancangan pekerjaan fisik, anggaran dan tata waktu. Berdasarkan pemeriksaan atas dokumen perencanaan GN-RHL Prov. Kalimantan Tengah diketahui beberapa hal sebagai berikut : 1. Rencana Rehabilitasi Hutan dan lahan (RHL) 5 (lima) Tahun yang merupakan acuan untuk menyusun Rencana Teknik Tahunan (RTT) belum dibuat oleh BPDAS Kahayan. Sebagai gantinya BP-DAS Kahayan menggunakan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Prov. Kalteng, namun Master Plan tersebut juga belum dapat dipakai sebagai acuan dalam menyusun RTT, hal ini karena target yang terdapat dalam Master Plan untuk 5 tahun Hanya sebesar 34.164 Ha lebih kecil dari pada target GN-RHL untuk satu tahun yaitu tahun 2005 sebesar 40.900 Ha; 2. Rencana Teknik Tahunan 2004 tidak dibuat; 3. Rencana Teknik Tahunan 2005 dan 2006 belum ditandatangani oleh Dinas Kehutanan Kab./Kota di Provinsi Kalimantan Tengah.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
23
Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MenhutV/2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan GN-RHL Lampiran I Bagian Kesatu Pedoman Penyusunan Rancangan GN-RHL : 1. Bab I antara lain menyebutkan bahwa agar kegiatan GN-RHL dapat mencapai sasaran sesuai dengan tujuan, maka diperlukan rencana teknis sebagai panduan dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan. Perencanaan teknis GN-RHL mengacu pada Rencana RHL 5 Tahun, Rencana Teknik Tahunan (RTT) dan Rancangan Kegiatan; 2. Bab II Poin B.1 Rencana Teknik Tahunan Kegiatan GN-RHL disusun dan dipersiapkan oleh Kepala Dinas yang mengurusi kehutanan Kab/kota setempat mengacu kepada Rencana RHL 5 tahun DAS. Keadaan tersebut mengakibatkan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kurang dapat meningkatkan kualitas Daerah Aliran Sungai secara optimal, karena : 1. Lemahnya koordinasi antara UPT Departemen Kehutanan di daerah (dhi. BPDAS) sebagai pelaksana kegiatan GN-RHL dengan Pemerintah Provinsi/Kabupaten sebagai pelaksana RHL; 2. BP-DAS Kahayan sebagai penanggung jawab kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di wilayah kerjanya belum sepenuhnya mempunyai arah dan strategi yang jelas dalam melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan. Atas masalah tersebut Kepala BP-DAS Kahayan Prov. Kalteng menyatakan bahwa Rencana RHL 5 (lima) tahun (2003 s.d 2008) belum dilaksanakan karena saat itu telah disusun Masterplan Reboisasi dan Rehabilitasi Hutan Prov. Kalteng yang disusun pada tahun 2001 dengan tujuan sebagai arahan rehabilitasi selama 5 tahun (2002 – 2006). Pada tahun 2007 telah tersedia Anggaran untuk menyusun RHL 5 tahun wilayah kerja BP-DAS Kahayan Prov. Kalteng (periode 2008 -2012). Sesuai Surat Sekretaris Ditjen RLPS No. S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar memerintahkan Dirjen RLPS supaya mengintruksikan Kepala BP-DAS Kahayan Prov. Kalteng menyusun Rencana Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) 5 tahun yang dapat diterima oleh Pemda Kalimantan Tengah dan lebih meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi/Kabupaten dalam pelaksanaan GN-RHL. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Belum
Penilaian Kinerja adalah untuk memperoleh informasi hasil kerja secara menyeluruh pelaksanaan kegiatan GN-RHL pada setiap tahapan penyelenggaraan kegiatan. Penilaian Kinerja pelaksanaan kegiatan GN-RHL kabupaten/kota dilaksanakan oleh
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
24
Menetapkan Lembaga Penilai Independen/ Penyediaan Jasa Konsultansi Untuk Melaksanakan Penilaian Kinerja
Pemerintah Daerah dhi. Dinas Kehutanan Provinsi dengan menetapkan Lembaga Penilai Independen (LPI) dari Perguruan Tinggi yang telah mempunyai badan usaha dan atau konsultan penilai. Salah satu kegiatan penilaian kinerja adalah penilaian terhadap keberhasilan prosentase tumbuh tanaman, meliputi tanaman reboisasi, tanaman hutan rakyat dan tanaman penghijauan. Penilaian bertujuan untuk pengendalian, pembinaan serta menentukan rencana kegiatan pemeliharaan pada tahun berikutnya, yaitu pemeliharaan tahun pertama dilakukan jika hasil penilaian keberhasilan prosentase tumbuh tanaman setelah sulaman tahun berjalan mencapai ≥ 55%, dan pemeliharaan tahun kedua dilakukan bila prosentase tumbuh tanaman pemeliharaan tahun pertama ≥ 55 %. Berdasarkan pemeriksaan atas kegiatan GN-RHL yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, diketahui bahwa sampai dengan berakhirnya pemeriksaan tanggal 27 September 2007, ternyata Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah belum menetapkan Lembaga Penilaian Independen (LPI)/Penyediaan Jasa Konsultansi untuk melakukan penilaian kinerja atas pelaksanaan pembuatan tanaman hutan rakyat, reboisasi dan penghijauan di wilayah Kab/Kota pada Provinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Bagian Anggaran 69 tahun 2006, diketahui bahwa Dinas Kehutanan Prov. Kalimantan Tengah mendapat anggaran sebesar Rp3.439.455.000,00, yang antara lain kegiatannya adalah penilaian kinerja kegiatan GN-RHL tahun 2005/2006 Provinsi Kalteng seluas 40.900 Ha sebesar Rp1.840.000.000,00. Namun sampai dengan Desember 2006, kegiatan penilaian kinerja yang di dalamnya termasuk penilaian tanaman belum dilaksanakan. Hasil uji petik pemeriksaan fisik secara orientasi oleh Tim BPK-RI pada tanggal 26 September 2007 atas kegiatan GN-RHL di Kabupaten Katingan pada pembuatan tanaman hutan kota diketahui bahwa tanaman yang hidup relatif rendah, lokasi tanaman kurang terawat dan telah banyak ditumbuhi semak belukar sehingga menutupi tanaman pokok. Menurut penjelasan Kepala Dinas Kehutanan Kab. Katingan diakui bahwa setelah kegiatan penanaman selesai tidak dilaksanakan kegiatan pemeliharaan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan karena belum ada hasil LPI dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, sehingga lokasi hutan kota yang sudah dilaksanakan kegiatan penanamannya menjadi kurang terawat. Hal tersebut tidak sesuai dengan : 1. Lampiran II Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V/2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Kinerja Kegiatan GN-RHL menyatakan bahwa pelaksana penilai kegiatan pembuatan tanaman reboisasi, pembuatan hutan rakyat dan pembuatan tanaman penghijauan kota adalah
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
25
Pemerintah Daerah Provinsi dhi. Dinas Kehutanan Provinsi dengan meminta bantuan perguruan tinggi yang telah mempunyai badan usaha; 2. SK Menteri Kehutanan No. SK.37/Menhut-V/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian tanaman dan Bangunan Konservasi Tanah serta Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan GN-RHL Bab II B menyatakan bahwa penilaian pembuatan tanaman meliputi penilaian realisasi dan keberhasilan tanaman reboisasi, hutan rakyat dan turus jalan. Penilaian bertujuan untuk pengendalian, pembinaan serta menentukan rencana kegiatan pemeliharaan pada tahun berikutnya. Keadaan tersebut mengakibatkan : 1. Pemeliharaan tahun pertama dan kedua tanaman hutan rakyat dan reboisasi hutan produksi dan hutan lindung belum bisa dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kab/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah; 2. Potensi keberhasilan pembuatan tanaman hutan rakyat dan reboisasi hutan produksi dan hutan lindung yang telah dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kab/Kota di Kalimantan Tengah rendah. Hal tersebut terjadi karena Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah lalai melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya dan pengendalian oleh Gubernur Kalimantan Tengah terhadap kegiatan GN-RHL yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah lemah. Atas masalah tersebut pihak Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan bahwa Kegiatan penilaian kinerja GN-RHL di Provinsi Kalimantan Tengah terdiri dari 2 kegiatan yaitu : -
Penilaian Kinerja GN-RHL tahun 2004/2005, yang pada tahun anggaran 2005 belum dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah dan Tahun Anggaran 2007 tidak tersedia anggaran untuk kegiatan tersebut;
-
Penilaian kinerja GN-RHL tahun 2005/2006, pada tahun anggaran 2006 belum dilaksanakan dan pada tahun 2007 Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah baru melakukan proses lelang untuk menetapkan Lembaga Penilai Independen (LPI)/Penyedia Jasa Konsultansi sebagai pelaksana dalam kegiatan Penilaian Kinerja GN-RHL tahun 2005/2006.
BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta kepada Gubernur Kalimantan Tengah memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah supaya secepatnya menetapkan Lembaga Penilai Independen (LPI) untuk menilai kinerja kegiatan RHL tahun 2005/2006 sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
26
Penanaman Turus Jalan Yang Dilaksanakan Oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006 Tidak Berhasil
Dalam rangka Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2006 melaksanakan 2 (dua) pekerjaan pengadaan bibit turus jalan, pelindung pagar tanaman untuk pembuatan tanaman turus jalan, antara lain : 1. Pengadaan bibit turus jalan dan pelindung pagar tanaman yang berlokasi antara jalan Negara Palangkaraya – Pulang Pisau dengan panjang jalan 52 km yang dilaksanakan oleh CV. Nurijaya Simpati dengan Surat Perjanjian Kerja No. 522/0/1244/021/IV/2006 tanggal 8 April 2006 dengan nilai kontrak sebesar Rp243.450.000,00. Adapun jumlah bibitnya adalah sebagai berikut : -
Bibit Tanaman Mahoni Bibit Tanaman Bungur Bibit Tanaman Cemara Pelindung/Pagar tanaman
: : : :
7.920 7.480 7.480 20.800
Batang Batang Batang Buah
2. Pengadaan bibit turus jalan dan pelindung pagar tanaman yang berlokasi antara Jalan Negara Palangkaraya – Buntok dengan panjang jalan 48 km yang dilaksanakan oleh CV. Serayu Rafa Perdana dengan Surat Perjanjian Kerja No. 522/0/1245/021/IV/2006 tanggal 8 April 2006 dengan nilai kontrak sebesar Rp225.000.000,00. Adapun jumlah bibitnya adalah : -
Bibit Tanaman Mahoni Bibit Tanaman Bungur Bibit Tanaman Cemara Pelindung/Pagar tanaman Papan nama Kegiatan
: : : : :
7.040 7.040 7.040 19.200 2
Batang Batang Batang Buah Buah
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa : 1. Tingkat keberhasilan penanaman turus jalan menurut hasil survey/orientasi awal Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah yang dilaksanakan pada tanggal 20 September s.d. 25 September 2006 adalah sangat rendah atau sebesar 37 % dengan kondisi tanaman sebagai berikut : a. Jumlah tanaman yang masih hidup pada poros Jalan Palangkaraya – Pulang Pisau masing-masing sebagai berikut : - Bibit Tanaman Mahoni - Bibit Tanaman Bungur - Bibit Tanaman Cemara b. Jumlah tanaman yang masih hidup
: 1.816 Batang : 3.388 Batang : 68 Batang pada poros Jalan Palangka Raya –
Buntok masing-masing sebagai berikut : -
Bibit Tanaman Mahoni Bibit Tanaman Bungur Bibit Tanaman Cemara
: : :
5.940 Batang 3.713 Batang 64 Batang
Pengecekan fisik oleh Tim BPK-RI pada tanggal 1 Oktober 2007 di lokasi Jalan Palangkaraya – Pulang Pisau diketahui bahwa jumlah tanaman yang masih hidup adalah Mahoni sebanyak + 1.138 batang dan tanaman bungur sebanyak
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
27
+ 976 batang sedangkan tanaman cemara tidak ada yang hidup serta pelindung/pagar tanaman sudah hilang atau rusak. Keberhasilan tanaman berdasarkan cek fisik dilapangan untuk lokasi Poros Jalan Palangkaraya – Pulang Pisau hanya mencapai 9,24 %. 2. Perencanaan turus jalan tidak memperhitungkan iklim (curah hujan) dan rencana kerja Dinas PU Provinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan konfirmasi dengan pihak Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, banyaknya tanaman yang mati disebabkan oleh waktu penanaman yang dilakukan bulan Maret s.d April 2006 yang memasuki musim kemarau, dan ada beberapa jenis bibit khususnya bibit cemara yang tidak cocok dengan kondisi agroklimat setempat serta adanya kegiatan pemeliharaan dan pelebaran jalan oleh Dinas Pekerjaan Umum Prov. Kalimantan Tengah yang menggusur tanaman turus jalan. Hal tersebut tidak sesuai dengan : 1.
SK Menteri Kehutanan No. 37/Menhut-V/2004 tanggal 14 Januari 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Tanaman dan Bangunan Konservasi Tanah Lampiran I Bab III.B.2.b. menyebutkan bahwa prosentase tumbuh tanaman adalah prosentase jumlah tanaman yang hidup terhadap jumlah rencana tanaman. Keberhasilan tanaman dinyatakan dalam kategori (91 - 100 %) Sangat baik, (76 – 90 %) Baik, 55 – 75 % Sedang, dan < 55 % Kurang;
2.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman Kegiatan GN-RHL Bagian Kelima Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan (Hutan Kota, Penghijauan Lingkungan dan Turus Jalan) Bab. II Poin C.1.a menyatakan bahwa Lokasi turus jalan ditetapkan
setelah
konsultasi
dan
koordinasi
dengan
Dinas
Kimpraswil/Pekerjaan Umum/Bina Marga Provinsi, serta instansi terkait lainnya untuk memperoleh data/informasi yang digunakan dalam penetapan lokasi sasaran penanaman turus jalan serta sinkronisasi dengan program pembangunan lainnya pada lokasi tersebut. Keadaan tersebut mengakibatkan penggunaan biaya pembuatan tanaman turus jalan sebesar Rp468.450.000,00 tidak efektif dan tujuan pembuatan tanaman turus jalan untuk memperbaiki kualitas lingkungan tidak tercapai, yang terjadi karena : 1.
Pemilihan jenis tanaman untuk turus jalan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah tidak didasarkan pada hasil penelitian kesesuaian dengan agroklimat setempat.
2.
Lemahnya koordinasi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
28
Atas permasalahan tersebut pihak Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan bahwa sebagian tanaman turus jalan yang mati disebabkan antara lain karena kebakaran dan adanya perbaikan/pelebaran badan jalan. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta kepada Gubernur Kalimantan Tengah menegur Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah supaya : 1.
Di masa mendatang dalam menyusun Rancangan Teknis Kegiatan khususnya pemilihan jenis tanaman didasarkan pada hasil penelitian agroklimat;
2.
Melakukan koordinasi dengan Kepala Dinas Provinsi Pekerjaan Umum sebelum melakukan pembuatan tanaman turus jalan.
Pelaksanaan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Di Kab. Kapuas Seluas 225 Ha Tidak Efektif.
Sasaran hutan rakyat adalah terwujudnya tanaman hutan di luar kawasan hutan (lahan milik rakyat) sebagai upaya rehabilitasi lahan tidak produktif (lahan kosong/kritis) yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas lingkungan dengan menanam jenis tanaman kayu-kayuan dan untuk meningkatkan produktifitas lahan dengan menanam jenis multi purpose trees species (MPTS). Komposisi jenis pembuatan tanaman hutan rakyat adalah untuk jenis kayu-kayuan minimal 60% dan MPTS maksimal 40%. Dinas Kehutanan Kab. Kapuas pada tahun 2007 telah membuat Rancangan Teknis Kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat dan melakukan perjanjian kerjasama dengan kelompok tani untuk melaksanakan kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas Rancangan Teknis Kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat dan rekapitulasi jenis bibit yang ditanam oleh kelompok tani diketahui bahwa hutan rakyat seluas 225 Ha semuanya ditanami dengan jenis tanaman MPTS (jenis Karet), yaitu :
1 2 3 4 II. 5 6 III. 7
Lokasi (Kec/Desa) Kec. Basarang Desa Pangakalan Sari Desa Batuah Desa TRG Manuah Desa TBN Raya Kec Selat Kel. P. Kupang Desa Sei Lunuk Kec. KPS Hilir Desa Sei Pasah
IV. 8 V. 9 10 11 12
Kec. Kapuas Barat Desa Saka MangkaHa Kec. Timpah Desa Danau Rawah Desa Danau Rawah Kec. P. Petak Desa Mentangai Hilir
No I.
Luas (Ha)
Jenis
Jumlah bibit
Sambelum Persada Tangiran Berkat Bersama
15 15 15 15
Karet Karet Karet Karet
6.600 6.600 6.600 6.600
Batu Lampang I Karya Abadi
15 15
Karet Karet
6.600 6.600
Kapakat Keluarga Sei Pasah
15
Karet
6.600
Berkat Rahmat
15
Karet
6.600
Rimba Mulia Trisna
15 15
Karet Karet
6.600 6.600
Cempaka
15
Karet
6.600
Nama Kelompok Tani
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
29
13 14 VI. 15
Desa Mentangai Hilir Desa Mentangai Hilir Kec. P. Petak Desa Bunga Mawar Jumlah
Maju Sejahtera Family
15 15
Karet Karet
6.600 6.600
Mawar
15 225
Karet
6.600 99.000
Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/MenhutV/2005 tanggal 1 November 2005 tentang Pedoman Kegiatan GN-RHL Tahun 2005 pada Lampiran I Bagian Ketiga tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat GN-RHL Tahun 2005 dalam Bab II mengenai Penyusunan Rancangan, poin E.2 menyatakan bahwa komposisi jenis tanaman terdiri dari kayu-kayuan termasuk jenis tanaman unggulan lokal minimal 60%, dan MPTS (multi purpose trees species) maksimal 40%; Keadaan tersebut mengakibatkan upaya untuk memperbaiki kualitas lingkungan dengan menanam jenis kayu-kayuan pada hutan rakyat seluas 225 Ha tidak tercapai, karena Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas dalam menyusun Rancangan Teknis tidak mengacu pada ketentuan yang berlaku dan tidak mempertimbangkan aspek ekologis dan lingkungan hidup dalam pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Atas masalah tersebut pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas menyatakan bahwa dalam pelaksanaan di lapangan sulit sekali dilaksanakan oleh para petani karena kegiatan utama petani setelah bertani atau berladang adalah menyadap getah karena nilai jual Getah Karet yang sangat tinggi di pasaran sehingga kebanyakan petani menolak untuk menanam kayu-kayuan yang hasilnya baru bisa dirasakan seteleh 20-30 tahun sedangkan tanaman Karet hasilnya dapat dirasakan dalam 5-8 tahun. Pembagian bibit tanaman mempertimbangkan faktor kesesuaian tempat tumbuh. Sasaran/lokasi penanaman dilihat dalam skop Kabupaten yang tersebar di beberapa Kecamatan, Desa dan Kelompok Tani sehingga kalau lokasi penanaman yang tersebar tersebut disatukan maka akan terbentuk komposisi tanaman yang terdiri dari jenis kayu-kayuan dan MPTS sebesar 60%:40%. Hakekat dibuatnya pembagian proporsi antara Jenis kayu-kayuan dan MPTS adalah di samping meningkatkan produktifitas lahan untuk meningkatkan pendapatan kelompok tani juga untuk memulihkan fungsi dan memperbaiki kualitas lahan. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Kapuas menegur Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas supaya berpedoman pada ketentuan yang berlaku dalam menetapkan komposisi jenis tanaman dalam Rancangan Teknis Kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat sehingga dapat mencapai tujuan sosial ekonomis, ekologis dan lingkungan hidup dari GN-RHL.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
30
Bibit Sebanyak 185.000 Batang Senilai Rp237.300.000,00 Pada Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Tidak Ditanam
Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas pada Tahun 2004 membuat Rancangan Teknis Kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat seluas 500 Ha. Rancangan itu menyebutkan bahwa pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 500 Ha dilakukan oleh 20 kelompok tani, dengan jumlah bibit yang dibutuhkan oleh masing-masing kelompok tani sebanyak 11.000 batang terdiri dari jenis Karet 4.400 batang, Sengon 2.750 batang dan Mahang 3.850 batang termasuk sulaman dengan luas tanam 25 Ha, dengan total bibit sebanyak 220.000 batang. Bibit sebanyak 220.000 batang tersebut di atas telah diterima oleh Dinas Kehutanan Kab. Kapuas berdasarkan berita acara serah terima bibit dari BP-DAS Kahayan ke Dinas Kehutanan Kab. Kapuas, yaitu : -
Pada tanggal 14 Desember 2004 sebanyak 151.005 batang dengan rincian Sengon 21.463 batang, Mahang 52.890 batang dan Karet 76.652 batang;
-
Pada tanggal 29 Juni 2005 sebanyak 68.995 batang dengan rincian Sengon 33.537 batang, maHang 24.110 batang dan Karet 11.348 batang.
Hasil pemeriksaan atas Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) antara Dinas Kehutanan Kab. Kapuas dengan kelompok tani, mengungkapkan bahwa pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 500 Ha tersebut baru dilaksanakan pada tahun 2006. Rentang waktu antara pengadaan bibit dan pelaksanaan penanaman cukup lama (+ 1 tahun), sehingga bibit sudah tidak dapat digunakan lagi dan banyak yang mati. Hal ini dapat dilihat dari jumlah bibit yang diserahkan kepada 20 kelompok tani hanya jenis bibit Karet sebanyak 35.000 batang sesuai berita acara serah terima dari Dinas Kehutanan dengan 20 kelompok tani pada tanggal 12 Mei 2006 yaitu: -
Kecamatan Mantangai bibit Karet sebanyak 15.000 batang pada 10 kelompok tani, masing-masing kelompok tani sebanyak 1.500 batang.
-
Kecamatan Kapuas Murung bibit Karet sebanyak 20.000 batang pada 10 kelompok tani, masing-masing kelompok tani sebanyak 2.000 batang.
Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kapuas menjelaskan bahwa saat bibit diserahkan, Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas masih melakukan tahap perencanaan kegiatan. Sehingga pada saat akan dilaksanakan penanaman pada tahun 2006, kondisi bibit sebagai berikut: No 1 2 3
Kondisi
Mati Sangat Kadaluarsa Kadaluarsa Jumlah
Jumlah 58.731 102.194 59.075 220.000
Dari jumlah bibit yang kadaluwarsa sebesar 59.075 batang, yang dapat disalurkan dan ditanam oleh Kelompok Tani Hanya sebanyak 35.000 batang. Dengan demikian jumlah bibit yang mati atau tidak ditanam sebanyak 185.000 batang yang terdiri dari Karet 53.000 batang, Sengon 55.000 batang dan Mahang
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
31
77.000 batang, dengan rincian sebagai berikut : No 1. 2. 3.
Jenis Bibit Karet Mahang Sengon Jumlah
Serah Terima Bibit BP-DAS Dishut ke Dishut Kapuas ke Kapuas Kel. Tani 88.000 35.000 77.000 55.000 220.000 35.000
Selisih Bibit yg Tidak Ditanam Harga Total Harga Jumlah Satuan (Rp) Bibit (Rp) 53.000 1.800,00 95.400.000,00 77.000 1.200,00 92.400.000,00 55.000 900,00 49.500.000,00 185.000 237.300.000,00
Hal tersebut tidak sesuai dengan : 1.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 Lampiran I Bagian Ketiga Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Bab II poin I menyatakan bahwa Penyusunan rancangan dilaksanakan pada T-1, namun dalam kondisi tertentu dimungkinkan dilaksanakan pada tahun berjalan T-0;
2.
Rancangan Teknis Kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Kabupaten Kapuas menetapkan jumlah bibit yang dibutuhkan sebanyak 11.000 batang terdiri dari jenis Karet 4.400 batang, Sengon 2.750 batang dan MaHang 3.850 batang termasuk sulaman dengan luas tanam 25 Ha, dengan total bibit untuk 20 kelompok tani sebanyak 220.000 batang.
Keadaan tersebut mengakibatkan tujuan pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 500 Ha untuk memperbaiki kualitas lingkungan dengan menanam bibit sebanyak 185.000 batang senilai Rp237.300.000,00 tidak tercapai, terjadi karena Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kapuas lalai tidak segera melaksanakan kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 500 Ha sesuai dengan Rancangan Teknis Kegiatan Hutan Rakyat yang telah dibuat Atas permasalahan tersebut pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas menyatakan bahwa bibit diserahkan mendekati akhir tahun anggaran sehingga kegiatan tidak dapat dilaksanakan karena anggaran harus dikembalikan. Belum semua bibit diserahkan kepada Satuan Kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas karena bibit taHap II baru diserahkan pada tanggal 29 Juni 2005. Mengingat bibit di TPS sudah tinggi dan mengakibatkan penurunan kualitas (kadaluarsa) bibit untuk ditanam, maka tanggal 27 Oktober 2005 Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas menurunkan tim untuk melakukan monitoring dan evaluasi bibit yang ada di TPS. Berdasarkan pemeriksaan di lapangan, dianggap perlu diturunkan Tim Terpadu Dinas Kehutanan Provinsi untuk menilai bibit perihal pemanfaatan bibit Gerhan tahun 2004 dengan membuat Berita Acara Hasil Penilaian Bibit untuk dilaporkan kepada Menteri Kehutanan C.q Direktur Jenderal RLPS untuk mengajukan permohonan penghapusan bibit yang mati dan mengajukan revisi biaya penanaman untuk
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
32
sekarang belum ada jawaban. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Kapuas menegur Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kapuas atas kelalaiannya tidak segera melaksanakan kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 500 Ha dan di masa mendatang lebih meningkatkan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Belum Membuat SPKS Kepada Dua Kelompok Tani Yang Sudah Menerima Bibit
Bupati Kapuas dengan SK No. 888 tanggal 6 Nopember 2006 telah menetapkan sebanyak 125 kelompok tani untuk melaksanakan pembuatan tanaman Hutan Rakyat seluas 1.810 Ha dengan jumlah bibit 803.000 batang. Bibit sebanyak itu disediakan oleh BP-DAS Kahayan dan telah diserahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas melalui Berita Acara Serah Terima tanggal 15, 18, 20 dan 22 November 2006 dengan jenis dan jumlah bibit sesuai tabel berikut ini : No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Bibit Jelutung Belangiran Meranti MaHang GaHaru Rotan Karet Jumlah
Jumlah Bibit (batang) 209.000 110.000 22.000 77.000 110.000 44.000 231.000 803.000
Harga Satuan (Rp) 1.900 1.800 1.690 1.400 1.700 1.800 2.525
Jumlah (Rp) 397.100.000,00 198.000.000,00 37.180.000,00 107.800.000,00 187.000.000,00 79.200.000,00 583.275.000,00 1.589.555.000,00
Berdasarkan pemeriksaan Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) dengan kelompok tani diketahui bahwa dari 125 kelompok tani terdapat 2 kelompok tani, yaitu Kelompok Tani Mawar dan Kelompok Tani Sejahtera belum dibuatkan Surat Perjanjian Kerjasama. Rincian bibit yang seharusnya ditanam berdasarkan surat Keputusan Bupati tersebut adalah : No 1. 2.
Nama Kelompok Tani Sejahtera (Susistianto) Mawar (H. Syamsuri) Jumlah
Lokasi Penanaman Desa Mantangai Kec.Mantangai Desa Bunga Mawar Kec. Pulau Petak
Luas Ha 15 15 30
Jenis Tanaman Jelutung Karet Karet
Jumlah Tanaman 3.960 2.640 6.600 13.200
Bibit tersebut telah diserahterimakan kepada Kelompok Tani Mawar dan Kelompok Tani Sejahtera dengan berita acara serah terima tanggal 7 Desember 2006 dan 3 Januari 2007. Bibit tersebut belum ditanam, dikarenakan Kelompok Tani Mawar menginginkan pemindahan lokasi penanaman ke Desa Panarung Kecamatan Basarang dan berdasarkan BA serah terima bibit tanggal 7 Desember 2006 telah diserahkan di Desa Panarung Kecamatan Basarang, akan tetapi tidak disetujui oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas dikarenakan usulan pemindahan lokasi dari
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
33
Kelompok Tani Mawar terlambat diajukan, sedangkan Kelompok Tani Sejahtera tidak melakukan penanaman dikarenakan Ketua Kelompok Tani Sejahtera yaitu Susistianto pindah rumah. Status bibit yang telah diserahkan kepada ke-2 kelompok tani tersebut tidak diketahui kondisinya, Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan bibit tersebut. Hal tersebut tidak sesuai dengan : 1. Peraturan Menteri Kehutanan P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman Kegiatan GN-RHL Lampiran I Bagian Ketiga Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Bab I poin D menyatakan bahwa Pelaksanaan pembangunan hutan rakyat melalui mekanisme Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS); 2. Surat Keputusan Bupati Kapuas No. 888 tanggal 6 Nopember 2006 menetapkan sebanyak 125 kelompok tani untuk melaksanakan pembuatan tanaman Hutan Rakyat seluas 1.810 Ha Keadaan tersebut mengakibatkan pelaksanaan pembuatan hutan rakyat tidak tercapai dan berpotensi bibit sebanyak 13.200 batang sebesar Rp30.855.000,00 yaitu Karet sebanyak 9.240 batang sebesar Rp23.331.000,00 (9.240 batang x Rp2.525,00/batang) dan Jelutung sebanyak 3.960 batang sebesar Rp7.524.000,00 (3.960 batang x Rp1.900,00/batang) tidak bisa dimanfaatkan, karena Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas lalai tidak membuat SPKS pembuatan tanaman hutan rakyat dengan kedua kelompok tani. Atas masalah tersebut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas menyatakan bahwa akan menurunkan Tim ke lapangan, untuk menginventarisasi kondisi bibit di lapangan. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Kapuas memberikan teguran tertulis atas kelalaian Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kapuas dan diperintahkan untuk memastikan kondisi bibit yang telah diserahkan kepada Kelompok Tani dan membuat SPKS dengan kelompok tani sesuai dengan kondisi bibit yang ada serta meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan penanaman. Bibit Tanaman Kayu-kayuan Jenis Belangiran Sebanyak 2.960 Batang Tidak Ditanam Oleh Kelompok Tani Berkat Baik
Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas pada tahun 2007 melaksanakan kegiatan penyelesaian target penanaman insentif pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 1.810 Ha yang dikerjakan oleh 125 Kelompok Tani. Hasil pemeriksaan atas Surat Perjanjian Kerja Sama (SPKS) Nomor 223/GNRHL/DK-KPS/SPKS/V/2007 tanggal 29 Mei 2007 tentang kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat seluas 15 Ha antara Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas dengan Kelompok Tani “Berkat Baik”, diketahui bahwa jumlah dan jenis bibit yang
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
34
akan ditanam adalah sebanyak 6.600 batang terdiri dari jenis Belangiran (tergolong kayu-kayuan) sebanyak 3.960 dan jenis Karet (tergolong MPTS) sebanyak 2.640 batang. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di lapangan oleh BPK-RI pada tanggal 11 September 2007 di lokasi pembuatan tanaman Kelompok Tani “Berkat Baik” di Handel Sakalanting, Kecamatan Selat, Kabupaten Kapuas, diketahui bahwa tanaman di lokasi tersebut sebagian besar jenis Karet. Berdasarkan konfirmasi dengan ketua Kelompok Tani “Berkat Baik” diperoleh informasi bahwa bibit jenis Belangiran yang ditanam Hanya sekitar + 1.000 batang, sedangkan sisanya tidak ditanam. Ketua Kelompok Tani “Berkat Baik” juga menjelaskan bahwa mereka lebih menyukai bibit tanaman Karet karena lebih memberikan manfaat dan hasilnya dapat dirasakan relatif cepat, dari pada jenis kayu-kayuan (Belangiran). Hal tersebut tidak sesuai dengan : 1.
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 November 2005 tentang Pedoman Kegiatan GN-RHL Tahun 2005 pada Lampiran I Bagian Ketiga tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat GN-RHL Tahun 2005 dalam Bab II mengenai Penyusunan Rancangan, poin E.2 menyatakan bahwa komposisi jenis tanaman terdiri dari kayu-kayuan termasuk jenis tanaman unggulan lokal minimal 60%, dan MPTS (multi purpose trees species) maksimal 40%;
2.
Surat
Perjanjian
Kerja
Sama
(SPKS)
Nomor
223/GN-RHL/DK-
KPS/SPKS/V/2007 tanggal 29 Mei 2007 Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas dengan Kelompok Tani “Berkat Baik” tentang Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat dalam rangka GN-RHL. -
Pasal 4 mengenai Biaya Pelaksanaan Kegiatan diketahui jumlah yang dibayarkan sebanyak 6.600 batang terdiri dari Belangiran 3.960 batang dan Karet 2.640 batang.
-
Pasal 9 tentang Pemeriksaan menyatakan bahwa Pemeriksaan dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas dan dituangkan dalam BAP.
Masalah ini mengakibatkan target penanaman bibit untuk jenis kayu-kayuan tidak tercapai yang lebih lanjut pencapaian tujuan memperbaiki kualitas lingkungan di Desa Handel Sakalanting dengan pembuatan tanaman hutan rakyat tidak efektif, terjadi karena : 1.
Fungsi kelembagaan dalam hal memberikan pengertian kepada kelompok tani arti pentingnya kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan untuk memperbaiki kualitas lingkungan tidak berjalan baik;
2.
Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas tidak melakukan fungsi pengendalian berupa pengawasan dan pemeriksaan untuk memberikan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
35
keyakinan bahwa pelaksanaan pananaman/pembuatan tanaman yang dilakukan oleh Kelompok Tani telah sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS). Atas masalah tersebut pihak Dinas Kehutanan Kab. Kapuas menyatakan bahwa Dalam pelaksanaan di lapangan sulit sekali dilaksanakan oleh para Petani karena kegiatan utama petani setelah bertani atau berladang adalah menyadap getah karena nilai jual Getah Karet yang sangat tinggi di pasaran sehingga kebanyakan petani menolak untuk menanam kayu-kayuan yang hasilnya baru bisa dirasakan seteleh 20-30 tahun, sedangkan tanaman Karet hasilnya dapat dirasakan dalam 5-8 tahun. Pengawasan pemeriksaan fisik di lapangan memerlukan biaya namun tidak tersedia pada anggaran DIPA, oleh karena itu di masa yang akan datang kami akan mengusulkan biaya pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh Dinas Kehutanan. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Kapuas memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas supaya lebih meningkatkan fungsi kelembagaan RHL antara lain dengan mengintensifkan sosialisasi pelaksanaan GN-RHL kepada kelompok tani dan meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan penanaman. Bibit Jenis
Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan pada tahun 2006 melaksanakan kegiatan
Jelutung
Pengembangan Hutan Rakyat seluas 50 Ha yang pelaksanaanya dikerjakan oleh
Sebanyak 4.007
Kelompok Tani “Karya Kami”. Lokasi pembuatan tanaman tersebut dilaksanakan di
Batang Tidak
Desa Luwuk Kanan Kecamatan Tasik Payawan Kabupaten Katingan dengan Surat
Ditanam Oleh
Perjanjian Kerja Sama (SPKS) No.21/SPKS/GN-RHL/IX/2006 tanggal 01 September
Kelompok Tani
2006 senilai Rp45.990.000,00, dengan jumlah bibit Jelutung yang ditanam sebanyak
Karya Kami
22.000 batang termasuk penyulaman (Harga bibit Jelutung sebesar Rp1.900,00 per batang). Berdasarkan hasil pemeriksaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) realisasi fisik oleh Tim Pemeriksa dari Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan diketahui bahwa Kelompok Karya Kami telah melaksanakan pekerjaan Pengembangan Hutan Rakyat dengan jumlah bibit yang tanam sebanyak 17.993 batang dari rencana penanaman sebanyak 22.000 batang, dengan demikian terdapat selisih kekurangan bibit yang ditanam
sebanyak 4.007 batang (22.000 batang – 17.993 batang) senilai
Rp7.613.300,00 (4.007 x Rp1.900,00). Hasil pengecekan fisik oleh Tim BPK-RI pada tanggal 26 September 2007 di lokasi pembuatan tanaman Kelompok Tani “Karya Kami”, diketahui bahwa bibit yang ditanam dalam areal tersebut adalah jenis Jelutung, tanaman sebagian besar telah mati. (tidak ditemukan tanaman di dekat ajir).
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
36
Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) No. 21/SPKS/GN-RHL/IX/2006
Tanggal
1
September
2006
tentang
Bantuan
Pengembangan Hutan Rakyat Kelompok Tani “Karya Kami” seluas 50 Ha, dengan jumlah bibit yang ditanam sebanyak 22.000 batang termasuk sulaman. Keadaan tersebut mengakibatkan tujuan pembuatan tanaman hutan rakyat untuk memperbaiki kualitas lingkungan dengan menanam bibit Jelutung sebanyak 4.007 batang senilai Rp7.613.300,00 tidak tercapai, terjadi karena pemeriksaan fisik oleh Tim Pemeriksa dari Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan terhadap hasil pekerjaan pembuatan hutan rakyat oleh kelompok tani kurang cermat dan kelalaian dari kelompok tani dalam melaksanakan kegiatan penanaman bibit tersebut. Atas permasalahan tersebut, pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan menyatakan bahwa keterangan dalam BAP Tim, ada bibit yang belum tertanam sejumlah 4007 batang, pada saat pemeriksaan dilakukan (11-14 Desember 2006) bibit sejumlah tersebut memang masih ada dan belum dapat ditanam karena kondisi lahan tidak memungkinkan (lahan yang akan ditanam tergenang banjir), dan kelompok tani menyatakan bersedia melanjutkan kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan mereka sampai dengan selesai 100%. (Pernyataan kelompok tani terlampir). Sampai dengan berakhirnya pemeriksaan pada tanggal 4 Oktober 2007 Tim BPK-RI belum menerima BAP penyelesaian atas kekurangan penanaman bibit oleh kelompok tani. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta kepada Bupati Katingan memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan Kab. Katingan supaya : 1. Memberikan teguran kepada Tim Pemeriksa fisik pembuatan hutan rakyat atas kelalaiannya dalam pemeriksaan fisik lapangan kegiatan RHL oleh kelompok tani; 2. Memerintahkan kepada Kelompok Tani ”Karya Kami” segera menyelesaikan kekurangan pekerjaan penanaman sesuai dengan SPKS. Bibit Jenis Kayukayuan Sebanyak 65.563 Batang Senilai Rp119.654.300,00 Di Kabupaten Pulang Pisau Tidak Ditanam Oleh Kelompok Tani
Dalam rangka kegiatan GN-RHL di Kab. Pulang Pisau, BP-DAS Kahayan Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2004 dan tahun 2005 (lanjutan tahun 2004) melalui CV. Emas Sakti telah menyediakan bibit sebanyak 1.023.000 batang. Berdasarkan berita acara serah terima bibit dari BP-DAS Kahayan kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kab.
Pulang
Pisau
diketahui
bahwa
bibit
tersebut
telah
diserahterimakan dalam 2 tahap dengan rincian sebagai berikut :
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
37
No
Jenis Bibit
1. 2. 3. 4. 5.
Belangiran Sungkai Sengon Jelutung Karet Jumlah
Jumlah Bibit (batang) TaHap I TaHap II (14-12(29-6Total 2004) 2005) 439.655 153.245 592.900 29.593 5.607 35.200 30.152 5.048 35.200 141.553 165.347 306.900 52.328 472 52.800 693.281 329.719 1.023.000
Harga Satuan (Rp)
Total Harga (Rp)
1.200 1.100 850 3.500 1.800
711.480.000 38.720.000 29.920.000 1.074.150.000 95.040.000 1.949.310.000
Berdasarkan Rancangan Teknis (Rantek) Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat tahun 2004 yang telah disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kab. Pulang Pisau diketahui bahwa bibit tersebut di atas antara lain digunakan untuk pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 300 Ha yang dilaksanakan oleh 7 kelompok tani. Adapun jumlah bibit yang terantum (termasuk sulaman) dalam rancangan teknis dan telah diserahkan kepada kelompok tani adalah sebagai berikut : No
Kelompok Tani
Luas (Ha)
1 2 3 4 5 6 7
Pejuang Reformasi Untung Batuah Kahias Garagai Lasar Lestari Suka Maju Jumlah I
70 25 30 62 28 32 53 300
Jelutung
9.240 3.300 3.960 8.184 3.696 4.224 6.996 39.600
Sungkai
6.160 2.200 2.640 5.456 2.464 2.816 4.664 26.400
Sengon
6.160 2.200 2.640 5.456 2.464 2.816 4.664 26.400
Karet
Jumlah
9.240 3.300 3.960 8.184 3.696 4.224 6.996 39.600
30.800 11.000 13.200 27.840 12.320 14.080 23.320 132.560
Dalam Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) dengan ke 7 (tujuh) kelompok tani tersebut, ditetapkan pelaksanaan penanaman dilakukan pada tanggal 1 Oktober 2005 s.d. tanggal 15 Nopember 2005, dan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 300 Ha oleh ke 7 (tujuh) kelompok tani tersebut telah dinyatakan selesai dilaksanakan pada tanggal 12 Nopember 2005. Pemeriksaan atas Berita Acara Pemeriksaan Fisik Lapangan Pekerjaan Kelompok Tani Penerima Bantuan GN-RHL Kab. Pulang Pisau diketahui bahwa terdapat bibit jenis kayu-kayuan sebanyak 65.563 batang terdiri dari Jelutung sebanyak 22.130 batang, Sengon sebanyak 22.308 batang dan Sungkai sebanyak 21.125 batang yang tidak ditanam oleh kelompok tani dengan rincian sebagai berikut :
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
38
Jenis Bibit
No 1. 2. 3.
39,600 26,400 26,400
17,470 5,275 4,092
Bibit Yang Tidak Ditanam 22,130 21,125 22,308
132,000
120,690
65.563
Jumlah bibit
- Jelutung - Sungkai - Sengon Jumlah Total
BAP Lapangan
Harga Satuan (Rp) 3.500 1.100 850
Total Harga (Rp) 77.455.000 23.237.500 18.961.800 119.654.300
Berdasarkan konfirmasi dengan salah satu ketua kelompok tani, diperoleh informasi bahwa kebanyakan petani lebih suka menanam jenis Karet dari pada menanam jenis kayu-kayuan karena Karet hasilnya lebih cepat bisa dinikmati. Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) antara Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pulang Pisau dengan 7 (tujuh) Kelompok Tani Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kerjasama pembuatan tanaman hutan rakyat berpedoman pada persyaratan teknis yang ditetapkan dalam Buku Rancangan Teknis Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat. Masalah ini mengakibatkan pembuatan hutan rakyat dan tujuan Rehabilitasi Hutan dan Lahan untuk memperbaiki kualitas lingkungan dengan menanam bibit jenis kayu-kayuan sebanyak 65.563 batang tidak tercapai, terjadi karena : 1. Pemeriksaan fisik/lapangan oleh Tim pemeriksa fisik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pulang Pisau terhadap hasil pekerjaan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat oleh kelompok tani kurang cermat; 2. Fungsi kelembagaan dalam hal memberikan pengertian kepada kelompok tani tentang arti pentingnya menanam jenis kayu-kayuan untuk memperbaiki kualitas lingkungan tidak berjalan efektif. Atas masalah tersebut pihak Dishut Kab. Pulang Pisau menyatakan bahwa Kelompok Tani telah menerima jumlah dan jenis bibit sesuai peruntukan dan telah dilaksanakan penanaman namun terjadi kematian yang cukup tinggi pada bibit jenis tertentu dan bibit tersebut : Jelutung, Sungkai dan Sengon yang mati/rusak dalam proses penanaman disulam dengan bibit tanaman Karet milik petani secara swadaya. Dalam Berita Acara Pemeriksaan fisik/lapangan oleh Tim pemeriksa fisik Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang dinilai adalah pelaksanaan penanaman oleh kelompok tani berdasarkan SPKS, bukan menilai keberhasilan atau tingkat kematian tanaman. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta kepada Bupati Pulang Pisau memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pulang Pisau supaya : 1.
Memberikan teguran kepada Tim pemeriksa fisik kegiatan GN-RHL atas kelalainnya dalam pemeriksaan fisik lapangan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
39
Lahan oleh Kelompok Tani; 2. Penetapan Lokasi Pengembangan Dan Pengkayaan Hutan Rakyat Di Kawasan Hutan Produksi.
Meningkatkan fungsi kelembagaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan pada tahun 2005 telah melaksanakan Kegiatan Pengembangan dan Pengkayaan Hutan Rakyat melalui Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) dengan Kelompok Tani. Hasil pemeriksaan atas lokasi kegiatan Pengembangan dan Pengkayaan Hutan Rakyat terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Katingan menunjukkan bahwa lokasi kegiatan Pengembangan dan Pengkayaan Hutan Rakyat tersebut berada di dalam kawasan Hutan Produksi, yaitu antara lain sebagai berikut: No I. 1 2 3 No
Kelompok Tani
Desa/ Kecamatan
Pengembangan Hutan Rakyat Marikit Permai Tumbang Hiran/ Marikit Sei Keroh Bangkuang/ Twg S. Garing Karya Kami Luwuk Kanan/ Tasik Payawan Kelompok Tani
Desa/ Kecamatan
4
Luwuk Mandiri
Luwuk Kanan/ Tasik Payawan
5
Sukses Makmur
6
Citra Lestari
Tumbang Mendawai Mekar Mendawai
II. 1
Pengkayaan Hutan Rakyat Mandiri Tumbang Kajamei/ Katingan Hulu Bersatu Tumbang Salaman/ Katingan Hulu Hapakat Mirah Kalanaman/ Katingah Tengah Bina Usaha Tumbang Tungku/ Pulau Malan Garuda Bersama Tewang Beringin/ Twg S. Garing
2 3 4 5
6
Bina Sejahtera
7
Luwuk Jaya
8
Sumber Rejeki
Luas (Ha) 100 150 50 Luas (Ha) 100
Bulan/
125
Tani/
100
Handiwung/ Tasik Payawan Tewang Tampang/ Tasik Payawan Bangun Jaya/ Katingan Kuala
Jumlah
50 50 75 100 100
75 100 100
Jenis Bibit Sungkai Karet Sungkai Karet Jelutung
Jumlah Bibit 8.800 35.200 24.000 42.000 22.000
Karet Jelutung Sungkai Jelutung
Jumlah Bibit 24.063 22.000 37.437 55.000
Karet Jelutung
22.000 22.000
Karet Rotan Karet Rotan Karet
9.603 1.397 9.471 1.529 16.500
Durian Karet Karet Jelutung Rotan Manau Jelutung Karet Karet Sengon Karet
11.000 11.000 5.500 11.000 5.500 9.900 6.600 11.000 11.000 22.000
Jenis Bibit
1,275
Menurut penjelasan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan bahwa Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan dalam menentukan lokasi kegiatan Pengembangan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
40
Hutan Rakyat dan Pengkayaan Hutan Rakyat baik yang didanai dari DAK-DR maupun DIPA BA 69 (GN-RHL) adalah didasarkan pada permohonan/proposal yang diajukan oleh Kelompok Tani, di mana lahan yang diajukan tersebut telah mendapat pengesahan dari Aparat Pemerintah terdekat (seperti: Kepala Desa, Camat). Terhadap permohonan tersebut Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan melakukan verifikasi mengenai keabsahan/kebenaran lokasi maupun kelompok tani. Apabila dari hasil verifikasi itu tidak ditemukan adanya masalah, maka Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan melakukan pengukuran untuk menyusun Rancangan Teknisnya. Setelah Rancangan Teknis masing-masing kelompok tani selesai disusun, maka dilanjutkan dengan mengajukan pengesaHan lokasi dan sebagai peserta kegiatan RHL Hutan Rakyat sumber DAK-DR dan GN-RHL kepada Bupati Katingan. SPKS dibuat setelah ada pengesahan lokasi dan peserta RHL oleh Bupati Katingan. Dari data di atas menunjukan bahwa kegiatan Pengembangan dan Pengkayaan Hutan Rakyat seluas 1.275 Ha dilakukan pada Kawasan Hutan Produksi, tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 November 2005 tentang Pedoman Kegiatan GN-RHL 2005 pada Lampiran I, yaitu: 1.
Bagian Ketiga Bab I Pendahuluan tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat GN-RHL tahun 2005: a. Poin C.1 antara lain menyebutkan bahwa: ”Sasaran lokasi pembuatan tanaman hutan rakyat adalah di luar kawasan hutan negara.”; b. Poin D.1 antara lain menyatakan bahwa: ”Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar kawasan hutan.”
2.
Bab II tentang Penyusunan Rancangan pada poin A.1 antara lain menyatakan bahwa: ”dalam menentukan lokasi pembuatan tanaman hutan rakyat, antara lain mempertimbangkan sebagai berikut: a. Tanah milik rakyat menurut kesesuaian lahan dan pertimbangan ekonomis lebih sesuai untuk hutan rakyat; b. Tanah milik rakyat yang terlantar yang berada di bagian hulu sungai; c.
Tanah Desa, tanah marga/adat, tanah negara bebas serta tanah lainnya yang terlantar dan bukan kawasan hutan negara;
d. Tanah milik rakyat/tanah desa/tanah lainnya yang sudah ada tanaman kayu kayuan tetapi masih perlu dilakukan pengkayaan tanaman. Masalah ini mengakibatkan potensi penyalahgunaan kawasan hutan produksi yang dijadikan hutan rakyat berupa okupasi yang dilakukan oleh masyarakat, terjadi karena Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan tidak cermat dalam meneliti status lahan yang diajukan oleh Kelompok Tani untuk lokasi pembuatan tanaman
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
41
hutan rakyat. Atas permasalahan tersebut, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan menyatakan bahwa terhadap lokasi yang telah ditetapkan untuk kegiatan GN-RHL tersebut adalah lokasi milik masyarakat/kelompok yang telah mendapatkan legalitas dari Aparat Pemerintah Desa dan Kecamatan berupa Surat Keterangan Tanah/SKT. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Katingan memerintahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan untuk : 1.
Meneliti kebenaran legalitas kepemilikan dikaitkan dengan status kawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan Kecamatan yang berada di lingkungannya;
2.
Bekerja lebih cermat dalam melakukan penelitian terhadap lokasi dan status lahan yang diajukan oleh Kelompok Tani setempat untuk kegiatan RHL.
Pemilihan Jenis Tanaman Hutan Rakyat Di Kab. Pulang Pisau Kurang Memperhitungkan Kesesuaian Tempat Tumbuh.
Bupati Pulang Pisau dengan SK No. 522.6/238/IX/05 tanggal 5 September 2005 telah menetapkan lokasi dan Kelompok Tani Hutan Rakyat GN-RHL tahun 2005 seluas 300 Ha. Lokasi dan kelompok tani untuk pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 300 Ha dengan rincian sebagai berikut : No I.
II. III. IV.
Lokasi/Desa Desa Henda
1. 2. 3. Desa Saka Kajang 4. 5. Desa Jabiren 6. Desa Garung 7. J u m l a h
Nama Kelompok Tani Pejuang Reformasi Untung Batuah Kahias Garagai Lasar Lestari Suka Maju
Luas Lahan (Ha) 70 25 30 62 28 32 53 300
Jenis dan jumlah bibit untuk pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 300 Ha adalah sebanyak 132.000 batang dengan rincian sebagai berikut : - Jelutung sebanyak 39.600 batang; - Sungkai sebanyak 26.400 batang; - Sengon sebanyak 26.400 batang; - Karet sebanyak 39.600 batang. Berdasarkan pemeriksaan atas Rancangan Teknis pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 62 Ha atas nama kelompok tani Kahias, diketahui bahwa jumlah dan jenis bibit yang ditanam termasuk sulaman sebanyak 27.840 batang dengan rincian : - Jelutung sebanyak 8.184 batang; - Sungkai sebanyak 5.456 batang; - Sengon sebanyak 5.456 batang; - Karet sebanyak 8.184 batang.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
42
Pemeriksaan fisik lapangan pada tanggal 15 September 2007 di lokasi hutan rakyat Kelompok Tani Kahias di Desa Saka Kajang Kecamatan Jabiren Raya mengungkapkan bahwa untuk jenis Jelutung dan Karet pertumbuhan tanamannya bagus, sedangkan untuk jenis Sengon dan Sungkai pertumbuhan tanamannya tidak bagus, bahkan sebagian besar banyak yang mati. Konfirmasi lebih lanjut terhadap Ketua Kelompok Tani Kahias diperoleh informasi bahwa kondisi lahan atau tanah di daerah tersebut tidak cocok ditanami jenis Sungkai dan Sengon. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/menhutV/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan lampiran 1 Bagian Ketiga Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat GN-RHL Bab II poin E.2 menyatakan bahwa pemilihan jenis tanaman hutan rakyat disesuaikan dengan kehendak/minat masyarakat, kesesuaian agroklimat, permintaan pasar dan dikembangkan dalam luasan yang secara ekonomis dapat dipasarkan, serta menguntungkan yang diwujudkan melalui kesepakatan kelompok. Keadaan tersebut mengakibatkan jenis bibit yang tidak sesuai dengan kondisi lahan pertumbuhannya akan lambat dan banyak yang mati, terjadi karena Dinas Kehutanan Perkebunan Kab. Pulang Pisau dalam menentukan jenis bibit untuk tanaman hutan rakyat kurang memperhitungkan kesesuaian tempat tumbuh. Atas masalah tersebut pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pulang Pisau menyatakan bahwa jumlah dan jenis tanaman untuk kegiatan GN-RHL tahun 2004 ditentukan secara ”top down” dengan kata lain Pemerintah Kab. Pulang Pisau menerima jumlah dan jenis bibit tanaman dalam paket kegiatan. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Pulang Pisau memerintahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pulang Pisau supaya sebelum dilakukan pembangunan hutan rakyat dilakukan penelitian terlebih dahulu tingkat kecocokan bibit yang akan ditanam dengan agroklimat setempat dan keinginan masyarakat. Pengamanan Hasil Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Dishutbun Kab. Pulang Pisau Dari Kebakaran Kurang Memadai.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pulang Pisau dari tahun 2003 s.d 2007 telah merehabilitasi areal hutan dan lahan dengan dana dari APBN Bagian Anggaran 69 (GN-RHL) dan Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR), yaitu sebagai berikut : 1. Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan Sumber Dana APBN BA 69 (GN-RHL) - Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat seluas 1.800 Ha; - Pembuatan Tanaman Reboisasi seluas 2.175 Ha; - Pembuatan Tanaman Pengkayaan Hutan Rakyat seluas 450 Ha; - Pembuatan Tanaman Pengkayaan Reboisasi seluas 525 Ha; - Pembuatan Tanaman Hutan Mangrove seluas 500 Ha.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
43
2. Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan Sumber DAK-DR - Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat seluas 1.100 Ha; - Pembuatan Tanaman Reboisasi seluas 800 Ha. Berdasarkan pemeriksaan atas laporan pelaksana lapangan dan Berita Acara Pemeriksaan areal kebakaran hutan dan lahan diketahui bahwa terdapat areal hasil reboisasi tersebut terbakar bersamaan dengan aktifitas masyarakat membuka lahan untuk perladangan dan pertanian, yaitu antara lain : 1.
Sumber dana APBN No 1. 2. 3. 4. No 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
2.
Nama Kelompok Tani Suka Maju Pejuang Reformasi Untung Batuah Nama Kelompok Tani Garagai Kahiyas Lazar Lestari Naheta Hayak Maju Sukses Makmur Handel Naheta Jumlah
Tahun Tanam 2004 2004 2004 2004 Tahun Tanam 2004 2004 2004 2006 2006 2006 2006
Luas Lahan (Ha) 53 70 25 30 Luas Lahan (Ha) 28 62 32 24 30 30 33 417
Luas Lahan terbakar (Ha) 42 60 24 23,5 Luas Lahan terbakar (Ha) 1 12 1 7 30 30 29 259.50
Sumber DAK-DR Kegiatan reboisasi seluas 100 Ha yang pelaksanaan kegiatannya pada tahun 2004 di wilayah Desa Tumbang Nusa Kec. Jabiren dengan jenis tanaman Jelutung sebanyak 40.000 batang.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/MenhutV/2005 tanggal 1 Nopember 2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL tahun 2005 lampiran I Bab III poin c. menyatakan bahwa pengamanan Harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melindungi tanaman dari perusakan dan kebakaran. Beberapa pendekatan yang dilakukan dalam upaya pencegahan kebakaran yaitu antara lain : -
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengamanan hutan antara lain melalui kegiatan penerangan dan penyuluhan;
-
Melaksanakan pemeliharaan tanaman yang intensif untuk membersihkan areal tanaman dari bahan yang mudah terbakar;
-
Melaksanakan pengawasan/patroli areal tanaman secara periodik untuk mendeteksi
bahaya
kebakaran
secara
dini
agar
dapat
diambil
tindakan/langkah-langkah yang tepat dan cepat. Keadaan tersebut mengakibatkan tujuan rehabilitasi lahan tidak tercapai, karena Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pulang Pisau belum bekerja
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
44
secara maksimal khususnya untuk pengamanan areal hasil rehabilitasi dari bahaya kebakaran. Atas masalah tersebut pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pulang Pisau menyatakan bahwa kondisi tanah di Kab. Pulang Pisau didominasi oleh tanah bergambut yang mudah terbakar pada musim kemarau. Pada tahun 2006 terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan hampir semua lahan bergambut terbakar termasuk lokasi kegiatan reboisasi di Desa Tumbang Nusa. Pengamanan dan pemeliharaan hasil kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Kab. Pulang Pisau memang diakui masing kurang, hal ini disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan sarana dan prasarana. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Pulang Pisau memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pulang Pisau supaya lebih meningkatkan pengamanan dan pemeliharaan hasil kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Penentuan Calon Lokasi Pengkayaan Hutan Produksi Seluas 500 Ha Di Kabupaten Kotawaringin Timur Lemah.
Dinas Kehutanan Kabupaten Kotawaringin Timur dalam rangka GN-RHL pada tahun 2006 melaksanakan Kegiatan Pembuatan dan Pengkayaan Tanaman Hutan Rakyat, Hutan Produksi dan Hutan Kota. Untuk pembuatan tanaman tersebut telah disediakan bibit oleh BP-DAS Kahayan Prov. Kalimantan Tengah melalui pihak ketiga yaitu CV Surya Jaya Indah, PT Unisari Adi Prima dan PT Star Men sebanyak 1.600.019 batang. Bibit tersebut telah diserahterimakan oleh BP-DAS Kahayan kepada Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur melalui 2 penyerahan, yaitu tahap pertama sebanyak 670.519 batang dengan Berita Acara Serah Terima Tanggal 28 Pebruari 2006 dan tahap 2 sebanyak 929.500 batang dengan Berita Acara Serah Terima Tanggal 22 Nopember 2006. Rincian jenis dan jumlah bibit yang telah diserahkan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Bibit kepada Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur dan selanjutnya kepada Kelompok Tani adalah sebagai berikut : No
Jenis Bibit
1.
CV Surya Jaya Indah - Sungkai - Karet - Mahoni - Filisium - Jelutung Jumlah 1 PT Unisari Adi Prima - Sungkai - Sengon - Mahoni - Bakau
2.
Jumlah BAST dari BP-DAS ke Dishut Kotim
Jumlah BAST ke Kelompok Tani
Selesih Lebih (Kurang)
171.600 114.400 2.750 2.519 2.750 294.019
164.400 119.400 4.950 2.750 2.750 294.250
(7.200) 5000 2.200 231 231
99.881 21.000 402.150 360.000
80.631 21.000 382.900 360.000
(19.250) (19.250) -
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
45
- Jelutung - Karet Jumlah 2 PT Star Men - Mahoni - Jelutung - Karet Jumlah 3 Jumlah Total
3.
208.279 71.690 1.163.000
169.779 71.690 1.086.000
(38.500) (77.000)
103.000 20.000 20.000 143.000 1.600.019
1.380.250
103.000 20.000 20.000 (143.000) (219.769)
Berdasarkan pemeriksaan dokumen pelaksanaan pembuatan tanaman diketahui bahwa bibit tersebut telah digunakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Kotawaringin Timur untuk pembuatan Hutan Rakyat, Hutan Produksi, Hutan Mangrove dan Hutan Kota sebanyak 1.380.250 batang dengan rincian sebagai berikut: 1. Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat seluas 775 Ha sebanyak 286.000 bibit. 2. Pembuatan Tanaman Hutan Produksi seluas 600 Ha sebanyak 726.000 bibit. 3. Pembuatan Tanaman Hutan Mangrove seluas 100 Ha sebanyak 360.000 bibit. 4. Pembuatan Hutan Taman Kota seluas 25 Ha sebanyak 8.250 bibit. Dari uraian diatas diketahui bahwa terdapat selisih jumlah bibit yang diserahkan kepada Kelompok Tani dengan jumlah bibit yang diserahkan oleh BP-DAS Kahayan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Kotawaringin Timur sebanyak 219.769 bibit yaitu: 1. Sebanyak 227.200 bibit yang diserahterimakan oleh BP-DAS Kahayan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Kotawaringin Timur tersebut belum dilakukan penanaman. 2. Kelebihan bibit Filisium sebanyak 231, bibit Mahoni sebanyak 2.200 dan bibit Karet sebanyak 5.000 tidak diketahui penyedia bibit tersebut. Menurut penjelasan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kotawaringin Timur bahwa selisih bibit yang belum dipergunakan sebanyak 227.200 batang masih ada pada 3 perusahaan penyuplai bibit. Bibit tersebut sedianya digunakan untuk kegiatan pengkayaan hutan produksi seluas 500 Ha yang rencananya dilaksanakan pada tahun 2006 dengan kebutuhan bibit sebanyak 220.000 batang (termasuk untuk penyulaman tahun berjalan). Terjadinya keterlambatan kegiatan pengkayaan hutan produksi seluas 500 Ha tersebut disebabkan adanya permasalahan lokasi yang telah direncanakan yaitu di Desa Pelangsingan Kec. Mentawa Baru Ketapang, terkait permasalahan status kawasan hutan yang belum jelas dengan belum adanya Peta Kawasan dan Perairan Provinsi Kalimantan Tengah yang belum disahkan oleh Menteri Kehutanan. Mengingat adanya permasalahan calon lokasi tersebut, calon lokasi pengkayaan hutan produksi diadakan perubahan/revisi dan dipindahkan ke Desa Pantai Harapan Kec. Cempaga Hulu. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan P.33/Menhut-V/2005
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
46
menyatakan bahwa sebelum rancangan disusun, terlebih dahulu dilakukan pemantapan calon lokasi reboisasi oleh dinas/instansi terkait dan BP-DAS setempat. Lokasi Difinitif adalah lokasi yang tidak dalam sengketa, tidak dibebani hak dan atau tidak dalam proses perijinan/pencadangan areal untuk hutan tanaman (HTI/HTR). Keadaan tersebut mengakibatkan tertundanya pelaksanaan pengkayaan hutan produksi seluas 500 Ha dan bibit sebanyak 227.200 batang berpotensi mati dan kedaluarsa sehingga tidak bisa ditanam, terjadi karena Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur lalai dalam membuat rancangan teknis tidak memperhatikan kesiapan lahan calon lokasi untuk pengkayaan hutan produksi Atas permasalahan tersebut, pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Kotawaringin Timur menyatakan selisih bibit yang belum dipergunakan sebanyak 227.200 batang adalah alokasi untuk kegiatan pengayaan hutan produksi seluas 500 Ha yang sedianya dilaksanakan tahun 2006. Mengingat adanya permasalahan calon lokasi pengkayaan hutan produksi tersebut, diadakan perubahan calon lokasi yang telah memperoleh persetujuan dari Kepala BP-DAS Kahayan dan Rancangan Teknisnya telah disusun. Sedangkan kelebihan bibit sebanyak 7.200 batang terjadi karena kesalahan Ketua Kelompok Tani Kaharap pada waktu pengambilan bibit, yang seharusnya berdasarkan Rancangan Teknis bibit untuk Kelompok Tani Kaharap adalah Sungkai sebanyak 33.000 batang dan Karet 22.000 batang sedangkan realisasinya Sungkai 25.800 batang, Karet 27.000 batang dan Mahoni 2.200 batang. BPK-RI menyarankan Kepada Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Kotawaringin Timur untuk memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur segera melaksanakan kegiatan pengkayaan hutan produksi seluas 500 Ha sesuai dengan rancangan teknis yang telah disetujui oleh Kepala BP-DAS Kahayan dan dimasa mendatang lebih meningkatkan perencanaan khususnya dalam penentuan calon lokasi kegiatan RHL. Penetapan Izin Usaha Perkebunan Atas Nama PT Sukajadi Sawit Mekar oleh Bupati Kotawaringin Timur pada Eks Areal HPH PT Mentaya Kalang menyalahi Ketentuan
Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur pada tahun 2004 telah mengalokasikan dana DAK-DR untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan Produksi pada eks areal HPH PT Mentaya Kalang seluas 840 Ha di Kecamatan Kota Besi, dengan pelaksana PT Unisari Adiprima (UA) sesuai Kontrak No.522/4/1014/409/IV/2004 dan No. 026/UA/IV/2004 tanggal 6 April 2004 sebesar Rp3.257.676.000,00 dengan jangka waktu dari tanggal 12 April sampai dengan 31 Desember 2004. Selanjutnya berdasarkan surat permohonan PT UA yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur No. 050/UA/VI/2004 tanggal 11 Juni 2004, yang disetujui oleh Plt. Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin dilakukan Addendum Kontrak dengan No.522/0/2957/818/VII/2004 tanggal 8 Juli 2004 yang merubah komposisi jumlah bibit dan pekerjaan pengerasan lateric dengan pengadaan bibit
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
47
tanaman sebanyak 202.013 batang. Menurut addendum tersebut disebutkan bahwa nilai kontrak
tidak mengalami
perubahan, namun perubahan dilakukan pada jumlah jenis bibit yaitu: bibit Meranti semula sebanyak 1.169.449 batang diubah menjadi sebanyak 1.017.900 batang, bibit Sungkai semula sebanyak 18.407 diubah menjadi sebanyak 19.500 batang dan Kapur Naga semula sebanyak 52.783 batang diubah menjadi sebanyak 54.600 batang. Selain itu pekerjaan pengerasan/ lateric senilai Rp80.190.000,00 diubah dengan menambah bibit untuk penyulaman sebanyak 202.013 batang yang terdiri atas Meranti 199.343 batang, Sungkai 1.670 batang dan Kapur Naga 1.000 batang. Pekerjaan tersebut telah dibayar lunas melalui 2 (dua) tahap pembayaran yaitu SPMU No 606/BT/2004 tanggal 10 Mei 2004 sebesar Rp651.535.200,00 dan SPMU No 3710/BT/2004 tanggal 30 Desember 2004 sebesar Rp2.606.140.800,00. Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur pada tahun 2005 melakukan kegiatan pemeliharaan tahun pertama pekerjaan rehabilitasi Hutan Produksi tahun 2004 tersebut, dimana tanaman telah berumur 1 tahun, dengan biaya sebesar Rp665.280.000,00, yang dilaksanakan oleh PT UA dengan Kontrak No. 522/4/3990/4.09/IX/2005 tanggal 5 September 2005. Pekerjaan tersebut telah dibayar lunas sesuai SPMU No. 3921/BT/2005 tanggal 24 Desember 2005. Hasil pengujian terhadap dokumen pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan produksi seluas 840 Ha menunjukan bahwa lokasi rehabilitasi hutan produksi seluas 704,08 Ha digunakan untuk areal perkebunan dengan kronologis sebagai berikut : 1.
Bupati Kotawaringin Timur pada tanggal 27 Pebruari 2004 telah menerbitkan Izin Prinsip kepada PT SSM dengan surat No. 525.26/54/II/Ekbang/2004 untuk melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas + 18.000 Ha di Kecamatan Kota Besi, dengan ketentuan antara lain areal tersebut terletak pada kawasan Penggunaan dan Pemanfaatan Lainnya (KPPL);
2.
Berdasarkan hasil pengecekan lapangan yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kab. Kotawaringin Timur, Bupati Kotawaringin Timur pada tanggal 12 Maret 2004 telah menerbitkan Izin Lokasi kepada PT SSM dengan surat No. 193.460.42 untuk keperluan pembangunan perkebunan Kelapa Sawit seluas + 16.300 Ha di Desa Sebabi, Kenyala dan Tanah Putih Kecamatan Kota Besi;
3.
Bupati Kotawaringin Timur dengan surat No. 525.26/38/I/Ekbang/2005 telah memberikan Izin Usaha Perkebunan (IUP) kepada PT SSM untuk melakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas + 12.386,27 Ha di Desa Sebabi, Kenyala dan Tanah Putih Kecamatan Kota Besi;
4.
Menurut Laporan Tim Pemeriksa Kegiatan Reboisasi Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur bulan April 2006 tentang kelayakan kegiatan Pemeliharaan Tanaman Tahun kedua di lokasi eks areal HPH PT Mentaya Kalang bahwa dilokasi penanaman tersebut telah terjadi aktifitas penebangan oleh PT
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
48
Sukajadi Sawit Mekar (PT SSM) untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Atas masalah tersebut Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur dengan surat No.522/4/1118/4.06/V/2006 tanggal 8 Mei 2006 memohon Bupati Kotawaringin Timur
agar
menghentikan
kegiatan
tersebut guna menyelamatkan
dan
mengamankan kawasan hutan dan hasil-hasil kegiatan reboisasi DAK-DR. Kemudian
Bupati
Kotawaringin
Timur
menanggapi
dengan
surat
No.
522.4/626/Ekbang/VIII/2006, tanggal 24 Agustus 2006 yang ditujukan kepada Pimpinan PT. SSM bahwa PT SSM diminta untuk menghentikan sementara kegiatan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit sambil menunggu proses penyelesaian lebih lanjut. Namun PT SSM tidak menanggapi surat Bupati tersebut; Hasil pengecekan di lapangan oleh Tim Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur yang dituangkan dalam Berita Acara bahwa areal reboisasi DAK-DR dan areal/lokasi perkebunan PT SSM tumpang tindih seluas lebih kurang 704,08 Ha. Atas masalah tersebut Kepala Dinas Kehutanan Kab. Kotawaringin Timur menjelaskan bahwa areal seluas 704,08 Ha tersebut sudah berubah menjadi tanaman kelapa sawit. Hal tersebut tidak sesuai dengan: 1.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa : a. Pasal 19 ayat (1) perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah didasarkan pada hasil penelitian terpadu; b.
Pasal 50 ayat (3) huruf a menyatakan bahwa setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.
2.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan dan Perubahan Status dan Fungsi Hutan menyatakan dalam : a. Pasal 9 ayat (1) bahwa perubahan status kawasan hutan ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehutanan; b. Pasal 15 ayat (3) bahwa Menteri menetapkan perubahan status (pelepasan kawasan hutan) dan keputusan penetapan batas kawasan hutan yang baru beserta peta lampirannya; c. Pasal 23 bahwa apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran atas kewenangan Pemerintah (Pusat) dalam penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, Menteri berwenang mengambil tindakan sesuai Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Pasal 50 dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Pasal 7.
Masalah ini mengakibatkan Kerugian Negara sebesar Rp3.922.956.000,00 atas biaya yang dikeluarkan untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan Produksi dan tidak tercapainya tujuan Rehabilitasi Hutan Produksi untuk meningkatkan kualitas
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
49
lingkungan dalam kawasan hutan, yang diduga terjadi karena adanya unsur perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Bupati Kotawaringin Timur dalam menetapkan ijin usaha perkebunan telah melampaui kewenangannya. Atas permasalahan tersebut, pihak Dishut Kab. Kotawaringin Timur menyatakan bahwa dalam proses pemberian Ijin Prinsip, Ijin Lokasi dan IUP PT Sukajadi Sawit Mekar, belum diadakan pengukuran lokasi definitif, walaupun proses pemberian perijinan tersebut telah dibentuk Tim Gabungan oleh Bupati yang beranggotakan dari berbagai instansi terkait di Kabupaten Kotawaringin Timur. Bupati Kotim telah berusaha dengan diterbitkannya Surat Nomor 522.4/626/Ekbang/VIII/2006 tanggal 24 Agustus 2006 untuk menghentikan sementara pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit PT SSM pada lokasi reboisasi DAK-DR sambil menunggu proses penyelesaian lebih lanjut. Sesuai pemeriksaan terakhir oleh Tim yang ditugaskan oleh Bupati No. 090/815/BU tanggal 4 September 2006, di antaranya seluas 704,08 Ha sudah berubah menjadi tanaman kelapa sawit. Permasalahan tersebut saat ini sedang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Sampit . Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Seluas 500 Ha Di Kabupaten Kapuas Tidak Sesuai Ketentuan dan Merugikan Negara Sebesar Rp92.500.000,00
Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas pada Tahun 2004 membuat Rancangan Teknis Kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat seluas 500 Ha, oleh 20 kelompok tani, kebutuhan bibit oleh masing-masing kelompok tani sebanyak 11.000 batang terdiri dari Karet 4.400 batang, Sengon 2.750 batang dan Mahang 3.850 batang termasuk sulaman dengan luas tanam 25 Ha, dengan total bibit sebanyak 220.000 batang. Bibit sebanyak 220.000 batang tersebut di atas disediakan oleh BP-DAS Kahayan, dan berdasarkan berita acara serah terima bibit dari BP-DAS Kahayan kepada Dinas Kehutanan Kab. Kapuas, bibit tersebut telah diserahterimakan dalam 2 tahap yaitu : - Pada tanggal 14 Desember 2004 sebanyak 151.005 batang dengan rincian Sengon 21.463 batang, Mahang 52.890 batang dan Karet 76.652 batang; - Pada tanggal 29 Juni 2005 sebanyak 68.995 batang dengan rincian Sengon 33.537 batang, Mahang 24.110 batang dan Karet 11.348 batang. Hasil pemeriksaan atas Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat antara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) DIPA Luncuran TA 2006 Dinas Kehutanan Kab. Kapuas dengan Kelompok Tani diketahui bahwa setiap satu kelompok tani dengan satu SPKS senilai Rp25.500.000,00 untuk penanaman 11.000 batang Karet seluas 25 Ha. Berdasarkan berita acara serah terima bibit dari Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas kepada kelompok tani diketahui bahwa sepuluh kelompok tani di Kecamatan Mantangai dan sepuluh kelompok tani di Kecamatan Kapuas Murung masing-masing menerima bibit Karet sebanyak 1.500 batang dan 2.000 batang. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya ketidaksesuaian jumlah bibit yang tertera dalam SPKS dengan yang diterima oleh kelompok tani yaitu terdapat selisih kurang bibit Karet sebanyak 9.500 batang (11.000 batang -1.500 batang) untuk setiap kelompok tani di Kecamatan Mantangai dan sebanyak 9.000
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
50
batang (11.000 batang – 2.000 batang) untuk setiap kelompok tani di Kecamatan Kapuas Murung. Dengan demikian terdapat kelebihan pembayaran kegiatan pengangkutan bibit, penanaman dan penyulaman sebesar Rp92.500.000,00 dan adanya hasil pekerjaan yang tidak dapat dimanfaatkan yaitu pengadaan pemasangan ajir, pembuatan lobang dan piringan tanaman sebesar Rp.99.000.000,00. (Rincian lihat lampiran ) Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) antara Pasal 4 menyatakan bahwa : 1.
Rincian kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat yang dilaksanakan oleh Kelompok Tani antara lain adalah :
2.
-
Pengadaan dan pemasangan ajir sebanyak 10.000 batang;
-
Pembuatan lobang dan piringan tanaman sebanyak 10.000 lubang;
-
Pengangkutan bibit sebanyak 11.000 batang;
-
Penanaman sebanyak 10.000 batang;
-
Penyulaman bibit sebanyak 1.000 batang.
Bibit yang akan ditanam dalam kegiatan tersebut telah disediakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas beserta keperluan penyulamannya sesuai ketersediaan bibit adalah : -
Karet sebanyak = 10.000 batang (tanaman).
-
Karet sebanyak = 1.000 batang (sulaman)
Keadaan tersebut mengakibatkan : 1.
Kerugian
Keuangan
Negara
atas
kelebihan
pembayaran
kegiatan
pengangkutan bibit, penanaman dan penyulaman kepada 20 kelompok tani sebesar Rp92.500.000,00; 2.
Pemborosan keuangan negara atas pengadaan ajir, pemasangan ajir dan pembuatan lobang dan piringan tanaman yang tidak dimanfaatkan sebesar Rp99.000.000,00.
Hal tersebut terjadi karena : 1.
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) DIPA Luncuran TA 2006 pada Satker Dinas Kehutanan Kab. Kapuas dalam membuat SPKS tidak disesuaikan dengan jumlah bibit yang diserahkan untuk ditanam kepada Kelompok Tani.
2.
Pengawasan Kepala Dinas Kehutanan Kab.Kapuas terhadap pelaksanaan kegiatan GN-RHL masih lemah.
Atas masalah tersebut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas menyatakan bahwa kerugian negara, terdapat pada biaya kegiatan pengangkutan, penanaman, dan penyulaman pada pembuatan hutan rakyat seluas 500 Ha. Untuk itu Kuasa Pengguna
Anggaran
periode
Januari
s.d
April
2006
untuk
mempertanggungjawabkan kerugian negara tersebut. Namun sampai dengan berakhirnya pemeriksaan tanggal 3 Oktober 2007 Tim BPK-
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
51
RI belum mendapatkan bukti pertanggungjawaban Kuasa Pengguna Anggaran atas kerugian negara tersebut dari Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta Bupati Kapuas supaya : 1. Memberikan teguran tertulis kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas yang kurang melakukan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan kegiatan di unit kerjanya. 2.
Pendapatan Jasa Giro Rekening DAK-Dana Reboisasi Sebesar Rp4.736.398.093,00 Digunakan Untuk Keperluan di Luar Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan
Memberikan teguran tertulis kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) DIPA Luncuran TA 2006 pada Satker Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas yang lalai dalam melaksanakan tugas dan diperintahkan untuk mempertanggungjawabkan kerugian negara sebesar Rp92.500.000,00 dengan menyetorkan ke Kas Negara dan bukti setornya disampaikan kepada BPK-RI.
Penerimaan DAK-DR Kabupaten Kapuas sejak tahun 2001 s.d tahun 2005 ditempatkan di Bank BNI Cabang Kuala Kapuas dan Bank Pembangunan Daerah Kalteng (BPD Kalteng) Cabang Kuala Kapuas oleh Pemerintah Daerah dengan Nomor Rekening Kas Daerah DAK-DR Kabupaten Kapuas sebanyak 3 rekening, yaitu: No.
Nama Rekening
1
DAK-DR
2
DAK-DR
3
DAK-DR
No. Rekening 200.025.1 (0600.001.000000025.0) 200.028.9 (0600.001.000000028.4) 166.000500979.001
Nama Bank BPD Kalteng Cabang Kuala Kapuas BPD Kalteng Cabang Kuala Kapuas BNI Kuala Kapuas
Pada tahun 2005 Bank BPD Kalteng melakukan perubahan sistem sehingga terjadi pergantian nomor rekening yaitu Rekening No.200.025.1 berubah menjadi No. 0600.001.000000025.0 dan Rekening No.200.028.9 berubah menjadi No.0600.001.000000028.4. Dari pemeriksaan atas Rekening Koran DAK-DR Kabupaten Kapuas diketahui halhal sebagai berikut: 1.
Terdapat Jasa Giro Rekening DAK-DR yang dipindahbukukan ke rekening Kasda Dana Daerah Lainnya (DDL) Berdasarkan pemeriksaan atas Rekening Giro DAK-DR Kabupaten Kapuas di kedua bank diatas , ditemukan adanya Pendapatan Jasa Giro (bunga) DAKDR tahun 2001 s.d 2004 sebesar Rp3.896.433.356,50 dengan perincian sebagai berikut :
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
52
No 1. 2. 3.
Nama Bank
No. Rekening
BPD Kalteng cabang Kuala 200.025.1 Kapuas BPD Kalteng cabang Kuala 200.028.9 Kapuas BNI Kuala Kapuas 166.000500979.001 Jumlah
Jumlah Jasa Giro (Rp) 2.734.463.317,00 534.816.889,50 627.153.150,00 3.896.433.356,50
Hasil pemeriksaan menunjukkan pendapatan Jasa Giro (bunga) DAK-DR telah dipindahbukukan sebesar Rp3.242.583.329,50 (setelah dipotong pajak jasa giro sebesar Rp653.850.027,50) ke rekening DDL antara 0-5 Hari sejak bunga bank dibukukan. Pemindahan buku tersebut dilakukan berdasarkan surat Sekretaris Daerah Nomor: 900/2010/KEU.2002 Tanggal 19 Desember 2002 tentang permohonan pembukaan nomor rekening baru untuk menampung penerimaan Jasa Giro dari rekening DAK-DR. Lebih lanjut berdasarkan keterangan dari Pemda Kapuas diketahui bahwa Pendapatan Jasa Giro DAK-DR yang dipindahbukukan tersebut telah digunakan untuk kegiatan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas dan Kegiatan Pendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2. Jasa Giro Rekening DAK-DR tidak dibukukan atau tidak diterima di Rekening DAK-DR Berdasarkan pemeriksan atas Rekening DAK-DR pada Bank BPD Kalteng Cabang Kuala Kapuas No.0600.001.000000028.4 (semula No.200.028.9) dan Rekening No.0600.001.000000025.0 (semula No.200.025.1), diketahui bahwa sejak awal tahun 2005 tidak membukukan adanya Pendapatan Jasa Giro pada ke-2 rekening tersebut. Berdasarkan keterangan dari Pemda Kapuas yang disertai bukti Nota Debet dari Bank menyatakan bahwa Pendapatan Jasa Giro DAK-DR langsung dibukukan ke Rekening DDL BPD Kalteng Cabang Kuala Kapuas dengan nomor rekening 0600.001.000000021.7 semula 200.021.1. Besarnya pendapatan Jasa Giro tahun 2005 s.d 2007 dari kedua rekening tersebut adalah sebesar Rp1.867.268.455. Dari jumlah tersebut yang dipindahbukukan secara langsung oleh Bank BPD Kalteng ke rekening nomor 200.021.1 Hanya sebesar Rp1.493.814.764,00. setelah dipotong pajak jasa giro sebesar Rp373.453.691,00. Hal tersebut tidak sesuai dengan : 1.
UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan pada penjelasan pasal 35 ayat 1 antara lain menyatakan : Dana Reboisasi adalah dana yang dipungut dari Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
53
kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Dana tersebut digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya. 2.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi Pasal 13 Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dialokasikan dalam Rekening Pembangunan Hutan atas nama Bupati/Walikota dan dokumen anggaran Kabupaten/Kota, ayat (2) Penggunaan Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib berpedoman pada rencana rehabilitasi hutan dan lahan yang telah disepakati para pihak terkait di Kabupaten/Kota yang bersangkutan, ayat (3) Dana dalam Rekening Pembangunan Hutan Kabupaten/Kota disalurkan melalui Bank yang ditunjuk dalam bentuk pinjaman, kepada badan usaha berbadan hukum, kelompok tani hutan dan koperasi, dan ayat (4) Dana dalam Rekening Pembangunan Hutan Kabupaten/Kota tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan pendukung rehabilitasi.
3.
Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan, Departemen Kehutanan, Depdagri dan
Bappenas
No.
SE-59/A/2001,
Nomor
SE-720/Menhut-II/2001,
No.2035/D.IV/05/2001 No. SE 522.4/947/V/BANGDA tahun 2001 yang menyatakan bahwa DAK-DR dialokasikan oleh pemerintah kepada daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan fisik rehabilitasi hutan dan lahan kritis di dalam DAS prioritas sekaligus sebagai sarana pengembangan kapasitas dan kapabilitas masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan penggunaan Pendapatan Jasa Giro (bunga) DAK-DR sebesar Rp4.736.398.093,00 (Rp3.242.583.329,00 + Rp1.493.814.764,00.) tidak untuk kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan mengurangi kemampuan pencapaian RHL, terjadi karena Pemerintah Kabupaten dhi. Bupati dan Setda Kabupaten Kapuas tidak mematuhi ketentuan mengenai pengelolaan DAK-DR dan Pendapatan Jasa Giro DAK-DR. Atas masalah tersebut pihak Pemda Kabupaten Kapuas menyatakan bahwa : 1
Terdapat jasa giro rek. DAK-DR yang dipindahbukukan Bahwa sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pasal 79 sebagaimana dimaksud sumber pendapatan daerah khusus point (a) pendapatan asli daerah pada angka (4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 157 point (a) Pendapatan Asli Daerah pada angka (4) Lain-lain PAD yang sah di dalam penjelasan yang dimaksud antara lain penerimaan daerah di luar pajak dan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
54
retribusi daerah seperti jasa giro, yang penggunaannya dalam rangka membiayai program maupun kegiatan di dalam pembangunan daerah, seperti membiayai kegiatan pendukung rehabilitasi hutan mulai tahun 2003 s/d 2007 sebesar Rp2.435.508.000 (terlampir). Penerimaan Jasa Giro DAK-DR pada BNI’ 46 Cabang Kuala Kapuas rekening nomor 166.000500979.001 yang dipindahkan ke penampungan Dana Daerah Lainnya (DDL) rekening nomor 166.000500987.001 (terlampir) dan Rekening DAK-DR di Bank Pembangunan Kalimantan Tengah Cabang Kuala Kapuas Nomor 200.028.9 dan Nomor 200.025.1 dipindahkan ke rekening Dana Daerah Lainnya Nomor (DDL) 200.021.1, rekening tersebut semua atas nama Kas Daerah Kabupaten Kapuas dan terlampir nomor rekening serta bukti pendukung. 2
Jasa giro rekening DAK-DR yang tidak dibukukan atau tidak diterima di rekening DAK-DR Bahwa pendapatan jasa giro pada rekening DAK-DR BPD Kalteng Cabang Kuala Kapuas Nomor 0600.001.00000028.4 (semula nomor 200.028.9) dan Rekening Nomor 0600.001.00000025.6 (semula nomor 200.025.1) telah dibukukan sesuai dengan Nota Kredit yang dikirim pihak Bank.
BPK-RI sependapat dengan tanggapan tersebut untuk penerimaan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah/PAD (UU No.32 tahun 2004 pasal 157 point (a)), tetapi yang menjadi pokok permasalahan di dalam temuan ini adalah Jasa Giro yang berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yang menurut UU No.32 tahun 2004 pasal 159 merupakan bagian dari Dana Perimbangan (bukan PAD). Hal tersebut mengakibatkan penerapan UU No. 22 tahun 1999 pasal 79 point (a) angka 4 dan UU No. 32 tahun 2004 pasal 157 point (a) angka 4 kepada Jasa Giro DAK-DR menjadi tidak relevan. BPK-RI menyarankan kepada Bupati Kapuas agar pendapatan Jasa Giro dari Rekening DAK-DR dikembalikan ke Rekening DAK-DR untuk membiayai kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di wilayah Kabupaten Kapuas. Realisasi Penggunaan DAK-DR Untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kabupaten Katingan Tidak Maksimal
Pemerintah Kabupaten Katingan menerima alokasi DAK-DR Tahun 2001 s.d Tahun 2005 sejumlah Rp105.542.851.844,00, dengan rincian penerimaan dan penggunaannya (per Agustus 2007) sebagai berikut: No
Tahun
1 2 3 4 5
2001 2002 2003 2004 2005
Penerimaan (Rp) 21.752.650.000,00
Penggunaan DAKDR s.d 31-8-07 18.797.594.195,00
16.245.055.000,00 8.786.259.000,00 33.909.290.847,00 24.849.596.997,00 105.542.851.844,00
14.890.826.888,34 4.609.025.980,00 8.486.827.076,00 0,00 46.784.274.139,34
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
%
Sisa DAK Murni
86,42
2.955.055.805,00
91,66 52,46 25,03 00,00 44,33 %
1.354.228.111,66 4.177.233.020,00 25.422.463.771,00 24.849.596.997,00 58.758.577.704,66
55
Dari tabel di atas diketahui bahwa total persentase penyerapan Dana DAK-DR dari Tahun 2001 s.d TA 2007 (s.d Agustus 2007) hanya mencapai 44,33% atau sebesar Rp46.784.274.139,34 dari Rp105.542.851.844,00. Realisasi penyerapan Dana DAK-DR Tahun 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005 adalah sebagai berikut: 1. Dana DAK-DR Tahun 2001 sejumlah Rp21.752.650.000,00 mulai terealisasi penggunaannya pada tahun 2004, 2005, 2006 dan tahun 2007 (s.d. Agustus 2007) masing-masing sebesar 2,54%, 23,07%, 43,11% dan 17,70%. Dana DAK-DR Tahun 2001 sebesar Rp2.955.055.805,00 atau sebesar 13,58% belum digunakan; 2. Dana DAK-DR Tahun 2002 sejumlah Rp16.245.055.000,00 mulai terealisasi penggunaannya pada tahun 2003, 2004, 2005, 2006 dan tahun 2007 (s.d. Agustus 2007) masing-masing sebesar 38,13%, 20,61%, 11,87%, 16,26% dan 4,79%. Dana DAK-DR Tahun 2002 sebesar Rp1.354.228.111,66 atau sebesar 8,34% belum digunakan; 3. Dana DAK-DR Tahun 2003 sejumlah Rp8.786.259.000,00 mulai terealisasi penggunaannya pada tahun 2005, 2006 dan tahun 2007 (s.d. Agustus 2007) masing-masing sebesar 11,33%, 34,03% dan 7,09%. Dana DAK-DR Tahun 2003 sebesar Rp4.177.233.020,00 atau sebesar 47,60% belum digunakan; 4. Dana DAK-DR Tahun 2004 sejumlah Rp33.909.290.847,00 yang diterima tanggal 9 Agustus 2005 dan 23 Februari 2007 masing-masing sebesar Rp17.398.057.563,00
dan
Rp16.511.233.284,00,
mulai
terealisasi
penggunaannya pada tahun 2006 dan 2007 (s.d. Agustus 2007) masingmasing sebesar 8,42% dan 16,60%. Dana DAK-DR Tahun 2004 sebesar Rp25.422.463.771,00 atau sebesar 74,97% belum digunakan; 5. Dana DAK-DR Tahun 2005 sejumlah Rp24.849.596.997,00 yang diterima tanggal 26 Februari 2007, dan sampai dengan tanggal 31 Agustus tahun 2007 persentase penyerapan dana masih 0%. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa penyerapan dana DAK-DR Tahun 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005 belum maksimal dan terdapat Dana DAK-DR s.d Agustus 2007 sebesar Rp64.880.005.220,65 (Dana DAK-DR Murni sebesar Rp58.758.577.704,66 + Jasa Giro DAK-DR sebesar Rp6.121.427.515,99) belum digunakan dan masih mengendap dalam rekening giro masing-masing rekening DAK-DR. Hal tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 181 Tahun 2001, Nomor 67 Tahun 2002, Nomor 104 Tahun 2003, Nomor 434 Tahun 2004 dan Nomor 63 Tahun 2006 tentang Perimbangan Dana Alokasi Khusus Dana
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
56
Reboisasi (DAK-DR) Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan bahwa untuk membiayai kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah, disediakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Dana Reboisasi yang Harus digunakan secara efektif dan efesien sehingga mencapai keberhasilan penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Keadaan tersebut mengakibatkan hutan dan lahan kritis di wilayah Kab. Katingan tidak segera diatasi, karena kurangnya komitmen Bupati Katingan untuk segera merealisasikan kegiatan RHL yang bersumber dari DAK-DR. Atas permasalahan tersebut pihak Dinas Kehutanan Kab. Katingan menyatakan bahwa Tidak maksimalnya penyerapan DAK-DR di Kabupaten Katingan karena sampai dengan akhir tahun 2006 rencana lokasi yang telah disusun perencanaan teknisnya (Rantek) baru mencapai kurang lebih 26.000 Ha, bahkan berdasarkan perhitungan kondisi dana DAK-DR yang ada di rekening Pemerintah Kabupaten Katingan saat ini masih belum cukup untuk membiayai kegiatan RHL seluas 26.000 Ha tersebut. BPK-RI menyarankan kepada Bupati Katingan agar segera memanfaatkan DAK-DR yang ada untuk melaksanakan kegiatan RHL guna percepatan pemulihan kerusakan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan melaporkan rencana dan realisasi penggunaan DAK-DR secara periodik.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
57
BAB V KESIMPULAN
Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan isu nasional dan internasional yang penting pada saat ini. Berdasarkan laporan Bank Dunia tentang Kondisi Perubahan Iklim di Indonesia disebutkan bahwa Indonesia termasuk penyumbang terbesar Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan. Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan antara lain disebabkan oleh pengundulan hutan dan kebakaran hutan. Di samping dampak terhadap perubahan iklim, pengundulan hutan di Indonesia juga sudah sangat merisaukan karena berdasarkan data Baplan tahun 2000 laju kerusakan hutan adalah 1,5 s/d 2,8 juta Ha pertahun. Laju kerusakan yang begitu pesat perlu diikuti dengan upaya yang intensif untuk merehabilitasinya. Pemerintah telah berupaya merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan tersebut dengan melakukan program GN-RHL dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan menggunakan DAK-DR. Upaya yang dilakukan pemerintah melibatkan juga aparat pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota serta masyarakat di wilayah sekitar hutan dan lahan yang rusak. Hasil Pemeriksaan BPK-RI atas pelaksanaan GN-RHL dan RHL dengan DAK-DR di Provinsi Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa secara umum upaya pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah belum berhasil untuk mencapai target yang diharapkan sebelumnya. Dengan mengingat laju pertambahan kerusakan hutan dan lahan diatas maka ketidakmampuan pemerintah mencapai target tersebut lebih lanjut akan berdampak kepada semakin bertambahnya hutan dan lahan yang rusak di Kalimantan Tengah. Di samping pencapaian target diatas, masih ditemukan penyaluran DAK-DR yang tidak sesuai dengan ketentuan dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang tidak hemat, tidak efektif, dan melanggar ketentuan mengakibatkan pemborosan keuangan negara sebesar Rp825.404.300,00, kerugian negara sebesar Rp4.015.456.000,00 dan upaya meningkatkan kualitas DAS Kahayan menjadi tidak berhasil, dengan perincian sebagai berikut : 1. Penanaman turus jalan yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2006 tidak berhasil sehingga penggunaan biaya pembuatan tanaman turus jalan sebesar Rp468.450.000,00 dan tujuan pembuatan tanaman turus jalan untuk memperbaiki kualitas lingkungan tidak efektif. 2. Bibit sebanyak 185.000 batang senilai Rp237.300.000,00 pada Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas tidak bisa dimanfaatkan sehingga pembuatan tanaman hutan rakyat seluas 500 Ha dengan menanam bibit sebanyak tersebut di atas tidak tercapai. 3. Bibit untuk pembuatan tanaman hutan rakyat sebanyak 65.563 batang dengan nilai Rp119.654.300,00 tidak ditanam oleh Kelompok Tani sehingga pembuatan tanaman hutan rakyat untuk memperbaiki kualitas lingkungan dengan menanam bibit sebanyak tersebut di atas tidak tercapai.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
58
4. Pengamanan dan pemeliharaan hasil kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dishutbun Kab. Pulang Pisau lemah sehingga areal yang telah dilakukan rehabilitasi dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas lingkungan menjadi tidak tercapai. 5. Ketidakselarasan TGHK dan RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah mempersulit penentuan sasaran lokasi kegiatan RHL dan pelaksanaan RHL. 6. Pendapatan Jasa Giro Rekening DAK-Dana Reboisasi sebesar Rp4.736.398.093,00 digunakan untuk keperluan di luar kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan sehingga mengurangi pencapaian kegiatan RHL. 7. Penetapan Izin Usaha Perkebunan atas nama PT Sukajadi Sawit Mekar oleh Bupati Kotawaringin Timur pada Eks Areal HPH PT Mentaya Kalang tidak sesuai dengan ketentuan sehingga terjadi kerugian negara sebesar Rp3.922.956.000,00 atas kegiatan Rehabilitasi Hutan Produksi tahun 2004 dan tahun 2005. 8. Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat seluas 500 Ha di Kabupaten Kapuas tidak sesuai ketentuan sehingga merugikan negara sebesar Rp92.500.000,00. 9. Penyusunan Rencana Kegiatan GN-RHL Provinsi Kalimantan Tengah tidak efektif untuk mencapai tujuan GN-RHL sehingga pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan tidak dapat meningkatkan kualitas DAS secara optimal. 10. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah belum menetapkan Lembaga Penilai Independen (LPI)/Penyediaan Jasa Konsultansi untuk melaksanakan Penilaian Kinerja sehingga pemeliharaan tanaman tahun pertama dan kedua belum bisa dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kab/Kota di Provinsi Kalimantan tengah. Kondisi di atas antara lain terjadi karena pemerintah tidak tegas dalam menentukan lokasi RHL hanya di lokasi yang menjadi prioritas DAS, belum sepenuhnya berkomitmen secara berjenjang untuk merehabilitasi hutan dan lahan, kurang melakukan koordinasi di antara pihak yang terkait dan belum optimal meningkatkan sistem anggaran agar terintegrasi dengan proses penanaman.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah
59
Lampiran
Perhitungan Kelebihan Pembayaran Kegiatan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat di Kabupaten Kapuas 1. Pemborosan Keuangan Negara kegiatan pembuatan tanaman Hutan Rakyat sebesar Rp99.000.000,00, terdiri atas: a. Kelompok Tani pada Kecamatan Mantangai Pemborosan Volume Realisasi Selisih Harga Uraian No. utk 1 KTP SPKS Volume Volume Satuan 1 Pengadaan dan pemasangan ajir (btg) 2 Pembuatan lobang & piringan tanaman (btg)
10.000 10.000
1.500 1.500
8.500 8.500
200,00 400,00
1.700.000,00 3.400.000,00 5.100.000,00
Jumlah pemborosan pada 10 Kelompok Tani di Kecamatan Mantangai sebesar Rp51.000.000,00 (Rp5.100.000,00 x 10). b. Kelompok Tani pada Kecamatan Kapuas Murung (10 Kelompok Tani) Volume Realisasi Uraian No. SPKS Volume 1 Pengadaan dan pemasangan ajir (btg) 2 Pembuatan lobang & piringan tanaman (btg)
10.000 10.000
Selisih Volume
2.000 2.000
8.000 8.000
Harga Satuan 200,00 400,00
Pemborosan utk 1 KTP 1.600.000,00 3.200.000,00 4.800.000,00
Jumlah pemborosan pada 10 Kelompok Tani di Kecamatan Kapuas Murung sebesar Rp48.000.000,00 (Rp4.800.000,00 x 10).
2. Kelebihan pembayaran ke 20 Kelompok Tani sebesar Rp92.500.000,00, terdiri atas : a. Kelompok Tani pada Kecamatan Mantangai No.
Uraian 1 Pengangkutan bibit (btg) 2 Penanaman (btg) 3 Pemeliharaan: a. Penyulaman (btg)
Volume SPKS
Realisasi Volume
Selisih Volume
Harga Satuan
Kelebihan Bayar utk 1 KTP
11.000 10.000
1.500 1.500
9.500 8.500
100,00 400,00
950.000,00 3.400.000,00
1.000
-
1.000
400,00
400.000,00 4.750.000,00
Jumlah kelebihan bayar pada 10 Kelompok Tani di Kecamatan Mantangai sebesar Rp47.500.000,00 (Rp4.750.000,00 x 10). b. Kelompok Tani pada Kecamatan Kapuas Murung (10 Kelompok Tani) Volume Realisasi Uraian No. SPKS Volume 1 Pengangkutan bibit (btg) 2 Penanaman (btg) 3 Pemeliharaan: a. Penyulaman (btg)
Selisih Volume
Harga Satuan
Kelebihan Bayar utk 1 KTP
11.000 10.000
2.000 2.000
9.000 8.000
100,00 400,00
900.000,00 3.200.000,00
1.000
-
1.000
400,00
400.000,00 4.500.000,00
Jumlah kelebihan bayar pada 10 Kelompok Tani di Kecamatan Kapuas Murung sebesar Rp45.000.000,00 (Rp4.500.000,00 x 10).
60
DAFTAR REKAPTULASI HASIL PEMERIKSAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Usulan
Rincian Penyimpangan (Rp) No
Nama Obrik/
Anggaran
Realisasi
Nilai yang
%
Total Penyimpangan
Sasaran
(Rp)
(Rp)
Diperiksa
Carik
Yang Ditemukan
Ketertiban dan Ketaatan Indikasi Kerugian
1
Jenis Entitas
Jml
2
3
4
5
6
7=6:5
Jml 8
Temuan
Nilai 9
% 10=9:6
Jml 11
Nilai 12
% 13=12:6
Jml 14
Nilai 15
% 16=15:6
Jml 17
-
-
Nilai 18
% 19=18:6
Pokok
dan
Jumlah 2 K
Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan
Penerimaan
Pada saat Pemeriksaan 1
Kehematan
Kekurangan
Efektifitas
Temuan
Efisiensi Jml 20
Nilai 21
% 22=21:6
Jml 23
4.015.456.000,00
4,30%
-
Nilai 24
Ikhtisar % 25=24:6
Jml 26
Nilai 27
% 28=27:6
KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TA 2003 sd 2007
221.927.224.000,00
93.380.794.305,00
93.380.794.305,00
100,00%
18 1 Ketidakselarasan TGHK dan
5.009.183.600,00
5,36%
2 4.015.456.000,00
4,30%
-
-
-
2
99.000.000,00
-
16
894.727.600,00
RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah Mempersulit
1
-
1
-
1
-
penentuan Sasaran Lokasi Kegiatan RHL 2 Penyusunan Rencana Kegiatan GN-RHL Provinsi Kalimantan Tengah Tidak Efektif Untuk Mencapai Tujuan GN-RHL 3 Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Belum Menetapkan LPI/Penyediaan Jasa Konsultansi Untuk Melaksanakan Penilaian Kinerja 4 Penanaman Turus Jalan Yang Dilaksanakan Oleh Dinas Kehutanan Provinsi
1
468.450.000,00
Kalimantan Tengah Tahun 2006 Tidak Berhasil 5 Pelaksanaan Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Di Kab. Kapuas Seluas 225 ha
1
-
tidak efektif 6 Bibit Sebanyak 185.000 batang Pada Dinas Kehutanan Kab. Kapuas
1
237.300.000,00
1
61.710.000,00
Tidak Ditanam 7 Dinas Kehutanan Kab. Kapuas Belum Membuat SPKS Kepada Dua Kelompok Tani Yang Sudah Menerima Bibit 8 Bibit Tanaman Kayu-kayuan Jenis Belangiran Sebanyak 2.960 batang Tidak Ditanam
1
-
Oleh Kelompok Tani Berkat Baik 9 Bibit Jenis Jelutung Sebanyak 4.007 Batang Tidak Ditanam Oleh
1
7.613.300,00
1
119.654.300,00
Kelompok Tani Karya Kami 10 Bibit Jenis Kayu-kayuan Sebanyak 65.563 Batang Di Kabupaten Pulang Pisau Tidak Ditanam Oleh Kelompok Tani 11 Penetapan Lokasi Pengembangan Dan Pengkayaan Hutan Rakyat Di Kawasan Hutan Produksi
1
-
0,96%
HAPSEM 29
Rincian Penyimpangan (Rp) No
Nama Obrik/
Anggaran
Realisasi
Nilai yang
%
Total Penyimpangan
Sasaran
(Rp)
(Rp)
Diperiksa
Carik
Yang Ditemukan
Kekurangan
Pada saat Pemeriksaan 1
Jenis Entitas
Jml
2
3
4
5
6
7=6:5
Jml 8
Temuan
Usulan
Ketertiban dan Ketaatan Indikasi Kerugian Nilai 9
Penerimaan % 10=9:6
Jml 11
Nilai 12
% 13=12:6
Jml 14
Nilai 15
Kehematan
% 16=15:6
Jml 17
Nilai 18
% 19=18:6
Pokok
dan
Jumlah 2 K
Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan
Efektifitas
Efisiensi Jml 20
Nilai 21
% 22=21:6
Jml 23
Nilai 24
Ikhtisar % 25=24:6
Jml 26
Nilai 27
12 Pemilihan Jenis Tanaman Hutan Rakyat Di Kab. Pulang Pisau Kurang
1
-
1
-
1
-
1
-
1
-
Memperhitungkan Kesesuaian Tempat Tumbuh 13 Pengamanan Hasil Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Dishutbun Kab. Pulang Pisau Dari Kebakaran Kurang Memadai 14 Penentuan Calon Lokasi Pengkayaan Hutan Produksi Seluas 500 Ha Di Kab. Kotim Lemah 15 Penetapan Izin Usaha Perkebunan Atas Nama PT SSM Oleh Bupati Kotim pada
1 3.922.956.000,00
Eks Areal HPH PT MK Menyalahi Ketentuan 16 Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Seluas 500 ha Di Kab. Kapuas Tidak Sesuai
1
92.500.000,00
99.000.000,00
Ketentuan 17 Pendapatan Jasa Giro Rekening DAK-DR Digunakan Untuk Keperluan Diluar Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan 18 Realisasi Penggunaan DAKDR Untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kab. Katingan Tidak Maksimal
Temuan % 28=27:6
HAPSEM 29
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
HASIL PEMERIKSAAN SEMESTER II TAHUN ANGGARAN (TA) 2007 ATAS
KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (RHL) DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA IV
Nomor : 06/LHP/XVII/01/2008 Tanggal : 31 Januari 2008
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN EKSEKUTIF………............................................................................................................ BAB I
i
PENDAHULUAN Dasar Pemeriksaan…….................................................................................................................
1
Standar Pemeriksaan.....................................................................................................................
1
Tujuan Pemeriksaan......................................................................................................................
1
Sasaran Pemeriksaan.……………………………………………………………................................
1
Obyek Pemeriksaan………………………..…...………………………………………………………
1
Lingkup Pemeriksaan….................................................................................................................
2
Jangka Waktu Pemeriksaan …………………………………………………………...……………….
2
Metodologi Pemeriksaan................................................................................................................
2
Batasan Pemeriksaan……………………………………. ……………………………………………..
3
Kriteria Pemeriksaan..……………………………………..................................................................
3
BAB II GAMBARAN UMUM Hutan di Indonesia: Status dan Fungsi..........................................................................................
4
Kondisi Hutan Indonesia................................................................................................................
4
Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Kalimantan Barat......................................................................
6
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan............................. ..........................................................
6
Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan ..........................................................................................
8
Upaya Penanggulangan Hutan dan Lahan Kritis ..........................................................................
8
Pembiayaan RHL ..........................................................................................................................
8
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) ........................................................
9
Anggaran GN-RHL di Kalimantan Barat ........................................................................................
11
Realisasi GN-RHL di Kalimantan Barat .........................................................................................
12
PP RI No.89 Tahun 2007 Tentang GN-RHL..................................................................................
14
Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) .........................................................................
14
DAK-DR di Kalimantan Barat ........................................................................................................
15
Perubahan DAK-DR Menjadi DBH ................................................................................................
16
Sistem Pengendalian Intern RHL ................................................................................................
17
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA
20
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN Kegiatan RHL Tahun 2004 dan 2005 dengan Sumber Dana DAK-DR pada 5 (Lima) Kabupaten di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Tidak Dapat Dilaksanakan Sesuai Rencana.....................
21
Perbaikan Lingkungan Pantai Melalui Kegiatan Penanaman Vegetasi Mangrove Seluas 100 Ha dan Rehabilitasi Hutan Konservasi di Taman Nasional Danau Sentarum Seluas 400 Ha Sebesar Rp908.580.000,00 Tidak Efektif.....................................................................................
24
Pembuatan Tanaman Reboisasi dan Tanaman Hutan Rakyat Tahun 2006 Dengan Nilai Sebesar Rp27.474.226.100,00 di 4 (Empat) Kabupaten Wilayah Kalimantan Barat Tidak Berhasil......................................................................................
28
Komposisi Multi Purpose Tree Species (MPTS) pada Pengadaan Bibit Kegiatan GN-RHL di Provinsi Kalimantan Barat Tidak Sesuai Ketentuan......................................................................
30
Komposisi Multi Purpose Tree Species (MPTS) Pada Pengadaan Bibit Kegiatan Hutan Rakyat Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Bengkayang Sumber Dana DAK-DR Tahun 2004 Tidak Sesuai Ketentuan..........................................................................................................................
32
Pembuatan Hutan Rakyat Seluas 200 Ha dan Reboisasi Hutan Lindung Seluas 1.680 Ha pada Kegiatan GN-RHL Kabupaten Ketapang, Bengkayang, Landak Dilaksanakan pada Lokasi Yang Tidak Tepat..........................................................................................................................
35
Pembuatan Hutan Rakyat Seluas 320 Ha dan Reboisasi Hutan Lindung Seluas 50 Ha pada Kegiatan RHL DAK-DR Tahun 2006 Kabupaten Ketapang Dilaksanakan pada Lokasi Yang Tidak Tepat...................................................................................................................................
40
KESIMPULAN...........................................................................................................................................
43
LAMPIRAN ...............................................................................................................................................
45
RINGKASAN EKSEKUTIF Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan di Indonesia mempunyai fungsi untuk mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, melindungi sistem penyangga kehidupan dan memproduksi hasil hutan. Hutan mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Kualitas hutan perlu dipelihara agar dapat berfungsi dengan baik. Kualitas hutan yang buruk seperti kritis dan gundul akan cenderung mengakibatkan banyak ekosistem yang rusak dan meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kehutanan dan Instansi terkait lainnya, diketahui luas hutan serta lahan kritis di wilayah Provinsi Kalimantan Barat posisi per tahun 2007 adalah seluas 3.440.832,04 Ha, sedangkan luas hutan dan lahan 14.285.030,01. Hutan dan lahan kritis seluas 3.440.832,04 Ha tersebut harus segera direhabilitasi agar dapat berfungsi dengan normal dan dapat mempertahankan serta meningkatkan kualitas DAS. Pemerintah Pusat dan Daerah telah melakukan upaya merehabilitasi hutan dan lahan melalui program GN-RHL sejak tahun 2003 s.d. 2007 dan RHL dari DAK-DR. Kegiatan-kegiatan ini dibiayai dari Dana Reboisasi yang dipungut dari perusahaan-perusahaan yang melakukan eksploitasi hutan. Jumlah realisasi program GN-RHL di Provinsi Kalimantan Barat posisi per Semester I Tahun 2007 adalah seluas 36.225 Ha, sedangkan target program GN-RHL seluas 65.975 Ha. Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPKRI) telah melakukan pemeriksaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang dibiayai dengan Dana APBN dan APBD Tahun 2003 s.d. 2007 pada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Kapuas, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Landak, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkayang, Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang, Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu. Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Tahun 2007 dan Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) BPK-RI Tahun 2002. Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai apakah pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah telah sesuai dengan ketentuan, entitas telah menggunakan dana tersebut untuk kegiatan yang sesuai dengan ketentuan, dan kegiatan RHL telah dilaksanakan dengan hemat dan efektif. Sasaran pemeriksaan di fokuskan kepada perencanaan RHL, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan kelemahan-kelemahan yang mempengaruhi kinerja pelaksanaan RHL di Provinsi Kalimantan Barat, antara lain sebagai berikut : Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat i
Efektivitas Pencapaian Target GN-RHL dan RHL DAK-DR Realisasi fisik kegiatan RHL yang didanai dari APBN melalui Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) Tahun 2003 s.d. 2006 hanya mencapai seluas 36.625 Ha sedangkan untuk Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) tidak ada pihak yang mendata realisasinya, sehingga disimpulkan bahwa kegiatan RHL yang didanai dari APBN maupun DAK-DR Tahun 2003 s.d. 2006 belum dapat mengurangi secara signifikan lahan kritis di wilayah Provinsi Kalimantan Barat yaitu seluas 3.440.832,04 Ha. Pemborosan Penggunaan Dana RHL Ditemukan pemborosan penggunaan dana reboisasi sebesar Rp28.382.806.100,00 yang disebabkan oleh lemahnya perencanaan, pengadaan bibit dan pembuatan serta pemeliharaan tanaman, dengan perincian : 1. Perbaikan lingkungan pantai melalui kegiatan penanaman vegetasi mangrove seluas 100 Ha dan rehabilitasi hutan konservasi di Taman Nasional Danau Sentarum seluas 400 Ha sebesar Rp908.580.000,00 tidak efektif sehingga kegiatan rehabilitasi kawasan pasang surut dan rehabilitasi hutan konservasi masing-masing di Desa Pesaguan Kanan dan Taman Nasional Danau Sentarum dengan biaya minimal sebesar tersebut di atas tidak berhasil dan tujuan rehabilitasi hutan konservasi di Taman Nasional Danau Sentarum adalah untuk memulihkan ekosistem yang rusak karena bekas kebakaran agar dapat berfungsi kembali secara optimal dalam mendukung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari bagi kepentingan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional ini tidak tercapai. Hal tersebut disebabkan karena kecerobohan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang dan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat dalam menyusun Rancangan Teknik yang tidak memperhatikan ketentuan Menteri Kehutanan tentang penanaman hutan mangrove dan tidak efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh Bupati Ketapang terhadap kegiatan RHL di wilayah Kabupaten Ketapang. 2. Pembuatan tanaman reboisasi dan tanaman hutan rakyat tahun 2006 dengan nilai sebesar Rp27.474.226.100,00 di 4 (empat) Kabupaten Wilayah Kalimantan Barat tidak berhasil sehingga kegiatan RHL pada Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang tahun 2006 sebesar tersebut di atas tidak efektif dan tujuan dari kegiatan pembuatan tanaman reboisasi dan pembuatan tanaman hutan rakyat di Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang tidak tercapai. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya sosialisasi dan koordinasi antara BP-DAS dengan masing-masing Pihak dari Dinas Kehutanan Kabupaten dalam menyusun perencanaan kegiatan RHL di Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat ii
Kepatuhan Entitas Pengelola Dalam Melaksanakan RHL Entitas Pengelola menggunakan dana pemerintah pusat dan daerah untuk merehabilitasi hutan dan lahan tidak sesuai dengan ketentuan sehingga mengurangi kualitas DAS dengan perincian : Kegiatan RHL Tahun 2004 dan 2005 dengan Sumber Dana DAK-DR pada 5 (lima) Kabupaten di wilayah Provinsi Kalimantan Barat tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana sehingga rencana definitif kegiatan RHL yang disusun oleh masing-masing Bupati di Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004 dan 2005 tidak efektif dan penggunaan DAK-DR untuk program RHL di Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu, sebagai upaya penanggulangan kerusakan hutan di wilayah kelima kebupaten tersebut menjadi tidak maksimal. Hal tersebut disebabkan karena DAK-DR diterima oleh Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu tidak tepat waktu. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, BPK-RI menyarankan agar dilakukan perbaikan kinerja di masa mendatang dan segera diambil langkah-langkah tindak lanjut sesuai saran/rekomendasi yang dimuat dalam hasil pemeriksaan ini. BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Penanggung Jawab Pemeriksaan,
HADI PRIYANTO NIP. 240000961
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat iii
BAB I PENDAHULUAN
Dasar Pemeriksaan
Dasar pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah : 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 E; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. 3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
Standar Pemeriksaan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK-RI Tahun 2007.
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah untuk menilai apakah: 1. Pengalokasian dan penyaluran dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan telah sesuai dengan ketentuan; 2. Entitas pengelola menggunakan dana rehabilitasi hutan dan lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah dilaksanakan dengan ekonomis dan efektif untuk mencapai tujuan RHL.
Sasaran Pemeriksaan
Untuk mencapai tujuan pemeriksaan tersebut maka sasaran pemeriksaan diarahkan pada area kunci kegiatan RHL dengan mempertimbangkan resiko manajemen dari sisi ekonomi, efisiensi dan efektivitas serta kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mempertimbangkan resiko tersebut, maka area kunci pemeriksaan diarahkan pada hal-hal berikut: 1. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 2. Pengadaan bibit yang dilaksanakan baik secara swakelola, penunjukan langsung maupun pelelangan kepada pihak kontraktor. 3. Pembuatan dan pemeliharaan tanaman baik yang dilakukan secara swakelola maupun oleh Kelompok Tani. Area kunci pemeriksaan tersebut akan disesuaikan dengan perkembangan pemeriksaan di lapangan dan dari waktu ke waktu pada saat pemeriksaan berlangsung.
Obyek Pemeriksaan
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Kapuas, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Landak, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkayang, Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang, Dinas Kehutanan Kabupaten Kapuas Hulu.
Hasil Pemeriksaan-Rehabiltasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 1
Lingkup Pemeriksaan
Lingkup Pemeriksaan adalah Tahun 2006 s.d. 2007, khusus untuk penilaian efektivitas dilakukan terhadap hasil kegiatan periode 2003 s.d 2007.
Jangka Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan dilaksanakan selama 30 hari, mulai tanggal 3 September 2007 sampai dengan tanggal 2 Oktober 2007 berdasarkan Surat Tugas Anggota/Pembina Auditama Keuangan Negara IV No.03 /ST/VIII-XIV/08 /2007 tanggal 27 Agustus 2007.
Metodologi Pemeriksaan
Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan Lahan dilaksanakan dengan menggunakan metodologi pemeriksaan sebagai berikut : 1. Evaluasi dan analisa data dan dokumen yang diberikan oleh Unit Kerja Yang Diperiksa (Unit Kerja). Pemeriksaan RHL yang dilakukan adalah pemeriksaan atas kegiatan yang telah selesai dilaksanakan oleh unit kerja yang diperiksa (Post Audit). Pemeriksa mendasarkan pemahaman dan pembuktian atas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan oleh Unit Kerja. Berkaitan dengan hal tersebut realisasi pengadaan bibit termasuk jumlah yang sebenarnya diserahkan kepada para petani, realisasi penanaman, pemberian pupuk dan kegiatan lainnya dievaluasi dan direview serta diperiksa hanya berdasarkan data dan dokumentasi yang diberikan. Termasuk dalam hal ini pengujian atas keberhasilan penanaman hanya dilakukan dengan menggunakan data dan dokumentasi laporan hasil penilaian lembaga independen. 2. Pengamatan (observasi) Fisik ke Lapangan Sebagai upaya untuk menyakinkan realisasi pelaksanaan rehabilitasi hutan, Pemeriksa juga melakukan uji petik secara sangat terbatas ke lokasi penanaman atau RHL. 3. Wawancara Pemeriksaan juga melakukan pengumpulan informasi terkait kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait. 4. Uji Petik (sampling) Pemeriksaan dilakukan tidak atas populasi kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Pemeriksaan menggunakan mekanisme sampling dengan memperhatikan faktorfaktor seperti ketersediaan sumber daya manusia dan waktu serta risiko terjadinya ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan serta ketidakpatuhan. Pendekatan uji petik ini dilakukan dalam menentukan kabupaten/Kota yang akan diuji petik, lokasi hutan dan lahan yang akan diobservasi, dokumen-dokumen yang akan dibahas dan kegiatan-kegiatan yang akan diuji. 5. Sistem Pengendalian Intern Pemahaman dan evaluasi atas efektivitas sistem pengendalian intern dilakukan untuk mengidentifikasikan area kunci, fokus pemeriksaan, daerah yang akan diuji petik dan kegiatan serta dokumen yang akan diuji lebih mendalam. Jika ditemukan kelemahan terkait dengan sistem pengendalian intern maka akan disajikan dalam laporan sebagai temuan tersendiri dan atau bagian dari penyajian temuan pemeriksaan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 2
Batasan Pemeriksaan
Pemeriksaan RHL ini dilaksanakan dengan batasan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan atas tingkat keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan hanya dilakukan atas laporan hasil penilaian yang dilakukan oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh unit kerja. BPK-RI tidak melakukan penilaian secara khusus atas pelaksanaan rehabilitasi lahan. Untuk wilayah yang belum dilakukan penilaian maka BPK-RI tidak menilai tingkat keberhasilan wilayah tersebut. 2. BPK-RI juga tidak melakukan penilaian atas kebenaran metodologi dan mekanisme penilaian lembaga independen penilai keberhasilan RHL. 3. Pemeriksaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tidak dilakukan atas rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan dengan menggunakan dana swasta atau di luar pemerintah.
Kriteria Pemeriksaan
Kriteria atau standar yang akan digunakan untuk menilai pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) diantaranya adalah: 1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 2. UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 4. UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah; 5. Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 6. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi; 7. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; 8. Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahan-perubahannya; 9. Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No.09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No.Kep16/M.Ekon/03/2003, No.Kep08/ Menko/Polkam/III/2003 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Hidup Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional; 10. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan No.18/Kep/Menko/Kesra/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan RHL;
Rakyat
11. Berbagai Keputusan Menteri Kehutanan tentang Standar Harga Bibit, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Kegiatan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 3
BAB II GAMBARAN UMUM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
Hutan di Indonesia Status dan Fungsi
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan UU tentang Kehutanan status hutan di Indonesia terbagi dua yaitu : 1. Hutan Negara Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat yang ditetapkan statusnya oleh Pemerintah. 2. Hutan Hak Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan di Indonesia memegang peranan yang sangat penting baik dari segi ekonomi dan lingkungan hidup. Secara garis besar terdapat tiga fungsi utama hutan, yaitu : 1. Fungsi Konservasi Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 2. Fungsi Lindung Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3. Fungsi Produksi Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Sesuai dengan data Departemen Kehutanan, luas hutan di Indonesia adalah sebagai berikut : Tabel 1: Luas Hutan di Indonesia Berdasarkan Fungsi Kawasan a. Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi Terbatas d. Hutan Produksi Tetap e. Hutan Produksi Yang Dapat Di Konversi f. Fungsi Hutan Khusus Jumlah Luas Daratan Kawasan Hutan Jumlah Luas Kawasan Hutan dan Perairan
Luas (Ha) 23,597,991.57 31,782,576.02 21,717,309.26 35,813,616.43 14,057,816.00 7,268.00 123,459,513.58 126,976,577.28
Sumber : Web Site Departemen Kehutanan (Badan Planologi Kehutanan)
Kondisi Hutan Indonesia
Hutan memenuhi dua pertiga dari luas daratan Indonesia (kurang lebih 120 juta hektar). Hutan Indonesia merupakan habitat tempat 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, serta 17 persen spesies burung dan juga tempat jenis palem terbanyak di dunia. Kenyataan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaaan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia. Selama 50 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hingga 40% dari seluruh luas hutannya. Laju
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 4
degradasi hutan/deforestasi di wilayah Indonesia mencapai 1,5 juta Ha sampai 2,8 juta Ha per tahun1. Meskipun keprihatinan akan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari meluasnya kerusakan hutan tropis, tetap saja tingkat kerusakan hutan dan lahan meningkat dengan drastis. Kerusakan hutan tersebut menimbulkan lahan kritis yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Meningkatnya lahan kritis yang merupakan tanda dari kerusakan hutan dan lahan ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak baik secara nasional maupun internasional. Gambar 1 : Hutan dan Lahan Kritis
Departemen Kehutanan telah melakukan inventarisasi atas indikasi luas hutan dan lahan kritis pada tahun 2000 dan 2003. Hasil inventarisasi menunjukkan laju pertambahan hutan dan lahan kritis yang cukup drastis yaitu 177 % dari semula 56,98 juta Ha di tahun 2000 menjadi 100,6 juta Ha di tahun 2003. Pertambahan hutan lahan kritis terutama terjadi di luar kawasan hutan. Gambar 2.: Grafik Pertambahan Hutan dan Lahan Kritis 2000-2003
Luas (Ha)
70.000.000 60.000.000 50.000.000 40.000.000
Dalam Kawasan Luar Kawasan
30.000.000 20.000.000 10.000.000 2000
2003 Tahun
Sumber: Laporan Updating Database RHL, Departemen Kehutanan, 2006
Berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan hutan dan lahan yang mengalami kerusakan lebih dari 67,64 juta Ha yang terdiri atas 39,12 juta Ha dalam kawasan hutan dan 28,52 juta Ha di luar kawasan hutan. 1
Baplan Departemen Kehutanan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 5
Kondisi Hutan dan Lahan Kritis di Kalimantan Barat
Berdasarkan data spatial lahan kritis Tahun 2003 s.d Tahun 2007, diketahui bahwa luas hutan dan lahan kritis di Provinsi Kalimantan Barat mencapai 3.440.832,04 hektar, yang terdiri dari lahan kritis di dalam kawasan hutan sebesar 601.791,60 hektar dan luas lahan kritis di luar kawasan hutan sebesar 2.839.040,44 hektar, yaitu dengan rincian sebagai berikut: Tabel 2 : Luasan Wilayah dan Lahan Kritis di Provinsi Kalimantan Barat
NO KABUPATEN/KOTA
LAHAN KRITIS DIDALAM DILUAR KAWASAN KAWASAN HUTAN (Ha) HUTAN (Ha) 28.015,91 178.994,98 70.940,22 230.111,95
TOTAL
1 2
Bengkayang Kapuas Hulu
548.714,38 2.975.089,15
3
Ketapang
3.412.088,23
123.391,52
638.643,68
762.035,20
4
Kota Singkawang
83.555,89
0,16
29.379,27
29.379,43
5
Landak
625.913,28
36.978,92
210.030,27
247.009,19
6
Melawi
1.008.334,34
99.502,11
162.765,58
262.267,69
7
Pontianak
1.028.540,45
58.940,23
185.327,46
244.267,69
8
Pontianak Kota
10.996,83
-
7.420,54
7.420,54
9
Sambas
583.187,72
14.154,53
218.578,46
232.732,99
10
Sanggau
1.255.209,95
31.954,39
276.790,57
308.744,96
11
Sekadau
553.499,63
12.740,74
237.099,73
249.840,47
12
Sintang
2.199.900,16
125.172,87
463.897,95
589.070,82
14.285.030,01
601.791,60
2.839.040,44
3.440.832,04
JUMLAH
Penyebab Kerusakan Hutan dan Lahan
Luas Wilayah (Ha)
207.010,89 301.052,17
Kerusakan hutan dan lahan merupakan masalah yang serius yang jika tidak ditangani dengan baik dan serius akan menimbulkan dampak yang besar bagi perekonomian dan lingkungan. Kerusakan hutan dan lahan pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab baik yang disebabkan oleh ulah manusia dan alam. Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Penebangan hutan (produksi hutan) tanpa upaya rehabilitasi yang optimal. Pemberian Ijin Hak Pengusahaan Hutan kepada perusahaan-perusahaan mendorong kegiatan pemanfaatan potensi hutan seperti kayu. Pemberian ijin pengusahaan hutan ini seyogyanya diikuti juga dengan upaya rehabilitasi atau upaya-upaya lainnya yang menjamin kelestarian hutan di wilayah ijin pengusahaan hutan. Ketimpangan antara upaya pelestarian dan produksi telah meningkatkan pengundulan dan kerusakan hutan. Tabel 3 : Jatah Produksi Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam Tahun 2003 – 2005 No.
Tahun Produksi
Jatah Produksi (M3)
1.
2003
6,892,000
2.
2004
5,743,759
3.
2005
5,456,470
Jumlah
18,092,229
Sumber : SK Dirjen BPK No. 02/Kpts/VI-PHA/2003, No. 47/Kpts/VI-PH/2003 dan No 195/VI-BPHA/2004
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 6
Lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberikan andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal kriteria Departemen Kehutanan mengenai Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sebenarnya sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang telah dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. “api di lapangan, kriteria itu tidak berjalan akibat lemahnya pengawasan,” kata Soekotjo2. 2. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan/atau lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan/atau hasil hutan. Kebakaran hutan ini telah menimbulkan kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar. Kebakaran hutan dan lahan terjadi baik karena ulah manusia maupun karena faktor alam. Kebakaran hutan dapat disebabkan karena ulah masyarakat dan atau pengusaha yang membutuhkan lahan untuk areal pemukiman dan atau pertanian/perkebunan. Masyarakat dan pengusaha membuka lahan atau melakukan pembersihan lahan (Land Clearing) dengan cara membakar lahan yang berpotensi merusak lingkungan, menambah kerusakan hutan dan mencemari udara. Selain karena pembukaan hutan, kebakaran hutan juga disebabkan oleh ulah manusia yang membakar sampah dan membuang puntung rokok sembarangan di areal hutan dan lahan serta kondisi lahan yang terbuka sehingga memudahkan terjadinya kebakaran pada waktu musim kemarau yang sangat panas dan lama. Kebakaran hutan dan lahan karena musim kemarau yang sangat panjang dan panas ini banyak terjadi di daerah gambut di Kalimantan Tengah dan Selatan. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Doktor Soekotjo, kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1997, membuat hampir 70% hutan terbakar. 3 3. Illegal Logging Penjarahan hutan masih tetap berlaku dan terus berlangsung hingga sekarang. Illegal logging terjadi antara lain karena adanya ketimpangan pasokan dan permintaan, lemahnya penegakan hukum, dan masalah kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Illegal logging meningkatkan proses pengundulan dan kerusakan hutan. Tabel 4 : Perbandingan antara pasokan dan kebutuhan kayu tahun 1999 Kebutuhan dan Produksi Kayu
Volume (Juta M3)
Kebutuhan Kayu Bulat (1999) a. Industri Terkait HPH b. Industri tidak Terkait HPH Total Kebutuhan per tahun
41,09 17,15 58,24
Produksi Kayu Bulat (1995 – 1999) Produksi Rata-rata pertahun
25,36
Kesenjangan produksi dan kebutuhan
32,88
Sumber : Rencana Strategic Departemen Kehutanan dan Perkebunan 2001-2005 (Pusat Data dan Perpetaan, Baplan, tahun 2000)
2 3
Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia. Tempo Interaktif tanggal 3 Maret 2004 Illegal Loging Penyebab Terbesar Kerusakan Hutan Indonesia.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 7
Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Lantaran hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar. 4. Alih fungsi hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk mendorong munculnya kebutuhan akan lahan untuk areal pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kebutuhan akan sumber pangan dan bahan baku industri (CPO dan komoditi lainnya) meningkatkan peralihan fungsi hutan menjadi lahan-lahan non kehutanan. Hal inilah yang meningkatkan jumlah pengundulan hutan dan kerusakan hutan dan lahan. Dampak Kerusakan Hutan dan Lahan
Kerusakan hutan dan lahan akan mengakibatkan antara lain: 1. Rusaknya fungsi Konservasi dari hutan telah menimbulkan punahnya keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Harimau Sumatera dan Orangutan di Kalimantan Tengah telah menjadi spesies yang paling langka di dunia. 2. Rusaknya Fungsi Lindung dari hutan telah mengakibatkan : a. Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau; b. Terjadinya arus permukaan tanah (run-off) pada waktu musim hujan yang dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Bencana ekologi tersebut telah menimbulkan kerugian nasional yang besar berupa kerusakan infrastruktur, berbagai aset pembangunan serta terganggunya tata kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan menyebabkan kemiskinan masyarakat. c. penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3. Rusaknya Fungsi Produksi dari hutan telah menurunkan kesuburan tanah yang mengakibatkan turunnya produktivitas lahan dan produksi pertanian menyebabkan turunnya kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Khusus untuk kondisi sumberdaya hutan dan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan hutan dan lahan akan menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor. Fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan menjadi kurang optimal.
Pemerintah telah berupaya untuk menghutankan kembali lahan kritis dengan Program Rehabilitasi Upaya Hutan dan Lahan/RHL (reboisasi/penghijauan) yang meliputi antara lain: Penanggulangan Hutan dan 1. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan) yang pembiayaannya Lahan Kritis berasal dari Bagian Anggaran 69. 2. Program lain yang diupayakan oleh pemerintah daerah seperti Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) APBD. Pembiayaan RHL
Pembiayaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diperoleh dari Dana Reboisasi yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang Berupa Kayu untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. Dana Reboisasi tersebut disetorkan ke
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 8
Bendaharawan Penerimaan DR di Departemen Kehutanan oleh Para Pemegang Ijin yang selanjutnya akan disetorkan ke rekening Pemerintah Pusat Khusus Dana Reboisasi. Berdasarkan jumlah yang diperoleh, Pemerintah Pusat membagi DR tersebut 60% menjadi bagian Pemerintah Pusat dan 40% menjadi bagian Daerah Penghasil. Pemerintah pusat menggunakan DR bagian 60% tersebut antara lain untuk melaksanakan kegiatan GN-RHL. Sedangkan bagian DR untuk daerah penghasil sebanyak 40% disalurkan dengan cara atau mekanisme DAK-DR/DBH DR. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)
Pemerintah perlu melakukan kegiatan rehabilitasi untuk dapat mencegah laju pertambahan luas hutan dan lahan kritis tersebut. Sampai dengan tahun 2003, pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan skema keproyekan. Namun kegiatan RHL tersebut selalu menghadapi kendala, baik ketidaktersediaan dana yang cukup maupun kendala teknis dan sosial. Hal tersebut yang mengakibatkan pemerintah, sejak tahun 2003 melakukan perubahan skema RHL dengan menggunakan skema Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL melibatkan seluruh stakeholders kehutanan di berbagai jenjang pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah dan mencakup kawasan hutan dan lahan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan No. 09/Kep/Menko/Kesra/III/2003, No. 16/M.Ekon/03/2003, No. Kep. 08/Menko/Polkam/III/2003, tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan Melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (TKPLRRN), Pemerintah telah membentuk TKPLRRN yang akan melaksanakan GN-RHL. Berdasarkan Lampiran Keputusan Menko Kesra/Ketua TKPLRRN No. 18/Kep/MENKO/KESRA/X/2003 sasaran rehabilitasi hutan dan lahan 5 tahun (2003 – 2007) dari GN-RHL adalah seperti di tabel berikut : Tabel 5 : Sasaran Rehabilitasi Hutan dan Lahan 5 tahun
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Total
Area Target (Ha) 300.000 500.000 600.000 700.000 900.000 3.000.000
Prosentase (%) 10,00% 16,67% 20,00% 23,33% 30,00% 100,00%
GN-RHL ini dibiayai dari APBN dan bertujuan untuk mewujudkan perbaikan lingkungan dalam upaya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, dan kekeringan secara terpadu, transparan dan partisipatif, sehinga sumberdaya hutan dan lahan berfungsi optimal untuk menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Sasaran program dan luas GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Sasaran Program. a. Tercapainya upaya perbaikan lingkungan melalui upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan. b. Terpadunya penggunaan sumberdaya dan alokasi anggaran untuk mendukung percepatan Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 9
penyelenggaraan dan tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. c. Terwujudnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi yang optimal dalam penyelenggaraan GN-RHL. d. Terbangunnya kelembagaan masyarakat untuk melaksanakan RHL. 2. Sasaran Luas. Sasaran luas areal GN-RHL selama 5 (lima) tahun adalah seluas 3 (tiga) juta hektar, yang dilaksanakan secara bertahap. Ruang lingkup kegiatan dan wilayah GN-RHL adalah sebagai berikut : 1. Lingkup Kegiatan. Ruang lingkup kegiatan GN-RHL ini meliputi dua kegiatan pokok yaitu : a. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan. Kegiatan Pencegahan Perusakan Lingkungan adalah meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum. b. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi. Kegiatan Penanaman Hutan dan Rehabilitasi adalah meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi dan pembangunan sentra produksi bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman dll) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dan penahan, gully plug, pembuatan teras (terasering), sumur resapan, grass barrier, dll), penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan. 2. Lingkup Wilayah. Ruang lingkup wilayah kegiatan GN-RHL diarahkan pada daerah-daerah aliran sungai yang kritis. Pemerintah telah mengidentifikasikan 68 DAS kritis yang perlu segera ditangani. Rencana lokasi dan luas sasaran disusun berdasarkan kriteria fisik dengan sistem skor dan pertimbangan manajemen daerah, yaitu : 1. Kriteria Fisik : a. DAS Prioritas (SK Menhut No. 284 tahun 1999). b. Indikasi Hutan dan Lahan yang perlu direhabilitasi. c. Daerah rawan bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. d. Bangunan vital (waduk/bendung/danau) yang perlu dilindungi. e. Khusus untuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai, mempertimbangkan kriteria kerusakan hutan mangrove dan hutan pantai serta kerawanan bencana abrasi atau tsunami. 2. Syarat : Kriteria fisik tersebut harus dimasukkan kedalam Rencana Teknik Tahunan yang disusun oleh Dinas/Instansi Kehutanan Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 10
3. Pertimbangan Manajemen a. Kinerja RHL Daerah. b. Kelembagaan dan Komitmen di Daerah. c. Sumberdana RHL lainnya di daerah. 4. Pertimbangan khusus bagi Daerah Kabupaten tertinggal. Rencana lokasi memperhatikan saran pertimbangan inter-departemen yaitu Departemen Pekerjaan Umum/Kimpraswil, Kelautan dan Perikanan, Pertanian. Alokasi indikator tahunan (pulau/provinsi) secara nasional di dasarkan atas proporsi luas areal indikatif hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi. Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS di wilayah kerja BP-DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003-2007), dengan mempertimbangkan kriteria rencana lokasi pusat dan kondisi terakhir lahan kritis DAS. Mengacu kepada rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan RTT Kabupaten/Kota disusun berdasarkan pada nilai skor kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi dengan memperhatikan sasaran GN-RHL/Gerhan nasional tahun yang bersangkutan. Dalam menentukan alokasi sasaran (jenis kegiatan dan volume) mempertimbangkan : 1. Kinerja pelaksanaan GN-RHL tahun sebelumnya. 2. Kelembagaan dan komitmen daerah. 3. Sumber dana lainnya (Bagi Hasil/DAK-DR) dan, 4. Pertimbangan khusus daerah Kabupaten/Kota tertinggal yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Sistem Perencanaan GN-RHL berdasarkan Pedoman Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan tahun 2005 adalah mengacu kepada kaidah teknis perencanaan RHL, dengan hirarkhi yaitu Pola Umum, Rencana Teknis RHL Lima Tahun, Rencana Teknik Tahunan (RTT) serta Rancangan Teknis Kegiatan. Gambar 3 : Hirarkhi Perencanaan GN-RHL
Anggaran GN-RHL di Kalimantan Barat
Pola Umum RHL
Rencana RHL 5 Tahun
Rencana Teknik Tahunan (RTT)
Ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan Kep No. 20/Menhut-V/2000
Penanganan DAS/Sub DAS, Sasaran Indikatif, Rawan Bencana dan Perlindungan bangunan vital DAS.
Rencana Fisik Pembuatan tanaman dan bangunan konservasi tanah dan air setiap tahun pada satu atau lebih DAS yang berada dalam wilayah Kab/Kota.
Kegiatan RHL dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Bagian Anggaran (BA) 69 yang sebelumnya BA 16 dari Departemen Keuangan. Jumlah anggaran RHL dan realisasinya dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 di Provinsi Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 11
Tabel 6 : Anggaran GN-RHL Tahun 2004-2006 di Kalimantan Barat No.
SATKER
2006 (Tahap II Tahun 2005)(Rp)
Total (Rp)
190.254.000
1.382.850.000
2.130.840.000
3.703.944.000
22.074.355.000
39.831.446.000
34.899.071.000
96.804.872.000
6.582.545.000
4.726.052.000
11.308.597.000
1
Dis Kehutanan Provinsi
2
BP-DAS Kapuas
3
UPT Pusat Lainnya
4
Sambas
3.918.493.000
3.934.963.000
4.464.982.000
12.318.438.000
5
Bengkayang
5.726.756.000
5.391.498.000
5.610.602.000
16.728.856.000
6
Pontianak
1.540.155.000
2.702.538.000
3.324.417.000
7.567.110.000
7
Landak
2.862.530.000
6.309.312.000
4.816.037.000
13.987.879.000
8
Sanggau
3.447.173.000
5.041.918.000
8.788.947.000
17.278.038.000
9
Sintang
2.025.998.000
4.170.041.000
5.537.890.000
11.733.929.000
10
Kapuas Hulu
1.919.248.000
6.096.458.000
6.458.177.000
14.473.883.000
11
Ketapang
3.192.320.000
4.598.498.000
4.658.574.000
12.449.392.000
12
Singkawang
-
270.178.000
435.543.000
705.721.000
13
Sekadau
-
1.607.618.000
4.444.987.000
6.052.605.000
14
Melawi
-
1.222.868.000
3.319.616.000
4.542.484.000
46.897.282.000
89.142.731.000
93.615.735.000
229.655.748.000
Jumlah
Realisasi GN- RHL di Kalimantan Barat
2005 (Tahap I Tahun 2005)(Rp)
2004(Rp)
-
Tingkat pencapaian keuangan kegiatan RHL yang bersumber dari dana GN-RHL TA 2004 s.d. 2006 di Provinsi Kalimantan Barat masih rendah sebagaimana dimuat dalam daftar berikut : Tabel 7 : Realisasi GN-RHL Tahun 2004-2006 di Kalimantan Barat No.
SATKER
2005 (Tahap I Tahun 2005)(Rp)
2004
2006 (Tahap II Tahun 2005)(Rp)
Total
1
Dis Kehutanan Provinsi
2
BP-DAS Kapuas
3
UPT Pusat Lainnya
4
Sambas
3.918.493.000
3.934.963.000
2.279.414.000
10.132.870.000
5
Bengkayang
5.674.191.000
4.581.438.000
3.660.221.500
13.915.850.500
6
Pontianak
1.540.155.000
2.696.238.000
2.504.953.000
6.741.346.000
7
Landak
650.486.000
4.804.686.500
2.158.349.000
7.613.521.500
8
Sanggau
3.275.513.600
1.120.372.000
5.264.745.000
9.660.630.600
9
Sintang
1.245.905.000
3.523.694.400
2.404.506.860
7.174.106.260
10
Kapuas Hulu
378.248.000
5.309.693.000
4.979.151.000
10.667.092.000
11
Ketapang
1.285.260.000
2.637.316.000
1.365.786.000
5.288.362.000
12
Singkawang
-
262.613.000
435.513.000
698.126.000
13
Sekadau
-
477.327.350
2.827.328.000
3.304.655.350
14
Melawi
-
1.061.437.000
1.713.488.000
2.774.925.000
36.635.881.714
52.525.815.986
48.433.339.559
137.595.037.259
Jumlah
159.493.450
1.100.962.400
311.091.450
1.571.547.300
18.508.136.664
21.015.075.336
18.528.792.749
58.052.004.749
-
-
-
-
Sumber : Laporan Tahunan GN-RHL Tahun 2006, Departemen Kehutanan Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 12
GN-RHL diselenggarakan untuk mempercepat upaya dan keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan terutama pada hutan dan lahan yang terdegradasi di berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas melalui suatu gerakan nasional secara terencana, terpadu, sinergis dan melibatkan seluruh komponen bangsa, yaitu pemerintah (pusat dan daerah), lembaga legislatif, masyarakat pengguna hutan/lahan, pengusaha, perguruan tinggi, LSM, media massa dan lembaga/ pihak yang terkait. Penyelenggaraan kegiatan GN-RHL dilakukan secara bertahap sejak tahun 2003 yang pelaksanaannya diprioritaskan pada kawasan DAS yang merupakan kawasan tangkapan air untuk menjaga keseimbangan ekologi. Rehabilitasi hutan dan lahan ini dibiayai dari APBN BA 69 yang kegiatannya dikelola oleh Departemen Kehutanan dan unit-unit pelaksana teknisnya (UPT-UPT) di daerah dengan dibantu oleh aparat Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten yang terkait dengan Kehutanan. Kegiatan ini dikenal dengan nama Gerakan Nasional Hutan dan Lahan (GN-RHL) yang dimulai pada tahun 2003 hingga tahun 2007. Dalam pelaksanaan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan/RHL (reboisasi/penghijauan) dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 masih ditemui beberapa kendala yaitu antara lain : a) Terjadinya bencana banjir, kebakaran dan gangguan lainnya yang menyebabkan tanaman mati dan kegiatan RL tidak dapat dilaksanakan; b) Tanaman hasil penanaman RHL belum dilakukan kegiatan pemeliharaan oleh pemerintah setempat; c) Beberapa kegiatan RHL yang bersumber dana dari APBN maupun DAK-DR di kabupaten/Kota belum dilaksanakan evaluasi dan penilaian keberhasilan tanaman sehingga tidak diketahui sejauh mana keberhasilan pelaksanaan RHL di lapangan. Tingkat pencapaian fisik kegiatan RHL yang bersumber dari dana GN-RHL TA 2004 s.d 2006 di wilayah Provinsi Kalimantan Barat masih rendah sebagaimana dimuat dalam daftar berikut : Tabel 8 : Realisasi Fisik RHL yang bersumber dari dana GN-RHL TA 2004 s.d 2006 di wilayah Provinsi Kalimantan Barat Realisasi GN-RHL (ha) No
Kabupaten / Kota
Luas Lahan Kritis
2004
2005
2006
(Tahap I)
(Tahap II 2005)
Jumlah
1
Kapuas Hulu
301.052,17
1.140
900
2.600
4.640
2
Sintang
589.070,82
1.170
1.000
1.250
3.420
3
Sanggau
308.744,96
2.015
700
1.650
4.365
4
Landak
247.009,19
1.850
850
850
3.550
5
Ketapang
762.035,20
1.920
325
325
2.570
6
Pontianak
251688.20
1.050
1.100
1.100
3.250
7
Sambas
232.732,99
2.450
1.400
350
4.200
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 13
PP RI No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
8
Bengkayang
207.010,89
3.330
1.350
1.550
6.230
9
Melawi
262.267,69
-
850
1.250
2.100
10
Sekadau
249.840,47
-
550
1.050
1.600
11
Kota Singkawang
29.379,43
-
300
0
300
JUMLAH
3.440.832.04
14.925
9.325
11.975
36.225
Pada tanggal 3 September 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 89 tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Berkaitan dengan keluarnya peraturan baru ini maka terdapat beberapa perbedaan yang signifikan bagi penunjangan keberhasilan program GN-RHL. Perubahan-perubahan tersebut adalah antara lain : 1. Penyelenggaraan Gerhan a. Penyelenggaraan Gerhan berdasarkan prinsip sistem silvikultur dan tahun jamak (multi years). b. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di kawasan hutan yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara kontraktual yang berbasis tahun jamak (multi years) dengan menggerakkan potensi badan usaha nasional dan daerah serta melibatkan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. c. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di daerah tertentu dalam kawasan hutan dengan mempertimbangkan kondisi tertentu dari aspek keamanan, yang dibiayai dengan APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola berbasis tahun jamak (multi years) melalui operasi bakti Tentara Nasional Indonesia. d. Penyelenggaraan Gerhan yang berupa pembuatan tanaman di luar kawasan hutan yang di biayai APBN atau APBD dilaksanakan secara swakelola yang berbasis tahun jamak (multi years) melalui SPKS dengan kelompok tani dengan menggerakkan potensi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pembiayaan untuk menyelenggarakan Gerhan bersumber pada APBN dan APBD, Dana Reboisasi dan/atau sumber-sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR)
DR adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Dana ini dapat digunakan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan perananannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (rehabilitasi). Disamping itu dana ini juga dapat digunakan untuk upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong, alang-alang
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 14
atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan (reboisasi). Sebagai upaya untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut pemerintah memungut DR dari pengusaha yang memanfaatkan kayu hutan. DR tersebut akan digunakan oleh pemerintah pusat (60%) dan pemerintah daerah (40%). Jatah pemerintah daerah tersebut dalam kurun waktu sampai dengan 2005 menggunakan mekanisme DAK-DR dan setelah 2005 menggunakan mekanisme DBH. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, maka Departemen Kehutanan menyampaikan usulan alokasi DAK-DR per Provinsi kepada Menteri Keuangan, sesuai dengan proyeksi penerimaan DR masing-masing provinsi. Atas dasar usulan alokasi tersebut, Menteri Keuangan menetapkan alokasi DAK-DR setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Kehutanan dan Kepala Bappenas. Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan menyampaikan Alokasi DAK-DR tersebut kepada masing-masing Gubernur untuk ditetapkan Alokasi DAK-DR per Kabupaten/kota. Sebagai dasar kriteria penetapan alokasi oleh Gubernur adalah proyeksi penerimaan DR masingmasing kabupaten/kota, luas hutan rusak dan lahan kritis pada DAS/Sub DAS Prioritas serta tingkat kekritisan ekosistem DAS/Sub DAS dengan mempertimbangkan hubungan hulu dan hilir. Surat Keputusan Gubernur tentang Alokasi DAK-DR per kabupaten disampaikan kepada Menteri Keuangan dhi. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan berikut Nomor Rekening dan Nama Bank yang dituju. Selanjutnya Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk memindahbukukan DAK-DR tersebut ke bank yang ditunjuk dengan nomor rekening sesuai SK Gubernur tersebut. DAK-DR di Kalimantan Barat
Pemerintah sejak tahun 2001 telah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus yang berasal dari 40% Dana Reboisasi untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan di Kabupaten/Kota (APBD). DAK-DR tersebut disalurkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah Kabupaten/Kota dan dimuat dalam APBD Kabupaten/Kota bersangkutan, pemerintah Kabupaten/Kota di Wilayah Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat memperoleh Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR)/Dana Bagi Hasil sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 sebesar Rp147.821.395.601,32 dengan rincian pembagian per kabupaten/kota sebagai berikut : Tabel 9 : Tahapan Alokasi DAK-DR di Kalimantan Barat NO
Alokasi DAK-DR
No. SK Gubernur
Tanggal
Jumlah (Rp)
1
2001
No.319 Tahun 2001
31-10-2001
21.038.105.770,00
2
2002
No.346 Tahun 2003
15-09-2003
11.869.209.000,00
3
2003 TAHAP I
No.3567 Tahun 2003
17-11-2003
4.441.478.000,00
4
2003 TAHAP II
No.456 Tahun 2003
19-12-2003
785.442.000,00
5
2004 TAHAP I
No.469. Tahun 2004
15-12-2004
30.567.396.000,00
6
2004 TAHAP II
No.58 Tahun 2006
27-02-2006
12.815.259.863,52
7
2005 TAHAP I
No.243 Tahun 2006
08-06-2006
19.349.627.242,06
8
2005 TAHAP II
No.747 Tahun 2006
20-11-2006
4.353.931.278,74
9
2004 TAHAP IV
No.78 Tahun 2007
20-02-2007
25.529.480.737,00
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 15
10
2005 TAHAP III
No.78 Tahun 2007
20-02-2007
Total
17.071.465.710,00 147.821.395.601,32
Penggunaan DAK-DR oleh pemerintah kabupaten/kota yang direalisasikan sebagai Belanja Daerah sampai dengan Tahun Anggaran 2006 adalah sebesar Rp61.411.199.519,00 dengan rincian sebagai berikut : Tabel 10 : Alokasi DAK-DR Tahun 2006 per Kabupaten di Kalimantan Barat
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kabupaten/Kota Kapuas Hulu Sintang Sanggau Landak Ketapang Pontianak Sambas Bengkayang Melawi Sekadau Kota Singkawang Kota Pontianak JUMLAH
Jumlah (Rp) 9.957.236.700,00 9.861.060.727,00 5.450.481.192,00 6.516.266.450,00 9.153.810.550,00 6.387.723.250,00 7.286.743.000,00 4.316.416.000,00 720.251.650,00 1.175.203.500,00 586.006.500,00 61.411.199.519,00
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang dibiayai dengan Dana DAK-DR adalah untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan. Pelaksanaan kegiatan RHL ini sepenuhnya dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten yang terkait dengan kehutanan. Perubahan DAK-DR menjadi DBH
Pada tahun 2005 Pemerintah mengeluarkan PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Sejak dikeluarkannya PP ini maka terjadi perubahan dalam pengelompokan PNBP DR dari DAK menjadi DBH SDA sektor Kehutanan. Dalam PP tersebut DBH SDA didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Untuk PNBP SDA Kehutanan seperti DR, ratio prosentase pembagiannya masih tetap sama yaitu 60% Bagian Pemerintah digunakan untuk RHL secara Nasional dan 40% Bagian Daerah digunakan untuk kegiatan RHL di Kabupaten/Kota Penghasil. Selanjutnya ketentuan tersebut antara lain menyebutkan bahwa Menteri Kehutanan menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH DR paling lambat 60 hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan, kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan, dan paling lambat 30 hari dari setelah diterima, Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH DR. Penghitungan realisasi DBH DR dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah dan penyalurannya dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan DR tahun anggaran berjalan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 16
Sistem Pengendalian Intern RHL
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Pada periode 2003 – 2007, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan menggunakan sumber dana yang berasal dari BA 69, BA 29 (Anggaran Departemen Kehutanan), Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) dan sumber dana lainnya dari Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Masing-masing sumber dana ini mempunyai kegiatan yang berbeda tetapi tetap berkaitan dengan RHL. Kegiatan RHL yang menggunakan sumber dana BA 69 adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). GN-RHL adalah suatu kegiatan terkoordinasi yang mendayagunakan segenap kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan dan lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai. Mekanisme perencanaan, realisasi dan pelaporan anggaran BA 69 menggunakan mekanisme anggaran pemerintah. Organisasi yang terlibat dalam kegiatan GN-RHL adalah unit-unit kerja Departemen Kehutanan di daerah seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) dan unit-unit teknis kehutanan yang terkait milik Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. BP-DAS mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan bibit secara terpusat bagi keperluan seluruh kegiatan rehabilitasi di wilayah yang menjadi wewenangnya. BP-DAS juga mempunyai fungsi untuk menetapkan hutan dan lahan kritis di wilayah kerjanya yang akan menjadi prioritas kegiatan GN-RHL. Pelaksanaan rehabilitasi lahan di serahkan kepada Unit-unit kerja Kehutanan di Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan melibatkan kelompok-kelompok tani dan masyarakat. Khusus untuk yang terkait dengan rehabilitasi di kawasan hutan konservasi dilakukan oleh UPT Departemen Kehutanan Balai Konservasi Sumber Daya Hutan (BKSDA) dan untuk kawasan hutan lindung dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Sumber dana RHL lainnya seperti DAK-DR dan Dana Murni APBD mempunyai kegiatan yang serupa dengan BA 69 hanya mekanisme anggarannya menggunakan mekanisme APBD Kabupaten/Kota. Organisasi RHL yang menggunakan sumber dana diluar BA 69 melibatkan sepenuhnya unit-unit kerja milik Pemda Kabupaten/Kota. Khusus untuk DAK-DR penggunaannya dibatasi hanya untuk kegiatan terkait dengan reboisasi lahan di kawasan hutan dan eks hutan. Berdasarkan hasil pemahaman, evaluasi dan review terhadap Sistem Pengendalian Intern Rehabilitasi Hutan dan Lahan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Organisasi RHL
Pelaksanaan RHL melibatkan dua organisasi pemerintah pusat dan daerah yaitu Departemen Kehutanan beserta UPT-UPTnya di daerah dan Dinas-dinas Kehutanan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Organisasi yang berbeda ini cenderung akan mempersulit untuk melakukan koordinasi pelaksanaan RHL di lapangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan kegiatan-kegiatan RHL yang menjadi tidak efektif dan boros karena tidak adanya koordinasi dalam pencairan anggaran, pengadaan bibit dan penentuan lokasi rehabilitasi yang dibiayai dengan DAK-DR. Masih banyak pengadaan bibit yang tidak sesuai dengan kondisi ekologis dan lingkungan areal yang akan di rehabilitasi.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 17
Anggaran RHL
Anggaran RHL terdiri dari BA 69, DAK-DR dan Sumber Dana lainnya. Masing-masing anggaran ini mempunyai mekanisme anggaran yang berbeda, BA 69 menggunakan mekanisme APBN dan Sumber Dana lainnya menggunakan mekanisme APBD. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan banyaknya kegagalan penanaman rehabilitasi hutan dan lahan karena terlambatnya proses pencairan anggaran khususnya yang terkait dengan BA 69 dan pengadaan bibit yang terkesan terburu-buru sehingga berpotensi meningkatkan risiko ketidaksesuaian pemilihan jenis bibit. Pemerintah telah memperbaiki mekanisme ini dengan mengeluarkan PP No.89 Tahun 2007. Khusus untuk DAK-DR masih ditemukan penyerapan anggaran yang rendah dan pemindahbukuan jasa giro DR ke rekening yang tidak khusus untuk reboisasi karena kurangnya pemahaman akan batasan penggunaan DAK-DR.
Kebijakan
Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah pusat untuk GN-RHL dan Pemerintah Daerah untuk RHL yang menggunakan sumber dana DAK-DR. Pemerintah pusat membuat berbagai pedoman dan petunjuk pelaksanaan kegiatan GN-RHL dengan mengacu kepada UU No. 5 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 41 tahun 1999, PP No. 68 tahun 1998, PP No. 25 tahun 2000, PP No. 34 tahun 2002, PP No. 35 tahun 2002, Keppres RI No. 102 tahun 2001, Keppres RI No. 228 tahun 2001. Keppres RI No.80 Tahun 2003 dan SKB Menteri Koordinator Kesra, Menko Perekonomian dan Keuangan dan Menko Bidang Politik dan Keamanan. Berdasarkan hasil pemeriksaan masih ditemukan permasalahan terkait dengan lemahnya kebijakan terkait dengan penentuan lahan dan hutan yang akan di rehabilitasi. Masih ditemukan kegiatankegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dilakukan dilokasi yang tidak berhubungan dengan fungsi DAS seperti kegiatan penghijauan di wilayah yang bukan hutan kota. Pengalihan fungsi areal yang telah di rehabilitasi menjadi areal pusat bisnis dan areal lainnya. Disamping hal diatas, ditemukan juga kelemahan kebijakan pelaksana dilapangan terkait dengan pemilihan bibit yang lebih memperioritaskan keinginan kelompok tani dan atau masyarakat tanpa memperhatikan ekosistem dan ekologis wilayah. Pemerintah juga cenderung kurang melakukan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga masih ditemukan masyarakat yang meemilih bibit murni hanya untuk kebutuhan jangka pendek (ekonomi) tanpa memperhatikan aspek ekologis dan kesinambungan daya dukung lingkungan.
Perencanaan
Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan mengarah pada tujuan untuk memulihkan hutan dan lahan dalam rangka perbaikan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan mendasarkan pada masing-masing kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya penyusunan rencana RHL dilaksanakan secara terpadu dari atas dan dari bawah (top down and bottom up planning). Berdasarkan kondisi kerusakan hutan dan lahan (penutupan lahan dan spatial lahan kritis) DAS diwilayah kerja BP-DAS, disusun Rencana RHL 5 tahun, yang mengindikasikan hutan dan lahan yang prioritas direhabilitasi selama 5 tahun (2003 – 2007). Mengacu kepada Rencana RHL 5 tahun tersebut, sasaran kegiatan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Kabupaten/kota disusun berdasarkan kriteria fisik yang disepakati Dinas/Instansi kehutanan terkait di daerah terhadap sasaran tahunan DAS/Provinsi. Dengan mendasarkan pada RTT, disusun Rancangan Teknis Kegiatan (Rantek) yang memuat kegiatan teknis secara rinci (bestek) dari setiap komponen pekerjaan yang meliputi rancangan pekerjaan fisik, anggaran dan tata waktu. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perencanaan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 18
oleh para penanggungjawab dan pelaksana kegiatan RHL, yaitu Rencana Teknis yang tidak memuat rencana kegiatan dengan rinci. Prosedur Kerja
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan GN-RHL, Menteri Kehutanan telah menerbitkan teknis dan petunjuk pelaksanaan, antara lain:
pedoman
1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-V//2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GN-RHL tahun 2004; 2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL Tahun 2005; 3. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.81/Menhut-V/2006 tentang Penyelenggaraan Dan Sasaran Kegiatan GN-RHL Tahun 2006; 4. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiata GN-RHL Tahun 2007. Dalam pedoman dan petunjuk pelaksanaan tersebut telah diatur mengenai pelaksanaan penyediaan bibit, pembuatan tanaman reboisasi hutan lindung dan hutan produksi, pembuatan tanaman hutan rakyat, pembuatan tanaman penghijauan kota, pembuatan tanaman turus jalan dan pembuatan bangunan konservasi tanah serta pelaksanaan penilaian kinerja kegiatan GN-RHL. Dalam pelaksanaannya prosedur tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para pelaksana kegiatan hal ini masih terlihat antara lain : jangka waktu pengadaan bibit dan penanaman yang terlalu lama, pembuatan tanaman hutan rakyat dan hutan kota serta komposisi jenis untuk hutan rakyat yang tidak sesuai dengan ketentuan, pembuatan tanaman hutan rakyat pada kawasan hutan produksi, tidak berhasilnya penanaman turus jalan dan belum dilaksanakan pemeliharaan tahun berjalan oleh kelompok tani serta belum adanya penilaian kinerja kegiatan GN-RHL oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 19
BAB III HASIL PEMANTAUAN TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN SEBELUMNYA
Pemantauan Tindak Lanjut
BPK selama periode tahun 2003 s.d 2006 belum melakukan pemeriksaan atas kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di Provinsi Kalimantan Barat maupun kegiatan RHL di Kabupaten/Kota se-provinsi Kalimantan Barat yang dananya bersumber dari APBN atau APBD.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat 20
BAB IV HASIL PEMERIKSAAN
Kegiatan RHL Tahun 2004 Dan 2005 Dengan
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan upaya strategis pembangunan nasional. Oleh karena itu RHL diselenggarakan secara maksimal berdasarkan sumber dana yang dimiliki.
Sumber Dana
Menurut Peraturan Pemerintah RI No.104 Tahun 2000 bahwa penerimaan negara yang berasal
DAK-DR Pada
dari Dana Reboisasi sebesar 40% disediakan kepada daerah penghasil sebagai bagian DAK
Lima Kabupaten
untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil.
Di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Tidak Dapat Dilaksanakan Sesuai Rencana
Berkaitan dengan hal tersebut, Menteri Kehutanan menyampaikan usul alokasi DAK-DR per provinsi kepada Menteri Keuangan. Kemudian berdasarkan usul tersebut Menteri Keuangan menetapkan alokasi DAK-DR dengan memperhatikan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Kehutanan dan Kepala Bappenas. Selanjutnya Direktur Jenderal Anggaran (DJA) atas nama Menteri Keuangan menyampaikan keputusan alokasi DAK-DR tersebut kepada masing-masing gubernur. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tentang alokasi DAK-DR, gubernur menetapkan alokasi DAK-DR untuk setiap kabupaten/kota di lingkungan provinsinya dengan kriteria sebagai berikut: 1. Proyeksi penerimaan DR masing-masing kabupaten/kota; 2. Luas hutan rusak dan lahan kritis pada DAS/Sub DAS Prioritas; 3. Tingkat kekritisan ekosistem DAS/Sub DAS dengan pertimbangan hubungan hulu dan hilir; 4. Kesinambungan dengan kegiatan RHL tahun sebelumnya; 5. Potensi dan kapasitas kelembagaan termasuk SDM aparat dan masyarakat di bidang kehutanan. Selanjutnya gubernur menyampaikan penetapan alokasi DAK-DR untuk setiap kabupaten/kota kepada masing-masing bupati/walikota dengan tembusan Menteri Keuangan dan Menteri Kehutanan. Atas dasar penetapan alokasi tersebut, bupati/walikota mengajukan usulan rencana kegiatan (proposal) yang akan dibiayai dengan DAK-DR kepada gubernur dengan tembusan DJA dan BPDAS, antara lain meliputi: latar belakang, sasaran lokasi (luas hutan rusak dan lahan kritis, DAS/Sub DAS Prioritas), rencana fisik dan biaya, rencana kelembagaan, rencana waktu dan hasil yang diharapkan. Terhadap proposal yang diajukan oleh bupati/walikota, gubernur menugaskan kepada Dinas Kehutanan Provinsi sebagai koordinator untuk membahas dan menilai proposal tersebut
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
21
bersama dengan Bappeda Provinsi, Kanwil DJA dan BP-DAS serta instansi kabupaten/kota yang menangani urusan kehutanan. Proposal yang telah dibahas dan disetujui sebagai Rencana Definitif (RD) DAK-DR diajukan kepada gubernur untuk selanjutnya disampaikan kepada Menteri Keuangan. Setelah RD DAK-DR disetujui, maka bupati/walikota menyusun Daftar Isian Proyek Daerah (DIPDA) dan menyampaikan satu eksemplar DIPDA kepada Kanwil DJA. Apabila DIPDA tersebut telah sesuai dengan alokasi DAK-DR, maka Kepala Kanwil DJA memberitahukan kepada KPKN bahwa alokasi DAK-DR dapat dicairkan sesuai dengan ketentuan. Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap penerimaan DAK-DR tahun 2004 dan 2005 pada lima kabupaten di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: 1. Pada lima kabupaten di Wilayah Kalimantan Barat yaitu Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu telah menerima DAK-DR untuk alokasi tahun 2004 dan 2005 sebesar Rp26.136.116.588,53 dengan rincian sebagai berikut: No.
Nama Kabupaten
Penerimaan DAK-DR (Rp)
1.
Sanggau
6.540.654.514.91
2.
Landak
5.485.302.933.40
3.
Bengkayang
5.551.289.140.22
4.
Ketapang
4.279.435.000,00
5.
Kapuas Hulu
4.279.435.000,00
Jumlah ................................
26.136.116.588,53
2. Terdapat alokasi DAK-DR tahun penetapan 2004 (tahap II) dan tahun penetapan 2005 (tahap I) sebesar Rp4.580.482.703,75 (Rp1.794.136.380,89 + Rp2.786.346.322,86) untuk Kabupaten Ketapang yang sampai dengan tahun 2007 belum diterima oleh Pemda Kabupaten Ketapang. 3. Dari dokumen penerimaan DAK-DR periode tahun 2004 sampai dengan 2007 milik kelima Kabupaten tersebut dan hasil konfirmasi kepada Pihak Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat diketahui bahwa kelima kabupaten tersebut yang merupakan daerah penghasil telah menerima DAK-DR untuk alokasi tahun 2004 dan 2005 masing-masing sebesar tersebut di atas secara bertahap dan waktu penerimaan dana dapat mencapai berkisar antara setahun sampai dengan tiga tahun lamanya. Sehingga penerimaan DR tahun berjalan pembagiannya baru dapat diterima oleh daerah penghasil minimal satu tahun berikutnya. DAK-DR tahun 2004 baru diterima oleh daerah penghasil pada tahun 2005 dan sampai dengan tahun 2007 penyalurannya masih berlangsung, demikian juga dengan DAK-DR tahun 2005 (Tahap I) diterima oleh daerah penghasil pada tahun 2006 Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
22
sampai dengan 2007 dan sampai saat ini proses penyalurannya oleh pemerintah masih berlangsung. Secara uji petik terhadap tahap penerimaan DAK-DR tahun 2004 dan 2005 oleh lima kabupaten di atas yaitu Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat dapat dilihat pada lampiran. 4.
Kegiatan RHL dengan dana DAK-DR di lima kabupaten tersebut ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan RD yang telah diusulkan oleh gubernur kepada Menteri Keuangan. Hal tersebut terbukti dari realisasi anggaran untuk RHL yang dilakukan oleh lima kabupaten di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat sebagai berikut: a. Pada Kabupaten Sanggau, DAK-DR tahun 2004 sebesar Rp3.362.420.000,00 telah direalisasikan pada tahun 2005 sebesar Rp3.336.033.500,00; b. Pada Kabupaten Landak, DAK-DR tahun 2004 Tahap I sebesar Rp2.751.065.000,00 telah direalisasikan pada tahun 2006 sebesar Rp2.722.683.300,00; c.
Pada
Kabupaten
Rp2.903.902.000,00
Bengkayang, telah
DAK-DR
tahun
direalisasikan
pada
2004
Tahap
tahun
I
2006
sebesar sebesar
Rp2.852.244.375,00; d. Pada
Kabupaten
Rp4.279.435.000,00
Ketapang, telah
DAK-DR
tahun
direalisasikan
pada
2004
Tahap
tahun
I
2006
sebesar sebesar
Rp4.235.971.550,00; e. Pada Kabupaten Kapuas Hulu, DAK-DR tahun 2004 sebesar Rp4.279.435.000,00 telah direalisasikan pada tahun 2006 sebesar Rp4.277.381.250,00. Sehingga dengan DAK-DR diterima oleh kelima kabupaten tersebut tidak tepat waktu, maka rencana kegiatan dalam RD DAK-DR yang telah dibuat oleh masing-masing bupati tidak dapat dilaksanakan secara tepat waktu juga. Masalah
tersebut
tidak
sesuai
dengan
Surat
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.556/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Pasal 5 Ayat (1) huruf c antara lain menyebutkan bahwa DAK terdiri dari dana untuk reboisasi, yang diambil dari bagian daerah yang ditetapkan sebesar 40% dari penerimaan dana reboisasi tahun anggaran bersangkutan. Hal tersebut mengakibatkan: 1. Rencana Definitif kegiatan RHL bersumber dari DAK-DR tahun 2004 dan 2005 yang disusun oleh masing-masing bupati di Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
23
Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu menjadi tidak efektif. 2. Penggunaan DAK-DR untuk program RHL di Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu, sebagai upaya penanggulangan kerusakan hutan di wilayah kelima kebupaten tersebut menjadi tidak maksimal. Hal tersebut disebabkan Pemerintah Daerah terlambat menerima DAK-DR tahun 2004 dan 2005 dari pemerintah. Atas masalah tersebut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu masing-masing sependapat dengan BPK-RI, dan Pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu akan berkoordinasi dengan Departemen Keuangan dhi. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan di Jakarta. BPK-RI menyarankan kepada Bupati Sanggau, Bupati Landak, Bupati Bengkayang, Bupati Ketapang dan Bupati kapuas Hulu agar: 1. Rencana Definitif kegiatan RHL tahun 2004 dan 2005 segera dilaksanakan sesuai dengan tahap pencairan DAK-DR dari Kanwil DJA di Kalimantan Barat; 2. Bupati Ketapang melakukan koordinasi dengan Menteri Kehutanan untuk penyelesaian sisa DAK-DR tahun 2004 dan 2005 yang belum disalurkan kepada daerah.
Perbaikan Lingkungan Pantai Melalui Kegiatan Penanaman Vegetasi Mangrove Seluas 100 Ha Dan Rehabilitasi Hutan Konservasi Di Taman Nasional Danau Sentarum Seluas 400 Ha Sebesar Rp908.580.000,00 Tidak Efektif
Dari pelaksanaan kegiatan RHL di Wilayah Kalimantan Barat berupa rehabilitasi kawasan pasang surut dan rehabilitasi hutan konservasi dapat diungkapkan hal-hal sebagai berikut: 1. Berdasarkan data hasil kegiatan penanaman GN-RHL/Gerhan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat tahun 2006 diketahui bahwa realisasi luas penanaman adalah 1.300 ha dengan bibit yang ditanam adalah sebanyak 2.311.500 batang. Dari luas 1.300 ha tersebut diantaranya seluas 100 ha dilaksanakan di Desa Pesaguhan Kanan. Berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Sama (SPKS) No.522.4/0439/Gerhan/DKh-Pb/2006 tanggal 3 April 2006 diketahui bahwa Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang telah melaksanakan perjanjian kerja sama dengan Ketua Kelompok Tani Desa Pesaguhan Kanan Kecamatan Matan Hilir Selatan untuk pembuatan tanaman mangrove seluas 100 ha senilai Rp115.000.000,00. Jumlah bibit yang akan ditanam adalah sebanyak 360.000 batang terdiri dari bibit bakau sebanyak 216.000 batang, bibit api-api sebanyak 72.000
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
24
tahun 2005 yang diluncurkan ke tahun 2006 dan SPKS tersebut telah diaddendum pada tanggal 1 Mei 2006 dengan SPKS No.522.4/05119/Gerhan/DKh-Pb/2006 tanggal 1 Mei 2006 yang mengubah jangka waktu pelaksanaan menjadi 7 bulan (bulan Mei sd Desember 2006) yang semula hanya 28 hari (tanggal 3 sd 30 April 2006) dan tidak merubah nilai SPKS. Pekerjaan telah selesai 100% dan diserahterimakan sesuai Berita Acara Pemeriksaan Lapangan No.522.4/152/Gerhan/Dkh-PB/2006 tanggal 18 September 2006 dan telah dibayar lunas pada tanggal 13 Oktober 2006 dengan Berita Acara Pembayaran/Penarikan dana No.522.4/174/Gerhan/Dkh-PB/2006. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh BPK-RI bersama-sama dengan pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang dan Ketua Kelompok Tani Desa Pesaguhan Kanan Kecamatan Matan Hilir Selatan tanggal 26 September 2007 pada lokasi penanaman mangrove di Desa Pesaguhan Kanan menunjukkan bahwa jumlah persentase tumbuh tanaman bakau dan api-api kurang dari 10% sedangkan pohon nipah kurang dari 5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan penanaman mangrove di Desa Pesaguhan Kanan tidak berhasil. Berdasarkan penjelasan dari Ketua Kelompok Tani Tunas Harapan Desa Pesaguhan Kanan ketidakberhasilan penanaman mangrove tersebut dikarenakan pada saat penanaman selesai di bulan September 2006, pada bulan Oktober 2006 telah terjadi musim angin Barat dan Selatan, dimana timbul ombak laut yang tinggi dan menghanyutkan pohon yang ditanam. Sedangkan pohon nipah yang ditanam dilokasi tersebut tidak tumbuh sesuai rencana karena kondisi lokasi tersebut berpasir dan tidak tepat untuk tanaman nipah yang seharusnya ditanam pada tanah aluvial. 2. Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) merupakan sekumpulan danau-danau air tawar dan hutan rawa tergenang yang terbesar di Kalimantan Barat yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia No.34/Kpts-II/1999 tanggal 4 Februari 1999 telah ditetapkan sebagai hutan konservasi seluas 132.000 ha. Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum mempunyai kawasan hutan rawa tergenang yang diselingi sungai-sungai kecil, sebagai sumber plasma nutfah, pengatur tata air bagi Sungai Kapuas, sepanjang kurang lebih sepuluh bulan dalam setahun digenangi air Sungai Kapuas, sehingga merupakan daerah hamparan banjir (lebak lebung / floodplain). Pada tahun 2006, Taman Nasional Danau Sentarum dialokasikan anggaran melalui DIPAL BA-69 Tahun 2006 sebesar Rp851.200.000,00 untuk merehabilitasi hutan konservasi seluas 400 ha yang mengalami kerusakan akibat kebakaran lahan. Maksud dari kegiatan ini adalah supaya ekosistem yang rusak dapat berfungsi kembali secara optimal dalam Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
25
mendukung sistem penyangga kehidupan, mengawetkan keanekaragaman hayati, dan memanfaatkan secara lestari bagi kepentingan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional ini. Dari anggaran sebesar Rp851.200.000,00 telah direalisasikan sebesar Rp793.580.000,00 dengan rincian sebagai berikut: No 1 2 3
Kegiatan Pembuatan Tanaman Reboisasi Pengadaan Bibit Penyelesaian Penanaman Reboisasi Jumlah
Anggaran (Rp) 400,000,000.00 211,200,000.00
Realisasi (Rp) 354,480,000.00 211,200,000.00
Sisa Anggaran 45,520,000.00 -
240,000,000.00 851,200,000.00
227,900,000.00 793,580,000.00
12,100,000.00 57,620,000.00
Kegiatan penanaman telah diselesaikan pada bulan Agustus 2006, kemudian terjadi air pasang di lokasi tanam tersebut yang menghanyutkan sebagian tanaman kegiatan rehabilitasi pada hutan konservasi. Selain itu karena bibit yang ditanam terlalu kecil sehingga rawan hanyut/mati. Kondisi tersebut menyebabkan keberhasilan tumbuh tanaman seluas 400 ha menjadi kecil. Masalah tersebut tidak sesuai dengan: 1. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL pada Lampiran I, a. BAB I Huruf D Nomor 1 antara lain menyebutkan bahwa ”Hutan mangrove adalah suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh keberadaan jenis-jenis: api-api, pedada, bakau, tanjang, tarumtum, nyirih dan nipah.” b. BAB II Huruf A. tentang Penyusunan Rancangan, Nomor 2, antara lain menyebutkan bahwa ”untuk menyusun rancangan teknik dilakukan dengan pengumpulan data dan informasi berupa data biofisik yang meliputi: letak dan luas, status lahan, tanah, salinitas, jenis tanaman, sarana dan prasarana, iklim dan zone hutan mangrove sedangkan data sosial ekonomi meliputi: demografi, mata pencaharian dan pendapatan, tenaga kerja dan kelembagaan masyarakat.” c.
BAB II Huruf B. 2.c antara lain menyebutkan bahwa ”Pelaksanaan penanaman dimulai pada musim ombak tenang atau dimulai dari lokasi yang terdekat dengan darat agar terhindar dari ombak besar.”
2. Surat Keputusan Menhut No.SK.37/Menhut-V/2004 tanggal 14 Januari 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Tanaman dan Bangunan Konservasi Tanah serta Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, pada Lampiran, Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
26
Bab II Bab II.B. 1. b. diantaranya menyatakan bahwa Realisasi tanaman dengan prosentase tumbuh terhadap target dikategorikan sebagai berikut: 91 – 100 % sangat baik, 76 – 90 % baik, 55-75 % sedang, dan < 55 % kurang. Hal tersebut mengakibatkan: 1. Kegiatan Rehabilitasi Kawasan Pasang Surut dan Rehabilitasi Hutan Konservasi masingmasing di Desa Pesaguan Kanan dan Taman Nasional Danau Sentarum dengan biaya minimal sebesar Rp908.580.000,00 (Rp115.000.000,00 + Rp793.580.000,00) tidak berhasil. 2. Tujuan rehabilitasi hutan konservasi di Taman Nasional Danau Sentarum adalah untuk memulihkan ekosistem yang rusak karena bekas kebakaran agar dapat berfungsi kembali secara optimal dalam mendukung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari bagi kepentingan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional ini tidak tercapai. Hal tersebut disebabkan oleh: 1. Kecerobohan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang dan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat dalam menyusun Rancangan Teknik yang tidak memperhatikan ketentuan Menteri Kehutanan tentang penanaman hutan mangrove. 2. Pengawasan yang dilakukan oleh Bupati Ketapang terhadap kegiatan RHL di wilayah Kabupaten Ketapang tidak efektif. Atas permasalahan tersebut pejabat pembuat komitmen kegiatan RHL Kabupaten Ketapang menjelaskan bahwa pelaksanaan penyusunan rencana teknis dilakukan secara terburu-buru sebagai akibat dari penyediaan dana yang terlambat sehingga kurang memperhatikan kondisi biofisik lapangan yang sesuai dengan jenis tanaman. Selain itu Kepala BKSDA Kalimantan Barat menjelaskan bahwa BKSDA telah mengantisipasi kematian bibit tersebut dengan menyediakan bibit sebanyak 10.000 bibit untuk penyulaman. BPK-RI menyarankan Menteri Kehutanan agar: 1. Meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk menegur Bupati Ketapang supaya meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan RHL di wilayahnya. 2. Memerintahkan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam untuk menegur Kepala BKSDA Kalimantan Barat supaya bekerja lebih cermat; 3. Meminta kepada Bupati Ketapang untuk menegur Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang supaya bekerja lebih cermat.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
27
Pembuatan Tanaman
BP-DAS Kalimantan Barat tahun 2004 telah mengadakan bibit GN RHL sebanyak 12.929.400 batang sebesar Rp15.964.717.000,00.
Reboisasi Dan
Bibit tersebut oleh BP-DAS Kalimantan Barat telah didistribusikan kepada empat Dinas
Tanaman Hutan
Kehutanan Kabupaten yaitu Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau
Rakyat Tahun 2006 dan Kabupaten Ketapang melalui tiga tahap pada Bulan Desember 2004, April 2005 dan Mei Dengan Nilai
2005, untuk Kegiatan rehabilitasi lahan kritis berupa pembuatan tanaman reboisasi seluas
Sebesar
8.220 Ha dan pembuatan hutan rakyat seluas 6.780 Ha. Namun demikian pembuatan tanaman
Rp27.474.226.100
oleh keempat Dinas Kehutanan Kabupaten tersebut baru dilaksanakan pada akhir tahun 2005
Di Empat
sebesar Rp11.509.100,00 seperti rincian berikut.
Kabupaten Wilayah
No 1 2 3 4
Kalimantan Barat Tidak Berhasil
Kabupaten Bengkayang Landak Sanggau Ketapang Jumlah
Pembuatan tanaman (Rp) 4.515.000.000,00 2.175.000.000,00 2.579.231.100,00 2.240.278.000,00 11.509.509.100,00
Dari hasil pemeriksaan terhadap dokumen pertanggungjawaban kegiatan GN-RHL di empat kabupaten tersebut diketahui bahwa pelaksanaan pembuatan tanaman reboisasi dan pembuatan hutan rakyat oleh masing-masing kabupaten dilaksanakan pada bulan April 2006, melalui DIPA Luncuran tahun 2006. Sedangkan bibit yang akan digunakan merupakan hasil pengadaan tahun 2004 oleh BPDAS, yang berarti pada saat penanaman umur bibit berkisar dua tahun lebih. Hasil pemeriksaan terhadap laporan pertanggungjawaban hasil penilaian tanaman GN-RHL oleh LPI PT Sari Yasa menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan GN-RHL di empat kabupaten yaitu Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang ternyata rata-rata pertumbuhan tanamannya dibawah 55% dan menurut kriteria keberhasilan tanaman dari Departemen Kehutanan bahwa pertumbuhan tanaman tersebut dikategorikan kurang berhasil. Prosentase tumbuh tanaman di empat kabupaten tersebut dapat dirinci sebagai berikut: No
Kabupaten
1 2 3 4
Bengkayang Landak Sanggau Ketapang
Reboisasi Jml Lokasi 18 4 7 6
% Tumbuh 45,25 52,30 35,82 4,13
Hutan Rakyat Jml Lokasi 15 6 10 15
% Tumbuh 38,74 43,38 22,55 10,29
Total Jml Lokasi 33 10 17 21
% Tumbuh 41,70 46,88 26,69 8,53
Atas masalah tersebut petugas dari masing-masing Dinas Kehutanan Kabupaten yang bersangkutan menjelaskan bahwa ketidakberhasilan tersebut antara lain disebabkan jauhnya selisih waktu antara ketersediaan bibit dan realisasi pembuatan tanaman, serta bibit yang Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
28
ditanam pada empat kabupaten yang didominasi kayu-kayuan ( > 60% ) tidak menarik minat masyarakat sehingga tidak dipelihara secara swadaya. Masalah tersebut tidak sesuai dengan: 1. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL BAB II tentang Sistem Perencanaan Huruf A.1.b.antara lain menyebutkan bahwa ”Prinsip-prinsip penyelenggaraan RHL menggunakan prinsipprinsip: meminimumkan kegagalan birokrasi, RHL sebagai bagian kebutuhan masyarakat, kejelasan kewenangan dan tata hubungan kerja, dukungan informasi, dan DAS sebagai unit dasar manajemen, meminimumkan resiko ekologi, pembiayaan partisipatif dan penguatan kelembagaan dalam silvikultur yang multi years.” 2. Surat Keputusan Menhut No.SK.37/Menhut-V/2004 tanggal 14 Januari 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Tanaman dan Bangunan Konservasi Tanah serta Petunjuk Pelaksanaan Pelaporan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, pada Lampiran, Bab II Bab II.B. 1. b. diantaranya menyatakan bahwa ”Realisasi tanaman dengan prosentase tumbuh terhadap target dikategorikan sebagai berikut: 91 – 100 % sangat baik, 76 – 90 % baik, 55-75 % sedang, dan < 55 % kurang.” Hal tersebut mengakibatkan: 1. Kegiatan RHL pada Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang tahun 2006 sebesar Rp27.474.226.100,00 tidak efektif; 2. Tujuan dari kegiatan pembuatan tanaman reboisasi dan pembuatan tanaman hutan rakyat di Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang tidak tercapai. Hal tersebut disebabkan : 1. Pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang tidak cermat melaksanakan penanaman sesuai dengan perencanaan; 2. Kurangnya koordinasi antara BPDAS dengan masing-masing pihak dari Dinas Kehutanan Kabupaten dalam menyusun perencanaan kegiatan RHL di Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang. 3. Sosialisasi yang dilakukan oleh BPDAS Kalimantan Barat dan Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang belum efektif. Atas permasalahan tersebut masing-masing Dinas Kehutanan Kabupaten menjelaskan bahwa Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
29
pembuatan tanaman reboisasi dan tanaman hutan rakyat tidak berhasil disebabkan oleh penyaluran dana dari pusat ke daerah yang terlambat. BPK-RI menyarankan agar Menteri Kehutanan: 1. Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan untuk menegur Kepala BPDAS supaya bekerja lebih cermat. 2. Meminta kepada masing-masing bupati untuk memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan supaya lebih meningkatkan sosialisasi kegiatan RHL kepada masyarakat di wilayah masing-masing agar tujuan RHL dapat dicapai secara optimal.
Komposisi Multi Purpose Tree Species (MPTS) Pada Pengadaan
Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat yang dilaksanakan oleh BP-DAS Kapuas sebagian besar kegiatannya adalah pengadaan bibit. Perencanaan atas pengadaan bibit tersebut didasarkan atas usulan kabupaten/users yang akan melaksanakan pembuatan tanaman dhi. kabupaten/kota pengusul.
Bibit Kegiatan
Untuk melaksanakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan terdiri dari beberapa alternatif
GN-RHL Di
kegiatan yang diantaranya adalah reboisasi dan tanaman hutan rakyat. Masing-masing jenis
Provinsi
kegiatan tersebut memiliki komposisi jenis tanaman yang akan ditanam dalam jumlah yang
Kalimantan Barat
proporsional dalam hal ini lebih banyak tanaman kayu-kayuan daripada tanaman multi purpose
Tidak Sesuai
tree species (MPTS) mengingat kegiatan RHL adalah untuk mengembalikan fungsi hutan, bukan
Ketentuan
untuk memperluas areal perkebunan. Komposisi MPTS yang diperbolehkan maksimum 40%. Pengadaan bibit untuk kegiatan RHL tersebut dananya bersumber dari Bagian Anggaran 69 Tahun 2005 dan dibagi dalam dua tahap kegiatan. Hasil pemeriksaan pada dua kegiatan tersebut menunjukkan bahwa komposisi tanaman MPTS pada pengadaan bibit tersebut melebihi batas maksimal yang ditentukan. Penanaman hutan dengan komposisi MPTS yang lebih banyak ini akan merubah peruntukan kawasan dari kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan. 1. Tahap I Pada tahap I terdapat 20 paket pengadaan bibit, berdasarkan pemeriksaan diketahui terdapat enam paket pengadaan bibit di lima kabupaten yang komposisi MPTS-nya melebihi batas maksimum yang diperbolehkan yaitu berkisar 45,34% sampai dengan 98,28% seperti tabel berikut:
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
30
No.
Kabupaten
1 2
Sintang Kapuas Hulu
3 4 5
Sekadau Melawi Pontianak
Paket Sintang Kapuas Hulu A Kapuas Hulu B Sekadau Melawi Pontianak A
Total Batang 511,500 726,000 363,000 258,500 437,250 646,250
MPTS Batang 502,700 498,520 262,550 117,205 209,500 393,700
% 98.28 68.67 72.33 45.34 47.91 60.92
Kayu2 an,TUL & Mangrove Karet (%) Batang % 37.64 8,800 1.72 84.47 227,480 31.33 86.36 100,450 27.67 33.83 141,295 54.66 79.95 227,750 52.09 46.74 252,550 39.08
2. Tahap II Pada tahap II terdapat 13 paket pengadaan bibit, berdasarkan pemeriksaan diketahui terdapat sembilan paket pengadaan bibit pada tujuh kabupaten yang komposisi MPTS-nya melebihi batas maksimum yang diperbolehkan yaitu berkisar 45,91% sampai dengan 70,21% seperti tabel berikut: No
1
Kabupaten Pontianak
Total Paket
Batang
Rupiah
Multi Purpose Trees Species karet Batang % (%)
Kayu-Kayuan Batang
%
Pontianak A
803.000
1.133.530.000
547.400
68,17
71,06
255.600
31,83
Pontianak B Kapuas Hulu A Kapuas Hulu B
214.500
318.361.500
150.600
70,21
72,05
63.900
29,79
1.534.500
4.005.809.500
949.850
61,90
100
584.650
38,10
2
Kapuas Hulu
368.500
867.955.000
223.300
60,60
100
145.200
39,40
3
Sanggau
Sanggau
1.419.000
2.188.251.115
874.475
61,63
46,84
544.525
38,37
4
Sambas
Sambas
360.500
563.625.000
190.500
52,84
64,04
170.000
47,16
5
Melawi
Melawi
937.750
1.259.775.000
453.750
48,39
73,55
484.000
51,61
6
Landak
Landak
577.500
901.056.800
281.730
48,78
17,22
295.770
51,22
7
Sintang
Sintang
1.397.000
1.931.520.500
641.355
45,91
12,87
755.645
54,09
Masalah tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tanggal 1 Nopember 2005, Lampiran 1: a. Bagian Kedua mengenai Pedoman Pembuatan Tanaman Reboisasi GN-RHL Tahun 2005 Bab II, diantaranya menyatakan bahwa bibit yang ditanam pada hutan lindung minimal 60% kayu-kayuan dan maksimal 40% MPTS, pada hutan produksi bibit yang ditanam minimal 90% kayu-kayuan dan maksimal 10% MPTS sesuai dengan persyaratan tempat tumbuh dan 100% bibit pohon jenis asli untuk kawasan hutan konversi. b. Bagian Ketiga mengenai Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat GN-RHL Tahun 2005 Bab II, diantaranya menyatakan bahwa komposisi jenis tanaman terdiri dari kayukayuan termasuk jenis kayu unggulan lokal minimal 60% dan MPTS (multi purpose trees soecies) maksimal 40 %. Masalah tersebut mengakibatkan tujuan kegiatan RHL untuk menciptakan komunitas vegetasi hutan dan/atau komunitas vegetasi yang berfungsi ekologis sebagai hutan dalam satuan ruang Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
31
Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui dana GN-RHL tahun 2005 tidak sepenuhnya tercapai, terjadi karena sosialisasi tentang program RHL yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten belum efektif. Atas permasalahan tersebut Pejabat Pembuat Komitmen di BPDAS menjelaskan bahwa di beberapa kabupaten, bibit MPTS dengan jenis karet lebih dominan untuk mengakomodir desakan masyarakat. Sesuai dengan Surat Sekretaris Direktorat Jenderal RLPS No. S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta bupati di wilayah Provinsi Kalimantan Barat untuk meningkatkan sosialisasi program RHL/GN-RHL kepada masyarakat di wilayah masing-masing.
Komposisi Multi Purpose Tress Species (MPTS)
Perencanaan pengadaan bibit pada kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Sumber Dana DAKDR dilaksanakan oleh dinas masing-masing kabupaten dengan mempertimbangkan masukan dari masyarakat.
Pada Pengadaan
Untuk melaksanakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan terdiri dari beberapa alternatif
Bibit Kegiatan
kegiatan yang diantaranya adalah reboisasi dan tanaman hutan rakyat. Masing-masing jenis
Hutan Rakyat
kegiatan tersebut memiliki komposisi jenis tanaman yang akan ditanam dalam jumlah yang
Kabupaten
proporsional dalam hal ini lebih banyak tanaman kayu-kayuan daripada tanaman multi purpose
Sanggau Dan
tree species (MPTS) mengingat kegiatan RHL adalah untuk mengembalikan fungsi hutan, bukan
Kabupaten
untuk memperluas areal perkebunan. Komposisi MPTS yang diperbolehkan maksimum 40%.
Bengkayang Sumber Dana DAK-DR Tahun 2004 Tidak
Pengadaan bibit untuk kegiatan RHL tersebut dananya bersumber dari DAK-DR tahun 2004. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pada perencanaan teknis atas pengadaan bibit Kabupaten Sanggau dan Bengkayang komposisi tanaman MPTS melebihi batas maksimal yang
Sesuai
ditentukan.
Ketentuan
Rancangan teknis yang disusun Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sanggau dan Bengkayang tersebut telah mempertimbangkan kondisi-kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat, namun pertimbangan tersebut mengesampingkan komposisi MPTS yang diperbolehkan. Penanaman hutan dengan komposisi MPTS yang lebih banyak ini akan merubah peruntukan kawasan dari kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
32
1. Kabupaten Sanggau Kegiatan RHL dari dana DAK-DR 2004 dilaksanakan tahun 2005. Pelaksanaan atas kegiatan tersebut didahului dengan proses perencanaan yang dituangkan dalam Rancangan Teknis yang tersebar pada 24 lokasi. Rancangan teknis tersebut terdiri dari 21 Rancangan Teknis Hutan Rakyat dan tiga Rancangan Teknis Reboisasi Hutan Lindung. Hasil pemeriksaan pada rancangan teknis tersebut diketahui terdapat kesalahan pengelompokkan jenis tanaman. Perencanaan rancangan teknis Kegiatan RHL DAK-DR di Kabupaten Sanggau mengelompokan karet unggul sebagai kayu-kayuan, sehingga pada komposisi MPTS akan menjadi lebih tinggi lagi. Hal tersebut diperkuat dengan pemeriksaan pada laporan pelaksanaan pengadaan bibit yang dilaksanakan oleh CV. Duta Desa dengan Kontrak No.027/805/Hutbun.D tanggal 21 Oktober 2005 dengan nilai kontrak sebesar Rp2.047.153.100,00. Pekerjaan tersebut telah diserahterimakan
pada
tanggal
15
Desember
2005
dengan
Berita
Acara
No.80/DD/PTK/12/2005 total jumlah bibit yang diserahkan sebanyak 992.500 batang. Berdasarkan jumlah dan jenis bibit yang diserahterimakan dapat dikelompokkan dalam rincian sebagai berikut: No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4
Jenis Kayu-Kayuan dan TUL Gaharu Tengkawang Meranti Sungkai Jumlah A MPTS Durian Seedling Petai Karet Seedling Karet unggul Jumlah B Total (A+B) Persentase MPTS Persentase karet dlm MPTS
Jumlah (batang) 97.720 87.500 91.000 81.200 357.420 113.300 100.000 81.000 340.780 635.080 992.500 63,99% 66,41%
Dilihat dari komposisi tanaman tersebut diketahui secara total penyediaan bibit untuk penanaman hutan rakyat dan hutan lindung adalah sebesar 63,99%. Komposisi MPTS didominasi oleh karet baik karet seedling maupun unggul yaitu 66,41%. 2. Kabupaten Bengkayang Kegiatan RHL dari dana DAK-DR 2004 dilaksanakan tahun 2006. Pelaksanaan atas kegiatan tersebut didahului dengan proses perencanaan yang dituangkan dalam Rancangan Teknis Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
33
yang pelaksanaannya tersebar pada 16 kegiatan. Rancangan teknis tersebut terdiri dari 12 Rancangan Teknis Hutan Rakyat dan dua Rancangan Teknis Reboisasi Hutan Lindung dan dua Rancangan Teknis Aneka Usaha Kehutanan Rotan. Hasil pemeriksaan pada Rancangan Teknis Hutan Rakyat diketahui komposisi MPTS berupa karet OPAS berkisar antara 70,10% sd. 78,94% , dengan rincian sebagai berikut: No
Lokasi
Luas
Bibit (btg)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Temonong Bhakti Mulya Sekaruh Bengkilu Malo Jelayan Sebetung Menyala Sui Pangkalan II Karimunting Perasak Pasti Jaya Teriak Cipta Karya Jumlah
75 30 45 75 65 55 43 57 50 50 50 75 670
32.400 12.990 20.520 37.167 29.445 25.080 19.608 25.935 22.600 22.600 22.600 33.975 304.920
Kayu-Kayuan batang % 6.825 2.790 5.175 11.113 7.345 6.325 4.902 6.555 5.600 5.600 5.600 8.400 76.230
21,06 21,48 25,22 29,90 24,94 25,22 25,00 25,27 24,78 24,78 24,78 24,72 25,00
MPTS Btg
%
25.575 10.200 15.345 26.054 22.100 18.755 14.706 19.380 17.000 17.000 17.000 25.575 228.690
78,94 78,52 74,78 70,10 75,06 74,78 75,00 74,73 75,22 75,22 75,22 75,28 75,00
Masalah tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.04/Menhut-V/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi Lampiran 1, BAB III C.1 antara lain menyebutkan bahwa “Pemilihan jenis tanaman hutan rakyat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, kesesuaian agroklimat, permintaan pasar, serta menguntungkan yang diwujudkan melalui kesepakatan kelompok. Komposisi jenis tanaman terdiri dari tanaman kayu-kayuan dan tanaman unggulan lokal minimal 70% dan jenis tanaman MPTS maksimal 30%.” Masalah tersebut mengakibatkan tujuan Kegiatan RHL untuk menciptakan 'komunitas vegetasi hutan' dan/atau 'komunitas vegetasi yang berfungsi ekologis sebagai hutan' dalam satuan ruang Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui dana DAK-DR tahun 2004 tidak sepenuhnya tercapai, karena sosialisasi tentang progran RHL yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau dan Bengkayang belum efektif. Atas permasalahan tersebut Pejabat Pembuat Komitmen di BPDAS menjelaskan bahwa di beberapa Kabupaten, bibit MPTS dengan jenis karet lebih dominan untuk mengakomodir desakan masyarakat. Sesuai dengan Surat Sekretaris Direktorat Jenderal RLPS No. S.58/Set-3/Rhs/2008 tanggal 29 Januari 2008, Dirjen RLPS pada dasarnya mendukung sebagai bahan koreksi langkah perbaikan pelaksanaan kegiatan di masa yang akan datang. Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
34
BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan agar meminta kepada Bupati Bengkayang dan Bupati Sanggau untuk lebih meningkatkan sosialisasi program RHL/GN-RHL kepada masyarakat di wilayah masing-masing.
Pembuatan Hutan Rakyat Seluas 200 Ha Dan Reboisasi Hutan Lindung Seluas 1.680 Ha Pada Kegiatan GN-RHL Kabupaten Ketapang, Bengkayang, Dan Landak Dilaksanakan Pada Lokasi Yang Tidak Tepat
Pelaksanaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan didahului dengan perencanaan yang diantaranya merupakan penentuan titik lokasi. Penentuan titik lokasi tersebut disesuaikan dengan jenis kegiatan dan peruntukan lahan dimana lokasi penanaman akan dilaksanakan. Terkait dengan perencanaan lokasi dan pelaksanaan penanaman diketahui diantaranya terdapat pelaksanaan kegiatan di Kabupaten Ketapang, Bengkayang dan Landak yang dilaksanakan pada lokasi yang tidak tepat. 1. Kabupaten Ketapang Kegiatan GN-RHL tahun 2005 yang diluncurkan ke tahun 2006 diantaranya berupa kegiatan pembuatan tanaman mangrove, pembuatan dan pengkayaan reboisasi hutan lindung, pembuatan dan pengkayaan hutan rakyat dengan total luas 1.300 ha. Berdasarkan Rancangan Teknis kegiatan GN-RHL tahun 2005 dan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Ketapang sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.259/KPTS-II/2000, diketahui Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat oleh Kelompok Tani Rimba Kempari di Dusun Kempari Desa Sepotong Kecamatan Sungai Laur pada Sub DAS Pawan Hulu DAS Pawan seluas 100 ha dilaksanakan pada titik koordinat 00, 53' 23,5" Bujur Timur dan 110, 31' 33,5 Lintang Selatan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.259/KPTS-II/200 lokasi tersebut merupakan Hutan Produksi Terbatas. 2. Kabupaten Bengkayang Kegiatan GN-RHL tahun 2004 dengan dana SKOR No.0500/KM.3-43/SKOR/2004 tanggal 4 Agustus 2004 dan DIPA No.229/169-03.0/-/2005 tanggal 23 Mei 2005 diantaranya berupa kegiatan Reboisasi Hutan Lindung di 13 lokasi dan Penanaman Hutan Rakyat dilaksanakan di 18 lokasi. Sedangkan untuk tahun 2005 yang dibiayai oleh DIPA BA 69 No.0161.0/06903/-/2005 dan DIPA-L BA 69 No.1749.0.L/069-03.0/XVI/2006 diantaranya berupa kegiatan Pembuatan Tanaman Reboisasi seluas 1.850 ha di 15 lokasi, hutan rakyat seluas 750 ha di sembilan lokasi, hutan rakyat pengkayaan seluas 200 ha di dua lokasi dan hutan mangrove seluas 150 ha di dua lokasi. Berdasarkan rancangan teknis pembuatan tanaman hutan rakyat GN-RHL tahun 2004 & 2005 dan Peta Kabupaten Bengkayang diketahui terdapat 12 lokasi seluas 1.080 ha untuk GN-RHL 2004 dan dua lokasi GN-RHL 2005 seluas 150 ha yang berada pada lahan yang tidak sesuai peruntukkannya. Rincian lokasi sebagai berikut:
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
35
a. Reboisasi Hutan Lindung di DAS Selakau (GN-RHL 2004) Reboisasi Hutan Lindung di Kecamatan Sungai Betung pada Sub DAS Sungai Raya DAS Selakau dilaksanakan pada Areal Penggunaan Lain seluas 400 ha dengan rincian sebagai berikut : No 1 2 3
Dusun Ketiat Sebawak Ketiat Jumlah
Desa
Luas (ha)
Cipta Karya Sebawak Cipta Karya
200 100 100 400
Koordinat Lintang Bujur Utara Timur 00o 51’69” 109o25”67” 00o 51’ 109o25” o 00 51’05” 109o25”63”
b. Reboisasi Hutan Lindung di DAS Sambas (GN-RHL 2004) Reboisasi Hutan Lindung di Kecamatan Sungai Betung pada Sub DAS Ledo DAS Sambas dilaksanakan pada Hutan Produksi di dua kecamatan seluas 680 ha dengan rincian : No 1 2 3 4 5
Dusun Jaku Madi Lumar Jelatok Belangko Jumlah
Desa Bakti Mulya Tiga Berkat Tiga Berkat Seren Selimbau Bakti Mulya
Luas (ha) 100 150 130 150 150 680
Koordinat Lintang Utara Bujur Timur 1090 28’36” 000 47’06” 1090 25’15” 000 53’00” 1090 23’25” 000 57’00” 0 1090 22’00” 00 57’00” 0 1090 28’72” 00 47’60”
c. Reboisasi Hutan Lindung di DAS Sambas (GN-RHL 2005) Reboisasi Hutan Lindung di Kecamatan Bengkayang pada Sub DAS Sungai Sebalo DAS Sambas salah satunya direncanakan seluas 100 ha pada Lokasi Pakeng Dusun Pakeng Desa Bakti Mulya dengan koordinat 000 47’11” Lintang Utara dan 109o 30’ 10” Bujur Timur. Berdasarkan lokasi kegiatan Gerhan diketahui lokasi tersebut berada pada Hutan Produksi. 3. Kabupaten Landak Kegiatan GN-RHL tahun 2004 dengan dana SKOR No.0500/KM.3-43/SKOR/2004 tanggal 4 Agustus 2004 dan DIPA No.229/169-03.0/-/2005 tanggal 23 Mei 2005 diantaranya berupa kegiatan reboisasi hutan lindung di empat lokasi dan penanaman hutan rakyat enam lokasi. Berdasarkan laporan akhir penilaian LPI kinerja untuk pelaksanaan reboisasi hutan lindung diketahui telah terjadi pemindahan beberapa lokasi penanaman sehingga tidak sesuai dengan rancangan teknis. Lokasi penanaman seluas 400 ha di desa Sebatih Kecamatan Sengah Temila yang dilaksanakan oleh Kelompok Tani Riam Rampong dilakukan pada areal Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
36
kebun rakyat atau daerah penyangga, bukan pada lokasi hutan negara yang rusak berat dan perlu direhabilitasi. Lebih lanjut pelaksanaan rehabilitasi hutan rakyat seluas 100 ha di dusun Sidas oleh Kelompok Tani Bukit Kelelawar dilaksanakan pada areal yang kondisinya masih bagus bukan pada areal-areal yang telah rusak atau kritis. Hal ini dikarenakan waktu pelaksanaan penanaman tidak selalu didampingi petugas lapangan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Landak, sehingga petani menanam pada lokasi kawasan hutan yang relatif mudah dijangkau. Sedangkan GN-RHL tahun 2005 yang dilaksanakan tahun 2006 kegiatannya diantaranya pembuatan tanaman hutan lindung seluas 100 ha di Dusun Ubah Desa Pahauman Kecamatan Sengah Semila Kabupaten Landak yang dilaksanakan oleh Kelompok Tani Ube Jaya.
Kegiatan
tersebut
dilaksanakan
dengan
Surat
Perjanjian
Kerja
Sama
No.SPK.522/117/Hutbun-Gerhan/2006 tanggal 10 Juli 2006. Berdasarkan pemeriksaan fisik di lapangan diketahui bahwa penanaman dilakukan pada lokasi yang masih memiliki vegetasi hutan yang cukup bagus dan rapat dengan diameter pohon sampai dengan 100 cm. Pelaksanaan penanaman tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan baik terlihat dari tidak adanya jalur tanaman, ajiran tidak sepenuhnya dilaksanakan, serta lubang tanaman dibuat sekedarnya tidak sesuai dengan rancangan teknis. Masalah tersebut tidak sesuai dengan : 1. Peta Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Ketapang sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.259/KPTS-II/2000. 2. Peta Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Bengkayang sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.235/KPTS-II/2000. 3. Lampiran I Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-V/2005 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan GN-RHL a. Bagian Kesatu Pedoman Penyusunan Rencana GN-RHL Bab II. A.2.c. Pertimbangan Teknis dan manajerial menyatakan bahwa dalam perencanaan teknis RHL perlu memperhatikan Rencana Tata Ruang Wlayah, MP RHL, Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT), dan pertimbangan manajerial antara lain kesiapan kelembagaan daerah dan masyarakat, komitmen daerah, sumber dana lain yang tersedia (DAK-DR/Bagi Hasil, APBD, dll) serta pertimbangan khusus untuk kondisi daerah kabupaten tertinggal. b. Bagian Kedua Pedoman Pembuatan Tanaman Reboisasi GN-RHL 1). Bab I. C. Sasaran pembuatan tanaman reboisasi adalah areal kawasan hutan Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
37
negara yang tidak dibebani hak dan telah mengalami degradasi/penurunan kualitas hutan (kawasan hutan terbuka/lahan kosong, alang-alang, semak belukar dan hutan rawang), kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional dalam suatu wilayah DAS prioritas serta telah ditetapkan dalam kegiatan program GN-RHL. 2). Bab II.A. a. Calon lokasi reboisasi adalah kawasan hutan terdegradasi/terbuka diutamakan di wilayah hulu DAS yang tidak dapat berfungsi secara optimal dalam berproduksi dan perlindungan tata air DAS. Lokasi definitif ditetapkan oleh Kepala Dinas yang mengurusi Kehutanan Provinsi/Kabupaten/Kota, BP DAS dan BKSDA/BTN setempat. 3). Bab II.A. b. Calon lokasi pengkayaan adalah kawasan hutan rawang yang memiliki tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan pohon sejumlah 500 – 700 batang/ha. c.
Bagian Ketiga Pedoman Pembuatan Hutan Rakyat GN-RHL 1). Bab I.C. sasaran lokasi pembuatan tanaman hutan rakyat adalah di luar kawasan hutan negara. 2). Bab II. A. Penetapan Calon Lokasi, dalam menentukan lokas pembuatan tanaman hutan rakyat, mempertimbangkan sebagai berikut : a) Tanah milik rakyat menurut kesesuaian lahan dan pertimbangan ekonomis lebih sesuai untuk hutan rakyat b) Tanah milik rakyat yang terlantar yang berada di bagian hulu sungai. c) Tanah desa, tanah marga/adat, tanah negara bebas serta tanah lainnya yang terlantar dan bukan kawasan hutan negara. d) Tanah milik rakyat/tanah desa/ tanah lainnya yang sudah ada tanaman kayukayuan tetapi masih perlu dilakukan pengkayaan tanaman.
Masalah tersebut mengakibatkan : 1. Sasaran program GN-RHL Kabupaten Ketapang tahun 2006 pada satu lokasi seluas 100 ha tidak sepenuhnya tercapai. 2. Sasaran program GN-RHL Kabupaten Bengkayang tahun 2004 pada dua lokasi seluas 1.080 ha dan GN-RHL tahun 2005 pada 12 lokasi seluas 150 ha tidak sepenuhnya tercapai. 3. Sasaran program GN-RHL Kabupaten Landak tahun 2004 pelaksanaan 2005 seluas 400 ha di Desa Sebatih dan 100 ha di Dusun Sidas Kecamatan Sengah Temila dan sasaran program GN-RHL tahun 2005 pelaksanaan 2006 seluas 100 ha di Dusun Ubah Desa Pahauman tidak mencapai sasaran (tidak efektif).
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
38
Hal tersebut disebabkan: 1. Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang dalam mempertimbangkan lokasi penanaman kegiatan GN-RHL tidak mengikuti ketentuan yang berlaku. 2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkayang dalam mempertimbangkan lokasi penanaman kegiatan GN-RHL tidak mengikuti ketentuan yang berlaku. 3. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam melaksanakan kegiatan GN-RHL di lapangan berupa pengawasan dan pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) serta pembinaan belum optimal. Atas permasalahan tersebut Pejabat Pembuat Komitmen Kegiatan RHL Kabupaten Ketapang menjelaskan penetapan lokasi dalam perencanaan sudah cukup optimal, disamping memperhatikan ketentuan teknis juga mempertimbangkan aspirasi masyarakat baik yang disampaikan langsung maupun melalui rapat koordinasi pembangunan kabupaten. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bengkayang menjelaskan lokasi yang dilaksanakan telah sesuai dengan rancangan teknis tetapi terdapat kesalahan pembacaan koordinat sehingga terjadi kesalahan penempatan pada peta. Koordinator kelembagaan GN-RHL/GERHAN Kabupaten Landak menjelaskan lokasi yang ditanam masih merupakan daerah penyangga pada kawasan hutan. Pada saat penanaman tidak selalu didampingi oleh petugas lapangan (pinlak). BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan supaya : 1. Memerintahkan direktorat terkait agar memutakhirkan kawasan hutan sesuai kondisi terkini. 2. Meminta Bupati Ketapang untuk memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan agar melakukan koordinasi dengan Departemen Kehutanan dan mempedomani ketentuan mengenai kawasan hutan serta dalam merencanakan rancangan teknis kegiatan RHL baik yang bersumber dari dana GN-RHL mengikuti petunjuk teknis yang ada. 3. Meminta Bupati Bengkayang untuk memerintahkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bengkayang dalam menetapkan lokasi RHL mengacu pada peta kawasan yang ditetapkan Departemen Kehutanan. 4. Meminta Bupati Landak untuk memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Landak agar melakukan pengawasan dan pembinaan yang lebih optimal kepada kelompok-kelompok tani dalam melaksanakan pembuatan tanaman.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
39
Pembuatan Hutan Rakyat Seluas 320 Ha Dan Reboisasi Hutan Lindung
Pelaksanaan atas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan didahului dengan perencanaan yang diantaranya merupakan penentuan titik lokasi. Penentuan titik lokasi tersebut disesuaikan dengan jenis kegiatan dan peruntukan lahan dimana lokasi penanaman akan dilaksanakan. Terkait dengan perencanaan lokasi dan pelaksanaan penanaman diketahui diantaranya terdapat pelaksanaan kegiatan di Kabupaten Ketapang yang dilaksanakan pada lokasi yang tidak tepat.
Seluas 50 Ha
Kegiatan RHL DAK-DR tahun 2004 dilaksanakan tahun 2006 diantaranya berupa kegiatan
Pada Kegiatan
pembuatan tanaman reboisasi seluas 400 ha di tiga lokasi, hutan rakyat seluas 500 ha di 14
RHL DAK-DR
kecamatan (Reboisasi Hutan Rakyat di Kecamatan Muara Pawan, Kecamatan Matan Hilir Utara,
Tahun 2006
Kecamatan Nanga Tayap, Kecamatan Sandai dan Reboisasi Hutan Lindung Lembuding, Hutan
Kabupaten
Lindung Barubayan dan Hutan Produksi Sekelampai).
Ketapang Dilaksanakan Pada Lokasi Yang Tidak Tepat
Pemilihan lokasi di atas telah mempertimbangkan usulan dari masyarakat. Penetapan lokasi tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pengukuran dan Penetapan Lokasi Kegiatan RHL DAKDR yang menjadi bagian dari rancangan teknis. Dokumen rancangan teknis tersebut berisi pembuatan risalah lapangan, pengukuran dan pemetaan yang memuat letak dan luas, kondisi biofisik dan pengukuran dan penataan batas. Konfirmasi dengan pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang mengungkapkan bahwa pelaksanaan atas ketentuan-ketentuan tersebut telah dilaksanakan dan dilaporkan secara terpisah dengan rancangan teknis. Pelaporan atas kegiatan tersebut berupa Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dan Daftar Anggaran Biaya per kegiatan per kelompok tani serta laporan pengumpulan data sosial, ekonomi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan RHL DAK-DR. Berdasarkan Rancangan Teknis kegiatan RHL DAK-DR tahun 2006 dan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Ketapang sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 259/KPTS-II/2000, diketahui sebagai berikut : 1. Pembuatan Hutan Rakyat di DAS Pawan Pembuatan Hutan Rakyat di 13 lokasi pada Sub DAS Pawan Hulu DAS Pawan dilaksanakan pada lokasi yang tidak tepat yaitu pada lokasi Hutan Produksi dan Taman Nasional seperti tabel berikut: No
Dusun
Desa, Kecamatan
1
Cinta Manis
2
-
Cinta Manis, Hulu Sungai Betenung, Nanga Tayap
3
Tontang
4
Semapau
Semandang kanan, Simpang Dua Sepotong, Sei Laur
Luas (ha) 25 25 25 25
Koordinat Lintang Bujur Selatan Timur 01, 09' 110, 44' 22,58" 16,45" 110, 43' 01, 34' 767" 719" 110, 23' 15" 00, 45' 15" BT 00, 55" 110, 31' 04,1" 53,9"
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
Peruntukan Lahan Hutan Produksi Konversi Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Terbatas 40
5 6
-
7
Manjau
8
-
9
Tenaga Baru Pangkal Tapang Riam Berasap Tanah Merah Semanai
10 11 12 13
Kusuma Jaya, Jelai Hulu Semandang kanan, Simpang Dua Laman Satong, Matan Hilir Utara Mekar Raya, Simpang Dua Dusun Kecil, P. Maya Karimata Simpang Tiga, Sukadana Simpang Tiga, Sukadana Sutra, Sukadana Simpang Tiga, Sukadana
Jumlah
25 25
01, 57' 09,6" 00, 45' 40,4"
110, 50' 11,2" 110, 23' 21"
01, 23' 50" 00, 51' 20,4"
110, 15' 48" 110, 19' 34,4"
01, 01' 42"
109, 28' 8" 110, 8' 44,6"
25 25 25 12,5 01, 20' 8.0" 12,5 01, 20' 02" 01, 14' 16,6"
25 25
01, 20' 4,5"
110, 08' 34" 109, 45' 18,3" 110, 0,4' 47,7"
Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Tetap Taman Nasional Taman Nasional Taman Nasional Taman Nasional
300
2. Demplot Hutan Rakyat di DAS Pawan Pembuatan Demplot Hutan Rakyat di empat lokasi pada Sub DAS Pawan Hulu DAS Pawan dilaksanakan pada lokasi yang tidak tepat dengan uraian sebagai berikut : No
Dusun
Desa, Kecamatan
Luas (ha)
1
Perigi
Deranuk , Jelai Hulu
5
2
Tambak Rawang
Gn. Sembilan, Sukadana
5
3
Teluk Keramat
Pkl. Teluk, Nanga Tayap
5
4
Sukabaru
Satai Lestari, Pulau Maya Karimata
5
Jumlah
Titik Koordinat Lintang Bujur Selatan Timur 010, 59' 1100, 47" 57,7" 57,1" 010, 20' 1100, 4' 4,5" 47,7" 010, 26' 1100, 28' 312" 327" 010, 13' 1090, 41' 46" LS 14"
Peruntukan Lahan Hutan Produksi Terbatas Taman Nasional Hutan Lindung Hutan Produksi Tetap
20
3. Reboisasi Hutan Lindung Reboisasi Hutan Lindung Gunung Lembuding oleh Kelompok Tani Lestari Kempari di Dusun Sungai Beliung Desa Nanga Tayap Kecamatan Nanga Tayap pada Sub DAS Pawan Hulu DAS Pawan seluas 50 ha dilaksanakan pada koordinat 01 , 26' 22" LS dan 110 , 36' 07" BT. Pada titik koordinat tersebut berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Ketapang merupakan Areal Penggunaan Lain. Masalah tersebut tidak sesuai dengan : 1. Peta Kawasan Hutan dan Perairan Kabupaten Ketapang sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.259/KPTS-II/2000. 2. Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No.P.04/Menhut-V/2004 Bagian Kesatu tentang Pedoman Penyusunan Rancangan Kegiatan RHL Sumber Dana DAK-DR
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
41
diutamakan di wilayah hulu DAS yang tidak dapat berfungsi secara optimal dalam berproduksi dan perlindungan DAS. b. Bab IV.A.1. dalam menentukan lokas pembuatan tanaman hutan rakyat, mempertimbangkan sebagai berikut : 1). Tanah milik rakyat menurut kemampuannya kurang cocok untuk pertanian tanaman pangan, tetapi baik untuk hutan rakyat. 2). Tanah milik rakyat menurut pertimbangan ekonomis lebih menguntungkan daripada untuk kegiatan lainnya. 3). Tanah milik rakyat yang terlantar yang berada di bagian hulu sungai. 4). Tanah milik rakyat yang menurut pertimbangan khusus perlu dihutankan untuk perlindungan mata air. 5). Tanah desa, tanah marga/adat, tanah negara bebas serta tanah lainnya yang bukan kawasan hutan yang terlantar. 6). Lahan tegal dan lahan pekarangan yang luasnya memenuhi syarat sebagai hutan rakyat. Hal tersebut mengakibatkan sasaran program kegiatan RHL sumber dana DAK-DR Kabupaten Ketapang tahun 2006 pada 18 lokasi seluas 370 ha tidak sepenuhnya tercapai, terjadi karena Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang dalam mempertimbangkan lokasi penanaman kegiatan GN-RHL tidak mengikuti ketentuan yang berlaku. Atas permasalahan tersebut Pejabat Pembuat Komitmen Kegiatan RHL Kabupaten Ketapang menjelaskan penetapan lokasi dalam perencanaan sudah cukup optimal, disamping memperhatikan ketentuan teknis juga mempertimbangkan aspirasi masyarakat baik yang disampaikan langsung maupun melalui rapat koordinasi pembangunan kabupaten. BPK-RI menyarankan kepada Menteri Kehutanan supaya : 1. Memerintahkan direktorat terkait agar memutakhirkan kawasan hutan sesuai kondisi terkini. 2. Meminta Bupati Ketapang untuk memerintahkan Kepala Dinas Kehutanan agar melakukan koordinasi dengan Departemen Kehutanan dan mempedomani ketentuan mengenai kawasan hutan serta dalam merencanakan rancangan teknis kegiatan RHL baik yang bersumber dari dana GN-RHL maupun DAK-DR mengikuti petunjuk teknis yang ada.
Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
42
BAB V KESIMPULAN Rehabilitasi Hutan dan Lahan merupakan isu nasional dan internasional yang penting pada saat ini. Berdasarkan laporan Bank Dunia tentang Kondisi Perubahan Iklim di Indonesia disebutkan bahwa Indonesia termasuk penyumbang terbesar Gas-gas Rumah Kaca dari sektor kehutanan. Gas-gas Rumah Kaca dari sector kehutanan antara lain disebabkan oleh pengundulan hutan dan kebakaran hutan. Disamping dampak terhadap perubahan iklim, pengundulan hutan di Indonesia juga sudah sangat merisaukan karena berdasarkan data Baplan tahun 2000 laju kerusakan hutan adalah 1,5 s/d 2,8 juta Ha pertahun. Laju kerusakan yang begitu pesat perlu diikuti dengan upaya yang intensif untuk merehabilitasinya. Pemerintah telah berupaya merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan tersebut dengan melakukan program GN-RHL dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan menggunakan DAK-DR. Upaya yang dilakukan pemerintah melibatkan juga aparat pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota serta masyarakat di wilayah sekitar hutan dan lahan yang rusak. Hasil Pemeriksaan BPK-RI atas pelaksanaan GN-RHL dan RHL dengan DAK-DR di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa secara umum upaya pemerintah merehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat belum berhasil untuk mencapai target yang diharapkan sebelumnya. Dengan mengingat laju pertambahan kerusakan hutan dan lahan diatas maka ketidakmampuan pemerintah mencapai target tersebut lebih lanjut akan berdampak kepada semakin bertambahnya hutan dan lahan yang rusak di Kalimantan Barat. Disamping pencapaian target diatas, masih ditemukan penyaluran DAK-DR yang tidak sesuai dengan ketentuan dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang tidak hemat, tidak efektif, dan melanggar ketentuan mengakibatkan pemborosan keuangan negara sebesar Rp28.382.806.100,00 dan upaya meningkatkan kualitas DAS Kahayan menjadi tidak berhasil, dengan perincian antara lain sebagai berikut : 1. Perbaikan lingkungan pantai melalui kegiatan penanaman vegetasi mangrove seluas 100 ha dan rehabilitasi hutan konservasi di Taman Nasional Danau Sentarum seluas 400 ha sebesar Rp908.580.000,00 tidak efektif
sehingga kegiatan rehabilitasi kawasan pasang surut dan
rehabilitasi hutan konservasi masing-masing di Desa Pesaguan Kanan dan Taman Nasional Danau Sentarum dengan biaya minimal sebesar tersebut di atas tidak berhasil dan tujuan rehabilitasi hutan konservasi di Taman Nasional Danau Sentarum adalah untuk memulihkan ekosistem yang rusak karena bekas kebakaran agar dapat berfungsi kembali secara optimal dalam mendukung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari bagi kepentingan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional ini tidak tercapai. 2. Pembuatan tanaman reboisasi dan tanaman hutan rakyat tahun 2006 dengan nilai sebesar Rp27.474.226.100,00 di 4 (Empat) Kabupaten Wilayah Kalimantan Barat tidak berhasil sehingga Hasil Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
43
kegiatan RHL pada Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang tahun 2006 sebesar tersebut di atas tidak efektif dan tujuan dari kegiatan pembuatan tanaman reboisasi dan pembuatan tanaman hutan rakyat di Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang tidak tercapai. 3. Kegiatan RHL Tahun 2004 dan 2005 dengan Sumber Dana DAK-DR pada 5 (Lima) Kabupaten di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana sehingga rencana definitif kegiatan RHL yang disusun oleh masing-masing Bupati di Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004 dan 2005 tidak efektif dan penggunaan DAK-DR untuk program RHL di Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu, sebagai upaya penanggulangan kerusakan hutan di wilayah kelima kebupaten tersebut menjadi tidak maksimal. Kondisi di atas antara lain terjadi karena pemerintah tidak tegas dalam menentukan lokasi RHL hanya di lokasi yang menjadi prioritas DAS, belum sepenuhnya berkomitmen secara berjenjang untuk merehabilitasi hutan dan lahan, kurang melakukan koordinasi diantara pihak yang terkait dan belum optimal meningkatkan sistem anggaran agar terintegrasi dengan proses penanaman. BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Hail Pemeriksaan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Barat
44
Lampiran Daftar Tahap Penerimaan DAK DR oleh 5 Kabupaten Sanggau, Landak, Bengkayang, Ketapang, dan Kapuas Hulu Tahun 2004 dan 2005 Tahun Penetapan DAK DR
Nama Kabupaten
1.
Sanggau
2004 2005
3.362.420.000,00 -
2.
Landak
2004 (Thp 1) 2004 (Thp 2) 2005 2005 (Thp 1)
2.751.065.000,00 1.153.373.387,72 1.580.864.545,68
-
2.751.065.000,00 -
1.153.373.387,72 1.580.864.545,68
2.751.065.000,00 1.153.373.387,72 1.580.864.545,68
3.
Bengkayang
2004 (Thp 1) 2004 (Thp 2) 2005 2005 (Thp 1)
2.903.902.000,00 1.217.449.687,03 1.429.937.453,19
-
2.903.902.000,00 -
1.217.449.687,03 1.429.937.453,19
2.903.902.000,00 1.217.449.687,03 1.429.937.453,19
4.
Ketapang
2004 2004 (Thp1) 2004 (Thp 2) 2005 2005 (Thp 1)
4.279.435.000,00 1.794.136.380,89 2.786.346.322,86
-
4.279.435.000,00 -
2004 2005
4.279.435.000,00 -
5.
Kapuas Hulu
Nilai DAK DR
Tahun Penerimaan 2006
No
2005 3.362.420.000,00 -
4.279.435.000,00 -
-
-
Jumlah
2007 -
3.362.420.000,00 -
-
4.279.435.000,00 -
-
4.279.435.000,00 -