Badan Anggaran DPR Dan Memburuknya Citra Politisi di Mata Publik
Lingkaran Survei Indonesia 2 Okt 2011 1
REKOR MURI Survei Paling Akurat dan Presisi 6 Rekor terbaru MURI ( Museum Rekor Indonesia)
Paling Presisi 1. Quick Count yang diumumkan tercepat (1 jam setelah TPS ditutup) 2. Quick Count akurat secara berturut-turut sebanyak 100 kali 3. Quick Count dengan selisih terkecil dibandingkan hasil KPUD yaitu 0,00 % (Pilkada Sumbawa, November 2010)
Prediksi Paling Akurat 1. Survei prediksi pertama yang akurat mengenai Pilkada yang diiklankan 2. Survei prediksi akurat Pilpres pertama yang diiklankan 3. Survei prediksi akurat Pemilu Legislatif pertama yang diiklankan 2
Badan Anggaran DPR dan Memburuknya Citra Politisi di Mata Publik Apa yang salah dengan pemerintahan eksekutif dan legislatif di enam tahun terakhir? Di tahun 2011, hanya 23.4 % yang menganggap positif citra politisi. Padahal survei yang sama di tahun 2005, 44.2% responden menilai kerja politisi masih relatif baik. Dalam waktu enam tahun, persepsi positif terhadap politisi drop sebanyak 21 %. Bahkan banyak responden menyatakan politisi saat ini lebih buruk dibandingkan politisi era Orde Baru.
Berbeda dengan korupsi era Orde Baru, korupsi di era reformasi, terutama di enam tahun terakhir, ada pemain baru yg powerful: “Oknum” Lintas Partai yang ada di Badan Anggaran DPR. Seiring dengan menguatnya aneka partai di era reformasi, menguat pula “oknum” multi partai itu dalam “memainkan” anggaran negara. “Oknum” di Badan Anggaran DPR ini dipercaya menjadi hulu dari jaringan korupsi yang melanda aneka kementerian saat ini. Demikianlah salah satu kesimpulan hasil survei nasional terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Survei dilakukan di lapangan tanggal 5-10 sept 2011. Jumlah responden sebanyak 1200, dipilih secara acak (multi stage random sampling) dan mewakili 33 propinsi. Wawancara tatap muka. Margin of error plus minus 2.9%. Survei juga dilengkapi oleh riset kualitatif melalui Dept Interview, Focus Group Discussion dan Analisa Media.
3
Politisi yang dimaksud dalam riset ini dibatasi hanya pada tokoh yang dipilih rakyat dalam pemilu (anggota dan pimpinan DPR, DPRD, Gubernur, Walikota, Bupati dan Presiden) ditambah pengurus/anggota partai politik, serta para menteri yang umumnya banyak yang berasal dari partai politik. Hanya 23.4% yang menyatakan kerja politisi saat ini baik. Mayoritas 51.3% menyatakan politisi saat ini bekerja buruk. Sisanya, 22.1% responden tak menjawab/tak tahu/rahasia. Di kota, yang menyatakan politisi bekerja dengan baik lebih sedikit lagi, 19.6%. Sedangkan di desa yang positif terhadap politisi lebih banyak dibandingkan di kota, 26.6%.
Di kalangan pendidikan tinggi, mahasiswa dan lulusan S1,S2 dan S3, yang menyatakan politisi bekerja dengan baik juga lebih sedikit, 18.4%. Sedangkan di kalangan responden yang berpendidikan menengah dan rendah (SMU ke bawah) yang menyatakan kerja politisi dengan baik, lebih banyak (di atas 24%). Pola distribusi ini menunjukan, semakin seorang responden atau warga negara dewasa atau rakyat yang punya hak pilih memiliki akses pada informasi (di kota, di pendidikan tinggi), semakin mereka kecewa dengan kerja politisi saat ini. Bahkan lebih banyak responden menyatakan kualitas politisi saat ini lebih buruk dibandingkan dengan politisi era Orde Baru. Yang menyatakan politisi saat ini lebih baik dibandingkan politisi era Orde Baru hanya 12.9%. Sementara yang menyatakan politisi era Orde Baru lebih baik dibandingkan politisi saat ini, jauh lebih banyak: 31.9%.
4
Mengapa publik menilai politisi saat ini justru lebih buruk? Apa yang terjadi selama enam tahun ini sehingga persepsi positif terhadap politisi drop sampai 21%? Ada tiga hal yang terjadi selama enam tahun ini, yang tidak terjadi di periode sebelumnya. Pertama, diproses dan ditahannya kepala daerah, anggota DPR dan mantan anggota DPR, menteri dan mantan menteri untuk kasus korupsi, dalam jumlah yang tak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Dari politik daerah, misalnya, sebanyak 125 kepala daerah (gubernur, walikota, bupati), kini jadi tersangka, terdakwa atau terpidana masalah korupsi. Beberapa di antaranya adalah mantan Gubernur Kaltim Suwarna dan mantan Bupati Kukar Syaukani. Di tingkat politik pusat, sebanyak 19 anggota DPR dan mantan anggota DPR sudah ditahan dalam kasus cek pelawat Miranda Goeltom. Wakil rakyat ini dianggap melakukan korupsi secara berjemaah, berkomplot bersamasama. Kini sedang diproses pula beberapa “oknum” dari Badan Anggaran DPR oleh KPK. Di tingkat kementerian pemerintahan eksekutif, beberapa mantan menteri sudah dipenjara. Antara lain Hari Sabarno, mantan Menteri Dalam Negeri, dan Rokhmin Danuri mantan Menteri Kelautan. Keduanya menteri era Megawati. Menteri era SBY juga kini sedang dalam proses penyidikan. Antara lain, Yusri Ihza Mahendra, mantan Menteri kehakiman. Kini KPK juga mulai mengusut kementerian yang dipimpin oleh Andi Mallarangeng (Menpora) dan Muhaimin Iskandar (Menaker).
5
Jumlah politisi yang terjerat korupsi adalah yang terbesar dan terbanyak dalam sejarah Indonesia. Jumlah politisi tingkat tinggi yang terjaring korupsi di enam tahun terakhir ini bahkan lebih banyak dibandingkan jumlah total kasus serupa di era pergerakan kemerdekaan, di tambah kasus di Orde Lama, dan ditambah lagi dengan kasus di Orde Baru. Pemberitaan media bertubi tubi atas kasus pejabat yang korup. Ditambah oleh jumlah yang fantastis dari politisi korup yang diproses hukum, membuat citra politisi di mata publik merosot jauh.
Kasus kedua, munculnya pemain baru yang powerful dalam mafia jaringan korupsi: “Oknum” di Badan Anggaran DPR. Diyakini “oknum” di DPR ini menjadi hulu dari “persengkongkolan politisi tingkat tinggi untuk melakukan kejahatan”. Dua kasus kejahatan korupsi yang menonjol saat ini adalah korupsi di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dari proses pengungkapan kasus itu, terbaca bekerjanya sebuah jaringan persengkongkolan. Ada beberapa oknum lintas partai yang memainkan anggaran di tingkat Badan Anggaran DPR. Ada oknum di kementerian yang sudah kongkalikong mengenai anggaran yang akan dilahap bersama. Lalu ada broker politik yang menyambungkan kekuatan di legislatif dan eksekutif. Pengusaha dilibatkan bermain dalam orkestra persengkongkolan ini. Kepala daerah yang akan menerima anggaran diajak kerjasama menyukseskannya. Jaringan dengan modus operandi seperti ini tak mustahil juga bekerja di kementerian lain.
6
Yang membuat marah publik, bukan saja kejahatan mengambil uang rakyat itu dikerjakan secara bersamasama di antara politisi lintas partai. Para politisi lintas partai ini terkesan tak peduli lagi atas efek korupsi. Jika anggaran sudah dipangkas untuk fee para koruptor hingga 30%-40%, bisa dibayangkan betapa jauh berkurangnya mutu spek dari proyek untuk rakyat itu. Di era Orde Baru korupsi berjemaah sudah terjadi, namun belum melibatkan “oknum” multi partai di Badan Anggaran DPR. Di era Orde Baru, DPR hanya menjadi stempel presiden Soeharto. Berbeda dengan era reformasi, terlebih lagi di enam tahun terakhir. DPR menjadi powerful. Badan Anggaran DPR menjadi “pusat syaraf” yang menjadi hulu jaringan anggaran negara. Di dalam badan anggaran itu, bermainlah “oknum” politisi lintas partai. Bersengkongkolnya oknum politisi lintas partai mengatur “koor korupsi” juga belum pernah terjadi di era Orde Baru. Enam terakhir ini, persengkongkolan ini dilakukan secara lebih terbuka dan lebih melibatkan banyak tangan. Seolah para politisi ini tak lagi kwatir bahwa semakin banyak tangan yang dilibatkan dalam persengkongkolan itu, semakin banyak yang akan “berkicau.” Mereka merasa begitu confident, terlindungi, the untouchables. Ketiga, berbeda juga dengan era sebelumnya, saat ini berkembang social media. Aneka instrumen social media yang dikenal antara lain twitter, facebook, milis online, bb group. Suka atau tidak mayoritas pemain social media ini adalah pribadi yang bebas, dan cenderung kritis terhadap keadaan. Isu buruk mengenai politisi, termasuk “oknum” di Badan Anggaran DPR segera mendapatkan multiplier efek yang besar sekali di social media. Dengan mudah dan bebasnya isu buruk politisi itu meluas dan menjadi bahan olok-olok, tanpa bisa disensor oleh siapapun. Social media ini ikut membantu drop persepsi positif terhadap politisi secara lebih massif dan cepat. 7
Tiga kasus di atas jalin menjalin membuat citra positif politisi enam tahun terakhir drop sebanyak 21%. Ini degradasi citra positif terhadap politisi yang sangat dahsyat. -o0oPolitisi itu profesi yang seharusnya mulia di mata publik. Arahan dan leadership politisi akan sulit diikuti publik jika tingkat kepercayaan atas politisi sedemikian rendah. Untuk membangun kembali spirit reformasi, citra politisi mesti diupgrading kembali. Dua jalan dapat ditempuh untuk memuliakan kembali citra politisi di mata publik. Pertama, diterapkan punishment yang keras dan konsisten untuk menimbulkan efek jera bagi politisi yang menyimpang. Karena saat ini ada pemain baru (“oknum”) yang sangat powerful di Badan Anggaran DPR, saatnya mereka yang anti korupsi menyatukan barisan di belakang KPK. Aneka civil society dan mass media satukan kekuatan mendukung KPK agar berani membongkar mafia korupsi sampai ke hulu. Badan Anggaran DPR sebagai institusi tetap dihormati. Tapi oknum lintas partai yang mengkomersialkan diskresi Badan Anggaran harus dihukum dan dibongkar sampai ke akarnya. Kedua, pola rekruitmen posisi politik lebih diperketat di semua lapisan dalam menjaring calon kepala daerah, calon anggota DPR, calon pimpinan partai politik, calon menteri sampai dengan calon presiden. Rekruitmen harus juga memperhitungkan kompetensi teknis, dan integritas intelektual atau moral. Partai harus pula lebih selektif memilih wakil yang teruji integritas untuk duduk di Badan Anggaran DPR.
Tak ada negara yang kuat tanpa partai politik yang kuat. Tak ada partai politik yang kuat, tanpa politisi yang dipercayai publik. Tak ada politisi yang dipercaya publik tanpa perilaku politisi yang bersih. Saatnya “bersihbersih” di kalangan politisi, termasuk di kalangan “oknum” Badan Anggaran DPR.*** Jakarta 2 Oktober 2011
Lingkaran Survei Indonesia Pembicara : Ardian Sopa (No HP: 08568583694)
8
METODOLOGI SURVEI Pengumpulan Data : 5 -10 Sept 2011
• Metode sampling : multistage random sampling • Jumlah responden awal : 1200 responden • Wawancara tatap muka responden menggunakan kuesioner • Margin of error : 2.9% Semua populasi pemilih di Propinsi mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi responden 3
Hanya 23.4% yang menyatakan Kerja Politisi Saat Ini BAIK Q : Saya ingin meminta pendapat Ibu / Bapak mengenai POLITISI (anggota atau pengurus partai politik, pimpinan lembaga-lembaga politik dsb). Menurut penilaian Ibu/Bapak, seberapa baik kerja politisi saat ini? Apakah sangat baik, baik, buruk ataukah sangat buruk?
Trust terhadap politisi saat ini sangat rendah! 10
Dalam waktu enam tahun Citra Positif Politisi drop
21%
Q : Saya ingin meminta pendapat Ibu / Bapak mengenai POLITISI (anggota atau pengurus partai politik, pimpinan lembaga-lembaga politik dsb). Menurut penilaian Ibu/Bapak, seberapa baik kerja politisi saat ini? Apakah sangat baik, baik, buruk ataukah sangat buruk?
Kerja Politisi Baik/Sangat Baik
Survei Sept. 2005
Survei Sept. 2011
44.2%
23.4%
Terjadi sesuatu selama enam tahun ini, Yang menyebabkan citra positif politisi drop drastis, 21%
11
Citra Politisi di Kota Lebih Buruk Lagi
Kategori
Saya ingin meminta pendapat Ibu / Bapak mengenai POLITISI (anggota atau pengurus partai politik, pimpinan lembaga-lembaga politik dsb). Menurut penilaian Ibu/Bapak, seberapa baik kerja politisi saat ini? Apakah sangat baik, baik, buruk ataukah sangat buruk? Baik/Sangat baik
Buruk/Sangat buruk
TT,TJ
Kategori Desa-Kota (%) Desa
26.6%
44.7%
28.7%
Kelurahan/kota
19.6%
52.9%
27.5%
Pemilih di kota lebih punya akses informasi Dibandingkan pemilih di desa 12
Di kalangan Terpelajar, Citra Politisi Lebih Buruk Lagi!
Kategori
Saya ingin meminta pendapat Ibu / Bapak mengenai POLITISI (anggota atau pengurus partai politik, pimpinan lembaga-lembaga politik dsb). Menurut penilaian Ibu/Bapak, seberapa baik kerja politisi saat ini? Apakah sangat baik, baik, buruk ataukah sangat buruk? Baik/Sangat baik
Buruk/Sangat buruk
TT,TJ
Pendidikan (%) Lulus SD atau Dibawahnya
26.9%
40.8%
32.3%
Tamat SLTP/sederajat
25.4%
43.8%
30.8%
Tamat SLTA/sederajat
24.0%
61.2%
14.9%
Pernah Kuliah atau Diatasnya
18.4%
62.3%
19.3%
Kalangan terpelajar (mahasiswa ke atas) Lebih punya akses ke informasi dibanding kalangan SLTA ke bawah 13
Temuan Riset
1. “semakin responden/pemilih/ warga dewasa punya akses Ke informasi, semakin mereka kecewa dengan kerja politisi” 2. “Dalam waktu enam tahun, citra positif politisi drop 21%” 3. “Citra positif politisi di mata pemilih kini di titik nadir, hanya 23.4%
14
3 Alasan Yang Menyebabkan Citra Politisi Drop 21% Dalam waktu 6 tahun? 3 alasan ini memang Hanya ada di enam tahun terakhir 15
Alasan 1 Jumlah politisi (menteri, mantan menteri, gubernur, walikota, bupati, anggota DPR, mantan anggota DPR yang diproses dan ditangkap karena kasus korupsi enam tahun terakhir
Lebih banyak (>) Dibandingkan jumlah politisi untuk kasus serupa di era Orde Baru + Orde Lama + Zaman Pergerakan
16
Di daerah, sejak 6 tahun terakhir
125 Kepala Daerah (Gubernur, Walikota, Bupati) Jadi tersangka, terdakwa, terpidana masalah korupsi Contoh kasus
Suwarna, Mantan Gubernur Kaltim
Syaukani, Mantan nBupati Kukar
17
Di pusat, sejak 6 tahun terakhir
Menteri dan mantan Menteri Ditahan dan sedang diproses Contoh kasus
Rokhmin Dahuri (mantan Menteri Kelautan) Hari Sabarno (mantan Menteri Dalam Negeri Yusril Ihza Mahendra (mantan Menteri Kehakiman) Andi Mallarangeng (Menpora) Muhaimin Iskandar (Menakertrans)
18
Di pusat, sejak 6 tahun terakhir
19 anggota DPR dan Mantan anggota DPR ditahan Kasus Miranda Goeltom Beberapa Anggota Banggar DPR sedang diproses Kasus korupsi Contoh kasus
Angelina Sondakh (Kasus Sesmenpora) Tamsil Linrung (Kasus Menakertrans)
19
Diproses dan ditahannya 125 Kepala Daerah Beberapa menteri dan mantan Menteri 19 Anggota DPR dan mantan Anggota DPR Beberapa Anggota Badan Anggaran DPR Di periode 6 tahun ini
Tak pernah terjadi di periode sebelumnya
20
Alasan Kedua “Dugaan” Tampilnya Pemain baru Yang Sangat Powerful “Oknum Lintas Partai” di Badan Anggaran DPR Seiring dengan menguatnya peran DPR paska reformasi 1998, menguat pula “oknum” di Banggaran DPR, mengkomersialkan kewenangannya, ikut mengatur orkestra jaringan mafia korupsi “berjemaah” modus baru
21
Skema Modus baru Korupsi “Berjemaah” dengan pemain baru: Oknum Lintas Partai di Badan Anggaran DPR
Broker/ Calo “Oknum” Badan Anggaran DPR
Pengusaha
“Oknum” di Menteri
-Lima pemain yang sedang diungkap dalam kasus korupsi di Menpora dan Menakertrans
-Tak mustahil modus serupa terjadi di kementerian lain “oknum” di Pemda
-Inisiatif korupsi berjemaah bisa dimulai oleh salah satu dari lima pemain itu. Namun korupsi itu hanya terlaksana dengan kerjasama lima pemain tersebut 22
Efek Korupsi Berjemaah Modus Baru - Jaringan korupsi sangat powerful karena melibatkan banyak kekuatan - Saling sandera antar partai karena masing masing oknumnya terlibat
- Dana proyek menguap sekitar 30%-40% kualitas proyek di bawah nilai seharusnya
Rakyat merasa dihianati karena para (“oknum”) politisi bersengkongkol merampok uang negara 23
Alasan 3 Sejak 6 tahun terakhir meluas social media (twitter, facebook, Bbgrup, milis online) Berita negatif mengenai politisi cepat sekali meluas Drop citra positif politisi Ikut dipercepat dan diperparah oleh social media 24
2 Rekomendasi Tak ada negara kuat, tanpa partai kuat Tak ada partai kuat, tanpa politisi yang dipercaya
Politisi perlu kembalikan diharumkan melalui dua rekomendasi 25
Rekomendasi 1 Bersatunya aliansi civil society dan pers mendorong KPK melawan dan membongkar jaringan korupsi “berjemaah” modus baru dimana “Oknum” di Badan Anggaran DPR memainkan peran sentral Tuntaskan sampai menimbulkan efek jera
26
Rekomendasi 2
Perketat proses rekruitmen : - Pengurus partai - Anggota DPR - Kepala daerah - Menteri - Wakil partai untuk duduk di Badan Anggaran DPR dalam rangka pemerintahan yang lebih bersih
27