BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian Pada penelitian ini, semua subjek berjenis kelamin perempuan. Umur subjek yang terlibat dalam penelitian ini mempunyai nilai rerata 46,90 ± 4,701 tahun. Menurut Manuaba (2003b), umur subjek antara 17 – 50 tahun merupakan usia kerja produktif. Umur seseorang berbanding langsung dengan kapasitas fisik sampai batas tertentu dan mencapai puncaknya pada umur 25 tahun. Dengan demikian umur subjek dalam penelitian ini masih dalam rentangan usia produktif, dan masih di bawah persyaratan umur di mana mulai terjadinya penurunan kekuatan fisik otot. Pengalaman kerja subjek memiliki nilai rerata 17,95 ± 9,66 tahun, artinya ada beberapa subjek yang sudah lama memiliki pengalaman di bidang midang, ada yang baru yaitu lima tahun bekerja pada proses midang. Lama tidaknya subjek bekerja pada proses ini sangat mempengaruhi ketrampilannya. Tinggi badan subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini dengan rerata 156,20 ± 0,894 cm. Rerata berat badan sebesar 48,2 ± 3,22 kg. Tinggi badan dan berat badan diukur untuk menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT), dengan rumus BB/ (TB/100)2. Subjek memiliki IMT dengan rerata sebesar 19,76 ± 1,32 kg/m 2. Menurut WHO (2004) bahwa rentangan IMT normal untuk orang dewasa berkisar 18,50 s/d 24,99 kg/m2. Berdasarkan hal tersebut, maka subjek dalam penelitian ini masih dalam batas IMT yang normal dan sehat dalam beraktivitas, dan mengindikasikan kondisi fisik yang sehat pada saat penelitian berlangsung. 108
109
Sesuai dengan batasan yang disampaikan oleh Azwar (2004), bahwa IMT normal untuk perempuan berkisar 17 kg/m2 sampai 23 kg/m2. Berat badan dan tinggi badan perajin dapat menentukan indek massa tubuh seseorang dan diketahui tingkat resiko terjadinya gangguan otot berada di atas nilai kegemukkan (29 kg/m2). Suputra (2003) menyatakan bahwa tinggi badan, berat badan dan indeks massa tubuh mempunyai korelasi kuat terhadap risiko terjadinya gangguan otot skeletal. Seseorang dengan indeks massa tubuh lebih besar dari 29 kg/m 2 (gemuk) mempunyai risiko terkena gangguan otot skeletal 25% lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang mempunyai indeks massa tubuh lebih kecil dari 20 kg/m2 (kurus). Menurut Sandowsky (2000) bahwa rentangan IMT yang sesuai dengan kriteria normal untuk orang dewasa berkisar antara 18 – 25 kg/m2. Menurut Ristianingrum, dkk. (2010) mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi yang diukur berdasarkan IMT dengan tes fungsi paru. Data antropometri subjek yaitu tebal paha pada posisi duduk digunakan sebagai dasar untuk mendesain tinggi bidang kerja alat pemidangan. Berdasarkan analisis deskriptif nilai dengan rerata tebal paha adalah 10,93 ± 0,29 cm, persentil 95. Kursi yang digunakan adalah kursi yang sudah tersedia di tempat kerja dengan tinggi kursi 45 cm. Dilihat dari sikap duduk, kaki perajin sudah berada pada kondisi yang nyaman antara paha dengan betis membentuk sudut 90 0. Berdasarkan 95 persentil diperoleh ukuran tinggi bidang kerja untuk alat pemidangan otomatis yang ergonomis dengan tinggi 61,41 cm.
110
Rancangan stasiun kerja seharusnya memperhatikan aspek ergonomi yang memiliki kesesuaian dimensi dengan dimensi segmen tubuh yang berkaitan. Dengan rancangan yang ergonomis diharapkan tidak akan terjadi postur-postur kerja
yang mudah menimbulkan kelelahan serta
keluhan-keluhan lain
(Wignjosoebroto, 2000). Ketinggian alat pemidangan yang ditentukan berdasarkan tinggi kursi dan antropometri perajin dapat terhindar dari adanya tekanan pada paha atas dengan bidang alat pemidangan dan pergerakan lutut tidak terganggu, sehingga bekerja menjadi nyaman. 6.2 Rancang Bangun Alat Pemidangan Otomatis Yang Ergonomis Alat pemidangan otomatis yang ergonomis ini diimplementasikan pada periode dua, yaitu periode di mana dilakukan intervensi kepada perajin untuk bekerja menggunakan alat pemidangan otomatis yang ergonomis. Perajin terlebih dahulu diberikan adaptasi selama lima hari dalam menggunakan hasil rancang bangun dari alat pemidangan otomatis yang ergonomis. Pada Gambar 5.1 merupakan blok diagram sistem pemrograman alat pemidangan dengan proses kerja sebagai berikut : transformator memberikan supply daya listrik ke motor DC 24 volt, motor DC 5 volt dan ke IC mikrokontroler. Perajin pada layar LCD mengoperasikan atau mengatur petunjuk rumus yang membentuk motif kain endek. Motor DC 24 volt bekerja menggerakkan bingkai penamplik, pergerakkan bingkai tersebut dibaca oleh sensor infra red yang memberikan input ke mikrokontroler. Berdasarkan input tersebut, mikrokontroler memberikan perintah kepada motor DC 5 volt untuk
111
menggerakkan sensor optocoupler kekanan dan kekiri sesuai dengan perintah dari perajin, sehingga proses midang terjadi. Ukuran desain alat pemidangan otomatis yang ergonomis ini berdasarkan pada ukuran kursi perajin dan ukuran bingkai midang yang sudah ada dan biasa dipergunakan. Ukuran kursi perajin dengan tinggi 45 cm dan sudah dapat dikatakan sebagai kursi untuk subjek duduk normal dengan lutut membentuk sudut siku-siku (900), tinggi bidang kerja alat pemidangan sesuai dengan antropometri perajin 10,93 cm sebesar 61,41 cm. Rangka bidang mengikuti ukuran bingkai midang seperti yang disajikan pada Gambar 6.1, Gambar 6.2 dan Gambar 6.3. Hasil uji coba alat pemidangan sebanyak 10 kali percobaan dengan desain motif kain endek yang sama (2x5) AIS, 30 sawa, dan 60 bulihan dibandingkan dengan hasil standar atau hasil pada umumnya jika menggunakan rumus yang sama pada alat pemidangan konvensional. Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa pada hari pertama, kedua, ketiga, kelima dan hari ketujuh tidak sama atau mendekati hasil yang seharusnya (pada penumpukkan dua kali, pada pengulangan lima kali, dan pada bulihan 60 kali). Berdasarkan fakta di lapangan hal tersebut terjadi disebabkan oleh karena sensor optocoupler tidak membaca sempurna bidang sensor karena tarikan benang begitu kuat sehingga sensor terangkat. Proses yang tertunda tersebut mempengaruhi proses pengulangan dan banyaknya penumpukan pada bulihan, artinya ada bulihan yang tidak lengkap dari lima kali pengulangan tersebut.
112
Hari berikutnya yaitu pada hari keempat, keenam, kedelapan, kesembilan dan kesepuluh kondisi respon sensor optocoupler sudah berada pada posisi yang presisi, sehingga hasil yang diperoleh sama dengan hasil yang dipergunakan sebagai acuan dalam pembuatan motif untuk rumus 2x5 dengan bulihan 60. Uji coba tahap akhir tersebut membuktikan bahwa hasil rancang bangun dari alat pemidangan yang ergonomis sudah dapat dipergunakan sesuai dengan desain motif yang dikehendaki perajin. Rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis adalah merancang dan membuat alat pemidangan dengan rangkaian elektronik yang dirancang dan dibuat dengan pendekatan ergonomi total berdasarkan kepada penerapan TTG dan pendekatan SHIP. Alat pemidangan ini memenuhi enam kreteria dari Penerapan TTG meliputi : (1) teknik : hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis sudah dapat mempermudah dan mempercepat pekerjaan dilihat dari hasil produksi yang lebih banyak (dari 3 menjadi 6 bidang), waktu mengerjakan dari 150 menit menjadi 90 menit per bingkai ; (2) ekonomi : hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomi memanfaatkan bahan yang ada di pasaran, terjangkau dari segi biaya. Pembuatannya relatif murah, dan umur pakai yang cukup panjang sampai lima tahun, hasil lebih menguntungkan ; (3) ergonomis : hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan secara fisik dan mental, untuk kehidupan yang lebih baik, memenuhi syarat-syarat kenyamanan saat digunakan, seperti tinggi alat disesuaikan dengan antropometri perajin, perubahan sikap kerja dari
113
berdiri statis menjadi duduk dinamis, sedikit memanfaatkan otot, sehingga perajin merasa sehat, aman, nyaman dan produktif; (4) sosial budaya: hasil rancang bangun alat pemidangan ini diselaraskan dengan kemampuan perajin dan keterbatasan manusia baik secara fisik maupun mental, yaitu mempermudah perajin untuk mengingat dan menghitung berapa kali sudah proses penumpukan dan pengulangan berlangsung sehingga mempermudah dalam hal mengingat dan bekerja, diterima oleh masyarakat disekitarnya; (5) hemat energi: menggunakan konsumsi daya listrik sebesar 0,048 Kwatt dan biaya listrik per hari sebesar Rp. 1.437,84/hari;
(6)
ramah
lingkungan:
teknologi
yang
digunakan
tidak
menimbulkan polusi/pencemaran, kebisingan sudah dapat diturunkan sebesar 7,02% (79,86 dB) masih dalam batas normal untuk pajanan tujuh jam kerja. Hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis dikatakan trendi karena mengikuti perkembangan zaman dengan teknologi modern yang serba cepat, mudah dan praktis. Pendekatan SHIP atau SHIP approach adalah pendekatan terpadu yang terdiri dari empat unsur yaitu: (1) sistemik: semua unsur yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan perajin harus dipahami sebagai suatu sistem. Dalam merancang dan membuat alat pemidangan dipertimbangkan ukuran dan
otomatis yang ergonomis
perlu
dimensi perajin. Dengan menggunakan alat ini
waktu untuk bekerja tidak terbuang karena berkurangnya gerakan-gerakan tidak efektif yang dilakukan perajin saat bekerja
(kelelahan dan keluhan sudah
menurun) dan sikap kerja yang lebih baik/ergonomis dari berdiri menjadi duduk dinamis, tidak monoton. Kesehatan perajin terjaga dengan penyediaan air minum
114
yang terjangkau di tempat kerja. (2) holistik : holistik diartikan bahwa sistem terdiri dari subsistem yang saling terkait dan harus dipertimbangkan. Faktor lingkungan seperti intensitas suara sudah berkurang dari 85,89 menjadi 79,86. Faktor internal adalah usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan indek massa tubuh pada penelitian ini masih usia produktif dan masih dalam batas normal untuk indek massa tubuhnya. (3) interdisiplin: dalam rancang bangun alat pemidangan otomatis dari awal perencanaan sudah melakukan kerjasama dengan ahli teknik di bidang informatika, elektronika, mesin, dan ahli ergonomi. (4) partisipatori:
keterlibatan semua pihak yang berkepentingan seperti
perajin,
pemilik, peneliti, tukang, terkait dalam rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis. Jadi hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis menjadi bernilai dan bermanfaat untuk perajin dari segi peningkatan kualitas kerja, pemilik menerima keuntungan secara ekonomi dan dari segi waktu (lebih cepat hasil yang diterima), pengguna kain tenun endek juga diuntungkan dengan lebih banyaknya desain motif yang dikeluarkan oleh para perajin tenun kain endek. 6.3 Kondisi Lingkungan Hasil analisis deskriptif diperoleh suhu basah pada periode satu dengan rerata 25,75 ± 0,32oC hampir sama dengan suhu basah pada periode dua dengan rerata 25,65 ± 0,30oC di mana NAB untuk cuaca (iklim) kerja adalah 21º-30ºC suhu basah. Suhu kering pada periode satu diperoleh rerata 31,05 ± 0,33oC kondisi ini mendekati sama untuk suhu kering pada periode dua dengan rerata 30,88 ±
115
0,35oC. Kelembaban relatif diperoleh dari hasil pengukuran suhu basah dan suhu kering dikonversikan ke dalam tabel psychrometric. Rerata kelembaban relatif pada periode satu 67,18 ± 1,86 % dan kelembaban relatif pada periode dua 67,68 ± 2,33 %. Suhu efektif bagi pekerja di daerah tropis adalah 22º - 27ºC (Soleman & Sitania, 2011). Manuaba dan Vanwonterghem (1996) mengemukakan bahwa suhu pada musim kering meningkat 31-32oC di tempat yang teduh dan sampai 36oC di bawah sinar matahari langsung. Dalam penelitian Wijaya (2007) mengatakan kondisi lingkungan di tempat kerja pemasang roda mobil pada bengkel tambal ban dengan suhu basah 250C-26,50C, suhu kering antara 280C-290C, dan kelembaban relatif antara 75%-80% dengan lingkungan terbuka masih dalam batas-batas adaptasi bagi tubuh manusia, sehingga proses pengeluaran keringat dalam tubuh manusia tidak terhambat. Nilai Ambang Batas (NAB) untuk iklim kerja adalah situasi kerja yang masih dapat dihadapi tenaga kerja dalam bekerja sehari-hari di mana tidak mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan untuk waktu kerja terus menerus selama delapan jam kerja sehari dan 40 jam seminggu. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 405/Menkes/SK/XI/2002) NAB terendah untuk temperatur ruangan adalah 18° C dan NAB tertinggi adalah 30°C pada kelembaban nisbi udara antara 65% sampai dengan 95% (Santa, 2011). Kondisi lingkungan kerja perajin kain endek pada proses midang dari hasil pengukuran uji normalitas untuk kondisi lingkungan suhu basah, suhu kering, dan kelembaban berdistribusi tidak normal dengan p<0,05, diuji dengan non
116
parametrik Wilcoxon test. Hasil analisisnya adalah tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Dengan demikian kondisi suhu basah, suhu kering, dan kelembaban selama penelitian tidak memberikan pengaruh terhadap aktivitas kerja periode satu dan periode dua pada perajin kain endek pada proses midang . Analisis uji normalitas kecepatan angin, intensitas cahaya, dan intensitas suara menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05). Dapat diuji beda dengan t paired. Hasil analisis uji beda kecepatan angin menunjukkan rerata kecepatan angin periode satu dan periode dua tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Hal ini berarti bahwa kecepatan angin pada periode satu dan periode dua tidak mempengaruhi kinerja perajin. Sumber penerangan yang dipergunakan pada saat proses midang dengan memanfaatkan sinar matahari, di mana tempat subjek melakukan aktivitas midang pada ruang setengah terbuka (seperti bale Bali). Hasil pengukuran intensitas cahaya pada periode satu diperoleh rerata 1006,35 ± 18,09 lux dan periode dua dengan rerata 997,25 ± 14,70 lux. Hasil analisis dengan uji t paired diperoleh bahwa intensitas cahaya periode satu dan periode dua dengan t = 1,70 dan p = 0,106 tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Artinya dengan intensitas cahaya yang terukur pada kondisi saat penelitian sudah sesuai dan cukup untuk menerangi aktivitas kerja perajin. Pencahayaan yang memadai membuat pekerjaan pada proses midang lebih mudah untuk dilihat dan dilakukan, sehingga waktu kerja tidak terganggu oleh masalah kurangnya pencahayaan.
117
Standar Acuan Pencahayaan CIE
(Commission International de
l’Eclairage) kebutuhan pencahayaan untuk industri tekstil di bidang perancangan dan penenunan sebesar 500- 1.000 lux (CIE, 2013). Dapat melihat dengan mudah dan nyaman merupakan penghematan energi terjadinya kelelahan. Pencahayaan yang lebih baik akan membuat orang bekerja lebih produktif (Suhardi, 2008). Dari analisis uji beda kecepatan angin dan intensitas cahaya menunjukkan bahwa kecepatan angin dan intensitas cahaya pada stasiun kerja proses midang periode satu dan periode dua tidak ada perbedaan sehingga tidak memberikan efek fisiologis pada subjek dalam bekerja. Berdasarkan analisis suhu basah, suhu kering, kelembaban, kecepatan angin, dan intensitas cahaya maka kondisi lingkungan kerja subjek antara periode satu dan periode dua adalah sama. Dengan demikian kondisi lingkungan kerja dapat diabaikan pengaruhnya terhadap perbedaan hasil perbaikan kondisi kerja yang diterapkan. Karena kondisi lingkungan tersebut masih merupakan kondisi yang nyaman untuk melakukan aktivitas midang. Berbeda halnya dengan intensitas suara yang dihasilkan oleh alat pemidangan konvensional pada periode satu dengan perbedaan rerata intensitas suara yang terukur sebesar 85,89 ± 0,90 dB(A), sedangkan intensitas suara yang dihasilkan oleh alat pemidangan otomatis yang ergonomis pada periode dua sebesar 79,86 ± 0,71 dB(A). Terjadi penurunan intensitas suara sebesar 7,02%. Hasil uji beda rerata terhadap intensitas suara pada periode satu dan periode dua tejadi penurunan intensitas suara yang bermakna (p < 0,05). Terjadi penurunan
118
intensitas suara pada periode dua dengan selisih sebesar 6,03 dB(A) dan masih berada dalam batas aman untuk industri dengan pajanan tujuh jam kerja. Menurut Sutjana dan Primayanti (2012) penerapan ergonomi pada perusahaan tenun ATBM, maka modifikasi alat tenun mampu menurunkan intesitas bising, sehingga juga mampu mengurangi keluhan perajin. Di industri, tingkat kebisingan biasanya tinggi sehingga harus ada batas waktu paparan kebisingan. Batas kebisingan yang diberikan oleh The Workplace Health and Safety (Noise) Compliance Standard 1995, SL No.381 adalah 8 jam terus menerus pada level 85 dB (A). Suara lebih dari 85 dB (A) akan mengakibatkan gangguan pada kesehatan, sehingga akan lebih aman dan nyaman jika kita mendengar suara tidak lebih dari 85 dB (A) (Santa, 2011). Seseorang cenderung mengabaikan bising yang dihasilkannya sendiri apabila bising yang ditimbulkan tersebut secara wajar menyertai pekerjaan, seperti bising mesin ketik atau mesin kerja. Sebagai patokan, bising yang hakekatnya mekanik atau elektrik, yang disebabkan kipas angin, transformator, motor, selalu lebih mengganggu daripada bising yang hakekatnya alami (angin, hujan, air terjun dan lain-lain). Berdasarkan hasil uji statistik dan pembahasan terhadap intensitas suara dapat dikatakan bahwa penggunaan hasi rancang bangun dari alat pemidangan otomatis yang ergonomis dapat mengurangi intensitas suara yang timbul dari pergesekan antara kon benang dengan rak benangnya, hal tersebut disebabkan karena as pada kon diberikan isolasi sehingga meminimalkan gesekan yang terjadi dan salah satu ujung as dibuatkan rumah untuk melekatkan pada tempat benang.
119
6.4 Kelelahan Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Perubahan fisiologi dalam tubuh seperti saraf dan otot tidak berfungsi sebagaimana mestinya merupakan salah satu timbulnya gejala kelelahan. Berdasarkan analisis hasil penelitian rerata kelelahan sebelum bekerja periode satu dan periode dua sebesar 31,77 ± 0,82 dan 31,62 ± 0,75. Uji normalitas rerata kelelahan menunjukkan rerata kelelahan periode satu dan periode dua berdistribusi normal (p>0,05). Analisis uji beda dengan uji t paired menunjukkan bahwa sebelum melakukan pekerjaan rerata kelelahannya tidak berbeda bermakna dimana p = 0,558 (p > 0,05). Setelah melakukan pekerjaan rerata kelelahan pada periode satu 53,07± 4,83 dan pada periode dua 44,02 ± 1,22. Kelelahan yang terjadi pada periode satu diakibatkan oleh sikap kerja yang statis, pekerjaan yang monoton selama tujuh jam kerja dengan aktivitas menggunakan alat pemidangan konvensional. Sutjana dan Sutajaya (2000) mengemukakan bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan dan ketelitiannya semakin rendah atau menurun. Grandjean (2000) mengatakan adanya efek dari tugas-tugas monoton yang membosankan antara lain timbulnya rasa lelah, lemas dan berkurangnya kewaspadaan. Kebosanan kerja dapat mengakibatkan hal-hal berikut : menurunkan semangat kerja, terjadinya kerusakan atau cacat produksi akibat kurang konsentrasi, terjadinya kecelakaan kerja dan turunnya produktivitas kerja.
120
Pada beberapa industri alas kaki dan kulit di wilayah Jabodetabek yang mempekerjakan tenaga kerja wanita dengan ketrampilan maupun tingkat pendidikan rendah memiliki konsekuensi beban kerja yang mengarah ke fisik. Penyakit yang sering muncul akibat beban kerja fisik ini adalah nyeri pinggang, dan nyeri pinggang merupakan salah satu gejala kelelahan. Gejala kelelahan tersebut banyak dialami karyawan yang pekerjaannya bersifat monoton dan berulang-ulang (Rohana, 2012). Salah satu faktor penyebab kelelahan yang berkaitan dengan tempat kerja yaitu monotoni pekerjaan dan kebosanan. Kelelahan diderita oleh : 25% tenaga kerja wanita, 20% tenaga kerja laki-laki (Fitrihana, 2008). Beban statis pada otot merupakan sebab utama dari rasa nyeri dan lelah oleh karena itu sikap kerja harus dibuat sedemikian rupa sehingga beban kerja dapat disesuaikan dengan kapasitas tubuh. Posisi kerja atau postur kerja yang memiliki resiko musculoskeletal disorders pada pekerja dipengaruhi oleh lamanya waktu kerja dengan posisi tubuh yang statis maupun pergerakan yang berulang dalam frekuensi yang tinggi tanpa istirahat yang cukup (Mukhopadhyay dan Srivastava, 2010). Kelelahan adalah salah satu dari dua cara utama dari tubuh mengingatkan rasa lelah yang dirasakan oleh respon tubuh. Cara lain adalah rasa nyeri, yaitu ketika badan terasa lelah
barulah disadari bahwa ada penyebab yang harus
dihilangkan, namun kelelahan sering mendapatkan perhatian yang tidak semestinya, sehingga kelelahan menjadi semakin buruk secara perlahan-lahan. Sehingga kelelahan harus ditangani dengan baik, karena kelelahan yang berkepanjangan akan dapat menurunkan produktivitas kerja (Spiritia, 2011).
121
Berdasarkan analisis uji beda dengan uji t paired menunjukkan adanya penurunan kelelahan yang bermakna pada periode satu ke periode dua (p<0,05). Perbedaan ini diakibatkan oleh penggunaan alat pemidangan yang berbeda. Setelah diintervensi pada periode dua dengan menggunakan hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomi yang mengubah sikap kerja menjadi sikap kerja dinamis yaitu bekerja duduk diselingi berdiri ketika menghubungkan benang-benang yang putus. Dilakukan pendekatan pada pihak perajin dan pemilik untuk melakukan istirahat pendek di sela-sela waktu kerja pagi hari pukul 10.3010.45 Wita dan sore harinya pukul 15.00-15.15 Wita dengan pemberian minum, sehingga kelelahan perajin berkurang sebesar 17,05%. Berdasarkan penelitian Kadarusman dan Rachmat (2002) mengatakan bahwa dengan merelokasi waktu istirahat dari pukul 15.30-15.45 menjadi 15.0015.15 yaitu sebelum batas kelelahan dapat meningkatkan kesiap- siagaan dan adanya peningkatan produksi per hari secara bermakna. Begitu pula dengan penelitian Purnawan (2002) menunjukkan perbaikan stasiun kerja dan pemberian istirahat aktif perajin keramik mengurangi keluhan sebesar 78%. Berkurangnya atau menurunnya kelelahan pada perajin midang disebabkan karena berkurangnya kelelahan monotonis yaitu kelelahan yang disebabkan oleh aktivitas kerja yang bersifat rutin, monoton artinya berkurangnya kerja yang dulunya hanya berdiri untuk kerja memidang dan kerja menghubungkan benang yang putus, menjadi kerja yang dinamis yaitu berdiri saat menghubungkan benang dan duduk saat proses midang dilakukan. Penurunan kelelahan disebabkan juga karena menurunnya kelelahan syaraf, yaitu kelelahan oleh tekanan berlebihan
122
pada salah satu bagian sistem psikomotor, seperti pada pengaturan jarak per bulihan pada bingkai midang, di mana jari-jari tangan harus menekan kumpulan benang yang sering menyebabkan jari-jari tangan kesemutan ( kram). Perubahan sikap kerja dari statis ke dinamis menyebabkan sel otot yang bekerja memperoleh kesempatan melakukan pemulihan. Pemulihan diperlukan oleh sel untuk mengembalikan keadaan mikrotrauma. Pengaturan sikap kerja menyebabkan otot berkontraksi, sehingga sikap kerja paksa berkurang. Pengaturan istirahat dengan pemberian minuman memberikan kesempatan pemulihan tubuh. Aktivitas peregangan saat istirahat memungkinkan sel mengalami kontraksi relaksasi secara bergiliran (Adiatmika, 2007). Penurunan kelelahan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan kerja, meningkatkan keamanan dan kenyamanan dalam bekerja (Gaugh, 1999). Sejalan dengan penelitian Purnomo (2007) terjadinya tingkat penurunan kelelahan antara kelompok kontrol dan eksperimen sebesar 77,5% dilakukan dengan cara mengubah sistem kerja yaitu dengan memperbaiki sikap kerja yang tidak fisiologis, pengaturan waktu istirahat dan memberi menu tambahan. Sejalan dengan Tjitro dkk. (2003) dengan perancangan alat bantu kerja telah memberikan perbaikan kondisi kerja menjadi lebih ergonomis, terjadi penurunan tingkat kelelahan dan efisiensi waktu bagi pekerja di bidang distribusi susu bendera. Berdasarkan hasil uji statistik dan pembahasan terhadap kelelahan dapat dikatakan bahwa setelah dilakukan intervensi pada periode dua penggunaan hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis mampu menurunkan kelelahan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja perajin. Kelelahan
123
menurun yang terjadi pada perajin kain endek pada proses midang berdampak kepada kualitas hidup yang lebih baik, kesehatan semakin baik, memiliki motivasi yang tinggi, sehingga memiliki jam kerja yang efektif. 6.5 Keluhan Muskuloskeletal Sikap kerja perajin kain endek pada proses midang adalah sikap kerja berdiri, kondisi ini dilakukan selama tujuh jam dengan pekerjaan yang monoton. Badan berada pada posisi menyamping dan perajin melihat ke belakang bidang kerja untuk mengetahui habis tidaknya benang yang berada di belakang tubuhnya. Posisi tangan kanan memegang kumpulan benang, tangan kiri berfungsi menamplik bingkai agar berputar sehingga selama melakukan gerakan bagianbagian otot ini dominan mengalami keluhan sakit kesemutan pada jari-jari tangan dan cepat lelah seperti diperlihatkan pada Gambar L6.1. Suasana kerja dengan otot statis mengakibatkan aliran darah menurun, maka asam laktat akan terakumulasi dan mengakibatkan kelelahan otot lokal. Pembebanan otot secara statis (static muscular loading) jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan Repetition Strain Injuries (RSI), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain-lain yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat berulang. Selain itu karakteristik kelelahan akan meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan yang dilakukan. Hasil uji normalitas periode satu dan periode dua untuk keluhan muskuloskeletal sebelum dan sesudah bekerja berdistribusi normal (p>0,05), dapat diuji dengan uji t paired. Berdasarkan analisis statistik deskriptif dapat diketahui perbedaan rerata keluhan muskuloskeletal sebelum bekerja pada periode
124
satu sebesar 30,10 ± 0,47 dan periode dua 29,92 ± 0,37. Analisis uji beda dengan t paired menunjukkan bahwa rerata keluhan muskuloskletal sebelum melakukan pekerjaan tidak ada perbedaan yang bermakna antara periode satu dan periode dua sebesar p = 0,199 (p > 0,05). Berdasarkan analisis statistik deskriptif dapat diketahui perbedaan rerata keluhan muskuloskeletal setelah bekerja pada periode satu sebesar 55,33 ± 5,90 dan periode dua 35,85 ± 1,04. Besarnya keluhan muskuloskeletal pada periode satu disebabkan oleh pembebanan atau tekanan pada otot jari-jari tangan, pergelangan tangan, karena tangan perajin yang kiri terus menerus menamplik bingkai dan tangan kanan memegang kumpulan benang. Keluhan pada kaki diakibatkan oleh sikap kerja berdiri selama berlangsungnya proses midang. Disebabkan pula oleh karena alat kerja yang tidak ergonomis, mempengaruhi sikap kerja perajin yang statis sehingga menimbulkan kelelahan saat bekerja dan terjadinya keluhan-keluhan pada otot yang terpapar oleh karena sikap kerja statis. Sejalan dengan penelitian Titin dkk. (2012) timbulnya keluhan muskuloskeletal yang dialami oleh perajin batik tulis disebabkan karena aktivitas berulang-ulang yang dilakukan perajin pada saat membatik, sehingga otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan relaksasi, faktor penyebab lainnya juga disebabkan oleh sikap dan postur kerja yang tidak alamiah. Evelyn (1996), 63% pekerja mengeluh sakit pada leher, bahu, punggung dan pinggang yang diakibatkan oleh kerja statis. Bekerja dengan tangan dalam posisi yang tidak fisiologis dan waktu yang lama, dapat mengakibatkan keluhan
125
pada pergelangan, siku dan bahu (Dul dan Weerdmeester, 2006). Perubahan sikap kerja
dalam
manggur
menurunkan beban
kardiovaskuler
dan
keluhan
muskuloskeletal pada perajin gamelan Bali (Tirtayasa, dkk., 2003). Nasution (2007) mengatakan timbulnya kelelahan pada pekerja disebabkan oleh keluhan muskuloskeletal akibat dari pembebanan target produksi yang harus dicapai pekerja. Kegiatan yang repetitif dengan pengeluaran tenaga yang besar dan postur kerja yang tidak ergonomis merupakan penyebab terjadinya keluhan muskuloskeletal pada proses produksi alat-alat perkebunan kelapa sawit seperti egrek, dodos, kampak, parang, dan gancu. Bridger (2003) mengatakan usia merupakan faktor risiko keluhan muskuloskeletal. Pekerja dengan usia ≥ 30 memiliki risiko 4,4 kali mengalami keluhan muskuloskeletal tingkat tinggi dibanding pekerja dengan usia < 30 tahun. Pertambahan umur menyebabkan penurunan kemampuan kerja jaringan tubuh (otot, tendon, sendi, dan ligamen). Sejalan dengan meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada tulang dan keadaan ini mulai terjadi di saat seseorang berusia 30 tahun. Hal tersebut di atas dapat terjadi pada perajin midang karena usia mereka di atas 30 tahun, sehingga beresiko mengalami keluhan pada otot. Pada umumnya keluhan muskuloskeletal mulai dirasakan pada umur 30 tahun dan semakin meningkat pada umur 40 tahun ke atas. Hal ini disebabkan perubahan biologis secara alamiah pada usia paruh baya kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun karena proses penuaan, misalnya degeneratif otot, tendon, ligamen dan sendi sehingga risiko terjadinya keluhan pada otot meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Sani Rachman Soleman menunjukkan bahwa usia
126
pekerja memiliki hubungan yang signifikan terhadap keluhan muskuloskeletal pada pekerja di Balai Yasa Yogyakarta (Soleman, 2012). Hasil penelitian Hudoyo (2004) menunjukkan bahwa ada hubungan sikap kerja berdiri dengan keluhan muskuloskeletal pada operator mesin winding di spinning III PT. Apac Inti Corpora, Bawen, Semarang. Arnita mengatakan bahwa berdiri dalam jangka waktu yang lama, dengan posisi yang sama memiliki batas waktu 20 menit. Jika lebih dari batas waktu tersebut, maka perlahan-lahan elastisitas jaringan akan berkurang, otot menjadi tegang, dan rasa tidak nyaman pada daerah punggung bawah (Hartiyah, 2008). Pada penelitian ini, perajin selama bekerja pada
periode satu tidak ada istirahat pendek di antara istirahat makan siang dan sore harinya, hal ini juga menambah kelelahan dan keluhan bagi perajin midang. Analisis uji beda dengan t paired menunjukkan bahwa rerata keluhan muskuloskeletal setelah bekerja terjadi penurunan yang bermakna (p < 0,05). Terjadinya penurunan keluhan muskuloskletal sebesar 35,21%.
Penurunan
keluhan muskuloskeletal disebabkan oleh intervensi terhadap sikap kerja yaitu sikap kerja duduk dan sekali-sekali berdiri untuk menyambung benang yang putus, membuat pekerjaan otot pada tangan, otot kaki tidak cepat lelah dan kesemutan. Pemberian istirahat pendek dan pemberian minum pagi dan sore pada perajin,
dapat menurunkan keluhan dan kelelahan pada perajin. Penurunan
kelelahan juga terjadi akibat dari pekerjaan yang sudah tidak membosankan lagi. Kondisi dinamis dari pekerjaan akan meningkatkan sirkulasi darah yang juga mengirimkan zat-zat makanan bagi otot dan mengusir asam laktat. Menurunnya rasa lelah (recovery) adalah didapat dengan memberikan istirahat yang cukup.
127
Menurut Nurmianto (2003) sikap atau posisi tubuh dalam bekerja memiliki hubungan yang positif dengan timbulnya kelelahan kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian Surata (2011) yang menyatakan bahwa redesain alat dan sistem kerja menurunkan keluhan muskuloskeletal sebesar 56,15%. Begitu pula dengan penelitian Siswanto (2012) dengan modifikasi gerinda tangan berbasis penilaian ergonomis dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal penggunanya sebesar 19,6%. Penurunan keluhan muskuloskeletal disebabkan oleh perubahan sikap kerja perajin kain endek pada proses midang, dengan sikap kerja yang dinamis. Sejalan dengan Adiputra dkk. (2008), intervensi ergonomis pada industri kecil
memberikan efek yang positif. Keluhan otot yang dievaluasi dengan Nordic Body Map (NBM) menurun dibandingkan dengan sebelum perlakuan, dengan beda yang bermakna. Penurunan bervariasi antara 23,3-96,8 %. Hal itu disebabkan oleh sikap tubuh lebih ergonomis dan gerakan lebih efisien, sehingga keluhan otot menurun (Kroemer & Grandjean, 2000; Astrand dan Rodahl 2001). Demikian pula kelelahan menurun dengan variasi penurunan antara 25,6- 60,2%. Dengan tambahan istirahat pendek 5-10 menit antara pukul 10.00 dan 11.00 demikian pula di sore hari, berarti ada waktu pulih, sehingga metabolisme kembali secara aerobik dan dapat mengatasi kejadian pembentukan metabolit asam laktat (Kroemer & Grandjean, 2000; Astrand dan Rodahl 2001; Johnson, 2001). Pada hasil penelitian Sutjana dkk. (1999) dilaporkan bahwa perbaikan sikap kerja mengurangi keluhan muskuloskeletal 42,06% khususnya pada leher, punggung, pinggang, bokong dan pantat pada perajin ukiran kayu di Desa Tangeb.
128
Penelitian Sudiajeng (2010) dan Titin (2010) menyebutkan bahwa dengan perbaikan stasiun kerja dan sikap kerja alamiah dapat mengurangi keluhan muskuloskeletal secara signifikan (p<0,05). Dari hasil uji statistik dan pembahasan, dapat dikatakan bahwa setelah dilakukan intervensi terhadap alat pemidangan maka mampu menurunkan keluhan muskuloskeletal pada perajin dan dapat meningkatkan kinerja perajin dalam bekerja. Penurunan keluhan muskuloskeletal pada perajin dapat terjadi karena bekerja pada sikap kerja duduk yang memerlukan lebih sedikit energi daripada berdiri karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Di samping itu penurunan keluhan juga disebabkan karena aktivitas berulang dalam hal ini menamplik bingkai sudah tidak dilakukan lagi, tekanan langsung pada jaringan otot lunak seperti pada saat jari-jari tangan harus memegang benang tidak terjadi lagi sehingga otot tidak menerima tekanan secara terus – menerus dan memperoleh kesempatan untuk relaksasi. Dengan adanya hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis dapat mengurangi atau menurunkan kelelahan dan keluhan muskuloskeletal
perajin
midang.
Penurunan
kelelahan
dan
keluhan
muskuloskeletal berdampak kepada peningkatan kualitas hidup yang lebih baik, kesehatan kerja yang meningkat, tidak kehilangan jam kerja, terjadi peningkatan produksi, berdampak kepada meningkatnya produktivitas kerja perajin kain endek pada proses midang.
129
6.6 Produktivitas Produktivitas kerja adalah kunci untuk memahami beban dan biaya kesehatan yang dikaitkan dengan keluhan muskuloskeletal pekerja ( Escorpizo, 2008). Produktivitas dalam penelitian ini berdasarkan perbandingan output yang berupa bingkai midang (cm) dibagi dengan input beban kerja dikalikan waktu kerja selama tujuh jam setiap hari (420 menit). Output bingkai dihitung berdasarkan panjang bingkai horizontal dari ujung kiri dimulainya proses sampai ujung akhir kanan sisi bingkai seperti disajikan pada Gambar L6.2. Statistik
deskriptif produktivitas kerja yang disajikan pada Tabel 5.6
menunjukkan rerata produktivitas kerja periode satu dan periode dua 0,044 ± 0,008 buah/dpm dan 0,102 ± 0,016 buah/dpm. Uji normalitas produktivitas kerja menunjukkan bahwa produktivitas kerja sebesar p > 0,05. Hasil uji tersebut menunjukkan data berdistribusi normal sehingga diuji dengan t paired. Analisis uji beda dengan uji t paired
menunjukkan bahwa rerata
produktivitas periode satu dan periode dua terjadi peningkatan yang bermakna (p < 0,05) berdasarkan persentase peningkatan yang terjadi sebesar 56,86 %. Dilihat dari selisih rerata produktivitas pada periode satu dan periode dua bahwa ada peningkatan
produktivitas sebesar 0,058 (P2-P1). Peningkatan produktivitas
perajin dilihat dari bertambahnya bingkai midang yang dihasilkan, dengan waktu yang lebih singkat. Adanya peningkatan produktivitas yang dilihat dari perolehan hasil bingkai midang disebabkan oleh karena pemberian istirahat pendek. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mariati (2012) yang menyatakan dengan menggunakan
130
mesin pemotong singkong semi otomatis nilai produktivitas berdasarkan output produksi dapat meningkat 100%, hal ini disebabkan perubahan postur kerja pada masing-masing bagian pemotongan singkong, hal yang membedakan dengan penelitian perajin midang adalah sampel berjenis kelamin pria. Purnawan (2002) mengatakan dengan perbaikan stasiun kerja dan pemberian istirahat aktif meningkatkan produktivitas kerja perajin keramik sebesar 163,6%, penelitian ini menggunakan rancangan post test only control group design dengan melibatkan 44 orang responden perempuan dengan tiga kali jenis perlakuan. Peningkatan produktivitas kerja dapat dicapai dengan melakukan perbaikan secara terus menerus tiada henti sehingga didapatkan suatu sistem dan metode kerja yang efektif, efisien, aman dan nyaman. Efektif dilihat dari kemudahan dan kelayakan metode tersebut dikerjakan, efisien dilihat dari segi waktu, tenaga, dan biaya, sedangkan aman dan nyaman maksudnya tidak menimbulkan keluhan yang berlebihan maupun cidera dan penyakit akibat kerja. Hasil penelitian Dharmayanti (2011) mengatakan perubahan sikap kerja dengan penambahan tinggi bidang kerja dan kursi pada proses penghalusan bola mimpi dapat meningkatkan produktivitas sebesar 40%, akibat perubahan sikap kerja duduk bersila di lantai menjadi duduk di kursi. Dalam penelitian Dharmayanti semua subjek berjenis kelamin laki-laki dengan umur antara 24-42 tahun. Dalam penelitian pada perajin kain endek, subjek berjenis kelamin perempuan dengan rentang umur 35- 50 tahun. Pada penelitian Yusuf dan Santiana (2004) dikemukakan bahwa produktivitas perajin permata meningkat secara signifikan sebesar 692,3% disebabkan karena modifikasi pada gerinda perajin batu permata
131
di Karangasem. Perbedaan persentase peningkatan disebabkan karena pekerjaan perajin permata ini dilakukan dalam ruangan, sedangkan perajin midang berada pada ruangan terbuka. Menurut Rohana (2012) terdapat kenaikan produktivitas pada operator komputer yang diberikan intervensi yang meliputi perbaikan postur atau sikap kerja, pemberian waktu istirahat pendek selama 15 menit setiap dua jam kerja dapat menurunkan kelelahan otot tanpa mengurangi produktivitas.
Hasil
penelitian dari Yahya (2011) ATBM hasil modifikasi tenun lebih sempurna, dengan kelebihan sebagai berikut: (1) hasil tenunan lebih rata/halus, (2) kapasitas produksi meningkat, dan (3) nyaman digunakan. Selanjutnya Kogi, dkk. (2003) melakukan perbaikan pada industri kecil berupa perbaikan layout tempat kerja, perbaikan peralatan angkat, desain meja dengan tinggi yang sesuai, rotasi kerja, pemberian istirahat serta kudapan, dapat menurunkan beban kerja, menurunkan kerja otot, dan meningkatkan produktivitas. Sejalan dengan penelitian Kristanto dan Saputra (2011) mengenai rancangan meja dan kursi kerja pada stasiun pemotongan krupuk ramba. Berdasarkan implementasi dihasilkan perbandingan kondisi awal dan akhir sebagai berikut : kondisi sebelum perancangan, waktu baku dan output standar adalah 9,068 detik/unit dan 396 unit/jam. Setelah perancangan, waktu baku dan output standar adalah 7,377 detik/unit dan 468 unit/jam. Terjadi peningkatan produktivitas sebesar 18,18 %. Praditya (2008) mengatakan perancangan alat bantu perakitan furniture dan penerapan metode kerja sesuai dengan prinsipprinsip ergonomi dapat meningkatkan performansi kerja operator sebesar 8,36%
132
dibandingkan metode yang lama dan meningkatkan produktivitas pekerja sebesar 13,8% dari jumlah produksi aktual sebesar 56 unit perhari. Begitu pula dengan Partajaya, dkk. (2003) dengan modifikasi pahat dapat meningkatkan produktivitas kerja seniman ukir sebesar 31%. Berdasarkan hasil analisis uji statistik dan pembahasan, dapat dikatakan bahwa setelah menggunakan alat pemidangan otomatis yang ergonomis, maka hasil produksi meningkat 50,07%, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal menurun 17,05% dan 35,21%, penurunan kelelahan dan keluhan menyebabkan produktivitas kerja perajin meningkat sebesar 56,86 %. Apabila kelelahan kerja berkurang maka tidak akan banyak terjadi kesalahan kerja dan penyakit akibat kerja. Kecepatan dan ketepatan kerja perajin pun akan meningkat sehingga kinerja dan keluaran dalam proses midang
meningkat pula atau dengan kata lain
produktivitas kerja para perajin kain endek pada proses midang meningkat. Adanya peningkatan produktivitas pada perajin midang, berdampak atas: meningkatnya hasil produksi midang dan bertambah besarnya penghasilan perajin kain endek pada proses midang dan pengusaha pertenunan. Studi gerakan adalah analisis terhadap beberapa gerakan bagian badan pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Gerakan efektif yang dilakukan perajin pada proses midang adalah memutar, mengganti kon benang, menggeser rak benang, menyambung benang putus. Sedangkan gerakan
tidak efektif yang
dilakukan perajin adalah mencari terlalu lama dan sambil memilah-milah kon yang akan
digunakan,
menghitung
bulihan
berulang-ulang,
mengobrol,
menghentakkan tangan, melipat kedua jari tangan, mencari air minum ke dapur,
133
menggeser rak benang kekanan kekiri berulang-ulang, melambatkan putaran bingkai midang. Gambar 5.3 menjelaskan pada periode satu pukul 14.45- 15.00 Wita terjadi peningkatan gerakan tidak efektif sebesar 58,57 detik, hal yang dilakukan perajin saat itu seperti mengobrol sambil berhenti menamblik benang, bersandar atau bertumpu pada bingkai benang. Pukul 16.00-16.15 Wita dan 16.30-16.45 kondisi perajin sudah sangat lelah hal tersebut ditandai dengan melakukan istirahat sambil mengobrol, meregangkan jari-jari tangan berulang-ulang. Hal ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh yang mulai mengalami kelelahan pada jam-jam terakhir, tidak adanya istirahat pendek yang diberikan pada periode satu di antara jam istirahat makan siang pagi dan sore harinya. Berdasarkan hasil analisis deskriptif gerakan tidak efektif, ukuran pemusatan gerakan tidak efektif perajin pada periode satu sebesar 14,39 detik, ukuran penyebarannya minimal dan maksimal (0,00 - 142,52) detik dan periode dua 3,85 detik, ukuran penyebaran minimal dan maksimal (0,00-16,23) detik. Analisis uji beda dengan uji Wilcoxon Signed Ranks Test menunjukkan bahwa rerata gerakan tidak efektif perajin
periode satu dan periode dua terjadi
penurunan yang bermakna (p < 0,05). Dihitung dari persentase rerata gerakan tidak efektif periode satu dan periode dua terjadi penurunan atau berkurangnya gerakan-gerakan yang tidak efektif sebesar
79,19%. Terjadinya penurunan
gerakan tidak efektif menyebabkan waktu perajin lebih banyak untuk melakukan pekerjaan yang utama sehingga hasil kerjanya meningkat.
134
Penurunan atau berkurangnya gerakan tidak efektif yang dilakukan perajin pada periode dua disebabkan karena pemberian istirahat pendek dan pemberian minum pada pukul 10.30-10.45 wita selama 15 menit dan sore hari pikul 15.0015.15 wita. Perubahan terhadap berkurangnya gerakkan yang tidak efektif ini memberikan dampak terhadap pencapaian produktivitas kerja perajin. Hal ini disebabkan karena penggunaan alat pemidangan otomatis yang ergonomis dapat mengurangi kelelahan dan keluhan muskuloskeletal pada perajin, di mana hal tersebut juga disebabkan karena perajin bekerja dengan sikap kerja yang benar, tidak perlu menghitung berulang-ulang bulihan yang sudah ada, kesalahan penumpukkan dan pengulangan yang biasanya terjadi sekarang menjadi tidak terjadi karena sudah presisinya kerja sensor sesuai dengan perintah dari mikrokontroler. Dengan menurunnya waktu dari gerakan tidak efektif perajin, menandakan banyaknya waktu yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaannya karena tidak ada waktu yang terbuang untuk melakukan gerakkan yang tidak efektif, sehingga produktivitas meningkat. Sejalan dengan penelitian Dharmayanti (2011) terjadi penurunan gerakan tidak efektif di akhir aktivitas sebesar 77,63% pada proses aktivitas penghalusan bola mimpi dengan mengubah sikap kerja perajin bola mimpi. Perubahan aktivitas gerakan akan memberikan dampak terhadap pencapaian produktivitas kerja. Hasil penelitian Kristanto dan Manopo (2010) menyatakan waktu baku kondisi sebelum perancangan pada perusahaan pengkroman velg mobil proses pemotongan cantel aluminium sebesar 11,20 detik/unit dan setelah perancangan
135
sebesar 8,37 detik/unit, terjadi penurunan waktu sebesar 2,83 detik/unit dengan produktivitas meningkat sebesar 34,78%. Peningkatan produktivitas secara terus menerus dan menyeluruh merupakan hal penting yang tidak saja berlaku bagi setiap individu pekerja, melainkan juga bagi perusahaan. Faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah sumber daya manusia, peralatan/teknologi, dan lingkungan. Selain faktor tersebut, agar produktivitas meningkat maka perlu juga diupayakan untuk menghindari atau meminimalkan langkah-langkah kegiatan yang tidak perlu atau tidak efektif (Tastanny, 2011). Penelitian Asmal (2004) mengatakan dengan meredesain ulang penempatan alat/bahan percetakan serta sikap kerja, maka alur lintasan aliran bahan serta gerakan-gerakan operator lebih efektif dan efisien didapatkan waktu kerja yang lebih singkat 1,06 detik, yaitu dari 12,11 detik menjadi 11,05 detik. Serta dapat meningkatkan produktivitas batubata dari 1.466 unit/hari menjadi 1.600 unit/hari (8,4%). Pendekatan ergonomi banyak diaplikasikan dalam banyak hal. Secara hakiki akan berhubungan dengan segala aktivitas manusia yang dilakukan untuk menunjukkan kinerja yang terbaik. Mulai dari perancangan produk, fasilitas kerja dan tempat kerja (work stations/places) dengan sasaran untuk menambah efektivitas dan efisiensi gerak serta waktu kerja. Hal ini pada akhirnya akan membawa dampak peningkatan produktivitas pekerja. Penurunan terhadap waktu kerja tidak efektif yang terlihat pada gerakan-gerakan tidak efektif dilakukan perajin midang saat pekerjaan berlangsung berdampak atas bertambah banyaknya tersedia waktu kerja yang efektif, berkurangnya dilakukan istirahat spontan,
136
dengan demikian kontinuitas produktivitas meningkat. Berkurangnya waktu untuk gerakan tidak efektif, dapat meningkatkan produktivitas kerja, peningkatan produktivitas berakibat kepada cepatnya pengembalian investasi pemilik. Dari segi ekonomi, uang yang ditanamkan untuk membeli peralatan hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis harus kembali paling tidak selama umur ekonomis alat tersebut (lima tahun). Tujuan utama investasi adalah untuk memperoleh macam manfaat yang cukup layak di kemudian hari. Nilai investasi untuk periode dua dengan alat pemidangan otomatis yang ergonomis sebesar Rp. 2.496.000,00. 1. ROI berdasarkan dua aspek yaitu: 1)
Aspek efisiensi waktu dan produksi Rerata waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan satu bingkai midang pada
kondisi periode satu dengan menggunakan alat pemidangan konvensional mencapai 150 menit (9000 detik), produksi yang dihasilkan dalam satu hari sampai selesai per bidangnya dengan rerata 2,97 buah bingkai atau dibulatkan menjadi tiga buah bingkai dalam satu hari. Setelah diintervensi pada periode dua waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu buah bingkai 90 menit (5400 detik). Produksi yang dihasilkan dalam satu hari sampai selesai per bidangnya dengan rerata 5,94 atau sama dengan enam buah bingkai, terjadi peningkatan produksi sebesar tiga buah bingkai/hari atau 50%. Hal ini berarti intervensi pada periode dua lebih cepat waktu pengerjaan dan hasil produksinya lebih banyak. Sejalan dengan penelitian Indrawaty, dkk. (2002) perancangan alat bantu kerja di perusahaan produksi plastik terdapat
137
peningkatan output standar sebesar 52 ikat/hari (4,598%) dan penghematan waktu kerja sebesar 3,3562 det/ikat. 2)
Aspek penghasilan Hasil produksi pada periode satu dalam sehari adalah tiga buah bingkai,
pada periode dua hasil produksi dalam satu hari enam buah bingkai. Upah perajin per bingkai sebesar Rp. 5.000,00, maka pendapatan perajin selama setahun pada periode satu sebesar Rp. 4.455.000,00 /tahun. Pada periode dua sebesar Rp 4.455.000,00 per tahun. Biaya pemakaian listrik per satu unit bingkai midang sebesar Rp. 39,94/jam. Lamanya penyelesaian satu unit (bingkai midang) adalah 1,5 jam maka, biaya listrik per unit sebesar Rp. 427.038,48/tahun. Depresiasi (D) sebesar 474.240/tahun. Jadi total biaya investasi hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis Rp. 2.496.000,00. Dengan menggunakan rumus (2) maka dapat diketahui ROI sebesar 142,4 %. Jadi nilai ROI untuk investasi alat pemidangan otomatis yang ergonomis lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga (r) yaitu sebesar 14% per-tahun (142,4% > r), sehingga
layak
investasi. Disajikan pada Lampiran 22. 2. Titik impas Hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis memerlukan biaya sebesar Rp. 2.496.000,00. Dengan alat ini, adanya peningkatan hasil midang diikuti oleh adanya peningkatan penghasilan dari perajin sebesar Rp. 4.455.000,00 /tahun sedangkan penyusutan sebesar Rp. 474.240,00/tahun. Berdasarkan rumus (3) maka BEP sebesar 529 unit, disajikan pada Lampiran 22.
138
Titik impas terjadi jika biaya intervensi sudah terpenuhi oleh peningkatan penghasilan atau pendapatan perajin bola mimpi (Dharmayanti, 2011). Dari hasil analisis terlihat bahwa BEP sudah tercapai setelah pekerjaan
midang
menghasilkan 529 unit hasil midang. Artinya penggunaan alat pemidangan otomatis yang ergonomis memberikan manfaat dan keuntungan di dalam bekerja pada proses midang. Secara tekniks alat pemidangan bekerja secara otomatis, mengubah sikap kerja berdiri statis menjadi sikap kerja duduk dinamis, efek kerja otot dinamis sebenarnya sangat baik karena tidak menyebabkan kelelahan pada saat bekerja. Tidak seperti kerja otot statis yang menyebabkan kelelahan pada perajin saat bekerja. Karena pada saat bekerja, otot perajin mengalami relaksasi, sehingga menyebabkan perajin tidak cepat merasakan kelelahan pada saat bekerja dan produktivitasnya tidak akan mengalami penurunan. Secara ekonomis pengembalian investasi terjadi pada saat perajin menghasilkan bingkai midang sebanyak 529 unit. Artinya setelah pencapaian 529 unit tersebut angka selanjutnya yaitu di atas 529 unit sebagai keuntungan perajin kain endek pada proses midang. Kinerja menjadi tolak ukur keberhasilan dalam suatu kerja. Kinerja perajin kain endek pada proses midang mengacu kepada produktivitas kerja, penghasilan perajin dan peningkatan kualitas dari kehidupan kerja (Quality of Working Life). Tujuan dari kualitas kehidupan kerja adalah mengembangkan pekerjaan dan kondisi kerja yang baik, aman, nyaman, sehat, efesien dan efektif bagi perajin, sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup (Quality Life) perajin itu sendiri. Dengan berkurangnya kelelahan dan keluhan perajin, serta peningkatan kinerja merupakan dasar dan modal utama untuk mencapai kualitas hidup yang terbaik.
139
6.7 Penghasilan Perajin Kain Endek Pada Proses Midang Pendapatan perajin di Bali sampai sekarang masih di bawah Upah Minimum Regional. Berdasarkan peraturan Gubernur Bali tanggal 12 Nopember 2012 No. 44 Tahun 2012 tentang upah minimum Kabupaten/Kota untuk Kabupaten Gianyar UMR tahun 2013 sebesar Rp. 1.230.000. Misalkan, orang. Jumlah tersebut sangat kecil, sehingga para generasi muda tidak mau melirik pekerjaan sebagai perajin (Anonim, 2012a). Hasil analisis penghasilan pada kedua periode menunjukkan peningkatan yang bermakna (p < 0,05), dengan nilai rerata 445.000 ± 39403,446 rupiah untuk periode satu dan 891.250 ± 40777,79 rupiah untuk periode dua. Dengan demikian terjadi peningkatan penghasilan sebesar Rp. 446.250 per bulan atau sebesar Rp. 14.875 per hari dengan menggunakan alat pemidangan otomatis yang ergonomis menjadikan proses midang lebih cepat, dalam waktu satu hari dapat menghasilkan penambahan lagi tiga buah bingkai midang, sementara menggunakan alat konvensional membutuhkan waktu dua hari untuk menghasilkan dua sampai empat hasil midang. Peningkatan penghasilan dapat menjadi faktor utama dalam melakukan perbaikan sehingga menjadi motivasi internal dari karyawan (Adiatmika, 2007). Sejalan dengan penelitian Akmal (2006) mengatakan tingkat produktivitas rata-rata pekerja industri kecil kerupuk sanjai adalah Rp 2.283,93 per orang per jam. Jika dibandingkan dengan tingkat produktivitas UMR (upah minimum regional) wilayah Bukittinggi yaitu Rp 3.095,24 per orang per jam, maka tingkat produktivitas pekerja industri kecil kerupuk sanjai berada dibawah produktivitas
140
tenaga kerja secara umum yang ditetapkan Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja pada industri kecil kerupuk sanjai di Kota Bukittinggi dengan menggunakan analisis regresi linier berganda, ternyata yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas hanya empat variabel bebas. Pertama, variabel jenis kelamin bernilai positif yang berarti tenaga kerja laki-laki lebih produktif dibandingkan tenaga kerja perempuan. Kedua, upah yang diterima dari industri kecil kerupuk sanjai bernilai positif yang berarti semakin tinggi upah maka produktivitas tenaga kerja akan meningkat. Ketiga, dummy status pekerjaan bernilai positif yang berarti tenaga kerja yang bekerja penuh lebih produktif dibandingkan yang bekerja sampingan pada industri kecil kerupuk sanjai, sedangkan yang keempat alokasi waktu kerja bernilai negatif yang berarti penambahan jam kerja akan menurunkan produktivitas tenaga kerja tersebut. Peningkatan penghasilan pada perajin kain endek pada proses midang berdampak kepada peningkatan kualitas hidup yang mencakup peningkatan taraf hidup atau perekonomian perajin, peningkatan terhadap kesehatan, berdampak pula terhadap kepuasan kerja, motivasi dan semangat kerja meningkat. Hal tersebut juga disebabkan oleh karena perajin sudah merasa dihargai sebagai pekerja dalam bidangnya, untuk itu timbullah kesadaran berkreasi dan menyebabkan timbullnya inovasi-inovasi baru di bidang pertenunan khususnya pada proses midang.
141
6.8 Kebaruan (Novelty) Penelitian Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah : 1. Intervensi ergonomi pada proses midang di industri tenun kain endek dengan karakteristik. a) Rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis yang menggunakan mikrokontroler Atmega32 dan sensor optocoupler (Gambar 6.1). b) Organisasi kerja berupa bekerja secara otomatis, sikap kerja duduk dinamis, pemberian istirahat pendek, dan pemberian minum saat istirahat pendek. c) Penurunan intensitas suara pada lingkungan kerja yang ditimbulkan dari putaran kon benang. 2. Implikasi dari kebaruan ini adalah. a) Waktu pengerjaan satu bidang midang menjadi lebih cepat. b) Perajin midang pada proses midang menjadi sehat, nyaman dan aman. c) Hasil produksi midang per harinya meningkat.
142
Gambar 6.1 Hasil Rancang Bangun Alat Pemidangan Otomatis Yang Ergonomis