BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Kondisi Subjek Subjek pada penelitian ini semua berjenis kelamin wanita dengan karakteristik yang dibahas adalah umur, berat badan, tinggi badan dan antropometri. 6.1.1 Umur Umur subjek yang terlibat dalam penelitian ini antara 32-43 tahun dengan rerata 38,56 ± 3,58 tahun. Rentang umur tersebut masih tergolong produktif. Menurut Manuaba (1998), menyatakan kekuatan otot mencerminkan tingkat kapasitas kerja fisik seseorang berbanding langsung sampai batas tertentu dengan umur, dan mencapai puncaknya pada usia 25 tahun. Sedangkan Nala (1994) mengatakan bahwa pengaruh kemampuan fisiologis otot berada pada rentang umur 20 sampai dengan 30 tahun. Berdasarkan kedua pernyataan tersebut di atas baik mengenai kapasitas fisik maupun kemampuan fisiologis otot yang mensyaratkan bahwa umur produktif mencapai kondisi optimal pada umur 25 tahun, maka umur subjek dalam penelitian ini tidak terlalu jauh dari syarat tersebut. Rentang umur ini adalah rentang umur yang produktif, dimana subjek melakukan aktivitas dengan kekuatan fisik yang optimal. Kondisi yang sama dapat dilihat dari penelitian Artayasa (2000) terhadap petani yang pekerjaannya melampit di Dusun Semaja Antosari Tabanan dengan rerata umur 33,33 ± 4,83 tahun, Demikian juga hasil penelitian Surata (2011) tentang redesain alat pengering dan sistem kerja pada petani rumpud laut di desa 86
87
Ped Nusa Penida rerata umurnya 39,70 ± 7,12. Menurut Pheasant (1991), menyatakan bahwa kekuatan fisik mulai menurun pada umur 39 tahun dan pada rentangan umur 50-60 tahun kekuatan otot hanya mencapai 75-85% dibandingkan dengan orang yang berumur 25-45 tahun. Oleh karena itu, para penyapu jalan di Niti Mandala – Renon masih cukup mampu untuk melakukan aktivitas secara maksimal. 6.1.2 Berat dan Tinggi Badan Berat badan subjek penelitian berkisar antara 45-72 kg dengan rerata 60,06 ± 6,61 kg dan tinggi badan berkisar 145–165 cm dengan rerata 156,00 ± 5,73 cm. Berat badan dan tinggi badan merupakan salah satu aspek antropometri yang sangat penting berkaitan dengan kapasitasnya untuk melakukan kegiatan. Dalam NIOSH dalam Suputra (2003) menyatakan bahwa tinggi badan, berat badan dan indeks masa tubuh mempunyai korelasi kuat terhadap resiko terjadinya gangguan otot skeletal. Jika dilakukan perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan, maka rerata subjek penelitian berada dalam katagori berat badan ideal. Seseorang dengan indeks masa tubuh lebih besar dari 29 kg/m2 (gemuk) mempunyai resiko terkena gangguan muskuloskeletal 250% lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang mempunya indeks masa tubuh lebih kecil dari 20 kg/m2 (kurus). Berat badan ideal dapat dihitung dengan rumus tinggi badan (cm) dikurangi l00, hasilnya dikurangi (10% x hasil) (Aryatmo, 1981 dalam Santosa, 2013). Dengan berat badan ideal, penyapu dapat melakukan aktivitas secara optimal, terutama aktivitas fisik.
88
6.1.3 Antropometri Subjek Pada pengukuran antropometri, tinggi siku berdiri dan diameter genggam tangan dipakai untuk menentukan desain tangkai sapu lidi yang baru. Dalam penelitian ini ditetapkan pada persentil 95. Berdasarkan pengukuran, maka desain tinggi sapu lidi yang baru diambil dari dimensi tinggi siku berdiri 106 cm pada persentil 95 dan handelnya diambil dari dimensi genggaman tangan pada persentil 95 yaitu 3,5 cm. Hal ini sangat terkait dengan kapasitas kerja secara berkelompok yang mengharapkan sebagian besar subjek dapat melakukan pekerjaannya secara nyaman, aman dan dapat mengoptimalkan produktivitasnya. Menurut Grandjean (2000), untuk pekerjaan halus tinggi bidang kerja 5-10 cm di atas tinggi siku, untuk pekerjaan manual tinggi bidang kerja yang sesuai ada1ah 10 -15 cm di bawah tinggi siku, dan untuk pekerjaan yang memerlukan banyak usaha dan menggunakan berat badan bagian atas, diperlukan permukaan kerja 15 - 40 cm lebih rendah dari tinggi siku berdiri. Berdasarkan pengamatan dan analisis terhadap pekerjaan penyapuan jalan baik dengan menggunakan sapu yang lama maupun menggunakan sapu yang sudah diredesain, anggota gerak yang paling banyak digunakan adalah bagian tubuh atas berfungsi untuk mengayun dan menarik sapu lidi bertangkai sehingga tinggi bidang kerja yaitu tinggi posisi pegangan tangkai sapu lidi dirancang 18 cm di atas tinggi siku berdiri dengan asumsi untuk mendapatkan titik ayunan gaya bagi penyapu jalan saat menyapu. Penelitian yang melibatkan tinggi siku berdiri pekerja dalam merancang alat kerja, dapat dilihat dari hasil penelitian Artayasa (2000) yang melaporkan tinggi
89
siku petani lampit di Dusun Semaja Antosari Tabanan reratanya 100,83 ± 3,39 cm, dan Santosa (2013) melaporkan tinggi siku pada wanita pengaduk dodol di Desa Penglatan reratanya 105,75 ± 1,48 cm. Dengan demikian rentang tinggi siku berdiri subjek penelitian hampir sama dengan tinggi siku berdiri pekerja di tempat lainnya di Bali. Menurut Pheasant (1991) mensyaratkan ukuran handel 3,5 cm dan Helander (1995) menganjurkan tebal grip 5 - 6 cm dengan panjang 12,5 cm. Hasil ini juga sama dengan handel yang digunakan dalam tulud dengan reratanya 3,46 ± 0,11 (Santiana, 2004). Berdasarkan wawancara mengenai pemakaian sapu lidi bertangkai desain yang baru didapatkan bahwa para penyapu jalan merasakan kenyamanan dalam pengoperasiannya. 6.2 Kondisi Lingkungan Lokasi penelitian terletak di jalan Niti Mandala – Renon Kota Denpasar. Periode I dengan rerata suhu kering 28,71± 1,68 °C, rerata suhu basah 26,19 ± 0,81 °C, rerata kelembaban relatif 78,74 ± 1,69 % dan kecepatan angin 1,05 ± 0,37. Untuk periode II rerata suhu kering 28,74± 1,77 °C, rerata suhu basah 26,21 ± 0,77 °C, rerata kelembaban relatif 78,74 ± 1,79 % dan kecepatan angin 1,05 ± 0,36. Manuaba (1992a) menyatakan batas kenyamanan lingkungan kerja untuk di luar ruang suhu antara 22 °C -28 °C dengan kelembaban relatif antara 70-80 %. Demikian pula halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutjana (1998) yang berlokasi di Subak Yeh Ge Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan dimana suhu keringnya berkisar antara 28-29° C. sedangkan Manuaba 1992a) mengemukakan bahwa suhu pada musim kering meningkat 31-32 °C di tempat yang teduh dan
90
sampai 36°C di bawah sinar matahari langsung. Berdasarkan kondisi lingkungan pada saat penelitian, kondisi lingkungan tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh Sutjana (1998) maupun Santiana (2004). Hasil ini juga sesuai dengan batasan yang disampaikan oleh Manuaba (1992a). Dengan suhu lingkungan yang semakin meninggi dari pukul 06.00 sampai pukul 15.00, akan mempengaruhi kondisi kerja penyapu jalan, terutama denyut nadi kerja yang semakin meningkat dan produktivitasnya semakin menurun. 6.3 Beban Kerja Beban kerja dinilai dari peningkatan denyut nadi kerja. Denyut jantung/nadi per menit (dpm) dapat menggambarkan proses aktivitas dalam sel tubuh. Bila tubuh dalam keadaan aktif maka denyut jantung meningkat, atau tubuh dalam keadaan emosi dan ketakutan maka denyut jantung juga meningkat. Berdasarkan frekuensi denyut nadi tersebut dapat diketahui kemampuan kerja seseorang dalam kaitannya dengan tuntutan tugas pekerjaan yang dilakukan serta tingkat keselarasan yang mempengaruhi nilai produktivitasnya. Denyut nadi istirahat (DNI) merupakan indikator kesesehatan manusia. Denyut nadi istirahat orang dewasa adalah 60-80 dpm yang diukur saat bangun pagi atau sebelum melakukan aktivitas apapun. Denyut nadi istirahat bisa lebih tinggi jika seseorang dalam keadaan ketakutan, habis berolahraga dan demam (Nursingbegin, 2011). Denyut nadi saat kerja menggunakan sapu lidi lama reratanya 118,96 ± 2,26 denyut per menit dan dengan penggunaan sapu lidi desain baru reratanya 98,49 denyut per menit. Dengan menggunakan sapu lidi desain baru terjadi penurunan
91
denyut nadi kerja. Hasil analisis menunjukkan setelah penggantian alat kerja terjadi penurunan denyut nadi kerja sebesar 20,47 denyut per menit atau 17,21%, penurunannya bermakna (p<0,05). Jadi denyut nadi kerja dengan menggunakan sapu lidi desain lama termasuk dalam kategori beban kerja sedang sedangkan denyut nadi kerja penyapuan jalan dengan menggunakan sapu lidi desain baru termasuk dalam katagori beban kerja ringan. Dengan demikian dikatakan bahwa dengan penggunaan sapu lidi desain baru yang mengacu aspek antropometri pekerja penyapu jalan dapat bekerja lebih lama dan aman dengan alokasi waktu 75% kerja dan 25 % istirahat setiap satu jam. Hal ini dikarenakan sikap kerja yang tidak alamiah (paksa) saat menyapu jalan mengolah tanah dengan menggunakan sapu lidi lama dapat dikurangi dengan penggunaan sapu lidi desain baru. Berarti dengan penggantian alat tersebut dapat mengurangi beban kardiovaskuler sebagai indikator beban kerja. Menurut Kogi (1995) bahwa perbaikan alat kerja dengan perbaikan sikap kerja akan menurunkan beban kerja secara langsung berkonstribusi terhadap peningkatan produktivitas kerja. Dalam penelitian Sutajaya (1998) dilaporkan bahwa perbaikan kondisi kerja yang berimplikasi terhadap perbaikan sikap kerja pematung menurunkan beban kerja sebesar 24,86%. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Santosa (2013) pada perajin dodol di desa Penglatan Buleleng yang menyebutkan bahwa denyut nadi kerja pada kelompok kontrol didapatkan rerata sebesar 132,35 ± 2,83 dpm, Sedangkan pada kelompok perlakuan didapatkan sebesar 109,71 ± 4,45 dpm.
92
Penelitian hampir sama juga dilakukan Putra (2004) bahwa dengan perbaikan sikap kerja dan penambahan spon pada gagang gergaji kayu menurunkan beban kerja secara bermakna menjadi 11,26 denyut atau sebesar 25,37%. Sedangkan Adnyana (2001) mengatakan penggunaan penggilingan kopi dengan modifikasi pada pegangan dan penambahan bantalan pada porosnya dapat menurunkan beban kerja sebesar 15,92%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aplikasi ergonomi pada redesain sapu lidi bertangkai yang mengacu pada aspek antropometri dan penambahan spoon pada tangkai terbukti mengurangi beban kerja secara bermakna. 6.4 Keluhan Muskuloskeletal Keluhan otot skeletal yang dialami pekerja dengan menggunakan sapu desain lama terjadi pada bagian leher atas 63% dan leher bawah 72%, punggung 76%, pinggang 89%, lengan atas 68 % dan bawah 74%, telapak tangan 84%, serta kedua lutut 64% dan betis 67%. Hal ini disebabkan gerakan elementer dari sikap kerja dengan menggunakan sapu desain lama, yaitu mengayun, menekan, menarik dan serta sikap tubuh membungkuk dapat menyebabkan keluhan. Sedangkan keluhan otot skeletal yang dialami pekerja dengan menggunakan sapu lidi desain yang baru terjadi pada lengan atas, bahu, serta kedua lutut dan betis. Sikap kerja yang tidak alamiah (sikap paksa) dan tidak efesien menyebabkan terjadinya reaksi berupa keluhan pada sistem otot skeletal (Manuaba, 1992b). Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa rerata keluhan muskuloskeletal pada kelompok perlakuan I (sapu desain lama) 91,63±2,70 sedangkan pada kelompok perlakuan II (sapu desain baru) rerata keluhan muskuloskeletal 63,56±2,73. Besarnya keluhan
93
muskuloskeletal pada kelompok perlakuan I disebabkan oleh pembebanan pada otot terutama pada pergelangan tangan, lengan atas dan bawah, pinggang, bahu dan leher karena posisi menyapu jalan adalah dengan sikap berdiri, badan membungkuk, kepala menunduk dan kedua lengan menekan, mengayun, mengerakkan dan menarik sapu lidi bertangkai dalam bekerja sehingga mempengaruhi otot-otot lengan dan bahu yang pada akhirnya menimbulkan kelelahan otot. Hal ini juga disebabkan oleh adanya sikap paksa saat bekerja dan berlangsung lama yang dapat menyebabkan adanya beban pada sistem muskuloskeletal. Hal ini didukung oleh pendapatnya Manuaba (1992a) yang menyatakan bahwa sikap paksa pada saat bekerja dan berlangsung lama menyebabkan adanya beban pada sistem muskuloskeletal dan efek negatif pada kesehatan. Pendapat lain dari Pheasant (1991) mengatakan bahwa pembebanan statis dan paksa dapat menyebabkan aliran darah terhambat sehingga suplai oksigen ke bagian otot tidak cukup. Keadaan tersebut menyebabkan akumulasi dan timbunan asam laktat dan panas tubuh yang pada akhirnya memyebabkan kelelahan pada otot skeletal yang dirasakan sebagai bentuk kenyerian otot oleh pekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian Surata (2011) yang meyatakan bahwa redesain alat dan sistem kerja menurunkan keluhan muskuloskeletal sebesar 56,15%. Demikian juga pada penelitian Adiatmika (2007) yang menyebutkan bahwa perbaikan kondisi kerja dengan pendekatan ergonomi total dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal sebesar 5,24% pada perajin pengecatan logam di Kediri Tabanan.
94
Sundari (2008) mengatakan bahwa intervensi ergonomi pada proses pengolahan tanah bahan keramik dapat mengurangi keluhan muskuloskeletal sebesar 60,96%. Berdasarkan hasil penelitian, hasil analisis menunjukkan setelah meredesain alat kerja terjadi penurunan keluhan otot skeletal sebesar 30,63%, dan perbedaannya bermakna (p<0,05). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aplikasi ergonomi pada redesain sapu lidi bertangkai yang mengacu pada aspek antropometri dan penambahan spoon pada tangkai terbukti mengurangi keluhan otot skeletal dan sikap kerja menjadi lebih alamiah. 6.5 Kelelahan Kelelahan merupakan suatu keadaan sementara yang ditimbulkan oleh aktivitas yang berlebihan atau berkepanjangan yang dimanifestasikan sebagai penurunan fungsi aktivitas, fungsi kapasitas organ, baik pada organ itu sendiri atau seluruh tubuh dan dirasakan secara spesifik sebagai kelelahan umum. Kelelahan adalah salah satu cara dari tubuh mengingatkan bahwa ada persoalan dalam tubuh kita yaitu ketika badan terasa lelah barulah disadari bahwa ada penyebab yang harus dihilangkan. Kelelahan harus ditangani dengan baik, karena kelelahan yang berkepanjangan akan dapat menurunkan produktivitas kerja. Kelelahan pada penyapu jalan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti (1) task yaitu penggunaan alat tradisional; (2) organisasi kerja, yaitu waktu kerja dalam sehari, rotasi antar pekerja dan waktu kerja dalam seminggu; (3) lingkungan kerja yang panas; (4) faktor gizi; (5) kondisi kesehatan dari subjek sendiri. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa rerata kelelahan sebelum
95
perlakuan pada kelompok perlakuan I adalah 77,69 ± 2,96 dan pada kelompok perlakuan II adalah 57,56±2,94. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa kedua kelompok sesudah bekerja atau menyapu jalan, rerata kelelahannya berbeda secara bermakna (p<0,05). Terjadinya peningkatan kelelahan pada kelompok perlakuan I kemungkinan disebabkan karena beberapa faktor yaitu keluarnya energi selama bekerja dan juga adanya pengaruh lingkungan seperti temperatut, kelembaban, gerakan udara dan kontaminasi atmosfir. Seseorang memerlukan energi tertentu untuk menjaga fungsi tubuh dan ketika bekerja fisik kebutuhan energi meningkat. Sedangkan penurunan skor kelelahan disebabkan oleh implementasi ergonomi yang diterapkan pada kelompok perlakuan II. Implementasi tersebut yaitu desain sapu lidi bertangkai yang telah disesuaikan dengan antropometri penyapu jalan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Santosa (2013) terhadap pemakaian alat pengaduk dodol yang ergonomis pada perajin dodol wanita di desa Penglatan Buleleng bahwa terjadi penurunan tingkat kelelahan sebesar 22,09 %. Penelitian ini didukung juga oleh temuan Adiatmika (2007) yang mengatakan bahwa kondisi kerja dengan pendekatan ergonomi total dapat menurunkan kelelahan 6,79%. Penelitian hampir sama juga dilakukan oleh Sundari (2008) mengatakan bahwa intervensi ergonomi pada proses pengolahan tanah bahan keramik dapat mengurangi kelelahan sebesar 60,98% Berdasarkan hasil penelitian, hasil analisis menunjukkan setelah meredesain alat kerja terjadi penurunan kelelahan sebesar 25,91%, dan perbedaannya bermakna (p<0,05). Hal ini disebabkan karena sapu lidi desain yang baru ini dapat
96
memberikan kenyamanan dalam bekerja sehingga tidak ada sikap paksa atau tidak fisiologis disaat bekerja sehingga dapat mengurangi energi yang keluar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aplikasi ergonomi pada redesain sapu lidi bertangkai yang mengacu pada aspek antropometri dan penambahan spoon pada tangkai terbukti mengurangi kelelahan.