160
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1.
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa perencanaan partisipatif yang telah dilakukan membuktikan bahwa proses ini dapat menjawab kebutuhan masyarakat, mengingat bahwa komunitas/masyarakat yang berada di daerah rawan bencana merupakan pihak pertama yag akan menjadi korban dalam kejadian bencana. Komunitas/masyarakat memiliki serangkaian pengetahuan/kearifan tentang ancaman dan bagaimana mengatasi kondisi tersebut yang dapat dimobilisasi dan dimanfaatkan dalam penaggulangan bencana di wilayah mereka. Adapun sebagai implikasi praktis dari pendekatan partisipatif adalah bahwa proses partisipatif harus dimulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka sendiri, yang sekaligus menjadi ajang kesempatan kepada setiap orang untuk menjadi warga masyarakat yang berguna dan produktif. Pada konteks partisipasi masyarakat dalam penyusunan RAK PRB, maka keberhasilan program perencanaan partisipatif dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Faktor karakteristik program; Program dengan karakter yang bersifat peningkatan kapasitas dengan metode pembelajaran dan menyentuh elemen dasar sendi kehidupan masyarakat penerima manfaat akan menjadi sebuah kemasan program yang menarik dan menumbuhkan motivasi dan melahirkan komitmen 160
161
untuk bersikap aktif berpartisipasi dalam proses kegiatan dari awal sampai akhir. Program dengan topik penanggulangan bencana di kampong Jogoyudan menjadikan program ini menarik dan dapat diterima dengan baik karena menyentuh dan menjawab kebutuhan masyarakat langsung dalam mengurangi risiko bencana di wilayah setempat. 2. Faktor sumber daya; Sumber daya dari masyarakat, baik materi, manusia maupun semangat, dipadukan dengan sumber daya dari lembaga nirlaba ini berupa finansial, pengetahuan dan ketrampilan, membentuk sebuah hubungan kolaborasi yang sangat erat dan kondusif yang memampukan implementasi secara sehat. Keterbatasan-keterbatasan dari kedua belah pihak menjadi pelengkap masing-masing untuk terus berproses dalam setiap tahapan kegiatannya. Hubungan simbiosis mutualisma terwujud dalam interaksi yang konstruktif dan saling melengkapi pada kedua belah pihak dalam setiap tahapan sehinga pembelajaran berjalan dua arah. 3. Faktor karakteristik lembaga; Karakter dan kredibilitas sebuah lembaga pelaksana sebuah program sering menjadi fokus dan pertanyaan utama dari pihak penerima manfaat dan sering menjadi jaminan keberhasilan implementasinya. MPBI dan CordAid merupakan lembaga nirlaba yang telah lama menjalin kerjasama dengan masyarakat akar rumput di Yogyakarta,
162
dikenali dengan program-program rehabilitasi-rekonstruksi di berbagai wilayah korban yang dapat diafirmasi dan dikonfirmasi kepada teman, kerabat dan lembaga lain yang pernah bekerja sama dengan kedua lembaga tersebut. Investigasi sederhana yang dilakukan oleh pokja Jogoyudan telah cukup menjadi bekal membangun kepercayaan dalam proses penyusunan RAK PRB. 4. Faktor aspek-aspek temporal (waktu dan durasi). Durasi dari program yang relatif pendek ini (waktu efektif sekitar lima sampai tujuh bulan) cukup bisa menjaga tempo dan antusiasme masyarakat yang terlibat, karena dengan jangka waktu tersebut mereka bisa merasakan sebuah pengalaman dan hasil yang dapat dirasakan dari waktu ke waktu. Momen pasca gempa bumi juga dirasakan sangat pas dengan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan sebuah ilmu dan ketrampilan baru dalam konteks penanggulangan bencana. Dengan demikian program ini menjadi sebuah alternatif jawaban terhadap kebutuhan mereka yang hidup dengan risiko dalam keseharian mereka. Keempat faktor di atas saling berkontribusi dan mendukung dalam proses perencanaan partisipatif di Kampung Jogoyudan. Terlepas dari berbagai situasi yang menjadikan setiap kegiatannya terasa dinamis, sikap aktif partisipasi masyarakat terus menjadi roda penggerak sehingga terus bergulir sampai pada akhir program dan dapat mencapai tujuan bersama yang ingin dicapai bersama.
163
Atas
kajian-kajian
berdasarkan
proses
yang
berlangsung
dapat
disimpulkan beberapa hal mendasar, yaitu: 1. Sebuah perencanaan dengan metode partisipatif yang tepat dan bersumber pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat, memampukan masyarakat menghasilkan sebuah perencanaan yang mampu menjawab secara efektif permasalahan dan tantangan yang ada; 2. Metode partisipatif merupakan media yang berdampak psikologis positif dan menjadi stimulan bagi masyarakat untuk menggali lebih dalam dan komperehensif tentang kearifan dan kejeniusan lokal atas masalah dan potensi masyarakat dan lingkungan dalam konteks kebencanaan dan menemukan alternatif jalan keluar untuk mengatasi kondisi tersebut; 3. Proses kolaborasi partisipatif melalui sebuah mekanisme interaksi dua arah sangat efektif menjadi pelumas berjalannya sebuah mesin perencanaan di tingkat akar rumput, sehingga faktor-faktor kendala utama dapat diminimalisir dan masyarakat tetap memegang wewenang dan kendali atas kehidupan mereka dalam konteks pengurangan risiko bencana; 4. Sebuah
proses
pembelajaran
bersama
dapat
menumbuhkan
kepercayaan diri dan rasa memiliki agar masyarakat mampu memiliki kendali atas hidup dan lingkungannya, dan pada gilirannya nanti akan menjadi jaminan implementasi dan keberlanjutan rencana itu sendiri.
164
5.
Perencanaa partisipatif merupakan sebuah gerakan botom up yang harus didukung oleh semua pemangku kepentingan agar dapat bersinergi secara kolaboratif mengelola energi masyarakat yang ada sehingga amanat UU no.24/2007 tentang penanggulangan bencana menjadi urusan bersama dapat terwujud nyata.
7.2.
Rekomendasi
Untuk melaksanakan sebuah perencanaa partisipatif di sebuah satuan wilayah atau kawasan ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan untuk menjamin keberhasilan dan keberlanjutan, adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya sebuah assessment atau penilaian awal terhadap masyarakat sebelum sebuah program partisipatif dijalankan, sehingga pendekatan dan metode yang diterapkan benar-benar sesuai dengan kondisi, situasi dan kebutuhan masyarakat setempat. 2. Adanya kerjasama dan suasana terbuka antara semua pemangku kepentingan, baik dari pihak penerima manfaat maupun dari pihak implementor sejak dari proses penilaian awal sampai pada tahap akhir. 3. Pengambilan keputusan harus dilakukan oleh masyarakat melalui sebuah proses fasilitasi, mulai sejak dari dari tahap awal (penyepakatan komitmen, pembentukan pokja dan penentuan jadwal kegiatan), sampai tahap akhir yaitu perencanaan, tanpa ada desakan ataupun tekanan dari pihak manapun. Fasilitator hanya menjadi mediator dengan memberikan masukan dan ide yang bersifat pemicuan dan membangun.
165
4. Perencanaan yang dihasilkan harus berdasar dan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kemampuan masyarakat, digali dan ditemukenali melalui sebuah proses partisipasi. Peran fasilitator hanya menjadi media dan stimulator untuk memunculkan ide dan alternatif solusi yang lahir dari pemikiran kelompok kerja dan keputusan disepakati dan diambil bersama dalam forum berdasarkan pada aspirasi, kebutuhan dan prioritas yang dibuat oleh kelompok kerja setelah mengukur kemampuan dan kapasitas internal masyarakat sendiri. 5. Proses negosiasi yang terjadi harus berdasar pada prioritas kebutuhan dan kontekstual dengan kondisi masyarakat terkini. Sebuah kejadian dapat menjadi momentum yang tepat untuk dimulainya intervensi sebuah program. Negosiasi tidak pernah terjadi dengan tekanan dari pihak manapun, namun ketika kebutuhan masyarakat diskalakan maka kesepakatan diambil secara mufakat antara semua pihak. 6. Komunikasi dan interaksi timbal balik harus dibangun dalam bentuk kerja sama dengan indikasi atmosfer pertemuan selama proses berlangsung yang kemudian menjadi bahan bakar dan pelumas mesin kegiatan untuk terus berputar karena kerjasama yang terbentuk sangat proaktif dan intensif. 7. Adanya sosialisasi di awal dan akhir pelaksanaan program akan meruapak salah satu jaminan keberlanjutan sebuah program. Sosialisasi di tahap awal adalah bagian dari proses pemahaman program dan membangun kepercayaan dan menumbuhkan komitmen. Sosialisasi hasil kegiatan disosialisasikan pada tahap awal dilakukan secara horizontal baik dalam skala internal dan eksternal
166
melalui pertemuan-pertemuan RT, RW dan bahkan pada tingkat kelurahan dan meluas ke wilayah sepanjang aliran Sungai Code, maupun secara vertikal kepada . pemerintah daerah. 8. Sebuah exit strategy harus dilaksanakan sebagai upaya yang menjamin kesinambungan program dan dapat sebagai alat pantau tentang perkembangan dan tindak lanjut program. Hal ini sangat perlu agar masyarakat merasa tidak serta merta ditinggalkan begitu program sudah selesai. Program lanjutan juga perlu untuk tetap menjalin komunikasi sebagai jalur informasi dan edukasi yang pada muaranya adalah untuk keuntungan masyarakat secara keseluruhan
Demikian hasil studi ini, meskipun masih jauh dari kesempurnaan, tetapi minimal telah memberikan sedikit masukan bagi upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam penyusunan sebuah rencana.