BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab empat ini peneliti akan menghubungkan subjek yang diteliti dengan teori yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Peneliti ingin memperlihatkan bagaimana gambaran emosi daan regulasi emosi suami yang memiliki istri penderita kanker rahim, sehingga dapat dipahami lebih jelas perbandingan subjek yang diteliti. Bab ini akan menjelaskan tentang analisis intra kasus dan analisis antar kasus.
1.1.
Gambaran Umum Subjek Penelitian
Nama J. kelamin Usia Anak ke Pekerjaan Pendidikan Suku Bangsa Agama
A Laki-laki 48 tahun Anak ke 3 dari 5 Karyawan swasta SMA Batak
C Laki-laki 64 tahun Anak ke 1 dari 9 Pelayar Akademi Pelayaran Batak
E Laki-laki 47 tahun Anak ke 1 dari 6 Wirausaha SMA Riau
Islam
Islam
Status Nama istri Penyakit yang diderita istri Usia istri saat menderita kanker Pekerjaan istri
Menikah B Kanker Mulut Rahim (Serviks)
Keristen Protestan Menikah D Kanker dinding rahim (endometrium)
Menikah F Kanker Indung Telur (Ovarium)
35 tahun
48 tahun
40 tahun
Karyawan perusahaan swasta 5 anak
Ibu rumah tangga
Pegawai swasta
5 anak
Tidak memiliki anak
Jumlah anak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
bank
Alamat
1.2.
Tangerang
Jakarta Timur
Jakarta
GAMBARAN &ANALISIS SUBJEK A
Nama
:A
J. Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 48 tahun
Anak ke
: 3 dari 5 bersaudara
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
Pendidikan
: SMA
Suku bangsa
: Batak
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Lama pernikahan
: 15 tahun
Nama Istri
:B
Jenis kanker yang diderita istri
: Kanker Serviks
Stadium
:4
Pekerjaan istri
: Karyawan Swasta
Jumlah anak
: 5 anak
Alamat
: Tangerang
1.2.1. Hasil observasi subjek A
Secara fisik A memiliki postur tubuh yang ideal. Memiliki perawakan tubuh yang tegap, dengan tinggi badan sekitar 175 cm dengan berat badan ideal karena A tidak terlihat gemuk dan tidak terlalu kurus. A memiliki bentuk muka bulat dengan kepala yang hampir botak. A memakai kacamata yang cukup tebal, dengan bingkai kacamata berwarna hitam. A memiliki kulit kuning langsat, bermata sipit dan kulit wajahnya terlihat bekas-bekas jerawat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Wawancara pertama dilakukan pada hari minggu tanggal 8 juli 2012 pada pukul 18.30 – 20.00 WIB, di rumah A. Pada saat itu rumah sedang sepi hanya ada A. Peneliti datang bersama ibu peneliti ke rumah A. Sebelum memulai wawancara peneliti menjelaskan kembali maksud dan tujuan peneliti, walaupun A sebelumnya sudah mengetahui. Peneliti juga memberikan informed consent untuk dibaca dan disetujui A. A menandatangani informed consent setelah membacanya. Wawancara dimulai dengan menjawab pertanyaan tentang kenangan A bersama B, tentang keluarga dan awal kisah saat B menderita kanker. Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 10 juli 2012 pada pukul 20.0021.30 WIB. Wawancara dilakukan di rumah peneliti karena A merasa tidak nyaman wawancara dilakukan di rumahnya, A beralasan rumahnya terlihat sempit dan berantakan. A datang memakai celana jeans biru tua, memakai kaos berkerah dengan warna merah belang hitam. A menjawab pertanyaan dengan lebih lugas dan A terlihat lebih nyaman dan lebih memahami pertanyaan yang peneliti ajukan. 1.2.2. Gambaran umum subjek A dan istrinya B
Subjek A adalah seorang suami berusia empat puluh delapan tahun (48 th), beragama Islam. A merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara. Berasal dari keluarga bersuku Batak. Pendidikan terakhir yang diperoleh A adalah SMA. A merupakan pekerja pada bidang jasa pengobatan. A menikah dengan B pada usia dua puluh tujuh tahun (27 th) sedangkan B berusia dua puluh tiga tahun (23 th). A dan B memiliki lima orang anak tiga laki-laki dan dua wanita. Anak pertama A meninggal saat dilahirkan karena premature sehingga terjadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
komplikasi pada kesehatan anaknya. B merupakan seorang wanita
yang
memiliki pekerjaan sebagai karyawan perusahaan swasta di daerah Jakarta Selatan. Anak-anak A dilahirkan dalam jarak yang berdekatan sekitar dua tahun per anak. B pernah beberapa kali mengalami keguguran dan tidak berapa lama setelah mengalami keguguran B kembali hamil. B terdeteksi menderita kanker serviks pada usia 35 tahun dan meninggal pada usia 38 tahun, B meninggal pada tahun 2007 setelah terdeteksi menderita kanker tahun 2005. B terkena kanker serviks Ketika itu A mendapati B merasakan sakit pada rahimnya. Siklus menstruasi B juga terlihat berantakan. Setelah diperiksa ternyata B menderita kanker rahim stadium empat. B menjalani operasi pengangkatan sebelah indung telur. Ternyata dengan indung telur satu B tetap bisa hamil. Anak terakhir A bersama B lahir bersama operasi pengangkatan keseluruhan rahim B. A selalu berusaha untuk mengurusi B sebagai istrinya dan ke empat anaknya dengan baik. Sebagai seorang laki-laki dirinya harus bertanggung jawab dengan keluarganya dan mendampingi B menghadapi penyakit yang dideritanya. 1.2.3.
Gambaran emosi subjek A
Subjek A mengenal B pertama kali pada saat A berkunjung ke kantor tempat B bekerja sebagai karyawan. A berkunjung ke kantor B saat itu karena salah seorang teman subjek A bekerja juga di tempat tersebut. Kebetulan teman A juga merupakan teman B. Saat itu A jadi semakin sering berhubungan dengan B dan mereka semakin akrab. Akhirnya A dan B berpacaran, A merasa sangat mencintai B. Sebenarnya hubungan mereka terkendala karena faktor keyakinan, meskipun mereka berdua merupakan sama-sama bersuku batak. Setelah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dibicarakan akhirnya bersama akhirnya B bersedia mengikuti keyakinan A untuk kemudian mereka menikah. “kita sama-sama orang batak, tapi ada sedikit masalah soalnya nantulangnya kan beda agama sama tulang jadi kita mesti ngikutin adat yang udah ada, Tapi semua bisa dibicarain. Tulang dan nantulangnya pada akhirnya nikah di Palembang..” A merasa sangat bahagia ketika dirinya bisa membawa B ke dalam suatu pernikahan, karena A sangat mencintai dan mendambakan B menjadi pendamping hidupnya. “Iya dong. Kan tulang sayang dan cinta banget sama nantulangnya, jelas kalo tulang bahagia banget bisa bawa nantulangnya nikah.” Setelah menikah ada beberapa pencapaian yang berhasil didapatkan A dan B, salah satu pencapaian yang didapatkan A bersama B adalah mendapatkan seorang anak laki-laki yang dapat meneruskan marga mereka. Pencapaian-pencapaian ini membuat A merasa sangat bahagia dan bangga. Yaitu saat B hamil tidak berapa lama setelah mereka menikah. Kebahagiaan tersebut tidak sempurna karena anak A yang lahir meninggal karena lahir pada usia kurang dari tujuh bulan. A sempat merasa sedih karena anaknya meninggal. beberapa waktu kemudian, B kembali hamil, untuk kali ini kehamilannya tanpa masalah dan A memiliki anak laki-laki. Sebagai seorang laki-laki berdarah batak, A dan keluarganya sangat bahagia serta bangga karena ada penerus marga dalam keluarga. “Pencapaian terbesar tulang itu yaa punya anak pertama laki-laki, kayanya lengkap keluarga tulang.” “Seluruh Keluarga besar sangat senang karena ada yang meneruskan marga, soalnya kan ada penerus marga ya, apalagi tulang kan anak lakilaki satu-satunya di keluarga...”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kehidupan A sangat lengkap ketika satu per satu anak lahir dalam hidup A dan istrinya. Tiga anak lahir tanpa kendala yang berarti satu laki-laki dan dua wanita. Saat ditanya bagaimana gambaran perasaan subjek A terhadap B, A menjawab bahwa B merupakan segala-galanya bagi A. B sangat sempurna bagi A. “nantulang itu segalanya dalam hidup tulang. Dia udah ngasih tulang anak-anak. Dia juga wanita karir. Tulang kagum sama dirinya yang kuat, tegar, ngga’ gampang nyerah. Dari awal ketemu karena sama-sama cinta dan sayang, ngga’ dijodoh-jodohin.” Setelah masa-masa indah dalam pernikahannya, ternyata terdapat sebuah cobaan yang harus dihadapi oleh A dan B. Berawal saat B merasa sakit pada perutnya dan siklus menstruasinya tidak normal. Hal ini terjadi sesaat setelah B melahirkan anak yang ketiga, setelah B melahirkan anak ketiganya tersebut perut B membuncit dan berisi air. “Menstruasinya acak-acakan, terus sakit. Mulainya ketahuannya waktu ngelahirin anak tulang yang ketiga. Ada cairan di kandungannya. Abis itu di operasi. Dokter ngeluarin cairannya, waktu itu cairannya sampe klo ngga salah sampe 9 kilo. Abis dioperasi sehat, tapi mungkin masih ada kuman-kumannya, ngga’ bersih, ehh, kumat lagi.” Masalah mulai ketika menstruasi B menjadi tidak normal, perut
juga
kembali menjadi membesar seperti hamil lima bulan. Hal tersebut dikarenakan terdapat cairan yang mengendap di rahim B. Melihat ada yang tidak beres dengan tubuh B, A dan B sepakat untuk pergi memeriksakan diri ke dokter. Perasaan A cemas saat mendampingi B menjalani tes demi tes untuk memastikan penyakit B. B menjalani proses USG transvaginal dan biopsy. Tes tersebut berguna untuk memastikan diagnosis dokter. Setelah pemeriksaan selesai didapatkan hasil bahwa B menderita kanker rahim stadium empat,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
awalnya dikatakan kanker kandungan tetapi setelah dua tahun tim dokter menyimpulkan B terkena kanker serviks. “Jenis kankernya itu kanker serviks, awalnya dibilang kanker kandungan, tapi ternyata kanker mulut rahim. Itu juga ketauan kena kanker mulut rahim pas udah dua tahun, karena sampel jaringannya di kirim keluar negeri.” “Langsung stadium 4 pas ketauannya.” Saat divonis dokter menderita kanker rahim stadium empat, B merasa sangat kaget. Terbayang oleh B kematian yang akan datang menjemput. Perasaannya kalut, marah, tidak terima, frustasi karena memang anak-anak A dan B yang masih kecil-kecil. “Yaa namanya orang divonis kena penyakit kanker itungannya udah tamat. Apalagi udah stadium 4, ibaratnya itu kan terminal kaya’ nunggu jemputan. Nunggu malaikat maut ngejemput. Perasaannya yaa jadi gak tentu, namanya juga divonis sakit keras yaa, belom mikirin anak yang masih kecil-kecil..” A sendiri juga sangat terpukul dengan kenyataan yang harus dihadapi di depan matanya. A takut kalau B meninggalkan dirinya dan anak-anak mereka untuk selamanya. A dan B percaya dengan vonis dokter sehingga mereka tidak lagi mencari second opinion ke dokter lain. A dan B merasa cukup dengan tim dokter yang menangani B saat itu. “Tulang ngga’ ke dokter lain, karena memang sudah jelas penyakit yang diderita nantulangnya.” Pada masa-masa awal setelah B divonis dokter menderita kanker rahim stadium empat B sempat merasakan ketidakadilan yang diberikan Tuhan kepada keluarga mereka. B bingung karena sebenarnya selain sebagai ibu dari tiga orang anak
dirinya juga wanita dengan karir yang cukup baik di kantornya.
Akibat dari hal ini, B menjadi lebih sensitif.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Ya, sempet sih nantulangnya punya pikiran begitu. Kan dia kerja, anaknya masih pada kecil-kecil jadinya ngerasa kaya’ Tuhan ngga’ adil.” “Iya, dia jadi lebih sensitive. Mudah marah, tapi tulang tau pasti dia tertekan sama kondisi dia sekarang.” Terkadang ada saatnya B menangis pada malam hari saat mereka sedang tidur. Saat A terbangun juga, A menanyakan kepada B kenapa B menangis, B menjawab kalau dia merasa kasihan dengan A. B merasa kasihan karena selain A harus mengurusi B dan anak-anak mereka, beban A sebagai kepala rumah tangga juga semakin bertambah, apalagi B sudah tidak lagi bisa berhubungan intim dengan semestinya. “Nangis sih. Tapi berusaha ngga’ ketahuan. Pas tidur misalnya, dia duduk sambil nangis. Pas tulang kenbangun dan nanya “kenapa mak ?”, nantulangnya bilang sama tulang “Ngga’, aku kasian sama abang..”. A sebenarnya sangat sedih melihat B seperti itu, ditengah sakitnya B masih memikirkan keadaan A sebagai suami yang bebannya makin bertambah. Terkadang A mengalami stres juga, dirinya merasa marah dengan keadaan. Kadang A juga merasa tidak berdaya dengan keadaan yang ada. Hal tersebut terjadi saat A melihat B kesakitan karena kanker rahim yang dideritanya. “Pas ngeliat nantulangnya kesakitan karena kankernya, tulang gak bisa ngapa-ngapain disitu tulang ngerasa gak berdaya” B kembali hamil tanpa diketahui sebelumnya karena menurut dokter saat setelah pengangkatan ovarium kanannya B tidak dapat hamil kembali. Perasaan cemas kembali muncul saat B menjalani operasi untuk ketiga kalinya. Operasi ketiga dilakukan untuk mengeluarkan anak ke empat yang kembali dikandung B. Operasi tersebut juga untuk mengangkat kembali rahim B secara keseluruhan. “Waktu nantulangnya ngejalanin operasi yang ketiga, sekalian pudan lahir sekaligus ngangkat rahimnya semua, itu tulang ngerasa takut dan cemas banget. Tulang takut nantulangnya meninggal.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
A baru mengetahui apabila kembali mengandung anak ke empatnya saat kandungan B sudah memasuki bulan ke empat. Hal ini dikarenakan, B memang sudah tidak mengalami menstruasi selama beberapa bulan karena proses pengobatan pendamping yaitu kemoterapi. A sangat terkejut dengan adanya janin yang hidup di ovarium sebelah kiri B. A sempat berada dalam situasi yang sulit karena dirinya sangat mencemaskan keadaan B dan bayi yang dikandungnya. Bayi didalam kandungan B sudah tidak mungkin dibuang karena proses pengguguran pada usia kandungan empat bulan itu beresiko tinggi. Akhirnya bayi tersebut tetap berkembang didalam rahim B. Pengobatan selama masa kehamilan juga tetap dilanjutkan hingga bayinya lahir di usia tujuh bulan dalam kandungan. Dampak dari semua pengobatan yang dijalani oleh B adalah badan menjadi kurus, perutnya membuncit seperti orang yang hamil lima bulan, rambut rontok, kulit gosong, bahkan sampai napas B pun berbau obat. B sempat depresi dengan kondisi fisik dirinya sekarang. “Yaa, abis kemoterapi biasanya muntah-muntah. Badannya lemes, kulitnya menghitam, berat badannya turun drastis, sampai napasnya aja bau obat. Yaa, coba bayangin, kemoterapi itu kan matiin sel, sel idup juga mati. Jadinya yaa ngerusak jaringan sel-sel yang normal.” Melihat kondisi fisik B sekarang A sebenarnya tidak tega. Apalagi saat B berkaca. A merasa tidak dapat mencegah hal tersebut terjadi. B harus melalui fase perubahan fisik akibat pengobatan. Perubahan-perubahan kondisi fisik tidak mengubah pandangan A terhadap B, walaupun berubah, A tetap merasa nyaman berada disamping B. “Mungkin banyak yang berubah dalam dirinya, secara fisik dia kehilangan rahimnya,badannya juga berubah tapi bagi tulang dia tetap istri tulang.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“kaya gimanapun dia, tulang tetep ngerasa nyaman disamping dia” A tidak pernah merasa malu dengan keadaan B, dengan bangga dirinya berjalan disamping B, menemani B, membantu B, juga memenuhi keinginankeinginan B yang dapat A penuhi. Hal ini karena cinta dan kesetiaan yang memang dipelajari serta dipahami A. Walaupun A dan B sudah tidak lagi berhubungan intim, A tetap ingin mendampingi B. Bagi A cinta tidak hanya soal hasrat seksual semata. Menurut A ada saja orang lain yang menyarankan A untuk menikah lagi, tetapi A tidak mau melakukan hal tersebut karena A sangat sayang dengan B. “Tentu aja. Bahkan sampe dia udah gak bisa ngelayanin tulang lagi. Tulang gak mau ngeduain dia. Ada aja orang yang nyuruh tulang nikah lagi, tapi jelas tulang gak mau.” Hingga pada akhirnya B meninggal dunia pada usia tiga puluh delapan tahun (38 tahun) A tetap setia mendampingi B. A tidak melihat saya B meninggal dunia karena B meninggal di kampung halamannya di Sumatra Utara sedangkan A berada di Jakarta. Perasaan B pada saat mendengar kabar bahwa istrina B meninggal dunia adalah sedih, marah karena tidak bisa melihat saat terakhir istrinya, B sempat merasa putus asa. “waktu nantulangnya meninggal, kan tulang ngga’ ada disampingnya. Beda tempat. Nantulang lagi pulang kampung, tulang di Jakarta. Perasaan tulang asti sedih banget yaa, marah sama keadaan karena tulang gak bisa liat terakhir nantulangnya, sempet putus asa juga sebentar.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
1.2.4. Gambaran regulasi emosi subjek A
a. Dimensi regulasi emosi A -
Negative-focused cognitive emotion regulation •
Self blame A tidak berpikir menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada diri B.
Memang sampai sekarang tidak ada yang tahu penyebab pasti seseorang menderita kanker. Menurut A tidak realistis berpikir menyalahkan dirinya sendiri, karena dalam situasi seperti saat itu harusnya kita bisa fokus dengan sesuatu yang lebih penting daripada menyalahkan diri sendiri. “Ngga’. Tulangkan bukan yang sakit. Ini juga bukan salahnya nantulangnya. Kalau ditanya sama dokter juga dokter gak tau penyebab pasti orang kena kanker. Paling dibilang karena gaya hidup dan pola makan. Jadi gak bener kalo kita meributkan siapa yang salah. “ •
Blaming others Walaupun A sempat merasa kaget dan marah terhadap apa yang terjadi
pada diri B, A tidak berpikir untuk menyalahkan Tuhan atau sesuatu lain yang terkait langsung dengan B, misalnya menyalahkan anak ke tiganya. A sangat menyadari bahwa apa yang terjadi dengan B adalah suatu yang memang harus terjadi tidak ada yang patut dipersalahkan atas hal tersebut, apalagi Tuhan. “Ngga’, kenapa mesti menyalahkan Tuhan. Kufur dong kita kalau kita menyalahkan Tuhan. Tulang juga gak nyalahin anak tulang yang lahir sebelum nantulangnya jadi sakit sampai perutnya buncit. Itu udah suratan takdir.” •
Rumination Terkadang saat A sedang merasa tertekan dengan situasi dan tanggung
jawab yang harus dirinya tanggung seperti mendampingi merawat B, mengurusi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
anak-anaknya yang masih kecil-kecil, apalagi saat itu kondisi B sedang tidak stabil, kondisi fisik dan mental A juga ikut menurun karena hal tersebut. Saat itu A merasa memiliki tanggung jawab yang besar yang harus dirinya emban sendiri. Keadaan seperti itu membuat A berpikir sepertinya akan lebih baik apabila B cepat-cepat di panggil Tuhan agar bebannya berkurang. “Pernah, pas nantulangnya bener-bener dalam kondisi drop. Sedangkan tulang mesti memegang tanggung jawab yang besar, ngurusin dia, ngurusin anak-anak. Kadang mikir enakan dia cepet-cepet meninggal kali yaa.” •
Catatrospizing Pengalaman yang didapatkan A dengan mendampingi dan merawat B
memang awalnya A pikir seperti mimpi buruk, hal ini dikarenakan tiba-tiba keadaan B serta keluarga yang dibangun A bersama B mengalami banyak perubahan. Tetapi semakin dirinya ikhlas menjalankan dan memahami akhirnya R menemukan hikmah yang tidak ternilai harganya. “Pernah, pertama-tama pas tau nantulangnya sakit kanker, tulang ngerasanya itu kaya’ mimpi buruk. Tapi makin kesini tulang ngerasa ikhlas ngejalaninnya karena ini udah jalan yang dikasih Tuhan. Jadi diambil hikmahnya tulang bisa ngerawat nantulangnya Tulang bersyukur bisa mendampingi dan ngerawat dia.”
-
Positive-focused cognitive emotion regulation
•
Acceptance Setelah semua yang dilewatinya dari saat awal-awal B sakit hingga waktu
demi waktu berlalu dan A mengalami naik-turunnya emosi dan pemikiranpemikiran negatif akhirnya A dapat menerima kenyataan. A menerima semua hal yang terjadi
walaupun memang berat karena sebagai seorang laki-laki dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
suami serta seorang ayah A harus berpikir lebih realistis untuk menjalani ketentuan yang memang harus ada. Menerima serta memasrahkan segala yang akan terjadi adalah solusi yang tepat. A pasrah tentang usia hidup B. A sangat mengetahui kalau kanker dengan stadium empat itu sangat sulit untuk disembuhkan. “Iya. Karena memang itu kanyataannya mau gimana lagi. Yaa, tulang harus menerima istri tulang sakit kaya gitu, itu kan udah ketentuan takdir ya, tulang harus jalani sama nantulangnya.” “Ya tulang mikir yaa pasrah aja sama ketentuan yang Tuhan kasih. kalo gak pasrah tulang gak bisa tenang nanti buat ngedampingin dan ngerawat nantulangnya. Efeknya pastikan gak bagus..”
•
Refocus on planning Selain berpikir untuk menerima dan pasrah
juga setelah itu lebih
memfokuskan kepada hal-hal positif yang mungkin bisa dirinya berikan kepada B. Selain itu juga A memikirkan langkah-langkah apa saja yang akan dirinya lakukan saat mendampingi dan merawat B. Selama dirinya masih bisa mengusahakan yang terbaik, A akan terus memikirkan jalan supaya B dapat memperoleh pengobatan dan penanganan yang terbaik. “Yaa waktu itu, tulang Cuma mikir tulang harus mendampingi dan merawat dia sebaik mungkin.” “Hal yang positif mengenai kemajuan dirinya sih ngga’ terlalu, soalnya tulang tau kan emang nantulangnya udah kondisinya parah. Tulang fokus sama hal positif lain buat ngasih kesenangan dan pelayanan yang baik aja, tapi pengobatan tetep tulang maunya ngasih yang terbaik.” •
Positif refocusing A tidak ingin lari dari kenyataan karena secara nyata hal inilah yang
terjadi dengan dirinya serta B. Bagi A dengan tidak memikirkan sesuatu yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
buruk yang mungkin terjadi itu justru akan berdampak buruk untuk A. Sehingga walaupun kemungkinan-kemungkinan buruk itu menyakitkan, A berusaha untuk mempersiapkannya
dan
mengantisipasi
dengan
pemikiran
lain
sebagai
penunjang kehidupannya selanjutnya. “Ngga’. Tulang selalu mempersiapkan kemungkinan yang paling buruk terhadap dirinya. Jadi tulang siap atas keadaan yang terjadi. Berduka pasti akan dialami, tapi tulang masih punya tanggung jawab lain. Hal ini harus bener-bener diantisipasi, makanya tulang mikir seandainya nantulangnya meninggal apa yang harus tulang lakukan ?!”
•
Positif reappraisal A menganggap kejadian yang dialaminya merupakan suatu hal yang
positif. A memahami sebuah makna yaitu dengan telah mendampingi B yang sedang sakit parah A dapat belajar lebih sabar. Mendampingi B membuat A lebih dapat mengendalikan emosi-emosi negatif yang akan merugikan bagi dirinya dan orang lain. “Tulang belajar dari ngedampingin nantulangnya. Belajar sabar, belajar ngendaliin emosi tulang. Perlu banget itu kan, kalo kita gak bisa ngendaliin emosi neken ego pasti banyak yang dirugiin.” •
Putting in to perspective A merasa apa yang di alaminya adalah sesuatu yang sangat serius.
Walaupun A membandingkannya dengan orang lain yang lebih tidak beruntung dari dirinya, A tetap merasa kalau apa yang terjadi pada dirinya dan B adalah sesuatu yang serius. “bagi tulang apa yang terjadi sama tulang dan nantulang itu yaa serius. Walaupun mungkin masih banyak yang nasibnya lebih buruk dari tulang, tapi tulang gak bisa ngebandingin sama pengalaman tulang. Tetep aja ini hal yang berat.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
b. Strategi regulasi emosi subjek A •
Pemilihan stuasi (situation selection) A tidak serta merta dapat menangani semua perasaan yang timbul pada
dirinya secara positif. Apalagi apabila dirinya juga sedang merasa jenuh, tertekan dan tidak berdaya. Perasaan ini timbul karena kondisi kesehatan dan emosi B juga naik-turun. A mengakui kalau mendampingi dan merawat istri yang sedang sakit itu tidak mudah. Ada saja sesuatu yang menurut B salah. Kalau sedang merasa jenuh, bosan, sedih dan marah A memilih untuk pergi keluar untuk menenangkan diri. A biasanya bertemu teman-temannya atau ke rumah saudaranya. “Pernah, sekali waktu buat ngilangin jenuh, karena kan yang tulang liatin dan urusin tiap hari dia, dengan kondisi nantulangnya yang naik-turun. Tulang butuh refreshing. Jadi kalau lagi penat, tulang pergi aja dari dia. Tapi udah gitu tulang balik lagi. Ngga’ lama.” •
Modifikasi situasi (situation modivication) A selalu membuat keadaan disekeliling B tidak terlalu berubah secara
drastis. A berusaha membuat keadaan normal. Apabila B dalam keadaan cukup baik A membiarkan B untuk beraktifitas seperti biasanya. “Iya. Tulang selalu berusaha buat kondisi sekeliling nantulangnya senormal mungkin. Ngga’ mau terlalu kasihanin dia, kaya’ dia normal aja. Waktunya bercanda ya bercanda. Ketawa kalau ada yang lucu, jalanjalan, yaa kaya’ biasanya.” A merasa kasihan sekaligus prihatin dengan kondisi B, Tetapi karena menurut A istrinya B yang merasakan terpuruk, A jadi membiarkan dulu perasaan B mengalir. Hal ini menurut A harus melakukan untuk membuat B kembali kuat. Terbukti memang tidak lama B berada dalam kondisi terpuruk. B berusaha kembali terlihat kuat dan melakukan aktifitas seperti biasanya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Tulang biarin aja dulu nantulangnya sedih kalo memang dia ngerasa sedih. Gak mau terlalu maksa dia buat jadi kuat. Terbukti sih dia jadi lebih bisa nanggulangin perasaannya sendiri.” Kalau saat B sedang tidak stabil, A berusaha untuk siap sedia di dekat B. A ingin keadaan semua aman dan atas kontrol dan tanggung jawab dirinya. B dapat terawat dan A bisa menekan perasaan cemas dan khawatir apabila keadaan menjadi menurun kondisinya adalah maksud dan tujuan A saat mendampingi B. Tidak jarang A memandikan B sendiri di rumahnya, menggantikan bajunya, menyisir rambut B. Apabila sedang sangat membutuhkan bantuan B akan menerima bantuan tersebut tanpa rasa enggan. Tapi tak jarang istrinya juga enggan di perlakukan seperti itu. “Terus tulang juga ngerawat dia, ngurusin dia, sisirin rambutnya, gantiin bajunya, malah tulang juga mandiin dia. Ngga tega ngebiarin dia ngelakuin apa aja sendiri. Jadi walaupun capek tetep aja tulang ada buat dia klo dia butuh.” “Kadang nantulangnya ngerasa ngga’ enak sama tulang, takut tulang capek. Terus juga kalo lagi dateng kerasa kepalanya dia gak mau dibantuin. Kadan tulang biarin, tapi nanti tulang kasih pemahaman kalo apa yang tulang lakuin karena emang tulang sayang banget sama dia” •
Pengoperasian atensi (Attensial Deployment)) A sangat berusaha untuk berkonsentrasi pada pengobatan B. Berusaha
untuk menyembuhkan B, paling tidak B bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Segala pengobatan diusahakan A untuk B. Pengobatan medis yang ilmiah sampai pengobatan alternatif yang diluar akal sehat. “ya, segala hal tulang lakuin. Dari yang masuk akal lewat kedokteran sampe hal-hal yang gak masuk akal. Alternatif, yang penyakitnya dipindahin ke telur ayam kampung, semua tulang lakuin buat kesembuhan nantulangnya.” Hal lain lagi A lakukan apabila B mulai sering membicarakan tentang kematian. Memikirkan kematian B sebenarnya membuat A merasa takut. A takut kehilangan B untuk selamanya. Saat B membahas tentang kematian A akan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mengalihkan fokus pembicaraan B kearah pembicaraan yang lain yang tidak ada hubungannya dengan kematian. Pengalihan fokusnya biasanya ke pembicaraan tentang kemajuan kesehatan atau tentang anak-anak A. Biasanya B mengerti dan mengikuti arah pembicaraan A. “Tulang pernah mengalihkan fokus pembicaraan tulang sama nantulangnya ke pembicaraan lain. Waktu itu kondisinya tulang lagi ngga’ siap ngmongin masalah kematian yang mungkin terjadi sama nantulangnya. Jadi tulang ngalihin ngmongan ke topik omongan yang lain yang gak ada hubungannya sama pembahasan itu. Fokus pembicaraan biasanya berubah ke pembicaraan tentang kemajuan kesehatan atau tentang anak-anak.” •
Perubahan Kognitif (Cognitive Change) Saat semua usaha sudah dilakukan untuk istrinya, A memahami bahwa
tidak ada usaha yang sempurna tanpa diiringi dengan do’a kepada Tuhan. Pada saat tersebut, A yang pada awalnya tidak terlalu sering berdoa, karena cobaan yang sedang dihadapinya A menjadi lebih dekat dengan Sang Maha Pencipta sehingga A bisa lebih tenang dan lebih ikhlas lagi. A menjadi terbiasa shalat, dzikir, membaca Qur’an, sambil berharap Tuhan dapat meringankan beban hidup yang diemban A bersama B. “Iya dong, Tulang banyak-banyak berdoa, dzikir, baca surat-surat kaya’ Al-Ikhlas, An-Nas, Al-fatihah, minta dikasih kekuatan buat Tulang dan nantulangnya.” “Tapi emang bener kalo masalah yang diberikan kepada kita itu nguatin kita. Supaya kita naik kelas. Jadi tulang yakin kalau Tuhan itu sayang sama nantulang dan tulang.” •
Modifikasi Respon (Response Modivication) Beberapa perasaan yang dirasakan A memang bisa ditekan dan diganti
dengan perasaan yang lebih baik, hal ini agar perilaku serta tindakan yang dilakukan dapat lebih baik dari pada perasaan-perasaan negatif itu dimunculkan. Tetapi ada saat dimana emosi itu tidak dapat dibendung dan meluap begitu saja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kadang dirinya tidak bisa menguasai perasaan marahnya. Hal ini membuat A membentak B dan bersuara keras. Kemarahan itu langsung ditanggulanginya dengan beristighfar, dan biasanya dia akan mendekati B dan meminta maaf dengan lembut. “Iya dong, gak mungkin orang gak pernah marah sama situasi yang ngenakin, pasti dia pernah marah.” “Kadang marah langsung tulang tujuin sama nantulangnya.” “tulang suara gede aja sama dia, itu klo tulang juga lagi ngerasa capek, dan kesel. Biasanya abis marah tulang langsung istighfar terus tulang deketin nantulangnya abis itu tulang minta maaf dengan lembut.” Kadang juga saat dirinya begitu merasa cemas, takut dan sedih. A tidak dapat menahan air matanya keluar dan menangis. A bisa tetap membiarkan air matanya keluar didepan B. Selain itu juga kalau kondisi tidak memungkinkan bagi A untuk memperlihatkan airmatanya ketika kepada B saat dirinya menangis karena takut B sedih juga, A akan buru-buru menyeka airmatanya lalu tersenyum. Saat ditanya oleh B, A akan berkata dirinya tidak apa-apa, baik-baik saja. “Ngga mungkin orang gak pernah nangis, namanya juga manusia. Biasanya tulang biarin nantulangnya liat kalo tulang itu lagi nangis, biasanya jadinya kita nangis sama-sama. Kadang juga tulang gak mau kalo nantulangnya liat tulang nangis, takut kondisi nantulangnya jadi makin rapuh.”
c. Faktor-faktor regulasi emosi subjek A Selama perjalanan hidupnya A merupakan pribadi yang dapat mengelola emosinya dengan baik. Walau emosi-emosi negatif tetap selalu ada, hal ini tidak membuat emosi-emosi tersebut keluar begitu saja. Apalagi A berasal dari keluarga yang sangat disiplin dan mendidik A menjadi pribadi yang selalu bertanggung jawab dengan apa yang dirinya lakukan. Sebagai seorang berdarah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
batak, orangtua A menekankan bahwa laki-laki harus kuat dan bertanggung jawab atas apapun yang terjadi. “Selama ini sih tulang ngerasa bisa mengendalikan perasaan-perasaan itu dengan baik ya, soalnya kan tulang laki-laki, tulang mesti terlihat lebih kuat.” A memiliki teman yang banyak, mereka biasa memberikan dukungan. A secara garis besar suka menceritakan pengalaman-pengalaman dirinya, termasuk saat istrinya sakit. Teman-teman A kerap kali membantu dan bisa diandalkan apabila A membutuhkan bantuan. “Temen Tulang banyak” “kadang tulang kalo butuh teman cerita, tulang cerita tapi sama temen yang emang tulang percaya aja. Mereka itu bisa diandalkan dan selalu terbuka untuk membantu.” Hubungan kekeluargaan A terjalin dengan baik. Mereka menjadi tim yang solid saat A membutuhkan banyak bantuan dari bantuan moril sampai bantuan material. Mengobati B membutuhkan biaya yang cukup besar. Terbayang apabila A tidak mendapat bantuan dari saudara-saudara bagaimana dirinya dapat memperoleh biaya pengobatan B. Lebih
penting
dari
materi,
saudara-saudaranya
juga
sangat
memperhatikan A dan B. Sebagai saudara laki-laki satu-satunya A memang menjadi pribadi yang lebih diperhatikan. Apapun yang dapat membantu akan dengan senang hati saudara-saudara A berikan. A merasa kuat atau tidaknya kita menjalani suatu cobaan itu sangat penting orang-orang disekitar A. Hal ini agar diri A tidak merasa sendiri. “Iya, sangat baik dan solid. Mereka banyak membantu moril, materil semuanya. Semuanya kuncinya di keluarga. Kalau keluarga kita saling
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mendukung pasti masalah sebesar apapun pasti bisa dilewatin. Banyak orang bunuh diri ngadepin masalah karena dia ngerasa sendiri.” Segala tindakan yang dilakukan harus dipikirkan. Menurut A apa yang yang akan kita lakukan akan memiliki dampak. Dampak tersebut dapat dirasakan diri sendiri dan orang yang terkait dengan perilaku tersebut. Sehingga A harus dapat mengendalikan perilakunya, untuk menjaga perasaan B dan keluarganya selain itu juga untuk menjaga dirinya sendiri dari dampak yang negatif. “Iya, soalnya apa yang tulang lakuin itu pada akhirnya berdampak buat semua, termasuk diri tulang sendiri.” “Pasti, apalagi menjaga perasaan nantulangnya. Bagi tulang perasaan nantulangnya sangat penting buat tulang jaga. Tapi hal ini juga berguna untuk tulang terus juga buat keluarga besar kan, karena semuanya itu satu kesatuan kaya’ tim.”
1.2.5. Analisis kasus dan teori subjek A dan B
A menikah dengan B atas dasar rasa cinta yang mereka berdua miliki. A dan B memiliki lima orang anak, yang terdiri atas tiga orang anak laki-laki dan orang anak perempuan. Anak laki-laki pertama A dan B meninggal saat dilahirkan karena prematur dan mengalami komplikasi. Selain itu, B juga pernah dua kali mengalami keguguran. Pertama kali terdiagnosis terkena kanker rahim stadium empat B merasa sangat terkejut dan tidak percaya, B juga merasa marah, depresi dengan perubahan-perubahan yang terjadi sebelum akhirnya menerima kenyataan. B marah dan merasa tidak percaya karena tiba-tiba terdiagnosis terkena kanker rahim stadium empat, selain itu juga anak ke tiga B masih bayi sedangkan anak pertama dan kedua juga masih kecil. Pengobatan yang yang dilakukan yaitu kemoterapi dan operasi sebanyak tiga kali membuat kondisi fisik B berubah, hal
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tersebut berpengaruh pada kondisi psikologis B. B menjadi mudah marah, murung dan sensitif. Perasaan serupa B juga dirasakan oleh A. A sempat tidak percaya dengan kenyataan apabila ternyata istri yang dicintainya menderita kanker rahim stadium empat. Segala bayangan tentang kematian B berkecamuk dipikiran A. A merasa takut, sedih dan cemas saat kondisi kesehatan istrinya menurun. Perasaan tersebut juga semakin menjadi setiap B menjalani operasi. Perubahanperubahan fisik B tidak membuat A merasa jijik terhadap B, A justru merasa kasihan atas kondisi istrinya. A tidak pernah berniat untuk meninggalkan B meskipun dirinya sudah tidak lagi mendapatkan pemenuhan kebutuhan seksual dari B. Hal ini karena A sangat mencintai B yang telah memberinya lima orang anak, bahkan anak terakhir A dan B dilahirkan bersamaan dengan diangkatnya seluruh rahim B. Setelah itu A secara rutin mendampingi, merawat, serta mencari pengobatan untuk istrinya. Selama mendampingi dan merawat B, A berusaha untuk menekan pemikiran negatif dan memunculkan pemikiran positif. A tidak melakukan self blame dengan tidak menyalahakan diri sendiri dan tidak melakukan blaming others dengan tidak menyalahkan istrinya sendiri, anaknya atau Tuhan atas penyakit yang diderita B. Bagi A kanker yang diderita B adalah sebuah takdir yang harus dihadapi.Terkadang memang pemikiran A diliputi dengan pemikiran negatif dan perasaan negatif, A mengalami dimensi Rumination, hal tersebut terjadi apabila dirinya sedang menghadapi kondisi kesehatan istrinya yang menurun dibarengi dengan kondisi psikologisnya yang juga menurun, pada saat seperti ini terlintas pikiran kalau akan lebih baik apabila B cepat-cepat meninggal. Bagi A apa yang dialaminya bersama B adalah hal yang cukup buruk, walaupun
http://digilib.mercubuana.ac.id/
A sadar kalau ada yang kondisinya lebih buruk dari dirinya, pada saat hal ini terjadi A mengalami dimensi catatrospizing. Positif reappasial adalah pemikiran positif yang A dapatkan dengan mengambil hikmah kalau dirinya dapat menjadi lebih sabar dan ikhlas dalam merawat sang istri, A juga jadi lebih menghargai waktu kebersamaan A dan B juga anak-anak mereka. A juga memiliki positif yaitu refocus on planning walaupun kemungkinan sembuhnya B itu kecil, A tetap memikirkan bagaimana cara meringankan sakit kanker B. A tidak berpikir dengan dimensi positif refocusing karena A tidak ingin lari dari kenyataan, justru A mempersiapkan apabila ada sesuatu yang buruk terjadi. Dari seluruh kejadian yang A dan B alami, A menerima dengan lapang dada apa yang dirinya dan istrinya alami, dan pada saat hal tersebut terjadi A mengalami Acceptance. Saat pemikiran negatif menguasai dirinya sehingga A merasa tertekan, A akan melakukan hal seperti pergi beberapa saat keluar rumah. Biasanya A akan bertemu teman-temannya, atau bertemu dengan saudara-saudaranya, saat melakukan hal tersebut A melakukan Situation selection. Hubungan interpersonal yang baik dan keterbukaan A serta dukungan keluarga membuatnya mampu untuk tidak lama-lama terjebak dengan pemikiran negatifnya.setelah beberapa waktu, A akan kembali lagi ke rumahnya mendampingi dan merawat kembali istrinya. Terkadang A melakukan response modification ketika A tidak dapat menahan emosi yang muncul dari dirinya, menangis dan marah pernah diperlihatkan kepada istrinya, B. Apabila A marah dirinya akan meminta maaf atas perlakuannya. Apabila A menangis, terkadang A langsung menghapus airimatanya bila ketahuan sang istri, tetapi terkadang juga A membiarkan airmatanya jatuh dan Dm melihatnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
A selalu berusaha untuk terus berada disamping B. Mengurusi dan memperhatikan segala kebutuhan B. A juga memastikan kalau istrinya dalam keadaan baik-baik saja. Hal tersebut dilakukan A untuk B dan untuk dirinya sendiri, karena sebenarnya A memiliki ketakutan dan kekhawatiran yang cukup tinggi atas kondisi istrinya, pasa saat seperti ini A melakukan situation modification. Selain itu juga A berkonstrasi memberikan pengobatan yang terbaik untuk B. Dirinya membawa B ke pengobatan dokter yang terbaik dan pengobatan alternatif yang menurutnya dapat meringankan sakit B, pada saat seperti ini A melakukan salah satu attensial deployment yaitu konsenstrasi. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari A, terlihat bahwa A mampu meregulasi emosinya terhadap kondisi B dengan baik. Hal ini menurut A tidak terlepas dari dukungan yang diberikan keluarga dan pola asuh yang diberikan keluarganya. Faktor budaya juga mempengaruhi, karena A berasal dari keluarga berdarah Batak yang patrilineal sehingga laki-laki harus kuat menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada dirinya. Usia A juga mempengaruhi kematangan dirinya dalam bersikap, di usia dewasa A cukup memiliki pengalaman dan pemahaman untuk dapat menempatkan emosi sesuai dengan situasi yang di hadapinya. 1.3. Gambaran dan analisis subjek C
Nama
:C
J. Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 64 tahun
Anak ke
: 1 dari 9 bersaudara
Pekerjaan
: ABK kapal
Pendidikan
: Akademi Pelayaran
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Suku bangsa
: Batak
Agama
: Kristen Protestan
Status
: Menikah
Lama pernikahan
: 28 tahun
Nama Istri
:D
Jenis kanker yang diderita istri : Kanker Serviks Stadium
:4
Pekerjaan istri
: Ibu rumah tangga
Jumlah anak
: 5 anak
Alamat
: Jakarta Timur
1.3.1. Hasil observasi subjek C
Secara fisik C memiliki kulit putih, sudah terdapat kerut-kerut karena penuaan di kulitnya. Memakai kacamata berbingakai kotak berwarna tembaga, bermata kecil, dengan alis mata tebal, dihiasi beberapa helai uban. Wajah C berbentuk bulat dengan tulang pipi yang tegas. Rambut berwarna kelabu, dan sudah beruban dibeberapa bagian. Tinggi S sekitar 170 cm dengan berat badan yang ideal. Wawancara pertama dilakukan via telpon pada tanggal 4 juli 2012 jam 11.15 sampai 11.30. Peneliti meminta kesediaan subjek C untuk membantu peneliti memberikan informasi terkait dengan informasi yang peneliti butuhkan. Setelah dirinya juga memahami maksud dan tujuan peneliti, kita sepakat waktu wawancara dilakukan pada tanggal 11 juli 2012, selesai Pemilukada DKI. Wawancara kedua dilakukan tanggal 11 juli 2012, pada pukul 14.15 sampai pukul 16.45 di sebuah rumah kawasan Jakarta Timur, tempat saudara ipar C. Tempat ini dipilih agar peneliti tidak terlalu sulit menjangkau tempat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tinggal C. Saat datang C menggunakan kaos berkerah warna hijau berkantung kecil, yang diselipkan pulpen didalam kantungnya. Menggunakan celana panjang berwarna hijau tua, dan memakai sandal. Peneliti memberikan informed consent untuk ditandatangani. Setelah menandatangani informed consent wawancara dimulai. C menjawab pertanyaan dengan santai, banyak tertawa sambil kepalanya agak diangkat keatas, dimiringkan ke kanan, seperti menggali memori, berusaha mengingat-ingat. 1.3.2. Gambaran umum subjek C dan istrinya D
C adalah seorang laki-laki berusia enam puluh empat tahun (64 th), beragama Kristen Protestan, bersuku bangsa Batak, C lahir salah satu daerah di Sumatra Utara. C ke Jakarta saat dirinya remaja. Pendidikan terakhir C adalah SMA. C merupakan seorang ABK kapal pesiar. C biasa berlayar dalam waktu yang cukup lama pada satu periode pelayaran. Dirinya biasa menghabiskan 6 bulan sampai satu tahun kontrak kerja pada satu kapal pesiar. C dan D sebelum menikah adalah saudara, mereka menikah antar saudara, di adat Batak hubungan mereka itu disebut Pariban. Menurut adat hubungan seperti ini bisa untuk dinikahkan. Menikah dengan saudara, bukan berarti C tidak mencintai D. C sangat menyayangi dan mencintai D, karena mereka kerap kali berhubungan dan bertemu. Terdapat perasaan nyaman dan kekaguman yang membuat C meminta D kepada keluarganya untuk menjadi istrinya. C dan D memiliki lima orang anak. Empat orang anak perempuan dan satu anak laki-laki, tetapi anak laki-lakinya meninggal saat masih kecil karena suatu penyakit.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
D adalah seorang ibu rumah tangga, sebagai seorang perempuan batak, dirinya masih memegang prinsip-prinsip batak. D sangat terpukul saat anaknya meninggal. Terlebih lagi saat kemudian dirinya terkena kanker rahim. D terbayang kembali kalau dirinya tidak dapat kembali memberikan anak laki-laki yang menjadi penerus serta kebanggaan keluarga. C tidak mempermasalahkan apabila dirinya tidak memiliki anak laki-laki karena bagi C anak laki-laki ataupun perempuan sama saja. Keluarga besar C pun tidak mempermasalahkan, tetapi hal ini tetap menjadi beban bagi D. Sebelum terkena kanker rahim berjenis Carsinoma Endometrium (kanker dinding rahim), D sebelumnya sudah menderita kanker payudara. Sudah dioperasi dengan pengangkatan payudara kanan dan dinyatakan sembuh. Pada tahun kedua D sembuh tersebut, D kembali merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Kali ini D merasa tidak ada yang tidak beres terjadi pada rahimnya. Setelah pemeriksaan diketaui bahwa D kembali terkena kanker dan kali ini menyerang rahimnya. Ditengah kesibukannya sebagai ABK kapal pesiar, C selalu menyempatkan diri untuk memantau kesehatan istrinya. C sempat mengambil cuti hingga tujuh bulan untuk menemani berobat dan menjaga C. Tanggung jawab serta rasa sayang kepada istrinya yang membuat C memutuskan untuk melakukan hal tersebut. 1.3.3. Gambaran emosi subjek C
Subjek C menikah pada tahun 1980. Mereka menikah disuatu daerah di Sumatra Utara. C dan D sudah sering bertemu dan terlibat dalam kegiatankegiatan baik dalam acara adat keluarga atau perkumpulan muda-mudi satu kampung. C dan D menikah antar saudara, orang-orang dari suku Batak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menyebut hubungan yang seperti itu dengan sebutan Marpariban. C tidak kesulitan meminta D kepada keluarga besar D karena status C sebagai pariban D tersebut, bahkan hal ini memang disarankan walaupun memang tidak dengan perjodohan. “Hahaha (subjek tertawa) ehh, gini tua itu sama inang tuanya itu bersaudara. Istilah bataknya itu Marpariban. Karena kita bersaudara waktu itu kami mau nikah tua udah bisa langsung bilang ke orangtua inangtuanya kalo tua mau menikahi inang tuanya. Mereka (orangtua istrinya subjek) setujulah. Mereka merasa lebih mudah menikahi anak mereka dengan paribannya. Jadinya kita menikah.” Walaupun menikah bersaudara, C tetap merasa sangat senang dan bahagia. Hal ini karena mereka tidak di jodohkan. Perasaan istimewa hadir karena kedekatan dan hubungan yang terbentuk dari interaksi mereka selama bersama. C merasa D adalah perempuan yang tangguh dan mandiri, walaupun memang banyak perempuan batak seperti itu, bagi C istrinya berbeda sehingga membuat D merasa nyaman dan tertarik. “Iyalah tentu. Walaupun kita bersaudara rasa tertarik itu pasti ada dulu inang. Baru kita bisa menikah. Karena kita orang kampung ngga’ ngerti istilah pacaran. Waktu seluruh keluarga setuju dan kita menikah yaa tua bahagia dan senang tentunya.” Setelah senang dan bahagia menikah, C dan D membangun rumah tangga mereka dengan sewajarnya hubungan antara suami dan istri. Anak pertama lahir berjenis kelamin perempuan. Tiga tahun kemudian D melahirkan kembali anak perempuan. Mereka mensyukuri pemberian Tuhan tersebut. Sebagai seorang berdarah batak, terlebih D, memiki seorang anak laki-laki seperti suatu keharusan. Betapa perasaan lega, bangga serta bahagia meliputi keluarga mereka saat D hamil kembali anak ketiga dan melahirkan seorang bayi laki-laki.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Kami orang batak, masih kental beradat. Tau kan kalo orang batak yang sudah menikah dan punya anak itu inginnya ada anak lelaki. Anak pertama itu perempuan. Anak kedua perempuan. Hamil lagi anak ketiga, lahir laki-laki, nah disini tua dan inang tuanya merasa lengkap udah. Bisa punya anak laki-laki.” Perasaan keluarga saat anak laki-laki tersebut lahir sunguh sangat bahagia. Mereka bersuka cita, karena hal yang selama ini diharap-harapkan datang
ketengah
keluarga
mereka.
Walaupun
C
sebenarnya
tidak
mempermasalahkan, tapi C tetap senang dan bahagia terlebih istri dan seluruh keluarga besar sangat bahagia. “Sukacita sekali mereka. Akhirnya punya anak laki-laki. Inang tuanya juga bangga sekali. Karena kan inang tuanya masih megang nilai batak itu kental sekali. Padahal bagi tua anak itu mau perempauan mau laki-laki sama aja. Bagi inangtuanya ngga’ gitu.” Rumah tangga mereka berjalan dengan baik. Banyak kenangan yang dialami saat anak-anak mereka beranjak besar. Pengalaman yang sekiranya paling berkesan adalah saat mereka sekeluarga pergi liburan bertujuh bersama anak terakhir mereka. Itulah liburan terakhir sebelum anak laki-laki C meninggal dunia karena sakit. “Pernah kita pergi sekeluarga lengkap yaa, jalan-jalan ke Puncak. Itu sebelum anak tua yang cowok meninggal.liburan kita sama-sama. Itulah yang paling menyenangkan dan jadi kenang-kenangan buat tua.” Perasaan sedih serta kehilangan dirasakan C terlebih dengan D saat anak laki-laki satu-satunya meninggal dunia pada usia 9 tahun karena sakit. D yang paling ngerasa kehilangan, tapi C menyadari kehidupan harus terus bejalan apalagi C serta D masih memiliki empat orang anak lainnya. Kenangan tentang kehilangan anak kembali terasa saat D terkena kanker rahim, walaupun sebenarnya tidak mungkin lagi memiliki anak kembali ketika rahimnya disarankan untuk diangkat, perasaan hampa, sedih, dan tidak menerima kenyataan yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
ada berkecamuk di diri D. Sebagi seorang suami C berusaha memberi ketenangan dengan memberi keyakinan untuk D bahwa tidak mengapa apabila tidak ada anak laki-laki, walaupun rahim D diangkat C akan menerima yang penting D sehat. “Inang tuanya waktu disuruh dokter buat mengangkat rahimnya langsung kepikiran tentang anak laki-lakinya yang meninggal. gak mungkin lagi punya anak laki-laki, itu buat inangnya sedih dan gak terima.” Kembali pada awal mula D terkena kanker. D terkena kanker dua kali. Saat kali pertama terkena kanker, D menderita kanker payudara stadium tiga (3). Saat itu C sedang berlayar ke negara Jepang. C mengetahui pertama kali kalau D menderita kanker payudara saat D menelepon C untuk meminta kesediaan serta persetujuan C agar dirinya dapat melakukan operasi. Saat itu, C sangat cemas, sedih, takut dan marah. Hal ini dirasakan C karena dirinya sedang berada di Jepang tidak bisa berbuat banyak. C menyetujui operasi yang akan dilakukan D. “Tua sih gak tau persisnya soalnya tua lagi ada di Jepang inang, tua kan jadi anak buah kapal. Tua taunya pas inang tuanya minta persejutuan operasi. Kan klo mau operasi di rumah sakit itu mesti minta persetujuan keluarga yaa disini tua sebagai suami. Waktu itu baru tua tau klo inang tuanya kena kanker payudara. Dia bilang ada benjolan di tetenya sebelah kanan, rasanya keras dan nyeri.” C tidak Sempat mendampingi D saat sedang sakit dan harus operasi pengangkatan payudara sebelah kanannya. C sempat merasa marah karena istrinya kabur saat ingin menunggu giliran operasi di sebuah rumah sakit pemerintah. D tidak merasa yakin untuk melakukan operasi. Menurut C makin cepat dilakukan tidakan, akan makin cepat penanganan dan kemungkinan sembuh itu jadi semakin besar. Hal ini tidak sama dengan pandangan D, karena menurut D dirinya belum siap untuk operasi dan memilih untuk pergi berobat ke alternatif.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Tua sempet marah waktu itu soalnya inang tuanya kabur pas nunggu giliran mau dioperasi. Maksud tua biar cepet tidakannya. Ehh, inang tuanya malah milih kabur terus cari pengobatan alternatif. Kalo dikerjain tuntas gak apa-apa, tapi alternatif juga dia pas udah ngejalanin jadi gak percaya lagi.” D sempat mencari dan mencoba beberapa pengobatan alternatif tetapi hal ini selalu gagal karena D tiba-tiba merasa tidak percaya dengan pengobatan tersebut. Lelah dengan usahanya yang selalu gagal mencari pengobatan alternatif, akhirnya D kembali ke rumah sakit untuk dioperasi. Mendengar kabar bahwa D sudah mau dioperasi dan dikemoterapi C merasa sangat lega. Saat itu kebetulan kontrak kerja C habis sehingga C dapat mendampingi D untuk operasi. “Tua ngerasa lega pas inang tuanya mutusin kembali ngikutin pengobatan dokter dan setuju operasi dan kemoterapi, walaupun waktu kembali ke rumah sakit sempet diketawain tim dokternya.”
Saat mendampingi D operasi sebenarnya C merasa takut tapi dokter meyakinkan kalau operasi ini dapat berhasil dengan baik. Kemungkinan D untuk sembuh juga besar. Sehingga C memiliki harapan yang besar untuk pulihnya kondisi istrinya walaupun payudara kanan istrinya harus diangkat. “Sempet takut inang, tapi kemungkinan inang tuanya untuk sembuh menurut dokter itu besar. Jadi tua itu punya harapan inang tuanya bisa sembuh kaya biasanya, yaa walaupun tetenya mesti diangkat ya.” D adalah seorang wanita yang kuat dan mandiri. Dirinya tidak senang dikasihani. Hal ini dapat membantu D untuk tetap berdiri tegar dan menghadapi semua masalah. Menurut D, memang Tuhan menginginkan dirinya untuk sakit dan menghadapi masalah ini, jadi yaa D harus kuat menghadapi. D sempat bingung karena rambutnya rontok dan jadi botak karena efek kemoterapi. Dirinya malu keluar rumah. D sempat memakai kerudung, tapi malah di pandang aneh saat ke Gereja. C kasihan melihat istrinya, C menyarankan D untuk memakai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
rambut palsu saja. Setelah kemoterapi selesai, rambut D tumbuh kembali dan lebih tebal. “Inang tuanya waktu pertama kena kanker payudara malah ngga’ ngerasa terlalu hancur yaa. Dia malah bingung waktu selesai kemoterapi soalnya rambutnya rontok jadi botak. Tua kasian sama dia. Sempet juga inang tuanya pake kerudung kaya’ inang itu (sambil menunjuk ke peneliti), tapi kan ke gereja, malah aneh orang gereja liatnya. Akhirnya diganti sama wig.” D dinyatakan sembuh oleh dokter. Menurut dokter, D harus mengontrol kesehatanya sebulan sekali. Nanti setelah satu atau dua tahun kontrol bisa dilakukan setengah tahun sekali sampai tahun ke lima. D kembali melakukan kegiatan seperti biasa, dan C kembali berlayar mengumpulkan uang. Ternyata dokter pernah berpesan kalau D tidak boleh bekerja keras. Tanpa sepengetahuan C, D malah bekerja keras, dirinya berjualan es disekolah. Esnya dibawa sendiri berjalan kaki sampai bertemu angkot. Es yang dibawanya juga banyak sekitar 300 bungkus. Kurun waktu tidak sampai dua tahun D kembali sakit. “Inang tuanya gak bisa diem. Dokter bilang gak boleh capek-capek. Inang tuanya tetep kerja jualan es di sekolah. Bawa-bawa es 300 bungkus jalan kaki. Belum sampai dua tahun, inang tuanya sakit lagi. Kankernya kambuh lagi, malah sekarang nyerang rahimnya.” Mendengar istrinya kembali terkena kanker, C sebenarnya lebih pasrah. C saat itu sedang berlayar dan berada di Australia. Kebetulan tidak berapa lama dari D memberitahukan apabila dirinya kembali menderita kanker, kali ini kanker rahim, kontrak kerja C di Australia selesai dan C kembali ke Jakarta. Saat C mendampingi istrinya justru dirinya melihat kalau D menjadi lebih sensitif, lebih mudah marah dan lebih terpuruk. D juga merasa Tuhan tidak adil
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dengan dirinya. Pertanyaan kenapa Tuhan memberikan kembali penyakit kanker ini ke tubuhnya selalu membayangi. “Dia lebih sensitif, mudah tersinggung jadi lebih galak. Kadang dia tidak mau dibantu. Marah dia kalo dibantu itu.” “Sempet inang, apalagi waktu udah sembuh dan gak taunya dia kena kanker lagi. Malah rahimnya kan kena. Dia sempet ngerasa Tuhan gak adil. Sempet anak-anak suruh dia konseling tentang penyembuhan Tuhan di Gereja. Dia bilang klo Tuhan emang gak mau dia sakit, dia gak bakal di kasih sakit sama Tuhan. Nyatanya Tuhan biarkan inangnya sakit berarti Tuhan memang maunya begitu. Buat apa minta kesembuhan.” C juga sempat juga merasa Tuhan itu tidak adil. C Marah pada keadaan, dia merasa Tuhan juga tidak adil kepada D. Hal ini di sebabkan karena D terpuruk. Walaupun begitu C tetap pergi ke gereja. “Iya lah. Gak ada orang yang merasa ngga’ marah kalo dikasih musibah. Menghadapi kondisi yang gak sama kaya’ dulu. Apalagi waktu tua juga terbatas, jadinya lebih ngerasa terlalu banyak beban”
Menghadapi sakit yang kanker yang lebih ganas, makin membuat D bersikap keras. Dirinya tidak ingin dibantu. Dia tetap mengerjakan semua pekerjaan dengan sendiri. Tetap masak, menyapu, melakukan semua pekerjaan rumah yang biasanya dilakukan. C sebenarnya cemas akan hal ini, tetapi C sadar D memang ingin menunjukan bahwa dirinya itu tegar, karena itu C membiarkan saja istrinya melakukan hal tersebut. “Iyaa, dia selalu ingin telihat tegar. Gak pengen dia diam dirumah. Ada aja yang dirinya kerjakan. Tetap dia ngerjain kerjaan rumah. Masak, nyapu, bahkan jualan di sekolah. Kalau ditegur dan diingatkan inangnya pasti bilang jangan perlakukan dia seperti orang sakit.” Seiring berjalannya waktu kondisi kesehatan D semakin menurun. Dokter menyarankan kepada D untuk melakukan operasi pengangkatan rahim. Hal ini dilakukan agar sel kankernya tidak semakin menyebar. Operasi akhirnya dilakukan, seluruh rahim D langsung diangkat. D juga melakukan radiasi pada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
rahimnya. Saat operasi itu, C lebih merasa cemas, takut, khawatir, merasa tidak lagi memiliki kekuatan apa-apa selain pasrah. “Stadiumnya sudah tinggi inang, beda kaya’ operasi dulu, yang sekarang dokter pun tidak menjanjikan banyak hal. Mereka hanya melakukan hal yang terbaik. Sisanya serahkan sama Tuhan.” D akhirnya meninggal dunia pada usia lima puluh lima tahun (55 th) pada tahun 2007. Pada saat istrinya meninggal C merasa sedih dan kehilangan tetapi hal ini tidak langsung dirasakan C. Perasaan sedih dan sangat kehilangan justru terjadi setelah sebulan sang istri D meninggal. “waktu inang tuanya meninggal tua sedih dan kehilangan dia. Tapi masih biasa aja waktu itu. Perasaan sedih dan kehilangan itu makin berasa justru setelah sebulan inang tuanya meninggal.” 1.3.4. Gambaran regulasi emosi subjek C
a.
Dimensi regulasi emosi
-
Negative-focused cognitive emotion regulation •
Self blame C pernah berpikir menyalahkan diri sendiri. C berpikir kalau seandainya
dia punya banyak waktu disamping istrinya mungkin istrinya tidak akan kembali menderita kanker rahim. Hal ini karena disaat D pertama kali terkena kaner payudara hingga akhirnya juga terkena kanker rahim C tidak memiliki waktu maksimal untuk mendampingi, mengontrol dan merawat istrinya. “Pernah, mungkin klo tua bisa lebih mengontrol dan lebih punya banyak waktu buatinang tuanya kondisi seperti ini ngga’ terjadi.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
•
Blaming others C juga pernah memiliki pemikiran menyalahkan Tuhan atas apa yang
terjadi dengan dirinya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, C merasa beban yang diberikan Tuhan kepada istrinya sangat berat. Hingga dua kali istrinya harus menderita kanker. Terlebih lagi selain payudaranya sudah dioperasi D juga harus merelakan kandungannya juga diangkat demi kesembuhan dirinya. Iyaa, tua sempet nyalahin Tuhan sebentar. Mungkin tertular inang tuanya ya, tapi pada saat itu tua memang merasa apa yang terjadi sama inang tuanya itu berat sekali inang. Memang kalo dipikir-pikir mungkin memang Tuhan menghendaki kondisi seperti ini.” •
Rumination Subjek C pernah dimikirkan hal-hal yang negatif terkait dengan D. Tapi
pekerjaan, istri, anak, keluarga membuat dirinya tidak sampai pada titk frustasi. C menyadari kalau dirinya sampai hancur bagaimana nasib istrinya dan anakanaknya. C juga menyadari kalau dirinya itu kepala rumah tangga. C merasa dirinya harus bisa kuat agar bisa menguatkan orang lain. “kalo mikir yang negatif-negatif itu yaa pasti. Cuma karena kewajiban tua banyak, tua belajar buat ngendaliin pemikiran dan perasaan negatif kaya’ marah, putus asa, capek, kesel. Jadi tua yang gak sampe frustasi •
Catatrospizing C memang berpikir kalau apa yang terjadi pada dirinya dan D merupakan
pengalaman yang buruk. Terutama C menyadari hal ini pasti dirasakan juga dengan D. Walaupun tidak ada kata-kata tersebut keluar secara langsung. Bagaimanapun kehilangan payudara dan rahim dalam waktu yang tidak terlalu lama pasti membawa pengalaman yang menyakitkan. Untuk C meskipun dirinya tidak lagi memikirkan masalah seksual, hal ini merupakan pukulan telak karena dirinya merasa tidak dapat menjaga istrinya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“kalo ngomongin masalah pengalaman buruk iya inang, bagi tua apa yang terjadi sama inang tuanya itu pengalaman buruk. Apalagi kalo dipikir-pikir perasaan inang tua ya. Bukan soal tua gak dapet berhubungan lagi sama inang tuanya, tapi tua ngerasa gak bisa ngejaga inang tuanya baik-baik. Sampe mesti dia kena kanker sampe dua kali.” •
acceptance Subjek C pada akhirnya memasrahkan diri dan ikhlas tentang apapun
yang terjadi dengan D. Dulu saat D mengalami kanker pertama kali C memiliki harapan kesembuhan yang besar untuk D. Saat D terkena kanker rahim, dirinya lebih pasrah dan ikhlas. C lebih berpikir untuk memasrahkan semua pada ketentuan Tuhan. “Iya inang, dari semua hal yang udah terjadi ya, sama inang tuanya akhirnya ya tua berpikir untuk menerima apa yang sudah terjadi. Apalagi waktu inang tuanya kena kanker rahim, kan stadiumnya udah tinggi itu.” “Pasrah ? iyalah, soalnya inang tuanya juga sudah sampai di stadium empat sakitnya ya, kanker rahimnya itu. ya sebagai manusia tua pasrah atas apa yang akan terjadi.” •
Refocus on planing C
memikirkan
langkah
apa
saja
yang
harus
dilakukan
dalam
mendampingi D. Selama berada diatas kapal dan berlayar C merencanakan untuk mengambil cuti agar dirinya bisa mendampingi D yang kembali sakit kanker. Bagi C untuk sakit kali ini, C harus lebih sering mendampingi istrinya. “Tua berpikir waktu inang tuanya sakitnya gimana caranya tua bisa merawat dan mendampingi dia dengan baik. Tua pikir, tua mesti punya waktu buat ada disamping inang tuanya, tua merencanakan mengambil cuti setelah sampai di Jakarta.” •
Posittif refocusing Saat istri C sedang sakit, C yang kembali berlayar berusaha untuk fokus
bekerja dan mengumpulkan uang demi kelancaran pengobatan D. C berusaha tidak mengkhawatirkan keadaan serta kondisi fisik D. Selain agar dirinya bisa
http://digilib.mercubuana.ac.id/
lebih tenang, rasa khawatir juga akan menganggu performa kerja C. Sehingga dirinya berpikir kalau selama dirinya tinggal D tidak mengalami gangguan yang berarti. “Iya,tua berusaha keras supaya gak terlalu khawatir. Soalnya kan kalo tua takut dan khawatir sama kondisi iang tuanya padahal tua lagi kerja lama, nantinya bisa bikin tua gak bener kerjanya. Tua anggep aja iang tuanya baik-baik aja.” •
Positif reappraisal C berusaha memberikan makna positif dalam setiap hal terjadi. Walaupun
untuk hal satu ini dirinya tidak melihat dimana makna positifnya. Dia akan kehilangan D suatu saat, sakit istrinya semakin parah. Paling tidak ada nilai lain, yaitu kebersamaan, satu keluarga menyatu saling menguatkan. Hal ini membuat C memhami ada makna positif dari apa yang terjadi pada D. Selain itu juga C berpikir pasti terdapat hikmah dibalik ini semua. “Ngga’ juga, karena emang Tuhan maunya kondisi yang dijalani itu seperti ini. Positifnya adalah kebersamaan. Kebersamaan satu keluarga bisa dilihat dari kondisi ini.” “Iya, hikmah itu terpikir sama tua, hikmah itu ada disetiap kejadian.” “Kita lebih menghargai kehidupan dan kebersamaan yang ditercipta dari kondisi ini.” •
Putting into Perspective C beranggapan kalau apa yang terjadi dengan dirinya dan D merupakan
sesuatu yang serius. Tidak banyak yang merasakan cobaan berkali-kali, dioperasi peengangkatan dua bagian tubuh dalam waktu yang tidak terlalu jauh. Pemikiran seperti ini wajar terjadi karena memang yang C dan D alami merupakan hal yang berat. Selanjutnya C menyadari apabila memang masih banyak nilai yang dimiliki C bersama D seperti kekuatan istrinya menghadapi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kenyataan hidupnya. Hal ini mungkin tidak semua orang dalam kondisi seperti itu dapat kuat. “awalnya gak ngerasa lebih beruntung atau kejadian yang dialami inang tuanya gak serius. Kalo dibilang serius yaa serius banget kan inang, tapi yang buat tua lebih bersyukur itu inang tuanya bisa kuat dan tabah. Ini yang mungkin gak semua orang dengan kondisi yang sama bisa ngelakuin.”
b.
•
Strategi regulasi emosi
Pemilihan situasi (Situation Selection) -
Mendekat Walaupun semua yang terjadi membawa banyak beban yang dirasakan
berat untuk C , C tetap berusaha tetap ada disamping istrinya. Hal ini karena menurut C dirinya jarang punya waktu untuk mendampingi D. Mengambil keputusan untuk mengambil cuti selama tujuh bulan dirinya ingin tetap berada disamping istrinya “Gak usah dihindari memang tua kerjanya di laut, jarang jadinya kita ketemu. Tapi pernah juga tetep tua menghindari dia.” -
Menjauh C pernah enggan berbicara dengan D. hal ini C lakukan saat istrinya
terlihat sedang sangat sensitif dan menjadi galak, marah dan berkata kasar. Pada kondisi seperti itu C menjadi enggan berbicara dengan D. C tidak ingin dirinya terpancing emosi. C akan diam, pergi keluar, merokok untuk menenangkan diri. “Pernah itu. Tua malas ngomong sama inang tuanya.” “Waktu dia itu bawel, marah-marah. Tua ngga’ mau ikutan emosi. Jadi sempat tua malas ngomong sama dia, soalnya hampir semua perlakuan kita salah ya.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Diam saja tua. Keluar, merokok dan berusaha gak ketemu sama dia. Tapi Cuma sebentar itu. Gak dalam waktu berhari-hari.” •
Modifikasi situasi (situation modivication)
Saat pertama kali C mendengar kabar D kena kanker rahim, C pernah meyakinkan D bahwa dia akan baik-baik saja, tapi ketika D terkena kanker rahim di stadium empat, dirinya tidak lagi berusaha meyakinkan D semua akan baikbaik saja. Hal ini tentu percuma dilakukan. Apabila hal itu C lakukan D tentu akan marah juga mendengarnya. “Awal-awalnya iya. Tua bilang inang tuanya jangan punya pikiran yang macam-macam. Semua itu akan baik-baik aja. Tapi waktu sudah kena sakit yang kedua kali, ngga’ tua lakuin lagi. Inang tuanya juga pasti akan marah kalo tua lakuin hal itu.” C berusaha membuat kondisi senormal mungkin untuk istrinya. sesuai dengan keinginan istrinya. D adalah wanita yang tidak bisa diam. D juga tidak ingin diperlakukan seperti orang yang sakit keras. Untuk menjaga perasaan istri dan agar istrinya tetap punya semangat C membiarkan istrinya tetap beraktifitas sewajarnya. Kalau sudah lelah pasti dirinya diam sendiri. Hal ini juga dapat meringankan beban pikiran C, dengan melihat D masih beraktifitas bisa membuat C menjadi lebih tenang. “Iya, inang tuanya itu gak bisa diam, dia maunya kerja terus. Semua dia kerjain. Tua biarkan dia kerja inang. Disuruh diam dia malah bakal marah. Dia bilang “aku masih bisa ngerjain ini”. Ya sudah kalo dia senangnya seperti itu. Sebetulnya ini juga bisa bikin tua tenang.” •
Pengoperasian Atensi (attensial deployment) C lebih berkonstrasi kepada kemungkinan dirinya untuk mencari uang
agar D dapat menjalani pengobatan semaksimal mungkin. Saat diri C harus berlayar dan kembali meninggalkan D untuk beberapa bulan, walaupun berat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dirinya berusaha untuk berperan sebagai pencari nafkah untuk kebutuhan pengobatan istrinya. C mengirimkan sekitar delapan puluh persen uang hasil gajinya untuk D, C hanya memegang sekitar dua puluh persen gajinya untuk dirinya sendiri. “iya, tua gak bisa terus menerus ada deket inang tuanya. Tua harus kerja, berlayar lagi. Jadi konsentrasi tua kalo lagi kerja itu yaa buat cari uang supaya inang tuanya bisa berobat kemana aja. Tua Cuma pegang dua puluh persen gaji. Sisanya buat inang tuanya.” •
Perubahan kognitif (cognitive change) Saat menghadapi situasi sulit, C mendapatkan kesadaran bahwa apa
yang terjadi bukan karena Tuhan tidak menyayangi dirinya dan tetapi karena Tuhan tahu kalau C dan D kuat mengahapi cobaan ini. C kembali sering membawa istrinya untuk berdoa ke gereja. Walaupun dirinya bukan manusia yang terlalu mendalami ilmu agamanya, paling tidak C tetap berdo’a kepada Tuhan agar diberi ketenangan hati dan kedamaian diri bagi dirinya dan istrinya. “Iya, kita biasa ke gereja. Walaupun tidak yang bagaimana, tapi dengan berdoa sama Tuhan, kita bisa lebih tenang. Akhirnya kita bisa berdamai dengan kenyataan hidup yang diberikan Tuhan.” Sekarang C merasa kalau Tuhan menyayangi dirinya dan D. Tuhan memberikan kasihnya dengan cara yang berbeda-beda. Bagi C mungkin dengan cara inilah C dan D mendapatkan kasih sayang Tuhan. Untuk hal tersebut C dan D tidak meragukannya. “Tuhan sayang sama dia. Dengan caraNya sendiri. Tuhan menunjukkan kasihnya itu dengan cara yang berbeda-beda.” •
itu
Modifikasi respon (response modification) Ketika sedang menghadapi tekanan masalah-masalah yang menghimpit
dirinya, C pernah meluapkan kemarahannya juga. Setelah C meluapkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kemarahannya kepada D, ternyata D tersinggung dengan perlakuan C kepada dirinya. Sehingga D yang kemudian marah kepada C, karena menyadari kesalahannya C berusaha untuk membujuk istrinya. Tetapi ternyata kemarahan istrinya tidak bisa diselesaikan pada hari itu juga, butuh waktu dua hari agar hubungan mereka kembali normal. “ iya, tua pernah marah sama inang tua. Ternyata inang tuanya gak terima. Malah balik dia yang marah sama tua. Tua bujuk-bujukin, tua minta maaf, gak mempan. Inang tuanya masih mau marah. Jadilah kita baikannya itu butuh waktu dua harian.” c. Faktor-faktor regulasi emosi subjek C C terbiasa mengendalikan perasaan-perasaan negatif yang terdapat dalam dirinya. C menyadari, tidak mungkin membawa masalah ke dalam lingkungan lain. Apalagi C bekerja dalam periode waktu yang lama. Pasti akan berpengaruh pada kinerja kerjanya sebagai ABK kapal bila dirinya terlalu terbawa dengan perasaan. Hal tersebut akan berdampak buruk juga bagi dirinya dan pekerjaannya. “Perasaan-perasaan itu mesti bisa kita kendaliin inang. Tua mesti bisa juga mengendalikannya. Adat, kerjaan, lingkungan buat tua harus bisa ngendaliin itu.” C punya banyak teman-teman. Mereka semua biasanya kebanyakan adalah sesama pelaut. C di kapal biasa cerita kepada beberapa orang teman yang dekat dengannya. C mengakui bahwa sebenarnya dirinya adalah pribadi yang pendiam. Kalaupun cerita hanya hal-hal dasar saja yang dibicarakan kepada temannya. “Teman-teman sesama pelaut banyak inang.” “Sama teman yang dekat sama tua iya. Walaupun memang gak dalemlah kita cerita yaa. Tua Cuma kasih tau klo istri tua sakit kanker. Mereka kasih tua dukungan.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Hubungan kekeluargaan C dengan saudara-saudaranya baik dari keluarga C sendiri maupun keluarga istrinya terjalin dengan baik. Saat C sedang tidak berada disamping istrinya, tugas untuk menemani D berobat biasanya diambil alih oleh saudara kandung istrinya, adik ipar C. Mereka mau mengantarkan
D
kemana-mana.
Mengeluarkan
biaya
juga
membantu
pengobatan D. “Iya, sangat baik. Kan kita nikah marpariban (bersaudara) jadinya saudaranya tua yang saudara juga sama inang tuanya. Yang paling berperan yaa mereka ini (sambil menunjuk ke arah adik ipar kandung istri subjek), kita sama-sama cari jalan bagaimana cara inang tuanya bisa sembuh.” C selalu berusaha untuk mengendalikan sikap dan perilakunya. Hal ini lebih untuk menjaga perasaan orang-orang yang terhubung langsung dengan dirinya. Teman-teman sesama pelaut, saudara-saudara, anak-anak dan yang paling penting adalah perasaan D. hal itulah yang membuat dirinya harus bisa mengendalikan sikapnya. C tidak ingin orang-orang disekelilingnya, terlebih istrinya merasa tersinggung. “Iyaa, tua kan kerja. Kerja dalam waktu yang lama di kapal. Klo tua gak bisa mikirin tindakan-tindakan yang akan tua lakuin yaa pasti bakal nambah masalah. Itu kalo dari segi kerjaan inang. Kalo tua lagi sama inang tuanya tidakan juga harus dipikirin jangan sampe buat inang tuanya tersinggung, sedih.” “Iya lah. Apalagi perasaan inang tuanya. Perasaan anak-anak juga. Tua tau anak-anak juga sedih ngeliat kondisi mamaknya yang sakit kan ?”. C telah belajar untuk mudah beradaptasi dengan situasi yang baru. C juga terbiasa berada dalam situasi yang menekan dirinya, sehingga sebenarnya diri C itu tidak mudah frustasi. Secara hierarki pekerjaan sebagai ABK kapal, C tentu belajar untuk tidak cengeng karena diatas ABK ada posisi yang lebih tinggi dan biasanya menekan bawahannya. Berpindah-pindah kapal dan menemui
http://digilib.mercubuana.ac.id/
orang-orang baru juga membutuhkan adaptasi. Hal ini juga yang membantu C beradaptasi dengan kondisi istrinya. “Rasa-rasanya ngga’ inang. Pindah-pindah kapal, pindah negara buat tua bisa belajar adaptasi dengan cepatnya. Bayangin kalo tua gak bisa adaptasi, gimana tua bisa kerja dengan baik. Begitu juga waktu inang tuanya sakit kanker ini kan. Harus bisa kita buat nyesuain keadaan.” Seperti yang dijelaskan sebelumnya, karena tempaan pekerjaan, adat, kedekatan keluarga, tingkat ketahanan C terhadap tekanan menjadi tinggi. C tidak mudah merasa depresi dan frusatasi. Hal yang paling membuat C merasa tidak berdaya serta agak frustasi adalah ketika istrinya benar-benar dalam keadaan menurun kondisinya. Sesak nafas sampai D tidak dapat tidur berharihari. “Sampai di titik dimana tua bisa nolong dan ngebantu pas inang tuanya sakit dan drop sekali kondisinya. Sesak nafas, hanya bisa duduk tidak bisa berbaring dan tidak bisa tidur, baru disitu tua ngerasa frusasi liatnya. Gak tahanlah tua.” 1.3.5. Analisis kasus dan teori C dan D
C dan D menikah atas dasar cinta walaupun mereka berdua masih terhitung memiliki hubungan persaudaraan. Naik-turun hubungan dalam pernikahan dialami C dan D. Perasaan senang, bahagia, bangga dirasakan. Selain itu juga terselip perasaan-perasaan sedih, kecewa, marah pada situasisituasi tertentu. Salah satu contoh perasaan sedih, marah dan kecewa tergambar saat satu-satunya anak laki-laki yang merupakan kebanggaan C dan D meninggal dunia. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai ABK kapal pesiar, C kerap kali meninggalkan istri dan anak-anak mereka untuk bekerja. D adalah seorang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
sosok wanita yang mandiri, kuat dan mempunyai nilai yang kuat. C dan D menjaga keutuhan rumah tangga mereka bedasarkan komitmen yang telah mereka sepakati, dalam kondisi apapun selalu bersama. D terdeteksi menderita kanker dua kali. Pertama D terkena kanker payudara. Setelah dioperasi dan menjalani kemoterapi D dinyatakan sembuh. Setelah itu D dalam kurun waktu tidak lebih dari dua tahun kembali terkena kanker rahim. Perasaan tidak percaya, marah, depresi hingga akhirnya menerima menurut C lebih terasa saat D menderita kanker rahim. Hal ini disebabkan pada saat terkena kanker rahim D berada dalam stadium empat sehingga untuk kesembuhan mnjadi lebih tipis kemungkinannya. D menjadi lebih cepat marah, sensitif, dan menjadi lebih keras kepala. Hampir sama dengan apa yang dirasakan D, C sebagai seorang suami juga merasakan ketidakpercayaan atas apa yang terjadi pada diri istrinya. C sempat merasa marah, sedih, takut tetapi karena saat itu dirinya sedang berlayar dan dituntut untuk memberikan keputusan operasi secepat mungkin, pada kondisi seperti ini C mengalami refocused on planning, C berpikir cepat dan memutuskan pengobatan paling baik untuk D. Begitu pula saat D kembali menderita kanker rahim, C juga merasa sedih, takut, khawatir dan marah atas keadaan, tetapi refocused on planning kembali dipikirkan oleh C. Perasaan-perasaan yang dialami oleh C akan menganggu kestabilan emosinya apabila tidak dikelola dengan baik. Kekhawatiran, ketakutan, kemarahan dan lain sebagainya akan menimbulkan pemikiran-pemikiran yang negatif juga. C sempat mengalami blaming others dan self blame, C sempat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
meyalahkan Tuhan dan menyalahkan dirinya sendiri karena C menganggap Tuhan tidak adil karena berkali-kali memberi cobaan berupa sakit kepada istrinya. Sedangkan untuk menyalahkan dirinya merasa tidak bisa mengontrol D sebagai seorang istri sehingga D terkena kanker untuk kedua kalinya. Kali ini kanker menyerang rahim D. Pemikiran negatif lainnya ketika mendengar kalau kondisi istrinya menurun, sedangkan C sedang berlayar kondisi ini tidak memungkinkan C berada didekat D. Ketakutan, kecemasan kembali terasa. Saat hal ini terjadi biasanya C akan berusaha menenangkan diri dengan memikirkan kalau istrinya akan baik-baik saja. Hal ini dilakukan agar dirinya bisa kembali fokus bekerja untuk mencari biaya pengobatan bagi D. Disaat seperti itulah C memiliki pemikiran positif refocusing untuk menanggulangi rumination. Bagi C pengalaman yang terjadi saat istrinya menderita kanker rahim dan dirinya tidak dapat mendampingi sepenuhnya memang merupakan pengalaman yang buruk, pada saat seperti ini C mengalami catatrospizing. Tetapi menurut C sebenarnya apabila dipikirkan lebih bijaksana kembali ternyata kondisi ini lebih baik daripada kondisi orang lain diluar sana, catatrospizing ditanggulangi dengan pemikiran dengan dimensi putting into perspective. D bagi C adalah seorang istri yang kuat dan mandiri sehingga dirinya sebisa mungkin tidak membebani C saat C sedang bekerja. Fokus C saat bekerja adalah memikirkan bagaimana dirinya melakukan pekerjaan dengan baik. Mendapatkan uang demi pengobatan yang akan diusahakan untuk kesembuhan istrinya, pada saat seperti ini dimensi yang keluar adalah positif refocusing. Setelah apa yang dialami C dan D akhirnya C mulai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
bisa menerima apa yang terjadi dengan ikhlas, saat ini C sudah masuk ke dalam acceptance. Ada makna hidup yang didapatkan oleh C yaitu kebersamaan yang dapat terjalin lebih erat dan keihlasan anak-anak serta saudara-saudara untuk membantu memberikan pertolongan saat C tidak ada disamping D, hal ini merupakan positif reappasial. Perilaku yang ditunjukan C saat sedang berada dengan selalu berada disamping D. C sangat sadar bahwa waktu yang diberikan C kepada istrinya tidak terlalu lama. Terkadang dengan perlakuan C seperti itu D merasa tidak nyaman, strategi yang dilakukan C adalah situation selection. Tiba-tiba marah dengan C menyebabkan C terkadang enggan untuk berbicara dengan D, hubungan mereka sedikit menegang tetapi bisa di netralisir kembali, apabila menghindar dan merasa enggan pemilihan srateginya adalah menghidar. Selebihnya C membiarkan D untuk
beraktifitas bila kondisinya masih
memungkinkan untuk beraktifitas, hal ini juga mampu membuat C tenang dan D tidak merasa menjadi seorang yang sakit parah, hal yang dilakukan C ini adalah modication situation. Kepasrahan yang timbul membuat C dan D kembali berdamai dengan keadaan. Kembali ke gereja adalah hasil pemikiran ikhlas menerima ketentuan Tuhan. Terbukti saat hal ini mereka lakukan C dan D merasa jauh lebih tenang dan damai menjalani hidup walaupun terkadang kondisi D menurun secara drastis, disini terlihat apabila C melakukan strategi cognitive chage. Faktor-faktor yang membuat C dapat meregulasi emosinya dengan baik adalah karena memang dirinya berlaltih untuk bersikap profesional karena faktor pekerjaan. C sangat sadar apabila dirinya tidak dapat meregulasi pemikiran dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
perasaannya dengan baik pekerjaannya tidak akan maksimal juga.Selain itu keluarga yang solid saling membantu, anak-anak yang juga baik membuat dirinya mampu bertahan. Selain itu sebagai anak pertama dari sembilan bersaudara dengan orangtua berdarah batak membuat toleransi C terhadap tekanan sangat tinggi. Usia C yang sudah berada pada usia dewasa menengah saat istrinya terkenak kanker juga mempengaruhi gaya regulasi emosi yang mampu di lakukan C dalam mengahadapi situasi sulit. Faktor budaya dan pola asuh keluarga C yang disiplin dan tanggung jawabnya yang besar sebagai seorang anak laki-laki juga berpengaruh besar pada kemampuannya meregulasi emosinya dengan baik. 1.4 Gambaran dan analisis subjek E Nama :E J. Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 47 tahun
Anak ke
: 1 dari 6 bersaudara
Pekerjaan
: Wirausaha
Pendidikan
: SMA
Suku bangsa
: Riau
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Lama pernikahan
: 14 tahun
Nama Istri
:F
Jenis kanker yang diderita istri : Kanker indung telur Stadium
:2B
Pekerjaan istri
: Karyawan bank
Jumlah anak
: tidak ada
Alamat
: Jakarta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.4.1. Hasil observasi subjek E
Secara fisik subjek E memiliki tinggi sekitar 170 cm, berbadan agak gemuk, berkulit sawo matang. Memiliki rambut ikal berpotongan pendek sekitar 2 cm, rambutnya berwarna hitam. Wajahnya bulat, dengan alis tebal memiliki mata yang kecil. Wawancara pertama peneliti lakukan melalui telepon. Meminta kesediaan subjek E dan menjelaskan maksud dan tujuan sekaligus mengatur tempat bertemu. Setelah peneliti menjelaskan maksud serta tujuan peneliti, E menanyakan beberapa pertanyaan seperti persetujuan peneliti untuk tidak merekam pembicaraan. Dirinya hanya ingin bertemu, memberi informasi, tapi tidak ada alat perekam. Peneliti menyetujui hal tersebut. Pertemuan dilakukan pada sebuah pusat perbelanjaan di seputaran Bekasi. Sebenarnya peneliti ditemani orang tua peneliti tetapi mereka menunggu di rumah salah satu saudara. Wawancara dilakukan pada tanggal 17 juli 2012 pada pukul 15.40 sampa 17.10 menit. Saat bertemu kesan pertama dengan subjek adalah subjek terlihat kaku. Sempat terpikir oleh peneliti, kalau wawancara tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal. Ternyata wawancara dapat sesuai dengan yang peneliti harapkan. Saat bertemu dengan subjek E, E memakai kemeja berwarna putih, lengan kemejanya digulung sampai setengah lengan bawah. Dipadukan dengan celana jins biru dan sepatu kets warna abu-abu. Subjek merokok, sambil berbicara subjek tetap merokok. Pertanyaan-pertanyaan peneliti dijawab E dengan baik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.4.2. Gambaran umum subjek E dan F
Subjek E seorang laki-laki berusia 47 tahun, beragama Islam, E merupakan seorang yang berasal dari daerah Riau. Lahir di sebuah daerah di Riau, E mulai merantau ke Jakarta selepas dirinya menyelesaikan pendidikan SMA. Setamatnya E dari SMA dirinya menjadi staf disebuah perusahaan. Empat (4) tahun setelah dirinya menjadi staf, E memutuskan untuk berbisnis. Dirinya membuka usaha dalam bidang elektronik. E dan istrinya F bertemu saat usia mereka sudah sama-sama matang. Saat itu, E berusia tiga puluh tiga tahun (33 th) dan istrinya, F berusia tiga puluh satu tahun (31 th). Mereka berpacaran sebentar lalu pada tahun 1998 mereka menikah. Awal-awal pernikahan mereka merasa bahagia, walaupun E terlihat kaku dan tidak romantis rumah tangga mereka dapat berjalan normal. Masalah terjadi saat setelah beberapa tahun setelah mereka menikah, E bersama F belum di karuniai anak. Konflik-konflik dalam rumah tangga kerap kali muncul. F merupakan seorang wanita mandiri, dirinya bekerja disebuah bank swasta di Jakarta. F terbiasa untuk menyelesaikan dan menghadapi semua masalah yang terdapat dalam dirinya sendiri. Hal tersebut terkadang memancing pertengkaran
karena
maksud
dan
keinginan
E
dan
F
tidak
dapat
dikomunikasikan dengan baik. F menderita kanker indung telur. Sebelum menderita kanker ini, dirinya sempat mengalami kista dan miom pada rahimnya. Sampai sekarang kista tersebut juga masih ada. Selain menderita kista dirinya juga pernah terkena virus toksoplasma.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Mendengar vonis dokter tersebut E dan F merasa terpukul dan sedih. Terlebih E karena sebenarnya E menginginkan anak dalam rumah tangga mereka. Perjalanan rumah tangga yang sudah memasuki usia empat belas tahun sebenarnya sudah hampir memupuskan harapan untuk memiliki anak. E tetap mendampingi istrinya sampai sekarang, E mencoba bertahan walaupun masalah-masalah selalu ada dalam rumah tangga mereka. 4.4.3. Gambaran emosi subjek E
E dan F bertemu ketika F memerlukan jasa E untuk mempebaiki elektronik dan untuk mecarikan barang eletronik baru untuk F. Perasaan E mulai timbul ketika mereka jadi terlibat komunikasi. E merasa istrinya adalah sosok wanita yang mandiri, kuat, dan tegas. Hal ini yang membuat E menyukai F. Rasa suka itu berlanjut ketika F juga menyambut perasaan E. Mereka menjalin hubungan yang serius. Beberapa saat setelah mereka berpacaran, E dan F menikah. “awalnya suka karena tantenya om nilai sebagai sosok wanita yang mandiri, berpendirian, tegas, terus dia juga bekerja. Bagi om wanita seperti itu adalah wanita yang hebat, dan om suka. Tantenya mau om ajak berhubungan serius untuk nikah, yaa dari suka jadi cinta deh (subjek tersenyum saat berkata seperti itu).” Keluarga E dan keluarga F menyambut baik keinginan E untuk menikah dengan F. Mereka berpendapat memang E dan F sudah layak untuk berumah tangga karena usia mereka yang sudah sama-sama matang. Pada saat itu E berusia tiga puluh tiga tahun (33 th) dan F berusia tiga puluh satu tahun (31 th). “Keluarga mah setuju banget, apalagi mereka ngeliat om sama tantenya kan udah tua ya, jadinya mereka seneng lah.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Semua proses berjalan dengan cepat dan lancar. E dan F menikah pada bulan september tahun 1998. Setelah mereka menikah selain merasa senang dan bahagia, E dan F merasa sangat lega. Sebelum menikah E kerap kali disindir oleh teman dan saudara mereka sebagai bujang tua. Begitu juga dengan F yang sudah terlebih dahulu dilangkahi menikah dengan adik perempuannya. “Perasaan pas udah nikah itu seneng, bahagia terus lega. Kan om sama tantenya suka diledekin gitu, bujang tua sama temen-temen. Orangtua juga khawatirlah, apalagi tantenya udah di langkahin adeknya kan yang perempuan.” Mereka menjalani rumah tangga dengan senang. Selayaknya pasangan yang telah berumah tangga, terkadang mereka menghadapi konflik-konflik dalam rumah tangga mereka. Biasanya konflik itu muncul karena kesalahpahaman dalam berkomunikasi. E yang memang pendiam kerap kali memendam perasaan yang dia rasakan, walaupun saat E merasa tersinggung saat F mengambil keputusan sepihak. Hal ini baru dikatakan ketika F mendesak. Berbeda dengan E, F merasa kalau ada masalah itu harus dibicarakan sampai tuntas. “Biasanya yang bikin kita berantem itu kalau ada masalah om diem, tantenya selalu pengen ngomongin masalah biar cepet selesai. Biasanya masalah kecil jadi gede. Tapi om pernah sih ngerasa tersinggung sama tantenya, itu kalo tantenya ngambil keputusan sendiri gak nanya-nanya.” Setelah pernikahannya berjalan di tahun ketiga dan tidak ada tanda-tanda akan adanya kehadiran anak, E sebenarnya mulai khawatir. E khawatir ada sesuatu yang tidak beres terjadi dengan dia dan F. Ternyata F memeriksakan dirinya ke dokter kandungan, disana diperoleh informasi kalau ternyata F terkena toksoplasma. F diterapi dan meminum obat, tetapi pengobatan tersebut tidak tuntas karena F sibuk bekerja. “Tantenya sempet periksa ke dokter pas udah tigs tahun ga ada tandatanda hamil. Kata dokter tantenya kena toksoplasma, karena udara gitu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
katanya virusnya nempel dibinantang berbulu. Berobat tapi gak tuntas waktu itu, sibuk kerja tantenya.” E merasa bersalah karena dirinya merasa ikut andil saat F terkena toksoplasma. Hal ini karena E sempat memelihara beberapa burung yang diurus berdua dengan istrinya, karena penyebab toksoplama dari bulu binatang E jadi merasa bersalah. Setelah terkena virus toksoplasma dan pengobatan tidak di lanjutkan, ternyata F merasakan nyeri saat dirinya dan E sedang berhubungan intim. Awalnya E merasa hal tersebut adalah hal yang biasa saja. Secara tidak diketahui ternyata siklus menstruasi F juga kacau. Kembali hal ini dianggap biasa karena sejak remaja pola menstruasi F sudah tidak stabil. Saat itu E menanggapi keluhan tersebut secara biasa saja. “Awalnya itu sempet ngerasa nyeri waktu berhubungan. Itu aja awalnya, tantenya gak ngerasa aneh, paling emang lagi gak fit, ya udah. Menstruasinya juga jadi kaya’ pendarahan. Waktunya gak tentu, itu juga dianggep Cuma kecapean aja sama tantenya. Om curiga, tapi tantenya yakin gak apa-apa yaa gimana ?.” Setelah sering merasakan sakit di perutnya, terlebih saat sedang berhubungan intim F memeriksakan diri ke dokter. F di USG, setelah itu dokter mengatakan kalau ada kista dirahim F. Kista tersebut ada dua, satu di bagian tengah rahim satunya lagi terdapat di indung telur sebelah kiri. Saat itu F disarankan dokter untuk melakukan operasi, tetapi F menolak. Sebenarnya E cemas, karena E tahu kalau kista adalah sebuah tumor, kalau tumor tersebut ganas ada kemungkinan istri T terkena kanker. “Ada kista ternyata di rahimnya. Ada dua, satu di tengah rahim satu di ovarium kirinya. Disuruh operasi tantenya gak mau. Yawda, dia minum obat buat ngecilin kistanya.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Om sebenernya cemas juga ya. Kan kista itu tumor ya. Kalo tumornya jadi ganas bisa jadi kanker kan. Cuma tantenya gak yakin kalo mau dioperasi yaudah om ikutin aja mau tantenya.” Kista pada rahim F bisa mengecil. Selama dua tahun F dapat hidup tanpa keluhan. Memasuki tahun ke tiga ternyata keluhan seperti awal mula istrinya tekena kista muncul kembali. Kali ini pendarahan kembali terjadi dan periode menstruasinya makin panjang, bisa sampai 2 minggu tidak selesai. F memeriksakan diri kembali ke dokter spesialis kandungan. Setelah dari dokter kandungan E dan istrinya diberi rujukan ke dokter spesialis kanker. Ternyata kista dan miom pada indung telur sebelah kiri kembali membesar. Walaupun belum menjadi kanker, kistanya cenderung ganas. Kembali lagi E merasa cemas dan khawatir. “udah lebih dari dua tahun gak kumat. Eh, tantenya kerjanya berat kali ya. Jarak dari bekasi ke kota kan jauh. Sakit lagi tantenya, waktu itu ya makin parah. Keliatannya di mensnya sih yaa,, lama banget terus banyak gitu. Om khawatir, takut, om ajak aja dia ke dokter. Sampe ke spesialis kanker gitu. Emang kistanya aktif harus dioperasi.” Saat kondisi kesehatannya menurun, F masih bersikeras kalau dirinya tidak perlu dioperasi. F mencari pengobatan alternatif. F lebih percaya dengan pengobatan dengan jalan agama. E sebenarnya tidak menyetujui, tetapi mendengar alasan istrinya kalau dia tidak mau kehilangan rahimnya membuat E jadi melemah. E sebenarnya juga tidak tahu bagaimana jika dirinya menghadapi kenyataan kalau istrinya tidak memiliki rahim lagi. “iya, tantenya tetep gak mau dioperasi. Soalnya takut kehilangan rahimnya. Menurut dia rahim itu harta berharga perempuan dia gak mau dioperasi. Om juga sebenernya bingung, antara mau dan ngga’ soalnya om juga gak kebayang istri om gak punya rahim lagi gimana ?” Saat dirasa kondisi kesehatannya membaik kembali F kembali tidak melanjutkan pengobatannya. Obat dokter tidak rutin di minum, sedangkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pengobatan alternatif pun tidak lagi dilakukan. Alasan F sama, dirinya sibuk bekerja. Sebagai suami, F mengingatkan istrinya untuk rutin menjalankan pengobatan. Selain karena takut atas kondisi istrinya, E juga berkata walaupun dirinya tidak romantis, bukan berarti E tidak mencintai istrinya. “penyakit tantenya gitu, kalo udah enakan pengobatan gak dilanjutin tuntas. Kalo diingetin dia bilang lagi banyak kerjaan, kalo om terus ingetin malah kita jadinya berantem. Sebenernya om males ribut, tapi kan dia istri om. Om ya sayang sama dia.” E dan istrinya mendapat telpon dari rumah sakit. Mereka bilang hasil pemeriksaan F sudah keluar. E dan istrinya menemui dokter, ternyata kistanya memang sudah masuk kategori kanker. Apabila tidak dioperasi kistanya akan semakin membesar dan membahayakan nyawa F. Setelah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, walaupun masih keberatan, F setuju untuk operasi. “awalnya masih gak mau. Katanya dia gak mau kehilangan rahimnya. Dsinikan om berusaha ngasih semangat, om bilang kan yang diambil itu hanya indung telur sebelah kiri dan mengangkat miom yang ditengah rahim, gak semuanya. Jadi kamu gak perlu takut. Padahal om sendiri juga ngeri, takut sebenernya (hehe, subjek tertawa sedikit).” Setelah dioperasi dan pemulihan kondisi tubuhnya. F harus menjalani Radiasi eksternal untuk mematikan sel-sel kanker. Kondisi fisik istri ternyata cukup bagus sehingga dampak-dampak dari radiasi tidak terlalu kelihatan banyak. F juga masih dapat melakukan kegiatan seperti semula. E senang sekaligus lega karena F bisa sembuh dari penyakit kankernya. Rumah tangga E dan F berjalan kembali seperti biasanya. “Om seneng, lega, bahagia lah tantenya bisa baik lagi kondisinya yaa. Masih bisa usahalah kita buat punya anak dan lain-lain. Fisik tantenya juga gak banyak berubah, rontok sih rambutnya dikit. Tapi rambutunya kan tebel jadi gak sampe botak, itu karena stadiumnya masih awal kali yaa..”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Saat vonis operasi itu usai pernikahan mereka sudah sampai sembilan tahun. Mereka masih ingin membangun harapan untuk memiliki anak. Sebenarnya banyak yang menyarankan agar mereka mengadopsi anak. Ada beberapa saudara yang ingin membantu untuk mempermudah E dan F memiliki anak angkat. E dan F tidak ingin, mereka menginginkan anak mereka sendiri. Mereka takut tidak bisa mengurus anak adopsinya dengan baik. “masih punya harapan om untuk punya anak. Walaupun om dan tantenya gak punya anak tapi om dan tente berusaha saling isi. Anak kalo ngga’ dari kita sendiri, takutnya rasa sayangnya beda. Makanya kita ngga’ minat buat adopsi.” Ternyata Tuhan masih ingin menguji E dan F. Di tahun ke dua belas Pernikahan mereka, indung telur sebelah kanan F kembali terdapat kista. Kali juga ganas, sehingga termasuk kedalam hitungan kanker. Hal ini karena diameter kistanya cepat sekali membesar. Kali ini dampaknya cukup parah. Seperti akumulasi perasaan dari peristiwa yang mereka alami dahulu. E merasa cukup depresi hingga E meninggalkan istrinya sendiri. E kembali ke Riau tempat orang tuanya tinggal. F bekerja sendiri dan tinggal sendiri di Jakarta. Kerja sendiri, kalau sakit F juga ke dokter sendiri. E merasa sudah tidak memiliki harapan lagi untuk dapat memiliki anak, dan itu membuat dirinya merasa marah. “Di tahun kedua belas pernikahan, dua tahun lalu tantenya punya kista lagi di indung sebelah kanannya. Kata dokter juga kanker. Tapi kanker dengan Tumor itu kan lebih cepat penanganannya kan. Solusinya dokter menyuruh tantenya untuk mengangkat seluruh rahimnya biar bisa sembuh” “itu kaya’ apa yaa..? ehh, harapan yang masih ada itu hancur seketika. Berarti kan gak lagi bisa punya anak yaa, terus yang lain juga terganggu. Sempet marah sih sama keadaan semua. Sempet om tinggalin pulang ke kampung.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Masalah ini sempat membuat mereka berada dalam masa-masa sulit. Rumah tangga mereka sempat terancam kandas, ketika E tidak kembali ke rumahnya selama beberapa bulan. E juga merasa saat itu dirinya seperti lari dari kenyataan yang ada. E sebenarnya tidak ingin bercerai. Sebenarnya E masih mencintai F. Sehingga saat setelah 6 bulan pergi hanya menghubungi lewat sms dan telp, E kembali ke rumahnya bersama F. Tetapi karena pekerjaan yang dimulai di Riau dirinya harus kembali sebulan sekali ke Riau. 4.4.4. Gambaran regulasi emosi subjek E.
a.
Dimensi regulasi emosi
-
Negative-focused cognitive emotion regulation •
Self Blame E sempat menyalahkan dirinya sendiri. Dirinya sempat menyesal tidak
mengarahkan F untuk memeriksakan penyakitnya sedini mungkin, dirinya tidak tegas. Memiliki maksud agar F tidak merasa kalau sedang mengahadapi penyakit yang serius justru hal ini menurut E malah berakibat pada penyakit yang kambuh terus. “sempet om nyalahin diri om sendiri, om mikir kalo om itu ada andil atas sakit tantenya. Kalo om lebih tegas sama tantenya. Maksa dia berobat yang bener, mungkin dia gak akan ngerasain sakitnya ada lagi, ada lagi.” •
Blamming others E juga pernah berpikir kalau apa yang terjadi dengan dirinya ini karena
Tuhan. E sempat menyalahkan Tuhan kenapa dirinya harus menjalani semua
http://digilib.mercubuana.ac.id/
cobaan ini. Seolah-olah Tuhan tidak berhenti mencoba dirinya. E juga berpikir kalau yang bertanggung jawab dengan semua ini adalah F. E menganggap F tidak dapat bertanggung jawab dengan dengan tubuhnya sendiri. Hingga F dapat berkali-kali terkena kista dan menjadi kanker ovarium. “om nyalahin Tuhan, om nyalahin istri om. Kalau sama Tuhan itu om mikir kok om sama istri dicobanya begini banget, mesti berkali-kali kena kista, kistanya jadi kanker, gak punya anak. Kalo sama istri om, om mikir kok dia gak bisa jaga kesehatan banget, minum obat gak tuntas, gak rajin jaga badannya.” •
Rumination Saat F divonis dokter memiliki kista untuk ke tiga kalinya dan kembali
terkena kanker ovarium sehingga diharuskan menjalani operasi kembali E mengalami rumination. Dimana dirinya diliputi perasaan-perasaan negatif. Perasaan terserbut timbul karena pemikiran tentang masalah-masalah lalu, keberuntungannya tidak memiliki anak dan sebagai menghantui dirinya. Perasaan sedih, kecewa, malu karena istrinya tidak bisa memiliki anak, iri melihat orang lain memiliki anak terpikirkan. “Pas waktu vonis dokter itu yang terakhir. Semua perasaan negatif muncul. Mikir gak dikasih kepercayaan punya anak, malu kalo di tanya orang gak punya anak, gak enak dikasihanin orang, ngiri juga kalo liat temen punya anak. Itu tuh kepikiran pas kata dokter ya gak ada harapan lagi buat punya anak kan karena kena kista dan jadi kanker lagi kistanya.” •
Catatrosphizing Pada saat vonis terakhir dokter, itulah peristiwa yang merupakan hal
paling buruk yang dialami oleh E. Disaat itu E berpikir kalau semua harapanharapan dia musnah, keinginannya untuk hidup bahagia bersama istri dan memiliki keluarga yang utuh tidak mungkin. Karena hal itu sempat terucap perpisahan dari mulut e yang ditujukan pada F. Setelah itu E pergi pulang ke kampungnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Pada saat vonis dokter itu. Om rasa itu merupakan hal paling buruk. Om mikir semua harapan-harapan dan mimpi om selesai gitu aja. Sampe om sempet bilang pisah sama tantenya, terus om pergi ke kampung biarin tantenya hidup sendiri.” -
Positive-focused cognitive emotion regulation •
Acceptance Penerimaan dan keikhlasan muncul ketika E sudah berada jauh dari F. E
berpikir kalau memang semua yang dipikirkannya selama ini adalah pemikiran yang salah. Apa yang terjadi pada dirinya merupakan jalan hidup yang harus dilalui. E mencoba pelan-pelan mengikhlaskan masalah-masalah. Segala sesuatu yang memang tidak bisa diperoleh. E mendapatkan kesadaran untuk memelihara apa yang masih Tuhan berikan kepadanya. “om mulai menerima dan ikhlas itu justru sesudah om berada dikampung dan jauh dari tantenya. Di kampung om banyak waktu untuk merenung, banyak hal yang om pikir ulang kembali. Om kembali berpikir ulang kalau apa yang terjadi memang sudah di tentukan Tuhan untuk terjadi.” •
Refocus on planning Setelah dirinya menerima dan ikhlas dengan semua yang terjadi dalam
rumah tangga E dan F, di kampung E memikirkan untuk fokus kepada planning ke depannya. Menyingkirkan perasaan-perasaan dan pemikiran negatif yang dimiliki dirinya terhadap kehidupan. Disaat itu E berpikir dirinya akan menyelesaikan masalahnya dengan F, kembali ke Jakarta,
memantau
pengobatan F. Tetapi karena ada bisnis yang baru dimulai E tidak bisa langsung kembali ke jakarta. “setelah ikhlas itu, om mikir buat berdamai dengan kehidupan, om mikir akan pulang ke Jakarta, ketemu tantenya, minta maaf, berbicara secara serius tentang penyakitnya, mencari pengobatan yang terbaik untuk tantenya.rencana itu baru pemikiran waktu itu soalnya om baru mulai bisnis om di kampung.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
•
Posittif refocusing Langkah pertama walaupun rencana-rencana belum bisa terealisasi
dengan baik. E memikirkan hal-hal positif yang masih banyak bisa dilakukan E bersama dengan F. E memikirkan dia akan kembali kepada F, menata kembali kehidupan rumah tangga mereka. Mengumpulkan uang untuk naik haji bersama. Menjaga dan merawat anak yatim-piatu agar diri mereka lebih semarak di hari tua. Pada saat pemikiran ini muncul memang sedikit terlupa bahwa rumah tangga mereka tidak akan dikaruniai anak. “om mikir terlebih dulu akan kembali bersama istrinya. Biar gimana juga dia itu pelengkap om. Rencana om sambil nunggu pengobatan tantenya mau rajin-rajin ibadah. Mau ngumpulin duit buat naik haji bareng, menjaga dan merawat anak yatim-piatu, masih banyak hal-hal positif yang bisa om dan tantenya lakuin sama-sama.” •
Positif reappraisal Makna positif diperoleh E dari semua yang terjadi. Dari F dirinya belajar
untuk menghargai kesehatan, tidak main-main dengan penyakit. Sekecil apapun penyakit akan berbahaya apabila diabaikan. Dari apa yang E lakukan yaitu sempat meninggalkan istrinya pergi, ternyata dari peristiwa ini E sadar betapa berharganya F dan E menyesalkan apa yang telah dirinya lakukan kepada istrinya. “Banyak banget makna positifnya, pertama menjaga kesehatan jangan main-main dengan kesehatan, seringan apapun penyakit tetap berbahaya kalo dibiarin. Arti seseorang di dalam hidup. Pasti berasanya kalo udah kepisah jauh, kalo udah menyakiti. Itu yang om rasa berharga banget tantenya pas dia sama om kepisah jarak dan om sempet bilang pisah.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
•
Putting into perspective Saat E berada di kampung halamannya E banyak berpikir dan memberi
hikmah dari apa yang terjadi dengan dirinya dan F. Masalah-masalah yang terjadi dengan dirinya serta F masih dapat ditanggulangi dan sebenarnya ada pemecahannya apabila rahim istrinya diangkat semua F akan sembuh total. E berpikir bahwa apa yang terjadi dengan dirinya merupakan sesuatu yang lebih baik dari pada orang-orang yang memiliki kemungkinan sembuh dari kankernya sangat kecil. Harusnya E bersyukur karena hal tersebut. “Om pada akhirnya bener-bener ngerasa kalo om dan tantenya itu lebih beruntung dari orang lain. Tantenya bisa sembuh total kalo rahimnya diangkat. Sedangkan orang lain yang terkena kanker belum tentu memiliki kemungkinan besar buat sembuh kan.” b. •
Strategi regulasi emosi Pemilihan stuasi (situation selection) E sempat pergi dalam kurun waktu enam bulan. E kembali ke kampung
halamannya
setelah
sebelumnya
terjadi
pertengkaran
dengan
istrinya.
Pertengkaran tersebut dipicu oleh keadaan kesehatan F yang kembali menderita kista ovarium yang kembali menjadi kanker ovarium. Saat itu F meminta pendapat bagaimana dirinya harus mengambil keputusan. Sebenarnya F juga tidak ingin menangkat rahimnya. Tapi karena kesalahan komunikasi antara E dan E sempat mengatakan kata pisah dan E pergi kembali ke kampungnya. “Waktu pertengkaran terakhir itu om sempet bilang pisah. Terus om pergi ke kampung. Tujuannya gak ada maksud buat ninggalin tantenya. Om Cuma pengen nenangin diri aja. Pemicunya yaa awalnya masalah sakit malah jadi panjang kemana-mana. Om sama tantenya jadi kalut ya. Akhirnya om tinggal dulu tantenya ke kampung.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
•
Modifikasi situasi (situation modivication) Saat berada di kampung halamannya E banyak berpikir tentang apa yang
terjadi dengan dirinya dan F. Setelah mendengarkan banyak nasehat, banyak merenung dirinya merasa kalau F lebih berharga. Apapun kondisi F harusnya E mampu menerima dengan ikhlas. E juga menyadari betapa sebenarnya E sangat mencintai F begitu juga keyakinan E tentang perasaan istrinya kepada dirinya. Walaupun belum bisa kembali ke Jakarta, E memutuskan untuk terlebih dahulu menghubungi F via telpon. Kesempatan itu dipakai E untuk meminta maaf dan membicarakan segala sesuatu terkait dengan apa yang nantinya akan E lakukan bersama istrinya. Hal ini membuat E merasa lega karena F menyambut baik permohonan maaf dirinya. “setelah pulang kampung itu om banyak dapet wejangan. Banyak mikir, sebenernya om itu sayang banget sama tantenya. Om juga yakin tantenya juga sama perasaannya sama om. Akhirnya, om telpon tantenya, minta maaf, ngomongin semua kesalahpahaman, disitu om ngerasanya lega banget. Kayanya semua beban om ilang.” •
Pengoperasian Atensi (attensinal deployment) E melakukan distraksi saat F mengajak E berbicara mengenai
kesehatannya. Tentang apa tindakan yang harus dilakukan F, E kerap kali mengalihkan
perhatian.
Pengalihan
perhatian
itu
dilakukan
E
dengan
mengalihkan padangan, tidak mau melihat F. Hal ini biasanya menyulut emosi F. Pembicaraan akan terhenti, sehingga tidak menemukan solusi dari awal. “suka om ga konsentrasi kalo ngomongin serius tentang sakit tantenya. Ga mau ngeliat, ngelindur kemana-mana kalo ngomong. Tantenya paste marah kalo udah kaya’ gitu. Pembicaraan pasti berenti, dan kita diemdieman. Itu yang om seselin sebenernya sekarang.” Saat berada di kampung halamannya, mulai proses refleksi diri E dilakukan. Semua perilaku-perilaku yang menurut E memang negatif E telah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Ketidakmampuan E untuk mengutarakan perasaannya dan kebiasaan E untuk lari dari kenyataan membuat masalah makin lama makin menumpuk. E tidak ingin rumah tangganya hancur, karena itu bisa terjadi apabila E tidak berusaha mengubah perilakunya. “Om itu pendiem, sebenernya gak mau cari ribut. Tapi ternyata makin diem masalah makin numpuk. Baru om rasain itu pas berantem terakhir itu. om sadar, kalo kelakuan begini dipertahanin rusak rumah tangga om sama tantenya.” •
Perubahan kognitif (cognitive change) Saat proses releksi berlangsung, E memutuskan untuk merubah
pemikirannya. Pemikiran kalau diam itu akan menyelesaikan masalah itu ternyata salah. Manusia itu harus berbicara untuk menyelesaikan masalah. Semakin kita lari dari masalah sebenarnya menurut E justru masalah akan semakin mengejar kita dan memaksa kita menghadapinya. Akhirnya E pulang kembali ke rumah yang ditinggali bersama istrinya, membangun kembali rumah tangga mereka, membicarakan langkah langkah yang harus dilakukan ke depannya. E juga mengikhlaskan apabila F memutuskan untuk mengakat rahimnya. “om sadar kalau semakin kita lari dari kenyataan kenyataan akan ngubernguber kita. Maksa kita buat hadapin. Sekarang yaa masalah om hadapin. Om balik ke rumah, istilahnya membangun kembali rumah tangga kita, terus om juga ikhlas kalo tantenya mau operasi pengangkatan rahim seluruhnya.” •
Modifikasi respon (response modification) Sebagai seorang dari daerah sumatra E memiliki sifat dan sikap yang
keras. Saat sedang merasa marah E akan membantak dan berkata agak kasar sehingga membuat F terluka. Saat mengatakan hal yang tidak pantas biasanya E akan langsung diam dan pergi. Setelah beberapa waktu E akan datang dan minta maaf kepada F.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“kalo lagi berantem kadang kata-kata makian itu keluar gitu aja dari bibir om, kalo udah begitu pasti tantenya nangis. Om gak langsung ngebujuk. Om diem dulu, nenangin diri om dulu. Baru nanti om minta maaf. Biasanya sih kalo berantem selesai sehari.”
c. Faktor-faktor regulasi emosi subjek E E merupakan pribadi yang pendiam. Hampir semua perasaaan sulit keluar dalam dirinya. Hal ini baik apabila dilakukan dengan tepat sesuai dengan kondisi dan situasi. Untuk menghadapi masalah-masalah berat, karena E cenderung untuk diam dirinya jadi sulit untuk mencari pemecahan masalahnya. “om itu pendiem, susah ngeluarin perasaan gitu. Kadang sih bener cara kaya’ gini, tapi gak selamanya bener gitu. Kalo kita gak ngasih tau apa yang dirasain yaa mana ada solusi. Mana orang lain tau apa yang om rasain.” E memiliki teman-teman yang tidak terlalu banyak di Jakarta. Kalau di kampung E memiliki banyak teman. Hal tersebut karena suasana kekerabatan di kampung lebih hangat daripada di kota besar. Orang-orang di kota besar seperti Jakarta cenderung sendiri-sendiri. E juga jarang memberitahukan perasaannya kepada teman-temannya. Kecuali tentang pekerjaan. “temen di Jakarta mah gak banyak. Om kan orang kampung. Beda suasana, di kampung suasana masih hangat. Di kota yaa urus-urusan masing-masing aja kan. Kecuali urusan kerjaan, om kaya’ nya jarang ngomongin urusan pribadi.” Hubungan kekeluargaan E terjalin dengan baik. Tetapi karena E tinggal di Jakarta
sedangkan
keluarganya
ada
di
kampung
mereka
jadi
jarang
berkomunikasi. Karena hal ini sudah berjalan selama berpuluh tahun, E juga jadi tidak terlalu terbuka dengan keluarganya. Dukungan di berikan sesuai dengan informasi yang diperolah saja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“paling ketemu keluarga itu setahun sekali. Malah pernah sampe 3 tahun ga pulang-pulang jadi yaa jarang juga cerita terlalu dalem sama kelarga om. Pas ada kejadian yang besar kaya’ waktu itu baru deh cerita.” E memang selalu ingin menjaga perasaan orang-orang disekelilingnya. Menjaga perasaan orangtuanya agar mereka tidak banyak pikiran. Selain itu juga E tentu ingin menjaga perasaan istrinya juga. Karena itu dirinya sering tidak ingin membahas masalahnya dengan istrinya dan keluarganya. “gak pengen sebenernya om ngelukain perasaan orangtua dan istri om. Makanya om sering diem aja kalo lagi ada masalah. Takutnya om nanti ada yang ngerasa tersinggung dan sakit hati gitu.”
4.4.5. Analisis kasus dan teori E dan F
E dan F menikah pada usia yang sama-sama matang. Mereka bertemu dan memutuskan menikah tidak lama setelah E dan F berpacaran. Seperti awal mula sepasang manusia memulai rumah tangga, rumah tangga mereka berjalan normal. Konflik-konflik kecil memang mucul tapi masih bisa dtanggulangi dengan baik. E adalah seorang laki-laki perantauan yang memiliki kepribadian tertutup. E jarang ingin berbagi kisah dengan orang-orang disekitarnya. Sebagai anak rantau E terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri. Tujuan E tidak menyatakan apa yang dirasakan adalah agar tidak ada yang tersekati atas sikapnya. Ternyata hal ini tidak sama dengan F, sebagai seorang wanita yang mandiri, kuat dan tegas dalam bersikap setiap masalah baginya harus dibicarakan. Hal inilah yang menyebabkan konflik dalam rumah tangga mereka. Sebenarnya E dan F sama-sama mendambakan seorang anak dalam rumah tangga mereka. Hal tersebut terhalang karena ternyata F terkena
http://digilib.mercubuana.ac.id/
toksoplasma dan diharuskan menjalani terapi agar dapat sembuh dari virus tersebut. Terapi tersebut tidak berjalan dengan baik karena F sibuk dan tidak teratur menjalani pengobatan. Tahun demi tahun berlalu, ternyata ada keluhan lain yaitu F merasakan sakit saat berhubungan intim dengan E dan ternyata siklus menstruasi F menjadi kacau. Setelah diperiksa ternyata F menderita Tumor atau kista pada ovarium sebelah kiri. Kista ini adalah Tumor ganas dan cenderung untuk menjadi kanker. Awalnya F bersikeras untuk tidak melakukan operasi. Dirinya memutuskan untuk mencari pengobatan alternatif. E yang mengetahui hal tersebut sempat terkejut dan khawatir dengan kondisi F. Terlebih saat benar-benar tumor tersebut adalah kanker pada ovarium F. E menyetujui kalau F menjalani operasi, awalnya F masih menolak, tapi karena kondisi yang semakin menurun F tidak punya pilihan lain. Ovarium sebelah kiri F diangkat. F merasakan takut dan cemas saat operasi tersebut terjadi. Setelah operasi kondisi kesehatan F membaik. Aktivitas seksual mereka juga kembali berjalan normal. Harapan E dan istrinya untuk memiliiki anak masih ada. Tahun demi tahun kembali berlalu. Dua tahun setelah pengangkatan ovarium sebelah kiri dan di radiasi, ternyata F kembali menderita kista pada ovarium sebelah kanannya. F menderita kanker kembali, untuk kali ini walaupun stadium kanker tidak terlalu tinggi dokter menyarankan agar rahim F diangkat keseluruhannya. E mengalami rumination, dampak dari hal tersebut ternyata E menjadi tertekan. Satu sisi dirinya merasa takut, cemas dan khawatir. Disisi lain dirinya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
merasa marah dengan keadaan yang terjadi.
merasa F tidak menjaga
kesehatannya dengan baik. Selain itu juga kemungkinan E dan F untuk memiliki anak menjadi musnah. E mjuga mengalami pemikiran blamming others, E mulai menyalahkan Tuhan dan menyalahkan F atas kejadian yang terjadi dalam hidupnya. Karena pemikiran negatif yang menekan E, dirinya sempat menyatakan untuk berpisah saja dengan F, disini terlihat E melakukan strategi situation selection, dimana dirinya menghindari F. Akhirnya E pergi meninggalkan F sendiri. E pergi pulang kekampung halamannya. E mengalami catatrospizing, E merasa apa yang dialaminya adalah sesuatu yang sangat buruk hingga dirinya tidak sanggup berpikir dengan baik. Sesampainya E dikampung halamannya, E banyak berpikir dan menelaah apa yang telah dialaminya bersama F. Saat itu E dapat berpikir dengan baik kembali. E kembali berdoa merefleksikan dirinya. E mulia bisa masuk dalam dimensi acceptance, hal ini membuat E mampu menerima dan mengikhlaskan apa yang terjadi. Saat berada dikampung halamannya E kembali memikirkan kemungkinan dirinya untuk kembali dan membangun rumah tangga kembali dengan F. Nasehat-nasehat yang diberikan orang-orang tua juga membuka logika E, sehingga E melakukan cognitive change. Pernikahan selama dua belas tahun tanpa anak sudah dijalankan, sehingga E sudah menerima apabila dirinya memang tidak ditakdirkan memiliki keturunan. E memikirkan langkah langkah untuk minta maaf dan merangkai rencana indah kembali bersama istrinya, pemikiran ini merupakan refocused on planning.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Langkah awal E meminta maaf dan berbicara serius meskipun lewat telpon dengan F. Mereka mencari solusi atas apa yang terjadi dengan rumah tangga mereka. E memang belum bisa pulang karena dirinya sudah terlanjur memulai bisnis didaerahnya. Setelah bertahan tinggal berjauhan selama enam bulan E pulang dan memperbaiki perilakunya. E menjadi lebih terbuka atas apa yang dirinya rasakan. 1.5
Analisis antar kasus subjek A, C dan E
4.5.1. Gambaran antar subjek
Subjek A, C, E memiliki kesamaan yaitu sama-sama memiliki istri pengidap kanker rahim. Bedasarkan jenis kanker rahim ketiga subjek mendampingi istri dengan jenis kanker yang berbeda. Istri A menderita kanker serviks, C menderita kanker endometrium, sedangkan E menderita kanker ovarium. A, C memiliki istri penderita kanker rahim stadium empat, sedangkan E istrinya menderita kanker stadium 2 B. Baik A, C, E ternyata memiliki istri yang berasal dari satu tempat yaitu Sumatra Utara. Sehingga sifat mereka lebih sama sama-sama kuat, mandiri, tidak mudah menyerah. Walaupun A, C dan E sama-sama memiliki percampuran perasaan negatif seperti takut, cemas, marah, putus asa pada diri mereka saat mendampingi dan ikut merawat sang istri, Hanya E yang sempat merasa depresi karena istrinya harus mengangkat seluruh rahimnya. Sedangkan A dan C bisa dapat mengntrol perasaannya ketika dihadapkan pada kenyataan istri mereka menderita kanker rahim stadium empat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Saat mendampingi istri yang menderita kanker rahim subjek A dan C berusaha mengelola emosinya dengan baik, tetap mendampingi sang istri sampai kapan pun adalah komitmen A dan C. Sedangkan subjek E sempat sampai pada titik dimana dirinya tidak dapat menerima kenyataan yang ada bahwa istrinya harus mengangkat rahimnya. Sehingga E sempat pergi cukup lama ke kampung halamannya meninggalkan istrinya. 4.5.2. Emosi positif
Emosi positif. Mendatu (2007) menyatakan bahwa emosi positif berperan dalam memicu munculnya kesejahteraan emosional dan dapat memfasilitasi pengaturan emosi negatif. Pada A dan C emosi positif seperti cinta, senang, bahagia dan bangga yang dirasakan mereka selama menikah dengan istrinya dan menjalani rumah tangga sangat cukup untuk membuat mereka bertahan menghadapi masa-masa sulit saat istri mereka berjuang melawan penyakit kanker rahimnya. Hal ini karena semua emosi positif muncul saat mereka menjalani kehidupan bersama dan membangun rumah tangga. Lazarus (dalam Yuhana, 2007) menjelaskan Perasaan bangga yang dirasakan individu yang timbul karena berhasil mencapai sesuatu dan pencapaiannya tersebut dihargai kelaurga dan masyarakat luas. Sedangkan E, ada satu hal yang dirinya pendam. Kalau dirinya belum bisa merasa bangga karena belum mampu menghadirkan anak dalam rumah tangga E dan istrinya. Sehingg pernikahan mereka makin lama-makin terasa hampa.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.5.3. Emosi negatif
Emosi negatif. Mendatu (2007) menyatakan bahwa Emosi negatif seperti takut, cemas, marah, putus asa, kecewa, iri akan menghasilkan permasalahan yang menganggu seseorang individu maupun orang-orang lain. Untuk A dan C mereka mengalami beberapa emosi negatif tersebut tetapi tidak terlalu dalam diresapi karena dirinya mereka menyadari apabila dibiarkan merajalela emosi ini tidak baik untuk dirinya dan orang-orang disampingnya, khususnya sang istri. Sedangkan untuk E, karena dirinya adalah orang yang cukup sensitif, tidak terbuka, dan pendiam E kurang dapat merefleksikan emosi-emosi negatif pada dirinya sehingga hal ini lama-kelamaan menganggu dirinya dan hubungannya dengan sang istri. 4.5.4. Regulasi Emosi antar subjek A, C dan E
a.
Dimensi Regulasi emosi Garnefski (dalam Yuhana, 2007) menyebutkan bahwa saat menghadapi
suatu masalah, seorang individu akan menciptakan pemikiran yang dibentuk berdasarkan pengalaman dan pemahamannya dalam memaknai suatu masalah yang disebut dimensi emosi. Dimensi emosi tersebut dibagi menjadi dua jenis,yaitu:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
No. Negatif-focused Subjek Deskripsi cognitive emosional regulation 1. Self Blame A A tidak berpikir menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada diri B. C
E
2.
Blaming others
A
C
E 3.
Rumination
A
C
C juga pernah berpikir menyalahkan diri sendiri. C berpikir kalau seandainya dia punya banyak waktu disamping istrinya mungkin istrinya tidak akan kembali menderita kanker rahim. E sempat menyalahkan dirinya sendiri. Dirinya sempat menyesal tidak mengarahkan F untuk memeriksakan penyakitnya sedini mungkin, dirinya tidak tegas. Walaupun A sempat merasa kaget dan marah terhadap apa yang terjadi pada diri B, A tidak berpikir untuk menyalahkan Tuhan atau sesuatu lain yang terkait langsung dengan Dm, misalnya menyalahkan anak ke tiganya. C pernah memiliki pemikiran menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi dengan dirinya. C merasa beban yang diberikan Tuhan kepada istrinya sangat berat. E juga pernah berpikir kalau apa yang terjadi dengan dirinya ini karena Tuhan Saat itu A merasa memiliki tanggung jawab yang besar yang harus dirinya emban sendiri. Keadaan seperti itu membuat A berpikir sepertinya akan lebih baik apabila Dm cepat-cepat di panggil Tuhan agar bebannya berkurang. Subjek C pernah dimikirkan hal-hal yang negatif terkait dengan D. Tapi pekerjaan, istri, anak, keluarga membuat dirinya tidak sampai pada titik frustasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
E
4.
Saat F divonis dokter memiliki kista untuk ke tiga kalinya dan kembali terkena kanker ovarium sehingga diharuskan menjalani operasi kembali E mengalami rumination. Pemikiran dan perasaan negatif menguasai dirinya Catatrospizing A A merasa apa yang dalaminya merupakan pengalaman buruk karena banyak perubahan mendadak dalam hidupnya bersama B. C C memang berpikir kalau apa yang terjadi pada dirinya dan Mt merupakan pengalaman yang buruk. Untuk S meskipun dirinya tidak lagi memikirkan masalah seksual, hal ini merupakan pukulan telak karena dirinya merasa tidak dapat menjaga istrinya. E Pada saat vonis terakhir dokter, itulah peristiwa yang merupakan hal paling buruk yang dialami oleh E. Disaat itu E berpikir kalau semua harapan-harapan dia musnah, keinginannya untuk hidup bahagia bersama istri dan memiliki keluarga yang utuh tidak mungkin. Tabel 4.5.2.1 tabel negative focused cognitif regulation
No. Positve-focused Subjek Deskripsi cognitive emotional regulation 1. acceptance A Menerima serta memasrahkan segala yang akan terjadi adalah solusi yang tepat. A pasrah tentang usia hidup B. A sangat mengetahui kalau kanker dengan stadium empat itu sangat sulit untuk disembuhkan. C Subjek C pada akhirnya memasrahkan diri dan ikhlas tentang apapun yang terjadi dengan D. C lebih berpikir untuk memasrahkan semua pada ketentuan Tuhan. E Penerimaan dan keikhlasan muncul ketika E sudah berada jauh dari F. E berpikir kalau memang semua yang dipikirkannya selama ini adalah pemikiran yang salah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.
Refocus on planning
A
A juga setelah itu lebih memfokuskan kepada hal-hal positif yang mungkin bisa dirinya berikan kepada B. Selain itu juga A memikirkan langkah-langkah apa saja yang akan dirinya lakukan saat mendampingi dan merawat B.
C
Selama berada diatas kapal dan berlayar C merencanakan untuk mengambil cuti agar dirinya bisa mendampingi D yang kembali sakit kanker. kampung E memikirkan untuk fokus kepada planning ke depannya. Menyingkirkan perasaan-perasaan dan pemikiran negatif yang dimiliki dirinya terhadap kehidupan. Disaat itu E berpikir dirinya akan menyelesaikan masalahnya dengan F, kembali ke Jakarta, memantau pengobatan F.
E
3.
Positif refocusing
A
C
E
4.
Positif reappraisal
A
C
E
A berusaha untuk mempersiapkannya dan mengantisipasi dengan pemikiran lain sebagai penunjang kehidupannya selanjutnya. C berusaha tidak mengkhawatirkan keadaan serta kondisi fisik D. Selain agar dirinya bisa lebih tenang, rasa khawatir juga akan menganggu performa kerja C. E memikirkan hal-hal positif yang masih banyak bisa dilakukan E bersama dengan F. E memikirkan dia akan kembali kepada F, menata kembali kehidupan rumah tangga mereka. A menganggap kejadian yang dialaminya merupakan suatu hal yang positif. A memahami sebuah makna yaitu dengan telah mendampingi B yang sedang sakit parah A dapat belajar lebih sabar. C berusaha memberikan makna positif dalam setiap hal terjadi. Paling tidak ada nilai lain, yaitu kebersamaan, satu keluarga menyatu saling menguatkan. E sadar betapa berharganya F dan E menyesalkan apa yang telah dirinya lakukan kepada istrinya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5.
Putting in to perspective
A
C
E
A membandingkannya dengan orang lain yang lebih tidak beruntung dari dirinya, A tetap merasa kalau apa yang terjadi pada dirinya dan B adalah sesuatu yang serius. C beranggapan kalau apa yang terjadi dengan dirinya dan D merupakan sesuatu yang serius. Tidak banyak yang merasakan cobaan berkali-kali, dioperasi pengangkatan dua bagian tubuh dalam waktu yang tidak terlalu jauh. Saat E berada di kampung halamannya E banyak berpikir dan memberi hikmah dari apa yang terjadi dengan dirinya dan F.
Tabel 4.5.2.2 positive-focused cognitive regulation
b. Strategi regulasi emosi Gross (dalam Yuhana, 2007) menyebutkan untuk memahami perbedaan atau variasi individual yang mungkin muncul dalam meregulasi emosi terdapat lima (5) strategi emosi spesifik dari proses regulasi emosi, strategi-strategi tersebut berbeda dalam proses produksi emosi menjadi sebuah perilaku, yaitu: No. Strategi regulasi Subjek emosi 1. Pemilihan stuasi A (situation selection)
C
E
Deskripsi Kalau sedang merasa jenuh, bosan, sedih dan marah A memilih untuk pergi keluar untuk menenangkan diri. A biasanya bertemu teman-temannya atau ke rumah saudaranya. C pernah enggan berbicara dengan D. hal ini C lakukan saat istrinya terlihat sedang sangat sensitif dan menjadi galak, marah dan berkata kasar. E sempat pergi dalam kurun waktu enam bulan. E kembali ke kampung halamannya setelah sebelumnya terjadi pertengkaran dengan istrinya. Pertengkaran dipicu karena tekanan dan vonis kanker kedua kalinya pada ovarium sebelah kanan F.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.
Modifikasi situasi A (situation modivication) C
E
3.
A Pengoperasian atensi (Attensial Deployment)
C
E
4.
Perubahan A Kognitif (Cognitive Change)
A juga selalu membuat keadaan disekeliling B tidak terlalu berubah secara drastis. A berusaha membuat keadaan normal. C berusaha membuat kondisi senormal mungkin untuk istrinya. sesuai dengan keinginan istrinya. D tidak bisa diam. D juga tidak ingin diperlakukan seperti orang yang sakit keras. Saat berada di kampung halamannya E banyak berpikir tentang apa yang terjadi dengan dirinya dan F. Setelah mendengarkan banyak nasehat, banyak merenung dirinya merasa kalau F lebih berharga. Apapun yang terjadi nantinya E ingin tetap bersama F A sangat berusaha untuk berkonsentrasi pada pengobatan B. Berusaha untuk menyembuhkan B, paling tidak B bisa hidup lebih lama lagi. Segala pengobatan diusahakan A untuk B. C lebih berkonstrasi kepada kemungkinan dirinya untuk mencari uang agar D dapat menjalani pengobatan semaksimal mungkin. Saat diri C harus berlayar dan kembali meninggalkan D untuk beberapa bulan, walaupun berat dirinya berusaha untuk berperan sebagai pencari nafkah untuk kebutuhan pengobatan istrinya. E melakukan distraksi saat F mengajak E berbicara mengenai kesehatannya. Tentang apa tindakan yang harus dilakukan F, E kerap kali mengalihkan perhatian. Beberapa perasaan yang dirasakan A memang bisa ditekan dan diganti dengan perasaan yang lebih baik, hal ini agar perilaku serta tindakan yang dilakukan dapat lebih baik dari pada perasaanperasaan negatif itu dimunculkan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
C
5.
D kembali sering membawa istrinya untuk berdoa ke gereja. Walaupun dirinya bukan manusia yang terlalu mendalami ilmu agamanya, paling tidak D tetap berdo’a kepada Tuhan agar diberi ketenangan hati dan kedamaian diri bagi dirinya dan istrinya. E Saat proses releksi berlangsung, E memutuskan untuk merubah pemikirannya. Pemikiran kalau diam itu akan menyelesaikan masalah itu ternyata salah. Manusia itu harus berbicara untuk menyelesaikan masalah Modifikasi Respon A A tidak dapat menahan air matanya keluar (Response dan menangis. A bisa tetap membiarkan air Modivication) matanya keluar didepan istrinya. C Ketika sedang menghadapi tekanan masalah-masalah yang menghimpit dirinya, C pernah meluapkan kemarahannya juga. E Saat sedang merasa marah E akan membntak dan berkata agak kasar sehingga membuat F terluka. Tabel 4.5.2.3 strategi regulasi emosi
http://digilib.mercubuana.ac.id/